PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIORESOURCES UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI HIJAU
Bogor, 24 September 2014
Peran Bioteknologi dalam Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Ternak Mendukung Kemandirian Daging dan Susu Nasional
Diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesa i
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
KUALITAS KUMPAI MINYAK (Hymenache amplexicaulis Haes ) DAN KUMPAI BATU (Ischaemum polystachyum J Presl) YANG DIENSILASE DENGAN EKSTRAK RUMPUT FERMENTASI Tintin Rostini Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan Jln Adyaksa No 2 Kayu Tanggi Banjarmasin Email :
[email protected]
ABSTRAK Ensilase adalah suatu cara pengawetan secara anaerob melalui proses fermentasi pada kandungan air tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas, karakteristik fermentasi, in vitro dan kecernaan nutrien silase Hymenache amplexicaulis Haes dan Ischaemum polystachyum J Presl dengan ektrak rumput terfermentasi. Metode penelitian terdiri dari empat perlakuan yang terdiri atas kumpai minyak tanpa aditif (A), kumpai minyak dengan aditif rumput fermentasi(B); kumpai batu tanpa aditif (C) dan kumpai batu dengan aditif rumput fermentasi (D). Peubah yang diamati adalah karakteristik fisik (bau, tekstur, jamur dan warna), VFA, NH3, pH, jumlah BAL, kandungan nutrisi dan kecernaan in vitro. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa silase dengan penambahan ektrak rumput fermentasi menunjukkan kualitas silase yang baik dilihat dari nilai pH, NH3 ,VFA dan kecernaan in vitro. Kata kunci : aditif ,kumpai minyak, kumpai batu, silase
PENDAHULUAN Silase adalah pakan produk fermentasi hijauan, hasil samping pertanian dan agroindustri dengan kadar air tinggi yang diawetkan dengan menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun secara alami dihasilkan bahan selama peyimpanan dalam kondisi anaerob. Pada pembuatan silase secara biologis sering ditambahkan bahan aditif sebanyak kurang lebih 3% dari berat hijauan yang digunakan. Menurut Bolsen et al. (1996) proses ensilase merupakan salah satu cara untuk meminimumkan kehilangan nutrien dan perubahan nilai nutrisi suatu bahan pakan hijauan.
175
P
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
Proses ensilase pada dasarnya sama dengan proses fermentasi
di dalam rumen anaerob. Perbedaannya antara lain adalah bahwa dalam silase hanya sekelompok/group bakteri pembentuk asam laktat yang aktif dalam prosesnya, sedangkan proses di dalam rumen melibatkan lebih banyak mikroorganisme dan beraneka ragam. Salah satu kelemahan hijauan di daerah tropis adalah mempunyai pori-pori yang luas sehingga pada saat pembuatan silase akan mempersulit pemadatan di dalam silo yang akhirnya dapat berakibat kondisi anaerob tidak segera tercapai dibanding dengan hijauan pada daerah terperate yang punya pori-pori lebih kecil, sehingga pemotongan hijauan sebelum dibuat silase merupakan upaya mengatasi hal tersebut (Mc Donald et al., 1991). Lebih lanjut dikatakan bahwa hijauan tropis mempunyai kadar gula terlarut/ Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang rendah, oleh karena itu perlu penambahan aditif yang mempunyai kadar karbohidrat terlarut yang cukup, sehingga bakteri asam laktat dapat memanfaatkan untuk aktivitasnya. Namun menurut Ridwan et al. (2005), hijauan tropik/rumput dapat diawetkan dengan proses ensilase baik dengan penambahan aditif maupun tanpa aditif. Karbohidrat yang larut didalam air (WSC) merupakan sumber energi untuk memulai dan mempertahankan berlangsungnya fermentasi, bakteri asam laktat dapat berkembang biak dengan cepat pada kondisi dimana tersedia makanan yang kaya akan karbohidrat (Cullison, 1978). Diantara
