Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
67885
Provincial Governance Strengthening Program Decentralization and Local Governance Transformation Cluster Democratic Governance Unit
Desentralisasi dan Provinsi ke Arah Penguatan Tatakelola Provinsi
2011
Desentralisasi dan Provinsi: ke Arah Penguatan Tatakelola Provinsi oleh HARRY SELDADYO
PGSP Project Graha Mandiri Lantai 21 Jl. Imam Bonjol 61, Menteng, Jakarta Pusat 10310 Indonesia Telp : 6221 391 7284, 391 8554, 3193 5361 Fax : 6221 315 3461 PGSP Paper Series No.2—Maret 2011 c
2011 ISBN: 978-602-98635-0-5
Pernyataan: Tulisan ini bukan merupakan pandangan resmi BAPPENAS, UNDP, DSF, maupun mitra-mitra PGSP terkait. PGSP adalah proyek pengembangan kapasitas tata pemerintahan yang dikembangkan oleh BAPPENAS dan UNDP dengan dukungan DSF.
Sekapur Sirih dari GM21 Paper ini adalah usaha untuk memberi konteks bagi program penguatan provinsi, Provincial Governance Strengthening Program (PGSP), yang diinisiasi oleh Democratic Governance Unit (DGU) UNDP bersama-sama mitra-mitra kerja Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, dan tiga pemerintah provinsi —Bangka Belitung, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur melalui dukungan Decentralization Support Facility (DSF). Banyak pihak telah membantu hingga paper ini dapat berbentuk seperti sekarang ini. Tetapi pandangan-pandangan yang ada di dalamnya tidak mencerminkan posisi resmi pihak-pihak maupun lembaga-lembaga itu. Terima kasih disampaikan untuk segala bentuk kontribusi yang telah diberikan. Di antara kekurangan-kekurangan yang dapat ditemui di paper ini, penulisnya bertanggungjawab atas keseluruhan paper ini. Jakarta, Maret 2011 Penulis
Daftar Isi Tema-tema Pokok ? Provinsi dalam Tema ? Organisasi Tulisan Kerangka Hukum: Menuju Penguatan Peran Provinsi ? Hubungan Antarpemerintah ? Peran Ganda Provinsi ? Hubungan Horisontal ? Hubungan Vertikal ? Mencari Titik Temu Perencanaan dan Penganggaran: Ke Arah Pencapaian Sinergi ? Perubahan-perubahan dalam Perencanaan dan Penganggaran ? Sinergi Perencanaan dan Penganggaran ? Sinergi Pusat dan Daerah Tatakelola Pelayanan Publik: Reformasi untuk Inovasi ? Tatakelola dalam Perspektif ? Sektor Publik dan Inovasi ? Standar Pelayanan Minimal Provinsi: ? Sebuah Epilog ? Rujukan
............
1 1 4
............
5 5 10 11 15 17
............
21 21 25 32
............
37 37 41 45
............
49
Daftar Tabel Tabel 1: Provinsi dalam Relasi Tatakelola Tabel 2: Kalender Perencanaan dan Penganggaran Tabel 3: Indeks Infrastruktur Indonesia Tabel 4: Rapat Kerja Gubernur-Presiden 2010 Tabel 5: Indonesia dalam Indeks Tatakelola Tabel 6: Provinsi dalam Indeks Tatakelola Tabel 7: Pembatalan Peraturan Daerah
............
20
............
24
............
28
............
30
............
38
............
39
............
42
Daftar Kotak KOTAK 1 Lima Faktor Gubernur Tidak Ditaati KOTAK 2 Staf Ahli Menteri Kecewa, Bupati Cuma Isi Absen KOTAK 3 Persiapan DIPA Tidak Berarti Tanpa Langkah KOTAK 4 Kepala Daerah Harus Berjiwa Inovasi KOTAK 5 Peran Pembangunan Pemerintah Provinsi Didorong
............
8
............
9
............
27
............
48
............
52
Tema-tema Pokok Provinsi dalam Tema Indonesia mengambil langkah berani untuk menjalankan agenda desentralisasi di tengah-tengah, sedikitnya, tiga keadaan. Pertama, tingginya tarikmenarik kepentingan mengenai konfigurasi hubungan antarpemerintah yang secara dinamis terus-menerus menuntut penyesuaian kerangka hukum untuk menaunginya. Kedua, besarnya kebutuhan sinergi perencanaan dan penganggaran antarjenjang pemerintah sebagai pengalaman baru Indonesia yang terdesentralisasi. Ketiga, terbatasnya kapasitas tatakelola dan kemampuan inovatif untuk berhadapan pada desakan-desakan penerapan suatu standar pelayanan publik tertentu. Bagaimana implikasi semua ini pada peran provinsi dan bagaimana tantangan-tantangan riil yang muncul harus dihadapi adalah tema sentral paper ini. Provinsi, kendatipun terkesan sebagai rantai pemerintah yang hilang (missing link, Sudarmo dan Sudjana (2009)), mendapat perhatian khusus di sini karena posisinya yang strategis dalam perspektif hubungan organisasional pemerintahan maupun ekonomi-politik. Secara organisasional, provinsi adalah ‘yurisdiksi antara‘ yang menjembatani pemerintah pusat dan kabupaten-kota serta sebaliknya. Sebagai ‘yurisdiksi antara’, provinsi menjadi titik-temu (melting pot) kepentingan-kepentingan nasional dan lokal. Dalam tatahubungan antarpemerintah, provinsi adalah representasi kehadiran pemerintah nasional di daerah, dan sebaliknya berpotensi sebagai representasi advokasi kepentingankepentingan daerah ke tingkat nasional. Provinsi sebagai ‘yurisdiksi antara‘ ini juga dibutuhkan untuk membagi perhatian berimbang kepada 399 kabupaten dan 98 kota yang memiliki 6.652 kecamatan 77.012 desa. Dalam luas wilayah yang hampir dua juta km2 dan penduduk lebih dari 237,6 juta jiwa, tidak mungkin yurisdiksi-yurisdiksi ini dikendalikan oleh suatu pengambilan kebijakan tunggal yang terpusat. Rentang kendali geografi-administrasi yang luas seperti itu dipersulit lagi oleh fakta ketimpangan antardaerah yang nyaris persisten (Akita dan Alisjahbana, 2002) 1
2 dan kecenderungan konvergensi regional yang tidak terjadi secara signifikan (Hill et al, 2008; 2009). Dengan tetap mencatat sejumlah kemajuan yang ada, luar Jawa atau lebih khusus lagi di wilayah timur Indonesia praktis tertinggal dalam perkembangan sosial-ekonomi dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa atau di sisi barat Indonesia. Malahan, empiri menunjukkan bahwa semakin jauh suatu yurisdiksi dari pusat pengambilan keputusan, semakin buruk kinerja pembangunan yang ditampilkannya (Seldadyo, et al., 2009). Pendapatan per kapita kabupaten-kota relatif terhadap pendapatan per kapita domestik dan Indeks Pembangunan Manusia, misalnya, menampilkan gelagat menurun sejalan dengan jauhnya jarak dari Jakarta. Tingkat kemiskinan juga mencolok ketika sebuah yurisdiksi menjauh dari pusat pengambilan keputusan. Sebaliknya, ia membaik saat suatu yurisdiksi secara geografis dekat dengan pusat pengambilan keputusan. Situasi ini diperburuk pula oleh mutu tatakelola ekonomi kabupaten dan kota, utamanya kabupaten dan kota yang jauh dari pusat pengambilan kebijakan. Ada tanda-tanda hubungan yang terbalik antara mutu tatakelola dengan jarak dari pusat pengambilan kebijakan. Kabupaten-kota yang jauh dari Jakarta tidak mampu menampilkan mutu tatakelola ekonomi yang baik (Seldadyo, et. al., 2010), padahal tatakelola ekonomi merupakan salah satu variabel penting dalam pembentukan daya saing daerah. Lebih jauh lagi, dengan tetap menimbang faktor lain penentu kinerja daerah,1 fakta di atas membawa pesan tentang pentingnya pusat pengambilan keputusan untuk selalu dekat dengan target-target penetapan kebijakan di kabupaten-kota. Ini patut dibaca sebagai upaya memperpendek rentang kendali dari pusat ke kabupaten-kota, karena pemerintah provinsi dapat didudukkan di antara kedua entitas pemerintahan ini. Selain itu, pemerintah provinsi —dilihat sebagai suatu ‘pemerintah di lapis kedua’— dapat memainkan peran sebagai kanal penghubung antara pemerintah di tingkat pusat dan di kabupaten-kota. Selain alasan organisasional, alasan ekonomi-politik juga menjelaskan mengapa provinsi patut mendapat perhatian. Provinsi adalah skala ideal bagi kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik. Sejumlah kegiatan ekonomi dan politik nasional dan kabupaten-kota —termasuk eksternalitas ikutannya— terhitung efisien jika diterapkan pada skala provinsi.2 Inipun belum memperhitungkan 1
Ada sejumlah faktor lain yang turut berperan sebagai penjelas capaian daerah. Untuk issu ini, lihat, misalnya, Harry Seldadyo, et al., (2009), Creation of New Jurisdictions and People’s Welfare: In Search of Alternatives, UNDP, BAPPENAS, DSF.. 2 Ketika otonomi di kabupaten-kota dikenalkan pada 1999, misalnya, alasan-alasan yang merujuk pada ‘skala ideal provinsi’ bagi terjadinya disintegrasi nasional juga muncul dalam wacana desentralisasi. Ini merupakan perspektif politik ‘skala ideal provinsi’, sedangkan dari perspektif ekonomi ‘skala ideal provinsi’ muncul investasi, lingkungan hidup, dan sebagainya.
3 kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersifat concurrent, lintaskabupatenkota, ataupun guyub (common) yang kesemuanya membutuhkan otoritas manajemen tersendiri. Kegiatan-kegiatan pembangunan dengan sifat yang demikian jauh lebih efisien dan efektif di dalam kendali jaringan antarpemerintah dengan provinsi sebagai simpulnya. Paper ini dimaksudkan untuk memberi konteks bagi sebuah program yang diinisiasi oleh UNDP melalui Democratic Governance Unit yang bernama ‘Provincial Governance Strengthening Program’ (PGSP) di bawah skema pembiayaan Decentralization Support Facility (DSF). Ditelisik dari namanya, program ini menjalankan agenda-agenda untuk memperkuat peran provinsi dalam koordinasi, supervisi, serta pemantauan dan evaluasi pembangunan. Secara khusus, paper ini mendiskusikan tiga tema pokok yang diungkap di paragraf awal —kerangka hukum, perencanaan-penganggaran, dan inovasi tatakelola— sehingga organisasi paper secara keseluruhan mengikuti urutan issu-issu itu. Bagian Pendahuluan membuka wacana singkat tentang ketiga issu ini, yang di bagian-bagian selanjutnya elaborasi lebih dalam dilakukan. Bagian akhir adalah rangkuman keseluruhan diskusi. Tema pokok yang pertama, kerangka hukum, pada prinsipnya adalah kebutuhan akan basis legal bagi penguatan posisi dan peran provinsi. Ini tidak hanya menyangkut basis hukum bagi provinsi untuk menjadi pemegang komando pembangunan daerah secara vertikal sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) 19/2010, lebih daripada itu kerangka hukum yang lebih fundamental dibutuhkan bagi pengaturan hubungan antarpemerintah di dalam Indonesia yang berbentuk ‘pemerintahan berlapis dalam negara kesatuan yang tedesentralisasi’.3 Pada saat yang bersamaan, tema pokok yang pertama juga dapat memberi basis legal bagi tema-tema pokok yang kedua dan ketiga, yakni perencanaan-penganggaran dan inovasi tatakelola. Oleh karena itu, perhatian terhadap proses revisi UU 32/2004 yang tengah berlangsung saat ini menjadi beralasan. Tema pokok yang kedua merujuk pada tuntutan sinergi, integrasi, dan koordinasi perencanaan dan penganggaran. Tuntutan ini secara teknokratis bukan saja rasional dari sisi efektivitas pencapaian tujuan, tetapi juga dari efisiensi penggunaan sumber daya. Selain itu, secara politik, ini adalah tuntutan mengenai akuntabilitas sektor publik yang dibutuhkan oleh Indonesia dalam iklim demokratis. Di dalam rejim desentralisasi seperti sekarang ini, tuntutan sinergi perencanaan-penganggaran lebih mengental lagi ketika 3
Kecuali disebut khusus, hubungan antarpemerintah yang dimaksud dalam keseluruhan paper ini adalah hubungan antara pemerintah pusat dengan provinsi dan provinsi dengan kabupaten-kota secara vertikal, bukan antarkementerian dan lembaga secara horisontal di tingkat nasional.
4 ia dibaca dalam format hubungan pusat-daerah. Provinsi, sebagaimana disinggung di paragraf-paragraf sebelum ini, menduduki posisi dan memegang peran strategis untuk menjawab tuntutan sinergi, integrasi, dan koordinasi perencanaan-penganggaran. Tema ketiga berurusan dengan bagaimana kerangka hukum dan perencanaan-penganggaran diimplementasikan secara riil oleh sektor publik. Oleh karenanya, mutu dan kapasitas sektor publik, utamanya kemampuan untuk menciptakan tatakelola inovatif, merupakan tema pokoknya. Ini berhubungan dengan bagaimana sektor publik berhubungan dengan masyarakat luas dalam penyediaan jasa publik. Provinsi berada dalam posisi yang unik, karena selain memiliki untuk ruang menyediakan jasa publik sendiri, ia juga dituntut membina dan mengawasi penyediaan jasa publik oleh kabupaten-kota.
Organisasi Tulisan Bagian-bagian berikut mendiskusikan issu-issu dan pendekatan-pendekatan yang bisa diambil di dalam konteks tiga tema yang diungkap di atas. Dalam beberapa situasi issu-issu dan pendekatan-pendekatan itu memang bersifat teoritis-konseptual. Walau begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa, dalam keadaan lain, kandungan empiris, praktis, dan implementatif termuat jua di dalamnya. Dengan demikian dapat dikatakan issu-issu dan pendekatan-pendekatan yang didiskusikan adalah gabungan dari dua sifat itu: teoritis-konseptual dan praktis-implementatif. Tema pertama, kerangka hukum bagi hubungan antarpemerintah, boleh dipandang sebagai sumbangan untuk proses revisi UU 32/2004 yang tengah berlangsung. Secara lebih khusus diskusi diarahkan untuk mendudukan provinsi dalam konteks hubungan antarpemerintah karena alasan-alasan yang telah dipaparkan di awal. Sementara itu, di tema kedua, provinsi juga masih tetap menjadi sentra pembicaraan. Tapi kali ini sorotan diskusi digeser ke arah sinergi pusat dan daerah dalam perencanaan dan penganggaran. Di mana dan bagaimana provinsi memainkan peran sinerginya akan mewarnai diskusi ini. Akhirnya, di dalam tema ketiga —dengan tetap meletakkan provinsi— tatakelola inovatif adalah issu sentralnya. Reformasi ke luar (ke arah pelayanan publik), yang amat bertalian dengan reformasi ke dalam (ke arah birokrasi), adalah sorotan diskusi tatakelola inovatif ini. Kelompok-kelompok issu ini diorganisasikan ke dalam tiga bab diskusi setelah pendahuluan ini. Sebagaimana lazimnya, tulisan ini akan diakhiri dengan suatu catatan penutup tentang penguatan provinsi. Bagaimana perbaikan di ketiga issu itu menyumbang bagi terbentuknya tatakelola provinsi yang kuat menjadi menu penutup dalam paper ini.
Kerangka Hukum Menuju Penguatan Peran Provinsi
Hubungan Antarpemerintah Banyak tarikan kepentingan yang bersaing manakala momentum desentralisasi diambil, baik saat puncak perubahan politik akhir 1990-an terjadi maupun saat-saat sesudahnya di tingkat nasional dan lokal. Persaingan kepentingan ini melibatkan pelbagai ragam aktor, termasuk pemerintah pusat —melalui kementerian dan lembaga— dan pemerintah-pemerintah daerah, yang memandang desentralisasi dari sudut kepentingan yang berbeda satu sama lain.4 Ini selanjutnya membawa diskursus desentralisasi ke arah pertanyaan tentang ‘derajat desentralisasi’ itu sendiri, yakni di tingkat mana dan seberapa jauh desentralisasi —sekaligus juga otonomi karena pertautan kuat antarkeduanya— diletakkan, yang di dalamnya terjadi tawar-menawar politik di antara aktoraktor itu (Bünte, 2009). Tawar-menawar itu secara dinamis membentuk konfigurasi hubungan antarpemerintah. Ketika desentralisasi dikenalkan pada 1999 melalui Undangundang (UU) 22, Indonesia memilih titik berat otonomi pada daerah di tingkat kabupaten-kota sebagaimana Penjelasan I.1.e dan h UU itu,5 serta menghapus 4 Hadiz (2004) juga mencatat persaingan antaraktor lain, yakni mereka yang hendak mempertahankan konstruksi lama dalam rumah baru desentralisasi dengan mereka yang hendak membangun rumah desentralisasi yang sama sekali baru. Dalam catatannya Hadiz menulis (h. 705),
“. . . decentralization policy in Indonesia after Soeharto is also a matter of power; of contestation by an array of powerful interests, national and local, many of which seek to preserve old predatory relations, but within a new, decentralized and democratic political format.” 5 Menarik untuk dicatat bahwa UU Pemerintahan Daerah yang lama, yakni UU 5/1974, juga memberikan titik tekan yang sama sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat 1, “Titik berat Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II.” Hanya saja, dalam bangunan hirarki yang bertingkat menurut UU ini, pemilihan pemimpin wilayah oleh DPRD di tingkat kabupaten-kota harus mendapatkan persetujuan pemimpin wilayah di tingkat provinsi (Pasal
5
6 relasi hirarki pemerintah subnasional sebagaimana Penjelasan I.1.f, sehingga terminologi ‘daerah tingkat’ (Dati) a la UU 5/1974 tidak dikenal lagi. Undangundang revisinya, yakni UU 32/2004, menghilangkan pernyataan titik berat otonomi dan hubungan hirarki ini dari batang tubuhnya. Walau begitu, UU ini tidak memberikan pernyataan pengganti yang eksplisit mengenai di mana otonomi diletakkan dan bagaimana bentuk hubungan hirarki antarpemerintah subnasional —antara provinsi dengan kabupaten-kota. Padahal, peletakan otonomi justru merupakan kata kunci pokok desentralisasi, sebagaimana Laporan Tahunan 1999/2000 Bank Dunia, Entering the 21st Century: The Changing Development Landscape, Bab 5, “Decentralization entails the transfer of political, fiscal and administrative powers to subnational units of government. A government has not decentralized unless the country contains an ‘autonomous subnational elected government capable of taking binding decisions in at least some policy area’. Decentralization may involve bringing such governments into existence. Or it may consist in expanding the resources and responsibilities of existing subnational governments.”
