Rakyat Jogja Menjawab Isu Seputar Keistimewaan DIY
Yogyakarta, Januari 2011
ii
Kata Pengantar Sikap pemerintah yang belum dapat memahami secara komprehensif makna dan substansi keistimewaan DIY telah mengakibatkan nasib RUU DIY semakin tidak jelas dan menggantung, bahkan memunculkan polemik di kalangan masyarakat luas meski saat ini draft versi Pemerintah telah diserahkan kepada DPR RI. Dinamika yang terjadi dalam pembahasan keistimewaan DIY telah mengarahkan masyarakat ke dalam berbagai perspektif yang justru berpotensi mereduksi makna dan substansi keistimewaan itu sendiri. Namun tidak demikian halnya yang terjadi pada masyarakat Yogyakarta, mereka masih tetap berada pada pendiriannya bahwa keistimewaan DIY harus tetap dipertahankan tanpa mereduksi makna dan substansi keistimewaan tersebut melalui UndangUndang. Hal inilah yang mendorong penulis untuk menghimpun berbagai pertanyaan yang mengemuka di masyarakat terkait makna dan substansi keistimewaan DIY ke dalam sebuah “Buku Merah Putih”. Buku ini mencoba memberikan informasi kepada masyarakat terkait makna dan substansi RUU Keistimewaan DIY sekaligus mendudukkan kembali hakekat keistimewaan tersebut. Harapannya, siapapun Sultan dan Adipati yang jumeneng eksistensi keistimewaan DIY dapat senantiasa dipertahankan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
iii
iv
Daftar Isi Halaman Kata Pengantar …………………………………………………………………………… Daftar Isi ……………………………………………………………………………………..
ll iii
A. B.
Pendahuluan …………………………………………………………………….. Merunut Kelahiran DIY ………………………………………………………
1 2
C.
Pasang surut keistimewaan DIY berdasarkan UU Pemerintahan Daerah ……………………………………………………….. Catatan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ……………………………………………………………………………………… Rakyat Jogja Menjawab : Isu seputar keistimewaan DIY ……. 1. Mengapa Kasultanan dan Kadipaten Harus Dipertahankan Eksistensinya ?.................................. 2. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta mempunyai kedaulatan dan dihormati oleh hukum international, sebenarnya seperti apakah aspek hukumnya ? ........................................................ 3. Apakah Penyelenggaraan Pemerintahan di DIY menganut Sistem Monarkhi ?.................................... 4. Apakah yang dimaksud ijab kabul ?............................ 5. Apa yang menjadi landasan keistimewaan DIY ?........ 6. Mengapa harus menyusun UU baru, tidakkah cukup melakukan amandemen UU No. 3 Tahun 1950 ?............................................................................ 7. Mekanisme penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY apakah tidak melanggar konstitusi ?.....................................................................
D. E.
3 5 7 7
7 8 8 9
10
11
v
8. 9.
10.
11.
12. 13. 14. 15. 16.
17.
18.
vi
Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY tidakkah melanggar demokrasi ? ……………………………. Apakah syarat seorang Sultan / Adipati sama dengan syarat seorang Gubernur / Wakil Gubernur ?............................................................... Jika tidak terikat masa jabatan, apakah Sultan dan Adipati akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur seumur hidup ? ……………………………………………………… Apakah dimungkinkan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan melalui pemilihan terbatas dari keturunan Raja yang berkuasa ? …........ Bagaimana jika Sultan dan Adipati tidak mempunyai keturunan laki-laki ? ………………………………………………. Apakah dimungkinkan Kasultanan / Kadipaten dipimpin oleh seorang perempuan ? ……………………… Bagaimana jika Sultan dan Adipati masih terlalu muda atau sudah terlalu tua ? …………………………………………… Bagaimana jika Sultan dan Adipati terkena masalah hukum ? …………………………………………………………………… Sri Sultan HB X pada tanggal 7 April 2007 pernah membuat pernyataan tidak bersedia menjabat lagi sebagai Gubernur DIY, dengan demikian apakah selanjutnya pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY kedepan akan dilakukan melalui mekanisme pemilihan ? ………………………………………… Benarkah penetapan hanya berlaku untuk Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, bukan kepada keturunannya ? ……................................................... Ada yang mewacanakan agar netral kepada semua golongan, maka sebaiknya Sultan tidak berpolitik ? ……
12
13
14
15 15 15 16 16
17
18 18
19. Adakah Keppres penetapan Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ? ………………………………………………………………………….. 20. Apakah di DIY dimungkinkan Gubenur dipilih oleh DPRD ? ………………………………………………………………………. 21. Apakah dalam konstitusi kita dikenal istilah Gubernur dan Wakil Gubernur Utama ? …………………………………… sebagian besar masyarakat DIY 22. Benarkah menghendaki pemilihan ? …………………………………………. 23. Benarkah mengatur keistimewaan DIY tidak cukup hanya didasarkan pada aspirasi masyarakat DIY saja ? 24. Dimanakah letak perbedaan DIY dengan Surakarta ? … 25. Dengan diberlakukannya UUPA DIY, lalu apa keistimewaan urusan pertanahan di DIY ? ................... 26. Sebenarnya apa yang disebut sebagai tanah SG dan PAG itu ? ........................................................................ 27. Jika di DIY masih ada tanah SG-PAG, adakah alat buktinya ? ..................................................................... 28. Bagaimana pemanfaatan tanah SG-PAG yang masih ada ? ............................................................................. 29. Bagi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman, bagaimana status tanah SG-PAG yang selama ini belum terintegrasi dalam yurisdiksi UUPA ? ............ F.
Catatan penutup ………………………………………………………………… Lampiran-lampiran …………………………………………………………….. 1. Amanat HB IX, 28 Poeasa Ehe 1876 (5 September 1945) 2. Amanat PA VIII, 28 Poeasa Ehe 1876 (5 September 1945) ............................................................................... 3. Amanat Sri Paduka Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan HB IX dan Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Pakualam VIII (30 Oktober 1945) ....................................
19 19 19 20 20 21 21 22 22 23
23 24 25 26 27
28
vii
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
viii
Piagam Penetapan Kedudukan HB IX dari Presiden RI 19 Agustus 1945.............................................................. Struktur Organisasi Kasultanan Yogyakarta Tahun 1940. Struktur Organisasi Kadipaten Pakualaman Tahun 1940. Organisasi Pemerintahan DIY (1946-1958)...................... Organisasi Pemerintahan Yogyakarta di tahun 1946, sebelum ada reorganisasi................................................ Organisasi pemerintahan Yogyakarta berdasarkan Dekrit Presiden No. 6 Tahun 1959.................................. Organisasi Pemerintahan Yogyakarta selama Penjajahan Belanda (sesudah tahun 1916)..................... Struktur Organisasi Pemerintahan DIY............................ Struktur Pemerintahan di Yogyakarta mulai tahun 1942................................................................................. Poros Filosofi................................................................... Surat M.Jusuf Ronodipuro kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X ........................................................................