komponen
yang
termasuk
WSC
tersebut
antara
lain
monosakarida (glukosa dan fruktosa), disakarida dan polimer fruktan karbohidrat (Mc Donald et al., 1991). Lebih lanjut dinyatakan bahwa fruktan pada hijauan terdiri dari ikatan unit fruktosa melalui ikatan β-2,6 atau β-2,1 membentuk rantai lurus. Tingkat dan panjang rantai tersebut tergantung dari spesies hijauan. Ridwan et al. (2005) telah melakukan penelitian
silase
dengan
menggunakan
aditif
yang
terdiri
dari
Lactobacillus plantarum yang dilakukan selama 80 hari diperoleh data bahwa pH dan WSC semakin turun seiring dengan lamanya waktu 176
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
inkubasi, sedangkan produksi asam laktat, asam asetat dan N-Amonia terlihat semakin meningkat dengan meningkatnya waktu inkubasi Bakteri asam laktat dalam pengawetan bahan pakan digunakan
dalam proses ensilase yang akan menghasilkan suatu produk yaitu silase. Silase ini dapat dikategorikan sebagai probiotik yang bermanfaat sebagai feed additive dengan beberapa kelebihan sebagai berikut : dapat meningkatkan
ketersediaan
lemak
dan
protein
bagi
ternak,
mempertahankan konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan berat badan, mampu memperbaiki resistensi penyakit akibat stimulasi dan peningkatan natural immunity, selain itu juga dapat meningkatkan kandungan vitamin B komplek melalui proses fermentasi (McDonald et al., 1991). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas, karakteristik fermentasi, in vitro dan kecernaan nutrien silase Kumpai minyak (Hymenache amplexicaulis Haes)
dan Kumpai batu (Ischaemum
polystachyum J Presl) dengan ektrak rumput terfermentasi
MATERI DAN METODE Hijauan rawa Kumpai minyak dan Kumpai batu, dipotong sekitar 5 – 10 cm dari permukaan air rawa pada umur
40 hari, kemudian
dilayukan sehari semalam untuk digunakan sebagai ekstrak rumput fermentasi Ekstrak rumput fermentasi (ERF) dengan prosedur Bureenok et al. (2006) sebanyak 100 g rumput segar yang telah dilayukan ditambah dengan 500 ml aquades kemudian diblender
untuk melembutkan
selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas saring sehingga menghasilkan ekstrak rumput. Ekstrak
yang dihasilkan kemudian
dicampur dengan glukosa sebanyak 10 g dan dicentrifius 1000 rpm selama 15 menit, kemudian diinkubasi pada suhu 300C. Ekstrak rumput digunakan untuk proses fermentasi rumput setelah diinkubasi selama 2 hari.
177
P
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
Pembuatan Silase Hijauan selama
dipotong-potong menjadi ukuran 3-5 cm, dilayukan
12 jam hingga kadar air mencapai 60 %, untuk silase dan
kemudian ditambah dedak sebanyak 5% dari BK bahan. Hijauan
yang
telah tercampur dedak kemudian diaduk secara merata dan dibagi menjadi 3 bagian masing-masing
1 kg. Empat perlakuan terdiri atas
rumput kumpai minyak tanpa aditif (KM); kumpai minyak + aditif; (KMA); kumpai batu tanpa aditif (KB); kumpai batu + aditif (KBA); lalu diperam selama 21 hari. Produk silase dipanen setelah 21
hari pemeraman.
Silase yang dipanen sebelum dievaluasi kualitasnya, terlebih dahulu diangin-anginkan untuk menghilangkan gas yang berbahaya, setelah itu diambil sampel dari setiap perlakuan untuk dianalisis di laboratorium. Peubah yang diukur adalah karakteristik fisik (bau, tekstur, jamur dan warna), VFA, NH3, pH, jumlah BAL, kandungan nutrisi dan kecernaan in vitro.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dan dianalisa dengan sidik ragam dan apabila terdapat perbedaan dilakukan uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas silase hijauan diperlihatkan dengan karaktersistik fisik yaitu bau, tekstur, ada tidaknya jamur dan warna
dari silase (Tabel 1).
