PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
PROSEDUR HUKUM ATAS KETERLAMBATAN PESAWAT UDARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PERNERBANGAN (Studi Kasus pada Maskapai Lion Air di Bandara Hang Nadim Batam)
Ahars Sulaiman Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang jarak tempuh dari satu pulau ke pulau lainnya sangat jauh. Moda transportasi udara merupakan andalan untuk mencapai pulau-pulau itu, dan bagi pebisnis, moda transportasi udara menjadi andalan karena dianggap cepat, efisien, dan tepat. Penggunaan moda transportasi udara tidak hanya pebisnis, tapi warga masyarakat umum pun banyak pula yang menggunakan angkuta udara, apalagi menjelang hari-hari besar Islam, Hari Natal, dan hari libur anak sekolah. Sayangnya, operator angkutan udara seperti Lion Air yang menguasai 40 persen penerbangan di Indonesia sering terlambat (delay) di keberangkatan dan kedatangan di sebuah Bandara. Namun pihak Lion Air abai terhadap keluhan calon penumpang yang menunggu berjam-jam lamanya, ditambah tidak ada informasi soal keterlabatan itu, mengabaikan apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan penerbangan, bahkan ganti rugi seperti diamanatkan Undang-Undang Angkutan Udara diabaikan meski calon penumpang diterlantarkan hingga lebih dari tiga jam. Seyogyanya, pemerintah sebagai regulator harus menerapkan sanksi kepada operator penerbangan yang lalai berakibat kerugian bagi orang lain, sebab diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan KUHPerdata Pasal 1365. Kata kunci : Lion Air, Angkutan Udara
A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara Kepulauan. Jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.504 pulau.1. Indonesia terletak pada posisi geografis yang strategis, diantara dan sepanjang jalur utama dari India ke Pasifik, dan menjembatani dua benua, Asia dan Australia. Wilayah kedaulatan Indonesia membentang dari 6°08' Lintang Utara sampai 11°15' Lintang Selatan, dan dari 94°45' hingga 141°05' Bujur Timur.2 Karena luasnya wilayah Indonesia itu, maka untuk menjangkau pulau satu ke pulau yang lain diperlukan sarana transportasi darat, laut dan udara. Sarana transportasi darat untuk mengangkut barang dan orang di satu pulau, atau pulau lain yang dibubungkan jembatan, artinya terbatas di wilayah daratan, dan sarana transportasi laut dapat mengangkut barang dan 1
EttyR. Agoes, Wilayah dan Yuridiksi Negara di Laut Menurut UNCLOS 1982, Pada Lokakarya di Markas Besar TNI.Al. Batam, 23 Juni 2013. 2 ibid
163
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
orang dari satu pulau ke pulau yang lain. Kedua moda transportasi tersebut tergolong lambat, kurang efisien. Namun tetap menjadi andalan karena untuk menjangkan ribuan pulau-pulau di Indonesia yang memerlukan sarana transportasi agar dapat menjangkau warga masyarakat yang tersebar di belasan ribu pulau di tanah air, sehingga pemerataan baik pasokan barang, maupun pembangunan di berbagai sektor. Untuk mencapai satu wilayah atau pulau-pulau besar seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Papua, Kalimantan dan pulau lainnya, tak ada yang paling unggul selain moda transportasi udara dengan menggunakan pesawat terbang. Ditinjau dari kecepatan dan efisiensi waktu, maka moda transportasi udara merupakan pilihan paling tepat, apalagi bila dikaitkan dengan kegiatan usaha/bisnis. Bagi pebisnis, kecepatan dan ketepatan waktu menjadi perhitungan tersendiri untuk mengetahui untung-rugi usahanya. Oleh sebab itu, sarana tranportasi udara kian populer di tanah air. Barang dagangan yang terlalu lama diperjalanan, selain resiko kerusakan, juga dapat menghilangkan pelanggan karena beralih ke penjual yang lain. Bagi pengguna jasa transportasi udara yang tidak ada hubungan bisnis, tetap menginginkan cepat tiba di tujuan. Apalagi bila dikaitkan dengan masa cuti bagi pekerja yang singkat, maka tentu saja waktu itu menjadi perhitungan, atau ada keluarga yang mendapat musibah di kampung halaman dan diminta segera pulang, tentu harus menggunakan moda transportasi yang cepat, tepat dan efisien dalam soal waktu. Maka tak ada pilihan lain kecuali menggunakan pesawat udara. Namun belum semua daerah yang memiliki landasan pacu untuk landing dan take off pesawat udara, maka transportasi darat atau laut menjadi pilihan alternatif.
Untuk
membangun landasan pacu pesawat udara tidak mudah, dan memerlukan berbagai kebutuhan seperti lahan yang cukup, dan layak dijadikan landasan pacu, dan yang tak penting menyangkut keekonomian. Yang dimaksud keekonomian itu adalah apakah bandara yang dibangun bakal banyak disinggahi pesawat atau tidak. Sebab pesawat akan singgah apabila dari study feasibility mampu memenuhi load factor, mengingat biaya yang dikeluarkan pihak maskapai penerbangan itu mahal. Bila tidak dapat memenuhi load factor (muatan) maka dipastikan merugi. Maka di wilayah Indonesia keberadaan Bandara itu masih terbatas di daerah yang berpenduduk banyak dan tingkat pertumbuhan ekonomi juga tinggi.
