Draf tanggal 7-8 Juli 2014
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR …. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Izin Usaha Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5492); MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan dengan: 1.
Pemerintah
ini
yang
dimaksud
Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.
-22.
Jasa Industri adalah usaha jasa yang terkait dengan kegiatan Industri.
3.
Izin Usaha Industri, yang selanjutnya disebut dengan IUI, adalah izin yang diberikan kepada Setiap Orang untuk melakukan usaha Industri.
4.
Izin Prinsip Industri adalah izin yang diberikan kepada Perusahaan Industri untuk melakukan persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan sebelum memulai produksi komersial usaha Industri.
5.
Izin Prinsip Kawasan Industri adalah persetujuan yang diberikan kepada Korporasi yang berbadan hukum untuk melakukan penyediaan lahan, pembangunan prasarana dan sarana penunjang serta pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan dalam rangka memulai usaha Kawasan Industri.
6.
Perluasan Usaha Industri, yang selanjutnya disebut dengan Perluasan Industri, adalah penambahan kapasitas produksi untuk Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 5 digit yang sama sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Industri.
7.
Perusahaan Industri adalah Setiap Orang yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri yang berkedudukan di Indonesia.
8.
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
9.
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
10. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. 11. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Izin Usaha Kawasan Industri, yang selanjutnya disebut dengan IUKI, adalah izin yang diberikan kepada Korporasi yang berbadan hukum untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.
-313. Perluasan Kawasan Industri, yang selanjutnya disebut dengan Perluasan Kawasan, adalah penambahan luas lahan Kawasan Industri dari luas lahan sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Kawasan Industri. 14. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri. 15. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang selanjutnya disebut KBLI adalah klasifikasi kegiatan ekonomi di Indonesia yang disusun oleh Badan Pusat Statistik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian. 17. Dinas Provinsi adalah Dinas Provinsi yang melaksanakan urusan pemerintahan daerah provinsi di bidang perindustrian. 18. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas Kabupaten/Kota yang melaksanakan urusan pemerintahan daerah kabupaten/kota di bidang perindustrian BAB II IZIN USAHA INDUSTRI Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Setiap kegiatan usaha Industri wajib memiliki IUI. (2) Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya Industri untuk: a. menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi; dan/atau b. menyediakan Jasa Industri. Pasal 3 (1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri. (2) IUI diberikan kepada Perusahaan Industri yang berlokasi di Kawasan Industri. (3) IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan kepada Perusahaan Industri yang berlokasi di luar Kawasan Industri apabila:
-4-
a. Kabupaten/Kota setempat: 1. belum memiliki Kawasan Industri; atau 2. telah memiliki Kawasan Industri namun seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis; b. Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas yang ditetapkan Menteri; atau c. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus yang ditetapkan Menteri. (4) Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri. Pasal 4 (1) IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diklasifikasikan sebagai berikut: a. IUI Kecil; b. IUI Menengah; dan c. IUI Besar. (2) IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Industri Kecil, Industri Menengah, dan Industri Besar sesuai dengan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi. (3) Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri Kecil, Industri Menengah, dan Industri Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 5 (1) IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berlaku bagi Perusahaan Industri yang memiliki usaha Industri dengan satu kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 digit dan berada pada satu lokasi. (2) Keberlakuan IUI untuk satu kelompok usaha dan satu lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang: a. memiliki beberapa usaha Industri dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 5 digit yang berbeda namun merupakan satu unit produksi terpadu dalam satu Kawasan Industri; atau b. memiliki beberapa usaha Industri yang berada di beberapa lokasi dalam satu Kawasan Industri namun memiliki Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 5 digit yang sama.
-5(3) Apabila Kawasan Industri tidak tersedia atau seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industri telah habis, beberapa usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib berlokasi di dalam Kawasan Peruntukan Industri. Pasal 6 (1) IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berlaku sebagai izin untuk melakukan kegiatan usaha Industri secara komersial. (2) Dalam melakukan kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Industri wajib: a. melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan IUI yang dimiliki; dan b. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan. (3) Ketentuan dan tata cara penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 7 IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) paling sedikit memuat: a. identitas perusahaan; b. jumlah tenaga kerja; c. nilai investasi; d. kelompok Industri sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia; dan e. kapasitas produksi terpasang untuk Industri yang menghasilkan barang, dan kapasitas jasa untuk Jasa Industri. Pasal 8 (1) IUI berlaku selama Perusahaan Industri yang bersangkutan menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi dan/atau menyediakan Jasa Industri sesuai dengan IUI yang dimiliki. (2) IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, apabila Perusahaan Industri yang bersangkutan tidak menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi dan/atau menyediakan Jasa Industri secara komersial dalam jangka waktu selama 3 (tiga) tahun.
