PROSES PENERIMAAN DIRI AYAH TERHADAP ANAK YANG MENGALAMI DOWN SYNDROME
Yohana Senkeyta Mahasiswa : Psikologi/FISIP Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur ABSTRACT The aim of this research was to determine the self acceptance of father who has a child with down syndrome and to know how each of the stages of self acceptance traversed by the father with the most supportive factor. This research uses a qualitative research design with a phenomenological approach. The subjects who used in this research were 4 people with using purposive sampling technique. Based on the results of this research is that fathers of children with down syndrome can accept the condition of the child with through all of stages of self acceptance. Self acceptance is supported by internal and external factors that exist in the subjects selves. Internal factors that supported is positive beliefs about events that happened in their life. A strong belief in God makes parents believe that they are given a trial in accordance with the portion that is able to overcome it, whereas external factors that supported self acceptance is social support provided by extended family and the environment. Keyword : Self Acceptance, Father, Down Syndrome
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerimaan diri ayah yang memiliki anak down syndrome dengan mencari faktor yang paling mendukung dan juga bagaimana setiap tahapan penerimaan diri dilalui oleh ayah. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 4 orang dengan menggunakan teknik purpossive sampling. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa ayah yang memiliki anak down syndrome dapat menerima kondisi anak dengan melewati semua tahapan penerimaan diri. Penerimaan itu dapat terjadi didukung oleh adanya faktor internal dan eksternal yang terdapat pada diri subyek. Faktor internal yang mendukung adalah adanya keyakinan positif mengenai peristiwa yang dialaminya. Kepercayaan yang kuat kepada Tuhan membuat orangtua yakin bahwa mereka diberikan cobaan sesuai dengan porsi yang mampu mereka hadapi, sedangkan faktor eksternal yang mendukung 1
penerimaan diri subyek adalah adanya dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga besar dan juga lingkungan sekitar. Kata Kunci
: Penerimaan Diri, Ayah, Down Syndrome
PENDAHULUAN Individu dewasa yang sudah menemukan pasangan yang cocok akan memutuskan untuk menikah. Pernikahan ini dilakukan untuk membangun keluarga baru, dan juga untuk memperoleh keturunan. Pernikahan merupakan cara terbaik menjamin keturunan dan membesarkan anak (Papalia dkk, 2008). Setiap orangtua mengharapkan bayinya terlahir sehat dan normal, tidak terdapat cacat fisik, mental, ataupun keduanya, namun terkadang kenyataan tidak sesuai dengan harapan, karena tidak sedikit bayi yang lahir tidak sempurna, terdapat kekurangan fisik ataupun kelainan mental. Kelainan fisik dan mental yang bisa terlihat ketika bayi dilahirkan adalah down syndrome. Sindroma down muncul pada satu dalam setiap 700 kelahiran (Santrock, 2007). Prevalensi ibu melahirkan anak down syndrome ini semakin meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat mengandung. Perempuan berumur 20 tahun memiliki peluang 1 per 2000 memiliki anak dengan sindroma down. Saat usia 35 tahun, resiko ini meningkat menjadi 1 per 500. Usia di atas 45 tahun resikonya dapat mencapai 1 per 18 kelahiran (Durand dan Barlow, 2007). Keberadaan anak down syndrome secara nasional maupun pada masing-masing provinsi belum memiliki data yang pasti. Menurut WHO jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000 pada tahun 2010 (Hukormas, 2012). 2
Tingkat penerimaan orangtua dalam menerima anak dengan problematika down syndrome sangat dipengaruhi oleh tingkat kestabilan dan kematangan emosinya. Pendidikan, status sosial ekonomi, jumlah anggota keluarga, struktur dalam keluarga, dan kultur turut melatarbelakanginya. Penerimaan ayah terhadap seorang anak merupakan refleksi dari penerimaan dirinya. Ayah yang mempunyai penerimaan diri yang baik maka dapat dengan mudah menerima kekurangan anaknya, begitu pula sebaliknya. Menurut Buss (Rizkiana, 2009) , individu yang mempunyai penerimaan diri yang baik menunjukkan sikap menyayangi dirinya dan juga lebih memungkinkan untuk bisa menyayangi orang lain, sedangkan individu yang penerimaan dirinya rendah maka cenderung membenci dirinya dan lebih memungkinkan untuk membenci orang lain.