164
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Oleh sebab itu pihak masakapai penerbangan menilai dari segi keekonomian tadi. belum mampu memenuhi load factor sesuai dengan standar pelayanan, sebab pihak operator harus menghitung untung-rugi dalam menentukan jalur penerbangan, mengingat sebuah pesawat itu berbiaya tinggi. Tak heran bila operator penerbangan memilih daerah tertentu untuk disinggahi dan/atau tidak disinggahi agar tidak merugi. Batam sebagai daerah industri dinilai berpotensi untuk disinggahi, karena diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berdasarkan data pihak Bank Indonesia Cabang Kepulauan Riau, tingkat pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Riau pada triwulan III-2014 tumbuh menguat 6,89 (enam koma delapan puluh Sembilan) persen (yoy) , angka pertumbuhan ekonomi diatas pertumbuhan nasional yang tercatat 5,72 (lima koma tujuh puluh dua) persen (yoy). Total impor barang modal senilai 424,91( empat ratus dua puluh empat koma Sembilan puluh satu) juta dolar Amerika, tumbuh sebesar 14,53 (empat belas koma lima puluh tiga) persen 3. Dilihat dari pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau umumnya, dan Batam khususnya maka mengindikasikan bahwa transaksi para pebisnis cukup tinggi yang tentu saja memerlukan komunikasi efektif sesama pebisnis diantaranya pertemuan tatap muka, rapatrapat dan lain-lain. Untuk mewujudkan terjalinnya komunikasi yang baik diperlukan sarana transportasi yang baik pula bila pertemuan atau rapat di daerah lain. Maka moda transportasi yang cepat adalah angkutan udara. Penduduk Batam yang pada tahun 1970 sebanyak 7.000 (tujuh ribu) orang, menjadi 2,1 (dua koma satu juta) jiwa pada tahun 20124. Pertumbuhan penduduk yang cepat ini terkait dengan kegiatan Industri di daerah ini. Selain itu jumlah pekerja yang terserap sebanyak 336,562 (tiga ratus tiga puluh enam ribu lima ratus enam puluh dua) orang, dan dari jumlah itu 5,9705 (lima ribu sembilan ratus tujuh puluh) orang adalah tenaga kerja asing. Maka moda trasmportasi udara menjadi andalan penduduk Batam yang homogen itu. Menjelang hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri, Natal, serta menjelang tahun baru, maka jumlah penumpang meningkat. Berdasarkan data Badan Pengusahaan Batam yang selanjutnya disingkat BP-Batam pada 2012 jumlah penumpang yang menggunakan jasa
3
Bank Indonesia Cabang Kepulauan Riau. Paparan Kajian Ekonomi Regional TWIII-2014 Nomor 16/18/DKOM/Batam 4 Batam Indonesia Free Trade Zone Authority, Development Progress of Batam, Batam: BP-Batam, 2013 hlm.8 5 Ibid
165
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
transportasi udara di Bandara Internasional Hang Nadim Batam sebanyak 3,8 (tiga koma delapan) juta orang dengan 84 (delapan puluh empat) penerbangan per hari.6 Tahun 2013 jumlah penumpang mencapai 4,1(empat koma satu) juta penumpang dengan 104 (seratus empat) penerbangan regular per hari. Kehadiran operator penerbangan seperti Garuda Indonesia, Lion Air, Sky Aviation, Wing Air, Sriwijaya Air, Pacific Royale Airways, Fireply, Citilink menjadikan Bandara Hang Nadim yang landasan pacu (run way ) sepanjang 4.025 meter x 45 meter itu menampung 84 penerbangan setiap hari dari dan ke Batam. Landasan pacu tersebut mampu menampung pesawat berbadan lebar seperti Boeing 747 dan A-380.Sedangkan kapasitas apron B-747 sebanyak 7 (tujuh) buah, DC sebanyak 3 (tiga) buah, dan F-27 sebanyak 3 (tiga) buah.7 Namun keterlambatan kedatangan dan keberangkatan pesawat menjadi kendala yang mendasar, karena diantara penumpang itu tidak hanya pulang ke kampung halaman mereka, tapi ada juga sebagian orang bepergian dalam kaitan bisnis. Ketidak-tepatan waktu akan berdampak negatif bagi pebisnis, karena menyangkut kredibilitas.
