PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN CAMPURAN DALAM PEMBANGUNAN HTI Prospect of Mixed-Species Plantation in Industrial Plantation Forest S. Agung Sri Raharjo1), Tigor Butar Butar2) dan/and A Syaffari Kosasih3) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Jln. Untung Suropati No 7 B. Kupang NTT, Telp. (0386) 823357 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Jln. Gunung Batu No 5 Bogor, Telp. (0251) 8633944 3) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Jln. Gunung Batu No 5 Bogor, Telp. (0251) 8631238
2)
Naskah masuk : 27 Oktober 2008 ; Naskah diterima : 19 Maret 2009
ABSTRACT Until now, the progress of plantation forest development is still low. Regardless of some policy obstacles, one of the solutions to increase that progress above is through mixed plantation forest in the future. This paper was derived from desk study on literatures related to the topic. The benefit of mixed plantation forest compared to monoculture plantation forest consist of: improving stem quality, growing and harvesting multiple product on varying rotations, reducing risk of pest damage, restoring degraded land and the mixed plantations have the potential to sequester more carbon than monoculture. Keywords: mixed plantation, complementary interaction and facilitative interaction
ABSTRAK Target pembangunan hutan tanaman sampai saat ini belum mencapai target luasan yang diinginkan. Terlepas dari kebijakan yang ada, salah satu solusi teknis yang dapat dilakukan untuk mempercepat pembangunan hutan tanaman adalah introduksi jenis campuran. Tulisan ini merupakan hasil studi berbagai literatur yang relevan dengan teknologi hutan tanaman campuran. Prinsip-prinsip ekologis dan silvikultur yang digunakan dalam model hutan tanaman campuran adalah prinsip interaksi komplementer dan prinsip fasilitasi. Manfaat yang didapat dari hutan tanaman campuran dibandingkan dengan hutan tanaman monokultur antara lain: perbaikan kualitas pohon, dapat menanam dan memanen berbagai komoditi dalam berbagai rotasi, mengurangi resiko serangan hama, keberhasilan yang lebih baik untuk rehabilitasi lahan rusak, dan adanya potensi untuk berfungsi lebih baik sebagai penyerap karbon. Kata kunci: tanaman campuran, interaksi komplementer, interaksi fasilitasi
1
Tekno Hutan Tanaman Vol.2 No.1, April 2009, 1 - 7
I. PENDAHULUAN Capaian pembangunan Hutan Tanaman Industri di Indonesia sampai saat ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pencapaian 10 tahun yang lalu. Luas pembangunan HTI kayu pertukangan pada tahun 1996 mencapai 123.897,36 ha, dan terus mengalami penurunan luasan penanaman sampai tahun 2006 yang hanya mencapai 31.784,51 ha (Dephut, 2006). Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kendala teknis dan non-teknis, yang diikuti oleh kurangnya upaya dalam mencari solusi penyebab kendala di atas. Terlepas dari berbagai permasahan yang ada, perlu adanya alternatif solusi untuk merangsang kembali pembangunan Hutan Tanaman Industri melalui pengembangan hutan tanaman campuran. Berbagai hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa hutan tanaman campuran dengan desain yang tepat dan cermat dapat menghasilkan potensi produksi tegakan yang lebih tinggi daripada hutan tanaman murni. Selain mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap serangan hama dan penyakit, hutan tanaman campuran dapat menghasilkan produksi yang berbeda pada waktu rotasi yang berbeda, mengurangi resiko perubahan pasar, lebih berhasil dalam rehabilitasi lahan dan menangkap karbon yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan tanaman murni.