Menunjukkan karakteristik fisik silase yang dihasilkan memiliki kualitas baik yaitu warna hijau segar untuk rumput yang ditambah ekstrak rumput fermetasi. Tabel 1. Karakteristik fisik silase setelah 21 hari ensilase KM KMA KB Bau kurang asam asam kurang asam Tekstur Agak basah segar Agak basah Warna hijau tua hijau segar hijau tua Jamur banyak jamur tidak ada banya jamur
KBA asam segar hijau segar tidak ada
Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA = rumput kumpai minyak + aditif ERF. KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA= rumput kumpai batu +aditif ERF
178
Hasil
pengamatan
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
secara
umum
keempat
perlakuan
memperlihatkan warna yang relatif sama. Warna hijau, sampai hijau tua, pada perlakuan KMA dan KBA dengan penambahan ERF menunjukkan warna yang lebih baik yaitu warna hijau segar dibandingkan dengan tanpa penambahan ERF. Warna silase mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sedangkan kalau kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan dan silase yang baik menunjukkan warna hampir sama dengan warna asalnya. Saun dan Heinrichs (2008), sedangkan Rostini, (2004) bahwa silase yang berkualitas baik akan berwarna hijau terang sampai kuning atau hijau kecoklatan tergantung materi silase. Bau asam yang dihasilkan pada perlakuan KMA dan KBA (Tabel 1) disebabkan dalam proses pembuatan silase bakteri anaerobik aktif bekerja menghasilkan asam organik. Proses ensilase terjadi apabila oksigen telah habis dipakai, respirasi tanaman akan terhenti dan suasana menjadi anaerob, sehingga jamur tidak dapat tumbuh dan bakteri anaerob saja yang masih aktif terutama bakteri pembentuk asam . Tekstur silase pada masing-masing perlakuan setelah 21 hari ensilase menunjukkan tekstur yang basah dan segar. Hal ini disebabkan semua perlakuan silase mempunyai kadar air yang sesuai untuk suatu proses fermentasi berkisar 60% dan 30 %. Macaulay (2004) menyatakan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh
kadar air bahan pada awal
ensilase,
yang
silase
dengan
kadar
air
tinggi
(>80%)
akan
memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur. Sedangkan silase berkadar air rendah (<30%) mempunyai tekstur kering dan ditumbuhi jamur. Kandungan bahan kering pasa silase KMA dan KBA yaitu silase yang
ditambahkan
ERF
relatif
lebih
tinggi
dibandingkan
tanpa
penambahan terutama pada kumpai batu (Tabel 2). Kandungan bahan organik (BO) pada silase KMA dan KBA relatif lebih tinggi dibandingkan 179
P
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
KM dan KB disebabkan degradasi karbohidrat menjadi asam organik seperti asetat, propionat dan butirat atau VFA total (Tabel 4) lebih rendah dibandingkan
pada silase tanpa penambahan
ERF. Demikian pula
dengan kandungan PK yang relative lebih tinggi pada silase KMA dan KBA disebabkan degradasi protein menjadi asam amino dan amonia pada silase KM dan KB lebih tinggi dibandingkan dengan silase KMA dan KBA. Hal ini didukung pula dengan kandungan NH3 (Tabel 4). Tabel 2. Komposisi kimia silase setelah 21 hari ensilase (%BK) bahan organik Protein Serat kasar NDF ADF Selulosa Hemiselulosa
KM 84.65 10.68 16.37 62.6 36.75 33.95 25.85
KMA 88.72 11.21 14.01 62.92 34.64 33.41 25.56
KB 85.48 14.36 17.35 40.38 39.26 25.77 1.12
KBA 89.12 16.43 15.17 43.65 35.52 25.62 1.1
SE 2.26 2.71 1.45 12.05 2.01 4.62 14.20
Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA = rumput kumpai minyak+aditif.ERF KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA= rumput kumpai batu +aditif ERF
Kandungan NDF dan ADF silase KMA dan KBA lebih rendah dibandingkan dengan KM dan KB, hal ini disebabkan adanya aktivitas enzim selulase dan hemiselulase yang lebih tinggi selama ensilase karena adanya penambahan ERF yang ditambahkan. Penurunan konsentrasi NDF dan ADF memberikan keuntungan pada peningkatan kualitas silase dan nilai kecernaan pakan (Yahaya et al., 2004; Santoso et al., 2009). Tabel 3. Nilai pH. populasi bakteri, NH3 dan VFA total silase KM KMA KB KBA pH 6.21 4.09 5.98 3.89 BAL ( 105 cfu/ml) 2.9 5.12 2.4 4.14 N-NH3 (g/kg N total) 115 52.12 94.43 39.54 VFA Total (g/kg BK) 102 60.53 128 57.34
SE 1.06 1.23 5.39 4.09
Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA= rumput kumpai minyak + aditif ERF KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA= rumput kumpai batu +aditif ERF
180
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
Tingkat keasaman silase sangat penting untuk diperhatikan
karena merupakan penilaian yang utama terhadap keberhasilan silase. Nilai PH
pada perlakuan KMA dan KBA
(Tabel 4) yang diperoleh
memenuhi kriteria silase yang baik yaitu sebesar 4.09 dan 3.89 yang dapat menekan pertumbuhan jamur dan tidak menyebabkan busuk. Rendahnya pH silase pada perlakuan ini
disebabkan adanya
penambahan ERF dibandingkan dengan yang tanpa penambahan, sehingga terjadi peningkatan jumlah BAL serta di didukung oleh cukup ketersediaan substrat
kandungan WSC (3 dan 4 BK) yang berfungsi sebagai
pendorong
pertumbuhan
bakteri
asam
laktat.
