Q1 Agriculture prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 20141 FARMERS’ BEHAVIOR IN LAND CONVERSION FUNCTION AND LAND CONVERSION FUNCTION GROWTH (CASE STUDY OF RICE FIELD TO LAND RUBBER PLANTATION) IN THE CENTER OF RICE PRODUCTION AT THE EASTERN REGENCY OKU EAST PRILAKU PETANI DALAM ALIH FUNGSI LAHAN DAN PERTUMBUHAN ALIH FUNGSI LAHAN (STUDI KASUS LAHAN SAWAH KE LAHAN PERKEBUNAN KARET ) DI SENTRA PRODUKSI PADI KABUPATEN OKU TIMUR
Munajat
[email protected] Dosen Fakultas Pertanian Universitas Baturaja Abstract This study aimed to determine differences in the farmers’ behavior in conversion use from rice fields to plantation (rubber), and also analyzed the growth rate of conversion of rice fields to land rubber plantation on rice production center in the of South Sumatra of East OKU District. The results showed that farmers behavioral factors in rice land conversion to rubber plantation significant effect at confidence level α = 0.10 was a variable of farmers’ family members, and farmers' income from rubber and significant variables at confidence level α = 0.01 was the longest farming variable, outcome and farmer’s prices of rubber while the variable that not significant effect was variable age of farmers. Growth conversion wetland to rubber in East Ogan Komering Ulu occur in almost every district was Martapura districts, Bunga Mayang, B.P. Peliung, Semendawai East, East Buay Madang, BP Bangsa Raja, Belitang MDG Raja, Belitang, Belitang Jaya, Belitang III, Belitang II, Belitang Mulya, Semendawai Suku III and Buay Madang, while the conversion land use not occur in the district Jaya Pura, Madang Jaya II, Madang Suku III, Madang SukuI, East Semendawai and Cempaka. The highest growth conversion was in the District Belitang Mulia ( 115.18 % ) while lowest growth conversion function of was the District Madang Suku ( -25 % ). Key words: Farmers’ Behavior, Growth, Land Transfer Function
I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting peranannya di dalam perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas dari peranan sektor pertanian di dalam menampung penduduk serta memberikan kesempatan kerja kepada penduduk, menciptakan pendapatan nasional dan menyumbangkan pada keseluruhan produk. Berbagai data menunjukkan bahwa di beberapa negara yang sedang berkembang lebih 75 persen dari penduduknya berada di sektor pertanian dan lebih 5 persen dari pendapatan nasionalnya dihasilkan dari sektor pertanian, serta hampir seluruh ekspornya merupakan bahan pertanian
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 20142 (Todaro, 2000). Namun situasi pangan di Indonesia memperlihatkan wajah yang muram dengan adanya alih fungsi lahan pertanian menuju industri perkebunan, perumahan dan lainnya. Setiap tahun untuk luas lahan pertanian selalu mengalami alih fungsi lahan dari lahan sawah ke lahan non sawah (Anonim, 2011). Hasil penelitian empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dapat diungkapkan bahwa salah satu fenomena alih fungsi lahan yang patut diwaspadai adalah yang bersifat sporadis dan berdimensi individu untuk berbagai keperluan seperti perumahan dan fasilitas lainnya (Sumaryanto et al., 2002). Pola alih fungsi lahan semacam ini sulit dikontrol, sehingga pendekatan yang dianggap paling tepat untuk menanganinya adalah dengan melibatkan masyarakat melalui inisiatif dan aksi kolektif (Anonim, 2006). Lebih lanjut menurut Irawan (2005) konversi lahan cenderung meningkat disebabkan oleh dua faktor terkait. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi yang terkonversi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut semakin mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk menjual lahannya. Terkait dengan hal tersebut menurut Wibowo (1996), pembeli tanah tersebut biasanya bukan penduduk setempat sehingga akan terbentuk lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses konversi lahan. Sesungguhnya maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seyogyanya jadi perhatian semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA, 2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan lagi, data dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (Winoto, 2005) menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6 