PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN PANGAN UTAMA: Analisis Masalah, Kendala dan Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi Pantjar Simatupang dan M. Maulana Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
PENDAHULUAN Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat MERUPAKAN HAL YANG SANGAT STRATEGIS mengingat vitalitas sektor pertanian saat ini sedang mengalami degradasi yang ditunjukkan oleh terjadinya levelling off (penurunan dan deselerasi) produksi beberapa komoditas pertanian, kususnya komoditas pangan. Penurunan dan deselerasi kapasitas produksi tersebut telah menyebabkan kapasitas negara dalam menyediakan pangan menurun yang ditunjukkan masih tingginya impor komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Sebagai gambaran umum, pada tahun 2006, untuk komoditas padi, walapun kita mampu mengurangi impor, namun tingkat produksi masih fluktuatif; Secara kuantitas, impor jagung, kedelai, gula, dan daging sapi masing-masing sebesar 11,23 persen; 64,86 persen; 37,48 persen dan 29,09 persen dari kebutuhan. Apabila hal ini dibiarkan, selain akan memperlemah perekonomian nasional karena pengurasan devisa, juga akan meningkatkan harga pangan di dalam negeri. Peningkatan harga pangan tersebut akan mengakselerasi inflasi karena sumbangan harga pangan terhadap inflasi cukup besar. Peningkatan inflasi tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga yang akan menghambat investasi di sektor ekonomi termasuk sektor pertanian. Memang sangat ironis gejala penurunan dan deselerasi produksi terjadi pada kondisi potensi lahan dan inovasi teknologi untuk perluasan usahatani masih tersedia. Dari luas lahan yang sesuai untuk usaha pertanian sebesar 100,8 juta hektar, telah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, sehingga lahan yang belum
dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar, dan belum termasuk lahan gambut dan lebak yang potensinya cukup besar. Para ahli pertanian Indonesia telah menguasai teknologi pertanian mutahir yang diterapkan di negera-negara maju, namun inovasi teknologi tersebut mengalami kemandekan dalam penyebarannya karena selain faktor sistem delivery-nya yang masih lemah, juga faktor receiving-nya (petaninya). Dengan demikian, masalah utama yang dihadapi sektor pertanian khususnya berkaitan dengan masalah ketahahan pangan saat ini adalah rendahnya kapasitas aktual dibanding potensinya. Sementara teknologi sudah banyak tersedia untuk mengembangkan kapasitas aktual tersebut, namun terkendala oleh rendahnya pembiayaan untuk penerapan teknologi maju, termasuk di dalamnya juga tidak memadainya infrastruktur sistem delivery dan receiving di sektor pertanian, sehingga aliran teknologi dan inputnya ke dalam sektor pertanian serta aliran output ke luar sektor pertanian tidak lancar. Pengembangan kapasitas aktual produksi pangan diperlukan agar ketahanan pangan dapat ditingkatkan, lapangan kerja dapat diciptakan, insiden kemiskinan dapat dikurangi, pengurasan devisa negara dapat ditekan, dan harga pangan dapat diturunkan. Mengingat sumbangan harga pangan terhadap inflasi cukup tinggi, maka penurunan harga pangan akan menurunkan inflasi. Penurunan inflasi akan menurunkan suku bunga bank yang akan mendorong investasi di semua sektor ekonomi. Dengan demikian peningkatan kapasitas aktual produksi pangan merupakan upaya strategis bagi pembangunan kapasitas perekonomian bangsa ini. Makalah ini membahas mengenai masalah dan kendala, serta opsi kebijakan peningkatan produksi pangan.
1
Tanaman Pangan (Padi dan Jagung)
DINAMIKA PRODUKSI Produksi Analisis dinamika produksi difokuskan pada perkembangan level, pertumbuhan dan variabilitas hasil usahatani. Untuk usahatani tanaman (padi dan jagung), per-kembangan produksi diurai menurut sumber-sumbernya yaitu luas panen dan produktivitas lahan per hektar. Dengan sendirinya, pertumbuhan produksi dapat pula diurai menurut sumbernya, yaitu pertumbuhan luas panen dan pertumbuhan produktivitas. Bila data luas baku lahan tersedia, perubahan luas panen tanaman semusim (padi dan jagung) dapat pula diurai menjadi perubahan luas baku lahan dan perubahan produktivitas. Variabilitas diukur sebagai koefisien variasi dari galat regresi trend.
Setelah mengalami akselerasi pada tahun 1980-an, produksi padi terus mengalami perlambatan pertumbuhan sejak awal dekade 1990-an. Laju pertumbuhan produksi padi meningkat dari 1,10 persen/tahun pada periode 1970-1979 menjadi 5,32 persen/tahun pada periode 1980-1989, yang kemudian menurun terus menjadi 1,29 persen/tahun pada periode 1990-1999 dan 1,04 persen/tahun pada periode 2000-2005 (Tabel 1). Kinerja usahatani padi mengalami puncak pada periode 19801989. Dengan laju pertumbuhan produksi 5,32 persen/tahun, swasembada beras dapat diraih pada tahun 1984 dan bertahan beberapa tahun kemudian. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih diatas 1,30 persen/tahun, produksi padi per kapita mengalami pertumbuhan negatif sejak awal dekade 1990-an.
Tabel 1. Kinerja Produksi Padi dan Jagung di Indonesia, 1970 – 2005 No. 1
Uraian Padi Luas panen a. Rata-rata (ha) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Produktivitas a. Rata-rata (ton/ha) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Produksi a. Rata-rata (ton) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%)
Jagung Luas panen a. Rata-rata (ha) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Produktivitas a. Rata-rata (ton/ha) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Produksi a. Rata-rata (ton) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Sumber: BPS, diolah
1970 - 1979
1980 - 1989
1990 - 1999
2000 - 2005
8.433.180 0,94 2,16
9.677.411 1,78 2,11
11.133.183 1,28 2,28
11.676.525 -0,17 1,73
2,87 0,16 7,96
3,86 3,53 2,46
4,34 0,00 1,72
4,47 1,22 0,60
24.199.909 1,10 7,93
37.468.896 5,32 2,45
48.325.540 1,29 2,68
52.251.176 1,04 1,35
2.654.995 0,63 15,86
2.839.846 1,27 13,46
3.365.398 1,60 7,65
3.375.738 0,80 5,39
1,16 3,90 1,84
1,76 4,14 1,69
2,36 2,36 3,94
3,12 4,33 1,45
3.062.109 4,53 15,65
5.036.011 5,41 13,18
8.001.172 3,96 9,51
10.552.296 5,13 5,01
2
2
Produksi padi per kapita yang mengalami pertumbuhan negatif sejak dekade 1990-an merupakan bukti sederhana bahwa sejak awal 1990-an swasembada beras tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Kiranya dicatat, pertumbuhan produksi padi pada tahun 2005 hanya 0,12 persen, yang berarti produksi padi per kapita menurun sekitar 1,2 persen. Sangat tidak mungkin swasembada beras tercapai pada tahun 2005. Oleh karena itulah, keputusan pemerintah melanjutkan kebijakan larangan impor beras telah menyebabkan harga beras domestik melonjak dan menjadi salah satu sumber utama inflasi. Pertumbuhan produksi padi yang ”luar biasa” pada dekade 1980-an merupakan hasil kinerja prima dari peningkatan luas panen dan produktivitas. Pertumbuhan luas panen melonjak dari hanya 0,94 persen/tahun pada periode 1970-1979 menjadi 1,78 persen/tahun pada periode 1980-1989, sedangkan pertumbuhan produktivitas melonjak dari hanya 0,16 persen/ tahun pada periode 1970-1979 menjadi 3,53 persen/tahun pada periode 1980-1989. Kinerja yang ”luar biasa” ini merupakan hasil perpaduan dari: (1) Adanya terobosan teknologi ”Revolusi Hijau”; (2) Potensi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan masih tinggi; (3) Dukungan kebijakan komprehensif dan terpadu; (4) Administrasi pemerintahan terpadu sentralistik; dan (5) Dukungan politik. Teknologi revolusi hijau untuk padi pertama kali ditemukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) pada pertengahan 1960-an. Karakteristik dasar teknologi ini ialah: 1. Benih unggul berumur pendek sehingga dapat meningkatkan luas panen melalui peningkatan intensitas tanam. 2. Responsif terhadap pupuk kimia, utamanya urea, sehingga dapat meningkatkan produktivitas melalui peningkatan penggunaan pupuk, 3. Membutuhkan lingkungan prima, utamanya irigasi terkelola. Dengan karakteristik demikian, dengan tepat pemerintah menyusun paket kebijakan terpadu berikut. 1. Pembangunan lembaga penelitian dan pengembangan padi dengan tugas utama mengembangkan dan mengadaptasikan teknologi revolusi hijau varian IRRI.
2. Membangun jaringan irigasi, utamanya berbasis bendungan skala besar. 3. Mencetak lahan sawah baru secara besarbesaran. 4. Membangun industri input usahatani: pabrik pupuk dan pestisida. 5. Membangun lembaga sistem penyaluran (delivery system) maupun sistem penerimaan (receiving system) sarana dan permodalan usahatani, sistem pemasaran hasil usahatani, dan organisasi (kelompok) petani. 6. Memberikan insentif usahatani yang cukup merangsang: a. Benih, pupuk, pestisida dan modal usahatani dalam satu paket terpadu dan bersubsidi. b. Harga dasar gabah yang cukup tinggi. 7. Pembangunan sistem pascapanen, utamanya penggilingan padi dan mekanisasi prapanen (traktorisasi). 8. Pembangunan sistem penyuluhan yang menyentuh petani secara langsung. 9. Membangun organisasi terpadu Bimbingan Massal (BIMAS) yang dikendalikan langsung oleh Presiden. Lembaga ini yang berperan dalam menjamin semua sistem pendukung berjalan lancar di semua lini hingga tingkat petani. 10. Menjadikan kinerja usahatani padi sebagai indikator utama keberhasilan pejabat pemerintah terkait. Dukungan kebijakan pemerintah memang terkesan ”berlebihan”, membutuhkan dukungan anggaran pemerintah yang amat besar dan kerap menimbulkan akses sosial yang kurang baik. Pengembangan industri perberasan benar-benar didominasi oleh peran pemerintah (government driven) sehingga menghilangkan prakarsa petani dan kelembagaan lokal. Terlepas dari ongkos dan akses negatif yang ditimbulkannya, dukungan pemerintah yang besar itulah yang memungkinkan produksi padi melonjak tajam dengan rata-rata laju pertumbuhan 5.32 persen per tahun pada periode 1980-1989. Diraihnya swasembada beras pada tahun 1984 diakui oleh masyarakat dunia sebagai prestasi luar biasa mengingat pada pertengahan dekade 1970-an Indonesia merupakan importir terbesar dunia. Untuk itulah
3
Organisasi Pangan Dunia (FAO) memberikan penghargaan kepada Presiden Soeharto pada tahun 1985. Sayangnya, zaman keemasan usahatani padi tidak berlangsung lama. Kinerja usahatani padi benar-benar anjlok pada dekade 1990-an. Pertumbuhan luas panen menurun dari 1,78 persen per tahun pada periode 1980-1989 menjadi 1,28 persen per tahun pada periode 1990-1999. Sementara pertumbuhan produktivitas anjlok dari 3,53 persen per tahun pada periode 1980-1989 menjadi praktis stagnan pada periode 1990-1999. Dengan demikian anjloknya pertumbuhan produksi padi pada periode 1990-1999 terutama adalah akibat dari anjloknya pertumbuhan produktivitas. Analisis lebih lanjut yang dilakukan oleh Simatupang dkk. (2004) menunjukkan bahwa penurunan kinerja usahatani padi sawah sudah terjadi sejak pertengahan 1980-an. Penyebabnya ialah penurunan pertumbuhan luas baku dan produktivitas lahan (Tabel 2). Di Jawa, luas baku lahan telah mengalami pertumbuhan negatif (berkurang absolut) sejak awal 1980-an dan terus mengalami percepatan penurunan. Luas baku lahan sawah di luar Jawa mengalami penurunan pertumbuhan sejak awal tahun 1990-an dan telah menjadi negatif sejak pertengahan tahun 1990-an. Produktivitas mengalami penurunan sejak pertengahan 1980-an dan terus mengalami percepatan sehingga menjadi negatif pada periode tahun 1996-2000. Penu-
runan luas baku lahan adalah akibat dari peningkatan laju konversi lahan sawah yang akan diulas lebih lanjut pada Bab VI. Sedangkan penurunan pertumbuhan produktivitas adalah akibat dari telah terjadinya kejenuhan teknologi yang ada, sementara inovasi baru yang mampu meningkatkan produktivitas praktis sudah tidak ada sejak awal 1990-an. Selain itu, paket kebijakan terpadu yang sangat efektif pada dekade 1980-an secara parsial dan bertahap mengalami dekonstruksi. Pembangunan jaringan irigasi baru mengalami perlambatan. Sementara jaringan lama mengalami penurunan kualitas. Sekitar 25 persen dari jaringan irigasi yang ada saat ini telah mengalami kerusakan. Program pencetakan sawah baru juga praktis telah terhenti. Lembaga BIMAS telah dibubarkan. Paket kredit benih, pupuk, pestisida dan modal kerja terpadu sudah dihapuskan. Kebijakan subsidi pupuk memang masih ada namun pelaksanaannya penuh masalah sehingga kurang efektif. Penurunan pertumbuhan padi produksi terus berlanjut hingga lima tahun terakhir. Penyebab utamanya ialah penurunan luas panen yang mengalami pertumbuhan negatif. Hal ini menunjukkan penurunan luas baku lahan sawah berlanjut dan bahkan mengalami percepatan. Untunglah produktivitas kembali mengalami pertumbuhan positif sehingga pertumbuhan produksi padi masih tetap positif. Dengan demikian, kendala utama produksi padi
Tabel 2. Dekomposisi Sumber-sumber Pertumbuhan Produksi Padi Sawah di Indonesia, 1981-2000 (%) Wilayah/sumber 1. Jawa a. Luas baku lahan b. Intensitas panen C. Hasil Total
1981-1985
1986-1990
1991-1995
1996-2000
-0.32 1.89 2.80 4.37
-0.15 0.86 2.29 3.30
-0.42 0.88 1.37 1.83
-1.04 2.78 -1.29 0.45
2. Luar Jawa a. Luas baku lahan b. Intensitas panen C. Hasil Total
0.74 2.23 2.66 5.63
2.56 0.34 1.75 4.65
1.46 1.32 0.38 3.16
-4.04 5.47 -0.27 1.16
3. Indonesia a. Luas baku lahan b. Intensitas panen C. Hasil Total
0.22 1.94 2.66 4.82
1.40 0.30 1.93 3.63
0.70 0.88 0.79 2.37
-2.83 4.41 -0.83 0.75
Sumber : Simatupang, Rusastra dan Maulana (2004)
4
saat ini ialah penurunan luas baku lahan sawah akibat alih fungsi lahan dan kejenuhan teknologi. Kedua masalah inilah yang mestinya agenda utama revitalisasi usahatani padi. Kiranya patut dicatat bahwa setelah sedikit menurun pada periode tahun 19901999, stabilitas produksi padi membaik pada periode 2000-2005. Namun demikian, mengingat besarnya total produksi padi (sekitar 54 juta ton), koefisien variasi 1,35 persen masih cukup besar, utamanya bila titik perhatian ialah swasembada beras. Pada kondisi ”hampir tidak swasembada”, penurunan produksi 1,35 persen dapat menyebabkan defisit sekitar 500 ribu ton beras yang cukup besar, untuk menimbulkan tekanan untuk mengimpor beras selanjutnya dapat menimbulkan polemik politis. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan stabilitas produksi padi masih perlu terus digiatkan. Fokus perhatian ialah stabilisasi luas panen dan faktor risiko utamanya akibat kekeringan dan kebanjiran. Perbaikan kualitas sistem irigasi merupakan kunci utama peningkatan stabilitas maupun pertumbuhan produksi padi. Tren kinerja produksi jagung relatif lebih baik daripada beras. Laju pertumbuhan produksi jagung meningkat dari 4,53 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi 5,41 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989, lalu sedikit menurun menjadi 3,96 persen per tahun pada periode tahun 1990-1999 dan meningkat lagi menjadi 5,13 persen per tahun pada periode tahun 20002005 (Tabel 1). Pertumbuhan produksi di atas 4-5 persen tergolong baik untuk komoditas pertanian terutama pangan. Jika dilihat menurut sumbernya, pertumbuhan produksi jagung terutama berasal dari peningkatan produktivitas. Produktivitas usahatani jagung meningkat dari 3,90 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi 4,14 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989, menurun menjadi 2,36 persen pada periode tahun 1990-1999 dan meningkat lagi menjadi 4,33 persen per tahun pada periode tahun 2000 – 2004. Berbeda dengan padi, laju pertumbuhan produktivitas jagung masih cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir. Laju pertumbuhan produktivitas jagung melampaui laju pertumbuhan produktivitas padi pada masa puncak revolusi hijau
periode tahun 1980-1989, walaupun dukungan pemerintah untuk usahatani jagung relatif lebih kecil daripada untuk usahatani padi. Berbeda dengan padi yang sumber inovasinya lembaga penelitian publik (nasional maupun internasional), motor penggerak kemajuan inovasi pada usahatani jagung adalah lembaga penelitian swasta multinasional seperti Pioneer (kemudian merger menjadi Dupont), Cargill (Monsanto), dan BISI (Charoend Phokpand). Ketiga perusahaan swasta tersebut menguasai 93 persen dari produksi benih jagung di Indonesia. Dengan dukungan infrastruktur penelitian yang kuat, masing-masing perusahaan terus berlomba menghasilkan inovasi baru. Mereka juga memiliki sistem pemasaran benih yang amat baik sehingga inovasi baru dapat didiseminasikan dengan cepat. Secara empirik hal ini terbukti dari pertumbuhan produktivitas jagung yang tumbuh dengan kecepatan tinggi dan berkelanjutan. Seperti halnya luas panen padi pertumbuhan luas panen jagung pada awalnya meningkat dari 0,63 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi 1,27 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989 lalu menjadi 1,60 persen per tahun pada periode tahun 1990-1999, namun kemudian anjlok menjadi 0,80 persen per tahun pada periode tahun 2000-2005. Oleh karena sebagian besar usahatani jagung berbasis lahan sawah maka kiranya dapat dipastikan bahwa penurunan laju pertumbuhan luas panen jagung tersebut terutama adalah karena penurunan luas baku sawah akibat alih fungsi. Penurunan laju pertumbuhan luas panen jagung lebih lambat daripada luas panen padi karena varietas unggul jagung juga dapat ditanam dengan baik pada lahan kering. Selain tumbuh dengan kecepatan tinggi, produksi jagung juga semakin saja stabil dari tahun ke tahun. Walaupun trennya membaik signifikan, secara absolut produksi jagung masih tergolong labil. Koefisien variasi produksi jagung masih sedikit di atas 5 persen. Tingginya variabilitas produksi jagung ini adalah akibat dari tingginya variabilitas luas panen jagung. Variabilitas luas panen jagung sangat terkait dengan variabilitas harga jagung di pasar dunia dan harga jagung di tingkat petani relatif terhadap komoditas pesaing seperti padi dan kedelai.
