PENGARUH PENGGUNAAN DAUN SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) SEBAGAI SUBSTRAT PEMBUATAN TEMPE TERHADAP DAYA TERIMA KONSUMEN DAN PENGEMBANGANNYA SEBAGAI BAHAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI THE EFFECT OF USEING LEAF CASSAVA (Manihot esculenta Crantz) AS SUBSTRATES TEMPE TO ACCEPTANCE TEST CONSUMERS AND AS MATERIAL PRACTICE MICROBIOLOGY LABORATORY Ni Kadek Sri Widiastuti 1), D.A Citra Rasmi 2), AA Sukarso 3) 1) Mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram 2) 3) Dosen Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram Universitas Mataram, Jalan Majapahit No.62, Mataram Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe terhadap daya terima konsumen dan memperoleh prosedur kerja yang tepat dalam proses pembuatan tempe daun singkong sehingga dapat dikembangkan sebagai bahan praktikum mata kuliah Mikrobiologi pada Program Studi Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Mataram. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Tempe daun singkong dibuat dalam empat perlakuan yaitu perlakuan A (100% daun singkong, 0% kedelai), perlakuan B (75% daun singkong, 25% kedelai), perlakuan C (50% daun singkong, 50% kedelai), perlakuan D (25% daun singkong, 75% kedelai), dan perlakuan E sebagai kontrol (100% kedelai). Pengambilan data menggunakan uji hedonik terhadap 30 panelis konsumen di Taman Wisata Loang Baloq Mataram. Kriteria sifat organoleptik yang dinilai meliputi warna, aroma, tekstur, dan rasa dari tempe yang telah digoreng. Data dianalisis menggunakan ANOVA satu arah dan dilanjutkan dengan uji BNt pada α 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe terhadap daya terima konsumen pada indikator warna, aroma tekstur dan rasa. Tempe kedelai memiliki daya terima tertinggi pada keempat indikator dibandingkan dengan tempe yang menggunakan penambahan daun singkong 100%, 75%, 50%, dan 25%. Namun daya terima tempe 100% daun singkong pada indikator warna, aroma, tekstur, dan rasa dalam skala hedonik tergolong cukup disukai sehingga telah dikembangkan sebagai bahan petunjuk praktikum mikrobiologi Kata kunci: Daya terima, tempe daun singkong, uji hedonik, pengembangan praktikum mikrobiologi.
1
ABSTRACT This research is purposed to know consumer acceptance organoleptic properties of tempeh leaves cassava, as well as to obtain standard procedure in making of tempeh leaves cassava as pratice material in Microbiology pratice of Teacher Training and Education Faculty, Mataram University. This study is a experiment as research. Tempeh cassava leaves were made in four treatments, treatment A (100% cassava leaves, 0% soybean), treatment B (75% cassava leaves, 25% soybean), treatment C (50% cassava leaves, 50% soybean), treatment D (25% cassava leaves, 75% soybean), and E as a control treatment (100% soybean). Data ware taken by using hedonic test towards 30 panelists in Loang Baloq Park in Mataram. Criteria of valuation including color, aroma, texture, and flavor of tempeh. Data ware analysed useing One- Way Anova with confidence level at 95%, then followed by BNT test at α 5%. Data analysis showed there are significant use of cassava leaves as a substrate for making tempeh for consumer acceptance in the indicator color, texture, aroma and flavor. Tempeh soybean most preferred compared to tempeh leaves cassava 100%, 75%, 50%, and 25%. However the acceptance of tempeh 100% cassava leaves in indicator color, aroma, texture, and flavor in a hedonic scale is quite flavored so that has been developed as instruction practice microbiology Keywords: acceptance test, tempeh cassava leaves, hedonic test, microbiology practice development. PENDAHULUAN Indonesia memiliki masyarakat yang gemar mengkonsumsi kedelai. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai di Indonesia adalah dalam bentuk tempe, 40% tahu dan 10% dalam bentuk produk lain seperti tauco dan kecap (Joe, 2011). Tempe merupakan sumber makanan yang bergizi baik karena memiliki kandungan protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Peningkatan konsumsi kedelai tidak berbanding lurus dengan produksinya. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat terjadi penurunan produksi kedelai pada tahun 2013. Produksi kedelai pada tahun 2012 sebesar 843.153 ton biji kering, sedangkan pada tahun 2013 sebesar 779.992 ton biji kering. Terjadi penurunan produksi sebesar 63.161 ton kedelai. Penurunan produksi ini terjadi karena turunnya luas area panen seluas 16.831 hektar dan