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 40
A. Pendahuluan Ditengah keinginan pemerintah untuk melakukan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur bagi DIY, sebagian besar masyarakat Yogyakarta justru mengharapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Sebagai bentuk dukungan, masyarakat Yogyakarta melakukan berbagai bentuk aksi massa yang merepresentasikan ketidakpuasan terhadap rencana kebijakan pemerintah tersebut. Orasi-orasipun digelar meski tak “galak” namun lebih bernuansa dialog budaya. Peristiwa semacam itu sudah berulang kali terjadi sejak reformasi bergulir, salah satu aksi yang berskala cukup besar terjadi pada saat Pisowanan Kawulo Mataram pada tanggal 11 Agustus 1998 dan dilanjutkan pada 26 Agustus 1998, ribuan rakyat dari semua kabupaten dan kota di DIY berkumpul membacakan deklarasi untuk mengukuhkan Sri Sultan HB X menjadi Gubernur DIY dan Sri Paduka Paku Alam IX menjadi Wakil Gubernur DIY. Sejauh ini pendirian masyarakat DIY tentang keistimewaan terbukti masih sangat kuat, walaupun tidak dipungkiri masih ada beberapa kalangan yang belum “bulat”, hal ini dapat di simak melalui komentar-komentar di berbagai media massa. Di sisi lain pemerintah (pusat) seolah menganggap sepi keistimewaan DIY, dan masih “mendewakan” demokrasi prosedural yang justru tengah menghadapi euphoria. Pelaksanaan pilkada yang diwarnai banyak protes dan gejolak di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit uang rakyat terkuras untuk melaksanakan pesta demokrasi, justru diyakini sebagai bentuk ideal yang harus diterapkan sama di Indonesia. Di sisi lain pemerintah sebenarnya masih mencari format penyelenggaraan pemerintahan yang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini terbukti telah dilakukannya “bongkar pasang” beberapa kali atas UU Pemerintahan Daerah, mulai dari UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, Penpres No. 6 Tahun 1959, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU. No 32 Tahun 2004. Saat ini pun pemerintah tengah ancang-ancang melakukan perubahan kembali UU No. 32 Tahun 2004. Hal yang cukup mengherankan mengapa penyelenggaraan pemerintahan DIY yang telah berjalan baik dan didukung oleh rakyatnya justru ingin dilakukan eksperimen perubahan ? Melihat dinamika yang berkembang tersebut, maka tulisan ini
1
dimaksudkan menjawab beberapa pertanyaan yang sering muncul di masyarakat seputar keistimewaan DIY. Harapannya, melalui penjelasan yang disajikan secara ringkas ini akan mampu memberikan pemahaman kepada semua pihak terkait keistimewaan DIY.
B. Merunut kelahiran DIY Eksistensi DIY dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sebelum Belanda menancapkan kekuasaannya di Jawa, Kerajaan Mataram Islam di bawah Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646) berkuasa atas Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Madura dan Sukadana (Kalimantan Barat). Belanda mengakui kedaulatan Mataram sehingga harus membuat politik kontrak selama Belanda berada di tanah Jawa (sampai tahun 1705 sudah ada 111 politik kontrak). Menjelang Mataram Islam bertekuk lutut kepada Belanda pada masa Paku Buwono II (17271749), Pangeran Mangkubumi memberontak sampai akhirnya terjadi Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi dua kerajaan Mataram (palihan nagari). Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian wilayah yang kemudian dibangun menjadi Kasultanan Ngayoyakarta Hadiningrat, yang selanjutnya beliau bertahta sebagai rajanya (Hamengku Buwono I). Sejak itu sampai berakhirnya masa penjajahan di Indonesia (1942), Belanda mengakui kedaulatan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda, lahirlah sebuah kerajaan baru yaitu Kadipaten Pakualaman. Saat itu Gubernur Jenderal Raffles menilai bahwa Sri Sultan HB II dan Sunan Solo tidak mentaati Perjanjian Tuntang. Oleh karena itu, Sri Sultan HB II dipaksa Raffles untuk turun tahta. Kemudian, Raffles mengangkat Sri Sultan HB III dengan mengurangi daerah kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo (saudara HB III), dengan wilayah yang sebagian besar berada di sebelah selatan (dikenal sebagai daerah Adikarto) yang selanjutnya menjadi sebuah Kadipaten baru, dipimpin oleh Pangeran Notokusumo yang selanjutnya bergelar Pangeran Adipati Paku Alam I. Pada jaman pendudukan Jepang, Kasultanan dibawah kepemimpinan Sri Sultan
2
HB IX diakui oleh Jepang. Ketika Belanda dan Jepang pergi, Kasultanan dan Kadipaten siap menjadi sebuah negara sendiri, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya. Namun karena jiwa besar dan visi kebangsaannya, Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII memilih untuk berintegrasi dengan Republik Indonesia. Begitu kemerdekaan RI diproklamirkan, beliau mengirim kawat kepada Presiden Soekarno yang berisi ucapan selamat dan sikap politik untuk bergabung dengan RI. Selanjutnya sikap politik tersebut dibalas dengan perlakuan istimewa berupa pemberian Piagam Kedudukan oleh Presiden Soekarno. Dalam perkembangannya wilayah Kasultanan Ngayoyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjelma menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama dan sebutan DIY pertama kali muncul pada tahun 1946 ketika dikeluarkannya Maklumat No. 18 Tahun 1946, sehingga tanggal 18 Mei 1946 sering disebut-sebut sebagai hari kelahiran DIY. Penegasan nama atau sebutan DIY mempunyai landasan hukum yang kuat dengan telah ditetapkannya UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
C. Pasang surut keistimewaan DIY berdasarkan UU Pemerintahan Daerah Pengaturan pemerintahan daerah diawali dengan UU No. 1 Tahun 1945 yang salah satunya menyebutkan “Komite Nasional Daerah (KND) diadakan kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta..... “ Alasan pengecualian ini tidak disebutkan dalam UU, tetapi dalam penjelasan disebutkan bahwa pengecualian ini merupakan implikasi dari Piagam Penetapan yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945. UU No. 22 Tahun 1948 dengan jelas menyebutkan bahwa daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan zelfbesturende landschappen. Daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Republik Indonesia
Berdasarkan UU ini, keistimewaan diberikan dalam hal penentuan kepala daerah dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa diangkat oleh pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syaratsyarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan mengingat adat istiadat di daerah itu. Kecuali ketentuan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, penjelasan
3
UU menegaskan dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah lain. UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, intinya hanya melanjutkan apa yang telah diatur di dalam UU No. 22 Tahun 1948. Isi keistimewaan bahwa kepala daerah diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah Yogyakarta.
UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan daerah tidak mengatur secara jelas tentang keistimewaan DIY. Dalam ketentuan peralihan terkandung makna bahwa daerah tingkat I dan DIY berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan UU No. 1 Tahun 1957. Lebih lanjut dalam pasal 88 ayat (2) huruf a dan huruf b disebutkan bahwa sifat istimewa sesuatu daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal usul dalam pasal 18 UUD yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan istimewa atas alasan lain, berlaku hingga dihapuskan. Dengan demikian kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak terikat
dengan jangka waktu masa jabatan sebagaimana ditentukan dalam UU yakni 5 tahun. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah semakin memperkokoh esensi kedudukan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai ciri daerah istimewa dengan tidak menentukan syarat-syarat pengangkatan kepala daerah sebagaimana diberlakukan UU No. 22 Tahun 1948, jo. UU No 1 Tahun 1957, bahwa : Kepala daerah dan wakil kepala daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah lainnya.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengatur
bahwa
keistimewaan untuk Provinsi DI Aceh dan Provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1974 adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DI Aceh dan Provinsi DIY didasarkan pada UU ini. Penjelasan Pasal 122 menyebutkan bahwa : pengakuan keistimewaan Provinsi DIY didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mepertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan UU ini.
