PROSPEK PEMASARAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO ”SWAMITRA MINA” DI KABUPATEN CIREBON
DARMAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PROSPEK PEMASARAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO ”SWAMITRA MINA” DI KABUPATEN CIREBON
DARMAWAN
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Magister Profesional Industri Kecil Menengah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT DARMAWAN (F052050125). Marketing Prospect and Development Strategy of Micro Financial Institution of Swamitra Mina in Kabupaten Cirebon. Supervisor by Musa Hubeis as chairman and Budi Purwanto as a member. The research aimed to study performance of PEMP (Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Pesisir). Both two models LKM (Lembaga Keuangan Mikro) and non LKM have been evaluated in marketing aspect, expansion strategy, institutional and perception of KMP (Kelompok Masyarakat Pesisir), and impact of program to the level of earnings of coastal area communities. Objectives at research including : (1) to study marketing system of LKM Swamitra Mina to know from KMP of how far they can exploit available product or facilities; (2) to identify external factor (Opportunities and Threats) and internal factor (Strengths and Weaknesses) that can influence business of LKM Swamitra Mina; (3) to formulate strategy of LKM Swamitra Mina to expand their business.. The analysis method of this study are 1) the descriptive method was used in collecting the data of LKM Swamitra Mina profile and DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan); they are market prospect, financial statement, volume of trading, earnings and cost, 2) Analysis of SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) and Internal – External (IE) matrix, 3) visualization data in the radar and bar chart. The result of institutional analysis on LKM and non LKM showed that the management on LKM was run professionally compared to non-LKM. The standpoint of increasing the economy of coastal society on LKM is through bankable finance institution. On the other hand non-LKM is treated as grant; the status of LKM is a cooperation since 2004 while non-LKM is society-built. Based on the SWOT analysis, LKM Swamitra Mina is prospective and potencial micro finance institution in Kabupeten Cirebon. The most appropriate strategy is focus on marketing strategy through socialization and create any programs to help customer. Keyword: institutional, micro finance, SWOT analysis
RINGKASAN
DARMAWAN (F052050125) Prospek Pemasaran dan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh Musa Hubeis sebagai ketua dan Budi Purwanto sebagai anggota. Pendekatan pemerintah untuk membangun keuangan pedesaan berjalan di dua sisi. Di satu sisi, sejak tahun 1970 pemerintah secara aktif campur tangan dalam menentukan pasar keuangan dengan menciptakan berbagai program pinjaman keuangan. Dimulai dengan Bimas (Bimbingan Massal), sebuah program intensifikasi padi dimana komponen kredit dimulai pada tahun 1972 yang diikuti dengan program intensifikasi untuk komoditi lain dan juga berbagai sektor pertanian terkait. Di sisi lain koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 60-an hingga tahun 70-an, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian, terutama pupuk dengan membantu pemasaran yang berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian. Perkembangan koperasi pertanian ke depan lebih fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil, oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan yang menekankan kepada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam seperti yang dilakukan oleh KUD bahwa simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup koperasi, sedangkan pada subsektor perdagangan umum misalnya, 80 % usaha perdagangan eceran yang tidak berbadan hukum diwakili oleh 5,2 juta unit usaha yang hanya memiliki omset Rp 5 juta/tahun sehingga usaha ekonomi rakyat lapis bawah ini benar-benar berskala gurem dan dimasukan dalam program penanggulangan kemiskinan . Untuk itu pemerintah melakukan dua pendekatan yaitu pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk produksi barang maupun jasa harus diberlakukan sebagai usaha mikro yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sedangkan yang kedua yaitu sebagai rumah tangga konsumen, dimana setiap pendapatan dan pengeluaran masyarakat yang belum melampui batas garis kemiskinan harus diberlakukan sebagai penduduk miskin yang harus ditingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas terbsebut. Bertitik tolak dari sini lahir Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang bergerak di bidang pembiayaan usaha mikro oleh karena itu perlu dipahami secara baik berbagai aspek LKM dengan segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam. Penelitian ini secara keseluruhan bertujuan untuk mengkaji kinerja Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Pesisir (PEMP) dengan model LKM atau model non LKM ditinjau dari aspek pemasaran, strategi pengembangan, kelembagaan dan persepsi Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) serta pengaruh program PEMP terhadap tingkat pendapatan masyarakat pesisir, akan
tetapi secara khusus penelitian difokuskan kepada LKM Swamitra Mina melalui beberapa perumusan masalah seperti : (1), Prospek pemasaran LKM Swamitra Mina di Kab. Cirebon, (2), Dilihat dari faktor eksternal dan internal apa saja yang diperlukan dalam penyusunan strategi pengembangannya, (3), Bentuk strategi pengembangan bagaimana yang diperlukan oleh LKM Swamitra Mina. Tujuan penelitian adalah (1), Mengkaji sistem pemasaran LKM Swamitra Mina untuk mengetahui dari KMP seberapa jauh dapat memanfaatkan produk atau fasilitas-fasilitas yang tersedia; (2), Mengidentifikasi faktor eksternal (peluang dan ancaman) dan internal (kekuatan dan kelemahan) yang berpengaruh terhadap maju mundurnya LKM Swamitra Mina; (3), Menyusun strategi pengembangan LKM Swamitra Mina. Hasil identifikasi faktor eksternal dan internal dirumuskan dengan menggunakan analisis SWOT untuk mendapatkan beberapa alternatif strategi. Dari analisa kelembagaan pada LKM dan non LKM didapatkan hasil bahwa LKM, manajerial dikelola secara profesional dibandingkan dengan non LKM, pada LKM telah terbentuk pandangan dan sikap dalam rangka mendorong perekonomian masyarakat pesisir melalui keuangan yang bankable sedangkan pada non LKM seperti dana hibah, pada LKM status lembaga telah berbadan hukum sejak tahun 2004 dengan bentuk koperasi dan memiliki usaha LKM sedangkan non LKM merupakan bentukan masyarakat dan tidak berbadan hukum. Sebagai ilustrasi dana Ekonomi Produktif yang diterima oleh LKM Swamitra Mina pada tahun 2004 sebesar Rp 435,85 juta dengan kelompok pemanfaat 240 orang sedangkan pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 23,16 % dibanding tahun sebelumnya dengan kelompok pemanfaat 382 orang. Pada data keuangan terdapat kenaikan simpanan pada Desember 2005 sebesar Rp 114,30 juta menjadi Rp 187 juta pada Desember 2006, naik sekitar 64 % sedangkan pada simpanan berjangka pada Desember 2006 mengalami penurunan dari 80 % sampai 55 % sebagai contoh Januari dan Desember 2005 sebesar Rp 22 juta turun menjadi 4,5 juta dan Rp 49 juta turun menjadi Rp 22 juta. Hasil kuesioner yang disebar kepada 19 kelompok pemanfaat, dimana setiap kelompok diwakili oleh 1 orang (ketua kelompok) dan digambarkan dalam matriks SWOT untuk mengetahui prospek pemasaran dan strategi pengembangan LKM Swamitra Mina, sedangkan diagram radar membandingkan analisis pemasaran di LKM Swamitra Mina secara eksternal dan internal, disamping dapat mengukur rasio keuangan sebagai bukti kinerja pemasaran. Kata kunci : kelembagaan, keuangan mikro, analisis SWOT
PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pascasarjana (SPS), Institut Pertanian Bogor (IPB) dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa laporan akhir ini tidak akan tersusun tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA, selaku ketua Komisi Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesaian laporan akhir. 2. Bapak Ir. Budi Purwanto, ME, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah mengorbankan waktu dan pikirannya dalam melaksanakan bimbingan dan memberikan perhatian penuh dalam penyusunan laporan akhir ini. 3. Bapak Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS sebagai dosen penguji ujian tesis atas masukannya. 4. Seluruh staf administrasi dan dosen pengajar PS MPI IPB yang telah membantu dan membuka cakrawala dan wawasan untuk menggali informasi lebih mendalam dalam proses penyampaian materi studi. 5. Istri, anak-anak dan seluruh keluarga tercinta yang selalu memberikan do’a restu, dukungan dan semangat. 6. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan akhir ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis berharap bahwa laporan akhir ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun akan diterima bagi perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang. Bogor, Juli 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 24 Juni 1962 dari ayah Soetarman Wiranegara dan ibu Hj. Anis Rukmanah Wiriatmadja. Penulis merupakan putra ke empat dari lima bersaudara. Pendidikan Diploma III ditempuh di Jurusan Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Jakarta, lulus pada tahun 1985, sedangkan gelar Sarjana Ilmu Sosial ditempuh di Jurusan Ilmu Administrasi Niaga pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala, Jakarta. Penulis bekerja di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, sejak tahun 1984 sebagai pegawai trainee pada Bagian Pemasaran. Pada tahun 1985 diangkat sebagai pegawai tetap dan ditempatkan di Divisi Dana sebagai tenaga Pelaksana Administrasi sampai tahun 1987. Pada tahun 1988 penulis diberikan kesempatan mengikuti Pendidikan Supervisi Perbankan Umum selama satu tahun dan pada tahun 1990 penulis diangkat sebagai tenaga Pelaksana Madya. Pada tahun 1995 penulis menjabat sebagai Kepala Bagian Penyelesaian Transaksi di Divisi Tresuri, dua tahun kemudian penulis diberi kepercayaan sebagai Supervisor Kontrol Internal untuk sektor Internasional dan Tresuri dan pada tahun 1999 melalui SK. Pemimpin Divisi Treasury, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, penulis dipercaya memimpin Tim Penyelesaian Rekening Penampungan lalu tahun 2004 penulis pindah ke Divisi Kepatuhan sebagai Manajer sampai dengan tahun 2006, sejak pertengahan tahun 2006 sampai sekarang penulis bertugas di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Kantor Wilayah Palembang dengan pangkat Assistant Vice President dan menjabat sebagai Operational Group Head dengan wilayah supervisi meliputi; Propinsi Sumsel, Propinsi Lampung, Propinsi Jambi, Propinsi Bangka Belitung dan Propinsi Bengkulu. Penulis masuk Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Industri Kecil Menengah pada bulan Desember tahun 2006 (Angkatan 6).
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul: Prospek Pemasaran dan Kajian Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.
Bogor, Juli 2008
Darmawan NRP. F052050025
DAFTAR ISI Halama n ABSTRACT............................................................................................
iv
.. RINGKASAN.........................................................................................
v
.. KATA
x
PENGANTAR.............................................................................. DAFTAR
xiii
TABEL..................................................................................... DAFTAR
xiv
GAMBAR................................................................................ DAFTAR
xv
LAMPIRAN............................................................................. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………....... B. Perumusan Masalah…….......………………………………….. C. Tujuan …………………….......……………………………….. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro .................................. B. Koperasi Petani dan Nelayan ........................................................ C. Perkembangan dan Modal LKM .................................................. D. Pemasaran ..................................................................................... E. Strategi Pengembangan ................................................................. III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu ........................................................................ B. Pengumpulan Data ........................................................................ C. Pengolahan dan Analisa Data
1 6 6
7 8 9 12 13
16 16 17
...................................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum……………………………………...……....... 1. Keadaan Umum Kabupaten Cirebon ....................................... 2. LKM Swamitra Mina................................................................ B. Deskripsi Hasil Studi .................................................................... 1. Analisis Kelembagaan non LKM dan LKM ............................ 2. Analisis Rasio Keuangan .......................................................... 3. Analisis Strategi Pemasaran ..................................................... KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...................................................................................... ... Saran.................................................................................................. ..
24 24 28 31 32 38 48
63 64
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
66
LAMPIRAN............................................................................................ ..
68
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1
Beberapa indikator perkembangan LKM........................................
8
2
Matriks SWOT ...............................................................................
19
3
Matriks EFAS .................................................................................
21
4
Matriks IFAS ..................................................................................
21
5
Jumlah RTP dan RTBP ..................................................................
24
6
Jumlah erahu dan kapal motor Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 ............................................................................................... .
25
7
Produktivitas menurut jenis alat tangkap Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 .....................................................................................
25
8
Potensi dan pemanfaatan tambak Kabupaten Cirebon 2004 .........
26
9
Indikator kelembagaan koperasi .....................................................
35
10
Indikator pengelolaan LKM dan non LKM....................................
36
11
Indikator kapasitas pemanfaat ........................................................
38
12
Data program PEMP Kabupaten Cirebon TA. 20002005.............
39
13
Data kelompok masyarakat pemanfaat di Kec. Mundu..................
39
14
Angsuran dari awal pinjaman s/d Desember 2006.........................
40
15
Kinerja keuangan Non LKM berdasarkan beberapa rasio keuangan, Tahun 2004-2006 (per 31 Desember)............................
41
16
Laporan keuangan LKM Swamitra Mina Kec. Gebang tahun 2005
44
17
Laporan keuangan LKM Swamitra Mina Kec. Gebang tahun 2006
45
18
Kinerja keuangan LKM Swamitra Mina berdasarkan beberapa rasio-rasio keuangan pada tahun 2005-2006 (per 31 Desember)....
46
19
Matriks IFE......................................................................................
53
20
Matriks EFE.....................................................................................
54
21
Matriks
56
SWOT................................................................................. DAFTAR GAMBAR No.
.
Halaman
1
Matriks IE .......................................................................................
10
2
Diagram SWOT ………………………………..............................
12
3
Diagram Radar rasio keuangan........................................................
58
4
Diagram Radar rasio total modal terhadap simpanan......................
59
5
Diagram Batang struktur modal, BOPO dan ROE..........................
59
6
Diagram Batang jumlah pinjaman yang disalurkan dan simpanan pada LKM dan Non LKM...............................................................
60
7
Diagram Batang jumlah peminjam dan penabung pada LKM dan non LKM..........................................................................................
60
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1
Kuesioner penelitian..........................................................................
65
2
Pengisian Matriks berpasangan faktor internal dan eksternal..........
66
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki satu abad sejarah panjang dalam keuangan mikro, bila dihitung dari masa penjajahan Belanda. Pada masa tersebut, lembaga keuangan mikro (LKM) muncul diawali oleh kegiatan masyarakat pedesaan dengan cara konvensional, yaitu lumbung padi. Lumbung padi adalah cara penghimpunan padi dari setiap petani di pedesaan yang dikumpulkan menjadi satu dan dapat diambil ketika musim paceklik atau untuk keperluan pembeliaan alat-alat tani. Lumbung padi juga sering disebut lumbung desa yang bertempat di kantor kepala desa. Dalam perkembangannya, hingga saat ini terdapat berbagai bentuk formal, semi formal dan informal dari LKM. Sering kali LKM tersebut bercampur dengan program subsidi pemerintah yang berhubungan dengan pembangunan sektor pertanian yang bertujuan mengurangi kemiskinan. Pendekatan pemerintah untuk membangun keuangan pedesaan berjalan di dua sisi. Di satu sisi, sejak tahun 1970 pemerintah secara aktif campur tangan dalam menentukan pasar keuangan dengan menciptakan berbagai program pinjaman dengan persyaratan yang telah diatur untuk setiap kebutuhan yang terlihat penting. Hal ini dimulai dengan Bimbingan Massal (Bimas), sebuah program intensifikasi padi, dimana komponen kredit dimulai pada tahun 1972, yang diikuti dengan program intensifikasi untuk komoditi lain dan juga berbagai sektor pertanian terkait (BPS, 1999). Peraturan perbankan pada tahun 1996 telah mengurangi subsidi hanya untuk beberapa program yang mendukung pengembangan koperasi, menjaga stok pangan dan swasembada pangan, serta pengembangan wilayah Indonesia Timur, meskipun demikian, tekanan terhadap penyediaan program bantuan pinjaman tetap berlangsung, terutama untuk alasan politik (Bukopin 2005). Besarnya jumlah hutang-hutang bermasalah dan penyalahgunaan dana selama periode Bimas Tahun 1973-1983 telah terulang kembali oleh penggantinya, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT).
Koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960-an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu, sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Hal tersebut melahirkan koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dan jumlahnya terbatas yang ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah dan koperasi tebu rakyat. Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama, yaitu menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis sebagai alat untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada beras (Bukopin, 2005). Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru yang mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian, terutama pupuk, dengan membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian. Perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai “restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu, konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini, hampir di semua Koperasi Unit Desa (KUD), yaitu unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup Koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa
pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang membatasi insentif berkoperasi. Di subsektor perdagangan umum misalnya, 80% usaha perdagangan eceran yang tidak berbadan hukum diwakili oleh 5,2 juta unit usaha hanya memiliki omset di bawah Rp. 5 juta/tahun, sehingga usaha ekonomi rakyat lapis bawah ini benar-benar berskala gurem (SMERU, 2000). Program yang secara bersinggungan mencoba mengatasi masalah ini pada umumnya masih dikaitkan dengan program penanggulangan kemiskinan. Untuk tidak mencampuradukan permasalahan, maka tawaran pendekatan yang dapat dimanfaatkan adalah melihat sisi kehidupan masyarakat ini dari dua sisi, yaitu pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk produksi barang maupun jasa harus diperlakukan sebagai usaha mikro, sehingga tujuan utamanya adalah meningkatkan produktivitas dan kapasitas produktifnya;
Kedua,
sebagai
rumah
tangga
konsumen
setiap
pendapatan/pengeluaran masyarakat yang masih belum melampaui batas garis kemiskinan harus diperlakukan sebagai penduduk miskin yang harus ditingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas tersebut (DKP, 2006). Untuk mendorong usaha mikro disadari bahwa modal bukan satusatunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang secara mudah dapat dijangkau adalah sangat vital, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari keberadaan lembaga keuangan yang hadir di tengah masyarakat. Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidakberdayaan inilah yang menjadi alasan penting, mengapa LKM yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro menempati tempat sangat strategis. Oleh karena itu, perlu dipahami secara baik berbagai aspek LKM dengan segmen-segmen pasar yang
masih sangat beragam, disamping hal-hal lainnya yang masing-masing terkotak-kotak. Menurut Yusuf (1999), LKM di Indonesia telah membuktikan bahwa : a. Tumbuh dan berkembang di masyarakat, serta melayani UKM. b. Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM). c. Mandiri dan mengakar di masyarakat. d. Jumlah cukup banyak dan penyebarannya meluas. e. Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota dan masyarakat. f. Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotannya (tanpa agunan). g. Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak dapat dijangkau oleh kelompok miskin. h. Mengurangi berkembangnya pelepas uang (informal money lenders). i. Membantu menggerakan usaha produktif masyarakat. j. LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat, sehingga setiap surplus yang dihasilkan oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik. Keunggulan di atas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha kecil, karena merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh UKM, terutama usaha mikro. Pelajaran Bank Rakyat Indonesia (BRI)-Unit sebagai LKM telah memberikan pelayanan sampai ke pelosok tanah air dengan tingkat bunga pasar dan tidak memerlukan subsidi. Disamping itu, secara empiris tingkat pengembalian baik, mutu pelayanan lebih penting, mengenal dan pendekatan kelompok juga terbukti efektif sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan risiko dalam penyaluran. LKM lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh pesat adalah lembaga keuangan syariah yang penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus (bank Muamalat) dan bank lain serta Bank Perkreditan Rakyat-Syariah (BPR-S), sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) di bawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK),
Baitul Tamwil (BTM) yang dikembangkan oleh Baitul Mal Muhammadiyah dan Koperasi Syirkah Muawanah yang digairahkan oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan institusi pengembang.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana mengkaji prospek pemasaran LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon dilihat dari rasio keuangan ? 2. Faktor internal dan eksternal apakah yang diperlukan dalam penyusunan strategi pengembangan LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon ? 3. Bentuk strategi pengembangan bagaimanakah yang diperlukan oleh LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon ?
C. Tujuan 1. Mengkaji sistem pemasaran LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal dari LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon. 3. Menyusun strategi pengembangan LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro Untuk mendukung pengembangan usaha skala kecil, pemerintah menyediakan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) sejak tahun 1977 melalui bank-bank komersial. Untuk golongan usaha kecil, Kredit Candak Kulak telah disalurkan melalui KUD, yang sebagian besar dialokasikan untuk perdagangan skala kecil, sementara untuk kegiatan selain pertanian Kredit Mini dan Kredit Midi tersedia di BRI unit desa. Semua sistem ini disubsidi, dengan menerapkan suku bunga di bawah rata-rata pasar (kebanyakan sekitar 12%), dan didanai oleh pemerintah atau Bank Indonesia dengan bunga 3% per tahun. Pada era ini, sebuah kantor cabang BRI memiliki 126 program kredit dengan kondisi dan persyaratan dan pelaporan berbeda (Chaves and Vega, 2003). Program besar selanjutnya yang diperkenalkan adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) antara Tahun 1993-1996, Pembangunan Keluarga Sejahtera (PKS) pada Tahun 1996-1997 dan KUT yang mencapai puncaknya pada tahun 1998. IDT menyalurkan dana bergulir Rp. 20 juta setiap tahun untuk setiap desa melalui kelompok masyarakat (Pokmas) untuk mendanai kegiatankegiatan ekonomi produktif (Masyhuri, 1999). Pokmas bebas menentukan kondisi-kondisi penyaluran dana ke anggotanya. Pada Maret 1997 sekitar 120.000 pokmas telah terbentuk dan sekitar 3 (tiga) juta rumah tangga telah menerima dana dengan besar rataan Rp. 200.000. PKS dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), didanai dari mobilisasi pungutan 2% dari pendapatan-pendapatan yang lebih dari Rp 100 juta dan dikelola oleh sebuah yayasan dibentuk oleh mantan Presiden Soeharto. Setiap penerima bantuan, dimana perempuan diklasifikasikan ke dalam keluarga yang kurang makmur, mendapatkan hibah Rp 2.000 untuk memulai dan mengisi sebuah rekening penyimpanan, yang dinamai pinjaman Kredit Usaha Kecil Kesejahteraan Rakyat (Kukesra) setelah dana tersebut terkumpul Rp. 25.000. Pada tahun pertama implementasi,
program PKS menyatakan telah mencapai 9,8 juta kepala keluarga pada April 1997. Program yang terbaru adalah Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk mengurangi dampak dari krisis moneter pada tahun 1999-1999, yang telah mendapatkan kritikan dan terjadi demonstrasi mahasiswa sehubungan dengan salah penggalokasian (missallocation) dana di berbagai lokasi (Ismawan dan Budiantoro, 2005). Perkembangan bentuk dari lembaga-lembaga tersebut, jumlah dari lembaga keuangan mikro di Indonesia per Desember 2005, terdiri dari 3.916 BRI unit, 5.345 Badan Keuangan Desa (BKD), 2.148 BPR (non BKD), 2,272 Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), 264 pegadaian dan 1.146 koperasi kredit, serta 35.218 unit simpan pinjam (Tabel 1).
Tabel 1. Beberapa indikator perkembangan LKM
No
1
Jenis LKM
Jumlah (Unit)
Simpanan (Rpmiliar)
Penyimpan (juta rek)
Pinjaman (Rp miliar)
Jumlah Peminjam (juta rek)
BPR
2.148
9.254,00
5,61
9.431,00
2
BRI Unit
3.916
27.429,00
29,87
14.182,00
3,10
4,57
3
Badan Kredit Desa
5.345
0,38
0,48
0,20
0,40
0,00
4
KSP
1.097
85,00
dtd
531,00
0,67
0,79
5
USP
35.218
1.157,00
dtd
3.629,00
dtd
dtd
6
LDKP
2.272
334,00
dtd
358,00
1,30
0,27
7
Pegadaian
264
-
-
157,70
0,02
9,34
8
BMT
3.038
209,00
dtd
157,00
1,20
0,13
9
Credit Union & NGO
1.146
188,01
0,29
505,73
0,40
1,27
54.444
38.656,39
36,25
28.951,00
9,48
3,05
Total
2,40
Rataan Pinjaman (Rp juta) 3,93
Sumber : Ismawan dan Budiantoro , 2005.
dtd = data tidak tersedia
Untuk BKD, sejak terdaftar menjadi BPR, pengawasan secara formal dilakukan oleh Bank Indonesia. Namun, karena kurangnya pegawai dan menimbang pengalaman panjang BRI dalam mensupervisi cabang-cabangnya, Bank Indonesia telah mendelegasikan tugasnya kepada BRI untuk mendampingi dengan dukungan keuangan penuh. Pegadaian diatur sebagai satu kesatuan dengan pemerintah dan berada di bawah supervisi Menteri Keuangan. Koperasi dan unit simpan pinjam diatur di bawah peraturan
koperasi dan berada dibawah supervisi Menteri Koperasi dan Pengembangan Usaha Kecil-Menengah (Menkop dan UKM) (Ismawan dan Budiantoro, 2005)
Koperasi Petani dan Nelayan KUD sebagai koperasi berbasis wilayah pada era reformasi jumlahnya mencapai 8.620 unit (Departemen Koperasi dan UKM, 2001). Hingga menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 pada tahun 2002, KUD hanya 25% dari jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mewakili 43% dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian sangat menonjol. Diantara koperasi yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada tahun 2001 lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi (92% atau 7.931 unit). KUD pada saat ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rataan anggota terbesar. Pada tahun 2004 jumlah koperasi sudah mencapai 116.000 unit (Menegkop dan UKM, 2004). Problematika sektor pertanian di Indonesia akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian di masa depan, yaitu kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang memadai telah menyebabkan terancamnya regenerasi, sehingga kegiatan pertanian menurun berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas. Hal ini pula yang menyebabkan permintaan akan produk LKM melemah. Bukti empiris di dunia mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas (Shankar and Conan, 2002). Kekuatan utama Koperasi Nelayan terletak pada kekuatan monopoli penguasaan tempat pendaratan ikan dan pelelangan oleh pemerintah, maka masa depannya ditentukan oleh kebijakan daerah bersangkutan. Pemerintah daerah juga berpotensi untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun
pendaratan baru. Dengan pengorganisasian atas dasar kesamaan tempat pendaratan, maka pada dasarnya kekuatannya terletak pada daya tarik tempat pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari nelayan tangkap menjadi nelayan budidaya, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing. Fenomena ini juga terjadi di negara seperti Kanada, Korea Selatan dan Eropa dimana koperasi nelayan sedang menghadapi situasi surut (DKP, 2006).
Perkembangan dan Model LKM Sebagaimana dimaklumi, 97% usaha kecil di Indonesia memiliki omset di bawah Rp. 50 Juta/tahun, meskipun batas atas omset usaha kecil adalah Rp. 1 Miliar. Pada dasarnya, jika Indonesia ingin menjangkau usaha kecil, terutama usaha kecil-kecil atau usaha mikro tersebut secara khusus perlu diarahkan perhatiannya pada kelompok ini, karena mewakili lebih dari 33 juta pelaku usaha. Sampai saat ini hampir belum terlihat adanya program khusus pemberdayaan usaha mikro, padahal lapisan inilah penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia. Dalam setiap usaha pemberdayaan usaha kecil ada tiga aspek penting yang perlu dikembangkan, yaitu pertama, lingkungan kondusif dan sistem administrasi pemerintahan yang mendukung; kedua, dukungan non finansial berupa jasa perkreditan; dan ketiga, dukungan finansial yang khusus ditujukan bagi usaha kecil (Syukur, 2001). Menurut Syukur (2001), usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan kemampuan permodalan rendah. Akses UKM terhadap lembaga keuangan formal rendah, sehingga hanya 12% UKM yang memperoleh akses terhadap kredit bank karena : a. Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM. b. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya risiko kredit UKM. c. Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi. d. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan dan proposal). e. Terbatasnya akses UKM terhadap pembiayaan ekuitas.
f. Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien. g. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri, sehingga biaya pelayanan UKM menjadi mahal. h. Bank pada umumnya belum terbiasa dalam pembiayaan kepada UKM. Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial, sehingga menyebabkan UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya. Kredit mikro dapat diartikan bermacam-macam, karena memang produk kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksananya juga bermacam-macam bila ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perbedaanperbedaan ini juga merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan bagi penetapan kebijakan sesuai kelompok sasaran yang hendak dituju. Meskipun latar belakang program pengenalannya sangat terkait dengan munculnya tantangan yang dihadapi masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap mempunyai universalitas sebagai penyedia jasa keuangan bagi usaha mikro dan kecil (Ismawan dan Budiantoro, 2005). Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya juga dapat dilihat dari segi ”permintaan dan penawaran” atau dari sudut sumber dan penggunaan. Gambaran ini akan menjelaskan pembagian kerja fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan berbagai kelompok sasaran berdasarkan tingkat pendapatan dan bahkan dapat sangat terkait dengan penggunaan kredit. Pendekatan ini sekaligus untuk memahami dinamika perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat (Ismawan dan Budiantoro, 2005). Pada dasarnya, kredit dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan, yaitu kredit produktif dan konsumtif. Untuk melihat sejauh mana sektor-sektor ekonomi produktif memberikan tanda adanya permintaan pasar yang kuat perlu dikaji struktur ekonomi masing-masing sektor berdasarkan atas pelaku usaha, disamping itu kaitannya dengan sasaran ekspor dan tersedianya dana sendiri oleh pelaku usaha. Ciri pasar kredit mikro adalah kecepatan pelayanan
dan kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro (Ismawan dan Budiantoro, 2005). Berdasarkan nilai kredit besarnya kredit yang tergolong ke dalam kredit mikro lazimnya disepakati oleh perbankan untuk pinjaman sampai dengan Rp. 50 juta/ nasabah. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat perbankan internasional kredit mikro dapat mencapai maksimum US$ 1.000,-. Di Thailand baru dalam taraf pilot project oleh Bank for Agriculture Cooperative (BAC) menetapkan kredit mikro adalah kredit dengan jumlah maksimum Bath 100.000/nasabah atau setara dengan US$ 2.500,-. Dengan demikian, kredit mikro pada dasarnya menjangkau pengusaha kecil lapis bawah yang memiliki usaha dengan perputaran cepat (Ismawan dan Budiantoro, 2005). Lembaga perkreditan mikro di Indonesia pada dasarnya ada dua kelompok besar, yakni pertama, bank seperti BRI unit dan BPR yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air; dan kelompok yang kedua adalah koperasi, baik koperasi simpan pinjam yang khusus melayani jasa keuangan maupun unit usaha simpan pinjam dalam berbagai macam koperasi. Disamping itu terdapat LKM lain yang diperkenalkan oleh berbagai lembaga, baik pemerintahan seperti seperti Lembaga Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan dan lain-lain, maupun swasta/ lembaga non pemerintah seperti yayasan, LSM, dan LKM lainnya termasuk lembaga keagamaan (Yusuf, 1999).
Pemasaran Konsep dari pemasaran telah berkembang, bukan hanya sejedar menjual atau beriklan melainkan ”memuaskan kebutuhan pelanggan”. Jika pemasar memahami kebutuhan pelanggan dengan baik; mengembangkan produk yang mempunyai nilai superior; dan menetapkan harga, mendistribusikan, dan mempromosikan produknys dengan efektif, maka produk (barang atau jasa) akan terjual dengan mudah. Jadi, sebenarnya penjualan dan periklanan hanyalah bagian dari bauran pemasaran (marketing mix) yang lebih besar-satu set perangkat pemasaran yang bekerja bersama-sama untuk mempengaruhi pasar (Kotler dan Amstrong, 1999).
Lebih lanjut, Kotler dan Amstrong (1999) menjelaskan bahwa pemasaran didefinisikan sebagai suatu proses sosial dan manajerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang dibutuhkan dan inginkan, lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain. Konsep pemasaran (marketing concept) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi tergantung pada penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran (target market) dan memuaskan pelanggan secara lebih efektif dan efisien daripada yang dilakukan oleh pesaing.
Strategi Pengembangan Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pencapaian sasaran suatu organisasi atau perusahaan, untuk itu pengelola organisasi harus dapat mengantisipasi perubahan lingkungan yang sangat cepat dewasa ini dan dapat menetapkan alternatif kebijakan yang akan diambil dalam rangka penyesuaian dengan perubahan lingkungan tersebut. Dalam menghadapi perubahan yang dihadapi maka seorang manajer strategi harus melakukan analisa yang dalam terhadap semua sumber daya organisasi. Perubahan lingkungan juga akan dihadapi oleh instansi pemerintahan sehingga memaksa mereka untuk dapat melakukan penyesuaian dalam rangka menghadapi perubahan tersebut. Menurut Jauch dan Glueck (1988), strategi merupakan suatu rencana yang dipadukan secara menyeluruh dan terpadu dengan mengkaitkan keunggulan strategi perusahaan terhadap tantangan lingkungan yang dirancang sesuai dengan lingkungan, agar tujuan perusahaan dapat tercapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan. Selanjutnya Jauch dan Glueck (1988) mengatakan untuk menentukan strategi maka perlu analisis lingkungan. Analisis lingkungan adalah suatu proses yang digunakan dalam perencanaan strategik dalam upaya memantau sektor lingkungan untuk menentukan peluang dan ancaman terhadap usaha. Purnomo dan Zulkieflimansyah (1999) merinci beberapa manfaat dari manajemen strategi, yaitu : 1. Dapat menentukan batasan usaha/bisnis yang akan dilakukan
2. Membantu proses identifikasi, pemilihan prioritas, dan eksploitasi 3. Memberikan kerangka kerja sehingga dapat meningkatkan koordinasi dan pengendalian 4. Mengarahkan dan membentuk budaya perusahaan 5. Kebijakan yang diambil akan taat azas 6. Mengintegrasikan perilaku individu ke dalam perilaku kolektif 7. Meminimalkan adanya resiko karena adanya perubahan 8. Menciptakan kerangka kerja dalam komunikasi internal 9. Memberikan disiplin dan formalitas manajemen
Tahap kegiatan manajemen strategi menurut Wheelen dan Hunger (2000) mencakup empat tahap, yaitu : 1. Environmental scanning, yaitu melakukan monitoring, menghimpun dan evaluasi terhadap faktor-faktor lingkungan internal dan lingkungan eksternal yang mempengaruhi perusahaan atau organisasi. 2. Formulasi strategi, yaitu menyusun suatu perencanaan dengan prinsip manajemen yang efektif berdasarkan analisa terhadap ancaman dan peluang, kemudian meminimalkan ancaman dan memanfaatkan peluang. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap kekuatan dan kelemahan dan berupaya seoptimal mungkin untuk memanfaatkan kekuatan, serta mengeliminir kelemahan. Dalam kegiatan ini termasuk mendefinisikan misi perusahaan, menetapkan tujuan yang spesifik, menyusun strategi dan menciptakan kebijakan yang dapat mendukung pencapaian sasaran. 3. Implementasi strategi, yaitu dalam hal ini strategi dan kebijakan yang dibuat kemudian dijabarkan ke dalam suatu program, anggaran pendanaan dan membuat uraian tugas. 4. Evaluasi dan kontrol, yang merupakan kegiatan monitoring terhadap pelaksanaan
dan
melakukan
tindakan
korektif,
bila
ditemukan
penyimpangan. Dari hasil analisis lingkungan dapat ditentukan formulasi strategi, yaitu merupakan cara atau arah suatu perusahaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Certo dan Peter dalam Purnomo dan
Zulkieflimansyah (1999), bahwa sebelum menentukan formulasi strategi, maka beberapa pertanyaaan mendasar yang harus dijawab oleh manajer perusahaan, dimana pertanyaaan tersebut harus mampu menyediakan kerangka umum untuk menganalisa situasi perusahaan-perusahaan secara obyektif agar dapat menentukan formulasi strategi yang efektif.