II. PRINSIP-PRINSIP EKOLOGI/SILVIKULTUR TEGAKAN CAMPURAN A. Prinsip interaksi komplementer Prinsip ini mencampur jenis berdasarkan perbedaan persyaratan tumbuh agar penggunaan tempat tumbuh dapat optimal. Kunci dalam prinsip interaksi ini adalah mengkombinasikan jenis yang mempunyai perbedaan toleransi terhadap naungan atau kebutuhan cahaya, perbedaan kecepatan pertumbuhan tinggi, perbedaan leaf area indeks, perbedaan phenologi daun (gugur daun dan evergreen) dan perbedaan dalam kedalaman akar. Dengan pencampuran yang tepat dan cermat jenis-jenis tersebut dapat memanfaatkan seluruh sumber daya tempat tumbuh seperti ruang, cahaya dan tanah secara optimal dan akan menghasilkan biomas yang lebih besar dibandingkan jika masing-masing jenis ditanam secara monokultur. Selanjutnya prinsip komplementer ini dibagi dalam 2 jenis interaksi, yaitu interaksi interspesifik dan interaksi intra spesifik. Interaksi interspesifik adalah interaksi/persaingan yang terjadi pada 2 jenis tanaman yang mempunyai persyaratan tumbuh yang berbeda, sedangkan interaksi intraspesifik adalah interaksi persaingan yang terjadi pada jenis yang sama. Jenis-jenis yang mempunyai sifat komplementer disebut juga jenis yang mempunyai kombinasi ekologis yang baik (Haggar dan Ewel, 1997). Jenis-jenis dengan ciri komplemen mempunyai persaingan interspesifik yang lebih rendah daripada intraspesifiknya. Fenomena inilah yang disebut dengan mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dengan sebutan prinsip produksi yang kompetetif (Vandelmeer, 1989). Penerapan ciri komplementer untuk tanaman campuran, pertumbuhan jenis intoleran lebih cepat akan membentuk tajuk sehingga jenis intoleran yang dibawahnya dapat tumbuh dengan baik. Pola pendekatan tajuk diatas dapat diterapkan dengan 2 model hutan tanaman campuran, antara lain: a. A fine-grained spatial pattern, campuran 2 jenis tanaman berselang-seling dalam baris b. A coarse-grained spatial pattern, campuran dalam blok-blok atau gabungan beberapa baris. Berdasarkan hasil penelitian dari Poleno (1981), campuran Pinus sylvestris dengan Picea abies di Chechnia mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan jika ditanam secara murni.
2
Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Campuran dalam Pembangunan HTI S. Agung Sri Raharjo, Tigor Butar Butar dan A. Syaffari Kosasih
Gambar (Figure) 1. Diagram skema 2 model tanaman campuran dengan dua spesies. Tiap gambar menunjukkan tahap sampling dan tahap akhir daur. (A) model fine-grained, (B) model coarse-grained. (Kelty, 2006) (Diagram of 2 model mixed plantation with 2 species, each picture shows sampling stage until old stage. (A) fine-grained model, (B) Coarse-grained model) B. Prinsip Fasilitasi Prinsip fasilitasi produksi adalah interaksi antar jenis dimana suatu jenis tertentu membantu pertumbuhan jenis lainnya secara langsung (Valdermeer, 1989). Sebagai contoh : kelompok jenis penambat nitrogen melalui perakaran dan menambah nitrogen melalui pengguguran daunnya. Tetapi pada beberapa situasi jenis ini akan menurunkan jumlah Pospor karena diambil oleh jenis penambat N tersebut. Oleh karena itu jenis-jenis fasilitasi ini juga harus mempunyai sifat komplementer untuk berinteraksi. Contoh jenis campuran seperti ini Eucalyptus saligna (di tajuk atas) dengan Falcataria moluccana (di tajuk bawah). Contoh lain adalah campuran Eucalyptus globulus dengan Acacia meanrsii. Pada 3 tahun pertama Acacia di lapisan atas dan pada tahun kelima jadi di lapisan kedua. Tetapi ada juga campuran yang sama tidak berpengaruh pada peningkatan produksi, karena tingginya persaingan intra species dari penambat nitrogen. Hal ini disebabkan oleh cara pencampuran yang menggunakan model fine grained, jadi sebaiknya model coarse-grained spatial dengan Tifolia atau dengan Leucaena leucocephala (Parrota, 1999). Contoh tersebut terjadi pada campuran Eucalyptus robusta dan Casuarina equisetoh. Contoh lain yang lebih khas adalah campuran tanaman antara Pinus menziesii dengan Alnus rubra (pengikat nitrogen) di Northeastern USA yang diteliti oleh Binkley (2003). Pada tahun pertama terlebih dahulu ditanam jenis P. menziesii di tapak dengan kandungan nitorgen yang rendah, kemudian pada tahun ke-4 ditanam A. rubra. Sampai tahun yang ke-73 pertumbuhan campuran meningkat dengan P. menziesii hampir dua kali dan mendominasi A. rubra. Perlu diketahui bahwa antara umur 55-73 tahun secara bertahap hampir semua A. rubra mati. Dari pengalaman tersebut dicoba lagi 3 model campuran yang menggunakan jenis
