PROSIDING SEMINAR NASIONAL PEMBANGUNAN INKLUSIF DI SEKTOR PERTANIAN II
Penyunting: Tomy Perdana Iwan Setiawan Agriani H. Sadeli Hesty N. Utami Sara Ratna Qanti Mahra Arari Heryanto Sulistyodewi Nur Wiyono
Desain Cover dan Tata Letak: Mahra Arari Heryanto
ISBN: 978-602-70388-2-0
Izin diberikan untuk bebas menyalin dan mendistribusikan sebagian atau seluruh dari isi buku ini dengan menggunakan kaidah pengutipan (sitasi) dalam karya tulis ilmiah. Buku atau produk turunan atau salinan dari buku ini tidak untuk diperjualbelikan atau digunakan untuk keperluan mencari keuntungan.
Penerbit: Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Gedung Sosek Lantai 2 Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor Jl. Raya Bandung-Sumedang Km.21 Jatinangor Telepon: 022-7796318 Faksimili: 022-7796316
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas ijin dan perkenanNya kegiatan Seminar Nasional dan Workshop “Pembangunan Inklusif di Sektor Pertanian II” telah dapat dilaksanakan dengan baik. Kegiatan ini dapat diselenggarakan atas kerja sama antara Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dengan Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Jawa Barat. Tujuan utama dari kegiatan Seminar Nasional dan Workshop ini adalah terdiseminasikannya berbagai metodologi dan ilmu untuk melibatkan petani, khususnya petani kecil dalam pembangunan nasional sehingga memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan pendapatannya. Selain itu, bagi para pelaku agribisnis, akademisi, pemerintah dan masyarakat merupakan media pembelajaran dan patok duga (benchmarking) untuk melihat perkembangan sektor pertanian di Indonesia. Buku ini adalah prosiding kegiatan yang secara garis besar berisi rumusan hasil seminar nasional berupa hasil pemikiran dari para peserta seminar yang dapat dijadikan rujukan dalam pengembangna sektor pertanian yang inklusif. Kami mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas kehadiran seluruh peserta dalam kegiatan ini. Secara khusus ucapan terima kasih kami sampaikan kepada narasumber dalam seminar, kepada Soeko Wardojo (Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia kantor perwakilan Jawa Barat) yang telah bersedia menjadi pembicara kunci, dan kepada Dr. Stephan Onggo (Lancaster Management School, Inggris), Heru Pribadi (Direktur Rantai Pasok dan Logistik PT Hero Group), serta Prof. Ganjar Kurnia (Kepala Pusat Studi Dinamika Pedesaan, Universitas Padjadjaran) sebagai narasumber utama dalam acara seminar nasional. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini, khususnya kepada Rektor Universitas Padjadjaran, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, serta kepada Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Padjadjaran. Terakhir, kami berharap kegiatan ini dapat memberi kontribusi yang berarti kepada pembangunan pertanian di Indonesia. Terima kasih. Jatinangor, Februari 2016 Panitia Pelaksana
i
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
MAKALAH SEMINAR NASIONAL PEMBANGUNAN INKLUSIF DI SEKTOR PERTANIAN II Analisis Rantai Nilai Industri Mangga Offgrade Olahan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Lokal1 Khonsa Shofwatun Najah1*, Gema Wibawa Mukti2 ...........................................1 Analisis Strategi Pengembangan Usaha pada Pengusaha Tanaman Hias Skala Menengah (Studi Kasus pada Rosalia Flower, Bunga Barokah dan Dahlia di Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Jawa Barat) Pratiwi Adilvina1*, Gema Wibawa Mukti2 ........................................................15 Manajemen Risiko Pada Rantai Pasok Kentang Pasar Terstruktur di Kelompok Tani Katata, Pangalengan, Jawa Barat Nadia Shafarina1), Tomy Perdana2) ...................................................................25 Perubahan Struktur dan Perilaku Pemasaran Sayuran dan Buah di Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Kualitas Buah dan Sayuran di Pasar Tradisional Asma Sembiring ................................................................................................31 Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kopra Indonesia di Pasar Internasional Salman Faris Rinaldi, S.P1*, Tuti Karyani2 .......................................................37 Efektivitas Pelaksanaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Coca - Cola Bottling Indonesia Cut Putri Pohan1, Anne Charina2 ......................................................................55 Pemasaran Tanaman Hias Petani yang tergabung pada Asosiasi Petani Pedagang Tanaman Hias Cihideung (APPTHC) di Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat Dini Rochdiani, Sara Ratna Qanti .....................................................................61 Dinamika Produktivitas Padi Ditinjau dari Fluktuasi Susut Hasil serta Faktor Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Mempengaruhinya Elly Rasmikayati1*, Asep Faisal2.......................................................................71 Pola Pembiayaan Usahatani Manggis di Kabupaten Subang Eti Suminartika ..................................................................................................81
iii
Persepsi dan SikapPedagang Beras di Pasar Traditional Terhadap Ritel Modern (Studi Kasus di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan) Fauziah Tantry¹, Sara Ratna Qanti2................................................................... 87 Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Dalam Pengembangan Rantai Pasok Komoditas Bawang Merah (Allium cepa L.) di Kabupaten Brebes Fernianda Rahayu Hermiatin1, Tomy Perdana1, Eddy Renaldi1 ....................... 97 Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting (Capsicum annum L) di Sentra Produksi Cikajang Kabupaten Garut Dety Sukmawati1, Lies Sulistyowati2, Maman H.Karmana2, E Kusnadi Wikarta2 ......................................................................................................................... 103 Perbandingan Pendapatan Petani untuk Komoditas Jagung Manis (Zea mays Saccharata Sturt.) dan Bawang Merah (Alium cepa L.) (Studi Kasus di Desa Arjasari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) Muhammad Arief Budiman, Rizki Eka Firdaus ............................................ 109 Analisis Pengendalian Persediaan Kedelai Sebagai Bahan Baku Tahu Sumedang (Studi Kasus di Industri Kecil Sari Kedele, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat) Amy Fauziah1*, Kuswarini Kusno2 ................................................................. 119 Pemodelan Dinamika Sistem Kemitraan Pada Rantai Pasok Kentang di Kabupaten Bener Meriah Lukman Hakim1), Tomy Perdana2), Maman Haeruman K.2), Yosini Deliana2) .......................................................................................................... 133 Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Teh Indonesia (Periode 1980 – 2013) Ady Trynugraha1 dan Muhammad Arief Budiman2 ....................................... 141 Analisis Daya Saing Usahatani Tembakau Mole (Studi Kasus Desa Sukasari, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) Septian Rindiarto1, M. Arief Budiman1 .......................................................... 147 Analisis Risiko Produksi Bunga Mawar Potong (Rosa hybrida) (Studi Kasus di Rosalia Flowers, Desa Cihideung, Kecamatan Parompong, Kabupaten Bandung Barat) Dery Luvitasari1, Sara Ratna Qanti1................................................................ 155 Pelaksanaan Program Desa Wisata Ketahanan Pangan (DEWITAPA) Cireundeu (Studi Kasus di Kampung Adat Cireundeu, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi) Dessy Silviani1, Anne Charina2....................................................................... 163
iv
Analisis Pendapatan Pelaku Agroindustri Keripik Tempe di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu Shorea Khaswarina1)........................................................................................171 Farmers’ Knowledge, Perception, And Practices in Organic Paddy Farming Concept Tinjung Mary Prihtanti dan Maria...................................................................181 Analisis Persepsi dan Sikap Petani Terhadap Lembaga Pembiayaan Formal dan Informal (Suatu Kasus Di Gapoktan Sami Mulya Kec. Sedong, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat) Yeni Hendriyani 1), Tuti Karyani2) ..................................................................189 Faktor Internal dan Eksternal yang Berperan Dalam Usahatani Tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Studi Kasus pada Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut) Erizka Pramuditya1, Lucyana Trimo1 ..............................................................197 Bauran Pemasaran dan Pertumbuhan Penjualan Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain (Studi Kasus di PT. Sinar Mayang Lestari, Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) Ghina Davita Ramdhayani1, Dhany Esperanza1..............................................209 Pengaruh Bantuan Modal Kerja PUAP Terhadap Kesejahteraan Petani di Provinsi Sulawesi Tengah Yennita Sihombing ..........................................................................................221 Manajemen Resiko Rantai Pasok Komoditas Padi (Oryza sativa) di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Tetep Ginanjar 1), Tomy Perdana1), Eddy Renaldi1) ........................................233 Model Hubungan Petani Pemilik dan Petani Penggarap Dalam Pengembangan Padi Organik (Studi Kasus Pada Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya) Elena Yanti K.Y.S, Yayat Sukayat ..................................................................241 Efektivitas Iklan Melalui Media Sosial (Website) Sebagai Media Promosi CV Cihanjuang Inti Teknik Dengan Menggunakan EPIC Model Ni Luh Putu Diyasani Belawi1*, Rani Andriani Budi Kusumo1......................247 Apakah Kinerja dan Pengungkapan Lingkungan Berpengaruh terhadap Kinerja Ekonomi Perusahaan? (Analisis pada Perusahaan Agroindustry yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia) Arisha Nursyamti Pramidyar1, Dika Supyandi1 ..............................................255
v
Identifikasi Faktor Pendukung Keberhasilan Transfer Teknologi Pada Industri Kecil Menengah Berbasis Potensi Lokal Dengan Pendekatan Makroergonomi (Study Kasus : UKM Keripik Ubi Cilembu Desa Cileles Jatinangor Dan IKM Keripik di Desa Pagedangan Indramayu ) Devi Maulida Rahmah .................................................................................... 263 The Role of Communication Networks in Group Sustainability: A Case Study in Majalengka Regency, West Java Province, Indonesia Jaka Sulaksana ................................................................................................ 271 Analisis Keputusan Berkunjung Serta Kepuasan Konsumen Agrowisata Cilangkap Efrizal Saputra1*, Tuti Karyani1, M.Gunardi Judawinata1 .............................. 283 Upaya Peningkatan Kinerja Sistem Logistik Komoditas Sayuran di Kelompok Tani Katata, Desa Margamekar, Kecamatan Pangalengan Tika Dewi Lenggana1, Tomy Perdana1, .......................................................... 293 Komersialisasi Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta Jangkung Handoyo M.1,2*, Dwidjono H. Darwanto1, Setiawan Suryo K. J.3, Sugiyarto1, Arif Wahyu W.4............................................................................ 299 Dampak Agrowisata Desa Cihideung Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial Budaya, dan Lingkungan (Studi Kasus di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat) Anita Putri Kemala1, Rani Andriani Budi Kusumo1 ....................................... 311 Pola Kemitraan Petani Paprika Dengan Koperasi Mitra Sukamaju Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Nur Syamsiyah ................................................................................................ 325 Analisis Pendapatan dan Risiko Usahatani Jagung di Kabupaten Serang Dian Anggraeni1 , Tuhpawana P. Sendjaja2, Tomy Perdana2, Anne Nuraini2 333 Kajian Kemitraan Petani Mangga Gedong Gincu (Mangifera Indica L.) dengan CV. Sumber Buah (SAE) (Studi Kasus pada Petani Mangga di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat) Siti Nur Azizah Syah1, Lies Sulistyowati1 ...................................................... 341 Pertukaran Nilai Pemasaran Dalam Pemasaran Relasional Sebagai Upaya Menekan Risiko Pemasaran Pada Komoditas Bernilai Tinggi Tuti Karyani1, Agriani H. Sadeli1, Hesty N. Utami1, Sulistyodewi NW 1 ...... 351 Risiko Pemasaran Mangga di Petani yang Mengambil Risiko dan Menghindari Resiko Yosini Deliana................................................................................................. 357
vi
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia, Periode Tahun 1984 Sampai 2013 Taufiq Nur Tadjudin 1*, Muhammad Arief Budiman 1 ....................................363
vii
viii
Analisis Rantai Nilai Industri Mangga Offgrade Olahan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Lokal Value Chain Analysis of Offgrade Processed Mango Industry Based on Local Community Empowerment Khonsa Shofwatun Najah1*, Gema Wibawa Mukti2 1Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang,
[email protected] 2 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang
ABSTRAK
Kata Kunci: Rantai nilai Mangga Gedong Gincu Offgrade Nilai tambah Manfaat
Penelitian ini bertujuan 1) memetakan rantai nilai dari Fruits Up, 2) analisis manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup dari rantai nilai Fruits Up, 3) identifikasi hambatan dan opsi peningkatan yang tepat sebagai upaya optimalisasi rantai. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif sedangkan teknik penelitian yang digunakan adalah teknik studi kasus dengan menggunakan analisis rantai nilai, analisis biaya dan pendapatan, analisis nilai tambah, analisis derajat keberdayaan dengan pendekatan model Fujikake 2 tahap, serta analisis manfaat dan resiko lingkungan deskriptif sederhana. Hasil analisis rantai nilai terdapat empat aktor dalam rantai nilai secara keseluruhan: petani mangga di berbagai daerah sebagai pemasok mangga Gedong Gincu segar, pengepul, pihak pengolah sebagai pengolah mangga Gedong Gincu segar menjadi puree, Fruits Up. Proporsi keuntungan paling tinggi dalam rantai nilai diperoleh Pengepul. Proporsi nilai tambah paling tinggi dalam rantai nilai diperoleh Pengolah. Derajat keberdayaan menurut pendekatan model Fujikake 2 tahap ialah: Petani (tipe 1), Pengepul (tipe 2), Pengolah (tipe 3), Fruits Up (tipe 3). Kategori resiko kegiatan dalam bisnis masing-masing pelaku di rantai nilai dalam mencemari lingkungan hidup ialah: Petani (tinggi), Pengepul (sedang), Pengolah (rendah), Fruits Up (rendah). Hambatan dari sisi ekonomi paling besar dirasakan oleh Pengolah, sedangkan hambatan dari sisi sosial paling besar dirasakan oleh Petani.
ABSTRACT
Keywords: Value chain Mango Gedong Gincu Offgrade Added value Benefits
The purpose of this research were to 1) map the value chain of Fruits Up, 2) analyze financial, social, and environmental benefit in the value chain, 3) identify the barriers and upgrading options so it can minimize the hindrance in the value chain. This research used descriptive design with case study technique that used value chain analysis, analysis of costs and revenues, added value analysis, analysis of the degree of empowerment using Fujikake Model approach in two stages, as well as analysis of the benefits and risks of environment in descriptive. The results showed that there are four actors in the whole Fruits Up value chain as follows: farmers, collectors, processing firm, and Fruits Up. The greatest profit sharing obtained by the collector. The greatest added value was given by the processing firm. The degree of empowerment according to the model approach Fujikake 2 stages are: farmer (type 1), collectors (type 2), processing firm (type 3), Fruits Up (type 3). The risk of business activities to pollute the environment are: farmer (high), collectors (medium), processing firm (low), Fruits Up (low). The most substantial economic barriers felt by processing firm, while largest social barriers perceived by the farmer.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
1
PENDAHULUAN Sektor pertanian memiliki peran vital dalam pembangunan ekonomi negara. Beberapa alasan yang mendukung pernyataan tersebut, diantaranya adalah menyediakan lapangan pekerjaan, menghasilkan devisa, menjadi basis pertumbuhan sektor agroindustri dan perdagangan, hingga menjadi salah satu upaya peningkatan kesejahteraan rakyat (Kementerian Pertanian, 2014). Dari sudut pandang sektor pertanian, agroindustri yang semakin berkembang diyakini bisa berperan strategis dalam upaya menopang pengembangan daya saing bangsa yang bertumpu pada kekayaan sumber daya nusantara (Baharsjah, 1993). Agroindustri ini, dengan perhatian khusus terhadap komoditas hortikultura buah-buahan potensial, memiliki peluang investasi yang bernilai cukup tinggi. Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009), empat komoditas buah-buahan yang potensial untuk dikembangkan adalah mangga, jeruk, nanas, dan markisa. Potensi buah mangga ditunjukkan oleh data produksi nasional mangga yang mencapai 2,3 juta ton tercatat sebagai produksi buah terbanyak. Sedangkan luas areal panen buah mangga terbesar se-nasional dengan 219.667 hektar (Kementerian Pertanian, 2014). Data konsumsi juga menunjukkan adanya tren peningkatan konsumsi buah mangga setiap tahunnya. Varietas mangga yang menjadi unggulan di Jawa Barat sendiri salah satunya adalah mangga Gedong Gincu. Kendati luas areal panen dan produksi nasional mangga meningkat setiap tahunnya, laporan perkembangan harga menunjukkan bahwa harga jual mangga di Jawa Barat sendiri masih tetap berfluktuasi tajam akibat produksi yang tidak kontinyu (musiman). Ketika pasokan langka di pasaran, harga jual mangga melambung. Sebaliknya, ketika pasokan berlimpah, harga jual mangga turun dan bahkan pernah mencapai persentase penurunan hampir 86% (Kementerian Pertanian, 2014). Buah mangga dengan kategori buah mangga off-grade sendiri pernah turun signifikan. Pada saat off-season, harga dapat berada di kisaran Rp7000/kg, sedangkan pada saat on-season harga bisa turun hingga Rp1000/kg (Kementerian Pertanian, 2014). Jumlah mangga kategori off-grade sendiri dapat mencapai 30% dari total produksi mangga di Jawa Barat setiap tahunnya (Supriatna, 2005). Fakta mengenai terjadinya fluktuasi harga buah mangga yang menyertai sifat musiman dan sosialisasi yang belum gencar mengenai kegiatan pemberian nilai tambah yang tepat sejak dari cara panen, sortasi, penyimpanan, hingga pengolahan, tentunya dapat melenyapkan peluang untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi 2
(Baharsjah, 1993). Terlebih, dengan adanya fenomena sulitnya akses bagi petani kecil dan seluruh aktor/pelaku yang terlibat untuk berpartisipasi. Serta sulitnya petani berkolaborasi di bisnis pertanian komersial dan produksi komoditas bernilai tinggi (Catelo dan Costales, 2008; Pletcher, 2000; Seshamani, 1998). Konsekuensinya, pergeseran fokus kegiatan dari produk primer ke berbagai produk bernilai tambah menjadi penting bagi pengembangan agribisnis komoditas buah mangga. Langkah ini dapat menjadi pilihan yang baik untuk menanggulangi masalah kerugian petani mangga sebagai implikasi dari anjloknya harga jual buah mangga di musim panen, terutama untuk buah mangga yang tidak laku di pasaran (Habibie, 1993). Fruits Up hadir sebagai salah satu pelaku agroindustri yang memiliki fokus utama memenuhi permintaan harian tersebut dengan prinsip kolaborasi di sepanjang rantai nilai produk mangga olahan miliknya. Fruits Up yang didirikan pada Juli 2014, menggunakan konsep social-technopreneurship. Fruits Up merupakan salah satu bisnis yang mengaplikasikan inovasi “The Fruters Model”. The Fruters Model adalah salah satu contoh model bisnis yang sejalan dengan konsep agribisnis inklusif dan 3P. “The Fruters Model” dikembangkan oleh Universitas Padjadjaran selama bertahun-tahun (Putri dan Purnomo, 2015). Usaha produk puree buah dengan model “The Fruters Model” berasal dari sebuah riset panjang. Riset ini mensinergikan berbagai kegiatan pertanian dari hulu (pengembangkan praktek pertanian dan perkebunan), pengolahan hasil hingga hilir dimana hasil pertanian tersebut diolah menjadi produk pertanian dan dijual dengan harga premium. Berlandaskan model bisnis ini, Fruits Up memiliki prinsip memberikan nilai dan manfaat dalam setiap rantai yang dilalui produk mulai dari awal berupa buah mangga hingga ke produk akhir berupa puree mangga kemasan siap minum. Fruits Up memaksimalkan potensi buah mangga off-grade yang ditolak pasar tersebut agar lebih bernilai dengan menggunakan teknologi pengolahan pasteurisasi dan pencampuran dengan bahan-bahan lainnya diiringi dengan proses kreatif didalamnya sebagai langkah penambahan nilai. Selain menerapkan konsep rantai nilai, Fruits Up juga menjalankan bisnisnya dengan melakukan proses pemberdayaan masyarakat berprinsip kolaborasi yang berpusat pada manusia (peoplecentered development) dalam kerangka besar “The Fruters Model”. Pemberdayaan pada tingkat petani sampai pengolah sudah diinisasi terlebih dahulu oleh pihak Universitas Padjadjaran dan telah melahirkan inovasi yaitu model bisnis The Fruters Model itu sendiri. Hal inilah yang kemudian melandasi upaya
pengembangan bisnis Fruits Up dengan wawasan pengelolaan sumberdaya lokal (community-based resources management). Proses pengelolaan sumberdaya lokal dalam bisnis Fruits Up sendiri terletak pada proses produksi di tempat produksi yang memanfatkan sumber daya manusia yang berasal dari masyarakat sekitar dan proses distribusi produk jadi melalui reseller mitra, yaitu ibu-ibu rumah tangga yang dimotivasi agar memiliki penghasilan sampingan dari penjualan produk Fruits Up. Sedangkan, komoditas lokal yang diangkat ialah buah Mangga Gedong Gincu off-grade yang berasal dari berbagai daerah sentra di Jawa Barat seperti Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan yang telah tergabung dalam Masyarakat Kluster Buah (Masterbu). Hingga saat ini tim Fruits Up secara langsung telah membantu dalam program pemberdayaan masyarakat sekitar dengan adanya pemberian coaching kepada komunitas bisnis kreatif yang didirikan di Bandung. Komunitas bisnis kreatif ini adalah komunitas yang menjadi wadah diskusi dan sharing pelaku bisnis yang rata-rata masih berusia muda dan baru memulai bisnisnya. Di proses pemasarannya, yang menjadi target pasar Fruits Up adalah masyarakat perkotaan yang memiliki gaya hidup modern, peduli dengan kesehatan, dan juga orang-orang yang peduli dengan proses pemberdaayaan dibaliknya. Setiap bulannya Fruits Up menjual sekitar 4800 botol kemasan puree mangga siap minum dengan omzet bulanan mencapai Rp90.000.000. Hal ini merupakan jumlah yang tidak sedikit, mengingat Fruits Up adalah usaha rumahan yang belum lama berdiri dan masih terus melakukan inovasi. Dalam hasil pemetaan rantai nilai awal, beberapa pihak yang berkolaborasi di dalam rantai nilai Fruits Up adalah: petani mangga sebagai produsen, petani pengepul, pabrik pengolahan buah mangga segar menjadi puree mangga sebagai UMKM, Fruits Up sendiri, sebagai UMKM pengemasan puree mangga menjadi puree mangga siap minum sekaligus sebagai komunitas kreatif, pihak akademisi (dosen dan mahasiswa) yang terlibat dalam proses pemberdayaan di tingkat petani dan pengolah, serta pemerintah daerah. Meskipun begitu, semangat dalam memberdayakan dan keselarasan tujuan antar pelaku utama (petani, pengepul, pengolah, Fruits Up) belum ditemukan. Hal ini tentu menjadi suatu problema karena pelaku utama baik itu Fruits Up, pengolah, pengepul, maupun petani masih belum merasa memiliki pandangan dan tujuan besar yang sama. Dalam artian lain, kekuatan dan kesolidan sebagai buah dari manfaat-manfaat dalam rantai nilai Fruits Up masih belum diteliti. Sehingga,
seberapapun besarnya tujuan Fruits Up untuk pembangunan masyarakat pedesaan hingga perkotaan tetap tidak akan optimal menuju hasil karena tidak didukung oleh cita-cita dan usaha yang sama besarnya dari pelaku lainnya. Untuk itulah mengapa analisis rantai nilai yang diterapkan Fruits Up memberikan manfaat yang nyata untuk seluruh pelaku yang terlibat, baik manfaat secara ekonomi, sosial, maupun dari sisi lingkungan hidup, menarik untuk dilakukan. Selain karena analisis rantai nilai ini dapat digunakan untuk bahan evaluasi, analisis ini juga akan berguna untuk para pelaku Fruits Up untuk terus konsisten berupaya memaksimalkan potensi lokal daerah, salah satunya dengan cara memahami hubungan dengan seluruh aktor yang berkolaborasi. KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP Konsep Agribisnis Inklusif Menurut Budi (2015) konsep agribisnis inklusif merupakan sebuah sistem yang secara adil merangkul semua pelaku dalam proses agribisnis untuk terlibat dalam pembangunan pertanian; sebuah system yang dibentuk untuk mengupayakan hak-hak petani yang pada umumnya masih dalam kondisi tetinggal. Agribisnis inklusif merupakan sistem dalam sektor pertanian yang diharapkan dapat menjadi pintu masuk pembangunan Indonesia. Sedangkan pembangunan yang inklusif adalah pembangunan yang berkualitas, yaitu pembangunan yang memperhitungkan sekaligus pertumbuhan (progrowth), penyerapan tenaga kerja (pro-job), mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan memperhatikan lingkungan (pro-environment) (Daryanto, 2015). Pemahaman mengenai agribisnis inklusif ini sejalan dengan teori John Elkington (1994) tentang “People, Planet, Profit” yang pada akhirnya diadopsi oleh Shell’s. “People” memiliki artian bahwa bisnis yang adil dan menguntungkan harus memperhatikan tenaga kerja, komunitas lokal, dan daerah setempat. “Planet” memiliki artian bahwa kegiatan bisnis harus sesuai aman untuk lingkungan hidup sekitarnya, tidak membahayakan dan meminimalisir pencemaran lingkungan. Sedangkan, “Profit” memiliki artian bahwa kegiatan bisnis harus menghasilkan nilai dengan meminimalisir biaya seluruh input. Pengertian “Profit” dalam 3P ini memang sedikit berbeda dari pengertian ‘profit’ pada umumnya (Elkington, 1997). Konsep Analisis Rantai Nilai Dalam konsep agribisnis inklusif dan 3P, aspek yang dilihat dalam konsep tidak hanya aspek ekonomi, namun juga aspek sosial dan lingkungan hidup, dengan menggunakan analisis rantai nilai. 3
Analisis rantai nilai atau Value Chain Analysis (VCA) atau analisis rantai nilai merupakan salah satu konsep bagaimana menambah aktivitas dan memperbesar nilai produk secara maksimal dalam tatanan rantai pasok (Stringer, 2009). Sebuah analisis rantai nilai menjadi alat identifikasi sebagai cara untuk menciptakan diferensiasi melalui pengembangan nilai (Raras, 2009). Seluruh aktor yang terlibat dalam kegiatan usaha dianalisis secara mendetail untuk mengetahui titik terlemah rantai nilai tersebut. Kerangka Porter Analisis rantai nilai yang digunakan sesuai dengan kerangka Porter (1985), yang membagi seluruh kegiatan dalam rantai nilai menjadi dua kegiatan yaitu kegiatan utama (logistik masuk, operasional, logistik keluar, pemasaran dan penjualan, dan pelayanan) dan kegiatan pendukung (pembelian, pengembangan teknologi, manajemen sumber daya manusia, dan infrastruktur perusahaan). Kegiatan utama adalah kegiatan yang secara langsung berkontribusi menambahkan nilai pada produk atau layanan yang dihasilkan. Kegiatan pendukung,adalah kegiatan yang membawa efek tak langsung terhadap nilai akhir suatu produk.
kemampuan memanfaatkan usaha untuk masa depan (Widjajanti, 2011). Hal ini mendukung konsep Pranarka dan Vidhyandika (1996) yang menyatakan bahwa keberdayaan masyarakat berkaitan dengan kemandirian masyarakat. Dalam menganalisis manfaat rantai nilai Fruits Up dari sisi sosial, digunakan analisisi derajat keberdayaan sesuai dengan konsep pemberdayaan dan indikatorindikator tersebut menggunakan pendekatan model Fujikake 2 tahap. Manfaat Bagi Lingkungan Hidup Untuk menganalisis manfaat rantai nilai Fruits Up terhadap lingkungan hidup digunakan analisis manfaat dan resiko lingkungan secara deskriptif. Peluang agroindustri buah mangga di Indonesia
Hambatan pengembangan industri mangga olahan: Sifat musiman buah mangga Teknologi pengolahan minim Petani kurang akses terhadap informasi Program terpadu belum diterapkan Minimnya kolaborasi antar pelaku usaha
Analisis rantai nilai agroindustri buah mangga offgrade olahan milik Fruits Up sebagai upaya pengembangan agroindustri Pelaku yang Terlibat, Kegiatan Spesifik, Alur Produk dan Informasi, Tata Kelola, Pola Hubungan dan Koordinasi Hambatan
Hambatan
Gambar 1. Kerangka Porter. Sumber: Michael E. Porter (1985)
Manfaat Secara Ekonomi Dalam menganalisis manfaat dalam rantai nilai dari sisi ekonomi, digunakan analisis biaya dan pendapatan, serta analisis nilai tambah. Analisis manfaat secara ekonomi tersebut meliputi: 1. Keseluruhan nilai tambah yang terjadi pada setiap tingkatan rantai. 2. Biaya produksi dan pemasaran, serta struktur biaya pada setiap aktivitas rantai. 3. Kinerja pelaku rantai (penggunaan kapasitas yang produktif, produktivitas, dan keuntungan). Manfaat Secara Sosial Konsep keberdayaan masyarakat mengenai evaluasi pemberdayaan masyarakat mencakup beberapa aspek indikator seperti kemampuan mengambil keputusan, kemandirian, dan 4
Analisis Manfaat dalam Rantai Nilai Fruits Up
Aspek ekonomi
Analisis Pendapatan
Analisis Nilai Tambah
Aspek sosial
Analisis Deskriptif Derajat Keberdayaan Pelaku dengan Pendekatan Model Fujikake
Aspek lingkungan
Analisis Manfaat dan Resiko Lingkungan Sederhana
Upaya Optimalisasi Rantai Nilai Fruits Up
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui diskusi dengan pihak manajemen Fruits Up, pengolah, pengepul, hingga ke petani dan wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan bantuan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari literatur kepustakaan yang relevan dan catatan atau dokumen lain dari instansi-instansi atau lembaga-lembaga terkait seperti Kantor Dinas Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian, Balai Besar Pascapanen (BB Pascapanen), Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBP Mektan), dan lain sebagainya yang berhubungan dengan topik yang dibahas. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Teknik penelitian yang digunakan berupa studi kasus (case study) yaitu penelitian yang terinci tentang seseorang atau suatu unit selama kurun waktu tertentu. Penentuan informan ditentukan dengan cara sengaja (purposive) dengan penentuan sumber data yaitu pelaku yang terlibat dalam aktivitas rantai nilai Fruits Up. Pemetaan dan penelusuran dilakukan untuk melihat ada tidaknya koordinasi vertikal maupun horizontal antara pelaku di hilir dan pelaku di hulu serta besarnya nilai tambah dan pendistribusiannya antar pelaku. Kegiatan observasi dan survei digunakan untuk meninjau dan mengumpulkan informasi dari aktivitas jaringan rantai nilai Fruits Up, mulai dari pasokan bahan baku yakni mangga Gedong Gincu offgrade, proses pengepulan, proses pengolahan mangga Gedong Gincu menjadi puree di tingkat pengolah, hingga proses distribusi dan proses pemasaran produk olahan dari Fruits Up, serta penentuan pelaku-pelaku yang terlibat dalam rantai nilai tersebut. Wawancara terhadap manajemen Fruits Up dan pembagian kuesioner kepada informan (pemasok dari Fruits Up) untuk mengumpulkan data pengelolaan rantai nilai, dan mengidentifikasi manfaat yang diterima masing-masing pelaku, serta mengidentifikasi hambatan yang selama ini terjadi dalam rantai nilai perusahaan, baik secara kualitas maupun kuantitas dan dijadikan acuan untuk merumuskan opsi peningkatan yang tepat (upgrading) dalam meminimalisir hambatan yang terjadi. Analisis rantai nilai yang dilakukan mencakup seluruh informasi berikut: pelaku yang terlibat, kegiatan spesifik, alur produk dan informasi, tata kelola, pola hubungan dan koordinasi. Sedangkan analisis manfaat ekonomi yang dilakukan ialah analisis biaya dan pendapatan dengan formulasi: Biaya Produksi TC = FC + VC
Dimana: TC = Biaya Total (Total Cost) FC = Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost) VC = Biaya Variabel Total (Total Variabel Cost) Penerimaan TR = Y x Hy Dimana : TR = Total Penerimaan (Total Revenue) Y = Total Produksi Hy = Harga Jual/Unit Pendapatan II = TR – TC Dimana : II = Pendapatan/Keuntungan TR = Total Penerimaan (Total Revenue) TC = Biaya Total (Total Cost) RC Ratio RC ratio = Penerimaan / Total Biaya Kriteria : 1. R/C Ratio > 1, maka usaha tersebut layak untuk diusahakan (untung) 2. R/C Ratio < 1, maka usaha tersebut tidak layak untuk diusahakan (Rugi) 3. R/C Ratio = 1, maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (impas) Analisis Nilai Tambah Nilai tambah (value added), merupakan hasil dari penerimaan dikurangi biaya input tingkat menengah sebagai indikator finansial yang menunjukkan besaran imbalan kesejahteraan atas korbanan tenaga kerja dan manajemen dalam menghasilkan nilai tambah, sementara keuntungan (profit) merupakan pendapatan bersih (penerimaan dikurangi total biaya) dari hasil usaha yang dilakukan para pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up. Prinsip perhitungan nilai tambah ialah penerimaan atau nilai penjualan (harga x volume) yang diperoleh para pelaku dalam rantai dan barangbarang tingkat menengah, pemasukan dan jasa operasional yang dihasilkan oleh pemasok yang bukan merupakan bagian inti dari rantai nilai tersebut (Perdana dan Purwanti dalam Noor, 2011). Total nilai yang dibayar dan dihabiskan oleh konsumen akhir dibedakan antara nilai tambah dan barangbarang tingkat menengah kemudian lebih lanjut 5
merupakan pembagian antara barang setengah jadi dan barang jadi yang dihasilkan oleh pelaku dari bagian sebelumnya dalam rantai nilai yang sama, dan pemasukan lainnya yang disediakan oleh pelaku eksternal. Analisis Deskriptif Derajat Keberayaan Dengan Pendekatan Model Fujikake Dua Tahap Data-data kualitatif yang dibutuhkan meliputi data-data hasil pengamatan dan wawancara mendalam. Data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram dan dianalisis secara deskriptif berdasarkan hasil dari wawancara terhadap informan mengenai: a) Tingkat pendidikan pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up b) Tingkat partisipasi (interaksi dalam jaringan sosial/kerja) pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up c) Perubahan perilaku atau kesadaran pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up d) Tingkat kerjasama dan kepercayaan pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up e) Kemampuan manajerial pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up f) Kemampuan pengambilan keputusan pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up g) Kemampuan memanfaatkan usaha untuk masa depan para pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up.
Tipe 1
Tipe 2
Tipe 3
• Pencapaian tujuan • Kepuasan terhadap hasil • Terjadinya perubahan (bersifat kuantitatif)
Pemetaan Kegiatan Spesifik Pelaku dalam Setiap Aktivitas Penanaman a. Pelaku: petani perorangan dan kelompok tani b. Kegiatan Spesifik: menanam, memanen buah mangga, penyimpanan Pengepulan a. Pelaku: petani pengepul b. Kegiatan Spesifik: melakukan proses sortasi dan grading menjadi 3 grade (A, B, C), penyimpanan, pemeraman, bongkar muat, distribusi mangga Pengolahan a. Pelaku: pengolah b. Kegiatan Spesifik: mengolah bahan baku menjadi puree mangga, penyimpanan puree mangga dalam cold storage, kendali mutu, bongkar muat, distribusi puree. Pengemasan a. Pelaku: Fruits Up b. Kegiatan Spesifik: pencampuran bahan baku, mengemas puree mangga menjadi puree mangga siap minum, pelabelan, kendali mutu, penyimpanan, creative branding Tabel 1. Alur Produk dalam Rantai Nilai Proses
Bentuk Input dan Sarana Produksi
• Lebih dari sekedar pencapaian tujuan • Kepuasan dan pengakuan terhadap proses • Terjadinya perubahan (bersifat kualitatif dan kuantitatif) • Kepuasan dan pengakuan terhadap strategi • Terjadinya perubahan (bersifat kualitatif dan kuantitatif)
Bentuk Output
Penanaman Mangga Gedong Gincu Bibit, Lahan, Pupuk, Pestisida, Tenaga Kerja
Mangga Gedong Gincu
Pengepulan Buah Mangga Gedong Gincu, Asetilen
Mangga Gedong Gincu
Pengolahan
Pengemasan
Buah Mangga Gedong Gincu Grade B-C, Alat Washing, Alat Pengirisan, Pulper, Screener, Pasteurizer, Kemasan, Cold Storage, Tenaga Kerja, Gedung Pabrik Puree Mangga
Puree Mangga, Alat mixing, Bahan tambahan, Kemasan, Label
Puree Mangga Siap Minum (botolan)
Tabel 2. Buah Mangga Gedong Gincu Kualitas Baik Menurut Pelaku Gambar 3. Tiga Tipe Hasil Pemberdayaan. Sumber: Fujikake, 2008.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemetaan Rantai Nilai Fruits Up Petani
Pengepul
Pengolah
Petani
Pengepul
Pengolah
Warna buah
Kemerahan
Kemerahan
Kemerahan
Ukuran buah
Besar
Besar
Besar
Bulat, sedikit berlekuk 75%
Bulat, berlekuk 70-75%
Bulat, sedikit berlekuk 70-75%
Bentuk buah Tingkat kemasakan Fruits Up
Tabel 3. Puree Mangga Kualitas Baik Menurut Pelaku Pengolah
Gambar 4. Pelaku dalam Rantai Nilai Fruits Up.
6
Pengemasan
Konsumen
Warna Puree
Cerah
Cerah
Cerah
Rendeman
40-50%
40-45%
-
Pengolah
Pengemasan
Konsumen
Rasa
Manis
Manis
Manis
Tekstur
Tergantung pesanan
Lembut
Lembut
horizontal karena petani dan pengepul sama-sama menjual produk yang sama.
Tabel 4. Jenis Informasi Di Tiap Mata Rantai Nilai Fruits Up Pelaku
Petani
Pengepul
Pengolah
Pengemasan
Jenis alur informasi
Tingkat kualitas buah mangga yang diinginkan, harga jual, waktu permintaan
Tingkat kualitas buah mangga yang diinginkan, harga jual, waktu permintaan
Tingkat kualitas puree mangga yang diinginkan, harga jual, waktu permintaan, food standard
Tingkat kualitas puree mangga yang diinginkan, harga jual, waktu permintaan, food standard
Alur informasi berwujud abstrak. Alur informasi dalam rantai nilai tidak seimbang. Beberapa informasi bisa didapatkan di mata rantai tertentu namun tidak untuk mata rantai yang lain. Ditunjukkan dengan gradasi warna biru, informasi di tingkat Petani lebih sedikit dibandingkan dengan informasi di tingkat Pengepul. Begitu pula yang terjadi untuk selanjutnya. Hal ini dapat dipahami karena kebutuhan informasi untuk produksi masingmasing usaha berbeda-beda. Aliran informasi yang tidak baik atau terhambat dapat menyebabkan terhambatnya kegiatan agribisnis. Jenis alur informasi di tiap mata rantai berbeda-beda tergantung kebutuhan akan jenis produknya. Keseluruhan informasi biasanya dimiliki oleh pihak yang seimbang hubungannya baik dengan pemasok maupun dengan pasar. Dalam rantai nilai Fruits Up, Pengolah dan Fruits Up dianggap memiliki informasi yang hampir sama. Sedikit kelebihan Pengolah ialah memiliki informasi yang lebih banyak dari Pengepul. Sedangkan, kelebihan Fruits Up adalah memiliki informasi yang lebih banyak dari konsumen akhir modernnya Pemetaan Hubungan Keterkaitan Antara Pelaku dalam Rantai Nilai Hubungan keterkaitan antar pelaku dalam rantai nilai (Gambar 4) dibagi menjadi dua jenis hubungan, yaitu, hubungan yang terus menerus terjalin dan hubungan yang terbentuk di pasar (spot market) atau hubungan yang hanya ada ketika transaksi jual beli. Secara keseluruhan struktur hubungan ini membentuk struktur vertical yaitu hubungan antara produsen dengan pemasokpemasoknya. Hal ini disebabkan setiap pelaku dalam mata rantai memiliki jenis usaha yang berbeda-beda akibat perubahan produk dalam setiap mata rantai. Meskipun begitu, khusus untuk petani dan pengepul, struktur hubungannya bisa vertikal dan bisa
Gambar 4. Hubungan Keterkaitan Antar Pelaku.
Petani (23,94%)
Pengepul (7,52%)
Pengolah (44,17%)
Fruits Up (24,37%)
Gambar 5. Proporsi Nilai Tambah Setiap Pelaku.
Dari setiap pelaku dalam rantai nilai, Pengolah memiliki peran terbesar dalam memberikan nilai tambah terhadap produk dengan persentase sebesar 44,17%. Sedangkan, Pengepul memiliki persentase terendah sebesar 7,52%. Hal ini sangat beralasan, yaitu karena Pengolah melakukan aktivitas bernilai tambah dengan biaya yang lebih besar dengan yang lain atau sama dengan usaha memberikan nilai tambah terhadap produk akhir sangat besar. Produk awal berupa mangga Gedong Gincu di tangan Pengolah diubah menjadi puree mangga dengan rendemen 43-50%. Lain halnya dengan Pengepul yang paling sedikit memberikan 7
nilai tambah karena tidak banyak usaha yang dilakukan Pengepul. Bahan baku awal berupa mangga Gedong Gincu tidak mengalami perubahan apapun dalam segi bentuk, hanya saja nilai tambah Pengepul terbatas pada distribusi produk. Artinya, Pengepul memiliki peran dalam membawa bahan baku lebih dekat kepada konsumen (Pengolah dan pasar).
Petani (31,43%)
Pengepul (58,89%)
Series1,
Tingkat Pendidikan SD, 1, 12% Series1, SMK, 1,SD 13%
SMK
Series1, S1, 6, 75%
S1
Gambar 7. Tingkat Pendidikan Pelaku.
Tingkat Partisipasi Pelaku Pengolah (4,55%)
Fruits Up (5,13%)
Series1, Partisipasi Pelaku Belum, 1, 25%
Gambar 6. Proporsi Keuntungan Setiap Pelaku.
Keuntungan yang diperoleh setiap pelaku rantai nilai tidak selalu beriringan dengan besar nilai tambah yang diberikan kepada produk. Fenomena ini ditunjukkan oleh persentase keuntungan yang diperoleh pengepul yaitu sebesar 58,89% yang meraup proporsi keuntungan tertinggi dibandingkan dengan pelaku lainnya dalam rantai nilai. Berbanding terbalik dengan pengolah, yang memiliki proporsi pemberian nilai tambah tertinggi namun proporsi keuntungannya paling rendah yaitu sebesar 4,55%. Beberapa alasan yang menyebabkan fenomena ini dapat terjadi ialah: a) Pengepul tidak banyak mengeluarkan biaya dalam aktivitas yang memberi nilai tambah namun bahan bakunya paling banyak, sehingga penjualannya pun lebih banyak yang memungkinkan untuk menjadikan pengepul mendapat keuntungan yang juga besar. b) Pengolah banyak melakukan aktivitas pemberian nilai tambah terhadap produk. Hal ini ditunjukkan dengan dua hal utama yaitu perubahan bentuk produk (mangga menjadi puree mangga) dan ketahanan produk (cepat rusak menjadi lebih lama bertahan dengan metode pasteurisasi). Namun, karena biaya aktivitas tersebut juga besar, maka keuntungan yang didapatkan oleh pengolah tidak terlalu tinggi. Analisis Derajat Keberdayaan dengan Pendekatan Model Fujikake Dua Tahap Tingkat Pendidikan
Sudah Berpartisipasi Belum Series1, Sudah Berpartisipa si, 3, 75%
Gambar 8. Partisipasi Pelaku Rantai Nilai.
Dalam rantai nilai fruits up, 75% dari para pelaku merasa sudah berkontribusi/berpartisipasi dengan baik terhadap arah kerja dan kebijakan dalam rantai nilai. Sedangkan 25% merasa tingkat partisipasinya masih kurang. Alasan pelaku ialah karena merasa alur informasi belum merata. Pelaku yang merasa sudah berpartisipasi ialah pengepul, pengolah dan fruits up. Pelaku yang merasa belum berpartisipasi penuh ialah petani. Tingkat Kepercayaan dan Kerjasama Tingkat Kepercayaan dan Kerjasama
Series 1, Kuran g, 2, 50%
Series1, Percaya, 2, 50%
Percaya Kurang
Gambar 9. Tingkat Kepercayaan dan Kerjasama Pelaku.
Tingkat kepercayaan dan kerjasama para pelaku dalam rantai nilai fruits up dalam mendinamisasi dan mengendalikan hubungan antar pelaku belum merata. Artinya, ada interaksi antar rantai tertentu yang sudah baik kepercayaan dan kerjasamanya dan ada juga yang belum baik. Arah 8
kerjasama dalam mata rantai dilihat dari dua arah yaitu hubungan ke pemasok (supplier linkage) masing-masing dan hubungan ke konsumen (customer linkage) masing-masing. Fenomena yang terjadi ialah tingkat kepercayaan tinggi antara dua pihak yang berbeda tingkat pendidikan. Di tingkat petani dan pengepul, tingkat kepercayaan dan kerjasama tinggi hanya ketika terjadi transaksi namun tidak berkelanjutan. Di tingkat pengepul dan pengolah, tingkat kepercayaan dan kerjasama sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hubungan karib atau informal antara pengepul dan petani meskipun sedang tidak ada transaksi. Di tingkat pengolah dan fruits up, tingkat kepercayaan dan kerjasama masih harus ditingkatkan. Hal ini terjadi karena kurangnya kesepahaman dan komunikasi yang baik antar dua pelaku namun fenomena ini masih minor, dalam artian tidak sering terjadi.
berkembang dalam melakukan pencatatan administrasi dan pengarsipan dan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Hal ini terbukti dengan, menurunnya biaya kehilangan (loss) akibat manajerial usaha yang belum baik. Kemampuan Pengambilan Keputusan Kemampuan Pengambilan Keputusan
Series1, Tidak Ada Perubaha n, 2, 50%
Lebih Mampu Series1, Lebih Tidak Ada Mampu, Perubahan 2, 50%
Gambar 11. Kemampuan Pengambilan Keputusan.
Kemampuan Manajerial Series1, Kemampuan Manajerial Tidak ada perubaha n, 1, 25%
Lebih mampu Series1, Tidak ada Lebih perubahan mampu, 3, 75%
Gambar 10. Kemampuan Manajerial.
Menurut respon para pelaku dalam rantai nilai fruits up, 75% merasa kemampuan manajerialnya bertambah dan 25% sisanya masih belum merasa ada perubahan. Kemampuan manajerial yang dimaksud disini adalah keterampilan dalam mengolah administrasi, inventarisasi dokumen-dokumen kegiatan, dan pengarsipan. Pelaku yang merasa belum bertambah kemampuannya ialah petani. Hal ini dikarenakan petani tidak terbiasa melakukan pencatatan administrasi yang rapi dan merasa belum memiliki kebutuhan untuk melakukan hal itu. Di tingkat pengepul manajerial usaha yang dilakukan sebatas pada pencatatan arus kas. Sedangkan kemampuan manajerial pengolah sudah lebih baik, tidak hanya melakukan pencatatan arus kas, namun juga melakukan dokumentasi kegiatan untuk kepentingan pemasaran, pengarsipan, hingga ke level forecasting berkat adanya pencatatan dan pengarsipan yang baik. Di tingkat fruits up, pada pelaksanaannya, kemampuan manajerial sebenarnya masih belum sebaik pengolah. Namun fruits up dalam perjalanannya hingga saat ini terus melakukan
Pengambilan keputusan dalam menentukan pemanfaatan dana dan prioritas kegiatan yang dilakukan masing-masing pelaku dalam rantai nilai Fruits Up rata-rata sudah baik, jika hanya dilihat sebatas skala masing-masing usaha. Namun respon pelaku menunjukkan bahwa tidak semua merasa mampu dalam mengambil keputusan dalam bisnisnya sendiri, terutama di tingkat Petani dan Pengolah. Petani merasa tidak ada keputusan yang harus diambil terkait dengan kebutuhan ekonomi. Meskipun biaya perawatan pohon mangga mahal, namun kebutuhan perawatan akan tetap sama proposinya kendati nilai biayanya meningkat. Sedangkan, Pengolah merasa tidak ada perubahan karena Pengolah merasa sejak awal sudah memiliki cita-cita usaha jangka panjang dan seluruh keputusan dan penentuan prioritas sejak awal sampai saat ini masih sama. Kemampuan Memanfaatkan Usaha Series1, Kemampuan Memanfaatkan Usaha Tidak Ada Perubaha n, 1, 25%
Lebih Mampu
Series1, Tidak Ada Lebih Perubahan Mampu, 3, 75%
Gambar 12. Kemampuan Memanfaatkan Usaha
Kemampuan memanfaatkan usaha pelaku rantai nilai Fruits Up ditunjukkan dengan peningkatan skala usaha dan rencana jangka panjang masing-masing pelaku. 75% pelaku usaha (Pengepul, Pengolah, Fruits Up) merasa lebih mampu memanfaatkan usaha terkait dengan peningkatan profit dan jejaring. 9
Sedangkan, 25% pelaku usaha (Petani) merasa tidak ada perubahan karena usaha yang dilakukan hanya sebatas budidaya mangga dan meskipun ada pemanfaatan usaha yang lain dan ada sedikit peningkatan skala usaha, tetap usaha budidaya mangga Petani tidak lebih banyak meningkat dan membuahkan banyak usaha lain. Perubahan Perilaku dan Kesadaran Series1, Perubahan Perilaku dan Kesadaran Belum , 1, 25%
Merasa Berubah Belum Series1, Merasa Berubah, 3, 75% Gambar 13. Perubahan Perilaku dan Kesadaran.
Menurut hasil penelitian, secara garis besar setiap pelaku tetap ada perubahan perilaku dan kesadarannya meskipun tidak dapat dihitung dengan besaran angka. Namun jika melihat respon pelaku sendiri, 75% pelaku merasa sudah berubah dibandingkan dengan sebelumnya dari berbagai aspek yang telah dijabarkan sebelumnya. 25% sisanya, merasa tidak ada perubahan. Tidak ada perubahan tidak selalu berarti buruk menurut informan, karena informan merasa dengan perilaku seperti ini informan sudah cukup merasa berdaya. Hasil penyesuaian respon pelaku dan penelitian dengan Model Fujikake berbeda-beda di setiap mata rantai. a. Petani digolongkan ke tipe 1, yaitu hanya sebatas mencapai tujuan usaha (profit), puas terhadap hasil usaha, dan hanya terjadi perubahan kuantitatif atau aspek ekonomi. b. Pengepul digolongkan ke tipe 2, yaitu usaha ini tidak hanya sekedar pencapaian tujuan usaha (profit) karena sudah mulai memikirkan bagaimana cara usaha tersebut bermanfaat bagi sesama dan masyarakat sekitar, adanya kepuasan dan pengakuan terhadap proses bisnis yang dilakukan namun belum sampai ke level pengakuan terhadap strategi bisnis, terjadi perubahan yang bersifat ekonomi (profit dan nilai tambah) dan sosial (keberdayaan pelaku serta efek langsung dan tidak langsung kepada pemberdayaan masyarakat sekitar) 10
c. Pengolah digolongkan ke tipe 3, yaitu usaha ini tidak hanya sekedar pencapaian tujuan usaha (profit) karena sudah mulai memikirkan bagaimana cara usaha tersebut bermanfaat bagi sesama dan masyarakat sekitar, adanya kepuasan dan pengakuan terhadap strategi bisnis yang dilakukan, terjadi perubahan yang bersifat ekonomi (profit dan nilai tambah) dan sosial (keberdayaan pelaku serta efek langsung dan tidak langsung kepada pemberdayaan masyarakat sekitar) d. Fruits Up digolongkan ke tipe 3, yaitu usaha ini tidak hanya sekedar pencapaian tujuan usaha (profit) karena sudah mulai memikirkan bagaimana cara usaha tersebut bermanfaat bagi sesama dan masyarakat sekitar, adanya kepuasan dan pengakuan terhadap strategi bisnis yang dilakukan, terjadi perubahan yang bersifat ekonomi (profit dan nilai tambah) dan sosial (keberdayaan pelaku serta efek langsung dan tidak langsung kepada pemberdayaan masyarakat sekitar) Analisis Manfaat dan Resiko Lingkungan Sederhana Hasil pengamatan dan analisis menunjukkan bahwa kemungkinan pencemaran lingkungan paling tinggi ada di tingkat Petani. Ini terjadi karena penggunaan bahan kimia dan pestisida yang banyak dan belum sepenuhnya petani-petani mangga yang sudah mengubah pola tanam dan perawatannya menjadi organik dan ramah lingkungan. Pengepul berada di tingkat sedang, karena limbah dihasilkan ialah mangga rusak dan busuk. Sistem penanganan limbah di tingkat Pengepul masih belum ada kendati limbah mangga masih bisa diurai oleh lingkungan. Kemungkinan Pencemaran Lingkungan Tinggi
Pelaku dalam Rantai Nilai, Tinggi, 1
Sedang
Rendah
Pelaku dalam Rantai Nilai, Sedang, 1
Pelaku dalam Rantai Nilai, Rendah, 2
Gambar 14. Kemungkinan Pencemaran Lingkungan.
Di tingkat Pengolah dan Fruits Up, limbah bahan baku dan persediaan bisa dijadikan pemasukan sampingan, sehingga dapat disimpulkan kemungkinan pencemaran lingkungannya rendah bahkan bisa menghasilkan keuntungan dari limbah
aktivitas bisnisnya. Maka dapat disimpulkan kegiatan bisnis dalam rantai nilai keseluruhan memiliki tingkat manfaat terhadap lingkungan hidup yang baik, namun, masih harus ditingkatkan lagi di tingkat Petani. Series1, Tidak, 1, 25%
Upaya Zero Wasting
Ada Tidak Series1, Ada, 3, 75% Gambar 15. Upaya Zero Wasting dalam Bisnis Pelaku.
Hambatan Spesifik dalam Pelaku Rantai Nilai Fruits Up Hambatan yang paling utama dalam rantai nilai ialah a. Aspek ekonomi usaha 1) Petani: Biaya perawatan yang besar dan kerusakan tinggi di musim panen, masih ada biaya kehilangan akibat pencatatan administrasi dan pengarsipan yang belum baik, harga jual yang musiman (seasonal). 2) Pengepul: Harga mangga musiman, biaya besar pada aktivitas pengadaan dari Petani, masih ada biaya kehilangan akibat pencatatan administrasi dan pengarsipan yang belum baik. 3) Pengolah: Bahan baku musiman, Biaya bahan baku yang tinggi, kapasitas produksi yang sering tidak diiringi dengan kapasitas penyimpanan, pengembangan produk sedikit terkendala dengan kemampuan suplai pemasok (Pengepul), biaya fasilitas listrik tinggi, kesalahan manusia (human error) pada saat processing yang menyebabkan produk cacat (retur). 4) Fruits Up: Biaya bahan baku tinggi, masih ada biaya kehilangan akibat pencatatan administrasi dan pengarsipan yang belum baik dan mekanisme produksi yang baku dengan sistem operasional produksi (SOP) masih belum diterapkan. b. Aspek sosial usaha
a. Petani: Manfaat sosial adanya rantai nilai Fruits Up masih minim dirasakan oleh Petani. Hal ini dikarenakan belum dirangkulnya Petani secara penuh oleh setiap pelaku dalam rantai nilai dan keberlanjutan upaya merangkul petani tersebut. Interaksi dalam rantai nilai dengan Petani juga masih kurang, kecuali untuk Pengepul sehingga tujuan besar kebermanfaatan adanya rantai nilai masih belum optimal dari sisi petani. b. Pengepul: Pengepul tidak memiliki hambatan yang berarti dilihat dari aspek sosial. Namun, keberdayaan Pengepul dari sisi kemampuan manajerial usahanya masih harus dioptimalkan. c. Pengolah: Interaksi antara Pengolah dengan Fruits Up harus ditingkatkan lagi untuk mengurangi miskomunikasi. d. Fruits Up: Interaksi antara Pengolah dengan Fruits Up harus ditingkatkan lagi untuk mengurangi miskomunikasi. Opsi Peningkatan Sebagai Upaya Optimalisasi Rantai Nilai a. Petani: 1) Adanya peningkatan upaya produksi di tingkat Petani 2) Pengenalan budidaya mangga Gedong Gincu Organik. 3) Adanya pendampingan yang berkelanjutan. 4) Pelatihan keterampilan manajerial. b. Pengepul: 1) Penjadwalan aktivitas pengadaan dari Petani yang lebih efisien dengan penjadwalan berdasarkan regional tertentu. 2) Pelatihan keterampilan manajerial. c. Pengolah: 1) Pengaturan jadwal hari produksi dan penambahan hari produksi disesuaikan dengan order dari konsumen agar bisa dibuat penjadwalan penyimpanan yang efektif dan efisien. 2) Alokasi fokus kegiatan kepada quality control produk. 3) Pelatihan pekerja agar dapat mengurangi resiko human error. 4) Pelatihan keterampilan manajerial. 11
5) Pembentukan kontrak formal untuk Pengepul agar barang cacat dapat di retur. d. Fruits Up: 1) Pembelian asset baru agar dapat menambah kapasitas produksi seiring dengan meningkatnya permintaan. 2) Pembuatan pencatatan untuk setiap barang masuk dan barang keluar agar biaya kehilangan (loss) dapat diminimalisir. Pembentukan kontrak formal yang mencakup keseluruhan biaya dengan tetap menjaga hubungan informal untuk Pengolah dengan Fruits Up agar kerjasama yang diciptakan tetap kondusif seiring dengan tingkat kepercayaan berbisnis yang tinggi dengan masing-masing pelaku. PENUTUP Pemetaan pelaku dalam rantai nilai Fruits Up adalah sebagai berikut: Petani – Pengepul – Pengolah – Fruits Up. Proporsi nilai tambah dalam rantai nilai paling besar diperoleh Pengolah yaitu sebesar 44,17%. Proporsi keuntungan dalam rantai nilai paling besar diperoleh Pengepul yaitu sebesar 58,89%. Derajat keberdayaan menurut pendekatan model Fujikake 2 tahap ialah: Petani (tipe 1), Pengepul (tipe 2), Pengolah (tipe 3), Fruits Up (tipe 3). Kategori resiko kegiatan bisnis masing-masing pelaku rantai nilai dalam mencemari lingkungan hidup ialah: Petani (tinggi), Pengepul (sedang), Pengolah (rendah), Fruits Up (rendah). Hambatan ekonomi paling besar dirasakan oleh Pengolah, sedangkan hambatan sosial paling besar dirasakan oleh Petani. Manfaat ekonomi yang diterima oleh masing-masing pelaku ialah: peningkatan pendapatan, peningkatan perolehan nilai tambah. Manfaat sosial yang diterima masing-masing pelaku ialah: kemampuan kerjasama meningkat (50%), kemampuan manajerial meningkat (75%), kemampuan pengambilan keputusan meningkat (50%), kemampuan memanfaatkan usaha meningkat (75%). Sehingga dapat disimpulkan manfaat sosial yang dirasakan Petani masih rendah, Pengepul sedang, dan untuk Pengolah dan Fruits Up sudah tinggi. Opsi peningkatan dalam rantai nilai diantaranya adalah: (1) Di level petani: adanya peningkatan upaya produksi, pengenalan budidaya mangga Gedong Gincu organik, adanya pendampingan yang berkelanjutan, serta pelatihan keterampilan manajerial. (2) Di level Pengepul: Penjadwalan aktivitas pengadaan dari Petani yang lebih efisien dengan penjadwalan berdasarkan 12
regional tertentu dan pelatihan keterampilan manajerial. (3) Di level Pengolah; pengaturan jadwal hari produksi dan penambahan hari produksi disesuaikan dengan order dari konsumen agar bisa dibuat penjadwalan penyimpanan yang efektif dan efisien, alokasi fokus kegiatan kepada quality control produk, pelatihan pekerja agar dapat mengurangi resiko human error, serta pelatihan keterampilan manajerial dan pembentukan kontrak formal untuk Pengepul agar barang cacat dapat di retur. (4) Di level Fruits Up: pembelian asset baru agar dapat menambah kapasitas produksi seiring dengan meningkatnya permintaan, pembuatan pencatatan untuk setiap barang masuk dan barang keluar agar biaya kehilangan (loss) dapat diminimalisir, pembentukan kontrak formal yang mencakup keseluruhan biaya dengan tetap menjaga hubungan informal untuk Pengolah dengan Fruits Up agar kerjasama yang diciptakan tetap kondusif seiring dengan tingkat kepercayaan berbisnis yang tinggi dengan masing-masing pelaku. Besarnya nilai yang diterima masing-masing pelaku belum sesuai dengan besarnya usaha pelaku untuk member nilai tambah. Oleh karena itu disarankan untuk Pengolah membuat inovasi terhadap bisnisnya sehingga bisnis tersebut bisa lebih menguntungkan. Minimnya manfaat sosial yang dirasakan oleh Petani perlu diteliti lebih lanjut, mengingat konsep model bisnis The Fruters Model yang sudah sangat baik namun pelaksanaannya masih belum berkelanjutan. Analisis rantai nilai yang lebih menyeluruh dengan memperhitungkan besarnya efek multiplier kepada pelaku pendukung seperti pemerintah dan akademisi menarik untuk diteliti lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistika. 2013. Produksi Tanaman Mangga Seluruh Provinsi Tahun 2006-2012. Badan Pusat Statistika. Baharsjah, Sjarifuddin. 1993. Hortikultura Sebagai Sumber Pertumbuhan Baru Sektor Pertanian. Jakarta: Penerbit Bangkit. Budi, Nugroho. 2010. Konsep Pembangunan Inklusif Apakah Perlu. Diakses pada tanggal 20 Juli 2015 di: http://karinakas.org/id/index.php?option=com_ content&task=view&id=29 Catelo, M., dan A. Costales. 2008. Contract Farming And Other Market Institutions As Mechanisms For Integrating Smallholder Livestock Producers In The Growth And Development Of The Livestock Sector In Developing Countries. PPLPI Working Paper. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap
Industri Pengolahan Buah. Departemen Perindustrian. Elkington, John. 1997. Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of Twenty-First Century Business. Oxford: Capstone. Fujikake, Yoko. 2008. Qualitative Evaluation: Evaluating People’s Empowerent. Japanese Journal of Evaluation Studies, Vol 8 No 2, 2008, pp 25 – 37. Japan Evaluation Society Habibie, B.J. 1993. Peranan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Pengembangan Agroindustri. Jakarta: Penerbit Bangkit. Noor, Trisna. 2011. Pengaruh Agroindustrialisasi Perberasan Terhadap Pembangunan Pertanian Berdasarkan Agroekosistem di Jawa Barat. Disertasi Doktor dalam Bidang Ilmu Pertanian, Universitas Padjadjaran. Pletcher, J. 2000. The Politics of Liberalizing Zambia’s Maize Markets. World Development, 28(1): 129-142. Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: The Free Press. Porter, Michael E. 1980. Competitive Strategy. New York: The Free Press. Pranarka dan Vidhyandika, 1996. Pemberdayaan dalam Onny S.P dan AMW. Pranarka (ed). 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Center for Strategic and International Studies (CSIS). Putri, Selly Harnesa dan Dwi Purnomo, 2015. Pengembangan Model Usaha Produk Puree Buah Hasil Sinergitas Kurikulum dan Pengembangan Sistem Pendukung Kolaborasi Technopreneurship. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran. Raras, A.TS. 2009. Menjadi Manager Sukses, Melalui Empat Aspek Perusahaan. Bandung: Alfabeta. Seshamani, V. 1998. The Impact of Market Liberalisation On Food Security in Zambia. Food Policy 23(6): 539-551. Stringer, R. 2009. Value Chain Analysis. Workshop Value Chain Analysis Tanggal 5 -7 Juni 2009 di Mataram NTB. Badan Litbang Pertanian. Supriatna, A. 2005. Kinerja Dan Prospek Pemasaran Komoditas Mangga (Studi Kasus Petani Mangga di Propinsi Jawa Barat). Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP). Widjajanti, Kesi. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 12, Nomor 1, Juni 2011, hlm.15-27.
13
14
Analisis Strategi Pengembangan Usaha pada Pengusaha Tanaman Hias Skala Menengah (Studi Kasus pada Rosalia Flower, Bunga Barokah dan Dahlia di Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Jawa Barat) Analysis of Business Development Strategy on Medium Scale of Entrepreneurs Ornamental Plants. (Case Study in Rosalia Flower, Bunga Barokah, and Dahlia Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat) Pratiwi Adilvina1*, Gema Wibawa Mukti1 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jl. Raya Bandung – Jatinangor Km 21,5
1
ABSTRAK
Kata Kunci: Strategi Tanaman Hias SWOT QSPM Skala Menengah
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan usaha tanaman hias di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dan menganalisis strategi pengembangan usaha terbaik yang dapat diterapkan oleh ketiga perusahaan tersebut. Alat analisis yang digunakan yaitu matriks IFE dan EFE untuk mengetahui bagaimana posisi perusahaan saat ini, matriks I-E untuk mengetahui faktor-faktor strategi sebuah perusahaan dari lingkungan internal dan lingkungan eksternal, matriks SWOT untuk mengetahui strategi alternatif pengembangan usaha, dan metode QSPM untuk menentukan prioritas strategi bagi ketiga perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis internal terdapat 8 kekuatan dan 4 kelemahan, sedangkan hasil analisis eksternal terdapat 4 peluang dan 3 ancaman bagi ketiga pengusaha. Prioritas strategi pengembangan usaha berdasarkan metode QSPM adalah mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau agar mampu bersaing (5,728); menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam memperkenalkan sekaligus mempromosikan produk (5,432); meningkatkan produksi dengan penggunaan teknologi dalam budidaya (4,982); mempertahankan kerjasama dan hubungan baik dengan pelanggan (4,570), mempertahankan hubungan baik antara atasan dengan bawahan (3,696), membuat SOP dalam kegiatan produksi menjadi terarah dan teratur (3,379); dan membuat laporan keuangan yang baik (3,017).
ABSTRACT
Keywords: Strategy Ornamental Plants SWOT QSPM Medium Scale
This study aims to identify factors that influence the business development of ornamental plants in Rosalia Flower, Flower Barokah, and Dahlia and analyze the best business development strategies that can be applied by all the three companies. An instrument of the analysis used is IFE and EFE matrix to find out company’s current position, I-E matrix to determine the factors of a company strategy from its internal and external environment, SWOT matrix to determine alternative strategies, and QSPM methods to determine the priorities of the strategy for the three companies. The results showed, based on the results of the internal analysis, there are eight strengths and four weaknesses, wheras the external analysis results are four opportunities and three threats for the three entrepreneurs. The priority business development strategies based QSPM method is to maintain product quality and affordable prices in order to compete (5.728); using information technology and telecommunications to introduce and promote the product (5.432); increase production with the use of technology in the cultivation (4.982); maintaining cooperation and good relations with customers (4.570), maintaining good relations between leaders and workers (3.696), making SOP in production activities become directed and organized (3.379); and make good financial statement (3,017).
Email:
[email protected]
15
PENDAHULUAN Tanaman hias memberikaan kontribusi terhadap PDB dan pendapatan petani, sehingga mempunyai prospek yang cukup cerah di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan karena luas lahan dan persyaratan kesuburan tanah yang dimanfaatkan untuk budidaya tanaman hias relatif kecil dibandingkan dengan luas tanah yang dimanfaatkan untuk jenis tanaman lainnya, serta tanaman hias memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat (Direktorat Bina Produksi Hortikultura, 2003). Permintaan tanaman hias terus meningkat baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor, membuat semakin bertambahnya pelaku usaha tanaman hias mulai skala kecil sampai menengah. Melihat hal tersebut, tanaman hias dapat diposisikan sebagai komoditas perdagangan yang penting di dalam negeri maupun di pasar global. (Direktorat Budidaya Tanaman Hias, 2008). Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu Provinsi penghasil tanaman hias selain Povinsi Sumatera Utara, Riau, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimatan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo. Provinsi Jawa Barat mempunyai peluang dalam pengembangan tanaman hias dikarenakan kondisi agroklimatnya yang mendukung khususnya Kabupaten/Kota Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut dan Bandung Barat. (Direktorat Bina Hortikultura, 2008). Secara keseluruhan, produksi tanaman hias di Provinsi Jawa Barat hampir selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya. Perubahan produksi yang meningkat, biasanya didasari dengan perubahan luas panen yang meningkat pula. Berdasarkan Jawa Barat dalam Angka Tahun 2014, luas panen terluas tanaman hias di provinsi Jawa Barat adalah di Kabupaten Bandung Barat dengan luas panen 99.678.540 Ha. Selain perubahan luas panen, permintaan konsumen akan tanaman hias juga tinggi. Dengan semakin meningkatnya konsumen tanaman hias, semakin meningkat pula kesadaran masyarakat akan estetika dan yang paling utama tingkat pendapatan masyarakat juga meningkat sehingga mereka mulai mengalokasikan pendapatannya untuk membeli tanaman hias tersebut. Salah satu daerah di Kabupaten Bandung Barat yang memiliki kemajuan dalam usaha tanaman hias yaitu Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong. Desa Cihideung merupakan salah satu desa yang dikenal dengan sebutan daerah wisata bunga. Desa 1
www.bandungbaratkab.go.id
16
Cihideung merupakan salah satu daerah pusat pertanian dan perdagangan bunga yang ada di Kabupaten Bandung. Hampir seluruh penduduk di Desa Cihideung mengandalkan hidupnya dari pertanian khususnya tanaman hias. Kebanyakan usaha tanaman hias di Desa Cihideung merupakan usaha keluarga yang sudah turun temurun dan sudah berdiri selama berpuluh-puluh tahun. Lebih dari 80% warga desa Cihideung menjadi petani bunga, dimana terdiri dari 30% petani bunga potong, dan 50%. petani bunga hias1. Kawasan Cihideung, memang bisa dibilang pemasok terbesar di nusantara untuk bibit bunga hias. Setidaknya seminggu dua kali, truktruk besar datang mengambil bibit-bibit tanaman, untuk dipasarkan keberbagai daerah seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Malang bahkan hingga ke luar pulau Jawa. Pengusaha tanaman hias di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat terbagi menjadi 3 pengusaha yang didasarkan atas luas lahan yang diusahakan untuk bercocok tanam tanaman hias. Pertama yaitu pengusaha tanaman hias skala kecil dengan luas lahan kurang dari 150 m2 sampai dengan 300 m2 dimana biasanya mereka menanam tanaman hias hanya dipekarangan rumah namun bertujuan untuk dijual ke konsumen. Kedua yaitu pengusaha tanaman hias skala sedang/menengah dimana mereka yang memiliki luas lahan antara 300 m2 sampai dengan 1000 m2 dan yang terakhir yaitu pengusaha tanaman hias skala besar yang mana memiliki luas lahan diatas 1000 m 2. Di Desa Cihideung kebanyakan pengusaha merupakan pengusaha skala menengah dan skala kecil. Pengusaha skala besar hanya terdapat 6 pengusaha, dimana ketiga pengusaha tersebut adalah Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia. Usaha dibidang tanaman hias, dirasakan pengusaha lebih menguntungkan dari pada bisnis pertanian lainnya yang bisa dikembangkan di daerah ini. Selain budidayanya mudah, bagi tanaman hias setiap hari adalah musim tanam dan masa berbunga. Disamping itu, pula untuk menanam bunga tidak perlu lahan luas seperti halnya sayuran dan tanaman padi. KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP Perumusan strategi pengembangan usaha di Desa Cihideung dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha di Desa Cihideung, lalu mengidentifikasi apa yang menjadi visi, misi, serta tujuan kegiatan usaha yang dilakukan masing-masing pengusaha. Pengenalan akan visi, misi, dan tujuan dari kegiatan usaha yang dijalankan akan membantu pengusaha untuk mengarahkan
kegiatan usaha hanya pada visi, misi, dan tujuan yang ingin dicapai. Selanjutnya, melakukan identifikasi dan analisis lingkungan internal dan eksternal yang dimiliki masing-masing pengusaha guna mencapai tujuannya. Analisis lingkungan internal dilakukan dengan pendekatan fungsional (pemasaran, keuangan, produksi operasi, sumberdaya manusia, dan sistem informasi manajemen), untuk mengetahui apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan. Analisis lingkungan eksternal perusahaan mencakup faktorfaktor dalam lingkungan umum yaitu situasi kebijakan pemerintah, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan lingkungan industri (lingkungan mikro) yang terdiri dari pesaing potensial, daya tawar pemasok, produk substitusi, dan daya tawar pembeli guna mengetahui peluang dan ancaman yang dihadapi. Variabel-variabel eksternal dan internal yang telah dianalisis kemudian dirangkum dan dijabarkan ke dalam matriks EFE dan IFE. Hasil matriks EFE dan IFE kemudian digambarkan dalam matriks I-E untuk mengetahui posisi perusahaan saat ini, kemudian untuk mengetahui posisi perusahaan pada saat ini, kemudian untuk mengetahui strategi alternatif apa saja yang dapat digunakan dengan kondisi usaha saat ini adalah dengan menggunakan analisis SWOT. Tahap terakhir adalah dengan menganalisis pengambilan keputusan akan strategi usaha mana yang dianggap paling baik bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dengan menggunakan metode QSPM. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik penelitian yang digunakan berupa studi kasus. Cara pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, kuesioner, dan studi literatur. Data yang diperoleh dari analisis lingkungan internal dan eksternal kemudian diolah dengan alat analisis matriks IFE dan matriks EFE untuk mengetahui bagaimana posisi dari perusahaan saat ini. Selanjutnya, hasil dari analisis tersebut akan digabungkan kedalam matriks IE kemudian akan dioah dengan matriks SWOT untuk mengetahui alternatif strategi yang diperoleh dari matriks SWOT kemudian akan diolah dengan metode QSPM untuk menentukan sasaran strategi alternatif mana yang terbaik dan merupakan strategi prioritas bagi perusahaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Faktor Internal Berdasarkan kondisi lingkungan internal Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor internal yang
menjadi kekuatan dan kelemahan bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah: 1. Kekuatan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia: A. Komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan. (Manajemen) Hubungan yang terjalin antara pemimpin dengan pekerjanya adalah sangat dekat, sehingga tercipta komunikasi yang baik antara keduanya. B. Perolehan bibit yang mudah. (Produksi) Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia mampu membudidayakan perbanyakan bibit sendiri. Tetapi jika ada bibit jenis baru, harus membeli ke toko maupun keluar daerah. C. Produk/jenis tanaman yang beragam. (Produksi) Produk tanaman hias yang dijual di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia terdiri dari berbagai macam tanaman hias, seperti bonsai, cemara, dll. Jenis tanaman yang cukup banyak ditawarkan, akan membuat konsumen memiliki banyak pilihan dan bebas untuk memilih tanaman hias yang diinginkan. D. Kapasitas produksi yang dapat memenuhi permintaan konsumen. (Produksi) Kapasitas produksi di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dengan permintaan konsumen dapat terimbangi, meskipun terkadang Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia tidak dapat memenuhi permintaan yang mendadak tetapi mitra dari Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dapat menutupi kekurangan jumlah tanaman. E. Letak yang strategis. Letak Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia terletak di desa wisata dimana akan banyak pengunjung yang berdatangan. Selain itu, letak Green House Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia terletak dipinggir jalan yang dapat dengan mudah diakses oleh konsumen sebagai pengunjung Desa Cihideung untuk berwisata. F. Mutu produk yang baik. (Pemasaran produk) Produk yang dihasilkan oleh Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia memiliki mutu yang baik karena media tanam yang digunakan merupakan media tanaman yang baik sehingga tanaman juga dapat tumbuh dengan baik. Tanaman hias yang diproduksi termasuk kedalam Grade B. G. Bukan produk musiman. Produk-produk tanaman hias yang dijual di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia bukanlah produk musiman karena dapat 17
diproduksi kapan saja, sehingga dapat tetap tumbuh sepanjang tahun dan dengan berbagai kondisi cuaca. H. Harga tanaman hias yang murah. (Pemasaran Harga) Harga produk yang dijual di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia terbilang murah dan dapat dijangkau oleh pelanggan, baik dari pasar terstruktur maupun pasar tidak terstruktur, baik perorangan hingga ritel. Harga yang terjangkau merupakan salah satu alasan para konsumen banyak yang memilih untuk membeli tanaman hias di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia. 2. Kelemahan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia A. Belum mempunyai SOP (Standard Operating Procedure) dalam kegiatan produksi. (Produksi) Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia Belum mempunyai SOP (Standard Operating Procedure) dalam kegiatan produksinya, seperti dalam waktu penyiraman tanaman yang tidak menentu, pemberian pupuk yang tidak menentu, dan hal yang lainnya. Perlunya SOP dimaksudkan agar kegiatan peroduksi lebih terarah dan teratur. B. Menggunakan cara tradisional dalam budidaya. (Produksi) Budidaya tanaman hias yang dilakukan di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia masih menggunakan cara yang sederhana karena belum menggunakan teknologi seperti kultur jaringan, yang mampu mempercepat waktu anakkan hingga tanaman siap dijual sehingga meningkatkan jumlah produksi. C. Tenaga kerja yang tidak menetap. (SDM) Hampir seluruh penduduk di desa Cihideung mengandalkan hidupnya dari pertanian khususnya tanaman hias, sehingga tenaga kerja yang tersedia pun banyak. Hal ini seharusnya menjadi suatu kemudahan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dalam memproduksi tanaman hias. Namun sayangnya banyak tenaga kerja yang tidak menetap sehingga menyebabkan kehilangan tenaga kerja yang terlatih. D. Belum memiliki laporan keuangan yang baik. (Keuangan) Laporan keuangan yang dimiliki Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia tidaklah lengkap, hal ni terlihat dari tidak berjalannya laporan keuangan selama kurang lebih dua 18
tahun. Laporan mengenai pengeluaran dan pemasukan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia tidak dicatat kedalam laporan keuangan, melainkan hanya menyimpan bukti-bukti transaksi seperti bon dan bukti transfer. Laporan keuangan yang baik akan membantu Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dalam menggambarkan kondisi ekonomi dan dapat memilih kebijakan dalam menggunakan uang untuk kepentingan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia. Berdasarkan faktor-faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka dibuatlah matriks IFE (Internal Factor Evaluation). Tabel 1. Matriks IFE Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia Faktor Internal
Bobot Peringkat
KEKUATAN Komunikasi yang baik antara atasan 0,075 dengan bawahan (A) Perolehan bibit 0,076 yang mudah. (B) Produk/jenis tanaman yang 0,076 beragam (C) Kapasitas produksi yang dapat memenuhi 0,070 permintaan konsumen (D) Letak strategis (E) 0,078 Mutu produk baik 0,077 (F) Bukan produk 0,080 musiman (G) Harga tanaman hias 0,087 yang murah (H) KELEMAHAN Belum mempunyai 0,103 SOP (I) Menggunakan cara tradisional dalam 0,090 budidaya (J) SDM yang tidak 0,089 menetap (K) Belum memiliki laporan keuangan 0,101 yang baik (L)
Total Bobot
3
0,225
4
0,304
3
0,228
4
0,280
3
0,234
3
0,231
3
0,240
4
0,348
1
0,103
2
0,180
1
0,089
1
0,101
Total Bobot 1 2,563 TOTAL Hasil dari analisis matriks IFE dapat diketahui bahwa skor bobot total untuk faktor internal adalah 2,563 yang menggambarkan bahwa faktor internal berada dalam posisi rata-rata, dimana kondisi internal cukup baik atau kuat. Faktor Internal
Bobot Peringkat
Analisis Faktor Eksternal Berdasarkan kondisi lingkungan eksternal Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah: 1. Peluang Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia A. Kondisi infrastruktur jalan yang membaik. (Ekonomi) Jalan Desa Cihideung merupakan sebuah jalanan alternatif bagi para masyarakat yang ingin pergi ke daerah Lembang. Dengan demikian, pengunjung akan semakin banyak berdatangan, terlebih lagi kondisi jalan yang semakin baik. B. Meningkatnya pembangunan gedung perkantoran, hotel, perumahan, real estate dan vila. (Sosial Budaya) Pembangunan gedung perkantoran, hotel, dan perumahan semakin maraknya terutama dikota-kota besar. Pemanfaatan tanaman hias pada dekorasi taman, sudah menjadi butuhkan dalam pembangunan gedung untuk menambah nilai estetika. C. Berkembangnya teknologi budidaya, informasi, dan telekomunikasi (Teknologi) Perkembangan budidaya seperti kultur jaringan belum dapat dimanfaatkan oleh Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, namun merupakan sebuah peluang untuk meningkatkan produksi dan mempercepat proses anakan hingga tanaman siap dijual. Sedangkan teknologi yang dimanfaatkan oleh Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah teknologi informasi dan telekomunikasi seperti penggunaan website, handphone, dan smartphone untuk mempromosikan dan berkomunikasi dengan para konsumen maupun mitra. D. Program pemerintah yang mendukung. (Kebijakan Pemerintah) Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan, banyaknya program yang direncanakan oleh pemerintah sudah seharusnya menjadi peluang bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dalam mendukung
keberlangsungan usaha. Program-program yang sudah direncanakan oleh pemerintah menjadi suatu keuntungan jika program tersebut berjalan sesuai rencana. 2. Ancaman Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia E. Harga bahan baku yang fluktuatif (Ekonomi) Harga bahan baku yang dapat naik sewaktuwaktu dapat membuat harga produksi juga meningkat, sedangkan pihak Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia tidak mungkin menaikkan harga produk. F. Selera tren tanaman hias yang tidak dapat diprediksi. (Sosial Budaya) Selera konsumen dan tren tanaman hias tidaklah menetap, namun berubah-ubah sehingga tidak dapat diprediksi. Hal ini dapat menyebabkan tanaman yang diproduksi tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pasar G. Berkembangnya pesaing lama dan munculnya pesaing baru. (Pesaing) Para pesaing tanaman hias kini juga sudah mulai mengembangkan usahanya, khususnya dalam penerapan teknologi. Pesaing baru yang bermunculan juga semakin banyak dengan harga penjualan yang dibawah Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia. Berdasarkan faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka dibuatlah matriks EFE (External Factor Evaluation). Tabel 2. Matriks EFE Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia Faktor Eksternal
Peluang
Skor Bobot
0,119
1
0,119
0,139
4
0,556
0,119
2
0,238
Bobot
PELUANG Kondisi infrastruktur jalan yang membaik. (A) Meningkatnya pembangunan gedung perkantoran, hotel, perumahan, real estate dan vila (B) Berkembangnya budidaya, informasi, dan telekomunikasi (C)
19
Faktor Eksternal
Bobot
Peluang
Skor Bobot
Program pemerintah yang 0,111 2 0,222 mendukung (D) ANCAMAN Harga bahan baku 0,175 3 0,525 yang fluktuatif (E) Selera tren tanaman hias yang tidak 0,155 2 0,31 dapat diprediksi (F) Pesaing yang lebih berkembang dan 0,182 2 0,364 munculnya pesaing baru (G) TOTAL 1,000 2,334 Hasil dari analisis matriks EFE dapat diketahui bahwa skor bobot total untuk faktor eksternal adalah 2,334 yang menunjukkan bahwa faktor-faktor eksternal tersebut berpengaruh menengah, dimana peluang dan ancaman tidak terlalu berpengaruh bagi usaha Rosalia Flower, Bunga Barokah dan Dahlia. Analisis Evaluasi Faktor I-E (Internal-External) Berdasarkan hasil evaluasi faktor internal dan eksternal diperoleh total nilai bobot sebesar 2,563 dan 2,334 untuk faktor eksternal. Hasil total bobot skor digabungkan dengan menempatkan total bobot skor IFE pada sumbu X dan total bobot skor EFE pada sumbu Y, sehingga posisi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia berada pada sel V seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Tinggi 3.0
Menengah
IV
V
VI
2.0
Rendah
VII
VIII
Eksternal
IX
1.0
Gambar 1. Matriks I-E Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia. David (2006) menyatakan bahwa sel V merupakan posisi pertahankan dan pelihara (hold and maintain). Strategi yang dapat dikembangkan oleh 20
Analsis Matriks SWOT Analisis SWOT merupakan tahapan pencocokan untuk menghasilkan alternatif strategi yang tepat dilakukan oleh perusahaan berdasarkan dari identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang sudah ditetapkan sebelumnya. Alternatif strategi tersebut merupakan penggabungan dari kekuatan dengan peluang (S-O), kelemahan dengan peluang (W-O), kekuatan dengan ancaman (S-T), dan kelemahan dengan ancaman (W-T) yang didasarkan pada strategi utama yang diperoleh dari analisis perhitungan matriks IE. Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia berada pada posisi pertahankan dan pelihara sehingga perusahaan dapat merumuskan strategi berdasarkan posisi yang pada saat ini yaitu strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Diagram Matriks SWOT Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dapat dilihat pada Tabel berikut.
Internal
Total bobot nilai EFE
4.0
Total Bobot Nilai IFE RataKuat Lemah rata 3.01.02.04.0 1.99 2.99 3.0 2.0 1.0 II I III
perusahaan adalah strategi penetrasi pasar (market penetration) dan pengembangan produk (product developmnet). Strategi penetrasi pasar adalah suatu strategi yang bertujuan untuk meningkatkan pangsa pasar produk maupun jasa perusahaan yang sudah ada lewat usaha pemasaran yang lebih gencar. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pelayanan yang lebih baik sehingga konsumen merasa nyaman bekerjasama dengan perusahaan.
OPPORTUNITIE S (O) 1. Kondisi infrastruktur jalan yang membaik. 2. Meningkatnya pembangunan
STRENGTHS (S) 1. Komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan 2. Bahan baku produksi yang didapat dengan mudah 3. Produk/jenis tanaman yang beragam 4. Kapasitas produksi yang dapat memenuhi permintaan konsumen 5. Letak strategis 6. Mutu produk yang baik 7. Bukan produk musiman 8. Harga tanaman hias yang murah STRATEGI SO 1. Menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam memperkenalkan produk.
WEAKNESSES (W) 1. Belum mempunyai SOP 2. Menggunakan cara tradisional dalam budidaya 3. SDM yang tidak menetap 4. Belum memiliki laporan keuangan yang baik
STRATEGI WO 1. Membuat SOP dalam kegiatan produksi menjadi terarah dan teratur 2. Meningkatkan produksi
gedung perkantoran, hotel, perumahan, real estate dan vila 3. Berkembangn ya budidaya, informasi, dan telekomunikas i 4. Program pemerintah yang mendukung THREATHS (T) 1. Harga bahan baku yang fluktuatif 2. Selera tren tanaman hias yang tidak dapat diprediksi 3. Pesaing yang lebih berkembang dan munculnya pesaing baru
dengan penggunaan teknologi dalam budidaya
STRATEGI ST 1. Mempertahank an kerjasama dan hubungan baik dengan pelanggan 2. Mempertahank an mutu produk dan harga yang terjangkau
STRATEGI WT 1. Membuat laporan keuangan yang baik 2. Mempertahank an hubungan baik antara atasan dengan bawahan
Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT pada Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka alternatif strategi yang dapat digunaka dalam pengembangan usaha tanaman hias di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah: 1. Strategi S-O a. Menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam memperkenalkan produk. 2. Strategi W-O a. Membuat SOP dalam kegiatan produksi menjadi terarah dan teratur b. Meningkatkan produksi dengan penggunaan teknologi dalam budidaya 3. Strategi S-T a. Mempertahankan kerjasama dan hubungan baik dengan pelanggan b. Mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau 4. Strategi W-T a. Membuat laporan keuangan b. Mempertahankan hubungan baik antara atasan dengan bawahan Analisis QSP (Quantitative Strategic Planning) Tahap akhir dari perumusan strategi adalah pemilihan strategi terbagi dengan menggunakan alat analisis QSPM yang berdasarkan pada hasil analisis SWOT. Penggunaan QSPM bertujuan untuk memperoleh strategi alternatif terbaik yang dapat diimplementasikan perusahaan berdasarkan arah kebijakan dan kondisi riil perusahaan.
Faktor-faktor kunci dalam QSPM merupakan seluruh lingkup faktor strategis internaleksternal Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia yang memberikan gambaran riil serangkaian peluang dan ancaman serta serangkaian kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Bobot didalam QSPM besarnya sama dengan bobot pada faktorfaktor dalam matriks EFE dan IFE. Nilai AS menunjuk pada daya tarik masingmasing strategi terhadap faktor kunci yang dimiliki. Nilai AS diperoleh melalui kuisioner yang ditujukan kepada informan yaitu masing-masing pemimpin Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses manajemen dan aktivitas sehari-hari perusahaan. Nilai TAS merupakan hasil perkalian antara bobot dan nilai AS dari tiap faktor kunci strategis. Alternatif strategi dari matriks SWOT yang dapat dihasilkan adalah: Strategi 1:Menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam memperkenalkan produk. Strategi 2:Membuat SOP dalam kegiatan produksi menjadi terarah dan teratur Strategi 3: Meningkatkan produksi dengan penggunaan teknologi dalam budidaya Strategi 4: Mempertahankan kerjasama dan hubungan baik dengan pelanggan Strategi 5: Mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau Strategi 6: Membuat laporan keuangan yang baik Strategi 7: Mempertahankan hubungan baik antara atasan dengan bawahan Berdasarkan hasil penilaian dari pemimpin Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka diperoleh urutan strategi dari yang paling menarik untuk diimplementasikan pada perusahaan. Urutan strategi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau (5,728) 2. Menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam memperkenalkan produk (5,432) 3. Meningkatkan produksi dengan penggunaan teknologi dalam budidaya (4,982) 4. Mempertahankan kerjasama dan hubungan baik dengan pelanggan (4,570) 5. Mempertahankan hubungan baik antara atasan dengan bawahan (3,696) 6. Membuat SOP dalam kegiatan produksi menjadi terarah dan teratur (3,379) 7. Membuat laporan keuangan yang baik (3,017) 21
Tiga strategi yang menjadi prioritas utama untuk diterapkan oleh Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau, menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam memperkenalkan produk, dan meningkatkan produksi dengan penggunaan teknologi dalam budidaya. Strategi tersebut merupakan strategi yang tepat untuk diterapkan sebagai pelaksanaan strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Bagi manajemen perusahaan, strategi mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau merupakan strategi yang sangat penting untuk diterapkan saat ini. Semakin meningkatnya persaingan usaha di industri tanaman hias menuntut perusahaan untuk mempertahankan kekuatan yang dipunyai perusahaan. Mutu produk yang baik serta harga tanaman hias yang murah merupakan suatu kekuatan yang dimiliki Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia agar tidak kalah bersaing dengan adanya perusahaan sejenis yang lebih unggul serta perusahaan sejenis yang baru bermunculan. Bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia loyalitas pelanggan sangat penting karena berpengaruh terhadap perkembangan tingkat penjualan perusahaan. Agar tingkat penjualan perusahaan tetap tinggi bahkan meningkat maka perusahaan perlu melakukan usaha yaitu menjaga loyalitas pelanggan melalui mutu produk yang baik serta harga yang masih terjangkau dengan pelanggan. Manajemen Rosalia menyadari bahwa salah satu kelemahan utama perusahaan adalah belum memanfaatkan majunya teknologi dalam memasarkan produk. Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia menyadari bahwa peluang dalam bidang jasa tanaman hias (landscaping, maintenance, dan rental tanaman) sangat besar dan prospek ke depannya juga tetap cerah. Di sisi lain, strategi promosi yang dilakukan perusahaan belum efektif dan efisien. Untuk itu, diperlukan teknologi dalam memasarkan produk, seperti membuat web perusahaan yang berisi tentang profil usaha dan produk perusahaan. Strategi ketiga yang menjadi prioritas manajemen Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah meningkatkan produksi dengan penggunaan teknologi dalam budidaya. Kelemahan lain yang dimiliki Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah masih menggunakan cara berbudidaya yang tradisional sedangkan peluang akan penggunaan teknologi dalam produksi cukup besar. Dalam hal ini, perlu adanya peran pemerintah agar strategi ini berhasil diterapkan yaitu dengan penyuluhan dan subsidi yang sudah diprogramkan pemerintah. 22
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha tanaman hias Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah: a. Faktor internal yang merupakan kekuatan bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan; perolehan bibit yang mudah; produk/jenis tanaman yang beragam; permintaan konsumen yang selalu terpenuhi; letak strategis, mutu produk yang baik; bukan produk musiman; harga tanaman hias yang murah. Sedangkan yang menjadi kelemahan bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah belum mempunyai SOP; menggunakan cara tradisional dalam budidaya; SDM yang tidak menetap; belum memiliki laporan keuangan yang baik. b. Faktor eksternal yang menjadi peluang bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah kondisi infrastruktur jalan yang membaik; meningkatnya pembangunan gedung perkantoran, hotel, perumahan, real estate dan vila; berkembangnya budidaya, informasi, dan telekomunikasi; program pemerintah yang mendukung. Sedangkan yang menjadi ancaman adalah harga bahan baku yang fluktuatif; selera tren tanaman hias yang tidak dapat diprediksi; pesaing yang lebih berkembang dan munculnya pesaing baru. 2. Tiga prioritas strategi pengembangan usaha berdasarkan metode QSPM adalah mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau agar mampu bersaing; menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam memperkenalkan sekaligus mempromosikan produk; meningkatkan produksi dengan penggunaan teknologi dalam budidaya. SARAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap strategi pengembangan usaha tanaman hias Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, saran yang dapat diberikan adalah:
1. Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia sebaiknya mengadakan kontrak dengan para tenaga kerja agar komitmen dan konsistensi tenaga kerja terjamin, sehingga tidak terjadi lagi kehilangan tenaga kerja ahli. 2. Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia sebaiknya benar-benar memanfaatkan teknologi sebagai sarana untuk mempromosikan dan memasarkan produk agar jumlah pelanggan meningkat serta tidak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan instansi besar sehingga dapat menguntungkan bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia. Perusahaan perlu membenahi manajemen perusahaan khususnya manajemen pengelolaan keuangan karena hal ini menjadi kelemahan utama perusahaan. Perusahaan perlu menerapkan pencatatan keuangan secara akuntansi sehingga tidak terjadi pencampuran antara keuangan perusahaan dengan keuangan pribadi pemilik perusahaan. UCAPAN TERIMA KASIH Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada orang tua, abang dan adik yang selalu memberikan dukungan, semangat, kasih sayang dan doa kepada penulis. Selain itu penulis ingin mengucapkan terimakasih yang atas bantuan yang diberikan selama proses penulisan kepada : 1. Gema Wibawa Mukti, S.P.,M.P. sebagai dosen pembimbing sekaligus dosen wali atas segala kesabaran, bimbingan, saran, semangat dan dorongannya. 2. Dr. Dra. Elly Rasmikayati, M.Sc. sebagai dosen penelaah atas bimbingan, koreksi dan saran yang diberikan. 3. Dr. Eti Suminartika, Ir.,M.Si. sebagai dosen penelaah atas koreksi dan saran yang diberikan. 4. Semua teman-teman yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan jurnal ini. DAFTAR PUSTAKA Ayers, Chuck. 2014. The History of Floriculture. Ehow Contribution David, F. R. 2004. Manajemen Strategis. Edisi Sembilan. Terjemahan. Prenhallindo. Jakarta. Nurhadi. 2008. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Tanaman Hias Pada PT. Kusuma Floracipta, Taman Anggrek Ragunan, Jakarta.
Nurhayati, Nunung. 2011. Analisis Kelayakan Usaha dan Strategi Pengembangan Usaha Industri Kecil Tahu di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Ramdhani, Renata Nur. 2011. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Sayuran Organik (Studi Kasus pada Mekar Tani Jaya, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat). Pearce, J. A. Dan R. B. Robinson. 1997. Manajemen Strategik: Formulasi, Implementasi, dan Pengendalian. Binarupa Aksara. Jakarta. Porter, Michael E. 2007. Strategi Bersaing: Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. KARISMA Publishing Group. Tangerang. Pusdalisbang. 2013. Jawa Barat Dalam Angka. Satudata Pembangunan Jawa Barat. Pusponingtiyas, Mita. 2008. Analisis Lingkungan Usaha Dan Formulasi Strategi Bersaing Perusahaan Dalam Industri Tanaman Hias. (Studi Kasus PT. Godongijo Asri, Sawangan, Depok). Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Robbins, S. P. 1991. Management. Third Edition. Prentice-Hall. New Jersey. Samosir, Hestia Vina. 2013. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Tanaman Hias (Studi Kasus pada Family Cactus Nursery, Desa Langensari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat). Sidauruk, Febriando. 2010. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Tanaman Hias Pada PT. Godongijo Asri, Sawangan, Depok, Jawa Barat. Soekartawi, 2000. Pengantar Rajagrafindo Pustaka. Jakarta
Agroindustri.
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pedidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA. www.bandungbaratkab.go.id, 2015. Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan, diakses pada tanggal 26 Juli 2015. www.pelita.or.id, 2015. Produk Hortikultura Secara Nasional Tingkatkan PDB (Ekonomi dan Keuangan), diakses pada tanggal 13 April 2015. 23
24
Manajemen Risiko Pada Rantai Pasok Kentang Pasar Terstruktur di Kelompok Tani Katata, Pangalengan, Jawa Barat Risk Management in Structured Market of Poetatoes Supply Chain at Katata Farmer Group, Pangalengan, Jawa Barat Nadia Shafarina1), Tomy Perdana2) 1,2 Fakultas Pertanian Unpad, Jl. Raya Bandung – Jatinangor Km 21,5
ABSTRAK
Kata Kunci: Kentang, Manajemen Risiko Rantai Pasok, Pasar Terstruktur, HOR (House of Risk), Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment
Kentang adalah salah satu komoditas sayuran di Indonesia. Tiap tahunnya kebutuhan kentang meningkat, tetapi sampai sekarang produksi kentang petani tidak dapat memenuhi seluruh permintaan kentang di Indonesia. Ketidakmampuan itu disebabkan oleh rendahnya produksi benih kentang. Mahalnya harga benih kentang adalah alasan utama petani memproduksi benihnya sendiri. Risiko lainnya yang terjadi pada produksi kentang adalah sangat bergantung pada iklim dan cuaca, biaya produksi tinggi, kriteria dari pasar terstruktur sehingga petani harus melakukan manajemen risiko untuk mencegah kerugian bagi petani. Penelitian ini bertujuan antara lain untuk mengidentifikasi risiko-risiko dan untuk melakukan mitigasi pada rantai pasok kentang pada Kelompok Tani Katata yang mempunyai tujuan pasar terstrukturnya menggunakan metode Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment dan HOR (House of Risk). Hasil dari penelitian menunjukkan 27 risiko yang terjadi dan 11 diantaranya masuk ke dalam risiko prioritas. Sebelas risiko tersebut dapat menyebabkan 82.56% risiko keseluruhan. Untuk mengatasi risiko-risiko tersebut, terdapat sebelas strategi mitigasi yang dapat dilakukan Kelompok Tani Katata.
ABSTRACT
Keywords: Potato, Supply Chain Risk Management, Structured Market, House of Risk (HOR), Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assesment.
Potato is one of the important vegetable commodities in Indonesia. Every year the need for potato increasing, but until now the production of potatoes from the farmers cannot fulfilled the demand potatoes in Indonesia. Relatively expensive price of certified seed is the main reason the farmers apply the seed produced by themselves. Another risks that happened on the productivity of potato is highly depends on the weather, high production costs, specifications of the market structured so the farmers must doing risk management to prevent a decrease in their income. This research’s objectives are to identify and to mitigate the risks of potato supply chain in Farmers Group Katata which already have structured market objectives using Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment and House of Risk (HOR) method. The results of this research identify 27 risk events and 11 of all the risk agents identified are categorized as prioritized risk agents. Eleven of all the risk agents identified are categorized as prioritized risk agents that cause 82.56% of risk events. To cope the risks agent priority, there are eleven risk mitigation strategies that could be done by Farmers Group Katata.
25
PENDAHULUAN Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran yang penting di Indonesia. Masyarakat Indonesia pada umumnya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya, keberadaan kentang dapat dijadikan salah satu alternatif yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Dalam program diversifikasi pangan pengganti beras, posisi kentang menjadi sangat penting. (Wagih dan Wiersema, 1996). Lahan petani kentang di Indonesia saat ini mencapai 70.000 hektare seharusnya membutuhkan benih umbi kentang berkualitas sekitar 130.000 ton per tahun dalam rangka membangun ketahanan pangan nasional. Total kebutuhan kentang nasional 130.000 ton per tahun, sedangkan ketersediaan benih berkualitas dan bersertifikat kurang dari 15 persen. (PT East West Seeds Indonesia (Ewindo), 2014). Petani kentang selalu berupaya mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk memperoleh hasil yang tinggi. Walaupun demikian hasil kentang yang dicapai petani masih jauh dibawah potensi yang ada.. Penyebab utamanya adalah petani tidak menggunakan benih unggul bersertifikat tetapi menggunakan benih produksi sendiri atau benih impor yang sudah beberapa turunan sehingga daya hasilnya rendah (Soegihartono, 2005). Sentra produksi utama kentang di Indonesia terletak di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara (Wattimena, 2000). Jawa Barat adalah salah satu pemasok terbesar untuk produksi kentang dari beberapa sentra di Indonesia. Tahun 2008-2013 menunjukkan data produktivitas dan produksi kentang di Jawa Barat cenderung mengalami fluktuatif (Badan Pusat Statistik, 2013). Klaster agribisnis sayuran Pangalengan mengembangkan komoditas seperti kentang, zucchini, baby kenya bean (Buncis), white radish (Lobak) dan tomat. Klaster ini telah bekerja sama dengan beberapa mitra seperti PT. X, PT. Y, dan PT.Z, serta dengan beberapa supplier ritel modern dan pemerintah (BI dan BKP Jawa Barat). Kelompok tani yang mengelola klaster ini ialah Kelompok Tani Katata. Kelompok Tani Katata telah memiliki beberapa pasar terstruktur yang bekerjasama untuk memenuhi permintaan produk pertanian salah satunya adalah kentang yang dikirim ke Giant. Pasar terstruktur adalah alternatif pasar yang dapat dipilih produsen sayuran skala kecil untuk menghindari risiko fluktuasi harga karena pasar tersebut mengadakan perjanjian terlebih dahulu (Perdana,
26
2012). Karakteristik pasar terstruktur adalah adanya kesepakatan antara produsen dan pembeli secara formal ataupun informal berupa komitmen untuk memasok sayuran secara konsisten, baik kuantitas maupun kualitas dengan harga bersaing dengan pemasok lainnya yang memiliki skala ekonomi lebih besar. Permasalahan yang muncul adalah pada proses grading, petani membagi kentang berdasarkan ukuran-ukuran yang telah ditentukan. Ukuran kentang saat panen bervariasi (tidak seragam). Sedangkan jika para mitra meminta hasil produksi dengan level grading dengan persyaratan tertentu yang diinginkan maka akan sulit bagi petani untuk memenuhinya. Petani juga mengalami kesulitan dalam hal mendapatkan benih yang berkualitas baik dan bersertifikat. Dibutuhkan waktu sedikitnya 2 tahun dan proses panjang untuk menghasilkan benih berkualitas, sehingga dapat berpotensi menimbulkan risiko dan merupakan pokok permasalahan benih kentang di Kelompok Tani Katata. Produktivitas benih kelas G4 di penangkar masih rendah, berkisar antara 3-13 ton per hektar, hal ini sangat jauh dari harapan, padahal biaya produksi untuk menghasilkan benih sangat tinggi, berkisar antara 60 – 70 juta rupiah/ha. Dengan biaya produksi tinggi dan produktivitas yang rendah, maka harga benih G4 untuk petani menjadi tinggi. Kelompok Tani Katata masih belum mampu memenuhi permintaan dari pasar terstruktur, dan dapat terjadi reject karena tidak sesuai dengan kritera yang diminta mitranya. Menurut Marimin dan Nurul Maghfiroh (2010), dalam suatu rantai pasok jika satu pelaku mengalami masalah dalam rantai pasok, maka akan berpengaruh, baik secara langsung atau tidak langsung kepada mitra dalam jaringan rantai pasokan. Begitupun dengan risiko akibat dari permasalahan tersebut, sehingga terjadi interaksi antar risiko yang menyebabkan kerugian secara menyeluruh dalam jaringan pasokan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan : 1. mengetahui risiko-risiko yang dihadapi dalam proses rantai pasok kentang di Kelompok Tani Katata 2. sejauh mana Kelompok Tani Katata menerapkan manajemen risiko didalamnya 3. memberikan rekomendasi atau jalan alternatif penanganan risiko. METODE Objek penelitian ini adalah risiko pada rantai pasok kentang. Penelitian ini dilakukan di Kelompok Tani Katata yang terletak di di Desa Margamekar,
Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Metode penelitian ini dirancang sebagai studi kasus (case study) untuk mencari informasi secara mendalam mengenai proses rantai pasok kentang. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode RapAgRisk dan House of Risk (HOR). RapAgRisk ialah sebuah kombinasi data kuantitatif dan kualitatif informasi yang bersumber dan dianalisis berdasarkan tipe risiko mulai dari faktor internal maupun eksternal yang bertujuan membantu pembuat keputusan untuk meningkatkan strategi manajemen risiko. Metode HOR ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu HOR1 dan HOR2. HOR1 digunakan untuk menentukan mana agen risiko yang harus diberikan prioritas untuk diberikan penanganan prepentif. HOR2 digunakan untuk memberikan prioritas pada penanganan yang dianggap efektif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Kelompok Tani Katata rantai pasok kentang dimulai dari petani penangkar sebagai pemasok bibit. Bibit yang dihasilkan antara lain benih G2 dan G3. Sebagian besar bibit tersebut ditanam dan sebagian lainnya dijual untuk umum. Selanjutnya untuk memenuhi permintaan mitra Kelompok Tani Katata juga bermitra dengan petani kentang lainnya. Hasil panen kentang lalu dibawa ke packinghouse untuk disortasi dan grading. Sebelumnya kentang dicuci dan juga dikeringkan dengan pengawasan dari KAPALINDO. Pihak KAPALINDO mengawasi dan juga mencatat semua kegiatan di packinghouse. Penanganan pascapanen dan perlogistikan sendiri dibantu oleh pihak KAPALINDO. Setelah itu kentang dikirim menggunakan mobil pick-up kepada pihak Giant.
Petani Anggota Kelompok Tani Katata
oleh pelaku yang terlibat dalam rantai pasok kentang di Kelompok Tani Katata yaitu pada tingkat kelompok tani dan petani. Kriteria Kentang Kelompok Tani Katata untuk Giant Pasar Grade Standar Kualitas Giant A (cuci , Kulit kuat tidak lecet, packaging Usia kentang tua 100 20kg/pcs) -120 hst, Mata dangkal, dan tidak hijau, luka fisik, busuk mata, per kg nya sekitar 6-8 buah Sumber : Data Primer, 2015. Pihak mitra biasanya melakukan PO (Purchase Order) 3 hari sebelum kentang dikirim. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 4 jam dan membutuhkan biaya Rp. 700.000,- untuk biaya transportasi dan upah tenaga kerja berjumlah 2 orang. Kentang yang di reject biasanya dikembalikan dan dijual ke pasar tradisional diantaranya Pasar Andir dan Pasar Caringin. Setelah mengidentifikasi kegiatan rantai pasok di Kelompok Tani Katata dilakukan pengelompokkan berdasarkan tipe risiko dan pelaku dalam rantai pasok dengan RapAgrisk. Tujuan utama RapAgRisk adalah untuk membantu para pengambil keputusan memahami risiko-risiko yang timbul dari sumberdaya internal maupun sumber daya eksternal pasokan pertanian, peserta rantai dan untuk meningkatkan strategi manajemen risiko. Perlu dilakukan wawancara secara mendalam kepada ketua Kelompok Tani Katata sebagai pemegang keputusan dan aktor yang terlibat dalam rantai pasok, untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan risiko dan menngelompokkan risiko-risiko tersebut.
KAPALINDO
Giant
Petani Mitra Alur Rantai Pasok Kentang Pemetaan aktivitas rantai pasok dilakukan menggunakan metode SCOR (Supply Chain Operation Reference) di Kelompok Tani Katata yang terdiri dari plan (perencanaan), source (pengadaan), make (produksi), deliver (distribusi), dan return (pengembalian). Masing-masing kegiatan dilakukan
Selain nilai tingkat kemungkinan munculnya risiko dan kemampuan menjalankan risiko, selanjutnya juga ditentukan seberapa sering risiko tersebut terjadi. Melalui skala Kemungkinan Munculnya Risiko maka dapat ditentukan tingkat kemungkinan munculnya risiko tersebut. Hasilnya
27
dapat diketahui dampak keparahan dari masingmasing risiko yang terjadi pada rantai pasok kentang di Kelompok Tani Katata. Potensi Dampak Keparahan Skala Kemungkinan Munculnya Risiko
S Tinggi
Sedang
J
K
P
Logistik, Kualitas kentang, Spek mitra
HTP Prioritas 1
Kesepaka Harga tan antar kentang, anggota Ketersediaa n saprodi, kontrak dengan mitra
Tenaga kerja, Biaya perawatan
Persediaan kentang, Ketersedia an obatobatan untuk mencegah hama/peny akit
Prioritas 2
Rendah
Prioritas 3
Pendapatan menurun
Peralatan yang terpakai
Pola tanam, benih, brand, manajemen yang baik, Biaya produksi
Nilai Keparahan Dampak Risiko (Severity)
Dafatar Agen Risiko dan Kemungkinan Terjadinya ARP adalah kalkulasi antara nilai keparahan dampak peristiwa risiko atau severity (S), nilai kemungkinan terjadinya agen risiko atau occurrence (O), dan nilai hubungan keduanya atau correlation (R). ARP dihitung untuk mengetahui agen risiko mana yang memiliki pengaruh/dampak paling besar terhadap aktivitas rantai pasok dan menjadi prioritas untuk lebih dulu ditangani. Setelah dihitung dan diurutkan mulai dari Nilai ARP tinggi ke rendah, didapat nilai ARP tertinggi adalah 2730 untuk agen A5, agen A5 sendiri yaitu iklim dan cuaca yang tidak menentu. Hal ini paling berisiko bagi petani karena tidak dapat diprediksi dan petani maupun kelompok harus mempunyai berbagai cara agar dapat menghasilkan kentang yang kontinu untuk dikirimkan kepada mitra. Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok Kelompok Tani Katata
28
1. Bantuan pengadaan sarana produksi bagi petani dari pihak Kelompok Tani Katata. (PA1) 2. Penerapan SOP penanaman kentang disesuaikan dengan iklim dan cuaca. (PA2) 3. Perbaikan sarana prasarana khususnya untuk penanganan pascapanen. Khusus untuk kentang dibutuhkan blower yang lebih banyak untuk menghemat waktu. (PA3) 4. Perjanjian antara pihak Katata dengan mitra disesuaikan dengan kesanggupan petani untuk memproduksi kentang dalam jumlah tertentu. (PA4) 5. Antisipasi ketersediaan obat untuk mencegah hama atau penyakit pada tanaman kentang. (PA5) 6. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan kentang harus diimbangi dengan persediaan benih kentang, karena sulitnya mendapatkan benih kentang yang berkualitas maka dibutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mengembangkan benih kentang. (PA6) 7. Dibutuhkan tenaga ahli untuk pengembangan benih kentang, saat ini jumlah tenaga ahli dalam pembenihan di Kelompok Tani Katata hanya ada 4 orang. (PA7) 8. Dibutuhkan informasi dari pasar untuk perbandingan harga. (PA8) 9. Peningkatan manajemen oleh pihak Kelompok Tani Katata dengan PAL agar rantai pasok kentang dapat berjalan dengan efisien. (PA9) 10. Peningkatan kualitas tenaga kerja khususnya dalam penanganan pascapanen, karena berkaitan dengan spek yang diminta oleh pihak mitra. (PA10) 11. Perlunya kendaraan yang lebih besar untuk mengangkut kentang. Sekaligus pencegahan penyusutan kentang selama perjalanan. (PA11) KESIMPULAN 1. Pada rantai pasok kentang di Kelompok Tani Katata dimulai dari petani penangkar yang menghasilkan benih dari mulai G0 sampai dengan G3, untuk memenuhi permintaan pasar terstruktur Kelompok Tani Katata juga bermitra dengan petani kentang lainnya. Selanjutnya kentang dibawa ke packinghouse untuk dilakukan persiapan pengiriman ke pasar terstruktur. Setelah diidentifikasi terdapat 27 risiko pada proses rantai pasok kentang di Kelompok Tani Katata. Risikorisiko yang terjadi antara lain 8 risiko yang terjadi pada perencanaan (plan), 6 risiko yang
terjadi pada pengadaan (source), 7 risiko yang terjadi pada produksi (make), 4 risiko yang terjadi pada pengiriman (deliver), dan 2 risiko yang terjadi pada pengembalian (return). 2. Manajemen risiko yang dilakukan oleh Kelompok Tani Katata masih belum optimal. Terdapat 11 risiko krusial yang mempengaruhi keberlangsungan rantai pasok kentang di Kelompok Tani Katata, yaitu sebesar 82,56%. Jika risiko tersebut tidak segera ditangani akan menyebabkan kerugian yang besar bagi Kelompok Tani Katata. 3. Strategi mitigasi yang dapat dilakukan Kelompok Tani Katata ialah sebanyak 11 strategi mitigasi.
RISMAN/Resources/RapidAgriculturalSuppl yChainRiskAssessmentConceptualFramewor k.pdf> [25/01/15]
SARAN 1. Pihak Kelompok Tani Katata dengan KAPALINDO lebih memperhatikan dampak risiko dan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi selama proses rantai pasok untuk memperkecil barang tolakan. 2. Salah satu permasalahan krusial pada rantai pasok kentang adalah mendapatkan benih yang berkualitas. Oleh karena itu kelompok dibantu oleh pihak KAPALINDO hendaknya mencari solusi untuk permasalahan tersebut misalnya mengusulkan bantuan kepada pemerintah atau mengadakan pelatihan terkait. 3. Strategi mitigasi yang akan dilakukan disesuaikan dengan peristiwa risiko yang terjadi di lapangan.
DAFATAR PUSTAKA Briendly, Claire. 2004. Supply Chain Risk: A Reader. Hampshire: Ashgate Publishing Limited. Marimin dan Nurul Maghfiroh. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. Institut Pertanian Bogor. Pujawan dan Geraldin. 2009. “House of Risk: a model for proactive supply chain risk management.” Business Process Management Journal, Vol. 15, No.6, pp. 953-967. Schoenher. 2008. “Assessing Supply Chain Risks with the Analytic Hierarchy Process: Providing decision sipport for the offshore decision by a US manufacturing company. “Journal of Purchasing and Supply Chain Management. Vol.10. Steven Jaffee, Paul Siegel, and Colin Andrews. 2008. Melalui
29
Lampiran Proses Rantai Pasok Perencanaan (Plan)
Pengadaan (Source)
Produksi (Make)
Produksi (Make)
Distribusi (Deliver)
Pengembalian (Return)
Kode
𝐴2 𝐴3 𝐴4 𝐴5 𝐴6 𝐴7 𝐴8 𝐴9 𝐴10 𝐴11 𝐴12 𝐴13 𝐴14 𝐴15 𝐴16 𝐴17 𝐴18 𝐴19 𝐴20 𝐴21 𝐴22 𝐴23 𝐴24 30
Sub-proses Peristiwa Risiko (Risk Event) Menjalin Kontrak dengan Mitra Harga tidak sesuai keinginan Perencanaan Pengadaan Pengadaan benih kentang Pengadaan saprodi oleh kelompok tani kurang Perencanaan Produksi Ketidakseragaman ukuran kentang Varietas tanam yang dipilih tidak cocok Biaya produksi tinggi Perencanaan Distribusi Jumlah kontainer yang dipersiapkan kurang Perencanaan Pengembalian Pengembalian kontainer tertunda Pengadaan saprodi Pengadaan alat penyemprot terbatas Pembayaran Pembayaran dari mitra terlambat Pascapanen Proses pengeringan kentang (jumlah blower) Kentang susut diperjalanan (dari lahan menuju packing house) Kentang yang diterima tidak sesuai dengan kentang yang diminta Proses di packinghouse Kentang busuk Budidaya Tanaman terserang hama Tanaman terserang penyakit Tanaman mati layu Sortasi Kentang rusak saat sortasi Sortasi tidak teliti Spek dari mitra (Giant) Sortasi tidak tepat waktu Pengiriman kentang ke Mitra Kentang susut diperjalanan Mobil dalam kondisi tidak layak pakai (perjalanan jauh) Terlambat mengirim kentang ke mitra (Giant) Kentang rusak saat pengiriman Pengembalian kentang dari MitraKentang yang dikembalikan Kentang terbuang
Agen Risiko (Risk Agent) Kurangnya negosiasi di tingkat petani Manajemen produksi kurang tepat Kurang koordinasi dengan formulator bibit Jarak pengiriman jauh Iklim dan cuaca yang tidak tentu Kebutuhan petani yang mendesak Transportasi terbatas Tenaga kerja kurang Standardisasi mitra tinggi Hari raya Perjanjian pembayaran dengan mitra Modal/pembiayaan kurang Kelalaian SDM (Sumber Daya Manusia) Pasar tradisional tidak menerima kentang yang dikirim Kecurangan oleh pesaing Harga di pasar tradisional sedang tinggi Disimpan bersama komoditas lain Kurang teknologi pascapanen Hubungan antara petani anggota dan kelompok Kurangnya lembaga pembiayaan usaha tani Pengiriman kentang tidak kontinu Huru-hara Kondisi infrastruktur jalan Pengadaan kelompok tani terbatas
Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E16 E17 E18 E19 E20 E21 E22 E23 E24 E25 E26 E27
Perubahan Struktur dan Perilaku Pemasaran Sayuran dan Buah di Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Kualitas Buah dan Sayuran di Pasar Tradisional Changes of Structure and Conduct of Vegetables and Fruits’ Marketing in Indonesia and the Impact to Quality Improvement of the Products in Traditional Market Asma Sembiring Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Jawa Barat
[email protected]
ABSTRAK
Kata Kunci: Struktur pasar Perilaku pasar Diferensiasi produk, Pasar tradisional Sayuran
Pasar tradisional menjadi tempat utama penjualan sayuran dan buah bagi petani Indonesia. Sementara itu, mayoritas konsumen Indonesia berbelanja sayuran dan buah di pasar tradisional. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh perubahan struktur dan perilaku pemasaran sayuran dan buah di Indonesia selama tahun 2007 sampai 2014 dan pengaruhnya terhadap perbaikan kualitas sayur dan buah di pasar tradisional. Perubahan struktur dilihat dari perubahan jumlah petani dan pedagang, skala produksi dan diferensiasi produk. Sementara itu, perubahan perilaku dilihat dari perubahan hubungan petani, akses petani terhadap informasi pasar dan kredit serta strategi pemasaran. Penelitian dilakukan dari Januari hingga Juli 2014 menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menujukkan dari aspek struktur, terjadi peningkatan jumlah petani sayuran dan buah serta skala produksi. Petani juga melakukan diferensiasi produk berdasarkan pasar tujuan. Dari aspek perilaku, relasi petani menjadi lebih kuat, akses informasi pasar yang lebih terbuka, perbaikan strategi pemasaran dan membaiknya relasi petani, pedagang/agen pemasaran. Secara umum, kualitas sayuran dan buah di pasar tradisional belum membaik karena sayur dan buah berkualitas bagus ditujukan untuk ekspor dan supermarket. Implikasi ke depan adalah mendorong petani menghasilkan buah bermutu dan melakukan penyortiran produk yang dijual ke pasar tradisional.
ABSTRACT
Keywords: Market structure Market conduct Product differentiation Traditional market Vegetable
A traditional market is an ultimate vegetables and fruits destination market for Indonesian farmers. Meanwhile, majority of Indonesian consumers buy vegetables and fruits in the market. The objective of the study is to observe changes of structure and conduct on vegetables and fruits’ marketing in Indonesia during 2007 to2014 and impacts to the improvement of vegetables and fruits’ quality. The changes of structure are observed from numbers of farmers and traders, production scale and product differentions. Meanwhile, the changes of conducts are seen from changes of farmers’ relationship, farmers access to market information, credit and marketing strategy. The study was conducted from January to July 2014. The result showed that from the structure, there are increasing numbers of vegetable and fruit’s farmers and the scale production. Farmers also differentiate their products based on a market destination. From the conduct, the relationship among farmers are stronger, there are more access on market information and credit, improvements of marketing strategies and farmers-traders/marketing agents’ relationship. As the general, the quality of vegetables and fruits in traditional market have not been improved yet as the high quality of vegetables and fruits are sold for export and supermarket. Implications to the future studies are to support farmers to produce high quality of vegetables and fruits and advice them to sort their products before selling the products to the traditional markets.
Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
31
PENDAHULUAN Pasar tradisional menjadi aset sangat penting bagi perekonomian Indonesia, utamanya untuk memasarkan produk-produk lokal seperti buah dan sayuran. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan perputaran uang di pasar tradisional. Selama kurun tahun 2004 hingga 2008, perputaran uang di pasar tradisional meningkat sebesar 44,3 %, yaitu dari 108,7 triliun rupiah menjadi 156,9 triliun rupiah (Kementrian Perdagangan, 2010). Penjualan produk di retail-retail tradisional market ke depannya diperkirakan meningkat, mencapai 816 triliun rupiah di tahun 2015 disebabkan meningkatnya pengeluaran makanan (Minot et al., 2013). Dari total pengeluaran makanan, 34% dialokasikan untuk pengeluaran buah dan sayuran (Euro-monitor International dalam Agricultural and agrifood Kanada, 2011). Sebanyak 4,2 juta petani buah dan sayuran lokal bergantung pada pasar tradisional (Kementan, 2013) dan 12,6 juta pedagang bergantung pada 13.450 pasar tradisional yang ada di Indonesia (Ariawan, 2014). Kontribusi buah dan sayuran terhadap pendapatan perkapita Indonesia mencapai 2,7% ditahun 2012 (Pusdatin, 2013). Kedepannya diperkirakan kontribusinya meningkat akibat meningkatnya konsumsi buah dan sayuran masyarakat (Pusdatin, 2014). Dari sisi produksi, penanaman buah dan sayuran juga meningkat karena menguntungkan petani (Cholic & Ambarsari, 2009). Selama kurun waktu 2009 hingga 2012, kontribusi buah terhadap pendapatan perkapita Indonesia mencapai 5,63%, sementara untuk sayuran mencapai 6,77% (Pusdatin, 2013). Produksi buah dan sayuran nasional ditahun 2013 mencapai 18,3 juta dan 11,6 juta ton (Statistik Pertanian, 2014). Sementara dari sisi konsumen, alokasi pengeluaran untuk buah dan sayuran ditahun 2013 mencapai 5,1% dan 9,6% dari total pengeluaran pangan masyarakat Indonesia (Pusdatin, 2014). Mayoritas petani Indonesia (kurang lebih 90%) menjual buah dan sayuran mereka ke pasar tradisional (Minot et al., 2013). Pasar tradisional menjadi tujuan utama penjualan buah dan sayuran lokal karena petani dapat dengan fleksibel memilih pembeli dan menawarkan harga (Asmon 2004), mudah dalam persyaratan kualitas dan kuantitas (Ismail et al., 2013) dan biaya pemasaran rendah. Lebih lanjut, hubungan dagang antar petani dan pedagang menjadi faktor penting petani bagi petani dalam memutuskan tujuan penjualan buah dan sayuran mereka karena umumnya petani memiliki keterbatasan terhadap lahan, akses modal, produksi serta persoalan kompleks terkait dengan manajemen produksi (Asmon, 2004). 32
Namun demikin, pasar tradisional memberikan keuntungan lebih kecil bagi petani (Sahara et al., 2012) dibanding tujuan pemasaran lainnya disebabkan karena panjangnya rantai pemasaran, harga produk ditentukan oleh pedagang yang memiliki akses terhadap informasi yang berkaitan dengan jumlah produksi, kualitas buah dan sayuran yang beredar di pasar serta jumlah permintaan pasar. Sementara itu, petani memiliki keterbatasan terhadap informasi tersebut dan juga akses terhadap kredit. Akibatnya petani mendapatkan keuntungan yang lebih kecil dari pada pedagang (Prayitno et al., 2013). Sementara itu, konsumen Indonesia pada umumnya memilih membeli buah dan sayuran di pasar tradisional dengan alasan lebih murah, segar, bisa ditawar dan beraneka ragam (Minot et al., 2013; Izza, 2010). Akan tetapi kecendrungan saat ini dan kedepan, konsumen Indonesia semakin peduli dengan kualitas saat membeli buah dan sayuran (Barus, 2008). Konsumen Indonesia menginginkan buah dan sayuran yang mereka beli di pasar tradisional juga merupakan buah dan sayuran berkualitas. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan ingin melihat perubahan struktur, perilaku dan performa pemasaran sayuran dan buah di Indonesia selama kurun waktu 2007-2014 dan pengaruhnya terhadap kualitas sayuran dan buah di pasar tradisional Indonesia. Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga Juli 2014 dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari hasil-hasil penelitian tesis, disertasi, jurnal lokal dan internasional, data statistik serta laporan lembaga-lembaga internasional. Aspek perubahan dilihat dari struktur dan perilaku (Reardon et al., 2012). Aspek struktur mencakup jumlah produsen (petani) dan pembeli (pedagang), skala produksi, differensiasi produk. Perilaku mencakup hubungan antar petani, akses petani terhadap informasi pasar dan kredit, strategi pemasaran serta hubungan petani dengan pedagang/agen pemasaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan pemasaran sayuran dan buah Indonesia di pasar tradisional dipengaruhi kehadiran pasar modern seperti supermarket di Indonesia (World Bank, 2007; Shepherd, 2005), yang dipicu oleh perubahan gaya hidup dan pendidikan kalangan ekonomi menengah ke atas yang semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan menginginkan makanan sehat berkualitas termasuk untuk buah dan sayuran. Kehadiran supermarket membuat tersebut secara
langsung atau tidak mempengaruhi perubahan struktur, perilaku maupun performa pemasaran sayuran dan buah di Indonesia. Perubahan Struktur a. Ditingkat Petani Jumlah Petani Jumlah petani sayuran dan buah Indonesia selama tahun 2007-2011 berfluktuasi namun menunjukkan terjadinya peningkatan (Kementan, 2013). Tabel 1. Jumlah petani sayuran dan buah Indonesia tahun 2007-2011 (000 ton) Komoditas Sayuran Buah
2007 2.837,4 898,4
2008 2.843,4 901,5
2009 2.975,1 942,2
2010 3.104,2 765,8
2011 3.425,5 884,2
Perubahan permintaan pasar membuat petani juga mengubah jenis tanaman yang mereka tanam, dari tanaman pangan menjadi tanaman buah dan sayuran bernilai ekonomis tinggi seperti tomat, kentang, bawang merah, cabai dan mangga (World Bank, 2007). Data Kementrian Pertanian tahun 2013 menyebutkan terjadi peningkatan produksi untuk seluruh jenis buah dan sayuran untuk memenuhi permintaan konsumen yang meningkat Skala produksi Terjadi peningkatan permintaan buah dan sayuran yang berakibat pada upaya peningkatan produksi buah dan sayuran melalui intensifikasi pertanian maupuan ekstensifikasi. Sebagai contohnya, untuk memenulhi permintaan pasar, sejumlah petani mangga di Pemalang, Jawa Tengah memperluas areal penanaman mangga mereka ke lahan-lahan berbiaya murah untuk meningkatkan skala produksi (Sahara, 2012; Natawidjaja et al., 2007). Luas tanam para petani tersebut meningkat dari 36 hektar menjadi 45 hektar. Cara lain yang digunakan dalam memperluas skala produksi adalah dengan membentuk kelompok tani mandiri. Sekitar 65% dari produksi mangga tersebut dijual ke pasar tradisional dan sisanya dijual ke supermarket (Natawidjaja et al., 2007). Diferensiasi produk Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa petani tidak menyortir panen mereka karena tidak ada perbedaan harga yang diterima oleh petani untuk buah yang disortir dengan yang tidak (Saptana et al., 2006). Namun hasil penelitian lain menyebutkan bahwa diferensiasi produk memberikan harga yang berbeda pada sayuran dan buah. Sebagai contoh adalah terdapat
kelompok tani melon di Desa Kajungan, Pekalongan yang menyortir hasil panen mereka berdasarkan tujuan pasar melon. Melon terbaik di ekspor, melon kualitas menengah di jual ke pasar induk dan kualitas paling bawah dijual ke pasar tradisional (Saptana et al., 2006). Hal yang sama juga dilakukan oleh petani mangga di Pemalang, dimana buah kualitas terbaik dijual ke supermarket dan sisanya dijual ke pasar tradisional (Natawidjaja et al., 2007). b. Pedagang/Agen pemasaran Perubahan perlahan terjadi di antara sesama pedagang. Banyak pedagang/agen pemasaran, terutama perusahaan mencoba menghubungkan petani buah dan sayuran ke pasar, terutama ke pasar supermarket dan ekspor. Bekerjasama dengan pedagang, perusahaan menyediakan bimbingan teknis untuk produksi, pengolahan lahan, teknologi, penanganan paska panen serta membantu petani buah dan sayuran dalam penyediaan input, kredit dan informasi pasar (Natawdjaja, et al., 2007 ; Saptana et al., 2006). Melalui bantuan teknis tersebut, produk buah dan sayuran yang dihasilkan petani mampu memenuhi kualitas tinggi yang diminta pasar. Perubahan Perilaku a. Ditingkat Petani Hubungan antar petani
Meningkatnya keterlibatan petani dalam kelompok tani membawa perubahan terhadap hubungan antar petani. Sebelumnya, petani cenderung bekerja sendirian, yang membuat mereka lemah dan memiliki posisi tawar rendah. Melalui kelompok tani, petani secara bersama membeli input, membangun kesepakatan untuk menerapkan manajemen produksi pertanian untuk menjaga agar harga buah dan sayuran stabil serta bekerjasama dengan agen pemasaran untuk memasarkan produk mereka. Upaya-upaya tersebut membuat posisi tawar petani menjadi meningkat saat bernegosiasi dengan pembeli (Hastuti, 2008; Natawidjaja et al., 2007). Akses terhadap informasi pasar Berkaitan dengan informasi pasar seperti harga, pedagang memiliki informasi yang lebih baik dibanding petani, menyebabkan petani banyak menggantungkan dirinya pada pedagang untuk mendapatkan informasi pasar (Prayitno et al., 2013; Sahara, 2012). Karena hal ini pedagang kerap mengambil keuntungan atas petani untuk menetapkan harga jual serta mendapatkan keuntungan yang lebih baik (Asmon, 2004). Semakin kemari, kerjasama kelompok tani dan pedagang berkembang menjadi lebih baik dan membuat petani memiliki akses yang sama dengan pedagang untuk mendapatkan informasi pasar 33
(Sahara, 2012). Kerjasama petani-pedagang ini sangat penting untuk menjamin ketersediaan sayuran dan buah, terutama untuk mengisi permintaan supermarket. Untuk mencapai hal tersebut, perlu dibina transparansi antar mereka (Natawidjaja et al., 2007). Penyebarluasan informasi terkait harga oleh agen pemasaran kepada petani menjadi salah satu bentuk transparansi. Contohnya untuk kasus mangga di Pemalang, Jawa Tengah. Transparansi informasi pasar menjadi sangat penting mengingat Bimandiri sebagai agen pemasaran menerima 5% dari total penjualan mangga sebagai fee agen pemasar (Natawidjaja et al., 2007). Strategi Pemasaran Mayoritas petani buah dan sayuran Indonesia masih bergantung pada pengumpul desa untuk menjual produk mereka. Petani menjual produk mereka tanpa melakukan penyortiran. Untuk menjual produk langsung ke konsumen, para petani harus melalui dua hingga tiga pedagang perantara danmembutuhkan biaya besar. Berfungsinya kelompok tani serta adanya kerjasama dengan agen pemasaran memperpendek saluran pemasaran (Natawidjaja et al., 2007). Buah dan sayuran petani langsung dikirim ke pasar tujuan melalui agen pemasaran (Natawidjaja et al., 2007; Saptana et al., 2006). Petani juga mulai melakukan penyortiran, mengelompokkan buah dan sayuran berdasarkan ukuran dan mengemas produk sesuai permintaan pasar. Pemasaran baru ini memberikan dua keuntungan bagi petani yakni 1) dengan menjual langsung pada agen pemasaran, rantai pemasaran dipersingkat. Hal ini berarti mengurangi biaya pemasaran petani 2) dengan melakukan differensiasi/pembedaan produk sesuai tujuan pasar, perbedaan harga dapat diberlakukan. Bila pasar yang dituju adalah supermarket dan ekspor, petani mendapatkan keuntungan yng lebih baik dibandingkan dengan pasar tradisional. b. Petani, pedagang dan agen pemasaran
Perubahan juga terjadi dalam hubungan petani dan pedagang dalam pemasaran buah dan sayuran. Sebelumnya para pedagang cenderung mengambil keuntungan atas petani karena keterbatasan terhadap modal dan informasi pasar (Asmon, 2004). Tetapi hal tersebut telah berubah. Saat ini, pedagang memandang petani sebagai partner yang saling menguntungkan, yang perlu mendapat dukungan untuk mencapai tujuan pemasaran bersama lebih efektif. Kerjasama seperti ini telah memberikan manfaat kepada kedua belah pihak yang terlibat (Natawidjaja et al., 2007). Contoh kolaborasi yang berhasil dilakukan oleh dan Bimandiri serta petani dan UD Mekar Buah 34
(Natawidjaja et al., 2007; Saptana et al., 2006). Kedua perusahaan ini memberikan bantuan hal dalam input, modal dan teknologi untuk memproduksi buah dan sayuran berkualitas tinggi untuk memenuhi permintaan supermarket dan pasar luar negeri membawa manfaat bagi seluruh stakeholder. Selain itu, informasi harga pasar disampaikan secara terbuka. Keterbukaan ini membuat kedua belah pihak, baik dari petani maupun agen pemasaran merasa nyaman dalam melakukan transaksi usaha. Petani juga dapat memperkirakan penghasilan yang mereka terima dari usaha kerjasama ini (Mukti et al., 2014). Perubahan struktur dan perilaku pada pasar tradisional adalah adanya upaya-upaya untuk memperpendek rantai pemasaran buah dan sayuran di pasar tradisional sehingga mampu mengurangi biaya pemasaran total dan meningkatkan penerimaan petani (Hardesty & Leff, 2009; Lemeilleur & Codron,2011). Petani menerima penghasilan yang lebih baik dengan melakukan diferensiasi produk berdasarkan tujuan pemasaran. Petani tak hanya menjual buah dan sayurannya ke pasar tradisional saja, tapi juga ke supermarket dan ekspor. PENUTUP Terdapat hubungan yang kuat antara perubahan struktur dan perilaku pemasaran terhadap kualitas buah dan sayuran lokal Indonesia, terutama untuk produk-produk berorientasi supermarket dan ekspor. Hal ini didukung oleh peranan agen pemasaran yang berbagi informasi pasar secara terbuka dengan petani mengenai sayuran dan buah yang diinginkan konsumen serta informasi mengenai harga produk. Selain itu, dukungan dalam bentuk modal dan input serta adanya perubahan relasi agen pemasaran yang memperlakukan petani sebagai partner setara yang membuat kerja sama kedua belah pihak membaik. Namun semua perubahan pemasaran yang terjadi tidak banyak mempengaruhi kualitas buah dan sayuran yang dipasarkan ke pasar tradisional mengingat buah dan sayuran yang masuk ke pasar tradisional adalah kualitas terbawah, yaitu yang tidak diterima di pasar supermarket dan ekspor. Kalaupun petani menjual sayuran dan buah mereka ke pasar tradisional, petani menjual dalam bentuk campuran (tidak disortir), sehingga nilai tambah yang diterima petani yang menjual sayur dan buah ke pasar tradisional terbilang kecil meskipun konsumen terbesar terdapat pada segmen pasar ini. Implikasi ke depan dari penelitian ini adalah pemerintah melalui kelembagaan terkait bekerjasama dengan petani sayur dan buah untuk menghasilkan produk bermutu melalui melalui pengenalan varietas unggul dan teknologi produksi serta mendorong
petani melakukan penyortiran produk yang akan dijual ke pasar tradisional agar petani sayuran dan buah juga mendapatkan nilai tambah ekonomi saat menjualan sayuran dan buah mereka ke pasar tradisional. DAFTAR PUSTAKA Agricultural and Agri-Food Canada. (2011). The Indonesian Consumer, behavior, attitudes and perceptions toward food products, Market Analysis Report, prepared by Agricultural and Agri-Food Canada, Canada. Diambil 20 April 2014, dari http://www5.agr.gc.ca/resources/prod/Intern et-Internet/MISB-DGSIM/ATSSEA/PDF/5715-eng.pdf Ariawan, A. (2014, 29 Januari ), Jumlah pasar tradisional terus menyusut. Suaramerdeka.com, 2014, viewed 25 April 2014, dari http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/ news/2014/01/29/189066 Asmon, D. (2004). Kajian ekonomi dan kelembagaan usahatani sayur daun-daunan (leavy vegetables) di Kota Pekan Baru (Master thesis). Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Barus, S. (2008). Analisis sikap dan minat konsumen dalam pembelian buah-buahan di Carrefour, Plaza Medan Fair dan supermarket Brastagi, Medan (Tesis master) . Universitas Sumatra Utara, Medan, Indonesia Cholic, A., dan Ambarsari, I. (2009). Prospek usahatani tanaman sayuran di Kabupaten Brebes. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 12 (2), 135-145. Hastuti, EY. (2008).Pengaruh penerapan system agribisnis terhadap peningkatan pendapatan petani sayuran di Kabupaten Boyolali (Tesis master). Universitas Diponegoro. Semarang. Indonesia. Hardesty,SD., & Leff, P. (2009). Determining marketing costs and returns in alternative marketing channels. Renewable Agricultural and Food Systems, 25 (1), 2434. Ismail, M., Kavoi, MM., Eric, BK. (2013), Factors influencing the choice of supermarket channel by smallholder vegetable farmer suppliers in Nairobi and Kiambu Counties, Kenya, Journal of Agricultural Economics and Development, 2 (9), 333-344. Izza, N. (2010). Pengaruh pasar modern terhadap pedagang pasar tradisional : Studi pengaruh Ambarukmo Plaza terhadap perekonomian
pedagang pasar Desa Caturtunggal Nologaten, Depok-Sleman, Yogyakarta (undergraduate thesis). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta Indonesia. Kementan. (2014). Statistik Pertanian 2014 Kementrian Pertanian. (2013). Buku saku data hortikultura 2008-2013. Kementrian Pertanian, Direktorat Jendral Hortikultura, Jakarta. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.( 2010). Rencana strategis Kementrian Perdagangan periode 2010-2014. Diambil 20 April 2014,dari http://www.satupemerintah.net/publics/Rens tra_Kementerian_Perdagangan_20102014.pdf Lemeilleur, S., & Codron, JM. (2011). Marketing cooperative vs. Commission agent: The Turkish dilemma of the modern fresh fruits and vegetable market, Food Policy 36, 272279. Minot, N., Stinger, R., Reardon, T., Umberger, W., Wahida, Natawidjaja, R., Suprehatin, Toiba, H., Perkasa, HW., Rum, IA., Wicaksena, B. and Fradilla, H. (2013). Markets for high-value commodities in Indonesia: Promoting competitiveness and inclusiveness, ACIAR report, October. Mukti, GW., & Kusumo, RAB . (2014). Kolaborasi bisnis petani skala kecil dan suplier dalam pengadaan sayuran berkualitas bagi konsumen modern, Prosiding Seminar Nasional PERHORTI 2014. Malang 5-7 November 2014, 595-602.
Nawidjaja, RS., Deliana, Y., Rusastra, W., Perdana, T., Napitupulu, TA., Sulistyoningrum, H., & Rahayu, YM. (2007). Indonesia, The transparent margin partnership model: Linking mango farmers to dynamic markets. Center for Agricultural Policy and Agribusiness Studies (CAPAS) report. Padjadjaran University. Prayitno, AB., Hasyim, AI., & Situmorang, S. (2013). Efisiensi pemasaran cabai merah di Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. JIIA, 1(1), 53-59. Pusdatin. (2014). Buletin Konsumsi Pangan, 5 (1) Pusdatin. (2013). Analisis PDB sektor pertanian tahun 2013. Diambil 31 March 2014, dari http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymc puk/gambar/file/Analisis_PDB_2013.pdf Sahara. (2012), The transformation of modern food retails in Indonesia: opportunities and challanges for smallholder farmers (Doctoral Dissertation). The University of Adelaide. South Australia. 35
Saptana, Mayrowani, H., Agustian, A., & Sunarsih. (2006). Analisis kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura. Makalah seminar hasil penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Shepherd. (2007). The implications of supermarket development for horticulture farmers and traditional marketing systems in Asia, Agricultural Management, Marketing and Finance Service. FAO. Rome. World Bank. (2007). Producers and supermarket development in Indonesia, Republic of Indonesia, World Bank Report No.38543ID. Jakarta.
36
Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kopra Indonesia di Pasar Internasional Analysis of Competitiveness Advantage of Indonesian Copra Export Commodities in The International Market Salman Faris Rinaldi, S.P1*, Tuti Karyani2 1*Program 2Staff
Studi Agribisnis Universitas Padjadjaran, Jatinangor,
[email protected] Pengajar sekaligus Ketua Program Studi Agribisnis Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK
Kata Kunci: Daya Saing Ekspor Kopra Indonesia
Besarnya pangsa pasar dan nilai ekspor neto yang dimiliki oleh Indonesia, posisi Indonesia yang menempati eksportir kopra terbesar pertama di dunia dan peran kopra, minyak kelapa dan minyak goreng kelapa yang termasuk dalam lima belas besar komoditas yang berperan dalam ekspor Indonesia pada kelompok kelapa dan kelapa sawit menjadi potensi Indonesia untuk meningkatkan daya saing. Namun sebelum menentukan strategi untuk meningkatkan daya saing, Indonesia harus mengetahui terlebih dahulu struktur pasar yang dijalani dan posisi daya saing yang dimiliki Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk : a) menganalisis struktur pasar kelompok komoditi kopra yang dihadapi Indonesia dalam perdagangan kopra internasional, b) menganalisis posisi daya saing ekspor kelompok komoditi kopra Indonesia di pasar internasional. Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada : a) komoditi kopra yang dimaksud adalah kopra, minyak kelapa, minyak goreng kelapa. b) negara pembanding yang digunakan adalah Belanda, Filipina, India, Malaysia dan Vietnam, c) periode analisis penelitian dari tahun 2009 sampai 2013. Desain penelitian menggunakan desain kualitatif dengan teknik penelitian deskriptif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data deret waktu (time series) selama lima tahun dari tahun 2009 sampai tahun 2013 dan data primer. Teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan studi kepustakaan. Rancangan analisis data menggunakan Concentration Ratio (CR4), Herfindahl Index (HI), Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Porter’s Diamond. Hasil penelitian menunjukkan struktur pasar ketiga komoditas (kopra, minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa) berupa pasar oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi pasar yang tinggi. Indonesia memiliki daya saing yang kuat dari segi keunggulan komparatif pada seluruh komoditas yang diteliti, ditandai dengan nilai Indeks RCA yang lebih besar dari satu. Keunggulan komparatif yang paling besar ada pada minyak kelapa. Dari segi keunggulan kompetitif, Indonesia memiliki keunggulan pada SDA dan kuantitas SDM yang banyak dan peluang pada peningkatan populasi negara pengimpor, peningkatan pendapatan perkapita di negara pengimpor, potensi pengolahan oleh industri, diversifikasi produk menjadi produk turunan lainnya, dan liberalisasi perdagangan. Namun Indonesia masih memiliki kendala dalam kualitas SDM, permodalan, infrastruktur dan intervensi kebijakan pemerintah pada kelapa yang minim
ABSTRACT
Keywords: Competitiveness
Export Copra Indonesia
The bigest of market share and netto export value the Indonesia country own; the Indonesia position which is the first bigest exportir in the world and the function of copra, crude coconut oil and edible coconut oil which is included in the fifteen best Indonesia’s eksport comodity for the copra and palm oil in Indonesia are being Indonesia’s potency to increase Indonesia’s competitiveness advantage. However, the strategic to increase Indonesia’s competitiveness advantage should now the market structur it self and the positioning competitor own of Indonesia. This study aims to a) to analyze the structure of copra’s market in international copra trade, b) analyze the competitive position of Indonesian copra export commodities in the international market. The scope of this study is limited to: a) within the meaning of copra are copra, crude coconut oil and edible coconut oil. b) Comparator country to needed is Netherlands, Philippines, India, Malaysia and Vietnam, c) the research analizes period from from 2009 until 2013. This study used qualitative descriptive study. This study uses secondary data such as time series data for five years from 2009 until 2013 and primary data. Data collection techniques are interviews
37
and literature study. The design of data analysis using the Concentration Ratio (CR4), Herfindahl Index (HI), Revealed Comparative Advantage (RCA) and Porter's Diamond. The research results showed that three commodities (copra, coconut oil, and coconut oil) has oligopolist tied market structure with a high level of concentration. Indonesia had a comparative advantage in that commodities. Which characterized by RCA index value is greater than one. The greatest comparative advantage is crude coconut oil. In terms of competitive advantage, Indonesian’s advantage are on natural resources and quantity of human resources. and a lot of opportunities to increase the population of the importing country, the increase in per capita income in the importing country, the potential of processing industry, product diversification, and trade liberalization. But Indonesia has obstacle in human resourches quality, product quality, financial capital, infrastructure and minimize intervention goverment policy to copra..
38
Ekspor
2013
31.636.902 639.648.236 308.095.651
18.602.630 315.915.994 211.617.943
Tabel 1. Jumlah Ekspor Kopra Indonesia dan Produk Turunannya di Indonesia tahun 2009-2013 (dalam kg)
150
Sumber : UN Comtrade (United Nation – Comodity Trade), diolah (2015)
100
Impor
2009
2010
2011
2012
2013
Kopra
54.740
54.534
14.803
65.576
189.928
Minyak Kelapa
53.229
n.a
n.a
316
1.995.409
Minyak Goreng Kelapa
326.577
329.019
69.964
286.629
178.736
Volume Ekspor (juta kg)
2012
200
31.862.805 530.941.612 406.814.632
Minyak Goreng Kelapa
2011
Minyak Kelapa
21.450.775 357.237.557 208.830.441
Kopra
2010
Komoditi
15.732.683 267.906.506 119.453.272
250
Meski mengalami jumlah ekspor terendah, Indonesia tetap menempati posisi ekspor terbesar pertama. Hal ini dikarenakan dunia sedang mengalami penurunan ekspor kopra secara drastis terutama dari pesaing berat Indonesia di komoditas kopra yaitu Vietnam (Gambar 1). Jika diurutkan berdasarkan data UN Comtrade (United Nation Comodity Trade) urutan jumlah ekspor dari yang terbesar adalah minyak kelapa, Minyak Goreng Kelapa, dan yang terakhir adalah Kopra (Tabel 1). 2009
PENDAHULUAN Kelapa memiliki banyak sekali manfaat dikarenakan seluruh bagian tanaman tersebut dapat dimanfaatkan. Salah satu bagian dari kelapa yang bermanfaat adalah daging kelapa yang dapat dijadikan daging kelapa parut dan kopra. Kopra yang merupakan produk turunan setengah jadi dari kelapa ini merupakan salah satu penghasil devisa yang dapat diandalkan. Komoditi ini menjadi salah satu usaha andalan pemerintah karena memberikan pangsa pasar ekspor cukup besar diantara komoditi pertanian lainnya. Jumlah ekspor produk kopra umumnya menunjukkan trend yang meningkat lalu menurun (Gambar 1). Daya saing komoditi kopra suatu negara produsen kopra dapat dikaji secara umum dari kinerja pertumbuhan ekspor kopranya. Menurut UN Comtrade (United Nation – Comodity Trade), komoditi kopra Indonesia menguasai 31,9 persen pangsa pasar dunia dan menempati urutan pertama negara pengekspor terbesar di dunia pada tahun 2013. Jumlah pangsa pasar yang besar ini menjadi sangat penting karena memberi manfaat secara ekonomi bagi negara yaitu kontribusi terhadap devisa negara serta posisi daya saing kopra Indonesia di dunia.
Komoditi
50 0 2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Belanda Filipina India Indonesia Malaysia Vietnam Gambar 1. Grafik Perubahan Volume Ekspor Kopra Indonesia dengan Beberapa Negara Produsen kopra lainnya (dalam juta kg)
Jumlah ekspor kopra Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2012 lalu mengalami penurunan di tahun berikutnya (Gambar 1). Menurut Donatus Gede Sabu, Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Perkelapaan Indonesia (dalam koran bisnis online, Kontan.co.id, 2013), penurunan pada tahun 2013 ini disebabkan musim hujan di beberapa wilayah Indonesia yang membuat petani kelapa kesulitan menjemur kelapa sehingga sulit mendapatkan kopra yang bagus.
Tabel 2. Nilai Impor Kopra Indonesia dan Produk Turunannya tahun 2009-2013 (kg) Keterangan : n.a = Data tidak tersedia Sumber : UN Comtrade (United Nation Comodity Trade), diolah (2015)
39
Menurut United Nation Comodity Trade (2015), Indonesia adalah produsen dan eksportir komoditi kopra terbesar di dunia. Meskipun sebagai negara produsen kopra terbesar di dunia, tetapi impor beberapa jenis produk kopra dan turunannya masih ada di Indonesia seperti yang terlihat dalam Tabel 2. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007:9), impor seperti itu biasanya dilakukan untuk pengamanan cadangan penggunaan dalam negeri jika suatu saat diperlukan. Hal ini dikarenakan jumlah produksi kopra tidak stabil setiap bulannya yang disebabkan oleh faktor cuaca. Dibandingkan ekspornya, volume impor Indonesia untuk produk kopra dan turunannya jauh lebih rendah (Tabel 1 dan Tabel 2). Secara implisit ini berarti Indonesia masih merupakan pengekspor neto produk-produk kopra dan turunannya seperti pada Tabel 3. Ekspor Neto
2009
2010
2011
2012
2013
Kopra
15.677.943
21.396.241
31.848.002
31.571.326
18.412.702
Minyak Kelapa
267.853.277
#VALUE!
#VALUE!
639.647.920
313.920.585
Minyak Goreng Kelapa
119.126.695
208.501.422
406.744.668
307.809.022
211.439.207
Komoditi
Tabel 3. Nilai Ekspor Neto Kopra Indonesia dan Produk Turunannya Thn 2009-2013 (kg)
Keterangan : Ekspor Neto = Ekspor – Impor #VALUE! = data tidak tersedia Sumber : Tabel 1 dan Tabel 2, diolah (2015)
;
Besarnya nilai ekspor kopra Indonesia dan produk turunannya dibandingkan nilai impornya dipandang sebagai potensi untuk meningkatkan daya saing agar dapat menghasilkan produk kopra yang semakin kompetitif di pasar internasional. Peningkatan daya saing komoditi merupakan tantangan bagi komoditi kopra di Indonesia untuk bisa tetap bertahan di era perdagangan bebas. Besarnya pangsa pasar dan nilai ekspor neto yang dimiliki oleh Indonesia, posisi Indonesia yang menempati eksportir kopra terbesar pertama di dunia
40
dan peran ketiga komoditas yang termasuk dalam lima belas besar komoditas yang berperan dalam ekspor Indonesia pada kelompok kelapa dan kelapa sawit menjadi potensi Indonesia untuk meningkatkan daya saing. Namun sebelum menentukan strategi untuk meningkatkan daya saing, Indonesia harus mengetahui terlebih dahulu struktur pasar yang dijalani dan posisi daya saing yang dimiliki Indonesia. Tujuan Penulisan: 1. Menganalisis struktur pasar kelompok negara komoditi kopra yang dihadapi Indonesia dalam perdagangan kopra internasional. 2. Menganalisis posisi daya saing ekspor kelompok komoditi kopra Indonesia di pasar internasional RUANG LINGKUP PENELITIAN 1. Yang dimaksud dengan komoditi kopra pada penelitian ini adalah Kopra (HS 120300); Minyak Kelapa (HS 151311); Minyak Goreng kelapa (HS 151319). Hal ini dikarenakan minyak kelapa dan minyak goreng kelapa merupakan produk turunan dari kopra yang masuk pada lima belas besar sub kelompok hasil industri pengolahan kelapa/kelapa sawit Kementerian Perindustrian. Sementara untuk sub turunan kopra yang lain seperti Chocochemical dan pakan ternak tidak termasuk karena peran mereka tidak terlalu besar kepada total ekspor hasil industri pengolahan kelapa/kelapa sawit. 2. Pada penelitian ini menggunakan pembanding negara Belanda, Filipina, India, Malaysia dan Vietnam. Pemilihan negara-negara tersebut berdasarkan empat besar negara dengan jumlah ekspor terbesar selama tahun 2009-2013 pada Kopra, Minyak Kelapa dan Minyak Goreng kelapa. 3. Batasan periode analisis penelitian dari tahun 2009 sampai 2013 karena keterbatasan ketersediaan data beserta keterbatasan ketersediaan waktu penelitian
KERANGKA TEORI Menurut Simanjuntak (1992:45) dalam Febriyanthi (2008:30), daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional, kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi menurut beliau, adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari pengusahaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi pengusahaan komoditi dapat dari tingkat keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Menurut Tambunan (2001:98), keunggulan komparatif dapat diukur salah satunya dengan menggunakan Balassa's Revealed Comparative Advantage Index (yang selanjutnya disebut RCA), yang bertujuan untuk membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor tertentu negara atau produsen lainnya. Kelemahan metode RCA adalah mengukur keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dengan asumsi perdagangan bebas dan produk homogen, serta mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, ukuran pasar domestik, dan perkembangannya. Selain itu, metode ini juga tidak dapat membedakan antara peningkatan di dalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan yang sesuai (Silalahi, 2007). Sehingga untuk menutupi kelemahan metode RCA ini, digunakan pendekatan keunggulan kompetitif menggunakan Porter’s Diamods yang mengukur peningkatan di dalam faktor sumber daya dan penerapan kebijakan yang sesuai. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Software Microsoft Excel 2013 digunakan untuk pengolahan data dalam penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data deret waktu (time series) selama lima tahun dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Sumber data diperoleh dari Kementerian Perindustrian, Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik, Asian Pacific Coconut Community (APCC), yang ditelusuri melalui jaringan internet. Analisis Struktur Pasar Pada penelitian ini digunakan Concentration Ratio dan Herfindahl Index (HI) untuk mengetahui tingkat konsentrasi pasar kopra secara internasional. Dari analisis tingkat konsentrasi pasar akan dapat diketahui struktur atau bentuk pasar yang dihadapi dari perdagangan komoditi kopra yang pada akhirnya dapat menentukan tingkat persaingan yang dihadapi. Perhitungan pangsa pasar yang dilakukan menggunakan formula sebagai berikut: Sij = Xij / TXj Dimana, Sij = Pangsa pasar kopra negara i di pasar internasional ; Xij = Nilai ekspor kopra negara i di pasar internasional ; TXj = Total nilai ekspor kopra di pasar internasional. Formula yang sama kemudian digunakan untuk mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu negara dalam perdagangan kopra internasional, yaitu sebagai berikut: HI = Sij12 + Sij22 + Sij32 + … + Sijn2
Dimana, HI = Herfindahl Index; Sij = pangsa pasar komoditi i (dalam hal ini adalah kopra) negara j di pasar internasional ; n = jumlah negara produsen kopra di pasar internasional Kisaran nilai Herfindahl Index yang diperoleh adalah antara 0 dan 1 (atau 10000 yang merupakan kuadrat dari 100 persen). Jika nilai HI mendekati 0 berarti struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung mengarah kepada pasar persaingan (competitive market). Kemudian, jika nilai HI mendekati 1 (atau 10.000) maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli. Rasio konsentrasi pasar dirumuskan sebagai berikut: CR4 = Sij1 + Sij2 + Sij3 + Sij4 Dimana: CR4 = nilai konsentrasi pasar empat negara produsen utama kopra di pasar internasional ; Sij = pangsa pasar negara ke-i penghasil kopra di pasar internasional Menurut Internet Center For Management and Business Administration (2007), Bentuk Struktur pasar yang dirumuskan dari nilai Herfindahl Index dan CR4 adalah sebagai berikut: 1. Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 80 hingga 100
persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1800 hingga 10000. Bentuk pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau sedikit monopoli yang cenderung oligopoli. 2. Konsentrasi pasar sedang dicirikan dengan nilai CR4 antara 50 hingga 80 persen dan nilai HI yang berkisar antara 1000 hingga 1800. Bentuk pasar untuk tingkat konsentrasi sedang adalah lebih banyak oligopoli. 3. Konsentrasi pasar rendah dicirikan dengan nilai CR4 antara 0 dan 50 persen dan HI antara 0 dan 1000. Bentuk pasar yang sangat ekstrim adalah persaingan sempurna, namun sekurangkurangnya adalah persaingan monopolistik
41
Analisis Daya Saing Menurut Tambunan (2001:98), keunggulan komparatif dapat diukur salah satunya dengan menggunakan Balassa's Revealed Comparative Advantage Index. Untuk menutupi kelemahan metode RCA ini, digunakan pendekatan keunggulan kompetitif menggunakan Porter’s Diamods yang mengukur peningkatan di dalam faktor sumber daya dan penerapan kebijakan yang sesuai. Formula RCA dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑋𝑖𝑗 ] ∑𝑖 𝑋𝑖𝑗 𝑅𝐶𝐴 = 𝑋 [∑ 𝑖𝑤 ] 𝑖 𝑋𝑖𝑤 [
Dimana : X ij = nilai ekspor komoditas kopra dari negara j ∑ X ij = total nilai ekspor seluruh komoditas dari negara j X iw = nilai ekspor komoditas kopra dari seluruh dunia ∑X iw = total nilai ekspor seluruh komoditas dari seluruh dunia Apabila nilai RCA produk suatu negara lebih besar dari 1, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat pada produk tersebut. Apabila nilai RCA kurang dari 1, maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif dalam produk tersebut atau mempunyai daya saing yang lemah. Semakin tinggi nilai RCA maka daya saing suatu negara akan semakin kuat. Menurut Porter (1998:87), terdapat empat atribut yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif suatu industri nasional, yaitu kondisi faktor (factor conditions), kondisi permintaan (demand conditions), industri pendukung dan terkait (related and supporting industry), serta strategi perusahaan, struktur, dan persaingan (firms strategy, structure, and rivalry). Keempat atribut tersebut saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain sehingga membentuk suatu sistem yang dikenal dengan Porter’s Diamond (Internet Center For Management and Business Administration, 2014). Selain itu, tedapat dua variabel tambahan yang secara tidak langsung mempengaruhi daya saing suatu industri atau pengusahaan suatu komoditas dalam suatu negara seperti terlihat pada Gambar 2. Sumber: Michael E.Porter. (1998) Keterangan: Garis ( atribut utama
42
), menunjukkan hubungan antara
Garis ( ), menunjukkan hubungan antara atribut tambahan terhadap atribut utama Gambar 2. The National Diamond System HASIL DAN PEMBAHASAN 1. ANALISIS STRUKTUR PASAR 1.1. Analisis Struktur Pasar Komoditas Kopra (HS 120300) Nilai Herfindahl Index kopra dunia selama periode 2009-2013 relatif stabil jika dibandingkan pada nilai Herfindahl Index komoditas minyak kelapa yaitu berkisar antara 1.814 hingga 2.272 dengan nilai rata-ratanya sebesar 2.091,1 (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa komoditas kopra di pasar internasional mengarah pada struktur pasar oligopoli ketat. Tabel 4.Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi Komoditas Kopra (HS 120300) di Pasar Internasional Tahun 2009-2013 Jumlah Nilai Nilai Tahun Negara Herfindahl CR4 Eksportir Index (%) 2009 28 1.814 83,9 2010 27 2.141 81,4 2011 31 2.268 81,6 2012 31 1.960 83,5 2013 33 2.272 91,8 Rerata 30 2091,1 84,5 Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics Database, (Diolah) 2015 Pada periode 2009-2013, jumlah negara yang bertindak sebagai eksportir kopra cenderung mengalami peningkatan dari 28 negara hingga mencapai 33 negara dengan rata-rata 30 negara per tahunnya (Tabel 4). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam perdagangan kopra di pasar internasional persaingannya semakin ketat seiring dengan bertambah banyaknya negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut. Pada Tabel 4 juga dapat dilihat hasil analisis konsentrasi pasar dari empat negara produsen terbesar kopra di dunia. Selama periode 2009-2013, rata-rata nilai CR4 yang diperoleh adalah sebesar 84,5 persen. Hal ini berarti 84,5 persen dari seluruh pangsa pasar ekspor kopra dunia dikuasai oleh empat negara terbesar tersebut dan sisanya 15,5 persen dikuasai oleh 26 negara eksportir lainnya (rata-rata 30 negara dikurangi 4 negara). Sehingga dapat diketahui bahwa struktur pasar kopra dunia memiliki tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dimana rasio
konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang lebih dari empat puluh persen dan mendekati seratus persen. Tabel 5. Pangsa Pasar Empat Negara Produsen Kopra Terbesar di Dunia Rank 1 2 3 4
Tahun 2011 2012 2013 Vietnam* Indonesia* Indonesia* (38,7%) (27,6%) (31,9% ) Kep. Vietnam* Indonesia* Indonesia* India* Solomon (21,9%) (17,2%) (16,3%) (23,7%) (24,9%) Indonesia* Mesir India* India* Vietnam* (19,9%) (15,1%) (13,9%) (16,5%) (21,1%) Kep. Mesir India* Vietnam* Mesir Solomon (19,9%) (12,4%) (14,5%) (15,1%) (12,7%) 2009 India* (22,3%)
2010 Vietnam* (36,7%)
Keterangan : Didalam tanda kurung merupakan pangsa pasar masing-masing negara ; Negara dengan tanda * merupakan negara anggota APCC Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics Database, (Diolah) 2015 Dari hasil perhitungan nilai Herfindahl Index yang menunjukkan pasar kopra internasional berupa pasar oligopoli ketat dan konsentrasi pasar yang lebih dari 80 persen dapat diambil kesimpulan bahwa pasar komoditas kopra internasional berupa pasar oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi pasar yang tinggi. 1.2. Analisis Struktur Pasar Komoditas Minyak Kelapa (HS 151311) Nilai Herfindahl Index komoditas minyak kelapa dunia selama periode 2009-2013 cenderung berfluktuatif, berkisar antara 3.873-5.127 dengan nilai rata-rata Herfindahl Index sebesar 4.281,4 (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa komoditas minyak kelapa di pasar internasional mengarah pada struktur pasar oligopoli ketat. Tabel 6. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi Komoditas Minyak Kelapa (HS 151311) di Pasar Internasional Tahun 2009-2013
Jumlah Negara Nilai Herfindahl Nilai Eksportir Index CR4(%) 2009 63 3.923 92,9 2010 64 5.127 95,9 2011 62 3.873 91,8 2012 71 4.026 94,1 2013 70 4.457 94,0 Rerata 66 4.281,4 93,8 Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics Database, (Diolah) 2015 Tahun
Pada periode 2009-2013, berdasarkan data yang diperoleh dari United Nations Commodity Trade (2015), jumlah negara yang bertindak sebagai eksportir minyak kelapa cenderung berfluktuatif mulai dari yang tersedikit sebanyak 62 negara hingga yang terbanyak mencapai 71 negara dengan rata-rata 66 negara per tahunnya (Tabel 6). Hal ini mengindikasikan bahwa cukup banyak negara yang tertarik dan terlibat dalam perdagangan minyak kelapa di pasar internasional. Dibandingkan dengan kopra, negara-negara di dunia lebih tertarik berkecimpung di minyak kelapa. Hal ini dibuktikan dengan jumlah rata-rata negara eksportir minyak kelapa yang lebih besar dari jumlah rata-rata negara eksportir kopra. Tabel 7 Pangsa Pasar Empat Negara Produsen Komoditas Minyak Kelapa Terbesar di Dunia Pering kat 1 2 3 4
2009 Filipina* (52,2%) Indonesia* (34,3%) Belanda (4,1%) Malaysia* (2,4%)
2010 Filipina* (67,2%) Indonesia* (24,5%) Belanda (3,1%) Malaysia* (1,2%)
Tahun 2011 Filipina* (54,2%) Indonesia* (29,9%) Papua* (5,1%) Belanda (2,6%)
2012 2013 Filipina* Filipina* (44,9%) (57,5%) Indonesia* Indonesia* (44,6%) (33,9%) Malaysia* Sri Lanka (2,5%) (1,4%) Papua* Belanda (1,9%) (1,3%)
Keterangan : Didalam tanda kurung merupakan pangsa pasar masing-masing negara. Negara dengan tanda * merupakan negara anggota APCC Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics Database, (Diolah) 2015 Dari hasil perhitungan nilai Herfindahl Index yang menunjukkan pasar minyak kelapa internasional mengarah pada pasar oligopoli ketat dan rata-rata konsentrasi pasar yang mencapai 93,8 persen dapat diambil kesimpulan bahwa pasar komoditas minyak kelapa internasional berupa pasar oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar yang tinggi. 1.3. Analisis Struktur Pasar Komoditas Minyak Goreng Kelapa (HS 151319) Nilai Herfindahl Index minyak goreng kelapa (HS 151319) dunia selama periode 2009-2013 relatif stabil jika dibandingkan dengan minyak kelapa, yaitu berkisar antara 1.967-2.262 dengan nilai rata-rata Herfindahl Index sebesar 2.152,8 (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa komoditas minyak goreng kelapa di pasar internasional mengarah pada struktur pasar oligopoli ketat.