-6(3) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah jangka waktu selama 3 (tiga) tahun berakhir tidak melakukan produksi komersial, diberikan peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali untuk masing-masing selama 1 (satu) tahun. (4) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali tidak melakukan kegiatan Industri, IUI dicabut. (5) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing mencabut IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 9 (1) IUI berlaku sebagai tanda daftar tempat penyimpanan mesin/peralatan, bahan baku, dan/atau hasil produksi dalam hal: a. tempat penyimpanan dimaksud terkait dengan kegiatan dan/atau kepentingan produksi Perusahan Industri bersangkutan yang tidak terpisahkan dari kegiatan Industrinya; dan b. tempat penyimpanan dimaksud tidak disewakan atau dikomersialkan. (2) IUI yang diterbitkan oleh bupati/walikota berlaku sebagai tanda daftar tempat penyimpanan mesin/peralatan, bahan baku, dan/atau hasil produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada dalam Kawasan Industri atau Kawasan Peruntukan Industri di wilayah kabupaten/kota setempat. (3) IUI yang diterbitkan oleh gubernur berlaku sebagai tanda daftar tempat penyimpanan mesin/peralatan, bahan baku, dan/atau hasil produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada dalam Kawasan Industri atau Kawasan Peruntukan Industri di wilayah provinsi setempat. (4) IUI yang diterbitkan oleh Menteri berlaku sebagai tanda daftar tempat penyimpanan mesin/peralatan, bahan baku, dan/atau hasil produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada dalam Kawasan Industri atau Kawasan Peruntukan Industri di wilayah provinsi dan/atau wilayah kabupaten/kota setempat. Bagian Kedua Kewenangan Pemberian IUI Pasal 10 Menteri berwenang memberikan Izin Usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
-7-
Pasal 11 (1) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Izin Usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada instansi pemerintah pusat yang menyelenggarakan sistem pelayanan terpadu satu pintu. (2) Kewenangan pemberian IUI yang didelegasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Industri Strategis; b. Industri Minuman Beralkohol; c. Industri Kertas Berharga; d. Industri yang berdampak besar pada lingkungan; e. Industri yang merupakan penanaman modal asing; f. Industri yang lokasinya berada pada lintas provinsi; dan g. Industri tertentu. (3) Industri yang berdampak besar pada lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 12 (1) IUI Kecil dan IUI Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b bagi Industri yang tidak menjadi kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diterbitkan oleh bupati/walikota. (2) Dalam hal Perusahaan Industri memiliki beberapa usaha Industri yang berlokasi lintas kabupaten/kota dalam satu Kawasan Industri, IUI Kecil dan IUI Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh gubernur. Pasal 13 (1) IUI Besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c bagi Industri yang tidak menjadi kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diterbitkan oleh gubernur. (2) Dalam hal Perusahaan Industri memiliki beberapa usaha Industri yang berlokasi lintas provinsi dalam satu Kawasan Industri, IUI Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
-8Pasal 14 (1) Instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian Izin Usaha Industri yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberian IUI oleh instansi, gubernur, dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap tahun. (3) Dalam hal pejabat penerbit IUI tidak melaksanakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menarik kembali kewenangan penerbitan IUI. Bagian Ketiga Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri Paragraf 1 IUI Kecil Pasal 15 (1) Pemberian IUI Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan tanpa Izin Prinsip Industri. (2) IUI Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Industri Kecil yang memenuhi ketentuan: a. seluruh modal usahanya dimiliki oleh warga negara Indonesia; b. bidang usaha Industri yang dinyatakan terbuka dan terbuka dengan persyaratan untuk penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan penanaman modal yang ditetapkan oleh Menteri; c. dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) Permohonan IUI Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pejabat penerbit IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 sesuai kewenangan masing-masing dengan melampirkan paling sedikit: a. identitas pemilik dan pelaku usaha/perusahaan; b. NPWP; dan c. fotokopi izin lokasi.
