Topik Utama PROSPEK DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI DI INDONESIA Surya Darma Ketua Komtek Energi - Dewan Riset Nasional Indonesia
[email protected]
SARI Potensi Panas Bumi di Indonsia mencapai 29.000 MW yang tersebar di seluruh kepulauan dari Sumatera sampai dengan Papua, sebagai prospek panas bumi yang terbesar di dunia. Dengan potensi yang sedemikian besar, seharusnya peran panas bumi dalam energy mix Indonesia dengan total kebutuhan pembangkitan saat ini sekitar 40 GW, dapat dipenuhi dengan porsi yang juga besar. Masalahnya adalah terlalu banyak tantangan yang dialami dalam pengembangan panas bumi di Indonesia yang menyebabkan perannya baru hanya bisa memenuhi sekitar 4% kebutuhan energi nasional. Beberapa tantangan di antaranya dibahas secara lugas dalam tulisan ini seperti kondisi bauran energi nasional, kebijakan energi nasional, peluang dan keunggulan panas bumi serta harga listrik dari panas bumi. Kata kunci : electrification ratio, energy elasticity, energy (primer) mix, energy sustainability, investasi IPP, jaminan pasokan energi, Kebijakan Energi Nasional
1. LATAR BELAKANG Berdasarkan data Pemerintah, Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, yaitu mencapai 29.000 MW atau sekitar 40% dari potensi panas bumi dunia. Energi panas bumi hanya dapat digunakan untuk konsumsi dalam negeri, terutama dalam pemanfaatan untuk pembangkitan tenaga listrik. Sampai dengan saat ini pada awal tahun 2013, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) baru mencapai 1.326 MW atau sekitar 4% dari total potensi di Indonesia, yang berasal dari 7 proyek panas bumi di Jawa, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara. Sejak krisis keuangan tahun 1997/1998 dan diikuti renegosiasi (penurunan) harga listrik oleh Pemerintah terhadap kontrak-kontrak pembelian listrik panas bumi, praktis sedikit sekali
tambahan kapasitas pembangkit PLTP dari proyek panas bumi yang baru. Tambahan kapasitas PLTP hanya berasal dari pengembangan (extension) 7 proyek panas bumi yang telah ada (existing) yang dikelola Pertamina baik melalui operasi sendiri sejak tahun 1974 maupun melalui Kontrak Operasi Bersama (KOB) sejak 1983 dan hanya ada satu perusahaan baru yang mengelola lapangan baru pada tingkat eksplorasi yaitu Supreme Energy yang melakukan kegiatan sejak tahun 2011 dengan total 15 proyek panas bumi di Indonesia. Penyebab utama tidak berkembangnya panas bumi di Indonesia adalah harga pembelian listrik dari panasbumi oleh PT PLN yang tidak mencapai keekonomian proyek serta berlarutlarutnya proses perizinan baik dalam penggunaan kawasan hutan maupun perizinan lainnya yang melibatkan Pemerintah Daerah.