III. METODE KAJIAN
Lokasi dan Waktu Tugas akhir ini dilaksanakan di Kabupaten Cirebon sebagai penerima PEMP selama 5 tahun dan terdapat dua pola, yaitu menggunakan LKM dan Non LKM. Kajian ini dilakukan pada bulan November 2007 hingga Februari 2008, dengan kegiatan meliputi pengumpulan dan pengolahan data, kajian pustaka, penelitian lapangan, penulisan laporan dan konsultasi dengan pembimbing.
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pengelola Koperasi Lembaga Ekonomi Pedesaan (LEP-M3) dan LKM, serta wawancara kepada nasabah. Data primer mencakup data internal Koperasi dan LKM seperti laporan keuangan, kondisi nasabah, perkembangan LKM dari awal sampai sekarang dan strategi pengelolaan. Data nasabah didapatkan melalui alat bantu kuesioner (Lampiran 1) berupa keadaan nasabah, pendapatan, tingkat kesejahteraan, keadaan usaha kecil dan kesempatan berusaha. Jumlah nasabah peminjam sebanyak 18 orang akan dijadikan contoh yang merupakan perwakilan (ketua kelompok) dari kelompok nelayan pemanfaat. Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai buku dan literatur yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas dan bermanfaat sebagai data aktual, karena merupakan pengalaman langsung dari praktisi, tetapi tidak langsung dapat
dijadikan sebagai tolok ukur. Data sekunder lainnya berupa laporan dari koperasi dan LKM, diantaranya posisi kredit koperasi dan LKM, khususnya kredit mikro. Jenis data yang dimaksud mencakup : 1. Data umum seperti potensi usaha kecil perikanan Kabupaten Cirebon yang meliputi lokasi, kondisi fisik, komposisi nasabah, rataan pendapatan dan lama berusaha. 2. Data tentang pandangan terhadap perbankan, faktor pendukung atau penghambat bagi akses nasabah pada LKM swamitra Mina di Kabupaten Cirebon.
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dan analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif (tabulasi keuangan) dan kualitatif (analisis pemasaran dan strategi pengembangan) Hal – hal yang dilakukan dalam analisis ini adalah : a. Karakteristik LKM Swamitra Mina. Kajian ini dilakukan untuk menentukan hal-hal berikut : 1. Bentuk model LKM yang ada. 2. Sektor ekonomi/usaha yang ditekuni oleh peminjam. 3. Pola kebutuhan akan pinjaman. Informasi ini akan menjelaskan waktu kapan mulai dibutuhkannya pinjaman. b. Analisis Lingkungan Pemasaran Lingkungan pemasaran terbagi atas lingkungan eksternal dan internal. Lingkungan eksternal terdiri atas berbagai faktor ancaman dan peluang yang berada di luar kontrol LKM, sementara lingkungan internal terdiri atas berbagai faktor kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh LKM dan berada di dalam kontrol manajemen. Lingkungan eksternal yang dominan terdiri dari lima faktor, yaitu (1) sosioekonomi yang terdiri dari data kondisi ekonomi, demografi dan sosial; (2) teknologi berupa tingkat kemajuan teknologi; (3) pemasok meliputi sistem pembelian dan harga bahan baku; (4) pesaing meliputi ancaman pendatang baru, daya tawar menawar pembeli dan persaingan dalam
industri; (5) pemerintah meliputi kebijakan pemerintah, dukungan sarana dan prasarana bagi perkembangan UKM. Lingkungan internal yang dominan terdiri dari enam faktor, yaitu (a) Misi dan tujuan berupa data mengenai misi dan tujuan dari LKM; (b) Struktur organisasi meliputi data mengenai pola dan struktur organisasi; (c) Fasilitas dan kegiatan menghasilkan produk jasa; (d) SDM meliputi data mengenai jumlah karyawan dan kompetensi; (e) Sumber daya keuangan meliputi aspek permodalan; (f) Bauran pemasaran meliputi data produk, harga, distribusi dan promosi. Dalam analisis lingkungan pemasaran ini dibandingkan antara LKM Swamitra Mina dengan LKM Kecamatan Mundu. c. Analisis Strategi Pengembangan Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT) dilakukan untuk merumuskan strategi yang perlu diimplementasikan. Analisis ini menggolongkan faktor-faktor lingkungan yang dihadapi oleh suatu perusahaan sebagai kombinasi dari faktor kelemahan (weaknesess) dan ancaman (threats), kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities). Kekuatan merupakan sumber daya, keterampilan atau keunggulankeunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang dilayani atau ingin dilayani oleh perusahaan. Kekuatan adalah kompetisi khusus (distinctive competence) yang memberikan keunggulan komparatif bagi perusahaan. Kekuatan dapat terkandung dalam sumber daya keuangan, citra, kepemimpinan pasar, hubungan pembeli dengan pemasok dan faktor-faktor lain (Pearce dan Robinson, 2001). Kelemahan menurut Pearce dan Robinson (2001), merupakan keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan dan kemampuan yang dapat menghambat kinerja efektif perusahaan. Sumbersumber kelemahan tersebut dapat meliputi fasilitas, sumber daya keuangan, kemampuan manajemen, keterampilan pemasaran dan citra produk. Peluang merupakan situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan industri (Pearce dan Robinson, 2001). Perkembangan trend merupakan salah satu sumber peluang. Dalam hal ini identifikasi segmen
pasar yang terabaikan, perubahan situasi persaingan atau peraturan, perubahan teknologi, serta membaiknya hubungan antara pembeli dengan pemasok dapat memberikan peluang bagi perusahaan. Ancaman merupakan suatu situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan industri. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi posisi perusahaan, misal masuknya pesaing baru, lambatnya pertumbuhan pasar, meningkatnya kekuatan tawar-menawar pembeli atau pemasok utama, perubahan teknologi dan peraturan baru yang direvisi dapat menjadi ancaman bagi keberhasilan perusahaan. Secara umum analisis SWOT dapat dijabarkan dalam Tabel 3. Strategi pemasaran terdiri dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi manajemen untuk mencapai tujuan bisnis dan permasalahannya dalam sebuah pasar sasaran, bauran pemasaran dan alokasi pemasaran (Kotler, 2000).
Tabel 2. Matriks SWOT IFAS
Strengths (S) Faktor-faktor kekuatan
Opportunities (O) Faktor-faktor peluang
Strategi S-O (Strategi Agresif) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi S-T (Strategi Diferensiasi) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan ancaman
EFAS
Threats (T) Faktor – faktor ancaman
Weaknesses (W) Faktor-faktor kelemahan Strategi W-O (Strategi Diversifikasi) Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi W-T (Konsolidasi/Defensif) Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman.
Sumber : Rangkuti, 2004 Keterangan : Internal Factor Analysis Summary (IFAS) External Factor Analysis Summary (EFAS) Data yang diperoleh diklasifikasikan secara kualitatif menurut analisis lingkungan internal untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
LKM, serta analisis lingkungan eksternal untuk mengetahui peluang dan ancaman yang dihadapi LKM. Daftar peluang dan ancaman, serta kekuatan dan kelemahan tersebut harus dievaluasi. Untuk mengevaluasi peluang dan ancaman dapat digunakan matriks Evaluasi Faktor Strategi Eksternal atau EFAS dan untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan menggunakan matriks Evaluasi Faktor Strategi Internal atau IFAS (Rangkuti, 2004) Evaluasi terhadap faktor strategi eksternal menggunakan matriks EFAS (Tabel 4). Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mengevaluasi berbagai faktor strategi eksternal yang mempengaruhi LKM. Langkah-langkah tersebut adalah : 1) Susunlah dalam kolom 1 (5-10 peluang dan ancaman). 2) Beri bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategik. 3) Hitung rating (kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating +4, tetapi jika peluangnya kecil, diberi rating +1). Pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya. Misalnya, jika nilai ancamannya sedikit, maka ratingnya 4. 4) Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor). 5) Gunakan kolom 5 untuk memberi komentar atau catatan mengapa faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya. 6) Jumlahkan skor pembobotan (kolom 4), untuk memperoleh total skor pembobotan
bagi
perusahaan
yang
bersangkutan.
Nilai
total
menunjukkan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi pada faktorfaktor strategik eksternal. Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam kelompok industri yang sama. Total skor terbobot antara 1-4, nilai 1 pada matriks EFAS menunjukkan bahwa LKM tidak mampu memanfaatkan peluang untuk menghindari ancaman. Nilai 4 mengindikasikan bahwa LKM saat ini telah dengan sangat baik memanfaatkan peluang untuk menghadapi ancamanancaman yang ada. Nilai 2,5 menggambarkan kondisi LKM mampu merespon situasi eksternal secara rataan untuk matriks EFAS. Evaluasi terhadap faktor strategi internal menggunakan matriks IFAS (Tabel 4). Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mengevaluasi berbagai faktor strategi internal yang mempengaruhi LKM. Langkah-langkah tersebut adalah : tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan perusahaan dalam kolom 1. Tabel 3. Matrik EFAS Faktor-Faktor Strategis Eksternal
Bobot (a)
Rating (b)
Nilai (c = a x b)
Komentar
Bobot (a)
Rating (b)
Nilai (c = a x b)
Komentar
A. Peluang: 1. 2. Jumlah (A) B. Ancaman : 1. 2. Jumlah (B) Total (A+B)
Tabel 4. Matrik IFAS Faktor-Faktor Strategis Internal A. Kekuatan 1. 2. Jumlah (A)
B. Kelemahan : 1. 2. Jumlah (B) Total (A+B)
Matriks Internal-Eksternal (IE) mengindikasikan 9 sel strategi (Gambar 2), tetapi umumnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga strategi utama. Strategi tersebut adalah : 1) Strategi
pertumbuhan
(Growth
Strategy),
merupakan
kondisi
pertumbuhan perusahaan (sel 1, 2 dan 5) atau upaya diversifikasi (sel 7 dan 8). 2) Strategi Stabilitas (Stability Strategy) adalah strategi yang diterapkan tanpa mengubah arah strategi yang diterapkan dengan tanpa mengubah arah strategi yang telah diterapkan. 3) Strategi Penciutan (Retrenchment Strategy) adalah usaha untuk memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan perusahaan (sel 3, 6 dan 9).
Kuat 4,0 Total Skor Faktor Eksternal
Tinggi
Total Skor Faktor Internal Rataan Lemah 3,0 2,0
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1,0
3,0 Sedang 2,0 Rendah 1,0 Gambar 1. Matriks IE (Rangkuti, 2004)
d. Analisis Diagram Radar. Diagram radar (spider chart) merupakan cara sederhana untuk menentukan apakah suatu sebab akibat terjadi di antara dua peubah.
Diagram ini berguna untuk menunjukkan hubungan antara titik-titik yang dipetakan dan menggambarkan hubungan antara dua peubah. Diagram ini juga membantu memeriksa korelasi dari penyebab yang kontinu terhadap suatu karakteristik mutu. Diagram radar digunakan untuk membandingkan analisis pemasaran pada LKM Swamitra Mina. Hal lainnya digunakan untuk menunjukkan ukuran gap lima sampai sepuluh area kinerja organisasi. Gambar diagram ini menunjukkan kategori penting sebuah kinerja dan membuat konsentrasi yang nyata tentang kekuatan dan kelemahan. Analisis pemasaran adalah menganalisis bagian-bagian secara terperinci pada harga (price), produk (product), tempat (place), promosi (promotion), SDM (personality) dan fisik (physical). Hasil akhir dari diagram radar dapat menunjukkan bagaimana sebuah tim dapat terevaluasi dalam angka kinerja organisasi dalam bentuk sebuah gambar kinerja.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Umum 1. Keadaan umum Kabupaten Cirebon Kabupaten ini merupakan Kabupaten di pantai utara Jawa Barat yang terdekat di bagian paling Timur. Kabupaten ini terletak antara 108º32’108º49’ BT dan 6º00’-7º00’ LS. Sebelah utara dibatasi Kota Cirebon dan Laut Jawa, sebelah timur dibatasi Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah, sebelah Selatan dibatasi Kabupaten Kuningan, sebelah Barat dibatasi Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Konsentrasi kegiatan kelautan ada di 7 Kecamatan, yaitu Kapetakan, Cirebon Utara, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang, dan Losari. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) mencapai 4.602 orang (18,82%). Kecamatan Gebang memiliki jumlah RTP terbesar dan sekaligus proporsi RTP terbesar pula (Tabel 5), sedangkan Kecamatan Astanajapura tidak diperoleh informasi yang pasti. Tabel 5. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Cirebon pada tahun 2003
Kecamatan 1. Kapetakan 2. Cirebon Utara 3. Mundu 4. Astanajapura 5. Pangenan 6. Gebang 7. Losari Total
RTP 638 818 689 302 2.830 325 4.602
Jumlah (org) RTBP 2.275 3.694 4.265 1.446 7.245 925 19.850
Total 2.913 4.512 4.954 1.748 9.075 1.250 24.452
Nisbah* 21.90 18.13 16.15 20.89 39.06 26.00 18.82
Sumber : Laporan Tahunan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang, 2003, dalam LEPPM3, 2006. Keterangan: Nisbah = persentase RTP terhadap Total RTP = Rumah Tangga Perikanan RTBP = Rumah Tangga Bukan Perikanan
Seluruh RTP itu terlibat dalam kegiatan penangkapan. Indikasi itu ditunjukkan dengan jumlah perahu yang relatif sebanding dengan jumlah RTP (Tabel 6). Para nelayan menggunakan alat yang beragam. Tabel 6 menunjukkan jenis alat tangkap, produksi, dan frekuensi melaut setiap bulan. Produksi tertinggi dicapai oleh nelayan dengan alat tangkap jaring insang hanyut, dogol dan rawai tetap. Pengumpul kerang juga berhasil mencapai tingkat produksi cukup tinggi (LEPP-M3, 2006). Tabel 6. Jumlah perahu dan kapal motor Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 Kecamatan 1. Kapetakan 2. Cirebon Utara 3. Mundu 4. Astanajapura 5. Pangenan 6. Gebang 7. Losari Total
Motor Tempel 677 855 695 88 193 1.853 325 4.686
Jumlah (unit) Kapal Jumlah Motor 26 703 3 858 2 697 0 88 2 195 8 1.863 0 325 41 4.729
Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006
Tabel 7. Produktivitas menurut jenis alat tangkap Kabupaten Cirebon pada tahun 2004
Jenis Alat 1. Payang 2. Dogol
Jumlah (unit) 401 373
Produksi (ton) 2.178 10.859
Frekuensi (trip/bln) 11 18
3. Pukat Rantai 4. Jaring Insang Hanyut 5. Jaring Lingkar 6. Jaring Insang Tetap 7. Trammel Net 8. Bagan Tancap 9. Rawai Tetap 10. Pengumpul Kerang Total
4 1.864 221 2.634 2.204 180 185 1.080 9.100
219 13.596 1.059 1.799 1.430 774 5.250 3.681 40.850
13 10 8 16 15 13 14 10
Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006
Potensi tambak di Kabupaten Cirebon cukup besar, yaitu mencapai 7.500 ha, yang baru dimanfaatkan 68,56% (Tabel 8). Potensi yang masih tersedia dalam jumlah besar adalah di Kecamatan Losari dan Pangenan. Pengembangan tambak Udang, tambak Bandeng dan rumput laut tersebar di Kecamatan Kapetakan, Gebang, Losari, Astanajapura, Pangenan, Cirebon Utara dan Mundu. Untuk pengembangan tambak udang dan bandeng tersedia lahan 500 Ha, tersebar di Kecamatan Kapetakan, Babakan, Losari, Astanajapura dan Cirebon utara. Bendung Karet di Kapetakan serta rencana Bendung Karet di Bondet dan Losari akan menunjang pembudidayaan perikanan air tawar ini. Tabel 8. Potensi dan pemanfaatan tambak Kabupaten Cirebon 2004 Kecamatan 1. Losari 2. Gebang 3. Pangenan 4. Astanajapura 5. Mundu 6. Cirebon Utara 7. Kapetakan Total
Potensi (ha) 2.500 600 1.834 66 100 300 2.100 7.500
Pemanfaatan Ha % 1.382 55,28 491 81,83 1.074 58,56 28 42,42 71 71,00 185 61,67 1.911 91,00 5.152 68,56
Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006
Di Kabupaten Cirebon terdapat 813 unit pengolahan ikan, yang tersebar di 9 kecamatan (Tabel 8). Pengolah ikan itu pada umumnya berskala rumah tangga. Selain itu, terdapat 7 perusahaan pengolah hasil perikanan skala industri, yang mengolah jenis produk berikut : 1. Paha kodok dan udang beku (1 perusahaan).