5
Selain sektor swasta, peranan pemerintah daerah dalam pengembangan jagung juga relatif lebih besar dibanding komoditas tanaman lainnya. Salah satu provinsi yang telah memberikan perhatian luar biasa dalam pengembangan jagung ialah Gorontalo. Provinsi lain dipulau Sulawesi juga bekerja sama untuk mewujudkan Sulawesi sebagai sentra produksi utama (corn belt) di Indonesia. Prospek permintaan jagung juga baik. Permintaan jagung akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan terhadap pakan ternak dan ikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa prospek produksi jagung cukup baik. Masalah utamanya ialah stabilitas luas panen yang berarti pula stabilitas harga jagung di tingkat petani. Peternakan (ayam ras, sapi potong, kambing dan domba) Ayam ras adalah ternak introduksi yang baru dikembangkan di Indonesia pada awal tahun 1970-an dan datanya baru tersedia dalam dokumen resmi sejak tahun 1984. Bibit ayam ras dipasok oleh perusahaan multinasional. Usaha ternak ayam ras adalah usaha intensif. Ternak ayam dipelihara dalam kandang, diberi pakan buatan pabrik dan dirawat penuh waktu. Usaha ternak ayam pada umumnya merupakan usaha komersil, terspesialisasi dan sumber pendapatan utama bagi peternak bersangkutan. Usaha ternak ayam ras didominasi oleh perusahaan besar peternakan. Usaha ternak ayam ras ada dua jenis, ayam ras pedaging dan ayam ras petelur. Uraian berikut hanyalah untuk ayam ras pedaging. Sejak diintroduksikan pada awal tahun 1970-an, usaha ternak ayam ras pedaging berkembang pesat. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3., populasi ayam ras pedaging meningkat dengan laju pertumbuhan 35,61 persen per tahun pada periode tahun 19801989. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1999 memberikan pukulan berat terhadap usaha ternak ayam ras pedaging sehingga pertumbuhan populasinya anjlok menjadi hanya 2,10 persen per tahun pada periode tahun 1990-1999. Seiring dengan pemulihan ekonomi, populasi ayam ras kembali meningkat dengan laju 16,33 persen per tahun pada periode tahun 2000-2005. Produksi daging ayam ras berbanding lurus dengan jumlah populasinya. Produksi
6
daging ayam ras meningkat dengan laju pertumbuhan 20,70 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989. Laju pertumbuhan produksi daging ayam ras anjlok menjadi 3,31 persen per tahun pada periode tahun 19901999. Sekali lagi, anjloknya pertumbuhan produksi daging ayam ras pada periode ini adalah akibat dari krisis ekonomi 1997-1999. Pada periode tahun 2000-2005, produksi daging ayam ras kembali meningkat pesat dengan laju pertumbuhan 16,33 persen per tahun. Rata-rata produksi daging ayam ras pada periode tahun 2000-2005 telah mencapai 684.220 ton per tahun. Pesatnya laju pertumbuhan peternakan ayam ras pedaging telah menjadikan daging ayam ras sebagai jenis daging yang paling banyak dihasilkan di Indonesia. Sejak dekade 1990-an, produksi daging ayam ras (rata-rata 412.639 ton per tahun) telah melampaui produksi daging sapi (rata-rata 316.535 ton per tahun). Produksi daging ayam ras juga telah melebihi total produksi daging unggas lainnya. Dengan pertumbuhan yang akseleratif, dominasi daging ayam ras terus meningkat, tidak saja pasokannya lebih melimpah, harga daging ayam ras juga lebih murah dari semua jenis daging lainnya sehingga daging ayam menjadi sumber utama protein hewani bagi rakyat Indonesia. Berbeda dengan usaha ternak ayam ras yang tumbuh dengan pesat dan akseleratif, usaha ternak sapi, kambing dan domba tumbuh lambat dan konstan atau menurun. Untuk sapi potong, misalnya laju pertumbuhan populasi meningkat dari 0,40 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi 4,62 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989, namun kemudian terus menurun menjadi 1,11 persen per tahun pada periode tahun 19901999 dan negatif 0,91 persen per tahun pada periode tahun 2000-2005. Jumlah populasi sapi potong, telah menurun secara absolut dari ratarata 11.276.583 ekor per tahun pada periode tahun 1990-1999 menjadi 10.706.226 ekor per tahun pada periode tahun 2000-2005. Hal ini menunjukkan kapasitas produksi usaha ternak sapi potong menurun secara absolut. Berbanding lurus dengan perkembangan populasinya, produksi daging sapi tumbuh lambat dan praktis konstan sekitar 2,3 persen per tahun. Produksi daging sapi pada periode 2000-2005 hanya 365.003 ton per
Tabel 3. Kinerja Produksi Usaha Peternakan di Indonesia, 1970 – 2005 No. 1
2
3
Uraian Ayam ras pedaging Populasi a. Rata-rata (ekor) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Produksi a. Rata-rata (ton) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Sapi potong Populasi a. Rata-rata (ekor) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Produksi a. Rata-rata (ton) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Kambing Populasi a. Rata-rata (ekor) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%) Produksi a. Rata-rata (ton) b. Pertumbuhan (%) c. Koefisien variasi (%)
1970 - 1979
1980 - 1989
1990 - 1999
2000 - 2005
TAD TAD TAD
166.744.286 35,61 11,22
510.988.500 2,10 32,72
28.906.600 16,33 13,17
TAD TAD TAD
136.236 20,70 4,04
412.639 3,31 31,12
684.220 18,39 7,54
6.282.500 0,40 1,28
8.560.321 4,62 7,50
11.276.583 1,11 2,91
10.706.226 -0,91 3,97
206.960 2,72 5,61
232.892 1,40 4,78
316.535 2,28 8,72
365.003 2,73 10,61
6.981.100 2,11 6,47
9.491.766 3,62 8,26
12.657.604 1,44 5,23
12.616.317 1,41 2,79
19.110 11,77 16,09
53.070 5,81 13,56
58.350 -3,35 13,44
54.560 4,49 9,38
4
Domba Populasi a. Rata-rata (ekor) 3.521.000 4.936.749 6.828.964 b. Pertumbuhan (%) 1,18 3,73 2,01 c. Koefisien variasi (%) 7,10 4,73 5,25 Produksi a. Rata-rata (ton) 12.180 26.220 36.710 b. Pertumbuhan (%) 6,19 6,33 0,03 c. Koefisien variasi (%) 15,30 9,08 12,67 Keterangan : Periode untuk ayam ras pedaging dan petelur dimulai 1984 – 1989.
tahun, jauh di bawah produksi daging ayam ras yang mencapai 684.220 ton per tahun. Daging sapi tidak lagi jenis daging yang paling banyak dihasilkan di Indonesia. Kiranya juga dicatat bahwa produksi daging sapi cenderung makin tidak stabil. Seperti yang ditunjukkan pada
7.670.929 2,32 1,17 58.720 12,04 22,31
Tabel 3, koefisien variasi produksi daging sapi terus meningkat dari 4,78 persen pada periode tahun 1980-1989 menjadi 10,61 persen pada periode tahun 2000-2005. Setelah meningkat dari 2,11 persen per tahun pada periode tahun 1970-1979 menjadi
7
3,62 persen per tahun pada periode tahun 1980-1989, laju pertumbuhan populasi kambing praktis konstan pada sekitar 1,4 persen per tahun sejak awal tahun 1990-an. Jumlah populasi kambing konstan sekitar 12,6 juta ekor. Produksi daging kambing meningkat dari rata-rata 19.110 ton per tahun pada periode tahun 1970-1979, menjadi 53.070 ton per tahun pada periode tahun 1980-1989 dan 58.350 ton per tahun pada periode tahun 19901999, lalu menurun menjadi 54.560 ton per tahun pada periode tahun 2000-2005. Produksi daging kambing cenderung makin stabil.
umumnya usaha sambilan. Pemacuan produksi ternak tradisional ini mungkin dapat dilakukan melalui reformasi usaha ternak. Usaha ternak harus dirubah dari ”land based” yang mengandalkan pakan hijauan ke ”non land based” yang mengandalkan pakan buatan. Usaha ternak juga harus diubah dari usaha sambilan menjadi usaha utama keluarga. Dalam konteks ini, peranan perusahaan besar swasta juga perlu didorong. Selama ini, perusahaan besar swasta peternakan masih sedikit dan praktis terbatas pada usaha penggemukan sapi asal impor.
Kinerja usaha ternak domba sedikit lebih baik daripada kambing. Walaupun laju pertumbuhan rendah, populasi domba masih menunjukkan tren peningkatan. Populasi ternak domba terus meningkat dari rata-rata 3,5 juta ekor pada periode tahun 1980-1989, lalu menjadi 6,8 juta ekor pada periode tahun 19901999 dan 7,7 juta ekor pada periode tahun 2000-2005. Laju pertumbuhan populasi ternak domba tetap rendah sekitar 2,0 – 2,3 persen per tahun dalam 15 tahun terakhir. Produksi daging domba juga terus meningkat dari 12.180 ton per tahun pada periode tahun 19701979, menjadi 26.220 ton per tahun pada periode tahun 1980-1989, lalu menjadi 36.710 ton per tahun pada periode tahun 1990-1999 dan 58.720 ton per tahun pada periode tahun 2000-2006. Sayangnya, produksi daging domba amat tidak stabil. Koefisien variasi mencapai 22,31 persen pada periode tahun 2000-2005.