persen) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4 persen) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain. Salah satu kebijakan yang dicanangkan dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah zonasi lahan sawah berdasarkan kriteria boleh dialih fungsikan, alih fungsi terbatas, dan tidak boleh dialihfungsikan atau dilindungi (BPN Sul-Sel, 2004). Secara nasional, kriteria zonasi tersebut meliputi areal sawah yang boleh dialih fungsikan dengan luas sekitar 1,04 juta hektar, berikut lahan sawah dengan alih fungsi terbatas dan yang tidak boleh dialih fungsikan atau dilindungi masing-masing lebih kurang 3,01 hektar dan 4,85 hektar. Berdasarkan data BPS Kabupaten OKU Timur (2011), tercatat luas lahan sawah di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2000 yaitu 1.657.555 hektar dan tahun 2011 yaitu mencapai 3.176.731 hektar. Akumulasi luas lahan sawah terus meningkat padahal mulai tahun 2007 alih fungsi lahan sawah mulai marak dilakukan oleh petani. Untuk mencegah terjadinya krisis pangan pemerintah mengeluarkan peraturan daerah yang berisi a) yang bersangkutan tersebut masuk dalam kategori rakyat miskin, dengan luas lahan yang dialih fungsikan tidak lebih dari 200 meter persegi, b) alih fungsi lahan sawah diperbolehkan jika yang bersangkutan bersedia
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 20143 mengganti lahan yang dialihfungsikan tersebut dengan luas lahan yang sama di tempat yang lain (Anonim, 2011). Semakin maraknya alih fungsi lahan yang terjadi maka untuk menanggulangi terjadinya pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur) Sumatera Selatan membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2009 tertanggal 12 Desember 2009 untuk memperketat izin alih fungsi lahan persawahan ke non pertanian, Masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur memiliki kecenderungan menanam karet, dibandingkan mempertahankan areal sawahnya untuk ditanam padi perlu segera diwaspadai karena jika tidak diantisipasi sejak dini, bukan tidak mungkin ribuan hektar sawah irigasi teknis yang sebelumnya panen tiga kali dalam setahun, justru akan berubah fungsi menjadi hamparan kebun karet dan menjadi pemukiman dengan bangunan permanen. Setidaknya sudah puluhan hektar sawah irigasi teknis dan sawah tadah hujan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur ini yang telah berubah fungsi menjadi kebun karet. Di samping itu ada juga lahan sawah yang kini menjadi tempat pemukiman warga, dengan berdirinya bangunan permanen (Anonim, 2010). Dengan berbagai akumulasi data penelitian yang telah dilakukan maka kali ini peneliti tertarik untuk menganalisis perilaku petani dalam alihfungsi lahan sawah berupa komoditi padi ke perkebunan karet dengan pengkategorian kepemilikan lahan “sempit dan luas”, serta menganalisi tingkat perkembangan alihfungsi lahan di Kabupaten OKU Timur.
II. TINJAUAN PUSTAKA Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktorfaktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Alih fungsi lahan pertanian sawah menjadi lahan perkebunan menjadi trend di kalangan petani. Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena menjadi petani perkebunan, khususnya ke tanaman karet sangat menjanjikan sekali. Setiap saat harga karet terus naik, kondisi ini tentunya sangat menguntungkan petani. Persoalan tidak hanya di situ. Mahalnya harga pupuk dan serangan hama penyakit terhadap sawah petani juga menjadi pemicu semakin sengsaranya masyarakat petani padi. Serta pada saat panen harga dipasaran menjadi rendah. Padahal suatu ketika dulu sawah merupakan sektor unggulan. Menurut Biro Pusat Statistik (2001) yang menyatakan, bahwa luas lahan sawah Indonesia pada tahun 1993 ± 8.500.000 ha selanjutnya pada tahun 2000 (7 tahun) telah menyusut serius hingga menjadi tinggal seluas 7.790.000 ha atau susutnya lahan 710.000 ha atau setiap tahunnya tanah sawah Indonesia menyusut 59,167 ha. Sedangkan menurut Dit Penatagunaan Tanah BPN (1998), bahwa luas tanah sawah di Indonesia sampai tahun 1998 baik sawah irigasi teknis dan non teknis adalah 7.796.430 ha uraiannya di P.Jawa beririgasi teknis 58%, serta 42% irigasi non teknis dan non irigasi. Di luar P.Jawa sebagian besar sawah non irigasi (>75%).