-9Pasal 16 Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan dengan lengkap dan benar wajib mengeluarkan IUI Kecil. Paragraf 2 IUI Menengah dan IUI Besar Pasal 17 (1) Pemberian IUI Menengah dan IUI Besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan melalui Izin Prinsip Industri. (2) Izin Prinsip Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Industri Menengah dan Industri Besar berdasarkan: a. bidang usaha Industrinya dinyatakan terbuka dan/atau terbuka dengan persyaratan untuk penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau b. kebijakan penanaman modal yang ditetapkan oleh Menteri. (3) Permohonan Izin Prinsip Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pejabat penerbit izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 sesuai dengan kewenangan masing-masing dengan melampirkan paling sedikit: a. akta pendirian Perusahaan Industri; dan b. NPWP. (4) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan dengan lengkap dan benar wajib mengeluarkan Izin Prinsip Industri. Pasal 18 (1) Izin Prinsip Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali untuk masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun. (2) Perpanjangan Izin Prinsip Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan ketentuan masih melakukan persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain.
-10Pasal 19 (1) Industri Menengah dan Industri Besar yang telah memperoleh Izin Prinsip Industri dapat mengajukan permohonan IUI Menengah dan IUI Besar dengan ketentuan: a. selesai melaksanakan persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan/ instalasi peralatan dan kesiapan lain; b. siap berproduksi komersial berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP); dan c. berlokasi di dalam Kawasan Industri kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. (2) Permohonan IUI Menengah dan IUI Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pejabat penerbit izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 sesuai dengan kewenangan masing-masing dengan melampirkan paling sedikit: a. fotokopi Akta Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya yang telah disahkan/ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b. fotokopi Izin Prinsip Industri; c. fotokopi Izin Lingkungan; d. fotokopi Data Industri mengenai kemajuan pembangunan Pabrik dan Sarana Produksi; dan e. dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 20 (1) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) sejak permohonan diterima dengan lengkap dan benar dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja melakukan pemeriksaan lapangan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). (2) Berdasarkan BAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja pejabat penerbit izin menerbitkan atau menolak permohonan IUI. Bagian Keempat Izin Perluasan Pasal 21 (1) Perusahaan Industri dapat melakukan Perluasan Industri. (2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan melakukan Perluasan menambah lahan melebihi ketersediaan lahan Kawasan Peruntukan Industri, wajib berlokasi di dalam Kawasan Industri.
-11Pasal 22 (1) Setiap Perusahaan Perluasan Industri daya alam yang Mengenai Dampak Perluasan.
Industri yang akan melakukan dengan menggunakan sumber diwajibkan memiliki Analisis Lingkungan wajib memiliki Izin
(2) Kewenangan pemberian Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada instansi penerbit izin. (3) Dalam hal Perusahaan Industri memiliki beberapa usaha Industri yang berlokasi dalam satu Kawasan Industri yang lintas kabupaten/kota, Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh gubernur. (4) Dalam hal Perusahaan Industri memiliki beberapa usaha Industri yang berlokasi dalam satu Kawasan Industri yang lintas provinsi, Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri. (5) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 23 (1) Perusahaan Industri yang melakukan perluasan dan wajib memiliki Izin Perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) mengajukan permohonan Izin Perluasan kepada pejabat penerbit izin sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. (2) Permohonan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan paling sedikit: a. fotokopi IUI; b. dokumen rencana perluasan Industri; c. Data Industri 2 (dua) tahun terakhir; d. Perubahan Izin Lingkungan; dan e. dokumen lain yang dipersyaratkan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 (1) Pejabat pejabat penerbit izin sesuai dengan kewenangan yang dimiliki sejak permohonan diterima dengan lengkap dan benar dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja melakukan pemeriksaan lapangan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). (2) Berdasarkan BAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja pejabat penerbit izin menerbitkan atau menolak
-12permohonan Izin Perluasan. Pasal 25 (1) Perusahaan Industri yang melakukan Perluasan dengan penambahan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi yang mengakibatkan perubahan klasifikasi IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mengganti IUI. (2) Kewenangan pemberian IUI pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Pasal 26 (1) Perusahaan Industri yang telah memiliki Izin Prinsip, IUI Kecil, IUI Menengah, IUI Besar atau Izin Perluasan wajib menyampaikan Data Industri secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diterbitkan mengenai kegiatan usahanya. (2) Tata cara penyampaian Data Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 Ketentuan dan tata cara pemberian Izin Prinsip, IUI, dan Izin Perluasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. BAB III IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI Bagian Kesatu Umum Pasal 28 (1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri memiliki Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI).
wajib
(2) Kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berlokasi di dalam Kawasan Peruntukan Industri. (3) IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan izin lokasi kegiatan usaha Kawasan Industri.
