RAMA MANGUN, MANUSIA, SASTRA Oleh Bakdi Soemanto Ada banyak issue tentang Rama Mangun, Tetapi, tulisan sederhana ini hanya memusatkan satu saja: bagaimana beliau menyatu dalam kehidupan karena berfihak kepada hidup dan “menolak kematian” serta tidak mau menjdi koma (BS)
/1/ TAK semua orang yang kenal dengan Yussuf Bilyarto Mangunwijaya Pr menyetujui dan memberikan apresiasi tinggi kepada pikiran-pikirannya dan karya-karyanya. Jika yang tidak setuju orangorang tidak se-iman, hal itu bisa dimaklumi. Ternyata, yang tidak setuju dan kurang memberikan apresiasi justru orang-orang Katulik sendiri, bahkan seorang imam alias pastor.
Beberapa hari setelah
Rama Mangun meninggal dan orang-orang mengelu-elukan sebagai tokoh idola dan bahkan beberapa calon pastor memikirkan bagaimana melanjutkan
gagasan-gagasan
almarhum,
pastor
yang
tidak
sependapat dengan almarhum berteriak keras-keras: “Tidak ada yang bisa dilanjutkan!” Tetapi, justru gagasan almarhum terus dilanjutkan dengan lebih bersemangat. dimaksud
adalah
hal-hal
Adapun gagasan yang kontrobersial yang
menyangkut
pendidikn
yang
berkemungkinan mendorong lahirnya Sekolah Dasar “Mangunan”> Ketika Rama Mangun masih sugeng, beberapa kali saya main ke rumahnya di pinggir kali Code. Saya mengatakan bahwa ide Rama Mangun banyak “aneh” sehingga tidak setiap orang setuju. Dengan
1
penuh keterbukaan beliau mengatakan bahwa jika ada orang yang tidak setuju, “bukan berarti saya harus berhenti ber-ide dan melaksanakan ide itu. Dan orang yang tak setuju itu biar saja tetap tidak setuju. Itu hak dia ha, ha, ha/...!.” Dari pernyataan ini, saya merasa setapak lebih maju mengenal Rama Mangun,
Kemajuan itu
bisa dirumuskan bahwa semangat egaliter beliau cukup meyakinkan. Ia tidak memaksakan pendapatnya dan sekaligus sangat menghormati pendapat orang lain, betapa pun ia tidak setuju dengan pendapat itu. Akan tetapi, siapakah Rama Mangun? Ia adalah salah seorang gerilyawan pada perang kemerdekaan RI dan kemudian memutuskan untuk sekolah di Seminari dan tamat serta ditasbihkan menjadi Imam Praja, yang artinya lebih banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan “domestic” umat Katulik. Saya tidak tahu apa a;asan
beliau
memilih
komunitas
Praja
(Pr)
dan
bukan
Jesuit,Fransiskan atau lainnya. Beberapa orang membuat spekulasi bahwa pilihan Rama Mangun menjadi Imam Pr erat hubungannya dengan perjuangan beliau melawanpenjajah untuk bebaskan rakyat dari jajahaBelanda dan Jepang. Perjuangan demi kebebasan itu terus berlangsung hingga Republik diproklamasikan, yang akan tampak nanti pada karya sastramya. Sebelum dikenal sebagai novelis, yakni pada saat di Jakarta ada demo besar-besaran yang dikenal dengan “Malari”, singkatan dari Malapetaka Lima Belas Januari yang terjadi 1974, Rama Mangun mengorganisasikan
empat
puluh
satu
pastor
mempertanyakan kondisi politik dan ekonomi. banyak pengaruhnya.
di
DIY
untuk
Gerakan itu tidak
Tetapi, bagi orang yang mengamati Rama
2
Mangun, tahu, bahwa beliau, kalau perlu, bisa melakukan gerakan berbau “politik” dan mengandung risiko besar. Sesudah itu, Kompas,
yang
inti
Rama Mangun menulis esai pendek-pendek di tulisannya,
memberikan
berbagai
macam
pertimbangan dan komentar serta kritik tentang kebijakan pemerintah. Pada waktu beberapa orang muda menemui beliau di Pastoran Jestis (karena beliau ditugaskan di sana), beliau berkata: “Aku koq ora ditangkep-ditangkep ya...ha, ha, ha?!”
