MAKARA, SAINS, VOL. 6, NO. 2, AGUSTUS 2002
SEMI-SINTESIS VANILI DARI GUAIAKOL VIA REAKSI REIMERTIEMANN YANG DIKATALISIS DENGAN KATALIS TRANSFER FASE/PTC: [18]-CROWN ETHER-6 Wahyudi Priyono Suwarso, Emil Budianto dan Inneke Jayadi Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok, 16424 E-mail:
[email protected]
Abstrak Reaksi Reimer-Tiemann termasuk dalam kelompok reaksi substitusi elektrofilik (SE), dan pada dasarnya reaksi ini terdiri dari tiga tahapan reaksi, yaitu: 1. pembentukan diklorokarbena dari hasil reaksi antara kloroform dengan basa (missal KOH); 2. reaksi antara diklorokarbena yang terbentuk, sebagai elektrofil, dengan inti aromatik (guaiakol); 3. reaksi hidrolis terhadap diklorometil benzena, sebagai produk reaksi pada tahap kedua, menjadi senyawa turunan aldehida aromatik (benzaldehida). Pada penelitian ini, telah dilakukan modifikasi reaksi Reimer-Timann, dengan tujuan untuk mensintesis vanili dari guaiakol (o-metoksi fenol), dan untuk membandingkan hasil sintesis vanili yang dilakukan dengan reaksi Reimer-Tiemann secara konvensional. Modifikasi reaksi Reimer-Tiemann yang dilakukan, yaitu dengan penggunaan katalis transfer fase (PTC) dan ko-pelarut etanol. Hasil sintesis vanili yang didapat, secara nyata menunjukkan kenaikan rendemen vanili hingga 51,2 %, jika dibandingkan dengan rendemen vanili melalui reaksi Reimer-Tiemann secara konvensional (hanya 24,4 %).
Abstract Reimer-Tiemann reaction belongs to the group of the electrophylic substitution reaction (SE), and principally, this reaction consists of three steps reactions, namely: 1. formation of dichlorocarbene from chloroform by action of base (i.e. KOH), 2. reaction of dichlorocarbene as electrophyl to the benzene (or general aromatic) nucleus, 3. hydrolysis of the formed dichloromethyl benzene to the derivative of benzaldehyde. In this work has been carried out the modification of Reimer-Tiemann reaction with the goal to synthesize vanillin from guaiacol (o-methoxyphenol) as well as to compare with the conventional Reimer-Tiemann reaction. By the way, the modification of Reimer-Tiemann by using phase transfer catalyst and ethanol as co-solvent can obviously enhance the yield of vanillin up to 51.2% compared with the yield of conventional Reimer-Tiemann to synthesize of vanillin (up to 24.4%). Key words: Reimer-Tiemann reaction, guaiacol, chloroform, vanillin
Fries, dan modifikasi reaksi Sandmeyer [2]. Beberapa metoda sintesis vanili dari guaiakol 1 sebagai bahan dasarnya, antara lain melalui reaksi Reimer-Tiemann, sintesis Gattermann, reaksi penataan ulang Fries, dan modifikasi reaksi Sandmeyer [2].
Pendahuluan Vanili (4-hidroksi-3-metoksi benzaldehida) 2, selain dapat dihasilkan dari alam, yaitu dari sejenis tanaman anggrek, Vanillia spp., juga sejak awal tahun 1900-an telah disintesis secara besar-besaran dari bahan dasar yang murah dan tersedia dalam jumlah yang banyak di sepanjang tahun, yaitu lignosulfat, yang merupakan limbah dari pabrik kertas atau pulp [1]. Selain itu, vanili juga disintesis dari resin guaikum [1].