Jadi kedatangan dan
keberangkan tidak tepat waktu yang disebut delay merugikan pebisnis tersebut. Menggunakan pesawat udara selain ingin cepat sampai di tujuan, juga merupakan prestise, sebab bagi pebisnis
prestise sangat penting untuk menumbuh-kembangkan
kepercayaan mitra usahanya. Dalam dunia usaha, menggelar rapat, menandatangni kontrak dan lain-lain memerlukan komitmen, karena kegagalan menghadiri rapat akibat terlambat tiba di tempat tujuan akan merugikan, karena dapat menghilangkan kesempatan menjalankan roda usahanya seperti bernegosiasi, rapat-rapat, dan/atau penandatanganan kontrak kerja dan lainlain. Pada saat ini Lion Air tercatat mendominasi sekitar 35 persen penerbangan dari Hang Nadim dan diikuti oleh Citilink sebesar 20 persen, lalu Garuda sebesar 15 persen dan sisanya diisi oleh maskapai Sriwijaya Air, Wings Air, Malindo Air dan Firefly. Kehadiran Bandara Hang Nadim ini dinilai sangat strategis bagi Batam terutama dari sisi transportasi yang diharapkan dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Batam.8 6
Suryanto,http://www.antaranews.com/berita/453687/kapasitas-hang-nadim-akan-menjadi-16-juta-penumpangKapasitasHangNadimakanmenjadi16jutapenumpang- diakses : Hari Rabu, 17 Desember 2014 Pukul 14.45 WIB 7 Majalah Hangnadimagz, Sekeping Surga Bernama Penjalin, Vol.1, Agustus 2014,hlm.40-47 8 http://beritadaerah.co.id/2014/09/16/bandara-hang-nadim-akan-tingkatkan-kapasitas-penumpang/-diakses hari: Rabu, 17 Desember 2014 pukul 13.50 WIB
166
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Masalah keterlambatan jadwal penerbangan adalah masalah yang memerlukan penanganan yang serius. Hal ini dikarenakan bahwa dalam perusahaan penerbangan masingmasing kegiatan merupakan suatu kesatuan mata rantai yang berintegrasi, dimana apabila satu unit kerja tidak bekerja dengan baik maka akan mempengaruhi pelayanan operasi penerbangan secara keseluruhan. Bila terjadi keterlambatan penerbangan, itu berarti tidak hanya menimbulkan kerugian bagi perusahaan penerbangan yang bersangkutan, tetapi juga bagi penumpang karena kehilangan nilai waktu. Jumlah penumpang domestik Bandar Udara Internasional Hang Nadim Batam dilihat dari persentase, maka pada semester pertama 2014 tumbuh 13,39 (tiga belas koma tiga puluh sembilan) persen, dan lalu lintas penerbangan di bandara itu meningkat 8,02 (delapan koma nol dua) persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013. Pergerakan penumpang sebesar 13,39 (tiga belas koma tiga puluh sembilan) persen tersebut dihitung dari jumlah penumpang pada semester pertama 2013 sebanyak 1.990.801(satu juta sembilan ratus sembilan puluh ribu delapan ratus satu) orang, naik menjadi 267.000 (dua ratus enam puluh tujuh ribu) penumpang pada semester pertama 2014 menjadi 2.257.801(dua juta dua ratus lima puluh tujuh ribu delapan ratus satu) orang. Sementara total penerbangan domestik pada semester pertama 2013 ada 16.531(enam belas ribu lima ratus tiga puluh satu) kali, selanjutnya semester pertama 2014 menjadi 17.973 (tujuh belas ribu sembilan ratus tujuh puluh tiga) kali penerbangan atau naik 1.442 (seribu empat ratus empat puluh dua) kali penerbangan. Untuk penerbangan internasional, justru terjadi penurunan sebanyak 12 (dua belas) penerbangan, semula 988 (sembilan ratus delapan puluh delapan) penerbangan pada semester pertama 2013 menjadi 976 (sembilan ratus tujuh puluh enam) penerbangan pada semester pertama 2014.9 Sebenarnya ada aturan yang menyebut bahwa bila pesawat tertunda keberangkatannya ditimbulkan oleh kebijakan operator penerbangan, maka wajib membayar ganti rugi kepada calon penumpang, seperti menyediakan makan, bahkan bila penerbangan ditunda ke esokan harinya, calon penumpang wajib mendapat kompensasi tempat menginap, dan angkutan dari dan ke Bandara. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Di Pasal 146 disebutkan bahwa :
9
http://beritatrans.com/2014/07/23/penumpang-hang-nadim-tumbuh-1339-persen/- di akses hari Minggu, 02 Nopember 2014 pukul 16.00 WIB
167
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
“Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional”
Persentase angkutan udara niaga yang paling banyak mengisi jalur dari dan ke Batam adalah operator Lion Air. Tapi yang sering terlambat/delay baik kedatangan maupun keberangkatan adalah Lion Air. Kebijakan yang diterapkan pihak Lion Air kurang memberi arti penting dalam hal kemanusiaan. Contohnya, calon penumpang diminta masuk ke pesawat, ternyata menunggu take-off
hingga enam puluh menit lamanya, sementara alat
pendingin (air condition) tidak bekerja normal, sehingga para calon penumpang kepanasan. Selain itu beragam keperluan harus dilakukan di tempat tujuan menjadi tertunda, akibat keberangkatan dan kedatangan tidak tepat waktu. Ini menggambarkan belum siapnya operator Lion Air menghadapi persaingan global dalam hal penerbangan di tanah air. Artinya Lion Air belum mampu memberikan pelayanan berkualitas kepada penumpangnya, bahkan mengabaikan peraturan perundang-undangan khususnya bidang penerbangan. Kementarian Perhubungan menyebutkan bahwa pihak Badan Usaha Penerbangan wajib membayar kompensasi kepada calon penumpang bila terjadi keterambatan keberangkatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan di luar negeri tidak dikenal keterlambatan/delay itu.10 Di luar negeri bila ada penerbangan yang terlambat, maka yang dilakukan maskapai adalah memberi fasilitas akomodasi atau penginapan dan mengganti jadwal penerbangan, bukan membayar tunai. Selain itu, Maskapai-maskapai penerbangan di luar negeri memiliki aturan tersendiri, itu artinya tidak ada aturan dari pemerintahnya
terhadap ketentuan
keterlambatan penerbangan.11 Ketepatan waktu penerbangan saat keberangkatan maupun kedatangan merupakan salah satu aspek penting sebagai salah satu bentuk pelayanan yang diberikan maskapai penerbangan terhadap penumpang selain keselamatan dan kenyaman. Hal ini menjadi
10
Pendapat Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan yang dirilis Portal TEMPO Online, Sabtu, 19 Oktober 2013-diakses Hari: Minggu, 11 Januari 2015, Pukul: 06.45 WIB. 11 http://www.tempo.co/read/news/2013/10/19/092522956/Pesawat-Delay-IniKetentuan-Gantirugi Penumpang. diakses hari Minggu, 30 November 2014 Pukul 10.00 WIB.
