Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
55194
i UCAPAN TERIMA KASIH
Studi Kajian Pengeluaran Publik Papua 2009 ini dilakukan oleh tim peneliti gabungan Universitas Cendrawasih dan STIE Ottow-Geisler. Tim peneliti diketuai oleh Drs. Agustinus Salle, MEc. dan beranggotakan Aaron Simanjuntak,M.Si, Ester Saranga,M.Si, Ida Ayu Purbariani, M.Si, Dr. Yundy Hafiziandra, M.Si, Meiske Sihombing, M.S.E, Transna Putra, M.Si, Paulus Allolayuk, M.Si, Siti Rofingatun, M.M, Robert Marbun, M.A, Charley Michael Bisai, MS, Marsi Adi Purwadi, SE, dan Anthonius Citra, SE. Studi ini merupakan bagian dari program PEACH Papua tahap 2 yang dipimpin oleh Wolfgang Fengler, Petrarca Karetji, Amin Subekti, dan Caroline Tupamahu. Dukungan teknis dan operasional bagi tim peneliti diberikan oleh tim Bank Dunia yang terdiri atas Adrianus Hendrawan, Erryl Davy, M. Ryan Sanjaya, Bastian Zaini, dan Cut Dian Agustina. Dukungan komunikasi dan publikasi juga diberikan oleh tim SOfEI/BAKTi yang terdiri atas Zusanna Gosal, Sylvia Roselani Samber, Victoria Ngantung, dan Ichsan Junaed. Secara khusus, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Papua untuk dukungan, saran dan bimbingan yang diberikan selama persiapan laporan ini. Khususnya, tim ingin berterima kasih kepada Bapak Syafruddin Daerlan, Bapak Max Boekorsjom, Bapak Eddy WP Utomo, dan seluruh anggota program management committee (PMC) yang telah mengkoordinasikan dan mengarahkan jalannya studi ini. Dalam kesempatan ini, kami juga sangat mengapresiasi dukungan dan arahan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang diwakili oleh Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA, Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc, dan Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP. Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan atas dukungan keuangan, intelektual dan teknis yang diberikan oleh Australian Agency for International Development (AusAID) yang membiayai keseluruhan proyek ini, yang diwakili oleh Jeremy Stringer dan Patricia Bachtiar.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
ii KATA PENGANTAR Kami menyambut baik peluncuran laporan Papua Public Expenditure Analysis 2009 (Papua PEA 2009). Laporan ini merupakan sebuah pembaruan dari laporan pertama yang dibuat pada tahun 2005. Sebagian besar rekomendasi yang dihasilkan dari laporan pertama telah dilaksanakan. Sejauh ini kita pun telah melihat kemajuan dalam berbagai aspek pengelolaan keuangan daerah dan layanan publik di berbagai bidang. Nemun demikian, tentu masih banyak aspek yang perlu terus dibenahi dan diperbaiki, seperti yang dipaparkan dalam laporan ini. PEA merupakan bagian dari program PEACH (Public Expenditure Analysis And Capacity Harmonization). Program ini merupakan inisiatif Pemerintah Provinsi Papua untuk terus memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan daerahnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, analisis yang dilakukan juga mencakup hal-hal khusus yang menjadi fokus utama dari daerah ini. Saat ini Pemerintah Provinsi Papua sedang giat untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai “PAPUA BARU”, yang dilakukan melalui empat agenda pokok yaitu: 1. Menata kembali pemerintahan daerah 2. Membangun Tanah Papua yang sejahtera 3. Membangun Tanah Papua yang aman dan damai 4. Meningkatkan dan mempercepat pembangunan prasarana dan sarana dasar Melalui keempat agenda itulah, pemerintah daerah di Papua ingin mewujudkan amanat Otonomi Khusus Papua, yaitu meningkatkan kemakmuran rakyat Papua secara adil dan merata, mewujudkan good governance di semua tingkatan pemerintahan, dan menciptakan suasana aman dan damai bagi rakyat Papua. Terwujudnya dokumen ini, tidak terlepas dari kerja keras berbagai pihak. Pertama-tama, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Pusat Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah (Pusat KEUDA) Universitas Cenderawasih bersama Kelompok Jaringan Perguruan Tinggi Papua (JPTP) yang telah menjalankan studi dan menulis laporan ini. Kami juga menyampaikan penghargaan atas kinerja PEACH Program Management Committee (PMC), sebagai wakil Pemerintah Provinsi Papua untuk kegiatan PEACH, tim PEACH dan SOfEI (Support Office for Eastern Indonesia) Bank Dunia yang telah bekerja keras dalam menunjang Papua PEA 2009. Kami juga berterima kasih kepada AusAID yang telah mendukung pendanaan studi ini. Sebagai penutup, kami mengharapkan buku ini dapat menjadi referensi bagi setiap pejabat pemerintah daerah di Papua dan juga berbagai pihak yang berkeinginan untuk membantu persoalan dan pergumulan pemerintah daerah di Papua. Seiring dengan rekomendasi-rekomendasi dalam laporan ini, kami mengajak semua pihak untuk terlibat dalam berbagai kegiatan tindak lanjut yang dibutuhkan – dengan harapan bahwa suatu saat, Papua dapat menjadi tolak ukur bagi daerah lainnya dalam pengelolaan dana publik secara efektif, efisien, akuntabel, transparan. Jayapura, Desember 2009
BARNABAS SUEBU, SH Gubernur Provinsi Papua
Jakarta, Desember 2009
JOACHIM VON AMSBERG Kepala Perwakilan, Indonesia Bank Dunia
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
iii DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................................i KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii RANGKUMAN LAPORAN.................................................................................................v BAB 1 – PROFIL SOSIAL EKONOMI PROVINSI PAPUA...............................................1 1.1. Sejarah Provinsi Papua......................................................................................2 1.2. Geografi, Topografi, dan Demografi....................................................................3 1.3. Struktur Perekonomian.......................................................................................4 1.4. Kesejahteraan Penduduk....................................................................................9 BAB 2 – PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN DAERAH................................................14 2.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah...........................................................15 2.2. Dana Perimbangan dan Otonomi Khusus.......................................................16 2.3. Pendapatan Asli Daerah..................................................................................18 2.4. Pembiayaan.....................................................................................................19 2.5. Rekomendasi...................................................................................................20 BAB 3 – BELANJA DAERAH..........................................................................................21 3.1. Gambaran Umum Belanja...............................................................................22 3.2. Komposisi Belanja Menurut Bidang.................................................................23 3.3. Komposisi Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi.............................................25 3.4. Perkembangan Surplus dan Defisit Anggaran.................................................26 3.5. Efektivitas Belanja Provinsi Papua..................................................................27 3.6. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.................................................27 3.7. Rekomendasi...................................................................................................29 BAB 4 – ANALISIS SEKTORAL.....................................................................................30 4.1. Sektor Pendidikan............................................................................................31 4.2. Sektor Kesehatan............................................................................................37 4.3. Sektor Infrastruktur...........................................................................................45 4.4. Sektor Pertanian..............................................................................................52
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
iv BAB 5 – PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH.........................................................59 5.1. Kondisi Umum Pengelolaan Keuangan Daerah Prov. Papua.........................60 5.2. Perencanaan dan Penganggaran....................................................................60 5.3. Pelaksanaan Anggaran....................................................................................64 5.4. Akuntansi, Pelaporan, Pengawasan Internal, dan Manajemen Aset...............66 5.5. Rekomendasi...................................................................................................68 BAB 6 – DANA OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA..............................................70 6.1. Otonomi Khusus Provinsi Papua.....................................................................71 6.2. Perkembangan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua..................................72 6.3. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua......................................75 6.4. Rekomendasi...................................................................................................79 BAB 7 – INSTITUSI PEMERINTAHAN DAN SDM.........................................................80 7.1. Analisis Struktur Organisasi.............................................................................81 7.2. Pegawai Negeri Sipil (PNS)............................................................................83 7.3. Reformasi Pemerintahan.................................................................................88 7.4. Rekomendasi...................................................................................................89 LAMPIRAN REFERENSI
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
v
RANGKUMAN LAPORAN Pendahuluan Provinsi Papua merupakan salah satu daerah paling strategis di Indonesia dan berstatus otonomi khusus. Papua dikatakan strategis karena merupakan provinsi paling timur di Indonesia dan berbatasan langsung dengan Papua New Guinea dan Australia. Nilai strategis ini merupakan salah satu hal utama ditetapkannya status otonomi khusus bagi Prov. Papua. Pada tahun 2002, Provinsi Papua, yang melingkupi seluruh wilayah Pulau Papua yang menjadi bagian Indonesia, dimekarkan menjadi dua provinsi (Papua dan Papua Barat). Papua memiliki sumber daya alam dan fiskal yang berlimpah sekaligus tantangan pembangunan yang sangat besar. Di satu sisi, saat ini, Papua memiliki kapasitas fiskal per kapita terbesar setelah Papua Barat. Papua juga sangat kaya akan berbagai sumber daya alam, seperti bahan tambang non-migas dan hasil hutan. Di sisi lain, tantangan pembangunan di provinsi Papua sangat besar, baik secara geografi, topografi maupun demografi. Papua jauh tertinggal dalam berbagai bidang sosial dan ekonomi dibanding daerah lain di Indonesia pada umumnya, seperti yang terlihat dalam berbagai indikator kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Perekonomian dan investasi di Provinsi Papua masih didominasi sektor tambang dan, dengan perbedaan yang mencolok, pertanian. Selama 2004-2007, sektor tambang menyumbang lebih dari 50% PDRB provinsi Papua sehingga pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh fluktuasi harga komoditas hasil tambang. Di luar tambang, sektor terbesar adalah pertanian, yang selama periode yang sama menyumbang sekitar 14-18% bagi PDRB. Sektor ini menyerap tenaga kerja terbanyak di provinsi Papua sampai tahun 2008. Sementara, sektor industri terlihat belum berkembang dan hanya berkontribusi di bawah 10% terhadap PDRB. Pendapatan dan Belanja Daerah Pendapatan provinsi Papua sendiri terus meningkat dan selalu didominasi oleh transfer dari pusat. Sampai tahun 2008, lebih dari 90% pendapatan Pemprov dan Pemkab/kota di Papua berupa dana perimbangan atau dana Otsus, yang merupakan transfer dari pemerintah pusat. Kondisi ini tidak akan berubah banyak selama beberapa tahun ke depan mengingat PAD sulit ditingkatkan secara cepat karena basis pendapatan yang sempit. Ketimpangan kapasitas fiskal per kapita antara kab/kota sangat besar yang diperlebar lagi oleh pemekaran kab/kota. Seperti terlihat pada gambar 0.1, kapasitas fiskal per kapita kab. Sarmi hampir delapan kali lipat kab. Jayawijaya. Pemekaran 10 kabupaten pada tahun 2002 memperbesar ketimpangan ini dan kabupaten baru ini secara umum memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar dibandingkan kabupaten/kota lama. Belanja publik Prov. Papua meningkat pesat yang ditandai dengan semakin dominannya anggaran Pemkab/kota. Selama 2004-2008, peningkatan belanja secara riil ini terjadi pada semua komponen, yaitu APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten/Kota. Dari sisi proporsi, kontribusi Pemkab/kota cenderung meningkat yang disebabkan oleh i) jumlah kab/kota bertambah; ii) DAK semakin besar; dan iii) proporsi dana otonomi khusus yang ditransfer ke APBD kab/ kota semakin besar. Dalam beberapa tahun ke depan, kontribusi Pemkab/kota ini akan membesar lagi karena terbentuknya 9 kabupaten pemekaran selama 2007-2009. Sementara itu, kontribusi APBN menunjukkan kecenderungan yang menurun, terutama karena sebagian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sudah mulai dikonversi menjadi DAK.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
vi Gambar 0.1.
Pendapatan Daerah per Kapita untuk Pemkab/kota di Provinsi Papua Tahun 2007
Kab.Jayawijaya KotaJayapura Kab.Nabire Kab.BiakNumfor Kab.PuncakJaya Kab.Paniai Kab.Merauke Kab.YapenWaropen Kab.PegununganBintang Kab.As mat Kab.Jayapura Kab.Mimika Kab.Mappi Kab.Tolikara Kab.Keerom Kab.Supiori Kab.BovenDigoel Kab.Waropen Kab.Sarmi
2.4 2.5 3.4 4.4 4.8 5.2 5.6 5.8 6.1 6.8 6.9 7.2 8.1 9.5 11.1 12.5 17.9 18.2 18.9 Ͳ
5
10
15
20
jutaRp
Sumber : APBD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota tahun 2007 Gambar 0.2.
Trend Pengeluaran Pemerintah Di Provinsi Papua (APBD dan APBN) 2004-2008
20,000
miliar Rp
18,000 16,000 14,000 12,000
10,150
10,000 8,000
7,357
6,000 4,000 2,000 -
12,201
4,461
4,674 3,823
3,606
1,519
2,137
2,149
2006
2007
2008
1,447 1,103
1,806 1,249
2,269
2004
2005
APBN (Dekon dan TP)
APBD Pemerintah Provinsi
APBD Kabupaten/Kota
Total Belanja Riil APBD+APBN
Sumber: APBD Tahun 2004-2008 (diolah), Depkeu Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007 g
g
gg
g
Komposisi sektoral belanja Papua sudah membaik, walaupun masih didominasi oleh sektor administrasi umum pemerintahan (AUP). Di satu sisi, baik untuk Pemprov dan Pemkab/ kota, sektor AUP masih merupakan sektor belanja terbesar. Di sisi lain, sektor-sektor prioritas dalam otonomi khusus, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, mendapatkan alokasi yang semakin besar, walupun terasa masih belum optimal. Sayangnya, sektor pertanian,
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
vii yang menyerap tenaga kerja paling banyak dan penyumbang PDRB terbesar kedua, hanya mendapatkan total alokasi APBD sebesar 2-3%. Perbaikan komposisi anggaran juga terjadi pada jenis belanja, dimana belanja modal sekarang merupakan yang paling dominan. Sampai tahun 2005, jenis belanja terbesar adalah belanja pegawai. Trend ini berubah mulai tahun berikutnya dimana belanja modal menjadi komponen yang terbesar. Perbaikan ini sedikit banyak didorong oleh adanya dana Otsus untuk infrastruktur (untuk provinsi) dan peningkatan jumlah DAK (untuk kab/kota). Surplus APBD terus terjadi pada Pemprov dan Pemkab/kota, yang merupakan sumber pendanaan baru. Selama 2004-2007, terjadi surplus anggaran di tingkat Pemprov dan Pemkab/ kota di Papua sebesar 5-10% per tahunnya. Surplus ini sebagian besar digunakan untuk pembentukan dana cadangan dan penyertaan modal pada perusahaan daerah. Secara akumulasi, surplus anggaran Pemprov dan seluruh Pemkab.kota ini diperkirakan berjumlah lebih dari Rp 7 triliun. Jika bisa dikonsolidasikan, jumlah ini merupakan sumber pendanaan yang tidak kecil bagi pembangunan di Provinsi Papua Analisis Sektoral Meningkatnya alokasi belanja sektor-sektor strategis sudah diikuti dengan perbaikan capaian sektor tersebut walaupun belum maksimal. Selama 2004-2007, seiring dengan semakin besarnya alokasi belanja, terlihat adanya perbaikan indikator-indikator capaian sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hanya saja, perbaikan ini masih belum bisa mengejar ketertinggalan dari rata-rata Indonesia. Hal yang sama juga tampak dari sarana dan prasarana publik, seperti Puskesmas, sekolah, jalan, dan pelabuhan. Permasalahan umum pada sektor strategis ini adalah kesenjangan yang lebar antara daerah perkotaan dan terpencil dan antara berbagai kelompok pendapatan. Pendidikan Berbagai indikator output dan outcome pendidikan menunjukkan perbaikan yang berarti antara 2004-2007. Peningkatan ini tampak dalam angka melek huruf (gambar 0.3), angka partisipasi sekolah murni, dan rasio guru-murid dan ruang kelas-murid. Namun, sampai tahun 2007, capaian Provinsi Papua untuk indikator-indikator tersebut masih di bawah rata-rata nasional. Tantangan terbesar sektor pendidikan adalah pemerataan capaian pada berbagai kelompok masyarakat. Saat ini, kesenjangan yang besar terdapat antara: x Kabupaten/ kota: capaian kabupaten/kota terpencil jauh lebih rendah dibanding yang mudah diakses x Kelompok pendapatan: capaian kelompok pendapatan tinggi lebih baik dari yang rendah. x Gender (gambar 0.3): capaian pria lebih baik dari wanita.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
viii
60%
76% 64% 61% 63%
80%
77% 67% 51% 53%
88% 78% 67% 71%
100%
89% 78% 70% 80%
Tingkat Melek Huruf Menurut Kelompok Umur Di Papua Tahun 2003 Dan 2007
Gambar 0.3
40% 20% 0% Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
2003
Perempuan 2007
15-29
30-44
45-59
>60
Sumber : Diolah dari Susenas 2007
Alokasi belanja sektor pendidikan cenderung meningkat dan masih didominasi oleh belanja pegawai. Walaupun secara riil belum mencapai tingkat tahun 2004, belanja per kapita sektor pendidikan memperlihatkan trend meningkat selama 2005-2008 (Gambar 0.4a). Dari komposisi belanja, belanja pendidikan ini masih didominasi oleh belanja pegawai. Diharapkan, belanja per kapita dan komposisi belanja ini akan membaik selama beberapa tahun ke depan dengan adanya program pendidikan gratis bagi penduduk asli Papua. Gambar 0.4.
Trend Pengeluaran Pendidikan (a) dan Kesehatan (b) per Kapita di Provinsi Papua tahun 2004-2008 Belanja kesehatan per kapita (Rp)
Belanja pendidikan per kapita (Rp)
800,000
1,200,000
700,000
1,000,000
600,000 800,000
500,000
600,000
400,000 300,000
400,000
200,000 200,000
100,000 -
2004
2005
Belanja nominal per kapita
2006
2007
2008
Belanja riil per kapita
2004
2005
Belanja nominal per kapita
2006
2007
2008
Belanja riil per kapita
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah)
Kesehatan Sektor kesehatan sudah mengalami kemajuan dan masih menghadapi tantangan besar, termasuk HIV/AIDS. Sama dengan sektor pendidikan, trend perbaikan tampak pada berbagai indikator kesehatan, seperti usia harapan hidup (Gambar 0.5a), angka kematian bayi (Gambar 0.5b), dan rasio tenaga medis-penduduk dan Puskesmas-penduduk. Untuk beberapa tahun ke depan, beberapa tantangan masih harus dihadapi, seperti mengejar ketertinggalan dengan nasional, penyediaan tenaga medis dan sarana kesehatan di daerah terpencil dan penanggulangan HIV/AIDS dan malaria.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
ix Gambar 0.5
Perbandingan Indikator Kesehatan Provinsi Papua dengan Beberapa Daerah Lainnya di Indonesia Tahun 2000 dan 2005
[a]. Angka Kematian Bayi Di Indonesia (per 10.000 bayi)
[b]. Angka Harapan Hidup Di Indonesia (tahun)
Sumber : Booklet BPS, 2008 (diolah)
Pengeluaran kesehatan di Provinsi Papua terus mengalami kenaikan setiap tahun, dengan proporsi di bawah 10%. Untuk tahun 2004-2008, terjadi peningkatan alokasi pengeluaran kesehatan secara berarti, yang ditunjukkan oleh kenaikan belanja kesehatan per kapita (Gambar 0.4b). Hanya saja, proporsi belanja kesehatan ini masih di bawah 10% dari total APBD. Dari segi komposisi belanja, belanja barang dan jasa dan belanja modal merupakan komponen belanja kesehatan yang paling besar. Infrastruktur Pembangunan infrastruktur di Papua belum terkoordinasi dengan baik. Seperti diulas panjang dalam WB (2009), belum ada suatu master plan pembangunan infrastruktur di Papua yang handal dan disusun bersama oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kab/kota. Rencanarencana yang ada masih bersifat sepihak dan koordinasi lebih banyak berlangsung secara dadakan. Koordinasi dan master plan ini mutlak diperlukan, mengingat sektor infrastruktur membutuhkan pendanaan yang sangat besar, terlebih lagi dalam konteks Papua. Jaringan prasarana jalan sudah meningkat selama beberapa tahun terakhir dengan penyebaran yang tidak merata dan tidak diikuti dengan perawatan yang memadai. Selama 2004-2007, jaringan prasarana jalan meningkat sampai 5 kali lipat. Tetapi, jaringan prasarana jalan, terutama untuk yang dilapisi aspal, masih terfokus pada daerah perkotaan. Peningkatan jaringan jalan tidak diikuti dengan perbaikan kondisi jalan. Pada tahun 2007, jalan yang mengalami rusak berat mencapai 8.681,79 km atau 56,64% dari total jalan sepanjang 15.327 km. Dan, hanya sekitar 33,27% saja jalan yang dalam keadaan baik. Keterbatasan infrastruktur transportasi di Papua menyebabkan sangat tingginya hargaharga kebutuhan pokok di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan. Kondisi topografi yang sangat sulit menjadikan transportasi udara menjadi satu-satunya solusi di banyak wilayah
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
x Papua. Tidak adanya akses ke transportasi darat, laut dan sungai menyebabkan sangat tingginya harga-harga kebutuhan pokok di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan karena tingginya biaya transportasi udara. Saat ini, bisa dikatakan kalau harga-harga barang di kabupatenkabupaten di pegunungan tengah, terutama Puncak Jaya, merupakan yang paling mahal di Papua, dan bahkan di Indonesia. Akses rumah tangga ke infrastruktur dasar di Prov. Papua masih tertinggal dan tidak merata. Kondisi ini tampak dalam akses ke air bersih, listrik, dan sanitasi yang layak, di mana capaian Papua jauh di bawah rata-rata Indonesia. Sama dengan pendidikan dan kesehatan, akses ke fasilitas ini sangat tidak merata dalam hal geografis dan kelompok pendapatan (Gambar 0.6). Gambar 0.6.
Akses Air Bersih Dan Fasilitas Sanitasi Berdasarkan Kelompok Pendapatan
Sumber: SUSENAS 2007 (diolah)
Belanja infrastruktur di tingkat provinsi dan kabupaten/kota mengalami kenaikan yang sangat tinggi setiap tahun dan selalu didominasi belanja modal. Selama 2004-2007, peningkatan riil tahunan belanja sektor infrastruktur mencapai 36%. Belanja infrastruktur per kapita sendiri tumbuh sebesar 24% secara riil (Gambar 0.7a). Peningkatan ini sangat didorong oleh dana Otsus tambahan untuk infrastruktur. Komposisi belanja infrastruktur sendiri sangat didominasi oleh belanja modal, mengingat sektor ini merupakan padat modal.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
xi Trend Pengeluaran Infrastruktur (a) dan Pertanian (b) Per Kapita di Provinsi Papua
Gambar 0.7
Belanja pertanian nominal per kapita (Rp)
Belanja infrastruktur nominal per kapita (Rp)
300,000
1,800,000 1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 -
250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 2004
2005
2006
Belanja nominal per kapita
2007
2004
2008
2005
Belanja nominal per kapita
Belanja riil per kapita
2006
2007
2008
Belanja riil per kapita
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah)
Pertanian Sektor pertanian bisa dikatakan belum mendapat perhatian sebesar sektor strategis lain. Sampai 2009, Pemprov Papua belum mencanangkan program khusus Otsus bagi sektor pertanian, yang merupakan salah satu unsur ekonomi kerakyatan. Selain itu, alokasi APBD dan Otsus untuk sektor ini masih kecil sekali, padahal sektor ini merupakan dasar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di Papua. Pengembangan sektor ini memang lebih kompleks dari sektor lain karena memerlukan beberapa prekondisi, seperti akses ke pasar, jaringan irigasi, penyuluhan yang intensif, dan pengadaan mesin-mesin berat. Produktivitas tanaman pangan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Selama 20042007, terjadi penurunan produktivitas sayuran dan buah-buahan secara drastis. Sedangkan, peningkatan produktivitas padi, jagung, dan kacang-kacangan bisa dikatakan minimal (Gambar 0.8). Trend yang mengkhawatirkan ini perlu disikapi secara serius oleh Pemprov dan Pemkab/kota yang bersangkutan. Produktivitas Tanaman Pangan Papua Tahun 2004-2007 (dalam ton/ha)
Gambar 0.8 16
12.81
12.86
14
12.53
12.32
12 10.04
10
10.04
9.89
10.00
8 6 4 2
4.86 3.18
2.05 1.93
1.74 1.49
4.51 3.61
3.27
4.14 3.56 1.97 1.70
1.67 1.01
2.32
0 2004
Padi
2005
Jagung
Kacang
2006
Sayur
2007
Buah
Umbi
Sumber : BPS Papua (2004-2008)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
xii Walaupun alokasi belanja pertanian sudah meningkat, jumlahnya masih sangat kecil dan didominasi oleh belanja pegawai. Peningkatan alokasi belanja dalam hal APBD tercermin dari meningkatnya belanja pertanian per kapita selama 2004-2008 (Gambar 0.7b). Tetapi peningkatan ini belum menyelesaikan dua masalah kunci. Pertama, alokasi ini masih sangat minim, yaitu hanya berkisar antara 2-3% dari total APBD. Kedua, belanja sektor pertanian didominasi oleh belanja pegawai. Hal ini sangat ironis, karena seharusnya mayoritas belanja pertanian dialokasikan untuk belanja barang jasa, seperti pengadaan bibit dan pupuk, dan belanja modal, seperti pembangunan pabrik penggilingan padi atau pengemasan makanan dan pengadaan alatalat berat pertanian. Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah (PKD) di Prov. Papua sudah menunjukkan perbaikan, namun masih perlu dibenahi lebih lanjut. PKD menjadi sangat vital karena besarnya kapasitas fiskal Provinsi Papua yang harus dikelola untuk kemajuan kesejahteraan rakyat. Saat ini, aspek manajemen kas dan akuntansi & pelaporan sudah cukup baik. Hanya saja, beberapa masalah kunci dalam aspek perencanaan dan penganggaran, pengawasan internal, dan pengelolaan aset belum terselesaikan. Dari sisi pelaporan, kualitas LKPD seluruh Pemda di Papua masih belum baik, walaupun sudah ada perbaikan dalam setahun terakhir. Perencanaan dan penganggaran masih belum baik karena koordinasi antara Pemerintah pusat, Pemprov, dan Pemkab/kota yang belum lancar dan rendahnya kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran. Aspek perencanaan dan penganggaran merupakan aspek yang paling penting karena menentukan pelaksanaan pembangunan jangka me-nengah dan tahunan. Selama beberapa tahun ini, perencanaan dan penganggaran belum optimal karena koordinasi antar strata pemerintahan yang kurang baik. Beberapa program pembangunan terlihat saling overlap satu sama lain atau tidak saling mendukung. Selain itu, masalah lain dalam perencanaan dan penganggaran adalah rendahnya kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran. Hampir semua RPJMD, Renstra, RKPD, dan APBD tidak mempunyai indikator terukur. Dan juga, belum terlihat adanya konsistensi antara perencanaan jangka menengah dan tahunan dan antara multi sektor dan sektoral. Kapasitas SDM PKD masih belum cukup, terutama di tingkat kabupaten/kota. Desentraliysasi fiskal meningkatkan tanggung jawab Pemda dalam bidang PKD dalam waktu singkat. Hanya saja, kuantitas dan kualitas SDM PKD masih jauh dari cukup, apalagi sejak dialihkannya sebagian fungsi PKD ke setiap SKPD. Di kebanyakan kab/kota baru, posisi penatausahaan keuangan SKPD sering dijabat oleh PNS yang tidak memiliki latar belakang dan keahlian yang cukup di bidang PKD. Dana Otonomi Khusus Papua Dana Otsus memberikan kontribusi yang signifikan bagi kapasitas fiskal Prov. Papua. Otonomi khusus Papua bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dan untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain di Indonesia. Dana Otsus, yang besarnya 2% dari pool DAU nasional, terbukti memberikan kontribusi nyata bagi kapasitas fiskal, yaitu sebesar 21.6% selama 2004-2008. Apalagi, mulai tahun 2006, pemerintah pusat memberikan dana Otsus tambahan untuk sektor infrastruktur.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
xiii Dalam rangka Otsus, Pemprov Papua mengadakan program RESPEK dan pendidikan dan kesehatan gratis bagi penduduk asli Papua. Pada awal 2007, Pemprov Papua mencetuskan program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK) yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat lokal. Dalam program ini, setiap kampung mendapatkan block grant sebesar Rp 100 juta dari Pemprov yng ditambah oleh Pemkab.kota dengan jumlah yang beragam. Pada bulan Mei 2009, Pemprov Papua mencanangkan program pembebasan biaya pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat asli Papua. Pendanaan program ini sendiri ditanggung bersama oleh Pemprov dan Pemkab/kota terkait. Pengelolaan dana Otsus masih menghadapi sejumlah masalah, terutama dalam hal transparansi alokasi ke kabupaten/kota. Sampai saat ini, metode alokasi dana Otsus ke kab/kota masih belum transparan. Memang, variabel penghitungan alokasi sudah dimuat dalam suatu Perdasus, tetapi tidak ada informasi tentang pembobotan setiap variabel tersebut. Kurangnya transparansi ini berimbas pada sulitnya menjelaskan ketimpangan alokasi dana Otsus per kapita antar kab/kota yang cenderung “menguntungkan” kabupaten baru. Permasalahan dalam pengelolaan dana Otsus juga terdapat pada monitoring, evaluasi, dan pertanggungjawaban. Walaupun sudah ada Perdasus tentang pengelolaan dana Otsus, ketaatan kab/kota dalam pelaporan dan pertanggungjawaban dana Otsus masih kurang. Pada tahun 2008, kurang dari setengah Pemkab/kota melaporkan penggunaan dana Otsus. Hal ini menyulitkan Pemprov Papua dan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi keseluruhan tentang pelaksanaan Otsus tahunan. Alokasi Otsus untuk sektor pendidikan dan kesehatan belum sesuai dengan ketentuan. Pada tahun 2008, alokasi Otsus untuk sektor pendidikan dan kesehatan, baik di lingkup Pemprov maupun Pemkab/kota, masih di bawah ketentuan 15% untuk kesehatan dan 30% untuk pendidikan (Gambar 0.9). Masalah ini sedikit banyak disebabkan oleh kurangnya koordinasi dalam proses perencanaan dan penganggaran tahunan antara Pemprov dan pemkab/ kota. Gambar 0.9
Alokasi Sektoral Otsus Pemprov (a) dan Pemkab/kota di Papua Tahun 2008 Pendidikan, 6.20%
Kesehatan, 10.96%
Bidang Penunjang, 34.25%
Pendidikan, 23.56%
Infrastruk tur,15.37 %
Lainnya, 65.64%
PemberͲ dayaan Ekonomi Rakyat,1.8 3%
Perekonomian Rakyat,16.07%
Kesehatan, 14.13% Infrastruktur, 12.00%
Sumber : Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Dana Otsus,BPK, 2009
Institusi dan SDM Pemerintahan Reformasi birokrasi sudah dimulai di beberapa Pemda dengan dampak yang beragam. PP No. 41/ 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mewajibkan seluruh Pemda untuk meninjau ulang struktur organisasi mereka. Di Papua, Pemprov dan sebagian Pemkab/kota telah
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
xiv menyesuaikan struktur organisasi perangkat daerah menurut PP 41/2007. Penerapan struktur OPD yang baru telah berdampak pada struktur pemerintahan yang lebih ramping dan penurunan anggaran belanja pegawai pada Pemerintah Provinsi Papua. Tetapi, pada kedua kabupaten studi kasus, yaitu Jayapura dan Peg. Bintang, dampak baru terlihat pada perampingan struktur Pemda. Jumlah PNS di Prov. Papua meningkat cukup tinggi selama 2004-2007, yang disebabkan oleh perekrutan di kabupaten baru. Jumlah PNS di Prov. Papua meningkat sebesar 31% selama 2004-2007 (Gambar 0.10a), yang didorong oleh peningkatan sebesar 35.1% di lingkup Pemkab/kota. Meningkatnya PNS Pemkab/kota ini terjadi karena perekrutan PNS yang cukup aktif di kabupaten pemekaran tahun 2002 yang tidak diikuti oleh penurunan jumlah PNS di kabupaten induk yang signifikan. Jumlah PNS ini dipastikan akan meningkat lagi sampai beberapa tahun ke depan untuk mengisi struktur 9 kabupaten baru hasil pemekaran tahun 20072009. Komposisi gender dan latar belakang pendidikan PNS menunjukkan kemajuan berarti. Selama 2004-2007, komposisi gender PNS semakin seimbang di mana proporsi PNS perempuan sudah mencapai 41 % di tahun 2007 (Gambar 0.10b). Pada periode yang sama, proporsi PNS dengan latar belakang pendidikan diploma, S1, dan S2 meningkat cukup signifikan. Gambar 0.10
Perkembangan Jumlah (a) dan Komposisi Gender (b) PNS Provinsi Papua 31
70 n a u b i 60 R
30 29
50
28
40
27
30
26 25
20
24
10
60000
42.0%
50000
40.0%
40000
38.0%
30000
36.0%
20000
34.0%
10000
32.0%
23
0
22 2004 Totalkab/kota
2005 PemprovPapua
2006
2007 Rasioper1000Penduduk
0
30.0% 2004 LakiͲlaki
2005
2006
Perempuan
2007 %Perempuan
Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009
Pengelolaan SDM PNS belum berjalan optimal. Permasalahan ini tampak pada dua hal berikut. Pertama, belum ada sistem pengelolaan kepegawaian yang terpadu, sehingga keikutsertaan PNS dalam pelatihan internal maupun eksternal masih ditentukan secara ad hoc dan kurang memperhatikan unsur pemerataan dan kaderisasi. Kedua, promosi dan mutasi PNS terkesan kurang sejalan dengan peningkatan kapasitas. Pada beberapa kesempatan, PNS yang sudah diberikan pelatihan untuk posisi tertentu dimutasi atau dipromosikan ke posisi lain yang tidak sejalan dengan pelatihan tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
BAB 1
1
PROFIL SOSIAL EKONOMI PROVINSI PAPUA
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
2
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
Papua merupakan provinsi dengan sumber daya alam dan sumber daya fiskal yang berlimpah dan merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Namun demikian, tantangan yang dihadapi provinsi Papua sangat besar, baik secara geografi, topografi dan demografi. Kondisi alam, letak wilayah, dan keadaan sosial-ekonomi masyarakat Papua adalah tantangan yang harus dihadapi oleh berbagai pihak. Sejak dimulainya era otonomi khusus, sudah terlihat adanya perbaikan walaupun masih banyak permasalahan yang harus dibenahi. 1.1. Sejarah Provinsi Papua Pulau Papua sudah dikenal sejak abad ke-15 dengan beberapa nama. Dalam sejarahnya nama Papua digunakan pertama kali di tahun 1545 pada peta ekspedisi Inigo Ortiz de Retez yang bertujuan mencari rempah-rempah di kepulauan Maluku. Pada tanggal 17 Maret 1824, melalui Traktat London, kerajaan Inggris dan Belanda sepakat untuk membagi pulau New Guinea menjadi dua, dimana Belanda mendapatkan bagian barat. Papua dikenal sebagai Nederlandsch Nieuw Guinea hingga Oktober 1962, ketika wilayah itu ditempatkan di bawah kontrol otoritas sementara PBB, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Wilayah itu kemudian dinamai Irian Barat. Di tahun 1973, nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya. Bersamaan dengan perubahan ini, pemerintah Indonesia melakukan percepatan dalam kegiatan pembangunan, meski pembangunan yang dimaksud terjadi sangat lamban dan terkonsentrasi di wilayah pantai utara. Nama Papua kembali digunakan setelah diberlakukannya Undang-undang otonomi khusus provinsi Papua, tahun 2001. Papua menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun 1963 yang kemudian diperkuat melalui Pepera di tahun 1969. Pada 1 Mei 1963, Irian Barat diserahkan pada Indonesia. Di bulan November 1963, badan PBB untuk Irian Barat (UN Fund for West Irian, FUNDWI) dibentuk untuk membantu pemerintah Indonesia mempercepat proses pembangunan wilayah tersebut. Tahun 1969, resistensi atas kekuasan Indonesia serta tekanan dari dunia internasional mendorong Indonesia melakukan referendum bagi rakyat Papua untuk memlih mendirikan negara sendiri atau tetap menjadi wilayah Indonesia. Dalam referendum yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), perwakilan Papua memilih untuk tetap menjadi bagian Indonesia. Setelah referendum, wilayah Irian Barat secara resmi menjadi bagian Republik Indonesia. Pada tahun 2001, Provinsi Papua mendapatkan status otonomi khusus. Semenjak otonomi daerah digulirkan, konflik laten dan disintegrasi bangsa dalam masyarakat Papua belum dapat diselesaikan dengan baik. Akibat adanya tekanan politik dan tuntutan dari segenap masyarakat Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) kemudian mengamanatkan pemerintah untuk memberikan status otonomi khusus bagi Papua. Sekelompok politisi dan akademisi Papua menyusun draft RUU otonomi khusus Papua. Undang-Undang otonomi khusus Papua memberikan wewenang lebih besar pada Provinsi Papua dalam hal finansial, politik serta sosial. Undang-undang ini memberi penekanan lebih banyak pada tingkat provinsi, kontras dengan UU No. 22/1999 yang memberi penekanan pada kabupaten/kota. Penerapan UU No. 21 berjalan lambat dan tidak menyeluruh. Papua dimekarkan menjadi Papua dan Irian Jaya Barat pada tahun 2004. Awalnya, Provinsi Irian Jaya Barat berdiri atas dasar UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Pemekaran Irian Jaya Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
3
Barat kembali dimantapkan berdasarkan Inpres Nomor I Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah Provinsi Irian Jaya Barat dilengkapi dengan sistem dan aparatur pemerintahan, wilayah yang jelas, penduduk, anggaran, KPUD sendiri dan menyelenggarakan pemilu untuk pertama kalinya tanggal 5 April 2004, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh berdiri dan berpisah dengan wilayah induk Provinsi Papua ketika dilantik gurbernur dan wakil gurbernur definitif pada tanggal 24 Juli 2006. Kemudian pada tanggal tahun 2007 berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007. Saat ini, Provinsi Papua terbagi atas 29 kabupaten/kota, yang sebagian besar merupakan hasil pemekaran 10 tahun terakhir. Sampai berakhirnya era Orde Baru (1998) Provinsi Irian Jaya terdiri atas 8 kabupaten dan 2 kota, di mana 5 kabupaten dan 1 kota berada di wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Papua. Selama 10 tahun berikutnya, 5 kabupaten ini dimekarkan menjadi 28 kabupaten dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang sangat beragam1. Pemekaran ini belum bisa dikatakan meningkatkan kesejahteraan rakyat, walaupun membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membentuk struktur pemerintahan. 1.2. Geografi, Topografi, dan Demografi Tanah Papua memiliki wilayah luas dengan topografi yang bervariasi. Papua terdiri atas suatu daratan luas dan beberapa gugusan pulau. Secara fisik, luas Kepulauan Besar Papua (Papua dan Papua Barat) merupakan wilayah terluas ketiga di Indonesia, dengan luas daratan 414 ribu km2 atau 22% dari total luas Indonesia (lihat Annex 1.1.), yang membujur dari barat ke timur (Sorong-Jayapura) sepanjang 1,200 km (744 mile) dan dari utara ke selatan (Jayapura-Merauke) sepanjang 736 km (456 mile). Bagian tengah Provinsi Papua terdiri atas pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Terdapat sungai-sungai besar beserta anak sungainya mengalir ke arah selatan dan utara. Papua juga memiliki pulau yang berjejer di sepanjang pesisirnya. Gambar 1.1 Peta Topografi Papua
1
Wilayah Kab. Jayawijaya per tahun 1998 sekarang telah terbagi menjadi 7 kabupaten.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
4
Dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk Papua sangat kecil. Kepadatan penduduk di provinsi Papua merupakan yang terendah di Indonesia. Berdasarkan hasil survey penduduk antar sensus (SUPAS) 1995, jumlah penduduk Papua sebanyak 1.942.627 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan 3,03 % pertahun. Sedangkan pada tahun 2007 sesuai proyeksi penduduk, jumlah tersebut telah berkembang menjadi 2.015.616 jiwa. Dengan luas wilayah 317.062 km2 (tanpa Papua Barat) berarti kepadatan penduduk Papua hanya mencapai 6,36/km2, sehingga menjadikan Provinsi Papua sebagai wilayah kepadatan penduduk terendah di Indonesia2 di tahun 2007. Sebagian besar penduduk Papua adalah penduduk asli, meskipun ada peningkatan jumlah penduduk pendatang. Berdasarkan Sensus Penduduk 2000, 65% penduduk Papua adalah penduduk asli3. Seiring dengan era desentralisasi dan akses transportasi, jumlah penduduk pendatang telah meningkat jika dibandingkan sensus sebelumnya. Konsentrasi penduduk asli Papua lebih banyak di pedesaan yakni sekitar 86,54% dari total penduduk asli, dan sisanya menyebar di perkotaan yakni sebanyak 13,46%. Dengan 312 kelompok etnis yang berbeda satu sama lain dan menggunakan lebih dari 250 bahasa, Papua menjadi salah satu wilayah yang memiliki budaya dan bahasa paling beragam di dunia. 1.3. Struktur Perekonomian Pertambangan merupakan sektor perekonomian terbesar di Provinsi Papua. Papua memiliki sumber daya pertambangan yang sangat besar. Sepanjang tahun 20002007 sektor pertambangan non migas yang dimotori oleh tambang tembaga berkontribusi sebesar 62,04% dari PDRB provinsi Papua. Sektor ini bersama dengan sektor pertanian, yang juga berbasis sumber daya alam, menyumbang secara rata-rata 77% dalam PDRB Papua tahun 2000-2007. Sisanya 23% tersebar ke sektor-sektor ekonomi lainnya, dimana yang cukup tinggi adalah sektor jasa-jasa yang dipimpin oleh sub-sektor pemerintahan, pertahanan dan keamanan, yakni sebesar 6% per tahun (Gambar 1.2). Gambar 1.2.