TINJAUAN PUSTAKA Penerimaan Diri Calhoun dan Acocella (1990) mengatakan penerimaan diri adalah individu yang dapat menerima dirinya dan juga menerima orang lain apa adanya. Hal ini tidak berarti bahwa dia tidak pernah kecewa terhadap dirinya sendiri atau bahwa dia gagal mengenali kesalahannya sebagai suatu kesalahan. Dia tidak perlu meminta maaf atas eksistensinya, dan dengan menerima dirinya sendiri, dia juga dapat menerima orang lain. Penerimaan diri akan membantu individu dalam menyesuaikan diri sehingga sifat-sifat dalam dirinya seimbang dan terintegrasi. Menurut Buss (Rizkiana, 2009) , individu yang mempunyai penerimaan diri yang baik menunjukkan sikap menyayangi dirinya dan juga lebih memungkinkan untuk 2
bisa menyayangi orang lain, sedangkan individu yang penerimaan dirinya rendah maka cenderung membenci dirinya dan lebih memungkinkan untuk membenci orang lain. Faktor – Faktor Penerimaan Diri Jersild
(Anggraini,
2012)
mengemukakan
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi penerimaan diri seseorang, yaitu : a. Usia b. Pendidikan c. Keadaan fisik d. Dukungan sosial e. Latar belakang agama f. Kondisi ekonomi g. Pola asuh orangtua Tahap – Tahap Penerimaan Diri Tomb (2003), membagi tahapan – tahapan tersebut sebagai berikut : a. Tahap Denial Tahap ini berupa penyangkalan atas peristiwa yang tidak menyenangkan ataupun kekurangan yang dimiliki b. Tahap Anger Tahap ini ditandai dengan reaksi emosi atau marah atas kenyataan yang dialaminya
3
c. Tahap Bergaining Menurut Taylor (Leometa, 2007) pada tahap ini individu mengalihkan kemarahan dengan lebih baik. Penawar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih sering kali berbentuk kesepakatan dengan Tuhan d. Tahap Depression Tahap ini muncul dalam bentuk putus asa dan kehilangan harapan. e. Tahap Acceptance Tahapan di mana individu telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima kenyataan buruk yang terjadi. Down Syndrome Menurut Durand dan Barlow (2007), sindroma down merupakan bentuk retardasi mental kromosomal yang paling sering dijumpai. Sindroma down merupakan kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan oleh kelainan kromosom. Kelainan
yang berdampak pada
keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Longdon Down (Nirwana, 2011). Tahun 1959 seorang ahli genetika Prancis Jerome Lejeune dan para koleganya, mengidentifikasi basis genetikanya. Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan 23 lainnya oleh ibu. Individu yang mengalami sindroma down hampir selalu memiliki 47 kromosom, bukan 46 ( Davidson, dkk., 2010). Tidak diketahui mengapa kromosom ekstra dapat muncul, tetapi kesehatan sperma laki-laki dan sel telur perempuan dapat terlibat (Liou dkk, 2004 dalam Santrock, 2007). 4
Secara fisik, individu dengan sindroma down mudah dikenali. Penyandang sindroma down memiliki fitur wajah yang khas, termasuk lipatan-lipatan di sudut, mata sipit mereka yang cenderung mengarah ke atas, hidung yang rata, dan mulut kecil dengan langit-langit datar sehingga lidah mereka sedikit terjulur keluar (Durand dan Barlow, 2007). Anak down syndrome memiliki keterbatasan inteligensi yang dapat diartikan sebagai kurangnya kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan – keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah – masalah dan situasi – situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan – kesalahan, mengatasi kesulitan – kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan (Somantri, 2007). Pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi sejak dini adanya kelainan down syndrome pada anak yaitu menggunakan (a) amniocentesis, (b) pemeriksaan fisik penderita, (c) ultrasonography, (d) electro cardiao gram, (e) echocardiogram, (f) neuroradiologi, (g) ekoensefalografi, (h) biopsi otak, (i) penelitian biokimiawi (Nirwana, 2011). Ayah Secara klasik, ayah digambarkan sebagai orang yang tidak terlibat langsung dalam pengasuhan anak. Berbagai aktivitas dan kesibukan ibu pada awal kehidupan anak menempatkan tokoh ibu jauh lebih penting dibandingkan dengan ayah dalam kehidupan anak. Ayah akhirnya seperti sudah terkondisi sebagai pencari nafkah. Ia memiliki citra keperkasaan dan kekokohan, namun jauh dari 5
anaknya dan seakan melepas tanggung jawab membina kehidupan anak secara langsung (Dagun, 1990). Keyakinan bahwa anak adalah urasan ibu, bukanlah keyakinan yang didominasi oleh masyarakat Indonesia saja, melainkan suatu keyakinan yang bersifat universal sebagaimana diyakini di berbagai budaya di dunia ini (Andayani dan Koentjoro, 2007). Kondisi seperti itu belakangan ini mulai disoroti dan digugat. Para ahli kini merasa relevan untuk mengkaji secara komprehensif mengenai peranan seorang ayah. Bukan karena berkembangnya gerakan feminimisme, tetapi karena kesadaran baru bahwa partisipasi seorang ayah dalam membina pertumbuhan fisik dan psikologis anak itu sangat penting. Jika seorang ayah tidak ikut aktif memperhatikan perkembangan anaknya, maka sudah pasti akan terjadi ketimpangan (Dagun, 1990).
