PROSES KOMUNIKASI DAN PERUBAHAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT MELAYU PONTIANAK (Studi Kasus : Tradisi Pantang Larang)
SYF. AMINAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Proses Komunikasi dan Perubahan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Melayu Pontianak (Studi Kasus : Tradisi Pantang Larang) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2007
Syf. Aminah NRP. P054040131
ABSTRAK
SYF. AMINAH. 2007. Proses Komunikasi dan Perubahan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Melayu Pontianak (Studi Kasus : Tradisi Pantang Larang). Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan TOHA NURSALAM. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan tradisi pantang larang terutama dalam prosesi perkawinan, kehamilan dan kelahiran pada masyarakat Melayu Pontianak; (2) Untuk mempelajari pola dan perubahan komunikasi tradisi pantang larang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus, yaitu tradisi pantang larang. Wawancara dilakukan pada Sultan Istana Kadriah Pontianak, Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Pontianak, tokoh adat Melayu Pontianak dan beberapa generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses komunikasi tradisi pantang larang mengalami perubahan terhadap pola komunikasi pada masyarakat Melayu Pontianak, terbukti dari : (1) Proses komunikasi tradisi pantang larang telah mengalami perubahan pola komunikasi di masyarakat Melayu Pontianak. Pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana dalam menjalani pantang larang perkawinan, kehamilan dan kelahiran memberikan perubahan terhadap makna pesan pantang larang bagi generasi tua dan generasi muda. Generasi muda tetap melaksanakan tradisi pantang larang hanya saja memaknai pesan pantang larang sesua i dengan kondisi pada masa kini; (2) Faktor yang mempengaruhi perubahan pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana pada tradisi pantang larang generasi muda, yaitu faktor penduduk yang heterogen, pendidikan formal yang maju dan faktor sikap masyarakat; (3) Pola dan perubahan komunikasi tradisi pantang larang terjadi pada proses komunikasi berupa proses ajar didik, sanksi, ritus kolektif dan alokasi posisi, sumber informasi dan pesan informasi. Semua ini mempengaruhi pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana generasi muda masyarakat Melayu Pontianak dalam melaksanakan pantang larang. Kata kunci: proses komunikasi, pola sikap, pola kelakuan
ABSTRACT SYF. AMINAH. 2007. The Communication Processes and Change of Culture Values of Malay Society in Pontianak (Case Study : Taboo and Restriction Tradition). Under the directio n of DJUARA P. LUBIS and TOHA NURSALAM The objectives of this research are (1) to describe taboo and restriction tradition especially in the marriage ceremonial, pregnancy and birth rituals of Malay Society in Pontianak; (2) to study the patterns and the change of communication the taboo and restriction tradition. The qualitative approach is used within case study design. The interview had been done to Sultan Istana Kadriah Pontianak, to Head of History Study and Traditional Values Board of Pontianak, MannerFigure of Malay Society in Pontianak and some old and young generations from Malay Society in Pontianak. Then, the data is analyzed descriptive ly. The result show that (1) the communication processes of taboo and restriction tradition have change communication patterns for Malay society in Pontianak. Attitude, behavior and means pattern to do the taboo and restriction tradition in marriage, pregnancy and birth rituals caused change in the message meaning in of taboo and restriction tradition for old and young og generation. The old generations did the taboo and restriction tradition with first faith while the young generations also still did it with the reasons that of adapted to present; (2) factors that influenced the change are heterogenily population, better formal education, and attitude of society; (3) the pattern and the change of communication of taboo and restriction tradition were happened in doctrine processes, the sanctions, collective rites and position placement. All of it was influenced by attitude, behavior and means patterns of young generations from Malay society in Pontianak to do the taboo and restriction tradition. Keyword: communication processes, attitude and behavior patterns
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
PROSES KOMUNIKASI DAN PERUBAHAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT MELAYU PONTIANAK (Studi Kasus : Tradisi Pantang Larang)
SYF. AMINAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
: Proses Komunikasi dan Perubahan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Melayu Pontianak (Studi Kasus : Tradisi Pantang Larang)
Nama Mahasiswa : Syf. Aminah NRP
: P054040131
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS Ketua
Ir. Toha Nursalam, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dr. Ir. H. Sumardjo, MS
Tanggal Ujian : 23 Januari 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menye lesaikan tesis dengan baik. Tesis dengan judul Proses Komunikasi dan Perubahan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Melayu Pontianak (Studi Kasus : Tradisi Pantang Larang) disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Sains (S2) dalam bidang Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Toha Nursalam, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan masukan dalam penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir. Sumardjo, MS selaku Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, serta seluruh staf pengajar yang telah membekali ilmu bagi penulis. 3. Dra. Krishnarini Matindas, MS yang telah bersedia sebagai penguji luar komisi. 4. Penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Tercinta Hj. Zubaidah Hasan Almuthahar dan saudara serta keponakan (Mbo’ Ai dan bang Saleh, Mbo’ Laila dan Bang Amed, Mbo’ Ida dan Bang Dolah, Bang Faisal dan Kak Bani, Kak Yuli dan Bang Iwan serta Nia, Rara, Riris, Nadia, Tifa, Tia, Dede, Ary dan Zaki yang tersayang) atas do’a, dukungan dan pengorbanannya selama ini. 5. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, beserta seluruh jajarannya dan seluruh rekan seangkatan (Kak Sri, Kak Ipat, Kak Hesti, Kak Ijun, Kak Ita dan Kak Ifit). 6. Teman-teman terbaikku ”Gank Ijo” (Bang Dony, Eka dan Taufik, Ita, Nana, Mulia dan Fany). 7. Teman-teman KMP 2004 terutama Kak Tata, ayuk Ica, Dini, Bu Yuni, atas persaudaraan dan kebersamaan serta Pak Narso, Peggy, dan lain- lain atas canda tawa, bantuan, diskusi dan kebersamaan selama perkuliahan dan Mbak Lia sekretaris KMP atas semua bantuannya selama ini serta dukungan teman-teman program Pascasarjana dari Kalimantan Barat. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih kurang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allh SWT. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi.
Bogor, Januari 2007
Syf. Aminah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 11 September 1980 dari Pasangan Sy. Hasan Alwi Almuthahar (Alm) dan Syf. Hj. Zubaidah Ali Almuthahar. Penulis merupakan anak terkahir dari enam bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 19 Pontianak, Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Pontianak dan Mandrasah Aliyah Negeri 2 Pontianak Lulus tahun 1999. Tahun yang sama masuk pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak (S1) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam lulus tahun 2003. Tahun 2004, penulis diterima pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan untuk (S2) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak sejak tahun 2003. Penulis juga pernah bekerja sebagai staf warung Informasi dan Teknologi (Warintek) PADI Pontianak pada tahun 2001-2004 dan reporter radio Volare Pontianak pada tahun 2002-2003.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. iii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….
iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………..
v
PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………………………………………….
1
Rumusan Masalah ……………………………………………………
3
Tujuan Penelitian …………………………………………………….
4
Kegunaan Penelitian ………………………………………………….
4
TINJUAN PUSTAKA Pantang Larang dalam Masyarakat Melayu Pontianak ………………
5
Masyarakat Melayu Pontianak .............................................................
6
Proses Komunikasi dan Kebudayaan …………………………………
9
Pola Komunikasi dan Perubahan Sosial ………………………………
27
KERANGKA PEMIKIRAN ………………………………………….........
32
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian ……………………………………………………..
35
Jenis dan Metode Penelitian ………………………………………….
35
Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………
35
Sumber Data ………………… …………………………………….....
37
Analisis Data ………………………………………………………….
38
Validitas dan Reliabilitas ......................................................................
40
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Gambaran Umum Kota Pontianak …………….……………………...
43
Sejarah Kota Pontianak …………………………………………….…
46
Masyarakat Melayu Pontianak Timur ………………...........................
48
TRADISI PANTANG LARANG PADA MASYARAKAT MELAYU PONTIANAK Deskripsi Umum Pantang Larang Masyarakat Melayu Pontianak ...............................................................................................
52
Pantang Larang dalam Prosesi Perkawinan ……………......................
54
Pantang Larang Pada Kehamilan ….......................…………………...
69
Pantang Larang Pada Kelahiran …………………................................
75
Faktor Perubahan Tradisi Pantang Larang ............................................
79
Ikhtisar ………………………………………………………………..
81
POLA DAN PERUBAHAN KOMUNIKASI TRADISI PANTANG LARANG Proses Komunikasi dalam Pantang Larang .………………………...
84
Komunikator dalam Komunikasi Pantang Larang ................................
91
Pesan dalam Komunikasi Pantang Larang ............................................
92
Pola dan Perubahan Komunikasi ..........................................................
93
Ikhtisar ………………………………………………………………..
98
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ……………………………………………………………...
101
Saran ………………………………………………………………….
102
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
103
LAMPIRAN ………………………………………………………………..
106
ii
DAFTAR TABEL No
Halaman
1.
Luas Wilayah Kecamatan Pontianak Timur Tahun 2005…………
44
2.
Jumlah Penduduk Menurut Suku Bangsa di Kecamatan Pontianak Timur Tahun 2005 ..........................................................................
45
3.
Proses Komunikasi Pada Proses Ajar Didik...................................
88
4.
Pola dan Perubahan Komunikasi Tradisi Pantang Larang .............
95
5.
Perubahan Pola Sikap, Pola Kelakuan dan Pola Sarana Tradisi Pantang Larang Prosesi Perkawinan ..............................................
95
Perubahan Pola Sikap, Pola Kelakuan dan Pola Sarana Tradisi Pantang Larang Masa Kehamilan .................................................
96
Perubahan Pola Sikap, Pola Kelakuan dan Pola Sarana Tradisi Pantang Larang Masa Kelahiran .....................................................
97
6.
7.
iii
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Alur Kerangka Berpikir …………………………………............
34
2.
Komponen-komponen Analisa Data : Model Interaktif................
39
iv
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1.
Instrumentasi Penelitian .................................................................
106
2.
Daftar Wawawancar .......................................................................
109
3.
Contoh Perbedaan Bahasa Melayu Pontianak dengan Bahasa Indonesia .........................................................................................
110
Sebaran Penduduk di Kecamatan Pontianak Timur Berdasarkan Urutan Usia pada Tahun 2005 ........................................................
111
Sebaran Penduduk di Kecamatan Pontianak Timur Berdasarkan Pendidikan pada Tahun 2005 .........................................................
112
Luas dan Produksi Tanaman Utama di Kecamatan Pontianak Timur Tahun 2005 ..........................................................................
113
Dokumentasi (Foto) ........................................................................
114
4.
5.
6.
7.
v
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi pengaruh terhadap perkembangan berbagai aspek kehidupan, seperti sosial, politik, ekonomi dan budaya. Kondisi seperti itu membawa pula aneka ragam perubahan tatanan kehidupan manusia termasuk perubahan nilai- nilai budaya. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Koentjaraningrat (1990) menyatakan budayalah
yang
menyediakan
suatu
kerangka
yang
koheren
untuk
mengorganisasikan aktivitas dan memungkinkan meramalkan perilaku orang lain. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan berbagai macam kebudayaan yang dimiliki. Kebudayaan suatu suku bangsa mempunyai tradisi dengan ciri dan bentuk yang berbeda antara satu dengan yang lain. Tradisi melengkapi masyarakat dengan suatu tatanan mental yang berpengaruh kuat atas sistem moral untuk menilai apa yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Suatu budaya diekspresikan dalam tradisi, yang memberikan para anggotanya suatu rasa memiliki dalam suatu keunikan budaya. Sajogyo (1985) menyatakan bahwa arti tradisi yang paling mendasar adalah ”tradium” yaitu sesuatu yang diteruskan dari masa lalu ke masa sekarang, bisa berupa benda atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan dan citacita. Kota Pontianak sebagai ibu kota Propinsi Kalimantan Barat mempunyai berbagai macam kebudayaan salah satunya adalah kebudayaan Melayu. Masyarakat Melayu Pontianak mempunyai tradisi yang berlaku di dalam lingkungan
keluarga
dan
masyarakat
untuk
kelangsungan
hidup
yang
mengandung nilai- nilai luhur. Berbagai macam tradisi bagi masyarakat Melayu Pontianak berlangsung secara turun temurun dan sangat melekat dalam kehidupan sehari- hari. Salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak adalah pantang larang.
2
Tradisi pantang larang bagi masyarakat Melayu Pontianak merupakan kepercayaan masyarakat Melayu zaman dahulu berkaitan dengan adat dan warisan nenek moyang. Tradisi ini bertujuan untuk mendidik masyarakat agar mengamalkan nilai- nilai murni dalam kehidupan. Pesan yang disampaikan bukan untuk dipercayai saja tetapi untuk dihayati sebagai makna yang terkandung di dalam pantang larang yang telah diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat pada kehidupan sehari- hari, seperti pantang larang dalam prosesi perkawinan, masa kehamilan, kelahiran, dan kematian. Dalam penelitian ini yang diamati hanya pada prosesi perkawinan, kehamilan dan kelahiran. Pada prosesi perkawinan pantang larang diberlakukan untuk menjalani serangkaian adat istiadat yang ada dalam masyarakat. Pantang larang larang masa kehamilan diberikan untuk menanamkan sifat-sifat baik pada calon anak dan calon ibu sedangkan pantang larang pada masa kelahiran diberikan untuk menjaga agar seorang ibu dan bayi dalam keadaan sehat. Sebagian dari tradisi pantang larang itu berakar dari sejarah mereka sebagai satu suku bangsa Melayu, dan sebagian lagi berasal dari penyerapan mereka terhadap nilai- nilai yang datang dari luar, mereka terima karena ternyata nilai-nilai itu serasi dengan sifat-sifat dan kondisi kehidupan mereka. Sekarang pelaksanaan proses komunikasi pantang larang tidak lagi berlangsung sebagaimana dahulu, pantang larang masyarakat Melayu Pontianak masa dahulu dimana setiap pantang larang harus dilaksanakan karena disampaikan oleh orang tua sebagai sumber atau komunikator yang menyampaikan pantang larang menjadikan pantang larang harus dilakukan oleh anaknya, selain itu adanya pesan pada pantang larang yang ditakutkan akan sanksi yang di dapat bila tidak melaksanakan pantang larang. Ada perubahan dari masyarakat Melayu Pontianak sekarang yang memandang tradisi pantang larang tersebut memberikan pengaruh terhadap perubahan nilai-nilai budaya tradisi pantang larang. Kondisi tersebut menunjukan adanya perubahan proses komunikasi yang berjalan dari ge nerasi dahulu dan generasi untuk melaksanakan tradisi pantang larang pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran.
3
Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu mengkaji kembali tradisi pantang larang melalui penelitian ini. Dalam penelitian ini ingin diketahui bagaimana proses komunikasi dan perubahan nilai- nilai budaya masyarakat Melayu Pontianak khususnya tradisi pantang larang menjadi amat penting dilakukan. Selain menunjukkan proses komunikasi pada tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pont ianak, juga melihat perubahan yang terjadi dalam setiap generasi melihat tradisi pantang larang sehingga adanya pola komunikasi baru yang dilakukan dalam melaksanakan nilai- nilai budaya tradisi pantang larang.
Rumusan Masalah Awal berdirinya Kota Pontianak sampai sekarang merupakan kota perdagangan dan jasa menjadikan Kota Pontianak sebagai salah satu tempat persinggahan orang-orang pendatang. Masyarakat Melayu Pontianak sebagai penduduk asli tidak menutup kemungkinan akan terjadinya pergeseran terhadap berbagai macam tradisi-tradisi yang mengandung nilai- nilai kehidupan yang semula menjadi pegangan masyarakat akan menjadi hilang dengan masuknya pengaruh nilai- nilai dari luar. Adanya pengaruh ini menyebabkan perubahan nilainilai yang terkandung dalam tradisi itu. Keadaan yang demikian juga akan mempengaruhi tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat, seperti tradisi pantang larang. Aturan-aturan yang ada dalam pantang larang bukan saja ditinggalkan mungkin akan hilang dalam kehidupan masyarakat Melayu Pontianak. Hal ini menyebabkan proses komunikasi pada tradisi pantang larang yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak juga akan mengalami perubahan. Dalam menanggapi masalah ini maka perlu diadakan penelitian tentang proses komunikasi dan perubahan nilai- nilai budaya masyarakat Melayu Pontianak pada tradisi pantang larang yang merupakan kepercayaan masyarakat Melayu zaman dahulu berkaitan dengan adat dan warisan nenek moyang yang bertujuan untuk mendidik masyarakat agar mengamalkan nilai- nilai murni dalam kehidupan.
4
Adapun masalah penelitian ini adalah bagaimana proses komunikasi dan perubahan nilai-nilai budaya masyarakat Melayu Pontianak pada tradisi pantang larang. Fokus masalah penelitian ini adalah : 1. Apa pesan dari tradisi pantang larang dalam prosesi perkawinan, kehamilan dan kelahiran pada masyarakat Melayu Pontianak? 2. Bagaimana pola dan perubahan komunikasi tradisi pantang larang?
Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan tradisi pantang larang terutama dalam prosesi perkawinan, kehamilan dan kelahiran pada masyarakat Melayu Pontianak. 2. Untuk mempelajari pola dan perubahan komunikasi tradisi pantang larang.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermafaat bagi masyarakat Melayu dan generasi penerus Kota Pontianak, yaitu : 1. Memberikan pengetahuan bagi masyarakat Kota Pontianak tentang nilai- nilai budaya yang terkandung pada tradisi pantang larang di dalam masyarakat Melayu Pontianak. 2. Memberikan sumbangan pengetahuan mengenai proses komunikasi dan perubahan nilai- nilai budaya masyarakat Melayu Pontianak, terutama tradisi pantang larang. 3. Bahan pertimbangan bagi pemerintah propinsi Kalimantan Barat dan Kota Pontianak dalam pengambilan kebijakan dalam upaya membangun masyarakat Malayu dalam menghadapi setiap perubahan secara terus menerus.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pantang Larang dalam Masyarakat Melayu Pontianak Masyarakat Melayu Pontianak adalah salah satu suku yang ada di kota Pontianak. Masyarakat Melayu Pontianak memiliki berbagai macam tradisi yang menarik untuk dikaji. Banyaknya tradisi pada masyarakat Melayu Pontianak yang diwariskan dari nenek moyang secara turun temurun selalu ditaati dan dijunjung tinggi bila nilai- nilai budaya yang terkandung sesuai dan tidak bertentangan dengan agama Islam. Nilai- nilai budaya itu merupakan konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat. Sebagai bagian dari adat istiadat, sistem nilai budaya berada di luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah mendapatkan nilai- nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Sehingga nilai-nilai budaya yang telah ada sukar diganti dengan nilai- nilai budaya lain dalam waktu singkat. Hamidy yang dikutip oleh Suhaimi (2002) menyatakan ada tiga sistem nilai yang hidup dalam arti dipelihara oleh masyarakat, dihayati dan diindahkan dalam kehidupan Melayu Pontianak, pertama, sistem nilai yang diberikan oleh agama Islam. Perangkat nilai ini yang amat dipandang mulia oleh masyarakat. Nilai-nilai yang diberikan oleh agama Islam merupakan nilai yang tinggi kualitasnya. Oleh sebab itu pelaksanaan nilai ini tidak memerlukan komando atau perintah dari pihak manapun. Kedua, ialah sistem nilai yang diberikan oleh adat. Sistem ini memberikan ukuran dan ketentuan-ketentuan terhadap bagaimana manusia harus berbuat dan bertingkah laku, serta dengan serangkaian sanksi yang cukup tegas. Sistem nilai yang diberikan oleh adat merupakan hasil pemikiran yang mendalam dari orang tua terdahulu bagaimana sebaiknya kehidupan bermasyarakat dapat dia atur. Ketiga, adalah sistem nilai tradisi yang memberikan
6
kebenaran kepada sistemnya melalui mitos- mitos. Dalam hal ini kadang-kadang sejajar dengan manusia tetapi bisa pula dipandang lebih tinggi dari manusia. Dari ketiga sistem nilai di atas, sistem nilai yang diberikan oleh tradisi yang paling banyak mewarnai tingkah laku kehidupan sosial masyarakat Pontianak khususnya pada tradisi pantang larang. Hal ini karena nilai- nilai tradisi mudah dan lebih dahulu dicerna oleh setiap anggota masyarakat, karena nilai- nilai inilah ya ng lebih awal diperkenalkan dalam perkembangan hidup bermasyarakat. Perangkat nilai ini selalu bersentuhan dengan kehidupan mereka sehari- hari. Tradisi pantang larang orang Melayu merupakan kepercayaan masyarakat Melayu zaman dahulu berkaitan dengan adat dan warisan nenek moyang. Kebanyakan adalah bertujuan untuk mendidik masyarakat agar mengamalkan nilai- nilai murni dalam kehidupan, pesan yang disampaikan bukan untuk dipercayai tetapi untuk dihayati makna yang terkandung di dalam pantang larang yang telah diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Tradisi pantang larang juga mempunyai arti memberikan manfaat dalam hidup setiap orang. Pelaksanaan tradisi pantang larang yang mengalami perubahan pada proses komunikasi oleh setiap generasi yang beranggapan bahwa makna pesan pada tradisi pantang larang sesuai dengan kehidupan sekarang.
Masyarakat Melayu Pontianak Menurut Koentjaraningrat (1990) konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat kesadarannya dan identitasnya akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali (tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Sejarah kelompok suku Melayu adalah kelompok masyarakat yang berasal dari anak benua dan kepulauan yang berpusat di Asia Tenggara yang meliputi Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Burma, Kamboja dan lain- lain. Anggota kelompok ini telah lama mendiami rantau ini, namun secara tepatnya belum ada kepastian bagaimana mereka bisa berada di wilayah nusantara dan dari mana mereka datang. Sejarah terbentuknya komunitas Melayu tidak terlepas dari sejarah perkembangan agama Islam di Kalimantan Barat. Kedatangan orang asing dari
7
Asia seperti Arab, India dan Cina yang telah memeluk agama Islam membawa kehidupan baru bagi masyarakat dimana mereka kemudian menetap dan mengikuti gaya hidup setempat. Di antara para penyebar agama Islam yang mendapat tempat di hati masyarakat adalah orang Arab yang bahkan mendapat kewibawaan sebagai seorang Syarif. Di Propinsi Kalimantan Barat suku Melayu adalah suku mayoritas yang tersebar di kawasan pesisir atau pantai, dan mereka merupakan anggota kelompok suku yang telah lama bermukim di daerah ini. Bahkan secara umum suku Melayu dikenal sebagai salah satu penduduk asli Propinsi Kalimantan Barat selain suku Dayak yang lebih banyak tinggal di daerah pedalaman Kalimantan Barat. Suku Melayu sebenarnya serumpun dengan suku Dayak. Hanya saja kedatangan mereka ke Kalimantan Barat dilakukan melalui dua tahap, yaitu pada tahap pertama kedatangan kelompok suku Dayak (sering juga disebut dengan “Melayu Tua”). Kedatangan kelompok pertama ini mereka langsung datang ke wilayah ini tanpa melalui proses persinggahan ke tempat lain di wilayah Nusantara dan hal ini terjadi jauh sebelum agama Islam masuk ke Nusantara, tetapi diperkirakan setelah Nusantara terpisah dari daratan Asia (Alqadrie, 1992). Tahap kedua adalah kelompok suku Melayu ke Kalimantan Barat dengan melalui proses persinggahan terlebih dahulu dalam perjalannya, seperti : Thailand, Kamboja, Filipina dan Malays ia dimana kedatangan gelombang kedua ini diperkirakan pada permulaan masuknya ajaran Islam ke Nusantara ini. Menurut Alqadrie (1992) dalam kehidupan sehari- hari adalah sangat sulit untuk mendapatkan konsep atau arti dari nama atau sebutan Melayu di Kota Pontianak. Sangat sulit untuk dapat membedakan antara pengertian “Melayu” sebagai kelompok etnis atau suku dan “Melayu” dalam pengertian yang luas. Kesulitan ini dikarenakan, khusus untuk Propinsi Kalimantan Barat pengertian “Melayu” dalam kehidupan sehari- hari tidak dapat dipisahkan dengan agama Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu di Kalimantan Barat. Walaupun demikian, pada umumnya masyarakat Melayu di Kalimantan Barat bisa dibedakan, misalnya mereka kebanyakan bermukim disepanjang pesisir daerah pantai atau sungai. Ditambah lagi, keberadaan kelompok suku bangsa
8
Melayu di Kalimantan Barat ini umumnya dan Kota Pontianak khususnya, tidak dapat dipisahkan dari peninggalan beberapa kerajaan yang pernah terdapat di Propinsi Kalimantan Barat, seperti : Kesultanan Pontianak, Kesultanan Sambas, Kerajaan Matan di Ketapang dan beberapa Kerajaan kecil (penembahan) yang terdapat pada beberapa kabupaten. Selanjut nya bekas Kerajaan Melayu di Kalimantan Barat memiliki hubungan historis dengan beberapa Kerajaan Melayu yang masih bertahan dengan Kerajaan Brunai Darussalam dan Kerajaan Melayu di Malaysia. Umumnya masyarakat yang berasal dari bekas Kerajaan tersebut menganggap kelompok mereka sebagai bagian dari kelompok suku bangsa Melayu di Kalimantan Barat. Dalam adat istiadat perbedaannya tidak begitu terlihat karena adat istiadat itu didasarkan atas sumber yang sama yaitu ajaran agama Islam, sehingga pengertian Islam dan Melayu di daerah ini sangat identik sekali. Masuk Islam dari agama lain disebut juga masuk Melayu dan masuk Melayu berarti berganti atau berpindah agama dari bukan Islam menjadi Islam. Menurut Nurahmawati (2002) jika dilihat dari unsur kebudayaan lainnya diantara beberapa sub kelompok suku Melayu tersebut, tidak terdapat perbedaan yang mendasar atau mencolok, hal ini dikarenakan kebudayaan Melayu Kalimantan Barat pada umumnya dan kebudayaan Melayu Pontianak pada khususnya sangat kental atau sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan Islam. Suku bangsa Melayu adalah suatu kelompok suku yang mengaku dirinya sebagai suku bangsa Melayu, menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi sehari- hari dan beragama Islam. Identitas suku bangsa Melayu didasarkan pada : 1. Agama Islam 2. Bahasa Melayu 3. Istiadat Melayu Karakteristik masyarakat di Kalimantan Barat umumnya, dan masyarakat Melayu Pontianak Timur khususnya, masyarakat dan kebudayaannya cukup banyak dipengaruhi oleh nilai- nilai Islam. Oleh karena itu masyarakat Melayu Pontianak Timur sangat mencintai agamanya dan mengidentikkan Melayu dengan
9
Islam. Sebagian masyarakat dari suku lain cenderung menganggap suku Melayu terutama Melayu Pontianak Timur sangat “fanatik” dengan agama yang dianutnya. Demikian pula dengan adat istiadat mereka, karena dalam adat Melayu disebutkan bahwa adat bersendikan hukum Syara’ dan Syara’ bersendikan pada Kitabullah (Al-Qur’an). Menurut Dewi (1998) secara umum, masyarakat melayu mempunyai lima falsafah dan berlandaskan lima dasar, yaitu : 1. Melayu itu Islam, yang sifatnya universal, demokratis dan bermusyawarah. 2. Melayu itu budaya, yang sifatnya Nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku dan lain- lain. 3. Melayu itu beradat, yang sifatnya regional, kedaerahan dalam Bhineka Tunggal Ika, dengan tepung tawar, pakai pulut kuning, dan lain- lain yang mengikat tua dan muda. 4. Melayu itu berturai, yang tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib, mengutamakan ketentraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan harga menghargai timbal balik. Bebas tetapi terikat dalam masyarakat. 5. Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebatinan agama dan mistik, agar bermarwah dan disegani orang untuk kebaikan umum.