Prospek dan Tantangan Pengembangan Panas Bumi di Indonesia ; Surya Darma
17
Topik Utama Pemanfaatan Panasbumi sejak tahun 1974 diatur melalui Keppres no.16 Tahun 1974 dan kemudian diubah dengan Keppres No.22 Tahun 1981 dan diubah kembali dengan Keppres No.45 Tahun 1991 dan Keppres No.76 Tahun 2000. Pemerintah selanjutnya telah menerbitkan Undang Undang Nomor 27/2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 59/2007 sebagai landasan hukum pengusahaan panas bumi di Indonesia, berikut beberapa Peraturan Menteri untuk implementasinya. Menteri ESDM telah beberapa kali menerbitkan peraturan tentang harga patokan listrik dari panas bumi yang kemudian ternyata tidak dapat menarik kegiatan investasi. Investor dan pengembang panas bumi sangat berharap agar panas bumi dapat dikembangkan sebagai bagian untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional sebagai mana dicanangkan untuk dapat mengisi sebesar 9.500 MW pada tahun 2025 seperti tertuang dalam rencana bauran energi nasional. Untuk memberikan daya tarik dan memenuhi keekonomian dalam pengembangan panas bumi, Pemerintah telah memberikan perhatian dalam menghitung keekonomian harga listrik dari panas bumi dengan diterbitkannya patokan harga listrik melalui Permen ESDM Nomor 32/2009 pada tanggal 4 Desember 2009 yang lalu, sebagai terobosan dalam menghitung harga keekonomian listrik dari panas bumi sehingga dapat menarik bagi investasi di panas bumi di Indonesia. Dalam rangka memenuhi target kebutuhan energi nasional serta mempercepat pengembangan energi panas bumi pemerintah juga melakukan program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II yang dituangkan dalam Perpres No. 4 Tahun 2010. Peraturan Presiden tersebut menjadi landasan bagi percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan, batubara, dan gas sampai tahun 2014. Melalui Perpres ini Pemerintah bermaksud untuk mempercepat diversifikasi sumber energi pembangkit tenaga listrik ke non bahan bakar minyak, yaitu dengan percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan,
18
batubara, dan gas. Panas bumi sebagai salah satu energi yang termasuk dalam kategori energi terbarukan mendapatkan peran sebesar 3977 MW dalam proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik tersebut. Namun demikian, semua upaya tersebut kelihatannya belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan disebabkan banyaknya tantangan dalam pengembangan panasbumi yang belum diselesaikan dengan baik oleh semua pemangku kepentingan terutama oleh Pemerintah. Untuk keperluan ini, tulisan ini dibuat untuk mengungkap hal-hal yang dirasakan perlu diambil dan dilaksanakan oleh para pembuat kebijakan sehingga dapat mengoptimalkan semua sumber daya energi untuk kesejahteraan rakyat dan negara.
2. KONDISI ENERGI INDONESIA DAN KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL Kebutuhan energi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan mencapai 7-9% per tahun. Saat ini penggunaan energi dalam negeri masih didominasi oleh energi fosil (95,61%) yaitu terdiri dari minyak bumi (49,84%), gas bumi (22,21%), batubara (23,56%), sedangkan energi terbarukan memberikan kontribusi kurang dari 5% yang sebagian besar diperankan oleh PLTA (air) dan PLTP (panas bumi) (Ditjen EBTKE, ESDM, 2011). Tingginya penggunaan minyak bumi dan energi fosil disebabkan karena harga energi ini menjadi lebih murah akibat kebijakan subsidi harga energi. Kebutuhan listrik Indonesia pada umumnya disuplai oleh PLN sebagai satusatunya perusahaan listrik yang dimungkinkan sesuai dengan UU Kelistrikan yang berlaku di Indonesia. Untuk keperluan ini, PLN telah membangun lebih dari 33 GW listrik sebagai kapasitas yang telah terpasang dan kekurangannya masih akan dibangun kembali oleh PLN sesuai dengan Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik 10.000 MW tahap pertama dan 10.000 MW tahap kedua. Selain itu, PLN juga menambah kapasitasnya melalui kontrak dengan perusahaan swasta
M&E, Vol. 11, No. 2, Juni 2013