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengambilan subyek dalam penelitian ini menggunakan purpossive sampling. Subyek penelitian yang digunakan dalam penilitian ini sebanyak 4 orang dengan kriteria sebagai berikut : a. Laki – laki berusia 40 – 50 tahun yang masih bekerja b. Mempunyai anak kandung lebih dari satu, dan mempunyai satu anak kandung yang mengalami down syndrome. c. Usia anak antara 7 – 13 tahun d. Tinggal bersama anaknya yang mengalami down syndrome 6
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara semiterstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara dan juga observasi nonpartisipan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa dari keempat subyek memiliki kesamaan dan perbedaan dalam kondisi keluarga mereka. Pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi kondisi anak, faktor penerimaan diri, dan juga tahapan penerimaan diri. Tabel. 1 Gambaran Keadaan Demografis Subyek Penelitian Keterangan Subyek 1 Subyek 2 Subyek 3 Subyek 4 Usia 48 50 44 46 Pendidikan SD SD SMA S1 Pengrajin Tukang Pekerjaan Tukang Kayu PNS Patung Kayu Agama Islam Islam Islam Islam Jumlah Anak 4 4 3 3 Urutan Anak yang Mengalami 4 4 2 2 Down Syndrome Usia Anak yang Mengalami 8 11 9 13 Down Syndrome Jenis Kelamin Anak yang Mengalami Laki - Laki Perempuan Laki - Laki Perempuan Down Syndrome Proses Kelahiran Normal Normal Normal Normal Anak Kondisi Ibu Sakit Sehat Sehat Sehat Saat Hamil 7
Kondisi Anak Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa tidak semua subyek mengetahui anaknya mengalami down syndrome dari diagnosis dokter. Subyek 1, 3, dan 4 mengetahui dari dokter bahwa anaknya mengalami down syndrome. Subyek 2 mengetahui anaknya mengalami down syndrome ketika mendaftarkan anaknya di sekolah dasar negeri. Penyebab down syndrome masih belum diketahui secara pasti, namun menurut penelitian yang pernah dilakukan terkait usia ibu saat mengandung. Perempuan berumur 20 tahun memiliki peluang 1 per 2000 memiliki anak dengan sindroma down. Saat usia 35 tahun, resiko ini meningkat menjadi 1 per 500. Usia 45 tahun resikonya dapat mencapai 1 per 18 kelahiran (Durand dan Barlow, 2007). Istri subyek 1 dan istri subyek 2 mengandung di usia 40 tahun. Berdasarkan teori di atas, maka dapat diketahui salah satu faktor penyebabnya adalah karena usia ibu. Istri subyek 3 mengandung saat usianya 30 tahun, dan istri subyek 4 mengandung saat usia 31 tahun. Di bawah usia 35 tahun resiko untuk memiliki anak down syndrome masih cukup kecil prosentasenya. Perempuan yang lebih tua kemungkinan terpapar lebih banyak zat beracun, radiasi, dan substansi – substansi merugikan lain dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan mereka yang lebih muda. Paparan ini mungkin mengganggu proses pembelahan kromosom yang normal sehingga menciptakan kelebihan kromosom ke – 21 (Durand dan Barlow, 2007). Istri subyek 1 dan istri subyek 2 tidak menginginkan kehamilannya, sehingga mereka berusaha menggugurkan kandungannya dengan meminum obat dan jamu tradisional. Hal ini berkaitan dengan penjelasan teori di 8
