QADLA DAN QADAR Oleh : Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. Penterjemah: A.Q. Khalid Berikut ini adalah kompilasi dari nukilan yang diambil dari Malfuzat yang berkaitan tentang takdir dan nasib manusia. Kumpulan Malfuzat terdiri dari sepuluh volume dan berisi koleksi diskursus, khutbah dan pidato Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Masih Maud dan Imam Mahdi.
Allah swt memang tidak mengungkapkan rahasia dari sistem takdir dan penentuan nasib namun di dalam hal itu (melalui manifestasinya) ada berbagai pokok-pokok kebijakan. Melalui pengalamanku sendiri dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang mungkin mencapai makam keruhanian yang luhur semata-mata dari hasil upayanya sendiri. Ada berbagai cobaan yang harus ditanggungkan yang akan membawa seseorang mendekat kepada Tuhan. Siapa yang mampu ‘memecut keras’ dirinya sendiri dengan sebuah gada? Allah swt bersifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang (karena itu cobaan yang datang daripada-Nya pasti membawa ganjaran). Aku sendiri telah mengalami hal ini dimana setelah melalui sedikit kepedihan, Allah akan melimpahkan karunia dan berkat yang besar. Yang namanya akhirat itu bersifat kekal, mereka yang telah berpisah dari diri kita tidak akan kembali tetapi kita dalam waktu tidak terlalu lama malah akan bergabung dengan mereka. Dinding di dunia ini (yang memisahkannya dengan akhirat) bukanlah suatu dinding yang solid, bahkan dinding ini merupul runtuh (dengan bertambah dekatnya kita ke wilayah sana). Yang harus difikirkan ialah tidak ada sesuatu apa pun yang bisa dibawa dari dunia ini ke alam berikut, lagi pula tidak ada seorang pun yang tahu kapan ia harus berangkat. Kapan pun saatnya manusia meninggalkan dunia ini akan dianggap sebagai saat yang tidak tepat dan ia berangkat berhampa tangan karena hanya amal baik saja yang bisa menyertai seseorang. Nyatanya sering dijumpai adanya orang-orang yang sudah di ambang sakratul maut tetapi masih saja membilang dan menghitung-hitung berapa harta benda yang dimilikinya. Perhatian mereka pada saat demikian masih saja seputar benda duniawi. Banyak sekali orang yang berperilaku demikian, bahkan dalam Jemaat ini pun, dimana ibadah mereka kepada Allah swt disertai berbagai persyaratan. Ada pula
beberapa
orang
yang
menyurati
aku
memohon
didoakan
sambil
1
mengatakan bahwa jika mereka dikaruniai sekian banyak uang atau ada keinginan lain yang terkabul maka mereka berjanji akan menjadi anggota Jemaat ini. Orang-orang bodoh ini tidak memikirkan apa untungnya bagi Allah kalau mereka bai’at ke dalam Jemaat! Jemaat kita ini sepatutnya memiliki keimanan seperti yang dimiliki para sahabat Rasulullah s.a.w. yang merelakan kepala mereka di jalan Tuhan. (Malfuzat, vol. 9, h.381-383). Dalam suatu percakapan umum ketika beberapa orang mengemukakan bahwa musibah bisa dihindari dengan cara bersedekah dan memberikan infaq, Hazrat Masih Maud.a.s. menyatakan : Memang benar demikian. Tetapi ada pula manusia yang mempertanyakan mengapa takdir Ilahi terdiri dari dua bagian. Jawabannya adalah dengan melihat pengalaman kita sendiri yang menjadi saksi atas suatu kenyataan bahwa ketika seseorang menghadapi situasi yang amat mengancam dirinya, jika ia menggiatkan doa atau shalat, sedekah dan infaq, ternyata situasi demikian kemudian bisa dihindari. Karena itu sepatutnya kita meyakini takdir Ilahi yang dikenal sebagai ‘Mu allaq’ atau ‘qadla yang