Topik Utama dengan skema IPP (Independent Power Producers) yang juga masuk dalam program percepatan 10.000 MW tahap I dan II. Kebutuhan listrik ini dirasakan sangat berat untuk dipenuhi mengingat Electrification Ratio Indonesia baru mencapai 75,9%, sementara itu, energy elasticity juga masih tinggi yaitu 2,69, yang berarti sangat tidak efisien dalam penggunaan energi (lihat negara tetangga kita Thailand yang sudah menggapai angka 1,4, dan Singapore 1,1 yang berarti jauh lebih efisien dalam penggunaan energinya) (Ditjen EBTKE, ESDM, 2011). Kebutuhan listrik pada tahun 2011 mencapai 40 GWe, dan meningkat menjadi 90 GWe pada tahun 2025, dan menjadi 400 GWe pada tahun 2050. Dengan demikian, dengan asumsi kondisi pesimis saja maka pada tahun 2025 memerlukan tambahan listrik sebesar 70 GWe dan pada tahun 2050 sebesar 200 Gwe. Kondisi ini menyebabkan perlunya tambahan listrik yang demikian besar untuk sekarang maupun yang akan datang. Besarnya penggunaan minyak bumi dalam bauran energi Indonesia semakin memperparah ketahanan energi kita yang bergantung pada BBM impor yang semakin besar, harga yang cenderung terus meningkat, subsidi yang sulit dihentikan, dan penggunaan energi yang sangat boros, akan membawa kehidupan ke berbagai permasalahan yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Tantangan globalisasi dan reformasi telah membentuk restrukturisasi sektor energi agar dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi. Penggunaan energi nasional meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan nasional jangka panjang di bidang energi yang dapat menjawab beberapa tantangan utama yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia dalam mewujudkan penyediaan energi yang berkelanjutan (energy sustainability). Penyediaan energi berkelanjutan meliputi antara lain: memperluas akses kepada kecukupan pasokan energi, andal dan terjangkau dengan memperhatikan seluruh
sarana/prasarana yang diperlukan (energy security) dan selalu memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Untuk itu perlu dibuat suatu studi perencanaan energi jangka panjang yang dapat memberikan kepastian jaminan pasokan energi yang berkelanjutan. Kondisi ini lebih dikenal dengan istilah trilemma energy. Kebijakan Energi Nasional yang dituangkan dalam Perpres No. 5 tahun 2006, pada prinsipnya, menekankan pada upaya-upaya untuk: – Optimalisasi penggunaan bauran energi (diversifikasi). – Melakukan penghematan dan meningkatkan efisiensi energi (konservasi) – Menggunakan sumber energi baru dan terbarukan yang sudah siap secara teknis maupun ekonomis serta ramah lingkungan, seperti: Bahan Bakar Nabati, Panas Bumi, Solar, angin/bayu, hidro, dll. – Meningkatkan eksplorasi energi fosil (intensifikasi) – Meningkatkan pengembangan dan pembangunan infrastruktur energi, baik disisi hulu maupun disisi hilir – Melakukan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada sektor tersebut di atas, serta melibatkan industri nasional dalam rangka peningkatan kemampuan nasional.
3. BAGAIMANA DENGAN KONTRIBUSI PANAS BUMI DALAM "ENERGY MIX" Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Pemerintah telah menetapkan target kontribusi panas bumi dalam Energy (primer) mix menjadi lebih dari 5% terhadap konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Untuk mencapai sasaran tersebut, sesuai milestone pengembangan panas bumi yang termuat dalam Blue print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025, diperlukan tambahan lebih dari 5.000
Prospek dan Tantangan Pengembangan Panas Bumi di Indonesia ; Surya Darma
19
Topik Utama MW Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) sebelum tahun 2015. Target tersebut bahkan diperbesar kembali dalam rancangan KEN 2010-2050 yang sedang dibahas Dewan Energi Nasional (DEN) yang mencapai 12.500 MW pada tahun 2025, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan target KEN 2006 sebesar 9.500 MW pada tahun yang sama. Untuk memenuhi sasaran ini, Pemerintah melalui Perpres No.4 Tahun 2010 telah menetapkan target pengembangan panas bumi sebesar 3.977 MW (40% dari Rencana Proyek Kelistrikan 10.000MW Tahap Kedua antara tahun 2010 2015). Tetapi tampaknya target ini agak sulit untuk dapat dipenuhi oleh pihak pengembang/investor mengingat banyaknya kendala dalam mencapai target komersial dan beroperasinya PLTP pada waktu yang tepat.