atas bahwa zat beracun, radiasi, dan subtansi-subtansi merugikan lain juga berpengaruh pada kondisi anak dalam kandungan. Faktor Penerimaan Diri a. Usia Usia subyek berada pada rentang 44-50 tahun sehingga tidak terdapat rentang usia yang terlalu jauh antar subyek. Keempat subyek mempunyai penerimaan diri yang baik meskipun terdapat perbedaan usia diantara mereka. Usia 40 – 50 tahun adalah masa dewasa madya dini di mana pada usia ini merupakan masa evaluasi mengenai kehidupan mereka berdasarkan aspirasi yang dimiliki dan harapan – harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman (Hurlock, 1990). b. Pendidikan Keempat subyek memiliki jenjang pendidikan yang berbeda. Pendidikan terakhir subyek 1 adalah tamatan SD. Hal ini membuat subyek 1 mempunyai pemahaman yang kurang mengenai kondisi anaknya setelah diberitahu oleh dokter. Subyek 1 tidak menyangka jika kondisi anaknya lebih buruk dari yang dibayangkan. Subyek 2 juga merupakan tamatan SD sehingga pemahamannya sangat kurang mengenai kondisi anaknya. Subyek 2 baru menyadari bahwa ada kelainan pada anaknya ketika anaknya berusia 7 tahun atau saat anaknya masuk sekolah dasar. Subyek 3 merupakan tamatan SMA. Pemahamannya mengenai kondisi anaknya cukup baik, bahkan sebelum diberitahu oleh dokter, subyek 3 sudah mulai curiga anaknya mengalami down syndrome. Subyek 4 merupakan lulusan sarjana sehingga pengetahuannya lebih luas dibanding ketiga subyek yang 9
lain. Setelah mendapat diagnosis dokter, subyek 4 mulai mencari informasi mengenai down syndrome melalui internet. c. Keadaan Fisik Keempat subyek memilki kondisi fisik yang sehat dan tidak terdapat cacat fisik maupun tubuh. Keadaan fisik yang tidak normal terdapat pada anaknya. Kondisi fisik anaknya mempengaruhi suasana hati subyek 1 dan subyek 2 yaitu adanya kesedihan yang mendalam dan kekhawatiran mengenai masa depan anak. Kondisi fisik anak subyek 3 membuat subyek malu untuk membawa anaknya ke luar rumah. Subyek 3 juga mengkhawatirkan masa depan anaknya jika mengingat kondisi fisik anaknya yang tidak dapat berkembang seperti anak – anak normal. FR mengalami keterlambatan perkembangan fisik. Kondisi fisik anak subyek 4 tidak menjadikan suatu permasalahan bagi subyek 4, hanya saja subyek 4 sempat merasakan kebingungan bagaimana cara merawat anak down syndrome. d. Dukungan Sosial Keempat subyek mendapatkan dukungan sosial dari keluarga besarnya untuk merawat dan mendidik anak yang mengalami down syndrome, namun tidak semua subyek mendapatkan dukungan dari tetangga berkaitan dengan anak yang mengalami down syndrome. Subyek 2, 3, dan 4 mendapatkan dukungan sosial dari tetangga berhubungan dengan anaknya yang mengalami down syndrome, sedangkan subyek 1 cenderung untuk menjaga jarak dengan tetangga. Dukungan sosial terbesar yang diberikan oleh tetangga yaitu pada subyek 4. Hal ini dapat dilihat dari kedekatan anak subyek dengan tetangga dan juga peran tetangga dalam membantu menjaga anak subyek ketika subyek dan istrinya bekerja. 10