-13-
Pasal 29 (1) IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diberikan untuk pembangunan: a. Kawasan Industri yang memiliki luas lahan paling sedikit 50 (lima puluh) hektar dalam 1 (satu) hamparan; atau b. Kawasan Industri tertentu yang memiliki luas lahan paling sedikit 5 (lima) hektar dalam 1 (satu) hamparan. (2) Kawasan Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperuntukan bagi: a. Industri Kecil; atau b. Industri dengan karakteristik khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri dengan karakteristik khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 30 (1) IUKI diberikan kepada Perusahaan Kawasan Industri yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk: a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); b. Koperasi; atau c. Perseroan Terbatas. Pasal 31 IUKI berlaku selama: a. Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan menyelenggarakan kegiatan pengelolaan Kawasan Industri; dan b. hak penguasaan tanah atas lokasi pelaksanaan kegiatan Kawasan Industri berlaku.
untuk masih
Pasal 32 (1) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang dimiliki oleh Kawasan Industri berlaku sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan bagi Perusahaan Industri yang berlokasi di dalam Kawasan Industri dimaksud.
-14-
(2) Perusahaan Industri yang berlokasi di dalam Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL). Bagian Kedua Kewenangan Pemberian IUKI Pasal 33 Menteri berwenang memberikan Izin Usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). Pasal 34 (1) IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk Kawasan Industri yang lokasinya lintas wilayah provinsi dan/atau dalam rangka penanaman modal asing diterbitkan oleh Menteri. (2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan penerbitan IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada instansi pemerintah pusat yang menyelenggarakan sistem pelayanan terpadu satu pintu. Pasal 35 (1) Kewenangan penerbitan IUKI untuk Kawasan Industri yang lokasinya lintas wilayah kabupaten/kota diterbitkan oleh gubernur. (2) Kewenangan penerbitan IUKI untuk Kawasan Industri yang berlokasi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan diterbitkan oleh bupati/walikota. Pasal 36 (1) Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), gubenur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian IUKI yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberian IUKI oleh instansi, gubernur, dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap tahun. (3) Dalam hal pejabat penerbit IUKI tidak melaksanakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menarik kembali kewenangan penerbitan IUKI.
-15Bagian Ketiga Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri Paragraf 1 Izin Prinsip Kawasan Industri Pasal 37 (1) Pemberian IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilakukan melalui Izin Prinsip Kawasan Industri. (2) Izin Prinsip Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Perusahaan Kawasan Industri untuk melakukan penyiapan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan, menyusun Amdal, perencanaan dan pembangunan sarana dan prasarana penunjang serta kesiapan lain. (3) Permohonan Izin Prinsip Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pejabat penerbit izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sesuai dengan kewenangan masingmasing dengan melampirkan paling sedikit: a. fotokopi Akta Pendirian Perusahaan yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM atau oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi bagi pemohon yang berstatus Koperasi; b. fotokopi Nomor perusahaan;
Pokok
c. sketsa rencana lokasi kabupaten/kota, provinsi);
Wajib
Pajak
(desa,
(NPWP)
kecamatan,
d. surat pernyataan bahwa rencana lokasi terletak dalam Kawasan Peruntukan Industri sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah; dan e. khusus untuk penanaman modal asing melampirkan persyaratan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (4) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan dengan lengkap dan benar wajib mengeluarkan Izin Prinsip Kawasan Industri. Pasal 38 (1) Izin Prinsip Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali untuk masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun. (2) Perpanjangan Izin Prinsip Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan ketentuan masih melakukan
-16penyiapan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan, menyusun Amdal, perencanaan dan pembangunan sarana dan prasarana penunjang serta kesiapan lain. Paragraf 2 Izin Usaha Kawasan Industri Pasal 39 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Izin Prinsip Kawasan Industri dapat mengajukan permohonan IUKI dengan ketentuan telah: a. selesai melaksanakan penyiapan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan; b. memiliki Amdal; c. membangun sarana dan prasarana penunjang; dan d. membentuk pengelola Kawasan Industri. (2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan melalui pemeriksaan lapangan yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). (3) Permohonan IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pejabat penerbit IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 34, dan Pasal 35 dengan melampirkan paling sedikit: a. fotokopi Akta Pendirian Perusahaan dan/atau perubahannya yang telah disahkan/ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b. fotokopi Izin Prinsip Kawasan Industri; c. fotokopi Izin Lokasi; d. fotokopi Izin Lingkungan; e. fotokopi Data Kawasan Industri pada tahap pembangunan; f. fotokopi Tata Tertib Kawasan Industri; dan g. fotokopi susunan pengurus/pengelola Kawasan Industri. Pasal 40 (1) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 34, dan Pasal 35 sejak permohonan diterima dengan lengkap dan benar dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja melakukan pemeriksaan lapangan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). (2) Berdasarkan BAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja Pejabat penerbit izin menerbitkan atau menolak permohonan IUKI.