PROSPEK PENAWARAN DAN PERMINTAAN DOMESTIK 2006-2010
Secara umum dapat dikatakan bahwa daging ayam ras akan menjadi sumber utama pertumbuhan produksi daging di Indonesia. Produksi daging ayam ras diperkirakan akan terus mengalami akselerasi pertumbuhan. Persoalan pokok dalam produksi ayam ras pedaging ialah ancaman penyakit flu burung yang merebak di Indonesia sejak tahun 2004 dan hingga kini masih belum dapat dikendalikan dan bahkan cenderung meluas di seluruh Indonesia. Ancaman kedua ialah peningkatan harga pakan yang utamanya ditentukan oleh harga jagung dunia. Dalam hal ini, stabilitas nilai tukar rupiah juga turut menentukan stabilitas harga pakan. Peternakan tradisional seperti sapi potong, kambing dan domba diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan lambat. Kendala utamanya ialah semakin terbatasnya padang penggembalaan dan sifat usaha ternak yang
8
Dalam bab ini diuraikan proyeksi penawaran dan permintaan domestik tiap komoditas serta neraca penawaran dan permintaan masing-masing komoditas tersebut. Proyeksi dilakukan dengan menggunakan elastisitas dari hasil estimasi sendiri atau penelitian terdahulu. Penawaran di proyeksi secara bertahap, melalui proyeksi luas panen dan produksi produktivitas, atau secara langsung melalui proyeksi produksi, tanpa menduga luas panen dan produktivitas, tergantung pada cara mana yang lebih tinggi validitasnya dan ketersediaan data dasar untuk proyeksi. Permintaan didefinisikan sebagai total penggunaan domestik atau konsumsi bruto domestik (apparent domestic comsumption) yang dihitung sebagai produksi domestik plus impor netto. Respon penawaran atau permintaan diduga dengan mempergunakan data deret waktu selama periode tahun 1969–2004/2005, kecuali untuk ayam ras pedaging yang mempergunakan data periode tahun 1984–2004. Proyeksi dilakukan untuk periode tahun 2006– 2010. Hasil proyeksi ini hendaklah dipandang sebagai petunjuk kecenderungan ke depan. Hasil proyeksi pasti mengandung kesalahan yang membuatnya berbeda dari realisasi besaran absolutnya, tergantung pada akurasi asumsi (utamanya elastisitas dan pertumbuhan variabel determinan bersangkutan) yang digunakan. Komoditas Tanaman Pangan (Gabah/Beras dan Jagung) Hasil estimasi fungsi respon luas panen padi (Tabel 4) menunjukkan bahwa harga
Tabel 4. Fungsi Respon Luas Panen Padi dengan Memasukkan Harga Gabah dan Pupuk sebagai Determinan, Indonesia, 1969-2004/05 Peubah Intersep Harga gabah Harga gabah x tahun Harga pupuk urea Harga pupuk urea x tahun Tahun Tahun kuadrat R2
Koefisien dugaan 15,14734 0,040588 -0,001601 0,075908 -0,004348 0,054927 -0,000163 0,9851
Statistik-t 45,64 0,7483 -0,6906 -1,8805 -1,7760 3,3542 -1,2435 -
P-Value 0,0000 0,4607 0,4957 0,0709 0,0870 0,0024 0,2435 -
Tabel 5. Fungsi Tren Waktu Luas Panen Padi Aktual, Indonesia, 1969-2004/05 Peubah Konstanta Tahun Tahun kuadrat Tahun pangkat tiga R2
Koefisien dugaan 8.304.602 75.674 6.937 -187,41 0,98
gabah yang diterima petani tidak berpengaruh nyata secara statistik. Elastisitas luas panen padi terhadap harga gabah cenderung menurun menurut waktu dan menjadi nihil pada tahun 1986/1987. Respon luas panen terhadap harga urea bertentangan dengan harapan teoritis, pada awalnya positif lalu menjadi negatif pada tahun 1988-1989 dan selanjutnya elastisitasnya meningkat terus. Mestinya, res-pon luas panen terhadap harga pupuk selalu negatif dan besar elastisitasnya cenderung menurun. Selain itu, respon luas panen padi terhadap harga pupuk urea tersebut hanya nyata secara statistik pada taraf diatas 7 persen. Oleh karena itu, untuk proyeksi tahun 2006-2010, luas panen padi diasumsikan hanya dipengaruhi oleh tren waktu. Setelah melakukan berbagai uji coba, fungsi tren waktu luas panen aktual padi yang paling cocok ialah polinomial pangkat tiga (Tabel 5) dengan koefisien determinasi atau R2 sekitar 98 persen. Dugaan parameter untuk tahun dan tahun kuadrat bertanda positif sedangkan tahun pangkat tiga bertanda negatif. Ini berarti, laju pertumbuhan luas panen berbentuk kurva parabola terbalik, mula-mula meningkat (mengalami percepatan) hingga mencapai titik maksimum dan selanjutnya terus mengalami penurunan (mengalami perlambatan) hingga menjadi negatif. Berdasarkan hasil dugaan koefisien, laju pertumbuhan luas
Statistik-t 43,39 1,5530 1,9770 -2,5977
P-Value 0,0000 4,1321 0,0583 0,0150
panen padi menjadi negatif pada tahun 2005. Ini berarti pada periode proyeksi tahun 20062010, luas panen padi akan cenderung menurun secara absolut. Kiranya perlu dicatat bahwa perkiraan ini didasarkan pada pola kecenderungan masa lalu yang realitasnya dapat berbeda bila pola kecenderungan tersebut mengalami perubahan. Fungsi inilah yang akan digunakan untuk memproyeksikan luas panen padi pada periode tahun 2006-2010. Hasil dugaan fungsi respon produktivitas padi dengan memasukkan harga gabah dan harga pupuk sebagai peubah bebas ditampilkan pada Tabel 6. Baik harga gabah maupun harga pupuk berpengaruh nyata secara statistik. Respon produktivitas padi terhadap harga gabah menurun seiring dengan pertambahan waktu. Ini berarti elastisitas produktivitas padi terhadap harga gabah cenderung menurun menjadi nihil pada tahun 1994, dan selanjutnya berubah tanda menjadi negatif. Elastisitas produktivitas padi terhadap harga gabah mestinya selalu positif atau nihil, tidak mungkin negatif. Harga pupuk urea juga berpengaruh nyata secara statistik terhadap produktivitas padi. Sesuai dengan harapan teoritis, elastisitas harga pupuk urea bertanda negatif dan cenderung menurun. Berdasarkan parameter dugaan pada Tabel 6, elastisitas produktivitas padi terhadap harga pupuk urea adalah nihil
9
nya menjadi positif. Berdasarkan fungsi tren, produktivitas mengalami peningkatan setelah tahun 2000. Dengan demikian, produktivitas padi selama periode proyeksi tahun 2006–2010 juga cenderung meningkat.
pada tahun 2005 dan sesudahnya akan bertanda negatif yang berarti menyimpang dari harapan teoritis. Secara teoritis, respon produktivitas padi terhadap harga pupuk selalu negatif atau netral, tidak mungkin positif. Sama seperti luas panen padi produktivitas padi dapat diasumsikan sudah tidak responsif lagi terhadap harga gabah maupun harga pupuk pada periode proyeksi tahun 2006 – 2010.
Berdasarkan estimasi laju pertumbuhan luas panen dan produktivitas padi yang diperoleh dari fungsi tren waktu pada Tabel 5 dan 7, hasil produksi luas panen dan produktivitas padi pada periode tahun 2006– 2010 ditampilkan pada Tabel 8. Luas panen cenderung menurun berkelanjutan, namun produktivitas cenderung meningkat dengan resultante harganya menghasilkan produksi yang masih meningkat walau dengan pertumbuhan sangat rendah dan cenderung menaik. Terlepas dari akurasinya, kecenderungan pertumbuhan yang sangat rendah produksi padi tersebut mestinya dijadikan sebagai peringatan akan pentingnya dan mendesaknya revitalisasi usahatani padi. Kebijakan dukungan harga gabah dan subsidi pupuk tidak efektif untuk
Oleh karena itu, proyeksi produktivitas padi akan dilakukan dengan mempergunakan fungsi tren waktu. Hasil dugaan fungsi tren waktu tersebut adalah polinomial berpangkat tiga seperti yang ditampilkan pada Tabel 7. Koefisien dugaan adalah positif untuk tahun, negatif untuk tahun kuadrat dan positif untuk tahun pangkat tiga. Kurva tren laju pertumbuhan produktivitas berbentuk parabola, pada awalnya positif lalu mengalami perlambatan dan menjadi negatif dan setelah melewati titik minimum mengalami percepatan dan selanjut-
Tabel 6. Fungsi Respon Produktivitas Padi dengan Memasukkan Harga Gabah dan Pupuk Urea sebagai Determinan, Indonesia, 1969-2004/05 Peubah Intersep Harga gabah Harga gabah x tahun Harga pupuk urea Harga pupuk urea x tahun Tahun Tahun kuadrat Tahun invers R2
Koefisien dugaan -0,635545 0,430550 -0,018957 -0,222571 0,006469 0,132872 -0,000934 0,295303 0,9887
Statistik - t 1,2018 4,9211 -5,1562 -4,2324 1,1993 5,1888 -5,1968 3,9808
P-Value 0,2403 4,13 E-5 2,23 E-5 0,0003 0,0569 2,0 E-5 2,0 E-5 0,0005
Tabel 7. Fungsi Tren Waktu Produktivitas Padi Aktual, Indonesia, 1969-2004/05 Peubah Intersep Tahun Tahun kuadrat Tahun pangkat tiga R2
Koefisien dugaan 2,206077 0,249493 - 0,009853 0,000136 0,9863
Statistik – t 26,10 11,12 - 6,098 4,091 -
P-Value 0,9999 0,0000 0,0000 0,0001 -
Tabel 8. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi/Beras, Indonesia, 2006-2010. Uraian 2006 Luas panen (1000 ha) 11,731 Produktivitas (kg/ha) 4,667 Produksi gabah (1000 ton) 54,750 Produksi beras* (ton) 32,159 Konversi gabah – beras = 0.632 dan hilang 10%.
10
2007 11,732 4,674 54,839 32,211
2008 11,600 4,734 54,910 32,253
2009 11,444 4,801 54,939 32,270
2010 11,264 4,878 54,942 32,273
mendorong peningkatan produksi padi. Perluasan luas baku sawah, perbaikan sistem irigasi dan innovasi teknologi adalah kunci untuk peningkatan produksi padi. Seperti halnya Syafa’at dkk. (2005), berbagai uji coba model dalam penelitian ini gagal menghasilkan estimasi fungsi respon luas produksi maupun produktivitas jagung terhadap harga jagung, harga pupuk dan harga komoditas pesaingnya. Oleh karena itu, proyeksi luas panen, produktivitas dan produksi jagung akan dilakukan dengan menggunakan fungsi tren waktu. Bentuk fungsi yang paling baik untuk menjelaskan variasi data luas panen dan produktivitas adalah polinomial berpangkat tiga seperti yang ditampilkan pada Tabel 9 dan 10. Tabel 9. Fungsi Tren Waktu Luas Indonesia, 1969-2004/05 Peubah Intersep Tahun Tahun kuadrat Tahun pangkat tiga 2 R
Koefisien dugaan 14,82797 -0,023051 0,002069 -0,000035 0,7276
Panen
Jagung,
Statistik - t
P-Value
174,99 -1,2097 1,7884 -1,7509 -
0,00000 0,2350 0,0829 0,0893 -
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9, walaupun cukup tinggi koefisien determinasi (R2) fungsi tren waktu luas panen jagung yang mencapai 72,76 persen jauh lebih rendah dari fungsi tren waktu luas panen padi yang mencapai 98,90 persen (Tabel 6). Fungsi tren waktu padi relatif lebih pas menjelaskan variasi data dibanding jagung. Koefisien dugaan untuk tahun bertanda negatif, tahun kuadrat bertanda positif sementara untuk tahun pangkat tiga bertanda negatif. Ini berarti kurva laju pertumbuhan luas panen berbentuk parabola terbalik. Laju pertumbuhan luas panen jagung mula– mula meningkat (pertambahan luas panen jagung mengalami percepatan), lalu mengalami perlambatan dan setelah mencapai puncak tertentu mengalami penurunan dan selanjutnya menjadi negatif (luas panen jagung mengalami penurunan). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan luas panen menurun, namun masih tetap positif pada periode proyeksi tahun 2006-2010. Hasil dugaan fungsi tren waktu produktivitas jagung sangat cocok untuk menjelaskan data dengan koefisien determinasi (R2) menca-
pai 99,68% (Tabel 10). Fungsi tren waktu produktivitas jagung jauh lebih sesuai daripada fungsi tren waktu luas panen jagung. Koefisien dugaan bertanda positif untuk tahun, negatif untuk tahun kuadrat dan positif untuk tahun pangkat tiga. Kurva laju pertumbuhan produktivitas jagung berbentuk parabola. Produktivitas jagung terus mengalami percepatan pertumbuhan selama periode proyeksi tahun 2006 – 2010. Tabel 10. Fungsi Tren Waktu Produktivitas Indonesia, 1969-2004/05
Peubah Intersep Tahun Tahun kuadrat Tahun pangkat tiga 2 R
Koefisien Statistik - t dugaan -0,161346 -6,8262 0,054815 10,3129 -0,000937 -2,9043 0,000013 2,2519 0,9968 -
Jagung,
P-Value 0,0000 0,0000 0,0065 0,0311 -
Berdasarkan fungsi tren dugaan luas panen dan produktivitas jagung yang masing – masing ditampilkan pada Tabel 9 dan Tabel 10, proyeksi luas panen produktivitas dan produksi jagung untuk periode tahun 2006-2010 ditampilkan pada Tabel 11. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa walaupun positif laju pertumbuhan luas panen jagung cenderung menurun. Penyebabnya ialah kecenderungan penurunan luas baku lahan sawah. Kecenderungan penurunan ini mungkin saja berbalik menjadi positif bila ada upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem irigasi dan atau memperluas luas baku sawah. Kemungkinan lain yang dapat mengubah kecenderungan penurunan pertumbuhan luas panen jagung tersebut ialah alih guna lahan dari usahatani lahan, utamanya padi, ke jagung yang dapat saja terjadi bila keunggulan kompetitif usahatani jagung meningkat nyata, khususnya sebagai hasil dari kemajuan inovasi dan peningkatan harga jagung. Kalau laju pertumbuhan luas panen cenderung turun, laju pertumbuhan produktivitas jagung cenderung meningkat pada proyeksi tahun 2006-2010. Hal ini tentu didasarkan pada asumsi kecenderungan kemajuan inovasi yang pesat pada masa lalu dapat dipertahankan berkelanjutan. Asumsi ini sangat berdasar karena memang sistem inovasi pada agribisnis jagung tergolong tangguh karena didukung oleh perusahaan swasta multinasional maupun lembaga penelitian pemerintah. Selain itu,
11
Tabel 11. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung, 2006 – 2010 Uraian Luas panen (1000 ha) Produktivitas (kg/ha) Produksi (1000 ton)
2006 3.916 3.569 13.978
2007 4.206 3.692 15.527
2008 4.498 3.822 17.194
2009 4.789 3.962 18.978
2010 5.077 4.112 20.875
Tabel 12. Asumsi dan Hasil Proyeksi Permintaan Beras, 2006 – 2010 Parameter 1. Elastisitas pendapatan 2. Pertumbuhan PDB (%/thn) 3. Pertumbuhan penduduk (%/tahun) 4. Pertumbuhan permintaan (%/thn) 5. Perkiraan permintaan (1000 ton)
2006 0,1002 6,1 1,25 1,7360 31.130
industri perunggasan yang tumbuh pesat merupakan lokomotif penarik kemajuan inovasi pada usahatani jagung. Perpaduan antara luas panen yang tumbuh positif dan produktivitas yang tumbuh akseleratif menghasilkan pertumbuhan pesat produksi jagung, selama periode tahun 2006-2010. Walaupun cenderung menurun, laju pertumbuhan produksi jagung selama periode tahun 2006-2010 diperkirakan masih tetap amat tinggi, yakni sekitar 9–11 persen per tahun. Permintaan beras diproyeksikan dengan asumsi bahwa harga riil beras maupun barang substitusi dan komplemen beras adalah tetap selama periode proyeksi sehingga harga-harga tidak menyebabkan perubahan terhadap permintaan beras. Perubahan permintaan beras selama periode proyeksi hanyalah akibat perubahan pendapatan riil per kapita dan perubahan selera yang direfleksikan oleh perubahan elastisitas terhadap pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian Syafa’at dkk. (2005), elastisitas permintaan beras per kapita terhadap pendapatan riil per kapita cenderung menurun yaitu 0,427 pada tahun 1999 dan 0,287 pada tahun 2005. Dengan asumsi kecenderungan penurunan elastisitas pendapatan tersebut terus berlanjut dengan besaran tetap maka diperoleh elastisitas pada setiap tahun dalam kurun waktu proyeksi seperti pada Tabel 12, konsumsi per kapita pada tahun 2005 adalah 30.599 ribu ton. Asumsi dasar lain yang digunakan dalam memproyeksikan permintaan beras juga ditampilkan pada Tabel 12. kan