Keadaan ini bukan tanpa implikasi mengingat Indonesia adalah sebuah negara kesatuan dengan pemerintahan berlapis dalam sistem yang terdesentralisasi, yang berbeda dari sistem federal. Salah satu implikasi, misalnya, terlihat dari pemerintah-pemerintah subnasional yang saat ini seolah-olah menjadi entitas-entitas pemerintahan yang terpisah satu sama lain dan masing-masing bergerak dalam dinamika otonominya sendiri-sendiri. Introduksi ‘otonomi seluas-luasnya’ —yang menurut Hotlzappel (2009) merupakan gabungan ‘otonomi nyata’ dan ‘otonomi yang bertanggungjawab’— tidak berhasil menciptakan relasi yang kokoh antarpemerintah subnasional dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.6 . Konflikpun bukan hal yang tidak lazim terjadi. Di dalam konteks ini, penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) 19/2010 menjadi dapat dipahami, kendati ia hanya sebuah kerangka hukum dalam hirarki perundangan yang lebih rendah daripada UU. Peraturan ini memanfaatkan celah yang tersedia dalam UU desentralisasi dengan memaksimalkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Di Bagian Umum Penjelasan (paragraf 5) PP ini dinyatakan, “Penguatan fungsi gubernur sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi juga dimaksudkan memperkuat hubungan antartingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil 16 Ayat 1 dan 2). Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin wilayah di tingkat ini bertanggung jawab kepada pemimpin wilayah di tingkat yang lebih tinggi (Pasal 78). Di atas semuanya, perbedaan yang mencolok termaktub dalam spirit sentralisasi yang melekat dalam UU ini. 6 Konflik antara undang-undang sektoral dengan UU desentralisasi lazim ditemui (Brodjonegoro, 2005), seperti yang mencolok terlihat pada sektor kehutanan (Yasmi et al., 2006).
7 Pemerintah, maka hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota bersifat bertingkat, dimana gubernur dapat melakukan peran pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya bupati/ walikota dapat melaporkan permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan antarkabupaten/kota. Di samping itu penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah akan dapat memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah.”
Tiga hal krusial kemudian muncul. Pertama, hingga batas mana gubernur sebagai wakil pusat menjadi dirigen pembangunan tingkat provinsi yang di dalamnya juga terdapat kabupaten-kota? Berkenaan dengan itu, kedua, hingga batas mana otonomi yang memang diberikan kepada provinsi dan kabupaten-kota itu sendiri dapat didayagunakan? Selanjutnya, ketiga, bagaimana hubungan organisasional antarkedua yurisdiksi otonom itu (provinsi dan kabupaten-kota) dibentuk? Ketiga hal krusial ini menagih penyusunan suatu kerangka hukum untuk menaungi hubungan antarpemerintah, karena kerap terdengar tidak jelasnya payung hukum bagi relasi antarpemerintah telah membuat hubungan antarpemerintah berlangsung tanpa harmoni. Padahal, walau pemerintah-pemerintah di setiap lapis pada prinsipnya memiliki tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) sendiri-sendiri (distinctive), pemerintah-pemerintah ini tetaplah saling bergantung (interdependent) and saling berkait (interrelated ). Selanjutnya, ketika saling-ketergantungan dan saling-keterkaitan dapat diterjemahkan ke dalam konfigurasi hubungan antarpemerintah subnasional, tentu dibutuhkan suatu kerangka hukum untuk menaunginya. Kerangka hukum ini tidak hanya memberi landasan legal bagi setiap lapis pemerintah untuk menjalankan tupoksinya, tetapi juga memandu manajemen organisasi relasi antarpemerintah. Di dalamnya ada kebutuhan tentang ketentuan-ketentuan yang tegas, gamblang, eksplisit, dan tidak melulu normatif mengenai peran dan posisi setiap lapis pemerintah. Selanjutnya ini perlu diikuti oleh pengaturan yang jelas tentang otoritas dan distribusinya di antara pelbagai lapis pemerintahan itu. Ini berarti suatu kerangka hukum di tingkat UU akan dapat menolong kejelasan konfigurasi hubungan antarpemerintah. Walau begitu, untuk membuatnya tak bertafsir-ganda, aturan-aturan turunannya harus pula menjadi agenda pembentukan kerangka hukum desentralisasi.
8
KOTAK 1 Lima Faktor Gubernur Tidak Ditaati Terdapat lima faktor yang memengaruhi ketidaktaatan para bupati atau wali kota kepada gubernurnya. Salah satunya adalah perbedaan asal partai dari kedua pemimpin daerah itu. Demikian dikatakan pengamat politik, Sukardi Sunarkit, dalam Diskusi Panel Penguatan Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah yang digelar Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, Rabu (29/9/2010) di Gedung Asta Gatra, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Ketika masing-masing punya loyalitas pada partai, maka seorang bupati atau wali kota bisa jadi tidak sepenuhnya loyal kepada gubernur yang berbeda basis partai politiknya,” jelas Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate itu. Faktor kedua, mereka sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga, magnitude kabupaten dan kota lebih unggul. “Bupati dan wali kota itu kan dekat dengan rakyat yang memilihnya. Masyarakat merasa jauh dengan gubernur sehingga para bupati dan wali kota lebih peduli langsung dengan rakyatnya daripada dengan gubernur,” ujar dia. Kekayaan bupati dan wali kota, lanjut Sukardi, juga memengaruhi ketaatan mereka terhadap gubernur. “Seorang bupati atau wali kota yang punya harta Rp 100 miliar kerap mengabaikan gubernur yang kekayaannya hanya Rp 2 miliar,” katanya. Terakhir, primordial, baik dilihat dari segi tingkat pendidikan maupun dari latar belakang keluarga. Sukardi mencontohkan, bupati atau wali kotanya doktor, sedangkan gubernurnya itu sarjana. Atau, bupati atau wali kotanya berlatar ningrat atau keluarga kerajaan, sedangkan gubernurnya tidak keturunan raja. Menurut Sukardi, sebenarnya gubernur mempunyai legitimasi ganda karena aspek ketidaktaatan bupati/wali kota yang lebih bersifat kultural. Ke depannya, bupati/wali kota harus didelegitimasi. “Di China, bupati cukup dipilih DPRD karena kebutuhan biaya sangat besar. Sebaliknya, rakyat memilih langsung gubernur untuk mewujudkan otonomi daerah secara efektif. Pemerintah pusat pun akan merasakan benar adanya wakil di daerah,” papar Sukardi. Ia juga mengatakan, harus ada kejelasan mengenai sanksi dalam revisi UU yang mengatur pemerintahan daerah serta koordinasi bidang-bidang yang strategis dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang kuat. “Indeks pembangunan manusia semestinya bisa dijadikan standar gubernur untuk memberikan sanksi,” ujar Sukardi.
Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dari Kompas, 29 September 2010 http://nasional.kompas.com/read/2010/09/29/18041955/ Lima.Faktor.Gubernur.Tidak.Ditaati
9
KOTAK 2 Staf Ahli Menteri Kecewa, Bupati Cuma Isi Absen Kekecewaan terlihat di wajah Koesnan Agus Halim, stah ahli Menteri Dalam Negeri ketika mengetahui cuma ada tiga bupati yang hadir saat Musyawarah Rencana Pembangunan Daerah Provinsi Kalteng, Kamis (18/11/2010). Sebelas kabupatenkota lainnya hanya dihadiri wakil bupati atau kepala Bappeda. Bahkan, ada bupati yang hanya mengisi absen namun tidak mengikuti acara. Dia mengaku kecewa karena bupati dan wali kota tidak hadir langsung dalam acara tersebut, padahal acara itu sangat penting untuk pembangunan daerah yang mereka pimpin untuk lima tahun ke depan. “Ini kan ada paparan dari Kemendagri, Bappenas dan Kementerian Keuangan sehingga mereka bisa tahu secara jelas sehingga mudah dalam merencanakan pembangunan. Tapi kalau cuma staf yang hadir, saya kurang yakin apa pesan yang disampaikan utuh sesuai yang kita maksudkan,” ujarnya. Koesnan mengakui, kondisi ini sering ditemuinya di beberapa provinsi di Indonesia. Dia menduga hal itu sebagai dampak negatif otonomi daerah sehingga membuat bupati/wali kota sering mengabaikan imbauan seorang gubernur. Untuk itulah saat ini sedang dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19/2010. Di dalamnya akan dipertegas tentang kewenangan seorang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, serta sanksi terhadap bupati/wali kota yang membandel. “Nanti akan ada sanksi administrasi, misalnya pengurangan anggaran untuk daerah itu atau bagaimana. Sebenarnya gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, bisa mengambil kewenangan presiden untuk memberikan sanksi. Nanti masalah itu akan kita pertegas,” sambungnya. Kekecewaan juga terlihat jelas di wajah Gubernur Agustin Teras Narang yang menyempatkan mengabsen satu persatu kepala daerah yang hadir. Hanya tiga daerah yang langsung dihadiri bupatinya, yakni Kapuas, Murungraya dan Kotawaringin Barat. Sisanya dihadiri Wakil Bupati, bahkan ada yang hanya mengirim Kepala Bappeda. Teras makin kecewa ketika melihat ada tanda tangan Bupati Seruyan H Darwan Ali di daftar absen, namun yang bersangkutan tidak ada di ruang pertemuan itu. “Ini Bupati Seruyan ada tanda tangannya, tapi orangnya tidak ada, ke mana? Ini bukan seperti kuliah yang cuma ngisi absen lalu hilang,” katanya. Kepala Biro Humas dan Protoko Setdaprov Kalteng Kardinal Tarung menegaskan, masalah itu akan ditindaklanjuti secara serius dan dilaporkan kepada pemerintah pusat. Menurutnya, sangat disayangkan bupati dan wali kota tidak hadir padahal Musrenbang kemarin juga sangat menentukan nasib pembangunan di daerah mereka masing-masing.
Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dari Banjarmasin Post , 19 November 2010 http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2010/11/19/63881/ staf-ahli-meteri-kecewa-bupati-cuma-isi-absen
10
Peran Ganda Provinsi Tarik-menarik kepentingan antaraktor, sebagaimana diurai di depan, mewarnai perjalanan desentralisasi Indonesia. Secara dinamis tarik-menarik ini lalu membentuk konfigurasi hubungan antarpemerintah. Pada tingkat pemerintah subnasional, konfigurasi ini dikelola melalui pembentukan hubungan horisontal dan vertikal sekaligus antara provinsi dan kabupaten-kota. Provinsi, melalui gubernur, dalam hal ini diberi dua peran. Pertama adalah peran sebagai kepala daerah otonom yang merupakan konsekuensi dari kepemimpinan daerah dalam format desentralisasi. Dalam peran ini, UU 32/2004 sama sekali tidak menyebutkan adanya hubungan hirarkis antara gubernur dan bupatiwalikota.7 Tetapi di dalam praktek hubungan antarpemerintah subnasional dapat dikatakan berjalan secara horisontal, sehingga gubernur dan bupatiwalikota adalah ‘mitra sejajar’ di dalam otonominya sendiri-sendiri.8 Di tingkat empiri, kerumitan terjadi manakala otonomi dalam hubungan horisontal ini diterjemahkan secara pragmatis menjadi independensi. Luas diketahui bahwa setiap entitas pemerintahan daerah praktis berdiri relatif independen satu sama lain. Ini bukan hanya terjadi antara satu kabupatenkota dengan kabupaten-kota yang lain dalam satu provinsi, melainkan juga antara kabupaten-kota dengan provinsi itu sendiri. Provinsi dan kabupatenkota menjadi entitas-entitas pemerintahan yang seolah-olah terisolasi dalam dinamikanya sendiri-sendiri, padahal keduanya bertanggung jawab pada konstituen yang beririsan, karena berbasis pada metoda dan daerah pemilihan yang sama. Keadaan ini menjelaskan mengapa koordinasi, apalagi sinergi, pembangunan provinsi dan kabupaten kota terus menerus menjadi issu desentralisasi. Walau begitu, bukan tidak ada celah yang bisa ditelusuri bagi pembentukan hubungan antarpemerintah subnasional yang terorganisasi. Sebagaimana kelak didiskusikan di bawah ini, celah itu tersedia melalui suatu model tatakelola yang berperspektif interorganisasi. Model ini berbeda dengan model tatakelola dengan perspektif ke arah dalam (‘internal’, melayani kebutuhan organisasi sendiri) dan model tatakelola dengan perspektif ke arah luar (‘eksternal’, melayani publik luas). Di dalam model ini, keguyuban dalam concurrency merupakan basisnya. 7
Beberapa pihak, misalnya Kumorotomo (2008), berpendapat bahwa UU 32/2004 yang merevisi UU 22/1999 mengembalikan hubungan hirarkis antarpemerintah subnasional. 8 Ini adalah warisan dari Pasal 4 Ayat 2 UU 22/1999 yang menegaskan ketiadaan hirarki antara provinsi dan kabupaten-kota. Undang-undang revisinya, yakni UU 32/2004, tidak secara tegas menyebutkan hal itu. Walau demikian, di dalam praktek keseharian, warisan ini tetap terbawa. Kekosongan ini diisi oleh PP 19/2010 yang di bagian Penjelasan secara eksplisit dinyatakan mengenai bangunan hubungan bertingkat antara provinsi dan kabupaten-kota —tema yang akan dibahas dalam bab ini.
11 Kedua adalah peran sebagai wakil pemerintah pusat yang merupakan konsekuensi format negara kesatuan. Dalam peran yang kedua ini, PP 19/2010 memberi penjelasan bahwa hubungan antarpemerintah subnasional bersifat bertingkat. Jadi, ia berjalan secara vertikal sehingga membuat hubungan gubernur dan bupati-walikota sebagaimana ‘atasan dan bawahan’. Secara organisasional fungsi-fungsi ‘pembinaan, pengawasan, dan pemberian sanksi’ oleh gubernur serta tugas-tugas ‘melaporkan’ oleh bupati-walikota kepada gubernur, sebagaimana PP 19/2010, adalah cermin hubungan ‘atasan-bawahan’ itu. Di dalam sejarah hubungan antarpemerintah, relasi vertikal semacam itu telah lama dikenal, sehingga boleh jadi tidak banyak potensi hambatan dapat ditemukan. Sampai sejauh ini, revisi UU 32/2004 secara substantif tampaknya akan mempertahankan spirit yang telah dituangkan dalam PP 19/2010. Dalam hal ini, sebagai wakil pemerintah, gubernur akan dibebani rangkaian tugas pembinaan dan pengawasan disertai kewenangan untuk memberikan sanksi kepada bupati-walikota, sehingga sifat commanding —walau tampaknya tak akan tegas dinyatakan dalam UU revisi— tetap akan melekat secara intrinsik. Jika keadaan ini terjadi, hasil revisi kelak akan ‘menaikkan status legal’ hubungan hirarkis antarpemerintah subnasional dari PP ke UU, kendati pernyataan eksplisit —dalam bentuk pasal-pasal— tentang hubungan hirarkis itu tampaknya akan cenderung dihindari. Walau begitu, hambatan bukan sama sekali tidak ada. Potensi yang tersembunyi kontradiksi itu akan mencuat manakala relasi yang berbeda (vertikal-horisontal) dikelola oleh aktor-aktor yang sama, apalagi ketika batasan di antara keduanya tidak didefinisikan secara tegas dalam suatu kerangka perundangan. Dalam situasi inilah pertanyaan tentang porsi peran gubernur sebagai wakil pusat dan porsi sebagai kepala daerah otonom membutuhkan jawaban hukum untuk menaungi hubungan antarpemerintah subnasional. Bagaimanapun, mengambil ungkapan di muka, kendati pemerintah di setiap jenjang memiliki tupoksi yang berbeda, pemerintah-pemerintah ini saling-berkait dan saling-bergantung.
Hubungan Horisontal Peran sebagai kepala daerah otonom dalam relasi horisontal antara gubernur dan bupati-walikota praktis merupakan pengalaman baru, sehingga pelbagai bentuk praksis —dialektika teori dan praktek— tentang hubungan horisontal antarpemerintah selalu dibutuhkan. Untuk sampai pada dialektika itu, upayaupaya menuju pencapaian suatu tatakelola pemerintahan yang baik perlu dilihat dulu dari tiga perspektif.
12 Pertama, perspektif internal organisasi, yakni masing-masing organisasi pemerintah dalam dirinya sendiri bergerak ke arah perubahan untuk kepentingan efisiensi organisasi di sisi input. Ini umumnya mengambil wujud reformasi birokrasi, kepegawaian, administrasi, atau sistem organisasi. Pemerintah, dalam perspektif ini, melayani dirinya sendiri. Kedua, perspektif eksternal organisasi, yakni pemerintah berhubungan dengan publik atau masyarakat luas dengan menggunakan cara-cara yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi di sisi output ataupun outcome. Bentuknya dapat dilihat dari reformasi pelayanan sosial dan ekonomi seperti penyediaan infrastruktur kebutuhan dasar, perijinan, dan lain-lain, dengan suatu standar tertentu. Dalam perspektif ini, pemerintah melayani publik sebagai pihak di luar organisasi. Ketiga, ‘perspektif antara’ (intermediate, interogranizational ), yakni hubungan antarsesama organisasi pemerintah yang berientasi pada pemenuhan kebutuhan bersama melalui pembangunan konsensus (Hudson, 1998), complementarity with embeddedness (Evans, 1996), ataupun coproduction (Ostrom, 1996), yang pada prinsipnya merupakan tindakan-tindakan kolektif berbasis negosiasi. Dalam perspektif ini, suatu organisasi pemerintah ‘melayani’ organisasi pemerintah yang lain untuk pencapaian tujuan bersama. Perspektif yang terakhir lebih relevan untuk dijadikan acuan dalam pembentukan hubungan horisontal antarpemerintah karena sejumlah alasan. Sebagaimana telah disebut, provinsi dan kabupaten-kota adalah yurisdiksi-yuridiksi otonom dalam relasi horisontal, sehingga gubernur dan bupati-walikota adalah mitra yang sejajar. Sebagai mitra sejajar integrasi provinsi dan kabupatenkota tidak digerakkan oleh sebuah komando vertikal ataupun dominasi. Selain itu, ‘perspektif antara’ ini sejalan dengan atribut yang melekat pada masingmasing yurisdiksi, yakni setiap yurisdiksi pada prinsipnya memiliki potensi dan kapasitas tertentu yang berbeda (unik) sehingga melahirkan kompetensi yang berbeda (unik) pula. Dalam relasi yang horisontal, potensi, kapasitas, dan kompetensi yang unik ini didayagunakan dalam ujud tindakan-tindakan kolektif dengan basis negosiasi.9 Namun demikian, pembentukan hubungan keguyuban seperti itu tidaklah tanpa syarat. Kesepakatan akan tujuan-tujuan organisasional yang spesi9
Negosiasi dalam konteks ini adalah upaya masing-masing pihak menemukan titik optimum dalam tindakan kolektifnya dengan mempertimbangkan kendala sumberdaya yang dimilikinya secara internal. Termasuk dalam kendala ini, misalnya, variabel-variabel geografi, kultural, maupun infrastruktur. Jadi, negosiasi ini merupakan ‘optimisasi yang terkendala’, yakni kepentingan organisasi dalam tindakan kolektif itu dimaksimisasi atau diminimisasi hingga batas (kendala) tertentu. Secara konseptual ini jauh lebih realisitik ketimbang optimisasi tanpa kendala yang mengandaikan seluruh sumber daya tersedia untuk memenuhi kepentingan organisasi dalam tindakan kolektif itu.