43
Tabel 8. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio Konsentrasi Komoditas Minyak Goreng Kelapa (HS 151319) di Pasar Internasional Tahun 2009-2013 Jumlah Nilai Nilai Herfindahl Tahun Negara CR4 Index Eksportir (%) 2009 85 1.967 85,1 2010 86 2.176 89,2 2011 82 2.213 90,8 2012 83 2.146 88,4 2013 80 2.262 87,2 Rerata 83 2.152,8 88,1 Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics Database, (Diolah) 2015 Pada periode 2009-2013, berdasarkan data yang diperoleh dari UN Comtrade (United Nation Comodity Trade) (2015), jumlah negara yang bertindak sebagai eksportir minyak goreng kelapa cenderung mengalami penurunan dari 85 negara hingga mencapai 80 negara dengan rata-rata 83 negara per tahunnya (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa dalam perdagangan minyak goreng kelapa di pasar internasional persaingannya semakin ‘longgar’ seiring dengan berkurangnya negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut. Hal ini diduga karena adanya peralihan preferensi konsumen dari minyak goreng berbahan baku kelapa ke minyak goreng berbahan baku kelapa sawit dan berkembangnya industri chocochemical yang masih merupakan produk turunan dari minyak kelapa. Pada Tabel 8 juga dapat dilihat hasil analisis konsentrasi pasar dari empat negara produsen terbesar minyak goreng kelapa di dunia. Selama periode 2009-2013, rata-rata nilai CR4 yang diperoleh adalah sebesar 88,1 persen. Hal ini berarti 88,1 persen dari seluruh pangsa pasar ekspor minyak goreng kelapa dunia dikuasai oleh empat negara terbesar tersebut dan sisanya 11,9 persen dikuasai oleh 79 negara eksportir lainnya (rata-rata 83 negara dikurangi 4 negara). Dari hasil nilai CR4 tersebut dapat diketahui bahwa struktur pasar minyak goreng kelapa dunia mengarah pada struktur pasar oligopoli ketat dimana rasio konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang lebih dari empat puluh persen dan mendekati seratus persen.
44
Tabel 9. Pangsa Pasar Empat Negara Produsen Komoditas Minyak Goreng Kelapa Terbesar di Dunia Rank 1 2 3 4
2009 Filipina* (30,8%) Indonesia* (19,7%) Belanda (19,4%) Malaysia* (15,3%)
Tahun 2010 2011 2012 Filipina* Filipina* Filipina* (32,3%) (29,8%) (29,9%) Indonesia* Indonesia* Indonesia* (23,5%) (26,2%) (24,7%) Belanda Belanda Belanda (19,3%) (20,8%) (22,2%) Malaysia* Malaysia* Malaysia* (14,2%) (14,1%) (11,6%)
2013 Filipina* (35,8%) Belanda (22,8%) Indonesia* (18,3%) Malaysia* (10,3%)
Keterangan : didalam tanda kurung merupakan pangsa pasar masing-masing negara Negara dengan tanda * merupakan negara anggota APCC Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics Database, (Diolah) 2015 Dari hasil perhitungan nilai Herfindahl Index yang menunjukkan pasar minyak goreng kelapa internasional mengarah pada pasar oligopoli ketat dan konsentrasi pasar yang mencapai 91,4 persen dapat diambil kesimpulan bahwa struktur pasar komoditas minyak goreng kelapa (HS 151319) internasional berupa pasar monopoli dengan konsentrasi pasar yang tinggi. 1.3 Analisis Daya Saing Untuk mengalisis daya saing pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif mengingat pendekatan melalui keunggulan komparatif memiliki beberapa kelemahan sehingga ditutupi dengan pendekatan keunggulan kompetitif 1.4. Analisis Keunggulan Komparatif 1) Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas Kopra Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada diperoleh hasil bahwa selama periode 2009-2013 Indonesia memiliki daya saing yang kuat (Indeks RCA Indonesia lebih dari satu) pada komoditas kopra. Hal ini berarti bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditas kopra. Jika dibandingkan dengan negara pembanding lainnya, nilai Indeks RCA Indonesia menempati posisi kedua terbesar setelah Vietnam yang menempati urutan pertama (Gambar 3).
Pada tahun 2011, kopra Indonesia mempunyai nilai Indeks RCA terendah selama periode 20092013 yaitu sebesar 14,2. Nilai Indeks RCA ini mengalami penurunan sebesar 2 poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 16,2. Hal ini disebabkan, walaupun jumlah ekspor kopra Indonesia sedang mengalami titik tertinggi di periode tersebut (yaitu sebesar 31,8juta US) namun peningkatan ini juga diiringi dengan peningkatan ekspor kopra dari negara lain sehingga pangsa pasar Indonesia untuk komoditas kopra menjadi kecil dan paling kecil jika dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya (Tabel 5). 80 70
pangsa pasar
60 50 40 30 20 10
2) Analisis Keunggulan Minyak Kelapa
2010
2011
2012
250
2013
Vietnam
Filipina
Belanda
Malaysia
India
Sumber : Lampiran 9 (diolah), 2015 Gambar 3. Nilai RCA Enam Negara Eksportir Komoditas Kopra (HS 120300) Tahun 2009-2013
Pangsa Pasar
tahun Indonesia
Komoditas
Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada Lampiran 10 diperoleh hasil bahwa selama periode 2009-2013 Indonesia memiliki daya saing yang kuat (Indeks RCA Indonesia lebih dari satu) pada komoditas minyak kelapa. Hal ini berarti bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditas minyak kelapa. Jika dibandingkan dengan nilai rata-rata negara pembanding lainnya, nilai ratarata Indeks RCA Indonesia menempati posisi kedua terbesar setelah Filipina yang menempati urutan pertama (Lampiran 10). Nilai RCA Indonesia masih terpaut jauh dengan Filipina (Gambar 4). Hal ini dikarenakan nilai ekspor minyak kelapa Filipina selalu lebih besar dari Indonesia (Lampiran 4), dan jumlah ekspor dari minyak kelapa rata-rata menyumbang sebanyak 1% dari total ekspor seluruh komoditas di Filipina setiap tahunnya. Sementara komoditas minyak kelapa Indonesia hanya menyumbang antara 0,2% sampai 0,3% kepada total ekspor seluruh komoditas Indonesia.
0 2009
Komparatif
200 150 100 50 0
Dari tahun ke tahun, nilai indeks RCA negara Indonesia dan Filipina cenderung meningkat (Gambar 3). Berbeda dengan empat negara sebelumnya, indeks nilai RCA negara Vietnam, India dan Malaysia berfluktuatif sementara negara Belanda terlihat tidak memiliki daya saing pada komoditas kopra yang ditandai dengan nilai RCA yang nol. Daya saing negara Belanda yang sangat rendah pada komoditas kopra diduga karena Belanda lebih tertarik untuk mengolah produk kopra yang relatif masih berbentuk mentah menjadi produk setengah jadi dan produk jadi seperti minyak kelapa dan minyak goreng kelapa. Hal ini ditandai dengan jumlah ekspor belanda pada komoditas kopra lebih kecil daripada jumlah ekspor Belanda pada komoditas minyak goreng kelapa (Lampiran 3, 4 dan 5). Negara Belanda pun termasuk empat besar negara yang memiliki pangsa pasar terbesar pada produk minyak kelapa (Tabel 7) dan minyak goreng kelapa (Tabel 9)
2009
2010
2011
2012
2013
Belanda
Tahun Filipina
India
Indonesia
Malaysia
Vietnam
Sumber : Lampiran 10 (diolah), 2015 Gambar 4. Nilai RCA Enam Negara Eksportir Komoditas Minyak Kelapa (HS 151311) Tahun 2009-2013
Dari tahun ke tahun, nilai indeks RCA negara Indonesia dan Malaysia relatif stabil. Sementara negara Belanda cenderung menurun. Berbeda dengan tiga negara sebelumnya, indeks nilai RCA negara Filipina berfluktuatif dan negara vietnam menunjukkan trend peningkatan walau masih sedikit. Sementara negara India terlihat tidak memiliki daya saing pada komoditas Minyak Kelapa yang ditandai dengan nilai RCA yang nol (Gambar 4). Daya saing negara India yang sangat rendah pada komoditas minyak kelapa diduga karena India lebih memfokuskan diri untuk ekspor pada bentuk mentah (kopra) dan produk jadi (Minyak Goreng Kelapa) dari pada produk setengah jadi (minyak kelapa). Hal ini ditandai dengan jumlah ekspor India pada
45
komoditas kopra dan minyak goreng kelapa jauh lebih besar daripada jumlah ekspor komoditas minyak kelapa (Lampiran 3, 4 dan 5). 3) Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas Minyak Goreng Kelapa (HS 151319) Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada Lampiran 11 diperoleh hasil bahwa selama periode 2009-2013 Indonesia memiliki daya saing yang kuat (Indeks RCA Indonesia lebih dari satu) pada komoditas minyak goreng kelapa. Hal ini berarti bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditas minyak goreng kelapa. Jika dibandingkan dengan negara pembanding lainnya, Nilai Indeks RCA Indonesia menempati posisi kedua terbesar setelah Filipina. Sementara yang terkecil adalah Vietnam yang memiliki nilai rata-rata Indeks RCA sebesar nol selama tahun 2009 sampai 2013. Nilai RCA Indonesia masih terpaut jauh dengan Filipina (Lampiran 11). Hal ini dikarenakan nilai ekspor minyak goreng kelapa Filipina selalu lebih besar dari Indonesia (Lampiran 5), dan jumlah ekspor dari minyak goreng kelapa Filipina rata-rata menyumbang sebanyak 0,7% dari total ekspor seluruh komoditas di Filipina setiap tahunnya. Sementara komoditas minyak kelapa Indonesia hanya menyumbang 0,1% kepada total ekspor seluruh komoditas Indonesia. 140 120 100 80 60 40 20 0 2009
2010
2011
2012
2013
Belanda
Filipina
India
Indonesia
Malaysia
Vietnam
2014
Sumber : Lampiran 11 (diolah), 2015 Gambar 5. Nilai RCA Enam Negara Eksportir Komoditas Minyak Goreng Kelapa (HS 151319) Tahun 2009-2013
Dari tahun ke tahun, nilai indeks RCA negara Filipina dan Belanda menunjukkan tren meningkat sementara nilai indeks RCA negara Malaysia cenderung menurun. Nilai Indeks RCA negara Indonesia dan India relatif stabil. Sementara negara Belanda terlihat tidak memiliki daya saing pada komoditas minyak goreng kelapa yang ditandai dengan nilai rata-rata RCA-nya yang nol. (Gambar 4.4)
46
Daya saing negara Vietnam yang sangat rendah pada komoditas minyak goreng kelapa diduga karena Vietnam lebih tertarik untuk langsung mengekspor kopra yang dimilikinya dalam bentuk mentah daripada mengolah produk kopra menjadi produk jadi seperti minyak goreng kelapa. Hal ini ditandai dengan jumlah ekspor kopra Vietnam jauh lebih besar daripada jumlah ekspor Vietnam pada komoditas minyak kelapa dan minyak goreng kelapa (Lampiran 3, 4 dan 5). Dari hasil analisis ketiga komoditas (kopra, minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa), Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang kuat pada seluruh komoditas tersebut. Ditandai dengan nilai Indeks Revealed Comparative Advantage yang selalu lebih besar dari satu. Dan nilai rata-rata Indeks RCA pada minyak kelapa adalah yang paling besar dibandingkan kopra dan minyak goreng kelapa. Pangsa pasar untuk minyak kelapa juga yang terbesar dibandingkan dengan komoditas yang lain. Artinya, Minyak kelapa Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang paling besar. Kuatnya daya saing dan tingginya pangsa pasar kopra Indonesia dan produk turunannya di pasar internasional menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai posisi yang cukup tangguh serta berpotensi untuk menjadi pemimpin dalam perdagangan kopra dan produk turunannya di pasar internasional. Untuk mengefisiensikan bentuk ekspor, pemerintah sebaiknya fokus pada minyak kelapa karena memiliki kenggulan komparatif yang paling besar ditunjukkan dengan nilai indeks RCA dan pangsa pasar paling besar. Namun melihat kondisi kualitas sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki Indonesia yang tergolong rendah (berdasarkan penelitian Turukay tahun 2008), pemerintah lebih disarankan untuk tetap mengekspor kopra dalam bentuk kopra dan minyak kelapa karena nilai rata-rata Indeks RCA kopra menempati posisi terbesar kedua setelah minyak kelapa sementara nilai rata-rata Indeks RCA minyak goreng kelapa Indonesia menempati urutan terkecil. Hal ini berarti kopra memiliki keunggulan komparatif terbesar kedua setelah minyak kelapa. Sedangkan minyak goreng kelapa memiliki keunggulan komparatif yang paling kecil. 2.2. Analisis Keunggulan Kompetitif 1) Faktor Sumberdaya Komponen sumberdaya yang merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pengusahaan
kopra antara lain sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal, ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumberdaya infrastruktur. (1) Sumberdaya Alam Pertanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia dengan pangsa 31,2% dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (25,8%), disusul India (16,0%), Sri Langka (3,7%) dan Thailand (3,1%) Pertanaman kelapa tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Pada tahun 2005, total areal meliputi 3,29 juta ha, yakni terdistribusi di pulau Sumatera 33,8%, Jawa 22,4%, Bali, NTB dan NTT 5,9%, Kalimantan 6,8%, Sulawesi 22,1%, Maluku dan Papua 9%. Produk utama yang dihasilkan di wilayah Sumatera adalah kopra dan minyak; di Jawa kelapa butir; Bali, NTB dan NTT kelapa butir dan minyak; Kalimantan kopra; Sulawesi minyak; Maluku dan Papua kopra. Komposisi keadaan tanaman secara nasional meliputi: tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 16,2% (0,63 juta ha), tanaman menghasilkan (TM) 73,6% (2,87 juta ha), dan tanaman tua/rusak (TT/TR) 10,1% (0,39 juta ha) (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007 : 1). Menurut catatan Dewan Kelapa Indonesia (Dekindo) (dalam Direktorat Jenderal Industri Agro, 2014), rata-rata produksi buah kelapa Indonesia per tahun adalah 15,5 miliar butir, dimana 60% penggunaannya dalam bentuk kopra dan minyak dan 40% dalam bentuk lainnya (seperti kelapa segar, dan lain lain). Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2014), provinsi yang memiliki tingkat produksi tertinggi ialah Provinsi Riau dan yang sedikit ialah Provinsi DKI Jakarta. Produksi kelapa Indonesia relatif stabil setiap tahunnya (2) Sumberdaya Manusia
Perkebunan kelapa merupakan salah satu sektor pertanian yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini tercermin dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% dari 3,74 juta ha dan melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani di tahun 2007 (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007 : 1). Berdasarkan data Direktorat Pangan dan Pertanian (2014:120), usahatani kelapa mampu menghidupi sejumlah 37,2 juta orang di tahun 2013 (meningkat 1000% dalam 7 tahun sejak tahun 2007) apabila 1 KK diasumsikan terdiri dari 5 anggota keluarga. Dan menghidupi 22,3juta orang apabila diasumsikan 60% dari seluruh petani kelapa memproduksi kopra (menurut catatan DEKINDO (Dewan Kelapa Indonesia), dari total produksi kelapa, 60% kelapa diproduksi dalam bentuk kopra).
Jumlah tersebut belum termasuk masyarakat yang terlibat dalam rantai pasok perniagaan kelapa dan industri perkelapaan. Banyaknya jumlah petani dalam perkebunan rakyat kelapa belum sepenuhnya ditunjang dengan kualitas sumberdaya manusia yang baik. Kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengusahaan tanaman kelapa ditentukan oleh kemampuan petani dalam menerapkan dan memanfaatkan teknologi serta teknik penanaman yang baik. Menurut penelitian dari Turukay (2008:12) menyatakan bahwa dalam hal penggunaan dan penerapan teknologi pada pengusahaan kopra masih minim. yang ditandai dengan masih digunakannya metode pengasapan untuk menghasilkan kopra dan masih jarangnya pelatihan dan penyuluhan yang diberikan oleh Kementerian Pertanian. Padahal metode pengasapan akan menghasilkan kopra yang bermutu rendah. Menurut Har Adi Basri, Sekertaris Jenderal Dewan Kelapa Indonesia (dalam bisnis.com, 2014), Indonesia masih memerlukan peningkatan kualitas SDM. Selama ini ekspor Indonesia sangat mengandalkan faktor-faktor keunggulan komparatif sebagai penentu utama daya saingnya, terutama daya saing harga, seperti upah buruh murah dan sumber daya alam (SDA) berlimpah sehingga murah biaya pengadaannya. Ketersediaan kuantitas sumberdaya manusia mampu mendukung peningkatan daya saing kopra Indonesia di pasar internasional tetapi kualitas sumberdaya manusianya (merujuk pada penelitian Turukay (2008)) perlu ditingkatkan sehingga produktivitas, kualitas dan daya saing kopra Indonesia dapat meningkat. (3) Sumberdaya
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa sistem budidaya kopra Indonesia sebagian besar berupa perkebunan rakyat. Teknologi yang digunakan pun masih tergolong tradisional dan dalam skala kecil. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman yang saat ini tergolong rendah maka diperlukan bibit unggul yang berasal dari kebun induk, terutama kebun induk kelapa dalam komposit (KIKDK). Saat ini sumber benih kelapa yang digunakan belum berasal dari kebun induk yang dibangun khusus sebagai kebun induk yang benar, tetapi dipilih dari pertanaman yang ada di berbagai daerah yang disebut dengan blok penghasil tinggi (BPT). Walaupun benih yang berasal dari BPT lebih baik daripada benih sapuan, ke depan perlu dibangun KIKDK sebagai sumber benih. Penggunaan kelapa dalam unggul komposit akan meningkatkan produksi kelapa dalam dari rata-rata 1,5 ton kopra/ha/tahun
47
menjadi minimal 2,25 ton kopra/ha/tahun dengan pemeliharaan semi intensif. Peran kelembagaan sangat menentukan dan mendukung adanya ketersediaan pengetahuan dan informasi tersebut. Lembaga penelitian memegang peranan penting dalam memberikan pendampingan dan bimbingan serta inovasi teknologi dalam peningkatan daya saing komoditi kopra Indonesia. Salah satu lembaga internasional yang terkait dengan perkopraan nasional dan dunia adalah Asian and Pacific Coconut Community (APCC) yang berada di bawah naungan Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasific - PBB atau United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP). Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari perguruan tinggi, media, dan jurnal-jurnal penelitian melalui penelitian mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan budidaya ataupun aspek sosial ekonomi. Dalam hal basis data peranan lembaga statistik seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia juga penting dan dibutuhkan dalam mengolah data statistik perkebunan kopra. Namun dikarenakan 98% produsen kelapa (merujuk pada data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertaian (2007)) adalah petani tradisional yang minim pendidikan, potensi teknologi kopra ini masih belum dapat dimaksimalkan. (4) Sumberdaya Modal Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2008:15), modal usaha yang dimiliki petani untuk melakukan budidaya secara baku teknis masih terbatas dari milik petani sedangkan penghasilan petani kopra masih minim dan belum adanya kredit khusus untuk pembiayaan usaha kopra dari pihak perbankan sebagai penyedia kredit dan memberikan bantuan modal. Berdasarkan Panel Petani Nasional yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2006:xix) cara pembayaran sarana produksi yang dibeli lazim dibayar secara tunai terutama untuk pupuk anorganik dan pestisida. Sementara untuk bibit umumnya adalah hasil produksi sendiri karena harga bibit kelapa adalah yang paling mahal jika dibandingkan dengan bibit komoditas perkebunan lain seperti teh, kopi dan karet. Pedagang sarana produksi dan pedagang hasil usahatani juga berfungsi sebagai lembaga permodalan selain peran utama mereka sebagai pedagang. Meski petani kelapa jarang meminjam modal (karena usahatani kelapa rakyat berupa usahatani sampingan yang diperlakukan
48
“seadanya”), jika petani ingin meminjam modal sarana produksi dan uang, mereka dapat meminjam kepada pedagang sarana produksi dan pedagang hasil usahatani yang lokasinya berada didalam desa dan tanpa menggunakan agunan (jaminan). Sedangkan jika meminjam kepada lembaga keuangan formal seperti bank umum dan bank perkreditan rakyat selain harus menggunakan agunan (jaminan), lokasi lembaga keuangan formal yang berada relatif jauh (berada diluar desa) ditambah kondisi jalan yang masih banyak dijumpai dalam bentuk tanah membuat petani cenderung enggan meminjam. (5) Sumberdaya Infrastruktur Berdasarkan Panel Petani Nasional yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiii), permukaan jalan utama di desa berbasis perkebunan khususnya kelapa pada umumnya aspal dan diperkeras. Namun jalan tanah masih banyak dijumpai sehingga ada yang tidak dapat dilalui motor. Senada dengan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007 : 13) untuk daerahdaerah tertentu terutama di luar Jawa kondisi infrastruktur pendukung seperti jalan raya kurang memadai. Dampak dari hal ini biaya usahatani menjadi tinggi dan harga jual menjadi kurang bersaing. Sebagai contoh, di salah satu daerah sentra produksi kelapa di Indragiri Hilir hanya memiliki satu alternatif transportasi, yaitu transportasi air. Kondisi tersebut mengakibatkan kelembagaan penunjang cenderung menekan petani. Sebagai ilustrasi, kelembagaan pemasaran cenderung monopsoni (banyak penjual, satu pembeli), kelembagaan keuangan didominasi sistim barter (tukar menukar) yang merugikan petani, dan akses petani terhadap informasi teknologi dan informasi pasar ekspor tidak berjalan karena kurangnya sarana dan prasarana dan minimnya pendidikan yang dimiliki oleh petani. Untuk wilayah yang infrastrukturnya sudah berkembang seperti di Jawa, kelapa masih cenderung dikonsumsi dalam bentuk kelapa segar, yang mana konsumen utamanya adalah masyarakat perkotaan. Kondisi yang demikian mengakibatkan transportasi yang mahal dan rantai tataniaga yang panjang, pada gilirannya harga tingkat petani juga tertekan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007 : 13). 2)
Kondisi Permintaan Menurut Wiliawan Twishsri selaku direktur Asia and Pasific Coconut Community (dalam koran
bisnis online, Bisnis.com, 2014), perolehan ekspor produk kelapa Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan perolehan negara pesaing utama Filipina. Sebanyak 78,9% dari total perdagangan produk kelapa dunia didominasi oleh Indonesia dan Filipina. Namun, rerata nilai ekspor produk kelapa RI per tahun adalah US$1,355 juta atau lebih rendah dari Filipina yang mencapai US$1,544 juta. Berdasarkan hasil penelitian Turukay (2008:4), Harga merupakan faktor yang sangat penting dalam permintaan kopra karena harga ekspor berpengaruh terhadap permintaan ekspor kopra. Menurut Wiliawan Twishsri selaku direktur Asia and Pasific Coconut Community (dalam koran bisnis online, Bisnis.com, 2014), harga kopra Indonesia mengikuti kesepakatan harga yang telah ditentukan oleh Asia and Pasific Coconut Community. Meski Indonesia memiliki kuantitas ekspor yang banyak, namun Indonesia tidak dapat menentukan harga secara sepihak karena Indonesia sudah menjadi anggota Asia and Pasific Coconut Community. Jika Indonesia melanggar kesepakatan tersebut, Indonesia akan mendapatkan sangsi dari Asia and Pasific Coconut Community. Berdasarkan penelitian Turukay (2008:5), Bagi petani dalam memproduksi dan menjual kopra tidak melihat pada pengaruh naik turunnya nilai tukar rupiah dan naik turunnya harga jual kopra, Hal ini disebabkan produksi kopra 98% dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Sehingga jika nilai tukar turun atau naik dan jika harga jual naik atau turun mereka tetap menjual hasil produksinya. Bagi petani asalkan bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sudah cukup. Masih menurut Turukay (2008:5), Nilai RCA kopra juga memiliki keterkaitan dengan permintaan ekspor kopra Indonesia di pasar dunia (Turukay menggunakan analisa regresi berganda, pada tingkat kepercayaan 99 % untuk variabel indeks Revealed Comparative Advantage) Selain itu menurut Turukay (2008:5), Periode peralihan minyak kelapa ke minyak sawit sebagai bahan baku industri minyak goreng menunjukkan pengaruh yang signifikan pada ekspor kopra Indonesia (Turukay menggunakan analisa regresi berganda, pada tingkat kepercayaan 99 % untuk variabel peralihan minyak kelapa ke minyak sawit), hal ini berarti ketika permintaan minyak sawit meningkat untuk industri minyak goreng dalam negeri berarti permintaan kopra untuk industri minyak goreng dalam negeri berkurang sehingga ekspor kopra dapat ditingkatkan. Minyak sawit sebagai barang subtitusi kopra untuk bahan baku
industri minyak goreng dalam negeri mampu mempengaruhi ekspor kopra Indonesia. Kondisi permintaan kopra baik permintaan domestik dan luar negeri juga merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan daya saing kopra Indonesia di pasar dunia. Perdagangan kopra Indonesia umumnya lebih berorientasi ekspor daripada untuk konsumsi domestik ditandai dengan adanya ekspor neto Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang semakin berkurang selama tahun 2009 hingga 2012 (ditandai dengan meningkatnya jumlah ekspor minyak kelapa, lihat Lampiran 4) diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen domestik yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah. Indonesia sebagai salah satu negara produsen kopra yang lebih berorientasi ekspor, juga mengimpor produk kopra. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2007:9), hal itu biasanya dilakukan untuk pengamanan cadangan penggunaan dalam negeri. Dari uraian kondisi permintaan di atas, apabila dilihat dari segi permintaan domestik, maupun permintaan luar negeri, kopra Indonesia memiliki potensi yang besar dalam perdagangan kopra internasional. Kondisi permintaan tersebut dapat memberikan dukungan terhadap peningkatan daya saing komoditi kopra Indonesia di pasar dunia walaupun masih terdapat sedikit kendala dalam kualitas kopra yang dihasilkan. 3) Eksistensi Industri Terkait dan Industri Pendukung Industri yang terkait produksi kopra adalah industri minyak kelapa dan bungkil kopra. Industri yang terkait produksi minyak kelapa adalah industri minyak kelapa sawit (sebagai industri substitusi), industri minyak goreng kelapa dan cocochemical (bahan kimia yang terbuat dari minyak kelapa). Sedangkan yang terkait produksi minyak goreng kelapa adalah pedagang partai besar, eksportir, dan industri lainnya yang menggunakan minyak goreng kelapa. Untuk industri dan lembaga pendukung produksi kopra, minyak kelapa dan minyak goreng kelapa antara lain industri sarana produksi, industri mesin dan peralatan, organisasi pemberantasan hama, penyuluhan dan organisasi petani. Berdasarkan Panel Petani Nasional yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiii), industri pendukung yang paling berperan dalam usahatani kopra adalah kios sarana produksi. Peranan kios sarana produksi di Jawa lebih besar daripada diluar
49
Jawa. Jasa pengolahan tanah merupakan kegiatan yang paling jarang dilakukan. Industri terkait yang paling berperan adalah pedagang hasil panen dan jasa pasca panen. Karena kopra dapat diolah menjadi minyak kelapa dan bungkil kopra dan minyak kelapa dapat diolah menjadi minyak goreng kelapa dan cocochemical (bahan kimia yang terbuat dari minyak kelapa). Peranan pedagang hasil panen dan jasa pasca panen di luar Jawa lebih besar daripada di Jawa (Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PASEKP), 2006:xiv) Masih menurut Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiv), lembaga penunjang usahatani yang keberadaanya paling menonjol adalah organisasi pemberantasan hama, penyuluhan dan organisasi petani. Namun keberadaan lembaga-lembaga tersebut pada umumnya banyak yang tidak aktif terutama organisasi petani dan pemberantasan hama. Dalam kenyataanya, menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2007:9), peran industri perbenihan dalam mendukung pengusahaan kopra di Indonesia masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari minimnya jumlah Kebun Induk Kelapa Dalam Komposit (KIKDK) yang memasok benih dan bibit unggul pada petani. Saat ini sumber benih kelapa yang digunakan belum berasal dari kebun induk yang dibangun khusus sebagai kebun induk yang benar, tetapi dipilih dari pertanaman yang ada di berbagai daerah yang disebut dengan blok penghasil tinggi (BPT). Selain itu, menurut Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiv), petani lebih memilih memproduksi benih kelapa sendiri karena harga benih kelapa yang paling mahal jika dibandingkan dengan benih tanaman perkebunan yang lain seperti teh, karet, dan kopi 4) Struktur, Persaingan, dan Strategi Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007 : 11) sebanyak 98% petani kopra Indonesia adalah petani rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia. Pendidikan mereka relatif rendah dan usahatani kopra pada umumnya hanya usaha sampingan. Sehingga “potensi” yang ada pada kopra belum dapat dimaksimalkan seutuhnya. Para eksportir hanya mengekspor jika ada kiriman “barang” dari petani kopra, peralatan yang digunakan petani pun masih tergolong sederhana. Meski kualitas kopra yang dihasilkan oleh para petani kelapa kurang memuaskan, namun menurut catatan dari United Nation Comodity Trade (2015), dari segi
50
kuantitas kopra Indonesia menjadi yang terbanyak di dunia pada tahun 2012 dan 2013. Persaingan minyak kelapa terlihat jelas dengan barang substitusinya yaitu minyak sawit. Menurut Turukay (2008:8), periode peralihan minyak kelapa ke minyak sawit sebagai bahan baku industri minyak goreng di Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan pada ekspor kopra Indonesia. Ketika permintaan minyak sawit meningkat untuk industri minyak goreng dalam negeri berarti permintaan kopra untuk industri minyak goreng dalam negeri berkurang sehingga ekspor kopra dapat ditingkatkan. Minyak sawit sebagai barang subtitusi kopra untuk bahan baku industri minyak goreng dalam negeri mampu mempengaruhi ekspor kopra Indonesia. Menurut Turukay (2008:29), belum ada strategi bersaing yang inovatif dari para petani kelapa dan eksportir kopra Indonesia untuk menguasai pangsa pasar kopra dunia. Para eksportir kopra hanya dapat mengekspor jika petani memproduksi kopra dan tidak mengekspor jika petani tidak memproduksi kopra. Sehingga ekspor kopra Indonesia terkesan “seadanya”. 5) Peran Pemerintah Dalam peningkatan daya saing komoditi kopra di pasar internasional peranan pemerintah baik melalui Kementerian Pertanian maupun Pemerintah Daerah masih sangat terbatas dalam pengembangan tanaman kopra mulai dari produksi hingga pasca panen. Pada komoditas ini belum pernah diberlakukan kebijakan harga output (price policy). Penentuan harga jual output selama ini diserahkan pada mekanisme pasar. Status komoditas yang bukan merupakan kebutuhan dasar dan tingkat penggunaan per kapita yang relatif rendah dapat menjadi faktor penjelas belum adanya urgensi intervensi kebijakan harga pada produk kelapa. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007 : 14) Intervensi kebijakan pemerintah baru dilakukan pada kegiatan impor. Intervensi tersebut berupa penetapan bea masuk barang impor dan pajak penjualan yang selain memberikan pemasukan bagi negara juga dimaksudkan untuk melindungi para produsen di dalam negeri. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007 : 14) Tabel 10. Kebijakan Perdagangan Kelapa Di Indonesia Tahun 2003 Jenis produk Copra Crude Coconut Oil
Ekspor Impor Pajak Pajak Bea Pajak Ekspor lain Masuk Penjualan Nil Nil Nil Nil Nil Nil 5% 10%
Jenis produk Refined Coconut Oil Copra Meal Desiccated Coconut Coconut Cream Products Shell Charcoal Activated Carbon
Ekspor Impor Pajak Pajak Bea Pajak Ekspor lain Masuk Penjualan Nil Nil Nil 10% Nil Nil 5% 10% Nil Nil 5% 10% Nil Nil 15% 10% Nil Nil 5% 10% Nil Nil 10% 10% Nil Nil 20% 10%
Keterangan : nil : tidak ada kebijakan Sumber : Departemen Keuangan, (2004) dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2007 : 14) Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007 : 37) dukungan kebijakan yang diperlukan untuk usahatani kelapa adalah penyediaan kredit modal untuk intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan; pembinaan teknis dan kelembagaan produksi; penyediaan informasi teknologi dan pasar; peningkatan status hukum atas kepemilikan lahan usaha; dan pengembangan infrastruktur. Sedangkan menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2005:9), rumusan kebijakan dalam pengembangan produk agroindustri kelapa, yaitu: 1. Perbaikan produktivitas dan kualitas bahan baku; 2. Insentif Ekspor 3. Promosi ekspor 6) Peran Peluang Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Turukay (2008:8) peningkatan populasi negara pengimpor sebesar 1% akan menyebabkan penambahan ekspor kopra Indonesia sebesar 15,8346 % dengan asumsi faktor lain tetap, Hal ini menunjukan peningkatan populasi memberikan kontribusi besar untuk ekspor kopra Indonesia kepasar dunia. Populasi penduduk sebagai indikasi konsumsi suatu negara, berpengaruh signifikan terhadap ekspor kopra Indonesia, ini menunjukan penggunaan kopra sebagai salah bahan baku industri pangan dan non pangan. Turukay (2008:8) juga menuturkan bahwa peningkatan pendapatan perkapita sebesar 1% akan menyebabkan peningkatan ekspor kopra Indonesia sebesar 10,72252%, dengan asumsi faktor penentu lain tetap (pada a=5% alias tingkat kepercayaan 95%). Pendapatan yang meningkat diharapkan akan meningkatkan daya beli rata-rata penduduk, sehingga bagian yang bisa dibelanjakan juga lebih banyak. Data Asia Pasific Coconut Community (dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007:20) menunjukkan bahwa konsumsi kelapa segar penduduk Indonesia sekitar 36 butir/kapita/tahun atau 7,92 milyar butir (51,1%). Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (2007:20) Bila produksi buah kelapa nasional sebanyak 15,5 milyar butir/tahun, maka buah kelapa yang dapat diolah di sektor industri adalah 7,58 milyar butir (48,9%). Jumlah ini dapat memenuhi kebutuhan 29 unit industri dengan kapasitas 1 juta butir/hari Sekitar 90% dari bahan baku daging kelapa digunakan untuk menghasilkan Minyak Kelapa Mentah dan sisanya terbagi untuk produk lainnya, tetapi kecenderungan untuk menghasilkan Minyak Kelapa Mentah tersebut semakin menurun, sedangkan produk turunan lainnya semakin meningkat. Sesuai dinamika pasar produk, kecenderungan untuk menghasilkan produk oleokimia (turunan dari minyak kelapa mentah) tampak semakin tinggi. Ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan potensi kopra Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007:20). PENUTUP Kesimpulan 1) Berdasarkan hasil penelitian, struktur pasar kopra, minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa berupa pasar oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi yang tinggi. Ditunjukkan dengan nilai rata-rata Herfindahl Index yang diatas 1.800 dan rata-rata nilai CR4 diatas 80 persen pada ketiga komoditas tersebut. Kopra dan minyak kelapa menunjukkan tren peningkatan jumlah negara eksportir dengan rata-rata masing-masing komoditas sebanyak 30 negara dan 66 negara eksportir setiap tahunnya. Sementara minyak goreng kelapa menunjukkan tren penurunan jumlah negara eksportir dengan rata-rata 83 negara eksportir setiap tahunnya. 2) Indonesia memiliki daya saing yang kuat dari segi keunggulan komparatif pada kopra, minyak kelapa dan minyak goreng kelapa. Namun memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dari segi keunggulan kompetitif. (1) Keunggulan komparatif ditunjukkan dengan nilai Indeks Revealed Comparative Advantage yang selalu lebih besar dari satu. Dari ketiga komoditas (kopra, minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa), Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang paling besar pada minyak kelapa. (2) Indonesia memiliki keunggulan kompetitif pada kuantitas sumber daya alam dan kuantitas sumber daya manusia yang banyak dan peluang yang tersedia seperti peningkatan populasi negara pengimpor, peningkatan pendapatan perkapita di negara pengimpor, potensi pengolahan oleh industri,
51
diversifikasi produk menjadi produk turunan lainnya, dan liberalisasi perdagangan. Namun memiliki kelemahan kompetitif dari segi kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kurang berkualitas, modal yang minim, infrastruktur yang minim, dukungan dari industri terkait dan industri pendukung yang minim, belum adanya strategi bersaing yang inovatif, persaingan yang ketat dengan barang substitusi, dan intervensi kebijakan pemerintah yang minim. Saran 1) Untuk mengefisiensikan bentuk ekspor, pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada pasar minyak kelapa karena : 1) Keunggulan komparatif minyak kelapa adalah yang terbesar dibandingkan ketiga komoditas yang lain; 2) Pangsa pasar untuk minyak kelapa juga yang terbesar dibandingkan dengan komoditas yang lain. 3) Dunia menunjukkan ketertarikan pada pasar minyak kelapa yang ditandai dengan peningkatan jumlah negara eksportir. Namun melihat kondisi kualitas sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki Indonesia yang tergolong rendah (berdasarkan penelitian Turukay tahun 2008), maka pemerintah lebih disarankan untuk tetap mengekspor kopra dalam bentuk kopra dan minyak kelapa karena keunggulan komparatif kopra menempati posisi terbesar kedua setelah minyak kelapa. Caranya dengan: (1) Penyediaan informasi teknologi dan informasi pasar; (2) Pengembangan infrastruktur; (3) Perbaikan produktivitas dan kualitas bahan baku; (4) Insentif Ekspor (5) Promosi ekspor 2) Indonesia dapat menggunakan kekuatan dan peluang yang tersedia untuk meminimalisir kelemahan yang ada. Diantaranya yaitu: (1) Untuk para petani eksportir sebaiknya menggunakan pola produksi yang lebih teratur. Jika terdapat kelebihan produksi, sebaiknya disimpan dan dijual ketika sedang kekurangan jumlah produksi agar kuantitas penjualan menjadi lebih stabil. (2) Untuk para eksportir sebaiknya menggunakan strategi bersaing yang inovatif seperti bersaing melalui pelayanan yang prima, bersaing melalui pemasaran, merangkul pesaing, dan lain sebagainya. (3) Untuk penelitian selanjutnya dapat melakukan riset mengenai strategi yang
52
paling tepat untuk meningkatkan daya saing kopra Indonesia di pasar internasional. (4) Pemerintah diharapkan dapat membuat kebijakan seperti yang telah penulis sarankan pada saran point 1 UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada PT. Minamas Plantation yang telah membiayai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Asian and Pacific Coconut Community. About Us. Diunduh dari www.apccsec.org/about.html . Diakses tanggal 09 April 2015. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. Edisi Kedua. Jakarta : Departemen Pertanian Bisnis.com. 2014. Ekspor Kelapa RI Kalah Dari Filipina. Melalui bisnis.com diakses pada 06 Februari 2015 Direktorat Jenderal Industri Agro. 2014. Potensi RI Kuasai Pasar Kelapa Dunia. Melalui http://agro.kemenperin.go.id diakses pada 27 Desember 2015 Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Produksi Perkebunan Menurut Provinsi dan Jenis Tanaman. Badan Pusat Statistik Indonesia Direktorat Pangan dan Pertanian. 2014. Analisis Rumah Tangga, Lahan, Dan Usaha Pertanian Di Indonesia : Sensus Pertanian 2013. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Febriyanthi, Sri Anna. 2008. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditi Teh Indonesia di Pasar Internasional. Skripsi Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Internet Center For Management and Business Administration. 2007. Herfindahl Index. www.quickmba.com. Diakses tanggal 15 Desember 2014 Internet Center For Management and Business Administration. 2007. Porter’s Diamond National Advantage. www.quickmba.com. Diakses tanggal 15 Desember 2014. Kementerian Perindustrian. 2012. Peran Ekspor Kelompok Hasil Industri Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit Terhadap Total Ekspor Hasil Industri. Diakses dari http://www.kemenperin.go.id pada 20 Desember 2015 Kementerian Perindustrian. 2012. Perkembangan Ekspor Indonesia Berdasarkan Sektor. Diakses
dari http://www.kemenperin.go.id/ pada 20 Desember 2015 Kontan.co.id. 2013. Harga kopra naik. Edisi 10 Desember 2013 Diakses dari http://industri.kontan.co.id pada 06 Februari 2015 Kotler, Philip.2000. Manajemen Pemasaran. Jilid I. Edisi terjemah. Jakarta : Penerbit Erlangga. Porter, Michael E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. London: Macmillan Press Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2006. Panel Petani Nasional (PATANAS) : Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Bogor : Departemen Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 2005. Laporan Akhir : Prospek Pengembangan Agroindustri Dalam Meningkatkan Daya Saing dan Ekspor Berdasarkan Permintaan Jenis Produk Komoditas Perkebunan Utama. Bogor : Departemen Pertanian Silalahi, Bayu Geo S. 2007. Daya Saing Komoditas Nenas dan Pisang Indonesia di Pasar Internasional. Skripsi Program Sarjana Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tambunan, Tulus. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang Kasus Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia Turukay, Martha. 2008. Analisis Permintaan Ekspor Kopra Indonesia Di Pasar Dunia. Jurnal Agroforestri. Volume III No. 2. Hlm 1. Juni United Nation Statistics. 2015. United Nations Commodity Trade (UN COMTRADE) Statistics Database. http://unstats.un.org/unsd/Comtrade8. Diakses 16 Januari 2015.
53
54
Efektivitas Pelaksanaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Coca - Cola Bottling Indonesia The Effectiveness of Corporate Social Responsibility (CSR) of PT. Coca-Cola Bottling Indonesia (Case Study on Coke Farm, PT. CCBI Rancaekek, West Java) Cut Putri Pohan1, Anne Charina2 1Universitas
Padjadjaran, Bandung,
[email protected] 2Universitas Padjadjaran, Bandung
ABSTRAK
Kata Kunci: Evaluasi CSR CCBI Efektivitas Kendala
Adanya Peraturan Pemerintah No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan mendorong semua perusahaan untuk melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR). PT. Coca–Cola Bottling Indonesia (CCBI), adalah perusahaan yang telah menjalankan peraturan pemerintah tersebut dan memiliki berbagai jenis program CSR. Salah satu program CSR PT. CCBI berfokus pada bidang pertanian yang dikenal dengan Coke Farm. Coke Farm sudah menunjukkan eksistensinya dengan berhasil meraih beberapa penghargaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat efektivitas pelaksanaan CSR Coke Farm dan mengidentifikasi kendala yang dihadapi selama pelaksanaan CSR. Desain penelitian yang digunakan desain kualitatif dengan teknik penelitian studi kasus. Informan dalam penelitian ini adalah dua orang karyawan divisi Corporate Affairs dan empat orang petani binaan Coke Farm. Data yang digunakan data primer dan sekunder. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat efektivitas Coke Farm tergolong dalam kategori cukup efektif, dengan skor maksimum sebesar 142. Total skor ini diperoleh berdasarkan hasil penilaian empat petani binaan yang berperan sebagai objek penerima program CSR Coke Farm.
ABSTRACT
Keywords: Evaluation CSR CCBI Efectiveness Contsraint
The Regulation No. 47/2012 on Social and Environmental Responsibility encourages all companies to implement Corporate Social Responsibility (CSR). PT. Coca-Cola Bottling Indonesia (CCBI), is the company that has implemented the regulation. PT. CCBI has various types of CSR program, one of them focuses on agriculture, well known as Coke Farm. Coke Farm has demonstrated its existence by successfully won several awards. This study aimed to evaluate the effectiveness of Coke Farm implementation afterward identify the constraints that were encountered during the program implementation. The research design was qualitative with case study technique. Informants were two employees of Corporate Affairs division and four assisted farmers of Coke Farm.The data used primary and secondary data. Data was analyzed by using descriptive analysis. The results showed that the effectiveness of Coke Farm is classified in the quite effective category, got total score worth 142. The total score was obtained based on the assessment of four fostered farmers who act as the objects of the CSR program.
* Cut Putri Pohan – Universitas Padjadjaran Alamat e-mail:
[email protected]
55
PENDAHULUAN Adanya kebijakan pemerintah yang diatur dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, mendorong semua perusahaan untuk menjalankan peraturan tersebut dengan cara mendirikan program Corporate Social Responsibility (CSR) di berbagai bidang. PT. Coca-Cola Bottling Indonesia, merupakan salah satu perusahaan industri minuman ringan terkemuka di Indonesia yang sudah menjalankan peraturan tersebut sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan. PT. CCBI memiliki berbagai macam program CSR, salah satu program CSR PT. CCBI Rancaekek berfokus di bidang pertanian, dikenal dengan istilah Coke Farm. Wilayah operasional yang pertama kali menjalankan CSR dalam bentuk Coke Farm adalah PT. CCBI Rancaekek, Jawa Barat tepatnya pada tahun 2009. Coke Farm Rancaekek tersebut memiliki beberapa sub program yang dijelaskan pada tabel 1. Tabel 1. Kegiatan yang Dilakukan di Coke Farm PT. CCBI Rancaekek 2015
No 1 2
Nama Kegiatan Fishpond Pembudidayaan ikan Penanaman Pembibitan dan budidaya bibit Pohon tanaman keras. 3 Tea Leaves- Pembuatan kompos dari Composting. ampas teh frestea. 4 Solid Waste Kegiatan mendaur ulang Recycling botol sisa dari PT. CCBI. 5 OrganicPengelolaan lahan Green House perkebunan organik. Sumber: Coke Farm PT. CCBI 2015. Coke Farm PT. CCBI Rancaekek menunjukkan eksistensinya pada beberapa ajang penghargaan CSR yang dilaksanakan oleh pemerintah dan LSM. Coke Farm berhasil meraih beberapa penghargaan sejak mulai berdiri sampai saat ini. Namun, eksistensi Coke Farm terebut belum tentu berbanding lurus dengan harapan dan manfaat yang didapatkan oleh objek yang menerimanya. Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti berniat untuk melakukan evaluasi terhadap program CSR tersebut dengan cara menganalisis tingkat efektivitas program CSR Coke Farm berdasarkan sudut pandang petani, selaku objek yang menerimanya, yang diukur dengan menggunakan Model Evaluasi Kickpatrick. Selanjutnya akan ditinjau lebih lanjut lagi apa saja kendala dan masalah yang dihadapi PT. CCBI
56
Rancaekek dalam menjalankan kegiatan CSR Coke Farm yang digambarkan dengan menggunakan Fishbone Diagram, serta akan dicari solusi yang tepat untuk menanggulanginya. Tabel 1. Kegiatan yang Dilakukan di Coke Farm PT. CCBI Rancaekek 2015
No 1 2 3 4 5
Nama Fishpond Penanaman bibit Pohon Tea LeavesComposting .Solid Waste Recycling OrganicGreen House
Kegiatan Pembudidayaan ikan Pembibitan dan budidaya tanaman keras. Pembuatan kompos dari ampas teh frestea. Kegiatan mendaur ulang botol sisa dari PT. CCBI. Pengelolaan lahan perkebunan organik.
Sumber: Coke Farm PT. CCBI 2015. Coke Farm PT. CCBI Rancaekek menunjukkan eksistensinya pada beberapa ajang penghargaan CSR yang dilaksanakan oleh pemerintah dan LSM. Coke Farm berhasil meraih beberapa penghargaan sejak mulai berdiri sampai saat ini. Namun, eksistensi Coke Farm terebut belum tentu berbanding lurus dengan harapan dan manfaat yang didapatkan oleh objek yang menerimanya. Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti berniat untuk melakukan evaluasi terhadap program CSR tersebut dengan cara menganalisis tingkat efektivitas program CSR Coke Farm berdasarkan sudut pandang petani, selaku objek yang menerimanya, yang diukur dengan menggunakan Model Evaluasi Kickpatrick. KERANGKA TEORI / KERANGKA KONSEP Adanya kebijakan pemerintah yang diatur dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, mendorong semua perusahaan khususnya yang bergerak dalam bidang industri menjalankan peraturan tersebut dengan melaksanakan CSR dengan berbagai macam bidang seperti bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengembangan usaha mikro, pertanian dan lain sebagainya. PT. Coca-Cola Bottling Indonesia, merupakan salah satu perusahaan industri minuman ringan terkemuka di Indonesia yang sudah menjalankan peraturan pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan. PT. CCBI
memiliki berbagai macam program CSR, bahkan ada salah satu program CSR PT. CCBI yang berfokus pada dunia pertanian, dikenal dengan istilah Coke Farm. Wilayah operasional yang pertama kali menjalankan CSR dalam bentuk Coke Farm adalah PT. CCBI Rancaekek, Jawa Barat tepatnya pada tahun 2009. PT. CCBI Rancaekek, tentunya melibatkan masyarakat, khususnya petani sekitar pabrik dalam mengolah program CSR Coke Farm tersebut. Coke Farm sebagai salah satu program CSR yang sudah dijalankan PT. CCBI Rancaekek menunjukkan eksistensinya pada beberapa ajang penghargaan CSR yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun LSM. Coke Farm berhasil meraih beberapa penghargaan sejak mulai berdiri sampai saat ini. Namun, eksistensi Coke Farm terebut belum tentu berbanding lurus dengan harapan dan manfaat yang didapatkan oleh objek yang menerimanya. Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti berniat untuk melakukan analisis efektivitas pada program CSR di Coke Farm berdasarkan sudut pandang petani, selaku objek yang menerimanya, yang diukur dengan menggunakan Model Evaluasi Kickpatrick. Dari hasil analisis ini, akan didapatkan nilai yang menggambarkan tingkat efektivitas pelaksanaan program CSR tersebut yang dirasakan oleh petani binaan. Selanjutnya akan ditinjau lebih lanjut lagi apa saja kendala dan masalah yang dihadapi PT. CCBI Rancaekek dalam menjalankan kegiatan CSR Coke Farm dengan menggunakan Fishbone Diagram, serta bagaimana solusi untuk menghadapi. Hal ini berguna dalam membantu PT. CCBI Rancaekek untuk melakukan evaluasi lebih lanjut berkaitan tingkat efektivitas pelaksanaan program CSR di Coke Farm tersebut.
Coke Farm PT. CCBI di wilayah operasional Jawa Barat dipilih karena merupakan inisiator pembentukan Coke Farm. Coke Farm pertama kali didirikan di wilayah operasional Jawa Barat pada tahun 2009 kemudian diikuti oleh wilayah operasional lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kualitatif. Teknik yang digunakan adalah studi kasus. Yin (2008) menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian studi kasus tidak sekedar untuk menjelaskan seperti apa obyek yang diteliti, tetapi untuk menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi.
METODE PENELITIAN
(1) Reaksi (Reaction)
Objek dalam penelitian ini adalah petani binaan Coke Farm PT. CCBI Rancaekek. Penelitian dilakukan di Coke Farm PT. Coca-Cola Bottling Indonesia yang berlokasi di Jalan Raya BandungGarut KM 26, Rancaekek. Jawa Barat Indonesia. PT. CCBI Rancaekek, Jawa Barat dipilih karena merupakan perusahaan di sektor industri yang program CSR-nya didedikasikan untuk dunia pertanian. Program CSR yang dipilih dalam penelitian kali ini adalah Coke Farm. Coke Farm dipilih selain karena berfokus pada dunia pertanian, penulis juga mengamati adanya hubungan yang saling berkaitan antar kegiatan didalamnya.
Cara Menentukan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dianggap tahu, terlibat dan telah merasakan dampak dari adanya program CSR Coke Farm, yang diantaranya dua orang karyawan divisi Corporate Affairs PT. CCBI Rancaekek dan empat orang petani binaan Coke Farm. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Efektivitas Program CSR Coke Farm PT. CCBI Rancaekek Analisis efektivitas Program CSR Coke Farm PT. CCBI Rancaekek diukur dengan menggunakan model evaluasi Kirkpatrick. Model ini mencakup empat level evaluasi, diantaranya reaction, learning, behavior, dan result. Model ini digunakan sebagai acuan penulis dalam membuat daftar pertanyaan dan mencari informasi dari informan.
Tabel 2. Banyaknya Informan yang Memberikan Reaksi Informan terhadap Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015 No
Skala
Variabel 3
2
1
Skor Aktual Ideal
1
Bobot materi yang disampaikan 2 2 0 10 12 pemberdaya 2 Kesigapan dalam menyediakan sarana 0 0 4 4 12 input 3 Bantuan yang 1 0 3 6 12 didapatkan petani 4 Penentuan jadwal 1 1 2 7 12 pelatihan 5 Ketertarikan terhadap 4 0 0 12 12 kegiatan di Coke Farm TOTAL 39 60 Keterangan: Skala 3 untuk jawaban baik, Skala 2 untuk jawaban cukup baik
57
Skala 1 untuk jawaban tidak baik
(2) Pembelajaran (Behaviour) Tabel 3. Banyaknya Informan yang Memberikan Nilai Pembelajaran yang Didapatkan dari Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015 No 1 2
3
4
5
Variabel Penerapan pertanian organik Penyampaian pengetahuan pertanian organik Respon petani lain terhadap pertanian organik Percobaan berwirausaha bibit tanaman keras Penyampaian informasi wirausaha bibit tanaman keras TOTAL
Skor Aktual Ideal
1
0
0
4
4
12
4
0
0
12
12
0
1
3
5
12
Tabel 6. Rekapitulasi Tanggapan Informan terhadap Efektivitas Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015
2
0
2
8
12
1
3
0
9
12
38
60
Diperoleh total skor efektivitas pelaksanaan program CSR Coke Farm PT. CCBI Rancaekek dengan cara menjumlahkan total skor pada tabel 2 sampai dengan tabel 5. Menurut perhitungan skala likert, interval nilai antara 76 – 126,6 tergolong dalam kategori tidak efektif, sedangkan interval nilai antara 126,7 – 177,2 tergolong dalam kategori cukup efektif dan interval nilai antara 177,2 – 228 dapat dikatakan efektif. Total skor keseluruhan yang diperoleh dari tingkat efektivitas program CSR Coke Farm PT. CCBI Rancaekek adalah sebesar142 dari skor ideal 228. Dengan total skor tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa program CSR Coke Farm PT. CCBI Rancaekek termasuk dalam kategori cukup efektif. Penilaian ini diperoleh berdasarkan hasil persepsi empat informan yang mana berperan sebagai objek yang menerima program CSR tersebut selaku petani binaan di Coke Farm PT. CCBI Rancaekek.
Tabel 4. Banyaknya Informan yang Merasakan Perubahan Perilaku Akibat Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015 3
Skala 2
1
Skor Aktual
Ideal
0
0
12
12
0
0
12
12
0
4
4
12
0
2
8
12
36
48
Peningkatan 1 pengetahuan 4 pertanian organik Peningkatan pengetahuan pe2 4 ngembangan usaha tani Peningkatan 3 pengetahuan dalam 0 teknologi pertanian Peningkatan 4 kemampuan 2 berkomuni-kasi TOTAL Keterangan: Skala 3 untuk jawaban baik Skala 2 untuk jawaban cukup baik Skala 1 untuk jawaban tidak baik
(4) Hasil Akhir (Result) Tabel 5. Banyaknya Informan yang Merasakan Hasil Akhir dari Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015 No 1
Variabel Peningkatan panen
Skala 3 2 hasil
Skor Aktual Ideal 39 60 36 48
Skala 2
(3) Perilaku (Behaviour)
Variabel
N Variabel o 1 Reaksi (Reaction) 2 Pembelajaran (Learning) Perubahan Perilaku 3 (Behaviour) 4 Hasil Akhir (Result) TOTAL SKOR
3
Keterangan: Skala 3 untuk jawaban baik Skala 2 untuk jawaban cukup baik Skala 1 untuk jawaban tidak baik
No
Keterangan: Skala 3 untuk jawaban baik Skala 2 untuk jawaban cukup baik Skala 1 untuk jawaban tidak baik
1
Skor Aktual
Ideal
0
0
4
4
12
38
60
29 142
60 228
Persentase 65% 75% 63% 48,3% 62,2%
PENUTUP Kesimpulan Hasil penelitian mengenai tingkat efektivitas menunjukkan bahwa program CSR Coke Farm PT. CCBI Rancaekek tergolong dalam kategori cukup efektif, dengan persentase 62,2 %. Dari keempat poin yang digunakan untuk mengukur efektivitas berdasarkan model evaluasi Kickpatrick, pembelajaran (learning) merupakan poin yang paling efektif yang dapat diterima oleh informan (75%). Sementara hasil akhir (result) mendapatkan nilai terendah (48,3%).
Kemampuan
2
mengajak petani lain bergabung
0
1
3
5
12
3
Peningkatan profit
2
0
2
8
12
0
4
0
8
12
0
0
4
4
12
29
60
4 5
58
Kerjasama antar petani binaan Peningkatan solidaritas TOTAL
Saran 1) PT. CCBI Rancaekek diharapkan dapat membentuk badan pengawasan khusus untuk Coke Farm, yang mana pihak tersebut harus berasal dari pihak PT. CCBI Rancaekek agar
dapat melaksanakan tanggung jawab dan fungsinya dengan lebih netral. 2) Dalam melakukan evaluasi program CSR suatu Perseroan Terbatas (PT), pemerintah sebaiknya juga memperhatikan tingkat efektivitasnya dari sudut pandang pihak yang menerima, bukan hanya dari ide dan gagasan yang disampaikan pihak pelaksana. 3) Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian sejenis dengan menggunakan variabel penelitian yang lebih operasional dengan cara melakukan evaluasi program CSR Coke Farm dengan lebih terfokus pada setiap sub-program CSR agar hasil penelitiannya lebih teliti. Selain itu, dalam menentukan skala pengukuran sebaiknya diperhatikan dan diperjelas lagi apa saja indikator yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan baik, cukup baik atau tidak baiknya suatu variabel. DAFTAR PUSTAKA Amri, Mulya dan Wicaksono Sarosa. 2008. CSR Untuk Penguatan Kohesi Sosial. Jakarta: Indonesia Business Links. Asniwaty, Besse. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Corporate Sosial Responsibility (CSR) PT. Pupuk Kaltim. Bandung: Unpad. Bappenas. 2009. Analisis dan Formulasi Kebijakan Pemanfaatan Sumber-sumber Pendanaan Pembangunan Non-APBN (Optimalisasi Pelaksanaan KPS dan CSR. Jakarta: Jurnal Info Kajian Bappenas. Dewi, Friska Meriana. 2013. Tinjauan Terhadap Efektivitas Pelatihan Kerja Karyawan Bagian Produksi Pabrik Gula Sumberharjo Pemalang. Salatiga: Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana. Gaspersz, V. dan A. Fontana. 2011. Integrated Management Problem Solving Panduan bagi Praktisi Bisnis dan Industri. Vinchristo Publication. http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/ artikel/418-artikel-soft-competency/10999teknik-ilustrasi-masalah-fishbone-diagrams (Diakses pada 9 Mei 2015) Kartini, Dwi. 2009. Corporate Social Responsibility, Transformasi Konsep Susainability Management dan Implementasi di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
Muh. Aris Marfa’i. 2005. Moralitas Lingkungan Refleksi Kritis Atas Kritis Lingkungan Berkelanjutan. Cetakan kedua. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Nasution, S. 2003. Metode Research. Cetakan keenam. Jakarta: Bumi Aksara. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Cetakan kelima. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Prabowo, Angga. 2009. Kajian Efektivitas Program CSR Yayasan Unilever Indonesia. Jakarta. Purba, H.H. 2008. Diagram fishbone dari Ishikawa. http://hardipurba.com/2008/09/25/diagramfishbone-dari-ishikawa.html (Diakses pada 9 Mei 2015) Rajagukguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik diIndonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. Rinaldy, Yosua., 2014. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Kepemilikan Institusional Pada Perusahaan Berkategori High-Profile yang Listing Di Bursa Efek Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro. (Diakses pada 11 Januari 2015). Soehartono, Irawan. 2002. Metode Penelitian Sosial. Cetakan kelima, Bandung: PT. Remaja Rosadakarya Bandung. Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada. Sugiono. 2014. Perubahan Lahan Pertanian Produktif Menjadi Non Produktif Akibat Industri Genteng Di Pejagoan Kebumen Dalam Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta: Skripsi UIN. (Diakses pada 20 Desember 2014) Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Cetakan ke-13. Bandung: Alfabeta Cv Bandung. Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Cetakan kesepuluh. Bandung: Alfabeta Cv. Supraidinata, Wahyu. 2013. Analisis Efektivitas CSR Dalam Menyelesaikan Masalah Sosial Lingkungan Perusahaan. Bandung. Tague, N. R. 2005. The quality toolbox. Milwaukee, Wisconsin: ASQ Quality Press. http://asq.org/quality-press/display item/index.html?item=H1224 (Diakses pada 9 Mei 2015) Tuwu, Alimuddin. 1998. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
59
Untung, Hendrik Budi. 2008. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika. Wibisono, Yusuf., Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. 2007. Gresik: Fascho Publishing. Widoyoko, Eko Putro. 2012. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik.
60
Pemasaran Tanaman Hias Petani yang tergabung pada Asosiasi Petani Pedagang Tanaman Hias Cihideung (APPTHC) di Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat Ornamental Plants Marketing that is done by Farmers who are members of Cihideung Ornamental Plants Farmers and Sellers Association (APPTHC) in Cihideung Village Parongpong District, West Bandung Dini Rochdiani, Sara Ratna Qanti Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor –Sumedang Jawa Barat
ABSTRAK
Kata Kunci: Tanaman hias Pemasaran APPTHC Diversifikasi konsentrik Penetrasi pasar
Permintaan terhadap tanaman hias di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik, terbukti dengan meningkatnya peringkat Indonesia dari urutan ke 51 menjadi urutan ke 48 sebagai negara pengekspor tanaman hias dunia. Peningkatan ini berpengaruh kepada keinginan petani pedagang tanaman hias untuk dapat memenuhi tingginya permintaan terhadap tanaman hias tersebut. Dalam usaha untuk memenuhi tingginya permintaan, petani pedagang tanaman hias mengalami beberapa kendala dalam proses agibisnis tanaman hias, yaitu permasalahan dalam pemasaran yaitu pengiriman tanaman hias kepada konsumen yang tidak begitu cepat. Terhambatnya aspek distribusi yang tidak cepat dan tidak efisien disebabkan sifat tanaman hias yang mudah rusak dan kualitas yang tidak bisa dipertahankan dengan baik. Penelitian ini menggunakan metode analisis SWOT dengan teknik analisis matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) dan matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Hasil penelitian menunjukan beberapa hasil sebagai berikut: (1) nilai dari matriks EFI sebesar 2.40 yang artinya di bawah nilai rata-rata 2.50, (2) nilai dari matriks EFE sebesar 2.68 yang artinya di atas nilai rata-rata 2.50. Alternatif strategi yang dirumuskan dari faktor internal dan faktor eksternal pemasaran APPTHC pada matriks QSP menghasilkan tiga prioritas strategi yang dapat dilakukan perusahaan, yaitu strategi diversifikasi konsentrik, strategi pengembangan produk, dan strategi penetrasi pasar.
ABSTRACT
Keywords: Ornamental plans Marketing APPTHC Concentric diversification Market penetration
Demand for ornamental plants in Indonesia has increased significantly. It is showed by the increasing world rank of Indonesia as an ornamental plant exporting country from 48 in 2009 to 46 in 2013. This increasing affects farmer’s willingness to fulfill the demand. In attemp to meet the increasing demand, there are several issues that are faced by the farmers, mainly on the product delivery and distrubution. Inefficient distribution that is caused by the nature of the ornamental plants. SWOT analysis with Eksternal Factor Evaluation (EFE) and Internal Factor Evaluation (IFE) matrixes are used in this study. This study shows several results as follows: (1) EFI matrix point at 2.40 which is below the average point at 2.50, (2) EFE matrix point at 2.68 which is below the average point at 2.50. Alternative strategies that are formulated from the internal and external marketing factors of APPTHC on the QSP matrix are consentrict diversification strategy, product development strategy, and market penetration strategy.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
61
1. PENDAHULUAN Bisnis tanaman hias nasional dalam periode lima tahun terakhir menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Agribisnis tanaman hias memiliki keragaman tanaman meliputi tanaman hias angrek, gerbera, kenanga, krisan, mawar, melati dan sedap malam. Bisnis tanaman hias semakin semarak di berbagai daerah yang ditandai dengan meningkatnya luas area tanam, nilai transaksi penjualan, jangkauan pemasaran dan tumbuhnya industri jasa penunjang. Pemasaran tanaman hias dilakukan di dalam dan luar negeri. Pengusaha tanaman hias nasional turut berkontribusi pada pasar internasional yang bernilai 180 milyar dollar US pada tahun 2009. Jika pada tahun 2009 Indonesia menempati urutan ke 48 pengekspor tanaman hias dunia, pada tahun 20013 peringkat tersebut meningkat menjadi urutan ke 46 dunia (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2013). Tabel 1. Produksi Tanaman Hias di Propinsi Jawa Barat, Tahun 2009-2013. N o 1
Tanaman Hias Anggrek
2
Anthuriu m Gerbera
3 4
Gladiol
5
Krisan
6
Heliconia
7 8
9 10 11 12
Melati (ribu Kg) Palem (ribu pohon) Sedap Malam Mawar
2009
Tahun (ribu tangkai) 2010 2011 2012
765
2.342
4.307
1.659
805
1.060
789
924
3.329 14.86 6 23.38 7
3.789 10.85 9 36.75 0
4.643
4.536
7.562 46.21 9
8.754 47.09 1
285
457
746
667
165
145
137
356
99
193
247
352
5.612
7.864
9.223
7.719
2.268
6.968
8.649
7.292
1.420
1.498
238
1.153
786 53.78 7
658 72.58 2
607 83.36 8
1.733 82.23 6
851 3.471 5.844 51.451 1.230 200 322
5.064 4.852
Anyelir
1.559
Dracaena Total
2013 5.618
1.133 81.593
Sumber : Dinas Pertanian Jabar, 2013.
Tabel 1 memperlihatkan produksi tanaman hias di propinsi Jawa Barat mengalami peningkatan dari tahun 2009 sampai tahun 2011 dan tahun 2011 sampai 2012 terjadi penurunan jumlah produksi tanamana hias. Hal ini disebabkan turunnya permintaan terhadap tanaman hias anggrek, sedap malam dan mawar lebih dari satu juta tangkai. Pada tahun 2009 total produksi tanaman hias mencapai 53 juta tangkai, sedangkan pada tahun 2013 total produksi tanaman hias meningkat menjadi 81 juta tangkai. Antara tahun 2009 sampai 2013 terjadi 62
peningkatan produksi tanaman hias 28 juta tangkai. Tanaman hias yang diperdagangkan di Indonesia sangat menarik dapat dilihat dari jumlah, variasi jenis dan penampilan. Besarnya permintaan terhadap tanaman hias menjadikan prospek bisnis tanaman hias cukup menjanjikan. Mengenai jumlah tanaman hias dan bunga potong distribusinya disajikan pada Tabel 2. Salahsatu sentra produksi tanaman hias di Jawa Barat yaitu Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat dan para petaninya tergabung dalam Asosiasi Petani Pedagang Tanaman Hias Cihideung (APPTHC). Tanaman hias yang dihasilkan oleh para petani yang tergabung ke dalam APPTHC harus dapat terjual kepada konsumen secara kontinyu dengan harga yang dapat menguntungkan petani. Meningkatnya produksi tanaman hias yang dihasilkan oleh petani tanaman hias, terutama krisan dan mawar menjadi permasalahan utama dalam memenuhi permintaan konsumen. Oleh karena itu, APPTHC sebagai organisasi bisnis harus dapat memasarkan tanaman hias yang dihasilkan oleh petani tanaman hias. APPTHC perlu meninjau kembali strategi pemasarannya sebagai upaya untuk meningkatkan penjualan dan mempertahankan kelangsungan usahatani tanaman hias. APPTHC sangat dirasakan manfaatnya bagi petani-pedagang tanaman hias, terutama dalam membantu pemasaran tanaman hias para petani. Permasalahan distribusi yang dihadapi APPTHC dalam usaha tanaman hias adalah pengiriman tanaman hias kepada konsumen tidak begitu cepat. Terhambatnya aspek distribusi yang tidak cepat dan tidak efisien disebabkan sifat tanaman hias yang mudah rusak dan kualitas yang tidak bisa dipertahankan dengan baik. Selain itu APPTHC kurang melakukan kegiatan promosi produk tanaman hias dengan lancar, APPTHC seharusnya perlu menambahkan strategi pemasaran yang lebih baik agar volume penjualan meningkat. Strategi pemasaran yang tepat berkaitan dengan produk (product), harga (price), tempat (place) dan promosi (promotion) yang dilakukan oleh APPTHC, terutama para petani sebagai anggotanya. Berdasarkan uraian diatas, maka menarik untuk dilakukan penelitian mengenai sejauhmana Pemasaran Tanaman Hias Petani yang tergabung pada Asosiasi Petani Pedagang Tanaman Hias Cihideung (APPTHC) dilihat dari strategi pemasaran yang dilakukannya.
Tabel 2. Jumlah Tanaman Hias dan Bunga Potong yang Terjual Setiap Minggu di Beberapa Wilayah di Indonesia (ribuan tangkai) Jenis Jakarta tanaman Anggrek 225,5 Mawar 330,9 Krisan 58,7 Gerbera 149,2 Gladiol 54,7 Anthurium 19,2 Jumlah 855,5 Sumber : ASBINDO, 2012
Medan 15 10 40 15 19 109
Bandung
Surabaya
6,2 35 10 15 12,5 10 103,7
2. KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP 2.1. Agribisnis Tanaman Hias Tanaman hias merupakan salah satu komoditi hortikultura yang mencakup semua tanaman, baik berbentuk terna, merambat, semak, perdu, ataupun pohon, yang sengaja ditanam orang untuk dinikmati keindahannya. Industri tanaman hias meliputi budidaya tanaman dalam pot, bunga potong dan bunga hias lainnya. Rahardi (2002) mengatakan, bahwa tanaman hias meliputi tanaman pot, bunga potong, kaktus, bonsai, dan tanaman hidroponik. Tanaman hias juga merupakan semua jenis tanaman yang mempunyai nilai hias baik hias bunga, hias daun, hias tajuk, hias cabang, hias buah, maupun hias aroma. Pengelompokkan tanaman hias berdasarkan jenisnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel
3. Pengelompokan Tanaman Hias Berdasarkan Jenisnya Tanaman Hias Tanaman Hias Daun Tanaman Hias Bunga Batang Azela, Sri rejeki, Kuping Palem merah, Begonia, gajah, Cemara, Palem kuning, Bougenville, Norfolk, Kaki gajah, Palem botol, Krisan, Cinta Begonia, Daun keladi, Kaktus abadi, Pisang Meranti macan, Lili hias, Bakung, paris, puring, Jawer Hortensia, kotok, Andong, Bunga pukul Bintang timur, Rumput empat, paying, Belonceng, Geranium, Hanjuang, Cuphorbia, African violet, Fittonia, Beringin, Gloxinia Karet kerbau, Daun beludru, Sambang darah, Arairut, Monster, sirih-sirihan, Philo, Daun mutiara, Lidah mertua, Walisongo, Sirih belanda, Mega mendung, Suplir, Asparagus, Sikas, Palem wregu, Palem kipas Sumber : ASBINDO, Tahun 2012.
Malang
4 7 4,7 29 11 5,7 65,4
Denpasar
5,5 7 6 25 10 2,8 65
Makasar
6 8,8 0,9 14 5 37,7
Jumlah
10,2 10,2
271,1 388,7 91,1 278,2 127,2 62,7 1.219
Tanaman hias bunga mempunyai daya tarik pada bunga dengan warna yang menarik, bentuk yang indah dan mempesona, bau yang harum, atau ukuran bunganya yang istimewa. Sedangkan tanaman hias daun memiliki daya tarik tersendiri pada bagian daunnya. Daya tarik tanaman hias daun disebabkan karena keadaan, bentuk, warna, maupun komposisi daun dengan batang yang indah dan bernilai estetik yang tinggi. Tanaman hias batang mengandalkan keindahan batang yang ditampilkan dalam bentuk dan warna yang menarik. Secara diagramatis, mata rantai agribisnis dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini : Subsist em sarana produk si
Subsis tem usahat ani/ produ ksi
Subsiste m agroind ustri pengola han
Domes tik Subsis tem pemas aran Ekspor
Gambar 1. Mata Rantai Agribisnis Sumber : Departemen Pertanian, 2010
Adapun teknologi yang dilakukan pada agribisnis tanaman hias menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2002) meliputi : Penyiapan Lahan Lahan adalah salah satu faktor produksi yang ketersediaannya merupakan salah satu syarat untuk dapat berlangsungnya proses produksi di bidang pertanian. Produktivitas dari lahan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah, tekstur tanah, serta ketersediaan air dan iklim yang cocok. Penyediaan Bibit Bibit tanaman hias yang digunakan berasal dari pembiakan generatif (biji atau benih) dan vegetatif (stek, cangkok, okulasi). Umumnya, bibit vegetatif lebih cepat dipetik daripada bibit generatif. Bibit vegetatif yang baik adalah bibit yang mempunyai daya kecambah lebih dari 90 %,
63
sedangkan bibit generatif yang baik, berasal dari induk tanaman yang baik pertumbuhannya dan cukup umur (Rahardi, 2002).
Pupuk Pupuk digunakan dalam budidaya tanaman hias terdiri atas pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik bersifat memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air dan menaikkan kondisi hidup dalam tanah. Jenis-jenis pupuk organik antara lain pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan humus, sedangkan pupuk anorganik dapat dibedakan atas pupuk yang mengandung satu macam zat hara misalnya Urea, TSP, KCL dan DS, serta pupuk yang mengandung lebih dari satu macam zat hara misalnya NPK, Megamp plus KPK, dan Dekaform (Rahardi, 2002). Pestisida Pestisida adalah racun untuk membunuh hama dan penyakit pengganggu tanaman. Jenisnya bermacam-macam yakni insektisida, fungisida, herbisida, namatisida, bakterisida, dan akarisida. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pestisida yaitu zat/bahan aktif, merek, dosis, bentuk dan cara kerjanya pengertian bahan aktif sangant berbeda dengan merk, dimana merek biasanya terlihat jelas, sedangkan bahan aktif terdapat didaftar komposisi. Orang membeli pestisida kebanyakan memilih merek, padahal yang terpenting adalah bahan aktifnya karena bahan aktif tertentu membunuh hama atau penyakit tertentu (Rahardi, 2002). 2.2. Strategi Pemasaran Menurut Kotler (1991), strategi pemasaran adalah suatu rangkaian tujuan kebijaksanaan dengan caranya tersendiri sebagai pedoman untuk memasarkan hasil produksinya pada waktu yang akan datang sebagai pedoman untuk meningkatkan, mengkombinasikan dan mengalokasikan dalam menghadapi perubahan-perubahan dan memperhatikan lingkungan serta persaingan yang ada, yaitu dapat dijabarkan dalam bauran pemasaran (marketing mix). Dalam menyusun kebijakan pemasaran, hal penting yang perlu ditentukan untuk pasar sasaran adalah dengan cara segmentasi pasar. Segmentasi pasar merupakan suatu usaha untuk meningkatkan ketepatan pemasaran (Sutisna, 2001). Perusahaan dapat menciptakan penawaran produk atau jasa yang selaras dan mengenakan harga yang pantas bagi kelompok sasaran tertentu.Menurut Kotler (1991), para pemasar menggunakan sejumlah alat untuk mendapatkan tanggapan yang diinginkan dari pasar sasaran mereka. Alat-alat itu membentuk suatu 64
bauran pemasaran. Definisi dari bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan pasarnya di pasar sasaran. Kotler (2002), mempopulerkan sebuah klasifikasi yang dikenal dengan empat P (four Ps), yaitu : Product (produk), Price (harga), Place (tempat atau distribusi), dan Promotion (promosi). 3. METODE PENELITIAN Obyek penelitian ini adalah pemasaran tanaman hias yang dilaksanakan oleh petani yang tergabung di APPTHC di Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat. Tempat penelitian ini dipilih dengan pertimbangan bahwa APPTHC merupakan sentra penghasil dan pemasok tanaman hias di Kabupaten Bandung Barat. Untuk mengetahui strategi pemasaran tanaman hias, menggunakan analisis SWOT dengan melihat lingkungan eksternal perusahaan untuk memberi gambaran tentang kondisi usahatani tanaman hias lokal dan mendapatkan hasil berupa peluang dan ancaman yang dihadapi perusahaan, dan analisis lingkungan internal perusahaan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki APBI. Dalam hal ini menggunakan teknik analisis matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) dan matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Tabel 4. Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) Faktor-faktor Eksternal Peluang
Bobot
Rating
Skor Pembobotan
Ancaman Total Tabel 5. Matriks Internal Factor Evaluation (EFI) Faktor-faktor Eksternal Kekuatan Kelemahan Total
Bobot
Rating
Skor Pembobotan
Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategis (Rangkuti, 2008).
Tabel 6. Matriks SWOT Faktor Internal Faktor Eksternal Peluang (Oppurtunities)
Kekuatan (Strength)
Kelemahan (Weaknesses)
Strategi KekuatanPeluang Menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi KelemahanPeluang Mengambil keuntungan dari peluang dalam memperbaiki kelemahan Strategi KelemahanAncaman Mengurangi kelemahan untuk menghindari ancaman
Strategi KekuatanAncaman Menggunakan kekuatan untuk menghadapi ancaman
Ancaman (Threats)
Sumber: Rangkuti, 2008.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Faktor Lingkungan Internal Faktor lingkungan internal merupakan faktorfaktor yang berasal dari intern perusahaan yang dapat mempengaruhi arah dan tindakan perusahaan dalam menjalankan usahanya. Faktor-faktor internal perusahaan yang diidentifikasi merupakan bagian dari strategi yang dijalankan perusahaan. Termaksuk kedalam faktor-faktor internal perusahaan adalah sumber daya manusia, produksi/operasional dan bauran pemasaran. 4.1.1
Sumber Daya Manusia APPTHC saat ini memiliki anggota berjumlah 45 orang. Untuk mengetahui sumber daya manusia yang dimiliki lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sumber Daya Manusia Petani di Desa Cihideung berdasarkan Pendidikan. Pendidikan terakhir
Jumlah (orang)
Persentase (%)
SD
12
26,7
SMP
10
22,2
SMA
20
44,4
D3/S1
3
6,7
Total
45
100
Sumber: APPTHC, 2013.
Untuk mempertahankan konsistensi dalam menjalankan usahatani tanaman hias pihak APPTHC setiap tahunnya melakukan pendidikan dan pelatihan SDM. Selain itu adanya kesadaran dari anggota APPTHC untuk mengembangkan kemampuan dalam memproduksi dan mendekorasi tanaman hias menjadikan usahatani tanaman hias tetap bertahan.
Kemampuan memproduksi dan mendekorasi petani APPTHC dapat dikatakan sangat baik, hal ini terbukti dengan adanya kunjungan dari petani di berbagai daerah untuk studi banding seperti petani dari daerah Semarang dan Lampung. Selain itu petani APPTHC pernah dipercaya untuk menjadi tutor praktek lapangan budidaya tanaman hias bagi para Penyuluh Pertanian perwakilan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota di 13 provinsi di Indonesia yaitu Bali, NTT, Aceh, Papua, dan lain-lain. 4.2. Faktor Lingkungan Eksternal Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam analisis lingkungan eksternal adalah faktorfaktor yang berada diluar perusahaan yang dapat menimbulkan peluang yang menguntungkan perusahaan dan ancaman yang harus dihindari. 4.2.1.
Lingkungan Makro Lingkungan makro adalah lingkungan eksternal perusahaan yang terdiri dari ekonomi, sosial budaya dan teknologi. Ekonomi Krisis ekonomi global yang melanda banyak negara memiliki dampak negatif bagi petani pedagang tanaman hias. Krisis ini menyebabkan omset penjualan mengalami penurunan. Peminat dan pecinta beberapa jenis tanaman hias seperti anthurium, aglonema dan lainnya menjadi berkurang bahkan seakan menghilang. Peminat yang semakin berkurang membuat pendapatan petani pedagang Desa Cihideung mengalami penurunan. Tanamantanaman hias yang setahun lalu menjadi kegemaran masyarakat, kini sekedar menjadi pajangan yang kurang bernilai tinggi. Krisis ekonomi global yang terjadi membuat terhambatnya pembangunan yang telah dirancang oleh pemerintah baik daerah maupun pemerintah pusat. Program pembangunan kompleks perumahan rakyat, renovasi gedung pemerintahan dan pembuatan taman kota menjadi terhambat. Program pembangunan tersebut membutuhkan tanaman hias yang dipasok dari beberapa daerah termasuk Desa Cihideung. Pembangunan yang terhambat menyebabkan permintaan tanaman hias Desa Cihideung mengalami penurunan. Permintaan yang menurun membuat petani pedagang Desa Cihideung menjual tanaman hias dengan harga yang relatif murah dan tidak mempunyai standar harga jual tanaman hias yang disepakati. Sosial Budaya Usahatani tanaman hias yang dilakukan petani pedagang bukan hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan semata, lebih dari itu para pelaku usahatani tanaman hias biasanya menjadikan kegiatan ini juga sebagai hobi. Umumnya petani dan pedagang tanaman hias Desa Cihideung yang
65
melakukan usahatani tanaman hias memulainya dari kegemaran terhadap tanaman hias. Walaupun sebagian lainnya melakukan usahatani taman hias karena alasan bisnis. Teknologi Penerapan teknologi yang dilakukan petani pedagang Desa Cihideung dapat dikatakan masih sederhana. Penerapan teknologi dalam proses produksi dilakukan petani pedagang tanaman hias Desa Cihideung dengan pembuatan bedengan, penggunaan pompa air untuk penyiraman, penggunaan paranet (alat peneduh) sebagai pengganti rumah kaca. Penggunaan teknologi yang sederhana ini disebabkan karena keterbatasan modal usaha yang dimiliki oleh petani pedagang tanaman hias Desa Cihideung. 4.2.2. Lingkungan Mikro Lingkungan mikro terdiri dari pelanggan dan pesaing. Pelanggan Pelanggan adalah pasar sasaran suatu perusahaan yang menjadi konsumen atas barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan baik itu individuindividu, lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, dan sebagainya. Konsumen yang jadi pelanggan petani pedagang Dessa Cihideung biasanya adalah pedagang pengecer dari Kabupaten Cianjur, Jakarta, dan Bogor. Selain itu petani pedagang tanaman hias Desa Cihideung juga menjual tanaman hias kepada pengusaha besar yang mengekspor tanaman hias ke luar negeri seperti Belanda, Korea Selatan, Kuwait dan Singapore. Volume pembelian tanaman hias oleh pengusaha besar biasanya sebanyak lima trek tanaman hias dan pemesanannya tidaklah rutin, biasanya satu tahun sekali. Pesaing Tingkat persaingan usaha tanaman hias di Desa Cihideung sangatlah tinggi, dapat dilihat dari jumlah petani pedagang yang ada di Desa Cihideung bahwa jumlah pedagang tanaman hias 2.357 orang. 4.3. Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman 1. Kekuatan a) Sumber daya manusia yang mempunyai pengalaman dan kemampuan budidaya tanaman hias yang baik. b) Tanaman hias yang dihasilkan berkualitas, karena kondisi alam yang mendukung. c) Lokasi usaha yang strategis dan dekat dengan objek wisata. d) Sebagai sentral supplyer tanaman hias. 2. Kelemahan 66
a) Sistem manajemen perusahaan yang tidak berjalan dengan baik. b) Tidak ada upaya untuk mengembangkan keanggotaan. c) Tidak memiliki dana operasional yang memadai. d) Standar harga tanaman hias yang tidak ada. e) Pembinaan sumber daya manusia tidak intensif. 3. Peluang a) Kebutuhan masyarakat terhadap tanaman hias sebagai hobi. b) Kepercayaan pelanggan terhadap kualitas tanaman hias yang berasal dari Kabupaten Bandung. c) Teknologi informasi yang berkembang seperti media cetak dan elektronik. 4. Ancaman a) Munculnya petani pedagang tanaman hias lain disekitar Desa Cihideung sebagai pesaing, b) Pemerintah setempat yang kurang memberikan dukungan dan perhatian, c) Pembangunan yang sedang lesu, akibat krisis ekonomi global. 4.4. Evaluasi Faktor Internal Perusahaan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) digunakan untuk mempertimbangkan dan mengevaluasi faktor-faktor kunci internal yang terkait dengan kekuatan dan kelemahan perusahaan dalam menyusun strategi pemasarannya. Berdasarkan hasil pembobotan dan peratingan, nampak jelas bahwa APPTHC memiliki empat faktor yang menjadi kekuatan kunci dan lima faktor yang menjadi kelemahan kunci dalam mengembangkan usahanya yang terkait dengan strategi pemasaran perusahaan. Matriks EFI (Tabel 8) memberikan nilai 2.40 yang artinya total nilai di bawah rata-rata dari nilai rata-rata yaitu 2.50. Nilai di bawah rata-rata menunjukkan bahwa berdasarkan kondisi internal, perusahaan memiliki posisi internal yang lemah. 4.5. Evaluasi Faktor Eksternal Perusahaan Matriks External Factor Evaluation (EFE) digunakan untuk mempertimbangkan dan mengevaluasi faktor-faktor kunci eksternal yang terkait dengan peluang dan ancaman perusahaan dalam menyusun strategi pemasarannya. Berdasarkan hasil pembobotan dan peratingan, terlihat jelas bahwa perusahaan memiliki tiga faktor yang menjadi peluang kunci dan tiga faktor yang menjadi ancaman kunci dalam mengembangkan usahanya yang berkaitan dengan strategi pemasaran perusahaan.
Nilai
Total Nilai
bahwa berdasarkan kondisi eksternal, perusahaan merespon dengan baik terhadap peluang dan ancaman dengan cara memanfaatkan peluang dan menghindari ancama dari luar.
4
0.52
4.6.
3
0.39
4
0.40
3
0.27
1
0.14
2
0.18
1
0.14
2
0.18
2
0.18
Tabel 8. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE). No
1. 2. 3.
4.
1.
2.
3.
4. 5.
Faktor Internal
Bobot
Kekuatan (strengths) Sumber daya manusia 0.13 yang berpengalaman. Tanaman hias yang 0.13 dihasilkan berkualitas. Lokasi usaha yang 0,10 strategis dan dekat dengan objek wisata. Sebagai sentral supplyer 0,09 tanaman hias. Kelemahan (weakness) Sistem manajemen 0,14 perusahaan yang tidak berjalan. Tidak ada upaya untuk 0,09 mengembangkan keanggotaan. Tidak memiliki dana 0,14 operasional yang memadai. Standar harga tanaman 0,09 hias yang tidak ada. Pembinaan sumber daya 0,09 manusia tidak intensif. 1.00 Total
2.40
Tabel 9. Matriks External Factor Evaluation (EFE). No
1.
2.
3.
1.
2.
3.
Faktor Eksternal
Bobot
Peluang (opportunities) Kebutuhan masyarakat 0.13 terhadap tanaman hias sebagai hobi. Kepercayaan 0.16 pelanggan terhadap kualitas tanaman hias yang berasal dari Kabupaten Cianjur. Teknologi informasi 0.16 yang berkembang seperti media cetak dan elektronik. Ancaman (threats) Munculnya petani 0.18 pedagang tanaman hias lain disekitar Desa Cimacan sebagai pesaing. Pemerintah setempat 0.21 yang kurang memberikan dukungan dan perhatian. Pembangunan yang 0.16 sedang lesu, akibat krisis ekonomi global. 1.00 Total
Nilai
Total Nilai
4
0.52
3
0.48
1
0.16
2
0.36
4
0.84
2
0.32
2.68
Matriks EFE memberikan nilai 2.68 yang artinya total nilai cukup tinggi karena berada di atas rata-rata dari nilai rata-rata yaitu 2.50. Menunjukkan
Alternatif Strategi Pemasaran Analisis SWOT Menentukan strategi pemasaran yang tepat bagi perusahaan dapat digambarkan secara jelas pada matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman (SWOT) dengan tujuan mengetahui peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan agar dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Menurut David (2006), tidak semua strategi yang dikembangkan matriks SWOT akan dipilih untuk diimplementasi. Berdasarkan analisis matriks Kekuatan-Kelemahan-PeluangAncaman yang dihadapi APPTHC maka diperoleh enam strategi dalam pemasaran perusahaan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan: Strategi Kekuatan-Peluang 1. Memanfaatkan tingkat kepercayaan pelanggan terhadap kualitas tanaman hias yang berasal dari Kabupaten Bandung Barat dengan mengembangkan bentuk tanaman hias yang lebih unik lagi melalui kemampuan petani dalam membudidayakan tanaman hias. (S1, O2) 2. Meningkatkan volume penjualan tanaman hias saat hari libur dengan pemberian diskon ataupun potongan harga bagi konsumen. (S3, O1) Strategi Kelemahan-Peluang 1. Memudahkan pelanggan untuk mendapatkan produk tanaman hias ataupun jasa pembuatan taman dengan pengiriman produk yang tepat waktu. (W1,O2) 2. Memasang iklan di surat kabar dan membuat website perusahaan yang dilengkapi forum pelanggan. (W1, O3) Strategi Kekuatan-Ancaman Lebih meningkatkan lagi kualitas tanaman hias yang dihasilkan agar kepercayaan pelanggan terhadap tanaman hias yang dihasilkan tetap terjaga. (S2, T1) Strategi Kelemahan-Ancaman Membuka spot penjualan tanaman hias di daerah lain yang penjual tanaman hiasnya relatif masih sedikit. (W2, T1) Strategi-strategi tersebut merupakan strategi pemasaran yang dapat diterapkan secara spesifik pada APPTHC dari hasil perumusan pada matriks SWOT. Keseluruhannya mencakup strategi penetrasi pasar, strategi pengembangan pasar, strategi pengembangan produk, dan strategi diversifikasi
konsentrik. 67
Tabel 10. Matriks SWOT APPTHC Faktor Internal 1. 2. 3. 4.
Kekuatan (S) Sumber daya manusia yang berpengalaman. Tanaman hias yang dihasilkan berkualitas. Lokasi usaha yang strategis dan dekat dengan objek wisata. Sebagai sentral supplyer tanaman hias.
1. 2. 3. 4. 5.
Faktor Eksternal Peluang(O) 1. Kebutuhan masyarakat terhadap tanaman hias sebagai hobi. 2. Kepercayaan pelanggan terhadap kualitas tanaman hias yang berasal dari Kabupaten Cianjur. 3. Teknologi informasi yang berkembang seperti media cetak dan elektronik.
Ancaman (T) 1. Munculnya petani pedagang tanaman hias lain disekitar Desa Cimacan sebagai pesaing. 2. Pemerintah setempat yang kurang memberikan dukungan dan perhatian. 3. Pembangunan yang sedang lesu, akibat krisis ekonomi global.
Strategi Kekuatan-Peluang 1. Strategi pengembangan produk: Memanfaatkan tingkat kepercayaan pelanggan terhadap kualitas tanaman hias yang berasal dari Kabupaten Cianjur dengan mengembangkan bentuk tanaman hias yang lebih unik lagi melalui kemampuan petani dalam membudidayakan tanaman hias. (S1, O2). 2. Strategi diversifikasi konsentrik: Meningkatkan volume penjualan tanaman hias saat hari libur dengan pemberian diskon ataupun potongan harga bagi konsumen. (S3, O1) Strategi Kekuatan-Ancaman 5. Strategi pengembangan produk : Lebih meningkatkan lagi kualitas tanaman hias yang dihasilkan agar kepercayaan pelanggan terhadap tanaman hias yang dihasilkan tetap terjaga. (S2,T1)
Pemilihan Strategi Pemasaran Dalam pemilihan alternatif strategi yang tepat bagi kondisi dan posisi perusahaan sebagai pemain baru dalam bisnis ini, dipilih tiga strategi utama dari empat strategi yang telah dihasilkan pada Matriks SWOT. Ketiga strategi utama itu dipilih karena dianggap strategi pemasaran yang menjadi prioritas APPTHC dalam rangka meningkatkan volume penjualan. Tiga strategi pemasaran utama itu antara lain: Strategi diversifikasi konsentrik, strategi pengembangan produk, dan strategi penetrasi pasar. Alternatif-alternatif strategi tersebut dapat dianalisis kembali dengan menggunakan Matriks Quantitatives Strategic Planning (QSP) untuk menentukan strategi yang paling tepat sebagai prioritas utama bagi perusahaan. Daftar bobot peluang atau ancaman eksternal dan kekuatan atau kelemahan internal perusahaan yang sudah ada pada matriks IFE dan EFE kemudian dihitung dengan nilai daya tarik (AS). Bila faktor sukses tersebut mempengaruhi strategi pilihan yang akan dirumuskan maka strategi harus dibandingkan relatif
68
Kelemahan (W) Sistem manajemen perusahaan yang tidak berjalan. Tidak ada upaya untuk mengembangkan keanggotaan. Tidak memiliki dana operasional yang memadai. Standar harga tanaman hias yang tidak ada. Pembinaan sumber daya manusia tidak intensif.
Strategi Kelemahan-Peluang 3. Strategi diversifikasi kosentrik: Memudahkan pelanggan untuk mendapatkan produk tanaman hias ataupun jasa pembuatan taman dengan pengiriman produk yang tepat waktu. (W1,O2) 4. Strategi penetrasi pasar: Memasang iklan di surat kabar dan membuat website perusahaan yang dilengkapi forum pelanggan. (W1, O3)
Strategi Kelemahan-Ancaman 6. Strategi pengembangan pasar : Membuka spot penjualan tanaman hias di daerah lain yang penjual tanaman hiasnya relatif masih sedikit. (W2,T1)
terhadap faktor kunci. Semakin tinggi Total Attractive Score (TAS) maka strategi itu semakin baik untuk diterapkan karena mempertimbangkan seluruh faktor eksternal dan internal perusahaan. Berdasarkan nilai total TAS pada masingmasing strategi dalam matriks QSP maka dapat disusun prioritas strategi pemasaran APPTHC pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Alternatif Strategi Prioritas No. 1. 2. 3.
Alternatif Strategi Pemasaran Strategi diversifikasi konsentrik Strategi pengembangan produk Strategi penetrasi pasar
Total Nilai 4.05 3.65 2.91
Tabel 11 menunjukkan dua strategi prioritas perusahaan yakni strategi diversifikasi konsentrik (4.05) dan strategi pengembangan produk (3.65), Pada saat tingkat kesadaran masyarakat untuk membeli tanaman hias sudah tinggi, maka langkah yang ditempuh adalah membuat terobosan baru dengan melakukan inovasi dan modifikasi terhadap
tanaman hias yang diproduksi untuk meningkatkan volume penjualan perusahaan. Modifikasi tanaman hias yang dihasilkan berkaitan dengan strategi imitasi yang penting dilakukan karena strategi imitasi produk dapat menjadi strategi yang lebih menguntungkan daripada strategi inovasi yang belum tentu diterima konsumen tanaman hias pada awalnya. Setelah berada dalam posisi yang tepat, perusahaan dapat menjalankan strategi prioritas ketiga untuk mendukung volume penjualan tanaman hias dengan berbagai aktivitas yang menarik banyak pelanggan. Strategi penetrasi pasar sebagai strategi prioritas ketiga dilakukan dengan pemasaran yang lebih gencar lagi, seperti menaikkan jumlah tenaga penjualan, meningkatkan anggaran iklan dan meningkatkan aktivitas publisitas terhadap tanaman hias yang dihasilkan. PENUTUP Penelitian ini memberi kesimpulan, bahwa 1. Nilai dari matriks EFI sebesar 2.40 yang artinya di bawah nilai rata-rata 2.50 dan nilai dari matriks EFE sebesar 2.68 yang artinya di atas nilai rata-rata 2.50. 2. Alternatif strategi yang dirumuskan dari faktor internal dan faktor eksternal pemasaran APPTHC pada matriks QSP menghasilkan tiga prioritas strategi yang dapat dilakukan perusahaan, yaitu strategi diversifikasi konsentrik, strategi pengembangan produk, dan strategi penetrasi pasar APPTHC dapat meningkatkan volume penjualan dengan melakukan: 1. Melakukan aktivitas pemasaran yang lebih gencar lagi, seperti menaikkan jumlah tenaga penjualan, meningkatkan anggaran iklan dan meningkatkan aktivitas publisitas terhadap tanaman hias yang dihasilkan. 2. Mengadakan kegiatan pelatihan budidaya dan seni potong tanaman hias yang intensif dengan melibatkan seluruh petani pedagang yang tergabung dalam APPTHC.
Krisnamurthi, B. dan L. Fausia. (2006). Langkah Sukses Melalui Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta. Nazir, Moh. (1999). Metode Penelitian Cetakan IV. Ghalia Indonesia. Jakarta. Rahardi, F., dkk. (2002). Agribisnis Tanaman Hias. Penebar Swadaya. Jakarta. Rangkuti, Freddy. (2008). Bussiness Plan : Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus. PT. Gramedia. Jakarta. Rodjak, Abdul. (2005). Manajemen Usahatani. Pustaka Giratuna. Bandung. Saladin, D. (2006). Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengendalian. Linda Karya. Bandung. Sidik, Abdul. (2008). http://blogspot.com/2008/11/kawasanagropolitan-kabupaten-cianjur.html. Diakses pada Hari Rabu Tanggal 23 Desember 2009. Soekarno dan Nampiah. 1990. Mawar. Jakarta : Penebar Swadaya. Stanton, J. W. (1996). Prinsip Pemasaran. Erlangga. Jakarta. Sutisna. (2001). Perilaku Konsumen dan komunikasi Pemasaran. Remaja Posdakarya. Bandung. Swastha, B. dan Irawan. (2005). Manajemen Pemasaran Modern. Liberti. Yogyakarta. Sugiono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfabeta. Jakarta. Wikipedia Ensklipedia Bebas. (2010). http://id.wikipedia.org/wiki/Tanaman_hias. Diakses pada Hari Minggu Tanggal 17 November 2010.
Winardi. (1993). Azas-Azas Marketing. Mandar Maju. Bandung
DAFTAR PUSTAKA David, Fred R. (2006). Manajemen Strategi : Konsep Edisi 10. Diterjemahkan oleh Paulyn Sulistio dan Harryadin Muhardika. Salemba Empat. Jakarta. Kotler, Philip. (1991). Manajemen Pemasaran. Edisi kelima. Erlangga. Jakarta. ___________. (2002). Dasar-Dasar Pemasaran. Indeks. Jakarta.
69
70
Dinamika Produktivitas Padi Ditinjau dari Fluktuasi Susut Hasil serta Faktor Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Mempengaruhinya Dynamics of Rice Productivity Seen from Fluctuation of Rice Yield Losses and Social, Economic and Cultural Factors that Determine Its Elly Rasmikayati1*, Asep Faisal2 1Departemen 2Dinas
Sosektan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura, Kota Bandung
ABSTRAK
Kata Kunci: Produktivitas padi Susut hasil padi Faktor sosial Faktor ekonomi Faktor budaya
Upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan dalam rangka mencapai swasembada pangan masih terus dilakukan. Namun di sisi lain, kehilangan akibat tingkat susut hasil padi yang tinggi menjadi salah satu permasalahan nyata yang harus segera diatasi. Tujuan dari artikel ini adalah mengidentifikasi dinamika produktivitas padi Jawa Barat, memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di Jawa Barat dan mengidentifikasi faktorfaktor non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil padi. Metode yang digunakan adalah two-phase mixed method. Hasil penelitian mengungkapkan terjadinya fluktuasi yang lebih tajam dan laju pertumbuhan yang lebih lambat pada produtivitas padi Jawa Barat dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian dinamika variasi susut hasil di Jawa Barat masih cukup memprihatinkan dan belum ada kecenderungan untuk turun, selama kurun waktu 3 tahun selalu berada di level tertinggi pada 11,46 %. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor non teknis yang menjadi determinan terhadap susut hasil padi yaitu faktor pendapatan usahatani, luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan. Implikasi kebijakan untuk mengatasi tingkat susut hasil gabah dan beras antara lain mendorong petani untuk lebih memperhatian pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca panen padi untuk menurunkan susut hasil. Memberikan bantuan modal untuk petani yang luas lahannya kurang dari 0,7 hektar. Melakukan pendekatan budaya untuk merubah perilaku panen dan pasca panen petani ke arah yang lebih baik namun tidak mengakibatkan disharmoni diantara petani dan buruh tani (buruh panen). Memodernisasi penanganan panen dan pasca panen melalui pemberian bantuan fasilitas alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II Phase dan bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya.
ABSTRACT Government efforts to increase food production in order to achieve food self-
Keywords: Rice productivity Rice yield losses Social factor Economics factor Culture factor
sufficiency is still underway. But on the other hand, the loss due to high yield losses of rice to be one of the real problems that must be addressed immediately. The purpose of this article is to reveal the dynamics rice production in West Java, reveal the dynamics of variation of losses rice result in West Java, and identifies non-technical factors that influence rice yield losses. The method used is a two-phase mixed method. Results of the study revealed that occur the sharper fluctuation and slower growth rate in rice productifity in West Java compared to Central Java and East Java, then the dynamics of the variation of losses results in West Java is still quite alarming and there is no tendency to go down, during a period of 3 years has always been at the highest level at 11.46%. The path analysis result showed that there are non-technical factors that determine rice yield losses including farm income, land area, feelings, norms and milling factors. The implication policies to overcome rice yield losses are encouraging farmers to pay more attention for the cost of harvest/post-harvest treatment to reduce rice yield losses. Give the financial aid for farmers with land area below 0.7 hectares. Perform a cultural approaches to change behavior of harvest and post-harvest farmers towards the better, but do not lead to disharmony among farmers and farm workers (harvest laborers). Modernize the harvest and post-harvest handling through the provision of facilities alsintan especially revitalizing rice milling from Phase I into Phase II and technical guidance to improve the quality of its human resources.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
71
PENDAHULUAN Pertambahan penduduk selalu berdampak pada peningkatan kebutuhan akan pangan, hal ini mendorong berbagai upaya untuk meningkatkan produksi pangan. Dalam upaya meningkatkan swasembada pangan khususnya beras, saat ini pemerintah sedang melakukan berbagai upaya peningkatan produksi beras melalui perluasan areal dan optimalisasi lahan, peningkatan produktivitas padi melalui bantuan benih, pupuk, alat mesin pertanian dan revitalisasi penggilingan padi dan upaya-upaya lainnya. Dalam 10 tahun terakhir (2004-2014), Jawa Barat merupakan penyumbang produksi padi terbesar kedua setelah Jawa Timur dengan rata-rata produksinya sebesar 10.775.158 ton per tahun. Berdasarkan Gambar 1, yang paling mencolok adalah produksi padi Jawa Barat tahun 2009-2011 yang lebih besar dari Jawa Timur, bahkan pada tahun 2011 pada saat Jawa Timur dan Jawa Tengah mengalami penurunan produksi yang sangat mencolok, Jawa Barat hanya mengalami penurunan yang sangat sedikit. Namun demikian dari 2012 sampai sekarang, produksi padi Jawa Timur selalu di atas Jawa Barat dengan selisih yang terlihat cukup mencolok.
Gambar 1. Grafik Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur periode 2004-2014 Sumber: Data BPS, diolah 2015
Turunnya produktivitas Jawa Barat dibandingkan Jawa Timur ini bisa disebabkan oleh banyak faktor diantaranya karena tidak maksimalnya penggunaan input pertanian seperti benih, pupuk, pestisida dan teknologi produksi lainnya. Selain itu fenomena perubahan iklim juga turut mempengaruhinya. Menurut Rasmikayati (2014) terdapat kecenderungan bahwa tindakan adiptif dan mitigatif terhadap perubahan iklim petani Jawa Timur lebih baik dari pada Jawa Barat. Penyebab lain yang sangat rasional adalah terjadinya susut hasil padi yang cukup tinggi di Jawa Barat. Susut hasil dapat terjadi sejak panen hingga pascapanen. Panen dan pascapanen padi adalah tahapan kegiatan yang meliputi pemungutan 72
(pemanenan) malai padi, perontokan, pembersihan, pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan sampai beras siap dipasarkan atau dikonsumsi. Apabila susut hasil dapat ditekan serendah mungkin, maka upaya peningkatan produksi padi dan beras dapat dicapai lebih efektif serta tidak akan mengeluarkan biaya yang terlalu besar. Hasil penelitian Setyono (2008) menunjukkan bahwa Jawa Barat dibandingkan dengan Jawa Tengah, Lampung, Bali dan Kalimantan Selatan masih tertinggi persentase susut hasil padinya. Dengan persentase susut hasil Jawa Barat yang diatas 10% ini merupakan angka yang sangat tinggi dan jelas akan berdampak pada jumlah produksi padi yang dihasilkan Jawa Barat. Tabel 1. Perbandingan Susut Hasil, Jabar, Jateng, Lampung, Bali dan Kalsel Persentase Susut Hasil (%) Jabar Jateng Lampung Bali Kalsel Panen 3,56 1,88 2,80 1,34 1,53 Perontokan 3,64 2,85 4,45 4,20 0,32 Pembersihan 0,65 1,52 Pengangkutan 1,13 0,49 1,40 0,67 1,46 Pengeringan 1,82 2,18 1,49 1,90 1,15 Penggilingan 2,14 2,57 1,51 1,22 1,58 Penyimpanan 1,65 1,75 1,35 Jumlah 13,94 10,62 13,24 11,08 7,39 Sumber: Setyono, (2008) , Tahapan
Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya terus berupaya untuk menekan persentase susut hasil ini melalui bantuan fasilitasi alat dan mesin pertanian (alsintan) serta bimbingan tehnis penanganan panen dan pascapanen dengan target agar susut hasil gabah dan beras dapat ditekan untuk mencapai target 1% per tahun. Namun faktanya susut hasil berfluktuasi dan kalaupun turun jarang mencapai angka 1%. Dengan demikian, upaya-upaya pemerintah dalam menekan susut hasil padi ini belum begitu berjalan dengan baik ditingkat petani, Kelompok Tani maupun Gapoktan. Hal itu menunjukan bahwa selain faktor teknis terdapat juga faktor-faktor non teknis yang mempengaruhi tingginya persentase susut hasil padi dan beras. Faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat petani merupakan faktor-faktor non teknis yang mungkin dapat mempengaruhi perilaku petani, buruh tani, maupun penggarap. Sistem sosial ekonomi dan budaya ini sukar untuk berubah, meskipun berbagai introduksi teknologi maupun inovasi baru terus dilakukan, dahulu adanya penolakan mekanisasi di beberapa daerah misalnya. Kemudian sistem panen keroyokan, pengasag, remi, odong-odong, dan ngeprek merupakan salah satu budaya dari masyarakat petani yang masih terjadi sampai saat ini.
Pemilik lahan, petani, petani penyakap atau petani penggarap tidak bisa mencegah perilaku tersebut karena itu telah ada dan merupakan budaya dari masyarakat petani. Pertanyataannya adalah faktorfaktor non teknis apa saja yang mempengaruhi tingginya persentase susut hasil padi dan beras. Selanjutnya, dari Tabel 1 didapatkan bahwa rata-rata persentase susut hasil padi berdasarkan hasil penelitian Setyono (2008) adalah sebesar 13,94 %. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kita telah kehilangan hasil produksi padi dengan angka yang cukup besar. Kehilangan produksi padi ini harus dicegah atau diturunkan sampai seminimal mungkin agar dapat mencapai peningkatan produksi. Oleh karena itu tujuan dari artikel ini adalah 1) Memaparkan dinamika dan komparasi produktivitas padi Jawa Barat dari dahulu hingga saat ini; 2) Memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di Jawa Barat; dan 3) Mengidentifikasi faktor-faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil padi sehingga dari sini kita dapat menentukan implikasi kebijakan untuk mengatasi susut hasil. KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP Jawa Barat memang masih merupakan provinsi yang termasuk ke dalam 3 besar provinsi penyumbang produksi padi nasional. Namun demikian produksi padinya selalu mengalami fluktuasi naik turun. Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi penyebabnya diantaranya tidak maksimalnya input pertanian yang digunakan, terjadinya fenomena perubahan iklim dan yang terakhir adalah angka susut hasil padi Jawa Barat yang cukup besar. Untuk mengatasi susut hasil ini berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya masih jauh dari target. Faktor-faktor non teknis seperti faktor sosial, ekonomi, budaya seperti: umur, pendidikan, pendapatan, luas lahan, pengalaman berusahatani, pengawasan, perasaan, kepercayaan, sangsi sosial, norma dan sikap mempengaruhi perilaku petani dalam melaksanakan penanganan panen dan pasca panen gabah dan beras. Kemudian juga teknologi petani mempengaruhi perilaku petani dalam melaksanakan penanganan panen dan pasca panen gabah dan bears. Hal itu tercermin dari masih tingginya persentase susut hasil padi dan beras, meskipun inovasi dan teknologi dalam bentuk bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen gabah dan beras mulai panen, perontokan, pengeringan dan pengggilingan setiap tahun diadakan, begitu juga fasilitasi alsintan panen dan pasca panen padi dan beras yang terus dilaksanakan setiap tahun. Menurut Setyono (2008) titik kritis susut hasil padi dan terletak pada sistem pemanen dan perontokan.
Berdasarkan hal tersebut, perbaikan sistem penerapan panen dan pasca panen padi dan beras dalam upaya menekan susut hasil gabah dan beras harus mencakup seluruh sistem agribisnis dan aspek teknis, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan petani / kelompok tani / Gapoktan setempat. Perbaikan tersebut harus menguntungkan semua pihak yang terlibat, baik petani pemilik, buruh panen, dan pengusaha jasa panen dan perontok. Dengan demikian, diperlukan pendekatan yang menyeluruh terhadap komponen-komponen sistem agar dapat menemukan sifat-sifat penting dalam sistem, sehingga diperoleh berbagai alternatif perbaikan keluaran yang dikehendaki. Karena itu, strategi untuk mengatasi susut hasil ini harus lebih dilihat dari bagaimana cara mengatasi faktor-faktor non teknis petani itu sendiri. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah twophase mixed method (Creswell et. al., 2008). Fase pertama pada metode ini dimulai dengan pengumpulan literatur-literatur berupa dokumentasi berbagai instansi terkait seperti Dinas Pertanian, BPS dan instansi lainnya serta hasil-hasil penelitian dengan topik yang sama mengenai produktivitas dan susut hasil padi lalu dibandingkan dan dikaji secara mendalam untuk menggambarkan dinamika produktivitas dan variasi susut hasil padi di Jawa Barat. Selanjutnya pada fase berikutnya digunakan data hasil survey pada daerah yang lebih spesifik untuk menghitung susut hasil dan menentukan faktor-faktor non teknis yang menentukan susut hasil padi. Data tersebut adalah data yang bersumber dari petani yang melakukan panen, perontokan, pengeringan dan penggilingan padi di kabupaten Indramayu pada musim tanam 2014/2015. Data mengenai susut hasil didapatkan dengan pengujian/pengukuran langsung di sawah milik petani yang bersangkutan, sedangkan data mengenai faktor-faktor non teknis didapatkan melalui wawancara. Penghitungan susut hasil mengikuti prosedur baku yang telah dikembangkan oleh BPS dan Deptan (2008). Rumus penghitungan susut hasil merupakan penjumlahan dari susut saat melakukan panen, susut saat melakukan perontokan, susut pengeringan dan susut penggilingan. Metode analisis yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi susut hasil adalah analisis jalur (path analysis) dengan persamaan struktural yang berisi 15 buah variabel eksogen 𝑋1 , 𝑋2 , … , 𝑋15 dan sebuah variabel endogen yaitu 𝑌 persamaan struktural tersebut adalah:
73
𝑌 = 𝜌𝑌.𝑥1 𝑋1 + 𝜌𝑌.𝑥2 𝑋2 + ⋯ + 𝜌𝑌.𝑥15 𝑋15 + Є Keterangan : 𝑌 = Susut hasil gabah dan beras (kg) 𝑋1 = umur (tahun) 𝑋2 = Pendidikan 𝑋3 = Pengalaman usahatani (tahun) 𝑋4 = Tingkat pendapatan (Rp) 𝑋5 = Luas lahan (hektar) 𝑋6 = Pengawasan 𝑋7 = Perasaan 𝑋9 = Sanksi sosial 𝑋10 = Norma 𝑋11 = Sikap 𝑋13 = Perontokkan 𝑋14 = Pengeringan 𝑋15 = Penggilingan 𝜌𝑌.𝑥𝑖 = Koefisisen beta dari 𝑋1 sampai 𝑋15 Є = Kesalahan (disturbance term) Selanjutnya, untuk menyusun strategi menanggulangi susut hasil gabah dan beras akibat dari faktor-faktor non teknis seperti perilaku sosial ekonomi, budaya dan teknologi petani pada setiap tahapanya, dilakukan analisis kualitatif dengan mengacu kepada identifikasi perilaku sosial ekonomi, budaya dan teknologi petani dalam melaksanakan panen dan pasca panen yang signifikan mempengaruhi susut hasil kemudian dilakukan kajian lebih mendalam dengan analisis kebijakan Timberben. HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Produksi Padi Jawa Barat Jawa Barat merupakan salah satu sentra utama padi nasional, kontribusinya pada tahun 2014 sekitar 16 %. Rata-rata produksi padi Jawa Barat selama 1993-2014 tahun terakhir ini adalah sebesar 10.994.835 ton per tahun dengan rata-rata luas area panen seluas 1.927.089 hektar dan rata-rata produktivitas sebesar 5,70 ton/hektar. Dalam hal produktivitas padi seperti tersaji pada Gambar 2, selama periode 1993-2014 rata-rata produktivitas padi Jawa Barat adalah 5,29 ton/hektar dengan standard deviation sebesar 0,43 ton/hektar. Jawa Tengah juga mempunyai rata-rata produktivitas padi yang hampir sama yaitu 5,285 ton/hektar namun mempunyai standard deviation yang lebih kecil yaitu 0,22 ton/hektar, ini menandakan variasi naik turunnya produktivitas padi Jawa Barat lebih berfluktuasi dari pada Jawa Tengah. Selanjutnya Jawa Timur adalah provinsi dengan rata-rata produktivitas padi paling tinggi yaitu 5,44 ton/hektar dengan standard deviation sebesar 0,35 ton/hektar di mana angka ini lebih kecil dari Jawa Barat. 74
Gambar 2. Garafik Produktivitas Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur periode 1993-2014 dalam kuintal per hektar Sumber: Data BPS, diolah 2015
Dengan rata-rata produktivitas yang lebih kecil dan standard deviation yang lebih besar dari Jawa Timur mengindikasian bahwa terdapat penurunan produktivitas padi yang sangat tajam atau laju pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat di Jawa Barat. Seperti pada tahun 1998 di mana hampir semua daerah mengalami penurunan produktivitas namun Jawa Barat mengalami penurunan produktivitas yang sangat tajam hingga hanya mencapai 4,5 ton/hektar. Jawa Barat sebenarnya awalnya pada tahun 1993 merupakan yang paling rendah produktivitasnya diantara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun walaupun saat ini produktivitas Jawa Barat masih lebih rendah dibandingkan Jawa Timur namun saat ini sudah lebih tinggi dari Jawa Tengah. Dinamika Variasi Susut Hasil Padi Persentase susut hasil padi di Jawa Barat ditunjukkan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Persentase Susut Hasil Padi di Jawa Barat Tahun 2009, 2010, dan 2011
Tahapan Panen Perontokan Pengeringan Penggilingan Jumlah
Persentase Susut Hasil (%) Tahun 2009 Tahun Tahun 2011 2010 3.48 2.29 3.07 3.82 3.06 3.2 2.35 3.31 3.06 1.69 2.39 2.13 11.34 11.05 11.46
Sumber: Diperta Provinsi Jawa Barat, (2012)
Dengan tingkat susut hasil sebesar 11,46%, gabah yang tercecer sebesar 1.447.138,4 ton berasal pada saat panen 387.671,44 ton GKP, perontokan 404.087,51 ton GKP, pengeringan 386.408,68 ton GKP dan penggilingan 268.970,75 ton GKG. Susut hasil ini, jika dikonversikan ke dalam luas areal sawah dengan rata-rata produksi Gabah Kering Panen (GKP) di Jawa Barat yang sebesar 5,6 ton per hektar sama dengan 258.417,5 ha sawah tidak
dipanen. Kemudian jika dikonversikan ke dalam Harga Pembelian Petani (HPP) GKP Rp 3.300 ditingkat petani dan GKG Rp 4.200 per kg di Perum BULOG (Inpres No.3. Tahun 2012) dari panen, perontokan dan pengeringan, Gabah Kering Panen (GKP) yang tercecer setara dengan Rp 3,887,953,179,000,-, sedangkan untuk penggilingan Gabah Kering Giling yang tercecer (GKG) setara dengan Rp 1,129,677,150,000,-. Berdasarkan Tabel 2, dinamika variasi susut hasil cenderung relative tetap pada level 11 - 12 % dengan standard deviation sebesar 0,21 %. Angka ini jelas masih terlalu tinggi dan belum terlihat kecenderungan untuk menurun. Maka dari itu, angka susut hasil ini harus segera diturunkan agar program peningkatan produksi padi di Jawa Barat dapat berjalan lebih efisien dan efektif. Selain itu, jika permasalahan susut hasil padi di Jawa Barat yang angkanya cukup tinggi ini dapat diatasi dengan baik maka produktivitas padi Jawa Barat dapat lebih baik lagi dan berpeluang untuk mengungguli Jawa Timur. Dinamika Produktivitas dan Susut Hasil di Indramayu Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten penghasil padi terbesar di Jawa Barat. Selama periode 2009-2013, rata-rata produksi padi Indramayu adalah 1.311.664 ton, disusul oleh kabupaten Karawang dan Subang dengan 1.098.891 ton dan 1.013.195 ton (Disperta Jabar, 2014).
Gambar 2. Grafik Produktivitas Padi Kabupaten Indramayu, Subang dan Karawang periode 2009-2013 dalam kuintal per hektar Sumber: Disperta Provinsi Jawa Barat, diolah 2015
Gambar 2 menunjukkan bahwa dalam hal produktivitas padi, Kabupaten Indramayu memiliki rata-rata produktivitas tertinggi. Selama periode 2009-2013 angkanya mencapai 6,09 ton/hektar di atas Karawang dan Subang yang masing-masing sebesar 5,98 ton/hektar dan 5,86 ton/hektar. Namun demikian, jika dilihat dari nilai standard deviation produktivitasnya dalam periode yang sama, Indramayu memiliki nilai standard
deviation yang lebih besar dari pada Karawang dan Subang. Nilai standard deviation produktivitas padi Indramayu adalah 0,25 ton/hektar, Subang sebesar 0,23 ton/hektar dan Karawang sebesar 0,12. Dalam hal ini Kabupaten Indramayu adalah yang paling tinggi fluktuasi naik turunnya. Kejadian susut hasil tidak bisa dikecualikan sebagai salah satu penyebabnya. Untuk itu, hasil survey mengenai susut hasil di Indramayu akan dipaparkan dan dianalisis lebih jauh. Hasil penghitungan susut hasil di Kabupaten Indramayu disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Hasil Penghitungan Susut Hasil di Kabupaten Indramayu Susut Hasil (kg) Statistik Rata-rata Simpangan baku
Panen Perontokan
Pengeringan Penggilingan
2.68
13.43
0.47
0.034
1.92
4.27
1.99
0.045
Sumber: Data Primer diolah, (2015)
Faktor utama dari masih tinginya susut hasil gabah pada saat panen disebabkan petani masih mengunakan sistem keroyokan. Dalam sistem keroyokan berkisar antara 20 - 30 orang pemanen yang seringkali dilakukan malam hari pemanen dengan menggunakan sabit biasa berebut memotong padi, akibatnya banyak rumpun padi yang terinjak dan patah. Pengunaan sabit biasa menyebabkan tekanan terhadap rumpun padi sangat besar ketika batang padi dipotong sehingga banyak butir gabah yang jatuh. Berbeda halnya jika menggunakan sabit bergerigi, karena tekanan terhadap rumpun padi ketika batang padi dipotong lebih rendah daripada sabit biasa. Menurut Damarjati et al, (1990) sabit bergerigi bisa menekan kehilangan hasil pada saat pemotongan padi sebesar 3%. Selain itu, padi yang telah dipanen dikumpulkan ditengah sawah dengan alas terpal plastik untuk dirontokan di pagi hari, penundaan perontokan ini akan mempengaruhi kualitas gabah dan peningkatkan risiko kehilangan hasil. Berdasarkan Tabel 3, rata-rata susut hasil pada saat perontokan adalah yang paling tinggi dibandingkan tahapan lainnya. Hal ini terjadi karena di lokasi penelitian atau umumnya di Indramayu padi dirontokan dengan alat banting bertirai tanpa penghalang, jumlah batang padi seringkali lebih besar dari genggaman tangan sehingga tidak terbanting dengan baik, jumlah bantingan antara 2-4 kali sehingga masih terdapat butir padi yang menempel di malainya dan batang padi yang berjatuhan. Selain itu, ketika panen berakhir diikuti oleh pengeprek (padi diorek-orek) atau remi (ngorek-
75
nogrek jerami) yang di drop per mobil antara 10-15 orang yang berasal dari Desa sekitarnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Momo 34 tahun (2013) salah satu pengeprek hasilnya dapat mencapai 30-60 kg per bau gabah bernas per orangnya. Hasil ngeprek dijual kepada bandar pemilik mobil dengan harga Rp 3000 - Rp 3500 per kg. Ngeprek sudah menjadi kebiasaan di Indramayu dan jika pemilik sawah melarang maka seringkali padi yang siap panen diganggu. Kemudian pada proses pengeringan, padi dikeringkan ditengah sawah atau atau dihalaman rumah, sambil dijemur biasa dibersihkan. Petani menggunakan karung plastik atau terpal plastik sebagai alasnya. Disamping terjadi susut hasil karena tercecer juga seringkali adanya gangguan dari burung dan ayam yang biasa berkeliaran disekitar rumah. Namun demikian dari Tabel 2 didapatkan nilai simpangan baku susut hasil pengeringan sebesar 1,99 yang jauh lebih tinggi dari pada rata-ratanya, hal ini menunjukkan sangat bervariasinya tingkat susut hasil petani pada saat melakukan pengeringan hasil panen. Kemudian yang terakhir pada proses penggilingan nilai susut hasilnya adalah yang paling kecil. Pada tahapan ini, susut hasilnya berupa gabah yang tercecer disekitar mesin penggiling, dan menir (beras patah) banyaknya beras patah ini disebabkan oleh kadar air yang kurang dari 14% atau lebih dari 14%. Biasa petani dalam mengeringkan gabah antara 12-15% akibatnya banyak terjadi butir hijau, butir mengapur (chalky), dan menir (beras patah). Namun demikian, susut hasil penggilingan ini merupakan keuntungan bagi pemilik penggilingan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Wagiono (2013) salah satu pemilik penggilingan padi menir dan dedak merupakan keuntungan pemilik penggilingan padi disamping biaya penggilingan. Menir diayak dengan ayakan halus menjadi tiga bagian yaitu menir patah dua dijual Rp 600,0,- per kg, menir patah tiga Rp 4,500 per kg dan menir bebek (> patah 3) dijual Rp 4,000 per kg sementara dedak dijual Rp 2,500 per kg. Faktor-Faktor Non Teknis yang Mempengaruhi Susut Hasil Padi Berikut adalah hasil estimasi faktor-faktor non tenis yang menjadi determinan terhadap pendapatan petani mangga setelah memenuhi asumsi-asumsi klasik dan goodness of fit. Dari hasil analisis akhir didapatkan 5 faktor yang mempengaruhi susut hasil (𝑌) secara nyata yaitu tingkat pendapatan usahatani (𝑋4 ), luas lahan (𝑋5 ), perasaan (𝑋7 ), norma (𝑋10 ) dan penggilingan (𝑋15 ). Tabel 4. Faktor-faktor Non Teknis yang Menjadi Determinan terhadap Susut Hasil
76
Koefisien Jalur (𝜌𝑌.𝑥𝑖 ) 0,877 -0,468 0,357 -0,368 0,357
Variabel 𝑋4 𝑋5 𝑋7 𝑋10 𝑋15
Uji-F
Tingkat Signifikansi
Status
0,000*** 0,020** 0,010*** 0,005*** 0,007***
Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan
0,000**
Signifikan
𝑅 2 = 0,383 Ket : (*) Signifikan dengan tingkat kepercayaan 90% (**) Signifikan dengan tingkat kepercayaan 95% (***) Signifikan dengan tingkat kepercayaan 99% Sumber: Data Primer diolah, (2015) Tabel 5. Matriks Korelasi Antar Variabel 𝑟𝑥𝑖𝑥𝑗
Y
X4
X5
Y X4
1,000 0,361
0,361 1,000
0,169 0,761
X5 X7
0,169 0,071
0,761 -0,203
1,000 0,066
X7
X10
0,071 -0,172 -0,203 0,128
X15 0,161 -0,113
0,066 1,000
0,014 0,010
-0,136 -0,205
X10 -0,172 0,128 0,014 0,010 X15 0,161 -0,113 -0,136 -0,205 Sumber: Data Primer diolah, (2015)
1,000 0,239
0,239 1,000
Dari Tabel 4 dan Tabel 5 didapatkan nilai pengaruh langsung dan tidak langsung dari ke-5 faktor tersebut. Tabel 6. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Pendapatan (𝑋4 ) terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung :
Pengaruh total 𝑋4 ke 𝑌
0,7688 Melalui 𝑋5 Melalui 𝑋7
-0,3124 -0,0634
Melalui 𝑋10 Melalui 𝑋15
-0,0413 -0,0353 0,3162
Berdasarkan Tabel 6, secara langsung peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 76,88% ditentukan oleh faktor tingkat pendapatan. Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung faktor tingkat pendapatan melalui luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan berubah menjadi -45,25% yang berarti menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 45,25% ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan berbagai aspek dari faktor luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh pendapatan terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 31,62%, jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 31,62% secara total ditentukan oleh faktor tingkat pendapatan.
Hasil analisis mengungkapkan bahwa peningkatan pendapatan berkontribusi pada meningkatnya susut hasil. Dalam hal ini tinggnya pendapatan ini disebabkan karena petani kurang menganggarkan biaya untuk sistem budidaya yang lebih baik dan perlakuan panen dan pasca panen yang baik. Untuk itu, petani harus didorong untuk lebih memperhatikan pembiayaan pada sistem budidaya/produksi untuk meningkatkan produktivitas dan perlakuan panen dan pasca panen untuk menurunkan susut hasil. Sehingga walaupun hal ini akan meningkatkan biaya produksi namun akan tertutup oleh meningkatkan hasil dan sedikitnya susut hasil padi. Tabel 7. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Luas Lahan (𝑋5 ) terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung
Pengaruh total 𝑋5 ke 𝑌
0,2194 Melalui 𝑋4 Melalui 𝑋7
-0,3124 -0,0111
Melalui 𝑋10 Melalui 𝑋15
0,0023 0,0228 -0,0790
Berdasarkan Tabel 7, secara langsung peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 21,94% ditentukan oleh faktor luas lahan. Namun jika melihat pengaruh total tidak langsung faktor luas lahan melalui tingkat pendapatan, perasaan, norma dan penggilingan bernilai negatif 29,84% yang berarti penurunan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 29,84% secara tidak langsung ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan faktor-faktor pendapatan, perasaan, norma dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh luas lahan terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi -7,90%, jadi menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 7,90% secara total ditentukan oleh faktor luas lahan. Berdasarkan hasil analisis, menurunkan susut hasil disebabkan karena semain luasnya lahan petani. Dalam hal ini terdapat kecenderungan bahwa petani dengan luas lahan ≥ 0,7 hektar cenderung berupaya untuk memaksimalkan biaya produksi dan menggunakan teknologi baik untuk produksi, panen dan pasca panen untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Untuk itu, petani dengan luas lahan kurang dari 0,7 hektar yang kebanyakan bermodal seadanya perlu mendapatkan perhatian dengan adanya bantuan permodalan agar dapat melakukan hal dilakukan petani yang luas lahannya lebih dari 0,7 hektar.
Tabel 8. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Perasaan (𝑋7 ) terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung
Melalui 𝑋4
0,1275 -0,0634
Melalui 𝑋5 Melalui 𝑋10
-0,0111 -0,0014
Melalui 𝑋15
-0,0262 0,0254
Pengaruh total 𝑋7 ke 𝑌
Tabel 8 menunjukan bahwa secara langsung peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar 12,75% ditentukan oleh faktor perasaan. Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung perasaan melalui faktor pendapatan, luas lahan, norma dan penggilingan berpengaruh negatif sebesar -10,21% yang berarti secara tidak langsung penurunan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 10,21% ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari faktor faktor tingkat pendapatan, luas lahan, norma dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh perasaan terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 2,54%, jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 2,54% secara total ditentukan oleh faktor perasaan. Tabel 9. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Norma (𝑋10) terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung
Pengaruh total 𝑋10 ke 𝑌
Melalui 𝑋4
0,1351 -0,0413
Melalui 𝑋5 Melalui 𝑋7
0,0023 -0,0014
Melalui 𝑋15
-0,0314 0,0634
Tabel 9 menunjukan bahwa secara langsung peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar 13,51% ditentukan oleh faktor norma. Namun jika dilihat dari pengaruh tidak langsung faktor norma melalui pendapatan, luas lahan, perasaan, dan penggilingan berpengaruh negatif sebesar –7,18% yang berarti penurunan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 7,18% secara tidak langsung ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh norma terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 6,34%. Jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 6,34% secara total ditentukan oleh faktor norma. Jika dibandingkan antara pengaruh tidak langsung perasaan -10,21% dengan total pengaruh
77
perasaan 2,54% jauh lebih besar pengaruh total tidak langsung, artinya sebenarnya dengan meningkatkan rasionalitasnya dan mengurangi unsur menjaga perasaan petani seperti membatasai jumlah pemanen, menggunakan perontok mesin, mengeringkan dalam lamporan, dan menggiling di penggilingan besar mereka dapat menurunkan susut hasilnya. Namun hal ini tidak dilakukan. Di lokasi penelitian sudah biasa siapa saja bisa ikut panen meskipun pemilik sawah tidak menyuruhnya, bahkan ketika panen sedang berlangsung orang bisa langsung ikut panen. Pemilik sawah menyadari hal itu merugikan karena semakin banyak jumlah pemanen maka kerusakan padi akibat terinjak karena berebut akan semakin banyak, namun tidak bisa melarangnya karena karena empati terhadap orang lain dan takut orang tersebut akan tersinggung dan marah. Artinya kesadaran akan kerugian dengan mempertahankan norma-norma yang berlaku ketika melaksanakan sistem panen, perontokan pengeringan dan penggilingan ada. Namun kesadaran ini tidak dinyatakan dalam tindakan karena norma-norma itu sudah menjadi kebiasaan. Sangat sulit untuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat pedesaan, karena itu sudah lama terjadi dan sudah menjadi patokan dalam perilaku sehari-hari seseorang yang melanggar norma akan dikenai sangsi sosial dari masyarakat disekitarnya. Tabel 10. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Penggilingan (𝑋15) terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung
Pengaruh total 𝑋15 ke 𝑌
Melalui 𝑋4
0,1276 -0,0353
Melalui 𝑋5 Melalui 𝑋 7
0,0228 -0,0262
Melalui 𝑋10
-0,0314 0,0575
Tabel 10 menunjukan secara langsung peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras ditentukan oleh faktor penggilingan sebesar 12,76%. Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung penggilingan melalui faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, dan norma sebesar -7,01%. Jadi pengaruh langsung penggilingan terhadap tingkat susust hasil gabah dan beras yang tadinya positif setelah melalui faktor pendapatan, perasaan, dan norma berubah menjadi negatif, namun tetap positif ketika melalui faktor luas lahan meskipun sangat kecil. Ini berarti bahwa secara tidak langsung tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 7,01% dapat diturunkan melalui perbaikan dan peningkatan dari faktor faktor pendapatan, perasaan, dan norma. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh 78
langsung penggilingan terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 5,75%. Jadi secara total faktor penggilingan dapat meningkatkan tingkat susut gabah dan beras sebesar 5,75%. Hal itu terjadi karena sebagian besar petani dilokasi penelitian menggiling padinya ke Penggilingan Padi Kecil (PPK) dengan kategori I Phase milik petani lainnya atau milik kelompok taninya yang sudah berumur tua dan proses penyosohannya secara abrasif. Menurut Nugraha dan Tim, (2008) mesin penggilingan I Phase adalah pengilingan padi dimana mesin pemecah kulit (husker) menyatu dengan mesin penyosoh (polisher). Gabah dimasukan ke dalam hooper hasilnya beras pecah kulit, kemudian dimasukan lagi hasilnya menjadi beras. Implikasi kebijakan dapat difokuskan pada modernisasi di bidang pertanian melalui bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen gabah dan beras dan fasilitasi alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II Phase. PENUTUP Dinamika produktivitas padi di Jawa Barat cenderung memiliki fluktuasi yang lebih tajam dan laju pertumbuhan yang lebih lambat pada produtivitas padi Jawa Barat dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tinjauan dari segi variasi susut hasil pun cenderung relative masih terlalu tinggi dan belum ada kecenderungan untuk menurun. Susut hasil ini harus segera diatasi agar program peningkatan produksi padi dapat berjalan lebih efisien dan efektif. Berdasarkan analisis simultan faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan mempengaruhi tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 38,34%, dan 61,66% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar penelitian ini. Dari variabel ekonomi diwakili oleh faktor pendapatan dan luas lahan. Peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 31,62% secara total dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, namun menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 7,90% secara total dipengaruhi oleh faktor luas lahan. Dari variabel teknologi petani diketahui bahwa naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 5,75% secara total dipengaruhi oleh faktor penggilingan. Sedangkan dari variabel budaya naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 2,54% secara total dipengaruhi oleh faktor perasaan, dan sebesar 6,34% secara total dipengaruhi oleh faktor norma. Berdasarkan uraian di atas, untuk mengatasi penurunan produktivitas karena tingginya tingkat susut hasil dapat dibuat implikasi kebijakan diantaranya:
1) Petani harus didorong untuk lebih memperhatian pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca panen padi untuk menurunkan susut hasil. 2) Memberikan bantuan modal untuk petani yang luas lahannya kurang dari 0,7 hektar. 3) Melakukan pendekatan budaya yang dapat merubah penanganan panen dan pasca panen menjadi lebih baik dan tidak mengakibatkan disharmoni diantara petani dan buruh tani (buruh panen) dan saling menguntungkan kedua belah pihak. 4) Memodernisasi penanganan panen dan pasca panen melalui pemberian bantuan fasilitas alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II Phase dan bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya.
Nugraha, Sigit dan Tim. (2008). Metode Menekan Kehilangan Hasil Padi. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA BPS dan Departemen Pertanian. (2008). Laporan Hasil Survei Susut Panen Dan Pasca Panen Gabah/Beras. Kerjasama Badan Pusat Statistik Dan Departemen Pertanian. Jakarta.
Setyono, Agus. (2008). Teknologi Penanganan Pasca Panen Padi. Makalah. Disampaikan Pada Lokakarya Kegiatan Pengkajian Pemanfaatan Alat Dan Mesin Pertanian (Alsintan Pasca Panen Padi Sawah. Badan Penelitian Dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Barat, Bandung Desember 2008.
BPS. (2015). Luas Lahan, Produktivitas, dan Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Melalui situs www.bps.go.id.
Oerke, E.C., H.W. Dehne, E. Schonbeck, and A. Weber. (1999). Crop Producing and Crop Protection: Estimated Lossing in Major Food and Cash Crop. Elsevier. Netherland. Raharjo, B., D. Hadiyanti, dan K. A. Kodir. (2012). KajianKehilangan Hasil Pada Pengeringan dan Penggilingan Padi di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal. Vol. 1, No.1: 72-82. Rasmikayati, E. (2014). Perubahan Dampaknya Terhadap Perilaku Pendapatan Petani. Bandung.
Iklim: Serta
Creswell, J.W. and V.L.P. Clark. (2008). Designing and Conducting Mixed Methods Research. Sage Publications. London. Damardjati, Djoko Said. (2010). Kebijakan Pemerintah Dalam Peningkatan Mutu dan Nilai Tambah Pengolahan Gabah/Beras. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional. Diperta Provinsi Jawa Barat. (2014). Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah Menurut Kabupaten Dan Kota Tahun 2009 - 2013 di Jawa Barat. Melalui situs http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMe nu/1780. Enrico. (2012). Teknologi Penanganan Panen Dan Pasca Panen Padi Dalam Menekan Susut Hasil. Makalah. (BPPP) Balai Besar Penelitian Pasca Panen, Bogor. Iswari, K. (2012). Kesiapan Teknologi Panen dan Pascapanen Padi dalam Menekan Kehilangan Hasil dan Meningkatkan Mutu Beras. Jurnal Litbang Pertanian. Nhamo, N., J. Rodenburg, N. Zenna, G. Makombe and A.L. Kihupi. (2014). Narrowing the rice yield gap in East and Southern Africa: Using and Adapting Existing Technologies. Elsevier.
79
80
Pola Pembiayaan Usahatani Manggis di Kabupaten Subang Financing of Mangoestain Farming in Kabupaten Subang Eti Suminartika Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padajdajran
ABSTRAK
Kata Kunci:
Manggis, pembiayaan usahatani, kelembagaan pembiayaan, pola pembiayaan
Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri, namun hanya 10 persen saja manggis kita yang dapat diekspor. Budidaya tanaman manggis masih sangat tradisional, jarang dipupuk, dibersihan dan dipangkas. Masih sedikit petani yang menerapkan standar operasional prosedur (SOP), demikian pula halnya di kabupaten Tasikmalaya dan Subang. Rendahnya upaya pemeliharaan tanaman manggis dapat disebabkan oleh keterbatasan dana yang ada di petani. Tujuan umum penelitian ini adalah mencari bentuk skim pembiayaan usahatani manggis, sedangkan tujuan spesifiknya adalah: (1) Menganalisis kendala apakah sehingga petani kurang memelihara kebunnya (2) Menganalisis kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani (3) Menganalisis pola pembiayaan usahatani manggis (4) Menganalisis kemampuan financial petani untuk pemeliharaan kebun manggis Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer yang diperoleh dari petani dengan menggunakan metoda survey. Selanjutnya data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan analisis matematik dan ekonometrik. Penelitian dilaksanakan di sentra produksi manggis Jawa Barat yaitu di kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Subang. Kendala yang dihadapi petani manggis sehingga kurang memelihara kebunnya adalah permodalan, Kendala teknis terutama cara pemanenan hasil yang kurang baik. Bentuk kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani umumnya mereka memperoleh modal terutama dari sendiri, sebagian pinjaman dari luar terutama dari bandar. Pola pembiayaan usahatani tani manggis, mereka mengeluarkan dana saat pohon manggis mau berbunga (untuk penyiangan), saat panen (untuk biaya panen), setelah panen (untuk pemupukan). Dana yang digunakan untuk membiayai usahatani menggis relatif kecil. Kemampuan financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis sangat rendah karena hasil panen manggis yang sedikit dan usaha ini merupakan usaha sampingan.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
81
LATAR BELAKANG Komoditas hortikultura menyumbang PDB sekitar 21,17 % dari PDB sector pertanian dan menduduki urutan kedua setelah subsector tanaman pangan (Ditjen Hortikultura, 2009). Salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai prospek cerah untuk tujuan ekspor maupun pasar dalam negeri adalah manggis (Garcinia mangostona, L). Ekspor manggis menempati urutan pertama ekspor buah Indonesia yang kemudian diikuti oleh nenas dan jeruk. Pusat penamanam manggis di Indonesia adalah di Kaltim, Kalteng, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sulawesi Utara. Sedangkan sentra produksi manggis terbesar berada di Jawa Barat yang memberikan kontribusi 38% terhadap produksi nasional. Sentra produksi manggis manggis di Jawa Barat adalah Kabupaten Purwakarta, Subang, Bogor dan Tasikmalaya. Kontribusi produksi manggis dari empat kabupaten tersebut sebesar 90% terhadap total produksi Jawa Barat dan 29 %.terhadap produksi nasional sebesar. Meskipun manggis sudah dapat diekspor, namun belum didukung oleh ketersediaan buah dengan mutu yang tinggi. Relatif rendahnya mutu buah manggis di sentra produksi, dikarenakan pengelolaan kebun bersifat tradisional dan system produksinya masih bergantung pada alam. Pada umumnya tanaman manggis sudah tua berumur lebih dari 100 tahun dan warisan orang tua. Sedangkan, peremajaan tanaman baru dilakukan akhir 1990-an. Oleh karena itu buah manggis yang dapat diekspor kurang dari 10% dari total produksi. Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri. Permintaan dari kedua pasar tersebut melebihi produksinya. Untuk pasar luar negeri, jumlah produsen/pemasok manggis masih terbatas seperti Malaysia, Thailand dan negara-negara Amerika latin. Negara tujuan ekspor manggis dari Indonesia adalah Cina, Hongkong, Taiwan, Timur Tengah dan Eropa. Thailand sebagai negara potensial penghasil manggis dunia mampu memberikan harga yang lebih murah, hal ini dapat mengancam pasar ekspor manggis kita. Untuk memenangkan persaingan maka harga harus lebih murah dan kualitas harus lebih baik Oleh karena itu untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa ekspor maka perlu perbaikan kualitas manggis Indonesia. Untuk meningkatkan kualitas manggis perlu adanya dana untuk membiayai usahatani manggis, oleh karena itu perlu dikaji halhal yang erat kaitannya dengan dana yang bisa digunakan untuk usaha tersebut.
82
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani? (2) Bagaimanakah pola pembiayaan usahatani manggis yang dilakukan petani? (3) Bagaimanakah kemampuan financial petani untuk pemeliharaan kebun manggis METODE PENELITIAN Teknik Penarikan Sampel Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra manggis Jawa Barat, Sentra produksi manggis berada di kecamatan Sagala Herang yaitu di desa Dayeuhkolot dan desa Sukamandi, pengambilan sampel dilakukan secara random dengan presentase masing yaitu 10 persen dari jumlah populasi, menurut Gaspersz (1991) apabila peneliti tidak ada pengetahuan tentang besarnya ragam populasi (S) atau proporsi populasi (P) dan tidak dapat memperkirakannya, maka ukuran sampel (n) dapat diambil 5 persen, 10 persen, dan 25 persen.dari jumlah populasi. Selanjutnya menurut Gaspersz (1991), untuk ukuran contoh yang lebih besar dari 30 maka sebaran data dalam contoh akan menyebar mendekati sebaran normal, selain pertimbangan di atas pengambilan sampel didasarkan pula pada ketersediaan dana dan tenaga yang dimiliki. Penarikan sampel mengikut pola sbb: Alat analisis untuk kendala yang dihadapi petani Untuk mengungkap kendala petani terutama tidak memelihara kebunnya yang berkaitan dengan keterbatasan dana akan dianalisis secara deskriptif, dengan cara menjelaskan kendala-kendala yang dihadapi petani, kenapa mereka kurang memelihara kebunnya. Kendala dibagi dua kelompok yaitu kendala yang dihadapi petani manggis (pengekspor) dan petani manggis untuk tujuan pasar local Analisis untuk mengungkap kelembagaan pembiayaan petani dalam membiaya usahataninya Untuk mengungkan kelembagaan pembiayaan di petani yang berkaitan dengan usahatani manggis, maka akan dideskripsi mengenai cara-cara petani mendapatkan dana baik dana dari dalam maupun dari luar, dari mana sumber dana tersebut, bagaimana mensolusikan permasalahan dana, aturan apa yang diikuti untuk mendapatkan dana tersebut, dll. Kelembagaan akan dibedakan dalam dua bentuk yaitu kelembagaan yang diikuti petani manggis (pengekspor) dan petani manggis untuk tujuan pasar local
Analisis untuk mengungkap pola pembiayaan petani dalam membiaya usahataninya Untuk mengungkan pola pembiayaan di petani yang berkaitan dengan usahatani manggis, maka akan dideskripsi mengenai besarnya dana yang diperlukan, besarnya dana yang diaplikasikan, kapan waktu dana dibutuhkan, dll Pola pembiayaan mencakup dua pola yaitu pola pembiayaan yang dilakukan petani manggis (pengekspor) dan petani manggis untuk tujuan pasar local Alat analisis untuk mengukur kemampuan financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis Mampu atau tidaknya petani dalam memelihara kebun didasarkan pada kemampuan dalam menciptakan surplus pendapatan keluarga. Karena adanya surplus pendapatan memungkinkan petani melakukan pemeliharaan pohon manggis nya. Surplus pendapatan keluarga merupakan selisih antara pendapatan dan pengeluaran keluarga yang diformulasikan sebagai berikut: Sf = Yj - Ci dengan batasan: Sf : surplus pendapatan keluarga (Rp) Yj : pendapatan keluarga (Rp) Ci : pengeluaran konsumsi (Rp) Jika didapatkan nilai Sf 0, maka petani dikatakan tidak memiliki kemampuan memelihara pohon, dan jika nilai Sf 0, maka dikatakan petani memiliki kemampuan memelihara pohon Pendapatan petani manggis terdiri dari berbagai sumber di antaranya: pendapatan dari usaha manggis dan pendapatan sampingan. Sedangkan pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan kemasyarakatan. Selain ada tidaknya kemampuan memelihara pohon juga akan dilihat aspek lainnya yang erat kaitannya dengan modal usahatani manggis meliputi besar modal sendiri, sumber modal petani Dihasilkan informasi tingkat kemampuan financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis, sehingga dapat diprediksi apakah memerlukan bantuan modal dari luar (kredit) HASIL DAN PEMBAHASAN Pola pembiayaan Petani Manggis Pola pembiayaan meliputi besarnya biaya (dana) yang dimiliki petani untuk usahatani manggis, waktu penggunaan dan sumber pembiayaan itusendiri. Pola pembiayaan yang dilakukan petani manggis kabupaten Subang meliputi:
Besarnya biaya yang digunakan petani manggis adalah 25.519,51 rupiah per pohon (Tabel 1), petani mengeluarkan biaya tersebut dalam usahatai manggis mulai saat pohon manggis mau berbuah yaitu digunakan untuk pemupukan, penyiangan dan pemanenan. Petani di Kabupaten Subang tidak secara husus mengeluarkan dana untuk perluasan kebun dikarenakan lahan yang dimilki sudah terbatas. Tabel 1. Biaya, Penerimaan dan Pendapatan petani dari Usahatani Manggis Item Penerimaan Biaya variabel Biaya tetap Total biaya Pendapatan
Nilai (Rp) 4.336.969,7 593.366.7
Persentase (%) 100,0 72,6
Nilai per pohon 135.658,76 18.542,71
223.257 816.624 3.650.345,5
27,3 100,0 84,2
6.976,79 25.519,51 110.010,79
Jumlah dana yang digunakan untuk pemupukan adalah 9.867 rupiah per pohon (tabel 2), dana pemupukan digunakan pada bulan Mei, pemupukan tersebut dilakukan sekali (dilakukan oleh 50 % responden) dalam setahun hanya sebagian kecil (3% responden) yang memupuk dua kali dalam setahun, sisanya 47 % petani tidak memupukpohon manggisnya. Minimnya penggunaan dana untuk pemupukan dikarenakan nimnya dana yang dimiliki petani dan usahatani manggis merupakan usaha sampingan. Pupuk yang digunakan umumnya pupuk kandang yang harganya relatif lebih murah. Pupuk diberikan sekarung per pohon manggis berbuah. Pohon manggis yang belum berbuah umumnya tidak diberi pupuk, walaupun diberi pupuk tapi hanya sedikit dan dilakukan oleh sebagian kecil petani. Jadi secara umum petani memupuk pohon manggis yang akan berbuah (sudah terlihat bunga) dengan harapan buahnya banyak. Minimnya pemupukanyang dilakukan petani menyebabkan bauah manggis yang dihasilkan relatif kecil ukuranya. Tabel 2. Biaya bahan Usahatani Manggis Jenis bahan pupuk Pestisida total
Nilai (Rp) 62.597 17.276 78.253
Persentase (%) 7,5 2,0 9,5
Dana untuk penyiaangan digunakan sebesar 12.893 rupiah per pohon, penyiangan dilakukan dua kali dalam setahun (dilakukan oleh 61% responden). Sisanya sekali setahun atau lebih Minimya kegiatan penyiangan yang dilakukan petani karena kebiasaan
83
mereka kebun manggis dibiarkan, merupakan kebun campuran, dana yang dimiliki terbatas dan usahatani manggis merupakan usaha sampinga. Dampak minimnya dana penyiangan maka kebun petani dipenuhi ilalang, kelihatan kurang terawat. Mereka melakukan penyiangan menjelang pohon manggis berbuah dimaksudkan agar memudahkan saat panen nanti. Petani membiarkan kebunnya karena selain usahatani merupakan usaha sampingan, mereka juga terbatas dana untuk penyiangan.
Tabel 3. Biaya Tenaga Kerja Usahatani Manggis Jenis kegiatan Penyiangan Pemangkasan Pemupukan Pemberantasan HPT Pemanenan Pengangkutan total
Nilai (Rp) 201.212 10.606 105.151 15.151
Persentase (%) 24,6 1,2 12,9 1,8
94.954 94.954 511.424
11,5 11,5 62,6
Nilai per pohon
15.982,00
Penyiangan biasanya dilakukan di sekitar pohon manggis. Penyiangan dilakukan secara manual, yaitu dilakukan pembabatan gulma dengan menggunakan parang. Biaya tetap (termasuk peralatan) yang dikeluarkan petani setahun sebesar 6.979,29 rupiah Tabel 4. Biaya Tetap Usahatani Manggis Jenis biaya Biaya alat PBB Biaya tetap
Nilai (Rp) 130.000
Persentase (%) 15,9
Nilai Per pohon 4.062,50
93.257 223.257
11,3 27,3
2.914,29 6.976,79
Biaya panen terbagi dua yaitu dengan mengikuti sistim tebasan, biaya panen di tanggung penebas, oleh penebas biaya panen tersebut dibebankan kepada harga beli yang diberikan kepada petani manggis. Tebasan dilakukan petani dikarenakan simpel nya sitem tersebut, petani tidak usah memetik, mengangkut dan mencari pembeli. Dengan sistim tebasan petani langsung menerima dana dari penebas walaupun harga jual manggis yang diterima petani lebih rendah. penerimaan yang diterima petani dengan sistim tebasan sekitar 124.024 rupiah per pohon, sementara penerimaan yang diterima petani dengan sistim dikilo 151.358 rupiah per pohon (harga jual per kilo 5.304 rupiah, satu pohon menghasilkan sekitar 28,5 kilogram).
