PROSES KOAGULASI – FLOKULASI PADA PENGOLAHAN TERSIER LIMBAH CAIR PT. CAPSUGEL INDONESIA
Oleh SUCI YULIATI F34101060
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
i
Suci Yuliati. F34101060. Proses Koagulasi – Flokulasi Pada Pengolahan Tersier Limbah Cair PT. Capsugel Indonesia. Di bawah bimbingan Muhammad Romli dan Andes Ismayana. 2006.
RINGKASAN Proses koagulasi – flokulasi merupakan salah satu cara pengolahan limbah cair untuk menghilangkan partikel-partikel yang terdapat didalamnya. Koagulasi diartikan sebagai proses kimia fisik dari pencampuran bahan koagulan ke dalam aliran limbah dan selanjutnya diaduk cepat dalam bentuk larutan tercampur. Flokulasi adalah proses pembentukan flok pada pengadukan lambat untuk meningkatkan saling hubung antar partikel yang goyah sehingga meningkatkan penyatuannya (aglomerasi). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penggunaan beberapa koagulan untuk proses koagulasi – flokulasi pada pengolahan tersier limbah cair PT. Capsugel Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruh penambahan dosis koagulan dan pH yang berbeda pada masing-masing koagulan. Koagulan yang dicobakan adalah alum, PAC, FeCl3. Tahapan awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan uji toksisitas efluen terhadap ikan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bahwa efluen setelah proses klorinasi bersifat toksik bagi ikan. Tahapan selanjutnya adalah melakukan uji perubahan dosis kaporit terhadap efluen untuk menemukan dosis optimum sehingga dapat mengurangi residu klorin dalam efluen. Kemudian dilakukan penentuan awal dosis koagulan melalui proses koagulasi – flokulasi dengan menggunakan peralatan Jartest untuk mendapatkan tiga dosis terbaik. Tahapan selanjutnya adalah proses koagulasi – flokulasi dengan memberikan perlakuan pH pada tiga dosis terbaik dari tahapan sebelumnya. Kemudian efluen hasil proses koagulasi – flokulasi tersebut diuji nilai kekeruhan, warna, dan klorinnya. Koagulan dengan dosis dan pH terbaik ditentukan berdasarkan hasil uji kekeruhan dan warna yang terendah. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan pH pada koagulan alum, PAC, dan FeCl3 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekeruhan dan warna. Berdasarkan hasil analisa, nilai kekeruhan dan warna terbaik dengan menggunakan koagulan alum adalah pada dosis 60 mg/l dan pH 5.5 yang nilainya mencapai 2.05 NTU (83.60%) dan 91 PtCo (52.48%) (Efluen I) dan 2.1 NTU (80.91%) dan 104.5 PtCo (43.97%) (Efluen II), dengan koagulan PAC adalah pada dosis 210 mg/l dan pH 6 yang nilainya mencapai 1.45 NTU (88.40%) dan 64 PtCo (66.58%) (Efluen I) dan 1.4 NTU (87.27%) dan 67.5 PtCo (63.81%) (Efluen II), serta dengan FeCl3 adalah pada dosis 60 mg/l dan pH 8 yang nilainya mencapai 2.75 NTU (78.00%) dan 58 PtCo (69.71%) (Efluen I) dan 4.05 NTU (63.18%) dan 61 PtCo (67.29%) (Efluen II). Dari dosis dan pH terbaik pada masing-masing koagulan tersebut didapatkan kadar klorin untuk koagulan alum sebesar 0.12 mg/l (Efluen I) dan 0.13 mg/l (Efluen II), untuk koagulan PAC sebesar 0.2 mg/l (Efluen I) dan 0.1 mg/l (Efluen II), dan FeCl3 sebesar 0.105 mg/l (Efluen I) dan 0.11 mg/l (Efluen II).
ii
Suci Yuliati. F34101060. Coagulation – Flocculation Process in Tertiary Wastewater Treatment of PT. Capsugel Indonesia. Under The Guidance of Muhammad Romli and Andes Ismayana. 2006.
ABSTRACT Coagulation – flocculation process is one of ways of wastewater treatment to eliminate particle in it. Coagulation as physical chemistry process of coagulant addition into wastewater stream and mixed rapidly in the form of liquid mixed. Flocculation is forming floc process at slow mix to increase each other link to floc particle and it would become its agglomeration. This research is purposed to study the use of various coagulant for coagulation – flocculation process in tertiary wastewater treatment of PT. Capsugel Indonesia, and it also to examine the effect of various dosage and pH addition on each coagulant. The coagulants to be analyzed are alum, PAC, and FeCl3. The first step within this research was performed by testing the effluent toxicity on fishes. This is purposed to examine that the effluent after the chlorination process would become a toxic for fishes. The next step is testing the change of calcium hypochlorite dosage to the effluent to find the optimum dosage and it would become reduce the residual chlorine in the effluent. It would also perform by first determining of coagulant dosage with coagulation – flocculation process using Jartest equipment, and it would purpose to get three best dosages. Furthermore, those dosages are treated with pH. The effluent that produced by coagulation – flocculation process will be tested for its turbidity, color, and chlorine. The optimum dosage and pH of coagulant are determined based on the lowest value of its turbidity and color. The result of statistical test is indicate that the various dosage and pH addition on each coagulant give the real different effect of turbidity and color. Based on the analysis, the optimum turbidity and color value resulted from 60 mg/l dosage of alum coagulant and 5.5 of its pH which reach 2.05 NTU (83.60%) and 91 PtCo (52.48%) (Effluent I), 2.1 NTU (80.91%) and 104.5 PtCo (43.97%) (Effluent II), 210 mg/l dosage of PAC and 6 on its pH resulted 1.45 NTU (88.40%) and 64 PtCo (66.58%) (Effluent I), 1.4 NTU (87.27%) and 67.5 PtCo (63.81%) (Effluent II), for a 60 mg/l of FeCl3 dosage and 8 on pH, the value would reach 2.75 NTU (78.00%) and 58 PtCo (69.71%) (Effluent I), 4.05 NTU (63.18%) and 61 PtCo (67.29%) (Effluent II). From the fittest dosage and pH on each coagulant are also formed a free chlorine for alum coagulant by 0.12 mg/l (Effluent I) and 0.13 mg/l (Effluent II), for PAC coagulant by 0.2 mg/l (Effluent I) and 0.1 mg/l (Effluent II), for FeCl3 by 0.13 mg/l (Effluent II), for PAC coagulant by 0.105 mg/l (Effluent I) and 0.11 mg/l (Effluent II).
iii
PROSES KOAGULASI – FLOKULASI PADA PENGOLAHAN TERSIER LIMBAH CAIR PT. CAPSUGEL INDONESIA
Oleh SUCI YULIATI F34101060
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
iv
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PROSES KOAGULASI – FLOKULASI PADA PENGOLAHAN TERSIER LIMBAH CAIR PT. CAPSUGEL INDONESIA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SUCI YULIATI F34101060
Dilahirkan pada tanggal 13 Juli 1983 di Jakarta – Indonesia Tanggal Lulus : 28 April 2006
Menyetujui, Bogor, Mei 2006
Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. Dosen Pembimbing I
Ir. Andes Ismayana, MT. Dosen Pembimbing II
v
RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Penulis bernama lengkap Suci Yuliati, dilahirkan di Jakarta, 13 Juli 1983 dari Bapak K. Sudiyono dan Ibu Kasriti. Pendidikan dasar penulis dilakukan di SDN 08 Pagi Cipinang Besar Selatan – Jakarta pada tahun 1989-1995. Kemudian dilanjutkan ke SLTPN 117 Duren Sawit – Jakarta pada tahun 1995-1998 dan SMUN 54 Jatinegara – Jakarta tahun 1998-2001. Pendidikan tinggi dilanjutkan di IPB pada Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) – Departemen Teknologi Industri Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI – 2001). Penulis telah menyelesaikan penelitian akhir dan menyusun skripsi di bawah bimbingan Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. (dosen pembimbing I) dan Ir. Andes Ismayana, MT. (dosen pembimbing II). Skripsi dengan judul ”Proses Koagulasi – Flokulasi Pada Pengolahan Tersier Limbah Cair PT. Capsugel Indonesia” dibuat berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juni – Oktober 2005 di Laboratorium IPAL PT. Capsugel Indonesia – Cibinong dan di Laboratorium TIN – FATETA IPB.
vi
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul ”Proses Koagulasi – Flokulasi Pada Pengolahan Tersier Limbah Cair PT. Capsugel Indonesia” adalah karya hasil saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Mei 2006
Suci Yuliati NRP : F34101060
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul ”Proses Koagulasi – Flokulasi Pada Pengolahan Tersier Limbah Cair PT. Capsugel Indonesia” disusun berdasarkan penelitian akhir yang telah dilaksanakan pada bulan Juni – Oktober 2005 di PT. Capsugel Indonesia – Cibinong dan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA – IPB. Pada kesempatan yang sangat baik ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibunda Kasriti, Bapak Sudiyono tercinta dan keluarga besar penulis yang selalu memberikan bimbingan, cinta, kasih sayang, dan doa pada penulis selama menjalani pendidikan di IPB. 2. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc., sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan dukungan selama penulis menjalani pendidikan di FATETA IPB. 3. Ir. Andes Ismayana, MT., sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan dan nasehat serta memotivasi penulis selama pelaksanaan tugas akhir ini hingga selesai. 4. Bapak Edi Suyadi selaku Plant Manager PT. Capsugel Indonesia yang telah mengizinkan penulis untuk melaksanakan penelitian. 5. Bapak Hadi Sulistyanto (mantan ME Manager) dan Bapak Idwan selaku ME Manager PT. Capsugel Indonesia yang telah mengakomodasikan semua kebutuhan penelitian. 6. Bapak Maryudi dan seluruh karyawan PT. Capsugel Indonesia – Cibinong yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama melakukan penelitian. 7. Taufiq Kurniawan yang telah memberikan dukungan dan memotivasi penulis selama penyelesaian tugas akhir. 8. Hanni Daylistio sebagai teman seperjuangan selama penelitian yang telah memberikan masukan dan dukungan kepada penulis.
i
9. Anis Annisa Adnan, Henny Wijaya Arief, dan Yulnia Azriani atas kebersamaan, dukungan, bantuan, dan kekompakannya dengan penulis selama menjalani kuliah di IPB. 10. Teman – teman TIN 38 atas kebersamaan dan kekompakannya selama menjalani kuliah di IPB. 11. Staf pegawai FATETA IPB dan semua pihak yang telah membantu penulis. Semoga skripsi hasil penelitian akhir ini dapat memberikan banyak manfaat bagi yang membutuhkannya. Penulis menyadari tidak ada sesuatu yang sempurna, begitu pula dalam penyusunan skripsi ini sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Bogor, Mei 2006 Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii DAFTAR TABEL .............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii I.
II.
PENDAHULUAN.....................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG .........................................................................
1
B. TUJUAN PENELITIAN ......................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
3
A. PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT. CAPSUGEL INDONESIA ....
3
B. KOAGULASI DAN FLOKULASI .....................................................
5
C. KOAGULAN .......................................................................................
8
D. KLORINASI ........................................................................................ 12 III. METODOLOGI ....................................................................................... 16 A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 16 B. TAHAPAN PENELITIAN .................................................................. 16 1. Karakterisasi Efluen ....................................................................... 16 2. Penelitian Pendahuluan .................................................................. 16 a. Uji Toksisitas Efluen Terhadap Ikan........................................ 16 b. Proses Optimasi Penggunaan Kaporit dengan Jartest .............. 17 c. Proses Penentuan Awal Dosis Koagulan ................................. 18 3. Penelitian Utama ............................................................................ 19 C. ANALISA DATA ................................................................................ 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 22 A. SUMBER DAN KARAKTERISTIK EFLUEN .................................. 22 B. UJI TOKSISITAS EFLUEN TERHADAP IKAN .............................. 23 C. OPTIMASI PENGGUNAAN KAPORIT ............................................ 25 D. PROSES KOAGULASI – FLOKULASI AWAL ............................... 26 1. Alum............................................................................................... 26
iii
2. PAC ................................................................................................ 28 3. FeCl3............................................................................................... 29 E. PENELITIAN UTAMA ....................................................................... 31 1. Alum............................................................................................... 31 2. PAC ................................................................................................ 37 3. FeCl3............................................................................................... 42 F. PERBANDINGAN
HASIL
PROSES
KOAGULASI –
FLOKULASI KETIGA KOAGULAN .......................................... 48 V.
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 50 A. KESIMPULAN .................................................................................... 50 B. SARAN ................................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 52 LAMPIRAN ....................................................................................................... 55
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Hasil proses klorinasi dengan penambahan kaporit pada IPAL PTCI .. 13 Tabel 2. Kondisi uji toksisitas efluen terhadap ikan ........................................... 17 Tabel 3. Karakteristik Efluen I dan Efluen II ...................................................... 23 Tabel 4. Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan pada Efluen I ......................... 24 Tabel 5. Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan pada Efluen II........................ 24 Tabel 6. Hasil analisis persen penurunan parameter pada perlakuan pH 6.5 ...... 25 Tabel 7. Hasil analisis proses optimasi penambahan kaporit perlakuan pH 6.5 .................................................................................................... 26 Tabel 8. Persen penurunan parameter pada kombinasi terbaik antara dosis dan pH untuk koagulan alum, PAC, dan FeCl3 .......................................... 48
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Skema proses input output penelitian.............................................. 19 Gambar 2. Peralatan Jartest ............................................................................... 20 Gambar 3. Penampakan Efluen I dan Efluen II ................................................ 22 Gambar 4. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan perlakuan
dosis
pada Efluen I (alum) ....................................................................... 27 Gambar 5. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan
perlakuan dosis
pada Efluen II (alum) ...................................................................... 28 Gambar 6. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan
perlakuan dosis
pada Efluen I (PAC) ........................................................................ 29 Gambar 7. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan
perlakuan dosis
pada Efluen II (PAC) ...................................................................... 29 Gambar 8. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan
perlakuan dosis
pada Efluen I (FeCl3) ...................................................................... 30 Gambar 9. Hasil analisa koagulasi – flokulasi dengan
perlakuan dosis
pada Efluen II (FeCl3) ..................................................................... 31 Gambar 10. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (alum)................ 33 Gambar 11. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (alum) .............. 33 Gambar 12. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (alum) ...................... 34 Gambar 13. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (alum) ..................... 35 Gambar 14. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (alum) ...................... 36 Gambar 15. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (alum) .................... 36 Gambar 16. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (PAC) ................ 38 Gambar 17. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (PAC) .............. 38 Gambar 18. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (PAC) ....................... 40 Gambar 19. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (PAC) ..................... 40 Gambar 20. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (PAC) ....................... 42 Gambar 21. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (PAC)...................... 42 Gambar 22. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (FeCl3) .............. 44 Gambar 23. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (FeCl3) ............. 44
vi
Gambar 24. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (FeCl3) ..................... 46 Gambar 25. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (FeCl3) .................... 46 Gambar 26. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (FeCl3)...................... 47 Gambar 27. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (FeCl3) .................... 48
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tata kerja analisa dan pengujian .................................................. 55 Lampiran 2. Diagram alir pengolahan air limbah di IPAL PT. Capsugel Indonesia ...................................................................................... 57 Lampiran 3. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada alum (kekeruhan) ........................................................................ 58 Lampiran 4. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada alum (warna) ................................................................................ 59 Lampiran 5. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada alum (Cl2) ..................................................................................... 60 Lampiran 6. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada PAC (kekeruhan) .......................................................................... 61 Lampiran 7. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada PAC (warna)................................................................................. 62 Lampiran 8. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada PAC (Cl2) ..................................................................................... 63 Lampiran 9. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada FeCl3 (kekeruhan) ........................................................................ 64 Lampiran 10. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada FeCl3 (warna) ............................................................................... 65 Lampiran 11. Analisa pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada FeCl3 (Cl2) .................................................................................... 66 Lampiran 12. Hasil analisa proses optimasi penambahan kaporit pada Efluen I ......................................................................................... 67 Lampiran 13. Hasil analisa proses optimasi penambahan kaporit pada Efluen II ....................................................................................... 68 Lampiran 14. Hasil analisa koagulasi – flokulasi penelitian pendahuluan pada Efluen I ......................................................................................... 69 Lampiran 15. Hasil analisa koagulasi – flokulasi penelitian pendahuluan pada Efluen II ....................................................................................... 70
viii
Lampiran 16. Hasil analisa koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen I .......................................................................................... 71 Lampiran 17. Hasil analisa koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen II ........................................................................................ 74 Lampiran 18. Hasil analisa persen penurunan parameter Efluen I ..................... 77 Lampiran 19. Hasil analisa persen penurunan parameter Efluen II .................... 80 Lampiran 20. Baku Mutu Perairan Berdasarkan Kelas, PP No. 82 Tahun tentang
Pengelolaan
Kualitas
Air
dan
Pengendalian
Pencemaran Udara ...................................................................... 83
ix
I. PENDAHULUAN
C. LATAR BELAKANG Proses koagulasi – flokulasi merupakan salah satu cara pengolahan limbah cair untuk menghilangkan partikel-partikel yang terdapat didalamnya. Koagulasi diartikan sebagai proses kimia fisik dari pencampuran bahan koagulan ke dalam aliran limbah dan selanjutnya diaduk cepat dalam bentuk larutan tercampur. Flokulasi adalah proses pembentukan flok pada pengadukan lambat untuk meningkatkan saling hubung antar partikel yang goyah sehingga meningkatkan penyatuannya (aglomerasi). Proses saling mengikat antar partikel atau terjadinya pembentukan flok dapat dijelaskan dalam berbagai macam teori. Pertama, pembentukan flok terjadi karena adanya tumbukan partikel koloid dengan koagulan (sweep coagulation).