Proses Komunikasi dan Kebudayaan Komunikasi dan Kebudayaan Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya. Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi, karena budaya muncul melalui komunikasi. Hubungan antara budaya dan komunikasi adalah timbal balik. Porter dan Samovar yang dikutip oleh Mulyana (1996) berpendapat bahwa kebudayaan akan mempengaruhi komunikasi. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan, karena kebudayaan tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,
memperhatikan
dan
menafsirkan
pesan.
Sebenarnya
seluruh
perbendaharaan perilaku seseorang sangat tergantung pada kebudayaan dimana
10
orang itu dibesarkan. Konsekuensinya, kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila kebudayaan beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi. Lebih jauh dinyatakan pula bahwa perilaku setiap orang mengandung makna yang dapat dipelajari dan diketahui, dan perilaku tersebut terikat dengan kebudayaan. Kemiripan kebudayaan dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau suatu peristiwa. Cara-cara berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi, bahasa, gaya dan perilaku-perilaku nonverbal seseorang, semua itu terutama merupakan respon terhadap dan fungsi kebudayaan orang tersebut. Sebagaimana kebudayaan berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka praktek dan perilaku komunikasi individu- individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda pula. Smith yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) menerangkan hubungan yang tidak dapat terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan. Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama, untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang- lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama. Untuk lebih mengerti hubungan antara komunikasi dan kebudayaan, ada manfaatnya bila ditinjau dari sudut perkembangan masyarakat, perkembangan kebudayaan serta peranan komunikasi dalam proses perkembangan tersebut. Dapat dipahami bahwa dalam corak hubungan apapun yang terus berlangsung, beberapa simbol, pengertian, aturan serta pola verbal dan non verbal khusus tertentu berkembang sebagai akibat alami dari pemprosesan data resiprokal antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks hubungan komunikasi dan kebudayaan, Dahlan (1983) berpandangan bahwa setiap tindakan komunikasi manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam kehidupan dan perkembangan dirinya, namun pengaruh yang barangkali paling menentukan dalam memberikan konteks terhadap peristiwa komunikasi adalah yang datang dari faktor kebudayaan. Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktivitas
11
para individu anggotanya. Hubungan kebudayaan dan komunikasi nampak jelas dilakukan dalam masyarakat. Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai- nilai, aturan-aturan dan tata upacara, yang memberikan batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan, organisasiorganisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur- unsur kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar akan dan menyesuaikan diri dengan subbudayasubbudaya dan kebudayaan asing yang dihadapi. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui komunikasi. Kebudayaan Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Seorang antropolog E.B. Tylor yang dikutip oleh Soekanto (2005) memberikan definisi kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat- istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan lain perkataan, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan atau bertindak Kim yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) mendefinisikan budaya sebagai kumpulan pola-pola kehidupan yang dipelajari oleh sekelompok manusia tertentu dari generasi- generasi sebelumnya dan akan diteruskan ke generasi mendatang, kebudayaan tertanam dalam diri individu sebagai pola-pola persepsi yang diakui dan diharapkan oleh orang-orang lainnya dalam masyarakat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam
12
semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Dodd yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) melihat kebudayaan sebagai konsep yang bergerak melalui suatu kontinum. Mulai dari kognisi dan keyakinan mengenai orang-orang lain dan diri sendiri, termasuk nilai- nilai, sampai dengan pola-pola tingkah laku. Adat kebiasaan (norms) dan praktek-praktek kegiatan (activities) merupakan bagian dari norma- norma kebudayaan, yakni model- model perilaku yang sudah diakui dan diharuskan. Ruben yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) menyebutkan beberapa karakteristik dari kebudayaan, yaitu (1) kompleks dan banyak segi, (2) tidak dapat dilihat, dan (3) berubah sejalan dengan waktu. Beberapa dimensi yang paling mendasar dari kebudayaan adalah bahasa, adat istiadat, kehidupan keluarga, cara berpakaian, cara makan, struktur kelas, oirientasi politik, agama, falsafah ekonomi, keyakinan dan sistem nilai. Unsurunsur ini tidak terpisahkan satu sama lainnya, tetapi sebaliknya saling berinteraksi sehingga menciptakan sistem budaya tersendiri. Trenholm dan Jensen yang dikutip oleh Mulyana (2005) menyatakan budaya sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, norma dan adat istiadat, aturan dan kode, yang secara sosial mendefinisikan kelompok-kelompok orang, mengikat mereka satu sama lain dan memberi mereka kesadaran bersama. Sistem nilai budaya merupakan suatu rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang diaggap remeh dan tak berharga dalam hidup. Dengan demikian sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu pedoman tapi juga sebagai pendorong kelakuan manusia dalam hidup, sehingga berfungsi juga sebagai suatu sistem tata kelakuan, malahan sebagai salah satu sistem tata kelakuan yang tertinggi diantara yang lain, seperti hukum adat, aturan sopan santun dan sebagainya. Suatu sistem nilai budaya yang tertentu telah berkembang sejak lama, mencapai suatu kemantapan dan hidup langsung dari generasi ke generasi. Di dalam fungsinya sebagai pedoman kelakuan dan tata kelakuan, maka sama halnya dengan hukum misalnya. Suatu sistem nilai budaya itu seolah-olah berada diluar
13
dan diatas diri individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Pada individu sejak kecil telah diresapi dengan nilai- nilai budaya dari masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu telah menjadi berakar dalam diri mereka dan sukar untuk diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu singkat. Suatu sikap merupakan kecondongan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan suatu pola tertentu, terhadap suatu objek berupa manusia, hewan dan benda, akibat pendirian dan perasaannya terhadap objek tersebut. Berbeda dengan nilai- nilai budaya yang seolah-olah berada di luar dan diatas diri individu itu sendiri. Suatu sikap terhadap suatu objek itu, bisa juga dipengaruhi oleh unsur-unsur nilai budaya, artinya pendirian dan perasaan orang terhadap pekerjaan, terhadap manusia lain, terhadap hewan atau benda yang dihadapinya itu, bisa di bentuk oleh cara pandangan umum dalam masyarakatnya menilai objek-objek tadi. Unsur-unsur Kebudayaan Kebudayaan setiap masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Mulyana (2003) menyatakan ada tiga unsur sosio budaya mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita. Unsur- unsur tersebut adalah sistem kepercayaan (belief), nilai (value) dan sikap (attitude). Sistem kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan-kemungkinan subyektif yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang dipercaya dan karakteristik-karakteristik yang membedakannya. Derajat kepercayaan seseorang mengenai suatu peristiwa atau suatu objek yang dimiliki karakteristik-karakteristik tertentu menunjukkan kedalaman atau intensitas kepercayaannya. Tegasnya, semakin pasti seseorang dalam kepercayaannya, semakin besar pulalah intensitas kepercayaan tersebut. Budaya memainkan peranan penting dalam pembentukan kepercayaan. Apakah seseorang menerima tentang sesuatu hal, itu bergantung pada latar belakang budaya dan pengalaman-pengalaman orang tersebut. Dalam suatu kebudayaan terkandung nilai-nilai yang merupakan faktor pendorong bagi manusia untuk bertingkah laku dan mencapai kepuasan tertentu
14
dalam kehidupan sehari- hari. Abdulsyani (1992) memberi batasan nilai sebagai ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu obyek, baik material maupun non material. Porter dan Samovar yang dikutip oleh Mulyana (1996) berpendapat nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan dan sikap. Dimensi-dimensi evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti kemanfaatan, kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan. Nilai menentukan hal- hal apa yang patut dipelajari dan dicemoohkan dan peristiwa apa menyebabkan individu- individu memiliki solidaritas kelompok. Nilai- nilai budaya adalah seperangkat
aturan
terorganisasikan
untuk
membuat
pilihan-pilihan dan
mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai kebudayaan biasanya berakar dari falsafah dasar secara keseluruhan dari suatu kebudayaan. Nilai-nilai ini umumnya bersifat normatif, karena memberikan informasi pada anggota kebudayaan tentang baik dan buruk, yang benar dan salah, yang positif dan negatif, apa yang perlu diperjuangankan dan dilindungi. Kepercayaan atau keyakinan serta nilai- nilai menyumbangkan pada atau melandasi perkembangan dan isi dari sistem sikap. Sikap menurut Mar’at (1984) merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya. Sikap merupakan kumpulan dari berpikir, keyakinan dan pengetahuan, yang memiliki tiga komponen, yaitu (1) komponen kognisi yang berhubungan dengan beliefs, ide dan konsep; (2) komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang, dan (3) komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku. Komponen kognisi merupakan keyakinan seseorang mengenai obyek siakpnya, keyakinan itu tidak hanya sebagai sesuatu yang buruk, bersih atau kotor, tetapi dapat juga dalam wujud percaya dan tidak percaya. Komponen afektif merupakan emosi yang berkorelasi dengan obyek sikap, bila seseorang berpikir baik atau buruk, senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, berarti seseorang mempunyai afektif yang positif atau negatif. Komponen konasi adalah kecenderungan untuk bertindak, menyangkut semua kesiagaan tingkah laku. Jika
15
seseorang mempunyai sikap positif pada obyek sikap, maka ia akan membantu dan mendukung obyek sikap dan sebaliknya. J.J. Honigmann yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1990) Unsur kebudayaan dapat dipandang dari tiga wujud yaitu (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide- ide, gagasan, nilai-nilai, norma- norma, dan peraturan, (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan (3) wujud komunikasi sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ketiga wujud kebudayaan ini dalam kehidupan masyarakat tentu tak terpisah satu dengan lain. Ketiga wujud kebudayaan bila dilakukan oleh masyarakat maka hal tersebut merupakan suatu pranata atau lembaga. Sistematisasi dari norma-norma dan keyakinan-keyakinan ini terwujud dalam
pranata-pranata
atau
institusi- institusi
kebudayaan
bersangkutan.
Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa pranata sosial meliputi serangkaian kegiatan tertentu, berpusat pada suatu kelakukan berpola yang mantap, bersamasama dengan sistem norma dan tata kelakuan serta peralatan fisiknya yang dipakai dan juga orang-orang yang mendukungnya. Sumner yang dikutip oleh Soekanto (2005) melihat pranata sosial dari sudut kebudayaan sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal dengan bertujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat. Pentingnya adalah agar ada keteraturan dan integrasi dalam masyarakat. Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana maka dirumuskan noram- norma masyarakat. Soekanto (2005) membedakan kekuatan mengikat norma- norma masyarakat menjadi empat pengertian (1) cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. (2) kebiasaan (folkways) sebagai perbuatan yang diulang- ulang dalam bentuk yang sama, (3) tata kelakuan (mores) kebiasaan yang tidak semata- mata dianggap sebagai cara berperikelakuan saja, tapi bahkan di terima sebagai norma yang mengatur, dan (4) adat istiadat (custom) tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkatkan kekuatan mengikatnya. Anggota yang melanggar adat istiadat akan menderita sanksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan.
16
Norma- norma masyarakat setelah mengalami suatu proses pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan (institutionalization) yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksud ialah sampai norma itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari- hari. Gillin dan Gillin yang kutip oleh Soekanto (2005) menguraikan beberapa ciri umum lembaga kemasyarakatan yaitu (1) suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil- hasilnya, (2) suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan, (3) lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu, (4) lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, (5) lambang biasanya juga merupakan ciri khas lembaga kemasyarakatan, dan (6) suatu lembaga kemasyarakat mempunyai suatu tradisi tertulis atau yang tidak tertulis. Bronislaw Malinowski yang dikutip oleh Soekanto (2005) sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi, menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut: 1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya. 2. Organisasi ekonomi. 3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; dimana keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama. 4. Organisasi kekuatan . Antropolog C Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1990) menyimpulkan adanya tujuh
unsur universal yang merupakan isi dari semua
kebudayaan yang ada di dunia ini, yaitu: 1. Sistem religi dan upacara keagamaan. 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan. 3. Sistem pengetahuan. 4. Bahasa.
17
5. Kesenian. 6. Sistem mata pencaharian hidup. 7. Sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia dimanapun dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya. Robert Redfield yang dikutip Sajogyo dan Pudjiwati (1995) setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud, yaitu: 1. Pola bersikap, yang mendapatkan isi dan pengarahan dari nilai-nilai budaya (pandangan hidup) dan pola berpikir (wujud kebudayaan yang idiil, juga disebut jiwanya). 2. Pola kelakuan dan bertindak dalam kegiatan bermasyarakat (wujud kebudayaan kelakuan, disebut juga organisasi). 3. Pola sarana atau kebendaan (wujud kebudayaan yang fisik, disebut juga teknologi). Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tersebut adalah: 1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia. 2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. 3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan. Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi bila seseorang hendak memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu: 1. Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya. 2. Kebudayaan bersifat stabil disamping juga dinamis dan setiap kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti
18
mengalami perubahan atau perkembangan-perkembanga n, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis. Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia, walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia sendiri. Gejala tersebut secara singkat dapat diterangkan dengan penjelasan bahwa walaupun kebudayaan merupakan atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan meyakini seluruh unsur kebudayaannya (Soekanto, 2005). Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa kebudayaan dapat dipahami dalam beberapa rumusan. Pertama, kebudayaan sebaga i suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi semua pola berpikir, merasakan dan bertindak. Kedua, kebudayaan adalah sesuatu yang superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan diturunkan dari generasi- generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian. Ketiga, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara mempelajarinya (Kolopaking, 2003). Proses Komunikasi Proses adalah segala gejala yang mengalami perubahan secara terusmenerus atau segala kejadian yang berlangsung terus- menerus. Dalam menganalisa komunikasi sebagai suatu proses, harus dilihat terlebih dahulu unsurunsur yang menyebabkan terjadinya sebuah komunikasi, seperti siapa yang berkomunikasi, mengapa dia berkomunikasi, dan kepada siapa komunikasi itu ditujukan. Kita juga harus melihat perilaku komunikasi yang terjadi pesan yang dihasilkan, apa yang cara dilakukan orang untuk berkomunikasi, bagaimana orang mengkemas pesan-pesannya, saluran yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan tersebut. Mulyana (2002) menyatakan komunikasi memiliki delapan unsur atau proses, yaitu:
19
1. Sumber (Source). Sumber adalah orang yang mempunyai suatu kebutuhan untuk berkomunikasi. Kebutuhan ini mungkin berkisar dari kebutuhan sosial untuk diakui sebagai individu hingga kebutuhan berbagai informasi dengan orang lain atau mempengaruhi sikap atau perilaku seseorang atau sekelompok orang lainnya. 2. Penyandian (Encoding). Penyandian adalah suatu kegiatan internal seseorang untuk memilih dan merancang perilaku verbal dan nonverbalnya yang sesuai dengan aturanaturan tata bahasa dan sintaksis guna menciptakan suatu pesan. 3. Pesan (Message). Pesan merupakan hasil perilaku menyandi yang terdiri dari lambanglambang verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan dan pikiran sumber pada suatu saat dan tempat tertentu. Ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam pesan, pertama kode pesan adalah setiap kelompok simbol yang dapat disusun sedemikian rupa, yang mempunyai arti bagi sebagian orang. Kedua, isi pesan dapat didefinisikan sebagai meteri yang dipilih sumber untuk menyampaikan tujuannya dan ketiga perlakuan terhadap pesan adalah keputusan-keputusan yang diambil sumber dalam memilih dan menyusun kode isi pesan. 4. Saluran (Channel). Saluran merupakan penghubung antara sumber dan penerima yang berfungsi untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. 5. Penerima (Receiver). Penerima adalah orang yang yang menerima pesan dan sebagai akibatnya menjadi terhubungkan dengan sumber pesan. 6. Penyandian balik (Decoding). Penyandian balik adalah proses internal penerima dan pemberian makna kepada perilaku sumber yang mewakili perasaan dan pikiran sumber. 7. Respons penerima (Receiver response). Unsur ini menyangkut apa yang penerima lakukan setelah ia menerima pesan. Respons ini bisa beraneka ragam, mulai dari tingkat minimum hingga
20
tingkat maksimum. Komunikasi dianggap berhasil bila respons penerima mendekati apa yang dikehendaki oleh sumber yang menciptakan pesan. 8. Umpan balik (Feedback). Umpan
balik
adalah
informasi
yang
tersedia
bagi
sumber
yang
memungkinkannya menilai keefektifan komunikasi yang dilakukannya untuk mengadakan penyesuaian atau perbaikan-perbaikan dalam komunikasi selanjutnya. Menurut Effendy (2003) proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder. 1. Proses Komunikasi Secara Primer Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan perkataan lain komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. 2. Proses Komunikasi Secara Sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Proses komunikasi yang berlaku dalam masyarakat yang bersifat dinamik merupakan kontrol
sosial. Kontrol sosial adalah sebuah proses
yang
mempengaruhi perilaku sumber dan penerimanya. Proses komunikasi pada kontrol sosial adalah proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi norma dan nilai. Peranan kontrol sosial adalah untuk mengawasi
21
diri sendiri agar dalam berkomunikasi tetap memperhatikan nilai-nilai yang telah disepakati bersama agar selalu bertindak dalam batas-batas budaya tertentu. Van Doorn dan Lammers yang dikutip oleh Sajogyo dan Pudjiwati (1995) proses melakukan kontrol sosial dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu (1) proses ajar, didik, atau pewarisan, (2) dengan sanksi, (3) dalam ritus kolektif, dan (4) dengan alokasi posisi-posisi. Proses kontrol sosial seperti proses ajar didik, sanksi, ritus kolektif dan alokasi posisi merupakan cara proses komunikasi dalam melaksanakan tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak. Karena belajar merupakan suatu proses, sudah tentu di dalamnya terjadi perubahan-perubahan yang bertahap. Witting yang dikutip oleh Muhibbin (2003) menyatakan belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Proses belajar selalu berlangsung dengan tiga tahap, yaitu (1) tahap perolehan atau penerima informasi, (2) tahap penyimpanan informasi, dan (3) tahap mendapatkan kembali informasi. Bandura yang dikutip oleh Muhibbin (2003) menyatakan setiap proses belajar terutama belajar sosial dengan menggunakan model terjadi dalam urutan tahapan peristiwa yang meliputi (1) tahap perhatian, (2) tahap penyimpanan dalam ingatan, (3) tahap reproduksi, dan (4) tahap motivasi. Proses belajar selalu diikuti dengan proses didik, menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Mansur (2005) menyatakan pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat itu tetap berkelanjutan. Jadi, masyarakat mempunyai nilai- nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara. Saad yang dikutip oleh Lubis (2001) menyatakan pendidikan adalah usaha yang sadar, terarah dan disertai dengan pemahaman yang baik, untuk menciptakan perubahan-perubahan yang diharapkan pada perilaku individu dan selanjutnya pada perilaku komunitas di mana individu itu hidup. Sanksi berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (1995) adalah tindakantindakan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang- undang. Lapiere yang dikutip oleh Lubis (2001) membagi teknik atau cara kontrol sosial ke dalam klasifikasi, yaitu (1) sanksi fisik berupa
22
kontrol negatif, pengusiran, pemusuhan dan hukuman fisik, (2) sanksi ekonomi berupa hukuman ekonomi, intimidasi ekonomi dan hadiah atau ganjaran ekonomi, dan (3) sanksi psikologis berupa hukuman secara psikologis dan ganjaran atau hadiah secara psikologis. Sedangkan ritus kolektif berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (1995) adalah tata cara dalam upacara keagamaan secara bersama. Komunikasi Verbal Sebagai makhluk sosial dan juga sebagai makhluk komunikasi, manusia dalam hidupnya oleh berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia itu sendiri maupun bersifat alami. Manusia dalam keberadaannya memang memiliki
keistimewaan
dibandingkan
dengan
makhluk
lainnya.
Selain
kemampuan daya pikirnya (super rational), manusia juga memiliki keterampilan berkomunikasi
yang
lebih
indah
dan
lebih
canggih,
sehingga
dalam
berkomunikasi mereka bisa mengatasi rintangan jarak dan waktu. Manusia mampu menciptakan simbol-simbol dan memberi arti pada gejala-gejala alam yang ada disekitarnya. Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi dan isyarat, sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya. Sekali kita sepakat atas suatu sistem simbol verbal, kita dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Tentu saja, bila semua kata yang digunakan hanya menujuk pada benda, maka komunikasi akan menjadi sederhana. Tubbs and Moss (2001) menyatakan bahwa komunikasi verbal dimulai dengan konsep makna, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang serupa dengan yang ada dalam pikiran si pengirim. Pesan verbal tersebut bisa melalui kata-kata, yang merupakan unsur dasar bahasa. Menurut Devito (1997) komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai sistem produktif yang dapat dialih-alihkan dan terdiri atas simbol-simbol yang cepat lenyap dan bermakna bebas serta dipancarkan secara kultural. Mulyana (2002) komunikasi verbal adalah semua jenis simbol atau pesan verbal yang menggunakan satu kata atau lebih yang disebut bahasa. Bahasa juga
23
dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa juga didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan yang mengkombinasikan simbolsimbol tersebut, yang digunakan dan dipahami oleh suatu komunikasi. Bahasa memiliki banyak fungsi, namun sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang erat hubunganya dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Ketiga fungsi itu yaitu pertama, untuk mempelajari tentang dunia sekeliling kita. Kedua, untuk membina hubungan yang baik di antara sesama manusia. Ketiga, untuk menciptakan ikatan- ikatan dalam kehidupan manusia. Sebagai alat pengikat dan perekat dalam hidup bermasyarakat, bahasa dapat membantu kita menyusun struktur pengetahuan menjadi logis dan mudah diterima oleh orang lain. Sebab bagaimanapun bagusnya sebuah ide, kalau tidak disusun dengan bahasa yang lebih sistematis sesuai dengan aturan yang telah diterima, maka ide yang baik itu akan menjadi kacau. Bahasa bukan hanya membagi pengalaman tetapi juga membentuk pengalaman itu sendiri. Secara singkatnya, ada kaitan antara bahasa yang dipilih suatu kebudayaan dengan gagasan-gagasan dan hal-hal yang terdapat dalam kebudayaan itu. Secara sadar atau tidak sadar melalui bahasa, setiap kebudayaan menyampaikan kepada masyarakat konsep-konsep penting yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Komunikasi Nonverbal Manusia dalam berkomunikasi selain menggunakan komunikasi verbal (bahasa) juga memakai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal biasa disebut bahasa isyarat atau bahasa diam. Komunikasi nonverbal yang digunakan dalam berkomunikasi, sudah lama menarik perhatian para ahli terutama dari kalangan antropologi, bahasa dan bidang kedokteran. Porter dan Samovar yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim dan penerima. Mark L. Knapp yang dikutip oleh Hafied (2004), istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-
24
kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Menurut Mark L. Knapp yang dikutip oleh Hafied (2004) menyebutkan bahwa penggunaan komunikasi nonverbal dalam berkomunikasi memiliki fungsi untuk: 1. Meyakinkan apa yang diucapkannya. 2. Menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan katakata. 3. Menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa menggenalnya. 4. Menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasakan belum sempurna. Pemberian arti terhadap kode nonverbal sangat mempengaruhi oleh sistem sosial budaya mesyarakat yang menggunakannya. Dari beberapa studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal dapat diartikan dalam beberapa bentuk, antara lain : kinesics adalah kode nonverbal yang ditujukkan oleh gerakan-gerakan badan, gerakan mata (eye gaze) mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat tanpa kata, sentuhan adalah isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan, paralanguage adalah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik apa yang diucapkan, diam, postur tubuh, kedekatan dan ruang, artifak dan visualisasi, warna, waktu, bunyi dan bau. Hubungan antara komunikasi nonverbal dan kebudayaan jelas adanya, apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertianpengertian yang harus dimiliki bersama. Dapat dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kebudayaan. Sebagai mana komunikasi verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan. Kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang memiliki atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator. Komunikasi Antarpribadi Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah dua atau lebih orang yang terlibat dalam komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal secara langsung. Komunikasi antarpribadi adalah
25
komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal ataupun nonverbal. Devito (1997) menyebutkan sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orangorang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Komunikasi antar pribadi didefinisikan oleh Devito (1997) sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Lasswell dan Gerbner yang dikutip oleh Effendi (2003) komunikasi antar pribadi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang, dengan berbagai efek dan umpan balik. Dalam rancangan pengembangan (developmental), komunikasi antar pribadi dilihat sebagai akhir dari perkembangan dari komunikasi yang bersifat tak pribadi (impersonal) pada suatu ekstrim menjadi komunikasi pribadi atau intim pada ekstrim yang lain. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antar pribadi di nilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini dan perilaku komunikan. Alasannya karena komunikasi antar pribadi umumnya berlangsung secara tatap muka. Oleh karena komunikasi antar pribadi tatap muka maka terjadilah kontak pribadi. Ketika kita menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung seketika. Kita dapat mengetahui tanggapan komunikan terhadap pesan yang dilontarkan, ekspresi wajah, gaya bahasa. Pentingnya komunikasi antarpribadi ialah karena prosesnya dialog adalah bentuk komunikasi antarpribadi yang menunjukkan terjadinya interaksi. Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing- masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis nampaknya adanya upaya dari para pelaku komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati. Di situ terjadi rasa saling menghormati bukan disebabkan status sosial ekonomi, melainkan didasarkan pada anggapan bahwa masing- masing adalah manusia yang wajib berhak, pantas, dan wajar dihargai dan dihormati sebagai manusia.
26
Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Benar kata Edward T. Hall bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma budaya masyarakat secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Mulyana (2003) budaya menetapkan norma-norma yang dianggap sesua i untuk suatu kelompok tertentu. Kegiatan menyampaikan pantang larang oleh orang tua kepada anak merupakan penyampaian secara vertikal, sedangkan penyampaian yang dilakukan oleh teman kepada temannya merupakan penyampaian secara horizontal. Komunikasi antarpribadi sangat potensial untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena kita dapat menggunakan kelima alat indera untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang dikomunikasikan kepadanya. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi antarpribadi berperan penting hingga kapan pun, selama manusia masih mempunyai emosi. Kenyataannya komunikasi tatap muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat kabar atau televisi atau teknologi tercanggih sekalipun yang membuat manusia merasa terasing. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap kepercayaan, opini, dan perilaku komunikasi. Hal ini disebabkan karena komunikasi antarpribadi berlangsung secara tatap muka antara komunikator dengan komunikan. Ketika menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung seketika (immediate feedback). Komunikator mengetahui saat itu tanggapan komunikan terhadap pesan yang disampaikan, seperti ekspresi wajah, gaya bicara. Tanggapan tersebut akan bisa dipertahankan kalau tanggapan komunikan positif, tetapi komunikator mesti berupaya memperbaiki gaya komunikasinya ketika ia melihat tanggapan komunikan terhadap apa yang disampaikan itu negatif.
27
Keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini dan perilaku komunikan itulah, maka komunikasi antarpribadi senantiasa dipergunakan untuk melancarkan komunikasi persuasif (persuasive communication) yakni suatu teknik komunikasi secara psikologis manusiawi yang sifatnya halus, luwes berupa ajakan, bujukan atau rayuan.
Pola Komunikasi dan Perubahan Sosial Pola Komunikasi Memahami pola-pola komunikasi yang hidup dalam suatu masyarakat akan memberikan gambaran umum dari perilaku komunikasi masyarakat tersebut. Dari pola juga dapat diketahui bagaimana unit- unit komunikatif dari suatu masyarakat tersebut diorganisasikan, dipandang secara luas sebagai ”cara-cara berbicara”, maupun bagaimana pola-pola itu saling berkaitan dalam cara yang sistematis dengan makna dan makna dari aspek-aspek yang lain. Pace (2002) menyatakan pola-pola komunikasi bahwa pengaturan tertentu mengenai ”siapa berbicara kepada siapa” dan mempunyai konsekuensi besar dalam berfungsinya organisasi. Ada beberapa macam pola komunikasi, antara lain pola roda dan pola lingkaran. Dimana pola roda mengarahkan seluruh informasi kepada individu yang menduduki posisi sentral. Sedangkan pola lingkaran memungkinkan semua anggota berkomunikasi satu dengan yang lainnya hanya melalui sejenis sistem pengulangan pesan. Saville dan Traike yang dikutip oleh Antin (2005) menyatakan langkah awal untuk mendiskripsikan dan menganalisis pola komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat dengan mengidentifikasikan peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi secara berulang. Langkah selanjutnya menginventasikan komponen yang membangun peristiwa komunikasi, kemudian menemukan hubungan antar komponen tersebut. Pola komunikasi suatu masyarakat tertentu merupakan bagian dari keseluruhan pola budaya dan dapat dipelajari atau dipahami dalam konteks bahwa pola-pola komunikasi yang menjadi pengamatan kita diseluruh dunia adalah kumpulan dari adat istiadat yang selama ini kita anggap sepele dan tidak berarti.