Struktur PDRB Provinsi Papua Menurut Harga Konstan 2000 Periode 2000-2007
Sumber : BPS Papua (2008) 2 3
Kepadatan penduduk Indonesia adalah 121/km2 Definisi penduduk asli Papua adalah berdasarkan UU No. 21/2001.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
5
Ketergantungan terhadap sektor berbasis sumber daya alam menyebabkan sektor industri di Provinsi Papua masih belum berkembang. Selama tahun 20002007 rata-rata kontribusi sektor industri hanya 2% per tahun di dalam menciptakan PDRB Papua. Karena itu, Papua dikategorikan sebagai wilayah non industri (nonindustries region), karena andil sektor industri dalam menciptakan PDRB dibawah 10%4. Pertumbuhan ekonomi provinsi Papua sangat dipengaruhi oleh sektor pertambangan. Selama periode 2001-2007 jika menyertakan sektor pertambangan non migas (tambang tembaga) pertumbuhan ekonomi berjalan sangat lambat, rata-rata hanya 0,15% per tahun. Akan tetapi, jika tingkat pertumbuhan ekonominya dihitung tanpa memasukkan sektor pertambangan non migas (tambang tembaga), perekonomian Papua melaju lebih cepat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 6,82% per tahun. Adanya perbedaan hasil perhitungan yang cukup mencolok ini menandakan bahwa sektor pertambangan non migas sangat mendominasi struktur perekonomian Papua, akibatnya pertumbuhan ekonomi wilayah sangat dipengaruhi oleh fluktuasi naik turunnya sektor tersebut. Dalam periode 2001-2007 terlihat pertumbuhan ekonomi Papua (tanpa sektor pertambangan) relatif lebih tinggi dibandingkan Indonesia, oleh karena pada periode tersebut laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,06% per tahun (Gambar 1.3). Gambar 1.3. Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Papua dan PDB Indonesia Menurut Harga Konstan 2000 Periode 2001-2007 (dalam %) Tahun
Papua
Indonesia
2001
5,09
3,64
2002
8,20
4,50
2003
6,63
4,88
2004
4,39
5,13
2005
6,47
5,43
2006
8,33
5,51
2007
8,66
6,32
Rata-rata
6,82
5,06
Sumber : BPS dan BPS Papua (2008)
Walaupun PDRB didominasi oleh sektor pertambangan, sektor pertanian mendominasi penyerapan tenaga kerja. Kontribusi sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja di Papua untuk tahun 2005-2007 rata-rata melebihi 75%. Sedangkan sektor pertambangan non migas dalam kurun waktu yang sama sedikitpun tidak mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 1%. Bahkan jika dibandingkan dengan sektor industri yang peranannya sangat rendah dalam struktur PDRB, penyerapan tenaga kerja di 4
Menurut kriteria UNIDO (United Nations for Industrial Development Organization) pengelompokan perkembangan industri adalah Kelompok non-industri (non-industrial country) apabila sumbangan sektor industri terhadap PDB kurang dari 10 persen.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
6
sektor pertambangan masih jauh dibawah. Sektor industri untuk kurun waktu yang sama dapat menyerap tenaga kerja rata-rata 1.32% per tahun (Gambar 1.4). Gambar 1.4.
Struktur Tenaga Kerja Di Provinsi Papua Tahun 2005-2007 (dalam %)
Sektor Utama
2005
2006
2007
75,76
75,22
75,06
Pertamb & Penggln
0,92
0,83
1,66
Industri Pengolahan
0,79
1,20
1,96
Jasa-jasa & lainnya
22,53
22,75
21,33
100,00
100,00
100,00
Pertanian
Total
Sumber : BPS Papua (2008)
Tingkat pengangguran terbuka provinsi Papua secara umum lebih rendah dari ratarata nasional. Jumlah angkatan kerja Papua pada tahun 1999 tercatat sebanyak 988.588 orang dan 93,58 % diantaranya tercatat sebagai pekerja (mempunyai pekerjaan). Kemudian di tahun 2007 jumlah angkatan kerja menjadi 990.774 orang yang terdistribusi pada jumlah yang bekerja sebanyak 95% dan sedang mencari pekerjaan sebanyak 5%. Pada tahun 2007, khususnya bulan Agustus, tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Papua tergolong paling rendah dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Tingkat pengangguran terbuka di Papua hanya mencapai 5,10% pada tahun 2007. Sedangkan Indonesia sebesar 9,11%, dimana yang paling tinggi di Provinsi Banten yakni sebesar 16,11%. Sebagian besar penduduk Papua bekerja pada sektor pertanian, baik yang bertujuan untuk kegiatan ekonomi maupun untuk konsumsi sendiri. Perdagangan luar negeri Papua didominasi oleh sektor pertambangan. Secara total, nilai ekspor dan impor provinsi Papua cenderung naik selama beberapa tahun terakhir dan neraca ekspor-impor selalu surplus. Pertambangan non-migas menyumbang hampir dari seluruh nilai ekspor Papua. Surplus perdagangan luar negeri Papua berkisar di antara Rp2,41 triliun paling rendah di tahun 2007, dan Rp8,19 triliun paling tinggi tahun 2003. Secara rata-rata surplus perdagangan luar negeri Provinsi Papua sepanjang tahun 2003-2007 adalah sebesar Rp4,79 triliun per tahun (Gambar 1.5[a]). Papua masih memiliki ketergantungan ekonomi terhadap daerah lain. Hal ini terlihat dari neraca perdagangan dalam negeri selalu dalam posisi defisit selama periode yang sama. Sebagian besar impor dalam negeri dalam bentuk barang konsumsi dan bahan baku produksi. Diantara periode 2003-2007 misalnya, perkembangan defisit neraca perdagangan antara pulau di Provinsi Papua setiap tahunnya semakin membesar. Hingga tahun 2007, defisitnya sudah mencapai Rp3,24 triliun. Rata-rata defisit perdagangan antar pulau diantara tahun 2003-2007 adalah sebesar Rp1,66 triliun (Gambar 1.5[b]).
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
Gambar 1.5.
7
Perkembangan Perdagangan Luar Negeri dan Antar Pulau Provinsi Papua Periode 2003-2007 (dalam triliun rupiah)
[a]. Perdagangan Luar Negeri
[b]. Perdagangan Antar Pulau
Sumber : BPS Papua (2008)
Arus modal yang didominasi oleh PMDN dan PMA ke Papua terkonsentrasi pada sektor pertanian dan pertambangan. PMDN didominasi oleh sektor pertanian, sedangkan mayoritas PMA adalah di sektor pertambangan. Total realisasi nilai penanaman modal selama periode 2000-2007 kurang lebih mencapai Rp480,67 triliun, dengan komposisi PMA sekitar 94% dan PMDN sebanyak 6%. Contohnya untuk periode 2004-2007, hasrat pihak swasta untuk berinvestasi melalui fasilitas PMDN lebih banyak tercurah pada sektor pertanian dibandingkan pada sektor industri dan jasa-jasa, lihat Gambar 1.6[a]. Realisasi PMDN untuk sektor-sektor berbasis pertanian (perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan dan industri perkayuan) sangat mendominasi komposisi PMDN di Papua, kurang lebih andilnya terhadap total PMDN sebesar 63,92% per tahun, yang lebih terkonsentrasi pada sektor perkebunan dan industri kayu. Pihak swasta asing lebih memilih investasi di sektor pertambangan dan jasa. Seperti yang direkam dalam komposisi realisasi nilai PMA selama periode 20042007, kontribusi rata-rata PMA pada sektor jasa adalah sebesar 14,45% per tahun. Sedangkan untuk sektor pertambangan (tambang tembaga) mencapai 79,37% per tahun. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.6[b].
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
8
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
Gambar 1.6. Struktur Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri Provinsi Papua Periode 2004-2007 (dalam %)
[a]. Penanaman Modal Dalam Negeri
[b]. Penanaman Modal Asing
Sumber : BPS Papua, 2008 (diolah)
Perluasan investasi di Papua terbentur oleh berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain: (1) kondisi infrastruktur yang masih sangat terbatas, (2) letak Provinsi Papua yang jauh dari pasar, (3) kurangnya tenaga kerja yang terdidik dan siap pakai, dan (4) adanya hambatan birokrasi yang panjang dari beberapa instansi teknis. Disamping itu investor masih juga dihadapkan dengan biaya transaksi (transaction cost) yang sangat tinggi, terutama sekali biaya lobi dengan adat dalam hal pengurusan klaim hak ulayat. Selama beberapa tahun terakhir, angka inflasi Provinsi Papua cenderung kurang stabil dan di atas rata-rata nasional. Untuk tahun 2005 dan 2007, tingkat inflasi di Kota Jayapura ada pada posisi tinggi yang dapat menganggu kestabilan perekonomian wilayah. Seperti yang disajikan pada Gambar 1.7, tingkat inflasi di tahun 2005 adalah sebesar 14,15%, kemudian di tahun 2007 sebesar 10,37%. Pemerintah selama ini kurang mampu menekan kenaikan harga dan mengendalikan inflasi. Kenaikan hargaharga umum selama periode tersebut berada pada kisaran yang cukup tinggi dengan rata-rata sekitar 10,37% per tahun. Kondisi ini jauh berbeda dengan kecenderungan inflasi nasional. Untuk periode yang sama rata-rata inflasi nasional adalah sebesar 8,35% per tahun (Gambar 1.7).
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua Gambar 1.7.
9
Perkembangan Inflasi di Kota Jayapura dan Indonesia Tahun 20032007 (dalam %)
Tahun
Papua
Nasional
2003
8,39
5,06
2004
9,45
6,40
2005
14,15
17,11
2006
9,52
6,60
2007
10,35
6,59
2
10,37
8,35
Rata
Sumber : BPS dan BPS Papua (2008)
Kecenderungan pada tahun terakhir kelompok bahan makanan merupakan kontributor inflasi terbesar di Provinsi Papua. Seperti yang dipaparkan dalam Tabel 1.1, untuk tahun 2001 dan 2004, kelompok pendidikan, olah raga dan rekreasi menjadi penyumbang terbesar dalam perkembangan inflasi di Provinsi Papua, dimana hal ini disebabkan karena mahalnya biaya pendidikan di Papua dan cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Sedangkan pada tahun 2002 dan 2005 sumber penyebab inflasi paling besar adalah kelompok transportasi dan komunikasi, yang bergerak mengikuti kecenderungan harga BBM. Kemudian di tahun 2006 dan 2007, yang paling besar menciptakan inflasi adalah kelompok bahan makanan, terutama sekali bersumber pada kenaikan harga-harga. Tabel 1.1.
Perkembangan Inflasi Kota Jayapura Menurut Komponen Tahun 2001-2007 (dalam %)
Komponen Inflasi
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Bahan Makanan
10,85
18,13
10,02
5,96
2,66
5,15
7,37
Makanan, Minum, Rokok dll
11,55
8,56
9,48
10,38
6,69
2,86
0,87
Perumahan
18,85
9,34
12,53
13,85
3,39
1,25
1,48
Sandang
8,46
5,07
2,38
1,73
2,53
0,29
0,38
Kesehatan
9,62
4,68
2,31
3,19
3,89
0,08
0,05
Pendidikan & Olah Raga
23,08
12,67
3,18
37,36
4,15
0,42
0,17
Transportasi & Komunikasi
18,19
25,5
1,44
8,01
18,56
-0,25
0,03
Umum
14,00
13,91
8,39
9,45
5,48
9,52
10,35
Sumber : BPS Papua (2008)
1.4. Kesejahteraan Penduduk Tren pendapatan per kapita Papua jika dilihat dengan memasukkan sektor pertambangan terlihat sangat tinggi. Rata-rata selama tahun 2003-2007 adalah Rp10,1 juta per kapita per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan per kapita Indonesia sebesar Rp8 juta per kapita per tahun untuk periode yang sama. Akan tetapi jika dalam perhitungannya sektor pertambangan di keluarkan, ternyata pendapatan per kapita Provinsi Papua menjadi sangat rendah yakni hanya Rp4,2 juta per kapita per tahun, jauh di bawah pendapatan per kapita Indonesia.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
10 Tabel 1.2. Tahun
Perkembangan PDRB Per Kapita Provinsi Papua dan Indonesia Tahun 2003-2007 (rupiah) Provinsi Papua Tambang Tanpa Tambang
Indonesia
2003
11,524,613
3,931,309
7,330,498
2004
8,768,148
4,030,483
7,655,520
2005
11,479,648
4,104,444
7,999,375
2006
9,311,146
4,371,134
8,313,201
2007
9,513,757
4,653,807
8,721,325
Rata-rata
10,119,462
4,218,236
8,003,983
Sumber : BPS Papua (2008) dan BPS (2009)
PDRB per kapita non pertambangan cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh untuk tahun 2003-2007, rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita Papua tanpa memasukan sektor pertambangan adalah sebesar 4,33% per tahun. Dimana pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai 6,50% dan 6,47%, untuk jelasnya lihat Gambar 1.8. Gambar 1.8.
Pertumbuhan PDRB Per Kapita Menurut Harga Konstan 2000 Provinsi Papua 2003-2007
Tahun
Tambang
Tanpa Tambang
2004
Ͳ23,92
2,52
2005
30,92
1,84
2006
Ͳ18,89
6,50
2007
2,18
6,47
RataͲRata
Ͳ2,43
4,33
Sumber : BPS Papua (2008)
Hanya saja, peningkatan PDRB per kapita ini didominasi oleh kelompok berpenghasilan tinggi. Dimana berdasarkan perkembangan persentase pembagian total pendapatan selama ini lebih banyak dinikmati oleh sebagian kecil atau 20% rumah tangga yang berpendapatan tinggi, yang memperoleh pembagian pendapatan kurang lebih 43,38% per tahun. Sedangkan 40% rumahtangga yang berpendapatan rendah hanya mendapat bagian pendapatan sekitar 18% per tahun. Rata-rata rasio pembagian pendapatan diantara rumahtangga yang berpendapatan tinggi dengan rendah adalah sebesar 2,42 yang menandakan untuk setiap pembagian pendapatan sebesar 1% pada rumahtangga berpendapatan rendah maka rumahtangga berpendapatan tinggi akan memperoleh pembagian pendapatan sebesar 2,42% (BPS Papua, 2006). Dari serangkaian angka persentase tersebut dapat dikatakan bahwa di Provinsi Papua telah terjadi ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga yang cukup tinggi.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua Tabel 1.3.
11
Persentase Pembagian Total Pendapatan Per Kapita di Provinsi Papua Tahun 1996-2003
Distribusi Pendapatan 40% pembagian pendapatan rendah
1996
1999
2003
Rata-rata
18,67
17,5
17,6
17,92
40% pembagian pendapatan sedang
35,79
37,4
42,9
38,70
20% pembagian pendapatan tinggi
45,54
45,1
39,5
43,38
Rasio pembagian pendapatan tinggi terhadap pembagian pendapatan rendah
2,44
2,58
2,25
2,42
Sumber : BPS Papua (2006)
Selain itu, terjadi ketimpangan PDRB per kapita yang besar antara kabupaten/kota di Provinsi Papua. Kondisi ini diakibatkan munculnya kantong-kantong ekonomi yang sangat mendominasi perekonomian Papua. Daerah yang kaya akan sumber daya pertambangan non migas yakni Kabupaten Mimika memiliki pendapatan perkapita yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain. Pendapatan per kapita Kabupaten Mimika sepanjang tahun 2003 hingga 2007 rata-rata mencapai Rp91,59 juta per tahun, sedangkan untuk daerah lainnya hanya Rp4,45 juta per tahun. Meskipun sektor pertambangan non migas dieliminasi dalam perhitungan PDRB, tetap saja ketimpangan antar wilayah di Provinsi Papua masih terlihat tinggi. Khususnya ketimpangan antar daerah pesisir dengan daerah pedalaman dan pegunungan. Daerah pesisir seperti Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Nabire, Biak Numfor dan sebagainya, rata-rata memiliki pendapatan per kapita kurang lebih sebesar Rp5,34 juta per tahun, lihat Gambar 1.9. Sedangkan di daerah pedalaman dan pegunungan seperti Kabupaten Puncak Jaya, Tolikara, Pegunungan Bintang dan Jayawijaya mempunyai pendapatan per kapita sekitar Rp1,97 juta per tahun. Gambar 1.9.
Kesenjangan Pendapatan Per Kapita Kabupaten/Kota di Daerah Pesisir dan Pedalaman/Pegunungan Provinsi Papua 2003-2007 (dalam juta rupiah)
Tahun Pesisir Dalam/Gunung Range 2003 4,43 1,95 2,48 2004 5,16 1,86 3,29 2005 5,36 1,91 3,45 2006 5,92 2,00 3,92 2007 6,33 2,13 4,20 2 Rata 5,44 1,97 3,47
Sumber : BPS Papua (2008)
IPM Provinsi Papua cenderung meningkat akan tetapi masih yang terendah dibanding provinsi-provinsi lain. Papua mengalami peningkatan IPM dari 60,9 di tahun 2004 hingga menjadi 63,4 di tahun 2007 (Tabel 1.4). Namun apabila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, IPM Papua tetap yang terendah dan berada pada urutan paling akhir yakni ke-33. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
12
Provinsi Papua Dalam Urutan IPM Indonesia Tahun 2004-2006
Tabel 1.4.
Sumber : BPS (2009)
Angka kemiskinan di Provinsi Papua masih tetap yang tertinggi di Indonesia, walaupun sudah membaik di tahun 2008. Dilihat dari jumlah penduduk, wilayah ini sebenarnya merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terkecil. Masyarakat Papua yang terdiri atas ratusan suku kebanyakan masih hidup di daerah pedalaman. Meskipun Provinsi Papua memiliki kekayaan yang sangat besar, di mana cadangan tembaga dan emas yang dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar pertambangan telah menghasilkan jutaan dolar dan memberi penerimaan pajak yang sangat besar bagi pemerintah pusat, namun kehidupan masyarakat Papua masih teramat miskin, bahkan terus menerus masuk dalam 5 provinsi termiskin di Indonesia. Sebagai contoh untuk periode 2005-2007, berdasarkan headcount index tingkat kemiskinan di Provinsi Papua selalu berada paling atas dalam kelompok wilayah termiskin di Indonesia, perhatikan Gambar 1.10. Gambar 1.10.
Lima Provinsi Yang Memiliki Penduduk Miskin Terbesar Di Indonesia Tahun 20032007 (dalam %)
Provinsi
2005
2006
2007
2008
Papua
40,83
41,52
40,78
37,08
Maluku
32,28
33,03
31,14
29,66
NTT
28,19
29,34
27,51
25,65
NTB
25,92
27,17
24,99
23,81
Lampung
21,42
22,77
22,19
20,98
Indonesia
16,69
17,75
16,58
15,42
Sumber:BPSPapua,2008(diolah)
Ketimpangan antar kabupaten/ kota di Provinsi Papua juga sangat terlihat dalam hal angka kemiskinan. Seperti yang divisualisasikan dalam Gambar 1.11, dari total penduduk miskin Papua sebanyak 793.400 jiwa, Kabupaten Jayawijaya menempati ranking pertama dengan proporsinya sebesar 13,83%, kemudian Kabupaten Puncak Jaya dan Pegunungan Bintang yang kedua sebesar 13,22%, ketiga adalah Kabupaten
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 1 Profil Sosial Ekonomi Provinsi Papua
13
Nabire sebesar 9,57%, Kabupaten Yahukimo diurutan keempat sebesar 8,75%, dan kelima Kabupaten Paniai sebesar 7,68%. Gambar 1.11.
Distribusi Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Papua Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007
umber : BPS Papua, 2008 (diolah)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah
14
BAB 2 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN DAERAH
Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah
15
Sejak pelaksanaan otonomi daerah yang diikuti otonomi khusus Papua, pendapatan transfer pemerintah daerah di Papua terus meningkat dan mendominasi penerimaan daerah, seperti Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, DAU, DAK dan Dana Otsus Papua. Dominasi pendapatan transfer ini mengakibatkan rendahnya kemandirian fiskal daerah. Masalah kemandirian fiskal ini semakin meluas karena tren pemekaran wilayah di Papua. Selain itu besarnya transfer dari pusat banyak disertai dengan lemahnya sistem perencanaan dan penganggaran yang mengakibatkan munculnya Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA). Jumlah SiLPA ini nominalnya relatif besar apabila dibandingkan dengan pendapatan dan PAD daerah.
2.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah Papua merupakan provinsi dengan kapasitas fiskal per kapita terbesar kedua di Indonesia. Saat ini, seperti terlihat pada Gambar 2.1, kapasitas fiskal per kapita Provinsi Papua merupakan yang terbesar setelah Papua Barat dan lebih dari tiga kali lipat di atas rata-rata nasional1. Tren ini sudah tampak sejak dimulainya otonomi daerah dan otonomi khusus2. Walaupun kapasitas fiskal per kapita yang besar ini juga disebabkan oleh jumlah penduduk yang relatif sedikit, hal ini mengindikasikan bahwa Pemprov dan Pemkab/kota mempunyai sumber daya fiskal yang cukup untuk mendorong pembangunan.
Kapasitas Fiskal per Kapita untuk Seluruh Provinsi di Indonesia (2008)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
PapuaBarat Papua Kalimantan Timur MalukuUtara Kalimantan Tengah Aceh Maluku BangkaBelitung Bengkulu SulawesiTenggara Riau RiauKepulauan SulawesiUtara Average Gorontalo SulawesiBarat SulawesiTengah Jambi Kalimantan Selatan SumateraBarat Kalimantan Barat NusaTenggaraTimur Bali SumateraSelatan SulawesiSelatan NusaTenggaraBarat SumateraUtara DIYogyakarta Lampung Jawa Timur Jawa Tengah DKIJakarta Banten Jawa Barat
JutaRupiah
Gambar 2.1
Sumber: Sistem Informasi Keuangan Daerah yang diolah oleh staf Bank Dunia
Pendapatan daerah di Provinsi Papua terus mengalami peningkatan. Meskipun fluktuatif, perkembangan pendapatan Provinsi Papua secara umum mengalami peningkatan di mana pendapatan tertinggi Provinsi Papua terjadi tahun 2008 yaitu sebesar Rp15,8 triliun. Pemerintah kabupaten/kota mengelola sebagian besar pendapatan yang ada di Provinsi Papua. Pada tahun 2008 seluruh kabupaten/kota mengelola 75% dari total pendapatan di provinsi ini. Meskipun nilai nominal pendapatan cenderung naik, nilai riil pendapatan ini menunjukkan tren yang cenderung datar sejak tahun 2006. Perkembangan dan komposisi pendapatan Provinsi Papua selama tahun 2004-2008 dapat dilihat di Tabel 2.1.