Kedua,
pembentukan
flok
terjadi
karena
terjadi
penetralan/pemuatan partikel koloid yang dilanjutkan dengan adanya gaya tarik menarik antar partikel. Ketiga, pembentukan penghubung polimer (inter particle bridging). Pemahaman terjadinya proses pembentukan flok tersebut tergantung dari macam koagulan yang ditambahkan dalam proses tersebut. Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan menetralkan muatan koloid dan mengikat partikel tersebut sehingga siap/mudah membentuk flok atau gumpalan (Hammer, 1986). Bahan kimia yang dapat digunakan sebagai koagulan adalah kapur, alum, dan polielektrolit (organik sintesis) (Hammer, 1986), koagulan anorganik [poly alumunium chloride (PAC)] (Wenbin et al., 1999), dan garam-garam besi seperti feri klorida dan besi sulfat (Davis dan Cornwell, 1991). Selama ini proses koagulasi – flokulasi dalam pengolahan limbah cair umumnya ditempatkan pada pengolahan primer (primary treatment)
dan
pengolahan tersier (tertiary treatment). Penggunaan proses koagulasi – flokulasi pada pengolahan tersier biasanya ditujukan untuk menurunkan kekeruhan yang masih tersisa pada efluen limbah cair yang akan dibuang ke lingkungan. Pada beberapa pengolahan limbah cair industri, menurunnya
1
kekeruhan akibat proses koagulasi – flokulasi ditujukan juga untuk mengurangi warna dalam limbah cair sebelum masuk ke tahap pengolahan selanjutnya. PT. Capsugel Indonesia (PTCI) merupakan industri yang bergerak di bidang farmasi dengan memproduksi cangkang kapsul dengan bahan dasar gelatin. Limbah cair yang dihasilkan dari proses tersebut telah mengalami pengolahan pada IPAL yang dimiliki oleh PT. Capsugel Indonesia yaitu melalui tahapan pengolahan primer (ekualisasi, penurunan suhu, dan pengaturan pH), pengolahan sekunder (denitrifikasi, nitrifikasi), dan pengolahan tersier (klorinasi). Pada pengolahan tersier, proses klorinasi yang dilakukan bertujuan untuk membantu menghilangkan warna yang masih tersisa dalam efluen. Berdasarkan pengamatan pada kolam indikator yang ditempatkan setelah proses pengolahan tersier (klorinasi), terlihat adanya kematian ikan yang terdapat didalamnya. Kematian ikan ini diduga disebabkan oleh kadar klorin efluen yang tinggi yaitu mencapai 0.78-4.62 mg/l. Menurut www.o-fish.com (2002), klorin sangat beracun bagi ikan, dan untuk menghindari efek berbahaya dari bahan tersebut maka residu klorin dalam air harus dijaga agar tidak lebih dari 0.003 mg/l dan klorin pada konsentrasi 0.2 - 0.3 mg/l sudah cukup untuk membunuh ikan dengan cepat. Oleh karena itu, diperlukan suatu penanganan yang tepat dalam menangani permasalahan ini, salah satu caranya adalah dengan proses koagulasi dan flokulasi sebagai substitusi proses klorinasi. D. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, yaitu : 1. Mempelajari penggunaan beberapa koagulan untuk proses koagulasi – flokulasi pada pengolahan tersier limbah cair PT. Capsugel Indonesia. 2. Mengetahui pengaruh penambahan dosis koagulan dan pH yang berbeda pada masing-masing koagulan terhadap kualitas (warna) efluen yang dihasilkan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
E. PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT. CAPSUGEL INDONESIA Pengolahan air limbah di PT. Capsugel Indonesia meliputi pengolahan secara fisika, kimia dan biologis. Tahapan pengolahannya tidak selalu sama tergantung dari karakteristik air limbah dan dengan treatability test dapat diketahui pengolahan apa yang tepat. Pengolahan air limbah secara fisika meliputi : penurunan suhu, penyaringan, ekualisasi, pengendapan, dan mixing. Pengolahan secara kimia meliputi : koagulasi dan flokulasi, presipitasi, pengaturan pH, oksidasi, dan desinfeksi. Pengolahan biologi meliputi nitrifikasi dan denitrifikasi. Berikut ini adalah gambaran secara umum proses pada IPAL : 1. Ekualisasi Sebelum diolah air limbah ditampung dalam bak ekaluasasi. Untuk meratakan konsentrasi dan debit, agar air limbah dapat diolah dengan debit yang sama dan konsentrasi rata-rata yang mendekati sama. Bak ekualisasi dilengkapi dengan pompa transfer berikut Water Level Control (WLC) yang mengatur mati hidupnya pompa. Jika air mencapai level minimum, pompa mati dan pompa akan jalan lagi air mencapai level maksimum. 2. Cooling Tower Cooling Tower berfungsi untuk menurunkan temperatur air limbah yang berasal dari bak ekualisasi hingga sesuai yang disarankan untuk pengolahan secara biologis (maksimum 35 °C). 3. Pengaturan pH Dari ekualisasi air limbah dipompa ke bak pengaturan pH untuk diatur pada range pH 7-8.5 dengan menggunakan bahan kimia Na2CO3. Waktu tinggal yang dipakai adalah 6 menit. 4. Anosik Air limbah dari bak pengaturan pH mengalir ke bak anosik bercampur dengan air limbah yang di recycle dari bak aerasi. Dalam bak anosik air limbah mengalami proses denitrifikasi yaitu penguraian NO3- menjadi NO2
3
dan OH-. Pada proses denitrifikasi tidak ada penambahn O2. Untuk menjaga bakteri tetap tersuspensi maka dipakai pengaduk mekanik. 5. Aerasi Dalam bak aerasi air limbah mengalami proses nitrifikasi dimana ammonium diubah oleh bakteri Nitrosomonas dengan bantuan oksigen menjadi NO2- dan sel baru. Kemudian oleh bakteri nitrobakter NO2diubah menjadi NO3- dan sel baru. Dissolved oxygen (DO) dijaga minimal 2 mg/L dengan penambahan oksigen dari blower. Sebagian air limbah mengalir ke bak sedimentasi dan sebagian lagi dipompa kembali ke bak pengaturan pH dan terus masuk ke bak anosik (internal recycle). Pada aliran internal recycle dipasang flow meter untuk mengetahui debit air limbah yang dikembalikan ke bak anosik. 6. Bak Sedimentasi / Clarifier Dari bak aerasi air limbah mengalir ke bak sedimentasi. Di sini flok-flok bakteri (biomass) yang ikut dalam effluent aerasi diendapkan dan dipompa kembali ke bak anosik melalui bak pengatur pH, supaya Mixed Liquor Suspended Solid (MLSS) diatur cukup tinggi sesuai dengan kriteria disain (3000 mg/L). Pada aliran ini juga dilengkapi flow meter dan kelebihan lumpur dapat dibuang ke bak pengumpul lumpur. Overflow rate yang digunakan maksimum 0.7 m/jam. Air limbah yang berupa cairan jernih kemudian mengalir ke bak klorinasi. 7. Klorinasi Sebelum dibuang ke lingkungan air limbah melewati bak klorinator untuk proses
desinfektan
dan
juga
membantu
mengurangi
konsentrasi
ammonium dan warna yang masih tersisa dalam effluent. Waktu tinggal yang dipakai adalah 30 menit. 8. Sand Filter Air limbah dari bak klorinasi masuk ke sand filter untuk proses penjernihan dan penghilangan bau air limbah yang akan dibuang ke bak kontrol. Bahan penyaring yang digunakan adalah pasir aktif (zeolit) dan karbon aktif.
4
9. Bak Kontrol Air hasil perlakuan pada sand filter ditampung dalam bak control sebelum dialir untuk keperluan cooling tower, recycle dan dibuang ke saluran umum. 10. Sludge Holding Tank / SHT SHT berfungsi untuk menampung lumpur yang dibuang dari bak sedimentasi sebelum diangkut dari TPA. Pada SHT ini terdapat 2 buah outlet untuk supernatan dan satu buah outlet untuk pembuangan lumpur. 11. Weir V-notch flow meter dengan ultrasonic level meter Untuk mengetahui debit inlet dan outlet di dalam proses pengolahan air limbah. Di sini ultrasonic flow meter dipasang di dua tempat yaitu pada inlet (sebelum masuk bak pengaturan pH) dan outlet sebelum dibuang ke lingkungan. 12. Tangki Kimia Pada proses pengolahan air limbah di PT. Capsugel ini dibutuhkan 4 buah tangki untuk penyiapan bahan-bahan yang dibutuh dalam pengolahan yaitu Na2CO3, HCl (tidak dipakai lagi), TSP dan kaporit. Masing-masing tangki dilengkapi pompa dosing agar bahan kimia dapat dipompa sesuai kebutuhan dan mixer untuk melarutkan bahan kimia yang sukar larut. F. KOAGULASI DAN FLOKULASI Menurut Alaerts dan Santika (1987), jenis partikel koloid merupakan penyebab kekeruhan dalam air (efek Tyndall) yang disebabkan oleh penyimpangan sinar nyata yang menembus suspensi tersebut. Partikel-partikel koloid tidak terlihat secara visual sedangkan larutannnya (tanpa partikel koloid) yang terdiri dari ion-ion dan molekul-molekul tidak pernah keruh. Larutan tidak keruh jika terjadi pengendapan (presipitasi) yang merupakan keadaan kejenuhan dari suatu senyawa kimia. Menurut vesilind et al. (1994), partikel koloid dalam air sulit mengendap secara normal. Partikel koloid mempunyai muatan, penambahan koagulan akan menetralkan muatan tersebut. Partikel netral akan saling
5
berikatan membentuk flok-flok besar dari partikel koloid yang berukuran sangat kecil. Hal ini disebut sebagai proses flokulasi. Menurut Steel dan McGhee (1985), koagulasi diartikan sebagai proses kimia fisik dari pencampuran bahan kimia ke dalam aliran limbah dan selanjutnya diaduk cepat dalam bentuk larutan tercampur. Flokulasi adalah proses penambahan flokulan pada pengadukan lambat untuk meningkatkan saling
hubung
antar
partikel
yang
goyah
sehingga
meningkatkan
penyatuannya (aglomerasi). Metcalf dan Eddy (1991), menyatakan bahwa untuk mendorong pembentukan agregat pertikel, harus diambil langkah-langkah tertentu guna mengurangi muatan atau mengatasi pengaruh muatan partikel. Pengaruh muatan dapat diatasi dengan : (1) penambahan ion berpotensi menentukan muatan sehingga terserap atau bereaksi dengan permukaan koloid untuk mengurangi muatan permukaan, atau penambahan elektrolit yang akan memberikan pengaruh mengurangi ketebalan lapisan difusi listrik sehingga mengurangi zeta potensial, (2) penambahan molekul organik berantai panjang (polimer) yang sub-bagiannya dapat diberi muatan sehingga disebut polielektrolit, hal ini menyebabkan penghilangan partikel melalui adsorbsi dan pembuatan penghubung (bridging), dan (3) penambahan bahan kimia yang membentuk ion-ion yang terhidrolisis oleh logam. Menurut Hammer (1986), dua gaya yang menentukan kekokohan koloid adalah, (1) gaya tarik menarik antar partikel yang disebut dengan gaya Van der Walls, cenderung membentuk agregat yang lebih besar, (2) gaya tolak menolak yang disebabkan oleh pertumpangtindihan lapisan tanda elektrik yang bermuatan sama yang mengakibatkan kekokohan dispersi koloid. Koagulasi dan flokulasi merupakan proses yang sangat berkaitan erat dimana keberhasilan proses flokulasi sangat bergantung dari proses koagulasi yang merupakan rangkaian proses pembentukan flok-flok. Pada kedua proses ini dibutuhkan flocculating agent yaitu bahan kimia tertentu yang membantu proses pembentukan flok. Dalam kurun waktu terakhir, penggunaan polimer sintesis sebagai bahan kimia pendestabilisasi pada pengolahan air bersih dan limbah cair semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan, pengolahan yang
6
paling ekonomis dapat dicapai dengan menggunakan anionik polimer, walaupun padatan yang terkandung dalam air bermuatan negatif (Weber, 1972). Agar proses destabilisasi efektif, molekul polimer harus mengandung kelompok kimia yang dapat berinteraksi dengan permukaan partikel koloid. Pada saat terjadi kontak antara molekul polimer dengan partikel koloid, beberapa dari kelompok kimia pada polimer terserap ke permukaan partikel, meninggalkan molekul polimer yang tersisa pada larutan. Apabila terjadi kontak antar molekul
polimer yang tersisa dengan partikel kedua yang
memiliki permukaan adsorbsi yang kosong, maka akan terjadi ikatan. Partikel polimer komplek akan terbentuk dengan polimer sebagai penghubung. Jika partikel kedua tidak dapat berikatan, maka seiring dengan waktu bagian polimer yang tersisa perlahan akan terserap pada permukaan partikel yang lain, sehingga polimer tidak dapat lagi berfungsi sebagai penghubung. Dosis polimer yang berlebih akan mengakibatkan koloid menjadi stabil kembali karena tidak adanya ruang untuk membentuk penghubung antar partikel. Pada kondisi tertentu, sustu sistem yang telah didestabilisasi dan membentuk agregat dapat menjadi stabil kembali dengan meningkatkan agitasi, akibat putusnya polimer permukaan partikel dan proses berulang antara polimer tersisa dengan permukaan partikel (Weber, 1972). Menurut Benefield et al. (1982), untuk merangsang partikel koloid bergabung membentuk gumpalan yang lebih besar diperlukan dua cara, yaitu partikel harus didestabilisasikan dan dipindahkan. Destabilisasi partikel dapat dicapai melalui cara penekanan lapisan ganda listrik, penyerapan untuk netralisasi, penjeratan pada presipitasi, dan pembentukan antar partikel. Penekanan lapisan ganda listrik dan penetralan dikategorikan sebagai proses koagulasi, sedangkan penjeratan dan pembentukan antar partikel sebagai flokulasi. Destabilisasi partikel dengan cara penekanan dapat dicapai melalui penambahan elektrolit muatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid (Benefield et al., 1982). Dasar dari mekanisme ini adalah bahwa interaksi dari koagulan dengan partikel koloid terjadi karena efek elektrostatik, ion sejenis dengan partikel koloid akan saling tolak menolak,
7
sedangkan yang muatannya berlawanan akan tarik menarik (Surdia et al., 1981). Menurut Nathanson (1977), keberhasilan dari proses koagulasi dan flokulasi tergantung beberapa faktor diantaranya adalah dosis koagulan yang diberikan, suhu dari limbah, pH dan alkalinitas. Dosis koagulan yang diberikan disesuaikan dengan karakteristik dari air limbah yang akan ditangani. Untuk mengetahui dosis optimum koagulan dilakukan pengujian dilaboratorium menggunakan peralatan yang disebut Jartest. G. KOAGULAN Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan menetralkan muatan koloid dan mengikat partikel tersebut sehingga membentuk flok atau gumpalan (Hammer, 1986). Menurut Davis dan Cornwell (1991), koagulan merupakan substansi kimia yang dimasukkan ke dalam air untuk menghasilkan efek koagulasi. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan pada suatu koagulan, yaitu: 1. Kation bervalensi tiga (trivalen). Kation trivalen merupakan kation yang paling efektif untuk menetralkan muatan listrik koloid. 2. Tidak beracun (toksik). Persyaratan ini diperlukan untuk menghasilkan air atau air limbah hasil pengolahan yang aman. 3. Tidak larut dalam kisaran pH netral. Koagulan yang ditambahkan harus terpresipitasi dari larutan, sehingga ion-ion tersebut tidak tertinggal dalam air. Menurut Hammer (1986), bahan kimia yang digunakan sebagai koagulan
adalah
kapur, alum,
dan polielektrolit (organik
sintesis).
Polielektrolit dapat berupa kation, anion, nonionik dan Miccellaneous (Liu dan Liptak, 2000). Garam-garam besi seperti feri klorida (FeCl3) dan besi sulfat (Fe2(SO4)3.H2O) dapat dipergunakan pula sebagai koagulan (Davis dan Cornwell, 1991). Menurut Wenbin et al. (1999), pada saat ini ada dua macam koagulan yang banyak digunakan adalah koagulan anorganik dan koagulan organik.
8
Alumunium sulfat dan poly alumunium chloride (PAC) merupakan koagulan anorganik dengan produksi terbanyak. Menurut Suciastuti dan Sutrisno (1987), alumuniun sulfat biasanya disebut juga sebagai tawas. Bahan ini banyak dipakai, karena efektif untuk menurunkan kadar karbonat. Bahan ini paling ekonomis (murah) dan mudah didapat pada pasaran serta mudah disimpan. Menurut Alaerts dan Santika (1987), alum dalam air akan mengalami proses hidrolisis menurut reaksi umum adalah sebagai berikut: Al2(SO4)3 + 6H2O
2Al(OH)3 + 6H+ + 3SO42-
Menurut Davis dan Cornwell (1991), alum padat komersil (Al2(SO4)3.14H2O) mempunyai bobot molekul 594. Komposisi alum padat terdiri 48.8 persen alum (8.3% Al2O3) dan 51.2 persen air. Menurut Kurniawan (2005), penambahan alum pada air lindi (cairan sampah) dengan dosis 15 mg/l hingga 80 mg/l dapat menurunkan kekeruhan sebesar 64.43 persen hingga 87.20 persen dan menurunkan warna sebesar 40.50 persen hingga 73.97 persen, dan menurut Pujiantoro (1995), penambahan alum pada penanganan primer limbah cair industri rayon dengan dosis 100 mg/l hingga 400 mg/l dapat menurunkan kekeruhan sebesar 76 persen hingga 90 persen. Proses koagulasi – flokulasi dengan koagulan alum, kisaran pH yang mungkin adalah pada pH 5 hingga pH 8 (Davis dan Cornwell, 1991). Menurut Echanpin (2005), PAC merupakan koagulan anorganik yang tersusun dari polimer makromolekul yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: (1) tingkat adsorpsi yang kuat, (2) mempunyai kekuatan lekat, (3) pembentukan flok-flok yang tinggi dengan dosis kecil dan (4) tingkat sedimentasi cepat. Keunggulan lainnya adalah cakupan penggunaan yang luas. Oleh karena itu, produk ini adalah suatu agen dalam proses penjernihan air dengan efisiensi tinggi, cepat dalam proses pengolahan air, aman dan konsumsi konsentrasi yang rendah.