12
Permintaan domestik jagung didefinisisebagai total penggunaan domestik
2007 0,00535 6,7 1,25 1,2792 31.528
2008 0,0068 7,2 1,25 1,2905 31.528
2009 -0,0399 7,6 1,25 0,9966 32.254
2010 -0,0866 7,6 1,25 0,7001 32.479
(apparent comsumption) yang berdasarkan neraca komoditas dihitung identik dengan produksi domestik plus impor minus ekspor. Setelah melalui berbagai uji coba, fungsi respon total penggunaan domestik jagung adalah seperti yang ditampilkan pada Tabel 13. Elastisitas total penggunaan domestik terhadap pendapatan total (GDP) adalah 0,17512. Disamping dipengaruhi oleh GDP, total penggunaan domestik juga meningkat secara otonom dengan laju 4,17 persen per tahun. Fungsi respon inilah yang digunakan untuk memproyeksikan permintaan jagung pada periode tahun 2006-2010. seperti yang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Fungsi Respon Total Penggunaan Domestik Jagung, Indonesia, 1969-2004/05 Peubah Intersep PDB riil total Tahun R2
Koefisien dugaan 12,5825 0,17512 0,04168 0,9812
Statisik - t
R – Value
7,1741 1,1267 4,8086 -
0,0000 0,2683 0,0000 -
Proyeksi neraca produksi dan kebutuhan domestik beras dan jagung pada periode tahun 2006-2010 ditampilkan pada Tabel 14. Hasil produksi menunjukkan bahwa pada tahun 2006 Indonesia diperkirakan defisit beras sebesar 195 ribu ton dan akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya bila Indonesia tidak dapat mencegah kecenderungan stagnasi atau bahkan penurunan produksi beras dimasa mendatang. Berbeda dengan beras, Indonesia diperkirakan akan mampu mencukupi kebutuhan (swasembada) jagung pada tahun 2006
Tabel 14. Proyeksi Neraca Produksi dan Konsistensi Domestik Beras dan Jagung di Indonesia, 2006-2010 (1000 ton) . Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 1. Beras Produksi 32.159 32.211 32.253 32.270 32.272 Total konsumsi 31.130 31.528 31.935 32.254 32.479 Surplus (defisit) (195) (541) (906) (908) (1.431) 2. Jagung Produksi 13.978 15.527 17.194 18.978 20.875 Total konsumsi 13.510 14.232 15.005 15.756 16.623 Surplus (defisit) 468 1.295 2.189 3.222 4.252
dan bila kecenderungan akselerasi produksi jagung berlanjut, Indonesia akan mengalami surplus jagung yang terus makin besar. Komoditas Peternakan (daging ayam ras pedaging, sapi potong, kambing dan domba) Analisis statistik menunjukkan bahwa fungsi respon produksi daging ayam ras pedaging mengikuti fungsi tren kubik (polinomial tahun pangkat tiga). Koefisien dugaan untuk tahun bertanda positif, tahun kuadrat bertanda negatif dan tahun kubik bertanda positif (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi mula-mula menurun (deselerasi) dan kemudian berubah menjadi meningkat (akselerasi), Titik balik laju pertumbuhan tersebut terjadi pada tahun 1997. Ini berarti, pertumbuhan produksi daging ayam ras peda-ging pada periode produksi tahun 20062010 berada pada fase akselerasi. Hasil dugaan fungsi produksi daging ayam ras pedaging tersebut sangat baik menjelaskan data dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 96 persen sehingga cocok digunakan sebagai alat proyeksi. Tabel 15. Fungsi dan Produksi Ayam Ras Pedaging, Indonesia, 1984-2004 Peubah Intersep Tahun Tahun kuadrat Tahun kubik R2
Koefisien dugaan 10,51089 0,43704 -0,02752 0,00064 0,9616
Statisik – t 47,35 5,5747 -3,6660 3,0896
R – Value 0,0000 0,0000 0,0016 0,0060
Determinan total konsumsi domestik daging ayam ras pedaging adalah interaksi GDP riil dengan tahun dan tahun (Tabel 16). Variabel interaksi GDP riil dengan tahun
menunjukkan bahwa elastisitas total konsumsi domestik ayam ras terhadap GDP (pendapatan) berubah menurut tahun, antara lain akibat dari perubahan preferensi konsumen. Selain itu, perubahan otonom (efek tren) total konsumsi domestik ayam ras pedaging bervariasi, tergantung pada besar GDP. Jika perubahan otonom dapat dipandang terutama efek perubahan selera maka besaran perubahan selera tersebut tergantung pada besaran GDP. Dengan koefisien interaksi GDP dengan tahun bertanda positif berarti elastisitas total konsumsi domestik ayam ras pedagang cenderung makin besar dan efek pertumbuhan otonom (tren) berhubungan positif dengan GDP. Koefisien dugaan untuk tahun bertanda negatif, berarti efek pertumbuhan otonom murni adalah negatif, fungsi respon total konsumsi tersebut cukup baik menjelaskan data historis dengan R2 81 persen sehingga cukup valid digunakan untuk memproyeksikan total konsumsi domestik daging ayam ras pedaging. Tabel 16. Fungsi Respon Total Konsumsi Domestik Daging Ayam Ras Pedaging, Indonesia, 19842004 Koefisien dugaan Intersep 10,74809 Log PDB x tahun 0,09257 Tahun -1,13009 R2 0,8143 Peubah
Statisik t 25,48 2,8416 -2,6352
R– Value 0,0000 0,0077 0,0129
Berdasarkan parameter dugaan fungsi respon produksi dan total konsumsi domestik daging ayam ras pedaging pada Tabel 15 dan 16, proyeksi produksi, total konsumsi domestik dan neraca keduanya ditampilkan pada Tabel 17. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa produksi ayam ras pedaging meningkat dari 1.079 ribu ton pada tahun 2006 menjadi 3.358 ribu ton pada tahun 2010. Walaupun produksi me-
13
Tabel 17. Proyeksi Neraca Produksi dan Total Konsumsi Domestik Ayam Ras Pedaging, di Indonesia, 2006– 2010 (1000 ton) Uraian Produksi Total konsumsi Surplus (defisit)
2006 1.079 1.150 (71)
2007 1.361 1.535 (174)
ningkat akseleratif, akselerasi peningkatan konsumsi daging ayam ras rupanya lebih tinggi lagi. Total konsumsi domestik ayam ras pedaging meningkat dari 1.150 ribu ton pada tahun 2006 menjadi 4.107 ribu ton pada tahun 2010. Produksi daging ayam ras diperkirakan akan mengalami defisit dengan besaran yang terus meningkat. Hal ini dapat didefinisikan betapa besarnya peluang pasar domestik daging ayam. Perkiraan defisit tersebut mungkin saja tidak terjadi bila para produsen mampu meningkatkan laju pertumbuhan produksi daging ayam ras tersebut. Pada intinya kendala usaha ternak ayam ras pedaging adalah pada penawaran, bukan pada permintaan. Dari berbagai uji coba jenis model, fungsi respon produksi daging sapi potong yang paling sesuai dengan data historis adalah fungsi tren linier. Koefisien dugaan untuk tahun adalah 0,02143. Ini berarti, produksi daging sapi potong meningkat dengan laju pertumbuhan tetap sebesar 2,143 persen per tahun. Koefisien determinasi (R2) dari regresi dugaan cukup tinggi, yakni 94,2 persen (Tabel 18) yang berarti hasil dugaan tersebut cukup baik untuk menjelaskan data historis. Oleh karena itulah, parameter dugaan tersebut akan digunakan untuk memproyeksikan produksi daging sapi pada periode tahun 2006 – 2010. Tabel 18. Fungsi Tren Produksi Daging Sapi Potong, Indonesia, 1984-2004 Variabel Intersep Tahun R2
Koefisien dugaan 12,08545 0,021403 0,9420
Statisik – t
R – Value
435,39 16,36
0,0000 0,0000
Sama seperti daging ayam ras pedaging, fungsi respon total konsumsi domestik daging sapi potong ditentukan oleh variabel interaksi PDB dengan tahun dan tahun sendiri. Koefisien dugaan untuk variabel interaksi PDB dengan tahun bertanda positif (Tabel 19). Ini berarti, elastisitas total konsumsi daging sapi potong cenderung meningkat menurut waktu. Efek tren (waktu) adalah negatif, namun be-
14
2008 1.774 2.094 (320)
2009 2.396 2.918 (522)
2010 3.358 4.107 (649)
sarannya juga ditentukan oleh PDB. Efek negatif tren dapat dinetralisir oleh pertumbuhan PDB. Peranan positif PDB tersebut adalah refleksi dari daging sapi potong sebagai barang konsumsi mewah bagi sejumlah besar penduduk Indonesia. Regresi dugaan cukup baik untuk menjelaskan data historis dengan R2 sebesar 82 persen. Tabel 19. Fungsi Respon Total Konsumsi Domestik Daging Sapi Potong, Indonesia, 1984-2004 Peubah Intersep Log PDB x tahun Tahun R2
Koefisien dugaan 11,961050 0,01868 -0,22932 0,8201
Statisik – t
R – Value
152,89 3,0926
0,0000 0,0041
-2,8837
0,0070
Produksi dan total konsumsi domestik daging sapi potong untuk periode tahun 2006 – 2010 diproyeksikan dengan mempergunakan parameter dugaan masing-masing seperti yang disajikan pada tabel 18 dan Tabel 19. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa produksi daging sapi potong hanya meningkat sebesar 8 ribu ton per tahun. Total konsumsi domestik meningkat lebih cepat daripada produksi sehingga defisit produksi daging sapi potong cenderung meningkat (Tabel 20). Kendala usaha ternak sapi adalah penawaran, bukan permintaan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa fungsi respon produksi daging kambing mengikuti fungsi tren polinomial kubik. Parameter dugaan positif untuk tahun, negatif untuk tahun kuadrat dan positif untuk tahun kubik (21). Ini berarti, pada awalnya produksi daging kambing menurun dengan laju yang semakin menurun lalu kemudian berbalik dengan pertumbuhan yang semakin meningkat. Titik balik terjadi pada tahun 2005. Namun demikian, pada periode proyeksi tahun 2006-2010, laju produksi pertumbuhan produksi daging kambing masih negatif. Hasil dugaan fungsi tren produksi kambing cukup baik menjelaskan data 2 historis dengan R sebesar 96 persen sehingga cukup valid untuk digunakan sebagai alat proyeksi.
Tabel 20. Proyeksi Neraca Produksi dan Total Konsumsi Domestik Daging Sapi Potong, Indonesia, 2006–2010 (1000 ton) Uraian Produksi Total konsumsi Surplus (defisit)
2006 372 513 -(141)
Tabel 21. Fungsi Tren Produksi Indonesia, 1984-2004 Peubah Intersep Tahun Tahun kuadrat Tahun kubik R2
Koefisien dugaan 8,95531 0,20255 -0,00624 0,00006 0,9630
Daging
2007 380 547 (167)
Kambing,
Statisik - t
R – Value
76,98 7,5417 -3,7265 1,9319
0,0000 0,0000 0,0008 0,0623
Berdasarkan analisis statistik peubah, yang secara nyata mempengaruhi total konsumsi domestik daging kambing adalah PDB riil dan tahun. Koefisien dugaan untuk logaritma PDB riil adalah positif, sedangkan untuk tahun negatif (Tabel 22). Ini berarti, elastisitas permintaan daging kambing terhadap pendapatan adalah konstan sebesar 0,76017. Selain dipengaruhi oleh PDB riil, permintaan daging kambing cenderung menurun otonom (efek tren) sebesar 3,69 persen per tahun. Namun demikian, koefisien determinasi regresi tersebut hanya 32 persen. Walaupun tingkat kesalahannya mungkin cukup besar, parameter dugaan regresi tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk memproyeksikan permintaan daging kambing pada tahun 2006–2010.
2008 388 587 (199)
Peubah Intersep Log PDB riil Tahun R2
Koefisien dugaan 1,65587 0,76817 -0,03686 0,3225
Statisik – t
R – Value
0,3193 1,6717 -1,4386
0,7515 0,1043 0,1599
Proyeksi produksi dan total konsumsi domestik daging kambing dilakukan dengan menggunakan hasil dugaan parameter masingmasing seperti yang ditampilkan pada Tabel 21. dan 22. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa produksi daging kambing cenderung menurun sekitar seribu ton per tahun (Tabel 23). Sementara konsumsi domestiknya cenderung meningkat sekitar 1–2 ribu ton per tahun. Akibatnya defisit produksi daging kambing cenderung meningkat sekitar 2–3 ton per tahun. Usaha
2010 405 684 (279)
ternak kambing juga terkendala pada sisi penawaran bukan permintaan. Tahun 23.
Proyeksi Neraca Produksi dan Total Konsumsi Daging Kambing, Indonesia, 2006-2010 (1000 ton)
Uraian 2006 Produksi 58 Total konsumsi 59 (1) Surplus (defisit)
2007 57 60 (3)
2008 56 61 (5)
2009 55 62 (7)
2010 54 64 (10)
Analisis statistik menunjukkan bahwa perkembangan produksi daging domba mengikuti fungsi tren kwadratik. Koefisien dugaan untuk tahun adalah positif, sedangkan koefisien dugaan untuk tahun kuadrat negatif (Tabel 24). Ini berarti, produksi daging domba meningkat dengan laju pertumbuhan yang semakin menurun. Namun demikian, laju pertumbuhan produksi daging domba masih positif pada tahun 2006-2010. Koefisien determinasi (R2) regresi dugaan cukup tinggi, yaitu sebesar 95,20 persen, sehingga cukup valid digunakan untuk proyeksi produksi daging domba. Tabel 24.
Fungsi Tren Produksi Indonesia, 1984-2004
Peubah Tabel 22. Fungsi Respon Total Konsumsi Domestik Daging Kambing, Indonesia, 1984-2004
2009 396 633 (237)
Intersep Tahun Tahun kuadrat R2
Koefisien dugaan 9,03951 0,07499 -0,00057 0,9520
Daging
Domba,
Statisik - t
R – Value
90,26 6,0083 -1,7353
0,0000 0,0000 0,0920
Dari berbagai uji coba, fungsi terbaik secara ekonometrik untuk menjelaskan variasi data historis total konsumsi domestik daging domba adalah logaritma ganda (double log) dengan PDB riil sebagai peubah bebas. Koefisien dugaannya adalah 0,50725. Ini berarti, elastisitas permintaan daging domba terhadap pendapatan (PDB) adalah konstan sebesar 0,50725. Walaupun amat sederhana fungsi respon permintaan daging domba tersebut cukup 2 baik menjelaskan data historisnya dengan R sebesar 76 persen (Tabel 25). Fungsi permintaan daging domba tersebut cukup valid untuk memproyeksikan permintaan untuk periode tahun 2006-2010.
15
Tabel 25. Fungsi Respon Total Konsumsi Domestik Daging Domba, Indonesia, 1984-2004 Peubah Intersep Log PDB riil R2
Koefisien dugaan 3,59366 0,50725 0,7594
Statisik - t
R – Value
3,8689 6,7641
0,0005 0,0000
pangan pokok semakin tergantung pada impor. Perlambatan atau penurunan laju pertumbuhan produksi tanaman pangan merupakan kombinasi dari gejolak penurunan kapasitas produksi dan kegagalan kebijakan seperti yang diuraikan pada bagian berikut. Penurunan Luas Baku Lahan Sawah
Hasil proyeksi produksi dan konsumsi domestik daging domba untuk periode tahun 2006–2010 ditampilkan pada Tabel 26. Produksi daging domba hanya meningkat sekitar dua ribu ton per tahun, sedangkan kebutuhan konsumsinya meningkat sekitar 2-3 ribu ton per tahun. Produksi daging domba defisit dengan besaran yang meningkat dari 9 ribu ton pada tahun 2006 menjadi 11 ribu ton pada tahun 2010. Masalah pokok usaha ternak domba adalah kendala pada sisi penawaran (produksi), bukan permintaan. Tahun 26.
