PROYEK SEATAR: DARI TEORI TEKTONIKA LEMPENG KE EKSPLORASI MIGAS LEPAS PANTAI DAN MITIGASI BENCANA
T
erobosan terbesar dalam ilmu pengetahuan di abad-20 adalah berkembangnya teori tektonika lempeng (plate tectonics) yang meletakkan dasar-dasar baru akan pemahaman kita tentang bumi ini. Pada dasarnya teori tektonika lempeng
ini memandang kerak bumi terdiri dari lempeng-lempeng yang plastis atau lentur dan relatif tipis, yang mengapung dan menghanyut, bergerak saling bergesekan atau berbenturan. Ada wilayah bumi yang mengalami pembaharuan dimana bagian lempeng-lempeng baru terbentuk dari sumber-sumber yang berasal dari perut bumi, sebaliknya di wilayah lain ada pula perbenturan yang mengakibatkan terjadinya penunjaman
yang
membawa
lempeng
itu
menukik tenggelam kembali ke perut bumi. Pembentukan, pergesekan, perbenturan dan penunjaman lempeng-lempeng ini melibatkan energi yang sangat luar biasa besarnya, yang dapat menerangkan berbagai fenomena geologi seperti terjadinya rangkaian gunung api, palungpalung
laut-dalam
(deep-sea
trenches),
pematang tengah samudra (mid-ocean ridges), pusat-pusat kegempaan, tsunami, dan berbagai fenomena kebumian lainnya. Di lain pihak dinamika lempeng ini juga dapat menjelaskan Gambar 1. Prof. Dr. J.A. Katili (19292008). Tokoh kunci dalam Proyek SEATAR (Studies on Southeast Asia Tectonics and Resources)
peluang-peluang terbentuknya sumberdaya alam seperti migas (minyak dan gas bumi) serta mineral di berbagai kokasi, yang mempunyai implikasi
yang
sangat
penting
dalam
perekonomian. Perkembngan konsep tektonika lempeng itu juga membawa perubahan besar dalam penelitian kebumian. Kalau sebelumnya penelitian kebumian lebih banyak dilaksanakan di 1
daratan, maka kemudian terjadi kecenderungan beralih menuju ke laut, dimana proses-proses interaksi lempeng-lempeng itu lebih mudah untuk dikaji. Penelitian laut dengan teknologi yang makin maju seperti survei seismik, mempercepat pematangan konsep ini. Lalu bagaimana memahami konsep lempeng tektonik ini bila dihadapkan pada bumi Nusantara yang sebagian besar wilayahnya merupakan laut? Pertanyaan ini merupakan sebagian dari pertanyaan besar yang sangat menantang bagi para ilmuwan kebumian di era akhir tahun 1960-an ketika orang masih meraba-raba bagaimana sebenanrnya dinamika tektonik di kawasan Nusantara ini.
Gambar 2. Atas: Lokasi transek SEATAR di Asia Tenggara. Bawah: Survei laut dengan metode seismik untuk mengetahui struktur geologi di bawah permukaan dasar laut.
2
Adalah Professor John Ario Katili, kelahiran Gorontalo 9 Juni 1929, yang berperan sangat besar dalam merintis aplikasi konsep tektonika lempeng ini dalam menginterpretasi struktur geologi dan tektonika busur-busur kepulauan Nusantara. Ia pernah berkiprah di lembaga-lembaga akademik di ITB (Institut Teknologi Bandung), dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebgai Deputi Ilmu Pengetahuan Alam) dan kemudian diangkat menjadi Direktur Jenderal Pertambangan Umum (Departemen Pertambangan dan Energi). Ketika ia baru saja diangkat sebagai Dirjen Pertambangan Umum tahun 1973, ia memimpin delegasi Indonesia pada Sidanag CCOP X yang diselenggarakan di Bangkok, 10-22 September 1973. CCOP (Committee for Coordination of Joint Prospecting for Mineral Resources in Asian Offshore Areas) adalah organisasi ilmiah bidang geologi dan sumber-sumber mineral lepas pantai (offshore) untuk Asia di bawah naungan ECAFE (Economic Community for Asia and the Far East) yang beranggotakan delapan negara yakni Indonesia, Jepang, Kamboja, Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand dan Korea Selatan. Sidang tersebut membahas geologi dan pertambangan lepas pantai. Katili ditunjuk