Berdasarkan ketentuan ini, maka posisi Gubernur sebagai Sultan dan Wakil Gubernur sebagai Paku Alam tidak bersifat otomatis melainkan hanya menjadi bahan pertimbangan kepada DPRD yang saat itu mendapat kewenangan untuk mengangkat, memberhentikan dan meminta pertanggungjawaban kepala
4
daerah. Ketentuan ini mulai mengurangi hakekat keistimewaan DIY yang melekat pada pengisian jabatan kepala daerah. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak semakin memperjelas posisi keistimewaan DIY. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 225 bahwa : daerah daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan UU No. 32 tahun 2004 diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam UU lain. Lebih lanjut disebutkan bahwa ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi NAD, Provinsi Papua, dan Provinsi DIY sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UU tersendiri. DIY merupakan satu-satunya daerah
istimewa yang belum memiliki UU tersendiri, pengaturan soal keistimewaan hanya “ditempelkan” dalam UU Pemerintahan Daerah. Dari uraian tersebut tampak bahwa pengaturan keistimewaan bagi Provinsi DIY dalam UU Pemerintahan Daerah semakin “menipis”, oleh karena itu RUU DIY yang akan dibahas seharusnya mampu mengatur keistimewaan DIY dari matra recruitment Gubernur dan Wakil Gubernur sesuai hak-hak asal usul.
D. Catatan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY Pengangkatan Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak ditetapkan dalam keppres sebagaimana layaknya pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur daerah lainnya, melainkan didasarkan pada Piagam Kedudukan tertanggal 19 Agustus 1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Makna “....pada kedudukannya...” merujuk pada posisi Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII sebagai raja yang memimpin daerah. Semenjak Sri Sultan HB IX wafat pada tanggal 3 Oktober 1988, maka tugas seharihari Gubernur dilaksanakan oleh Wakil Gubernur (Sri Paduka Paku Alam VIII) berdasarkan Keppres Nomor 340/M/1988 tanggal 5 Desember 1988 yang isinya : (1) pemberhentian Hamengku Buwono IX sebagai Gubernur, (2) mengangkat Paku Alam IX sebagai penjabat Gubernur DIY. Pada saat itu keturunan HB IX belum bisa menjadi Gubernur karena belum jumeneng. Hal ini menegaskan bahwa yang menjadi Gubernur DIY adalah keturunan HB yang telah jumeneng.
5
Pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 rajab 1921) KGPH Mangkubumi dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono X menggantikan ayahandanya yang telah wafat. Hal yang menarik untuk disimak, meskipun sudah jumeneng namun HB X tidak otomatis menjadi Gubernur, ini menguatkan bahwa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur satu paket disamping itu dapat dijelaskan adanya pemahaman masa jabatan Gubernur seumur hidup sehingga pengangkatan HB menjadi Gubernur menunggu pj Gubernur (PA VIII surut). Pada tanggal 11 September 1998 Sri Paduka Paku Alam VIIII wafat, selanjutnya Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres Nomor 268/M/1998 pada tanggal 24 September 1998 yang isinya : (1) memberhentikan PA VIII sebagai Penjabat Gubernur, dan (2) mengangkat HB X sebagai Gubernur DIY untuk masa jabatan 1998-2003. Hal yang menarik apabila kita cermati diktum mengingat keppres dimaksud, yaitu (1) mengingat perkembangan sosial dan politik, (2) menimbang aspirasi dan keinginan rakyat DIY sebagaimana disalurkan kepada DPRD DIY, dan (3) memperhatikan keistimewaan DIY. Pada tanggal 26 Mei 1999 Ambar Kusumo dinobatkan sebagai Sri Paduka Paku Alam IX, yang selanjutnya Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres Nomor 4/M/T2002 tanggal 11 Januari 2002 yang isinya : (1) Mengesahkan pemberhentian PA VIII dari jabatannya sebagai Wakil Gubernur DIY, dan (2) Mengesahkan pengangkatan PA IX sebagai Wakil Gubernur DIY masa jabatan tahun 2001-2003. Salah satu dasar menimbang adalah Keputusan DPRD Provinsi DIY Nomor 32/K/DPRD/2001 tanggal 10 Nopember 2001 dimana pada saat itu Ambar Kusumo memenangkan pemilihan atas Angkling Kusumo dalam pemilihan di DPRD. Pada tanggal 8 Oktober 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres Nomor 179/M/2003 yang isinya (1) Mengesahkan pemberhentian HB X sebagai Gubernur DIY dan PA IX sebagai Wakil Gubernur DIY, (2) Mengesahkan pengangkatan HB X sebagai Gubernur DIY masa jabatan tahun 2003-2008 dan PA IX sebagai Wakil Gubernur masa jabatan tahun 2003-2008. Hal yang cukup menarik Keppres ini mempertimbangkan Keputusan DPRD Provinsi DIY Nomor 39/K/DPRD/2003 pada tanggal 2 Oktober 2003.
6
Mengingat sampai batas waktu berakhirnya masa jabatan Gubernur DIY periode 2003-2008 belum ada ketentuan perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres Nomor 86/P/2008 tanggal 8 Oktober 2008 yang isinya perpanjangan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur paling lama 3 tahun sejak 9 Oktober 2008.
E. Rakyat Jogja menjawab isu seputar keistimewaan DIY 1. Mengapa Kasultanan dan Kadipaten harus dipertahankan eksistensinya ? Pertama, untuk melaksanakan amanat pasal 18B UUD 1945; Kedua, dari segi kesejarahan, Kasultanan dan Kadipaten telah ada sebelum Negara RI terbentuk, yang selanjutnya setelah bergabung ke dalam RI Sultan dan Adipati yang berkuasa tetap diberikan kedudukan untuk memimpin wilayahnya (yang telah menjelma menjadi DIY); Ketiga, penghapusan Kasultanan dan Kadipaten merupakan tindakan ahistoris dan tidak konstitusional, sehingga kalau hal tersebut dilaksanakan akan berpotensi terjadinya penolakan dari masyarakat. Keempat, ikatan kuat antara Raja dengan rakyatnya, telah menjadi modal sosial bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di DIY; Kelima, kepemimpnan Sultan dan Adipati dalam pemerintahan menciptakan stabilitas bagi masyarakat DIY. 2. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta mempunyai kedaulatan dan dihormati oleh hukum internasional, sebenarnya seperti apakah aspek hukumnya ? Dasar hukum Kasultanan Yogyakarta adalah Koninklijk Besluit dari Ratu Welhelmina menjadi daerah yang Independence (merdeka) melalui Langeverklaring (Perjanjian Panjang) antara ratu Welhelmina dengan Sri
7
Sultan HB IX, sehingga dengan Langeverklaring tersebut Kasultanan Yogyakarta menjadi wilayah yang merdeka, secara hukum internasional kedudukannya sama dengan negara, sehingga pada waktu RIS Belanda tidak dapat masuk wilayahYogyakarta, dan dijadikan Ibukota Negara Republik Indonesia karena secara hukum internasional independence kasultanan Yogyakarta dihormati. 3. Apakah penyelenggaraan pemerintahan di DIY menganut sistem monarki ? Monarki (monarchy) adalah bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan seorang Raja (personalisasi kedaulatan pada penguasa atau the sovereign). DIY yang berasal dari dua kerajaan Jawa (projo kejawen) setelah bergabung dengan RI berstatus sebagai daerah swapraja (zelf besturende), Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dijabat oleh Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII. Sejak saat itu, penyelenggaraan pemerintahan di DIY pada hakekatnya sama dengan daerah-daerah lainnya, kecuali dalam hal mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak terikat syarat, cara pengangkatan dan masa jabatan sebagaimana daerah lainnya. Kepemimpinan tersebut bersifat turun-temurun (ascribed status), inilah letak keistimewaan DIY. Oleh karenanya penyelenggaraan pemerintahan di DIY tidak bersifat monarki (monarchy). Raja yang telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY kekuasaannya sangatlah terbatas, sebagaimana diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004. 4. Apakah yang dimaksud ijab kabul ? Penggunaan istilah Ijab kabul pada dasarnya hanya merupakan analogi dalam sebuah perkawinan, dimana ada pihak yang menyerahkan dan ada pihak yang menerima selanjutnya memberikan mahar (mas kawin). Ilustrasi tersebut cocok untuk menggambarkan terjadinya deal antara Kasultanan dan Kadipaten dengan Negara RI. Ketika mendengar RI diproklamirkan, Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII pada tanggal 18 Agustus 1945 mengirim kawat kepada Presiden Soekarno yang berisi ucapan selamat dan sikap politik berada di belakang RI. Selanjutnya pada tanggal 5 September 1945, kedua beliau mengeluarkan amanat (dikenal sebagai amanat 5 September 1945) dan selang satu hari kemudian pada tanggal 6 September 1945
8
pemerintah mengirim utusan Mr. Sartono dan Mr. Maramis untuk menyampaikan Piagam Kedudukan yang sudah ditandatangani pada 19 Agustus 1945 oleh Presiden Soekarno. Isi piagam tersebut adalah memberikan kedudukan dan kepercayaan kepada Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati ing Ngalogo, Abdurachman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kagnjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam Ingkang Kaping VIII untuk keselamatan Daerah Yogyakarta dan Paku Alaman sebagai bagian dari Republik Indonesia. Peristiwa inilah yang sering disebut sebagai ijab kabul antara
dua projo kejawen (Kasultanan dan Kadipaten) dengan Negara RI. 5. Apa yang menjadi landasan keistimewaan DIY ? Landasan Yuridis UUD 1945 Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU, ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang. Pasal ini dimaksudkan untuk mengakomodir Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua (lexspecialist) UU No. 3 Tahun 1950; pasal 1 ayat (1) daerah yang meliputi Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta; ayat (2) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan propinsi. Pasal 91 huruf b UU No. 5 Tahun 1974; Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 dan Pasal 226 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan keistimewaan Provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UU No 5 Tahun 1974 adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DIY didasarkan pada UU ini.