28
Pada dasarnya, pola adalah suatu konsep yang ditujukan untuk memudahkan
komunikasi
antara
satu
orang
dengan
orang
lain.
Pola
memungkinkan manusia untuk memikirkan suatu aspek permasalahan dan solusi untuk permasalahan tersebut. Permasalahan yang sangat spesifik, dan solusi yang juga sangat spesifik. Pola mendeskripsikan atau menjelaskan permasalahan dan solusinya,
dan
juga
mengkomunikasikannya.
Pola
memungkinkan
kita
menyampaikan informasi dari satu orang ke orang lainnya. Pola memudahkan kita mengkomunikasikan suatu konsep desain. Perubahan Sosial Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai- nilai sosial, lembaga kemasyarakatan, pola-pola perilaku organisasi, lapisan- lapisan dalam masyarakat, interaksi sosial dan sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat merupakan gejala yang normal. Judistira (1992) menyatakan kehidupan manusia adalah proses dari tahap hidup ke tahap lainnya, karena itu perubahan sebagai proses dapat menunjukkan perubahan sosial dan perubahan budaya. Proses dalam makna sosial pada hakekatnya ialah perjalanan hidup suatu masyarakat yang ditunjukkan oleh dinamikanya, baik mengikuti evolusi biologik dalam daur hidup, maupun perubahan tingkah laku dalam menghadapi situasi sosial. Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soekanto (2005) mengatakan perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah lama diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Rogers yang dikutip oleh Sugihen (1996) menyatakan bahwa perubahan sosial adalah suatu proses yang melahirkan perubahan-perubahan di dalam struktur
dan
fungsi
dari
suatu
sistem
kemasyarakatan. Selo Soemardjan yang dikutip oleh Soekanto (2005) menyatakan perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga- lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai- nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-
29
kelompok dalam masyarakat. Tekanan dalam definisi tersebut terletak pada lembaga- lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, perubahanperubahan mana kemudia n mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya. Selain itu Wilbert Moore dikutip oleh Soekanto (2005) mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan penting dari struktur sosial. Struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial, yang diekspresikan dalam norma, nilai dan fenomena kebudayaan. Vago yang dikutip oleh Sumarti (2004) menyatakan perubahan sosial dapat dikonseptualkan sebagai proses perubahan kuantitatif dan kualitatif, terencana maupun tidak terencana dalam fenomena sosial yang dapat dianalisa berdasarkan lima komponen yang saling berkaitan, yaitu: 1. Identitas perubahan, menunjuk pada suatu fenomena sosial spesifik yang sedang berubah, seperti perilaku, sikap pola interaksi, struktur otoritas, tingkat produktivitas, pola pemilihan umum, prestise dan sistem stratifikasi. 2. Tingkat perubahan, menunjukkan lokasi dalam suatu sistem sosial dimana suatu perubahan tertentu mengambil tempat, seperti individu, kelompok, organisasi, kelembagaan dan masyarakat. 3. Durasi perubahan, menunjuk pada pertanyaan berapa lama suatu perubahan tertentu muncul dan sampai dapat diterima. Hal ini mengarah pada jangka waktu fenomena mengalami perubahan (short term atau long term). 4. Besarnya
perubahan,
berdasarkan
tiga
skema,
marginal
(pinggiran),
komprehensif dan revolusioner. 5. Kecepatan perubahan, berdasarkan pada skala yang relatif, seperti cepat atau lambat, terus menerus atau tak teratur. Sehingga konsep perubahan mencakup tiga perubahan dasar, yaitu: adanya perbedaan, merupakan perubahan antar waktu dan dari satun keadaan ke keadaan berikutnya dalam sistem yang sama. Soekanto (2005) menyebutkan faktor- faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi antara lain: 1. Kontak dengan kebudayaan lain. 2. Sistem pendidikan formal yang maju. 3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju.
30
4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang bukan merupakan delik. 5. Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification). 6. Penduduk yang heterogen. 7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. 8. Orientasi ke masa depan. 9. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan adalah: 1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain. 2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. 3. Sikap masyarakat yang sangat tradisional. 4. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interests. 5. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan. 6. Prasangka terhadap hal- hal baru atau asing atau sikap yang tertutup. 7. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis. 8. Adat atau kebiasaan. 9. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki. Komunikasi dan Perubahan Sosial Komunikasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Menurut Devito (1997) komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam konteks tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik. Ada tiga tujuan komunikasi yang dikatakan oleh Berlo (1960) yaitu untuk memberi informasi (informative), untuk membujuk (persuasif) dan untuk tujuan menghibur (entertainment). Gorden yang dikutip oleh Mulyana (2002) menyatakan bahwa ada empat fungsi komunikasi yaitu komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi instrumental. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi adalah
31
penting dalam membangun konsep diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan tegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain. Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya menyangkut hal- hal yang kompleks, artinya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mengenai: nilai- nilai sosial, perikelakuan, organisasi susunan lembaga- lembaga kemasyarakatan, lapisan- lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sosial menunjukkan pada perubahan fenomena sosial di berbagai bidang tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual, masyarakat hingga tingkat dunia. Rogers (1989) menyatakan komunikasi bisa menyebabkan perubahan jika ia dapat mengubah konsepsi seseorang tentang hakekat materi dan dirinya sendiri. Dalam sistem sosial manapun terdapat banyak sekali komunikasi yang dimaksudkan untuk memperkecil atau menghalangi perubahan yang cenderung akan terjadi bila tidak ada komunikasi itu. Kebanyakan komunikasi yang bersifat ritual pada dasarnya dimaksudkan untuk memelihara kestabilan ini. Hubungan antara individu sebagaian dipelihara dengan komunikasi. Pewarisan kebudayaan banyak yang tergantung pada komunikasi. Banyak pertukaran pesan-pesan berfungsi untuk memperkuat pandangan atau nilai-nilai yang dianut sebelumnya, bukan untuk mengubahnya. Komunikasi dimana-mana berfungsi untuk menjaga kestabilan yang merupakan syarat bagi terjadinya perubahan, baik yang sepenuhnya dikendalikan dan direncanakan ataupun tidak.
32
KERANGKA PEMIKIRAN Kebudayaan sebagai pola-pola dari kelakuan maka kebudayaan yang diperlakukan sebagai kelakuan, dapat diamati dan dianalisis. Pola dari kelakuan tersebut dilakukan secara turun temurun kepada generasi selanjutnya. Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama, untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang- lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama. Bagi masyarakat Melayu Pontianak yang berhubungan pada saat peralihan kehidupan biasanya akan diadakan suatu tradisi atau kebiasaan. Salah satu tradisi pada masyarakat Melayu Pontianak yaitu tradisi pantang larang. Tradisi pantang larang yang dibuat oleh masyarakat yang mempunyai aturan, nilai, norma, dan etika dalam mengatur kehidupan masyarakat yang berdasarkan atas pengalaman orang tua yang memegang adat. Saat melaksanakan prosesi perkawinan masyarakat Melayu Pontianak terdiri dari berbagai tradisi. Di dalam tradisi tersebut terdapat pantang larang yang harus dilakukan oleh calon pengantin, pada masa istri hamil juga terdapat tradisi pantang larang bagi suami dan istri, begitu juga pada masa kelahiran. Pantang larang dalam prosesi perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran memberikan suatu makna pesan atau nasehat dari orang tua kepada anaknya. Setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud, yaitu (1) Pola bersikap, yang mendapatkan isi dan pengarahan dari nilai- nilai budaya (pandangan hidup) dan pola berpikir (wujud kebudayaan yang idiil, juga disebut jiwanya), (2) Pola kelakuan dan bertindak dalam kegia tan bermasyarakat (wujud kebudayaan kelakuan, disebut juga organisasi), (3) Pola sarana atau kebendaan (wujud kebudayaan yang fisik, disebut juga teknologi). Unsur budaya pada tradisi pantang larang berupa pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana pada masyarakat Melayu
Pontianak
memberikan
pengaruh
terhadap
masyarakat
untuk
melaksanakan pantang larang. Pelaksanaan tradisi pantang larang dari orang tua kepada anaknya melalui suatu proses komunikasi. Proses komunikasi yang berlaku dimasyarakat yang bersifat dinamik merupakan kontrol sosial. Kontrol sosial adalah sebuah proses
33
yang mempengaruhi perilaku sumber atau komunikator dan penerimanya. Proses komunikasi pada kontrol sosial adalah proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi norma dan nilai. Peranan kontrol sosial adalah untuk mengawasi diri sendiri agar dalam berkomunikasi tetap memperhatikan nilai- nilai yang telah disepakati bersama agar selalu bertindak dalam batas-batas budaya tertentu. Proses melakukan kontrol sosial dapat dilakukan dengan empat cara berupa proses ajar didik, sanksi, ritus kolektif serta adanya alokasi posisi yang terdapat pada keluarga dan masyarakat. Pola komunikasi suatu masyarakat tertentu merupakan bagian dari keseluruhan pola budaya dan dapat dipelajari atau dipahami dalam konteks bahwa pola-pola komunikasi yang menjadi pengamatan diseluruh dunia adalah kumpulan dari adat istiadat yang selama ini dianggap sepele dan tidak berarti. Pada dasarnya, pola adalah suatu konsep yang ditujukan untuk memudahkan komunikasi antara satu orang dengan orang lain. Pola memungkinkan kita menyampaikan informasi dari satu orang ke orang lainnya. Pola memudahkan kita mengkomunikasikan suatu konsep desain. Pola komunikasi juga memberikan pengaruh terhadap penanaman nilai-nilai budaya pada tradisi pantang larang. Walaupun tidak semua pantang larang diterima oleh anak, adanya perubahan-perubahan ini memberikan pengaruh pada pola komunikasi tradisi pantang larang dan memberikan perubahan nilai- nilai budaya yang ada di masyarakat. Perubahan tersebut disebabkan oleh keinginan manusia untuk mengembangkan kemampuannya agar dapat lebih mudah menjalani hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman. Perubahan itu biasanya terjadi pada setiap aspek kehidupan manusia, Suparlan (1984) menyatakan bahwa perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi pada sistem ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah warga masyarakat, misalnya aturan-aturan, adat istiadat, rasa keindaha n, bahasa dan termasuk di dalamnya upacara tradisional. Sebagai upaya untuk memudahkan alur penelitian maka diperlukan kerangka pemikiran yang diharapkan dalam penelitian ini tidak terjadi
34
penyimpangan. Alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini di gambarkan sebagai berikut :
Unsur-Unsur Budaya Tradisi Pantang Larang : - Pola bersikap (wujud idiil) - Pola kelakuan (wujud aktivitas) - Pola sarana (wujud fisik)
Proses Komunikasi Tradisi Pantang Larang : -
Proses ajar didik. Sanksi. Ritus Kolektif. Alokasi Posisi.
Pola dan Perubahan Komunikasi Tradisi Pantang Larang : - Sumber Informasi - Proses Komunikasi - Pesan Informasi
Gambar 1. Alur Berpikir Proses Komunikasi dan Perubahan Nilai-nilai Budaya Masyarakat Melayu Pontianak pada Tradisi Pantang Larang
35
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Dalam Bugis dan Kelurahan Tambelan Sampit Kecamatan Pontianak Timur Kota Pontianak. Dipilihnya Kecamatan Pont ianak Timur karena sebagai cikal bakal berdirinya Kota Pontianak yang merupakan ibu kota propinsi Kalimantan Barat dan merupakan salah satu Kecamatan di Kota Pontianak yang berkebudayaan Melayu. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Juni 2006 sampai dengan bulan Agustus 2006.
Jenis dan Metode Penelitian Metode peneltian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Metode ini dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting) dalam kaitannya dengan pengumpulan data yang umumnya bersifaf kualitatif (Rakhmat, 2004). Melalui metode kualitatif ini peneliti berusaha memahami data dan menafsirkan makna suatu peristiwa tingkah laku manusia dalam situasi tertentu, yaitu mengambarkan nilai- nilai apa saja yang terkandung didalam tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak. Penelitian ini memperhatikan semua faktor yang terdapat didalam tradisi pantang larang, walaupun penekanannya terletak pada makna pesan dan proses komunikasi yang terjadi di dalam tradisi pantang larang, tetapi sega la fenomena yang berkaitan dengan pantang larang menjadi pengamatan mendalam, agar upaya penggambarannya mendekati realitasnya. Metode penelitian menggunakan pendekatan studi kasus pada tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak Timur, dimana penelahannya kepada kasus tersebut secara intensif, mendalam dan mendetail.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara mendalam, wawancara ind ividu, wawancara kelompok, observasi serta dokumentasi. Dengan teknik ini peneliti dapat
36
menggali informasi tentang topik penelitian yang tidak hanya apa yang dikatakan dan dialami informan saja, tetapi lebih dalam dari itu, agar dapat mengungkapkan hal- hal yang tersembunyi jauh di dalam diri informan. Adapun teknik pengumpulan data yaitu : 1. Wawancara mendalam (Indepth Interview) yaitu mengadakan wawancara mendalam dengan Sultan Istana Kadriah Pontianak, yang merupakan salah satu keturunan pendiri Kota Pontianak, Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Pontianak, tokoh Masyarakat Melayu Pontianak (Ustadz). Wawancara juga dilakukan dengan masyarakat Melayu Pontianak yang berumur antara 54 tahun sampai 82 tahun (generasi tua) dan yang berumur antara 25 tahun sampai 42 tahun (generasi muda) pada waktu prosesi perkawinan salah satu keluarga dan pada waktu berkunjung kerumah beberapa masyarakat Melayu Pontianak Timur yang dianggap mengetahui hal- hal yang diperlukan oleh peneliti. Hal ini dengan pertimbangan bahwa mereka cukup memiliki pengetahuan tentang tradisi pantang larang yang berkaitan dengan penelitian ini. Pedoman wawancara secara lengkap disajikan pada Lampiran 1 tentang pedoman wawancara. Wawancara kelompok yaitu wawancara yang dilakukan secara bersamasama dengan informan yang berada dalam satu kelompok masyarakat Melayu Pontianak. Wawancara kelompok dilakukan dengan dukun kampung dan beberapa orang generasi tua dan generasi muda pada waktu menghadiri acara prosesi perkawinan, wawancara kelompok dilakukan sebanyak dua kali. Hal ini merupakan usaha untuk lebih memperdalam informasi yang diperoleh melalui wawancara individu sehingga tidak menutup kemungkinan pertanyaan yang telah diajukan dalam wawancara individu, kembali ditanyakan pada wawancara kelompok. 2. Observasi dalam penelitian ini diarahkan pada tradisi pantang larang. Dengan mengamati elemen yang berkaitan dengan pantang larang yaitu kaitan antara pantang larang dalam perilaku sehari- hari, seperti dalam prosesi perkawinan, kehamilan dan melahirkan dengan nilai- nilai budaya masyarakat Melayu Pontianak. Peneliti melakukan observasi pada pantang larang saat prosesi perkawinan, yaitu dengan mengikuti serangkaian prosesi perkawinan pada
37
salah satu keluarga di masyarakat Melayu Pontianak. Pengamatan ini dilakukan pada bulan Juni 2006. Pada prosesi perkawinan peneliti melihat proses komunikasi yang berlangsung dari orang tua dan dukun kampung tentang pantang larang kepada calon pengantin. Pada masa kehamilan dan kelahiran peneliti lakukan kepada masyarakat Melayu Pontianak Timur yang telah melaksanakan pantang larang pada masa kehamilan dan masa kelahiran. 3. Dokumentasi dalam pengumpulan data penelitian ini yaitu dokumentasi tertulis dan dokumentasi visual. Dokumentasi tertulis yaitu pengumpulan data yag berhubungan dengan dokumen yang terkait dengan penelitian ini yang diperoleh dari Kantor Walikota Kota Pontianak, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pontianak, Kantor Camat Pontianak Timur. Data-data yang diperoleh tentang sejarah Kota Pontianak, kependudukan, geografis kota pontia nak, pendidikan, pekerjaan, agama, suku dan gambaran umum daerah penelitian. Dokumentasi visual berupa foto atau gambar-gambar visual. Foto diperoleh dengan pengambilan gambar pada suatu kejadian atau peristiwa tertentu. Kemudian untuk membantu peneliti dalam mencatat jawaban direkam langsung dengan alat perekam (tape recorder).
Sumber Data Pengambilan sampel dalam penelitian ini lebih difokuskan kepada mengumpulkan data sebanyak mungkin. Pengambilan sampel berkaitan dengan bagaimana memilih informan ya ng dapat memberikan informasi yang mantap dan terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada dalam fokus penelitian ini. Cara seperti ini disebut purposive sample, yaitu berdasarkan apa yang diketahui tentang elemen yang ada dalam fokus penelitian. Menurut Meleong (2005) purposive sample ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) sampel tidak ditentukan atau ditarik terlebih dahulu, (2) pemilihan sampel berurutan, yaitu informasi sebanyak-banyaknya hanya dapat dicapai apabila sampel sebelumnya sudah dijaring. Sampel berikutnya dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperoleh sehingga dapat dipertentangkan atau diisi adanya kesenjangan informasi yang ditemui, (3) penyesuaian
38
berkelanjutan dari sampel, pada mulanya sampel adalah sama kegunaannya, namun semakin banyak informasi yang diperoleh maka sampel makin dipilih atas dasar fokus penelitian, dan (4) pemilihan terakhir jika terjadi pengulangan, jika tidak ada lagi informasi yang dapat dijaring atau jika terjadi pengulangan informasi, maka penarikan sampel harus dihentikan. Setelah
melalui purposive
sample
selanjutnya
dilakukan
dengan
menggunakan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya
untuk
mendapatkan
informan
informasi berikutnya sampai
mendapatkan ”data jenuh” (tidak mendapat informasi baru lagi). Sumber atau informan pertama dalam penelitian ini adalah Pemangku Adat pada Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Propinsi Kalimantan Barat, Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisioanl Kota Pontianak dan Sultan Istana Kadriah Pontianak yang ditentukan secara sengaja (purposive). Setelah itu informan selanjutnya ditentukan dengan menggunakan teknik snowball yang terdiri dari tokoh Masyarakat Melayu Pontianak, dukun kampung dan beberapa masyarakat generasi tua dan generasi muda Melayu Pontianak.
Teknik Analisis Data Penelitian ini mempunyai sifat pengambaran (deskriptif), maka analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil observasi yang disebut Inductive Data. Analisis dengan dua sub proses yaitu unitizing dan categorizing. Unitizing adalah proses pengkodean dimana data mentah diubah dan dimasukkan ke dalam unit- unit yang memungkinkan deskripsi yang tepat tentang karakteristik isi yang relevan. Sedangkan Categorizing atau ketegorisasi adalah proses penggabungan unit- unit data ke dalam kategori-kategori yang memberikan informasi deskriptif atau acuan tentang konteks atau situasi yang menghasilkan unit-unit data itu. Analisa seperti ini disebut dengan Inductive Data Analysis, yaitu data dianalisa dengan induktif, karena konteknya lebih mudah dideskripsikan. Miles dan Huberman yang dikutip oleh Moleong (2005) menyebutkan bahwa penelitian yang dirancang dengan longgar dan sangat induktif akan bermakna tinggi, karena mengandung pembaharuan dan terstruktur lebih longgar, guna menjaring data.
39
Dengan demikian langkah analisis data dalam penelitian ini, menurut Miles yang dikutip oleh Moleong (2005) terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu diawali denga n reduksi data, kemudian penyajian data dan terakhir penarikan kesimpulan. Semua langkah tersebut dilakukan secara bersamaan semenjak di tempat penelitian hingga proses akhir laporan, yaitu : 1. Reduksi data, dilakukan dengan proses pemilihan data, penyederha naan data, pengabstrakan, dan pemindahan data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data ini berlangsung terus menerus selama penelitian sampai laporan akhir lengkap tersusun. 2. Penyajian data secara deskriptif dari berbagai temuan dilapangan, seperti uraian tentang pantang larang pada prosesi perkawinan yang diikuti oleh peneliti, pada masa kehamilan dan pada kelahiran, proses komunikasi yang berlangsung dan menginterpretasikan kutipan-kutipan hasil wawancara dengan individu dan diskusi dengan kelompok. 3. Penarikan kesimpulan dengan cara melakukan verifikasi penyajian data penelitian guna memperoleh kebenaran data atau informasi yang valid kemudian ditarik suatu kesimpulan, kegiatan ini telah dimulai sejak pengumpulan data. Ketiga kegia tan itu dapat digambar di bawah ini : Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 2. Komponen-komponen Analisa Data : Model Interaktif
40
Validitas dan Reliabilitas Kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas) dalam penelitian kualitatif memiliki dasar kepercayaan yang berbeda. Menurut Lincoln dan Guba yang dikutip oleh Moleong (2005) menetapkan ada empat keabsahan data diperlukan untuk teknik pemeriksaan dalam menjamin keabsahan data penelitian kualitatif,
yaitu
derajat
kepercayaan
(credibility),
hasil
keteralihan
(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Keabsahan data dalam penelitian ini dapat diterangkan sebagai berikut : 1. Kredibilitas Kredibilitas dilakukan untuk mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari hasil penelitian, yang dilakukan pada : a) Perpanjangan keikusertaan, dimana peneliti berada pada daerah penelitian selama dua bulan dan mengikuti serangkain pada prosesi perkawinan pada salah satu keluarga masyarakat Melayu Pontianak Timur, sebab dalam penelitian kualitiatif ini merupakan instrumen pokok dari penelitian. Peneliti me lihat bagiamana rangkaian prosesi pada saat perkawinan yang dimulai dengan prosesi berinai, bebedak, betangas, makan- makan, pernikahan dan makan- makan serta mandi- mandi yang mana pantang larang disampaikan oleh orang tua dan dukun kampung kepada calon pengantin yang telah melakukan serangkaian prosesi perkawinan. Selain pantang larang pada prosesi perkawinan peneliti juga melihat dan mendengarkan pantang larang diberikan oleh orang tua dan dukun kampung kepada calon pengantin yang berkaitan dalam masa perkawinan untuk diri sendiri bagi calon pengantin. Didaerah penelitian, peneliti juga sering datang kerumah tokoh masyarakat Malayu Pontianak Timur, dukun kampung dan beberapa masyarakat Melayu Pontianak timur yaitu generasi tua dan generasi muda untuk mendapatkan kejelasan tentang informasi pantang larang pada prosesi perkawinan, pada masa kehamilan dan pada masa melahirkan. Dalam jangka waktu tersebut diharapkan timbul kedekatan antara peneliti dan masyarakat Melayu Pontianak Timur sehingga peneliti dapat me ngetahui tentang tradisi pantang larang yang sesungguhnya.
41
b) Ketekunan pengamatan, hal ini peneliti lakukan dengan observasi secara teliti tentang pesan pantang larang yang disampaikan pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran yang diikuti dengan wawancara mendalam untuk mendapatkan kejelasan dari informasi tentang pantang larang yang diperoleh. c) Triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi dilakukan dengan cara yaitu triangulasi sumber, metode, penyidik dan teori. Triangulasi sumber membandingkan dan mengecek balik kredibilitas suatu informasi yang diperoleh oleh beberapa sumber, seperti dari tokoh masyarakat Melayu Pontianak Timur dengan Dukun Kampung dan masyarakat Melayu Pontianak generasi tua dan generasi muda. Triangulasi metode dilakukan dengan melalui observasi pada pantang larang prosesi perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran pada wawancara dengan masyarakat Melayu Pontianak Timur, yang hasilnya peneliti bandingkan dengan untuk mencari kesamaan maupun perbedaan dan dianalisa pada triangulasi sumber. Triangulasi teori dilakukan dengan menganalisis hasil penelitian dengan teori-teori yang sesuai untuk memperkuat hasil penelitian. 2. Tranferabilitas Tranferabilitas dalam penelitian ini dengan cara menyajikan hasil penelitian ini secara deskripsi dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai penulisan ilmiah. Dalam penelitian ini tranferabilitas setiap data yang diperoleh langsung ditabulasi dan dianalisis dilapangan, sehingga penulisan penelitian ini dari awal penelitian hingga akhir penelitian. 3. Dependabilitas Dependabilitas dalam penelitian ini salah satu penilaiannya melakukan pemeriksaan (audit) dependabilitas itu sendiri Pengecekan atau penilaian ketepatan peneliti dalam mengkonseptualisasikan apa yang diteliti merupakan cerminan dari kemantapan dan ketepatan menurut standar reliabilitas
42
penelitian.
Keseluruhan
proses
penelitian
ini
baik
dalam
kegiatan
pengumpulan data, interpretasi temuan maupun dalam melaporkan hasil oleh peneliti merupakan konsistensi yang akan semakin memenuhi standar dependabilitas. Dalam penelitian ini pemeriksaan dilakukan oleh auditor independen, yaitu pembimbing penelitian dengan memberikan masukan terhadap seluruh hasil penelitian pada peneliti. 4. Konfirmabilitas Konfirmabilitas pada penelitian ini lebih terfokus pada pemeriksaan kualitas dan kepastian hasil penelitian, apa benar berasal dari pengumpulan data dilapangan. Pemeriksaan konfirmabilitas ini dilakukan dengan pemeriksaan dependabilitas yang dilakukan peneliti dengan menghubungi informan jika dirasakan ada hal-hal yang kurang lengkap.
43
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Gambaran Umum Kota Pontianak 1. Keadaan Geografis Kota Pontianak merupakan ibu kota Propinsi Kalimantan Barat. Luasnya mencakup 107,82 kilometer persegi, yang terdiri dari lima kecamatan dan dua puluh empat kelurahan. Kota Pontianak dilintasi garis Khatulistiwa yaitu pada 00 02’ 24” Lintang Utara sampai dengan 00 05’ 37” Lintang Selatan dan 1090 16’ 25” Bujur Timur sampai dengan 1090 23’ 01” Bujur Timur. Ketinggian Kota Pontianak berkisar antara 0,10 meter sampai 1,50 meter diatas permukaan laut. Wilayah Kota Pontianak secara keseluruhan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pontianak, yaitu : a. Bagian Utara dengan Kecamatan Siantan b. Bagian Selatan dengan Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Kakap dan Kecamatan Siantan. c. Bagian Barat dengan Kecamatan Sungai Kakap. d. Bagian Timur dengan Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang. Kecamatan di Kota Pontianak yang mempunyai wilayah terluas adalah Kecamatan Pontianak Utara (34,52 persen), diikuti oleh Kecamatan Pontianak Selatan (27,24 persen), Kecamatan Pontianak Barat (20,51 persen), Kecamatan Pontianak Kota (9,59 persen) dan Kecamatan Pontianak Timur (8,14 persen). Kecamatan Pontianak Timur adalah salah satu kecamatan yang terdapat di dalam wilayah Kota Pontianak, yang terletak diantara dua sungai yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Landak yang berkedudukan di Kelurahan Tanjung Hulu. Adapun mengenai batas-batas Kecamatana Pontianak Timur adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Landak b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sungai Ambawang c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Kapuas d. Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Landak
44
Luas wilayah Kecamatan Pontianak Timur adalah 878 hektar atau 8,78 kilometer persegi, yang terbagi dalam tujuh wilayah kelurahan yang secara terperinci dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan Pontianak Timur No.