Proyeksi Neraca Produksi dan Total Konsumsi Daging Domba, Indonesia, 2006-2010 (1000 ton) 2006
2007
2008
2009
2010
Produksi
Uraian
61
63
65
67
69
Total konsumsi
70
72
75
78
81
Surplus (defisit)
(9)
(9)
(10)
(11)
(12)
KENDALA, PELUANG DAN OPSI KEBIJAKAN Pada bagian ini diulas lebih lanjut determinan kinerja produksi bahan pangan domestik yang diuraikan pada bagian terdahulu. Pembahasan difokuskan pada kendala utama dan upaya untuk mengatasinya. Peluang yang masih terbuka untuk dimanfaatkan dan kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah juga diuraikan secara generik. Uraian yang dilakukan lebih pada upaya untuk memetakan masalah pokok daripada perumusan kebijakan. Rencana aksi dan kebijakan operasional mestinya dapat disusun oleh instansi yang berkewajiban untuk itu. Masalah Produksi Tamanan Pangan Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, produksi tanaman pangan, utamanya padi dan kedele yang cenderung menurun sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan dalam arti akan menyebabkan penyediaan bahan
16
Kedua tanaman pangan utama yang dikaji (padi, jagung,) sebagian besar diusahakan pada lahan sawah. Pada bagian sebelumnya telah pula ditunjukkan bahwa salah satu akar penyebab penurunan pertumbuhan produksi padi adalah penurunan luas baku lahan sawah. Oleh karena juga berbasis sawah, penurunan luas baku lahan sawah juga berdam-pak negative terhadap produksi lahan pangan utama lainnya. Walaupun besarannya bervariasi, semua data resmi konsisten menunjukkan bahwa luas baku lahan sawah menurut secara absolute (Tabel 27). Berdasarkan data potensi desa 1999–2002, penurunan luas lahan sawah mencapai 35.827 hektar per tahun di Jawa, 91.577 hektar di Luar Jawa sehingga secara keseluruhan mencapai 141.286 hektar per tahun. Sedangkan berdasarkan data Sensus Pertanian 1983–2003, laju penurunan luas sawah untuk seluruh Indonesia mencapai 34.700 hektar per tahun. Kalaupun dengan perkiraan terendah 34.700 hektar per tahun, jika lahan tersebut dapat ditanami padi dua kali setahun dengan hasil (4.500 kg GKG) ha, maka penurunan produksi padi akibat berkurangnya luas baku lahan sawah akan mencapai 312.300 ton per tahun. Kiranya dicatat bahwa penurunan produksi tersebut bersifat permanen, tidak mungkin pulih, sehingga kumulatif menurut waktu. Selama periode lima tahun, misalnya 2005–2010, penurunan produksi padi akibat berkurangnya luas sawah dapat mencapai 1.561.500 ton GKG. Tabel 27.
Laju Pengurangan Luas Baku Sawah Netto menurut Wilayah di Indonesia, 1999-2002 (hektar/tahun)
Sumber Luar Periode Jawa Data Jawa 1. Potensi 1999-2002 49.709 91.577 Desa 2. Sensus 1983-2003 Pertanian 1983-2003 1983-1993 1973-1983 1963-1973 Angka didalam kurung adalah pertambahan
Indonesia 141.286 34.700 22.500 46.900 (87.700) (76.500)
Tabel 28. Luas Potensi dan Penggunaan Lahan Sawah (Rawa dan non Rawa) menurut Provinsi di Indonesia Provinsi Sumatera
Lahan sesuai 1) Rawa Non Rawa
Luas lahan sawah 2) Rawa/PS Irigasi
Sisa lahan yang sesuai 3) Rawa/PS Non rawa Total
2.432.616
3.616.830
508.638
1.603.601
1.923.978
2.013.229
3.937.207
124.120
4.462.815
2.446
3.341.945
121.674
1.120.870
1.242.544
0
482.109
962
396.884
-962
85.225
84.263
1.425.801
1.587.069
412.133
556.294
1.013.668
1.030.775
2.044.443
Sulawesi
310.426
2.075.259
2.977
961.459
307.449
1.113.800
1.421.249
Maluku+Papua
148.974
7.891.364
0
0
148.974
7.891.364
8.040.338
Jawa Bali+NT Kalimantan
Indonesia 4.441.937 20.115.445 927.156 6.860.183 3.514.781 13.255.262 16.770.043 Keterangan : 1) Lahan yang sesuai untuk lahan sawah (Puslitbangtanak, 2001) 2) Luas lahan sawah tahun 2002, BPS (2003) 3) Di Jawa sudah tidak tersedia lahan untuk perluasan areal. Sebagian lahan sudah digunakan untuk komoditas lain atau sektor lain di luar pertanian. Diperlukan pemutakhiran data penggunaan lahan sekarang untuk menentukan luas lahan yang tersedia untuk perluasan. Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005)
Patut disayangkan masalah kovensi lahan sawah yang ditabelkan diketahui umum lebih sering dijadikan kebutuhan dan daripada melakukan tindakan penanganan konkrit. Pencegahan kovensi lahan sawah melalui penetapan peraturan juga terbukti kurang efektif. Cara terbaik untuk mengatasi masalah kovensi lahan sawah ialah dengan membuka lahan sawah baru. Data Badan Litbang Pertanian menunjukan masih tersedia hampir 17 juta hektar sawah yang potensial dibangun menjadi sawah (Tabel 28). Pembukaan lahan sawah baru jika tidak diminati perusahaan besar swasta dan sementara usahatani rumah tangga tidak memiliki model yang cukup untuk melakukannya. Oleh karena itu, pembukaan lahan sawah baru haruslah dilakukan pemerintah, sebagaimana yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Penurunan Kesuburan Tanah Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa penggunaan lahan sawah secara intensif, intensitas tanam tinggi, intensitas penggunaan pupuk tinggi, pengolahan tanah sempurna, irigasi intensif, telah menimbulkan penurunan kesuburan tanah sawah. Hal inilah yang menyebabkan gejala penurunan produktivitas padi dalam beberapa tahun terakhir. Penurunan kesuburan tanah telah pula menimbulkan menurunnya respon tanaman terhadap
pupuk. Secara populer petani menyatakan munculnya sindroma “lahan lapar pupuk”, intensitas penggunaan pupuk harus ditingkatkan terus agar hasil tidak menurun. Analisis yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa penggunaan pupuk pada usahatani padi sawah telah jauh diatas titik optimalnya (Tabel 29). Penggunaan pupuk urea (270 kg/ha) sekitar 50 persen diatas dosis optimalnya (189 kg/ha) sementara penggunaan pupuk SP-36 (103 kg/ha) lebih dari dua kali dosis optimalnya (48 kg/ha). Penggunaan pupuk secara berlebihan tidak saja meningkatkan biaya pokok produksi dan laba usahatani tetapi juga menurunkan produksi usahatani. Para ahli pertanian sesungguhnya telah menemukan cara mudah untuk mengatasi gejala penurunan kesuburan tanah tersebut yakni dengan pengelolaan tanaman terpadu (integrated crop manajemen). Elemen pokoknya ialah perbaikan dalam pengelolaan tanah, cara tanam dan pemupukan. Barangkali yang paling mendasar ialah perlunya penggunaan pupuk organik sehingga penggunaan pupuk anorganik dapat dikurangi secara nyata. Inilah inti dari program Perbaikan Mutu Intensifikasi (PMI) usahatani tanaman pangan yang dicanangkan Departemen Pertanian pada tahun 2003/2004. Barangkali perbaikan mutu intensifikasi tanaman pangan dilanjutkan dan diperluas melalui program aksi nasional terpadu.
17
Tabel 29. Penggunaan Urea dan SP-36 untuk Hasil Padi Maksimal, Optimal dan Aktual Menurut Pulau di Indonesia (Kg/ha) No 1
2
3
Uraian Maksimal Urea SP-36 Hasil
Sumatera
Jawa
Sulawesi
Indonesia
128 107 4.464
262 103 5.564
135 40 4.925
188 42 5.007
127 108 4.462
261 105 5.565
135 42 4.926
189 48 5.008
123 63 4.036
278 112 4.972
153 28 4.033
206 82 4.442 4.807
4.427
5.377
4.543
2263 1673
3414 604
2445 815
Optimal 1 Urea SP-36 Hasil1 Aktual 1998/1999 Urea1 SP-361 Hasil1
4 5
Hasil ARAM 2006
2
2706 1036
Aktual (survei 2005-06) Urea SP-36 Hasil Sumber : 1. Pada harga 2006, 2. struktur ongkos BPS, 3. Sumatera Utara, (PSEKP, 2006) 4. Jawa Timur (PSEKP, 2006), 5. Sulawesi Selatan (PSEKP, 2006), 6. Rata-rata Sumut, Jatim, Sulsel (PSEKP, 2006).
Penurunan Kualitas dan Luas Layanan Sistem Irigasi Jaringan irigasi teknis adalah kunci untuk meningkatkan hasil per luasan panen, intensitas tanam dan stabilitas produksi. Pembangunan jaringan irigasi secara besar-besaran pada tahun 1970-an hingga 1980-an merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam memacu peningkatan produksi pangan sehingga swasembada beras terwujud pada tahun 1984. Namun sejak pertengahan tahun 1980-an pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi menurun drastis. Tidak mengherankan, alih-alih bertambah kualitas jaringan irigasi yang ada terus merosot. Tingginya frekuensi berita media massa tentang kasus
kekeringan dimusim kemarau normal merupakan indikasi kuat tingkat keparahan kerusakan jaringan irigasi tersebut. Dari 6.771.826 hektar sawah layanan jaringan irigasi, 1.519.875 hektar atau 22,44 persen diantaranya telah mengalami gangguan, 341.327 hektar atau 5,04 persen mengalami “gangguan berat” dan 1.178.548 atau 17,40 persen mengalami “gangguan ringan”. Dari 49 bendungan yang ada saat ini, 49 diantaranya mengalami kerusakan ringan. Dari 273 waduk yang ada 19 atau 6,96 persen diantaranya mengalami kerusakan, 14 atau 5,13 persen rusak ringan dan 5 atau 1,83 persen rusak berat (Tabel 30).
Tabel. 30. Kondisi Jaringan Irigasi di Indonesia, 2006 Prasarana Terbangun 1. Jaringan Irigasi
Jumlah
Unit
Berat 6.771.826 hektar 341.327 (5,04%) 2. Bendungan 11.547 Unit 49 (0,42%) 3. Waduk 273 Unit 14 (5,13%) 18 Sumber : Ditjen Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum, 2006.
Kondisi Rusak Ringan 1.178.548 (17,40%) 5 (1,83%)
Total 1.519.875 (22,44%) 49 (0,42%) 19 (6,96%)
Tingkat kerusakan jaringan irigasi yang telah mencapai 22,44 persen jelas sudah dapat dikatakan “amat mengkhawatirkan”. Kalau saja, kerusakan tersebut menyebabkan hilangnya satu kesempatan menanam tanaman pangan tiap tahun maka sekitar 1,5 juta hektar luas panen tanaman pangan tidak dapat diperoleh hanya karena rusaknya jaringan irigasi. Kalau 20 persen saja, atau 300 ribu hektar dari jumlah tersebut adalah panenan padi maka kehilangan kesempatan produksi beras telah mencapai sekitar 770 ribu ton beras. Artinya kalau saja kerusakan jaringan irigasi tidak demikian parah, Indonesia mestinya dapat mempertahankan swasembada beras secara berkelanjutan. Tidak saja segera berdampak negatif terhadap produksi tanaman pangan dan pendapatan petani, kerusakan jaringan irigasi merupakan prakondisi untuk alih fungsi sawah dengan dampak permanen. Oleh karena itu, perbaikan dan perluasan jaringan irigasi mestinya menjadi prioritas penanganan pemerintah. Sebagai bagian dari program Revitalisasi Pertanian. Dalam buku Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum 2005 -2009, telah dicanangkan program rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak 2.679.450 hektar, pembangunan baru atau peningkatan 700.000 hektar, serta operasional dan pemeliharaan 3.490.500 hektar. Kita hanya berharap rencana ini sungguh-sungguh dilaksanakan, bukan sekedar dalam dokumen saja. Teknologi (Penelitian dan Pengembangan) Inovasi teknologi dan kelembagaan adalah andalan utama sumber pertumbuhan produksi dan daya saing tatkala sumberdaya alam basis produksi pertanian telah semakin langka sehingga pertumbuhan melalui ekstensifikasi luas baku lahan pertanian semakin mengecil dan bahkan telah menjadi negatif. Inovasi pertanian (teknologi dan kelembagaan) merupakan hasil dari lembaga penelitian dan pengembangan pertanian serta lembaga diseminasi teknologi. Dengan demikian, isu inovasi pertanian haruslah dipilah menjadi isu kinerja sistem lembaga penelitian dan pengembangan pertanian nasional dan isu sistem diseminasi inovasi pertanian nasional yang panduan keduanya merupakan perwujudan dari sistem inovasi pertanian nasional. Lembaga penelitian dan pengembangan bertanggung jawab mene-
mukan inovasi baru, sedangkan lembaga diseminasi inovasi bertanggung jawab agar inovasi baru tersebut diadopsi secara luas, cepat dan tepat guna oleh para pelaku agribisnis. Lembaga inovasi pertanian mencakup lembaga publik (pemerintah) maupun lembaga privat (swasta). Mesti diakui, lembaga penelitian dan pengembangan pertanian di Indonesia masih sangat didominasi oleh lembaga pemerintah dan sangat terfokus padi-padi. Teknologi yang dihasilkan adalah teknologi publik, dalam arti dapat digunakan oleh siapa saja tanpa ijin maupun imbalan. Lembaga penelitian swasta memfokuskan diri pada teknologi privat yang hak penggunaannya eksklusif sehingga dapat dikomersilkan. Di Indonesia, perkembangan lembaga penelitian swasta masih relatif baru, namun sudah mendominasi beberapa jenis usahatani seperti jagung hibrida dan ternak ayam ras. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pesatnya pertumbuhan produksi pada dekade 1970-an dan 1980-an adalah berkat inovasi teknologi produksi hijau, yakni varietas padi berumur pendek, responsif terhadap pupuk, membutuhkan lahan dan air prima, dan produktivitasnya amat tinggi. Varietas padi tersebut pada awalnya ditemukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) pada dekade 1960-an. Pada masa itu, potensi hasil varietas padi tradisional hanya sekitar 2 -2,5 ton/ha, sementara varietas baru varian IRRI dapat mencapai sekitar 4,5 ton/ha. Varietas baru yang ditemukan melipat gandakan produktivitas lahan. Masalahnya adalah, sejak pertengahan tahun 1990-an, varietas baru padi sudah tidak memiliki keunggulan nyata dalam potensi hasil (Tabel 31). Dengan lebih tegas, sejak pertengahan tahun 1990-an inovasi padi berbasis teknologi revolusi hijau telah mengalami saturasi. Litbang Pertanian sudah tidak memberikan kontribusi signifikan dalam inovasi teknologi padi dalam satu dekade terakhir. Inilah barangkali salah satu akar penyebab perlambatan pertumbuhan atau bahkan gejala penurunan absolut produktivitas padi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Indikasi telah mandegnya inovasi budidaya padi juga dapat ditunjukkan dari komposisi varietas padi yang ditanam petani. Hingga saat ini varietas benih padi yang paling banyak digunakan petani masih IR-64 yang
19
Tabel 31. Potensi Hasil (ton/ha) dan Jumlah Varietas Tanaman yang Dilepas di Indonesia, 1970 -2003. Uraian 1. Padi sawah - Potensi hasil tertinggi. - Jumlah varietas
1970-75
1976-80
1981-85
1986-90
1991-95
1996-00
2001-03
5.00 3
4.80 11
4.80 21
5.00 7
5.70 8
6.50 14
6.20 13
2. Jagung - Potensi hasil tertinggi. - Jumlah varietas Sumber : Badan Perbenihan Nasional
4.00 3
5.00 8
5.90 5
5.20 11
8.80 26
8.10 2
Tabel 32. Anggaran Rutin dan Pembangunan Badan Litbang Pertanian, 2001-2005 (Rp.000). No
Tahun
Rutin 1 2001 113.630.198 2 2002 127.565.600 3 2003 147.604.758 4 2004 190.816.396 5 2005 201.471.926 Rata-rata 156.217.776 Trend (%) 15.29 Sumber : Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