168
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
masalah serius karena merupakan tanggung jawab maskapai penerbangan untuk melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin. Kebijakan yang baik itu harus mencerminkan win-win solution ( solusi saling menguntung) antara pengguna jasa penerbangan (penumpang) dan pihak maskapai penerbangan. Dikatakan saling menguntungkan karena ketepatan waktu penerbangan maupun kedatangan agar para pihak itu sama-sama menikmati keuntungan satu sama lain sesuai dengan apa yang telah dikeluarkan penumpang berupa pembayaran harga tiket, dan operator transportasi menyediakan pesawat. Artinya hukum yang dibuat terkait moda trasnportasi udara tidak berisikan PasalPasal yang dapat menimbulkan kerugian satu pihak yang dalam hal ini adalah penumpang. Sebab bila calon penumpang terlambat check-in selama 15 menit, maka pihak penerbangan biasanya tidak ada konklusi kecuali menganggap calon penumpang yang bersalah, padahal tak jarang setelah penumpang berada di dalam pesawat menunggu hingga enam puluh, namun pesawat belum berangkat. Ini menggambarkan akal-akal pihak penerbangan agar terhindar dari pelangggaran akibat delay. Di Indonesia, ketentuan mengenai tanggung jawab maskapai termaktub dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara. Pasal 2 huruf e yang berbunyi : “Maskapai wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap keterlambatan angkutan udara. Sementara itu Pasal 9 menjelaskan, keterlambatan angkutan udara mencakup keterlambatan penerbangan atau flight delayed, tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat atau denied boarding passenger, serta pembatalan penerbangan atau cancelation of flight.12 “Keterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari,
keterlambatan penerbangan (flight delayed), tidak terangkutnya
penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passanger) dan pembatalan penerbangan (cancellation of flight)”13
12
http://irmadevita.com/2011/bosan-dan-jengkel-karena-pesawat-anda-delay-sekilas-tentang-permenhub-nopm-77-tahun-2011/ Diakses hari Minggu, 30 November 2014 Pukul 10.30 WIB 13 Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
169
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Menelantarkan penumpang berada diatas pesawat, sementara pesawat tidak terbang, merupakan tindakan yang melanggar hukum, dan menghilangkan hak penumpang dari rasa aman dan kenyamanan dalam pesawat akibat bekerjanya alat pendingin di pesawat, serta dikhawatirkan ada orang masuk ke pesawat tanpa pemeriksaan petugas yang membawa alatalat yang dapat melakukan tindakan merugikan penumpang termasuk kru pesawat seperti perampokan, ancaman peledakan pesawat, dan/atau bentuk penyanderaan baik bertujuan uang tebusan, atau tujuan politik. Intinya dikategorikan melanggar Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Program Keamanan dan Kenyamanan Penerbangan Nasional, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Pasal 10 menyebutkan jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a ditetapkan sebagai berikut:14 a. keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang; b. diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara c. dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli. Pasal 11 menyebutkan: Terhadap tidak terangkutnya penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian berupa: a. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau b. memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.