Untuk
mendapatkan silase yang baik diperlukan jumlah minimal WSC yang terdapat pada bahan ensilase sebesar 3−5% BK(McDonald et al. 1991). Sedangkan Schroeder (2004) menyatakan bahwa silase yang berkualitas tercapai apabila produksi asam didominasi oleh asam laktat, pH lebih cepat turun dan proses fermentasi sempurna dalam waktu singkat, sehingga lebih banyak nutrisi yang dapat dipertahankan. Dominasi pertumbuhan bakteri asam laktat yang ditandai dengan rendahnya nilai pH mampu menekan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, seperti Clostridia tidak mampu bertahan pada pH di bawah 4.6−4.8, Kandungan N-NH3 berperan sebagai sumber nitrogen mikroba rumen yang selanjutnya berguna dalam mencerna makanan. Konsentrasi NH3 pada silase yang diberi ERF lebih rendah dibandingkan dengan yang tanpa ekstrak rumput. Hal ini diduga karena protein dalam silase yang ditambahkan ekstrak rumput (KMA dan KBA)
cenderung tahan
degradasi dibandingkan silase tanpa ekstrak rumput (KM dan KB) sehingga Meskipun
menurunkan konsentrasi amonia (McDonald et al., 1991). kumpai minyak dan kumpai batu
difermentasi,
namun
fermentabel sudah
pada silase dirombak
mikroorganisme selama
proses
tergolong
mudah
sebagian besar fraksi protein
pada proses
ensilase.
Aktivitas
ensilase membantu menguraikan
protein dalam hijauan yang ditambahkan pada silase sehingga lebih 181
P
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
fermentabel dan menghasilkan konsentrasi amonia yang lebih tinggi dari pada tanpa ekstrak rumput. NH3 yang dihasilkan dari fermentabilitas protein silase masih berada
pada
kisaran yang optimal
untuk
pertumbuhan ternak dan tidak berlebihan. Menurut McDonald et al. (2002), kisaran konsentrasi amonia yang optimal untuk sintesis protein oleh mikroba rumen adalah 6-21 mM. Volatile fermentasi
Fatty
Acid (VFA)
karbohidrat dan
merupakan
produk
akhir
merupakan sumber energi utama
ruminansia asal rumen. Kadar VFA pada penelitian ini berkisar antara 57.34 sampai 128 mM/L, hal ini menunjukkan
mudah atau tidaknya
pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Hasil ini dalam area normal untuk pertumbuhan mikroorganisme yaitu 6-12 mM/L dan 80160mM/L (Van Soest, 1982) Oleh sebab itu, produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolok ukur fermentabilitas pakan (Suparjo et al., 2011). Profil VFA (molar proporsi VFA) yang dihasilkan dapat digunakan
sebagai gambaran apakah suatu ransum dapat
dijadikan sumber energy pakan ternak ruminansia (McDonald et al., .2002) Tabel 4. Kecernaan bahan kering dan bahan organik silase secara in vitro KCBK (%) KCBO (%)
KM 59.45. 57.12
KMA 66.65 62.43
KB 60.76 58.26
KBA 68.34 65.18
SE 3.98 3.73
Keterangan : KM = rumput kumpai minyak tanpa aditif, KMA= rumput kumpai minyak +aditif.ERF KB= rumput kumpai batu tanpa aditif, KBA= rumput kumpai batu +aditif ERF KCBK = kecernaan bahan kering, KCBO = kecernaan bahan organik
Kecernaan bahan kering dan bahan organik pada silase KMA dan KBA
(Tabel 4) menunjukkan
nilai kecernaan yang lebih tinggi
dibandingkan silase KM dan KB. Nilai kecernaan lebih tingi pada perlakuan KMA dan KBA, disebabkan bahan kering dan bahan organik yang hilang selama enslase lebih sedikit. Disamping itu kandungan NDF dan ADF pada kedua perlakuan tersebut rendah akibat adanya degradasi 182
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
fraksi serat selama ensilase menyebabkan kecernaan nutrien meningkat. Hal ini didukung dengan penelitian Santoso et al, (2011) yang melaporkan bahwa rumput yang ditambah ekstrak rumput fermentasi
menghasilkan kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penambahan. Sedangkan Weinberg et al. (2007) melaporkan bahwa penambahan BAL dapat meningkatkan kecernaan secara invitro. Pada penelitian lain Santoso et al. (2009) melaporkan bahwa nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pada rumput gajah dan rumput raja yang ditambah BAL lebih tinggi dibandingkan tanpa BAL.