9
Menurut Hardman (2005), PAC terdiri dari berbagai jenis, yaitu sebagai berikut: 1. PAC-AC PAC yang mempunyai basicity yang tinggi dalam cairannya untuk proses koagulasi pada pengolahan air minum dan limbah cair. 2. PAC-SP PAC yang mempunyai basicity yang sedang dalam cairannya untuk proses koagulasi pada pengolahan air minum dan limbah cair. 3. PAC-PW PAC yang mempunyai basicity yang sedang dalam cairannya untuk proses koagulasi pada pengolahan air minum dan limbah cair dengan berbagai kondisi yang luas. Dalam cairan PAC, ion-ion garam alumunium dibentuk menjadi polimer-polimer yang terdiri dari sekelompok ion yang dihubungkan oleh atom-atom oksigen. Polimer-polimer ini hanya terbentuk dalam cairan garam alumunium yang sebagian telah dinetralkan melalui reaksi dengan basa. Derajat polimerisasi meningkat seiring dengan besarnya netralisasi. Netralisasi mengubah karakteristik dasar cairan. Netralisasi total garam aluminium mengakibatkan presipitasi aluminium hidroksida, dengan formula Al(OH)3 atau Al2(OH)6. Pada formula Hardman untuk PAC-AC (Concentrated High Basicity Poly Aluminium Chloride Solution) yaitu Al2(OH)5Cl, diduga sebanyak 5/6 larutan Al(OH)3 ternetralisasi (Hardman Australia Pty Ltd., 2002). Senyawa PAC mempunyai karakteristik tertentu, seperti: padatan berwarna kuning jernih, titik didih lebih dari 100ºC, titik beku -12ºC, specific grafity 1.36-1.38, larut dalam air dan stabil di bawah kondisi biasa (www.chemicalland21.com, 2005). PAC dapat digunakan dengan interval dosis yang luas dan sangat cocok untuk beranekaragam kekeruhan, kebasaan, dan jumlah bahan organik di dalam air. Apabila dibandingkan dengan alumunium sulfat, PAC mempunyai efek koagulasi yang lebih baik, sangat cocok digunakan pada
10
temperatur rendah (T<10ºC), flok terbentuk sangat cepat, serta memiliki waktu singkat untuk bereaksi dan mengendap (Wenbin et al., 1999). Beberapa keuntungan koagulan PAC adalah selain sangat baik untuk menghilangkan kekeruhan dan warna, memadatkan dan menghentikan penguraian flok, membutuhkan kebasaan rendah untuk hidrolisis, sedikit berpengaruh
pada
pH,
menurunkan
atau
menghilangkan
kebutuhan
penggunaan polimer, serta mengurangi dosis koagulan sebanyak 30–70% (Eaglebrook Inc., 1999). Menurut Kurniawan (2005), penambahan dosis PAC pada air lindi (cairan sampah) dalam kisaran 10 mg/l hingga 60 mg/l dapat menurunkan kekeruhan sebesar 49.24 persen hingga 81.34 persen dan warna sebesar 3.72 persen hingga 62.98 persen. Proses koagulasi – flokulasi dengan koagulan PAC akan menurunkan kadar COD 40 – 70% dengan perlakuan pH dibawah 6.5 (Klimiuk et al.,1999). Feri Klorida (FeCl3.6H2O) merupakan koagulan utama dalam proses koagulasi limbah cair industri. Reaksi hidrolisis feri klorida mirip dengan reaksi hidrolisis alum. Pemakaian feri klorida terbatas untuk penanganan beberapa limbah cair industri. Feri klorida dibuat dari reaksi klorinasi besi, tersedia dalam bentuk padatan atau cairan dan sangat korosif (Hammer, 1986). Menurut Davis dan Cornwell (1991), besi dapat diperoleh dari garam sulfat Fe2(SO4)3.H2O atau garam klorida FeCl3.xH2O yang tersedia dalam bentuk padatan atau larutan. Reaksi FeCl3 dalam air yang mengandung alkalinitas adalah sebagai berikut : FeCl3 + 3 HCO3-
Fe(OH)3(s) + 3CO2 + 3Cl-
Dan reaksinya dalam air yang tidak mengandung alkalinitas adalah: FeCl3 + 3H2O
Fe(OH)3(s) + 3HCl
Pembentukan asam klorida akan menurunkan pH. Menurut Pujiantoro (1995), dengan penambahan dosis FeCl3 sebanyak 50 mg/l dapat menurunkan kekeruhan limbah cair industri rayon dari 72 mg/l SiO2 menjadi 15 mg/l SiO2 (79%). Kisaran pH efektif dengan penggunaan
11
koagulan FeCl3 pada proses koagulasi – flokulasi adalah pH 4 hingga pH 9 (Davis dan Cornwell,1991). Menurut www.menlh.go.id/usaha-kecil/ (2003), Pengolahan limbah cair pada pabrik tekstil dilakukan apabila limbah pabrik mengandung zat warna, maka aliran limbah dari proses pencelupan harus dipisahkan dan diolah tersendiri. Limbah operasi pencelupan dapat diolah dengan efektif untuk menghilangkan logam dan warna, jika menggunakan flokulasi kimia, koagulasi dan penjernihan yaitu dengan menggunakan garam feri (FeCl3). Limbah dari pengolahan kimia dapat dicampur dengan semua aliran limbah yang lain untuk dilanjutkan ke pengolahan biologi. Pada beberapa pengolahan limbah cair FeCl3 dapat digunakan sebagai flocculating agent, etching agent untuk penanganan permukaan logam, dan desinfektan (www.chemicalland21.com, 2005). Koagulan FeCl3 dapat menimbulkan masalah, terutama timbulnya warna dan sifat korosif apabila proses koagulasi tidak berlangsung dengan baik. Timbulnya warna tersebut dikarenakan oleh Fe3+ dari koagulan yang terlarut dalam air olahan. Adanya Fe3+ yang terlarut dalam air olahan menyebabkan timbulnya warna merah (Reynolds, 1982; Peavy et al., 1986). H. KLORINASI Proses klorinasi pada IPAL PT. Capsugel Indonesia terjadi pada tahap pengolahan tersier (setelah proses sedimentasi). Sebelum dibuang ke lingkungan efluen melewati proses klorinasi dengan menambahkan kaporit [Ca(OCl)2] sebagai desinfektan dan juga membantu mengurangi konsentrasi ammonium dan warna yang masih tersisa dalam efluen. Efluen dari bak sedimentasi ini memiliki dua penampakan secara visual yang berbeda yaitu warna bening kemerahan (Efluen I) dan bening kebiruan (Efluen II). Perbedaan ini dikarenakan bahan pewarna cangkang kapsul yang digunakan berbeda yaitu cangkang kapsul yang menggunakan pewarna “Erythrosin B” dan cangkang kapsul yang menggunakan pewarna “Brilliant Blue FCF”.
12
Produksi cangkang kapsul dengan pewarna “Erythrosin B” akan menghasilkan efluen berwarna bening kemerahan (Efluen I), sedangkan produksi cangkang kapsul dengan pewarna “Brilliant Blue FCF” akan menghasilkan efluen berwarna bening kebiruan (Efluen II). Tabel 1. Hasil proses klorinasi dengan penambahan kaporit pada IPAL PTCI Kaporit (24 – 32 mg/l ) Efluen I Efluen II 0.03 < 0.01 Kekeruhan (NTU) 0 0 Warna (PtCo) 4.62 4.39 Klorin (mg/l) Sumber: PT. Capsugel Indonesia (2005). Parameter
Klorinasi adalah proses penambahan senyawa klor (kaporit) ke dalam air sebagai penjernih air sehingga dapat dikonsumsi oleh manusia (www.wikipedia.com, 2006). Air yang telah bereaksi dengan klor efektif mencegah penyebaran penyakit. Namun, dengan proses klorinasi ini menjadikan kadar klorin (Cl2) dalam efluen meningkat. Jika penambahan klor dilakukan secara kurang tepat dan kadarnya melebihi ambang batas yang ditentukan dapat bersifat toksik bagi makhluk perairan serta menimbulkan bau dan rasa pada air (Effendi, 2003). Menurut www.wikipedia.com (2006), kalsium hipoklorit merupakan suatu garam dari asam hipoklorus (HClO). Kalsium hipoklorit adalah bubuk penghilang warna (bleaching powder). Di dalam air olahan, kalsium hipoklorit secara parsial membelah menjadi kation Ca2+ dan anion ClO-, sedangkan bagian yang substansial terhidrolisis menjadi kalsium hidroksida dan asam hipoklorus. Kemampuan terakhir anion hipoklorit untuk mengoksidasi menyebabkan efek penghilangan warna (bleaching effect). Warna di dalam kebanyakan pewarna dan pigmen dihasilkan oleh molekul, seperti beta karotin, yang mengandung bagian pembawa warna yang dikenal sebagai kromopor. Bahan kimia penghilang warna (bleaches) bekerja dengan cara: 1. Penghilang warna pengoksidasi bekerja dengan memutuskan ikatan kimia yang menyusun kromopor (chromophore). Hal ini merubah molekul
13
menjadi sebuah substansi yang berbeda yang mana tidak mengandung kromopor atau kromopor yang tidak menyerap cahaya tampak. 2. Penghilang warna pereduksi bekerja dengan mengubah ikatan ganda pada kromopor menjadi ikatan tunggal. Hal ini menghilangkan kemampuan kromopor untuk menyerap cahaya tampak (www.wikipedia.com, 2006). Kaporit sering digunakan sebagai desinfektan untuk menghilangkan mikroorganisme yang tidak dibutuhkan, terutama bagi air yang diperuntukkan bagi kepentingan domestik. Beberapa alasan yang menyebabkan kaporit sering digunakan sebagai desinfektan adalah sebagai berikut: 1. Dapat dikemas dalam bentuk gas, larutan, dan bubuk (powder) 2. Relatif murah 3. Memiliki daya larut yang tinggi serta dapat larut pada kadar yang tinggi (7.000 mg/l). 4. Residu klorin dalam bentuk larutan tidak berbahaya bagi manusia, jika terdapat dalam kadar yang berlebihan 5. Bersifat sangat toksik bagi organisme perairan, dengan cara menghambat aktivitas metabolisme organisme tersebut. (Tebbut, 1992). Kaporit merupakan bahan kimia yang biasa digunakan sebagai pembunuh kuman (disinfektan) di perusahan-perusahan air minum seperti PAM atau PDAM. Klorin (Cl2) merupakan gas berwarna kuning kehijauan dengan bau yang menyengat. Bau ini bisa dikenali seperti bau air kolam renang yang biasanya secara intensif diberi perlakuan klorinasi dengan kaporit (www.o-fish.com, 2002). Kaporit (kapur klorida) dalam air akan membentuk kalsium hipoklorit [Ca(OCl)2] yang merupakan molekul klor/klorin (Cl2) (Riegel, 1933). Klorin bekerja dengan baik pada kondisi asam ataupun netral dengan pH antara 1.5 – 7 (www.terranet.com, 2006). Klorin relatif tidak stabil di dalam air sehingga biasanya akan segera terbebas ke udara. Klorin sangat beracun bagi ikan. Klorin bereaksi dengan air membentuk asam hipoklorus yang diketahui dapat merusak sel-sel protein dan sistem enzim ikan. Tingkat keracunan klorin secara alamiah akan meningkat pada pH lebih rendah dan temperatur lebih tinggi, karena pada
14
kondisi demikian proporsi asam hipoklorus yang terbentuk akan meningkat (www.o-fish.com, 2002). Kadar klorin yang dianjurkan dalam air buangan adalah tidak melebihi 0.5 mg/l. Kadar klorin sedikitnya 3.5 mg/l dapat terdeteksi sebagai bau, dan 1000 mg/l akan menyebabkan efek berbahaya untuk saluran pernapasan manusia (www.wikipedia.com, 2006). Untuk menghindari efek kronis dari bahan tersebut terhadap makhluk perairan maka residu klorin dalam air harus dijaga agar tidak lebih dari 0.003 mg/l. Klorin pada konsentrasi 0.2 - 0.3 mg/l sudah cukup untuk membunuh ikan dengan cepat (www.o-fish.com, 2002).
15
III. METODOLOGI
D. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah efluen tahap pengolahan sekunder yaitu yang berasal dari bak sedimentasi (clarifier) PT. Capsugel Indonesia, Cibinong, Jawa Barat. Efluen tersebut terdapat dalam 2 jenis yaitu Efluen I (hasil dari pewarnaan cangkang kapsul dengan “Erythrosin B”) dan Efluen II (hasil dari pewarnaan cangkang kapsul dengan “Brilliant Blue FCF”). Koagulan yang digunakan adalah alum padat, PAC padat, FeCl3 padat, dan kaporit padat. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah kertas saring, bahan-bahan kimia seperti DPD Free Chlorine Powder Pillow (serbuk) untuk analisis klorin (metode DPD dengan spektrofotometer) dan larutan H2SO4, HCl, dan NaOH untuk pengaturan pH. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah VELP – scientificaTest di cessione C6F Jartester, oven, spektrofotometer Direct Reading (DR) 2000, timbangan, pH meter, turbidimeter, dan alat-alat gelas. E. TAHAPAN PENELITIAN 1. Karakterisasi Efluen Efluen diperoleh dari bak sedimentasi yang berupa cairan tanpa flok yang merupakan hasil dari proses penanganan secara biologis pada bak aerasi. Efluen dianalisis baik fisik maupun kimia yang meliputi: pH, kekeruhan (Nefelo Turbidity Unit – NTU), warna (PtCo), dan klorin (mg/l). 2. Penelitian Pendahuluan d. Uji Toksisitas Efluen Terhadap Ikan Uji toksisitas efluen terhadap ikan dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik toksik efluen setelah proses klorinasi terhadap ikan. Pengukuran dilaksanakan dengan menggunakan wadah
16
plastik, volume 21 liter. Semua wadah plastik diisi efluen hingga 20 liter. Jumlah wadah plastik yang digunakan adalah 4 buah, 1 buah diisi dengan Efluen I sebelum klorinasi (A1), 1 buah diisi dengan Efluen I setelah klorinasi (A2), dan 2 buah wadah plastik lainnya diisi dengan Efluen II sebelum klorinasi (B1), 1 buah lagi diisi dengan Efluen II setelah klorinasi (B2). Kualitas efluen yang dimasukkan ke dalam wadah plastik dianalisis pH dan kadar klorinnya sebelum ikan dimasukkan. Ke dalam tiap-tiap wadah percobaan dimasukkan 10 ekor ikan. Jenis ikan yang akan digunakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio) dengan ukuran panjang antara 3 – 5 cm dan berasal dari tempat yang tidak/belum dikenal pencemaran (Suriawiria, 2003). Uji toksisitas dilakukan selama 96 jam (4 hari). Setelah ikan mas dimasukkan ke dalam masing-masing wadah, dilakukan perhitungan jumlah ikan yang mati (setiap 24 jam), dan setiap 24 jam dilakukan pengukuran pH dan klorin dari masing-masing efluen dalam wadah percobaan, sehingga secara bertahap akan diketahui ketahanan dari ikan percobaan terhadap air limbah selama 4 hari percobaan. Gambaran tentang penentuan kondisi uji toksisitas efluen terhadap ikan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi uji toksisitas efluen terhadap ikan Efluen I Efluen II Kondisi Uji A1 A2 B1 B2 Volume Efluen 20 L 20 L 20 L 20 L Jumlah ikan 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor Keterangan : A1 = Efluen I sebelum klorinasi B1 = Efluen II sebelum klorinasi
A2 = Efluen I setelah klorinasi B2 = Efluen II setelah klorinasi
e. Proses Optimasi Penggunaan Kaporit dengan Jartest Proses optimasi penggunaan kaporit ini dilakukan untuk mengetahui dosis kaporit yang tepat yang dapat ditambahkan kedalam efluen pada proses klorinasi sehingga warna yang masih tersisa dalam efluen dapat hilang. Berdasarkan dosis yang didapatkan tersebut diharapkan dapat mengurangi kadar residu klorin dalam efluen sehingga mengurangi sifat toksik bagi ikan.
17
Perlakuan dosis yang diberikan pada tahap ini adalah 5, 10, 15 mg/l. Rentang penggunaan dosis kaporit ini didasarkan pada penggunaan kaporit dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan proses klorinasi di IPAL PT. Capsugel Indonesia yaitu kurang dari 24 mg/l. Perlakukan pH yang diberikan pada tahap ini adalah 4, 4.5, 5, 5.5, 6, 6.5. Penentuan rentang pH adalah pada kondisi asam hingga netral (www.terranet.com, 2006). Proses penentuan dosis terbaik pada penambahan kaporit ini dilakukan dengan menggunakan peralatan Jartest. Hasil dari proses tersebut dilakukan uji kekeruhan, warna, dan klorin. f. Proses Penentuan Awal Dosis Koagulan Proses penentuan awal dosis koagulan dilakukan dengan membedakan dosis masing-masing koagulan yang didasarkan pada dosis terbaik dari penelitian sebelumnya. Perlakuan dosis yang diberikan pada tahap pertama untuk masing-masing koagulan ini adalah sebagai berikut : Koagulan Alum PAC FeCl3
Dosis Koagulan (mg/l) 40, 50, 60, 80, 100, dan 120 40, 100, 150, 180, 210, dan 250 40, 50, 60, 100, 150, dan 200
Rentang penggunaan dosis ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2005) untuk alum sebanyak 15-80 mg/l, dan untuk PAC sebanyak 10-60 mg/l. Penggunaan FeCl3 didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Pujiantoro (1995) sebanyak 50300 mg/l. Proses koagulasi – flokulasi dilakukan dengan menggunakan Jartest, dan hasil dari proses koagulasi – flokulasi tersebut dilakukan uji kekeruhan dan warna untuk mendapatkan tiga dosis koagulan yang terbaik.