dilepas pada tahun 1986. Ini berarti, walaupun varietas baru yang dilepas sejak tahun 1986 sangat banyak (lebih dari 40 varietas) hanya sedikit diantaranya yang digunakan petani. Varietas-varietas baru tersebut nampaknya tidak berbeda nyata keunggulannya dibanding IR-64 yang telah ditemukan 20 tahun lalu. Berbeda dengan padi, inovasi budidaya jagung berkembang pesat secara akseleratif. Potensi hasil maupun jumlah varietas baru jagung yang dilepas meningkat konsisten sejak pertengahan tahun 1970-an (Tabel 31). Potensi hasil varietas unggul jagung meningkat menjadi dua kali lipat dalam tempo sekitar 25 tahun, dari 4.00 ton/ha pada periode tahun 1976-1980 menjadi 8.10 ton/ha pada periode tahun 2001-2003. Varietas unggul jagung tersebut didominasi oleh varietas hibrida yang dihasilkan sektor swasta. Jelaslah kiranya, akselerasi pertumbuhan produktivitas yang menjadi sumber utama pertumbuhan jagung merupakan hasil dari inovasi teknologi berbasis benih yang dihasilkan oleh lembaga penelitian swasta. Motor penggerak pertumbuhan produksi jagung sesungguhnya ialah lembaga penelitian swasta. Ini merupakan salah satu bukti betapa esensialnya peran lembaga penelitian pertanian swasta. Oleh karena itu, sektor lembaga penelitian pertanian mestinya perlu dideregu-
20
Jenis anggaran Pembangunan 82.167.960 115.690.470 163.416.800 186.763.915 251.391.369 159.886.103 25.61
Total 195.798.158 243.256.070 311.021.558 377.580.311 452.863.295 316.103.878 20.51
lasi sehingga peranan lembaga penelitian swasta dapat berperan maksimal sebagai motor penggerak inovasi pertanian. Sungguh ironis, inovasi pada usaha peternakan yang merupakan sumber pertumbuhan baru sektor pertanian sungguh amat minim. Dalam realitasnya, teknologi budidaya ayam ras pedaging terus berkembang pesat, terutama dalam DOC yang dihasilkan oleh perusahaan swasta multi-nasional. Pesatnya pertumbuhan produksi jagung dan daging ayam ras adalah berkat inovasi-reinovasi yang dihasilkan oleh sektor swasta. Nampaknya, peran penelitian dan pengembangan sektor swasta esensial untuk memacu pertumbuhan produksi pertanian secara berkelanjutan. Menurunnya kinerja lembaga penelitian pertanian publik kiranya perlu dikaji mendalam melalui penelitian khusus. Sebagai hipotesis awal, akar masalahnya mungkin tidak pada kendala anggaran infrastruktur dan jumlah personalia melainkan pada manajemen dan budaya penelitian. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa anggaran pembangunan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, sesungguhnya cukup besar dan terus mengalami peningkatan (Tabel 32). Secara umum, revitalisasi sistem penelitian dan pengembangan pertanian nasional merupakan agenda mendesak guna me-
ngatasi gejala perlambatan peningkatan produksi sejumlah besar produk pertanian. Selain masalah penurunan produktivitas inovasi sistem Litbang Pertanian Nasional, sistem diseminasi teknologi pertanian yang pada masa orde baru (1969-1998) cukup lengkap dan padu padan, kini mengalami dekontruksi sehingga dapat dikatakan cerai-berai. Sesuai dengan amanat otonomi daerah pengelolaan penyuluhan pertanian diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten. Dalam kenyataannya, sejumlah besar pemerintah kabupaten kurang memberikan perhatian pada penyuluhan pertanian. Sejumlah pemerintah kabupaten bahkan tidak memiliki lembaga penyuluhan pertanian sama sekali. Diseminasi inovasi pertanian kini menjadi masalah serius. Namun demikian, Departemen Pertanian sat ini telah menetapkan revitalisasi penyuluhan pertanian sebagai salah satu program utamanya. Kita berharap vitalitas sistem inovasi pertanian nasional dapat pulih segera dan menjadi salah satu penggerak peningkatan produksi pertanian di masa datang. Masalah Produksi Peternakan Dari bagian terdahulu telah ditunjukkan bahwa permintaan domestik terhadap bahan pangan asal ternak akan terus meningkat tajam. Disatu sisi kecenderungan ini mesti disambut baik sebagai bagian dari perbaikan kualitas gizi penduduk dan sekaligus bagian kesempatan bagi pengembangan usaha peternakan. Pada dasarnya, peningkatan cepat permintaan terhadap produk peternakan merupakan motor penggerak revitalisasi peternakan yang oleh para ahli manca negara dipandang sebagai harapan baru bagi peningkatan kesejahteraan petani, ketahanan pangan dan pertumbuhan sektor pertanian di negara-negara berkembang. Masalah pokoknya adalah kendala di sektor produksi yang diuraikan pada bagian berikut. Wabah Penyakit Merebaknya penyakit menular merupakan masalah utama yang terus menghambat perkembangan sektor peternakan dalam beberapa tahun. Sudah menjadi pengetahuan umum, wabah flu burung masih belum dapat diatasi dan sudah menimbulkan kematian siasia terhadap jutaan ekor unggas dan puluhan
nyawa manusia. Selain flu burung yang terus mengancam peternakan unggas, penyakit antraks pada ternak ruminansia kembali merebak dalam dua tahun terakhir. Sejujurnya, kami tidak ahli dalam masalah ini sehingga tidak dapat memberikan ulasan rinci mengenai akan penyebab dan upaya efektif untuk mengatasinya. Namun, secara komparatif kiranya tidak salah untuk menyimpulkan negara ini kurang mampu dibanding negara lain (Vietnam, Thailand) dalam memberantas flu burung (dan juga penyakit hewan menular lainnya). Pada kesempatan ini kami hanya dapat menghimbau agar pemberantasan penyakit hewan menular, utamanya flu burung dan antraks, dilakukan lebih sungguh-sungguh dan sistematis. Pengembangan sistem deteksi dini dan penanganan penyakit hewan menular perlu dilakukan secara melembaga. Kemampuan untuk mencegah merebaknya penyakit hewan menular merupakan kunci bagi peningkatan produksi peternakan, termasuk untuk mewujudkan revitalisasi peternakan di Indonesia. Kendala Padang Penggembalaan dan Sumber Pakan Hijauan Usaha ternak sapi dan ternak ruminansia pada umumnya didominasi cara pemeliharaan dengan sistem ”land based” yang mengandalkan pengadaan pakan dari padang penggembalaan atau pemberian pakan hijauan asalan (rongkage). Padang penggembalaan dan pasokan hijauan asalan cenderung menurun karena lahannya dikonversi menjadi usaha pertanian atau peruntukan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan jumlah populasi sapi cenderung menurun absolut dalam 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, revitalisasi usaha peternakan ruminansia, sapi khususnya, sebaiknya dilakukan dengan mengembangkan usaha ”non land based”, yakni cara pemulihan dengan mengandangkan ternak dan pemberian pakan buatan. Pengembangan usaha ternak intensif ini tentu membutuhkan fasilitasi permodalan dan bantuan teknis dari pemerintah. Potensi pengembangan yang juga amat prospektif ialah pengembangan sistem integrasi peternakan – tanaman di kawasan perkebunan. Sistem integrasi peternakan – perkebunan. Pola pengembangan ini sudah terbukti cukup berhasil pada beberapa usaha perkebunan sawit. Dengan kawasan perkebunan yang amat luas, sekitar 15 juta hektar
21
mestinya Indonesia tidak menghadapi kendala produksi daging ternak ruminansia. Namun demikian, potensi yang demikian besar hanya dapat dimanfaatkan optimal bila ada inisiatif dari pemerintah untuk memfasilitasi kemitraan antara pemilik usaha perkebunan dan calon peternak. Keterbatasan Kapasitas Usaha Ternak Sampingan Kendala usaha ternak ayam ras, usaha peternakan di Indonesia sebagian besar masih berupa usaha sampingan bagi rumah tangga. Sebagai usaha sampingan, curahan modal dan perhatian untuk pengembangan usaha ternak tentu amat terbatas sehingga tidak memperkirakan pertumbuhan usaha peternakan tetap amat lambat. Usaha peternakan rakyat hanya dapat dimobilisir dengan melakukan transformasi usaha dan usaha sampingan menjadi usaha utama bagi rumah tangga tani. Transformasi usaha peternakan rakyat menjadi usaha utama rumah tangga tidak mungkin terjadi tanpa fasilitasi dari pemerintah. Pemerintah perlu memberikan fasilitas permodalan dan bimbingan teknis. Barangkali, pengembangan usaha peternakan rakyat merupakan pilihan terbaik untuk meningkatkan petani manakala pengembangan usaha tanam sudah sulit dilakukan karena keterbatasan lahan. Pengembangan usaha peternakan di kawasan sentra produksi usaha tanaman pangan juga menciptakan sinergi usahatani. Pada intinya, hal ini termasuk dalam upaya diversifikasi produksi pertanian yang juga potensial untuk mendorong diversifikasi konsumsi pangan. Konsentrasi Industri dan Praktek Persaingan Tidak Sehat Usaha peternakan ayam ras adalah usaha peternakan yang paling progresif, motor penggeraknya adalah perusahaan besar produsen bibit ayam sehari (DOC) dan pakan yang merupakan inti dari teknologi tinggi yang membuat industri ini terus berkembang amat pesat. Dapat dikatakan, revolusi peternakan sudah berlangsung pada industri unggas ras. Secara intrinsik cabang-cabang usaha industri ini memiliki ekonomi skala (economies of scale) dari ekonomi cakupan usaha (economies of scope) yang amat besar sehingga perusahaan yang berkembang cenderung berskala besar
22
dan terintegrasi antarcabang usaha (konglomerasi). Oleh karena itulah usaha peternakan ayam ras didominasi oleh perusahaan besar. Selain itu, perusahaan berskala besar dan terintegrasi telah menyebabkan struktur industri cenderung terkonsentrasi tinggi sehingga rentan terhadap praktek persaingan tidak sehat. Sehubungan dengan itu, pemerintah perlu terus melakukan pengawasan persaingan pada industri ini. Tumbuhnya perusahaan baru perlu difasilitasi sehingga konsentrasi industri menurun sesuai mekanisme pasar. Tumbuhkembangnya usaha ternak rakyat difasilitasi melalui sistem kemitraan dan pembatasan skala usaha budidaya perusahaan besar peternakan. Selain memberi peluang usaha bagi usaha ternak rakyat, pembatasan skala usaha budidaya tersebut juga bermanfaat untuk menciptakan struktur industri yang kompetitif. Belum Berkembangnya Sistem Inovasi Pesatnya pertumbuhan industri ayam ras adalah berkat kemajuan inovasi pada perbenihan (DOC) dan pakan yang dimotori oleh perusahaan besar swasta (multinasional). Fenomena ini belum terjadi pada usaha peternakan lainnya. Dapat dikatakan, tiadanya inovasi teknologi merupakan penyebab utama kenapa usaha ternak sapi potong, ayam bukan ras maupun usaha ternak rakyat lainnya cenderung stagna atau bahkan mengalami regresi. Oleh karena itu, pengembangan sistem inovasi pendukung usaha peternakan rakyat mestinya menjadi prioritas penanganan pemerintah. Termasuk dalam hal inilah revitalisasi sistem penelitian dan pengembangan, fasilitasi impor teknologi, pengembangan usaha perbenihan dan pembibitan, serta pengembangan pembuatan pakan lokal. Sekali lagi, intervensi dan fasilitasi kreatif dari pemerintah amat dibutuhkan untuk menunjukkan revolusi peternakan yang amat prospektif di Indonesia. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Kesimpulan Tanaman Pangan Produksi padi mengalami perlambatan pertumbuhan sejak pertengahan tahun 1980-
an, dan sejak awal tahun 1980-an laju pertumbuhannya telah di bawah laju pertumbuhan penduduk atau produksi beras per kapita terus menurun hingga saat ini. Penurunan produksi beras per kapita inilah yang menyebabkan swasembada beras yang diraih tahun 1984 tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Tekanan untuk mengimpor beras tetap amat tinggi, atau bahkan tidak terelakkan, selama Indonesia gagal membalik kecenderungan penurunan produksi padi per kapita. 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa kecenderungan penurunan laju pertumbuhan produksi padi adalah akibat dari kombinasi : (a) penurunan luas baku lahan sawah, khususnya di Jawa; (b) stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas lahan. Penurunan luas baku lahan sawah adalah akibat dan konversi untuk peruntukan lain yang amat sukar dicegah. Cara yang paling mungkin untuk meningkatkan luas baku lahan sawah ialah melalui pembukaan lahan sawah (investasi baru). Stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas padi adalah konsekuensi dari stagnasi inovasi baru dan semakin memburuknya kesuburan lahan. 2. Usahatani padi cukup menguntungkan secara financial serta memiliki keunggulan komparatif. Sistem pemasaran gabah – beras juga cukup efisien, namun dengan marjin pemasaran cenderung meningkat. Hal ini terutama adalah akibat dari peningkatan ongkos transportasi dan refleksi dari struktur rantai pemasaran yang panjang. Isu kebijakan utama dalam hal pemasaran ini ialah menjaga stabilitas harga musiman yang mestinya menjadi pokok perhatian BULOG. 3. Berdasarkan kecenderungan historis, dan bila program revitalisasi industri perberasan nasional tidak efektif, diperkirakan produksi beras akan mengalami pertumbuhan negatif pada periode tahun 20062010. Dalam kondisi demikian Indonesia akan terpaksa mengimpor beras dalam jumlah yang semakin besar. Hal ini tentu akan berdampak buruk terhadap ketahanan pangan nasional, dan akan menimbulkan tekanan politik yang amat mendesak bagi pemerintah. 4. Produksi jagung terus mengalami pertumbuhan tinggi dan akseleratif. Pertumbuhan
produksi yang amat tinggi tersebut terutama berasal dari pertumbuhan produktivitas sebagai refleksi dari pesatnya inovasi teknologi. Berbeda dengan padi yang mengandalkan lembaga penelitian pemerintah, teknologi jagung terutama ditopang oleh sistem inovasi swasta, tepatnya perusahaan multinasional di bidang perbenihan dan agrokimia. Benih jagung hibrida dengan potensi produktivitas yang amat tinggi dan terus meningkat merupakan kunci dan akselerasi pertumbuhan produksi jagung. 5. Selain di didorong oleh inovasi teknologi, pertumbuhan produksi jagung yang akseleratif tersebut juga adalah berkat pesatnya peningkatan permintaan jagung dalam negeri untuk industri pakan ternak. Industri pakan ternak berkembang pesat karena ditarik oleh pertumbuhan pesat usaha peternakan intensif, utamanya peternakan ayam ras. Permintaan jagung untuk pakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan usaha peternakan intensif. Selain itu, usahatani jagung tidak saja layak secara finansial, tetapi juga kompetitif sehingga jagung juga potensial untuk diekspor. 6. Masalah pokok sisi penawaran jagung ialah instabilitas produksi, yang terutama berasal dari instabilitas luas panen. Akar penyebabnya ialah instabilitas harga jagung yang diterima petani. Dengan demikian, stabilisasi harga jagung di tingkat petani merupakan isu kebijakan pokok yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah. 7. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa untuk periode tahun 2006–2010, produksi jagung akan terus tumbuh pesat dan akseleratif, melampaui laju peningkatan permintaan, sehingga akan terjadi surplus produksi semakin meningkat merupakan isu kebijakan yang perlu diantisipasi pemerintah. Peternakan 8. Usaha ternak ayam ras pedaging baru berkembang pada pertengahan tahun 1970an, tumbuh amat cepat dan kini menjadi tulang punggung subsektor peternakan. Setelah terpukul berat pada masa krisis ekonomi 1998–1999, usaha ternak ayam ras pedaging kini telah pulih total dan
23