e. Latar Belakang Agama Keempat subyek memiliki agama yang sama yaitu islam. Subyek 1 dan subyek 4 mengatakan bahwa semenjak mempunyai anak down syndrome kondisi ekonominya lebih baik. Subyek 1 dan subyek 4 meyakini bahwa anaknya membawa rezeki dari Tuhan untuk keluarganya. Subyek 2 dapat menerima kondisi anaknya karena bagi subyek 2 anak adalah titipan Tuhan jadi bagaimanapun kondisinya harus tetap diterima. Subyek 3 dapat menerima anaknya yang mengalami down syndrome karena adanya keyakinan bahwa subyek 3 memiliki kesabaran yang lebih dari orang lain sehingga dipercaya untuk merawat anak down syndrome. f. Kondisi Ekonomi Kondisi ekonomi subyek 1, 2, dan 3 hampir sama karena pekerjaan mereka juga sama yaitu sebagai tukang kayu, sedangkan kondisi ekonomi subyek 4 berbeda dari ketiga subyek yang lain. Subyek 4 adalah seorang PNS yang bekerja di kantor pemerintahan kota. Subyek 4 memberikan penanganan terbaik untuk anaknya yaitu dengan memilihkan sekolah yang mempunyai kualitas baik, serta mengikutkan anaknya terapi pada psikolog yang dilakukan secara rutin tiga kali dalam seminggu selama satu tahun. Tahap Penerimaan Diri Tahap Denial Subyek 1 Bentuk penyangkalan yang dilakukan oleh subyek 1 merupakan denial tipe pasif. Keyakinan subyek bahwa kondisi anaknya masih dapat diatasi adalah 11
bentuk penyangkalan secara kognitif, dimana subyek masih belum dapat menerima seutuhnya bahwa anaknya mengalami down syndorme Subyek 2 Subyek 2 melakukan penyangkalan atas kondisi anaknya secara kognitif yaitu subyek tidak memberikan penanganan khusus saat diberitahu oleh bidan bahwa anaknya mengalami keterlambatan. Aspek behavioral dapat dilihat yaitu pada saat subyek memasukkan anaknya ke sekolah dasar. Subyek 3 Subyek 3 tidak mempercayai keterangan dari bidan bahwa anaknya mengalami down syndrome. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu defense mechanisme yang dilakukan oleh subyek 3 atas keadaan yang menimbulkan rasa sakit, terlebih lagi bahasa yang digunakan dalam penyampaian yang dilakukan oleh bidan tersebut kurang tepat. Subyek 4 Bentuk penyangkalan yang dilakukan oleh subyek 4 berupa denial tipe pasif yaitu adanya pemikiran subyek terkejut saat dokter memberitahu subyek bahwa anaknya mengalami down syndrome. Subyek mengalami kebingungan bagaimana cara merawat anak down syndrome, dan juga adanya pemikiran subyek bahwa perkembangan anak bergantung pada orangtuanya sehingga subyek tidak boleh malu ataupun minder.
12
Tahap Anger Subyek 1 Subyek 1 merasa jengkel ketika melihat perkembangan emosi anaknya yang tidak stabil. Anak subyek 1 sering kehilangan kontrol, marah tanpa sebab dan bahkan merusak barang-barang. Hal ini yang membuat subyek 1 marah terhadap kondisi anaknya yang tidak sama dengan anak – anak yang lain. Subyek 2 Subyek 2 melewati tahapan ini dalam bentuk aktif. Subyek marah ketika ada orang yang memperlakukan anaknya tidak sama dengan anak normal yang lain. Subyek merasa tidak adil dengan kondisi anaknya yaitu dengan adanya pemikiran mengapa harus anaknya yang mengalami kondisi seperti ini. Subyek 3 Reaksi emosi marah pada subyek 3 berbentuk pasif yaitu adanya pemikiran subyek mengapa subyek memiliki anak down syndrome. Subyek berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu ada dipikirannya mengenai takdir Tuhan atas anak down syndrome yang diberikan padanya. Subyek 4 Reaksi marah subyek 4 berupa reaksi pasif yaitu ketika ada respon negatif yang diberikan orang lain kepada anaknya. Subyek 4 menanggapi hal itu dengan beranggapan bahwa mereka tidak mempunyai anak yang down syndrome sehingga tidak mengerti perasaan orang – orang yang memiliki anak down syndrome.