2. Udang beku (1 perusahaan). 3. Chitin/chitosan (1 perusahaan). 4. Teri nasi (2 perusahaan). 5. Daging rajungan (2 perusahaan). PEMP 2001 disalurkan kepada 6 KMP yang beranggotakan 70 orang. Lokasi PEMP adalah Kecamatan Cirebon Utara (Desa Mertasinga, Grogol, dan Jatimerta) dan Kecamatan Kapetakan (Desa Karangreja). Jenis usaha yang dilayani adalah penangkapan ikan. PEMP 2002 disalurkan kepada 16 KMP yang beranggotakan 181 orang. Lokasi PEM adalah Kecamatan Pangenan (Desa Pengarengan) dan Kecamatan Gebang (Desa Gebang Mekar dan Gebang Ilir). Jenis usaha yang dilayani adalah : 1. Budidaya bandeng. 2. Pembuatan terasi. 3. Pengolahan ikan. 4. Galangan perahu. 5. Penangkapan ikan. 6. Penangkapan keong macan. PEMP 2003 disalurkan kepada 26 KMP yang beranggotakan 482 orang. PEMP dikonsentrasikan di Kecamatan Mundu (Desa Mundu Pesisir, Bandengan, Citemu, dan Waruduwur) dan Kecamatan Losari (Desa Tawangsari). Selain itu, dibangun juga 2 unit SPDN, yaitu di Kapetakan dan Gebang, masing-masing dengan kapasitas 8,000 liter. PEMP 2004 disalurkan kepada perseorangan yang dinilai bankable untuk menerima dana kredit. Tercatat ada 42 debitur, yang pada umumnya berlokasi di Kecamatan Gebang dan Losari. Sebanyak 40 debitur adalah pedagang, sedangkan nelayan hanya 2 debitur. LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon terletak di tengahtengah perkampungan nelayan di Kecamatan Gebang Ilir. LKM Swamitra Mina merupakan unit simpan-pinjam milik seluruh masyarakat pesisir yang direpresentasikan oleh Koperasi. LKM Swamitra Mina dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga muda pesisir yang sebelumnya telah
memperoleh pelatihan dari Bank Bukopin. Dengan pendampingan Bank Bukopin Cabang, Swamitra Mina diharapkan akan menjadi lembaga LKM terkemuka di daerah pesisir, yang mudah diakses oleh para nelayan dan masyarakat pesisir. Sebagai konsekuensi dari kepemilikan Swamitra Mina, maka nelayan dan masyarakat pesisir akan mendapatkan sisa hasil usaha (deviden) setiap tahun dari keuntungan Swamitra Mina. Selain itu, melalui Swamitra Mina dana masyarakat dapat dimobilisasi melalui tabungan dengan tingkat suku bunga yang kompetitif serta dana dari sumber lain, untuk akhirnya disalurkan kembali ke masyarakat pesisir dari lembaga keuangan lainnya. Swamitra Mina merupakan proses pembelajaran bagi nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengakses dana dari pihak perbankan, begitu pula sebaliknya proses pembelajaran bagi perbankan dalam mengakses masyarakat pesisir. 2. LKM Swamitra Mina Tidak dapat disangkal lagi bahwa masyarakat pesisir merupakan segmen anak bangsa yang paling tertinggal tingkat kesejahteraannya dibandingkan dengan anak bangsa lainnya yang bergelut di sektor non perikanan. Betapa tidak, nelayan kecil yang jumlahnya cukup banyak mendiami wilayah pesisir mempunyai pendapatan hanya sekitar Rp 300.000,-/bulan/keluarga. Memang sungguh ironis, padahal wilayah pesisir sangat kaya sumber daya kelautan dan perikanan serta jasa kelautan lainnya. Ditengarai bahwa kejadian ini terjadi karena lemahnya masyarakat pesisir dalam mengakses permodalan. Keterbatasan akses permodalan ditandai dengan realisasi modal melalui investasi pemerintah dan swasta selama periode Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) yang hanya 0,02 % dari keseluruhan modal pembangunan. Konsekuensinya, terutama nelayan, kebutuhan permodalan dipenuhi oleh para tengkulak, toke, atau ponggawa, yang
kenyataannya
tidak
banyak
menolong
untuk
meningkatkan
kesejahteraan mereka, malah cenderung menjeratnya dalam lilitan utang yang tidak pernah bisa dilunasi.
Melihat
kenyataan
ini,
Departemen
Kelautan
dan
Perikanan
menginisiasi program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program ini pun berhasil mengangkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sukses yang diraih itu belum memuaskan, karena ada obsesi untuk menjadikan profesional dan mandiri para pengelola Koperasi LEPP-M3. Untuk itu Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan PT. BANK BUKOPIN mendirikan sebuah LKM Swamitra Mina. Hadirnya lembaga ini di masyarakat pesisir akan menjadi lokomotif permodalan bagi masyarakat pesisir. Lembaga ini telah hadir di 139 kabupaten/kota. Launching LKM Swamitra Mina telah dilaksanakan dan diresmikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada tanggal 12 Desember 2004 di Cilincing, Jakarta Utara. Cikal bakal pelaksanaan program Swamitra Mina bermula dari program PEMP. Pada tahun 2004 program PEMP mendapat kucuran dana sebesar Rp 140 milyar untuk mengakomodir 160 kabupaten/kota. Adapun pagu untuk Dana Ekonomi Produktif (DEP) yang digunakan sebagai penguatan modal sebesar Rp 98.347.592,000 yang dikelola melalui LKM Swamitra Mina, BPR-Pesisir, dan USP. Adapun jumlah LKM Swamitra Mina yang ada saat ini sebanyak 139 buah yang kesemuanya adalah Koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan yang telah berbadan hukum. Dengan status berbadan hukum, maka telah memenuhi persyaratan perundang-undangan yang mensyaratkan bahwa untuk menyerap dana masyarakat dan memberikan pinjaman kepada masyarakat hanyalah lembaga perbankan dan koperasi yang berbadan hukum. Tentu bukan itu saja persyaratan yang harus dimiliki LKM Swamitra Mina. Selain berbadan hukum, juga harus mempunyai SDM yang profesional untuk mengelolanya, sebab pelaksanaan transaksi di LKM ini dilakukan pula secara profesional, yaitu penggunaan perangkat Teknologi Informasi. Dengan demikian semua transaksi yang terjadi di LKM Swamitra Mina sudah dapat dimonitoring secara real time dan on time. Dipilihnya Bank Bukopin sebagai Bank Pelaksana didasarkan bahwa hanya Bank Bukopin yang memiliki program Swamitra dan telah banyak
sukses di daerah pedesaan seluruh Indonesia. Yang lebih penting bahwa Bank Bukopin punya komitmen untuk berperan sebagai executor dan menyalurkan 100% dana ekonomi produktif yang dimiliki Koperasi LEPPM3. Selain itu bank ini juga berkomitmen untuk mengadakan pelatihan dan pendampingan bagi pengelola LKM Swamitra Mina. Dengan kerja keras yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan, kini telah berdiri 139 LKM Swamitra Mina di wilayah pesisir. Dari 139 ini sampai pertengahan Februari 2005 tercatat 60 LKM Swamitra Mina telah melakukan transaksi pinjaman kepada masyarakat, dan diharapkan pada akhir Maret semua LKM ini telah melakukan transaksi kepada masyarakat pesisir. Adapun bunga pinjaman yang diterapkan di lembaga ini bervariasi antara 12 – 24% secara efektif per tahun. Bunga pinjaman ini dirasakan masyarakat pesisir cukup kompetitif. Begitu pula variasi bunga pinjaman ini sangat dipengaruhi oleh situasi, kondisi, dan kesepakatan masyarakat pesisir setempat. Memang disadari bahwa dalam mengelola Swamitra Mina yang lokasinya berada jauh di wilayah pesisir, diperlukan dua tipe pengelolaannya yaitu online dan offline. Apabila di lokasi tersedia jaringan telepon yang secara mutu dapat dilalui dengan data, maka LKM Swamitra Mina bersifat online. Begitu pula apabila daerah tersebut tidak mampu mendapatkan jaringan yang layak untuk data, maka dikelola secara offline. Walaupun statusnya offline tetap disediakan sarana komunikasi. Artinya pencatatan secara komputerisasi tetap dilakukan, hanya data tersebut pada waktu tertentu di upload atau dikirim rata-rata 1 - 2 minggu sekali, kemudian digabungkan dengan data yang online dan disatukan kemudian dikirim ke Jakarta. LKM Swamitra Mina merupakan salah satu unit usaha milik koperasi yang bergerak di bidang pelayanan permodalan bagi masyarakat pesisir, terutama untuk segmen usaha mikro. Unit usaha ini bermitra dengan Bank Bukopin dengan orientasi pelayanan permodalan berbasiskan sistem teknologi perbankan yang online. Dengan teknologi ini diharapkan kegiatan
usaha keuangan dapat berjalan secara profesional, transparan, dapat dipantau setiap saat, baik di tingkat pusat maupun daerah (Bukopin, 2005). Pengembangan kelembagaan LKM ini sesuai dengan tahapan PEMP, yaitu : a. Tahap Inisiasi pada tahun 2001 – 2003, b. Tahap Institusionalisasi pada tahun 2004 – 2006, c. Tahap Diversifikasi pada tahun 2007 – 2009. Tahap institusionalisasi yang dimulai pada tahun 2004-2006 telah terbentuk LKM, antara lain 141 unit Swamitra Mina (41 unit di antaranya beroperasi dengan sistem online), 9 unit Unit Simpan-Pinjam (USP) dan 20 unit BPR pesisir. Pada tahun 2005 sebanyak 80 unit LKM dikembangkan melalui diversifikasi usaha. Usaha-usaha yang dikembangkan adalah pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) dan Kedai Pesisir yang tersebar di beberapa daerah. Tujuannya adalah agar Koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan dapat mengarah kepada cita-cita untuk menjadi holding company (DKP, 2006). Tahap institusionalisasi ditandai dengan perluasan lokasi sasaran Program PEMP melalui pembentukan LKM di 20 Kabupaten/Kota yang baru. Pada saat ini, kegiatan LKM dikerjasamakan dengan berbagai lembaga perbankan dan non perbankan, seperti Bank Bukopin, Bank BRI, Bank Pembangunan Daerah (Maluku dan Papua), dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Sesuai dengan tujuannya, maka untuk daerah khusus seperti Nangro Aceh Darussalam (NAD) direncanakan pula menciptakan micro finance dan bekerjasama dengan lembaga perbankan berbasis syariah (PT Bank Mandiri Syariah). Adapun pembangunan SPDN bekerjasama dengan PT Pertamina dan PT Elnusa Petrofin dan untuk Kedai Pesisir bekerja sama dengan Distributor Ritel (DKP, 2006). Swamitra Mina merupakan unit simpan-pinjam milik seluruh masyarakat
pesisir
yang
direpresentasikan
oleh
Koperasi
LEPP-
M3/Koperasi Perikanan lainnya. Swamitra Mina dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga muda pesisir yang sebelumnya telah memperoleh
pelatihan dari Bank Bukopin. Dengan pendampingan Bank Bukopin Cabang, Swamitra Mina diharapkan akan menjadi lembaga keuangan mikro terkemuka di daerah pesisir, yang mudah diakses oleh para nelayan dan masyarakat pesisir lainnya. Sebagai konsekuensi dari kepemilikan Swamitra Mina, maka nelayan dan masyarakat pesisir akan mendapatkan sisa hasil usaha (deviden) setiap tahun dari keuntungan Swamitra Mina. Selain itu, melalui Swamitra Mina dana masyarakat dapat dimobilisasi melalui tabungan dengan tingkat suku bunga yang kompetitif serta dana dari sumber lain, untuk akhirnya disalurkan kembali ke masyarakat pesisir dari lembaga keuangan lainnya. Swamitra Mina merupakan proses pembelajaran bagi nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengakses dana dari pihak perbankan, begitu pula sebaliknya proses pembelajaran bagi perbankan dalam mengakses masyarakat pesisir. Agar masyarakat pesisir dapat mengakses dengan mudah LKM Swamitra Mina serta mengelola secara efesien modal yang telah diperolehnya, maka disediakan tenaga pendamping desa (TPD) masingmasing dua orang tiap kabupaten/kota. TPD tersebut terdiri atas sarjanasarjana baru yang sebelumnya dilatih secara nasional. Selain itu, juga disediakan Konsultan Manajemen (Perguruan Tinggi, LSM, atau lembaga konsultan profesional) untuk membantu mengembangkan dan meningkatkan kinerja kelembagaan dan pemasaran. Hadirnya LKM Swamitra Mina di wilayah pesisir, maka secara bertahap peran tengkulak dan rentenir akan berkurang sehingga LKM dapat memobilisasi dana masyarakat dengan adanya suku bunga tabungan yang menarik. Dengan lancarnya pengelolaan LKM Swamitra Mina maka perlahan tapi pasti bantuan modal yang disalurkan di masyarakat pesisir bukan lagi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi dari LKM Swamitra Mina itu sendiri. Sehingga LKM Swamitra Mina semakin dilirik oleh lembaga keuangan lainnya untuk bermitra mengakses permodalan. Dengan demikian LKM Swamitra Mina sebagai lokomotip dapat
menggandeng
lembaga
keuangan
lainnya
dalam
kiprahnya
membangun usaha sektor perikanan dan kelautan (Direktorat PEMP – Ditjen P3K, 2005).
B. Deskripsi Hasil Studi 1. Analisis kelembagaan non LKM dan LKM. Peran pelaksana lembaga ini akan sangat menentukan kondisi lembaga keuangan. Berbagai permasalahan muncul ketika kegiatan usaha dilaksanakan seperti kredit macet, kinerja pengguna jasa yang rendah dan kurangnya pengawasan dari lembaga itu sendiri. Kondisi yang spesifik di masyarakat pesisir membutuhkan pemahaman khusus dari pihak lembaga keuangan. Beberapa hal yang sangat berpengaruh dalam masyarakat nelayan dan pesisir.
Hal ini perlu diperhatikan untuk pengembangan aquabisnis
masyarakat nelayan. Keunikan tersebut meliputi (1) kehidupan masyarakat nelayan dan petani ikan sangat tergantung pada ekosistem dan lingkungan yang sangat rentan pada kerusakan seperti pencemaran dan degradasi kualitas lingkungan, (2) sangat tergantung pada musim, dan (3) sangat tergantung pasar.
Kondisi ini menimbulkan risiko yang cukup besar pada
kesinambungan permodalan usaha. Akibatnya akan menjadi sangat susah bagi nelayan untuk mengakses berbagai permodalan yang ada. Bagi lembaga keuangan memberikan akses permodalan akan memiliki risiko dalam akumulasi modal usaha serta pengembangan lembaga tersebut. Dampak pada lembaga ini akan dapat mempengaruhi kinerja lembaga keuangan yang ada. LKM dan Non LKM terbentuk melalui program PEMP .Dalam pedoman umum PEMP selalu disebutkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir itu perlu didorong melalui tiga inisiatif, yaitu perbaikan manajemen, perbaikan teknologi, dan perbaikan akses masyarakat pada modal. Artinya, segala program pemberdayaan PEMP itu dirancang sebagai bentuk perbaikan tiga komponen di atas. Dalam prakteknya, kebijakan permodalan masyarakat pesisir telah berkembang menjadi jiwa program PEMP. Pemberian modal ‘secara komersial’ telah menjadi penciri program PEMP.
PEMP yang dilaksanakan sejak tahun 2001 hingga saat ini masih terus mencari bentuk ideal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Setidaknya terdapat 2 (dua) unsur penting dalam memperkuat peran PEMP sebagai akselerator peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, yaitu penguatan peran kelembagaan (institutional strengthening) pengelola program, dan peningkatan kapasitas (capacity building) lembaga ekonomi mikro. Namun demikian, kedua unsur ini tidak dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan jika tidak didukung oleh unsur lainnya, seperti Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP), keterlibatan stakeholders dan kemitraan yang dibangun oleh program dengan instansi terkait lainnya. Adapun tabel hasil analisis kelembagaan dengan metode Focus Group Discusion (FGD) berikut :
a. Kelembagaan non LKM dan LKM (Koperasi LEPP-M3) Hasil analisis kelembagaan antara LKM Swamitra Mina dan non LKM menunjukkan bahwa dari segi pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing jabatan, kedua lembaga tersebut masing-masing mampu memahaminya dengan baik. Namun, dari segi pelaksanaan tupoksi, terlihat bahwa manajerial LKM dikelola secara lebih profesional dibandingkan dengan non LKM dan untuk nasabah LKM memiliki hak untuk mengajukan kredit secara perorangan. LKM Swamitra Mina sudah berbadan hukum sejak awal tahun 2004 sedangkan non-LKM baru berbadan hukum pada tahun 2005. Kedua lembaga keuangan tersebut memiliki mekanisme pembentukan dan pemilihan pengurus dengan nilai baik (skor 3), karena keduanya berjalan secara transparan dan melibatkan tokoh masyarakat, sehingga dinilai ada keterlibatan langsung dari masyarakat. Dari hal tersebut diperkirakan menampung aspirasi masyarakat, yang ditunjukkan oleh masuknya tokoh-tokoh masyarakat dalam kepengurusan kedua lembaga tersebut. Namun, hal yang menjadi pembeda adalah pada LKM
keterwakilan nelayan dari semua unsur sudah terpenuhi termasuk adanya peran wanita, sedangkan pada non-LKM lebih didominasi oleh kaum tua dan tokoh masyarakat. Hasil analisis kelembagaan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Indikator kelembagaan koperasi
No
1.
2.
Indikator Non LKM Pemahaman terhadap Pemahaman pengurus tugas pokok dan fungsi terhadap tupoksi sudah (tupoksi) dalam berjalan dengan baik pelaksanaan program. sesuai PEDUM PEMP 2003. Jumlah pengurus ada 7 orang. Nilai Baik (3)
LKM Pemahaman pengurus terhadap tupoksi sudah berjalan dengan baik PEDUM PEMP 2004-2006 dan ketentuan Bank Bukopin. Jumlah pengurus ada 17 orang. Nilai Baik (3).
Terlaksananya tupoksi Manajemen internal dan lembaga. fungsi supervisi belum berjalan maksimal. Nilai Cukup (2)
Manajerial dikelola secara profesional. Nasabah perorangan berhak mengajukan kredit. Nilai Baik (3)
Status organisasi pengelola program.