Landasan Filosofis, bergabungnya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam Negara RI menunjukkan komitmen yang kuat atas bersatunya dua negara. Selanjutnya, Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945 (disampaikan 6 September 1945) memberikan Piagam Kedudukan
9
kepada Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, yang bunyinya : Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan : Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping IX (Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam Ingkang Kaping VIII) pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa keduanya akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia. Landasan Sosiologis, dibawah kepemimpinan Dwi Tunggal Hamengkoni Agung, penyelenggaraan pemerintahan DIY telah berjalan dengan baik dan birokrasi terbebas dari kepentingan politik praktis. Gubernur dan Wakil Gubernur mendapatkan dukungan secara luas dari masyarakat. Landasan Historis, keistimewaan DIY berakar pada fakta dan peristiwa sejarah yang mendasari pengakuan hukum atas keistimewaan DIY, meliputi : bergabungnya Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Nagari Pakualaman ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia; fakta berikutnya Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia (1945-1949) yang sepenuhnya mendapat dukungan dari Kasultanan dan Kadipaten. Landasan Kultural, kondisi sosial masyarakat DIY diwarnai oleh latar belakang yang berasal dari Kerajaan Mataram Islam yang telah hidup sejak pertengahan abad ke-18, alam pemikiran budaya, filsafat, sastra, seni, estetika, etika dan pola hubungan sosial, dan berbagai nilai budaya lokal pada akhirnya mendasari kehidupan masyarakat secara luas.
6. Mengapa harus menyusun UU baru, tidakkah cukup melakukan amandemen UU No. 3 Tahun 1950 ? Pengaturan ke dalam UU bagi daerah khusus dan istimewa menjadi amanat konstitusional, hal ini dapat ditunjukkan pada bunyi pasal sebagai berikut : UUD 1945 Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormatii satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU, ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.
10
Pasal 225 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan : Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan UU ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam UU lain. Selanjutnya pasal 226 ayat (1) ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, NAD, Papua dan DIY sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UU tersendiri.
Makna diatur secara khusus dalam UU tersendiri dapat dicontohkan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang DKI Jakarta, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU Nomor 3 Tahun 1950 yang sering disebut-sebut mengatur keistimewaan DIY pada hakekatnya adalah UU Pembentukan Daerah. UU No. 3 Tahun 1950 merupakan bagian paket kebijakan pembentukan daerah otonom (daerah swatantra). Paket kebijakan ini muatannya sama antara daerah otonom yang satu dengan yang lainnya, perbedaannya terletak pada nama daerah; misalnya UU No. 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Timur, UU No. 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah, dan UU No. 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Pemberlakuan seluruh UU ini pun dilaksanakan serentak bertempat di Yogyakarta pada tanggal 14 Agustus 1950 melalui PP No. 31 Tahun 1950.
7. Mekanisme penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY apakah tidak melanggar konstitusi ? Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY konstitusional, hal ini sejalan dengan bunyi pasal 18B UUD 1945. Pasal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa, seperti Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua (lex-specialist). Sementara pasal 18 ayat (4), dimaksudkan untuk mengatur daerah lainnya (lex-generalist). Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY berdasarkan teori hukum merupakan hak konstitusional bersyarat (fundamental rights of constitusional condition), artinya sepanjang tidak menyalahi konstitusi dan
11
sepanjang masih berlaku dan mendapatkan dukungan dari masyarakat penetapan adalah konstitusional.
8. Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY melanggar demokrasi ?
tidakkah
Pandangan yang berkembang mengenai demokrasi di Indonesia dimaknai terlalu sempit dan tidak kembali kepada filosofi dasar bangsa Indonesia. Bentuk demokrasi Indonesia adalah sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Saat ini ada semacam hegemony of meaning yang mendefinisikan bahwa satusatunya metode rekruitmen yang demokratis hanya melalui pemilihan secara langsung. Euforia pemilu dan pilkada telah meminggirkan kekhasan demokrasi Indonesia yang berbasis pada prinsip kekeluargaan. Wajah demokrasi Indonesia serta-merta bermetamorfosa menjadi westernistik (Prof. Sri Edi Swasono). Padahal sebenarnya demokrasi merupakan dimensi humanitas atau kebudayaan, karenanya demokrasi dapat dipandang sebagai salah satu hasil kreativitas manusia yang berkebudayaan dan berkeadaban (Prof. DR. Djoko Suryo). Secara etimologis demos berarti rakyat, dan craten berarti memerintah, sehingga secara harfiah demokrasi diartikan sebagai memerintah sesuai kehendak rakyat (of the people, by the people, and for the people). Menurut pendapat Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung konsepsi demokrasi dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan, seperti : welfare democracy, people's democracy, social democracy, participatory democracy, dan sebagainya. Puncak perkembangan demokrasi yang paling diidealkan pada akhirnya demokrasi yang berdasar atas hukum (constitusional democracy). Dalam perspektif ini, demokrasi terwujud secara formal dalam mekanisme kelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan kenegaraan. Sedangkan secara substansial, gagasan demokrasi memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam perilaku budaya masyarakat setempat .
12
Mengacu kepada konsepsi constitusional democracy, maka DIY telah diatur di dalam pasal 18B UUD 1945, dan juga telah diatur di dalam pasal 91 huruf b UU No. 5 Tahun 1974 yang berbunyi : Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.
Yang selanjutnya pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 dan Pasal 226 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan keistimewaan Provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1974 adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DIY didasarkan pada UU ini.
Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, maka penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dapat dikatakan telah berjalan demokratis. Asumsinya bahwa UU disusun oleh DPR RI bersama pemerintah yang merupakan representasi dari kehendak rakyat Indonesia. Sebagaimana halnya yang terjadi dengan Walikota DKI Jakarta yang tidak dipilih secara langsung, inilah bentuk constitusional democracy. Mestinya kita tidak “alergi” dengan bentuk demokrasi yang telah kita jalankan, yaitu lebih mengedepankan asas musyawarah mufakat sebagaimana dimandatkan dalam Pembukaan UUD 1945 ketimbang melalui voting atau pemilihan. Bahkan dalam takaran teoritik pemikiran di negara barat sudah berkembang konsepsi deliberative democracy, seperti tulisan Jon Elster dalam Deliberative Democracy (Cambridge University Press), Christoper F Zurn dalam Deliberative Democracy and The Institutions of Judicial Review (Cambridge University Press), dan Beau Breslin dalam The Communitarian Constitutions (The John Hopkins University Press, Baltimore and London).
9. Apakah syarat seorang Sultan/Adipati sama dengan syarat seorang Gubernur/Wakil Gubernur ? Persyaratan seorang Sultan dan Adipati berbeda dengan persyaratan Gubernur dan Wakil Gubernur. Konsep Raja dan kekuasaannya tercermin dari gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati
13
ing Ngalogo, Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Gelar ini menjadi representasi simbolis dan filosofis mengenai struktur konseptual seorang raja, kerajaannya dan keakhiratannya. Nama Hamengku Buwono menunjukkan simbol dan kewenangan yang bertugas melayani dunia, yaitu tugas Hamengku, Hamangku dan Hamengkoni. Hamengku menunjukkan tugas melindungi sesama tanpa memandang kedudukan sosial termasuk yang tidak menyukainya; Hamangku, menandakan sifat kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingannya sendiri, dengan lebih banyak memberi daripada menerima; Hamengkoni, berarti penggunaan kekuatan untuk mewujudkan kemakmuran. Senopati ing Ngalaga menunjukkan sikap ksatria yang wajib menciptakan dan menjaga keseimbangan hidup, ketentraman, serta kedamaian. Sedangkan Ngabdurahman Sayidin Panatagama menunjukkan sikap yang wajib menempatan diri dalam persaudaraan Islam, dan sesuai aturan agama dan kehidupan pada umumnya. Sementara khalifatullah menunjukkan perilaku pemimpin umat di semua kehidupan sebagai wujud pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan. Di samping itu, syarat seorang Raja dapat dilihat dari regalia. Regalia adalah pusaka yang melambangkan karakter Sultan dalam memimpin Kasultanan dan rakyatnya, yang disimbulkan : banyak (melambangkan kesucian dan kewaspadaan), dhalang (simbol kegesitan dan kebijaksanaan), sawung (simbol keberanian), galing (simbol kewibawaan), hardowaliko (pembawa, penyangga tanggungjawab), kandhil (penerangan bagi rakyatnya), kacu mas (penghapus segala kotoran), kutuk (simbol daya penarik), saput (simbol kesiapsiagaan). Sedangkan Syarat Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana diatur di dalam ketentuan perundang-undangan.
10. Jika tidak terikat masa jabatan, apakah Sultan dan Adipati akan menjadi Gubenur dan Wakil Gubernur seumur hidup ? Dalam struktur budaya (di Kasultanan dan Kadipaten) masa jabatan Sultan dan Adipati yang bertahta bisa seumur hidup. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di DIY, Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur sampai dengan wafat (seumur hidup). Sedangkan dalam struktur pemerintahan modern, menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur seumur hidup sangat tergantung pada
14
konstitusi dan peraturan perundangan yang mengaturnya. Namun apabila menyimak pernyataan Sri Sultan HB X pada beberapa kesempatan disampaikan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur seumur hidup sangat tidak menguntungkan bagi masyarakatnya, alasan utama yang melandasi adalah masalah kesehatan dan kecakapan. Dari pernyataan beliau, apabila disimpulkan adalah Sultan dan Adipati ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, namun demikian tetap memperhatikan syarat kecakapan dan batasan usia. 11. Apakah dimungkinkan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan melalui pemilihan terbatas dari keturunan Raja yang berkuasa ? Pada akhirnya bila berbicara bisa atau tidak tentu saja jawabannya dikembalikan kepada konstitusi dan UU yang mengaturnya. Namun bila berbicara dari dimensi yuridis, filosofis, historis dan sosiologis mekanisme yang diberikan mestinya tidak bisa. Alasan pertama, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan kepada Sultan dan Adipati yang jumeneng; Kedua, apabila mekanisme pemilihan terbatas dari keturunan Raja menjadi kebijakan, maka republik ini mengalami kemunduran yang luar biasa, bahkan dapat dikatakan melebihi masa kolonial Belanda yang menerapkan politik devide et impera. Karena dengan kebijakan tersebut tentu akan berdampak kepada potensi memecah belah keluarga kerajaan (sudah banyak contoh keluarga kerajaan terpecah belah gara-gara kekuasaan). 12. Bagaimana jika Sultan dan Adipati tidak mempunyai keturunan laki-laki ? Apabila Sri Sultan atau Sri Paku Alam tidak mempunyai putra mahkota, maka suksesi tetap dapat dilaksanakan karena kerajaan telah mempunyai paugeran (pranata) internal yang mengatur mekanisme suksesi tersebut. 13. Apakah dimungkinkan Kasultanan/Kadipaten dipimpin oleh seorang perempuan ? Melihat referensi praktek di negara-negara kerajaan sangatlah dimungkinkan. Demikian halnya kalau ada dinamika atau desakan “luar biasa” dari masyarakat untuk mengubah paugeran (pranata) yang telah
15
berjalan selama ini mungkin saja. Namun kalau mencermati yang telah berjalan selama ini, maka Kasultanan/Kadipaten tidak dimungkinkan dipimpin oleh seorang perempuan. Indikasi tersebut dapat dilihat dari gelarnya bahwa Sultan sebagai panatagama khalifatullah, maka menurut ajaran Islam bahwa seorang pemimpin atau imam haruslah seorang laki-laki. Demikian halnya berdasarkan Serat Puji dan Serat Tajusalatin bahwa syarat seorang Sultan salah satunya harus dapat menghormati perempuan, ini menunjukkan bahwa Sultan adalah seorang laki-laki. Disamping itu, dapat dilihat dari salah satu regalia yang berupa sawung atau ayam jantan yang melambangkan kejantanan dan tanggungjawab, maka dapat disimpulkan bahwa Sultan/Adipati haruslah seorang laki-laki. 14. Bagaimana jika Sultan dan Adipati masih terlalu muda atau sudah terlalu tua ? Dalam perspektif budaya, apabila terjadi Sultan/Adipati masih terlalu muda atau sebaliknya (sudah terlalu tua) maka pada hakekatnya sepenuhnya menjadi kewenangan Kasultanan dan Kadipaten, karena telah memiliki paugeran (pranata) dalam hal melaksanakan kepemimpinan budaya. Namun dalam hal Sultan/Adipati menjabat sebagai Gubernur/Wakil Gubernur walaupun tidak terikat oleh syarat, cara pengangkatan dan masa jabatan, sebaiknya tetap memperhatikan syarat-syarat teknokratis seorang Gubernur (syarat kecakapan, kesehatan maupun batasan usia). Dengan demikian proses kaderisasi di internal kasultanan/kadipaten dituntut untuk dapat berjalan secara baik. 15. Bagaimana jika Sultan dan Adipati terkena masalah hukum ? Keistimewaan tidak dimaksudkan untuk mengabaikan nilai-nilai kesetaraan dimuka hukum (equality before the law), oleh karenanya posisi Sultan dan Adipati dimuka hukum tidak ubahnya sama dengan masyarakat pada umumnya. Konsep mengebalkan Sultan dan Adipati dari hukum justru inkonstitusional dan akan menjauhkan Sultan dan Adipati dari rakyatnya.