KESIMPULAN
Penambahan ERF (ekstrak rumput fermentasi) pada rumput rawa dapat meningkatkan kualitas fermentasi silase, dengan ditandai nilai pH, nilai nutrisi dan kecernaan invitro lebih tinggi,
sehingga dapat
meningkatkan kualitas nutrisi silase rumput
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Yayasan Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-banjary yang telah mendanai Penelitian ini dengan Dipa Uniska tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKA Bolsen KK, Ashbell G, Weinberg ZG. 1996. Silage fermentation and silage additives. Review. AJAS. 9: 483–493. Bureenok ST, Namihira T,Mizumachi S, Kawamoto Y dan Nakada T. 2006. The effect of epiphytic lactic acid bacteria without different by product from defated rice bran and green tea waste on napiergrass (pennisetum purpurium shumach) silage fermentation. J. Sci food Agric. 86:1073-1077 Macaulay A. 2004. Evaluating silage quality .http://www1.agric.gov.ab. ca/department/deptdocs.nsf/all/for4909. html [Feb 2012]. McDonald P, Henderson AR, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage. Ed ke-2. Marlow: Chalcombe McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. Ed ke-6. London: Prentice Hall. Ridwan R, Ratnakomala S, Kartika G, Widyastuti Y. 2005. Pengaruh Penambahan dedak padi dan lactobacillus plantarum 1BL-2 dalam
183
P
Prosiding Seminar Nasional “Bioresource Untuk Pembangunan Eknomi Hijau”
Pembuatan Silase Rumput gajah. Jurnal Media peternakan, 28 (3) : 117123. Rostini T . 2004. Kajian Mutu silase Ransum Komplit berbahan baku local untuk memperbaiki peforma dan kualitas daging kambing. Laporan Penelitian. Uniska KalSel. Santoso B, Hariadi BT, Manik h dan Abubakar H. 2009. Kualitas rumput unggul tropika hasil ensilase dengan aditif bakteri asam laktat dari ekstrak rumput terfermentasi. Media Petern. 32:138-145 Santoso B, Hariadi BT, Alimuddin dan Seseray DY. 2011. Kualitas fermentasi dan nilai nutrisi silase berbasis sisa tanaman padi yang diensilase dengan penambahan inokulum bakteri asam laktat epifit. JITV. 16:1-8 Saun RJV, Heinrichs AJ. 2008. Troubleshooting silage problems: How to identify potential problem. Di dalam: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference; Pennsylvania, 26−26 May 2008. Penn State’s Collage. hlm 2−10. Schroeder JW. 2004. Silage fermentation and preservation. Extension Dairy Speciaslist. AS-1254. www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy/as 1254w. htm. [June 2012]. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Ed ke-2. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: The Principle and Procedure of Statistics. Suparjo K, Wiryawan KG, Laconi EB, Mangunwidjaja D. 2011. Perubahan komposisi kimia kulit buah kakao akibat penambahan mangn dan kalsium dalam biokonversi dengan kapang Phanenruceta chrysesperium. J. Media. Peternakan. 32:204-211 Van Soest PJ. 1991. Nutritional Ecology of Ruminant. Ruminant Metabolism, Butritional Strategis, The Cellulolytic Fermentation and The Chemistry of Forages and Plant Fibers. Cornel University Weinberg ZG, Shazz O, Chen Y, Yosef E, Nikbahat M, Ben-Ghedalla D and Miron J. 2007. Effect of lactic acid bacteria inoculants on in vitro digestibility of wheat and corn silages. J. Dairy Sci. 90:4754-4762 Yahaya MS, Goro M, Yumiti W, Smeran B, dan Kawamoto . 2004. Evaluation of fermentation quality of a tropical and temperate forage crops ensiled with dditivies of fermented juice of epiphytic lctic acid bacteria (FLJB). AsianAust..J. Anim Sci. 17:942-946
184