3
Tekno Hutan Tanaman Vol.2 No.1, April 2009, 1 - 7
pengikat nitrogen supaya berhasil dalam campuran. Pola pertama menggunakan model fine-grained mixture, dengan pola pelapisan tajuk dimana lapisan kedua dengan jenis pengikat nitrogen dan lapisan atas, lapisan intoleran, dengan proporsi sesuai sisa ruang setelah dikurangi jenis pertama. Pola kedua menggunakan model coarse-grained mixture dengan jenis pengikat nitrogen yang mempunyai sifat persaingan intra spesifik yang tinggi dapat ditanam dalam blok-blok atau baris. Selanjutnya pola yang ke 3 adalah coarse-grained mixture tetapi dengan penundaan penanaman tanaman pengikat nitrogen sampai beberapa tahun setelah jenis lainnya ditanam. Perlu dicatat interaksi fasilitasi seperti di atas tidak berlaku pada tanaman dengan nitrogen yang tinggi. Teknik lain untuk menggunakan interaksi fasilitasi dapat juga digunakan terhadap jenis-jenis yang tidak sebagai penambat nitrogen, tetapi antara jenis daun lebar yang mudah lapuk dengan jenis yang sukar lapuk seperti Picea spp. (daun sulit lapuk) dengan jenis daun yang mudah lapuk seperti Betula spp. atau F. sylvatica (Matthews, 1989).
III. KEMANFAATAN HUTAN TANAMAN CAMPURAN Beberapa keuntungan lain pada hutan tanaman campuran adalah memperbaiki kualitas pohon atau batang, menghasilkan berbagai produk dalam rotasi yang berbeda, mengurangi resiko bahaya hama dan penyakit, merehabilitasi lahan secara lebih cepat dan sebagai penyerap karbon yang lebih baik dibandingkan dengan jika jenis-jenis yang dicampur ditanam secara murni (monokultur). 1. Perbaikan kualitas pohon Hasil penelitian De Bell et al. (1997) menunjukkan bahwa tanaman campuran antara Eucalyptus saligan dengan Falcataria moluccana; Eculayptus globulus dengan Acacia mearnensii (Foresters, et al. 2004) dan Pinus menziesii (Brinkley, 2003) mempunyai tajuk dan diameter yang lebih besar pada hutan tanaman campuran dibandingkan dengan pada hutan tanaman monokultur. Tanaman campuran Acacia melanoxylon (mempunyai banyak cabang) jika dicampur dengan tanaman setempat dengan jenis Pomadermus apelata (di Australia) mempunyai percabangan yang lebih sedikit dan batang utama yang lebih lurus. Tetapi perlu berhatihati dengan jenis naungan yang mempunyai pertumbuhan tajuk yang besar yang pada akhirnya dapat menekan pertumbuhan di bawah naungan yang lebih kecil karena jenis yang dinaungi juga membutuhkan cahaya untuk pertumbuhan berikutnya. Dengan demikian pemilihan tanaman penaung menjadi faktor kunci. 2. Memanen berbagai produk pada berbagai rotasi Berbagai produk pada berbagai rotasi menjadi penting karena dapat mengurangi resiko perubahan pasar serta memberikan hasil antara yang lebih menarik bagi pengusaha atau investor. Namun demikian diversifikasi produk tidak selalu memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. Contoh kasus dari hasil penelitian Tham (1994) dan Bergqvit (1999) yang menyebutkan bahwa tanaman campuran Picea abis dan Betula spp. di Skandinavia dengan Picea abis ditanam dengan kerapatan umumnya 2000-3000 per hektar dan betula yang selanjutnya dapat berkembang secara alam perlu dikurangi kerapatannya sampai 300-1200 per hektar pada tahap sapling, selanjutnya tajuknya akan cepat berkembang dan menjadi kanopi. Setelah 20-30 tahun betula pada kanopi dapat dipanen dan selanjutnya Picea abis dapat tumbuh maksimum sampai pada umur 80 tahun. Pada beberapa tanaman campuran pertumbuhan ukuran jenis tertentu tidak berbeda, sebagai contoh tanaman sengon yang ditanam pada lapisan kedua dengan Eucalyptus pada lapisan atas, pada waktu tertentu sengon dapat dipanen untuk pulp atau kayu pertukangan sedangkan Eucalyptus akan tumbuh lebih baik karena telah ada penambahan nitrogen. Contoh lain dari penelitian Nichols, et al. (2006) di Costa Rica, pencampuran kayu pertukangan Terminalia amazonia dengan pengikat nitrogen Inga edulis menghasilkan pertumbuhan tinggi terminalia yang lebih tinggi sampai menjadi kanopi sehingga kegiatan weeding akan berkurang. Pada umur 3 tahun I. edulis memberikan biomas untuk kayu bakar dan buah yang dapat dimakan, tetapi kadang-kadang perhitungan ekonomisnya sulit dihitung.