Kelurahan
Luas Wilayah (Ha)
Persentase (%)
1.
Saigon
280
31,89
2.
Dalam Bugis
198
22,55
3.
Parit Mayor
106
12.07
4.
Banjar Serasan
114
12,98
5.
Tanjung Hulu
109
12,42
6.
Tambelan Sampit
41
4,67
7.
Tanjung Hilir
30
3,42
878
100,00
Jumlah
Sumber : Monografi Kantor Camat Pontianak Timur (Tahun 2005) Dari tujuh kelurahan yang ada, sampai saat ini baru dua kelurahan yang sudah mempunyai lingkungan yaitu Kelurahan Dalam Bugis dan Kelurahan Tambelan Sampit. Kelurahan Dalam Bugis ada empat lingkungan, yaitu : b. Lingkungan Sultan Abdurrahman c. Lingkungan Sultan Muhammad d. Lingkungan Panglima Daud e. Lingkungan Tanjung Pulau Kelurahan Tambelan Sampit ada dua lingkungan, yaitu : a. Lingkungan Panglima Abdurrani b. Lingkungan Pange ran Bendahara Syarif Abdurrahman 2. Kependudukan Jumlah penduduk tahun 2005 berjumlah 68.216 jiwa, terdiri dari 35.278 laki- laki
(51,75 persen) dan 32.938 perempuan (48,28 persen). Penduduk yang
tinggal di wilayah Pontianak Timur terdiri dari suku Melayu, Madura, Dayak, Tionghoa, Jawa dan lain- lain. Hal ini menunjukkan sikap kebersamaan serta saling penuh pengertian dalam pergaulan dengan sesamanya dalam kehidupan sehari- hari. Hal ini terbukti karena di Kecamatan Pontianak Timur tidak pernah
45
terjadi kerusuhan sosial sebagai akibat dari beraneka ragamnya suku bangsa di wilayah ini. Jumlah penduduk menurut suku bangsa di Kecamatan Pontianak Timur dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Suku di Kecamatan Pontianak Timur No.
Suku
Jumlah Jiwa
Persentase (%)
1.
Melayu
30.208
44,33
2.
Madura
13.102
19,23
3.
Dayak
2.912
4,27
4.
Tionghoa
3.365
4,94
5.
Jawa
4.193
6,15
6.
Lain- lain
14.356
21,08
68.136
100,00
Jumlah
Sumber : Monografi Kantor Camat Pontianak Timur (Tahun 2005) Tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk yang mendiami Kecamatan Pontianak Timur bersuku bangsa Melayu. Selain itu penduduk dari suku Madura juga terdapat dalam jumlah yang cukup banyak di Kecamatan Pontianak Timur. Sementara penduduk dari suku Dayak, suku Tionghoa dan Jawa tidak menunjukkan jumlah yang banyak. Mayoritas penduduk yang mendiami Kecamatan Pontianak Timur beragama Islam yaitu 63.684 jiwa (93,36 persen). Hal ini dapat dimengerti karena mayoritas penduduk di Kecamatan Pontianak Timur ini adalah dari Suku Bangsa Melayu yang hampir semuanya memeluk agama Islam. Selain memeluk agama Islam penduduk di Kecamatan Pontianak Timur ada juga yang memeluk agama Khatolik 2.355 jiwa (3,45 persen), agama Kristen Protestan 961 jiwa (1,41 persen), agama Hindu 422 jiwa (0,62 persen) dan agama Budha 794 jiwa (1,16 persen). 3. Mata Pencaharian (Pekerjaan) Dilihat dari mata pencaharian penduduk Kecamatan Pontianak Timur mayoritas sebagai buruh 2.308 jiwa (37,77 persen) sebagai buruh tukang bangunan, buruh pabrik maupun buruh perkebunan. Selain itu penduduk yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 1.974 jiwa (32,31 persen), Pegawai Negeri
46
Sipil (PNS) sebanyak 782 jiwa (12,80 persen). Penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan tidak menunjukkan jumlah yang banyak yaitu hanya (0,13 persen) meskipun Kecamatan ini dekat dengan sungai Kapuas dan Sungai Landak. Selebihnya mereka berkerja sebagai peternak, petani, pengrajin, pengusaha, TNI/ Polri dan pensiunan.
Sejarah Kota Pontianak Riwayat berdirinya
Kota
Pontianak
yang
didirikan
oleh
Syarif
Abdurrahman Alqadrie pada tanggal 24 Rajab 1181 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1771 Masehi. Syarif Abdurrahman Alqadrie adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Syarif Husin Alqadrie seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga kerajaan Matan (Ketapang). Ibunya Nyai Tua adalah seorang putri dari kerajaan Matan yang menurut penulis Belanda JJK. Enthoven adalah seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam. Rombongan Syarif Abdurrahman Alqadrie membuka hutan dititik pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas. Daerah ini tidak subur, tanah gambut dan lumpur, susah untuk tanaman sayuran apalagi padi, juga susah air bersih. Tetapi dari segi strategi, letak tempat ini sangat baik karena daerah lalu lintas yang ramai dari pedalaman dan antar pulau serata perdagangan laut. Orang ramai datang dari pedalaman maupun daerah sekitar. Pada tahun 1192 H Syarif Abdurrahman Alqadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak yang pertama. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Raya Sultan Abdurrahman Alqadrie dan Istana Kadriah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Menurut Sultan IX Kerajaan Pontianak, Sultan Syarif Abu Bakar Alqadrie menyatakan sejarah berdirinya Kesultanan Pontianak berawal dari pengembangan seorang ulama muda Islam berasal dari Hadramaut, yaitu Habib Husin Alqadrie. Habib Husin Alqadrie adalah seorang penyiar agama Islam yang kawin dengan anak raja Tanjungpura yang kemudian memboyong seluruh keluarga pindah ke Kerajaan Mempawah karena kemashurannya dalam menyiarkan agama Islam. Setelah Habib Husin Alqadrie wafat, anak pertamanya yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie meninggalkan Mempawah dan mendirikan kerajaan
47
Kesultanan Pontianak. Pemilihan lokasi kerajaan selain mendapatkan wasiat dari sang ayah, pemilihan juga dilakukan dengan menembakkan meriam. Di mana peluru meriam jatuh, itulah didirikan sebuah masjid yang diberi nama Mesjid Jami Sultan Abdurrahman. Di tempat Masjid yang dibangun Sultan Syarif Abdurrahaman Alqadrie, kemudian beliau menembakkan peluru dari arah selatan, dimana perluru itu jatuh di situ akan di bangun Istana, selesai untuk Istana lalu beliau menembakkan kembali kearah utara, dimana itu jatuh peluru maka akan dijadikan tempat pengistirahatan terakhir yaitu daerah Batu Layang. Pemberian nama Pontianak sendiri oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie dimana beliau pada waktu membuka Kota Pontianak, bukan berperang melawan manusia tetapi melawan hantu-hantu, karena selalu diganggu oleh hantu jahat yang disebut kuntilanak sehingga untuk mengusirnya harus ditembak dengan meriam, maka tempat dimana Sultan Syarif Abdurrahman membangun pemukiman baru yang disebutnya Pontianak. Sebagaimana yang diceritakan oleh Sultan IX Kerajaan Pontianak, yaitu : “Karena beliau sendiri menyaksikan dan membuktikan dan berperang kepada hantu Pontianak, bukan berperang kepada manusia. Pokoknye macam- macam bunyi dan suara dengan ketawa, menurut sejarah seram sekali. Orang jawa menyebutnya kuntilanak, jadi nama Pontianak di ambil dari nama hantu kuntilanak” Upaya Sultan Kota Pontianak Syarif
Abdurrahman
membangun
pemukiman keluarganya di Pontianak semakin dikembangkan. Rumah-rumah kecil dibangun untuk pengikutya terutama para awak perahu dan para pedagang. Dalam tiga tahun pertama, daerah ini telah menjadi pemukiman yang ramai. Sebagai seorang pedagang yang telah berpengalaman diberbagai negeri dan hubungan dagangnya dengan pedagang luar negeri, mendorong Sultan Syarif Abdurrahman untuk mengembangkan Pontianak sebagai pusat perdagangan. Setelah Sultan Syarif Abdurrahman wafat kota Pontianak tetap berkembang menjadi kota perdagangan yang ramai dan telah mengalami pergantian pemerintahan sebanyak delapan sultan. Adapun para sultan yang pernah memegang tampuk pimpinan Kesultanan Pontianak adalah : 1. Sultan Syarif Abdurrahman bin AlHabib Husin Alqadrie (1771-1806) 2. Sultan Syarif Kasim bin Syarif Abdurrahman Alqadrie (1806-1819)
48
3. Sultan Syarif Usman bin Syarif Abdurrahman Alqadrie (1819-1855) 4. Sultan Syarif Hamid bin Syarif Usman Alqadrie (1855-1872) 5. Sultan Syarif Yusuf bin Syarif Hamid Alqadrie (1872-1895) 6. Sultan Syarif Muhammad bin Syarif Yusuf Alqadrie (1895-1944) 7. Sultan Syarif Thaha bin Syarif Usman Alqadrie (1944-1945) 8. Sultan Syarif Hamid II bin Syarif Muhammad Alqdrie (1945-1950) Tahun 2004 Kesultanan Pontianak dipilih kembali dengan dinobatkan sultan IX Kesultanan Pontianak yang bernama Sultan Syarif Abubakar bin Syarif Mahmud Alqadrie. Masyarakat Melayu Pontianak Timur 1. Stratifikasi Sosial Masyarakat Penduduk suku bangsa Melayu Pontianak Timur pada umumnya secara stratifikasi dibedakan atas keturunan bangsawan dan keturunan rakyat kebanyakan. Pada masa lalu golongan keturunan bangsawan ini seperti membentuk kelompok khusus baik dalam hal bertempat tinggal maupun dalam pergaulan. Tempat tinggal keturunan bangsawan ini rata-rata tinggal di perkampungan sekitar istana Kadriah. Mereka saling berkomunikasi ke dalam dan melakukan perkawinan antar keluarga. Sejalan dengan pembangunan kota Pontianak yang memasuki era modernisasi, keadaan masyarakat Melayu Pontianak sedikit berubah dari masa ke masa, di mana stratifikasi sosial dalam masyarakat Melayu Pontianak Timur yang masih begitu jelas antara keturunan bangsawan dan rakyat kebanyakan sudah tidak lagi membuat jarak. Masa sekarang tempat tinggal antara keturunan bangsawan dan rakyat kebanyakan sudah membaur menjadi satu. Sehingga hubungan komunikasi dan pergaulan sehari- hari sudah menjadi sangat lancar. Bagi keturunan bangsawan Melayu Pontianak Timur sudah cukup menyadari bahwa status kebangsawanan saja tidak menjamin sepenuhnya kesejahteraan hidup di masa depan. Apalagi bahwa simbol supremasi kebangsawanan sekarang telah bergeser oleh pangkat, kedudukan dan gelar kesarjanaan. Golongan keturunan bangsawan mempergunakan simbol status berupa gelar kebangsawanan di depan nama mereka. Hampir setiap sultan atau panembahan pada masa lalu mempergunakan gelar yang berbeda-beda, sehingga
49
anak cucu keturunannya sekarang mud ah dikenal dari lingkungan kerajaan mana mereka berasal, dengan mengetahui gelar yang dipakai didepan namanya. Untuk keturunan bangsawan Pontianak mempergunakan gelar Syarif (laki- laki) dan Syarifah (perempuan). Dalam penyelenggaraan upacara-upacara tradisional, para keturunan bangsawan sampai sekarang ini masih biasa menggunakan atribut-atribut khusus, baik untuk menunjukkan kenangan pada masa kebesarannya dahulu, maupun tuntutan sakral magis agar dihormati. Atribut-atribut khusus itu antara lain : pakaia n adat yang berwarna kuning, payung kerajaan yang berwarna kuning, dan alat-alat perlengkapan upacara yang hanya dimiliki oleh kerajaan. Dahulu dalam pertemuan-pertemuan adat, khususnya dalam upacara perkawinan ada pemisahan yang tegas dalam kedudukan tamu-tamu dari golongan bangsawan. Tamu-tamu dari keturunan bangsawan harus duduk di bagian atas atau depan dengan layanan yang baik, sedangkan tamu-tamu dari rakyat biasa duduk pada bagian bawah atau di belakang. Pada saat sekarang urutan duduk dalam upacara adat lebih kepada sistem undangan bebas dan dengan hidangan prasmanan. Sekarang ini Istana Kadriah Kesultanan Pontianak lebih banyak digunakan untuk kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh keturunan kerajaan maupun masyarakat Melayu sekitar kerajaan, agar peran Istana bukan hanya milik para keturunan Kerajaan tetapi juga milik masyarakat Kota Pontianak, khususnya masyarakat Melayu Pontianak Timur sebagai cikal bakal berdirinya Kota Pontianak. 2. Sistem Kekerabatan Didalam hubungan kekerabatan di lingkungan masyarakat Melayu Pontianak Timur, hubungan keturunan inilah yag paling memegang peranan yang paling berpengaruh. Keterikatan seseorang dalam hubungan kekerabatan perhatian tidak saja diberikan pada garis keturunan yang berada disebelah atas, tetapi juga bagi garis keturunan yang berada disebelah ayah maupun ibu. Garis vertikal ke atas ini meliputi : 1) Saudara ayah 2) Saudara ibu 3) Saudara orang tua ayah
50
4) Saudara orang tua ibu 5) Saudara orang tua kakek 6) Saudara orang tua nenek Bagi keluarga Melayu di Pontianak Timur biasanya orang tua laki- laki dan perempuan berada di rumah, karena mereka umumnya bekerja menjual jasa tenaga mencari tempat sewaan seperti warung-warung untuk tempat berjualan. Dalam keluarga inti lengkap tidak hanya ayah yang mencari nafkah biasanya dibantu pula oleh istri dan anak-anak, selain mengasuh anak seorang ibu juga mempunyai peranan mencari ekonomi dalam memenuhi kebutuhan keluarga yaitu dengan membuka warung dirumahnya atau berdagang dipasar. Hubungan kekerabatan suku Melayu di Pontianak Timur masih ditemukan adanya kindred, yaitu adanya kesatuan kekerabatan yang melingkari seseorang, sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tertentu, seperti peristiwa perkawinan, kehamilan, kematian dan sebagainya. Biasanya dalam aktivitas-aktivitas tertentu tersebut semua orang yang masih ada hubungan darah yang dapat ditelusuri, diberitahukan dan diundang untuk ikut mengambil bagian. Seandainya ada yang tidak diundang, sedangkan yang bersangkutan masih ada hubungan kerabat dengan yang mempunyai aktivitas, yang bersangkutan akan tersinggung. Dalam hubungan kekerabatan, aktivitas-aktivitas kekeluargaan suku Melayu Pontianak Timur mempunyai pola sopan santun kekerabatan. Biasanya penghormatan diberikan terutama kepada yang mempunyai (menyelenggarakan) aktivitas keluarga tersebut. Dalam upacara-upacara yang dihadiri oleh sanak keluarga, yang lebih muda biasanya selalu mengalah dan memberikan kesempatan kepada yang lebih tua. Dalam cara mempersilahkan sesuatu, misalnya masuk kedalam ruangan, makam dan sebagainya, yang muda membungkukkan badan dengan menggerakkan tangan kanan kearah yang dimaksud, dimana telapak ditengadahkan keatas dan dirapatkan. Menurut kisahnya, kerelaan hati dari yang muda dalam mendahulukan yang tua tergambar dari putihnya telapak tangan. 3. Pengunaan Bahasa Bahasa adalah suatu sistem simbol yang telah diatur, disepakati bersama serta dipelajari, yang digunakan untuk mewakili pengalaman-pengalaman dalam komunitas geografik atau cultural tertentu. Menurut Edward Sapir yang dikutip
51
oleh Sunarwinadi (2000) menyatakan bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial. Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari- hari masyarakat Melayu Pontianak Timur adalah bahasa Melayu dengan dialek Pontianak. Bahasa Melayu disini pada dasarnya sama dengan bahasa Indonesia, hanya saja berbeda pada dialek pengucapannya. Pengucapan huruf “r” yang kurang jelas dan pengucapan huruf “u” seolah-olah dibaca dengan huruf “o”, nampak sekali dalam percakapan antarwarga masyarakat Melayu Pontianak Timur khususnya, dan pada masyarakat Melayu Pontianak umumnya. Berbeda dengan masyarakat pendatang dari luar Kalimantan Barat meskipun mereka sudah lama tinggal di Pontianak, tetapi dalam pengucapan huruf “r” tetap jelas. Orang akan mudah mengetahui seseorang itu warga pendatang atau bukan, bisa dilihat dari cara pengucapan huruf “r” (jelas atau tidak). Perbedaan antara dialek bahasa Melayu Pontianak dengan Bahasa Indonesia dapat pada lampiran 3.
52
TRADISI PANTANG LARANG PADA MASYARAKAT MELAYU PONTIANAK
Deskripsi Umum Pantang Larang Masyarakat Melayu Pontianak Bagi masyarakat Melayu Pontianak dalam berbagai tradisi yang mereka lakukan merupakan tradisi yang turun temurun dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Tradisi pantang larang dalam masyarakat Melayu Pontianak terdapat dalam setiap siklus kehidupan yang mempunyai makna pesan bagi masyarakat agar tetap melaksanakan nilai- nilai yang ada pada tradisi tersebut. Tradisi pantang larang ini telah ada sejak nenek moyang mereka dahulu sehingga tetap dipertahankan oleh orang tua-tua. Menurut Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Pontianak, Lisyawati Nurcahyani, tradisi pantang larang yang cenderung mengenai daur hidup yang berkaitan dengan kebudayaan. Sebelum Islam datang sudah punya kebudayaan sendiri, jadi punya warisan nenek moyang. Tahap pertama, berdasarkan sejarah sebelum ada proses sekarang ada proses yang terdahulu, dimana yang pertama itu kepercayaan dengan animisme dan dinamisme, munculnya kebudayaan itu karena baru mempunyai sebatas kemampuan untuk itu. Jangkauan pemikiran manusia pada saat itu mengatakan bahwa ada kekuatan lain selain dirinya, ada kekuatan yang lebih besar, ini terjadi karena pengalaman-pengalaman yang mereka alami setiap hari. Kemudian ada perkembangan dimana muncul suatu keyakinan, suatu agama, agama Hindu, Budha, Kristen dan akhirnya orang masuk Islam. Penyebaran agama Islam yang lebih lunak, mengikuti adat dan tradisi masyarakat, sehingga mudah diterima. Saat ini selama tradisi pantang larang tidak melanggar aturan-aturan dalam Al-Qur’an maka tradisi pantang larang boleh dilakukan. Dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa orang gererasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak menyatakan bahwa tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak yaitu : 1. Tradisi pantang larang sebaga i suatu sistem kepercayaan pada masyarakat Melayu Pontianak
dapat dilihat pada pantang larang yang menjadi suatu
pengalaman dari orang-orang tua mereka pada zaman dahulu, sehingga
53
mereka menyakini tradisi pantang larang tersebut sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh orang tua mereka. Unsur kepercayaan pada pantang larang bagi masyarakat Melayu Pontianak, diungkapkan oleh salah seorang warga masyarakat, yaitu : “Kite percaya same pantangan yang diberikan oleh orang tua karne pantangan itu udah ade dari duloknye, kamek ikot jak, contoh pantangan yang sehari-hari sering kite dengar kalo anak gadis tak boleh dudok ditepi pintu, sampai sekarang pon maseh kamek sampaikan seme anak-anak kamek,” Pantang larang ini menjadi suatu kepercayaan karena diyakini oleh masyarakat. Kepercayaan akan adanya pantang larang diungkapkan juga oleh generasi muda masyarakat Melayu Pontianak, ibu Salma, yaitu : “Ade pantangan dan larangan yang maseh kamek ikot tu, waktu kamek hamel, kate orang tue orang hamel tak boleh macammacam,apelagi sampai bunuh binatang” Kepercayaan akan tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak menjadi unsur budaya yang dipandang penting untuk dilakukan. 2. Tradisi pantang larang sebagai suatu nilai pada masyarakat Melayu Pontianak karena dilihat dari batasan nilai sebagai ukuran perasaan seseorang yang berhubungan dengan pesan yang disampaikan apa berupa baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu pantang larang yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Hal ini dilihat pada pandangan anak untuk memaknai pesan pantang larang yang diberikan oleh orang tua sebagai suatu yang baik buat dirinya. 3. Tradisi pantang larang sebagai unsur sikap dari suatu kebudayaan pada masyarakat Melayu Pontianak dilihat dari sikap masyarakat yang memandang dari
kepercayaan
atau
keyakinan
serta
nilai- nilai
yang
melandasi
perkembangan dan isi dari sistem sikap. Sikap yang merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya, jadi sikap seseorang melaksanakan pantang larang karena adanya kepercayaan dan nilai yang terkandung pada pantangan dan larangan tersebut. 4. Tradisi pantang larang sebagai unsur personal, norma dan tata kelakuan pada masyarakat Melayu Pontianak yang menjadikan pantang larang sebagai suatu kebiasaan atau tradisi dalam masyarakat. Unsur kebudayaan ini merupakan
54
komponen yang penting dalam menjalani tradisi pantang larang oleh masyarakat. Dari unsur kebudayaan personal atau individu, norma dan tata kelakuan masyarakat membuat suatu proses komunikasi. Dalam melaksanakan siklus kehidupan tersebut, terdapat tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak, seperti pada prosesi tradisi perkawinan, ketika seorang wanita hamil dan melahirkan, pada masa itu diberlakukan pantang larang bagi calon pengantin, calon ibu dan ayah. Tetapi tidak semua tradisi yang ada dalam masyarakat Melayu Pontianak diberlakukan pantang larang. Dari hasil pengamatan peneliti tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak dalam masa perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran sangat sarat dengan pantang larang pada nilai- nilai yang terkandung didalamnya. Pantang Larang dalam Prosesi Perkawinan Masyarakat Melayu Pontianak bila sudah ditetapkan hari perkawinan berarti pantang larang juga juga dibuat untuk calon pengantin. Apa yang telah ditetapkan harus diikuti oleh calon pengantin untuk kebaikan mereka. Pantang larang bukanlah menjadi kewajiban tetapi sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Melayu khususnya Melayu Pontianak. Pesan pantang larang perkawinan selalu ada pada prosesi tradisi perkawinan, di mana setiap prosesi perkawinan yang dilaksanakan akan terdapat pantang larang bagi calon pengantin untuk mempermudah menjalani proses awal perkawinan sampai selesai menjalani prosesi perkawinan. Pantang larang ya ng dibuat untuk menjaga agar calon pengantin menjaga diri dari bahaya-bahaya sebelum mereka menikah. Adapun prosesi perkawinan yang didalamnya sarat dengan nilai-nilai budaya berupa pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak, seperti : 1. Meminang Meminang pada masyarakat Melayu Pontianak, lazimnya dilakukan oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, apakah pinangnya ditolak atau diterima. Kalau ditolak biasanya dilakukan secara halus agar pihak laki- laki tidak tersinggung, kalau diterima maka persiapan alat-alat dan kelengkapan untuk meminang, baik dari pihak laki- laki maupun pihak perempuan yang dipinang, berupa :
55
1) Pembicaraan waktu yang telah disepakati untuk acara peminangan tersebut, berapa orang yang akan datang dari pihak laki- laki, agar pihak perempuan dapat melakukan persiapan. 2) Tempat sirih lengkap dengan isinya seperti sirih, pinang, kapur, gambir serta tembakau. 3) Kesepakatan dua belah pihak mengenai antar tanda. 4) Menetapkan hari akad nikah dan hari pesta perkawinan (resepsi). Setelah acara meminang selesai, pantang larang kepada kedua calon pengantin diharapkan dapat menjaga diri masing- masing agar jangan sampai terpikat dengan gadis atau perjaka lain, karena jika hal ini terjadi akan memalukan kedua belah pihak calon pengantin. Selain itu pantang larang ini dibuat agar calon pengantin lebih memaknai nilai- nilai agama Islam sebelum menjadi suami istri. Prosesi perkawinan pada acara meminang yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak karena menjalankan tradisi sesuai syariat Islam sehingga terjadi keterhubungan antara agama dan tradisi dalam budaya masyarakat. 2. Berinai Berinai atau berpacar dalam bahasa Melayu Pontianak adalah memasang inai yang sudah digiling halus dan lumat pada kuku jari tangan dan kuku kaki serta telapak tangan, kaki dan tumit. Dalam tradisi Melayu Pontianak berinai termasuk rangkaian prosesi perkawinan. Berinai biasanya di mulai empat hari sebelum upacara pernikahan, berinai dilakukan baik oleh calon pengantin laki- laki maupun calon pengantin perempuan. Acara ini dilakukan bersamaan walaupun terpisah di rumah masingmasing. Berinai ini dimaksudkan agar menolak bala, supaya tubuh dan wajah calon pengantin tampak bercahaya, cantik dan menarik sebagai lambang siap meninggalkan hidup membujang untuk berumah tangga. Menginai ibu jari dimaksudkan agar sifat egois dan merasa hebat sendiri dapat dijauhi. Menginai jari telunjuk dimaksudkan agar jangan hanya suka memerintah saja, tetapi dapat membuktikan dalam kelakuannya. Menginai jari tengah agar dapat menghilangkan rasa takut karena salah dan berani karena benar. Menginai jari manis agar terbiasa berbuat yang baik-baik saja. Menginai jari
56
kelingking dimaksudkan agar dalam diri muncul rasa kebersamaan dan tolong menolong. Berinai dilakukan karena tradisi ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Melayu Pontianak bila akan melangsungkan perkawinan, berinai dilakukan sebagai petanda bahwa mereka telah menikah. 3. Berbedak Berbedak atau luluran di masyrakat Melayu Pontianak wajib dilakukan oleh calon pengantin, khususnya pengantin perempuan. Berbedak dimaksudkan agar membersihkan badan dari kotoran dan agar badan calon pengantin wangi. Berbedak biasanya dilakukan seminggu sebelum acara akad nikah. Pantang larang kalau sudah berbedak tidak boleh lagi keluar rumah bagi calon pengantin. Pantang larang ini di buat agar calon pengantin dapat menjaga tubuhnya dengan tidak boleh lagi melihat cermin karena akan hilang cahaya wajah dan tidak boleh memakai emas. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang generasi tua masyarakat Melayu Pontianak, ibu Jamilah, yaitu : “Pantang misalnye kite nak kawen, kalo nak jatohkan bebedak tu tak boleh bekace, ilang cahaye muke, kedua tak boleh makai emas, kalo pakai mas tu cahaye tak ade, ketige barulah kite jatohkan bedak, udah jatohkan bedak, setelah bebedak kite pon betanggas” Pantang larang ini sudah belangsung lama, sehingga bila tidak dilakukan maka dalam menjalani proses perkawinan tidak lengkap. Berbedak ini juga masih sering dilakukan oleh generasi muda sekarang pada waktu mereka menikah, sebagaimana mana yang dikatakan oleh Ibu Salma, yaitu “Dulok waktu saye kawen, saye juga disuroh bebedak karne kate orang tue saye dengan bebedak,badan kita akan wangi, orang yang nak kawen tuh harus wangi, selain itu bebedak udah menjadi kewajiban kalo orang mau kawen” Dari hasil pengamatan peneliti pada salah satu calon pengantin pada masyarakat Melayu Pontianak , bila berbedak ini sudah dilakukan khsususnya pada calon pengantin perempuan, maka pantang larang yang diberlakukan yaitu calon pengantin tidak boleh lagi keluar rumah, karena calon pengantin sudah harus masuk dalam masa di pinggit.