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 20144 Dengan banyaknya kemungkinan-kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan sawah maka sudah banyak para peneliti melakukan penelitian tentang alih fungsi lahan karena dampak akibat alih fungsi bukan hanya masyarakat pedesaan yang terkena impas dari adanya difisit beras tetapi juga menjadi kerawanan pangan nasional. Oleh sebab ada beberapa penelitian terdahulu terkait alih fungsi lahan antara lain: Sudaryanto (2005), bahwa selama periode 1981-1999 telah kehilangan produksi padi sebesar 8,89 juta ton, dimana 6,86 juta ton terjadi di Pulau Jawa dan 2,03 juta ton di Luar Jawa . Ini berarti bahwa setiap tahun kita kehilangan 0,47 juta ton padi, akibat konversi lahan telah menyebabkan hilangnya setara 50,9 juta ton gabah atau sekitar 2,82 juta ton gabah per tahun. Bila dihitung setara beras, maka kehilangan produksi pangan tersebut adalah sebesar 1,7 juta ton beras per tahun. Jumlah kehilangan produksi beras tersebut hampir sebanding dengan jumlah impor beras pada tahun 1984-1997 yang berkisar antara 1,5 juta hingga 2,5 juta ton beras per tahun. Artinya, apabila konversi lahan sawah dapat ditekan maka hal itu akan memberikan dampak yagn cukup besar bagi pengadaan beras nasional. Catur et al (2010), dalam penggabungan data sekunder dari periode 1998-2007 pada 26 daerah Kabupaten Klaten menunjukan hasil laju pertumbuhan mencapai 53%, dan 4% pertanun. Nilai konversi rendah adalah nilai positif dari perbedaan penghasilan dengan jumlah konsumsi (NPKt) di Kabupaten Klaten. Dewa et al (2012), Ada empat faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina, yaitu faktor kondisi lahan, faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk), faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri) dan faktor ketidakefektifan lahan. Variabel yang mewakili setiap faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina ada 14 variabel yaitu variabel penghasilan lahan, fungsi lahan, keadaan lahan kering, lokasi lahan, perbatasan pusat kota, keadaan lahan basah mewakili faktor kondisi lahan; variabel terhimpit pemukiman, pertumbuhan penduduk mewakili faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk); varabel nilai jual lahan, biaya produksi, kebutuhan tempat tinggal keluarga mewakili faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri) dan variabel digunakan sebagai sarana jalan, saluran irigasi, peluang kerja di sektor lain menjanjikan mewakili faktor ketidakefektifan lahan. Aminuddin (2009), Bahwa pola perkembangan alih fungsi lahan sawah tanaman pangan ke non sawah polanya tidak tentu, artinya alih fungsi lahan sawah sangat tergantung oleh banyak faktor seperti terjadinya pembangunan fisik seperti perkantoran (pemerintah, swasta) perumahan penduduk, jalan raya dan lain-lain, di suatu wilayah kecamatan di Kabupaten Gowa. Bahwa luas lahan sawah nyata berpengaruh meningkatkan produksi total tanaman padi, sedangkan luas sawah yang beralih fungsi ke non sawah belum dapat membuktikan berpengaruh menurunkan produksi padi total di Kabupaten Gowa, yang mana hasil kesimpulan tersebut di atas didukung berdasarkan hasil uji statistik pada tingkat signifikansi 5 %. Bahwa luas lahan sawah nyata berpengaruh meningkatkan produksi tanaman pangan total, sedangkan luas sawah yang beralih fungsi ke non sawah belum dapat membuktikan berpengaruh menurunkan produksi tanaman pangan total di Kabupaten Gowa, yang mana hasil ini didukung berdasarkan hasil uji secara statistik yang signifikan pada tingkat signifikansi 5 %.