16
16. Sri Sultan HB X pada tanggal 7 April 2007 pernah membuat pernyataan tidak bersedia menjabat lagi sebagai Gubernur DIY, dengan demikian apakah selanjutnya pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY kedepan akan dilakukan melalui mekanisme pemilihan? Sebenarnya yang paling memahami maksud dan latar belakang pernyataan tersebut adalah Sri Sultan HB X sendiri. Namun apabila kita mencoba berpikir secara lebih mendalam, maka keluarnya pernyataan tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut: 1. Bahwa Sri Sultan HB X sudah mengetahui political will pemerintah yang menginginkan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilakukan melalui mekanisme pemilihan dan bukan penetapan. Dalam sistem ketatanegaraan kita, tentu Sri Sultan selaku Gubernur pembantu Presiden dihadapkan pada kondisi yang sangat sulit, antara memperjuangkan keistimewaan yang menjadi aspirasi masyarakat, dan sekaligus harus loyal kepada presiden, sehingga pernyataan tersebut dalam konsepsi Jawa disebut “pasemon”. 2. Hal lain yang mungkin menjadi pertimbangan adalah belum adanya UU yang memberikan ruang untuk dapat menjabat lebih dari dua periode. Melihat kondisi yang tidak menentu tersebut, maka secara gentle beliau mendahuluinya melalui pernyataannya tersebut. Kalaupun sekarang ada perpanjangan masa jabatan Gubernur bahkan mungkin ada pengaturan lain maka hal itu bukanlah menjadi kehendak pribadi, melainkan lebih kepada menjalankan amanat yang diberikan. 3. Aspek lain mungkin yang menjadi keberatan Sri Sultan HB X tidak bersedia dicalonkan kembali dikarenakan kata-kata dicalonkan dapat mengandung makna jamak, yang berarti mekanisme pengisian jabatan gubernur dilakukan melalui pemilihan, sementara substansi penting keistimewaan DIY pengisiannya melalui penetapan. 4. Pernyataan Sri Sultan HB X, dapat diterjemahkan sebagai upaya mengingatkan kepada pemerintah, mengingat UU DIY tidak segera diselesaikan, sehingga setiap lima tahunan (menjelang berakhir masa
17
jabatan Gubernur) selalu memunculkan gejolak di masyarakat sebagai akibat tidak adanya kepastian hukum. Oleh karenanya pernyataan tersebut dapat diterjemahkan sebagai media untuk menggugah semangat pemerintah menyelesaikan RUU DIY dan sekaligus mengetahui sikap pemerintah atas keberlangsungan DIY ke depan; 5. Seandainya maksud dari pernyataan Sri Sultan HB X tersebut benar adanya, maka pemerintah seharusnya melihat pada perspektif kelembagaan kasultanan dan kadipaten, bukan dalam perspektif pribadi Sri Sultan HB X, artinya dalam memandang eksistensi keistimewaan DIY harus didasarkan pada pertimbangan yuridis, filosofis, historis dan sosiologis.
17. Benarkah penetapan hanya berlaku untuk Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, bukan kepada keturunannya ? Menyimak isi Piagam kedudukan yang diberikan Presiden Soekarno tertanggal 19 Agustus 1945, yang menyebutkan “..... pada kedudukannya dst” maka sangatlah jelas bahwa kedudukan dimaksud adalah sebagai Sultan dan Adipati (pada waktu itu) yang kemudian beralih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Kedudukan sebagai seorang Raja tentunya bersifat turuntemurun, demikian halnya ketika menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur yang wilayahnya berasal dari Kasultanan dan Kadipaten. Logika lain yang dapat menjelaskan mengapa berlaku turun-temurun, karena aset kasultanan dan kadipaten bukanlah merupakan aset pribadi Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII melainkan milik kelembagaan, sehingga terhadap peralihan kekuasaan pun semestinya menjadi domain kasultanan dan kadipaten. 18. Ada yang mewacanakan agar netral kepada semua golongan, maka sebaiknya Sultan tidak berpolitik ? Aspirasi politik merupakan hak setiap warganegara, hak ini juga melekat pada diri Sultan dan Adipati sebagai warganegara. Oleh karenanya Sultan dan Adipati sebagai pemangku kekuasaan di Kasultanan dan Kadipaten sekaligus di pemerintahan tidak bisa dihalangi hak politiknya. Namun dalam hal menjalankan kekuasaan di dua wilayah yang berbeda tersebut harus bersifat
18
netral dan sekaligus mengayomi semua pihak dan seyogyanya tidak terlibat politik praktis. 19. Adakah Keppres penetapan Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY ? Salah satu indikasi penting keistimewaan DIY ditunjukkan dengan tidak adanya Keppres penetapan Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dalam jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Satu-satunya landasan hukum yang menjadi dasar penetapan adalah Piagam Kedudukan yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945. Sehingga dalam hal Gubernur DIY tidak terikat oleh syarat, cara pengangkatan dan masa jabatan menjadi sangat relevan dengan latar belakang filosofisnya. 20. Apakah di DIY dimungkinkan Gubernur dipilih oleh DPRD ? Berbicara kemungkinan, maka kemungkinan tersebut ada, bahkan pernah terjadi ketika dilakukan pemilihan antara Ambar Kusumo dan Angkling Kusumo untuk mengisi jabatan Wakil Gubernur. Latar belakang terjadinya pemilihan tersebut dikarenakan penjelasan UU No. 22 Tahun 1999 membuka peluang dilakukannya pemilihan secara terbatas dari keturunan. Namun apabila dikaji dari aspek filosofis terjadinya penggabungan dua negara tersebut, maka seharusnya tidak dimungkinkan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dipilih oleh DPRD karena jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur menjadi domain Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Pakualaman. 21. Apakah dalam konstitusi kita dikenal istilah Gubernur dan Wakil Gubernur Utama ? Nomenklatur Gubernur dan Wakil Gubernur Utama tidak dikenal dalam konstitusi kita. Penggunaan istilah tersebut justru akan mengaburkan substansi keistimewaan DIY, karena peran Gubernur Utama tak ubahnya peran parardya sebagaimana draft yang pernah diusulkan pemerintah.
19
22. Benarkah sebagian besar masyarat DIY menghendaki pemilihan ? Beberapa waktu yang lalu pemerintah melalui Dirjen Otonomi Daerah menyampaikan hasil survei yang menyatakan bahwa 71% lebih rakyat DIY menghendaki pemilihan, informasi ini sungguh sangat mengejutkan mengingat berbeda jauh dengan berbagai survei yang pernah dilakukan oleh elemen masyarakat lainnya. Sebagai pembanding, pada tanggal 8 Agustus 1998 harian Bernas melakukan jajak pendapat dengan hasil sebanyak 97,32% responden memilih Sri Sultan HB X sebagai Gubernur DIY, 44,02% responden menginginkan Sri Sultan HB X menjadi Gubernur seumur hidup, 55,94% responden menginginkan Sri Sultan HB X sebagai calon tunggal, dan 96,14% responden menghendaki agar status DIY dipertahankan. Disamping itu Bernas juga mengadakan jajak pendapat melalui telepon. Dari 398 responden yang masuk ke redaksi, 94% menyatakan mendukung penuh Sri Sultan HB X sebagai Gubernur dan menyatakan bahwa status DIY harus tetap dipertahankan. Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan kompas sejak tahun 2008 hingga 2010, dengan mengajukan pertanyaan apakah Gubernur DIY dipili atau penetapan ? sebagian besar masyarakat Yogyakarta memilih penetapan, atau sebesar 53,5% - 79,9% (sumber: kompas.com senin 6 Desember 2010, 10.21 wib). Sementara penelitian yang dilakukan oleh Laboratorium Politik UMY, menunjukkan bahwa 96,6% penduduk DIY mendukung keistimewaan; 97,5% penduduk lulusan PT mendukung keistimewaan; 93,2% penduduk DIY mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur; 94% penduduk lulusan PT mendukung penetapan (sumber: Kedaulatan rakyat 31 Desember 2010).