Reaksi Reimer-Tiemann merupakan suatu reaksi substitusi elektrofilik (SE) pada karbanion fenoksi dalam suasana alkalis, dengan diklorokarbena sebagai elektrofilnya (E+). Substitusi tersebut biasanya terjadi pada posisi orto terhadap gugus fenol, sedangkan rendemen (hasil) senyawa aldehida yang didapatkan biasanya kurang dari 15% (Gambar 1). Diduga,
Beberapa metoda sintesis vanili dari guaiakol 1 sebagai bahan dasarnya, antara lain melalui reaksi ReimerTiemann, sintesis Gattermann, reaksi penataan ulang
70
MAKARA, SAINS, VOL. 6, NO. 2, AGUSTUS 2002
71
OH
OH OCH3
OCH3 CHCl3
KOH/Alkohol 1 CHO 2 Gambar 1. Gambaran umum reaksi Reimer-Tiemann
Cl3C3
+ OH H _ H2O
_ _
O
Cl3C 4
_ _ _
Cl
Cl2C 5 O
+
CCl2
O
O H CCl2
CHCl2 + OH _ _ HCl, Cl _
CHO
_
Gambar 2. Mekanisme reaksi pembentukan diklorokarbena dan penyerangan diklorokarbena pada anion fenoksi
penyebab rendemen/ hasil reaksi tersebut sangat rendah adalah, bahwa sebagian besar substrat awalnya tidak bereaksi [3,4,5,6]. Reaksi Reimer-Tiemann merupakan reaksi pembentukan gugus aldehida pada inti aromatik melalui penyerangan elektrofil (E+) diklorokarbena 4, terhadap inti aromatik (misalnya anion fenoksi), dan selanjutnya diikuti reaksi hidrolisis gugus diklorometil yang terbentuk 5, menjadi senyawa orto dan atau para hidroksi benzaldehida [7]. Rasio antara produk orto dan para hidroksi benzaldehida tersebut sangat dipengaruhi oleh penggunaan haloform, ion hidroksida (OH-) yang digunakan, dan penggunaan alkohol sebagai ko-pelarut [5]. Mekanisme pembentukan diklorokarbena dan penyerangan diklorokarbena pada anion fenoksi dapat dilihat pada Gambar 2. Pada reaksi Reimer-Tiemann dikenal dua tipe reaksi, yaitu reaksi yang normal dan reaksi abnormal [2]. Reaksi Reimer-Tiemann yang berjalan secara normal adalah apabila produk reaksi yang terbentuk berupa senyawa turunan aldehida aromatik, sedangkan reaksi Reimer-Tiemann yang berjalan secara abnormal, yaitu apabila produk reaksi yang terbentuk adalah suatu senyawa sikloheksadiena atau terjadi perbesaran cincin senyawa lingkar (lihat Gambar 3)
Seperti yang telah disebutkan di atas, rendemen atau hasil reaksi Reimer-Tiemann secara konvensional kurang dari 15%, karena sebagian besar substratnya tidak bereaksi. Kemungkinan lain adalah terbentuknya produk-produk reaksi samping (by-products), antara lain terbentuknya resin, seperti ditampilkan pada Gambar 4 [3,4,5,6]. Selain itu, menurut Hine [8], anion triklorometil dan spesi diklorokarbena terbentuk pada reaksi ReimerTiemann dari adduk kloroform (CHCl3)), sedangkan diklorokarbena yang terbentuk dari anion triklorometil, merupakan tahap penentu kecepatan reaksi ReimerTiemann. Oleh karena itu, hidrolisis kloroform oleh ion hidroksil (OH-) haruslah merupakan suatu reaksi kesetimbangan: Terbentuknya diklorokarbena serta kemungkinan kelanjutan reaksinya dapat digambarkan melalui mekanisme reaksinya, dapat dilihat pada Gambar 6.
Metode Penelitian Reaksi Reimer-Tiemann yang dilaksanakan selama ini, merupakan reaksi dalam fase homogen, sehingga diklorokarbena yang terbentuk segera bereaksi dengan air (H2O) (Gambar 6, mekanisme a). Hal tersebutlah yang diduga menjadi penyebab, mengapa rendemen
72
MAKARA, SAINS, VOL. 6, NO. 2, AGUSTUS 2002
OH
OH
OH CHO
CHCl3, 10% NaOH 55 oC, 3 jam
a.