4
Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Campuran dalam Pembangunan HTI S. Agung Sri Raharjo, Tigor Butar Butar dan A. Syaffari Kosasih
3. Mengurangi resiko bahaya hama dan penyakit Penelitian hama dan penyakit pada tanaman campuran masih sangat kurang. Namun secara prinsip tanaman campuran akan mengurangi tanaman inang hama dan penyakit, menambah tanaman inang untuk musuh alami dan tingkat kerusakan akibat serangan hama penyakit pada tanaman campuran lebih mudah diatasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran 2 sampai 3 jenis lebih baik. Hal ini sesuai dengan kaidah ekologi yang menyatakan bahwa semakin heterogen komponen suatu komunitas, maka komunitas tersebut akan menjadi lebih stabil. Stabilitas ini akan meningkatkan resistensi komunitas terhadap gangguan yang merugikan (Widyastuti, 2006) 4. Rehabilitasi lahan-lahan rusak Usaha rehabilitasi lahan rusak dengan penanaman campuran dari berbagai jenis akan lebih baik. Tahap pertama adalah dengan menanam tanaman pionir atau disebut nurse species dengan eksotik atau non-native yang dapat tumbuh pada tanah yang sangat masam, rendah nutrien seperti pada bekas tambang. Jenis ini akan menekan pertumbuhan rumput-rumput atau bekas tanaman yang tidak diinginkan (gulma) sehingga dapat tercipta habitat untuk jenis fauna yang dapat membawa biji-biji dari tempat lain. Contohnya adalah penanaman daerah bekas tambang bauksit di Para, Brazil (Parrotta dan Knowless, 1999) menggunakan 5 jenis Eucalyptus spp. dengan Acacia mangium dan jenis asli Scelorobium panniculata. Contoh lain di Jerman pada tanah bekas tambang batu bara dengan lapisan tanah baru yang diangkat dari lapisan bawah yang mempunyai tingkat kesuburan fisik rendah, pada tanah lembab ditanami jenis Acer spp. dan pada tempat kering ditanam jenis Quercus dan Poplar sp. sebagai nurse species. Selanjutnya sebagai taman pelindung tanah ditanam jenis Lupina spp. dan jenis ini setelah 10-20 tahun ditebang untuk memberikan kesempatan tumbuh dari 2 jenis terdahulu. Ashtom et al. (2001) mengemukakan, dalam berbagai penelitian pada bekas perladangan/pertanian yang ditinggal di Srilanka; pada tahun pertama tanam dengan jarak tanam lebar jenis-jenis yang mempunyai pertumbuhan rendah, tanaman penutup tanah sebagai penaung, penahan kelembaban dan penambah nitrogen. Pada tahun kedua ditanam jenis yang mempunyai rotasi lebih panjang tetapi lebih tahan naungan. Dengan demikian pada prinsip dalam rehabilitasi hutan harus berpegang pada pola sequestrila yang terkait dengan pola floristik untuk model suksesi. 5. Sebagai penyerap karbon Hasil penelitian Forresters et al. (2006) menunjukkan bahwa kandungan karbon pada hutan tanaman campuran Eucalyptus globulus dengan Acacia mearnsii mempunyai biomas diatas tanah yang lebih tinggi 2 kali dengan komposisi 50:50 dibanding jika ditanam secara murni untuk masing-masing jenis. Perlu dicermati lebih dalam bahwa yang dimaksud dengan penyerapan karbon bukan hanya di permukaan tetapi juga di bawah permukaan tanah. Pendekatan ini dapat digunakan untuk mengetahui neraca karbon baik pada hutan campuran maupun hutan tanaman murni jumlah karbon yang di atas tanah dapat didekati dengan perhitungan biomass yang dikalikan 50 %. Sedangkan perhitungan jumlah karbon bersih di bawah tanah merupakan total karbon dari permukaan tanah dalam bentuk CO2, karbon hasil erosi atau leaching atau CH4 kurang, carbon dalan jatuhan daun tambah karbon dalam tanah dan karbon dalam akar dan karbon dalam lantai hutan. Hasil-hasil perhitungan karbon pada pada permukaan dan di bawah permukaan menjadi dasar perhitungan untuk penelitian Forresters di atas.