tertunda’ nyatanya memang ada. Kalau bukan takdir jenis ini dan yang ada ialah ‘takdir yang tidak bisa diubah’ atau ‘Mubram’ maka doa, shalat dan sedekah tidak akan membawa pengaruh. Lalu mengapa suatu situasi yang amat berbahaya bisa dihindari melalui doa dan sedekah? Yang perlu disadari ialah ada beberapa kehendak Ilahiah yang sifatnya hanya bertujuan menanamkan rasa takut kepada Tuhan serta mengingatkan manusia kepada kemanjuran doa. Melalui doa, sedekah dan amal saleh, banyak sekali ketakutan dan mara bahaya yang bisa dihindarkan. Masalah kemakbulan doa mirip dengan hubungan antara wanita dan pria dimana akan terjadi hubungan jika dilakukan pada saat dan kondisi relatif yang tepat serta tidak ada kekurangan yang mengganggu. Hanya saja jika qadar Ilahiah itu dari jenis yang tidak bisa dihindari, maka jenis yang demikian disebut Mubram dimana doa juga tidak akan berhasil. Bisa saja seseorang ingin berdoa tetapi tidak bisa mengkonsentrasikan fikirannya sedangkan hatinya tidak meresapi sepenuhnya emosi kepedihan dan kesedihan yang mestinya melambari suatu permohonan doa. Kekurangan konsentrasi ini juga terjadi dalam shalat yang bersangkutan. Semua hal ini lalu mengisyaratkan bahwa hasil akhir dari situasi yang dihadapi tidak akan baik jadinya dan inilah qadar yang disebut sebagai Mubram yaitu takdir yang tidak bisa dielakkan. 2
Saat itu seseorang memberi komentar bahwa pada saat putra dari Nawab Muhammad Ali Khan sedang sakit berat, beliau (Hazrat Masih Maud) menerima wahyu yang menyatakan bahwa itu adalah takdir Mubram dimana kematian sudah ditakdirkan. Namun dengan syafaat doa Huzur maka takdir itu nyatanya bisa dihindari. Hazrat Masih Maud.a.s. menyatakan : Sayid Abdul Qadir AlJaelani.r.a. pernah menulis bahwa terkadang qadar Mubram pun bisa dielakkan melalui kekuatan doa. Berkenaan dengan hal ini, seorang ulama terkenal yaitu Sheikh Abdul Haque Muhaddith Dehli mempermasalahkan kalau qadar Mubram tidak bisa dielakkan, lalu apa yang dimaksud oleh Al-Jaelani? Akhirnya ia sendiri juga yang memberikan jawaban bahwa qadar Mubram juga terdiri dari dua jenis yaitu yang benar-benar Mubram sedangkan yang satunya mirip Mubram tetapi bukan. Mubram yang sesungguhnya tidak bisa dihindari dalam keadaan apa pun seperti contohnya bahwa manusia pada akhirnya akan mengalami kematian. Qadar ini tidak bisa dielakkan meski yang bersangkutan berkeinginan hidup abadi. Jenis qadar yang mirip Mubram (tetapi bukan) contohnya seperti suatu situasi berbahaya yang amat gawat dimana orang sepertinya tidak akan mungkin melepaskan diri. Keadaan demikian disebut ‘seperti Mubram’ (yang sebenarnya lebih tepat disebut Muallaq yang bisa dielakkan melalui doa dan sedekah). Adapun qadar Mubram yang sesungguhnya tidak akan bisa dielakkan meski misalnya semua Nabi-nabi mendoakannya. (Malfuzat, vol. 7, h.87-88) Kitab Al-Quran telah menetapkan beberapa hal sebagai pengukuhan prinsip agung bahwa Allah yang Maha Kuasa itu adalah yang Maha Esa dan menjadi sumber serta tujuan dari segala hal. Tetapi hal ini lalu ditafsirkan beberapa kritikus bodoh sebagai akidah pemaksaan. Allah adalah wujud kausa utama dari segala hal dan Pemelihara semuanya. Ini juga yang mendasari mengapa Allah yang Maha Kuasa dalam Al-Quran menyebut Diri-Nya sebagai Kausa dari segala kausa tanpa ada apa pun yang menjadi sarana antara. Namun Al-Quran ada juga mengungkapkan terdapatnya media antara yang harus diperhatikan manusia.