Status Lembaga dari awal tahun Status lembaga 2004 sudah berbadan hukum. merupakan bentukan masyarakat. Sampai tahun Nilai Baik (3). 2004 belum berbadan hukum. Baru tahun 2005 mulai berbentuk koperasi. Nilai Baik (3).
Berjalannya mekanisme pembentukan dan pemilihan pengurus.
Pembentukan pengurus dan pemilihan dilakukan secara transparan dengan melibatkan tokoh masyarakat. Nilai Baik (3).
Pembentukan pengurus dan pemilihan dilakukan secara transparan dengan melibatkan tokoh masyarakat. Nilai Baik (3)
Komposisi pengurus mencerminkan keterwakilan unsurunsur masyarakat
Keterwakilan didominasi kaum tua dan tokoh masyarakat. Nilai Baik (3).
Keterwakilan nelayan dari segala unsur sudah terpenuhi. Nilai Baik (3).
3.
4.
5.
6.
Komposisi pengurus Keterwakilan perempuan mencerminkan dalam pengurus tidak ada. keseimbangan gender. Pengurus berjumlah 7 orang. Nilai Buruk (1).
Keterwakilan perempuan dalam pengurus sudah 30%. Perempuan berjumlah 6 orang. Nilai Baik (3).
Sumber : Laporan Keuangan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang tahun 2004-2005 (data diolah kembali)
b. Pengelolaan non LKM dan LKM. Hasil perbandingan mengenai pengelolaan LKM Swamitra Mina dibandingkan dengan non-LKM disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Indikator pengelolaan LKM dan non LKM No
1.
2.
3.
4.
Indikator
Non LKM
LKM
Pemahaman pengurus LKM dan non LKM terhadap program dan gambaran tugasnya.
Pemahaman masih terfokus pada dana hibah dari pemerintah. Nilai Cukup (2)
Telah terbentuk sikap dalam rangka mendorong perekonomian melalui lembaga keuangan yang bankable. Nilai Baik (3)
Pengurus tetap/permanen LKM dan Non LKM dengan kualifikasi dan kompetensi yang relevan dengan bidang tugasnya. Berjalannya sistem dan mekanisme organisasi.
Pengurus masih bergantung pada tokoh tradisional. Nilai Cukup (2)
Pengurus terdiri dari SMA (3), D1 (2), D3 (3), S1 (6), S2 (2) dan S3 (1). Nilai Baik (3)
Sistem dan mekanisme organisasi belum berjalan secara kondusif. Nilai Cukup (2)
Menunjukkan kecenderungan kondusif dan efektifnya pelaksanaan manajemen. Nilai Baik (3)
Adanya neraca keuangan LKM dan Non LKM secara periodik.
Pengadminstrasian dan pendokumentasian belum berjalan rapi. Nilai cukup (2)
Sudah terjadi efektivitas dan konsistensi pengadministrasian. Nilai Baik (3)
Mutu portofolio LKM dan Non LKM.
Mutu fortofolio berjalan stagnant dan lambat. Nilai Cukup (2)
Kecenderungan membaik dan kondusifnya status perkembangan cash flow dan neraca laba rugi. Nilai Baik (3)
Produktivitas dan efisiensi LKM dan Non LKM
Kondisi keuangan cenderung stagnan Pertambahan modal lambat. Nilai Cukup (2).
Menunjukkan kondisi keuangan yang baik (perfom). Nilai cukup (2).
5.
6.
Persepsi nasabah terhadap peran LKM maupun Non LKM
7.
Seperti dana hibah, sehingga pengembalian lambat. Nilai cukup (2)
Tingkat pengembalian bagus. Nilai cukup (2).
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa pemahaman pengurus LKM dengan non LKM berbeda. Pada LKM Swamitra Mina sudah terbentuk sikap untuk mengembangkan LKM menjadi lembaga perekonomian bankable, sedangkan pemahaman pengurus non LKM masih memandang dana yang diperoleh merupakan hibah, sehingga belum tumbuh sikap kemandirian untuk mengembangkan lembaga tersebut. Hal ini juga dipengaruhi tingkat pendidikan pengurus. Pengurus LKM Swamitra Mina memiliki pengurus yang telah mengecam pendidikan mulai dari SMA hingga perguruan tinggi (S3), sehingga tidak dapat dielakkan
bahwa
pengetahuan
dan
pengalaman
nya
dapat
mempengaruhi cara pandang dan cara pengelolaan terhadap lembaga masing-masing termasuk sistem administrasi LKM Swamitra Mina yang meskipun masih dilakukan secara sederhana namun lebih efektif dan terstruktur dengan baik. Cara pandang pengurus dan kekonsistenan pengurus LKM, secara tidak langsung mampu mengedukasi nasabah, terutama dalam hal persepsinya terhadap peran LKM. c. Kapasitas kelompok pemanfaat. Kapasitas individu maupun kelompok peminjam sesuai dengan kondisi yang ada di LKM Swamitra Mina, seperti dimuat pada Tabel 11. Tabel 11. Indikator kapasitas pemanfaat No
1.
Indikator Adanya manajemen dan administrasi keuangan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang dilaksanakan. Penguasaan teknis UEP yang dilaksanakan.
2.
Non LKM KMP sudah melaksanankan manajemen secara sederhana. Nilai cukup (2). Strategi usaha masing-masing KMP masih stabil. Nilai cukup (2).
LKM Nasabah perorangan cenderung belum melaksanakan keuangan secara baik. Nilai Baik (3). Usaha nasabah kecenderungan meningkat, tetapi tidak terlalu nyata dalam penambahan volume produksi. Nilai Cukup (2).
Ekstensifikasi dan diversifikasi jenis UEP.
Volume usaha kecenderungan masih stabil. Nilai cukup (2).
Volume usaha bervariasi ada yang meningkat dan ada yang stabil. Nilai Cukup (2).
Perubahan pendapatan dan bertambahnya nilai manfaat.
Perubahan pendapatan cenderung meningkat 40% dari sebelumnya. Nilai cukup (2). KMP cenderung tidak terjadi perluasan. Kelompok masih tetap sama dari awal sampai sekarang. Nilai cukup (2).
Menunjukkan adanya peningkatan pendapatan 70% dan tabungan meningkat. Nilai baik (3).
3.
4.
5.
Transformasi dan replikasi UEP bagi kelompok/individu non pemanfaat.
Kecenderungan nasabah terus meningkat dan terjadi transformasi nasabah dengan masyarakat non nasabah. Nilai Baik (3).
Dari Tabel 11 dapat dilihat adanya kecenderungan mengindikasikan kondisi positif dari kelompok maupun individu pemanfaat dana dari LKM Swamitra Mina terutama dari sisi proses penetapan jenis yang difasilitasi program PEMP, dan kesesuaian kriteria penerimaan Dana Ekonomi Produktif (DEP). Peubah penting lainnya pada indikator kapasitas pemanfaat terkait dengan pelaksanaan UEP dan pengelolaan DEP adalah tingkat keterampilan pemanfaat dalam memilih, menjalankan dan mengembangkan UEP. Keberhasilan UEP yang dilaksanakan oleh masyarakat pemanfaat dapat dilihat dari sisi manfaat ekonomi, status keberlanjutan, manajemen usaha yang efektif dan pengadministrasian (Kusnadi dkk, 2006). Ketiga indikator tersebut menunjukkan kelebihan dan kekurangan masing-masing kelembagaan. Indikator kelembagaan menunjukkan bahwa non LKM mempunyai nilai cukup (rataan 2,5) sedangkan LKM sudah baik (rataan 3). Indikator pengelolaan organisasi menunjukkan bahwa non LKM mempunyai nilai cukup (rataan 2,3) dan LKM sudah baik (rataan 2,6) tapi masih perlu pembenahan. Indikator kapasitas pemanfaat menunjukkan bahwa non LKM mempunyai nilai cukup (rataan 2) dan LKM mempunyai nilai baik (rataan 2,6) tapi masih perlu pembenahan. Data perhitungan terdapat pada Lampiran 2.
2. Analisis rasio keuangan non LKM dan LKM.
a. Analisis Rasio Keuangan non LKM Pada periode tahun 2001 – 2003, program PEMP di Kabupaten Cirebon menggunakan sistem revolving atau pola perguliran. Hanya pada pada Kecamatan Mundu sistem revolving masih berjalan. Sistem revolving atau Non LKM di Kecamatan Mundu dimulai pada tahun 2003 dan berlanjut sampai sekarang. Tabel 12 berikut menyajikan kondisi keuangan penyaluran Dana Ekonomi Produktif Kabupaten Cirebon pada tahun 2001 hingga 2005 berdasarkan Laporan Akhir pelaksanaan program PEMP.
Tabel 12. Data program PEMP Kabupaten Cirebon TA. 2000-2005 No
Tahun
Kecamatan/Desa
1
2000
Babakan/Gebang
2.
2001
3.
2002
Cirebon Utara/Kapetakan Pangenan/Gebang
4.
2003
Mundu/Losari
5.
2004
Mundu/Gebang (Swamitra Mina) 6. 2005 Mundu/Gebang (Swamitra Mina) Sumber : DKP Kab. Cirebon , 2006
Jumlah DEP (Rp) 498.000.000
Jumlah (Orang) 366
813.750.000
70
800.000.000
181
744.625.000
445
435.848.000
240
537.025.000
382
% KMP 23,5% nelayan tangkap, 25,5% (Budidaya kerang hijau), 51% (Pembuat perahu, pengrajin jaring dan Tambak) 100% nelayan 60% budidaya tambak, 40% (nelayan, pengolah dan pengrajin perahu) 15% nelayan, 85% pengolah, pedagang ikan dan petambak
Dana awal perguliran diambilkan dari DEP program PEMP dan dibagikan kepada KMP. Dana Ekonomi Produktif ini bersumber dari APBN. Adapun pembagiannya seperti yang dimuat pada Tabel 13.
Tabel 13. Data kelompok masyarakat pemanfaat di Kec. Mundu No
1. 2. 3.
Nama KMP
Lumba - Lumba Bawal Rajungan
Jenis Usaha
Dagang Ikan Dagang Ikan Dagang Ikan
Desa
Mundu Pesisir
Jumlah Anggota (orang) 92
Jumlah Pinjaman (Rp) 220.225.000
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Arker Mina Mandiri Nelayan Makmur Kembung Jaya Maju Jerbung Sampit Jaya
Dagang Ikan Dagang Ikan Penangkapan Penangkapan Pengolah Ikan Dagang Ikan Dagang Ikan
Citemu
80
156.800.000
Bandengan
Jumlah Anggota (orang) 88
Jumlah Pinjaman (Rp) 128.250.000
Waruduwur
127
159.500.000
387
664.775.000
Lanjutan Tabel 13. No
Nama KMP
11. 12.
Jenis Usaha
Kupas rajungan Dagang Ikan
Teri Layang Tanjan
13. 14.
Teri
15.
Kembung
16.
Subur Makmur
17.
Tunas Jaya
18.
Maju Lancar
19.
Inti Laut Total
Pengolah pindang Pengolah pindang Pengolah pindang Pengolah Ikan asin Kupas rajungan Kupas rajungan Dagang rajungan
Desa
Seiring dengan waktu, maka perkembangan keuangan dari LEPPM3 di Kecamatan Mundu sampai Desember 2006 disajikan padaTabel 14.
Tabel 14. Angsuran dari awal pinjaman s/d Desember 2006
Desa Mundu Pesisir
Jumlah Pinjaman (Rp)
Tanggal Pinjaman
Pokok
220.225.000
29/07/2003
44.990.497
Jumlah
Sisa Pinjaman (Rp)
52.965.290
175.234.504
Angsuran s/d Desember 2006 (Rp) Jasa 7.974.794
Citemu Bandengan Waruduwur
156.800.000 128.250.000 159.500.000
28/07/2003 28/07/2003 28/07/2003
72.681.375 43.028.700 52.176.443
12.826.127 7.593.300 9.207.608
85.507.500 50.622.000 61.384.050
84.118.625 85.221.300 94.488.808
Berdasarkan data tentang kondisi keuangan maka dapat diketahui tingkat kesehatan LEPP-M3 Kecamatan Mundu pada tahun 2003 dan 2006. Tingkat kesehatan keuangan Non LKM tersebut tercermin pada nilai beberapa rasio keuangan yang digunakan. Adapun nilai-nilai rasio keuangan tersebut disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Kinerja keuangan Non LKM berdasarkan beberapa rasio-rasio keuangan, Tahun 2004-2006 (per 31 Desember)
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Kinerja Keuangan/ Jenis Rasio Struktur Keuangan - Rasio total modal terhadap simpanan pihak ketiga Aktiva Produktif - Rasio total pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan diberikan Likuiditas - Rasio total pembiayaan terhadap total dana yang diterima dari anggota Efisiensi - Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional Rentabilitas - Rasio laba tahun berjalan terhadap aset - Rasio laba tahun berjalan terhadap total modal
Tahun 2006
Nilai Rasio Keuangan (%) Tahun 2005 Tahun 2004
297,28
357,64
517,17 -
62,32
68,68
66,8
78,1
74,8
212,3
272,48
496,28
15,36
24,47
29,79
1,11
1,77
2,16
Sumber : LEPP-M3, 2006. (Data diolah kembali).
Penjelasan tentang perkembangan kinerja keuangan LEPP-M3 (Non LKM) berdasarkan perbandingan nilai rasio-rasio keuangan antara tahun 2004 - 2006 yang tersaji dalam Tabel 15 dipaparkan sebagai berikut : 1) Struktur keuangan.
Secara keseluruhan struktur keuangan LEPP-M3 tergolong “Baik”. Nilai rasio struktur keuangan dari tahun 2004(517,17%), tahun 2005 (357,64%) hingga tahun 2006 (297,28%) menunjukkan modal yang dimiliki mampu menjamin kondisi keuangan tetap stabil apabila terjadi penarikan simpanan pihak ketiga secara besar-besaran. Di sisi lain, menurunnya nilai rasio keuangan ini secara beruntun dan dalam jumlah yang cukup signifikan perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan modal yang dimiliki sebagian besar masih berasal dari hibah dan bukan dari peningkatan modal internal.
2) Aktiva produktif Berdasarkan kecenderungan nilai rasio yang diperoleh, tampak bahwa pengelola LEPP-M3 mengalami kendala didalam menjamin kelancaran pengembalian pinjaman atau terjadinya ketidaklancaran didalam angsuran anggota. Nilai rasio di tahun 2005 (68,68%) yang tergolong “Buruk” mulai menurun menjadi di tahun 2006 (62,32%). Pembiayaan bermasalah dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Permasalahan ini timbul, terutama pada anggota yang berprofesi sebagai nelayan. Hal ini terkait dengan rendahnya pendapatan akibat alam yang tidak bersahabat dan akibat teknologi penangkapan yang masih tradisional yang menyebabkannya tidak mampu mendapatkan hasil tangkapan yang optimal. Pembiayaan yang diberikan pada kalangan pedagang atau bakul atau anggota yang berprofesi di pekerjaan yang berorientasi daratan tampaknya tidak menjadi suatu permasalahan (angsuran tetap lancar). 3) Likuiditas Berdasarkan kecenderungan yang terjadi diketahui bahwa kinerja keuangan LEPP-M3 cukup memprihatinkan. Nilai rasio pada tahun 2004 (74,8%), tahun 2005 (78,1%) dan tahun 2006 (66,8%) tergolong
“Buruk”. Namun demikian tampak adanya upaya pengelola koperasi untuk memperbaiki kinerja. 4) Efisiensi Berdasarkan nilai rasio keuangan yang digunakan tampak bahwa pengelolaan dana semakin efisien. Pada tahun 2004 (496,28%) menunjukkan kinerja “Buruk” dan 2005 (272,48%) meningkat tetapi masih dalam kategori “Buruk”. Namun demikian pada tahun 2006 pengurus koperasi mampu meningkatkan nilai sebesar 212,3%, tetapi masih masih dikategorikan “Buruk”. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan dana untuk menghasilkan pendapatan tidak efisien.
5) Rentabilitas Kemampuan LEPP-M3 dalam memperoleh laba berdasarkan aset (nilai Return On Asset atau ROA) maupun modal (nilai Return On Equity atau REO) yang dimiliki semakin meningkat. Nilai ROA sebesar 29,79% pada tahun 2004 atau tergolong “Baik”,
tetapi
menurun hingga mencapai nilai 24,47% pada tahun 2005 atau tergolong “Cukup Baik”. Pada tahun 2006 (15,36%) masih tergolong “Cukup Baik” tetapi lebih menurun lagi. Untuk ROE nilai pada tahun 2004 (2,16%) yang tergolong “Buruk” dan semakin memburuk pada tahun 2005 (1,77%) dan tahun 2006 (1,11%). b. Analisis rasio keuangan LKM Berdasarkan data-data tentang kondisi keuangan maka dapat diketahui tingkat kesehatan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang pada tahun 2005 dan 2006. Tingkat kesehatan LKM tersebut tercermin pada nilai beberapa rasio keuangan yang digunakan. LKM Swamitra Mina yang baru berjalan pada akhir tahun 2004 sehingga baru dapat dianalisis pada tahun 2005. Data laporan keuangan LKM Swamitra Mina pada tahun 2005 dan 2006 disajikan pada Tabel 16 dan 17.