III. METODE PENELITIAN
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 20145 Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang merupakan daerah sentra produksi padi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-April 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian studi kasus. Metode penarikan contoh yang digunakan adalah metode acak sederhana dengan jumlah sampel sebanyak 92 sampel sementara data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yakni berupa data nominal dan ordinal dan data time series berupa data luas lahan, produksi
padi dari tahun 2007-2012 Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Untuk menjawab tujuan pertama berupa perbedaan prilaku petani dalam alih fungsi lahan dari lahan sawah menjadi lahan karet digunakan pendekatan model analisis diskriminan yang merupakan kombinasi dari regresi linear yaitu: D = b0 + b1JAP + b2LBT + b3UPT + b4PDT + b5PRT + b6HKP........................... (1) Dimana: D b JAP LBT UPT PDT PRT HKP
= kategori kepemilikan lahan petani dalam alih fungsi lahan (sempit dan luas) = koefisien diskriminan = Jumlah anggota keluarga petani (Orang) = Lama beruasahatani (Tahun) = Umur petani (Tahun) = Pendapatan (Rp/th) = Pengeluaran (Rp/th) = Harga karet (Rp/kg)
Untuk menjawab tujuan kedua, berapa besar tingkat perkembangan alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dari tahun 2007 sampai 2012 maka, dilakukan analisis: yt = yo ert Dimana : yt yo r t
atau
ln y = ln Yo + rt ............................................................(2)
= luas lahan pertanian (padi sawah dan ladang) pada tahun t = nilai trend periode dasar = pertumbuhan luas lahan pertanian (padi sawah dan ladang) pertahun = waktu/tahun
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Prilaku Petani Berdasarkan Kategori Kepemilikan Lahan Petani Dalam Alih Fungsi Lahan Alih fungsi lahan sawah (komoditi padi) ke lahan perkebunan (karet) saat ini marak dilakukan dan dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan (BPS OKU Timur, 2012), hal ini sesungguhnya sangat menghawatirkan karena terjadi di daerahdaerah sentra padi seperti Kabupaten OKU Timur, dimana Kabupaten OKU Timur merupakan daerah sentra padai Propinsi Sumatera Selatan. Prilaku petani dalam alih
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 20146 fungsi lahan ini juga sifatnya sudah sangat beragam bila dilihat dari kategori kepemilikan lahan. Petani yang memiliki lahan luas (lebih besar sama dengan 0,5 ha) dan sempit (lebih kecil 0,5 ha) saat ini di Kabupaten OKU Timur semuanya tetap melalukan alih fungsi lahan dari tanaman padi ke tanaman karet. Dimana sebelumnya para petani padi yang memilki lahan sempit kurang tertarik untuk melakukan alih fungsi lahan ini. Dalam penelitian ini adapun dugaan variabel bebas penyebab terjadinya alih fungsi lahan adalah terkait beberapa faktor yakni jumlah anggota keluarga, lama berusahatani, umur petani, pendapatan petani dari komoditi padi, pengeluaran petani, dan harga komoditi karet. Hasil dari analisis dengan pendekatan analisis fungsi diskriminan disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Hasil Diskriminan Prilaku petani Dalam Alih Fungsi Lahan Wilks No Variabel F Sig Lambda 1 Constan -13,916 0,908 0,690 2 LBT 0,938 1,810 0,089 3 UPT 0,978 0,640 0,430 4 JAP 0,774 0,180 0,008 5 PDT 1,000 0,000 0,001 6 PRT 0,897 3,204 0,084 7 HKP 0,997 0,072 0,090 Sumber: Analisis data primer (2014)
Ket tn * tn ** ** * *
Keterangan : Chi Square Wilks lambda tn * **
= 17,054 = 0,525 = tidak berpengaruh = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90% (α = 0,10%) = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99% (α = 0,01%)
Berdasarkan Tabel 1. tersebut hasil analisis diskriminan dalam hal prilaku petani dalam alih fungsi lahan sawah ke lahan tanaman karet menunjukan nilai wilks lambda sebesar 0,525, informasi ini menunjukan bahwa variabel bebas memang berbeda secara signifikan antar kedua katagori dalam kepemilikan lahan dalam prilaku petani dalam alih fungsi dari tanaman padi ke tanaman karet. Sementara nilai Chi Square sebesar 17,054 dengan angka signifikan yaitu sebesar 0,001. Sesungguhnya, ini juga menunjukan bahwa adanya perbedaan yang nyata (signifikan) antara nilai rata-rata kepemilikan lahan pada kedua kategori yaitu luas dan sempit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa memang ada perbedaan kategori lahan yaitu “luas dan sempit” terhadap prilaku petani dalam alih fungsi lahan sawah untuk tanaman padi ke tanaman karet dan model yang dibangun dalam persamaan ini adalah tepat dan dapat di gunakan dan dilanjutkan. Berdasarkan analisis diskriminan menunjukan bahwa dari enam variabel bebas, ada satu variabel bebas yang tidak berpengaruh nyata terhadap prilaku petani dalam alih fungsi lahan dari lahan sawah untuk tanaman padi ke tanaman karet berdasarkan kategori kepemilikan lahan “luas dan sempit” yaitu umur petani, hal ini sejalan dengan