Tabel 5. Penerimaan Usahatani Manggis 84
Sistim Satuan tebasan Jumlah pohon pohon Harga per Rupiah pohon Penjualan di kilo Jumlah kilogram berat Harga per Rupiah/ kilogram kilogram Penerimaan Nilai penerimaan Rata-rata Jumlah pohon Penerimaan per pohon
Nilai (Rp) 39,25
Keterangan 60 % responden
124.203,80
489,29
40 % responden
5.304
4.336.969,70 32
135.658,76
Biaya panen dengan mengikut penjualan dikilo biasanya dikeluarkan jika petani menggunkan orang lain untuk panen, besarnya biaya tersebut mengikut sistim borongan yaitu 750 rupiah per kilogram manggis yang dipanen dan 750 rupiah per kilogram manggis yang di angkut. Biaya panen ini lebih kurang 30 persen dari harga jual yang diterima petani (5.304 rupiah per kilogram). Sistim panen borongan ini berpengaruh pada kualitas manggis yang dihasilkan karena pemborong pemetik mengejar jumlah petikan ataupun pengangkutan, hal ini berpengaruh pada kualitas manggis yang dipetik, mengingat kualitas manggis salah satunya ditentukan oleh sistim pemanenan. Banyaknya buah manggis yang memar akan menurunkan harga jual. Kelembagaan Pembiayaan Kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani manggis, petani mengandalkan biaya sendiri untuk usahatani manggis atau seadanya atau relatif tanpa adanya sumber dana dari luar. Akibatnya, petani berada dalam keadaan kekurangan dana untuk kebunnya. Kelembagaan informal (penyandang dana) yang diakses petani adalah pinjaman dari bandar dengan menjaminkan usahataninya misal saat pohon manggis nya sedang berbuah maka dijaminkanlah untuk meminjam uang ke bandar dengan sarat penjualan dilakukan ke bandar dengan harga yang ditentukan bandar (baik mengikut sistim tebasan atau sistim dikilo) tentunya dengan harga yang lebih rendah. Petani meminjam uang ke bandar bukan untuk memelihara kebunnya namun lebih banyak digunakan untuk kebutuhan lainnya, sebagian kecil saja dana pinjaman dari bandar itu untuk biaya panen. Kelembagaan formal yang bisa diikuti petani sangat terbatas, meliputi koperasi dan perbankan
(BRI). Koperasi yang ada berupa koperasi simpan pinjam namun kurang berjalan karena terbatasnya modal. Keberadaan koperasi sangat minim, koperasi biasanya berupa simpan pinjam, diikuti olah sedikit petani karena pinjaman yang bisa diberikan terbatas, akatifitas lainnya koperasi menjual barang-barang kebutuhan petani (kebutuhan sehari-hari, kebutuhan usahatani). Dengan demikian keberadaan koperasi kurang berjalan. Perbankan (BRI) yang ada berada dekat kota kecamatan. Lembaga perbankan tersebut hanya memberikan pinjaman untuk usaha dagang atau untuk tujuan lainnya, bukan menghususkan untuk usahatani manggis. Relatif jarangnya petani meminjam ke bank karena prosudur yang rumit dibandingkan meminjam ke bandar, juga jarak yang relatif jauh. Kemampuan finansial petani Pendapatan keluarga petani manggis per tahun sebesar 22.434.242,42 rupiah yang terdiri dari berbagai sumber: usahatani non manggis yang meliputi usahatani (sawah, usahatani tegalan) dan diluar usahatani (pensunan, wiraswasta dll). Pendapatan usaha tani manggis ternyata hanya merupakan pendapatan samingan mengingat kontribusinya hanya 13,9 persen terhadap pendapatan keluarga. Sisanya sebesar 86,1 persen berasal dari pendapatan diluar usahatani manggis. Pendapatan keluarga terlihat seperti di tabel Tabel 6. Pendapatan Keluarga Petani Manggis Jenis pendapatan Usahatani manggis Usaha manggis
non
Nilai (Rp)
Persentase (%)
3.650.345,50
13,9
22.434.242,42
86,1
26.084.587,88
100,0
Pengeluaran keluarga petani manggis per tahun sebesar 19.740.788rupiah yang sebagian besar (79,38) digunakan untuk kebutuhan pokok, besarnya persentase pendapatan keluarga untuk kebutuhan pokok mencerminkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih rendah. Tabel 7. Pengeluaran Keluarga Petani Manggis Jenis Pengeluaran
Kebutuhan pokok Listrik dan air Pendidikan kesehatan
Nilai (Rp)
15.730.550, 0 1.553,891,5 446.363,7 909.090,9
Presentas e (%)
keterangan
79,38 7,84 2,25 4,59 3,72
Pengeluara n didominasi untuk
Jenis Pengeluaran
Sandang Kemasyarakat an Jumlah
Nilai (Rp)
Presentas e (%)
keterangan
737.878,8 438.125,0
2,21
kebutuhan pokok
19.740.788
100,00
Petani hanya memiliki kemampuan finansial yang sangat rendah, hal tersebut terlihat dari surplus pendapatan sebesar 6.343.800,00 rupiah per tahun, namun demikian hanya sebagian responden (61 %) yang memeiliki surplus, sisanya 39 % petani dalam kondisi defisit. Petani alainnya dalam kondisi paspasan dan dalam kondisi kekurangan. Rendahnya kemampuan finansial tersebut karena usahatani yang mereka ikuti skalanya kecil, usahtani manggis merupakan usaha sampingan, pendapatan dari sumber lain terbatas. Berikut disajiakan nilai surplus pendapatan petani
Tabel 8. Surplus Pendapatan Keluarga Petani Manggis Unsur Pendapatan keluarga Pengeluaran keluarga Surplus pendapatan keluarga
Nilai (Rp) 26.084.587,88 19.740.788,88 6.343.800,00
Persentase (%) 100,0 73,0 27,0
KESIMPULAN 1) Pola pembiayaan petani manggis mengikut kegiatan usahatani yang dilakukan, biaya dikeluarkan saat sebelum pohon manggis berbubunga, yaitu dilakukan penyiangan pada bulan Juni dan Oktober, selanjutnya pemanenan dari bulan Februar sampai bulan Mei dan selesai panen mereka memupuk pohon manggis pada bulan Mei. Dana yang dikeluarkan untuk usahatani manggis jumlahnya sangat minim, berasal dari dana pribadi. 2) Kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani adalah kelembagaan non formal (pinjam ke bandar) jika mereka kekurangan dana untuk kebutuhan keluarga dengan jaminan tanaman yang akan dipanen (termasuk menjaminkan pohon manggis) 3) Kemampuan finansial pertani Manggis sangat rendah sehingga mereka menterlantarkan kebun manggis memiliki, mereka mengeluarkan dana yang sangat terbatas untuk memelihara kebun manggis, disamping itu usaha manggis memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap pendapatan keluarga
85
SARAN 1) Perlunya dukungan dana dari luar sehingga petani dapat membiayai kebun manggisnya 2) Perlunya dorongan dari pihak terkait agar petani memanen sendiri, mengikuti sistim penjualan secara dikilo, mengingat sistim ini dapat memperbaiki mutu manggis dan memberikan harga jual yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Bagi, F. S and I. .J Singh. 1974. A Microeconomic Model of Farm Decisions in an LDC: A Simultaneous Equation Approach. Occasional Paper. No.207. Department of Agricultural Economics and Rural Sociology. The Ohio State University. Columbus-Ohio. Becker, Gary S. 1965. A Theory of the Allocation of Time. Journal of Economic, Vol. LXXV (299), September 1965. Columbia. Departemen Pertanian. (2007). Profil Manggis Di Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. (2012). Potensi Tanaman Buah-buahan. Melalui: www.tasikmalayakota.go.id Dinas Pertanian Kabupaten Subang. (2012) Potensi Pertanian Melalui: www.subang.go.id Eti Suminartika (1997). Kemampuan Petani PIR The dan Kelapa Sawit dalam Peremajaan Tanaman. IPB, Bogor. Eti Suminartika (2006). Kemampuan Pembentukan Modal Usaha pada Industri Pengolah Kedele di Kota Bandung. UNPAD, Bandung. Gaspez, Vincent. (1991). Tehnik pengambilan Contoh untuk Penelitian Survei. Tarsito, Bandung. Kadarsan. (1992). Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Koutsoyiannis, A. (1977). Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. 2nd Edition. The MacMillan Press Ltd. New York. Nelson, A. (1976). Agricultural Finance. The Iowa State University Press, Ames. Pindyk, Robert S. and Daniel L. Rubinfeld 1991. Econometric Models and Economic Forecast. McGraw-Hill. New York. Putri Hedya (2011). Pengaruh Penerapan Standar Operasional prosedur terhadap pendapatan Petani Maanggis di kecamatan Puspahiyang Tasikmalaya. Fakultas Pertanian Unpad. Bandung Singh, I. J., L. Squire and J. Strauss. (1986). The Basic Model: Theory, Empirical Result and 86
Policy Conclusions in Agricultural Household Models: Extensions, Applications and Policy. The John Hopkins University Press. Baltimore.
Persepsi dan SikapPedagang Beras di Pasar Traditional Terhadap Ritel Modern (Studi Kasus di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan) Rice Seller Perception and Attitude in Traditional Market toward Modern Ritel (Case Study in Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan) Fauziah Tantry¹, Sara Ratna Qanti2 ¹Mahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Indonesia 2Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian,Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor, Sumedang 45363, Indonesia
ABSTRAK
Kata Kunci: Persepsi Sikap Pedagang beras Ritel modern Pasar tradisional
Tingkat konsumsi beras di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara di Asia lainnya. Saat ini penjualan beras tidak hanya terjadi di pasar tradisional saja, tetapi juga di ritel modern yang mulai berkembang pesat dengan berbagai macam format. Persamaan produk yang dijual di ritel modern dan juga pasar tradisional, salah satunya beras, membuat munculnya berbagai persepsi dan sikap dari pedagang beras. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan sikap para pedagang beras akibat adanya ritel modern sehingga dapat memberikan bukti empiris terjadi tidaknya pembangunan inklusif di sektor ritel produk pertanian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik studi kasus yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Responden pada penelitian ini adalah seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon. Penelitian ini menunjukkan bahwa pedagang beras tidak merasa terganggu dengan adanya ritel modern karena mereka berpersepsi bahwa dengan adanya ritel modern tidak mempengaruhi besarnya pendapatan mereka dan tidak berpengaruh terhadap kebiasaan tawar menawar dan praktik kasbon. Akan tetapi untuk variabel sikap, sikap ragu-ragu ditunjukkan oleh pedagang beras mengenai pandangan terhadap ritel modern yang menjual beras saat ini dan sikap tidak mendukung ditunjukkan para pedagang beras terhadap keberlanjutan ritel modern yang lokasinya terlalu dekat dengan lokasi penjualan mereka.
ABSTRACT
Keywords: Perception Attitude Rice seller Modern retail Traditional retail
The rice consumption level in Indonesia is relatively high compared to other countries in Asia. Currently, rice is not only sold in traditional market, but also available in various formats of modern retails. Infact, it makes many perceptions and attitudes of rice sellesr. This study aims to determine the perceptions and attitudes of rice sellers due to the existence of modern retail and to give empirical evidence whether or not inclusive development occurred in agricultural products retail sector. The method that is used in this research is descriptive qualitative, using case study technique. The data is analyzed using descriptive analysis. Respondents in this study were rice sellers located in Pasar Traditional Kordon, Bandung. The results show that traditional retail rice sellers do not bothered by the presence of modern retail, their income are not affected by the existence of modern market around their selling location, bargaining and post transaction payment “kasbon” are two common activities that are still occur in the traditional market and those are not affected by the modern market. On the contrary, for attitude variable, hesitation are shown by rice sellers regarding to the outlook of the modern retail selling rice and they don’t support the existence of modern retails that are located too close with their location.
Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
87
PENDAHULUAN Beras merupakan salah satu komoditas pangan paling penting bagi masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi lebih dari setengah penduduk dunia, dan konsumsi beras menyumbang asupan lebih dari 20 persen kalori. Lebih dari 90 persen beras dunia diproduksi dan dikonsumsi oleh 6 negara Asia (China, India, Indonesia, Bangladesh, Vietnam dan Jepang). Berdasarkan data hasil SUSENAS–BPS tahun 2014,saat ini tingkat konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan. Untuk memenuhi konsumsi beras masyarakat di Indonesia saat ini beras tersedia dengan berbagai jenis dan merk beras yang beredar di pasaran. Saat ini penjualan beras pun tidak hanya di pasar tradisional saja, tetapi juga tersedia di ritel modern yang saat ini mulai berkembang dengan cukup pesat dengan berbagai macam format. Berdasarkan penelitian dari Business Watch Indonesia (BWI), perkembangan ritel modern di Indonesia sejak tahun 2000 semakin pesat yakni sebesar 20% dan pada tahun 2007 naik menjadi 40%. Di kota Bandung, berdasarkan data dari Aprindo (2013) menunjukkan bahwa penjualan ritel modern meningkat sebesar 18-22% per tahunnya. Pesatnya perkembangan ritel modern saat ini menimbulkan berbagai dampak, salah satunya yaitu persaingan dengan pasar tradisional. Berdasarkan data dari Aprindo (2013), dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan minimarket sangat pesat, yaitu pada awal tahun 2009 berjumlah 350 unit menjadi 500 unit hingga Maret 2010. Sedangkan jumlah pasar tradisional di Jawa Barat terus berkurang setiap tahunnya. Pada tahun 2005, di Jawa Barat masih berdiri sekitar 700 pasar, tetapi seiring mulai maraknya ritel modern, jumlah pasar tradisional pun berkurang. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, lebih dari 100 pasar tradisional di Jawa Barat yang tutup. Pesatnya perkembangan ritel modern di Indonesia saat ini pun membuat munculnya berbagai macam persepsi yang ditimbulkan oleh berbagai pihak, termasuk para pedagang di pasar tradisional. Salah satunya yaitu pedagang beras di Pasar Kordon, Buah Batu, yang merupakan salah satu pasar tradisional di Kota Bandung yang di sekitarnya berdiri cukup banyak berdiri ritel modern dengan berbagai format. Hal ini dikarenakan beras merupakan salah satu komoditas pertanian pokok yang saat ini tidak hanya dijual di pasar tradisional, tetapi juga dijual di ritel modern besar, sedang, maupun kecil (minimarket). Di Pasar Tradisional
88
Kordon sendiri penjualan beras mengalami fluktuasi dari segi omzet, volume penjualan,dan jumlah pembeli. Akan tetapi memang saat ini penjualan beras di Pasar Tradisional Kordon memang dirasa cukup berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk lebih jelas mengenai penjualan beras di Pasar Tradisional Kordon dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Data Penjualan Beras di Pasar Tradisional Kordon Tahun Data Penjualan Per Hari Omzet Volume Jumlah (juta Penjualan Pembeli rupiah) (ton) (orang) 2008-2011 10 1,5 100 2012-sekarang 10 1 70
Tabel 1 di atas merupakan rata-rata penjualan per hari dari seluruh pedagang beras di Pasar Kordon. Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat jika dari tahun 2008 sampai saat ini volume penjualan beras dan juga jumlah pembeli per harinya cenderung mengalami penurunan. Data tersebut menunjukkan adanya suatu hal yang menyebabkan penurunan volume penjualan dan jumlah pembeli per harinya. Pasar Tradisional Kordon dikelilingi cukup banyak ritel modern di sekitarnya, yang rata-rata berjarak kurang dari 2 km dari pusat pasar. Ritel modern tersebut diantaranya adalah Carrefour, Griya, Borma, Alfamart, Indomart, dan Yomart. Ritel modern tersebut termasuk dalam ritel modern besar, sedang, dan kecil (minimarket). Ritel modern besarnya adalah Carrefour Kiaracondong yang sudah berdiri sejak tahun 2007 dan berjarak sekitar 1,1 km dari pusat Pasar Kordon. Selanjutnya ritel modern sedang yaitu Borma Ciwastra dan Griya Buah Batu yang telah berdiri sejak tahun 2000 dan masingmasing berjarak sekitar 2 km dari pusat pasar. Selanjutnya ritel modern kecil yaitu Yomart dan Alfamart yang telah berdiri sekitar tahun 2008 dan masing-masing berjumlah dua gerai dengan jarak rata-rata berjarak 500 m dari pusat pasar, bahkan ada salah satu Gerai Yomart yang berlokasi tepat di sebelah salah satu akses masuk Pasar Kordon. Ritel modern kecil (minimarket) ini mulai berkembang di sekitar Pasar Tradisional Kordon sejak 5 tahun terakhir. Banyaknya ritel modern yang berdiri di sekitar Pasar Tradisional Kordon menjadi salah satu alasan pemilihan tempat penelitian. Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan karena Pasar Kordon merupakan salah satu pasar tradisional di Bandung yang sudah berdiri lebih lama dibandingkan pasar lain di sekitarnya dan masih tetap bertahan sampai
saat ini ditengah marak berdirinya ritel modern di sekitarnya, seperti Carrefour, Griya, Borma, dll. Persepsi yang ditimbulkan dari para pedagang beras tersebut nantinya akan mempengaruhi sikap apa yang akan dilakukan terkait dengan adanya ritel modern. Sikap positif atau negatif akan tergantung dari persepsi para pedagang beras terhadap adanya ritel modern yang menjual beras. Persepsi dan sikap dari para pedagang di Pasar Tradisional Kordon terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pesatnya pertumbuhan ritel modern di sekitar pasar merupakan faktor yang sangat penting terkait dalam perkembangan ritel modern maupun pasar tradisional itu sendiri. Persepsi dan sikap dari para pedagang sangat terkait dengan besar kecilnya atau positif negatifnya dampak yang diperoleh para pedagang dari pesatnya pertumbuhan ritel modern di sekitar pasar tradisional. Ritel modern yang saat ini sudah berkembang cukup pesat pun tidak mungkin dapat dihilangkan, untuk itu diperlukan adanya keselarasan dalam persaingan yang terjadi antara ritel modern dan juga pasar tradisional. Oleh karena itu, sangat pentingnya persepsi dan sikap yang ditimbulkan oleh para pedagang yang dapat mempengaruhi perkembangan ritel modern dan juga eksistensi dari para pedagang beras dalam menjalankan usaha bisnis penjualan beras agar keduanya dapat berjalan secara selaras. KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP 1. Persepsi Menurut Gibson (2000), persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Robbins (2006) menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang digunakan individu dalam mengorganisasi dan menafsirkan kesan yang ditangkap oleh indra mereka untuk memberi makna kepada lingkungan mereka. Menurut Atkinson (1997), persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus yang ada di sekitar kita ke dalam lingkungan. Persepsi juga merupakan proses penggabungan sensasi. Sensasi ini merupakan tahap paling awal dalam penerimaan infomasi.Jadi dapat disimpulkan, persepsi adalah sebuah proses pengenalan terhadap suatu objek (benda, manusia, gagasan, gejala, dan peristiwa) yang dapat memberi makna dan nilai kepada suatu objek dengan menonjolkan sifat khas dari suatu objek serta hasil dari persepsi bisa berupa tanggapan atau penilaian yang berbeda dari setiap individu.
2. Sikap Menurut Zanna & Rempel (1988), sikap merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak disukai terhadap sesuatu atau seseorang, menunjukkan kepercayaan, perasaan, atau kecenderungan perilaku seseorang. LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan. Berdasarkan definisi di atas, dapat dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan dan keyakinan seseorang terhadap suatu hal yang bersifat mendekati (positif) atau menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif & kognitif dan mengarahkan pada pola perilaku tertentu. Menurut Azwar (2012), sikap terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang yaitu : 1. Komponen kognitif berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan, ide, konsep. Bagian dari kognitif yaitu: persepsi, stereotype, opini yang dimiliki individu mengenai sesuatu. 2. Komponen afeksi berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang, menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Afeksi merupakan komponen rasa senang atau tidak senang pada suatu objek. 3. Komponen perilaku/konatif merupakan komponen yang berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap objek sikap. 3. Keberadaan Ritel Tradisional dan Ritel Modern Berdasarkan hasil penelitian Amin (2011), dampak negatif dari keberadaan supermarket dirasakan oleh para pedagang di pasar tradisional terutama untuk barang-barang sembako kering, seperti beras, gula, telur, minyak, dll. Sedangkan untuk komoditas basah seperti ikan, daging dan sayuran relatif tidak banyak berpengaruh. Hal ini disebebkan ritel modern juga menyediakan komoditas sejenis, sehingga para pedagang tradisional terkena dampak negatif akibat adanya ritel modern. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Suryadarma dkk (2007), di Pasar Pamoyanan, Bandung, para pedagang juga menyatakan bahwa dampak supermarket tidak sesignifikan akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh masalah internal yang kerap mereka alami di pasar. Selain itu, mereka juga mengakui bahwa ada sedikit perbedaan dalam hal karakteristik pembeli yang datang ke pasar
89
tradisional dan modern, misalnya, para pedagang keliling dan pemilik warung/toko kecil masih memilih untuk berbelanja di pasar tradisional. Berdasarkan hasil penelitian dari Minten (2007), dalam The International Food Policy Research Institute (IFPRI), pedagang beras di pasar tradisional terancam keberadaannya semenjak hadirnya ritel modern di Madagaskar, yang menyebabkan konsumen beralih membeli beras di supermarket. Hal ini dikarenakan tingkat kesediaan konsumen untuk membayar beras dengan kualitas yang baik serta berbelanja di tempat yang nyaman yang disediakan oleh supermarket sangatlah tinggi. Madagaskar bisa menjadi perbandingan dengan kondisi ritel di Indonesia, karena memiliki kesamaan sebagai negara berkembang. Selain itu, menurut penelitian dari IFPRI Madagaskar juga merupakan salah satu negara yang telah berdiri banyak ritel global selama lebih dari satu dekade terakhir. Temuan-temuan tersebut berkaitan pada penentuan variabel dalam penelitian ini. Berdasarkan temuan-temuan sebelumnya, diperoleh variabel pendapatan, jumlah pembeli, volume penjualan, durasi berjualan, dll. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab pembahasan. METODE PENELITIAN Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu metode-metode penelitian untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau kelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (John W . Creswell, 2009).Teknik penelitian yang digunakan berupa studi kasus (case study) yaitu penelitian yang terinci tentang seseorang atau suatu unit selama kurun waktu tertentu (Sugiyono, 2007). Objek penelitian ini adalah para pedagang beras yang berada di dalam Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan. Data diperoleh dari informan dan responden. Informan dalam penelitian ini diantaranya adalah para pengelola pasar dan orang-orang yang tinggal disekitar pasar yang mengetahui sejarah pasar, serta pemerintah daerah setempat. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon, yaitu berjumlah 5 orang pedagang beras. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah jenis data yang diperjelas dari tanggapan- tanggapan para pedagang beras yang berada di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan, yang kemudian akan diolah menjadi data kuantitatif
90
dalam sebuah persentase yang disajikan dalam bentuk chart. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai persepsi dan sikap pedagang beras terhadap keberadaan ritel serta kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan keberadaan ritel tradisional dan modern. 1.
Persepsi Para Pedagang Beras Terhadap Dampak Ritel Modern a. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Dampak Ritel Modern 80 persen responden menyatakan tidak terlalu khawatir dengan ritel modern yang juga menjual beras. Hal ini dikarenakan sebagian besar para pedagang beras tersebut mengetahui jika beras yang dijual di pasar tradisional dan ritel modern memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, selain itu pangsa pasarnya pun berbeda sehingga para pedagang beras tidak terlalu khawatir tersaingi dengan ritel modern yang saat ini menjual beras. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras
20% 80%
Gambar 1. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras
Menurut responden, konsumen yang menjadi langganan mereka adalah konsumen yang berniat menjual lagi berasnya atau konsumen yang menggunakan beras sebagai bahan baku untuk usahanya (seperti penjual warung makanan siap saji). Konsumen jenis ini sepertinya memilih ritel tradisional karena mereka bisa membeli dalam jumlah yang relatif fleksibel (dari eceran sampai dengan dalam karungan sebesar 25 kg) jika dibandingkan dengan membeli di ritel modern dimana hanya menjual beras dalam kemasan sebesar 3kg, 5kg, 10 kg, dan 20 kg. Selain menawarkan keleluasaan dalam membeli kuantitas beras, pedagang di ritel tradisional juga menawarkan harga jual yang lebih murah untuk jenis beras yang sama jika dibandingkan dengan harga di ritel modern. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Perbandingan Harga Jual Beberapa Jenis Beras yang Dijual di Pasar Kordon dan Ritel Modern Sekitarnya
kios di pinggir jalan raya sehingga merupakan tempat paling strategis karena selalu dilewati banyak orang. Pedagang Beras 5 yang merupakan pedagang beras dengan omzet paling kecil, menurut peneliti hal ini dikarenakan ketersediaan ketersediaan jenis beras yang kurang lengkap dan juga lokasi yang kurang strategis, sehingga membuat Pedagang Beras 5 hanya mendapat omzet sebesar Rp 6.000.000 per harinya. Untuk Pedagang Beras 2, pedagang beras yang mengaku cukup sulit untuk mendapatkan omzet sebesar Rp 10.000.000,- per harinya ini menurut peneliti dikarenakan ketersediaan ketersediaan jenis beras yang kurang lengkap. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Pendapatan Usaha
b. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Pendapatan Usaha Sebagian besar responden (80%) menganggap adanya ritel modern saat ini yang juga menjual beras tidak berpengaruh terhadap pendapatan yang mereka dapat. Mereka mengungkapkan bahwa pendapatan usaha yang didapatkan masih tetap sama sebelum ataupun sesudah adanya ritel modern yang menjual beras. Mereka merasa yang mempengaruhi turunnya pendapatan usaha penjualan beras mereka bukanlah berasal dari ritel modern yang juga menjual beras, tetapi dari menurunnya volume penjualan yang disebabkan oleh banyaknya isu yang belakangan beredar di masyarakat saat ini seperti isu beras plastik. Hal tersebut lah yang membuat pendapatan mereka sempat anjlok. Berdasarkan hasil wawancara dan juga pengamatan peneliti, adanya perbedaan pendapatan yang didapat oleh para pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon bukan disebabkan oleh ritel modern, akan tetapi lebih dikarenakan perbedaan ketersediaan jenis beras yang dijual dan juga lokasi kios. Pedagang Beras 1 dan 4 merupakan pedagang beras yang hanya menjual beras yang mengaku per harinya mendapatkan omzet sebesar Rp 10.000.000,. Menurut peneliti hal ini dikarenakan ketersediaan jenis beras yang lebih lengkap dibandingkan dengan pedagang lain. Selain itu, Pedagang Beras 3 juga mengaku omzet per hari dari menjual beras bisa mencapai Rp 10.000.000.-. Menurut peneliti hal ini dikarenakan Pedagang Beras 3 memiliki lokasi kios yang paling strategis. Meskipun Pedagang Beras 3 memiliki ketersediaan jenis beras yang kurang lengkap jika dibandingkan dengan Pedagang Beras 1 dan 4, akan tetapi Pedagang Beras 3 memiliki lokasi
20%
Tidak Berpengaruh Berpengaruh 80%
Gambar 2. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Pendapatan Usaha
c. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Volume Penjualan Beras Seluruh responden mengganggap adanya ritel modern yang saat ini menjual beras tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan volume penjualan beras di toko beras mereka. Menurut pengakuan para pedagang beras, volume penjualan beras masih relatif sama dari sebelum ataupun sesudah adanya ritel modern yang juga menjual beras, yaitu sebesar kurang lebih 1 ton per harinya. Kalaupun ada perubahan volume penjualan, lebih disebabkan karena isu mengenai beras plastic beberapa waktu lalu. d. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Jumlah Pembeli Seluruh pedagang beras di Pasar Kordon menunjukkan persepsi ragu-ragu terhadap pengaruh jumlah pembeli akibat adanya ritel modern. Para pedaganh;lg beras di Pasar Tradisional Kordon mengakui adanya penurunan jumlah pembeli saat ini dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Akan tetapi mereka tidak yakin hal ini disebabkan karena adanya ritel modern di sekitar pasar. Mereka mengakui saat ini rata-rata pembeli beras per hari sekitar 70 orang pembeli per hari. Padahal pada
91
tahun-tahun sebelumnya mereka mengakui jumlah pembeli per hari bisa lebih dari 100 orang pembeli. Pendapat ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 2, 3. e. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Jam Operasional Usaha Sebagian besar pedagang beras di Pasar Kordon (80%) menyatakan adanya ritel modern tidak berpengaruh terhadap perubahan jam operasional usaha. Mereka memang mengakui adanya perubahan jam operasional usaha saat ini, tetapi bukan disebabkan karena adanya ritel modern. Hal ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 4 dan 5. Mereka mengakui melakukan perubahan jam operasional karena memang sudah menurunnya jumlah pembeli saat ini sehingga harus menutup tokonya lebih awal. Akan tetapi terdapat satu responden yang menyatakan adanya ritel modern berpengaruh terhadap jam operasional usaha toko berasnya. Pedagang beras tersebut sengaja merubah jam operasional usahanya untuk membedakan dengan jam operasional usaha dari ritel modern. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Jam Operasional Usaha
20%
80%
Berpengaruh Tidak Berpengaruh
Gambar 3. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Jam Operasional Usaha
f. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Jarak Ritel Modern dengan Pasar Kordon Seluruh pedagang beras memberikan persepsi tidak setuju terhadap jarak ritel modern di sekitar Pasar Kordon yang terlalu dekat dengan pusat pasar. Hal ini dapat ditunjukkan dari persepsi seluruh pedagang beras yang mengungkapkan bahwa jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar dapat mengganggu eksistensi dari para pedagang di Pasar Tradisional Kordon itu sendiri. Seluruh pedagang beras beranggapan demikian, karena tidak setuju dengan pemerintah daerah setempat yang memberikan izin kepada peritel modern yang mendirikan ritel modern dengan jarak terlalu dekat dengan pusat pasar, bahkan terdapat salah satu minimarket yang letaknya hanya
92
berjarak sekitar 100 meter dari salah akses masuk Pasar Tradisional Kordon. Hal ini tidak sesuai dengan Perda Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2009, yang salah satu pasalnya menyatakan bahwa minimarket berjarak minimal 0,5 Km dari pasar tradisional dan 0,5 Km dari usaha kecil sejenis yang terletak di pinggir kolektor/arteri serta supermarket dan departement store berjarak minimal 1,5 Km dari pasar tradisional yang terletak di pinggir kolektor/arteri. Untuk lebih jelasnya mengenai Peraturan Daerah Kota Bandung akan dibahas pada sub bab selanjutnya. g. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Budaya Tawar Menawar Pedagang dan Pembeli Persepsi dari seluruh pedagang beras terhadap pengaruh budaya penjualan juga menyatakan bahwa adanya ritel tidak berpengaruh terhadap budaya tawar-menawar antar pedagang dan pembeli. Seluruh pedagang beras beranggapan tidak ada perbedaan budaya penjualan yang dilakukan dari sebelum dan sesudah adanya ritel modern yang saat ini menjual beras. Budaya penjualan seperti budaya tawar menawar antar pedagang dan pembeli juga masih tetap ada hingga saat ini. Berdasarkan hasil penelitian ini, budaya tawar menawar antar pedagang dan pembeli masih akan tetap ada, hal ini dikarenakan budaya tawar menawar merupakan salah satu ciri khas dari pasar tradisional. Selain itu adanya interaksi sosial yang tercipta antar pedagang dan pembeli pada saat proses tawar menawar itu terjadi lah yang menjadi salah satu ciri khas pasar tradisional. Hal tersebut tidak akan dapat ditemui di ritel modern, dimana pembeli diharuskan menjadi konsumen yang mandiri. h. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Fasilitas Yang Ditawarkan Sebagian besar pedagang beras (60%) mengakui adanya ritel modern saat ini berpengaruh terhadap fasilitas yang ditawarkan kepada pembeli. Salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah delivery order. Menurut pengakuan dari para pedagang beras yang merasa adanya ritel modern berpengaruh terhadap fasilitas yang ditawarkan ini menganggap adanya ritel modern mendorong mereka untuk melakukan hal ini. Jadi para pembeli yang sudah mengenal para pedagang beras dapat memesan beras melalui telepon dan beras akan diantarkan ke rumah pembeli dengan menggunakan motor ataupun mobil, tergantung pada volume pembelian beras yang dibeli. Fasilitas ini diakui dijadikan sebagai salah satu strategi usaha. Mereka mengakui ini sebagai salah
satu keunggulan pasar tradisional, jika dibandingkan dengan ritel modern karena dapat melakukan pembelian lewat telepon. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Fasilitas yang Ditawarkan
dasarnya mereka merasa khawatir jika nantinya ritel modern dapat merugikan mereka. Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan Keberlanjutan Ritel Modern Tidak Setuju
Berpengaruh 40%
40% 60%
Ragu-ragu 60%
Tidak Berpengaruh
Gambar 4. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Fasilitas yang Ditawarkan
Gambar 6. Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan Keberlanjutan Ritel Modern
Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Budaya Kasbon Seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional beranggapan bahwa adanya ritel modern tidak berpengaruh terhadap budaya kasbon. Mereka mengakui bahwa budaya kasbon masih tetap ada dari sebelum adanya ritel modern sampai saat ini. Hal ini seperti diungkapkan oleh Pedagang Beras 4. Beliau mengatakan bahwa, “Ada aja sih orang yang kasbon mah gak berubah dari dulu juga. Malah ada juga yang cuma ambil beras tapi bayarnya mah nggak.”
c. Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan Melakukan Strategi Usaha Sebagian besar responden (60%) mengaku tidak melakukan strategi apapun terkait dengan adanya ritel modern di sekitar Pasar Kordon saat ini. Hal ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 2, dan 3. Seperti contoh diungkapkan oleh Pedagang Beras 2. Beliau menyatakan, “Nggak sih gak ngelakuin strategi apa-apa. Tapi sebenernya mah pengen gitu kayak kasih harga diskon atau kualitas beras jadi tambah bagus tapi belom terlaksana sih.” Pada dasarnya Pedagang Beras 2 mau melakukan strategi usaha guna meningkatkan pelayanan terhadap konsumen. Akan tetapi keterbatasan modal yang dimiliki Pedagang Beras 2 sehingga ia tidak memiliki biaya khusus untuk memberikan diskon kepada para pelanggan dan juga meningkatkan kualitas beras.
i.
2. Sikap Para Pedagang Beras Akibat Adanya Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras a. Sikap Pedagang Beras Mengenai Pandangan Terhadap Ritel Modern Yang Menjual Beras Saat ini Sebagian besar para pedagang beras (80%) di Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang ragu-ragu terhadap ritel modern yang saat ini menjual beras. Sikap ragu-ragu yang ditunjukkan para pedagang ini dapat terjadi karena mereka memang merasa adanya ritel modern saat ini tidak mengganggu tetapi pada dasarnya mereka juga merasa khawatir jika nantinya ritel modern yang saat ini juga menjual beras akan mempengaruhi eksistensi penjualan beras mereka. b. Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan Keberlanjutan Ritel Modern Sebagian besar para pedagang beras (60%) di Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang ragu-ragu terhadap dukungan keberlanjutan ritel modern, dan selebihnya sebanyak 2 responden menunjukkan sikap tidak setuju terhadap dukungan keberlanjutan ritel modern. Hal ini dikarenakan pada
Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan Melakukan Strategi Usaha
Melakukan Strategi 40%
60%
Tidak Melakukan Strategi
Gambar 7. Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan Melakukan Strategi
d. Sikap Pedagang Beras Terhadap Penyampaian Keluhan Seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang negatif terhadap penyampaian keluhan akibat terlalu pesatnya perkembangan ritel modern di sekitar pasar tradisional saat ini. Dalam hal ini keluhan utama yang
93
muncul ada mengenai jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan Pasar Tradisional Kordon. Pada dasarnya keluhan seringkali terucap oleh para pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon mengenai sikap kurang setuju terhadap berdirinya ritel modern yang jaraknya terlalu dekat dengan pasar, tetapi keluhan ini tidak pernah mereka sampaikan pada pemerintah daerah setempat. Mereka mengakui bahwa tidak memiliki akses dan tidak mengetahui bagaimana cara untuk menyalurkan keluhan tersebut kepada pemerintah daerah setempat sehingga belum pernah menyampaikan keluhan sampai saat ini. 3. Kebijakan Pemerintah a. Lokasi dan Jarak Ritel Modern Berdasarkan isi dari Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 tahun 2009, menyatakan jika jarak ritel modern kecil (minimarket) seharusnya adalah 0,5 km dari pasar tradisional. Hal ini sangat tidak sesuai dengan keadaan di lingkungan Pasar Tradisional Kordon. Untuk minimarket, di sekitar Pasar Tradisional Kordon terdapat empat buah minimarket, yaitu Yomart dan Alfamart yang masing-masih berjumlah dua gerai dan berjarak ratarata 500 m dari pusat pasar. Dengan tidak sesuainya Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2009 yang mengatur tentang ritel modern dan pasar tradisional, dengan keadaan saat ini di lingkungan Pasar Tradisional Kordon, maka menimbulkan adanya berbagai persepsi dari para pedagang beras. Seperti telah dibahas dalam sub bab sebelumnya, seluruh pedagang beras menyatakan tidak setuju dengan jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar. Hal ini dikarenakan mereka merasa jika nantinya ritel modern akan mempengaruhi eksistensi mereka sebagai pedagang di Pasar Tradisional Kordon. Seperti telah diungkapkan sebelumnya salah satu pedagang beras mengungkapkan jika harusnya jarak ritel modern tidak terlalu dekat dengan pasar tradisional seperti keadaan saat ini di Pasar Tradisional Kordon. b. Jam Operasional Selain jarak dan lokasi kios, jam operasional usaha juga termasuk salah satu hal yang diatur dalam Perda Kota Bandung. Salah satu hal yang diatur dalam Perda Kota Bandung adalah mengenai maksimal jam oeprasional usaha yaitu hanya 12 jam. Akan tetapi nyatanya saat ini masih banyak ritel modern yang beroperasi lebih dari 12 jam. Untuk keadaan ritel modern di sekitar Pasar Tradisional Kordon, masih ada beberapa ritel modern yang
94
melanggar peraturan tersebut dengan durasi operasional melebihi 12 jam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel3. Jam Operasional Ritel Modern No. Ritel Modern Jam Operasional 1. Carrefour 09.00-22.00 2. Borma 08.00-21.00 3. Griya 09.00-21.00 4. Yomart 07.00-22.00 5. Indomaret 08.00-22.00 6. Alfamart 08.00-23.00
Durasi 13 jam 13 jam 12 jam 15 jam 14 jam 15 jam
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat jika sebagian besar ritel modern yang ada disekitar Pasar Tradisional Kordon melanggar ketentuan Perda Kota Bandung. Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat jika Yomart dan Alfamart adalah dua ritel modern kecil yang memiliki durasi berjualan paling lama. Ketidaksesuaian ini menimbulkan adanya berbagai persepsi dari para pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon. Seperti telah dibahas sebelumnya, terdapat salah satu pedagang beras yang mengungkapkan jika ia sengaja membuka tokonya lebih awal sebagai salah satu strategi bisnis usahanya. Sampai saat ini jam operasional usaha ritel modern yang berada di sekitar Pasar Tradisional Kordon masih sama yaitu sebagian besar beroperasi lebih dari 12 jam. Untuk itu seharusnya pemerintah daerah setempat dapat lebih tegas menindak ritel modern yang beroperasi lebih dari 12 jam, karena dikhawatirkan nantinya ritel modern dapat memusnahkan pasar tradisional dan juga toko kelontong disekitarnya. PENUTUP Berdasarkan persepsi dari para pedagang beras, adanya ritel modern yang menjual beras tidak mengganggu usaha mereka. Dalam sektor ekonomi, berdasarkan persepsi para pedagang beras menunjukkan adanya ritel modern saat ini tidak berpengaruh. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berpengaruhnya ritel modern terhadap pendapatan usaha, volume penjualan, jumlah pembeli dan jam operasional usaha. Akan tetapi mereka merasa terganggu terhadap jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar. Dalam sektor sosial budaya, adanya ritel modern juga tidak berpengaruh. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berpengaruhnya budaya tawar menawar dan juga budaya kasbon. Akan tetapi persepsi pedagang beras terhadap pengaruh fasilitas yang diberikan akibat adanya ritel modern menunjukkan hasil positif. Berdasarkan hasil penelitian ini, ritel modern berpengaruh terhadap persepsi pedagang beras terkait fasilitas yang
diberikan para pedagang beras terhadap para pembeli. Hal ini menjadikan keunggulan pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata adanya ritel modern saat ini tidak merubah unsur sosial budaya pada pasar tradisional. Sikap ragu-ragu ditunjukkan oleh pedagang beras mengenai pandangan terhadap ritel modern yang menjual beras saat ini. Selain itu sikap tidak mendukung ditunjukkan para pedagang beras terhadap keberlanjutan ritel modern, mereka tidak setuju dengan keberlanjutan ritel modern saat ini. Tindakan melakukan strategi terhadap usahanya menunjukkan hasil jika ritel modern tidak mendorong mereka untuk melakukan strategi apapun. Pada variabel sikap penyampaian keluhan pun menunjukkan hasil jika hadirnya ritel modern tidak mempengaruhi para pedagang beras untuk menyampaikan keluhan mereka kepada pemerintah daerah setempat. DAFTAR PUSTAKA Amin, Danial El. 2011. Dampak Pasar Modern Terhadap Pedagang di Pasar Tradisional di Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon. Tesis Magister Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Approach. Upper Saddle River :Prentice Hall Intl,Inc. Atkinson, R. L., Atkinson, R.C. 1997.Pengantar Psikologi 1. Judul asli Introduction to Psychology eighth edition.. Jakarta, Penerbit Erlangga. Azwar, Saifuddin. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gibson, James,L. 2000. Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses. Edisi ke-5. Cetakan ke3. Jakarta: Penerbit Erlangga. Minten, Bart (2007). The Food Retail Revolution in Poor Countries: Is It Coming or Is It Over? Evidence from Madagascar. New Delhi: International Food Policy Research Institute – IFRI. Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi. Edisi kesepuluh. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia Suryadarma, dkk. 2007. Laporan Penelitian : Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Lembaga Penelitian SMERU. http://www.smeru.or.id/report/research/supe rmarket/supermarket_ind.pdf
95
96
Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Dalam Pengembangan Rantai Pasok Komoditas Bawang Merah (Allium cepa L.) di Kabupaten Brebes Stakeholders Identification and Mapping in Shallots Supply Chain Development in Brebes District Fernianda Rahayu Hermiatin1, Tomy Perdana1, Eddy Renaldi1 Fakultas Pertanian, Agribisnis Universitas Padjadjaran Jl.Raya Jatinangor Km.21 Sumedang
ABSTRAK
Kata Kunci: komoditas Bawang Merah, Stakeholder, Business Social Resposibility (BSR)
Komoditas bawang merah merupakan komoditas yang memiliki kompleksitas dan karakteristik yang cenderung dinamis, sehingga diperlukan pengembangan klaster bawang merah yang lebih terkoordinir dan terintegrasi dengan baik. Dimana pengembangan klaster tersebut melibatkan banyak pihak yang terkait yang memiliki tujuan dan keinginan masing-masing. Oleh karena itu, munculnya perbedaan kepentingan dan setiap pelaku masing-masing cenderung lebih berusaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Atas dasar tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi dan pemetaan stakeholder yang terlibat pada rantai pasok komoditas bawang merah. Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Mekar Jaya, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes dengan metode analisis menggunakan Business Social Resposibility (BSR) untuk mengetahui dan mengidentifikasi peranan masing-masing pelaku yang terlibat pada kegiatan rantai pasok bawang merah. dari hasil analisis, terdapat 5 (lima) pelaku yang terlibat dalam kegiatan rantai pasok komoditas bawang merah di Kelompok Tani Mekar Jaya, pelaku tersebut antara lain adalah kelompok tani Mekar Jaya, perbankan, industry pengolahan bahan makanan, Bank Indonesia, dan Universitas Padjadjaran. Setiap pelaku yang terlibat berperan sesuai dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing pelaku.
ABSTRACT
Keywords: Shallots, Stakeholder, Business Social Responsibility (BSR)
Shallots is one of the commodity who has complexity and characteristics that tend to be dynamic. That is necessitating development of shallots clusters which have coordinated and integrated. Clusters development is involved multi stakeholders who has goals and desires of each stakeholder. Therefore, this multi stakeholder development has of many interests and every actors strives to meet their respective goals than the common interest. Based on this situations, it would require to the stakeholders identifying and mapping which are involved in shallots supply chain. This research is carried in Mekar Jaya farmer groups, Klampok village, Wanasari, Brebes district with applied Business Social Responsibility (BSR) analysis to develop sustainable business strategies and solutions through consulting, research, and crosssector collaboration. This results identified 5 (five) actors who involved in the shallots supply chain in Mekar Jaya farmer groups. Those actors are Mekar Jaya farmer groups, bank, food processing industry, Central Bank of Indonesia, and Padjadjaran University and every stakeholders has private goals and interest.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
97
PENDAHULUAN Pengembangan kegiatan pertanian pada umumnya melibatkan banyak pihak seperti pada teori yang dikemukakan oleh Simchi-Levi et al, (2000). Rantai pasok merupakan suatu sistem yang terdiri dari pemasok (supplier), pabrik (Manufacturer), distributor, dan pengecer (retailer) sebagai bagian dari pelaku rantai pasok yang mengolah atau memproses raw material menjadi suatu produk, yang kemudian disalurkan atau didistibusikan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Banyaknya pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan rantai pasok menimbulkan adanya perbedaan kepentingan sehingga pencapaian outcome bersama tidak dapat terealisasikan. Perbedaan kepentingan dari setiap masing-masing pelaku dalam suatu rantai pasok dapat dilihat ketika masing-masing pelaku rantai pasok lebih berusaha untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Hal tersebut terjadi dikarenakan setiap pelaku yang terlibat dalam suatu rantai pasok bertindak secara perorangan berdasarkan pada pandangan lokal dan tingkah laku yang oportunis (Chopra dan Meindl, 2007). Setiap pelaku yang terlibat dalam sebuah rantai pasok pertanian memiliki peranan dan tanggungjawab masing-masing sesuai dengan kemampuan dan kapasitas pelaku dalam kegiatan pertanian tersebut. Pada umumnya, setiap pelaku rantai pasok memiliki tujuan dan peranan masingmasing. Peranan tersebut ada yang berkeinginan lebih kuat namun pemahamannya kurang ataupun sebaliknya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kolaborasi yang sesuai dan seimbang dalam pengembangan kegiatan rantai pasok pertanian. Dalam realisasinya, setiap pelaku yang terlibat dalam suatu rantai pasok tidak hanya tergantung pada rasionalitas namun juga memerlukan keterlibatan emosi, maksud-maksud tersembunyi dan ketidakrasionalan (Howard,1999). Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki tingkat kompleksitas dan karakteristik yang cenderung dinamis dimana dalam pengembangan rantai pasok pertanian diperlukan pengembangan inovasi kelembagaan (Institutional collaboration) berupa peraturan yang dikembangkan dan dibuat untuk setiap pelaku yang terlibat dalam rantai pasok pertanian yang mampu untuk mereduksi seluruh aktivitas rantai pasok dan biaya transaksi yang timbul akibat keterbatasan petani. Inovasi kelembagaan tersebut dapat terbentuk akibat interaksi yang dibangun antara petani dan pasar, interaksi dengan perbankan, universitas, swasta, dan pemerintah (Perdana, 2011). Sejalan dengan yang di kemukakan oleh Vermuelen, et all (2008) untuk terbentuknya outcome 98
yang paling baik untuk petani, maka dibutuhkan kolaborasi dengan pihak lain seperti pemerintah, Universitas, pihak swasta, dan organisasi masyarakat lainnya dimana kolaborasi tersebut dikenal dengan nama Tree way deal. Kolaborasi multi stakeholders menggambarkan suatu proses yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dan kegiatan komunikasi terhadap suatu masalah (Hemmati, 2002). Salah satunya adalah komoditas bawang merah yang dianggap sebagai komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan salah satu komoditas penyumbang inflasi. Komoditas bawang merah memiliki karakteristik yang cukup kompleks dan dinamis. Fluktuasi harga jual bawang merah di pasar tradisional sangatlah tinggi dan berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian petani bawang merah di Kabupaten Brebes yang merupakan kabupaten terbesar penghasil komoditas bawang merah di Indonesia. Proses kegiatan on farm hingga off farm belum dilakukan secara sinergi dan terkoordinir. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan manajemen rantai pasok bawang merah di Kabupaten Brebes yang melibatkan petani, pasar, dan pihak ketiga seperti Bank Indonesia/lembaga penelitian dan pemberdayaan lainnya yang dirasa perlu dilakukan untuk membantu peningkatan kapasitas produksi dan kemampuan petani dalam menyediakan produk yang berkualitas sesuai dengan permintaan pasar. Pengembagan rantai pasok yang terintegrasi tersebut salah satunya diterapkan dengan membentuk suatu klaster komoditas bawang merah yang dikembangkan pada kelompok tani Mekar Jaya yang berlokasi di Gang Mushola, Desa Klampok, Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes. Dimana kelompok tani Mekar Jaya pada saat ini tengah berkolaborasi dengan beberapa pihak lain seperti industri pengolahan bahan makanan sebagai pengembangan pasar terstruktur untuk pemasaran bawang merah, Bank Indonesia dan perbankan sebagai lembaga pembiayaan rantai pasok komoditas bawang merah di Kabupaten Brebes. Pengembangan klaster dalam suatu kegiatan rantai pasok dimaksudkan agar setiap pelaku yang terlibat didalamnya mendapatkan pendapatan yang lebih efisien dengan inovasi yang dirangsang dari kegiatan kerjasama dalam suatu kelompok untuk memperkuat kegiatan rantai pasok dalam menghadapi berbagai persaingan (Hill dan Brenna, 2000). Sehingga dalam hal tersebut, pengembangan klaster komoditas bawang merah di Kelompok Tani Mekar Jaya di inisiasi oleh Universitas Padjadjaran yang berkolaborasi dengan Bank Indonesia. Pengembangan klaster komoditas bawang merah di Kabupaten Brebes telah terjalin suatu
kolaborasi multi stakeholder, sehingga memicu munculnya permasalahan baik di tingkat petani maupun pihak pasar terstruktur yaitu industri pengolahan bahan makanan dan Bank selaku pelaku yang terlibat dalam rantai pasok komoditas bawang merah di Kabupaten Brebes. Hal tersebut membuat kolaborasi antara stakeholder, perbankan, dan petani dalam klaster komoditas bawang merah belum berjalan dan terkoodrinir dengan baik. Akibat yang ditimbulkan yaitu setiap masing-masing pelaku rantai pasok bawang merah belum dapat memberikan kepuasan sesuai dengan harapan masing-masing pelaku. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis perilaku, analisis pengaruh masing-masing pelaku, dan peranan keterlibatan masing-masing pelaku rantai pasok komoditas bawang merah di Kabupaten Brebes. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan diKelompok Tani Mekar Jaya Gang Mushola Desa Klampok Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang dilaksanakan sejak Mei – Agustus 2015. Sumber data penelitian diperoleh dari data primer dan sekunder dengan melibatkan responden secara refresentatif dari seluruh stakeholder yang terlibat dalam rantai pasok komoditas bawang merah. Desain penelitian yang dilakukan menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian yang digunakan adalah studi Analisis data yang digunakan untuk mengetahui peran dan keterlibatan stakeholder dalam rantai pasok komoditas bawang merah di Kelompok tani Mekar Jaya dengan menggunakan Business Social Responsibility (BSR) Stakeholder Mapping yang dikembangkan oleh Olson, et. ,al (2011). Metode BSR digunakan untuk mengumpulkan seluruh pelaku yang terlibat dalam setiap proses baik secara internal ataupun eksternal. Tahap selanjutnya yaitu untuk melihat keterlibatan masing-masing aktor, yang akan dibuat kerangka pikir kelompok tani, industri pengolahan bahan makanan, dan perbankan. kasus. Sumber data diperoleh dari data sekunder dan primer dengan responden terpilih adalah responden yang mewakili seluruh stakeholder yang terlibat dalam rantai pasok bawang merah yang memiliki pengetahuan dan pengalamanan yang cukup dan mampu menjelaskan keadaan sebenarnya mengenai obejk penelitian.
sejarah, tingkat ambisi, memahami tingkat ambisi setiap stakeholder, taktik setiap stakeholder, dan kemudian melakukan pemetaan stakeholder. Stakeholder Mapping merupakan tahap kedua dalam langkah-langkah pengembangan Business Social Responsibility (BSR) dengan tujuan untuk memahami setiap pelaku rantai pasok yang dianalisis dari hasil diskusi, penelitian, dan debat. a. Identifikasi Stakeholder Identifikasi stakeholder merupakan langkah awal dalam analisis pemetaan stakeholder untuk memahami dan mengidentifikasi setiap peranan stakeholder. Hasil pada pemetaan tersebut bersifat statis dan dapat berupah sewaktu-waktu. b. Analisis Stakeholder Analisis stakeholder mengacu pada hasil identifikasi stakeholder. Setiap pelaku rantai pasok diidentifikasi dan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan setiap pelaku rantai pasok komoditas bawang merah. Analisis tersebut menggunakan penilaian dengan menggunakan penilaian berupa tingg, sedang, dan kecil setiap pelaku rantai pasok untuk mengenentukan peranan setiap pelaku c. Pemetaan Stakeholder Pemetaan stakeholder adalah visualisasi dari pelaksanaan dan sebagai alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan stakeholder mana yang lebih berperan dalam keterlibatan kegiatan pada rantai pasok komoditas bawang merah. Pada pemetaan stakeholder dapat dilihat pengaruh yang selanjutnya diberikan penilaian pada setiap stakeholder dengan indikator penilaian berdasarkan keinginan (willingness) dan keahlian (Expertise), sehingga dapat terlihat peranan dari masing-masing pelaku rantai pasok komoditas bawang merah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Peran Keterlibatan Stakeholder dengan Menggunakan Business Social Responsibility (BSR) Stakeholder Mapping Langkah awal dalam penerapan Business Social Responsibility (BSR) adalah mengetahui 99
Tabel 1. Identifikasi Multi Stakeholder No Stakeholder Tujuan 1
Potensi
Rencana Pembaharuan
Kelompok Tani
Mendapatkan kepastian harga jual yang lebih kompetitif dan stabil
Pengembangan produk bermutu dan berdaya saing, menjaga kontinuitas pasokan
Sistem pertanian yang lebih terintegrasi dengan menerapkan konsep VCF (Value Chain Financing) untuk memberikan keunggulan kompetitif.
Industri Pengolahan
Bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan bawang merah
Penyediaan bahan baku bermutu dan terstandarisasi, menjaga kestabilan harga di petani
Memasok komoditas bawang merah yang berstandar nasional dan internasional yang mengacu pada penyediaan bahan pangan sesuai dengan standarisasi keamanan pangan internasional
Pemberi kredit
Memberikan kredit sesuai kebutuhan petani
Perluasan pemberian kredit mikro bagi pelaku usaha skala menengah terutama pada pelaku yang terlibat dalam kegiatan pertanian
Memberi dukungan bagi petani
Pengembangan pilot project implementation dengan konsep VCF (Value Chain Financing) sebagai upaya dalam meminimalisir tingkat inflasi yang diakibatkan oleh komoditas pertanian
Pengembangan pertanian yang lebih terstruktur dan terintegrasi
Pemberian arahan dan pengembangan penelitian VCF (Value Chain Financing) dalam membantu Bank Indonesia untuk menekan laju inflasi dari komoditas pertanian, dan pengembangan sektor pertanian Indonesia agar lebih berdaya saing dan terintegrasi
2
3 Perbankan
4 Bank Indonesia
Menstabilkan nilai rupiah
5 Universitas Padjadjaran
Fasilitator petani
Table 2. Analisis Penilaian Multi Stakeholder Stakeholder
Kontribusi
Kelompok Tani H Industri Pengolahan L Perbankan M Bank Indonesia M Universitas Padjadjaran H Keterangan : H : High M : Medium L : Low
Legitimasi
Kesediaan Untuk terlibat
Pengaruh
H M M H H
H L L H H
M L H H H
KESIMPULAN DAN SARAN Komoditas bawang merah di Kelompok tani Mekar Jaya Kabupaten Brebes memiliki tingkat kompleksitas dan melibatkan banyak stakeholder. Stakeholder yang terlibat antara lain petani, industry pengolahan bahan makanan, perbankan, Bank Indonesia, dan Universitas Padjadjaran. Setiap stakeholder memiliki peranan dan tujuan masingmasing, sehingga dengan demikian, seluruh ihak yang terlibat memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Pelaku rantai pasok yang memiliki peranan cukup tinggi adalah Universitas Padjadjaran yang berperan sebagai fasilitator, didukung dengan 100
Pentingnya dalam keterlibatan H H H M M
keterlibatan Bank Indonesia sebagai lembaga pendukung dalam pengembangan klaster komoditas bawang merah di Kabupaten Brebes. Kemudian pihak yang memiliki peranan kuat adalah kelompok tani sebagai objek pengembangan dan sekaligus sebagai pelaku pengembangan klaster didukung dengan perbankan sebagai pihak penyedia jasa keuangan yang menyediakan sejumlah kredit yang sesuai dengan kebutuhan kredit klaster bawang merah. Kemudian pihak yang terlibat adalah pasar sebagai pihak yang membeli hasil panen bawang merah di Kelompok Tani Mekar Jaya. Industri pengolahan bahan makanan yang terlibat memiliki
peranan dalam mendukung keberlangsungan usahatani bawang merah yang dilakukan di Kelompok Tani Mekar Jaya dan sebagai pihak yang memberikan kepastian harga yang lebih konpetitif bagi kelompok tani. Masing-masing pelaku yang terlibat memiliki peranan dan tujuannya yang harus dijalankan secara berkesinambungan dan terintegrasi agara keberlangsungan kegiatan usahatani di Kelompok Tani Mekar Jaya dapat terus berlanjut dan lebih terintegrasi.
Lambert, D.M., Emmelhainz, M.A. dan Gardner, J.T. 1996. Developing and Implementing Supply Chain Partnership. Jurnal Internasional Manajemen Logistik, Vol. 7, No.2, pp. 1-17. Oliver, keith. 2003. When Will Supply Chain Management Grow Up?. UK: Tim Laseter Olson, E., Prepscius, J., Baddache, F. 2011. Business Social Responsibility (BSR) Stakeholder Mapping. Diakses melalui www.bsr.org Perdana, Tommy. 2012. Model Manajemen Logistik dalam Meningkatkan Daya Saing Produsen Sayuran Skala Kecil untuk Memenuhi Permintaan Pasar Terstruktur. Diakses melalui www.tommyperdana.blogspot.com pada 29 Februari 2014. Morris, Jonathan. 2012. Back to Basics : How to Make Stakeholder Engagement Meaningful for Your Company. Diakses dari www.BSR.org.
DAFTAR PUSTAKA Chopra, Sunil dan Peter Meindl. 2001. Supply Chain Management: Strategy, Planning, and Operations. Prentice Hall Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Howard, N. 1996. Negotiation as Drama : “How Games Become Dramatic” International Negotiation Journal, Vol1, 125-152.
Lampiran High Unpad
Kelompok Tani
BI Keahlian
Bank Industri Pengolahan
Low Sumber : Data Primer, 2015 Grafik 1. Mapping BSR Multi Stakeholder
Keinginan n
High
101
102
Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting (Capsicum annum L) di Sentra Produksi Cikajang Kabupaten Garut Marketing Efficiency of Curly-Red Chili (Capsicum annum L) in Production Base Area Cikajang Kabupaten Garut Dety Sukmawati1, Lies Sulistyowati2, Maman H.Karmana2, E Kusnadi Wikarta2 1Universitas
Winaya Mukti, Tanjung Sari, Sumedang Padjadajran, Jatinangor
2Universitas
ABSTRAK
Kata Kunci: Efisiensi Pemasaran, Marjin, Monopoli Indeks, Cabai merah keriting, Sentra Produksi
Peranan pemasaran pada komoditas cabai merah memberikan kontribusi penting dalam peningkatan kinerja usahatani komoditas cabai merah secara keseluruhan mengingat sifat unik komoditas hortikultura secara umum seperti mudah busuk, mudah rusak, volumenious , produksinya bersifat musiman sementara konsumsi terjadi sepanjang tahun. Secara empiris dilapangan seringkali dijumpai bahwa para petani produsen tampaknya tetap saja menghadapi fluktuasi harga terutama saat panen, dan para pedaganglah yang dapat lebih akses untuk dapat memperoleh harga yang lebih tinggi, oleh karena itu, peningkatan produksi komoditas pertanian termasuk cabai merah perlu diiringi dengan perbaikan pada sistem pemasarannya, sehingga pihak petani sebagai produsen komoditas ini diharapkan dapat memperoleh bagian harga yang memadai bagi peningkatan usahataninnya (Adang agustian dan Iwan Setiajie A, 2008). Untuk itu perlu diketahui bagaimana struktur pasar yang terjadi, dan yang menyebabkan pasar tidak efisien bisa diketahui dengan monopoli indeks di setiap pelaku pasar . Analisis data dilakukan melalui metode kuantitatif dan kualitatif berdasar data analisis pemasaran hasil Analisis Pasar Hasil Pertanian Sentra Produksi Cikajang Garut Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat 2014. Untuk mengetahui efisiensi pemasaran diketahui dengan marjin pemasaran pelaku pemasaran menggunakan analisis Margin = H eceran - Harga produsen dan monopoli indeks. Hasil dan pembahasan menunjukkan bahwa Struktur pasar cabai merah keriting di sentra produksi Cikajang terdiri dari tiga saluran, saluran pertama adalah saluran yang paling banyak dilalui oleh petani, dikarenakan volume penjualan petani kecil, jarak lokasi usahatani ke tempat penjualan, keterikatan ekonomi dan sosial , sehingga peran bandar bagi petani merupakan hal yang efisien. Saluran kedua saluran yang tidak begitu banyak dilalui oleh petani, saluran ini peran bandar sangat menentukan dan pasar induk merupakan penetap harga bagi harga sentra produksi. Saluran ketiga adalah saluran yang sedikit dilalui oleh petani, dalam hal ini petani mempunyai posisi sebagai bandar juga. Indeks monopoli terbesar berada pada pedagang pengumpul, pedagang pengumpul ini berada di sentra produksi, artinya pedagang pengumpul dominan pengaruhnya dalam pemasaran cabai merah keriting.
ABSTRACT
Keywords: Marketing Efficiency, Margin, Monopoly Index, Curly Red Chili, Production Center
The role of marketing in the commodity red peppers make an important contribution in improving the performance of farm commodities as a whole red chili given the unique nature of horticultural commodities in general such as nonperishable, easily damaged, volumenious, production is seasonal while consumption occurs throughout the year. Empirically field often found that farmers producers apparently still face price fluctuations, especially at harvest time, and the pedaganglah that can be access in order to obtain a higher price, therefore, an increase in the production of agricultural commodities including red chili needs to be accompanied by improvements in marketing system, so that the farmers as commodity producers is expected to obtain an adequate part of the price for increased usahataninnya (Adang Agustian and Iwan Setiajie A, 2008). For that to know how the structure of the market place, and that led to inefficient markets can be known with the index monopoly in any market participants. Data analysis was performed through quantitative and qualitative methods of analysis of data based on the marketing of Agricultural Products Market Analysis Production Centers Cikajang Garut, West Java Provincial Agriculture Office 2014. To determine the efficiency of marketing known perpetrator marketing
103
marketing margin analysis Margin = H retail - and the producer price index monopoly , Results and discussion shows that the market structure of curly red chili in production centers Cikajang consists of three channels, the first channel is the channel most traversed by farmers, due to the volume of sales of small farmers, the distance location of the farm to point of sale, attachment to economic and social development, so that the role of port for farmers is efficient. The second channel is the channel that is not so much traversed by farmers, these channels will determine the role of the city and the main market is setting prices for the price of production centers. The third channel is a channel that is a little traversed by farmers, in this case the farmers have a position as a city as well. Index is the biggest monopoly traders, traders are located in the centers of production, meaning that traders dominant influence in the marketing of curly red chili. * Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
104
PENDAHULUAN Peranan pemasaran pada komoditas cabai merah memberikan kontribusi penting dalam peningkatan kinerja usahatani komoditas cabai merah secara keseluruhan mengingat sifat unik komoditas hortikultura secara umum seperti mudah busuk, mudah rusak, volumenious , produksinya bersifat musiman sementara konsumsi terjadi sepanjang tahun. Secara empiris dilapangan seringkali dijumpai bahwa para petani produsen tampaknya tetap saja menghadapi fluktuasi harga terutama saat panen, dan para pedaganglah yang dapat lebih akses untuk dapat memperoleh harga yang lebih tinggi, oleh karena itu, peningkatan produksi komoditas pertanian termasuk cabai merah perlu diiringi dengan perbaikan pada sistem pemasarannya, sehingga pihak petani sebagai produsen komoditas ini diharapkan dapat memperoleh bagian harga yang memadai bagi peningkatan usahataninnya (Adang agustian dan Iwan Setiajie A, 2008). Secara umum sistem pemasaran komoditas pertanian termasuk hortikultura masih menjadi bagian yang lemah dari aliran komoditas . Masih lemahnya pemasaran komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem pemasaran yang efisien harus mampu memenuhi dua persyaratan yaitu (1) mengumpulkan hasil pertanian dari produsen ke konsumen dengan biaya serendahrendahnya, (2) mampu mendistribusikan pembagian balas jasa yang adil dari keseluruhan harga konsumen akhir kepada semua pihak yang terlibat mulai dari kegiatan produksi hingga pemasaran (Mubyarto, 1989). Pada umumnya besarnya marjin pemasaran merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mendeteksi terjadinya inefisiensi pemasaran yang disebabkan oleh kekuatan pasar yang tidak sempurna. Namun perlu digarisbawahi bahwa marjin pemasaran yang tinggi tidak selalu mencerminkan adanya kekuatan monopsoni yang secara teoritis ditunjukkan oleh adanya keuntungan pedagangyang berlebihan (non zero profit). Beberapa indikator empirik yang sering digunakan dalam pengkajian efisiensi pemasaran di antaranya adalah margin pemasaran dan transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani atau ke pasar produsen. Sistem pemasaran semakin efisien apabila besarnya marjin pemasaran yang merupakan jumlah dari biaya pemasaran dan keuntungan pedagang semakin kecil. Dengan kata lain, perbedaan antara harga yang diterima petani dan harga yang dibayar konsumen semakin kecil. Adapun transmisi harga yang rendah mencerminkan inefisiensi pemasaran karena hal itu menunjukkan bahwa perubahan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak seluruhnya
diteruskan kepada petani, dengan kata lain transmisi harga berlangsung secara tidak sempurna. Pola transmisi harga seperti ini biasanya terjadi jika pedagang memiliki kekuatan monopsoni sehingga mereka dapat mengendalikan harga beli dari petani. Pada pasar persaingan sempurna selisih antara harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima petani lebih rendah dibanding pada kondisi pasar monopsoni, dengan kata lain, marjin pemasaran akan semakin besar jika terdapat kekuatan monopsoni. Pada kondisi pasar monopsoni transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani juga berlangsung secara tidak sempurna. Pola transmisi harga seperti ini menyebabkan korelasi harga di tingkat konsumen dan di tingkat petani akan semakin rendah dan fluktuasi harga di pasar produsen akan lebih rendah daripada di pasar konsumen. Fluktuasi harga yang tinggi merupakan salah satu isu sentral yang sering muncul dalam pemasaran komoditas hortikultura (Bambang Irawan, 2007). Harga produk pertanian tergolong sangat fluktuatif dengan rentang tingkat harga yang sangat lebar, apalagi setelah dikaitkan dengan future trading. Pada waktu tertentu, seperti musim panen dan musim hujan harganya bisa sangat rendah namun pada saat yang lain bisa sangat tinggi. Harga yang sangat fluktuatif secara teoritis akan menyulitkan prediksi bisnis, baik dalam perhitungan rugi laba maupun manajemen resiko. Harga yang demikian seringkali hanya menguntungkan para spekulan yang umumnya para pedagang tertentu yang mampu mengelola stok secara baik dan cermat. Pengendalian fluktuasi ini merupakan tantangan tersendiri khususnya dalam perumusan kebijakan yang tepat terutama menyangkut kebijakan proteksi pasar domestik dan perlindungan harga di tingkat petani (Mohamad Ismet.2009). Untuk itu perlu diketahui bagaimana struktur pasar yang terjadi, dan yang menyebabkan pasar tidak efisien bisa diketahui dengan monopoli indeks di setiap pelaku pasar . METODE Analisis data dilakukan melalui metode kuantitatif dan kualitatif berdasar data analisis pemasaran hasil Analisis Pasar Hasil Pertanian Sentra Produksi Cikajang Garut Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat 2014. Untuk mengetahui efisiensi pemasaran diketahui dengan marjin pemasaran pelaku pemasaran menggunakan analisis Margin = H eceran - Harga produsen dan monopoli indeks. HASIL DAN PEMBAHASAN Persaingan sempurna adalah suatu model struktur pasar dari sebuah industri, sementara monopoli adalah model lain . Suatu keadaan monopoli terdapat bila hanya terdiri satu perusahaan 105
tunggal. Bila perusahaan itu mampu mendepak pesaing-pesaing karena biaya-biaya produksinya lebih rendah, keadaan itu disebut “monopoli alamiah” (natural monopoly). Tetapi tidak semua monopoli bersifat alamiah. Suatu sumber monopoli lain yang penting adalah fasilitas istimewa yang diberikan pemerintah, seperti hak monopoli (franchised) atau hak paten (Hirshleifer,1984). Pemasaran berfungsi sebagai intermediasi antara produsen dengan konsumen. Data empiris menunjukkan masih lemahnya posisi petani dalam menetapkan harga jualnya karena lemahnya posisi tersebut diantaranya petani bertindak secara individu, kecil kepemilikan asset, jarak yang jauh antara petani dengan konsumen akhir, ketergantungan dana pada pedagang, dan struktur pasar yang didominasi oleh pedagang. Karakteristik ini berdampak terhadap tidak efisiennya sistem pemasaran. Karena permintaan pada petani (farm gate prices) merupakan permintaan turunan dari permintaan pada tingkat konsumen (retail prices), petani mendapatkan risiko perubahan harga yang paling besar. Instrumen non konvesional sudah seharusnya dikembangkan dan dilaksanakan untuk mengurangi kerugian atas perubahan harga tersebut. Dengan commodity based instruments seperti pasar berjangka (future markets) efisien pemasaran akan lebih ditingkatkan. instrumen ini sedikit membutuhkan intervensi pemerintah (Dedi Budiman Hakim, 2009). Sampai saat ini belum ada kebijakan tataniaga komoditas cabai sehingga pergerakan harganya sangat ditentukan oleh mekanisme pasar. Fluktuasi harga cabai terjadi karena produksi cabai bersifat musiman. Lebih lanjut harga cabai dapat berfluktuasi karena faktor hujan , biaya produksi dan panjangnya saluran distribusi ( Farid dan Nugroho, 2012). Struktur pasar cabai merah keriting di sentra produksi Cikajang terdiri dari tiga saluran, saluran pertama adalah saluran yang paling banyak dilalui oleh petani, dikarenakan volume penjualan petani kecil, jarak lokasi usahatani ke tempat penjualan, keterikatan ekonomi dan sosial , sehingga peran bandar bagi petani merupakan hal yang efisien. Pada saluran pertama terlihat jelas bahwa harga petani merupakan turunan dari harga konsumen akhir dalam hal ini pasar induk atau pasar pengecer, pasar induk dari lokasi usahatani berjarak jauh dari sentra produksi, tetapi cikajang atau sentra produksi cabai merah keriting dari garut memasok lima pasar strategis. Saluran kedua saluran yang tidak begitu banyak dilalui oleh petani, saluran ini peran bandar sangat menentukan dan pasar induk merupakan penetap harga bagi harga sentra produksi, bandar harus mengirim produk dalam jumlah yang banyak, 106
seperti untuk pengiriman ke pasar induk kramat jati ongkos trasportasinya Rp 700.000 dengan memakai kendaraan ukuran grand max dengan volume angkut 50 karung 9 1 karung kurang lebih berisi sudah ditetapkan pasar induk, petani menjual produksinya dengan volume kecil, hal ini merupakan kondisi yang tidak memungkinkan petani dalam posisi tawar yag rendah. Saluran ketiga adalah saluran yang sedikit dilalui oleh petani, dalam hal ini petani mempunyai posisi sebagai bandar juga. Saluran ketiga ini terdapat 1 atau 2 bandar saja. Dan petani yang menjadi bandar dalam kondisi lapangannya sulit diketahui, dikarenakan terkadang petani menjadi bandar dan sebaliknya. Adapun struktur pasar cabai merah keriting bisa dilhat pada gambar dibawah ini. Indeks monopoli menunjukkan seberapa besar tingkat dominasi suatu lembaga pemasaran dalam rantai pemasaran , dimana semakin besar nilai indeks monopoli maka semakin dominan pengaruh lembaga pemasaran tersebut dalam rantai pemasaran (Kuntandi dan Jamhari, 2012). Adapun indeks monopoli cabai merah keriting dari sentra produksi Cikajang dapat dilihat pada Tabel Indeks Monopoli. Indeks monopoli terbesar berada pada pedagang pengumpul, pedagang pengumpul ini berada di sentra produksi, artinya pedagang pengumpul dominan pengaruhnya dalam pemasaran cabai merah keriting. Hal ini terlihat dalam penentuan harga cabai merah keriting pedagang pengumpul dominan menentukan harga yang informasi harga langsung dari pasar induk. Pedagang pengumpul mempunyai peran yang paling tinggi dalam pemasaran cabai merah keriting yaitu pedagang pengumpul jumlahnya tidak banyak, hanya 2, petani menjual produknya ke pedagang pengumpul dalam jumlah yang sedikit sehingga ada keterikatan dalam jual beli disamping petani mengambil sarana produksi dari pedagang pengumpul, pedagang pengumpul mempunyai keterikatan langsung dengan pedagang di pasar induk kramat jati, terkadang dia juga sebagai pedagang di kramat jati, pedagang kramat jati mempunyai keterikatan dalam hal jual beli dengan bentuk penyimpanan modal untuk pengiriman produk agar supaya pedagang di pasar induk selalu tersedia produk yang dijualnya.
STRUKTUR PASAR CABAI MERAH KERITING
1.
2.
3.
Produsen Petani
Tengkulak
Bandar
PI/ Grosir
Psr. Eceran/ Tradisional
Rp. 15.000/Kg
Rp. 17.000/Kg
Rp. 18.000/Kg
Rp. 19.000/Kg
Rp. 25.000/Kg
Petani
Bandar Pedagang I
PI Pedagang II
Rp. 9.000/Kg (Vol 3000 Kg)
Rp. 10.000/Kg
Rp. 11.000/Kg
Produsen Petani
PI Bandar 1-2
Tabel Indeks Monopoli Pasar Cabai Merah Keriting. Uraian Rata-rata Harga Beli (Rp) Total Biaya Variabel (Rp) Rata-rata Keuntungan (Rp) Marjin Pemasaran ke –i (Rp) Indeks Monopoli
Lembaga Pemasaran ke- i Pedagang Pedagang Pedagang Pengumpul Besar Pengecer 17.000 18.000 25.000 64.800 1.400.000 2.800.000 1.196 825 6.774 2.000 7.000 10.000 0,03 0,005 0,0035
SIMPULAN Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Struktur pasar cabai merah keriting di sentra produksi Cikajang terdiri dari tiga saluran, saluran pertama adalah saluran yang paling banyak dilalui oleh petani, dikarenakan volume penjualan petani kecil, jarak lokasi usahatani ke tempat penjualan, keterikatan ekonomi dan sosial , sehingga peran bandar bagi petani merupakan hal yang efisien. Saluran kedua saluran yang tidak begitu banyak dilalui oleh petani, saluran ini peran bandar sangat menentukan dan pasar induk merupakan penetap harga bagi harga sentra produksi. Saluran ketiga adalah saluran yang sedikit dilalui oleh petani, dalam hal ini petani mempunyai posisi sebagai bandar juga. Indeks monopoli terbesar berada pada pedagang pengumpul, pedagang pengumpul ini berada di sentra produksi, artinya pedagang pengumpul dominan pengaruhnya dalam pemasaran cabai merah keriting.
Indeks Monopoli Gabungan 4.264.800 19.000 0,0044
DAFTAR PUSTAKA Adang Agustian dan Iwan Setiajie A. 2008. Analisis Perkembangan Harga dan Rantai Pemasaran Komoditas Cabai Merah di Provinsi Jawa Barat Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Bambang Irawan . 2007. Fluktuasi Harga , Transmisi Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran dan Buah. Analisis kebijakan Pertanian vol 5 no 4 : 358-373. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Dedi Budiman Hakim.2009. Manajemen Resiko dalam Pemasaran Pertanian dalam Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran.Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen.IPB.Bogor. Ebban Bagus Kuntadi dan Jamhari. 2012. Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Melalui Pasar 107
Lelang Spot di Kabupaten Ponorogo, Yogyakarta. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, vol 1, no 1 : 95-101.Hirshleifer, Jack. 1984. Price Theory and Applications. Prentice-Hall, Inc.,Englewood Cliffs, New Jersey.07632. Mubyarto.1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta. Mohamad Ismet.2009. Strategi dan Kebijakan Pemasaran Produk Agribinis dalam Bunga Rampai Agribinis Seri pemasaran. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor Miftah Farid,Nugroho Ari Subekti.2012. Tinjauan Terhadap Produksi , Konsumsi, Distribusi dan Dinamika Harga Cabe di Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan vol 6 no 2 : 211-233. Jakarta.
108
Perbandingan Pendapatan Petani untuk Komoditas Jagung Manis (Zea mays Saccharata Sturt.) dan Bawang Merah (Alium cepa L.) (Studi Kasus di Desa Arjasari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) Comparison of Revenue Sweet Corn (Zea mays saccharata Sturt.) And Shallots (Alium cepa L.) (Case Study in Arjasari Village, District Arjasari, Bandung regency, West Java Province) Muhammad Arief Budiman, Rizki Eka Firdaus Fakultas Pertanian Unpad, Bandung,
Kata kunci: Perbandingan, Pendapatan, Jagung Manis, Bawang Merah.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keragaan jagung manis dan bawang merah di Desa Arjasari, serta menganalisis pendapatan usahataninya untuk mengetahui mana yang paling menguntungkan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Arjasari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Jumlah responden sebanyak 4 petani jagung manis dan 4 petani bawang merah. Penelitian ini menggunakan metode desain kualitatif dengan teknik studi kasus. Analisis deskriptif digunakan untuk memperoleh deskripsi mengenai keragaan usahatani jagung manis dan bawang merah di Desa Arjasari. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis usahatani untuk meganalisis besar pendapatan petani jagung manis dan bawang merah. Keragaan usahatani jagung manis dan bawang merah di Desa Arjasari masih tergolong sederhana. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang masih rendah menyebabkan pola pikir pengambilan keputusan masih mengikuti kecenderungan dari banyak petani disekitarnya dan belum dapat mengambil keputusan sendiri. Dari kedua usahatani ini nilai R/C yang dimiliki masing-masing besar dari 1 yang artinya kedua usahatani ini akan menghasilkan keuntungan dan layak untuk dijalankan. Jagung manis dirasa lebih menguntungkan karena biaya produksi yang dikeluarkan tidak terlalu besar sedangkan untuk bawang merah membutuhkan biaya produksi yang lebih besar. Dan dalam masalah teknik budidaya jagung manis dirasa para petani di Desa Arjasari lebih mudah dilakukan daripada bawang merah.
ABSTRACT This study aims to determine how the performance of sweet corn and onions in the village Arjasari, and analyze their farming income to determine which are the most profitable. The research was conducted in the village Arjasari, District Arjasari, Bandung regency, West Java Province. The number of respondents as much as 4 sweet corn growers and 4 onion farmers. Keywords: This study used a qualitative design method with a case study technique. Descriptive analysis Comparison, is used to obtain a description of the performance of farming sweet corn and onions in the Revenue, Sweet village Arjasari. Data processing method used in this research is the analysis of a large farming Corn, Onion. for farmers' income meganalisis sweet corn and onions. Performance of sweet corn farming and onion in the village Arjasari still relatively simple. It can be seen from the low levels of education lead to the mindset of decision-making still follows the trend of many farmers around him and has not been able to make their own decisions. From the farm is the value of R / C ratio of each greater than 1, which means the farm will generate profits and feasible. Sweet corn is considered more advantageous because production costs are not too large, while for onion require greater production costs. And the problem is felt sweet corn cultivation techniques to farmers in the village of Arjasari easier to do than onions. * Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
109
PENDAHULUAN Produksi jagung yang sangat tinggi di kabupaten Bandung tidak lepas dari peran sentra produksi jagung di Kabupaten Bandung. Salah satu sentra produksi jagung terdapat disalah satu kecamatan di Kabupaten Bandung yaitu kecamatan Arjasari. Kecamatan Arjasari menjadi salah satu sentra produksi jagung di Kabupaten Bandung (http://www.bandungkab.go.id/). Desa Arjasari yang berada di Kecamatan Arjasari menjadi salah satu desa penyumbang produksi jagung terbesar, sebagian besar wilayahnya terdiri dari daerah pertanian (http://desaarjasari.org/). Dengan daerah yang seperti itu Desa Arjasari sangat memungkinkan untuk menjadi salah satu sentra produksi jagung. Pernyataan tersebut dapat dilihat dari data Dinas PertanianKab.Bandung. Meskipun dalam permintaanya terus meningkat tanaman jagung kurang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Oleh sebab itu untuk meningkatkan pendapatannya petani di Desa Arjasari mencari solusi lain untuk meningkatkan pendapatan petani tersebut, yaitu dengan cara beralih komoditas. Komoditas tersebut yaitu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi seperti pada tanaman bawang merah. Bawang merah mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, pernyataan tersebut dapat dibuktian dari data BPS yang menyebutkan pada tanggal 17 januari 2014 harga bawang merah Rp. 14.000, pada tanggal 20 januari 2014 menagalami penurunan harga menjadi Rp. 12.000, pada tanggal 24 januari 2014 harga bawang merah melonjak naik menjadi Rp. 20.000, dan pada tanggal 30 januari 2014 harga bawang merah turun menjadi Rp. 10.000. Bawang merah memiliki fluktuasi dan sensitivitas harga yang cukup tinggi terutama karena perubahan permintaan dan penawaran oleh karena itu bawang merah dilihat petani dapat lebih meningkatkan pendapatannya. Dalam produksinya bawang merah juga mengalami fluktuasi, dari data BPS menyatakan bahwa produksi bawang merah di Provinsi Jawa Barat tidak selalu meningkat. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada tabel 3. Mengenai produksi bawang merah di Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Meskipun dalam permintaanya terus meningkat tanaman jagung kurang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Oleh sebab itu untuk meningkatkan pendapatannya petani di Desa Arjasari mencari terobosan baru untuk meningkatkan pendapatan petani tersebut, terobosan baru tersebut adalah dengan cara beralih komoditas. Komoditas tersebut yaitu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi seperti pada tanaman bawang merah. 110
Beberapa petani tersebut mencoba beralih ke tanaman hortikulutra bawang merah dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani tersebut. Tentunya setelah petani tersebut melihat tingginya harga bawang merah dan melihat dari kemampuan petani tersebut untuk menanam bawang merah. Permasalahannya adalah banyak para petani belum mengetahui pengetahuan tentang memilih tanaman yang memiliki tanaman nilai ekonomi tinggi dan juga masih minimnya pengetahuan tentang budidaya bawang merah. Dengan alasan seperti itu petani bisa tidak dapat memperoleh pendapatan yang tinggi dan ada juga yang gagal panen yang diakibatkan kurang mengetahui pengetahuan tentang tanaman yang dipilihnya. Padahal jika petani dapat memilih tanaman yang tepat maka pendapatan petani bisa meningkat. Dengan potensi pertanian di Desa Arjasari yang cukup besar meliputi tanaman bahan pangan, sayur-sayuran, perkebunan dan buah-buahan serta pemanfaatan lahan di pegunungan berupa kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan wisata dan perkebunan sedangkan di wilayah kaki bukit dimanfaatkan untuk budidaya tanaman hortikultura (terutama sayuran). Para petani di Desa Arjasari dapat meningkatkan pendapatan petani itu sendiri. Identifikasi Masalah 1. Bagaimana keragaan usahatani jagung manis dan bawang merah di Desa Arjasari? 2. Bagaimana pendapatan jagung manis dan bawang merah di Desa Arjasari? Kegunaan Penelitian 1. Memberikan informasi kepada para pelaku dan calon pelaku agribis akan peluang usaha pertanian komoditas jagung manis dan bawang merah. 1. Memberikan pilihan kepada para petani agar lebih efisien dan memilih komoditas mana yang harus di tanam demi pendapatan para petani yang paling tinggi. 2. Memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait seperti pemerintah dalam penyempurnaan dan evaluasi regulasi dimasa yang akan datang sebagai upaya untuk mendukung kebijakan yang akan diambil agar dapat meningkatkan pendapatan para petani dan pelaku usahatani di dalamnya.
KERANGKA DAN KONSEP Komoditas Jagung Manis Sistematika dari tanaman jagung manis dalam (Purwono dan Hartono, 2007 dalam Sianipar, 2012) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio
: Plantae : Spermatophyta
Sub Divisio Class Ordo Family Genus Species
: Angiospermae : Monocotyledoneae : Graminales : Graminaceae : Zea : Zea mays Saccharata Sturt.
Komoditas Bawang Merah Menurut Tjitrosoepomo (1993) dalam Bangun (2010) klasifikasi dari tanaman bawang merah adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Monocotyledonae Ordo : Liliaceae Family : Liliales Genus : Allium Species : Allium ascalonicum L. Usahatani Usahatani adalah sebagian dari kegiatan di permukaan bumi dimana seorang petani, sebuah keluarga atau manajer yang digaji bercocok tanam atau memelihara ternak. Petani yang berusaha tani sebagai suatu cara hidup, melakukan pertanian karena dia seorang petani. Apa yang dilakukan petani ini hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Dalam arti petani meluangkan waktu, uang serta dalam mengkombinasikan masukan untuk menciptakan keluaran adalah usahatani yang dipandang sebagai suatu jenis perusahaan. (Maxwell L. Brown, 1974 dalam Soekartawi 2002, dalam Warsana 2007). Empat unsur pokok yang selalu bekerja dalam usahatani yakni, alam, tenaga kerja, modal dan pengolaan (manajemen) keempat unsur tersebut juga dapat disebut faktor-faktor produksi. Alam merupakan faktor yang sangat menentukan dalam usahatani. Faktor alam dapat dibedakan menjadi dua yakni, faktor tanah yang mencakup jenis tanah dan kesuburan tanah, serta faktor alam sekitar yang mencakup iklim yang juga berkaitan dengan ketersedian air, suhu, dan lain sebagainya. Tanah merupakan faktor produksi yang penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman, ternak dan usahatani keseluruhannya. Faktor tanah juga tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya yaitu sinar matahari, curah hujan, angin dan sebagainya. Iklim yang juga menjadi bagian dari faktr alam sekitarnya sangat berpengaruh pada jenis tanaman atau komoditas yang akan diusahakan. 2.2.1 Konsep Biaya Usahatani Menurut Rodjak (2005) dalam Audita (2012) biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomi yang dapat diperkirakan dan yang dapat diukur untuk menghasilkan sesuatu produk. Atau secara singkat
dapat dikatakan bahwa biaya adalah semua nilai faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk dalam satu periode produksi tertentu. Biaya ini biasanya dinyatakan dalam nilai uang tertentu misalnya rupiah, dollar, rupee, peso, dan sebagainya. Biaya usahatani dapat dibedakan atas dua macam yaitu biaya tetap (fixed cost) dan (variable cost). 1) Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak mempengaruhi pada hasil produksi. Yang termasuk biaya tetap antara lain adalah pajak, sewa tanah, dan penyusutan alat-alat pertanian yang tahan lama atau modal tetap. 2) Biaya tidak tetap atau biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya mempunyai pengaruh langsung pada hasil produksi. Yang termasuk biaya tidak tetap (biaya variabel) antara lain biaya sarana produksi, upah tenaga kerja, pestisida, dll. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya biaya usahatani adalah sebagai berikut: 1) Keadaan fisik dan luas usahatani. 2) Jenis tanaman yang diusahakan. 3) Jenis teknologi yang diterapkan, antara teknologi tradisional dan teknologi modern menimbulkan perbedaan biaya usahatani. 4) Waktu melaksanakan usahatani, pada musim hujan dan musim kemarau akan berbeda. 5) Tingkat intensitas pengelolaan usahatani, untuk tanaman yang sama apabila pengelolaannya berbeda akan menimbulkan perbedaan biaya usahatani. 6) Perubahan harga input dan upah tenaga kerja usahatani, dan waktu pembelian input. Konsep Penerimaan Usahatani Penerimaan dapat diartikan sebagai nilai produk total dalam jangka waktu tertentu baik yang dipasarkan maupun tidak (Soekartawi, 2002). Penerimaan juga dapat didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan. Penerimaan usahatani yaitu penerimaan dari semua sumber usahatani meliputi nilai jual hasil, penambahan jumlah inventaris, nilai produk yang dikonsumsi petani dan keluarganya. Penerimaan adalah hasil perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual produk. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut: TR = Py.Y Dimana : TR = Total Revenue (penerimaan usahatani) Py = Price (harga output) Y = Output (produksi yang diperoleh dalam usahatani)
111
Konsep Pendapatan Usahatani Menurut Audita (2012) pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan usahatani yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Besarnya usahatani yang diterima merupakan balas jasa untuk tenaga kerja, modal keluarga yang dipakai dan pengelolaan yang dilakukan oleh seluruh keluarga. Bentuk dan jumlah pendapatan mempunyai fungsi yang sama, yaitu memenuhi keperluan sehari-hari dan memberikan kemampuan petani agar dapat melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan digunakan untuk mencapai keinginannya dan memenuhi kewajibannya. Dengan demikian pendapatan yang dterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan. Jumlah pendapatan dan cara menggunakan inilah yang menentukan tingkat hidup petani. Berusahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produksi dilahan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang di peroleh. Selisih keduanya merupakan pendapatan dari kegiatan usahatani. I = TR – TC Dimana: I = Income (pendapatan) TR = Total Revenue (penerimaan) TC = Total Cost (total biaya) Alur Pemikiran Desa Arjasari merupakan salah satu sentra produksi jagung di Kabupaten Bandung dengan keadaan iklim yang mendukung untuk melakukan budidaya jagung manismakahampir secara keseluruhan petani di Desa Arjasari menanam komoditas jagung manis.Meskipun Desa Arjasari menjadi salah satu sentra produksi jagung harga jual pada jagung manis yang didapat masih tergolong rendah yang berdampak tingkat pendapatan petani tersebut juga rendah. Dengan alasan seperti itu petani mecari terobosan baru untuk meningkatkan pendapatannya. Terobosan baru tersebut adalah dengan cara beralih komoditas yang memiliki permintaan pasar dan harga jual yang tinggi. Peralihan komoditas tersebut didasari dari beberapa petani untuk melakukan terobosan baru untuk meingkatkan pendapatan petani itu sendiri. Alasan petani beralih ke bawang merah dikarenakan bawang merah memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, sehingga para petani tersebut beralih dengan tujuan meningkatkan hasil pendapatan petani tersebut.Dengan alasan petani tersebut dapat menimbulkan suatu pertanyaan apakah budidaya bawang merah akan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan menanam jagung manis? Pendapatan usahatani adalah selilih antara penerimaan dan semua biaya. Metode ini digunakan 112
untuk mengetahui pendapatan yang akan diperoleh petani jagung manis dan bawang merah. METODE PENELITIAN Objek dan Tempat Penelitian Objek penelitian ini adalah Perbandingan Pendapatan Usahatani Jagung Manis dan Bawang Merah di Desa Arjasari Kecamatan Ajasari Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Adapun penentuan tempat penelitian ini dilakukan secara sengaja.Penelitian ini dilakukan di Desa Arjasari untuk mengetahui bagaimana keragaan usahatani jagung manis dan bawang merah, kemudian menganalisis pendapatan usahatani Jagung Manis dan Bawang Merahdi Desa Arjasari, dan mengetahui mana yang paling menguntungkan antara jagung manis dan bawang merah dilihat dari budidaya dari masing-masing komoditas tersebut untuk memberikan pilihan yang terbaik bagi petani Desa Arjasari. Desain dan Teknik Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah desain kualitatif. Teknik penelitian yang digunakan adalah studi kasus yaitu objek peristiwanya pada peristiwa terjadi sekarang dan hanya satu unit kasus, dapat berupa kesatuan sosial tertentu, orang-orang, satu keluarga, satu kelompok atau organisasi dalam suatu masyarakat suatu komunitas tertentu dan sebagainya dan penelitiannya bersifat eksploratif mendalam (Rusidi, 1996) (dalam Ifu, 2011). Data/Informasi yang diperlukan (Operasionalisai Variabel) Ada beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini, dengan sebagai penjelasan sub variabel adalah sebagai berikut: 1) Keragaan usahatani 2) Faktor produksi 3) Proses produksi 4) Pasca panen 5) Biaya usahatani 6) Biaya tetap. 7) Biaya variabel 8) Produksi 9) Penerimaan 10) Pendapatan/keuntungan Rancangan Analisis Data/Informasi Dalam penelitian ini untuk mengetahui, menjelaskan, dan menjawab permasalahan terhadap data yang diperoleh maka analisis yang akan digunakan adalah sebagai berikut: 1. Untuk keragaan usahatani jagung manis dan bawang merah dianalisis secara deskriptif yang berisi uraian karakteristik usahatani, faktor
produksi, pengadaan faktor produksi, dan proses produksi. 2. Analisis Pendapatan Usahatani Untuk mengetahui besarnya pendapatan dan keuntungan usahatani jagung manis dan bawang merah digunakan analisis pendapatan usahatani berdasarkan total pengeluaran biaya produksi dan penerimaan, serta R/C yang mengedinkasikan bahwa usaha tersebut menguntungkan atau tidak untuk dilakukan. a) Penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan produk jagung manis maupun bawang merah: R=P.X R = revenue (penerimaan) P = harga jual per kilogram (Rp/Kg) X = berat komoditas yang dihasilkan (Kg) b) Perhitungan biaya dari usahatani jagung manis maupun bawang merah adalah TC = TFC+TVC TC = total cost (biaya total) TFC = total fixed cost (biaya tetap total) TVC = total variabel cost (biaya variabel total) c) Perhitungan keuntungan usaha dengan metode R/C ratio: R/C R = penerimaan total C = biaya total Jika: R/C > 1 usahatani mengalami keuntungan R/C < 1 usahatani mengalami kerugian R/C = 1 usahatani dalam titik impas
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Usahatani Jagung Manis Pola budidaya yang diterapkan petani tergolong masih sederhana, namun telah mengalami beberapa perubahan. Perubahan telah terjadi dikarenakan para petani belajar berdasarkan pengalaman masa lalu dari petani itu sendiri atau petani pendahulunya. Teknik budidaya yang diterapkan petani responden jagung manis adalah monokultur atau satu tanaman dalam satu areal tanam.Secara keseluruhan petani responden jagung manis melakukan teknik budidayanya secara mandiri, atau biasa para petani tersebut menyebutnya dengan kata berdikari atau berdiri dengan kaki sendiri. Berikut dijelaskan tentang budidaya jagung manis secara umumnya di Desa Arjasari. Pengolahan Lahan Pengolahan tanah bertujuan untuk: memperbaiki kondisi tanah, dan memberikan kondisi menguntungkan bagi pertumbuhan akar. Melalui pengolahan tanah, drainase dan aerasi yang kurang baik akan diperbaiki. Penanaman
Pertama buat lubang tanam dengan alat tugal. Kedalaman lubang perlu di perhatikan agar benih tidak terhambat pertumbuhannya. Kedalaman lubang tanam antara: 3-5 cm, dan tiap lubang hanya diisi 1 butir benih. Jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur panennya, semakin panjang umurnya, tanaman akan semakin tinggi dan memerlukan tempat yang lebih luas. Pada umumnya di Desa Arjasari ini digunakan jarak tanam 20 x 25 cm karena jagung berumur sedang (panen 80-100 hari). Pemupukan Pemupukan dapat dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama (pupuk dasar), pupuk diberikan bersamaan dengan waktu tanam. Pada tahap kedua (pupuk susulan I), NPK majemuk , Urea dan TSP diberikan setelah tanaman jagung berumur 12 hari setelah tanam. Pemupukan dilakukan dengan cara membuat lubang menggunakan tugal sedalam 5 cm dengan jarak dari tanaman 10 cm. Lalu dilakukan pemupukan kembali (pupuk susulan II) sekitar 30 HST atau sekitar 4 minggu setelah tanam. Pemeliharaan Penyiangan Penyiraman Pembumbunan Pengendalian Hama dan Penyakit Panen dan Pasca Panen Keragaan Usahatani Bawang Merah Teknik budidaya yang diterapkan petani responden bawang merah adalah monokultur atau satu tanaman dalam satu areal tanam. Berikut dijelaskan tentang budidaya bawang merah secara umumnya di Desa Arjasari. Persiapan Lahan Pengolahan dilakukan dengan mencangkul tanah sedalam 20 cm dibuat bedengan-bedegan dengan lebar 80 cm tinggi 25 cm sedangkan panjangnya disesuaikan dengan kondisi lahan. Setelah tanah diolah lalu tanah dicampurkan dengan pupuk kandang. Diamkan lahan selama kurang lebih 2-3 hari. Penanaman Siapkan benih atau umbi bawang merah yang siap tanam. Apabila umur umbi masih kurang dari 2 bulan, lakukan pemogesan terlebih dahulu. Pemogesan adalah pemotongan bagian ujung umbi, sekitar 0,5 cm. Fungsinya untuk memecahkan masa dorman dan mempercepat tumbuhnya tanaman. Jarak tanam untuk budidaya bawang merah dibuat hingga 20×20 cm. Benih bawang merah ditanam dengan cara membenamkan seluruh bagian umbi kedalam tanah.
113
Pemupukan Pupuk dasar dilakukan sebelum waktu tanam, pupuk yang digunakan yaitu pupuk kandang. Lalu dilakukan kembali pemupukan susulan I yaitu pada saat tanaman berumur 13-15 hari setelah tanam lalu pemupukan susulan II dilakukan pada saat tanaman berumur 30-40 hari setelah tanam, pupuk yang diguanakan pada saat pemupukan susulan yaitu pemupukan anorganik. Pemeliharaan : Pengairan Penyiangan Pengendalian Hama dan Penyakit Panen dan Pasca Panen Bawang merah dipanen pada saat berumur 60-70 hari setelah tanam, untuk bawang konsumsi, waktu panen ditandai dengan 60-70% daun telah rebah, sedangkan untuk bibit kerebahan daun lebih dari 90%. Panen dilakukan waktu udara cerah. Pada waktu panen, bawang merah diikat dalam ikatanikatan kecil (1-1.5 kg/ikat), Lalu petani langsung menjual ke tengkulak. Analisis Pendapatan Usahatani Jagung Manis dan Bawang Merah Analisis usahatani jagung manis dan bawang merah di Desa Arjasari menggambarkan penerimaan, total pengeluaran biaya, dan pendapatan petani. Kegiatan usahatani bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang optimal, sebagai imbalan atas usaha dan kerja, dan peralatan pertanian yang digunakan selama kegiatan usahatani jagung manis dan bawang merah berlangsung. Berikut ini akan dianalisis kegiatan usahatani jagung manis dan bawang merah berdasarkan: Biaya Produksi Biaya dalam usahatani segala pengorbanan yang dilakukan oleh petani untuk menghasilkan produksi. Biaya yang dikeluarkan petani terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel/ biaya tetap terdiri atas biaya penyusutan alat pertanian yang digunakan antara lain adalah cangkul, handsprayer, kored, emrat, dan pisau. Biaya variabel terdiri dari biaya pengadaan pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Penggunaan biaya produksipada usahatani jagung manis dan bawang merah dari masing-masing petani di Desa Arjasari dapat dilihat pada Tabel 5. dan 6. Tabel 5. Biaya produksi usahatani jagung manis No
2
Luas Lahan 0.14 Ha 0.7 Ha
3
1 Ha
1
114
Biaya Variabel Rp 158.102 Rp 2.005.370 Rp 2.508.102
Biaya Tetap Rp 1.413.000 Rp 3.543.000 Rp 5.147.000
Biaya Produksi Rp 1.571.102 Rp 5.548.370 Rp 7.655.102
No 4
Luas Lahan 1 Ha
Biaya Variabel Rp 2.508.657
Biaya Tetap Rp 5.308.500
Biaya Produksi Rp 7.817.157
Berdasarkan Tabel 13. menunjukan bahwa biaya produksi usahatani jagung manis berbeda-beda yang dikarenakan luas lahan yang berbeda-beda juga. Biaya produksi terbesar pada luas lahan 1 Ha dengan biaya produksi sebesar Rp 7.817.157,-. Tabel 6. Biaya produksi usahatani bawang merah No 1 2 3 4
Luas Lahan 0.14 Ha 0.14 Ha 0.14 Ha 0.14 Ha
Biaya Variabel Rp 75.880 Rp 77.130 Rp 76.296 Rp 75.880
Biaya Tetap Rp 6.147.000 Rp 6.271.500 Rp 5.826.000 Rp 5.928.500
Biaya Produksi Rp 6.222.880 Rp 6.348.630 Rp 5.902.296 Rp 6.004.380
Biaya produksi yang dikelauarkan petani untuk usahatani bawang merah di Desa Arjasari tidak jauh berbeda dengan masing-masing petani dikarenakan luas lahan yang digunakan sama. Berdasarkan Tabel 14. biaya produksi bawang merah yang paling besar Rp 6.348.630,-. Penerimaan Pada usahatani jagung manis dan bawang merah penerimaan petani diperoleh dari banyaknya produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga yang berlaku. Harga jual jagung manis dan bawang merah yang berlaku di pasaran berbeda jauh. Harga jual yang berlaku di pasaran untuk jagung manis dengan harga Rp 2.000,- setiap kilogram, sedangkan bawang merah dijual dengan harga Rp 15.000,setiap kilogram. Harga jual bawang merah lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual jagung manis. Harga jual yang jauh berbeda ini dikarenakan oleh permintaan akan bawang merah yang tinggi. Pada Tabel 7. dan 8. akan terlihat penerimaan yang tertinggi dan terendah yang diperoleh petani jagung manis dan bawang merah. Tabel 7. Penerimaan usahatani jagung manis No
2
Luas Lahan 0.14 Ha 0.7 Ha
3
1 Ha
4
1 Ha
1
Produksi
Harga
2.000 Kg
Rp 2.000 Rp 2.000 Rp 2.000 Rp 2.000
10.000 Kg 14.000 Kg 14.000 Kg
Penerimaan Rp 4.000.000 Rp 20.000.000 Rp 28.000.000 Rp 28.000.000
Hasil produksi per musim tanam untuk usahatani jagung manis yang paling tinggi adalah sebesar 14.000 kg dengan luas lahan 1 Ha dan dengan
harga jual Rp 2.0000,- per kilo mendapatkan hasil total penrimaan yaitu sebesar Rp 28.000.000,-. Tabel 8. Penerimaan usahatani bawang merah No 1 2 3 4
Luas Lahan 0.14 Ha 0.14 Ha 0.14 Ha 0.14 Ha
Produksi
Harga
Penerimaan
1.500 Kg
Rp 10.000 Rp 10.000 Rp 10.000 Rp 10.000
Rp 15.000.000
1.500 Kg 1.500 Kg 1.500 Kg
Rp 15.000.000 Rp 15.000.000 Rp 15.000.000
Sedangkan untuk hasil produksi per musim tanam untuk usahatani bawang merah dengan luas lahan 0.14 adalah sebesar 1.500 kg dengan harga jual Rp 10.000,- per kilo medapatkan hasil total penerimaan yaitu sebesar Rp 15.000.000,4.2.1 Pendapatan Pendapatan petani dipeoleh dari hasil penerimaan dikurangi dengan keseluruhan total biaya yang dikeluarkan. Pendapatan yang diperoleh adalah keuntungan yang diteriman oleh petani jagung manis dan bawang merah. Berikut adalah Pendapatan Tertinggi Usahatani Jagung Manis dan Bawang Merah. Tabel 9. Pendapatan usahatani jagung manis No
Luas Lahan
Penerimaan
Biaya Produksi
Pendapatan
1 2
0.14 Ha 0.7 Ha
3
1 Ha
4
1 Ha
Rp 4.000.000 Rp 20.000.000 Rp 28.000.000 Rp 28.000.000
Rp 1.571.102 Rp 5.548.370 Rp 7.655.102 Rp 7.817.157
Rp 2.428.898 Rp 14.451.630 Rp 20.344.898 Rp 20.182.843
Pada Tabel 9. Menunjukan hasil pendapatan usahatani jagung manis, pendapatan tertinggi terlihat pada petani dengan luas lahan 1 Ha, yaitu dengan total pendapatan Rp 20.344.898,-. Dari hasil penelitian menunjukan petani komoditas jagung manis yang memiliki lahansebesar ±1 Ha memiliki hasil yang cukup besar. Akan tetapi dari hasil analisis yang dilakukan terhadap petani bawang merah, memiliki potensi pendapatan yang lebih besar dibandingkan petani jagung manis jika dalam luasan lahan yang sama. Tabel 10. Pendapatan usahatani bawang merah No
1 2
Luas Lahan
Penerimaan
Biaya Produksi
0.14 Ha 0.14 Ha
Rp 15.000.000 Rp 15.000.000
Rp 6.222.880 Rp 6.348.630
Pendapatan
Rp 8.777.120 Rp 8.651.370
No
3 4
Luas Lahan
Penerimaan
Biaya Produksi
0.14 Ha 0.14 Ha
Rp 15.000.000 Rp 15.000.000
Rp 5.902.296 Rp 6.004.380
Pendapatan
Rp 9.097.704 Rp 8.995.620
Pada tabel 10. menunjukan pendapatan usahatani bawang merah dengan luasan yang sama yaitu 0.14 Ha. Pendapatan tertinggi pada luasan lahan yang sama yaitu sebesar Rp 9.097.704,-. 4.2.2 Rasio R/C Usahatani Jagung Manis dan Bawang Merah Untuk mengetahui kelayakan suatu usahatani dapat dilihat dengan menggunakan analisis R/C. R/C didapatkan dari perbandingan antara penerimaan total dengan biaya total. Layak atau tidaknya suatu usaha dapat dilihat dari nilai R/C, jika R/C >1 usahatani mengalami keuntungan dan R/C<1 usahatani mengalami kerugian. Tabel 11. Perhitungan R/C jagung manis No
Luas Lahan
Penerimaan
Biaya Produksi
Pendapatan
R/C
4
1 Ha
Rp 4.000.000 Rp 20.000.000 Rp 28.000.000 Rp 28.000.000
Rp 1.571.102 Rp 5.548.370 Rp 7.655.102 Rp 7.817.157
Rp 2.428.898 Rp 14.451.630 Rp 20.344.898 Rp 20.182.843
2,54
3
0.14 Ha 0.7 Ha 1 Ha
1 2
3,60 3,65 3,58
Tabel 12. Perhitungan R/C bawang merah No
1 2 3 4
Luas Lahan
Penerimaan
Biaya Total
0.14 Ha 0.14 Ha 0.14 Ha 0.14 Ha
Rp 15.000.000 Rp 15.000.000 Rp 15.000.000 Rp 15.000.000
Rp 6.222.880 Rp 6.348.630 Rp 5.902.296 Rp 6.004.380
Pendapatan
RC
Rp 8.777.120 Rp 8.651.370 Rp 9.097.704 Rp 8.995.620
2,41 2,36 2,54 2,50
Usahatani jagung manis untuk lahan 0.14 Ha pada petani jagung manis 1 memiliki R/C sebesar 2,54 yang berarti mengalami keuntungan. Untuk petani jagung manis 2 yang memiliki lahan 0.7 Ha mendapatkan R/C sebesar 3,60 yang artinya mengalami keuntungan. Pada petani jagung manis 3 yang memiliki lahan 1 Ha mendapatkan R/C sebesar 3,65 yang artinya mengalami keuntungan. Pada petani jagung manis 4 yang memiliki lahan 1 Ha mendapatkan R/C sebesar 3,58 yang artinya juga mengalami keuntungan.Sedangkan untuk usahatani bawang merah memiliki nilai R/C rata-rata 2,45 menunjukan bahwa usahatani bawang merah mengalami keuntungan. Dari kedua usahatani ini nilai R/C yang dimiliki masing-masing besar dari 1 yang artinya kedua usahatani ini akan menghasilkan keuntungan dan 115
layak untuk dijalankan, namun jika dibandingkan besar nilai R/C dari kedua usahatani ini maka usahatani jagung manis akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani bawang merah meskipun pada hasil pendapatan memang lebih tinggi untuk bawang merah dibandingkan dengan jagung manis. Jagung manis dirasa lebih menguntungkan karena biaya produksi yang dikeluarkan tidak terlalu besar sedangkan untuk bawang merah membutuhkan biaya produksi yang lebih besar. Dan dalam masalah teknik budidaya jagung manis dirasa para petani di Desa Arjasari lebih mudah dilakukan daripada bawang merah. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Dari hasil R/C jagung manis lebih menguntungkan daripada bawang merah karena jagung manis tidak membutuhkan biaya produksi yang banyak dalam usahataninya. Berbeda dengan bawang merah yang membutuhkan biaya produksi yang lebih besar. Dari kedua usahatani ini nilai R/C yang dimiliki masing-masing besar dari 1 yang artinya kedua usahatani ini akan menghasilkan keuntungan dan layak untuk dijalankan, namun jika dibandingkan besar nilai R/C dari kedua usahatani ini maka usahatani jagung manis akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani bawang merah meskipun pada hasil pendapatan memang lebih tinggi untuk bawang merah dibandingkan dengan jagung manis. Jagung manis dirasa lebih menguntungkan karena biaya produksi yang dikeluarkan tidak terlalu besar sedangkan untuk bawang merah membutuhkan biaya produksi yang lebih besar. Dan dalam masalah teknik budidaya jagung manis dirasa para petani di Desa Arjasari lebih mudah dilakukan daripada bawang merah. 2) Keadaan ekonomi masing-masing petani jagung manis dan bawang merah dilihat dari sisi pendapatannya dan dari hasil wawancara ditempat penelitian, pendapatan para petani berada pada posisi berkecukupan pada kehidupan sehari-hari. SARAN Dari hasil pembahasan dan kesimpulan yang didapat, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut: 1) Petani di Desa Arjasari yang tadinya pindah ke bawang merah, lebih baik beralih kembali pada komoditas jagung manis. Karena jagung manis tidak membutuhkan banyak biaya produksi dan 116
dalam masalah budidaya jagung manis lebih mudah dibudidayakan dibandingkan bawang merah. 2) Perlu diadakannya penyuluhan mengenai budidaya jagung manis kepada parapetani agar petani lebih dapat meningkatkan kembali produksi jagung manisnya.
DAFTAR PUSTAKA Audita, Rosarita. 2012. Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Sistem Organik dan Bawang Daun Sistem Anorganik (Studi Kasus di Kelompok Tani Sutan, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Jatinangor: Universitas Padjadjaran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian). Pembinaan Kelompoktani dalam Pengembangan Kelembagaan Tani (2007). BPTP Jakarta. Diakses dari jakarta.litbang.deptan.go.id Bangun, Febriani. 2010. Analisis Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Terhadap Pemberian Pupuk Organik dan Anorganik. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2010 – 2013. Diakses dari www.BPS.go.id Badan Pusat Statistik. Produksi Bawang Merah Provinsi Jawa Barat, 2009-2012. Diakses dari www.BPS.go.id Badan Pusat Statistik. Produksi Jagung Provinsi Jawa Barat, 2009-2013 Provinsi Jawa Barat. Diakses dari www.BPS.go.id Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat. Produksi jagung di Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat periode, 2009-2013. Diakses dari http://diperta.jabarprov.go.id/ Khaerizal, Hendra. 2008. Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor Produksi Usahatani Komoditi Jagung Hibrida dan Bersari Bebas (lokal) (Kasus Desa Saguling, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Ifu, Amerina. 2013. Studi kelayakan Usahatani Tumpangsari Cabai Rawit Merah (Capsium Frutescens), Kubis (Brassica Var. Capitata L) Dan Selada (Lactuca Satva L) Studi Kasus Di Desa Cihanjung Rahayu Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
Sianipar, Rimna Regina. 2012. Tanggap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung Manis (Zea Mays Saccharata Sturt) Terhadap Pemberian Pupuk Anorganik Daun. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Malang: Universitas Brawijaya Soekartawi, 1995, Analisis Usaha Tani, UI-Press, Jakarta. Togatorop, Rodo Berlianan Br. 2010. Analisis Efisiensi Produksi dan Pendapatan Pada Usahatani jagung Di Kecamatan Wirosari, Kabupaten Bogor. Semarang: Universitas Diponogoro. Warsana. 2007. Analaisis Efisiensi Dan Keuntungan Usaga Tani Jagung (Studi Di Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora). Tesis. Semarang: Universitas Diponogoro. Zuraida, Rismarini. 2010. Usahatani Padi dan Jagung Manis Pada Lahan Tadah Hujan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Di Kalimantan Selatan (Kasus Di Kec. Landasan Ulin Kotamadya Banjarbaru). Diakses dari http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/ima ges/stories/p77.pdf
117
118
Analisis Pengendalian Persediaan Kedelai Sebagai Bahan Baku Tahu Sumedang (Studi Kasus di Industri Kecil Sari Kedele, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat) Analysis of Inventory Control of Soybean As Raw Material of “Tahu Sumedang” (A Case Study in Small Industry “Sari Kedele”, Jatinangor Sub District, Sumedang District, West Java) Amy Fauziah1*, Kuswarini Kusno2 1Program
2
Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung, Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bandung
ABSTRAK
Kata Kunci: Kedelai Tahu Sumedang Keragaan Proses Produksi Model Economic Order Quantity.
Tahu sumedang adalah produk olahan kedelai yang merupakan makanan khas Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Terdapat ratusan produsen tahu sumedang di kabupaten Sumedang ini. Penelitian dilakukan di Industri Kecil Sari Kedele yang terletak di Kecamatan Jatinangor karena permintaan terhadap produknya cukup tinggi sehingga perlu pengendalian persediaan. Ada dua tujuan dalam penelitian ini; yang pertama adalah untuk mengetahui keragaan proses produksi tahu sumedang yang dilakukan oleh Industri Kecil Sari Kedele dan yang kedua adalah untuk mengetahui kuantitas persediaan kedelai yang ekonomis serta biaya persediaannya. Desain penelitian adalah kualitatif dan kuantitatif dengan teknik penelitian studi kasus. Untuk mencapai tujuan yang pertama dilakukan analisis deskriptif, sedangkan untuk mencapai tujuan ke dua digunakan model kuantitatif Economic Order Quantity (EOQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan yang digunakan dalam proses produksi adalah kedelai impor, penggumpal, bawang putih, garam dan minyak goreng. Proses produksi meliputi pencucian dan perendaman, penggilingan, perebusan, penyaringan, pemadatan, pencetakan, pemotongan, perendaman dalam bumbu, serta penggorengan. Selanjutnya, industri kecil hanya perlu melakukan pemesanan kedelai 10 kali dalam satu tahun sebanyak 9.481 kg per sekali pesan. Akibatnya, industri kecil dapat menghemat biaya persediaan 9,6% dalam satu tahun. Dengan demikian, proses produksi menjadi lebih efisien, sehingga industri kecil dapat menjadi lebih kompetitif dalam jangka panjang.
ABSTRACT
Keywords: Soybean “Tahu Sumedang” Performance Production Process Model Economic Order Quantity.
“Tahu sumedang” is a processed soybean product which is a typical food of Sumedang District, West Java. There are hundreds of producers of “tahu sumedang” in Sumedang District. The study was conducted in Small Industry “Sari Kedele” located in Jatinangor Sub District as the demand for its product is high enough so that the inventory control is necessary. There are two objectives in this study. The first one is to determine the performance of the production process of “tahu sumedang” applied by a small industry“Sari Kedele”,and the second one is to determine the economic order quantity of soybean inventory as well as the cost of the inventory. Design of the research was qualitative and quantitative, with a case study research technique. To achieve the first objective, it is used a descriptive analysis, while for the second, a quantitative model : Economic Order Quantity (EOQ). The results showed that the materials used in the production process are imported soybean, coagulant, garlic,salt and cooking oil. The production process includes washing and soaking, grinding, boiling, filtering, compacting, printing, cutting, soaking in seasoning and frying. The small industry just have to order soybean 10 times in one year, a total of 9481 kg per one order. As a result, the small industriy can save the cost of inventory 9.6% in one year.Thus,the production process becomes more efficient so that the small industry can be more competitive in the long run.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail:
[email protected],
[email protected]
119
PENDAHULUAN Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kedelai termasuk dalam kelompok legum pangan dimana sekitar 90% kedelai yang tersedia di Indonesia digunakan sebagai bahan pangan, dan sisanya untuk pakan ternak dan benih (FAO, 2005 dalam Ginting, dkk. 2009). Di Indonesia, produksi kedelai pada tahun 2013 adalah 779,99 ribu ton biji kering. Angka ini menurun 63,16 ribu ton atau 7,49 % dibandingkan pada tahun 2012. Hal ini disebabkan oleh penurunan luas panen seluas 16,83 ribu hektar atau 2,97% dan penurunan produktivitas sebesar 0,69 kwintal/ hektar. Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Menurut Wilayah Uraian 2012 2013 1. Luas Panen (ha) Pulau Jawa 382.039 342.796 Luar Pulau Jawa 185.585 207.997 Indonesia 567.624 550.793 2. Produktivitas (kw/ha) Pulau Jawa 15,80 15,23 Luar Pulau Jawa 12,91 12,41 Indonesia 14,85 14,16 3. Produksi (ton) Pulau Jawa 603.641 521.954 Luar Pulau Jawa 239.512 258.038 Indonesia 843.153 779.992 Keterangan: Bentuk produksi kedelai adalah biji kering Sumber: Badan Pusat Statistik Tahun 2013 Banyak makanan khas Indonesia yang berbahan dasar kedelai, seperti tahu dan tempe. Makanan ini dianggap sebagai sumber protein selain daging. Selain itu makanan yang berasal dari kedelai memilki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan harga daging. Produk olahan kedelai dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu makanan non fermentasi dan terfermentasi. Produk fermentasi hasil industri tradisional yang populer adalah tempe, kecap dan tauco, sedangkan produk non fermentasi hasil industri tradisional adalah tahu dan kembang tahu. Tabel 2. Konsumsi Kedelai dan Produk Turunannya per kapita (Kg/Tahun) Uraian Kacang Kedelai Tahu Tempe
2009
2010
2011
2012
2013
0,052
0,052
0,052
0,052
0,052
7,039 7,039
6,987 6,935
7,404 7,300
6,987 7,091
7,039 7,091
Sumber: Susenas Tahun 2013 120
Berdasarkan Tabel 2, total konsumsi kedelai dan produk turunannya dapat dikatakan stabil dari tahun ke tahun hingga tahun 2013, dengan rata-rata kenaikan yang sangat kecil yakni 0,154%. Dari itu pula dapat diketahui bahwa selama lima tahun tersebut rata-rata total konsumsi pada per kapita adalah sebesar 14,24 kg/tahun. Tahu sumedang adalah salah satu produk olahan kedelai yang menjadi makanan khas Kabupaten Sumedang. Tahu sumedang merupakan tahu yang dijajakan dalam bentuk sudah digoreng, tidak kosong, dan masih berisi sari kedelai yang berwarna putih. Tahu sumedang mempunyai kulit luar yang berintik-bintik yang khas membedakan dari jenis tahu lainnya. (Supriatna, 2005 dalam Yusup, 2012). Industri kecil tahu sumedang Sari Kedele merupakan salah satu tempat yang menjual tahu sumedang sekaligus rumah makan dan pabrik pembuatan tahu sumedang. Permintaan tahu sumedang pada industri kecil ini cukup tinggi. Dalam satu hari industri ini dapat memproduksi tahu hingga 250 ancak atau 42.250 buah tahu sumedang. Setiap harinya industri ini selalu dipadati oleh konsumen dari luar Kabupaten Sumedang maupun masyarakat sekitar. Berikut produksi tahu sumedang pada bulan Maret hingga Mei 2015. Tabel 3. Produksi Tahu Sumedang Industri Kecil Sari Kedele Jumlah Produksi Bulan Tahu Sumedang (Buah) Maret 697.801 April 698.815 Mei 798.271 Sumber: Data Produksi Tahu Sumedang Industri Tahu Sumedang Sari Kedele Tahun 2014 Pada Tabel 3 di atas dapat dilihat besarnya produksi tahu sumedang pada industri kecil ini. Untuk menghasilkan tahu sumedang dengan jumlah yang besar seperti itu tentunya dibutuhkan kuantitas kedelai yang sangat besar dalam satu bulannya.
Tabel 4. Pengelolaan Persediaan Kedelai di Industri Kecil Tahu Sumedang Sari Kedele Uraian Jumlah Pemesanan Kebutuhan Kedelai dalam Satu Hari Frekuensi Pemesanan
Jumlah Aktual 6.000 kg 273 kg 16 kali
Jeda waktu antar tiap 21 hari pemesanan Waktu Tenggang Pemesanan 1-2 hari Sumber: Hasil wawancara dengan Industri Kecil Tahu Sumedang Sari Kedele. Tahun 2015 Dalam sehari industri kecil ini dapat menghabiskan 273 kg kedelai atau bahkan lebih. Kedelai yang dipesan sebanyak 9.000 kg didistribusikan 6.000 kg ke cabang Jatinangor dan 3.000 kg ke cabang Limbangan. Penentuan kuantitas ini didasarkan pada perkiraan kebutuhan dalam sehari, dan juga disebabkan industri hanya memiliki gudang dengan kapasitas kecil. Luas gudang milik Sari Kedele hanya 16 m2 dan hanya mampu menampung kedelai kurang lebih 9.000 kg. Kuantitas tersebut juga tidak memenuhi satu gudang penuh namun hanya ¾ bagiannya saja. Hal ini disebabkan ¼ bagian lainnya digunakan sebagai ruang kosong tempat keluar-masuknya kedelai dan agar ada ruang udara sehingga tidak cepat lembab. Kuantitas sebesar 6.000 kg hanya akan memenuhi kebutuhan produksi selama 22 hari. Pada hari ke-21 industri kecil ini harus melakukan pemesanan kembali sebelum persediaan kedelai di gudang habis. Pemesanan kedelai hanya akan dilakukan jika kedelai di gudang ada 200 kg atau dapat memenuhi kebutuhan produksi untuk esok harinya. Sistem pengadaan kedelai yang diterapkan tersebut membuat gudang tidak pernah kekosongan kedelai dan juga membuat kualitas kedelai tidak menurun. Gudang yang mampu menampung kedelai hingga 9.000 kg cendurung tidak dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya, terjadi biaya tambahan seperti biaya pemesanan yang mana seharusnya hal ini tidak akan terjadi jika kuantitas pemesanan kedelai dapat dioptimalkan. Sebagai salah satu usaha yang mengutamakan produk tahu sumedangnya, industri kecil tahu sumedang Sari Kedele ini belum menerapkan model pengendalian persediaan tertentu untuk menjaga keberlangsungan produksi tahunya. Sebagai industri tahu yang setiap harinya berproduksi, seharusnya Sari Kedele selalu menjaga ketersediaan kedelai sebagai bahan bakunya. Melihat situasi tersebut, dibutuhkan manajemen pengendalian persediaan kedelai sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tahu sumedang. Hal ini dilakukan agar kedelai dapat selalu tersedia tanpa perlu ada penambahan biaya persediaan akibat melakukan pemesanan kembali dengan jadwal yang tidak teratur. Selain itu, industri kecil tahu sumedang yang sangat banyak di Kabupaten Sumedang, yakni 282 buah (Deperindag, 2014) memungkinkan terjadinya persaingan bisnis yang ketat. Karena itu, penting mengantisipasi situasi ini dengan
merencanakan manajemen persediaan kedelai secara terstruktur agar Industri Kecil Sari Kedele dapat memenangkan kompetisi dalam jangka panjang. Berdasarkan berbagai uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengendalian Persedian Kedelai Sebagai Bahan Baku Tahu Sumedang (Studi Kasus pada Industri Kecil Sari Kedele di Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)”. KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP Kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang dikenal sekarang kedelai (Glycine max (L.) Merrill). Kedelai dibudidayakan di Indonesia mulai abad ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Penyebaran tanaman kedelai ke Indonesia berasal dari daerah Manshukuo menyebar ke daerah Mansyuria : Jepang (Asia Timur) dan negara-negara lain di Amerika dan Afrika. (AAK,1989 dalam Wiwin Nilasari, 2012). Di salah satu negara bagian Amerika Serikat, terdapat areal pertumbuhan kedelai yang sangat luas sehingga menghasilkan 57% produksi kedelai dunia. Di Indonesia, saat ini kedelai banyak ditanam di dataran rendah yang tidak banyak mengandung air, seperti di pesisir Utara Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Utara (Gorontalo), Lampung, Sumatera Selatan dan Bali. Kedelai (Glycine max (L) merrill) merupakan salah satu tanaman budidaya dengan kandungan nutrisi yang tinggi, diantaranya mengandung protein 30-50% (Richard et al., 1984 dalam Nilasari, 2012). Kandungan protein yang tinggi memberi indikasi bahwa tanaman kedelai memerlukan hara nitrogen yang tinggi pula. Di Indonesia sampai saat ini produksi kedelai belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri. Tahu Sumedang Tahu Sumedang merupakan makanan khas Kabupaten Sumedang. Tahu sumedang pertama kali dikenalkan di Sumedang oleh imigran dari Cina yang bernama Ong Kin No pada tahun 1900-an. Ong Kin No membuat tahu di kota Sumedang untuk mengenang kebiasaan di kampung halamannya. Keharuman tahu yang dibuatnya ternyata menarik perhatian seorang pangeran Sumedang untuk datang ke rumahnya di kawasan pusat kota Sumedang. Kadang-kadang orang mengatakan bahwa tahu sumedang adalah tahu pong atau tahu kosong tanpa isi. Penilaian tentang tahu sumedang tersebut tercemari oleh tahu sumedang yang banyak dibuat oleh pabrik tahu yang tidak menjamin kualitasnya. Tahu sumedang berkualitas rendah tersebut banyak 121
dijajakan oleh pedagang di dalam bis umum yang melintasi kota Sumedang. Tahu sumedang yang benar adalah tahu yang dijajakan dalam bentuk sudah digoreng, tidak pong atau tidak kosong, dan masih berisi sari kedelai yang masih putih. Sari kedelai tersebut memberikan rasa khas perpaduan rasa kulit tahu yang sudah kering digoreng dengan bagian dalam yang tidak kering. Tahu sumedang mempunyai kulit luar yang berintikbintik atau curintik (bahasa Sunda) yang khas membedakannya dari jenis tahu lainnya. (Dadang Supriatna, 2005). Persediaan Persediaan merupakan salah satu unsur paling aktif dalam operasi perusahaan yang secara continue diperoleh, diubah, yang kemudian dijual kembali. Sebagian besar sumber-sumber perusahaan juga sering dikaitkan dengan persediaan yang akan digunakan dalam perusahaan pabrikasi. Nilai dari persediaan harus dicatat, digolong-golongkan menurut jenisnya yang kemudian dibuatkan perincian dari masing- masing barangnya dalam suatu periode yang bersangkutan, pada akhir sutu periode. Pengalokasian biaya-biaya dapat dibebankan pada aktivitas yang terjadi dalam periode tersebut dan untuk aktivitas mendatang juga harus ditentukan atau dibuat. (Assauri, 1993) Menurut Handoko (1984) dalam pembuatan setiap keputusan yang akan mempengaruhi besarnya (jumlah) persediaan, biaya-biaya variabel yang harus dipertimbangkan sebagai berikut : 1. Biaya penyimpanan (holding cost) terdiri atas biaya-biaya yang bervariasi secara langsung dengan kuantitas pesediaan. Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak, atau ratarata persediaan semakin tinggi. 2. Biaya pemesanan (order cost) yaitu biaya yang timbul di saat aktivitas pemesanan. Manajemen Persediaan Manajemen persediaan merupakan hal yang mendasar dalam penetapan keunggulan kompetatif jangka panjang. Mutu, rekayasa, produk, harga, lembur, kapasitas berlebih, kemampuan merespon pelanggan akibat kinerja kurang baik, waktu tenggang (lead time) dan profitabilitas keseluruhan adalah hal-hal yang dipengaruhi oleh tingkat persediaan. Perusahaan dengan tingkat persediaan yang lebih tinggi daripada pesaing cenderung berada dalam posisi kompetitif yang lemah. Kebijaksanaan manajemen persediaan telah menjadi sebuah senjata untuk memenangkan kompetitif.
122
Pengendalian Persediaan Menurut Assauri (1993) pengendalian persediaan merupakan suatu kegiatan untuk menentukan tingkat dan komposisi persediaan komponen rakitan, bahan baku dan barang hasil (produk) sehingga perusahaan dapat melindungi kelancaran produksi dan penjualan serta kebutuhankebutuhan pembelanjaan perusahaan dengan efektif dan efisien. Model Economic Order Quantity Handoko (1984) mengungkapkan bahwa, metode manajemen persedian yang paling terkenal adalah model-model Economic Order Quantity (EOQ). Metode-metode ini dapat digunakan baik untuk barang-barang yang dibeli maupun yang diproduksi sendiri. Model EOQ sendiri adalah nama yang biasa digunakan untuk barang-barang yang dibeli. Model ini digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan persediaan yang meminimumkan biaya langsung penyimpanan persediaan dan biaya kebalikan (inverse cost) pemesanan persediaan. Model EOQ di atas dapat diterapkan bila anggapananggapan berikut ini dipenuhi: Permintaan akan produk adalah konstan, seragam dan diketahui (deterministik). 1. Harga per unit produk adalah konstan. 2. Biaya penyimpanan per unit per tahun (H) adalah konstan. 3. Biaya pemesanan per pesanan (S) adalah konstan. 4. Waktu antara pesanan dilakukan dan barangbarang diterima (lead time) adalah konstan. 5. Tidak terjadi kekurangan barang atau (back orders). Alur Pemikiran Permintaan tahu sumedang di Industri Kecil Sari Kedele cukup tinggi. Keadaan ini dapat dilihat dari kuantitas kedelai yang dihabiskan dalam sehari seperti tampak pada Tabel 4. Untuk memenuhi permintaan tersebut maka persediaan kedelai di dalam gudang tidak boleh kosong. Karena itu dibutuhkan pengelolaan persediaan yang baik untuk menghindari kehabisan persediaan. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan model persediaan. Tujuan dari penggunaan model persediaan ini adalah untuk mendapatkan kuantitas pemesanan kedelai yang optimal, yang berarti bahwa biaya haruslah minimum. METODE PENELITIAN Objek penelitian ini adalah keragaan proses produksi tahu sumedang dan pengendalian persedian kedelai dalam aktivitas bisnis tahu sumedang pada Industri Kecil Sari Kedele. Penelitian dilakukan di
industri kecil tahu sumedang tersebut, yang bertempat di Jalan Raya Ir. Soekarno No. 21, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi dua jenis data, yaitu: 1. Data primer diperoleh dari informan yang ditentukan secara sengaja (purposive). Cara memperoleh data dan informasi primer dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan panduan wawancara, dan observasi lapangan. Informan dalam penelitian ini adalah pemilik, manajer operasional dan tenaga kerja di industri kecil tahu sumedang Sari Kedele. 2. Data sekunder, diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pemerintahan terkait, studi kepustakaan, dan penelusuran pustaka atau laporan dari instansi terkait yang relevan. Berikut merupakan rancangan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Untuk mengetahui bagaimana keragaan produksi tahu sumedang, dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan alat analisis berupa tabeltabel. 2. Untuk mengetahui kuantitas pemesanan kedelai yang ekonomis (optimal dimana biaya persediaannya minimum), dianalis dengan menggunakan model EOQ yaitu:
𝐸𝑂𝑄 = √2
𝐷𝑂 𝐻𝐶
dimana D :Jumlah kedelai yang dibutuhkan selama satu periode tertentu (kg) O : Biaya pemesanan per sekali pesan H : Harga pembelian per unit per tahun C : Biaya penyimpanan dan pemeliharaan gudang per unit per tahun dinyatakan dalam persen Sementara itu, biaya yang dikeluarkan untuk pemesanan yang ekonomis adalah:
𝑇𝐶 = (
𝐷 𝑄𝑒 ) × 𝑂 + ( + 𝑆𝑠) × (𝐶𝐻 ) 𝑄𝑒 2
dimana: TC : Total biaya pemesanan yang ekonomis D : Jumlah kebutuhan setahun Qe : Jumlah pesanan yang ekonomis Ss : Persediaan pengaman yang seharusnya H : Haga bahan per kilogram O : Biaya pemesanan C : Biaya penyimpanan per tahun
Rasio Sensitivitas adalah tingkat perbandingan antara total biaya persediaan yang dikeluarkan pada tingkat persediaan yang tidak optimal dibandingkan dengan total biaya persediaan pada tingkat persediaan optimal.
(𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑆𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 (
=
𝑇𝐶 ) 𝑇𝐶 ∗
𝐷 𝑄 (𝑄 ) × 𝑂 + ( 2 + 𝑆𝑠) × 𝐶𝐻 𝐷 𝑄∗ (𝑄 ∗ ) × 𝑂 + ( 2 + 𝑆𝑠) × 𝐶𝐻
)
Sedangkan biaya marjinal adalah biaya tambahan yang harus ditanggung oleh industri kecil karena jumlah persediaan yang ada tidak optimal. Berikut ini adalah rumusnya : 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑀𝑎𝑟𝑗𝑖𝑛𝑎𝑙 = (𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑠𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 − 1) × 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Industri Kecil Tahu Sumedang Sari Kedele Industri kecil tahu sumedang Sari Kedele merupakan salah satu industri kecil tahu sumedang yang mengembangakan usahanya menjadi rumah makan. Industri kecil ini sendiri memiliki beberapa cabang yang tersebar hingga Pulau Kalimantan dan Sumatera, sedangkan di daerah Jawa Barat sendiri, hanya memiliki satu cabang yaitu di Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut. Industri kecil ini sudah berjalan sejak tahun 1994 dimana pemiliknya masih menjajakan tahunya di wilayah pemukiman warga yang jauh dari jalan raya. Pada tahun 2000, dibangun gerai sederhana yang letaknya tepat di pinggir jalan propinsi. Posisi gerai yang dekat dengan jalan raya membuat tahu sumedang yang diproduksi semakin diminati konsumen. Jalan raya tersebut merupakan jalur alternatif yang ramai dilewati konsumen dari luar Kabupaten Sumedang, sehingga mudah bagi konsumen untuk mencari oleh-oleh khas Sumedang. Pada tahun 2014, Sari Kedele ini memperluas usahanya menjadi Rumah Makan Tahu Sumedang Sari Kedele. Hal ini disebabkan banyak konsumen yang ingin makan tahu sumedang panas dan renyah di tempat dengan nyaman; tidak hanya dibawa sebagai oleh-oleh saja. Seperti umumnya industri kecil yang lain, Sari Kedele ini belum memiliki struktur organisasi 123
yang paten, namun alur koordinasinya sudah terbentuk dengan cukup baik. Biasanya, si pemilik tidak mengarahkan langsung para karyawannya di lapangan, tetapi ada seorang manajer operasional yang mengarahkan dan mengawasi kerja karyawan baik di rumah makan maupun di pabrik. Berikut ini adalah alur koordinasi yang terjadi :
Gambar 1. Alur Koordinasi Industri Kecil Tahu Sumedang Sari Kedele Di pabrik, manajer operasional tidak selalu mengawasi karyawan, tetapi lebih banyak mengawasi di bagian gerai dan rumah makan. Hal ini dilakukan karena terdapat Tim Inti yang sudah dianggap mampu untuk membuat tahu sesuai dengan arahan dari pemilik. Tenaga kerja di pabrik adalah laki-laki semua yang berasal dari daerah sekitar. Tenaga kerja itu sendiri terdiri dari dua kelompok yang masing-masing terdiri dari lima hingga enam orang. Setiap kelompok terdiri dari 2 orang tenaga inti pembuat tahu dan 3 hingga 4 orang tenaga kenek. Jumlah tenaga kerja pabrik tahu adalah 13 orang, dimana semuanya merupakan tenaga kerja borongan. Para tenaga kerja mulai membuat tahu pada pukul 03.00 pagi hingga pukul 16.00, tetapi waktu pulang para tenaga kerja tersebut tidak dapat ditentukan dengan pasti, karena permintaan konsumen yang tidak pernah tetap. Keragaan Proses Produksi Tahu Sumedang Sebagai produk makanan yang mengutamakan rasa, tahu sumedang memerlukan komposisi bahan yang baik. Selain kedelai sebagai 124
bahan baku utamanya, digunakan pula bahan pendukung yang menunjang cita rasa dari tahu itu sendiri, yakni bawang putih dan garam. Berikut penjelasan mengenai komposisi bahan dalam proses produksi tahu sumedang. 1. Kedelai Kedelai yang digunakan adalah kedelai impor. Penggunaan kedelai impor ini disebabkan kedelai impor selalu tersedia dan waktu pembekuannya lebih singkat jika dibandingkan dengan kedelai lokal. Dalam satu hari, industri kecil ini melakukan 21 kali penggilingan kedelai dengan kuantitas 13 kg untuk setiap kali penggilingan, sehingga total kuantitas kedelai yang digunakan adalah 273 kg. 2. Penggumpal Penggumpal merupakan komponen penting dalam pembekuan tahu. Penggumpal berfungsi untuk mengendapkan bagian protein tahu dari sari kedelai. Penggumpal ini berasal dari air biang yang dibuat dengan menambahkan cuka agar menjadi asam. Penambahan cuka ini dimaksudkan agar tahu dapat cepat membeku, namun saat ini air biang yang digunakan berasal dari air rebusan kedelai. Air rebusan tahu yang tersisa kemudian dipisahkan pada sebuah drum plastik besar yang nantinya akan diberi air biang yang telah diendapkan selama beberapa hari. Setelah itu, air rebusan tersebut diendapkan selama beberapa hari yang nantinya akan menjadi air biang penggumpal. Untuk satu kali proses produksi, penggumpal yang digunakan adalah 24 liter. 3. Bahan Pendukung Bawang putih dan garam adalah bahan pendukung yang berperan untuk menciptakan rasa gurih tahu sumedang. Bawang putih yang digunakan sebanyak 0,07 kg, sedangkan garamnya 7,1 kg untuk proses produksi selama satu hari. Sebelum dijadikan larutan bumbu untuk merendam tahu, bawang putih terlebih dahulu dihaluskan; setelah itu dimasukan ke dalam bak air bersama dengan garam. 4. Minyak Goreng Minyak goreng digunakan untuk menggoreng tahu. Tahu yang telah matang dengan warna kecoklatan dinamai tahu sumedang. Minyak goreng yang digunakan adalah jenis minyak goreng curah dengan kualitas yang paling baik, karena kualitas minyak berpengaruh pada kerenyahan dan tekstur garing dari tahu sumedang. Dalam satu hari, proses produksi dapat menghabiskan minyak goreng hingga 85 kg . Berikut ini disajikan rincian penggunaan bahan baku dan bahan pendukung dalam proses produksi tahu sumedang untuk satu hari. Tabel 5. Bahan yang Digunakan dalam Proses
Produksi Tahu Sumedang
Bahan Baku Bahan Pendukung
Jenis Bahan Kedelai Impor Penggumpal Bawang Putih Garam Minyak Goreng
Jumlah 273 kg 24 liter 0,07 kg 7,1 kg 85 kg
Untuk mengolah bahan-bahan menjadi tahu sumedang dibutuhkan alat-alat. Setiap tahapan dalam proses produksi tahu sumedang memerlukan alat yang berbeda dan bermacam-macam. Sebagian besar alat yang digunakan masih termasuk alat konvensional. Berikut penjelasan alat-alat yang digunakan dalam proses produksi tahu sumedang: 1. Timbangan Timbangan digunakan untuk menakar jumlah kedelai yang akan digiling. Satu kali proses penggilingan dibutuhkan 13 kg kedelai. Penimbangan dilakukan sebelum kedelai dibersihkan. 2. Wadah dan Ember Plastik Pada proses ini wadah plastik besar digunakan sebagai tempat perendaman kedelai. Sedangkan ember plastik digunakan sebagai tempat menyimpan bubur kedelai yang keluar dari mesin giling. 3. Mesin Giling Mesin giling bertenaga diesel digunakan dalam proses penggilingan kedelai yang telah direndam untuk dijadikan bubur kedelai. Terdapat dua buah mesin giling milik sendiri di pabrik. 4. Kuali Kuali perebus terbuat dari bahan alumunium dengan diameter kurang lebih 90 cm dengan kedalaman 40 cm. Kuali ini digunakan untuk merebus bubur kedelai hingga matang. Terdapat dua buah kuali perebus yang letaknya bersebelahan. Kuali untuk menggoreng sedikit berbeda dengan kuali untuk merebus dalam ukurannya, tetapi terbuat dari alumunium juga. Kuali ini berukuran lebih kecil dari kuali untuk merebus. Kapasitas kuali penggoreng ini adalah 2 ancak atau 338 potong tahu. Terdapat dua kuali penggorengan di industri kecil ini. 5. Tungku Tungku perebus terbuat dari bahan konstruksi seperti batu bata, pasir dan semen. Tungku dibuat menyatu dengan kuali agar saat proses pengadukan, kuali tidak ikut bergerak. Terdapat empat tungku namun yang digunakan hanya dua saja. Tungku penggorengan terbuat dari bahan konstruksi yang sama namun dilapisi dengan lembaran seng. Penggunaan lembaran seng di sekeliling tungku
bertujuan agar minyak dapat dengan mudah dibesihkan. 6. Pengaduk Pengaduk yang digunakan dalam proses perebusan terbuat dari bahan alumunium dengan diameter yang cukup lebar. Hal ini bertujuan agar mudah dalam mengaduk bubur kedelai dan mudah pula untuk memindahkan susu kedelai ke dalam tahang. 7. Tahang Tahang merupakan wadah penyaringan antara susu dan ampas kedelai. Alat ini terbuat dari kayu yang tidak mudah lapuk. Jumlah tahang yang digunakan adalah dua buah. 8. Kain Saring Kain saring digunakan untuk memisahkan susu dari ampas kedelai. Kain saring ini selain digunakan pada saat pemisahan antara susu dan ampas kedelai, juga saat pencetakan kedelai. Penggunaan kain sarung ketika proses pencetakan bertujuan agar tahu yang sudah dicetak dapat dengan mudah dipindahkan ke dalam ancak dan tahu tidak menempel di cetakan. 9. Drum Plastik Drum plastik digunakan untuk menampung sisa air yang ada pada susu kedelai. Sisa air akan dijadikan penggumpal untuk keesokan harinya dengan menambahkan biang asam. Terdapat banyak drum plastik di pabrik tahu yang berisi bahan penggumpal. 10. Cetakan Cetakan terbuat dari kayu pada bagian pinggirnya dan anyaman bambu pada bagian alasnya. Cetakan ini berukuran 54x54 cm. Pola anyaman bambu di bagian bawah akan secara otomatis membentuk pola segi empat yang nantinya dijadikan acuan dalam proses pemotongan. Alat ini terdiri dari bingkai, alas dan penutup. 11. Ancak Ancak merupakan tempat untuk meletakan tahu mentah yang telah dicetak untuk dipotong nantinya. Alat ini terbuat dari bambu untuk bagian alasnya dan kayu untuk bagian pinggirannya. Ancak berfungsi untuk meniriskan air yang masih tersisa pada tahu baik sebelum maupun setelah dimasukan ke dalam larutan bumbu. Selain itu ada pula ancak yang bagian dasarnya berlapis seng. Ancak ini digunakan di gerai sebagai tempat penyajian tahu. 12. Penggaris Bambu dan Pisau Kedua alat ini digunakan dalam proses pemotongan tahu. Penggaris yang terbuat dari bambu tidak memiliki angka seperti pada penggaris pada umunya. Penggaris ini hanya digunakan sebagai alat 125
yang akan menjaga potongan tahu agar tetap lurus. 13. Saringan Alumunium Saringan alumunium ini berbentuk jaringjaring. Jaring-jaring tersebut berfungsi untuk meniriskan minyak sisa penggorengan sebelum tahu dipasarkan. 14. Keranjang Bambu atau Bongsang Bongsang merupakan kemasan tahu sumedang yang terbuat dari anyaman bambu yang kecil dan tipis. Kapasitas bongsang bermacam-macam yaitu 25-100 buah tahu sumedang tergantung dari ukuran bongsang itu sendiri. Sebelum tahu dimasukkan ke dalam bongsang, biasanya bongsang dilapisi dengan daun pisang agar serbuk kulit tahu tidak berserakan. Tempat Proses Produksi Tahu Sumedang Proses produksi tahu sumedang dilakukan di sebuah pabrik yang letaknya tidak jauh dari gerai dan rumah makan. Pabrik dan tempat penggorengan tidak berada dalam satu tempat yang sama. Tempat penggorengan tahu berada di bangunan yang terpisah dimana letaknya lebih dekat dengan gerai dan rumah makan. Pabrik tahu berupa sebuah bangunan berbentuk kubus persegi panjang dengan sebuah gudang penyimpanan persediaan kedelai di dalamnya. Pabrik dibangun sedemikian rupa agar rapi dan dapat memuat alat-alat produksi yang berukuran besar. Pada sekeliling pabrik terdapat tempat penyimpanan ampas tahu dan serbuk gergaji. Tahu Sumedang Sari Kedele memiliki ciri khas yaitu renyah kulit tahunya dan gurih rasanya. Hal ini disebabkan pemilihan kedelai yang baik dan kualitas dari air yang digunakan pada saat proses produksi juga baik. Untuk menjadi tahu sumedang yang enak dan gurih kedelai harus melalui beberapa tahapan proses produksi seperti perendaman, penggilingan, perebusan, hingga teknik penyajian yang baik. Alur proses produksi tahu sumedang sendiri dapat di lihat pada Gambar 2.. Berikut penjelasan dari tahapan-tahapan proses produksi tahu sumedang: 1. Tahap Pencucian dan Perendaman Kedelai yang akan diproses harus ditimbang terlebih dahulu untuk menyesuaikan komposisi resep pembuatan tahu. Kedelai ditimbang 13 kg untuk satu kali proses penggilingan yang dipisahkan menggunakan wadah plastik besar. Sebelum masuk ke proses penggilingan, kedelai harus terlebih dahulu dicuci hingga bersih di air mengalir. Setelah itu kedelai direndam di air bersih selama 2 jam hingga teksturnya melunak dan mengembang. 2. Tahap Penggilingan 126
Setelah direndam dan tekstur dari kedelai sudah berubah menjadi lunak, maka kedelai siap untuk digiling. Proses penggilingan menggunakan mesin giling yang dinyalakan dengan mesin diesel. Di atas mesin penggilingan terdapat pipa air bersih untuk mengalirkan air selama proses penggilingan. Maksud dari pemberian air selama proses penggilingan adalah agar kedelai dapat digiling hingga halus. Kedelai dimasukan ke dalam mesin penggilingan sedikit demi sedikit agar kedelai tidak menggunduk selama proses penggilingan berlangsung dan memudahkan air masuk sehingga kedelai lebih cepat halus dan menjadi bubur kedelai. 3. Tahap Perebusan Pada tahap ini bubur kedelai direbus di dalam sebuah tungku yang besar dengan api yang terbentuk dari serbuk gergaji. Bubur kedelai direbus selama 40 menit sambil terus diaduk hingga mendidih. Proses pengadukan selama bubur kedelai direbus dilakukan agar output susu kedelai nantinya tidak banyak berbusa dan gosong. 4. Tahap Penyaringan Setelah rebusan bubur kedelai mendidih, adonan dapat dipindahkan ke dalam tahang kayu yang besar dimana pada bagian permukaan tahang sudah dilapisi kain saring. Hal tersebut dilakukan untuk memisahkan ampas dari susu kedelai. Ampas tahu dipisahkan dan ditempatkan ke wadah lain dan dilakukan pemadatan ampas tahu. Setelah padat, ampas dimasukkan ke dalam karung lalu disimpan untuk dijual ke peternak sapi. 5. Tahap Pemadatan Susu kedelai kemudian dicampur air biang untuk membekukan tahu. Susu kedelai diendapkan beberapa menit yang kemudian sisa air yang ada pada susu kedelai dipisahkan untuk dijadikan biang tahu yang didiamkan selama beberapa hari. 6. Tahap Pencetakan Susu kedelai yang sudah membeku dapat disebut tahu dan siap untuk dicetak. Cetakan tahu berbentuk persegi empat yang terbuat dari bahan kayu dan anyaman bambu. Di bagian dalam cetakan dilapisi dengan kain saring. Tahu dimasukkan ke dalam cetakan hingga penuh setelah itu tahu didiamkan sekitar 15 menit hingga sisa air dalam tahu turun. Setelah sisa air pada tahu sudah tidak menetes maka tahu dapat dipindahkan pada ancak bambu dan didiamkan hingga dingin. 7. Tahap Pemotongan dan Perendaman dalam Bumbu Pemotongan tahu dilakukan setelah tahu menjadi dingin dan padat, dengan menggunakan pisau dan penggaris bambu. Satu ancak tahu dapat
menghasilkan 169 buah tahu. Setelah tahu dipotong tahu direndam di dalam larutan air, garam, dan bawang putih selama kurang lebih dua menit lalu di angkat dan ditiriskan. 8. Tahap Penggorengan Tahu yang sudah tiris dapat digoreng dalam minyak panas sembari diaduk agar tahu tidak menempel satu sama lain. Penggorengan dilakukan sampai warna tahu berubah menjadi kecokelatan lalu tahu siap diangkat dan ditiriskan.
Tahap Pencucia n dan Perenda man Tahap Penyarin gan Tahap Pemoton gan dan Perenda man dalam Bumbu
Tahap Penggilin gan
Tahap Perebusa n
Tahap Pemadata n
Tahap Pencetak an
Tahap Penggore ngan
Gambar 2. Alur Proses Produksi Tahu Sumedang
Pengadaan Persediaan Kedelai Pemesanan kedelai dilakukan saat persediaan kedelai di dalam gudang sudah hampir habis atau hingga menyisakan sejumlah kebutuhan untuk esok harinya yaitu sekitar 200 kg. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas kedelai agar tidak menumpuk di gudang terlebih lagi luas gudang hanya dapat memuat sekitar 9.000 kg kedelai. Setiap bulannya kedelai dipesan melalui telepon ke distributor sehingga dalam satu tahun Industri melakukan 16 kali pemesanan. Kuantitas kedelai dalam satu kali pemesanan adalah sebesar 6.000 kg, penentuan kuantitas ini didasarkan pada perkiraan kebutuhan kedelai untuk satu bulan. Jeda waktu antara pemesanan dan barang datang adalah satu hari sehingga rata-rata jeda waktu atau lead time adalah 1 hari. Jeda waktu ini terbilang singkat karena distributor berada di kota dan distributor tersebut merupakan saudara dari pemilik industri kecil. Kedelai yang digunakan merupakan kedelai impor dari Amerika Serikat. Seperti telah disebutkan bahwa kedelai diperoleh dari distributor yang berada di Kota Sumedang dimana hubungan antara distributor dan pemilik adalah saudara. Hal ini membuat kedua pihak lebih mudah dalam melakukan pemesanan dan transaksi kedelai. Berikut alur
pengadaan kedelai dari negara pengimpor hingga ke gudang industri kecil Sari Kedele :
Amerika Serikat
Importir di Banten
Distribu tor di Sumeda ng
Sari Kedele
Gambar 3. Alur Pengadaan Kedelai Penyimpanan kedelai yang diterapkan di industri kecil ini masih sangat sederhana, Tidak ada sistem keamanan gudang maupun adminstrasi keluar-masuknya kedelai dari gudang. Sistem pemakaian kedelai yang diterapkan adalah metode First In First Out yaitu kedelai yang pertama masuk ke gudang akan menjadi yang pertama kali digunakan. Kedelai dikemas di dalam karung plastik putih dengan berat setiap karungnya 50 kg. Kedelai yang sudah tiba akan segera diangkut dan disimpan di dalam gudang. Karung-karung kedelai ditumpuk sampai memenuhi tiga per empat bagian gudang. Gudang berada di dalam pabrik tahu dengan luas 2×8 meter persegi. Gudang hanya memiliki satu saluran udara dari pintu masuk dan sebuah lampu sebagai penerang. Biaya-Biaya Persediaan 1. Biaya Pemesanan Pemesanan kedelai dilakukan melalui telepon dengan distributor dan dilakukan 16 kali dalam satu tahun. Setelah itu distributor akan menyiapkan sejumlah kedelai yang dipesan dan segera diantar sesuai dengan permintaan. Biaya yang dikeluarkan untuk pemesanan kedelai ini hanya terdiri dari biaya komunikasi sebesar Rp 3.750. 2. Biaya Penyimpanan Penyimpanan kedelai dalam gudang bertujuan untuk menjaga kualitas kedelai agar tidak cepat rusak. Biaya yang ditimbulkan akibat penyimpanan kedelai ini hanya biaya penyusutan gudang selama 20 tahun dan biaya listrik saja. Tabel 6. Biaya Penyimpanan Kedelai Jenis Biaya Jumlah (%) Penyimpanan Biaya Penyusutan 0,05% Gudang Biaya Listrik 0,05% Total 0,1% Biaya penyimpanan kedelai dalam hal ini dinyatakan dalam bentuk persentase dari nilai persediaan, sehingga diperoleh biaya penyimpanan 127
kedelai sebesar Rp 8,2/kg/tahun. Perhitungan Persediaan Kedelai dengan Model Economic Order Quantity (EOQ) Perhitungan persediaan kedelai dengan menggunakan model EOQ ditujukan untuk memperoleh kuantitas pesanan kedelai yang meminimalkan total biaya persediaan dan biayabiaya pemesanannya. Untuk mengetahui hal tersebut maka dilakukan perbandingan antara perhitungan persediaan aktual dengan perhitungan persediaan dengan model EOQ. Tabel 7. Perbandingan Persediaan Kedelai Aktual dengan Berdasarkan Model EOQ pada Tahun 2014 Uraian Aktual EOQ Jumlah 6.000 kg 9.481 kg Pemesanan (Q) Frekuensi 16 kali 10 kali Pemesanan (F) Jeda waktu antar tiap 22 hari 37 hari pemesanan (T) Biaya Total Persediaan Rp 86.025 Rp 77.744 (TC) Selisih Biaya Total Rp 8.281 Persediaan Pada Tabel 7 dapat dilihat perbedaan hasil perhitungan antara pengelolaan persediaan aktual dengan pengelolaan persediaan berdasarkan model EOQ. Hasil perhitungan dengan model EOQ diperoleh bahwa industri kecil melakukan pemesanan kedelai 9.481 kg per sekali pesan, dengan frekuensi 10 kali pemesanan dalam satu tahun. Sedangkan pada perhitungan aktual, industri kecil melakukan pemesanan 16 kali dalam satu tahun dengan kuantitas 6.000 kg setiap kali pemesanan. Selanjutnya, hasil perhitungan dengan model EOQ menunjukkan bahwa frekuensi pemesanan dalam satu tahun lebih kecil dibandingkan frekuensi pemesanan aktual, namun kuantitas yang dipesan lebih besar 58% dari kuantitas aktualnya. Frekuensi pemesanan yang lebih kecil ini akan mengurangi beban biaya pemesanan 62,5% dari biaya pemesanan aktual. Dengan demikian, kuantitas sebesar 9.481 kg akan mengoptimalkan kapasitas gudang yang pada kondisi aktual hanya dimanfaatkan untuk 6.000 kg kedelai saja; padahal sesungguhnya gudang tersebut dapat menampung lebih dari 6.000 kg. Selain itu, seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, 128
bahwa kebutuhan kedelai dalam satu bulan untuk memproduksi tahu sumedang mencapai angka 8.190 kg sedangkan industri kecil memesan kedelai hanya 6.000 kg untuk satu bulan. Sementara itu, menurut model EOQ industri kecil seharusnya memesan 9.481 kg kedelai untuk satu kali pemesanan. Artinya, model EOQ ini dapat memenuhi kebutuhan kedelai selama satu bulan dalam satu kali pemesanan. Total biaya persediaan berdasarkan model EOQ adalah Rp 77.744 sedangkan total biaya persediaan aktualnya adalah Rp 86.025. Terdapat selisih antara keduanya yaitu Rp 8.281. Artinya, jika industri kecil memesan 9.481 kg kedelai, total biaya persediaannya akan lebih hemat 9,6% dibandingkan dengan total biaya persediaan aktualnya.
Gambar 4. Grafik Persediaan dalam Model EOQ Berdasarkan Gambar 4, jarak waktu antar pesanan (T) adalah 37 hari dengan waktu tenggang atau lead time 1 hari. Titik pemesanan kembali atau Re-Order Point adalah pada 1 hari sebelum masa pemesanan kedelai yang pertama selesai. Dengan demikian, pemesanan kembali menurut model EOQ dilakukan pada hari ke 36, 73 dan seterusnya. Pada saat persediaan kedelai mencapai nol pesanan baru dapat diterima sehingga tingkat persediaan kedelai kembali naik ke titik Q sebesar 9.481 kg. Perlu diketahui bahwa model EOQ ini tidak mempertimbangkan adanya keterlambatan datangnya kedelai ke gudang sehingga kedelai selalu datang tepat waktu sebelum atau saat persediaan di gudang habis. Kedelai sebagai bahan segar memiliki masa kadaluarsa yang perlu menjadi bahan pertimbangan. Untuk menjaga kualitas tahu maka kedelai sebaiknya tidak disimpan terlalu lama di dalam gudang yang akan menyebabkan kedelai cepat berbau apek. Oleh karena itu, perhitungan dengan model persediaan perlu mempertimbangkan waktu kadaluarsa kedelai yang diharapkan mampu memberikan tingkat pemesanan dan persediaan kedelai yang optimal. Pada industri kecil Sari Kedele ini tidak
ditemukan kedelai yang kadaluarsa. Penggunaan kedelai yang tidak berhenti setiap harinya membuat kedelai di gudang tidak tersimpan dalam waktu yang lama. Tidak adanya persediaan pengaman membuat industri kecil ini tidak menyimpan sejumlah kedelai, sehingga gudang hanya terisi oleh sejumlah kedelai untuk produksi esok harinya. Analisis Sensitivitas dan Biaya Marjinal Untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu persediaan perlu dihitung rasio senditivitas dan biaya marjinalnya. Menurut Ma’arif dan Tanjung (2003) rasio sensitivitas adalah tingkat perbandingan antara total biaya persediaan yang dikeluarkan pada tingkat persediaan yang tidak optimal dibandingkan dengan total biaya persediaan pada tingkat persediaan optimal. Sementara itu biaya marjinal adalah biaya tambahan yang harus ditanggung oleh perusahaan karena jumalh persediaan yang tidak optimal. Biaya persediaan akan optimal jika rasio sensitivitasnya adalah 1. Apalabila rasio sensitivitasnya lebih besar dari 1 maka biaya persediaan tersebut tidak optimal atau dengan kata lain perusahaan menanggung biaya marjinal. Tabel 8. Hasil Perhitungan Rasio Sensitivitas dan Biaya Marjinal
dengan metode EOQ selama ketersediaan pasokan kedelai selalu ada serta memiliki hubungan baik dengan supplier. Untuk mengetahui implikasi terhadap perusahaan dilakukan agara kondisinya seimbang sehingga sesuai untuk dibandingkan. Perhitungan biaya marjinal yang harus ditanggung perusahaan karena tidak mengelola persediaan secara optimal sebesar Rp 8.552 berimplikasi pada pelaksanaan manajemen persediaan industri. Jika manajemen persediaan kedelai industri tidak diperbaiki, maka akan terjadi pemborosan sebesar Rp 8.552 hanya dari kedelai belum termasuk bahanbahan pendukung lainnya. Tabel 9. Pengaruh Perubahan Kuantitas Pemesanan Kedelai Di Atas dan Di Bawah Sepuluh Persen dari Kuantitas Pemesanan yang Ekonomis
Kedelai Selisih % terhadap EOQ
Total Biaya Persediaan pada Tingkat TC TC TC (100%) (90%) (110%) Rp 77.744 Rp 78.176 Rp 78.098 Rp 0 Rp 432 Rp 354 100%
0,56%
0,46%
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa rasio sensitivitas dari model EOQ adalah 1,11. Angka tersebut diperoleh dari membagi total biaya persediaan aktual industri kecil sebesar Rp 86.025 dengan total biaya persediaan hasil perhitungan model EOQ sebesar Rp 77.744. Rasio sensitivitas yang melebihi satu menunjukkan bahwa persediaan yang diterapkan industri kecil belum efisien. Dengan kata lain, industri kecil menanggung biaya tambahan sebesar 0,11 kali lebih besar dari yang seharusnya, akibat tidak efisiennya pengelolaan persediaan. Oleh karena itu, industri kecil menanggung biaya marjinal sebesar Rp 8.552 karena tidak mengelola persediaan kedelai secara optimal.