4. PELUANG DAN KEUNGGULAN PANAS BUMI Penetapan panas bumi menjadi pembangkit utama, dibandingkan jenis pembangkit lain, dalam Rencana Proyek 10.000 MW Tahap II merupakan keputusan yang tepat oleh Pemerintah mengingat pertimbanganpertimbangan sebagai berikut, di antaranya potensi panas bumi yang sangat besar di Indonesia, yaitu sekitar 29.000 MW, tersebar di seluruh Indonesia. a. Pengembangan panas bumi, secara total, memberikan nilai tambah yang cukup besar bagi pemerintah walaupun harga listrik panas bumi dianggap "tinggi" apabila dibandingkan dengan pembangkit batubara pada asumsi harga batubara tertentu (Studi JICA/West JEC, 2007). Sementara itu, harga energi panas bumi sangat stabil karena tidak dikaitkan dengan perubahan harga minyak bumi dan kondisi politik dunia. b. Energi panas bumi sangat terbatas lingkup pemanfaatannya. Tidak dapat diekspor, hanya dapat digunakan untuk konsumsi dalam negeri, utamanya dalam penyediaan bahan bakar pembangkitan tenaga listrik. c. Pembangkit listrik panas bumi bebas dari resiko kenaikan (fluktuasi) harga bahan
20
d. e.
f.
g. h. i. j.
bakar fosil serta tidak tergantung dari cuaca, supplier, kesediaan fasilitas pengangkutan dan bongkar muat dalam pasokan bahan bakar. Pengusahaaan panas bumi tidak memerlukan lahan yang luas (no foot print). Tingkat keandalan pembangkit yang tinggi (capacity dan availability factor); menjadi alternatif baseload bagi PLN. Ramah Lingkungan; mendukung kebijakan pemerintah dalam me-response isu global warming. Panas bumi merupakan energi terbarukan. Konservasi bahan bakar fosil. Pemanfaatannya bisa mempunyai waktu yang tidak terbatas. Kebijakan Pemerintah sangat pro pada peningkatan pemanfaatan energi terbarukan dan bahkan dalam proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II memprioritaskan pengembangan panas bumi.
5. TANTANGAN DALAM PENGUSAHAAN PANAS BUMI Pengusahaan geotermal memang mempunyai sifat yang unik. Produksi dari pengusahaan hulu adalah uap panas yang sebagaian besar hanya bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Karena itu, pengusaha hulu panas bumi, sebelum melakukan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi harus yakin bahwa produksi uapnya akan dapat dimanfaatkan dan dibeli dengan harga yang sesuai dengan investasi dan tingkat resiko eksplorasi yang diambil. Dengan demikian, menggabungkan usaha hulu, eksplorasi dan eksploitasi panas bumi, dan hilir, pembangkit tenaga listrik, merupakan satu hal yang logis walaupun dapat saja terjadi sebagian dari uap akan dijual kepada power producer yang lain, seperti terjadi di wilayah Kamojang, Gunung Salak, Drajat dan Lahendong pada masa awal pengembangan panas bumi di Indonesia. Tetapi pengalaman para pengembang yang melakukan negosiasi dan atau penjualan uap di masa lalu, mengalami banyak sekali masalah dengan
M&E, Vol. 11, No. 2, Juni 2013
Topik Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai single buyer ketenagalistrikan di Indonesia, sehingga skema bisnis seperti ini sudah tidak disukai olah para pengembang listrik panas bumi. Sebagai alternatif dikembangkan skema bisnis dengan pola total proyek dari hulu sampai ke hilir dengan membangun pembangkit listrik. Dengan skema ini, pengusaha hulu yakin bahwa tidak ada keterlambatan di dalam pemanfaatan hasil produksi uap. Masalahnya adalah penjualan listrik yang hanya dapat dilakukan kepada satu pembeli yakni PLN, maka PLN adalah "price setter" sedangkan investor adalah "price taker". Karena itu sebelum pengusaha panas bumi melakukan suatu kegiatan atau memutuskan suatu investasi, mulai dari