18
Efluen air limbah (Efluen I dan Efluen II)
Uji toksisitas efluen terhadap ikan mas
Karakterisasi
Proses koagulasi – flokulasi dengan kaporit (penelitian pendahuluan)
Proses penentuan awal dosis koagulan dengan Jartest (penelitian pendahuluan)
Koagulan dengan dosis yang bervariasi (mg/l)
Proses koagulasi – flokulasi dengan Jartest (penelitian utama)
Efluen hasil koagulasi – flokulasi [Uji kekeruhan dan warna (penelitian pendahuluan); uji kekeruhan, warna, Cl2 (penelitian utama)]
Gambar 1. Skema proses input output penelitian 3. Penelitian Utama Tiga dosis yang optimal yang didapatkan dari penentuan dosis kemudian ditambahkan perlakuan pH dengan menggunakan Jartest. Adapun perlakuan pH yang dilakukan pada tahapan selanjutnya adalah sebagai berikut : Koagulan Alum PAC FeCl3
pH 5.5, 6, 6.5, 7, 7.5, dan 8 6, 6.5, 7, 7.5, 8, dan 8.5 5.5, 6, 6.5, 7, 7.5, dan 8
Penentuan rentang pH ini didasarkan oleh keefektifan masingmasing koagulan, seperti yang dikemukakan oleh Davies dan Cornwell (1991), untuk alum (5-8), FeCl3 (4-9) dan juga oleh Klimiuk et al. (1999), untuk PAC yang efektif sekitar 6.5. Hasil dari proses koagulasi – flokulasi dengan perlakuan pH dilakukan uji kekeruhan, warna, dan klorin. Uji ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi terbaik antara dosis dan pH berdasarkan hasil
19
yang optimal dari masing-masing parameter uji, khususnya untuk parameter kekeruhan dan warna.
Gambar 2. Peralatan Jartest F. ANALISIS DATA Analisis data diolah dengan manggunakan Microsoft Excel 2003. Hasil proses penentuan awal dosis koagulan pada penelitian pendahuluan dianalisis dengan menggunakan pendekatan grafis untuk mendapatkan tiga dosis terbaik. Hasil uji dari perlakuan dosis dan pH pada penelitian utama diolah dengan rancangan percobaan desain blok acak lengkap dengan subsampling. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dosis dan pH yang berbeda terhadap parameter yang diukur, serta untuk mengetahui kombinasi terbaik antara dosis dan pH dari masing-masing koagulan. Kombinasi terbaik antara dosis dan pH ditentukan berdasarkan hasil analisis pengukuran parameter kekeruhan dan warna yang terendah. Model matematis untuk rancangan percobaan desain blok acak lengkap dengan subsampling, dapat dituliskan dalam bentuk: Yijk = μ + βi + πj + єij + ηijk dimana: Yijk
= Variabel yang diukur
µ
= Rata-rata umum
βi
= Efek rata-rata blok/efluen ke i
πj
= Efek rata-rata pH ke j
єij
= Efek unit dosis dikarenakan pH ke j dalam blok/efluen ke i
20
ηijk
= Efek sampel ke k yang diambil dari unit dosis yang dikarenakan pH ke j dalam blok/efluen ke i (Sudjana, 1995).
Blok dalam penggunaan rancangan percobaan desain blok acak lengkap dengan subsampling disini adalah Efluen I (blok 1) dan Efluen II (blok 2).
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
G. SUMBER DAN KARAKTERISTIK EFLUEN Sumber efluen yang digunakan untuk proses koagulasi – flokulasi berasal dari cairan tanpa flok pada bak sedimentasi (clarifier) PT. Capsugel Indonesia. Pada bagian ini, efluen telah mendapatkan penanganan secara fisik, kimia, dan biologis. Penanganan secara fisik meliputi ekualisasi dan penurunan suhu. Penanganan secara kimia meliputi penurunan pH, dan penanganan secara biologis meliputi nitrifikasi dan denitrifikasi. Lumpur aktif dari kolam aerobik mengalir ke bak sedimentasi. Flokflok bakteri (biomass) yang ikut dalam efluen aerobik diendapkan di dalam clarifier dan dipompa kembali ke kolam anoksik atau dikenal dengan return activated sludge (RAS). Efluen yang berupa cairan tanpa flok kemudian mengalir ke bak klorinasi. Efluen yang berupa cairan dari bak sedimentasi ini memiliki dua penampakan secara visual yang berbeda yaitu warna bening kemerahan (Efluen I) dan bening kebiruan (Efluen II). Perbedaan ini dikarenakan bahan pewarna cangkang kapsul yang digunakan berbeda yaitu cangkang kapsul yang menggunakan pewarna “Erythrosin B” dan cangkang kapsul yang menggunakan pewarna “Brilliant Blue FCF”. Penampakan Efluen I dan Efluen II disajikan pada Gambar 3.
Efluen I
Efluen II
Gambar 3. Penampakan Efluen I dan Efluen II
22
Produksi cangkang kapsul dengan pewarna “Erythrosin B” akan menghasilkan efluen berwarna bening kemerahan (Efluen I), sedangkan produksi cangkang kapsul dengan pewarna “Brilliant Blue FCF” akan menghasilkan efluen berwarna bening kebiruan (Efluen II). Adapun hasil uji beberapa parameter dari efluen dapat dilihat pada Tabel 3.
Parameter pH Kekeruhan Warna Klorin (Cl2)
Tabel 3. Karakteristik Efluen I dan Efluen II Satuan Efluen I 6.38-7.02 NTU 12-13 PtCo 182-201 mg/l 0.12-0.14
Efluen II 6.73-7.00 10-12 175-198 0.13-0.15
Berdasarkan karakteristik diatas nilai dari masing-masing parameter antara Efluen I dan Efluen II tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Nilai pH Efluen I dan Efluen II berkisar antara 6.38-7.02, dimana sebelumnya efluen telah mengalami pengaturan pH pada rentang pH 7-8.5 dengan penambahan bahan kimia Na2CO3, sehingga pada saat memasuki bak sedimentasi (clarifier) pH efluen berada dalam kisaran pH netral. Lumpur aktif dari kolam aerobik mengalir ke bak sedimentasi. Flokflok bakteri (biomass) yang ikut dalam efluen aerobik diendapkan di dalam clarifier dan dipompa kembali ke kolam anoksik. Hal ini menyebabkan efluen yang berupa cairan yang terpisah dari flok-flok bakteri tersebut mempunyai nilai kekeruhan dan warna yang cukup rendah. Kadar klorin Efluen I dan Efluen II tidak dalam nilai yang berlebih yaitu berkisar antara 0.12-0.15 mg/l. Namun, menurut www.o-fish.com (2002), untuk menghindari efek berbahaya dari klorin maka kadarnya dalam air harus dijaga agar tidak lebih dari 0.003 mg/l. H. UJI TOKSISITAS EFLUEN TERHADAP IKAN Proses klorinasi yang dilakukan pada pengolahan air limbah PT. Capsugel Indonesia menghasilkan limbah yang memiliki kadar klorin yang bersifat toksik bagi ikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan yang disajikan pada Tabel 4 dan 5.
23
Tabel 4. Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan pada Efluen I A1 Parameter Uji pH
A2
Hari ke-0
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-0
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
7.01
7.61
7.84
8.11
8.23
8.21
8.34
8.37
8.40
8.41
0.17
0.16
0.11
0.09
0.05
0.84
0.52
0.22
0.17
0.08
0
0
10
10
10
10
10
Cl2 (mg/l) Jumlah ikan yang mati 0 0 0 sampai hari keKeterangan : A1 = Efluen I sebelum klorinasi A2 = Efluen I setelah klorinasi
Tabel 5. Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan pada Efluen II B1 Parameter Uji
B2
Hari ke-0
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-0
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
7
7.57
7.79
7.95
8.01
7.78
7.82
7.95
7.99
8.04
0.13 0.11 0.10 Cl2 (mg/l) Jumlah ikan yang mati 0 0 0 sampai hari keKeterangan : B1 = Efluen II sebelum klorinasi B2 = Efluen II setelah klorinasi
0.06
0.03
0.78
0.43
0.19
0.15
0.04
0
1
10
10
10
10
10
pH
Berdasarkan pengamatan dari hasil diatas, seluruh biota uji A1 dan B1 masih dapat bertahan hidup dengan kadar klorin sebesar 0.17 dan 0.13 mg/l pada 24 jam pertama. Biota uji A1 masih dapat bertahan hingga hari keempat, sedangkan pada B1 hanya satu ekor ikan yang mati hingga hari keempat. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum proses klorinasi berlangsung; efluen cukup aman bagi kehidupan ikan. Ketahanan ikan tersebut juga didukung oleh menurunnya kadar klorin A1 karena telah menguap. Klorin dalam air relatif tidak stabil dan akan segera terbebas ke udara (www.o-fish.com, 2002). Berbeda dengan A1 dan B1, seluruh biota uji A2 dan B2 mati pada 24 jam pertama. Hal ini diduga adanya pengaruh klorin sebagai akibat dari penambahan larutan kaporit. Kaporit padat (kalsium hipoklorit) dalam air akan membentuk senyawa kalsium hipoklorit [Ca(OCl)2] yang merupakan molekul klorin (OCl- atau HOCl-) (Riegel, 1933), sehingga semakin banyak kaporit yang ditambahkan akan semakin tinggi kadar klorinnya. Pada uji contoh terlihat bahwa kandungan residu klorin setelah klorinasi adalah 0.84 mg/l dan pengamatan pada 24 jam pertama terhadap efluen setelah klorinasi menunjukkan kematian seluruh ikan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan klor tersebut bersifat toksik bagi ikan, karena
24
klorin pada konsentrasi 0.2 - 0.3 mg/l sudah cukup untuk membunuh ikan dengan cepat (www.o-fish.com, 2002). I. OPTIMASI PENGGUNAAN KAPORIT Hasil uji toksisitas efluen terhadap ikan menunjukkan bahwa proses klorinasi di IPAL PT. Capsugel Indonesia menghasilkan efluen yang mengandung residu klorin yang toksik bagi ikan. Untuk mengurangi residu klorin dalam efluen tersebut diupayakan optimasi penggunaan kaporit dengan mencari dosis yang lebih rendah. Berdasarkan hasil yang didapat, pada penambahan dosis kaporit sebesar 5, 10, dan 15 mg/l dengan perlakuan pH 4-6.5 menunjukkan penurunan kekeruhan dari 82.80 persen hingga 92.40 persen (Efluen I) dan 81.82 persen hingga 91.36 persen (Efluen II). Pada warna terjadi penurunan dari 49.35 persen hingga 73.89 persen (Efluen I) dan 47.72 persen hingga 69.44 persen (Efluen II). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kaporit efektif untuk menurunkan warna. Menurut Ucko (1982) kaporit sangat aktif dalam mengoksidasi warna dan mengubah warna menjadi terang dengan memecah molekul penyebab warna menjadi substansi yang lain. Hasil analisis persen penurunan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis persen penurunan parameter pada perlakuan pH 6.5 Penurunan Parameter Kekeruhan Warna
Dosis 5 mg/l pH 6.5 Efluen Efluen I II 83.60% 80.00% 50.39% 49.06%
Dosis 10 mg/l pH 6.5 Efluen Efluen I II 90.00% 76.36% 66.84% 63.27%
Dosis 15 mg/l pH 6.5 Efluen Efluen I II 92.40% 91.36% 73.89% 69.44%
Perlakuan pH yang diberikan pada penggunaan kaporit ini juga mempengaruhi nilai kekeruhan dan warna. Seiring dengan bertambahnya pH penurunan nilai kekeruhan dan warna akan semakin besar. Penurunan nilai kekeruhan dan warna yang paling besar terjadi pada penambahan dosis 15 mg/l dengan pH 6.5 yaitu mencapai 0.95 NTU (Efluen I dan II) dan 50 PtCo (Efluen I) dan 57 PtCo (Efluen II). Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 7.
25
Tabel 7. Hasil analisis proses optimasi penambahan kaporit perlakuan pH 6.5 Dosis kaporit Dosis 5 mg/l Dosis 10 mg/l Dosis 15 mg/l
Kekeruhan (NTU) Efluen I Efluen II 2.05 2.2 1.25 2.6 0.95 0.95
Warna (PtCo) Efluen I Efluen II 95 95 63.5 68.5 50 57
Klorin (mg/l) Efluen I Efluen II 0.17 0.175 0.205 0.195 1.07 1.055
Namun, penurunan nilai kekeruhan dan warna yang terjadi tersebut berlawanan dengan residu klorin yang dihasilkan. Residu klorin meningkat seiring dengan semakin besarnya dosis kaporit dan pH yang diberikan. Hal ini terjadi karena kaporit dalam efluen akan membentuk kalsium hipoklorit [Ca(OCl)2] yang merupakan molekul klorin (Riegel, 1933), sehingga semakin banyak kaporit yang ditambahkan akan meningkatkan residu klorin dalan efluen. Penambahan dosis kaporit sebanyak 15 mg/l dengan pH 6.5 dihasilkan kadar klorin sebesar 1.07 mg/l (Efluen I) dan 1.055 mg/l (Efluen II). Hasil ini menunjukkan bahwa proses optimasi yang dilakukan ini tidak menekan jumlah residu klorin dalam efluen dan masih bersifat toksik bagi ikan. J. PROSES KOAGULASI – FLOKULASI AWAL Proses koagulasi – flokulasi dengan penambahan koagulan dilakukan sebagai upaya substitusi penggunaan kaporit sebagai penghilang warna yang masih tersisa dalam efluen. Melalui proses koagulasi – flokulasi dengan penambahan koagulan ini diharapkan tidak meningkatkan residu klorin dalam efluen sehingga tidak berbahaya bagi makhluk perairan. Koagulan yang digunakan adalah alum, PAC, dan FeCl3. Hasil penentuan kondisi proses koagulasi – flokulasi untuk mendapatkan dosis yang optimal dalam menjernihkan efluen disajikan menurut masing-masing koagulan. 4. Alum Pengamatan terhadap penggunaan dosis koagulan alum sebanyak 40-120 mg/l pada Efluen I dan Efluen II menunjukkan adanya perubahan warna dan kekeruhan. Penambahan dosis koagulan alum yang semakin besar dapat menyebabkan pH efluen semakin rendah (asam), hal ini terjadi
26
karena alum dalam air akan mengalami proses hidrolisis dan membentuk asam menurut reaksi sebagai berikut : 2Al(OH)3 + 6H+ + 3SO42-
Al2(SO4)3 + 6H2O
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis alum yang ditambahkan akan semakin sulit flok-flok tersedimentasi, sehingga perolehan nilai kekeruhan dan warna semakin tinggi. Hal ini dikarenakan pembentukan flok-flok pada penambahan koagulan alum akan maksimal dengan penambahan dosis yang kecil dan tingkat sedimentasinya akan menjadi cepat (Echanpin, 2004). Dosis optimal terpilih adalah 40, 50, dan 60 mg/l. Hasil analisis koagulasi - flokulasidengan perlakuan dosis pada Efluen I dan Efluen II untuk penambahan koagulan alum dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Data hasil analisis penelitian pendahuluan selengkapnya dapat dilihat pada
8
180
7
160
6
140 120
5
100
4
80
3
60
2
40
1
20
0
0 40
50
60
80
100
Warna (PtCo)
Kekeruhan (NTU)
Lampiran 14 dan 15.
120
Dosis (mg/l) Kekeruhan
Warna
Gambar 4. Hasil analisis koagulasi - flokulasi dengan perlakuan dosis pada Efluen I (alum)
27
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Kekeruhan (NTU)
7 6 5 4 3 2 1 0 40
50
60
80
100
Warna (PtCo)
8
120
Dosis (mg/l) Kekeruhan
Warna
Gambar 5. Hasil analisis koagulasi - flokulasi dengan perlakuan dosis pada Efluen II (alum) Nilai kekeruhan dan warna terbaik pada Efluen I dan Efluen II dicapai pada dosis 40, 50, dan 60 mg/l. Pada rentang dosis ini pH efluen yang dihasilkan tidak terlalu asam, dan kemampuan koagulan alum untuk membentuk flok-flok maksimal dengan tingkat sedimentasi yang cepat. 5. PAC Penggunaan PAC sebagai koagulan sebanyak 40-250 mg/l menunjukkan adanya perubahan warna dan kekeruhan. Nilai kekeruhan dan warna paling baik pada Efluen I dan Efluen II adalah dengan penambahan dosis koagulan PAC sebanyak 150, 180, dan 210 mg/l. Dengan makin besarnya dosis koagulan PAC yang diberikan maka nilai kekeruhan dan warnanya akan semakin kecil. Namun, pada penambahan dosis sebanyak 250 mg/l nilai kekeruhan dan warnanya meningkat lagi. Hal ini terjadi karena pada penambahan dosis tersebut telah berlebih sehingga koloid yang terbentuk telah menjadi stabil kembali karena tidak adanya ruang untuk membentuk penghubung partikel (Weber, 1972). Pada rentang dosis ini pH air limbah yang dihasilkan adalah bersifat asam, hal ini disebabkan oleh terlepasnya proton (H+) dari bereaksinya PAC dengan air. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan
28
menggunakan koagulan PAC pada Efluen I dan Efluen II selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7. 9
250 200
7 6
150
5 4
100
3 2
Warna (PtCo)
Kekeruhan (NTU)
8
50
1 0
0 40
100
150
180
210
250
Dosis (mg/l) Kekeruhan
Warna
Gambar 6. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis pada Efluen I (PAC) 250
9
200
7 6
150
5 4
100
3 2
Warna (PtCo)
Kekeruhan (NTU)
8
50
1 0
0 40
100
150
180
210
250
Dosis (mg/l) Kekeruhan
Warna
Gambar 7. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis pada Efluen II (PAC) 6. FeCl3 Pengamatan terhadap penggunaan dosis koagulan FeCl3 sebanyak 40-200 mg/l menunjukkan adanya perubahan. Dosis terbaik yang didapatkan pada Efluen I dan Efluen II adalah pada penambahan sebesar
29
40, 50, dan 60 mg/l. Semakin banyak koagulan FeCl3 yang ditambahkan akan semakin meningkatkan nilai kekeruhan dan warna hal ini disebabkan oleh Fe3+ dari koagulan yang terlarut dalam efluen. Adanya Fe3+ yang terlarut dalam efluen menyebabkan timbulnya warna kemerahan. Koagulan FeCl3 dapat menimbulkan masalah, terutama timbulnya warna dan sifat korosif apabila proses koagulasi tidak berlangsung dengan baik (Reynolds, 1982; Peavy et al., 1986). Seperti halnya alum, semakin banyak FeCl3 yang ditambahkan akan mengakibatkan pH efluen turun. Penurunan pH ini disebabkan disebabkan oleh terlepasnya proton (H+) hasil hidrolisis FeCl3 (MetCalf dan Eddy, 1992). Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan penambahan koagulan FeCl3 pada Efluen I dan Efluen II selengkapnya dapat dilihat
Kekeruhan (NTU)
25
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
20 15 10 5 0 40
50
60
100
150
Warna (PtCo)
pada Gambar 8 dan 9.