13 fik, atau, paling sedikit, kesepadanan dalam tujuan, menjadi syarat pokoknya.10 Dalam banyak keadaan, urusan atau kegiatan antarpemerintahan sendiri bersifat guyub, sehingga tidak ada otoritas tunggal yang mengambil dominasi atau memiliki klaim tentang ‘kepemilikan’-nya. Dengan kata lain, urusan itu tidak ‘diotorisasi’ untuk dan oleh satu pihak secara individual. Ini mirip dengan sifat barang publik yang dijelaskan di dalam teori ekonomi, di mana setiap pihak tidak dapat disingkirkan dari perolehan manfaat dan dampak yang ditimbulkannya. Atau, di dalam absennya otoritas, setiap pihak dapat saja mengambil sikap tidak peduli pada eksternalitas yang dirasakan oleh pihak yang lain. Kesepakatan akan tujuan bersama yang spesifik meminimumkan eksternalitas ini. Hingga derajat tertentu, Provinsi Gorontalo dapat dijadikan ilustrasi. Provinsi ini berhasil menciptakan suatu ‘tujuan khusus bersama’ antara provinsi dan kabupaten-kota melalui pengembangan komoditas jagung.11 Kendatipun total produksi jagung bukanlah yang tertinggi, capaian Gorontalo dalam empat tahun belakangan ini berada di atas rata-rata Indonesia dan menduduki posisi ketiga di Indonesia Timur setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Patut diingat luas wilayah Gorontalo jauh lebih kecil dibandingkan banyak provinsi lain di Indonesia. Provinsi ini berada di urutan terbawah dalam luas wilayah setelah Jakarta, Jogjakarta, Bali, dan Banten —provinsi-provinsi urban berbasis sektor nonpertanian— serta Kepulauan Riau. Yang juga menarik ialah spesifikasi pencapaian tujuan bersama itu berhasil ditetapkan di sektor lain, yakni reformasi tatakelola untuk perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Walaupun bukan yang terbaik, tingkat dan perubahan IPM Gorontalo mendekati apa yang dicapai oleh Sulawesi Selatan, provinsi termaju di timur negeri. Selanjutnya, manakala tujuan spesifik yang ditetapkan bersifat guyub, sumber daya yang digunakan untuk pembiayaan tujuan itu juga akan bersifat guyub. Tetapi, secara rasional, masing-masing pihak tidak bersedia menanggung pembiayaan untuk pencapaian tujuan bersama itu secara individual (cost internalization). Kalau mungkin, bahkan, setiap pihak akan bertindak seba10
Selain pembangunan konsesus atas tujuan-tujuan yang spesifik, hubungan keguyuban ini membutuhkan suatu pertukaran organisasional, yaitu transfer barang atau jasa dalam suatu hubungan yang timbal-balik. Hudson (1998) menyatakan pertukaran ini bermanfaat karena ia berpusat pada power processes sebagai sesuatu yang fundamental untuk memahami keguyuban. Dalam pertukaran, power processes itu tidak lain adalah salingketergantungan, sehingga kebutuhan-kebutuhan kedua pihak yang berpartisipasi dipenuhi melalui pertukaran itu, yang memang bermanfaat bagi keduanya. 11 Dengan dukungan PGSP, Provinsi Bangka-Belitung saat ini juga tengah membangun ‘tujuan khusus bersama’ melalui tatakelola revitalisasi komoditas lada putih yang memiliki sejarah ekonomi panjang di provinsi ini untuk mengintegrasikan provinsi dan kabupatenkota.
14 gai ‘pembonceng gratis’ yang hanya bersedia untuk menerima manfaat. Ini fenomena tipikal yang lazim ditemui dalam situasi tanpa kerjasama (noncooperative situation) yang mengarah pada prisoner’s dilemma. Oleh karenanya, selain kesepakatan akan tujuan bersama, kesepakatan akan kontribusi sumber daya untuk digunakan bersama juga menjadi penting. Ini menjadi syarat kedua. Kedua syarat ini dapat menerangkan mengapa kerjasama antarpemerintah relatif hanya terjadi pada kasus-kasus yang terbatas. Pemimpin-pemimpin daerah, bahkan dalam provinsi yang sama, bukan hanya memiliki tujuan atau visi-misi spesifik yang berbeda, tetapi didukung pula oleh partai-partai berbeda yang secara intrinsik memiliki tujuan atau visi-misi spesifik yang juga berbeda. Pada saat yang sama, dalam urusan-urusan antarpemerintahan yang bersifat guyub, tidak ada satu pemerintahan pun yang bersedia mengambil inisiatif untuk melakukan internalisasi biaya yang ditimbulkannya. Tetapi jika keadaan semacam ini dapat dihalau, kesepakatan akan tujuan yang spesifik dan kesepakatan akan pembiyaannya dapat membimbing pihak-pihak yang berbeda ke arah integrasi urusan antarpemerintahan. Lebih jauh lagi, karena sifat keguyubaannya, urusan-urusan antarpemerintah membutuhkan suatu intermediary coordinating agent. Penetapan agen semacam ini, hingga tingkat tertentu, merupakan upaya untuk mengatasi absennya otoritas atas urusan-urusan antarpemerintahan yang bersifat guyub. Jadi, ini semacam ‘rekayasa kewenangan’ ketika ‘hak kepemilikan’ absen dalam urusan-urusan yang bersifat guyub. Agen ini pada prinsipnya bertindak sebagai sebuah simpul jaringan yang (1) mengelola seluruh interaksi dan relasi antaraktor, termasuk menjaga kohesivitasnya, (2) mengidentifikasi dan memobilisasi potensi dan sumber daya, serta, yang terpenting, (3) menghidupkan terus menerus tujuan spesifik bersama yang telah disepakati. Mengingat karakter yang melekat padanya, pemerintah provinsi berpotensi mengambil peran sebagai intermediary coordinating agent itu.12 Untuk membuatnya lebih official, hubungan keguyuban ini selanjutnya membutuhkan derajat formalisasi tertentu. Derajat formalisasi biasanya akan meningkat sekali sebuah kesepakatan diverbalisasi, ditulis, diatur dalam kon12
Pendapat umum yang menyebutkan bahwa gubernur tidak mempunyai wilayah dan rakyat —tapi hanya bupati-walikota yang memilikinya— dapat dikatakan salah kaprah. Sebab, jika logika ini diteruskan ke atas, presiden tak akan berkuasa atas sejengkal wilayah dan seorang warga negarapun. Sementara itu, jika diteruskan ke bawah, hanya ketua rukun tetangga (RT) yang memilliki kekuasan atas wilayah dan warga yang berdiam di atasnya. Lagi pula, wilayah dan warga masyarakat yang lebih kecil hanyalah anak-gugus wilayah dan warga masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, di setiap jenjang pemerintahan akan selalu ada irisan-irisan kekuasaan atas wilayah dan warga —apalagi bila diingat bahwa setiap jenjang pemimpin wilayah dipilih secara legitimate melalui proses yang diakui oleh hukum dan perundangan Republik Indonesia.
15 trak dan peraturan, dan akhirnya diwajibkan kepada pihak-pihak yang bersepakat (Hudson, 1998). Konsensus atas common goal membutuhkan payung hukum untuk menaunginya sebagai bentuk formalisasi, termasuk formalisasi atas kontribusi sumber daya untuk pembiayaannya. Dalam revisi UU 32/2004, konsensus ini dapat diakomodasi ke dalam pasal-pasal yang mengatur pola hubungan antardaerah. Ini dapat dimulai dari kerjasama urusan-urusan pemerintahan yang (1) eksternalitasnya tidak dapat dibatasi oleh yurisdiksi administratif, (2) besarannya berskala provinsi, (3) pelaksanaannya bersifat lintasyurisdiksi, (4) penyelenggaraannya dilakukan di wilayah-wilayah yang saling berbatasan secara administratif, hingga (5) urusan-urusan pemerintahan yang dikerjasamakan atas inisiatif sendiri. Apa yang diperlukan kemudian di dalam kerangka hukum itu adalah batasan-batasan formal mengenai eksternalitas, skala besaran, lintasyurisdiksi, perbatasan administratif, dana inisiatif sendiri. Selain itu, tentu saja azasazas penuntun dan anasir-anasir pokoknya perlu digariskan. Tidak ketinggalan di sini adalah penyusunan institusi bagi penanganan pengaduan dan resolusi konflik yang berpotensi terjadi pada setiap bentuk interaksi —apalagi untuk interaksi mengenai urusan-urusan yang bersifat guyub seperti ini. Akhirnya, pengalaman-pengalaman kerjasama pembangunan yang pernah ada, misalnya dalam tataruang, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), agro atau minapolitan, dan sejenisnya, tampaknya perlu ditelaah serius. Ini adalah upaya untuk memetik pelbagai pelajaran mengenai issu-issu di atas —dari penetapan tujuan bersama hingga resolusi konflik— untuk dijadikan praksis-praksis baru hubungan horisontal provinsi dan kabupaten-kota di sektor-sektor yang lain.
Hubungan Vertikal Jika relasi horisontal provinsi dan kabupaten-kota menunjukkan wajah Indonesia yang terdesentralisasi, relasi vertikalnya menampilkan Indonesia dalam rupa negara kesatuan. Relasi vertikal pemerintah subnasional ini terjadi manakala gubernur memainkan perannya yang kedua sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam peran ini gubernur tidak lain adalah pemerintah pusat yang beroperasi, yakni melaksanakan kewenangan pemerintah pusat, di provinsi dan di kabupaten-kota, sehingga lazim disebut sebagai kepala wilayah administratif untuk membedakannya dari kepala daerah otonom. Di sini pemerintah pusat memiliki agenda-agenda dan target-target pembangunan tersendiri yang kemudian didelegasikan, didekonsentrasikan, atau dialirkan sebagai tugas pembantuan kepada gubernur. Gubernur kemudian mengimplementasikan kekuasaan otoritatif vertikal itu dengan suatu derajat commanding power tertentu.
16 Sudah barang tentu proses pelaksanaan agenda-agenda pemerintah pusat itu dan tingkat pencapaian target-targetnya di daerah ditentukan oleh seberapa jauh gubernur mampu ‘membina’, ‘mengawasi’, dan ‘melakukan koordinasi’ —kosa-kosa kata PP 19/2010— dengan agen-agen daerah dan pusat. Selain itu, pelaksanaan agenda-agenda dan tingkat pencapaian target-target pemerintah pusat ini ditentukan pula oleh seberapa jauh gubernur mampu memantau, mengevaluasi, serta memberikan rekomendasi atas proses dan hasil interaksi (1) antara instansi-instansi vertikal pusat dengan pemerintah provinsi dan kabupaten-kota, (2) antarinstansi vertikal pusat sendiri yang beroperasi di daerah, (3) pemerintah provinsi dengan kabupaten-kota, serta (4) antarpemerintah kabupaten-kota dalam konteks dekonsentrasi ataupun tugas pembantuan. Oleh karenanya, tugas sebagai wakil pemerintah pusat ini tidak lain adalah tugas mengelola ‘titik-temu’ kepentingan-kepentingan pusat dan daerah. Walau begitu, ada cukup banyak kementerian dan lembaga (KL), termasuk badan-badan, beroperasi di daerah, sehingga tugas mengelola ‘titiktemu’ kepentingan ini sesungguhnya pelik juga. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, sampai sejauh ini belum tampak pembedaan yang tajam antara organisasi perangkat pendukung gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan organisasi perangkat gubernur sebagai kepala daerah. Dalam format PP 19/2010, operasi harian wakil pemerintah pusat secara ex-officio dikendalikan oleh sekretaris daerah, yang ditopang oleh sebuah sekretariat khusus. Format ini menuntut ketentuan yang khusus pula mengenai pendayagunaan aparatur —termasuk juga mengenai pembiayaan atas operasi hariannya. Dalam hal pendayagunaan aparatur, ‘dualisme sektoral’ masa lalu antara ‘dinas daerah’ dan ‘kantor wilayah departemen’ berpotensi untuk muncul kembali, khususnya jika diingat bahwa selain tugas dekonsentrasi dalam jalur Kemdagri, ada pula tugas dekonsentrasi yang dilimpahkan melalui jalur KL yang masing-masing memiliki perangkat institusi (aturan, organisasi, dan tatalaksana) sendiri-sendiri, termasuk Unit-unit Pelaksana Teknis, dan Badan-badan di luar kementerian. Ada pula issu yang mirip dengan itu dan, sedikit-banyak, membutuhkan pertimbangan dalam kerangka hukum bagi penguatan provinsi, yakni relasi provinsi dengan Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) —termasuk pula Badan-badan Otorita— yang beroperasi secara vertikal di daerah (tugas delegasi). Issu-issu teknis harian, seperti kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM), ledakan tabung gas, pemadaman atau kekurangan pasokan listrik, kerusakan jaringan telekomunikasi, ataupun kelangkaan pupuk, barang-barang logistik pangan, dan semen, tidak sepenuhnya bisa disolasi melulu sebagai issu Pertamina, PLN, dan PT Telkom, Bulog, atau BUMN-BUMN yang secara otoritatif mengelelolanya. Sektor-sektor seperti ini adalah juga ‘titik-temu’ kepentingan BUMN dan daerah sekaligus. Ilustrasi tentang keluhan yang lazim terdengar dapat memperjelas hal ini. Tatkala kinerja negatif terjadi dalam
17 pasokan barang-barang ini di daerah, pemerintah daerah tidak dapat membebaskan diri ‘biaya sosial’ yang harus ditimbulkannya —protes, demonstrasi, bahkan juga subsidi. Tetapi, ketika kinerja positif terjadi dan manfaat ekonomi secara vertikal diakumulasi oleh BUMN-BUMN ini, pemerintah daerah tidak mendapat bagiannya. Oleh karenanya, dukungan regulasi atas keadaan semacam ini, yakni regulasi yang mengatur distribusi manfaat dan biaya, akan memberi arti bagi penguatan provinsi dalam konteks hubungan vertikal. Kedua, tidak semua UU sektoral sepadan dengan UU Pemerintahan Daerah dan aturannya turunannya. Hal-hal yang diatur dalam UU sektoral pada prinsipnya kewenangan-kewenangan KL di pusat. Jika implementasinya di daerah bertabrakan dengan kewenangan-kewenangan yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah, konflik regulasi akan bertumpuk di tangan gubernur. Beberapa contoh tentang ini telah ditelisik dalam, misalnya, sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan-laut, dan sebagainya. Konflik regulasi —bahkan juga ‘dualisme sektoral’ yang disebut di atas— menagih pembentukan kerangka hukum yang jauh lebih terintegrasi. Konflik itu tidak cukup diselesaikan sepihak oleh satu UU secara parsial —misalnya oleh UU Pemerintah Daerah atau UU sektoral saja. Dengan kata lain, pembentukan kerangka hukum yang lebih terintegrasi akan menjadi agenda desentralisasi yang lebih luas dan lebih panjang daripada revisi UU 32/2004. Alasan ketiga lebih politis daripada legalistis. Bagaimana meletakkan keberhasilan (atau kegagalan) agenda-agenda dan target-target pembangunan itu sebagai suatu politik citra? Apakah itu dipandang sebagai keberhasilan (atau kegagalan) pemerintah pusat, gubernur, atau bupati-walikota? Pertanyaan senada juga bisa dilontarkan untuk distribusi dana dekonsentrasi melalui program-program pembangunan yang langsung dilaksanakan di tingkat pemerintahan terbawah, figur politik siapakah yang (tengah) dicitrakan? Dalam konteks kompetisi politik yang tinggi di Indonesia saat ini, citra tampaknya masih memainkan peran yang penting, apalagi bila diingat konstituensi presiden, gubernur, bupati-walikota, dan partai politik yang berhimpit. Mengelola melting pot, tapi sekaligus juga kontestasi, kepentingan politik semacam ini merupakan kepelikan tersendiri, karena gubernur —sebagaimana juga presiden dan bupati-walikota— adalah agen-agen politik yang juga punya kepentingan politik, sehingga citra (positif ataupun negatif) selalu sensitif secara politik pula.
Mencari Titik Temu Tabel 1 merangkum tiga varian relasi tatakelola provinsi yang didiskusikan di depan, yakni (1) relasi antara gubernur dengan bupati-walikota, (2) relasi an-
18 tara gubernur, instansi vertikal, dengan bupati-walikota, serta (3) relasi antara gubernur dengan rakyat dalam wilayah administratifnya di sisi lain. Dua relasi yang pertama dapat dikategorikan sebagai relasi yang teknokratis, sedangkan relasi yang terakhir lebih bersifat politis. Tatakelola yang bersifat teknokratis sudah barang tentu tidak bisa diisolasi dari tatakelola yang bersifat politis, karena jabatan gubernur sesungguhnya adalah jabatan politis yang dimandatkan untuk menjalankan tugas-tugas teknokratis dan kelak dipertanggungjawabkan secara politis.13 Pada saat yang bersamaan, visi-misi politis memang harus diimplementasikan secara teknokratis untuk membuatnya menjadi nyata dan terukur. Diskusi yang lebih jauh dibutuhkan ialah relasi di dalam tatakelola teknokratis sendiri, yakni bagaimana melaksanakan desentralisasi secara konsisten di dalam rumah negara kesatuan? Lebih dalam lagi, hingga batas mana gubernur memainkan porsi peran sebagai wakil pemerintah pusat atau kepala wilayah administratif (WPP-KWA) untuk dihadapkan sebagai peran kepala daerah otonom (KDO)? Dalam satu keadaan, relasi ini dapat bersifat salingmeniadakan, yakni bilamana porsi peran sebagai WPP-KWA membesar, porsi peran sebagai KDO dapat menyusut. Ini berarti agenda-agenda nasional lebih mendominasi daripada agenda-agenda daerah.14 Sebaliknya, peningkatan porsi peran gubernur sebagai KDO menurunkan porsi peran gubernur sebagai KWA. Pengaturan yang lebih jauh tentang hal ini amat dibutuhkan, mengingat sekarang ini Indonesia berada dalam konstelasi rejim desentralisasi yang, bagaimanapun, menuntut aksentuasi agenda-agenda daerah. Patut dicatat pula, apa yang dimaksud dengan agenda-agenda daerah itu sendiri tidaklah tunggal, karena di dalamnya terdapat agenda-agenda kabupaten-kota dan provinsi masing-masing sebagai daerah otonom. Apa yang dibutuhkan dalam pengaturan itu adalah keseimbangan antara dua peran itu agar desentralisasi tetap kentara mewarnai pembangunan Indonesia yang berprinsip negara kesatuan. Ini adalah agenda penting untuk menghilangkan kesan bahwa penguatan gubernur WPP-KWA adalah proses resentralisasi yang melulu mengutamakan agenda-agenda pemerintah pusat dan melemahkan otonomi provinsi dan kabupaten-walikota. Penguatan gubernur secara normatif tetap harus dibaca dalam satu tarikan napas, yakni sebagai penguatan gubernur WPP-KWA dan KDO sekaligus, termasuk relasi gubernur secara horisontal dengan bupati-walikota yang pula sebagai KDO. Pengaturan ini berisi azas-azas penuntun dan anasir-anasir pokok tentang batasan peran gubernur sebagai WPP-KWA, sebagai KDO, dan dalam relasi horisontalnya 13
Ini dapat diperluas lagi ke dalam sistem Pemilukada yang memperhatikan pola hubungan antarpemerintah. 14 Diskusi tentang bagaimana RPJMD harus ‘memperhatikan’ RPJMN ditampilkan di bagian lain paper ini.