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 20147 hasil penelitian Pusvita (2012) yang melihat keterkaitan alih fungsi lahan dengan pendekatan korelasi. Lebih lanjut model persamaan analisis diskriminan pada Tabel 1. adalah sebagai berikut: D= - 13,916 + 0,938LBT + 0,978UPT + 0,774JAP + 1,000PDT + 0,897PRT + 0,997HKP Adapun variabel-variabel bebas yang berpengaruh nyata (signifikan) terhadap prilaku petani dalam melakukan alih fungsi lahan sawah ke tanaman karet pada tingkat kepercayaan α = 0,10 yaitu lama berusahatani, pengeluaran keluarga petani dan harga karet petani, sedangkan variabel bebas yang berpengaruh nyata (signifikan) terhadap prilaku petani dalam melakukan alih fungsi lahan sawah ke tanaman karet pada tingkat kepercayaan sig α = 0,01 yaitu jumlah anggota keluarga petani dan pendapatan petani dari usahatani karet. Dari sisi dugaan tanda koefisien menunjukan bahwa semua variabel bebas berupa jumlah anggota keluarga petani, lama berusahatani, umur petani, pendapatan petani dari usahatani karet, pengeluaran keluarga dan harga komoditi karet menunjukan sesuai dengan harapan atau sesuai dengan teori – teori ekonomi yang ada. Sementara dari nilai-nilai koefisien tersebut juga dapat di ketahui bahwa pendapatan petani (PDT) merupakan variabel yang paling sensitif atau paling membedakan dua katagori kepemilikan lahan petani dalam alih fungsi lahan diikuti oleh masing-masing variabel harga komoditi karet (HKP), umur petani (UPT), lama berusahatani (LBT) dan pengeluaran rumah tangga petani (PRT). 4.2. Pertumbuhan Alih Fungsi Lahan yang Terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur merupakan salah satu daerah sentra produksi beras di Sumatera Selatan dengan luas wilayah sebesar 337.000 ha, terdiri dari luas lahan sawah seluas 57.290 ha atau sebesar 17 persen, lahan kering seluas 165.130 ha atau sebesar 49 persen, lahan hutan seluas 77.510 ha atau sebesar 23 persen, lahan pemukiman seluas 10.110 ha atau sebesar 3 persen, dan lahan lainnya seluas 26.960 atau sebesar 8 persen. Dari Tabel 2 menunjukan penurunan luas lahan sawah terjadi hampir diseluruh kecamatan, dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur ada enam kecamatan yang memiliki pertumbuhan yang positif (adanya penambahan luas lahan sawah) yaitu Jaya Pura, Madang Suku II, Madang Suku III, Madang Suku I, Semendawai Timur dan Cempaka. Perubahan luas lahan sawah yang beralih fungsi ketanaman karet yaitu kecamatan Martapura, Bunga Mayang, B.P. Peliung, Semendawai Timur, Buay Madang Timur, B.P. Bangsa Raja, Belitang Mdg Raya, Belitang, Belitang Jaya, Belitang III, Belitang II, Belitang Mulya, Semendawai Suku III dan Buay Madang. Menurut BPS OKU Timur dari 2007 ke 2011 dapat terlihat bahwa adanya penambahan luas lahan tanaman karet pada tahun 2007 luas lahan karet sebesar 60.667 hektar dan terjadi penambahan pada tahun 2012 menjadi 75.100 hektar lahan tanaman karet. Pertumbuhan alihfungsi lahan sawah ke tanaman karet di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur terjadi dengan pesat di kecamatan Belitang Mulia dengan
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 20148 pertumbuhan yaitu sebesar 115,18 persen dengan luas lahan 5.747,25 hektar dan pertumbuhan alihfungsi lahan sawah ketanaman karet yang sangat lambat bahkan dari data BPS 2012 tidak terdapat tanaman karet yaitu di Kecamatan Madang Suku I. Berdasarkan kajian ini, ada beberapa kebijakan terkait dengan permasalahan ini dalam rangka mengatasi alih fungsi lahan yang sangat tinggi untuk wilayah sentra padi atau wilayah lumbung padi seperti Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur ini. Kebijakan kebijakan tersebut harus bersifat holistik dan tidak hanya dilakukan yang sifatnya parsial. Kebijakan tersebut adalah dengan melakukan kebijakan mulai dari hulu sampai hilir pada subsektor tanaman pangan (padi) seperti kebijakan subsidi input pertanian, kebijakan harga dalam hal jaminan harga dari pemerintah, kebijakan pemasaran dalam hal jaminan pembeli yang difasilitasi oleh pemerintah daerah serta kebijakan-kebijakan lain yang terkait dengan bagaimana mendorong petani untuk tetap bertahan pada pemanfaatan lahannya untuk diusahakan komoditi padi Tabel 2. Rata-Rata Luas Lahan dan Tingkat Pertumbuhan Lahan Sawah di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Tahun 2007 – 2012. Luas Lahan No