14
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Udara Pasal 9 huruf a
Pengangkut Angkutan
170
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Keterlambatan keberangkatan dan kedatangan maskapai penerbangan Lion Air kerap terjadi, dan menjadi trend di tengah masyarakat, bahwa Lion Air maskapai penerbangan kurang dipercaya untuk ketepatan waktu, meski moda transportasi udara yang bebas hambatan. Pasal 14 Permenhub Nomor
PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab
15
Pengangkut Angkutan Udara berbunyi :
“Jumlah ganti kerugian untuk pihak ketiga yang meninggal dunia, cacat tetap, luka-Iuka dan kerugian harta benda sebagai akibat dari peristiwa pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda dari pesawat udara yang dioperasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f ditetapkan sebagai berikut: a. meninggal dunia diberikan ganti rugi sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per orang; b. pihak ketiga yang mengalami cacat tetap, meliputi pihak ketiga yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) per orang;
Produk hukum terkait masalah keterlambatan dan pembatalan pengangkutan udara dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan pasal 43 ayat (1) huruf c, yang menentukan bahwa perusahaan pengangkut harus bertanggung jawab atas keterlambatan pengangkutan. Karena melanggar Pasal 43 ayat (1) huruf c maka diterapkanlah pasal 1365 KUH Perdata karena memenuhi unsur-unsur 1365 KUH Perdata seperti yang telah dijelaskan diatas diantaranya adalah perbuatan melanggar hukum.yang dalam hal ini berarti ada ketentuan Pasal 43 diatas yang mewajibkan pihak maskapai untuk bertanggung jawab atas keterlambatan maupun pembatalan yang seharusnya dapat dinformasikan sebelumnya, sehingga berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata, mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian. Berkaitan dengan penerbangan nasional, maka tak terpisahkan dengan peraturan perundang-undangan internasional. Perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber 15
Ibid. Pasal 14 dan Pasal 2 huruf f
171
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
hukum udara dan hukum penerbangan tidak dapat kita abaikan juga di Indonesia. Misalnya ordonansi pengangkutan udara yang merupakan salah satu peraturan penerbangan yang terpenting adalah berdasarkan, perjanjian warsawa yaitu perjanjian yang lebih dikenal dengan nama Warsa Convention (Statuta Mahkamah Internasional) Pasal 38 Perjanjian Internasional, Kebiasaan Internasional (International Costums), Prinsip-Prinsip Hukum Umum, Doktrin, Yurisprudensi, Dan Sumber Hukum Udara Internasional Terdiri Dari Perjanjian Multilateral, Perjanjian Bilateral, (Bilateral Air Transport Agreement) dan lain-lain.16 Oleh sebab itu, menyangkut kenyamanan, keselamatan ketepatan waktu terbang perlu menjadi perhatian mengingat akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat nasional dan internasional bila maskapai penerbangan tidak sesuai dengan perjanjian-perjanjian internasional dalam aktivitasnya. Akibatnya calon penumpang memilih maskapai penerbangan yang lebih dipercaya khusus dalam hal ketepatan waktu, kenyamanan dan keselamatan. Harga tiket yang disebut murah bukan berarti para penumpang berharap diterlantarkan atau mendapat perlakukan kurang manusiawi, sebaliknya berharap agar dapat menikmati moda transportasi udara sejalan dengan hasil pembangunan di Indonesia. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah diatas, bahwa masalah keterlambatan penerbangan harus mendapatkan perhatian yang serius dengan pertanyaan akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini seperti: 1.
Bagaimana prosedur hukum atas keterlambatan pesawat udara berdasarkan UndangUndang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan atas studi kasus pada Maskapai Lion Air di Bandara Hang Nadim Batam ?
2.
Bagaimana perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna Lion Air di Bandara Hang Nadim Batam berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. ?
16
Warsa Convention (Statuta Mahkamah Internasional) Pasal 38 Perjanjian Internasional, Kebiasaan Internasional (International Costums)-diakses Hari : Sabtu, 14 Maret 2015 Pukul : 17.00 WIB
172
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif. Yakni kegiatan penelitinan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan fakta (das sein) atau fakta sosial. Metode penelitian bertujuan untuk mencapai tingkat pemahaman terhadap topik tertentu. Penulis yang dalam ini meneliti tentang keterlambatan/delay kedatangan dan keberangakan pesawat Lion Air di Bandara Hang Nadim Batam. Sumber Data 1) Data Primer yaitu yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian yakni Kantor Bandara Hang Nadim Batam 2) Data sekunder adalah data yang berasal dari perundang-undangan, pendapat para ahli, buku-buku yang relevan dengan penelitian sebagai penunjang data primer, dan data sekunder yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : a) Bahan Hukum Primer yaitu bahan yang mengikat terdiri dari peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian yaitu : 1) Undang-Undang Dasar 1945 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan 3) Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 Tentang Perusahaan Umum (Perum)
Lembaga
Penyelenggaraan Pelayanan
Navigasi
Penerbangan
Indonesia 4) Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 Tentang Kebandaraan 5) Peraturan Menteri Nomor
PM 31 Tahun 2013 Tentang Keamanan
Penerbangan Nasional 6) Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara. b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu merupakan data yang diperoleh dari buku-buku, literatur-literatur, majalah-majalah, dokumen-dokumen serta tulisan para ahli yang berkaitan dengan kegiatan penerbangan. c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder seperti kamus, ensiklopedia, index kumulatif, dan internet yang berisikan artikel terkait dengan penelitian. Metode Pengumpulan Data 173
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Teknik dan Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan data primer dan sekunder yang diperoleh dengan cara sebagai berikut : a. Penelitian Kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan dengan mempelajari buku-buku, literatur, serta tulisan ilmiah, dokumen-dokumen, surat khabar, konsep-konsep, serta penemuan dan pendapat para ahli yang relevan dengan penelitian a. Wawancara dengan instansi terkait terutama pihak kebandaraan dan operator Lion Air di Batam. Selain itu berbagai aparat penegak hukum, petugas-petugas yang terkait dengan kedatangan dan keberangkatan penerbangan dari dan ke Batam, serta semua instansi terlibat dalam hal jadwal-jadwal penerbangan. Beberapa petugas Lion Air dan instansi terkait di bandara Hang Nadim yang diwawancarai penulis yakni : 1. M. Zaini Bire, Manager Operasional Lion Air Batam 2. Syaiful Bahri,ST, Kepala Operasi Darat Bandar Udara Hang Nadim Batam 3. Tarzani Isropin, SE, Kepala Seksi Keamanan Dalam Bandara Hang Nadim Batam. Analisa Data Alat pengumpulan data yang akan digunakan dalam pengumpulan data ini adalah deskriftif kualitatif yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang ada kaitannya dengan penelitian. Menurut pengertian Pollack
17
penelitian ini dikenal sebagai legal research .ndak
menguji apakah suatu postulat normative tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto. Penelitian kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktifkualitatif serta analisisnya terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.