+
CHO ( 20 - 30%)
( 8 - 12% ) O
OH
CH3
OCH3 CHCl3, NaOH
b.
CHCl2
8% CH3
CHCl3, NaOH
H
H
Gambar 3. Dua tipe reaksi Reimer-Tiemann : a. normal ; b. abnormal
a. ester ortoformat
b. asam hidroksi
OH
OH
OH
H CHCl3, NaOH
COOH CHCl3, NaOH
C H5C6O
OC6H5 OC6H5
c. resin trihidroksifenil metana OH
OH H + 2
C HO4H6C
C6H4OH C6H4OH
CHO Gambar 4. Beberapa produk samping reaksi (by-products) pada reaksi Reimer-Tiemann
reaksi Reimer-Tiemann menjadi rendah sekali. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dicoba untuk melakukan reaksi Reimer-Tiemann dengan kondisi reaksi fase heterogen, artinya fase air dan fase organik dibuat dalam keadaan tidak bercampur satu sama lain. Untuk menghubungkan antara kedua fase yang tidak saling bercampur tersebut diperlukan suatu media perantara, yaitu katalis transfer fase (phase transfer
catalyst/PTC). Dengan demikian, diklorokarbena yang terbentuk pada fase organik tidak dapat langsung bereaksi dengan air yang terdapat di dalam fase air (Gambar 6, mekanisme b). Selain itu, juga akan diteliti penggunaan alkohol (metanol atau etanol) untuk menekan pembentukan gugus aldehida pada posisi orto terhadap gugus fenoksi yang ada.
MAKARA, SAINS, VOL. 6, NO. 2, AGUSTUS 2002
73
CHCl3 + OH
Cl3C + H2O
Cl2C + Cl Cl3C
+ H2O
H2O
CCl2 + Cl
Gambar 5. Reaksi hidrolisis kloroform oleh ion hidroksil (OH-)
a. H2O + b. Cl3C
CCl3 lambat
lambat
H2O
Cl + CCl2
CCl2 + Cl + H2O cepat
cepat
CO, HCO2
CO, HCO2
Gambar 6. Mekanisme reaksi pembentukan diklorokarbena (a. di dalam fase homogen dan b. di dalam fase heterogen) serta kemungkinan kelanjutan reaksinya
Prosedur umum reaksi semi-sintesis vanili dari guaiakol melalui reaksi Reimer-Tiemann adalah sebagai berikut: a. Tanpa katalis (fase homogen) 16,0 mmol guaiakol dicampur dengan 10 mL larutan KOH 2N dalam larutan metanol-air, dan selanjutnya campuran reaksi dipanaskan pada suhu 60oC selama 15 menit, hingga terbentuk larutan yang jernih (terbentuk larutan garam kalium guaiakolat). Ke dalam labu leher tiga yang dilengkapi dengan termometer, pendingin balik Liebig dan labu penetes, ditempatkan 90 mL larutan alkoholis KOH 2,0 N dan 20 mL kloroform (170,0 mmol). Larutan garam kalium guaiakolat ditempatkan pada labu penetes, kemudian ke dalam labu reaksi leher tiga, dialirkan gas nitrogen (N2), untuk membuat kondisi atmosfer nitrogen di dalam labu reaksi. Campuran reaksi di dalam labu reaksi diaduk dengan batang pengaduk magnet, dan suhu reaksi dijaga agar tetap berada dalam kisaran 5560oC. Selanjutnya larutan garam kalium guaiakolat diteteskan dari labu penetes secara perlahan-lahan selama 1 jam. Setelah penetesan larutan garam kalium guaiakolat selesai dilakukan, campuran reaksi tetap diaduk dan dipanaskan pada suhu 5560oC selama 4 jam. Setelah reaksi berakhir, campuran reaksi didinginkan hingga mencapai suhu ruang dan diasamkan dengan HCl 3,0 N hingga pH 4 dan reaksi hidrolisis dilakukan selama 1,5 jam. Setelah proses hidrolisis selesai, selanjutnya dilakukan distilasi uap hingga diperoleh distilat yang jernih (sekitar 150-200 mL). Distilat yang diperoleh, diekstraksi dengan kloroform, kumpulan
b.