Kecamatan
1 Martapura 2 Bunga Mayang 3 Jaya Pura 4 B.P. Peliung 5 Buay Madang 6 Buay Madang Timur 7 B.P. Bangsa Raja 8 Madang Suku II 9 Madang Suku III 10 Madang Saku I 11 Belitang Mdg Raya 12 Belitang 13 Belitang Jaya 14 Belitang III 15 Belitang II 16 Belitang Mulya 17 Semendawai Suku III 18 Semendawai Timur 19 Cempaka 20 Semendawai Barat Sumber: Analisis Data Sekunder
Padi 1.340 1.333 447 4.112 7.160 7.563 4.987 7.491 4.602 1.934 4.954 5.280 789 2.260 2.928 2.442 5.860 5.033 9.953 7.045
Karet 892 470,47 1.053,70 1.929,50 1.938,50 1.862,50 1.711,81 5.207,90 12.361,50 0 4.403,01 3.860,00 2.596,00 5.241,35 6.569,45 5.747,25 1.096,40 2.782,99 6.778,90 5.701,80
Tingkat Pertumbuhan Alih Fungsi Lahan Padi Karet -16,40 20,88 5,83 12,52 37,43 8,69 -8,51 6,71 -15,67 6,47 -7,79 5,38 -2,43 6,82 3,86 2,55 224,03 4,84 -20,56 -25 -6,15 20,30 -10,90 18,67 -14,21 -9,91 -5,19 0,33 -13,92 10,80 -12,37 115,18 -17,19 -13,58 65,33 -11,40 15,59 7,74 26,56 46,24
Disamping itu juga Kabupaten OKU Timur merupakan satu satunya Kabupaten di Sumatera Selatan yang telah memiliki aturan mengenai alih fungsi lahan pangan ke non pangan atau non pertanian sebagai turunan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan pangan pertanian berkelanjutan, yakni PERDA Kabupaten OKU Timur Nomor 7 Tahun 2009 tertanggal 12 Desember
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 20149 2009. Menurut kajian Empiris Munajat (2014), kelemahan dari perda ini adalah kurangnya sosialisasi dari aturan (PERDA) ini serta eksekutor dari perda ini tidak dibahas secara jelas dan terinci siapa yang melakukan manakala terjadi pelanggaran, apakah polisis pamong praja, apakah dinas pertanian, apakah badan ketahanan pangan atau kepolisisna. Sehingga yang terjadi di lapangan kalau ada pelanggaran oleh petani maka tindak lanjutnya tidak jelas. Disamping itu juga kelemahan yang ketiga adalah koordinasi dari pihak-pihak terkait dalam mengimplementasikan perda ini sangat lemah.
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari sisi tanda koefisien enam variabel bebas, semuanya menunjukan tanda sesuai dengan harapan atau sesuai dengan teori yang ada. 2. Analisis faktor-faktor alih fungsi lahan sawah ketanaman karet menunjukan bahwa satu variabel bebas yang tidak berpengaruh nyata terhadap prilaku petani dalam melakukan alih fungsi lahan sawah yaitu umur petani, sedangkan variabel bebas yang berpengaruh nyata (signifikan) pada tingkat kepercayaan diatas 99 % atau (α = 0,01) adalah pendapatan dan jumlah anggota keluarga petani, sedangkan variabel bebas pada tingkat kepercayaan 90% atau (α = 0,10) adalah luas lahan petani, lama berusahatani, pengeluaran dan harga karet petani. 3. Pertumbuhan alihfungsi lahan sawah ketanaman karet di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur terjadi di hampir setiap kecamatan yaitu kecamatan Martapura, Bunga Mayang, B.P. Peliung, Semendawai Timur, Buay Madang Timur, B.P. Bangsa Raja, Belitang Mdg Raya, Belitang, Belitang Jaya, Belitang III, Belitang II, Belitang Mulya, Semendawai Suku III dan Buay Madang, sedangkan alihfungsi lahan tidak terjadi di kecamatan Jaya Pura, Madang Suku II, Madang Suku III, Madang Suku I, Semendawai Timur dan Cempaka. Rekomendasi Berdasarkan analisis-analisis yang diuraikan maka saran yang dapat diberikan antara lain adalah: 1. Perlunya komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah dengan mengeluarkan peraturan dan sangsi yang tegas untuk petani yang mengalihfungsikan lahan sawah. 2. Perhatian khusus bagi petani yang melakukan usahatani sawah untuk mendapat bantuan atau subsidi berupa saprodi serta tehnologi yang membantu meningkatkan produksi padi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga petani.