Dari sini tampak, dalam hal
semangat juang “membela rakyat”, Rama Mangun total. Ini kemudian ditunjukkan dengan komitmen beliau terhadap para penduduk girli sepanjang kali Code. Beliau tinggal di sana dan membangun rumahrumah serta menjaga, bersama rakyat setempat, kebersihan kali Code. Sesudah itu, beliau tinggal di satu desa di lereng gunung di Yogya Selatan
dalam
rangka
membantu
rakyat
mengatasi
masalah
kekurangan air. Pada kali lain, orang-orang muda menemui beliau di tempat yang sama dan menanyakan tentang tugasnya sebagai pastor, yang antara lain memimpin ibadat bersama jemaat. Untuk pertanyaan itu, beliau menjawab bahwa di tengah rakyat “lemah-miskin” (istilah beliau), yang kadang-kadang putus asa hanya untuk mendapatkan segelas air minum,
“saya merasa bahagia menderita dan putus asa bersama
mereka. Karena itu, saya tidak terlalu cemas dengan persoalan tugas sebagai rama secara formal. Dari apa yang dikatakan Rama Mangun itu, saya menarik kesimpulan bahwa beliau sudah bisa mengatasi persoalan-persoalan formalitas dan masuk serta langsung menujes substansinya.
Apabila
apa yang dilakukan Rama Mangun itu disorot dengan kaca mata Mas 3
Willy alias WS Rendra, kita pun akan berkata bahwa Rama Mangun, dengan tindakannya itu, telah “manjing ing kahanan, nggayuh kersaning Hyang Widi” yang dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan, “masuk ke dalam dan menjadi satu dengan situasi yang dihadapi rakyat banyak (lemah-miskin) untuk menangkap isyarat-isyarat Ilahi. Sebagai seorang pastor, ia menguasai Injil. Sekali, kepada orangorang muda beliau berkata sambil memegang Kitab Suci dan menirukan kata-kata Yesus: “Mari, hai kamu yang diberkahi Bapakku di Sorga, terimalah Kerajaan yang sudah disediakan bagimu. Sebab, ketika Aku lapar engkau memberi Aku makan, ketika Aku orang asing kamu memberi tampungan, ketika Aku telanjang, kamu memberi aku pakaian...” (Matius 25, 34-35). Ini salah satu kunci spiritualitas Rama Mangun. Melayani kaum Duafa, baginya, adalah melayani Tuhan.
/2. Bagaimana dengan karya-karya novelnya? (mungkin saya salah) Romo Rahadi
Pada hemat saya
(1981) adalah novelnya yang
pertama. Pada terbitan pertama (1981) novelis menggunakan nama samaran; pada terbitan ke dua (1986) novelis menggunakan namanya yang sebenarnya, Bagi saya, yang paling menarik dari novel ini adalah satu baris kutipan dari Ernest Renan: “Keragu-raguan adalah sebentuk kehormatan kepada kebenaran”. Yang dikutip Rama Mangun mengingatkan saya kepada ungkapan yang dikemukakan oleh Søren Kierkegard, seorang filsuf eksaistensialis-religius dari Denmark, Adapun ungkapan itu adalah: “Fear and Trembling, Sickness unto Death”
Sementara itu, Albert
Camus, yang sedang dirawat di Sanatorium di Aljazair, menulis pada 4
secarik kertas kepada Eliza, seorang wanita muda, yang sering menemaninya. Tulisan pendek itu diterjemahkan demikian: “It is not simply a happiness that I wish for today rather a despair in grandeur” Mungkin, dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan: “Bukan sekedar kebahagiaan murah yang aku inginkan, tetapi suatu keputusasaan dalam kebesaran” Pada hemat saya, apa yang ditulis oleh Renan, Kierkegard dan Camus terjadi pada diri Rama Mangun, terus-menerus sepanjang hidupnya.
Beliau sebenarnya terus-menerus gelisah, tetapi sangat
tenang dan tabah. Jadi, dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan sementara, dalam keterombang-ambingan dan keraguan, Rama Mangun berpihak kepada yang terindas, misalnya rakyat dalam masa penjajahan. Juga perempuan yang tergencet, misalnya dalam Rara Mwndut (1981). Dalam novel ini Rama Mangun merespon cerita sejarah atau babad dengan judul yang sama tetapi dengan cara menghindari tindakan bunuh diri yang dalam cerita rakyat dilakukan oleh Rara Mendut karena melihat Pranacitra telah kummel, kucem rahnya mratani mring sariranipum. Tetapi, dalam novel Rama Mangun, Roro Mendut gugur karena menghadang serangan Wiroguna yang hendak menikam Pronocitro.
Mendut gugur sebagai pahlawan yang membela
kekasihnya.