-17-
Bagian Keempat Izin Perluasan Kawasan Industri Pasal 41 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki Izin Perluasan Kawasan Industri. (2) Perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di dalam Kawasan Peruntukan Industri. Pasal 42 Kewenangan pemberian Izin Perluasan Kawasan Industri berada pada pejabat penerbit IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 34, dan Pasal 35. Pasal 43 Ketentuan dan tata cara pemberian IUKI dan Izin Perluasan Kawasan Industri diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Pasal 44 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Prinsip Kawasan Industri atau Izin Perluasan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan Izin Usaha Kawasan Industri yang diterbitkan mengenai kegiatan usahanya. (2) Tata cara penyampaian Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Pemberian Sanksi Pasal 45 Perusahaan Industri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6 ayat (2), dan Perusahaan Kawasan Industri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; dan/atau
-18-
c. penutupan sementara. Pasal 46 Perusahaan Industri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 2 ayat (1) dan melanggar ketentuan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan untuk penanaman modal; atau b. Pasal 6 ayat (2) dan melanggar ketentuan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan untuk penanaman modal; dikenakan sanksi berupa penutupan kegiatan usaha Industri. Pasal 47 Perusahaan Industri yang tidak memiliki Izin Perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memiliki Izin Perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; dan/atau c. penutupan sementara. Pasal 48 Perusahaan Industri yang tidak berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Perusahaan Industri yang dikecualikan dari Kawasan Industri yang tidak berlokasi di kawasan peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa penutupan kegiatan usaha Industri. Pasal 49 Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) yang tidak berlokasi di dalam Kawasan Peruntukan Industri dikenakan sanksi berupa penutupan kegiatan usaha Kawasan Industri. Bagian Kedua Tata Cara Pengenaan Sanksi Paragraf 1 Umum Pasal 50 Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49 diberikan oleh
-19pejabat penerbit IUI, Izin Perluasan, IUKI, dan Izin Perluasan Kawasan Industri setelah mendapat rekomendasi dari: a. Menteri untuk IUI dan IUKI yang kewenangan penerbitannya berada pada instansi pelayanan terpadu satu pintu tingkat pusat; b. Kepala Dinas provinsi yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian di provinsi untuk IUI dan IUKI yang kewenangan penerbitannya berada pada gubernur; dan c. Kepala Dinas kabupaten/kota yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian di kabupaten/kota untuk IUI dan IUKI yang kewenangan penerbitannya berada pada bupati/walikota. Pasal 51 (1) Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah. (2) Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada besaran tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak pada bidang Perindustrian. Paragraf 2 Peringatan Tertulis Pasal 52 (1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 diberikan berdasarkan: a. pengaduan; dan/atau b. tindak lanjut hasil monitoring dan evaluasi. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal dari warga masyarakat, baik perorangan maupun kelompok, atau lembaga. (3) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh pejabat dari unit kerja di bawah Menteri dan/atau lembaga terakreditasi yang ditunjuk oleh Menteri atau pejabat yang berwenang pada unit kerja di bawah Gubernur atau Bupati/Walikota. Pasal 53 (1) Menteri, Kepala Dinas Provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota melakukan pemeriksaan terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a.