57
Bebedak merupakan tradisi yang sudah menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat Melayu Pontianak dalam melaksanakan perkawinana. Bebedak sudah dilakukan oleh orang tua-tua dahulu sebagai suatu tradisi yang wajib dilakukan sebelum melakukan pernikahan. Pada saat ini, tradisi bebedak juga masih tetap dilakukan oleh generasi muda tapi tidak dilakukan selama satu bulan seperti orang tua dahulu, mereka hanya melakukan paling lama satu minggu saja sebagai syarat dalam prosesi perkawinan pada masyarakat Melayu Pontianak. 4. Betangas Betangas yang dilakukan oleh calon pengantin untuk membersihkan badan atau mengeluarkan keringat agar badan menjadi wangi menjelang perkawianan. Betangas umumnya dilakukan oleh pihak calon pengantin perempuan, tetapi biasanya juga dilakukan oleh calon pengantin laki- laki. Bahan-bahan atau peralatan yang digunakan untuk betangas pertama kali yang harus disiapkan adalah paku, keminting, pucuk lidik, danti, kesuri, pala sari dan daun-daun wewangian, dimasukkan dalam periuk atau belangga yang ditutup dengan daun pisang kemudian direbus sampai mendidih. Selanjutnya calon pengantin dimasuk dalam gulungan tikar pandan yang ditutup rapat dengan menggunakan kain, kemudian menusuk periuk tersebut secara perlahan hingga menguarkan aroma yang wangi. Bagi calon pengantin yang sudah melakukan berbedak dan betangas maka pantang larang untuk keluar rumah, dikhawatirkan akan terjadi apa-apa pada calon pengantin karena aroma pengantin yang sudah wangi. Sebagaimana yang dikatakan oleh dukun kampung, ibu Syarifah Rohani, yaitu : “Kalo calon penganten udah betangas, calon penganten tak boleh agik keluar rumah,karne penganten udah wangi, selaen itu kalo pun udah betangas calon penganten tak boleh mandi dengan sabun, ditakutkan wangi tangas akan ilang, jadi mandi dengan bersehkan gitu jak, dulok ade orang yang melanggar itu, mandi dengan sabun tibe-tibe badannye jadi biru-biru lebam” Betangas ini dilakukan selama tiga hari sampai empat hari sebelum perkawinan. Bagi masyarakat Melayu Pontianak, baik generasi tua dan generasi muda betangas wajib dilakukan sebelum perkawinan karena tradisi ini sudah berlangsung dari zaman dahulu.
58
5. Makan- makan Tradisi makan- makan dilakukan sebelum akad nikah bagi calon pengantin, dimaksudkan untuk mempermudah menjalin rumah tangga, atau sebagian menganggap ini merupakan nafkah atau makanan terakhir yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Tradisi makan-makan yang harus disiapkan, yaitu : a. Empat jenis pulut atau ketan. b. Ayam panggang. c. Nasi kuning. d. Pisang berangan. e. Telur ayam kampung yang diatasnya dikasih emas. f. Air putih. g. Lilin merah dan lilin kuning. h. Beras kuning. i.
Berteh.
j. Minyak bau. k. Kelapa. l.
Benang. Makanan ini ditelakkan di atas pahar. Sebelum acara makan- makan
dimulai diadakan dulu pembacaan “Do’a Selamat dan Do’a Tolak Bala” oleh tokoh Agama. Dalam tradisi makan- makan, empat jenis pulut mempunyai arti atau makna, yaitu: a. Pulut atau ketan berwarna kuning melambangkan keturunan Melayu. b. Pulut warna merah dimaksudkan penghormatan terhadap orang-orang tua dahulu. c. Pulut warna putih dimaksudkan bersih. d. Pulut warna hitam dimaksudkan keras hati. Empat warna pada ketan ini juga melambangkan empat elemen dalam kehidupan. Merah dilambangkan merupakan unsur api, kuning dilambangkan merupakan unsur udara, hitam dilambangkan merupakan unsur tanah atau bumi, putih dilambangkan merupakan unsur air. Waktu pertama yang diambil oleh calon pengantin untuk dimakan melambangkan sifat dari calon pengantin tersebut.
59
Pantang larang untuk makan-makan dilakukan agar calon pengantin terhindar dari berbagai macam bahaya sebelum dan sesudah perkawinan. Makanini dilakukan oleh dukun atau bahasa Melayu Pontianak dikatakan “tukang beri makan-makan”. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang dukun yang memberi makan-makan bagi calon pengantin, yaitu : “Kalo tak dibawa tu, pantangnye yang udah didapat tu, kite pasti dapat anok ye, balak, biase pantangannye kalo tak dilaksanakan nampak dalam kite nak kawen, macam- macam terjadi tu, ade lah entah ape-apelah dirumah, cekcok-cekcok lah di rumah, ntah dari penganten lah, ntah ape-apelah, pasti tu, makenye harus dibuat biar sikit, adat tu harus dibawa” Tradisi makan- makan ini bagi calon pengantin wajib bagi yang mau melakukan tradisi Melayu. Dalam pelaksanaan tradisi makan- makan, calon pengantin harus duduk di atas tujuh macam kain, salah satunya adalah kain kuning. Kain kuning ini melambangkan atau simbol bagi orang Melayu. Pahar untuk sajian makan- makan juga di alaskan dengan kain kuning. Tradisi makan-makan tidak semua dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak karena tergantung kepada orang tua masing- masing. Bila orang tua masih memegang kuat tradisi makan-makan, maka wajib dilakukan oleh setiap keturunannya tetapi bila orang tua sudah tidak lagi memegang kuat tradisi ini maka tidak dilakukan. Bagi generasi tua tradisi makan- makan dilakukan sebagai tradisi untuk menghormati nenek moyang mereka karena bila tidak dilakukan makan-makan maka calon pengantin akan mengalami berbagai macam permasalahan dalam menjalani hidup berumah tangga tetapi bagi generasi muda tradisi makan- makan sebagai sebuah tradisi dalam menjalani prosesi perkawinan saja dan mereka menganggap sebagai pemberian makan terakhir dari orang tua kepada anaknya. 6. Penik ahan Setelah tiba pada hari yang telah ditetapkan, diadakan acara akah nikah. Rombongan calon pengantin laki- laki ke rumah calon pengantin perempuan dengan membawa perlengkapan baik menurut syariat maupun adat yaitu berupa mahar (mas kawin) yang telah disepakati. Upacara akad nikah biasanya diawali
60
dengan penyambutan calon pengantin laki- laki dengan pembacaan Maulid dan Sholawat Nabi. Penyambutan calon pengantin ditandai dengan penaburan beras kuning oleh nenek atau seorang perempuan yang dianggap tua dari calon pengantin perempuan, selanjutnya dilakukan ijab kabul. Setelah selesai proses ijab kabul, undangan dan rombongan pihak laki- laki pulang setelah makan, dilanjuti dengan undangan untuk para perempuan. Undangan kepada perempuan akan dilakukan proses upacara jamu besan, dalam rangkaian jamu besan ini biasanya masyarakat Melayu Pontianak akan memperlihatkan hantaran dari pihak laki- laki dan diteruskan dengan upacara “cucur air mawar”. Kegiatan cucur air mawar ini diawali dengan tepung tawar kepada kedua mempelai kemudian baru mencucurkan air mawar ke telapak tangan kedua mempelai, cucur air mawar ini dilakukan oleh tujuh orang dari pihak laki- laki dahulu baru tujuh orang dari pihak perempuan. 7. Mandi- mandi Mandi- mandi dilaksanakan setelah selesai semua prosesi perkawinan. Mandi- mandi dilaksanakan waktu siang, upacara ini dengan menyandingkan kedua mempelai, mereka didudukan di atas kursi di tempat terbuka, misalnya di teras rumah atau halaman rumah. Pelaksanaan ini dilaksanakan di tempat pengantin perempuan dan tidak mengundang orang lain kecuali kerabat dekat atau sanak famili yang membantu pada upacara perkawinan. Adapun alat-alat yang dipergunakan dalam mandi- mandi, yaitu : a. Cermin b. Benang c. Lilin d. Satu buah telur e. Air tujuh bunga f. Rangkaian bunga yang dibuat pakai daun kelapa Kedua mempelai yang telah duduk lalu dilakukan proses tepung tawar oleh orang-orang yang telah diminta sebelumnya, orang-orang yang akan memandikan kedua mempelai berjumlah ganjil, bisa tiga orang atau tujuh orang. Setelah tepung tawar, lalu kedua mempelai melaksanakan mandi- mandi, setelah
61
mandi kedua mempelai disuruh berdiri, kemudian dilingkarkan benang dan disuruh melangkah sebanyak tiga kali, setelah itu cermin kecil bersama lilin yang dibuat dipasangkan api, kemudian diputar kepada kedua mempelai sebanyak tiga kali, lalu pada putaran ketiga berlomba untuk meniup lilin. Proses yang terakhir kedua mempelai harus menginjak telur yang telah disiapkan secara bersama-sama. Makna dalam rangkaian terakhir pada waktu meniup lilin dan memecahkan telur, diyakini akan lebih kerasnya dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Setelah melaksanakan berbagai macam prosesi upacara perkawinan yang didalamnya terdapat pantang larang, maka upacara mandi- mandi menjadi upacara yang terakhir bagi calon pengantin setelah itu pantang larang sudah tidak ada lagi, karena mereka sudah masuk dalam kehidupan yang baru yaitu kehidupan berumah tangga. 8. Pantang Larang Lain dalam Perkawinan Dari hasil wawancara dengan beberapa masyarakat Melayu Pontianak dan pengamatan peneliti, maka ada beberapa tradisi pantang larang yang harus dilakukan oleh calon pengantin selain pantang larang pada prosesi perkawinan diatas, berupa : 1) Calon pengantin tidak boleh memakai emas atau perhiasan agar tidak hilang cahaya wajah pada waktu melaksanakan perkawinan. Pesan ini dimaksukan pada saat melaksanakan akad nikah atau pesta perkawinan calon pengantin harus kelihatan bercahaya wajahnya agar indah dipandang oleh orang atau tamu, terutama bagi calon pengantin laki- laki. Pantang larang ini masih dilakukan oleh calon pengantin pada masyarakat Melayu Pontianak. 2) Calon pengantin tidak boleh memandang cermin ketika berhias dan setelah berhias oleh juru rias pengantin karena dikhawatirkan akan hilang cahaya wajah waktu melaksanakan perkawinan. Bagi masyarakat Melayu Pontianak tradisi berhias yang dilakukan oleh juru hias merupakan adat yang wajib dilakukan, bila calon pengantin sudah berhias sampai waktu akad nikah tidak boleh melihat cermin, karena wajah calon pengantin sudah berubah. Makna pesan ini agar pengantin tidak terkejut melihat perubahan bentuk wajahnya yang telah di rias oleh juru rias, pelaksanaan berhias pengantin ini biasanya
62
dilakukan tiga atau dua hari sebelum akad nikah. Tradisi berhias bagi calon perempuan dilengkapi dengan bahan-bahan sebagai syarat untuk berias, yaitu : a. Satu kilogram padi atau berteh dalam bahasa Melayu Pontianak b. Satu bungkus garam c. Satu buah gula merah d. Satu buah lilin kuning e. Satu buah kelapa f. Satu bungkus asam Jawa g. Satu meter kain putih h. Satu sisir pisang i.
Empat jenis kue-kue khas Melayu Pontianak
Bahan-bahan ini mengandung makna untuk memberikan keindahan kepada calon pengantin sehingga para tamu akan senang melihat pengantin. Adapun bahan-bahan sebagai syarat tersebut bila telah selesai proses upacaranya akan diserahkan kepada juru rias pengantin. Tradisi pantang larang ini pada masyarakat Melayu Pontianak ada yang masih melaksanakan dan ada juga yang tidak lagi, biasanya pantang larang ini terngantung pada juru rias pengantin yang masih memakai tradisi ini atau tidak. 3) Calon pengantin tidak boleh makan makanan sembarangan, seperti nanas, pepaya agar tubuh dalam kondisi baik menjelang perkawinan. Pantang larang tidak boleh makan sembarang bagi calon pengantin mempunyai pesan agar pengantin selalu dalam kondisi sehat sampai menjelang perkawinan, bagi masyarakat Melayu Pontianak biasanya makanan calon pengantin dibuatkan khusus oleh orang tuanya. 4) Hindarkan terkena cahaya matahari karena dikhawatirkan hitam dan tidak bercahaya pada saat perkawianan. Pantang larang ini bermakna pesan kalau pengantin yang sudah di pinggit oleh orang tua jangan keluar rumah sampai terkena sinar matahari, karena calon pengantin sudah melaksanakan serangkaian prosesi pada perkawinan seperti berbedak, bertangas dimana badan calon pengantin sudah wangi sehingga dikhawatirkan akan hilang aura seorang pengantin.
63
5) Perbanyak minum jamu agar pengantin dalam kondisi kuat. Dalam tradisi masyarakat Melayu Pontianak sebelum upacara perkawinan, calon pengantin akan dibuatkan jamu khusus yang namanya “jamu pengantin” oleh orang tuatua, diharapkan calon pengantin dalam kondisi sehat dan kuat tubuhnya menjelang perkawinan. 6) Pantang larang untuk tidak keluar rumah ditakutkan akan terjadi hal- hal yang tidak diinginkan, ini juga menjaga nama baik keluarga. Pantang larang ini bagi calon pengantin sudah diberlakukan oleh orang tua zaman dahulu karena ditakutkan akan terjadi kecelakaan atau niat orang yang kurang baik terhadap calon pengantin. Sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang masyarakat Melayu Pontianak dalam bahasa Melayu, yaitu : “Dulok-dulok tu maseh kuat pantangan, orang pengenten tak boleh turon, baru-baru pengenten gitu jak karne maseh wangi, takot di anok orang, takot ade buaya kate cakap orang dulok-dulok, karne kamek yakin, kemek ikot jak ape kate orang tue-tue”. Saat ini pantang larang untuk tidak keluar rumah bagi calon pengantin sudah tidak belangsung lama, biasanya calon pengantin tidak boleh keluar rumah selama sepuluh hari atau tujuh hari saja. Tetapi pantang larang ini tetap dilakukan pada masyarakat Melayu Pontianak. 7) Perbanyak baca Al-Qur’an untuk menghindarkan gangguan syetan, senantiasa selalu menginnggat Allah. 8) Calon Pengantin selalu berbicara yang baik-baik. 9) Jangan makan atau minum seperti sayur bersifat sejuk seperti kangkung, bayam, ketimun, jambu batu dan air kelapa agar wajah tampak segar. 10) Melemparkan baju di atas bumbung atau atap rumah tanpa diketahui oleh orang dimaksudkan mengelakkan hujan turun ketika pesta akan berlangsung. 11) Sebelum menjadi pengantin, tempat tidur antaran tidak boleh tiduri oleh calon pengantin karena tidak baik. Seperti yang diceritakan oleh salah seorang generasi muda yang melaksanakan pantang larang pada waktu perkawinan, Ibu Alawiyah, yaitu : “Proses pra nikah yang diberitahukan oleh orang tua saya, pada saat pra nikah biasanya karna saya dari pihak calon mempelai perempuan, penganten perempuan itu dilarang keluar rumah, ye minimal tujuh hari, kalo dulu mungkin sebulan, di pinggit
64
istilahnye. Tak boleh keluar kemane- mane, tapi sekarang karne tak mungkin lagi berlaku sebulan, minimal tujuh hari jak, kite dilarang keluar, kemudian penganten perempuan tu selama proses sebelum dia ada acaranye berias, dilarang melihat cermin dikhawatirkan auranya akan hilang, kemudian penganten perempuan juga dilarang makan-makanan laut, terus pengenten perempuan juga tak boleh tidur ditempat tidur atau ranjang yang menjadi hantaran dari pihak laki- laki, kemudian penganten perempuan juga tidak boleh terlalu sering kena sinar matahari atau angina sehingga kamar tu dibuat tertutup mungkin gitu” Pantang larang pada perkawinan bagi masyarakat Melayu Pontianak merupakan tradisi yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang jumlah cukup banyak. Mereka percaya dengan mematuhi pantang larang itu, berarti mereka sudah menanamkan nilai-nilai budaya dan norma sosial masyarakat kepada anaknya. Tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak yang merupakan sistem nilai budaya yang ada sejak lama dari generasi ke generasi. Didalam fungsinya sebagai pedoman kelakuan dan tata kelakuan dalam masyarakat dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya. Unsur budaya pada pantang larang prosesi perkawinan masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat melalui pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana. Pola sikap merupakan wujud idiil dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari penerimaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap tradisi pantang larang. Pola kelakuan dan bertindak dalam kegiatan bermasyarakat merupakan wujud kelakuan dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari pelaksanaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap tradisi pantang larang. Sedangkan pola sarana atau kebendaan merupakan wujud fisik dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat pada penggunaan bahan-bahan atau peralatan pada tradisi pantang larang di masyarakat Melayu Pontianak. Pola Bersikap Pola sikap merupakan wujud idiil dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari penerimaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap pantang larang.
65
Pantang larang calon pengantin tidak boleh keluar rumah apabila telah melaksanakan serangkaian prosesi perkawinan, berupa berinai, berbedak, betangas, dan makan-makan serta pantang larang lain pada perkawinan ini ditakutkan akan terjadi hal- hal yang tidak diinginkan. Pantang larangan ini muncul karena untuk menjaga nama baik keluarga. Pantang larang untuk tidak keluar rumah bagi calon pengantin sudah diberlakukan oleh orang tua zaman dahulu karena ditakutkan akan terjadi kecelakaan atau niat orang yang kurang baik terhadap calon pengantin. Perubahan pola sikap pada masa lalu dimana pantang larang untuk tidak keluar rumah selama satu bulan menjadi suatu yang harus ditaati karena sudah menjadi tradisi orang tua dahulu sehingga pantang larang ini menjadi suatu kewajiban buat mereka untuk dilaksanakan. Masa kini pantang larang bagi calon pengantin untuk tidak keluar selama satu bulan sudah tidak lagi menjadi kewajiban buat generasi muda karena bagi mereka banyak hal yang harus mereka lakukan dalam menjelang perkawinan. Pantang larang calon pengantin tidak boleh makan makanan sembarangan, seperti nanas, pepaya agar tubuh dalam kondisi baik menjelang perkawinan. Pantang larang tidak boleh makan sembarang bagi calon pengantin mempunyai makna pesan agar pengantin selalu dalam kondisi sehat sampai menjelang perkawinan. Pada masa dahulu pantang larang ini dibuat oleh orang-orang tua karena calon pengantin harus menjaga dirinya agar tidak sakit pada saat hari pernikahan mereka. Pola sikap pada masa dahulu tidak membolehkan calon pengantin makan makanan yang sembarangan karena mereka menganggap penting untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam melaksanakan pesta perkawinan. Masa dahulu prosesi menjelang perkawinan dilakukan selama satu minggu secara penuh oleh calon pengantin sehingga mereka tubuh calon pengantin harus sehat jasmani, makanan calon pengantin dibuatkan khusus oleh orang tua mereka selama dua minggu menjelang perkawinan. Pada masa kini sikap calon pengantin untuk tidak makan makanan sembarangan hanya dilakukan pada waktu menjelang hari pernikahan saja. Masa kini, generasi muda lebih memilih makanan yang praktis-praktis saja buat mereka, begitu juga makanan yang mereka makan menjelang perkawinan,
66
walaup un begitu untuk tidak makan makanan sembarangan masih selalu diingatkan oleh orang tua mereka. Pantang larang bagi calon pengantin untuk menghindari terkena cahaya matahari karena dikhawatirkan hitam dan tidak bercahaya pada saat perkawianan. Pantang larang ini bermakna pesan kalau pengantin yang sudah di pinggit oleh orang tua jangan keluar rumah sampai terkena sinar matahari, karena calon pengantin sudah melaksanakan serangkaian prosesi dalam perkawinan sehingga dikhawatirkan akan hilang aura seorang pengantin. Pada masa dahulu pola sikap mereka untuk tidak keluar rumah karena serangkaian prosesi yang telah dilakukan oleh calon pengantin, calon pengantin sudah tidak boleh lagi terkana sinar matahari sampai didalam kamar tidur pun tidak boleh terkena sinar matahari. Adanya kepercayaan akan hilangnya cahaya pada wajah bila terkena matahari membuat calon pengantin pada masa dahulu menjaga dirinya secara hati-hati. Pada masa kini pola sikap generasi muda untuk tidak menghindari terkena cahaya matahari hanya pada saat-saat menjelang hari pernikahan saja. Adanya perubahan pola sikap dari masa dahulu dan masa sekarang diatas memberikan perubahan terhadap pola kelakuan masyarakat Melayu Pontianak dalam menjalankan tradisi pantang larang. Pola Kelakuan Pola kelakuan dan bertindak dalam kegiatan bermasyarakat merupakan wujud kelakuan dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari pelaksanaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap tradisi pantang larang. Segala aktivitas tradisi pantang larang sampai saat ini tetap dilaksanakan oleh masyarakat Melayu Pontianak. Tradisi yang masih tetap dilakukan dari dahulu sampai sekarang pada tradisi makan- makan, betanggas dan mandi- mandi. Tradisi ini dilakukan pada saat prosesi menjelang perkawinan. Apabila telah dilakukan berbagai macam kegiatan prosesi perkawinan maka setiap pantang larang juga mempengaruhi pola kelakuan masyarakat Melayu Pontianak. Pola kelakuan pada masa dahulu pada pantang larang untuk tidak keluar rumah selama satu bulan dilakukan dengan mengikuti apa yang diajarkan oleh
67
orang tua mereka, sedangkan masa kini pola kelakuan tersebut dilakukan dalam waktu yang singkat yaitu dalam masa satu minggu saja karena mereka juga harus membantu
dalam
melaksanakan
perkawinan
mereka,
misalnya
harus
menyebarkan undangan sendiri dan kelengkapan-kelengkapan lain. Perubahan pola kelakuan pada masa dahulu untuk menjalani pantang larang tidak makan sembarangan menjelang perkawinan karena menjadi suatu keyakinan bagi mereka sehingga harus dilakukan oleh mereka secara penuh, sedangkan pada masa kini pola kelakuan generasi muda tidak makan sembarangan menjelang perkawinan tidak begitu penting, karena kesibukan yang banyak dalam menjelang perkawinan membuat mereka hanya ingin makan yang praktis atau mudah dilakukan. Pada masa dahulu kelakuan calon pengantin untuk tidak keluar rumah agar tidak terkena cahaya matahari dalam melaksanakan pantang larang didukung oleh orang tua mereka, sehingga mereka melaksanakan pantang larang secara hati-hati. Pada masa kini adanya kesibukan calon pengantin maka tindakan atau kelakuan generasi muda untuk tidak terkena cahaya matahari sangat susah dilakukan karena banyak kesibukan dalam menjalankan aktivitas dalam menjelang perkawinan, sehingga pantang larang tidak sepenuhnya dilakukan, mereka melakukan pantang larang ini semampu mereka saja, buat generasi muda pelaksanaan berbagai macam tradisi masih bisa dilakukan walaupun tidak sepenuhnya seperti generasi dahulu. Terjadinya perubahan pola sikap dan kelakuan pada masyarakat Melayu Pontianak juga mempengaruhi terhadap pola sarana (wujud fisik), yaitu pendukung dalam menjalankan pantang larang. Pola Sarana Pola sarana atau kebendaan merupakan wujud fisik dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat pada penggunaan bahan-bahan atau peralatan pada pantang larang di masyarakat Melayu Pontianak. Pantang larang ini bagi masyarakat Melayu Pontianak mempunyai pola sikap yang berbeda setiap generasi. Adanya pola sikap untuk melaksanakan pantang larang memberikan pengaruh terhadap pola tindakan atau kelakuan bagi calon pengantin. Pola sikap dan pola kelakuan yang berbeda pada setiap generasi
68
mempengaruhi terhadap pola sarana dalam melaksanakan tradisi pantang larang perkawinan. Sarana atau peralatan yang digunakan pada prosesi perkawinan, dapat dilihat pada alat-alat yang dipersiapkan untuk melakukan prosesi betangas, bebedak dan makan- makan. Pada berbagai macam prosesi perkawinan peralatan atau bahan-bahan yang digunakan berupa : 1. Belangga atau panci yang berisi paku, kemiting, pucuk lidik, danti, kesuri, pala sari dan daun-daun wewangian. Peralatan dan bahan-bahan ini digunakan untuk melaksanakan prosesi betangas pada masyarakat Melayu Pontianak. Masa dahulu persiapan pada peralatan atau bahan-bahan ini telah disiapkan oleh orang tua atau keluarga calon pengantin sehingga betangas bisa dilakukan dalam waktu seminggu. Pada masa kini untuk mempersiapkan hari pernikahan calon pengantin juga ikut membantu dalam menyiapkan peralatan-peralatan sehingga untuk betangas calo n pengantin membeli atau minta dibuatkan oleh orang lain sehingga betangas hanya dilakukan tiga hari atau dua hari menjelang perkawinan. 2. Pahar. Peralatan ini pada prosesi makan- makan pada masyarakat Melayu Pontianak. Pahar merupakan tempat untuk meletakkan berbagai sajian untuk makan-makan. Pada masa kini pelaksanaan makan- makan terngantung kepada orang tua masing- masing. Bila orang tua yang masih kuat memegang adat maka anak yang akan melangsungkan pernikahan harus tetap melaksanakan prosesi makan-makan, karena mereka takut akan terjadi bala atau sanksi bila tidak melakukan prosesi makan- makan. 3. Kain kuning. Pada prosesi perkawinan masyarakat Melayu Pontianak, kain kuning harus selalu ada. Kain kuning merupakan simbol masyarakat Melayu Pontianak, kain kuning digunakan dalam berbagai prosesi perkawinan. Pola sarana ini pada generasi muda sekarang masih digunakan sebagai petanda tetap melaksanakan nilai- nilai budaya pada masyarakat Melayu Pontianak. 4. Berias bagi calon perempuan yang harus dilengkapi dengan bahan-bahan atau peralatan sebagai pola sarana harus memenuhi syarat, yaitu: satu kilogram padi atau berteh, satu bungkus garam, satu buah gula merah, satu buah lilin kuning, satu buah kelapa, satu bungkus asam Jawa, satu meter kain putih, satu
69
sisir pisang, empat jenis kue-kue khas Melayu Pontianak. Adapun bahanbahan atau peralatan tersebut bila telah selesai proses berias akan diserahkan kepada juru rias pengantin. Tradisi pantang larang ini pada generasi muda masyarakat Melayu Pontianak ada yang masih tetap melaksanakan dan ada juga yang tidak lagi, biasanya pantang larang ini terngantung pada juru rias pengantin yang masih memakai atau tidak.