Di sini tampak pembelaan Rama Mangun terhadap
Mendut, yang dalam buku Alkintyab dilukiskan sebagai perempuan yang ketiaknya mudah basah tetapi tidak berbau amis, sengak, pemguk atau kecut karena kebiasaan Mendut memakan daun bluntas. Diduga, ini yang membuat Wtroguna tergila-gila. Yang penting dalam novel ini,
5
Mendut bukan mahluk lemah karena perempuan, tetapi perkasa walau perempuan.
/3/ Novel Burung-burung Manyar (1981), yang konon dicetak-ulang lima belas kali dan setiap cetak ulang muncul 5000 eksemplar beredar, bisa pula dibaca sebagai novel pembelaan kepada mereka yang dilupakan,
Sangat lumrah, sejarah biasanya “hanya” melukiskan
orang-orang besar. Tetapi, dalam sajak yang berjudul 1946, Chairil Anwar menulis, “Lahir seorang besar / tenggelam beratus ribu. Keduanya harus dicatat/ keduanya dapat tempat.”.
Rama Mangun,
dengan Burung-burung Manyar telah ikut memikirkan nasib orangorang kecil, yang tak punya nama untuk bisa “Recognised by history”, seperti dikatakan oleh John Pinccus,
Karena tuntutannya yang
demikian, Rama Mangun memainkan grand narration yang namanya Revolusi Indonesia, yang oleh almarhum Presiden Soekarno dipandang telah menempatkan diri sang Presiden sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Karena itu, ketika Rama Mangun berkisah secara biografis, sehingga yang namanya Sejarah yang “agung” dan “besar” nun jauh di sana menjadi sederhana. Sebab, dengan cara menulis biografi, Rama Mangun
menghadirkan
peristiwa-peristiwa
besar
itu
menjadi
pengalaman persona. Maka, tak mengherankan kalau dalam novel itu beberpa orang yang tidak dikenal sebagai Pahlawan Revolusi. Pada titik ini, pengamat-pengamat Barat, misalnya Dr. Pamela Allen dari the University of Tasmania dalam bukunya yang berjudul Reading Matters: An Examination of Plurality of Meaning in Indonesian Fiction: 6
1980-1995. Yang paling penting dari pandangan Rama Mangun dalam novel ini adalah Revolusi Indonesia yang dipandang suci oleh Soekarno yang sudah mengorbankan diri dibuang di Ended dan juga oleh Soeharto
yang
telah
memimpin
Serangan
Satoe
Maret
telah
dinetralkan. Zoe Blundder dalam suatu diskusi di Northern Illinois University (Agustus, 1987) mengatakan bahwa novel Rama Mangun ini menyajikan lapis-lapis kandungan.
Sebab di sana, Burung-burung
Manyar menyajikan beberapa macam cara bercerita. Dari segi sastra, novel ini tidak menghadirkan alu linier sebab keseluruhan sajian tidak koheren. Dalam suatu pertemuan sesudah menerima hadiah Asia Write Award di rumah Drs. Hendrawarsito yang istrinya adalah adik Rama Mangun, beliau menegaskan bahwa npvel itu “hanya ingin mengajak pembaca berpikir secara common sense saja terhadap revolusi itu. Wong saya ya ikut ambil bagian angkat senjata di Palagan, Ambarawa. Saya menolak meromantisir revolusi itu. Rakyat biasa juga berjuang lho. Ha. Ha. Ha...” Novel Durga-Umayi (1991) juga dapat dibaca sebagai pembelaan kepada
orang-orang
yang
dipandang
menjadi
korban
proses
pembodohan, ketika berpikir rasional sudah mati. Ada semangat Ibu yang terkesan gambaran Umayi yang bersemangat pembelaan kepada rakyat, tetapi dikhianati oleh Iin, yang menimbulkan kesan itulah Durga, Dalam pewayangan, Durga digambarkan sebagai seorang perempuan penguasa gelap dan tinggal di Setra Ganda Mayit alias hutan Krendhawahana. Durga memiliki bulu ketiak yang selalu basah, dan bulu itu memiliki kesaktian bisa membuat orang tak kasat mata jika membawanya. Burisrawa sudah membuktikannya. Tetapi, secara 7
keseluruhan
novel
Durga-Umayi
sebenarnya
bersikap
mempertanyakan ideology nasionalisme yang mempersatukan wilayah Nusantara sebagai satu kesatuan. / 4/ Dari karya Rama Mangun yang bersifat tindakan nyata dan dalam bentuk karya sastra bisa dibaca sebagai satu pikiran satu ideology yang konsisten dan utuh. Sebagai pribadi, dua jenis karya itu bisa digambarkan sebagai satunya kata dan perbuatan. Ia memang seorang Katulis 100% dan seorang Indonesia 100%. Terimakasih.
*********
8