penurunan produktivitas sebesar 0,69 kuintal/hektar. Penurunan produksi kedelai di dalam negeri menyebabkan pemerintah harus mengimpor kedelai dari luar negeri. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya harga jual kedelai di pasaran yang berdampak pula pada harga jual tempe. Permasalahan tersebut mendorong orang untuk mencari alternatif lain sebagai pengganti kedelai untuk bahan baku pembuatan tempe dengan tetap memperhatikan kandungan gizinya terutama protein. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan baku pengganti kedelai dalam pembuatan tempe adalah daun singkong. Pujiono JS (2012) menyebutkan bahwa pada tahun 2006 daun singkong telah diolah menjadi tempe oleh Prof. Dr. Amri Bakhtiar, MS, DESS, Apt. guru besar Fakultas 2
Farmasi Universitas Andalas Padang Sumatra Barat pada saat melakukan penelitian pengembangan obat herbal terstandar dari bioflavonoid daun singkong untuk pengobatan demam berdarah dengue. Penemuan tempe dengan berbahan dasar daun singkong tersebut telah memiliki hak paten Ditjen HKI pada tahun 2007. Tempe daun singkong bagi konsumen tempe khususnya di kota Mataram Nusa Tenggara Barat masih dianggap baru. Daun singkong biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sayuran atau digunakan sebagai pakan ternak. Oleh karena itu tempe daun singkong perlu diperkenalkan kepada masyarakat selaku konsumen tempe. Pada bidang fermentasi makanan penggunaan daun singkong sebagai bahan baku pembuatan tempe merupakan suatu pengetahuan baru untuk dipelajari, khususnya bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram yang mengambil mata kuliah mikrobiologi. Penggunaan daun singkong sebagai bahan baku tempe juga merupakan hal baru bagi masyarakat Mataram, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe terhadap daya terima konsumen dan pengembangannya sebagai bahan praktikum mikrobiologi. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe terhadap daya terima konsumen dan bagaimana prosedur yang tepat dalam pembuatan tempe daun singkong yang dapat dikembangkan sebagai bahan praktikum mikrobiologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe terhadap daya terima konsumen dan
mengetahui daya terima sifat organoleptik tempe daun singkong. Penelitian ini dapat memberi informasi kepada konsumen yang berada kota Mataram mengenai produk fermentasi berupa tempe daun singkong yang dianggap baru oleh masyarakat dan memanfaatkan daun singkong sebagai bahan alternatif pengganti kedelai dalam pembuatan tempe dan menjadi sumber pangan bergizi bagi masyarakat. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai November 2014, sedangkan pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus 2014. Lokasi pembuatan tempe dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FKIP Universitas Mataram. Sedangkan pengambilan data untuk uji daya terima tempe dilakukan di lapangan dengan mengambil lokasi di Taman Wisata Loang Baloq Tanjung Karang Mataram. B. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimen, menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan dalam penelitian ini adalah perlakuan A (daun singkong 100%, kedelai 0%), perlakuan B (daun singkong 75%, kedelai 25%), perlakuan C (daun singkong 50%, kedelai 50%) perlakuan D (daun singkong 25%, kedelai 75%) dan perlakua E (daun singkong 0%, kedelai 100%) sebagai kontrol. Daya terima konsumen diuji menggunakan uji hedonik menggunakan 30 panelis konsumen yang akan melakukan penilaian terhadap rasa, aroma, tekstur, dan rasa dari tempe yang telah digoreng. Skala hedonik yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi dari Wagiyono (2003) yaitu tidak suka mendapat nilai 1, kurang suka mendapat nilai 2, cukup suka mendapat nilai 3