mengikuti tender wilayah kerja panas bumi, sudah harus diketahui berapa harga listrik yang akan diterima kalau mereka berhasil memproduksi uap dan listrik. Ini berbeda dengan tender wilayah kerja pertambangan minyak bumi atau batubara yang produksinya dapat dijual di pasar bebas dengan harga pasar. Karena itu ketika pemerintah melelang Wilayah Kerja panas bumi (WKP), sebaiknya sekaligus dengan pembangunan pembangkit listrik, dengan "harga jual listrik" sebagai penentu pemenang. Penyatuan hulu dan hilir juga akan mempercepat proses pembangunan pembangkit listrik karena investor hulu sudah melakukan perencanaan sejak kegiatan eksplorasi dimulai. Kepastian harga listrik sebelum investor melakukan kegiatan investasi adalah sangat penting mengingat besarnya biaya dan resiko eksplorasi dan eksploitasi panas bumi. Sebagai contoh dan perkiraaan untuk pembangkit sebesar 110 MW diperlukan sekitar US$ 150 juta lebih untuk biaya survei pendahuluan, eksplorasi dan pemboran sumur-sumur produksi dan sumur-sumur injeksi. Tentu tidak mungkin investor harus mengeluarkan dana sebesar itu baru kemudian akan melakukan negosiasi harga listrik setelah pekerjaan hulu selesai. Pengembangan pengusahaan geotermal hulu dan hilir secara terpadu di Indonesia sudah
terbukti dilaksanakan di Wayang Windu, Darajat2, Gunung Salak, Kamojang-4 dan Dieng dengan baik dan bahkan sekarang pada semua lapangan yang baru masuk dalam tahapan pengembangan. Kombinasi antara resiko tinggi di hulu dan resiko sedang dan rendah di hilir dapat merupakan kombinasi yang menarik untuk investor. Yang penting adalah harga jual listrik yang mencerminkan keekonomian dengan tingkat resiko tersebut. Ini semua merupakan tantangan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia. Beberapa hal lain yang dapat dikategorikan sebagai tantangan pengembangan panas bumi adalah: – Harga listrik panas bumi yang dianggap lebih tinggi dari harga listrik dari batubara pada kondisi tanpa memperhitungkan faktor lingkungan, sehingga sulit bersaing secara bebas apalagi dalam keadaan harga energi diberikan subsidi oleh Pemerintah kepada minyak bumi dan energi fosil lainnya. – Belum adanya dan konsistennya formulasi kebijakan fiskal yang dapat menarik bagi para pengembang seperti yang pernah diberikan dalam Keppres No.49 Tahun 1991. – Kondisi politik dan legal yang kondusif bagi kemajuan penggunaan panas bumi. – Perhatian yang serius dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam memberikan kemudahan perizinan dan lain-lain. – Kelanjutan dari kebijakan subsidi harga energi terhadap BBM yang menyebabkan harga energi tidak diperhitungkan sesuai dengan keekonomiannya. – Masih adanya pertanyaan seberapa seriuskah Pemerintah dan kemauan politik dalam memanfaatkan panas bumi. – Kekurangan SDM yang berpengalaman pada semua level baik pengembang, regulator dan peneliti yang kompeten untuk pengembangan panas bumi Indonesia yang demikian besar potensinya. – Tidak adanya teknologi dan dukungan R & D dari Pemerintah dalam pengembangan panas bumi.
Prospek dan Tantangan Pengembangan Panas Bumi di Indonesia ; Surya Darma
21
Topik Utama – –
–
–
Kurangnya kebijakan insentif dalam pengemabangan energi terbarukan. Kurangnya apresiasi terhadap resiko dan upaya mitigasi yang diambil dalam pengembangan panas bumi. Tidak adanya perencanaan energi yang terintegrasi dengan baik sehingga penggunaan panas bumi dapat lebih optimal dan tidak bertentangan dalam perencanaan sektor lainnya. Kurangnya informasi dan publikasi tentang potensi dan keuntungan-keuntungan dalam pengembangan panas bumi Indonesia.