200
Dosis (mg/l) Kekeruhan
Warna
Gambar 8. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis pada Efluen I (FeCl3)
30
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Kekeruhan (NTU)
25 20 15 10 5 0 40
50
60
100
150
Warna (PtCo)
30
200
Dosis (mg/l) Kekeruhan
Warna
Gambar 9. Hasil analisis koagulasi – flokulasi dengan perlakuan dosis pada Efluen II (FeCl3) K. PENELITIAN UTAMA Berdasarkan hasil penentuan kondisi proses koagulasi – flokulasi diatas didapatkan tiga dosis terbaik, kemudian ketiga dosis tersebut diberikan perlakuan pH menurut rentang pH optimal pada masing-masing koagulan. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui kombinasi terbaik antara dosis dan pH dalam menjernihkan efluen. 1. Alum Pengamatan terhadap penggunaan dosis koagulan alum pada dosis 40, 50, dan 60 mg/l dengan pengaturan pH antara 5.5–8 pada Efluen I dan Efluen II menunjukkan adanya penurunan kekeruhan. Pada Efluen I, pemberian dosis koagulan alum sebesar 40 mg/l dengan pH 5.5-8 menunjukkan peningkatan nilai kekeruhan dengan bertambahnya nilai pH. Pemberian dosis 50 dan 60 mg/l dengan pH 5.5-8 juga menunjukkan peningkatan nilai kekeruhan dengan bertambahnya nilai pH. Berdasarkan pengamatan tersebut didapatkan kombinasi terbaik yaitu pada dosis 60 mg/l dengan pH 5.5 yaitu dengan nilai kekeruhan terkecil 2.05 NTU. Sama halnya seperti Efluen I, pemberian dosis 60 mg/l dengan pH 5.5 pada Efluen II merupakan kombinasi terbaik yaitu dengan nilai
31
kekeruhan terkecil 2.1 NTU. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pH akan menentukan dalam pembentukkan formasi dari flok-flok yang selanjutnya mempengaruhi hasil dari proses koagulasi dan flokulasi (Nathanson, 1997). pH 5.5 ini merupakan hasil terbaik dari hasil proses koagulasi – flokulasi dengan alum pada efluen PTCI, karena pada pH ini proses flokulasi dapat berlangsung dengan baik dan paling sesuai untuk membentuk Al(OH)3. Rentang pH yang terbaik intuk membentuk Al(OH)3 adalah pH 5-8 (Alaerts dan Santika, 1987). Terbentuknya flok Al(OH)3 semakin berkurang seiring dengan perlakuan pH yang diberikan. Grafik hubungan antara perlakuan pH yang diberikan dengan parameter kekeruhan, disajikan pada Gambar 10 dan 11. Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 3) juga menunjukkan bahwa perlakuan dosis, pH, dan interaksi antara perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekeruhan pada Efluen I dan Efluen II. Berdasarkan uji lanjut Duncan terlihat bahwa semakin tinggi jumlah dosis yang ditambahkan nilai kekeruhannya akan semakin kecil, dan semakin tinggi pH nilai kekeruhannya akan semakin besar. Dengan demikian penambahan dosis koagulan alum sebanyak 60 mg/l pada pH 5.5 merupakan kombinasi terbaik dalam menurunkan nilai kekeruhan pada Efluen I dan Efluen II. Kekeruhan yang merupakan padatan koloid dan akan bereaksi dengan koagulan alum. Hal ini terjadi karena adanya proses penetralan partikel koloid yang bermuatan negatif oleh koagulan sehingga akan terjadi destabilisasi partikel koloid. Dengan demikian koagulan alum efektif dalam menurunkan kekeruhan. Terjadi penurunan nilai kekeruhan pada Efluen I yaitu sebesar 74.40 persen hingga 83.60 persen. Pada Efluen II juga terjadi penurunan nilai kekeruhan yaitu sebesar 69.55 persen hingga 80.91 persen.
32
3.5
Kekeruhan (NTU)
3 2.5
Alum Dosis 40 m g/l
2
Alum Dosis 50 m g/l Alum Dosis 60 m g/l
1.5 1 0.5 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 10. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (alum)
4
Kekeruhan (NTU)
3.5 3 Alum Dosis 40 m g/l
2.5
Alum Dosis 50 m g/l
2
Alum Dosis 60 m g/l
1.5 1 0.5 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 11. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (alum) Pengamatan terhadap warna pada penambahan koagulan alum menunjukkan adanya perubahan warna menjadi lebih pucat. Hasil uji statistik (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna, walaupun secara visual warna tersebut masih terlihat setelah proses koagulasi – flokulasi (kemerahan pada Efluen I dan kebiruan Efluen II). Namun, interaksi antara perlakuan dosis dan pH tidak memberikan pengaruh yang
33
nyata terhadap warna (Fhitung < Ftabel) karena perbedaan yang dihasilkan dari setiap pertambahan dosis dan pH ini tidak berbeda nyata seperti yang terlihat pada grafik (Gambar 12 dan 13). Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dengan bertambahnya perlakuan pH yang diberikan akan bertambah tinggi nilai warnanya, dan semakin tinggi dosis yang diberikan akan semakin kecil nilai warnanya. Penambahan dosis alum sebesar 60 mg/l dengan pH 5.5 merupakan kombinasi terbaik dalam menurunkan warna yaitu mencapai 91 PtCo pada Efluen I dan 104.5 PtCo pada Efluen II. Menurut Alaerts dan Santika (1987), partikel warna (pH < 7) terikat dan diendapkan oleh flok-flok Al(OH)3, sehingga pH 5.5 merupakan suasana yang paling sesuai agar flok-flok Al(OH)3 yang terbentuk dapat mengikat dan mengendapkan partikel warna dengan baik. Nilai warna yang semakin tinggi seiring dengan bertambahnya pH dipengaruhi oleh berkurangnya pembentukan flok-flok Al2(OH)3 sehingga partikel warna yang dapat diikat oleh flok-flok tersebut semakin sedikit. 160 140
Warna (PtCo)
120 100
Alum Dosis 40 m g/l
80
Alum Dosis 50 m g/l Alum Dosis 60 m g/l
60 40 20 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 12. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (alum)
34
160 140
Warna (PtCo)
120 100
Alum Dosis 40 m g/l
80
Alum Dosis 50 m g/l Alum Dosis 60 m g/l
60 40 20 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 13. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (alum) Hasil
uji
statistik
menunjukkan
bahwa
perlakuan
efluen
mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna. Hal ini dikarenakan pengaruh penggunaan pewarna yang berbeda pada Efluen I dan Efluen II menyebabkan penggunaan koagulan alum pada Efluen I lebih efektif menurunkan warna dibandingkan dengan Efluen II. Hal ini ditunjukkan pada penurunan warna Efluen I yaitu sebesar 27.94 persen hingga 52.48 persen, sedangkan pada Efluen II penurunan warna yang terjadi sebesar 24.13 persen hingga 43.97 persen. Pengamatan terhadap pengukuran kadar klorin setelah penambahan koagulan alum terdapat perubahan yang tidak signifikan (tidak berbeda dengan kadar klorin awal efluen). Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan efluen (blok), dosis dan pH memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar klorin pada Efluen I dan Efluen II. Semakin banyak dosis koagulan alum yang ditambahkan akan semakin besar kadar klorin yang terukur, dan semakin besar perlakuan pH yang diberikan juga akan bertambah besar kadar klorinnya. Namun demikian, interaksi antara perlakuan dosis dan pH tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar klorin, hal ini dikarenakan perbedaan yang dihasilkan pada setiap pertambahan dosis dan pH tidak nyata seperti yang terlihat pada grafik (Gambar 14 dan 15).
35
Hasil pengamatan penggunaan alum menunjukkan konsentrasi residu klorin 0.12 mg/l (Efluen I) dan 0.13 mg/l (Efluen II). Kondisi ini tidak menimbulkan sifat toksik terhadap ikan, seperti yang digambarkan pada uji toksisitas efluen pada penelitian pendahuluan. Hasil uji toksisitas efluen menunjukkan bahwa kadar klorin 0.13-0.17 mg/l masih dapat ditoleransi oleh ikan. Oleh karena itu, efluen dengan kadar klorin seperti yang disebutkan diatas masih dapat ditoleransi oleh ikan juga (cukup aman untuk ikan hidup). 0.25
Klorin (mg/l)
0.2 0.15
Alum Dosis 40 m g/l Alum Dosis 50 m g/l Alum Dosis 60 m g/l
0.1 0.05 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 14. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (alum) 0.25
Klorin (mg/l)
0.2 0.15
Alum Dosis 40 m g/l Alum Dosis 50 m g/l Alum Dosis 60 m g/l
0.1 0.05 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 15. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (alum)
36
2. PAC Pengamatan terhadap penggunaan dosis koagulan PAC sebanyak 150, 180 dan 210 mg/l dengan pengaturan pH antara 6-8.5 pada Efluen I dan Efluen II menunjukkan adanya perubahan kekeruhan. Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 6) juga menunjukkan bahwa perlakuan dosis, pH, dan interaksi antara perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekeruhan pada Efluen I dan Efluen II (Fhitung > Ftabel). Menurut uji lanjut Duncan pada penggunaan koagulan PAC untuk Efluen I dan Efluen II ini menunjukkan peningkatan nilai kekeruhan dengan bertambahnya pH. Semakin tinggi dosis koagulan PAC yang diberikan akan semakin kecil nilai kekeruhannya. Sama
halnya
dengan
koagulan
alum,
dengan
semakin
bertambahnya nilai pH yang diberikan hingga 8.5 menunjukkan pembentukan
flok-flok
yang
semakin
kecil.
Hal
tersebut
yang
menyebabkan penurunan nilai kekeruhan. Kombinasi terbaik antara dosis dan pH pada penambahan koagulan PAC ini adalah pada pemberian dosis 210 mg/l dengan pH 6 (Efluen I) dengan nilai kekeruhan terkecil yaitu 1.45
NTU.
PAC
membutuhkan
kebasaan
yang
rendah
untuk
menghilangkan kekeruhan dan warna (Eaglebrook Inc., 1999), artinya pH 6 sesuai untuk memenuhi kebutuhan PAC dalam menghilangkan kekeruhan dan warna. Grafik hubungan antara perlakuan pH dengan parameter kekeruhan pada penggunaan koagulan PAC, disajikan pada Gambar 16 dan 17.
37
3.5
Kekeruhan (NTU)
3 2.5 PAC Dosis 150 m g/l
2
PAC Dosis 180 m g/l
1.5
PAC Dosis 210 m g/l
1 0.5 0 6
6.5
7
7.5
8
8.5
pH
Gambar 16. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (PAC) Pada Efluen II, kombinasi terbaik antara dosis dan pH adalah pada penambahan PAC dengan dosis sebesar 210 mg/l dengan pH 6 yaitu dengan nilai kekeruhan 1.4 NTU. 3.5
Kekeruhan (NTU)
3 2.5 PAC Dosis 150 m g/l
2
PAC Dosis 180 m g/l
1.5
PAC Dosis 210 m g/l
1 0.5 0 6
6.5
7
7.5
8
8.5
pH
Gambar 17. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (PAC) Pada
uji
statistik
menunjukkan
bahwa
perlakuan
efluen
mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekeruhan. Penggunaan PAC sebagai koagulan pada Efluen I lebih efektif dari Efluen II dan ini ditunjukkan pada Efluen I dengan penurunan nilai kekeruhan
38
sebesar 76 persen hingga 88.40 persen, angka perubahan ini lebih besar dibandingkan dengan Efluen II dengan penurunan nilai kekeruhan sebesar 73.18 persen hingga 87.27 persen. Menurut pengamatan secara visual, perubahan warna yang dihasilkan setelah penambahan koagulan PAC cukup terlihat, yaitu menjadi lebih pucat, walaupun masih tetap ada warna yaitu kemerahan (Efluen I) dan kebiruan (Efluen II). Secara kuantitatif dengan pengukuran spektrofotometrik sudah terjadi penurunan warna. Hasil uji statistik (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penurunan warna pada Efluen I dan Efluen II (Fhitung > Ftabel). Namun, interaksi antara perlakuan dosis dan pH tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna (Fhitung < Ftabel). Hal ini dapat juga dilihat pada Gambar 18 dan 19, dimana warna untuk masing-masing dosis relatif sama besar. Berdasarkan uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa perubahan warna antara dosis 150, 180, dan 210 mg/l tidak berbeda nyata, dan perubahan warna antara pH 6-8.5 tidak berbeda nyata. Pada uji lanjut Duncan menunjukkan adanya perubahan warna yang semakin besar seiring dengan bertambahnya dosis yang diberikan. Semakin besar perlakuan pH yang diberikan akan menjadikan nilai warna semakin besar. Hal ini terjadi karena semakin besarnya pH menyebabkan kemampuan netralisasi total garam aluminium berkurang sehingga flokflok aluminium hidroksida [Al(OH)3 atau Al2(OH)6] hanya sedikit terbentuk. Grafik hubungan antara perlakuan pH yang diberikan dengan parameter warna pada penambahan koagulan PAC untuk Efluen I dan II disajikan pada Gambar 18 dan 19.
39
140
Warna (PtCo)
120 100 PAC Dosis 150 m g/l
80
PAC Dosis 180 m g/l
60
PAC Dosis 210 m g/l
40 20 0 6
6.5
7
7.5
8
8.5
pH
Gambar 18. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (PAC) 90 80
Warna (PtCo)
70 60 PAC Dosis 150 m g/l
50
PAC Dosis 180 m g/l
40
PAC Dosis 210 m g/l
30 20 10 0 6
6.5
7
7.5
8
8.5
pH
Gambar 19. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen II (PAC) Pada Efluen I, kombinasi terbaik antara dosis dan pH pada penambahan koagulan PAC ini adalah pemberian dosis 210 mg/l dengan pH 6 dengan nilai warna terkecil yaitu 64 PtCo. Pada Efluen II, kombinasi terbaik adalah pada penggunaan dosis sebesar 210 mg/l dengan pH 6 yaitu dengan nilai warna 67.5 PtCo. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan efluen (blok) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna. Tidak berbeda
40
dengan koagulan alum, penggunaan PAC sebagai koagulan pada Efluen I lebih efektif dari Efluen II. Hal ini ditunjukkan pada Efluen I dengan penurunan warna sebesar 36.81 persen hingga 66.58 persen, angka perubahan ini lebih besar dibandingkan dengan Efluen II dengan penurunan warna sebesar 54.42 persen hingga 63.81 persen. Pengamatan kadar klorin setelah penambahan koagulan PAC terdapat perubahan (uji statistik pada Lampiran 8). Perlakuan efluen (blok), dosis dan pH memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar klorin (Fhitung > Ftabel). Namun, interaksi antara perlakuan dosis dan pH tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar klorin (Fhitung < Ftabel). Berdasarkan uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa kadar klorin antara dosis 180 dan 210 mg/l tidak berbeda nyata. Seperti halnya pada koagulan alum, dengan penambahan dosis PAC dan pH yang semakin besar akan semakin besar kadar klorinnya. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 16 dan 17), kadar klorin yang dicapai pada penambahan PAC dengan dosis 210 mg/l pada pH 6 untuk Efluen I dan II adalah 0.2 dan 0.1 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kadar klorin setelah penambahan koagulan PAC tidak berbeda nyata dengan kadar klorin efluen awal (kadar klorin awal Efluen I adalah 0.12-0.14 mg/l, Efluen II adalah 0.13-0.15 mg/l). Dengan kadar klorin 0.2 dan 0.1 mg/l dalam efluen dimungkinkan masih dapat ditoleransi oleh ikan (cukup aman untuk ikan hidup).
41
0.3 0.25 Klorin (mg/l)
0.2 PAC Dosis 150 m g/l
0.15
PAC Dosis 180 m g/l PAC Dosis 210 m g/l
0.1 0.05 0 6
6.5
7
7.5
8
8.5
pH
Gambar 20. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (PAC) 0.16 0.14
Klorin (mg/l)
0.12 0.1
PAC Dosis 150 m g/l
0.08
PAC Dosis 180 m g/l PAC Dosis 210 m g/l
0.06 0.04 0.02 0 6
6.5
7
7.5
8
8.5
pH
Gambar 21. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (PAC) 3. FeCl3 Berdasarkan hasil uji statistik pada penambahan FeCl3 (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan dosis, pH, dan interaksi antara perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh terhadap nilai kekeruhan pada Efluen I dan Efluen II (Fhitung > Ftabel). Pada pemberian dosis koagulan FeCl3 sebesar 40, 50, dan 60 mg/l menunjukkan bahwa semakin besar dosis FeCl3 yang ditambahkan maka nilai kekeruhannya akan
42
semakin kecil. Nilai kekeruhan juga akan semakin kecil seiring dengan semakin besarnya perlakuan pH yang diberikan. Pemberian dosis koagulan FeCl3 sebasar 60 mg/l pada pH 8 merupakan kombinasi terbaik dengan nilai kekeruhan terkecil yaitu 2.75 NTU (Efluen I) dan 4.05 NTU (Efluen II). Kombinasi tersebut adalah kondisi terbaik bagi FeCl3 untuk mengikat partikel koloid dalam efluen, karena
berdasarkan
penelitian
pendahuluan
menunjukkan
bahwa
penambahan FeCl3 dengan dosis lebih dari 60 mg/l menyebabkan proses koagulasi tidak lagi berlangsung dengan baik, hal ini disebabkan oleh penambahan FeCl3 yang sudah mencapai titik jenuhnya sehingga semakin banyak Fe3+ dari koagulan yang terlarut dalam efluen. Adanya Fe3+ yang terlarut dalam efluen menyebabkan timbulnya warna kemerahan. Koagulan FeCl3 dapat menimbulkan masalah, terutama timbulnya warna dan sifat korosif apabila proses koagulasi tidak berlangsung dengan baik (Reynolds, 1982; Peavy et al., 1986). Penggunaan FeCl3 sebagai koagulan pada Efluen I (penurunan kekeruhan 8 persen hingga 78 persen) lebih efektif menurunkan nilai kekeruhan dibandingkan pada Efluen II (penurunan kekeruhan -9.09 persen hingga 69.09 persen) . Hal ini menunjukkan bahwa partikel dalam Efluen I lebih mudah bereaksi dengan FeCl3. Grafik hubungan antara perlakuan pH yang diberikan dengan parameter kekeruhan pada Efluen I dan Efluen II, disajikan pada Gambar 22 dan 23.