Tabel 16. Laporan keuangan LKM Swamitra Mina Kec.Mundu/Gebang pada tahun 2005 BULAN
TOTAL ASET
PINJAMAN YG DISALURKAN NOMINAL DEBITUR 922.592.498,00 145 931.870.676,37 147 1.027.120.365,55 152 1.175.218.811,80 176 1.316.541.497,36 190 1.329.458.442,55 203 1.336.090.890,23 212 1.367.980.750,65 223 1.398.546.211,43 234 1.443.456.897,54 246 1.478.200.780,55 259
SIMPANAN SWAMITRA NOMINAL NASABAH 193.678.458,52 309 115.134.053,86 316 198.396.617,51 321 164.872.594.,00 344 149.759.537,00 367 114.567.251,66 394 115.312.715,71 419 123.675.890,75 421 117.234.212,89 435 112.129.687,22 478 124.890.453,65 501
SIMPANAN BERJANGKA NOMINAL NASABAH 22.000.000,00 1 22.000.000,01 1 22.000.000,02 1 0.00 0 0.00 0 6.000.000,00 1 25.000.000,00 5 25.000.000,00 5 25.000.000,00 5 49.000.000,00 5 49.000.000,00 5
JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBER
1.490.826.547,18 1.475.954.096.,33 2.100.009.799,52 2.243.376.412,25 2.393.749.277,54 2.381.138.043,62 2.399.882.124,76 2.413.650.890,65 2.465.673.445,78 2.456.210.423,90 2.489.398.500,56
DESEMBER TARGET S/D DESEMBER
2,510,696,314,07
1,506,075,132,78
266
114,297,907,74
525
49,000,000,00
5
1.312.978.000,00
1.265.803.000,00
250
306.900.000,00
700
98.000.000,00
12
Tabel 17. Laporan keuangan LKM Swamitra Mina Kec.Mundu/Gebang pada tahun 2006
BULAN
TOTAL ASET
PINJAMAN YG DISALURKAN NOMINAL DEBITUR
SIMPANAN SWAMITRA NOMINAL NASABAH
SIMPANAN BERJANGKA NOMINAL NASABAH
DESEMBER 2004 JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBER
405.259.000,00 974.601.729,14 1.331.401.451,95 1.008.146.521,00 1.135.381.084,66 1.202.665.217,28 1.442.263.191,40 1.450.092.153,35 1.458.037.680,15 1.499.417.183,00 1.454.581.202,35 1.451.024.022,74
DESEMBER
1.510.173.933,16
978.303.139,57
151
186.900.249,05
309
22.000.000,00
1
TARGET S/D DESEMBER
949.386.000,00
960.000.000,00
150
420.000.000,00
700
60.000.000,00
12
285.415.106,05 362.312.590,63 423.268.243,67 501.233.520,48 530.154.629,10 617.825.442,12 749.072.130,54 817.776.283,65 860.078.802,00 930.195.551,96 945.812.387,44 906.379.437,77
73 84 92 129 106 117 126 129 135 145 146 148
55.036.749,35 72.031.131,48 75.386.007,65 90.424.007,61 87.978.910,16 86.129.652,93 89.020.783,40 157.312.079,85 145.516.596,36 154.382.343,85 187.045.476,17 196.587.287,00
146 166 175 195 203 216 227 246 253 269 285 298
4.500.000,00 4.500.000,00 9.400.000,00 18.900.000,00 14.400.000,00 14.400.000,00 19.500.000,00 19.500.000,00 19.500.000,00 70.500.000,00 32.000.000,00 32.000.000,00
1 1 2 4 3 3 3 3 3 6 2 2
46
Tabel 18. Kinerja keuangan LKM Swamitra Mina berdasarkan beberapa rasiorasio keuangan pada tahun 2005-2006 (per 31 Desember) No. 1.
2.
3.
4.
5.
Kinerja Keuangan/ Nilai Rasio Keuangan (%) Jenis Rasio Tahun 2006 Tahun 2005 Struktur Keuangan - Rasio total modal terhadap simpanan pihak ketiga 851,11 233,17 Aktiva Produktif - Rasio total pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan diberikan 15,24 3,06 Likuiditas - Rasio total pembiayaan terhadap total dana yang diterima dari anggota 76,60 86,61 Efisiensi - Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional 74,97 80,86 Rentabilitas - Rasio laba tahun berjalan terhadap aset 15,76 18,61 - Rasio laba tahun berjalan terhadap total modal 21,63 23,54
Sumber : LEPP-M3, 2006 (Data diolah kembali)
Penjelasan tentang perkembangan kinerja keuangan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang berdasarkan perbandingan nilai rasio-rasio keuangan antara tahun 2005 - 2006 tersaji dalam Tabel-18 dengan paparan sebagai berikut : 1) Struktur keuangan. Secara
keseluruhan
struktur
keuangan
Swamitra
Mina
tergolong “Baik”. Nilai rasio struktur keuangan dari tahun 2005(233,17%) dan tahun 2006 meningkat menjadi (851,11%). Kondisi ini menunjukkan modal yang dimiliki mampu menjamin kondisi keuangan tetap stabil, apabila terjadi penarikan simpanan pihak ketiga secara besar-besaran. Naiknya nilai rasio keuangan ini dan dalam jumlah yang cukup nyata ini dikarenakan peningkatan modal internal. 2) Aktiva produktif. Berdasarkan kecenderungan nilai rasio yang diperoleh tampak bahwa pengelola Swamitra Mina mengalami kendala didalam
69
menjamin kelancaran pengembalian pinjaman atau terjadinya ketidaklancaran didalam angsuran anggota. Pada awalnya nilai rasio di tahun 2005 (3,06%) yang tergolong “Cukup Baik” namun mulai menurun menjadi di tahun 2006 (15,24%) dan tergolong “Buruk”. Pembiayaan bermasalah dari tahun 2005 ke tahun 2006 cenderung meningkat. Permasalahan ini timbul terutama pada anggota yang berprofesi sebagai nelayan. Hal ini terkait dengan rendahnya pendapatan akibat alam yang tidak bersahabat dan akibat teknologi penangkapan yang masih tradisional yang menyebabkannya tidak mampu mendapatkan hasil tangkapan yang optimal. Pembiayaan yang diberikan pada kalangan pedagang atau bakul atau anggota yang berprofesi di pekerjaan yang berorientasi daratan tampaknya tidak menjadi suatu permasalahan (angsuran tetap lancar). 3) Likuiditas Berdasarkan kecenderungan yang terjadi diketahui bahwa kinerja keuangan Swamitra Mina cukup baik. Nilai rasio pada tahun 2005 (86,61%), tahun 2006 (76,60%) tergolong “Cukup Baik”. Namun pihak LKM terus berupaya untuk meningkatkan ke arah yang baik. 4) Efisiensi Berdasarkan nilai rasio keuangan yang digunakan tampak bahwa pengelolaan dana semakin efisien. Pada tahun 2005 (80,86%) menunjukkan kinerja “Cukup Buruk” namun pada tahun 2005 (74,97%) meningkat menjadi “Baik”. 5) Rentabilitas Kemampuan Swamitra dalam memperoleh laba berdasarkan aset (nilai ROA) maupun modal (nilai ROE) yang dimiliki semakin menurun. Namun nilai ROA 18,61% pada tahun 2005 atau tergolong “Cukup Baik” tetapi menurun hingga mencapai nilai 15,76% pada tahun 2006 tetapi masih tergolong “Cukup Baik”.
70
Untuk ROE nilai pada tahun 2005 (23,54%) dan tahun 2006 (21,63) yang tergolong “Cukup Baik”. Kedua lembaga keuangan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Struktur keuangan keduanya cenderung baik, tetapi pada LKM lebih baik (prosentasenya lebih besar). Kondisi aktiva produktif keduanya cenderung buruk. Likuiditas pada non LKM buruk sedangkan pada LKM cukup baik. Efisiensi pada non LKM justru memburuk sedangkan pada LKM justru membaik. Rentabilitas (Rasio laba tahun berjalan terhadap aset) pada keduanya cukup baik, sedangkan (Rasio laba tahun berjalan terhadap total modal) pada non LKM memburuk dan pada LKM cukup baik. Secara keseluruhan analisis keuangan pada LKM lebih baik dibandingkan pada non LKM, terutama pada tingkat pengembalian. Tetapi perbedaan keduanya tidak terlalu nyata..
3. Analisis Strategi Pemasaran a. Analisis Lingkungan Internal Dari hasil analisis mengenai lingkungan internal berupa kekuatan dan kelemahan LKM Swamitra Mina, didapatkan beberapa faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan, yaitu : 1)
Kekuatan i. Kejujuran dan dedikasi yang tinggi dari pihak pengelola LKM Swamitra
Mina,
yang
merupakan
kunci
utama
bagi
berkembangnya LKM tersebut, karena tanpa adanya kejujuran akan ditemui banyak kecurangan yang merugikan nelayan akibat adanya kepentingan pribadi di dalam LKM. Sedangkan dedikasi akan memacu petugas dan pengelola LKM untuk terus memikirkan kepentingan nelayan dan mencukupi kebutuhan nelayan melalui LKM, sehingga diharapkan dengan adanya dedikasi tersebut agar kehidupan nelayan semakin membaik dan LKM terus berkembang. ii. Dana LKM yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sehingga ada jaminan kontinuitas dana. Tanpa
71
adanya jaminan kontinuitas dana, maka hal ini merupakan hal yang sia-sia, karena tidak ada juga jaminan untuk kemajuan nelayan. Dengan adanya jaminan kepastian aliran dana, maka nelayan juga akan semakin percaya dan mantap untuk memanfaatkan fasilitas/produk LKM Swamitra Mina. iii. Adanya sistem bagi hasil antara pengelola dengan penerima dana Dari keuntungan bersih yang diperoleh setiap akhir tahun dibagikan kepada anggota dihitung pershare. Bertujuan sebagai antisipasi dari penawaran pinjaman yang dilakukan rentenir dan dapat merangsang masyarakat nelayan untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk disimpan di LKM Swamitra Mina. iv. Penyediaan fasilitas dan kebutuhan nelayan oleh LKM Swamitra Mina yang merupakan bukti nyata dari kepedulian LKM Swamitra Mina terhadap kebutuhan dan kemajuan nelayan, serta perbaikan ekonomi masyarakat nelayan. v.
Pemberian reward kepada nelayan dengan performa baik. Hal ini merupakan kegiatan promosi yang menarik bagi nelayan di Kabupaten Cirebon, sehingga dengan adanya sistem reward tersebut, nelayan akan semakin terpacu untuk bekerja dengan giat, sehingga terjadi peningkatan kinerja dalam hal pelunasan pinjaman.
vi.
Adanya program pengentasan kemiskinan. Secara periodik LKM Swamitra Mina bekerjasama dengan BUKOPIN meluncurkan dana murah yang diperuntukan untuk nelayan dengan permodalan terbatas, yaitu pinjaman dengan tingkat bunga paling murah dengan rerata tingkat bunga 4,5 % per tahun.
2) Kelemahan i. Sistem pemasaran tidak dilakukan secara sporadis, tetapi hanya berita dari mulut ke mulut/ketok tular.
72
ii. SDM kurang handal terutama dalam hal mengelola keuangan di LKM Swamitra Mina. Uang yang sudah mengendap hanya sebagai deposito saja dan tidak dirotasikan kembali, padahal uang tersebut berpotensi untuk disalurkan melalui SBI, Deposit on Call (DOC). iii. Produk LKM hanya berupa produk simpan pinjam, sedangkan kebutuhan dari masyarakat cukup beragam antara lain perlunya pemberian bantuan secara fisik, misalnya pemberian jaring untuk menangkap ikan. iv. Pencatatan keuangan dilakukan secara sederhana Pembukuan dan laporan keuangan masih dilakukan stand alone, dan masih terdapat registrasi cash flow dilakukan secara manual, meskipun telah tersedia perangkat v. Hal ini kadangkala menyebabkan kesulitan dalam pengurusan administrasi peminjaman dan pelunasan, sehingga pengurusannya membutuhkan waktu lama yang menyebabkan nelayan kadang enggan dan lebih memilih jalan pintas untuk mendapatkan pinjaman walaupun kadang berisiko tinggi. vi. Pembinaan hanya diberikan kepada nelayan perwakilan yang mengakibatkan adanya perbedaan pengetahuan dan ketrampilan, karena apa yang disampaikan oleh LKM terhadap nelayan perwakilan biasanya tidak sama dengan apa yang diberikan nelayan perwakilan tersebut kepada anggota kelompok yang lain akibat hilangnya beberapa informasi. vii. Bantuan sebagian besar diberikan kepada nelayan-nelayan yang dikenal oleh pengelola, sehingga dari kejadian ini, timbul persepsi ketidakadilan dan juga terjadi ketimpangan antara nelayan pemanfaat dan non-pemanfaat terutama dari segi ekonomi.
b. Analisis Lingkungan Eksternal Hasil analisis lingkungan eksternal berupa peluang dan ancaman, maka lingkungan eksternal yang dihadapi oleh LKM Swamitra Mina adalah :
73
1) Peluang i. Hasil tangkapan yang cukup potensial. ii. Dengan masih berlimpahnya potensi perikanan dan perairan di Kabupaten Cirebon, maka semakin terbuka lebar peluang nelayan untuk berusaha dan terus mendapatkan uang untuk memutar modal dan terutama melunasi pinjaman dari LKM. iii. Kemudahan dalam menjalin kerjasama dengan bank-bank, antara lain Bank Bukopin dan saat ini meluas kepada bank-bank pembangunan daerah dalam hal pendanaan iv. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelola yang sudah mulai tumbuh, hal ini dibuktikan dengan kenaikan simpanan masyarakat nelayan pada LKM Swamitra Mina dari tahun ke tahun. v. Meningkatnya kebutuhan modal para nelayan dapat dilihat dari PYD pada laporan keuangan tahun 2004 dan 2005 dengan rerata peningkatan 300 %, sedangkan pada tahun 2006 sedikit mengalami penurunan. vi. Dicanangkannya pola makan sehat melalui program makan ikan, melalui penyuluhan dari tingkat desa sampai kabupaten. vii.Dukungan yang diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan serta Pemerintah Daerah setempat, termasuk kelurahan dan kecamatan yang semakin memantapkan nelayan untuk memilih menjadi nasabah LKM Swamitra Mina. Diharapkan dengan adanya dukungan dari pihak-pihak tersebut, maka kebutuhannya akan semakin diperhatikan.
2) Ancaman i. Adanya rentenir di masyarakat dilatar belakangi oleh wawasan masyarakat nelayan yang masih sempit serta kebutuhan akan modal yang mendesak bahwa meminjam kepada rentenir lebih mudah prosesnya dibandingkan kepada Bank atau LKM.
74
ii. Sistem ijon yang masih berjalan dari tengkulak, masyarakat nelayan lebih memandang bahwa telah terjadi hutang budi kepada pemilik dana yang merasa dibantu kebutuhannya pada saat paceklik. iii. Program serupa yang menawarkan berbagai fasilitas dan kemudahan, biasanya banyak ditawarkan oleh para tengkulak untuk memenuhi kebutuhan sekunder dari masyarakat nelayan, dimana pembayarannya diperhitungkan dengan hasil tangkapan yang akan dijual kepada tengkulak tersebut. iv. Wawasan masyarakat yang masih sempit, pembinaan dan sosialisai mengenai koperasi dan LKM dari instansi terkait masih sangat kurang. v. Lemahnya kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, kurangnya perhatian Pemda setempat untuk pemberdaayn LKM dan Koperasi, Selama ini, baik LKM maupun Koperasi dapat berjalan beredasarkan ketokohan. vi. Kenaikan harga BBM yang terus melambung, hasil tangkapan yang tidak menutupi dengan harga BBM yang terus meningkat, menjadi peluang bagi para pelaku rente dan ijon.
3.3. Analisis SWOT Analisis SWOT digunakan sebagai marketing framework untuk membantu LKM meningkatkan eksistensi LKM dan mencapai kesuksesan. Kekuatan (S) dan Kelemahan (W) adalah faktor internal yang dapat dikontrol oleh perusahaan. Sedangkan Peluang (O) dan Ancaman (T) adalah faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol.
75
Tabel 13. Matriks IFE Bobot (a)
Rating (b)
Skor (a x b)
Kejujuran dan dedikasi yang tinggi dari pihak pengelola
0,077
3,611
0,278
2.
Jaminan kontinuitas dana
0,088
3,889
0,342
3.
Adanya sistem bagi hasil dengan pengelola
0,057
1,556
0,089
4. 5.
Penyediaan fasilitas dan kebutuhan nelayan Pemberian reward kepada masyarakat nelayan dengan performa baik
0,085
3,722
0,316
0,074
2,889
0,215
6.
Pembuatan program pengentasan kemiskinan
0,084
3,611
0,302
7.
Sistem pemasaran tidak sporadis
0,083
3,611
0,301
8.
SDM kurang handal
0,065
2,944
0,192
0,069
1,500
0,104
0,052
1,222
0,063
0,083
4,000
0,333
0,090
4,000
0,361
A. FAKTOR INTERNAL 1.
9. Produk LKM hanya simpan pinjam 10. Pencatatan keuangan dilakukan secara sederhana 11. Pembinaan hanya diberikan kepada nelayan perwakilan 12. Bantuan hanya diberikan kepada nelayannelayan yang dikenal oleh pengelola Jumlah (A)
3,265
Faktor kelemahan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah pembinaan yang hanya diberikan kepada nelayan perwakilan dan sistem pemasaran yang tidak sporadis. Hal ini tentu saja harus ditangani dengan serius, karena model pembinaan yang seperti itu akan menyebabkan keterlambatan pengembangan kemampuan dan keterampilan nelayannelayan lain. Langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah perlu adanya pelatihan secara berkala untuk seluruh anggota nelayan pemanfaat dan perlu adanya buku panduan secara lengkap yang akan lebih melengkapi proses pembelajaran seluruh nelayan. Sistem pemasaran yang hanya melalui cara ketok tular atau dari mulut ke mulut (word of mouth), menyebabkan kurang efektifnya
76
program promosi yang dilakukan oleh LKM Swamitra Mina. Hal ini akan berpengaruh terhadap nelayan karena tidak semua nelayan mengetahui adanya LKM tersebut dan pada akhirnya program peningaktan mutu hidup nelayan tidak merata. Hal ini harus segera diperbaiki dengan melakukan kegiatan promosi secara lebih agresif.