fase organiknya dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat, disaring, dan pelarutnya diuapkan pada evaporator putar bertekanan udara rendah, hingga diperoleh kembali substrat awalnya (guaiakol) yang tidak bereaksi. Terhadap residu dari distilasi uap, dilakukan ekstraksi dengan kloroform, dan fase organik yang didapat dari ekstraksi tersebut sekali lagi dicuci dengan air, dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat, disaring, dan pelarutnya diuapkan pada evaporator putar bertekanan udara rendah, hingga diperoleh larutan pekat. Larutan pekat tersebut diencerkan dengan sesedikit mungkin pelarut n-heksana hangat, disaring dan dibiarkan pada suhu ruang sehingga terbentuk kristal vanili. Kristal vanili yang terbentuk disaring, dibilas dengan n-heksana dan dikeringkan di dalam desikator. Dengan katalis transfer fase/PTC 18-crown ether-6 (fase heterogen) Ke dalam labu bulat reaksi leher tiga yang berisi larutan 16,0 mmol guaiakol di dalam 50 mL kloroform dan 0,1 g katalis transfer fase 18-crown ether-6, dimasukkan 100 mL larutan alkoholis KOH 2N. Suasana atmosfer di dalam ruang reaksi dibuat dalam kondisi atmosfer nitrogen (N2), dengan cara mengalirkan untuk beberapa saat gas nitrogen ke dalam labu reaksi. Selanjutnya larutan diaduk dengan batang pengaduk magnet, dan kecepatan pengadukannya diatur minimal 1000 rpm (putaran/menit), sedangkan suhu reaksi dijaga agar tetap dalam kisaran 40-45OC atau 55-60OC selama 4 jam. Proses penyelesaian reaksi dan
74
MAKARA, SAINS, VOL. 6, NO. 2, AGUSTUS 2002
isolasi produk reaksi, sama dengan prosedur pelaksanaan reaksi Reimer-Tiemann yang dilakukan tanpa menggunakan katalis.
Hasil dan Pembahasan Untuk memantau bagaimana komposisi produk reaksi Reimer-Tiemann yang terbentuk, maka dilakukan analisis kromatografi lapis tipis (tlc), yang kromatogram lapis tipisnya dapat dilihat pada Gambar 7. Dari kromatogram lapis tipis tersebut dapat diamati adanya perbedaan pola pembentukan produk reaksi ReimerTiemann, yang terutama dipengaruhi oleh ada atau tidaknya alkohol sebagai ko-pelarut serta jenis alkohol yang digunakan (metanol atau etanol): Analisis data spektroskopi memberikan kesimpulan sementara sebagai berikut: 1. bila di dalam campuran reaksi tidak digunakan alkohol sebagai ko-pelarut, maka hanya akan dihasilkan produk reaksi berupa o-vanili 6 (Gambar 8) 2. bila di dalam campuran reaksi ditambahkan metanol sebagai ko-pelarut, maka akan dihasilkan campuran produk reaksi o-vanili 6 dan vanili 2 (Gambar 8) 3. bila di dalam campuran reaksi ditambahkan etanol sebagai ko-pelarut, maka akan dihasilkan produk reaksi berupa vanili 2 saja Data spektroskopi dari o-vanili 6 dan vanili 2 dapat dilihat pada Tabel 1. Dari data tersebut tampak jelas pengaruh alkohol sebagai ko-pelarut terhadap produk reaksi yang dihasilkan pada reaksi Reimer-Tiemann. Apabila reaksi Reimer-Tiemann dilakukan tanpa penambahan alkohol sebagai ko-pelarut, maka hanya akan dihasilkan o-vanili 6 sebagai produk utamanya. Hal itu disebabkan posisi orto memang lebih kaya elektron daripada posisi para. Selanjutnya, bila metanol ditambahkan sebagai kopelarut, maka akan dihasilkan campuran produk reaksi