23. Benarkah mengatur keistimewaan DIY tidak cukup hanya didasarkan pada aspirasi masyarakat DIY saja ? Pengaturan keistimewaan DIY harus menjadi komitmen nasional, karena bagaimanapun landasan hukum yang tepat adalah pengaturan melalui UU. Namun juga tidak bisa dipahami apabila pemerintah mengabaikan aspirasi masyarakat dan sikap politik DPRD Provinsi DIY, karena pada hakekatnya
20
RUU DIY dibuat untuk kepentingan NKRI dan masyarakat DIY, sehingga mestinya aspirasi masyarakat dimana UU tersebut akan dilaksanakan tidak bisa dinafikkan begitu saja. Ambivalensi (subyektivitas) pandangan pemerintah terhadap RUU DIY nampak sekali, sebagai contoh : lepasnya Timor Timur dari NKRI melalui referendum yang hanya dilaksanakan oleh masyarakat Timor-Timur bukan referendum se Indonesia. Contoh lain pembahasan UU tentang Otonomi Khusus Papua cukup dibahas antara DPR RI dengan pemerintah. DPR RI merupakan representasi dari masyarakat Indonesia, demikian halnya dengan pembahasan RUU DIY dimana pada periode 2004-2009 belum menemui kata sepakat, 9 (sembilan) fraksi telah menyetujui penetapan, dan 1 (satu) fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat (partai pemerintah) menyatakan memahami tapi belum menerima, seharusnya pembahasan tersebut telah mampu menjawab apa keinginan masyarakat Indonesia yang terwakili melalui DPR RI, namun ternyata tidak bisa ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian RUU DIY sebenarnya terkait dengan political will pemerintah. 24. Dimanakah letak perbedaan DIY dengan Surakarta ? Secara de facto Yogyakarta selama 3 (tiga) tahun pernah menjadi ibukota Republik Indonesia, hal ini menunjukkan komitmen masyarakat dan pemimpinnya untuk tetap mendukung tegaknya RI. Sementara berdasarkan fakta hukum jika dilihat dari UU No. 1 Tahun 1945 sampai dengan UU No. 32 Tahun 2004 DIY adalah daerah setingkat provinsi, sementara Surakarta adalah wilayah karesidenan yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah sebagaimana diatur di dalam UU No 10 tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah. Disamping itu Daerah Istimewa Surakarta (DIS) telah dihapus dengan keluarnya Penetapan Pemerintah No. 16/SD-1946 karena munculnya penolakan dari masyarakat. 25. Dengan diberlakukannya UUPA DIY, lalu apa keistimewaan urusan pertanahan di DIY ? Dengan diberlakukannya UUPA secara penuh di DIY berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 1984 (berlaku secara efektif pada
21
tanggal 24 September 1984), maka urusan pertanahan sebagaimana telah diatur di dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5, 10, 11 dan 12 Tahun 1954 dinyatakan tidak berlaku lagi, namun demikian dalam pelaksanaannya, di DIY masih ada tanah-tanah yang selama ini masih dikuasai langsung atau dimiliki oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman (tanah SG dan PAG) yang belum masuk yurisdiksi UUPA atau belum ada peraturan pelaksanaan yang mengatur bagaimana SG-PAG itu harus dikonversi menjadi hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA. Keberadaan tanah-tanah SG dan PAG yang dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat inilah yang menjadikan letak keistimewaan di bidang pertanahan. 26. Sebenarnya apa yang disebut sebagai tanah SG dan PAG itu ? Tah SG dan PAG merupakan tanah di wilayah DIY yang selama ini belum pernah secara nyata dilepaskan oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman kepada pihak lain, dengan : a. Hak Eigendom, kepada orang non-pribumi dan/atau hak milik (adat) kepada orang pribumi. b. Hak Anganggo, turun-temurun kepada warga di luar kota dan Hak Andarbe kepada warga kotapraja (dikonversi dengan Peraturan Daerah (Perda) DIY dan UUPA menjadi hak milik). c. Hak Anggaduh, kepada Kelurahan, selanjutnya disebut tanah desa, untuk lungguh/bengkok dan pengarem-arem pamong desa, keperluan umum dan kas (penghasilan) kelurahan/desa. 27. Jika di DIY masih ada tanah SG-PAG, adakah alat buktinya? Bukti sertifikat sebagaimana diatur dalam UUPA tidak ada. Akan tetapi, hal ini dapat dibuktikan dengan Perjanjian Gianti, kewenangan yang selama ini telah dilakukan sebagai bentuk kewenangan hak kepemilikan yang diakui warga masyarakat, Pemerintah Belanda dahulu, maupun Pemerintah Indonesia sekarang ini.
22
Untuk mengetahui keberadaan tanah SG dan PAG, sejak tahun 1954 di setiap kelurahan/desa di DIY sudah ada peta kelurahan dan pembukuan yang dijadikan dasar penentuan hak warga (tertuang dalam Legger A, B dan C). Dari peta tersebut, dapat diketahui keberadaan tanah-tanah Sg dan PAG.
28. Bagaimana pemanfaatan tanah SG-PAG yang masih ada? a. Untuk keberadaan Keraton/Istana, termasuk pendukungnya (alun-alun, masjid, Tamansari, pesanggrahan, dan sebagainya) yang biasa disebut Tanah Keprabon/Crown Doein. b. Untuk warga, lembaga pemerintah, lembaga swasta, badan hukum, yayasan, pendidikan, kesehatan, kantor dinas, TNI-POLRI, kesenian, budaya, dan sebagainya. Yang biasa disebut Dede Keprabon/Riks Domein, baik yang dengan hak/izin maupun sedang dalam proses ataupun tidak.
29. Bagi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman, bagaimana status tanah SG-PAG yang selama ini belum terintegrasi dalam yurisdiksi UUPA? Di sinilah letak keistimewaannya bahwa di DIY terdapat tanah SG-PAG yang selama ini telah dan dapat dimanfaatkan warga masyarakat ataupun lembaga. Mengingat di dalam UUPA yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah itu adalah WNI dan Badan Hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah, maka Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman perlu ditetapkan sebagai subyek hak milik atas SG-PAG dalam Undang-Undang (UU) DIY. Dengan demikian, keberlangsungan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tidak terganggu dan pihak lain juga mendapatkan kepastian dalam pemanfaatannya.
23
F. Catatan penutup 1. Pembahasan RUU DIY sejatinya merumuskan pengaturan dan memberikan legalitas terhadap sesuatu yang sudah dipraktekkan dalam penyelenggaraan pemerintahan selama ini, membuat norma yang mempertegas tradisi dan konvensi yang sudah berjalan, dan pengaturan untuk mengantisipasi perkembangan dalam melindungi tradisi dan cagar budaya bangsa; 2. Merunut pendekatan legal formal baik dari UUD 1945 maupun Undangundang Nomor 1 Tahun 1945 sampai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dapat ditarik benang merah dimana keberadaan dan kedudukan DIY telah memperoleh status sebagai daerah istimewa, berdasarkan pada hak asal-usul di jaman sebelum Republik Indonesia yang telah mempunyai pemerintahan sendiri; 3. Isi keistimewaan DIY terletak pada pengangkatan Gubernur dan wakil Gubernur dari Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam yang jumeneng; dan tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan seperti yang dilakukan pada daerah-daerah lain.