3, suka mendapat nilai 4, dan sangat suka mendapat nilai 5. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis varian (ANOVA) satu arah α 5% jika terdapat beda nyata, data diuji lanjut menggunakan uji BNt (Beda Nyata Terkecil) pada α 5%. C. Alat dan Bahan Alat yang dibutuhkan sebagai berikut: panci, baskom, sendok pengaduk, sendok makan, kompor, neraca analitik, timbangan tepung, sarung tangan, masker, dan pisau. Sedangkan bahan yang dibutuhkan sebagai berikut: daun singkong muda, kedelai, ragi tempe, lilin, korek dan plastik pembungkus. D. Tahap Penelitian 1. Persiapan kedelai bahan baku untuk pembuatan tempe Kedelai sebanyak 2 Kg dicuci menggunakan air mengalir hingga bersih kemudian direbus selama 20 menit hingga dan dipotong-potong hingga berukuran kecil lalu direbus selama 30 menit. Setelah direbus daun singkong lalu direndam menggunakan air selama 12 jam agar daun singkong menjadi bersifat asam. Daun singkong yang telah direndam selama 12 jam kemudian dicuci dan dikukus selama 20 menit. Setelah selesai dikukus, daun singkong diperas agar kandungan air pada daun singkong berkurang dan diamkan hingga daun singkong dingin. Timbang daun singkong seberat 2 Kg kemudian tambahkan 20 gram ragi tempe, lalu aduk hingga ragi dan daun singkong tercampur rata. Daun singkong bahan baku tempe telah siap untuk diproses lebih lanjut. a. Perlakuan A yaitu daun singkong 100%, kedelai 0% Daun singkong bahan baku tempe dimasukkan ke dalam 3 kantung plastik transparant yang telah diberi lubang-lubang kecil dengan berat masing-masing 200 gram, kemudian difermentasi pada suhu kamar dan
kedelai dalam keadaan setengah matang. Remas – remaslah kedelai yang telah dingin seusai direbus hingga kulit kedelai terlepas dan cuci kembali menggunakan air mengalir. Kedelai yang telah bersih dari kulitnya kemudian direndam dalam air selama 12 jam. Setelah 12 jam cuci kembali kedelai dan kukus hingga matang selama 20 menit lalu tiriskan kedelai hingga dingin. Timbang kedelai seberat 2 Kg kemudian tambahkan ragi tempe seberat 20 gram lalu aduk hingga ragi dan kedelai tercampur rata. Kedelai bahan baku tempe telah siap diproses lebih lanjut. 2. Persiapan daun singkong bahan baku untuk pembuatan tempe Daun singkong diambi bagian helaian daun saja dari 3 sampai 4 daun yang terdapat di bagian pucuk daun, kemudian dicuci menggunakan air mengalir hingga bersih tempat yang teduh tidak terkena sinar matahari langsung selama 2 x 24 jam. Beri lebel A pada setiap kantong plastik. b. Perlakuan B yaitu daun singkong 75%, kedelai 25% Daun singkong bahan baku tempe seberat 150 gram dicampurkan dengan 50 gram kedelai bahan baku tempe dalam sebuah wadah, kemudian dimasukkan ke dalam 3 kantung plastik transparant yang telah diberi lubang-lubang kecil. Difermentasi pada suhu kamar dan tempat yang teduh tidak terkena sinar matahari langsung selama 2 x 24 jam. Beri lebel B pada setiap kantong plastik. c. Perlakuan C yaitu daun singkong 50%, kedelai 50% Daun singkong bahan baku tempe seberat 100 gram dicampurkan dengan 100 gram kedelai bahan baku tempe dalam sebuah wadah, kemudian dimasukkan ke dalam 3 kantung plastik transparant yang telah diberi lubang-lubang kecil. Difermentasi pada suhu 4
kamar dan tempat yang teduh tidak terkena sinar matahari langsung selama 2 x 24 jam. Beri lebel C pada setiap kantong plastik. d. Perlakuan D yaitu daun singkong 25%, kedelai 75% Daun singkong bahan baku tempe seberat 50 gram dicampurkan dengan 150 gram kedelai bahan baku tempe dalam sebuah wadah, kemudian dimasukkan ke dalam 3 kantung plastik transparant yang telah diberi lubang-lubang kecil. Difermentasi pada suhu kamar dan tempat yang teduh tidak terkena sinar matahari langsung selama 2 x 24 jam. Beri lebel D pada setiap kantong plastik. e. Perlakuan E yaitu daun singkong 0%, kedelai 100% Kedelai bahan baku tempe dimasukkan ke dalam 3 kantung plastik transparant