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat implikasi pada industri kecil akibat melakukan pemesanan kedelai di atas maupun di bawah 10% dari kuantitas pemesanan yang ekonomis yaitu 9.481 kg. Apabila industri kecil menurunkan jumlah pemesanan kedelai 10% atau melakukan pemesanan kedelai 90% dari 9.481 kg justru membuat biaya total persediaan meningkat Rp 432 atau 0,56%. Sementara itu, melakukan pemesanan dengan meningkatkan jumlah pesanan 10% atau melakukan pemesanan 110% dari 9.481 kg juga akan meningkatkan biaya total persediaan sebesar Rp 354 atau 0,46%. Baik dengan meningkatkan ataupun menurunkan jumlah pemesanan sebesar 10% dari 9.481 kg tidak ada yang menurunkan biaya total persediaan. Karena itu, industri kecil tidak direkomendasikan untuk menambah atau mengurangi jumlah persediaan kedelai dari kuantitas pemesanan yang ekonomis sebesar 9.481 kg.
Implikasi Terhadap Perusahaan Menurut Ma’arif dan Tanjung (2003), jika keadaan memungkinkan boleh melakukan pesanan 10% diatas jumalh EOQ atau 10% dibawah jumlah EOQ. Tidak ada kendala bagi perusahaan untuk menerapkan manajemen persediaan bahan aku
PENUTUP Kesimpulan 1. Industri kecil Sari Kedele menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku utama pembuatan tahu sumedang, dan beberapa bahan pendukung lainnya seperti bawang putih, garam serta minyak goreng.
Model EOQ Rasio Sensitivitas Biaya Marjinal
1,11 Rp 8.552
129
Untuk menghasilkan tahu sumedang yang gurih dan renyah, kedelai melewati beberapa tahapan proses produksi yaitu pencucian dan perendaman, penggilingan, perebusan, penyaringan, pemadatan, pencetakan, pemotongan dan perendaman dalam bumbu, serta penggorengan. 2. Dengan menggunakan model EOQ, kuantitas kedelai yang dipesan adalah 9.481 kg atau lebih besar 58% dari pada kuantitas aktualnya, dan biaya total persediaannya adalah Rp 77.744 atau lebih hemat 9,6%. Manajemen persediaan yang dilakukan industri kecil ini belum efisien. Hal ini dibuktikan dengan angka rasio sensitivitas yang lebih besar dari 1. Saran
Bahan Pangan Pokok Kedelai dalam Upaya Mengembangkan Naskah Kebijakan Sebagai Masukan Pada RPJMN 2015 – 2019. www.greenclimateproject.org. Diakses pada tanggal 19 Februari 2015. Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan Praktek). tekpan.unimus.ac.id. Diakses pada tanggal 18 Januari 2015. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. (2014). www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 23 Desember 2014. Ma’arif, M. Syamsul, Henri Tanjung. 2003. Manajemen Operasi. Jakarta: Grasindo.
Berdasakan pembahasan dan kesimpulan, dapat disarankan bahwa Industri Kecil Sari Kedele sebaiknya menggunakan model EOQ untuk menentukan jumlah persediaan kedelainya. Konsekuensinya adalah gudang tempat menyimpan kedelai perlu diperluas agar dapat memuat kedelai sebanyak 9.481 kg. Seberapa besar tepatnya perluasan gudang ini dapat dihitung dengan teori Tata Letak Pabrik, sehingga diperlukan penelitian lanjutan.
Nilasari, Wiwin. 2012. Uji Efektivitas Isolat Rhizobia Asal Tanah Mineral dan Tanah Gambut Pada Tanaman Kedelai (Glycine max(L.) Merrill). http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 23 Desember 2014.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam pembuatan karya ilmiah ini.
Produksi Tanaman Pangan 2013. (2013). Badan Pusat Statistik: Jakarta. Diakses pada tanggal 20 Januari 2014.
Perangin-angin, B. H. 2013. Pengaruh Konsentrasi Larutan Kitosan Jeruk Nipisdan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Tahu Segar. Medan: Universitas Sumatera Utara. Diakses pada tanggal 23 Desember 2014.
DAFTAR PUSTAKA Asssauri, Sofjan. (2008). Manajemen Produksi dan Operasi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Rahmawati, Fitri. 2013. Teknologi Proses Pengolahan Tahu dan Pemanfaatan Limbahnya. Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses pada tanggal 23 Desember 2014.
Badan Pusat Statistik. 2014. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 51 Agustus 2014. www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 18 Januari 2015
Sipahutar, Marlon. 2010. Kajian Manajemen Persediaan Kedelai sebagai Bahan Baku Pembuatan Kedelai Bubuk Instan. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
Erlina. 2002. Manajemen Persediaan. repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 23 Desember 2014.
Stephyna, Happy Ganadial. 2011. Analisis Kinerja Manajemen Persediaan Pada PT. United Tractors, Tbk Cabang Semarang. eprints.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 05 Oktober 2014.
Ginting, Erliana, Sri Satya Antarlina Widowati. 2009. Varietas Unggul Untuk Bahan Baku Industri http://pustaka.litbang.pertanian.go.id. pada tanggal 20 Agustus 2015.
dan Sri Kedelai Pangan. Diakses
Handoko, T.Hani. 1984. Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Yogyakarta: BPFE
Sukmawati, Dety. 2011. Kebutuhan Kedelai dan Kapasitas Produksi Tahu pada Pengrajin Tahu di Kabupaten Sumedang . ejournal.winayamukti.ac.id. Diakses pada tanggal 04 Januari 2015.
Kementerian PPN/Bappenas Direktorat Pangan dan Pertanian. Studi Identifikasi Ketahanan Pangan dan Preferensi Konsumen Terhadap Konsumsi
Suswardji, Edi, Eman, Ria Ratnaningsih. 2012. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Pada PT. NT Piston Ring Indonesia di
130
Karawang. www.jurnal.feunsika.ac.id. Diakses pada tanggal 05 Oktober 2014. Wijaya, Dilzar Dian. 2006. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Susu Kental Manis Pada PT. Indomilk. repository.ipb.ac.id. Diakses pada tanggal 23 Desember 2014. Yusup, Imam Ahmad Maulana. 2012. Keragaan Agroindustri Tahu Sumedang (Studi Kasus Pada Agroindustri Tahu Bungkeng).
131
132
Pemodelan Dinamika Sistem Kemitraan Pada Rantai Pasok Kentang di Kabupaten Bener Meriah System Dynamics Modelling Partnership In The Potato Su pply Chain In Bener Meriah District Lukman Hakim1), Tomy Perdana2), Maman Haeruman K.2), Yosini Deliana2) 1)Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,
[email protected] 2)Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung
ABSTRAK
Kata Kunci: Dinamika Sistem Sistem Kemitraan Rantai Pasok Kentang
Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi kentang di Kabupaten Bener Meriah dimana petani melakukan kerjasama kemitraan pemasaran kentang dengan pihak industri pengolahan. Penelitian bertujuan untuk memahami dan memodelkan sistem kemitraan formal dan nonformal pada rantai pasok kentang di Kabupaten Bener Meriah. Pendekatan dinamika sistem digunakan untuk membangun model kemitraan pada rantai pasok kentang yang dinamis dan kompleks. Sebuah sistem termasuk dinamika sistem, memuat sejumlah komponen dan hubungan diantara komponenkomponennya menggunakan hubungan simpal kausal sebagai dasar dalam mengenali dan memahami perilaku dinamis dari sebuah sistem yang kompleks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan kemitraan nonformal dalam rantai pasok kentang berawal dari kesenjangan kepemilikan modal antara petani dan pedagang perantara, sehingga memunculkan motivasi untuk mengontrol petani melalui pinjaman modal. Petani penerima pinjaman harus berkomitmen menjual kentang hanya kepada pemberi pinjaman modal. Hal ini menyebabkan hilangnya kesempatan menjual kentang ke pihak lain, dan terjadi tekanan terhadap harga jual kentang petani. Petani menghadapi asimetri informasi harga jual kentang yang berlaku dipasar. Pada kemitraan formal berawal dari adanya motivasi pihak industri untuk memperoleh bahan baku yang memenuhi persyaratan kualitas secara berkesinambungan. Pada kemitraan formal terjadi transfer teknologi dari mitra kepada petani. Petani memperoleh kepastian pemasaran dan kepastian harga, akses pemasaran yang lebih luas dan memiliki peluang memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.
ABSTRACT
Keywords: System Dynamics Partnership System Potato Supply Chain
This research was conducted in potato production centers in Bener Meriah district where farmers have done in marketing partnership with a potato processing industry. The research aims to understand and to modelling the system of formal and informal partnerships on potato supply chain in Bener Meriah district. The approach used to build the system dynamics model of supply chain partnership of potato that is dynamic and complex. A system including the system dynamics, contains a number of components and the relationships among its components using a causal relationship as the basis for identifying and understanding the dynamic behavior of a complex system. Based on the results, it can be argued that informal partnerships in the supply chain begins with a potato cash gap between farmers and middlemen, so the motivation to control the farmers by way of providing financial assistance to farmers. Farmers borrower must commit to sell only to dealers potato financial loans. This leads to the loss of opportunity to sell potato to the other party, and there is pressure on the selling prices of potato farmers. Farmers face the asymmetry of information, especially regarding the selling prices prevailing in the market. While the formal partnership originated from the motivation of the industry to obtain raw materials that meet the quality requirements on an ongoing basis. In a formal partnership occurs technology transfer to farmers of partners. Farmers obtain marketing certainty and certainty of price, access a broader marketing and have the opportunity to earn higher profits.
133
PENDAHULUAN Kentang (Solanum Tuberosum L) merupakan salah satu komoditas yang banyak di tanam masyarakat sekaligus menjadi komoditas unggulan yang dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan manca negara. Karena itu pengembangan komoditas kentang tersebut akan berdampak luas bagi ekonomi rakyat. Di Indonesia kentang di konsumsi sebagai sayur dan belakangan ini sudah mulai di konsumsi sebagai makanan alternatif yang disukai dalam bentuk french fries atau potato chips sebagai makanan ringan. Besarnya peluang ini disebabkan harga kentang relatif stabil, potensi bisnisnya tinggi, segmen usaha dapat dipilih sesuai dengan modal, pasar terjamin dan pasti. Selain itu kentang juga memiliki sifat produk yang cukup tahan lama jika disimpan. Kestabilan harga jual disebabkan karena permintaan akan produk yang cukup tinggi. Kabupaten Bener Meriah merupakan daerah sentra produksi kentang yang terletak pada ketinggian 800-2.600 m dari permukaan laut, selain terkenal dengan kopi arabika, juga sangat potensial terhadap komoditas kentang seluas 55.483 ha, terdiri lahan sawah, tegalan dan lahan lain yang belum dimanfaatkan. Produktivitas rata-rata yang dicapai petani saat ini yaitu 20-25 ton/ha dengan menggunakan bibit unggul varietas Granola yang disediakan oleh BBI dengan harga terjangkau. Kentang merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Bener Meriah. Budidaya kentang di Kabupaten Bener Meriah terus berkembang pesat yaitu dengan luas areal tanaman kentang saat ini 1.200 ha dengan produktivitas 20 ton/ha. Potensi lahan yang dapat dikembangkan seluas 7.975 ha dengan ketinggian rata-rata 1.200-1.700 dpl. Lahan dimaksud tersebar di 6 wilayah kecamatan yakni di Kecamatan Permata (2.567 ha), Mesidah (2.716 ha), Bener Kelifah (987 ha), Bandar (165 ha), Bukit (1.350 ha) dan Wih Pesam (190 ha) termasuk kawasan lahan kering dan basah (Dirjen Hortikultura, 2010). Dewasa ini petani kentang menghadapi permasalahan yang kompleks, baik masalah yang sifatnya internal maupun eksternal. Permasalahan internal antara lain adalah masalah minimnya ketersediaan bibit kentang yang berkualitas, penguasaan lahan pertanian yang semakin sempit, akses terhadap permodalan, teknologi dan pasar yang masih sangat terbatas. Permasalahan eksternal mencakup masalah perubahan iklim dan cuaca, serangan hama dan penyakit tanaman, serta masalah fluktuasi harga yang tajam. Permasalahan tersebut dapat menimbulkan risiko dan ketidakpastian bagi petani, baik yang sifatnya risiko produksi maupun risiko pasar atau harga. Hal tersebut menuntut adanya perubahan strategi pemasaran yang dilakukan petani. 134
Salah satu strategi pemasaran yang di pandang dapat meningkatkan daya saing agribisnis kentang adalah melalui kerjasama kemitraan dalam pemasaran. Dengan mengikuti pola kemitraan diharapkan petani memperoleh kepastian harga dan pemasaran hasil. Kenyataan di lapangan beberapa petani hortikultura yang telah bermitra memperoleh harga yang belum sesuai dengan yang diharapkan, karena harga ditentukan oleh pihak yang lebih kuat dari sisi permodalan. Kemitraan seharusnya diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan, tidak boleh ada pihak yang mengalami marjinalisasi dalam prosesnya, serta masing-masing pelaku dalam rantai pasok memperoleh balas jasa yang berkeadilan. Keunggulan pada pola kemitraan usaha antara lain adalah: efisiensi dalam pengumpulan hasil tinggi, efisiensi dalam pengangkutan tinggi, harga relatif stabil karena harga ditetapkan dengan sistem kontrak, mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, serta menjamin kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra. Strategi pengembangan kelembagaan kemitraan harus dilakukan melalui proses sosial yang matang dengan dasar saling percaya antara pelaku agribisnis, sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan daya saing agribisnis kentang secara berkelanjutan (Saptana et al. 2009). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penulis mencoba merancang sebuah model kemitraan pada rantai pasok kentang. Model kemitraan tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu usulan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan posisi tawar petani kentang agar mampu setara dengan mitra sehingga petani bisa memperoleh penerimaan sesuai dengan pengorbanannya, dengan demikian keadaan ekonomi petani kentang dapat ditingkatkan. KERANGKA TEORI Sebuah kemitraan adalah hubungan bisnis berdasarkan saling percaya, keterbukaan, berbagi risiko dan imbalan bersama yang menghasilkan keuntungan kompetitif, sehingga menghasilkan kinerja bisnis yang lebih besar dari yang dicapai oleh perusahaan secara individual (Lambert et al. 1996). Kemitraan adalah pola kerjasama antara dua usaha individu/kelompok atau lebih dengan dasar saling menutupi kelemahan dengan keunggulan masing-masing. Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (Badan Agribisnis, 1998).
Menurut Widyahartono (1996) kemitraan usaha/aliansi bisnis muncul sebagai alternatif untuk menanggapi pasar yang makin mendiversifikasi dan lingkungan yang dinamis. Untuk itu diperlukan pengembangan organisasi yang bertujuan mengefektifkan proses produksi melalui perbaikan struktur, dan keterkaitan semua elemen (orang, teknologi dan faktor produksi lain) dalam organisasi. Tujuan petani melakukan kemitraan, selain untuk memperoleh kepastian pemasaran dan harga, sebenarnya petani telah menunjukkan motivasi yang kuat agar dapat memperoleh bantuan teknis dan input pertanian terutama dari mitra. Bagi petani, ketidakpastian pasar input tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan ketidakpastian pasar output dalam keputusan petani untuk bermitra. Di pasar input, petani menganggap bahwa bermitra merupakan cara untuk mengurangi resiko dari permasalahan pasokan input dan ketidakpastian benih. Pada pasar input tersebut, petani kecil dibatasi oleh beberapa masalah, seperti tidak tersedianya (kualitas) input, kurangnya informasi untuk mendapatkan input, lalu bagaimana menggunakannya, serta kurangnya akses terhadap kredit untuk membeli input tersebut (Darwis et al. 2013). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode dinamika sistem. Dasar pemikiran metodologi dinamika sistem adalah berfikir sistem (system thinking), yaitu cara berfikir dimana setiap masalah dipandang sebagai sebuah sistem, yaitu keseluruhan interaksi antar unsur-unsur dari sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai tujuan. Dinamika sistem merupakan pendekatan yang menggunakan perspektif berdasarkan umpan balik informasi dan delays untuk memahami dinamika perilaku yang kompleks dari sistem fisika, sistem biologis dan sistem sosial. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bener Meriah yang merupakan daerah sentra produksi sayur-sayuran di provinsi Aceh yang didukung oleh keadaan iklim dan kondisi lahan pertanian yang subur. Identifikasi kebutuhan untuk model kemitraan pada rantai pasok kentang dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara kepada masing-masing pelaku dalam rantai pasok kentang yang terlibat dalam prosedur penyediaan input, produksi, dan pemasaran output kentang. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan berdasarkan observasi, diskusi atau FGD (Focus Group
Discussion) melalui wawancara mendalam (depth interview) dengan responden. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dari berbagai sumber literatur, buku, jurnal ilmiah serta publikasi-publikasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Formulasi model kemitraan pada rantai pasok kentang dilakukan dengan software simulasi yaitu Veneta Simulation PLE (Vensim). Subjek penelitian ini adalah sistem kemitraan pada rantai pasok kentang di Kabupaten Bener Meriah dalam upaya meningkatkan posisi tawar petani dan fluktuasi harga kentang. Pelaku rantai pasok kentang yang dianalisis meliputi: petani kentang, koperasi petani kentang, pedagang perantara yang terdiri dari bandar, grosir dan pedagang pengecer kentang. Pengumpulan informasi dari responden yang terpilih, mempergunakan daftar pertanyaan yang telah terstruktur sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam agribisnis kentang di Kabupaten Bener Meriah, ditinjau dari ruang lingkup petani terdapat dua jenis kemitraan yang terjalin antara petani dan pelaku lainnya dalam rantai pasok kentang, yaitu kemitraan yang bersifat formal dan non formal. Kemitraan yang bersifat formal yaitu yang tertuang dalam bentuk kontak kerjasama yang telah disepakati dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bermitra. Apabila ada pihak yang melanggar kesepakatan, maka akan dikenai sanksi yaitu dikeluarkan dari anggota koperasi. Kemitraan formal yang terjalin saat ini hanya kerjasama kemitraan dalam pemasaran hasil antara petani kentang dengan pihak Koperasi Gayo Land. Sedangkan kemitraan dengan pihak industri pengolahan kentang masih dalam bentuk home industry (industri rumah tangga). Adapun kemitraan yang bersifat non formal adalah kemitraan yang tidak tertulis secara resmi dalam lembaran perjanjian kontrak, apabila ada pihak yang melanggar maka sanksinya berupa putusnya hubungan kemitraan. Kemitraan jenis ini biasanya terjadi antara petani dengan bandar dan antara petani dengan pedagang grosir kentang di pasar lokal/pasar induk. Model hubungan kemitraan yang terjalin pada rantai pasok kentang di Kabupaten Bener Meriah dapat diklasifikasikan ke dalam dua sub model yaitu: (1) Hubungan kemitraan formal koperasi dan industri; dan (2) Hubungan kemitraan non formal petani dan bandar.
135
Hubungan Kemitraan Formal Koperasi dan Industri +
Motivasi membentuk koperasi + Transfer teknologi R1
Kemauan berbagi informasi
+ Pengetahuan petani kentang
-
+
+ Akses pemasaran kentang +
Pemahaman teknologi budidaya kentang petani
Ketersediaan biaya pemasaran +
+
Motivasi utk memperoleh kentang sebagai bahan baku pembuatan keripik secara kontinu
Pemahaman teknologi pascapanen kentang petani
R4
+
+ Kepastian dalam pemasaran
+
Kepercayaan +
Kemitraan pemasaran kentang
+ Terpenuhi kebutuhan kentang utk bahan baku pembuatan keripik kentang +
R5
+ Kualitas hasil kentang petani +
Terpenuhi kualitas + kentang sesuai spek industri
+ Budidaya sesuai SOP
+
Produksi kentang petani
+ Kas / Modal petani kentang +
+ Biaya produksi B2
Keuntungan petani +
+ Penerimaan petani
+
+ Komitmen hanya menjual kentang kepada pihak industri R6
+ Pengiriman kentang ke industri + -
+
Kesempatan menjual ke pihak lain Kuantitas hasil + kentang R3
+ Transparansi informasi harga kentang di pasaran -
Asimetri informasi perkembangan harga kentang kepada petani Harga jual kentang petani sesuai kontrak
Gambar 1.Diagram Simpal Kausal Menjalin Kemitraan Formal Koperasi dan Industri dalam Pemasaran Kentang Berdasarkan Gambar 1, pada simpal kausal yang pertama dapat dijelaskan bahwa kemitraan formal berawal dari keterbatasan kas petani, kas petani dapat meningkatkan ketersediaan biaya pemasaran, ketersediaan biaya pemasaran dapat meningkatkan akses pemasaran. Akses pemasaran meningkat dapat menurunkan ketergantungan pada pedagang perantara (bandar), ketergantungan pada pedagang perantara meningkat, dapat meningkatkan tekanan terhadap harga jual kentang. Tekanan harga jual meningkat, dapat menurunkan harga kentang sehingga petani sering menerima harga yang relatif lebih rendah dari harga yang berlaku dipasaran saat itu, serta seringnya menghadapi fluktuasi harga sehingga petani selalu menghadapi ketidakpastian penerimaan. Adanya kesamaan nasib di antara petani kentang karena kesulitan mengakses pasar meningkatkan kemauan untuk berbagi informasi mengenai harga dan kepada siapa harus menjual. Seringnya berbagi informasi meningkatkan rasa saling percaya di antara petani kentang, adanya rasa saling percaya meningkatkan motivasi untuk berkelompok membentuk koperasi agar dapat melakukan kemitraan dan memperluas pemasaran. Dengan berkoperasi yang merupakan lembaga berbadan hukum, maka dapat meningkatkan pemasaran melalui kerjasama kemitraan formal, karena pihak mitra dalam hal ini dimisalkan pada 136
industri pengolahan keripik kentang hanya bersedia bermitra dengan lembaga berbadan hukum, bukan dengan perorangan. Menjalin kemitraan dapat meningkatkan kepastian dalam pemasaran kentang. Meningkatnya kepastian pemasaran bagi petani, dapat meningkatkan keharusan koperasi atau petani berkomitmen hanya menjual kepada industri/mitra. Komitmen ini dapat meningkatkan pengiriman kentang ke industri. Dengan demikian petani mendapatkan kepastian harga jual yang berpengaruh positif terhadap penerimaan petani kentang, penerimaan berpengaruh positif terhadap kas petani. Pada Gambar 1, keterkaitan antar variabel pada simpal kausal yang pertama memiliki umpan balik positif, dapat diartikan melalui kemitraan petani memperoleh kepastian pemasaran, kepastian harga jual, kepastian penerimaan sehingga diharapkan kas petani akan bertambah, dengan bertambahnya kas petani maka petani memiliki kemampuan untuk memperluas pemasaran dan meningkatkan produksi kentang. Berdasarkan simpal kausal yang kedua, hubungan antar variabel menghasilkan umpan balik negatif, artinya dengan adanya kemitraan dalam pemasaran kentang, dapat meningkatkan transfer teknologi budidaya kentang sehingga pengetahuan petani mengenai teknik budidaya kentang yang benar bertambah, dengan bertambahnya pengetahuan
petani maka petani dapat menerapkan teknik budidaya kentang sesuai standard operational procedure (SOP) dari mitra. Dengan diterapkan budidaya sesuai SOP maka produktivitas kentang akan meningkat sehingga akan meningkatkan kuantitas hasil kentang. Kuantitas atau volume kentang yang meningkat dapat meningkatkan penerimaan petani. Selanjutnya penerimaan bertambah dapat meningkatkan kas petani. Peningkatan kas petani dapat meningkatkan ketersediaan biaya pemasaran. Ketersediaan biaya pemasaran dapat meningkatkan akses pasar. Akses pemasaran menurunkan motivasi berkoperasi. Motivasi berkoperasi untuk meningkatkan pemasaran dapat meningkatkan kemitraan. Pada simpal kausal yang ketiga, interaksi antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif, artinya melalui kemitraan dapat meningkatkan transfer teknologi. Transfer teknologi dapat meningkatkan pemahaman budidaya kentang sesuai SOP. Pemahaman budidaya sesuai SOP dapat meningkatkan pelaksanaan budidaya kentang sesuai SOP. Budidaya kentang sesuai SOP meningkatkan produktivitas tanaman kentang, produktivitas meningkat maka kuantitas hasil meningkat. Kuantitas hasil meningkat dapat meningkatkan pengiriman kentang ke industri. Pengiriman kentang ke industri mengurangi pengiriman ke pihak lain. Kesempatan menjual ke pihak lain meningkatkan transparansi harga kentang. Transparansi menurunkan asimetri informasi harga kentang. Asimetri informasi harga kentang menurunkan harga kentang di tingkat petani. Harga kentang dapat meningkatkan penerimaan petani, penerimaan petani dapat meningkatkan kas petani. Kas petani dapat meningkatkan ketersediaan biaya pemasaran, ketersediaan biaya pemasaran meningkatkan akses pemasaran. Kemudahan dalam mengakses pasar dapat menurunkan kepercayaan di antara petani. Kepercayaan meningkatkan motivasi untuk berkoperasi, motivasi berkoperasi meningkatkan jalinan kemitraan dalam pemasaran kentang. Pada simpal kausal yang keempat, dapat dijelaskan bahwa motivasi untuk memperoleh kentang sebagai bahan baku pembuatan keripik kentang secara kontinu, dapat meningkatkan jalinan kemitraan antara industri dengan petani. Jalinan kemitraan dapat meningkatkan transfer teknologi kepada petani sehingga pemahaman teknik budidaya yang benar sesuai SOP meningkat. Pemahaman teknik budidaya menyebabkan penerapan budidaya kentang sesuai SOP meningkat. Budidaya kentang sesuai SOP dapat meningkatkan produktivitas
kentang. Produktivitas meningkat menyebabkan kuantitas hasil kentang meningkat. Kuantitas hasil kentang meningkat menyebabkan kentang yang dapat dikirim ke industri semakin meningkat, sehingga secara kuantitas kebutuhan kentang industri untuk bahan baku pembuatan keripik kentang terpenuhi. Kebutuhan bahan baku kentang terpenuhi dapat meningkatkan motivasi untuk bermitra. Keterkaitan variabel-variabel pada simpal kausal tersebut membentuk umpan balik positif. Artinya semakin tinggi motivasi untuk memperoleh kentang sebagai bahan baku pembuatan keripik kentang secara kontinu, maka semakin tinggi keinginan pihak industri untuk menjalin kemitraan dalam pemasaran dengan petani kentang. Pada simpal kausal yang kelima, dapat dijelaskan bahwa transfer teknologi kepada petani mengakibatkan pemahaman teknologi pascapanen petani meningkat sehingga petani dapat meningkatkan kualitas hasil kentang. Semakin tinggi kualitas kentang yang dihasilkan maka semakin terpenuhi kualitas kentang sesuai yang dipersyaratkan oleh industri. Terpenuhinya kualitas kentang sesuai yang dipersyaratkan oleh industri maka semakin terpenuhi kebutuhan kentang untuk bahan baku pembuatan keripik kentang. Umpan balik yang terjadi pada keterkaitan antar variabel pada simpal kausal tersebut merupakan umpan balik positif. Artinya semakin tinggi motivasi untuk memperoleh kentang berkualitas sebagai bahan baku pembuatan keripik kentang secara kontinu, maka semakin tinggi motivasi untuk bermitra dengan petani kentang dikemudian hari, sehingga kebutuhan kentang sebagai bahan baku pembuatan keripik kentang secara kualitas terpenuhi. Pada simpal kausal yang keenam, hubungan antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif. Adanya motivasi untuk memperoleh bahan baku pembuatan keripik kentang dapat meningkatkan kemitraan dengan petani, kemitraan dalam pemasaran kentang dapat meningkatkan komitmen hanya menjual kentang kepada industri. Komitmen menjual kentang hanya kepada industri meningkatkan pengiriman kentang ke industri. Pengiriman kentang ke industri menyebabkan semakin terpenuhinya kebutuhan kentang untuk bahan baku pembuatan keripik. Terpenuhinya kebutuhan kentang untuk bahan baku pembuatan keripik dapat meningkatkan motivasi pihak industri untuk bermitra dengan petani kentang.
137
Hubungan Kemitraan Non Formal Petani dan Bandar Pengiriman kentang + ke pedagang pemberi pinjaman
+
Penurunan utang petani ke pedagang pemberi pinjaman +
R3
B1
+
Motivasi untuk + mengontrol petani
Kas / Modal pedagang
+ Pinjaman keuangan dari pedagang +
Asimetri informasi harga kentang di pasaran umum
+ Biaya produksi kentang petani mitra pedagang
+
Pembayaran utang + petani ke pedagang pemberi pinjaman
B2 R4
+
Kas / Modal petani kentang mitra pedagang +
+ Transparansi informasi harga kentang
+ Volume produksi kentang petani mitra pedagang
Produksi kentang petani mitra pedagang
+ Kepercayaan pedagang kepada petani
R5
menjual Kesempatan ke pedagang lain
+
Komitmen hanya menjual kepada pedagang pemberi pinjaman
R6
+
-
Tekanan terhadap harga jual kentang petani
Keuntungan petani mitra pedagang + Penerimaan petani + mitra pedagang +
Harga jual kentang petani
Gambar 2. Diagram Simpal Kausal Menjalin Kemitraan Non Formal Petani dan Bandar dalam Pemasaran Kentang Sebagian besar petani yang tidak tergabung dalam koperasi, untuk memasarkan kentang melakukan hubungan kemitraan non formal dengan pedagang perantara yaitu dengan bandar dan pedagang grosir kentang di pasar lokal/pasar induk. Kemitraan ini terjalin karena adanya hubungan timbal balik yang saling membutuhkan. Hubungan timbal balik pada kemitraan non formal antara petani dengan bandar dan grosir dalam rantai pasok kentang di Kabupaten Bener Meriah, berawal di satu pihak adanya keterbatasan kas petani kentang, dan di pihak lain adanya kepemilikan modal yang relatif besar yaitu di pihak bandar dan pedagang grosir di pasar lokal/pasar induk. Hal tersebut memunculkan motivasi di pihak pedagang untuk mengontrol atau mengendalikan petani agar pedagang memperoleh keuntungan dengan cara mengikat petani dengan memberi pinjaman modal kepada petani baik untuk usaha budidaya kentang maupun untuk keperluan lainnya, dengan tujuan agar petani yang diberi pinjaman berkomitmen hanya menjual kentang tersebut kepada pedagang pemberi pinjaman. Berdasarkan Gambar 2, pada simpal kausal yang pertama hubungan antar variabelnya menghasilkan umpan balik negatif. Adanya kepemilikan kas yang relatif besar di pedagang perantara kentang meningkatkan motivasi untuk 138
mengontrol petani agar pedagang lebih mudah memperoleh kentang. Motivasi mengontrol petani dapat meningkatkan pemberian pinjaman keuangan kepada petani. Pemberian pinjaman dapat meningkatkan komitmen petani hanya menjual ke pedagang pemberi pinjaman. Komitmen hanya menjual ke pedagang pemberi pinjaman meningkatkan pengiriman kentang ke pedagang pemberi pinjaman. Pengiriman kentang ke pedagang pemberi pinjaman menurunkan kesempatan penjualan kentang ke pedagang lain. Kesempatan menjual ke pedagang lain meningkatkan transparansi informasi harga kentang. Transparansi harga kentang menurunkan asimetri informasi harga kentang. Asimetri informasi harga kentang meningkatkan tekanan harga kentang di petani. Tekanan harga kentang menurunkan harga jual kentang di tingkat petani. Harga jual kentang meningkatkan penerimaan petani, penerimaan petani meningkatkan kas petani. Kas petani dapat meningkatkan pembayaran utang petani ke pedagang. Pembayaran utang petani meningkatkan penurunan utang petani. Penurunan utang petani meningkatkan kas pedagang, kas pedagang meningkatkan motivasi mengontrol petani. Pada simpal kausal yang kedua hubungan antar variabelnya menghasilkan umpan balik negatif.
Motivasi mengontrol petani dapat meningkatkan pemberian pinjaman keuangan kepada petani. Pemberian pinjaman dari pedagang dapat meningkatkan kas/modal petani. Kas petani digunakan untuk modal memproduksi kentang, sehingga meningkatkan produksi kentang, produksi kentang meningkat, dapat meningkatkan volume kentang yang dihasilkan. Volume kentang yang dihasilkan meningkat, dapat meningkatkan pengiriman kentang ke pedagang pemberi pinjaman. Pengiriman kentang ke pedagang pemberi pinjaman menurunkan kesempatan menjual kentang ke pedagang lain. Kesempatan menjual ke pedagang lain meningkatkan transparansi informasi harga kentang. Transparansi harga kentang menurunkan asimetri informasi harga kentang. Asimetri informasi meningkatkan tekanan terhadap harga kentang di petani. Meningkatnya tekanan harga dapat menurunkan harga jual kentang di tingkat petani. Harga jual kentang meningkatkan penerimaan petani, penerimaan petani meningkatkan kas petani. Kas petani dapat meningkatkan pembayaran utang petani ke pedagang. Pembayaran utang petani meningkatkan penurunan utang petani. Penurunan utang petani meningkatkan kas pedagang. Kas pedagang meningkatkan motivasi mengontrol petani. Pada simpal kausal yang ketiga, hubungan antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif. Kas pedagang meningkatkan motivasi untuk mengontrol petani, motivasi mengontrol petani meningkatkan pemberian pinjaman dari pedagang ke petani. Pemberian pinjaman meningkatkan kas petani. Kas petani meningkatkan pembayaran utang petani ke pedagang. Pembayaran utang petani meningkatkan penurunan utang petani ke pedagang pemberi pinjaman. Penurunan utang petani meningkatkan kas pedagang. Kas pedagang meningkat maka akan semakin meningkatkan motivasi mengontrol petani. Harga jual kentang berpengaruh positif terhadap penerimaan petani, bila harga jual tinggi maka penerimaan akan tinggi dan sebaliknya. Penerimaan dari hasil penjualan kentang dapat meningkatkan jumlah kas petani, uang dari kas digunakan untuk pembayaran utang petani ke bandar atau grosir. Pembayaran utang kepada pedagang menyebabkan utang petani berkurang dan kas pedagang semakin bertambah. Dengan bertambahnya kas pedagang maka semakin tinggi motivasi pedagang untuk mengontrol petani, sehingga dikemudian hari akan meningkatkan pemberian bantuan kepada petani. Demikian seterusnya sehingga petani kentang akan selalu terikat kepada pedagang.
Pada simpal kausal yang keempat, hubungan antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif. Pinjaman modal dapat meningkatkan kas petani sehingga petani dapat menggunakan uang dari kas untuk biaya memproduksi kentang. Kas petani meningkat akan meningkatkan proses produksi kentang. Proses produksi dapat meningkatkan volume kentang yang dihasilkan, volume kentang yang dihasilkan akan meningkatkan penerimaan petani. Penerimaan petani meningkatkan kas petani, kas petani meningkat dapat meningkatkan pembayaran utang petani. Pembayaran utang dari petani dapat meningkatkan penurunan utang petani ke pedagang, penurunan utang petani akan meningkatkan kas pedagang, kas pedagang meningkat akan meningkatkan kepercayaan pedagang kepada petani, karena dengan naiknya kas pedagang akibat penurunan utang petani mengindikasikan pinjaman ke petani telah kembali ke pedagang, sehingga di musim berikutnya pedagang akan memberi pinjaman keuangan yang lebih besar lagi kepada petani. Pada simpal kausal yang kelima, hubungan antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif. Dana pinjaman dari pedagang dapat meningkatkan kas petani, kas petani meningkatkan pembayaran utang petani ke pedagang, pembayaran utang meningkatkan penurunan utang petani. Penurunan utang petani ke pedagang dapat meningkatkan kas pedagang. Naiknya kas pedagang akan meningkatkan kepercayaan pedagang terhadap petani, kepercayaan dapat meningkatkan pinjaman dari pedagang ke petani. Pada simpal kausal yang keenam, hubungan antar variabel menghasilkan umpan balik positif. Peningkatan kas petani dapat meningkatkan proses budidaya kentang, budidaya kentang meningkatkan volume hasil kentang. Volume hasil kentang meningkatkan penerimaan petani, penerimaan petani meningkatkan kas petani. Sebuah kemitraan dalam perdagangan yang berdasarkan dialog, transparan, saling menghormati, berusaha adanya kesetaraan dari masing-masing pelaku, berusaha mengamankan hak-hak produsen, saat ini harus dikembangkan untuk mengganti praktek perdagangan yang konvensional dimana pelaku yang lebih kuat akan menekan pelaku yang posisinya lemah. Dewasa ini kolaborasi antar pelaku dalam rantai pasok pertanian sangat dibutuhkan untuk membangun kemitraan yang saling menguntungkan. Kebutuhan untuk meningkatkan dukungan keuangan bagi petani kecil menyebabkan munculnya bentuk-bentuk kemitraan yang baru, yang mana antar pelaku memiliki kesetaraan tidak ada pelaku yang lebih kuat sehingga dapat menekan
139
pelaku lainnya, semua pelaku harus bekerjasama saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama. PENUTUP Pemasaran kentang di Kabupaten Bener Meriah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pasar yang terstruktur dan tidak terstruktur. Adapun karakteristik pasar terstruktur berupa kemitraan formal dalam pemasaran kentang adalah: adanya kepastian dalam pemasaran hasil, tidak terjadi fluktuasi harga karena harga jual petani berlaku secara tetap sesuai kontrak, pengumpulan hasil lebih mudah, pengangkutan lebih efisien, terdapat transfer teknologi dari mitra, tetapi posisi tawar petani lebih rendah dari mitra sehingga masih ada tekanan terhadap harga jual kentang petani dimana harga ditentukan oleh mitra. Harga jual kentang dari petani kepada mitra ditentukan oleh mitra/industri. Karakteristik pasar terstrukturkemitraan non formal adalah: adanya kepastian pemasaran, terjadi fluktuasi harga, tidak ada transfer teknologi, pengumpulan dan pengangkutan hasil tidak efisien, ada tekanan harga dari pedagang. Sedangkan karakteristik pasar tidak terstruktur adalah: tidak ada kepastian pemasaran, terjadi fluktuasi harga, tidak ada transfer teknologi, pengumpulan dan pengangkutan tidak efisien, saat panen raya kesulitan mencari pembeli, sehingga petani seringkali tidak bisa menjual kentang yang dihasilkannya. DAFTAR PUSTAKA Badan Agribisnis. (1998). Kebijaksanaan dan Penjelasan Pola Kemitraan Usaha Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Darwis, Valerina, M. Iqbal. (2013). Keragaan Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usahatani Padi. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Litbang Deptan. Bogor. Dirjen Hortikultura. (2010). Produksi tanaman sayuran di Indonesia periode 2003- 2008. Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian. Jakarta. http://www.deptan.go.id. [15 April 2015 : Pukul 16:15 WIB]. Lambert, Douglas M, Margaret A. Emmelhainz, John T. Gardner. (1996). Developing and Implementing Supply Chain Partnerships. The International Journal of Logistics Management Vol 7 No 2. Saptana, Daryanto A, Heny KD, Kuncoro. (2009). Strategi Kemitraan Usaha Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah. Pusat Analisis Sosial 140
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Balitbang Deptan. Jakarta. Widyahartono B. (1996). Strategi Kemitraan antara Usaha Besar dan Usaha Kecil-Menengah (UKM), Penerapannya di Indonesia. Manajemen Usahawan Bisnis Indonesia. No. 09/thXXV, September 1996. Hal 23-26.
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Teh Indonesia (Periode 1980 – 2013) Analysis of Factors Affecting Tea Export in Indonesia (Period 1980 – 2013) Ady Trynugraha1 dan Muhammad Arief Budiman2 1
Mahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jl. Jatiwangi Raya No. 54, Antapani, Bandung, 40291, Indonesia,
[email protected] 2 Dosen Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
Kata kunci: harga dunia nilai ekspor nilai tukar rupiah produktivitas teh.
Keywords: exchange rate export value tea world price yield.
ABSTRAK Dalam era globalisasi indonesia harus mewujudkan pembangunan yang terintegrasi. Sektor perkebunan sebagai sub-sektor pertanian mampu memberikan pertumbuhan indeks ekspor yang besar dalam memasuki pasar global. Teh sebagai salah satu komoditas perkebunan dapat bersaing dengan komoditas lainnya dari sisi produktivitas. Produktivitas yang tinggi memiliki peluang untuk menambah jumlah teh yang akan diekspor. Kegiatan ekspor tersebut dihitung berdasarkan nilai tukar yang sedang berlaku. Selain itu, harga teh dunia mampu merubah besaran nilai dari produk ekspor teh Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui seberapa besar pengaruh produktivitas teh Indonesia, harga teh dunia dan nilai tukar rupiah terhadap nilai ekspor teh Indonesia dan hubungannya secara parsial maupun simultan. (2) Mengetahui respon nilai ekspor teh Indonesia berdasarkan perubahan produktivitas, nilai tukar rupiah dan harga teh dunia.. Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik suatu kasus. Data yang diperlukan merupakan data deret waktu sebanyak 34 tahun. Alat analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan empat variabel dan perhitungan elastisitas berdasarkan model regresinya. Model regresinya adalah Y = -62.640 + 64,402X1 + 69,721X2 + 551,782X3. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara simultan produktivitas teh indonesia, nilai tukar dan harga teh dunia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai ekspor teh Indonesia. Namun, secara parsial hanya nilai tukar saja yang tidak signifikan terhadap nilai ekspor teh Indonesia. Berdasarkan analisis tingkat responnya, nilai ekspor teh Indonesia tidak respon terhadap harga teh dunia, produktivitas maupun nilai tukar rupiah. ABSTRACT In the age of globalization Indonesia must realize about integrated development. Plantations, as one of agricultural sector, are capable for providing large growth of export indices in entering global markets. Tea, as one of the plantation commodities, can compete with other commodities in terms of yield. High yield has the opportunity to increase the amount of tea to be exported. Export activity is calculated by exchange rate. In addition, the world tea price is able to change the amount of the value of Indonesian tea export products. This study aims to: (1) Determine how much influence of Indonesian tea yield, world tea prices and exchange rate on Indonesian tea export value and its relationship partially or simultaneously. (2) Determine the response of Indonesian tea export value based on changes in yield, exchange rate and world tea price. The design is a quantitative research technique of a case. Necessary data is time series as many as 34 years. Tools of analysis in this study using multiple regression analysis with the four variables and elasticity calculations based on regression models. Model regression is Y = -62.640 + 64,402X1 + 69,721X2 + 551,782X3. The results showed that productivity of Indonesian tea, exchange rates and world tea prices have a significant effect simultaneously on the value of Indonesian tea export. However, only exchange rate are not significant partially to the tea export value of Indonesia. Based on the analysis of response rate, the export value of Indonesian tea gives no response to the world tea prices, yield and the exchange rate.
141
PENDAHULUAN Negara Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara di dunia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Menurut Tities K.H. (2008), Indonesia merupakan negara agraris. Sehingga, sektor pertanian memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia, terutama pada wilayah-wilayah di
pedesaan. Sektor pertanian memegang peran penting dalam penyediaan pangan bagi konsumsi domestik, penghasil tenaga kerja bagi keberadaan sektor industri dan pangsa pasar bagi hasil produksi dan meningkatkan pendapatan domestik. Dengan kata lain, keunggulan Indonesia memiliki keunggulan komparatif karena Indonesia merupakan negara agraris.
Tabel 1. Ekspor Pertanian menurut Sub Sektor Periode 2001-2004, 2005-2009, 2010-2013
Sub-Sektor Tan Pangan
Hortikultura
Perkebunan
Peternakan
Satuan Volume (Ton) Nilai (000 US$) Volume (Ton) Nilai (000 US$) Volume (Ton) Nilai (000 US$) Volume (Ton) Nilai (000 US$)
Tahun
Tahun
Tahun
2001-2004
2005-2009
2010-2013
3.413.476
4.583.067
2.265.734
-9,21
839.706
1.510.122
1.379.112
-2,83
1.372.472
2.206.133
1.547.226
0,45
762.815
1.533.268
1.826.326
7,8
37.003.238
114.973.716
117.247.779
57,24
20.107.515
93.549.730
133.371.668
74,11
586.613
2.012.280
1.783.158
3,04
1.056.321
3.437.079
3.675.504
3,92
Indonesia memiliki berbagai macam komoditas perkebunan yang dibudidayakan. Secara umum, terdapat 12 komoditas perkebunan yang paling berkontribusi. Berdasarkan produktivitasnya, tahun 2013 teh menempati urutan ke 3 setelah tebu dan kelapa sawit. Berikut merupakan grafik berdasarkan produktivitasnya. 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0
Gambar 1. Produktivitas Perkebunan Indonesia (kg/ha)
Selama ini, Indonesia telah mengekspor teh ke berbagai negara. Selama tiga tahun terakhir Indonesia mengekspor lebih dari 10 negara di Dunia. 142
Rata-rata Pertumbuhan Indeks Ekspor (%)
Mengingat penawaran memiliki berbagai faktor yang mempengaruhinya, terdapat beberapa hal yang perlu diamati dalam kegiatan ekspor teh di Indonesia. Produktivitas merupakan kekuatan utama dalam produksi teh Indonesia. Selain hasil dari input produksi (Yamit, 2005), produktivitas yang tinggi akan menghasilkan produksi yang banyak pula. Sehingga, barang yang akan diekspor akan bertambah pula. Selain itu, faktor utama dari segi penawarannya adalah harga barang itu sendiri. Kebijakan pemerintah, baik penekanan produksi maupun proteksi dapat mempengaruhi jumlah barang yang ditawarkan, karena pemerintah dapat menggerakan industri hulu ke hilir. Dikarenakan ekspor merupakan transaksi internasional, penukaran nilai mata uang (kurs) menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai ekspor. Konversi nilai mata uang tersebut merupakan faktor penentu mengenai besar kecilnya nilai ekspor yang didapat. BAHAN DAN METODE Metode yang digunakan merupakan desain penelitian kuantitatif dengan teknik suatu kasus dengan penggunaan sampel data kurun waktu (Time series). Data kurun waktu yang diperlukan merupakan data
periode 1980-2013 mengenai nilai ekspor teh Indonesia, hasil ekspor teh Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar dan harga teh dunia. Data yang diperoleh tersebut dianalisis secara regresi dengan menggunakan model ekonometrik untuk mengetahui seberapa besar kontribusinya terhadap ekspor teh di Indonesia. Model rumusan variabel penelitian diformulasikan dalam persamaan berikut: 𝑌̂ = 𝛽0 + 𝛽1 𝑋1 + 𝛽2 𝑋2 + 𝛽3 𝑋3 + 𝑒 Keterangan: ̂ Y = Nilai ekspor teh Indonesia (0.000$) X1 = Produktivitas teh (Kg / Ha) X2 = Nilai tukar rupiah (Rp / $) X3 = Harga Internasional Teh (sen / Kg) 𝛽 = Konstanta 𝑒 = Faktor error / disturbance Perhitungan respon berdasarkan rumus elastisitas dapat menggunakan model sebagai berikut: 𝐸=
∆𝑄 𝑥̅ 𝑥 ∆𝑃 𝑦̅
Ket: Es : Elastisitas ∆𝑄 : Koefisien variabel independennya (𝛽1 , 𝛽2 , ∆𝑃 𝛽3 dan 𝛽4 ) 𝑥̅ : Rata-rata variabel independen 𝑦̅ : Rata-rata nilai ekspor teh (variabel dependen) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh menurut faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor teh, berikut merupakan hasil dari regresinya: 𝑌̂ = −62.640∗∗ + 64,402𝑋1 ∗∗ − 69,721𝑋2 + 551,782𝑋3 ∗∗ + 𝑒 Keterangan: ̂ Y = Nilai ekspor teh Indonesia (.000$) X1 = Hasil produksi teh Indonesia (kg / ha) X2 = Nilai tukar rupiah (Rp / $) X3 = Harga teh dunia (sen / kg) 𝑒 = Faktor error / disturbance Berdasarkan analisis respornnya, berikut merupakan data yang diperlukan dengan hasil koefisien elastisitas atau nilai responnya: Tabel 3. Koefisien, -Rata-rata dan Nilai E Hasil Penelitian Koefisien Variabel Rata-rata E (𝑑𝑦⁄𝑑𝑥 ) Nilai Ekspor 130.034,88 Teh Indonesia Produktivitas 64,402 1.396,88 0,69 Teh Indonesia Nilai Tukar -69,721 62,20 0,03 Rupiah Harga Teh 551,782 194,01 0,82 Dunia
Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan untuk mengetahui seberapa baik model yang dihasilkan dalam analisis penelitian ini. Model yang baik harus memenuhi seluruh uji tersebut. Sehingga, model regresinya dapat dikatakan Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan mengamati grafik P-Plot dari output SPSS. Berikut merupakan gambar P-Plot dari data yang dianalisis:
Gambar 2. Grafik P-Plot untuk Uji Normalitas
Dari grafik tersebut, terlihat bahwa data tersebar di sepanjang garis diagonal terhadap variabel dependennya (Nilai Ekspor Teh Indonesia). Maka, dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi asumsi normalitas, yaitu data tersebar secara normal Uji Multikolinearitas Uji ini diamati dengan mengamati nilai VIF (Variance Inflation Factor). Hasil VIF ketiga variabel tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 4. Nilai VIF untuk Uji Multikolinearitas No Variabel 1 Hasil Produksi Teh Indonesia 2 Nilai Tukar Rupiah 3 Harga Teh Dunia
VIF 1,142 1,386 1,231
Seluruh variabel yang digunakan memiliki nilai VIF dibawah 10, berarti data yang digunakan tidak terdapat multikolinearitas Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan dengan cara autoregresive dengan mengamati nilai durbin watson (DW). Batasan nilai DW yang diperoleh adalah sebagai berikut: dL : 1,2576 dU : 1,6511 4-dU : 2,3489 4-dL : 2,7424 Berdasarkan nilai batasannya, nilai DW yang didapat berada diantara dU dan 4-dU, yaitu sebesar 1,838. Jadi, data analisis ini tidak mengandung data autokorelasi atau tidak terdapat korelasi serial
143
Uji Heteroskedastisitas Uji ini dilakukan dengan mengamati nilai *ZPRED untuk sumbu X dan *SRESID untuk sumbu Y pada SPSS. Berdasarkan hal tersebut, berikut scatter plot yang dihasilkan dari data-data yang dianalisis:
Gambar 3. Scatter Plot Untuk Uji Multikolinearitas
Grafik tersebut menunjukan bahwa tidak terdapat pola khusus. Plot yang digambarkan tersebar, baik diatas sumbu x atau y maupun dibawahnya. Sehingga, data yang digunakan sudah cukup homoskedastisitas. Analisis Hasil Regresi dan Nilai Respon Berdasarkan fungsi tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat diinterpretasikan terkait analisis sebelumnya maupun analisis regresi beserta dengan teorinya. Interpretasi berikut ini menjelaskan juga hipotesis dari hubungan setiap variabel secara parsial. Berikut merupakan penjelasan setiap variabel dalam model tersebut: - Koefisien produktivitas teh Indonesiayang dihasilkan adalah sebesar 64,402 dan bernilai positif, sama halnya dengan nilai t hitung yang menjelaskan hubungan yang signifikan. Artinya, produktivitas teh indonesia memiliki hubungan yang berbanding lurus terhadap nilai ekspor teh Indonesia. Dalam kurun waktu pertahunnya, bila variabel nilai tukar dan harga teh dunia dianggap tetap, maka setiap kenaikan satu kg di setiap areal tanam teh di Indonesia, maka akan menambahkan nilai ekspor teh Indonesia sebesar 64.402 dolar US. - Koefisien nilai tukar rupiah yang dihasilkan adalah sebesar -69,721 dan bernilai negatif, sama halnya dengan nilai t hitung yang menjelaskan hubungan yang tidak signifikan. Artinya, nilai tukar nominal ini memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan nilai ekspor teh Indonesia. Dalam kurun waktu pertahunnya, bila variabel produktivitas teh Indonesia dan harga teh dunia dianggap tetap, maka setiap kenaikan nilai tukar rupiah sebesar 144
satu rupiah setiap dolarnya, akan menurunkan nilai ekspor teh Indonesia sebesar 69.721 dollar US. - Koefisien harga teh dunia yang dihasilkan adalah sebesar 551,782 dan bernilai positif, sama halnya dengan nilai t hitungnya yang menginterpretasikan hubungan yang signifikan. Artinya, semakin besar harga dunia yang terjadi, maka akan semakin besar pula nilai ekspor teh Indonesia yang didapat. Dalam kurun waktu pertahunnya, bila variabel produktivitas teh Indonesia, dan nilai tukar rupiah dianggap tetap, maka setiap kenaikan harga teh sebanyak satu cent (0,01US$) setiap kilogramnya, maka akan menghasilkan nilai ekspor teh Indonesia sebesar 551.782US$. - Secara keseluruhan, nilai respon (koefisien elastisitas) tersebut berada dibawah angka satu. Artinya, setiap variabel yang digunakan bersifat inelastis terhadap perubahan nilai ekspor teh Indonesia. Dengan demikian, nilai ekspor teh Indonesia tidak respon terhadap produktivitas teh Indonesia, nilai tukar rupiah dan harga teh dunia. Persentase perubahan pada produktivitas teh Indonesia, nilai tukar rupiah atau harga teh dunia akan menghasilkan perubahan yang lebih kecil dari pada persentasenya terhadap nilai ekspor teh Indonesia. Namun demikian, hasil tingkat respon yang terbesar dihasilkan oleh harga teh dunia. Setiap kenaikan 1% harga teh dunia dalam cent di setiap kilogramnya akan menaikan nilai ekspor teh Indonesia sebesar 0,8232% dalam ribu dolar US. Analisis Ekonomi terhadap Hasil Regresi dan Nilai Respon (1) Produktivitas terhadap Nilai Ekspor Teh Sebagai interpretasi faktor produksi, produktivitas mampu menerangkan seberapa baiknya faktor input yang digunakan (Yamit, 2005). Angka yang semakin tinggi dalam produktivitas teh Indonesia memiliki arti sebagai penggunaan faktor produksi yang semakin baik. Dalam hal ini, produktivitas teh yang baik dapat meningkatkan peluang untuk produksi teh yang lebih banyak, baik untuk dikonsumsi dalam negri maupun untuk ekspor. Sehingga, semakin besar prodiktivitasnya, maka peluang untuk memproduksi teh dalam negeri akan semakin besar. Kemudian peluang untuk ekspor pun akan bertambah juga. Sehingga, saat dikonversikan terhadap nilai ekspor, nilainya akan semakin tinggi. Mengingat produksi dalam negeri, peluang untuk menambah nilai ekspor dari produktivitas pun dapat disesuaikan. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh kondisi konsumsi dalam negeri yang cenderung stabil atau tidak mengalami kenaikan. Selain itu, dalam memproduksi teh terdapat perbedaan kualitas antara yang dikonsumsi dalam negeri maupun produk ekspornya. Perbedaan jenis konsumsi itu mungkin
dapat dijadikan suatu alasan mengapa peningkatan produksi per hektarnya memiliki peluang untuk menambah jumlah ekspornya. Maka dari itu, upaya peningkatan nilai ekspor teh di Indonesia dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas teh di Indonesia. (2) Nilai Tukar Rupiah terhadap Nilai Ekspor Mendongkrak ekspor yang sebanyak banyaknya dapat memperkuat nilai rupiah dalam mata uang asing. Hal tersebut dimaksudkan agar menambah nilai ekspor yang didapat. Sehingga, nilai ekspor tersebut dapat menghasilkan devisa negara (Mankiew, 2006). Neraca yang defisit, dalam artian impor yang lebih besar bila dibandingkan dengan ekspor, akan melemahkan nilai rupiah di mata uang asing. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendukung pihak eksportir dari berbagai cara agar menambah produksinya. Sehingga akan semakin banyak pula ekspor yang didapat. Dalam kegiatan ekspor teh Indonesia, tentunya faktor produksi yang digunakan menggunakan mata uang rupiah dengan kurs yang berlaku tersebut. Bila nilai rupiah melemah, yang berarti nominal nilai tukarnya bertambah untuk setiap satu dolarnya, maka biaya pengorbanan untuk faktor produksi tersebut belum tergantikan dengan nilai dolarnya. Sehingga, hal ini justru mengurangi nilai barang itu sendiri berdasarkan pertukaran kurs yang terjadi. (3) Harga teh dunia terhadap Nilai Ekspor Dalam kasus penawaran, harga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi banyaknya penawaran (Rahardja, 2008) Dalam kegiatan ekspor, tentunya harga internasional yang dijadikan acuan. Harga internasional dalam analisis memiliki satuan sen/kg. Namun, pada variabel yang menjadi pengamatan ini, harga dunia teh Indonesia merupakan hasil harga teh Indonesia yang berlaku untuk diekspor. Berdasarkan analisisnya, hubungan harga dunia dengan nilai ekspor merupakan hubungan yang berbanding lurus. Semakin besar harga teh yang terjadi, maka semakin besar nilai ekspor yang didapat. Jika dikaitkan dengan hukum permintaan, harga akan bertambah seiring dengan penambahan permintaan yang kemudian diseimbangkan dengan penawaran dari pihak eksportir. Kenaikan harga yang terjadi pada produk ekspor teh Indonesia dapat dikarenakan oleh banyaknya permintaan impor teh ke negara Indonesia. Bila kemampuan produksi yang berjalan cenderung tetap, yang artinya produksi cenderung tetap, maka harga akan bertambah karena untuk menyeimbangi penawaran dari pihak eksportir. Dengan demikian, nilai dari barang itu sendiri pun akan bertambah.
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis melalui berbagai uji dan metode perhitungannya, dapat disimpulkan bahwa: 1. Secara simultan, nilai ekspor teh Indonesia dipengaruhi oleh produktivitas teh Indonesia, nilai tukar rupiah dan harga teh dunia. Namun, secara parsial hubungan signifikan hanya ditunjukan oleh produktivitas teh Indonesia dan harga dunia. Setiap kenaikan harga teh sebesar 1 sen di setiap kilogramnya mampu menaikan nilai ekspor teh sebesar 551.760US$ dalam kurun waktu pertahunnya. Hal ini dapat dikarenakan oleh jumlah permintaan terhadap teh Indonesia cenderung naik. Lalu, setiap kenaikan satu rupiah setiap dolarnya mampu mengurangi nilai ekspor teh Indonesia sebesar 69.721US$ pertahunnya, karena biaya pengorbanan untuk setiap produksi ekspor teh tidak tergantikan oleh dolar yang menguat akibat kenaikan nilai tukar rupiah. Kemudian, setiap kenaikan produksi teh sebanyak satu kg di setiap ha areal tanam teh di Indonesia, mampu menaikan nilai ekspor teh Indonesia sebesar 64.402US$ per tahunnya. Peningkatan produktivitas teh mampu menambah jumlah produksi nasionalnya. Sehingga, produksi teh memiliki peluang untuk menambah jumlah ekspor yang kemudian dikonversikan dalam bentuk nilai. 2. Nilai ekspor teh tidak memiliki respon terhadap produktivitas teh Indonesia, nilai tukar rupiah dan harga teh dunia. Hal tersebut dikarenakan oleh nilai elastisitasnya dibawah satu yang berarti inelastis. Artinya setiap persentase perubahan yang terjadi dalam produktivitas teh Indonesia, nilai tukar rupiah dan harga teh, menghasilkan persentase perubahan nilai ekspor teh yang lebih kecil lagi. Hal ini dapat disebabkan oleh pelaku eksportir yang kurang peka atau masih lamban dalam merespon nilai ekspor teh melalui keadaan produktivitas, nilai tukar dan harga dunia yang terjadi. Namun, dari ketiga faktor tersebut, harga teh dunia memberikan nilai elastisitas atau respon yang paling besar terhadap nilai ekspor teh Indonesia. Setiap perubahan atau kenaikan harga teh dunia sebanyak 1% dalam satuannya ($/Kg), maka akan menghasilkan perubahan nilai ekspor teh Indonesia sebesar 0,8232% dalam satuannya ($0.000) SARAN Terkait dengan hasil ouput yang didapat, maka ada beberapa kebijakan yang perlu
145
diperhatikan dalam meningkatkan nilai ekspor teh di Indonesia, yaitu: 1. Penetapan kuota impor teh Indonesia. Bila penetapan tarif bea masuk masih belum bisa mengurangi jumlah impor, maka penetapan kuota impor perlu dikendalikan dan diseimbangi denga kebutuhan negara. Hal ini diharapkan dapat mengurangi neraca perdagangan yang defisit akibat banyaknya impor di berbagai komoditasnya. 2. Penerapan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan teh, baik perkebunan rakyat, negara maupun swasta. Sehingga jumlah permintaan yang belum tertutupi akibat penetapan kuota impor dapat dipenuhi karena produksi yang meningkat. DAFTAR PUSTAKA BPS. (2014). Ekspor Teh Menurut Negara Tujuan Utama, 2000-2013. [Online]. Tersedia di: http://www.bps.go.id /webbeta/frontend/linkTabelStatis/view/id/1016 #accordion-daftar-subjek2 (diakses pada tanggal 15 Februari 2015) Gujarati dan Porter. (2012). Dasar-Dasar Ekonometrika. Buku 2. Jakarta : Salemba Empat.as Mankiw, N., Gregory. (2006). Principles of Economics: Pengantar Ekonomi Makro. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh: Chriswan Sungkono. Jakarta: Salemba Empat. Mankiw, N., Gregory. (2006). Principles of Economics: Pengantar Ekonomi Mikro. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh: Chriswan Sungkono. Jakarta: Salemba Empat. Rahardja, Prathama dan Manurung, Mandala. (2008). Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi). Edisi ketiga. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sukirno, Sadono. 2011. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Yamit, Zulian . (2005). Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Ed. 1, Cet. 4. Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta
146
Analisis Daya Saing Usahatani Tembakau Mole (Studi Kasus Desa Sukasari, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) Competitiveness Analysis of Tobacco Farming Mole Septian Rindiarto1, M. Arief Budiman1 1
Program Studi Agribisnis, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang
ABSTRAK
Kata Kunci: Daya Saing Tembakau PAM
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tembakau. ekspor tembakau mengalami tren penurunan mulai dari tahun 2010 hingga 2014. Penurunan produksi tembakau dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Perlu adanya peninjauan mengenai kondisi daya saing tembakau mengingat Indonesia merupakan pengekspor tembakau dan kebijakan merupakan faktor yang mempengaruhi penurunan ekspor tembakau. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui daya saing usahatani dengan melihat keuntungan privat dan keuntungan sosial pada tingkat harga aktual atau harga pasar, mengetahui transfer effect atau dampak kebijakan pemerintah dengan menganalsisi daya saing dari tingkat privat (petani) dan sosial (internasioanl, dan mengetahui implikai kebijakan pemerintah setelah dilakukannya analisis PAM. Desain penelitian yang digunakan adalah desain kuantitatif dengan teknik penelitian survey. Analisis data menggunakan analisis deskritif dengan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tembakau Desa Sukasari memiliki daya saing baik keunggulan kompetitif maupun komparatif. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai PCR < 1 dan DRCR < 1 sedangkan kebijakan pemerintah dinilai menghambat ekspor output dan adanya proteksi terhadap input lokal. Kebijakan tersebut dibuktikan dengan nilai NPCO < 1 dan NPCI < 1. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah menyudutkan petani tembakau. Namun, tingginya harga tembakau dunia diduga membantu meningkatkan daya saing tembakau dalam negeri.
ABSTRACT
Keywords: Competitiveness Tobacco PAM
Indonesia is one of the tobacco exporting countries. Tobacco exports experienced a downward trend from 2010 to 2014. The decline in tobacco production are affected by government policies. Need for a review of the competitiveness of tobacco because Indonesia is an exporter of tobacco and policies is a factor affecting the decline in tobacco exports. The purpose of this study was to determine the competitiveness of farming with a view of private profits and social benefits at the level of the actual price or market price, knowing the transfer effect or impact of government policies with menganalsisi competitiveness of the level of private (farmer) and social (on international, and knowing implikai government policy after doing an analysis of PAM. The research design is the design of quantitative research techniques survey. The data analysis using descriptive analysis with analysis tools Policy Analysis Matrix (PAM). The results showed that the tobacco village Sukasari competitiveness both competitive advantage and comparative. It evidenced by the PCR values <1 and DRCR <1 whereas government policies impeded the export of output and the protection of local input. This policy is evidenced by NPCO values <1 and NPCI <1. Overall government policy cornering tobacco farmers. However, the high price of tobacco the world thought to help improve the competitiveness of domestic tobacco.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
147
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara pengekspor tembakau. Akan tetapi ekspor tembakau Indonesia mengalami penurunan yang signifikan mulai dari tahun 2010 hingga 2014. Faktor utama dari penurunan produksi tembakau adalah kebijakan pemerintah yang membatasi produksi nasional. Kondisi tersebut harus disesuaikan oleh pihak-pihak terkait terutama petani. Peningkatan daya saing mengingat produksi tembakau yang dibatasi merupakan tantangan yang harus diselesaikan. Tembakau merupakan salah satu komoditas ekspor primer perkebunan. Terdapat 12 komoditas ekspor primer perkebunan. Dalam segi volume tembakau bukan merupakan 5 besar pemegang ekspor terbesar diantara komoditas yang lain. Kendati bukan termasuk 5 besar pengekspor terbesar dalam segi volume, tembakau juga mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2010 ke 2011. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah sangat menekan keberadaan tembakau dalam negeri. Hal tersebut diduga membuat kondisi tembakau Indonesia memiliji tren menurun pada 5 tahun terahir. Tabel 1. Ekspor Komoditas Primer Perkebunan Sumber: BPS Pembatasan produksi, perizinan, dan pengujian merupakan isu utama dalam penurunan ekspor tembakau. Seperti pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 mengenai Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk tembakau bagi Kesehatan. Kebijakan mengenai pembatasan produksi tembakau sangat menyudutkan pihak petani. Dengan kondisi yang tidak menguntungkan untuk petani (dilihat dari bentuk kebijakan pemerintah dan keadaan ekspor tembakau) maka perlu adanya peninjauan mengenai daya saing tembakau dan dampak kebijakan pemerintah yang diterapkan pada tembakau. Daya saing dan dampak kebijakan pemerintah akan dilihat dari sudut pandang petani yang dilakukan di Desa Sukasari, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang mengingat provinsi Jawa Barat merupakan provinsi terbesar ketiga dalam memproduksi tembakau dalam negeri. Desa Sukasari memiliki potensi yang baik didukung dengan luas areal lahan terbesar di Kabupaten Sumedang, memiliki pasar khusus tembakau dimana hanya terdapat 2 di seluruh Indonesia dan memliki tembakau khusus yaitu tembakau mole METODE PENELITIAN Objek penelitian ini adalah daya saing tembakau Indonesia dengan melihat salah satu petani 148
sebagai representatif usahatani yang diteliti yaitu di Desa Sukasari, Kecamatan Tanjung Sari, Kab, Sumedang, Sumedang, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa Desa Sukasari merupakan penghasil tembakau dan memiliki kelompok tani terbanyak di Kabupaten Sumedang. Desain penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan teknik penelitian metode survey. Menurut Zikmund (1997) metode penelitian survei adalah satu bentuk teknik penelitian sampel berupa orang melalui pertanyaan-pertanyaan. Menurut Bailey (1982) metode penelitian survei merupakan satu metode penelitian yang teknik pengambilan datanya dilakukan melalui pertanyaan – tertulis atau lisan. Alat analisis yang digunakan adalah Policy Analysist Matrix (PAM) untuk mengukur daya saing dan dampak kebijakan pemerintah. Data yang digunakan adalaha data primer dan sekunder dimana primer didapat dari hasil wawancara petani sebagai responden dan sekunder didaptkan dari referensi yang representatif. Cara mendapatkan data primer dengan menggunakan kuesioner yang disusun secara terstruktur yang memuat pertanyaan terkait biaya pengeluaran sampai pemasaran produk. Cara Menentukan Responden Dua tahap dalam menentukan responden yaitu dengan menggunakan rumus Slovin dan perhitungan proporsional sampling. Slovin digunakan untuk menentukan jumlah responden yang akan diwawancarai. Dalam hal ini terdapat 35 responden dari populasi sebesar 184 jiwa. Kemudian proporsional sampling digunakan untuk mendaptkan proporsi petani yang seimbang dari tiap kelompok tani. HASIL DAN PEMBAHASAN Harga Privat
Harga privat adalah harga yang didasarkan pada harga aktual. Harga tersebut mencerminkan keadaan usahatani dari rata-rata pendapatan dan biaya atau perilaku petani saat ini. Hasil survey lapangan memperoleh harga privat input dan output di tingkat petani disajikan pada tabel. 13. Rata-rata harga NPK adalah Rp. 8772,727/kg, dan Za Rp. 2760/lt. Harga insektisida Rp. 200.000,00/lt untuk curacron, dan fungisida Rp. 120.000,00/lt untuk antrakol. Upah tenaga kerja petani bervariasi tergantung pada petani yang memiliki modal. Upah tenaga kerja laki-laki untuk kegiatan di lapangan mulai dari penanaman hingga panen berkisar pada Rp. 40.000,00 – Rp. 70.000,00. Masing-masing tenaga kerja membawa peralatan kerja sendiri.
Harga Kategori
Uraian
Satuan Privat
Benih
Sosial
Rp/Pohon
1778,33
612,892
a. NPK
Rp/Kg
8772,73
7.809,41
b. Za
Rp/Kg
2760
6.385,75
Pestisida a. Insektisida
Rp/Lt
200000
313.192,00
c. Fungisida
Rp/Kg
120000
156.746,00
a. Cangkul
Rp/Unit
100000
100000
b. Arit
Rp/Unit
20000
20000
c. kored
Rp/Unit
25000
25000
d. rajang
Rp/Unit
200000
200000
e. sasag f. semprotan
Rp/Unit
4000
4000
Rp/Unit
800000
800000
g. amril
Rp/Unit
60000
60000
h. rimagan
Rp/Unit
300000
300000
i. osreng
Rp/Unit
42000
42000
j. parang k. pompa air Tenaga Kerja
Rp/Unit
80000
80000
Rp/Unit
3100000
3100000
Rp/HOK
39892,9
39892,86
400000
400000
Pupuk Input Tradable
Peralatan
Input NonTradable
Sewa Lahan
Rata-rata sewa lahan yang dikeluarkan petani berkisar Rp. 300.000,00 hingga Rp. 500.000,00 bergantung jenis sewa lahan yang dipakai. Ada 2 jenis lahan yang dipakai yaitu lahan
kering dan lahan sawah (wawancara petani). Harga lahan sawah lebih besar dibanding lahan kering karena tembakau lebih baik ditanam pada lahan sawah. Tabel 2. Harga Privat dan Harga Sosial Harga Sosial Penentuan harga sosial hanya bisa dilakukan dengan pendugaan (approximation). Pendugaan harga sosial untuk barang tradabel, baik untuk barang-barang impor maupun ekspor, untuk output maupun input adalah sama. Harga sosial untuk produk tersebut adalah border price (harga impor untuk importabes, dan harga ekspor untuk eksportables). Harga sosial barang tradabel (benih, NPK, Za, insektisida, fungisida) disajikan pada tabel 13. Harga sosial untuk benih tembakau sebesar Rp. 613,00/pohon, pupuk NPK sebesar Rp. 7.809,00/Kg, pupuk Za sebesar Rp. 6.385,00/Kg, insektisida sebesar Rp. 313.192,00/Lt, dan fungisida sebesar Rp. 156.746,00/Kg. Harga sosial untuk barang nontradabel di asumsikan sama dengan harga privatnya. Perhitungan harga sosial tembakau dijelaskan pada lampiran 7 dengan nilai sebesar Rp. 156.746/Kg. Harga sosial untuk tenaga kerja diduga sama dengan harga privatnya karena tidak ditemui distorsi kebijakan akan ketengakerjaan petani tembakau. Asumsi ini didasarkan pada informasi yang didapat dari informan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang mempegaruhi langsung mengenai biaya ketenagakerjaan.
Matrix PAM
Komponen Privat Sosial Divergensi
Input Tradable Non-Tradable 2130966667 345403708 645274167 27260219347 535170069 645274167 -25129252680 -189766361 0
Pendapatan
Data pada tabel matrix PAM diatas diperoleh dari bujet usahatani yang dibahas pada subbab sebelumnya. Perhitungan bujet privat menghasilkan nominal yang digunakan dalam perhitungan matrix PAM. Hal serupa juga dilakukan pada tingkat sosial. Kedua nominal yang dihasilkan pada masing-masing bujet privat akan dianalisis dengan melihat distorsi atau divergensi antara bujet privat dan bujet sosial. Keuntungan privat didefinisikan sebagai pengukur daya saing pada tingkat harga aktual atau petani. Keuntungan sosial didefinsikan sebagai pengukur efisiensi pada tingkat harga sosial. Divergensi Input dan Ouput Tradable Suatu divergensi akan menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiensi. Divergensi
Keuntungan 1140288792 26079775111 -24939486319
timbul karena salah satu dari dua sebab – kegagalan pasar atau distorsi kebijakan. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu competitive outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar pada umumnya adalah monopoli, externality dan faktor (produksi) domestik tidak sempurna. Kebijakan distortif adalah intervensi pemerintah yang menyebabkan harga asar berbeda dengan harga efisiensinya. Menghitung Keuntungan Menghitung keuntungan merupakan langkah untuk mengukur keuntungan yang dihasilkan usahatani dalam satu musim tanam per hektarnya. Ada 2 jenis perhitungan yaitu pada tingkat petani (privat) dan pada tingkat internasional (sosial).
149
1. Keuntungan Privat (PP) Keuntungan privat merupakan hasil pengurangan pendapatan privat dengan biaya tradabel dan non-tradabel privat. Pada tabel matrix PAM dapat dilihat bahwa keuntungan menunjukkan angka positif sebesar Rp. 32.579.679,00/hektar. Nominal yang dihasilkan merupakan rata-rata dari penghasilan 35 responden yang telah diolah. Hasil positif keuntngan privat berarti secara finansial kegiatan usahatani mengalami keuntungan. 2. Keuntungan Sosial (SP) Keuntungan sosial merupakan hasil pengurangan pendapatan sosial dengan biaya tradabel dan non-tradabel sosial. Tabel matrix PAM menunjukkan angka positif sebesar Rp. 118.298.670,00/hektar. Hal tersebut menunjukkan secara ekonomi pengusahaan komoditas tembakau mengalami keuntungan. Keuntungan yang diperoleh dari 2 tingkat harga memiliki perbedaan yang signifikan. Pada umumnya, kondisi lapangan memberikan informasi yang sesuai dengan hasil perhitungan penerimaan privat. Hasil perhitungan tingkat sosial menunjukkan nominal yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan petani menerima keuntungan yang tidak seharusnya. Diduga perbedaan harga tembakau penyebab distorsi keuntungan pada kedua tingkat. Menghitung Efisiensi (Keunggulan Komparatif dan Kompetitif) Daya saing dapat dilihat dari tingkat efisiensi yang menyebakan suatu usahatani memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Keunggulan kompetitif dihitung melalui rasio biaya privat (PCR) sedangkan keunggulan komparatif dihitung melalui rasio biaya sumber daya (DRC). 1. Rasio Biaya Privat (PCR) Perhitungan rasio biaya privat menggunakan nominal pada matrix PAM dengan hasil 0,361 yang dimana menunjukkan usahatani tembakau memiliki keunggulan kompetitif. 2. Rasio Biaya Sumber Daya (DRC) Perhitungan rasio biaya sumber daya menggunakan nominal pada matrix PAM dengan hasil 0,024 yang dimana menunjukkan usahatani tembakau memiliki keunggulan komparatif. Nilai PCR dan PP dalam analisis keunggulan kompetitif merupakan indikator yang menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya dan tingkat keuntungan pengusahaan tembakau secara finansial. Nilai PCR sebesar 0,361 menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output tembakau sebesar 150
satu satuan, diperlukan tambahan biaya faktr domestik sebesar 0,361 satuan. Hal tersebut menggambarkan bahwa komoditas tembakau mampu bersaing dengan komoditas sejenis dari produk impor dalam negeri maupun ekspor mancanegara. Nilai DRC dan SP merupakan indikator yang menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya secara ekonomi. Nilai DRC pada lokai penelitian adalah 0,024. Nilai ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output tembakau di Desa Sukasari sebesar satu satuan diperlukan biaya tambahan faktor domestik sebesar 0,024 satuan. Hal tersebut menggambarkan bahwa komoditas tembakau Desa Sukasari mampu hidup tanpa bantuan pemerintah dan memiliki peluang ekspor yang besar. Indikator lainnya adalah keuntungan sosial. Apabila keuntungan sosial bernilai positif maka petani menerima keuntungan sosial dari biaya perhitungan sosial. Oleh karena itu, bila dilihat dari hasil analisis DRC dan SP petani mampu untuk mandiri tanpa ada intervensi pemerintah. Dapat disimpulkan dengan melihat nilai PCR dan DRC bahwa tembakau Desa Sukasari memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Menghitung Dampak Kebijakan Pemerintah Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku dari sistem tersebut. Kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dapat menentukan keberhasilan pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan devisa. Kebijakan dapat mempengaruhi keuntungan maupun produktivitas suatu kegiatan ekonomi. Dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat dari analisis matriks PAM melalui beberapa indikator yaitu kebijakan terhadap output, kebijakan terhadap input, dan kebijakan terhadap input-output. 1. Kebijakan Output a. Transfer Output (TO) Nilai transfer output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Nilai transfer output yang dihasilkan dari matrix PAM sebesar negatif Rp. 717.978.648,00/hektar yang berarti masyarakat mengeluarkan biaya yang lebih kecil, lebih kecil dari harga yang seharusnya dibayarkan dan produsen menerima harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima. b. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) NPCO menilai kebijakan pemerintah yang menghambat atau mendukung ekspor melalui pajak. Matrix PAM menunjukkan hasil sebesar 0,078 yang berarti ada kebijakan pemerintah
yang menghambat ekspor output yang berupa pajak. 2. Kebijakan Input a. Transfer Input (TI) Transfer input menjelaskan besaran penerimaan pemerintah yang ditandai positif atau negatifnya nominal yang dihasilkan matrix PAM. Matrix PAM menunjukkan nominal sebesar negatif Rp. 5.421.896,00/hektar yang berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima secara finansial lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
Hasil analisis menunjukkan nilai NPCI sebesar 0,645. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input mendorong peningkatan daya saing komoditas tembakau di lokasi penelitian. NPCI yang bernilai kurang dari 1 menggambarkan bahwa harga privat input tradabel lebih rendah dibanding harga sosialnya sebesar 64,5%. Menghitung Kebijakan Input-Output 1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) EPC menunjukkan arah kebijakan pemetintah apakah bersifat melindung atau menghambat
Input
Keuntungan Keuntungan Perbandingan Privat NonTradabel Tradabel Apresiasi 19992638736 575938800 409812500 19006887436 12331195827 154,137 Depresiasi 24540214813 494620362,7 409812500 23635781951 12331195827 191,675 produksi domestik secara efektif. Hasil matrix b. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) PAM menunjukkan angka sebesar 0,066 yang Hasil matrix PAM menunjukkan nominal berarti rendahnya proteksi yang diberlakukan sebesar 0,645 yang berarti adanya hambatan pemerintah dalam sistem produksi. ekspor yang menyebabkan produksi 2. Transfer Bersih (TB) menggunakan input lokal. Hal ini Transfer bersih menunjukkan ketidakefisienan mengindikasikan adanya subsidi yang diberikan dalam sistem produksi. Matrix PAM pemerintah terhadap input tradabel sehingga menujukkan nilai transfer bersih sebesar negatif petani mengeluarkan biaya yang lebih rendah Rp. 712.556.752,00/Hektar yang berarti adanya dibanding biaya input tradabel sosialnya. kerugian finansial produsen yang disebabkan 3. Transfer Faktor (TF) oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada Nilai transfer faktor menunjukkan besarnya input dan output. subsidi terhadap input non-tradabel. Hasil 3. Koefisien Keuntungan (PC) matrix PAM menunjukkan nominal sebesar 0 PC menunjukkan dampak kebijakan pemerintah yang berarti tidak ada subsidi pemerintah pada terhadap keuntungan yang diterima oleh input non-tradabel. produsen. Matrix PAM menunjukkan nilai PC Kebijakan pemerintah dapat berupa sebesar 0,044 yang berarti kebijakan pemerintah meningkatkan ataupun menghambat. Kebijakan itu mengakibatkan keuntungan yang diterima berupa subsidi/pajak. Dampak kebijakan pemerintah produsen lebih besar daripada tanpa adanya dilihat dari nilai TO dan NPCO. Secara keseluruhan kebijakan. kebijakan pemerintah memberikan hambatan beupa 4. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) pajak dilihat dari nilai NPCO sebesar 0,078 dan Matrix PAM menunjukkan nilai SRP sebesar secara implisit terdapat transfer dari konsumen negatif 0,956 yang berarti kebijakan pemerintah kepada produsen tembakau di Desa Sukasari. menyebabkan produsen mengeluarkan biaya Besarnya dampak kebijakan pemerintah produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk terhadap input produksi tembakau dilihat dari nilai berproduksi. TI, NPCI dan TF. Nilai TI menunjukkan harga input tradabel pada struktur harga privat lebih rendah Analisis Sensitivitas dibandingkan pada struktur harga sosial. Diduga Untuk mengukur sensitivitas hasil analisis pemerintah melakukan subsidi terhadap input terhadap berubahnya asumsi nilai tukar, digunakan tradabel sehingga biaya input petani berkurang tetapi tiga kemungkinan nilai tukar. Sebagai basis, nilai keuntungan pemerintah berkurang. TF memiliki nilai tukar yang dipakai adalah nilai tukar per 8 agustus sebesar 0 yang berarti bahwa petani membayar biaya 2015 sebesar Rp. 13.604,00/Dollar. Analisis input domestik setara dengan struktur sosialnya. sensitivitas dilakukan dengan mengukur dampak berubahnya nilai tukar terhadap keuntungan sosial. Komponen Pendapatan
151
Dua kemungkinan yang digunakan adalah Rp. 14.964,00 diumpamakan apabila nilai tukar mengalami apresiasi dan Rp. 12.244,00 diumpamakan apabila nilai tukar mengalami depresiasi. Nilai apresiasi dan depresiasi tersebut berkisar 10 persen dari nilai tukar basis. Tabel 3. Matrix Kuntungan dengan Asumsi Apresiasi dan Depresiasi Nilai Tukar Hasil analisis menunjukkan betapa sensitifnya usahatani tembakau terhadap perubahan nilai tukar. Keuntungan sosial akan menurun apabila nilai tukar menguat dan sebaliknya, keuntungan sosial akan meningkat apabila nilai tukar menurun. Hal ini diakibatkan tingkat harga internasional tembakau yang tinggi bilai dibandingkan dengan harga privat (petani). Implikasi Kebijakan Hasil analisis menunjukkan petani memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif apabila dilihat dari keuntungan sosial dan keuntungan privat serta kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor tembakau dan menimbulkan ketidakefisienan pada input dan output tembakau. Pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan terhadap faktor input dan output. Hasil analisis matix PAM menunjukkan bahwa ada beberapa poin akibat penerapan kebijakan pemerintah. 1. Keuntungan yang diterima pemerintah secara finansial lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. 2. Adanya proteksi yang menyebabkan petani menggunakan produksi dalam negeri. 3. Tidak ada subsidi terhadap input non-tradabel. 4. Rendahnya proteksi terhadap sistem produksi. 5. Adanya ketidakefisienan dalam sistem produksi karena kebijakan yang diterapkan pada input dan output. 6. Kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk berproduksi. 7. Nilai tukar memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap keuntungan sosial. Pemerintah memiliki kebijakan yang ketat terhadap komoditas tembakau. Seperti yang telah dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 bahwa ada 3 pokok pembahasan dalam peraturan pemerintah yaitu pembatasan, perizinan dan pengujian. Pembatasan tersebut dikenakan pada produksi tembakau sampai pada pemasaran produk olahan tembakau atau rokok. Pembatasan ini akan mempengaruhi secara signifikan terhadap keuntungan privat para petani karena apabila permintaan ekspor turun maka 152
perusahaan pengolah tembakau akan sulit untuk memasarkan hasil olahan tembakaunya. Oleh karena itu, petani pun akan mengurangi hasil produksi hasil tembakau dan pemasukannya pun akan berkurang1. Selain itu, pembatasan iklan hasil olahan tembakau dan area bebas rokok akan mengurangi konsumsi masyarakat terhadap rokok. Besarnya biaya input pun akan memperkecil keuntungan yang diterima petani. Perizinan yang dimaksud adalah bahwa untuk memproduksi tembakau produsen harus memiliki izin yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan. Pengujian yang dimaksud adalah semakin ketatnya pengedaran tembakau tanpa hasil pengujian laboratorium terakreditasi sehingga seluruh produsen tembakau wajib menguji kadar kandungan yang dimiliki tembakau yang dihasilkannya (Departemen Kesehatan, 2012). Keadaan tersebut akan mempersulit petani-petani kecil karena kebanyakan petani yang belum mengetahui pengetahuan mengenai perizinan dan pengujian tembakau terlebih hal tersebut akan meningkatkan pengeluaran petani. Subsidi dan pajak pun sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani. Hal tersebut dijelaskan pada hasil analisis Matrix PAM yang menjabarkan bahwa terjadi ketidakefisienan dalam sistem produksi. Ketidakefisienan tersebut terlihat dari perbedaan keuntungan sosial dan keuntungan privat dan didukung dengan kondisi petani yang sulit berkembang walaupun menurut salah satu responden “tembakau jarang merugi”. Pemerintah juga melakukan proteksi terhadap bahan-bahan produksi dalam negeri. Ketentuan tentang besarnya tarif impor mendukung hasil analisis tersebut. Tingginya tarif impor menyebabkan petani menggunakan bahan-bahan produksi dalam negeri. Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai pembatasan, perijinan, pengujian, subsidi, pajak hingga proteksi secara keseluruhan menyudutkan pihak petani. Responden penelitian pun menjelaskan bahwa banyak kebijakan pemerintah yang tidak mendukung petani tembakau. akan tetapi, tembakau masih menjadi andalan Indonesia dengan pemasukan pajak hasil olahannya yang besar tiap tahunnya. Dengan kata lain, walaupun kebijakan pemerintah tidak berpihak pada petani tembakau pemerintah masih membutuhkan peran petani tembakau dengan hasil olahannya. Oleh karena itu, perlu ada pembahasan lebih lanjut mengenai kebijakan yang lebih berperan netral dan saling mendukung diantara kedua pihak. Sejauh ini petani masih terbantu oleh harga interansional tembakau yang tinggi sehingga harga jual tembakau daerah pun masih bisa menutupi kebijakan pajak. Hasil analisis matrix PAM juga
menunjukkan tembakau masih memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Keadaan tersebut harus dipertahankan untuk tetap bersaing di pasar internasional. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah: 1. Usahatani tembakau di Desa Sukasari memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Keunggulan kompetitif ditunjukkan dengan nilai PCR < 1. Nilai PCR pada hasil analisis adalah 0,361. Hal ini menunjukkan usahatani tembakau memiliki keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif ditunjukkan dengan nilai DRCR < 1 yaitu 0,024 yang berarti menunjukkan usahatani tembakau memiliki keunggulan komparatif. 2. Dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat dari nilai NPCO dan NPCI. NPCO yang didapat sebesar 0,078 yang berarti ada kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor ouput berupa pajak. NPCI yang didapat sebesar 0,645 yang berarti adanya proteksi terhadap input lokal dan mengindikasikan adanya subsidi terhadap input tradabel sehingga petani mengeluarkan biaya yang lebih rendah dibandingkan biaya input tradabel sosialnya. 3. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah menyudutkan pihak petani seperti pembatasan, perijinan, pengujian dan pajak. Akan tetapi, tingginya harga tembakau dunia diduga membantu meningkatkan daya saing tembakau dalam negeri. Saran Berdasarkan pada kesimpulan, maka saran dari peneliti adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya penyuluhan secara merata untuk menjaga keunggulan baik kompetitif maupun komparatif karena secara umum tembakau Desa Sukasari sudah memiliki daya saing sehingga langkah untuk menjaganya menjadi prioritas. Penyuluhan yang diberikan bisa berupa materi teknis budidaya maupun mengenai sudut pandang atau cara berpikir untuk mengetahui potensi yang dimiliki desa. 2. Perlu adanya peninjauan kembali tentang kebijakan pajak yang dibebankan pada tembakau. Nilai NPCO yang sangat kecil menunjukkan peran pajak yang sangat besar dalam menghambat ekspor tembakau. Peninjauan pajak dilakukan untuk mengetahui porsi yang tepat untuk diberikan kepada ekspor output tembakau sehingga petani dapat mengembangkan usaha tembakau.
3. Perlu adanya antisipasi pemerintah seperti diversifikasi olahan tembakau dengan mengembangkan teknologi baru karena tingginya tingkat harga tidak akan selamanya membantu menjaga daya saing tembakau. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A. dan Soedarmanto. 1982. Budidaya Tembakau. Jakarta: CV. Yasaguna Adisewojo, R.S. 1962. Bercocok Tanaman Tembakau. Bandung: Sumur Bandung BP3K. 2011. Data Jumlah Kelembagaan Petani. http://bp3ktanjungsari.blogspot.com/2011/03/ data-keadaan-kelompok-tani.html. diakses pada 09/05/2015 pukul 1.31 Cahya Indah Franiawati, Wan Abbas Zakaria dan Umi Kalsum. 2013. Daya Saing Jagung di Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur. Darsono dan Ashari. 2004. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: BPFE Departemen Kesehatan. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. (Http://Pppl.Depkes.Go.Id/_Asset/_Regulasi/ 47_Pp%20nomor%20109%20tahun%202012. Pdf) diakses pada 22/08/2015 Ini Rahmatika, Venti. 2011. Analisis Daya Saing Kopi (Coffea sp) PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getan/Assinan Kabupaten Semarang. Surakarta Drs. Hendra Halwani, M.A. dan DR. H. Prijono Tjiptoherijanto. Perdagangan Internasional Pendekatan Ekonomi Mikro dan Makro. Ghalia Indonesia: 1993 Fendi. 2013. Pembatasan Produksi Tembakau. http://www.hukumonline.com (Diakses pada tanggal 2 Maret 2015) Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia. Jakarta Hamidi, Hirwan. 2007. Daya Saing Tembakau Virginia Lombok di Pasar Ekspor. Raja Empat Halwani, Hendra & Tjitorerijanto, Prijono. 1993. Perdagangan Internasional: Pendekatan Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: Ghalia Indonesia Krisna Setiawan, Slamet Hartono dan Any Suryantini. 2014. Analisis Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Kupang. Kupang: Politeknik Pertanian Negeri Kupang Nurhayat, Wiji. 2013. Ini 6 Negara Penghasil Tembaau Terbesar di Dunia.
153
www.detikfinance.com (Diakses pada tanggal 27 Februari 2015) Pearson, S, Carl Gotsch. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix Pada Pertanian Indonesia. Terj. SjaifulBahri (ed). Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Pusat Data dan Sistemb Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal – Kementrian Pertanian. 2014. Ooutlook Tembakau 2014. Saptana, Sunarsih dan Kurnia Suci Indraningsih. 2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Bogor: Laporan Hasil Penelitian. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No. 1, Juli 2006 : 61 – 76. Saptana, Supena Friyatno dan Tri Bastuti P. 2013. Analisis Dayasaing Komoditi Tembakau Rakyat di Klaten Jawa Tengah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Simatupang, P. 1990. Comparative Advantage and Government Protection Structure of Soybean Production in Indonesia. Comparative Advantage and Protection Structures of Livestock and Feedstuff Subsector in Indonesia (Ed. F. Kasryno and P. Simatupang). Bogor: Center for Agrieconomic Research, AARD. Sudaryanto, T dan P. Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis : Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, IPB. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suwarto dan Y. Octavianty. 2010. Budidaya 12 Tanaman Perkebunan Unggulan. Jakarta: Swadaya Rahmatika, Venti Dini. 2011. Analisis Daya Saing Kopi (Coffea sp) PT Perkebunan Nusantara IX (PERSERO) Kebun Getas/Assinan Kabupaten Semarang. Surakarta: Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Warr, P. G. 1992. Comparative Advadtage and Protection in Indonesia. Bulletin of Indonesia Economic Studies, 28 (3), 41-70.
154
Analisis Risiko Produksi Bunga Mawar Potong (Rosa hybrida) (Studi Kasus di Rosalia Flowers, Desa Cihideung, Kecamatan Parompong, Kabupaten Bandung Barat) Risk Analysis of Roses Production (Rosa hybrida) (A case study of Rosalia Flowers in Cihideung, Parongpong District, West Bandung Regency) Dery Luvitasari1, Sara Ratna Qanti1 Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor ABSTRAK
Kata Kunci: Analisis Risiko, Produksi, Mawar, Diagram Tulang Ikan, FMEA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko produksi pada bunga mawar potong di Rosalia Flowers. Desain penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif dan teknik penelitian studi kasus. Identifikasi risiko menggunakan Fish Bone Diagram untuk mengetahui penyebab kegagalan dan akibat terjadinya risiko berdasarkan sumber risiko produksi. Analisis risiko menggunakan metode FMEA (Failure Mode and Effect Analysis), menghasilkan risiko berdasarkan nilai RPN dan RSV tertinggi yang harus segera dilakukan penanganan yaitu serangan hama dan penyakit, SOP tidak terdokumentasikan dengan baik, kelalaian tenaga kerja dalam proses pasca panen, dan pengadaan bahan baku produksi yang tidak terencana. Strategi mitigasi risiko serangan hama dan penyakit dengan melakukan perawatan dan pemeliharaan greenhouse secara berkala. Strategi mitigasi untuk risiko SOP yang tidak terdokumentasikan dengan baik adalah dengan membuat dokumentasi SOP untuk budidaya bunga mawar potong di Rosalia Flowers. Strategi mitigasi untuk risiko kelalaian tenaga kerja dalam proses pasca panen yaitu dengan mengadakan program pelatihan untuk karyawan. Strategi mitigasi untuk pengadaan bahan baku produksi yang tidak terencana adalah dengan membuat jadwal tanam, membuat peramalan permintaan untuk mengetahui jumlah kebutuhan bahan baku, dan menggunakan metode Economic Order Quantity (EOQ) untuk mengetahui berapa jumlah bahan baku seperti pupuk, pestisida, dan bibit yang harus dipesan agar dapat meminimumkan total biaya persediaan dan menentukan pembelian yang optimal.
ABSTRACT
Keywords: Risk Analysis, Production, Roses, Fishbone Diagram, FMEA
The aims of this research is to determine risk of roses production at Rosalia Flowers. Design of this research is qualitative descriptive and case study method. Risk identification using Fish Bone Diagram to find out the causes of the failure and the consequent occurrence of risk based on risk of production. Risk analysis method using FMEA (Failure Mode and Effect Analysis), resulting in a risk based on the value of the RPN (Risk Priority Number) and RSV (Risk Score Value) the highest should be immediately to be eliminated, and those are pest and disease attack, SOP undocumented, the omission of labor in post-harvest processes, and procurement of raw materials production is not planned. Mitigation strategies risk pests and diseases with the care and maintenance of the greenhouse at regular intervals. Mitigation strategies for undocumented SOP is to make the documentation of SOP for the cultivation of roses in Rosalia Flowers. Mitigation strategies for risk neglect labor in post-harvest processes is to implement a training program for employees. Mitigation strategies for procurement of raw material production is not planned is to schedule planting roses, create demand forecasting to know the amount of raw material requirements, and using the method of Economic Order Quantity (EOQ) to find out how many raw materials such as fertilizer, pesticides, and seeds must be ordered to be minimising the total cost of the inventory and determine the optimal purchases.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
155
PENDAHULUAN Subsektor hortikultura terdiri dari sayuran, buah-buahan, florikultura serta tanaman obat. Komoditas agribisnis florikultura meliputi tanaman hias daun,bunga potong, serta bunga pot. Saat ini bunga potong merupakan bunga yang paling banyak digunakan seperti untuk acara pernikahan, keagamaan, kelahiran, ucapan selamat sampai acara kematian. Fungsi tanaman hias tersebut tidak hanya itu, banyak industri yang memanfaatkan tanaman hias sebagai bahan makanan, minuman, pewangi, maupun kerajinan tertentu. Hal tersebut menjadikan bisnis tanaman hias merupakan salah satu bisnis yang mempunyai peluang usaha yang cukup menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan produksi di setiap tahunnya. Tabel 1. Luas panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Hias di Indonesia Tahun 20112013 Tahun 2011 Luas Panen (m2) Produksi (tangkai) Produktivitas (tangkai/m2)
2012
2013
27.182.451
28.275.476
30.087.328
513.102.12 4
643.334.448
718.557.786
191,27
210,94
228,12
Sumber : BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2014). Salah satu jenis bunga yang sudah dikenal dan banyak disukai oleh konsumen adalah mawar (Rosa hybrida L.). Bunga mawar merupakan salah satu komoditas agribisnis florikultura yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan prospek usaha yang cerah. Hal ini dikarenakan permintaan yang banyak, baik pasar dalam maupun luar negeri. Mawar juga merupakan salah satu bunga yang paling banyak diminati masyarakat karena penampilannya yang cantik dan indah serta aromanya yang harum dan khas, sehingga dijuluki queen of flower. Bunga mawar dapat dibudidayakan menjadi bunga potong, bunga pot, dan tanaman penghias taman. Bagi para produsen bunga potong mawar di Indonesia, bunga potong mawar merupakan salah satu pilihan utama untuk ditanam, selain karena merupakan salah satu primadona bunga potong, bunga mawar bersifat universal yang diminati oleh semua kalangan baik remaja, dewasa dan orang tua. Jawa Barat merupakan sentra produksi bunga mawar potong. Salah satu daerah yang memiliki luas panen dan produksi terbesar di Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten Bandung Barat menyumbangkan sebanyak 72,8 persen dari total produksi mawar di Jawa Barat. Kecamatan parongpong merupakan kecamatan di Kabupaten Bandung Barat yang paling banyak dalam 156
memproduksi bunga mawar, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.Luas Tanam, Panen, dan Produksi Tanaman Mawar Menurut Kecamatan Tahun 2012 No Kecamatan Luas Luas Produksi Tanam Panen (kg) (m2) (m2) 1 Ngamprah 14.500 6.500 25.000 2 Parongpong 160.000 10.000 2.980.250 3 Lembang 165.000 80.000 1.340.000 4 Cisarua 95.000 60.000 1.700.000 Total 434.500 156.500 6.045.250 Sumber : Badan Pusat Statistik (2012) Salah satu daerah di Kecamatan Parongpong yang memiliki kemajuan usaha tanaman hias dan merupakan sentra tanaman hias adalah Desa Cihideung. Desa Cihideung merupakan ikon pusat agrowisata yang menampilkan pemandangan berbagai jenis bunga yang asri dan indah. Desa Cihideung dengan keunggulan tanaman hiasnya, menjadikan desa tersebut disebut sebagai “Kawasan Wisata Bunga”. Bunga mawar merupakan tanaman hias yang menjadi komoditi utama dan primadona di daerah tersebut. Mawar memiliki bentuk bunga yang indah dan nilai jual yang tinggi. Bunga mawar dari Desa Cihideung sangat populer di kalangan masyarakat dan bagi turis domestik maupun mancanegara. Perusahaan yang membudidayakan bunga mawar potong di desa tersebut adalah Rosalia Flowers. Rosalia Flowers adalah perusahaan yang mempunyai lahan paling besar disekitar tempat tersebut dengan luas sekitar 3.850 m2. Bunga mawar potong sebagai komoditas unggulan di Rosalia Flowers. Target produksi perusahaan yaitu sebesar 1400 kodi per bulan, namun hasilnya berfluktuasi di setiap bulannya. Hal tersebut dapat dilihat di Tabel 3. Tabel 3. Produksi Bunga Mawar Potong di Rosalia Flowers Tahun 2015 No. 1 2 3 4 5
Bulan Januari 2015 Februari 2015 Maret 2015 April 2015 Mei 2015
Persentase Grade (A,B) (C) 70% 30%
Target (Kodi)
Produksi (Kodi)
1400
1610
1400
1359
68%
32%
1400
1641
70%
30%
1400
1710
80%
20%
1400
1418
82%
18%
Sumber : Rosalia Flowers (2015) Fluktuasi yang terjadi diakibatkan oleh proses perencanaan dan pemeliharaan dalam kegiatan produksi yang kurang optimal. Menurut Kountur (2004) risiko produksi sangat penting untuk
diperhatikan karena pengelolaan risiko yang tidak baik akan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan menyebabkan terganggunya keseluruhan aktivitas bisnis pada suatu perusahaan atau usahatani. Adanya fluktuasi produksi yang terjadi di Rosalia Flowers menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji dan menjadi alasan untuk melakukan penelitian. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis dan mengelola risiko produksi dalam usahatani bunga mawar potong di Rosalia Flowers, sehingga dapat diambil keputusan yang tepat untuk dapat menghindari atau mengurangi risiko yang dihadapi oleh perusahaan tersebut. KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP Bunga mawar merupakan salah satu komoditas agribisnis florikultura yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi dan prospek usaha yang cerah. Rosalia Flowers merupakan salah satu usaha dalam bidang agribisnis yang memproduksi bunga mawar potong. Dalam proses produksinya Rosalia Flowers dihadapkan pada kendala fluktuasi produksi komoditas bunga mawar potong sehingga mengindikasikan adanya risiko produksi. Penelitian ini menggunakan fishbone untuk mengindentifikasi sumber-sumber yang menyebabkan risiko produksi. Penilaian risiko menggunakan FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) dengan memberikan nilai/score pada setiap sumber risiko tersebut untuk selanjutnya diberikan strategi pengendalian risiko yang baik untuk Rosalia Flowers. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Untuk mengindentifikasi sumber-sumber risiko menggunakan Fishbone dan
menganalisis risiko produksi bunga mawar potong menggunakan analisis FMEA (Failure Mode and Effect Analysis). Teknik penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Penentuan sumber data/informasi
157
dilakukan secara sengaja (Purposive) dengan pertimbangan karena anggapan bahwa informan dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan yang menjadi sumber informasi mengenai penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data diperoleh dari observasi, wawancara, dan studi pustaka. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, pencatatan, dan wawancara dengan pemilik perusahaan dan manajer bagian produksi di Rosalia Flowers. Pemilik perusahaan dipilih karena dianggap paling mengetahui tentang kondisi perusahaan pada saat ini dengan menyuluruh, dan manajer produksi dipilih karena dianggap mengetahui informasi mengenai penyebab-penyebab adanya risiko produksi pada perusahaan dengan menyeluruh. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber data penunjang, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, perpustakaan serta situs-situs yang terkait dengan penelitian dan literatur yang relevan. HASIL DAN PEMBAHASAN Rosalia Flowers terletak di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Secara geografis Desa Cihideung berada pada dataran tinggi dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian tersebut cocok untuk budidaya bunga mawar potong. Suhu udara rata-rata di Rosalia Flowers adalah 20-35oC. Banyaknya curah hujan adalah sebesar 3.500-5.000 mm per tahun, dengan kelembaban udara 84,63%. Bunga mawar memerlukan penyinaran matahari 5-6 jam setiap harinya. Berdasarkan besarnya suhu, curah hujan dan kelembaban udara di lokasi tersebut kurang baik untuk budidaya mawar potong karena memiliki curah hujan dan kelembaban yang tinggi.
Sementara kelembaban udara yang dibutuhkan untuk budidaya mawar adalah 70-80%, suhu 16-300C, dan curah hujan berkisar 1500-3000 mm/tahun (Dirjen Hortikultura). Rosalia Flowers memiliki luas lahan sebesar 3.850m2 yang terdiri dari tiga greenhouse dan lahan untuk pembibitan. Status lahan yang dimiliki adalah lahan milik pribadi sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sewa lahan. Modal yang digunakan untuk memulai usahatani bunga mawar adalah modal pribadi sebesar Rp 350.000.000. Struktur organisasi di Rosalia Flowers dipimpin oleh pimpinan utama yang membawahi bagian produksi, bagian pemasaran, dan bagian keuangan. Bagian produksi dan pemasaran masingmasing memiliki tenaga kerja yang turut membantu. Pembagian tugas dan wewenang di Rosalia Flowers dilakukan secara informal. Sehingga meskipun terdapat tugas masing-masing, namun semua bagian di Rosalia Flowers ikut turun langsung dalam kegiatan bisnis, khususnya membantu pada proses produksi. IDENTIFIKASI RISIKO Sumber risiko merupakan sumber utama penyebab terjadinya suatu kegagalan. Indikasi adanya risiko produksi ditunjukkan oleh adanya fluktuasi atau variasi jumlah produksi ataupun produktivitas yang dihasilkan (Ercilia, 2013). Hal ini tampak terlihat jelas pada jumlah produksi di Rosalia Flowers yang mengalami fluktuasi. Sumber risiko produksi di Rosalia Flowers diidentifikasi menggunakan diagram sebab-akibat (fishbone diagram). Bagian dari kepala ikan yang berada disebelah kanan adalah masalah atau topik yang akan di cari tahu penyebabnya. Pada bagian tulang ikan (garis diagonal) berisi kategori yang bisa berpengaruh terhadap risiko produksi yang merupakan sebab utama. Garis-garis kecil dari garis diagonal adalah sub-sebab.
Gambar 2. Fish Bone Diagram 158
Sumber risiko produksi di Rosalia Flowers diidentifikasi berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal di kategorikan menjadi manusia, metode, manajemen dan material. Sedangkan faktor eksternal dikategorikan menjadi lingkungan. Manusia merupakan faktor internal yang berperan penting dalam proses produksi. Kendala yang terjadi di Rosalia Flowers adalah kedisiplinan, kelalaian, dan keterampilan tenaga kerja. Kurang sesuainya lingkungan tumbuh bunga mawar potong di Rosalia Flowers juga menjadi risiko, seperti suhu udara, kelembaban, dan curah hujan yang tinggi. Hal tersebut juga akan memicu terhadap pertumbuhan hama dan penyakit yang menyerang bunga mawar potong di Rosalia Flowers. Selain itu angin kencang yang sering terjadi di Rosalia Flowers menjadi risiko karena akan merusak fasilitas-fasilitas produksi, seperti greenhouse. Kategori metode merupakan sumber risiko internal dari risiko produksi. Risiko yang dihadapi yaitu ketidaksesuaian jumlah pestisida dengan kebutuhan tanaman, karena pestisida yang diberikan dicampurkan secara keseluruhan tidak sesuai dengan kebutuhan dari tanaman tersebut. Selain itu SOP yang diterapkan tidak terdokumentasikan dengan baik, dan ketidaksesuaian jumlah air yang diberikan karena perusahaan tersebut kesulitan untuk mendapatkan air. Kategori material merupakan faktor internal dari proses produksi. Greenhouse merupakan salah satu fasilitas produksi di Rosalia Flowers. Apabila greenhouse mengalami kerusakan maka fungsi greenhouse untuk menghindari dan memanipulasi kondisi lingkungan akan terganggu, sehingga akan menurunkan kualitas dan kuantitas tanaman. Material harus dikontrol secara kontinu agar proses produksi menjadi optimal. Kerusakan greenhouse diakibatkan oleh kurangnya pemeliharaan dan perlakuan pembaharuan secara berkala. Selain itu Saluran air yang tersumbat sering terjadi di Rosalia Flowers hal tersebut akan berisiko bagi proses produksi khususnya apabila sedang musim penghujan dengan curah hujan yang tinggi. Saluran tersebut tersumbat oleh sisa-sisa daun yang rontok atau sisa-sisa daun dari proses pemangkasan yang tidak terbuang. Kendala Rosalia Flowers dalam hal manajemen yaitu pemberian tugas dan wewenang yang kurang jelas, sehingga semua pekerjaan yang ada dikerjakan oleh seluruh bagian yang ada di Rosalia Flowers, sehingga tidak dapat fokus dengan tugas dan wewenangnya masing-masing. Pengadaan input produksi yang tidak terencana juga menjadi risiko, hal tersebut meliputi tidak adanya jadwal khusus untuk pembelian input produksi sehingga biaya untuk membeli input produksi menjadi lebih
tinggi. Selain itu perencanaan jadwal tanam yang kurang baik, masa produktif untuk bunga mawar adalah sekitar 3-5 tahun dan harus segera dilakukan penggantian dengan tanaman mawar yang baru, namun Rosalia Flowers sudah 6 tahun tidak melakukan pergantian terhadap bunga mawar tersebut. ANALISIS RISIKO Setelah dilakukan identifikasi risiko dengan menggunakan fishbone diagram, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis risiko menggunakan FMEA (Failure Mode and Effect Analysis). Pada Tabel 4 terdapat jumlah skor untuk kejadian, skor keparahan, dan skor kemampuan mendeteksi yang berisikan permasalahan penyebab kegagalan yang merupakan risiko produksi bunga mawar potong di Rosalia flowers. Tabel 4. Skor Kejadian, Skor Keparahan, dan Skor Deteksi pada Risiko Produksi Bunga Mawar Potong di Rosalia Flowers
Setelah dilakukan rincian mengenai risiko produksi di Rosalia Flowers, kemudian dilakukan analisis mengenai beberapa risiko yang memiliki nilai RPN dan RSV yang tertinggi. RPN dihitung untuk mengetahui nilai prioritas risiko yang harus segera ditangani. RSV dihitung untuk mengetahui nilai penyebab risiko yang paling tinggi di Rosalia Flowers. Risiko yang memiliki nilai RPN paling tinggi merupakan penyebab yang berpengaruh terhadap seluruh aktivitas yang terjadi di Rosalia Flowers
159
Tabel 5. Risk Priority Number (RPN) Tertinggi dari Risiko Produksi Bunga Mawar Potong di Rosalia Flowers
Tabel 6. Risk Score Value (RSV) Tertinggi dari Risiko Produksi Bunga Mawar Potong di Rosalia Flowers
Berdasarkan tabel 5 dan tabel 6 memperlihatkan perhitungan RPN dengan nilai tertinggi yang berarti merupakan permasalahan yang memiliki prioritas lebih besar untuk segera dilakukan penanganan dan RSV dengan nilai tertinggi merupakan penyebab paling tinggi terjadinya suatu kegagalan. RPN dan RSV yang paling tinggi adalah serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit akan menimbulkan banyak kerugian bagi perusahaan. Kerugian yang dialami perusahaan mulai dari gagal panen, jumlah produksi menurun, kerusakan pada fisik sehingga akan terjadi penurunan nilai ekonomis dari bunga tersebut, dan pertumbuhan tanaman akan terganggu. Berdasarkan nilai RPN dan RSV yang tertinggi kemudian langkah selanjutya adalah membuat Grafik Pareto. Analisis Pareto digunakan untuk memperjelas risiko mana yang menjadi prioritas dan penyebab risiko paling tinggi yang menyebabkan terjadinya kegagalan. Grafik Pareto
160
untuk Risk Priority Number (RPN) dan Risk Score Value (RSV) adalah sebagai berikut:
Gambar 3. Grafik Pareto Risk Priority Number
Gambar 4. Grafik Pareto Risk Score Value Menurut prinsip pareto dengan aturan 80/20 menggambarkan bahwa 80% kejadian risiko yang muncul berasal dari 20% agen risiko yang menyebabkannya. Oleh karena itu berdasarkan grafik pareto dari nilai RPN dan RSV akan ditentukan risiko terpilih yang termasuk kedalam 20% penyebab utama munculnya risiko yang terjadi adalah serangan hama penyakit dan SOP yang tidak terdokumentasikan dengan baik. Berdasarkan pada grafik pareto yang telah ditentukan, nilai kritis untuk Risk Priority Number (RPN) adalah 357 dan nilai kritis untuk Risk Score Value (RSV) adalah 56. Sehingga dibuat diagram pencar (scatter plot) untuk Risk Priority Number (RPN) dan Risk Score Value (RSV) dengan tujuan untuk menemukan persimpangan kedua nilai kritis. Risiko dengan nilai tertinggi dapat segera diambil pencegahannya terlebih dahulu. Diagram pencar dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengelompokkan Risiko Berdasarkan RPN dan RSV Daerah kanan atas merupakan risiko dengan kemungkinan terjadi dan keparahan yang besar serta kemampuan dekteksi yang rendah karena memiliki RPN dan RSV yang tinggi, sehingga merupakan risiko mendesak yang memerlukan penanganan secepatnya. Pada daerah tersebut terdapat empat risiko yang terdiri dari serangan hama dan penyakit, SOP tidak terdokumentasikan dengan baik, kelalaian tenaga kerja dalam proses pasca panen, dan pengadaan bahan baku yang tidak terencana. Risikorisiko tersebut merupakan yang paling kritis karena memiliki dampak yang besar terhadap kelangsungan produksi bunga mawar potong di Rosalia Flowers.
biaya kecelakaan kerja, dan membantu karyawan dalam peningkatan dan pengembangan pribadi. Strategi mitigasi untuk masalah pengadaan input produksi yang tidak terencana adalah dengan melakukan peramalan permintaan dengan melihat pola data kebutuhan bahan baku produksi, sebelumnya dilakukan penjadwalan tanam untuk bunga mawar potong. Selanjutnya menggunakan metode Economic Order Quantity (EOQ) untuk mengetahui berapa jumlah bahan baku seperti bibit, pupuk, dan pestisida yang harus dipesan, metode ini dapat meminimumkan total biaya persediaan dan menentukan pembelian yang optimal.
STRATEGI MITIGASI RISIKO Strategi mitigasi untuk mengurangi serangan hama dan penyakit dengan melakukan perbaikan dan pemeliharaan/perawatan greenhouse secara berkala, penambahan fasilitas dan melengkapi greenhouse dengan pemasangan indikator kelembaban, dan alat pengukur suhu. Strategi mitigasi untuk SOP yang tidak terdokumentasikan dengan baik adalah dengan membuat dokumentasi SOP budidaya mawar potong di Rosalia Flowers. Dengan mendokumentasikan SOP dengan baik akan menghasilkan kualitas dan teknis yang konsisten dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan untuk tetap bersaing di dunia bisnis bunga mawar potong. Strategi mitigasi untuk risiko kelalaian tenaga kerja dalam proses pasca panen yaitu dengan mengadakan program pelatihan untuk karyawan. Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produktivitas, membentuk sikap, loyalitas, dan kerja sama yang lebih menguntungkan, memenuhi kebutuhan perencanaan sumber daya manusia, mengurangi frekuensi dan
PENUTUP Sumber-sumber risiko yang terdapat di Rosalia Flowers dilihat dari faktor eksternal dan internal. Faktor internal di kategorikan menjadi manusia, metode, manajemen dan material. Sedangkan faktor eksternal dikategorikan menjadi lingkungan. Berdasarkan diagram pencar terdapat risiko yang harus diprioritaskan yaitu serangan hama dan penyakit, SOP tidak terdokumentasikan dengan baik sebesar, kelalaian tenaga kerja pada saat proses pasca panen, dan pengadaan bahan baku produksi tidak terencana. Strategi mitigasi risiko eksternal yaitu serangan hama dan penyakit dengan melakukan perawatan dan pemeliharaan greenhouse secara berkala, serta penambahan fasilitas dan melengkapi greenhouse dengan pemasangan indikator kelembaban, dan alat pengukur suhu. Strategi mitigasi untuk SOP tidak terdokumentasikan dengan baik adalah dengan membuat dokumentasi SOP untuk budidaya bunga mawar potong di Rosalia Flowers, dengan mendokumentasikan SOP dengan baik pihak perusahaan akan memiliki perencanaan
161
yang lebih strategis yaitu efisiensi pada setiap proses kerja dalam setiap unit kerja di perusahaan Rosalia Flowers. Strategi mitigasi untuk risiko kelalaian tenaga kerja dalam proses pasca panen yaitu dengan mengadakan program pelatihan untuk karyawan, dengan menggunakan metode on the job training. Strategi mitigasi untuk pengadaan bahan baku produksi yang tidak terencana adalah dengan membuat jadwal tanam bunga mawar, membuat peramalan permintaan untuk mengetahui jumlah kebutuhan bahan baku, dan menggunakan metode Economic Order Quantity (EOQ) untuk mengetahui berapa jumlah bahan baku seperti pupuk, pestisida, dan bibit yang harus dipesan agar dapat meminimumkan total biaya persediaan dan menentukan pembelian yang optimal. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. (2014). Statistik Produksi Hortikultura. http://bps.go.id (diakses pada tanggal 5 Desember 2014). Darmawi, Herman. (2006). Manajemen Risiko. Jakarta: Bumi Aksara. Fahmi, Irham.(2010). Manajemen Risiko: Teori, Kasus, dan Solusi. Bandung: Alfabeta. Harwood, J.; Heifner, R.; coble, K.; Perry, J. and Somwaru, A. Managing Risk in Farming:Concepts,Research, and Analysis. USA. Kountur R. (2004). Manajemen Risiko: Memahami Cara Mengelola Risiko Operasional Perusahaan. Jakarta: PPM. Situngkir, Ercilia. (2013). Analisis Sumber-Sumber Risiko pada Proses Produksi Jamur Tiram Putih. Institut Pertanian Bogor.
162
Pelaksanaan Program Desa Wisata Ketahanan Pangan (DEWITAPA) Cireundeu (Studi Kasus di Kampung Adat Cireundeu, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi) Implementation of Food Security Tourism Village Cireundeu (Case Study at Cireundeu Village, South Cimahi Sub District, Cimahi District Dessy Silviani1, Anne Charina2 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21
ABSTRAK
Kata Kunci: Cireundeu, DEWITAPA, program, kendala, wisata
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi program terlaksana dan tidak terlaksana pada DEWITAPA Cireundeu. Selain itu, akan dicari kendala dari pengembangan DEWITAPA Cireundeu. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Informan ditentukan dengan sengaja (purposive). Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program DEWITAPA terdiri dari program terlaksana dan tidak terlaksana. Program yang terlaksana antara lain sosialisasi dan FGD DEWITAPA, peningkatan kelembagaan lokal serta penguatan nilai tambah produk olahan dan kewirausahaan. Program tidak terlaksana antara lain pola kemitraan, pemetaan wilayah, penataan seni, promosi dan launching DEWITAPA. Program yang tidak sepenuhnya terlaksana berdampak pada Cireundeu yang belum siap menjadi sebuah kawasan wisata. Kendala yang dihadapi oleh Cireundeu sebagai sebuah kawasan wisata antara lain sarana dan prasarana, keterlibatan masyarakat sekitar, promosi yang belum dilakukan, serta keterlibatan pihak swasta maupun pemerintah.
ABSTRACT
Keywords: Cireundeu, DEWITAPA, program, constraints, tourism
The objective of this research to identify programs implemented and not implemented in DEWITAPA Cireundeu. Moreover, it will look for the constraints of development DEWITAPA Cireundeu.. The research design used qualitative method specifically the case study technique. This research was conducted in Cireundeu Village, South Cimahi Sub District, Cimahi District. Informants were selected purposively. The data used primary and secondary data. The data was analyzed by using descriptive analysis.The result showed that the implementation of the program consists of courses DEWITAPA implemented and not implemented. The program has been completed including socialization and FGD DEWITAPA, local institutional improvement and strengthening value-added processed products and entrepreneurship. The program was not implemented, among others, a partnership, regional mapping, the arrangement of art, promotion and launching DEWITAPA. Programs that do not fully materialize impact on Cireundeu not yet ready to become a tourism area. Constraints faced by Cireundeu as a tourism area among other facilities and infrastructure, involvement of local communities, the promotion of which has not been done, and the involvement of the private sector and government.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
163
PENDAHULUAN Salah satu komoditas pangan yang mempunyai arti penting bagi kehidupan bangsa Indonesia adalah beras, karena beras merupakan makanan pokok hampir sebagian besar penduduk Indonesia. Hampir 97% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok utama. Hal ini mengindikasikan ketergantungan terhadap beras sangat tinggi (Louhenapessy, dkk.2010). Konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia tahun 2013 mencapai 97,4 kg/kapita/tahun. Meskipun cenderung mengalami penurunan jumlah rata-rata konsumsi dari tahun ke tahun, namun Indonesia masih merupakan negara dengan tingkat konsumsi beras tertinggi pertama di Asia. Konsumsi Beras di Korea mencapai 40 kg/perkapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/thn, Malaysia 80 kg/kapita/thn dan Thailand 70 kg/kapita/thn. Tingginya angka konsumsi beras nasional dikarenakan beras merupakan budaya pangan yang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia. Pada Tabel 1 disajikan data perkembangan konsumsi bahan makanan yang mengandung beras di rumah tangga. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Bahan Makanan yang Mengandung Beras di Indonesia Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
(kg/kapita/ minggu) 2,0656 2,0789 2,0520 2,0190 1,9945 1,9188 2,0116 1,9603 1,9321 1,9728 1,8727 1,8680
Konsumsi (kg/kapita/ tahun) 107,7057 108,4018 106,9991 105,2770 103,9980 100,0507 104,8909 102,2146 100,7453 102,8661 97,6455 97,4045
Pertumbu han
0,65 -1,29 -1,61 -1,21 -3,80 4,84 -2,55 -1,44 2,11 -5,08 -0,25
Sumber: SUSENAS, BPS diolah Pusdatin (2013)
Image atau citra bahwa pangan hanya disimbolkan dengan beras semata merupakan inti permasalahannya. Masyarakat Indonesia dominan mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Disisi lain masih banyak sumber panganyang berpotensi menggantikan beras. Contohjagung, kentang, ubi jalar, sagu, dan masih banyak alternatif lainnya yang nilai gizinya tidak kalah dengan beras. Pola konsumsi beras yang tinggi dibandingkan pangan alternatif lain disajikan dalam tabel 2. Tabel 2. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu beberapa macam Bahan Pangan Pokok 2010-2013
164
Jenis Bahan Makanan Beras lokal/ketan Jagung Basah dengan kulit Jagung pocelan/ pipilan Ketela Pohon Ketela Rambat
Sat.
2010
2011
2012
2013
Kg
1,733
1,721
1,675
1,642
Kg
0,018
0,012
0,011
0,011
Kg
0,030
0,023
0,029
0,025
Kg
0,097
0,111
0,069
0,067
Kg
0,044
0,055
0,045
0,045
Sumber: Badan Pusat Statistika (2013)
Kampung Adat Cireundeu dihuni oleh masyarakat yang menganut kepercayaan sunda wiwitan yang masih menjalankan tradisi leluhur. Budaya dan kesenian sunda masih dilestarikan oleh masyarakat Cireundeu hingga sekarang. Masyarakat adat menjalankan tradisi leluhur dalam kehidupan sehari-hari tidak terkecuali pada sistem pertanian. Berbagai ritual dilakukan pada saat setiap kegiatan agraris dari mulai penanaman singkong hingga kegiatan pasca panen. Masyarakat Cireundeu memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya dari hasil budidaya singkong dengan memanfaatkan lahan yang ada di sekitarnya. Hasil panen singkong tersebut digunakan untuk memenuhi lumbung singkong tiap keluarga terlebih dahulu, jika ada sisa barulah dijual keluar. Masyarakat tidak menjual singkong dalam bentuk segar namun diolah dulu menjadi RASI, tepung aci maupun opak. Kebutuhan masyarakat akan singkong selalu terpenuhi bahkan masyarakat bisa menjual olahan singkong tersebut ke luar daerah. Hal tersebut menjadikan Kampung Adat Cireundeu sebagai Desa Mandiri Pangan. Kampung Adat Cireundeu memiliki banyak keunikan yang dapat dijadikan sebagai daya tarik masyarakat luar untuk berkunjung ke Cireundeu. Keunikan Kampung Adat Cireundeu yang berbeda dari desa lainnya antara lain: budaya mengkonsumsi singkong yang dilakukan sejak 1918, merupakan Desa Mandiri Pangan dengan komoditas songkong, dihuni oleh masyarakat adat sunda wiwitan yang masih melestarikan tradisi leluhur, memiliki atraksi kesenian sunda yang bernilai seni tinggi, serta terdapat beberapa olahan yang berpotensi untuk dikembangkan. Beragam keunikan yang ada di Kampung Cireundeu belum banyak dikenal oleh masyarakat luar Cireundeu. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran dari pihak luar untuk membantu mengembangkan potensi tersebut serta memberitahukannya kepada masyarakat luas. Sehingga peran Pemerintah Kota dibutuhkan dalam pengembangan serta penyebarluasan keunikan yang dimiliki oleh Cireundeu.
Pemerintah Kota Cimahi melihat keunikan Cireundeu sehingga Cireundeu diarahkan menjadi sebuah kawasan wisata. Melihat potensi dan keunikan Cireundeu Pemkot Cimahi menjadikan Cireundeu sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan. Cireundeu belum siap untuk dijadikan sebuah kawasan wisata, sehingga dibutuhkan program pembangunan dan pengembangan daerah untuk dijadikan kawasan wisata. Pemkot Cimahi melakukan perencanaan program kerja DEWITAPA yang kemudian diaplikasikan di Cireundeu. Pembangunan Desa Wisata Ketahanan Pangan merupakan program kerja 3 tahun yang mulai dilakukan pada tahun 2010. Program DEWITAPA Cireundeu melibatkan beberapa pihak antara lain Pemkot Cimahi, UNPAD, UNJANI serta masyarakat Cireundeu. Pada pelaksanaanya, program kerja DEWITAPA terdapat beberapa program yang tidak terlaksana. Setelah adanya pengembangan kawasan wisata, kini Cireundeu bisa menjadi salah satu alternatif untuk melakukan wisata budaya. Wisata budaya merupakan salah satu wisata yang cukup menarik, karena budaya dari setiap daerah memiliki ciri khas sendiri.Tabel 3 di bawah ini menunjukan desa wisata budaya berupa kampung adat di Jawa Barat. Tabel 1.Wisata Kampung Adat di Jawa Barat No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Kampung Adat Kampug Urug Kampung Ciptagelar Kampung Adat Mahmud Kampung Pulo Kampung Naga Kampung Kuta Kampung Dukuh Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar Kampung Adat Sirna Resmi Kampung Adat Cireundeu
Lokasi Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cipatik Kab. Garut Kab. Tasik Kab. Ciamis Kab. Garut Kab. Sukabumi Kab. Sukabumi Kab. Cimahi
Sumber: disparbud.jabarprov.go.id
Beragam kampung adat yang tersebar di Jawa Barat memiliki keunikan atau potensi sendiri. Beberapa diantaranya seperti Kampung Naga yang mempertahankan bentuk bangunan rumah yang terbuat dari kayu, bambu, atap dan ijuk serta mempertahankan salah satu tradisi yaitu Upacara Gusaran.2 Kampung Adat Ciptagelar yang masih mempertahankan tradisi terutama upacara adat pada saat menanam padi.3 Sedangkan Kampung Adat Cireundeu memiliki keunikan yaitu budaya masyarakat yang mengolah dan menjadikan 2
Maulana, Rizal. 2015. Keunikan Wisata Kampung Naga di Tasikmalaya. log.viva.co.id (Diakses pada Maret 2015).
singkong sebagai makanan pokok serta masyarakatnya yang kental dengan budaya sunda. Kampung Adat Cireundeu dikenal dengan budaya mengkonsumsi beras singkong (RASI) yang masih dipertahankan dan harus disebarluaskan pemanfaatannya. Selain Kampung Adat Cireundeu, beberapa Desa Wisata yang memiliki potensi dari segi pangan lokal antara lain dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 2. Desa Wisata yang Memiliki Potensi Pangan Lokal Desa Wisata
Desa Wisata Rumah Dome Desa Wisata Pagergunung Ngablak Desa Wisata Jelok
Lokasi
Potensi Pangan
Sleman
Ketela pohon
Magelang
Ketela, Jagung
Gunung Kidul
Jantung pisang
Pangan Olahan Brownies ketela, tape singkong, keripik belut daun singkong, dll Balok ketela, marning jagung, ceriping ketela Gudeg jantung pisang
Sumber: Diolah Penulis (2015)
Program pengembangan DEWITAPA yang belum tunas pun akan berdampak pada kurang optimalnya pengembangan Cireundeu menjadi sebuah kawasan wisata. Sehinga akan diteliti lebih lanjut kendala pengembangan Cireundeu sebagai kawasan wisata yang dapat menjadi acuan untuk pembenahan Kampung Adat Cireundeu. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Adat Cireundeu, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Barat. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tahapan Pembentukan DEWITAPA Program DEWITAPA dilakukan sejak tahun 2010 dengan pelaksanaan program dibagi kedalam 3 tahapan. Kegiatan pada pelaksanaan tahun ke satu difokuskan pada kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di beberapa bidang sebagai hasil dari identifikasi masalah yang diperoleh pada kegiatan Forum Grup Diskusi. Kegiatan utama yang dilakukan di kampung ini terutama menyangkut peningkatan nilai tambah ekonomi terhadap pangan pokok masyarakat, yaitu Rasi. Berikut merupakan tahapan program pembangunan DEWITAPA: 3
Anonim. 2012. Masyarakat Adat Desa Ciptagelar. wacananusantara.org (Diakses pada Maret 2012).
165
TAHAP 1 Identifikasi Masalah Pembentukan Kelompok Transfer Tekhnologi Pola Kemitraan/ Jejaring Penguatan nilai tambah produk olahan dan kewirausahaan PROGRAM DEWITAPA
TAHAP 2
Pemetaan wilayah dan Site Plan kampung wisata Penguatan kepastian hukum Penataan seni-budaya Penyusunan Grand Design DEWITAPA Merancang Penyediaan Komponen Wisata
TAHAP 3 Komersialisasi dan Promosi Home Industry Promosi DEWITAPA Uji Coba Kunjungan Wisata ke DEWITAPA Perbaikan dan Perancangan Kesinambungan DEWITAPA Launching DEWITAPA
Gambar 1. Tahapan Program DEWITAPA Cireundeu Program yang terlaksana maupun ada program yang tidak terlaksana. Dapat dilihat pada Tabel 15 program yang terlaksana dan program tidak terlaksana pada pelaksanaan pembangunan DEWITAPA Cireundeu:
Tabel 3. Status DEWITAPA No. 1.
Program
4.
Program Sosialisasi dan FGD DEWITAPA Peningkatan Kelembagaan Lokal Penguatan nilai tambah produk olahan dan kewirausahaan Pola Kemitraan
5.
Pemetaan Wilayah
6.
Penataan Seni
7.
Promosi dan DEWITAPA
2. 3.
Launching
Pembangunan Status Terlaksana Terlaksana Terlaksana Tidak Terlaksana Tidak Terlaksana Tidak Terlaksana Tidak Terlaksana
Sumber: Database Pemkot Cimahi (2015)
Program Terlaksana 1. Kegiatan Sosialisasi dan FGD Kegiatan sosialisasi dan FGD ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan segala sesuatu 166
mengenai program Desa Ketahanan Pangan di Kampung Cireundeu. Hasil kegiatan Sosialisasi dan FGD menunjukan bahwa respon masyarakat cukup tinggi terhadap program DEWITAPA. 2. Peningkatan Kelembagaan Lokal untuk DEWITAPA Cireundeu Dalam kegiatan ini dikembangkan kelompokkelompok usaha yang terdiri dari kelompok pengolahan pangan, budidaya ikan, ternak, dan pertanian. Kelembagaan dalam bentuk kelompok lokal pada DEWITAPA diharapkan dapat melakukan aktivitas dengan menjalankan fungsi manajemen, sehingga tujuan kelompok dapat diraih. Jenis kegiatan yang dilakukan antara lain berupa pelatihan atau workshop dan pendampingan. Peningkatan kelembagaan lokal bidang pangan memiliki tema Diversifikasi Pangan yang Berasal dari Rasi. Pelatihan pengolahan pangan berbahan Rasi diberikan dalam bentuk buku resep yang berisi resep produk yang dibuat dengan bahan dasar Rasi. Hasil nya ialah lebih dari 10 jenis produk inovasi telah dihasilkan dengan produk unggulan egg roll. Ada juga pelatihan pengemasan dilakukan untuk memperbaiki kemasan produk yang sudah ada dan membuat design yang lebih menarik. Aktivitas yang dilakukan dalam peningkatan kelembagaan bidang peternakan antara lain ialah peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam bidang breeding, feeding, dan management budidaya kambing perah PE serta peningkatan hasil panen. Namun budidaya kambing perah PE tidak terlepas dari kendala, dimana kendala utamanya ialah soal pakan ternak. Program peningkatan kelembagaan lokal khususnya bidang pangan melahirkan 1 kelompok unit usaha tambahan dan menciptakan beberapa inovasi produk olahan singkong. Sekitar 10 jenis produk inovasi telah dihasilkan dan Egg Roll kini menjadi produk unggulan di daerah ini. Program peningkatan kelembagaan lokal juga memberikan inovasi produk antara lain dendeng dari kulit singkong. Hal tersebut tentu memberikan nilai tambah singkong, sehingga semua bagian singkong kini bisa dimanfaatkan dan memberikan keuntungan tambahan. Selain itu, dengan adanya pelatihan kemasan memberikan keuntungan kepada wirausaha masyarakat sekitar yang menjual produk olahan singkong. Dengan adanya design kemasan yang menarik, memberikan nilai tambah pada produk. Dengan adanya kemasan meningkatkan angka penjualan serta sebagai promosi produk olahan khas Cireundeu. Program peningkatan kelembagaan lokal dinilai masyarakat sudah cukup baik. Hal tersebut dilihat dari manfaat yang telah dirasakan setelah
adanya program tersebut. Kini terdapat 3 unit usaha olahan pangan yang aktif membuat dan memasarkan produk olahan singkong sehingga produk khas Cireundeu bisa dikenal oleh masyarakat diluar daerah Cireundeu, memperluas lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. 3. Peningkatan Usaha dan Entrepreuneurship Para pelaku usaha mikro pada umumnya tidak mengetahui secara rinci biaya produksi dari produk yang dihasilkan. Sehingga permasalahan yang muncul adalah sulit menentukan harga jual serta keuntungan/ laba dari usaha yang mereka jalankan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemberian materi serta pelatihan keterampilan dalam penentuan harga pokok produk perlu diberikan pada para pelaku usaha mikro sebagai dasar penentuan harga jual produk. Peserta pelatihan adalah para pengusaha mikro yang berjumlah 25 orang. Adapun materi yang disampaikan adalah sebagai berikut: Pengertian Harga Pokok Produk Manfaat Harga Pokok Produk Unsur biaya pembentuk Harga Pokok Produk Contoh sederhana perhitungan Harga Pokok Produk Praktik menghitung Harga Pokok Produk Pelatihan penentuan harga pokok produk sangat bermanfaat bagi para pelaku mikro di Cireundeu. Sekarang para pelaku usaha mikro sudah mulai membuat pembukuan sederhana usaha mereka. Bagi pelaku usaha mikro di bidang olahan singkong penentuan HPP cukup bermanfaat dikarenakan harga bahan baku yaitu tepung aci kini cukup tinggi yaitu Rp. 8.000,- berbeda dengan dulu sekitar 3 tahun yang lalu yaitu Rp. 5.000,-. Kenaikan harga tersebut tentu memberikan peningkatan pada biaya produksi sehingga pelaku usaha harus pintar dalam menentukan harga jual. 4. Pembangunan Salad Park Pembangunan Salad Park dilakukan dalam bentuk pembangunan green house pertanian organic berukuran ± 6m x 3m untuk memproduksi benih/ bibit lalaban, dan tanaman pangan non beras lainnya. Tanaman tersebut terdiri dari seledri, pakcoy dan tanaman salad lain yang ditanam didalam poly bag. Beberapa keluarga bertugas unt uk menyiram 10 tanaman yang ada di poly bag. Program ini bertujuan untuk menambah daya tarik terhadap pengunjung namun pada kenyataanya dilapang mengalami banyak kendala. Kendala yang dialami menurut persepsi salah seorang masyarakat ialah tidak adanya pendampingan yang berkelanjutan sehingga menyulitkan masyarakat dalam pemeliharaan tanaman. Selain itu, faktor cuaca juga menyebabkan banyaknya tanaman yang mati
sehingga masyarakat kurang merasakan manfaat dari program pembuatan salad park tersebut. 1.2 Program Tidak Terlaksana Program-program pada tahap 1 telah sepenuhnya dilakukan. Pada tahap 2 dan 3 banyak program yang tidak dilakukan. Berikut ini programprogram DEWITAPA yang tidak dilaksanakan: 1. Kegiatan Pemetaan Lahan dan Sosial 2. Menjalin Kemitraan dengan Salah Satu Toko Kue 3. Kegiatan Promosi dan Launching DEWITAPA Kegiatan tersebut diatas belum atau tidak dilaksanakan dikarenakan kebutuhan dana yang diperlukan untuk melakukan program DEWITAPA mengalami kendala. Namun dana yang seharusnya direncanakan untuk program yang tidak dilaksanakan, dialihfungsikan untuk kegiatan lain, diantaranya: (a) Pelatihan pengemasan produk olahan pangan, (b) menunjang kegiatan tahun ke-2 yaitu membangun salad park, dalam bentuk pembangunan green house pertanian organik untuk memproduksi benih/ bibit lalaban, dan tanaman pangan non beras lainnya. Kegiatan penataan wilayah serta promosi dan launching merupakan kegiatan yang penting namun tidak dilakukan. Meskipun tidak dilaksanakannya program promosi dan launching, masyarakat luas sudah mengenal Cireundeu sebagai desa wisata.Banyak masyarakat terutama dari luar Jawa Barat yang datang untuk belajar mengenal budaya masyarakat Cireundeu yaitu mengkonsumsi singkong dan melihat atraksi kesenian sunda. 1. Kendala Pengembangan DEWITAPA Cireundeu Pengembangan Cireundeu sebagai sebuah kawasan wisata dinilai belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang datang masih fluktuatif, sarana dan prasarana yang masih minim serta serta pengelolaan desa wisata masih belum terstruktur. Hal tersebut sungguh disayangkan mengingat Cireundeu memiliki peluang untuk menjadi sebuah kawasan pariwisata yang berkembang. Peluang tersebut diantaranya : 1. Wisata edukasi yang ditawarkan cocok untuk target pasar sekolah-sekolah yang ada di daerah Cimahi maupun di luar Cimahi. Tinggal bagaimana masyarakat menyampaikan edukasi semenarik mungkin sehingga memberikan kesan kepada pengunjung. 2. Adanya dorongan dari pemerintah pusat untuk belajar mengenal budaya keunikan daerah sehingga dapat menjadi motivasi tersendiri bagi Cireundeuuntuk melakukan promosi. 3. Adanya kasus “Beras plastik” dan isu “Indonesia akan rawan pangan” pada tahun 2025 sehingga semakin mendorong masyarakat untuk tidak bergantung pada beras dan budaya
167
4.
Cireundeu akan semakin menarik untuk kita pelajari dan dipahami. Sudah banyaknya pengunjung yang datang ke Cireundeu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Cireundeu sebagai ajang promosi agar Cireundeu lebih dikenal oleh masyarakat luas.
Pada kenyataan di lapangan, Cireundeu masih memiliki kendala dalam pengembangan sebagai kawasan wisata diantaranya antara lain : 1. Sarana dan prasarana yang belum memadai di Cireundeu untuk dijadikan kawasan wisata. Tempat khusus untuk penginapan seperti koskosan belum tersedia serta fasilitas umum seperti toilet umum belum memadai. 2. Masyarakat belum seluruhnya ikut berkontribusi dalam kegiatan pariwisata sehingga pengelolaan masih belum terstruktur dengan baik. Dapat dilihat dari belum ada pembagian tugas yang jelas antar SDM, belum adanya paketan-paketan wisata yang disuguhkan, dll. 3. Belum adanya upaya promosi yang dilakukan oleh masyarakat sehingga pengunjung yang datang fluktuatif. 4. Kurangnya keterlibatan pihak swasta maupun pemerintah sehingga pembangunan kawasan pariwisata dinilai belum optimal. SIMPULAN 1. Program DEWITAPA pada kenyataan di lapangan hanya efektif pada tahun pertama dilihat dari program pada tahap 1 hampir semua program terlaksana. Tahun kedua dan ketiga terdapat beberapa program yang tidak terlaksana seperti: pemetaan wilayah, menjalin kemitraan dengan pihak luar, serta promosi dan launching. 2. Kendala yang dihadapi Cireundeu dalam pengembangan sebagai kawasan pariwisata antara lain : sarana prasana, keterlibatan masyarakat sekitar, promosi yang belum dilakukan, serta keterlibatan pihak swasta maupun pemerintah. SARAN 1. Cireundeu memiliki keunikan serta potensi yang cukup banyak sehingga dibutuhkan keterlibatan pihak luar yang lebih paham terhadap pariwisata untuk melakukan pembangunan dan pengembangan potensi yang ada. 2. Diperlukan tindak lanjut mengenai program DEWITAPA ini oleh pihak yang berwenang sehingga program kerja DEWITAPA dapat sepenuhnya terlaksana 3. Perlu adanya kesadaran dari seluruh masyarakat untuk bekerjasama dalam seluruh aktivitas pariwisata di Cireundeu sehingga tidak 168
menimbulkan masyarakat.
kecemburuan
sosial
di
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Ali. 2010. Kearifan Lokal. Jurnal Multicultural dan Multiregional Volume 9 Tahun 2010. Azhari, Delima Hasri. 2008. Ketahanan dan Stabilitas Pasokan, Permintaan dan Harga Komoditas Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 6 No.2 Bulan Juli 2008. Halaman 114-139. Badan Ketahanan Pangan. 2006. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Departemen Pertanian Budi, Cahyo Utomo dkk. Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Jawa Tengah. Jawa Tengah: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Budiarto,Tri. 2013. Sebuah Pengantar untuk Anda tentang Diversifikasi Pangan. www.kompasiana.com(Diakses 13 Januari 2015) Hadari, Nawawi. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis yang Kompetitif. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Halimi. 2013. Kearifan Lokal dalam Upaya Ketahanan Pangan di Kampung Adat Urug Bogor.Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif. Hidayah, Nurul. 2012. Kesiapan Psikologis Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Menghadapi Diversifikasi Pangan Pokok. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. Hurmayeni, Nia. 2014. Dampak Objek Wisata Pemandian Bukit Jariang Punai Pada Masyarakat Sekitar Kampung Baliak Koto Kenagarian Pelangai Kaciak, Kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan. STKIP PGRI Padang. Irianto. 2011. Dampak Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Gili Trawangan Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara. Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan. Vol. 7 No.3. Irianingsih, Lilis.2014.One Day No Rice Alat untuk Diversifikasi Pangan. www.bkpd.jabarprov.go.id (Diakses 13 Januari 2015). Lastinawati, Endang. 2010. Diversifikasi Pangan dalam Mencapai Ketahanan Pangan. Dalam AgronobiS, Vol.2 No.4, Sepetember 2010.
Martiani, D. 2005. Pengembangan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Bappenas.Jakarta. Nugratama, Sony. 2013. Faktor Penghambat Perkembangan Objek Wisata. Region Vol 5 No 1 Maret 2013. Nurhaedar, Jafar. 2012. Diversifikasi Konsumsi dan Ketahanan Pangan Masyarakat. Universitas Hassanudin. Nurochsyam, Mikka Wildha. 2011. Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia 2011.Halaman 86. Jakarta. Oka, Yoeti. 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita Pitana, I Gde dan Putu G Gayatri. 2007. Sosiologi Pariwisata.Yogyakarta: Andi. Pitana I,Gde dan I Ketut surya diarta.2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta:Andi Yogyakarta Rachman, Handewi P.S. dan Mewa Arini. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan Program. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 6 No.2 Bulan Juli 2008. Hal 140-154. Scarvada, A.J., Tatiana Bouzdine-Chameeva, Susan Mayer Goldstein, Julie M. Hays, Arthur V. Hill.2004. A Review of the Causal Mapping Practice and Reaserch Literature. Second World Conference on POM and 15th Annual POM Conference, Cancun, Mexico, April 30 – May 3, 2004 Silverman, Steven N. Dan Lori L.Silverma. 1994. Using Total Quality Tool for Marketing Research: A Qualitative Approach for Collecting, Organizing, and Analyzing Verbal Response Data. Sudiarta, Made. 2005. Dampak fisik, Ekonomi, Sosial Budaya terhadap Pembangunan Pariwisata di Desa Serangan Denpasar Bali. Jurnal Manajemen dan Pariwisata Vol. 4 No. 2, 2005. Sugiyono.2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suhardjo. 1998. Konsep dan Kebijakan Diversifikasi Konsumsi Pangan dalam Rangka Ketahanan Pangan. Disampaikan pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta. Sulihantu.2013.Diversifikasi Pangan Harus di Genjot.http://www.neraca.co.id//(Diakses tanggal 13 Januari 2015) Supadi. 2004. Pengembangan Diversifikasi Pangan: Masalah dan Upaya Mengatasinya.Icased Working Paper No. 45 Bulan Maret 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Bogor
Waluya, Jaka. 2013. Dampak Pengembangan Pariwisata. Jurnal Region Volume V No. 1 Maret 2013. Universitas Islam 45 Bekasi.
169
170
Analisis Pendapatan Pelaku Agroindustri Keripik Tempe di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu Income analysis of entrepreneur agroindustry crispy chips tempe in Buluh Rampai village Seberida district Indragiri Hulu Regency Shorea Khaswarina1) 1Jurusan
Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru
ABSTRAK
Kata Kunci: keripik tempe, agroindustri, biaya produksi, pendapatan, efisiensi
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis biaya produksi dan pendapatan pengusaha keripik tempe di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu bulan April 2014 hingga Juli 2014. Penelitian dilakukan dengan metode sensus pada 3 orang pengusaha agroindustri keripik tempe di Desa Buluh Rampai. Pengambilan sampel dengan mengambil pengusaha dengan menggunakan metode sensus pada agroindustri keripik tempe di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu . Analisis data yang digunakan berupa analisis biaya dan pendapatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada bulan Mei 2014 total biaya terbesar dikeluarkan oleh pengusaha 2 yaitu sebesar Rp.23.012.109. penerimaan yang diperoleh pengusaha 1 terbesar yaitu Rp.45.216.004,24 dan keuntungan yang diperoleh pengusaha 1 juga terbesar yaitu Rp.22.631.270,11. Usaha agroindustri keripik tempe sudah efisien karena nilai R/C rasio terbesar oleh pengusaha 1 lebih dari satu yaitu sebesar 2,00 berarti bahwa setiap Rp.1.00 biaya yang dikeluarkan dalam usaha agroindustri keripik tempe akan memberikan pendapatan sebesar Rp.2,00.
ABSTRACT
Keywords:
chrispy chips tempe, agroindustry, production cost, income, efficiency
The purpose of this study were to determine the amount of production costs, and income of the entrepreneur crispy chips tempe in Buluh Rampai village, Seberida district Indragiri Hulu Regency. This research was for 3 month conducted from April 2014 until July 2014. The data collection technique was census method to agroindustry entrepreneur of 3 entrepreneur crispy chips tempe in Buluh Rampai village. The analysis scopes of this research were costs and revenue. The results of this research showed that at Mei 2014 the total cost crispy chips tempe greatest by second entreprenur was Rp. 23.012.109. Revenue greatest to first entrepreneur was Rp.45.216.004,24 and profit to first entrepreneur by greatest was Rp.22.631.270,11. Profitability value meant that crispy chips tempe was a profitable industry because the first entrepreneur the value of profitability be more than one Ratio of R/C value is 2,00 meant that every Rp.1,00 costs in the production process of crispy chips tempe will provide Rp.2,00 income.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
171
PENDAHULUAN Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki beberapa sektor yang menjadi andalan yang mampu menopang kehidupan masyarakat. Salah satu sektor yang menjadi andalan tersebut adalah sektor pertanian. Pengembangan sektor pertanian ini selanjutnya tidak hanya untuk meningkatkan jumlah produksi saja, tetapi juga meningkatkan kualitas hasil, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan keterampilan pengusaha serta dapat meningkatkan pendapatan produksi dari produk tersebut yaitu dengan cara melakukan usaha agroindustri. Agroindustri merupakan industri pengolahan yang berbahan baku utama dari produk pertanian. Agroindustri berperan sebagai penghubung antara sektor pertanian dan sektor industri, yang dalam pengembangannya tidak terlepas dari dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu sektor ini merupakan salah satu subsistem agribisnis yang memiliki peranan besar dalam meningkatkan pendapatan, penyerapan tenaga kerja lebih banyak, memberikan dampak positif terhadap sektor lain, serta meningkatkan devisa negara. Salah satu produk agroindustri yang keberadaannya cukup populer dan bersahabat dengan kondisi perekonomian kebanyakan kalangan masyarakat yaitu agroindustri keripik tempe yang berbahan baku kedelai yang telah diolah menjadi tempe. Keripik tempe merupakan makanan ringan yang banyak disukai kalangan masyarakat. Keripik tempe ini merupakan oleh-oleh khas dari daerah Belilas khususnya Desa Buluh Rampai, selain itu keripik tempe ini biasanya dijadikan cemilan dan sesajian acara. Oleh karena itu keripik tempe ini selalu digemari masyarakat karena kepraktisannya, gizi yang tinggi, mengandung banyak vitamin dan protein serta harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat. Agroindustri keripik tempe memiliki potensi yang seharusnya layak untuk dikembangkan karena memiliki keunggulan dan memiliki prospek yang baik untuk kedepannya. Namun agroindustri yang ada masih berskala kecil dan rumah tangga dengan penggunaan teknologi yang sederhana serta kepemilikan modal yang terbatas sehingga produksinya belum memadai secara kualitas maupun kuantitas. Berdasarkan kondisi lokasi penelitian maka perlu dilakukan penelitian dengan fokus permasalahan pada besarnya biaya produksi serta pendapatan yang diterima pengusaha keripik tempe. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis biaya produksi dan pendapatan yang diterima oleh pengusaha keripik tempe di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu. 172
KERANGKA TEORI Tempe Tempe merupakan bahan makanan yang sangat digemari, walaupun dahulu pernah diremehkan sebagai bahan makanan untuk kaum miskin. Selain merupakan makanan sehari-hari sebagai pengganti ikan atau daging, tempe juga digunakan sebagai makanan selingan pada waktu-waktu tertentu dalam bentuk tempe goreng dan keripik tempe. Selain harganya relatif murah, proses pembuatannya sederhana dan mudah, kandungan gizinya pun cukup tinggi. Tempe merupakan makanan tradisional yang berpotensi sebagai makanan fungsional. Beberapa khasiat tempe bagi kesehatan antara lain memberikan pengaruh hipokolesterolemik, antidiare khususnya karena bakteri E. coli enteropatogenik dan antioksidan. Beberapa jenis peptide yang terdapat pada tempe telah diketahui merupakan senyawa bioaktif yang mempunyai fungsi penting bagi kesehatan, misalnya untuk meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi, sebagai senyawa antitrombotik, menurunkan kolesterol, meracuni sel tumor, dan sebagainya (Cahyadi, 2007). Keripik tempe merupakan makanan ringan yang dapat dikonsumsi semua kalangan masyarakat diantaranya digunakan sebagai pelengkap berbagai kegiatan pada waktu luang seperti menyaksikan siaran televisi maupun berbincang-bincang dengan keluarga maupun rekan dan teman. Selain itu keripik tempe merupakan biasa dijadikan oleh-oleh dari Belilas khususnya Desa Buluh Rampai. Keripik tempe merupakan makanan yang terbuat dari bahan baku kedelai yang telah diolah menjadi tempe dan beberapa bahan penunjang lainnya. Keripik tempe adalah jenis makanan ringan hasil olahan tempe. Kadar protein keripik tempe cukup tinggi yaitu berkisar antara 23%-25%. Keripik ini dikenal dengan nama keripik tempe karena berasal dari bahan baku tempe. Menurut Soekartawi (2000), bahwa agroindustri dapat diartikan dua hal, yaitu: Pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian dengan menekankan pada manajemen pengolahan makanan dalam suatu perusahaan produk olahan dimana minimal 20% dari jumlah bahan baku yang digunakan adalah dari pertanian. Kedua, agroindustri adalah suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian, tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai tahapan pembangunan industri. Agroindustri Menurut Soekartawi (2000), bahwa agroindustri itu penting karena (1) dapat meningkatkan nilai tambah,
(2) dapat meningkatkan kualitas hasil, (3) meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (4) meningkatkan keterampilan pengusaha dan (5) meningkatkan pendapatan produksi. Menurut Saragih dan Yasin dalam Yenti (2005), bahwa agroindustri dapat dijadikan sebagai suatu sektor yang memimpin dalam pembangunan jangka panjang tahap kedua. Selanjutnya diungkapkan juga beberapa kegiatan agroindustri yang meliputi:(1) industri pengolahan hasil pertanian dalam bentuk setengah jadi menjadi produk akhir; (2) industri penanganan hasil produksi pertanian segar dan sebagainya; (3) industri pengadaan alat dan mesin pertanian serta agroindustri lainnya. Menurut Soekartawi (2001) dalam Praptiwi (2015), industri skala rumah tangga dan industri kecil yang mengolah hasil pertanian mempunyai peranan penting yaitu: a) Meningkatkan nilai tambah, b) Meningkatkan kualitas kerja,c) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, d) Meningkatkan keterampilan produsen, e) Meningkatkan pendapatan produsen. Aspek Teknis pada Proses Produksi Tempe 1, 2, dan 3 Pengusaha 1, 2, dan 3 menyediakan bahan baku pembuatan keripik tempe sendiri, yaitu dengan membuat dan mengolah tempe sendiri. Adapun tahapan dalam pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengusaha 1, 2, dan 3 adalah sebagai berikut: Kedelai Perebusan (30 menit) Perendaman (10 jam) Air
Penirisan dan pencucian 1 (15 menit) Pembelahan biji kedelai (15 menit) Pemisahan (10 menit)
Air bersih
Pencucian II (10 menit) Pengukusan (30 menit) Penirisan dan pendinginan (+ 300C) (15 menit)
Ragi tempe
Inokulasi (5 menit) Pengadukan (10 menit)
Plastik
Pembungkusan (5 menit) Pemukulan (1 menit) Fermentasi t=250-300 C (20 jam)
Pembeda pembuatan tempe antara pengusaha 1, 2 dan 3 adalah pada pengusaha 1 dilakukan kegiatan pemukulan sehingga tempe yang dihasilkan berbentuk lembaran. Sedangkan pengusaha 2 dan 3 tidak melakukan kegiatan pemukulan sehingga tempe yang dihasilkan tebal yang kemudian dilakukan pengirisan untuk menghasilkan tempe yang tipis pada pembuatan keripik tempe. Aspek Teknis Proses Produksi Keripik Tempe Pengusaha 1, 2, dan 3 pengusaha 2 dan 3 secara manual melakukan pengirisan tempe dengan menggunakan pisau. Kemudian irisan-irisan tempe ini digoreng sehingga menjadi keripik tempe. Adapun tahapan dalam pembuatan keripik tempe yang dilakukan oleh pengusaha adalah sebagai berikut:
Tempe Pemotongan dan pembuatan adonan Penggorengan
Pengemasan Gambar 3. Tahapan Pembuatan Keripik Tempe 1, 2 dan 3 Bahan Baku dan Bahan Penunjang pada Pembuatan Tempe Bahan baku pembuatan tempe adalah kedelai impor. Harga bahan baku yang digunakan yaitu harga bulan Mei 2014. Jumlah produksi tergantung banyaknya permintaan konsumen dan kebutuhan bahan baku tergantung produksi yang dilakukan pengusaha. Pengusaha tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku karena pengusaha menyimpan atau membuat stok bahan baku. Tabel 1 menunjukkan bahwa pengusaha 2 paling banyak menggunakan bahan baku yaitu 360 kg pada bulan Mei 2014. Hal ini dikarenakan banyaknya kebutuhan bahan baku yang diperlukan dalam satu kali produksi. Semua produk yang dihasilkan dalam satu kali produksi merupakan pesanan pelanggan dan selalu habis dalam satu hari. Walaupun bahan baku pengusaha 2 terbanyak dibanding pengusaha 1 dan 3 namun tidak menjadikan Pengusaha 2 memproduksi tempe terbanyak.
Tempe
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tempe pengusaha 1. 173
Bahan Baku dan Bahan Penunjang pada Agroindustri Keripik Tempe pengusaha 1, 2 dan 3 Bahan baku dalam pembuatan keripik tempe adalah tempe yang diukur dalam satuan kilogram. Banyaknya kebutuhan bahan baku tergantung
banyaknya produksi yang dilakukan dalam membuat tempe serta banyaknya permintaan konsumen. Pengusaha tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan karena pengusaha melakukan produksi tempe sendiri sebagai bahan baku.
Tabel 1. Penggunaan Bahan Baku, Bahan Penunjang dan Produksi pada Pembuatan Tempe oleh Pengusaha 1, 2, dan 3 pada Bulan Mei 2014 Penggunaan Bahan Pembuatan Tempe 1
Baku
pada
Penggunaan Bahan Penunjang (Ragi, Plastik, Kayu, Gas dan Bensin) pada Pembuatan Tempe Produksi tempe
Penggunaan Bahan Pembuatan Tempe 2
Baku
pada
Penggunaan Bahan Penunjang (Ragi, Plastik, Kayu, Gas dan Bensin) pada Pembuatan Tempe Produksi tempe
Penggunaan Bahan Pembuatan Tempe 3
Baku
pada
Penggunaan Bahan Penunjang (Ragi, Plastik, Kayu, Gas dan Bensin) pada Pembuatan Tempe Produksi tempe
Intensitas Produksi (kali/bln) Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) Harga (Rp) Total Biaya(Rp) Total (Kg/Bln) Harga (Rp) Total Biaya (Rp/Bln) Produksi (Kg/bln) Harga Jual (Rp) Nilai (Rp) Intensitas Produksi (kali/bln) Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) Harga (Rp) Total Biaya(Rp) Total (Kg/Bln) Harga (Rp) Total Biaya (Rp/Bln) Produksi (Kg/bln) Harga Jual (Rp) Nilai (Rp) Intensitas Produksi (kali/bln) Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) Harga (Rp) Total Biaya(Rp) Total (Kg/Bln) Harga (Rp) Total Biaya (Rp/Bln) Produksi (Kg/bln) Harga Jual (Rp) Nilai (Rp)
24 342 10.000 3.420.000 71,52 95.000 1.649.600 513 20.000 10.260.000 30 360 10.000 3.600.000 12,45 372.000 531.000 504 20.000 10.080.000 30 300 10.000 3.000.000 10,35 642.000 582.300 420 20.000 8.400.000
Tabel 2. Penggunaan Bahan Baku, Bahan Penunjang dan Produksi pada Pembuatan Keripik Tempe oleh Pengusaha 1, 2, dan 3 pada Bulan Mei 2014 Bahan Baku (Tempe)
1
Bahan Penunjang (Tepung Beras, Telur, Minyak Goreng, Bumbu Adonan dan Penyedap Rasa Plastik Bungkus, Kayu, Gas, Label) Produksi tempe
2
174
Bahan Baku (Tempe)
Intensitas Produksi (kali/bln) Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) Harga (Rp) Total Biaya(Rp) Total (Kg/Bln) Harga (Rp) Total Biaya (Rp/PP) Total Biaya (Rp/Bln) Produksi (Kg/bln) Harga Jual (Rp) Nilai (Rp) Intensitas Produksi (kali/bln) Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) Harga (Rp) Total Biaya(Rp) Total (Kg/Bln)
24 513 20.000 10.260.000 1.075,2 129.000 433.530 10.404.720 989,10 45.714,29 45.216.004,24 30 504 20.000 10.080.000 947,17
Bahan Penunjang (Tepung Beras, Telur, Minyak Goreng, Bumbu Adonan dan Penyedap Rasa Plastik Bungkus, Kayu, Gas, Label) Produksi tempe
Bahan Baku (Tempe)
3
Bahan Penunjang (Tepung Beras, Telur, Minyak Goreng, Bumbu Adonan dan Penyedap Rasa Plastik Bungkus, Kayu, Gas, Label) Produksi tempe
Harga (Rp) Total Biaya (Rp/PP)
395.000 299.721
Total Biaya (Rp/Bln)
8.991.642
Produksi (Kg/bln) Harga Jual (Rp) Nilai (Rp) Intensitas Produksi (kali/bln) Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) Harga (Rp) Total Biaya(Rp) Total (Kg/Bln) Harga (Rp) Total Biaya (Rp/PP) Total Biaya (Rp/Bln) Produksi (Kg/bln) Harga Jual (Rp) Nilai (Rp)
878,08 35.714,29 31.360.003,76 30 420 20.000 8.400.000 671,17 654.000 233.035,71 6.991.071,43 776,53 32.857,14 25.514.554,92
Tabel 2 menunjukkan bahwa pengusaha 1 menggunakan bahan baku terbanyak sehingga banyak pula menggunakan bahan penunjang. Harga yang ditetapkan oleh pengusaha 1 juga paling tinggi. Hal ini karena biaya produksi yang digunakan oleh pengusaha 1 terbesar, selain itu pengusaha telah memiliki izin usaha dan memiliki label sehingga dapat menaikkan harga jual.