-20(2) Apabila dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b ditemukan bukti bahwa Perusahaan Industri melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6 ayat (2), atau Perusahaan Kawasan Industri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) diberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (3) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturutturut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. Paragraf 3 Denda Administratif Pasal 54 Apabila Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri tidak melakukan perbaikan dalam kurun waktu peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) dikenakan denda administratif oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing. Pasal 55 (1) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 wajib dibayarkan oleh Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri ke Kas Negara atau Kas Daerah. (2) Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak surat pengenaan sanksi administratif berupa denda ditetapkan. Paragraf 4 Penutupan Sementara Pasal 56 (1) Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi kewajibannya dan tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara. (2) Penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditangguhkan untuk jangka waktu selama 6 (enam) bulan bagi Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri yang membayar denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2).
-21-
(3) Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tetap tidak memenuhi kewajibannya dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara setelah jangka waktu penangguhan berakhir. Pasal 57 Penutupan sementara dilakukan oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pasal 58 (1) Perusahaan Industri yang dikenakan sanksi berupa penutupan sementara dilarang untuk melakukan kegiatan usaha Industri. (2) Perusahaan Kawasan Industri yang dikenakan sanksi berupa penutupan sementara dilarang untuk menjual lahan/kaveling Industri. (3) Penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sampai dengan diperolehnya IUI, Izin Perluasan, IUKI, atau Izin Perluasan Kawasan Industri. (4) Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri atau Izin Perluasan Kawasan Industri sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak penutupan sementara, wajib mengalihkan aset dan kewenangan pengelolaan Kawasan Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri lain. (5) Dalam hal tidak ada Perusahaan Kawasan Industri lainnya yang menerima pengalihan aset dan kewenangan pengelolaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat mengambil alih aset dan kewenangan pengelolaan Kawasan Industri. Pasal 59 Bagi Perusahaan Industri yang berada di dalam Kawasan Industri yang ditutup sementara masih dapat menjalankan kegiatan produksinya sesuai dengan izin yang dimilikinya. Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penutupan sementara diatur oleh Menteri.
-22Paragraf 5 Pembekuan IUI atau IUKI Pasal 61 (1) Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa pembekuan IUI atau IUKI. (2) Sanksi administratif berupa pembekuan IUI atau IUKI dikenai untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (3) Apabila pemegang IUI atau IUKI tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya sanksi administratif berupa pembekuan, dikenai sanksi pencabutan IUI atau IUKI. (4) Pembekuan IUI atau IUKI dilakukan pada waktu yang sama dengan pengenaan sanksi penutupan sementara. Pasal 62 (1) Menteri, gubernur dan bupati/walikota membekukan IUI atau IUKI sesuai dengan kewenangan masingmasing. (2) Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan laporan pembekuan IUI atau IUKI suatu Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri kepada Menteri. (3) IUI atau IUKI yang dibekukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan kembali apabila Perusahaan Industri yang bersangkutan telah melakukan perbaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 63 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembekuan IUI atau IUKI diatur oleh Menteri. Paragraf 6 Pencabutan IUI atau IUKI Pasal 64 (1) Sanksi pencabutan diberikan oleh pejabat penerbit IUI, Izin Perluasan, IUKI, dan Izin Perluasan Kawasan Industri setelah mendapat rekomendasi dari: a. Menteri untuk IUI dan IUKI yang kewenangan penerbitannya berada pada instansi pelayanan terpadu satu pintu tingkat pusat;
-23b. Kepala Dinas provinsi yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian di provinsi untuk IUI dan IUKI yang kewenangan penerbitannya berada pada gubernur; dan c. Kepala Dinas kabupaten/kota yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian di kabupaten/kota untuk IUI dan IUKI yang kewenangan penerbitannya berada pada bupati/walikota. (2) Pencabutan IUI, Izin Perluasan, IUKI, dan Izin Perluasan Kawasan Industri dilakukan tanpa peringatan tertulis oleh Menteri, gubernur dan bupati/walikota. (3) Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan laporan pencabutan IUI atau IUKI suatu Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri kepada Menteri. Pasal 65 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan IUI atau IUKI diatur oleh Menteri. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 66 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a. Tanda Daftar Industri; b. Izin Usaha Industri; atau c. izin sejenis untuk kegiatan Industri yang sudah diterbitkan; harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 67 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan b. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
-24Pasal 68 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ....