1 2
Jika Otsus dikeluarkan dari estimasi, kapasitas fiscal per kapita Prov. Papua akan menjadi ketiga terbesar. Mengacu pada Laporan Pengeluaran Publik Papua 2005 [WB2005]
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
16
Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah
Gambar 1.2
Perkembangan Pendapatan Pemprov dan Pemkab/kota di Papua 2004-2008 Pe me rintah Prov insi
Pe me rintah Kab/Kota
4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0
14,000 12,000 miliar Rp
miliar Rp
10,000 8,000 6,000 4,000 2,000
2004
2005
2006
2007
0
2008
2004
PAD
Dana Perimbangan
Bagian Lain-lain Penerimaan yang Sah
Total pendapatan riil Pemprov
2005
2006
PAD Bagian Lain-lain Penerimaan yang Sah
2007
2008
Dana Perimbangan Total pendapatan riil Pemkab
Sumber : APBD 2004-2008 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran, angka riil berdasarkan tahun dasar 2007
Tabel 2.1
Komposisi Pendapatan Provinsi Papua 2004-2008 (miliar Rp) Jenis Pendapatan
2004
2005
2006
2007
2008
Pajak Daerah
224
192
215
241
231
Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah Dana Perimbangan Dana Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum
68
58
72
68
59
42
47
44
72
79
177
85
132
208
124
816
1,170
1,954
1,925
1,810
4,882
4,370
7,701
7,324
7,121
504
446
926
1,661
1,780
1,350
1,512
2,991
3,432
3,274
317
105
81
273
6
8,380
7,985
14,116
15,204
14,483
Pendapatan Asli Daerah
Dana Alokasi Khusus Lain-Lain Penerimaan Dana Otonomi Khusus Bagian Lain-Lain Penerimaan Yang Sah Jumlah
Sumber : APBD 2004-2008 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; semua angka adalah nominal
2.2. Dana Perimbangan dan Otonomi Khusus Kontribusi dana perimbangan dalam APBD Pemprov dan Pemkab/kota sangat dominan. Dana perimbangan untuk pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota selama 2004-2008, sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.2, rata-rata menyumbang 74% bagi total pendapatan. Bahkan, bila dana perimbangan ini digabungkan dengan dana Otsus didalamnya, kontribusinya menjadi lebih dari 95%. Adapun komponen dana perimbangan yang terbesar adalah DAU, yang menyumbang 70% dari total dana perimbangan. Dana Otsus meningkatkan kapasitas fiskal Pemprov dan Pemkab/kota secara signifikan. Selama 2004-2008, dana Otonomi Khusus menyumbang sekitar 16-23% bagi kapasitas fiskal Provinsi Papua, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1. Kontribusi ini semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama setelah adanya dana otonomi khusus untuk infrastruktur yang dimulai pada tahun 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah Gambar 2.3
17
Perkembangan Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota 2004-2008 Pe me rintah Kab/Kota
2,500
12,000
2,000
10,000 miliar Rp
miliar Rp
Pe me rintah Prov insi
1,500 1,000 500
8,000 6,000 4,000 2,000
0
0 2004
2005
2006
2007
2008
2004
2005
2006
2007
2008
DBH Pajak/Bukan Pajak
DAU
DBH Pajak/Bukan Pajak
DAU
DAK
Total dana perimbangan riil Pemprov
DAK
Total dana perimbangan riil Pemkab/kota
Sumber : APBD 2004-2008 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007
DAK pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Papua terus mengalami peningkatan. Peran DAK dalam dana perimbangan di tingkat kabupaten/kota terus meningkat dari hanya 9% (2004) menjadi 12% (2008), walaupun secara nominal masih relatif rendah dibandingkan DAU. Namun demikian peran DAK (r37%) hampir sama besarnya dengan DAU (r44%) pada pemerintah provinsi di tahun 2007-2008. Dana Bagi Hasil di Provinsi Papua didominasi oleh pemasukan dari kegiatan pertambangan terutama tembaga dan emas. Provinsi Papua mengalami lonjakan penerimaan dari Dana Bagi Hasil pada tahun 2006 sebesar Rp1,77 triliun, atau hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, dan cenderung tidak banyak berubah pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan PP No. 5/2005 daerah menerima kembali sebesar 80% dari penerimaan negara berupa royalti dan land rent untuk kegiatan pertambangan umum, termasuk pertambangan emas dan tembaga. Daerah penghasil tambang utama seperti Kabupaten Mimika mendapatkan Dana Bagi Hasil sebesar Rp599 miliar pada tahun 2007, jauh lebih tinggi daripada kabupaten lain yang bukan penghasil (misalnya Kabupaten Nabire tahun 2007 hanya menerima Dana Bagi Hasil Rp46 miliar)Kesenjangan fiskal antar kab/kota di Papua sangat Box 2.1 Dana Bagi Hasil Pertambangan Umum Berdasarkan PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan, Dana Bagi Hasil pertambangan umum yang berasal dari kab/kota didapat dari iuran tetap (land rent) dan iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty) dengan pengaturan sebagai berikut: 1. Land rent (80%): a. Untuk provinsi bersangkutan 16% b. Untuk kab/kota penghasil 64% 2. Royalty (80%): a. Untuk provinsi bersangkutan 16% b. Untuk kab/kota penghasil 32% c. Untuk kab/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan 32% (dibagi rata)
besar. Seperti terlihat pada gambar 2.4, pendapatan per kapita kab/kota di Prov. Papua berkisar dari Rp2,4 juta (Kab. Jayawijaya) sampai Rp18,9 juta (Kab. Sarmi), atau berbeda hampir delapan kali lipat. Jika kita lihat lebih detil, enam kab/kota dengan angka terbesar merupakan kabupaten-kabupaten yang dimekarkan pada tahun 2002. Tingginya pendapatan daerah perkapita kabupaten-kabupaten ini disebabkan oleh jumlah penduduk yang sedikit, namun memiliki pendapatan dari APBD yang relatif di atas rata-rata Papua sebesar Rp647
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
18
Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah
miliar. Dana Otsus tidak berpengaruh banyak dalam mengurangi kesenjangan ini, di mana rasio tertinggi-terendah hanya berkurang dari 7.9 ke 7.73. Gambar 2.4
Pendapatan Daerah per Kapita untuk Pemkab/kota di Prov. Papua tahun 2007
2.4 2.5 3.4 4.4 4.8 5.2 5.6 5.8 6.1 6.8 6.9 7.2 8.1
Kab.Jayawijaya KotaJayapura Kab.Nabire Kab.BiakNumfor Kab.PuncakJaya Kab.Paniai Kab.Merauke Kab.YapenWaropen Kab.PegununganBintang Kab.Asmat Kab.Jayapura Kab.Mimika Kab.Mappi Kab.Tolikara Kab.Keerom Kab.Supiori Kab.BovenDigoel Kab.Waropen Kab.Sarmi
9.5 11.1 12.5 17.9 18.2 18.9 Ͳ
5
10
15
20
jutaRp
Sumber : APBD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota tahun 2007
2.3. Pendapatan Asli Daerah Kondisi di tingkat pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di atas menggambarkan ketergantungan dari transfer pemerintah pusat. Hal ini berdampak pada rendahnya kemandirian fiskal daerah untuk membiayai pembangunan di Papua. Kemandirian fiskal didefinisikan sebagai kemampuan daerah untuk membiayai belanjanya yang ditunjukkan dengan membandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total pendapatan. Tren pemekaran menjadi tantangan yang harus diseriusi apabila melihat pada rendahnya tingkat kemandirian fiskal Provinsi Papua. Provinsi Papua mengalami penambahan kabupaten/kota dari hanya 20 kabupaten/kota pada 2005 menjadi 29 kabupaten/kota pada 2008. Fenomena pemekaran yang pesat di Papua yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pada kenyataannya menghadapi tantangan berupa kemandirian fiskal yang masih rendah. Kemandirian fiskal yang rendah ini tercermin dalam rasio PAD terhadap total pendapatan Provinsi Papua yang hanya sebesar rata-rata 5%. Kemandirian fiskal ini bahkan semakin menurun dari 6,1% di tahun 2004 menjadi 3,5% di tahun 2008. Proporsi PAD terhadap total pendapatan masih rendah. PAD sebagai salah satu unsur pembentuk kemandirian fiskal cenderung fluktuatif selama periode 2004-2008 sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.5 di bawah.
3
Gambaran Otsus per kapita dapat dilihat pada Gambar 6.3.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah Gambar 2.5
19
Perkembangan PAD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota 2004-2008 Pe me rintah Kabupate n/kota
Pe me rintah Prov insi
400
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
350
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
300 250
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
miliar Rp
250 200
Retribusi Daerah
150
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
200
miliar Rp
300
Retribusi Daerah
150 100
100
Pajak Daerah
50 0
Total PAD riil Pemprov
2004
2005
2006
2007
2008
Pajak Daerah
50 0
Total PAD riil Pemkab/Kota
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber : APBD 2004-2008 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007
Pajak daerah sebagai komponen PAD paling dominan untuk Pemerintah Provinsi Papua. PAD Pemerintah Provinsi Papua terutama berasal dari pajak daerah dan berperan sekitar 69% dari total PAD selama 2004-2008. Pajak kendaraan bermotor menjadi penyumbang utama pajak daerah di Pemerintah Provinsi Papua. Kontribusi Lain-Lain PAD Yang Sah terhadap total PAD Kabupaten/Kota relatif besar. Lain-lain PAD yang sah selama periode 2004-2008 berkontribusi sebesar 42% dari total APBD Kabupaten/Kota. Contoh dari komponen ini adalah penerimaan jasa giro (bunga) yang diterima pemerintah daerah. Sumber PAD utama lainnya di kabupaten/kota di Papua adalah Retribusi Daerah dengan kontribusi sebesar rata-rata 23%. Sejumlah kabupaten di Papua menunjukkan indikasi belum memiliki payung hukum pemungutan pajak maupun retribusi daerah. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tahun 2008 untuk LKPD tahun 2007 ditemukan bahwa Kabupaten Asmat memungut pendapatan asli daerah (PAD) dengan menggunakan Perda kabupaten induk Merauke.
2.4. Pembiayaan SiLPA merupakan komponen utama penerimaan pembiayaan daerah. Pada tahun 2007 Pembiayaan Penerimaan Provinsi Papua semuanya berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). SiLPA Pemerintah Provinsi pada tahun 2007 mencapai Rp673 miliar atau setara 11% dari total pendapatan dan bahkan hampir dua kali lipat dari PAD Pemerintah Provinsi yang hanya sebesar Rp345 miliar. Meskipun demikian SiLPA gabungan seluruh kabupaten/kota mengalami penurunan dari Rp1,5 triliun (2007) menjadi Rp490 miliar (2008) atau setara dengan 5% total pendapatan kabupaten/kota. Besarnya SiLPA juga disebabkan oleh terlambatnya dana Otsus yang diterima oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Sebagai contoh pencairan dana Otsus tahun 2008 tahap III dan IV ke pemerintah provinsi baru terjadi pada bulan November tahun bersangkutan. Keterlambatan pencairan dana Otsus ke provinsi tentu berakibat pada terlambatnya transfer ke pemerintah kabupaten/kota. Sebagian besar Pembiayaan Pengeluaran ditujukan untuk Dana Cadangan. Pada level pemerintah provinsi, alokasi Pembiayaan Pengeluaran sebagian besar adalah untuk Dana Cadangan sebesar sekitar 90 persen. Sementara itu pada tahun 2008 sebagian besar pengeluaran pembiayaan oleh kabupaten/kota didominasi oleh pembentukan dana cadangan
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
20
Bab 2 Pendapatan dan Pembiayaan Daerah
dan pembayaran pokok utang yang keduanya mencakup 78% dari total pengeluaran pembiayaan. Tabel 2.2
Komposisi Pembiayaan Provinsi Papua 2007-2008 (juta Rp)
Penerimaan Pembiayaan SiLPA Pencairan dana cadangan Penerimaan pinjaman daerah Pengeluaraan Pembiayaan Pembentukan dana cadangan Penyertaan modal Pembayaran pokok utang Pemberian pinjaman daerah Sumber: Depkeu
Provinsi 673,618 673,618
2007 Kabupaten/Kota 1,630,970 1,503,631 23,400 103,939
188,692 164,000 5,000 19,692
Provinsi
2008 Kabupaten/Kota 623,518 490,285 133,233
97,734 88,849 8,885
339,808 140,652 70,679 124,301 4,176
2.5. Rekomendasi Pemerintah daerah perlu untuk terus berupaya meningkatkan PAD untuk mencapai kemandirian fiskal. Peran PAD dalam total pendapatan daerah di Provinsi Papua untuk periode 2004-2008 cenderung menurun apabila dibandingkan dengan data beberapa tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah perlu lebih inovatif dalam meningkatkan PAD dengan menyelesaikan berbagai permasalahan dalam pemungutan pajak dan non-pajak. Selain itu masih rendahnya perkembangan ekonomi lokal berdampak pada kurangnya penerimaan dari pajak dan retribusi daerah. Investasi fisik dan non-fisik serta penciptaan iklim usaha yang dapat menarik investor diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak maupun non-pajak. Payung hukum PAD harus diterbitkan pemerintah daerah. Sejumlah kabupaten di Papua terindikasi belum memiliki payung hukum untuk melaksanakan pemungutan pajak maupun retribusi daerah. Hal ini merupakan bentuk ketidakpatuhan pemda pada aturan bahwa pajak dan retribusi hanya dapat dipungut bila ditetapkan perdanya. Demikian juga bahwa peraturan daerah mengenai pungutan pajak maupun non-pajak harus tidak bersifat distortif agar iklim usaha tetap terjaga. SiLPA yang relatif besar terutama di kabupaten/kota menunjukkan perlunya pengelolaan keuangan yang lebih baik melalui penyusunan anggaran kas. Adanya SiLPA berdampak pada kurang optimalnya pelaksanaan program dan kegiatan SKPD. Penyusunan anggaran kas yang baik akan dapat mengatur jadwal waktu penerimaan dan pembayaran program dan kegiatan terutama yang didanai dari dana otonomi khusus.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 3 Belanja Daerah
21
BAB 3
BELANJA DAERAH
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 3 Belanja Daerah
22
Sejalan dengan meningkatnya pendapatan daerah, belanja Provinsi Papua juga meningkat selama beberapa tahun terakhir. Alokasi belanja menurut sektor, masih memperlihatkan belanja administrasi umum sebagai belanja terbesar; namun ada kecenderungan yang baik dari indikasi peningkatan belanja pada sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sementara menurut klasifikasi ekonomi, belanja modal merupakan komponen belanja terbesar dalam tiga tahun terakhir (sejak 2006). Juga ditemukan bahwa indikasi kenaikan belanja belum efektif mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Belanja Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Dekon/TP) proporsinya cenderung turun terhadap total belanja di Provinsi Papua. 3.1. Gambaran Umum Belanja Pengeluaran pemerintah di Papua terus berkembang. Semakin bertambahnya kapasitas fiskal dan adanya komitmen pemerintah yang terus berupaya untuk meningkatkan pembangunan berimbas pada pengeluaran pemerintah dari sumber APBN dan APBD yang semakin meningkat. Belanja yang lebih besar diharapkan dapat memacu sektor-sektor ekonomi dan sumber daya yang belum dikelola secara maksimal melalui penyediaan berbagai infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, pasar, dan lainnya. Semua ini akhirnya membuat perkembangan pengeluaran pemerintah di Provinsi Papua yang bersumber pada APBD dan APBN selama periode 2004-2008 mengalami pertumbuhan cukup cepat yang secara riil rata-rata tumbuh sebesar 15% per tahun. Gambar 3.1.
Tren Pengeluaran Pemerintah Di Provinsi Papua (APBD dan APBN) 2004-2008
20,000
miliar Rp
18,000 16,000 14,000 12,000
10,150
10,000 8,000
7,357
6,000 4,000 2,000 -
12,201
4,461
4,674 3,823
3,606
2,269
1,447 1,103
1,806 1,249
1,519
2,137
2,149
2004
2005
2006
2007
2008
APBN (Dekon dan TP)
APBD Pemerintah Provinsi
APBD Kabupaten/Kota
Total Belanja Riil APBD+APBN
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah), Depkeu Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007
Proporsi belanja yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di Papua cenderung menurun terhadap total belanja publik. Kontribusi belanja APBN selama periode 2004-2008 berkisar antara 12-16% dihitung dari total belanja pemerintah pusat dan daerah di Papua. Namun, peran belanja APBN (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) cenderung mengecil karena di tahun 2004 tercatat sebesar
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 3 Belanja Daerah
23
15,7%, dan terus menurun menjadi 12% pada tahun 2008, dengan rata-rata sebesar 14% per tahun. Tiap tahunnya Provinsi Papua menerima dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan mencapai rata-rata Rp1,63 triliun. Total belanja pemerintah kabupaten/kota jauh lebih besar dibandingkan dengan belanja pemerintah provinsi Papua. Selama kurun waktu 2004-2008, proporsi belanja kabupaten/kota mencapai 3/4 dari total belanja pemerintah daerah di Papua. Rata-rata pertumbuhan nominal belanja pemerintah kabupaten/kota adalah sebesar 30% sedangkan rata-rata pertumbuhan riilnya 17% per tahun. Di satu sisi, hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena pemerintah kabupaten/kota memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam penyediaan layanan publik. Di sisi lain, kenyataan ini menuntut pemerintah kabupaten/ kota agar lebih memprioritaskan anggarannya bagi sektorsektor prioritas. Pertumbuhan belanja di Papua melonjak tinggi tahun 2006 dan 2007. Dalam waktu dua tahun berturut-turut yakni tahun 2006 dan 2007, perkembangan belanja pemerintah (APBD dan APBN) mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi dibandingkan tahun sebelumnya hingga mencapai 44% di tahun 2006 dan 45% pada tahun 2007. Fenomena kenaikan ini berskala nasional disebabkan oleh naiknya DAU nasional karena asumsi harga minyak yang lebih tinggi. 3.2. Komposisi Belanja Menurut Bidang1 Alokasi belanja bidang administrasi umum pemerintah daerah sangat mendominasi struktur belanja daerah. Total belanja pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, selama periode 2004 hingga 2008 mencapai Rp51,8 triliun, atau ratarata sebesar Rp10,4 triliun per tahun. Dari total belanja tersebut, proporsi belanja bidang administrasi umum terhadap total belanja mencapai rata-rata sebesar 50% per tahun, dan tumbuh sebesar 31% per tahun. Namun secara riil pertumbuhan belanja bidang ini hanya sebesar 17% per tahun selama periode 2004-2008. Sesudah belanja bidang adminitrasi umum, pemerintah daerah terlihat memprioritaskan alokasi belanja pada bidang pekerjaan umum (14%), bidang pendidikan dan kebudayaan (14%), serta bidang kesehatan (8%). Tebel 3.1. Tabel 3.1
Komposisi Belanja Menurut Bidang di Provinsi Papua Tahun 2007 Komposisi Belanja Menurut Bidang di Provinsi Papua Tahun 2007
Sektor Administrasi umum pemerintahan - RESPEK - Lainnya Pendidikan Kesehatan Pekerjaan umum Perhubungan Pertanian Lainnya Total
Provinsi 56% 11% 45% 5% 6% 17% 7% 2% 7% 100%
Kabupaten/Kota 54%
13% 8% 11% 3% 3% 8% 100%
Sumber: APBD Tahun 2007 Catatan: Dana Otsus dialokasikan ke sejumlah bidang yang ada di tabel di atas
1
Komposisi belanja sektor yang detil dapat dilihat pada tabel A.2, A.3. dan A.4 pada lampiran.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 3 Belanja Daerah
24
Sektor pertanian sebagai salah satu sektor strategis relatif mendapat proporsi belanja yang kecil dibandingkan sektor-sektor strategis lainnya. Peran sektor pertanian sangat dominan dalam menunjang perekonomian daerah dan penyerapan tenaga kerja, namun sektor ini hanya memperoleh alokasi belanja antara 2-3% per tahun. Walau demikian pemerintah daerah dapat dinilai telah berusaha untuk meningkatkan belanja pada sektor pertanian yang terlihat dari angka pertumbuhan nominal belanja sebesar 44% per tahun atau secara riil tumbuh sebesar 29%. Belanja bidang administrasi umum pemerintahan masih mendapat porsi yang paling besar, baik di pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Sepanjang tahun 2004-2008, belanja bidang administrasi umum pemerintahan di tingkat provinsi mendapat porsi yang terbesar (rata-rata 51% per tahun), sedangkan di tingkat kabupaten/kota mencapai 50% per tahun. Komponen belanja bidang administrasi umum di tingkat pemerintah provinsi terdiri dari belanja bantuan sosial, hibah, belanja bagi hasil penerimaan, belanja program RESPEK, belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal dan belanja lainnya. Di tingkat pemerintah kabupaten/kota, belanja administrasi umum terdiri dari belanja bantuan sosial, hibah, belanja bagi hasil penerimaan, belanja barang dan jasa, belanja pegawai, belanja modal, dan belanja lainnya, Di luar sektor administrasi umum pemerintahan, terdapat perbedaan sektor prioritas belanja antara pemerintah kabupaten/kota berbeda dan pemerintah provinsi. Pada tingkat kabupaten/kota, sepanjang tahun 2004-2008, sektor dengan proporsi belanja terbesar kedua adalah sektor pendidikan dengan proporsi rata-rata 16% dan pertumbuhan rata-rata 20% per tahun (atau secara riil sebesar 8% per tahun). Besarnya belanja oleh kabupaten/kota terhadap program-program pembangunan yang strategis dan lebih dekat berhubungan dengan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum lebih tinggi dibandingkan pemerintah provinsi. Sementara untuk pemerintah provinsi, proporsi belanja kedua terbesar adalah di bidang pekerjaan umum sebesar rata-rata 14% dari total belanja. Tren Proporsi Sektor Strategis di Tingkat Kabupaten/Kota di Papua Tahun 2004-2008
Gambar 3.2.
65%
Pemerintah
Provinsi
60%
60% 55% 50%
49%
45% 40%
41%
42%
39%
44%
45%
35%
38%
35%
30%
32%
25% 20% 2004
2005
2006
Sektor strategis-Pemprov Papua
2007
Sektor strategis-Pemkab/kota
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
2008
dengan
Bab 3 Belanja Daerah
25
Proporsi belanja pada sektor strategis cenderung naik2. Gambar 3.2 memperlihatkan bahwa belanja yang dialokasikan ke sektor-sektor strategis oleh pemerintah kabupaten/kota rata-rata 43%, hampir sama dengan pemerintah provinsi yang sebesar 42%. Pertumbuhan belanja sektor strategis ini di tingkat kabupaten/kota cenderung mengalami kenaikan sedangkan di tingkat pemerintah provinsi cenderung mengalami penurunan. Untuk pemerintah kabupaten/kota rata-rata tumbuh 34% per tahun (secara riil tumbuh 21%), dan di tingkat pemerintah provinsi Papua rata-rata 24% per tahun (riil 12%) per tahun. 3.3. Komposisi Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi Belanja daerah di Provinsi Papua mengalami perubahan struktur di mana belanja modal mendominasi sejak tahun 2006. Untuk periode 2004-2005, belanja pegawai mendominasi struktur belanja provinsi dengan rata-rata proporsinya sebesar 33% per tahun untuk kemudian digantikan dengan belanja modal yang juga sebesar 33% per tahun, selengkapnya hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.3. Sejak tahun 2006, Pemprov Papua mendapatkan tambahan dana Otsus untuk infrastruktur, yang berimbas pada kebutuhan pembangunan dan pengadaan barang-barang fisik yang lebih besar. Sehingga, struktur belanja pemerintah provinsi berubah selama tahun 2006-2008, yang ditandai oleh semakin besarnya proporsi belanja modal. Adapun untuk belanja barang dan jasa, serta belanja lainnya cenderung proporsinya bergerak stabil selama periode tersebut yang bergerak dikisaran antara 22-25% per tahun untuk belanja barang dan jasa, serta 13-20% per tahun untuk belanja lainnya. Gambar 3.3.
Tren Proporsi Belanja Daerah Menurut Klasifikasi Ekonomi Di Tingkat Provinsi dengan Kabupaten/Kota di Papua Tahun 2004-2008 Pe me rintah Prov insi
Pe me rintah Kabupate n/kota
4,500
14,000 Belanja lain-lain
4,000 3,500 miliar Rp
942
2,500 2,000 1,500 1,000 500 0
676 133 584
579
424 305
398 448 380
2004
2005
1,215
525 603
653
465
622
2006
2007
1,179 682 802 2008
1,255
10,000
Belanja modal Belanja barang & jasa Belanja pegawai Total belanja riil Pemprov
miliar Rp
1,332
3,000
Belanja lain-lain
12,000 1,205
8,000 1,083
6,000 4,000 2,000 0
660 1,205 847 1,750
747 1,046 1,186 1,695
2004
2005
2,617
2006
Belanja barang & jasa
3,345 2,423
1,795 1,862
Belanja modal
4,255
2,882
3,178
3,809
2007
2008
Belanja pegawai Total belanja riil Pemkab/Kota
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran
Pergeseran struktur belanja terjadi di kabupaten/kota. Pada tahun 2004-2005 belanja terbesar adalah belanja pegawai sebesar 38% namun kemudian belanja modal mendominasi di tahun-tahun berikutnya. Kenaikan belanja modal ini dapat disebabkan karena naiknya dana alokasi khusus (DAK) yang ditujukan untuk belanja prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan dan infrastruktur serta arahan penggunaan dana Otsus di tingkat kabupaten/kota untuk membelanjai aset pelayanan dasar. Sementara di tingkat pemerintah provinsi belanja relatif berimbang namun belanja untuk modal relatif dominan.
2
Sektor strategis adalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi kerakyatan (UU No. 21/2001). Termasuk di dalam sektor-sektor strategis ini adalah belanja di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, dan perhubungan.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 3 Belanja Daerah
26
Selama 2004-2007, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja sudah menurun, walaupun secara jumlah tetap meningkat. Menyadari komposisi APBD Papua sebagai ”piramida terbalik”3, Gubernur Papua langsung mengupayakan untuk membalik piramida ini sehingga sebagian besar belanja APBD dinikmati oleh publik, dan bukan oleh aparat. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah menurunkan proporsi belanja pegawai. Seperti yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya, proporsi ini sudah menurun cukup banyak, walaupun secara nominal tetap meningkat. Pada tahun-tahun mendatang, diharapkan proporsi belanja pegawai ini akan terus berkurang seiring bertambahnya alokasi langsung Otsus ke masyarakat dan diterapkannya struktur pemerintahan yang lebih ramping. 3.4. Perkembangan Surplus dan Defisit Anggaran Surplus APBD terjadi pada pemprov dan pemerintah kabupaten/kota. Untuk Pemprov Papua, yang selalu mengalami surplus selama periode tersebut, rasio surplus terhadap total pendapatan berkisar di bawah 10%. Surplus ini sebagian besar digunakan untuk pembentukan dana cadangan dan penyertaan modal pada perusahaan daerah. Untuk tingkat pemkab/kota, persentase surplus terhadap total pendapatan mencapai sekitar 10%. Kecenderungan surplus ini terjadi karena unsur kehati-hatian pemerintah daerah dalam memprediksi pendapatan yang belum pasti diterima sehingga bila pendapatan yang diragukan itu benar-benar diterima maka surplus pun terjadi di akhir tahun anggaran. TrendPendapatan Pendapatan dan dan Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Gambar Tren Daerah diDiTingkat Tingkat Pemerintah Provinsi Gambar 3.4 - 2008` 3.4. dengan Kabupaten/Kota di Papua Tahun 2004 2004-2008 Pe me rintah Prov insi
Pe me rintah Kabupate n/Kota
5,068
11,861
4,674
4,544
4,461
2,269
1,819
2,000 0
2004
3
1,806
1,447
0
1,516
1,000
10,782
8,000
6,000 Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) 2,000 Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 20084,000 adalah anggaran
9,687
10,000
10,150
12,000
7,357
miliar Rp 3,954
3,606
3,246
3,000
3,968
4,000 3,823
miliar Rp
5,000
12,201
14,000
6,000
2005
2006
2007
2008
2004
2005
2006
2007
2008
Pendapatan nominal
Belanja nominal
Pendapatan nominal
Belanja nominal
Pendapatan riil Pemprov
Belanja riil Pemprov
Pendapatan riil Pemkab/Kota
Belanja riil Pemkab/Kota
PEA Report 2005
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 3 Belanja Daerah
27
16,000
6.9325
14,000
7 5.1918
12,000 10,000 8,000
13,973
3.9753 3.1528
6,000 4,000
8
6 5
10,387
4 3
7,455
2
5,908
2,000
1
-
0 2004
Belanja Provinsi Papua (kiri)
juta Rp
miliar Rp
3.5. Efektivitas Belanja Provinsi Papua Belanja per kapita Papua terus mengalami kenaikan. Kenaikan belanja per kapita ini seiring dengan bertambahnya transfer dana yang masuk ke Papua baik melalui dana perimbangan (DAU, DAK, Dana Bagi Hasil), APBN (dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan), maupun melalui dana Otsus. Sementara itu di lain pihak pertambahan jumlah penduduk tidak banyak mengalami perubahan. Gambar 3.5. Tren Hubungan Antara Belanja Provinsi Papua dengan Belanja Per Kapita Papua Tahun 2004-2008
2005
2006
2007
Belanja Per Kapita Provinsi Papua (kanan)
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2007 (diolah), Depkeu Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi; tidak termasuk Dana Otsus
Secara umum peranan belanja daerah selama 2005-2007 dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi masih belum efektif. Elastisitas belanja Provinsi Papua terhadap PDRB tahun 2006 sebesar 0,10 dan tahun 2007 sebesar 0,11. Angka ini menunjukkan bahwa naiknya belanja hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2007 kenaikan 1% belanja daerah hanya mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi sebesar 0,11%, sedikit lebih tinggi daripada elastisitas tahun 2006 yang sebesar 0,10. Box 3.1 Mengukur pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Elastisitas dihitung sebagai rasio antara pertumbuhan PDRB dengan pertumbuhan belanja daerah. Pertumbuhan PDRB berdasarkan pada PDRB harga konstan yang sudah mengeluarkan sektor pertambangan. Sementara belanja daerah diukur sebagai total belanja APBD dan APBN (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) riil Provinsi Papua. Angka elastisitas menunjukkan berapa persen pertumbuhan ekonomi berubah akibat dipengaruhi oleh 1% kenaikan belanja daerah. Belanja daerah dianggap efektif apabila elastisitas bernilai diatas 1%. Meskipun demikian elastisitas tidak menjadi satu-satunya indikator untuk mengukur efektivitas belanja daerah. Selain itu harus dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi belanja daerah saja.
3.6. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat mencapai Rp8,7 triliun dan cenderung turun proporsinya terhadap total belanja daerah. Pertumbuhan maupun perkembangan transfer dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan APBD Provinsi Papua secara keseluruhan. Proporsi dana dekonsentrasi pada masing-masing bidang Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 3 Belanja Daerah
28
mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Proporsi alokasi terbesar tahun 20052007 pada bidang ketertiban dan keamanan dengan rata-rata 33,70% per tahun, sedangkan pada tahun 2008 lebih difokuskan pada bidang pelayanan umum dengan proporsi alokasi sebesar 53,71%. Sementara itu proprosi alokasi pada bidang ekonomi sepanjang periode 2005-2008 menempati posisi kedua dengan rata-rata 25,22% pertahun. Untuk bidang kesehatan proprosi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sepanjang tahun 2004-2008 termasuk kecil yakni rata-rata 2,61% per tahun sedangkan untuk bidang pendidikan proporsi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan rata-rata untuk periode yang sama sebesar 10,09% per tahun. Tabel 3.2.
Proporsi Dana Dekonsentrasi Provinsi Papua Tahun 2005-2008 (dalam %)
Sektor Pelayanan Umum Pertahanan Ketertiban Dan Keamanan Ekonomi Lingkungan Hidup Perumahan Dan Fasilitas Umum Kesehatan Pariwisata Dan Budaya Agama Pendidikan Perlindungan Sosial
2005 22,02 3,49 34,47 16,48 0,94 4,73 1,03 0,23 1,15 14,55 0,91
2006 22,46 1,66 36,57 22,27 0,89 0,14 2,49 0,24 1,22 11,72 0,33
2007 14,51 16,82 30,07 23,75 0,96 0,01 2,15 0,16 1,19 10,30 0,07
2008 53,71 0,26 7,55 25,27 1,11 0,04 0,97 0,07 0,43 10,52 0,10
Sumber : Departemen Keuangan (SIKD) Box 3.2 Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan Sesuai PP No. 7/2008 dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Sedangkan tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan instrumen pemerintah pusat dalam melaksanakan program-program pusat di daerah. Laporan keuangan kedua jenis dana ini tidak termasuk dalam pencatatan APBD dan pemerintah provinsi langsung bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.