Tabel 14. Matriks EFE B. FAKTOR EKSTERNAL 1. 2. 3.
Hasil tangkapan yang cukup potensil Kemudahan dalam menjalin kerja sama dengan Bank- bank Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelola yang sudah mulai tumbuh
Bobot (a)
Rating (b)
Skor (a x b)
0,119
3,556
0,422
0,120
4,000
0,481
0,109
3,556
0,389
Meningkatnya kebutuhan modal para nelayan Dicanangkannya pola makan sehat melalui makan ikan yang meningkatkan gairah nelayan
0,098
3,111
0,306
0,067
3,111
0,209
6.
Adanya rentenir yang masih ada di masyarakat
0,078
4,000
0,312
7. 8.
Sistem ijon yang masih berjalan dari tengkulak Program serupa yang menawarkan berbagai fasilitas dan kemudahan
0,082
4,000
0,328
0,065
4. 5.
3,667
0,237
9. Wawasan masyarakat yang masih sempit 10. Lemahnya infrastrutur kelembagaan sosek masyarakat
0,080
3,833
0,308
0,083
3,722
0,307
11. Kenaikan harga BBM yang terus melambung
0,098
4,000
0,394
12. Dukungan DKP dan Pemda
0,092
4.000
Jumlah (B)
0,369 3,694
Dari hasil pengamatan lingkungan di luar LKM Swamitra Mina, didapatkan hasil adanya peluang yang dapat dimanfaatkan oleh LKM Swamitra Mina, yaitu peluang terbesar adalah kemudahan dalam menjalin kerjasama dengan bank-bank yang nantinya dapat membuka tingkat kepercayaan masyarakat yang besar terhadap pengelola LKM, misalnya semakin meningkatnya simpanan masyarakat sejak tahun 2004 diakibatkan peningkatan nyata pada pertengahan sampai akhir tahun 2006. Dengan demikian merupakan celah untuk meningkatkan ekspansi
77
pinjaman dan peluang untuk mengembangkan produk yang telah ada di LKM Swamitra Mina dimana produk simpanan tidak hanya terbatas pada simpanan biasa dan simpanan berjangka. Ancaman yang berpengaruh paling besar adalah kenaikan BBM yang terus melambung, BBM merupakan kebutuhan utama bagi masyarakat nelayan, karena daya beli terhadap BBM sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan, baik secara mutu maupun kuantitasnya, karena kenaikan BBM merupakan kebijakan pemerintah pusat dan sulit dihindari maka sebaiknya Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kodya Cirebon memberikan bantuan semacam subsidi silang, khususnya untuk masyarakat nelayan menengah ke bawah atau pemerintah sudah mulai mengenalkan bahan bakar alternatif sebagai salah satu solusi menjawab kenaikan BBM. Jika diperhatikan dari Tabel 15, dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi kekuatan utama bagi LKM Swamitra Mina adalah adanya dukungan dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Hal ini tentu saja berpengaruh sangat besar, terutama terhadap kelancaran dan pengembangan LKM tersebut. Diharapkan dengan adanya dukungan tersebut, maka terjadi kemajuan di dalam LKM, terutama dari segi pelayanan dan penyediaan fasilitas bagi nelayan yang pada akhirnya akan mempengaruhi perbaikan dan peningkatan mutu hidup kelompok nelayan. Secara langsung, dengan adanya dukungan ini terjadi jaminan kontinuitas dana bagi LKM Swamitra Mina dan tentu saja bagi nelayan.
78
Tabel 15. Matriks SWOT Weaknesses (W)
Strengths (S)
IFAS
1. Kejujuran dan dedikasi yang tinggi dari pihak LKM. 2. Ada jaminan kontinuitas dana. 3. Sistem bagi hasil pengelola dengan nelayan 4. Pemberian penghargaan kepada nelayan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
EFAS
Sistem pemasaran tidak sporadis SDM kurang handal Produk LKM hanya berupa produk simpan pinjam Pencatatan keuangan secara sederhana Pembinaan hanya kepada perwakilan Bantuan hanya untuk nelayan yang sudah dikenal
Opportunities (O) • 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Hasil tangkapan cukup potensil Kemudahan menjalin kerja sama dengan Bank-bank Tingkat kepercayan mulai tumbuh Meningkatnya kebutuhan modal nelayan Dukungan DKP dan Pemda Pembuatan program pengentasan kemiskinan Dicanangkannya program makan ikan
• • • •
Memperluas jaringan kerjasama dengan pihak pemerintah dan bank untuk mengembangkan LKM (S1, S2, O1, O2) Peningkatan jumlah kredit (S2, O2O5, O6, O7) Promosi berkelanjutan (S3, S4, O3) Ekspansi pinjaman secara meluas S4,O3,O4) Program pembelian ikan oleh LKM dengan harga yang bersaing (S4, O4,O5)
• • • •
Perbaikan sistem pemasaran, terutama promosi merata dan berkeadilan (W1, W6, O3, O4, O5) Mengedukasi pengelola melalui pelatihan-pelatihan dan pembinaan (W2, W4, O2, O5) Pengembangan produk sesuai dengan kebutuhan nelayan (W3, O2) Pembinaan menyeluruh secara berkala untuk semua anggota anggora kelompok nelayan pemanfaat (W5, O3)
Threats (T) 1. 2. 3.
4. 5.
6.
• Adanya rentenir yang di masyarakat Sistem ijon dari tengkulak Program serupa yang • menawarkan berbagai fasilitas dan kemudahan Wawasan masyarakat masih • sempit Lemahnya infrastruktur kelembagaan sosial ekonomi masyarakat Kenaikan BBM yang terus melambung
Sosialisasi yang lebih agresif dan • meluas mengenai keuanikan dan kelebihan program-program LKM Swamitra Mina (S1-S6, T1-T4) Penataan infrastruktur kelembagaan • masyarakat dengan bantuan pihak Pemerintah (S3, T5) Pengenalan bahan bakar alternatif • sebagai salah satu solusi menjawab kenaikan BBM oleh Pemerintah/pihak yang kompeten (S3, T6)
Perlu diadakan pendekatan personal yang lebih intensif untuk membuka wacana dan meningkatkan kesadaran nelayan (W1, T1, T2, T4) Peninjauan kembali regulasi yang memberatkan dan menghambat kemajuan nelayan (W2, W3, T5, T6) Pengembangan dan peningkatan mutu program LKM Swamitra Mina (W3, W4, W5, W6, T3)
Matriks di bawah ini menggambarkan nilai skor IFE 3,265 dan EFE 3,694 (Gambar 2) sehingga posisi LKM Swamitra Mina berada pada kuadran I yang berarti dapat terus dikembangkan/dibangun. karena posisi perusahaan berada pada kuadran I, maka strategi yang harus dilakukan adalah growth-oriented strategy atau pengembangan pasar
79
yang intensif dengan menggalang kekuatan pihak luar dalam mendukung modal dan kelembagaan. Matriks ini juga menggambarkan bahwa LKM Swamitra Mina mempunyai tingkat keunggulan dalam faktor internal, terutama kekuatan (jumlah total skor 1,911) namun juga menghadapi ancaman yang dinilai cukup tinggi oleh responden (jumlah total skor 1,887) . Dengan diketahuinya faktor yang mendominasi, maka hal yang paling penting bagi LKM Swamitra
Mina
adalah bagaimana
menggunakan kekuatan untuk menghadapi ancaman yang ada. Total Skor IFE 4,0
Tinggi
3,0
Kuat
Rata-rata
2,0
Lemah
1,0
(3,265:3,694)
II
III
GROWTH
GROWTH
RETRENCHMENT
V
VI
STABILITY
GROWTH/SBLT
RETRENCHMENT
VII
VIII
IX
GROWTH
GROWTH
RENTRENCHMENT
Total Skor EFE
3,0
IV
Sedang
2,0
Lemah
1,0
Gambar 2. Posisi LKM Swamitra Mina berdasarkan Matriks SWOT Keterangan : I, II, IV
= Grow and build
III, V, VII = Hold and maintain VI, VII, IX = Harvest and divesture
80
3.4. Analisis diagram Radar Diagram radar (spider chart) merupakan cara sederhana untuk menentukan apakah suatu sebab akibat terjadi di antara dua peubah. Diagram ini berguna untuk menunjukkan hubungan antara titik-titik yang dipetakan dan menggambarkan hubungan antara dua peubah. Diagram ini juga membantu memeriksa korelasi dari penyebab yang kontinyu terhadap suatu karakteristik mutu. Diagram radar digunakan untuk membandingkan analisis pemasaran pada LKM Swamitra Mina secara eksternal dan internal (Gambar 3). Sebuah radar chart digunakan untuk menunjukkan ukuran gap lima sampai sepuluh area kinerja organisasi (Gambar 3 dan 4). Gambar diagram ini menunjukkan kategori penting sebuah kinerja dan membuat konsentrasi yang nyata tentang kekuatan dan kelemahan lembaga keuangan.
A 250 200 150 100 50 0
E
D
B LKM Non LKM
C
Sumber : DKP, 2006 (data diolah kembali). Gambar 3. Diagram Radar Rasio Keuangan LKM Swamitra Mina dan Non LKM di Kabupaten Cirebon Keterangan : A = Rasio total pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan diberikan B = Rasio total pembiayaan terhadap total dana yang diterima dari anggota C = Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) D = Rasio laba tahun berjalan terhadap aset E = Rasio laba tahun berjalan terhadap total modal
Dari Gambar 3 di atas terlihat jelas bahwa dalam operasionalnya LKM Swamitra Mina lebih efisien dari non LKM. Demikian pula halnya dengan kemampuan
81
menghasilkan laba, LKM Swamitra Mina mempunyai kemampuan menghasilkan laba yang lebih Tinggi dibandingkan dengan Non LKM.
SM2‐2006
SM1‐2004 1000 800 600 400 200 0
5M1‐2006
SM2‐2004 LKM Non LKM SM1‐2005
SM2‐2005
Sumber : DKP, 2006 (data diolah kembali)
Gambar 4. Diagram Radar rasio total modal terhadap simpanan pada LKM Swamitra Mina dan Non LKM di Kabupaten Cirebon Rasio total modal terhadap simpanan merupakan cerminan kemampuan lembaga keuangan untuk menarik nasabah. Dari Gambar 4 terlihat bahwa LKM Swamitra Mina semakin terlihat memperoleh kepercayaan dari nasabahnya. Sedangkan Gambar 5 memperlihatkan perkembangan struktur modal, efisiensi operasi dan kemampuan menghasilkan laba yang semakin baik dibandingkan dengan non LKM.
Dalam juta rp
1000 800 600 400 200 0 L K M 2005
L K M 2006
N O N L K M 2005
S T R U K T U R MO D A L
BOPO
NO N L K M 2006 R OE
Gambar 5. Diagram Batang struktur modal, BOPO dan ROE Pada LKM Swamitra Mina dan Non LKM di Kabupaten Cirebon
82
Kinerja pemasaran lembaga keuangan dapat dilihat dari kemampuan menambah nilai perolehan dan jumlah nasabah.atau kemampuan menambah jumlah simpanan dan kredit yang disalurkan baik dari sisi nilai maupun jumlah nasabah yang
Jumlah transaksi (juta rp)
terlibat
8000,00 8000 7000,00 7000 6000,00 6000 5000 5000,00 4000 4000,00 3000 3000,00 2000 2000,00 1000 1000,00 0 0,00
6702,80
7024,28 5438,55
3183,87
5438,55 3183,87
500,97 S M1‐2005
S M2‐2005
P injaman yang dis alurkan
S M1‐2006
1027,74
S M2‐2006
J umlah S impanan
Gambar 6. Diagram Batang jumlah pinjaman yang disalurkan dan jumlah simpanan pada LKM Swamitra Mina semester I 2005 s/d semester II 2006 di Kabupaten Cirebon (dalam Jutaan Rupiah).
Dari Gambar 6 dan 7 terlihat bahwa meskipun lebih baik dari non LKM, kemampuan LKM Swamitra Mina pada periode semester I 2005 s/d semester II 2006 mengalami penurunan dalam
hal kemampuan menyalurkan kredit dan
penurunan jumlah simpanan baik dari sisi nilai rupiah maupun jumlah nasabahnya.
Jumlah Nasabah
83
Gambar 7. Diagram Batang jumlah peminjam dan penabung pada LKM Swamitra Mina semester I 2005 s/d semester II 2006 di Kabupaten Cirebon Eskpansi pemasaran yang efektif akan menyebabkankan kepercayaan yang tinggi para nasabah untuk cenderung menggunakan LKM. Pemasaran yang efektif akan berpengaruh terhadap tingkat efisiensi keuangan yang dipergunakan untuk memasarkan produk. Secara keseluruhan pada Gambar 5 menunjukkan bahwa LKM lebih efisien dalam mengelola keuangan yang salah satu bagiannya adalah aspek pemasaran. Keberhasilan pemasaran juga akan terlihat dari kemampuan Lembaga untuk menghasilkan laba. Kedua lembaga diatas tidak terlalu nyata perbedaannya terhadap tingkat laba namun LKM lebih baik. Strategi pemasaran yang disusun dalam pelaksanaannya perlu diuji untuk mengetahui tepat atau tidak, hal yang dimaksud tersebut, Hal ini akan tercermin dari tingkat penjualan, pangsa pasar yang dikuasai dan biaya yang dikorbankan. Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan strategi pemasaran yang disusun, maka dibutuhkan kesiapan organisasi LKM dan pelaksanaannya. Dalam rangka itu perlu dibuat kerangka organisasi yang jelas, efisien dan memuaskan bagi personalianya. Selanjutnya personalia organisasi LKM harus diseleksi dengan baik untuk mendapatkan tenaga yang benar-benar bermutu, terampil dan mempunyai kemampuan.
84
Diagram radar dapat dijadikan rekomendasi tentang konsep pemasaran yang seharusnya dijalankan LKM, yaitu konsep berwawasan pemasaran. Konsep ini berpendapat bahwa kunci untuk mencapai tujuan industri terdiri dari penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran serta memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien daripada saingannya. Konsep berwawasan pemasaran bersandar pada empat pilar utama, yaitu pasar sasaran, kebutuhan nasabah, pemasaran yang terkoordinir dan keuntungan. Dalam menjamin kemampuan suatu LKM bertahan di era global, khususnya mencari pasar, perlu diterapkan Manajemen Mutu Total yang didasarkan pada tiga hal, yaitu Voice of Customer, Voice of Employee dan Voice of Process.Voice of Customer, manajemen mutu total yang melihat nasabah sebagai salah satu aset usaha terpenting. Bahkan dapat dikatakan bahwa suatu LKM ada karena diterima oleh nasabah, maka persaingan usaha adalah dalam kemampuarmya mendengarkan " Voice of Customer" dan mencoba memenuhinya secara lebih baik. Selaras dengan falsafah mengenai pelanggan. maka manajemen mutu total juga memberikan perhatian yang luar biasa dalam pemberdayaan karyawan (empowerment). diantaranya penghapusan atas atasan-bawahan, keterbukaan atas rahasia LKM dan mengembangkan setiap karyawan agar dapat bertindak sebagai pengusaha atau presiden direktur melalui pengelolaan voice of employe sebagai prediktor yang baik dan efisiensi industri (future costs). Setelah voice of customer dan voice of employee dapat dipenuhi melalui proses kerja organisasi yang memadai, atau lebih tepat dapat mengantisipasi masa depannya (future sales – future costs = future profit), maka diperlukan voice of process yang dapat mengintegrasikan potensi-potensi dari pengelolaan kedua voice sebelumnya kedalam sistem kerja yang mempunyai tatacara, kinerja, target dan ambisi yang maksimal.
85
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Sistem pemasaran melalui cara ketok tular atau dari mulut ke mulut (word of mouth) kurang efektif. Hal ini harus segera diperbaiki dengan melakukan kegiatan promosi secara lebih agresif sehingga program peningaktan mutu hidup nelayan bisa merata. 2. Dari identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal dapat diketahui kekuatan LKM Swamitra Mina diantaranya terdapat jaminan kontinuitas dana, dukungan dari DKP dan Pemda serta kejujuran dan dedikasi yang tinggi dari pengelola. Sedangkan kelemahannya sistem pemasaran yang tidak sporadis, SDM yang kurang handal dan pembinaan hanya diberikan kepada perwakilan. Akan tetapi LKM dapat menangkap peluang dari sekitar masyarakat nelayan yaitu hasil tangkapan yang cukup potensial, meningkatnya kebutuhan modal nelayan serta peluang yang diberikan dari instansi lain berupa kemudahan menjalin kerja sama dengan bank-bank dan tingkat kepercayaan yang mulai tumbuh. Dari peluang-peluang yang dapat ditangkap oleh LKM masih terdapat ancaman di sekitar masyarakat pesisir, yaitu masih adanya rentenir dan sistem ijon dari tengkulak yang disebabkan oleh wawasan masyarakat yang masih sempit dan kenaikan BBM yang terus melambung merupakan ancaman bagi masyarakat nelayan yang tidak bisa dihindari. 3.
Dari hasil identifikasi faktor internal dan eksternal yang kemudian dirumuskan melalui analisa SWOT, didapatkan beberapa alternatif strategi berikut : a. Strategi SO : dipertimbangkan berdasarkan kekuatan yang dimiliki LKM Swamitra Mina dan berbagai peluang yang ada yakni, hasil tangkapan nelayan yang cukup potensial, kemitraan untuk memperoleh dukungan dana, adanya kebutuhan modal nelayan yang semakin meningkat dan tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap LKM Swamitra Mina, maka strategi yang perlu dilakukan adalah memperkuat jaringan kerjasama untuk memperoleh dukungan dana bagi permodalan LKM, meningkatkan kegiatan promosi dan sosialisasi untuk memperluas pasar .