keterangan: a = guaiakol murni (Rf = 0,75)
b = vanili murni (Rf = 0,62) c = produk reaksi, tanpa penambahan ko-pelarut alkohol d = produk reaksi, dengan penambahan ko-pelarut: CH3OH 20% e = produk reaksi dengan penambahan ko-pelarut C2H5OH 20% o-vanili 6 dan vanili 2, karena rantai alkil dari metanol kurang efektif untuk memblokir posisi orto. Bila etanol ditambahkan sebagai ko-pelarut, maka produk utama reaksi hanya akan berupa vanili 2, karena pemblokiran gugus alkil dari etanol terhadap posisi orto sangat efektif. Rendemen/hasil vanili yang didapatkan melalui reaksi Reimer-Tiemann dengan berbagai kondisi reaksi dapat dilihat pada Tabel-2, 3, dan 4: Seperti yang telah disebutkan di atas, reaksi ReimerTiemann pada substrat guaiakol 1 merupakan suatu reaksi substitusi elektrofilik (SE) pada inti benzena. Guaiakol 1 merupakan suatu senyawa organik yang terdiri dari inti aromatik (benzena) dan di dalamnya terikat gugus hidroksil (OH) dan gugus metoksil (OCH3), yang letaknya saling bertetangga (posisi orto). Di dalam reaksi substitusi elektrofilik tersebut, kedua gugus fungsi atau substituen (OH dan OCH3) akan bertindak sebagai pengarah masuknya elektrofil ke dalam inti benzena pada posisi orto dan atau para (ortho-para dirigent). Akan tetapi, kekuatan pengarah posisi orto dan para dari gugus hidroksil (OH) dan metoksil (OCH3) tersebut berbeda. Gugus hidroksil berperan lebih kuat sebagai pengarah orto-para dari pada gugus metoksil, terlebih lagi apabila gugus hidroksil tersebut sudah berubah menjadi bentuk anion oksonya (anion fenolat atau anion fenoksi). Dipandang dari sudut kerapatan elektron, posisi orto mempunyai kerapatan elektron yang lebih tinggi daripada posisi para. Akan tetapi apabila posisi orto OH
OH OCH3
CHO 2 Gambar 7. Kromatogram lapis tipis (tlc) hasil reaksi semi-sintesis vanili melalui reaksi ReimerTiemann, eluen: CHCl3 : CH3OH = 25 : 1 (v/v)
OHC
OCH3
6
Gambar 8. Struktur molekul senyawa o-vanili 6 dan vanili 2
MAKARA, SAINS, VOL. 6, NO. 2, AGUSTUS 2002
75
Tabel 1. Data spektroskopi senyawa o-vanili 6 dan vanili 2
Spektrum
o-vanili 6
vanili 2
UV, λmaks. , nm
266, 4 dan 343, 6
274,8 dan 305,6
IR, ν, cm-1
2932 (OH terkhelasi) dan 1656 (C=O terkhelasi)
3184 (OH) dan 1671 (C=O)
1
3,90 (s, 3H, OCH3), 7,00 (m, 3H, proton aromatik), 9,90 (s, 1H, CHO terkhelasi), 11,0 (s, 1H, OH terkhelasi)
3,90 (s, 3H, OCH3), 6,20 (s, 1H, OH) 7,20 (m, 3H, proton aromatik), 9,80 (s, 1H, CHO)
H-NMR, 60 MHz, δ, ppm
Tabel 2. Pengaruh alcohol sebagai ko-pelarut terhadap rendemen/hasil vanili (tanpa katalis transfer fase, suhu reaksi: 55-60oC)
No.
Berat substrat awal (g)
Jenis alkohol 20%, v/v
Berat sisa substrat awal yang tidak bereaksi (g)
Rendemen/hasil reaksi
01.
2,00
-
0,25
0,0001 g
0,005%
02.
2,00
CH3OH
0,12
0,19 g
7,90%
03.