Pantang Larang Pada Kehamilan Bagi masyarakat Melayu Pontianak pentingnya nilai- nilai budaya, berbagai cara dan upaya dilakukan untuk menanamkannya kepada anak sejak dini. Upaya itu bahkan sudah dilakukan sejak anak masih berada dalam kandungan ibunya. Berbagai pantang larang, upacara dan lambang- lambangnya memberi petunjuk adanya upaya untuk menanamkan nilai- nilai budaya kepada anak. Dari hasil wawancara dengan beberapa masyarakat Melayu Pontianak, pada masa selama kehamilan calon ibu diberikan pantang larang karena kalau tidak akan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak baik, bukan saja terhadap dirinya sendiri, tetapi dapat pula mempengaruhi kesehatan anaknya. Pantang larang kehamilan itu antara lain : 1. Dilarang berbicara yang kurang baik, mencaci, membuat fitnah, mengumpat, berbicara seenaknya tanpa memikirkan akibatnya apa orang tersakiti atau tidak. Apabila seorang ibu tidak dapat menahan pantangan ini, maka diyakini anak yang dikandungnya itu kelak akan bersifat seperti ibunya pula, bahkan mungkin lebih parah lagi. Oleh karena itu, seorang calon ibu dituntut untuk menjaga mulutnya, bersifat sabar dan lapang dada. Sifat-sifat ini akan melekat ke dalam jiwa anak yang dikandungnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang masyarakat Melayu Pontianak, ibu Jamilah, yaitu : “Dulok-dulok waktu ibu hamil, kate orang tue dilarang ngomong yang jelek-jelek, menghine orang apalagi mencaci orang, karne kate orang tue takot anak yang dikandung akan same sifatnye dengan orang yang kite omongkan, pantangan ini juga ibu kasih tau same anak ibu yang lagi hamil, karna takot juga hal yang burok terjadi, dulok kalo pantangan ini harus benar-benar di kerjekan,karne kite ikot ape kate orang tue jak. ”
70
Pantang larang ini bagi masyarakat Melayu Pontianak masih kuat dilakukan, apalagi pada awal-awal kehamilan, seorang ibu harus menjaga kehamilannya dengan baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh generasi muda masyarakat Melayu Pontianak, Ibu Salma, yaitu : “Saye dikasih tau same orang tue, kalo hamil jangan nak ngomong yang macam- macam, takot anak yang ade dalam perot kena imbasnye, saye percaya dan yakin apa yang dikatekan oleh orang tue saye, karne kalo diliat sekarang banyak hal- hal yang aneh, jadi mulot emang harus dijage waktu hamil, buat amannye jak” Pantang larang ini mengajarkan seorang ibu menjadi seorang yang sabar dalam mendidik anak pada dimulai pada masa kehamilan. 2. Dilarang menyapu rumah sangkut-sangkut, dikhawatirkan tersangkut tali tembuni bayi dalam perut. Pantangan ini sangat diyakini oleh calon ibu karena kalau menyapu rumah tidak bersih ditakutkan anak dalam kandungan akan tersangkut pula tali tembuni anaknya. Sebagaimana mana yang dikatakan oleh Ibu Alawiyah, yaitu : “Kite kalo nyapu ndak boleh setengah-setengah atau sangkutsangkut, takot tali tembuni akan melilit bayi” Pantang larang ini bagi ibu hamil masih diyakini, oleh sebab itu bagi seorang ibu pada masyarakat Melayu Pontianak kalau sedang menyapu rumah harus sebersih mungkin. 3. Pantang larang melilit kain ditakutkan bayi terlilit tali tembuni. Pantang larang ini bagi masyarakat Melayu Pontianak menjadi hal yang paling diingat oleh calon ibu, bagaimana pun keadaannya. Diharapkan calon ibu mempunyai sifat yang waspada dan hati- hati dalam bertingkah laku sehari-hari. 4. Dilarang menganiaya dan membunuh binatang ditakutkan anak akan mengalami kecacatan anggota badannya. Pantang ini sangat berlaku bagi masyarakat Melayu Pontianak
baik oleh istri atau suami pun yang akan
menjadi ayah dan ibu, ketakutan mereka dikarenakan bisanya hal itu akan terjadi kepada anaknya. Oleh karena itu, perilaku seorang suami dan istri harus sangat dijaga pada waktu istri hamil. Sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang Ustadz di Pontianak , yaitu : “Aturan orang dulok-dulok tu yang berkaitan dengan agama, dapat diterima yang tadak ade tadak diterima, seperti orang dulok-dulok
71
memantangkan orang hamil tu jangan bunuh-bunuh binatang, jangan metak- metak ikan, nanti die ngiman, ngiman tu artinye same dengan anak yang dihamilkan itu. Sebenarnye bukan ikan yang di tetak-tetak itu menyebabkan anak tu ngiman, sebenarnye perilaku dari suami istri, jangan macam- macam, jangan nak bertingkah”. Calon ibu dituntut untuk bersikap pengasih dan penyayang, suka membantu dan memberi pertolongan. Sifat mulia ini juga akan mempengaruhi kepada anak yang dilahirkan. 5. Dilarang berbicara bohong. Pantangan ini berlaku bila sedang hamil suka berbohong, maka anak yang dikandungnya itupun kelak akan menjadi orang yang pembohong juga. Oleh sebab itu calon ibu dituntut memiliki sifat jujur, berkata benar, ikhlas dan penyabar. Sifat ini akan tertanam dan melekat pada jiwa anak yang dikandungnya itu. 6. Dilarang memaku, mengunci, menggali lubang dan duduk di atas tanah ditakutkan anak yang akan lahir akan mengalami cacat anggota tubuhnya. 7.
Dilarang melihat gerhana bulan maupun matahari ditakutkan anak yang lahir akan cacat atau berkulit hitam. Ada ungkapan pada masyarakat Melayu Pontianak dikatakan : “taat
memegang pantang larang, yang pantang dibuang jauh, yang larang ditanam dalam, yang budi ditanam tumbuh, yang niat dihajat dapat, yang pintak turun ke anak”. Sebaliknya seorang ibu yang tidak mengikuti pantang larang dianggap menyia-yiakan hidup anaknya. Bila kelak anaknya tidak menjadi “orang”, maka kegagalan itu pada dasarnya selalu dikaitkan dengan sikap orang tuanya yang melanggar pantang larang. Kesemua pantang larang mengandung makna bahwa seorang calon ibu yang sedang hamil mestilah menjadi orang yang selalu memelihara diri dari segala perbuatan yang tidak baik. Ada ungkapan orang Melayu “terlanggar ke pantang larang, yang pantang menjadi hutang, yang larang membawa malang, yang hajat tak berkesampaian, yang niat tak terkabulkan”. Masa pantang larang kehamilan pada masyarakat Melayu Pontianak , biasanya berlaku dari awal kehamilan sampai pada masa tujuh bulan kehamilan, karena bulan-bulan awal kehamilan sampai tujuh bulan dikatakan disitulah awal pembentukan manusia, terutama pada bulan keempat, roh seorang manusia
72
ditiupkan ke bayi. Biasanya setelah masa kehamilan mencapai tujuh bulan, masyarakat Melayu Pontianak mengadakan acara tujuh bulanan. Tradisi yang umum dilakukan adalah tradisi tujuh bulan, yang dalam bahasa Melayu disebut juga dengan upacara melenggang perut. Tradisi ini dilakukan setelah kandungan berusia tujuh bulan, terutama hamil pertama. Tradisi dilaksanakan dengan berbagai bentuk dan variasi, melibatkan hampir semua lapisan masyarakat sekitarnya. Tujuan yang mendasar dari upacara ini ialah untuk mendo’akan keselamatan ibu dan anaknya, agar kelak dapat melahirkan dalam keadaan sehat dan sempurna. Melenggang perut atau disebut juga menggoyang- goyang perut dengan cara, calon ibu disuruh baring di kasur ya ng beralaskan kain sebanyak tujuh helai. Setelah itu dukun beranak menggoyang- goyang perut calon ibu sambil menarik selembar kain pengalas itu satu persatu sampai habis. Maksudnya menggoyanggoyang perut calon ibu ini ialah untuk mendudukkan keletakkan bayi dalam perut pada posisi yang benar, agar kelak akan mudah melahirkan. Adapun tujuh helai kain menandakan hamil pertama sudah tujuh bulan, dengan harapan juga tujuh hari setelah bayi lahir, tali pusarnya akan lepas. Selesai melenggang perut, dukun beranak mendudukkan calon ibu, kemudian memotong anak rambut, agar anak yang akan lahir kelak akan menyukai kebersihan dan kerapian. Upacara ditutup dengan menyampaikan pesan atau nasehat kepada calon ibu, dan diakhiri dengan pembacaan Do’a Selamat dan Do’a Tolak Bala. Pelaksanaan pantang larang pada kehamilan oleh masyarakat Melayu Pontianak oleh generasi tua dan generasi muda dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya. Unsur budaya pada pantang larang pada kehamilan masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat melalui pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana. Pola Bersikap Pantang larang dalam masa kehamilan bagi masyarakat Melayu Pontianak merupakan pantang larang yang sangat diyakini. Pantang larang untuk berbicara yang kurang baik, mencaci, membuat fitnah, mengumpat, berbicara seenaknya tanpa memikirkan akibatnya apa orang tersakiti atau tidak, misalnya. Apabila seorang ibu tidak dapat menahan pantangan ini, maka diyakini anak yang dikandungnya itu kelak akan bersifat seperti ibunya pula, bahkan mungkin lebih
73
parah lagi. Oleh karena itu, seorang calon ibu dituntut untuk menjaga mulutnya, bersifat sabar dan lapang dada. Sifat-sifat ini akan melekat ke dalam jiwa anak yang dikandungnya. Sikap orang tua masa dahulu melihat pantang larang ini dibuat karena mereka takut akan terjadi hal buruk pada bayi mereka dan agar calon ibu dapat menjaga diri dan bayinya dalam hal yang kurang baik sehingga anaknya menjadi anak yang baik. Sikap orang tua masa dahulu menjalani pantang larang ini karena pantang larang ini telah ada dari zaman nenek moyang mereka, sehingga kelakuan orang tua dahulu untuk manjalani pantang larang tidak mencaci, membuat fitnah, mengumpat orang tua menjadi kepercayaan atau keyakinan buat mereka. Pada masa kini, sikap generasi muda memandang pantang larang untuk tidak mencaci, membuat fitnah, mengumpat orang lain juga masih diyakini karena mereka juga takut akan hal- hal yang kurang baik menimpa anaknya nanti. Pantang larang yang paling ditakuti masyarakat Melayu Pontianak pada masa kehamilan adalah menganiaya dan membunuh binatang karena ditakutkan anak akan mengalami kecacatan anggota badannya. Pantang larang ini sangat berlaku bagi istri atau suami yang akan menjadi ayah dan ibu, ketakutan mereka dikarenakan bisanya hal itu akan terjadi kepada anaknya. Adanya pantang larang untuk tidak membunuh atau menganiaya binatang karena sudah banyak kejadian yang lihat oleh masyarakat bila ada yang membunuh atau menganiaya binatang bila istri dalam keadaan hamil. Sikap orang tua masa dahulu percaya bahwa dengan membunuh atau menganiaya binatang maka anak yang akan lahir akan mengalami kecacatan bahkan mungkin sampai menyerupai binatang yang dibunuh tersebut. Sikap generasi tua juga mempengaruhi sikap generasi muda muda pada masyarakat Melayu Pontianak yang sedang hamil. Adanya pantang larang ini menjadikan generasi muda baik suami atau istri sangat menjaga diri mereka dari hal- hal yang tidak baik. Pola Kelakuan Pola sikap generasi tua mempengaruhi pola sikap generasi muda masyarakat Melayu Pontianak. Pola sikap generasi muda juga mempengaruhi pola kelakuan mereka dalam menjalani pantang larang masa kehamilan. Kelakuan
74
generasi muda dalam menjalani pantang larang masa kehamilan menjadi sesuatu yang sangat dijaga agar walaupun berbagai kesibukan calon ibu yang sedang bekerja. Kepercayaan akan pantang larang masa kehamilan baik generasi tua dan generasi muda maka perilaku seorang suami dan istri harus sangat dijaga pada waktu istri hamil. Kelakuan suami atau istri harus benar-benar dijaga bila istri sedang hamil, pada masa dahulu kelakuan seorang suami dan istri selalu diingatkan oleh orang tua untuk tidak berbuat macam- macam atau sampai membunuh binatang karena sanksi atau akibat akan didapat bila kelakuan mereka yang menyimpang terhadap anak yang akan lahir. Pada masa kini kelakuan generasi muda dalam menjaga kelakuan mereka sudah masih diingatkan oleh orang tua mereka, karena mayoritas masyarakat Melayu Pontianak setelah menikah menetap di rumah orang tua perempuan. Kelakuan calon suami dan istri dalam menjaga anak yang masih dikandungkan diikuti dengan banyak membaca Al-Qur’an, jadi antara agama dan nilai- nilai budaya berjalan bersamaan, sehingga anak yang lahir diharapkan akan mempunyai sifat yang baik. Pola Sarana Sikap dan kelakuan generasi tua masa dahulu dan generasi muda masa sekarang masyarakat Melayu Pontianak memandang pantang larang pada masa kehamilan masih menjadi kepercayaan atau keyakinan yang masih diikuti, hanya saja perubahan terhadap sarana dalam menjalani aktivitas. Pada masa dahulu kemajuan teknologi tidak seperti masa kini, kemajuan teknologi yang canggih masa kini mempengaruhi pola hidup generasi muda selain itu masa kini mobilitas penduduk juga yang tinggi. Sehingga pengaruh teknologi dan mobilitas penduduk mempengaruhi terhadap sarana dan prasarana pada masyarakat. Adanya aktivitas yang sibuk pada generasi muda masyarakat Melayu Pontianak mempengaruhi terhadap pola sarana dalam menjalani pantang larang. Masa kini sarana dalam masa kehamilan begitu banyak, adanya susu tambahan buat kehamilan dan tekno logi untuk mengetahui janin bayi dapat diketahui pada masa kehamilan. Walaupun pantang larang tetap dilakukan oleh generasi muda sekarang tetapi mereka juga memberikan berbagai macam
75
tambahan buat calon bayi dan bisa mengikuti perkembangan calon bayi dalam kandungan. Pantang Larang Pada Kelahiran Pemulihan seorang ibu setelah melahirkan dalam pantang larang sama pentingnya pada waktu ibu sedang hamil. Seorang ibu harus memiliki tubuh yang sehat baik jasmani dan rohani. Pantang larang setelah kelahiran saat ini sangat terngantung pada diri ibu itu sendiri. Pantang larang yang dibuat oleh orang tua mengisyaratkan bahwa seorang ibu diberikan waktu yang cukup buat beristirahat selama empat puluh hari setelah mengalami proses kehamilan. Adapun makna pesan pantangan dan larangan bagi seorang ibu yang habis melahirkan, yaitu : 1. Pantang larang makan yang pedas-pedas atau bercabe supaya tidak menganggu proses menyusui. Pantang larang makan yang pedas-pedas di maknai supaya seorang ibu harus memperhatikan kondisi diri dan bayinya yang sedang menyusui karena makanan seorang ibu sangat mempengaruhi kesehatan bayinya. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Khadijah, yaitu : “ehh, kite dulok-dulok kalo lagi melahirkan tak boleh makan macam- macam, karena ibu yang menyusui anaknya. Pantangan ini kalo kamek liat budak-budak sekarang jarang agik yang mau ikot”. 2. Seorang ibu harus membawa paku dan melilitkan benang hitam pada jempol kaki kanan dan kiri supaya anak jangan kemasukkan atau kesambat makhluk halus. Kepercayaan orang Melayu Pontianak akan hal- hal yang gaib pada seorang bayi yang baru dilahirkan akan ganggguan-gangguan makhluk halus sangat besar. Pesan pantang larang ini bagi seorang ibu harus mampu melindungi dan menjaga anaknya dari makhluk halus dan seorang ayah harus sering menbacakan ayat-ayat Al-Qur’an pada anaknya selama empat puluh hari dimaksudkan agar anaknya terbiasa mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti yang dikatakan salah seorang warga Pontianak, yaitu : “Biasanya seorang ibu menyusui memakai benang hitam di jempol kaki kiri dan kanan, eh sepengetahuan saya itu diharapkan ibu- ibu yang menyusui ini jauh dari gangguan, ehh baik gangguan makhluk halus atau setan, karena dalam keadaan empat puluh hari mereka tidak sholat, mereka dalam keadaan nifas, dan menurut kepercayaan orang Melayu, ehh ibu yang baru melahirkan dan bayinya dalam keadaan yang sangat harum untuk makhluk-
76
makhluk halus lain sehingga mereka dikhawatirkan sering didekati, dan pada anaknya juga diberi kain hitam di atas kepalanya”. 3. Pantang larang keluar rumah selama empat puluh hari di takutkan akan rentan urat rahim. Pantang larang ini bermakna seorang ibu harus benar-benar istirahat total buat dirinya agar pemulihan setelah melahirkan cepat kembali normal. Kepercayaan tidak boleh keluar rumah bagi masyarakat Melayu Pontianak masih kuat apalagi bila melahirkan anak pertama, kesehatan ibu benar-benar dijaga baik oleh orang tua maupun keluarga dekatnya. Selain pantang larang bagi seorang ibu setelah melahirkan, pada masyarakat Melayu Pontianak masih ada beberapa tradisi dalam menyambut sang anak yang dilakukan oleh orang tua. Adapun acara setelah kelahiran anaknya adalah tradisi memotong rambut bayi, terlebih dahulu biasanya dilakukan Aqiqah bagi anaknya. Acara memotong rambut dilaksanakan setelah tali pusar bayi telah tanggal. Memotong rambut diawali dengan membaca Maulid oleh masyarakat yang di undang. Peserta acara berdiri, sedangkan orang tua membawa anaknya mengelilingi para tetua masyarakat atau tokoh agama untuk memotong rambut anaknya, di awali dengan tepung tawar, memasukkan rambut yang telah dipotong kedalam air kelapa. Peserta yang memotong rambut berjumlah ganjil, biasanya tujuh orang atau empat belas orang. Tradisi masyarakat Melayu Pontianak nama anak diberikan setelah tujuh hari kelahiran. Nama diberikan oleh para ulama atau orang yang dituakan dalam keluarga. Kecenderungan nama yang diberikan dengan mengambil nama- nama Nabi dan para sahabatnya dan orang terkenal lainnya. Kalau anak perempuan diberikan nama-nama Islam, dan nama-nama yang mengandung unsur do’a lainnya, biasanya merujuk pada kosa kata Arab (Al-Qur’an) dan Asmaul Husna. Pemberian nama ini biasanya di akhiri dengan pembacaan do’a Selamat. Pelaksanaan pantang larang pada masa kelahiran oleh masyarakat Melayu Pontianak oleh generasi tua dan generasi muda dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya. Unsur budaya pada pantang larang pada kehamilan masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat melalui pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana.
77
Pola Bersikap Masa melahirkan adalah masa pemulihan bagi seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkan anaknya. Untuk itu adanya pantang larang yang dibuat oleh orang tua zaman dahulu. Pantang larang untuk tidak makan yang pedas-pedas atau yang ada cabainya supaya tidak menganggu proses menyusui. Pantang larang makan yang pedas-pedas bermakna supaya seorang ibu harus memperhatikan kondisi diri dan bayinya yang sedang menyusui karena makanan seorang ibu sangat mempengaruhi kesehatan bayinya. Pantang larang untuk tidak keluar rumah selama empat puluh hari di takutkan akan rentan urat rahim. Pantang larang ini bermakna seorang ibu harus benar-benar istirahat total buat dirinya agar pemulihan setelah melahirkan cepat kembali normal. Kepercayaan tidak boleh keluar rumah bagi masyarakat Melayu Pontianak masih kuat apalagi bila melahirkan anak pertama, kesehatan ibu benarbenar dijaga baik oleh orang tua maupun keluarga dekatnya. Pantang larang ini dibuat agar seorang ibu menjaga kondisi tubuhnya setelah melahirkan. Pantang larang seorang ibu harus membawa paku dan melilitkan benang hitam pada jempol kaki kanan dan kiri supaya anak jangan kemasukkan atau kesambat makhluk halus. Pantang larang ini dibuat karena masih adanya kepercayaan orang Melayu Pontianak akan hal- hal yang gaib pada seorang bayi yang baru dilahirkan akan ganggguan-gangguan makhluk halus karena mereka beranggap anak yang baru lahir tersebut dalam keadaan bersih dan suci. Sikap generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak masih tetap melakukan pantang larang ini. Pantang larang ini juga diberlakukan pada bayinya, yaitu dengan meletakkan kain hitam di atas kepala anaknya. Pola Kelakuan Masa dahulu sikap orang tua masyarakat Melayu Pontianak dalam menjalani pantang larang dengan banyak makan sayuran seperti kacang hijau agar membantu proses menyusui buat bayinya. Sikap ini juga ditunjang dengan kelakuan sorang ibu yang tidak boleh banyak bergerak atau beraktivitas berlebihan sebanyak empat puluh hari karena ditakutkan banyak aktivitas dan keluar rumah maka ibu tersebut mengalami pendarahan dan meninggal dunia.
78
Masa kini, pola kelakuan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak untuk melaksanakan pantang larang tidak boleh makan makanan pedas tidak sepenuhnya mereka lakukan karena mereka sekarang kurang percaya akan hal tersebut, makan makanan pedas boleh saja asal tidak banyak karena bayi sekarang juga banyak dibantu dengan susu tambahan. Pola kelakuan untuk untuk tidak keluar rumah hanya dilakukan selama satu atau dua minggu saja. Pola kelakuan pada generasi muda ini dipengaruhi karena seorang ibu yang sibuk bekerja diluar rumah atau mengurusi rumah sendiri, sehingga pantang larang tidak dilakukan sepenuhnya. Kepercayaan generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak akan pantang larang selalu melilitkan benang hitam di jempol kaki kiri dan kanan selama empat puluh hari setelah melahirkan mempengaruhi kelakuan seorang ibu dalam menjalani pantang larang, walaupun mereka sedang beraktivitas keluar rumah. Pola Sarana Adanya sikap dan kelakuan seorang ibu masa dahulu untuk menjalani pantang larang ini juga karena didukung oleh sarana yang telah disiapkan oleh orang tua mereka, seperti bahan-bahan makanan, jamu untuk pemulihan masa melahirkan yang disediakan dan dibuatkan oleh orang tua mereka sehingga ibu dalam masa empat puluh hari dapat menjaga tubuhnya dan bayi dengan baik. Sedangkan pola sarana pada masa kini segala sesuatu banyak dilakukan sendiri oleh seorang ibu, dimana bahan-bahan makanan hanya dibuatkan oleh orang tua paling lama dua minggu saja dan jamu untuk ibu melahirkan mereka tinggal membeli. Penggunaan paku dan benang hitam setelah ibu melahirkan pada masa dahulu dan masa kini sebagai penangkal untuk melindungi seorang ibu dari bahaya-bahaya mahluk halus selama empat puluh hari karena seorang ibu dalam keadaan tidak sholat. Sedangkan penggunaan kain hitam diatas kepala bayi dimaksudkan juga sebagai penangkal untuk bayi dari mahluk-mahluk halus. Adanya unsur- unsur budaya berupa pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana dalam menjalani pantang larang memberikan perubahan terhadap makna pesan pantang larang bagi generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu
79
Pontianak. Pada dasarnya generasi muda tetap melaksanakan tradisi pantang larang pada masa prosesi perkawinan, masa kehamilan dan masa melahirkan hanya saja me maknai pesan pantangan dan larangan sesuai dengan kondisi pada masa kini. Faktor Perubahan Tradisi Pantang Larang Perubahan pantang larang masyarakat Melayu Pontianak pada pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana dipengaruhi beberapa faktor berikut ini: 1. Faktor penduduk yang heterogen Kecamatan Pontianak saat ini merupakan salah satu kecamatan dengan penduduk yang heterogen dan mobilitas penduduknya yang relatif tinggi. Oleh karena penduduk yang heterogen dan mobilitas yang relatif tinggi dan diikuti dengan perkembangan sarana dan prasarana membuat masyarakat membuka diri dengan hal- hal yang baru. Hal ini yang tampaknya mempengaruhi pada tradisi yang pernah ada dan berkembang di masyarakat Melayu Pontianak. Faktor penduduk yang heterogen memberikan pengaruh terhadap perubahan pola sikap dan pola kelakuan pada masyarakat Melayu Pontianak. Perubahan pola sikap dan pola kelakuan mempengaruhi proses komunikasi dalam melaksanakan pantang larang oleh masyarakat Melayu Pontianak. Pantang larang calon pengantin tidak boleh keluar rumah apabila telah melaksanakan serangkaian prosesi perkawinan, misalnya. Pantang larang untuk tidak keluar rumah bagi calon pengantin sudah diberlakukan oleh orang tua zaman dahulu karena ditakutkan akan terjadi kecelakaan atau niat orang yang kurang baik terhadap calon pengantin. Pola sikap pada pantang larang tersebut mempengaruhi terhadap pola kelakuan. Pada masa dahulu pada pantang larang untuk tidak keluar rumah selama satu bulan dilakukan dengan mengikuti apa yang diajarkan oleh orang tua mereka, sedangkan masa kini pola kelakuan tersebut dilakukan dalam waktu yang singkat yaitu dalam masa satu minggu saja karena mereka juga harus membantu dalam melaksanakan perkawinan mereka, misalnya harus menyebarkan undangan sendiri dan kelengkapan-kelengkapan lain. Perubahan terjadi karena pengaruh dari lingkungan masyarakat setempat, masyarakat Melayu Pontianak sekarang yang banyak berakulturasi dengan
80
masyarakat dari suku lain, sehingga pola kelakuan dalam menjalani pantang larang mengalami perubahan oleh generasi muda sekarang. 2. Pendidikan formal yang maju Masyarakat yang telah mengalami pendidikan yang relatif tinggi merasa cenderung meninggalkan tradisi, mereka cenderung memilih sesuatu yang praktis. Pendidikan formal yang maju akan memberikan pengaruh terhadap perubahan pola kelakuan dalam menjalani setiap tradisi yang ada dalam masyarakat. Pantang larang untuk tidak keluar rumah selama empat puluh hari di takutkan akan rentan urat rahim. Pantang larang ini dibuat agar seorang ibu menjaga kondisi tubuhnya setelah melahirkan. Kepercayaan tidak boleh keluar rumah bagi generasi tua masyarakat Melayu Pontianak masih kuat apalagi bila melahirkan anak pertama, karena kesehatan ibu benar-benar dijaga baik oleh orang tua maupun keluarga dekatnya. Pada masa kini pola kelakuan untuk untuk tidak keluar rumah hanya dilakukan selama satu atau dua minggu saja. Perubahan pola kelakuan pada generasi muda ini dipengaruhi oleh pendidikan formal yang maju dan karena seorang ibu yang sibuk bekerja diluar ruma h sehingga pantang larang masa kelahiran tidak dilakukan sepenuhnya. Adanya perubahan pendidikan formal yang maju pada masyarakat Melayu Pontianak memberikan pengaruh terhadap pola sikap dan pola kelakuan generasi muda dalam menjalani pantang larang. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang generasi tua masyarakat Melayu Pontianak, yaitu : “Banyak perubahan sekarang, kadang-kadang bedak penganten dibuangkannye, jamu dikasih tak dimakan, orang sekarang suke makan yang manes, tak mau makan jamu, tak kayak kite dulok, jamu dimakan, orang sekarang banyak yang pintar-pintar dah”. 3. Faktor sikap masyarakat Masyarakat Melayu Pontianak secara umum yang menerima perubahan yang terjadi pada tradisi yang berlaku di dalam masyarakat. Tradisi pantang larang yang sebagian masyarakat menganggap sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang, tetapi ada sebagian pula yang menganggap masih penting untuk dilakukan, anggapan mereka bila seseorang tidak melaksanakan serangkaian prosesi perkawinan dan pantang larangnya dikategorikan sebagai orang yang tidak
81
memegang tradisi. Tetapi ada sebagian yang teguh memegang tradisi, terutama anak yang mematuhi perkataan orang tuanya. Mereka takut bila tidak melaksanakan pantang larang pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran akan mendapat sanksi atau bala sehingga mereka tetap dengan pendiriannya. Perubahan-perubahan terjadi dikarenakan pengaruh kehidupan masyarakat kota besar sehingga berpengaruh pada pola pikir mereka tentang tradisi, hal ini juga mempengaruhi nilai- nilai budaya Melayu yang lainnya pada masyarakat Melayu di Kecamatan Pontianak. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang generasi muda masyarakat Melayu Pontianak , yaitu : “Saya memandang, khususnya tradisi pantang larang ini secara umum kebudayaan melayu, kemudian sampai pada tradisi pantang larang sebenarnya apapun yang diajarkan orang tua tadi, ehh sebenarnya bagi saya kearifan mereka, kearifan mereka mengajarkan untuk bisa hidup harmonis selain dengan manusia juga dengan makhluk selain manusia, itulah sebenarnya kearifan mereka”. Adanya faktor perubahan tradisi pantang larang di atas pada masyarakat Melayu Pontianak mempengaruhi pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana generasi muda masyarakat Melayu Pontianak dalam menjalankan tradisi pantang larang.