yang telah diberi lubang-lubang kecil dengan berat masing-masing 200 gram, kemudian difermentasi pada suhu kamar dan tempat yang teduh tidak terkena sinar matahari langsung selama 2 x 24 jam. Beri lebel E pada setiap kantong plastik HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kandungan Gizi Tempe Daun Singkong Kandungan gizi yang diuji dalam penelitian ini adalah protein, lemak dan karbohidrat dari tempe 100% daun singkong. Pengujian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Analitik Fakultas MIPA Universitas Mataram. Hasil analisis yang diperoleh adalah sebagai berikut: Tabel 1.1 Hasil analisis kandungan protein, lemak dan karbohidrat dari 100 gram tempe daun singkong murni (100% daun singkong) No 1 2 3
Parameter
Metode Uji
Protein Kjeldhal Lemak Soxhlet Karbohidrat Spectrometri
Hasil Uji (gr/100 gr) 6,02 1,88 4,04
Hasil pengujian protein tempe daun singkong yang dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Fakultas MIPA Universitas Mataram diketahui bahwa kadar protein dalam 100 gram tempe daun singkong sebesar 6,02 gram. Kandungan protein tempe daun singkong lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan protein pada daun singkong yang diuji oleh Thomas, (1993) sebesar 5,60 gram. Namun protein tempe daun singkong ini masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan protein tempe kedelai yang didiuji oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1992 dalam Sarwono, (2002) sebesar 19,5 gram. Menurut Pangastuti, 1996 dalam Dwinaningsih (2010), Rhizopus sp. menghasilkan enzim protease yang dapat berperan dalam proses perombakan senyawa-senyawa kompleks protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana yaitu asam-asam amino yang baik bagi tubuh. Hasil pengujian lemak tempe daun singkong yang dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Fakultas MIPA Universitas Mataram diketahui bahwa kadar lemak dalam 100 gram tempe daun singkong sebesar 1,88 gram. Kandungan lemak tempe daun singkong lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan lemak pada daun singkong yang diuji oleh Thomas, (1993) sebesar 1,20 gram. Namun lemak tempe daun singkong ini masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan lemak tempe kedelai yang didiuji oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1992 dalam Sarwono, (2002) sebesar 4,5 gram. Menurut de Reu, 1993 dalam Harnani (2012), bahwa kapang Rhizopus sp. yang digunakan dalam proses fermentasi tempe dapat meningkatkan jumlah lemak selama masa pertumbuhan aktifnya karena adanya
5
asimilasi karbohidrat serta terbatasnya konsumsi lemak oleh kapang tersebut. Hasil pengujian karbohidrat yang dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Fakultas MIPA Universitas Mataram diketahui bahwa kadar karbohidrat dalam 100 gram tempe daun singkong sebesar 4,04 gram. Kandungan karbohidrat tempe daun singkong memang lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan karbohidrat pada tempe kedelai yang diuji oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1992 dalam Sarwono, (2002) sebesar 9,6 gram dan kadar karbohidrat daun singkong yang diuji oleh Thomas, (1993) sebesar 13 gram. Arbianto dalam Harnani, 2012, menyatakan penurunan kadar karbohidrat juga terjadi selama proses fermentasi yang disebabkan oleh pemecahan senyawa karbohidrat kompleks menjadi senyawa karbohidrat yang lebih sederhana yang mudah dicerna oleh kapang Rhizopus sp. Tempe daun singkong memiliki kadar karbohidrat yang rendah sehingga cocok dikonsumsi oleh para penderita diabetes dan orang yang sedang melakukan diet karbohidrat. Sedangkan kadar protein dan lemak yang cukup tinggi pada tempe daun singkong dapat meningkatkan gizi masyarakat. B. Hasil Uji Daya Terima Tempe Hasil analisis yang diperoleh dari uji hedonik terhadap warna, aroma, tekstur, dan rasa dari kelima perlakuan tempe diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Penerimaan Indikator Warna Dari hasil pengujian hedonik pada 30 orang panelis konsumen terhadap indikator warna dari kelima perlakuan diperoleh skor sebesar 3,93 pada perlakuan E (penggunaan daun singkong 0%), kemudian skor 3,55 perlakuan D (penggunaan daun singkong 25%), skor 3,4 untuk perlakuan C