Tenaga Kerja Agroindustri keripik tempe menggunakan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan menggunakan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) dengan satuan Hari Orang Kerja (HOK). Upah untuk satu HOK yang dilakukan pengusaha adalah dengan pembayaran harian yaitu sebesar Rp. 30.000.
Tabel 3. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Dan Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada Pembuatan Tempe Pengusaha 1, 2 dan 3 Pengusaha 1 2 3
Kegiatan Pembuatan Tempe Pemukulan Pembuatan Tempe Pembuatan Tempe
TKDK HOK 0,29 1 1
Tabel 3 menunjukkan bahwa semua pengusaha dalam penggunaan tenaga kerja untuk pembuatan tempe menggunakan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dengan HOK pengusaha 1 sebanyak 0,29 HOK per proses produksi dengan biaya Rp.15.000. Penggunaan
Upah (Rp) 15.000 30.000 30.000
TKLK HOK Upah (Rp) 3,57 15.000 -
HOK pengusaha 1 hanya 0,29 dikarenakan pembuatan tempe hanya membutuhkan waktu 2 jam kerja sehingga 2 jam dari 7 jam kerja yaitu 0,29 HOK. HOK pengusaha 2 dan 3 sebanyak 1 HOK per proses produksi dengan biaya Rp.30.000.
Tabel 4. Total Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Dan Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada Agroindustri Keripik Tempe Pada Bulan Mei 2014 TKDK TKLK Pengusaha Kegiatan HOK Upah (Rp) HOK Upah (Rp) Pemotongan 0,86 15.000 1 Penggorengan 3,43 15.000 Pengemasan 1 15.000 2 Pengirisan 1 30.000 175
Pengusaha
3
Kegiatan Penggorengan Pengemasan Pengirisan Penggorengan Pengemasan
TKDK HOK 1 1 1 1 1
Analisis Usaha Tempe Analisis usaha pembuatan tempe menggunakan empat analisis data. Pertama, analisis biaya, pendapatan kotor, dan pendapatan bersih untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha. Kedua, analisis Return Cost Ratio (RCR) untuk mengetahui efisiensi usaha agroindustri pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengusaha. Ketiga, analisis titik balik modal atau Break Event Point (BEP) untuk mengetahui kondisi hasil usaha yang diperoleh sama dengan modal yang dikeluarkan. Keempat, analisis nilai tambah untuk
Upah (Rp) 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
TKLK HOK -
Upah (Rp) -
mengetahui nilai tambah bahan baku kedelai yang diolah menjadi tempe. Pendapatan Bersih Pendapatan bersih adalah jumlah keuntungan atau laba yang diperoleh dari selisih antara pendapatan kotor dengan total biaya produksi. Biaya produksi terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya tetap meliputi biaya penyusutan peralatan dan biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK). Sedangkan biaya variabel meliputi biaya bahan baku, biaya bahan penunjang dan biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK)
Tabel 5. Pendapatan Bersih Efisiensi Usaha Pada Pembuatan Tempe Pada Bulan Mei 2014 No 1 A B C 2 A B 3 4 5 6 7 8 9 10
Uraian Biaya Variabel (Rp) Biaya Bahan Baku (Rp) Biaya Bahan Penunjang (Rp) Biaya TKLK Biaya Tetap (Rp) Biaya Penyusutan (Rp) Biaya TKDK (Rp) Total Biaya Produksi (Rp) Produksi (Kg) Harga (Rp) Pendapatan Kotor (Rp) Pendapatan Bersih (Rp) Return Cost Ratio (RCR) BEP Produksi BEP Biaya
Pengusaha 1 6.335.314 3.420.000 1.629.600 1.285.714 115.268,76 12.411,62 102.857 6.450.583,04 513 20.000 10.260.000 3.809.416,96 1,59 15,07 301.338,13
Tabel 5 menunjukkan biaya produksi untuk biaya variabel terbesar oleh pengusaha 1, hal ini dikarenakan besarnya biaya bahan penunjang yang digunakan oleh pengusaha 1 sehingga menyebabkan biaya veriabel pengusaha 1 lebih besar jika dibanding dengan pengusaha 2 dan 3. Biaya tetap terbesar oleh pengusaha 3, hal ini dikarenakan besarnya biaya penyusutan dan biaya TKDK. Biaya penyusutan pengusaha 1 terbesar dibanding dengan pengusaha 2 dan 3 namun biaya TKDK pengusaha 1 terkecil karena pengusaha 1 banyak menggunakan TKLK dalam melakukan proses produksi pembuatan tempe sehingga menyebabkan pengusaha 1 menggunakan biaya tetap terkecil dibanding dengan pengusaha 2 dan 3. 176
Pengusaha 2 4.131.000,00 3.600.000 531.000,00 902.320,51 2.320,51 900.000 5.033.320,51 504 20.000 10.080.000 5.046.679,49 2,00 76,44 1.528.894,06
Pengusaha 3 3.582.300,00 3.000.000 582.300,00 902.638,89 2.638,89 900.000 4.484.938,89 420 20.000 8.400.000 3.915.061,11 1,87 78,69 1.573.814,61
Pendapatan kotor yang diperoleh pengusaha 1 terbesar yaitu sebesar Rp.10.260.000 hal ini dikarenakan produksi yang dilakukan pengusaha 1 terbesar dibanding pengusaha lainnya. Pendapatan kotor diperoleh dari hasil kali produksi pengusaha dengan harga produk. Sedangkan pendapatan bersih pengusaha 2 terbesar yaitu sebesar Rp.5.046.679,49 yang diperoleh dari pengurangan pendapatan kotor dengan total biaya produksi. Hal ini karena pengusaha 1 menggunakan biaya produksi lebih kecil dibanding dengan pengusaha 1 sehingga mempengaruhi perolehan pengusaha 2 dan menyebabkan pengusaha 2 memiliki pendapatan bersih terbesar. Tingkat produksi menentukan pendapatan pada pembuatan tempe. Semakin tinggi tingkat produksi
maka semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh. Tingkat produksi tergantung pada permintaan konsumen terhadap permintaan akan keripik tempe karena tempe ini merupakan bahan baku utama dalam pembuatan keripik tempe. Efisiensi Usaha Berdasarkan Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa usaha pembuatan tempe oleh pengusaha 2 mendapatkan nilai RCR terbesar jika dibanding dengan pengusaha 1 dan 3 yaitu 2,00. Artinya setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan pendapatan Rp.2,00 dan pendapatan bersih sebesar Rp.1,00. Ini menunjukan bahwa usaha pembuatan tempe menguntungkan untuk terus diusahakan. Analisis BEP merupakan analisis balik modal dimana pada saat kondisi tersebut usaha yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan tetapi juga tidak mengalami kerugian (impas). Analisis BEP
terbaik dilakukan oleh pengusaha 1 karena pada saat pengusaha memproduksi tempe sebesar 15,07 kg dan pada saat mengeluarkan biaya sebesar Rp.301.338,13 pengusaha 1 telah memperoleh titik impas. Analisis Usaha Agroindustri Keripik Tempe Pendapatan Bersih Tabel 6 menunjukkan biaya produksi untuk biaya variabel terbesar oleh pengusaha 1 yaitu Rp.22.259.006. Hal ini dikarenakan besarnya biaya bahan baku yang digunakan oleh pengusaha 1 sehingga menyebabkan biaya variabel pengusaha 1 lebih besar jika dibanding dengan pengusaha 2 dan 3. Biaya tetap terbesar oleh pengusaha 3, hal ini dikarenakan besarnya biaya penyusutan dan biaya TKDK. Biaya penyusutan pengusaha 1 terbesar dibanding dengan pengusaha 2 dan 3 namun biaya TKDK pengusaha 1 terkecil.
Tabel 6. Pendapatan Bersih Efisiensi Usaha Pada Agroindustri Keripik Tempe Pada Bulan Mei 2014 No 1 A B C 2 A B 3 4 5 6 7 8 9 10
Uraian Biaya Variabel (Rp) Biaya Bahan Baku (Rp) Biaya Bahan Penunjang (Rp) Biaya TKLK Biaya Tetap (Rp) Biaya Penyusutan (Rp) Biaya TKDK (Rp) Total Biaya Produksi (Rp) Produksi (Kg) Harga (Rp) Pendapatan Kotor (Rp) Pendapatan Bersih (Rp) Return Cost Ratio (RCR) BEP Produksi BEP Biaya
Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3 22.259.006 20.309.143 16.328.571 10.260.000 10.080.000 8.400.000 10.404.720 10.229.143 7.928.571 1.594.286 325.728 2.702.966,35 2.702.854,17 17.156,99 2.966,35 2.854,17 308.571 2.700.000 2.700.000 22.584.734 23.012.109 19.031.426 989,10 878,08 776,53 45.714,29 35.714,29 32.857,14 45.216.004,24 31.360.003,76 25.514.554,92 22.631.270,11 8.347.894,56 6.483.129,33 2,00 1,36 1,34 14,03 214,77 228,48 641.553,27 7.670.446,27 7.507.320,38
Hal ini dikarenakan pengusaha 1 banyak menggunakan TKLK dalam melakukan proses produksi pembuatan tempe sehingga menyebabkan pengusaha 1 menggunakan biaya tetap terkecil dibanding dengan pengusaha 2 dan 3. Pendapatan Bersih Tabel 6 menunjukkan biaya produksi untuk biaya variabel terbesar oleh pengusaha 1 yaitu Rp.22.259.006. Hal ini dikarenakan besarnya biaya bahan baku yang digunakan oleh pengusaha 1 sehingga menyebabkan biaya variabel pengusaha 1 lebih besar jika dibanding dengan pengusaha 2 dan 3. Biaya tetap terbesar oleh pengusaha 3, hal ini dikarenakan besarnya biaya penyusutan dan biaya TKDK. Biaya penyusutan pengusaha 1 terbesar
dibanding dengan pengusaha 2 dan 3 namun biaya TKDK pengusaha 1 terkecil. Hal ini dikarenakan pengusaha 1 banyak menggunakan TKLK dalam melakukan proses produksi pembuatan tempe sehingga menyebabkan pengusaha 1 menggunakan biaya tetap terkecil dibanding dengan pengusaha 2 dan 3. Pendapatan kotor yang diperoleh pengusaha 1 terbesar yaitu sebesar Rp.45.216.004,24 hal ini dikarenakan harga yang ditetapkan pengusaha terbesar dibanding pengusaha lainnya. Penetapan harga tertinggi merupakan strategi yang dilakukan oleh pengusaha 1 guna memperoleh keuntungan yang tinggi. Hal ini karena pengusaha telah melakukan pengemasan yang baik, telah memiliki label dan telah
177
memiliki izin usaha. Pendapatan kotor diperoleh dari hasil kali produksi pengusaha dengan harga produk. Pendapatan bersih pengusaha 1 juga terbesar yaitu sebesar Rp.22.631.270,11 yang diperoleh dari pengurangan pendapatan kotor dengan total biaya produksi. Sedangkan pendapatan bersih pengusaha 4 terkecil karena besarnya total biaya produksi dan produksi yang terkecil bila dibanding dengan pengusaha 2 dan 3 sehingga mempengaruhi perolehan pendapatan bersih. Tingkat produksi menentukan pendapatan pada pembuatan tempe. Semakin tinggi tingkat produksi maka semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh. Tingkat produksi tergantung pada permintaan konsumen terhadap permintaan akan keripik tempe karena tempe ini merupakan bahan baku utama dalam pembuatan keripik tempe. Efisiensi Usaha Efisiensi usaha tempe dapat dianalisis menggunakan Return Cost Ratio (RCR). Berdasarkan perhitungan RCR terhadap pembuatan tempe yang dilakukan oleh semua pengusaha bahwa kelayakan usaha pembuatan tempe sebagai bahan baku agroindustri keripik tempe masih dapat bersaing atau kompetitif. Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa usaha pembuatan tempe oleh pengusaha 1 mendapatkan nilai RCR terbesar jika dibanding dengan pengusaha 2 dan 3 yaitu 2,00. Artinya setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan pendapatan Rp.2,00 dan pendapatan bersih sebesar Rp.1,00. Ini menunjukan bahwa usaha pembuatan tempe menguntungkan untuk terus diusahakan. RCR diperoleh dari pendapatan kotor dibagi dengan total biaya produksi. RCR pengusaha 1 terbesar dikarenakan pendapatan kotor lebih besar 2 kali lipat dari total biaya produksi. Sedangkan RCR terkecil oleh pengusaha 3 yaitu sebesar 1,34. Artinya setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan pendapatan sebesar Rp.1,34 dan pendapatan bersih sebesar Rp.0,34. Usaha tempe pengusaha 3 menguntungkan untuk terus diusahakan namun RCR pengusaha 3 terkecil jika dibandingkan dengan pengusaha 1 dan 2. Analisis BEP merupakan analisis balik modal dimana pada saat kondisi tersebut usaha yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan tetapi juga tidak mengalami kerugian (impas). Analisis BEP terbaik dilakukan oleh pengusaha 1 karena pada saat pengusaha memproduksi tempe sebesar 14,03 kg dan pada saat mengeluarkan biaya sebesar Rp.641.553,27 pengusaha 1 telah memperoleh titik impas. Analisis BEP semua usaha pembuatan tempe yang dijalankan oleh pengusaha telah mendapatkan 178
titik balik modal atau impas. Artinya tidak mendapatkan keuntungan tetapi juga tidak mengalami kerugian pada pendapatan tertentu. Analisis keuntungan tempe pada bulan Mei 2014. KESIMPULAN Hasil penelitian memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses pengolahan keripik tempe melalui tahapan pembuatan tempe dengan bahan baku kedelai, pengolahan tempe menjadi keripik tempe hingga proses pengemasan. Pengusaha memproduksi keripik tempe setiap hari. 2. Total biaya terbesar yang dikeluarkan oleh pengusaha 2 yaitu sebesar Rp.23.012.109. Namun pendapatan bersih terbesar oleh pengusaha 1 sebesar Rp.22.631.270,11 per bulan. Agroindustri keripik tempe pengusaha 1 efisien dimana efisien usaha atau RCR lebih besar dari 1 yaitu 2,00. BEP yang dilakukan oleh Pengusaha yaitu pada saat pengusaha 1 mengeluarkan biaya sebesar Rp.641.553,27 dan saat memproduksi keripik tempe sebesar 14,03 kg pengusaha telah memperoleh titik balik modal. SARAN 1. Agroindustri keripik tempe pengusaha 1 menunjukkan RCR paling tinggi jika dibandingkan dengan pengusaha lainnya. Pengusaha diharapkan lebih mengembangkan usaha (memperbesar produksi) keripik tempe ini. 2. Bahan baku kedelai dan tempe yang digunakan dalam agroindustri keripik tempe mempengaruhi pendapatan maka penambahan jumlah bahan baku dapat dipertimbangkan yang nantinya juga akan berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh. 3. Pelatihan dan pembinaan bagi para pengusaha diharapkan dapat rutin dilakukan, sebab pada pengolahan agroindustri keripik tempe ini masih terkendala dalam penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM). Potensi yang ada di Desa Buluh Rampai diharapkan dapat berkembang dengan maksimal serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pengusaha. 4. Pengusaha sebaiknya memiliki izin usaha, sertifikat dari dinas kesehatan dan memiliki label agar produk keripik tempe dapat lebih leluasa memasuki pasar yang lebih besar dan agar keripik tempe lebih dikenal oleh konsumen. DAFTAR PUSTAKA Cahyadi, Wisnu. 2007. Kedelai Khasiat Dan Teknologi. Jakarta. Bumi Aksara.
Praptiwi, Ari Nurhayati.2015. Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Agroindustri Tape Singkong Di Kota Pekanbaru. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Riau.Pekanbaru (Tidak Dipublikasikan). Soekartawi. 2000. Pengantar agroindustri. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.. Soekartawi. 2001. Pengantar agroindustri. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. .2005.Agroindustri Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. PT.Raja grafindo Persada. Jakarta. . 2005. Agribisnis teori dan aplikasinya. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Yusmarini. dan Usman Pato.2004. Teknologi Pengolahan Hasil Tanaman Pangan. Pekanbaru. UNRI Press.
179
180
Farmers’ Knowledge, Perception, And Practices in Organic Paddy Farming Concept Pengetahuan, Persepsi, Dan Praktek Petani Dalam Konsep Usahatani Padi Organik Tinjung Mary Prihtanti dan Maria Agribusiness Department, Faculty of Agriculture and Bussines, Satya Wacana Christian University
ABSTRAK
Kata Kunci: pertanian padi, pengetahuan petani, konsep pertanian organik, praktek organik
Pertanian padi saat ini sangat tergantung pada bahan kimia pertanian, baik pupuk sintetis dan pestisida, serta mengabaikan dampak negatif lingkungan. Pertanian organik adalah salah satu dari beberapa pendekatan untuk pertanian berkelanjutan. Makalah ini meneliti pengetahuan dan persepsi serta praktek pertanian padi organik, yang sangat berguna untuk mengatur agenda penelitian, strategi kampanye perencanaan dan mengembangkan pesan untuk dikomunikasikan kepada petani. Penelitian ini dilakukan di Desa Pereng dan Gentungan, Mojogedang Kecamatan, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Sebanyak 60 petani organik dan konvensional termasuk dalam survei ini. Sebagian besar petani-responden mendefinisikan pertanian organik sebagai tidak adanya bahan kimia yang digunakan dalam pertanian, dan ada beberapa petani-responden mendefinisikan pertanian organik sebagai aplikasi tingkat yang sangat rendah dari pupuk kimia. Hanya sebagian kecil petani padi organik yang menerapkan bibit lokal dan pengelolaan irigasi di praktek pertanian dan tidak ada petani padi organik yang rotasi tanaman. Oleh karena itu pemerintah harus meningkatkan upaya dalam menyebarluaskan informasi yang tepat pada pertanian organik yang sesuai dengan prinsip-prinsip pertanian organik sebagai Organik Sistem Pangan SNI untuk petani untuk menjamin keberlanjutan program pertanian organik.
ABSTRACT
Keywords: paddy farming, farmer knowledge, organic farming concept, organic practices
The current industrial paddy farming promotes the reliance on agrochemicals, both synthetic fertilizers and pesticides, while neglecting to consider their negative effects on the environment. Organic farming is one of several approaches to sustainable agriculture. This paper examined farmers’ knowledge and perception of organic paddy farming practices, which is especially useful to set research agendas, for planning campaign strategies and developing messages for communication. The study conducted at Pereng village and Gentungan, Mojogedang sub-district, Karanganyar regency, Central Java Province. A total of 60 organic and conventional farmers were included in this survey. Majority of the farmer-respondents define organic farming as the absence of chemicals used in farming, and there is some farmer-respondent define organic farming as a very low level application of chemicals fertilizer. Only a small proportion of organic paddy farmers were apply local seeds and managing irrigation in farming practices and there was none of organic paddy farmers do the crop rotation. The government must therefore increase its efforts in disseminating the proper information on organic agriculture corresponding the principles of organic agriculture as Organic Food Systems SNI to the farmer to ensure the sustainability of the organic agriculture program.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
181
INTRODUCTION Paddy is most important food crop and a primary source of food for Indonesian people. The current paddy farming system promotes the reliance on agrochemicals, both synthetic fertilizers and pesticides, while neglecting to consider their negative effects on the environment. Excessive use of chemical fertilizers has led to a decline soil quality and output productivity (Las et. al, 2006). This causes the so called “soil hungry” in which the soil requires more chemical substances. As result, to sustain crop productivity, farmers have to be dependent on chemical fertilizers. In addition, fertilizer is usually scarce and difficult to obtain by the farmers. A strategic option to accelerate development realization of the agribusiness competitive, sustainable and environmentally farming in order to improve the welfare of the people, especially farmers, is organic farming. Organic farming is recognized as an important system of agriculture and food production, that is environmentally sustainable and can generate several positive impacts to rural society. The World Board of the International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) approved the Organic agriculture is a production system that sustains the health of soils, ecosystems and people. It relies on ecological processes, biodiversity and cycles adapted to local conditions, rather than the use of inputs with adverse effects. Organic agriculture combines tradition, innovation and science to benefit the shared environment and promote fair relationships and good quality of life for all involved’. Organic farming in Indonesia, still rare. Organic agriculture program in Indonesia has been initiated since its launched "Go-Organic 2010" program by the Ministry of Agriculture in 2000. Based on SOEL survey in Daniele (2005), mentioned that the organic farming area in Indonesia was around 40,000 hectares (0.09 per cent to total area or equal to 0.33 per cent of total paddy area). By implementing organic farming practices, Indonesia farmers are expected to reduce their dependence on chemical fertilizers as well as preserving environmental sustainability (Syarif and Lesmana, 2011). Until recently, farmers’ knowledge of organic farming has been ignored by researchers because decreasing dissemination. Scialabba’s and Hattam’s (2002) review of developing countries efforts in organic agriculture points out the weakness of institutional support for existing knowledge and exchane in organic agriculture. Singh and George (2012) conclude that even farmers are aware of some 182
of the basic facts of farming but they were not aware of all aspects related to certification and standards given by different agencies Triyuyun research results (2011) showed that the perception of stakeholders in Karanganyar towards organic farming systems and the attributes of the technology is low, awareness of stakeholders on the environmental and economic benefits of organic farming are not always followed by changes in the behavior of farmers in adopting organic farming. In Sub-district Mojogedang there is a small group of farmers practicing organic paddy farming. The sub-district of Mojogedang height is about 380 m above sea level, and lots of precipitation 2590 mm/year. Irrigation is available throughout the year led farmers can cultivate three times during the year. People in Pereng who cultivate organic paddy embodied in a farmer groups, Rukun Makaryo, while organic paddy farmers in the village of Gentungan incorporated in the Tani Mulyo. Results of observation and learn from earlier studies tend a reduction in the number of organic paddy farmers. This paper intends to contibute to the existing literature by providing an empirical analysis of farmers’ perceptions and practice in organic farming, and comparing them with conventional farmers. METHODS This study was conducted in Pereng and Gentungan viilage, Mojogedang sub-district, Karanganyar regency. The results presented in this paper are based on qualitative and quantitative methods of primary data collection and inquiry. In order to study the differences of two paddy farming systems, total of 60 farmers whom 30 farmers are dealing with organic farming and other 30 farmers from conventional farming were subjected for the interview in this study. Furthermore, qualitative and quantitative methods such as semi-structured and indepth interviews, identification of key-informants, focus group discussion (FGD) and field visits were used to fulfill the necessary data needed in this study. Descriptive statistics were used to investigate both organic and conventional farms. RESULTS AND DISCUSSION Farm Characteristics As shown in Table 1, the average age of organic paddy farmers are relatively younger than the conventional paddy farmers, and statistically significantly different. Education of organic paddy farmers relatively higher than conventional paddy farmer, and statistically significantly different.
Education and age affect farmer knowledge and acceptance of the new technologies. A study by Jamison and Lau (1982) mentioned that the success of Thailand, Korea and Malaysia in increasing the productivity of their agriculture sector was by education.The average organic paddy farm size is about 2,480 m2 which is lower than the average of
the conventional farm. The analysis showed the farm size between both farming system was statistically significant different. Syarif and Lesmana (2011) revealed in most countries, organic farming is typically small scale. Promoting organic farming on a small scale is intended to avoid food shortages in the short run.
Table 1. Farm Characteristics Characteristic Age (years) ≤ 29 30 – 39 40 – 49 50 - 59 ≥ 60 Mean St-dev t-test Education Uneducated Primary school Junior high School Higher School Diploma University Mean
Orgaic Farming Total % 2 2 12 8 6
Conventional Farming Total %
6.67 6.67 40 26.67 20.0
0 4 7 6 13
48,47 years 11,97
0.0 13.33 23.33 20.0 43.33 56,40 years 13,63
2,39* 0 14 6 7 1 2
0.00 46.67 20.00 23.33 3.33 6.67
7 14 2 6 1 0
8.33 years (junior high school) 2.92
St-dev t-test Farm size < 2,500 m2 18 2,500 – 5,000 m2 10 < 5,000 m2 2 Mean St-dev t-test Note : * significant at 5% level, respectively
23.33 46.67 6.67 20.00 3.33 0.00
6.07 years (primary school) 4.49 2.32*
60.00 33.33 6.67
11 10 9
2,480 m2 2,430.04
Farmer Perception and Knowledge in Organic Farming Concept Result of this study found that there was different knowledge and perceptions among farmers towards organic concepts, as showed at Figure 1. Majority of the organic farmer-respondent define organic agriculture as the absence of chemicals used in farming. Most farmers (83.3%) declared organic farming is farming without chemicals fertilizer and pesticide. However, not all organic paddy farmers had same perception, which 16.67% of farmers were assume that organic farming is the use of manure and pesticide material from plants. About 30% of conventional paddy farmers assume that organic farming is farming without
36.67 33.33 30.00 4,589.67 m2 4,658.68
2,19* chemical inputs, both fertilizers and pesticides, but 20% farmers said that organic farming is only without chemical pesticides and still allowed to use chemical fertilizers in low doses. What is interesting that as many as 23.33% of conventional paddy farmers answered do not know about organic farming. The survey has shown that organic farmers perception about organic farming was not fully in accordance with the appropriate standards of organic farming. None of organic farmers was answering that local seed selection, management of irrigation and rotation is important aspect in organic farming. It should be noted that majority of farmers were not aware about the recommmended marketing practices 183
for organic products, because the lack of organic markets.
90.0% 80.0% 70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0%
Organic Farming Conventional Farming
Figure 1. Farmers’ Perceptions in Organic Farming Results of interviews proved that conventional farmers did not familiar with organic farming accurately, although on the other hand quite a lot of conventional farmers declared that the organic farming is absence of chemical inputs. Conventional farmers assume that organic farming requires fertilizers and pesticides that are difficult to make. Organic paddy farmer were mainly knowledgable about what fertlizer and the kind of pesticide to use, but they were not knowledgable ini seeds to use. about organic concept can be seen by
their farming practices. Table 2 depicts the respondents’ practices toward paddy farming conducted at study sites. This research found that some organic paddy farmers respondents apply local seed and did not aware with crop rotation aspect and management of irrigation and post-harvest treatment and marketing their farm products. This results is similar with Pindozo et al (2014) which revealed that paddy farmers have only low to medium level of awareness on organic farming activties and markets for organic products.
Table 2. Differences between Organic and Conventional Paddy Farming Practice Explanation Production stage Pre-cultivation stage
Organic Farming
Conventional Farming
Farm location near from the viilage
Disperse
Cultivation stage 1.
Use of Fertilizer
Manure formulated with MOL (local microorganisms) were producing with members of farmer groups, amount of fertilizer 1,35 tons/ha
Urea (315,26 kg/ha), SP36 (250,79 kg/ha), Phonska (330,21 kg.ha), ZA (238,33 kg/ha)
2.
Use of Pesticide
Pesticide from plant materials
Chemicals pesticide
3.
Use of Seed
Dominated menthik, black rice, and IR 64
Dominated use of IR 64 and ciherang
184
Explanation
Production stage Organic Farming
Conventional Farming
4.
Aspects of land management and irrigation
Farmers plant paddy three times a year in their fields
Farmers plant paddy three times a year
5.
Crop rotation
Farmers do not perform rotation for paddy cultivation
Farmers do not perform rotation for paddy cultivation
Post-harvest stage 1.
Packing and storage
Farmers didn’t aware with packing and storage for organic products
Farmers do their own packing and storage
2.
Marketing Aspects
Most farmers market through farmer groups, and few farmer had sold production to the paddy milling independently
Some farmers do marketing through paddy mills and traders around the village
Important Factors Influencing Adoption of Organic Farming Organic paddy farmers motivation adopted organic farming practices, primarily because of low cost of production under organic system (56.67% of farmers). The next biggest reason why farmers want to do organic farming is health concern factors, farmers feels responsible for the environment, land, and human health in the long term (23.33% of
Scarcity of chemical fertilizer 6.67%
farmers). Farmer respondent in this study were knowledgeable in producing in their own input. Since organic farming encourages the use of indigenous materials, lower costs are incurred. Farmers are encouraged to produce their own inputs using materials that can be easily found from their farm surroundings, such as manure. This study found only 17% farmers respondent didn’t have livestock
Input can provide manually 6.67%
Healthy environment 23.33% Worker efficiency 3.33% Improve soil
Cost efficiency 56.67%
fertility 3.33%
Figure 2. Farmers’ Motivation in Organic Farming Farmer respondent in this study were knowledgeable in producing in their own input. Since organic farming encourages the use of indigenous materials, lower costs are incurred. Farmers are encouraged to produce their own inputs using materials that can be easily found from their farm surroundings, such as manure. This study found only 17% farmers respondent didn’t have livestock.
Conventional paddy farmers motivation did not adopt organic farming were yields uncertainty (46.67%), complicated production system (20%), did not familiar to cultivate in organic farming (10%), conventional cultivation has been hereditary (10%), did not know how to sale proceeds if the organic (6.67%), as well as long development of plants and feel the paddy of organic results are not different from conventional farming (respectively 3.33%). 185
These results are similar to studies Prompathansombat et al (2011) that important factors on decision of adoption of organic farming that were positively significant included farm-gate ppaddy and attitude to conventional production problems, also water accessibility. Schneeberger et al (2002) revealed that Austrian farmers did not adopt organic practices due to fear of decreased income and marketing problems. Niemeyer and Lombard (2003) revealed that in South Africa, the lack of marketing opportunities, no premium ppaddys, and the lack of subsidies had kept the farmers from adopting organic practices. Kennvidy (2011) revealed that farmers shifted to organic farming in order to reduce the expenses on synthetic fertilizers, to avoid the negative effects of synthetic fertilizers to health, to utilize the available resources in the neighborhood, to conserve the environment as well as soil and water quality and to acquire the beneficial ppaddys on organic products. Information about organic rice farming is very important for the farmers to change their practice, enhance knowledge on farming and production. Mahamud (2005) mentioned significant factors affecting the acceptance of organic rice production as level of organic agriculture knowledge and extension measures received from involved agencies. Pornpratansombat et al (2011) mentioned
There is no difference price compare with chemical farming 3.33% Long period Don't know growth how to farm 3.33% 10.00% Complicated practice Uniffecient 20.00% cost 0.00%
approximately 60 percent of organic rice farmers have got information from extension agents (government and NGOs agents), in form of group meeting. In addition, 18 percent of organic farms have got information from their neighbouring farmers (relatives and friends), while mass media (TV and radio) takes about 14 percent. Information about organic rice farming is very important for the farmers to change their practice, enhance knowledge on farming and production. Mahamud (2005) mentioned significant factors affecting the acceptance of organic rice production as level of organic agriculture knowledge and extension measures received from involved agencies. Pornpratansombat et al (2011) mentioned approximately 60 percent of organic rice farmers have got information from extension agents (government and NGOs agents), in form of group meeting. In addition, 18 percent of organic farms have got information from their neighbouring farmers (relatives and friends), while mass media (TV and radio) takes about 14 percent. The study found that farmers’ major sources of knowledge on organic farming was farmer group leader. Approximately 60% of respondents organic farmer replied the farmer group chairman Pereng elder farmer in the village is the first and primary resources that recognize the organic.
Tradition 10.00%
In process 0.00%
Low yields and uncertain Difficulty in 46.67% selling 6.67%
Figure 3. Conventional Farmer Reason
186
Not profitable 0.00%
70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% farmer group agricultural non grovernment leader/ sesepuh extension staff/ organization petani agriculral bereau
Figure 4. Source of Information of Organic Farming The emergence of farmers in the district Mojogedang organk greatly influenced the role of an elder farmer who pioneered and disseminate information about the farm without chemicals. Mbah Paimanhadi time immemorial is the chairman of farmer groups in the village Pereng Makaryo Pillars, which seeks to transmit the understanding and practice of organic on group members. His efforts led to their farmer groups receive recognition from an organic certification organization. Echoes of organic farming village Pereng even spread to other villages, namely Gentungan Village, District Mojogedang, and farmer groups Tani Mulyo also received organic certification in 2014. Government agencies and nongovernmental organizations have a role in assisting the organic farmer groups, the standards and requirements untu certified organic products. However, the farmers themselves play a key role since the farmer group leader gained knowledge through his own resources and initiatives. CONCLUSIONS The result of the study showed organic paddy farmers have different characteristics with konvensonal paddy farmers, where farmers padid organi relatively younger age, more educated, but more narrow area of land tenure. The survey shows an understanding of organic farmers though not fully in accordance with the appropriate standards of organic farming. There are conventional farmers who do not know about organic farming accurately. Farmers’ major sources of knowledge on organic farming is farmer group leader. It takes effort more intensive dissemination of information about organic farming, either through extension program and direct demonstrations, or through mass media, newspaper or electronic media. Government and related institution can help farmers to restore the use of traditional or local seed varieties.
REFERENCES Kennvidy SA. 2011. Organic Paddy Farming Systems in Camodia: Socio-Economic Impact of Smallholder Systems in Takeo Province. IJERD International Journal of Environmental and Rural Development 2011 (2-1): 115-119. Mahamud, R. 2005. Innovation in agricultural resource management for organic agriculture: case study of organic rice farmers group, Amphoe Kudchum, Changwat Yasothon. Thesis, Kasetsart University, Bangkok. Piadozo, MES. F. Lantican. IM Pabuayon. AR Quicoy. AM Suyat. PKB Maghirang. 2014. Paddy Farmers’ Concept and Awareness of Organic Agriculture: Implications for Sustainability of Philippine Organic Agriculture Program. Journal ISSAAS Vo. 20. No. @:142-156 Pompratansombat P., Bauer B. Boland H. 2011. Tha Adoption ofOrganic Paddy Farming in Northeastern Thailand. Journal of Organic Systems 6 (3). Schneeberger. WI. Darnhofer and M. Eder. 2002. Barriers to Adoption of Organic Farming by Cash-Crop Producers in Austria. American Journal. Alternative Agriculture 17(01): 24-51. Sciablabba, N. And C. Hattam. 2002. Organic Agriculture, Environment and Food Security, Environment and Natural Resources Series No. 4. Food and Agriculture Organization. Rome. Singh, S. And RI. George. 2012. Organic Farming Awareness and Beliefs of Farmers in Uttarakhand, India. Journal Human Ecology. 37(2): 139-149. 187
Triyuyun. 2011. Stakeholders Perception Study and Conducet in Paddy Organic Agriculture Systems in Karanganyar Regency. Thesis. Diponegoro University.
188
Analisis Persepsi dan Sikap Petani Terhadap Lembaga Pembiayaan Formal dan Informal (Suatu Kasus Di Gapoktan Sami Mulya Kec. Sedong, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat) Perception and Farmer’s Behaviour Analysis towards Formal and Informal Financing Institution Yeni Hendriyani 1), Tuti Karyani2) 1)Program 2Program
Studi Agribisnis, Universitas Bale Bandung Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Kata Kunci: Modal, Aksesibiitas terhadap LKP, Persepsi, Sikap
Modal adalah satu dari faktor produksi yang harus ada dalam usahatani. Tinggi rendahnya produksi baik dari segi kualitas dan kuantitas, ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dimiliki oleh petani. Keterbatasan modal seringkali menjadi kendala bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya. Untuk mengatasi kendala tersebut, diperlukan bantuan modal dari pihak luar, dalam hal ini lembaga keuangan perdesaan (LKP). Namun, ketersediaan LKP seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan petani, karena rendahnya daya aksesibilitas petani terhadap LKP. Hal ini tidak terlepas dari persepsi dan sikap yang dimiliki oleh petani terhadap LKP tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi dan sikap petani terhadap LKP baik formal maupun informal. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan pendekatan survey. Responden penelitian adalah para petani mangga gedong gincu yang tergabung dalam Gapoktan Sami Mulya. Data dianalisis dengan Metode Multiatribut Fishbein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani menganggap penting atribut kemudahan persyaratan baik LKP formal dan informal, dan memberikan skor tertinggi untuk atribut citra lembaga keuangan terhadap LKP formal serta skor tertinggi untuk atribut biaya administrasi terhadap LKP informal. Hasil lain, petani memberikan sikap kepercayaan lebih tinggi kepada LKP informal dibandingkan dengan formal.
ABSTRACT
Keywords: Capital, Accessibility to RFI, Perception, Attitude
Capital is one of the factors of production that have to available in the farm business. The level of production in terms of both quality and quantity, is determined by the size of the capital owned by the farmers. Capital constraints are often an obstacle for farmers in improving productivity.To overcome these obstacles, the necessary capital assistance from outsiders, in this case the rural financial institutions (RFI). However, the availability of RFI are often unable to resolve the problems of farmers, because farmers are low accessibility to the RFI. Low access to financial institutions due to perceptions and attitudes of farmers towards the RFI. This study aims to determine how the perceptions and attitudes of farmers towards both formal and informal RFI. The method used is quantitative method with a survey approach. Respondents of this research is ‘gedong gincu’ mango farmers who are members of the Gapoktan Sami Mulya. Data will be analyzed using the methods Multiatribut Fishbein. The results showed that farmers consider important is easy the requirements attributes for formal and informal RFI, and the highest score to the image attributes of the formal RFI, and the highest score to administrative costs attribute for informal RFI. Another result, farmers provide higher confidence attitude to the informal than the formal RFI
* Korespondensi Penulis, Alamat e-mail:
[email protected]
189
PENDAHULUAN Permodalan merupakan salah satu faktor produksi penting dalam usaha pertanian. Namun, dalam operasional usahanya tidak semua petani memiliki modal yang cukup. Aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan masih sangat terbatas, terutama bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit yang merupakan komunitas terbesar dari masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak jarang ditemui bahwa kekurangan biaya merupakan kendala yang menjadi penghambat bagi petani dalam mengelola dan mengembangkan usahatani. Kelembagaan ekonomi perdesaan tidak berkembang baik akibat terlalu berbelitnya sistem birokrasi pemerintah. Lemahnya peranan kelembagaan pembiayaan pertanian tersebut membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan (Syukur et al., 2003). Disamping itu, kondisi informasi yang tidak simetris antara sebagian besar masyarakat (dalam hal ini petani) dengan kelompok masyarakat lainnya membawa implikasi yang luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan kemampuan, informasi pasar dan lain sebagainya (Syukur dan Windarti, 2001). Akses pelaku agribisnis yang rendah pada sumber modal memerlukan kreasi lembaga pembiayaan yang tepat bagi sektor ini. Dukungan kebijakan yang kuat sangat diperlukan guna menciptakan terbentuknya lembaga pembiayaan yang kuat dan sehat guna mendukung pengembangan agribisnis dan agroindustri di pedesaan (Endang Lestari Hastuti & Supadi, 2007) Kelembagaan ekonomi pedesaan yang kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat tidak berkembang karena kooptasi yang berlebihan dari sistem birokrasi pemerintahan. Kondisi ini ternyata lebih banyak melumpuhkan kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dengan baik di masyarakat dan berperan dalam pemertaan pendapatan (Sudaryanto dan Syukur, 2000). Pentingnya kredit dalam pembangunan pertanian Indonesia terkait dengan tipologi petani yang sebagian besar merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan yang sempit, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pemupukan modal untuk investasi pada teknologi baru. Dengan demikian dukungan pembiayaan harus dilakukan. Syukur dkk, (1988 dan 1999) menyatakan bahwa peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) Membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatsan modal dengan bunga yang relatif ringan, 190
(2) Mengurangi ketergantungan petani dengan pedagang perantara dan pelepas uang, dengan demikian berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3) Mekanisme tranfer pendapatan diantara masyarakat untuk mendorong pemerataan, (4) Insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi usahatani. Pemilikan lahan yang sempit dan kelembagaan skim pembiayaan bagi usaha agribisnis dan agroindustri tidak fleksibel, menyebabkan masyarakat tani tidak dapat akses secara mudah pada sumber pembiayaan saat ini. Kebijakan pembiayaan untuk mendukung sektor agibisnis dan agroindustri dirasakan sangat lemah dan sektor ini cenderung terabaikan. Dukungan lembaga keuangan sangat berarti terhadap keberlanjutan rantai pasok, karena secara umum jejaring yang dibangun melalui rantai pasok ini sering tidak mampu bertahan karena terganggunya cash flow keuangan sebagai akibat tertundanya pembayaran dari pelaku hilir. Ketika pembayaran tertunda dari hilir (misal super market, eksportir) maka efek dominonya akan terasa sampai ke hulu (petani). Biaya-biaya langsung yang berkaitan dengan produksi, maupun pemasaran menjadi menumpuk dan hal ini membuat keperluan atas modal kerja semakin besar, dan bila tidak mampu memenuhinya banyak pelaku tidak mampu untuk terlibat lagi dalam rantai pasok ini. Oleh karena itu menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, terutama menyangkut cara pembayaran, besarnya biaya-biaya dan jenisnya yang diperlukan oleh pelaku yang terlibat. Dengan diketahuinya biaya-biaya tersebut dan pola cash flow dari usaha para pelaku, maka pola pembiayaan yang tepat untuk setiap pelaku dapat dikembangkan dalam rantai pasok mangga. Sementara di lain pihak sebenarnya di perdesaan terdapat beberapa sumber pembiayaan yang dapat dijadikan alternatif pemilihan sumber modal oleh petani mangga. Namun sumber pembiayaan yang ada di perdesaan ini seolah tidak mampu menjangkau kebutuhan petani. Kelembagaan pembiayaan perdesaan tidak berkembang baik akibat terlalu banyaknya campur tangan yang cenderung berlebihan dari sistem birokrasi pemerintah. Tindakan ini, pada kenyataannya telah melumpuhkan sebagian kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dan berperanan di masyarakat dalam pemerataan pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan pertanian (Sudaryanto dan Syukur, 2000). Lemahnya peranan kelembagaan pembiayaan pertanian tersebut membawa
konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan (Syukur et al., 2003). Disamping itu, campur tangan pemerintah yang berlebihan juga menciptakan kondisi informasi yang tidak simetris antara sebagian besar masyarakat (dalam hal ini petani) dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini membawa implikasi yang luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan kemampuan, informasi pasar dan lain sebagainya (Syukur dan Windarti, 2001). Pada kenyataannya, hanya sebagian kecil masyarakat perdesaan yang memiliki akses terhadap sumber-sumber permodalan yang disediakan Padahal, akses terhadap kredit permodalan merupakan hak dasar manusia yang fundamental dalam meningkatkan usahanya, pendapatannya dan kebutuhan dasarnya. Di wilayah perdesaan, terdapat dua jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan (Syukur et al., 2003), yaitu pasar pembiayaan formal dan pasar pembiayaan informal. Pembiayaan formal (khususnya untuk kegiatan non program) beroperasi di pedesaan yang dalam mekanisme pengajuan dan penyalurannya mengikuti mekanisme pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan diberlakukan secara formal, seperti tingkat bunga yang dibebankan adalah tingkat bunga komersial dan dilayani oleh lembaga formal. Selain itu, masih banyak lagi program-program serupa yang telah diimplementasikan, termasuk program pembiayaan yang mendukung pengembangan usaha pertanian di pedesaan. Dalam pelaksanaan program tersebut diakui bahwa masih banyak hambatan yang dihadapi. Bersamaan dengan itu, lembaga pembiayaan informal juga beroperasi dalam perekonomian masyarakat termasuk masyarakat pertanian. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro termasuk lembaga pembiayaan informal merupakan langkah yang tepat dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan pengembangan ekonomi rakyat (Krisnamurti, 2005). Sebagai penyedia dana bagi petani, lembaga informal dinilai sangat fleksibel dan relatif mudah diakses karena tidak memerlukan prosedur administrasi yang rumit seperti halnya lembaga pembiayaan formal. Keberadaan lembaga pembiayaan formal dan informal di perdesaan merupakan pilihan bagi petani. Proses pemilihan yang dilakukan petani terhadap lembaga keuangan formal maupun informal tidak terlepas dari persepsi dan sikap yang dimiliki oleh petani terhadap lembaga-lembaga tersebut. Disinilah perlu dianalisis bagaimana sikap
dan persepsi yang dimiliki oleh petani terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ada di perdesaan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan terhadap petani gedong gincu yang tergabung dalam Gapoktan Sami Mulya di Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan metode survey. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah para petani gedong gincu yang tergabung ke dalam Gapoktan Sami Mulya, yang merupakan pemasok kebutuhan mangga terhadap perusahaan eksportir di Cirebon. Teknik Sampling yang digunakan adalah simple random sampling, dimana dari populasi yang berjumlah 250 diambil sampling sebanyak 53 orang petani. ANALISIS DATA Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Multiatribut Fishbein. Model sikap Fishbein ini berfokus pada prediksi sikap yang dibentuk seseorang terhadap obyek tertentu. Secara simbolis rumus tersebut dapat diekspresikan sebagai berikut : Ao = ∑ bi ei i=l Dimana : Ao : Sikap Terhadap Obyek Bi : Kekuatan Kepercayaan Bahwa Obyek memiliki atribut i ei : Evaluasi mengenai atribut i n : Jumlah atribut yang menonjol Komponen ei, yang menggambarkan evaluasi atribut, di ukur secara khas pada sebuah skala evaluasi lima angkayang berjajar dari “sangat penting” hingga “tidak penting”. Sebagai contoh : Jaminan Keamanan pada lembaga keuangan formal adalah : Sangat penting
: : : : : Tidak penting +2 +1 0 -1 -2
Atribut – atribut dari lembaga keungan pada penelitian ini adalah: Jaminan keamanan, Kemudahan Syarat menjadi anggota/ nasabah, Citra lembaga keuangan di masyarakat, Kecepatan Pelayanan. Lokasi yang strategis, Tingkat Suku Bunga, Biaya Administrasi, Tenggang Waktu Pemabayaran. Variable dalam penelitian ini terbagi dalam 2 (dua) kelompok variable, yaitu : variable 191
untuk kelompok yang pertama adalah kekuatan kepercayaan bahwa usahatani yang menggunakan lembaga keuangan formal maupun non formal memiliki ke sepuluh atribut tersebut. Setiap responden diminta untuk menyatakan sikap terhadap pertanyaan apakah lembaga keuangan formal dan non formal, yang memiliki atribut : 1. Jaminan keamanan, 2. Kemudahan Syarat menjadi anggota/ nasabah, 3. Citra lembaga keuangan di masyarakat, 4. Kecepatan Pelayanan, 5. Lokasi yang strategis, 6. Tingkat Suku Bunga, 7. Biaya Administrasi, 8. Tenggang Waktu Pemabayaran, dalam 5 angka skala, mulai dari +2 yang berarti sangat baik sampai – 2 yang berarti sangat buruk. Variable untuk kelompok yang kedua adalah variable evaluasi terhadap sepuluh atribut lembaga Keuangan (variable ei), yang terdiri atas sepuluh buah pertanayaan, yaitu : 1. Jaminan keamanan, 2.
Kemudahan Syarat menjadi anggota/ nasabah, 3. Citra lembaga keuangan di masyarakat, 4. Kecepatan Pelayanan, 5. Lokasi yang strategis, 6. Tingkat Suku Bunga, 7. Biaya Administrasi, 8. Tenggang Waktu Pemabayaran. Setiap responden diminta untuk menyatakan sikapnya atau mengevaluasi terhadap atribut lembaga keuangan dalam 5 angka skala, mulai dari +2 yang berarti sangat penting sampai – 2 yang berarti sangat tidak penting HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Evaluasi Atribut-atribut yang dinilai adalah jaminan keamanan, tenggang waktu pembayaran, tingkat suku bunga, kecepatan, kemudahan persyaratan, biaya administrasi dan lokasi yang strategis serta citra lembaga keuangan.
Tabel 1. Skor Evaluasi Tingkat Kepentingan (ei) Atribut Lembaga Keuangan (n=53) Atribut Lembaga Keuangan Jaminan Keamanan Tenggang Waktu Pembayaran Tingkat Suku Bunga Kecepatan Pelayanan Kemudahan Persyaratan Biaya Administrasi Lokasi yang Strategis Citra Lembaga Keuangan
2 23 28 31 35 35 21 17 10
1 14 18 17 13 14 23 27 25
Tabel 1 menyajikan secara lengkap hasil penilaian konsumen terhadap atribut evaluasi (ei) terhadap semua atribut dari lembaga keuangan. Dari Tabel 1, terlihat bahwa atribut yang memiliki skor tertinggi adalah kemudahan persyaratan (1,55), disusul dengan evaluasi terhadap kecepatan pelayanan (1,53), tingkat suku bunga (1,47), tenggang waktu pembayaran (1,40). biaya administrasi (1,23). lokasi yang strategis (1,13), jaminan keamanan ((1,11) dan terakhir citra lembaga keuangan (0,79). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kemudahan persyaratan adalah atribut yang paling penting bagi petani. Kemudahan persyaratan dianggap paling penting mengingat petani seringkali tidak mampu menghadapi birokrasi yang berbelitbelit. Fakta lain dapat dilihat bahwa selain kemudahan persyaratan, kecepatan pelayanan menjadi urutan kedua yang dianggap penting oleh petani, kemudian disusul oleh tingkat suku tenggang waktu pembayaran, dan seterusnya. Sebuah fenomena menarik bahwa atribut citra lembaga lembaga keuangan yang memiliki skor terkecil, 192
Skor Evaluasi 0 15 7 4 3 2 9 8 15
-1 1 0 1 2 2 0 1 3
-2 0 0 0 0 0 0 0 0
Total (ei) 59 74 78 81 82 65 60 42
Rata-rata (ei) 1.11 1.40 1.47 1.53 1.55 1.23 1.13 0.79
membuktikan bahwa menurut petani citra lembaga keuangan bukanlah sesuatu hal yang mutlak, selama lembaga keuangan itu mampu memberikan pelayanan baik, cepat, bunga ringan maka petani tidak akan memperhatikan citra lembaga keuangan. Penilaian Kepercayaan Atribut Pada Lembaga Keuangan Formal Setelah skor evaluasi kepentingan atribut diperoleh maka selanjutnya diperlukan skor kepercayaan (bi) atribut oleh petani terhadap lembaga keuangan formal. Dengan diketahuinya penilaian kinerja atribut (bi) oleh petani maka dapat diketahui pilihan atau penilaian terhadap lembaga keuangan formal tersebut. Penilaian kinerja atribut (bi) oleh konsumen akan dilakukan pada delapan atribut lembaga keuangan formal, meliputi jaminan keamanan, tenggang waktu pembayaran, tingkat suku bunga, kecepatan pelayanan, kemudahan persyaratan, biaya administrasi, lokasi strategi dan citra lembaga keuangan. Dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 2.Frekuensi Skor Tingkat Kepercayaan (bi) Atribut Lembaga Keuangan Formal (n = 53) Atribut Lembaga Keuangan Jaminan Keamanan Tenggang Waktu Pembayaran Tingkat Suku Bunga Kecepatan Pelayanan Kemudahan Persyaratan Biaya Administrasi Lokasi yang Strategis Citra Lembaga Keuangan
2 22 25 15 8 6 17 12 34
1 18 16 22 14 15 25 27 17
Dari Tabel 2, terlihat bahwa atribut citra lembaga keuangan mendapat skor tertinggi (1,60), artinya petani memberi apresiasi yang baik terhadap lembaga keuangan formal yang diketahuinya. Sedangkan skor kedua tertinggi adalah untuk atribut tenggang waktu pembayaran (1,21), hal ini dimungkinkan mengingat biasanya petani diberikan tenggang waktu selama 1 tahun untuk peminjaman, selama 1 tahun tersebut petani merasa cukup waktu untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Atribut lembaga keuangan selanjutnya yang diberi apresiasi baik oleh petani adalah biaya administrasi (1,06). Apresiasi dari petani ini disebabkan karena beberapa diantara petani pernah menjadi nasabah BRI untuk pinjaman kredit program pemerintah, dan mereka merasa bahwa biaya administrasi yang ditentukan cukup layak untuk pinjaman yang didapat. Atribut selanjutnya yang mendapat kesan cukup bagus setelah biaya administrasi adalah jaminan keamanan (1,04), artinya untuk jaminan keamanan ini petani merasa cukup aman mengagunkan jaminan untuk disimpan di lembaga keuangan yang memberikan pinjaman kepada mereka. Setelah jaminan keamanan, atribut selanjutnya yang berada di bawah urutan jaminan keamanan adalah tingkat suku bunga (0,85). Dari angka ini dapat dijelaskan bahwa petani merasa cukup puas dengan tingkat suku bunga yang ditetapkan untuk pinjaman yang diperolehnya. Lokasi strategis, adalah atribut lembaga keuangan yang menduduki peringkat ke-6 yaitu sebesar 0,81. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa
Skor Evaluasi 0 8 10 10 10 15 8 8 2
-1 3 2 5 15 11 3 4 0
-2 2 0 1 6 6 0 2 0
Total (ei) 55 64 45 3 4 56 43 85
Rata-rata (ei) 1.04 1.21 0.85 0.06 0.08 1.06 0.81 1.60
mereka merasa dilayani cukup puas justru untuk BRI yang berada di kabupaten, dibandingkan dengan BRI yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka. Karenanya, bagi petani lokasi strategis tidak menjadi jaminan akan memberi pelayanan yang cukup baik. Setelah lokasi strategis, atribut selanjutnya adalah kemudahan persyaratan (0,08). Angka ini menggambarkan bahwa petani merasa persyaratan yang ditetapkan oleh lembaga keuangan cukup ribet, tidak mudah. Inilah mungkin yang menyebabkan banyak petani yang memutuskan untuk tidak menggunakan jasa lembaga keuangan formal sebagai sumber pembiayaan usahataninya. Terakhir yang menduduki peringkat paling rendah adalah atribut kecepatan pelayanan (0,06). Angka ini menunjukkan bahwa petani merasa tidak dilayani dengan cepat, mulai dari proses pengajuan sampai pencairan. Dari hasil wawancara diperoleh keterangan bahwa biasanya waktu yang dibutuhkan untuk mengajukan pinjaman, mulai dari pengajuan sampai dengan pencairan itu adalah minimal 14 hari kerja. Sementara penyemprotan pohon mangga tidak dapat ditunda-tunda. Penilaian Kepercayaan Atribut Pada Lembaga Keuangan Non Formal Setelah mengetahui penilaian kinerja atribut (bi) lembaga keuangan formal, maka selanjutnya akan dilakukan penilaian kinerja atribut (bi) pada lembaga keuangan non formal. Untuk lebih jelasnya hasil dair penilaian kinerja atribut (bi) dapat dilihat pada Tabel 3 :
193
Tabel 3. Frekuensi Skor Tingkat Kepercayaan (bi) Atribut Lembaga Keuangan Non Formal (n = 53) Atribut Lembaga Keuangan Jaminan Keamanan Tenggang Waktu Pembayaran Tingkat Suku Bunga Kecepatan Pelayanan Kemudahan Persyaratan Biaya Administrasi Lokasi yang Strategis Citra Lembaga Keuangan
2 10 22 34 15 28 37 8 12
Dari Tabel 3, dapat dijelaskan bahwa atribut biaya administrasi (1,64) menjadi kriteria utama dalam membentuk sikap terhadap lembaga keuangan non formal, dan dinilai paling kecil adalah citra lembaga keuangan (0,02) dan jaminan keamanan (0,02), hal ini menandakan bahwa semakin bagus citra lembaga kuangan justru petani akan semakin takut untuk menggunakan lembaga keuangan tersebut karena berbagai macam alasan, seperti persyaratan yang diberikan oleh lembaga keuangan tersebut akan semakin sulit. Selain citra lembaga keuangan, juga atribut jaminan keamanan yang merupakan skor terkecil, hal ini menandakan bahwa petani beranggapan tidak terlalu penting untuk memberikan jaminan apapun kepada lembaga tersebut karena mereka hanya bermodalkan kepercayaan saja. Atribut lembaga keuangan yang mendapat skor kedua terbesar adalah tingkat suku bunga (1,51). Hal ini disebabkan karena beberapa diantara mereka yang pernah mendapatkan bantuan pinjaman dari lembaga keuangan non formal, seperti perusahaan eksportir CV. Sumber Buah Sae tidak pernah dikenakan bunga, sehingga petani mengapresiasi cukup baik terhadap atribut tingkat suku bunga ini. Setelah tingkat suku bunga, atribut lembaga keuangan yang selanjutnya mendapat skor tinggi adalah kemudahan persyaratan (1,38). Seperti yang kita ketahui, lembaga keuangan non formal dapat dikatakan hampir tidak memiliki prosedur baku, semua dilakukan hanya berlandaskan kepercayaan dan saling membutuhkan. Selanjutnya adalah atribut tenggang waktu pembayaran (1,34). Atribut lembaga keuangan ini mendapat skor yang cukup baik
194
1 12 28 12 12 17 13 6 9
Skor Evaluasi 0 10 2 7 18 8 3 19 11
-1 11 1 0 8 0 0 20 10
-2 10 0 0 0 0 0 0 11
Total Rata-rata (ei) (ei) 1 0.02 71 1.34 80 1.51 34 0.64 73 1.38 87 1.64 2 0.04 1 0.02
mengingat selama ini para petani yang mendapat pinjaman dari lembaga keuangan non formal diberikan keleluasaan untuk membayar pinjaman, asalkan pada akhir tahun lunas. Atribut berikutnya adalah kecepatan pelayanan (0,64), atribut ini tidak mendapatkan skor cukup baik, mengingat petani merasa pengajuan pinjaman terhadap lembaga keuangan non formal sangat tergantung dengan ketersediaan dana di pihak eksportirnya itu sendiri. Selanjutnya adalah atribut lokasi yang strategis (0,04), dimana atribut ini merupakan nilai terendah kedua. Dari skor tersebut dapat dijelaskan bahwa petani tidak bermasalah mengenai lokasi dimana saja sumber keuangan formal itu berada. Artinya, selama ada komunikasi, mudah untuk diakses, lokasi bukanlah suatu hambatan yang berarti. 4. Analisis Sikap Petani Petani responden telah menilai tingkat kepentingan dan tingkat kepercayaan atribut, selanjutnya didapatkan nilai sikap terhadap lembaga keuangan formal dan non formal. Nilai sikap dianalisis untuk melihat bagaimana pandangan petani terhadap lembaga keuangan formal maupun lembaga keuangan non formal. Untuk memperoleh sikap (Ao) petani terhadap lembaga keuangan formal maupun lembaga keuangan non formal maka langkah selanjutnya adalah mengalikan antara skor kepentingan (ei) dengan skor kepercayaan (bi) pada masing-masing jenis lembaga keuangan yaitu lembaga keuangan formal dan lembaga keuangan non formal. Hasil perhitungan nilai sikap (Ao) dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4. Nilai Rata-Rata Sikap Kepercayaan Petani Terhadap Lembaga Keuangan Formal dan Non Formal Atribut Lembaga Keuangan Jaminan Keamana Tenggang Waktu Pembayaran Tingkat Suku Bunga Kecepatan Pelayanan Kemudahan Persyaratan Biaya Administrasi Lokasi yang Strategis Citra Lembaga Keuangan Sikap Kepercayaan Ao = ∑ bi ei
ei (evaluasi) 1.11 1.40 1.47 1.53 1.55 1.23 1.13 0.79
Dari perhitungan Tabel 4, diperoleh Ao (sikap petani) secara keseluruhan untuk lembaga keuangan formal adalah 7,78. Untuk lembaga keuangan non formal adalah 9,30. Dengan demikian secara keseluruhan konsumen lebih menyukai lembaga keuangan non formal daripada lembaga keuangan formal. Hasil dari analisis sikap (Ao) pada lembaga keuangan formal yang memiliki skor tertinggi adalah atribut tenggang waktu pembayaran (1,69). Sedangkan urutan kedua yaitu atribut biaya administrasi (1,30). Atribut yang memiliki skor terendah dari analisis sikap pada lembaga keuangan formal yaitu atribut kecepatan pelayanan (0,06), disusul pada urutan terendah kedua adalah atribut kemudahan persyaratan (0,08). Dari hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa petani menilai bahwa kecepatan pelayanan di lembaga keuangan formal sangatlah minim, didukung pula dengan kemudahan persyaratan yang dinilai petani sangat sulit dipenuhi oleh petani. Berbeda dengan lembaga keuangan formal, hasil analisis sikap di lembaga keuangan non formal yang memiliki skor tertinggi adalah tingkat suku bunga (2,22), hal ini dimungkinkan karena eksportir yang menjadi lembaga keuangan non formal tidak pernah menetapkan bunga dari pinjaman yang diberikan kepada petani. Analisis sikap yang memiliki skor terendah adalah citra lembaga keuangan (0,01), ini dimungkinkan karena tidak setiap petani mangga dapat dengan mudah mendapatkan pinjaman dari eksportir, sehingga petani tidak memberikan sikap yang cukup baik terhadap citra lembaga keuangan non formal. Secara garis besar, hasil analisis sikap yang dilakukan terhadap petani untuk lembaga keuangan baik formal maupun non formal, penilaian petani lebih menyukai lembaga keuangan non formal dibandingkan lembaga keuangan formal, karena petani menilai secara umum citra lembaga keuangan
LK Formal bi ei bi 1.04 1.16 1.21 1.69 0.85 1.25 0.06 0.09 0.08 0.12 1.06 1.30 0.81 0.92 1.60 1.27
LK Non Formal bi ei bi 0.02 0.02 1.34 1.87 1.51 2.22 0.64 0.98 1.38 2.13 1.64 2.01 0.04 0.04 0.02 0.01
7.78
9.30
lembaga keuangan non formal lebih baik bila dibandingkan dengan lembaga keuangan formal. Bagi sebagian petani keistimewaan lembaga keuangan non formal adalah lebih mudah dalam persyaratan dan cepat dalam pelayanan. SIMPULAN 1. Dari hasil analisis sikap yang dilakukan terhadap petani untuk lembaga keuangan baik formal maupun non formal, penilaian petani lebih menyukai lembaga keuangan non formal (nilai Ao = 9,30), dibandingkan lembaga keuangan formal (nilai Ao = 7,78), karena petani menilai secara umum citra lembaga keuangan lembaga keuangan non formal lebih baik bila dibandingkan dengan lembaga keuangan formal. Bagi sebagian petani keistimewaan lembaga keuangan non formal adalah lebih mudah dalam persyaratan dan cepat dalam pelayanan., dimana lembaga keuangan nonformal memiliki skor 2,13 dibanding formal (0,12). 2. Berdasarkna atribut yang dinilai petani terhadap lembaga keuangan bahwa yang paling penting adalah kemudahan persyaratan, kecepatan pelayanan dan biaya administrasi , adapun atribut lokasi yang strategis, citra lembaga keuangan dan yang lainnya tidak menjadi bahan pertimbangan utama. SARAN 1. Perlu adanya usaha proaktif dari lembaga keuangan formal perdesaan setempat, lebih persuasif dalam memahami kebutuhan petani mangga di daerahnya. Sehingga para petani mangga merasakan keberadaan lembaga keuangan pedesaan yang ada di wilayah sekitarnya. 2. Persyaratan dan kecepatan pelayanan perlu ditingkatkan oleh lembaga keuangan, agar lebih banyak lagi petani dapat dilayani kebutuhan modalnya yang pada gilirannya dapat 195
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. DAFTAR PUSTAKA Hastuti, E.L. & Supadi, 2007. Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Kelembagaan Pembiayaan Pertanian di Pedesaan. P3SEP. Sudaryanto, T dan M. Syukur, 2001. Pengembangan Lembaga Keuangan Alternatif Mendukung Pembangunan Ekonomi Pedesaan. P3SEP. Balitbang. Departemen Pertanian. Syukur, M & H. Windarti, 2001. Karya Usaha Mandiri : Sebuah Skim Pembiayaan Mikro dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. PPSE. Bogor. Syukur, M, dkk. 2003. Kinerja Kredit Pedesaan & Alternatif Penyempurnaannya Untuk Pengembangan Pertanian. PPSE. Bogor.
196
Faktor Internal dan Eksternal yang Berperan Dalam Usahatani Tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Studi Kasus pada Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut) Internal and External Factors that Had A Role in Tobacco Farming (Nicotiana tabacum L.) (Case study on Mukti Satwa Farmer Group at Rancabango Village, Tarogong Kaler District, Garut Regency) Erizka Pramuditya1, Lucyana Trimo1 1
Kata Kunci: Faktor internal dan eksternal Keberlanjutan Kebijakan Tembakau Usahatani
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karaktersitik petani, faktor internal dan eksternal yang berperan dalam usahatani tembakau, pendapatan usahatani tembakau, faktor penghambat dalam usahatani tembakau, serta keberlanjutan usahatani tembakau di Desa Rancabango. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kualitatif dengan metode studi kasus. Data diperoleh dari informan yang dipilih secara sengaja. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ke sepuluh informan, faktor internal yang berperan dalam usahatani tembakau adalah pendidikan, luas lahan, pengalaman usahatani, status kepemilikan lahan, dan tradisi. Faktor eksternal yang berperan adalah keadaan alam, budidaya, penyuluhan, dan peluang pasar. Pendapatan usahatani tembakau terbilang cukup besar karena dapat menghasilkan pendapatan bersih 3-4 kali lipat dari modal awal yang dikeluarkan oleh petani. Faktor penghambat dalam usahatani tembakau adalah sarana produksi dan permodalan. Serta dapat dipastikan usahatani tembakau di Desa Rancabango akan terus berlanjut melihat faktor internal dan eksternal yang mendukung usahatani tembakau di desa tersebut.
ABSTRACT
Keywords: Internal and external factors Sustainable Policies Tobacco Farming
The aims of this research is to identify the characteristics of farmers, internal and external factors which play a role in tobacco farming, tobacco farm income, inhibiting factors in the farming of tobacco, as well as the sustainability of tobacco farming in the Rancabango village. The design used in this study is a qualitative design with the method of case study. Data obtained from informants selected intentionally. Data were analyzed descriptively. The results showed that of the ten informants, characteristics of tobacco farmer at Rancabango village, such as age ranged between 35-44 years (50%), education only up to primary school (50%), the land area more than 1 ha (40%), and farming experience ranged between 11-29 years (70%). Internal factors that play a role in the farming of tobacco are education, land, farming experience, tenure, and tradition. External factors that have a role are nature, cultivation, education, and market opportunities. Tobacco farm income is quite high because it can generate net income 3-4 times higher than the initial capital incurred by the farmer. Inhibiting factors in tobacco farming is the production tools and capital. It can be ascertained tobacco farm in the village of Rancabango will continue looking from the internal and external factors that support the tobacco farm in the village.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
197
PENDAHULUAN Tembakau (Nicotiana tabacum L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan di Indonesia, hal ini terkait dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tanggal 12 September 2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, terdapat 127 komoditas binaan. Prioritas penanganan difokuskan pada 15 komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional, yaitu karet, kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, lada, jambu mete, teh, cengkeh, jarak pagar, kemiri sunan, tebu, kapas, tembakau, dan nilam. Tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan penting di Indonesia, hal ini terlihat dari besarnya produksi tembakau Indonesia pada tahun 2010 yang menempatkan Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara produsen tembakau di dunia dengan peringkat keenam dunia (Tabel 1). Tabel 4. Sepuluh Besar Negara Tembakau di Dunia Tahun 2010
Produsen
No. Negara Produksi (Ton) 1. China 3.005.753 2. Brazil 780.942 3. India 755.500 4. Amerika Serikat 326.008 5. Malawi 215.000 6. Indonesia 135.678 7. Argentina 123.300 8. Pakistan 119.323 9. Zimbabwe 109.737 10. Italia 97.200 11. Lainnya 1.445.452 Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, 2011, Kementerian Pertanian.
Kontribusi tembakau untuk perekonomian Indonesia dapat dilihat dari volume ekspor tembakau di Indonesia. Hampir setiap tahunnya mengalami peningkatan volume ekspor, namun terjadi penurunan pada tahun 2011 sebesar 38.905 ton dan pada tahun 2012 sebesar 37.700 ton. Dilihat dari perkembangan volume ekspor tembakau di Indonesia dari rentang tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 terus mengalami peningkatan, yang terbesar adalah peningkatan dari tahun 2009 ke tahun 2010 (Tabel 2). Tabel 5. Perkembangan Volume Ekspor Tembakau di Indonesia Tahun 2008-2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total
198
Ekspor (ton) 50.268 52.515 57.408 38.905 37.700 236.796
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013.
Tembakau memberikan kontribusi yang cukup besar bagi negara, baik dari tenaga kerja maupun pendapatan negara melalui cukai. Hal ini dipicu dengan keadaan alam dan sumber daya yang mendukung Indonesia menjadi negara penghasil tembakau berkualitas. Tak dipungkiri bahwa prospek pasar tembakau dalam negeri pun sangatlah berpotensi, karena masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa mengkonsumsi tembakau dalam bentuk olahan rokok, sehingga produsen rokok dalam negeri pun terbilang cukup banyak dan bersaing untuk memenuhi permintaan rokok dalam negeri dengan berbagai produk yang ditawarkan yang dapat menarik minta konsumen untuk membelinya. Provinsi Jawa Barat memiliki objek unggulan pada komoditas perkebunan dan tembakau merupakan salah satu komoditas unggulan nasional asal Jawa Barat. Produktivas tembakau di Jawa Barat adalah yang terbaik, karena luas areal tanam tembakau sama dengan luas tanaman tembakau yang bisa menghasilkan. Kabupaten Garut merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang mempunyai potensi sangat besar dalam mengembangkan komoditi tembakau dan merupakan sentra produksi tembakau di Jawa Barat karena Kabupaten Garut memiliki luas areal dan produksi komoditi tembakau terbesar di Jawa Barat, yaitu sebesar 4.099 Ha berdasarkan Data Statistik Perkebunan Jawa Barat, Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013. Desa Rancabango merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Tarogong Kaler yang sangat terkenal dengan daerah penghasil tembakau di wilayah Kabupaten Garut. Mayoritas masyarakat di desa ini bermatapencaharian sebagai petani tembakau. Berusahatani tembakau di desa ini sudah menjadi mata pencaharian turun temurun yang diwarisi oleh nenek moyang mereka. Pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang menentang produk olahan tembakau, salah satunya adalah PP No. 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Petani tembakau di beberapa daerah mengalami masalah akibat ditetapkannya PP No. 109 Tahun 2012, karena berdampak pada usahatani tembakau mereka yang sekaligus sebagai mata pencaharian utama. Hal tersebut tidak membuat petani-petani di Desa Rancabango ini beralih dari usahatani tembakau ke komoditas lain atau beralih matapencaharian ke sektor nonpertanian. Masyarakat Desa Rancabango masih bertahan untuk berusahatani tembakau, justru komoditas tembakau inilah yang menjadi komoditas
utama yang diusahakan oleh masyarakat di Desa Rancabango. KERANGKA TEORI Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara produsen tembakau di dunia dengan peringkat keenam dunia. Tembakau sebagai penyumbang devisa negara dan menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan tembakau. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan adalah PP No. 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Pemerintah berusaha melindungi masyarakat dari bahaya zat adiktif yang terkandung dalam rokok yang berbahan baku dari daun tembakau. Sudah banyak petani di beberapa daerah yang mengalami gulung tikar akibat disahkannya PP No. 109 Tahun 2012 ini. Namun, hal ini tidak terjadi kepada para petani tembakau di Desa Rancabango.
Desa Rancabango merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut. Desa Rancabango sudah sangat terkenal sebagai daerah penghasil tembakau berkualitas, tidak hanya terkenal di daerah Garut saja, namun sudah terkenal sampai ke Temanggung, Jawa Tengah. Para petani di Desa Rancabango sudah sejak lama melakukan kerjasama dengan tengkulak tembakau di Temanggung. Sehingga tidak sulit untuk memasarkan hasil panen tembakau. Maka dari itu, peneliti ingin mengetahui faktor apa yang membuat petani tembakau masih tetap bertahan berusahatani tembakau walaupun sudah terdapat peraturan atau kebijakan yang terkait dengan tembakau yang dikeluarkan pemerintah yang menyebabkan petani di beberapa daerah mengalami gulung tikar. Peneliti ingin mengetahui besarnya pendapatan petani dari usahatani tembakau itu sendiri, serta mengetahui faktor internal dan eksternal dalam ushataani tembakau, serta faktor-faktor penghambat dalam usahatani tembakau. Ketiga aspek, akan menentukan keberlanjutan usahatani tembakau di Desa Rancabango.
Gambar 1. Alur Pemikiran 199
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan Kelompok Tani Mukti Satwa yang terletak di Desa Rancabango, Kabupaten Garut, Jawa Barat Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian berupa studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara yang berisi pertanyaan yang terdiri dari variabelvariabel yang berkaitan dengan penelitian, serta dengan cara observasi pastisipasif, menggunakan dokumentasi, dan studi pustaka. Identifikasi karakteristik petani, faktor internal dan eksternal, faktor penghambat, dan keberlangsungan usahatani tembakau menggunakan analisis deksripstif, serta pendapatan usahatani tembakau menggunakan analisis pendapatan usahatani.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan Umum Tempat Penelitian Desa Rancabango merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa Rancabango berada pada ketinggian 718 meter di atas permukaan laut (dpl) dan suhu ratarata harian berkisar antara 24-28oC. Wilayah ini cukup sesuai untuk ditanami komoditas perkebunan tembakau. Tembakau yang diusahakan di Desa Rancabango merupakan jenis tembakau lokal, seperti Darwati, Adung, Dasep, Kedungnani, Kedug olog dan Kedung tamru. Jenis tembakau darwati yang paling digemari oleh penduduk Desa Rancabango karena kualitasnya yang baik dan aromanya yang wangi. Desa Rancabango memiliki luas wilayah sebesar 1.002,591 Ha. Luas wilayah tersebut dibagi menjadi beberapa penggunaan lahan dan luas lahan terbesar adalah 440 Ha digunakan sebagai lahan perkebunan. berdasarkan Data Profil Desa Rancabango Tahun 2013. Sebagian besar masyarakat Desa Rancabango bermatapencaharian di bidang pertanian, yaitu sebanyak 500 orang bekerja sebagai petani dan sebanyak 3.200 orang bekerja sebagai buruh tani berdasarkan Data Profil Desa Rancabango Tahun 2013. Pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi masyarakat Desa Rancabango. Luas wilayah di Desa Rancabango sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian. Adapun tiga komoditas unggulan di Desa Rancabango, yaitu kedelai dengan luas lahan sebsar 130 Ha, tembakau dengan luas lahan 90 Ha, dan padi dengan luas lahan 200
45 Ha berdasarkan Data Profil Desa Rancabango Tahun 2014. Banyaknya jenis tembakau dan kedelai yang ditanam oleh masyarakat, menunjukkan bahwa petani di Desa Rancabango mengandalkan kedua jenis komoditas tersebut sebagai sektor utama pertanian di daerah mereka. Terutama komoditas tembakau yang memberikan pendapatan yang cukup besar bagi para petani di Desa Rancabango. 2. Karakteristik Petani (1) Umur petani Tabel 3. Distribusi Umur Petani Kelompok Umur (Tahun) ≤ 25 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-54 tahun 55-64 tahun ≥ 64 tahun Jumlah
Jumlah (Orang) 0 1 5 2 2 0 10
Persentase (%) 0 10 50 20 20 0 100
Berdasarkan penelitian, diperoleh umur petani yang menjadi informan paling banyak berada pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 50% (Tabel 3). Umur informan yang paling muda berusia 30 tahun dan umur informan yang paling tua berusia 64 tahun. (2) Pendidikan Tabel 4. Distribusi Tingkat Pendidikan Petani Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah
Jumlah (Orang) 1 5 1 3 0 10
Persentase (%) 10 50 10 30 0 100
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada Tabel 4, diperoleh informasi, bahwa dari sepuluh informan hanya tiga orang yang menamatkan sekolah hingga ke SMA, satu orang menamatkan sekolah hanya sampai ke jenjang SMP, lima orang hanya dapat menamatkan SD, serta satu orang tidak bersekolah. Dapat disimpulkan, bahwa tingkat pendidikan 10 petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Raancabango masih rendah, yaitu 50% dari seluruh informan berlatar belakang pendidikan SD. (3) Jumlah Tanggungan Keluarga
Tabel 5. Keluarga
Distribusi
Jumlah Tanggungan Keluarga (Orang) 0-3 4-5 >5 Jumlah
Jumlah
Tanggungan
Jumlah (Orang) 3 5 2 10
Persentase (%) 30 50 20 100
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada Tabel 5, diperoleh hasil rata-rata dari 10 informan petani tembakau di Desa Rancabango yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa memiliki jumlah tanggungan keluarga antara 4-5 orang, yaitu sebesar 50%. Artinya, rata-rata dari 10 informan merupakan keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Besar kecilnya keluarga akan memotivasi dan mempengaruhi rumah tangga dalam menentukan besar kecilnya konsumsi dan pendapatan. Semakin besar keluarga, maka akan semakin besar pula pendapatan sekaligus konsumsi rumah tangganya, begitupun sebaliknya. (4) Luas Lahan Tabel 6. Distribusi Luas Lahan Petani Luas Lahan (Ha) < 0,5 0,5-1 >1 Jumlah
Jumlah (Orang) 3 2 5 10
Persentase (%) 30 30 40 100
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada Tabel 6, dapat diketahui bahwa rata-rata dari 10 informan memiliki luas lahan >1 ha sebanyak 40%. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan penguasaan lahan dari 10 petani relatif luas. Semakin besar lahan yang digunakan untuk berusahatani tembakau, maka dibutuhkan tenaga kerja dan modal yang semakin banyak pula. Tenaga kerja sendiri akan sangat sulit ditemukan karena pada waktu tanam petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Rancabango akan menanam tembakau pada saat yang bersamaan dengan petani tembakau yang lain dengan pemakaian tenaga kerja dalam satu waktu. (5) Pengalaman Usahatani Tabel 7. Distribusi Pengalaman Usahatani Pengalaman Usahatani (Tahun) ≤ 10 11-29 ≥ 30 Jumlah
Jumlah (Orang) 1 7 2 10
Persentase (%) 10 70 20 100
Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa sebagian besar dari informan memiliki pengalaman usahatani tembakau selama 11 hingga 29 tahun. Usahatani tembakau merupakan suatu tradisi turun temurun bagi masyarakat Desa Rancabango dan sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka. Sebagian besar informan sudah mulai berusahatani tembakau sejak usia dini, mereka ikut berpartisipasi dan meneruskan usahatani yang dijalankan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, rata-rata dari 10 informan petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Rancabango memiliki pengalaman usahatani tembakau lebih dari 10 tahun. 3. Faktor Internal yang Berperan dalam Usahatani Tembakau Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari dalam diri petani atau keluarga. (1) Umur petani Berdasarkan hasil penelitian, petani yang berada pada usia produktif kemampuan kerjanya masih cukup baik dalam mengelola usahatani tembakau. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian, diperoleh umur petani yang menjadi informan paling banyak berada pada kelompok umur 35-44 tahun, yaitu dengan persentase sebesar 50% (Tabel 3). Umur informan yang paling muda berusia 30 tahun dan umur informan yang paling tua berusia 64 tahun. Dari ke sepuluh informan petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok Mukti Satwa Desa Rancabango, rata-rata berada pada usia produktif untuk bekerja. Artinya, kinerja atau usaha yang dilakukan oleh petani dalam menyelesaikan suatu pekerjaan akan semakin maksimal karena berada pada usia produktif. Kemampuan kerja produktif akan terus menurun dengan semakin lanjutnya usia petani. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa petanipetani yang lebih tua tampaknya kurang cenderung melakukan difusi inovasi pertanian dari pada mereka yang relatif umur muda. Petani yang berumur lebih muda biasanya akan lebih bersemangat dibanding dengan petani yang lebih tua, dengan demikian ada kecenderungan bahwa umur petani akan mempengaruhi motivasi dalam menerapkan usahatani yang berdampak pada produktivitas usahataninya. (2) Pendidikan Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 4), diperoleh informasi, bahwa dari sepuluh informan hanya tiga orang yang menamatkan sekolah hingga ke SMA, satu ornag menamatkan sekolah hanya sampai ke jenjang SMP, lima orang hanya dapat menamatkan SD, serta satu orang tidak bersekolah. Dapat disimpulkan, bahwa tingkat pendidikan 10 petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok 201
Tani Mukti Satwa di Desa Raancabango masih rendah, yaitu 50% dari seluruh informan berlatar belakang pendidikan SD. Kondisi ini terjadi karena di masa lalu sarana dan prasarana pendidikan masih sangat minim di Desa Rancabango, serta keterbatasan ekonomi masyarakat menyebabkan para informan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan lebih bergantung untuk menjadi petani tembakau saja meneruskan tradisi turun temurun keluarga. Selain pendidikan formal, pendidikan non formal pun penting untuk menunjang keahlian maupun kemampuan petani. Petani mendapatkan pendidikan non formal, yaitu berupa pelatihan yang diberikan oleh penyuluh dari Dinas Perkebunan Kabupaten Garut maupun UPTD. Sebelum anggota resmi menjadi anggota kelompok tani, biasanya akan diberikan pelatihan berupa SLPHT (Sekolah Latihan Pengendalian Hama Terpadu). (3) Jumlah Tanggungan Keluarga Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada Tabel 5, diperoleh hasil rata-rata dari 10 informan petani tembakau di Desa Rancabango yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa memiliki jumlah tanggungan keluarga antara 4-5 orang, yaitu sebesar 50%. Artinya, rata-rata dari 10 informan merupakan keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Besar kecilnya keluarga akan memotivasi dan mempengaruhi rumah tangga dalam menentukan besar kecilnya konsumsi dan pendapatan. Semakin besar keluarga, maka akan semakin besar pula pendapatan sekaligus konsumsi rumah tangganya, begitupun sebaliknya. (4) Luas Lahan Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6), dapat diketahui bahwa rata-rata dari 10 informan memiliki luas lahan >1 ha sebanyak 40%. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan penguasaan lahan dari 10 petani relatif luas. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa luas lahan memang berperan dalam usahatani tembakau ini, namun tidak menjadi masalah apabila lahan yang diusahakan sempit atau luas, karena dari 10 informan terdapat berbagai macam luas lahan yang dimiliki informan, dari yang sempit hingga luas. Intinya sempit atau luas lahan yang dimiliki tetap saja akan ditanami oleh tembakau sebagai komoditas utamanya dan sudah menjadi ciri khas Desa Rancabango sebagai desa penghasil tembakau. (5) Pengalaman Usahatani Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan (Tabel 7), diperoleh hasil bahwa lama pengalaman usahatani tembakau sepuluh informan berkisar antara 10-40 tahun. Sebagian besar dari informan memiliki 202
pengalaman usahatani tembakau selama 11 hingga 29 tahun. Usahatani tembakau merupakan suatu tradisi turun temurun bagi masyarakat Desa Rancabango dan sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka. Sebagian besar informan sudah mulai berusahatani tembakau sejak usia dini, mereka ikut berpartisipasi dan meneruskan usahatani yang dijalankan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, rata-rata dari 10 informan petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Rancabango memiliki pengalaman usahatani tembakau lebih dari 10 tahun. (6) Status Kepemilikan Lahan Tabel 8. Status Kepemilikan Lahan Status Kepemilikan Lahan Milik Milik dan Sewa Milik dan Sakap Jumlah
Jumlah (Orang) 7 1 2 10
Persentase (%) 70 10 20 100
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa sebagian besar informan memiliki lahan untuk usahatani tembakau sengan status milik. Hal ini disebabkan informan merupakan orang asli Desa Rancabango yang sejak lahir tinggal di sana, dan orang tuanyapun bekerja sebagai petani tembakau, sehingga banyak yang mendapatkan lahan yang diwarisi oleh orang tuanya untuk melanjuti usahatani tembakau. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa petani yang masuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa harus mempunyai lahan sendiri dengan mempunyai sertifikat lahannya tersebut. Namun, terdapat beberapa petani yang mempunyai lahan tambahan dengan status sewa ataupun sakap. Status kepemilikan lahan milik sendiri tentunya memiliki banyak keuntungan dibanding dengan sewa maupun sakap. Lahan milik sendiri hanya mengeluarkan biaya untuk pajak lahan setiap tahunnya, sedangkan untuk sewa dan sakap perlu membayar lahan tersebut dengan uang maupun bagi hasil panen tembakau. Lahan milik sendiri mendukung petani untuk terus mengusahakan tembakau, yang biasanya merupakan lahan warisan dari orang tua petani, sehingga memudahkan petani untuk terus melanjutkan usahatani tembakau di Desa Rancabango. (7) Tradisi Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa usahatani tembakau di Desa Rancabango merupakan usahatani turun temurun dari keluarga yang sudah ada sejak jaman nenek moyang yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Keadaan alam maupun iklim di Desa Rancabango sudah sangat cocok dan mendukung untuk usahatani
tembakau sehingga masyarakatnya masih bertahan untuk berusahatani tembakau dan merupakan mata pencaharian utama bagi para petani. 4. Faktor Eksternal yang Berperan dalam Usahatani Tembakau Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar petani dan keluarganya, seperti budidaya, keadaan alam, ketersediaan sarana dan prasarana, modal, penyuluhan, harga, dan peluang pasar. 1. Keadaan Alam 1) Suhu Tanaman tembakau pada umumnya tidak menghendaki iklim yang kering ataupun iklim yang basah. Suhu udara yang cocok untuk pertumbuhan tanaman tembakau berkisar antara 21-32oC. Desa Rancabango memiliki suhu rata-rata harian berkisar antara 24-28oC. Maka dari itu, wilayah ini cukup sesuai untuk ditanami komoditas perkebunan tembakau karena mempunyai suhu yang ideal untuk ditanami tembakau, tidak terlalu panas maupun dingin. 2) Ketinggian Tempat Tanaman tembakau dapat tumbuh pada dataran rendah maupun dataran tinggi bergantung pada varietasnya. Ketinggian tempat yang paling cocok untuk pertumbuhan tanaman tembakau adalah 0-900 mdpl. Desa Rancabango berada pada ketinggian 718 mdpl, Demikian dapat dikatakan tembakau sangat cocok untuk ditanam di Desa Rancabango. 3) Penyinaran Matahari Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa di Desa Rancabango penyinaran bagi pertumbuhan tembakau cukup baik, karena tembakau yang sudah ditanaman di lahan tidak terhalangi oleh tanaman-tanaman besar yang dapat menghalangi penyinaran dari tembakau. Setiap kali musim tanam lahan dibersihkan dari tanaman-tanaman besar yang dapat menghalangi penyinaran tembakau, sehingga tembakau dapat tumbuh dengan baik. 4) Kesuburan Tanah Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa Desa Rancabango memiliki lahan yang subur sehingga petani tembakau tidak sulit untuk membudidayakan tanaman tembakau. Lahan yang hendak ditanami tembakau hanya perlu dibersihkan dari gulma yang mengganggu dan digemburkan saja agar tanahnya menjadi lebih subur dan mudah untuk ditanamani tembakau. 2. Budidaya Pemeliharaan tembakau terbilang mudah. Petani tidak perlu melakukan penyiraman karena tanaman tembakau hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber kebutuhan air pada tembakau.
Pemeliharaan cukup dengan membersihkan lahan dari gulma yang mengganggu. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan memberikan pestisida pada tanaman tembakau. Tembakau sering terkena hama, yaitu kutu tembakau dan ulat yang menyerang tembakau. Petani menggunakan pestisida untuk mengatasi masalah hama tersebut. Pestisida yang biasa digunakan oleh petani pada Kelompok Tani Mukti Satwa adalah pestisida berbahan aktif imidaklorid. Tembakau baru bisa dipanen setelah mencapai umur 30–40 hari setelah tanam (HST). Pemanenan tembakau dilakukan dengan cara memetik daun mulai dari bagian bawah sampai bagian atas. Dalam 1 pohon dapat dipanen daun basah sebanyak 4–5 kali panen. Kegiatan pemanenan biasanya dilakukan sekitar bulan Juni–Agustus. Jika tembakau yang dihasilkan bagus, dalam 1 pohon dapat menghasilkan 1 kg tembakau basah, namun jika hasil kurang bagus, dalam 1 pohon hanya dapat menghasilkan ½ kg tembakau basah saja. Jadi, dalam 1 ha lahan yang ditanami 14.000 pohon tembakau dapat menghasilkan 14 ton (kualitas bagus) atau 7 ton (kualitas rendah). 3. Ketersediaan Sarana Produksi Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ketersediaan sarana produksi pertanian cukuplah baik, namun untuk pupuk dirasakan sulit oleh petani karena terkadang pada saat musim tanam tembakau, pupuk di pasaran itu langka dan bantuan dari Dinas Perkebunan tidak rutin. Hal ini dapat terlihat bahwa Kelompok Tani Mukti Satwa mengajukan proposal bantuan kepada Dinas Perkebunan Kabupaten Garut pada tahun 2013 dan bantuannya baru terealisasikan pada tahun 2014 kemarin. Sehingga petani tidak dapat mengandalkan bantuan dari dinas saja, petani harus mencari kebutuhan untuk membudidayakan tembakau sendiri. 4. Modal Menurut 10 informan petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa, modal untuk berusahatani tembakau mereka dapatkan sendiri, yaitu dengan cara menabung (sisa pendapatan dari tanaman yang sebelumnya diusahakan) maupun dengan cara meminjam kepada orang-orang terdekat. Peminjaman yang dilakukan berbeda-beda, ada yang meminjam dalam bentuk barang, seperti pupuk dan ada juga dalam bentuk uang yang nantinya akan diganti pada saat sudah mendapatkan hasil dari panen tembakau. Tidak adanya peran dari lembaga keuangan, seperti koperasi maupun bank membuat petani kesulitan dalam hal permodalan untuk memulai usahataninya. Walalupun modal yang dimiliki sedikit para petani 203
ini tetap akan menanam tembakau, yang berbeda hanyalah dari berapa banyak pohon yang bisa ditanam karena jumlah pohon menentukan pula banyaknya pupuk yang akan digunakan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa modal awal untuk usahatani tembakau tidak terlalu besar dibandingkan dengan tanaman lain. Modal awal yang dikeluarkan hanyalah untuk kebutuhan saprodi, seperti pupuk dan pestisida, pajak lahan, serta tenaga kerja. Tidak ada perawatan khusus, sehingga petani tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Modal awal yang kecil dari usahatani tembakau mampu memberikan penghasilan yang cukup besar bagi petani, hal inilah yang mendorong petani untuk tetap bertahan mengusahakan tembakau di Desa Rancabango. 5. Penyuluhan Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan di lapangan diketahui bahwa kegiatan penyuluhan biasa dilakukan setiap sebulan sekali. Penyuluh berasal dari Dinas Perkebunan Kabupaten Garut. Tempat penyuluhan biasa dilakukan di rumah Ketua Kelompok Tani Mukti Satwa, di lahan maupun di gudang milik kelompok tani. Metode yang digunakan penyuluh untuk memberikan penyuluhan kepada anggota kelompok tani cukup mudah, yaitu dengan cara mempresentasikan terlebih dahulu, lalu dipraktikan langsung di lapangan. Penyampaian penyuluhan tidak hanya satu arah, namun dua arah agar terjalinnya komunikasi timbal balik serta supaya saling mengeluarkan pendapatan dan pikiran, sehingga tidak hanya petani yang mendapatkan ilmu dari penyuluh, namun penyuluh pun mendapatkan ilmu dari petani. 6. Peluang Pasar 1) Permintaan Permintaan berhubungan dengan pembeli. Permintaan tembakau setiap tahunnya meningkat (menurut Pak Tatang selaku Ketua Kelompok Tani Mukti Satwa yang mengelola pemasaran tembakau ke daerah Temanggung). Hal ini terlihat dari para tengkulak dari Temanggung yang semakin banyak berdatangan dan meminta kerja sama dengan kelompok tani. Tembakau Rancabango sudah sangat terkenal, jadi tak heran jika para pembeli berdatangan untuk membeli tembakau dari Rancabango ini. Tembakau Rancabango sudah terkenal dengan merk “Gunung Putri” sampai ke daerah Jawa Tengah. Namun, permintaan dari Temanggung yang tinggi belum dapat tercukupi oleh petani di Rancabango, sehingga kelompok tani harus mengambil tembakau dari daerah lain, seperti Sumedang serta daerah Garut dan sekitarnya. 204
2) Penawaran Penawaran berhubungan dengan penjual. Sehubungan dengan permintaan tembakau yang selalu meningkat setiap tahunnya, maka harus ditunjang dengan penawaran tembakau yang tinggi pula guna memenuhi permintaan tersebut. Menurut Pak Tatang selaku Ketua Kelompok Tani, produksi tembakau di kelompok tani terus meningkat karena terus adanya pembinaan dari dinas maupun dari kesadaran para petani itu sendiri. Tembakau memiliki prospek yang sangat menjanjikan, sehingga seberapapun luas lahan yang dimiliki petani, petani akan berusaha keras untuk menghasilkan tembakautembakau berkualitas dan volume produksi yang besar pula. Tembakau di sini hanya bisa ditanam setahun sekali, tak heran bila petani sangat berharap pada tanaman tembakau, karena pendapatan yang dihasilkan dari tembakau terbilang cukup besar dan lebih besar dari komoditas lain yang ditanam oleh petani di Rancabango. 3) Harga Masalah harga ditentukan oleh pembeli dan kelompok tani dan Pak Tatang selaku Ketua harus memusyawarahkannya dengan anggota kelompok serta ketua mengetahui harga pasaran tembakau. Jika sudah ada kecocokan harga, maka dibentuklah perjanjian dalam bentuk MOU antara pembeli dan kelompok tani. Pihak Temanggung akan melakukan survey terlebih dahulu ke Rancabango pada saat musim tanam, sehingga mereka bisa melihat kondisi tembakau yang ditanam dan bisa menego harga. 5. Pendapatan Usahatani Tembakau Tabel 9. Tembakau
Distribusi
Pendapatan
Usahatani
Infroman
(TR)
(TC)
(Y)
1
Rp 98,000,000
Rp 24.342.800
Rp 73.657.200
2
Rp 22,050,000
Rp 5,507,150
Rp 16,542,850
3
Rp 26,950,000
Rp 6,553,550
Rp 20,396,450
4
Rp 7,350,000
Rp 1,882,700
Rp
5,467,300
5
Rp 7,350,000
Rp 1,882,700
Rp
5,467,300
6
Rp 41,650,000
Rp 10,023,450
Rp 31,626,550
7
Rp 36,750,000
Rp 8,726,000
Rp 28,024,000
8
Rp 34,300,000
Rp 8,224,000
Rp 26,076,000
9
Rp 7,350,000
Rp 1,882,700
Rp
10
Rp 24,500,000
Rp 5,903,150
Rp 18,596,850
5,467,300
Terlihat pada Tabel 9, bahwa tembakau sangatlah menguntungkan. Pendapatan bersih bisa mencapai 45 kali lipat dari modal yang dikeluarkan untuk berusahatani tembakau. Tak heran masyarakat di Desa Rancabango tetap bertahan untuk berusahatani
tembakau, karena sangat menguntungkan. Modal yang tidak terlalu besar dan budidaya yang tidak sulit dibandingkan dengan komoditas lainnya. 6. Faktor Penghambat dalam Usahatani Tembakau Tabel 10. Faktor Penghambat dalam Usahatani Tembakau di Desa Rancabango No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Faktor Penghambat Perubahan iklim Budidaya Sarana produksi Permodalan Tenaga kerja Menurunnya lahan pertanian Perubahan harga Kebijakan
Menghambat/Tidak Tidak menghambat Tidak menghambat Menghambat Menghambat Tidak menghambat Tidak menghambat Tidak menghambat Tidak menghambat
Berdasarkan hasil penelitian yang dicantumkan dalam tabel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dari delapan faktor penghambat dalam usahatani tembakau hanya dua faktor yang menghambat usahatani tembakau, yaitu dari segi penyeiaan sarana produksi dan permodalan. Penyediaan sarana produksi, khususnya pada pupuk dirasakan sulit karena pada saat musim tanam tembakau pupuk langka di pasaran, hal ini diprediksi oleh petani karena adanya penyumbatan pada pihak tengkulak pupuk. Permasalahan ini membuat petani kesulitan mencari pupuk hingga keluar desa, kalaupun ada pupuk di pasaran dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi. Maka dari itu, petani harus menyimpan stok pupuk sebelum musim tanam tiba, sehingga ketika musim tanam tembakau, petani tidak kesulitan mencari pupuk ataupun kekurangan pupuk karena akan berpengaruh pada pertumbuhan maupun kualitas daun tembakau itu sendiri. Faktor selanjutnya yang menghambat ialah permodalan. Pendapatan petani dari tembakau memang terbilang besar, namun petani di Desa Rancabango belum dapat mengelola keuangan mereka dengan baik dan petani bersifat konsumtif, yaitu ketika sudah memiliki uang dari hasil panen tembakau, mereka langsung memberlanjakan uang tersebut tanpa memikirkan keberlanjutan usahataninya, sehingga pada saat akan menanam tembakau kembali, petani kekurangan modal. Tidak ada peran dari lembaga keuangan, seperti koperasi maupun bank memacu petani untuk tidak mengelola keuangannya dengan baik. Tidak adanya koperasi di desa maupun dalam kelompok tani, serta para petani yang tidak mau berurusan dengan bank karena dirasakan sulit untuk melakukan pinjaman kepada pihak bank dan prosedurnya pun sulit. Sumber permodalan petani
biasa dari pribadi, yaitu uang mereka bergulir karena mengusahakan komoditas selain tembakau. Jika petani kekurangan modal, petani akan meminjam kepada sanak saudara dalam bentuk uang atau kepada para pedangang toko, namun yang dipinjamkan dalam bentuk barang seperti pupuk atau pestisida. 7. Keterkaitan Karakteristik Petani dengan Faktor Internal dan Eksternal dalam Usahatani Tembakau Berdasarkan karakteristik petani serta faktor internal dan eksternal yang terdapat pada petani Desa Rancabango dapat diambil kesimpulan bahwa ketiga variabel ini berkaitan satu sama lain mendukung usahatani tembakau di Desa Rancabango. Ketiga variabel inilah yang mendorong petani untuk terus mengusahakan tembakau walaupun terdapat beberapa penghambat dalam mengusahakan tembakau. Penghambat tersebut tidak menjadi penghalang bagi petani untuk berhenti berusahatani tembakau. Justru petani tembakau di Desa Rancabango masih bertahan dan terus melanjutkan usahatani tembakau yang sudah ada sejak jaman nenek moyang yang diturunkan oleh keluarga yang sudah menjadi tradisi untuk terus dilestarikan sebagai mata pencaharian utama masyarakat Desa Rancabango. 8. Keberlanjutan Usahatani Tembakau di Desa Rancabango Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Rancabango, petani tembakau di desa tersebut tidak mengalami dampak akibat pemberlakuan PP No. 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan yang dikeluarkan pemerintah. Petani tembakau di Desa Rancabango masih bertahan untuk mengusahakan tembakau yang sekaligus sebagai komoditas utama di desa ini. Adanya peran dari penyuluh, UPTD, maupun Dinas Perkebunan Kabupaten Garut justru mendukung pengembangan komoditas tembakau di Desa Rancabango. Faktor internal dan faktor eksternal yang terdapat pada petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa juga berperan dalam mendukung keberlanjutan usahatani tembakau di Desa Rancabango. Tidak hanya faktor internal dan faktor eksternal saja yang berperan dalam usahatani tembaku di Desa Rancabango, namun terdapat faktor penghambat yang dapat menghambat usahatani tembakau di Desa Rancabango. Faktor penghambat yang didapatkan dari hasil penelitian, yaitu penyediaan pupuk (sarana produksi) dan permodalan. Belum ada solusi pasti dari pihak petani, kelompok tani, maupun dinas terkait untuk menanggulangi masalah tersebut. Namun sejauh ini, usahatani tembakau di Desa 205
Rancabango masih tetap berjalan walaupun ada faktor yang menghambatnya. Diasumsikan, jika Indonesia selamanya tidak meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) karena PP No. 109 Tahun 2012 mengacu pada FCTC, maka usahatani tembakau dapat dipastikan terus berlanjut karena dapat memberikan pendapatan yang cukup besar bagi petani, serta usahatani tembakau ini merupakan tonggak utama bagi industri rokok untuk menjalannya usahanya. Serta didukung oleh faktor internal dan eksternal yang sudah cukup baik dalam keberlanjutan usahatanu tembakau di Desa Rancabango.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Faktor internal yang berperan dalam usahatani tembakau adalah pendidikan, luas lahan, pengalaman usahatani, status kepemilikan lahan, dan tradisi. 2. Faktor eksternal yang berperan dalam usahatani tembakau adalah keadaan alam, budidaya, penyuluhan, dan peluang pasar. 3. Pendapatan usahatani tembakau terbilang cukup besar karena dapat menghasilkan pendapatan bersih 3-4 kali lipat dari modal awal yang dikeluarkan oleh petani tembakau. 4. Faktor penghambat dalam usahatani tembakau di Desa Rancabango adalah dalam penyediaan sarana produksi dan permodalan. 5. Usahatani tembakau di Desa Rancabango dapat terus berlanjut dikarenakan tidak ada dampak dari PP No. 109 Tahun 2012 kepada petani tembakau di desa tersebut, serta didukung oleh faktor internal dan eksternal yang ada. Jika diasumsikan pemerintah tidak meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), usahatani tembakau di Desa Rancabango dapat terus berlanjut. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Petani harus berinovasi dalam budidaya tembakau contohnya dengan menggunakan benih bersertifikat, menggunakan pupuk organik, pembuatan pestisida organik dari sisa tembakau (batang), dan hormon perangsang tumbuh supaya hasil produksi meningkat agar dapat memenuhi permintaan tembakau dari Temanggung yang selama ini belum terpenuhi dengan baik sehingga pendapatannya pun aka meningkat. 206
2. Perlu adanya pembinaan kepada petani mengenai produk olahan selain rokok, yaitu pestisida organik yang terbuat dari sisa tembakau seperti batang pohon tembakau. Sehingga tembakau tidak hanya dijual daun basahnya saja sebagai bahan utama rokok, namun petani dapat menjual pestisida organik dari batang tembakau dari pohon tembakau yang mereka miliki. 3. Penyuluh hendaknya memberikan penyuluhan mengenai cara mengelola keuangan yang baik agar petani dapat mengetahui dan mengelola keuangannya dengan baik dan benar sehingga tidak terjadi kekurangan modal ketika petani akan menanam tembakau di musim berikutnya. 4. Perlu adanya pembinaan kelompok tani dengan dibuatnya sebuah koperasi sebagai lembaga pembiayaan usahatani bagi anggota kelompok tani untuk membantu petani dalam memanajemen keuangan mereka dengan cara iuran atau menabung pada koperasi tersebut sehinga dapat meminimalisir kesulitan dalam hal permodalan serta koperasi tersebut dapat membantu dalam hal penyediaan sarana produksi sehingga usahatani tembakau bisa berjalan dengan baik. 5. Pemerintah diharapkan membuat kebijakankebijakan mengenai tembakau dengan memperhatikan nasib petani tembakau sehingga tidak ada petani tembakau yang harus mengalami gulung tikar karena tembakau merupakan komoditas penting yang dapat memberikan devisa bagi negara dan menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam membantu kelancaran penyelesaian makalah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Lucyana Trimo, MSIE. selaku dosen pembimbing. 2. Kepala Desa Rancabango dan seluruh perangkat Desa Rancabango. 3. Pak Tatang selaku ketua Kelompok Tani Mukti Satwa. 4. Para anggota Kelompok Tani Mukti Satwa Desa Rancabango. 5. Pihak Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Perkebunan Kabupaten. DAFTAR PUSTAKA Adi, Anton Sulistyo. 2006. Analisis Usahatani Tembakau. Skripsi Sarjana Pertanian,
Agribisnis. Universitas Muhammadiyah Malang. Andityo Triutomo. 2014. “Perlukah Indonesia Meratifikasi FCTC”. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014 /05/04/perlukah-indonesia-meratifikasi-fctcframework-convention-on-tobacco-control653496.html. Diakses pada tanggal 18 September 2014. Anwas, Adiwilaga. 1982. Ilmu Usaha Tani. Alumni: Bandung. Bachraen Saeful, 2012. Penelitian Sistem Usaha Pertanian di Indonesia. Bandung : IPB Press. Badan Pusat Statistika, 2012. Perkembangan Volume Ekspor Tembakau di Indonesia Tahun 20082012. Jakarta : Badan Pusat Statistika. Cahyono, Bambang, 2011. Untung Selangit dari Usaha Bertanam Tembakau. Yogyakarta : Cahya Atma Pustaka. Damanik, Arianty Lediana; Chalil, Diana; Ayu, Sri Fajar. -. Faktor-faktor Pendorong dan Penarik Alih Fungsi Usaha Perkebunan Kopi Robusta ke Kopi Arabica. Jurnal Universitas Sumatera Utara. Departemen Perindustrian, 2009. Roadmap Industri Pengolahan Tembakau. Jakarta : Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2013. Statistik Perkebunan Jawa Barat Tahun 2013. Bandung : Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat. Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011. Statistik Perkebunan Indonesia 2008-2009 dan 20092011. Jakarta : Kementrian Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012. Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012. Jakarta : Kementrian Pertanian. Food and Agriculture Organization Corporate Statistical, 2010. http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx. Diakses pada tanggal 24 November 2014. Hanum, C, 2008. Teknik Budidaya Tanaman. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Hasan, Fuad; Darwanto, Dwidjono Hadi, 2013. Prospek dan Tantangan Usahatani Tembakau Madura. SEPA : Vol. 10 No.1 September 2013 : 63–70. Husin, Sofyan, 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Usahatani dan Pengaruhnya Terhadap Kepuasan Petani. Tesis Magister Ekonomi. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Isaskar, Riyanti, 2014. Modul 1. Pendahuluan: Pengantar Usaha Tani, Laboratorium
Analisis dan Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Kartikaningsih, Anita. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mmempengaruhi Motivasi Petani dalam Berusahatani Tebau. Skripsi Sarjana Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Khanisa, Fatma Artati. -. Analisis Pendapatan Petani Tembakau di Desa Menggoro Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung. Jurnal UGM : http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/art icle/viewFile/106/103. Diakses pada tanggal 26 Januari 2015. Kementrian Keuangan, 2013. Nota Keuangan & Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. Jakarta : Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Nurnanaf, Rozany. Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat dengan Petani. Jurnal Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian : http://pse.litbang.pertanian.go.id/. Diakses pada tanggal 9 Maret 2015. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2012. Potensi Sumber Daya Alam. Jabarprov.go.id. Diakses pada tanggal 27 Desember 2014. PT. Televisi Madiun Media Visual Utama. 2013. Tolak PP No. 109 Tahun 2012, Ribuan Petani Tembakau Demo. www.sakti.tv. Diakses pada tanggal 16 Januari 2015. Rachmat, Muchjidin; Nuryanti, Sri. 2009. Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 No. 2. Desember 2009 : 73-91. Rodjak, Abdul, 2006. Manajemen Usahatani, Bandung : Pustaka Giratuna. Sanusi. 2014. “Gappri : Cukai Naik, Industri Rokok Terancam Gulung Tikar”. http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/ 10/gappri-cukai-naik-industri-rokokterancam-gulung-tikar. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2014. Saragih, B, dan Y, B, Krisna Murthi. 1993. Pengembangan Agribisnis Berskala Kecil. Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian. Bogor. Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. UB Press: Malang. Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi. Jakarta: Rajawali. Sugiyono, 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. 207
Susanti, Lisana Widi. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Penerapan Pertanian Padi Organik. Skripsi Sarjana Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. TCSC. 2013. Indonesia Tobacco Atlas Edisi 2013. Jakarta : Tobacco Control Support CenterIkatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. Urber, Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Refika Aditama. Utari, Trinanda. 2011. Faktor Penarik dan Pendorong Petani dalam Mengusahakan Tembakau di Luar Desa Asal. Skripsi Sarjana Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. WHO. Framework Convention on Tobacco Control, Fifty-Sixth World Health Assembly. 21 May 2003. Widyastuti, Atiek. 2013. Peraturan Pemerintah Risaukan Petani Tembakau Klaten.c krjogja.com. Diakses pada tanggal 16 Januari 2015.
208
Bauran Pemasaran dan Pertumbuhan Penjualan Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain (Studi Kasus di PT. Sinar Mayang Lestari, Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) Marketing Mix And Sales Growth of Malabar Mountain Arabica Civet Coffee (Case Study at PT. Sinar Mayang Lestari, Margamulya Village, Pangalengan Subdistrict, Bandung District, Jawa Barat Province) Ghina Davita Ramdhayani1, Dhany Esperanza1 1
Kata Kunci: Kopi Luwak Bauran Saluran
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK Kopi luwak merupakan salah satu upaya meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, di samping komoditas kopi reguler Arabika dan kopi reguler Robusta. PT. Sinar Mayang Lestari adalah salah satu perusahaan yang memproduksi, menangani sendiri kegiatan produksi kopi luwak dari hulu sampai hilir dan telah berhasil membudidayakan binatang luwak secara mandiri. Tujuan penelitian ini yaitu: (1) diperoleh gambaran bauran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain (2) mengidentifikasi dan menganalisis saluran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain yang paling efisien (3) mengidentifikasi dan menganalisis pertumbuhan penjualan Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain. Penelitian dilakukan di PT. Sinar Mayang Lestari yang berlokasi di Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Desain penelitian yang digunakan adalah desain kualitatif, sedangkan teknik penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan alat analisis efisiensi pemasaran dan analisis trend. Hasil penelitian menunjukkan produk kopi luwak yang dijual dengan jenis greenbeans coffee, roasted coffee, dan grounded coffee dengan berbagai ukuran dengan harga yang kompetitif dan kegiatan promosi yang dilakukan masih belum efektif. Terdapat tiga pola saluran pemasaran untuk Kopi Luwak Malabar Mountain, dilihat dari farmer’s share ketiga saluran pemasaran tergolong efisien. Pertumbuhan penjualan satu tahun terakhir memiliki trend positif. ABSTRACT
Keywords: Civet Coffee, Marketing Mix Marketing Channel
In addition to Arabica and Robusta as a regular coffee commodity, civet coffee is another effort to increase coffee commodity value. PT. Sinar Mayang Lestari is a company which is solely producing and handling a production of civet coffee from the beginning to a finishing touch, also the company has been successfully cultivating luwak (animal) independently. The purpose of this study are including: (1) to obtain the marketing mix of Malabar Mountain’s Arabica Civet Coffee, (2) to identify and analyze the most efficient marketing channel of Malabar Mountain’s Arabica Civet Coffee, and (3) to identify and analyze the sales growth of Malabar Mountain’s Arabica Civet Coffee. This research took place in PT. Snar Mayang Lestari which is located at Margamulya village, Pangalengan Sub-district, Bandung District. This research is a case study research. The obtained datas this research analyzed using the analytical tools which analyze marketing efficiency and trend. The result of this research showed that luwak coffee products sold which includes greenbeans coffee, roasted coffee, and grounded coffee with a variety sizes, competitive prices, and promotional activity is still not effective. There are three marketing channel patterns for Malabar Mountain’s Arabica Civet Coffee, seen from the farmer’s share perspective, those three marketing channels relatively efficient. This past year sales growth had a possitive trend.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
209
PENDAHULUAN Sektor perkebunan memiliki komoditas pertanian dunia yang mampu bertahan sejak pertama kali ditemukan sejak abad ke-9, komoditas tersebut adalah kopi. Kopi mampu menjadikan sumber devisa untuk Indonesia karena Indonesia salah satu negara terbesar penghasil kopi di dunia. Menurut International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi meningkat dari tahun ke tahun sehingga peningkatan produksi kopi di Indonesia merupakan peluang besar untuk mampu mengekspor kopi ke negara-negara pengkonsumsi kopi dunia seperti Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Tabel 6.Total Produksi Tahunan Negara Eksportir Kopi Total Produksi (x 1000 bags) 2012 2013 2014 Brazil 50826 49152 45342 Vietnam 25000 27500 27500 Indonesia 13048 11667 9000 Columbia 9927 12124 12500 Sumber: International Coffee Organization (2015) Catatan: 1 bags = 60 kg Negara
Negara Indonesia berada di peringkat ketiga setelah Brazil dan Vietnam dan total produksi kopi untuk di ekspor dari tahun ke tahun mengalami fluktuatif. Walaupun pada tahun 2012 Indonesia mengalami peningkatan yang sangat tinggi sebanyak 79,03%, namun kembali menurun pada tahun 2013 sebesar 10,58% dan terus menurun sampai tahun 2014. Padahal Indonesia memiliki luas areal perkebunan kopi yang mencapai 1,2 juta hektar ini tersebar di berbagai daerah nusantara bagi pasar internasional yang menjadikan salah satu peluang Indonesia untuk melebihi Brazil dan Vietnam sebagai penghasil kopi terbesar di dunia. Perkembangan produksi ekspor kopi di Indonesia dalam berbagai jenis produk olahan masih fluktuatif. Pada tahun 2012, terdapat peningkatan jumlah volume kopi sebanyak 47,09% dan peningkatan nilai ekspor kopi di Indonesia sebanyak 41,27%, ini disebabkan karena pemerintah Indonesia ingin menjadikan kopi sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Maka, Indonesia terus meningkatkan produksi kopi dalam berbagai jenis/bentuk/variasi produk olahan untuk mengisi pasar kopi di dunia. (Tabel 2) Tabel 7. Perkembangan Ekspor Kopi di Indonesia Tahun Tahun 2007 2008
210
Volume 336 491
Nilai 686 1.078
Tahun Volume Nilai 2009 518 882 2010 440 855 2011 354 1.086 2012 520 1.534 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013. Catatan: Volume dalam 000 Ton, Nilai dalam 000 US $
Beberapa provinsi di Indonesia yang mengembangkan perkebunan kopi salah satunya yaitu Provinsi Jawa Barat. Jawa barat memiliki iklim yang sesuai dengan persyaratan tumbuh kopi maka diharapkan kopi dapat tumbuh dengan optimal. perkembangan luas areal dan produksi kopi di Jawa Barat dari tahun ke tahun terus menunjukan peningkatan. Sedangkan untuk produktivitas kopi mengalami fluktuatif. Kabupaten Bandung masih menjadi kabupaten dengan luas lahan serta jumlah produksi kopi terbesar di Jawa Barat, dengan ratarata wilayah yang terletak di dataran tinggi maka hal itu akan menjadi penunjang tumbuh suburnya tanaman kopi arabika di Kabupaten Bandung. Jenis kopi yang cocok ditanam di tanah Jawa Barat ini yaitu kopi arabika. Kebijakan Gubernur Jawa barat yang mengharuskan adanya alih komoditas pada tahun 2002, sehingga tanaman kopi di Kabupaten Bandung ditanam diatas lahan hutan milik Perum Perhutani yang dikelola oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). LMDH memiliki program yaitu PHBM (Program Hutan Bersama Masyarakat) yang merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa. Kecamatan Pangalengan terdapat Desa Margamulya merupakan sentra penghasil kopi terbanyak di Kecamatan Pangalengan. Berkat pengembangan tanaman kopi dan hadirnya pabrik pengolahan biji kopi di Desa Margamulya, arus urbanisasi masyarakat dari desa ke kota terus berkurang. Industri kopi di Indonesia terus marak dengan semakin bertambah dan meningkatnya produksi kopi olahan yang dihasilkan oleh pengolahan kopi. Tingkat konsumsi kopi dalam negeri mencapai 1,0 kilogram/kapita/tahun (AEKI, 2013). Dengan terus bertambahnya tingkat konsumsi dalam negeri maka diperkirakan kebutuhan kopi pun meningkat. Melihat perkembangan ini, berbisnis kopi merupakan peluang usaha yang sangat baik sekarang ini karena sudah banyak masyarakat yang mengkonsumsi kopi. Saat ini terdapat kopi yang terbilang sedang marak digandrungi oleh para penikmat dan pencinta kopi di pasar dunia maupun
lokal yaitu kopi luwak, sehingga seringkali disebut sebagai primadona kopi saat ini. Kopi luwak merupakan salah satu upaya meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, di samping komoditas kopi reguler Arabika dan kopi reguler Robusta. Dengan proses produksi yang terbilang sangat unik, yaitu dari biji kopi berbentuk buah cherry yang telah dimakan dan diproses melalui proses pencernaan seekor luwak yang kemudian dapat menghasilkan kopi dengan rasa yang sangat khas dan juga spesial, menjadikan kopi luwak sebagai kopi termahal yang ada di dunia saat ini. Salah satu perusahaan yang memproduksi kopi luwak adalah PT. Sinar Mayang Lestari yang berada di Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Perusahaan ini telah menjalankan bisnis kopi luwak dari tahun 2014. PT. Sinar Mayang Lestari menangani sendiri kegiatan produksi dari hulu sampai hilir dan telah berhasil membudidayakan binatang luwak secara mandiri. PT. Sinar Mayang Lestari juga sudah memiliki merek dagang dengan nama Malabar Mountain. Guna menciptakan tujuan pemasaran dan pertumbuhan penjualan yang tinggi maka, perusahaan dibutuhkan adanya bauran pemasaran yang optimal yang terdiri dari empat elemen yaitu produk, harga, tempat (saluran distribusi), dan promosi secara optimal. Perusahaan perlu memiliki bauran pemasaran yang berbeda dari para pesaing, karena bauran pemasaran merupakan suatu alat yang digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan pemasaran sesuai dengan pasar sasaran yang telah ditetapkan. Dengan bauran pemasaran yang optimal akan meningkatkan daya tarik konsumen untuk memilih dan membeli produk Kopi Luwak Malabar Mountain tanpa memilih produk kopi luwak yang lain. Proses pendistribusian Kopi Luwak Malabar Mountain ke konsumen dilakukan melalui proses pemasaran. Proses pemasaran yang efisien sangat dibutuhkan dalam memasarkan produksi Kopi Luwak Malabar Mountain. Salah satu indikator keberhasilan pemasaran suatu produk adalah sistem pemasaran yang terjadi berlangsung secara efisien. Permasalahan yang sering dihadapi dalam mewujudkan pemasaran yang efisien adalah tinggi rendahnya tingkat harga yang diterima produsen yang erat kaitannya dengan pola saluran pemasaran yang terbentuk dan besarnya marjin pemasaran, sehingga untuk meningkatkan pemasaran ini dapat dicapai apabila pola saluran pemasaran dan penyebab tingginya marjin pemasaran diketahui. Selain itu, besar kecilnya bagian yang diterima produsen
(farmer’s share) akan menunjukkan apakah suatu sistem pemasaran berjalan efisien. Dari yang sudah dijelaskan diatas dan akan mempengaruhi pertumbuhan penjualan perusahaan khususnya kopi luwak. Menurut Swastha dan Handoko (2005), perusahaan dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ke arah yang lebih baik jika terdapat peningkatan yang konsisten dalam aktivitas utama operasinya. Sehingga akan berpengaruh besar untuk kemajuan PT. Sinar Mayang Lestari. Hal ini pun akan mempengaruhi pertumbuhan penjualan produk kopi luwak yang kontinyu. KERANGKA TEORI Komoditas kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang mampu menjadikan sumber devisa untuk Indonesia, dan kopi merupakan komoditas ekspor yang laku dan memiliki harga jual tinggi. Sentra kopi arabika saat ini berfokus di beberapa tempat, salah satunya yaitu di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung karena sebagai penghasil biji kopi terbanyak dibandingkan dengan daerah lain. Dan mampu memiliki iklim yang sesuai dengan persyaratan tumbuh kopi maka diharapkan kopi dapat tumbuh dengan optimal. Industri kopi di Indonesia terus marak dengan semakin bertambah dan meningkatnya produksi kopi olahan yang dihasilkan oleh pengolahan kopi. Dengan terus bertambahnya tingkat konsumsi dalam negeri maka diperkirakan kebutuhan kopi pun meningkat. Hal ini pun ditandai dengan semakin suburnya produsen kopi di Indonesia. Jenis kopi yaitu kopi luwak sedang marak digandrungi oleh para penikmat dan pencinta kopi di pasar dunia maupun lokal. Kopi luwak merupakan salah satu upaya meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, di samping komoditas kopi reguler Arabika dan kopi reguler Robusta. Maka, banyak perusahaan yang tertarik untuk memproduksi kopi luwak. PT. Sinar Mayang Lestari adalah salah satu perusahaan yang memproduksi kopi luwak dan arabica specialty coffee. PT. Sinar Mayang Lestari menangani sendiri kegiatan produksi dari hulu sampai hilir dan telah berhasil membudidayakan binatang luwak secara mandiri. PT. Sinar Mayang Lestari juga sudah memiliki merek dagang dengan nama Malabar Mountain. PT. Sinar Mayang Lestari menghasilkan produksi kopi luwak yang jumlahnya terbatas tak sebanding dengan kopi arabika reguler. Akibatnya harga kopi luwak melambung tinggi. Hal ini disebabkan karena kegiatan pemasaran yang belum berjalan optimal, dalam artian belum mampu menyampaikan hasil pertanian dari produsen kepada konsumen dengan biaya yang murah. 211
Guna menciptakan tujuan pemasaran dan tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi maka, perusahaan dibutuhkan adanya bauran pemasaran yang optimal yang terdiri dari empat elemen yaitu produk, harga, tempat (saluran distribusi), dan promosi secara optimal. Perusahaan perlu memiliki bauran pemasaran yang berbeda dari para pesaing, karena bauran pemasaran merupakan suatu alat yang digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan pemasaran sesuai dengan pasar sasaran yang telah ditetapkan. Bauran pemasaran banyak memainkan peran sangat penting dalam mempengaruhi konsumen Proses pendistribusian Kopi Luwak Malabar Mountain ke konsumen dilakukan melalui proses pemasaran. Proses pemasaran yang efisien sangat
dibutuhkan dalam memasarkan produksi Kopi Luwak Malabar Mountain. Salah satu indikator keberhasilan pemasaran suatu produk adalah sistem pemasaran yang terjadi berlangsung secara efisien. Permasalahan yang sering dihadapi dalam mewujudkan pemasaran yang efisien adalah tinggi rendahnya tingkat harga yang diterima produsen yang erat kaitannya dengan pola saluran pemasaran yang terbentuk dan besarnya marjin pemasaran, sehingga untuk meningkatkan pemasaran ini dapat dicapai apabila pola saluran pemasaran dan penyebab tingginya marjin pemasaran diketahui. Selain itu, besar kecilnya bagian yang diterima produsen (farmer’s share) akan menunjukkan apakah suatu sistem pemasaran berjalan efisien.
Gambar 1. Alur Pemikiran METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Mukti Satwa yang terletak di PT. Sinar Mayang Lestari yang berlokasi di Jalan Kampung Cigendel 212
RT 03/12, Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian berupa studi kasus.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara yang berisi pertanyaan yang terdiri dari variabelvariabel yang berkaitan dengan penelitian, serta dengan cara observasi pastisipasif, menggunakan dokumentasi, dan studi pustaka. Identifikasi mengenai bauran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain menggunakan analisis deksripstif, saluran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain yang paling efisien menggunakan alat analisis marjin, serta analisis pertumbuhan penjualan Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain menggunakan analisis trend.
jiwa/km2 berdasarkan Data Profil Desa Margamulya Tahun 2014. Desa Margamulya memiliki penduduk dengan usia produktif (angkatan kerja) sebanyak 10.202 orang. Sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani 1.824 orang (92,68%) dan petani 144 orang (7,31%). Sektor pertanian masih dominan bagi penduduk Desa Margamulya dibandingkan dengan mata pencaharian yang lain. Hal tersebut membuktikan bahwa sektor pertanian masih memiliki daya tarik bagi penduduk Desa Margamulya untuk dijadikan mata pencaharian. Gambaran Umum Perusahaan Sejarah PT. Sinar Mayang Lestari
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Tempat Penelitian Desa Margamulya merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Desa Margamulya terbagi kedalam 24 Rukun Warga (RW) dan 110 Rukun Tetangga (RT) yang terdiri dari 5.046 Kepala Keluarga. Desa Margamulya berjarak 1 kilometer dari pusat pemerintahan Kecamatan Pangalengan dan bisa ditempuh dengan waktu kira-kira 3 menit. Akses menuju Desa Margamulya dapat ditempuh baik menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan infrastruktur jalan yang relatif baik. Desa Margamulya memiliki luas wilayah sebesar 1.294,36 Ha dengan ketinggian rata-rata 1.415 mdpl yang terdiri dari pegunungan, hutan, dan ladang. Berdasarkan keadaan iklim, Desa Margamulya memiliki rata-rata curah hujan 2.350mm/tahun, jumlah bulan hujan yaitu 6 bulan, kelembaban 20,5atm, dan suhu udara sekitar 1823℃. Namun saat ini seperti daerah lain pada umumnya 50 intensitas hujan dan perkiraan waktu turun hujannya sulit diprediksi sehingga berpengaruh pada kondisi kehidupan masyarakat, khususnya aktivitas masyarakat yang bergerak pada sektor pertanian. Luas wilayah perkebunan di Desa Margamulya berada pada peringkat pertama yaitu 437,119 Ha/m2 (47,7%) dibandingkan dengan luas wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan bahwa di Desa Margamulya banyak sekali wilayah perkebunan teh dan kopi berdasarkan Data Profil Desa Margamulya Tahun 2014. Desa Margamulya memiliki jumlah penduduk 10.230 jiwa yang terdiri dari 5.251 orang laki-laki (51,33%) dan 4.979 orang perempuan (48,67%) yang terbagi atas Kepala Keluarga sebanyak 3.259 KK dengan kepadatan penduduk 200
Tabel 3. Sejarah Perusahaan Tahun 2012 2013 2014 2014 2015
Sejarah Perusahaan Berdiri PT. Sinar Mayang Lestari Pembentukan Malabar Mountain Cafe di Bogor Menjalankan Bisnis Kopi Luwak Ekspor Perdana Ke Korea Selatan Bisnis Roaster Berlaku
PT. Sinar Mayang Lestari berdiri pada tanggal 8 November 2012. Pada awalnya Bapak Slamet Prayoga seorang pensiunan asal Kalimantan, beliau ingin menjadi seorang petani di Jawa Barat maka datanglah beliau ke daerah Lembang untuk mengunjungi kerabatnya. Setelah berdiskusi dengan kerabatnya, maka beliau ingin bergerak dibidang usaha perkebunan dan mencari lahan yang cocok untuk usaha perkebunan yaitu di Pangalengan. Di Pangalengan Bapak Slamet Prayoga bertemu dengan Bapak Supriatnadinuri yaitu Ketua Kelompok Tani Hutan Rahayu. Beliau banyak belajar tentang perkebunan yaitu komoditas kopi dari Bapak Supriatnadinuri, karena awalnya Bapak Slamet Prayoga tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang kopi. Dan pada akhirnya, Bapak Slamet Prayoga mendirikan perusahaan yang menggeluti bisnis kopi arabika dan luwak mulai dari hulu sampai hilir dengan slogan “Kopi yang diproses dari kebun sendiri”. Selain memproduksi kopi arabika yang memiliki kualitas tinggi dan berkualitas sesuai dengan standar dan ketentuan specialty coffee, PT. Sinar Mayang Lestari juga memproduksi kopi luwak. Hal ini sepenuhnya perusahaan ingin melestarikan budidaya luwak, dimana hewan sejenis musang tersebut sekarang ini hampir punah, maka perusahaan ingin mengembangkan produk kopi luwak. Menurut Specialty Coffee Association of America (SCAA) jika kopi termasuk dalam klasifikasi specialty maka kopi tersebut harus memiliki Q Grade dengan nilai di atas 8.5. 213
Visi dan Misi PT. Sinar Mayang Lestari Visi : Berbakti sepenuh jiwa untuk maju bersama Misi : Memberdayakan kebersamaan antara petani, produsen dan konsumen Bauran Pemasaran Produk Keragaman produk Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain dikatakan sangat beragam. PT. Sinar Mayang Lestari memproduksi kopi luwak dengan berbagai macam sesuai dengan keinginan dan permintaan konsumen. Keragaman produk kopi luwak yang dijual PT. Sinar Mayang Lestari merupakan produk yang dijual terbagi dalam 3 jenis, yaitu: greenbeans coffee, roasted coffee, dan grounded coffee. Perusahaan memperhatikan berbagai aspek seperti kebersihan kandang luwak, kesehatan luwak, nutrsi luwak, serta tidak menjadikan hewan luwak sebagai mesin produksi untuk memproduksi kopi luwak secara terus menerus. Perusahaan pun berkomitmen menghasilkan kopi berkualitas dengan dengan prinsip penanganan pasca panen yang baik dan benar (Good Handling Practices - GHP) dan telah memperoleh berbagai sertifikat. Merek produk kopi luwak PT. Sinar Mayang Lestari yaitu Kopi Luwak Arabika Malabar Moutain. Nama merek tersebut diambil berdasarkan indikasi lokasi kopi tersebut ditanam, lokasi budidaya kopi luwak, dan tempat pengolahan kopi yang terdapat di Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, dimana lokasi tersebut tepat berada di kaki Gunung Malabar sehingga kata Malabar Mountain dalam merek mengindikasikan nama Gunung Malabar. Desain produk yang dipakai oleh Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain sangat khas, ini dimaksudkan agar masyarakat mengenal dan mudah mengingat produk Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain. Jenis bahan kemasan yang dipakai untuk produk Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain yaitu kemasan siap pakai berbahan baku alumunium foil untuk roasted dan grounded, plastik bening untuk kopi dalam bentuk greenbeans jika kurang dari 5 kilogram, dan karung goni untuk kopi dalam bentuk greenbeans jika lebih dari 5 kilogram. Ukuran produk kopi luwak roasted dan grounded tersedia dalam kemasan yang berukuran 10 gram, 100 gram, 250 gram, 500 gram, dan 1 kilogram. Sementara untuk produk kopi luwak greenbeans tersedia dalam ukuran 1 hingga 5 kilogram.
Jenis Green beans Sangrai (Roasted) dan Bubuk (Grounded)
Tabel 4. Daftar Harga Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain 214
Harga (Rp) 800.000 177.500 434.000 857.000 1.300.00
Penetapan harga yang dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan pangsa pasar dan keinginan perusahaan, hal tersebut dilakukan untuk menarik lebih banyak konsumen serta menstabilkan kedudukannya di pasaran dilihat dari merek dan jenis kualitas produk kopi luwak yang ditawarkan. Perusahaan pun tidak memberikan potongan harga kepada konsumen walaupun pembelian dengan jumlah yang banyak. Distribusi Proses produksi kopi luwak dari on farm seluruhnya dilakukan di kantor PT. Sinar Mayang Lestari. Pemilihan lokasi produksi kopi luwak ini sangat tepat dikarenakan letak topografi wilayah yang mendukung. Dari kantor menuju areal kebun kopi ditempuh melalui jalan perkebunan teh PTPN VIII dengan jarak ± 3 km. Transportasi yang digunakan adalah kendaraan roda dua (motor) dan kendaraan roda empat (mobil). Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kopi luwak Malabar Mountain dapat dikatakan masih sedikit dan rantai pemasarannya relatif pendek. Pendeknya rantai pemasaran belum tentu akan menghasilkan marjin pemasaran yang kecil dan farmer’s share yang besar. Saluran pemasaran I dan III tidak membutuhkan perantara dalam memasarkannya kepada pihak konsumen akhir. Hal ini disebabkan bahwa konsumen utama kopi luwak Malabar Mountain terbagi menjadi dua yaitu masyarakat dan instansiinstansi pemerintah. saluran pemasaran II melalui middleman atau konsumen perantara karena konsumen akhir kopi luwak Malabar Mountain berasal dari luar kota, seperti Samarinda, Pekalongan, dan Jakarta.
Keterangan:
Harga
Ukuran (Gram) 1000 100 250 500 1000
Jenis Greenbeans Jenis Roasted Grounded
dan
Gambar 2. Pola Saluran Pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain
Tabel 5. Komponen Harga Jual Kopi Luwak Malabar Mountain di Setiap Tingkat Lembaga Pemasaran Promosi Alat promosi yang telah dilakukan oleh perusahaan seperti periklanan dan publisitas dengan cara memproduksi video Kopi Luwak Malabar Mountain lalu dimasukan secara media online ke youtube dengan viewer 1000 pada masing-masing video, facebook dengan followers sebanyak 250 orang, website perusahaan. Sedangkan media cetak yaitu dengan brosur maupun artikel-artikel dengan liputan bertemakan kuliner atau bisnis. Hal ini terkait untuk membangun “citra perusahaan” yang baik dan menangani atau menyingkirkan gosip, cerita dan peristiwa yang dapat merugikan perusahaan. Penjualan personal juga dilakukan oleh perusahaan dengan cara interaksi langsung dengan calon pembeli dengan tujuan pembelian Kopi Luwak Malabar Mountain biasanya dilakukan di kantor ataupun Malabar Mountain Cafe. Selain itu, promosi penjualan yang telah dilakukan oleh perusahaan ini langkah insentif jangka panjang untuk mendorong pembelian atau penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain, maka dari itu dengan pembuatan Malabar Mountain Cafe salah satu langkah insentif jangka panjang untuk promosi. Perusahaan pun sering mengikuti pameran-pameran yang diadakan di dalam negeri maupun di luar negeri. Mengikuti pameran disertai dengan memberi penawaran kopi espresso gratis kepada pengunjung. Walaupun, pemasukan dan pengeluaran berbeda jauh akan tetapi pengunjung mengetahui dan mengenal produk Malabar Mountain Coffee, sehingga akhirnya tidak. Perusahaan menganggap bahwa alat promosi yang efektif yang telah dilakukan dan tidak membutuhkan biaya yang banyak yaitu menggunakan media online seperti facebook dan media cetak seperti artikel-artikel dengan liputan bertemakan kuliner atau bisnis. Selain itu promosi dari mulut ke mulut pun menjadikan produk Malabar Mountain Coffee lebih diketahui dan dikenal masyarakat. Tenaga kerja yang melakukan kegiatan promosi Kopi Luwak Malabar Mountain masih sangat kurang. Saat ini tenaga kerja yang telah melakukan kegiatan promosi yaitu tenaga kerja manajemen perusahaan berjumlah 7 orang, sedangkan perusahaan membutuhkan sales promotion khusus untuk memasarkan produk sebanyak 10 orang. Sehingga untuk kegiatan promosi masih belum optimal.
Saluran Pemasaran I II III
Harga jual greenbeans Kopi Luwak Malabar Mountain yang ditawarkan oleh produsen di saluran pemasaran I pada saat ini yaitu Rp 800.000/kg. Tetapi, harga jual greenbeans Kopi Luwak Malabar Mountain yang ditawarkan oleh produsen di saluran pemasaran II lebih rendah yaitu Rp 500.000/kg. Harga jual roasted dan grounded Kopi Luwak Malabar Mountain yang ditawarkan oleh produsen di saluran pemasaran III yaitu Rp 1.300.000/kg. Produsen tidak menjual roasted dan grounded kepada konsumen perantara karena konsumen perantara bisa melakukan proses itu secara mandiri. Sebagian besar produsen menjual ke konsumen perantara di saluran pemasaran II karena produsen merasa lebih mudah dalam hal cara penjualan. Ini memberikan kepastian penjualan dan tidak mengeluarkan biaya pemasaran yang banyak karena sudah ditanggung oleh konsumen perantara. Tabel 6. Biaya-Biaya Pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain yang Dikeluarkan Pada Setiap Saluran Pemasaran Saluran Pemasaran I II III
Biaya Pemasaran (Rp/Kg) 120.000 6000 80.000
Biaya pemasaran terkecil yaitu saluran pemasaran II karena saluran pemasaran yang pendek dan kuantitas penjualan yang besar sehingga bisa menekan biaya pemasaran. Pada setiap saluran pemasaran tidak diperlukan biaya pengangkutan karena biasanya konsumen maupun pihak perantara datang langsung ke kebun untuk membeli Kopi Luwak Malabar Mountain. Biaya pemasaran oleh produsen terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya pengemasan, dan biaya operasional produksi. Tabel 7. Rata-Rata Keuntungan Kopi Luwak Malabar Mountain yang Dikeluarkan Pada Setiap Saluran Pemasaran Saluran Pemasaran
3. Biaya, Keuntungan, dan Marjin Pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain
Harga Jual (Rp/Kg) Roasted Greenbeans dan Grounded 800.000 500.000 1.300.000
I II III
Harga Jual (Rp/Kg) Roasted Greenbeans dan Grounded 680.000 440.000 1.220.000
215
Rata-rata keuntungan jenis roasted dan grounded lebih tinggi dibandingkan dengan jenis greenbeans disebabkan jenis roasted dan grounded sudah memiliki nilai tambah yang lebih membuat keuntungan lebih tinggi. Pada saluran pemasaran I terlihat keuntungan yang didapat lebih tinggi dari saluran pemasaran II. Hal tersebut terkait dengan adanya perbedaan harga jual pada saluran pemasaran I dan saluran pemasaran II. Tabel 8. Jumlah Pembelian Kopi Luwak Malabar Mountain yang Dikeluarkan Pada Setiap Saluran Pemasaran Saluran Pemasaran I II III
Harga Jual (Rp/Kg) Roasted Greenbeans dan Grounded 3 60 5
Pihak produsen cenderung menjual ke pihak perantara pada saluran pemasaran II dengan jumlah pembelian 60 kg, cukup jauh bila dibandingkan dengan saluran pemasaran I dan saluran pemasaran III. Frekuensi pembelian dari saluran pemasaran I yaitu sebanyak 3 kg dan saluran pemasaran III sebanyak 5 kg untuk setiap pembelian. Maka, pihak produsen lebih memilih saluran pemasaran II, walaupun sifatnya menunggu pesanan dari konsumen perantara karena konsumen perantara pun menunggu pesanan dari konsumen. Hal ini berbeda dengan jumlah pembelian pada saluran pemasaran I dan saluran pemasaran III yang relatif sedikit juga disebabkan karena konsumen akhir membeli ke pihak produsen di Pangalengan dengan waktu yang sangat jarang. Dalam keadaan demikian, produsen merasa dirugikan jika tidak adanya saluran pemasaran II dan pembelian dengan jumlah yang banyak ini akan berakibat kepada saluran pemasaran yang lainnya sehingga harus mencari pasar Kopi Luwak Malabar Mountain.
4. Efisiensi Pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain Berdasarkan hasil penelitian, total marjin di setaiap saluran pemasaran, maka marjin yang diterima saluran pemasaran II lebih kecil dari ketiga saluran tersebut (Saluran II < Saluran III < Saluran I). Tingkat efisiensi saluran pemasaran jenis greenbean, saluran pemasaran I menghasilkan total marjin pemasaran yang besar yaitu Rp 800.000/kg (15%) dengan biaya pemasaran Rp 120.000/kg dan keuntungan pemasaran 216
Rp 680.000/kg. Sedangkan, saluran pemasaran II memiliki tingkat efisiensi saluran pemasaran yang semakin tinggi. Hal ini ditujukkan dengan total marjin pemasaran yang lebih kecil yaitu Rp 500.000/kg (12%) dengan biaya pemasaran Rp 60.000/kg dan keuntungan pemasaran Rp 440.000/kg. Sedangkan, tingkat efisiensi saluran pemasaran jenis roasted dan grounded memiliki total marjin pemasaran yaitu Rp 1.300.000/kg (6,15%) dengan biaya pemasaran Rp 80.000/kg dan keuntungan pemasaran Rp 1.220.000/kg. Berdasarkan perhitungan, maka saluran pemasaran II memiliki marjin terkecil dan kombinasi keuntungan dan biaya pemasaran yang kecil juga. Tabel 9. Marjin Pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain Berdasarkan Saluran Pemasaran (Rp/kg) Rincian Biaya dan Keuntungan Pemasaran Biaya Pemasaran Keuntungan Pemasaran Total Marjin Persentase Marjin
Saluran Pemasaran I
II
III
120.000
60.000
80.000
680.000
440.000
1.220.000
800.000 15%
500.000 12%
1.300.000 6,15%
Bagian yang diterima produsen (farmer’s share) pada saluran pemasaran I yaitu 85%. Bagian yang diterima produsen (farmer’s share) pada saluran pemasaran II yaitu 88%. Bagian yang diterima produsen (farmer’s share) paling besar pada saluran pemasaran III yaitu 93,84%. Hal ini terjadi karena, ada nilai tambah dari produk sehingga konsumen rela menempuh jarak yang cukup jauh ke lokasi kebun di Pangalengan. Nilai tambah dari Kopi Luwak Malabar Mountain yang dibeli pada saluran pemasaran III tersebut antara lain jenis roasted dan grounded. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, bagian saluran pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain yang terjadi adalah efisien, dimana bagian harga yang diterima produsen berkisar antara 85% sampai 93% atau rata-rata 88,94%. Tabel 10. Nilai Farmer’s Share Kopi Luwak Malabar Mountain Berdasarkan Saluran Pemasaran Saluran Pemasaran I II III
Hp (Rp/kg) 680.000 440.000 1.220.000
He (Rp/kg) 800.000 500.000 1.300.000
Farmer’s Share (%) 85% 88% 93,84%
5. Pertumbuhan Penjualan Malabar Mountain
Kopi
Luwak
Analisis pertumbuhan penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain yang dilakukan pada PT. Sinar Mayang Lestari diawali dengan mengambil data dalam rentang waktu 1 tahun yang dimulai dari bulan Mei 2014 sampai Mei 2015. Data yang digunakan merupakan data penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain dalam satuan gram dan merupakan data bulanan perusahaan. Dari data deret waktu penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain akan menggambarkan pola data yang membantu menentukan pola data yang terbentuk dari data penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain PT. Sinar Mayang Lestari.
Gambar 3. Pola Saluran Pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain Dengan adanya penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain yang masih berfluktuatif selama bulan Mei 2014 sampai bulan Mei 2015 seperti yang sudah tertera pada Gambar 18. Volume penjualan tertinggi terjadi pada bulan April 2015 sebesar 62.600 gram, hal ini dikarenakan kebutuhan konsumen dan permintaan akan Kopi Luwak Malabar Mountain sedang banyak. Pada bulan Juli 2014 tidak ada penjualan yang dilakukan, hal ini dikarenakan permintaan kopi yang tidak stabil. Perkembangan penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain meningkat pada bulan Agustus 2014 mencapai 30.020 gram, namun mengalami penurunan penjualan pada bulan September yaitu sebesar 26.860 gram. Penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain kembali mengalami peningkatan kembali pada bulan Oktober 2014 sebanyak 58.960 gram, dan kembali mengalami penurunan penjualan pada bulan November 2014 yaitu sebanyak 58.320 gram. Pada bulan Desember 2014 mengalami peningkatan kembali sebanyak 56.320 gram. Pada bulan Januri 2105 penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain kembali mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yaitu sebanyak 59.580 gram, mengalami peningkatan kembali pada bulan Februari 2015. Dan pada bulan
Maret 2015 mengalami penurunan yang sangat besar yaitu 290 gram dan kembali mengalami peningkatan pada bulan April sebanyak 62.350 gram, dan kembali menurun pada bulan Mei 2015 sebanyak 62.100 gram. Volume penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain pada bulan Agustus 2014, Oktober 2014, Desember 2014, Februari 2015, dan April 2015 dikarenakan permintaan greenbeans dari pihak konsumen perantara sedang banyak karena sedang terkait kontrak penjualan domestik dengan salah satu ritel besar yaitu LOKA, kontrak ini dimulai pada bulan Agustus 2014 dan pengiriman 2 bulan sekali. Sedangkan di bulan-bulan lainnya dipengaruhi faktor permintaan kopi yang tidak stabil dikarenakan adanya persaingan. Persaingan produk kopi luwak menjadi ketat dengan munculnya produsen-produsen baru, tidak hanya produsen baru tetapi produsen yang lebih dulu memproduksi kopi luwak menjadikan persaingan begitu ketat. Selain itu terdapat faktor musiman yaitu cuaca yang mempengaruhi pemetikan buah cherry kopi dan faktor hasil fermentasi luwak yang berakibat pada produksi Kopi Luwak Malabar Mountain. Persamaan garis trend linier volume penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain hasil dari analisis adalah Y = 19.504,61 + 1.698,35X. Persamaan ini menunjukkan besarnya nilai koefisien trend adalah sebesar 1.698,35 gram yang berarti bahwa penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain setiap bulannya mengalami peningkatan sebesar 1.698,35 gram. Peningkatan trend tersebut menunjukkan selama satu tahun terakhir yaitu dari bulan Mei 2014 sampai Mei 2015 koefisien arah dan trend penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain adalah positif. Sementara nilai intersep hasil dari analisis trend didapatkan sebesar 19.504,61 yang berarti bahwa rata-rata penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain selama satu tahun terakhir adalah sebesar 19.504,61 gram. Dengan menggunakan persamaan tersebut, dapat diramalkan volume penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain untuk beberapa bulan kedepan. Untuk penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain pada bulan Juni tahun 2015, maka Y = 19.504,61 + 22.078,55 = 41.583,16. Artinya, volume penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain pada bulan Juni 2015 diperkirakan sebesar 41.583,16 gram. Dan untuk penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain pada bulan Juli tahun 2015, maka Y = 19.504,61 + 23.776,9 = 43.281,51. Artinya, volume penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain pada bulan Juli 2015 diperkirakan sebesar 43.281,51 gram. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 217
6. Bauran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain di PT. Sinar Mayang Lestari adalah: a. Produk: Keragaman produk kopi luwak yang dijual terbagi dalam 3 jenis yaitu greenbeans coffee, roasted coffee, dan grounded coffee. Kemasan yang dipakai berbahan baku alumunium foil, plastik dan karung goni. Ukuran produk tersedia ukuran 10 gram, 100 gram, 250 gram, 500 gram, dan 1 kilogram hingga 5 kilogram. b. Harga: Penetapan harga yang dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan pangsa pasar dan keinginan perusahaan. Tidak ada standar harga dunia untuk kopi luwak. c. Distribusi: Terdapat tiga pola saluran pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain dan rantai pemasaran relatif pendek. d. Promosi: Alat promosi yang telah dilakukan oleh perusahaan seperti memproduksi video Kopi Luwak Malabar Mountain lalu dimasukan ke youtube, facebook, website, brosur maupun artikel-artikel dengan liputan bertemakan kuliner atau bisnis penjualan personal, pembuatan MM Cafe salah satu langkah insentif jangka panjang untuk promosi, mengikuti pameran-pameran. 2. Saluran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain di PT. Sinar Mayang Lestari yang paling efisien jenis greenbeans yaitu saluran pemasaran II dan memiliki nilai farmer’s share lebih dari 50% yaitu 85%. 3. Pertumbuhan penjualan Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain di PT. Sinar Mayang Lestari satu tahun terakhir yaitu bulan Mei 2014 – Mei 2015 memiliki trend positif. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Perlu melakukan pengukuran efektifitas promosi yang telah dan sedang dilakukan dan sales promotion yang khusus guna memasarkan produk Malabar Mountain Coffee. 2. Tim manajemen perusahaan tidak perlu melakukan semua pekerjaan, karena di dalam manejemen yang baik perlu melakukan pekerjaan sesuai dengan jobdesk masing-masing. 3. Untuk mempermudah peramalan penjualan disarankan agar perusahaan menggunakan perangkat lunak (software) seperti Microsoft Excel. UCAPAN TERIMA KASIH
Pada
kesempatan
ini
penulis
ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih 218
kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam membantu kelancaran penyelesaian makalah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 6. Dhany Esperanza, SP., MBA.. selaku dosen pembimbing. 7. Kepala Desa Margamulya dan seluruh perangkat Desa Margamulya. 8. Pak Slamet Prayoga selaku Direktur Utama PT. Sinar Mayang Lestari. 9. Para karyawan PT. Sinar Mayang Lestari. 10. Pihak Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Perkebunan Kabupaten. DAFTAR PUSTAKA Andi, Supangat. 2007. Statistika dalam Kajian Deskriftif, Inferensi dan Nonparametrik. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia. 2013. Konsumsi Kopi di Indonesia. Melalui http://www.aeki-aice.org/ [Diakses pada tanggal 7 Maret 2015] Badan Pusat Statistik. 2006. Analisis Profil Perusahaan/Usaha Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia. Melalui http://www.bps.go.id/ [Diakses pada tanggal 20 Januari 2015] Badan Standarisasi Nasional. 2007. Spesifikasi Persyaratan Mutu Biji Kopi. SNI No 012907-1999. Basu Swastha, DH dan Irawan. 2004. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty. Basu Swastha, DH. 2005. Manajemen Penjualan. Yogyakarta: Liberty. Choiri, Achmad dan Aro Fajar Sunartomo. 2008. Keragaan Agribisnis dan Prospek Pemasaran Kopi Rakyat. Jurnal J-Sep Vol. 2 No. 3 Jember. Ciptadi, W dan Nasution, M.Z. 1985. Pengolahan Kopi. Fakultas Teknologi Institut Pertanian Bogor. Darmawati. 2005. Analisis Pemasaran Mendong di Kabupaten Sleman. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tidak dipublikasikan. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat. 2012. Daerah Unggulan Penghasil Kopi di Provinsi Jawa Barat. Dirjen Perkebunan. 2012. Luas Lahan dan Produksi Kopi Indonesia. Kementrian Perkebunan.
Higgins, Robert C, 2003. Analysis for Financial Management, Seventh Edition. McGrawHill, Singapore. Hutagaol, Vici Kristina. 2002. Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Keputusan Pembelian Produk Minuman Kopi di Potluck Coffee Bar and Library Bandung. Skripsi Program Studi Manajemen., Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama Bandung. International Coffee Organization. 2015. Total Produksi Tahunan Negara Eksportir Kopi. Melalui http://www.ico.org/ [Diakses pada tanggal 12 Februari 2015] Kharisma, Dimas, Endang Siti Rahayu, Setyowati. 2013. Analisis Efisiensi Pemasaran Jagung di Kabupaten Grobogan. Jurnal Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kotler, P dan Keller. 2007. Manajemen Pemasaran Jilid II, Edisi Keduabelas. Jakarta: Erlangga. Kuswarak. 2010. Analisis Bauran Pemasaran Terhadap Volume Penjualan Nata De Coco Ukuran 220 Gr Pada PT. Keong Nusantara Abadinatar Lampung Selatan. Fakultas Ekonomi Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai. Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. M. Yahmadi. 2000. “Sejarah Kopi Arabika di Indonesia”. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Vol 16, No.3, p.180. Najiyati, Sri dan Danarti. 2004. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pascapanen. Jakarta: Penebar Swadaya. Panggabean, Edy. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta: Agromedia Pustaka Soekartawi, 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers. Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. UMM Press. Malang Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Cv. Tjiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran, Edisi Ketiga. Yogyakarta: Andi. Wachjar, A. 2013. Pengantar Budidaya Kopi. Fakultas Pertanian, Bogor. Zaini, Achmad. 2011. Analisis Prospek Pemasaran Ayam Petelur Di Kalimantan Timur. Jurnal EEP.Vol.8.No 1 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda.
219
220
Pengaruh Bantuan Modal Kerja PUAP Terhadap Kesejahteraan Petani di Provinsi Sulawesi Tengah Influence of PUAP Working Capital Program towards Farmer’s Welfare in Provinsi Sulawesi Tengah Yennita Sihombing Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor ABSTRAK
Kata Kunci: Sektor Pertanian, Modal Kerja, Penguatan, Kelembagaan Gapoktan PUAP, LKM-A
Sektor pertanian memegang peran penting bagi pembangunan nasional. Selain menyediakan pangan bagi penduduk secara nasional juga mampu menyediakan devisa bagi negara serta menyediakan bahan baku bagi industri. Modal kerja menjadi salah satu kendala bagi sebagian besar petani di Indonesia dalam rangka meningkatkan produktivitas hasil usaha tani. Oleh karena itu Kementerian Pertanian melalui Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) berupaya untuk mengatasi persoalan modal kerja petani dengan cara menyalurkan dana sebesar Rp 100 juta kepada setiap Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) untuk penguatan modal pada usaha budidaya pertanian (on-farm) dan usaha non budidaya pertanian (off-farm). Untuk mendapatkan gambaran secara utuh tentang penerapan PUAP ini di Provinsi Sulawesi Tengah, telah dilakukan analisis secara kuantitatif dengan memanfaatkan data primer dan sekunder dari Dinas Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah, BPTP, Pusat Statistik (BPS), PMT Kabupaten di seluruh Provinsi Sulawesi Tengah, dan instansi terkait lainnya Hasilnya memperlihatkan bahwa Kabupaten Donggala memiliki nilai aset yang paling besar yaitu sebanyak Rp.13.616.307.000,- dengan jumlah Gapoktan sebanyak 126 dan anggota yang telah memanfaatkan dana PUAP sebanyak 10.020 orang. Sedangkan kabupaten yang memiliki nilai aset yang paling kecil adalah Kabupaten Sigi sebesar Rp.8.414.631.000,- dengan jumlah Gapoktan 80 dan anggota yang telah memanfaatkan dana PUAP sebanyak 12.322. Agar program ini lebih efektif disarankan agar pemerintah daerah mendukung kebijakan, pengadaan sarana prasarana dan insentif kepada kelompok tani sehingga terbentuk Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA).
ABSTRACT
Keywords: Agricultural sector, Venture capital, Strengthen, Farmer Group Institution of PUAP, LKM-A
Agricultural sector plays a main role in the national development such as for national food security purposing, as basic material for industries and as the foreign exchange. In this regards, venture capital is one of the obstacles for most of the Indonesian farmers in increasing their agricultural productivity. In order to solve this problem, Agricultural Department of the Republic of Indonesia has a program called “ Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)”. This idea is purposing to undertake problems faced by farmers by providing funding as much as one hundred million rupiah (Rp 100 juta) for every group of farmers (Gabungan Kelompok Tani or Gapoktan). The funding is to strengthen the venture capital for both on-farm and offfarm farmers’ activities. Qualitative analysis has been done by employed both primary and secondary data from Agricultural Department, Food Plant Agriculture and Horticulture Department BPTP, (BPS), PMT in the district of Sulawesi Tengah province, and other related institutions. The outcome of the analysis shows that Donggala District has the biggest asset which is Rp.13.616.307.000,-. This district has 126 Gapoktan includes 10.020 members has used the PUAP funding. On the other hand, Sigi District has the smallest amount of PUAP funding which is Rp.8.414.631.000,-. There are 80 group of farmers in this district but the interesting thing is 12.322 members have used PUAP funding. Support of local government is
221
crucially needed to make this program more effective namely by constructing policy, infrastructure, insentif for group of farmer so that LKMA could be realized. * Korespondensi Penulis, alamat e-mail:
[email protected]
222
PENDAHULUAN Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan pertanian berbasis agribisnis merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Ada beberapa faktor penting yang menyebabkan kesulitan dalam menilai dampak dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu tidak tepatnya dalam menetapkan sasaran, tidak berurutan waktu programnya, kurang pahamnya tenaga pemerintah dalam melaksanakan, termasuk korupsi, kurangnya persiapan tenaga dalam mendampingi program, kecilnya bentuk bantuan dan kurangnya informasi. Melihat kendala tersebut pemerintah berusaha untuk mengatasi dengan melakukan penekanan pada pembangunan daerah berbasis agribisnis perdesaan secara berkelanjutan. Untuk menunjang upaya tersebut, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan menggalakkan program-program pemberdayaan masyarakat, yaitu Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Progam PUAP merupakan program nasional dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran pada sektor pertanian. Melalui Program ini mempermudah petani dalam akses permodalan, karena pemerintah memberikan fasilitas berupa bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani yang dikoordinasi oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Bantuan dana berupa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). PUAP mulai dikucurkan pada tahun 2008 dengan maksud agar dana BLM-PUAP dapat mendorong perekonomian di pedesaan dan meningkatkan pendapatan petani sehingga petani keluar dari kemiskinan. Tujuan program PUAP antara lain: 1) Untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah. 2) Meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus Gapoktan, penyuluh dan penyelia mitra tani 3) Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis. 4) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan. Berdasarkan tujuan PUAP tersebut, maka ditetapkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor:273/Kpts/OT.160/4/2007 yang menjelaskan tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.