Ikhtisar Tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak masih diyakini untuk dilaksanakan, walaupun proses melaksanakan tradisi pantang larang tidak lagi seperti zaman dahulu. Tradisi pantang larangan yang peneliti amati adalah tradisi pantang larang pada proses masa perkawinan, masa kehamilan dan masa melahirkan. Proses masa tersebut di atas adalah proses masa dimana proses perubahan hidup seseorang dari awal pernikahan sampai melahirkan. Dari hasil wawancara dengan beberapa masyarakat Melayu Pontianak dan hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa tradisi pantang larang masih dilakukan dalam prosesi perkawinan, masa kehamilan dan melahirkan. Dari beberapa informan menyatakan bahwa tradisi pantang larang yang dilakukan pada masa perkawinan, menyatakan bahwa setiap pantang larang pada
82
awal pernikahan yang diberlakukan oleh orang tua dahulu merupakan nilai- nilai yang ditanamkan untuk tetap melaksanakan pesan moral yang terkandung didalamnya. Walaupun pantang larang tersebut tidak lagi dilakukan sepenuhnya, tetapi harus dilaksanakan walapun sedikit. Seperti pada tradisi sebelum pernikahan, yaitu tradisi beinai, tradisi berbedak, tradisi betangas dan tradisi makan-makan dimana pantang larang diberlakukan setelah melaksanakan tradisi tersebut, selain itu pantang larang bagi diri sendiri calon pengantin juga harus diikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua mereka menjelang pernikahan. Makna pesan melaksanakan pantang larang pada masa prosesi perkawinan agar calon pengantin dapat menjaga diri dan agar calon pengantin tetap menjalani tradisi pada masa prosesi perkawinan untuk tetap melaksanakan nilai- nilai budaya yang telah ada dalam masyarakat melayu Pontianak . Pada masa kehamilan pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak masih kuat diyakini, dari beberapa informan baik dari generasi tua maupun generasi muda didapat bahwa pantang larang pada kehamilan masih sering dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak
karena pada masa kehamilan
diyakini anak yang dalam kandungan bila tidak dijaga dengan baik oleh kedua orang tua mereka semasa masih dalam kandungan maka biasanya akan mendapatkan sanksi atau bala dari orang tua yang tidak mengikuti pantang larang tersebut. Pantang larang yang diyakini mempunyai unsur sanksi yang akan nampak kepada anak bila tidak dijaga oleh orang tua adalah pantang larang untuk membunuh binatang. Makna pesan pantang larang pada masa kehamilan agar calon ibu dan bapak dapat mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua yang baik, mulai dari masa awal kehamilan sampai pada masa mela hirkan, selain itu makna pesan pantang larang ini agar dibuat agar calon ibu dan bapak bisa mengetahui bagaimana proses manusia diciptakan. Makna pesan pantang larang pada masa melahirkan masyarakat Melayu Pontianak adalah untuk pemulihan seorang ibu setelah melahirkan dalam pantang larang sama pentingnya pada waktu ibu sedang hamil. Seorang ibu harus memiliki tubuh yang sehat baik jasmani dan rohani. Pantang larang setelah kelahiran saat ini sangat terngantung pada diri ibu itu sendiri. Pantang larang yang dibuat oleh
83
orang tua mengisyaratkan bahwa seorang ibu diberikan waktu yang cukup buat beristirahat selama empat puluh hari setelah mengalami proses kehamilan. Perbedaan makna pesan tradisi pantang larang pada generasi tua dan generasi muda dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya pada tradsi pantang larang yaitu pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana. Pola sikap merupakan wujud idiil dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari penerimaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan ge nerasi muda terhadap tradisi pantang larang. Pola kelakuan dan bertindak dalam kegiatan bermasyarakat merupakan wujud kelakuan dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat dari pelaksanaan masyarakat Melayu Pontianak baik itu generasi tua dan generasi muda terhadap tradisi pantang larang. Sedangkan pola sarana atau kebendaan merupakan wujud fisik dari kebudayaan, pada penelitian ini dapat dilihat pada penggunaan bahan-bahan atau peralatan pada tradisi pantang larang di masyarakat Melayu Pontianak . Hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti, pelaksanaan akan tradisi pantang larang ini masih tetap dilaksanakan oleh generasi tua dan generasi muda, tetapi tidak semua generasi muda tentunya yang mengerti dan memahami makna pesan pantang larang, mereka hanya melaksanakan sebagai kewajiban
yang
harus
dilakukan
sebagai
seorang
anak
dan
anggota
kemasyarakatan. Adanya perubahan pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak dalam menjalani tradisi pantang larang, dapat dilihat pada beberapa faktor yaitu, faktor penduduk yang heterogen, pendidikan formal yang maju dan faktor sikap masyarakat.
84
POLA DAN PERUBAHAN KOMUNIKASI TRADISI PANTANG LARANG
Proses Komunikasi dalam Pantang Larang Keluarga mempunyai arti yang sangat penting dan sekaligus perletakkan dasar kepribadian anak pada kehidupan masyarakat Melayu Pontianak. Orang tua sangat berperan penting dalam pembentukan kepribadian anak dengan menanamkan dan mensosialisasikan nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari- hari dan lingkungan keluarga dan masyarakat. Tradisi pantang larang bagi masyarakat Melayu Pontianak merupakan pesan lisan yang disampaikan oleh orang tua yang bertujuan untuk mendidik anaknya
dalam
melaksanakan
nilai-nilai
budaya.
Dimana
pesan
yang
disampaikan untuk dimaknai dalam kehidupan sehari- hari. Proses komunikasi tradisi pantang larang yang dilakukan orang tua kepada anaknya sebagai suatu nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya. Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi, karena budaya muncul melalui komunikasi. Hubungan antara budaya dan komunikasi adalah timbal balik. Hubungan antara komunikasi dan kebudayaan, ada manfaatnya bila ditinjau dari sudut masyarakat. Tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur- unsur kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui komunikasi. Unsur budaya pada tradisi pantang larang berupa pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana pada masyarakat Melayu Pontianak memberikan pengaruh terhadap masyarakat untuk melaksanakan pantang larang. Pelaksanaan tradisi pantang larang dari orang tua kepada anaknya melalui suatu proses komunikasi. Proses komunikasi dapat dilihat pada unsur-unsur yang menyebabkan terjadinya sebuah komunikasi, seperti siapa yang berkomunikasi, mengapa berkomunikasi, dan kepada siapa komunikasi itu ditujukan. Proses komunikasi yang berlaku dalam masyarakat yang bersifat dinamik merupakan kontrol sosial. Kontrol
sosial
adalah
sebuah
proses
yang
85
mempengaruhi perilaku sumber dan penerimanya. Proses komunikasi pada kontrol sosial adalah proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa masyarakat agar mematuhi norma dan nilai. Peranan kontrol sosial adalah untuk mengawasi diri sendiri aga r dalam berkomunikasi tetap memperhatikan nilai- nilai yang telah disepakati bersama agar selalu bertindak dalam batas-batas nilai budaya. Van Doorn dan Lammers yang dikutip oleh Sajogyo dan Pudjiwati (1995) menyatakan bahwa cara atau proses melakukan kontrol sosial dapat dilakukan dengan proses ajar didik, dengan sanksi, dalam ritus kolektif, dan dengan alokasi posisi. Proses komunikasi pada tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak dapat diterangkan melalui : Proses Ajar Didik Proses ajar pada masyarakat Melayu Pontianak terjadi secara proses informal pada sebuah keluarga. Proses ajar didik yang dilakukan oleh orang tua sebagai petunjuk yang diberikan kepada anaknya supaya diketahui dan dituruti. Makna pesan tradisi pantang larang tersebut dikomunikasikan dalam bentuk nasehat, berupa sifat-sifat yang baik dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan kehidupan sehari- hari, begitu juga nasehat dalam memulai untuk membina rumah tangga dalam prosesi perkawinan, sifat-sifat seorang calon ibu dalam masa kehamilan dan setelah melahirkan. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah seorang generasi muda masyarakat Melayu Pontianak, yaitu “Kalau untuk kehidupan sehari-hari, seingat saya di ajarkan langsung, anak tak boleh begini, tak boleh begitu ya. Tetapi untuk prosesi perkawinan, kehamilan di beri tahukan pada saat keadaan khusus itu akan dan sedang berlangsung” Proses menuju perkawinan bagi masyarakat Melayu Pontianak merupakan suatu proses peralihan dalam kehidupan seseorang. Seorang anak yang akan melakukan perkawinan harus diajarkan bagaimana kesiapan mereka untuk menjadi seorang suami dan istri. Setiap pantang larang dalam prosesi perkawinan masyarakat Melayu Pontianak terdapat nilai- nilai budaya. Proses komunikasi melalui proses ajar didik pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan setelah melahirkan diberitahukan atau diajarkan bila calon
86
pengantin, calon ibu dan ayah bila akan memasuki masa pantang larang tersebut. Proses ajar didik dilakukan kepada calon pengantin dan calon ibu atau ayah pada saat prosesi perkawinan, masa kehamilan dan melahirkan agar dapat menginggat pantang larang yang sedang dijalani. Proses komunikasi tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak ada pantang larang perkawinan sumber informasi (source) adalah orang tua atau dukun kampung, pesan (message) yang disampaikan agar calon pengantin dapat menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik sebelum pernikahan berlangsung dan tetap melaksanakan nilai- nilai yang terkandung dalam prosesi perkawinan, sedangkan penerima (receiver) adalah calon pengantin perempuan dan laki- laki. Proses komunikasi yang berlangsung secara komunikasi antarpribadi, melalui tatap muka. Setiap pantang larang pada prosesi perkawinan yang diajarkan kepada anaknya untuk mengajarkan kepada calon pengantin agar menjaga sifat-sifat baik menjelang perkawinan, pantang larang yang diberikan juga agar anak mengerti akan proses peralihan dari anak menjadi seorang suami atau istri dalam berumah tangga. Kehidupan berumah tangga bagi masyarakat Melayu Pontianak adalah tempat dan kehidupan yang teramat mulia, dan memiliki makna yang strategis sebagai pusat pendidikan. Proses komunikasi pada tradisi pantang larang masa kehamilan masyarakat Melayu Pontianak sumber informasi (source) adalah orang tua atau dukun beranak, pesan (message) yang disampaikan agar calon ibu dan calon ayah harus mempunyai sifat sabar dan dapat menjaga diri selama istri dalam masa kehamilan sehingga tidak terjadi hal- hal buruk selama masa kehamilan, sedangkan penerima (receiver) adalah calon ibu dan ayah. Proses komunikasi yang berlangsung secara komunikasi antarpribadi, melalui tatap muka. Proses komunikasi pada tradisi pantang larang masa melahirkan masyarakat Melayu Pontianak sumber informasi (source) adalah orang tua atau dukun beranak, pesan (message) yang disampaikan agar seorang ibu setelah melahirkan harus memiliki tubuh yang sehat baik jasmani dan rohani selain itu agar seorang ibu diberikan waktu yang cukup buat beristirahat selama empat puluh hari setelah mengalami proses melahirkan, sedangkan penerima (receiver)
87
adalah calon ibu. Proses komunikasi yang berlangsung secara komunikasi antarpribadi, melalui tatap muka. Proses komunikasi yang berlangsung pada proses ajar didik dapat dijelaskan pada tabel 3. Tabel 3. Proses Komunikasi Pada Proses Ajar Didik Pantang Larang
Sumber
Pesan
Saluran
Penerima
Pantang larang bagi calon pengantin
Orang tua, Dukun Kampung
Calon pengantin harus dapat menjaga diri sendiri dari halhal yang tidak baik.
Komunikasi Antar Pribadi (tatap muka)
Calon pengantin baik lakilaki maupun perempuan
Pantang larang masa kehamilan
Orang tua, Dukun Beranak
Calon ibu dan calon ayah harus mempunyai sifat sabar dan dapat menjaga diri selama istri dalam masa kehamilan.
Tatap muka
Calon ibu dan ayah
Pantang larang masa melahirkan
Orang tua, Dukun beranak
Seorang ibu dalam masa pemulihan jasmani dan rohani.
Tatap muka
Seorang ibu
Pantang larang masyarakat Melayu Pontianak, proses ajar didik banyak dilakukan melalui komunikasi tatap muka antara orang tua kepada anaknya, pesan-pesan yang disampaikan tersebut adalah anak yang menjadi orang baik yakni manusia yang sempurna lahir batin. Perubahan proses komunikasi berupa proses ajar didik pada pantang larang pada generasi tua dilakukan melalui komunikasi antarpribadi dari orang tua dan dukun kampung kepada calon pengantin dan calon orang tua berupa komunikasi secara vertikal atau linear yaitu dari orang tua langsung, sedangkan pada generasi muda proses ajar didik pantang larang yang disampaikan selain oleh orang tua dan dukun kampung, juga didapat dari teman atau saudara dan dokter atau bidan yang
88
mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam melaksanakan pantang larang pada prosesi perkawinan, masa kehamilan atau melahirkan. Sanksi Proses komunikasi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak selain melalui proses ajar didik, proses komunikasi dilakukan juga melalui sanksi yang di berlakukan. Proses komunikasi melalui sanksi merupakan penguatan terhadap pesan (message) pada pantang larang. Bila calon pengantin, calon ibu atau suami tidak melaksanakan pantang larang maka akan mendapatkan sanksi atau dampak bagi dirinya sendiri. Inti pokok pada pantang larang merupakan sanksi yang didapat, sanksi yang dibuat pada pantang larang masyarakat Melayu Pontianak merupakan penguatan suatu adat. Tradisi yang terbentuk dalam suatu mayarakat memberikan suatu penguatan bahwa tradisi mempunyai sanksi yang mengikat. Sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang Ustadz di Pontianak, yaitu: “Sanksi itu ada supaya untuk menguatkan adat, supaya dipatuhi oleh pengikotnya. Orang dulok itu diberinye sanksi, kalo kau tadak lakukan kau akan begini, kalo kau lakukan kau akan begini. Dulok tu kalo dikabarkan hukumnye begini-begini,mungkin kurang keyakinan, dikabarkan ini tak boleh, jadi orang dulok-dulok tu membuat adat itu adalah mengikat agama”. Hal yang sama juga diungkapkan oleh salah seorang generasi tua masyarakat Melayu Pontianak, yaitu : “Nampaklah akibatnye atau sanksinye, biase orang hamil tu masok rumah saket sebelom waktunye, badan bengkak, ehh macammacamlah” Proses komunikasi melalui sanksi merupakan pesan yang disampaikan bagi calon pengantin, pada pasangan suami istri di masa kehamilan dan kelahiran bagi orang dahulu pada pantang larang menjadi suatu kepercayaan oleh masyarakat yang paling ditakuti, tetapi bagi generasi muda sekarang menganggap sanksi yang merupakan pesan sebagai proses pencegehan atau preventif yang bertujuan untuk menjaga mereka dari hal- hal yang tidak baik didapat dalam masa tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang generasi muda masyarakat Melayu Pontianak, yaitu :
89
“Ehh proses ajar kepada saya, dari orang tua saya, memang ada sanksi-sanksi yang khusus, mungkin sanksi itu diluar akal dan pertimbangan kita, tetapi semakin saya besar semakin saya bisa memilah- milah, mana jenis tradisi pantang larang, saya melihat justru yang didapat bukan sanksi tapi adalah proses preventif, pencegahan terhadap sesuatu, bagi saya pribadi ada jenis-jenis tradisi pantang larang tertentu yang mempunyai maksud baik”. Bagi masyarakat Melayu Pontianak melaksanakan nilai- nilai budaya mempunyai maksud dan tujuan yang baik karena sanksi yang dibuat dan disampaikan pada tradisi pantang larang bukan untuk ditakuti tapi untuk membuat batasan-batasan yang jelas dalam tradisi pantang larang, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan sehingga calon pengantin, calon ibu atau suami dapat mencegah sanksi atau akibat pada pantang larang tersebut . Ritus Kolektif Ritus kolektif Masyarakat Melayu Pontianak sering mereka lakukan, dari hasil pengamatan peneliti dilihat pada kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti pengajian kelompok baik dari masyarakat laki- laki maupun perempuan. Ritus kolektif pada pantang larang masyarakat Melayu Pontianak dilakukan pada pelaksanaan pantang larang oleh masyarakat. Ritus kolektif pada pantang larang masyarakat Melayu Pontianak di dapat dilihat pada prosesi perkawinan dan masa kehamilan yang dilakukan dengan cara menyampaikan pantang larang oleh orang tua atau dukun kampung yang merupakan sumber informasi atau komunikator (source) kepada anak dilakukan melalui komunikasi tatap muka atau komunikasi langsung agar pesan pantang larang pada prosesi perkawinan dan kehamilan bagi pasangan calon pengantin dan calon orang tua dapat mereka mengerti bersama-sama akan nilai- nilai budaya yang diberikan oleh orang tua secara bersama. Ritus kolektif pada pantang larang masa kehamilan pada masyarakat Melayu Pontianak disampaikan oleh orang tua atau dukun kampung sebagai komunikator (source) kepada suami dan istri sebagai calon ibu dan ayah agar pesan (message) pada pantang larang kehamilan selalu di ingat oleh pasangan suami dan istri. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang generasi muda masyarakat Melayu Pontianak, Ibu Nurseha, yaitu :
90
“Saya melihat kecenderungan tradisi pantang larang dilakukan oleh personal, kalopun ada hanya pada sebuah keluarganya dan keluarga yang lain, keluarga satu, keluarga dua, dan keluarga laenlaen tapi secara umum tidak pada masyarakat”. Proses komunikasi yang disampaikan oleh orang tua kepada anaknya melalui ritus kolektif kepada calon ibu dan ayah dimaksudkan agar mereka bisa menjalankan pantang larang tersebut secara bersama-sama untuk menjaga anak yang berada dalam kandungan. Ritus kolektif pada pantang larang merupakan proses komunikasi yang harus mempunyai pemahaman atau persepsi yang sama antara mereka akan tradisi pantang larang yang mereka lakukan. Alokasi Posisi Proses komunikasi melalui alokasi posisi yaitu dimana adanya perananperanan orang-orang tertentu yang memiliki status dalam keluarga atau masyarakat. Dari hasil pengamatan peneliti, peran keluarga pada masyarakat Melayu Pontianak menjadi sangat penting, di mana kepatuhan anaknya kepada orang tua sangat besar. Pantang larang yang dikatakan oleh orang tua kepada anaknya menjadi acuan bagi untuk mengikutinya sebagai sesuatu kepatuhan atau ketaatan kepada orang tua. Selain peran keluarga, peran seorang dukun kampung maupun dukun beranak sebagai sumber informasi atau komunikator (source) yang menyampaikan pantang larang pada masa prosesi perkawinan, masa kehamilan dan melahirkan. Perubahan proses komunikasi pada alokasi posisi sebagai sumber informasi atau komunikator (source) selain orang tua peran dukun kampung, dokter dan bidan juga mempengaruhi dalam melakukan pantang larang. Dari pengamatan peneliti bahwa generasi muda masyarakat Melayu Pontianak yang mempunyai pola hidup menghormati dan mematuhi perkataan orang tua, menjadikan tradisi pantang larang tetap dilaksanakan oleh generasi muda, hanya saja perubahan yang terjadi yaitu pola tata kelakuan mereka yang tetap menjalankan tradisi pantang larang dengan memaknai pesan dari tradisi pantang larang saja yang berbeda memandang tradisi pantang larang tersebut suatu proses ajar didik terhadap pencegahan dalam diri seseorang agar tidak melanggar norma dari nilai- nilai budaya dalam masyarakat.
91
Komunikator dalam Komunikasi Pantang Larang Sumber informasi atau komunikator (source) yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya pada masyarakat Melayu Pontianak pada tradisi pantang larang melalui komunikasi antarpribadi (tatap muka), seperti yang di ungkapkan oleh salah seorang warga Melayu Pontianak, yaitu : “Orang tue kasih tau dari mulut ke mulut jak ngomong, kalo kau beranak haros makan ini, jangan makan ini misalnye pantangannye, pokoknye ape yang dikatekan orang tue-tue dulok di ikotkanlah, kitekan udah biase gitu, adat istiadat kitelah kite bawa” Proses ajar didik dari orang tua sebagai komunikator (source) kepada anaknya juga dikatakan oleh ibu Sa’adah sebagai generasi tua, yaitu : “Dulok-dulok kite nak kawen diajarkan pantangannye sampai kesenam-senam diajarkannye,buat bekal kite suami istri diajarkannye”. Perubahan proses komunikasi pada generasi tua dan generasi muda pada proses ajar didik, sanksi, ritus kolektif dan alokasi posisi dipengaruhi oleh sumber informasi atau komunikator yang menyampaikan pantang larang. Perubahan proses komunikasi dipengaruhi oleh sumber informasi atau komunikator yang memberikan perubahan terhadap pola komunikasi tradisi pantang la rang. Komponen komunikator untuk melaksanakan komunikasi, harus memiliki dua faktor penting pada diri komunikator, yaitu kepercayaan pada komunikator (source credibility) dan daya tarik komunikator (source attractiveness). Kedua faktor komunikator ini penting agar pesan yang diterima oleh calon pengantin, calon ayah dan ibu memberikan suatu perubahan sikap serta perubahan kelakuan dalam melaksanakan pantang larang pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran. Pola komunikasi pada generasi tua dala m menyampaikan proses komunikasi pantang larang dilakukan secara linear, yaitu komunikasi satu arah (one way view of communication). Dimana orang tua atau dukun kampung sebagai sumber informasi atau komunikator (source) memberikan stimulus kepada calon pengantin dan calon orang tua sebagai anak atau komunikan menerima respon atau tanggapan yang diharapkan, tanpa mengadakan seleksi atau interpretasi. Sehingga pantang larang yang disampaikan akan selalu diikuti dan menjadi
92
keyakinan oleh generasi tua sebagai nasehat yang wajib dilakukan sebagai seorang anak. Sedangkan pola komunikasi pada generasi muda yang mengalami perubahan pada proses komunikasi melalui sumber atau komunikator selain dilakukan secara linear juga pada pola komunikasi transaksional, yaitu komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) di antara dua orang atau lebih. Proses komunikasi ini dilakukan pada penekanan perilaku masing- masing komunikator atau sumber (source) yang memiliki konten pesan yang dibawanya dan saling betukaran. Sumber atau komunikator generasi muda dalam mendapatkan tradisi pantang larang dari teman atau saudara yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam melaksanakan tradisi pantang larang pada prosesi perkawinan, masa kehamilan atau melahirkan. Perubahan pada sumber informasi atau komunikator pada pantang larang memberikan pengaruh terhadap generasi muda untuk melaksanakan pantang larang. Masa dahulu, komunikator yang menyampaikan pesan adalah orang tua dan dukun kampung yang menyampaikan pantang larang pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan masa kelahiran. Masa kini, sumber atau komunikator yang menyampaikan pantang larang selain dari orang tua, dukun kampung adalah teman atau saudara dan dokter, sehingga memberikan pengaruh terhadap perubahan makna pesan yang disampaikan.
Pesan dalam Komunikasi Pantang Larang Perubahan terhadap pola komunikasi pada proses komunikasi dan sumber informasi atau komunikator pada tradisi pantang larang masyarakat Melayu Pontianak memberikan pengaruh terhadap perubahan pesan (message) yang didapat oleh calon pengantin, calon ibu dan ayah dalam memaknai pesan pantang larang. Pantang larang yang diberikan kepada anak pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan kelahiran merupakan suatu pesan yang mempunyai makna sangat besar untuk dilaksanakan, walaupun bahasa yang di gunakan banyak berupa kiasan. Bahasa kiasan yang diumpakan agar memberikan penegasan kepada anak agar tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi pantang larang.
93
Perubahan pemaknaan pesan (message) pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat pada pola sikap mereka tentang pantang larang tersebut. Pada generasi tua memandang pesan pantang larang yang disampaikan merupakan kepercayaan mereka dari nenek moyang yang harus ditaati, sehingga selama pantang larang membawa kebaikan buat mereka maka akan mereka lakukan. Pada masa kini, generasi muda memandang pesan pantang larang hanya sebagai proses preventif atau pencegahan, artinya dengan adanya pantang larang dalam prosesi perkawinan, masa kehamilan dan masa kelahiran sebagai bentuk agar anak dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak baik dalam masa perkawinan, kehamilan dan kelahiran. Pola sikap berupa persepsi masyarakat mengenai makna pesan pantang larang yang berdasarkan pada pengalaman. Seseorang yang melaksanakan pantang larang tergantung pada makna pesan apa yang dibawanya ke dalam pengalaman tersebut. Makna pesan yang di dapat merupakan hasil dan sistem yang telah dipelajari. Pola sikap ini mempengaruhi pada pola kelakuan dalam melaksanakan pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak didasarkan pada pengalaman mereka sendiri. Perubahan makna pesan pada pantang larang masyarakat Melayu Pontianak
pada
proses
komunikasi
mempengaruhi
masyarakat
dalam
melaksanakan pantang larang. Perubahan yang terjadi pada makna pesan pantang larang masyarakat Melayu Pontianak karena adanya pola sikap dalam masyarakat Melayu Pontianak yang mempengaruhi pola kelakuan atau tindakan serta pola sarana seseorang dalam mengambil suatu sikap untuk melaksanakan suatu pantang larang. Pola dan Perubahan Komunikasi Perubahan pola sikap dalam masyarakat Melayu Pontianak mempengaruhi pola tindakan seseorang dalam melaksanakan pantang larang pada prosesi perkawinan, pada masa kehamilan dan pada masa kelahiran sehingga memberikan perubahan terhadap makna pesan pantang larang bagi generasi tua dan generasi muda. Generasi muda tetap melaksanakan tradisi pantang larang hanya saja memaknai pesan pantang larang sesuai dengan kondisi pada masa kini.
94
Pola dan perubaha n komunikasi tradisi pantang larang dapat dijelaskan pada tabel 4. Tabel 4. Pola dan Perubahan Komunikasi Tradisi Pantang Larang Pola dan Perubahan Komunikasi Tradisi Pantang Larang Komponen Komunikasi
Generasi Tua
Generasi Muda
Sumber informasi
- Orang tua - Dukun kampung
- Orang tua - Dukun kampung - Teman atau saudara - Dokter atau bidan
Proses Komunikasi
- Komunikasi Linear
- Komunikasi Linear - Komunikasi Transaksional
Pesan Informasi
- Kepercayaan
- Preventif atau pencegahan
Tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak masih diyakini untuk dilaksanakan oleh generasi muda walaupun proses melaksanakan tradisi pantang larang tidak lagi seperti zaman dahulu. Proses komunikasi tradisi pantang larang telah mengalami pola dan perubahan komunikasi di masyarakat Melayu Pontianak. Pola
dan
perubahan
komunikasi
pantang
larang
melalui
proses
komunikasi, sumber informasi atau komunikator (source) dan pesan (message) pada
generasi
tua
dan
generasi
muda
masyarakat
Melayu
Pontianak
mempengaruhi perubahan pada unsur budaya melalui pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana. Perubahan pola bersikap, pola kelakuan dan pola sarana pada tradisi pantang larang dapat dijelaskan pada tabel 5, tabel 6 dan tabel 7.