Proporsi alokasi dana dekonsentrasi tugas pembantuan tidak selalu sama dari tahun ke tahun. Berdasarkan data pada Gambar 3.6, nampak bahwa dana tugas pembantuan yang dikucurkan pemerintah pusat juga mengalami fluktuasi, dimana total dana tugas pembantuan sepanjang tahun 2005-2008 secara riil mencapai Rp935 miliar. Alokasi dana tugas pembantuan untuk tahun 2005 terbesar pada bidang perumahan dan fasilitas umum namun kemudian bergeser ke bidang ekonomi yang mencapai 53,03% dari total dana tugas pembantuan pada tahun 2008.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 3 Belanja Daerah Gambar 3.6.
2008
29
Tren Proporsi Dana Tugas Pembantuan Provinsi Papua Periode 2005-2008 (dalam %)
6.89
2007
53.03
13.03
2006
39.13
20.06
2005 2.69
0
3.45
3.82
18.57
46.35
42.29
20
40
25.44
2.82 8.95
2.51
21.82
52.52
60
PELAYANAN UMUM LINGKUNGAN HIDUP KESEHATAN
36.4
80
100
EKONOMI PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM
Sumber : Departemen Keuangan (SIKD) 3.7. Rekomendasi Besarnya sumber daya fiskal Provinsi Papua sebaiknya diarahkan ke sektorsektor strategis yang mendukung program pencapaian rencana pembangunan jangka panjang Papua. Diperkirakan sumber keuangan daerah dalam sepuluh tahun ke depan masih terus meningkat. Peningkatan ini terutama dapat dijamin dari sumber dana Otsus Papua. Namun, kenaikan pendapatan ini direkomendasikan agar diikuti dengan pola pembelanjaan daerah yang lebih mengarah pada pelayanan dasar seperti pendidikan, dan kesehatan, serta infrastuktur. Juga perhatian pada sektor pertanian dan lembaga ekonomi kerakyatan yang berhubungan langsung dengan pendapatan penduduk kebanyakan perlu mendapat perhatian. Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota perlu memfokuskan alokasi belanjanya pada sektor-sektor yang mampu memicu perekonomian lokal. Rendahnya elastisitas belanja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah mengharuskan pemerintah daerah mengambil kebijakan untuk membelanjakan dana yang lebih besar pada sektor-sektor yang memicu pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga aspek pemerataan dan keadilan bagi sebagian besar penduduk asli Papua yang masih relatif tertinggal. Usaha “membalik piramida” perlu diteruskan untuk memaksimalkan anggaran publik. Dominasi belanja Pegawai, yang sebelumnya mendominasi belanja APBD di Provinsi Papua, dalam beberapa tahun terakhir (2006-2008) beralih ke belanja modal. Hal ini mengindikasikan kebijakan belanja yang makin baik karena dengan memperbesar porsi belanja modal berarti pemerintah daerah terus meningkatkan kapasitas untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
30
BAB 4 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
ANALISIS SEKTORAL
Bab 4 Analisis Sektoral
31
Bela anja sektorral terus meningkat m , namun belum b berrdampak m maksimal pada sekttorsektor strategis yakni pendidikan p n, kesehattan, infrasstruktur da an pertania an. Dari sisi s sara ana dan prasarana sudah s terlihat adany ya perbaikkan akan tetapi mas sih jauh dari d kond disi yang diharapkan. 4.1. Sektor Pe endidikan Seca ara umum,, kinerja se ektor pendidikan di Provinsi P Papua belum m terlihat op ptimal. Ma asih terda apat ketim mpangan pendidikan p n antara kabupaten/ k /kota, dan n permasa alahan aksses serta a kualitas pendidikan yang sa angat dipe engaruhi oleh kondissi wilayah dan kualitas sumber daya manusia. Sarana dan d prasa arana yang g tersedia belum memadai m d dan penccapaian se ektor pend didikan ma asih dibawah harapa an. Meskip pun terjadi peningkattan peng geluaran sektor s pend didikan namun masih belum dapat menjawab perm masalahan n di sektor pendidikkan. Kon ndisi Pendidikan Di Provinsi Papua P Prov vinsi Papua menerrapkan ke ebijakan penyediaa p an layanan n pendidikan deng gan biay ya rendah. Hal ini mulai m dilakksanakan pada tahu un 2009 d dengan dik keluarkann nya Pera aturan Gub bernur Nom mor 5 Tahu un 2009 Te entang Pem mbebasan Biaya Pen ndidikan Bagi Wajiib Belajar Pendidika an Dasar, dan Peng gurangan Biaya Pendidikan Bagi B Pese erta Didikk Orang Asli A Papua pada Jen njang Pend didikan Me enengah. Peraturan gubernur ini telah h memberri amanat mengena ai pembeb basan biayya pendidikan terha adap selurruh pese erta didik pada jenja ang pendiidikan das sar dan te erhadap pe eserta didik orang asli a Papu ua dari keluarga kurang mamp pu pada jenjang pendidikan me enengah. Pembebas P san biaya pendidikan melip puti sumb bangan pe enyelengga araan pen ndidikan (SPP), ( bia aya pene erimaan pe eserta didiik baru/PS SB, biaya buku b pelaja aran, biaya a pembangunan, bia aya ulangan dan ujian, biaya penam matan dan perpisahan, keberrsihan dan n keamana an, kegiatan. Kebijjakan daerrah tersebu ut dimaksu udkan untu uk mengeja ar keterting ggalan sekktor pend didikan di Papua, P terutama dala am hal me eningkatkan n kualitas p pendidikan n. Gambar 4.1.
Trend Rasio Guru dan n Ruang Be elajar Terhad dap Jumlah Murid di Provinsi Papu ua Tahun 2004 4-2007
(a). Rasio Guru-Murid (murid Per Guru)
[ ] R
i G
M id d(
id
)
(b). Rasio Ruang Belajar - Murid (murid Per ruangan Belajar
Sumber : BPS Papua, 2008 (diolah)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
32
Dalam hal tenaga pendidik dan prasarana pendidikan, ketersediaan guru dan ruang kelas mulai terlihat membaik. Pada Gambar 4.1, sepanjang periode 20042007, rasio guru-murid di tingkat SLTP dan SMU menunjukkan perbaikan signifikan, sementara pada tingkat SD cenderung stagnan. Pada gambar yang sama, rata-rata rasio jumlah murid per ruang belajar menunjukkan tren yang beragam untuk jenjang SD (meningkat), SLTP (stagnan), dan SLTA (menurun). Jika dikombinasikan dengan APM ketiga jenjang membaik selama periode yang sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa selama empat tahun ini ketersediaan tenaga pendidik dan prasarana pendidikan secara umum semakin baik. Meskipun kecenderungan rasio murid per guru sudah membaik, pada kenyataannya Papua masih kekurangan guru. Indikatornya dapat dilihat pada perkembangan kebutuhan guru. Misalkan untuk tingkat SD, idealnya satu gedung SD minimal diawasi oleh 9 guru1. Karena pada tahun 2007 tercatat jumlah gedung SD di Papua adalah 2.330 unit, maka jumlah guru yang ideal seharusnya 20.970 orang. Akan tetapi pada tahun tersebut jumlah guru yang ada hanya 15.572 orang, berarti terdapat kekurangan guru sebanyak 5.398 orang, lihat Tabel 4.1. Tabel 4.1. Tahun 2004 2005 2006 2007
Trend Rasio Guru Terhadap Jumlah Murid di Provinsi Papua Tahun 2004-2007 Gedung Sekolah Dasar (unit) 2.407 2.428 2.378 2.330
Ketersediaan Guru Riil Ideal (orang) (orang) 17.984 21.663 16.079 21.852 15.869 21.402 15.572 20.970
Kekurangan (orang) 3.679 5.773 5.533 5.398
Sumber : BPS Papua, 2008 (diolah)
Indikator capaian pendidikan di Papua masih sangat memprihatinkan. Untuk setiap indikator capaian, Papua masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan rata-rata nasional. Selain sarana dan prasarana pendidikan yang kurang, ketimpangan pendidikan antar kabupaten/kota juga mewarnai sektor pendidikan di Provinsi Papua. Indikator rendahnya akses layanan pendidikan dapat dilihat dari rasio APM di tahun 2008, terutama untuk tingkat SD sebesar 82,9% dan SLTP sebesar 48,56%. Padahal, untuk Indonesia, APM tingkat SD adalah sebesar 93,98% dan SLTP sebesar 66,75%. Kesenjangan antar kabupaten/kota dalam hal rasio guru-murid, lama sekolah, dan melek huruf sangat memprihatinkan. 1. Untuk rasio guru terhadap murid SD, di tahun 2007 tercatat ada 4 kabupaten/kota yang mempunyai rasio di atas 30, kemudian 9 kabupaten/kota dengan rasio antara 20-30, dan 7 kabupaten/kota memiliki rasio di bawah 20. Rasio guru murid SD secara nasional adalah 19 (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Umumnya, rasio guru terhadap murid di tingkat SD, SLTP, maupun SLTA mengalami penurunan antara tahun 2005 dan 2007 di seluruh kabupaten/kota. 2. Dari seluruh kabupaten/kota di Papua, dapat dikatakan hanya Kota Jayapura (10,7 tahun) dan Kabupaten Biak Numfor (9,3 tahun) di mana rata-rata penduduknya sudah menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun, lihat Tabel 4.2. 1
Renstra Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua tahun 2007-2011
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
33
Sedangkan untuk 18 kabupaten lainnya memiliki rata-rata lama sekolah kurang dari 6 tahun atau tidak menyelesaikan pendidikan SD. Kabupaten-kabupaten ini rata-rata sulit diakses karena berada di wilayah pedalaman atau pegunungan seperti Kabupaten Jayawijaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Tolikara, Mappi dan Asmat. 3. Kesenjangan antar kabupaten/kota juga sangat terlihat dalam angka melek huruf. Kabupaten/kota yang terletak di daerah yang mudah diakses memiliki angka melek huruf di atas 90%, sedangkan kabupaten/kota yang terletak di daerah yang sulit diakses memiliki angka melek huruf di bawah 50%. Rata-Rata Lama Sekolah, Melek Huruf dan Jumlah Guru Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Tahun 2007 Lama Sekolah Melek Huruf Guru Kabupaten/Kota (tahun) (persen) (orang) Merauke 8,5 87,10 2.266 Jayawijaya 3,4 47,21 2.106 Jayapura 8,0 96,00 2.140 Nabire 6,5 83,20 2.232 Yapen Waropen 6,5 88,12 1.409 Biak Numfor 9,3 97,48 1.961 Paniai 6,2 62,90 1.483 Puncak Jaya 6,1 86,80 418 Mimika 6,7 86,90 1.637 Boven Digoel 3,0 31,70 728 Mappi 3,8 31,30 713 Asmat 3,9 31,00 613 Yahukimo 2,4 31,80 482 Pegunungan Bintang 2,2 31,60 547 Tolikara 2,4 32,86 605 Sarmi 6,4 87,10 628 Keerom 7,3 91,10 915 Waropen 6,3 76,50 443 Supiori 7,7 95,37 319 Kota Jayapura 10,8 98,41 3.007 Papua 6,5 75,41 24.652 Indonesia 7,5 91,87 Tabel 4.2.
Sumber : BPS Papua (2008) diolah, www.bps.go.id
Kesetaraan gender di Papua sampai saat ini juga masih tergolong rendah dibandingkan Indonesia. Secara rata-rata penduduk Papua hanya dapat menyelesaikan pendidikan SD, yang berarti penduduk Papua secara rata-rata belum dapat menyelesaikan Wajib Belajar 9 tahun. Penduduk laki-laki Papua umumnya menjalankan pendidikan sekolah hanya selama 7,3 tahun, dan untuk perempuan lebih rendah lagi yakni 5,7 tahun. Sedangkan rata-rata Indonesia adalah 8 tahun untuk lakilaki, dan 7 tahun untuk perempuan. Persentase melek huruf penduduk Papua adalah 81,01% untuk penduduk laki-laki, dan 68.78% untuk perempuan. Sangat jauh dibandingkan Indonesia, dimana persentase melek huruf untuk penduduk laki-laki adalah 95,22%, dan penduduk perempuan sebesar 88,62%. Meskipun demikian terlihat harapan ke depan karena tingkat melek huruf penduduk usia muda (15-44 tahun) di Papua lebih tinggi dari penduduk usia tua sebagaimana terlihat di Gambar 4.2 berikut.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
34
60%
76% 64% 61% 63%
89% 78% 70% 80%
80%
77% 67% 51% 53%
100%
Tingkat melek huruf menurut kelompok umur di Papua tahun 2003 dan 2007
88% 78% 67% 71%
Gambar 4.2.
40% 20% 0% Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
2003
Perempuan 2007
15-29
30-44
45-59
>60
Sumber : Diolah dari Susenas 2007
Gambar 4.3.
APS Murni berdasarkan Kelompok Pendapatan
100
Q1
APSMurni(dalam %)
90 80
Q2
70
Q3
60
Q4
50 Q5
40 30 20 10 Ͳ SD
SLTP
SLTA
Sumber : Diolah dari Susenas 2007
Kesenjangan akses pendidikan juga terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan tinggi. Gambar 4.3 menunjukkan perbedaan besar pada APS murni antara kelompok pendapatan rendah dan tinggi, terutama pada jenjang SLTP dan SLTA. Pada jenjang SLTA, APS murni kuintil terkaya sekitar 2,5 kali lebh tinggi dari kuintil termiskin (74,9%: 29,7%). Pada jenjang SLTA, kesenjangan yang terjadi lebih lebar lagi, yaitu lebih dari 5 kali lebih besar (65,2%:12,6%). Gambar yang sama secara tersirat menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kab/kota baru berhasil memeratakan pendidikan untuk bangku sekolah dasar, di mana perbedaan antara kuintil terkaya (93,2%) dengan kuintil termiskin (72,8%) tidak terlalu lebar.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
35
Pengeluaran Publik Sektor Pendidikan Perkembangan belanja per kapita di bidang pendidikan cenderung meningkat. Walaupun sempat terjadi penurunan belanja pendidikan per kapita pada tahun 2006, namun secara umum terjadi kenaikan belanja dari APBD provinsi maupun kabupaten/kota untuk per kapita penduduk Papua. Kenaikan belanja bidang pendidikan di kabupaten/kota lebih banyak disebabkan karena terjadi kenaikan belanja barang dan jasa, namun belanja untuk gaji guru masih tetap dominan (sekitar 60% dari total belanja pendidikan). Pada tahun 2008 belanja per kapita pendidikan ini adalah yang terbesar di Papua setelah belanja per kapita untuk infrastruktur. Gambar 4.4.
Trend Pengeluaran Pendidikan per Kapita di Provinsi Papua tahun 2004-2008
Belanja pendidikan per kapita (Rp) 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 2004
2005
Belanja nominal per kapita
2006
2007
2008
Belanja riil per kapita
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah)
Porsi belanja pendidikan dalam struktur belanja daerah masih belum sesuai ketentuan, baik di pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Selama tahun 2004-2008, pemerintah provinsi mengalokasikan pengeluaran pendidikan rata-rata hanya 7,43% per tahun dari total belanja daerah. Sedangkan untuk kabupaten/kota sebanyak 16,27% per tahun. Alokasi belanja pendidikan sebesar ini masih dibawah ketentuan anggaran pendidikan yakni 20% dari total belanja. Menurut klasifikasi ekonomi, belanja untuk pegawai porsinya paling tinggi dibandingkan belanja modal, barang dan jasa, dan belanja lainnya baik di pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota untuk bidang pendidikan ini. Untuk tahun 2004-2008 rata-rata proporsi belanja pegawai di pemerintah provinsi adalah sebesar 39,05% per tahun. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota rata-rata proporsi belanja pegawai yang sebagian besar untuk gaji guru adalah sebesar 66,28%.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
36 Gambar 4.5.
Trend Pengeluaran Pendidikan Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Periode 2004-2008 Belanja Pendidikan Pemkab/Kota
300
Billions
Billions
Belanja Pendidikan Pemprov
250 200
2,000 1,500 1,000
150 100
500
50 -
-
2004
2005
2006
2007
2008
2004
2005
2006
2007
Belanja pegaw ai
Belanja barang & jasa
Belanja pegaw ai
Belanja barang & jasa
Belanja modal
Belanja lain-lain
Belanja modal
Belanja lain-lain
Total belanja pendidikan (riil)
2008
Total belanja pendidikan (riil)
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah)
Rekomendasi Khususnya dalam bidang pendidikan, koordinasi yang baik antara Pusat, Pemprov dan Pemkab/kota sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan hasil pembangunan. Adanya dana perimbangan, Otsus, dan APBN yang berjumlah besar merupakan peluang yang patut dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh pemerintah daerah dan masyarakat Papua dalam upaya meningkatkan partisipasi pendidikan penduduk usia sekolah, terutama untuk pendidikan SD dan SLTP. Hanya saja, dalam pelaksanaan pembangunan, masih sering terjadi tumpang tindih kewenangan dan koordinasi antara Pusat, Pemprov, dan Pemkab/kota. Untuk mengatasinya, Depdiknas, Dinas Dikpora Provinsi, dan Dinas Pendidikan Kab/kota perlu duduk bersama dalam mengkoordinasikan kegiatannya masing-masing. Dengan demikian, anggaran yang besar itu dapat terpakai secara efektif dan efisien dan menghasilkan kemajuan yan diharapkan. Kuantitas dan kualitas guru perlu ditingkatkan, terutama di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan, agar terjadi pemerataan pendidikan antar daerah. Ketersediaan guru dengan rasio yang cukup ideal sebagian besar ada di daerah-daerah pesisir dan perkotaan. Sedangkan di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan umumnya mengalami kekurangan guru, sehingga rasio guru terhadap murid sangat jauh dibawah ideal. Kondisi ini akhirnya berdampak terhadap rendahnya waktu penyelesaian sekolah, dan masih tingginya buta huruf pada masyarakat Papua yang berada di pedalaman dan pegunungan. Sehingga ketimpangan yang terjadi bukan hanya pada rasio guru saja, tetapi juga untuk lama sekolah dan melek huruf. Peningkatan akses terhadap pendidikan harus difokuskan pada kelompok masyarakat yang masih tertinggal. Pada pembahasan di bagian sebelumnya, terdapat ketimpangan akses pendidikan dalam berbagai dimensi, seperti gender, geografis, dan pendapatan. Untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan ini, Pemprov dan Pemkab.kota perlu bekerja sama dalam memfokuskan peningkatan akses pendidikan ke kelompok-kelompok dengan akses pendidikan yang sangat memprihatinkan, seperti anak perempuan, keluarga miskin, dan masyarakat pedalaman.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
37
Pem mprov dan n Pemkab//kota di Papua P perrlu berkom mitmen untuk men ngalokasik kan miniimal 20% anggaran n untuk be elanja pen ndidikan. Jumlah alo okasi dana a merupakkan salah satu fakktor pendu ukung dala am peningkatan kua alitas pend didikan di Papua, pa ada khussusnya, dan d di indonesia, pa ada umum mnya. Oleh h karenanyya, belanja a pendidikkan Pem mprov dan Pemkab/kkota sanga at diharap pkan berjum mlah minimal sebes sar 20% dari d total APBD settiap tahunn nya, sebag gaimana ya ang diatur oleh UU 2 20/2003 tentang Siste em Pend didikan Na asional. 4.2. Sektor Ke esehatan Kese ehatan ada alah salah h satu sekttor priorita as di Papua karena kkondisinya a yang ma asih tertin nggal dibanding dengan daera ah lain. Pap pua dihada apkan pad da permasa alahan bessar sepu utar penya akit tertenttu seperti HIV/AIDS, malaria dan ISPA. Dengan pengeluarran kese ehatan yan ng relatif re endah diba andingkan sektor-sektor lainnyya, masih ada a kesulittan dalam pengem mbangan sarana s dan n prasarana, ketersed diaan tena aga medis,, dan adan nya ketim mpangan antar a daera ah. Walaup pun demik kian, secara perlahan n terlihat ada perbaikkan capa aian indika ator keseha atan. ndisi Kesehatan di Provinsi P Papua Kon Pem merintah provinsi p m memberi p prioritas layanan l k kesehatan n bagi penduduk asli a Papua. Melalu ui Peratura an Gubern nur Papua a No. 6/20 009 tentan ng Pembe ebasan Bia aya Kese ehatan Ba agi Orang Asli Papua, Pemp prov memb bebaskan biaya kes sehatan bagi oran ng asli Pa apua pada Rumah h Sakit Umum U Dae erah (RSU UD) yang g ditanggu ung pem merintah dalam d tah hun angg garan 200 09. Selain n itu, pe emerintah juga akkan mem mbebaskan n biaya berrobat bagi penduduk asli Papua a di setiap puskemas s dan pustu u. Gam mbar 4.6
Indikator ke esehatan berrdasarkan ke elompok pendapatan
Sumb ber: SUSENA AS 2007 (dio olah)
Pera an layanan kesehattan publik k di Prov. Papua le ebih besarr dari Indo onesia pa ada umu umnya. Gambar 4.6 6 mengind dikasikan bahwa b ma asyarakat Papua me emiliki aksses yang g lebih ba aik terhad dap fasilita as umum kesehata an sepertii rumah sakit s umu um,
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
38
puskkesmas, da an pustu dibandingk d kan dengan Indonesia pada um mumnya (12% vs 7% %). Hal yang sam ma juga terjadi t pada akses ke layan nan keseh hatan grattis, di ma ana masyarakat Pa apua mem miliki akse es terhada ap pelayan nan kesehatan gratis s lebih tinggi dari pada rata--rata Indon nesia (26% % vs 14%). Kedua ha al ini juga m mengindika asikan bahwa ketergantunga an masyara akat Papua a terhadap p layanan kesehatan k pemerinta ah lebih bessar a-rata nasional, ya ang sedik kit-banyak disebabka an oleh keterbatassan dibanding rata layanan keseh hatan swassta. Seca ara umum m, targeting layanan n kesehata an di Prov v. Papua s sudah pad da arah ya ang bena ar. Masih dari Gambar 4.6. kita k dapat melihat ba ahwa massyarakat da ari kelomp pok pend dapatan ya ang paling g rendah memiliki m akses a yang g paling b besar terha adap fasilitas kese ehatan um mum dan gratis. g Han nya saja, untuk u akse es ke laya anan kese ehatan gra atis, tidakk terlihat pe erbedaan besar anta ara kelomp pok pendap patan rend dah dan me enengah. Hal H ini mungkin m bissa dijelaskkan dengan n melihat tingginya t a angka kem miskinan di Papua, ya ang men ngindikasikan bahwa sebagian kelompok k pendapattan menen ngah sebe etulnya ma asih tergo olong miskkin. Kualitas kese ehatan penduduk Provinsi P Papua P sud dah memb baik selam ma bebera apa tahu un terakhir. Kecenderungan antara a tahu un 2000 dan 2005 d dapat menunjukkan hal terse ebut. Dalam Gambarr 4.7, jumlah kematia an bayi di Papua da apat ditekan dari 44 per p 10.0 000 bayi dii tahun 20 000 menjad di 35 per 10.000 bayi pada ta ahun 2005. Begitu ju uga deng gan angka a harapan n hidup mengalami m n dari 67 tahun di tahun 20 000 perbaikan men ningkat me enjadi 68 tahun t pad da tahun 2005. 2 Cap paian Papu ua pada dua d indika ator kese ehatan uta ama ini lebih baik dibandingk d kan NTB (Nusa ( Ten nggara Ba arat), Malu uku Utarra, Kaliman ntan Selattan, Sulaw wesi Tenga ah, Banten n, Maluku, NTT (Nusa Tengga ara Timu ur), dan Ka alimantan Barat, B lihatt Gambar 4.7. 4 Gambar 4.7.
Perbanding gan Indikato or Kesehata an Provinsi Papua de engan Bebe erapa Daera ah Lainnya di Indonesia Tahun T 2000 dan d 2005
[a]. Angka Kematian K Bayi Di Indonessia (per 10.000 bayi)
[b]. Angka Harapan Hid dup Di Indon nesia (tahun)
ber : Booklett BPS, 2008 (diolah) Sumb
Mes skipun kua alitas kese ehatan me embaik, fa asilitas pe elayanan k kesehatan n di Provin nsi Papua selama a ini cenderung tida ak beruba ah. Gamba ar 4.8a menunjukkan bahwa ra asio jumlah pendud duk per Puskesmas sepanjang periode 2005-200 07 bisa dik katakan tid dak beru ubah. Sed dangkan, rasio r jumlah pendu uduk per Pustu (P Puskesmas s Pemban ntu) men nunjukkan kemajuan k yang lebih h signifikan, di mana rata-rata ssetiap Pusttu menangani 2742 2 penduduk pada tah hun 2007 dibandingk d an 3184 penduduk p pada tahun n 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
39
Kete ersediaan tenaga medis se ecara um mum bisa dikatakan sudah lebih ba aik, wala aupun ma asih jauh dari idea al. Rata-ra ata jumlah penduduk yang dilayani setiap doktter menuru un cukup berarti selama 2005-2007 dan d pada tahun 20 007 rasion nya men ncapai 5.64 46 orang per p dokterr. Namun demikian d a angka ini masih jauh dari ang gka ideal, yaitu seb besar 2.50 00 orang per dokter. Hal serupa juga terjadipada bidan di ma ana seorrang bidan n rata-rata melayani 1169 pend duduk (200 07). Namu un, hal yan ng sebalikn nya terja adi pada ketersedia aan peraw wat. Pada tahun 20 007, seora ang peraw wat rata-ra ata mela ayani 827 orang perr tahun, ya ang sedikitt naik diba andingkan 796 orang g pada tah hun 2005 5. Selengkkapnya dap pat dilihat di d Gambar 4.8 beriku ut. Gambar 4.8.
Tren Rasio Puskesmas, T P Pustu, Doktter, Bidan da an Perawat Di Provinsi Papua P Tahun 2 2005-2007 dibuat per 10.000 pendud duk
Rasio Puskessmas dan Pu ustu [a]. R (o orang/unit) Sumb ber : BPS Pa apua, 2008 (d diolah)
Rasio Dokter Terhad dap Pendud duk Menurutt Kabupaten//Kota Di Pro ovinsi Papua a Tahun 20 007 (per orang)
Gambar 4.9.
Sumb ber
:
[b]]. Rasio Doktter, Bidan da an Perawat (orang/tena aga medis)
BPS
Papua,
20 008
(diola ah)
Sumber : BPS Papua, 2008 (diolah)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
40 Gambar 4.10.
Rasio Puskkesmas Terh hadap Penduduk Menuru ut Kabupaten/Kota di Prrovinsi Papua a Tahun 200 07 (per 10.00 00 penduduk))
Sumb ber : BPS Pa apua, 2008 (d diolah)
Perm masalahan n yang paling men ndasar ad dalah pad da ketimpangan jum mlah dok kter anta ar kabupatten/kota di d Provinsi Papua. Pada P daera ah-daerah dengan to opografi ya ang sang gat sulit dijangkau da an ditempu uh transportasi dari pusat p ibuko ota Jayapu ura umumn nya jumlah dokterr sangat sedikit. s Pa ada Gamb bar 4.9, daerah-dae d erah pegu unungan dan d peda alaman seperti Kabu upaten Yah hukimo, Ja ayawijaya, Puncak Ja aya dan Paniai, P seca ara rata--rata satu orang do okter mela ayani sekittar 17 ribu u sampai hampir 50 5 ribu (Ka ab. Yahu ukimo) ora ang. Sedan ngkan untu uk daerah pesisir, se eperti Kota a Jayapura a, Kabupatten Mera auke dan Biak Numfor, rasio jumlah penduduk per sattu dokter yang relatif men ndekati rasio yang ide eal. Ketimpangan antar kab bupaten/k kota juga terjadi pa ada jumlah puskesmas. Sepe erti yang g disajikan dalam Ga ambar 4.10 0, di Kota Jayapura, Kabupate en Yapen Waropen W d dan Mera auke terda apat 1,5 – 2,4 2 Puskessmas per 10.000 1 pen nduduk. Te etapi di sebagian bessar kabu upaten/ kota, terdapa at kurang dari d satu Puskesmas P s per 10.00 00 pendud duk. Bahka an, di tujjuh kabupa aten, terda apat kurang g dari satu Puskesmas per 20.0 000 pendu uduk. Gambar 4.11. 2.0
Lima Pen nyakit Terbesar di Pendu uduk Papua Tahun T 2006 dan 2007 (d dalam %) 2.3
0.068
2.4
2.5
1.6
8..9
9.8
57.6
Tahun n 2006 27.2 ber : BPS Pa apua, 2008 (d diolah) Sumb
Tahun 20 007 56.9
28.3
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
41
Mala aria klinis s adalah jenis j pen nyakit malaria yang g paling banyak diderita d olleh pend duduk Pa apua selam ma ini. Se epanjang tahun t 2004 4-2007 ditemukan kasus mala aria kliniss sebanyak 69.000 kasus k per tahun t (Gambar 4.12). Dalam tahun 2005 5 sebenarn nya kasu us malaria klinis dapat ditekan hingga mencapai 26 6.597 kasu us. Namun n pada parruh wakttu 2005-20 007 terjadi kenaikan terus men nerus kasu us malaria klinis dengan rata-ra ata kena aikan mend dekati 90% % per tahun n. Gambar 4.12.
Tren Kasu us Penyakit Malaria M Di Prrovinsi Papua a Periode 20 004-2007 (orrang)
Sumb ber : BPS Pa apua, 2008 (d diolah)
Peny yakit mallaria di Papua P sud dah menjjadi perha atian serius, buka an hanya di Indo onesia me elainkan seluruh s du unia. Pada a tanggal 25 2 April 20 009 saat mempering m gati Hari Malaria sedunia telah dilakukkan semina ar internassional yang g diselengg garakan oleh Proyyek IPM-5G GF di Kota a Jayapura a. Saat itu dicanangkkan slogan Papua Be ebas Malarria, deng gan targetn nya adalah h pada tah hun 2020 wilayah w Pa apua bersih h dari peny yakit malarria. Untu uk jangka menenga ah, pemerrintah prov vinsi akan n berupayya menuru unkan kassus penyyakit malarria di Papu ua sebesarr 50% dari tahun seka arang. Ancaman HIV V/AIDS me eningkat sejak s awal 2000. Ka asus HIV d ditemukan pertama kali k di Papua P pad da tahun 1992. 1 Sep perti ditunjjukkan pada Gamba ar 4.13, ju umlah kassus HIV//AIDS ini meningkat m sangat pe esat sejak tahun 200 00. Sampa ai saat ini, diperkirakkan total penderita a HIV/AIDS S di Papua a adalah sebanyak s 3.497 ora ang. Tindak kan preventif h dilakukan oleh pe emerintah provinsi yang didukkung oleh pemerinta ah pusat dan d telah nega ara-negara a donor. Su uatu tren yang y cukup menggembirakan adalah, pe erkembang gan kasu us HIV/AID DS per tahu un sudah mulai m bisa ditekan d sejjak tahun 2 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
42 Gambar 4.13.
Tren Jum mlah Kasus HIV H dan AIDS di Provinsi Papua Periode 1992-20 007
Sumb ber : Subdin BPP dan PL L Dinkes Provvinsi Papua (2008)
Bela anja Daera ah Di Sekttor Keseha atan Di tingkat pro ovinsi ma aupun kab bupaten/k kota, aloka asi belanjja bidang g kesehata an, g merupa akan salah h satu biidang stra ategis Ots sus, dalam APBD rata-rata di yang baw wah 10% per p tahun. Untuk pemerintah provinsi, p se elama tahu un 2004-2008 rata-ra ata prop porsi peng geluaran kesehatan k terhadap total bela anja sebesar 8,68% % per tahun. Seda angkan di tingkat kabupaten/ko ota, rata-ra ata sebesa ar 7,41%. Proporsi in ni masih ja auh dari rasio idea al yang sep patutnya sekitar s 15% % dari total APBD ya ang diangg garkan setiap tahu un. Gambar 4.14.