Pada dasarnya keputusan tersebut menjelaskan tentang upaya pengembangan kelompok tani yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dalam melaksanakan fungsinya terutama dalam peningkatan kemampuan para anggota, terutama dalam hal agribisnis. Pada akhirnya organisasi tersebut menjadi lebih terarah, profesional, dan mandiri. Untuk menindak lanjuti keputusan tersebut, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007 tentang Tim Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan menyebutkan bahwa Gapoktan merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pelaksana PUAP. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kinerja kelembagaan Gapoktan. Penilaian ini dilakukan oleh Tim Teknis PUAP yang ditetapkan melalui peraturan Kementerian Pertanian Nomor:29/Permentan/CT.140/5/20. Upaya ini merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi Gapoktan yang berprestasi dalam kerangka meningkatkan kinerja dan produktivitas usaha agribisnisnya yang sekaligus dapat mengelola dana PUAP melalui Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A). Penghargaan tersebut, sekaligus diharapkan untuk mendorong Gapoktan dalam meningkatkan kualitas serta kuantitas fungsi-fungsi sebagai kelembagaan tani pelaksana PUAP. Berbagai upaya pembinaan dan pendampingan yang dilakukan baik dari Tim Pelaksana PUAP maupun penyuluh pendamping dan Penyelia Mitra Tani (PMT) untuk meningkatkan kemampuan Gapoktan PUAP masih terus dilakukan. Meningkatkan kemampuan Gapoktan PUAP tersebut merupakan upaya dalam pengembangan kelembagaan Gapoktan, sehingga diharapkan Gapoktan PUAP dapat berperan serta berfungsi sebagai unit usaha tani, unit usaha pengolahan, unit usaha sarana dan prasarana produksi dan unit usaha keuangan mikro serta unit jasa penunjang lainnya, serta menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani sehingga mampu membentuk Gapoktan yang kuat dan mandiri yang menjadi wadah bagi kelompok tani dan para petani melakukan usaha agribisnis. Kegiatan evaluasi dalam pengembangan program PUAP merupakan proses untuk menyempurnakan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan, membantu dalam sistem perencanaan, penyusunan program dan system pengambilan keputusan yang bersifat antisipatif, sehingga di masa depan dapat dikembangkan program PUAP yang progresif dan dinamis. Model pembiayaannya dilakukan berdasarkan skema Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) yang dalam 223
pelaksanaannya didirikan, dimiliki dan dikelola sendiri oleh petani/masyarakat. Oleh karena itu kedepan keberadaan Lembaga Keuangan Mikro ini diharapkan dapat memperoleh modal pembangunan sector pertanian di Indonesia. Kemudian untuk evaluasinya menurut Suryahadi (2007) dibagi menjadi 2 jenis, yakni: menurut waktu pelaksanaan yangmerupakan evaluasi formatif dan evaluasi summative. Kemudian menurut tujuan terdiri atas: evaluasi proses, evaluasi biaya-manfaat, dan evaluasi dampak. Berdasarkan survei di Kabupaten bahwa ternyata pelaksanaan program PUAP pada Kabupaten belum berhasil, karena masih ada Gapoktan PUAP yang perkembangan dana PUAP belum mencapai tujuan dari program PUAP yaitu belum membentuk Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Oleh karena itu dilakukan evaluasi terkait kinerja Gapoktan PUAP dalam perkembangan dana PUAP dalam membentuk Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) yang tangguh, untuk itu perlu adanya contoh sebagai pembanding, supaya yang perkembangan dana pada Gapoktan PUAP di Kabupaten Grobogan tersebut yang belum berhasil dalam membentuk LKMA supaya dapat berhasil dalam membentuk LKMA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan suatu strategi alternatif PUAP yang dapat membantu Gapoktan PUAP di setiap provinsi di Indonesia dalam membentuk LKMA yang tangguh, sehingga pelaksanaan program PUAP dapat berhasil. KERANGKA TEORI Gambaran Umum Bentuk Bantuan Modal Pada Pertanian Bentuk program bantuan penguatan modal yang diperuntukkan bagi petani pertama kali diperkenalkan pada tahun 1964 dengan nama Bimbingan Massal (BIMAS). Tujuan dibentuknya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, meningkatkan penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara nasional. Dalam perjalanannya, program BIMAS dan kelembagaan kredit petani mengalami banyak perubahan dan modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebijakan (Hasan,1979 dalam Lubis 2005).Pada tahun 1985, kredit BIMAS dihentikan dan diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT) sebagai penyempurnaan dari sistem kredit massal BIMAS, dimana pola penyaluran yang digunakan pada saat itu adalah melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Sejalan dengan perkembangannya, ternyata pola yang demikian banyak menemui kesulitan, utamanya dalam 224
penyaluran kredit. Hal ini lebih disebabkan karena tingkat tunggakan pada musim tanam sebelumnya sangat tinggi. Namun dalam kenyataannya, banyak kelompok tani yang berada dalam wilayah KUD yang tidak menerima dana KUT, padahal mereka yang berada di wilayah KUD tersebut justru memiliki kemampuan yang baik dalam pengembalian kredit. Untuk mengatasi hal tersebut, tahun 1995 pemerintah mencanangkan skim kredit KUT pola khusus. Pada pola ini, kelompok tani langsung menerima dana dari bank pelaksana. Berbeda dari pola sebelumnya (pola umum) dimana kelompok tani menerima kredit dari KUD. Sepanjang perkembangannya, timbul masalah lain dalam penyaluran KUT yaitu terjadi tunggakan yang besar di sebagian daerah yang menerima dana program tersebut. Beberapa penyebab besarnya tunggakan tersebut antara lain karena rendahnya harga gabah yang diterima petani, faktor bencana alam, dan penyimpangan yang terjadi dalam proses penyaluran serta pemanfaatan dana tersebut. Salah satu contohnya adalah sebagian petani mengalihkan dana KUT dari yang tadinya untuk keperluan usaha tani, digunakan untuk keperluan konsumsi rumah tangga. Tahun 2008, pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mencanangkan program baru yang diberi nama Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP merupakan bagian dari pelaksanaan program PNPM-Mandiri melalui bantuan modal usaha dalam menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai dengan potensi pertanian desa sasaran. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri adalah program pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja. Jadi dapat dikatakan bahwa PUAP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Kebijakan Departemen Pertanian dalam pemberdayaan masyarakat diwujudkan dengan penerapan pola bentuk fasilitasi bantuan penguatan modal usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani. Operasional penyaluran dana PUAP dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada Gapoktan sebagai pelaksana PUAP untuk dalam hal penyaluran dana penguatan modal kepada anggota. Agar mencapai hasil yang maksimal dalam pelaksanaan PUAP, Gapoktan didampingi oleh tenaga penyuluh pendamping dan penyelia mitra tani, dan diharapkan dapat menjadi kelembagaan ekonomi yang dimiliki dan dikelola oleh petani (Deptan, 2008).
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Salah satu program kebijakan pembangunan pertanian dalam rangka pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan mewujudkan kesejahteraan petani dan perdesaan adalah Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Program PUAP merupakan program bantuan langsung masyarakat (BLM) sebagai implementasi dari program PNP Mandiri, beserta program lainnya seperti Primatani, DEATI, PIDRA, P4M2I, program Inpres Desa Tertinggal (IDT), program Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), Bantuan Perbenihan (BLBU), LM3, BMT, Desa Mandiri Pangan, dan sebagainya. Pada dasarnya tingkat kemiskinan suatu masyarakat berhubungan erat dengan kesenjangan distribusi pendapatan. Artinya, kesenjangan distribusi pendapatan berkorelasi positif dengan besarnya proporsi rumah tangga miskin pada suatu komunitas. Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) merupakan kebijakan pemerintah dalam mengalakan program pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Kegiatan PUAP merupakan bentuk fasilitasi bantuan modal kelompok tani/Gapoktan, yang selanjutnya akan diberikan kepada petani anggota,baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani sebagai bantuan modal dalam kegiatan usaha pertanian. Pemerintah memberikan bantuan modal untuk kegiatan usaha di bidang agribisnis yang sesuai dengan potensi pertanian desa sasaran, selain itu nantinya juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Pedoman Umum PUAP, 2008). Menurut Pedoman Umum PUAP (2012), Program ini menyalurkan dana Bantuan Langsung Mandiri (BLM) PUAP ke desa miskin terjangkau. Dana BLM-PUAP yang diterima masing-masing desa tersebut sebesar Rp 100 juta untuk mengembangkan agribisnis perdesaan melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Tujuan program PUAP yaitu: (1) Mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di pedesaan sesuai dengan potensi wilayah;(2) Meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus Gapoktan, penyuluh dan penyelia mitra tani;(3) Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis;(4) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan. Sasaran yang diharapkan dari program PUAP adalah; (1) Berkembangnya usaha agribisnis
di desa terutama desa miskin terjangkau sesuai dengan potensi pertanian desa;(2) Berkembangnya Gapoktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani untuk menjadi kelembagaan ekonomi;(3) Meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani atau peternak (pemilik dan atau penggarap) skala kecil, buruh tani;(4) Berkembangnya usaha agribisnis petani yang mempunyai siklus usaha harian, mingguan maupun musiman. Berdasarkan tujuan PUAP tersebut, maka ditetapkan Keputusan Menteri Pertanian (KEPMENTAN) Nomor:273/Kpts/OT.160/4/2007 yang menjelaskan tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani menyebutkan bahwa pengembangan kelompok tani diarahkan pada peningkatan kemampuan kelompok tani dalam melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan para anggota dalam mengembangkan agribisnis, penguatan kelompok tani menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri. Menindak lanjuti peraturan tersebut, pemerintah mengeluarkan peraturan dari Menteri Pertanian dengan Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007, mengenai Tim Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan yang terdiri dari Gapoktan yang merupakan kelembagaan tani pelaksana PUAP. Menunjang upaya tersebut, maka dilakukan penilaian untuk mengetahui kinerja kelembagaan Gapoktan. Penilaian ini dilakukan oleh Tim Teknis PUAP. Berdasarkan peraturan diatas untuk menunjang hal tersebut, maka di tetapkan peraturan Kementerian Pertanian Nomor : 29/Permentan/CT.140/5/2011. Upaya ini merupakan salah satu bentuk yaitu dengan memberikan penghargaan bagi Gapoktan yang terpilih sebagai Gapoktan berprestasi, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas usaha agribisnisnya sekaligus dapat mengelola dana PUAP melalui Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Penghargaan tersebut, diharapkan Gapoktan PUAP terdorong untuk meningkatka kualitas serta kuantitas fungsi-fungsi sebagai kelembagaan tani pelaksanaan PUAP (Pedoman Penilaian Gapoktan PUAP Berprestasi, 2011). METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Propinsi Sulawesi Tengah dengan pertimbangan bahwa lokasi ini merupakan salah satu propinsi yang sejak tahun 2008 mendapat dana bantuan permodalan bagi petani melalui program PUAP. Sementara ini dalam pelaksanaanya belum pernah dilakukan evaluasi secara maksimal pada hal secara nasional Propinsi Sulawesi Tengah akan diproyeksikan sebagai 225
lumbung padi. Atas dasar pertimbangan itu maka dilakukan penelitian untuk mengkaji perkembangan pelaksanaannya. Analisis Data Penelitian dilaksanakan selama tujuh bulan, terhitung mulai bulan Januari sampai Juli 2014 dengan memanfaatkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh berdasarkan kuisioner yang dikirimkan ke BPTP Sulawesi Tengah yang kemudian diteruskan ke masing-masing PMT di seluruh kabupaten. Sedangkan data sekunder diambil dari laporan PMT dan instansi terkait antara lain dari lembaga tingkat desa hingga kecamatan, Dinas Pertanian di Provinsi Sulawesi Tengah (Toli-Toli, Poso, Molowali, Sigi, Tojo Una-Una, dan Donggala),
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Sulawesi Tengah, Badan Pusat Statistik (BPS), dan instansi terkait lainnya. Sebanyak 582 Gapoktan yang memperoleh dana PUAP tahun 2008 -2013. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan PUAP Hasil penghitungan terhadap pelaksanaan program PUAP di propinsi Sulawesi Tengah memperlihatkan bahwa dari total 582 Gapoktan, terdapat 65.399 orang anggota yang telah memanfaatkan dana PUAP dengan total nilai asset sebesar Rp. 60.679.000- (Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah Dana PUAP di Kabupaten Sulawesi Tengah Hingga Akhir Tahun 2013 No
KABUPATEN
JLH GAPOKTAN
JUML ANGGOTA YANG TELAH MEMANFAATKAN DANA PUAP (ORG)
NILAI ASET YANG DIKELOLA S.D AKHIR 2013 (Rp. 000)
1 2
TOLI - TOLI POSO
80 97
10.531 13.022
8.782.000 9.574.147
3 4 5 6
MOROWALI SIGI TOJO UNA-UNA DONGGALA
106 80 93 126
11.365 12.322 8.139 10.020
10.603,000 8.414.631 9.689.852 13.616.307
582
65.399
60.679.937
JUMLAH
Sumber : Analisis Data Primer (2014) Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui bahwa Kabupaten Donggala, dari 126 jumlah Gapoktan yang tercatat, 10.200 orang diantaranya telah memanfaatkan dana PUAP dengan total asset sebesar Rp.13.616.307.000,- Dengan demikian ratarata per orang telah memanfaatkan dana sebesar Rp1.335.000. Berbeda dengan Kabupaten Sigi, dengan 80 Gapoktan, jumlah anggota yang memanfaatkan dana ini sebanyak 12.322 orang dengan total asset sebesar Rp. 12.322.000. Dengan demikian rata-rata per orang hanya separuhnya, yaitu sebesar Rp. 682,900.000. Jika kemudian di urutkan berdasarkan jumlah orang yang memanfaatkan, maka Kabupaten Poso yang terbanyak di ikuti Kabupaten Morowali, Toli-toli, Donggala dan Tojo una-una. Berdasarkan manajemen pengelolaannya dana keuangan diserahkan sepenuhnya kepada Gapoktan, yang selanjutnya dialokasikan ke masingmasing kelompok tani sesuai dengan rencana usaha dari masing-masing Kelompok. Penyusunan Rencana Usaha tersebut didasarkan atas
226
pertimbangan potensi di masing-masing daerah. Penerapan pengelolaan dana dilaksanakan dengan pendekatan simpan pinjam yang kemudian tingkat bunga pengembalian serta waktu pengembaliannya diseuaikan berdasarkan atas kesepakatan kelompok. Keragaan Kinerja Gapoktan Secara garis besar kinerja Gapoktan didasarkan atas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART) yang mengatur masalah-masalah vital yang harus dibuat pada awal organisasi tersebut dibentuk, antara lain mencakup landasan organisasi, perangkat-perangkat organisasi, peran dan fungsi organisasi, tujuan organisasi dan keuangan organisasi. Sedangkan ART secara teknis mengatur tatacara pelaksanaan sebuah organisasi, seperti wewenang ketua, pembubaran, syarat-syarat keanggotaan, dan lain-lain. Dengan demikian organisasi semacam Gapoktan ini harus mempunyai catatan-catatan tertulis tentang segala aktivitas organisasi yang tertata rapi.
Tabel 2. Kinerja Gapoktan di Provinsi Sulawesi Tengah
1
TOLI - TOLI
80
10.531
NILAI ASET YANG DIKELOLA S.D AKHIR 2013 (Rp. 000) 8.782.000
2 3 4
POSO MOROWALI SIGI TOJO UNAUNA DONGGALA
97 106 80
13.022 11.365 12.322
93 126 582
No
5 6
KABUPATEN
JUMLAH
JLH GAPOKTAN
JUML ANGGOTA YANG TELAH MEMANFAATKAN DANA PUAP (ORG)
KLASIFIKASI
5
JLH LKM-A 75
9.574.147 10.603.000 8.414.631
0 98 80
97 8 0
8.139
9.689.852
84
9
10.020 65.399
13.616.307 60.679.937
120 387
6 195
JLH USP
Sumber : Analisis Data Primer (2014) Hasil evaluasi kinerja terhadap 582 Gapoktan dari total 1.037 Gapoktan yang ada di provinsi Sulawesi Tengah menunjukan bahwa PUAP telah berhasil membentuk 195 LKM-A, sementara sisanya 387 unit masih dalam bentuk USP (Tabel 2). Masingmasing Kabupaten memiliki jumlah USP dan LKMA yang berbeda-beda. Misalnya Kabupaten Donggala tercatat memiliki 120 USP, jauh lebih besar dibandingkan dengan kabupaten Poso yang sama sekali tidak memiliki USP karena telah berhasil membentuk LKM-A. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a) Sebagian pengurus gapoktan kawatir apabila dana PUAP dikelola LKM-A akan terjadi penyimpangan; b) Sebagian pengurus gapoktan merasa belum siap dengan pembentukan LKM-A; c) Gapoktan belum banyak yang mengetahui tentang konsep LKM-A dan cara menjalankannya; d) Pemangku kepentingan dan pendamping masih belum sepenuh hati mendorong penumbuhan LKM-A karena belum ada petunjuk, arah dan dasar hukum yang jelas. Terkait dengan LKM-A adalah sebuah Lembaga Keuangan Mikro merupakan kelembagaan usaha yang mengelola jasa keuangan untuk membiayai usaha dalam skala mikro, baik berbentuk formal maupun non formal. Pembentukan lembaga ini diprakarsai oleh masyarakat atau pemerintah. Karena yang dituju adalah LKM bagi petani, maka usaha yang dimaksudkan juga usaha pertanian.10 Dalam hal ini, LKM-A yang dimaksudkan adalah merupakan lembaga keuangan mikro yang ditumbuhkan dari Gapoktan pelaksana PUAP dengan fungsi utamanya adalah untuk mengelola aset dasar dari dana PUAP dan dana keswadayaan angggota. 2
Beberapa faktor penting yang dipergunakan untuk mengukur kemajuan Gapoktan, menurut Bustaman et al (2011)11, adalah Gapoktan PUAP yang berpotensi membentuk kelembagaan ekonomi petani (LKM-A). Keberhasilan tersebut diukur melalui kriteria: (a) memiliki modal kelompok (iuran wajib, pokok, dan atau simpanan sukarela); (b) memiliki unit simpan pinjam dan unit usaha lainnya (sarana input, pengolahan, dan pemasaran hasil); (c) memiliki kantor yang terpisah dari rumah ketua Gapoktan; (d) menunjukkan peningkatan produktivitas, termasuk produksi dan pendapatan pelaku usahatani (penguatan modal petani); (e) mendapat dukungan Pemda Propinsi/Kabupaten atas usaha Gapoktan untuk mendirikan lembaga ekonomi petani/LKM-A (surat keputusan). Berdasarkan evaluasi kelembagaannya, kabupaten yang berhasil membentuk LKM-A terbanyak adalah Poso (sebanyak 97 unit), kemudian disusul kabupaten Toli – Toli. Sedangkan kabupaten Sigi sama sekali tidak berhasil membentuk LKM-A (Gambar 2). Keberhasilan Gapoktan PUAP di Kabupaten Poso dapat dibuktikan dari peningkatan jumlah anggota, nilai aset yang dimiliki dan telah memiliki LKM-A. Hal ini karena Gapoktan telah memiliki struktur organisasi, AD/ART dan rencana kerja. Petani penerima dana PUAP dipilih secara selektif oleh pengurus dan Gapoktan telah memiliki kerjasama dengan pemangku kepentingan. Berbeda dengan Gapoktan PUAP di Kabupaten Sigi yang ditunjukkan dari berkurangnya jumlah anggota serta tidak ditunjukkan adanya kenaikan nilai aset yang cukup signifikan. Besar kemungkinan hal ini disebabkan kurangnya kemampuan pengurus Gapoktan dalam memfasilitasi dan mengelola modal usaha anggota, kekeliruan persepsi dari anggota bahwa pinjaman 227
dana PUAP tidak perlu dikembalikan, dana pinjaman tidak digunakan sesuai kebutuhan usahanya. Seleksi dan verifikasi kurang memperhatikan kelayakan usaha anggota dan pembinaan serta pendampingan dari tim pembina dan tim teknis kurang intensif dilakukan.12 Kemitraan dan Badan Hukum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian dan UndangUndang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, Gapoktan PUAP yang telah berhasil membentuk LKM-A wajib memiliki Badan Hukum Koperasi atau Perseroan Terbatas (PT).
Pengurusan Badan Hukum LKM-A dapat dilakukan melalui notaris atau koperasi. Biaya pengurusan Badan Hukum melalui notaris relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan koperasi, namun kebanyakan petani masih belum dapat menerima LKM-A menjadi koperasi. Pada dasarnya prinsip pertumbuhan Gapoktan adalah kebebasan, kesempatan, keswakarsaan, partisipatif, keterpaduan, kemitraan dan keberlanjutan. Gapoktan bebas mengembangkan unit jasa/usaha otonom sesuai kebutuhan unit usaha tani, pengolahan, pemasaran, saprodi, simpanpinjam/keuangan mikro dan jasa penunjang lainnya.
KEMITRAAN KOPERASI AKTA NOTARIS
Gambar 1. Grafik Kemitraan dan Badan Hukum Gapoktan di Kabupaten yang Ada Di Provinsi Sulawesi Tengah Dari Gambar 1. dapat dilihat bahwa Kabupaten Donggala telah berhasil membangun hubungan kemitraan dengan pihak ke tiga sebanyak 22 unit dan memiliki 3 unit koperasi yang sudah berbadan hukum namun belum memiliki akta notaris. Kabupaten Toli - Toli berhasil membangun hubungan kemitraan dengan pihak ke tiga sebanyak 16 unit, belum memiliki koperasi yang sudah berbadan hukum namun sudah memiliki 6 unit akta notaris. Kabupaten Sigi berhasil membangun hubungan kemitraan dengan pihak ke tiga sebanyak 7 unit, belum memiliki koperasi yang sudah berbadan hukum dan hanya memiliki 1 unit akta notaris, Kabupaten Morowali berhasil membangun hubungan kemitraan dengan pihak ke tiga sebanyak 10 unit, memiliki 4 unit koperasi yang sudah berbadan hukum dan 4 unit akta notaris. Sedangkan kabupaten yang belum menjalin kemitraan dengan pihak lain yaitu Kabupaten Tojo Una-Una, namun sudah memiliki 1 unit koperasi yang berbadan hukum dan 2 unit yang memiliki akta notaris. Kabupaten Poso adalah kabupaten di 228
provinsi Sulawesi Tengah yang belum menjalin kemitraan dengan pihak lain, belum memiliki koperasi yang berbadan hukum dan belum memiliki akta notaris. Salah satu modal utama dalam kinerja pengelolaan LKM-A adalah kemitraan dengan pihak lain seperti pemerintah daerah, lembaga keuangan bank seperti Bank BRI maupun non bank seperti pengecer pupuk, pengusaha dan pengumpul jagung. Kemitraan dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam setiap kegiatan.13 . Aspek Ekonomi (Usaha) PUAP di Provinsi Sulawesi Tengah Penyaluran pinjaman dana PUAP dinilai melalui pelayanan Gapoktan dalam merealisasikan kegiatan simpan pinjam dan sejauh mana jangkauan pelayanan simpan pinjam mampu menyentuh kebutuhan para petani dalam menjalankan usaha taninya. Dana PUAP tersebut disalurkan pada anggota Gapoktan masing-masing dengan harapan dapat menambah modal usaha baik tanaman pertanian (pangan),
peternakan, perkebunan, maupun pengadaan sarana produksi pertanian. Keragaan alokasi penggunaan dana Gapoktan PUAP di provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2008-2013 berdasarkan jenis usahanya ialah usaha tani tanaman pangan (41%), peternakan (8%), perkebunan (28%), hortikultura (7%) dan off-farm (16%) yang disajikan pada Gambar 2. a. Budidaya pertanian (on farm)
Meliputi budidaya sub sektor tanaman pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor peternakan, dan sub sektor perkebunan. Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa sektor on-farm khususnya di sektor tanaman pangan, mendominasi pengajuan pinjaman kredit usaha. Hal ini dapat dilihat dari persentase pengajuan pinjaman dari Rencana Usaha Anggota (RUA). Kebanyakan para petani mempergunakan dana pinjaman tersebut untuk menambah modal usaha seperti pembelian pupuk dan bibit pada saat masa tanam.
Gambar 2. Persentase Usaha Produktif yang dibiayai PUAP di Provinsi Sulawesi Tengah Hingga Akhir Tahun 2013 Tabel 3. Alokasi Penggunaan dana PUAP Untuk Usaha Budidaya Pertanian di Provinsi Sulawesi Tengah Sampai Akhir Tahun 2013
No
1 2 3 4 5 6
KABUPATEN
TOLI TOLI POSO MOROWALI
SIGI TOJO UNA - UNA DONGGALA
JUMLAH
JUMLAH GAPOKTAN
JUML ANGGOTA YANG TELAH MEMANFAATKA N DANA PUAP (ORG)
ALOKASI PENGGUNAAN DANA UNTUK USAHA PRODUKTIF TANAMAN PANGAN (Rp.000)
PERKEBUNA N (RP.000)
HORTIKULTURA (Rp.000)
PETERNAK AN (Rp.000)
80
10.531
3.735.000
3.220.000
185.000
580.000
97
13.022
4.254.058
3.644.541
483.049
189.494
106 80
11.365 12.322
2.440.000 2.696.705
2.400.000 1.176.105
20.000 547.789
455.000 451.708
93
8.139
4.778.274
862.250
1.411.776
992.800
126
10.020
3.810.286
3.314.458
781.092
21.45.750
582
65.399
21.714,323
14,617,354
3.428.706
4.814.752
Sumber : Analisis Data Primer (2014) Pada sektor usaha budidaya pertanian (onfarm), jenis usaha yang paling banyak adalah usaha tani padi. Usaha tani padi ini merupakan usaha yang paling lama ditekuni yaitu sekitar 21-25 tahun. Hal ini dikarenakan usaha ini tidak hanya sekedar usaha
untuk memenuhi kebutuhan hidup melainkan sudah menjadi budaya masyarakat. b. Usaha Off Farm Non budidaya (Off farm), meliputi usaha industri rumah tangga pertanian/industri pengolahan hasil 229
pertanian, pemasaran skala kecil/bakulan dan usaha lain berbasis pertanian Penduduk di Provinsi Sulawesi Tengah sudah mulai melakukan kegiatan-kegiatan diluar pertanian (off-farm) sebagai penghasilan tambahan. Hal ini didorong karena adanya tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak dapat terus-menerus menggantungkan hidup dari hasil kegiatan budidaya seperti bertani yang harus menunggu beberapa bulan ke depan untuk memperoleh hasil. Maka dari itu mulai berkembang usaha-usaha non budidaya seperti usaha pengadaan saprotan, pengolahan, pengemasan, pengolahan tepung beras, pembuatan roti, pembuatan kue kering dan basah, dagang bakso, dagang sayuran dan buah, usaha warung sembako kecil-kecilan, serta pemasaran produk hasil pertanian. Usaha ini sudah banyak dilakukan oleh penduduk karena tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menikmati hasilnya. Kegiatan usaha ini banyak dilakukan oleh penduduk desa yang tidak memiliki lahan pertanian atau hanya memiliki sedikit lahan untuk ditanami tanaman pertanian. Usaha pengadaan saprotan ini
dikelola oleh gapoktan diprovinsi Sulawesi Tengah meliputi pengadaan benih dan pupuk. Saprotan ini dijual kepada para petani di desa dengan sistem pembayaran setelah panen. Sifat inovatif dan sifat kepemimpinan dari pengurus Gapoktan berhubungan positif dengan keberhasilan outcome dan dengan keberhasilan benefit. Hasil analisis berdasarkan alokasi penggunaan dana PUAP untuk usaha off farm yang ditunjukkan pada Tabel 4. Memperlihatkan bahwa jumlah dana hasil off farm sebesar Rp. 8.015.488.000,- (16%). Hasil analisis ini juga memperlihatkan bahwa pengurus Gapoktan di masing – masing kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah secara signifikan telah mampu meningkatkan kemampuan petani, buruh tani, dan tumah tangga tani dan Gapoktan sendiri untuk mengembangkan modal dan jenis usaha agribisnisnya, dan mampu membuka peluang usaha di bidang off farm, sehingga manfaat dari adanya program PUAP dapat dirasakan manfaatnya oleh petani, buruh tani, dan tumah tangga di lokasi program PUAP dilaksanakan.
Tabel 4. Alokasi Penggunaan dana PUAP Untuk Usaha Off Farm di Provinsi Sulawesi Tengah Sampai Akhir Tahun 2013 No
KABUPATEN
JLH GAPOKTAN
JUML ANGGOTA YANG TELAH MEMANFAATKAN DANA PUAP (ORG)
JUMLAH PERGULIRAN /PENYALURAN (berapa kali)
OFF-FARM (Rp.000)
1 2 3
TOLI - TOLI POSO MOROWALI
80 97 106
10.531 13.022 11.365
250 189 152
200.000 175.489 2.490.000
4
SIGI TOJO UNA UNA DONGGALA
80
12.322
380
2.682.685
93
8.139
186
126
10.020
47
1.212.414
JUMLAH
582
65.399
1.204
8.015.488
5 6
1.254.900
Sumber : Analisis Data Primer (2014) Strategi Alternatif PUAP Strategi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) pada dasarnya ditujukan untuk: a. Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola PUAP, yang dapat dilaksanakan melalui: i) Pelatihan bagi petugas pembina dan pendamping c. PUAP; ii) Rekrutmen dan pelatihan bagi Penyuluh dan PMT; iii) Pelatihan bagi pengurus Gapoktan; dan iv) Pendampingan bagi petani oleh penyuluh dan PMT. b. Optimalisasi potensi agribisnis di desa miskin dan tertinggal, dilaksanakan melalui: 230
i Identifikasi potensi desa; ii Penentuan usaha agribisnis (hulu, budidaya dan hilir) unggulan; dan iii Penyusunan dan pelaksanaan RUB berdasarkan usaha agribisnis unggulan. Menguatkan modal petani kecil, buruh tani dan rumah tangga tani miskin kepada sumber permodalan, dilaksanakan melalui: i) Penyaluran BLM PUAP kepada pelaku agribisnis melalui Gapoktan; ii) Fasilitasi pengembangan kemitraan dengan sumber permodalan lainnya.
d. Melakukan pendampingan bagi Gapoktan, dilaksanakan melalui: i) Penempatan dan penugasan Penyuluh Pendamping di setiap gapoktan; dan ii) Penempatan dan penugasan PMT di setiap kabupaten/kota. PENUTUP Dari hasil pengkajian diperoleh bahwa Kabupaten Donggala memiliki nilai aset yang paling besar yaitu sebanyak Rp.13.616.307.000,- dengan jumlah Gapoktan sebanyak 126 dan anggota yang telah memanfaatkan dana PUAP sebanyak 10.020 orang. Sedangkan Kabupaten yang memiliki nilai aset yang paling kecil adalah Kabupaten Sigi yaitu sebesar Rp.8.414.631.000,- dengan jumlah Gapoktan sebanyak 80 dan anggota yang telah memanfaatkan dana PUAP sebanyak 12.322 orang. Dari data tersebut terbukti bahwa sifat inovatif dan sifat kepemimpinan dari pengurus Gapoktan berhubungan positif dengan keberhasilan outcome dan dengan keberhasilan benefit dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya LKM-A yang sukses. Pemerintah Daerah diharapkan dapat memberikan fasilitasi dalam pemupukan modal, kepemilikan badan hukum, pembentukan asosiasi gapoktan, dan penyiapan langkah exit strategy keberlanjutan program PUAP. Bapeluh atau BP4K dapat menjadi leading agency dan menjadikan program PUAP sebagai program unggulan daerah. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak Sjahrul Bustaman, M.Si dari BBP2TP atas bimbingannya dalam penulisan KTI.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Penumbuhan Dan Pengembangan Kelompok Tani Dan Gabungan Kelompok Tani. Jakarta: Departemen Pertanian RI Elfindri, 2005, Kajian Tingkat Kemiskinan di Pedesaan dan Perkotaan Sumatera Barat, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, Lembaga Pengkajian Ekonomi Pembangunan (LPEP), Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang. Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 2013. Jakarta: Kementerian Pertanian. 40 hlm. Peraturan Menteri Pertanian No. 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman
Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok tani dan Gabungan Kelompok tani. Keputusan Menteri Pertanian (KEPMENTAN) Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007 Tentang Pembentukan Tim Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 29/Permentan/OT.140/5/2011 Tanggal: 30 Mei 2011. Pedoman Penilaian Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Pengembangan Usaha Agribisnis Usaha Agrbisnis iPedesaan (PUAP) Berprestasi Tahun Anggaran 2011. Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2011. Pedoman Penilaian Gapoktan PUAP Berprestasi. Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian. BBP2TP dan Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2013. Data base Gapoktan PUAP 20082011. Kerja Sama BBP2TP dengan Direktorat Pembiayaan Kementerian Pertanian. Pasaribu dkk. (2011). Penentuan Desa Calon Lokasi PUAP 2011 dan Evaluasi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Bogor. Suryahadi, Asep. (2007). Kumpulan Bahan Latihan Pemantauan Evaluasi Program-Program Penanggulangan Kemiskinan. Modul 4 : Persyaratan dan Unsur-unsur Evaluasi yang Baik. Bappenas,Jakarta. www.ditpk.bappenas.go.id Bustaman, S., M. Mardiharini, A. Djauhari., S.S. Tan. 2011. Pengkajian Pola dan Metode Rating Gapoktan PUAP (Grade A, B, C) Dalam Upaya Meningkatkan Hasil Komoditas Unggulan (Padi, Sapi Potong dan Kakao) > 20 % Melalui Percepatan Adopsi Teknologi Pertanian. Laporan Hasil Pengkajian (belum dipublikasi). Hendayana, R. 2011. Penguatan modal petani pada gabungan kelompok tani penerima BLM PUAP. hlm 13-24. Dalam K.Subagyono, R. Hendayana, S. Bustaman (Penyunting). Petani Butuh Modal. Badan Litbang Pertanian. Suprapto. A. 2012. Pokok-pokok bahasan terhadap pelaksanaan PUAP. Makalah disampaikan pada workshop PUAP di Botani Square 8 Agustus 2012. Permentan No 81/Permentan/OT.140/8/2013. Pedoman pembinaan kelompok tani (Poktan) 231
dan gabungan kelompok tani (Gapoktan). 26 Agustus 2013.
232
Manajemen Resiko Rantai Pasok Komoditas Padi (Oryza sativa) di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Risk Management Of The Agribusiness Supply Chain On Commodity Paddy (Oryza Sativa ) In Indramayu District West Java Tetep Ginanjar 1), Tomy Perdana1), Eddy Renaldi1) Pusat Studi Rantai Pasok dan Sistem Logistik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Kata Kunci: Manajeman resiko, agen resiko, rantai pasok, aksi mitigasi resiko
Sumber mata pencaharian penduduk Indonesia sebagian besar berada pada sector pertanian. Selain itu, sector pertanian pun berada pada posisi kedua setelah sector industry pengolahan sebagai penyumpang PDB terbesar. Walaupun demikian, sector pertanian masih menghadapi beberapa kendala, terutama aspek pembiayaan. Secara nasional, kredit yang disalurkan pada sektor pertanian sangat rendah dibandingkan total kredit perbankan, yaitu hanya sekitar 5,54% saja. Dari total kredit perbankan sector pertanian, hanya sekitar 4,3 % saja yang diserap subsector pangan (BI, 2013). Rendahnya total kredit perbankan terhadap sector pertanian salah satunya disebabkan tingginya risiko di sector pertanian yang dihadapi bank maupun debitur. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan identifikasi resiko dan upaya mitigasinya. Hal ini untuk memberikan informasi bagi bank/kreditur mengenai resiko dalam sector pertanian serta cara meninimimalisasinya. Meningkatnya pemahaman pihak kreditur mengenai aksi mitigasi risiko dalam rantai pasok dan proses bisnis yang dilakukan di sektor pertanian, akan meningkatkan kepercayaan serta keyakinan pihak kreditur dalam memberikan pembiayaan kepada pelaku usaha di sektor pertanian. Penelitian dilakukan di Kabupaten Indramayu yang merupakan sentra produksi padi di Provinsi Jawa Barat dan sekaligus di Indonesia. Dalam mencapai tujuan penelitian, digunakan alat pemetaan Value Stream Mapping dan House of Risk (HOR). Rantai pasok padi di Kabupaten Brebes melibatkan petani, bandar, dan pengusah RMU (Rice Milling Unit). Dari hasil analisis teridentifikasi 8 titik kritis risiko di tingkat RMU, 3 titik kritis risiko di tingkat bandar, dan 3 titik kritis risiko di tingkat petani disertai aksi mitigasi resiko di masing-masing pelaku.
ABSTRACT
Keywords: risk management, risk agent, supply chain, mitigation risk actions
The largest Indonesian livelihood is came from agricultural sector. Futhermore, the agricultural was to be second position after the processing industry as the largest contributors to GDP. Nevertheless, the agricultural still faces several obstacles, especially in financing aspects. Nationally, lending to the agricultural is very low if it's compared with total bank credits. Credits to agricultural amounted only 5,54% from total bank credits as much as 4,3% devoted to foods (BI, 2013). The lowest of total bank credits for agricultural is due to the high risks of agricultural to the faced of banks or other credit institutions. Based on this case, it is necessary to efforts of risk identified and mitigation. That is to give information to the bank or crediturs about risk agricultural sector and how to minimize that risk. The increasing of crediture comprehention about risk mitigation in agricultural supply chain business will be increased of credibility from creditures to give some credits to the farmers and the other of agriculturalists. This research conducted in Indramayu district as one of the largest paddy producer in West java and indonesia. To achieve the aim of this research, used research instruments value stream mapping and house of risk (HOR). Paddy supply chain in indramayu district involve farmers, middleman, and rice milling unit. This analysis was identified 8 critical points of risk in RMU, 3 critical points of risk in middleman, and 3 critical points of risk in farmers which is accompanied with mitigation risk for each actors.
* Korespondensi Penulis, alamat e-mail:
[email protected]
233
PENDAHULUAN Sumber mata pencaharian penduduk Indonesia sebagian besar berada pada sector pertanian. Sekitar 40 Juta orang (35 %) penduduk Indonesia bermata pencaharian di sector pertanian. Selain itu, sector pertanian pada triwulan III tahun 2014 berada pada posisi kedua (15,25% %) setelah sector industry pengolahan (23,35 %) sebagai penyumpang PDB terbesar (BPS, 2014). Hal ini menunjukan bahwa sector pertanian memegang peranan yang sangat strategis dalam perekonomian nasional. Walaupun demikian perkembangan sector pertanian mengalami banyak kendala. Kendala-kendala tersebut berada pada aspek penerapan teknologi budidaya pertanian, penanganan pascapanen, informasi pasar dan pemasaran, serta aspek permodalan. Aspek permodalan merupakan persoalan klastik yang dihadapi para pelaku di sector pertanian, terutama para petani. Data statistik kredit perbankan menunjukkan bahwa secara nasional kredit yang disalurkan pada sektor pertanian sangat rendah dibandingkan total kredit perbankan, Namun menunjukkan peningkatan. Pada akhir tahun 2010, kredit pada sektor pertanian sebesar Rp85,0 triliun atau 4,97% dari total kredit perbankan. Namun pada akhir 2013, kredit sektor pertanian meningkat menjadi Rp174,4 triliun atau 5,54%. Tabel 1. Perkembangan Kredit Perbankan Sektor Pertanian (Triliun Rp) Keterangan
2010
2011
2012
2013
Total Kredit Perbankan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Persentase (%)
1.711,7
2.117,5
2.585,1
3.146,1
85,0
107,9
139,9
174,4
4,97
5,09
5,41
5,54
Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) Berdasarkan Tabel 1, apabila dilihat secara lebih mendalam kepada masing-masing sub sektor pertanian, maka pangsa kredit terbesar masih didominasi oleh sektor perkebunan yang pada akhir tahun 2013 mencapai Rp145,0 triliun atau 83,2% dari total kredit pertanian. Sementara penyaluran kredit pada sub sektor pangan pada periode yang sama hanya sebesar Rp7,3 triliun atau 4,2% dari total kredit pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa akses keuangan untuk produksi pertanian, di luar sub sektor perkebunan, bukan merupakan hal yang mudah. Salah satu subsector pertanian yang memiliki realisasi penyaluran kredit rendah, yaitu subsector 234
pangan, terutama komoditas beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Hasil penelitian Bank Indonesia (2011) menyebutkan bahwa salah satu penyebab rendahnya akses keuangan untuk produksi pertanian yaitu tingginya risiko di sector pertanian yang dihadapi bank maupun debitur. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan identifikasi resiko dan upaya mitigasinya. Hal ini untuk memberikan informasi bagi bank/kreditur mengenai resiko dalam sector pertanian serta cara meninimimalisasinya. Meningkatnya pemahaman pihak kreditur mengenai risiko dalam rantai pasok dan proses bisnis yang dilakukan di sektor pertanian akan meningkatkan kepercayaan serta keyakinan pihak kreditur dalam memberikan pembiayaan kepada pelaku usaha di sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena melalui pemahaman terhadap risiko yang mungkin terjadi di dalam usaha yang dibiayai akan memungkinkan pihak kreditur untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor pertanian yang selama ini dianggap memiliki risiko tinggi. METODE PENELITIAN Penelitian studi kasus ini menggunakan desain kasus tunggal terjalin dengan pertimbangan bahwa pada objek penelitian yaitu rantai pasok dan risiko rantai pasok. Dalam rantai pasok diperlukan analisis perorangan dalam proses penelitian. Analisis perorangan yang dimaksud adalah melihat bagaimana peranan dan dampak setiap pelaku/link dalam rantai. Selanjutnya tahap penting dalam desain penelitian kasus tunggal ini diperlukan unit analisis. Unit analisis yang dipilih dituangkan dalam teknik penelitian. Teknik penelitian yang digunkanan dalam desain kasus tunggal ini adalah deskriptif kualitatif dengan dipadukan dengan uji kuantitatif. Sumbersumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian melalui wawancara langsung dengan informan. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari buku, majalah, penelusuran internet, jurnal, lembagalembaga terkait, dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini. Data/informasi yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data/informasi yang digunkan adalah teknik wawancara, teknik observasi, dan studi kepustakaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Rantai Pasok Komoditas Padi di Kabupaten Indramayu Berdasarkan gambar, dapat diketahui para pelaku dalam sistem rantai pasok beras di Kabupaten Indramayu. Dalam sistem rantai pasok tersebut, terdiri dari anggota primer dan anggota pendukung. Anggota primer terdiri dari para pelaku utama dalam sistem rantai pasok yang terdiri dari RMU (Rice Milling Unit), Bandar. dan petani. Sedangkan anggota pendukung meliputi Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian (BKP3) Kab. Indramayu, Balai Penyuluhan Pertanian di masingmasing kecamatan, PT. Syngenta, PT. Pertani, kioskios pertanian, bank, Bulog, dan pedagang pasar induk.
2. Manajemen Resiko Rantai Pasok Padi di Kabupaten Indramayu Agen desiko dalam rantai pasok padi terlebih dahulu diidentikasi pada setiap pelaku. Setelah diketahui agen resikonya, dilakukan pemilihan agen resiko prioritas. Pemilihan agen risiko prioritas diperlukan, karena tidak semua agen risiko mendapatkan sebuah penanganan. Hal tersebut dilakukan salah satunya karena faktor biaya yang dibutuhkan untuk penanganan dan dampak yang ditimbulkan terlalu kecil. Pemilihan agen risiko prioritas sesuai dengan Hukum Pareto (80:20). Menurut Kontur (2008), pada aplikasi hukum pareto, risiko 80 persen kerugian disebabkan oleh hanya 20 persen risiko yang krusial. Jika 20 persen risiko krusial tersebut dapat ditangani, maka pelaku bisnis dapat menghindari 80 persen kerugian.
Gambar 1. Alur Rantai Pasok Komoditas Padi di Kabupaten Indramayu
Manajemen Resiko Rantai Pasok Padi di Kabupaten Indramayu Agen desiko dalam rantai pasok padi terlebih dahulu diidentikasi pada setiap pelaku. Setelah diketahui agen resikonya, dilakukan pemilihan agen resiko prioritas. Pemilihan agen risiko prioritas diperlukan, karena tidak semua agen risiko mendapatkan sebuah penanganan. Hal tersebut dilakukan salah satunya karena faktor biaya yang dibutuhkan untuk penanganan dan dampak yang ditimbulkan terlalu kecil. Pemilihan agen risiko prioritas sesuai dengan Hukum Pareto (80:20). Menurut Kontur (2008), pada aplikasi hukum pareto, risiko 80 persen kerugian disebabkan oleh hanya 20
persen risiko yang krusial. Jika 20 persen risiko krusial tersebut dapat ditangani, maka pelaku bisnis dapat menghindari 80 persen kerugian. Setelah diketahui agen prioritas, dilakukan upaya mitigasi untuk mengatasinya. Aksi mitigasi resiko yang diperoleh kemudian didiskusikan dengan pelaku untuk mengetahui skala tingkat kesulitan (Dk) dalam realisasi mitigasi tersebut. Setelah diketahui skala tingkat kesulitannya, dilakukan perhitungan effectiveness to difficulty ratio of action (ETD). Aksi mitigasi dengan nilai ETD tertinggi merupakan aksi yang paling efektif dan memungkinkan untuk dilakukan.
235
a. Manajemen Risiko Rantai Pasok Padi di Tingkat RMU 1) Pengukuran Risiko Rantai Pasok di Tingkat RMU Tabel 2. Perhitungan Pareto Agen Risiko Rantai Pasok di Tingkat RMU
Berdasarkan Tabel 2 terdapat delapan agen risiko yang masuk kedalam kategori prioritas. Agen risiko kategori prioritas memiliki andil sebesar 82 % dari total dampak risiko yang dialami oleh RMU. Oleh karena itu, penanganan risiko dilakukan pada agen risiko yang termasuk kedalam kategori prioritas. Sumber Risiko Prioritas Terjadinya perselisihan pembagian sumber air (irigasi) disekitar lokasi produksi (A13)
2) Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok di Tingkat RMU Hasil diskusi menunjukan bahwa terdapat 7 aksi mitigasi yang dapat dan telah dilakukan untuk meminimalisasi agen risiko. Aksi mitigasi tersebut adalah sebagai berikut:
Pasar induk memiliki standarisasi produk yang tinggi (A6)
Tabel 3. Aksi Mitigasi Agen Resiko di Tingkat RMU AGENT CODE
ARP
A10 A11 A14 A2 A4 A3 A13 A6 A1 A7 A5 A9 A12 A8
3150 3150 2611 1778 1638 1350 1040 924 920 837 832 810 540 48 22162
RANK
% ARP
% KUM ARP
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
14.2% 14.2% 11.8% 8.0% 7.4% 6.1% 4.7% 4.2% 4.2% 3.8% 3.8% 3.7% 2.4% 0.2% 100%
14.2% 28.4% 40.2% 59.7% 67.1% 73.1% 77.8% 82.0% 86.2% 89.9% 93.7% 97.3% 99.8% 100.0%
Sumber Risiko Prioritas SDM lalai saat mengolah gabah, mengoperasikan mesin, dan mencatat (A10) Cuaca tidak menentu (intensitas hujan terlalu tinggi) sehingga pasokan gabah tidak stabil dan kualitas gabah rendah (A11)
CATEGORY
PRIORITAS
NON PRIORITAS
Modal kurang (A2)
Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan Pengembangan akses pembiayaan Pengembangan infrastruktur irigasi
Jalur distribusi yang jauh dan rawan macet (A4) Pembayaran dari pedagang pasar induk macet (A3)
Tabel 4. Daftar Hasil Penilaian Skala Tingkat Kesulitan Aksi Mitigasi Kode
Off farm: pengembangan gudang dan pengering On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif Pengembangan infrastruktur irigasi Penggunaan logistik multimodal
P1 P2 P3 P4
Penggunaan logistik multimodal Penggunaan logistik multimodal Pengembangan akses pembiayaan Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan akses pembiayaan Penggunaan logistik multimodal Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
Penggunaan logistik multimodal On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif Off farm: pengembangan gudang dan pengering Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan akses pembiayaan
3) Aksi Mitigasi Resiko yang Efektif di Tingkat RMU Terdapat 7 (tujuh) aksi mitigasi untuk RMU dalam rantai pasok padi di Kabupaten Indramayu. Masing-masing aksi mitigasi tersebut memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda setelah dilakukan verfikasi dengan RMU.
Aksi Mitigasi Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan
Kondisi jalan yang rusak (A14)
Aksi Mitigasi Pengembangan infrastruktur irigasi
P5 P6 P7
Difficulty of Performing Action K (DK)
Aksi Mitigasi On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif Off farm: pengembangan gudang dan pengering Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
Pengembangan akses pembiayaan Pengembangan infrastruktur irigasi Penggunaan logistik multimodal
H(5) H(5) H(5) M(4)
M(4) M(4) H(5)
Selanjutnya dilakukan perhitungan effectiveness to difficulty ratio of action (ETD) yaitu sebagai berikut
Tabel 5. Tabel Perhitungan ETD Aksi Mitigasi di Tingkat RMU Risk P1 Mitigation Risk Agent Priority A10 A11 9 A14 A2
236
P2
P3 3 9 3
P4 9 3 3 9
P5
3 1 3
P6 3 3 3 9
P7
9 9
ARP 3 3 9 9
3150 3150 2611 1778
Risk Mitigation A4 A3 A13 A6 Te Dk ETD Ranking
P1
P2
P3
9 1 38634 5 7727 7
1 3 3 9 60258 5 12052 5
1 9 3 9 86859 5 17372 3
Berdasarakan nilai ETD pada tabel diatas, maka urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan memungkinkan untuk dilakukan RMU yaitu : 1) Pengembangan akses pembiayaan (P5) 2) Penggunaan logistik multimodal (P7) 3) Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan (P3) 4) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan (P4) 5) Off farm: pengembangan gudang dan pengering (P2) 6) Pengembangan infrastruktur irigasi (P6) 7) On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif (P1) b. Manajemen Risiko Rantai Pasok Padi di Tingkat Bandar 1) Pengukuran Risiko Rantai Pasok di Tingkat Bandar Tabel 6. Perhitungan Pareto Agen Risiko Rantai Pasok di Tingkat Bandar AGENT CODE A8
ARP
RANK
%ARP
% KUM ARP
3360
1
24.7%
24.7%
A2
3248
2
23.9%
48.6%
A3 A4 A1 A9 A6 A7 A5
3032 1386 1044 546 540 282 162 13600
3 4 5 6 7 8 9
22.3% 10.2% 7.7% 4.0% 4.0% 2.1% 1.2% 100.0%
70.9% 81.1% 88.8% 92.8% 96.7% 98.8% 100.0%
P4
P5
1 9 9 9 48859 4 12214.8 4
9 9 9 9 87303 4 21825.8 1
P6
P7
47472 4 11868 6
9 9 9 3 97425 5 19485 2
3
ARP 1638 1350 1040 924
7
Tabel 7. Aksi Mitigasi Agen Resiko di Tingkat Bandar Risk Agent Cuaca yang tidak menentu (intensitas hujan terlalu tinggi) (A8)
Modal untuk membeli gabah kurang (A2)
Pembayaran yang dari RMU macet (A3)
KATEGORI
Aksi Mitigasi Off farm: pengembangan gudang dan pengering Konsolidator, Pendampingan sistem industri perberasan, Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan infrastruktur irigasi Penggunaan logistik multimodal Konsolidator, Pendampingan sistem industri perberasan, Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan akses pembiayaan Penggunaan logistik multimodal Konsolidator, Pendampingan sistem industri perberasan, Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan akses pembiayaan
PRIORITAS
NON PRIORITAS
Berdasarkan Tabel 4 terdapat tiga agen risiko yang masuk kedalam kategori prioritas. Agen risiko kategori prioritas memiliki andil sebesar 70,9 % dari total dampak risiko yang dialami oleh bandar. Oleh karena itu, penanganan risiko dilakukan pada agen risiko yang termasuk kedalam kategori prioritas. 2) Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok di Tingkat Bandar Hasil diskusi menunjukan bahwa terdapat 7 aksi mitigasi yang dapat dan telah dilakukan untuk meminimalisasi agen risiko. Aksi mitigasi tersebut adalah sebagai berikut:
3) Aksi Mitigasi Resiko yang Efektif di Tingkat Bandar Terdapat 7 (tujuh) aksi mitigasi untuk Bandar dalam rantai pasok padi di Kabupaten Indramayu. Masing-masing aksi mitigasi tersebut memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda setelah dilakukan verfikasi dengan bandar. Tabel 8. Daftar Hasil Penilaian Skala Tingkat Kesulitan Aksi Mitigasi di Tingkat Bandar Kode P1 P2 P3
Aksi Mitigasi On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif Off farm: pengembangan gudang dan pengering Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan
Difficulty of Performing Action K (DK) M(4) H(5) M(4)
237
Kode P4 P5 P6 P7
Difficulty of Performing Action K (DK)
Aksi Mitigasi Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan akses pembiayaan Pengembangan infrastruktur irigasi Penggunaan logistik multimodal
L(3) L(3)
Selanjutnya dilakukan perhitungan effectiveness to difficulty ratio of action (ETD) yaitu sebagai berikut
L(3) M(4)
Tabel 9. Tabel Perhitungan ETD Aksi Mitigasi di Tingkat Bandar Risk P1 P2 P3 P4 Mitigation Risk Agent Priority A8 1 9 9 9 A2 1 9 9 A3 1 3 9 9 Te 6392 42584 86760 86760 Dk 4 5 4 3 ETD 1598 8516.8 21690 28920 Rangking 7 6 3 1
Berdasarkan nilai ETD pada tabel diatas, maka urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan memungkinkan untuk dilakukan bandar yaitu : a) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan (P4) b) Pengembangan akses pembiayaan(P5) c) Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan (P3) d) Penggunaan logistik multimodal (P7) e) Pengembangan infrastruktur irigasi (P6) f) Off farm: pengembangan gudang dan pengering (P2) g) On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif (P1) c. Manajemen Risiko Rantai Pasok Padi di Tingkat Petani 1) Pengukuran Risiko Rantai Pasok di Tingkat Petani Tabel 10. Perhitungan Pareto Agen Risiko Rantai Pasok di Tingkat Petani AGENT CODE A2 A4 A6 A3 A1 A5 A7 TOTAL
ARP 2700 1765 888 750 630 84 84 6901
% ARP 39.12 25.58 12.87 10.87 9.13 1.22 1.22 100
% ARP KUMULATIF 39.12 64.7 77.57 88.44 97.57 98.79 100
P6 3 9 9 66600 3 22200 2
P7 9 3 39984 3 13328 5
ARP 9 9 3 68568 4 17142 4
3360 3248 3032
karena itu, penanganan risiko dilakukan pada agen risiko yang termasuk kedalam kategori prioritas. 2) Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok di Tingkat Petani Terdapat 7 aksi mitigasi yang dapat dan telah dilakukan untuk meminimalisasi agen risiko. Aksi mitigasi tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 11. Aksi Mitigasi Agen Resiko di Tingkat Petani Risk Agent
Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu (A2)
KATEGORI PRIORITAS NON PRIORITAS
Berdasarkan Tabel 10 terdapat tiga agen risiko yang masuk kedalam kategori prioritas. Agen risiko kategori prioritas memiliki andil sebesar 77,57 % dari total dampak risiko yang dialami oleh petani. Oleh 238
P5
Pengetahuan petani rendah (A4)
Aksi Mitigasi Revisi On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif Konsolidator, Pendampingan sistem industri perberasan, Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan akses pembiayaan Pengembangan infrastruktur irigasi Penggunaan logistik multimodal Konsolidasi, Pendampingan sistem industri perberasan, Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan akses pembiayaan Pengembangan infrastruktur irigasi Penggunaan logistik multimodal
Risk Agent Ego para petani (A6)
Aksi Mitigasi Revisi On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif Konsolidasi, Pendampingan sistem industri perberasan, Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan akses pembiayaan
4) Aksi Mitigasi Resiko yang Efektif di Tingkat RMU Masing-masing aksi mitigasi tersebut memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda setelah dilakukan verfikasi dengan petani. Tabel 12. Daftar Hasil Penilaian Skala Tingkat Kesulitan Aksi Mitigasi Difficulty of Kode Aksi Mitigasi Performing Action K (DK) On farm : Pengembangan P1 M(4) Teknologi budidaya adaptif Off farm: M(4) pengembangan P2 gudang dan pengering Konsolidasi dan H(5) pendampingan P3 sistem industri perberasan Konsolidasi P4 kelembagaan, pasar M(4) dan pembiayaan Pengembangan akses L(3) P5 pembiayaan Pengembangan L(3) P6 infrastruktur irigasi Penggunaan logistik P7 H(5) multimodal
Selanjutnya dilakukan perhitungan effectiveness to difficulty ratio of action (ETD). Berdasarakan nilai ETD pada tabel diatas, maka urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan memungkinkan untuk dilakukan petani yaitu : 1. Pengembangan akses pembiayaan (P5) 2. Pengembangan infrastruktur irigasi (P6) 3. Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan (P4) 4. Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan (P3) 5. On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif (P1) 6. Penggunaan logistik multimodal (P7)
7. Off farm: pengembangan gudang dan pengering (P2) KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Sistem rantai pasok padi di Kabupaten Indramayu terdiri dari petani, bandar, RMU, pedagang pasar induk, calo, hingga konsumen langsung. 2. Titik kritis resiko pada rantai pasok padi dapat diidentifikasi dari setiap pelaku dalam rantai pasok tersebut, yaitu sebagai berikut : a) Titik kritis resiko di tingkat RMU yaitu : 1) SDM lalai saat mengolah gabah, mengoperasikan mesin, dan mencatat, 2) cuaca tidak menentu (intensitas hujan terlalu tinggi) sehingga pasokan gabah tidak stabil dan kualitas gabah rendah, 3) kondisi jalan yang rusak, 4) modal kurang, 5) jalur distribusi yang jauh dan rawan macet, 6) pembayaran dari pedagang pasar induk macet, 7) terjadinya perselisihan pembagian sumber air (irigasi) disekitar lokasi produksi, dan 8) pasar induk memiliki standarisasi produk yang tinggi. b) Titik kritis resiko di tingkat bandar yaitu : 1) Cuaca yang tidak menentu (intensitas hujan terlalu tinggi), 2) modal untuk membeli gabah kurang, dan 3) pembayaran yang dari RMU macet. c) Titik kritis resiko di tingkat petani yaitu : 1) perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu, 2) Pengetahuan petani rendah, dan 3) ego para petani. 3. Hasil perhitungan effectiveness to difficulty ratio of action (ETD), menunjukan urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan memungkinkan untuk dilakukan oleh masing-masing pelaku yaitu sebagai berikut : a) Urutan aksi mitigasi yang paling efektif untuk dilakukan RMU yaitu : 1) Pengembangan akses pembiayaan. 2) Penggunaan logistik multimodal. 3) Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan. 4) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan. 5) Off farm: pengembangan gudang dan pengering. 6) Pengembangan infrastruktur irigasi.
239
7) On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif. b) Urutan aksi mitigasi yang paling efektif untuk dilakukan bandar yaitu : 1) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan. 2) Pengembangan akses pembiayaan. 3) Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan. 4) Penggunaan logistik multimodal. 5) Pengembangan infrastruktur irigasi. 6) Off farm: pengembangan gudang dan pengering. 7) On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif. c) Urutan aksi mitigasi yang paling efektif untuk dilakukan petani yaitu : 1) Pengembangan akses pembiayaan. 2) Pengembangan infrastruktur irigasi. 3) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan. 4) Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan. 5) On farm : Pengembangan Teknologi budidaya adaptif. 6) Penggunaan logistik multimodal. 7) Off farm: pengembangan gudang dan pengering. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan sebagai berikut:
1. Perlu dibangun skema pembiayaan yang sesuai dengan kondisi pelaku rantai pasok. Sebaiknya pembiayaan diberikan kepada petani, bandar, dan RMU yang berada dalam satu rantai pasok yang sama untuk meminimalisir resiko. 2. Perlu dibangun hubungan antar pelaku yang baik, agar terjalin kerjasama dan kepercayan yang baik antar pelaku pada rantai pasok. 3. Koperasi/gapoktan perlu menyediakan sarana produksi yang dibutuhkan oleh petani, sehingga petani mendapatkan akses yang mudah terhadap penyedia saprodi resmi. 4. Pemerintah perlu menetapkan batas harga dasar bagi komoditas padi untuk menanggulangi risiko kerugian petani akibat harga gabah yang anjlok.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. Distribusi Persentase PDB Triwulan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha. 2000-2014. Badan Pusat Statistik. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama. 2004-2014. Sumber internet : - Bank Indonesia. Melalui:<www.bi.go.id.> [3/4/2014] Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2009 – 2013. Melalui:<www.pertanian.go.id.>[6/6/2014]
Tabel 13. Tabel Perhitungan ETD Aksi Mitigasi di Tingkat Petani Risk P1 Mitigation Risk Agent Priority A2 9 A4 3 A6 9 Te 37587 Dk 4 ETD 9396.75 Rangking 5
240
P2
P3 1
2700 4 675 7
P4 9 9 9 48277 5 9655.4 4
P5 9 9 9 48177 4 12044.25 3
P6 9 9 9 48177 3 16059 1
P7 9 9 1 41073 3 13691 2
ARP 9 9 3 42849 5 8569.8 6
2700 1765 888
Model Hubungan Petani Pemilik dan Petani Penggarap Dalam Pengembangan Padi Organik (Studi Kasus Pada Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya) Relationship Model of Farmer and Sharecropper in Organic Paddy Development (Case Study in Cidahu Farmer Group, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya) Elena Yanti K.Y.S, Yayat Sukayat 1Departemen
Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padajdjaran
ABSTRAK
Kata Kunci: Padi Organik, Hubungan, Petani Penggarap
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model hubungan petani pemilik dan penggarap dalam pengembangan padi organik. Penelitian dilakukan di Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Subjek penelitian ini adalah petani pemilik, petani penggarap, pengurus Kelompok Tani Cidahu, BPP. Metode yang digunakan kualitatif dengan teknik study kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara langsung, studi kepustakaan, kemudian data yang diperoleh kemudian dianalisis. Hasil dari penelitian ini bahwa model hubungan pemilik dan penggarap di Kelompok Tani Cidahu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) model hubungan pertukaran yang didorong oleh prinsip R>C, 2) model hubungan keseimbangan nilai karena adanya pertalian darah antara pemilik dan penggarap, 3) model hubungan propinquiti yang tercipta karena kedekatan tempat tinggal antara kedua petani.
ABSTRACT
Keywords: Organic Paddy, Relationship, Sharecropper
The aim for this research is to know the model of farmer- peasant relationship for the organic paddy devoloping. This research did in Kelompok Tani Cidahu, Mekarwangi Village, Cisayong Subdistrict, Tasikmalaya District. Subjects of this research are farmers, peasants/share-coppers, crews in Cidahu Farm Group, BBP. This research used a qualitative method along with case study technique. The data was collected through observations, interviews, and literature study, then was later analyzed From the results of the research show that the the model of farmer-peasent relationship can be devided in three models, i.e: 1)exchange relastionship model with based on R>C, 2)value balance model based on the ties of blood kinship/genealogic, 3) propinquity model based on the nearness of both of domicile.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
[email protected]
241
PENDAHULUAN Petani dalam pertanian adalah salah satu sumberdaya yang penting, selain lahan modal dan manajemen (Shinta, 2011). Petani dalam pertanian dapat dikelompokkan menjadi petani lapisan atas, menengah dan miskin berdasarkan modal berupa lahan yang dimiliki (Fingki, 2013). Jumlah petani saat ini mencapai 31.705.337 orang dan jumlah petani pertanian pangan kurang lebih 20.399.139 (BPS, 2013). Adanya lapisan petani ini membuat petani berusaha untuk saling bekerjasama dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya khususnya bagi petani penggarap yang bergantung kepada petani pemilik dalam memenuhi kebutuhan lahan. Pada hubungan kerja sama antara petani pemilik dan penggarap ini akan terjadi pertukaran kekuasaan tanah ataupun lahan. Lahan yang awalnya dikuasai penuh oleh pemilik sekarang berbagi dengan penggarap. Hubungan ini juga didorong dengan adanya reward dan cost, ketika petani pemilik meminjamkan lahannya untuk penggarap maka akan
ada suatu imbalan yang diharapkam oleh petani pemilik, dan begitu sebaliknya petani penggarap juga berharap keuntungan beruapa matapencaharian dari tenaga yang dia keluarkan. Pertukaran ini terjadi ketika adanya perbedaan struktur sosial petani, yaitu adanya pemilik dan penggarap yang menimbulkan keseimbangan antara kedua petani (Jhonson, 1990). Hubungan antara petani pemilik dan penggarap ini juga terjadi di usahatani padi organik. Usahatani padi organik saat ini sangat menguntungkan, pada tahun 2002 pemerintah mendukung pertanian organik dengan mengeluarkan program “Go Organic 2010” (Departemen Pertanian Indonesia, 2002). Lokasi pengembangan padi organik salah satunya berada di Jawa Barat di Kabupaten Tasikmalaya sejak tahun 2002 dan saat ini produknya sudah mencapai pasar ekspor. Adanya petani-petani yang sudah berpengalaman dan bertahan dalam mengembangkan padi berdampak positif bagi pertanian padi organik di Tasikmalaya.
Tabel 1. Perkembangan Padi Organik di Tasikmalaya Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tanam (ha) KonvenOrganik sional 125.078 346 98.456 691 115.685 1.180 115.123 5.074 111.141 5.472 130.322 5.539 126.958 8.755 122.024 8.693
Panen (ha) KonvenOrganik sional 120.201 346 103.825 691 108.170 1.180 103.636 5.074 111.494 5.472 131.989 4.040 127.602 8.493 112.135 7.562
Produksi (ton) KonvenOrganik sional 648.740 2.587 574.568 2.708 653.888 12.277 658.171 25.802 711.220 45.631 851.351 31.412 823.422 67.089 747.087 59.619
Produktivitas (kw/ha) KonvenOrganik sional 53,97 74,77 55,34 78,26 60,45 75,83 63,51 73,80 63,79 77,20 64,50 77,74 64,53 78,60 66,62 78,84
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya (2013) Petani pertanian organik di Tasikmalaya bergabung dalam Gapoktan Simpatik yang dibentuk sebagai wadah untuk memasarkan padi organik dan wadah belajar usahatani padi organik. Kelompok tani yang bergabung dalam Gapoktan ini ada 11 kelompok tani, jumlah 410 petani laki-laki dan 111 petani perempuan dengan luas lahan 377,67 ha yang telah disertifikasi IMO. Kecamatan Cisayong adalah salah satu daerah yang menjadi tempat produksi padi organik yaitu di Desa Mekarwangi. Ada empat kelompok tani yang terdapat di Desa Mekarwangi yaitu Kelompok Tani Batu Ampar, Kelompok Tani Makmur, Kelompok Tani Cidahu, Kelompok Tani Sejahtera. Kelompok Tani Cidahu adalah salah satu kelompok tani yang menjadi tempat pertama kali penerapan padi organik dan yang sampai saat ini bertahan memproduksi padi organik di Desa Mekarwangi. Beberapa anggota Kelompok Tani Cidahu ini juga sudah lama 242
mengusahakan padi organik dan terdapat tokoh petani yang telah sudah mahir dalam memproduksi padi organik. Petani padi organik di Kelompok Tani Cidahu ini mayoritas status kepemilikan lahannya adalah sebagai penggarap, yang pemilik lahannya ada di dusun tersebut maupun di luar dusun Cidahu. Menurut data BPP Cisayong bahwa persentasi pemilik dan penggarap adalah 40% dan 60 %. Keuntungan yang cukup tinggi baik dalam hal perbaikan kualitas lahan dan keuntungan dalam produktifitas ketika mengusahakan usahatani padi organik ini akan mempengaruhi hubungan pemilik dan penggarap tersebut, ketika hasil usahatani meningkat, maka penggarap akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dan begitu juga pemilik. Usahatani padi organik tidak sama dengan pertanian padi konvensional yang menggunakan pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik pada padi
organik lebih membutuhkan usaha dan keinginan kuat dari petani. Pada kondisi ini jika petani pemilik tidak memberikan dukungan maka petani penggarap cenderung mau kembali pada penggunaan sistem konvensional lagi. Banyaknya petani penggarap dibandingkan petani pemilik di Kelompok Tani Cidahu yang
mengusahakan padi organik membuat penulis tertarik meniliti bagaimana model hubungan petani pemilik dan penggarap dalam pengembangan usahatani padi organi di Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat
Julah Pengiriman
EKSPOR BERAS ORGANIK GAPOKTAN SIMPATIK KABUPATEN TASIKMALAYA 90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 -
Negara USA Negara Malaysia Negara Jerman
Negara Singapura Negara Dubai
Negara Belanda 2009
2010
2011
2012
2013
2014
Negara Italia
Tahun Pengiriman
Sumber: Gapoktan Simpatik 2014 Keterangan 2014 merupakan angka sementara Gambar 1. Grafik Ekspor Beras Organik Tasikmalaya (2009-2014) METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dan yang menjadi objek penelitian adalah hubungan petani pemilik dan penggarap. Desain penlitian yang digunakan adalah desain penelitian kualitasti sesuai dengan kondisi alamiah (natural setting) dan menggunakan teknik penelitian studi kasus (case study). Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data primer yang diperoleh langsung melalui observasi di lapangan dan wawancara mendalam dan data sekunder dari studi literatur, jurnal, dokumendokumen dari lembaga ataupun instansi yang terkait. Data yang diperoleh langsung dilapangan dari informan sebagai berikut: petani pemilik, petani penggarap, pengurus Kelompok Tani Cidahu, pengurus Gapoktan Simpatik, badan penyuluh pertanian Kecataman Cisayong.
PEMBAHASAN Model Hubungan Petani Pemilik dan Petani Penggarap Model hubungan pemilik dan penggarap dalam pengembangan padi organik di Kelompok tani organik dapat dibedakan menjadi tiga bentuk. Pada setiap model ini petani pemilik dan penggarap mendapatkan hasil dari lahan mereka milik dan usahakan dengan sistem bagi hasil atau maro, dengan perbandingan 50:50 antara petani pemilik dan petani penggarap, setelah pengurangan biaya produksi dari hasil panen seluruhnya. Perbedaan dalam setiap model yang dipaparkan di bawah adalah hal yang mendasari mereka melakukan hubungan. Model Pertukaran Model hubungan pertukaran petani pemilik dan penggarap terjadi karena adanya perjanjian atau kesepakatan dari awal antara penggarap untuk menggarap lahan petani petani. Kesepatakan ini didorong adanya reward dan cost dari kerjasama kedua petani tersebut. Reward adalah hal-hal positif yang berguna dalam meningkatkan hubungan petani 243
pemilik dengan penggarap berupa keuntungan dari hasil lahan. Cost adalah hal-hal yang dikorbankan dalam sebuah hubungan untuk mencapai keuntungan tersebut, hal ini dapat menjadi hal negatif dalam hubungan petani. Petani pemilik dalam hubungan ini memperoleh reward karena lahan yang dimilikinya dapat digarap oleh petani penggarap dan memperoleh hasil lahan tanpa harus mengusahakannya, sedangkan costnya berupa lahan dipinjamkan tersebut. Bagi petani penggarap reward yang diperoleh adalah ia memiliki kesempatan untuk menggarap lahan untuk menjadi mata pencahariannya dalam memenuhi kebutuhan seharihari dan cost yang ia korban adalah tenaga, sarana produksi lain. Kedua petani ini akan memiliki hubungan yang baik dan panjang jika R > C, yaitu ketika kedua petani ini memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang mereka keluarkan, sehingga dalam hal ini reward dapat menutupi besarnya cost maka jalinan hubungan antara kedua petani ini akan langgeng. Teori pertukaran menurut Homans menyebutkan ada cost dan reward ataupun dalam bahasa sehari-harinya disebut dengan hak dan kewajiban yang dikorban dan diperoleh. Pada hubungan patron dan klien di Kelompok Tani Cidahu ini terdapat juga hak dan kewajiban pemilik dan penggarap dalam hubungan yang dijalani. Tabel 17. Pembagian Reward/Hak dan Cost/Kewajiban antara pemilik dan penggarap Hak dan Pemilik Penggarap Kewajiba n Hak 1. Menerima 1. Menerima tenaga dari seluas lahan penggarap untuk untuk digarap mengolah lahan tanpa ada miliknya penentuan menanam komoditas tertentu 2. Menerima 2. Menjadi hak kembali tanah milik yang utuh jika waktu ½ hasil panen menggarap dari lahan sudah selesai tersebut. ataupun penggarap tidak lagi menggarap lahan tersebut 3. Menerima ½ 3. Sebagian dari hasil panen penggarap lahan miliknya mendapatkan sarana produksi dari pemilik
244
4. Menerima kepercayaan/tru st dari penggarap Kewajiba 1. Menyediakan n lahan untuk diusahakan oleh penggarap
4.
Menerima kepercayaan/tru st dari pemilik.
1.
Memberikan tenaga untuk mengerjakan lahan sebaikbaikinya Memberikan ½ dari hasil panen lahan tersebut.
2. Membayar 2. pajak tanah yang digarapkan ke orang lain 3. Ikut mengalami 3. kerugian jika hasil panen dari penggarap lebih sedikit dari biasanya.
4. Sebagian menyediakan sarana produksi bagi penggarap
4.
Menyerahkan kembali tanah pemilik jika waktu menggarap sudah selesai ataupun penggarap tidak lagi menggarap lahan tersebut Sebagian besar penggarap mengusahakan sendiri sarana produksi yang digunakan dalam usahatani tersebut
Sumber: Hasil Wawancara Dengan Patron dan Klien Model Keseimbangan Model hubungan keseimbangan atau kesamaan nilai ini terbentuk karena adanya hubungan pertalian darah/Geneologis yang mengikat petani pemilik dan penggarap. Adanya ikatan kekeluargaan ini menimbulkan empati, ikatan perasaan yang mendalam oleh pemilik dan penggarap lahan, sehingga mempermudah kedua belah pihak untuk melakukan hubungan. Pada kelompok tani Cidahu umumnya bentuk ikatan relasional ini seperti hubungan orangtua dengan anak, hubungan pertalian persaudaraan (sepupu), dll. Pemilik yang mungkin adalah orangtua ataupun saudara membantu anak ataupun sepupu/saudara dengan meminjamkan lahan mereka untuk digarapkan. Pada model hubungan keseimbangan nilai ini sebelumnya antar petani sudah memiliki rasa kepercayaan/trust sehingga mudah bagi keduanya untuk membuat komitmen untuk mendukung jalannya usahatani padi organik ini, karena sudah ada relasi yang baik sebelumnya. Pada hubungan keseimbangan nilai ini juga diterapkan sistem bagi hasil seperti yang dilakukan petani pemilik dan penggarap lainnya, hasil panen
padi organik dibagi dua kepada pemilik dan penggarap. Pada penerapan hubungan keseimbangan nilai di Kelompok Tani Cidahu ada dua macam, pertama pemilik memberikan bantuan untuk memulai usaha tani seperti benih, pupuk, kemudian dari hasil panen lahan tersebut langsung dibagi dua hasilnya. Kedua adalah semua modal awal untuk menyediakan input produksi berasal dari penggarap, kemudian setelah panen hasil panen yang diperoleh dikurangkan dengan biaya usahatani yang dikeluarkan dan kemudian sisanya dibagi dua kepada pemilik dan penggarap. Model Kedekatan tempat tinggal (Propinquity) Model hubungan antara petani pemilik dan peggarap ini dapat terjadi karena kedekatan tempat tinggal atau domisili diantara kedua petani ini. Kedekatan tempat tinggal ini menciptakan hubungan yang positif karena antara kedua petani memiliki ruang yang sama dan kesempatan untuk lebih sering melihat, menemui dan melakukan interaksi sosial hingga membuat hubungan antar petani semakin erat. Efek propinquity ini akan membuat petani pemilik dapat membantu petani penggarap yang merupakan tetangganya. Pada peribahasa sunda disebutkan “Akur jeung batur sakasur, batur sadapur, batur sasumur, batur salembur” ini merupakan tradisi sunda yang artinya dimana dalam ikatan suami istri saling tolong menolong (sakasur), ikatan dalam satu keluarga yaitu antara orangtua dengan anak ataupun saudara saling tolong menolong (sadapur), ikatan antar tetangga dengan tetangga dalam wilayah yang berdekatan yang saling tolong menolong (sasumur), ikatan antara orang yang tinggal dalam satu dusun, kampung yang saling tolong menolong (salembur). Implikasinya dalam hubungan pemilik dan penggarap dimana kedua petani ini yang hidup berdekatan dapat menjalin kehidupan sosial dan saling mendukung satu sama lain. Efek propinquity di Kelompok Tani Cidahu memiliki efek positif dalam pengembangan usahatani padi organik tersebut. KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari penelitian model hubungan petani pemilik dan penggarap dalam pengembangan padi organik di Kelompok tani Cidahu adalah: 1. Hubungan antara pemilik dan penggarap berlaku R>C. Penggarap merasa diuntungkan dengan adanya kesempatan dan peluang untuk menggarap lahan yang hasil lahannya dapat menjadi sumber matapencaharian dari penggarap. Demikian juga dengan pemilik
merasa diuntungkan karena lahan yang ia miliki digarap oleh orang lain dan ia memperoleh hasil tanpa melakukan usahatani. 2. Hubungan antara pemilik dan penggarap menganut azas keseimbangan nilai, hubungan tersebut di dorong karena antara kedua petani masih ada ikatan darah (Geneologis). 3. Hubungan antara pemilik dan penggarap terjadi karena didasarkan oleh kedekatan tempat tinggal SARAN Peran kedekatan secara emosional antara petani pemilik dan penggarap perlu lebih diterapkan dalam pengembangan usahatani padi organik di Kelompok Tani Cidahu. Kedekatan ini akan meningkatkan kepedulian, kepercayaan dan komitmen keduanya pada saat melakukan kerja sama dalam usahatani padi organik. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistika. 2013. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Melalui
[04/20/2014] Badan Pusat Statistika. 2014. Sensus Pertanian 2013. Melalui [04/09/2014] Fingki Ardiansyah. 2013. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pengembangan Petani di Desa Ciaruteun Ilir. Skripsi Sarjana Sains. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Haryanto Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial Dari Klasik Hingga Postmodern. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media. Johnson Paul Doely. 1990. Teori Sosoiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Pt Grmadeia Pustka Utama. Junizar Arya Pinandita, 2013. Profil Petani Padi Organik SRI Studi Kasus Petani pada Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Skripsi Sarjana Pertanian Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Kementrian Pertanian. 2002. “Prospek Pertanian Organik di Indonesia.” Melalui [03/24/2014] Shinta Agustina. 2011. Ilmu-ilmu Usahatani. Universitas Brawijaya Press. 245
246
Efektivitas Iklan Melalui Media Sosial (Website) Sebagai Media Promosi CV Cihanjuang Inti Teknik Dengan Menggunakan EPIC Model Effectiveness of Advertising Through Social Media (Website) as Promotion in CV Cihanjuang Inti Teknik Using EPIC Model Ni Luh Putu Diyasani Belawi1*, Rani Andriani Budi Kusumo1 1Universitas
Padjajaran, Sumedang,
ABSTRAK
Kata Kunci: Efektivitas EPIC Model Periklanan Promosi
Periklanan digital mulai menjadi tren di era internet ini. Website merupakan salah satu media sosial terluas dan tercepat untuk menyebarkan suatu informasi melalui internet. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui penggunaan media sosial di CV Cihanjuang Inti Teknik, 2) mengetahui efektivitas iklan melalui media sosial (website) sebagai media promosi pada CV Cihanjuang Inti Teknik. Penelitian dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuesioner kepada 30 responden di gerai CV Cihanjuang Inti Teknik dan 30 responden melalui online pada website CV Cihanjuang Inti Teknik dengan menggunakan teknik accidental sampling. Variabel yang diteliti untuk mengukur efektivitas adalah empati, persuasi, dampak, dan komunikasi. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa CV Cihanjuang Inti Teknik menggunakan media sosial untuk promosi melalui facebook dan website. Dari total skor rataan seluruh pendapat responden atas didapat hasil 4,17 untuk pertanyaanpertanyaan yang mengukur dimensi empati, 4,25 untuk dimensi persuasi, 4,04 untuk dimensi dampak dan 4,13 untuk dimensi komunikasi. Nilai EPIC Rate 4,15, nilai tersebut menunjukan bahwa secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa iklan produk “Hanjuang” dinilai efektif.
ABSTRACT
Keywords: Effectiveness EPIC Model Advertising Promotion
Digital advertising began to be a trend in this era of the internet. Website is one of the largest and fastest growing social media to disseminate information through the Internet. The purpose of this study is 1) to use social media in CV Cihanjuang Inti Teknik, 2) determine the effectiveness of advertising through social media (website) as a media campaign on the CV Cihanjuang Inti Teknik. The study was conducted by interviewing and distributing questionnaires to 30 respondents in outlets CV Cihanjuang Inti Teknik and 30 respondents through an online CV Cihanjuang Inti Teknik using accidental sampling technique. Variables examined to measure the effectiveness is empathy, persuasion, impact and communications. Results of research conducted showed that CV Cihanjuang Inti Teknik using social media for promotion through facebook and website. Of the total skor rataan of the entire opinion of respondents has result 4.17 for the questions that measure dimensions of empathy, 4.25 for dimensional persuasion, 4.04 to 4.13 for the dimensions of the impact and dimension of communication. EPIC Rate value is 4.15, this value indicates that overall it can be concluded that the advertising product "Hanjuang" considered effective.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
247
PENDAHULUAN Periklanan digital mulai menjadi tren di era internet ini. Perkembangan internet sangat pesat di dunia, hal ini disebabkan karena internet tidak mengenal kalangan untuk menggunakannya, dari yang muda hingga yang tua dapat menggunakan internet dengan mudah. Menurut We Are Social4 dalam survei “2014 Asia-Pasific Digital Overview” memperlihatkan bahwa penduduk Indonesia yang menggunakan internet sebanyak 71,2 juta orang dari total populasi penduduk Indonesia sebanyak 251,2 juta orang. Dan dari 71,2 juta orang tersebut yang menggunakan media sosial adalah 70 juta orang. Media sosial merupakan media online, yang membuat para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi. Menurut Kaplan dan Haelien (2009) media sosial merupakan "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content". Media sosial ini meliputi website, blog, jejaring sosial seperti facebook, twitter, instagram, dll. Website merupakan media sosial terluas dan tercepat untuk menyebarkan informasi. Menurut survei dan statistik Pingdom5 pada “Internet 2012 in Number”, terdapat 634 juta jumlah website hingga Desember 2012 dan sebanyak 51 juta jumlah website yang baru dibuat selama tahun 2012. Dari data survei diatas cukup terlihat bahwa semakin banyak individu maupun perusahaan yang mulai menggunakan website untuk menginformasikan produk dan jasanya. CV Cihanjuang Inti Teknik juga mempromosikan produk bandrek dan bajigurnya
melalui iklan di website. Website CV Cihanjuang Inti Teknik yaitu www.hanjuang.com ini telah beredar sejak pertengahan tahun 2006. CV Cihanjuang Inti Teknik melakukan perubahan dalam periklanan melalui media sosial website agar lebih efektif untuk mempromosikan produk bandrek dan bajigur tersebut. Fenomena promosi baru ini menjadi suatu dasar pemikiran untuk meneliti efektivitas iklan melalui media sosial agar dapat memberi gambaran efektif atau tidaknya iklan yang dilakukan oleh perusahaan CV Cihanjuang Inti Teknik.
4
lebih cepat dan lebih dapat diandalkan. telah menerima kepercayaan dari pengguna lebih dari 500.000 di lebih dari 200 negara termasuk Spotify, Microsoft, Instagram, Twitter, Ebay, GitHub, MailChimp, dan banyak lagi. (https://www.pingdom.com/about/)
We Are Social merupakan sebuah lembaga yang berdiri pada Juni 2008 bergerak di bidang global conversation berlokasi di Singapura (http://wearesocial.sg/who/) 5 Pingdom merupakan perusahaan situs web dan pemantauan kinerja didedikasikan untuk membuat web
248
KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP Perkembangan teknologi yang semakin maju, khususnya internet memberikan fasilitas dan segala kemudahannya dengan media sosial. Salah satunya adalah website. Maraknya pengguna website memudahkan para penggunanya untuk mendapatkan informasi. Salah satu pelaku industri makanan dan minuman yang melihat peluang tersebut adalah CV Cihanjuang Inti Teknik (CINTEK) yang berlokasi di Kota Cimahi, Jawa Barat. CV Cihanjuang Inti Teknik melakukan kegiatan promosi salah satunya dengan menggunakan iklan melalui website. Efektif tidaknya iklan yang telah dijalankan pada CV Cihanjuang Inti Teknik tersebut dapat diketahui dengan mengukur kinerja iklan melalui EPIC Model (Empathy, Persuation, Impact, Communication). Dengan demikian, tingkat efektivitas efektivitas iklan melalui media sosial (website) sebagai media promosi CV Cihanjuang Inti Teknik dapat diketahui. Kerangka Pemikiran Konseptual pada penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Gambar 1. Kerangka Pemikiran OBJEK DAN TEMPAT PENELITIAN Objek pada penelitian ini adalah efektivitas iklan melalui media sosial (website) sebagai media promosi CV Cihanjuang Inti Teknik. Penelitian ini dilakukan pada konsumen CV Cihanjuang Inti Teknik, mereka telah membeli produk bandrek dan bajigur CV Cihanjuang Inti Teknik. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan dasar pertimbangan bahwa CV Cihanjuang Inti Teknik merupakan salah satu UKM di Jawa Barat yang memproduksi produk olahan minuman tradisional yaitu bandrek dan bajigur dengan kemasan yang menarik dan merupakan salah satu UKM yang tergolong sukses di Cimahi yang telah menerima banyak penghargaan baik dalam skala nasional maupun skala regional. Selain itu, belum pernah dilakukan penelitian dengan topik yang sama di CV Cihanjuang Inti Teknik ini. DESAIN DAN TEKNIK PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah berupa desain kualitatif dengan teknik penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case studi) karena penyelidikan yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta yang ada pada informan dengan melakukan wawancara langsung kepada
responden dengan menggunakan suatu alat analisis yaitu kuisioner. DEFINISI DAN OPERASIONALISASI VARIABEL Karakteristik konsumen CV Cihanjuang Inti Teknik yaitu gambaran mengenai keadaan konsumen yang membeli produk CV Cihanjuang Inti Teknik. Adapun variabelnya adalah usia, jenis kelamin, status marital, pendidikan terakhir, pekerjaan, pendapatan, dan EPIC Model (Empathy, Persuation, Impact, Communication). SUMBER DATA DAN CARA MENENTUKANNYA Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kualitatif yang terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden melalui wawancara langsung dengan sumber yang terpecaya. Data sekunder diperoleh dari literatur kepustakaan, catatan, maupun dokumen dari instansiinstansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Kementrian Industri, internet dan referensi kepustakaan lainnya. Teknik yang digunakan dalam memilih sampel adalah Purposive sampling dengan menggunakan teknik Accidental Sampling yang
249
didasarkan pada kemudahan (convenience). Sampel dapat terpilih karena berada pada waktu, situasi, dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah, 2006). TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah obsevasi, wawancara, dan studi literatur. RANCANGAN ANALISIS DATA Analisis deskriptif ini merupakan metode analisis data dimana peneliti mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis, dan menginterpretasikan data untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Efektivitas iklan yang berkaitan dengan pengingatan dan persuasi daoat diukur melalui EPIC Model yang dikembangkan oleh AC. Nielsen, salah satu perusahaan peneliti pemasaran terkemuka di dunia (Durianto, 2003) mencakup empat dimensi kritis, yaitu Empathy, Persuation, Impact, dan Communication. Kemudian dari keempat dimensi tersebut, data dianalisis dengan menggunakan skor rata-rata berbobot, yaitu setiap jawaban respoden diberikan bobot. Cara menghitung skor adalah menjumlahkan seluruh hasil kali nilai masing-masing bobotnya dibagi dengan jumlah total frekuensi (Durianto, 2003). Σƒi . wi X= Σƒi Keterangan : X = rata-rata berbobot Ƒi = frekuensi wi = bobot Langkah selanjutnya adalah menggunakan rentang skala. Penilaian untuk menentukan posisi tanggapan responden dengan menggunakan nilai skor setiap variabel. Bobot alternatif jawaban yang terbentuk dari teknik skala peringkat dengan menggunakan skala antara 1 hingga 5 yang menggambarkan posisi sangat negatif ke positif yang sangat positif. Rentang skala dihitung dengan rumus sebagai berikut (Durianto, 2003).
Skala yang digunakan adalah skala likert, yaitu skala 1 hingga 5, maka rentang skala penilaiannya adalah sebesar 0,8. Hal ini didapat dari hasil rumus berikut: 5–1 Rs = = 0,8 5 Rentang skala (Rs) tersebut kemudian digunakan ke dalam rentang skala keputusan sebagai bahan pengambilan keputusan dari hasil analisis EPIC Model. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rentang Skala Keputusan EPIC Model Kriteria Rentang Skala Sangat Tidak Efektif 1,00 – 1,80 Tidak Efektif 1,81 – 2,60 Cukup Efektif 2,61 – 3,40 Efektif 3,41 – 4,20 Sangat Efektif 4,21 – 5,00 Sumber: Durianto dkk, (2003) Langkah terakhir adalah menentukan nilai EPIC Rate dengan rumus sebagai berikut (Durianto, 2003). XE+XP+XI+XC EPIC Rate = N Keterangan : N = Banyaknya variabel rataan berbobot HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PROFIL USAHA CV Cihanjuang Inti Teknik berdiri pada tahun 1998 oleh Eddy Permadi. Pada awalnya CV Cihanjuang Inti Teknik memulai usaha pembuat alat dan mesin produksi, pupuk, dan pengecoran logam. Pada tahun 2000 perusahaan ini mulai merintis pengolahan makanan dan minuman dengan menggunakan hasil dari daerah sekitar. Tanggal 3 Agustus 2000 Cihanjuang Inti Teknik memperoleh izin usaha yang sah dengan bentuk Perusahaan. Pada tanggal 23 Agustus 2005 dengan Akte Notaris Ny. Gina Riswara Koswara, S.H. Nomor 24, memperoleh izin usaha dengan bentuk badan, yaitu Perseroan Comanditer atau “CV. Cihanjuang Inti Teknik”.
R Rs = M Keterangan : Rs = rentang skala R = bobot terbesar – bobot terkecil M = banyaknya kategori bobot 250
Gambar 2. Logo Perusahaan
4.2 KARAKTERISTIK KONSUMEN Karakteristik konsumen pada CV Cihanjuang Inti Teknik adalah berjenis kelamin, pria dengan pada gerai 53,30% dan pada online 66,70%, berusia 31-39 tahun dengan 31,67% dan pada gerai sebanyak 33,30% konsumen berusia >40 tahun, berstatus sudah menikah, yaitu pada gerai 97,30% dan online 56,70%, berpendidikan sarjana dengan pada gerai sebesar 43,40% dan pada online sebesar 50,00%, bekerja sebagai pegawai swasta sebanyak 56,70% pada gerai dan 33,30% pada online, dan berpendapatan Rp.1.800.000 – Rp. 2.500.000 sebanyak 46,70% pada gerai dan 40,00% pada online. 4.3 ANALISIS EFEKTIVITAS IKLAN BERDASARKAN EPIC MODEL Tabel 2. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan Dimensi Empathy Atribut 1 2 3 4 5 6 7
Σƒi.wi 120 122 125 124 121 116 123
Gerai X 4,00 4,07 4,17 4,13 4,03 3,87 4,10
XE
4,05
Σƒi.wi 122 132 136 134 124 117 135
Online X 4,07 4,40 4,53 4,47 4,13 3,90 4,50
XE
4,28
Sumber : Data Primer (Diolah) Dari total skor rataan pendapat responden atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi empathy didapat hasil sebesar 4,05 untuk responden di gerai dan sebesar 4,28 untuk responden melalui online. Nilai untuk responden gerai berada pada rentang skala dimana dimensi empathy suatu iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20), sedangkan nilai untuk responden online berada pada rentang skala dimana dimensi empathy suatu iklan dinyatakan sangat efektif (4,21 sampai 5,00). Hal ini dapat diartikan bahwa konsumen “Hanjuang” melalui online lebih mengetahui dan menyukai iklan yang dilakukan oleh “Hanjuang” menggunakan website www.hanjuang.com sebagai promosi produk minuman khas Jawa Barat tersebut dibandingkan dengan konsumen di gerai. Tabel 3. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan Dimensi Persuation Atribu t 1
Σƒi.w i 123
Gerai X 4,1 0
XP 4,12 5
Σƒi.w i 128
Online X
XP
4,2 7
4,3 8
Atribu t 2
Σƒi.w i 126
3
123
4
123
Gerai X
Σƒi.w i 133
XP
4,2 0 4,1 0 4,1 0
133 132
Online X
XP
4,4 3 4,4 3 4,4 0
Sumber : Data Primer (Diolah) Dari total skor rataan pendapat responden atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi persuation didapat hasil sebesar 4,125 untuk responden di gerai dan sebesar 4,38 untuk responden melalui online. Nilai untuk responden gerai berada pada rentang skala dimana dimensi persuation suatu iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20), sedangkan nilai untuk responden online berada pada rentang skala dimana dimensi persuation suatu iklan dinyatakan sangat efektif (4,21 sampai 5,00). Hal ini dapat diartikan bahwa setelah melihat website www.hanjuang.com konsumen “Hanjuang” berkeinginan untuk mencari lokasi dan membeli produk “Hanjuang”, serta konsumen “Hanjuang” juga lebih percaya terhadap produk “Hanjuang” dan lebih percaya untuk mengkonsumsi produk “Hanjuang” dibandingkan dengan produk sejenis lainnya. Tabel 4. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan Dimensi Impact Atribut 1 2 3 4 5 6 7
Σƒi.wi 120 123 125 118 119 114 117
Gerai X 4,00 4,10 4,17 3,93 3,97 3,80 3,90
XI
3,98
Σƒi.wi 124 128 128 121 125 112 128
Online X 4,13 4,27 4,27 4,03 4,17 3,73 4,27
XI
4,12
Sumber : Data Primer (Diolah) Dari total skor rataan pendapat responden atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi impact didapat hasil sebesar 3,98 untuk responden di gerai dan sebesar 4,12 untuk responden melalui online. Nilai untuk responden gerai dan melalui online berada pada rentang skala dimana dimensi impact suatu iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20). Hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan sudah berhasil dalam mempromosikan produknya karena iklan “Hanjuang” dalam website www.hanjuang.com dinyatakan efektif, yaitu memberikan dampak yang positif bagi para konsumen “Hanjuang”, konsumen jadi mengetahui
251
manfaat dan ciri khas produk “Hanjuang”, yang membuat mereka dapat membedakan mana produk “Hanjuang” dengan produk sejenis lainnya. Tabel 5. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan Dimensi Communication Atribut 1 2 3
Σƒi.wi 117 119 121
Gerai X 3,90 3,97 4,03
XC 3,97
Σƒi.wi 131 125 130
Online X 4,37 4,17 4,33
XC 4,29
Sumber : Data Primer (Diolah) Dari total skor rataan pendapat responden atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi communication didapat hasil sebesar 3,97 untuk responden di gerai dan sebesar 4,29 untuk responden melalui online. Nilai untuk responden gerai berada pada rentang skala dimana dimensi communication suatu iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20), sedangkan nilai untuk responden online berada pada rentang skala dimana dimensi communication suatu iklan dinyatakan sangat efektif (4,21 sampai 5,00). Hal ini dapat diartikan bahwa bahwa perusahaan sudah berhasil dalam mempromosikan produknya karena iklan “Hanjuang” dalam website www.hanjuang.com dinyatakan efektif dan sangat efektif. Iklan yang ditampilkan dalam website www.hanjuang.com memaparkan informasi yang jelas tentang produk “Hanjuang” dan dapat dimengerti oleh para konsumen “Hanjuang”. 4.4 HASIL PERHITUNGAN EPIC MODEL Setelah menghitung seluruh skor rataan semua dimensi yang berada pada gerai maupun online dapat dilihat pada Gambar 18. Mengindikasikan bahwa semakin titik-titik sudut segi empat dekat dari posisi 0,0, maka iklan yang diukur efektivitasnya dapat dinyatakan tidak efektif ditinjau dari masing-masing dimensi dalam EPIC Model, jika sebaliknya semakin jauh titik-titik sudut segi empat dari titik 0,0, maka kesimpulan yang diperoleh adalah efektif.
Gambar 2. Skala EPIC Rate Setiap Dimensi
252
Setelah melakukan perhitungan dan analisis terhadap masing-masing dimensi yang diukur dalam EPIC Model, langkah yang terakhir adalah menghitung nilai EPICrate yaitu penilaian efektivitas iklan secara keseluruhan. XE + XP + XI + XC EPICrate = N 4,17+4,25+4,04+4,13 = 4 = 4,15
Gambar 3. Rentang Skala EPIC Rate Nilai EPICrate 4,15 yang diperoleh dari hasil perhitungan diatas menunjukan bahwa secara keseluruhan dapat disimpulkan iklan produk “Hanjuang” dinilai efektif, hal ini dapat dilihat pada gambar rentang skala EPICrate pada Gambar 19. Dalam skala efektif berarti perusahaan sudah berhasil dalam mempromosikan produk “Hanjuang” di dalam website www.hanjuang.com, namun perusahaan masih harus meningkatkan efektivitas iklannya dari skala efektif menuju sangat efektif agar tercapai tujuan perusahaan untuk mempromosikan produk “Hanjuang” kepada konsumen sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan untuk meningkatkan penjualan produk “Hanjuang”. KESIMPULAN Dari hasil dan analisis data serta pembahasan pada bab sebelumnya mengenai efektivitas iklan melalui media sosial (website) sebagai media promosi CV Cihanjuang Inti Teknik dengan menggunakan EPIC Model, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Penggunaan media sosial di CV Cihanjuang Inti Teknik menggunakan facebook dan website www.hanjuang.com yang dikekola oleh salah satu mirta dari CV Cihanjuang Inti Teknik. Pengelolaan website ini menggunakan sistem pemasaran Search Engine Optimization (SEO) yang dapat memudahkan konsumen untuk mencari website www.hanjuang.com. 2. Hasil analisis tingkat efektivitas iklan melalui media sosial (website) sebagai media promosi CV Cihanjuang Inti Teknik dengan menggunakan EPIC Model menunjukan bahwa kegiatan promosi “Hanjuang” di website www.hanjuang.com untuk dimensi empathy pada
gerai mencapai tingkat efektif dan melalui online mencapai tingkat sangat efektif, untuk dimensi persuation pada gerai dan melalui online mencapai tingkat efektif, untuk dimensi impact pada gerai mencapai dan melalui online mencapai tingkat efektif, dan untuk dimensi communication pada gerai mencapai tingkat efektif dan melalui online mencapai tingkat sangat efektif. Hasil analisis keseluruhan tingkat efektivitas iklan di CV Cihanjuang Inti Teknik pada gerai dan melalui online mencapai tingkat efektif. Hal ini berarti bahwa perusahaan sudah berhasil dalam mempromosikan produk “Hanjuang” di dalam website www.hanjuang.com, namun perusahaan masih harus meningkatkan efektivitas iklannya dari skala efektif menuju sangat efektif agar tercapai tujuan perusahaan untuk mempromosikan produk “Hanjuang” kepada konsumen sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan untuk meningkatkan penjualan produk “Hanjuang”.
Kaplan, A.M., & Haenlein, M. 2010. Users of the world, unite! The challenges and opportunities of Social Media. Business Horizons, 53(1), 59- 68 Pingdom. 2013. Internet 2012 in Number. Diambil dari http://royal.pingdom.com/2013/01/16/inter net-2012-in-numbers/ diakses pada 18 Februari 2015. Prasetyo, B & Jannah, L.M. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. We Are Social. 2014. Social, Digital & Mobile in 2014. Diambil dari http://wearesocial.sg/blog/2014/01/socialdigital-mobile-2014/ diakses pada tanggal 18 Februari 2015.
SARAN Dari pembahasan yang telah diuraikan, beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak CV Cihanjuang Inti Teknik adalah sebagai berikut : 1. CV Cihanjuang Inti Teknik perlu memperbaharui atau mengupdate iklan dan informasi tentang produk “Hanjuang” yang terdapat dalam website www.hanjuang.com, sehingga akan merangsang ingatan konsumen untuk terus mengingat produk “Hanjuang” itu sendiri, contohnya dengan menambahkan slogan-slogan yang menarik agar konsumen mudah mengingat produk “Hanjuang”. 2. Melakukan perbaikan tampilan website misalnya dalam segi warna tampilan agar lebih menarik untuk dilihat, karena dari hasil penelitian kegiatan promosi melalui media sosial (website) ini mempunyai dampak efektif dalam meningkatkan penjualan. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui bagaimana cara berpromosi yang lebih efektif dilakukan dalam bidang usaha minuman tradisional ini. DAFTAR PUSTAKA Darmadi, Durianto, C., & Liana. 2003. Inovasi pasar dengan iklan yang efektif. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka. Hanjuang. 2015. Minuman Tradisional Khas Priangan. Diambil dari www.hanjuang.com diakses pada 20 Mei 2015.
253
254
Apakah Kinerja dan Pengungkapan Lingkungan Berpengaruh terhadap Kinerja Ekonomi Perusahaan? (Analisis pada Perusahaan Agroindustry yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia) Are Environmental Performance and Disclosure Influence Company’s Economic Performance? (Analysis on Agroindustry Companies Listed in Indonesian Stock Exchange) Arisha Nursyamti Pramidyar1, Dika Supyandi1 1
Kata Kunci: Environmental performance Environmental disclosure Economic performance Socio Economic Accounting Regresi data panel
Prodi Agribisnis Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRAK Perusahaan dengan tingkat resiko lingkungan yang tinggi di Indonesia adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengusahaan hutan (pemegang HPH/HPHTI), perkebunan dan pertambangan umum yang bergelut secara langsung dengan lingkungan di mana bahan baku produksi diambil langsung dari alam. Perilaku perusahaan terhadap lingkungan ini dikontrol Socio Economic Accounting (SEA) untuk mengatasi dampak external diseconomy atau social cost yang ditimbulkan perusahaan. Bentuk pertanggungjawaban akuntansi ini dilihat dari pengungkapan, kinerja lingkungan dan economic perusahaan. Tujuan kajian ini adalah menguji pengaruh antara economic performance terhadap environmental disclosure dan environmental performance. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan agroindustri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia serta mengikuti PROPER selama periode 2010-2014. Pengolahan data menggunakan analisis regresi data panel. Hasil kajian menunjukkan environmental performance dan environmental disclosure tidak berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance perusahaan agroindustri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. ABSTRACT
Keywords: Environmental performance Environmental disclosure Economic performance Socio Economic Accounting Regression of data panel
Companies with high levels of environmental destruction risk in Indonesia are forestry (holders of HPH/HPHTI), plantation and mining companies that deals with the environment directly where the resource is taken from the nature. The companies’ behavior on environment is controlled by Socio Economic Accounting (SEA) to overcome the impact of external diseconomy or social cost inflicted by company. The accountancy responsibility is approached by disclosure, environmental performance and economic performance of the companies. The purpose of the research is to examine the impact of environmental disclosure and environmental performance to economic performance. Population in this research is agroindustry companies which are listed in the Indonesia stock exchange and follow the PROPER during the period of 2010-2014. The processing of data is using data regression panel analysis. The result of this research indicates that environmental performance and environmental disclosure are not giving positive significant effect on economic performance in agroindustry companies which are listed in the Indonesia stock exchange.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected], [email protected]
255
PENDAHULUAN Dalam era industrialisasi ini, perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat, di mana menurut pendekatan teori akuntansi tradisional yang dijelaskan oleh Henny dan Murtanto (dalam Miranti, 2009) perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat memberikan sumbangan yang maksimum kepada masyarakat. Keuntungan yang diberikan perusahaan bagi masyarakat antara lain adalah perusahaan menyediakan lapangan kerja, perusahaan menyediakan barang yang dibutuhkan masyarakat untuk dikonsumsi, perusahaan membayar pajak pada pemerintah serta memberikan sumbangan. Hal tersebut yang membuat perusahaan mendapatkan kekuatan untuk beroperasi dan menggunakan sumber daya yang dibutuhkan.
Dalam perannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perusahaan perlu memperhatikan kinerja ekonominya. Perusahaan membutuhkan perencanaan yang akurat dan realistis yang sesuai dengan kondisi perusahaan, sehingga dari perencanaan tersebut dapat diprediksi kinerja ekonominya. Kinerja ekonomi perusahaan merupakan kinerja perusahaan secara relatif (berubah-berubah dari tahun ke tahun) dalam suatu kelompok industri (perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama) yang ditandai dengan besarnya return tahunan perusahaan tersebut (Almilia dan Wijayanto, 2007). Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyebutkan bahwa aktor perusak lingungan hidup yang utama di Indonesia adalah perusahaan dan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 1. yang memperlihatkan besarnya persentase peran aktor tersebut dalam merusak lingkungan.
Gambar 1. Diagram Aktor Perusak/ Pencemar Lingkungan Hidup Tahun 2013 (sumber: Saturi, 2014) Dari gambar tersebut tampak perusahaan ikut andil 31% dalam merusak lingkungan, diikuti dengan perusahaan dan pemerintah yang berperan 23% dalam merusak/mencemari lingkungan. Dari sini terlihat bahwa hubungan perusahaan dengan lingkungannya bersifat non-reciprocal yang artinya transaksi itu tidak menimbulkan prestasi timbal-balik dari pihak yang berhubungan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki segala kekayaan alam dan sumber daya manusia yang dimiliki merupakan negara yang berpotensi besar dan sangat penting di kawasan Asia pada khususnya dan dunia pada umumnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar hutan yang
6
Anonim (2014) dalam http://www.wwf.or.id
256
tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis ditebang.6 Karena besarnya dampak buruk yang disumbangkan perusahaan kepada masyarakat beserta lingkungan hidup di sekitarnya, maka perlu adanya kontrol agar external diseconomy atau social cost yang ditimbulkannya tidak semakin besar. Kontrol tersebut berupa ilmu akuntansi yang mencatat, mengukur, melaporkan segala bentuk externalities yang dikenal dengan Socio Economic Accounting (SEA) (Harahap, 2002) dengan tiga aspek persoalan penting yaitu: keberlanjutan aspek ekonomi, lingkungan dan kinerja sosial (Ja’far dan Arifah, 2006 dalam Handayani, 2010). Penelitian empiris mengenai hubungan antara environmental performance, economic
performance dan environmental disclosure secara umum telah mempertimbangkan kekuatan hubungan diantara variabel-variabel tersebut. Penelitian Bragdon dan Marlin (1972), Spicer (1978), Freedman dan Jaggi (1992) dan Ignatius Bondan Suratno, Darsono, Siti Mutmainah (2006) dalam Almilia dan Wijayanto (2007) menemukan hubungan positif signifikan antara economic performance dengan environmental performance. Penelitian Al Tuwaijri, SA., Christensen, T.E. dan Hughes II, K.E. (2004) meneliti tentang hubungan antara environmental performance, environmental disclosure dan economic performance. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa environmental performance, environmental disclosure dan economic performance secara statistik signifikan, namun hanya hubungan economic performance dengan environmental performance yang mempunyai interelasi potensial. Anggraini (2008) dalam Handayani (2010) meneliti tentang environmental disclosure, environmental performance dan return saham yang mewakili economic performance. Hasil penelitiannya menunjuk-kan bahwa environmental performance tidak berpengaruh signifikan terhadap environmental disclosure, tetapi berpengaruh signifikan terhadap return saham. Sedangkan environmental disclosure mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap return saham. Hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hubungan environmental disclosure, environmental performance dan economic performance yang masih kontradiktif dan menunjukkan hasil yang berbeda-beda menarik untuk dilakukan kajian kembali khususnya mengenai
environmental disclosure, environmental performance dan economic performance. Tujuan dalam kajian ini adalah menguji pengaruh antara economic performance terhadap environmental disclosure dan environmental performance. KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP Dalam operasionalnya, perusahaan memiliki dampak secara positif dan negatif. Dampak positif dengan adanya perusahaan antara lain memberikan lapangan kerja, menyediakan barang/jasa, pemasukan jasa dan memberikan sumbangan pada masyarakat. Selain adanya dampak positif tersebut, adanya perusahaan juga menyumbang dampak negatif yaitu menghasilkan limbah padat dan cair serta polusi air dan udara. Limbah padat dan cair ini hendaknya diolah terlebih dahulu sebelum dilepas ke lingkungan. Limbah padat dan cair yang tidak menjalani proses pengolahan (penetralan) akan membentuk lingkungan yang rusak/tercemar. Hal ini membentuk hubungan non-reciprocal antara perusahaan dengan lingkungan yang maksudnya tidak terdapat hubungan timbal balik antara keduanya, hanya perusahaan yang membutuhkan lingkungan sedangkan lingkungan tidak membutuhkan perusahaan. Hubungan non-reciprocal ini kemudian dipelajari dengan teori Socio Economic Accounting (SEA) yang didalamnya membahas hubungan antara pengungkapan, kinerja lingkungan dan kinerja ekonomi perusahaan. Berdasarkan teori SEA inilah terbentuk dugaan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan positif antara environmental performance dan environmental disclosure terhadap economic performance perusahaan.
257
Gambar 2. Kerangka konsep METODE PENELITIAN Objek dalam penelitian ini adalah environmental performance, environmental disclosure dan pengaruhnya terhadap economic performance pada perusahaan sektor Agroindustri yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia dan mengikuti PROPER serta mengeluarkan laporan tahunannya pada tahun 2010-2014. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Data dan informasi dalam penelitian ini berupa data sekunder dan data primer. Teknik pengambilan sampel dipilih dengan menggunakan teknik sensus dan diperoleh 16 perusahaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah dengan studi pustaka. Rancangan analisis data menggunakan analisis deskriptif untuk menjelaskan karakteristik perusahaan dalam setiap variabel. Analisis regresi data panel dengan bantuan Eviews7 berguna untuk melihat dampak ekonomis yang tidak terpisahkan antar setiap individu dalam beberapa periode (cross 258
section dan time series). Dengan model regresi data panel: Y = α + 𝑏1 𝑋1 it + 𝑏2 𝑋2 it + e Keterangan: Y = Variabel dependen (Economic Performance) α = Konstanta 𝑋1 = Variabel independen 1 (Environmental Performance) 𝑋2 = Variabel independen 2 (Environmental Disclosure) b(1 …2 ) = Koefisien regresi masing-masing variabel independen e = Error term t = Waktu i = Perusahaan Pemilihan model regresi data panel dilakukan untuk mendapatkan model yang tepat untuk penelitian ini. Model dengan pengaruh individu untuk penaksirannya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan fixed effect dan
random effect. Untuk memilih model tersebut dilakukan dengan uji Hausman. Pengujian uji Hausman dilakukan dengan hipotesis berikut: 𝐻0 : Random Effect (RE) Model 𝐻1 : Fixed Effect (FE) Model Terhadap analisis regresi data panel ini dilakukan pengujian asumsi klasik (uji autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedastisitas). Selain itu, terdapat uji kelayakan model (koefisien determinasi dan uji F) dan Uji Hipotesis menggunakan uji t. Hipotesis: H1 : Environmental performance berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance H2 : Environmental disclosure berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance H3 : Environmental performance dan environmental disclosure berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengolahan data statistik deskriptif, untuk environmental performance pada umumnya perusahaan sampel meraih peringkat biru dalam PROPER dan peringkat tertinggi diduduki oleh perusahaan dengan kode INRU yang meraih peringkat hijau selama 4 tahun berturut-turut dari 2010-2013. Environmental disclosure poin tertinggi 18 diperoleh perusahaan dengan kode UNSP dan poin pengungkapan terendah diperoleh perusahaan dengan kode TBLA. Hal yang paling banyak diungkapkan perusahaan dalam laporan tahunannya adalah mengenai inisiatif untuk mengurangi dampak buruk pada lingkungan akibat oleh produk dan jasa (daftar ceklis GRI poin ke 26). Economic performance perusahaan dengan kode FASW memiliki nilai ROE -16,00% di tahun 2013 dan pada tahun yang sama, perusahaan dengan kode TIRT memiliki nilai ROE sebesar 78,4% yang merupakan ROE tertinggi di antara 16 perusahaan tersebut selama periode 2011-2014. Pemilihan Model Regresi Data Panel Nilai probabilitas (Prob.) cross-section random sebesar 0,5813 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model RE lebih tepat dibandingkan dengan model FE untuk kajian ini. Hal ini sebenarnnya sudah ditunjukkan oleh karakter data panel yang memiliki jumlah waktu (2010-2014) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah entitas (16 perusahaan) yang oleh beberapa ahli ekonometrika disarankan menggunakan metode random effect.
Uji Asumsi Klasik 1. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (periode sebelumnya). Dilihat melalui nilai Durbin-Watson. Jika nilai Durbin-Watson (DW) terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, dengan kata lain tidak ada autokorelasi. Tabel 12. Data pengujian autokorelasi Nilai dU Nilai 4-dU Keterangan (N=64 Durbin K=2) Watson 1,65 1,959 2,34 Tidak ada autokorelasi Berdasarkan tabel tersebut terlihat pada data penelitian ini tidak terjadi masalah autokorelasi. 2. Multikolinieritas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel independen. Untuk menguji masalah multikolinearitas dapat melihat matriks korelasi dari variabel bebas, jika terjadi koefisien korelasi lebih dari 0,80 maka terdapat multikolinearitas. Nilai koefisien korelasinya antar variabel independen dibawah 0,80 yaitu 0,0288. Dengan demikian data dalam penelitian ini tidak terjadi masalah multikolinearitas. 3. Heteroskedastisitas Model RE sudah menggunakan Generalize Least Square (GLS) yang merupakan salah satu teknik penyembuhan regresi. Karena penelitian ini menggunakan metode Random Effect maka tidak perlu lagi di uji heteroskedastisitas. Uji Kelayakan Model 1. Uji F Pengujian secara simultan dilihat melalui nilai Uji F yang terdapat pada tabel berikut: Tabel 14. Hasil Uji Simultan (Uji F) F-statistic 1.342596 Prob(F-statistic) 0.268774 Berdasarkan Tabel 14. didapatkan nilai pvalue > alpha 0,05 yaitu 0,268 > 0,05 sehingga terima Ho yang dapat disimpulkan bahwa semua variabel independen secara simultan tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.
259
2. Koefisien Determinasi R-square Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur sejauh mana besar keragaman variabel tak bebas dapat dijelaskan oleh variabel bebas. Koefisisen determinasi dilihat dari nilai 𝑅 2 . Nilai 𝑅 2 yang didapatkan dari memodelkan regresi panel dengan pendekatan Random Effect Model (REM) pada penelitian ini adalah sebesar 0.042164. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman nilai Economic Performance hanya dapat dijelaskan oleh Environmental disclosure dan Environmental Performance sebesar 4,22%, selebihnya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Uji Hipotesis Pengujian secara parsial dilihat dari nilai uji t yang terdapat pada tabel berikut: Tabel 15. Hasil uji t Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
ED
-0.685289
0.523109 -1.310031
0.1951
EP C
-3.461120 30.72347
3.551855 -0.974454 12.05030 2.549601
0.3337 0.0133
Apabila nilai Prob. lebih kecil daripada 0,05, maka hipotesisnya diterima yang artinya variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependennya dan begitu sebaliknya. Variabel environmental disclosure mempunyai nilai koefisien -0,685 yang berarti variabel environmental disclosure berpengaruh negatif terhadap economic performance. Nilai sig t sebesar 0,1951 lebih besar dari α 5% sehingga hipotesis yang menyatakan environmental disclosure berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance, ditolak. Variabel environmental performance mempunyai nilai koefisien -4,664 yang berarti variabel environmental performance berpengaruh negatif terhadap economic performance. Nilai sig t sebesar 0,333 lebih besar dari α 5% sehingga hipotesis yang menyatakan environmental performance berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance, ditolak. PEMBAHASAN 1. Hipotesis 1 : Environmental performance berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance Berdasarkan hasil analisis dengan regresi data panel, menunjukkan bahwa variabel environmental performance tidak berpengaruh signifikan positif 260
terhadap variabel economic performance dari perusahaan agroindustri. Perilaku variabel environmental performance pada perusahaan agroindustri ternyata bukan salah satu faktor yang menentukan besarnya return on equity pada perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan dengan kode TIRT pada tahun 2012 mendapatkan peringkat PROPER merah, namun ROE perusahaan pada tahun 2013 dapat tetap tinggi mencapai 78,4%. Sebaliknya, perusahaan dengan kode KBRI mendapatkan peringkat biru pada PROPER tahun 2010 mempunyai economic performance (ROE) yang negatif di tahun 2011 yaitu -2.88%. Hal tersebut diduga karena kondisi yang terjadi di Indonesia sebagai negara berkembang berbeda dengan yang terjadi di beberapa negara lain, terutama negara maju terkait perilaku investor di Indonesia. Hubungan yang tidak signifikan positif antara environmental performance dan economic performance disebabkan karena economic performance atau kinerja ekonomi suatu perusahaan tidak dilihat oleh investor dari kinerja di dalam lingkungan perusahaan (environmental performance). Investor kurang memperhatikan apa yang dilakukan perusahaan, dan hanya memperhatikan bagaimana kondisi perusahaan di dalam pasar apakah menguntungkan atau tidak bila dilakukan investasi. Diduga bahwa para pelaku pasar modal di Indonesia dalam menentukan investasi pada perusahaan terbuka yang terdaftar di bursa efek melihatnya dari sejumlah aspek atau variabel sebagai contoh: rasio keuangan, ukuran perusahaan, dan kategori investasi apakah perusahaan merupakan penanaman modal dalam negeri (PMDN) ataukah penanaman modal asing (PMA). Selain itu peneliti juga menduga hubungan yang tidak signifikan positif antara environmental performance dan economic performance ini dikarenakan Indonesia masih sebagai negara berkembang. Hasil penelitian serupa pada beberapa negara maju yaitu Canada, Jepang dan Eropa menunjukkan hubungan yang signifikan positif seperti halnya penelitian Marcus Wagner dan Stefan Schaltegger (2004) yang menemukan hubungan yang positif antara environmental dengan economic performance pada perusahaan-perusahaan manufaktur di Eropa. Pada penelitiannya yang lain, Marcus mengungkapkan bahwa perusahaan yang memiliki strategi pengembangan lingkungan akan memiliki hubungan yang lebih positif dengan economic performance perusahaannya di bandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki strategi. Begitu pula hasil yang didapatkan oleh Jean-Francois Henry (2009) pada perusahaan-perusahaan di Canada, surveinya menunjukkan pengelolaan
lingkungan secara tidak langsung berpengaruh terhadap economic performance perusahaan. Hasil yang sama juga di peroleh pada perusahaanperusahaan manufaktur di Jepang yaitu terdapat hubungan yang signifikan positif antara environmental performance dan economic performance perusahaan. Ketiga hasil penelitian di negara maju tersebut menjadi landasan atas dugaan bahwa perbedaan negara maju dan negara berkembang bila dilihat dari sisi ekonomi menyebabkan perilaku serta pola pikir investor di kedua negara tersebut akan berbeda. 2.
Hipotesis 2 : Environmental disclosure berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance Berdasarkan hasil analisis dengan regresi data panel, menunjukkan bahwa variabel environmental disclosure tidak berpengaruh signifikan positif terhadap variabel economic performance dari perusahaan agroindustri. Pada beberapa perusahaan sampel, banyaknya pengungkapan tidak menjamin economic performance perusahaan menjadi baik. Sebagai contoh, ketika perusahaan dengan kode FASW mengungkapkan 16 item atau sekitar 53% dari item GRI yang harus diungkapkan, nilai ROE yang merupakan proksi dari economic performance perusahaan bernilai -16%. Berbeda dengan perusahaan sampel lainnya yang item pengungkapannya di bawah 53% namun memiliki nilai ROE yang positif. Hal ini memperlihatkan banyak tidaknya pengungkapan tidak mempengaruhi nilai ROE perusahaan agroindustri (perusahaan sampel). Selain itu, ekonomi suatu perusahaan tidak dilihat melalui pengungkapan yang dilakukan perusahaan tetapi kebanyakan hanya dilihat melalui keuntungan yang diperoleh perusahaan. Apa yang dilakukan perusahaan di dalam dan di luar perusahaan cenderung tidak terlalu diperhatikan oleh pelaku pasar dan investor. Apa saja yang diungkapkan perusahaan mengenai lingkungannya tidak mempengaruhi kinerja ekonomi suatu perusahaan secara positif karena pelaku pasar/investor tidak melihat apa yang diungkapkan oleh perusahaan mengenai lingkungan perusahaannya, tetapi pasar hanya melihat return yang dihasilkan oleh perusahaan tiap tahunnya. Berbeda lagi dengan kecenderungan yang terjadi di Indonesia dimana para pelaku pasar di Indonesia cenderung hanya melihat dan merespon informasi yang terjadi di pasar sebatas informasi yang diberikan dan kurang melihat dari kinerja ekonomi dari suatu perusahaan (Handayani, 2010).
Sembiring (2006) dalam Wibisono (2011), menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi, salah satu argumentasi dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat kinerja sosial adalah ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi perusahaan menganggap tidak perlu melaporkan halhal yang dapat menganggu informasi tentang sukses keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas rendah mereka berharap para pengguna laporan akan membaca good news kinerja perusahaan, misalnya dalam lingkup lingkungan/sosial dan dengan demikian investor akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Sehingga secara garis besar ketika perusahaan memperoleh profit yang tinggi (economic performance perusahaan dalam keadaan baik) maka pengungkapan yang dipaparkan perusahaan dalam annual report-nya tidak terlalu banyak, namun ketika perusahaan memperoleh profit yang rendah (economic performance perusahaan tidak dalam keadaan baik) perusahaan berusaha memaparkan halhal baik dalam annual report dengan tujuan menarik/mempertahankan investor. Hal ini dapat menjadi alasan mengapa environmental disclosure tidak berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance perusahaan agroindustri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 3. Hipotesis 3 : Environmental performance dan environmental disclosure berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance. Secara simultan, environmental performance dan environmental disclosure juga tidak signifikan mempengaruhi economic performance perusahaan agroindustri. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan hipotesis 1 dan hipotesis 2, economic performance atau kinerja ekonomi suatu perusahaan tidak dilihat oleh investor dari kinerja di dalam lingkungan perusahaan (environmental performance). Investor biasanya akan melihat economic perusahaan dari return yang dihasilkan perusahaan, ukuran perusahaan, modal perusahaan dan posisi perusahaan. Investor juga tidak melihat kinerja ekonomi suatu perusahaan dari banyaknya disclosure yang dilakukan perusahaan dalam annual report perusahaan karena menurut teori legitimasi secara garis besar ketika perusahaan memperoleh profit yang tinggi (economic performance perusahaan dalam keadaan baik) maka pengungkapan yang dipaparkan perusahaan dalam annual report-nya tidak terlalu banyak. Hal ini mengakibatkan investor tidak data melihat kinerja ekonomi perusahaan hanya dari laporan tahunannya.
261
Dua hal tersebut menjadikan environmental performance dan environmental disclosure secara bersamaan tidak dapat mempengaruhi economic performance perusahaan secara siginifikan positif. Hasil penelitian pada hipotesis 3 ini, tidak mendukung temuan Al Tuwaijri, SA., Christensen, T.E. dan Hughes II, K.E. (2004) yang menemukan bahwa hubungan environmental performance, environmental disclosure dan economic performance secara statistik signifikan. PENUTUP Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, disimpulkan sejumlah hal berikut: 1. Environmental performance tidak memiliki pengaruh secara signifikan positif terhadap economic performance perusahaan agroindustri. 2. Environmental disclosure tidak memiliki pengaruh secara signifikan positif terhadap economic performance dari perusahaan agroindustri. 3. Secara simultan, environmental performance dan environmental disclosure tidak memiliki pengaruh secara signifikan positif terhadap economic performance perusahaan agroindustri. Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan sebagai berikut : 1. Untuk penelitian selanjutnya penggunaan lingkup perusahaan yang lebih luas (tidak hanya bidang agroindustri) sangat disarankan agar hasil yang diperoleh lebih beragam. 2. Selain itu tahun penelitian hendaknya memiliki rentang tahun yang lebih lama agar diperoleh hasil yang mendetil mengenai kinerja perusahaan. Dalam menilai pengungkapan yang dilakukan perusahaan, dapat digunakan daftar checklist lain seperti yang bersumber dari Bapepam, Crismawati dan lainnya. DAFTAR PUSTAKA Almilia, Luciana Spica dan Dwi Wijayanto. (2007). Pengaruh Environmental Performance dan Environmental Disclosure terhadap Economic Performance. The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia. Al-Tuwaijri S.A., Christensen T.E. dan Hughes K.E. (2004). The Relations Among Environmental disclosure, Environmental performance and Economic performance: a simultaneous equations approach. Journal Accounting Organizations and Society, 29(4), 447-471. doi: 10.1016/S03613682(03)00032-1 262
Anonim. (2014). Kehutanan. http://www.wwf.or.id. (Di akses pada Tanggal 7 April 2015) Baltagi, Bagi (2005). Econometric Analysis of Panel Data, Third Edition. John Wiley & Sons. Harahap, Sofyan Syafri. (2002). Teori Akuntansi. Edisi revisi. Jakarta Raja Grafindo Persada Hidemichi Fujii, dkk. (2012). Corporate Environmental and Economic Performance of Japanese Manufacturing Firms: Empirical Study for Sustainable Development. Business Strategy and the Environment Jornal, 22(3), 187–201. Jean-Francois Henry. (2009). Eco-control: The influence of management control systems on environmental and economic performance. Journal Accounting, Organization and Society, 35, 63-80. Lindrianasari. (2007). Hubungan Antara Kinerja Lingkungan Dan Kualitas Pengungkapan Lingkungan Dengan Kinerja Ekonomi Perusahaan Di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, 11(2), Marcus Wagner and Stefan Schaltegger. (2004). The Effect of Corporate Environmental Strategy Choice and Environmental Performance on Competitiveness and Economic Performance: An Empirical Study of EU Manufacturing. European Management Journal, 22(5), 557–572. Martin Freedman and Bikki Jaggi. (1988). An Analysis of the Association between Pollution Disclosure and Economic Performance. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 1(2). Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuntitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung. Susi Sarumpaet. (2005). The Relationship Between Environmental Performance And Financial Performance of Indonesian Companies. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 7(2), 8998. Wagner, dkk. (2001). The Relationship between the Environmental and Economic Performance of Firms. An empirical analysis of the European paper industry. Journal Corporate Social - Responsibility and Environmental Management , 9, 133.
Identifikasi Faktor Pendukung Keberhasilan Transfer Teknologi Pada Industri Kecil Menengah Berbasis Potensi Lokal Dengan Pendekatan Makroergonomi (Study Kasus : UKM Keripik Ubi Cilembu Desa Cileles Jatinangor Dan IKM Keripik di Desa Pagedangan Indramayu ) Success Factor Identification in Small Medium Enterprise (SME)’sTechnology Transfer Based on Local Resources Using Ergonomimacro Approache Devi Maulida Rahmah Departemen Teknik dan Manajemen Industri Pertaian, FakultasTeknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Kata Kunci:
Makroergonomi, perbaikan sistem kerja di UKM
Industri Rumah Tangga merupakan sektor terdepan yang mampu mengembangkan perekonomian suatu daerah secara mandiri. Keberadaannya menjadi penting, karena mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Upaya pengembangan industri rumah tangga tidak terlepas dari penerapan teknologi baik berupa penyediaan sarana prasarana, perbaikan metode penyimpanan barang, pengolahan, pengemasan hingga pemasaran. Oleh karenanya mengidentifikasi factor pendukung keberhasilan transfer teknologi pada industry rumah tangga sangat penting sebagai sebuah referensi bagi penerapan teknologi yang efektif pada industry rumah tangga. Karena pada kenyataannya tak jarang ditemuai proses transfer teknologi tidak bejalan secara efektif. Pendekatan makroergonomi merupakan sebuah pendekatan dalam melakukan perbaikan system kerja dengan mempertimbangkan semua aspek dalam proses perbaikannya. Sehingga pendekatan inpun relevan jika diterapkan pada perbaikan system kerja di IKM yang pada proses pengembangannya tak terlepas dari proses transfer teknologi. Faktor dalam makroergonomi adalah Pekerja, Mesin atau Teknologi, Lingkungn kerja, dan Organisasi kerja serta proses interaksi antara semua elemen di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk Memetakan faktor – faktor makroergonomi yang berpengaruh terhadap proses transfer teknologi pada industry kecil menengah berbasis potensi local. Penelitian dilakukan di UKM aneka keripik di desa Cileles Jatinangor dan IKM keripik di desa Pagedangan Indramayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa factor utama yang memperngaruhi keberhasilan proses transfer teknologi secara berurutan berdasarkan tingkat kepentingannya adalah: Organisasi kerja, SDM, Lingkungan kerja, serta Teknologi. Dengan pendekatan makroergonomi terlihat bahwa teknologi yang akan diterapkan bukan menjadi focus utama dalam pengembangan IKM. Justru kesiapan organisasi kerja SDM serta Lingkungan kerja patut menjadi factor yang dipertimbangkan ketika proses transfer teknologi akan dilakukan..
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
263
PENDAHULUAN Sistem kerja merupakan kumpulan elemen dari sebuah rangkaian aktifitas pekerjaan yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan pekerjaan yang ingin dicapai.Sistem kerja dalam sebuah aktifitas pekerjaan baik di industri dengan skala makro dan mikro diantaranya pekerja, mesin, lingkungan kerja, dan organisasi kerja. Dalam Perbaikansistemkerja pertimbangan ke empat elemen tersebut serta proses interaksinya tidak bisa dilepaskan dalam proses pengambilan kebijakan dalam perbaikan sistem kerja. Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam melakukan perbaikan sebuah sistem kerja, diantaranya pendekatan makroergonomi, mikro ergonomi, dan pendekatan rekayasa engineering. Pendekatan makroergonomi merupakan sebuah pendekatan dalam melakukan intervensi ergonomi dengan mempertimbangkan semua aspek dalam proses perbaikannya. Aspek tersebut diantaranya Pekerja, Mesin atau Teknologi, Lingkungn kerja, dan Organisasi kerja serta proses interaksi antara semua elemen di dalamnya. Aspek pekerja meliputi tingkat pendidikan pekerja, karakteristik pekerja dalam menerima masukan perbaikan, serta etos kerja. Aspek teknologi meliputi karakteristik teknologi, kemudahan untuk dioperasikan dengan tingkat pendidikan pekerja, keamanan dan kenyamanan ketika digunakan, serta fleksibilitas teknologi. Aspek lingkungan kerja meliputi kondisi sosial ekonomi pekerja, lingkungan sekitar tempat pekerja, dan iklim kerja. Sedangkan aspek organisasi kerja meliputi karakteristik manajemen, dan penerapan semua aturan kerja. Pendekatan mikroergonomi merupakan pendekatan dalam intervensi ergonomi yang hanya mempertimbangkan aspek pekerja dan teknologi. Perbaikan yang dilakukan dalam skala makro maupun mikro didasarkan pada pertimbangan dari aspek pekerja dan teknologi yang akan diterapkan atau diperbaiki, baik itu perbaikan dimensi stasiun kerja, dimensi alat atau mesin,perbaikan sikap kerja, dll. Sedangkan pendekatan rekayasa engineering didasarkan pada perhitungan secara kuantitatif produktifitas yang dihasilkan oleh mesin/ teknologi yang akan diterapkan. Menurut Carayon dan Smith (2000) pertimbangan organisasi kerja dan ergonomi akan berpengaruh signifikan terhadap performansi pekerja yang pada akhirnya berdampak pada produktifitas kerja yang dihasilkan. Hal ini menjadi realistis karena
264
dalam organisasi kerja terdapat pertimbangan dari aspek manajemen. Aspek manajemen menjadi kunci dalam penerapan setiap intervensi ergonomi dalam perbaikan sistem kerja, karena dalam perbaikan sistem kerja tidak cukup hanya menerapkan sebuah teknologi dalam memperbaiki produktifitas, namun perbaikan dari sisi pengelolaan manajemen dan perbaikan berupa kebijakan – kebijakan yang hanya dapat dilakukan oleh pihak manajemen juga akan berdampak luas pada proses perbaikan yang terjadi. Oleh karenanya pendekatan macroergonomi dinilai sangat layak untuk diterapkan dalam proses perbaikan sistem kerja yang menyeluruh baik pada tingkat usaha makro dan mikro. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Memetakan faktor – faktor makroergonomi yang berpengaruh terhadap proses transfer teknologi pada Industri kecil menengah berbasis potensi lokal 2. Memetakan perbaikan sistem kerja pada masing – masing aspek yang berpengaruh yang dinilai mampu memperbaiki produktifitas kerja yang memungkinkan untuk diterapkan pada Industri Kecil Menengah (IKM) METODE PENELITIAN Penelitian di lakukan di IKM aneka keripik di desa Cileles Jatinangor dan IKM Krips aneka keripik Pisang di Desa Pagedangan, Indramayu. UKM yang dijadikan objek penelitian merupakan jemis UKM dengan mekanisme sistem produksi secara mandiri. Artinya pemilik usaha melakukan produksi secara mandiri. Metode yang dilakukan dalam pendekatan makroergonomi adalah dengan observasi (field study) dan wawancara semi struktur. Dua metode ini menurut Hendrick dan Kleiner (2002) relevan untuk diterapkan pada pendekatan makroergonomi. Karena dalam makroergonomi terdapat penggabungan antara aspek sosial, teknikal, dan sosioteknikal. Keuntungan yang diperoleh dari pendekatan observasi adalah diperoleh data riil di lapangan, mengenai aspek penerapan kebijakan manajemen d lapangan, pekerja, proses kerja, serta lingkungan kerja yang mungkin secara spesifik tidak akan diperoleh dari hasil wawancara. Tahapan dalam proses penelitian Berikut ini adalah tahapan penelitian yang dilakukan :
Survey kondisi eksisting di lapangan
Identifikasi masalah secara umum
Interview dengan pihak manajemen dan pengrajin
Observasi kondisi di tingkat pengrajin
Gambar 1. Tahapan proses penelitian Tahapan Diskusi dan Studi literatur Penentuan faktor makroergonomi yang berpengaruh terhadap perbaikan sistem kerja yang nantinya akan dijadikan kategorisasi dalam proses koding, dilakukan melalui diskusi dengan ahli dan studi literatur. Proses perbaikan sistem kerja tidak terlepas dari sebuah proses transfer teknologi, Jupriyanto(2012) merumuskan faktor – faktor makroergonomi yang berpengaruh terhadap proses transfer teknologi diantaranya a. Karakteristik teknologi (Teknologi) b. Karakteristik komunitas yang akan menerima transfer teknologi, sepertiskill, tingkat pendidikan dan pengetahuan, sikap dalam bekerja (Karakteristik pekerja) c. Karakteristiksosio – ekonomi (Karakteristik Pekerja) d. Karakteristikmanajerial (karakteristik Organisasi kerja) e. Sikapdalam bekerja dan dalam organisasi (Karakteristik Pekerja) f. Karakteristik Budaya Perusahaan, seperti sikap dalam bekerja, sikap dalam teknologi, sikap dan kebiasaan dalam organisasi kerja, orientasi dan motivasi untuk sukses dan maju (Karakteristik organisasi kerja) MenurutAbarghouei (2012) proses evaluasi kinerja dan intervensi ergonomi hingga tercipta proses intervensi ergonomi yang menyeluruh di dasarkan pada empat hal, yaitu : Daya dukung manjemen dan logistic, daya dukung pengetahuan atau peningkatan kemampuan, partisipasi dan evaluasi pegawai, serta pengembangan SDM. Menurut Kleiner (1999) makroergonomi merupakan sub disiplin ilmu kebaruan dalam proses intervensi ergonomi yang menggabungkan antara faktor teknologi, manusia(pekerja, organisasi kerja, dan lingkungan kerja serta interaksi antara empat komponen dalam makroergonomi sistem tersebut. Berdasarkan proses diskusi dan literatur tersebut, Mendeskripsikan hasil wawancara dan temuan di lapangan
maka peneliti mencoba mengelompokan faktor makro ergonomi dalam proses transfer teknologi kedalam setiap aspek elemen dalam makroergonomi. Berikut adalah pengelompokannya : Tabel 1. Pengelompokan faktor dan elemen dalam makroergonomi untuk sistem koding Faktor
SDM
Organisasi Kerja
Teknologi Lingkungan Kerja
Elemen dalam faktor Etos kerja Karakteristik sosial budaya Skill dalam bekerja Kemampuan menerima perubahan Tingkat pendidikan Manajemen Visi organisasi aturan kerja Sarana prasarana Budaya Kerja Sifat Organisasi Sifat teknologi dukungan pihak luar Keberpihakan pemerintah setempat Budaya masyarakat setempat penerimaan masyarakat terhadap aktifitas IKM
Tabel diatas dijadikan sebagai acuan pengkodean pada proses analisis data.
untuk
Tahapan Analisis Data Analisis yang diakukan adalah analisis kualitatif. Dalam penelitian kualitatif. Data coding atau pengodean data memegang peranan penting dalam proses analisis data, dan menentukan kualitas abstraksi data hasil penelitian. Hal ini mengacu pada metode penelitian yang digunakan. Sistem coding dilakukan untuk mengkategorisasi dan memetakan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses perbaikan sistem kerja dengan pendekatan makroergonomi. Berikut adalah tahapan proses analisis data :
Mengkategorisasi secara khusus berdasarkan elemendalam setiap faktor makroergonomi
Mengkategorikan elemen kedalam faktor 4 faktor dalam makroergonomi
Studi Literatur
Gambar 2. Tahapan analisis data
265
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbaikan system kerja tidak terlepas dari proses transfer teknologi yang ada di dalamnya. Proses transfer teknologi pada skala industri kecil dan menengah (IKM) pada prinsipnya memiliki tuuan yang sama seperti proses transfer teknologi pada industri skala besar, yaitu memberikan nilai tambah pada produk yang dihasilkan serta mampu
meningkatkan keuntungan dan keunggulan dari usaha yang dilakukan. Namun ada beberapa aspek yang membedakan. Hal ini dikarenakan IKM memiliki karakteristik yang unik jika dibandingkan dengan industri skala besar. Berikut adalah karakteristik UKM berbasis olahan pangan menurut Rahmah dan Purnomo (2014):
Tabel 2. Karakteristik UKM di level pedesaan SDM Skill rendah
MODAL Masih minim, dan terkadang bergantung pada pihak luar
MANAJEMEN
BAHAN BAKU
TEKNOLOGI
Belum kuat menerapkan aturan organisasi kerja
Masih Penggunaan Berbasis bergantung pada teknologi masih pemberdayaa musim panen minim n masyarakat sekitar
Tingkat pendidikan rendah
Belum berorientasi pada sistem produksi bersih dan aman pada lantai produksinya
Belum memiliki sistem penyimpanan bahan baku yang baik
Pemahaman yang rendah terkait proses produksi yang berorientasi kualitas
Visi dan misi tidak terdokumentasika n dengan jelas
Penggunaan masih berorientasi pada produktifitas, bukan pada sisi lainnya (Keamanan kerja pekerja)
Kemampuan mengadopsi teknologi baru atau cara baru rendah
Gambar 2. Kategori Organisasi kerja 266
PROSES PRODUKSI
Pernyataan Kategori Adanya motivasi dalam diri sendiri untuk maju dan SDM Pengrajin tidak saling berkordinasi dan bekerjasama SDM pengrajin bebas menghasilkan produk tanpa adanya Organisasi kerja perencanaan dalam segmentasi
Kode Sub Kode Etos kerja Motivasi pribadi Karakteristik sosial Budaya Budaya kerjasama
Pengetahuan akan teknologi masih sangat rendah
SDM
Skill dalam bekerja
Teknologi yang digunakan masih manual Mampu menerima teknologi yang mudah digunakan dan biaya terjangkau Adanya pelatihan dalam penggunaan teknologi baru dari pihak luar sebagai pendamping Tingkat pendidikan rendah
Teknologi
Sifat teknologi Kemampuan menerima perubahan
SDM
visi organisasi
Lingkungan kerja
Pendampingan
SDM
Tingkat Pendidikan
Mengharapkan adanya pendampingan berkelanjutan Lingkungan kerja
Pendampingan
Mengharapkan adanya kerjasama dalam pemasaran Mengharapkan dibukakan jejaring dalam pemasaran Belum memiliki aturan dalam bekerja belum memiliki labeling produk Belum memiliki alat untuk menghasilkan kemasan dan produk yang lebih baik Adanya keinginan memperbaiki kemasan produk hingga layak pasar yang lebih luas belum memiliki pengetahuan akan desain produk yang baik sistem produksi masih berdasarkan pesanan belum memiliki jejaring kerjasama dengan pihak lain Belum memiliki struktur organisasi kerja memiliki kemampuan dalam menciptakan produk baru yang bervariasi
Lingkungan kerja Lingkungan kerja Organisasi kerja Organisasi kerja
Pendampingan Pendampingan Manajemen visi organisasi
Teknologi
Sifat teknologi
SDM
Kemampuan menerima perubahan
SDM
Skill dalam bekerja
Organisasi kerja Organisasi kerja Organisasi kerja
Manajemen Manajemen Manajemen
SDM
Skill dalam bekerja
bahan baku dari potensi lokal setempat
Organisasi kerja
Manajemen
sebagian bahan baku diperoleh dari kebun milik Organisasi kerja sendiri atau kerabat belum ada kerjasama dengan pemiliki lahan yang Organisasi kerja menyediakan bahan baku ongkos produksi tinggi karena produksi berdasarkan Organisasi kerja Pernyataan Kategori pesanan
Manajemen Manajemen ManajemenKode
Segmentasi pasar Kemampuan dalam mengetahui teknologi baru Teknologi sederhana Motivasi pribadi Pendampingan Tingkat Pendidikan Pendampingan dalam proses adopsi teknologi Pendampingan pemasaran Pendampingan pemasaran Aturan kerja branding Teknologi sederhana Motivasi pribadi Kemampuan dalam mengetahui teknologi baru manajemen produksi Manajemen pemasaran Manajemen organisasi Kemampuan dalam mengetahui teknologi baru Manajemen persediaan bahan baku Manajemen persediaan bahan baku Manajemen persediaan bahan baku manajemen produksi
alat produksi terbatas sistem kerja produksi masih acak dan tidak mempertimbangkan aspek ergonomi dalam proses Belum memiliki gerai produk kurangnya dukungan dari aparat pemerintah desa standarisasi kualitas produk secara tertulis belum Adanya keinginan memiliki produk dengan label dan desain kemasan yang baik kemudahan menerima saran dan masukan dari pendamping Prosedur keamanan kerja belum ada Belum adanya manajemen persediaan bahan baku Belum adanya sistem produksi berorientasi pada kualitas Lingkungan masyarakat sekitar yang dapat diajak kerjasama lingkungan sekitar yang memiliki banyak pengrajin Kebutuhan akan pelatihan dan peningkatan skill Belum memiliki visi dan misis dari usaha yang dilakukan
Teknologi
Sifat teknologi
Sub Kode Kapasistas produksi
Organisasi kerja
aturan kerja
design sistem kerja
Organisasi kerja Lingkungan kerja Organisasi kerja
Sarana prasarana dukungan pemerintah aturan kerja
Sarana pendukung dukungan pemerintah Standari kualitas produk
Organisasi kerja
Budaya kerja
Etos Kerja
Organisasi kerja
Sifat organisasi
Penerimaan terhadap hal baru
Organisasi kerja Organisasi kerja
aturan kerja Manajemen
Prosedur kerja Manajemen persediaan
Organisasi kerja
Manajemen
Manajemen proses
Lingkungan kerja
budaya lingkungan kerja
Budaya kerjasama
Lingkungan kerja Organisasi kerja
budaya lingkungan kerja Sifat Organisasi
Budaya berwirausaha Kemampuan menerima hal baru
Organisasi kerja
visi organisasi
Perencanaan jangka panjang
Ada upaya memperbaiki kualitas produk
SDM
Kemampuan menerima perubahan
Motivasi pribadi
267
Gambar 3. Kategori sumberdaya manusia Dari hasil pengkodean diperoleh kombinasi faktor dalam makroergonomi yang mempengaruhi sebuah transfer teknologi dalam perbaikan sistem kerja dalam Gambar 4 di atas. Aspek organisasi kerja memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan proses transfer teknologi yaitu sebesar 51 %. Hal ini berarti bahwa keberhasilan dari sebuah proses transfer teknologi pada IKM akan ditentukan pada kesiapan organisasi kerja pada IKM. Berikut adalah penjabaran mengenai aspek Organisasi kerja yang dimaksud adalah aspek manajemen, visi organisasi, Aturan kerja, Sifat organisasi, Budaya kerja, serta sarana dan prasarana. Aspek sumberdaya manusia menjadi aspek penting lainnya yang harus menjadi pertimbangan dalam sebuah transfer teknologi. Hal ini menunjukan bahwa aspek SDM memiliki posisi strategis dalam proses transfer teknologi, beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah terlihat bahwa sub aspek dalam kategori SDM yang memiliki tingkat kepentingan
Gambar 4. Kategori Lingkungan Kerja terbesar adalah kemampuan menerima perubahan (hal baru), serta skill atau kemampuan dalam bekerja. Hal ini tentu menjadi landasan teoritis bagi metode yang akan diterapkan dalam pengembangan IKM. Pendekatan secara menyeluruh serta pola – pola pendampingan menjadi catatan penting bagi proses transfer teknologi agar mampu diterima perubahannya oleh IKM. Kemampuan dalam bekerja pun sangat berpengaruh, karena Sedangkan aspek Teknologi menjadi aspek terkecil sebagai factor penentu keberhasilan dari penerapan teknologi. Hal ini tentu memberikan penjelasan tersendiri bahwa melalui pendekatan makroergonomi,dalam proses pengembangan IKM dengan transfer teknologi, teknologi itu sendiri seharusnya tidak menjadi fokus bagi pelaku IKM atau pendamping IKM. Namun penyiapan aspek organisasi kerja, SDM, serta lingkungan kerja, menjadi hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan IKM.
Rekomendasi alternative teknologi atau perbaikan yang akan di transfer dengan pendekatan makroergonomi Tabel 4. Rekomendasi perbaikan sistem kerja Faktor
Alternatif teknologi atau perbaikan yang di transfer Membuat dan menerapkan aturan dalam bekerja secara tertulis Membuat kerjasama dengan penyedia bahan baku Organisasi kerja Membuat visi organisasi yang jelas Melakukan kerjasama dengan pihak pendamping dalam menjejaringkan pemasaran produk Membuat program peningkatan softskill dan hardskill dalam menciptakan produk baru Membuat program peningkatan softskill dan hardskill dalam menciptakan produk baru SDM Ciptakan suasana kerja yang nyaman bagi pekerja Jalin komunikasi yang baik dengan aparat pemerintah setempat Lingkungan kerja Berikan program pemberdayaan bagi masyarakat setempat Pendampingan yang berkelanjutan Perhatikan kemudahan teknologi bagi calon pengguna Teknologi Dilakukan penjelasan akan pentingnya teknologi yang akan ditransfer Lakukan pendampingan dalam pengoperasian dan pemeliharaan
KESIMPULAN 1. Terdapat beberapa factor dalam proses transfer teknologi pada IKM berbasis 268
komoditas local melalui pendekatan makroergonomi, yaitu organisasi kerja, SDM, Lingkungan kerja dan Teknologi.
2. Hasil penelitian menunjukkan, factor yang memegang tingkat kepentingan yang cukup besar dalam proses transfer teknologi adalah organisasi kerja dan SDM. Tentu hal ini menjadi pertimbangan yang harus diperhatikan dalam proses transfer teknologi pada IKM. 3. Faktor teknologi menjadi faktor terakhir yang memiliki tingkat kepentingan yang paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa melalui pendekatan makroergonomi penerapan teknologi baru bukan menjadi satu – satunya cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem kerja guna meningkatkan produktifitas pada IKM
DAFTAR PUSTAKA Abarghouei, Nasab. 2012. An Ergonomic Evaluation and Intervention Model: Macro ergonomic approach. International Journal of Scientific & Engineering Research, Volume 3, Issue 2 Carayonand Smith. 2000. Work organization and ergonomics. Applied Ergonomics 31 (2000) 649}662 Juprianto, Iridiastadi, Zutalaksana, and Nur Bahagia S. 2013. Indonesian Technology Transfer Successful Model with a Macroergonomics Framework. Journal of Applied Sciences Research, 9(4): 2520-2525. Kleiner, 1999. Macroergonomic Analysis and Design for improve safety and Quality Performance. International Journal Of Occupational Safety and Ergonomic. Vol : 5, No.2, 217-245. Stanton, et all. 2005. Handbook of Human Factors and Ergonomics Method.Washington DC : CRC Press.
269
270
The Role of Communication Networks in Group Sustainability: A Case Study in Majalengka Regency, West Java Province, Indonesia Jaka Sulaksana Faculty of Agriculture, Majalengka University, Majalengka
ABSTRACT
Keywords: Communication network collective action sub leader cut-point bridge
The research was conducted in Majalengka Regency, West Java Province, Indonesia. The Mekar Jaya Group underwent four phases in its lifetime. Each phase had its own characteristics and processes, including the election and succession of a leader, collective action and conflict. These characteristics and processes implied that there was a communication network within the group in each phase. The current study describes the network, the role of the leader in the network and the role of the network in group sustainability. The results show that there were some bridges in the network that helped the group to survive after conflict. Most of the bridges or cut-points were sub-leaders. There is also a shift of basis of clique formation from neighborhood to closeness of relationship
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
271
INTRODUCTION
Group sustainability has become an important condition for the continuity of societyempowerment programs in relation with povertyreduction programs. One model of group sustainability is the Mekar Jaya Group (MJG), which is located in Majalengka regency, West Java Province, Indonesia. The MJG experienced four group leader successions, resulting in four group phases of life. These leaders were involved in cooperating with the outer part. Along that time, the Mekar Jaya Group (MJG) was a farmers group that accepted external aid. Since 1989, the Mekar Jaya Group accepted aid from university and the local government. Cooperation with outer part demonstrated that there was a communication process flowed from the outside to the inside of the group. It was then delivered to all members in the group.. The following question remains: how did the group manage the communication network to implement programs and solve conflict and then enter the latter phase? In order to answer this question, it is important to observe the communication network in each phase. Therefore, the current work addresses the following questions: 1. What was the communication network structure within the group in each phase? 2. Did within group communication patterns influence the group’s sustainability? 3. What was the role of the leader in the within group communication flow in each phase? A social network is a structure that is composed of a set of actors, some of whom are connected by a set of one or more relations. Social structures can be represented as networks, sets of nodes (or social system members) and sets of ties depicting their interconnections (Wellman & Berkowitz, 1988, p.4). Historical overviews of the origins and diffusions of network principles have been presented by Freeman (2004), Scott (2000), and Knox, Savage, and Harvey (2006). In Bavelas’ design (Bavelas, 1950), each ingroup individual is given certain information. The group is given the task of assembling this information, using it to make a decision, and then issuing orders based on this decision. The critical feature of the design is that the group members are separated from one another and can communicate only through channels that can be opened or closed by the member. This feature implies that the communication network is the main element of the 272
social network. Jacobson and Seashore (1951) proposed that the structure of an organization can be conceptualized and described in terms of the regular, work-related, interpersonal communication patterns that are established between pair of individuals. The methodology for the approach and a set of structural concepts for classifying network data was described in detail by Weiss and Jacobson (1955) in a report on an application of the procedure in a government agency. There are several steps in network analysis. The first step is to obtain a record of regular dyadic linkages by asking members to list the names of persons in the organization with whom they work most closely. Next, the reported contacts are compared against each other in a matrix to determine reciprocation of contact (mutual choice) among respondents. Only reciprocated contacts are used to define the communication network. The last step in the process allows one to separate out the groups and to classify all members of the organization into one of the following role types: group member, brokerage (bridge), and isolate. Rogers and Kincaid (1981) stated that a communication network is the pattern of varying communication elements that are demonstrated by communication flow patterns in a system. The analysis of a communication network may include the following: (1) identifying a clique in the system; (2) identifying the role of a person in the system; and (3) measuring communication network indicators, such as the degree of openness and the integration of the system, including centrality degree. In order to measure or analyze the network, the following process is conducted. As mentioned, the first step is to obtain a record of regular dyadic linkages by asking members to list the names of the persons in the organization with whom they work most closely. Next, the reported contacts are compared against each other in a matrix to determine reciprocation of contact (mutual choice) among respondents. This matrix is called the adjacency matrix with symmetric relationships. An example is displayed in table 1. Table 1. The adjacency matrix 1 2 3 4 5 6 7
1 1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 0 1 0
3 1 1 1 1 0 0
4 0 1 1 1 1 0
5 0 1 1 1 0 1
6 1 1 0 1 0. 0
7 1 0 0 0 1 1 -
Table 1 shows the relationships among members. When one member has a reciprocal relationship with another member, the line is coded as 1 for both individuals (e.g., the relationship between node 1 and 2 is a reciprocal relationship). However, if one member has no reciprocal relationship with another member, the line is coded as 1 and 0 (e.g., the relationship between node 1 and node 4). From this matrix, we can display the digraph of the communication network. Every member is symbolized by a node and connected with a line. In relation to the nodes of relationships in the network structure, the concept of the star is also typically used. Ognyanova, et al (2010) stated that the star is the actor or node that has many connections or is highly central. In cliques, many stars should exist because there is a leader in a clique, and that leader was the star. However, an absolute definition of the star for this paper is needed because numerous nodes have many connections. Therefore, the number of connections that the star can have should be determined. It can be seen from the adjacent table that several nodes could be stars. Table 2. The Distribution Connections of Nodes Number of reciprocal connections 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Total Number of Stars
Phase I 0 0 2 15 2 0 1 0 2 1 1 0 0 0 5
Number of nodes Phase Phase II III 0 2 11 23 9 8 4 6 7 4 4 1 1 0 0 0 0 0 0 0 2 1 1 0 0 1 0 0 4
2
Phase IV 0 7 15 6 2 0 1 0 0 0 1 0 1 0 3
Source: Primary data, 2002 and 2011 Based on Table 2, the total number of stars in each phase can be defined and reflect the opinion leader in each phase in reality after combining the result of visual graph analysis in result section and qualitative research in the field. In phase I, there was a leader of group (node 1) and there were 4 opinion or sub leaders (node 8,9,22, and 28). These leaders have their own cliques. The leader has 8 mutual connections in group. The sub leader 8 has 10 mutual connections, the sub leader 9 has 6 mutual connections, the sub leader 22 has 8 mutual connections, the sub leader 28 has 9 mutual connections. Therefore, the total number of star is 5.
In phase II, there were still five opinion leaders and one of them became a group leader. The sub leader 1 has 6 mutual connections, the sub leader 8 has 11 mutual connections, the sub leader 9 has 5 mutual connections, the sub leader 22 has 10 mutual connections, the sub leader 28 has 10 mutual connections. However, only 4 cliques occurred in group because the opinion leader 1 and 9 united in one clique in this phase and the sub leader 1 became the clique leader. The sub leader 9 tends to have a function as coordinator or facilitator among the sub leaders. Therefore the total number of stars in phase II is 4. In phase III, there was a decrease of sub leader number which is reflected by the decrease of the clique number. In this phase, only there are two cliques and two sub leaders. They were node 9 and 22. Node 1 and 8 were not the sub leaders again because the conflict between them and their follower joined to another clique and in the reality, these exsub leaders reduced their activity in group, especially the node 8, he started inactive at the end of phase III and became fully inactive in phase IV. The ex sub leader 28 also has loss their followers because most of his followers are the free riders. The sub leader 9 has 10 mutual connections and the sub leader 22 has 12 mutual connections. It is clearly that these nodes are the stars. In phase IV, there were three sub leaders. They were the sub leader 9,22,28. The sub leader 9 has 6 mutual connections, the sub leader 22 has 12 mutual connections, and the sub leader 28 has 10 mutual connections. These leaders are the leader of their cliques and became the stars. Clique analysis to investigate group structures helps researchers understand how cohesion benefits group members by providing advice and instrumental support and how an extensive reliance on cliques restricts. A clique is a maximal complete sub-graph of three or more nodes, all of which are directly connected to one another, with no other node in the network having direct ties to every member of the clique (Knoke & Yang, 2008). Rogers and Kincaid (1981) defined the clique as a subsystem whose elements interact with each other relatively more frequently than with other members of the communication system. Individuals are placed into cliques based on the following three criteria: 1. Each clique must have a minimum of three members. 2. Each clique member must have at least 50 percent of his/her links within the clique (the average number of links within the clique is
273
taken from the number of links and then divided by the number of clique members). 3. All clique members must be directly or indirectly connected by a continuous chain of dyadic links within the clique. The current paper used the term clique proposed by both Knoke and Yang and Rogers and Kincaid, but with modifications on the third criteria that all clique members are directly or indirectly connected by reciprocal links or non-reciprocal links within the clique. However, exceptions occur in reallife situations. If one criterion is not satisfied, but the other criteria are satisfied, the network can be considered to be a clique. The network analysis field has devoted considerable energy to developing methods for identifying central nodes in a network that are important to diffusion and other actions that occur in networks (Borgatti and Everett, 2006). In contrast, Granovetter (1973) introduced the concept of bridging, which emphasizes the importance of structural bridges for diffusion. According to Granovetter (1973, 1982), bridges reduce the overall distance between individuals in a network, enabling information to spread more rapidly throughout the network. In the present paper, the bridge is the link, and the node is referred to as the cut-point. Furthermore, the definition of the bridge is expanded to not only connect two cliques, but also to connect one node and the network. The expansion is made because there were some nodes (free riders) in the phase III group that connect to the group through members that functioned as cut-points. Thus, the types of bridge in this paper are the following: 1) clique-bridges that connect between clique and clique and 2) nodebridges that connect a node and network. Here, a node is an isolated member if it is disconnected from the network. It can be concluded that a cut-point is a node that has the line that can connect between a network and isolated node or clique and clique. A bridge is a line that belongs to a cut-point that can connect between the network and isolated node or clique and clique. The current paper also presents a description of the communication network in one group along its life (over the long term) and explains the influence of the network on group sustainability. The specific method used was some questions about the closeness of the relationship of members in each phase. This study presents an explanation of the relationship between collective action and network change within a group. It continues the previous study by Tacaks, Janky and Flache (2008). They studied network change over time and its relationship with collective 274
action through research on the connected theme and proposed the model of social control and collective action. The previous paper was a secondary case study, whereas the current paper is a field work study. In fact, none of the previous studies on network change over the life span utilized field work. MATERIALS AND METHODS This case study generates a descriptive explanation of a group communication network. The location of research was Cangkring hamlet of Kadipaten Village, Kadipaten Subdistrict, Majalengka Regency, West Java Province. The location was chosen because there were many programs and internal conflicts within the group that were resolved by the communication network. The research population included all 69 members of the Mekar Jaya Group. The research sample included the entire population, which increased the significance of the results (complete enumeration). The number of members varied according to the phase to which they belonged. The unit of analysis was the communication network ingroup. The data were collected through interviews, field work and focus group discussions. Surveys were administrated as in-person interviews with an emphasis on the member’s description or explanation on a questionnaire that was tested with selected members in each leadership era (the group experienced four leadership changes). Members were asked to recall the relationship structure within the group. The primary questions were as follows: 1) Who were the people in the subgroup (neighborhood) with whom you often discussed matters important to you? 2) Who were the people in another subgroup (neighborhood) with whom you often discussed matters important to you? Respondents were also asked how often they talked to each individual, on average, and the various types of role relations (relative, neighbor, and friend) present in those cases. The reliability analysis was conducted using repeated method and produced Jaccard’s coefficient. In the first interview, the informant who was checked was 10% of the original sample (i.e., 7 names). The second interview yielded 6 names, and 5 persons were chosen at both interviews. Jaccard’s coefficient = 5/(5+2+1) = 0.63. The reliability result also reflected the validity of items. The informants should be weighted by their reliability (Knoke & Yang, 2008). Furthermore, group discussions were held to gather qualitative information about the group. The field work was conducted by the researcher. Data collection took place in 2002 and was updated in
2011. A visual (graph) display was used to show and analyze the network using Netdraw. The goal of this research was to determine how the communication network structure occurs within a group. This structure is important because it is expected that the communication network structure had a strong influence on how the group overcame conflict and maintained the group process. The last step in the process allowed us to separate out the groups and to classify all members of the organization into one of the following role types: group member, brokerage (bridge), and isolate. Next, calculations such as centrality degree were conducted. Centrality Degree (CD) measures the extent to which a node connects to all other nodes in a social network. For a non-directed graph with g actors, the degree of centrality for actor (node) i is the sum of i’s direct ties to the g – 1 other actors. In matrix notation, g CDA (Ni) = ∑xij (I ≠ j) J=1 Where CDA (Ni) denotes centrality degree for node i and ∑xij counts the number of direct ties that node i has to the g – 1 other j nodes ( I ≠ j excludes i’s relation to itself). After calculating the centrality degree of actors, we calculated the group centrality degree. Unlike actor centrality degree, group centrality degree measures the extent to which the actors in a social network differ from one another in their individual centrality degree. The centrality degree of group closely resembles measures of dispersion in descriptive statistics, such as the standard deviation, that indicate the amount of variation or spread around a central tendency value. Freeman (1979) proposed a generic measure of group centrality degree: g ∑ [CA (N*) – CA (Ni)] i=1 CDG = _________________________ g Max ∑ [CA (N*) – CA (Ni)] i=1 Where CA (N*) denotes the largest actor centrality degree observed in a network, and the CA (Ni) are the centrality degrees of the g-1 other actors. Thus, the numerator sums the observed differences between the largest actor centrality and all others. The denominator is the theoretically maximum possible sum of those differences. GROUP DESCRIPTION Group Collective Action
The Mekar Jaya Group life history includes four phases of group life. Each phase had its own collective action as one of manifestation of network communication. In phase I (1989-1994), the collective action was the planting of trees that had leaves for feeding. Trees were planted along the Cilutung River. Some of the small trees could be harvested within six months to one year, whereas others could be harvested after several years. Another collective action, gathering and selling sheep feces, was also started in phase I. Many farmers in the upland area needed it for become fertilizer. They typically stacked the feces near a stall and let it dry. After drying, it would be placed in sacks, collected by the sub group leader, and sold to the buyer. The group members agreed to a price of IDR 15,000 per sack. The frequency of feces collection was once every three months. One stall could produce six sacks, on average, resulting in 180 sacks from all stalls owned by the active members. The last collective action was the group meeting. During group meetings, all or a representative of sub-group members met and discussed the issues that the group faced. Meetings were held every month. The selection of a new group leader was also facilitated by the group meeting, as the incumbent suggested a new name and the members voted for him. In phase II (1995-1997), the collective action was preparing the grass for sheep feeding. Because of the large number of sheep, the group planted grass along the river bank. The land along the river bank was owned by the village. The group could plant grass on this land through the approval of the village head. The land use was divided and distributed to subgroup members. The group meeting was also conducted in phase II, but it was not held as often as was the case in phase I. The group meeting was held when the members approved the new leader in this phase. Then, at the end of the phase, the succession of the phase II leader occurred, resulting in the beginning of phase III. In phase III (1997-2002), the utilization of land for planting grass did not seem to satisfy the necessity of sheep feeding, especially when the dry season arrived. The group initiated grass collection from remote locations with an abundance of grass stock. The chosen location was Sumber village, at Sumber sub district, Cirebon. They often used the truck that was owned by the sugar factory, but also sometimes rented a truck that was owned by the villagers to travel to Sumber. They left in the morning and returned in the afternoon.