tumbuh amat pesat. Usaha ternak ayam ras terutama ditopang oleh sektor swasta baik dari segi inovasi teknologi maupun dari segi modal dan pemasaran. Usahatani dapat berkembang pesat atas kemampuan sendiri dengan fasilitasi terbatas dari pemerintah. 9. Produksi daging sapi potong meningkat relatif lambat, jauh lebih lambat dari peningkatan permintaan, sehingga Indonesia harus mengimpor dalam jumlah yang semakin besar. Masalah pokoknya ialah penurunan laju pertumbuhan populasi yang berkelanjutan sejak dekade 1980-an. Bahkan pada periode tahun 2000-an, populasi sapi potong menurun secara absolut. 10. Usaha ternak sapi potong didominasi oleh usaha ternak keluarga tradisional dan pada umumnya hanya sebagai usaha sampingan. Usaha ternak sapi potong cukup menguntungkan secara finansial, namun membutuhkan modal investasi yang cukup besar, sementara peternak tidak memiliki akses terhadap kredit perbankan. Semakin terbatasnya padang penggembalaan juga merupakan kendala utama bagi usaha ternak sapi potong. 11. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa tanpa ada upaya yang dapat meningkatkan produksi secara signifikan, Indonesia akan terus mengalami defisit daging sapi dalam jumlah yang semakin besar. 12. Setelah merosot pada dekade tahun 1990an laju pertumbuhan produksi daging kambing dan domba meningkat tajam pada periode tahun 2000-2005. Apakah pemulihan produksi ini berkelanjutan masih amat meragukan. Masalah usaha ternak kambing dan domba mirip dengan usaha ternak sapi potong. Usaha ternak sapi dan domba dilakukan oleh usaha ternak keluarga dan hanya sebagai usaha sampingan saja. Walau cukup menguntungkan secara finansial. Namun pengembangan usaha ternak kambing dan domba membutuhkan modal yang cukup besar. Semakin langkanya padang pengembalaan juga menjadi kendala bagi usaha ternak kambing dan domba. 13. Hingga lima tahun mendatang, produksi daging kambing dan domba masih tetap berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Hasil proyeksi menunjukan, produksi daging kambing dan domba ma-
24
sih di bawah permintaan domestik. Tanpa ada program yang dapat meningkatkan produksi secara nyata mustahil Indonesia dapat menjadi negara pengekspor daging kambing dan domba seperti yang kerap diutarakan oleh sebagian pihak. Risiko Peningkatan Produksi 14. Faktor resiko pertama adalah berkaitan dengan sumber daya lahan dan air. Dalam jangka pendek dan panjang Indonesia menghadapi empat ancaman serius yang berkaitan dengan sumber daya lahan dan air yaitu peningkatan laju konversi baik di Jawa maupun luar Jawa, rusaknya jaringan irigasi, rusaknya beberapa sistem hidrologi DAS dan penguasaan lahan yang sempit. Oleh karena itu, dalam jangka pendek dan panjang diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi tekanan pemanfaatan lahan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan di Jawa melalui pengembangan produksi komoditas yang bernilai tinggi dengan muatan teknologi yang tinggi pula, meningkatkan alokasi fiskal untuk pembangunan jaringan irigasi dan pencetakan sawah baru, perbaikan sistem hidrologi DAS yang rusak, sedangkan untuk mencapai skala ekonomi minimum diperlukan upaya rekayasa kelembagaan kerja sama antar petani. 15. Faktor risiko kedua adalah kemampuan produksi industri pupuk nasional yang makin menurun karena usia pabrik sudah tua dengan tingkat efisiensi yang rendah sekitar 70 persen. Selain itu, masalah lain adalah kelangkaan pasokan gas sebagai bahan baku terbesar produksi pupuk urea juga menjadi faktor risiko yang menghadang keberhasilan peningkatan produksi. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah segera melakukan peremajaan industri pupuk nasional. 16. Faktor risiko ketiga adalah sistem perbenihan nasional. Selain mutu benih nasional belum memenuhi standar mutu yang baik, juga kuantitas benih belum seluruh komoditas berkembang. Mungkin hanya padi dan jagung yang relatif berkembang dan itupun belum memenuhi standar yang diharapkan. Akibat mutu benih nasional yang kurang baik, petani melakukan penangkaran sendiri (contoh petani padi). Kondisi yang
demikian dinilai kurang baik dilihat dari aspek kemurnian dan mutu produksi, sehingga akan menghambat peningkatan kapasitas produksi. Oleh karena itu, maka disarankan agar pemerintah membangun sistem perbenihan nasional yang bermutu. Rekomendasi Kebijakan 17. Selain arah pengembangan peningkatan produksi dilakukan melalui intensifikasi juga diupayakan melalui ekstensifiksi di mana potensi lahan pengembangan tersebar di Provinsi Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Untuk padi, padi gogo dan jagung masing-masing 12, 5 dan 7 juta hektar; dan untuk padang penggembalaan 3 juta hektar. 18. Berdasarkan masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan kapasitas produksi dan prospek pasar domestik yang masih terbuka lebar serta lahan untuk pengembangan lebih lanjut masih tersedia, maka disusun pokok-pokok matrik kebijakan sebagai berikut: 1) Peningkatan kapasitas produksi industri perberasan nasional tidak cukup dilakukan dengan memberikan dukungan harga gabah, subsidi pupuk, subsidi benih dan subsidi kredit modal kerja. Kebijakan pemerintah harus diorientasikan dari fokus kebijakan harga ke fokus peningkatan kapasitas produksi, yakni: (a) rehabilitasi dan ekstensifikasi infrastruktur irigasi; (b) pembukaan lahan sawah baru; (c) memacu inovasi teknologi, termasuk revitalisasi sistem penelitian dan pengembangan pertanian serta sistem diseminasi inovasi pertanian dengan deregulasi dan penciptaan iklim yang kondusif bagi investor swasta. 2) Kebijakan yang disarankan untuk dilaksanakan pemerintah guna terus memacu pertumbuhan produksi jagung ialah: (a) Stabilisasi harga di tingkat petani; (b) Menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi swasta dalam industri perbenihan dan agrokimia; dan (c) Menjamin praktek persaingan yang sehat dalam bisnis benih, agrokimia dan pemasaran jagung.
3) Masalah pokok yang dapat menghambat perkembangan usaha ternak ayam ras pedaging ialah serangan penyakit menular (flu burung, tetelo) dan praktek persaingan tidak sehat. Kebijakan pemerintah yang disarankan dalam pengembangan usaha ternak ayam ras pedaging ialah: (a) Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (prioritas dan harus segera ialah pementasan pembasmian penyakit flu burung); (b) Pengembangan struktur industri perunggasan yang bersaing dan pencegahan praktek persaingan yang tidak sehat; (c) Peningkatan peran usaha peternakan rakyat. 4) Kebijakan yang disarankan untuk meningkatkan produksi daging sapi potong ialah: (a) Peningkatan populasi sapi potong melalui pengembangan usaha ternak intensif dan usaha pembibitan sapi; (b) Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dan tanaman; dan (c) Pemetaan sistem pemasaran sapi. 5) Beberapa kebijakan yang disarankan untuk memacu produksi kambing dan domba : (a) Pengembang usaha ternak kambing dan domba skala komersial; (b) Pengembangan sistem integrasi ternak kambing/domba dengan tanaman; (c) Pengembangan sistem perbenihan ternak kambing dan domba. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tujuan Aspek Kesesuaian Lahan. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2002. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia. Jakarta.
25
Hill, H. and P. Simatupang. 2006. Marketing and Competition Issues. Paper Submitted to the World Bank Jakarta. Simatupang, P., I W. Rusastra, and M. Maulana. 2004. How to Solve Supply Bottleneck in Agricultural Sector. Analisis Kebijakan Pertanian. 2(4):369392. Simatupang, P. 2006. Efektivitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah. Masukan Kebijakan untuk Departemen Pertanian (Tidak dipublikasikan).
26
Syafa’at, N., Adreng P., Chaeul M., dan M. Maulana. 2006. Analisis Besaran Subsidi Pupuk dan Pola Distribusinya. Laporan Tengah Tahun Penelitian. (Tidak dipublikasikan). Syafa’at, N., Prajogo U.H., Dewa K.S., Erna M.L., Adreng P., Jefferson S. Dan Frans B.M.D. 2005. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Utama Pertanian. Laporan Akhir Penelitian. (Tidak dipublikasikan).
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
Tabel Lampiran 1. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Padi Masalah/Isu Kebijakan 1. Penurunan pertumbuhan produksi padi
Penyebab/Tantangan Langsung 1. Penurunan pertumbuhan luas panen. a. Penurunan luas baku lahan sawah di Jawa dan perlambatan pertambahan luas sawah di luar Jawa b. Saturasi intensitas penggunaan sawah c. Peningkatan lahan bera (tidur)
d. Alih guna lahan sawah ke usahatani nonpadi.
2. Stagnasi produktivitas lahan.
2. Makin tingginya ketidakstabilan produksi padi
1. Ketersediaan air makin rentan terhadap perubahan iklim. 2. Masih tingginya serangan hama
Penyebab Antara 1. Konversi lahan sawah untuk tapakan industri, jalan, pemukiman dan sarana sosial 2. Kurangnya pembukaan sawah baru. Penurunan kualitas dan stagnasi perluasan sarana irigasi 1. Investasi spekulatif pada lahan. 2. Kepemilikan absenti lahan pertanian. 3. Ketidakpastian kepemilikan lahan. 1. Penurunan kualitas irigasi 2. Penurunan profitabilitas relatif usahatani padi 1. Stagnasi inovasi pertanian
2. Penurunan kesuburan lahan a. Penurunan kualitas irigasi b. Penurunan kualitas tanah akibat over intensifikasi 3. Rendahnya penyerapan kredit modal kerja 1. Penurunan kualitas sarana irigasi. 2. Memudarnya lembaga pemberantas hama di tingkat petani.
Kebijakan/ Program 1. Pengendalian konversi lahan sawah
Tindak Lanjut 1.
Melarang konversi lahan irigasi
Penanggung Jawab Utama BPPN
Pembuatan peraturan rencana tata ruang dan tata guna lahan Perbaikan dan perluasan sarana irigasi
Bappenas/ Bappeda
1. Pajak lahan bera (tidur) 2. Larangan kepemilikan absenti 3. Sertifikasi kepemilikan lahan pertanian
Depkeu
Retensi usahatani padi
1. Perbaikan sarana irigasi. 2. Penyediaan insentif harga
Departemen PU Deptan
Revitalisasi litbang: mendorong peran swasta dalam bisnis jasa litbang dan input inovatif
1. Deregulasi litbang 2. Deregulasi industri perbenihan
Deptan
Penetapan praktek pertanian yang baik
1. Sinergi antarlembaga litbang pemerintah 2. Tata kelola baru Badan Litbang Pertanian
Menristek
Program revitalisasi penyediaan kredit modal kerja Stabilisasi produksi padi
1. Deregulasi program kredit sektor pertanian
BI/Depkeu
1. Rehabilitasi sarana irigasi 2. Revitalisasi lembaga pengguna air dan pemberantasan hama di tingkat petani.
Departemen PU
2. Pembukaan lahan sawah baru Intensifikasi pemanfaatan lahan sawah Pengendalian lahan bera (tidur)
2.
Departemen PU/ Deptan
BPPN
Deptan
Tabel Lampiran 1. (Lanjutan) Masalah/Isu Kebijakan 3. Pangsa harga gabah yang diterima petani cenderung turun dan tidak stabil
Penyebab/Tantangan Langsung Inefisiensi industri pascapanen
Penyebab Antara 1. Kehilangan pascapanen tinggi a. Alat pengering mekanis belum berkembang. b. Industri penggilingan padi di dominasi kalangan kecil dan tua 2. Ongkos angkut tinggi a. Prasarana dan sarana angkutan kurang baik b. Pungutan tak resmi
4. Kebijakan pemerintah kurang efektif
Terlalu fokus pada kebijakan harga dasar gabah (HDG) dan subsidi pupuk a. Produksi padi kurang responsif terhadap harga gabah dan pupuk b. Kebijakan subsidi pupuk kerap malah menimbulkan kelangkaan pasok dan lonjak harga pupuk
1. Penggunaan pupuk sudah over dosis dan intensitas penggunaan lahan sudah jenuh 2. Kesalahan rancangan dan implementasi kebijakan subsidi pupuk a. Dualisme pasar b. Disparitas harga (kandungan subsidi) terlalu tinggi
Kebijakan/ Program Rehabilitasi dan restrukturisasi industri penggilingan padi
Peningkatan efisiensi pemasaran dan stabilitasi harga gabah
Kebijakan revitalisasi industri perberasan terpadu
Tindak Lanjut 1. Membuat peraturan standar penggiling padi menunjang efisiensi kilang padi
Penanggung Jawab Utama Deperin/Derpein
2. Penyediaan kredit investasi rehabilitasi dan “up grading” kilang padi
BI/Deperin
1. Perbaikan dan pembangunan sarana jalan dan angkutan pedesaan 2. Kaji ulang retribusi dan pungutan terkait pemasaran hasil pertanian 3. Pemindahan praktek pungutan tak resmi 1. Penyusunan kebijakan/ penguatan revitalisasi industri perberasan terpadu a. Kaji ulang kebijakan subsidi pupuk dan HDG b. Paket kebijakan komprehensif terpadu
Dep. PU/Dephub
Depdagri/Pemda
Kapolri Menkoekonomi
Tabel Lampiran 2. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Jagung Masalah/Isu Kebijakan 1. Mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi produksi jagung
Penyebab/Tantangan Langsung 1.Penurunan laju pertumbuhan luas panen a. Penurunan luas baku lahan di Jawa serta perlambatan pertambahan luas lahan sawah dan ladang di luar Jawa
b. Saturasi intensitas penggunaan lahan c. Peningkatan lahan bera (tidur)
d. Alih guna lahan ke nonjagung (padi, tebu)
e. Rendahnya adopsi inovasi tingkat petani
Penyebab Antara 1. Konversi lahan pertanian ke nonpertanian
Kebijakan/Program 1. Pengendalian konversi lahan pertanian
Tindak Lanjut 1. Melarang konversi lahan beririgasi
Penanggung Jawab Utama BPPN
2. Pembuatan peraturan rencana tataruang dan tataguna lahan 1. Pengerahan transmigrasi pertanian 2. Pemanfaatan lahan tidak produktif
Bappenas/Bappeda
2. Kurangnya pembukaan lahan pertanian (sawah dan ladang) baru
2. Pembukaan lahan pertanian baru
Penurunan kualitas dan stagnasi perluasan sarana irigasi 1. Investasi spekulasi pada lahan 2. Kepemilikan absenti lahan pertanian 3. Ketidakpastian kepemilikan lahan
Intensifikasi pemanfaatan lahan
Perbaikan dan perluasan sarana irigasi
Dep. PU/Deptan
Pengendalian lahan bera (tidur)
1. Pajak lahan bera
Depkeu BPPN
BI/Depkeu
1. Bias insentif kebijakan ke padi dan tebu 2. Penurunan harga jagung di tingkat petani akibat penurunan dunia
Diversifikasi produksi pertanian Perlindungan pertanian jagung dari dampak anjlok harga jagung dunia
2. Larangan kepemilikan absenti lahan pertanian 3. Sertifikasi kepemilikan lahan pertanian Mengurangi tingkat proteksi harga gabah dan gula Penetapan tarif impor berdasarkan mekanisasi “trigger” harga dunia minimum
1. Rendahnya modal petani
Program kredit usahatani jagung
Penyediaan kredit untuk usahatani jagung
Depnakertrans
Deptan/Dephut
Deptan/Depdag
Depkeu
Tabel Lampiran 2. (Lanjutan) Masalah/Isu Kebijakan
Penyebab/Tantangan Langsung 2. Mempertahankan momentum pertumbuhan produktivitas tinggi
Penyebab Antara
Kebijakan/Program
1. Inovasi berkelanjutan
Revitalisasi litbang a. Memperluas peran swasta dalam bisnis jasa litbang dan input inovatif b. Peningkatan efektivitas dan efisiensi litbang pemerintah
2. Instabilitas produksi jagung
1. Instabilitas luas tanam/panen jagung a. Alih guna lahan ke nonjagung b. Kekurangan air c. Substitusi dengan padi dan tebu.