19 dengan kabupaten kota, serta, yang paling penting, keseimbangan yang harus dimainkan di antara peran ganda itu. Dalam keadaan yang lain, ada hal menarik yang, paling kurang secara teoritik, dapat dicatat. Jika secara bertahap kewenangan pemerintah pusat melalui KL15 dapat didesentralisasikan —tidak melulu sebagai kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan— kepada gubernur dalam perannya sebagai WPP-KWA, di masa depan keberadaan instansi vertikal akan menyusut secara bertahap pula. Ini dimungkinkan karena, dalam format WPP-KWA, entitas pemerintah pusat telah hadir dan direpresentasikan oleh gubernur, yang operasi hariannya dijalankan oleh perangkat pendukung gubernur WPP-KWA. Pada titik ini, koordinasi dan sinergi lebih memiliki potensi untuk terjadi, sehingga dualisme dapat diminimumkan. Tentu saja pencapaian ke arah itu membutuhkan standar kapasitas tertentu yang perlu dimiliki oleh perangkat gubernur. Ia bisa saja mengikuti derajat pelimpahan wewenang yang didesentralisasikan, sehingga pelimpahan menjadi fungsi dari kapasitas. Dengan kata lain, jika dalam konteks ‘tatakelola eksternal’ yang berinteraksi dengan publik luas dituntut suatu standar pelayanan minimum tertentu, suatu ‘standar kapasitas minimum’ dalam tatakelola internal juga dibutuhkan sebagai padanannya. Oleh karena itu, suatu penyusunan ‘Peta Kapasitas Perangkat Gubernur’ menjadi amat relevan. Berbasis kapasitas ini, wewenang yang didesentralisasikan tidak harus simetrik dan seragam untuk semua provinsi, karena derajat desentralisasi wewenang itu akan mengikuti ‘peta kapasitas’ yang disusun sebelumnya. Keseluruhan tahapan di atas dapat dirangkum ke dalam sebuah strategi besar penguatan peran gubernur yang memuat pergerakan bertahap desentralisasi wewenang KL ke tangan gubernur WP-WKA, termasuk pemetaan kapasitas dan agenda perbaikan kapasitas perangkat serta sistem pendukungnya. Strategi besar ini dapat dipandang sebagai suatu gerakan ‘Desentralisasi Generasi Kedua’ untuk 10 tahun ke depan, di mana penguatan hubungan antarpemerintah dan keseimbangan peran gubernur menjadi agenda pokoknya. Dalam perspektif inilah penguatan peran provinsi secara sistematis lebih teraksentuasi, terjadwal, dan terukur.
15
Tidak termasuk lima wewenang yang direstriksi oleh UU, yakni pertahanan-keamanan, moneter dan fiskal, politik luar negeri, agama, dan justisi.
• Pertanggungjawaban • Hubungan keuangan
• Kegiatan pembangunan
• Sifat hubungan
• Agen terkait • Bentuk hubungan + Instansi vertikal + Kabupaten-kota • Azas hubungan
Atribut
Tatakelola Teknokratis Kepala Daerah Wakil Pemerintah Otonom Pusat Kabupaten, kota Kementerian, lembaga Horisontal, nirjenjang Vertikal, berjenjang Koordinasi Penyelarasan Pembinaan, pengawasan Desentralisasi, Dekonsentrasi, otonomi tugas pembantuan, delegasi (fungsional) Kerjasama Instruksional sanksi, penghargaan Concurrency, Pemerintahan umum, eksternalitas, urusan pusat yang skala efisiensi dilimpahkan Konsensus Presiden via Mendagri APBD APBN dana dekonsentrasi dana tugas pembantuan
Tabel 1: Provinsi dalam Relasi Tatakelola
Pemilukada
Janji kampanye, mandat politik
Kepercayaan
Konstituen, pemilih Mandataris
Tatakelola Politis
20
Perencanaan dan Penganggaran Ke Arah Pencapaian Sinergi
Perubahan-perubahan dalam Perencanaan dan Penganggaran Selain hubungan antarpemerintah yang menuntut penyusunan suatu kerangka hukum yang tepat, tema kedua dalam desentralisasi Indonesia adalah sinergi. Ini menyangkut sinergi antara perencanaan dan penganggaran pembangunan itu sendiri dan sinergi perencanaan dan penganggaran antara pusat dan daerah. Sinergi menjadi issu penting karena dua hal. Pertama, keragaman sektor persoalan. Kegiatan-kegiatan pembangunan semakin bervariasi sementara issu-issu masa lalu masih tetap persisten. Masalah-masalah lama, seperti kemiskinan, ketertinggalan, dan ketimpangan, masih dihadapi hingga kini; tetapi problem-problem baru yang tidak dikenal sebelumnya, semisal perubahan iklim, migrasi tenaga kerja, atau bencana alam beruntun, justru mengemuka dan menagih perhatian tersendiri. Kedua, keragaman organisasi pembuat, pelaksana, dan pengendali kebijakan. Meski telah dibatasi oleh UU 39/2008 tentang Kementerian Negara, di tingkat nasional jumlah kementerian cenderung besar. Ini belum ditambah dengan badan-badan dan komisi-komisi sebagai state auxiliary bodies.16 Pada saat yang sama, di tingkat daerah, kendati berkali-kali gagasan moratorium pembentukan daerah otonomi baru (DOB) diwacanakan, jumlah DOB tetap membesar. Malahan juga, walaupun dibatasi oleh PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD), postur provinsi dan kabupaten-kota melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah tidak bisa dikatakan ramping. Di dalam kompleksitas itu, anggaran akan selalu bersifat sebagai kendala. Besar anggaran hampir tidak dapat mengikuti dinamika issu-issu pembangunan yang ada, apalagi bila diingat bahwa pembiayaan melalui utang luar negeri semakin sensitif secara politik, sedangkan hibah tidak mungkin diandalkan 16
Hingga saat ini sedikitnya ada 16 komisi dan dewan independen di luar eksekutif dan 41 komisi, komite, badan, pusat, dewan, tim, dan lembaga dalam jaringan eksekutif.
21
22 sebagai sesuatu yang permanen.17 Sementara itu tuntutan-tuntutan penambahan anggaran atau pencapaian batas alokasi minimal tertentu, seperti di sektor pendidikan, tidak terhindarkan. Tak pelak lagi, sinergi perencanaan dan penganggaran pada akhirnya bukan hanya menjadi kebutuhan, tetapi juga merupakan konsekuensi logis dari seluruh kompleksitas ini. Dalam perjalanan waktu, perencanaan dan penganggaran pembangunan juga mengalami dinamikanya sendiri. Perubahan-perubahan signifikan telah dibuat. Salah satu tengara yang terpenting dalam perencanaan dan penganggaran ialah dikeluarkannya UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), menyusul sister law -nya yang lebih dahulu disahkan: UU 17/2003 mengenai Keuangan Negara (KN). Kedua UU ini dapat dikatakan sebagai landasan hukum baru dalam perencanaan dan penganggaran yang praktis tidak dikenal sebelumnya.18 Apa yang berbeda antara sistem perencanaan pada masa sentralisasi dan masa kini adalah UU 25/2004 mengemukakan dengan tegas muatan-muatan dasar yang harus dilekatkan pada sistem perencanaan. Pertama, UU ini dibuka dengan kata-kata kunci yang penting bahwa sistem perencanaan disusun untuk tujuan-tujuan ‘koordinasi’, ‘integrasi’, ‘sinkronisasi’, ‘sinergi’, ‘keterkaitan’, dan ‘konsistensi’ pembangunan. Kedua, tujuan-tujuan ini mesti dicapai di bawah lima norma dasar yang juga harus dipertimbangkan, yaitu yakni ‘politik’, ‘teknokratik’, ‘partisipatif’, ‘atasbawah’, serta ‘bawah-atas’ —baik untuk perencanaan tingkat pusat maupun daerah. Ketiga, aktor-aktor perencana, termasuk pemangku kepentingannya, selanjutnya dituntut untuk menerjemahkan kata-kata kunci itu ke dalam dimensi-dimensi regional (antardaerah), spasial (antarruang), temporal (antarwaktu), fungsional (antarsektor), dan struktural (antarjenjang pemerintahan). Keempat, ini semua dimaksudkan untuk menghasilkan suatu perencanaan yang ‘sistematis’, ‘terarah’, ‘terpadu’, ‘menyeluruh’, dan ‘tanggap terhadap perubahan’. Tapi, kelima, ini belum cukup, karena dokumen perencanaan yang dihasilkan di bawah konsep seperti dimaksud dalam kata-kata kunci itu harus dikombinasikan pula dengan ‘penganggaran’, ‘pelaksanaan’, serta ‘peng17 Belum lagi ada persoalan-persoalan pembangunan yang membutuhkan tindakan cepat dan menimbulkan konsekuensi anggaran, semisal penanganan bencana alam, wabah penyakit non-endemik, ataupun konflik perbatasan wilayah. 18 Pada masa lalu landasan hukum perencanaan pembangunan bertumpu pada ketetapan MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejalan dengan perubahan UUD 45 dan bergantinya sistem pemilihan presiden, GBHN sebagai pedoman presiden untuk menyusun rencana pembangunan dihilangkan dari sistem ketatanegaraan. Sementara itu, landasan hukum penganggaran di masa lalu merujuk pada [1] Indische Comptabiliteitswet (ICW) Stbl. 448-1925, [2] Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 419-1927 jo. Stbl. 445-1936, dan [3] Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 381-1933, serta [4] khususnya untuk pemeriksaan keuangan negara, Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 320-1933, sebelum diubah dan diundangkan dalam [5] Lembaran Negara 6-1954, [6] Lembaran Negara 49-1955, dan (7) UU 9/1968.
23 awasan’. Pada saat yang sama, keenam, masih ada tambahan empat tahapan proses perencanaan yang harus dilalui, yakni ‘penyusunan’, ‘penetapan’ sebagai produk hukum, ‘pengendalian pelaksanaan’, dan ‘evaluasi pelaksanaan rencana’. Akhirnya, ketujuh, kesemuanya ini harus disertai catatan “diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh.” 19 Sementara itu, UU 17/2003 juga memuat sejumlah kata kunci. Pertama, ada tuntutan mengenai pengelolaan keuangan negara yang ‘tertib’, ‘taat pada peraturan perundang-undangan’, ‘efisien’, ‘ekonomis’, ‘efektif’, ‘transparan’, dan ‘bertanggung jawab’. Selain itu, kedua, pengelolaan keuangan negara juga dituntut untuk ‘memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan’. Ini dilengkapi pula, ketiga, dengan asas-asas umum pengelolaan keuangan negara yang meliputi ‘akuntabilitas berorientasi pada hasil’, ‘profesionalitas’, ‘proporsionalitas’, ‘keterbukaan’, pemeriksaan yang ‘bebas dan mandiri’. Yang kesemuanya dimaksudkan, keempat, untuk ‘memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.’ Jelas terlihat kedua UU ini sarat nilai —mengandung muatan-muatan dasar yang ideal. Pada tingkat muatan-muatan dasar itu, tidak banyak kesulitan dihadapi untuk membangun sinergi antara dua UU itu, karena sifat yang ideal itu. Di atas kertas, kesepadanan antara muatan-muatan dasar itu mudah dicari.20 Pasal-pasal pengaturnya pun menegaskan bagaimana sinergi sektoral dan regional harus dijalankan. Itu semua bahkan diterjemahkan lagi secara teknis ke dalam aturan-aturan turunan dalam bentuk PP yang merupakan kompas petunjuk bagi KL dan daerah dalam membangun sinergi. Tiga yang terpenting di antaranya ialah PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), PP 21/2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian-Lembaga (RKAKL), dan PP 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (TCPRPN). Ketiga PP ini secara rinci mengatur bagaimana perencanaan dan anggaran dipertautkan, serta —sebagaimana diperlihatkan oleh Tabel 2— dijadwalkan dalam suatu kalender yang ketat.
19
Bagian Umum Penjelasan UU 25/2004 Angka 3. Kendati begitu, Koven (2009) sebaliknya mencatat ada kontradiksi nilai antara teknokrasi-birokrasi dengan politik-demokrasi. Yang pertama lazimnya menuntut tatananketeraturan (order ), efisiensi, dan keseragaman, sedangkan yang terakhir mengandung nilainilai transparansi, fleksibilitas, dan ketanggapan. 20
Rancangan Renja KL
Surat Edaran Bersama Prioritas Program & Indikasi Pagu
Januari-April
Renstra KL
Sumber: PP 21/2004
KL
Kementerian Keuangan
Kementerian Perencanaan
PresidenKabinet
DPR
Institusi
RKA-KL
Surat Edaran Pagu Sementara
Pembahasan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal & RKP Kebijakan Umum & Prioritas Anggaran
Lampiran RAPBN (Himpunan RKA-KL) Penelaahan Konsistensi Anggaran
Nota Keuangan RAPBN & Lampiran Penelaahan Konsistensi RKP
Mei-Agustus Pembahasan RKA-KL
Rancangan Keppres Rincian RAPBN
Pembahasan RAPBN
Tabel 2: Kalender Perencanaan dan Penganggaran
Konsep Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Pengesahan
Keppres Rincian RAPBN
Dokumen Pelaksanaan Anggaran
September-Desember UU APBN
24
25 Lebih jauh lagi, bagi kepentingan pemantauan dan evaluasi, hal menarik yang laik dicatat di sini ialah kehadiran dua PP yang lain, yakni PP 39/2006 mengenai Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan PP 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Inipun belum termasuk PP 8/2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, apalagi Kementerian Dalam Negeri juga telah mengeluarkan pedoman rinci mengenai Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah melalui Surat Edaran 050/200/II/BANGDA/2008. Keseluruhan aturan teknis ini juga amat potensial digunakan sebagai instrumen sinergi muatan-muatan dasar dalam UU SPPN dan KN, bahkan juga sinergi antara pusat dan daerah. Gambaran ini memperlihatkan bahwa semua syarat normatif bagi pembentukan teknokrasi pembangunan telah disusun untuk pembentukan siklus perencanaan, penganggaran, monitoring, dan evaluasi. Dengan kata lain, agak berbeda dengan apa yang terjadi dalam hubungan antarpemerintah, fondasi normatif bagi pembentukan sinergi antara perencanaan dan pembangunan serta sinergi antara pusat-daerah bukan lagi menjadi issu.21 Issunya justru terletak pada tingkat implementasi, yakni bagaimana perencanaan-penganggaran dipadukan dalam tindakan riil dan bagaimana pusat-daerah dipertautkan untuk menegakkan kepedulian bersama.
Sinergi Perencanaan dan Penganggaran Pada tingkat implementasi, ada banyak issu yang harus ditangani untuk pencapaian sinergi itu. Mengikuti formasi pembagian issu yang dikenalkan di depan, diskusi ini juga dibagi ke dalam dua kelompok issu. Pertama, sinergi antara proses perencanaan dan penganggaran sendiri, yang akan didalami di bagian ini. Kedua, sinergi perencanaan-penganggaran antara pusat dan daerah, yang akan dibahas setelah bagian ini. Hal paling mencolok dalam issu sinergi antara perencanaan dan anggaran di tingkat implementasi adalah timing. Kendati kalender perencanaan kegiatan telah dijadwal begitu rupa, tidak ada jaminan bahwa pembiayaan kegiatan 21
Kendati begitu, tetap ada issu di tingkat normatif meski bersifat minor. UU 25/2004 dan 17/2003 memandang berbeda posisi perencanaan dan penganggaran. Undang-undang 17/2003 (Pasal 3, ayat 4) menyatakan bahwa APBN(D) mempunyai fungsi perencanaan, yang berarti bahwa “anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.” Tetapi UU 25/2004 (Pasal 25, ayat 1 dan 2) menegaskan bahwa “RKP menjadi pedoman penyusunan RAPBN” —yang berlaku pula bagi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan APBD. Dalam struktur perencanaan dengan horison waktu (jangka panjang, menengah, dan pendek), penganggaran kegiatan pembangunan tahunan sesungguhnya adalah perencanaan jangka pendek itu sendiri. Oleh karena itu, kedua UU ini tidak senafas dalam mendudukkan perencanaan dan penganggaran.
26 akan terjadi dalam irama yang sama. Luas diketahui bahwa proses penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan pencairannya sendiri bukanlah pekerjaan satu malam, apalagi tatkala DIPA harus direvisi. Tentang ini Kontan, 5 Januari 2011, melaporkan, “Proses pencairan DIPA terbilang tak mudah. Pencairan itu memakan proses dan waktu yang cukup lama. Sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Syahrial Loetan, mengatakan, banyak aturan dan mekanisme yang harus dipatuhi. Dia mencontohkan seperti adanya pembatasan uang muka dan pembatasan dalam pencairan. Selain itu, Syahrial menambahkan, kendala yang dihadapi adalah pemberian tanda bintang untuk program KL yang belum mendapat persetujuan baik dari Kementerian Keuangan maupun DPR. Sehingga, dia bilang, rencana program atau belanja yang sudah disusun tidak serta merta dapat dijalankan pada tahun anggaran berjalan.”