2,00
C2H5OH
0,26
0,42 g
18,1%
H O
H O
O
CH2
OCH3
O
CH3
OCH3
CH3 a
b
Gambar 9. Effektivitas pemblokiran posisi orto dari gugus fenoksi oleh etanol (a) dan oleh metanol (b) Tabel 3. Pengaruh kadar etanol sebagai ko-pelarut terhadap rendemen/hasil vanili (tanpa katalis transfer fase, suhu reaksi: 55-60o C)
No.
01. 02. 03 04. 05. 06. 07.
Berat substrat awal (g)
2,00 2.18 2,19 2,20 2,00 2,00 2,00
% etanol (v/v)
0 20 40 60 70 80 100
Berat sisa substrat awal yang tidak bereaksi (g) 0,42 0,25 0,33 0,50 0,66 0,19 0,20
Rendemen/hasil vanili (g)
(%)
0,0001 0,43 0,45 0,51 0,29 0,32 0,16
0,005 18,1 19,9 24,4 17,6 14,6 6,9
76
MAKARA, SAINS, VOL. 6, NO. 2, AGUSTUS 2002
Tabel 4. Pengaruh suhu reaksi terhadap rendemen/hasil vanili (dengan katalis transfer fase (PTC): 0,10 g, ko-pelarut: etanol, 23%)
No.
01. 02. 03.
Berat substrat awal (g)
Suhu reaksi (o C)
0,11 0,89 0,91
28 40-45 55-60
2,00 2,00 2,00
Berat sisa substrat awal yang tidak bereaksi (g)
OH
OH
(g)
(%)
0,10 0,65 0,71
4,50 51,2 24,4
OCH3 OCH3
OCH3
Rendemen/hasil vanili
OH
orto para
orto
para CHO 7 Iso-vanili
Gambar 10. Gambaran perbedaan posisi masuknya elektrofil (E+) pada posisi orto dan para dari gugus pengarah posisi orto-para, serta produk reaksi: Isovanili 7
dapat diblokir dengan baik, maka proses substitusi hanya akan dapat berlangsung pada posisi para. Pada penelitian ini, sama sekali tidak diisolasi produk reaksi berupa isovanili 7. Hal itu menandakan bahwa gugus metoksil (OCH3) sebagai gugus pengarah ortopara sama sekali tidak berfungsi. Karbena adalah suatu spesies atom karbon yang bermuatan listrik netral, sedangkan diklorokarbena sebenarnya juga termasuk dalam golongan karbena. Akan tetapi, oleh karena keelektronegatifan unsur klor (Cl) di dalam diklorokarbena tersebut cukup tinggi, maka akan mengubah karakter diklorokarbena, dari spesie atom karbon yang bermuatan listrik netral menjadi atom karbon yang bermuatan listrik relatif positif. Dengan demikian diklorokarbena akan berubah sifatnya dari bentuk karbena menjadi elektrofil (E+).