13
Tahap Bergaining Subyek 1 Tahapan bergaining ini dilalui oleh subyek 1 secara kognitif dapat dilihat dengan adanya keyakinan subyek bahwa Tuhan memberikan ganti atas cobaan yang diberikan. Subyek 1 mengakui bahwa kondisi perekonomian keluarganya mulai membaik ketika subyek 1 memiliki anak down syndrome. Subyek berpikir bahwa anaknya yang mengalami down syndrome ini membawa rizki dari Tuhan untuk keluarganya. Subyek 2 Tahap ini dilalui oleh subyek 2 dengan adanya pemikiran bahwa anak adalah titipan dari Tuhan sehingga bagaimanapun kondisinya tetap harus dijaga. Subyek melakukan bergaining secara pasif dengan beranggapan bahwa anak adalah pemberian dari Tuhan yang tidak boleh disia-siakan meskipun dengan kekurangan yang dimiliki oleh anak Subyek 3 Bentuk dari bergaining yang nampak pada subyek 3 adalah secara kognitif dapat dilihat dari adanya pemikiran subyek bahwa subyek dan juga keluarga mempunyai kesabaran yang lebih dari pada orang lain sehingga Tuhan memberikan cobaan anak down syndrome. Subyek berkeyakinan bahwa melalui subyek, anaknya yang mengalami down syndrome dapat bahagia. Subyek 4 Bergaining yang dilakukan oleh subyek 4 dapat dilihat secara kognitif yaitu adanya pemikiran bahwa Tuhan memberikan ganti atas kekurangan yang 14
dimiliki oleh anaknya dengan hal lain yaitu kondisi perekonomian keluarga. Subyek mengatakan bahwa dulu untuk membeli susu saja sudah menghabiskan gajinya saatu bulan, namun sekarang dapat dilihat kondisi ekonomi subyek membaik yaitu subyek merupakan kalangan menengah ke atas. Tahap Depression Subyek 1 Tahap depression yang dilalui oleh subyek 1 dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif, dan juga behavior. Aspek kognitif yang nampak pada subyek 1 yaitu adanya kekhawatiran subyek mengenai masa depan anaknya. Secara afektif dapat dilihat dari observasi pada saat wawancara subyek meneteskan air mata ketika bercerita mengenai kondisi anaknya. secara behavior dapat dilihat dari keterangan yang diperoleh dari iforman sekunder bahwa terdapat perubahan perilaku subyek setelah mengetahui anaknya mengalami down syndrome. Subyek 2 Tahap depression yang dilalui oleh subyek 3 tidak terlalu nampak, namun aspek ini dapat dilihat dari adanya kekhawatiran subyek mengenai masa depan anak. Subyek mengetahui bahwa anaknya mengalami keterbatasan fisik maupun mental sehingga hal ini membuat subyek memikirkan masa depan anaknya nanti akan menjadi seperti apa. Subyek 3 Subyek 3 membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat menerima kondisi anaknya. Waktu yang dibutuhkan oleh subyek 3 dalam melewati tahap ini yaitu selama 3 tahun. Subyek 3 pernah kehilangan harapan ketika memikirkan masa 15
depan anaknya. Subyek 3 merenung sepanjang waktu mengenai kondisi anaknya yang mengalami down syndrome. Subyek 3 juga merasa malu memiliki anak down syndrome sehingga subyek 3 mengurung anaknya di dalam rumah agar tidak ada orang yang tahu mengenai kondisi anaknya Subyek 4 Tahapan ini dapat dilihat pada subyek 4 dari aspek kognitif yaitu adanya kebingungan subyek mengenai cara merawat anak down syndrome. Subyek 4 mencari di internet informasi mengenai down syndrome. Segi behavior dapat dilihat dari usaha subyek mencarikan sekolah terbaik untuk anaknya karena subyek tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mendidik dan merawat anaknya di rumah sehingga subyek mencarikan sekolah yang bisa mengajarkan hal – hal dasar pada anaknya agar anak bisa mandiri dan berkembang Tahap Acceptance Subyek 1 Subyek 1 dapat menerima anaknya setelah menyadari bahwa ada anak yang kondisinya lebih parah dari anaknya sehingga hal itu yang membuat subyek 1 merasa bersyukur dan mampu menerima kondisi anaknya. Subyek 1 membutuhkan waktu 1 tahun untuk dapat menerima kondisi anaknya Subyek 2 Subyek 2 dapat menerima kondisi anaknya karena adanya keyakinan bahwa anak merupakan titipan dari Tuhan sehingga bagaimanapun kondisi anak harus tetap diterima. Subyek 2 tidak membutuhkan waktu lama untuk menerima kondisi anaknya setelah mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome. 16