Trend Pengeluaran Kesehatan K Ka abupaten/Ko ota dan Provvinsi Papua Tahun 2004 42008
[a]. Harga Berlaku Sumb ber: Realisasi APBD A Tahun 2004-2008 (diolah)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
[b]. Harg ga Konstan 2007 2
Bab 4 Analisis Sektoral
43
Peran Pemkab/kota dalam belanja kesehatan semakin besar. Selama tahun 20042008, perkembangan belanja kesehatan di kabupaten/kota, mencapai rata-rata sebesar 42% per tahun menurut harga berlaku, atau 27,43% per tahun menurut harga konstan 2007. Untuk periode yang sama, pemerintah provinsi mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 13,13% per tahun berdasarkan harga berlaku, dan hanya 1,45% per tahun menurut harga konstan 2007. Hal ini menandakan bahwa Pemkab/kota menjalankan peran yang semakin besar dalam penyediaan layanan kesehatan, sesuai dengan amanat otonomi daerah. Selengkapnya hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.14. Pengeluaran kesehatan per kapita di Provinsi Papua cenderung meningkat setiap tahunnya. Untuk tahun 2004-2008 rata-rata kenaikan belanja per kapita kesehatan di provinsi ini menurut harga berlaku adalah sebesar 28% per tahun, sedangkan menurut harga konstan terlihat naik sebesar rata-rata 15% per tahun. Mirip dengan sektor pendidikan, kenaikan terbesar disumbang oleh belanja barang dan jasa. Gambar 4.15.
Trend Pengeluaran Kesehatan Per Kapita di Provinsi Papua Tahun 2004-2008 Belanja kesehatan per kapita (Rp) 800,000 700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 2004
2005
Belanja nominal per kapita
2006
2007
2008
Belanja riil per kapita
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah)
Belanja barang dan jasa dan belanja modal merupakan komponen belanja kesehatan yang paling besar. Jika dipilah menurut klasifikasi ekonomi, belanja barang dan jasa merupakan komponen terbesar dari belanja kesehatan Pemprov Papua periode 2004-2008, yaitu sebesar 46%. Perlu diperhatikan juga bahwa proporsi belanja pegawai menunjukkan tren yang meningkat. Sementara di tingkat kabupaten/kota, komponen terbesar adalah belanja modal (38%), yang pada umumnya digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan. Rata-rata proporsi belanja barang dan jasa relatif rendah yaitu sebesar 26% per tahun. Selengkapnya struktur belanja kesehatan dapat dilihat pada Gambar 4.16 berikut.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
44 Gambar 4.16.
Tren Pengeluaran Kesehatan Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Periode 2004-2008 Belanja Kesehatan Pemkab/Kota
350 300 250 200 150 100 50 -
Billions
Billions
Belanja Kesehatan Pemprov 1,200 1,000 800 600 400 200 -
2004
2005
2006
2007
2008
2004
2005
2006
2007
Belanja pegaw ai
Belanja barang & jasa
Belanja pegaw ai
Belanja barang & jasa
Belanja modal
Belanja lain-lain
Belanja modal
Belanja lain-lain
Total belanja kesehatan (riil)
2008
Total belanja kesehatan (riil)
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2007 dan APBD 2008 (diolah)
Rekomendasi Jumlah fasilitas layanan kesehatan, seperti Puskesmas, Pustu, dan RSUD, perlu ditingkatkan secara bertahap dan merata. Akses ke fasilitas kesehatan merupakan komponen penting untuk meningkatkan derajat kesehatan. Akan tetapi, seperti sudah dibahas di atas, jumlah dan sebaran fasilitas kesehatan masih kurang, terutama untuk daerah pedalaman. Dalam hal ini, Pemprov dan Pemkab/kota perlu bekerja sama untuk secara bertahap menambah jumlah Puskesmas, Pustu, Pusling, dan Polindes di daerah-daerah terpencil. Selain itu, RSUD di daerah-daerah yang menjadi simpul transportasi, seperti Wamena, Merauke, Timika, dan Biak, perlu ditingkatkan sehingga bisa lebih responsif dalam menangani kondisi darurat. Selain fasilitas, jumlah tenaga medis (dokter, bidan, dan perawat) juga harus ditambah secara merata. Sama dengan fasilitas kesehatan, akses ke tenaga medis proesional sangat menentukan derajat kesehatan2. jumlah dokter di daerah-daerah pedalaman sangat memprihatinkan di mana satu dokter bisa menangani lebih dari 20.000 orang. Untuk hal yang lebih kompleks, jumlah dokter spesialis masih sangat minim, bahkan di kota-kota besar, termasuk Jayapura. Untuk mengatasi hal ini, Pemprov dan Pemkab/kota perlu mengusahakan untuk memastikan adanya satu dokter umum di setiap distrik/kecamatan dan satu bidan dan perawat/mantri di setiap kampung/kelurahan. Selain itu, setiap RSUD di simpul-simpul transportasi perlu memiliki dokter spesialis yang lengkap. Untuk mencapai target ini, Pemprov dan Pemkab/kota dapat merancang suatu paket remunerasi yang baik yang dapat menarik tenaga-tenaga medis tersebut. Pemprov dan Pemkab/kota perlu meningkatkan pencegahan dan penanganan malaria dan AIDS yang lebih intensif dan efektif dengan melibatkan seluruh stakeholder baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Penanganan penyakit malaria dan AIDS tidak dapat dilakukan sendiri oleh Pemda. Untuk itu dibutuhkan bantuan dari pihak-pihak lain baik nasional maupun internasional. Terlebih lagi, malaria dan AIDS di Papua saat ini sudah menjadi perhatian dunia, sehingga sangat memungkinkan bagi pemerintah provinsi untuk meningkatkan kerja sama dengan pihak luar. 2
Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya persalinan yang dibantu bidan/tenaga kesehatan di Papua (52,3% dari total persalinan), lebih rendah dari rata-rata nasional (72,5%) maupun provinsi tetangga Papua Barat (56%), pada tahun 2007.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
45
Pemprov dan Pemkab/kota perlu memperbesar alokasi belanja kesehatan minimal 15% dari APBD. Pemda di Papua bisa dikatakan lebih beruntung dibandingkan daerah lain karena memiliki kapasitas fiskal yang besar. Hanya saja, alokasi untuk sektor kesehatan masih sedikit apalagi jika mengingat ketergantungan masyarakat asli terhadap layanan kesehatan publik. Suatu langkah maju sudah ditempuh dengan adanya Pergub yang membebaskan biaya kesehatan bagi penduduk asli. Namun, hal ini baru bisa berdampak maksimal jika Pemprov dan Pemkab/kota mengalokasikan minimal 15% dari APBD untuk kesehatan. Sumber daya ini dapat digunakan untuk melaksanakan dua rekomendasi pertama di atas dan melakukan terobosan-terobosan lain, seperti memberikan asuransi kesehatan gratis bagi penduduk asli. 4.3. Sektor Infrastruktur Kondisi alam Papua yang unik berimbas pada tantangan yang besar dalam penyediaan sarana infrastruktur3. Sarana dan prasarana infrastruktur yang tersedia masih belum dapat menjangkau seluruh wilayah provinsi Papua. Pengembangan yang yang terjadi belum terkoordinasi dengan baik sehingga timbul ketimpangan antara daerah, khususnya antara wilayah pedalaman/pegunungan dan pesisir. Keterbatasan sarana dan prasarana tersebut berdampak besar terhadap ketimpangan daerah. Pemerintah daerah berusaha untuk mengatasi permasalahan ini dengan meningkatkan investasi publik di bidang infrastruktur dengan meningkatkan belanja modal infrastuktur. Akan tetapi, meskipun pengeluaran pemerintah terus meningkat, penyediaan infrastruktur yang ada masih belum mampu menjawab kekurangan permintaan. Ini berarti terjadi financing gap antara kebutuhan dan pembiayaan. Kondisi Infrastruktur di Provinsi Papua Pembangunan infrastruktur di Papua belum terkoordinasi dengan baik. Seperti diulas panjang dalam WB (2009), belum ada suatu master plan pembangunan infrastruktur di Papua yang handal dan disusun bersama oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kab/kota. Rencana-rencana yang ada masih bersifat sepihak dan koordinasi lebih banyak berlangsung secara dadakan. Koordinasi dan master plan ini mutlak diperlukan, mengingat sektor infrastruktur membutuhkan pendanaan yang sangat besar, terlebih lagi dalam konteks Papua.
3
Infrastruktur pada laporan ini mencakup perhubungan dan transportasi, air dan sanitasi, irigasi, dan listrik.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
46 Gambar 4.17. No
Tujuh Rua as Jalan Stra ategis dan Em mpat Ruas Jalan J Tamba ahan di Provinsi Papua
Ruas s Jalan
Panjang (km)
7 Ruas Jalan Strate egis 1
Nabire-Wagete-Enarotali
2
Timika-Mapurujaya-Pomako
262
3
Serui-Menawi--Mulia
4
Jayapura-Wam mena-Mulia
733
5
Jayapura-Sarm mi
364
6
Jayapura-Ham madi-Holtekamp pBatas PNG
7
Merauke-Waro opko
42 49
53 557
4 Ruas Jalan Tamb bahan 8
Ring Road Jayyapura-Sentani
41
9
Depapre-Bong ggrang
23
10 11
Wamena-Habema-NdugaKenyam Timika-Potowa aiburu-Enarotali Tota al
147 150 2.421
Pera an pemeriintah pusa at masih sangat be esar dalam m pengem mbangan infrastruk i tur di Prov. P Papu ua. Hal inii terlihat dari proyek k pembang gunan 11 ruas jalan utama (lih hat Gam mbar 4.17) di Papua yang dida anai dari APBN. A Sed dangkan pe emerintah daerah lebih banyyak berurusan denga an jalan kab/kota dan n kegiatan pemeliharraan dan operasionall. Pem mbangunan jalan aspal a di Provinsi Papua mengalami m i peningk katan setiiap tahu unnya. Tre en peningkkatan ini sudah s berla angsung dari d tahun 2005. Namun, sampai tahu un 2007, be elum seten ngah dari jalan j yang g ada yang g merupaka an jalan as spal. Bahkkan prop porsi jalan tanah t massih tetap ya ang paling besar (liha at Gambarr 4.18) Gambar 4.18.
ber Sumb
Tren Komposisi Pem mbangunan Jalan Menurut Jenis Pe ermukaan Se elama Tahun n 2005-200 07 (dalam %) %
:
BPS Papua, 2008 (diolah)
Sumber : BPS, 2008 (diolah)
Mes skipun jum mlah jalan n aspal te erus meniingkat, ko ondisi jala an di Provinsi Pap pua bany yak yang dalam ke eadaan rusak beratt. Pada tah hun 2007, jalan yang g mengala ami rusa ak berat me encapai 8..681,79 km m atau 56,64% dari total jalan sepanjang g 15.327 km. k Dan, hanya sekitar s 33,27% saja jalan yan ng dalam keadaan baik. Kondisi ini pa ada akhirnya menyyebabkan biaya b peng gguna (use er costs) meningkat, m mengham mbat mobilitas
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
47
ekonomi, meningkatkan harga kesejahteraan masyarakat.
barang,
dan
mempersulit
upaya
peningkatan
Penyebaran infrastruktur jalan di Provinsi Papua sangat tidak merata. Sebagian wilayah pedalaman, seperti Kabupaten Paniai, Boven Digul, Waropen, Mappi dan Sarmi, umumnya memiliki rasio aksesibilitas jalan sangat rendah, yaitu di bawah 5 meter per km2. Bahkan untuk Kabupaten Waropen panjang jalan yang dibangun (hanya tersedia jalan provinsi) tidak sampai 1 meter per km2, lihat Tabel 4.3. Kabupaten/kota yang mempunyai rasio aksesibilitas jalan paling tinggi saat ini di Nabire dengan rasio sebesar 0.57 km per km2. Sarana transportasi laut, sungai, dan penyeberangan cukup dominan di sebagian wilayah. Transportasi laut sangat dominan di sepanjang wilayah pesisir utara dan selatan Papua4. Di wilayah ini, terdapat banyak pelabuhan laut atau dermaga, yang mana tiga pelabuhan terbesar adalah Jayapura, Biak dan Merauke (Tabel 4.4). Untuk skala yang lebih kecil, transportasi sungai cukup dominan di beberapa kabupaten yang dilalui oleh Sungai Mamberamo dan Digul, yaitu Mappi, Mamberamo Raya, dan Boven Digoel. Pemprov Papua memberikan perhatian khusus pada moda transportasi air ini dengan membeli dan mengoperasikan enam kapal perintis. Tabel 4.3
Panjang Jalan Menurut Status dan Kabupaten/Kota DI Provinsi Papua Tahun 2007 Nasional
Kabupaten/Kota
Provinsi
2
Kabupaten
2
(Km )
Total
2
(Km )
2
(Km )
(Km )
Luas
Rasio
2
2
(Km )
(km/km )
Merauke
604.91
243.00
1 330.18
2 178.09
43 979
0.0495
Jayawijaya
268.70
61.50
1 693.00
2 023.20
12 680
0.1596
Jayapura
519.13
400.63
597.99
1 517.75
15 309
0.0991
Paniai
-
-
1 173.46
1 173.46
16 312
0.0719
Puncak Jaya
-
-
1 439.38
1 439.38
3 131
0.4597
Nabire
314.03
40.00
997.76
1 351.79
2 360
0.5728
Mimika
-
38.75
632.58
671.33
14 215
0.0472
Yapen Waropen
53.30
130.50
1 326.25
1 510.05
10 852
0.1391
Biak Numfor
34.88
200.29
737.80
972.97
20 040
0.0486
Boven Digoel
-
-
402.96
402.96
28 471
0.0142
Mappi
-
-
693.28
693.28
27 632
0.0251
Sarmi
-
164.00
144.54
308.54
25 902
0.0119
Keerom
-
-
577.25
577.25
9 365
0.0616
Waropen
-
31.00
-
31.00
24 628
0.0013
Supiori
-
37.96
-
37.96
775
0.0490
Kota Jayapura
-
53.00
385.35
438.35
940
0.4663
Total 1 794.95 Sumber : BPS Papua (2008) diolah
1 400.63
1 2131.78
15 327.36
317 062
0.0483
4
Kab/kota yang berbatasan dengan laut adalah Jayapura, Nabire, Biak-Numfor, Sarmi, Supiori, Kepulauan Yapen, Waropen, Mimika, Asmat, dan Merauke
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
48
Kondisi Pelabuhan Laut Jayapura, Merauke dan Biak Tahun 2005
Tabel 4.4.
Fasilitas
Jayapura
Panjang Dermaga (m) 3
Daya Dukung (ton/m ) 2
Kolam Labuh (m ) 2
Luas Lantai (m ) 2
Lapangan Penumpukan Kontainer (m ) 2
Gudang Lini I 1(satu) unit (m ) Sumber : Dinas Perhubungan (2008)
Merauke
Biak
132
74
142
2.5
2.5
2.5
19 800
19 800
12 900
1 200
240
150
8 000
2 450
3 600
2 200
640
800
Kondisi topografi yang banyak bukit, jurang, gunung dan kepulauan menjadikan transportasi udara menjadi satu-satunya solusi di banyak wilayah Papua. Seperti sudah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, akses jalan hanya terdapat di sebagian kecil wilayah Papua dan banyak wilayah pedalaman yang hanya bisa disentuh melalui transportasi udara. Dengan memiliki lebih dari 400 bandara, Papua bisa dikatakan sebagai daerah dengan jumlah bandara terbanyak di Indonesia. Sebagian besar bandara berupa airstrip yang hanya bisa didarati pesawat perintis, seperti DHC-6 dan C.208. Empat bandara yang sudah dapat menampung pesawat dengan jenis Boeing 737/400, sedangkan dua bandara lain sudah bisa didarati pesawat F-27. Tidak adanya akses ke transportasi darat, laut dan sungai menyebabkan sangat tingginya harga-harga kebutuhan pokok di daerah-daerah pedalaman dan pegunungan. Saat ini, bisa dikatakan kalau harga-harga barang di kabupatenkabupaten di pegunungan tengah, terutama Puncak Jaya, merupakan yang paling mahal di Papua, dan bahkan di Indonesia. Tingginya harga di Puncak Jaya ini terjadi karena pengiriman barang ke ibukota kabupaten maupun ke wilayah-wilayah lain di pedalaman harus dilakukan melalui transportasi udara, sebagaimana yang terjadi pada daerah pegunungan di Puncak Jaya. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi juga diikuti oleh keterbatasan cakupan listrik di Papua. Saat ini kondisi infrastruktur kelistrikan di Papua, khususnya yang dibangun oleh PLN sangat tidak mencukupi kebutuhan masyarkat, sehingga rasio elektrifikasi di Papua saat ini hanya sekitar 32%. Rasio ini sangat jauh dibawah angka cakupan nasional yang sebesar 65%. Hal ini sebetulnya sangat disayangkan mengingat adanya potensi PLTA pada DAS Mamberamo dan Digoel. Selain kurangnya fasilitas listrik PLN yang tersedia, distribusi penyebaran yang tidak merata juga menjadi masalah kelistrikan di Provinsi Papua. Konsentrasi distribusi listrik PLN di Provinsi Papua lebih mengarah kepada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti di Kota Jayapura dan Merauke. Kedua daerah ini mendapat sambungan listrik PLN dengan kapasitas terpasang masing-masing sebesar 57.997 kwh (38,38% dari total kapasitas listrik di Papua) untuk Kota Jayapura, dan sebesar 25.444 kwh (16,84%) untuk Kabupaten Merauke. Sedangkan, sebagian daerah yang terletak di bagian pedalaman dan pegunungan seperti Kabupaten Yahukimo, Tolikara, Pegunungan Bintang, dan Asmat, sampai saat ini belum terpasang listrik PLN dan hanya mengandalkan genset atau micro-hydro.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.19.
49
Akses Air Bersih da an Fasilitas s Sanitasi Berdasarkkan Kelomp pok Pendapa atan
Sumb ber: SUSENAS S 2007 (diolah h)
Prov vinsi Papua masih h tertinggal dalam hal akse es ke air bersih5 dan d fasilittas saniitasi. Sep perti yang ditunjukkkan pada gambar 4.19, 4 pada tahun 2007, aksses terha adap air bersih b han nya dimiliki oleh 35% % pendud duk Papua a, sedangk kan rata-ra ata nasio onal adala ah 59%. Demikian D ju uga dengan akses te erhadap fa asilitas san nitasi. Seca ara rata--rata, akse es terhada ap fasilitass sanitasi yang laya ak hanya didapatka an oleh 56 6% pend duduk Pap pua, sedangkan rata--rata nasional adalah h 74%. Kese enjangan akses airr bersih dan fasilita as sanitas si antara k kelompok masyarak kat kaya a dan mis skin sanga atlah besa ar. Pada gambar g 4.1 19, kita da apat meliha at bahwa jika 71% % kuintil kellompok ma asyarakat terkaya memiliki aksses ke air b bersih, han nya 12% dari d kuinttil masyara akat termisskin yang memiliki m ak kses yang sama. Beg gitu pula dengan d aksses ke fasilitas f sa anitasi yan ng layak, yang dimiiliki oleh hampir h seluruh (95% %) kelomp pok masyarakat te erkaya, teta api hanya oleh 18% % dari kuin ntil masyarrakat term miskin. Hal ini ali lagi me enunjukkan n kurangnyya perhatia an terhada ap masyarrakat misk kin dalam hal seka penyyediaan fassilitas publlik. Kete ertinggala an sektor infrastruk ktur di Pa apua suda ah berusaha diresp pons mela alui dana a Otsus untuk u infrrastrukturr. Mulai ta ahun 2006, Pemprovv Papua mendapatk m kan alokasi dana ta ambahan dalam d bentuk dana Otsus O untuk infrastruktur yang dimaksudk d kan untu uk mengeja ar keterting ggalan dallam sektorr ini. Hanyya saja, da ana ini tida ak di-earma ark sepe erti DAK dan d penggunaannya ini belum m diatur de engan jelass. Akan le ebih baik jika tamb bahan dan na ini benar-benar be erfungsi se ebagai tambahan atas alokasi APBD A (min nus dana a tambaha an ini) untuk sektor infrastrukturr.
5
Air bersih men ncakup air ke emasan, air ledeng, pom mpa dan sum mur terlindun ngi yang berjarak 10 me eter au lebih dari penampunga p an kotoran/tin nja. ata
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
50 Bela anja Daera ah di Sektor Infrastrruktur Gam mbar 4.20.
Tren Pengeluaran Inffrastruktur Tingkat T Provinsi dan Kabupaten/Kota a di Provinssi Papua Ta ahun 2004-20 008
[a a]. Harga Be erlaku
[b]. Harga Konstan 2007 7
Sumb ber: Realisasi APBD A Tahun 2004-2008 (diolah)
Bela anja infras struktur di tingkat provinsi p dan d kabup paten/kota a mengalami kenaik kan yang g sangat tinggi se etiap tahu un. Jika dihitung menurut m harga bela aku, rata-ra ata kena aikan belan nja infrastrruktur di tin ngkat peme erintah pro ovinsi adala ah sebesar 50,47% per p tahu un, sedang gkan menu urut harga konstan sebesar s 3 35,71% per tahun. Adapun A untuk kabu upaten/kota a setiap tahunnya t rata-rata mengalam m n 51,84% berdasarkkan i kenaikan harg ga berlaku, dan 36,40 0% menuru ut harga ko onstan. Perttumbuhan n belanja infrastrukt i tur per ka apita meng galami ke enaikan pe esat. Belanja infra astruktur per p kapita mengalam mi pertum mbuhan ratta-rata sebesar 38% % per tah hun men nurut harga a berlaku. Sementarra menurutt harga ko onstan seb besar 24%. Belanja per p kapitta untuk sektor s infra astruktur in ni adalah belanja se ektor strate egis yang paling bessar men ngalahkan sektor pendidikan, p , kesehatan, maup pun pertan nian deng gan nominal sebe esar Rp1,6 6 juta/orang g/tahun pa ada tahun 2008. 2 Gambar 4.21.
Trend Pen ngeluaran In nfrastruktur Per P Kapita di Provinsi Pap pua tahun 20 004-2008 Belanja infrastruktur no omina l per kapiita (Rp) 1,800,000 1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 2004
2005
2006
Belanja nominal n per kapit a
Sumb ber: Realisasi APBD A Tahun 2004-2008 (diolah)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
2007
2008
Belanja riil r per kapita
Bab 4 Analisis Sektoral
51
Porsi belanja infrastruktur dalam struktur anggaran belanja daerah terlihat lebih tinggi di pemerintahan provinsi dibandingkan kabupaten/kota. Untuk tingkat provinsi sepanjang tahun 2004-2008 belanja infrastruktur mendapat alokasi belanja sekitar 20% per tahun. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, alokasi belanja infrastruktur sedikit lebih rendah yaitu 15% per tahun dari total belanja daerah. Alokasi provinsi yang lebih besar ini pada umumnya disebabkan oleh dana Otsus untuk infrastruktur yang seluruhnya dikelola oleh Pemprov. Dalam struktur biaya infrastruktur, belanja modal menempati porsi yang paling tinggi diantara seluruh komponen belanja lainnya. Rata-rata porsi belanja modal selama periode 2004-2008 untuk tingkat provinsi adalah sebesar 86,18% per tahun. Untuk tingkat kabupaten/kota, rata-rata belanja modal adalah 76,47% per tahun. Hal ini merupakan suatu kewajaran, mengingat sektor ini bersifat padat modal. Gambar 4.22.
Trend Pengeluaran Infrastruktur Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Periode 2004-2008 Belanja Infrastruktur Pemkab/Kota Billions
Billions
Belanja Infrastruktur Pemprov
1,000 800 600
3,000 2,500 2,000 1,500
400
1,000
200
500
-
-
2004
2005
2006
2007
2008
2004
2005
2006
2007
Belanja pegaw ai
Belanja barang & jasa
Belanja pegaw ai
Belanja barang & jasa
Belanja modal
Belanja lain-lain
Belanja modal
Belanja lain-lain
Total belanja infrastruktur (riil)
2008
Total belanja inf rastruktur (riil)
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah)
Rekomendasi Pemerintah pusat, provinsi, dan kab/kota perlu segera bersama-sama merumuskan rencana induk pembangunan infrastruktur Prov. Papua yang komprehensif. Rencana induk ini harus menetapkan skala prioritas, mengingat sumber dana yang terbatas, dan memuat hal-hal sebagai berikut: x sistem transportasi multi moda yang mengintegrasikan pembangunan jalan aspal, jalan tanah, angkutan sungai, laut, dan danau, dan transportasi udara x pembangunan sumber energi listrik melalui SDA terbarukan dan tidak bergantung pada BBM, karena biayanya yang tinggi x pembangunan jaringan air bersih dan fasilitas sanitasi, terutama untuk daerah pedalaman x jaringan telekomunikasi, di mana sektor swasta dapat berperan aktif, yang menghubungkan Papua ke Palapa Ring dan mambangun backbone ke setiap kabupaten/kota. Pemprov dan Pemkab/kota perlu memberikan alokasi dana yang lebih untuk pemeliharan dan rehabilitasi infrastruktur yang sudah ada. Pembahasan di bagian sebelumnya menekankan bahwa kondisi infrastruktur di Papua memprihatinkan, terutama untuk jalan raya. Mengingat besarnya dana yang diperlukan untuk membangun infrastruktur baru, Pemprov dan Pemkab/kota perlu mengalokasikan dana yang cukup untuk pemeliharaan dan rehabilitasi infrastruktur yang sudah ada sehingga dapat bertahan selama mungkin. Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
52
Bab 4 Analisis Sektoral
Selain pemeliharaan dan rehabilitasi, Pemprov dan Pemkab/kota juga dapat meningkatkan fasilitas bandar udara dan pelabuhan yang sudah ada di beberapa simpul transportasi. Salah satu permasalahan di bidang transportasi adalah kurangnya jumlah bandara dan pelabuhan yang dapat didarati pesawat berbadan lebar atau kapal peti kemas. Sembari menunggu selesainya rencana induk, Pemprov dan Pemkab/kota dapat memberikan solusi sementara untuk masalah transportasi dengan meningkatkan fasilitas bandara dan pelabuhan yang menjadi simpul transportasi, seperti bandara Wamena dan Nabire dan pelabuhan Pomako. Melalui program PNPM-RESPEK, Pemprov dan Pemkab/kota perlu mendorong infrastruktur berbasis masyarakat, seperti pembangkit listrik tenaga microhydro (PLTMH) dan tenaga surya (PLTS). Berbagai pembahasan di atas menekankan bahwa akses masyarakat pedesaan ke infrastruktur publik sangatlah minim. Sembari menunggu berjalannya program pemerintah, masyarakat dapat membangun beberapa infrastruktur sederhana yang difasilitasi oleh PNPM-RESPEK. Dengan bantuan fasilitator lokal, masyarakat dapat membuat PLMTH dan PLTS sederhana, jalan setapak, dan jembatan sederhana. Infrastruktur yang sederhana ini akan dapat berdampak besar dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 4.4. Sektor Pertanian Pertanian adalah sektor ekonomi terbesar kedua di Papua setelah pertambangan dan diyakini memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi masyarakat Papua. Walaupun memiliki potensi alam yang besar, sektor pertanian belum berkembang. Kapasitas produksi pertanian relatif rendah dan peningkatan produktivitas cenderung stagnan. Pemerintah daerah sendiri sudah mulai memberikan perhatian lebih pada sektor ini yang terlihat dari meningkatnya belanja sektor pertanian secara signifikan. Kondisi Pertanian Di Provinsi Papua Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting peranannya di dalam pengembangan ekonomi masyarakat di Provinsi Papua. Ada beberapa pertimbangan mengapa pembangunan pertanian ini menjadi sangat penting yaitu, (1) menguasai kurang lebih 80% penduduk kampung, (2) menyerap lebih dari 70% seluruh tenaga kerja, (3) sumber daya alamnya menyebar merata ke semua daerah, dan (4) pembangunan pertanian mampu mereduksi kemiskinan dan menurunkan ketimpangan pendapatan yang sekaligus juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena itu, sektor perekonomian ini dapat dikatakan sektor dengan multiplier effect terbesar.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.23.
53
Pertumbuh han dan Pro oporsi Sektorr Pertanian Dalam D PDRB B Menurut Harga H Konsta an 2000 Tanp pa Tambang Di Provinsi Papua P Tahu un 2000-2007 7
[a]. Pe ertumbuhan Ketera angan : S1 : Sektor Pertan nian mbangan dan Penggalian S2 : Sektor Pertam S3 : Sektor Industri unan S4 : Sektor Bangu ber : BPS Papu ua (2008) diolah Sumb
[b]. Proporsi P
S Perdag gangan, Hotel dan Restoran n S5 : Sektor S6 : Sektor S Pengan ngkutan dan K Komunikasi S7 : Sektor S Jasa-Ja asa Lainnya
Sekttor pertan nian selam ma ini mas sih diposisikan seb bagai sekttor komple emen dala am pem mbangunan n wilayah h Papua. Meski dis sadari bah hwa pembangunan pertanian itu meru upakan pe embangun nan yang pro-growth h, pro-em mployment dan pro-p poor, nam mun dalam pereko onomian wilayah w Pa apua pertu umbuhannya sangatt lambat, kalah cep pat dibandingkan sektor pertambang gan, bang gunan, pe erdagangan n dan pe engangkuta an. Keem mpat sekto or ini selam ma periode e 2001-200 07 berdasa arkan PDR RB harga konstan k 20 000 (tanp pa tamban ng), dapatt tumbuh rata-rata di d atas 8% % per tahun. Sedan ngkan sekktor perta anian hanyya mampu tumbuh 4,42% per tahun, t yan ng bahkan di bawah pertumbuh p han ekon nomi Papu ua sebesar 6,82% per p tahun (Gambar 4.23a) . P Padahal da alam strukktur pere ekonomian Papua, pe eranan sektor pertan nian paling g tinggi dib bandingkan n sektor ya ang lain. Seperti ya ang disajikkan dalam Gambar 5.23[b], ko ontribusi se ektor perta anian selama perio ode 2000--2007 kurrang lebih h sekitar 39,58% per p tahun,, jauh di atas sekktor bang gunan, perrdagangan n maupun jasa-jasa la ainnya. Sub-sektor ta anaman bahan b ma akanan se elama ini menjadi kontributtor terbes sar dala am sektorr pertanian di Papu ua. Selam ma tahun 2000-2007 2 , kontribus si sub-sekktor tana aman baha an makanan dalam PDRB sekto or pertania an rata-rata a mencapa ai 48,12% per p tahu un. Pada periode p ya ang sama, sub-sekto or perikana an menunjjukkan kontribusi ya ang men ningkat, se edangkan sub-sekto or kehutanan menu unjukkan hal yang sebaliknya. Seda angkan, kontirbusi k s sub-sektor r perkebun nan dan peternakan p n masih sangat s min nim (lihat Gambar 4.24).
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
54 Gambar 4.24.
Struktur PDRB P Sektor Pertanian Menurut Ha arga Konsta an 2000 Periode 20 000-2007
Provinsi P Papu ua
Sumb ber : BPS Pa apua (2008) diolah d
Pada umumn nya rumah h tangga tani di Prrovinsi Pa apua meru upakan pe etani gure em deng gan penguasaan la ahan yang g kurang dari d 1 hek ktar. Dalam m Gambarr 4.25 terlih hat bahw wa rumah tangga di Papua se ecara menyeluruh ra ata-rata hanya menguasasi lah han perta anian produktif sekkitar 0,61 hektar. Hanya H ada 4 kabu upaten dim mana rum mah tang gganya me enguasai lahan lebih h dari 1 hektar h yakkni rumah tangga di d Kabupatten Mera auke, Keerrom, Sarm mi, dan Nab bire. Prod duktivitas pertanian n tanaman n pangan masih m ren ndah. Data a produktiv vitas di anta ara tahu un 2004-2 2007 dapa at mengg gambarkan n kondisi tersebut.. Sebagaimana ya ang dipaparkan da alam Gambar 4.26, perkemba angan prod duktivitas dari komo oditi tanam man baha an makanan utama yakni pa adi, jagung g, kacang--kacangan, umbi-um mbian, sayyursayu uran dan buah-buahan hamp pir sebagiian besar menunjukkan tren yang terrus men nurun setiap tahunnya a Gambar 4.25.