C. PEMBAHASAN Prosedur Hukum Atas Keterlambatan Pesawat Udara Berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (Studi Kasus Pada Maskapai Lion Air di Bandara Hang Nadim Batam)
17
Suratman dan Phillips Dillah, Metode Penelitian Hukum, ( Bandung : Alfabeta, 2013),hlm.61
174
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Bandara Hang Nadim Batam sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 68/HK.207/Phb-83 tanggal 19 Februari 1983 yang mencantumkan Bandara Hang Nadim Otorita Batam, kini menjadi Badan Pengusahaan Batam (BP-Batam) sebagai bandara kelas II. Waktu bersamaan juga dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.69/AU.1004/Phb-83 Tentang Penetapan Lapangan Terbang Batam sebagai Pelabuhan Udara klasisfiaksi kelas II, bahwa penggunaan Pelabuhan Udara Batam untuk keperluan Operasional Angkatan Udara, ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara, dan serah terima Terminal Pengoperasian Pelabuhan Udara Nomor 002/Butset/II/I/1983 ditandatangani oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam disingkat OPDIPB dan Menteri Perhubungan.18 Tanggal 01 April 1983, Pelabuhan Udara Batam secara resmi digunakan untuk penerbangan Komersil dan Penerbangan Umum lainnya. Nama Hang Nadim sebagai nama lapangan pesawat Terbang Pulau Batam tertuang dalam Surat Menteri Sekretaris Negara Nomor B-41/Pasmin/IV/1983, yang diusulkan Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie Nomor 56/M/N/1983 tanggal 20 April 1983 disetujui Presiden Soeharto. Landasan pacu Bandara Hang Nadim sepanjang 4,200 meter, dan memungkinkan pesawat berbadan lebar jenis Boieng B 747 bisa mendarat, yang masuk kategori Pelabuhan Internasional. Letak Batam yang strategis, berbatasan dengan Selat Malaka, menjadikan Batam terkena imbas industri. Selat Malaka merupakan lalu lintas kapal kargo terpadat di dunia, maka Batam dijadikan sebagai kawasan industri sangat tepat, karena Singapura merupakan Negara jasa (services state), yang imbasnya ke Batam. Bandara Hang Nadim menjadi moda transportasi udara paling diunggulkan karena kemajuan industri di daerah Batam yang memungkinkan angkutan udara menjadi pilihan utama bagi pebisnis khusunya, dan warga masyarakat umumnya. Sebagai sebuah daerah yang jumlah penduduk terbanyak diantara kabupten/Kota di wilayah Provinsi Kepulauan Riau menambah pengguna moda transportasi udara terus meningkat . Pengguna angkutan udara dari dan ke Batam dari daerah lain seperti dari Pulau Jawa, Kalimnatan, Papua, Surabaya, Medan, Jogya, Semarang, Nusa Tenggara Barat dan Nusa 18
Direktur Jenderal Penerbangan Udara, Buku Panduan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2000 Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Perhubungan-diakses Hari : Minggu, 01 Maret 2015-Pukul 14.20 WIB
175
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Tenggara Timur serta kota-kota besar lain di Indonesia. Moda transportasi laut juga ada, namun kebanyakan calon penumpang lebih memilih transportasi udara atau pesawat terbang, karena lebih efisien waktu karena kecepatannya. Jumlah penumpang dari dan ke Batam terus meningkat dari tahun ke tahun karena sebagai daerah industri, pertumbuhan ekonomi di daerah ini cukup tinggi. Ini dilihat dari jumlah penduduk yang pada tahun 1970-an hanya 7.000 (tujuh ribu) penduduk, kini penduduk Batam sebanyak 1,2 (satun koma dua) juta orang. 19 Bandara Hang Nadim Batam menjadi andalan masyarakat Kepulauan Riau (Kepri) untuk bepergian keluar Batam khususnya pebisnis, mahasiswa, pekerja, dan lain-lain. Tapi tidak sedikit calon penumpang pesawat Udara terutama pesawat pengakut penumpang Lion Air yang sering delay, bahkan membatalkan penerbangan, dan merugikan calon penumpang. Meskipun peraturan perundang-undangan mengatur tanggung jawab penerbangan soal ganti rugi atas keterlambatan dan pembatalan itu, namun Pihak Lion Air kadang mengabaikan calon penumpang yang nota bene adalah konsumen. Berdasarkan Perataturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara bila terjadi pembatalan, maka pengangkut angkutan udara harus bertanggung jawab dan memenuhi kewajibannya seperti tertuang di Pasal 12 yang berbunyi:20 Ayat (1) Dalam hal terjadi pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, pengangkut wajib memberitahukan kepada penumpang paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan penerbangan. Ayat (2) Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),pengangkut wajib mengembalikan seluruh uang tiket yang telahdibayarkan oleh penumpang. Ayat (3) Pembatalan penerbangan yang dilakukan kurang dari 7 (tujuh) hari kalen der sampai dengan waktu keberangkatan yang telah ditetapkan, berlaku ketentuan Pasal 10 huruf b dan c. Ayat (4) Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila ba