IV. PELUANG DAN TANTANGAN Dari berbagai uraian di atas dan dari potensi pertumbuhan dan keuntungan yang didapat, pengembangan hutan tanaman campuran merupakan suatu alternatif dalam merevitalisasi pembangunan hutan tanaman industri. Hasil-hasil penelitian di atas merupakan hasil penelitian yang belum mewakili berbagai tempat tumbuh, belum menghitung keuntungan ekonomis dan juga pertimbangan sosial budaya masyarakat apabila ditanam dalam sebagai hutan rakyat, hutan kemasyarakatan atau hutan keluarga .
5
Tekno Hutan Tanaman Vol.2 No.1, April 2009, 1 - 7
Peluang yang menjanjikan dari pembangunan hutan tanaman campuran adalah sebagai berikut : 1. Hutan tanaman campuran dengan jenis yang tepat dapat memanfaatkan tempat tumbuh secara optimal. 2. Campuran jenis dengan perakaran dangkal dan dalam dapat membentuk tegakan yang lebih tahan angin dan memanfaatkan tanah secara optimal. 3. Serangan jamur dan serangga menjadi kurang berbahaya. 4. Tanaman campuran lebih sukses pada tanah-tanah kurang subur dibandingkan dengan tanaman monokultur. 5. Hasil penjarangan lebih banyak pada tanaman campuran. 6. Kesalahan pemilihan jenis pada hutan campuran lebih mudah dikoreksi dibandingkan dengan tanaman monokultur. 7. Hutan tanaman campuran lebih mudah disesuaikan dengan kebutuhan sekarang atau dengan pasar di masa depan. Adapun tantangan yang paling nyata saat ini adalah kurangnya data dan informasi yang dapat menjawab efektivitas sistem tanaman campuran dalam skala operasional.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Untuk mempercepat pembangunan hutan tanaman dapat dilakukan introduksi hutan tanaman campuran. 2. Prinsip pencampuran jenis dapat dilakukan dengan berbagai model, seperti model fine-grained dan model coarse-grained yang disesuaikan dengan karakteristik jenis pohon pencampur. 3. Keuntungan hutan tanaman campuran dibandingkan dengan hutan tanaman murni antara lain kualitas batang yang lebih baik, dapat menanam dan memanen berbagai komoditi dalam berbagai rotasi, mengurangi resiko serangan hama, lebih baik untuk merehabilitasi hutan rusak serta berfungsi lebih baik sebagai penyerap karbon. B. Saran Sebelum pengembangan hutan tanaman campuran dalam skala operasional perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut: 1. Uji jenis yang lebih mewakili berbagai variasi kesuburan tanah atau variasi tempat. 2. Uji berbagai kombinasi jenis yang lebih mewakili tempat tumbuh, kebutuhan pasar dan faktor sosial budaya. 3. Selain jenis pengikat nitrogen perlu diselidiki pengaruh terhadap unsur fosfat, seperti jenis yang bisa menyediakan fosfat pada tanah yang miskin fosfat seperti pada model agroforestry. 4. Penelitian dinamika zat hara dengan menanam berbagai jenis pada tapak yang sama dan penanaman berbagai jenis pada tapak yang berbeda. 5. Perlu dibuat demonstrasi plot skala operasional sehingga selain aspek biologis atau pertumbuhannya, aspek ekonomi dan sosial budayanya. 6. Penelitian dan pengembangan sistem silvikultur hutan tanaman campuran dalam skala operasional. 7. Analisis ekonomis seperti pada hutan tanaman murni. 8. Kajian sosial budaya jika diterapkan dalam skala operasional.