(penggunaan daun singkong 50%), skor 2,96 perlakuan B (penggunaan daun singkong 75%), dan skor 2,34 pada perlakuan A (penggunaan daun singkong 100%). Data ini menunjukkan bahwa semakin banyak penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe, nilai rata-rata skoring yang diberikan oleh panelis semakin kecil. Sedangkan tempe yang tidak menggunakan daun singkong yaitu perlakuan E (100% kedelai) memiliki nilai rata-rata skoring tertinggi. Hal ini berarti bahwa daya terima warna tempe kedelai masih lebih baik dari pada daya terima warna tempe dengan penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatannya. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Sarbini (2010), warna tempe yang paling diterima oleh panelis adalah tempe yang tidak ditambahkan bekatul dan menggunakan kedelai 100%. Lebih rendahnya daya terima warna dari tempe daun singkong dibandingkan dengan tempe kedelai disebabkan oleh tempe daun singkong merupakan produk fermentasi baru bagi konsumen sehingga konsumen yang telah terbiasa mengkonsumsi tempe berbahan baku kedelai tentu lebih menyukai warna dari tempe kedelai (perlakuan E). Namun apabila dilihat dari skala hedonik penerimaan warna dari tempe perlakuan A (daun singkong 100%) tergolong cukup disukai oleh konsumen. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Winarno (1992), warna dapat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Penerimaan warna juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat. Hasil analisis varian satu arah dari hasil uji hedonik indikator warna menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel yaitu 517,63 > 3,47 sehingga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan penerimaan warna dari kelima perlakuan tempe yang diujikan. Hasil uji 6
lanjut BNt α 5% menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang didapat dari setiap perlakuan setelah dijumlahkan dengan nilai BNt α 5% menghasilkan notasi yang berbeda dari setiap perlakuan. Hal ini menandakan bahwa ada perbedaan yang nyata dari penerimaan warna kelima macam perlakuan tempe. 2. Penerimaan Indikator Aroma Dari hasil pengujian hedonik pada 30 orang panelis konsumen terhadap indikator aroma dari kelima macam tempe, diperoleh skor 3,54 pada perlakuan E (penggunaan daun singkong 0%, kedelai 100%), kemudian skor 3,06 perlakuan D (penggunaan daun singkong 25%), skor 3,01 untuk perlakuan C dan B (penggunaan daun singkong 50% dan 75%), skor 2,85 pada perlakuan A (penggunaan daun singkong 100%). Data ini menunjukkan bahwa semakin banyak penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe, nilai rata-rata skoring yang diberikan oleh panelis semakin kecil. Sedangkan tempe yang tidak menggunakan daun singkong yaitu perlakuan E (100% kedelai) memiliki nilai rata-rata skoring tertinggi. Namun dalam skala hedonik aroma dari tempe dengan penggunaan daun singkong 100% (perlakuan A) tergolong cukup disukai oleh panelis konsumen. Hasil analisis varian satu arah dari hasil uji hedonik indikator aroma menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel yaitu 146,10 > 3,47 sehingga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan penerimaan aroma dari kelima perlakuan tempe yang diujikan. Hasil uji lanjut BNt α 5% menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang didapat dari setiap perlakuan setelah dijumlahkan dengan nilai BNt α 5% menghasilkan notasi yang sama pada perlakuan (B), (C) dan (D) sedangkan untuk perlakuan (A) dan (E) menghasilkan notasi yang berbeda. Hal ini menandakan ada beda