19
Pidato Walikota Batam, Drs.Ahmad Dahlan dihadapan masyarakat Bengkong Indah, Batam, 27 Nopember 2014 terkait acara Silahturahmi dengan Masyarakat Bengkong Indah 20 Pasal 12 Perataturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan
176
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
dan usaha angkutan udara niaga berjadwal melakukan perubahan jadwal penerbangan (retiming atau rescheduling). Adapun prosedur penyelesaian pelanggaran hukum penerbangan atas keterlam batan pesawat udara pada maskapai lion air di bandara hang Nadim batam dilaku kan melalui upaya hukum non litigasi. Upaya hukum non litigasi yaitu Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadi lan, diselenggarakan untuk mencapai kesepatan mengenai bentuk besaran ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali kerugian oleh konsumen, akibat delay pesawat sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindunag Konsumen , dan di Pasal 45 ayat (2) yang berbunyi : “ Jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketan konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah pihak atau oleh para pihak yang bersengketa” Penyeleaian sengketa melalui jalur non-litigasi dapat juga ditempuh melalui Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia selanjutnya disingkat YLKI, Direktorat Perlindungan Konsumen Dinas Perindustrian, Perdagangan, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen selanjutnya disingkat BPSK dan pelaku usaha sendiri. Masing-masing lembaga/Badan ini memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menyelesaikan perkara yang ada.. YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang diakui keberadaannya, dan diakui Pemerintah yang dapat berperan aktif dalam mewujudkan Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap transaksi bermasalah yaitu membuka pengaduan dari empat saluran yang ada yaitu : telepon, surat, datang langsung ke Kantor YLKI., atau email. Untuk melaporkan sengketa menyangkut delay pesawat misalnya, maka calon penumpang harus dapat memperlihatkan tanda bukti tiket Lion Air, yang di sana tertera jadwal keberangkatan, harga tiket, nama calon penumpang, tujuan penerbangan, identitas diri seperti paspor atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk mencocokan nama di tiket dan KTP atau paspor. Bila berkas dinyatakan cukup, maka pihak YLKI akan menyurati pihak pelaku
177
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
usaha atau agen Lion Air untuk hadir guna memberikan keterangan, juga memanggil calon penumpang yang merasa dirugikan. Penyelesaian sengketa non-litigasi, dan YLKI berperan sebagai mediator, yang biasanya bisa diselesaikan dengan baik. Namun bila pihak yang merasa dirugikan tidak menerima usulan pihak Lion Air, maka akan dilanjutkan ke tingkat yang lebih tingg yakni ke Penagdilan Negeri, yang dalam hal ini disebut system full up. Dari sisi Pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, upaya konsumen yang dapat dilakukan hampir sama dengan laporan ke YLKI. Bedanya pelaku usaha untuk dimintai keterangan perihal masalah yang ada. Apabila ditemukan adanya hak-hak konsumen yang dilanggar, pihak pelaku usaha dapat dengan cepat meresponn dan mematuhi ketentuan yang telah digariskan oleh Direktorat tersebut. Hal ini terkait dengan ancaman pencabutan izin usaha yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan selanjut disingkat DISPERINDAG untuk barang dagangan, dan Direktorat Perhubungan untuk penerbangan. Mekanisme pengaduan melalui lembaga Pemerintah ini masih sedikit dimanfaatkan masyarakat karena kurangnya sosialisasi, sehingga belum mengetahui bila ada sengketa konsumen tempat mengadu kemana saja. Selain itu ada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan badan bentukan Pemerintah yang tugas utamanya adalah melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian sengketa melalui badan ini sangat murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-belit. Dasar Hukum Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 49 sampai dengan pasal 58. Untuk menindaklanjuti ketentuan undang-undang tersebut, Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan, dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang.