6. MASALAH HARGA BELI TENAGA LISTRIK PANAS BUMI OLEH PLN Masalah yang paling utama yang menghambat pengembangan panas bumi adalah masalah penentuan harga beli tenaga listrik panas bumi oleh PLN (tarif). Untuk dapat memberikan kepastian bagi PLN dalam menentukan harga yang dapat diterima, telah dilakukan beberapa kajian baik oleh Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) maupun oleh beberapa pihak yang independen termasuk JICA. Permen ESDM Nomor 14/2008 dan Nomor 5/ 2009, Permen No.32 Tahun 2009, Permen No.2 tahun 2011 dan Permen No. 22 Tahun 2012 merupakan upaya Pemerintah melalui Menteri ESDM untuk mendapatkan harga patokan listrik yang tepat dari pemanfatan panas bumi. Tetapi dengan banyaknya pertimbangan untuk meyerahkan negosiasi akhir kepada PLN untuk membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS) ataupun menerima hasil tender dengan patokan harga tertinggi dan bahkan dengan menetapkan harga semacam Feed in Tariff (FIT) memperlihatkan bahwa tidak konsistennya mekanisme penentuan harga listrik panas bumi yang harus diterima PLN. Karena itulah, sebaiknya harga listrik panasbumi harus kembali ditetapkan melalui suatu mekanisme yang disebut dengan "Pedoman Penentuan Harga
22
Listrik Panas Bumi" sebagai yang ditetapkan dalam PP No.59 Tahun 2007. Dengan adanya Pedoman ini, maka diharapkan semua pihak akan ‘legawa’ menerima harga listrik dari panas bumi yang tentu saja dianggap sebagai harga yang memenuhi azas keekonomian dan berkeadilan bagi masyarakat dan para stakeholder lainnya. Hal inilah yang seharusnya dipikirkan oleh Pemerintah agar fair bagi semua pihak dan perlu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
7. STUDI ASOSIASI PANASBUMI INDONESIA (API) Kajian internal yang dilakukan API pada tahun 2009 dengan dibantu konsultan independen dan existing producers, telah menghasilkan tarif pembelian harga listrik oleh PLN yang diharapkan dapat menarik investor. Tarif minimal yang menarik untuk investor berdasarkan penelahaan API adalah tarif yang dapat menghasilkan Project IRR sebesar 16%. IRR akan menjadi lebih menarik menjadi 17% jika diperhitungan potensi penerimaan dari hasil penjualan carbon credit melalui Clean Development Mechanism (CDM). IRR tersebut sangat wajar mengingat besarnya resiko investasi yang dihadapi oleh pengembang, termasuk di antaranya resiko eksplorasi, pengembangan dan finansial. Resiko lainnya adalah mencakup resiko PLN selaku pembeli (perceived PLN risk) dan lamanya waktu yang diperlukan untuk pengembangan panas bumi (5-7 tahun). Harga yang diusulkan oleh API adalah sebesar US$ 9,7 cents per Kwh untuk PLTP berkapasitas 110 MW sebagai harga dasar pada tahun-tahun pertama produksi (atau diperkirakan pada tahun 2014/2015) dengan eskalasi menggunakan indeks harga konsumen untuk komponen biaya operasi dan perawatan (atau atas 25% dari harga dasar). Jika menggunakan formulasi eskalasi yang berlaku saat ini pada kontrak existing (Joint Operation Contract), yaitu dengan eskalasi penuh terhadap harga dasar (100%), harga listrik akan lebih rendah menjadi sebesar US$ 8,7 cents per Kwh. Harga ini masih dibawah
M&E, Vol. 11, No. 2, Juni 2013
Topik Utama Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PLN tahun 2009 sebesar US$ 13 cents (Rp 1.300) per Kwh. Tentu saja untuk PLTP berkapasitas lebih kecil, harga tersebut harus disesuaikan atau akan lebih besar dari US$9,7 cents per Kwh. Ambil sebagai contoh adalah hasil studi tentang "Insentif Fiskal dan Non-fiskal Untuk Mempercepat Pengembangan Energi Panasbumi di Indonesia Dengan Partisipasi Swasta" yang dilakukan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu bekerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency), dengan menggunakan konsultan Jepang, West JEC (West Japan Engineering Consultant, Inc), pada bulan Juni 2009, harga listrik panas bumi yang diusulkan untuk PLTP berkapasitas 60 MW adalah US$ 11,9 cents per Kwh, tanpa eskalasi.