Cl C Cl Gambar 11. Sifat elektrofil dari diklorokarbena
Tabel 2 memperlihatkan pengaruh alkohol sebagai kopelarut terhadap rendemen vanili, data tersebut sangat sesuai dengan tinjauan teori, mengapa hal tersebut dapat terjadi (Gambar 9). Dalam hal ini memang tidak diungkapkan, bahwa apabila metanol ditambahkan sebagai ko-pelarut, maka produk reaksi yang sebenarnya adalah campuran dari o-vanili 6 dan vanili 2. Tabel 3 memperlihatkan pengaruh jumlah etanol yang ditambahkan sebagai ko-pelarut pada reaksi ReimerTiemann, yang dilakukan tanpa katalis transfer fase, terhadap rendemen/hasil maksimum dari vanili 2 pada suhu 55-60oC. Hasil maksimum yang dapat dicapai pada penelitian ini adalah sebanyak 24,4%, dengan jumlah etanol adalah 60% (v/v). Hal ini sudah merupakan suatu perbaikan dari rendemen vanili yang disintesis melalui reaksi Reimer-Tiemann (tanpa katalis) yang pernah dicapai oleh para peneliti terdahulu, yaitu kurang dari 15% [3, 4; 5, 6]. Dengan makin meningkatnya jumlah etanol sampai batas tertentu, maka rendemen vanili juga akan meningkat. Penyebabnya adalah efektivitas pemblokiran posisi orto semakin baik, dan selain itu juga akan menurunkan kemungkinan kontak diklorokarbena dengan air. Akan tetapi, bila jumlah etanol yang ditambahkan lebih banyak dari 60%, maka kelarutan KOH menjadi berkurang, sehingga konsentrasi OH- yang harus tersedia juga berkurang,
MAKARA, SAINS, VOL. 6, NO. 2, AGUSTUS 2002
dan proses pembentukan diklorokarbena juga menjadi menurun, sehingga rendemen/hasil vanili yang diperoleh juga menjadi berkurang. Tabel 4 memperlihatkan, bahwa dengan penggunaan media reaksi heterogen (dua fase yang saling tidak bercampur), dan dikatalisis oleh katalis transfer fase 18-crown ether-6, akan dihasilkan vanili hingga mencapai 51,2% serta dapat menurunkan penggunaan suhu reaksi dari 55-60oC menjadi 40-45oC. Hal itu disebabkan karena kontak antara diklorokarbena dengan air menjadi sangat terbatas. Selain itu, pemakaian katalis transfer fase pada umumnya akan dapat menurunkan suhu reaksi [9,10].
Kesimpulan Dari penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: 1. Penggunaan etanol sebagai ko-pelarut hingga 60% (v/v) pada semi-sintesis vanili melalui reaksi Reimer-Tiemann dapat memperbaiki rendemen vanili (yang pernah dihasilkan oleh para peneliti terdahulu). 2. Penggunaan etanol sebagai ko-pelarut akan memberikan produk reaksi yang diinginkan, yaitu hanya vanili, sedangkan penggunaan metanol sebagai ko-pelarut akan menghasilkan campuran produk reaksi berupa o-vanili 6 dan vanili 2. Penyebabnya adalah efektivitas pemblokiran terhadap posisi orto oleh etanol adalah lebih baik daripada metanol. 3. Penggunaan katalis transfer fase/PTC 18-crown ether-6 pada semi-sintesis vanili via reaksi ReimerTiemann dalam kondisi heterogen, merupakan suatu modifikasi atau varian baru dari reaksi
77
Reimer-Tiemann secara konvensional, dan dapat meningkatkan rendemen/hasil reaksi berupa vanili hingga mencapai 51,2%.
Ucapan Terima Kasih Para penulis mengucapkan terima kasih kepada PT. DITEK JAYA, Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk menggunakan alat kromatografi gas Shimadzu 14A.
Daftar Acuan [1] G.H. Tomliss, H. Hibbert, J. Am. Chem. Soc. 58 (1936) 341. [2] I. Kirk, F. Othmer, Encyclopedia of Chemical Technology, 3rd ed., John Wiley and Sons., New York (1977) p. 180. [3] H. Wynberg, J. Am. Chem. Soc. 76 (1956) 4998. [4] J. Hine, J. Am. Chem. Soc, 72 (1950) 2438. [5] H. Wynberg, Chem. Rev. 60 (1960) 169. [6] D. E. Armstrong, D. H. Richardson, J. Chem. Soc. 134 (1933) 496. [7] M. Orchin, Ed., The Vocabulary of Organic Chemistry, John Wiley and Sons, New York, 1980, p. 180. [8] J. Hine, van der Veen, J. Am. Chem Soc. 83 (1961) 6447. [9] W. P. Dehmlow, S. S. Dehmlow, Phase Transfer Catalyst, Verlag Chemie, Weinheim, Germany, 1980. [10] W. P. Weber, G. W. Gokel, Phase Transfer Catalyst in Organic Synthesis, Vol. IV, Springer Verlag, Berlin, Germany, 1977, p. 52.