275
In phase III, the other collective action was the arisan. Arisan or ROSCA (rotary savings and credit association) was conducted in the third year of the project. Each member paid IDR 5,000 per month to the sub leader. Every month, the group held a raffle in which four members won. However, the implementation of arisan could not exist in the long term because group conflict arose. The group meeting was again promoted. It started with the succession of the leader from phase II to the new leader in phase III, followed by the division of the group into sub-groups to make the program run effectively. However, halfway through phase III, conflict arose when the return of aid did not run smoothly. The impact was that the program could not be implemented effectively. From phase IV until now, the group has revitalized the group size. In phase IV (2002-2009), the group meeting was held when the group decided to revitalize the group size by reducing the group membership. Planting grass at the river bank continued to satisfy the needs of feeding. The last action that is still ongoing was the gathering of sheep feces and selling it to the farmers in the upland area of Majalengka. The Change in Group Members The Mekar Jaya Group experienced four periods of change in size. The phase I group included 30 people (all of them were active members until phase IV), the phase II group included 50 people (consisting of 30 people of phase I and 20 new members, 12 of which became active members and 8 of which became inactive members), the phase III group included 69 people (consisting of 30 people of phase I, 20 people of phase II and 19 new members who became inactive and left the group in the latter phase) and the phase IV group included 34 people. These data were updated in 2011 as following. Data were collected in 2002, 2009, and 2011. In 2002, 69 individuals (all members) were interviewed, and the units of analysis were group dynamics and the group communication network. In 2009, 42 people (phase IV group) were interviewed, and the unit of analysis was group dynamics. In the 2009 data collection, the phase IV group included 39 individuals, with 27 people from the phase I group and 12 people from the phase II group. In 2011, 34 people (phase IV group) were interviewed, and the unit analysis was the group communication network. This final membership in Phase IV included the Phase I group (24 people) and the Phase II group (10 people). Six members from phase I recently passed away and 2 members from phase II are no longer members, as they have moved to another village 276
since 2010. No members from the Phase III group remained in the group. RESULTS AND DISCUSSION Communication Network in Phase I The group accepted aid (in the form of sheep) from Bogor Agricultural University. The leader of phase I was elected in the group meeting. The meeting was held at hamlet hall (Cangkring hamlet hall). All of the members attended the meeting and not exception the BAU officer. This meeting is called musyawarah. “Musyawarah” is a term in Indonesian culture that means a group discussion for solving a problem. In musyawarah, there is no voting. The members release the issue, and then by some considerations, all of the members agree on a choice through their opinion leaders, even if all members attend the meeting. In the MJG meeting, the members agreed to choose leader A (phase I leader) as the group leader. One reason for this choice was that leader A actively encouraged the villagers to make a group. Another reason was that leader A was assumed as the brave man in the hamlet. He typically did not hesitate to release the opinion and statement for the deed. However, this characteristic later became his weakness in the conflict between him and the village apparatus. He made a choice that was contrary to the decision of the village head. Later, the group meeting was used to discuss any issue that the group faced, and this was encouraged by the BAU officer. He often used the group meeting to deliver his knowledge and new innovation to the members. The group meeting was typically conducted monthly in leader A’s house. The members of the group were the Cangkring hamlet residents. Some people were invited by leader A, supported by the BAU officer to build the group. They invited their neighbor, who was also involved in sheep husbandry, from a different neighborhood or Rukun Tetangga (RT). This decision was based on the suggestion of the BAU officer to increase the economic community. Of the 6 RTs in the Cangkring hamlet, 4 RTs were chosen because the residents were primarily farmers and husbandries. The other RTs’ residents were primarily vegetable traders and small shop traders. Then, 22 husbandries met together and built the group. They felt that the group was not complete without the relationship with sheep traders. Thus, they also invited 8 sheep traders in the hamlet to join. The final membership totaled 30 people. When the group cooperated with the BAU officer, several programs were planned in relation with the aid, including planted trees. The group also had a division of roles. The leader chose one
secretary and one treasurer to manage the project. After they chose the leader, secretary and treasurer, they chose the group location near an irrigation pool. The group meeting (musyawarah) and the structure of the group demonstrate the flow of communication in the group. The communication network feature in phase I is shown by figure 1. Each node represents a member. The leader A is node 1, the secretary is node 9 and the treasurer is node 8. Figure 4 shows that there was no bridge in the network. The network was stable. Figure 1 also shows that there were some stars within the group. The stars are node 1, 8, 9, 22, and 28. Focus group discussion revealed that all of these nodes became the opinion leader in their sub groups. In phase I, the sub groups were informal. 12
16
11
26
14
15
29
25
27
8
23 13
28
20 9
30
22 10
24
21 1 17 3 7
19
4 18
2
5
Note: ;
6
:RT 03 ;
: RT 04 ;
: RT 05;
: RT 06
: non-reciprocal tie; : reciprocal tie Fig 1. Communication Network in Phase I
There were four cliques in phase I’s network structure (refer to the criteria for cliques in the introduction): 1. Clique 1: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10 2. Clique 2: 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16 3. Clique 3: 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 4. Clique 4: 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30 Four cliques were constructed because there was a dyadic or reciprocal relationship (composition of complete sub-graph) among some members and separated with another member. One clique had the main complete of sub-graphs. The clique could consist of the main complete of sub-graphs (e.g., clique 2, clique 3, and clique 4) or it could consist of the main complete of sub-graphs and non-complete of sub-graphs because of non-reciprocal ties (e.g., clique 1). Clique 1 had main complete of sub-graphs. That is, the sub-graphs were built from the triangle 12-4, 1-2-3, 1-3-9, and 1-9-10. However, other
triangles were built from non-reciprocal ties, including 1-4-5, 1-5-6, and 1-7-1, but these triangles were also connected with the main sub-graphs of clique 1. Thus, they were included in clique 1. The basis of clique formation was the RT. There were four RTs (RT 03, RT 04, RT 05, RT 07) as the basis of clique formation. The clique criteria were not completely satisfied perfectly. Of the three criteria, only two criteria were fully satisfied. However, it was considered as one clique. Node 22 in clique 5 did not satisfy the second clique criteria because the average link was only 0.4. However, because it satisfied the third criteria, it was included in clique 5. Every opinion leader was linked to the group leader (node 1). This is clearly shown by the close relationships among opinion leaders, which tend to appear as a clique (node 1, 8, 9, 22, 28). It was easier for the leader to coordinate with other members. Every program in phase I (the returning of sheep and the planting of trees) succeeded. In 1995, there was a conflict between leader A and village apparatus. The resulting group conflict led to a succession of leadership.
The conflict between Leader A and the village administrators was due to the plan to move the location. Leader A, who was not liked by the village administrators, accused them of seeking a profit from the land used for housing. The village administrators realized that if the location of the stalls was moved to a specific area, the group would receive aid from the local government. The situation became complicated, and most of the members supported the plan to move. Finally, the leader gave up but, he did not want to continue as the leader because he did not want to be viewed as a loser, and he nominated his replacement. However, he retained power in the group, and he remained active even after the conflict with the village administrators. He gave his position to the secretary. This was the beginning of a new phase and new network structure within the group. Furthermore, from Table 3 to Table 6 it seen clearly about total sheep industry which were produced in group and sheep ownership of cut-points. IV.2 Communication Network in Phase II The leader of phase II (leader B) continued to lead the group after leader A resigned. Leader A gave his position to leader B (node 9) after the moving plan conflict. The location was moved to the land near the Cilutung river bank. Leader B began as leader after the members’ approval at the meeting. In this phase, the friendship between leader B and the treasurer (node 8) became closer. Leader B felt that the treasurer had more knowledge on
277
managing the group. Due to the treasurer’s experience in group internships and close association with a government officer, leader B and another member often requested his suggestions. Through his mediation, the group accepted aid from the family planning coordination body (BKKBN). In this period, the membership increased from 30 to 50 people. The additional individuals were invited by the members. Relative and friendship relations became the choice of consideration. All of the opinion leader in the group, including leader B, the secretary, and the treasurer, invited people from their neighborhood into the group. 38 34
26
35
33 31 32
29 30
24
37
48
36 27
47
25
20
23
5
46 17
28
10 4
22
21
9 1 2
19
3
8
6
15
13 7
40
45
16 39
12
14 42
18 44
11
43
41
50
49
Note:
: RT 03; : RT 04; : RT 05; : RT 06; : non-reciprocal tie; : reciprocal tie
Fig 2. Communication Network in phase II There were 5 stars in the network: nodes 1, 8, 9, 22, and 28. As shown in figure 2, there were 6 cut-points in the new structure. These cut-points are the blue nodes (node 14, 11, 13, 37, 27 and 46). They appeared when the membership increased and were some of the individuals who invited new members into the group. For example, node 46 invited node 47 and node 13 invited node 42. All of the bridges in phase II were node-bridges. As previously stated, the relative and friend relation became the consideration by the members of the group. There were several reasons for this. First, it was easier to coordinate with them; second, there was a desire to help brothers and friends achieve a better life; and third, the priority was a farmer or husbandry. The increase in the member population resulted in the increase in the clique member population. The basis of clique formation remained the RT. However, due to the new members invited by the cut-points, the clique member population increased. However, a shift occurred when two members of one RT became members of another clique (nodes 5 and 10 became members of another clique). This occurred because of their friendship relationship. 278
The cliques were the following: 1. Clique 1: 1, 2, 3,4, 6, 7, 9 2. Clique 2: 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 39, 40, 41, 42, 43, 49, 50 3. Clique 3: 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 44, 45, 46, 47, 48 4. Clique 4: 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 5, 10 Figure 2 also displays that in-group communication flowed through the opinion leader. Nodes 8, 9, 22, and 28 helped leader B coordinate the group. Node 1 also helped leader B. Although node 1 was not active in the management team, his opinion was considered by those close to him. Therefore, their close relationship appears as a clique. However, a comparison of figure 2 and figure 1 shows that figure 2 is less stable than figure 1. The chain of communication became longer due to the increasing group size. Communication Network in Phase III The period of phase II was only two years (1995 – 1997). After the completion of the project, the aid from BKKBN, the treasurer offered the group aid from the livestock office, Majalengka regency government. Leader B and the members accepted it. At the same time, leader B suggested to the group that the treasurer would be a proper leader. Leader B considered himself as the interim leader from leader A. The members accepted this change in leadership, and the treasurer became the phase III leader, or leader C. In phase III, the group accepted aid from livestock office of regency. In this period of aid, the membership increased from 50 to 69 people. The recruitment of new members was not as effective as was previously the case. In phase II, one of the considerations for recruitment was the position of farmer or husbandry; however, in phase III, this position was not necessary to become a member. The goal covered the number that was requested by the aid. To facilitate the distribution and use of aid, the group divided into four formal subgroups. Each subgroup had a sub leader that was the opinion leader in the earlier phase. One sub-leader then became the group leader. He was the phase III leader (the subleader of subgroup 1). The sub-leader of subgroup 2 was the phase II leader, and the sub-leader of subgroup 3 was the phase IV leader. The sub-leader of subgroup 4 never became the group leader. The leader of phase I was not involved in group management because he had another side job as security in the sugar factory.
Figure 6 shows the communication network structure within the group. There were 11 cut-points in the group: points 9, 14, 17, 22, 28, 29, 41, 50, 64, 66, and 67. This is an important position for an individual because if they were omitted, the network would be disconnected. Many free riders are clearly displayed in the figure, such as nodes 31, 32, 37, and 38. They did not have a strong intention of being a group member. Figure 6 also shows the isolated members, node 55 and 65. They did not have a relationship with any of the other members. They were unskilled and less motivated members, and none of them owned sheep. As membership increased, the centrality of the group dispersed. In addition, an internal conflict arose and made the condition worse than it had previously been. At the end of the group phase, it was difficult to maintain control, and members were divided into several cliques. Figure 6 demonstrates that node 9 and 22 had the most reciprocated relationships with the other members. They were the leader of subgroups. Node 9 was the leader of phase II, and node 22 was the leader of phase IV. These nodes became the stars. Thus, the number of stars decreased from that in the earlier phase because of the reduced power of the opinion leader and the increased number of free riders. These free riders were not active in the group. Nodes 9 and 22 were also clique-bridges that connected two cliques, clique 2 and clique 3. This indicates that they had relationships with members who were not in their clique. It also implies that they had a strong influence on the communication flow within the group. They had the ability to influence the opinion of their clique members and other clique members. Figure 6 also shows that only node 8, the sub leader, did not act as the bridge. He was the leader C. The internal conflict began due to a conflict between the leader of phase I (node 1) and the leader of phase III (node 8) concerning new member recruitment. 47
55 65
46
56
61
48 45
58 17
20
2 10
4
21
54
22
1 27
9
16
8
57 67
60 14
15
28
13
40
37
30
38 31
62 11 64
50 52
43
25
32
69
66
7
5 34
12
59
36 26 29
51
23 49
19
35
33
44
18
3
6 24
39
41 42
53
63
68
Note: ;
: RT 03 ; : RT 04 ;
: RT 05 ;
: RT 06
: non-reciprocal tie ; : reciprocal tie Fig.3. Communication Network in Phase III after the conflict The basis of clique formation had shifted. In previous phases, the basis was RT (phase I) and RT with expanded members (phase II). In phase III, the basis was effectiveness of relationships. Friends who were not from the same RT were involved in the group. The cliques were the following: 1. Clique 1: 1, 2, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 24, 26, 27, 35, 36, 28, 25, 5, 37, 30, 31, 32, 38, 29, 34, 33 2. Clique 2: 8, 9, 22, 15, 16, 19, 40, 39 3. Clique 3: 13, 39, 42, 22, 23, 21, 18, 44, 14, 17, 58, 20, 45, 46, 56, 61, 48, 49, 47, 59, 43, 54, 12, 60, 50, 41, 53, 11, 52, 64, 66, 51, 69, 63, 62, 68, 67, 57 The number of cliques was only three, although there were four formal subgroups in the beginning of phase III. Clique 3 increased in size after the conflict between leader A and leader C began, as the conflict resulted in the deterioration of the group. The conflict resulted in the decreased power of both leader C and leader A. Furthermore, Leader C gradually retreated from the group. Therefore, the clique of leader C dispersed, and most of its members joined another clique, making a large clique whose leader was node 22. This also happened in another clique. Node 28 (Sub-leader) could not maintain his clique after the conflict because of the free riders; therefore, he and his followers joined another clique, which was led by node 9. The coordination among the opinion leaders was happened in clique 2 even the leader C (node 8) tended to be inactive in the end of phase III. After the conflict, the collective action implementation decreased. Practically, the action was selling the feces and gathering grass from the river bank or remote locations. Arisan ended, and group meetings were rarely held. If a group meeting was held, the meeting leader was node 22, not node 8. In phase III, the configuration of the network was the least stable. There were genuine cliques, which refer to clique theory in the introduction, and followers who joined the cliques. These followers were the free riders who became the inactive members. The example of a genuine clique is node 9, 7, 3, but they had many followers, thus constituting clique 1.
279
In Table 5, it seen that in total, population of sheep was continue to decrease. There was a decreasing of sheep number in high and medium category, then move to add the population in low category. Furthermore, the number of inactive member was upward. The economic crisis actually reached its peak in this phase when the raise of fuel has been implemented for the first time, therefore the member has beaten by the impact of its crisis. Beside the free riders or inactive members who did not spend the loan to buy the sheep mother, some of active members also use part of their money to fulfill their needs. IV.4 Communication Network in Phase IV The leader of phase IV (leader D) was prepared by leader C to be the next leader. He was the youngest among the sub-leaders. Leader C felt that it was the proper time for regeneration in the group. The other leadership consideration was a native villager of Cangkring hamlet, so there was no reason to doubt his intention towards the group. Leader C was accused of not having good intentions in managing the group because he was not a native villager in the hamlet. Leader C’s proposal of leader D was supported by the opinion leaders. Leader D, with another sub-leader, revitalized the group. All of the active members were regathered. All of the inactive members, including the free riders, were excluded from the group. In phase IV, there was no new innovation in the group’s collective action. The action continued from the previous phase, such as planting grass and selling feces. They accepted aid from the village government for sheep fattening with the same system as that in phase I. The project was completed in 2010. Figure 7 displays that three stars existed in the network. They were nodes 9, 22, and 28. Although node 28 experienced a decrease in power in phase III, he became a star again in phase IV due to the group revitalization. The free riders were excluded from the group. 7 3
11 50
2 1
15 16
10 12 9
14
41
27 5
51
22
26
28
53
19 30 23
59
37
21
67
29 25
68 18 58 20 17
280
Note: ;
: RT 03 ;
: RT 04 ;
: RT 05 ;
: RT 06
: non-reciprocal tie ; : reciprocal tie Fig 4. Communication Network in Phase IV There was one bridge in the network: node 28. He was the clique-bridge that connected clique 3 with cliques 1 and 2. There were three cliques in phase IV. Clique 1 was the largest, as it continued from the previous phase. There was also one clique that became smaller because it spread into two cliques, that is, the clique with the leader node 9 and the clique with the leader node 28. The cliques were the following: 1. Clique 1: 22, 19, 23, 15, 16, 17, 21, 18, 20, 58, 67, 59, 51, 14, 11, 50, 12, 51, 68, 53, 41 2. Clique 2: 1, 2, 3, 7, 9 3. Clique 3: 28, 10, 26, 5, 27, 30, 37, 25, 29 The basis of clique formation was the same as that in phase III: the effectiveness of relationships. Clique 2 became smaller than it had previously been. After the conflict and the group revitalization, the power of leaders A and B decreased. In contrast, the power of leader D increased from the end of phase III. In phase IV, there were also close relationships among the sub-leaders or opinion leaders, who created a clique. These nodes were 9, 22 and 28. Centrality Degree of Network in the Group The two main explanations of the results are the communication network pattern and the centrality degree of the network in each phase because the group underwent four phases in its lifetime. The centrality degree is important in describing the effectiveness of the network chain within the group. Table 3. Centrality of network Phase Phase Phase Phase I II III IV Centr 34.73 19.13 15.28 32.58 ality Degre e Source: Primary data, 2011 Table 3 shows that the centrality degree fluctuated in value. In phase I, the centrality degree value was the highest of all of the phases at 34.73%. This indicates that there was no absolute power in the group. There were also some opinion leaders in the group besides the group leader (leader A); however, the group leader coordinated with the opinion leaders.
The centrality degree value decreased in phase II due to the increased number of members demanded by the aid. However, the appearance of the cut-points (bridge lines) maintained the communication flow between the leaders and the members. The centrality degree continued to decrease in phase III, when the membership continued to increase. It was deteriorated by the conflict between leader A (leader of phase I) and leader C (leader of phase III). However, when the research was conducted, the followers of these leaders decreased from the earlier phase. Leader C and leader A reduced their group activity. Thus, the power of another sub leader controlled the network within the group. The reduction of membership to revitalize the group increased the centrality degree in phase IV. Although the centrality value was smaller than that in phase I, it was greater than that in phase II and III, when the leader controlled the coordination within the group. Although there was a change in the basis of clique communication network structure from RT to friendship or relative (clearly shown by phase I and phase IV as the climax), the centrality degree was high due to unity of the group. It was no matter what of the basis of clique formation. CONCLUSION In each phase, the communication network pattern within the group changed. The pattern changed from a network without bridges, and then connected through many bridges, to a network with only one bridge in the last phase. The existence of bridges in the communication network within the group was very important. The nodes that had bridges were the cut-points. If they did not remain in the group, the network would have been broken. Some of the cut-points were the sub-group leaders who later became the group leader. They were an important key to delivering the group from phase II to phase III and phase IV. The position of the cut-point was also important to deliver the information from the leader to the members especially, when the number increased. As the membership increased, the centrality in network decreased. The centrality value decreased from phase I to phase III, and then rose again in phase IV, when membership was reduced. In term of sheep ownership, the population of sheep which owned by the star has experienced the fluctuation. Peak performance of sheep population has reached in phase I, then decreased and reached peak declining in phase III. It was upward again in phase IV.
There is a reciprocal relationship between the network and collective action. The network changed in every phase, especially since phase II until phase IV. The network often changed to adjust to the program and make the program easier to conduct. In contrast, some collective action was carried out through adjustments in the existing network. In relation with network basis, the value of centrality degree was not affected because the main point of centrality degree is unity, not the basis of the network. ACKNOWLEDMENT Special thanks to Professor Takenori Matsumoto, Supervising professor, who provided much support, especially for his kindness and willingness to intensively discuss the paper. I am also thankful for the great support from the Directorate General and Higher Education, Ministry of National Education of Indonesia, which provided financial aid for the research. REFERENCES Bavelas, A. (1950). Communication patterns in taskoriented groups. J. Acoustical Soc. America 22, 725-730. Borgatti, S.P., & Everett, M.G., (2006). A graphtheoritic perspective on centrality. Social Networks 28, 466-484. Freeman, L.C. (2004). The Development of Social Network Analysis : A Study in the sociology of Sciences. Vancouver, Canada:Empirical Press. Knoke and Yang. (2008). Social Network Analysis : Second Edition. California: Sage Publications. Knox, H., Savage, M., & Pattison, P. (2006). Social Networks and the study of relations: Networks as Method, metaphor and form. Economy and Society, 35, 113-140. Ognyanova, K., et al. (2010). Team assembly and scientific collaboration on nanoHub, Sunbelt XXX: International Sunbelt Social Network Conference, Riva del Garda, Trento, Italy. Rogers and Kincaid. (1981). Communication Network : Toward a New Paradigm for Research. New York: The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. Scott, John. (1991). Social Network Analysis : A handbook, Second Edition. London: Sage Publications. Sulaksana, Jaka. (2011). The Process of Motivational change Process in Farmer’s Groups : A case Study in West Java Province. Journal of Applied Sciences. volume 11, number 14,
281
2500-2512, 2011. Takacs, Karoly., Janky, Bela., Flache, Andreas. (2008). Collective Action and Network Change. Social Networks 30 ,177-189.
282
Analisis Keputusan Berkunjung Serta Kepuasan Konsumen Agrowisata Cilangkap The Analysis on Decision to Visit and Customer Satisfaction at Cilangkap Agrotourism Efrizal Saputra1*, Tuti Karyani1, M.Gunardi Judawinata1 1
Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK
Kata Kunci: Agrowisata Cilangkap Keputusan Konsumen Kepuasan Konsumen
Agrowisata Cilangkap merupakan salah satu agrowisata di Provinsi DKI Jakarta yang memilki potensi untuk dikembangkan. Munculnya persaingan antar agrowisata di Jakarta membuat Agrowisata Cilangkap perlu mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen untuk mempertahankan konsumennya dan penetapan strategi kedepannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi Agrowisata Cilangkap, proses keputusan berkunjung, dan kepuasan konsumennya. Desain penelitian yang digunakan adalah desain kuantitatif yang didukung desain kualitatif dengan jumlah responden 70 orang. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, analisis crosstab, analisis Importance Performance, dan analisis Customer Satisfaction Index. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Agrowisata Cilangkap menerapkan sistem free entrance serta memiliki fasilitas kebun bibit dan hidroponik center sebagai daya tarik. Konsumennya dominan laki-laki, berdomisili di Jakarta dan bekerja sebagai pegawai swasta (2) Motivasi konsumen berkunjung yaitu rekreasi dan memutuskan berkunjung ke Agrowisata Cilangkap karena alasan kemudahan mencapai lokasi (3) Konsumen masuk dalam kategori cukup puas terhadap kualitas pelayanan jasa Agrowisata Cilangkap.
ABSTRACT
Keywords: Cilangkap Agrotourism Consumer Decision Customer Satisfaction
Cilangkap Agrotourism is one of agrotourisms in Jakarta which has the potential to be developed. The emergence of competition among agrotourisms in Jakarta makes Cilangkap Agrotourism need to obtain the knowledge of the desires and needs of consumers to retain its customers and to determine the future strategy. This research aims to know the condition of Cilangkap Agrotourism, the decision process to visit, and customer satisfaction. The design of this research is quantitative design and supported by qualitative design with 70 respondents. This research uses descriptive analysis method, crosstab analysis, Importance Performance analysis, and Customer Satisfaction Index analysis. The results show that (1) Cilangkap Agrotourism applies free entrance system and has seed farm facility and hydroponic center as the attraction. The visitors are mainly male, having the domicile in Jakarta and working as private employees (2) Consumers visit motivation is for leisure and the reason to visit because of easy access to the location (3) Visitors are categorized into fairly satisfactory with the service quality of Cilangkap Agrotourism
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
283
PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris dimana sektor pertanian merupakan salah satu sumber penting perekonomian nasional. Indonesia sebagai negara agraris juga dapat dilihat dari sebaran tenaga kerja nya yang mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencahariannya. Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2013 mencapai 35,16%. Selain sektor pertanian, kekayaan alam yang melimpah serta beragam jenis budaya di Indonesia menjadikan negara ini memiliki potensi besar untuk mengembangkan sektor pariwisata. Peluang pengembangan sektor pariwisata juga dapat dilihat dari minat wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara yang mengunjungi objek-objek wisata di Indonesia. Data kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara yang mengunjungi Indonesia bisa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara ke Indonesia Pada Tahun 2011-2013 Jenis Wisatawan Data Kunjungan (orang) 2011 2012 2013 Domestik 236.752.000 245.290.000 250.036.000 Mancanegara 7.649.731 8.044.462 8.802.129
Sumber: Pusdatin Kemenparekraf dan BPS (2014) Setiap daerah di Indonesia memiliki potensi dan keunggulan pariwisata nya masing-masing termasuk Provinsi DKI Jakarta. Jakarta yang merupakan ibukota negara Republik Indonesia sekaligus kota metropolitan yang luas dan besar dengan populasi penduduknya yang ramai dan cukup padat. Seiring dengan perkembangan zaman, pengetahuan dan pola pikir wisatawan semakin berkembang serta bergerak secara dinamis. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya lingkungan alam menjadikan preferensi serta motivasi wisatawan juga berkembang. Maraknya slogan-slogan seperti back to nature ataupun go green saat ini telah mengubah kecenderungan dan motivasi wisatawan dengan menikmati obyek-obyek wisata bernuansa alam dengan keindahan pemandangan alamnya, udaranya yang sejuk serta berkaitan dengan pertanian modern. Preferensi tersebut merupakan signal terhadap meningkatnya permintaan akan wisata agro atau agrowisata dan menjadikan obyek wisata jenis ini menjadi trend di masyarakat. Agrowisata di Jakarta juga dapat berperan sebagai ruang terbuka hijau dan daerah resapan air yang harus dipertahankan dan dikembangkan. Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta mencatat, selama kurun waktu 2001 hingga 2012, luas ruang terbuka hijau (RTH) di Ibu Kota hanya 2.718,33 ha. Angka ini sama saja dengan 10% dari total luas DKI 284
Jakarta, yaitu 66.233 ha. Padahal Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 mensyaratkan bahwa sebuah kota harus memiliki RTH minimal sebesar 30% dari total luas kota secara keseluruhan . Keterbatasan lahan hijau di Jakarta menjadikan kota ini menerapkan konsep pertanian kota atau urban farming yang memanfaatkan lahan hijau yang tersedia untuk dijadikan areal pertanaman pertanian. Hal utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, menambah penghasilan masyarakat sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan hobi (Enciety, 2011). Kepadatan penduduk yang tinggi di Kota Jakarta dengan segudang kegiatannya menimbulkan kebutuhan akan ruang hijau atau kawasan pertanian sebagai tujuan wisata untuk melepas penat. Agrowisata di Jakarta dapat dijadikan usaha diversifikasi dari konsep pertanian kota yang nantinya akan dinikmati penduduk Jakarta. Melihat peluang tersebut Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan PanganProvinsi DKI Jakarta sebagai instansi pertanian menawarkan kebun pertaniannya yang disulap menjadi wisata agro yaitu Agrowisata Cilangkap sebagai alternatif pilihan agrowisata di Jakarta. Agrowisata ini berlokasi di Jalan Raya Cilangkap No. 45 Kelurahan Cilangkap, Jakarta Timur. Perkembangan agrowisata di daerah Jakarta dan sekitarnya menimbulkan persaingan yang ketat diantara sesama pengusaha agrowisata. Terdapat beberapa agrowisata di Jakarta seperti Taman Anggrek Indonesia Permai dan Taman Anggrek Ragunan dengan keunggulan produk dan fasilitasnya masing-masing. Melihat posisi Agrowisata Cilangkap yang masih berkembang ini, nampaknya konsumen belum menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan bagi Agrowisata Cilangkap. Padahal konsumen merupakan unsur penting dalam usaha wisata termasuk agrowisata. Perilaku konsumen dalam berkunjung dapat dijadikan bahan evaluasi dan strategi pengembangan suatu agrowisata ke depannya. Dengan harapan adanya peningkatan pengunjung, meningkatkan daya tarik pengunjung untuk menikmati fungsi edukasi, Agrowisata Cilangkap perlu memahami proses keputusan konsumen berkunjung baik dilihat dari proses pengambilan keputusan saat akan berkunjung dan kepuasan konsumen setelah berkunjung yang dapat mendorong konsumen untuk melakukan kunjungan ulang. Dalam upaya mempertahankan dan terus menarik perhatian konsumen, pihak Agrowisata Cilangkap dapat mencari tahu apa yang diinginkan dan apa yang dibutuhkan konsumen sehingga jumlah konsumen dapat terus meningkat dan memiliki daya
saing jangka panjang untuk usaha agrowisata. KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP Agrowisata Cilangkap merupakan salah satu agrowisata di Provinsi DKI Jakarta yang menawarkan kebun pembibitan dan hidroponiknya kepada konsumen. Sebagai agrowisata yang masih dan terus berkembang, Agrowisata Cilangkap memiliki berbagai fasilitas yang ditawarkan kepada konsumen. Untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen, maka perlu dilakukan survey konsumen. Melalui survey konsumen, maka pihak Agrowisata Cilangkap dapat mengetahui bagaimana keputusan konsumen berkunjung ke Agrowisata Cilangkap dan bagaimana kepuasan konsumen terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh Agrowisata Cilangkap. Proses keputusan konsumen berkunjung ke Agrowisata Cilangkap dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Ada lima tahapan yang akan dianalisis yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan berkunjung, dan evaluasi pasca berkunjung. Dalam pengambilan keputusan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor perbedaan individu, dan faktor psikologis. Kepuasan konsumen terhadap kualitas pelayanan Agrowisata Cilangkap dianalisis menggunakan Analisis Importance dan Performance serta Analisis Customer Satisfaction Index. Analisis IPA membandingkan antara nilai harapan konsumen dan nilai kinerja dari Agrowisata Cilangkap. Analisis CSI untuk pengukuran indeks kepuasan konsumen. Atribut yang akan dinilai merupakan kualitas pelayanan yang terdiri dari dimensi bukti fisik (tangible), dimensi keandalan (reliability), dimensi daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (emphaty). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Agrowisata Cilangkap yang terletak di Jalan Raya Cilangkap No. 45 Kelurahan Cilangkap, Jakarta Timur.Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif dan desain kualitatif dengan metode survey. Dalam mengambil responden, penelitian ini menggunakan pendekatan probability sampling di mana teknik ini memberi peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sample. Teknik sampling yang dipilih adalah systematic sampling dimana pengambilan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut (Sugiyono, 2012). Banyak responden dalam penelitian ini yaitu 70 orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang berisi pertanyaan yang terdiri dari variabel-variabel yang berkaitan dengan penelitian serta dengan mengobservasi dan melakukan wawancara. Analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, crosstab, Importance Performance Analysis serta analisis Customer Satisfaction Index. 1) Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan kondisi Agrowisata Cilangkap, karakteristik pengunjung, dan keputusan konsumen berkunjung ke Agrowisata Cilangkap. Analisis Deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran secara sistematis, aktual, dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselediki. 2) Analisis Crosstab Analisis Crosstab merupakan ringkasan data dua variabel dalam satu tabel. Tabulasi silang mampu menjelaskan keterkaitan antar variabel. Variabel yang dianalisis menggunakan tabulasi silang ada antara variabel karakteristik responden dengan variabel keputusan konsumen. 3) Importance Performance Analysis (IPA) Analisis IPA dapat digunakan untuk membandingkan antara nilai harapan konsumen terhadap kinerja suatu produk/jasa. Dalam kerangka analisis tingkat kepentingan dan kinerja, ada beberapa analisis yang dapat digunakan yaitu analisis tingkat kesesuaian dan analisis kuadran. 4) Customer Satisfaction Index (CSI) Analisis CSI digunakan untuk melihat tingkat kepuasan konsumen secara menyeluruh. Pengukuran terhadap indeks kepuasan pelanggan diperlukan karena dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan sasaran-sasaran di tahun-tahun mendatang. Cara menghitung indeks kepuasan pelanggan adalah: Cara menghitung indeks kepuasan pelanggan adalah: 1) Menghitung weighted factor yaitu mengubah nilai rata-rata tingkat kepentingan menjadi angka persen, sehingga didapatkan total weighting factor 100%; 2) Menghitung weighting score, yaitu nilai perkalian antara nilai rata-rata tingkat kinerja dengan weighting factor; 3) Menghitung weighted total, yaitu menjumlahkan weighted score dari semua atribut; 4) Menghitung satisfaction index, yaitu weighted total dibagi skala maksimal yang digunakan (dalam penelitian ini skala maksimum yang digunakan adalah 5) kemudian dikali 100%. Adapun indikator untuk mengukur kriteria kepuasan konsumen adalah sebagai berikut:
285
Tabel 2. Kriteria Indeks Kepuasan Konsumen Nilai CSI Kriteria CSI 0,81 – 1,00 Sangat Puas 0,66 – 0,80 Puas 0,51 – 0,65 Cukup Puas 0,35 – 0,50 Kurang Puas 0,00 – 0,34 Tidak Puas
Guna mendukung analisa dan tampilan hasil, maka diperkenankan menggunakan gambar ataupun tabel dengan ketentuan sebagai berikut.
Sumber: Sukardi dan Cholidis (2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Gambaran Umum Tempat Penelitian a. Sejarah dan Perkembangan Pada tahun 1983-1984 kawasan Agrowisata Cilangkap merupakan tempat pembuangan sampah (TPS) di daerah Cilangkap. Setelah tahun 1984 sampai tahun 2000 kawasan tersebut dilimpahkan kepada pemerintah (dinas pertanian) menjadi lahan pertanian (persawahan) yang merupakan salah satu kawasan central padi di Jakarta. Pada tahun 2000 tanaman padi dipindahkan semua ke kebun daerah Jakarta Utara dan di kebun Cilangkap mulai dibudidayakan bibit buah dan sayuran. Pada tahun 2001 kawasan tersebut dijadikan agrowisata dengan penambahan fasilitas penunjang dan danau buatan. Agrowisata Cilangkap dikelola oleh UPT Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman dibawah Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan.Pada tahun 2007 Agrowisata Cilangkap membangun kawasan Hidroponik Center Cilangkap dengan fasilitas greenhouse. b. Keberadaan Agrowisata Cilangkap berada di Jalan Raya Cilangkap No.45, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta. Agrowisata Cilangkap memiliki luas lahan secara keseluruhan ± 19,5 hektar. Lokasi Agrowisata Cilangkap berada ± 1,6 km dari Markas Besar TNI dan ± 7 km dari Bumi Perkemahan Cibubur (Jambore). Agrowisata Cilangkap juga berada ± 6,4 km dengan jalan tol lingkar luar Jakarta dan Taman Mini Indonesia Indah. Kawasan ini mudah dijangkau karena terletak di pinggir Jalan Raya Cilangkap dan dilalui oleh kendaraan umum.pada bagian ini bisa juga menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data. Umumnya memuat hasil penelitian berupa temuan dan hasil analisis dalam berbagai bentuk dan berhubungan dengan masalah. Pembahasan berisi hasil penelitian/hasil pemikiran berdasarkan kerangka yang digunakan.
286
Gambar 1. Denah Lokasi Agrowisata Cilangkap 2) Deskripsi Kondisi Agrowisata Cilangkap a. Gambaran kondisi Agrowisata Cilangkap memiliki daya tarik wisata kebun hidroponik dimana terdapat tanaman kangkung, bayam hijau, dan bayam merah yang dibudidayakan tanpa media tanah atau menggunakan media air di dalam greenhouse dan juga danau buatan yang cukup luas dan dikelilingi jogging track. Agrowisata Cilangkap juga memiliki daya tarik aktivitas pertaniannya yaitu sistem hidroponik maupun pembibitan tanaman sebagai wisata edukasi pertanian. Agrowisata Cilangkap yang terletak dipinggir Jalan Raya Cilangkap dapat dengan mudah diakses pengunjung baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum (Angkot KWK T02 dan KWK T14). Agrowisata Cilangkap memiliki berbagai fasilitas untuk pengunjungnya seperti kantor pengelola, kebun bibit, rumah tanaman, RM Agro, danau buatan, playground, gazebo, mushola, hidroponik center, greenhouse, dan packing house.
Gambar 2. Denah Fasilitas Agrowisata Cilangkap Agrowisata Cilangkap dikelola oleh UPT Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman dan berada dibawah Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan. Bapak Amit sebagai PJ Kebun Bibit memiliki 12 staff yang terdiri dari 6 PHL, 4 security, dan 2 cleaning service. Sedangkan Bapak
Sidik sebagai PJ Kebun Hidroponik memiliki 10 staff yang terdiri dari 7 PHL, 2 security, dan 1 cleaning service. b. Gambaran Bauran Pemasaran Produk berupa barang meliputi berbagai tanaman buah, tanaman hias, maupun tanaman pelindung yang ada di kebun bibit serta tanaman sayuran buah dan sayuran daun yang ada di kebun hidroponik. Tanaman yang paling yaitu komoditas buah mangga dan rambutan yang merupakan tanaman produktif dan memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Produk berupa jasa meliputi atraksi edukasi pertanian dimana pengunjung dapat berkeliling kebun serta kunjungan lapangan untuk belajar sistem hidroponik.
Gambar 3. Hidroponik Center Agrowisata Cilangkap
Agrowisata Cilangkap belum mengenakan harga tiket masuk atau free entrance karena belum adanya Perda Distribusi untuk pengunjung. Untuk segmentasi, Agrowisata Cilangkap membidik semua kalangan dengan berasaskan pada pelayanan dan penyuluhan kepada masyarakat. Agrowisata Cilangkap juga melakukan penetapan harga bibit tanaman Rp 15.000,- (tinggi tanaman 50 cm) dan Rp 20.000,- (tinggi tanaman 100 cm). Agrowisata Cilangkap sebagai sebuah objek agrowisata berada di lokasi yang cukup strategis dimana berada cukup dekat dengan Mabes TNI dan Perkemahan Bumi Cibubur serta Taman Mini Indonesia Indah dan juga jalan tol lingkar luar Jakarta sehingga memberikan keuntungan tersendiri untuk usaha promosi yang dijalankan. Agrowisata Cilangkap melakukan kegiatan promosi secara langsung melalui beberapa event yang dihadiri dan promosi tidak langsung melalui internet, artikel, dan brosur yang ada di perpustakaan BBI (Balai Benih Induk) Jakarta. 3) Karakteristik Konsumen Agrowisata Cilangkap Karakteristik konsumen Agrowisata Cilangkap dominan berjenis kelamin laki-laki, berusia 19-29 tahun, sudah menikah, berdomisili di Jakarta, memiliki pendidikan terakhir sarjana, bekerja sebagai pegawai swasta, dan memiliki penghasilan Rp 2.500.001 – Rp 5.000.000. Data karakteristik konsumen seara umum dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik Konsumen Identitas Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 19-29 30-40 41-51 52-62 Pernikahan Menikah Belum Domisili Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Pendidikan SD SMP SMA Diploma Sarjana Pasca Sarjana Pekerjaan PNS TNI/POLRI Dosen/Guru Pegawai Swasta Wiraswasta Pelajar/Mahasiswa Lainnya Penghasilan (Rp) 0 1-2.500.00 2.500.001-5.000.000 5.000.001-7.500.000 7.500.001-10.000.000 > 10.000.000
n
Presentase
43 27
61% 39%
32 26 11 1
46% 37% 16% 1%
47 23
67% 33%
64 4 1 1
92% 6% 1% 1%
1 2 25 10 30 2
1% 3% 36% 14% 43% 3%
6 1 5 22 9 12 15
9% 1% 7% 32% 13% 17% 21%
23 9 26 3 8 1
33% 13% 37% 4% 12% 1%
4) Analisis Keputusan Konsumen Berkunjung ke Agrowisata Cilangkap Proses keputusan berkunjung dimulai dari tahap pengenalan kebutuhan dengan motivasi yaitu rekreasi, mencari manfaat refreshing. Tahap pencarian informasi melalui teman/pasangan dengan fokus berupa kemudahan mencapai lokasi. Tahap evaluasi alternatif dengan atribut yang dipertimbangkan yaitu lokasi dan Agrowisata Cilangkap menjadi prioritas. Tahap keputusan dengan alasan kemudahan mencapai lokasi, cara memutuskan terencana dari rumah, dipengaruhi diri sendiri, menggunakan motor, berkunjung bersama keluarga, berkunjung saat waktu luang, dan frekuensi kunjungan sudah yang keempat/lebih. Tahap evaluasi pasca berkunjung dengan pengunjung merasa puas, niat melakukan kunjungan ulang, harga tidak mempengaruhi kunjungan, dan fasilitas yang diharapkan kedepannya yaitu toilet.Proses keputusan
287
konsumen berkunjung dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4. Tabel 4. Proses Keputusan Konsumen Tahap 1. Pengenalan Kebutuhan Motivasi berkunjung Manfaat yang dicari Keterlibatan perasaan 2. Pencarian Informasi Sumber informasi Fokus perhatian informasi 3. 4. 5.
Evaluasi Alternatif Atribut yang dipertimbangkan Prioritas Agrowisata Cilangkap Keputusan Berkunjung Alasan berkunjung Cara memutuskan berkunjung Yang mempengaruhi berkunjung Alat transportasi Teman berkunjung Ketersediaan waktu Frekuensi berkunjung
Rekreasi Refreshing Biasa saja Teman/pasangan Kemudahan mencapai lokasi Lokasi
Kemudahan mencapai lokasi Terencana Diri sendiri Motor Keluarga Saat waktu luang Empat kali atau lebih
Puas Ya Tidak Toilet
Konsumen
288
79% 84% 92% 79% 78% 79% 74% 87% 76%
Analisis Kuadran Atribut yang terletak di kuadran II merupakan kekuatan perusahaan yaitu atribut kelengkapan fasilitas, kenyamanan tempat, keindahan panorama, dan keramahan pegawai. Atribut tersebut dianggap penting bagi konsumen dan kinerja nya sudah memuaskan. Atribut tersebut harus dipertahankan kinerjanya oleh Agrowisata Cilangkap. Atribut yang terletak di kuadran III merupakan prioritas rendah perusahaan yaitu perhatian, kecepatan, kesiap-sediaan, keahlian, dan empati pegawai. Atribut tersebut dianggap kurang penting pengaruhnya bagi konsumen dan pada kenyataannya pelaksanaan atribut tersebut juga biasa saja dan belum memenuhi harapan konsumen. Atribut tersebut harus ditingkatkan kinerjanya. Analisis kuadran kualitas pelayanan jasa Agrowisata Cilangkap dapat dilihat pada Gambar 4.
Agrowisata
a. Tingkat Kesuaian Tingkat kesesuaian yang paling tinggi yaitu atribut keindahan panorama. Konsumen yang merasa puas menilai bahwa view dari pemandangan di Agrowisata Cilangkap memanjakan mata seperti banyaknya pepohonan dan beragam tanaman seperti pohon mangga, rambutan, dan durian serta danau buatan yang dikelilingi jogging track. Selain itu dengan adanya tanaman kangkung dan bayam hidroponik menambah keindahan alam di Agrowisata Cilangkap. Tingkat kesesuaian yang paling rendah yaitu atribut keahlian pegawai. Konsumen mengharapkan adanya pegawai khusus guide yang memiliki kehalian dibidangnya karena Agrowisata Cilangkap belum memiliki pegawai khusus guide sehingga setiap pegawai memiliki tugas juga sebagai guide untuk pengunjung. Nilai tingkat kesesuaian secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis Tingkat Kesesuaian No Atribut Tingkat (TKi)
7 8 9
Kelengkapan Fasilitas Kenyamanan Tempat Keindahan Panorama Perhatian Pegawai Kecepatan Pegawai Kesiapan dan Kesediaan Pegawai Keahlian Pegawai Keramahan Pegawai Pegawai Memahami Kebutuhan dan Harapan Pengunjung
b.
Ya
Evaluasi Pasca Berkunjung Kepuasan konsumen Niat melakukan kunjungan ulang Pengaruh kenaikan harga Fasilitas yang diharapkan
5) Analisis Kepuasan Cilangkap
Jawaban
1 2 3 4 5 6
Kesesuaian
Gambar 4. Grafik Analisis Kuadran Atribut Kualitas Pelayanan Jasa Agrowisata Cilangkap
c. Analisis CSI Hasil dari perhitungan Customer Satisfaction Index dapar dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Perhitungan Customer Satisfaction Index No Atribut Rata-rata Skor Weighting Kepentingan Factor 1 Kelengkapan Fasilitas 3,68 0,12 2 Kenyamanan Tempat 3,51 0,11 3 Keindahan Panorama 3,44 0,11 4 Perhatian Pegawai 3,18 0,1 5 Kecepatan Pegawai 3,28 0,11 6 Kesiapan dan 3,38 0,11 Kesediaan Pegawai 7 Keahlian Pegawai 3,41 0,11 8 Keramahan Pegawai 3,6 0,12 9 Empati Pegawai 3,3 0,11 Jumlah Total 30,78 1,00 Total Weighted Score 𝐶𝑆𝐼 = x 100% Maximum Scale 𝐶𝑆𝐼 =
2,78 x 100% 5
𝐶𝑆𝐼 = 55,6% Hasil perhitungan menunjukkan nilai CSI sebesar 0,556 atau 55,6%. Nilai tersebut berada diantara nilai 0,51-0,65 yang berarti masuk dalam kategori cukup puas. Secara umum konsumen sudah mencapai tingkatan cukup puas terhadap atribut kualitas pelayanan Agrowisata Cilangkap. Agrowisata Cilangkap harus dapat meningkatkan kinerjanya agar konsumen dapat merasa puas bahkan sangat puas dimasa yang akan datang. Jika dihubungkan dengan hasil analisis IPA, nilai CSI yang masih dibawah kategori puas dapat disebabkan oleh atribut yang berada pada kuadran III yaitu perhatian pegawai, kecepatan pegawai, kesiapsediaan pegawai, keahlian pegawai, dan empati pegawai. Atribut tersebut harus ditingkatkan kinerjanya agar bisa menjadi prioritas seperti atribut yang ada di kuadran II. Untuk atribut yang ada di kuadran II meliputi kelengkapan fasilitas, kenyamanan tempat, keindahan panorama, dan keramahan pegawai harus dipertahankan kinerjanya. Jika dihubungkan dengan keputusan berkunjungnya, nilai CSI yang masih berada dibawah kategori puas juga dapat dijelaskan karena adanya perbedaan motivasi konsumen saat berkunjung. Konsumen yang memiliki motivasi rekreasi menyatakan Agrowisata Cilangkap sudah memenuhi kebutuhan mereka dengan adanya berbagai fasilitas yang ditawarkan dan harga yang terjangkau. Jika dilihat dari motivasi konsumen yang ingin mencari
Rata-rata Skor Weighted Kinerja Score 2,9 0,35 2,96 0,32 3,17 0,35 2,52 0,25 2,55 0,28 2,67 0,29 2,51 3,14 2,51 24,93
0,28 0,38 0,28 2,78
pengetahuan Agrowisata Cilangkap belum sepenuhnya dapat menjawab kebutuhan dan keinginan mereka. Hal tersebut dikarenakan Agrowisata Cilangkap masih belum mengoptimalkan fasilitas edukasi pertaniannya. Hal tersebut juga didukung dari beberapa pernyataan konsumen yang mengharapkan adanya penambahan fasilitas edukasi pertanian seperti taman edukasi yang dapat dijadikan tempat praktek langsung konsumen untuk menanam, memelihara, dan memanen hasil pertanian. PENUTUP Bagian Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Agrowisata Cilangkap dikelola oleh UPT Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman dibawah Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan. Agrowisata Cilangkap menerapkan sistem free entrance serta memiliki fasilitas kebun bibit dan hidroponik center sebagai daya tarik. Agrowisata Cilangkap terletak diposisi yang cukup strategis dan dilewati kendaraan umum. Konsumen Agrowisata Cilangkap dominan laki-laki, berdomisili di Jakarta dan bekerja sebagai pegawai swasta. 2. Motivasi konsumen berkunjung yaitu rekreasi dan memutuskan berkunjung ke Agrowisata Cilangkap karena alasan kemudahan mencapai lokasi. Konsumen berkunjung bersama keluarganya menggunakan kendaraan motor yang sudah direncanakan dari rumah. Konsumen akan melakukan kunjungan ulang dan tidak terpengaruh kenaikan harga di masa yang akan datang. Fasilitas yang paling diharapkan konsumen yaitu toilet. 3. Konsumen masuk dalam kategori cukup puas terhadap kualitas pelayanan jasa Agrowisata Cilangkap dengan atribut yang paling sesuai yaitu keindahan panorama dan atribut yang paling tidak sesuai yaitu keahlian pegawai. Agrowisata Cilangkap
289
memiliki kekuatan di atribut kelengkapan fasilitas, kenyamanan tempat, keindahan panorama, dan keramahan pegawai. Selain itu Agrowisata Cilangkap memiliki prioritas rendah di atribut perhatian pegawai, kecepatan pegawai, kesiapsediaan pegawai, keahlian pegawai, dan empati pegawai. ini berisi Kesimpulan dan Saran atau Rekomendasi berkaitan dengan tujuan tulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan. Pada bagian akhir penutup bisa ditambahkan Implikasi Kebijakan atau konsekuensi yang ditimbulkan dari penerapan atas kesimpulan dan saran yang dituliskan. Adapun saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai berikut: 1. Pengelola Agrowisata Cilangkap sebaiknya melakukan perbaikan dan perawatan fasilitas toilet seperti meningkatkan frekuensi pembersihan agar pengunjung lebih nyaman. 2. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan dan mengoptimalkan fungsi edukasi pertanian, sebaiknya pengelola Agrowisata menambah atraksi wisata pertanian seperti taman edukasi pertanian dimana konsumen dapat melakukan kegiatan bertani (menanam, menyiram, dan panen). 3. Pengelola Agrowisata Cilangkap sebaiknya mengadakan event rutin yang dapat dijadikan ciri khas seperti event terkait pengenalan sistem hidroponik dengan harapan dapat diterapkan masyarakat. Event tersebut nantinya juga dapat dijadikan ajang promosi. 4. Agrowisata Cilangkap sebaiknya memiliki pegawai khusus guide untuk pengunjung sehingga tidak ada pegawai yang double jobdesc. Untuk memenuhi harapan pengunjung sebaiknya pegawai lebih interaktif dan care dengan pengunjung. DAFTAR PUSTAKA Asdhiana, I Made. 2014. PAD Pariwisata DKI Jakarta Meningkat. http://travel.kompas.com (Diakses pada tanggal 14 Januari 2015). Badan Pusat Statistik. 2014. Nilai PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2011-2013. http://www.bps.go.id (Diakses pada tanggal 14 Januari 2015). Budi. 2013. Promosi Enjoy Jakarta Gandeng Bloggers Singapura. http://www.jakarta.go.id (Diakses pada tanggal 14 Januari 2015). Chatzigeorgiou, Chryssoula; Evangelos Christou; Panagiotis Kassianidis; dan Marianna Sigala. 2009. “Examining The Relationship Between Emotions, Customer Satisfaction and Future Behavioural Intentions in Agrotourism”. An 290
International Multidisciplinary Tourism. Vol 4, p. 145-161.
Journal
Of
Diana, Marin; Petroman I; Popescu M; Petroman Cornelia; Josim Iasmina; Ciolac Ramina; Dumitrescu Carmen dan Lozici Ana. 2013. “Factors That Influence Consumer Of Rural and Farm Tourism Behavior”. Lucrări Ştiinţifice. Vol. 4, p. 81-85. Dr. Graham A. Miller. 2012. “Consumerism in Sustainable Tourism : A Survey of UK Consumers”. Gulid, Nak; Aurathai Lertwannawit dan Rattana Saengchan. 2010. “Tourist Consumer Behaviour and Destination Positioning for Chainat Province”. EABR & ETLC Conference Proceedings. p. 1-9. Hanspari, Christ. 2013. Analisis Prioritas Strategi Bauran Pemasaran Pada Agrowisata Cilangkap. Skripsi. Jatinangor : Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Harikusmawan, Gusti Bagus Darma dan Kastawan Mandala. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Wisatawan Menginap di Villa Akasha Beach Estate Kerobokan Badung. p. 1182-1196. Hartawan, Tony. 2013. Ruang Terbuka Hijau 10 Persen Dari Luas Jakarta. http://www.tempo.co (Diakses pada tanggal 6 Maret 2015). Hawkins, Del I dan David L. Mothersbaugh. 2013. Consumer Behaviour Building Marketing Strategy. USA : The McGraw-Hill Companies. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2014. Statistik Wisatawan Mancanegara dan Nusantara. http://www.parekraf.go.id (Diakses pada tanggal 14 Januari 2015). Kotler, P. 2000. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Prenhallindo. Lita, Ratni Prima. 2010. Pengaruh Implementasi Bauran Pemasaran Jasa Terhadap Proses Keputusan Wisatawan Mengunjungi Objek Wisata Di Kota Padang. Jurnal Manajemen. Vol 2 No. 2, p. 91-99. Malkanthi, S.H. Pushpa dan Jayant K. Routray. 2012. “Visitor Satisfaction in Agritourim and Its Implications for Agritourism Farmers in Sri Lanka”. International Journal of Agricultural Management. Vol 2, p. 17-30. Masang, Luther. 2006. Strategi Pengembangan Agrowisata Obat Tradisional Taman Sringanis,
Bogor. Skripsi. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mowen, John C dan Michael Minor. 2002. Perilaku Konsumen Jilid 2. Jakarta : PT. Erlangga. Nugroho, Ardi. 2008. Analisis Proses Keputusan Konsumen Berkunjung ke Agrowisata Stroberi di Saung Sari. Skripsi. Jatinangor : Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Prambodo, Rickky. 2007. Analisis Penilaian Kualitas Pelayanan Untuk Mengukur Tingkat Kepuasan Konsumen Pada Kusuma Agro Wisata Batu Malang. Skripsi. Jawa Timur : Fakultas Ekonomi. Universitas Jember. Rusidi et.al. 2006. Buku Panduan Skripsi (Bimbingan, Penyusunan, dan Penulisan, Seminar, Kolokium, serta Ujian Komprehensif). Cetakan I. Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA. Sukardi dan C. Chandrawatisma. 2006. Analisis Tingkat Kepuasan terhadap Produk Corned Pronas Produksi PT CIP, Denpasar-Bali. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 18(2):106-107. Sulistyawati, Eka ; Titiek Multifiah dan Armanu Thoyib. 2010. Analisis Perilaku Keputusan Konsumen Dalam Pembelian Produk Patung Kayu Pada Toko Kerajinan (Art Shop) Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. WACANA. Vol 13 No. 1, p. 84-99 . Tjiptono, Fandy. 2008. Yogyakarta : ANDI.
Strategi
Pemasaran.
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2012. Agrowisata Sebagai Pariwisata Alternatif Indonesia. DenpasarDaftar Pustaka (bibliography) dan Kutipan (citation) berdasarkan gaya Harvard Format APA (American Psychological Association) Format penulisan dilihat pada: Panduan Penulisan Daftar Pustaka APA Citation Style (dapat diunduh pada www.sosek.agribusinessunpad.org).
291
292
Upaya Peningkatan Kinerja Sistem Logistik Komoditas Sayuran di Kelompok Tani Katata, Desa Margamekar, Kecamatan Pangalengan Improving Logistics System Performance of Vegetables in Katata Farmers Group, Margamekar Village, Pangalengan District Tika Dewi Lenggana1, Tomy Perdana1, 1Program
Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor, Sumedang
ABSTRAK
Kata Kunci: sistem logistik kehilangan hasil logistik pertanian system thinking diagram sebab akibat
Sistem logistik untuk produk pertanian memiliki fungsi pengelolaan pascapanen. Penanganan pascapanen yang buruk dapat menyebabkan kehilangan hasil. Tujuan dari sistem logistik sendiri adalah menyampaikan produk ke tangan konsumen pada waktu yang tepat dengan kualitas dan kuantitas yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kehilangan hasil yang terjadi selama aktivitas logistik dan menganalisis hubungan kausalitas sistem logistik di Kelompok Tani Katata. Kelompok Tani Katata merupakan kelompok tani yang memasarkan produknya ke pasar terstruktur dengan tiga komoditas unggulan yaitu tomat, wortel baby dan kentang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan system thinking yang digambarkan dalam diagram sebab akibat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kehilangan hasil berupa penyusutan di Kelompok Tani Katata maksimal mencapai 2,5%, sedangkan tingkat reject produk berada di kisaran 25%-40% untuk komoditas wortel baby dan 5% untuk komoditas tomat. Berdasarkan analisis system thinking, beberapa hal yang menyebabkan kehilangan hasil selama aktivitas logistik adalah pengemasan yang kurang tepat, lamanya produk terpapar suhu tinggi, dan kurangnya ketelitian pada proses sortasi.
ABSTRACT
Keywords: logistics system post-harvest losses agricultural logistics system thinking causal loop diagram
Logistic system has the function in terms of post-harvest management of agricultural products. Bad post-harvest handling would lead to the post-harvest losses. Logistic system’s goal is delivering products into the hands of the consumers at the right time with the optimal quality and quantity. This research aimed to measure the post-harvest losses that have occurud during logistics activities and to analysed the causality of logistics system in Katata. Katata is a farmers group which markets their products to the structured market with three main commodities, they are tomatoes, baby carrots and potatoes. The approach used the system thinking approach which described by causal loop diagram. The result showed that the rate of post-harvest losses reached 2,5%, while the reject rate of product ranging from 25% to 40% for baby carrots and 5% for tomatoes. Based on the analysis of system thinking, there are few things that caused post-harvest losses that have occured during logistics activities, they are the lack of proper packaging, the length of the product is exposed to high temperatures, and the lack of attention in the sorting process.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
293
PENDAHULUAN Sayuran merupakan salah satu produk pertanian yang permintaannya terus meningkat, produksi sayuran di Indonesia pun setiap tahunnya terus mengalami peningkatan (BPS, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa komoditas sayuran memiliki peluang dan prospek yang baik untuk dikembangkan. Salah satu sentra atau pemasok kebutuhan sayuran terbesar di Indonesia adalah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Menurut Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2014), sayuran yang diunggulkan di Kecamatan Pangalengan adalah kentang, kubis, sawi, wortel, dan tomat. Keunggulan tersebut dilihat berdasarkan luas tanam dan hasil produksi sayuran yang tinggi. Kelompok Tani Katata merupakan sebuah kelompok tani di Kecamatan Pangalengan yang memiliki tiga komoditas unggulan, yaitu tomat (tomat tw dan beef), kentang, dan wortel baby. Berbeda dengan petani kebanyakan, Kelompok Tani Katata memasarkan hasil produksi pertaniannya ke pasar terstruktur. Pasar terstruktur menurut Perdana (2012) adalah alternatif pasar yang dapat dipilih produsen sayuran skala kecil untuk menghindari risiko fluktuasi harga karena pasar tersebut mengadakan perjanjian mengenai harga terlebih dahulu, baik perjanjian yang dilakukan secara formal maupun informal. Kestabilan harga yang ditawarkan pasar terstruktur dimanfaatkan oleh Kelompok Tani Katata. Namun, memasok sayuran ke pasar terstruktur bukan hal yang mudah bagi petani karena adanya perjanjian atau kontrak dalam pemasaran ke pasar terstruktur, petani diharuskan untuk menghasilkan produk dengan kuantitas dan kualitas yang diminta secara kontinyu. Lebih dari itu, bukan hanya menghasilkan produk yang berkualitas dengan kuantitas yang diperlukan, petani perlu mempertahankan kualitas dan kuantitas tersebut hingga akhirnya produk sampai ke pasar terstruktur. Hal yang berperan penting dalam mempertahankan kualitas dan kuantitas produk setelah dipanen adalah penanganan pascapanen. Proses penanganan pascapanen merupakan hal yang cukup vital dalam penanganan produk pertanian, khususnya sayuran yang memiliki karakteristik perishable (mudah rusak). Penyusutan hasil saat pasca panen dapat lebih dari 40%. Hal tersebut akibat dari kurangnya pengetahuan petani mengenai
294
perlakuan saat panen dan penyimpanan sementara, juga buruknya bahkan tidak adanya fasilitas penyimpanan dan penanganan pascapanen yang layak ( Gebresenbert dan Bosana, 2012). Permasalahan kehilangan hasil panen baik dari segi kuantitas maupun kualitas dapat menjadi hambatan petani dalam memasarkan produknya ke pasar terstruktur. Oleh karena itu, untuk mengatasinya petani memerlukan pengelolaan pascapanen yang terstruktur, yaitu dengan sistem logistik pertanian. Sistem logistik untuk produk pertanian khususnya sayuran memiliki fungsi pada area pengelolaan pasca panen, penyimpanan sementara dan transportasi. Saat ini, Kelompok Tani Katata sudah menerapkan sistem logistik dalam usahataninya. Sistem logistik di kelompok tani tersebut dikelola secara khusus oleh Katata PAL Indonesia (Kapalindo). Sistem logistik diterapkan kelompok tani dengan harapan dapat memaksimalkan pemenuhan permintaan pasar terstruktur yang bekerjasama dengan kelompok tani. Pengelolaan logistik pertanian di kelompok tani yang mengusahakan komoditas sayuran ini masih tergolong baru sehingga masih diperlukan pengembangan lebih lanjut. Artikel ini membahas permasalahan kehilangan hasil pada aktivitas logistik dan juga sistem logistik yang ada di Kelompok Tani Katata. Pembahasan mengenai hal tersebut dapat membantu kelompok tani untuk meningkatkan kinerja sistem logistik yang sekarang diterapkan. KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian ini berawal dari adanya permintaan sayuran dari pasar terstruktur, dimana permintaannya tersebut memiliki spesifikasi tertentu. Kondisi ini kemudian membuat Kelompok Tani Katata menerapkan sistem logistik yang ternyata dalam penerapannya masih memiliki beberapa masalah seperti tingginya tingkat reject dan adanya penyusutan bobot sayuran. Permasalahan ini kemudian dianalisis oleh pendekatan system thinking. Pendekatan system thinking digunakan agar hubungan kausalitas setiap komponen dalam sistem logistik dapat dipahami, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya peningkatan kinerja sistem logistik agar permasalahan logistik teratasi dan permintaan pasar terpenuhi. Kerangka pemikiran penelitian ini singkatnya digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Objek penelitian ini adalah sistem logistik komoditas sayuran yang dipasok Kelompok Tani Katata ke pasar terstruktur. Metode penelitian ini dirancang sebagai studi kasus (case study) untuk mencari informasi secara mendalam yang menjelaskan sistem logistik sayuran. Sumber data penelitian diperoleh dari data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah studi lapangan (wawancara, observasi, dokumentasi) dan studi pustaka. Teknik pemodelan sistem logistik menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan pemodelan system thinking. Pemodelan tersebut kemudian digambarkan dalam diagram sebab akibat (causal loop diagram).
Produ k
Pasar
Tingkat Kehilangan Hasil Penyimpan Transport an asi
Tingk at Reject
sementara
Tomat TW Tomat TW Tomat Beef Kentan g Wortel Baby
PT.X (57km) PT.Y (152k m) PT.Y (152k m) PT.Y (152k m) PT.Z (71km)
-
0,5%
5%
-
1,5%
-
2%
1,5%
-
2%
1%
-
-
2-2,5%
2540%
HASIL DAN PEMBAHASAN KEHILANGAN HASIL SELAMA AKTIVITAS LOGISTIK Kehilangan hasil pada produk sayuran dapat dibagi menjadi dua, yaitu dari segi kualitas dan kuantitas. Kehilangan hasil dari segi kuantitas dapat ditunjukkan dengan penurunan bobot sayuran,
sedangkan kehilangan hasil dari segi kualitas dapat ditunjukkan dengan penurunan kualitas baik dari segi warna, bentuk fisik, tingkat kematangan, dan rasa. Kehilangan hasil tersebut terjadi dari semenjak produk dipanen hingga akhirnya sampai di pasar. Penanganan pascapanen yang baik dan sesuai karakteristik produk akan mempertahankan kualitas komoditas hingga sampai di pasar, sehingga kehilangan hasil tersebut dapat diminimalisir. Kegiatan pascapanen di Kelompok Tani Katata dilakukan di rumah pengemasan (packing house) milik kelompok tani. Saat ini, Kelompok Tani Katata menerapkan zero stock (tidak ada persediaan). Jumlah produk yang dipanen disesuaikan dengan jumlah produk yang dikirim ke pasar terstruktur. Pemanenan produk pun dilakukan mendekati hari pengiriman atau bahkan apabila jarak pengiriman dan penanganan produk singkat, pemanenan dilakukan di hari yang sama. Hal ini mengakibatkan waktu simpan produk di packing house sangat singkat. Tingkat kehilangan hasil di Kelompok Tani Katata dapat dilihat pada Tabel 1. Kehilangan hasil produk sayuran riskan terjadi pada saat penyimpanan dan proses transportasi. Oleh karena itu, data yang disajikan pada Tabel 1 adalah tingkat kehilangan hasil berupa penyusutan bobot selama penyimpanan dan transportasi. Kehilangan hasil secara kualitas sendiri ditunjukkan oleh tingkat reject produk, dimana produk yang ditolak (reject) adalah produk yang kualitasnya tidak sesuai permintaan pasar terstruktur baik segi dari bentuk, ukuran, maupun warna. Tabel 1. Kehilangan Hasil selama aktivitas Logistik Kehilangan hasil selama penyimpanan sementara hanya dialami oleh dua komoditas, yaitu tomat beef dan kentang. Hal ini terjadi karena komoditas lain dipanen dihari yang sama dengan waktu pengiriman. Tomat beef mengalami penyusutan bobot sebesar 2% selama satu minggu
295
disimpan, sedangkan kentang mengalami penyusutan bobot sebesar 2% selama tiga hari disimpan. Kehilangan hasil selama transportasi paling tinggi dialami oleh wortel baby yang menempuh perjalanan sejauh 71km. Tingkat reject yang paling tinggi pun dialami oleh wortel baby, yaitu berkisar. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, karena bila dilihat dari segi jarak, komoditas yang menempuh jarak paling jauh adalah komoditas yang dipasok ke PT.Y. Banyaknya kehilangan hasil yang dialami komoditas wortel baby, pertama disebabkan oleh penanganan pascapanen yang belum maksimal. Berbeda dengan komoditas lainnya, komoditas wortel baby tidak mengalami sortasi di packing house jadi sortasi hanya dilakukan di kebun saja padahal sesampainya di packing house wortel dicuci menggunakan mesin, yang mana dalam prosesnya wortel bisa saja patah. Kedua, fisik jalan yang dilalui saat pengiriman wortel baby tidak sebagus fisik jalan yang dilalui saat pengiriman komoditas lain. Jalan yang perlu ditempuh ke PT.X dan PT.Y adalah jalan bebas hambatan (jalan tol) dan jalan raya, sedangkan jalan yang perlu ditempuh ke PT.Z selain kedua jalan tersebut adalah jalan desa yang sedikit berlubang. Fisik jalan yang kurang bagus tersebut menyebabkan goncangan yang dialami komoditas selama pengiriman lebih besar dan akhirnya menyebabkan kerusakan sayuran. Susut bobot dan permasalahan off grade pada setiap komoditas sangat erat kaitannya dengan perlakuan selama transportasi. Jika kerusakan mekanis pasca transportasi yang terjadi pada permukaan buah relatif besar maka penguapan dan kehilangan air dapat terjadi lebih cepat. Sebaliknya jika kerusakan mekanis pasca transportasi yang terjadi pada permukaan buah relatif kecil maka penguapan dan kehilangan air yang terjadi selama penyimpanan akan lebih lambat. Kerusakan yang terjadi pada permukaan buah mengakibatkan buah mengalami kehilangan pelindung alaminya, sehingga kegiatan transpirasi berlangsung lebih cepat. Selain faktor tersebut, suhu ruang penyimpanan juga mempengaruhi laju penurunan susut bobot. Semakin tinggi suhu ruang penyimpanan maka akan semakin tinggi laju penurunan bobot buah (Hasiholan, 2008). ANALISIS SYSTEM THINKING SISTEM LOGISTIK SAYURAN Sistem logistik memiliki fungsi pengelolaan pascapanen. Logistik sendiri dimulai dari kegiatan pemanenan produk hingga akhirnya produk sampai di tangan konsumen, yaitu dalam kasus ini adalah
296
pasar terstruktur. Kausalitas dalam sistem logistik di Kelompok Tani Katata dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan tiap unsur yang ada dalam sistem logistik sayuran saling terkait dan memberi efek bagi unsur lainnya. Pada umpan balik negatif pertama (B1), digambarkan apabila keuntungan petani meningkat, maka kecenderungan modal yang dimiliki petani juga akan meningkat. Peningkatan pada modal akan meningkatkan usaha penanaman baru petani, yang akhirnya akan meningkatkan produksi sayuran. Namun apabila produksi sayuran meningkat, biaya produksi akan meningkat dan hal ini justru akan mengurangi keuntungan yang didapatkan petani. Pada umpan balik negatif kedua (B2), digambarkan bahwa pendapatan petani meningkat akan meningkatkan keuntungan petani yang selanjutnya seperti pada umpan balik negatif pertama (B1) akan meningkatan produksi sayuran. Namun selain meningkatkan biaya produksi, pada B2 digambarkan bahwa produksi sayuran akan meningkatkan volume panen dan volume panen yang meningkat akan meningkatkan sayuran on grade. Peningkatan jumlah sayuran on grade, akan meningkatkan biaya yang diperlukan untuk pengelolaan pascapanen produk tersebut yang disebut biaya logistik. Biaya logistik yang meningkat akan mengurangi pendapatan petani. Pada umpan balik negatif ketiga (B3), biaya logistik yang meningkat juga akan meningkatkan biaya produksi. Seperti yang sudah dijelaskan pada B1, biaya produksi meningkat akan mengurangi keuntungan padahal keuntungan yang meningkat dapat meningkatkan modal petani sehingga dapat meningkatkan produksi sayuran. Umpan balik negatif keempat (B4) menggambarkan hubungan kausal pendapatan dari pasar tradisional. Pada umpan balik sebelumnya, telah dibahas bahwa pendapatan yang meningkat pada akhirnya akan meningkatkan produksi sayuran karena pendapatan dapat meningkatkan modal petani untuk melakukan penanaman baru. Produksi sayuran yang meningkat kemudian akan meningkatkan volume panen. Volume panen yang meningkat akan meningkatkan jumlah sayuran yang on grade, dimana apabila sayuran on grade meningkat jumlah sayuran off grade akan menurun. Sayuran off grade adalah sayuran yang tidak sesuai spesifikasi pasar terstruktur, sehingga dijual ke pasar tradisional. Penjualan ke pasar tradisional akan meningkat apabila jumlah sayuran yang off grade meningkat. Penjualan ke pasar tradisional ini juga akan meningkatkan pendapatan.
Modal petani
+
+ Penanaman baru
Keuntungan +
B1 + Biaya produksi
+ Produksi sayuran
+
B3
+ +biaya logistik +
+ Penyusutan bobot + sayuran
B2
Kehilangan kadar air sayuran
- Pendapatan +
+ +
+ + + Perbaikan quality control pascapanen
Kualitas SDM
Kerusakan fisik sayuran +
B7
+ + + + Ketelitian proses sortasi
+ Volume Panen
+ Sayuran + On Grade -
B5
Keluhan pelanggan + -
Sayuran terpapar suhu ruang
Pengemasan sayuran dengan tepat
+
Lama pengiriman +
B6
Lama persiapan pengiriman
+ Jarak pengiriman
Sayuran reject +
R1
-
Service Level
-On time delivery
R2 -
Pemenuhan permintaan +
+ Kepuasan + pelanggan +
Sayuran Off Grade + + Pasar tradisional B4
+ + Pengiriman ke pasar terstruktur
-
-
R3
+ Sayuran diterima pasar terstruktur
Gambar 2. Causal Loop Diagram Sistem Logistik Kelompok Tani Katata Umpan balik positif pertama (R1) menggambarkan hubungan kausal antara sayuran off grade dan sayuran on grade. Sayuran yang dipanen akan melalui proses sortasi dimana sayuran dipisahkan sesuai spesifikasi yang diminta pasar. Sayuran yang sesuai dengan spesifikasi pasar disebut sayuran on grade. Peningkatan jumlah sayuran on grade akan mengurangi jumlah sayuran yang off grade. Begitu juga sebaliknya, peningkatan jumlah sayuran yang off grade akan mengurangi jumlah sayuran yang off grade. Umpan balik positif kedua (R2) dan umpan balik positif ketiga (R3) sama-sama menggambarkan hubungan kausal pendapatan dengan penjualan ke pasar terstruktur. Pada R2 digambarkan bahwa volume panen yang meningkat akan meningkatkan pengiriman ke pasar terstruktur lalu akan meningkatkan jumlah sayuran yang diterima oleh pasar terstruktur. Semakin banyak sayuran yang diterima oleh pasar terstruktur, semakin tinggi pula pendapatan dari pasar terstruktur. R3 juga menggambarkan hubungan yang hampir mirip dengan R2, hanya perbedaanya terletak di volume panen. Pada R3, volume panen yang meningkat akan meningkatkan jumlah sayuran yang on grade, baru selanjutnya akan meningkatkan jumlah pengiriman
ke pasar terstruktur dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan. Pada umpan balik negatif kelima (B5), kualitas sumber daya manusia yang meningkat akan meningkatkan ketelitian pada proses sortasi. Ketelitian pada proses sortasi menandakan proses sortasi dilakukan dengan baik dimana apabila terjadi peningkatan dalam proses ini, jumlah sayuran reject akan berkurang. Sayuran reject yang meningkat nantinya akan meningkatkan keluhan pelanggan. Keluhan pelanggan yang meningkat akan meningkatkan perbaikan quality control pada pascapanen. Terjadinya perbaikan quality control akan meningkatkan ketelitian pada proses sortasi. Perbaikan quality control juga akan meningkatkan pengemasan sayuran dengan tepat. Terjadinya pengemasan sayuran dengan tepat akan mengurangi kerusakan fisik sayuran selama transportasi. Kerusakan fisik selama transportasi dapat menyebabkan sayuran reject meningkat yang akan meningkatkan keluhan pelanggan dan perbaikan quality control pascapanen. Hal ini digambarkan pada umpan balik negatif keenam (B6). Umpan negatif ketujuh (B7) menggambarkan penyusutan bobot sayuran. Bermula dari hal yang sama dengan B6, kerusakan fisik
297
sayuran dapat meningkatkan kehilangan kadar air pada sayuran. Meningkatnya kehilangan kadar air sayuran akan meningkatkan penyusutan bobot pada sayuran. Penyusutan bobot sayuran yang meningkat akan menyebabkan perbaikan quality control pascapanen. Keseluruhan loop tersebut saling berhubungan dengan dihubungkan oleh variabel-variabel lain. Seperti contohnya pada variabel modal petani. Modal petani dapat meningkat apabila keuntungan petani meningkat. Keuntungan petani sendiri dapat meningkat apabila pendapatan petani meningkat. Peningkatan pada pendapatan petani dapat terjadi apabilia pemenuhan permintaan juga meningkat. Pemenuhan permintaan pasar nantinya akan menyebabkan peningkatan kepuasan pelanggan. Pemenuhan permintaan sendiri disebabkan oleh jumlah sayuran yang diterima pasar yang memiliki hubungan langsung dengan jumlah sayuran on grade. Jumlah sayuran on grade juga memiliki hubungan kausalitas dengan volume panen dan proses sortasi, dimana proses sortasi memiliki hubungan kausalitas dengan permasalahan jumlah sayuran reject dan penyusutan bobot. Permasalahan sayuran reject akan memiliki implikasi terhadap keluhan pelanggan dan menyebabkan kepuasan pelanggan menurun. PENUTUP Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bebrapa hal, yaitu: 1. Tingkat kehilangan hasil berupa penyusutan bobot selama aktivitas logistik di Kelompok Tani Katata ternyata maksimal hanya mencapai angka 2,5%. Tingkat reject produk hanya dialami dua komoditas yaitu tomat tw untuk PT.X sebesar 5% dan wortel baby yang nilainya cukup besar yakni mencapai 25-40%. 2. Faktor yang dapat menyebabkan kerusakan produk dan penyusutan produk antara lain, pengemasan yang kurang tepat, lamanya produk terpapar suhu tinggi, kurangnya ketelitian pada proses sortasi. Berdasarkan simpulan tersebut, rekomendasi yang diberikan adalah penerapan Standard Operating Procedure (SOP) logistik dalam aktivitas logistik. SOP logistik ini nantinya mengatur segala hal yang berhubungan dengan handling produk seperti cara pengemasan yang tepat dan ketelitian pada proses sortasi sehingga jumlah produk yang ditolak dan penyusutan bobot dapat dikurangi.
298
DAFTAR PUSTAKA Bowersox, Donald J. 2006. Manajemen Logistik: Integrasi Sistem-Sistem Manajemen Distribusi Fisik dan Manajemen Material. Terj. Hasymi Ali (ed). Jakarta. BumiAksara. Gebresenbet, G & Techane, B. 2012. Logistics and Supply Chain in Agriculture and Food. Department of Energy and Technology, Swedish University of Agricultural Science, Uppsala, Swedia. Melalui : www.intechopen.com. Diakses pada 29 Oktober 2014. Pantastico, Er. B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. (Diterjemahkan oleh Kamariyani; editor G. Tjitrosoepomo). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Parfitt, J., M. Barthel and S. Macnaughton (2010) “Food waste within food supply chains: quantification and potential for change to 2050”. Philosophical Transactions of the Royal Society – Biological Sciences: 30653081, UK. Perdana, T. 2012. Model Manajemen Logistik dalam Meningkatkan Daya Saing Produsen Sayuran Skala Kecil Untuk Memenuhi Permintaan Pasar. Artikel Seputar System Dynamic dan Agribisnis.
Komersialisasi Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta Agricultural Commercialization in Yogyakarta Special Region Jangkung Handoyo M.1,2*, Dwidjono H. Darwanto1, Setiawan Suryo K. J.3, Sugiyarto1, Arif Wahyu W.4 1
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, [email protected] Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 4 Peneliti pada Lab. Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2 Pusat
ABSTRAK
Kata Kunci: komersialisasi, marketable surplus, perdagangan, subsisten, usahatani
Kebanyakan petani Indonesia berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rumahtangga dengan membudidayakan tanaman pangan. Kegiatan perdagangan dilakukan rumahtangga tani untuk memperoleh barang dan jasa yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi pertanian. Dalam perdagangan, petani membutuhkan uang tunai untuk melakukan pertukaran. Uang tunai diperoleh petani dengan berbagai cara, seperti melakukan pekerjaan sampingan di bidang off-farm, non-farm, dan melakukan komersialisasi produksi pertanian yang memiliki surplus yang dapat dipasarkan (marketable surplus). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menghitung tingkat komersialisasi produksi pertanian dan (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani terhadap tingkat komersialisasi usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tingkat komersialisasi usahatani sebesar 70,16%, dan (2) faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani terhadap tingkat komersialisasi pertanian adalah pengalaman bertani kepala rumahtangga, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, ukuran lahan pertanian, perbandingan harga gabah terhadap harga bawang merah, perbandingan harga gabah terhadap harga bawang putih, perbandingan harga gabah terhadap harga beras, perbandingan harga gabah terhadap harga minyak goreng, perbandingan harga gabah terhadap harga gula, perbandingan harga gabah terhadap harga cabai, perbandingan harga gabah terhadap harga mie instan, perbandingan harga gabah terhadap harga tempe, dan perbandingan harga gabah terhadap harga ayam.
ABSTRACT
Keywords: commercialization, farming, marketable surplus, subsistence, trade
Most of the Indonesian peasant oriented to meet the needs of household foods by cultivate food crops (self-sufficient). Trading activities carried out farm households to acquire goods and services that cannot be met by agricultural production. In trade, farmers need cash to exchange. Cash obtained farmers in various ways, such as doing a side job in the field of off-farm, non-farm, and perform commercialization of agricultural production that has marketable surplus. This study aims to: (1) calculate the level of commercialization of agricultural production and (2) analyze the factors that influence the decision of farmers on agriculture commercialization levels. The results showed that: (1) the level of commercialization is 70,16%, and (2) factors affecting decisions of agricultural commercialization are household head farming experience, education level of household head, agricultural land size, paddy price compared to onion price, paddy price compared to garlic price, paddy price compared to the price of rice, paddy price compared to the price of cooking oil, paddy price compared to sugar price, paddy price compared to chili price, paddy price compared to the price of instant noodles, paddy price compared to the price of tempeh, and paddy price compared to the price of chicken.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
299
PENDAHULUAN Gambaran mengenai usahatani subsisten identik dengan kecilnya skala usaha, tenaga kerja utama berasal dari dalam keluarga, kekurangan mesin pertanian, kesulitan dalam membeli input produksi dan memasarkan produk (diasumsikan petani dalam keadaan marketable surplus), serta tidak melakukan usaha untuk memperoleh nilai tambah pada komoditas utama. Secara lebih umum, karakteristik usahatani subsisten adalah bahwa petani memproduksi pangan untuk keluarganya dan tidak memiliki orientasi komersil (Lerman, 2004). Banyak petani di negara-negara miskin berorientasi subsisten, yaitu petani hanya memproduksi untuk konsumsi rumahtangga saja dan potensi terjadinya surplus produksi yang dapat dipasarkan sangat kecil. Petani melakukan hal ini karena adanya keterbatasan sumberdaya pertanian, atau rintangan yang menghalangi mereka untuk membawa surplus produksi ke pasar terlalu tinggi. Di Albania, hanya 48% dari responden yang melakukan penjualan surplus produksi pertanian. Hal serupa juga terjadi di Republik Ceko, sebesar 49% rumahtangga tani belum terdaftar sebagai petani yang menjual hasil panennya (Mathijs, 2002). Dalam penjualan usahatani, semakin tinggi harga produk relatif terhadap harga barang lain maka semakin sedikit jumlah produk yang dijual ke pasar karena mampu untuk membeli barang lain dengan hanya menjual produk pada jumlah yang lebih sedikit. Sebaliknya semakin rendah harga produk relatif terhadap barang lain, petani akan menjual semakin banyak agar mampu membeli barang lain yang dibutuhkan rumahtangga. Dengan demikian jika harga produk relatif lebih rendah dari harga barang lain maka kemampuan rumahtangga petani untuk membeli barang lain menurun yang berarti pula menurun tingkat kesejahteraannya (Darwanto, 2005). Dengan menggolongkan komoditas pertanian tertentu sebagai komoditas subsisten maka produk yang dihasilkan (Q) digunakan untuk memenuhi konsumsi keluarga petani (C) dan selebihnya dijual ke pasar (M). Secara matematis alokasi tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut (Toquero et al., 1975 dalam Darwanto, 2005) : Q=C+M Gambaran ekonomi untuk alokasi Q serta C dan M secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 1, Sumbu horizontal (0F) menggambarkan jumlah produk komoditas subsisten dan sumbu tegak (0C n) menggambarkan konsumsi barang atau produk lain yang tidak diproduksi oleh rumahtangga tani. Panjang sumbu datar 0F menggambarkan total
300
produk (Q) dengan alokasi untuk konsumsi rumahtangga (C) dan untuk dijual ke pasar (M) (Toquero et al., 1975 dalam Darwanto, 2005). Cn
A2
U2 U1 A1 U0 E2 A0
E1 E0
X0 P P P 0
C0 Konsumsi RT
M
F
Dijual ke Pasar Q Output
Gambar 1. Model Alokasi Output Petani Subsisten untuk Konsumsi dan Dijual Sumber: Toquero et al., (1975) dalam Darwanto (2005)
Dengan anggapan bahwa produksi pertanian mempunyai kontribusi yang relatif besar terhadap pendapatan rumahtangga maka untuk produk sebesar Q0 tersebut akan dialokasikan untuk konsumsi rumahtangga sebesar C0 dan selebihnya sejumlah M0 untuk dijual ke pasar untuk memaksimalkan utility atau kesejahteraan rumahtangga (U0). Teori klasik menyatakan bahwa jumlah hasil yang dijual ke pasar oleh rumahtangga petani akan tergantung pada tingkat harga produk, yaitu semakin tinggi harga produk maka akan semakin besar jumlah produk yang dijual. Namun, untuk produk komoditas subsisten ini pertimbangan harga produk tersebut bukanlah satu-satunya pertimbangan petani untuk memutuskan besaran jumlah barang yang dijual ke pasar tetapi masih akan mempertimbangkan pula harga barang kebutuhan lain yang tidak diproduksi oleh rumahtangga petani tersebut. Dengan kata lain besaran jumlah hasil yang dijual ke pasar tersebut akan tergantung pada besarnya kebutuhan uang tunai untuk membeli produk barang atau jasa yang tidak dihasilkan oleh rumahtangga petani tersebut. Untuk gambaran tersebut maka dapat dikemukakan pertimbangan harga tersebut dicerminkan oleh perbandingan harga yaitu Pi = Pr/Pnr dengan r = rice dan nr = barang lain atau sebagai koefisien arah dari garis anggaran (budget line) pada Gambar 2.2. (Toquero et al., 1975 dalam Darwanto, 2005).
Mathijs and Noev (2002) menemukan bahwa share penjualan produksi pertanian pada empat negara berbeda-beda, di Rumania share penjualan sebesar 36%, Bulgaria sebesar 38%, Hungaria sebesar 57%, dan Albania sebesar 84%. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat penjualan pertanian pada rumahtangga subsisten tersebut diantaranya yaitu usia kepala rumah tangga, penerimaan rumahtangga tani, kepemilikan mobil, keikutsertaan petani dalam koperasi pertanian, luas lahan yang dikuasai petani, kepemilikan mesin-mesin pertanian, jumlah ternak yang dimiliki petani, dan jarak antara rumah petani dengan kota pemerintahan yang paling dekat. Meskipun petani di Indonesia identik dengan orientasi subsistennya, kebutuhan ekonomi manusia yang semakin komplek menuntut petani meningkatkan produktivitas sehingga hasil yang diperoleh selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan juga dapat dijual agar petani memiliki alat tukar untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kegiatan penjualan usahatani, petani terlebih dahulu akan menggunakan hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Penjualan terjadi ketika terdapat surplus produksi pertanian. Apabila surplus tidak terjadi, maka pemenuhan kebutuhan rumahtangga tani akan dipenuhi dari sumber lain seperti tabungan hasil panen sebelumnya, pendapatan yang berasal dari luar usahatani, maupun pinjaman dari tetangga atau sanak saudara. Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menghitung tingkat penjualan/komersialisasi produksi pertanian. 2. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penjualan/komersialisasi usahatani.
pangan rumahtangga. Oleh karena itu, produksi pangan yang terbatas harus diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga. Bahkan, beberapa petani akan menabung hasil panen mereka untuk berjaga-jaga apabila terjadi krisis pangan, terutama yang diakibatkan gagal panen atau suatu keadaan yang membuat petani tidak melakukan usahatani (misal terjadi kekeringan atau bencana alam lainnya). Petani akan melakukan kegiatan komersialisasi usahatani apabila terdapat excess dari produksi pangan mereka dan biasanya digunakan untuk dapat mengakses kebutuhan pangan lain dari pasar.
KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP Pendapatan rumahtangga tani pada umumnya dapat berasal dari usahatani (komersialisasi dan konsumsi sendiri) dan luar usahatani (baik dengan bekerja pada sektor pertanian/off-farm maupun non pertanian/non-farm). Di samping beberapa sumber tersebut, rumahtangga tani juga dapat memperoleh pendapatan dari transfer maupun bantuan dari pemerintah, namun hal ini tidak dialami oleh banyak rumahtangga tani. Pendapatan yang diperoleh petani akan digunakan untuk belanja yang merupakan pengeluaran dan untuk ditabung (saving). Komersialisasi usahatani merupakan suatu kegiatan penjualan yang dilakukan petani terhadap produk pertanian yang dihasilkan. Bagi petani kecil di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebagian besar membudidayakan tanaman pangan, kegiatan usahatani sangat berpengaruh terhadap ketahanan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Pendapatan RT
Pendapatan UT
Pendapatan LUT
Konsumsi RT
Komersialisasi UT
Produksi Pertanian
Jarak Rumah-Kota Pendidikan KK Lama Berusahatani Luas Lahan UT Ukuran RT Harga GKP/Harga Bawang Merah Harga GKP/Harga Bawang Putih Harga GKP/Harga Minyak Goreng Harga GKP/Harga Gula Harga GKP/Harga Cabe Harga GKP/Harga Mie Instan Harga GKP/Harga Tempe Harga GKP/Harga Ayam
METODE PENELITIAN 1. Metode Sampling Data yang digunakan dalam studi ini adalah sebagian data dari dua riset berjudul “Subsistensi dan Komersialisasi pada Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta” dan “Kesenjangan Distribusi Pendapatan dan Ketahanan Pangan Rumahtangga Tani di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Hibah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada tahun 2013. Pengambilan data primer melibatkan 72 rumahtangga tani di Daerah Istimewa Yogyakarta, terdiri dari 35 sampel dari petani Kabupaten Gunungkidul dan 37 sampel petani dari Kabupaten Sleman yang dipilih secara acak.
301
2.
Metode Analisis Untuk menjawab tujuan 1 (satu) mengenai tingkat komersialisasi rumahtangga tani digunakan analisis kuantitatif. Yaitu dari masing-masing rumahtangga tani yang menjadi responden dihitung nilai perbandingan antara kuantitas produksi yang dijual dengan total produksi. Menurut Starsberg, Jayne, Yamano, Nyoro, Karanja, and Strauss (1999) serta Okezie, Sulaiman, and Nwosu (2012), secara matematis deskripsi perhitungan komersialisasi usahatani adalah sebagai berikut:
𝑆 𝑋= 𝑥 100 % 𝑇𝑃 Keterangan : X : share penjualan rumahtangga tani (%) S : kuantitas produksi yang dikonsumsi/ disimpan TP : total produksi rumahtangga tani
Selanjutnya, agar didapat satu nilai dari seluruh responden, dicari nilai rata-rata share produksi pertanian yang dikonsumsi atau disimpan untuk seluruh rumahtangga tani. Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komersialisasi usahatani di Yogyakarta digunakan metode analisa ekonometri berupa regresi Logit. Sedangkan software yang digunakan untuk menganalisa adalah Eviews dengan metode enter, yaitu metode pemilihan variabel dengan cara memasukkan semua variabel dalam perhitungan (single step). Penggunaan model regresi Logit untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan keputusan petani untuk menjual output pertanian yang pemilihannya didasarkan pada jenis data variabel dependen yang merupakan data dummy atau biner yang mengasumsikan hanya ada dua nilai pada variabel dependen. Model regresi untuk menganalisa hipotesis kedua ini sebagai berikut : Com = c + ln DisHC + ln ExpHH + ln EduHH + ln Income + ln Land + ln NumFM + ln PP/PO + ln PP/PG + ln PP/PFO + ln PP/PS + ln PP/PCl + ln PP/PM + ln PP/PT + ln PP/PCh + µ Keterangan :
Com = tingkat orientasi petani Com = 1, jika rumahtangga tani bersifat komersil Com = 0, jika rumahtangga tani bersifat subsisten DisHC ExpHH EduHH Income Land NuFM
302
= jarak rumah ke kota pemerintahan = lama pengalaman berusahatani = lama pendidikan petani = total pendapatan petani = luas lahan pertanian = ukuran rumahtangga
PP/PO PP/PG PP/PFO PP/PS PP/PCl PP/PM PP/PT PP/PCh c µ
= perbandingan harga gabah dan bawang merah = perbandingan harga gabah dan bawang putih = perbandingan harga gabah dan minyak goreng = perbandingan harga gabah dan gula = perbandingan harga gabah dan cabe = perbandingan harga gabah dan mie instan = perbandingan harga gabah dan tempe = perbandingan harga gabah dan ayam = konstanta = error term
a)
Pengujian Model Pengujian model Logit yaitu menggunakan Maximum Likelihood Estimastion (MLE) untuk menghitung nilai Likelihood Ratio Index (LRI) yang setara dengan koefisien determinasi (R2) pada regresi OLS, uji Likelihood Ratio (LR) yang setara dengan uji F pada regresi OLS dan uji Wald (Z-Statistics) yang setara dengan uji t pada regresi OLS (Green, 1993). Namun dalam regresi logistik tidak mengasumsikan hubungan linear antara variabel bebas dan terikat, tidak membutuhkan normalitas dalam distribusi variabel dan juga tidak mengasumsikan homoskedastisitas varians. b)
Goodness of Fit Test Tiga pengujian goodness of fit dari model regresi Logit yang umum dilakukan adalah pengujian Likelihood Ratio Index (Pearson R2), pengujian Likelihood Ratio Test (LR), dan Wald Test (Z). 1)
Likelihood Ratio Index (LRI) LRI ini sama dengan Pseudo R2 atau Mc. Fadden’s R2 (Borooah, 2002). LRI pada regresi logistik ini lebih ditujukan untuk mengukur kekuatan hubungan (strengh of association). Nilainya berkisar dari 0 hingga 1, dimana 0 mengindikasikan bahwa variabel independen tidak dapat digunakan untuk untuk memprediksi variabel dependen (have no usefulness in predicting). 2) Uji Likelihood Ratio (LR) Uji LR digunakan untuk mengetahui tingkat pengaruh semua variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Dalam hal ini formulasi LR menurut Theil (1971) sebagai berikut : LR = n’(R2) / 2 (1-R2) Keterangan: n’ : jumlah sampel dikurangi jumlah variabel bebas R2 : koefisien determinasi Adapun formula hipotesisnya sebagai berikut :
Ho: β1 = β2 = .... = βi = 0, artinya tidak ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Ha: salah satu βi ≠ 0, artinya ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. LR dibandingkan dengan Chi Square tabel (X2). Jika LR hitung > Chi Square tabel berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
3) Wald Test (Z) Uji ini digunakan untuk menguji pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen melalui perubahan odds. Adapun formula hipotesisnya (Green, 1993; Widarjono, 1992) adalah sebagai berikut : Ho : βi = 0 atau Ho : ORi (odd ratio) = 1, artinya tidak ada pengaruh variabel independen ke-i terhadap dependen (ketahanan pangan rumah tangga tani) Ha : βi ≠ 0, artinya ada pengaruh variabel independen ke-i terhadap dependen (ketahanan pangan rumah tangga tani) W hitung (Wald) = (β/SE)2 = Z W hitung dibandingkan dengan Chi Square tabel (X2). Jika W hitung lebih besar daripada Chi Square tabel (X2) berarti Ho ditolak atau variabel independen yang diuji secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tingkat Komersialisasi Usahatani Total produksi pertanian rumahtangga tani di Daerah Istimewa Yogyakarta secara umum terdistribusi untuk memenuhi kebutuhan pangan internal rumahtangga dan sisanya dijual untuk mencukupi berbagai keperluan lain seperti modal usahatani musim tanam berikutnya, kebutuhan pangan rumahtangga yang tidak dapat diproduksi sendiri maupun kebutuhan non pangan. Besaran nilai penjualan produksi pertanian dapat menentukan status petani. Berdasarkan pada teori Mosher (1970) dalam Kostov and Lingard (2004) serta Davidova, Fredriksson, and Bailey (2009) menyebutkan bahwa petani subsisten adalah petani yang menjual kurang dari 50% total produksinya sedangkan yang dimaksud dengan petani komersil adalah petani yang melakukan penjualan lebih dari 50% nilai produksinya. Kegiatan penjualan/ komersialisasi usahatani merupakan bentuk perdagangan yang dapat
menjadi jembatan bagi petani untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebab, pada masa seperti sekarang ini hampir tidak mungkin sebuah rumahtangga dapat memenuhi seluruh kebutuhannya tanpa melalui proses perdagangan. Berdasarkan Tabel 1, tanaman semusim memberikan kontribusi tertinggi baik yang dialokasikan untuk konsumsi rumahtangga tani maupun komersialisasi. Dalam hal konsumsi, tanaman semusim khususnya padi memberikan hasil produksi pangan yang dibutuhkan rumahtangga tani sehingga wajar apabila sebagian besar produksi dialokasikan untuk dikonsumsi sendiri. Produksi usahatani yang tidak digunakan untuk konsumsi merupakan produk marketable surplus yang dimiliki oleh sebagian petani. Petani memanfaatkan marketable surplus tersebut untuk disimpan sebagai cadangan pangan rumahtangga atau dipasarkan untuk menambah pendapatan. Sub sektor peternakan dan perikanan juga turut berkontribusi terhadap konsumsi rumahtangga maupun pada penjualan usahatani. Pada usahatani peternakan, nilai produksi terbesar terjadi karena adanya penambahan nilai ternak dan hasil produksi seperti telur dan kotoran ternak yang dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk kandang. Nilai penjualan ternak tidak begitu tinggi sebab tidak banyak petani yang menjual ternak mereka. Pada sub sektor perikanan diketahui bahwa sebagian besar produksi dimanfaatkan untuk konsumsi rumahtangga. Produksi perikanan terbilang cukup besar karena pada area sampling rata-rata rumahtangga memanfaatkan sebagian lahan pekarangan sebagai kolam. Adanya sumber air di Kecamatan Ponjong dan supply air yang relatif banyak di Kecamatan Sayegan sangat membantu petani dalam melakukan budidaya ikan. Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar produksi usahatani dikelola untuk konsumsi rumahtangga, yaitu sebesar 53%. Sedangkan sisanya (47%) dialokasikan untuk dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa secara umum usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta bersifat subsisten. Besarnya proporsi usahatani untuk dikonsumsi menunjukkan tingginya kebutuhan pangan rumahtangga, terutama yang dapat dihasilkan oleh usahatani. Disamping itu, produksi usahatani yang dicapai oleh petani tidak cukup besar bila dibandingkan dengan kebutuhan internal rumahtangga sehingga marketable surplus yang dialokasikan petani untuk dijual hanya sedikit. Adanya kegiatan komersialisasi memiliki dampak
303
positif bagi rumahtangga tani. Kegiatan penjualan usahatani menyebabkan terciptanya orientasi pasar yang lebih besar dari produksi pertanian petani (Okezie et al., 2012). Semakin tinggi proporsi penjualan terhadap produksi usahatani maka akan semakin besar pula orientasi pasar petani. Orientasi pasar akan memicu petani memiliki usahatani dengan produktivitas tinggi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan komersialisasi usahatani juga dikemukakan oleh beberapa pakar. von Braun and Kennedy (1994) dalam Abera (2009) menyebutkan bahwa komersialisasi memainkan peranan yang signifikan dalam meningkatkan pendapatan dan merangsang tumbuhnya perdesaan melalui peningkatan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas pertanian perdesaan, pendapatan langsung bagi pekerja dan pemilik lahan, meningkatkan suplai makanan dan berpotensi dalam peningkatan status gizi masyarakat desa. Pendapat tersebut juga didukung oleh Timmer (1997) yang menyatakan bahwa komersialisasi usahatani berhubungan erat dengan produktivitas yang lebih tinggi, spesialisasi usahatani yang lebih baik, dan pendapatan yang lebih besar. Lebih lanjut disebutkan bahwa hasil yang didapatkan tersebut memberikan jalan bagi petani untuk dapat memperbaiki tingkat ketahanan pangan, pengurangan tingkat kemiskinan, dan turut berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Manfaat komersialisasi juga dikaji dengan sudut pandang yang berbeda yaitu kaitannya dengan tingkat ketahanan pangan. Sebagai contoh, von Braun (1995) menyatakan bahwa komersialisasi memiliki efek langsung pada tingkat pendapatan rumahtangga yang dapat menyebabkan peningkatan pengeluaran pangan dan non pangan. Strasberg et al. (1999) memperkuat pendapat tersebut bahwa untuk mendapatkan akses makanan yang lebih baik, rumahtangga bergantung pada pertumbuhan pendapatan, khususnya bagi rumahtangga yang sumber pendapatan utamanya berasal dari usahatani. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatkan tingkat partisipasi pasar dapat memiliki dampak yang besar pada status ketahanan pangan petani.
304
Tabel 1. Tingkat Produksi, Konsumsi dan Komersialisasi Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta Jenis Produksi Penjualan Konsumsi No Usahatani (Rp) (Rp) (Rp) 1 Tanaman Semusim a. Padi
3.818.681
1.481.412
2.337.269
b. Kcg Tanah
366.563
329.913
36.649
c. Jagung
325.660
312.361
13.299
d. Kedelai
79.819
77.222
2.597
4.590.722
2.200.908
2.389.814
a. Sapi
1.009.028
496.528
512.500
b. Kambing
1.023.125
524.514
498.611
Total Tan. Semusim 2
Peternakan
c. Ayam
640.521
301.465
339.056
2.672.674
1.322.507
1.350.167
a. Lele
279.514
159.125
120.389
b. Gurame
540.972
156.250
384.722
c. Nila
302.750
77.257
225.493
1.123.236
392.632
730.604
3.916.047 47%
4.470.585 53%
Total Peternakan 3
Perikanan
Total Perikanan
TOTAL 8.386.632 PERSENTASE 100% Sumber : Analisa data primer, 2014
Faktor‒Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Komersialisasi Usahatani Pengkajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani dilakukan dengan metode analisis Logit dan menggunakan bantuan software Eviews 4.0. Sebelum mengkaji hasil regresi yang didapatkan, perlu dibahas terlebih dahulu pengujian terhadap asumsiasumsi yang ada pada metode regresi Logit, yaitu uji determinasi dan uji Likelihood Rasio Statistik. Kemudian untuk menarik kesimpulan akhir analisis regresi Logit fungsi komersialisasi dilihat dari hasil analisa secara parsial dengan melihat signifikansi dari masing-masing variabel independen secara individual untuk menjelaskan variabel dependen pada model dengan menggunakan uji Z. 2.
a)
Uji Determinasi Uji determinasi pada model regresi Logit tidak menggunakan R2, namun menggunakan McFadden R-Squared atau R2McF (Eviews, 2001). Berdasarkan analisis regresi fungsi komersialisasi pada Tabel 2, diketahui bahwa angka R2 McF adalah sebesar 0,6433 yang berarti variasi tingkat komersialisasi usahatani dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang termasuk dalam fungsi tingkat komersialisasi usahatani sebesar 64,33 %. Sedangkan sisanya
sebesar 35,77 % dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model yang diteliti. b)
Uji Likelihood Rasio Statistik Berdasarkan hasil perhitungan oleh program Eviews pada Tabel 2 diketahui bahwa nilai probability dari Likelihood Ratio Statistic (LR Stat) pada fungsi komersialisasi dengan menggunakan Tabel 2.
Hasil Regresi Logit Fungsi Komersialisasi Usahatani di D. I. Yogyakarta Tanda Koefisien Variabel z-stat Prob. Harapan Regresi ln DisHC 0,065 0,079ns 0,540 ln ExpHH + 2,721 1,736* 0,083 ln EduHH + 1,639 2,793*** 0,005 ln Income 1,491 0,964ns 0,335 ln Land + 2,319 2,110** 0,035 ns ln NuFM + -2,023 -1,054 0,292 ln PP/PO -23,944 -2,719*** 0,007 ln PP/PG -6,403 -2,447** 0,014 ln PP/PFO -7,308 -1,787* 0,074 ln PP/PS -21,383 -2,485 ** 0,013 ln PP/PCl -5,515 -2,611*** 0,009 ln PP/PM -23,604 -2,365** 0,018 ln PP/PT -10,721 -2,413** 0,016 ln PP/PCh -10,517 -2,113** 0,035 Konstanta 119,924 *** 0,008 LR Statistic 54,737*** 0,000 McFadden R-Squared (R2McF) 0,6433 Sumber : Analisa data primer, 2014 Keterangan : *** = signifikan pada tingkat kepercayaan 99 % ** = signifikan pada tingkat kepercayaan 95 % * = signifikan pada tingkat kepercayaan 90 % ns = tidak signifikan
model regresi Logit jauh berada di bawah tingkat kesalahan (α) 0,10, yaitu 0,000 atau F hitung signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual atau tidak menjual hasil pertaniannya. c)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani pada Tingkat Komersialisasi Usahatani Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa variabel-variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap komersialisasi usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mengacu nilai Z-statistic dan angka probabilitasnya pada output perhitungan regresi Logit oleh Eviews yaitu, pengalaman bertani kepala keluarga, pendidikan
kepala keluarga, luas lahan pertanian, perbandingan harga GKP terhadap harga bawang merah, perbandingan harga GKP terhadap harga bawang putih, perbandingan harga GKP terhadap harga minyak goreng, perbandingan harga GKP terhadap harga gula, perbandingan harga GKP terhadap harga cabe, perbandingan harga GKP terhadap harga mie instan, perbandingan harga GKP terhadap harga tempe, perbandingan harga GKP terhadap harga daging ayam, dan konstanta. Variabel independen lainnya yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap komersialisasi usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain jarak rumah ke kota pemerintahan terdekat, pendapatan total keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Deskripsi dari masing-masing variabel independen, baik yang berpengaruh signifikan maupun yang tidak berpengaruh signifikan diterangkan sebagai berikut : 1) Jarak rumah ke kota Jarak antara rumah petani dengan kota pemerintahan terdekat tidak berpengaruh signifikan terhadap keputusan petani untuk melakukan penjualan produksi pertanian. Kota pemerintahan digambarkan sebagai tempat terdekat bagi petani untuk dapat melakukan kegiatan penjualan produksi pertanian. Namun, pada saat ini ternyata petani dalam melakukan penjualan produksi pertanian tidak lagi bergantung pada lokasi kota. Penjualan usahatani dapat dilakukan secara lebih praktis karena pelaku pemasaran memfasilitasi petani untuk membeli hasil pertanian dari lahan maupun dari rumah petani. Pelaku pemasaran seperti tengkulak, saat ini semakin bersaing dan berani menjemput hasil pertanian petani. Selain itu, sistem penjualan seperti ijon juga memudahkan petani untuk melakukan penjualan usahtani tanpa harus memindahkan hasil pertanian. 2) Pengalaman bertani kepala keluarga Hasil uji parsial menunjukkan pengalaman bertani kepala keluarga memiliki pengaruh signifikan terhadap penjualan usahatani pada tingkat kepercayaan 90 % dengan tanda positif sesuai dengan tanda harapan. Meningkatnya pengalaman bertani kepala keluarga akan semakin memantapkan keputusannya dalam melakukan penjualan usahatani untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik guna memenuhi kebutuhan rumahtangga. Pengalaman berusahatani merupakan faktor utama penentu komersialisasi usahatani sehingga berpengaruh signifikan dan bertanda positif (Kirui and Njiraini, 2013; dan Aderemi, Omonona, Yusuf, and Oni, 2014). Hasil ini
305
menunjukkan bahwa penambahan tahun pengalaman petani akan berdampak pada peningkatan probabilitas petani melakukan komersialisasi. Pengalaman diketahui sebagai faktor yang mendorong tercapainya kesempurnaan dalam melakukan kegiatan usahatani. Pengalaman menghasilkan wujud peningkatan pengetahuan teknis ataupun bentuk lainnya yang dapat digunakan petani dalam usahatani (Agwu, Anyanwu, and Mendie, 2012). Hussain, Chauhan, Singh, and Yousuf (2009) menambahkan bahwa pengalaman berusahatani merupakan alat praktis bagi petani untuk membedakan antara teknologi tradisional dan modern dan karena itu, merupakan faktor yang signifikan dengan menimbang tingkat adopsi petani terhadap teknologi. Petani komersil percaya bahwa penggunaan teknologi akan memberi lebih banyak produksi dan produksi yang banyak akan memberi lebih banyak pendapatan, sedangkan petani subsisten percaya pada teknologi tradisional untuk memproduksi pertanian sampai pada tingkat subsisten saja. 3) Lama pendidikan kepala keluarga Merujuk pada hasil regresi Logit, umur kepala keluarga berpengaruh terhadap keputusan petani dalam melakukan penjualan usahtani dengan tanda positif sesuai dengan teori dan signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %. Lama pendidikan formal yang dimiliki oleh petani akan berpengaruh terhadap pengelolaan produksi pertanian baik pada jumlah yang disimpan untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun yang dijual untuk memperoleh pendapatan. hal ini didukung oleh Rahut, Castellanos, and Sahoo (2010) yang menyatakan bahwa pendidikan kepala keluarga berdampak signifikan terhadap komersialisasi usahatani karena kepala keluarga yang lebih berpendidikan memiliki kesadaran yang lebih tinggi akan nilai komersialisasi dari tanaman yang diusahakan dan membudidayakan tanaman tersebut dengan sebaikbaiknya sehingga menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. FAO (2014) berpendapat bahwa pendidikan merupakan investasi dalam meningkatkan orientasi komrsial petani. Dari hasil analisa, banyak petani yang tertarik untuk melakukan komersialisasi usahatani namun tidak didasari oleh keterampilan perencanaan dan pemasaran. Pengetahuan dan kemampuan untuk bereaksi terhadap perubahan di pasar adalah pilar untuk mengembangkan dan menerapkan strategi manajemen pertanian yang berorientasi komersial. 4) Pendapatan total keluarga Berdasarkan hasil regresi Logit didapatkan bahwa besarnya pendapatan total keluarga tidak
306
berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan petani menjual produksi usahatani. Tingginya kebutuhan rumahtangga menyebabkan pendapatan total petani tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan penjualan produksi pertanian. Penjualan produksi pertanian lebih dipengaruhi oleh harga barang-barang kebutuhan pokok rumahtangga dan harga produk pertanian itu sendiri. Pendapatan per kapita menggambarkan tingkat kesejahteraan dari suatu rumahtangga tani. Semakin tinggi pendapatan per kapita suatu rumahtangga tani maka seharusnya penjualan produksi pertanian semakin rendah karena modal untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga lebih tinggi sehingga tidak perlu melakukan komersialisasi usahatani. Namun, pada kenyataannya kebutuhan petani yang tinggi serta pendapatan yang terbatas memaksa petani untuk melakukan penjualan produksi pertanian. 5) Luas lahan pertanian Hasil analisa menunjukkan bahwa luas lahan pertanian memiliki pengaruh yang signifikan pada keputusan petani melakukan penjualan produksi pertanian dengan tanda positif sesuai tanda harapan dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Luas lahan pertanian merupakan aset petani yang berguna dalam memproduksi hasil pertanian. Semakin luas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani maka semakin banyak hasil pertanian yang didapatkan petani sehingga semakin banyak pula marketable surplus dari output pertanian tersebut. Besar marketable surplus yang dimiliki petani akan berpengaruh pada besarnya probabilitas petani menjual hasil pertanian. Menurut Wiggins, Kodhek, Leavy, and Poulton (2011), luas lahan pertanian yang kecil membatasi komersialisasi dengan tidak memberikan kesempatan petani untuk memproduksi dengan tujuan komersil. Rahut et al. (2010) menambahkan, aset berupa lahan merupakan hal yang penting dalam komersialisasi. Semakin luas lahan yang dimiliki berarti memungkinkan petani untuk dapat memproduksi lebih banyak surplus yang dapat dijual ke pasar. 6) Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan petani untuk melakukan penjualan produksi pertanian. Secara teori, semakin banyak anggota rumahtangga maka semakin tinggi pula kegiatan usahatani yang dapat dilakukan oleh rumahtangga sehingga semakin besar produksi usahatani dengan surplus produksi yang dapat dipasarkan. Namun, kebanyakan anggota rumahtangga tani lebih memilih untuk melakukan kegiatan di luar usahatani untuk dapat
menambah pendapatan keluarga. Hal ini menyebabkan produksi pertanian tidak bertambah sehingga surplus produksi pertanian relatif tidak dipengaruhi oleh ukuran rumahtangga. 7) Perbandingan harga GKP terhadap harga barang pokok lainnya Harga gabah menjadi acuan variabel perbandingan harga produk pertanian terhadap harga produk kebutuhan pokok lainnya karena hampir seluruh petani memproduksi. Rata-rata petani di Daerah Istimewa Yogyakarta menghasilkan 128 kg beras/tahun dan 677 kg GKP/tahun yang setara dengan 425 kg beras/tahun setelah dikonversi dengan angka 62,74% sesuai angka acuan konversi gabah kering ke beras oleh BPS dan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian. Kajian mengenai tanda harapan pada variabel perbandingan harga gabah terhadap harga barang kebutuhan lainnya dapat dijelaskan melalui Tabel 3 dimana rata-rata rumahtangga tani memproduksi sebesar 553 kg beras/tahun sedangkan konsumsi rata-rata mencapai 556 kg/tahun. Berdasarkan perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara umum rumahtangga tani bertindak sebagai net consumer untuk produk gabah/beras. Melalui perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa produksi beras akan terlebih dahulu dialokasikan oleh petani guna pemenuhan kebutuhan rumahtangga, apabila terdapat kelebihan produksi (marketable surplus) barulah petani memanfaatkannya untuk dijual. Sehingga, perbandingan harga antara gabah dan barang pokok lainnya memiliki tanda harapan (expected sign) negatif. Bagi petani, prioritas utama pemenuhan kebutuhan beras rumahtangga lebih penting daripada penjualan karena dengan kondisi defisit beras (net consumer) maka seandainya petani melakukan penjualan gabah atau beras akan menyebabkan petani mengalami defisit beras yang lebih besar, sebagai akibatnya petani harus membeli beras dikemudian hari. Hal ini menyebabkan petani tidak merespon harga gabah/beras, tetapi harga barang kebutuhan pokok lainnya yang tidak dihasilkan usahatani. Tabel 3. Balance Produksi dan Konsumsi Beras Rata-Rata Rumahtangga Tani di DIY Rerata Produksi Beras (Kg/RT/Tahun)
Rerata Konsumsi Beras (Kg/RT/Tahun)
553
556
Analisa mengenai pengaruh harga gabah relatif terhadap harga barang lain memberikan hasil yang baik. Dari 8 (delapan) variabel perbandingan harga yang dianalisa memberikan hasil yang signifikan, yaitu perbandingan harga GKP terhadap harga bawang merah, perbandingan harga GKP terhadap harga bawang putih, perbandingan harga GKP terhadap harga minyak goreng, perbandingan harga GKP terhadap harga gula, perbandingan harga GKP terhadap harga cabe, perbandingan harga GKP terhadap harga mie instan, perbandingan harga GKP terhadap harga tempe, perbandingan harga GKP terhadap harga daging ayam. Variabel perbandingan harga gabah terhadap harga barang lain berpengaruh signifikan karena dalam melakukan penjualan usahatani, petani melihat harga barang lain. Hal ini ditujukan untuk mengetahui daya beli petani. Apabila harga barang pokok lainnya mahal, maka petani akan menjual lebih banyak gabah agar dapat membeli barang lain dengan jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan rumahtangga. Sebaliknya, bila harga barang lain turun, maka daya beli petani akan meningkat sehingga jumlah gabah yang dijual akan menurun. Barang lain yang dianalisa pada model ini merupakan barang kebutuhan pokok rumahtangga sehingga hampir dikonsumsi oleh suluruh rumahtangga. Mathur and Ezekiel (1961) dalam Murbyarto (1965) menjelaskan bahwa karena sektor pertanian kecil jarang yang menguangkan produksi pertanian, petani memiliki tendensi untuk bereaksi terbalik terhadap perubahan harga. Dihipotesiskan bahwa pada suatu periode waktu tertentu petani membutuhkan uang cash untuk membeli komoditas yang tidak dapat diproduksi, untuk membayar sewa, dan lain-lain. Hasilnya adalah peningkatan harga produk akan diikuti dengan penurunan jumlah produk yang ditawarkan, karena jumlah yang lebih sedikit ini akan dapat memenuhi kebutuhan akan uang cash. Petani kemudian lebih memilih untuk menyimpan dalam bentuk produk, keputusan ini diperkuat oleh ketidakpastian di masa mendatang. Petani merasa lebih aman dengan padian di gudang mereka daripada uang di tabungan. Hal ini diperkuat oleh Bardhan (1970) yang menjelaskan bahwa harga padian memiliki efek negatif terhadap marketable surplus. Harga produk yang lebih tinggi menyebabkan kenaikan permintaan untuk menyimpan produk menjadi besar.
Sumber : Analisis data primer, 2014
307
KESIMPULAN a) Petani di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki orientasi subsisten dengan tingkat konsumsi sebesar 53 %. b) Rumahtangga tani di Daerah Istimewa Yogyakarta berstatus sebagai net consumer untuk produk beras. c) Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan penjualan produksi pertanian antara lain pengalaman bertani kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga, luas lahan pertanian, perbandingan harga GKP terhadap harga bawang merah, perbandingan harga GKP terhadap harga bawang putih, perbandingan harga GKP terhadap harga minyak goreng, perbandingan harga GKP terhadap harga gula, perbandingan harga GKP terhadap harga cabe, perbandingan harga GKP terhadap harga mie instan, perbandingan harga GKP terhadap harga tempe, dan perbandingan harga GKP terhadap harga daging ayam. SARAN a) Adanya kesempatan bekerja, terutama pada sektor non formal akan membantu petani kecil untuk memperoleh kesempatan bekerja disela kegiatan usahatani sehingga dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga tani. Pendapatan yang lebih besar tersebut dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangga sehingga petani dapat menyimpan lebih banyak, baik dalam bentuk tabungan maupun produk pertanian. b) Stabilitas harga bahan pangan pokok serta perlindungan harga output pertanian sangat diperlukan karena terkait dengan pendapatan petani serta kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan pokok rumahtangga. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Pertanian UGM yang telah memberikan research grant untuk penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Abera, G. (2009). Commercialization of smallholder farming : Determinants and welfare outcomes (Master Thesis). Norway: University of Agder. Aderemi, E. O., Omonona, B. T., Yusuf, S. A., and Oni, O. A. (2014). Determinants of output commercialization among crop farming households in South Western Nigeria. American
308
Journal of Food Science and Nutrition Research, 1 (4), 23-27. Agwu, N. M., Anyanwu, C. I., and Mendie, E. I. (2012). Socio-economics determinants of commercialization among smallholder farmers in Abia State, Nigeria. Greener Journal of Agricultural Sciences, 2 (8), 392-397. Bardhan, K. (1970). Price and output response of marketed surplus of foodgrains : a crosssectional study of some North Indian Villages. American Journal of Agricultural Economics, 52 (1), 51-61. Borooah, V. K. (2002). Logit and Probit, Ordered and Multinomial Model. London, Thousand Oaks: Sage Publications, Inc. Darwanto, D. H. (2005). Ketahanan pangan berbasis produksi dan kesejahteraan petani. Ilmu Pertanian, 12 (2), 152-164. Davidova, S., Fredriksson, L., and Bailey, A. (2009). Subsistence and semi-subsistence farming in selected EU New Member States. Agricultural Economics, 40 (1), 733-744. Eviews. 2001. Eviews 4.0 User’s Guide. USA: Quantitative Micro Software. FAO. (2014). Understanding smallholder farmer attitudes to commercialization : the case of maize in Kenya. Rome. Green, W. H. (1993). Econometric Analysis. New York: Macmillan Publishing Company. Hussain, A., Chauhan, J., Singh, A. K. and Yousuf, S. (2009). A study on adooption behaviour of farmers in Kashmir Valley. Indian Res. J. Ext. Edu, 9 (2), 46-49. Kirui, O. K. and Njiraini, G. W. (2013). Determinants of agricultural commercialization among the rural poor : the role of ICT and collective action iniciatives and gender perspective in Kenya. Hammanet, Tunisia: AAAE Fourth International Conference, September 22-25. Kostov, P. and Lingard, J. (2004). Subsistence farming in transitional economies : its roles and determinants. Journal of Agricultural Economics, 55 (3), 565-579. Lerman, Z. (2004). Policies and institutions for commercialization of subsistence farms in transition countries. Journal of Asian Economics, 15 (3), 461-479.
Mathijs, E. (2002). Micro-economic analysis of farm restructuring in central and Eastern Europe: an overview of major results. Agricultural Economics Journal, 48 (5). Mathijs, E. and Noev, N. (2002). Commercialization and subsistence in transaction agriculture: empirical evidence from Albania, Bulgaria, Hungary and Romania. Paper Prepared for Presentation at the Xth EAAE Congress “Exploring Diversity in the European Agri-Food System”, Zaragoza (Spain), 28-31 August 2002. Murbyarto. (1965). The elasticity of the marketable surplus of rice in Indonesia : a study in JavaMadura (Doctoral dissertation). Iowa: Iowa State University. Okezie, C. A., Sulaiman, J., and Nwosu, A. C. (2012). Farm-level determinants of agriculture commercialization. International Journal of Agriculture and Forestry, 2 (2), 1-5. Rahut, D. B., Castellanos, I. V., and Sahoo, P. (2010). Commercialization of agriculture in the Himalayas. Chiba, Japan: Institute of Developing Economies (IDE) Paper No. 265. Starsberg, P. J., Jayne, T. S., Yamano, T., Nyoro, J., Karanja, D., and Strauss, J. (1999). Effect of agricultural commercialization on food crop input use and productivity in Kenya (Working Paper No. 71). East Lansing, Michigan: Department of Agricultural Economics, Department of Economics, Michigan State University. Theil, H. (1971). Principles of Econometrics. New York: Wiley Publication. Timmer, C. P. (1997). Farmers and markets: the political economy of new paradigms. American Journal of Agricultural Economics, 79 (2), 621627. von Braun, J. (1995). Agricultural commercialization: impact on income and nutrition and implication for policy. Food Policy, 20 (3), 187202. Widarjono, A. (1992). Ekonometrika: Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis. Penerbit Ekonisia, Yogyakarta. Wiggins, S., Kodhek, G. A., Leavy, J. and Poulton, C. (2011). Small farm commercialization in Africa : Reviewing the issues. Research Paper. Future Agricultures.
309
310
Dampak Agrowisata Desa Cihideung Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial Budaya, dan Lingkungan (Studi Kasus di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat) Impact of Cihideung Village Agrotourism Based on Economic, Social Cultural, and Environment (Case Study at Cihideung Village, Parongpong Sub District, West Bandung District) Anita Putri Kemala1, Rani Andriani Budi Kusumo1 1Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK
Kata Kunci: Agrowisata Dampak Ekonomi Sosial Budaya Lingkungan
Desa Cihideung memiliki keunggulan dalam bidang pertanian sebagai penghasil bunga sehingga menjadi agrowisata bunga. Agrowisata memberikan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya..Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi 1) dampak positif agrowisata Desa Cihideung (2) dampak negatif agrowisata Desa Cihideung dilihat dari aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan serta 3) kendala dalam pengembangan agrowisata Desa Cihideung. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Informan ditentukan dengan sengaja. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agrowisata Desa Cihideung memberikan dampak positif yaitu adanya peningkatan pendapatan masyarakat, meluasnya kesempatan kerja, peningkatan sarana dan prasarana desa, meningkatkan keberagaman mata pencaharian, dan mempertahankan tradisi, sedangkan dampak negatif agrowisata yaitu meningkatkan harga lahan, merubahan gaya hidup menjadi konsumtif, menimbulkan terjadinya migrasi baik ke dalam maupun ke luar Desa Cihideung, mengurangi tingkat kerukunan, meningkatkan kriminalitas, menimbulkan polusi air, udara, suara, limbah padat, dan menimbulkan kemacetan. Kendala dalam pengembangan agrowisata yaitu sarana dan prasarana belum memadai, kurangnya kesadaran sumber daya manusia, kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, kurangnya atraksi wisata, dan investor yang kurang mendukung agrowisata.
ABSTRACT
Keywords: Agrotourism Impact Economic Social Cultural Environment
Cihideung Village has agricultural advantage as producer of flowers so it is really potential to be an agrotourism area. Agrotourism influences the social environtment in this village. The objective of this research to identify 1) the positive impact of agrotourism 2) the negative impact of agrotourism based on economic, social culture, and social environtment and 3) the constraint in the development of agrotourism. The research design used qualitative method specifically the case study technique. This research was conducted in Cihideung Village, Parongpong Sub District, West Bandung District. Informants were selected purposively. The data used primary and secondary data. The data was analyzed by using descriptive analysis. The result showed that the positive impact of agrotourism were increasing income, increasing jobs opportunity, improving infrastructure, expanding livelihood, and preseving tradition. The negative impact of agrotourism were increasing the price of land, changing lifestyle become consumptive, fuel migration to the outside and into Cihideung Village, reducing the level of harmony, increasing the number of crime, pollution, and traffic. The constraint in the development of agrotourism are lack of infrastructure, lack of human resources awarness, lack of public confidence to government, lack of tourist attractions, and investor are less support of agrotourism.
* Korespondensi Penulis, Alamat e-mail: [email protected]
311
PENDAHULUAN Sektor pariwisata merupakan sektor yang menyumbang devisa dalam perekonomian di Indonesia. Sejak tahun 2010, devisa sektor pariwisata di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga menduduki peringkat ke-4 pada tahun 2013 yang sebelumnya menduduki peringkat ke-5 sebagai penghasil devisa terbesar di Indonesia. Ranking Devisa 5 Terbesar di Indonesia Tahun 2010 - 2013 45,000
Minyak dan Gas Bumi Batu Bara
40,000 35,000
juta US$
30,000 25,000 Minyak Kelapa Sawit Karet Olahan
20,000 15,000 10,000 5,000
Pariwisata
0 2010
2011
2012
2013
Tahun Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2014) Gambar 1. Ranking devisa 5 terbesar di Indonesia tahun 2010 – 2013.
Pariwisata unggulan di Indonesia yaitu wisata alam karena Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan pertanian. Sektor pertanian selain menghasilkan manfaat dari aspek produk pertaniannya, juga memiliki keindahan alam yang dapat dikembangkan sebagai objek wisata alam satunya yaitu dijadikan agrowisata. Agrowisata menurut Tinaprilla dan Elang (2008) adalah wisata khusus perpaduan antara budidaya pertanian dan pariwisata yang merupakan rekayasa dari objek pertanian untuk dijadikan objek wisata. Desa Cihideung merupakan salah satu agrowisata yang berada di Kabupaten Bandung Barat. Desa Cihideung merupakan agrowisata alami yang dikelola oleh masyarakatnya sendiri. Hal ini berbeda dengan agrowisata lainnya di Kabupaten Bandung Barat yang pada umumnya dikelola oleh pihak swasta. Desa Cihideung dijadikan agrowisata karena mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani bunga yaitu lebih dari 80 persen warga Desa Cihideung menjadi petani bunga (Disparbud Jabar, 2011). Berdasarkan Perda Kabupaten Bandung Barat No. 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2009-2029, Desa Cihideung termasuk kedalam kawasan pariwisata yang diarahkan untuk mewujudkan pengembangan kawasan wisata alam
312
berdasarkan potensi dan kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan. Saat ini jumlah petani bunga di Desa Cihideung terancam karena semakin sedikit para generasi muda yang berkeinginan untuk meneruskan untuk menjadi petani bunga. Hal ini karena banyaknya usaha milik investor yang didirikan di Desa Cihideung untuk memenuhi sarana penunjang wisatawan ke Desa Cihideung seperti perhotelan dan restoran sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor tersebut. Hal ini juga membuat lahan untuk membudidayakan bunga di Desa Cihideung semakin berkurang karena para penerus yang seharusnya menjadi petani bunga memilih untuk menjual lahan tersebut sehingga lahan tersebut sudah beralih ke sektor non pertanian. Walaupun dengan adanya usaha milik investor akan membuka lapangan pekerjaan di Desa Cihideung, tetapi apabila para generasi muda ikut mengambil kesempatan tersebut dengan memilih untuk bekerja di sektor jasa dibandingkan menjadi petani bunga maka akan mengancam kelangsungan petani bunga di Desa Cihideung termasuk agrowisata Desa Cihideung karena agrowisata tersebut tidak terlepas dari para petani bunga di Desa Cihideung. Kegiatan wisata secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat di mana keterlibatan masyarakat tersebut dihasilkan dari adanya interaksi antara masyarakat, wisatawan, dan pemerintah yang ditimbulkan suatu kawasan wisata sehingga menimbulkan dampak terhadap masyarakat. Dengan adanya pengembangan Desa Cihideung sebagai kawasan agrowisata akan menimbulkan dampak terhadap masyarakat di Desa Cihideung baik dari aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan di mana dampak tersebut dapat berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dari pemaparan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi dampak positif yang ditimbulkan dari agrowisata Desa Cihideung 2. Mengidentifikasi dampak negatif yang ditimbulkan dari agrowisata Desa Cihideung 3. Mengidentifikasi kendala pengembangan agrowisata Desa Cihideung. KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP Pengertian Agrowisata Agrowisata menurut Tinaprilla dan Elang (2008) adalah wisata khusus perpaduan antara budidaya pertanian dan pariwisata yang merupakan rekayasa dari objek pertanian untuk dijadikan objek wisata. Objek wisata kunjungan pertanian yang dimaksud di sini berupa kunjungan wisata untuk
memperkenalkan sistem budidaya pertanian baik tradisional maupun modern. Agrowisata menurut Adisukarjo (2006) adalah wisata yang sarananya adalah pertanian, perkebunan, atau kehutanan. Agrowisata biasanya dikembangkan di daerah pegunungan yang udaranya cukup sejuk. Agrowisata menurut Bappenas (2004) adalah pengembangan industri wisata alam yang bertumpu pada pembudidayaan kekayaan alam. Industri ini mengandalkan pada kemampuan budidaya baik pertanian, peternakan, perikanan atau pun kehutanan. Dampak Agrowisata (1) Dampak Ekonomi Menurut Yoeti (2008), dilihat dari aspek ekonomi, pariwisata memberikan dampak yaitu meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan kesempatan berusaha, meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah, meningkatkan pendapatan nasional, meningkatkan devisa negara, meningkatkan harga tanah, dan memberikan dampak efek pengganda atau multiplier effect. Waluya (2013) menambahkan adanya pariwisata dapat mendorong pembangunan didaerah berupa perbaikan sarana dan prasarana di lingkungan daerah karena pemerintah mendapat income yang dapat digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Menurut Deptan (2002) atraksi wisata juga dapat mendatangkan pendapatan bagi petani serta masyarakat di sekitarnya. Wisatawan yang berkunjung akan menjadi konsumen produk pertanian yang dihasilkan, sehingga pemasaran hasil menjadi lebih efisien. Selain itu, dengan adanya kesadaran petani akan arti petingnya kelestarian sumber daya, maka kelanggengan produksi menjadi lebih terjaga yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan petani. Bagi masyarakat sekitar, dengan banyaknya kunjungan wisatawan, mereka dapat memperoleh kesempatan berusaha dengan menyediakan jasa dan menjual produk yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Atraksi wisata pertanian juga dapat menarik pihak lain untuk belajar atau magang dalam pelaksanaan kegiatan budidaya ataupun atraksi-atraksi lainnya sehingga dapat menambah pendapatan petani. (2) Dampak Sosial Budaya Menurut Pitana (2009) pariwisata dari segi sosial budaya akan menimbulkan dampak dalam bentuk perubahan perilaku manusia akibat interaksi di dalam masyarakat antara wisatawan dengan penduduk lokal dan pemerintahan setempat. Perubahan perilaku tersebut diakibatkan adanya
kegiatan meniru perilaku wisatawan. Hal ini akan memberikan dampak negatif apabila masyarakat meniru perilaku wisatawan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di masyarakat daerah wisata. Masyarakat yang meniru perilaku wisatawan dikarenakan adanya dorongan masyarakat untuk mengejar sesuatu yang mereka tak punya, sesuatu yang baru, dan tampak baik yang dikenakan atau dilakukan oleh wisatawan. Pariwisata juga memberikan dampak terhadap kerukunan masyarakat di daerah tujuan wisata. Keberadaan orang baru di suatu wilayah akan mengakibatkan terjadinya keseimbangan baru pada sistem sosial di wilayah tersebut. Keseimbangan baru tersebut dapat dicapai baik malalui mekanisme damai atau konflik. Tingkat penerimaan atau akseptabilitas komunitas lokal terhadap datangnya wisatawan pada suatu kawasan wisata akan menimbulkan reaksi pada tingkat kerukunan masyarakat (damai atau konflik) dalam derajat tertentu. Cohen (dalam Pitana, 2009) mengatakan bahwa dampak pariwisata terhadap sosial budaya masyarakat adalah adanya dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata. Hal tersebut mengakibatkan jumlah penduduk di daerah wisata menjadi padat. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi tersebut karena adanya kesempatan bekerja di sektor pariwisata sehingga menarik pendatang untuk tinggal di daerah wisata. Menurut Pizam et al (dalam Pitana, 2009) pariwisata berpotensi sebagai faktor penentu munculnya berbagai bentuk kriminal. Kriminalitas dapat terjadi karena adanya wisatawan yang datang ke daerah wisata dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh hal yang tidak mereka miliki namun dimiliki oleh para wisatawan. Dampak lainnya yaitu perubahan mata pencaharian karena adanya potensi untuk dapat bekerja dalam memenuhi kebutuhan wisatawan ataupun untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya.. Menurut Budi (1993) pariwisata dapat menggairahkan perkembangan budaya dan tradisi asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur budaya yang hampir dilupakan. Di lain pihak pariwisata dapat mengubah corak berbagai unsur kebudayaan. Misalnya kesenian dan upacara tradisi yang semula dilakukan karena motivasi tradisional dan spiritual yang berakar sangat kuat dalam kebudayaan masyarakat, menjadi lepas dari motivasi asli. Hal ini karena adanya tuntutan komersial. Tidak menutup kemungkinan juga dengan adanya pariwisata akan memudarkan tradisi di masyarakat.
313
(3) Dampak Lingkungan Menurut Nugroho (2011), kegiatan sektor pariwisata dapat menghasilkan polusi berwujud seperti emisi, kebisingan, sampah, limbah, minyak dan bahan kimia, atau gangguan pemandangan. Polusi dapat berwujud sampah (padat) adalah fenomena umum dari sektor pariwisata. Karena perilaku yang lebih konsumtif dibanding penduduk lokal, volume sampah pada wilayah tujuan wisata akan sangat tinggi. Sampah-sampah tersebut walaupun terdegradasi, namun tetap mempengaruhi kualitas air, udara, dan tanah yang menyebabkan kematian biota-biota di dalamnya. Polusi lain dari aktivitas wisata adalah limbah atau air kotor dan gangguan estetika. Limbah mengalir dari berbagai aktifitas selama konstruksi hingga digunakannya berbagai sarana dan prasarana wisata. Air tersebut akan mengalir ke badan-badan air seperti sungai, danau, pantai, hingga lautan. Karakteristik kimia dan lingkungan air akan terganggu dan dapat mengakibatkan kematian flora dan fauna, kerusakan terumbu karang, dan ancaman kesehatan terhadap manusia. Menurut Pitana (2009) pariwisata dari segi lingkungan akan menimbulkan dampak terhadap penurunan kualitas lingkungan apabila terjadi penurunan kebersihan alam lingkungan dan timbulnya kadar polusi lingkungan seperti air dan udara. Selain itu dampak yang ditimbulkan adalah kemacetan lalu lintas di kawasan wisata karena banyaknya jumlah wisatawan yang datang ke tempat wisata. Hal serupa juga dikemukakan oleh Yoeti (2008), dampak yang ditimbulkan dari adanya pariwisata adalah sumber-sumber hayati menjadi rusak yang menyebabkan Indonesia kehilangan daya tariknya untuk jangka panjang. Selain itu juga menimbulkan dampak terhadap ramainya lalu lintas. Namun menurut Deptan (2002) dengan adanya pariwisata khususnya agrowisata juga dapat melestarikan sumber daya alam. Maka dari itu agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (ecotoursm), yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian studi kasus.
314
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Informan ditentukan dengan sengaja (purposive). Informan penelitian ini yaitu Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, aparatur pemerintahan Desa Cihideung, tokoh seni dan budaya Desa Cihideung, Pertahanan Sipil Desa Cihideung, Ketua Kelompok Tani di Desa Cihideung. Dan masyarakat Desa Cihideung sebanyak sebelas orang. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data menggunakan analisis deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Dampak Positif Agrowisata (1) Aspek Ekonomi a. Pendapatan Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata membuat pendapatan masyarakat meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Pendapatan tersebut merupakan pendapatan kotor yang diperoleh masyarakat Desa Cihideung yang memanfaatkan agrowisata untuk memperoleh pendapatan. Tabel 1.Perubahan Pendapatan Masyarakat Desa Cihideung Akibat Agrowisata Sebelum Masyarakat Memanfaatkan Agrowisata
Setelah Masyarakat Memanfaatkan Agrowisata
Mata Pencaharian
Mata Pencaharian
Pendapatan (Rp/bulan)
Pendapatan (Rp/bulan)
Peningkatan Pendapatan (%)
Petani bunga
13.500.000
Petani bunga dan penjual souvenir
19.000.000
28,95
Petani bunga
3.000.000
Petani bunga dan pengusaha rumah makan
33.400.000
91,02
14.000.000
64,29
13.000.000
30,77
18.000.000
50,00
16.400.000
14,63
21.000.000
71,43
Petani bunga Petani bunga dan pendekorasi bunga Petani bunga
5.000.000
9.000.000
9.000.000
Petani bunga
14.000.000
Penjual buah
6.000.000
Petani bunga dan pengusaha kost-kostan Petani bunga dan pendekorasi bunga Petani bunga dan bandar Petani bunga dan pemandu wisatawan Pengusaha rumah makan dan warung
Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata membuat pendapatan masyarakat meningkat karena adanya kedatangan wisatawan ke Desa Cihideung yang secara langsung menjadi konsumen bunga dan memberikan peluang kepada masyarakat untuk membuka usaha seperti rumah makan, warung, kost-kostan, menjual souvenir, dan menjadi pemandu wisatawan. Selain itu pendapatan meningkat juga dikarenakan semakin terkenalnya Desa Cihideung sebagai penghasil bunga sehingga petani meningkatkan kuantitas bunganya untuk memenuhi permintaan konsumen. Oleh karena itu dengan adanya agrowisata dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Desa Cihideung. b. Kesempatan Kerja Menurut Yoeti (2008) dengan datangnya wisatawan akan membuka lapangan pekerjaan di daerah wisata. Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata memberikan peluang kerja yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perubahan Kesempatan Kerja di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Kesempatan Kerja Sebelum Desa Cihideung Menjadi Setelah Desa Cihideung Menjadi Kawasan Kawasan Agrowisata Agrowisata Kesempatan kerja Kesempatan kerja meluas dengan belum banyak adanya kesempatan kerja untuk tersedia di Desa bekerja di sektor jasa milik Cihideung. investor dan memberikan peluang kepada masyarakat untuk membuka usaha seperti warung, rumah makan, souvenir, dan kostkostan, juga meluasnya kesempatan kerja sebagai buruh tani.
Terserapnya tenaga kerja lokal akibat pariwisata menunjukkan bahwa sektor pariwisata menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat. Para pendatang yang berasal dari daerah lain juga mendapat kesempatan untuk memperoleh pekerjaan di daerah wisata. Dengan demikian, pengembangan agrowisata Desa Cihideung akan memperluas kesempatan kerja karena usaha ini dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat di Desa Cihideung sehingga dapat menahan atau mengurangi arus urbanisasi dan mengurangi pengangguran. Menurut Gusti (2012) agrowisata dapat mengurangi urbanisasi karena dengan adanya agrowisata di pedesaan, kaum muda tidak perlu pergi ke kota untuk bekerja. c. Sarana dan Prasarana Menurut Waluya (2013) unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna menunjang
pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata yaitu sarana dan prasarana wisata. Adanya
perubahan sarana dan prasarana di Desa Cihideung setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 3. Pengembangan pariwisata akan berhasil jika didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana wisata yang baik. Fasilitas yang tepat dan dipadu dengan pelayanan yang baik oleh semua pihak baik pemerintah maupun swasta yang berhubungan dengan wisatawan akan sangat menunjang keberhasilan kawasan wisata tersebut. Perbaikan sarana dan prasarana di Desa Cihideung bertujuan untuk menunjang kegiatan agrowisata di Desa Cihideung dengan memfasilitasi pengunjung agar tertarik untuk datang ke Desa Cihideung. Agrowisata tidak dapat berdiri sendiri namun harus di dukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Dengan adanya pembangunan sarana dan prasarana di Desa Cihideung juga memberikan dampak terhadap pembangunan desa. Tabel 3. Perubahan Sarana dan Prasarana di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Sarana dan Prasarana Sebelum Desa Cihideung Setelah Desa Cihideung Menjadi Menjadi Kawasan Agrowisata Kawasan Agrowisata Sarana dan Berkembangnya sarana dan prasarana prasarana belum untuk mendukung agrowisata di Desa mendukung Cihideung seperti perbaikan jalan, agrowisata Desa bantuan pot tanaman, pembangunan Cihideung. gapura agrowisata, munculnya Tourist Information Centre, dan munculnya hotel, villa, dan usaha lainnya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.
(2) Aspek Sosial Budaya a. Mata Pencaharian Menurut Gusti (2012) agrowisata dapat meningkatkan gairah untuk meningkatkan usaha karena wisatawan bersentuhan langsung dengan penduduk lokal di mana objek tersebut dikembangkan. Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata membuat mata pencaharian di Desa Cihideung yang mayoritas sebagai petani bunga semakin beragam karena memunculkan usaha baru yang sebelumnya tidak ada misalnya dengan membuka rumah makan dan warung karena diharapkan banyaknya wisatawan yang mampir ke rumah makan dan warung tersebut akibat semakin banyaknya wisatawan yang datang ke Desa Cihideung, juga menjual souvenir kepada wisatawan. Keunikan wilayah Desa Cihideung sebagai kawasan agrowisata membuat banyaknya investor
315
yang mendirikan usaha di Desa Cihideung seperti perhotelan dan wisata lainnya. Usaha tersebut membuat masyarakat Desa Cihideung memiliki mata pencaharian di sektor jasa karena sebagian tenaga kerja diambil dari masyarakat Desa Cihideung walaupun masyarakat Desa Cihideung yang bekerja di usaha tersebut bukan untuk tenaga kerja ahli. Hal inilah yang membuat masyarakat membuka usaha baru seperti usaha penyewaan kost-kostan dan rumah kontrakan karena beberapa tenaga kerja yang bekerja di tempat milik investor didatangkan dari luar Desa Cihideung. Biasanya yang membuat kost-kostan atau rumah kontrakan adalah petani yang memiliki lahan luas sehingga menggunakan sebagian lahannya untuk mendirikan usaha tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa agrowisata dapat menghidupkan sektor lain yang mendukung agrowisata. b. Tradisi Ritual Irung-irung merupakan ritual di Desa Cihideung yang dilakukan setiap bulan Agustus. Irung-irung merupakan salah satu sumber mata air bagi masyarakat Desa Cihideung. Tradisi Irung-irung merupakan ritual yang bertujuan agar masyarakat merawat sumber mata air dan juga merupakan bentuk rasa syukur karena telah dikaruniai sumber mata air yang tidak pernah surut. Perubahan tradisi Irungirung yang terjadi setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perubahan Tradisi di Desa Cihideung Akibat Agrowisata
pariwisata juga dapat menggairahkan perkembangan budaya dan tradisi asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur budaya yang hampir dilupakan. Diangkatnya tradisi Mata Air Irung-Irung ke rangkaian acara Cihideung Festival membuat tradisi tersebut tetap bertahan. Mereka tetap mempertahankan tradisi tersebut tanpa ada unsur memperdagangkan tradisi mereka karena tradisi tersebut memang suatu keharusan dan kepercayaan masyarakat Desa Cihideung untuk selalu dilaksanakan setiap tahunnya. 2. Dampak Negatif Agrowisata (1) Aspek Ekonomi a. Harga Tanah Menurut Yoeti (2008) pariwisata dapat meningkatkan harga tanah di daerah wisata seperti yang terjadi di Desa Cihideung. Kenaikan harga tanah di Desa Cihideung terjadi setelah Desa Cihideung berkembang menjadi kawasan agrowisata karena para investor tertarik untuk menginvestasikan tanah di Desa Cihideung yang nantinya akan mereka bangun untuk mendirikan usaha. Kenaikan harga tanah di Desa Cihideung dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perubahan Harga Tanah di Desa Cihideung Akibat Agrowisata
Tanah
Tradisi Sebelum Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Tradisi Mata Air Irung-Irung dilakukan karena kepercayaan masyarakat. Acara kegiatan hanya menampilakan atraksi dan kesenian sunda.
Setelah Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Tradisi Mata Air Irung-irung diangkat menjadi Festival Cihideung sehingga tradisi tersebut tetap bertahan. Tujuannya selain karena kepercayaan masyarakat yang harus dilakukan sekaligus untuk mempromosikan agrowisata Desa Cihideung dengan kegiatan acara kesenian Sunda dan lomba dekorasi bunga
Menurut Budi (1993) pariwisata dapat mengakibatkan budaya lokal menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan ketika suatu ritual diadakan untuk permintaan dan kepuasan wisatawan. Misalnya kesenian dan upacara tradisi yang semula dilakukan karena motivasi tradisional dan spiritual yang berakar sangat kuat dalam kebudayaan masyarakat menjadi lepas dari motivasi asli. Hal ini karena adanya tuntutan komersial. Tidak menutup kemungkinan juga dengan adanya pariwisata akan memudarkan tradisi di masyarakat. Namun
316
Jual Sewa
Harga (Rupiah/meter) Sebelum Desa Cihideung Setelah Desa Cihideung Menjadi Menjadi Kawasan Kawasan Agrowisata Agrowisata Rp75.000 Rp500.000 – Rp4.000.000 Rp2.000 – Rp10.000/tahun
Agrowisata memberikan dampak terhadap tingginya harga tanah di Desa Cihideung yang berakibat banyaknya petani yang tergiur untuk menjual tanahnya sehingga tanah di Desa Cihideung dikuasai oleh investor. Hal ini akan mengancam para petani apabila lahan-lahan milik investor sudah dibangun sehingga tidak tersedia lahan lagi untuk disewa oleh petani yang tidak mempunyai lahan. Petani yang tidak memiliki lahan ataupun tidak sanggup menyewa lahan yang semakin tinggi harganya dapat memberikan dampak terhadap petani untuk berpindah mata pencaharian atau pindah ke luar Desa Cihideung karena sudah tidak tersedia lahan lagi di Desa Cihideung. Hal ini tentu akan mengancam para petani bunga di Desa Cihideung di mana ciri khas Desa Cihideung adalah masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani bunga.
(2) Aspek Sosial Budaya a. Migrasi Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata menimbulkan terjadinya migrasi masyarakat Desa Cihideung ke luar Desa Cihideung. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Perpindahan penduduk ke luar Desa Cihideung terjadi karena masyarakat yang menjual seluruh tanahnya kepada investor memilih menggunakan uang hasil menjual tanahnya di Desa Cihideung untuk membeli tanah di daerah lain di luar Desa Cihideung seperti ke daerah Pangalengan, Ciwidey, Subang, Garut, dan Cianjur lalu menetap di sana. Mereka pindah ke daerah tersebut karena harga tanah di daerah tersebut lebih murah dibandingkan dengan di Desa Cihideung sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari hasil menjual tanah di Desa Cihideung.Adanya persaingan antara petani bunga di Desa Cihideung juga menimbulkan adanya perpindahan penduduk ke luar Desa Cihideung. Masyarakat Desa Cihideung yang merasa lebih menguntungkan untuk menjadi petani bunga di luar Desa Cihideung karena terlalu padatnya petani bunga di Desa Cihideung lebih memilih untuk pindah ke luar Desa Cihideung seperti ke daerah Sumatera dan Jawa. Tabel 6. Perubahan Migrasi di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Migrasi Sebelum Desa Cihideung Setelah Desa Cihideung Menjadi Kawasan Menjadi Kawasan Agrowisata Agrowisata Ke Luar Ke Dalam Ke Luar Ke Dalam Desa Desa Desa Desa Cihideung Cihideung Cihideung Cihideung Migrasi Migrasi Migrasi terjadi Migrasi terjadi terjadi karena terjadi akibat karena akibat keperluan adanya keperluan adanya pendidikan pernikahan pendidikan pernikahan. dan dan karena dan akibat pernikahan, tersedianya adanya juga akibat kesempatan pernikahan. masyarakat kerja di Desa menjual Cihideung. seluruh tanahnya di Desa Cihideung dan karena adanya persaingan sesama petani bunga.
Perpindahan penduduk ke Desa Cihideung terjadi karena tidak sedikit buruh tani yang didatangkan dari luar Desa Cihideung. Masyarakat Desa Cihideung sangat sedikit yang berkeinginan untuk bekerja sebagai buruh tani. Mereka lebih
memilih untuk menjadi petani dibandingkan harus bekerja untuk petani lain. Para pendatang tersebut didatangkan dari Jawa, Sukabumi, Cililin, dan Subang. Banyaknya bermunculan sarana pendukung agrowisata yang didirikan oleh investor juga menimbulkan kedatangan masyarakat di luar Desa Cihideung ke Desa Cihideung. Beberapa pekerja yang bekerja di perusahaan yang didirikan oleh investor didatangkan dari luar Desa Cihideung karena tidak semua pekerja merekrut tenaga kerja di Desa Cihideung. Hal tersebut karena adanya kebutuhan merekrut tenaga ahli yang tidak tersedia di Desa Cihideung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aryunda (2011) daerah tujuan wisata banyak didatangi oleh tenaga kerja karena terbukanya peluang dan kesempatan kerja yang tercipta oleh adanya kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata. Gambar 2 menunjukkan persentase perpindahan penduduk Desa Cihideung pada tahun 2014. Banyaknya migrasi ke luar Desa Cihideung yang ditimbulkan setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat mengakibatkan jumlah penduduk Desa Cihideung yang mayoritas sebagai petani bunga semakin berkurang apabila masyarakat Desa Cihideung yang melakukan migrasi tersebut adalah petani. Hal ini dapat mengancam agrowisata Desa Cihideung karena agrowisata tidak terlepas dari para petani bunga di Desa Cihideung. Sedangkan hal yang dapat terjadi akibat adanya perpindahan penduduk ke Desa Cihideung dapat menimbulkan kepadatan penduduk di Desa Cihideung apabila jumlah penduduk tidak sebanding dengan kapasitas luas Desa Cihideung. Perpindahan Penduduk Desa Cihideung Tahun 2014 Ke luar Desa Cihideung
Ke dalam Desa Cihideung
36% 64%
Sumber: Laporan Mutasi Penduduk Desa Cihideung (2014)
Gambar 2.Perpindahan Penduduk Desa Cihideung Tahun 2014. b. Gaya Hidup Adanya hubungan wisatawan dengan masyarakat dapat memberikan pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat daerah tujuan wisata. Perubahan gaya hidup yang terjadi setelah
317
berkembangnya Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perubahan Gaya Hidup di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Gaya Hidup Sebelum Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Gaya hidup masyarakat Desa Cihideung yaitu sesuai dengan masyarakat pedesaan yang memiliki gaya hidup sederhana.
Setelah Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Tidak terpengaruhnya gaya hidup wisatawan terhadap masyarakat Desa Cihideung yang dianggap tidak sesuai dengan budaya masyarakat Desa Cihideung. Namun gaya hidup berubah menjadi konsumtif karena adanya peningkatan pendapatan seperti memiliki barang mewah dan munculnya sarana dalam memenuhi kebutuhan wisatawan sehingga masyarakat masih beraktivitas di malam hari.
Perubahan gaya hidup dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi yang menjalankannya, tergantung pada bagaimana orang tersebut menjalaninya. Menurut Sudiarta (2005) dampak sosial yang ditimbulkan dari kawasan pariwisata yaitu adanya gaya hidup mewah masyarakat desa yang sudah terangkat secara ekonomi. c. Kerukunan Kerukunan dapat dilihat dengan tidak adanya konflik yang terjadi di masyarakat. Perubahan kerukunan yang terjadi akibat berkembangnya Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan Kerukunan di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Kerukunan Sebelum Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Tidak adanya konflik antar masyarakat dengan wisatawan ataupun investor karena belum adanya wisatawan dan investor yang datang ke Desa Cihideung.
Setelah Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Masyarakat dengan Wisatawan Konflik terjadi karena ada perbedaan perilaku wisatawan yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat di Desa Cihideung.
Masyarakat dengan Pendatang (Investor) Konflik terjadi karena investor membuka usaha yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat Desa Cihideung.
Terjadinya konflik antara wisatawan dengan masyarakat Desa Cihideung dikarenakan adanya perbedaan perilaku wisatawan yang tidak 318
sesuai dengan budaya masyarakat di Desa Cihideung. Wisatawan yang datang di mana mereka adalah masyarakat perkotaan yang identik dengan sifat individualis memiliki sifat yang berbeda dengan masyarakat desa yang masih bersifat kekeluargaan. Masyarakat yang tidak menerima budaya wisatawan yang datang ke Desa Cihideung akan merasa terganggu dengan kehadiran wisatawan. Selain itu pelaku investor yang hanya mementingkan keuntungan tanpa memikirnya budaya yang ada di Desa Cihideung juga dapat menimbulkan konflik seperti membuat usaha yang tidak sesuai dengan budaya di Desa Cihideung ataupun mengadakan kegiatan yang dapat mengganggu kenyamanan masyarakat Desa Cihideung. Banyaknya investor yang tertarik untuk memiliki tanah di Desa Cihideung juga dapat menimbulkan konflik ketika masyarakat Desa Cihideung menjual tanahnya kepada investor namun tanah tersebut berada di daerah sumber mata air yang biasa dilakukan dalam pelaksanaan tradisi mata air Irung-irung di Desa Cihideung. Dibelinya tanah di sekitar mata air Irung-Irung menimbulkan tertutupnya akses untuk ke sumber mata air tersebut karena tanah yang dibeli disekat oleh investor. Hal ini menimbulkan aksi protes warga karena mereka tidak setuju apabila tradisi yang dilakukan turun temurun di Desa Cihideung menjadi terhambat karena telah dibelinya tanah tersebut oleh investor. Menurut Pitana (2009), keberadaan orang baru di suatu wilayah akan mengakibatkan terjadinya keseimbangan baru pada sistem sosial di wilayah tersebut. Keseimbangan baru tersebut dapat dicapai baik malalui mekanisme damai atau konflik. Tingkat penerimaan masyarakat terhadap datangnya wisatawan pada suatu kawasan wisata akan menimbulkan reaksi pada tingkat kerukunan masyarakat. Apabila semakin tinggi konflik yang terjadi akibat datangnya wisatawan dapat mengakibatkan masyarakat lokal semakin tidak mengharapkan datangnya wisatawan. Hal ini akan berdampak tidak baik karena kawasan agrowisata yang tujuannya mendatangkan wisatawan, apabila masyarakatnya sendiri tidak mendukung maka agrowisata tersebut tidak akan berkembang karena hadirnya agrowisata harus didukung oleh masyarakat daerah tujuan wisata. d. Kriminalitas Bentuk kriminalitas yang terjadi di suatu kawasan pariwisata dapat berupa kejahatan terhadap wisatawan ataupun kejahatan yang dialami oleh masyarakat penyedia objek wisata. Terjadinya
kriminalitas setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perubahan Kriminalitas di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Kriminalitas Sebelum Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Jarang terjadi kriminalitas di Desa Cihideung.
Setelah Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Meningkatnya kriminalitas di Desa Cihideung sekitar 50 persen seperti pencurian kendaraan yang disertai dengan aksi kekerasan. Selain itu juga adanya kasus pencurian bunga.
Maraknya pencurian motor yang terjadi di Desa Cihideung terjadi setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata karena perekonomian masyarakat semakin meningkat sehingga memiliki barang-barang mewah. Hal ini menjadi sasaran untuk melakukan pencurian. Selain itu maraknya pencurian bunga dikarenakan bunga yang diletakkan di pekarangan ataupun di ladang tidak ditutupi dengan pagar. Bunga-bunga tersebut dibiarkan terbuka sehingga memudahkan para pencuri untuk mengambil bunga. Selain itu pada malam hari bungabunga tersebut tidak disinari oleh penerangan. Banyaknya pencurian tanaman yang terjadi di Desa Cihideung juga dilakukan oleh para pedagang bunga. Menurut Priono (2011), pariwisata dapat meningkatkan angka kriminalitas. Apabila kriminalitas semakin meningkat dapat membuat masyarakat Desa Cihideung ataupun wisatawan merasa tidak aman untuk berada di Desa Cihideung. Hal ini bisa saja membuat masyarakat Desa Cihideung memilih untuk pindah ke tempat yang lebih aman. Selain itu juga dapat membuat berkurangnya jumlah wisatawan yang datang ke Desa Cihideung karena merasa tidak aman. (3) Aspek Lingkungan a. Polusi Air Air yang digunakan oleh masyarakat Desa Cihideung berasal dari mata air yang berasal dari Desa Cihideung sebanyak delapan sumber mata air. Perubahan yang terjadi akibat berkembangnya Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata mengenai polusi air dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10.Perubahan Kondisi Air di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Polusi Air Sebelum Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Air melimpah dan jernih
Setelah Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Air di sumber mata air berkurang karena adanya pembangunan sarana pendukung agrowisata, namun air masih jernih.
Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata membuat adanya ketertarikan investor untuk mendirikan usaha di Desa Cihideung. Hal tersebut memberikan dampak terhadap penurunan banyaknya air dikarenakan banyaknya investor yang mendirikan bangunan untuk mendirikan usaha yang menyebabkan daya resapan air berkurang karena Desa Cihideung termasuk ke dalam kawasan resapan air di Kawasan Bandung Utara (KBU). Namun untuk kualitas air di Desa Cihideung tidak mengalami perubahan. Apabila hal ini terus dibiarkan akan mengancam masyarakat Desa Cihideung dalam memenuhi kebutuhan air karena peran air di Desa Cihideung sangat penting. Selain untuk keperluan sehari-hari, air sangat dibutuhkan karena mayoritas masyarakat Desa Cihideung bermata pencaharian sebagai petani bunga sehingga membutuhkan air untuk kelangsungan tanamannya. b. Polusi Suara Polusi suara yang ditimbulkan setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat terlihat dari kebisingan yang terjadi di Desa Cihideung. Perubahan yang terjadi setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata mengenai polusi suara dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perubahan Kondisi Suara Cihideung Akibat Agrowisata
di
Desa
Polusi Suara Sebelum Desa Setelah Desa Cihideung Cihideung Menjadi Menjadi Kawasan Kawasan Agrowisata Agrowisata Tidak adanya kebisingan Adanya kebisingan yang karena belum banyaknya ditimbulkan dari banyaknya kendaraan yang datang ke kendaraan yang datang ke Desa Desa Cihideung dan Cihideung dan akibat dari belum munculnya sarana- adanya kegiatan yang diadakan sarana pendukung hingga larut malam di tempatagrowisata. tempat sarana pendukung agrowisata.
Menurut Nugroho (2011), kegiatan sektor pariwisata dapat menimbulkan kebisingan. Dampak kebisingan tersebut mengakibatkan manusia atau fauna mengalami stress. Kebisingan ini tentunya mengganggu kenyamanan masyarakat Desa
319
Cihideung ketika masyarakat membutuhkan ketenangan saat beristirahat ataupun melakukan aktivitas lainnya. c. Polusi Udara Polusi udara menurut Karmana (2007) adalah penambahan komponen udara yang keberadaannya dapat merugikan dan membahayakan organisme. Perubahan yang terjadi setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata mengenai polusi udara dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Perubahan Kondisi Udara di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Polusi Udara Sebelum Desa Setelah Desa Cihideung Cihideung Menjadi Menjadi Kawasan Agrowisata Kawasan Agrowisata Polusi udara Polusi udara ditimbulkan dari ditimbulkan dari semakin banyaknya kendaraan adanya pembakaran yang datang ke Desa Cihideung sampah. sehingga menimbulkan asap kendaraan ditambah masih banyaknya masyarakat yang menghilangkan sampah dengan cara dibakar.
Menurut Hurmayeni (2014) alat transportasi menjadi sumber utama polusi udara dari pariwisata karena menghasilkan gas CO2 yang mencemari udara dan menyebabkan pemanasan global. Namun banyaknya bunga yang dibudidayakan di Desa Cihideung dapat menanggulangi polusi udara karena daun pada tanaman memiliki kemampuan mengurangi zat pencemar udara termasuk Karbon Dioksida (CO2) yang melayang di udara dan penghasil Oksigen (O2). Disamping itu tanaman memiliki fungsi dan peran sebagai penyerap panas sehingga dapat mendinginkan suhu pada saat berfotosintesis yang memerlukan sinar matahari dan Karbon Dioksida (CO2) sehingga dengan demikian keberadaan tanaman dapat mengurangi konsentrasi Karbon Dioksida (CO2) di udara dan dapat menurunkan suhu. Hal ini membuat keadaan udara di Desa Cihideung tetap sejuk walaupun polusi udara meningkat. d. Kondisi Lalu Lintas Polusi Lalu lintas adalah sarana untuk bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Perubahan yang terjadi akibat berkembangnya Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata mengenai kondisi lalu lintas dapat dilihat pada Tabel 13. Menurut Yoeti (2008), pariwisata dapat menimbulkan dampak terhadap ramainya lalu lintas sehingga menimbulkan kemacetan. Kemacetan tersebut dapat merugikan petani apabila petani menjadi terhambat dalam memasarkan bunganya.
320
Tabel 13.Perubahan Keadaan Lalu Lintas di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Kondisi Lalu Lintas Sebelum Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Tidak terjadi kemacetan karena tidak banyak kendaraan yang datang ke Desa Cihideung.
Setelah Desa Cihideung Menjadi Kawasan Agrowisata Terjadi kemacetan karena banyaknya wisatawan yang datang ke Desa Cihideung dan tidak tersedianya lahan parkir untuk wisatawan ataupun untuk petani yang men-drop bunganya sehingga banyak kendaraan yang memarkirkan kendaraan di pinggir jalan. Hal ini juga didukung dengan kondisi jalan di Desa Cihideung yang tidak terlalu luas dan tidak tersedianya trotoar untuk pejalan kaki. Selain itu Desa Cihideung merupakan jalan penghubung untuk ke daerah lainnya yang diminati wisatawan sehingga sering terjadi pelimpahan kendaraan yang menyebabkan kemacetan.
e. Polusi Limbah Padat Polusi limbah padat dari adanya kegiatan agrowisata merupakan timbulnya sampah di Desa Cihideung setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14.Perubahan Kondisi Limbah Padat di Desa Cihideung Akibat Agrowisata Polusi Limbah Padat Sebelum Desa Setelah Desa Cihideung Cihideung Menjadi Menjadi Kawasan Kawasan Agrowisata Agrowisata Sampah berasal dari Sampah selain dihasilkan dari budidaya tanaman seperti sisa polybag, sisa-sisa sisa polybag dan sisa-sisa pemeliharaan tanaman, dan tanaman dari kebutuhan masyarakat seharipemeliharaan, dan hari, juga karena adanya kebutuhan masyarakat kunjungan wisatawan sehingga sehari-hari. meningkatkan volume sampah sekitar 50 persen.
Terjadinya penumpukan sampah dapat mempengaruhi lingkungan sekitar seperti terjadinya penyumbatan saluran air yang sebelumnya tidak pernah terjadi di Desa Cihideung. Walaupun sampah yang diakibatkan Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata semakin meningkat, namun sampah tersebut masih dapat teratasi dengan adanya bantuan dari Gubernur Jawa Barat ataupun dengan cara dibakar oleh petani di Desa Cihideung. Menurut Nugroho (2011) sampah adalah fenomena umum dari sektor pariwisata. Volume sampah pada wilayah tujuan wisata akan meningkat. Menurut Sudarmadji dan Widyastuti (2014) adanya peningkatan jumlah
kunjungan wisatawan cenderung meningkatkan volume sampah. 3. Kendala Pengembangan Agrowisata Desa Cihideung (1) Sarana dan Prasarana Menurut Bappenas (2004), kawasan agrowisata harus memiliki sarana prasarana dan infrastruktur yang memadai untuk mendukung pengembangan agrowisata. Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan agrowisata, sarana dan prasarana mengalami perbaikan untuk mendukung agrowisata. Namun sarana dan prasarana tersebut masih belum memadai misalnya seperti belum tersedianya tempat parkir untuk para wisatawan sehingga membuat arus kendaraan terhambat karena banyaknya wisatawan yang memarkirkan kendaraan di pinggir jalan. Tidak tersedianya lahan parkir dikarenakan tingginya harga lahan di Desa Cihideung sehingga terhalang biaya untuk menyediakan lahan parkir. Selain itu Tourist Information Centre sebagai sarana penyedia informasi bagi wisatawan tidak berjalan dengan baik sehingga menjadi penghambat bagi wisatawan dalam memperoleh informasi. (2) Sumber Daya Manusia Kawasan agrowisata harus memiliki sumber daya manusia yang berkemauan dan berpotensi untuk mengembangkan kawasan agrowisata (Bappenas, 2004). Namun saat ini kurangnya kesadaran masyarakat Desa Cihideung terhadap keberlangsungan agrowisata. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang menjual lahan yang digunakan untuk membudidayakan bunga kepada para investor sehingga lahan tersebut beralih fungsi ke sektor non pertanian. Mereka tergiur dengan harga jual tanah yang tinggi tanpa memikirkan keberlangsungan agrowisata bunga Desa Cihideung. Para generasi muda juga lebih tertarik untuk bekerja di sektor non pertanian dengan banyaknya bermunculan usaha-usaha milik investor di sektor industri dan jasa yang berada di Desa Cihideung. (3) Masyarakat-Pemerintah Pemain kunci di dalam agrowisata adalah masyarakat penyedia wisata, wisatawan, dan pemerintah. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dalam mendukung berkembangnya agrowisata. Harus adanya interaksi positif diantara mereka untuk menuju kesuksesan dalam pengembangan agrowisata. Namun tidak sedikit masyarakat Desa Cihideung yang menganggap negatif terhadap pemerintah dalam mengembangkan agrowisata sehingga menjadi penghambat dalam pengembangan agrowisata.
(4) Atraksi Wisata Dalam agrowisata dibutuhkan kegiatan atraksi wisata yang dapat menjadi penambah daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke agrowisata. Namun saat ini wisata yang ditawarkan belum maksimal karena masih sedikitnya masyarakat yang menyediakan atraksi wisata untuk wisatawan yang datang ke agrowisata Desa Cihideung sehingga wisatawan yang datang ke Desa Cihideung biasanya hanya sebatas untuk membeli bunga. Hal ini karena kurang diberdayakannya masyarakat dalam memanfaatkan agrowisata untuk dijadikan peluang dalam memberikan atraksi kepada wisatawan. (5) Investor Agrowisata dapat merangsang tumbuhnya investasi bagi kawasan agrowisata sehingga menghidupkan ekonomi lokal (Bappenas, 2004). Namun investasi yang dilakukan oleh para investor belum mengarah ke sektor pertaniannya, tetapi ke sektor industri jasa seperti perhotelan, restoran, bahkan membuat wisata lainnya di daerah agrowisata. Hal ini membuat agrowisata Desa Cihideung bersaing dengan wisata lainnya dimana seharusnya wisata yang ditonjolkan di Desa Cihideung adalah agrowisatanya. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini yaitu: 1. Dampak positif agrowisata Desa Cihideung yaitu adanya peningkatan pendapatan masyarakat, meluasnya kesempatan kerja, peningkatan sarana dan prasarana desa, meningkatkan keberagaman mata pencaharian, dan mempertahankan tradisi 2. Dampak negatif agrowisata Desa Cihideung yaitu meningkatkan harga tanah, merubah gaya hidup menjadi konsumtif, menimbulkan terjadinya migrasi baik ke dalam maupun ke luar Desa Cihideung, mengurangi tingkat kerukunan, meningkatkan kriminalitas, menimbulkan polusi air, udara, suara, limbah padat, dan menimbulkan kemacetan 3. Kendala dalam pengembangan agrowisata Desa Cihideung yaitu sarana dan prasarana belum memadai, kurangnya kesadaran sumber daya manusia, kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, kurangnya atraksi wisata, dan investor yang kurang mendukung agrowisata. Saran dari hasil penelitian ini yaitu: 1. Perlu adanya penyusunan strategi pengembangan jangka panjang agrowisata Desa Cihideung dengan melibatkan masyarakat Desa Cihideung dalam pengembangan agrowisata.
321
2. Pihak pemerintah sebaiknya memaksimalkan dampak positif dan meminimalisasi dampak negatif agrowisata misalnya dengan memperketat perizinan pembangunan di Desa Cihideung yang dapat merugikan masyarakat di Desa Cihideung khususnya petani. 3. Sebaiknya masyarakat Desa Cihideung sadar akan pentingnya keberlangsungan pertanian di Desa Cihideung karena pertani bunga merupakan mata pencaharian utama masyarakat di Desa Cihideung.
DaFTAR PUSTAKA Adisukarjo, Sudjatmoko. 2006. Horizon Ilmu Pengetahuan Sosial. Yudhistira. Aryunda, Hanny. 2011. Dampak Ekonomi Pengembangan Kawasan Ekowisata Kepulauan Seribu. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 22 No. 1, April 2011, hlm.1 – 16. Magister Rancang Kota Institut Teknologi Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat. 2014. Kecamatan Parongpong dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten Bandung Barat. Budi, Cahyo Utomo dkk. Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Jawa Tengah. Jawa Tengah: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Departemen Pertanian. 2003. Agrowisata Meningkatkan Pendapat Petani. Departemen Pertanian. Diambil 10 Januari 2015, dari http://database.deptan.go.id. Departemen Pertanian. 2010. Agrowisata di Kabupaten Bandung Barat. Departemen Pertanian. Diambil 10 Januari 2015, dari http://database.deptan.go.id Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. 2014. Data Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata Jawa Barat Tahun 2014. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Dinas Perkebunan Jawa Barat. 2014. Potensi Agrowisata Perkebunan Jawa Barat. Dinas Perkebunan Jawa Barat. Diambil 1 November 2014, dari http://disbun.jabarprov.go.id. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal. 2004. Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan Untuk Percepatan Pembangunan Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
322
Diambil 10 Februari 2015, dari http://perpustakaaan.bappenas.go.id. DPRD Kabupaten Bandung Barat. 2012. Perda Kabupaten Bandung Barat No. 2 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Bandung Barat. DPRD Kabupaten Bandung Barat. Diambil 14 Februari 2015, dari https://www.pu.go.id/. Gusti, I Bagus Rai Utama. 2012. Agrowisata Sebagai Pariwisata Alternatif di Indonesia: Solusi Masif Pengentasan Kemiskinan. Bali. Hurmayeni, Nia. 2014. Dampak Objek Wisata Pemandian Bukit Jariang Punai Pada Masyarakat Sekitar Kampung Baliak Koto Kenagarian Pelangai Kaciak, Kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan. STKIP PGRI Padang. Karmana, Oman. 2007. Cerdas Belajar Biologi. Bandung: Grafindo Media Pratama. Kementerian Pariwisata. 2014. Rangking Devisa Pariwisata terhadap Komoditas Ekspor Lainnya. Diambil 14 Februari 2015, dari http://www.parekraf.go.id/. Nugroho, Iwan. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pemda Kabupaten Bandung Barat. 2015. Visi dan Misi Kabupaten Bandung Barat. Pemda Kabupaten Bandung Barat. Diambil 8 Februari 2015, dari http://www.bandungbaratkab.go.id. Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2007. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Pitana, I Gde, 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Priono, Yesser. 2011. Studi Dampak Pariwisata Bukit Batu Kabupaten Kasongan Ditinjau Dari Aspek Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jurnal Perspektif Arsitektur. Volume 6 No.2, Desember 2011. Universitas Palangka Raya. Rimba, Ahmad Dirgantara. 2012. Dampak Taman Safari Indonesia 1 Cisarua Bogor Terhadap Ekonomi, Sosial Budaya dan Lingkungan. Elemen dan Sistem Kepariwisataan. PP5102. Institut Teknologi Bandung. Sudarmadji dan Widyastuti. 2014. Dampak dan Kendala Wisata Waduk Sermo dari Aspek Lingkungan Hidup dan Risiko Bencana. Jurnal Teknosains. Vol. 3 No.2, 22 Juni 2014, halaman 181-166. Universitas Gadjah Mada.
Sudiarta, Made. 2005. Dampak fisik, Ekonomi, Sosial Budaya terhadap Pembangunan Pariwisata di Desa Serangan Denpasar Bali. Jurnal Manajemen dan Pariwisata Vol. 4 No. 2, 2005. Tinaprilla, Netti dan Illik, Elang Martawijaya. 2008. Punya Bisnis Sendiri Itu Nikmat. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Tri, A. Tugaswati. Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Komisis Penghapusan Bensin Bertimbel. Diambil 1 Mei 2015, dari http://www.kpbb.org/. Waluya, Jaka. 2013. Dampak Pengembangan Pariwisata. Jurnal Region Volume V No. 1 Maret 2013. Universitas Islam 45 Bekasi. Yoeti, Oka A. 2008. Ekonomi Pariwisata, Introduksi, Informasi, dan Implementasi. Jakarta: Kompas.
323
324
Pola Kemitraan Petani Paprika Dengan Koperasi Mitra Sukamaju Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani The Partnering Pattern betwen Paprika Farmers With Koperasi Mitra Sukamaju in Increasing The Farmer’s Income Nur Syamsiyah Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran,Jl.Raya Jatinangor Km.21
ABSTRAK
Kata Kunci: Kemitraan, Paprika, Pendapatan
Tujuan Penulisan ini adalah mengkaji pola kemitraan usaha yang dilakukan petani paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju dalam meningkatkan pendapatan petani paprika Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Pola Kemitraan yang terjadi adalah pola dagang umum dengan sistem penyerahan hasil produksi petani ke Koperasi Mitra Sukamaju. Petani paprika berada pada subsistem kegiatan produksi dan Koperasi Mitra Sukamaju pada subsistem pemasaran hasil produksi. Metode penelitian dilakukan dengan desain kualitatif dengan melakukan teknik studi kasus (case study). Keunggulan pola kemitraan kemitraan ini adalah peningkatan pendapatan bagi petani paprika dan Koperasi Mitra Sukamaju. Kendala dan manfaat dari kemitraan usaha, kendala teknis berkaitan dengan faktor cuaca yang tidak menentu dan serangan hama thrips. Manfaat yang diperoleh dari proses kemitraan bagi petani adalah adanya kepastian pasar dan harga, pendapatan petani relatif stabil, peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani dalam memproduksi paprika, pengembangan skala Usaha. Peningkatan pendapatan petani dilihat dari margin yang diterima petani sebesar 42,16 persen dan margin yang diterima Koperasi Mitra Sukamaju sebesar 57,84 persen.
ABSTRACT
Keywords: Partnership, paprika, Farmer’s Income
The main objective of studies to analyse business partnership paprika farmers and Koperasi Mitra Sukamaju in increasing the farmers incomes in Pasirlangu Village, Cisarua West Java Regency. Types partnership general trade with submit result production from paprika farmers to Koperasi Mitra Sukamaju, paprika farmer in a place production subsystem and Koperasi Mitra Sukamaju in marketing product subsystem. This research design was qualitative and used case study research technique. The advantages of business partnership are increasing income for paprika farmers and Koperasi Mitra Sukamaju, contraints and benefit of partnership, technical contraints be related to uncertainty weather and thrips attack. Benefit of partnership for paprika farmers, market and price assurance, increasing incomes, increasing knowledge and skills, business scale development. Distribution of margin on every offender partnership. Farmers margin 42,16 percent and Koperasi Mitra Sukamaju margin 57,84 percent.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
325
PENDAHULUAN Permintaan produk hortikultura semakin meningkat sebagai bentuk perubahan selera mayarakat yang semakin berkembang. Kebutuhan akan manfaat nutrisi dari produk hortikultura meningkat seiring peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hidup sehat dan berkualitas. Hortikultura memiliki kandingan nutrisi yang berguna sebagai sumber energi, karbohidrat, vitamin, mineral dan antioksidan. Pada dasarnya komoditas hortikultura dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan biofarmaka (tanaman obat-obatan). Paprika merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki prospek yang cerah peluang pasar yang luas. Tingginya permintaan masyarakat baik di dalam maupun luar negeri mengakibatkan semakin besar peluang produsen untuk dapat terus meningkatkan produksinya. Desa Pasirlangu sebagai pemasok terbesar untuk komoditas paprika petani yang tergabung dalam Koperasi Mitra Sukamaju sebagai pemasok paprika untuk PT. Alamanda Sejati Utama maupun ke Pasar Lokal. Pengembangan usahatani paprika potensial karena kondisi lahan dan iklim yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman paprika. Kabupaten Bandung Barat memiliki beberapa sentra produksi paprika, salah satunya adalah Desa Pasirlangu Usahatani paprika di Desa Pasirlangu dilakukan dengan sistem kemitraan dengan Koperas, Kelompok Tani, Bandar maupun Pedagang Pengumpul. Melalui pola kemitraan yang terjalin diantara petani dan Koperasi Mitra Sukamaju diharapkan petani dan supplier dapat mengambil manfaatnya sehingga kerjasama yang terjalin adalah kerjasama yang saling menguntungkan dan bersamasama dalam mengatasi kendala yang dihadapi baik faktor kualitas, kuantitas, kontinuitas, pemasaran dan permodalan. Sebelum adanya kemitraan petani tidak memiliki kepastian pasar dan harga, petani menjual produknya ke tengkulak. Koperasi Mitra Sukamaju merupakan salah satu badan usaha agribisnis yang bergerak di bidang pemasaran hasil pertanian di Desa Pasirlangiu. Atau dapat juga disebut sebagai rumah kemasan (packing house). Awalnya koperasi hanya membantu petani dalam pemasaran hasil saja, namun karena permintaan semakin meningkat baik kualitas maupun kontinuitasnya, maka Koperasi Mitra Sukamaju memberikan bantuan permodalan baik dana talangan maupun sarana produksi.
326
Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi pola kemitraan antara petani paprika dengan Koperasi Mitra Suka Maju. 2. Mengidentifikasi kendala dan manfaat yang diperoleh dari kemitraan yang dilakukan antara petani paprika dan Koperasi Mitra Sukamaju. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian adalah desain kualitatif, teknik penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study). penentuan lokasi penelitian ditentukan dengan sengaja didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : Desa Pasirlangu Merupakan salah satu sentra produksi paprika terbesar di Kabupaten Bandung Barat dan Koperasi Mitra Sukamaju merupakan koperasi agribisnis yang berkembang di wilayah Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Jenis dan Sumber Data Jenis data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah analisis usahatani paprika, data sekunder yang diperlukan adalah berupa pola kemitraan, informasi harga, hak dan kewajiban dalam kemitraan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, instansi terkait seperti : Kementrian Pertanian, Dirjen Hortikultura, Kementrian Perdagangan dan perindustrian dan lainnya. Teknik Pengambilan Data Responden dalam penelitian ini ialah petani paprika yang tergabung dalam Koperasi Mitra Sukamaju di sentra produksi paprika Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Dan Pengurus Koperasi Mitra Sukamaju. Teknik pengambilan data dilakukan melalui observasi, wawancara yang dilakukan terhadap petani paprika yang menjadi anggota Koperasi Mitra Sukamaju Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yang digunakan dalam menganalisis pola kemitraan yang dilakukan kedua belah pihak. Dimana kegiatan kemitraan dijabarkan secara deskriptif dan terperinci sehingga menggambarkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra, pembagian hasil, sanksi yang diberikan bagi pihak yang melanggar. Kendala dan manfaat dianalisis berdasarkan kendala aspek ekonomi, teknis maupun sosial baik di tingkat petani maupun perusahaan mitra selama
melakukan kemitraan. Dalam bidang ekonomi peningkatan pendapatan dilihat dari perolehan margin rantai nilai pada setiap pelaku kemitraan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis biaya dan margin adalah sebagai berikut : 1) menghitung biaya-biaya yang dikeluarkkan masing-masing pelaku kemitraan. 2) menghitung penerimaan per pelaku kemitraan. Penerimaan dihitung dengan mengalikan volume terjual (Q) dengan harga jual (P). 3) menghitung rasio keuangan yaitu a. pendapatan bersih. Pendapatan Bersih = Penerimaan – Biaya Variabel - Biaya Tetap b. Margin Bersih Margin bersih adalah pendapatan bersih per produk, margin bersih dihitung dengan membagi pendapatan bersih pelaku dengan keseluruhan jumlah produk yang terjual (Q). 4) Posisi Keuangan Relatif para Pelaku dalam Rantai nilai. Tujuan dari langkah ini adalah mengambil simpulan tentang posisi keuangan antara lain pembagian biaya, penerimaan, pendapatan bersih (laba), dan margin antara para pelaku kemitraan dibandingkan dengan pelaku lainnya di dalam rantai. Cara yang dapat digunakan untuk menyajikan posisi keuangan para pelaku kemitraan adalah dalam bentuk tabel. Tabel 1. Perhitungan Margin Rantai Nilai Para Pelaku Kemitraan Petani Supplier Total Total A B C = A+B Biaya/kg % Biaya/kg A/C B/C 100 Penerimaan Harga/kg D E Laba Laba/kg D-A E-B F=(DA)+(E-B) % Laba (DA)/F (E-B)/F 100 Total Total Margin Margin/kg D E-D E % D/E (E-D)/E 100 Margin/kg
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Kemitraan Usaha Pola kemitraan yang terjalin antara petani paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju adalah pola dagang umum, dimana petani berada pada subsistem produksi dan Koperasi Mitra Sukamaju pada subsistem pemasaran hasil produksi. Petani diharapkan dapat fokus pada kegiatan produksi sehingga mampu meningkatkan produktivitas paprika yang dihasilkan. Koperasi Mitra Sukamaju juga bertanggungjawab pada pengelolaan petani mitra sehingga mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani mitra. Petani mitra koperasi dibekali dengan pengetahuan akan kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar. Kualitas yang diinginkan Koperasi dalam memenuhi pasar ekspor adalah grade A dan grade B dengan berat 1 ons – 2 ons per buah. Penetapan harga dilakukan dengan kontrak kerja antara Koperasi dan Ekportir mapun dengan supplier lainnya dalam memenuhi pasar lokal. harga paprika tergantung dari warna. Paprika hijau dibeli dengan harga Rp 18.000 per kg, paprika merah Rp 23.000 per kg, paprika kuning Rp 26.000 per kg dan paprika orange Rp 28.000 per kg. Keberhasilan kemitraan yang dilakukan antara petani dengan Koperasi Mitra Sukamaju dapat dilihat dari kedua belah pihak dalam menjalankan aturan hak dan kewajiban yang telah disepakati. Pihak yang terlibat secara langsung adalah Petani Paprika Desa Pasirlangu dan Koperasi Mitra Sukamaju. Masing-masing pelaku menjalankan kegiatan yang berbeda-beda.
Pelaku
Biaya
Sumber : ACIAR (2012) 5) Peningkatan pendapatan petani paprika diketahui dengan perbedaan pendapatan antara menjual keseluruhan jumlah produksinya ke pasar lokal dan menjual ke Koperasi Mitra Sukamaju dilihat dari margin pada rantai nilai.
Persiapan Budidaya
Penanaman
Pemeliharaan
Pemanenan
• menyiapkan input produksi, • Lahan, alat, bahan (bibit, pupuk pestisida, dll) • Persemaian
•Pengolahan lahan •Penanaman
•Penyiraman •Pemangkasan •Pengajiran •Penyiangan dan pemberiaan pupuk dan pestisida
•Memanen •Mengumpulkan dan memberikan identitas pada hasil panen
Gambar 1. Kegiatan Petani Paprika
327
Aktivitas yang dilakukan oleh petani paprika adalah fokus pada kegiatan budidaya, mulai dari persiapan lahan, tenaga kerja, ketersediaan air, benih dan agroinput. Budidaya paprika memerlukan investasi yang tinggi, seperti pembuatan green house dan perlengkapannya membutuhkan dana sekitar Rp 75.000 per m2 sampai dengan Rp. 250.000 per m2. Petani yang bekerjasama dengan Koperasi Mitra Sukamaju melakukan Persiapan budidaya secara bersama-sama dalam menentukan pola tanam agar panen dapat dilakukan berkesinambungan setiap hari sesuai dengan permintaan pasar.
Pengangkutan
Penimbangan dan Pencatatan
Pengiriman
Sortasi dan Grading
Pengemasan
Gambar 2. Kegiatan Koperasi Mitra Sukamaju Berdasarkan gambar 2 Rangkaian aktivitas yang dilakukan Koperasi Mitra Sukamaju adalah pengangkutan paprika dari kebun ke Packing House menggunakan mobil pick up, Penimbangan dan pencatatan identitas paprika untuk mengetahui asal paprika, Sortasi dan grading dilakukan dengan memisahkan paprika yang mengalami kerusakan pada saat proses pengangkutan dari kebun ke packing house dan melakukan grading untuk memisahlan paprika berdasarkan jenis, warna kematangan, penampakan sesuai dengan grade A, grade B dan grade C. Pengemasan (penimbangan dan Pencatatan) dilakukan untuk menghitung berapa perolehan untuk masing-petani untuk paprika dengan grade A. Grade B dan grade C, Pengiriman dari Packing House Ke Eksportir dan Supplier lain untuk pasar modern maupun tradisional. Ekportir adalah PT. Alamanda Sejati Utama, sedangkang untuk Supplier Lokal Koperasi Mitra Sukamaju Bekerjasama dengan supplier yang memasok ke pasar modern/ supermaket dan pasar tradisional. Hak dan kewajiban petani dan Koperasi dalam kemitraan ini adalah sebagai berikut :
328
Tabel 2. Hak dan Kewajiban Petani dan Koperasi Mitra Sukamaju Pihak Keterangan Hak
Kewajiban
Petani Mitra 1. Mendapatkan jaminan pasar sesuai dengan harga yang telah ditetapkan 2. Menerima hasil penjualan tepat waktu dan tidak melewati masa jatuh tempo. 3. Menerima SHU 1. Melaksanakan budidaya paprika dengan benar. 2. Melaksanakan panen tepat waktu. 3. Menyerahkan seluruh hasil panen. 4. Membayar iuran 10 persen / kg dari paprika yang dihasilkan.
Koperasi Mitra Sukamaju 1. Mendapatkan jaminan pasokan paprika, baik kualitas, kuantitas dan kontinuitas. 2. Memperoleh 10 persen dari hasil penjualan paprika. 1. Menerima seluruh paprika hasil produksi petani dengan harga kesepakatan. 2. Membayar hasil penjualan petani tepat waktu. 3. Memberikan informasi dengan transparan kepada seluruh anggota. 4. Memberikan bantuan permodalan untuk anggota yang membutuhkan.
Pelaksanaan kemitraan antara petani paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju terjalin berdasarkan kekeluargaan. Tidak adanya kontrak kerja secara tertulis mengenai pembagian hasil, kualitas, kuantitas dan kontinuitas paprika semuanya bersifat lisan. Walaupun demikian hingga saat ini kemitraan yang terjalin masih sangat baik karena masing-masing pihak melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik dan saling menjaga kepercayaan masing-masing anggota Koperasi Mitra Sukamaju. Pembagian hasil dilakukan berdasarkan kuantitas paprika yang dikirim petani, harga ditentukan berdasarkan kesepakatan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam kemitraan ini. Koperasi dan petani mitra bersikap saling pengertian sehingga jika harga dipasar sedang tinggi maka Koperasi Mitra Sukamaju akan melakukan kesepakatan baik dengan ekportir maupun dengan supplier lain untuk memberikan kenaikan harga paprika kepada petani dan ketika hasil produksi petani menurun karena serangan hama, koperasi berusaha agar petani anggota tidak mengalami kerugian.
Proses pembayaran yang dilakukan eksportir maupun supplier menggunakan sistem tempo, pembayaran biasanya dilakukan setiap tanggal 5 dan 20 tiap bulannya. Selama melakukan kemitraan baik petani maupun koperasi belum pernah ada yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Jika mengalami keterlambatan pembayaran dari eksportir dan supplier maka koperasi akan meyampaikannya kepada seluruh anggota koperasi namun biasanya koperasi memberikan bantuan berupa dana talangan yang diperoleh dari kerjasama koperasi dengan perbankan. Pembayaran dilakukan Koperasi Mitra Sukamaju tepat waktu bahkan petani dapat meminjam modal dari koperasi untuk usahataninya. Petani juga selalu memberikan pasokan paprika sesuai dengan grade yang dibutuhkan. Apabila petani melanggar kesepakatan maka koperasi akan memberikan sanki tidak lagi menjalin kemitraan dengan petani tersebut, dan apabila koperasi telat dalam proses pembayaran maupun tidak ada transparansi dan kesesuaian harga maka petani tidak lagi memasok paprika ke Koperasi Mitra Sukamaju.
Penyerahan Hasil Panen
Petani Paprika
Koperasi Mitra Sukamaju
Memasarkan hasil
Eksportir
Pasar Lokal (Pasar Modern dan Tradisional)
Gambar 3. Pola Kemitraan antara Petani Paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju Petani paprika di Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat mengetahui pasar tujuan untuk paprika yang dihasilkannya. Koperasi Mitra Sukamaju memasarkan parika yang dihasilkan petani ke Eksportir yaitu PT. Alamanda Sejati Utama dan Pasar Lokal baik langsung maupun melalui supplier lain. Kendala dan Manfaat Kemitraan Petani Paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju. Proses kemitraan terjadi bukan tanpa kendala, kendala yang terjadi dalam proses kemitraan yang terjalin antara petani paprika dengan Koperasi
Mitra Sukamaju meliputi kendala teknis, ekonomi dan sosial. a. Kendala teknis Kendala teknis di tingkat petani dan koperasi berbeda karena kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing pelaku kemitraan berbeda. Adapun kendala teknis yang dihadapi petani paprika adalah dalam menghasilkan paprika yang sesuai dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang diiinginkan koperasi. Kendala ini berkaitan dengan alam, karena budidaya paprika sangat tergantung oleh alam, walaupun dibudidayakan di green house faktor cuaca masih sangat menentukan keberhasilan produksi paprika. Pada saat musin hujan paprika sangat mudah terserang busuk buah atau antracnose dan hama thrips. Kendala teknis yang dihadapi koperasi berhubungan dengan pasokan paprika dari petani, jika pasokan menurun maka pasokan kepada eksportir dan supplier lain kan menurun. Kendala lain adalah dalam penyimpanan hasil dimana paprika hasil panen masih disimpan dengan menggunakan plastik bening dan proses pengangkutan hasil koperasi belum memiliki alat transportasi dengan pendingin sehingga saat proses pengangkutan paprika dari kebun ke koperasi beberapa paprika mengalami kerusakan. b. Kendala Ekonomi Kendala ekonomi biasanya dialami koperasi dalam menerima hasil penjualan dari eksportir maupun supplier lainnya, namun agar proses kemitraan berjalan dengan baik, koperasi tetap memberikan kepada petani sesuai dengan masa jatuh temponya. Kendala ekonomi yang dialami koperasi ini biasanya diatasi dengan menghentikan sementara pasokan kepasa supplier yang mengalami keterlambatan pembayaran dan pasokan kembali akan dipenuhi ketika supplier tersebut telah melakukan pembayaran. c. Kendala Sosial Kendala dalam aspek sosial ini dialami oleh koperasi dimana koperasi tidak hanya menerima paprika sesuai dengan grade A untuk memnuhi pasar ekspor namun seluruh grade yang dihasilkan petani, sehingga petani tidak mengalami kerugian untu paprika yang dihasilkan tidak sesuai dengan permintaan kualitas untuk pasar ekspor. Koperasi tidak hanya mementingkan keuntungan saja, namun memikirkan pula petani anggotanya karena pengurus koperasi merupakan petani paprika juga sehingga ada rasa kekelurgaan didalamnya.
329
Manfaat Kemitraan antara Petani Paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju. Kemitraan merupakan salah satu bentuk kerjasama dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kata saling dimaknai bahwa dalam proses kemitraan masing-masing pelaku mendapatkan manfaat bagi setiap pelaku. Manfaat proses kemitraan yang terjalin antara petani paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju adalah sebagai berikut : 1. Manfaat bagi petani a. Adanya kepastian pasar dan harga. b. Penerimaan dan pendapatan relatif Stabil c. Peningkatan kemampuan petani dalam memproduksi paprika. d. Pengembangan skala Usaha. 2. Manfaat bagi Koperasi Mitra Sukamaju. a. Terjaminnya Pasokan paprika untuk memenuhi pasar ekspor maupun lokal. b. Mendapatkan hasil produksi paprika dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang sesuai dengan permintaan pasar. c. Peningkatan kesejahteraan anggotanya. d. Pengembangan skala usaha tidak hanya dikembangkan petani, Koperasi juga mengembangkan skala usaha melalui volume penjualan dan jenis produk yang dihasilkan petani yang memiliki produktivitas yang tinggi dan terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Margin Rantai Nilai Pada Pelaku Kemitraan Petani dan Koperasi Mitra Sukamaju menanggung biaya masing-masing sesuai dengan kegiatan yang dilakukannya. Biaya yang ditanggung oleh para pelaku kemitraan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tanggungan Biaya Pelaku Kemitraan Petani Paprika Koperasi Mitra Sukamaju Biaya Tetap Biaya Tetap - Bambu - Timbangan - Plastik UV - Tenaga kerja - Polybag - Alat pengepakan. - Plastik Mulsa - transportasi - Polynet - Pajak - Benang Kasar - Listrik - Paku - Service transportation - Kawat Tali - Container - Pompa Listrik
330
- Instalasi pembuatan greenhouse - Pajak Bumi - Listrik Biaya Variabel - Benih - Nutrisi - Arang Sekam - Pestisida - Tenaga Kerja
Biaya Variabel - Plastik pengemasan - Streoform - Isolasi Bening. - Resiko kerusakan Paroduk
Berdasarkan perhitungan biaya produksi, penerimaan dan pendapatan masing-masing pelaku memperoleh keuntungan berdasarkan margin yang diterima adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Posisi Keuangan Relatif Para Pelaku Kemitraan Pelaku dalam Rantai Nilai Petani Biaya Total Biaya/kg 9.450,68 % Biaya /kg 53,0451626 Penerimaan Rp/kg 20.450 Laba Laba / kg 13.029,32 % laba Total 23,40463828 Total Margin Margin/kg 20.450 %Margin/kg 42,16494845 Tabel 5. Selisih Pendapatan Petani Paprika Bermitra dan Tidak Bermitra Per Musim Tanam N o 1 2 3 4 5
Pendapatan Non Kemitraan 15.850.000 45.475.000 13.126.500 14.826.400 30.311.500
Pendapatan Kemitraan 93.122.500 116.575.000 60.350.750 63.835.000 83.893.000
Selisih (Rp) 77.272.500 71.100.000 47.224.250 49.008.600 53.581.500
Tabel diatas menjelaskan bahwa rata-rata pendapatan petani mengalami peningkatan setelah melakukan kemitraan dengan Koperasi Mitra Sukamaju berdasarkan perhitungan biaya produksi, penerimaan dan pendapatan terlihat pendapatan petani paprika meningkat mencapai dua kali lipat dari pendapatan sebelum melakukan kemitraan. Selisih pendapatan diperolah dari pendapatan yang bermitra dengan Koperasi Mitra Sukamaju dengan petani yang hanya menjual paprika ke pasar tradisional. Selisih ini dikarena ada perbedaan harga jual paprika, Koperasi memberikan harga yang berbeda untuk masing masih jenis dan kualitas paprika. Karena Koperasi memiliki pasar yang beragam sehingga semua grade dapat dipasarkan ke beberapa pasar yang berbeda. Harga yang lebih tinggi diperoleh untuk grade A untuk memenuhi pasar ekspor yaitu paprika hijau Rp 18.000, paprika merah Rp 23.000, paprika kuning Rp 26.000 dan Rp 28.000 untuk paprika orange, sedangkan harga jual parika di pasar tradisional hanya Rp 10.000 – Rp 12 000 untuk setiap jenis paprika. Koperasi Mitra Sukamaju penerapkan komisi 10 persen untuk keberlanjutan koperasi namun ketika ada sisa maka akan dikembalikan lagi ke anggota sebahai SHU (Sisa hasil Usaha). Peningkatan pendapatan juga dikarenakan adanya peningkatan produksi karena kemampuan petani dalam melakukan usahatani menjadi meningkat. Petani mampu membeli kebutuhan usahataninya karena adanya harga dan pasar yang jelas setelah
Koperasi 8.365,61 46,9548374 48.500 42.640,50 76,59536172 28.050 57,83505155
Total 17.816,29 100 55.669,82 100 48.500 100
melakukan kemitraan. Kemitraan yang terjadi sangat menguntungkan baik bagi petani maupun Koperasi ini dibuktikan dengan peningkatan produksi, adanya jaminan pasar, harga jual yang tinggi dan bagi Koperasi Mitra Sukamaju tersedianya pasokan paprika sesuai dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas sehingga dapat memenuhi permintaan pasar lokal maupun eksport. KESIMPULAN Mekanisme kemitraan usaha antara petani paprika Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat dengan Koperasi Mitra Sukamaju adalah adalah petani paprika berada pada subsistem kegiatan produksi dalam usahatani paprika sedangkan Koperasi Mitra Sukamaju pada subsistem pemasaran hasil. Koperasi hanya menerima seluruh paprika yang dihasilkan anggota koperasi dan memasarnya sesuai dengan pasar yang tersedia. Harga jual paprika untuk grade A adalah Rp 18.000 untuk paprika hijau, Rp 23.000 untuk paprika merah, Rp 26.000 untuk paprika kuning dan Rp 28.000 untuk paprika orange. Dimana Grade A biasanya untuk memasok eksportir, sedangkan grade B dan C untuk memasok pasar lokal baik modern maupun pasar tradisional. Kendala yang dihadapi dalam proses kemitraan antara petani paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju adalah kendala teknis (kualitas dan kuantitas) karena kondisi cuaca yang tidak stabil, hama thrips. Manfaat yang diperoleh dari proses kemitraan adalah adanya kepastian pasar dan harga, penerimaan dan pendapatan petani relatif stabil, peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani dalam memproduksi paprika, pengembangan skala Usaha. Peningkatan pendapatan petani dilihat dari margin yang diterima petani sebesar 42,16 persen dan margin yang diterima Koperasi Mitra Sukamaju sebesar 57,84 persen.
331
DAFTAR PUSTAKA Cahyono D. 2017. Cabai Paprika Teknik Budidaya dan Analisis Usahatani. Yogyakarta. Kanisius Haeruman, Herman. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota. Lambert, Douglas M, Margaret A Emmelhainz, John T Gardner. 1996. Developing and Implementing Supply Chain Partnerships. The International Journal of Logistics Manajement vol.7 No:2. M4P.2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak Pada Kaum Miskin : Buku pegangan bagi Praktiisi analisis rantai nilai. ACIAR Monogragraph No. 148. Australian Centre For International Agriculture Research : Canbera Porter M. E. 1985. Competitive Advantages : Creating and Sustaining Superior Perfomance. New York : The Free Press. Prowse, Martin. 2012. Contract Farming in Developing Countries. Institute of Development Policy and Managemet. University of Antwerp. Rodjak, Abdul. 2005. Manajemen Usahatani. Penerbit : Giratuna. Bandung. Saptana, dkk. 2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Sumardjo, Jaka S., dan Wahyu A.D. 2004. Teori dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya.
332
Analisis Pendapatan dan Risiko Usahatani Jagung di Kabupaten Serang The Analysis Of Farm Income And The Risk Of Corn Farming In The District Of Serang Dian Anggraeni1 , Tuhpawana P. Sendjaja2, Tomy Perdana2, Anne Nuraini2 1
Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang 2Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK
Kata Kunci: Pendapatan usahatani, Biaya, Risiko, Jagung
Jagung merupakan komoditas pangan kedua setelah padi dan sumber kalori atau makanan pengganti beras disamping itu juga sebagai pakan ternak. Kebutuhan jagung akan terus meningkat dari tahun ke tahun, sejalan dengan peningkatan taraf hidup ekonomi masyarakat dan kemajuan industri pakan ternak. Kasryno (2006), mengemukakan bahwa jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan dan bahan baku industri.Tingginya permintaan untuk jagung tua (pipilan) di daerah Banten, tidak secara langsung mendorong petani untuk melakukan pemanenan jagung tua (pipilan). Fenomena menunjukan masih banyak petani yang melakukan pemanenan jagung muda, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan diantara aspek pendapatan dan pendeknya waktu panen. Komoditas pertanian berbeda dengan komoditas sektor lain, salah satunya adalah tingginya risiko yang harus diterima petani, sedangkan secara umum petani kecil biasanya memiliki sifat menghindar dari risiko, dengan demikian walaupun permintaan untuk komoditas jagung pipilan tinggi, petani jagung di daerah Banten, tetap masih banyak yang melakukan pemanenan jagung muda, dengan alasan usahatani tersebut masih memberikan keuntungan, dan layak untuk dikembangkan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pendapatan usahatani jagung dan (2) tingkat risiko usahatani jagung di Kabupaten Serang. Metode penelitian yang digunakan survey eksplanatori. Penentuan sampel menggunakan multistage random sampling dengan total sampel sebanyak 101 petani jagung. Data dianalisis dengan menggunakan rumus pendapatan usahatani dan standar deviasi dari penerimaan usahatani jagung. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan usahatani jagung menunjukan keadaan yang lebih besar dibanding dengan panen jagung muda, walaupun diikuti oleh biaya yang lebih tinggi. Risiko pada usahatani jagung panen pipilan, lebih besar dibanding panen jagung muda.
ABSTRACT
Keywords: Farming Income, Costs, Risks , Corn
Corn is the second food commodity after rice and a source of calories or food instead of rice as it also as animal feed. Corn demand will continue to increase from year to year, in line with the improvement of living standards of the local economy and the progress of the animal feed industry. Kasryno (2006), suggests that corn can be used for food, feed and industrial raw materials. High demand for old corn (shelled) in Banten, not directly encourage farmers to harvest the old corn (shelled). The phenomenon shows there are still many farmers who were harvesting young corn, this is due to several reasons among the aspects of revenue and the short harvest time. Agricultural commodities is different with other sectors commodities, one of the difference is that the high risk to be received by farmers, while generally small farmers usually avoid the risk, thus even if the demand for old corn commodities is high, many of corn farmers in Banten is still harvesting young corn, with the reason that farming is still profitable, and deserves to be developed.
333
This study aims to determine (1) corn farm income and (2) the risk level of corn farming in the District of Serang. An explanatory survey was applied in this study by interviewing respondents. The samples using multistage random sampling with a total sample of 101 corn farmers. The data were analyzed by using farming income analysis and standar deviation analysis of corn farming revenue. The results of study indicated that farming income of shelled corn is greater than the young corn farming income, though followed by higher costs. Risks involved in farming shelled corn crop, bigger than young corn harvest. This study, hopefully, would contribute upon agribusiness development, especially on farming theory. * Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
334
PENDAHULUAN Jagung merupakan komoditas pangan kedua setelah padi dan sumber kalori atau makanan pengganti beras disamping itu juga sebagai pakan ternak. Kebutuhan jagung akan terus meningkat dari tahun ke tahun, sejalan dengan peningkatan taraf hidup ekonomi masyarakat dan kemajuan industri pakan ternak. Kasryno (2006), mengemukakan bahwa jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan dan bahan baku industri. Tingginya permintaan untuk jagung tua (pipilan) di daerah Banten, tidak secara langsung mendorong petani untuk melakukan pemanenan jagung tua (pipilan). Fenomena menunjukan masih banyak petani yang melakukan pemanenan jagung muda, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya aspek pendapatan dan faktor risiko usahatani. Risiko adalah suatu variabel dari hasil yang dapat terjadi selama periode tertentu. Sedangkan Kountur (2004), menyatakan bahwa risiko adalah ketidaktentuan yang mungkin melahirkan peristiwa kerugian. Ada juga yang mendefinisikan bahwa resiko adalah penyebaran atau penyimpangan hasil aktual dari hasil yang diharapkan. Pengertian pendapatan adalah selisih antara nilai hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Purwatiningdyah DN (2003), menyatakan bahwa pendapatan petani dapat diperhitungkan dari total penerimaan yang berasal dari nilai penjualan produksi dikurangi dengan total nilai pengeluaran. Besar kecilnya pendapatan yang diperoleh menjadi dasar dalam pengambilan keputusan bagi seorang petani dalam melakukan usahatani, disamping faktor risiko yang ada. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Serang Provinsi Banten, dengan waktu penelitian pada Musim Tanam kedua bulan Agustus 2013. Jenis, Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan teknik wawancara langsung terhadap petani jagung yang mengacu pada kuesioner yang telah disiapkan. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara menelaah laporan hasil penelitian terdahulu, laporan dari instansi terkait, maupun publikasi lain yang relevan.
Metode Pengambilan Sampel Sampel ditentukan dengan cara multistage cluster random sampling, dengan tiga tahapan. Tahap pertama menentukan Kecamatan sebagai sentra komoditas jagung. Tahap kedua memilih desa yang dijadikan sebagai secondary sampling unit (SSU) dan tahap tiga memilih petani sebagai sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan simple random sampling. Metode Analisis Data Untuk menentukan besarnya pendapatan usahatani jagung menggunakan rumus π = R – C. Dimana R adalah Revenue(penerimaan) dan C adalah Cost (Total biaya usahatani). Untuk menentukan besarnya risiko pada usahatani jagung digunakan rumus standar deviasi dengan formulasi sebagai berikut : ∑(xi − x)2 s2 = n−1 Dimana s2 adalah standar deviasi dari penerimaan usahatani jagung, xi merupakan penerimaan dari usahatani jagung, x merupakan rata-rata penerimaan
dan n adalah jumlah sampel pada usahatani jagung. Untuk mengetahui karakter petani jagung yang melakukan panen muda dan panen pipilan dilakukan secara deskriptif analisis. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Biaya , Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Jagung di Kabupaten Serang Biaya produksi rata-rata per hektar untuk usahatani jagung dengan sistem panen muda berbeda dengan sistem panen tua (pipilan).Perbedaan yang nampak pada biaya variabel karena pada waktu panen tua/pipilan terdapat penanganan pasca panen (pemipilan dan penjemuran), sehingga terdapat penambahan tenaga kerja yang berdampak terhadap meningkatnya biaya tenaga kerja khususnya. Proses penanganan pasca panen pada jagung pipilan merupakan salah satu upaya petani dalam menyiasati harga. Proses pengolahan yang optimal, menyebabkan jagung pipilan dapat disimpan lama, dengan demikian petani dapat menjualnya pada saat harga tinggi. Perbedaan lain dari aspek penggunaan pupuk baik itu urea, TSP atau pun pupuk kandang, usahatani jagung pipilan lebih tinggi. Aspek penggunaan benih juga untuk usahatani jagung waktu panen pipilan memerlukan biaya yang lebih tinggi walaupun bedanya tidak terlalu besar. Berkaitan dengan biaya dan pendapatan usahatani jagung waktu panen muda dan panen pipilan per hektar per musim tanam dapat dilihat lebih jelasnya pada Tabel 1.
335
Tabel 1. Biaya Produksi dan Pendapatan Usahatani Jagung Waktu Panen Muda dan Panen Pipilan Per Hektar Per Musim Tanam No Keterangan Satuan Waktu Panen Muda Pipilan Perbedaan (Rp) (Rp) (Rp) 1. Biaya Tetap Rp 164.342,00 211.461,00 47.119,00 2. Biaya Variabel Rp 5.179.608,00 5.550.750,00 371.142,00 3. Total Biaya produksi Rp 5.343.950,00 5.762.211,00 418.261,00 4. Penerimaan Total Rp 15.561.361,00 16.430.775,00 869.414,00 5. Pendapatan Bersih Rp 10.217.411,00 10.668.564,00 451.153,00
Berdasarkani Tabel 1. dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan biaya tetap antara usahatani jagung waktu panen muda dengan panen pipilan , hal ini disebabkan, pada usahatani jagung panen muda komponen terbesar digunakan untuk pajak tanah, sementara pada usahatani jagung pipilan, selain untuk pajak, responden ada yang melakukan sewa tanah. Komponen biaya variabel dari usahatani jagung panen muda lebih kecil dari jagung panen pipilan, hal ini disebabkan adanya perbedaan dari aspek penggunaan pupuk, baik pupuk buatan ataupun pupuk kandang, dan penggunaan tenaga kerja, dimana pada usahatani jagung panen pipilan terdapat proses penanganan pasca panen, dan sebaliknya. Adanya perbedaan dalam penerimaan antara usahatani jagung panen muda dengan panen pipilan adalah karena produksi dari usahatani jagung panen muda per hektarnya lebih tinggi dari panen pipilan, namun dari aspek harga output, jagung pipilan lebih mahal, sehingga penerimaan yang diperoleh petani lebih besar dibanding usahatani jagung panen muda. Hasil perhitungan ternyata pada luasan lahan yang sama usahatani jagung panen pipilan memberikan pendapatan yang lebih besar dibanding usahatani jagung panen muda ,walaupun terdapat beberapa hal dan kendala yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan usahatani jagung panen pipilan tersebut, namun banyak aspek positif yang diperoleh petani dari usaha bersangkutan. Kelebihan melakukan panen jagung pipilan adalah keterjaminan dan kepastian pasar, dari aspek harga juga lebih tinggi, dari aspek produksi bahwa jagung pipilan ini bisa disimpan lebih lama asal dalam proses pengeringan harus benar-benar sudah maksimal. Beberapa aspek yang merupakan kendala dan tantangan yang harus diperhatikan petani diantaranya berkaitan MOU dengan pihak pemakai (pabrik pakan ternak) belum adanya kejelasan yang pasti, hal ini disebabkan bahwa petani belum bisa mensuplai jagung sesuai dengan permintaan pabrik. 336
Permasalahan lain adalah dari aspek kualitas, kandungan air, dll cenderung masih banyak produk yang belum memenuhi standar permintaan, apalagi kalau usahatani tersebut dilakukan pada musim Tanam ke-1, karena pada saat itu cenderung hujan banyak turun, sehingga akan berdampak terhadap kualitas jagung (proses penjemuran kurang maksimal). Petani sangat membutuhkan alat pengering (oven) yang bisa membantu petani untuk proses pengeringan jagung pipilan. Permasalahan lain yang muncul di masyarakat kalau penanaman jagung dilakukan pada musim tanam ke-2, di lapangan cenderung kekurangan air, sehingga masyarakat enggan untuk melakukan penanaman jagung, padahal momen itu sangat tepat untuk melakukan panen jagung pipilan. Sampai saat ini masyarakat sangat berharap bantuan pemerintah berupa pompa pantek untuk mengairi tanaman jagung pada saat musim kemarau tiba. Beberapa hal tersebut menjadi alasan masyarakat atau petani jagung untuk selalu enggan berusahatani dengan melakukan panen jagung pipilan, walaupun dari aspek pasar sudah tersedia dan dari aspek pendapatan memberikan tingkat yang relatif lebih tinggi dibanding panen jagung muda. Aspek lain yang menjadi kendala bagi petani dalam usahatani jagung panen pipilan adalah besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan petani. Berkaitan dengan biaya usahatani jagung secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
Rincian Biaya Tetap dan Biaya Variabel Per Hektar Usahatani Jagung di Kabupaten Serang
Biaya Muda (Rp) Jenis Sarana Produksi a. Benih 840.180,00 b. Pupuk 1.366.246,00 kandang
Waktu Panen Pipilan (Rp) 848.000,00 1.603.000,00
Perbedaan (%) 0,92 14,76
Biaya Muda (Rp)
Waktu Panen Pipilan (Rp)
Perbedaan (%)
dan buatan c. Pestisida 145.574,00 100.500,00 Tenaga 2.827.608,00 2.999.250,00 kerja Biaya tetap 164.342,00 211.461,00 5.343.950,00 5.762.211,00 7,25
30,96 5,72 22,28
Berdasarkan Tabel 2. dapat diketahui bahwa perbedaan biaya yang sangat mencolok adalah biaya sarana produksi khususnya pestisida sebesar 47,68%, hal ini disebabkan pada usahatani jagung panen muda pada saat penelitian terjadinya serangan hama yang lebih tinggi dibanding pada usahatani jagung panen pipilan, yang berdampak terhadap meningkatnya penggunaan pestisida pada usahatani tersebut. Pada penggunaan pupuk, baik pupuk kandang atau pupuk buatan, pemakaian benih dan penggunaan tenaga kerja, juga terdapat perbedaan walaupun prosentasenya tidak terlalu tinggi. Penerimaan dan Standar Deviasi Usahatani Jagung Panen Muda dan Panen Pipilan Besarnya rata-rata produksi untuk usahatani jagung panen muda adalah 5.402 kg per rata-rata luas lahan garapan atau 10.805 kg per hektar, dengan ratarata harga produksi Rp.1490,00 per kg. Besarnya rata-rata produksi usahatani jagung panen pipilan 4.440,7 kg per rata-rata luas lahan garapan atau 5.921 kg per hektar dengan rata-rata harga produksi Rp.2.775,00 per kg. Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya rata-rata penerimaan usahatani jagung panen muda per rata-rata luas lahan garapan sebesar Rp.7.780.680,00 dengan standar deviasi Rp. 3.927.490,66. Besarnya rata-rata penerimaan usahatani jagung panen pipilan per rata-rata luas lahan garapan Rp.12.323.081,00 dengan standar deviasi Rp. 8.346.639,74. Lebih jelasnya berkaitan dengan penerimaan dan standar deviasi ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata Penerimaan Usahatani Jagung per luas lahan garapan dan Standar Deviasinya. No
Waktu Panen
1. 2.
Muda Pipilan
Rata-rata Penerimaan Per Luas Lahan Garapan (Rp) 7.780.680,00 12.323.081,00
Standar Deviasi (Rp) 3.927.490,66 8.346.639,74
Berdasarkan Tabel 3. rata-rata penerimaan dan standar deviasi untuk usahatani jagung sistim panen pipilan menunjukan keadaan yang lebih besar
dari usahatani jagung sistim panen muda. Besarnya nilai standar deviasi dari penerimaan suatu usaha menunjunkan besarnya risiko yang ada pada usaha tersebut. Hasil analisis menujukkan bahwa standar deviasi dari usahatani jagung panen pipilan menunjukan nilai yang lebih besar dari sistim panen jagung muda, dengan demikian resiko pada usahatani jagung panen pipilan lebih tinggi dari panen jagung muda. Dalam penelitian ini petani jagung dihadapkan kepada risiko produksi, risiko pasar, dan risiko keuangan. Berbagai upaya telah dilakukan petani dalam upaya mengatasi berbagai masalah tersebut diantaranya, dari aspek produksi mereka selalu memperhatikan waktu tanam yang tepat, dalam penggunaan input produksi pun mereka berupaya menggunakannya sesuai dengan yang dianjurkan. Berkaitan dengan risiko pasar, untuk petani yang memanen jagung pipilan dengan melakukan penyimpanan terlebih dahulu samapai harga di pasaran tinggi. Hasil analisis menunjukan bahwa petani jagung yang melakukan sistim panen pipilan menunjukan petani yang menyukai risiko (risk taker), dan petani jagung yang melakukan panen muda menunjukan petani yang tidak menyukai resiko (risk aventer).Secara lengkap ciri dari kedua kelompok petani tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Ciri-ciri Petani Jagung yang Menyukai Resiko (risk taker) dan Petani Tidak Menyukai Resiko (risk aventer) No
Keterangan
1
Pendidikan Formal Luas Lahan Permodalan Umur Pengalaman Penerimaan Tingkat Resiko Daya Inovasi
2 3 4 5 6 7 8
Petani Jagung Yang Menyukai Resiko SLTA- PT
Petani Jagung Yang Tidak Suka Resiko SD
> 0,5 ha Lebih besar Lebih tua Lebih sedikit Lebih besar Lebih tinggi
< 0,5 ha Lebih kecil Lebih muda Lebih lama Lebih sedikit Lebih rendah
Kelompok Inovator
Sulit mengadopsi inovasi
Berdasarkan Tabel di atas terdapat beberapa perbedaan karakter petani. Hasil penelitian menunjukan bahwa petani yang melakukan panen pipilan mempunya ciri sebagai berikut : 1. Selalu bersifat inovatif, terlihat dari upaya mereka dalam mengikuti kegiatan yang
337
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
338
diadakan pemerintah setempat, misalnya mengikuti SLPTT, mengikuti penyuluhan tentang penanganan pasca panen khususnya untuk komoditas jagung dll. Menyangkut aspek pendidikan, khususnya pendidikan formal, petani yang melakukan sistim panen pipilan, yang mendapat pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi lebih banyak (10%) dibanding petani yang melakukan sistim panen muda, yaitu hanya 8,2 persen. Berkaitan aspek luas lahan, penguasaan lahan diatas 0,5 hektar, petani yang melakukan sistim panen pipilan lebih banyak (57,5%) dibanding petani yang melakukan panen muda sekitar 36,07%. Dari aspek permodalan, petani mereka lebih banyak mengeluarkan modal daripada petani yang melakukan sistem panen muda. Dalam kontek penelitian ini modal identik dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani jagung. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk sistem panen pipilan adalah Rp. 5.762.211,00 per hektar per musim tanam. Dari aspek penerimaan, petani yang melakukan panen pipilan menunjukan keadaan yang lebih besar dibanding petani yang memanen jagung muda yaitu Rp.12.323.081,00 per musim tanam. Dilihat dari tingkat risiko yang ada, menunjukan keadaan yang lebih tinggi. Besarnya resiko dilihat dari standar deviasinya Rp.8.346.639,74 menunjukan keadaan yang lebih tinggi dibanding usahatani jagung dengan sistem panen muda. Dilihat dari aspek umur, petani yang melakukan panen pipilan cenderung lebih tua dibanding petani yang melakukan panen muda, hal ini menunjukan bahwa umur memiliki pengaruh yang cukup tinggi dalam pengambilan keputusan. Semakin tua cenderung lebih berhati hati dalam memperhitungkan berbagai aspek, diantaranya berkaitan aspek keuntungan, biaya, bahkan risiko yang akan ditimbulkan dalam usaha tersebut. Aspek pengalaman, hasil analisis menunjukan keadaan bahwa ternyata dari aspek pengalaman petani yang menyukai risiko tidak terlalu lama dibanding petani yang yang memanen jagung muda.
Sementara petani yang melakukan sistim panen muda termasuk kepada golongan yang kurang atau tidak menyukai risiko (risk aventer). Adapun beberapa karakteristik dari petani tersebut diantaranya adalah : 1. Susah untuk menerima inovasi yang ada 2. Dihadapkan kepada masalah keuangan dan permodalan yang terbatas. Modal dalam hal ini identik dengan total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani, yiatu Rp.5.343.950,00 per hektar per musim tanam. 3. Dari aspek penguasaan lahan petani yang melakukan panen muda kepemilikan lahan yang diusahakan mayoritas dibawah 0,5 hektar. 4. Dalam melakukan kegiatan usahatani selalu mengikuti kebiasaan lama yang sudah mereka lakukan, karena kebiasaan itu dianggap sebagai tradisi dan budaya mereka. 5. Dari aspek pendidikan, khususnya pendidikan formal mayoritas tamatan Sekolah Dasar. 6. Dari aspek penerimaan, hasil analisis menunjukan keadaan yang lebih sedikit yaitu Rp. 7.780.680,00 per musim tanam. 7. Dilihat dari tingkat risiko, untuk usahatani jagung sistem panen muda lebih kecil, hal ini ditunjukan oleh besarnya standar deviasi yang diperoleh Rp. 3.927.490,00 8. Berbagai upaya dalam meningkatkan pengetahuan dan wawasan jarang mereka lakukan. 9. Dari aspek umur, petani yang tidak menyukai resiko cenderung mayorotas masih muda. Hasil analisis menunjukan bahwa 96,72% petani berusia produktif ( 15-64 th). 10. Dari aspek pengalaman, petani jagung yang tidak menyukai risiko memiliki pengalaman yang lebih lama dibanding petani yang suka risiko. Hal ini disebabkan bahwa dengan lamanya pengalaman, maka akan membentuk karakter dan budaya yang susah untuk dirubah. Kepraktisan dalam sistem panen muda mendorong petani jagung untuk tetap tidak melakukan panen pipilan. SIMPULAN DAN SARAN 1. Pendapatan usahatani panen jagung pipilan per hektar per musim tanam sebesar Rp.10.668.564,00. Sementara pendapatan usahatani panen jagung muda sebesar Rp. 10.217.411,00.
2. Tingkat risiko pada usahatani panen jagung pipilan menunjukan keadaan yang lebih besar dibanding usahatani panen jagung muda,terutama berkaitan dengan risiko harga. Petani yang melakukan panen jagung pipilan termasuk kepada golongan yang lebih menyukai risiko (risk taker), sementara petani yang memanen jagung muda cenderung sebagai petani penghindar risiko (risk aventer) dengan karakteristik tertentu. DAFTAR PUSTAKA Anwas Adiwilaga. 1992. Ilmu Usahatani. Cetakan ke-III. Alumni, Bandung Hernanto, Fadholi.1985. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya, Jakarta.Kasim,A.1995. Teori Pembuatan Keputusan. Jakarta. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mangkusubroto,K dan L.Trisnadi.1987. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Bandung.Ganesa Exact. Mohamad Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan ekonomi dan Sosial (LP3ES) Edisi ke-3. Jakarta Purwatiningdyah, D.N., 2003. Faktor Internal dan Ekternal Yang Mempengaruhi Tingkat Penerapan Teknologi dan Dampaknya Terhadap Produktivitas dan Pendapatan pada Usahatani Padi Sawah. Bandung. Tesis tidak dipublikasikan. Program Pasacasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta. Teken, Sofyan Asnawi, 2002. Teori Ekonomi Mikro, Bogor, IPB Thohir, K.A. 1967. Seuntai Pengetahuan Tentang Usahatani Indonesia, Jakarta. Bina Aksara. Kasryno, F. 2006. Suatu Penilaian Mengenai Prospek Masa Depan Jagung di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung, 29-30 September 2006. Balai Penelitian Tana
339
340
Kajian Kemitraan Petani Mangga Gedong Gincu (Mangifera Indica L.) dengan CV. Sumber Buah (SAE) (Studi Kasus pada Petani Mangga di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat) The Study of Partnership between Gedong Gincu Mango Farmers (Mangifera Indica L) and CV. Sumber Buah (SAE) (Case Study on Mango farmers at Cirebon Regency, West Java) Siti Nur Azizah Syah1, Lies Sulistyowati1 1Universitas
Padjadjaran, Bandung,
ABSTRAK
Kata Kunci: Mangga Gedong Gincu, Kemitraan, Teori Drama
Penelitian yang dilakukan mengenai kajian kemitraan yang bertujuan untuk mengetahui kendala dan manfaat kemitraan dan kinerja usaha yang dilakukan petani mangga. Selain itu, disajikan pula model kemitraan ideal sebagai solusi dari kendala kemitraan. Desain penelitian yang digunakan adalah desain kualitatif dengan teknik penelitian studi kasus. Informan dari penelitian ini adalah perusahaan CV. Sumber Buah (SAE), ketua Gapoktan Samimulya dan Kelompok Tani Sukamulya sebagai petani mitra, ketua Kelompok Tani Dunia Buah dan Ki Gebang sebagai petani yang sudah tidak bermitra. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dengan alat analisis model teori drama. Hasil penelitian mengenai kendala bahwa petani merasakan kesulitan di teknik budidaya, kurangnya informasi pasar, pengembalian produk, lamanya dan waktu pembayaran. Namun petani merasakan manfaat dari aspek ekonomi, teknis, dan sosial. Melalui kerangka pikir bersama didapat resolusi mengenai pengembalian produk, standar kualitas buah manga dan proses pembayaran. Kemitraan pada kenyataannya belum dapat menjamin kinerja usaha kelompok tani binaannya.
ABSTRACT
Keywords: Mango Gedong Gincu, Partnership, Drama Theory
Research conducted a study regarding partnership to determine the constraints and benefits of the partnership and mango farmers cooperation. In addition, presented an ideal partnership model as a solution of the partnership constraints. The research design was qualitative with case study technique. Informants were head of partnership management of CV. Sumber Buah (SAE), head of Gapoktan Samimulya and Sukamulya Farmer Group as partner farmers, and also head of Dunia Buah and Ki Gebang farmer group as the farmer groups who had no longer partnership. The data used primary and secondary data. The data was analyzed by using descriptive analysis with the aid of drama theory model.The Result showed the contraints are the farmers encounter difficulties in farming techniques, a lack of market information, products return, and the delay in paymen. However, the farmers obtain the benefits in terms of economi, social and technology. Through a joint framework that was based on the threats and the offers consideration between the actors, it obtains no longer products return, mango fruit quality standards, and payment process. In the fact, partnership could not guarantee the performance of businesses farmer groups auxiliaries.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
341
PENDAHULUAN Keberadaan mangga di Indonesia jumlahnya melimpah. Indonesia merupakan negara produsen mangga terbesar kelima di dunia dengan produksi sebesar 2.376.339 ton pada tahun 2012 di bawah India, Cina, Kenya dan Thailand. (FAOSTAT, 2014). Dalam rangka mendorong dan meningkatkan pengembangan usahatani buah dan mengatasi berbagai kendala yang dihadapi oleh petani, terutama dibidang permodalan, produksi, dan pemasaran, maka dilaksanakan program kemitraan antara Usaha Besar dan Usaha Menengah dengan Usaha Kecil. Pelaksanaan kemitraan ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, kemitraan adalah suatu kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. CV.Sumber Buah (SAE) telah melakukan kegiatan ekspor selama kurang lebih tujuh tahun. Namun program kemitraan yang dilaksanakan belum terlihat optimal khususnya dalam hal memenuhi kebutuhan permintaan pasar internasional. CV.Sumber Buah (SAE) masih harus mencari produk buah mangga dari petani mangga diluar petani mitra demi memenuhi permintaan pasar. Pada perkembangannya terdapat cukup banyak petani yang kemudian tidak lagi menjual hasil produksinya ke CV. Sumber Buah (SAE) namun menjual hasil produksinya ke bandar, tengkulak, ataupun perusahaan eksportir lain. Selain salah satu kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Samimulya yaitu Kelompok Tani Sukamulya yang hingga saat ini merupakan mitra dari CV. Sumber Buah (SAE), sebelumnya terdapat beberapa kelompok tani yang pernah melakukan kerjasama usaha dengan CV. Sumber Buah (SAE) namun mengundurkan diri diantaranya yaitu Kelompok Tani Dunia Buah dan Kelompok Tani Ki Gebang. Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti berniat untuk melakukan kajian terhadap kemitraan yang dilakukan CV.Sumber Buah (SAE) dengan cara mengetahui kinerja kelompok tani yang masih bermitra dan kelompok tani yang sudah tidak bermitra, serta kendala serta manfaat kemitraan yang dirasakan oleh petani yang masih bermitra. Selanjutnya akan dirumuskan solusi alternatif kemitraan ideal bagi petani yang masih bermitra dengan CV. Sumber Buah (SAE) dengan menggunakan alat analisis model teori drama.
342
KERANGKA KONSEP CV. Sumber Buah (SAE) merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dibidang jasa ekspor, khususnya ekspor komoditas pertanian. CV.Sumber Buah (SAE) telah aktif memasarkan buah mangga ke pasar internasional sejak tahun 2008. Diantaranya Timur Tengah, Singapura dan Hongkong yang menjadi tujuan ekspor komoditas mangga yang dilakukan CV.Sumber Buah (SAE). Cukup banyaknya permintaan buah mangga di pasar ekspor membuat CV. Sumber Buah (SAE) perlu melakukan kegiatan kemitraan dengan petani mangga untuk memenuhi kebutuhan permintaan pasar. Diantaranya Kelompok Tani Sukamulya yang tergabung dalam Gapoktan Samimulya dan merupakan kelompok tani yang bermitra dengan CV.Sumber Buah (SAE). CV. Sumber Buah (SAE) juga mengadakan kerjasama usaha dengan kelompok tani yang lain seperti Kelompok Tani Dunia Buah dan Kelompok Tani Ki Gebang. Namun pada perkembangannya kedua kelompok tani tersebut hanya mengirimkan hasil produksi buah mangganya ke CV. Sumber Buah (SAE) dalam jangka waktu satu tahun dan kemudian mengundurkan diri dari kegiatan kerjasama usaha tersebut. Hal tersebut yang membuat peneliti merasa tertarik untuk menganalisis mengenai kemitraan yang terjadi antara CV. Sumber Buah (SAE) dengan kelompok tani mangga. METODE PENELITIAN Objek dalam penelitian ini adalah petani mitra dan non mitra. Penelitian dilakukan di CV. Sumber Buah (SAE), Gapoktan Samimulya, Kelompok Tani Sukamulya, Kelompok Tani Dunia Buah, dan Kelompok Tani Ki Gebang yang berlokasi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Indonesia. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kualitatif. Teknik yang digunakan adalah studi kasus. Suharsini (2006) menyatakan bahwa studi penelitian yang dilakukan secara terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga, atau gejala tertentu. Ditinjau dari wilayahnya, maka studi kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Informan dalam penelitian ini adalah para pelaku yang melakukan program kemitraan dengan CV. Sumber Buah (SAE) diantaranya Ketua Gapoktan Samimulya dan Ketua Kelompok Tani Sukamulya sebagai petani mitra serta Ketua Kelompok Tani Dunia Buah dan
Kelompok Tani Ki Gebang sebagai kelompok tani yang sudah tidak bermitra. HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Usaha Kelompok Tani 1) Kelompok Tani Sukamulya (1) Lahan Lahan yang diusahakan Kelompok Tani Sukamulya seluas 12 hektar. Lahan tersebut merupakan lahan kelompok dan seluruhnya berlokasi di Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon. Lahan tersebut ditanami kurang lebih 1200 pohon mangga gedong gincu. (2) Anggota Kelompok Tani Awalnya kelompok tani Sukamulya memiliki 25 orang anggota kelompok tani. Namun pada
perkembangannya anggota tersebut berkurang hingga saat ini hanya tersisa 8 orang anggota kelompok tani. (3) Teknologi Alat-alat pertanian yang dimiliki oleh Kelompok Tani Sukamulya diantaranya adalah packing house, keranjang plastik, mobil bak, dan hand sprayer. Sedangkan untuk teknologi penanaman kelompok tani telah menggunakan teknologi off season pada sistem penanaman. (4) Sumber Modal Modal usahatani berasal dari mitra, yaitu CV. Sumber Buah (SAE), kredit Bank BRI, dan kredit pada program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dari Bank BJB. (5) Jumlah Produksi
Tabel 1. Jumlah Produksi Kelompok Tani Sukamulya (Kg) Indikator Kinerja Jumlah Produksi Grade A Grade B Grade C Total Produksi Produktivitas
Tahun 2009 9146 4573 1524 15244 12.7
2010 12170 6085 2028 20284 17
Dari jumlah produksi yang diungkapkan Tabel 1 kurang lebih sekitar sembilan puluh persen hasil produksinya dapat dikategorikan sebagai grade A dan grade B sehingga dapat langsung disalurkan ke eksportir dalam hal ini CV. Sumber Buah (SAE) dan sepuluh persen lainnya biasanya disalurkan ke industri pengolahan yang ada di wilayah sekitar kelompok tani Sukamulya yaitu industri pengolahan manisan mangga. (6) Harga Harga tertinggi buah mangga ditingkat petani pada saat panen off season yaitu sekitar bulan Mei hingga Agustus yaitu Rp. 15.000 per kilogram untuk kategori tua pohon grade A dan kategori matang pohon grade A yaitu Rp. 30.000 per kilogram. Sedangkan pada masa on season yaitu sekitar bulan September hingga November harga tertinggi adalah Rp. 7.500 per kilogram untuk kategori grade A tua pohon. Sedangkan untuk tingkat kelompok tani, harga lebih tinggi Rp. 1.000 per kilogramnya. Kelebihan harga tersebut dipergunakan untuk uang kas Kelompok Tani Sukamulya.
2011 14390 7195 2398 23984 20
2012 13856 6928 2309 23094 19
2013 16103 8052 2684 26839 22,3
2014 16792 8396 2799 27986 23,3
2) Kelompok Tani Dunia Buah (1) Lahan Kelompok Tani Dunia Buah memiliki 48 hektar lahan dengan kurang lebih 4.800 pohon mangga gedong gincu yang ditanam menggunakan pola polikutur dengan tanaman padi atau sawah. Kebun mangga gedong gincu milik Dunia Buah ini berlokasi dekat dengan danau buatan yang cukup luas sehingga akses untuk mendapatkan air untuk proses pemeliharaan seperti penyemprotan menjadi relatif mudah dan efisien. (2) Anggota Kelompok Anggota kelompok merupakan petani yang menjual hasil produksinya ke kelompok. Anggota Kelompok Tani Dunia Buah berjumlah 25 orang dari awal pembentukan hingga sekarang. (3) Teknologi Sama hal nya dengan Kelompok Tani Sukamulya, Kelompok Tani Dunia Buah juga telah menerapkan teknologi off season pada proses pemeliharaan pohon mangga. Alat-alat pertanian yang dimiliki Kelompok Tani Dunia Buah diantaranya adalah packing house, cool storage, mobil berpendingin, keranjang plastik, power sprayer, hand sprayer, timbangan yang masing-
343
2006
masing berjumlah 1 unit dan berasal dari program bantuan pemerintah. (4) Sumber Modal Modal usaha yang dijalani oleh Kelompok Tani Dunia Buah merupakan modal sendiri. Hal
tersebut karena kelompok tani Dunia Buah belum mendapatkan kepercayaan dari perbankan untuk mendapatkan pinjaman modal dengan jumlah besar. (5) Jumlah Produksi
Tabel 2.
Jumlah Produksi Kelompok Tani Dunia Buah (Kg) Tahun Indikator Kinerja 2009 2010 2011 2012 Jumlah Produksi Grade A 171009 136807 162800 211640 Grade B Grade C 42752 34202 40700 52910 Total Produksi 213761 171009 203500 264550 Produktivitas 44,5 35,6 42,4 55
Dari total produksi yang dihasilkan, kelompok tani Dunia Buah memasarkan ke pasar domestik dan pasar internasional. Melalui eksportir kelompok tani Dunia Buah memasarkan hasil produksinya sekitar 20% dari jumlah total produksi grade A dan grade B. Sisanya disalurkan ke pasar domestik. (6) Harga Kelompok Tani Dunia Buah hanya menjual buah mangga dengan kategori tua pohon. Harga tertinggi ditingkat petani untuk kategori grade A tua pohon pada masa off season adalah Rp. 14.000 per kilogram sedangkan ditingkat kelompok tani adalah Rp. 20.000 per kilogram. Pada masa on season atau panen raya harga tertinggi ditingkat petani untuk kategori yang sama adalah sebesar Rp. 7.000 per kilogram sementara ditingkat kelompok tani adalah Rp. 10.000 per kilogramnya. Perbedaan harga tersebut dikarenakan kelompok tani harus menanggung biaya transportasi dalam proses pemasaran. 3) Kelompok Tani Ki Gebang (1) Lahan Kelompok tani Ki Gebang melakukan produksi buah mangga di lahan seluas 40 hektar. Lahan tersebut merupakan gabungan antara pohon mangga gedong gincu, arumanis, dan cengkir. Lahan
2013
2014
152381
192000
38095 190476 39,7
48000 240000 50
gedong gincu sendiri yaitu seluas 16 hektar dengan jumlah pohon sekitar 1.600 pohon. (2) Anggota Kelompok Anggota kelompok tani Ki Gebang awalnya berjumlah 22 orang. Namun, kini telah berkurang menjadi 15 orang. Hal tersebut dikarenakan anggota yang mengundurkan diri dari kelompok ingin membuat kelompok tani yang baru bersama dengan anggota lainnya. (3) Teknologi Kelompok tani Ki Gebang juga mendapatkan bantuan berupa sarana dan prasana bagi proses produksi buah manga diantaranya packing house, keranjang, alat pemetik buah, power sprayer, hand sprayer, timbangan, dan alat perangkap lalat buah. Sama halnya dengan dua kelompok tani sebelumnya, Kelompok Tani Ki Gebang juga menggunakan teknologi off season pada pohon mangganya. (4) Sumber Modal Ketua kelompok memulai usahanya dengan berjualan mangga di Jakarta. Setelah usahanya mulai berkembang baru memulai untuk membeli kebun mangga dan mencoba membudidayakan buah mangga dan mendirikan kelompok tani. Untuk itu sumber modal yang digunakan adalah modal pribadi. (5) Jumlah Produksi
Tabel 3. Jumlah Produksi Kelompok Tani Ki Gebang (Kg) Indikator Kinerja Jumlah Produksi Grade A Grade B Grade C
344
Tahun 2009
2010
2011
2012
2013
2014
20764
18688
22426
25789
20632
23520
8899
8009
9611
11053
8842
10080
Indikator Kinerja Total Produksi Produktivitas
Tahun 2009 29664 18,5
2010 26697 16,7
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa hasil tingkat produksi buah mangga grade C masih relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok tani Sukamulya dan Dunia Buah. Bahkan jika hasil produksi buah mangga grade B yang dihasilkan oleh kelompok tani Ki Gebang dikirimkan ke eksportir seringkali masih mendapatkan reject produk karena dinilai kurang memenuhi standar kualitas. (6) Harga Sama halnya dengan Kelompok Tani Dunia Buah, Kelompok Tani Ki Gebang hanya memasarkan buah mangga dengan kondisi tua pohon. Harga tertinggi ditingkat petani untuk kategori grade A tua pohon pada masa off season adalah Rp. 15.000 per kilogram dan dijual dengan harga Rp.25.000 per kilogram di Toko Antowijaya. Sedangkan pada masa on season harga tertinggi dengan kategori yang sama adalah Rp. 7.000 per kilogram di tingkat petani dan Rp. 10.000 per kilogram di Toko Antowijaya. Dari hasil kinerja usaha, Kelompok Tani Dunia Buah dapat dikatakan lebih unggul dari segi jumlah pohon, anggota kelompok, produktivitas, dan teknologi. 2. Deskripsi Kemitraan Petani Mangga dengan CV. Sumber Buah (SAE) Dimulai dari suksesnya percobaan pertama CV. Sumber Buah (SAE) melakukan kegiatan ekspor buah mangga menjadikan CV. Sumber Buah (SAE) mulai melakukan kontrak kemitraan dengan petani mangga. Gapoktan Samimulya yang didalamnya terdapat Kelompok Tani Sukamulya merupakan kelompok tani mitra yang hingga saat ini masih melakukan kemitraan dengan CV. Sumber Buah (SAE). Ketua kelompok beralasan karena CV. Sumber Buah (SAE) merupakan satu-satunya eksportir yang berlokasi paling dekat dengan kelompok tani sehingga lebih mudah dalam akses trasnportasi. Sedangkan Kelompok Tani Dunia Buah dan Kelompok Tani Ki Gebang yang semula juga melakukan kerjasama usaha dengan CV. Sumber Buah (SAE) saat ini tidak lagi melakukan kerjasama tersebut dikarenakan tidak adanya keinginan untuk melakukan kontrak kerjasama secara tertulis karena harga, kuantitas dan kualitas yang tidak dapat diterima oleh keduanya.
2011 32037 20
2012 36842 23
2013 29474 18,4
2014 33600 21
1) Kendala Kemitraan Kendala yang terjadi dipihak perusahaan adalah dari segi kualitas buah mangga yang dihasilkan oleh petani mitra, kuantitas produk yang dikirimkan oleh petani mitra, serta kontinuitas kerjasama petani mitra yang masih belum terjamin. Untuk kendala ditingkat petani diantaranya kesulitasn di teknik budidaya, kurangnya informasi pasar, pengembalian produk reject, serta lamanya waktu pembayaran. 2) Manfaat Kemitraan Pada hakikatnya kemitraan yang dilakukan oleh Kelompok Tani Sukamulya dengan CV. Sumber Buah (SAE) memberikan manfaat yang berarti bagi kedua belah pihak. Manfaat kemitraan sendiri dapat dilihat dari aspek ekonomi, teknis, sosial dan manajemen (Departemen Pertanian, 2000). (1) Manfaat Ekonomi Manfaat yang dirasakan petani mitra secara ekonomi diantaranya adalah produktivitas yang meningkat setiap tahunnya dan kepastian harga dari perusahaan. Selain itu juga pendapatan usahatani jika dibandingkan dengan petani non mitra. Tabel 4. Analisis Usahatani Petani Mitra dan Petani Non Mitra per Ha dalam 1 Tahun Keterangan Biaya Variabel Pupuk
Petani Mitra
Petani Non-Mitra
Kandang
Rp
2.213.388
Rp
4.259.259
SP36
Rp
95.736
Rp
429.629
Urea
Rp
110.163
Rp
520.000
KCL
Rp
122.403
Rp
140.000
NPK
Rp
510.012
Rp
169.445
Organik Cair
Rp
6.120
Rp
6.222
Paclobutrazol
Rp
102.002
Rp
103.704
Giberelin Acid
Rp
38.401
Rp
49.778
Pestisida
Rp
5.712.132
Rp
5.807.407
HOK
Rp
3.620.891
Rp
8.497.777
Biaya Penyusutan Alat
Rp
174.999
Rp
125.833
Jumlah Biaya
Rp 12.706.247
Rp
20.109.054
Biaya Tetap
345
Penjualan hasil produksi Total produksi
5.000kg
5.000kg
Harga
Rp
15.000
Rp
13.000
Total penerimaan
Rp 75.000.000
Rp
65.000.000
Keuntungan
Rp 62.293.753
Rp
44.890.946
(2) Manfaat Teknis Hampir seluruh petani mitra menguasai teknologi off season untuk budidaya pohon mangganya. Selain itu beberapa bantuan pemerintah diberikan kepada petani yang memiliki potensi untuk dikembangkan, dan salah satu syaratnya adalah memiliki akses pasar yang pasti atau melakukan kemitraan dengan perusahaan pemasaran misalnya pihak eksportir. Sebagai contoh adanya program bantuan pola insentif two in one yang dilakukan melalui hubungan kemitraan antara perusahaan inti dan petani plasma. (3) Manfaat Sosial Manfaat kemitraan secara sosial dapat dilihat melalui sikap saling percaya dan kekeluargaan yang dirasakan oleh kedua belah pihak. Hal ini yang menjadikan kedua belah pihak tetap menginginkan kontinuitas dalam kerjasama usaha. (4) Manfaat Manajemen Manfaat kemitraan secara sosial dapat dilihat melalui sikap saling percaya dan kekeluargaan yang dirasakan oleh kedua belah pihak. Hal ini yang menjadikan kedua belah pihak tetap menginginkan kontinuitas dalam kerjasama usaha. 3. Model Kemitraan Ideal 1) Dilema dalam Kemitraan (1) Dilema Konfrontasi Dilema ancaman terjadi ketika Beberapa petani mitra menjual hasil panen nya ke pihak lain dan tidak mengembalikan modal yang sebelumnya telah dipinjamkan oleh perusahaan. CV. Sumber Buah (SAE) memberikan teguran atau peringatan kepada petani agar mengembalikan modal pinjaman atau panen musim yang akan datang harus mengirimkan hasil produksi buah mangganya ke CV. Sumber Buah (SAE). Namun pada kenyatannya ancaman yang diberikan oleh CV. Sumber Buah (SAE) tidak ditanggapi dengan serius oleh petani mangga. Hal ini dikarenakan petani merasa harga yang diberikan oleh CV. Sumber Buah (SAE) terlalu rendah dan petani memiliki posisi tawar yang menguntungkan. Dilema posisi terjadi karena petani merasa keberatan jika salah satu kegiatan pasca panen yaitu sortasi dan grading dilakukan di perusahaan dan ingin bertukar posisi untuk melakukan sortasi dan
346
grading sendiri di tempat petani. Petani beranggapan bahwa jika grading dan sortasi dilakukan di tempat petani, maka barang yang di reject tidak akan terjadi lagi. Karena resiko yang dirasakan petani untuk menghadapi barang reject cukup sulit karena petani harus mencari lagi pasar. Sedangkan dilema kerjasama terjadi pada petani mitra saat mereka lebih tertarik untuk bekerjasama dengan pihak lain padahal mereka telah diikat secara kontrak oleh CV. Sumber Buah (SAE). Adanya tawaran dari pihak lain yang menjanjikan harga yang lebih tinggi dan pembayaran secara tunai membuat petani dihadapkan dengan pilihan. Selain itu petani merasa belum puas dengan manfaat yang diberikan saat bermitra dengan CV. Sumber Buah (SAE) sehingga petani masih tertarik untuk menjalin kerjasama usaha dengan pihak lain. 2) Tahap Awal (Scene Setting) (1) Kerangka Pikir Petani
Gambar 4. Kerangka Pikir Petani
(2) Kerangka Pikir Perusahaan
Gambar 5. Kerangka Pikir Perusahaan
beranggapan bahwa standar mutu atau kualitas yang ditargetkan perusahaan pada hasil produksi buah mangga terlalu tinggi. Hal ini mendorong petani untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan agar perusahaan dapat menurunkan standar mutu buah mangga yang dapat diterima perusahaan.
2) Kerangka Pikir Bersama (Build Up) (1) Pengambalian Produk (Reject) C
t
G
CV. Sumber Buah (SAE) melakukan pengembalian (reject) produk
C
t
G
menerima seluruh produk
CV. Sumber Buah (SAE)
Gapoktan Samimulya
standar kualitas tetap menurunkan standar kualitas
mencari pasar yang lain
Gambar 6. Gambaran Situasi Konflik dengan Menggunakan Perangkat Lunak Confrontation Manager Melalui gambar tersebut digambarkan bahwa pihak CV. Sumber Buah (SAE) berpendapat bahwa tidak seluruh buah mangga yang dikirimkan oleh petani ke perusahaan lolos dalam proses sortasi dan grading sehingga perlu adanya pengembalian produk kepada petani. Sebaliknya apabila CV. Sumber Buah (SAE) terus melakukan pengembalian produk (rejected) kepada petani, Gapoktan Samimulya akan mencari pasar yang lain untuk menjual hasil produksi buah mangganya. Hal tersebut merupakan ancaman bagi perusahaan (diperlihatkan dengan simbol t pada matriks). Melalui berbagai pertimbangan atas tawaran tersebut, maka diputuskan menerima seluruh hasil produksi buah mangga petani merupakan hal yang paling ideal. Dengan catatan, CV. Sumber Buah (SAE) berhak atas penentuan harga produk buah mangga yang tidak lolos dalam proses sortasi dan grading. Berdasarkan keinginan-keinginan yang telah diungkapkan oleh Gapoktan Samimulya dan CV. Sumber Buah (SAE) maka dapat digambarkan kerangka referensi bersama sebagai berikut: C
a
G
CV. Sumber Buah (SAE) melakukan pengembalian (reject) produk menerima seluruh produk dengan harga yang ditentukan perusahaan
Gapoktan Samimulya menjual hasil panen ke pihak lain
Gambar 8. Situasi Konflik CV. Sumber Buah (SAE) dengan Gapoktan Samimulya Mengenai Standar Kualitas Hal ini akan lama kelamaan akan menyebabkan kehilangan pasar karena standar mutu yang rendah. Menyadari hal itu petani sepakat untuk CV. Sumber Buah (SAE) tetap menerapkan standar mutu dan kualitasnya yang tinggi. Namun dengan harapan CV. Sumber Buah (SAE) dapat memberikan pelatihan teknologi atau menjadi jembatan dalam program bantuan pemerintah atau lembaga pendidikan dan penyuluhan. C
a
G
CV. Sumber Buah (SAE) standar kualitas tetap menurunkan standar kualitas menjembatani bantuan dan pelatihan dari pihak lain
Gapoktan Samimulya menjual hasil panen ke pihak lain
Gambar 9. Referensi Bersama CV. Sumber Buah (SAE) dengan Gapoktan Samimulya Mengenai Standar Kualitas
Gapoktan Samimulya mencari pasar yang lain tetap bermitra dengan CV. Sumber Buah (SAE)
Gambar 7. Gambaran Refensi Bersama CV. Sumber Buah (SAE) dan Gapoktan Samimulya mengenai Pengembalian Produk (reject) (2) Penurunan Standar Mutu Pengembalian produk rejected oleh perusahaan kepada petani membuat petani
347
(3) Lamanya Proses Pembayaran C
t
G
CV. Sumber Buah (SAE) pembayaran ditunda 1-2 minggu pembayaran paling lambat 3 hari setelah kirim
Gapoktan Samimulya mencari pasar dengan pembayaran cash
Gambar 10. Situasi Konflik CV. Sumber Buah (SAE) dengan Gapoktan Samimulya Mengenai Lamanya Pembayaran
CV. Sumber Buah (SAE) selama ini berusaha memberikan modal apabila petani perlu dalam proses produksi. Hal tersebut dilakukan oleh perusahaan karena selain perusahaan berusaha mengikat petani mitra untuk menjual hasil produksi buah mangganya ke perusahaan juga sebagai pembayaran awal buah mangga yang nantinya akan dikirimkan ke perusahaan. Perusahaan menganggap peminjaman modal merupakan proses pembayaran buah mangga petani di awal selagi arus kas yang dimiliki perusahaan masih cukup untuk memberikan pinjaman modal. Namun CV. Sumber Buah (SAE) sepakat akan berusaha untuk melakukan pembayaran secara tunai ataupun maksimal tiga hari setelah pengiriman.
Gambar 11. Kerangka Pikir Bersama CV. Sumber Buah (SAE) dengan Gabungan Kelompok Tani Samimulya Gambar 11 merupakan kerangka pikir bersama dari kedua pelaku kemitraan. Setelah memahami kondisi dan posisi setiap pelaku, maka kemitraan yang dapat membentuk suatu win-win solution ialah dimulai dari pembentukan Gabungan Kelompok Tani Samimulya sebagai sarana kelompok tani untuk bertukar informasi, membangun kepercayaan dan kekeluargaan. Gapoktan juga akan berperan sebagai penyalur pinjaman modal yang berasal dari CV. Sumber Buah (SAE) dan sebagai jembatan dalam 348
program-program pemerintah seperti penyuluhan, bantuan, dan pelatihan teknologi serta budidaya yang dilakukan oleh lembaga pendidikan, penelitian dan pengembangan. CV. Sumber Buah (SAE) berperan sebagai mitra dengan kontrak kerjasama memberikan pinjaman modal, tidak melakukan reject produk buah mangga yang diberikan oleh gapoktan, dan berusaha melakukan pembayaran maksimal tiga hari setelah pengiriman produk buah mangga. Disisi lain,
gabungan kelompok tani perlu mengelola kelompokkelompok tani serta petani mitra dibawahnya agar tidak melakukan pelanggaran terhadap kontrak kemitraan dan memberikan sanksi dan peringatan kepada pihak yang melanggar. KESIMPULAN 1) Kelompok tani Sukamulya sebagai kelompok tani yang melakukan kemitraan dengan CV. Sumber Buah (SAE) belum dapat dikatakan sebagai kelompok dengan kinerja yang lebih baik dibandingkan kelompok tani Dunia Buah dan kelompok tani Ki Gebang karena dari sisi produktivitas dan keanggotaan yang tidak lebih baik dari dua kelompok lainnya. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kemitraan dengan CV.Sumber Buah (SAE) belum dapat memberikan pengaruh pada kinerja usaha kelompok tani mitra jika dibandingkan dengan kelompok tani non mitra. 2) Kendala kemitraan yang dirasakan oleh CV. Sumber Buah (SAE) berupa kualitas produk yang dihasilkan oleh petani serta kuantitas produk yang dikirimkan oleh petani. Sedangkan kendala yang dirasakan oleh petani diantaranya adalah kesulitan dalam teknik budidaya, pengembalian produk reject,dan lamanya waktu pembayaran yang dilakukan perusahaan. Manfaat kemitraan dari aspek ekonomi, pendapatan dan kepastian harga jual yang relatif lebih tinggi petani mitra daripada petani non mitra. Aspek teknologi, petani mitra melakukan off season dan menerima bantuan berupa teknologi pertanian. Aspek sosial petani mitra merasakan adanya ikatan kekeluargaan antara petani dengan perusahaan dan kepercayaan akan pemasaran dan aspek manajemen, manfaat kemitraan belum banyak dirasakan oleh petani mitra karena pada kenyataannya petani mitra belum dapat secara mandiri melakukan manajemen usahataninya. 3) Model kemitraan ideal melalui teori drama menghasilkan alternatif pada permasalahan yang terjadi, diantaranya mengenai: (1) Pengembalian produk tidak perlu lagi dilakukan dengan catatan penentuan harga produk yang tidak lolos dalam proses sortasi dan grading ditentukan oleh perusahaan. (2) Standar mutu produk tidak perlu diturunkan melainkan petani perlu memperbaiki tingkat kemampuan produksi buah mangga melalui bantuan instansi
pendidikan, pelatihan, ataupun pemerintahan yang dijembatani oleh perusahaan. (3) Perusahaan akan mengusahakan untuk melakukan pembayaran kepada petani secara tunai atau paling lambat 3 hari setelah pengiriman. SARAN 1) Petani mangga sebaiknya lebih bertanggungjawab dalam melaksanakan komitmen kemitraan dan menjadikan perbandingan sebagai solusi dalam permasalahan petani mitra dengan perusahaan. 2) CV. Sumber Buah (SAE) sebaiknya melakukan kemitraan dengan pihak lain selain Gapoktan Samimulya. Hal tersebut karena belum mampunya Gapoktan Samimulya memenuhi permintaan pasar. Selain itu CV. Sumber Buah (SAE) disarankan untuk melakukan pembinaan manajemen dan melakukan usaha untuk menjembatani petani mitra dengan pihak-pihak seperti peneliti dan pengembangan guna meningkatkan produktivitas dan manfaat manajemen kemitraan. 3) Pemerintah sebaiknya mengontrol dan mengadakan badan pengawasan dan sanksi yang jelas dalam pelanggaran kesepakatan kemitraan. DAFTAR PUSTAKA Alviany, Yulia. 2014. Analisis Manajemen Risiko Usahatani Mangga di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Boediono, Wayan Koster. 2002. Teori dan Aplikasi Statistika dan Probabilita, Bandung: Remaja Rosdakarya. Bryant, J and Darwin (2004). “Exploring Interorganizational relationship in the health service: an immersive drama approach” Dharma S. 2004. Manajemen Kinerja; Falsafah, Teori dan penerapannya. Jakarat: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen PendidikanNasional. Deptan. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No 273/kpts/OT.160/4/2007. Departemen Kementerian Pertanian. Jakarta. Fletcher, Keint L. 1987. The Law of Partnership. The Law Book Company Limited: Sidney. Hafsah, Mohammad Jafar. 2003. Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Herawati, Augustin Rina. 2011. Sistem Kemitraan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) –
349
Usaha Besar dengan Pemodelan Systems Archetype. Jakarta: Universitas Indonesia. Howard, N. (1996). “Negotiation as drama: how games become dramatic”International Negotiation Journal, Vol. 1, 125-152. Lies Sulistyowati, Ronnie S. Natawidjaja, Zumi Saidah. 2013. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mangga Terlibat dalam Sistem Informal dengan Pedagang Pengumpul. Bandung: Universitas Padjadjaran. Linton, Ian. 1997. Kemitraan Meraih Keuntungan Bersama. Jakarta: Hailarang. Moloeng, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Monica, Dina. 2006. Analisis Sosial Ekonomi Sistem Kemitraan Pengelolaan Wana Curug Nangka KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nasution. 2003. Metode Research. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian Edisi keenam. Bogor: Ghalia Indonesia. Nurhayati. 2013. Analisis Kolaborasi Antar Pelaku dalam Rantai Pasok pada Klaster Cabai Merah (Capsicum annum L.). Jatinangor: Universitas Padjadjaran Nur Syamsiah, Lies Sulistyowati. 2014. “Kemitraan Usaha dalam Peningkatan Daya Saing dan Dampak Kebijakan Mangga di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.” Seminar Nasional Pembangunan Inklusif di Sektor Pertanian. Jatinangor: Jurusan Agribisnis Universitas Padjadjaran. Pracaya. 2004. Bertanam Mangga. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya Prihatman, Kemal. 2000. Budidaya Pertanian Mangga (Mangifera Indica L).Jakarta: Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Puspitasari, A. 2009. Pengaruh Kemitraan Terhadap Produktivitas Dan Pendapatan Petani Kakao. Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: CV Rajawali. Rochmawan, Sony. 2013. Pengaruh Pola Kemitraan dengan PT. BISI Terhadap Pendapatan Petani Jagung di Kecamatan Banyakan
350
Kabupaten Kediri. Jurnal Manajemen Agribisnis. Rodjak, Abdul. 2006. Manajemen Usahatani. Bandung : Pustaka Giratuna. Saptana, Arief Daryanto, Henry K. Daryanto, Kuntjoro. 2009. Strategi Kemitraan Usaha dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Saptana, Kurnia Suci Indraningsih, Endang L. Hastuti. 2007. Analisis Kelembagaan Kemitraan Usaha di Sentra Produksi Sayuran. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Scott, James. C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: PT Intermasa. Soekartawi, dkk. 1985. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia. Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suharsini, Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Tika MP. 2008. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta:PT Bumi Aksara. Usman, Rukiyati. 2013. Efektivitas Kemitraan Antara Koperasi dengan Kelompok Tani Penyuling Minyak Kayu Putih. Maluku Utara: Universitas Muhammadyah. Veronica, Natalia. 2001. Formulasi Pola Kemitraan Agribisnis Pada PT. Agrobumi Puspa Sari dengan Petani Krisan. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Wahyuni., S dan R. Hendayana, 2001. Laporan Pengkajian Kinerja dan Arah Pengembangan BPP Jawa Timur. Badan Urusan Ketahanan Pangan- Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
Pertukaran Nilai Pemasaran Dalam Pemasaran Relasional Sebagai Upaya Menekan Risiko Pemasaran Pada Komoditas Bernilai Tinggi Marketing Value Exchange In Relational Marketing In Order To Reduce Marketing Risk For High Value Commodity Tuti Karyani1, Agriani H. Sadeli1, Hesty N. Utami1, Sulistyodewi NW 1 1Departemen
Sosek Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK
Kata Kunci: Pemasaran relasional Risiko pemasaran Pertukaran nilai Komoditas mangga
Buah - buahan eksotis asli Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh negara lain sehingga menjadi potensial untuk dipasarkan tidak hanya di pasar lokal namun juga pasar internasional. Potensi dan peluang ini masih mengalami kendala pengembangan usaha diantaranya yang terkait dengan kendala dan risiko pemasaran sebagai gerbang akhir komersialisasi produk. Kendala pemasaran dapat diindikasi salah satunya oleh masih fluktuatifnya produksi mangga di sentra produksi mangga seperti Jawa Barat. Risiko pemasaran ini bila tidak mampu diindentifikasi dan selanjutnya dikelola dengan baik maka akan menjadi tidak efektif untuk program pemasaran yang akan dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode analisis rich picture diagram untuk mengidentifikasi risiko. Pemasaran relasional dinilai mampu menjadi solusi dalam mengantisipasi risiko pemasaran antar pelaku melalui pertukaran nilai antara para pelaku yang terlibat dalam agribisnis mangga. Pertukaran nilai ini berupa (1) Managed Value berupa pengaktifan kelompok tani dalam kegiatan pemasaran yang berorientasi jangka panjang, (2) Interactive Value berupa pembuatan kesepakatan antara petani dengan konsumen berupa kontrak kerjasama, (3) Emergent Value berupa penyampaian informasi mengenai permintaan dan karakteristik pasar kepada petani.
ABSTRACT
Keywords: Relational marketing Marketing risk Exchange Value Mango
Original exotic fruits from Indonesia has a comparative advantages comparing to other countries so that it becomes a potential not only for local market but also the international market. This opportunity still have obstacle including the business development related to marketing constraints and marketing risks as the final gate for product commercialization. Marketing constraints could be indicated by the fluctuation of mango production at the mango production centers such as West Java. The incapability to identified marketing risk and followed by improperly well managed, it would be ineffective for a marketing program that will be carried out. This study uses a rich picture diagram analysis method to identify risks. Marketing relational assessed could be a solution in anticipation of the marketing risk between mango businesses through the exchange of values between the actors involved in agribusiness mango. The exchange value of the form (1) Managed Value with activation of farmer groups in long-term oriented marketing activities, (2) Interactive Value with making an agreement between farmers and consumers in the form of the contract, and (3) Emergent Value with sharing informations regarding demand and market characteristics to farmers.
* Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
351
PENDAHULUAN Upaya peningkatan usaha agribisnis dalam negeri saat ini tengah banyak dilakukan oleh berbagai pihak untuk lebih mengembangkan potensi dan peluang komoditas agribisnis baik di dalam negeri maupun di pasar internasional. Komoditas buah– buahan Indonesia saat ini sudah mulai menjadi target pengembangan pemerintah Indonesia sebagai salah satu upaya strategis pembangunan agribisnis Indonesia. Kondisi pendukung usaha tani seperti kondisi tanah, iklim, serta letak geografis yang berada di jalur khatulistiwa memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk memiliki keunggulan komparatif bagi pengembangan industri pertanian diantaranya untuk buah–buahan. Salah satu buah lokal yang menjadi komoditas unggulan adalah mangga. Buah mangga merupakan salah satu diantara beberapa buah–buahan tropis produksi Indonesia yang saat ini sudah mampu dipasarkan ke pasar modern baik ke ritel modern maupun untuk diekspor ke luar negeri. Bahkan jenis buah ini juga menjadi primadona exotic fruit ekspor buah dari Indonesia. Buah ini memiliki ke-khasan tersendiri yang menjadi daya tarik bagi konsumen tidak hanya konsumen lokal namun juga konsumen luar negeri yang berbeda dengan produk buah sejenis yang dihasilkan oleh negara lain.
Gambar 2
Perkembangan Produksi Mangga Indonesia Tahun 2008 - 2012
Sumber : BPS dan Dirjen Hortikultura Kementan RI (2012)
Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat bahwa produksi mangga nasional volumenya berfluktuasi selama lima tahun terakhir. Bahkan pada tahun 2010 terjadi penurunan produksi yang cukup signifikan, meskipun pada dua tahun berikutnya mengalami peningkatan kembali. Meskipun demikian fluktuasi volume produksi mengindikasikan masih belum terstrukturnya kontinuitas produksi mangga nasional sehingga permintaan yang kontinu selalu tidak dapat 352
dipenuhi oleh petani maupun suplier sebagai penyalur distribusi mangga ke pasar bisnis.
Gambar 3
Perkembangan Produksi Komoditas Mangga di Jawa Barat Tahun 2009 - 2012
Sumber: *http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/924
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi buah - buahan tropis di Indonesia termasuk mangga yang saat ini sudah mulai berorientasi ekspor. Bila dilihat pada gambar 2 maka kondisi perkembangan produksi mangga dari Jawa Barat memiliki fluktuasi yang sama dengan perkembangan mangga nasional yang tidak menentu setiap tahunnya. Namun demikian permintaan terhadap mangga selalu ada karena komoditas mangga yang dihasilkan oleh Jawa Barat memiliki cita rasa yang berbeda dengan mangga yang dihasilkan oleh daerah lain. Keunggulan yang dimiliki oleh buah - buahan eksotis Indonesia seperti mangga inilah yang disebut sebagai keunggulan komparatif yang dimiliki oleh komoditas tersebut dan tidak dimiliki oleh komoditas buah - buahan lain yang diproduksi oleh negara lain, sehingga buah ini cukup menarik pasar ekspor yang juga menawarkan harga yang pasar yang cukup tinggi. Semakin banyaknya perkembangan ritel modern juga memicu permintaan baru untuk memasok ke ritel modern untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Peluang ini menjadi salah satu faktor penarik pelaku usaha agribisnis mangga di Jawa Barat untuk mengembangkan pemasaran produk ke pasar modern. Saat ini petani memasarkan mangga hasil produksinya baik ke pasar modern maupun pasar tradisional melalui bandar secara transaksional. Dimana penjualan dengan cara transaksional ini hanya berdasarkan keuntungan semata tanpa memperhatikan hubungan jangka panjang dan loyalitas konsumen. Selain itu hubungan yang hanya berdasarkan transaksi saja tidak dapat menekan
resiko yang mungkin dapat timbul pada agribisnis mangga. Saat ini agribisnis mangga masih memiliki risiko - risiko usaha yang masih belum bisa dihindari oleh para pelaku yang terlibat di dalamnya terutama oleh produsen atau petani. Salah satu risiko usaha yang harus mampu diminimalisir dan diantisipasi adalah risiko pemasaran, karena pemasaran merupakan gerbang akhir dari komersialisasi suatu produk untuk sampai ke pasar. Tinggi rendahnya risiko pemasaran akan turut mempengaruhi efektivitas aktivitas program pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku. Selain itu, dengan rendahnya risiko pemasaran petani akan lebih menarik untuk didanai oleh lembaga keuangan dimana dana tersebut dapat digunakan untuk pengembangan bisnis mangga yang digeluti. Oleh karena itu penelitian ini memiliki tujuan untuk
memberikan rekomendasi untuk menekan risiko pemasaran yang dapat terjadi dan merugikan petani.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di salah satu sentra produksi mangga Jawa Barat yaitu di wilayah Majalengka melalui desain penelitian deskriptif kualitatif. Sementara itu metode analisis yang digunakan berupa rich picture diagram untuk mengidentifikasi risiko. Rich picture diagram merupakan visualiasi penggambaran kondisi permasalahan secara tidak terstruktur atas situasi yang terjadi. Metode ini bertujuan untuk merepresentasikan konsep dan hubungan melalui gambar dan simbol yang memiliki makna informasi. (Checkland dalam Pidd, 2004)
Gambar 4 Kerangka Pikir Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Petani mangga melakukan aktivitas penjualan mangga langsung ke bandar oles dan bandar, tidak terdapat aktivitas pertambahan nilai pada proses pasca panen. Kualitas mangga yang dihasilkan petani di Kabupaten Majalengka berdasarkan pada budidaya terpadu yang tidak dilakukan pada produksi mangga di wilayah Kabupaten Indramayu. Proses bisnis antara petani dan bandar dilakukan secara transaksional. Bandar menguasai informasi pasar dan merupakan penentu harga beli mangga di tingkat petani. Petani belum memiliki pengetahuan mengenai kondisi pasar dan akses terhadap informasi pasar yang terbatas. Bandar kemudian mengirim mangga ke pasar modern melalui supplier untuk mangga kualitas tinggi dan pedagang pasar tradisional untuk mangga kualitas rendah. Tidak terdapat kontrak pemasaran dalam hubungan antara Bandar dan Supplier pasar modern. Ketika terdapat barang yang tidak sesuai standar produk yang ditetapkan pasar modern maka barang dikembalikan ke Bandar. Bandar mengirim barang yang dikembalikan ke pasar tradisional yang menerima seluruh tingkatan kualitas barang. Pengembalian barang juga masih terjadi di tingkat supplier yang
mengirim barang ke eksportir. Masih kurangnya pemahaman mengenai standar produk negara tujuan ekspor menjadi hambatan supplier untuk dapat memenuhi kuantitas permintaan eksportir. Permasalahan dan risiko dalam relasional pemasaran mangga di Kabupaten Majalengka lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut. Risiko pemasaran dapat ditekan dengan melakukan pemasaran relasional yang baik dengan konsumen. Menurut Gronroos (2004), pemasaran relasional yang baik selain dapat meminimalkan risiko, dapat memberikan rasa perasaan aman kepada konsumen, meningkatkan kontrol dan kepercayaan diri, dan akhirnya akan mengurangi biaya (Gronroos, 2004). Sedangkan menurut Wilson (1995) mengemukakan bahwa pemasaran relasional dilakukan berdasarkan hubungan kepercayaan yang ditandai dengan rendahnya tingkat risiko yang dirasakan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemasaran relasional berdasarkan penciptaan nilai tambah sehingga dapat menekan resiko yang dirasakan oleh petani.Menurut Gronroos (2000) prespektif pemasaran relasional didasarkan pada hubungan antara kedua pihak untuk menciptakan nilai tambah dari produk atau jasa dipertukarkan.
353
Gambar 5 Rich Picture Relasional Pemasaran Buah Bernilai Tinggi di Kabupaten Majalengka
Pemasaran relasional memiliki tiga asumsi nilai tukar oleh Christopher et al (2002) dalam Ballantyne (2003). Perspektif tiga nilai adalah sebagai berikut: - Managed Value Nilai yang diciptakan sebagai hasil dari transaksi yang dilakukan berulang-ulang dalam manajemen dan pemasok (Christopher et al dalam Ballantyne, 2003). Petani sebaiknya dapat melakukan transaksi untuk menjual mangganya kepada konsumen dengan tujuan jangka panjang sehingga hubungan dengan konsumen harus terus dijaga agar berjalan dengan baik. Perlu dilakukan budaya pelayanan pelanggan dan pelaksanaan proses pemasaran yang interaktif (Gronoos, 1990), hal ini dapat menjadi kekuatan petani untuk menarik konsumen. Dengan transaksi yang dilakukan secara berulang dari waktu ke waktu akan meningkatkan tingkat loyalitas konsumen dimana akan meningkatkan keuntungan jangka panjang bagi petani. - Interactive Value Nilai yang diciptakan melalui proses interaktif dan berbagi satu sama lain melalui beberapa kontrak perjanjian (Christopher et al dalam Ballantyne, 2003). Kontrak pemasaran yang berupa kesepakatan dan pengikatan konsumen dengan petani merupakan hal yang dapat diterapkan agar adanya kepastian dan jaminan bagi petani. Kepastian ini dapat berupa kepastian harga, kuantitas yang diminta, dan kualitas yang harus dipenuhi oleh petani. Walaupun tidak menutup kemungkinan kontrak ini untuk diperbaharui dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 354
- Emergent Value Nilai yang diciptakan dari interaksi yang timbul dari hubungan pada jaringan(Christopher et al dalam Ballantyne, 2003). Informasi yang didapatkan suplier buah baik dari eksportir, maupun pasar modern sebagai konsumen bisnis yang memiliki kualifikasi tinggi untuk produk mangga, sebaiknya diinformasikan kepada petani. Gronoos (1990) mengemukakan bahwa informasi pelanggan yang diperoleh harus digunakan dan melibatkan seluruh anggota organisasi pada kegiatan pemasaran. Kelompok tani dapat menjadi media seluruh anggotanya dalam mendapatkan informasi pasar dan pertukaran pengetahuan budidaya produksi. Hal tersebut dapat meningkatkan pengetahuan petani mengenai informasi pelanggan untuk terlibat dalam kegiatan pemasaran dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumen bisnis yang akan memasarkan produknya kepada konsumen akhir. PENUTUP Keterlibatan kelompok tani dalam relasional pemasaran dapat memberikan manfaat pada peningkatan pendapatan, aplikasi teknologi budidaya tepat guna, meminimalisasi potensi produk kualitas rendah, dan inovasi pasca panen mangga. Pemasaran relasional dinilai mampu menjadi solusi dalam mengantisipasi risiko pemasaran antar pelaku usaha mangga di Kabupaten Majalengka melalui pertukaran nilai antara para pelaku yang terlibat dalam agribisnis mangga. Pertukaran nilai ini berupa (1) Managed Value berupa pengaktifan kelompoktani dalam kegiatan pemasaran yang
berorientasi jangka panjang, (2) Interactive Value berupa pembuatan kesepakatan antara petani dengan konsumen berupa kontrak kerjasama, (3) Emergent Value berupa penyampaian informasi baik dari konsumen bisnis maupun konsumen akhir kepada petani sehingga petani memiliki pengetahuan mengenai permintaan dan karakteristik pasar yang dihadapi, sehingga informasi perilaku konsumen tidak hanya dimililki oleh suplier maupun pelaku pemasaran saja namun juga dimiliki oleh petani. Hal ini akan sangat membantu untuk memudahkan proses penyampaian permintaan dan keinginan pasar yang dapat langsung diketahui oleh produsen, sehingga proses panen dan paskapanen akan lebih optimal karena produsen tahu apa yang diinginkan oleh pasar dan akan mengurangi produk yang gagal diterima pasar terutama untuk pasar modern. DAFTAR PUSTAKA Ballantyne, D., Christopher,M., and Payne, A. (2003), Relationship Marketing: Looking Back, Looking Forward.SAGE Volume 3 (I): 159-166. www.sagepublications.com) BPS dan Dirjen Hortikultura Kementan RI (2012). Perkembangan Produksi Buah Indonesia Tahun 2007-2011. Pidd, Michael. 2004. Systems Modelling: Theory and Practices. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Wilson DT (1995). An integrated model of buyerseller relationships. J. Acad. Mark. Sci., 23: 335-345. Gronroos, Christian. (1990). Relationship Approach to The Marketing Function in Service contexts: The marketing and organizational behavior interface. Journal of Business Research.29 (1): 3-12 _______________. (2000). Creating a Relationship Dialogue: Communication, Interaction, Value. Marketing Review.Vol. 1 No.1, pp 5 – 14. Westburn Publishers ________________. (2004). The Relationship Marketing Process: Communication, Interaction, Dialogue, Value. Journal of Business & Industrial Marketing vol. 19 No 2 pp 99-113. Emerald Group Publishing. Perkembangan Produksi Buah dan Sayur di Jawa Barat Tahun 2009 – 2012. Sumber: **http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/su bMenu/924
355
356
Risiko Pemasaran Mangga di Petani yang Mengambil Risiko dan Menghindari Resiko Mango Marketing Risk of Risk Taker and Risk Averter Farmers Yosini Deliana Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Jl.Raya Jatinangor Km.21 Sumedang
ABSTRAK
Kata Kunci: Risiko pemasaran mangga, petani risk taker risk averter
Petani risk taker adalah petani yang berani mengambil risiko, sedangkan petani risk averter adalah petani yang menghindari risiko. Petani risk taker menjual mangga kepada pedagang yang bisa memberikan harga lebih tinggi dari sekitarnya.Menurut Casseres (2001) melakukan transaksi dengan banyak orang (transaksi bebas) lebih baik daripada berjualan dengan satu orang, akan tetapi tidak demikian halnya dengan pemasaran jagung di Jawa Timur (Deliana, 2004). Penelitian ini mengungkapkan bahwa berjualan dengan banyak orang (transaksi bebas) keuntungannya tidak jauh berbeda dengan berjualan dengan satu orang. Hal ini karena pelaku pasar sudah mengetahui informasi harga dengan baik, komoditi yang diperjual belikannya tahan lama, dan bisa disimpan. Keuntungan dari komoditi yang bisa disimpan adalah bisa dijual pada saat harga tinggi. Lalu bagaimana halnya dengan komoditi yang tidak tahan lama seperti halnya mangga (Mangifere indica). Penelitian ini menarik untuk dikaji apakah pendapat Casseres ini berlaku juga untuk petani manggayang risk taker dan risk averter. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai dengan September 2014dari 50 petani di Kecamatan Sedonglor dan Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon.Data harga diamati langsung dari petani dan akan dianalisis dengan melihat varianse. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa petani yang risk taker variance harganya lebih tinggi daripada petani yang risk averter. Faktor yang mendorong petani menjual mangga ke supplier (petani risk averter)) adalah kepastian harga, keeratan hubungan dan kemudahan mendapatkan informasi teknologi. Sedangkan faktor pendorong petani menjual mangga ke pasar bebas (petani risk taker) adalah kepraktisan dalam menjual,risiko mangga yang dikembalikannya sedikit, , dan kemudahan sistim pembayaran.
ABSTRACT
Keywords: Marketing risk, mango, risk taker farmers and risk averter farmers
Risk taker farmers are farmers who dare to take a risk , while the risk averter farmers are farmers who avoid risk. Risk taker farmers often sell mango to traders who can offer higher prices than themarket price.According to Casseres (2001), the transaction with many people (free transaction ) is better than selling to one person, but it was not the same with corm marketing in East Java (2004). The research showed that the profit of transaction with many people (free transaction) is not much different with the transaction with one person.This is because marketing agent already know well the price information, not perishable product, and can be stored.The advantage of not perishable product is to be sold at a high price.So how about the perishable product such as mango (Mangifere indica).This research is interesting to know whether this Casseres opinion also applies to mango farmers who risk taker and risk averter. The study was conducted with survey from July to September 2014 wiith 50 farmers in Sedonglor and Dukupuntang District- Cirebon Regency.Observable price data directly from farmers and the data will be analyzed with variance. The study showed that risk taker farmers more variance than risk averter. The factors that influence farmers to sell their mango to supplier are price certainltly, close relatioship, and easy to get the technology information. Meanwhile the factors that influence farmers to sell their mango to free market are easy to sell, only few mango should be return and easy payment system.
* Korespondensi Penulis, Alamat e-mail: [email protected]
357
PENDAHULUAN Varietas mangga banyak, akan tetapi hanya empat varietas mangga yang banyak di pasar dan dikenal konsumen yaitu mangga gedong gincu, mangga aromanis, mangga cengkir dan mangga kweni. Kabupetan terbesar penghasil mangga di Jawa Barat adalah Kabupaten Cirebon, Majalengka dan Indramayu. Varietas mangga gedong gincu dan Harumanis paling banyak dihasilkan Kabupaten Cirebon, sedangkan mangga cenkir banyak dihasilkan oleh Kabupaten Indramayu dan mangga kweni tersebar merata di tiga kabupaten tersebut. Jumlah produksi mangga gedong gincu di Cirebon pada tahun 2013 sebesar 49.737 ton, produksi mangga gedong gincu di kabupaten Majalengka 41.717 ton dan di kabupaten Indramayu sekitar 26.939 ton (Dinas Pertanian Jawa Barat, 2013) Petani mangga gedong gincu dalam memasarkan mangganya tidak langsung ke supermarket akan tetapi melalui supplier (5%). Supplier ini yang akan mendistribusikan mangga ke eksportir, supermarket dan yang tidak memenuhi kriteria dipasarkan kembali ke pasar tradisional. Pada umumnya (95%) dipasarkan ke pasar tradisional, ke pusat pasar di Bandung dan Jakarta seperti Caringin dan Kramat Jati. Selain itu juga didistribusikan ke perdagangan antar daerah seperti ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan lainnya. Harga menjadi faktor utama petani dalam menjual mangganya. Pada pasar persaingan sempurna berlaku hukum satu harga dan sebaliknya pada pasar persaingan tidak sempurna tidak berlaku hukum satu harga (Yogi, 1996). Pelaku pasar beusaha tidak terjadinya “satu harga” karena terjadinya excess profit pada pasar persaingan sempurna yang akan jatuh ke petani atau produsen. Untuk mempertahankan tidak terjadinya excess profitbagi petani maka diusahakan harga tidak transparan diantaranya dengan menghambat informasi harga. Informasi harga hanya dinikmati oleh kelompok pedagang, bukan petani. Adanya teknologi komunikasi yang lebih canggih cenderung memperlemah barier to entry bagi setiap pedagang untuk memasuki pasar. Diantara pedagang besar mangga banyak yang memiliki saudara, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi kolusi dalam menentukan harga beli ke pedagang pengumpul. Tingkah laku pasar (market conduct) dalam pemasaran mangga gedong gincu mengakibatkan petani sering sebagai pihak yang selalu kalah, petani menerima apa saja yang asimetrik yang menimbulkan struktur harga yang tidak bersaing atau bahkan keberadaan pasar tidak terwujud (missing market) 358
Identifikasi Masalah. 1. Bagaimana risiko pemasaran mangga pada petani risk taker dan risk averter ? 2. Faktor apa yang mendorong petani menjual mangga ke supplier dan pasar bebas ? METODE PENELITIAN Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari kelompok tani yang menjual mangganya kepada satu atau dua pedagang, dan kelompok tani yang menjual mangganya lebih bebas. Kelompok tani ini menjual mangganya kepada pembeli yang memberikan harga lebih tinggi dari pasar atau sekitarnya. Selain itu dilakukan indepth study kepada key person, stakeholder dan instansi terkait.Sedangkan data sekunder dari Badan Pusat Statistik, dan sumber data lainnya. Data yang dianalisis hanya data mangga gedong gincu dengan alasan harga mangga gedong gincu sebagai trend setter bagi harga mangga lainnya Hipotesis : H0 :𝜇1 − 𝜇2 ≥ 0 (Rata-rata risiko petani risk teker lebih kecil atau sama dengan petani risk averter di tingkat populasi) H1 :𝜇1 − 𝜇2 > 0 (Rata-rata risiko harga petani risk taker lebih besar daripada petani risk averter di tingkat populasi) dimana: 𝜇1 : rata-rata risiko harga petani risk taker di tingkat populasi 𝜇2 : rata-rata risiko harga petani risk averter di tingkat populasi Menentukan Titik.nilai kritis : dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 % atau 𝛼 = 0,01 maka z tabel = 2,32 Identifikasi masalah satu dianalisis dengan melihat risiko harga dari petani risk taker dan risk averter. Identifikasi masalah kedua dianalisis secara deskriftif.Untuk mengukur risiko harga adalah sebagai berikut : 𝑧ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
(𝑥̅1 − 𝑥̅2 ) − (𝜇1 − 𝜇2 ) √(
𝑠12 𝑠22 + ) 𝑛1 𝑛2
dimana: 𝑥̅1 : rata-rata rata risiko hargapetani risk taker di tingkat sampel 𝑥̅2 :rata-rata risiko harga petani risk averter di tingkat sampel
𝑠12 : varians risiko harga petani risk taker di tingkat sampel 2 𝑠2 : varians risiko harga petani risk averter di tingkat sampel 𝑛1 : ukuran sampel risiko harga petani risk taker 𝑛2 : ukuran sampel risiko harga petani risk averter Kriteria Penolakan Tolak 𝐻0 jika 𝑧ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑧𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Umumnya pedagang pengumpul maupun pedagang besar merangkap sebagai petani. Petani risk averter membudidayakan mangga dengan baik, juga memperhatikan pasca panen. Pemetikan dilakukan pagi hari antara jam 9 – 11 pagi, karena apabila dilakukan pemetikan di siang hari maka getah mangga banyak yang mengotori kulit buah. Hal ini menjadikan harga mangga jatuh karena penamplannya tidak menarik, selain kotor juga getahnya kemana mana. Petani risk taker kurang memperhatikan hal ini, karena korbanan (biaya) tidak seimbang dengan hasilnya. Petani risk taker focus pada pemasaran, kurang focus untuk menjaga kualitas. Risiko Pemasaran Mangga pada Petani Risk Taker dan Risk Averter Risiko adalah derajat ketidakpastian dalam situasi tertentu (Heishher dan Robinson, 1985). Dalam perkembangannya model-model risiko oleh Young (1979) dibagi dalam tiga macam yaitu (1) pengambilan keputusan tanpa informasi peluang, (2) pengambilan keputusan yang menggunakan asas rasa aman (safety-first rules) dan (3) pengambilan keputusan dengan memaksimumkan kegunaan harapan (expected utility). Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) mengemukakan bahwa sikap seseorang dalam menghadapi suatu persoalan yang mengandung risiko pada dasarnya dibedakan menjadi tiga yaitu penghindar risiko(averter risk), netral (indifferent to risk) dan sikap penggemar risiko (prefer torisk). Hal ini sependapat dengan Doll dan Orazem (1978) dan Penson (1980). Risiko adalah selisih dari nilai optimal dengan nilai aktualnya (Saptana dkk, 2010). Dalam hal ini, risiko harga diberikan nilai mutlak untuk menunjukkan besarannya dengan angka positif untuk setiap item atau periode. Rumus risiko harga dihitung dengan rumus sebagai berikut : 𝑅𝑖𝑠𝑘𝑃𝑖 = 𝑃𝑖 − 𝐸(𝑃)
dimana: 𝑅𝑖𝑠𝑘𝑃𝑖 = Risiko Harga Petani Mangga (Rp) 𝑃𝑖 = Harga mangga pada periode ke-𝑖 (𝑖 =1,..,𝑛) (Rp) 𝐸(𝑃) = Expected Price (nilaiharga rata-rata) PengujianHipotesis Beda Rata-Rata DuaPopulasi Setelah data dianalisis didapatkan hasil sebagai berikut: 𝑥̅1 = Rp 2.971 𝑥̅2 = Rp 2.411 𝑠12 = Rp 3.586.369 𝑠22 = Rp 2.398.003 𝑛1 = 105 𝑛2 = 105 (𝑥̅1 − 𝑥̅2 ) − (𝜇1 − 𝜇2 ) 𝑧ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝑠2 𝑠2 √( 1 + 2 ) 𝑛1 𝑛2 =
(2.971 − 2.411) − (0) √(3.586.369 + 2.398.003) 105 105
==
560 = 2,35 238,73
Keputusan Karena 𝑧ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,35 > 2,32 = 𝑧𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka 𝐻0 ditolak dan 𝐻1 diterima Kesimpulan : Risiko harga petani risk taker lebih besar daripada petani risk averter Faktor yang mendorong Petani Menjual Mangga ke Supplier dan Pasar bebas Petani yang menjual ke supermarket tidak ada yang langsung, akan tetapi semuanya melalui bandar atau supplier.Supplier ini ada yang memasarkan mangga untuk ekspor (5%) ada juga untuk supermarket di sekitar Cirebon seperti Alfamart, Grage super Mall, indo grosir, yogya regency dan lain lain. Supplier harus memilik modal besar, karena harus membayar cash ke petani sedangkan oleh supermarket pembayarannya ditunda 2 minggu – 1 bulan. Menurut supplier keuntungan dari pemasaran mangga ini cukup besar sekitar 15 % dari modal pokok. Jumlah ini lebih besar bila dibandingkan dengan suku bunga bank yang 8 % per tahun.pengirimannya 30 – 50 kuintal per hari (85 %), Faktor yang mendorong petani menjual ke supplier dan pasar bebas adalah sbb :
359
Tabel 1. Faktor yang Mendorong Petani Menjual Mangga ke Supplier dan Pasar Bebas Variable Risiko mangga dikembalikan Kepraktisan menjual Kepastian harga Kemudahan sistim pembayaran Kedekatan hubungan Kemudahan mendapatkan informasi teknologi
Supplier (%)
Pasar Bebas (%)
64
36
22
78
58
42
18
82
56
44
72
28
Dari Tabel 1. terungkap bahwa petani yang tujuan pasarnya supplier karena faktor kepastian harga (58 %), kedekatan hubungan (56%) dan kemudahan mendapatkan informasi teknologi (72 %), sedangkan petani yang tujuan pasarnya pasar bebas karena faktor risiko dikembalikan mangganya kecil (36%), kepraktisan dalam menjual (78%) dan kemudahan sistim pembayaran (82 %). Risiko mangga dikembalikan : mangga yang didistribusikan ke supplier tidak semuanya diterima, ada sekitar 30 % sampai 35 % yang tidak bisa diterima (BS). Sedangkan kalau ke pasas bebas diantaranya ke pasar tredisional, ke perdagangan antar daerah dan antar pulau, kualitas mangga tidak begitu ketat. Walaupun dilakukan grade dan sortasi tapi produksi bisa diserap pasar. Untuk beberapa kasus ada juga pedagang yang nakal dengan memasukkan mangga tidak berkualias ditengahtengah peti kemasan sehingga pedagang yang membeli mendapat kerugian. Kepraktisan menjual : mangga untuk tujuan supplier mensyaratkan beberapa ketentuan selain kualitas yang baik, dilakukan sortasi dan grading, getah tidak menempel di buah sehingga perlu diperhatkan waktu petik. Sedangkan untuk pasar bebas petani bisa menjual dengan tanpa harus memenuhi ketentuan tersebut Kepastian harga : petani risk taker menerima harga yang pasti dari supplier walaupun belum ada kontrak penjualan. Sedangkan petani risk taker tidak ada kepastian harga. Harga yang terjadi berdasarkan mekanisme supply dan demand. Keadaan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas yang baik tidak selalu mendapatkan harga yang tinggi. Hal ini disebabkan pada saat yang sama datang mangga dari 360
daerah lain (Jawa Timur atau Jawa Tengah) sehingga harga mangga jatuh. Kemudahan sistim pembayaran : harga di supplier lebih terjamin daripada di pasar tradisional, karena harga sudah ditentukan sebelumnya. Walaupun demikian pembayarannya tidak cash, menunggu 2 minggu sampai 1 bulan, sehingga bandar harus menanggulangi dulu pembayaran ke petani. Sedangkan untuk tujuan pasar tradisional harga tidak terjamin, harga yang terjadi sesuai dengan mekanisme supply dan demand. Hasil penelitian World Bank (2006) mengungkapkan hal yang sama bahwa petani lebih mudah bertransaski dengan bandar (middlemen) daripada langsung ke pasar modern. Seharusnya supermarket memberikan pelayanan terbaik dalam hal harga ke supplier,komitmen bisnis dan ketaatan pembayaran. Layanan lain seperti akses keberlanjutan,penjualan yang tinggi, sedikit produk yang di-reject,kriteria kualitas yang diharapkan , cara mempertahankan kualitas, bantuan teknis, kredit, promosi, komitmen bisnis yang lebih baik , pelunasan pembayaran dan waktu pembayaran. Kedekatan hubungan : kedekatan hubungan diantara petani, bandar maupun pedagang lainnya karena adanya kepercayaan. Karena sudah saling percaya maka petani menerima saja harga yang terjadi, bargaining position petani menjadi lemah. Walaupun demikian petani tetap menjual ke bandar tersebut karena tidak ada pilihan lain, petani tidak memiliki pasar baru. Kemudahan mendapatkan informasi teknologi :keuntungan lain petani risk averter mendistribusikan mangganya ke supplier karena mudahnya mendapatkan informasi teknologi. Supplier selalu meningkatkan pengetahuan dalam teknologi budidaya, pasca panen dan pemasaran. Sedangkan petani risk taker tidak demikian keadaannya. Walaupun bertransaksi dengan banyak orang, akan tetapi hanya sebatas menjual mangga. Hal ini tidak terjadi transfer of knowledge mengenai teknologi, pasca panen mapun pemasaran
SIMPULAN 1. Pernyataan Casseres bahwa bertransaki dengan banyak orang lebih baik daripada bertransaksi dengan satu orang tidak sejalan dengan keadaan pemasaran mangga di daerah penelitian. Kenyataannya bertransaki dengan banyak orang di pasar bebas varians harganya lebih tinggi artinya lebih beresiko. 2. Petani risk taker memiliki varian harga lebih tinggi daripada petani risk averter
3.
4.
5.
Petani risk averter, walaupun ada kepastian harga seringkali petani tidak memiliki posisi tawar. Faktor yang mendorong petani menjual mangga ke supplier (petani risk averter)) adalah kepastian harga, keeratan hubungan dan kemudahan mendapatkan informasi teknologi. Faktor pendorong petani menjual mangga ke pasar bebas (petani risk taker) adalah kepraktisan dalam menjual, risiko mangga yang dikembalikannya sedikit, dan kemudahan sistim pembayaran
SARAN 1. Diberdayakannya kelopmpok tani dalam mengembangkan keterampilan mulai dari budidaya, pasca panen, pemasaran, teknologi, dengan harapan petani memiliki posisi tawar lebih baik 2. Adanya pendampingan petani terutama petani risk taker untuk melakukan penetrasi pasar danmencari pasar baru lainnya. Sedangkan petani risk averter diharapkan bisa menentukan harga dengan menjaga kuantitas, kualitas dan kontinuitas mangga.
Policy and Agribusiness Studies, Padjadjaran University Yogi. 1997. Perbaikan Struktur Pasar Sebagai Alternatif Peningkatan Posisi Tawar Petani. Majalah Ilmiah Universitas Winaya Mukti. Desember 1997.Volume 6. Sumedang ____ 1999. Pasar Terhadap Katerkaitan Harga di Tingkat Petani. Majalah Ilmiah Universitas Winaya Mukti. Agustus 1999. Volume 11 Sumedang Young.,D.L. 1979. Risk Preference of Agriculture Producers : Their Use in Extension and Research. American Journal of Agriculture Economics. 6 : 1063- 1070
DAFTAR PUSTAKA Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production Economics.Theory with Application. John Wiley and Son Inc. New York. Heiser, B and L.J. Robinson. 1985. Appplication of Decision Theory and Measurement of Attitudes Toward Risk in Farm Management Research in Industrialized and Third World Setting. MSU International Development Papers. Departement of Agricultural Economics, Michigan State University. Mangkusubroto dan Trisnadi. 1985. Analisis Keputusan. Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung Penson., John B and Davis A Lins. 1980. Accounting for Risk in Investment Decision Making. Prentice Hall International, Inc. Saptana, A.Daryanto. K. Heny Daryanto, dam Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis Produksi Usahatani Cabai Merah dan Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko. Journal Agro Ekonomi, Vol.28 No.2 : 153188. Bogor. World Bank Indonesia. 2006. Study on Indonesian Smallholder and Modern Supply Chains. Final Report. World Bank Indonesia collaboration with Center for Agricultural
361
362
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia, Periode Tahun 1984 Sampai 2013 Some of the Factors That Affect the Volume of Indonesian Cocoa Beans Exports, Analysis 1984-2013 Time Periode Taufiq Nur Tadjudin 1*, Muhammad Arief Budiman 1 1
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor,
ABSTRAK
Kata Kunci: ekspor biji kakao Indonesia harga domestik pajak ekspor nilai tukar rupiah.
Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Biji kakao Indonesia termasuk dalam komoditas andalan yang memiliki peranan yang cukup penting dalam kegiatan ekspor Indonesia karena termasuk kedalam salah satu komoditi unggulan yang memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi seberapa besar pengaruh faktor jumlah produksi biji kakao Indonesia, nilai tukar rupiah, harga biji kakao Indonesia dan pajak ekspor terhadap jumlah ekspor biji kakao Indonesia baik secara simultan maupun partial dan Dapat mengidentifikasi faktor mana yang paling berperan diantara jumlah produksi biji kakao Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak ekspor dan harga biji kakao Indonesia baik secara simultan maupun partial. Desain penelitian yang di gunakan adalah dengan desain kuantitatif sifatnya suatu kasus dengan tehnik studi kepustakaan (Deks Study) menggunakan data sekunder, sampel data yang digunakan bersifat kurun waktu (time series) selama 30 tahun. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika untuk mencerminkan hasil dari pembahasan yang akan dinyatakan dengan angka, teknik analisis yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dan metode yang di gunakan adalah metode kuadrat terkecil atau method of ordinary least square (OLS), yang merupakan metode yang digunakan untuk mengkoreksi persamaan regesi diantara variabel-variabelnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa Secara simultan Variabel Jumlah Produksi Kakao Indonesia, Nilai Tukar Rupiah, Harga Domestik Biji Kakao Indonesia dan Pajak Eksport memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan volume ekspor biji kakao Indonesia. Secara partial Variabel Jumlah Produksi Kakao Indonesia, Nilai Tukar Rupiah, Harga Domestik Biji Kakao Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan dan pajak ekspor secara partial memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap perkembangan volume ekspor biji kakao Indonesia.
ABSTRACT
Keywords: Indonesian cocoa beans exports domestic prices export taxes exchange rate
International trade is one of the important aspects in every country around the world. Indonesian cocoa beans included in the priority which has a very important role in export activities including in Indonesia as one of the primary commodity which would contribute to an increase in foreign exchange for Indonesia. The writing is aimed to identify how big the influence of the total production of Indonesian cocoa beans, The rupiah exchange rate, The Indonesian cocoa beans price and And the export tax to the amount of Indonesia ' s exports of cocoa both simultaneously or partial and to identify which are the most instrumental factor between the number of Indonesian cocoa production, the exchange rate, export taxes and price of Indonesian cocoa beans either simultaneously or partial. This study design are using a quantitative research Her technique desk study with a case study using secondary data, the sample data used are time series for 30 years. This research using model econometrics to reflect the outcome of the discussions to be expressed in numbers, The analysis technique used in this study is multiple regression analysis and methods used is the method of ordinary least square (OLS), which is the method used to correct regesi equation between the variables. The results show that the simultaneous variable the production of Indonesian cocoa, Exchange Rate, Domestic Prices of Indonesian cocoa beans and Export Tax has a significant influence on the development of Indonesian cocoa beans exports volume. A
363
partial variable the production of Indonesian cocoa, Exchange Rate, Domestic Prices of Indonesian cocoa beans has a significant influence and the partial export tax has no significant effect on the development of Indonesian cocoa exports volume. * Korespondensi Penulis Alamat e-mail: [email protected]
364
LATAR BELAKANG Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Dengan perdagangan internasional, perekonomian akan saling terjalin dan tercipta suatu hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi suatu negara dengan negara lain serta lalu lintas barang dan jasa akan membentuk perdagangan antar bangsa. Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya adalah petani yang secara geografis merupakan negara tropis yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, termasuk komoditas kakao yang merupakan andalan yang memiliki peranan cukup penting dalam kegiatan
ekspor Indonesia karena temasuk kedalam salah satu komoditi unggulan yang memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana dan kakao Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an dan pada tahun 2002 sertapeluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri.
Tabel 1. Data vol ekspor biji kakao indonesia menurut negara tujuan tahun 2008-2013 (ton). Negara Tujuan Cina
Tahun 2010 2011 15.394,9 8.764,2
2008 15.928,5
2009 7.147,6
2012 6.962,1
2013 8.670,2
Thailand
8.116,2
7.405,5
6.716,3
6.037
8.049,4
7.713,4
Singapura
45.195,5
56.403,4
53.933,3
34.839,4
40.879,4
33.146,9
Malaysia
211.470,3
183.539,1
203.847,7
143.296
102.350,1
134.774,4
Amerika Serikat
53.689,6
120.304,1
89.306,5
9.841
143,3
7.208,7
Kanada
13.000
5.200,3
3.500
5.500
-
-
Jepang
-
-
-
-
-
118,2
650
1.900
4.055,5
4.848,00
7.000
5700
Belanda
239,6
2.452
5.847,5
776
510,6
187,5
Jerman
500,7
7.161,4
12.336,5
293,8
369,8
490,5
Lainnya
33.886,1
48.894,3
38.690,1
543,9
5.721,6
3.494,9
Jumlah
382.676,5
440.407,7
433 628,3
214.739,3
171.986,3
201.504,7
India
Sumber : Badan Pusat Statistik 2014 Sejak tahun 2008 sampai 2010 produksi kakao indonesia mengalami peningkatan namun tidak signifikan dan mulai menurun pada tahun 2011 sekitar 18 % penurunan jumlah produksi ini di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu Semakin menurunnya luas lahan, Iklim yang tidak menentu menyebabkan produktifitas menurun,Kondisi tanaman yang sudah tidak produktif karena terlalu tua kebanyakan sudah ditanam sejak 1980-an sehingga sudah tidak produktif (Direktorat Jenderal Perkebunan 2012). IDENTIFIKASI MASALAH 1. Berapa besar nilaifaktor jumlah produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak eksport dan harga biji kakao Indonesia mempengaruhi volume ekspor biji kakao
Indonesia baik secara simultan maupunpartial. 2. Faktor mana yang paling berperan dalam perkembangan ekspor biji kakao diantara jumlah produksi biji kakao Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak ekspor dan harga biji kakao Indonesia baik secara simultan dan partial. TEORI DAN KONSEP Teori Perdagangan Internasional Teori Keunggulan Absolut (Absolute Advantage) Dasar teori keungguan absolut adalah suatu negera akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain apabila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat diproduksi di negaranya dengn lebih efisien
365
(mempeunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditas yang kurang efisien. Teori keunggulan absolut ini menyatakan bahwa, meskipun suatu negara mengalami kerugian atau tidak diunggulkan dalam memproduksi kedua komoditi jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan internasional yang saling menguntungkan bisa tetap berlangsung. Setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang negera tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang-barang jika negara tersebut mimiliki ketidakunggulan mutlak (Drs. Halwani,M.A dan Dr, H. Prijono Tjiptoheridjanto .1993). Teori Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage) Dalam bukunya Pricipless of Political Economy (1817), Ricardo menyebutkan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efektif. METODE PENELITIAN Objek, Desain Penelitian dan Rancangan Analisis Faktor Objek dari penelitian yang akan di teliti adalah beberapa faktor yang mempengaruhi volume ekspor biji kakao Indonesiayaitu jumlah produksi kakao Indonesia, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, pajak ekspordanharga domestik biji kakao Indonesia. Desain penelitian yang di gunakan adalah dengan desain kuantitatif sifatnya suatu kasus dengan teknik penelitian studi kepustakaan (Deks Study)menggunakan data sekunder sampel data yang digunakan bersifat kurun waktu (time series) data yang di perlukan yaitu jumlah produksi biji kakaoindonesia, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat,pajak ekspordanharga domestik biji kakao Indonesiayang merupakan data tahunan selama 30 tahun dari tahun 1984 sampai tahun 2013. Data yang diperoleh tersebut akan di regres menggunakan beberapa model untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh terhadap volume ekspor biji kakao Indonesia baik secara simultan maupun partial.model rumusan variabel yang akan di gunakan di formulasikan dalam persamaan sebagai berikut : ŷ = 𝛽0 + 𝛽1 𝑋1 + 𝛽2 𝑋2 + 𝛽3 𝑋3 + 𝛽4 𝑋4 Keterangan : 366
ŷ : Volume Ekspor Biji Kakao (VEX) 𝑋1 : Jumlah Produksi Kakao indonesia (JPKI) 𝑋2 : Nilai Tukar Rupiah (NTR) 𝑋3 : Harga DomestikBiji Kakao Indonesia (HDBKI) 𝑋4 : Pajak Eksport (PE) 𝛽 : Konstanta Penelitian ini menggunakan model ekonometrika untuk mencerminkan hasil dari pembahasan yang akan dinyatakan dengan angka, teknik analisis yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dan metode yang di gunakan adalah metode kuadrat terkecil atau method of ordinary least square (OLS)yang merupakan metode yang digunakan untuk mengkoreksi persamaan regesi diantara variabel-variabelnya. Operasional pengolahan data dilakukan dengan software SPSS (Statistik Package For Social Science) versi 20, metode OLS memiliki beberapa keunggulan yaitu secara teknis mudah dalam menarik interpretasi, perhitungan dan penaksiran BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) (Gujarati, 2012). Selain itu dalam proses menganalisis data digunakan uji statistik dan uji asumsi klasiksebagai alat bantu untuk mengestimasi volume ekspor biji kakao (dependen variable) dan faktor-faktor yang di perkirakan mempengaruhinya (independen variable). Uji ststistik meliputi uji koefisien determinasi uji-F dan Uji-T, sedangkan uji asumsi klasik meliputi uji normalitsa, uji multikolienaritas, uji autokorelasi dan uji Heterokedastisitas. HASIL DAN PEMBAHASAN Model Yang Digunakan Model yang dirumuskan yaitu model regresi linier berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dan diperoleh model regresi sebagai berikut: Ŷ = 35,188+ 0,518 X1 + 19,215 X2+ 0,001 X3– 0,018X4+ e Berdasarkan model regresi yang dihasilkan bisa dijelaskan hubungan antara variabel X dan Y secara spesisfik sebagai berikut: 1. X1 =setiap kenaikan seribu ton produksi kakao maka volume ekspor biji kakao bertambah 0,518 ribu ton atau 518 ton. 2. X2 =setiap kenaikan seribu mata uang Rupiah terhadap Dolar atau terdepresiansinya Rupiah terhadap Dolar maka volume ekspor biji kakao indonesia akan bertambah sebesar 19,215 ribu ton atau 19.215 ton. 3. X3 =setiap kenaikan seribu rupiah pajak ekspor maka akan menyebabkan
meningkatnya volume ekspor biji kakao sebesar 0.001 ribu ton atau 1 ton. 4. X4 =setiap kenaikan seribu rupiah harga biji kakao dalam negri maka akan menyebabkan menurunnya volume ekspor biji kakao sebesar 0,018 ribu ton atau 18 ton. Analisis Uji Statistik Uji Koefisien Determinan (R2) Dari hasil regresi data dengan menggunakan SPSS di peroleh nilai koefisien R2 sebesar 0,844. Hal
ini menunjukan bahwa sebesar 84,4% volume ekspor biji kakao di pengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang terdapat dalam persamaan, yaitu produksi kakao domestik, nilai tukar rupiah, pajak eksport dan harga domestik. Sisanya yaitu sebesar 15,6% di pengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak termasuk dalam persamaan.
Tabel 28 Hasil Perhitungan R dan Dw Model Summaryb Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
DurbinWatson
1
,919a
,844
,819
57,207256
1,827
Sumber : hasil perhitungan data menggunakan SPSS 20. Variabel-variabel yang tidak masuk dalam persamaan yaitu luas lahan kakao Indonesia dan harga internasional biji kakao, variabel tersebut merupakan variabel yang tidak termasuk ke dalam persamaan dalam penelitian ini dan di duga memiliki pengaruh terhadap volume ekspor biji kakao Indonesia dengan alasan, luas lahan perkebunana kakao di indonesia sangat mempengaruhi terhadap produksi kakao Indonesia karena apabila luas lahan sedikit maka produksi kakao akan sedikit dan apabila luas lahan kakao cukup besar maka produksi kakao akan besar juga, jumlah produksi berhubungan dengan volume ekspor semakin banyak produksi peluang ekspor biji kakao semakin banyak pula dan semakin sedikit produksi maka peluang eksporbiji kakao semakin sedikit. Selanjutnya harga internasional mempengaruhi volume ekspor biji kakao karena berhubungan dengan permintaan dan penawaran jika harga biji kakao di tingkat dunia mahal maka permintaan konsumen terhadap biji
kakao akan sedikit dan penawaran produsen terhadap biji kakao akan tinggi karena harga yang cukup mahal dan sebaliknya apabila harganya rendah maka permintaan konsumen terhadap biji kakao akan tinggi dan penawaran produsen terhadap biji kakao akan rendah, halini berhubungan dengan volume ekspor biji kakao Indonesia jika harga tinggi Indonesia akan mengekspor sebanyak-banyaknya biji kakao dan apabila harga rendah Indonesia akan mengurangi ekspor biji kakao. Di duga 15,6% di pengaruhi oleh variabelluas lahan dan harga internasional. Uji F Statistik Dari hasil analisis ini bisa disimpulkan bahwa produksi kakao domestik, nilai tukar rupiah, pajak eksport dan harga domestik secara simultan mempengaruhi volume ekspor biji kakao Indonesia.Hal ini mengindikasikan bahwa model dianggap mampu merepresentasikan volume ekspor biji kakao Indonesia.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Uji F Statistik ANOVAa 1
Model Regression
Sum of Squares 441571,954
Residual Total
df 4
Mean Square 110392,988
81816,757
25
3272,670
523388,711
29
F 33,732
Sig. ,000b
Sumber : hasil perhitungan data menggunakan SPSS 20.
367
Uji T Statistik Tabel 4. Nilai T Hitung Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients Beta
T
Sig.
1,743
,094
1,110
4,842
,000
7,953
,549
2,416
,023
,000
,116
1,166
,255
X4 -,018 ,004 Sumber : Hasil perhitungan data dengan SPSS 20.
-,938
-4,755
,000
1
B
Std. Error
(Constant)
35187,605
20188,028
X1
,518
,107
X2
19,215
X3
,001
Uji t pada variabel X3 (pajak ekspor) di dapat Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Dengan Metode t hitung sebesar 1,116 dan nilai signifikannya adalah Kolmogorov Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test 0,255 serta nilai t tabel sebesar 2,055. Maka t hitung Unstandardized lebih kecil dari t tabel dan nilai signifikannya lebih Residual besar dari 0,05 (t hitung < t tabel dan 0,255 > 0,05) N 30 sehingga terima H0 tolak H1 kesimpulannya faktor Mean 0,0000000 pajak ekspor secara partial tidak berpengaruh yang Normal Parametersa,b signifikan terhadap volume ekspor biji kakao Std. Deviation 53115,60464840 Indonesia.Walaupun secara partial nilainya tidak Absolute 0,139 Most Extreme signifikan akan tetapi pajak ekspor memiliki Positive 0,139 Differences pengaruh yang positif terhadap perkembangan Negative -0,105 volume ekspor biji kakao Indonesia walaupun Kolmogorov-Smirnov Z 0,764 pengaruhnya sangat kecil. Asymp. Sig. (2-tailed) 0,604 Tolak H0 terima H1 kesimpulannya faktor Sumber : Hasil perhitungan data dengan SPSS 20. pajak ekspor secara partial berpengaruh signifikan dengan nilai negatif terhadap volume ekspor biji Uji Multikolinieritas kakao Indonesia dengan artian pajak ekspor memiliki Tabel 69. Hasil Perhitungan VIF pengaruh yang negatif terhadap perkembangan volume ekspor biji kakao Indonesia. Correlations Collinearity Statistics Analisis Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas ZeroKesimpulannya dari hasil uji normalitas denganMetode Partial Part Tolerance VIF order Kolmogorov Smirnov dan diagram scater plot dapat disimpulakan nilai residula sudah terdistribusi dengan normal 0,831 0,696 0,383 0,119 8,408 karena pada uji Kolmogorov Smirnovnilai Asymp. Sig. (2tailed)lebih besar dari 0,05 dan pada diagram scater plot 0,791 0,435 0,191 0,121 8,255 sebarannya berada pada sepanjang garis diagonal atau 0,225 0,227 0,092 0,636 1,573 mengikuti garis lurus. Uji Autokorelasi 0,574 -0,689 -0,376 0,161 6,229 Uji Autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada Sumber : Hasil Penghitungan Data Dengan SPSS. atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik Dari nilai VIF setiap masing-masing variabel autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara X1,X2,X3 dan X4nilai variabelnya tidak lebih dari residual pada satu pengamatan dengan pengamatan 10 atau lebih kecil dari 10yang berarti sehingga tidak lain pada model regresi. Prasyarat yang harus terjadi masalah Multikolinieritas. terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi. Metode yang digunakan dalam uji Autokorelasi adalah Uji Durbin Watson.
368
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data menggunakan model regresi linier berganda dan metode Ordinary Least Square dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor produksi kakao Indonesia mampu menaikan volume ekspor biji kakao Indonesia sebesar 518 ton apabila produksi kakao dalam negri meningkat sebesar 1000 ton, faktor nilai tukar rupiah mampu menaikan volume ekspor biji kakao Indonesia sebesar 19.215 ton setiap terdepresiasinya nilai mata uang rupiah Rp 1000/$, faktor pajak ekspor mampu menaikan volume ekspor sebesar 1 ton setiap kenaikan 1000 rupiah pajak ekspor dan faktor harga domestik akan meneurunkan volume ekspor biji kakao sebesar 18 ton setiap kenaikan Rp 1000 harga domestik. Secara simultan variabel produksi kakao Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak ekspor, harga domestik berpengaruh signifikan dan secara partial hanya variabel pajak ekspor yangtidak signifikan nilainya, akan tetapi tetap memiliki pengaruh terhadap perkembangan volume ekspor biji kakao Indonesia walaupun pengaruhnya sangat kecil. 2. Faktor yang paling berperan dalam perkembangan volume ekspor biji kakao Indonesia dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah Nilai Tukar Rupiah, Produksi Kakao Indonesia, Harga Domestik Biji Kakao dan Pajak ekspor. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh maka peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut: 1. Dengan mengetahui variabel yang berpengaruh terhadap perkembangan ekpor biji kakao indonesia diharapkan pemerintah dapat meningkatkan produksi kakao dalam negri dan mengatasi masalah-masalah dalam mengambangkan komoditas kakaodi indonesia. 2. Di harapkan Perusahaan perkebunan, petani kakao, eksportir kakao, dan instansi terkait agar selalu menjaga kualitas ekspor biji kakao supaya konsumen memberikan harga yang tinggi atas eksporbiji kakaoIndonesia. 3. Pemerintah dapat mengembangkan industri kakao dalam negri agar biji kakao yang di ekspor memiliki nilai lebih di bandingkan eksporbiji kakao mentah, hal ini dapat meningkatkan devisa negara dalam eksporkomoditas perkebunan.
DAFTAR PUSTAKA Anni Rahimah, SAB, MAB. 2010. Administrasi Kepabean dan Ekspor Impor.Bisnis Internasional Universitas Brawijaya. Agroforstry and forestry Sulawesi. 2013. Panduan Budidaya Kakao untuk petani kecil.Journal no 6. Balittri .2012.Peningkatan Produksi dan Pengembangan Kakao (Theobroma cacao L.) di Indonesia. vol 3 (1). Dinan Arya Putra. 2013. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Tembakau Indonesia ke Jerman. Universitas Negeri Semarang. Abdoellah, S. 2009. Perkembangan Penelitian. Dalam “Paduan Lengkap Kakao” (Wahyudi et al., eds.). Penyebar Semangat. Jakarta. Dewi Anggraini. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Kopi Indonesia dari Amerika Serikat. Tesis Magister Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2014. Statistik Ekspor Impor Komoditas Pertanian Tahun 2001-2013. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Drs. Halwani,M.A dan Dr, H. Prijono Tjiptoheridjanto. 1993. Perdagangan Internasional pendekatan Ekonomi Mikro dan Makro. Ghalia Indonesia. FloraFelina Aditasari. (2011) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eksport Karet Indonesia ke RRC (Republik Rakyat Cina) Tahun 19992009.Universitas Sebels msret Surakarta. Gujarati, Damodar. 2009. Dasar-dasar Ekonometrika. Jakarta: Salemba Empat. Hady, Hamid. 2001. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. Won Koo. 2005. Internasional Trade And Agriculture. Vicotria: Blackwell Publishing. Krugman, P.R. and M. Obstfeld; diterjemahkan Faisal H. Basri. 2003. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Laporan Kementrian Keuangan. 2012. Peraturann Mentri Keuangan republik Indonesia , Penetapan Barang Ekspor Yang Di kenakan Tarif Keluar Dan Tarif Bea Keluar. Lapoaran Kementerian Perdagangan Indonesia. Ekspor biji kakao Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan 2013.
369
Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2013. Perkembangan Perekonomian Indonesia Triwulan 1 tahun 2013. Lapoaran Kementerian Perdagangan Indonesia. Perkembangan Ekspor Pertanian Indonesia Tahun 2004-2013. Laporan Food Association Organization (FAO). Produksi biji kakao Dunia Tahun 20082013.http://faostat3.fao.org/home/Edi akses pada tanggal 22 februari 2013. Laporan Food Association Organization (FAO). Volume ekspor biji kakao Indonesia tahun 1984-2013.http://faostat3.fao.org/home/Edi akses pada tanggal 22 februari 2013. Laporan Food Association Organization (FAO). Produksi biji kakao Indonesia Tahun19842103.http://faostat3.fao.org/home/Edi akses pada tanggal 22 februari 2013. Laporan Food Association Organization (FAO). Luas lahan perkebunan kakao tahun19842013 .http://faostat3.fao.org/home/Edi akses pada tanggal 22 februari 2013. Laporan Kementerian Perdagangan Indonesia. Perkembengan Ekspor Migas dan Nonmigas Indonesia Tahun 2004-2013. Rahardja, Pratama. Mandala Manurung. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi: Miroekonomi dan Makroekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rubiyo dan Susanto. 2012. Peningkatan produksi dan pengembangan kakao indonesia. buletin RISTRI vol 3 (1) 2012. Oktaviani R dan Novianti T. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia. Bogor: IPB Press. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sadono Sukirno. 2011. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Tambunan, Tulus. 2005. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: LP3S. Tim Peneliti. 2014. Statistik Indonesia: Indonesia Dalam Angka 1996-2014. Jakarta: Badan Pusat Statisitk Indonesia. Adera Verena. 2014. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Manggis Indonesia. Jatinangor: Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Yustika, A., E. (2012). Peran Sektor Luar Negeri Pada Perekonomian Indonesia. Majalah Tempo edisi 12-19 November 2012. 370