8. KESIMPULAN Dari telaahan dalam tulisan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa potensi panas bumi Indonesia yang demikian besar perlu dipikirkan agar dapat dimanfaatkan secepatnya untuk memenuhi target bauran energi nasional yang ditetapkan dalam KEN. Untuk mempercepat diversifikasi sumber energi pembangkit tenaga listrik ke non bahan bakar minyak, maka pilihan pemanfaatan panas bumi adalah merupakan keharusan. Dengan banyaknya tantangan dalam pengembangan panas bumi, maka perlu perhatian yang serius dan konsisten khususnya dari Pemerintah dan para stakeholder lainnya agar pemanfaatan sumber energi terbarukan ini dapat dipercepat sehingga bisa berkontribusi positif dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Penentuan harga listrik dari panas bumi yang memiliki keekonomian yang menarik dan fair adalah cara yang paling tepat yang perlu diatur oleh Pemerintah sehingga menghilangkan keraguan semua pihak dalam mengembangkan panas bumi. Dengan besarnya target pengembangan panas bumi dalam bauran energi nasional, maka akan
dibutuhkan investasi yang besar pula sehingga diperlukan peranan investasi IPP (Independent Power Producer) swasta yang sangat besar pula. Untuk menarik para investor dalam pengembangan panas bumi, maka peranan Pemerintah dalam mendorong pengembangannya sangatlah penting. Pengembangan panas bumi oleh swasta tidak dapat diserahkan secara B to B dengan PLN karena banyak keuntungan dari pengembangan panas bumi tidak dinikmati oleh PLN. Dengan demikian PLN hanya menghargai panas bumi dari "energy value" nya saja dan kemungkinan akan menggunakan harga listrik batubara sebagai harga pembanding. Panas bumi tidak akan bisa bersaing dengan batubara kecuali pada asumsi harga batubara di atas US$ 90/ton (Studi JICA, 2007). Karena itu, beberapa peraturan, baik berupa Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri ESDM dan Menteri Keuangan, untuk mendukung masalah pengembangan panas bumi, termasuk peraturan (insentif) pajaknya, perlu dikaji kembali untuk diamandemen atau diperbaharui agar sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, jaminan Pemerintah atas kemampuan PLN membayar sesuai dengan kontrak jual beli listrik (Energy Sales Contract-ESC) perlu diberikan oleh Pemerintah. Hal ini diperlukan untuk memungkinkan financing proyek-proyek panas bumi mengingat kondisi finansial PLN dengan harga jual listrik yang masih disubsidi, exposure PLN dalam kontrak kontrak IPP yang sangat besar, serta masalah masalah yang pernah dihadapi oleh investor ketenagalistrikan/panas bumi pada waktu "financial crisis" tahun 1998. Mengingat urgensi dari pengembangan panas bumi dalam kontribusinya untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dan sekaligus mendorong kegiatan ekonomi Pemerintah perlu segera membuat keputusan yang dapat mendukung pengembangan Panas bumi khususnya penetapan harga panas bumi yang dapat menarik investasi.
Prospek dan Tantangan Pengembangan Panas Bumi di Indonesia ; Surya Darma
23
Topik Utama DAFTAR PUSTAKA Bertani, R., 2010, "Geothermal Power Generationin the World 2005-2010 Update Report", Enel Green Power, World Geothermal Congress Proceeding, 2010, Bali Indonesia. Bush, J. and Siega, C., 2010, Mighty River Power NZ,, "Big Bore Well Drilling in New Zealand a case study", World Geothermal Congress Proceeding, Bali Indonesia. Danar,A., 2011, Smart Solution Center, "Keekonomian, Strategi investasi dan bisnis model dalam pengembangan geothermal Indonesia", Workshop Bank Mandiri 2011, Jakarta. Darma S. dan Daud, M.Y. 2011, Geothermal, potensi dan Eksplorasi geothermal Indonesia untuk menurunkan resiko bisnis Geothermal, Workshop "Potensi dan Peran Bank Mandiri dalam memasuki Era Geothermal Indonesia sebagai Produsen Geothermal terbesar Dunia", Jakarta 2011. Darma, S., 2011, World Energy Outlook dan kaitannya dengan Kebijakan Energi Nasional, Focus Group Discussion Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, 2011, Jakarta. Darma, S., 2011, Bisnis Geothermal Indonesia, Peluang dan Tantangan Sektor Keuangan Dalam Memenuhi Kebutuhan Listrik Nasional, Geothermal Workshop Bank Mandiri, Jakarta 2011. Darma, S., 2012, Renewable Energy and Energy Security: Opportunities in Geothermal for Indonesia - NZ, Indonesia New Zealand Business and Investment Seminar : Building Stronger Partnerships, Jakarta 2012. Darma S., 2012,,Geothermal Energy Outlook of Indonesia, 3rd Annual Development & Agency Finance Asia Pacific Conference, Jakarta 2012.