untuk memimpin proyek penelitian yang melibatkan banyak negara. Proyek raksasa ini merupakan bagian dari program IDOE (International Decade of Ocean Exploration) yang didukung oleh NSF (National Science Foundation) Amerika Serikat, dan UNESCO (United Nation Educational Scientific and Cultural Organization). Penelitian ini yang berlangsung dari tahun 1973 hingga 1988 diberi nama SEATAR (Studies on Southeast Asia Tectonics and Resources). Program utama SEATAR seperti yang telah dirumuskan dalam sidang CCOP IX di Bandung tahun 1972 adalah: a. untuk menemukan lokasi, karakteristik, dan signifikansi sifat-sifat tektonik di tepian benua (continental margin) dan unsur-unsur struktural terkait di Asia Timur dan Asia Tenggara; b. untuk mengaitkan deposit bijih metalik (metalliferous ore) dengan sifat-sifat tektonik dan batas-batas lempeng; c. untuk
menganalisis
ciri-ciri
berbagai
tipe
cekungan
sedimen
dan
lingkungan
hidrokarbonnya; d. untuk mengkaji faktor-faktor geologi, geokmia, dan geotermal yang mempengaruhi transformasi bahan-bahan organik menjadi hidrokarbon di cekungan-cekungan kecil. Dalam sidang CCOP X di Bangkok tahun 1973 diputuskan untuk menitik beratkan penelitian pada irisan atau transek-transek yang memotong tatanan geologi dan geofisika yang diperkirakan mempunyai makna penting di Asia Timur dan Asia Tenggara (Gambar 2). Semula ditetapkan ada sebanyak enam transek di seluruh wilayah ini, tetapi kemudian diperbanyak lagi sampai sepuluh transek. Transek-transek ini memotong daratan hingga ke samudra, antara lain 3
yang memotong Paparan Sunda-Semenanjung Malaysia – Sumatra - Samudra Hindia, dan yang memotong Timor - Banda dan juga yang memotong Kalimantan - Laut Jawa - Pulau Jawa hingga ke Samudra Hindia.
Gambar 3. Tak kurang dari sepuluh kapal riset dikerahkan dalam proyek SEATAR, antara lain RV Atlantis II dari Amerika Serikat (atas) dan RV Jean Charcot dari Perancis (bawah). Sejak itu SEATAR menunjukkan hasil yang luar biasa mengesankan. Program yang menelan biaya sekitar 50 juta US dollar itu melibatkan ilmuwan-ilmuwan kebumian baik dari negara-negara terkait setempat maupun dari luar negara Asia Timur-Asia Tengara. Dalam program ini, tak kurang dari sepuluh kapal riset yang dilibatkan di kawasan ini yang berasal dari berbagai negara yang melaksanakan survei yang terkait langsung atau tak langsung dengan program raksasa ini.
4
Amerika Serikat misalnya mengerahkan kapal riset Thomas Washington dari Scripps Oceanographic Institution dan kapal riset Atlantis II dari Woods Hole Oceanographic Institution, sementara Jerman mengerahkan kapal riset Valdivia, dan Perancis dengan kapal riset Coriolis dan Jean Charcot. Kapal riset Kana Keoki dari University of Hawaii juga tak ketinggalan ikut serta. Indonesia sendiri melibatkan kapal riset Jalanidhi dan Samudera. Penelitian geologi laut dengan metode seismik yang diterapkan oleh beberapa kapal riset merupakan teknik yang sangat baik untuk memahami struktur geologi di bawah permukaan dasar laut (Gambar 2).
Gambar 4. Lempeng-lempeng tektonik utama di Indonesia (Haile, 1981)
Hasil-hasil riset Proyek SEATAR kemudian diterbitkan dalam berbagai laporan, jurnal ilmiah, buku, dan peta-peta. Salah satu yang tepenting adalah dokumen The tectonic and geologic evolution of the East Asian Seas and Islands yang disunting oleh Hayes tahun 1980 dan 1983. Pusat Penelitian Geologi Laut (MGI) di Bandung juga memproduksi peta-peta dasar laut Indonesia secara rinci
dalam skala 1: 1.000.000. Dari semua ekspedisi-ekspedisi
multinasional tersebut di atas, ilmuwan Indonesia ikut serta tidak saja dalam kerja lapang tetapi juga di laboratorium-laboratorium modern di luar negeri.