Selain
itu
Al-Quran
juga
mengemukakan
penghukuman
atas
kejahatan dan menetapkan hukumannya. Kalau sistem qada dan qadar Ilahi sama sekali tidak bisa diubah, dimana manusia harus mengikuti paksaan nasib
3
yang bersifat absolut, lalu apa gunanya ditetapkan adanya pengganjaran dan penghukuman? Yang patut diingat ialah Al-Quran tidak membatasi segalanya dalam cakupan sistem kausa phisikal, tetapi lebih pada menuntun umat manusia kepada ketauhidan Ilahi yang hakiki. Kebanyakan orang tidak memahami fitrat daripada doa dan juga tidak mengerti makna pertalian antara doa dengan takdir Ilahi. Allah swt selalu membuka jalan bagi doa dan tidak akan menolak permohonan mereka. Baik bagi doa mau pun takdir Ilahi, Allah swt telah menetapkan kapan saatnya yang tepat. Melalui doa, salah satu fitrat Maha Pemelihara telah dianugrahkan Allah swt kepada mereka yang menyembahNya sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran : ‘...Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkan doamu. . .’ (S.40 Al-Mumin:61) Karena itulah aku selalu menyatakan bahwa Tuhan umat Muslim selalu mendengar
permohonan
mereka,
sedangkan
tuhan
yang
tidak
pernah
mencipta senoktah apa pun atau dikatakan telah mati karena aniaya bangsa Yahudi, bagaimana mungkin ia bisa mengabulkan? Tidaklah bijak mencari kesepakatan di antara kondisi pilihan bebas dengan paksaan hanya berdasarkan logika atau nalar semata. Sia-sia saja kalian mencoba
memahami
rahasia
Ilahiah.
Lagi
pula
tidak
patut
rasanya.
Sebagaimana juga dinyatakan oleh Hazrat Rasulullah s.a.w. ‘Perilaku seorang pencari kebenaran adalah penghormatan semata.’ Qada dan qadar Ilahi memiliki kedekatan yang sangat dengan doa. Doa bisa mengelakkan berlakunya takdir yang bersifat sementara atau takdir Mu’allaq. Doa adalah sarana paling efektif guna menghindari bahaya dan kesulitan. Mereka yang meragukan keunggulan doa sesungguhnya keliru. Al-Quran mengemukakan dua aspek daripada doa. Aspek pertama, Allah swt akan memaksakan
kehendak-Nya,
sedangkan
pada
aspek
yang
lain,
Dia
mengabulkan doa seorang hamba. Dalam ayat : ‘...akan Kami beri kamu cobaan dengan sedikit ketakutan dan kelaparan…’ (S.2 Al-Baqarah:156) Allah swt meminta kepatuhan atas kehendak-Nya. Maksudnya, tanggapan manusia terhadap takdir Ilahi yang bersifat mutlak ialah : ‘...Sesungguhnya
4
kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali…’ (S.2 Al-Baqarah:157). Adapun saat kapan tiba gelombang rahmat dan berkat dari Allah swt diindikasikan dalam Al-Quran : ‘Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkan doamu.’ (S.40 Al-Mumin:61) Seorang mukminin haruslah memahami kedua aspek tersebut. Kaum Sufi menyatakan bahwa ketergantungan seseorang kepada Tuhan-nya belum akan sempurna sampai yang bersangkutan mampu membedakan saat dan tempat yang sesuai dalam mengajukan permohonan doa. Dikatakan bahwa seorang Sufi tidak akan berdoa sampai ia tahu telah tiba saat yang tepat untuk berdoa. Sayid Abdul Qadir Al-Jaelanira menyatakan bahwa doa bisa menjadikan seorang yang kasar hatinya menjadi seorang yang lembut. Ia bahkan menyatakan kalau mara bahaya gawat yang sepertinya merupakan takdir mutlak, nyatanya dapat dihindari. Singkat kata, yang harus selalu diingat berkenaan dengan doa ialah terkadang Allah swt mengharuskan kepatuhan hamba kepada kehendak-Nya dan pada saat lain Dia mengabulkan permohonan hamba-Nya. Dengan kata lain, Dia memperlakukan hamba-Nya laiknya seorang sahabat. Doa-doa dari Hazrat Rasulullah s.a.w. dikabulkan dalam skala besar dan karena itulah maka beliau menduduki posisi tertinggi dalam ketakwaan kepada kehendak Allah swt serta menerimanya dengan hati gembira. (Malfuzat, vol. 3, h.224-226)
5