24
Departemen Energi Sumber Daya Mineral, "Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (PEN) 2005 - 2025". Effendi,R., BKF Kementerian Keuangan RI, 2012, Insentif dan Disinsentif Dalam Upaya Penerapan Sektor Energ, FGD Dewan Riset Nasional 2012. Harsoprayitno, S., - Direktur Geothermal Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, 2011, Kebijakan dalam pengembangan Geothermal Nasional, Workshop "Potensi dan Peran Bank Mandiri dalam memasuki Era Geothermal Indonesia sebagai Produsen Geothermal terbesar Dunia", Jakarta 2011. JICA, 2007, Master Plan Study for Geothermal Power Development in the Republic of Indonesia , Kementerian ESDM. Kajian Kebutuhan dan Penyediaan Energi di Indonesia Tahun 2020, Kementerian Negara Riset dan Teknologi - Komite Nasional Indonesia-World Energy Council (KNIWEC) Kebijakan Energi Nasional 2003 - 2020, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 24 Februari 2004. Lund, J.W., and Boyd, T.L., (Geo-Heat Center, Oregon Institute of Technology Klamath Falls, Oregon, USA) and Derek H. Freestonn(Geothermal Institute, University of Auckland, NZ), 2010, "Direct Utilization of Geothermal Energy 2010 Worldwide Review", World Geothermal Congress Proceeding, 2010, Bali Indonesia. Rybach, L., 2010, Status and Prospects of Geothermal Energy, Managing Director, GEOWATT AG Zurich, Prof.em. ETH Zurich, President, International Geothermal Association, World Geothermal Congress Proceeding, 2010, Bali Indonesia. Riphat, S., - Staf Ahli Kebijakan Fiskal, BKF Kementerian Keuangan RI, 2011, "Fiskal dan
M&E, Vol. 11, No. 2, Juni 2013
Topik Utama Insentif Perpajakan Dalam Mempercepat Pengembangan Geothermal di Indonesia, Workshop "Potensi dan Peran Bank Mandiri dalam memasuki Era Geothermal Indonesia sebagai Produsen Geothermal terbesar Dunia", Jakarta 2011. Saleh, D. Z., 2010, Ketua Harian Dewan Energi Nasional Indonesia, National Energy Policy of Indonesia, World Geothermal Congress Proceeding, 2010, Bali Indonesia. Saptadji, N.M., 2011, Teknologi Pengembangan Geothermal Indonesia Dalam Rangka Menurunkan Resiko Bisnis Untuk Memenuhi Kebutuhan Listrik Nasional, Workshop "Potensi dan Peran Bank Mandiri dalam memasuki Era Geothermal Indonesia sebagai Produsen Geothermal terbesar Dunia", Jakarta 2011.
Sukhyar, R., 2011,Pengembangan Geothermal Indonesia - Sebuah Penantian, 1st Geothermal Workshop ITB 2011. Sukhyar, R., 2012, Potensi dan Pengembangan Sumber Daya Panas Bumi Indonesia, Badan Geologi Kementerian ESDM RI. Wahjosoedibjo, A. S., 2012, Indonesia New Policies and Regulations Promote Private Participation in Renewable Energy and Energy Efficiency Business, 19th Conference of the Electric Power Supply Industry (CEPSI), 15-19 October 2012 in Denpasar, Bali, Indonesia.
Prospek dan Tantangan Pengembangan Panas Bumi di Indonesia ; Surya Darma
25