nyata penerimaan aroma antara perlakuan (A) dengan perlakuan (E). Penelitian Dwinaningsih (2010), menyatakan aroma yang paling disukai oleh panelis adalah tempe dengan konsentrasi 100% kedelai 0% beras angkak, sedangkan aroma pada tempe dengan penambahan beras dan angkak kurang disukai oleh panelis. Hal ini disebabkan oleh penambahan angkak yang merupakan hasil fermentasi beras yang menghasilkan aroma alkohol. Penelitian Sarbini (2010), menyatakan aroma tempe kedelai dengan penambahan bekatul 0% lebih diterima dibandingkan dengan penambahan bekatul karena bekatul mempengaruhi aroma dari tempe yang dihasilkan. Dari kedua penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penerimaan konsumen terhadap suatu produk masih dipengaruhi oleh aroma yang dihasilkan produk tersebut. Bagi konsumen, tempe daun singkong merupakan produk fermentasi baru dan belum dikenal oleh masyarakat sehingga aroma yang dihasilkan dari tempe ini menjadi asing bagi konsumen yang selama ini terbiasa mengkonsumsi tempe kedelai sehingga berpengaruh terhadap penerimaannya. 3. Penerimaan Indikator Tekstur Dari hasil pengujian hedonik pada 30 orang panelis konsumen terhadap indikator tekstur dari kelima macam tempe, diperoleh skor 3,48 pada pelakuan E (penggunaan daun singkong 0%), kemudian skor 3,24 pelakuan D (penggunaan daun singkong 25%), skor 3,18 untuk pelakuan C (penggunaan daun singkong 50%), skor 2,85 untuk pelakuan B (penggunaan daun singkong 75%), dan skor 2,81 pada pelakuan A (penggunaan daun singkong 100%). Data ini menunjukkan bahwa semakin banyak penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe, nilai rata-rata skoring yang diberikan oleh panelis semakin kecil. 7
Sedangkan tempe yang tidak menggunakan daun singkong yaitu perlakuan E (100% kedelai) memiliki nilai rata-rata skoring tertinggi. Hal ini berarti bahwa konsumen lebih menyukai tekstur tempe dengan penggunaan daun singkong yang lebih sedikit karena tekstur tempe yang dihasilkan menjadi lebih kompak dan padat. Tempe yang menggunakan daun singkong 100% (perlakuan A) memiliki tekstur tempe yang lembek karena pengaruh kadar air pada daun singkong yang cukup tinggi. Menurut Thomas (1993), dalam 100 gram daun singkong terdapat 60 gram air. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Ardiani (2012), kadar air yang tinggi pada biji kecipir menyebabkan kelenturan tekstur tempe yang dihasilkan akan menurun. Proses perebusan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keadaan tektur. Selama perebusan kadar air pada biji kecipir akan meningkat, sehingga akan mempengaruhi tekstur tempe yang akan dihasilkan. Hasil analisis varian satu arah dari hasil uji hedonik indikator tekstur menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel yaitu 112,29 > 3,47 sehingga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan penerimaan tekstur dari kelima perlakuan tempe yang diujikan. Hasil uji lanjut BNt α 5% menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang didapat dari setiap perlakuan setelah dijumlahkan dengan nilai BNt α 5% menghasilkan perlakuan (E) memiliki notasi yang berbeda dari perlakuan lainnya sedangkan notasi yang sama terdapat pada perlakuan (A) dan (B), notasi yang sama juga terdapat pada perlakuan (C) dan (D). Penelitian Ulandari (2014), menyatakan tekstur tempe tanpa penambahan ampas tahu (100% kedelai, 0% ampas tahu) lebih diterima oleh masyarakat bila dibandingkan dengan tempe yang ditambahkan ampas tahu. Tempe tanpa penambahan ampas tahu
memiliki tekstur yang kompak dan padat sedangkan tempe yang ditambahkan ampas tahu memiliki tekstur lebih lembek. Penelitian Sarbini (2010), menyatakan tekstur tempe kedelai dengan penambahan bekatul 0% lebih diterima dibandingkan tempe dengan penambahan bekatul, hal ini disebabkan tekstur dari bekatul yang lembek dapat mempengaruhi tekstur tempe yang dihasilkan. Dari kedua penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penerimaan konsumen terhadap suatu produk masih dipengaruhi oleh tekstur yang dihasilkan produk tersebut. Bagi konsumen, tempe daun singkong merupakan produk fermentasi baru dan belum dikenal oleh masyarakat sehingga tekstur yang dihasilkan dari tempe ini menjadi asing bagi konsumen yang selama ini terbiasa mengkonsumsi tempe kedelai sehingga berpengaruh terhadap penerimaannya. Namun bila dilihat dari skala hedonik, tempe dengan penggunaan daun singkong 100% (perlakuan A) tergolong cukup disukai oleh panelis konsumen. 