Penguasaa an Lahan Pertanian Per Rumah Tang gga Pertan nian Kabupaten n/Kota di Pro ovinsi Papua a Tahun 2003 3 (dalam hekktar)
1.7 75 1.53
1.52 1.5 50 1.18
1.2 25 0.95
1.0 00
1.02 0.92 0.77
0.7 75
65 0.6 0.5 55
0.5 50
0.47
0.61 0.50
0.43
0.39
40 0.4
0.48
0.26 0.2 25
0.13
0.14 06 0.0
M ap p A i s Y m ah at u P eg kim o B in ta ng To lik ar a S ar m K ee i ro K Wa m ot a rop Ja e ya n pu ra P ap ua
M er Ja au ya ke w ija ya Ja ya pu Y ra ap en N a W bi ar re op B ia en k N um fo r P P un a n ca ia k i Ja ya B M ov im en ik D a ig oe l
0.0 00
Sumb ber: BPS Papu ua, 2006 (diola ah)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Menurrut
Bab 4 Analisis Sektoral
55
Produktivitas Tanaman Pangan Papua Tahun 2004-2007 (dalam ton/ha)
Gambar 4.26. 16 14
12.81
12.86
12.53
12.32
12 10.04
10
10.04
9.89
10.00
8 6 4 2
4.86
4.51 3.61
3.27
3.18
2.05 1.93
1.74 1.49
4.14 3.56 2.32
1.97 1.70
1.67 1.01
0 2004
Padi
2005
Jagung
2006
Kacang
Sayur
Buah
2007
Umbi
Sumber : BPS Papua (2004-2008)
Pembukaan areal untuk pengembangan padi di Papua merupakan sumber pertumbuhan baru bagi komoditas pangan nasional pada umumnya, dan Provinsi Papua khususnya. Makanan pokok penduduk asli Papua sebenarnya bukan beras, melainkan umbi-umbian seperti ubi jalar dan keladi. Hal ini menjadi salah satu penyebab lambatnya perkembangan areal persawahan di propinsi ini. Namun, akhirakhir ini, sebagian penduduk asli di Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang dan Merauke sudah menanam padi untuk dijual. Hal ini memberi peluang bagi pemberdayaan penduduk asli melalui pengembangan tanaman padi. Daerah penghasil padi yang paling besar saat ini adalah Kabupaten Merauke. Wilayah ini mampu menyumbang sekitar 89.93% terhadap total produksi padi di Provinsi Papua, simak Tabel 4.5. Pusat-pusat produksi padi di Merauke ini umumnya merupakan kawasan transmigrasi yang dibuka semenjak tahun 1980-an. Setelah Kabupaten Merauke, daerah lainnya yang cukup berpotensi menghasilkan padi adalah Kota Jayapura, dimana pada tahun 2007 kontribusinya mencapai 5,16% terhadap total produksi padi Papua. Tabel 4.5.
Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Produksi Tanaman Bahan Makanan Di Provinsi Papua Tahun 2007
Kabupaten/Kota Merauke
Padi
Jagung
Umbi
Kacang
Sayur
Buah
Tnm Pangan
89.93
3.08
0.93
12.48
1.22
10.48
15.06
Jayawijaya
0.36
13.75
37.87
12.76
40.50
4.59
27.63
Jayapura
1.94
8.19
1.65
9.07
13.05
26.93
6.03
Nabire
0.19
11.58
3.57
12.94
1.16
1.38
2.85
Y. Waropen
0.00
5.53
1.84
4.57
0.44
0.46
1.38
Biak Numfor
0.00
5.50
1.74
1.21
4.68
11.45
3.04
Paniai
0.00
8.83
21.11
3.29
9.79
3.64
14.63
Puncak Jaya
0.67
5.39
1.39
3.18
3.86
9.70
2.65
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
56 Mim mika
0 0.00
0.95
0.97
8.59
1.55
6.18
1.66 6
Bovven Digoel
0 0.00
0.00
0.72
0.00
0.16
1.73
0.70 0
Ma appi
0 0.00
0.44
0.40
0.62
0.12
1.42
0.46 6
Asm mat
0 0.00
0.00
0.07
0.00
0.02
0.11
0.06 6
Yahukimo
0 0.06
13.59
20.62
10.71
0.67
0.40
13.43 3
Peg. Bintang
0 0.00
0.61
1.10
1.29
2.69
0.34
0.94 4
Tollikara
0 0.08
5.78
4.00
5.66
6.06
0.51
3.16 6
Sarmi
0 0.08
3.81
0.66
6.32
1.61
4.97
1.33 3
Keerom
0 0.08
8.31
0.34
3.08
3.71
7.28
1.60 0
Wa aropen
1.45
0.58
0.55 5
2.28
1.91
3.80
1.22 2
Supiori
0 0.00
0.00
0.00
0.00
0.29
0.14
0.04 4
Kotta Jayapura
5 5.16
4.08
0.46
1.95
6.50
4.48
2.14 4
100
100
100
100
100
100.00 0
Tottal 1 100 Sumb ber : BPS Pa apua (2008) di d olah
Papua juga memiliki m po otensi perrtanian lain selain padi. p Bebe erapa komo oditi tanam man baha an makana an lainnya a juga cukkup potens sial dan te ersedia ban nyak di Pa apua, sepe erti jagung, umbi--umbian, kacang-ka acangan, sayur-sayuran dan buah-bua ahan. Untuk komoditas terssebut, Kabupaten Jayawijaya J a merupakkan kawassan paling produktiff di Papu ua, disusul oleh Mera auke, Yahu ukimo dan Paniai (lih hat Tabel 4 4.5). Bela anja Daera ah di Sektor Pertaniian Tren n pengelu uaran pem merintah di sekto or pertanian baik di provin nsi maup pun kabu upaten/ko ota melaju u cukup pesat. Untuk U pem merintah provinsi pertumbuh p han peng geluaran pertanian p selama tahun 200 04-2007 menurut m ha arga berla aku rata-ra ata men ncapai 27,7 70%, lihat Gambar 4.27. Sedan ngkan men nurut harga konstan 2007 adalah 14,7 73% per ta ahun. Sem mentara di tingkat kabupaten/ko ota, pertum mbuhannya a lebih tinggi lagi dengan ra ata-rata 50,,46% per tahun t menurut harga a berlaku, d dan sekitar 35,32% per p un menurutt harga kon nstan 2007 7. tahu Gambar 4.27.
Tren Pengeluaran Sekktor Pertanian Provinsi dan Kabupate en/Kota di Provinsi P Papu ua Tahun 200 04-2008
[a].
Berlaku Sumb ber: Realisasi APBD A(a). Harga Tahun 2004-2008 (diolah)
Harga Berlaku u Harrga Konstan 2007 (b). Harga Konstan 2007
Sumber : Realisasi APBD Tahun 2004 - 2008 (diolah)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
[b].
Bab 4 Analisis Sektoral Gambar 4.28.
57
Trend Pengeluaran Pertanian Per Kapita di Provinsi Papua tahun 2004-2008 Belanja pertanian nominal per kapita (Rp) 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 2004
2005
Belanja nominal per kapita
2006
2007
2008
Belanja riil per kapita
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah)
Pertumbuhan belanja sektor pertanian per kapita terus naik meskipun sedikit mengalami penurunan di tahun 2005. Sepanjang tahun 2004-2008 pengeluaran per kapita sektor pertanian menurut harga berlaku (nominal) rata-rata tumbuh sekitar 39% per tahun, dan sebesar 25% per tahun menurut harga konstan 2007. Pada tahun 2008 secara nominal belanja untuk sektor pertanian per kapita mencapai Rp250 ribu/orang/tahun, jauh lebih rendah dibandingkan belanja pendidikan per kapita yang mencapai Rp995 ribu/orang/tahun. Walaupun sektor pertanian saat ini merupakan tulang punggung utama dalam pengembangan ekonomi kerakyatan di Papua, alokasi dana untuk sektor ini terbilang sangat rendah setiap tahunnya. Misalkan untuk tahun 2004-2008, rata-rata alokasi belanja di sektor pertanian di tingkat pemerintah provinsi hanya sebesar 2,62% per tahun, sedangkan di kabupaten/kota hanya sebesar 2,43% per tahun dari total belanja daerah6. Lebih mengkhawatirkan lagi, belanja pegawai merupakan komponen paling dominan pada belanja sektor pertanian Pemprov maupun Pemkab/kota. Seperti yang disajikan pada Gambar 4.29, proporsi belanja pegawai sektor pertanian di provinsi mencapai 39,80% per tahun dan di kabupaten/kota mencapai 43,37% per tahun. Kenyataan ini sangat memprihatinkan karena pengembangan sektor pertanian sangat memerlukan dana untuk pembelian bibit, pupuk, dan pestisida, yang termasuk belanja barang dan jasa, dan untuk pengadaan alat-alat berat dan pembangunan tempat-tempat pengolahan dan penyimpanan hasil pertanian, yang merupakan belanja modal.
6
Lihat bab 3-belanja
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 4 Analisis Sektoral
58 Gambar 4.29.
Trend Pengeluaran Pertanian Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2004-2008 Belanja Pertanian Pemkab/Kota
120
Billions
Billions
Belanja Pertanian Pemprov
100 80
500 400 300
60
200
40
100
20 -
-
2004
2005
2006
2007
2008
2004
2005
2006
2007
Belanja pegaw ai
Belanja barang & jasa
Belanja pegaw ai
Belanja barang & jasa
Belanja modal
Belanja lain-lain
Belanja modal
Belanja lain-lain
Total belanja pertanian (riil)
2008
Total belanja pertanian (riil)
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah)
Rekomendasi Pembangunan agribisnis dan agroindustri dalam pertanian rakyat perlu ditingkatkan. Ketersediaan pasar merupakan masalah yang sangat dominan dalam pengembangan ekonomi kerakyatan yang lebih banyak basisnya di sektor pertanian. Oleh karenanya pengembangan agribisnis dan agroindustri untuk usaha rakyat sangat dibutuhkan dalam mengatasi masalah pemasaran, selain juga untuk meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan oleh usaha rakyat di sektor pertanian. Pemprov dan Pemkab/kota perlu memfasilitasi program-program kemitraan yang saling menguntungkan antara petani/nelayan dengan pemilik modal dan teknologi. Keterbatasan modal dan teknologi produksi mengakibatkan produktivitas pertanian rakyat menjadi rendah. Padahal, potensi sumber daya pertanian yang dimiliki rakyat sangat banyak jumlah dan ragamnya. Karena itu, bantuan pendanaan sangat diperlukan untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dan untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Pendanaan ini dapat diperoleh salah satunya melalui kemitraan dengan perusahaan-perusahaan daerah, nasional, swasta, atau lembaga-lembaga ekonomi lainnya. Belanja daerah di bidang pertanian sangat mendesak untuk ditingkatkan, khususnya untuk belanja barang dan jasa dan belanja modal. Seperti dijelaskan sebelumnya, dua masalah dalam belanja sektor pertanian adalah jumlahnya yang relatif sangat kecil dan proporsi belanja modal dan belanja barang dan jasa yang sangat minim. Padahal, kedua belanja ini sangat mendukung pengembangan dan penguatan ekonomi kerakyatan, yang menjadi amanat Otsus. Peningkatan alokasi belanja secara dramatis dan perbaikan komposisi belanja sektor ini merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan oleh Pemprov dan Pemkab/kota untuk memaksimalkan hasil-hasil pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan di Papua.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
59
BAB 5
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
60
Selama beberapa tahun terakhir, pengelolaan keuangan daerah (PKD) di Prov. Papua sudah menunjukkan perbaikan, namun masih perlu dibenahi lebih lanjut. Saat ini, aspek PKD yang paling lemah adalah perencanaan dan penganggaran, kemudian diikuti oleh aspek pengawasan internal dan pengelolaan aset. Dari sisi pelaporan, kualitas LKPD seluruh Pemda di Papua masih belum baik, walaupun sudah ada perbaikan dalam setahun terakhir. 5.1. Kondisi Keuangan Daerah Prov. Papua KONDISIUmum UMUMPengelolaan PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH PROV. PAPUA Kapasitas pemerintah daerah di Provinsi Papua secara umum masih lemah dalam beberapa aspek pengelolaan keuangan daerah. Survey kapasitas PKD yang dilakukan di Pemprov dan 14 kab/kota di Prov. Papua menunjukkan bahwa, hampir di semua aspek, kapasitas PKD Pemprov lebih baik dari rata-rata Pemkab/kota. Untuk lingkup Pemprov, beberapa aspek, seperti manajemen kas dan akuntansi & pelaporan, sudah cukup baik. Hanya saja, aspek kerangka perundangan, perencanaan dan penganggaran, eksternal audit, dan manajemen aset masih perlu dibenahi. Pada tingkat kabupaten/kota, secara umum, dapat dikatakan semua aspek masih lemah dan memerlukan rencana aksi dan program pengembangan kapasitas yang komprehensif.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambar 5.1.
Hasil Survey Kapasitas PKD Provinsi Papua dan Kabupaten/Kota Tahun 2009 PFM AuditEksternal ManajemenAset InternalAudit(SistemPemeriksaan… AkuntansidanPelaporan PengadaanBarangdanJasa ManajemanKas/Penatausahaan PerencanaandanPenganggaran KerangkaPerundanganPerencanaandan… 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% ProvinsiPapua
Kabupaten/KotadiProvinsiPapua
Sumber: Survey PFM di Kabupaten/Kota dan Provinsi Papua, 2009
5.2. Perencanaan dan Penganggaran Proses perencanaan dan penganggaran di Provinsi Papua selalu mengacu pada peraturan perundang-undangan. Proses perencanaan dan penganggaran daerah saat ini diatur dalam UU 25/2004, UU 32/2004, dan UU 33/2004 beserta aturan turunannya. Perangkat aturan ini sudah berubah dua kali sejak dimulainya era otonomi daerah. Tahun 2001-2002, proses ini diatur melalui Manual Keuangan Daerah (Makuda) 1981. Pada tahun 2003-2006, proses perencanaan dan penganggaran mengacu pada Kepmendagri No. 29/2002. Sejak tahun 2007, aturan yang diacu adalah Permendagri No. 13/2006, yang kemudian direvisi melalui Permendagri No. 59/2007. Perubahanperubahan ini (dapat dilihat di Gambar 5.2), walaupun pada dasarnya bertujuan baik, sering menyulitkan Pemda. Sebagai contoh, sistem informasi yang dibuat berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002 harus dirombak total karena Permendagri No. 13/ 2006 mempunyai sistem penganggaran yang sangat berbeda. Selain itu, beberapa Pemda mengalami kesulitan dalam membuat Perda mengenai pengelolaan keuangan daerah
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
61
berdasarkan Permendagri No. 13/ 2006. Sampai tahun 2009, baru sekitar 50% kabupaten/kota di Provinsi Papua yang telah menerbitkan Perda ini dan hanya sekitar 29% kabupaten/kota yang memiliki Peraturan Kepala Daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah. Box 5.1 Pengukuran Kapasitas Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) Komponen PKD apa saja yang diukur? Sembilan komponen: Kerangka perundang-undangan daerah, Perencanaan dan penganggaran; Manajemen kas, Pengadaan; Akuntansi dan pelaporan; Audit internal; Hutang, hibah, dan investasi; Manajemen asset; dan Audit eksternal Bagaimana metodologi penilaian? Setiap komponen terdiri atas sejumlah indikator yang bersifat biner: “1”, jika memenuhi, dan “0”, jika tidak memenuhi atau tidak ada data. Skor suatu komponen merupakan ratarata dari nilai setiap indikator dan skor keseluruhan merupakan rata-rata dari skor setiap komponen. Total jumlah indikator adalah 134 buah. Bagaimana cara pengumpulan dan verifikasi data? Data diperoleh melalui sumber primer, yaitu wawancara dengan responden kunci, dan sumber data sekunder, seperti RPJMD dan APBD. Yang termasuk responden kunci antara lain adalah jajaran Bappeda, BPKD, Sekretariat DPRD, dan Biro Hukum dan Infokom. Verifikasi terhadap sumber primer dilakukan dengan dokumen-dokumen penunjang. Apakah nilai rendah selalu berarti kapasitas PKD yang rendah? Tidak selalu. Skor PKD mencerminkan rasio indikator yang sudah dipenuhi. Suatu daerah bisa mendapatkan nilai rendah karena tidak memberikan kesempatan wawancara atau akses ke data sekunder yang diperlukan. Sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Papua masih belum memiliki dokumen perencanaan wajib. Sebagaimana yang telah disyaratkan dalam UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa suatu Pemda wajib memiliki RPJPD, RPJMD, dan Renstra-SKPD, yang akan menjadi dasar dalam menyusun prencanaan daerah setiap tahun. Sayangnya, sebagian Pemda bekum memiliki dokumen-dokumen ini. Dari survey kapasitas PKD ditemukan bahwa, hingga tahun 2009, baru sekitar 57% kabupaten/kota di provinsi Papua yang disurvey telah memiliki RPJMD. Survey yang sama juga mengindikasikan bahwa belum ada Pemda di Papua di mana seluruh SKPD-nya memilik Renstra. Kualitas dokumen perencanaan masih memprihatinkan. Analisis tehadap RPJMD yang dikumpulkan melalui survey PKD menunjukkan bahwa hampir semua dokumen multi-tahun tidak memiliki indikator-indikator kuantitatif yang dapat diukur. Selain itu, sedikit sekali dokumen perencanaan jangka menengah dan panjang yang menerapkan multi-term expenditure framework (MTEF). Melihat kondisi demikian, kita dapat mengindikasikan bahwa perencanaan pembangunan di sejumlah Pemda belum bisa menunjukkan konsistensi antara perencanaan jangka pendek dan jangka menengah.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
62 Gambar 5.2
Ga ambar 5.3.
1. Perkembangan Format Anggaran
Mekanism me Proses Perencanaan P Provinsi dan n Kabupaten n/Kota di Pap pua
P PEMDA KA ABUPATEN N/KOTA DPRD D
PEMDA P PROVINSI
Musrenbaang Kampung (Desa) Musrenbaang Distrik
Musrenbanng Kabupaten//Kota
Musrenbaang Kabupaaten
Musrenbaang
RKPD KA ABUPATE EN/KOTA
RKPD Prrovinsi
Ͳ Progrram Turun Kampung K Ͳ Talk Show RRI & TV
JARIN NG ASMA ARA
Ͳ Turun Kampung K Talk Sho ow
ber: Berbaga ai Peraturan Perundanga an Sumb Sumb ber : Berda asarkan hasil wawancarra dengan beberapa Kepala K BAPP PEDA Kabu upaten/Kota dan Provin nsi Papua (20 009)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
63
Proses perencanaan dilakukan melalui jalur top-down dan bottom-up, namun belum berjalan baik dan masih cenderung normatif. Jalur top-down didesain untuk menjamin konsistensi antara perencanaan di tingkat daerah dengan pusat. Dengan kata lain, perencanaan provinsi harus mengacu pada perencanaan nasional, sedangkan perencanaan kab/kota harus mengacu pada perencanaan nasional dan provinsi. Jalur bottom-up merupakan perencanaan yang disusun dari masyarakat melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kampung/kelurahan sampai nasional. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kolaborasi antara kedua jalur tersebut masih belum berjalan lancar karena berbagai masukan dari bawah seringkali tidak terakomodasi dalam siklus perencanaan dan penganggaran Pemda. Selain itu, implementasi perencanaan bottom-up sendiri masih terkesan normatif dan kurang efektif. Mekanisme perencanaan dan di Provinsi Papua terlihat pada Gambar 5.3. Program turun kampung (turkam) Gubernur dan Bupati/Walikota di Papua membuka peluang lain bagi partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Program turkam dilakukan hampir setiap tahun untuk turun langsung ke sejumlah kampung (desa) melihat kondisi pembangunan dan mendengarkan aspirasi pembangunan yang paling dibutuhkan masyarakat. Program ini diakui oleh banyak kalangan sebagai suatu terobosan baru dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Hanya saja, selama ini, tindak lanjut dari hasil turkam belum optimal. Dalam hal ini, diperlukan koordinasi yang baik dari berbagai instansi pemerintahan untuk bisa menindaklanjuti hasil turkam secara efektif. Proses perencanaan dan penganggaran di Prov. Papua masih sering tidak tepat waktu, terutama untuk tingkat kab/kota. Survey kapasitas PKD menunjukkan bahwa hanya 28% Pemda yang menyelesaikan APBD 2009 sebelum 1 Januari 20091. Keterlambatan ini pada umumnya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan aparatur perencana dan aksesibilitas yang sulit pada sebagian besar daerah di Papua. Agenda perencanaan dan penganggaran yang sangat padat di era otonomi daerah ini membutuhkan kualitas dan kuantitas SDM yang memadai. Di Prov. Papua, belum terlihat keterkaitan antara perencanaan dengan penganggaran dalam berbagai strata pemerintahan. Selama beberapa tahun terakhir, terdapat indikasi kuat bahwa proses perencanaan dan penganggaran lima tahunan dan tahunan kurang terkait satu sama lain baik di lingkungan Pemprov maupun Pemkab/kota. Permasalahan lain adalah kurang baiknya koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kab/kota, atau antara SKPD dalam satu strata pemerintahan. Matriks Konsolidasi Perencanaan dan Penganggaran (MKPP) yang dirancang sebagai alat pengendali konsistensi perencanaan dan penganggaran belum berfungsi secara efektif. Sejak tahun 2008, pemerintah Provinsi Papua telah mengambil terobosan dengan menerapkan alat kendali Matriks Konsolidasi Perencanaan dan Penganggaran (MKPP) dalam melakukan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran. Tujuan utama dari penerapan MKPP adalah 1) terjadinya konsistensi dalam perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan; 2) adanya konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pengendalian, dan pertanggungjawaban; dan 3) terjadinya sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD sehingga tidak terjadi duplikasi program/kegiatan. Namun MKPP ini baru diterapkan 1
4 dari 14 kabupaten/kota
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
64
sebatas pada perencanaan program/kegiatan, sedangkan dalam proses penganggaran, pengendalian, dan pertanggungjawaban belum kelihatan fungsinya. Penerapan MKPP masih menemui beberapa kendala. Beberapa kendala utama yang dihadapi antara lain: a. rendahnya kemampuan dan ketrampilan aparatur dalam memahami dan mengisi worksheet MKPP, b. matriks MKPP membutuhkan worksheet yang terlalu panjang sehingga membutuhkan waktu untuk membaca dan memahaminya, c. dukungan dokumen perencanaan (RPJMD dan Renstra SKPD) yang belum dilengkapi dengan indikator-indikator yang terukur.
Tabel 5.1.
Jadwal dan Proses Penganggaran Pemerintah Daerah Proses
Batas Waktu
Pemerintah Daerah menyusun rancangan KUA dan PPAS untuk dibahas bersama DPRD Berdasarkan KUA dan PPAS yang telah disepakati antara Pemerintah Daerah dan DPRD, Kepala daerah menerbitkan Surat Edaran kepada seluruh satuan kerja untuk menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) Satuan Kerja Satuan Kerja membuat Usulan Program, Kegiatan, dan Anggaran yang dituangkan dalam Rencna Kegiatan dan Anggaran Satuan Kerja Rencana Kegiatan dan Anggaran Satuan Kerja diserahkan kepada Tim Anggaran Eksekutif untuk dinilai kewajaran beban kerja dan biaya kegitannya Hasil pembahasan Tim anggaran Eksekutif dituangkan dalam Rancangan APBD Tim Anggaran Eksekutif membahas Rancangan APBD bersama Panitia Anggaran DPRD Kepala Daerah menyampaikan rancangan APBD kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disetujui oleh DPRD disahkan oleh Kepala Daerah menjadi Peraturan Daerah tentang APBD. Apabila rancangan APBD tidak disetujui DPRD, Pemerintah Daerah berkewajiban menyempurnakan rancangan APBD tersebut Penyempurnaan rancangan APBD tersebut harus disampaikan kembali kepada DPRD Apabila rancangan APBD setelah dilakukan penyempurnaan ternyata tidak disetujui DPRD, Pemerintah Daerah menggunakan APBD tahun sebelumnya sebagai dasar pengurusan Keuangann Daerah.
Paling lambat 5 bulan sebelum tahun anggaran dimulai Pada bulan September tahun anggaran sebelumnya
Paling lambat 1 bulan sebelum anggaran dimulai Paling lambat 1 bulan setelah tahun anggaran dimulai
Paling lambat 1 bulan setelah tanggal dikembalikan Paling lambat 15 hari kerja.
Sumber : Perda No. 3 Tahun 2004
5.3. Pelaksanaan Anggaran Kapasitas manajemen kas dan penatausahaan keuangan Pemprov Papua cukup baik. Survey kapasitas PKD menunjukkan bahwa kinerja Pemprov Papua sudah di atas 50%. Hal ini antara lain disebabkan oleh dibentuknya kebijakan, prosedur, dan pengendalian untuk mendorong pengelolaan kas yang efisien, sistem penagihan dan pemungutan PAD yang efisien, dan peningkatan manajemen pendapatan. Sedangkan aspek pengelolaan dan pengendalian penerimaan kas, pembayaran kas, serta surplus kas temporer secara efisien masih perlu ditingkatkan.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
65
Sedangkan, manajeme m en kas dan penatau usahaan keuangan k n pada kabupaten/k kota mas sih kurang g baik. Survey kapassitas PKD menunjukkkan bahwa a kapasita as manajem men kas dan penatausahaan keuangan n seluruh Pemkab/ko P ota yang disurvey leb bih rendah bila dibandingkan dengan Pemprov Pa apua (lihatt Gambar 5.4). Bahkkan, beberapa kab/kkota mem mpunyai ka apasitas yang y sanga at buruk. Kurangnya a kapasita as pada ka abupaten/kkota untu uk bidang in ni pada um mumnya disebabkan oleh kapa asitas SDM M keuangan n yang kurrang mem madai dan belum adanya a suatu peratu uran perun ndangan d daerah ya ang mengatur tenta ang manajemen kas dan penge elolaan pe enerimaan daerah, se esuai yang g diamanattkan dalam PP No. 58/2005 te entang pen ngelolaan keuangan k daerah. Gam mbar 5.4..
Kinerja Manajeme en Kas dan n Penatausahaan Ke euangan Kabupaten K / Kota da an Pemerin ntah Provin nsi Papua
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Sumb ber: Survey PFM P di Kabu upaten/Kota dan Provinsii Papua, 200 09
Kete erlambatan penerap pan PP No. N 41/200 07 tentang g Organis sasi Peran ngkat Dae erah telah h mengha ambat pe elaksanaan anggarran tahun n 2009 di Provinsii Papua dan d seju umlah Kab bupaten/K Kota. Provinsi Papua a dan seba again besa ar Kabupatten/Kota te elah men nyusun APB BD tahun 2009 2 berdasarkan organisasi perangkat p daerah me enurut PP No. 41/2 2007. Namun, sebagiian besar Pemda P ini belum me enerapkan PP No. 41/2007 sam mpai bebe erapa bula an setelah APBD A 200 09 ditetapkan2. Kondiisi ini meng gakibatkan n pelaksanaan APB BD terpaksa harus ditunda kare ena menun nggu konso olidasi dan n rasionalis sasi angga aran bagi SKPD yan ng baru. Mas salah pertanggungjawaban merupaka m n masalah yang paling men nonjol dalam pena atausahaa an keuang gan daera ah di Pap pua, baik pada ting gkat prov vinsi maup pun kabu upaten/ko ota. Surat Pertangg gungjawab ban (SPJ)) dari tingkat SKP PD umum mnya terla ambat, sehingga penyusunan Laporan L Ku uangan Pe emerintah Daerah (LKPD) men njadi terla ambat juga a. Alasan utama pe emerintah daerah atas a masalah ini pa ada umum mnya adalah keterb batasan kualitas k SDM pengelola keuangan. B Beberapa daerah te elah beru upaya untu uk mengattasi keterb batasan inii dengan meminta m p pihak ketig ga (konsulttan) untu uk menyussun laporan n keuanga annya atau u untuk memberikan n bimbinga an teknis bagi b aparratur penge elola keuangan dalam bentuk on the job training. N Namun efe ektivitas up paya masih terlalu dini d untuk dinilai. d 2
Seb bagian Pemd da belum men nyesuaikan struktur s orga anisasi denga an Perda Org ganisasi Perrangkat Daerrah yang sebetulnya sudah s ditetapkan. Sebag gian lain seda ang dalam proses p penye esuaian, sepe erti ejabat. pengangkatan pe
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
66
5.4. Akuntans si, Pelaporran, Penga awasan In nternal, da an Manajem men Aset Kapasitas SD DM akunta ansi dan pelaporan n di tingk kat pemkab/kota masih m san ngat ang dalam m kontek ks Permen ndagri No o. 13/2007. Penera apan Perm mendagri No. kura 13/2 2007 mendesentralissasikan fu ungsi aku untansi da an pelapo oran ke setiap s SK KPD. Refo ormasi ini bertujuan baik, nam mun tidak mempertim m mbangkan ssangat kurangnya SDM S yang g kompeten terutama a di tingkatt pemkab/k kota. Perm masalahan ini perlu diatasi d dengan sege era, karena a perhatian terhadap p kualitas laporan keuangan d dan inform masi akunta ansi Pem mda sudah semakin besar. Ma asalah yan ng sama juga sebettulnya terja adi di selu uruh daerrah di Indo onesia. Hanya saja, permasala ahan di Pa apua sanga at besar ka arena sulittnya men ndapatkan SDM aku untansi da an marakn nya peme ekaran dae erah. Untu uk menga atasi masalah ini, re ekrutmen pegawai p de engan pendidikan akkuntansi tellah dimulai, namun baru b bisa memenuh hi untuk kebutuhan di tingkat PP PKD/BUD dan belum m untuk settiap SKPD. Gam mbar 5.5.
100%
Persentase Perha atian Peme erintah Pro ovinsi dan Kabupaten n/Kota Terhadap Masala ah Akuntan nsi dan Pellaporan
Laporan Keuaangan dan Informasi Maanajemen Akuntansi Anndal, 30%
Lap poran Keuangan dan d Infformasi Manajemeen Akkuntansi Andal, 355%
80%
60%
40%
Transaksi daan Saldo Keuangan Akkurat dan Tepat Waktu, 30%
Transaksi dan Saaldo Keuangan Akurat dan K Tepat Waktu, 244%
Sistem Infformasi Akuntansi dan Manajemen Terintegraasi, 30%
Sistem Informasii Akun ntansi dan Manajeemen Terintegrasi, 26% %
20%
0%
SDM/Kelem mbagaan Akuntansi dan n Keuangan Memadaai, 10%
SDM M/Kelembagaan Akuntaansi dan Keuangaan M Memadai, 16%
Pro ovinsiPapua Kab bupaten/KotaadiProvinsiPapua
ber: Survey Kapasitas K PK KD di Kabupaten/Kota da an Provinsi Papua, P 2009 Sumb
gendalian Internal (SPI) ma asih mem merlukan banyak pembenah p han. Sistem Peng Pene erapan SP PI pada pe emerintah provinsi p da an kabupaten/kota m masih jauh dari harap pan. Hal ini sangat disayangkkan karena a SPI sangat dibutu uhkan untu uk menjam min kelanca aran dan tertib pe enyelenggaraan pemerintahan daerah. Permassalahan utama u ada alah kura angnya kap pasitas SD DM audit in nternal, belum adanyya Peratura an Daerah h tentang SPI, S dan kurangnya a alokasi anggaran. a Y Yang palin ng penting untuk mengatasi pe ermaslaahn n ini sebe enarnya ad dalah polittical will da ari Pemerintah daerrah untuk mendukun ng Inspektorat atau u Bawasda dalam me enjalankan fungsi SP PI secara effektif dan e efisien.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah Ga ambar 5.6.
67
Perban ndingan Asspek SPI pa ada Kabup paten/Kota a dan Proviinsi 100%
100% 1 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
8 83% 3% 63 54% Provvinsi
29%
29%
Kabupaten/Kotadi ProvvinsiPapua Fu ungsi ndakLanjut Standardan Tin intern nalaudit prrosedur Temuan yangefektif audiitinternal AuditInternal d dapat danefisien Dengan diiterima Segera
ber: Survey PFM P di Kabu upaten/Kota dan Provinsii Papua, 200 09 Sumb
Ga ambar 5.7.