43
14
Kekeruhan (NTU)
12 10 FeCl3 Dosis 40 m g/l
8
FeCl3 Dosis 50 m g/l
6
FeCl3 Dosis 60 m g/l
4 2 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 22. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen I (FeCl3) 14
Kekeruhan (NTU)
12 10 FeCl3 Dosis 40 m g/l
8
FeCl3 Dosis 50 m g/l
6
FeCl3 Dosis 60 m g/l
4 2 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 23. Hubungan nilai pH dan kekeruhan pada Efluen II (FeCl3) Berdasarkan hasil uji statistik pada penambahan FeCl3 (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan dosis, pH, dan interaksi antara perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh terhadap perubahan warna pada Efluen I dan Efluen II (Fhitung > Ftabel). Seperti halnya pada kekeruhan, uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semakin besar dosis FeCl3 yang ditambahkan maka nilai warnanya akan semakin kecil. Nilai warna juga akan semakin kecil seiring dengan semakin besarnya perlakuan pH yang
44
diberikan. Secara visual, hasil proses koagulasi – flokulasi dengan FeCl3 pada Efluen I dan II lebih baik dibandingkan dengan menggunakan alum dan PAC, warna yang dihasilkan lebih pucat (sedikit kehijauan tetapi tidak tampak nyata), dan pada dosis 60 mg/l dengan pH 8 warna yang terkandung dalam efluen hampir hilang. Hal ini menunjukkan bahwa pada rentang penggunaan dosis FeCl3 sebanyak 40-60 mg/l Fe3+ tidak terlarut melainkan mengikat partikel koloid dalam efluen dengan baik, dan dengan memberikan suasana basa pada efluen menjadikan FeCl3 dapat maksimal mengikat kekeruhan dan warna serta menjadikan pH setelah proses koagulasi – flokulasi tidak terlalu asam, sehingga dapat menurunkan nilai kekeruhan dan warna lebih baik. Penggunaan FeCl3 sebagai koagulan pada Efluen I (penurunan warna 32.90 persen hingga 69.71 persen) lebih efektif menurunkan warna dibandingkan pada Efluen II (penurunan warna 28.15 persen hingga 67.29 persen). Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan efluen (blok) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna. Hal ini terlihat pada Efluen I yang lebih mudah dijerat partikel penyebab warna yang terdapat didalamnya, sehingga semakin besar dosis FeCl3 yang digunakan akan dapat mengurangi warna lebih baik. Grafik hubungan antara perlakuan pH yang diberikan dengan parameter warna pada penambahan koagulan FeCl3 untuk Efluen I dan Efluen II, disajikan pada Gambar 24 dan 25.
45
140
Warna (PtCo)
120 100 FeCl3 Dosis 40 m g/l
80
FeCl3 Dosis 50 m g/l
60
FeCl3 Dosis 60 m g/l
40 20 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 24. Hubungan nilai pH dan warna pada Efluen I (FeCl3) 160 140
Warna (PtCo)
120 100
FeCl3 Dosis 40 m g/l
80
FeCl3 Dosis 50 m g/l FeCl3 Dosis 60 m g/l
60 40 20 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 25. Hubungan nilai pH dan warna pada EfluenII (FeCl3) Pada penambahan koagulan FeCl3, terdapat perubahan kadar klorin. Berdasarkan hasil uji statisik (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan dosis dan pH mempunyai pengaruh terhadap kadar klorin. Uji lanjut Duncan menunjukkan panambahan koagulan FeCl3 dengan dosis yang semakin besar akan meningkatkan kadar klorinnya. Namun, seiring dengan penambahan perlakuan pH akan menjadikan kadar klorin menurun. Klorin (Cl2) pada perairan terdapat dalam bentuk ion monovalen yaitu ion
46
klorida (Cl-) (Effendi, 2003). Kenaikan kadar klorida (Cl-) disebabkan FeCl3 yang ditambahkan akan bereaksi dalam air yang mengandung alkalinitas, menghasilkan Fe(OH)3 hidroksid (mengendap sebagai flok), CO2, dan klorida (Davies dan Cornwell, 1991). Dengan dihasilkannya klorida tersebut menaikkan kadar klorin. Hasil uji statistik (Lampiran 11) juga menunjukkan bahwa perlakuan efluen (blok) dan interaksi antara perlakuan dosis dan pH tidak berpengaruh nyata terhadap kadar klorin. Kadar klorin hasil proses koagulasi – flokulasi dengan menggunakan FeCl3 mempunyai kisaran 0.08-0.14 mg/l (Efluen I) dan 0.095-0.14 mg/l (Efluen II), hasil ini tidak berbeda nyata dengan kadar klorin awal efluen (kadar klorin awal Efluen I adalah 0.12-0.14 mg/l, Efluen II adalah 0.13-0.15 mg/l). Hasil uji toksisitas efluen sebelumnya menunjukkan bahwa kadar klorin 0.13-0.17 mg/l masih dapat ditoleransi oleh ikan, artinya ikan masih dapat hidup pada lingkungan dengan kadar klorin 0.13-0.17 mg/l. Dengan demikian, hasil pengukuran kadar klorin setelah penambahan FeCl3 seperti yang disebutkan diatas masih dapat ditoleransi oleh ikan juga (cukup aman untuk ikan hidup). Grafik hubungan antara perlakuan pH yang diberikan dengan parameter klorin pada Efluen I dan Efluen II, disajikan pada Gambar 26 dan 27. 0.16 0.14
Klorin (mg/l)
0.12 0.1
FeCl3 Dosis 40 m g/l
0.08
FeCl3 Dosis 50 m g/l FeCl3 Dosis 60 m g/l
0.06 0.04 0.02 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 26. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen I (FeCl3)
47
0.16 0.14
Klorin (mg/l)
0.12 0.1
FeCl3 Dosis 40 m g/l
0.08
FeCl3 Dosis 50 m g/l FeCl3 Dosis 60 m g/l
0.06 0.04 0.02 0 5.5
6
6.5
7
7.5
8
pH
Gambar 27. Hubungan nilai pH dan klorin pada Efluen II (FeCl3) L. PERBANDINGAN HASIL PROSES KOAGULASI – FLOKULASI ANTARA KETIGA KOAGULAN Berdasarkan hasil analisis diatas didapatkan kombinasi terbaik antara dosis dan pH yang berbeda-beda pada masing-masing koagulan yang digunakan. Hal tersebut terjadi karena perbedaan karakteristik masing-masing koagulan. Hasilnya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Persen penurunan parameter pada kombinasi terbaik antara dosis dan pH untuk koagulan alum, PAC, dan FeCl3 Penurunan Parameter Kekeruhan Warna
ALUM Dosis 60 mg/l pH 5.5 Efluen Efluen I II 83.60% 80.91% 52.48% 43.97%
PAC Dosis 210 mg/l pH 6 Efluen Efluen I II 88.40% 87.27% 66.58% 63.81%
FeCl3 Dosis 60 mg/l pH 8 Efluen Efluen I II 78.00% 63.18% 69.71% 67.29%
Berdasarkan ketiga koagulan yang dicobakan menunjukkan bahwa koagulan FeCl3 adalah yang paling efektif dalam menghilangkan warna yang masih tersisa dalam efluen. Pada penggunaan dosis yang sedikit yaitu 60 mg/l, penurunan kekeruhan dan warna yang dicapai cukup besar, dan secara visual warna yang terkandung dalam efluen hampir tidak terlihat lagi. pH 8 yang didapatkan menunjukkan bahwa tidak perlu lagi ada pengaturan pH sebelum proses koagulasi – flokulasi.
48
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan FeCl3 mampu merubah warna efluen menjadi lebih pucat sehingga secara kuantitas dengan pengukuran spektrofotometrik warna efluen turun. Hal tersebut terjadi karena FeCl3 dapat merubah sebagian warna dengan mereaksikan senyawa pembawa warna yang bermuatan negatif dengan kation Fe3+ (Reynolds, 1982; Peavy et al., 1986). Kadar klorin hasil proses koagulasi – flokulasi dengan menggunakan FeCl3 tidak berpengaruh nyata dengan kadar klorin awal efluen, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan FeCl3 dengan dosis 60 mg/l cukup aman untuk ikan. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6. Dibandingkan dengan penggunaan koagulan diatas, hasil penghilangan warna efluen dengan menggunakan kaporit lebih baik. Dengan penambahan dosis yang lebih banyak akan dapat dengan mudah menurunkan nilai kekeruhan dan warna tanpa harus mengkhawatirkan flok-flok yang terbentuk. Namun, hal tersebut berlawanan dengan kadar klorin yang dihasilkan. Dengan penambahan dosis kaporit yang semakin banyak akan menyebabkan klorin yang dihasilkan semakin banyak pula. Hal ini yang menyebabkan efluen berbahaya bagi makhluk perairan. Reaksi antara koagulan (alum dan PAC) terhadap efluen berbeda dengan reaksi antara kaporit dengan efluen. Kaporit bereaksi dengan warna dalam efluen dengan cara mengoksidasikan warna tersebut sehingga ikatan kimianya terputus menjadi sebuah substansi kimia yang tidak berwarna (www.wikipedia.com, 2006), sedangkan koagulan (alum dan PAC) hanya mengikat kekeruhan (koloid) dalam efluen secara fisik sehingga bersatu membentuk flok-flok yang lebih besar. Hal ini menyebabkan warna (secara visual) yang masih tersisa dalam efluen berkurang, tetapi sebenarnya warna tidak dapat bereaksi dengan bahan koagulan. Efluen tahap pengolahan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini memiliki sedikit kekeruhan sedangkan warna yang masih tersisa bukan merupakan warna yang disebabkan oleh kekeruhan sehingga penambahan koagulan (alum dan PAC) tidak tepat jika ditujukan untuk menghilangkan warna dalam efluen.
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN
C. KESIMPULAN Proses koagulasi – flokulasi yang dilakukan pada pengolahan tersier limbah cair PT. Capsugel Indonesia dengan menggunakan koagulan alum, PAC, dan FeCl3 dengan perlakuan dosis dan pH yang berbeda-beda menunjukkan adanya penurunan nilai kekeruhan dan warna. Pada Efluen I, penambahan koagulan alum pada dosis 60 mg/l pH 5.5 dapat menurunkan kekeruhan sebesar 83.60 persen dan warna 52.48 persen, pada koagulan PAC dengan dosis 210 mg/l pH 6 dapat menurunkan kekeruhan sebesar 88.40 persen dan warna 66.58 persen, dan pada koagulan FeCl3 dengan dosis 60 mg/l pH 8 dapat menurunkan kekeruhan sebesar 78 persen dan warna 69.71 persen. Pada Efluen II, penambahan koagulan alum pada dosis 60 mg/l pH 5.5 dapat menurunkan kekeruhan sebesar 80.91 persen dan warna 43.97 persen, pada koagulan PAC dengan dosis 210 mg/l pH 6 dapat menurunkan kekeruhan sebesar 87.27 persen dan warna 63.81 persen, dan pada koagulan FeCl3 dengan dosis 60 mg/l pH 8 dapat menurunkan kekeruhan sebesar 63.18 persen dan warna 67.29 persen. Penggunaan dosis koagulan yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kekeruhan dan warna pada proses koagulasi – flokulasi dengan menggunakan alum, PAC, dan FeCl3. Perbedaan pH memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kekeruhan dan warna pada proses koagulasi – flokulasi dengan menggunakan alum, PAC, dan FeCl3. Interaksi antara perlakuan dosis dan pH memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kekeruhan pada proses koagulasi – flokulasi dengan menggunakan alum, PAC, dan FeCl3. D. SARAN 1. Penerapan penggunaan koagulan pada skala yang sebenarnya (aplikasi langsung).
50
2. Pengembangan proses pada IPAL PT. Capsugel Indonesia yaitu dengan melakukan proses koagulasi – flokulasi sebelum pengolahan secara biologis. Hal ini bertujuan agar partikel warna dalam efluen lebih mudah diikat bersama dengan padatan lain yang terkandung dalam efluen, sehingga proses klorinasi tidak perlu dilakukan lagi.
51
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G. dan S.S. Santika. (1987). Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya. Anonim. 1996. DR/2000. Spectrofotometer Procedure Manual. Handbook. HACH Company, Colorado. Anonim. 1999. DR/2010. Spectrofotometer Procedure Manual. Handbook. HACH Company, Colorado. Benefield, D.L., F.J. Indkins, dan L.B. Weand. 1982. Process Chemistry for Water and Wastewater Treatment. Prentice-Hall Inc., New Jersey. Davis, M.L. dan D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Engineering. McGraw-Hill Inc., Singapore. Eaglebrook Inc. 1999. PASS-CTM (Polyaluminium www.eaglebrk.com, Matteson, IL.
Chloride).
Abstrak.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. Hammer, M.J. 1986. Water and Wastewater Technology. Prentice-Hall Int. Inc., New Jersey. Hardman Australia Pty Ltd. 2002. Water Treatment Coagulant. Abstrak. Http://www.hardman.com.au, New South Wales. Klimiuk, E.U. Filipkowska., dan A. Korzeniowska. 1999. Effect of pH and Coagulant Dosage on Effectiveness of Coagulation of Reactive Dyes from Model Wastewater by Polyaluminium Chloride (PAC). Polish Journal of Environmental Studies. www.pan.htm. Kurniawan, D. 2005. Kajian Penurunan Parameter Pencemar Dalam Air Lindi (Cairan Sampah) Menggunakan Proses Koagulasi – Flokulasi. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Liu, D.H.F. dan B.G. Liptak. 1999. Wastewater Treatment. Lewis Publisher, Boca Raton, London.
52
Kementerian Lingkungan Hidup. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 (14 Desember 2001) Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Abstrak. http://www.menlh.go.id/peraturan/pp/pp8201/lampiran.html. Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater Engineering. Third Edition. McGraw-Hill International Edition, Singapore. Nathanson, J.A. 1997. Basic Environmental Technology. Water Supply, Waste Management, and Pollution Control. Prentice-Hall Inc., New Jersey. Nemerow, Nelson Leonard dan Avijit Dasgupta. 1988. Industrial Hazardous Waste Treatment. Van Nostrand Reinhold, New York. Peavy, H.S., D.R. Rowe dan G. Tchobanoglous. 1986. Environmental Engineering. McGraw-Hill Book Co., Singapore. PT. Capsugel Indonesia. 2005. Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL). PT. Capsugel Indonesia, Cibinong. Pujiantoro, P. 1995. Proses Koagulasi – Flokulasi dalam Penanganan Primer Limbah Cair Industri Rayon. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Reynolds, T.D. 1982. Unit Operation and Process in Environmental Engineering. Wadsword Inc., California. Riegel. E.R. 1933. Industrial Chemistry. Book Departement, The Chemical Catalog Co., Inc., New York. Steel, E.W. dan McGhee. 1985. Water Supply and Sewerage. McGraw-Hill Inc., New York. Sudjana. 1995. Desain dan Analisis Eksperimen. Edisi IV. TARSITO, Bandung. Sugiharto. 1987. Dasar – dasar Pengelolaan Air Limbah. UI-Press, Jakarta. Surdia, N.M., Buchari, dan B. Bundjali. 1981. Perlakuan Air dan Air Buangan Secara Koagulasi dari Partikel Tersuspensi. Laporan Penelitian. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung. Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan Secara Biologis. PT. Alumni, Bandung. Sutrisno, C.T. dan E. Suciastuti. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka Cipta, Jakarta.
53
Tebbut, T.H.Y. 1992. Principles of Water Quality Control. Fourth Edition. Pergamon Press, Oxford. Vasilind, P.A., J.J. Pierce, dan R.F. Weiner. 1990. Environmental Pollution and Control. Third Edition. Butterworth-Heinemann, Boston. Www.chemicalland21.com. Www.menlh.go.id/usaha-kecil/ Www.o-fish.com. Www.terranet.com. Www.wikipedia.com. Www.yxpac.com/echanpin.htm#l. Weber, E.J. 1972. Physiochemical Processes for Water Quality Control. John Willey & Sons Inc, USA. Wenbin, L., H. Hongshan, dan P. Jianguo. 1999. Application of Poly Aluminium Chloride in Shenzhen Water Supply – China. Abstract. www.lanl.gov/chinawater/documents/huanghongshan.pdf. Los Alamos National Library.
54
LAMPIRAN
55
Lampiran 1. Tata kerja analisis dan pengujian
a. Kekeruhan dengan menggunakan La Motte 2020 Turbidimeter Uji kekeruhan menggunakan satuan unit NTU. Mula-mula masukkan kuvet cairan standar kalibrasi 10 (catatan: pastikan kuvet dalam keadaan bersih, bersihkan bagian luar dengan kertas tissue). Kemudian tekan tombol “cal” hingga pada layar tampil “10”. Jika angka yang tampil pada layar menunjukkan kurang atau lebih dari 10 maka disesuaikan dengan menekan tombol “▲” atau “▼” hingga angkanya sesuai. Kemudian kalibrasi dengan kuvet berisi cairan standar kalibrasi 1. Tekan tombol “cal” hingga menunjukkan angka “1.0”. Jika angka yang tertera pada layar menunjukkan kurang atau lebih dari 1 maka disesuaikan dengan menekan tombol “▲” atau “▼” hingga angkanya sesuai. Untuk pengukuran sampel, masukkan sampel ke dalam kuvet kosong yang sudah dibersihkan. Masukkan kuvet ke dalam sel kuvet. Tekan tombol “read” untuk membaca, maka hasilnya akan tampil pada layar. b. Warna dengan menggunakan Spektrofotometer DR 2000 (Anonim, 1996) Uji warna menggunakan satuan unit PtCo (panjang gelombang 455 nm). Mula-mula tekan tombol power dan tunggu sampai layar monitor menunjukkan angka satu. Setelah itu layar monitor akan menanyakan metode yang akan digunakan (misalnya 120 Color PtCo). Setelah dipilih metode yang akan digunakan, maka tekan enter. Kemudian sesuaikan panjang gelombang dengan panjang gelombang yang tertera pada layar monitor (misalnya 455 nm untuk uji warna), setelah itu tekan enter kembali. Spektrofotometer dikalibrasi dengan menggunakan aquades sebanyak 10 ml dengan menggunakan tombol clear (zero). Kemudian setelah tertera angka nol (0 Color PtCo), kalibrasi dinyatakan telah selesai. Pada akhirnya uji efluen dapat dilakukan dengan memasukkan cairan efluen sebanyak 10 ml pada kuvet dan menekan tombol enter, Maka pada layar monitor akan tertera angka hasil pengukuran efluen.