4. Penerimaan Indikator Rasa Dari hasil pengujian hedonik pada 30 orang panelis konsumen terhadap indikator rasa dari kelima macam tempe, diperoleh skor 3,76 pada pelakuan E (penggunaan daun singkong 0%, kedelai 100%), kemudian skor 3,40 pelakuan D (penggunaan daun singkong 25%), skor 3,44 untuk pelakuan B (penggunaan daun singkong 75%), skor 2,80 untuk pelakuan C (penggunaan daun singkong 50%), dan skor terendah yaitu 2,68 pada pelakuan A (penggunaan daun singkong 100%). Data ini menunjukkan bahwa semakin banyak penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe, nilai rata-rata skoring yang diberikan oleh panelis semakin kecil. Sedangkan tempe yang tidak menggunakan daun singkong yaitu perlakuan E (100% 8
kedelai) memiliki nilai rata-rata skoring tertinggi. Keadaan ini menunjukkan bahwa daya terima rasa dari tempe kedelai lebih baik daripada daya terima rasa tempe dengan penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatannya. Lebih rendahnya daya terima rasa dari tempe daun singkong dibandingkan dengan tempe kedelai disebabkan oleh tempe daun singkong merupakan produk fermentasi baru bagi konsumen sehingga konsumen yang telah terbiasa mengkonsumsi tempe berbahan baku kedelai tentu lebih menyukai rasa dari tempe kedelai (perlakuan E). Namun apabila dilihat dari skala hedonik penerimaan rasa dari tempe perlakuan A (daun singkong 100%) tergolong cukup disukai oleh konsumen. Hasil analisis varian satu arah dari hasil uji hedonik indikator rasa menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel yaitu 1063,25 > 3,47 sehingga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan penerimaan rasa dari kelima perlakuan tempe yang diujikan. Hasil uji lanjut BNt α 5% menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang didapat dari setiap perlakuan setelah dijumlahkan dengan nilai BNt α 5% menghasilkan notasi yang sama pada perlakuan (B), (C) dan (D) sedangkan untuk perlakuan (A) dan (E) menghasilkan notasi yang berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 4.12. Hal ini menunjukkan bahwa ada beda nyata penerimaan rasa antara perlakuan (A) dengan perlakuan (E). Penelitian Sarbini (2010), menyatakan bahwa rasa tempe kedelai dengan penambahan bekatul 0% lebih diterima dibandingkan dengan penambahan bekatul, hal ini disebabkan rasa dari bekatul yang pahit mempengaruhi rasa dari tempe yang dihasilkan. Menurut Kumalaningsih (1986), rasa suatu bahan makanan dapat berasal dari bahan makanan itu sendiri dan dapat pula dipengaruhi oleh bahan yang ditambahkan
selama proses pengolahan. Hal yang sama juga terjadi pada penerimaan rasa dari tempe daun singkong. Semakin tinggi persentase penambahan kedelai pada tempe daun singkong rasa yang dihasilkan semakin menyerupai tempe kedelai yang telah umum dikonsumsi oleh masyarakat sehingga berdampak pada semakin tingginya daya terima rasa dari tempe tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Penggunaan daun singkong sebagai substrat pembuatan tempe memberi pengaruh terhadap daya terima konsumen. Semakin banyak penggunaan daun singkong untuk pembuatan tempe daya terima konsumen semakin menurun. 2. Daya terima panelis konsumen yang berada di Kota Mataram terhadap warna, aroma, tekstur dan rasa dari tempe daun singkong dalam skala hedonik tergolong cukup disukai. 3. Prosedur pembuatan tempe daun singkong telah dikembangkan sebagai bahan praktikum mikrobiologi. B. Saran Berdasarkan hasil pengamatan selama dilakukannya penelitian ini, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut: 1. Tempe daun singkong baik dikonsumsi bagi seseorang yang sedang menjalankan diet karbohidrat dan para penderita diabetes karena kandungan karbohidratnya rendah. 2. Proses pembuatan dan penyajian tempe daun singkong perlu dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan rasa, aroma, tekstur, dan warna yang sesuai dengan selera konsumen sehingga dapat dikembangkan untuk tujuan komersil.