Perba andingan Aspek A Man najemen Aset A pada K Kabupaten n/Kota dan Provinssi
Kebijakan,, sistem dan proseddur peencatatan, perolehan, penilaian, pemindahtangan dann penghapusan dann pelaporan barangg daerah yang efektif
34% 45%
39%
Kebijakan dan prrosedu asset terinteegrasi dengan prosess perencanaan daeerah
73%
Kabupaaten/Kota Provinssi
2 25% P Perencanaan dan pengelolaan p aset jaangka panjang
33%
0% %
20%
40%
60% %
80%
Sumb ber: Survey PFM P di Kabu upaten/Kota dan Provinsii Papua, 200 09
Kapasitas pengelolaan n aset baik k di peme erintah pro ovinsi ma aupun kab bupaten/ko ota, mas sih perlu diperbaiki. d . Survey ka apasitas PKD P 2009 menunjukkkan bahwa a hanya 3 dari 14 kabupaten/ k /kota yang g memiliki Perda tentang pen ngelolaan b barang da aerah seba agai turun nan dari Permenda agri 17/20 007. Deng gan tidak adanya Perda ini, baik asspek pere encanaan dan d penge elolaan asset, maupu un kebijaka an dalam pencatata an, peroleh han, penilaian, pem mindahtang ganan, dan penghapu usan aset, tidak bisa berjalan baik b . Perttanggungjjawaban pelaksana p an angga aran masih h belum b baik. Sepe erti bisa dillihat di Gambar G 5.7 7, sebagian n besar La aporan Ke euangan Pemda di P Papua pad da tahun 2007 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
68
men ndapatkan status ”tid dak memb berikan pe endapat” atau a discla aimer. Ketepatan wa aktu dalam penyam mpaian la aporan keu uangan pemerintah provinsi/kkabupaten/kota kepada pem meriksa ekssternal perllu dilakuka an dengan lebih baik lagi. Masa alah status penyelesa aian reko omendasi atas a temuan pihak pemeriksa a eksternal, juga perlu menda apat perha atian lebih h, baik darri pemerinttah provinssi, maupun kabupaten/kota. P Persentase e rekomend dasi yang g belum ditindaklanj d juti masih lebih bes sar daripad da yang telah ditind daklanjuti dan yang g sedang dalam d prosses, perhattikan Tabel 5.2. Ga ambar 5.8 8. 20 0 18 8 16 6 4 14 12 10 0 8 6 4 2 0
Perkem mbangan Opini O di Ka abupaten/K Kota dan Provinsi Pap pua 19
12 Kabupateen/Kota/ProvinsiWDP Kabupateen/Kota/ProvinsiTW
6
5
Kabupateen/Kota/ProvinsiTMP
3 0 0 2004
0 0 2005 5
0 200 06
1
0
20 007
Sumb ber: Survey PFM P di Kabu upaten/Kota dan Provinsii Papua, 200 09 Catattan: WDP (W Wajar Dengan n Pengecualian), TW (Tid dak Wajar), TMP T (Tidak Memberikan n Pendapat)
Tab bel 5.2.
Status Pe enyelesaian Rekome endasi BPK K
5.5. Rekomen ndasi Pem merintah Provinsi P d dan Pemka ab/kota di Papua perlu p mem mperbaiki kualitas dan d kons sistensi perencana p aan, monittoring, da an evaluas si jangka pendek, tahunan, t d dan men nengah. Seperti S sud dah diketa ahui bersam ma, dokum men-dokum men peren ncanaan tiidak mem mpunyai in ndikator-ind dikator kin nerja yang terukur dan d MTEF F. Selain itu, i dokum mendoku umen terssebut kura ang konssisten satu u sama lain yang sering menyebab m bkan kebingungan dalam pe elaksanaan n, monitoring, dan evaluasi pembang gunan. Un ntuk men ngatasi pe ermasalaha an ini, Pe emprov Pa apua dapat melaku ukan perb baikan jan ngka pend dek dan pa anjang seb bagai berikut:
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 5 Pengelolaan Keuangan Daerah
69
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
70
BAB 6
DANA OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
71
Setelah 8 tahun berjalan, otonomi khusus (Otsus) Papua masih menghadapi sejumlah masalah yang memerlukan pembenahan. Sampai saat ini, pengelolaan dana ini masih banyak mengundang tanda tanya, antara lain dalam hal perundang-undangan, alokasi, transparansi, monitoring, evaluasi, dan pertanggungjawaban. Permasalahan ini tercermin antara lain dari program RESPEK, yang merupakan program utama Otsus. 6.1. Otonomi Khusus Provinsi Papua Otonomi Khusus Papua ditujukan sebagai jawaban atas ketertinggalan Papua. Bahkan sampai saat ini, secara umum, pembangunan di Papua masih tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain. Untuk mengatasinya, pada tahun 2001, pemerintah mengeluarkan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua. Dalam UU ini, disebutkan bahwa diperlukan percepatan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain di Indonesia. Dalam perkembangannya, UU ini kemudian direvisi untuk mengakomodasi terbentuknya Provinsi Papua Barat. Otonomi khusus Papua ini memberikan tambahan dana bagi provinsi Papua. Sesuai dengan pasal 34 UU No. 21/2001, Provinsi Papua menerima dua jenis dana tambahan, yaitu dana Otsus yang besarnya 2 persen dari total DAU nasional dan dana Otsus khusus untuk infrastruktur, yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun anggaran. Mulai tahun 2009, dengan diakomodasinya Provinsi Papua Barat sebagai penerima dana Otsus, Provinsi Papua menerima 70% dari total dana Otsus.1 Implementasi Otsus ini masih terhambat oleh belum selesainya peraturanperaturan pelaksanaan UU No. 21/ 2001. Untuk mengimplementasikan otonomi khusus, diperlukan serangkaian peraturan daerah provinsi (Perdasi) dan peraturan daerah khusus (Perdasus) yang nantinya akan menjadi peraturan pelaksanaan dari UU No. 21/2001 ini. Akan tetapi, sejauh ini, baru satu Perdasus yang sudah ditetapkan, sedangkan berapa Perdasi/Perdasus kunci belum selesai, seperti yang mengatur kewenangan khusus bagi provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus dan yang mengatur tentang pembangunan sektor prioritas2. Secara umum, hal ini terjadi karena lambannya proses legislasi dan kurangnya koordinasi antara Pemprov, DPRP, dan MRP. Dalam praktiknya, implementasi Otsus ini masih banyak dilakukan melalui peraturan perundang-undangan lain yang kurang mengikat karena tidak ditetapkan melalui persetujuan DPRP dan MRP. Selain itu, hal yang sangat menghambat pelaksanaan Otsus adalah kurang efektifnya koordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemprov, dan Pemkab/kota. Dalam beberapa hal, UU No. 21/2001 ini tidak sejalan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan. Untuk menyelaraskan UU tersebut, diperlukan suatu mekanisme koordinasi yang jelas antara Pusat, Pemprov, dan Pemkab/kota. Hanya saja, sampai saat ini, belum ada suatu solusi efektif untuk membangun mekanisme koordinasi ini, sehingga sering terjadi tumpang tinding wewenang dan pelaksanaan pembangunan di antara ketiga level pemerintahan 1
Terminologi “dana Otsus” pada umumnya mengarah pada dana Otsus yang besarnya 2% dari total DAU nasional, dan tidak mencakup dana Otsus khusus infrastruktur. 2 Sambutan Gubernur Papua pada acara Sosialisasi Perdasi/Perdasus tanggal 27 Juli 2009, bisa diakses di www.papua.go.id
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
72
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
ini. Sebagai contoh, Inpres No. 5/2007, tentang percepatan pembangunan di Prov. Papua dan Papua Barat, tidak dapat dilaksanakan secara efektif karena lemahnya koordinasi antara ketiga strata pemerintahan. 6.2. Perkembangan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Kecuali tahun 2009, Penerimaan Provinsi Papua dari dana otsus terus meningkat. Secara total, dari tahun 2002 sampai dengan 2009, penerimaan dana Otsus yang masuk ke Pemprov Papua meningkat sebanyak 158% secara nominal atau 20% secara riil. Secara tren, dana ini cenderung meningkat sampai tahun 20083. Namun, di tahun 2009 penerimaan ini turun karena 30% dari dana Otsus diserahkan langsung ke Pemprov Papua Barat. Dana Otsus untuk infastruktur baru mulai diterima sejak tahun 2006 dengan jumlah tahunan yang fluktuatif. Penerimaan Provinsi Papua dari Otonomi Khusus Tahun 20022009
Gambar. 6.1
Rp Triliun
4
3
2
1
2002
2003
2004
2005
2006
Otsus (2%DAU Nasional) Total-Riil 2007
2007
2008
2009
Otsus Infrastruktur
Sumber : Pemda Provinsi Papua (2009)
Dana otonomi khusus memberikan kontribusi signifikan bagi Pemprov dan Pemkab/kota di Papua. Untuk periode 2004-2008, secara keseluruhan, dana Otsus menyumbang 21,6% dari total pendapatan seluruh Pemda di Prov. Papua. Untuk pemerintah provinsi, jika dikurangi alokasi untuk Pemkab/kota, dana Otsus menyumbang hampir setengah (42%) dari total pendapatan. Untuk pemerintah kab/kota, pada periode yang sama, dana Otsus berkontribusi sebesar 12% terhadap total pendapatan. Pemekaran menyebabkan turunnya penerimaan dana Otsus untuk setiap Kab/Kota. Seperti bisa dilihat di Gambar 6.1, secara umum, alokasi dana Otsus untuk setiap Kab/Kota meningkat secara signifikan sejak 2002. Dari gambar yang sama, 3
Data Otsus ini tidak mengikutsertakan alokasi dana Otsus untuk kabupaten dan kota yang sekarang menjadi bagian dari Prov. Papua Barat.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
73
terlihat penurunan alokasi Otsus di tahun 2009 yang cukup besar untuk sebagian besar Kab/Kota. Analisis lebih lanjut memperlihatkan bahwa daerah tersebut adalah daerah ”induk” yang dimekarkan pada tahun 2008. Dengan kata lain, pemekaran 8 kabupaten di tahun 2008 menurunkan alokasi Otsus di tahun berikutnya. Ketentuan pengalokasian dana otsus ke kabupaten/kota mengalami beberapa kali perubahan. Pertama, untuk periode 2002-2003, 60% dari dana Otsus diperuntukkan bagi Pemprov, sedangkan 40% dialokasikan ke kabupaten/kota. Angka 40% ini akan dikurangi dahulu oleh program dan kegiatan strategis yang ditetapkan oleh provinsi, sebelum dibagikan ke kab/kota. Kedua, selama 2004-2006, proporsi ini dibalik, di mana Pemprov mendapatkan 40% dan kab/kota mendapatkan 60%, sebelum dikurangi oleh program dan kegiatan strategis. Ketiga, periode 2007-2009, sebagian dana Otsus dialokasikan khusus untuk program khusus Otsus. Sisanya kemudian dialokasikan ke Pemprov sebesar 40% dan ke kabupaten/kota sebesar 60%, Pada tahun 2007-2008, program khusus ini berupa Program RESPEK, sedangkan tahun 2009, ditambahkan program pembebasan biaya pendidikan dan kesehatan. Tabel 6.1. Periode 2002-2003
Perubahan Alokasi Dana Otonomi Khusus Ke Kabupaten/Kota Tahun 2002-2009 Provinsi Kabupaten/Kota Program Prioritas 60 persen 40 persen* Pilkada, pengembangan Program Pendidikan Kedokteran
2004-2006
40 persen
60 persen*
Program & Kegiatan strategis
2007-2009
40 persen**
60 persen**
RESPEK (sejak 2007) & Biaya Pembebasan Pendidikan dan kesehatan (sejak 2009)
Sumber : Pemda Provinsi Papua (2009) *: Alokasi kab/kota akan dikurangi dengan program prioritas yang ditetapkan oleh provinsi. **: Alokasi Pemprov dan Kab/kota dilakukan setelah dana Otsus dikurangi dengan program prioritas yang ditetapkan oleh provinsi
Gambar 6.2.
Alokasi Sektoral Provinsi Papua Tahun 2008 Pendidikan, 6.20%
Kesehatan, 10.96%
Infrastruk tur,15.37 %
Lainnya, 65.64%
PemberͲ dayaan Ekonomi Rakyat,1.8 3%
Sumber : Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Dana Otsus,BPK, 2009
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
74 Gambar 6.3.
Alokasi Sektoral Kabupaten/Kota Tahun 2006 & 2008
Tahun 2006
Tahun 2008 Pendidikan, 19.78%
Bidang Penunjang, 31.26%
Perekono mian Rakyat, 11.91%
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
Infrastruk tur, 25.11%
Kesehatan, 11.93%
Bidang Penunjang, 34.25%
Perekonomian Rakyat,16.07%
Pendidikan, 23.56%
Kesehatan, 14.13% Infrastruktur, 12.00%
Sumber : Bappeda Provinsi Papua, Tahun 2007 & 2009
Alokasi sektoral dana Otsus dari Pemprov untuk sektor pendidikan dan kesehatan belum sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, pada tahun 2008, alokasi Otsus untuk sektor kesehatan mencapai 10,96%, sedangkan untuk sektor pendidikan hanya 6.2%4. Alokasi untuk kedua sektor ini masih di bawah ketentuan yang diamanatkan UU No. 21/2001, yaitu sebesar 15% untuk kesehatan dan 30% untuk pendidikan. Alokasi sektoral dana Otsus kabupaten/kota untuk sektor pendidikan dan kesehatan masih sedikit di bawah ketentuan. Berdasarkan data Bappeda provinsi Papua tahun 2008, alokasi Otsus untuk sektor kesehatan adalah sebesar 14,13%, sedangkan untuk sektor pendidikan adalah 23.56%. Alokasi untuk kedua sektor ini sudah mendekati ketentuan yang diamanatkan UU No. 21/2001, yaitu sebesar 15% untuk kesehatan dan 30% untuk pendidikan. Selain itu, alokasi untuk kedua sektor ini mengalami kenaikan 3,78% untuk pendidikan dan 2,2% untuk kesehatan selama 20062008. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan perhatian pemerintah kabupaten/kota terhadap pengembangan dua sektor prioritas ini. Dana Otsus berkontribusi pada ketimpangan fiskal antar kab/kota di Prov. Papua. Berdasarkan data Otsus dan penduduk tahun 2007, kita dapat melihat kesenjangan Otsus per kapita yang sangat lebar antara kab/kota di Prov. Papua. Pada tahun itu, Otsus per kapita 70% kab/kota berada di bawah Rp 1 juta. Sedangkan, Otsus per kapita 30% kab/kota yang lain, di mana semuanya adalah kabupaten pemekaran, berkisar antara Rp 1.5-4.2 juta (Kab. Supiori). Kesenjangan Otsus per kapita yang mencolok ini berkontribusi signifikan pada ketimpangan fiskal antar kab/kota secara keseluruhan. Gambar 6.4 Dana otsus per kapita 2007
4
Laporan Hasil Pemeriksaaan (LHP) atas pengelolaan dana Otsus Papua tahun 2008.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Ribuan Rp
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
75
4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500
Ko ta Ka Ja y b. Ja apu y a ra Ka wija y b Ka . N a a b. b M ire Ka era u Ka b. M ke b. im Ya ik hu a Ka Ka kim b. b. o P P Ka un an b. ca iai Bi k J ak a Ka Nu ya m K b. f Ka ab. Jay or b. Pe ap Ya g. ura pe Bin ta n W ng ar Ka op b. en Ka Ma pp b Ka . As i m b. T a Ka oli t b. kar Ke a Ka Ka ero b. m b Bo . S ve arm Ka n D i ig b. W oe l a Ka ro b. pen Su pi or i
-
Sumber : Pemprov Papua (2009) dan Daerah Dalam Angka 2008 Data Otsus dan Penduduk adalah kondisi pada tahun 2007.
6.3. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Perdasus mengenai pengelolaan dana Otsus masih belum belum berfungsi optimal. Perdasus No. 1/2007, tentang pembagian dan pengelolaan penerimaan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus Papua, belum memiliki kekuatan hukum yang tetap karena belum ditetapkan dalam Lembaran Daerah. Dan juga, Perdasus ini hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan membutuhkan peraturan-peraturan turunan untuk menjabarkan tata cara alokasi, pengawasan, pengendalian, pelaporan, dan pertanggungjawaban dana Otsus. Belum jelasnya peraturan tentang alokasi dana Otsus memicu perdebatan antara Pemprov dan Pemkab/Kota. Saat ini, Pemerintah Kabupaten/kota menuntut agar 70% dana Otsus, setelah pengurangan program strategis, dialokasikan untuk kabupaten/kota. Alasan tuntutan ini adalah bahwa sebagian besar penyediaan layanan publik untuk sektor prioritas Otsus menjadi tanggung jawab Pemkab/kota. Walaupun sudah ada sosialisasi dari Pemprov, transparansi tentang proses alokasi dana Otsus masih kurang. Sejak tahun 2007, Pemprov Papua sudah berupaya mendorong transparansi alokasi dana Otsus melalui sosialisasi kriteria alokasi dan Otsus dan jumlah yang dialokasikan ke kabupaten/kota. Berdasarkan Perdasus No. 1/2007, dana Otsus dialokasikan ke kab/kota berdasarkan enam kriteria, yaitu: a. luas wilayah b. jumlah penduduk c. kondisi geografis dan tingkat kesulitan wilayah d. pendapatan asli daerah e. penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan f. Produk Domestik Regional Bruto
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
76
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
Hanya saja, sampai saat ini, transparansi ini masih dinilai kurang oleh Pemkab/kota dan stakeholder lain karena belum ditetapkannya peraturan gubernur tentang formula alokasi dana Otsus untuk kab/kota. Sampai saat ini, dapat dikatakan bahwa perhitungan dan data yang digunakan masih relatif menjadi rahasia pemerintah Provinsi Papua. Diperkirakan kurangnya keterbukaan seperti inilah yang menimbulkan sejumlah pernyataan “miring“ dari pimpinan daerah kabupaten/kota bahwa Provinsi Papua masih belum transparan dan akuntabel dalam pembagian dana. Sebagian besar dana Otonomi Khusus yang dialokasikan ke Kabupaten/kota tidak terserap dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Dari data realisasi kegiatan tahun 2008 yang dibiayai dana Otsus untuk kabupaten/kota, angka penyerapan hanya mencapai 41%. Berarti, lebih dari setengah kegiatan yang masih harus dilaksanakan pada tahun anggaran 2009. Rendahnya penyerapan ini antara lain disebabkan oleh keterlambatan pencairan dana Otsus ke kabupaten/kota. Sampai saat ini, tingkat pelaporan dan akuntabilitas dana otonomi khusus masih sangat rendah. Berdasarkan data Bappeda Provinsi Papua, untuk tahun 2008 hanya 4 daerah (dari 21 kabupaten/kota) yang melaporkan penggunaan dana Otsus untuk 12 bulan (19%). Sisanya hanya melaporkan untuk beberapa bulan, namun ada juga yang sama sekali tidak menyampaikan laporan. Hal ini sebetulnya sudah diidentifikasi dalam laporan Papua PEA 2005, namun masih saja berlanjut sampai sekarang. Berlarutnya masalah pelaporan ini antara lain disebabkan oleh sistem pelaporan hampir tidak pernah dievaluasi, sanksi yang ditetapkan untuk kealpaan dan keterlambatan melapor tidak diefektifkan, dan apresiasi terhadap informasi ini untuk pengambilan keputusan masih sangat rendah. Masalah pelaporan dana Otsus dapat dinilai sebagai salah satu bentuk kurangnya perhatian terhadap aspek akuntabilitas birokrasi yang berdampak pada rendahnya akuntabilitas publik untuk dana Otsus. Gambar 6.5.
Persentase Dana Yang Sudah dan Belum Direalisasikan Daerah Per Desember 2008
Sumber : diolah, hasil wawancara, 2009
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua Gambar 6.6.
77
Persentase Pelaporan Penggunaan Dana Otsus oleh Kabupaten/kota Provinsi Papua Per Desember 2008 Laporan KurangEmpat Bulan 1 daerah(5%)
Laporan KurangLima Bulan2 daerah(9%)
Laporan KurangTiga Bulan6 daerah(29%)
TidakAda Laporan 3daerah (14%)
Laporan Lengkap 4daerah (19%)
Laporan KurangDua Bulan5 daerah(24%)
Sumber : Bappeda Provinsi Papua, Tahun 2008
Box 6.1 Mekanisme pengendalian pengelolaan dana Otsus Berdasarkan petunjuk Pengelolaan Dana Otsus Papua yang telah ditetapkan sejak tahun 2002 dan terus diperbaharui setiap tahun, mekanisme pengendalian pengelolaan dana otsus ditetapkan sebagai berikut: (1) di tingkat Provinsi, laporan disampaikan oleh pengguna anggaran kepada Gubernur, dengan tembusan kepada Bappeda, Bawasda, dan BPKD, dan (2) di tingkat kabupaten/kota laporan disampaikan oleh pengguna anggaran kepada Bupati/Walikota ditembuskan Bappeda, Bawasda, dan BPKD, untuk selanjutnya disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bappeda, Bawasda, dan BPKD Provinsi Papua. Dengan ketentuan ini berarti Bawasda, Bappeda dan BPKD Provinsi Papua seharusnys memiliki data dan informasi untuk menilai kepatuhan pelaporan dana Otsus.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
78 Gambar 6.7.
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
Mekanisme Pengendalian Pengelolaan Dana Otsus Tahun 2008
SKPD DI PROVINSI
Ͳ BAPPEDA - BAWASDA - BPKAD
GUBERNUR
BUPATI/ WALIKOTA
SKPD KABUPATEN/KOTA
Ͳ BAPPEDA - BAWASDA - BPKAD
Sumber : Petunjuk Pengelolaan Dana Penerimaan Khusus dalam Rangka Otsus, Tahun 2008
Melalui program RESPEK, Pemerintah Provinsi berusaha untuk menyalurkan dana Otsus langsung ke masyarakat. Pada tahun 2007, Pemprov Papua meluncurkan program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK) yang bertujuan agar dana Otsus bisa dinikmati langsung oleh masyarakat. Melalui program ini, setiap kampung memperoleh Rp100 juta per tahun dari Pemprov yang kemudian ditambah oleh Pemkab/kota. Sampai tahun ini, pengeluaran untuk pogram ini meningkat seiring dengan peningkatan jumlah distrik dan kampung. Tabel 6.2. Tahun
Total Dana RESPEK Untuk Distrik dan Kampung Tahun 2008-2009 Jumlah Kampung/ Total Dana Jumlah Total Dana Kelurahan (milyar Rupiah) Distrik (milyar rupiah) 2007 2.593 259,3 186 18,6 2008 2.727 272,7 295 29,5 Total 532,0 Total 48,1 Sumber : Laporan Monitoring dan Evaluasi RESPEK, 2009 (diolah)
Selama dua tahun pelaksanaannya, implementasi RESPEK menemui beberapa permasalahan yang menghambat pencapaian tujuan. Setidaknya, ada lima permasalahan utama dalam implementasi RESPEK ini, yaitu: a. Sama seperti hal-hal lain dalam Otsus, pelaksanaan program RESPEK belum dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, seperti dalam hal pengelolaan keuangan. b. Koordinasi antara Pemprov dan kabupaten/kota belum berjalan baik. c. Sinkronisasi program dan kegiatan antara SKPD terkait belum optimal. d. RESPEK belum diikuti dengan program pengembangan ekonomi lokal sehingga sebagian besar dana RESPEK dibelanjakan di luar daerah. e. Kapasitas SDM di tingkat kampung masih sangat kurang, sehingga penyusunan anggaran pendapatan dan belanja kampung (APBK) dan berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran lain masih jauh dari harapan.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 6 Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua
79
6.4. Rekomendasi Berbagai permasalahan pelaksanaan Otsus membutuhkan terobosan-terobosan baru. Dari bagian-bagian sebelumnya, terlihat bahwa permasalahan utama Otsus, seperti perundang-undangan dan koordinasi pusat-provinsi-daerah, bukan merupakan masalah baru. Berbagai upaya solusi sudah ditempuh, seperti penerbitan Inpres No. 5/2007, tanpa memberikan hasil yang memuaskan. Karena itu, menjelang separuh waktu pelaksanaan Otsus, dibutuhkan terobosan-terobosan baru untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas. Solusi terobosan ini dapat berupa evaluasi pelaksanaan Otsus yang dilakukan bersama oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kab/kota. Atau, dapat pula berupa pembentukan badan setingkat kementerian untuk mengelola Otonomi Khusus Papua, seperti yang sudah diusulkan oleh sejumlah pihak5. Pengelolaan dana Otonomi Khusus Papua perlu dibenahi, yang mencakup aspek perencanaan, partisipasi, pelaporan, dan transparansi. Proses perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban dana Otonomi Khusus Papua mengacu pada peraturan yang sama dengan dana dari sumber penerimaan daerah lainnya. Namun, untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan program/kegiatan yang dibiayai dari sumber otsus, kita perlu memperhatikan empat aspek kunci yaitu perencanaan, partisipasi, pelaporan dan transparansi. a. Perencanaan. Dana Otsus yang jumlahnya terbatas mengharuskan Pemda untuk bersikap selektif dengan mengacu pada prioritas Otsus dalam merencanakan program dan kegiatan yang didanai oleh dana Otsus. Perencanaan juga harus menunjuk sasaran dan target penerima manfaat yang jelas, karena Otsus menghendaki keberpihakan pada kelompok penduduk asli Papua. Saat perencanaan, pembahasan Rencana Definitif (RD) merupakan langkah awal yang sangat menentukan efektivitas dana Otsus. b. Partisipasi. Musrenbang kampung/kelurahan dan kecamatan harus diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Dan juga, sebagian dari usulan dalam Musrenbang harus diakomodasi dalam RD. Untuk memastikan tercapainya hal ini, Pemprov dan Pemkab/kota perlu menyiapkan fasilitator-fasilitator Musrenbang yang terlatih. c. Pelaporan. Pemerintah provinsi Papua perlu mengkaji sistem pelaporan pelaksanaan Otsus agar pelaporan berjalan efisien dan efektif. Dan juga, Pemprov harus mewajibkan Pemkab/kota dan SKPD Provinsi untuk menyampaikan laporan pelaksanaan Otsus secara tepat waktu dan menerapkan sanksi yang jelas bagi yang tidak melakukannya. Di sisi lain, Pemprov harus mengevaluasi laporan-laporan itu dan memberikan feedback yang jelas kepada Pemkab/kota dan SKPD Provinsi. d. Transparansi. Transparansi kebijakan, peraturan, keuangan, dan kegiatan perlu diperbaiki untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Berbagai isu dan wacana publik tentang dana Otsus yang sudah mengganggu kepercayaan kepada pemerintah harus dapat direspons oleh kepala daerah dan/atau kepala SKPD yang memahami permasalahan. Inilah bentuk akuntabilitas publik yang perlu dijaga oleh semua tingkatan manajemen di pemerintah daerah.
5
Lihat “Papua Minta Badan Khusus ke Presiden”, Cenderawasih Pos edisi 2 November 2009.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM
80
BAB 7 Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
INSTITUSI DAN SDM PEMERINTAHAN
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM
81
Sampai dengan awal tahun ini, strukktur organis sasi perangkat daera ah sudah diterapkan d di sebag gian besar Pemda di Papua. Sebagai con ntoh, sejum mlah daera ah belum menerapka m an sistem m kelembagaan peng gelolaan keuangan k daerah d ya ang terpadu. Pemeka aran daera ah Namun pe menye ebabkan ju umlah PNS S yang dib butuhkan meningkat. m enyebaran PNS massih belum m merata, Kab K cenderrung meramping tapi di kota malah meleb bar. Implik kasinya pad da belanjja pegawa ai. Secara umum ma asih belum m memadai, SDM akkuntansi masih m sang gat kurang g. 7.1. Analisis A Struktur Org ganisasi PP No o. 41/ 200 07 tentang g Organisa asi Perang gkat Daerrah (OPD) mewajibk kan seluru uh Pemd da untuk meninjau ulang sttruktur orrganisasi mereka. Sampai tahun t 200 08, banya ak Pemda di Indonesia memp punyai stru uktur yang “gemuk” yyang mem mbuat APB BD kurang g efisien1. PP ini, yang merupa akan turunan dari UU U No. 32/2004, bermaksud untu uk menga arahkan Pemda P unttuk mempu unyai struktur organ nisasi yang g ramping dan sesu uai denga an kondisi Pemda ya ang bersan ngkutan2. PP P ini men ngatur juga a tentang nomenklat n tur dari setiap s SKP PD dan esselonisasi jabatan j sttruktural. Berdasarka B an PP ini, peyesuaia an struktu ur organisa asi daerah harus dila akukan maksimal satu tahun se ejak diunda angkannya a. Peme erintah Prrovinsi Pa apua dan n sebagia an Kabup paten/Kota a telah menetapka m an strukttur organiisasi perangkat dae erah menu urut PP 41 1/2007. Da alam implementasinyya, setiap p Pemda harus h menyusun Perrda tentang struktur organisassi daerah berdasarka b an PP 4/ 2007. Di Prov. Pap pua, sebag gian Pemda telah me enetapkan Perda ini pada tahu un 2008 (lihat gambar 7.1). Hanya H saja a, sebagian n dari daerah terseb but belum menerapka m an a ini hingga awal tahun 2009.. Sejumlah h daerah lain belum m selesai menerapka m an Perda Perda a ini, di mana m strukktur organ nisasi telah dibentukk namun belum me enempatka an pejaba at struktura al dan peg gawai, teru utama pada SKPD baru. b Enam m daerah lainnya tida ak didapa atkan inforrmasi kare ena tidak termasuk t dalam surrvei yang dilakukan pada tahu un 2009. Gamb bar 7. 1.
Penerap pan SOTK menurut PP P No. 41/2 2007 pada a Kabupate en/Kota Di Provinsi Papua
6
8
6
Ya
Tidak
Tidakkdisurvei
Sumbe er : Hasil Survvey PFM Pro ovinsi Papua a dan 14 Kab bupaten/Kota a (Maret 2009 9)
1 2
Sebagaai contoh, padda tahun 2007, Pemprov Pappua mempuny yai lebih dari 50 5 SKPD. Bab V dari PP No. 41/2007 4 menccantumkan forrmula perhitun ngan besaran organisasi o perrangkat daerah h.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM
82
Transisi ke PP. No. 41/2007 mempengaruhi proses perencanaan dan penganggaran. Batas akhir penerapan peraturan ini adalah pada penyusunan anggaran 2009, namun, pada saat itu, sejumlah kabupaten/kota di Papua belum menyesuaikan struktur organisasinya. Akibatnya, proses perencanaan APBD 2009 tidak optimal dan penyerapan anggaran pada semester 2009 lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Penerapan PP. No. 41/2007 merampingkan struktur organisasi di Pemerintah Provinsi Papua, tetapi relatif belum berdampak pada struktur Pemkab/kota. Untuk lingkup Pemprov Papua, Stuktur organisasi Provinsi Papua pada tahun 2008 terdiri dari 37 SKPD dan 2009 menjadi lebih ramping dengan 23 SKPD. Akan tetapi, dampak semacam ini belum terlihat dari 2 pemerintah kabupaten yang diobservasi. Untuk tingkatan yang lebih detil (seperti komposisi pejabat struktural), dampak perampingan organisasi terhadap pengurangan atau penambahan PNS belum dapat didentifikasi karena belum struktur organisasi baru belum sepenuhnya diimplementasikan. Penerapan struktur OPD yang baru telah berdampak pada penurunan anggaran belanja pegawai Pemerintah Provinsi Papua, tetapi hal yang sama tidak terlihat di kedua kabupaten studi kasus. Anggaran belanja pegawai Provinsi Papua pada tahun 2009 sebesar Rp. 591,910,- milyar, lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran belanja pegawai pada tahun 2008 sebesar Rp. 596,452,- milyar. Pada kabupaten studi kasus, anggaran belanja pegawai malah mengalami peningkatan. Anggaran belanja pegawai Kabupaten Jayapura pada tahun 2008 sebesar Rp. 207,169,- milyar meningkat menjadi Rp. 233,2911,- milyar tahun 2009, dan Kabupaten Pegunungan Bintang Rp. 151.320,- milyar tahun 2008 menjadi Rp. 155,882,- milyar pada tahun 2009.. Gambar 7.2.