55
Lampiran 1. Tata kerja analisis dan pengujian (lanjutan)
c. Analisis klorin dengan “DPD Method” menggunakan Spektrofotometer DR 2000 (Anonim, 1996) Enter nomor program untuk free dan total chlorine (Cl2) – powder pillows. Kemudian akan muncul tampilan “Dial nm To 530”. Putar pengatur panjang gelombang hingga pada layar muncul tampilan “530 nm”. Tekan “READ/ENTER”, dan kemudian akan muncul tampilan ‘mg/l Cl2”. Isi satu buah sel efluen dengan 25 ml cairan efluen, kemudian masukkan ke dalam cell holder-nya. Tekan “ZERO”, maka pada layar akan muncul tampilan “WAIT”, kemudian muncul “0.00 mg/l Cl2”. Hal ini dilakukan sebagai pengukuran blanko, yaitu pengukuran cairan efluen sebelum ditambahkan DPD Free Chlorine Powder Pillows. Isi sel efluen lainnya dengan 25 ml cairan efluen. Tambahkan “DPD Free Chlorine Powder pillows” ke dalam sel efluen. Tutup sel efluen dan kocok selama 20 detik. Kemudian letakkan sel efluen ke dalam cell holder dan tutup dengan penutup cell holder. Tekan “READ/ENTER”, dan pada layar akan muncul tampilan “WAIT”, kemudian hasil pengukuran akan muncul dalam satuan mg/l chlorine (Cl2).
56
Lampiran 2. Diagram alir pengolahan air limbah di IPAL PT. Capsugel Indonesia
EFLUEN
COOLING TOWER
BAK KONTROL
RECYCLE
SAND FILTER
BAK KLORINASI
CLARIFIER
BAK AERASI 1 INLET
pH
BAK AERASI 2 ANOXIC 1
BAK AERASI 3
ANOXIC 2
ANOXIC 3
SLUDGE HOLDING TANK RUANG KONTROL
Kaporit Na2CO3 Flokulan
COOLING TOWER
TSP
INFLUEN
BAK EKUALISASI
TPA KEDUNG MULYA
Keterangan: : Aliran proses : Aliran bahan kimia
57
Lampiran 3. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada alum (kekeruhan)
a. Analisis pengaruh antar perlakuan (kekeruhan) Variabel Dependen: Kekeruhan Sumber
JK
Perlakuan dosis Perlakuan pH Interaksi Dosis dan pH Blok Error Total
1.148 5.924 0.741 0.133 0.804 494.950
db
KT 2 5 10 1 53 72
0.574 1.185 0.074 0.133 0.015
F hitung
F tabel
37.830 78.100 4.882 8.798
3.174 2.388 2.008 4.024
b. Uji lanjut Duncan (kekeruhan) Perlakuan dosis Dosis
N
Rata-rata
*60 mg/l 50 mg/l 40 mg/l
24 24 24
2.4375 2.6125 2.7458
Subset 2
1 A
3
B C
* Dosis terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
Perlakuan pH pH
N
Rata-rata
*5.5 6 6.5 7 7.5 8
12 12 12 12 12 12
2.1583 2.3250 2.5417 2.7417 2.8667 2.9583
1 A
2
Subset 3
4
5
B C D E E
* pH terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
58
Lampiran 4. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada alum (warna)
a. Analisis pengaruh antar perlakuan (warna) Variabel Dependen: Warna Sumber
JK
Perlakuan dosis Perlakuan pH Interaksi Dosis dan pH Blok Error Total
1493.528 7405.278 352.639 364.500 1780.000 1109064.000
db
KT 2 5 10 1 53 72
F hitung
746.764 1481.056 35.264 364.500 33.585
F tabel
22.235 44.099 1.050 10.853
3.174 2.388 2.008 4.024
b. Uji lanjut Duncan (Warna) Perlakuan dosis Dosis
N
Rata-rata
*60 mg/l 50 mg/l 40 mg/l
24 24 24
118.9583 121.7500 129.7083
Subset 1 A A
2
B
* Dosis terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
Perlakuan pH pH
N
Rata-rata
*5.5 6 6.5 7 7.5 8
12 12 12 12 12 12
103.9167 118.1667 124.0833 129.2500 131.6667 133.7500
Subset 1 A
2
3
4
B C D D D
* pH terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
59
Lampiran 5. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada alum (Cl2)
a. Analisis pengaruh antar perlakuan (Cl2) Variabel Dependen: Cl2 Sumber
JK
Perlakuan dosis Perlakuan pH Interaksi Dosis dan pH Blok Error Total
0.001 0.059 0.001 0.003 0.004 1.884
db
KT 2 5 10 1 53 72
F hitung
0.000 0.012 0.000 0.003 8.001E-05
F tabel
6.093 148.355 1.864 41.681
3.174 2.388 2.008 4.024
b. Uji lanjut Duncan (Cl2) Perlakuan dosis Dosis
N
Rata-rata
50 mg/l 40 mg/l 60 mg/l
24 24 24
0.1538 0.1600 0.1625
Subset 1 A
2 B B
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
Perlakuan pH pH
N
Rata-rata
5.5 6 6.5 7 7.5 8
12 12 12 12 12 12
0.1175 0.1292 0.1542 0.1683 0.1850 0.1983
Subset 1 A
2
3
4
5
6
B C D E F
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
60
Lampiran 6. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada PAC (kekeruhan)
a. Analisis pengaruh antar perlakuan (kekeruhan) Variabel Dependen: Kekeruhan Sumber
JK
Perlakuan dosis Perlakuan pH Blok Interaksi Dosis dan pH Error Total
0.397 10.449 0.269 1.001 0.616 355.080
db
KT 2 5 1 10 53 72
F hitung
0.198 2.090 0.269 0.100 0.012
F tabel
17.073 179.779 23.131 8.614
3.174 2.388 4.024 2.008
b. Uji lanjut Duncan (kekeruhan) Perlakuan dosis Dosis
N
Rata-rata
*210 mg/l 150 mg/l 180 mg/l
24 24 24
2.1000 2.1625 2.2792
Subset 2
1 A
3
B C
* Dosis terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
Perlakuan pH pH
N
Rata-rata
*6 6.5 7 7.5 8 8.5
12 12 12 12 12 12
1.5917 1.8417 2.0917 2.3667 2.4917 2.7000
Subset 1 A
2
3
4
5
6
B C D E F
* pH terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
61
Lampiran 7. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada PAC (warna)
a. Analisis pengaruh antar perlakuan (warna) Variabel Dependen: Warna Sumber
JK
Perlakuan dosis Perlakuan pH Blok Interaksi Dosis dan pH Error Total
db
619.694 6341.736 2346.125 56.806 3004.625 493713.000
KT 2 5 1 10 53 72
F hitung
309.847 1268.347 2346.125 5.681 56.691
F tabel
5.466 22.373 41.384 0.100
3.174 2.388 4.024 2.008
b. Uji lanjut Duncan (Warna) Perlakuan dosis Dosis
N
Rata-rata
*210 mg/l 180 mg/l 150 mg/l
24 24 24
78.3333 81.4583 85.5000
Subset 1 A A
2 B B
* Dosis terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
Perlakuan pH pH
N
Rata-rata
*6 6.5 7 7.5 8 8.5
12 12 12 12 12 12
70.0833 73.7500 78.3333 82.7500 86.9167 98.7500
Subset 1 A A
2 B B
3
C C
4
5
D D E
* pH terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
62
Lampiran 8. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada PAC (Cl2)
a. Analisis pengaruh antar perlakuan (Cl2) Variabel Dependen: Cl2 Sumber
JK
Perlakuan dosis Perlakuan pH Blok Interaksi Dosis dan pH Error Total
0.000 0.011 0.183 0.001 0.002 2.455
db
KT 2 5 1 10 53 72
F hitung
0.000 0.002 0.183 5.417E-05 3.420E-05
F tabel
4.752 65.476 5351.538 1.584
3.174 2.388 4.024 2.008
b. Uji lanjut Duncan (Cl2) Perlakuan dosis Dosis
N
Rata-rata
150 mg/l 210 mg/l 180 mg/l
24 24 24
0.1075 0.1100 0.1263
Subset 1 A
2 B B
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
Perlakuan pH pH
N
Rata-rata
6 6.5 7 7.5 8 8.5
12 12 12 12 12 12
0.1558 0.1692 0.1750 0.1808 0.1875 0.1942
Subset 1 A
2
3
4
5
6
B C D E F
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
63
Lampiran 9. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada FeCl3 (kekeruhan)
a. Analisis pengaruh antar perlakuan (kekeruhan) Variabel Dependen: Kekeruhan Sumber
JK
Perlakuan dosis Perlakuan pH Blok Interaksi Dosis dan pH Error Total
35.609 193.571 1.742 86.516 30.188 1947.520
db
KT 2 5 1 10 53 72
F hitung
17.804 38.714 1.742 8.652 0.570
F tabel
31.259 67.970 3.059 15.189
3.174 2.388 4.024 2.008
b. Uji lanjut Duncan (kekeruhan) Perlakuan dosis Dosis
N
Rata-rata
*60 mg/l 50 mg/l 40 mg/l
24 24 24
3.7958 4.8417 5.5042
Subset 2
1 A
3
B C
* Dosis terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
Perlakuan pH pH
N
Rata-rata
*8 7.5 7 6.5 6 5.5
12 12 12 12 12 12
3.3333 3.6917 4.0083 4.1833 4.8333 8.2333
Subset 1 A A
2
3
4
B B B C D
* pH terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
64
Lampiran 10. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada FeCl3 (warna)
a. Analisis pengaruh antar perlakuan (warna) Variabel Dependen: Warna Sumber
JK
Perlakuan dosis Perlakuan pH Blok Interaksi Dosis dan pH Error Total
db
786.778 43014.111 288.000 2180.556 585.000 762860.000
KT 2 5 1 10 53 72
F hitung
393.389 8602.822 288.000 218.056 11.038
F tabel
35.640 779.401 26.092 19.755
3.174 2.388 4.024 2.008
b. Uji lanjut Duncan (Warna) Perlakuan dosis Dosis
N
Rata-rata
*60 mg/l 40 mg/l 50 mg/l
24 24 24
96.7500 98.0833 104.3333
Subset 1 A A
2
B
* Dosis terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
Perlakuan pH pH
N
Rata-rata
*8 7.5 7 6.5 6 5.5
12 12 12 12 12 12
66.7500 73.2500 89.2500 118.0000 122.4167 128.6667
Subset 1 A
2
3
4
5
6
B C D E F
* pH terbaik - Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
65
Lampiran 11. Analisis pengaruh antar perlakuan dan uji lanjut Duncan pada FeCl3 (Cl2)
a. Analisis pengaruh antar perlakuan (Cl2) Variabel Dependen: Cl2 Sumber
JK
Perlakuan dosis Perlakuan pH Blok Interaksi Dosis dan pH Error Total
db
0.005 0.009 1.389E-06 0.001 0.003 0.964
KT 2 5 1 10 53 72
F hitung
0.002 0.002 1.389E-06 9.750E-05 6.177E-05
F tabel
40.273 30.316 0.022 1.579
3.174 2.388 4.024 2.008
b. Uji lanjut Duncan (Cl2) Perlakuan dosis Dosis
N
Rata-rata
50 mg/l 40 mg/l 60 mg/l
24 24 24
0.1075 0.1100 0.1263
Subset 1 A A
2
B
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
Perlakuan pH pH
N
Rata-rata
8 7.5 7 6.5 5.5 6
12 12 12 12 12 12
0.0933 0.1067 0.1167 0.1208 0.1233 0.1267
Subset 1 A
2
3
4
B C C C
D D D
- Huruf yang sama dalam satu kolom subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda tapi dalam satu baris subset tidak berbeda nyata - Huruf yang berbeda pada kolom subset yang berbeda, berbeda nyata
66
Lampiran 12. Hasil analisis proses optimasi penambahan kaporit pada Efluen I
Dosis 5 mg/l pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
pH akhir 5.025 5.33 5.695 6.015 6.335 6.82
Kekeruhan (NTU) 2.15 2.1 2.05 2.05 2.15 2.05
Warna (PtCo) 97 97.5 96 96.5 95 95
Cl2 (mg/l) 0.095 0.095 0.11 0.13 0.15 0.17
Kekeruhan (NTU) 2.05 1.75 1.7 1.65 1.45 1.25
Warna (PtCo) 78.5 78 75.5 75 69 63.5
Cl2 (mg/l) 0.145 0.145 0.155 0.16 0.165 0.205
Kekeruhan (NTU) 1.15 0.975 0.95 0.975 0.975 0.95
Warna (PtCo) 64.5 65.5 62.5 59.5 56 50
Cl2 (mg/l) 0.605 0.7 0.94 0.97 0.985 1.07
Dosis 10 mg/l pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
pH akhir 5.28 5.995 6.26 6.405 6.765 7
Dosis 15 mg/l pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
pH akhir 5.59 6.145 6.37 6.465 6.81 6.805
67
Lampiran 13. Hasil analisis proses optimasi penambahan kaporit pada Efluen II
Dosis 5 mg/l pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
pH akhir 5.1 5.385 5.77 6.065 6.395 6.865
Kekeruhan (NTU) 2 2.05 2.05 2.05 2.15 2.2
Warna (PtCo) 97.5 97 96 96 94.5 95
Cl2 (mg/l) 0.08 0.095 0.11 0.125 0.15 0.175
Kekeruhan (NTU) 1.3 1.25 1.1 1.75 2.15 2.6
Warna (PtCo) 82 84 83 75 70 68.5
Cl2 (mg/l) 0.15 0.145 0.155 0.15 0.16 0.195
Kekeruhan (NTU) 1.1 0.975 1.025 0.975 0.975 0.95
Warna (PtCo) 67 66.5 66 63 59.5 57
Cl2 (mg/l) 0.5 0.665 0.91 0.94 0.985 1.055
Dosis 10 mg/l pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
pH akhir 5.3 5.995 6.305 6.43 6.765 6.685
Dosis 15 mg/l pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
pH akhir 5.6 6.135 6.38 6.46 6.795 6.78
68
Lampiran 14. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian pendahuluan pada Efluen I
a. Koagulan Alum Dosis (mg/l) 40 50 60 80 100 120
pH akhir 6.795 6.545 5.715 5.425 5.305 4.905
Kekeruhan (NTU) 2.85 2.65 2.5 6.95 6.4 5.9
Warna (PtCo) 132 126 126 169.5 161.5 155.5
pH akhir 5.89 5.1 4.315 4.2 4.145 3.725
Kekeruhan (NTU) 7.7 5.25 2.25 2.2 2.15 2.65
Warna (PtCo) 228 192.5 92 88 87 117.5
pH akhir 6.36 6.15 5.53 3.55 2.865 2.625
Kekeruhan (NTU) 3.35 4 3.65 2.8 6.65 22.5
Warna (PtCo) 77.5 88 91.5 88.5 143.5 452
b. Koagulan PAC Dosis (mg/l) 40 100 150 180 210 250
c. Koagulan FeCl3 Dosis (mg/l) 40 50 60 100 150 200
69
Lampiran 15. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian pendahuluan pada Efluen II
a. Koagulan Alum Dosis (mg/l) 40 50 60 80 100 120
pH akhir 6.765 6.64 5.905 5.425 5.31 4.895
Kekeruhan (NTU) 3.1 2.8 2.55 7 6.5 5.95
Warna (PtCo) 133 129 129.5 172 163.5 150
pH akhir 5.88 5.06 4.37 4.195 4.14 3.775
Kekeruhan (NTU) 7.85 5.35 2 2.15 1.8 1.95
Warna (PtCo) 232.5 194.5 80.5 75 74 90
pH akhir 6.435 6.18 5.595 3.565 2.87 2.625
Kekeruhan (NTU) 4.8 4.6 3.65 2.85 6.85 24
Warna (PtCo) 79 88 111.5 118 145 454.5
b. Koagulan PAC Dosis (mg/l) 40 100 150 180 210 250
c. Koagulan FeCl3 Dosis (mg/l) 40 50 60 100 150 200
70
Lampiran 16. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen I
a. Koagulan Alum Dosis 40 mg/l pH pH akhir 5.5 4.635 6 5.895 6.5 6.4 7 6.795 7.5 7.005 8 7.225
Kekeruhan (NTU) 2.25 2.25 2.55 2.85 3.05 3.2
Warna (PtCo) 111.5 124.5 128 132 136 138
Cl2 (mg/l) 0.095 0.115 0.155 0.17 0.185 0.19
Dosis 50 mg/l pH pH akhir 5.5 4.505 6 5.545 6.5 6.2 7 6.545 7.5 6.61 8 6.785
Kekeruhan (NTU) 2.2 2.35 2.5 2.65 2.85 2.9
Warna (PtCo) 97.5 118.5 120.5 126 129.5 130.5
Cl2 (mg/l) 0.115 0.12 0.135 0.14 0.175 0.195