9
DAFTAR PUSTAKA Ardiani, F., F.E. Nababan, dan E. Nasution. 2012. Uji Daya Terima Tempe Biji Kecipir Beras Merah dan Kandungan Gizinya. (online): http://jurnal.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 10 September 2014. Astawan, M. 2008. Sehat dengan Tempe, Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan dengan Tempe. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Badan Pusat Statistik. 2013. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu Tahun 2013. (online): http://www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 27 April 2014. Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan (terjemahan). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Dwinaningsih, E.A. 2010. Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe dengan Variasi Bahan Baku Kedelai/Beras dan Penambahan Angkak Serta Variasi Lama Fermentasi. Surakarta: Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. (online): http://eprint.uns.ac.id/210/1/170422 4112010110311.pdf. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2014. Dyacitta. 2014. Jamur Rhizopus sp. (online): http://www.scribd.com. Diakses pada tanggal 12 Mei 2014. Effendi, S. 2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Bandung: Alfabeta. Fernandez, F. 1983. Morphology of the Cassava Plant. Cali Colombia: Centro Internacional De Agricultura Tropical (CIAT).
Ganjar, I., Ariyanti, Oetari, Wellyzar, dan Sjamsuridzal. 2000. Mikrobiologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Obor Indonesia. Gaspersz, V. 1992. Metode Perencanaan Percobaan untuk Ilmu Pertanian, Ilmu Teknik dan Biologi. Bandung: Armico. Harnani, S. 2009. Studi Karakteristik Fisikokimia dan Kapasitas Antioksidan Tepung Tempe Kacang Komak (Lablab purpureus). Bogor: Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Harris, R., Karmas, dan Endel. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung: ITB. Haryoto. 1995. Teknologi Tepat Guna Tempe dan Kecap Kecipir. Yogyakarta: Kanisius. Hegel.
2012. Uji Hedonik. (online): http://www.scribd.com. Diakses pada tanggal 13 Mei 2014.
Joe, W. 2011. 101++ Keajaiban Khasiat Kedelai. Yogyakarta: Andi. Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Kimia Pengolahan Serta Pemanfaatannya. Yogayakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Latifah, S., Ummah, dan Hidayatul. 2010. Sosialisasi Pembuatan Tempe Daun Ketela Pohon di Desa Jerorejo Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban. (online): http://kemahasiswaan.um.ac.id/wpcontent/uploads/2010/04/PKM-AI10-UM-Siti-sosialisasi-pembuatantempe-singkong.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014. Lingga, P., Sarwono, dan F. Rahardi. 1995. Bertanam Ubi – Ubian. Jakarta: Penebar Swadaya. 10
Pramono. 1985. Tempe dalam Kehidupan Masyarakat Umumnya. Yogyakarta: PT. Intermasa. Pujiono, JS. 2012. Tempe Daun Singkong. (online): http://plus.google.com/+PujionoJS/ posts/PWjyB3HmFHz. Diakses pada tanggal 17 Juni 2014. Sarbini, D. 2010. Pengaruh Penambahan Bekatul Terhadap Kadar Serat, Sifat Organoleptik dan Daya Terima pada Pembuatan Tempe Kedelai. (online): http://publikasiilmiah.ums.ac.id/sarb ini/pdf. Diakses pada tanggal 27 Mei 2014. Sardjoko. 1991. Bioteknologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Vincent, E., Rubatzky, dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 1 Prinsip, Produksi dan Gizi (terjemahan). Bandung: ITB Bandung. Wagiyono. 2003. Menguji Kesukaan Secara Organoleptik. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Warsino, K., Dahana. 2010. Meraup Untung dari Olahan Kedelai. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sarwono. 2002. Membuat Tempe dan Oncom. Jakarta: Penebar Swadaya. Steenis, V. 2008. Flora. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Sukarso, AA. 2006. Diktat Kuliah Botani Tumbuhan Rendah. Mataram: FKIP Universitas Mataram. Syarief, R., H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Arcan. Thomas. 1993. Tanaman Obat Tradisional 1. Yogyakarta: Kaninus. Tjitrosoepomo, G. 2007. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ulandari, Y. 2014. Uji Daya Terima Tempe Gembus pada Masyarakat Kota Mataram dan Pengembangannya Dalam Bahan Praktikum Mikrobiologi. Skripsi S1. Universitas Mataram. 11