Perbandingan Struktur orgasnisasi pemerintahan dan Anggaran Belanja Pegawai Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua Tahun 2007 – 2009
StrukturOrganisasiProvinsiPapuadan KabupatenStudiKasusTahun2007Ͳ 2009
60 50 40 30
57 47
47
38
37
27
28
20
43
AnggaranBelanjaPegawaiTahun2007Ͳ2009 (MilayarRp.) 700
596.452
600 500 400
341.36
591.91
300
23
207.17 233.291
200 100
10
196.479
0 ProvinsiPapua
0 2007
2008
ProvinsiPapua Kab.Peg.Bintang
2009 Kab.Jayapura
2007
2008
Kabupaten Jayapura
151.32
67.05
155.882
Kabupaten Pegunungan Bintang
2009
Sumber : APBD Provinsi Papua, Kabupaten Jayapura dan Pegunungan Bintang, 2009 (diolah)
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM
83
7.2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kapasitas aparatur pemerintah daerah sangat menentukan kualitas pelayanan pemerintah. Dengan dilimpahkannya sebagian besar tanggung jawab pelayanan publik ke pemerintah kab/kota, kapasitas aparatur pemerintah daerah menjadi sangat penting untuk memenuhi standar pelayanan minimum (SPM). Hanya saja, sampai saat ini, belum ada suatu pedoman yang jelas mengenai kapasitas aparatur yang diperlukan untuk menyediakan layanan publik di suatu daerah. Setiap daerah mempunyai keunikannya masing-masing sehingga kebutuhan kapasitas aparatur tentu saja berbeda. Saat ini, penilaian kapasitas masih terbatas pada indikator-indikator kuantitas dan kualitas umum, seperti jumlah PNS per 1000 penduduk dan komposisi menurut golongan dan pendidikan dari tahun ke tahun. Jumlah PNS di Prov. Papua meningkat cukup tinggi selama 2004-2007. Secara total, jumlah PNS di seluruh Pemda di Prov. Papua meningkat sebanyak 31% selama 2004-2007. Peningkatan ini, seperti bisa dilihat di Gambar 7.3, sangat didorong oleh bertambahnya PNS di Pemkab/kota yang secara rata-rata mencapai 35.1%. Di lingkup pemerintah provinsi sendiri, peningkatan yang terjadi termasuk wajar, yaitu sebesar 5,90%. Peningkatan ini juga tampak dalam hal rasio PNS per 1000 penduduk. Pada tahun 2004 terdapat sekitar 25 PNS per 1000 perduduk, sedangkan pada tahun 2007, terdapat 29.8 PNS per 1000 penduduk. Pemekaran kab/kota mendorong kenaikan jumlah PNS Provinsi Papua selama 2004-2007. Analisis yang lebih detil menunjukkan bahwa kabupaten-kabupaten yang dimekarkan tahun 2002 dan 2003 merupakan kontributor utama meningkatnya jumlah PNS di Prov. Papua. Selama 2004-2007, peningkatan jumlah PNS di kabupatenkabupaten ini secara rata-rata mencapai 236%. Sayangnya, jumlah PNS pada kabupaten-kabupaten induk juga ikut meningkat, walaupun hanya sebesar 8.2%. Gambar 7. 3.
Perkembangan Jumlah PNS Provinsi Papua Tahun 2004 – 2007
70
31
60
30 29
50
28
40
27
30
26 25
20
24
10
23
0
22 2004 Totalkab/kota
2005 PemprovPapua
2006
2007 Rasioper1000Penduduk
Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM
84 Gambar 7. 4.
Jumlah PNS Provinsi Papua dan Kabupaten / Kota dan Rasio PNS per 1000 penduduk Tahun 2007
RasioPNSper100Penduduk Kabupaten/KotadiProv.Papua Tahun2007
JumlahPNSProv.Papuadan Kabupaten/KotaTahun2007 ProvinsiPapua
Yahukimo 6.7 PegununganBintang 12.6 PuncakJaya 13.8 Tolikara 14.8 Paniai 17.1 Mappi 19.5 Mimika 19.8 Jayawijaya 20.4 Asmat 21.3 Sarmi 24.6 KotaJayapura 24.7 Nabire 30.5 Keerom 32.8 Merauke 34.4 Waropen 38.8 BovenDigoel 41.5 Supiori 44.1 BiakNumfor 45.0 YapenWaropen 51.3 Jayapura 61.1
Jayapura Merauke KotaJayapura Nabire BiakNumfor Jayawijaya YapenWaropen Mimika Paniai PuncakJaya Asmat BovenDigoel Keerom Mappi PegununganBintang Yahukimo Waropen Sarmi Tolikara Supiori
0
2000
4000
6000
8000
0
20
40
60
80
Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009
Jumlah PNS dan rasio PNS terhadap penduduk di setiap kabupaten/kota di Provinsi Papua sangat bervariasi. Dari 20 Kabupaten di Provinsi papua pada tahun 2007, Kabupaten Jayapura merupakan kabupaten yang memiliki jumlah pegawai paling banyak, dan paling sedikit terdapat di kabupaten Supiori. Bisa dikatakan bahwa kabupaten/ kota induk relatif memiliki jumlah PNS yang lebih besar dari kabupatenkabupaten pemekaran, sebagaimana yang terlihat pada Gambar 7.4a. Perbedaan besar juga terlihat pada rasio PNS terhadap jumlah penduduk juga bervariasi. Dari Gambar 7.4b, terlihat bahwa seorang PNS di Kab. Yahukimo melayani sembilan kali penduduk lebih banyak dibanding satu orang PNS di kab. Jayapura. Selama 2004-2007, secara umum, latar belakang pendidikan PNS Pemprov dan Pemkab/kota di Prov. Papua meningkat. Seperti bisa dilihat di tabel 7.6b, pada tahun 2007, proporsi PNS dengan latar belakang pendidikan diploma, S1, dan S2 meningkat cukup signifikan, jika dibandingkan dengan tahun 2004. Sebaliknya, proporsi PNS berpendidikan SLTA ke bawah mengalami penurunan. Sebab utama perbaikan ini ada dua. Pertama, selama periode tersebut Pemda di Prov. Papua mendorong PNS untuk mengambil tugas belajar. Kedua, selama periode ini, PNS yang berpendidikan SLTA ke bawah yang memasuki masa pensiun digantikan oleh PNS baru dengan pendidikan minimal D1, D2, atau D3. Fenomena ini, secara umum, terjadi baik di lingkup Pemprov Papua dan Pemkab/kota di Papua.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM
85
Perub bahan kom mposisi golongan g juga terjadi pada periode yang sam ma. Sejala an denga an peruba ahan positif pada komposisii latar be elakang p pendidikan,, komposisi golong gan PNS di Pempro ov dan Pe emkab/kota a di Prov. Papua jug ga mening gkat. Seca ara umum m, selama 2004-2007 2 7, terjadi pe enurunan proporsi PNS P golong gan I dan II I dan terja adi pening gkatan PNS golonga an III dan IV V, seperti yang y ditunjjukkan oleh gambar 7.5. angan Kom mposisi PN NS Provinsi Papua Ta ahun 2004 – 2007 Gam mbar 7. 5. Perkemba
80% % 60% %
2004
40% %
2005
20% %
2006
0% %
2007 GOL.I GO OL.II GOL. GOL. G III IV
er : BPS Provvinsi Papua, 2009 Sumbe
Komp posisi gen nder PNS di Prov. Papua P me enjadi sem makin seim mbang se elama 200 042007. Selama empat tahun terakhir, komposis si gender PNS P dari se eluruh Pem mda di Pro ov. a semakin seimbang g (lihat gambar 7.6). Jika pad da tahun 2 2004 hanya a 32% PN NS Papua wanita a di Prov. Papua, pada p tahun n 2007 ha ampir 41% % PNS di P Papua ada alah wanitta. Komposisi gend der yang semakin se eimbang in ni terjadi baik di lingkkup Pemprov maupu un Pemkab/kota se ecara keseluruhan. Di D lingkup pemprov, p rasio PNS w wanita berrtambah da ari 34% ke k 37%. Di lingkup Pemkab/ko P ta, secara keseluruh han rasio P PNS wanita a bertamba ah lebih banyak b lag gi, yaitu dari 32% menjadi 41%.. Untuk k tahun 2007, 2 di sebagian s kab/kota,, kompos sisi gende er sudah mendeka ati seimb bang atau u bahkan didomina asi PNS wanita. w Se eperti terlih hat gamba ar 7.7, Ka ab. Yapen n Waropen n, Mimika, Biak-Num mfor, dan Kota K Jayap pura memiiliki lebih banyak b PN NS wanita a dibandin ng laki-lakki. Meskipu un begitu,, beberapa a kab/ ko ota pemek karan massih sanga at didomina asi oleh PNS P laki-la aki. Di kab b. Tolikara a, Yahukim mo, Peg. Bintang, B da an Punca ak Jaya, lebih dari ¾ PNS adala ah laki-laki.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM
86
Trend Komposisi Gender PNS se-Provinsi Papua Tahun 2004 – 2007
Gambar 7. 6. 60000
42.0%
50000
40.0%
40000
38.0%
30000
36.0%
20000
34.0%
10000
32.0%
0
30.0% 2004
2005
LakiͲlaki
2006
2007
Perempuan
%Perempuan
Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009
Komposisi Gender PNS Pemda di Provinsi Papua Tahun 2007
Gambar 7. 7. 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000
Perempuan
Sumber : BPS Provinsi Papua, 2009
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
PemprovPapua
Merauke
Kab.Jayapura
Nabire
KotaJayapura
Jayawijaya
BiakNumfor
YapenWaropen
Paniai
Mimika
Asmat
LakiͲlaki
PuncakJaya
BovenDigoel
Mappi
Keerom
Yahukimo
Peg.Bintang
Sarmi
Waropen
Supiori
Tolikara
0
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM Gam mbar 7. 8.
87
Komposisi PNS Ka abupaten / Kota Tahu un 2007
6000 5000 4000
S3
3000
S2
2000
S1 DIPLOMA
1000 YapenWaropen
Yahukimo
Waropen
Tolikara
Sarmi
Supiori
PuncakJaya
Paniai
Nabire
Mimika
Merauke
Mappi
KotaJayapura
Keerom
Jayawijaya
Jayapura
BovenDigoel
BiakNumfor
Asmat
Pegunungan…
SLTA
0
SLTP SD
Sumber : BPS Pro ovinsi Papua, 2009.
Keters sediaan PNS P deng gan kema ampuan profesiona p al yang pe enting ma asih belum meratta. Sepertii sudah dijjelaskan di d Bab 5, penyebaran p n PNS dengan profe esi pengajar atau tenaga medis masih belum me erata dan masih m sang gat minim di daerah pedalama an. b P Pemkab sebetulnya sudah be erupaya mengeluarka an berbag gai Pemprov dan beberapa us untuk menarik m ten naga penga ajar dan medis m untukk bekerja pada p daera ah kebijakan khusu pedala aman, sep perti mem mberikan tu unjangan daerah te erpencil da an tunjang gan kinerjja. Hanya a saja, kebijakan-k k kebijakan itu sepe ertinya be elum berd dampak banyak b da an meme erlukan solusi baru ya ang inovatif dan efek ktif seperti yang y suda ah dijelaska an di Bab 5. 5 Gambar 7.9 Gamb bar 7.8.
Belanja Pegawai P P PNS (k Per kiri) dan Be elanja PNS S Perkapita a (kanan) Provinsi Papua dan n Kabupaten/Kota Ta ahun 2007 7
1800
4
1600
3
1200
Juta Rupiah JutaRupiah
Jutarupiah
1400 1000 800 600
2 1
400 200 Ͳ
Peg.Bintang PuncakJaya KotaJayapura Merauke Jayawijaya Nabire Mimika Mappi Asmat Paniai BiakNumfor Sarmi Supiori YapenWaropen Kab.Jayapura Keerom K Tolikara BovenDigoel Waropen
Merauke BiakNumfor KotaJayapura Nabire Kab.Jayapura YapenWaropen Jayawijaya Supiori Mimika PemprovPapua PuncakJaya A Asmat Peg.Bintang Mappi BovenDigoel Keerom Sarmi Paniai Waropen Tolikara
Ͳ
Sumbe er : BPS, APB BD Provinsi Papua P dan Kabupaten/K K Kota, 2007
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
88
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM
7.3. Reformasi Pemerintahan Reformasi birokrasi pemerintahan merupakan salah satu agenda utama Gubernur Provinsi Papua periode 2006-2011. Perbaikan kualitas pelayanan publik di daerah merupakan salah satu tujuan dari desentralisasi pemerintahan. Dalam rangka memperbaiki citra birokrasi pemerintahan, Gubernur Provinsi Papua menjadikan reformasi birokrasi sebagai salah satu agenda dalam menjalankan tugas di bawah kepemimpinannya. Agenda tersebut diwujudkan dalam bentuk 8 program dan sejumlah kegiatan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 7.2. Reformasi birokrasi di Provinsi Papua dilakukan melalui reformasi sistem dan SDM. Reformasi SDM dalam sistem dilakukan pada dua tingkatan, yaitu tingkatan provinsi dan kabupaten/kota dan tingkatan paling bawah (staff). Pada tingkatan atas dilakukan penciutan atau efisiensi. Sedangkan pada level bawah dilakukan capacity building dan management building melalui perampingan struktur dan pemberdayaan fungsi-fungsi pelayanan. Namun, reformasi birokrasi ini belum berjalan sistematis, seperti dalam hal pengembangan kapasitas PNS. Agenda reformasi birokrasi (tabel 7.2) tidak dilengkapi dengan rencana implementasi yang lebih detil. Ketiadaan rencana detil ini sering membuat pelaksanaan reformasi ini kehilangan arah. Contoh yang cukup nyata bisa pada dua hal dalam peningkatan kapasitas PNS. Pertama, belum ada sistem pengelolaan kepegawaian yang terpadu, sehingga keikutsertaan PNS dalam pelatihan internal maupun eksternal masih ditentukan secara ad hoc dan kurang memperhatikan unsur pemerataan dan kaderisasi. Kedua, promosi dan mutasi PNS terkesan kurang sejalan dengan peningkatan kapasitas. Pada beberapa kesempatan, PNS yang sudah diberikan pelatihan untuk posisi tertentu dimutasi atau dipromosikan ke posisi lain yang tidak sejalan dengan pelatihan tersebut. 2004-2007, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja sudah menurun , walaupun secara jumlah tetap meningkat. Menyadari komposisi APBD Papua sebagai ”piramida terbalik”3, Gubernur Papua langsung mengupayakan untuk membalik piramida ini sehingga sebagian besar belanja APBD dinikmati oleh publik, dan bukan oleh aparat. Salah langkah penting yang dilakukan adalah menurunkan proporsi belanja pegawai. Seperti yang sudah dijelaskan di Bab 3, proporsi ini sudah menurun cukup banyak, walaupun secara nominal tetap meningkat4. Pada tahun-tahun mendatang, diharapkan proporsi belanja pegawai ini akan berkurang mengingat bertambahnya alokasi langsung Otsus ke masyarakat dan diterapkannya struktur pemerintahan yang lebih ramping.
3 4
PEA Report 2005 Penjelasan lebih detil dapat dilihat di bab 3.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
Bab 7 Institusi Pemerintahan dan SDM Tabel 7. 2
89
Agenda Reformasi Birokrasi Pemerintahan di Provinsi Papua
Agenda Tata Pemerintahan yang Baik: Menata Kembali dan Memperkuat Pemerintahan pada Seluruh Jajaran dan Tingkatan
Program
Kegiatan
1. Penataan Peraturan Perundang-undangan 2. Penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan 3. Penataan organisasi distrik dan kampung 4. Penerapan Pemerintahan yang baik 5. Peningkatan kualitas pelayanan 6. Pengembangan data dan Informasi 7. Kerjasama pembangunan 8. Peningkatan kapasitas kelembagaan perencanaan pembangunan
1. Kordinasi kerjasama Peraturan Perundang-undangan Perdasi 2. Penyusunan rancangan Perdasi dan Perdasus 3. Kajian UU No.21 tahun 2001, Perdasi dan Perdasus terhadap semua peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan keserasian antar peraturan daerah lainnya 4. Peningkatan kapasitas pimpinan dan anggota MRP dan DPRP 1. Menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping dan Fleksibel berdasarkan struktur piramidal dan prinsip-prinsip good governance 2. Menyempurnakan struktur jabatan struktural dan mekanisme jabatan fungsio 3. nal 4. Menyempurnakan tata laksana dan hubungan kerja antar SKPD di Provinsi dan antar Provinsi, kabupaten/kota sampai ke tingkat distrik/kampung 1. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang organisasi dan manajemen distrik dan Kampung 2. Konsultasi dan kesepakatan dengan Stakeholder (pemangku kepentingan) 3. Penataan organisasi dan tata kerja pemerintahan distrik dan kampung
Sumber : RPJM Provinsi Papua Tahun 2006-2011
7.4. Rekomendasi Rasionalisasi (perampingan) organisasi perlu dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan pemerintahan dan patuh pada aturan. Struktur organisasi yang ramping ini perlu ditekankan pada wilayah-wilayah pemekaran, terutama dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang kecil. Daerah induk juga perlu melakukan perampingan karena berkurangnya wilayah pemerintahan dan jumlah penduduk akan menurunkan jumlah DAU yang diterima. Manajemen sumber daya pegawai negeri sipil sangat perlu mempertimbangkan aspek kebutuhan nyata, kompetensi, dan profesionalisme, disamping kondisi lokal Papua. UU No. 21/ 2001 berupaya untuk mendorong peran penduduk asli Papua dalam berbagai bidang, termasuk pemerintahan5. Akan tetapi, manajemen sumber daya PNS di Prov. Papua tetap harus berpedoman pada aspek kebutuhan nyata, kompetensi, dan profesionalisme, melalui: 1. Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dengan dukungan Kementerian Negara PAN perlu mengembangkan suatu sistem manajemen sumber daya PNS secara komprehensif. 2. Pengembangan SDM yang sistimatis perlu dibuat, baik melalui penjenjangan karier maupun capacity building, sehingga dapat mengatasi permasalahan kualitas dan kuantitas PNS yang dihadapi oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota. 3. Sistem promosi jabatan perlu dilakukan secara kompetitif agar dapat diperoleh pejabat yang memiliki kompetensi optimal dalam melaksanakan bidang tugasnya.
5
Kebijakan memprioritaskan penduduk asli ini biasa dikenal dengan istilah affirmative action.
Kajian Pengeluaran Publik Provinsi Papua Tahun 2009
90
Lampiran
LAMPIRAN
Lampiran
91
Tabel A.1 Pendapatan per Kapita Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua 2007
Kabupaten/Kota
Jumlah penduduk (orang)
Pendapatan APBD (Rp)
Kab. Biak Numfor Kab. Jayapura Kab. Jayawijaya Kab. Merauke Kab. Mimika Kab. Nabire Kab. Paniai Kab. Puncak Jaya Kab. Yapen Waropen Kota Jayapura Kab. Sarmi Kab. Keerom Kab. Pegunungan Bintang Kab. Yahukimo Kab. Tolikara Kab. Asmat Kab. Boven Digoel Kab. Mappi Kab. Waropen Kab. Supiori
107,351 98,028 224,572 168,513 139,036 171,422 120,622 120,307 76,168 215,609 34,326 42,582 94,780 147,935 48,021 66,580 33,995 70,123 23,022 12,624
469,205,460,391 680,517,175,463 548,623,092,709 940,651,566,827 998,269,938,948 582,263,378,755 631,155,810,094 576,459,350,915 441,490,935,783 547,378,487,459 647,979,823,473 470,965,500,159 578,921,387,901 457,564,155,355 455,372,460,087 609,315,284,127 569,904,481,652 417,918,260,688 158,326,434,246
Pendapatan APBD per kapita (ribu rupiah/kapita) 4,371 6,942 2,443 5,582 7,180 3,397 5,233 4,792 5,796 2,539 18,877 11,060 6,108 9,528 6,839 17,924 8,127 18,153 12,542
Sumber : APBD 2007 (diolah) ( )
Tabel A.2 Komposisi Belanja Riil APBD Provinsi Papua Menurut Bidang 2004-2008 Bidang
2004
2005
2006
2007
2008
Administrasi Umum Pemerintahan 43.6% 55.9% 52.8% 54.6% 44.4% Pertanian 2.4% 2.0% 2.1% 2.7% 3.3% Perikanan Dan Kelautan 0.9% 0.8% 0.9% 1.1% 1.1% Pertambangan Dan Energi 0.4% 0.4% 0.5% 0.8% 1.0% Kehutanan Dan Perkebunan 2.1% 1.1% 0.8% 0.6% 0.9% Perindustrian Dan Perdagangan 0.8% 0.8% 1.3% 0.8% 1.3% Perkoperasian 0.5% 0.2% 0.2% 0.3% 0.4% Penanaman Modal 0.2% 0.1% 0.1% 0.1% 0.1% Ketenagakerjaan 0.5% 0.4% 0.7% 0.8% 0.6% Kesehatan 7.8% 7.7% 7.2% 7.3% 8.7% Pendidikan Dan Kebudayaan 19.8% 14.3% 12.5% 10.6% 12.9% Sosial 1.1% 1.3% 2.2% 1.2% 1.4% Penataan Ruang 0.0% 0.3% 0.1% 0.2% 0.2% Permukiman 1.2% 0.6% 0.3% 0.5% 0.8% Pekerjaan Umum 14.0% 11.4% 16.1% 12.8% 17.6% Perhubungan 1.5% 1.2% 1.1% 3.9% 3.5% Lingkungan Hidup 0.8% 0.3% 0.3% 0.5% 0.4% Kependudukan 1.0% 0.3% 0.2% 0.4% 0.4% Olah Raga 1.1% 0.6% 0.3% 0.4% 0.7% Kepariwisataan 0.4% 0.4% 0.3% 0.3% 0.3% Pertanahan 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; angka riil berdasarkan tahun dasar 2007
Lampiran
92
Tabel A.3 Proporsi belanja Pemerintah Provinsi Papua menurut bidang tahun 2004-2008 Bidang Administrasi Umum Pemerintahan Pertanian Perikanan Dan Kelautan Pertambangan Dan Energi Kehutanan Dan Perkebunan Perindustrian Dan Perdagangan Perkoperasian Penanaman Modal Ketenagakerjaan Kesehatan Pendidikan Dan Kebudayaan Sosial Penataan Ruang Permukiman Pekerjaan Umum Perhubungan Lingkungan Hidup Kependudukan Olah Raga Kepariwisataan Pertanahan Total
2004 31.0% 3.2% 1.5% 0.9% 3.3% 1.2% 1.0% 0.3% 0.9% 12.6% 13.5% 1.6% 0.0% 0.0% 21.7% 3.9% 0.8% 1.6% 0.4% 0.3% 0.1% 100.0%
2005 61.5% 2.1% 0.9% 0.7% 1.3% 0.6% 0.4% 0.2% 0.6% 9.3% 6.2% 1.5% 0.0% 1.1% 9.7% 2.1% 0.5% 0.1% 0.8% 0.3% 0.1% 100.0%
2006 58.0% 2.5% 1.2% 0.9% 1.5% 0.7% 0.5% 0.3% 0.8% 7.7% 8.3% 1.9% 0.0% 1.0% 11.5% 2.1% 0.4% 0.0% 0.5% 0.4% 0.0% 100.0%
2007 56.1% 2.1% 0.8% 1.4% 0.6% 0.4% 0.3% 0.2% 0.5% 5.9% 4.8% 0.6% 0.3% 0.7% 16.7% 7.2% 0.5% 0.3% 0.5% 0.3% 0.0% 100.0%
2008 49.3% 3.1% 0.9% 1.4% 1.0% 0.7% 0.4% 0.3% 0.8% 8.0% 4.3% 1.3% 0.0% 0.8% 18.2% 8.1% 0.5% 0.0% 0.7% 0.4% 0.0% 100.0%
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran
Tabel A.4 Proporsi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota di Papua menurut bidang tahun 20042008 Bidang Administrasi Umum Pemerintahan Pertanian Perikanan Dan Kelautan Pertambangan Dan Energi Kehutanan Dan Perkebunan Perindustrian Dan Perdagangan Perkoperasian Penanaman Modal Ketenagakerjaan Kesehatan Pendidikan Dan Kebudayaan Sosial Penataan Ruang Permukiman Pekerjaan Umum Perhubungan Lingkungan Hidup Kependudukan Olah Raga
2004 47.7% 2.1% 0.7% 0.3% 1.6% 0.7% 0.4% 0.2% 0.3% 6.2% 21.8% 0.9% 0.0% 1.7% 11.5% 0.7% 0.8% 0.8% 1.3%
2005 53.8% 1.9% 0.7% 0.2% 1.1% 1.0% 0.2% 0.0% 0.3% 7.1% 17.4% 1.2% 0.4% 0.4% 12.1% 0.9% 0.2% 0.4% 0.4%
2006 51.2% 1.9% 0.8% 0.4% 0.6% 1.4% 0.2% 0.1% 0.6% 7.0% 13.7% 2.4% 0.1% 0.1% 17.6% 0.7% 0.2% 0.3% 0.3%
2007 54.0% 3.0% 1.3% 0.7% 0.6% 0.9% 0.3% 0.1% 0.9% 7.8% 12.8% 1.5% 0.1% 0.4% 11.4% 2.6% 0.5% 0.4% 0.4%
2008 42.9% 3.3% 1.1% 0.9% 0.9% 1.5% 0.4% 0.1% 0.5% 9.0% 15.5% 1.4% 0.2% 0.8% 17.5% 2.1% 0.4% 0.5% 0.7%
Lampiran
93 0.5% 0.0% 100.0%
Kepariwisataan Pertanahan Total
0.5% 0.0% 100.0%
0.3% 0.0% 100.0%
0.3% 0.0% 100.0%
0.3% 0.0% 100.0%
Sumber: Realisasi APBD Tahun 2004-2008 (diolah) Catatan: angka 2004-2007 adalah realisasi, angka 2008 adalah anggaran; tidak termasuk Dana Otsus
Perkembangan Regulasi Pengelolaan Keuangan di Provinsi Papua
Tabel A.5 PERATURAN
2000
2001
2002
2003
UU
UU38/00
UU 21/01
UU17/03
2004 UU1/04
2005
2006
2007
PP14/05
PP6/06
PP58/07
PP23/04
PP8/06
UU/15/04 UU25/04 UU32/04 UU33/04
PP
PP 104/00
PP23/03
PP20/04
PP 105/00
PP24/05
PP 108/00
PP37/05
PP23/05 PP54/05
PP 109/00
PP55/05 PP56/05 PP58/05
PERPRES
PERPRES3/06
PERPRES8/06 PERPRES12/06 PERMEN
KEPMENDAGRRI 29/02
PERMENDAGRI 12/05
PERDA
PERDA 2/04
APBD2002
APBD 2003
APBD2004
APBD2005
Sumber : Depdagri.go.id
PERMENDAGRI 13/06
APBD2006
APBD 2007
Lampiran
94 Tabel A.6
No
Alokasi Dana Otonomi Khusus Kabupaten/Kota Tahun 2002-2009 (dalam milyar rupiah) Kabupaten / Kota
1 Kabupaten Jayapura 2 Kabupaten Yapen Waropen 3 Kabupaten Biak Numfor 4 Kabupaten Nabire 5 Kabupaten Merauke 6 Kabupaten Jayawijaya 7 Kabupaten Paniai 8 Kabupaten Puncak Jaya 9 Kabupaten Mimika 10 Kota Jayapura 11 Kabupaten Waropen 12 Kabupaten Asmat 13 Kabupaten Boven Digoel 14 Kabupaten Mappi 15 Kabupaten Sarmi 16 Kabupaten Keerom 17 Kabupaten Tolikara 18 Kabupaten Peg. Bintang 19 Kabupaten Yahukimo 20 Kabupaten Supiori 21 Kabupaten Mamberamo Raya 22 Kabupaten Mamberamo Tengah 23 Kabupaten Yalimo 24 Kabupaten Lanny Jaya 25 Kabupaten Nduga 26 Kabupaten Puncak 27 Kabupaten Dogiyai 28 Kabupaen Intan Jaya 29 Kabupaten Deiyai Jumlah
Tahun Anggaran 2006 2007
2008
2009
Rerata
2004
2005
35.95 32.97 35.19 35.67 33.93 36.28 36.50 38.72 37.19 33.41 30.93 38.85 32.97 32.97 33.23 31.41 34.05 34.05 38.62 29.29 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 692.18
28.30 54.47 57.17 60.82 52.66 48.23 27.50 54.08 56.76 60.38 52.29 47.33 28.50 55.77 58.53 62.27 53.92 49.03 29.00 53.11 55.74 59.30 51.35 47.36 28.50 55.31 58.05 61.76 53.48 48.51 29.00 61.60 64.66 68.78 59.56 53.31 30.30 59.79 62.75 66.75 57.80 52.32 30.30 61.15 64.18 68.27 59.12 53.62 28.60 55.77 58.53 62.27 53.92 49.38 27.10 52.66 55.26 58.79 50.91 46.35 30.10 56.09 58.87 62.63 54.23 48.81 31.50 61.80 64.86 69.00 59.75 54.29 30.10 59.98 62.95 66.97 57.99 51.83 30.10 59.72 62.68 66.68 57.74 51.65 30.25 57.58 60.44 64.29 55.67 50.24 30.00 57.00 59.82 63.64 55.11 49.50 31.00 61.80 64.86 69.00 59.75 53.41 31.00 61.80 64.86 69.00 59.75 53.41 31.50 61.80 64.86 69.00 59.75 54.25 29.50 50.71 53.22 56.62 49.03 44.73 0.00 0.00 0.00 57.96 50.19 18.02 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00 12.74 2.12 592.15 1,152.01 1,209.07 1,344.18 1,265.88 1,042.58
Sumber : Pemerintah Provinsi Papua
Lampiran
95
Box A.1 Pendapat Responden mengenai Transparansi Dana Otsus 1. Indikator pembagian dana otsus bagi sebagian responden update PEA tahun 2009, sudah transparan. Dari hasil kuesioner terhadap responden di 20 kabupaten dan kota ditemukan 40 persen responden menyatakan bahwa indikator pembagian dana Otsus sudah transparan. Sisanya 38 persen menyatakan tidak transparan dan 22 persen menyatakan tidak tahu. Gambar:
Persepsi Masyarakat Terhadap Transparansi Pembagian Dana Otsus
Indikator Yang Digunakan Utk Pembagian Dana Otsus ke Kab/Kota Sudah Transparan
22%
40%
Setuju Tidak setuju
38%
Tidak Tahu
Sumber : Hasil wawancara, 2009 (diolah)
Responden menilai pembagian dana sudah baik. Dari hasil kuesioner responden di 20 kabupaten dan kota ditemukan bahwa 49 persen menyatakan indikator tersebut adil, 32 persen responden menyatakan belum adil dan 19 persen menyatakan tidak tahu. Gambar:
Persepsi Masyarakat Terhadap Transparansi Pembagian Dana Otsus Yang Sudah Adil
Indikator Yang Digunakan Utk Pembagian Dana Otsus ke Kab/Kota Sudah Adil 19%
32% 49%
Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu
Sumber : diolah, hasil wawancara, 2009
REFERENSI
Badan Pemeriksa Keuangan (2007), Peraturan BPK Nomor 02 tahun 2007 tentang Kode Etik Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta. _________(2007), Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Jakarta. _________(2009), Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2007 Dan 2008, www.bpk.go.id Badan Perencana Pembangunan Daerah Provinsi Papua (2007), Evaluasi Pelaksanaan Lima Tahun Otonomi Khusus Papua, kerjasama dengan Universitas Cenderawasih, manuskrip. Biro Pusat Statistik Papua (2008), Daerah Dalam Angka Provinsi Papua, Kabupaten, dan Kota (berbagai tahun) . _________(2008), Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua, Kabupaten, dan Kota, berbagai tahun. Departemen Keuangan RI (2006), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46 tahun 2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah, Jakarta. Pemerintah Provinsi Papua (2004), Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 2 tahun 2004 tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Papua, Jakarta. _________(2007), Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 3 tahun 2007 tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Papua, Jayapura. Pemprov Papua, Sofei, WB (2005), Analisis Pengeluaran Publik Papua, Sebuah Tinjauan Umum. Keuangan Daerah dan Pelayanan Publik pada Wilayah Tertinggal di Indonesia. Setneg RI (2001), Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2003), Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Undang Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2005), Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Sekretariat Negara RI, Jakarta.
_________(2005), Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2005), Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2006), Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2007), Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2008) Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Sekretariat Negara RI, Jakarta. _________(2004), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sumber Otonomi Khusus Papua Tahun 2004 , Jayapura. _________(2005), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sumber Otonomi Khusus Papua Tahun 2005, Jayapura. _________(2006), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sumber Otonomi Khusus Papua Tahun 2006, Jayapura. _________(2007), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sumber Otonomi Khusus Papua Tahun 2007, Jayapura. _________(2008), Keputusan Gubernur tentang Petunjuk Pengelolaan Dana Dari Sumber Otonomi Khusus Papua Tahun 2008, Jayapura. Solossa, Y.P. (2005), Otonomi Khusus Papua Dalam Menghadapi Disintegrasi Bangsa, Disertasi Doktor, Univerista Pajajaran, Bandung. Suebu, B (2007), Kami Menanam, Kami Menyiram, Tuhanlah Yang Menumbuhkan, Pemerintah Provinsi Papua. Suebu, B (2009a), Pembangunan Kampung, Pemerintah Provinsi Papua. Suebu, B (2009b), Mencapai Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Mewujudkan Kapasitas Fiskal yang Tangguh di Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi Papua. Suebu, B (2009c), Konsisten Bekerja bagi Papua Baru, Pemerintah Provinsi Papua. Sumule, Agus, ed. (2003), Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Papua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. World Bank (2009), Berinvestasi untuk Masa Depan Papua dan Papua Barat: Infrastruktur untuk pembangunan berkesinambungan, Jakarta