Lebih jauh lagi, juga telah menjadi kelaziman bahwa irama penyerapan anggaran memuncak pada kwartal terakhir tahun anggaran, sehingga bukan hanya kuantitas tapi juga kualitas penyerapan dipertanyakan. Sekjen Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Anggito Abimanyu, (Kompas, 21 Desember 2010) mengatakan, “Dalam tiga tahun terakhir, rasio pencairan DIPA sudah lebih dari 90 persen meski lebih dari setengahnya baru cair di kuartal ketiga dan keempat. Namun, di tahun 2010, pencairan diperkirakan di bawah 90 persen dan masih juga lambat dicairkan.” Kompas, 29 Desember 2010, juga melaporkan bahwa dalam kurun tiga minggu antara November-Desember 2010 terjadi penambahan penyerapan anggaran 10,5 persen dari target belanja negara yang ditetapkan. Angka ini melonjak hingga 12 persen di minggu terakhir 2010. Mengutip Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Ahmad Muzani, Kompas, 8 Januari 2011, kembali melaporkan fenomena penyerapan APBN di setiap bulan Desember, “Pada 30 November 2010, serapan APBN di kementerian rata-rata baru 60 persen, bahkan kurang. Namun, di laporan pada bulan Desember, penyerapan rata-rata di atas 80 persen. Aneh jika dalam waktu satu bulan penyerapan yang terjadi dapat di atas 20 persen.”
Tegas terlihat, timing merupakan soal serius dalam sinergi perencanaan dan penganggaran. Pacuan kuda pencairan anggaran berkecepatan tinggi di detik-detik terakhir kwartal keempat jelas jauh dari pola belanja yang sehat. Lebih buruk lagi, dalam siklus penyerapan anggaran yang berpola demikian, mutu belanja publik suboptimal dan efek riil belanja pemerintah pada perekonomian, bahkan pada kesejahteraan secara keseluruhan, juga suboptimal. Untuk itu, ISEI (Kompas, 21 Desember 2010) mangajukan tiga rekomendasi, yakni (1) penganggaran tahun jamak, (2) percepatan pelaksanaan sistem anggaran berbasis akrual dan meninggalkan sistem berbasis kas, serta (3)
27 pendisiplinan kementerian dalam menyusun perencanaan hingga pelaksanaan anggaran dengan Kementerian Keuangan dan DPR. Sejalan dengan rekomendasi terakhir ini, Syahrial Loetan (Kontan, 5 Januari 2011) menyatakan, “ . . . Permasalahan itu bisa diatasi asalkan KL dapat membuat master plan yang bagus, sehingga pada saat pengajuan tak bolak-balik. Buat rencana kegiatan yang masuk akal, ajukan, dan bisa langsung keluar pada waktu yang kita mau.”
KOTAK 3 Percepatan DIPA Tidak Berarti Tanpa Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 2011 kepada para menteri, pemimpin lembaga, dan gubernur di Istana Negara, Jakarta, Selasa (28/12). Presiden Yudhoyono mengatakan, daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang biasanya diserahkan pada awal tahun berjalan kali ini penyusunannya diselesaikan dan diserahkan pada akhir tahun anggaran sebelumnya. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan bisa dipercepat mulai hari pertama 2011.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengingatkan, percepatan penyelesaian DIPA 2011 tidak akan banyak berarti jika tidak diikuti langkah serius untuk menyerap anggaran sesuai rencana secara efektif dan efisien. Agus mengakui, pelaksanaan APBN dari tahun ke tahun belum memenuhi harapan karena tingkat penyerapan anggaran yang belum maksimal. Menurut Agus, rendahnya penyerapan antara lain disebabkan permasalahan proses pengadaan barang dan jasa serta keterlambatan penempatan pejabat pengelola keuangan.
Terkait hal itu, pemerintah menyempurnakan sistem penganggaran serta menyederhanakan pengadaan barang dan jasa untuk mempercepat penyerapan anggaran. Melalui langkah itu, pemerintah memperkirakan penyerapan anggaran belanja kementerian/lembaga hingga akhir tahun ini diperkirakan akan mencapai 93,6 persen.
Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dari Kompas, 29 Desember 2010
28 Ada beberapa issu lain yang juga mengemuka dalam relasi perencanaanpenganggaran. Salah satu di antaranya ialah kekurangan pembiayaan. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa beberapa sektor, seperti infrastruktur ataupun energi, menderita underinvestment. Sementara itu, luas pula diketahui bahwa sektor-sektor ini banyak memainkan peran dalam mempersempit kesenjangan antarwilayah, mempertajam efektivitas pembiayaan pembangunan, dan menjaga kelangsungan pertumbuhan. Dalam Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dikeluarkan oleh the World Economic Forum, misalnya, indeks infrastruktur22 Indonesia masih dinilai 3,7 dalam skala 1-7, dekat dengan India (3,6) dan Kenya (3,8), tapi jauh di bawah Thailand (4,9) atau Malaysia (5,5). Sejak krisis keuangan 1997-98 kemampuan pemerintah untuk memacu investasi di sektor infrastruktur memang cenderung terbatas. Kong dan Ramayandi (2008) mengemukakan, di tahun-tahun setelah krisis, keterbatasan pemerintah itu bersumber dari beban anggaran yang harus dialokasikan untuk menanggung sektor perbankan yang runtuh akibat krisis. Di tahun-tahun belakangan ini, menurut Resosudarmo dan Yusuf (2009), kendatipun ada windfall kenaikan harga minyak, keterbatasan alokasi masih ditemui, karena rejeki itu harus ditransformasi menjadi subsidi konsumsi minyak domestik. Tabel 3: Indeks Infrastruktur Indonesia Indeks Indeks Keseluruhan Jalan Raya Jaringan Rel Kereta1 Pelabuhan Laut Pelabuhan Udara Kursi Pesawat2 Pasokan Listrik Telepon Statik3 Telepon Genggam4
Nilai 3,7 3,5 3,0 3,6 4,6 1450,9 3,6 14,8 69,2
Peringkat 90 84 56 96 69 21 97 82 98
Sumber: Global Competitiveness Report 2010-2011
22
1
Hanya 116 dari 139 negara disurvey
2
Ketersediaan kursi-kilometer terjadwal per minggu
3
Jumlah jaringan telepon fixed aktif per 100 orang
4
Jumlah pelanggan telepon moblie aktif per 100 orang.
Indeks ini juga bisa didisagregasi atas mutu jalan raya, rel kereta, pelabuhan laut dan udara, pasokan listrik, termasuk kapasitas angkut penerbangan dan jaringan telepon. Lihat, http://www3.weforum.org/docs/WEF_GlobalCompetitivenessReport_2010-11.pdf.
29 Apa yang hendak disajikan dalam diskusi yang amat terbatas ini adalah kekurangan pembiayaan akan selalu menjadi issu meskipun disadari bahwa sektor-sektor tertentu, semacam infrastruktur dan energi, sesungguhnya bisa menjadi fondasi bagi pergerakan sektor lain. Kompetisi dalam prioritas perencanaan dan alokasi anggaran telah memaksa sektor-sektor seperti itu berkembang amat lambat. Sayangnya, suatu peta jalan yang sistematis dan terjadwal mengenai tahapan-tahapan pemenuhan kebutuhan sektor-sektor itu hampirhampir tidak terlihat, kendatipun issu ini kali mengemuka dalam dua kali rapat kerja presiden-gubernur (Tabel 4). Untuk infrastruktur dan energi, misalnya, telah menjadi kesepakatan umum bahwa suatu langkah siginifikan yang amat serius dibutuhkan di sini. Tentang ini Resosudarmo dan Yusuf (2009, h. 310) mengingatkan, “It is unlikely that the government’s target rate of 7% annual growth by 2014 can be achieved unless there is a dramatic improvement in the level of investment in infrastructure.” Telah dua kali Infrastructure Summit dilaksanakan dalam lima tahun terakhir ini. Sayangnya langkah-langkah lanjutan dari pertemuan penting semacam ini kurang teraksentuasi. Editorial Jakarta Post, 13 April 2010, secara khusus menyoroti issu ini dengan menyebut bahwa lingkungan fiskal dan peraturan tidak cukup atraktif bagi sektor swasta untuk mengisi kekosongan kemampuan pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur. Pada 19 Juli 2010, melalui sudut yang berbeda, Jakarta Post kembali menurunkan editorialnya. Empat faktor dinilai sebagai tengara rendahnya mutu infrastruktur Indonesia. Pertama, komitmen yang rendah. Dari tahun ke tahun nisbah pembiayaan untuk infrastruktur terhadap PDB menurun terus: 3,7% (1999), 3,6% (2003), 2,9% 2008, dan hanya 1,5 (2009). Kedua, pembiayaan yang ada pun dialokasikan pada kegiatan yang tak langsung ke arah pembangunan fisik. Bagian terbesar pembiayaan itu habis dipakai untuk jasa konsultasi, perencanaan, pemantauan, dan supervisi. Ketiga, realisasi belanja infrastruktur berjalan lambat dan tertunda. Sebagai contoh, tahun 2009 belanja infrastruktur oleh Kementerian Pekerjaan Umum hanya 49% dari total anggaran Rp 35 triliun hingga bulan September. Dalam tiga bulan kalender fiskal yang tersisa, mutu belanja anggaran yang tersisa (Rp 17,9 triliun) dipertanyakan dengan amat serius. Akhirnya, kalaupun ada aturan main untuk memeliharan mutu infrastruktur, penegakannya juga diragukan. Ini mudah ditemui pada pelanggaranpelanggaran batas maksimum beban jalan yang hampir-hampir tidak ditangani secara serius.
Tempat Istana Cipanas, Bogor Istana Tampak Siring, Bali
Istana Bogor, Jawa Barat
Makassar, Sulawesi Selatan
Tanggal 1-3 Februari
19-21 April
5-6 Agustus
18 Oktober
+ Penguatan Sinergi Pusat-Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
+ Evaluasi atas efektivitas pembangunan, termasuk penggunaan anggaran
+ Pembangunan ekonomi dan dunia usaha + Peningkatan program pro-rakyat + Peningkatan keadilan bagi rakyat + Langkah-langkah pencapaian target MDGs
Tema RPJMN 2010 - 2014 Evaluasi program pusat dan daerah 100 hari pertama KIB II
Perumusan sinergi pusat dan daerah Permusan nilai tunjangan bagi aparatur pemerintah Perumusan jumlah pegawai negeri sipil Pembangunan infrastruktur Perombakan mekanisme penentuan dana dekonsentrasi Penerapan efisiensi dalam penggunaan anggaran Peningkatan serapan anggaran daerah Revisi Keppres No.80/2003 tentang pengadaan barang/jasa
Benchmark untuk statistik provinsi adalah angka nasional Pengurangan kemiskinan dengan pertumbuhan yang merata Pembangunan infrastruktur Peningkatan penanaman modal Program pembangunan berkeadilan (Inpres No.3/2010)
+ Memantapkan koordinasi antarlevel pemerintahan dan memperkuat sinergi pemerintah pusat dan daerah + Meningkatkan keamanan dan ketertiban daerah dengan penguatan peran gubernur sebagai one single command + Pendeteksian dini pencegahan konflik + Melakukan tindakan persuasif + Menyelesaikan konflik dengan efektif baik melalui kesepakatan damai maupun secara hukum
+ + + + + + + +
+ + + + +
Arahan Presiden + Percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional (Inpres No.1/2010)
Tabel 4: Rapat Kerja Gubernur-Presiden 2010
30
Tanggal
Tempat
Tema
Arahan Presiden + Mendukung efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah + Antisipasi untuk mencegah dan mengatasi dampak kondisi cuaca buruk dan bencana + Meningkatkan pelestarian lingkungan hidup untuk mencegah dampak negatif pemanasan global melalui peningkatan kualitas pengelolaan hutan + Melaksanakan reformasi birokrasi dan peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sipil antara lain dengan menyediakan rumah layak huni + Meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan kinerja daerah serta pengadaan barang dan jasa agar kualitas laporan keuangan daerah dapat mencapai opini wajar tanpa pengecualian
31
32
Sinergi Pusat dan Daerah Di masa lalu, di bawah rejim sentralisasi, tidak banyak tantangan perencanaan pembangunan yang dimuati oleh norma-norma sinergi pusat-daerah, karena otonomi daerah memang praktis absen dari tatakelola pembangunan nasional secara keseluruhan. Saat ini proses perencanaan menjadi jauh lebih rumit. Dalam rejim desentralisasi, daerah harus mendapat porsi khusus; tetapi dalam format negara kesatuan, kepentingan-kepentingan pusat tak pula dapat diabaikan. Dengan kata lain, muatan-muatan dasar yang diulas di muka menyimpan kepelikan tersendiri untuk diejawantahkan secara rill dalam kacamata sinergi hubungan pusat-daerah. Tidak mengherankan issu ini kemudian mengemuka dalam dua dari empat kali rapat kerja presiden-gubernur tahun 2010 (Tabel 3). Kendati begitu, ada beberapa issu yang penting untuk diperhatikan untuk mengentalkan sinergi pusat-daerah. Pertama adalah politik. Kendatipun dukungan substansial suara pada pemilihan pemimpin nasional berpotensi sebagai stabilizing factor, ‘politik formal’ Indonesia —termasuk juga ‘politik nonformal’ melalui organisasi massa ataupun masyarakat sipil— pasca reformasi 1998-1999 jauh lebih terfragmentasi daripada politik masa sebelumnya. Dalam politik yang terfragmentasi biaya untuk mencapai konsensus menjadi lebih mahal. Hal yang serupa juga sangat potensial terjadi di daerah, karena sebagaimana Baswedan (2007, h. 333) mengenai korelasi nisbah suara partai pada pemilu nasional dan daerah23 , “local politics was simply a mirror of national politics.”. Selain itu, masih tetap dalam perspektif politik, tidak ada jaminan bahwa masing-masing pemimpin terpilih di setiap jenjang memiliki visi-misi yang searah, apalagi terkait dengan rencana pembangunan jangka menengah dan panjang. Pada saat yang sama, pula tidak ada jaminan bahwa bupati-walikota dan gubernur, bahkan presiden, secara politik berasal dari dan ditopang oleh partai-partai yang sama atau memiliki visi-misi yang sama —seperti juga terjadi perbedaan antara partai pemenang Pemilu di lingkup kabupaten-kota, provinsi, dan nasional. Kedua, di pusat —apalagi di daerah— kapasitas teknokratik masih jauh dari memadai dan tidak terdistribusi merata di antara pelbagai institusi pemerintahan.24 Beberapa usaha untuk memperbaiki kemampuan teknokrasi peren23 Korelasi ini positif dan signifikan, bergerak antara 0,89 hingga 0,99. Baswedan, di halaman artikel yang sama, juga menyatakan, “. . . the distribution of power at local level is heavily influenced by national politics, with voters tending to vote for the same party accross different levels of government.” 24 Lihat diskusi selanjutnya tentang tatakelola pemerintahan setelah bab ini. Selain itu, studi UNDP (2009) tentang kapasitas 10 SKPD Pemerintah Provinsi Gorontalo menunjukkan masih ada senjang yang cukup lebar antara ‘kapasitas riil’ dan ‘kapasitas yang diharapkan’ dalam tujuh issu pokok, yakni (1) sumber daya manusia, (2) restrukturisasi organisasi, (3) pengelolaan keuangan, (4) kepemimpinan, (5) koordinasi, (6) akuntabilitas, serta (7) penge-
33 canaan, misalnya pelibatan tenaga ahli dari luar, pelatihan peningkatan kapasitas perencanaan, praktek-praktek magang, serta pendidikan lanjutan bagi tenaga-tenaga di upper-low dan mid management telah menunjukkan banyak kemajuan. Walau begitu, defisit tenaga fungsional perencana —apalagi yang memiliki kualifikasi tinggi— masih dirasakan di sejumlah daerah dan sektor. Issu ini merupakan salah satu butir yang direkomendasikan oleh Forum Kepala BAPPEDA Se-Kawasan Timur Indonesia II, 9-10 September 2008. Bappenas, melalui Badan Pendidikan dan Pelatihan, diminta mengambil peran untuk mengisi defisit ini.25 Sejalan dengan itu, dalam konteks Indonesia yang demokratis dan terdesentralisasi, norma perencanaan partisipatif dalam kombinasi pendekatan atas-bawah dan bawah-atas menuntut kapasitas teknokrasi yang lain lagi. Proses perencanaan partisipatif semacam Musrenbang, membutuhkan fasilitatorfasilitator perencana andal yang belum tentu dimiliki oleh pemerintah-pemerintah di setiap jenjang. Musrenbang yang berjenjang memang dirancang untuk dijadikan jalan keluar mengakomodasi kepentingan-kepentingan stakeholders yang bervariasi. Sayangnya, proses Musrenbang itu sendiri justru menjadi titik kelemahannya: ketika ia menjadi suatu forum formal dengan proses berjenjang, kecenderungan seremonial, keterbatasan keterwakilan, dan penyusutan usulan program dari jenjang ke jenjang menjadi hal yang tak terhindarkan. Apa yang dapat dilihat di sini adalah sinergi pusat-daerah dalam perencanaan juga masih menjadi agenda desentralisasi yang penting. Musrenbang di pelbagai tingkatan sesungguhnya berpotensi untuk dijadikan sebagai forum sinergi. Dalam forum seperti ini, Musrenbang menjadi arena pertemuan dua arah: (1) tidak hanya sebagai arena sosialisasi rencana KL atau SKPD jenjang pemerintahan yang lebih tinggi, (2) tetapi juga arena untuk mengintegrasikan rencana-rencana jenjang pemerintahan yang lebih rendah ke dalam rencana-rencana pembangunan di jenjang pemerintahan yang lebih tinggi. Kesuksesan desentralisasi juga bisa ditentukan dari sinergi ini. Lebih jauh lagi, kalaupun kapasitas teknokratik itu sudah terpenuhi, dimensi non-teknokratik acapkali tak terhindarkan dan membutuhkan perhatian serius pula. Sebagai ilustrasi, misalnya, bagaimana usulan-usulan kegiatan pembangunan di lokasi dan sektor tertentu oleh DPR(D) —melalui ‘Jaring Asmara’ (Penjaringan Aspirasi Masyarakat)— pasca reses parlemen harus ditahuan dan keterampilan, yang ditelaah melalui empat dimensi, yaitu (1) perumusan visiorientasi kebijakan, (2) perencanaan dan perumusan program kerja, (3) implementasi, serta (4) monitoring dan evaluasi. Dalam skala 1 (amat rendah) hingga 5 (amat tinggi) ‘kapasitas riil’ dan ‘kapasitas harapan’ diukur oleh masing-masing SKPD. Selisih antarkedua kedua kapasitas itu berkisar 0,73-1,05. Lihat, Abdi Suryaningati dan Catur Utami Dewi (2009), Peninjauan Kapasitas/Strategi Pengembangan Kapasitas: Tinjauan Kapasitas 10 SKPD Pemerintah Provinsi Gorontalo. BRiDGE-UNDP. 25 http://222.124.179.75/bakti1/index.php/berita–-content/items/90.html.