24
Lampiran - lampiran
27
28
29
30
STRUKTUR ORGANISASI KASULTANAN YOGYAKARTA TAHUN 1940
Sultan
Kepatihan : Patih Dalem Bupati Patih di Kepatihan (Sekrtaris I) Bupati Prentah di Kepatihan (Sekrtaris II)
Kadipaten
Pengulon
Kabupaten-kabupaten administratif dengan Bupati sebagai Kepala : 1. Yogyakarta 2. Bantul 3. Kulonprogo 4. Gunungkidul Distrik-Distrik/Kawedanan dengan Panji sebagai kepala Onderdistrik/kapenewon/dengan Asisten Panji kemudian Panewu sebagai Kepala. Kalurahan dikepali Lurah Desa untuk lusr kots, dalam kots Kampung dan Kalurahan dikepalai oleh Kepala Kampung dan Lurah Desa (Prodjosoejoto, 1961: 22-27)
Sumber : Prodjosoejoto, 1961
31
STRUKTUR ORGANISASI KADIPATEN PAKUALAMAN TAHUN 1940
Paku Alam
Pasukan Berkuda (Legiun PA)
Bagian Keuangan
: :
Kalurahan
:
1. Pakualaman dikepalai Bupati Patih 2. 1. 2. 3. 4.
Adikarta dikepalai Bupati Pakuallaman, Asisten Wedana Sekretaariat Kabupaten Pakualaman. Wates, dikepalai Asisten Wedana Temon, Asisten Wedana Brosot, Asisten Wedana
Dalam kota, Lurah desa Luar kota, Lurah desa. (Prodjosujoto, 1961 : 29-30)
Sumber : Prodjosoejoto, 1961
32
Gambar : Organisasi Pemerintahan DIY (1946 - 1958) Bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri Ketua Dewan Perwakilan
A
B
Sultan (Kepala)
Sultan (Kepala)
Pakualam (Wakil)
Pakualam (Wakil)
A. Kepala Daerah Istimewa Otonom B. Wakil Pemerintah Pusat
Dewan Ekskutif
Ketua Dewan Perwakilan
A
B
Bupati
Bupati
Dewan Eksekutif
A. Kepala Kabupaten Otonom B. Wakil Pemerintah Pusat
Penewu Ketua Majelis Desa
Ketua Dewan Perwakilan
Lurah Pembantu
Kepala Dukuh
Garis tanggungjawab Dipilih oleh rakyat Sumber : Soemardjan
33
Gambar : Organisasi Pemerintahan Yogyakarta di tahun 1946, sebelum ada reorganisasi. Bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri
Bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri
Sultan
Ketua Komite Nasional Indonesia Yogyakarta
Pakualam
Ketua Bupati
Majelis Desa
Bupati
Panewu
Panewu
Lurah
Lurah
Pembantu Lurah Sebagai Kepala Dukuh
Pembantu Lurah Sebagai Kepala Dukuh
Garis tanggung jawab Garis kerjasama Dipilih oleh rakyat Sumber Soemardjan, 1981 : 334
34
Komite Nasional Indonesia Kabupaten
Majelis Desa
Gambar : Organisasi Pemerintahan Yogyakarta berdasarkan Dekrit Presiden No. 6/1959
Bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri
Dewan Perwakilan Sultan : Ketua Paku Alam : Wakil Ketua Anggota-anggota yang ditunjuk oleh Mendagri
A
B
Sultan Kep. Da Paku Alam Wakil
Sultan Kep. Da Paku Alam Wakil
A. Kepala Daerah Istimewa Otonom B. Wakil Pemerintah Pusat
Badan Pemerintah Harian
A
B
Bupati
Bupati
A. Kepala Kabupaten Otonom B. Wakil Pemerintah Pusat
Dewan Badan Pemerintah Perwakilan Harian Bupati : Ketua Anggota-anggota yang ditunjuk oleh Sri Sultan dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat. Panewu Ketua Majelis Desa Ketua yang dipilih
Lurah Dewan Perwakilan
Pembantu
Kepala Dukuh
Garis tanggung jawab Dipilih oleh rakyat ( Sumber : Selo Soemardjan : 1986 : 337 )
35
Gambar : Organisasi Pemerintahan Yogyakarta selama Penjajahan Belanda. (Sesudah Tahun 1916)
Bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Sultan
Gubernur Belanda
Pakualam
Patih
Asisten Residen Belanda
Patih
Bupati
Wedana
Bupati
( Daerah Kabupaten Adikarto satu-satunya dibawah Pangeran Pakualam terlalu kecil untuk seorang Wedana )
Asisten Wedana
Asisten Wedana
Lurah
Lurah
Majelis Desa (Lurah adalah Ketuanya)
Pembantu Lurah sebagai Kepala Dukuh
Garis tanggung jawab Garis sama-sama Dipilih oleh rakyat
36
Kontroler Belanda
Majelis Desa (Lurah adalah Ketuanya)
Paku Alam
Biro Pusat Bupati-Patih
Bagian Sekretariat Bupati-Patih
Pasukan Berkuda Legiun PA
Bagian keuangan Kepala Bagian
Pemerintah Daerah
Onderdistrik Pakualaman Asisten Panewu
Kampung Kepala Kampung
Kadipaten Adikarto Bupati (Temenggung)
Distrik Sogan Panewu
Distrik Galur Panewu
Onderdistrik Wates Panewu
Onderdistrik Temon Ass. Panewu
Onderdistrik Galur Panewu
Onderdistrik Panjatan Ass. Panewu
Kalurahan Lurah Desa (17)
Kalurahan Lurah Desa (18)
Kalurahan Lurah Desa (14)
Kalurahan Lurah Desa (15)
37
Gambar : Struktur Organisasi Pemerintahan DIY
Bertanggung jawab kepada Mentari Dalam Negeri A Sultan Kepala Paku Alam Wakil
Dewan Perwakilan Sultan : Ketua Paku Alam : Wakil Ketua Anggota-anggota yang ditunjuk oleh Mendagri
B Sultan Kepala Paku Alam Wakil
Badan Pemerintah Harian
A
B
Bupati
Bupati
Dewan Badan Pemerintah Perwakilan Harian Bupati : Ketua Anggota-anggota yang ditunjuk oleh Sri Sultan dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat. Asisten Wilayah Ketua Majelis Desa Ketua yang dipilih Dewan Perwakilan
Lurah Pembantu
Kepala Dukuh
Garis tanggung jawab Dipilih oleh rakyat ( Sumber : Selo Soemardjan : 1986 : 337 )
38
A. Kepala Daerah Istimewa Otonom B. Wakil Pemerintah Pusat
A. Kepala Kabupaten Otonom B. Wakil Pemerintah Pusat
Gambar :
Struktur pemerintahan di Yogyakarta mulai tahun 1942 Kootizimukyoku Cokan
Koo
Kootizimu Cokan Kenco Gunco *) Sonco Kunco Tonari Gumico *) Catatan : Dalam tahun 1945 Kawedanan (Gun) dihapuskan otonomi jabatan Gunco tidak ada.
Selanjutnya yang berkaitan dengan Yogyakarta sebagai kerajaan memiliki susunan pemerintahan sebagai berikut : Susunan Pemerintahan Kasultanan Ngarso Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Pepatih Dalem (Ryksbestuurder) Bupati Pepatih Dalem (Sekretaris I) Bupati Prentah (Sekretaris II) Kabupaten-kabupaten Kawedanan - kawedanan Kalurahan - kalurahan Susunan Pemerintahan di Pakualaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ariyo Paku Alam Bupati Patih Asisten Wedana kota, merangkap sekretaris Kabupaten (Adikarta) Kapanewon-kapanewon Kalurahan-kalurahan
39
POROS FILOSOFI Penataan Kota Yogyakarta
Sumber : Arsitektur Tradisional Kota Yogyakarta Oleh Ir. Winarno
40
41
42
43