5
Hasil-hasil Proyek SEATAR ini sungguh luar biasa, yang akhirnya memberikan gambaran yang lebih jelas tentang karakteristik tektonik dan struktur geologi perairan Nusantara dan Asia Tenggara. Hasil-hasil kajian ini sekaligus menempatkan Indonesia dalam posisi sentral dalam diskusi-diskusi tentang global tectonics yang sebelumnya merupakan wilayah yang tak dikenal (terra incognita).
Gambar 5. Model tektonika lempeng Indonesia bagian barat (Katili)
Nusantara kini dapat dikenali sebagai daerah pergesekan tiga lempeng utama dunia yakni Lempeng Samudra Hindia - Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasisik (Gambar 4). Lempeng-lempeng utama ini bisa terfragmentasi menjadi lempeng-lempeng yang lebih kecil. Dalam garis besarnya Lempeng Hindia-Australia bergerak menggeser ke utara membentur lempeng Eurasia dengan kecepatan sekitar 6 cm/tahun. Daerah perbenturan ini memanjang dalam bentuk busur yang terbentang mulai dari sebelah barat Sumatra, melengkung ke sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara, dan membelok ke utara ke arah Laut Banda. Perbenturan kedua lempeng ini juga menerangkan terjadinya palung laut-dalam yang dikenal sebagai Palung Jawa (Java Trench) dimulai dari sebelah barat Sumatra hingga ke selatan Jawa. Demikian pula untaian gunung api yang memanjang dari Sumatra - Jawa - Nusa Tenggara Maluku yang posisinya kurang lebih sejajar dengan busur palung laut-dalam di Samudra Hindia. Sementara itu di bagian timur Nusantara lempeng Pasifik bergeser pula ke arah barat dan membentur Pulau Halmahera dan Sulawesi. Kesemua ini menyebabkan kompleksnya topografi dasar laut di bagian timur Nusantara, dengan variasi mulai dari laut dangkal, palung 6
dan gunung api bawah laut, hingga palung terdalam di Nusantara yang dikenal sebagai Palung Weber (Weber Deep) di Laut Banda yang dalamnya lebih 7.000 m.
Gambar 6. Cekungan hidrokarbon Indonesia (KESDM).
Gambar 7. Peta Zona Pesisir Rawan Tsunami di Indonesia.
Implikasi selanjutnya dari teori tektonika lempeng ini adalah spin off yang mendorong gerak perekonomian.
Dengan pemahaman yang lebih jelas akan karakteristik tektonik
Nusantara maka terbuka pula peluang lebih besar untuk aplikasinya dalam eksplorasi pencarian 7
sumber hidrokarbon atau migas dan mineral di lepas pantai. Kini telah diketahui terdapat sekitar 60 cekungan sedimen di Indonesia yang potensial untuk minyak dan gas bumi (Gambar 6). Sebagian telah diekplorasi dan telah menghasilkan sedangkan lainnya belum dieksplorasi, terutama yang terdapat di laut-dalam. Potensi rawan bencana tsunami juga dapat dipetakan dan diterangkan dengan teori tektonika lempeng yang baru ini (Gambar 7). Konsep ini menjadi penting artinya dalam mitigasi bencana misalnya dalam pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) untuk perkiraan bencaca alam seperti erupsi gunung api, gempa bumi dan tsunami. Demikianlah konsep tektonika lempeng yang semula hanya merupakan isu yang diperdebatkan di lingkungan akademik, kemudian telah berkembang mejadi instrumen yang dapat diaplikasikan dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi dan juga lingkungan.
PUSTAKA
Haile, N. S. 1981. Bathymetry and geology of southeast Asian seas: a review. In Chia, LS. & C. Macandrews (eds). Southeast Asian Seas: Frontiers for Development. Mc Graw-Hill International Book Co., Singapore. Katili, J. A. 1986. Geosains laut dan impliksainya terhadap ekonomi dan lingkungan. Ekspose Pemanfaatan Sumberdaya Laut menjelang tahun 2000. ISOI-LIPI Jakarta, 13-14 Mei 1986. Katili, J. A. 1989. Review of past and present geotectonics concepts of East Indonesia. Netherlands Journal of Sea Research, 29: 103-129. Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm. Nusantara, A. A. (editor). 2007. Harta bumi Indonesia. Biografi J. A. Katili. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta: 421 hlm.
-----
Anugerah Nontji 04/07/2017
8
9