34 akomodasi? Bagaimana pula jika gelagat pork barrel 26 terasa lebih mengental daripada nilai-nilai ideal yang diboboti dalam ‘Jaring Asmara’ ? Keadaan ini menjadi rumit manakala diingat bahwa parlemen secara politik memiliki legitimasi konstituensi dan memegang hak anggaran, sementara usulan-usulan yang disampaikannya itu berada di luar alur proses dan konsultasi Musrenbang yang ada. Komplikasi ini meninggi apabila usulan-usulan itu ternyata bersifat baru dan berbeda dari apa yang sudah diakumulasi oleh pemerintah, serta berpotensi mementahkan seluruh proses perencanaan yang telah dijalankan. Kapasitas teknokratik memang memenuhi ‘syarat perlu’, tetapi ia masih harus dilengkapi lagi dengan syarat kedua, yakni ‘syarat cukup’ di dimensi non-teknokratik. Ketiga, timing kembali lagi menjadi issu tatkala sinergi perencanaan dan penganggaran dilihat melalui perspektif relasi provinsi dan kabupaten-kota. Kecepatan proses perencanaan-penganggaran yang berbeda antara provinsi dan kabupaten kota mengganggu pencapaian sinergi. Jika proses di provinsi berlangsung lebih lambat daripada proses sejenis di kabupaten kota, irama pelaksanaan kegiatan terdistorsi sedemikian rupa padahal setiap target lazimnya terukur dan terkonversi menurut waktu. Keadaan ini menjadi lebih rumit lagi manakala terjadi perubahan anggaran (APBD-P) di provinsi dan di kabupaten-kota. Ini menggiring implementasi kegiatan ke arah dua pilihan, yakni melakukan proses penyesuaian yang baru lagi untuk pencapaian sinergi atau melepaskan sama sekali sinergi sebagai norma pembangunan. Kepelikan juga ada pada sinergi dalam timing perencanaan yang mengandung target-target berdasarkan waktu. Sayangnya, selain UU KK dan SPPN, PP turunannya, yakni PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, juga tidak dapat memberikan jawaban memuaskan mengenai issu sinergi dalam timing perencanaan ini. Ini bermula dari perbedaan kalender Pemilu nasional dengan kalender Pemilu kepala daerah. Padahal, paling lambat dua bulan setelah dilantik UU memerintahkan Musrenbang JMN(D) sudah harus dilakukan. Manakala hasil Musrenbang ini diterjemahkan ke dalam RPJMN, turunan rencana detail (renstra KL, RKP, dan Renja KL), dan target-target yang lebih defintif telah ditetapkan, maka RPJMD dan derivasinya akan merujuk pada hal itu, termasuk pula target-target definitifnya. Ini semakin rumit, manakala target-target itu harus berhadapan dengan keterbatasan anggaran pembangunan sebagaimana telah didiskusikan. Tentang target-target semacam ini Booth (2005, h. 198) menulis kritiknya,
26
Lancaster (1986) mendefinisikan pork barrel sebagai a particular type of constituency service through which a legislator’s geographic constituency benefits from the distribution of public works projects. Thomas D. Lancaster. 1986, ‘Electoral Structures and Pork Barrel Politics’, International Political Science Review 7(1): 67-81.
35 “The national planning process continues to place primary emphasis on the setting of targets, with little or no indication of how these targets are to be achieved. Too little attention is paid to how limited budgetary resources should be allocated among competing claims from different government programs.”
Sementara itu, target-target itu sendiri bersifat progresif menurut waktu —yang direncanakan mencapai puncaknya pada masa akhir jabatan presiden. Jika Pemilukada baru terjadi di tengah-tengah masa jabatan presiden, bisa dipastikan sinergi dalam target tidak akan terjadi. Ini sama halnya manakala Pemilukada mendahului Pemilu Presiden, pencapaian sinergi mengalami kerumitan tersendiri pula. Dalam perbedaan kalender itu, tidak ada jaminan bahwa setiap pemimpin yang terpilih di setiap jenjang pemerintahan memiliki visi-misi yang searah, apalagi terkait dengan rencana pembangunan jangka menengah dan panjang. Lebih jauh lagi, kalaupun target-target itu dapat didefinsikan dengan baik dan indikator yang tepat dapat ditetapkan, data akan menjadi kesulitan yang lain. Perbedaan data antara apa yang dimiliki oleh pusat dan daerah, termasuk pula kelangkaan (regularitas dan kontinuitas ketersediaan) data, bisa menerangkan keadaan ini. Data acapkali menjadi sumber kekisruhan dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi pembangunan, bahkan menjadi sumber kekisruhan antara pusat-daerah. Pada saat yang sama, kekisruhan tentang data juga terjadi antarunit atau perangkat pemerintahan di setiap jenjang. Di tingkat pusat rekonsiliasi data menjadi issu antarkementerian-lembaga, sementara di tingkat daerah issu yang serupa juga terjadi antarperangkat pemerintahan atau antara provinsi dan kabupaten-kota. Padahal, dalam banyak situasi, data yang diproduksi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga berasal dari KL dan SKPD sendiri. Dalam situasi ini, tentu saja sinergi dalam target dan indikator pencapaian pembangunan sulit dilakukan. Inipun belum memperhitungkan mutu data, padahal mutu data menentukan mutu perencanaan, sedangkan mutu perencanaan menentukan mutu hubungan antarpemerintah. Suatu inisiatif mengenai pembangunan sistem data pembangunan yang mengawinkan informasi spasial, perkembangan sosial-ekonomi, dan tatakelola daerah akan sangat membantu sinergi pusat-daerah. Bakorsurtanal menyatakan tak kurang dari 94 UU menuntut ketersediaan data dan informasi spasial.27 Sistem ini akan jauh lebih bermakna jika pemerintah provinsi, juga kabupatenkota, mengambil inisiatif yang serupa sehingga suatu jaringan data pembangunan daerah yang rinci bisa dibangun. Tentu saja lembaga statistik profesional semacam BPS tidak mungkin dipisahkan dari inisiatif ini. Itu artinya persoalan-persoalan di seputar kekurangan pendanaan yang dihadapi oleh lem27
http://www.bakosurtanal.go.id/bakosurtanal/lebih-dari-94-uu-menyatakanperlunya-data-dan-informasi-geospasial.
36 baga pengelola data (Hull, 2001) semestinya sudah harus dikurangi secara bertahap. Penyusun kebijakan dan peneliti diuntungkan oleh kemudahan akses data bagi kepentingan perencanaan dan analisis kebijakan. Lekat dengan issu soal data adalah sinergi pusat-daerah dalam substansi perencanaan dan penganggaran. Issu ini juga memiliki pertalian kuat dengan issu hubungan antarpemerintah yang didiskusikan sebelumnya. Desentralisasi Indonesia sendiri masih mencari format ideal sinergi dalam substansi perencanaan-penganggaran antara pusat dan daerah, apalagi jika diingat bahwa landasan hukum bagi perencanaan dan penganggaran belum lama diintroduksi. Dalam hal sinergi itu, provinsi tampaknya menghadapi beban relatif yang lebih berat daripada pemerintah-pemerintah di lapis lainnya. Ini karena, hingga tingkat tertentu, substansi rencana pembangunan provinsi —dalam hal ini rencana jangka menengah (RPJM). Walau begitu, perlu dicatat di sini UU tidak menyatakan bahwa RPJMN merupakan hasil agregasi RPJMD.— mengandung tiga hal yang merupakan implikasi penyelarasan rumusan RPJPM Daerah dengan RPJPM Nasional berdasarkan tuntutan UU. Pertama, ia dituntut untuk ‘memperhatikan’ rencana pembangunan nasional yang merupakan penjabaran visi-misi presiden. Di tingkat provinsi ini bisa berarti bahwa rencana nasional didisagregasi secara regional dan spasio-administratif. Kedua, provinsi memiliki rumusan rencana pembangunannya sendiri yang merupakan terjemahan visi-misi gubernur. Kendati demikian, ketiga, bagi kepentingan sinergi dalam substansi, rencana pembangunan provinsi dituntut pula untuk memperhatikan rencana pembangunan kabupaten-kota (atau sebaliknya), terlepas dari fakta bahwa UU tidak secara eksplisit menyatakannya. Ini berarti provinsi melakukan agregasi rencana kabupaten-kota, paling kurang secara substantif. Bagaimanapun, daerah juga memiliki agenda, prioritas, dan target pembangunan sendiri yang tidak mungkin diisolasi dari keseluruhan sistem perencanaan. Sebuah eksperimen untuk menetapkan target bersama di skala provinsi agaknya menarik untuk diujicoba atau diperdalam intensitasnya. Target peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ataupun perbaikan indikatorindikator Millenium Development Goals (MDGs), misalnya, dapat dijadikan target bersama antara pemerintah pusat, provinsi, dan, terlebih lagi, kabupatenkota. Ilustrasi tentang Gorontalo di muka dapat dijadikan rujukan. Melalui dukungan UNDP, Provinsi ini berhasil menyusun dan memanfaatkan laporan pembangunan manusia untuk menuntun pengalokasian anggaran publik yang lebih memiliki fokus di sektor-sektor pendidikan, kesehatan, dan sektor yang terkait dengan peningkatan pendapatan masyarakat kepada 15 kecamatan yang diidentifikasi memiliki IPM rendah. Bersama-sama pemerintah kabupaten-kota intervensi anggaran yang lebih dalam diterapkan untuk memperbaiki sektor-sektor penopang pembangunan manusia.
Tatakelola Pelayanan Publik Reformasi untuk Inovasi
Tatakelola dalam Perspektif Telah menjadi pengetahuan umum bahwa desentralisasi dilangsungkan di tengah kualitas institusi tatakelola yang terbatas. Beberapa indikator tatakelola yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional menegaskan hal itu. Dua gugus data dari dua organisasi internasional dapat dipakai sebagai rujukan: International Country Risk Guide (ICRG) dan World Bank (WB). Keduanya menyajikan potret yang serupa. Ketika UU 22/1999 dikenalkan, indeks mutu birokrasi Indonesia yang direkam oleh ICRG tercatat pada angka skor 2,8 dalam skala 4. Manakala UU ini diejawantahkan di tahun 2001, indeks merosot menjadi 2,3. Lalu, saat UU ini direvisi menjadi UU 32/2004, mutu birokrasi jatuh ke angka 2,0, dan terus bertahan di angka itu tatkala PP 19/2010 tentang kedudukan gubernur dikeluarkan. Meski dengan kecenderungan yang berbeda, mutu penegakan hukum dan peraturan, termasuk korupsi, juga berada jauh di bawah nilai ideal. Indeks yang agak meyakinkan, walau juga dengan gelagat antarwaktu yang berbeda, ditampilkan oleh indeks akuntabilitas demokratis dan stabilitas pemerintahan yang berada tak jauh dari nilai ideal. Tabel 5 melaporkan perkembangan indeks tatakelola Indonesia. Bank Dunia melaporkan nada yang mirip: mutu tatakelola tidak meyakinkan ketika desentralisasi dikenalkan dan dijalankan. Dalam bentang indeks −2, 5 hingga +2, 5, setahun setelah UU 22/1999 dikeluarkan, seluruh komponen indeks tatakelola dapat dikategorikan buruk. Indeks efektivitas pemerintah di dalam menyediakan jasa publik serta merumuskan dan menerapkan kebijakan, misalnya, hanya sebesar −0, 5. Angka ini tak berubah banyak setahun setelah UU 22/1999 diimplementasikan (2002),28 maupun ketika UU ini direvisi di tahun 2004 oleh UU 32. Sedikit perbaikan terjadi ketika UU 32/2004 28
UU ini dikeluarkan tahun 1999, tapi baru diterapkan dua tahun kemudian (2001).
37
38 tengah mengalami proses revisi (2009). Mutu regulasi, hukum, dan pengendalian korupsi di tahun awal desentralisasi juga setali tiga uang. Bahkan, tidak banyak perbedaan kualitas tatakelola yang diperlihatkan setelah desentralisasi dijalankan selama 10 tahun. Tabel 5: Indonesia dalam Indeks Tatakelola Indeks ICRG Bureaucracy Quality Democractic Accountability Law and Order Corruption Government Stability
1999 2,8 2,6 2,0 1,1 9,1
2001 2,3 4,0 2,0 1,0 7,8
2004 2,0 4,8 2,7 1,0 7,2
2010 2,0 5,0 3,0 3,0 9,0
Skala 0−4 0−6 0−6 0−6 0−12
Indeks Bank Dunia Government Effectiveness Regulatory Quality Rule of Law Control of Corruption Voice-Accountability Political Stability
2000 −0,5 −0,3 −0,8 −0,9 −0,4 −1,8
2002 −0,5 −0,7 −1,0 −1,1 −0,4 −1,6
2004 −0,4 −0,6 −0,7 −0,9 −0,3 −1,6
2009 −0,2 −0,3 −0,6 −0,7 −0,1 −0,6
Skala -2,5−2,5 -2,5−2,5 -2,5−2,5 -2,5−2,5 -2,5−2,5 -2,5−2,5
Catatan: Makin besar indeks, makin baik mutu tatakelola
Masih ada indeks lain lagi yang melaporkan mutu tatakelola Indonesia dengan nada serupa, walau dengan cakupan series dan indikator tatakelola yang terbatas. Indeks yang dikeluarkan oleh Foreign Policy, misalnya, mencatat bahwa meski tak terlalu buruk, mutu layanan publik tetap masih jauh dari meyakinkan. Dalam skala 0–12, Indonesia hanya mendapat skor 6,7.29 Dalam korupsi, Transparency International tidak memberi catatan bagus. Keadaan ini bukanlah khas pada observasi di level makro, karena survey di tingkat provinsi dan kabupaten-kota juga memperlihatkan hasil serupa. Survey Partnership 2008 tentang tatakelola, misalnya, menunjukkan tidak satupun provinsi yang bisa mendekati, apalagi melebihi, skor tujuh dalam skala penilaian 10. Hanya pemerintah Jakarta, Jawa Timur dan Bali yang mendekati skor tujuh, yakni 6,8, 6,5, dan 6,3. Ini artinya sebagian besar pemerintah provinsi lainnya menunjukkan kinerja yang lebih buruk. Birokrasi agak sedikit berbeda. Beberapa provinsi —Gorontalo, Kepulauan Riau, dan Jakarta— memang mencatat skor 7,0, 7,0, dan 7,3, tetapi birokrasi di 30 provinsi lain berkinerja tak beda dengan pemerintah (Tabel 6).30 29
Indeks ini sesungguhnya menjelaskan progressive deterioration of public service, sehingga skor besar bermakna negatif, yakni penurunan mutu layanan publik. 30 Lihat keterangan Tabel 6 untuk perbedaan definsi ‘pemerintah’ dan ‘birokrasi’.
Pemerintah 5.6 4.1 5.4 5.2 5.6 4.8 3.7 6.0 4.3 5.2 6.8 5.7 4.5 5.6 6.5 3.9 6.3
Birokrasi 5.7 4.3 5.9 6.2 5.8 6.1 5.6 6.2 5.7 7.0 7.3 5.8 5.6 6.2 6.1 5.4 6.3
Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Irian Jaya Barat Papua
Pemerintah 4.9 4.5 4.9 5.7 5.1 5.0 4.0 3.5 5.4 4.2 6.0 4.3 4.3 3.9 3.9 4.5
Birokrasi 6.0 5.6 4.3 5.3 6.3 5.1 5.9 3.9 6.1 5.4 7.0 5.7 4.3 4.6 4.0 4.6
Sumber: kemitraan.or.id. Catatan: Skala 0-10. Makin besar skor, makin baik. Pemerintah adalah gubernur dan DPRD sebagai pembuat kebijakan. Indeksnya menjelaskan kapasitas pembuatan regulasi, koordinasi pembangunan, dan pengalokasian anggaran. Birokrasi adalah dinas dan badan sebagai pelaksana kebijakan. Indeksnya menjelaskan kemampuan menjalankan fungsi pelayanan publik, peningkatan penerimaan keuangan daerah dan pengaturan ekonomi daerah.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Jogjakarta Jawa Timur Banten Bali
Tabel 6: Provinsi dalam Indeks Tatakelola
39
40 Survey Doing Business 2010 oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) melaporkan nada yang sama. Untuk mendirikan usaha, 15 ibukota provinsi yang disurvey membutuhkan 8 (Palangkaraya) hingga 11 (Semarang dan Manado) prosedur perizinan, dengan waktu antara 43 (Jogjakarta dan Bandung) hingga 67 hari (Semarang). Sementara itu, untuk mendapatkan ‘izin mendirikan bangunan’ diperlukan 8 (Jogjakarta) sampai 15 hari (Manado), dengan kebutuhan waktu antara 56 (Makasar) dan 230 hari (Surabaya). Prosedur itu meliputi kelengkapan dokumen notaris, akta pendirian, pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), persetujuan Kementerian Hukum dan HAM, NPWP, kepesertaan Jamsostek, dan lain-lain red tape yang menimbulkan soal serius. Apa yang lebih memprihatinkan tentang kondisi lingkungan usaha di daerah adalah lahirnya perda-perda yang tidak bersahabat dengan dunia usaha. Tabel 7 memperlihatkan bahwa, kecuali Jakarta, 32 provinsi lain seolaholah berkompetisi untuk memproduksi perda sebanyak mungkin. Bertentangan dengan apa yang ditemui dalam literatur mengenai fenomena race to the bottom dalam kompetisi antaryurisdiksi, yurisdiksi di masa desentralisasi di Indonesia malahan membuat berbagai variasi hambatan bagi perkembangan dunia usaha. Tidak mengherankan jika kemudian Kementerian Keuangan merekomendasikan belasan hingga ratusan perda untuk direvisi dan dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sepanjang 2001-2009 rekomendasi untuk revisi pembatalan atau perda tertinggi ditemukan di dalam sektor perhubungan (477 perda), perdagangan dan industri (434 perda), budaya-pariwisata (309), energi-mineral (302), pekerjaan umum (161), ketenagakerjaan (141), kelautan-perikanan (131), administrasi-kependudukan (103). Di sektor-sektor lain perda yang direkomendasikan untuk direvisi atau dibatalkan berkisar antara 34-99 perda (Nota Keuangan dan APBN 2010). Sebagaimana bisa dilihat, sektor-sektor ini adalah penggerak perekonomian daerah, sehingga hambatanhambatan yang diciptakan justru mengancam pergerakan ekonomi daerah. Apa yang dipilih pemerintah daerah bukanlah menurunkan ‘tarif pungutan’ ke tingkat minimum seraya memaksimumkan jumlah ‘wajib pungut’, tetapi justru mengembangkan pelbagai varian pungutan —dan bukan tidak mungkin pada tingkat ‘tarif pungutan’ maksimum— di segala sektor. Bahkan, boleh ada dikatakan, tidak ada sektor ekonomi yang lolos dari perda pungutan. Dalam satu keadaan, alasan pemerintah daerah mengambil pilihan untuk sebanyak mungkin mengeksploitasi sumber-sumber potensial bisa dipahami. Yang pertama adalah karena kebutuhan. Kebutuhan belanja daerah tidak sepenuhnya dapat dibiayai dari transfer pusat, sehingga segala upaya dilakukan untuk menambah sumber-sumber pendapatan daerah. Tetapi alasan kedua yang tidak kalah penting adalah UU. Ada ruang lebar yang dibuka oleh UU 34/2000 bagi daerah untuk pelbagai jenis pungutan, pajak atau retribusi yang baru —
41 bahkan untuk pungutan yang telah dibatalkan oleh UU 18/1997 (Nota Keuangan dan RAPBN, 2010).31 Dalam keadaan yang lain, mengingat potensi distorsi ekonomi yang terjadi, tampaknya suatu petunjuk teknis atas UU 34/2000 yang lebih detail dan tegas amat diperlukan. Ini dapat diimbangi oleh pemberian porsi peran yang lebih kuat kepada gubernur WPP-KWA untuk dapat melakukan evaluasi atas perda. Pada saat yang bersamaan, agaknya suatu insentif bagi daerah yang mengambil pilihan untuk meminimumkan sumber-sumber distorsi ekonomi perlu diberikan. Dengan begitu, fenomena yang berkebalikan justru bisa diciptakan, yakni daerah akan berkompetisi untuk menciptakan distorsi yang paling minimum. Dalam distorsi yang minimum, daya tarik daerah atas investasi jauh lebih kuat. Ini sejalan dengan tujuan peningkatan daya saing daerah sebagai tujuan desentralisasi seperti yang diamanatkan UU.