-25PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR ... TAHUN ... TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI I.
UMUM Pembangunan Industri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dilaksanakan dengan berdasarkan asas kepentingan nasional, demokrasi ekonomi, kepastian berusaha, pemerataan persebaran, persaingan usaha yang sehat, dan keterkaitan Industri. Pembangunan Industri yang berasaskan pada demokrasi ekonomi mengedepankan semangat kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dalam kesatuan ekonomi nasional. Sedangkan asas kepastian berusaha diwujudkan melalui penciptaan iklim usaha kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaan. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan dan pengembangan terhadap pertumbuhan Industri serta menciptakan iklim usaha yang sehat bagi perkembangan dunia usaha. Di sisi lain, dunia usaha perlu memberikan respon positif dengan mengembangkan Industri yang inovatif, efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga memiliki daya saing di tingkat global. Pencapaian pertumbuhan Industri membutuhkan kepastian berusaha melalui pengaturan perizinan baik Izin Usaha Industri maupun Izin Usaha Kawasan Industri. Menyadari akan peranan tersebut, perizinan harus mampu memberikan motivasi yang dapat mendorong dan menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di sektor Industri. Perizinan merupakan salah satu kebijakan Pemerintah yang dapat menjadi alat untuk menggerakkan perkembangan dunia usaha ke bidang yang benar-benar mendukung pembangunan Industri. Oleh karena itu, sistem perizinan dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemerataan persebaran Industri, pendayagunaan potensi sumber daya Industri secara efisien dan optimal, dan pendataan Industri. Melalui upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan Industri yang dilakukan, Pemerintah mengarahkan untuk penciptaan iklim usaha Industri secara sehat dan mantap. Dengan iklim usaha Industri yang demikian, diharapkan Industri dapat memberikan umpan balik dalam menciptakan lapangan kerja yang luas, menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan dan kekuatan sendiri dalam membangun Industri. Di samping itu, dalam rangka peningkatan daya saing Industri perlu tersedianya lokasi Industri yang memadai yang berupa Kawasan Industri.
-26-
Pembangunan Kawasan Industri merupakan sarana untuk mengembangkan Industri yang berwawasan lingkungan serta memberikan kemudahan dan daya tarik bagi investasi dengan pendekatan konsep efisiensi, tata ruang, dan lingkungan hidup. Untuk itu perlu diatur ketentuan perizinan di bidang usaha Kawasan Industri. Dalam kerangka inilah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mengamanatkan adanya pengaturan tentang Izin Usaha Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri, sehingga perizinan yang ada hanya yang benar-benar diperlukan bagi kegiatan masyarakat dan yang perlu dikendalikan bagi setiap pendirian Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri baru serta perluasannya. Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi prinsip-prinsip dasar Izin Usaha Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri, kewenangan pemberian Izin Usaha Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri, tata cara pemberian Izin Usaha Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri, Izin Perluasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri, serta jenis sanksi administratif dan tata cara pengenaannya.
II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kegiatan mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya Industri termasuk kegiatan makloon, yaitu kegiatan usaha yang mengolah bahan baku atau sumber daya Industri milik orang lain untuk menghasilkan barang berdasarkan pesanan orang tersebut. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan lokasi adalah tempat Perusahaan Industri melakukan kegiatan usaha Industri. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “satu unit produksi terpadu” adalah rangkaian proses produksi yang terdiri dari beberapa simpul produksi yang setiap simpulnya menghasilkan satu produk dan/atau jasa yang digunakan untuk menghasilkan satu produk akhir.
-27Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan identitas perusahaan berupa nama perusahaan, alamat perusahaan, nama pemilik perusahaan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan kapasitas produksi terpasang adalah kemampuan berproduksi maksimal per tahun. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan Industri Strategis adalah Industri yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
-28Huruf e Industri yang merupakan penanaman modal asing dalam ketentuan ini termasuk penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas.
-29Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan Industri dengan karakteristik khusus misalnya Industri teknologi tinggi, padat karya, padat modal, dan tidak membutuhkan lahan luas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas.
-30Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas.
-31Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...