86
b. Strategi ST : sosialisasi yang lebih agresif dan meluas mengenai kelebihan dan keunikan program-program LKM Swamitra Mina, penataan infrastruktur kelembagaan masyarakat dengan bantuan pihak pemerintah dan pengenalan bahan bakar alternatif sebagai salah satu solusi menjawab kenaikan BBM oleh pihak yang berkompeten. c. Strategi WO : perbaikan sistem pemasaran, terutama promosi yang merata, mengedukasi pengelola melalui pembinaan dan pelatihan, pengembangan produk sesuai dengan kebutuhan nelayan, serta pembinaan menyeluruh secara berkala untuk semua anggota kelompok nelayan pemanfaat. d. Strategi WT : perlu diadakan pendekatan personal yang lebih intensif untuk membuka wacana dan meningkatkan kesadaran nelayan, meninjau kembali
regulasi
yang
memberatkan
dan
menghambat
nelayan,
pengembangan dan peningkatan mutu program LKM Swamitra Mina
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, disarankan kepada LKM Swamitra Mina untuk : 1. Memanfatkan dukungan lembaga/pihak lain untuk memperoleh kontinuitas dan tambahan modal bagi pengembangan LKM Swamitra Mina kedepan. Kerjasama dalam pola kemitraan saling menguntungkan yang solid sangat diperlukan untuk menjamin kelancaran jalannya usaha LKM Swamitra Mina. 2. Meminimalisasi
ancaman
yang
mungkin
terjadi
seperti
penurunan
penangkapan nelayan atau hal lain yang dapat mengganggu kelancaran pembayaran kredit dari para nelayan. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan turut membantu nelayan dengan memberikan berbagai pelatihan teknologi penangkapan maupun pengetahuan lain yang berkaitan dengan kehidupan para nelayan. Kedekatan emosional dan pengetahuan yang mendalam tentang nasabah akan sangat membantu dalam memecahkan berbagai persoalan yang timbul dari para nasabah, serta dapat dicari solusinya sebaik mungkin. 3. Perlunya strategi pemasaran yang lebih baik dalam rangka memperluas jaringan melalui berbagai program khusus yang dirancang secara matang dengan kemasan yang menarik dengan evaluasi dan monitoring yang seksama.
87
Program-program khusus yang dibuat perlu diupayakan atas dasar kebutuhan nasabah dan memberikan nilai berarti bagi kehidupan dan usaha para nasabah.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 1999. Laporan Statistik Pertanian. Biro Pusat Statistik (BPS), Jakarta. Bukopin. 2005. Laporan Keuangan. Bukopin, Jakarta. Chaves and Vega. 2003. Banking and Accounting. LAPID Press, New York. DKP 2006. Pedoman Umum Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Jakarta. Kab. Cirebon.2006. Laporan Tahunan Departemen Kelautan dan Perikanan, Cirebon. Dekop dan UKM. 2001. Jurnal Koperasi dan UKM. Departemen dan Usaha Kecil Menengah (Dekop dan UKM), Jakarta. Direktorat PEMP-Ditjen P3K.2005. Laporan Kegiatan UKM. DKP, Jakarta. Ismawan B, dan S. Budiantoro. 2005. Mapping Microfinance in Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat : hal. 17. Jauck, R.L. dan R.W. Glueck. 1988. Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan (Terjemahan). Erlangga, Jakarta. Kusnadi, S. dkk,. 2006. 6 Tahun Program PEMP : Sebuah Refleksi. Direktorat Pemberdayaan Masyaraka Pesisir, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pula-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kotler P., 2000. Strategi Pemasaran. (Terjemahan), Ghalia Indonesia, Jakarta. . dan G. Amstrong. 1999. Prinsip-Prinsip Pemasaran (Terjemahan). Erlangga, Jakarta. LEPP-M3, 2006. Kumpulan Laporan Keuangan LEPP-M3 dan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Gramedia Widiasarana, Jakarta. Masyhuri. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Yogyakarta. . 1999. Ekonomi Nelayan dan Kemiskinan Struktural, dalam Masyhuri (ed): Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi: Telaahan terhadap sebuah Pendekatan. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI. Jakarta. Menegkop dan UKM. 2004. Data Koperasi 1999 – 2004. Kantor Menteri Negara dan UKM (Kemenegkop dan UKM), Jakarta Pearce, J.A. and R.B. Robinson. 2001. Marketing: Sistem Pemasaran Terpadu (Terjemahan). Pustaka Quantum, Jakarta.
88
Purnomo, H.S. dan Zulkieflimansyah. 1999. Manajemen Strategi : Sebuah Konsep Pengantar. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Rangkuti, F. 2004. Analisa SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Shankar, R. and G. Conan. 2002. Second Critical Study on Cooperative Legislation and Policy Reform. ICA, RAPA, New Delhi. SMERU, 2000. Lembaga Keuangan Mikro dalam Perspektif Usaha Ekonomi Mikro. Jakarta Syukur, M. 2001. Pengembangan UKM di Indonesia. PT. Gramedia, Jakarta. Yusuf. 1999. Evaluasi Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Pesisir (PEMP). DKP, Jakarta. Wheelen, T. dan J. Hunger. 2000. Strategic Management and Business Policy (Terjemahan). Erlangga, Jakarta.
89
LAMPIRAN
90
Lampiran 1. Kuesioner Kajian
a. Data Umum Nama
:...............................................................................................
Kelompok
:................................................................................................
Alamat
:...............................................................................................
Pekerjaan
: a. Nelayan
b. Pedagang
c. Pengolah
d. Petambak
Pertanyaan : 1. Sejauh ini apakah ada manfaatnya menjadi nasabah di LKM Swamitra Mina ? 2. Apakah dengan menjadi nasabah LKM dapat meningkatkan penghasilan ? 3. Bagaimana kinerja pengelola LKM menurut pendapat anda ? 4. Kemudahan dalam mengakses dana dari LKM ? 5. Bagaimana dukungan dari Pihak DKP maupun Pemda ? 6. Apakah mekanisme pembentukan koperasi berjalan dengan baik ? 7. Apakah komposisi pengurussudah menampung aspirasi perempuan ? 8. Bagaimana menurut anda kinerja keuangan LKM ? 9. Bagaimana mutu LKM menurut nasabah ? 10. Bagaimana perluasan produksi atau hasil bagi nasabah ? 11. Apakah pinjaman yang diberikan LKM dapat memenuhi kebutuhan ? 12. Apakah LKM memberikan keringanan jika terjadi tunggakan ? 13. Bagaimana solusi LKM jika terjadi pinjaman macet ? 14. Pernahkan LKM mengkaji hasil-hasil pemasaran ? 15. Seberapa efektifkah sistem pemasaran ketok tular yang dilakukan LKM ? 16. .Apakah honor atau gaji yang diterima pengeola mencukupi ? 17. Bagaimana LKM memberi pembekalan kepada pemasar ? 18. Pernahkan LKM melakukan studi banding pemasaran dengan instansi lain, misal dengan BUKOPIN atau BPR ? 19. BUKOPIN sebagai mitra pendanaan, pernahkah memberikan pelatihan semacam workshop ? 20. Peran apa saja yang diberikan LKM Swamitra Mina terhadap masayarakat nelayan diluar pemberian pinjaman?
91
Lampiran 2. Pengisian Matrik Berpasangan Faktor Internal dan Eksternal
Petunjuk Pengisian : 1.
Pertanyaan yang diajukan akan berbentuk perbandingan antara suatu unsur yang ada di kolom sebelah kiri dengan unsur yang ada di baris atas.
2.
Jawaban
dari
pertanyaan
tersebut
diberikan
nilai
oleh
respon
berdasarkan tingkat kepentingan dari unsur-unsur yang dibandingkan
3.
Skala penilaian perbandingan berpasangan yang diberikan mempunyai nilai antara 1 -3, atau kebalikkannya.
Identifikasi Kepentingan
Definisi Nilai Jika indikator horizontal kurang penting dari pada
1
indikator vertikal Jika indikator horizontal sama penting dari pada
2
indikator vertikal Jika indikator horizontal lebih penting dari pada
3
indikator vertikal
Lanjutan Lampiran 2
FAKTOR INTERNAL 1. Kejujuran dan dedikasi yang tinggi dari pihak pengelola 2.
Jaminan kontinuitas dana
3.
Dukungan DKP dan Pemda
4.
Adanya sistem bagi hasil dengan pengelola
5. 6.
Penyediaan fasilitas dan kebutuhan nelayan Pemberian reward kepada masyarakat nelayan dengan kinerja baik
7.
Pembuatan program pengentasan kemiskinan
8. 9.
Sistem pemasaran tidak sporadis SDM kurang handal
10. Produk LKM hanya simpan pinjam 11. Pencatatan keuangan dilakukan secara sederhana 12. Pembinaan hanya diberikan kepada nelayan perwakilan 13. Bantuan hanya diberikan kepada nelayannelayan yang dikenal oleh pengelola Jumlah
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
Total
Bobot
64
Lanjutan Lampiran 2
FAKTOR EKSTERNAL 1. Hasil tangkapan yang cukup potensil 2. Kemudahan dalam menjalin kerjasama dengan Bank-bank 3. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelola yang sudah mulai tumbuh 4. Meningkatnya kebutuhan modal para nelayan 5. Dicanangkannya pola makan sehat melalui makan ikan yang meningkatkan gairah nelayan 6. Adanya rentenir yang masih ada di masyarakat 7. Sistem ijon yang masih berjalan dari tengkulak 8. Program serupa yang menawarkan berbagai fasilitas dan kemudahan 9. Wawasan masyarakat yang masih sempit 10. Lemahnya infrastrutur kelembagaan sosek masyarakat 11. Kenaikan harga BBM yang terus melambung Jumlah
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
Total
Bobot
Lanjutan Lampiran 2. Rekapitulasi bobot internal & eksternal FAKTOR INTERNAL A. Kejujuran dan dedikasi yang tinggi dari pihak pengelola B. Jaminan kontinuitas dana C. Dukungan DKP dan Pemda D. Adanya sistem bagi hasil dengan pengelola E. Penyediaan fasilitas dan kebutuhan nelayan F. Pemberian reward kepada masyarakat nelayan dengan performa baik G. Pembuatan program pengentasan kemiskinan H. Sistem pemasaran tidak sporadis I. SDM kurang handal J. Produk LKM hanya simpan pinjam K. Pencatatan keuangan dilakukan secara sederhana
Lumba Lumba
Bawal
Rajungan
0.071
0.067
0.087
Arker
Mina Mandiri
Nelayan
0.083
0.091
0.093
0.080
0.087
0.085
0.083
0.096
0.090
0.071
0.042
0.080
Jumlah
Ratarata
0.071
1.387
0.077
0.087
0.093
1.583
0.088
0.080
0.083
0.099
1.659
0.092
0.071
0.064
0.071
0.045
1.025
0.057
0.096
0.093
0.071
0.080
0.093
1.530
0.085
0.090
0.077
0.067
0.090
0.061
0.080
1.338
0.074
0.077
0.077
0.093
0.090
0.077
0.077
0.093
1.506
0.084
0.087
0.080
0.077
0.083
0.083
0.077
0.096
0.080
1.499
0.083
0.073
0.074
0.067
0.080
0.061
0.067
0.080
0.054
0.071
1.173
0.065
0.051
0.080
0.074
0.083
0.077
0.048
0.061
0.077
0.090
0.061
1.248
0.069
0.048
0.059
0.061
0.080
0.077
0.045
0.038
0.077
0.042
0.054
0.928
0.052
Makmur
Kembung Jaya
Maju Jerbung
Sampit Jaya
Kembung
Subur Makmur
Tunas Jaya
Maju Lancar
Inti Laut
Teri(1)
Layang
Tanjan
0.114
0.074
0.087
0.080
0.007
0.080
0.080
0.080
0.077
0.080
0.080
0.071
0.093
0.119
0.093
0.090
0.090
0.093
0.074
0.077
0.077
0.090
0.093
0.077
0.085
0.099
0.138
0.087
0.097
0.087
0.080
0.087
0.087
0.080
0.106
0.096
0.042
0.052
0.051
0.024
0.054
0.048
0.051
0.080
0.077
0.071
0.064
0.048
0.096
0.096
0.091
0.093
0.052
0.090
0.094
0.096
0.100
0.074
0.064
0.071
0.061
0.071
0.074
0.091
0.077
0.052
0.093
0.074
0.061
0.062
0.077
0.080
0.077
0.083
0.087
0.088
0.080
0.067
0.083
0.084
0.093
0.097
0.083
0.096
0.083
0.090
0.094
0.083
0.067
0.080
0.071
0.083
0.087
0.054
0.074
0.051
0.042
0.058
0.048
0.074
0.071
0.074
0.090
0.080
0.074
0.072
0.058
0.057
0.061
0.055
0.042
0.045
0.045
0.039
0.042
0.048
0.038
0.048
66
Lanjutan Lampiran 2.
FAKTOR INTERNAL L. Pembinaan hanya diberikan kepada nelayan perwakilan M. Bantuan hanya diberikan kepada nelayannelayan yang dikenal oleh pengelola TOTAL
FAKTOR EKSTERNAL A. Hasil tangkapan yang cukup potensil B. Kemudahan dalam menjalin kerja sama dengan Bankbank C. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelola yang sudah mulai tumbuh D. Meningkatnya kebutuhan modal para nelayan
Lumba Lumba
Bawal
Rajungan
0.093
0.090
0.096
Arker
Mina Mandiri
Nelayan
0.090
0.081
0.087
0.093
0.093
0.088
1.000
1.000
1.000
Lumba Lumba
Bawal
0.127
Jumlah
Ratarata
0.080
1.499
0.083
0.096
0.080
1.625
0.090
1.000
1.000
1.000
18.000
1.000
Subur Makmur
Tunas Jaya
Maju Lancar
Inti Laut
Jumlah
Ratarata
0.113
0.114
0.113
0.128
0.127
2.135
0.119
0.108
0.126
0.114
0.113
0.128
0.127
2.162
0.120
0.112
0.113
0.113
0.114
0.113
0.100
0.109
1.967
0.109
0.108
0.095
0.108
0.095
0.095
0.087
0.081
1.772
0.098
Makmur
Kembung Jaya
Maju Jerbung
Sampit Jaya
Kembung
Subur Makmur
Tunas Jaya
Maju Lancar
Inti Laut
Teri(1)
Layang
Tanjan
0.076
0.087
0.090
0.093
0.090
0.074
0.071
0.071
0.087
0.077
0.071
0.093
0.087
0.138
0.087
0.090
0.093
0.093
0.080
0.083
0.077
0.090
0.083
0.077
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
Rajungan
Arker
Mina Mandiri
Nelayan
Makmur
Kembung Jaya
Maju Jerbung
Sampit Jaya
Teri
Layang
Tanjan
Kembung
0.127
0.127
0.127
0.114
0.113
0.114
0.127
0.118
0.118
0.114
0.112
0.104
0.127
0.127
0.127
0.127
0.114
0.113
0.123
0.114
0.118
0.118
0.114
0.126
0.114
0.118
0.100
0.109
0.114
0.113
0.114
0.095
0.105
0.105
0.109
0.114
0.109
0.086
0.082
0.095
0.095
0.105
0.105
0.105
0.105
0.105
67
Lanjutan Lampiran 2. FAKTOR EKSTERNAL E. Dicanangkannya pola makan sehat melalui makan ikan yang meningkatkan gairah nelayan F. Adanya rentenir yang masih ada di masyarakat G. Sistem ijon yang masih berjalan dari tengkulak H. Program serupa yang menawarkan berbagai fasilitas dan kemudahan I. Wawasan masyarakat yang masih sempit J. Lemahnya infrastrutur kelembagaan sosek masyarakat K. Kenaikan BBM yang terus melambung TOTAL
Lumba Lumba
Bawal
Rajungan
Arker
Mina Mandiri
Nelayan
Makmur
Kembung Jaya
Maju Jerbung
Sampit Jaya
Teri
Layang
Tanjan
Kembung
Subur Makmur
Tunas Jaya
Maju Lancar
Inti Laut
Jumlah
Ratarata
0.055
0.059
0.068
0.064
0.059
0.059
0.064
0.064
0.064
0.055
0.068
0.108
0.059
0.108
0.059
0.068
0.064
0.068
1.209
0.067
0.077
0.073
0.086
0.082
0.077
0.077
0.082
0.082
0.086
0.077
0.086
0.058
0.081
0.059
0.077
0.077
0.087
0.081
1.406
0.078
0.077
0.086
0.082
0.082
0.082
0.081
0.082
0.077
0.082
0.091
0.086
0.081
0.086
0.077
0.082
0.081
0.082
0.081
1.478
0.082
0.055
0.068
0.059
0.064
0.059
0.072
0.068
0.064
0.059
0.064
0.055
0.081
0.077
0.081
0.059
0.059
0.059
0.063
1.164
0.065
0.077
0.068
0.077
0.082
0.091
0.090
0.082
0.082
0.086
0.082
0.086
0.058
0.086
0.059
0.091
0.090
0.078
0.081
1.446
0.080
0.077
0.068
0.082
0.082
0.086
0.086
0.082
0.091
0.086
0.082
0.077
0.085
0.081
0.086
0.086
0.086
0.082
0.081
1.487
0.083
0.100
0.095
0.105
0.100
0.109
0.104
0.086
0.100
0.091
0.105
0.100
0.072
0.113
0.072
0.109
0.108
0.105
0.100
1.773
0.098
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
18.000
1.000
68