Sektor Publik dan Inovasi Tidak dapat dipungkiri kalau sektor publik adalah sektor yang penting bahkan dalam sistem ekonomi liberal sekalipun. Di Indonesia, sektor ini mengambil porsi antara 9-10 persen dalam membentuk total Produk Domestik Bruto (PDB) dalam lima tahun belakangan, yakni antara Rp 300-600 trilyun. Ia membelanjakan antara Rp 55-113 trilyun APBN, atau 11-12 persen dari total APBN, untuk membayar pegawai. Sektor publik juga mempekerjakan hampir lima juta pegawai, dengan lebih dari 70 persen di antaranya berada di daerah. Tetapi, yang lebih penting daripada statistik ini ialah peran sentral yang dimainkan sektor publik dalam membuat dan menerapkan hukum dan kebijakan pembangunan, memobilisasi dan mengalokasikan anggaran, serta menyediakan barang-barang publik dan barang-barang administratif, termasuk pula memberikan jasa layanan publik baik layanan sosial dasar maupun ekonomi. Peran sentral sektor publik seperti itu umumnya tidak berbeda di semua negara dan selalu amat strategis. Sayangnya, birokrasi sektor publik cenderung dipandang negatif. Seorang profesor administration publik dari Kean University in Union, New Jersey, USA, Patricia Moore (2005, hal. 141) mencatat, “I asked a class of undergraduate students to use one word to describe bureaucracy. Their responses included waste, inefficiency, red tape, rules, paperwork, formality, unresponsiveness, idleness, and rigidity.”
31
UU 34/2000 merupakan UU perubahan perubahan atas UU 18/1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
42 Tabel 7: Pembatalan Peraturan Daerah
Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tanggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Total
2001(2) 2006(7) R B
20091
2008 R
B
R
B
31 167 80 64 10 52 39 39 25 26 1 120 40 115 37 157 55 95 55 62 34 33 32 110 17 30 41 77 45 28 10 54 31
14 74 27 36 4 35 25 9 18 33 1 47 18 37 9 50 26 36 22 27 23 10 28 57 1 8 15 32 21 11 7 6 7
38 79 44 11 7 33 21 0 19 0 0 54 21 74 15 106 27 43 45 71 11 20 27 32 6 48 14 37 10 8 42 34 36
0 29 8 5 0 2 1 6 1 2 0 5 0 3 3 38 2 6 7 4 2 7 1 7 1 3 4 11 6 1 0 13 16
12 1 2 8 7 12 25 10 32 0 0 0 0 13 0 9 0 0 2 35 12 17 11 1 0 0 9 11 9 0 8 0 0
1 8 0 1 0 1 0 0 2 0 0 9 2 8 0 14 0 7 5 5 2 1 18 0 0 0 1 0 0 0 5 1 4
1812
774
1033
194
246
95
Sumber: Nota Keuangan dan APBN 2010 R: Rekomendasi batal atau revisi; B: Dibatalkan 1 Hingga pertengahan Juli 2009
43 Untuk itu, pelbagai seri reformasi di sektor publik dilakukan dipelbagai negara. Kendati begitu, upaya mereformasi birokrasi sektor publik juga bukan pekerjaan satu malam. Di USA, Ronald Reagan dalam kampanye politiknya menuju kursi presiden berjanji untuk memangkas birokrasi, tetapi ketika ia meninggalkan Gedung Putih, Farazmand (2009, hal. 8) menulis, “. . . he left a much larger bureaucracy than he inherited and had promised to dismantle.” Di Indonesia, Megawati ketika menjadi presiden mengeluh bahwa ia diwarisi birokrasi sampah. Tetapi ketika ia memasuki istana, ICRG melaporkan indeks mutu birokrasi Indonesia dalam skala 0-4 sebesar 2,3. Indeks ini kemudian merosot 0,3 poin ke 2,0 saat ia menyerahkan kekuasaan ke presiden berikutnya, SBY. Hingga Presiden SBY memenangi periode kedua kepresidennya, angka itu tidak berubah. Bahkan ia tetap di angka itu, ketika SBY membawa pasangan wakil presiden baru, Boediono, dengan agenda reformasi birokrasi. Perubahan-perubahan bukan tidak ada. Dunia global melakukan temuulang dan revitalisasi peran sentral sektor publik dalam pencapaian kesejahteraan, keberlanjutan, serta pertumbuhan masyarakat, kota, dan bangsa (Hartley dan Skelcher, 2008), juga tak henti mencari inovasi (Walker dan Damanpour, 2008). Inovasi dalam sektor publik kini tidak lagi sekedar dorongan sisi permintaan sebagai tuntutan dari masyarakat luas, tetapi telah menjadi fenomena sisi penawaran sebagai praktek baku pelayanan publik di banyak tempat. Maksudnya ialah bukan hanya pelayanan publik diperbaiki untuk menyesuaikan diri dengan dan mengimbangi tuntutan masyarakat, tetapi inovasi dalam pelayanan itu sendiri juga terus menerus diperbaiki. Ini berarti dari masa ke masa pelayanan publik menampilkan perubahan ke arah sesuatu yang baru dan baru.32 Jadi, perbaikan pelayanan adalah satu hal, tapi inovasi dalam pelayanan adalah hal lain. Banyak negara, termasuk Indonesia, tengah melakukannya.33 Meluasnya gagasan-gagasan tentang sektor publik yang berorientasi pada pelayanan dan kepuasan masyarakat telah mendorong inovasi sebagai suatu fenomena lazim yang ditemui di sektor ini. Ini membantah anggapan lama bahwa inovasi hanya berada di sektor swasta, sedangkan sektor publik dianggap konservatif, birokratis, lamban, tidak berjiwa wirausaha, dan tidak berinovasi 32 Bagi suatu organisasi, termasuk organisasi sektor publik, Walker dan Damanpour (2008, hal. 219) mendefinisikan inovasi sebagai “a means of creating change in the organization to ensure adaptive behaviour and contribute to effectiveness of the organization.” 33 Hartley (2008) membedakan dengan tegas apa yang disebut ‘perbaikan’ dengan ‘inovasi’. Dalam matriks 2×2, ia memetakan empat situasi, yakni (1) tanpa perbaikan dan tanpa inovasi di sel barat-selatan, (2) perbaikan tapi tanpa inovasi di sel utara-barat, (3) inovasi tanpa perbaikan di sel timur-selatan, serta (4) inovasi dan perbaikan di sel utara-timur. Sel ketiga (timur-selatan) penting untuk mendapat catatan khusus, karena inovasi tidak sertamerta membawa perbaikan, bahkan dapat berujung pada kegagalan.
44 (Windrum, 2008).34 Ada sejumlah faktor penjelas mengapa inovasi juga (bisa) terjadi di sektor publik. Walker dan Damanpour (2008) mengindentifikasi bahwa tekanan eksternal dan inisiatif internal sebagai pilihan manajemen adalah pendorong penting terjadinya inovasi di sektor publik. Dalam hal ini, “Either way, innovation adoption is intended to address internal organizational needs and/or respond to external environmental conditions. Regardless of the impetus, and the internal or external origin, the adoption of innovation is a means of creating change in the organization to ensure adaptive behaviour and contribute to effectiveness of the organization.”
Apa yang menarik kemudian ialah dari sisi eksternal inovasi sektor publik didorong oleh perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi yang juga terusmenerus mengalami inovasi. Di sisi internal dorongan ini diimbangi dengan melakukan perbaikan kapasitas sumber daya manusia, sistem dan organisasi, serta perbaikan jaringan organisasi secara dinamis dan juga terus menerus. Perbaikan terus menerus di sisi internal ini ternyata juga menghasilkan inovasi yang lain lagi di tahap berikutnya. Secara agregat inovasi di sisi internal ini lalu membawa dampak ke sisi eksternal. Oleh karena itu tidak mengherankan jika, dalam perspektif makro, inovasi sektor publik mampu menyumbang pertumbuhan nasional dan kesejahteraan masyarakat (Windrum, 2008). Selain itu, ia juga memaksimumkan sumber daya kapasitas, meningkatkan rasa percaya publik, mendongkrak kebanggaan korps pegawai, dan menimbulkan efek domino bagi pembentukan inovasi berikutnya (Alberti dan Bertucci, 2006). Inovasi bahkan memberi kontribusi pula pada proses demokratisasi kelembagaan (Lopez, 2006). Jadi, inovasi di sisi eksternal juga mendorong terjadinya inovasi di sisi internal, yang secara dinamis berjalan siklikal. Inovasi di dalam dirinya sendiri adalah perombakan dari keajegan. Hartley (2008), misalnya, menyatakan inovasi tidak hanya berurusan dengan gagasangagasan baru (invention), tetapi juga bagaimana meletakkan gagasan-gagasan itu dalam bentuk praktek nyata (adoption). Hal ini yang kemudian menjadi soal bagi banyak pemerintah daerah. Ketika gagasan-gagasan baru diterapkan, ia harus berhadapan dengan aspek-aspek aturan main dan hukum yang cenderung konservatif dan lambat berubah. Inovasi, bagaimanapun, selalu mendahului aturan dan hukum. Tetapi bekerja di luar keajegan aturan dan hukum, bagi kebanyakan pemerintah daerah, adalah tindakan amat bere34
Dalam pandangan yang dikotomis seperti itu gagasan yang mengemuka untuk mendorong inovasi di sektor publik adalah dengan melakukan privatisasi sektor publik. Pandangan ini dominan di tahun 1980 hingga 1990-an, yang turunannya dapat dilihat dari rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang berupa pengembangan sistem outsourcing atau tender kompetitif untuk layanan publik, adopsi sistem manajemen sektor swasta, hingga pengembangan inisiatif pembiayaan public-private. Lihat Wundrum (2008) yang dirujuk di badan teks.
45 siko —apalagi jika inovasi itu gagal membawa perbaikan.35 Sementara itu, ‘belajar dari kegagalan’ lazimnya kurang mendapat dukungan moral, politik, lebih-lebih finansial. Ini menjelaskan mengapa ideal-ideal dalam inovasi sektor publik, sebagaimana didiskusikan di depan, sulit diejawantakan secara nyata. Harus diakui, ini memang agak rumit mengingat situasi tatanan hukum Indonesia yang penuh ujian berat saat ini. Hingga derajat tertentu tindakan inovatif yang melampaui konservatisme aturan dan hukum malahan bisa dipandang sebagai rekayasa negatif terhadap aturan dan hukum itu sendiri, sehingga dikategorisasi sebagai ‘melawan hukum’. Di dalam perspektif ini, untuk membuat inovasi sektor publik berjalan dan transmisinya melebar ke pelbagai sektor publik lain, bukanlah dukungan finansial atau bantuan teknis —apalagi dalam skala besar— yang menjadi penentu utamanya. Yang dibutuhkan justru suatu kerangka hukum yang memungkinkan para inovator berkreasi secara lebih leluasa. Dengan kata lain, inovasi sektor publik membutuhkan inovasi sektor hukum.
Standar Pelayanan Minimal Gambaran di atas menuntut terobosan-terobosan inovatif pemerintah, utamanya ketika pemerintah berinteraksi dengan publik luas dalam di sektorsektor sosial dan ekonomi. Dipandu oleh kualitas kepemimpinan tertentu, sejumlah daerah telah berupaya membangun dan menerapkan suatu standar pelayanan dalam publik di sektor-sektor itu. Ini sejalan dengan temuan von Luebke (2009) tentang relasi antara kepemimpinan pemerintah dan mutu tatakelola daerah. Ia menunjukkan bahwa mutu tatakelola daerah lebih ditentukan oleh mutu kepemimpinan pemerintah daripada tekanan yang muncul dari masyarakat. Jadi, desakan dari sisi penawaran lebih kuat daripada yang datang dari sisi permintaan. Dalam studi itu von Luebke menerangkan bahwa keadaan ini terjadi karena mutu kepemimpinan pemerintah secara politik mampu menarik dukungan pemilih.36 Desentralisasi Indonesia tak dapat melepaskan diri tuntutan penyediaan pelayanan publik yang terstandardisasi dalam mutu tertentu. Alasannya ialah, pertama, Indonesia telah beranjak dari suatu negara yang sebelumnya dikategorikan ‘miskin’ menjadi ‘menengah’ —meskipun ‘menengah bawah’.37 35
Lihat catatan kaki sebelum ini tentang pemetaan inovasi oleh Hartley (2008), khususnya di sel timur-selatan, bahwa inovasi bisa saja berujung pada kegagalan. 36 Grindle (2007) untuk kasus di Meksiko juga menjelaskan gelagat serupa mengenai relasi kompetisi politik, motivasi kepemimpinan, dan perbaikan mutu tatakelola pemerintah daerah. 37 http://data.worldbank.org/country/indonesia.
46 Perubahan ini tentu saja menuntut banyak agen dan sektor pembangunan untuk berubah secara inovatif dari mutu pelayanan sekelas negara miskin ke kelas negara berpendapatan menengah. Tidak masuk akal jika negara dengan pendapatan menengah hanya mampu menyediakan pelayanan publik sekelas negara miskin. Kedua, perbaikan pelayanan publik itu sendiri memiliki sifat endogeneitas. Artinya ialah perbaikan di sektor ini mendorong terjadinya perbaikan di sektorsektor lain yang dapat merangsang terjadinya pembentukan dan akumulasi sumber daya. Pembentukan dan akumulasi sumber daya ini pada gilirannya dapat dipakai untuk melakukan perbaikan pelayanan lagi, yang memancing pembentukan dan akumulasi sumber daya di tahap berikutnya. Begitu seterusnya sektor-sektor ini bergerak dalam suatu gerakan siklikal. Dalam bentang luasnya ragam pelayanan publik, suatu Standar Pelayanan Minimal (SPM) dibutuhkan sebagai patokan mengenai apa yang paling sedikit harus dipenuhi oleh pelayan di sektor publik kepada masyarakat. Walau begitu, secara anekdotal apa yang disebut ‘minimal’ telah diintepretasi sedemikian rupa sehingga paling kurang memunculkan empat varian pengertian. Pertama, ‘minimal’ berarti ‘inferior’ sehingga mutu layanan diberikan ‘seadanya’ yang hampir-hampir tidak ada standar apapun. Kedua, ‘minimal’ didefinisikan terlalu rinci sehingga ia kehilangan makna minimalnya. Ketiga, ‘minimal’ dimaknai sebagai ‘ideal’ sehingga patokan-patokan yang ditetapkan menjadi begitu tinggi. Keempat, ‘minimal’ diartikan sebagai apa yang bisa dihasilkan dalam kondisi anggaran yang given. Pengertian yang pertama membawa konsekuensi pada kebutuhan untuk meningkatkan mutu layanan, sehingga ia menuntut suatu kebutuhan pembiayaan tertentu. Pengertian yang kedua juga meminta kebutuhan pembiayaan untuk memenuhi tuntutan yang rinci itu. Dalam hal yang ketiga, tuntutan pembiayaan juga muncul mengingat adanya standar ideal yang ditetapkan atas suatu layanan. Tiga pengertian yang pertama ini menggiring wacana ke arah pembiayaan SPM, yakni berapa biaya layanan per kapita yang diperlukan supaya suatu jasa publik tertentu bisa disediakan kepada masyarakat.38 Secara tersirat, wacana ini memandang pelaksanaan SPM dalam suatu kondisi ‘tanpa kendala anggaran’. Jelas wacana ini bertentangan dengan pengertian yang keempat, yang justru memandang sebaliknya, yakni bagaimana suatu jasa publik bisa diberikan di dalam suatu kondisi kendala anggaran. Sayangnya, PP 65/2005 tentang Pedoman dan Penetapan SPM sendiri selain tidak memberikan definisi yang tegas tentang apa yang disebut mini38
Dari sini kemudian diwacanakan perubahan formula Dana Alokasi Umum (DAU), dari formula berbasis karakteristik yurisdiksi (populasi, geografi, jumlah PNSD, dan lain-lain) ke formula berbasis biaya layanan kebutuhan dasar.
47 mal, tampaknya rancu dalam mengambil posisi. Pada satu sisi, PP itu menyatakan bahwa SPM disusun untuk “untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata” dan “diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota”. Tetapi, di sisi lain dinyatakan bahwa SPM “disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah.” 39 Tambahan lagi, terdapat pasal yang menyebutkan bahwa “Pemerintah wajib mendukung pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah yang belum mampu mencapai SPM” dan “Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang belum mampu mencapai SPM kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Daerah”.40 Inipun masih ditambah dengan pernyataan bahwa “Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada Pemerintahan Daerah yang berhasil mencapai SPM dengan baik. . . ” dan “Pemerintah dapat memberikan sanksi kepada Pemerintahan Daerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik. . . ”.41 Jadi, PP 65/2005 tampaknya mencampur-baur SPM dalam empat pengertian anekdotal yang disebut di muka, yakni (1) antara apa yang lepas dari atau tanpa kendala anggaran dan apa yang berbasis kendala anggaran, serta (2) antara apa yang disebut kelaikan dengan apa yang diidealisasi sebagai target tindakan, perlakuan, dan fasilitas jasa publik. Tampaknya, sebelum pembagian peran antarpemerintah dalam penyusunan dan penerapan kebijakan SPM dilakukan, suatu tinjauan ulang tentang cara pendefinisian SPM diperlukan di sini. Ini supaya penerapan SPM memiliki acuan yang pasti, baik dari segi konsep dasarnya, juga dari segi pembiayaannya.