Subyek 3 Subyek 3 membutuhkan waktu tiga tahun hingga akhirnya dapat menerima kondisi anaknya yang mengalami down syndrome. Selama tiga tahun subyek 3 merenung untuk mencari jawaban atas cobaan yang diberikan Tuhan untuknya hingga akhirnya subyek 3 mendapatkan jawaban itu. Subyek 3 meyakini bahwa subyek 3 memiliki kesabaran yang lebih dari orang lain sehingga diberikan anugerah anak dengan down syndrome. Subyek 4 Tahap penerimaan ini dilalui oleh subyek 4 ketika dokter mengatakan bahwa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan mempunyai anak lagi. Subyek mulai merencanakan kehamilan istrinya dengan pantauan dari dokter untuk menghindari terjadinya kelainan pada anak ketiganya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Keempat subyek dapat menerima kondisi anak yang mengalami down syndrome dengan melewati suatu proses yang panjang dengan melewati tahapan – tahapan penerimaan diri yang ada. Semua tahap pasti dilewati oleh subyek, namun dengan respon dan jangka waktu yang berbeda – beda. Waktu yang dibutuhkan untuk menerima anak down syndrome tidak sama pada masing – masing subyek. Hal itu dipengaruhi oleh adanya faktor pendukung dan juga penghambat bagi masing – masing subyek. Faktor yang paling dominan ditemui pada setiap subyek dalam penerimaan anak down syndrome yaitu faktor dukungan sosial dan latar 17
belakang agama. Dukungan sosial yang diberikan dari pihak keluarga besar dan lingkungan sekitar dapat mendukung terjadinya penerimaan diri ayah terhadap anak down syndrome, begitupun sebaliknya. Latar belakang agama juga berperan dalam hal ini. Keyakinan yang positif akan takdir Tuhan membuat subyek mampu menerima kondisi anak yang mengalami down syndrome. Saran Usia ibu saat mengandung berpengaruh terhadap kondisi janin, sehingga disarankan untuk mempertimbangkan usia saat mengandung dan pemeriksaan secara berkala pada ahli. Orangtua harus peka terhadap perkembangan anak sehingga jika terdapat keterlambatan pada anak sudah seharusnya untuk diperiksakan pada ahli (dokter atau psikolog) agar segera mendapatkan penanganan yang tepat. Setelah diadakan penelitian ini, diharapkan masyarakat umum lebih mengerti mengenai kondisi anak down syndrome sehingga dapat memberikan respon yang positif dan juga dukungan untuk keluarga demi kemajuan anak.
DAFTAR PUSTAKA Acocella, dkk. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian Kemanusiaan. Semarang : IKIP Semarang Press
dan
Hubungan
Andayani, Budi dan Koentjoro. 2007. Psikologi Keluarga : Peran Ayah Menuju Coparenting. Sidoarjo : Laros Anggraini, Desi. 2012. ‘Hubungan Antara Kecerdasan (Intelektual, Emosi, Spiritual) dengan Penerimaan Diri pada Dewasa Muda penyandang Cacat Tubuh di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta’. Skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
18
Dagun, Save M. 1990. Psikologi Keluarga : Peranan Ayah dalam Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta Davidson, Gerald C dkk. 2010. Psikologi Abnormal. Edisi ke – 9. Terjamahan Noermalasari Fajar. Jakarta : Rajawali Pers Durand, V Mark, & David, H Barlow. 2007. Psikologi Abnormal jilid 2. Jakarta : Pustaka Pelajar Hukormas. 2012. Keterbatasan Bukanlah Halangan. Artikel Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. http://www.depkes.go.id, diunduh pada 13 Januari 2013, pukul 09.51 WIB Masyithah, Dewi. 2012. ‘Hubungan dukungan Sosial dan Penerimaan Diri pada Penderita Pasca Stroke’. Skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Nirwana, Ade Benih. 2011. Psikologi Kesehatan Wanita. Yogyakarta : Nuha Media Papalia, Diane E dkk. 2008. Human Development. Jilid 1. Edisi ke-9. Terjemahan: Anwar. Jakarta : Kencana Rizkiana, Ulfa dan Retnaningsih. 2009. Penerimaan Diri pada Remaja Penderita Leukimia. Jurnal Psikologi Volume 2, No.2 Universitas Gunadarma. http://ejournal.gunadarma.ac.id/files/journals, diunduh pada 5 Maret 2013, pukul 16.58 WIB Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jilid 1. Edisi ke – 11. Terjemahan: Mila Rahmawati dan Anna Kuswanti. Jakarta : Erlangga Somantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Refika Aditama Tomb, David A. 2003. Buku Saku Psikiatri. Edisi ke – 6. Terjemahan : Martina
19