2. Penurunan kesuburan lahan a. Penurunan kualitas irigasi b. Penurunan kualitas tanah sawah akibat over intensifikasi
Penerapan praktek pertanian yang baik
1. Instabilitas harga jagung 2. Kerentangan pasokan air irigasi terhadap perubahan iklim
Stabilitasi produksi jagung
Tindak Lanjut 1. Deregulasi litbang
Penanggung Jawab Utama Deptan
2. Deregulasi industri perbenihan 1. Sinergi antarlembaga litbang pemerintah
Menristek
2. Tata kelola baru Badan Litbang Pertanian 1. Perbaikan jaringan irigasi
Deptan
2. Rasionalisasi penggunaan input kimiawi 3. Tata laksana usahatani yang baik 1. Stabilitasi harga jagung a. Penetapan tarif impor berdasarkan mekanisme “trigger” harga dunia minimum b. Harga dasar jagung
Deptan
2. Perbaikan sarana irigasi 3. Revitalisasi lembaga pengguna air
Dep. PU/Deptan
Dep. PU
Depkeu/Deptan
Deptan/Pemda
Deptan
Tabel Lampiran 2. (Lanjutan) Masalah/Isu Kebijakan 3. Pangsa harga jagung yang diterima petani menurun
4. Harga jagung tidak stabil
5. Kebijakan subsidi pupuk kurang efektif
Penyebab/Tantangan Langsung 1. Pasar jagung cenderung monopolistik
Penyebab Antara Pasar jagung dikuasai pabrik pakan atau pedagang besar
Kebijakan/Program 1. Peningkatan efisiensi pemasaran dan stabilisasi harga jagung
Tindak Lanjut 1. Pengembangan lembaga pemasaran bersama petani atau lembaga pemasaran daerah 2. Perbaikan dan pembangunan prasarana jalan dan sarana transportasi pedesaan 3. Kaji ulang retribusi dan pungutan daerah
Penanggung Jawab Utama Pemda
Dep. PU/ Dephub
Depdagri/Pemda
4. Penindakan pungutan tak resmi
Pemda/POLRI
2. Industri pascapanen jagung masih kurang berkembang
Ketersediaan modal investasi terbatas
2. Pengembangan industri pascapanen jagung
Penyediaan kredit investasi
BI/Deptan
Harga jagung domestik ditentukan harga dunia
Pasar jagung domestik terintegrasi dengan pasar dunia
Stabilisasi harga jagung
1. Kebijakan harga dasar jagung menurut daerah
Pemda
2. Penetapan tarif impor “jaring pengaman” (berbasis “trigger” harga dunia minimum)
Depkeu
Kaji ulang rancang bangun pada pola distribusi pupuk bersubsidi
Menkoekonomi Deptan/Depdag/Depkeu
1. Harga pupuk di tingkat petani diatas harga subsidi 2. Pasokan pupuk kerap langka
Kesalahan rancangan kebijakan : 1. Dualisme pasar 2. Disparitas harga tinggi
Rekonstruksi kebijakan subsidi pupuk
Tabel Lampiran 3. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Ayam Ras Pedaging Masalah/Isu Kebijakan 1. Risiko serangan penyakit amat tinggi (seperti flu burung, tetelo)
Penyebab/Tantangan Langsung 1. Peluang masuknya penyakit dari luar negeri tinggi.
2. Penyebaran penyakit antarwilayah berlangsung cepat.
2. Harga DOC dan pakan fluktuatif
Industri DOC dan pakan rentan terhadap praktek anti persaingan
Penyebab Antara
Kebijakan/Program
1. Kelalaian petugas karantina. 2. Peraturan impor ternak, produk ternak dan pakan ternak kurang ketat.
Pengetatan tindakan karantina ternak, produk ternak dan pakan.
1. Tidak adanya sistem kewaspadaan penyakit ternak.
Pengembangan sistem kewaspadaan penyakit.
2. Pelaksanaan bio – security pada tingkat peternakan masih lemah.
Penegakan bio-security peternakan ayam.
1. Penegakan larangan impor ternak, produk ternak dan pakan ternak dari negara terjangkit penyakit ternak menular. 2. Pengetatan tindakan karantina atas hewan, produk ternak dan pakan ternak. Pembangunan kelembagaan sistem kewaspadaan penyakit ternak terpadu. 1. Penyusunan protokol bio-security.
3. Tidak efektifnya pengawasan lalu lintas ternak antardaerah Industri DOC dan pakan terintegrasi dan amat terkonsentrasi.
Pencegahan penularan ternak antarwilayah.
2. Sosialisasi dan pengawasan pelaksanaan biosecurity peternakan ayam. Pengetatan lalu lintas ternak
Penegakan praktek persaingan yang sehat pada industri DOC dan pakan ayam
Tindak Lanjut
1. Pengetatan pengawasan dan penyelidikan praktek penetapan harga DOC dan pakan ayam. 2. Mendorong preusan baru “breeding farm” DOC dan pabrik pakan.
Penanggung Jawab Utama Deptan
Deptan
Deptan/ Pemda
Pemda
KPPU
Deptan/ Deperin
Tabel Lampiran 3. (Lanjutan) Masalah/Isu Kebijakan 3. Peranan usaha peternakan rakyat kecil dan cenderung menurun.
4. Ekspor ayam belum signifikan
Penyebab/Tantangan Langsung Ekonomi skala usaha dan cakupan usaha peternakan.
1. Penyakit flu burung belum terbasmi tuntas.
2. Daya saing rendah
Penyebab Antara Kemampuan model usaha peternakan rakyat terbatas.
1. Sistem pembasmian belum padu dan intensif. Rantai pasok belum tumbuh.
Kebijakan/Program Peningkatan peranan usaha peternakan ayam rakyat.
Penuntasan pembasmian flu burung.
Peningkatan ekspor ayam.
Tindak Lanjut 1. Peningkatan skala usaha ternak rakyat melalui penguatan modal.
Penanggung Jawab Utama BI/Depkeu
2. Pengembangan usaha komitmen peternakan rakyat – perusahaan besar peternakan.
Deptan
Peningkatan koordinasi dan intensitas pembasmian flu burung.
Menkokesra/ Deptan
Promosi dan pengembangan rantai pasok ekspor ayam.
Depdag/ Kadin
Tabel Lampiran 4. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Daging Sapi Masalah/Isu Kebijakan 1. Populasi Menurun
Penyebab/Tantangan Langsung 1. Perlambatan investasi baru dalam bakalan atau induk.
2. Umur ternak potong makin pendek (ternak makin cepat dijual)
3. Bibit/bakalan tidak tersedia di pasar dalam jumlah cukup
2. Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dan tanaman
1. Peternak kurang pengetahuan. 2. Kendala modal. 3. Kendala relasi kelembagaan peternak pemilik usaha tanaman (usaha perkebunan)
Penyebab Antara
Kebijakan/Program
1. Kendala modal investasi 2. Kendala ladang penggembalaan
1. Pengembangan usaha ternak sapi intensif skala ekonomis
1. Usaha ternak sebagai usaha sampingan. 2. Tekanan kebutuhan dana tunai
2. Pengembangan usaha ternak sapi semi intensif di wilayah sentra padang penggembalaan 3. Pengembangan usaha pembibitan sapi.
Usaha pembibitan sapi masih kurang berkembang
1. Kurang penyuluhan. 2. Kendala akses terhadap lembaga keuangan formal. 3. Tidak ada integrator pelopor.
Penanggung Jawab Utama
Tindak Lanjut 1. Penyediaan kredit modal investasi
BI
2. Penyediaan bantuan ternak bakalan 1. Pengembangan pabrik pakan ternak di wilayah sentra peternakan gembala (NTT) 1. Fasilitasi lokasi usaha dan perizinan 2. Penyediaan kredit modal investasi.
Deptan/Pemda Deptan/Pemda
Deptan/Pemda BI
1. Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dengan usahatani tanaman.
1. Penyediaan jasa bimbingan teknis.
Deptan/Pemda
2. Penyediaan kredit modal investasi.
Deptan/Pemda BI
2. Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dengan perkebunan besar.
1. Penyediaan jasa bimbingan teknis 2. Penyediaan kredit modal investasi. 3. Fasilitasi kelembagaan kemitraan peternak (buruh kebun) dan pengusaha perkebunan
Deptan/Pemda BI Deptan/ Pemda
Tabel Lampiran 4. (Lanjutan) Masalah/Isu Kebijakan 3. Usaha pembibitan sapi kurang berkembang.
4. Pemasaran sapi kurang efisien.
Penyebab/Tantangan Langsung 1. Induk unggul tidak tersedia. 2. Kendala lokasi pengembangan. 3. Kendala modal 4. Kendala teknis inseminasi buatan
1. Persaingan tidak sempurna. 2. Ongkos transaksi tinggi.
Penyebab Antara
Kebijakan/Program
Tindak Lanjut
1. Keuntungan efektifnya litbang domestik. 2. Lahan yang sesuai untuk lokasi pembibitan terbatas. 3. Kendala akses terhadap lembaga keuangan formal. 4. Lembaga jasa inseminasi buatan belum berkembang luas.
1. Pengembangan usaha pembibitan sapi.
1. Fasilitasi perizinan impor induk unggul. 2. Penyediaan kredit modal investasi 3. Fasilitasi perolehan lokasi dan izin usaha
1. Informasi pasar tidak simetris. 2. Rantai pemasaran panjang. 3. Ongkos transportasi tinggi. 4. Adanya pungutan resmi atau tidak resmi.
Penanggung Jawab Utama Deptan BI Deptan/Pemda
2. Perluasan wilayah pelayanan Balai Inseminasi sapi.
Penumbuhan inseminator, tenaga dan peralatan Balai Inseminasi Ternak.
Deptan/Pemda
1. Pengembangan rantai pasok sapi.
Fasilitasi relasi kemitraan peternak pedagang
Pemda
2. Penurunan ongkos transaksi.
1. Perbaikan dan perluasan prasarana transportasi. 2. Penghapusan hambatan pengangkutan ternak antarwilayah. 3. Penghapusan pungutan resmi maupun tidak resmi.
Dep PU
Pemda/Deptan
Pemda/POLRI
Tabel Lampiran 5. Matrik Kebijakan Revitalisasi Produksi Daging Kambing dan Domba Masalah/Isu Kebijakan 1. Usaha ternak kambing dan domba berskala kecil, tidak intensif dan berupa usaha sampingan.
2. Pengembangan sistem integrasi kambing/domba tanaman
Penyebab/Tantangan Langsung 1. Keterbatasan modal
Penyebab Antara
Kebijakan/Program
Akses terhadap kredit rendah
Pengembangan usaha ternak kambing dan domba komersial.
2. Keterbatasan ladang penggembalaan.
Alih fungsi padang penggembalaan.
1.Peternak kurang pengetahuan. 2.Kendala modal. 3.Kendala relasi kelembagaan peternak – pemilik usaha tanaman (usaha perkebunan)
1. Kurang penyuluhan. 2. Kendala akses terhadap lembaga keuangan formal. 3. Tidak ada integrator pelopor.
1. Pengembangan sistem usaha integrasi kambing/domba dengan usahatani tanaman. 2. Pengembangan sistem usaha integrasi kambing/ domba dengan perkebunan besar.
Tindak Lanjut 1. Penyediaan kredit modal investasi.
Penanggung Jawab Utama BI/Depkeu/Deptan
2. Pengembangan peternakan kambing dan domba intensif (non – land based)
Deptan
1. Penyediaan jasa bimbingan teknis.
Deptan/Pemda
2. Penyediaan kredit modal investasi
BI/Depkeu
1. Penyediaan jasa bimbingan teknis 2. Penyediaan modal investasi 3. Fasilitasi kelembagaan kemitraan peternak (buruh kebun) dan pengusaha perkebunan.
Deptan/Pemda BI/Depkeu Deptan/ Pemda
Tabel Lampiran 5. (lanjutan) Masalah/Isu Kebijakan 1.Bibit unggul kambing/ domba tidak tersedia luas.
2.Pemasaran kambing dan domba kurang efisien.
Penanggung Jawab Utama Deptan
Penyebab/Tantangan Langsung 1. Induk unggul tidak tersedia.
Litbang domestik kurang efektif
Pengembangan induk unggul kambing dan domba
2.Peternak tidak memperoleh pelayanan jasa inseminasi buatan
Lembaga inseminasi buatan belum berkembang luas.
Perluasan wilayah pelayanan Balai Inseminasi Kambing dan Domba.
1.Persaingan tidak sempurna 2. Ongkos transaksi tinggi
1. Informasi pasar tidak simetris. 2. Rantai pemasaran panjang. 3. Ongkos transportasi tinggi. 4. Adanya pungutan resmi atau tidak resmi
1. Pengembangan rantai pasok kambing dan domba..
Fasilitasi relasi kemitraan peternak – pedagang.
Pemda
2. Penurunan ongkos transaksi.
1. Perbaikan dan perluasan prasarana transportasi. 2. Penglepasan hambatan pengangkutan ternak antar wilayah. 3. Penghapusan pungutan resmi maupun tidak resmi.
Dep PU
Penyebab Antara
Kebijakan/Program
Tindak Lanjut 1.Intensifikasi Litbang kambing dan domba. 2. Pengembangan usaha pembibitan kambing dan domba. Perluasan dan peningkatan kapasitas Balai Inseminasi Ternak.
Deptan
Pemda
Pemda/POLRI