95
Tabel 5. Perubahan Pola Bersikap, Pola Kelakuan dan Pola Sarana Pantang Larang Prosesi Perkawinan Pantang Larang
Generasi Tua Pola Sikap
Pantang Menerima larang bagi calon pengantin
Pola Kelakuan Selama 1 bulan
Generasi Muda Pola Sarana
Pola Sikap
Pola Kelakuan
Pola Sarana
BahanTidak bahan atau sepenuh peralatan menerima buat prosesi lengkap
7 hari atau 4 hari
Bahanbahan buat prosesi tidak banyak dan lebih yang praktis
Pola dan perubahan komunikasi pantang larang prosesi perkawinan pada masyarakat Melayu Pontianak generasi tua dan generasi muda dapat dilihat pada perubahan pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana. Pola sikap generasi tua dalam melaksanakan pantang larang pada saat menjelang perkawinan langsung menerima apa yang diajarkan oleh orang tua atau dukun kampung karena adanya kepercayaan akan pantang larang diajarkan. Sedangkan pada generasi muda pola sikapnya tidak menerima sepenuhnya karena kurang percaya akan pantang larang tersebut. Perubahan pola sikap masyarakat Melayu Pontianak mempengaruhi terhadap pola kelakuan dalam pelaksanaan pantang larang. Calon pengantin pada generasi tua melaksanakan pantang larang selama satu bulan, semenjak calon pengantin wanita sudah dipinang atau dilamar, maka pantang larang sudah dilakukan oleh calon pengantin. Masa kini, pola kelakuan generasi muda melaksanakan pantang larang selama tujuh atau empat hari saja karena banyaknya kesibukan yang harus mereka lakukan sendiri menjelang perkawinan sehingga pantang larang hanya optimal dilakukan selama tujuh hari, salah satunya pantang larang tidak boleh keluar rumah bila telah melakukan prosesi perkawinan. Perubahan pola sarana berupa bahan-bahan atau peralatan yang digunakan dalam prosesi perkawinan. Masa dahulu, bahan-bahan yang digunakan untuk menduk ung pelaksanaan pantang larang sudah disiapkan oleh orang tua atau dukun kampung. Masa kini, calon pengantin juga ikut menyiapkan bahan-bahan
96
buat prosesi perkawinan, karena ada bahan yang susah didapat maka mereka lebih melakukan pantang larang lebih bersifat praktis, kalau ada yang dijual mereka tinggal membeli, yang penting bagi generasi muda mereka tetap mengikuti pantang larang yang diberikan. Tabel 6. Perubahan Pola Bersikap, Pola Kelakuan dan Pola Sarana Pantang Larang Masa Kehamilan Pantang Larang Pantang larang masa kehamilan
Generasi Tua Pola Sikap Menerima yang diajarkan karena takut akan sanksi
Generasi Muda
Pola Kelakuan
Pola Sarana
Pola Sikap
Pola Kelakuan
Menjaga kelakuan selama kehamilan dengan sifat-sifat baik
Bahanbahan untuk menjaga kehamilan lebih bersifat alami/ dukun kampung
Menerima yang diajarkan sebagai pencegahan
Selain dengan sifat-sifat baik juga dengan makanan tambahan yang praktis buat kehamilan
Pola Sarana Kemajuan teknologi bisa melihat anak dalam kandungan/ dokter
Pola sikap generasi tua dalam melaksanakan pantang larang masa kehamilan menerima apa yang diajarkan oleh orang tua atau dukun kampung karena lebih takut akan sanksi atau bala’ yang didapat. Pola sikap generasi muda juga menerima pantang larang yang diajarkan karena merupakan suatu pencegahan supaya berhati- hati untuk menjaga kandungan oleh calon ibu. Pola sikap generasi tua mempengaruhi pola sikap generasi muda masyarakat Melayu Pontianak. Sikap dan kelakuan generasi tua masa dahulu dan generasi muda masa sekarang memandang pantang larang pada masa kehamilan masih menjadi kepercayaan atau keyakinan yang masih diikuti sehingga pola kelakuan masa kehamilan seorang suami dan istri sangat dijaga pada waktu istri hamil. Perubahan hanya terjadi terhadap sarana berupa peralatan atau bahanbahan dalam menjalani pantang larang. Pola sarana generasi tua lebih bersifat alami, bahan-bahan untuk menjaga kehamilan masih diberikan oleh dukun kampung, sehingga pantang larang banyak didapat oleh dukun kampung. Masa kini sarana dalam masa kehamilan begitu
97
banyak, adanya susu tambahan buat kehamilan dan teknologi untuk mengetahui janin bayi dapat diketahui pada masa kehamilan. Walaupun pantang larang tetap dilakukan oleh generasi muda sekarang tetapi mereka juga memberikan berbagai macam tambahan buat calon bayi dan bisa mengikuti perkembangan calon bayi dalam kandungan. Tabel 7. Perubahan Pola Bersikap, Pola Kelakuan dan Pola Sarana Pantang Larang masa Kelahiran Pantang Larang
Generasi Tua Pola Sikap
Pantang Menerima larang masa melahirkan
Generasi Muda
Pola Kelakuan
Pola Sarana
Selama 40 sampai 45 hari
Bahanbahan jamu melahirkan lebih alami
Pola Sikap
Pola Kelakuan
Tidak sepenuh menerima
Tujuh atau empat belas hari
Pola Sarana Lebih bersifat praktis
Perubahan pola sikap yang terjadi generasi tua dan generasi muda masyarakat Melayu Pontianak pada pantang larang masa melahirkan. Pola sikap generasi tua masa dahulu menerima yang diajarkan karena pantang larang pada masa melahirkan sesuai dengan ajaran agama Islam, sedangkan generasi muda tidak sepenuhnya menerima karena karena adanya perubahan perilaku. Pola kelakuan generasi tua masa dahulu menjalani pantang larang masa melahirkan selama empat puluh hari atau lebih karena untuk memulihkan kondisi tubuh setelah melahirkan. Pola kelakuan generasi muda sekarang menjalani pantang larang hanya tujuh hari atau empat belas hari karena banyak kesibukan seorang ibu. Perubahan sikap dan kelakuan mempengaruhi
bahan-bahan yang
digunakan oleh seorang ibu. Masa dahulu, jamu untuk pemulihan masa melahirkan yang disediakan dan dibuatkan sendiri oleh orang tua atau dukun kampung selam empat puluh hari. Masa kini, jamu untuk ibu melahirkan generasi muda tinggal membeli.
98
Ikhtisar Proses komunikasi tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak yang melalui proses ajar didik, sanksi, ritus kolektif dan alokasi posisi, sumber informasi atau komunikator (source) dan pesan informasi (message) telah mengalami perubahan pola komunikasi pada masyarakat. Proses komunikasi melalui proses ajar didik pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan setelah melahirkan diberitahukan atau diajarkan bila calon pengantin, calon ibu dan ayah bila akan memasuki masa pantang larang tersebut. Proses menuju perkawinan bagi masyarakat Melayu Pontianak merupakan suatu proses peralihan dalam kehidupan seseorang. Seorang anak yang akan melakukan perkawinan harus diajarkan bagaimana kesiapan mereka untuk menjadi seorang suami dan istri. Setiap pantang larang dalam prosesi perkawinan masyarakat Melayu Pontianak terdapat nilai- nilai budaya. Proses komunikasi melalui proses ajar didik pada prosesi perkawinan, masa kehamilan dan setelah melahirkan diberitahukan atau diajarkan bila calon pengantin, calon ibu dan ayah bila akan memasuki masa pantang larang tersebut. Proses ajar didik dilakukan kepada calon pengantin dan calon ibu atau ayah pada saat prosesi perkawinan, masa kehamilan dan melahirkan agar dapat menginggat pantang larang yang sedang dijalani. Proses komunikasi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak selain melalui proses ajar didik, proses komunikasi dilakukan juga pada sanksi yang di berlakukan. Proses komunikasi melalui sanksi merupakan penguatan terhadap pesan (message) pada pantang larang. Sanksi yang dibuat dan disampaikan pada tradisi pantang larang bukan untuk ditakuti tapi untuk membuat batasan-batasan yang jelas dalam tradisi pantang larang, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan sehingga calon pengantin, calon ibu atau suami dapat mencegah sanksi atau akibat pada pantang larang tersebut. Ritus kolektif pada pantang larang masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat pada prosesi perkawinan dan masa kehamilan yang dilakukan dengan cara menyampaikan pantang larang oleh orang tua atau dukun kampung yang merupakan sumber informasi atau komunikator (source) kepada anak dilakukan melalui komunikasi tatap muka atau komunikasi langsung agar pesan pantang
99
larang pada prosesi perkawinan dan kehamilan bagi pasangan calon pengantin dan calon orang tua dapat mereka mengerti bersama-sama akan nilai- nilai budaya yang diberikan oleh orang tua secara bersama. Proses komunikasi melalui alokasi posisi yaitu dimana adanya perananperanan orang-orang tertentu yang memiliki status dalam keluarga atau masyarakat. Dari hasil pengamatan peneliti, peran keluarga pada masyarakat Melayu Pontianak menjadi sangat penting, di mana kepatuhan anaknya kepada orang tua sangat besar. Pantang larang yang dikatakan oleh orang tua kepada anaknya menjadi acuan bagi untuk mengikutinya sebagai sesuatu kepatuhan atau ketaatan kepada orang tua. Selain peran keluarga, peran seorang dukun kampung maupun dukun beranak sebagai sumber informasi atau komunikator (source) yang menyampaikan pantang larang pada masa prosesi perkawinan, masa kehamilan dan melahirkan. Pola komunikasi pada sumber informasi atau komunikator (source) yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya pada masyarakat Melayu Pontianak akan tradisi pantang larang melalui komunikasi antarpribadi (tatap muka). Perubahan proses komunikasi pada generasi tua dan generasi muda pada proses ajar didik, sanksi, ritus kolektif dan alokasi posisi dipengaruhi oleh sumber informasi atau komunikator yang menyampaikan pantang larang. Perubahan proses komunikasi dipengaruhi oleh sumber informasi memberikan perubahan terhadap pola komunikasi tradisi pantang larang. Pola komunikasi pada generasi tua dalam menyampaikan proses komunikasi pantang larang dilakukan secara linear, yaitu komunikasi satu arah (one way view of communication). Dimana orang tua atau dukun kampung sebagai sumber informasi atau komunikator (source) memberikan stimulus dan calon pengantin dan calon orang tua sebagai anak atau komunikan menerima respon atau tanggapan yang diharapkan, tanpa mengadakan seleksi atau interpretasi. Sehingga pantang larang yang disampaikan akan selalu diikuti dan menjadi keyakinan oleh generasi tua sebagai nasehat yang wajib dilakukan sebagai seorang anak. Sedangkan pola komunikasi pada generasi muda yang mengalami perubahan pada proses komunikasi selain dilakukan secara linear juga pada pola
100
komunikasi transaksional, yaitu komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) di antara dua orang atau lebih. Proses komunikasi ini dilakukan pada penekanan perilaku masing- masing komunikator atau sumber (source) yang memiliki konten pesan yang dibawanya dan saling betukaran. Sumber atau komunikator generasi muda dalam mendapatkan tradisi pantang larang dari teman atau saudara yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam melaksanakan tradisi pantang larang pada prosesi perkawinan, masa kehamilan atau melahirkan. Perubahan pemaknaan pesan (message) pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak dapat dilihat pada pola sikap mereka tentang pantang larang tersebut. Pada generasi tua memandang pesan pantang larang yang disampaikan merupakan kepercayaan mereka dari nenek moyang yang harus ditaati, sehingga selama pantang larang membawa kebaikan buat mereka maka akan mereka lakukan. Pada masa kini, generasi muda memandang pesan pantang larang hanya sebagai proses preventif atau pencegahan, artinya dengan adanya pantang larang dalam prosesi perkawinan, masa kehamilan dan masa kelahiran sebagai bentuk agar anak dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak baik dalam masa perkawinan, kehamilan dan kelahiran. Pola dan perubahan komunikasi pantang
larang
melalui
proses
komunikasi, sumber informasi atau komunikator (source) dan pesan (message) pada
generasi
tua
dan
generasi
muda
masyarakat
Melayu
Pontianak
mempengaruhi unsur- unsur budaya pada pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana.
101
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Tradisi pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak masih diyakini untuk dilaksanakan oleh generasi muda walaupun proses melaksanakan tradisi pantang larang tidak lagi seperti zaman dahulu. Proses komunikasi tradisi pantang larang telah mengalami perubahan pola komunikasi di masyarakat Melayu Pontianak. Pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana dalam menjalani pantang larang perkawinan, kehamilan dan kelahiran memberikan perubahan terhadap makna pesan pantang larang bagi generasi tua dan generasi muda. Generasi muda tetap melaksanakan tradisi pantang larang hanya saja memaknai pesan pantang larang sesuai dengan kondisi pada masa kini. Perubahan pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana generasi muda masyarakat Melayu Pontianak dalam menjalani tradisi pantang larang, dapat dilihat pada beberapa faktor yaitu, faktor penduduk yang heterogen, pendidikan formal yang maju dan faktor sikap masyarakat. Pola dan perubahan komunikasi tradisi pantang larang terjadi pada proses komunikasi melalui proses ajar didik, sanksi, ritus kolektif dan alokasi posisi, sumber informasi dan pesan informasi. Perubahan pola komunikasi pada sumber informasi tradisi pantang larang pada generasi muda masyarakat Melayu Pontianak mempengaruhi pada proses komunikasi sehingga memaknai pesan informasi tradisi pantang larang sebagai tradisi yang merupakan suatu proses ajar didik terhadap pencegahan dalam diri seseorang agar tidak melanggar norma dari nilai- nilai budaya dalam masyarakat. Semua ini mempengaruhi unsur-unsur budaya pada pola sikap, pola kelakuan dan pola sarana generasi muda masyarakat Melayu Pontianak dalam melaksanakan pantang larang.
102
Saran Dari hasil penelitian dapat dikemukan beberapa saran kepada Masyarakat Melayu Pontianak Timur sebagai berikut : 1. Diharapkan bagi masyarakat Melayu Pontianak dengan adanya tradisi pantang larang sebagai tradisi yang ada dalam masyarakat akan dapat memberikan pesan baik dalam menjalani hidup bermasyarakat. 2. Diharapkan bagi generasi muda Melayu Pontianak dengan tradisi pantang larang akan memberikan pola hidup yang lebih baik dengan melaksanakan pesan pantang larang yang telah disampaikan oleh orang tua dan tetap mengetahui makna nilai- nilai budaya yang lain. 3. Untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masyarakat Melayu Pontianak diharapkan Pemerintah Kota Pontianak dan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kota Pontianak dapat
membuat media informasi tentang
kebudayaan Melayu berupa tradisi, adat istiadat yang diberikan kepada generasi muda Melayu Pontianak.
103
DAFTAR PUSTAKA Abdulsyani. 1992. Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta. Bumi Aksara. Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1992.. Etnisitas, Religiusitas dan Perubahan Sosial dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mereka : Gerakan Etnik dan Nasionalisme di Dunia Barat dan Dunia Ketiga. Proyeksi Publikasi Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjung Pura, Nomor 1 Tahun II, Agustus. Pontianak. Fisipol UNTAN. Antin, Titin. 2005. Pola Komunikasi Verbal dan Nonverbal Anak Autis, Stud i Etnografi Komunikasi Di SD Plus AlGhifari Bandung . Tesis : Bandung. Universitas Padjajaran Bandung. Berlo DK. 1960. The Process of Communication. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. BPS Kota Pontianak. 2005. Kota Pontianak Dalam Angka 2005. Dahlan, Alwi. 1983. Budaya Komunikasi di Indonesia : Beberapa pengamatan, Makalah yang disampaikan pada seminar/diskusi tentang budaya komunikasi dan permasalahannya di Indonesia. Jakarta. LPKN-LIPI. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Kamus Besar B ahasa
Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia . Jakarta. Professional Books. Effendi, U. Onong. 2003. Ilmu, Teori dan Filasafat Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya. Hafied, Cangara. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Judistira, Gama K. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung. Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung. Kantor Camat Pontianak Timur. 2005. Monografi Kota Pontianak : Kecamatan Pontianak Timur, Periode Juli sampai Desember 2005. Kantor Komunikasi dan Informasi Kota Pontianak. 2005. Profil Kota Pontianak. Jakarta : PT. Exatama Mediasindo. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta.
104
-------------------. 1990. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Kolopaking LM at al. 2003. Sosiologi Umum. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lontaan, J. U. 1975. Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta. Bumi Restu. Lubis, Muhammad Abdi. 2001. Pendidikan dan Kontrol Sosial Pendidikan Dalam Pemilu 1999. Tesis : Bandung. Universitas Padjajaran Bandung. Mansur. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta. Ghalia Indonesia. Moleong, Lexy. J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya. Muhibbin, Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta. Grafindo Persada. Mulyana, Deddy. 2002. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya. -----------------. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung. Remaja Rosdakarya. -----------------. 1996. Pendekatan Terhadap Komunikasi Antar Budaya. Bandung. Remaja Rosdakarya. -----------------, 2005. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintasbudaya . Bandung. Remaja Rosdakarya. Musni, dkk. 1994. Sejarah Kebudayaan Kalimantan. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisioanal Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Nurahmawati, Neni Puji. 2002. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Melayu Mempawah. Pontianak. Pace RW, Faules DF. 2002. Komunikasi Organisasi. Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. . Bandung:Remaja Rosdakarya Rakhmat, Jalaludin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya.
105
----------------. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Rosdakarya.
Bandung. Remaja
Rogers EM. 1989. Komunikasi dan Pembangunan. Perspektif Kritis. Jakarta: LP3ES. Sajogyo, Pudjiwati S. 1995. Sosiologi Pedesaan, Kumpulan Bacaan. Edisi Revisi. Jakarta. Gadjah Mada University Press berkerjasama dengan Yayasan OBOR Indonesia. Sajogyo P. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta. Pascasarjana IKIP Jakarta Bekerja Sama dengan BKKBN. Sugihen B. 1996. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sumarti, Titik dan Sunito, Satyawan. 2004. Modul Mata Kuliah Perubahan Sosial. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekanto, Soejono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Suhaimi. 2002. Bentuk Komunikasi Tunjuk Ajar dalam Upacara Menyirih pada Masyarakat Melayu Siak Sri Indrapura Provinsi Riau. Tesis : Bandung. Universitas Padjajaran Bandung. Sunarwinadi, Ilya. 2000. Komunikasi Antar Budaya. Jakarta. Pusat Antar Universitas Ilmu- ilmu Sosial. Universitas Indonesia. Suparlan, Parsudi. 1984. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya . Jakarta. Rajawali. Tubbs and Moss. 2001. Human Communication. Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Wanti, Irini Dewi. 1998. Dimensi Budaya Etnis Melayu di Medan. Buletin Baha Informasi Kesejarahan dan N ilai Tradisional, No. 07/98. Banda Aceh. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Yusuf Y. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung. Remaja Rosdakarya.
106
Lampiran 1. Instrumentasi Penelitian PEDOMAN OBSERVASI Observasi dalam penelitian ini banyak di arahkan pada tradisi pantang larang. Dengan mengamati elemen yang berkaitan dengan tradisi pantang larang dalam prosesi perkawinan, masa kehamilan dan melahirkan dengan nilai- nilai budaya masyarakat melayu. Dalam kegiatan yang diamati adalah: -
Bagaimana proses komunikasi tradisi pantang larang pada masyarakat melayu Pontianak.
-
Gaya komunikasi, terdiri dari komunikasi verbal dan non verbal, yaitu yang diamati adalah penggunaan bahasa dan alat-alat atau bahan-bahan yang digunakan.
107
PEDOMAN WAWANCARA
Wawancara dilakukan pada Sultan Istana Kadriah Pontianak, sejarahwan budaya Melayu Pontianak, Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Pontianak, tokoh adat Melayu Pontianak dan beberapa masyarakat Melayu Pontianak yaitu generasi tua dan generasi muda. Pedoman wawancara kepada Sultan Istana Kadriah Pontianak adalah: -
Bagaimana sejarah berdirinya Kota Pontianak?
-
Mengapa Kerajaan di jadikan simbol kebudayaan Melayu Pontianak?
-
Bagaimana peranan kesultanan Pontianak dalam melestarikan nilai- nilai budaya Melayu khususnya tradisi pantang larang?
-
Apakah tradisi pantang larang masih dilakukan pada kesultanan Pontianak?
Pedoman wawancara kepada sejarahwan dan Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Pontianak adalah: -
Bagaimana sejarah tradisi pantang larang pada masyarakat melayu Pontianak?
-
Nilai-nilai dan norma apa saja yang terdapat pada tradisi pantang larang?
-
Apa saja pantang larang yang masih berlaku pada masyarakat melayu Pontianak?
-
Bagaimana proses komunikasi tradisi pantang larang masyarakat melayu Pontianak zaman dahulu dan sekarang?
-
Apa saja perubahan yang terjadi pada tradisi pantang larang?
Pedoman wawancara kepada tokoh adat melayu Pontianak adalah: -
Apa saja tradisi pantang larang pada masyarakat melayu Pontianak?
-
Bagaimana proses komunikasi tradisi pantang larang pada masyarakat melayu Pontianak?
-
Apa penyebab tradisi pantang larang masih dilaksanakan pada masyarakat melayu Pontianak?
-
Bagaimana proses ajar didik pantang larang masyarakat melayu Pontianak?
-
Apa saja sanksi yang pada tradisi pantang larang?
-
Apa ritus koloektif tradisi pantang larang sering dilakukan?
108
-
Apa saja perubahan tradisi pantang larang masyarakat melayu Pontianak zaman dahulu dan sekarang?
Pedoman wawancara kepada masyarakat melayu Pontianak adalah: -
Apa dan bagaimana anda yang diketahui tentang tradisi pantang larang?
-
Apa saja pantang larang yang masih dilakukan oleh masyarakat?
-
Apa saja pantang larang dalam perkawinan, kehamilan dan kelahiran?
-
Bagiamana proses komunikasi ajar didik tradisi pantang larang zaman dahulu?
-
Bagiamana proses komunikasi ajar didik tradisi pantang larang sekarang?
-
Apakah terdapat sanksi yang diterapkan kepada masyarakat yang tidak mengikuti tradisi pantang larang tersebut?
-
Apa saja sanksi bila tidak melaksanakan tradisi pantang larang zaman dahulu dan sekarang?
-
Apa tradisi pantang larang juga dilakukan secara ritus kolektif oleh masyarakat?
-
Apa saja pesan dan makna dari tradisi pantang larang bagi masyarakat?
109
Lampiran 2 Daftar Informan NO.
NAMA
JK
UMUR
1.
Syarif Abu Bakar Alqadrie
L
60
Sultan Kadriah Pontianak
2.
Bapak Itam
L
72
Pemangku Adat MABM Swasta Propinsi Kalimantan Barat
3.
Bapak Herry
L
60
MABM Propinsi Kalimantan Barat
Pensiunan
4.
H. Yunus Mohan
L
70
Tokoh Agama dan tokoh masyarakat Melayu Pontianak Timur
Ustadz
5.
Dra. Lisyawati Nurcahyani, M.Si
P
42
Kepala Balai Kajian Pegawai Negeri Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Pontianak
6.
Syarifah Rohani
P
54
Dukun Kampung (Tukang Beri Makan-makan)
Rumah Tangga
7.
Jamilah Mamad
P
82
Dukun Kampung
Rumah Tangga
8.
Hj. Sa’adah Ubaidilla
P
70
Masyarakat Melayu Pontianak
Rumah Tangga
9.
Alawiyah, M.Si
P
29
Masyarakat Melayu Pontianak
Dosen
10.
Salma
P
33
Masyarakat Melayu Pontianak
Rumah Tangga
11.
Dra. Nur’aini
P
38
Masyarakat Melayu Pontianak
Swasta
12.
Zubaidah
P
64
Masyarakat Melayu Pontianak
Rumah Tangga
13.
Nurseha
P
26
Masyarakat Melayu Pontianak
Swasta
14.
Hj. Khadijah
P
71
Masyarakat Melayu Pontianak
Rumah Tangga
15.
Zainab
P
26
Masyarakat Melayu Pontianak
Rumah Tangga
JABATAN
PEKERJAAN Swasta
110
Lampiran 3 Contoh Perbedaan Bahasa Melayu Pontianak dengan Bahasa Indonesia No.
Bahasa Melayu Pontianak
Bahasa Indonesia
1.
Kamek
Saya / Aku
2.
Nak
Mau / Hendak
3.
Berkace
Bercermin
4.
Agik
Lagi
5.
Sikit
Sedikit
6.
Jak
Juga
7.
Dulok
Dulu
8.
Ngomong
Bicara
9.
Ade
Ada
10.
Perot
Perut
11.
Tadak
Tidak
12.
Ngiman
Sama dengan
13.
Tetak
Potong
14.
Budak-budak
Anak-anak
15.
Kalo
Kalau
16.
Ikot
Ikut
17.
Suke
Suka
18.
Tidok
Tidur
19.
Kate
Kata
20.
Dudok
Duduk
Sumber : Wawancara Masyarakat Melayu Pontianak
111
Lampiran 4 Sebaran Penduduk di Kecamatan Pontianak Timur Berdasarkan Urutan Usia No.
Urutan Usia
Jumlah
Persentasi (%)
1.
0 – 6 Tahun
8.877
13,01
2.
7 – 12 Tahun
10.376
15,22
3.
13 – 18 Tahun
9.409
13,79
4.
19 – 24 Tahun
9.817
14,39
5.
25 – 55 Tahun
18.794
27,55
6.
56 – 79 Tahun
8.648
12,68
7.
80 Tahun ke atas
2.295
3,36
68.216
100,00
Jumlah
Sumber Monografi Kantor Camat Pontianak Timur (Tahun 2005)
112
Lampiran 5 Sebaran Penduduk di Kecamatan Pontianak Timur Berdasarkan Pendidikan No.
Pendidikan
Jumlah
Persentasi (%)
1.
Belum Sekolah
2.927
6,07
2.
Tidak Tamat SD
989
2,05
3.
Tamat SD Sederajat
15.744
32,73
4.
Tamat SLTP Sederajat
12.382
25,74
5.
Tamat SLTA Sederajat
14.678
30,52
6.
Tamat Akademi Sederajat
1.192
2,47
7.
Tamat PT/Universitas
217
0,45
8.
Buta Huruf
7
0,01
48.082
100,00
Jumlah
Sumber Monografi Kantor Camat Pontianak Timur (Tahun 2005)
113
Lampiran 6 Luas dan Produksi Tanaman Utama di Kecamatan Pontianak Timur No.
Jenisnya
Luas Tanaman /Ha
Luas yang di Panen / Ha
Rata-rata Produksi /Ton
1.
Padi
23
20
10
2.
Jangung
2
2
1
3.
Ketela Pohon
8
8
4
4.
Ketela Rambat
2
2
1
5.
Kacang Tanah
0
0
0
6.
Kedelai
0
0
0
7.
Sayur-sayuran
5
5
2
8.
Buah-buahan
2
2
1
9.
Lain- lain
1
1
0,5
Sumber Monografi Kantor Camat Pontianak Timur (Tahun 2005)
114
Lampiran 7. Dokumentasi (Foto) Wawancara Dengan Beberapa Informan
Sultan Istana Kadriah Pontianak
Tokoh Masyarakat (Ustadz)
Dukun Kampung
115
Masyarakat Melayu Pontianak (Generasi Tua)
Masyarakat Melayu Pontianak (Generasi Muda)
Dukun Kampung
116
CONTOH PANTANG LARANG PADA PROSESI PERKAWINAN
Berbedak yang dilakukan oleh orang tua-tua kepada calon pengantin
Betangas yang dilakukan oleh dukun kampung kepada calon pengantin
117
Berinai/bepacar yang dilakukan oleh calon pengantin
118
Berhias yang dilakukan oleh orang tua-tua dan juru rias sebagai salah satu prosesi perkawinan yang dilakukan sebelum akad nikah pada masyarakat Melayu Pontianak
Bahan-bahan atau peralatan yang digunakan untuk berhias bagi calon pengantin
119
Makan- makan oleh calon pengantin laki- laki dan perempuan pada masyarakat Melayu Pontianak yang dilakukan di rumah masing- masing
Bahan-bahan atau peralatan yang digunakan pada acara makan-makan bagi calon pengantin
120
Acara mandi- mandi yang dilakukan setelah selesai prosesi perkawinan, yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dan orang tua-tua kepada pengantin baru
Bahan-bahan atau peralatan yang digunakan untuk acara mandi- mandi