Dosis 60 mg/l pH pH akhir 5.5 3.96 6 5.165 6.5 5.53 7 5.715 7.5 5.905 8 6.185
Kekeruhan (NTU) 2.05 2.25 2.4 2.5 2.55 2.65
Warna (PtCo) 91 99 116.5 126 128 129
Cl2 (mg/l) 0.12 0.13 0.15 0.165 0.18 0.2
Kekeruhan (NTU) 1.75 2.05 2.25 2.45 2.5 2.55
Warna (PtCo) 71.5 76 84 92 101 121
Cl2 (mg/l) 0.205 0.21 0.215 0.22 0.23 0.24
b. Koagulan PAC Dosis 150 mg/l pH pH akhir 6 4.085 6.5 4.24 7 4.315 7.5 4.47 8 4.555 8.5 4.785
71
Lampiran 16. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen I (lanjutan)
Dosis 180 mg/l pH pH akhir 6 4.07 6.5 4.17 7 4.2 7.5 4.345 8 4.38 8.5 4.42
Kekeruhan (NTU) 1.55 1.85 2.2 2.45 2.65 3
Warna (PtCo) 69 74 81.5 88 94 118
Cl2 (mg/l) 0.21 0.225 0.23 0.235 0.24 0.245
Dosis 210 mg/l pH pH akhir 6 3.995 6.5 4.04 7 4.145 7.5 4.165 8 4.195 8.5 4.215
Kekeruhan (NTU) 1.45 1.65 2.15 2.45 2.65 2.75
Warna (PtCo) 64 72.5 79.5 87 91 110.5
Cl2 (mg/l) 0.2 0.225 0.23 0.24 0.245 0.25
Dosis 40 mg/l pH pH akhir 5.5 3.435 6 3.6 6.5 5.55 7 6.36 7.5 6.67 8 6.705
Kekeruhan (NTU) 11.5 5.7 3.55 3.35 3.85 3.05
Warna (PtCo) 128.5 118.5 111 77.5 72 68
Cl2 (mg/l) 0.12 0.125 0.11 0.11 0.1 0.095
Dosis 50 mg/l pH pH akhir 5.5 3.155 6 3.73 6.5 4.915 7 6.15 7.5 6.34 8 6.455
Kekeruhan (NTU) 8.5 5.25 4.6 4 3.4 3
Warna (PtCo) 127 128 125 88 82.5 70.5
Cl2 (mg/l) 0.12 0.115 0.115 0.115 0.1 0.08
c. Koagulan FeCl3
72
Lampiran 16. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen I (lanjutan)
Dosis 60 mg/l pH pH akhir 5.5 3.145 6 3.32 6.5 3.67 7 5.53 7.5 6.36 8 6.275
Kekeruhan (NTU) 4.5 4.15 4 3.65 3.25 2.75
Warna (PtCo) 122.5 116 114 91.5 60.5 58
Cl2 (mg/l) 0.14 0.135 0.135 0.125 0.12 0.105
73
Lampiran 17. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen II
a. Koagulan Alum Dosis 40 mg/l pH pH akhir 5.5 4.64 6 6.05 6.5 6.44 7 6.765 7.5 6.95 8 7.33
Kekeruhan (NTU) 2.2 2.35 2.55 3.1 3.25 3.35
Warna (PtCo) 114.5 130 131.5 133 136 141.5
Dosis 50 mg/l pH pH akhir 5.5 4.58 6 5.58 6.5 6.47 7 6.64 7.5 6.76 8 6.88
Kekeruhan (NTU) 2.15 2.45 2.65 2.8 2.9 2.95
Warna (PtCo) 104.5 119.5 125 129 130 130.5
Dosis 60 mg/l pH pH akhir 5.5 4.42 6 5.205 6.5 5.765 7 5.905 7.5 6.145 8 6.335
Kekeruhan (NTU) 2.1 2.3 2.6 2.55 2.6 2.7
Warna (PtCo) 104.5 117.5 123 129.5 130.5 133
Cl2 (mg/l) 0.13 0.135 0.155 0.18 0.195 0.21
Kekeruhan (NTU) 1.8 1.9 2 2.15 2.2 2.35
Warna (PtCo) 76 77.5 79 80.5 82.5 85
Cl2 (mg/l) 0.105 0.12 0.125 0.13 0.14 0.15
Cl2 (mg/l) 0.125 0.14 0.165 0.185 0.195 0.2
Cl2 (mg/l) 0.12 0.135 0.165 0.17 0.18 0.195
b. Koagulan PAC Dosis 150 mg/l pH pH akhir 6 4.085 6.5 4.24 7 4.37 7.5 4.465 8 4.545 8.5 4.755
74
Lampiran 17. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen II (lanjutan)
Dosis 180 mg/l pH pH akhir 6 4.085 6.5 4.18 7 4.195 7.5 4.32 8 4.36 8.5 4.45
Kekeruhan (NTU) 1.6 2.05 2.15 2.35 2.55 2.95
Warna (PtCo) 72.5 73 73.5 75 77.5 81.5
Cl2 (mg/l) 0.115 0.12 0.125 0.13 0.135 0.14
Dosis 210 mg/l pH pH akhir 6 3.99 6.5 4.06 7 4.14 7.5 4.195 8 4.215 8.5 4.24
Kekeruhan (NTU) 1.4 1.55 1.8 2.35 2.4 2.6
Warna (PtCo) 67.5 69.5 72.5 74 75.5 76.5
Cl2 (mg/l) 0.1 0.115 0.125 0.13 0.135 0.14
Dosis 40 mg/l pH pH akhir 5.5 3.48 6 3.53 6.5 5.895 7 6.435 7.5 6.685 8 6.715
Kekeruhan (NTU) 12 6.7 3.9 4.8 3.9 3.75
Warna (PtCo) 134 123.5 115.5 79 79 70.5
Cl2 (mg/l) 0.12 0.12 0.11 0.11 0.105 0.095
Dosis 50 mg/l pH pH akhir 5.5 3.18 6 3.775 6.5 4.965 7 6.18 7.5 6.39 8 6.495
Kekeruhan (NTU) 8.4 3.8 5.2 4.6 3.95 3.4
Warna (PtCo) 133.5 130 125 88 82 72.5
Cl2 (mg/l) 0.115 0.125 0.12 0.115 0.095 0.075
c. Koagulan FeCl3
75
Lampiran 17. Hasil analisis koagulasi – flokulasi penelitian utama pada Efluen II (lanjutan)
Dosis 60 mg/l pH pH akhir 5.5 3.15 6 3.355 6.5 3.7 7 5.595 7.5 6.36 8 6.32
Kekeruhan (NTU) 4.5 3.4 3.85 3.65 3.8 4.05
Warna (PtCo) 126.5 118.5 117.5 111.5 63.5 61
Cl2 (mg/l) 0.125 0.14 0.135 0.125 0.12 0.11
76
Lampiran 18. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen I
a. Koagulan Alum Kekeruhan pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
Dosis 40 mg/l 82.00% 82.00% 79.60% 77.20% 75.60% 74.40%
Dosis 50 mg/l 82.40% 81.20% 80.00% 78.80% 77.20% 76.80%
Dosis 60 mg/l 83.60% 82.00% 80.80% 80.00% 79.60% 78.80%
Dosis 40 mg/l 41.78% 34.99% 33.16% 31.07% 28.98% 27.94%
Dosis 50 mg/l 49.09% 38.12% 37.08% 34.20% 32.38% 31.85%
Dosis 60 mg/l 52.48% 48.30% 39.16% 34.20% 33.16% 32.64%
Dosis 40 mg/l 26.92% 11.54% -19.23% -30.77% -42.31% -46.15%
Dosis 50 mg/l 11.54% 7.69% -3.85% -7.69% -34.62% -50.00%
Dosis 60 mg/l 7.69% 0.00% -15.38% -26.92% -38.46% -53.85%
Warna pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
Cl2 pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
b. Koagulan PAC Kekeruhan pH 6 6.5 7 7.5 8 8.5
Dosis 150 mg/l 86.00% 83.60% 82.00% 80.40% 80.00% 79.60%
Dosis 180 mg/l 87.60% 85.20% 82.40% 80.40% 78.80% 76.00%
Dosis 210 mg/l 88.40% 86.80% 82.80% 80.40% 78.80% 78.00%
77
Lampiran 18. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen I (lanjutan)
Warna pH 6 6.5 7 7.5 8 8.5
Dosis 150 mg/l 62.66% 60.31% 56.14% 51.96% 47.26% 36.81%
Dosis 180 mg/l 63.97% 61.36% 57.44% 54.05% 50.91% 38.38%
Dosis 210 mg/l 66.58% 62.14% 58.49% 54.57% 52.48% 42.30%
Dosis 150 mg/l -57.69% -61.54% -65.38% -69.23% -76.92% -84.62%
Dosis 180 mg/l -61.54% -73.08% -76.92% -80.77% -84.62% -88.46%
Dosis 210 mg/l -53.85% -73.08% -76.92% -84.62% -88.46% -92.31%
Cl2 pH 6 6.5 7 7.5 8 8.5
c. Koagulan FeCl3 Kekeruhan pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
Dosis 40 mg/l 8.00% 54.40% 71.60% 73.20% 69.20% 75.60%
Dosis 50 mg/l 32.00% 58.00% 63.20% 68.00% 72.80% 76.00%
Dosis 60 mg/l 64.00% 66.80% 68.00% 70.80% 74.00% 78.00%
Dosis 40 mg/l 32.90% 38.12% 42.04% 59.53% 62.40% 64.49%
Dosis 50 mg/l 33.68% 33.16% 34.73% 54.05% 56.92% 63.19%
Dosis 60 mg/l 36.03% 39.43% 40.47% 52.22% 68.41% 69.71%
Dosis 40 mg/l 7.69% 3.85% 15.38% 15.38% 23.08% 26.92%
Dosis 50 mg/l 7.69% 11.54% 11.54% 11.54% 23.08% 38.46%
Dosis 60 mg/l -7.69% -3.85% -3.85% 3.85% 7.69% 19.23%
Warna pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
Cl2 pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
78
Lampiran 18. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen I (lanjutan)
d. Kaporit Kekeruhan pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
Dosis 5 mg/l 82.80% 83.20% 83.60% 83.60% 82.80% 83.60%
Dosis 10 mg/l 83.60% 86.00% 86.40% 86.80% 88.40% 90.00%
Dosis 15 mg/l 90.80% 92.20% 92.40% 92.20% 92.20% 92.40%
Dosis 5 mg/l 49.35% 49.09% 49.87% 49.61% 50.39% 50.39%
Dosis 10 mg/l 59.01% 59.27% 60.57% 60.84% 63.97% 66.84%
Dosis 15 mg/l 66.32% 65.80% 67.36% 68.93% 70.76% 73.89%
Dosis 5 mg/l 26.92% 26.92% 15.38% 0.00% -15.38% -30.77%
Dosis 10 mg/l -11.54% -11.54% -19.23% -23.08% -26.92% -57.69%
Dosis 15 mg/l -365.38% -438.46% -623.08% -646.15% -657.69% -723.08%
Warna pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
Cl2 pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
79
Lampiran 19. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen II
a. Koagulan Alum Kekeruhan pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
Dosis 40 mg/l 80.00% 78.64% 76.82% 71.82% 70.45% 69.55%
Dosis 50 mg/l 80.45% 77.73% 75.91% 74.55% 73.64% 73.18%
Dosis 60 mg/l 80.91% 79.09% 76.36% 76.82% 76.36% 75.45%
Dosis 40 mg/l 38.61% 30.29% 29.49% 28.69% 27.08% 24.13%
Dosis 50 mg/l 43.97% 35.92% 32.98% 30.83% 30.29% 30.03%
Dosis 60 mg/l 43.97% 37.00% 34.05% 30.56% 30.03% 28.69%
Dosis 40 mg/l 10.71% 0.00% -17.86% -32.14% -39.29% -42.86%
Dosis 50 mg/l 14.29% 3.57% -17.86% -21.43% -28.57% -39.29%
Dosis 60 mg/l 7.14% 3.57% -10.71% -28.57% -39.29% -50.00%
Warna pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
Cl2 pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
b. Koagulan PAC Kekeruhan pH 6 6.5 7 7.5 8 8.5
Dosis 150 mg/l 83.64% 82.73% 81.82% 80.45% 80.00% 78.64%
Dosis 180 mg/l 85.45% 81.36% 80.45% 78.64% 76.82% 73.18%
Dosis 210 mg/l 87.27% 85.91% 83.64% 78.64% 78.18% 76.36%
80
Lampiran 19. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen II (lanjutan)
Warna pH 6 6.5 7 7.5 8 8.5
Dosis 150 mg/l 59.25% 58.45% 57.64% 56.84% 55.76% 54.42%
Dosis 180 mg/l 61.13% 60.86% 60.59% 59.79% 58.45% 56.30%
Dosis 210 mg/l 63.81% 62.73% 61.13% 60.32% 59.52% 58.98%
Dosis 150 mg/l 25.00% 14.29% 10.71% 7.14% 0.00% -7.14%
Dosis 180 mg/l 17.86% 14.29% 10.71% 7.14% 3.57% 0.00%
Dosis 210 mg/l 28.57% 17.86% 10.71% 7.14% 3.57% 0.00%
Cl2 pH 6 6.5 7 7.5 8 8.5
c. Koagulan FeCl3 Kekeruhan pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
Dosis 40 mg/l -9.09% 39.09% 64.55% 56.36% 64.55% 65.91%
Dosis 50 mg/l 23.64% 65.45% 52.73% 58.18% 64.09% 69.09%
Dosis 60 mg/l 59.09% 69.09% 65.00% 66.82% 65.45% 63.18%
Dosis 40 mg/l 28.15% 33.78% 38.07% 57.64% 57.64% 62.20%
Dosis 50 mg/l 28.42% 30.29% 32.98% 52.82% 56.03% 61.13%
Dosis 60 mg/l 32.17% 36.46% 37.00% 40.21% 65.95% 67.29%
Dosis 40 mg/l 14.29% 14.29% 21.43% 21.43% 25.00% 32.14%
Dosis 50 mg/l 17.86% 10.71% 14.29% 17.86% 32.14% 46.43%
Dosis 60 mg/l 10.71% 0.00% 3.57% 10.71% 14.29% 21.43%
Warna pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
Cl2 pH 5.5 6 6.5 7 7.5 8
81
Lampiran 19. Hasil analisis persen penurunan parameter Efluen II (lanjutan)
d. Kaporit Kekeruhan pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
Dosis 5 mg/l 81.82% 81.36% 81.36% 81.36% 80.45% 80.00%
Dosis 10 mg/l 88.18% 88.64% 90.00% 84.09% 80.45% 76.36%
Dosis 15 mg/l 90.00% 91.14% 90.68% 91.14% 91.14% 91.36%
Dosis 5 mg/l 47.72% 47.99% 48.53% 48.53% 49.33% 49.06%
Dosis 10 mg/l 56.03% 54.96% 55.50% 59.79% 62.47% 63.27%
Dosis 15 mg/l 64.08% 64.34% 64.61% 66.22% 68.10% 69.44%
Dosis 5 mg/l 42.86% 32.14% 21.43% 10.71% -7.14% -25.00%
Dosis 10 mg/l -7.14% -3.57% -10.71% -7.14% -14.29% -39.29%
Dosis 15 mg/l -257.14% -375.00% -550.00% -571.43% -603.57% -653.57%
Warna pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
Cl2 pH 4 4.5 5 5.5 6 6.5
82
Lampiran 20. Baku Mutu Perairan Berdasarkan Kelas, PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Udara No.
Parameter
Satuan
Kelas I
II
III
IV
Keterangan
I. FISIKA 1
Temperatur
2 3
Residu Terlarut Residu Tersuspensi
II. KIMIA ORGANIK 4 Ph 5 BOD 6 COD 7 DO 8 Total Fosfat sebagai P 9 NO3-N 10 NH3-N
O
C
Deviasi 3
Deviasi 3
Deviasi 3
Deviasi 3
mg/l mg/l
1000 50
1000 50
1000 400
2000 400
6-9 2 10 6
6-9 3 25 4
6-9 6 50 3
5-9 12 100 0
mg/l mg/l mg/l mg/l
0.2
0.2
1
5
mg/l mg/l
10 0.5
10 (-)
20 (-)
20 (-)
11 12 13 14 15 16 17 18
Arsen Kobalt Barium Boron Selenium Kadmium Khrom (VI) Tembaga
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0.05 0.2 1 1 0.01 0.01 0.05 0.02
1 0.2 (-) 1 0.05 0.01 0.05 0.02
1 0.2 (-) 1 0.05 0.01 0.05 0.02
1 0.2 (-) 1 0.05 0.01 0.05 0.2
19
Besi
mg/l
0.3
(-)
(-)
(-)
20
Timbal
mg/l
0.03
0.03
0.03
1
21 22 23
Mangan Air Raksa Seng
mg/l mg/l mg/l
0.1 0.001 0.05
(-) 0.002 0.05
(-) 0.002 0.05
(-) 0.05 2
24 25 26 27
Klorida Sianida Fluorida Nitrit-N
mg/l mg/l mg/l mg/l
600 0.02 0.5 0.06
(-) 0.02 1.5 0.06
(-) 0.02 1.5 0.06
(-) (-) (-) (-)
28 29 30
Sulfat Khlorin Bebas Belerang sebagai
mg/l mg/l mg/l
400 0.03 0.002
(-) 0.03 0.002
(-) 0.03 0.002
(-) (-) (-)
Deviasi Temperatur dari keadaan alamiahnya Bagi Pengolahan air minum secara konvensional, residu tersuspensi ≤ 5000 mg/l
Bagi perikanan kandungan ammonia bebas untuk ikan yang peka ≤ 0.02 mg/l sebagai NH3-N
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Cu ≤ 1 mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe ≤ 5 mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb ≤ 0.1 mg/l
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Zn ≤ 5 mg/l
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2N ≤ mg/l
Bagi pengolahan air
83
H2S
III. MIKROBIOLOGI 31 Fecal Coliform 32
Total Coliform
IV. RADIOAKTIFITAS 33 Gross-A 34 Gross-B V. KIMIA ORGANIK 35 Minyak dan Lemak 36 Detergen sebagai MBAS 37 Senyawa Fenol sebagai Fenol 38 BHC 39 Aldrin/Dieldrin 40 Chlordane 41 DDT 42 Heptachlor dan heptachlor epoxide 43 Lindane 44 Methoxyclor 45 Endrin 46 Toxaphan
minum secara konvensional, H2S ≤ 0.1 mg/l Jml/100 ml Jml/100 ml
100
1000
2000
2000
1000
5000
10000
10000
Bg/l Bg/l
0.1 1
0.1 1
0.1 1
0.1 1
µg/l µg/l
1000 200
1000 200
1000 200
(-) (-)
µg/l
1
1
1
(-)
µg/l µg/l µg/l µg/l µg/l
210 17 3 2 18
210 (-) (-) 2 (-)
210 (-) (-) 2 (-)
(-) (-) (-) 2 (-)
µg/l µg/l µg/l µg/l
56 35 1 5
(-) (-) 4 (-)
(-) (-) 4 (-)
(-) (-) (-) (-)
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fecal Coliform ≤ 2000 jml/100 ml, Total Coliform ≤ 10000 jml/100 ml
84