DAFTAR PUSTAKA
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 201410
Aminuddin. 2009. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Produksi Padi Di Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi-Selatan. Journal of Indonesian Applied Economics.Vol. 3 No. 1 Mei 2009, 1-9 Anonim. 2006. Penyusunan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Kerjasama Direktorat Pangan dan Pertanian-Kantor Menteri Negara Perencanaan Nasional dengan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta.dalam Bappenas dan PSE-KP. Anonim. 2010. Luas Lahan Dan Produksi Sawah Irigasi Teknis di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur tahun 2010. Badan Pusat Statistik OKUT. Anonim. 2011a. Awasi Secara Ketat Alih Pungsi Lahan. (,http://www .humas. okutimurkab.go.id/latest/okut-awasi-secara-ketat-alihpungsi -lahan dalam Bagian Hukum Setda OKU Timur , diakses 3 desember 2013). Anonim. 2011b. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Di JawaBarat.(http://www.tarungnews.com/fullpost/daerah/1322361891/pengaruh -alih-fungsi-lahan-pertanian-terhadap-ketahanan-pangan-di-jawa-barat dalam Harian TarungNews.html, di akses 25 Desember 2013). BPN Sulsel. 2004. Laporan Tahunan. Badan Pertanahan Nasional (BPN), Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar. BPS Pusat. 2001.Statistik Indonesia.Jakarta. Catur et al .2010. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Sektor Non Pertanian Terhadap Ketersediaan Beras di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah. Fakultas Pertanian Jurusan Agribisnis UNS. Klaten. Dewa et al .2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Studi Kasus di Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. E-Journal Agribisnis dan Agrowisata. Vol. 1, No. 1, Juli 2012. Direktorat Penatagunaan Tanah BPN.1998.Himpunan Makalah yang Berkaitan Dengan Kebijaksanaan Pertanian.Publikasi 28.Jakarta. Dirjen PLA. 2005. Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian. Jakarta. Pusvita, E. 2012. Analisis Keeratan Hubungan Pendapatan Petani Setelah Melakukan Alih Fungsi Lahan Sawah ke Tanaman Karet dengan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan di Desa Nusaraya Kecamatan Belitang III Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Skripsi tidak terpublikasi. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah:Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinasi, Forum Penelitian Agro Ekonomi 23(1):1-8 Lestari, T. 2009. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani. Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor. (http://kolokiumkpmipb.wordpress.com diakses 16 Maret 2014). Munajat. 2014. Kinerja Petugas Penyuluh Pertanian dalam Mengimplementasikan PERDA nomor 7 Tahun 2009 Tentang Izin Alih Fungsi Lahan Persawahan ke Non Pertanian di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Dalam Prosiding Internasional Conference on Malaysia-Indonesia Relation Persidangan Antarabangsa Hubungan Malaysia-Indonesia (PAHMI).
prossiding Konferensi Internasional XVII Dan Kongres XVI Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia PERHEPI, tanggal 28 agustus 201411 Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Beras: Studi Kasus di Jawa Timur.Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Winoto, J.2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan implementasinya. Seminar Sehari Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, Jakarta. Sudaryatno, T. 2005. Konversi Lahan dan Produksi Pangan Nasional. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Sumaryanto et al. 2002. Masalah Pertanahan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Tindak Lanjut Pembaruan Agraria. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 20, Nomor.2, Desember 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Todaro, Micahel P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Jakarta : Erlangga.