6
Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Campuran dalam Pembangunan HTI S. Agung Sri Raharjo, Tigor Butar Butar dan A. Syaffari Kosasih
DAFTAR PUSTAKA Bergqvit, G. 1999. Wood Volume Yield and Stand Structure in Norway Spruce Understorey Depending on Birch Shelterwood Density. For. Ecol. Manage. 122, 221-229. Binkley, D. 2003. Seven Decades of Stand Development in Mixed and Pure Stands of Conifers and Nitrogenfixing Red Alder. Can. J. For. Res. 33, 2274-2279 Brinkley, D., Senock, R., Bird, S., Cole, T.G. 2003. Twenty Years of Stand Development in Pure and Mixed Stand of Eucalyptus saligna Land N-fixing Falcataria moluccana. For. Ecol. Manage. 182, 93-102 De Bell, D.S., Cole, T.C., Whitesell, C.D. 1997. Growth, Development, and Yield of Pure and Mixed Stands of Eucalyptus and Albizia. Forest Science. 43. 286-298 Dephut. 2006. Statistik Kehutanan Tahun 2006. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HPH Tanaman) Tahun 1989 - 2006. Website : http://www.dephut.go.id/diakses tanggal 23 Januari 2009. Foresters, D.I., Bauhus, J., Khanna, P.K. 2004. Growth Dynamics in Mixed-species Plantation of Eucalyptus globulus and Acacia mearnsii. For. Ecol. Manage. 193, 81-95 Forresters, D.I., Jurgen, B., Coarse, A.C. 2006. Carbon Allocation in a Mixed Species Plantation of Eucalyptus globulus and Acacia mearnsii. Forest Ecology and Management. 233. 275-284 Haggar, J.P., Ewel,J.J. 1997. Primary Productivity and Resource Partitioning in Model Tropical Ecosystem. Ecology 78, 1211-1221 Kelty, M.J. 2006. The Role of Species Mixture in Plantation Forestry. Forest Ecology and Management. 233. 195-204 Matthews, J.D. 1989. Silvicultural System. Clarendon Press, Oxford, 284 pp Nichols, J.D., Mile B and J.K.Vanclay. 2006. Mixed Species Plantation : Prospects and Challenges. Forest Ecology and management. 233. 383-390 Parrotta, J.A. 1999. Productivity, nutrient cycling, and succession in single and mixed-species plantations of Casuarina equisetifolia, Eucalyptus robusta and Leucaena leucocephala in Puerto Rico. For. Ecol. Manage. 124, 45-77 Parrotta, J.A., Knowless, O.H. 1999. Restoration of tropical moist forest on bauxite-mined lands in the Brazilian Amazon. Restor. Ecol. Manage, 99. 1-7 Poleno, Z. 1981. Development of Mixed Forest Stand. Prace VULHM 59, 179-202 Tham, A. 1994. Crop Plants and Yield Predictions for Norway Spruce (Picea abies (L) Karst.) and Birch (Betula pendula Roth and Betula pubescens Ehrh.). Studia Forestalia Seucica (195) Swedish University of Agriculture Sciences, Uppsala, 21 pp Vandelmeer, J. 1989. The Ecology of Intercropping. Cambridge University Press, New York. Widyastuti, S.M. 2006. Forest Health Monitoring di Hutan Tanaman. Prosiding Ekspose Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman, Jakarta, 23 November 2006. Puslitbang Hutan Tanaman. Departemen Kehutanan RI.
7