39
Kutipan ini adalah prinsip-prinsip SPM yang dinyatakan di Pasal 3 yang sama. Cetak tebal oleh penulis paper ini. 40 Pasal 16 ayat 1 dan 2 41 Pasal 18 dan 19
48
KOTAK 4 Kepala Daerah Harus Berjiwa Inovasi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan, kepala daerah diberikan kebebasan untuk membuat perda sebagai bagian inovasi untuk memajukan pembangunan di daerah asalkan perda itu tidak bertentangan dengan undang-undang serta tak mengganggu iklim investasi di daerah. “Silakan saja, kepala daerah membuat perda, asalkan tetap berpegang pada aturan dan tidak mengganggu iklim investasi,” ujar Mendagri kepada wartawan usai membuka seminar dalam rangka peringatan Hari Otonomi Daerah ke-14, di Jakarta, Kamis (29/4). Gamawan menambahkan, sejak kebijakan desentralisasi diberlakukan, pemerintah daerah berupaya keras meningkatkan pembangunan di daerahnya. Daerah diberikan kebebasan untuk mengelola sendiri. “Tidak seperti dulu lagi, ketika kebijakan masih sentralisasi. Semua diputuskan oleh pusat. Sepatu, ikat pinggang camat, semua dari pusat. Membangun lapangan sepak bola saja, tidak ada yang berani kalau belum menjadi kebijakan pusat. Tapi, sekarang dengan desentralisasi, muncul inovasi dan kebebasan. Cerdik cendekia sekarang sudah mau ke daerah, aliran dana pun sekarang banyak yang mengalir ke daerah,” tutur mantan Bupati Solok ini. Untuk itu, Mendagri menekankan, kepala daerah dituntut untuk memiliki jiwa inovatif dalam membangun dan memajukan daerah. “Pemerintah (pusat) tentu memberikan diskresi kepada kepala daerah, namun kita juga perlu memikirkan agar diskresi yang diberikan ini tidak sampai melanggar hukum,” ujarnya. Ia mencontohkan, untuk meningkatkan perekonomian di daerah, ada usulan agar dibentuk lembaga mikro perkreditan. Namun, usulan ini dikhawatirkan melanggar UU Perbankan. “Jangan sampai lembaga mikro perkreditan ini dituding sebagai bank ilegal,” ujarnya.
Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dari Suara Karya, 30 April 2010
Provinsi Sebuah Epilog
Di manakah letak Kabupaten Sitaro? Kabupaten Siau, Tagulandang, dan Biaro ini adalah kabupaten kepulauan hasil pemekaran Kabupaten Sangihe (UU 15/2007) yang terletak di lepas laut Provinsi Sulawesi Utara. Bagaimanakah pemerintah pusat mampu menjangkau kabupaten seluas 280 km2 dengan penduduk sekitar 70 ribu jiwa ini? Sitaro hanyalah satu dari 399 kabupaten (98 kota) di Indonesia yang hampir-hampir tidak mungkin dijangkau secara intensif oleh pemerintah pusat di Jakarta yang berjarak tak kurang dari 2000 km. Tetapi, selepas laut menuju Manado dari Sitaro, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara hanya 70 km jauhnya. Pemerintah Provinsi pun berurusan dengan sedikit saja kabupaten-kota: 11 dan 4. Jadi, jika wewenang yang memadai dapat dilimpahkan kepada pemerintah provinsi, meski tak seluruhnya, sebagian besar issu rentang kendali geografi-administrasi bisa ditangani. Ilustrasi pembuka itu menunjukkan bahwa rentang kendali geografis dan administratif menjadi issu penting bagi pemerintah pusat untuk membagi perhatian kepada pemerintah-pemerintah di bawahnya. Tapi, bukan hanya itu, rentang kendali geografis dan administratif juga menjadi issu bagi setiap pemerintah untuk menyambangi warga masyarakat, memproduksi barang-barang publik, serta menyediakan layanan-layanan publik. Issu ini semakin mengemuka sejalan dengan keragaman yurisdiksi-yurisdiksi di Indonesia, baik dalam karakter dasar maupun dalam capaian pembangunan sosial-ekonomi. Oleh karena itu, pelimpahan wewenang dipilih sebagai jalan keluarnya. Pertanyaannya kemudian ialah dalam konfigurasi hubungan antarpemerintah seperti apa pelimpahan wewenang itu dapat ditetapkan? Lebih luas lagi, bagaimana desentralisasi harus diletakkan di dalam bingkai negara kesatuan Indonesia? Hingga saat ini pilihan kebijakan yang diambil adalah memberi kedudukan khusus kepada gubernur sebagai WPP-KWA dalam relasi vertikal dengan kabupaten-kota, seraya tetap mempertahankan relasi horisontal antara gubernur dan bupati-walikota sebagai sesama KDO. Ini merupakan kedudukan yang unik dan menyimpan kepelikan di tingkat praktis, mengingat pada dasarnya dalam 49
50 relasi apapun gubernur dan bupati-walikota adalah agen-agen yang sama. Dalam satu keadaan agen-agen ini adalah mitra-mitra yang sejajar, namun dalam keadaan lain satu agen bertindak sebagai atasan bagi agen yang lainnya. Untuk itu, suatu porsi peran yang berimbang bagi gubernur bukan hanya perlu dirumuskan dengan lebih cermat, tetapi juga dinaungi suatu kerangka hukum yang memadai. Tantangan pembentukan kerangka hukum tentang tatakelola vertikal dan horisontal merupakan issu penting dalam penguatan posisi dan peran provinsi. Selanjutnya, manakala konfigurasi hubungan administratif ini dapat ditetapkan dalam suatu kerangka hukum tertentu, hubungan yang lebih substantif dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan penting untuk dikembangkan. Sebagai sebuah simpul melting pot pelbagai kepentingan, provinsi dituntut untuk menerjemahkan kepentingan-kepentingan itu menjadi sebuah sinergi. Ini bukan tugas yang mudah mengingat banyaknya perbedaanperbedaan yang ada. Beberapa di antaranya yang dapat disebut di sini adalah perbedaan dalam kalender pemilihan pemimpin pusat dan daerah, latar belakang partai politik peminpin dan partai politik pendukung, visi-misi pemimpin dan kepedulian pusat-daerah, timing ataupun pembiayaan kegiatan pembangunan. Tugas itu semakin berat manakala sinergi perencanaan dan penganggaran sendiri masih menjadi issu yang perlu diselesaikan. Di dalam perspektif ini sinergi pusat-daerah dalam perencanaan dan penganggaran, termasuk sinergi antara perencanaan dan penganggaran itu sendiri, menagih perhatian kebijakan juga. Ini semua membutuhkan organisasi, manajemen, dan sistem pendukung —aturan main dan anggaran— yang cukup. Keberhasilan pencapaian sinergi melalui organisasi, manajemen, dan sistem pendukung tidaklah bersifat given, tetapi ditentukan oleh kapasitas aparat perangkatnya. Di sinilah kemudian mengemuka bahwa wewenang organisasional memerlukan kapasitas minimal tertentu agar tujuan-tujuan sinergi yang politis atau teknis dapat diterjemahkan menjadi lebih substantif. Dalam issu-issu yang lebih substantif, sebagaimana telah disinggung depan, masih dijumpai persoalan-persoalan pembangunan yang terwariskan dari rejim ke rejim walau dalam kadar yang berbeda-beda. Telah menjadi harapan dan keinginan pemerintah dan kalangan luas agar persoalan-persoalan warisan ini bisa segera diakhiri. Pada waktu yang bersamaan, ada pula persoalan-persoalan baru yang dahulu tidak mencuat ke permukaan atau kurang mendapatkan perhatian yang lebih nyata. Kapasitas minimal untuk mengentaskan persoalan-persoalan ini lalu menjadi syaratnya. Kapasitas minimal ibarat daya kepak sayap Garuda, yang mengepak kuat untuk terbang tinggi melihat peta persoalan secara lebih luas, selain juga mampu menukik tajam untuk menginvestigasi detail setiap persoalan.
51 Susahnya, ketika kapasitas pemerintah dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan substantif ini, kapasitas itu sendiri juga menjadi persoalan. Survey-survey yang ada memberi pesan bahwa kapasitas masih merupakan soal yang serius. Akibatnya, pemerintah —lebih-lebih di tingkat provinsi— menghadapi dua persoalan sekaligus. Di luar ada persoalan-persoalan sebagaimana disebut, sedangkan di dalam ada tantangan-tantangan untuk peningkatan kapasitas. Untuk itulah reformasi tatakelola lalu menjadi kebutuhan baru. Selain diperlukan untuk membangun relasi dengan sesama organisasi pemerintah dan menangani kepentingan internal organisasi, reformasi tatakelola dibutuhkan pula untuk menjawab tuntutan pelayanan publik. Inovasi sektor publik lalu menjadi tuntutan berikutnya. Dengan kata lain, inovasi tatakelola adalah tema ketiga dalam penguatan provinsi, setelah kerangka hukum dan sinergi perencanaan-penganggaran. Dalam hal reformasi dan inovasi pelayanan publik, sebuah wacana untuk memberikan layanan minimal telah mengemuka. Beberapa sektor bahkan telah menyusun ketetapan-ketetapannya, sedangkan beberapa daerah telah mengklaim penerapannya. Walau begitu, apa yang mengemuka secara anekdotal adalah layanan minimal diterjemahkan ke dalam kebijakan dan praktek yang berbeda-beda. Pedoman penyusunan layanan minimal yang ada belum memadai untuk dipakai sebagai alat rekonsiliasi pandangan yang berbeda-beda itu. Ini berarti, suatu tinjauan ulang atas pedoman itu merupakan agenda tersendiri pula. Akhirnya, desentralisasi dipandang dari sudut apapun senantiasa menjanjikan kebaikan-kebaikan. Duduk soalnya ialah proses ke arah kebaikankebaikan itu tidaklah sederhana. Ada dimensi ketatanegaraan yang perlu dipertimbangkan, dimensi politik yang membutuhkan perhatian, juga ada dimensi teknokratis yang patut menjadi rujukan. Keberhasilan desentralisasi ke arah kebaikan-kebaikan itu sesungguhnya terletak pada harmoni ketiga dimensi ini.
52
Kotak 5 Peran Pembangunan Pemerintah Provinsi Didorong
Tiga institusi, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), dan Kementerian Dalam Negeri merancang program Provincial Governance Strengthtening Programe (PGSP) yang akan dibicarakan dalam Seminar “Penguatan Provinsi: Membangun Sinergi Meningkatkan Mutu Tata Kelola” di Jakarta, Senin (2/8). “Program ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia merumuskan kebijakan dan regulasi yang memperkuat peran serta kedudukan pemerintah provinsi, sehingga dapat memberikan konstribusi bagi pencapaian tujuan pembangunan nasional, termasuk pertumbuhan ekonomi serta pencapaian Standar Pelayanan Minimum (SPM) provinsi, target Millenium Development Goals (MDG,s) dan peningkatan Indeks Pembangunan (IPM),” kata Irman G Lanti, Team Leader of Democratic Governance Unit UNDP. Dia mengatakan kesenjangan penyelenggaraan pemerintahan timbul karena kurangnya koordinasi dan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah. “Koordinasi, pengawasan, dan evaluasi antarpemerintahan belum optimal,” katanya. Program ini mengidentifikasi tiga provinsi yaitu Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung (Babel), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi pilot bagi PGSP. “Provinsi tersebut dipilih berdasarkan kriteria tertentu seperti: mengukur penduduk miskin, pendapatan per kapita, letak geografis dan kendali pemerintahan berdasarkan jumlah kabupaten atau kota,” kata dia. Dia berharap dengan diadakannya seminar ini, isu desentralisasi dapat dibicarakan dan ditemukan jalan keluar untuk semua permasalahan yang ada. “Semoga keharmonisan hubungan pemerintahan antara pusat, daerah, dan provinsi dapat terwujud sebagai tantangan ke depan menghadapi desentralisasi yang sekarang diterapkan,” katanya.
Sumber: Dicuplik dengan penyesuaian dari Jurnal Nasional, 3 Agustus 2010 http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper? rubrik=Ekonomi-Keuangan-Bisnis&berita=139209&pagecomment=1
Rujukan Alberti, Adriana dan Guido Bertucci. 2006. ‘Replicating Innovations in Governance: An Overview’, dalam Guido Bertucci (ed.) Innovations in Governance and Public Administration: Replicating What Works, 1-24. New York: Department of Economic and Social Affairs, United Nations. Akita, Takahiro dan Armida Alisjahbana. 2002. ‘Regional Income Inequality in Indonesia and the Intial Impact of the Economic Crisis’, Bulletin of Indonesia Economic Studies 38(2): 201-223. Booth, Anne. 2005. ‘The Evolving Role of the Central Government in Economic Planning and Policy Making in Indonesia’, Bulletin of Indonesia Economic Studies 41(2): 197-220. Brodjonegoro, Bambang. 2005. ‘The Indonesian Decentralization After Law Revision: Toward a Better Future?’, Mimeo. University of Indonesia. Jakarta. Bünte, Marco. 2009. ‘Indonesia’s Protracted Decentralization: Contested Reforms and Their Unintended Consequences’, dalam Marco Bünte dan Andreas Ufen (eds.), Democratization in Post-Suharto Indonesia, 102123. London: Routledge. Evans, Peter (1996), ‘Government Action, Social Capital, and Development: Reviewing the Evidence on Synergy’, World Development, 24(6): 11191132. Grindle, Merilee Serrill (2007), Going Local: Decentralization, Democratization, and the Promise of Good Governance, Princeton: Princeton University Press. Hadiz, Verdi R. 2004. ‘Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives’, Development and Change 35(4): 697-718. 53
Hartley, Jean. 2008. ‘The Innovation Landscape for Public Service Organizations’, dalam Jean Hartley, Cam Donaldson, Chris Skelcher, dan Mike Wallace (eds.), Managing to Improve Public Services, 196-216. Cambridge: Cambridge University Press. Hartley, Jean dan Chris Skelcher. 2008. ‘The Agenda for Public Service Improvement’, dalam Jean Hartley, Cam Donaldson, Chris Skelcher, dan Mike Wallace (eds.), Managing to Improve Public Services, 3-24. Cambridge: Cambridge University Press. Hill, Hal, Budy P. Resosudarmo, dan Yogi Vidyattama (2008), ‘Indonesia’s Changing Economic Geography’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 44(3): 407-435. Hill Hal, Budy P. Resosudarmo, and Yogi Vidyattama (2009), ‘Economic Geography of Indonesia: Location, Connectivity, and Resources’, dalam Reshaping Economic Geography in East Asia, Yukon Huang and Alessandro Magnoli Bocchi (eds.), The World Bank, Washington. Holtzappel, Coen J. G. 2009. ‘Introduction: The Regional Governance Reform in Indonesia, 1999-2004’, dalam Coen J. G. Holtzappel dan Marin Ramstedt (eds.), Decentralization and Regional Autonomy in Indonesia: Implementation and Challenges. International Instititute for Asian Studies the Netherlands and Institute of Southeast Asian Studies Singapore. Hudson, Bob. 1998. ‘Collaboration in Social Welfare: A Framework of Analysis’, dalam Michael Hill (ed.), The Policy Process: A Reader, London: Prentice Hall. Hull, Terence H. (2001) ‘Counting for Democracy: Development of National Statistical Systems in a Desentralised Indonesia’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 37(1): 253-258. Kong, Tao dan Arief Ramayandi. 2008. ‘Survey of Recent Development’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 44(1): 7-32. Koven, Steven G. 2009. ‘Bureaucracy, Democracy, and the New Public Management’, dalam Ali Farazmand (ed.), Bureaucracy and Administration, 139-154. Boca Raton: CRC Press, Taylor & Francis Group. Kumorotomo, Wahyudi (2008), Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. Lancaster, Thomas D.. (1986), ‘Electoral Structures and Pork Barrel Politics’, International Political Science Review 7(1): 67-81.
López, Tonatiuh Guillén. 2006. ‘Local Capacities for Adaptation of Innovative Ideas and Practices: Lessons from Municipalities in Mexico’, dalam Guido Bertucci (ed.) Innovations in Governance and Public Administration: Replicating What Works, 87-98. New York: Department of Economic and Social Affairs, United Nations. Moore, Patricia. 2005. ‘Bureaucracy and Bureaucrats’, dalam Donijo Robbins (ed.) Handbook of Public Sector Economics, 141-168. Boca Raton: CRC Press, Taylor & Francis Group. Ostrom, Elinor (1996), ‘Crossing the Great Divide: Cooproduction, Synergy, and Development’, World Development Review, 24(6): 1073-1087. Resosudarmo, Budy P. dan Arief A. Yusuf. 2009. ‘Survey of Recent Development’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 45(3): 877-315. Seldadyo, Harry, Deli Sopian, Denny Julian, Retno Handini, Rullan Rinaldi, dan Wahyudi Romdhani (2009), Creation of New Jurisdictions and People’s Welfare: In Search of Alternatives, UNDP, BAPPENAS, DSF. Seldadyo, Harry, Wahyudi Romdhani, dan Andika Pambudi (2010), Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi: Catatan dari Tiga Daerah tentang Penguatan Provinsi, Mimeo, PGSP-UNDP. Sudarmo, Sri Probo dan Brasukra Sudjana. 2009. ‘The Missing Link: The Province and Its Role in Indonesia’s Decentralization’, UNDP Indonesia Policy Issues Paper, Mei. Suryaningrati, Abdi dan Catur Utami Dewi. 2010. Peninjauan Kapasitas/Strategi Pengembangan Kapasitas: Tinjauan Kapasitas 10 SKPD Pemerintah Provinsi Gorontalo, Bappenas, Pemprov Gorontalo, dan UNDP. von Luebke, Christian. 2009. ‘The Political Economy of Local Governance: Findings from an Indonesian Field Study Result’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 45(2): 201-230. Walker, Richard M. dan Fariborz Damanpour. 2008. ‘Innovation Type and Organizational Performance: An Empirical Exploration’, dalam Jean Hartley, Cam Donaldson, Chris Skelcher, dan Mike WallaceM (eds.) Managing to Improve Public Services, 217-235. Cambridge: Cambridge University Press. Windrum, Paul. 2008. ‘Innovation and Entrepreneurship in Public Services’, dalam Paul Windrum dan Per Koch (eds.), Innovation in Public Sector Services: Entrepreneurship, Creativity, and Management, 3-20. Cheltenham: Edward Elgar.
Yasmi, Yurdi, Gusti Z. Anshari, Heru Komarudin, dan Syarif Alqadri. 2006. ‘Stakeholder Conflicts and Forest Decentralization Policies in West Kalimantan: Their Dynamics and Implications for Future Forest Management’, Forests, Trees and Livelihoods 16(2): 167-180.