178
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan hak konsumen adalah :21 a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang
dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Metode penyelesaian kasus sengketa antara konsumen dan pelaku usaha ada tiga yaitu konsiliasi, mediasi atau arbitrase. Pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa :”Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil (small claim court) yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat, sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam waktu maksimal 21 (dua puluh satu ) hari kerja. Di Pasal 55 disebutkan bahwa : 22 (1) Penyelenggara atau pelaksana yang tidak melakukan kewajiban se bagaimana
21 22
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan hak konsumen Pasal 55 dan Pasal 58 Undang-Undang. Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
179
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (I), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) dan atas perbuatan tersebut mengakibatkan timbulnya luka,cacat tetap, atau hilangnya nyawa bagi pihak lain dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2) Pengenaan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak membebaskan dirinya membayar ganti rugi bagi korban. (3) Besaran ganti rugi bagi korban ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan. (lihat pasal 55 dan Pasal 58 Undang-Undang. Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen), dan tanpa ada penawaran banding yang dapat memperlama proses pelaksanaan keputusan. Perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna Lion Air di Bandara
Hang Nadim
Batam Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Dilihat dari kenyataan pihak Lion Air tidak memperdulikan calon penumpang yang berharap ada informasi menyangkut keberangkatan mereka. Artinya telah mengingkari ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) . Mengenai syarat suatu kejadian dalam penerbangan dikatakan mengalami keterlambatan dapat kita jumpai dalam yang memberikan definisi keterlambatan, yakni: “Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan
yang dijadwalkan
dengan
realisasi
waktu
keberangkatan
atau
kedatangan.” Di dalam peberbangan, keterlambatan angkutan udara merupakan salah satu kerugian yang diderita oleh penumpang yang wajib dipertanggungjawabkan oleh pengangkut (badan usaha yang melakukan kegiatan angkutan udara) yang mengoperasikan pesawat udara. Ketentuan Pasal 2 huruf e Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.Hal ini disebutkan dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Perhubungan Nomnor 77 Tahun 2011 yang berbunyi: “Keterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari: a.
keterlambatan penerbangan (flight delayed)
b. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitaspesawat 180
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
udara (denied boarding passanger) dan a. pembatalan penerbangan (cancelation of flight)” Perlindungan Hukum bagi calon penumpang bermakna perlindungan selama di Bandara dengan fasilitas dan lainnya sesuai yang diamanatkan peraturan perundang-undangan. Di dalam Penjelasan Pasal 146 UU Penerbangan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "faktor cuaca" adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan. Adapun, yang dimaksud dengan "teknis operasional" antara lain: a. bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara; b. lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran c. terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara atau d.
keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling) Sedangkan, yang tidak termasuk dengan "teknis operasional" antara lain: a.
keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin
b.
keterlambatan jasa boga (catering)
c.
keterlambatan penanganan di darat
d.
menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight) dan
e.
ketidaksiapan pesawat udara
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi : “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.” 181
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Membuktikan perlindungan hukum terhadap penumpang pesawat Lion Air belum memenuhi syarat seperti diamanatkan peraturang perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
Pasal 144
menyebutkan : “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut” Inti dari catatan penting (Important Notes) tersebut mengisyaratkan calon penumpang tiba di Bandara sesuai ketentuan itu, bila terlambat maka konsekuensinya ditinggal terbang. Aturan sangat ketat bagi calon penumpang, namun pihak Lion Air kadang mengabaikan hak calon penumpang bila terjadi delay (tertunda) terbang , bahkan bila ada calon penumpang membatalkan penerbangan karena alasan tertentu, maka refund (diminta kembali) uang tiket maka hanya bayar 20 persen dari harga tiket itu. Contohnya, bila harga tiket Rp.1000.000 ( satu juta ) rupiah, maka pihak Lion Air hanya mengembalikan Rp. 200.000 (dua ratus ribu rupiah).23 Tapi uang refund itu tidak langsung diterima Boris Riswond tapi menunggu hingga 45 (empat puluh lima ) hari lamanya). Meskipun Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menjelaskan soal nilai ganti rugi, namun tidak secara eksplisit menjelaskan lamanya pihak agen penerbangan, atau pihak penjual tiket pesawat terbang harus membayar refund calon penumpang yang dirugikan pihak badan usaha penerbangan/pengangkut angkutan udara. Berbeda dengan bila secara teknis keterlambatan pesawat disebabkan masalah cuaca, dan/atau ada komponen pesawat yang rusak dan memerlukan maintenance (perbaikan), karena bila tidak diperbaiki akan mengancam penumpang. Tapi pihak Lion Air sepatutnya memberitahukan kepada calon penumpang khususnya yang telah terlanjur berada di Bandara, dan bagi yang masih di rumah bisa melalui e-mail, telepon, atau cara lain yang infomasi tersebut diterima calon penumpang. Calon penumpang bisa membatalkan niat untuk ke Bandara, sehingga memanfaatkan waktu untuk kegiatan lain.
23
Boris Riswondo, Calon Penumpang Jurusan Batam-Pontianak yang seharusnya berangkat tanggal 18 Februari 2015.
182
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
Kegiatan maintenance pesawat terbang ada perawatan kecil (minnor repair)
dan
perawatan besar (major repair). Perawatan pesawat udara (aircraft service and maintenance) adalah suatu kegiatan yang antara lain mempersiapkan pesawat udara dan komponennya pada tingkat laik udara berdasarakan ketentuan yang berlaku, termasuk peralatan dalam keadaan tidak laik udara menjadi laik udara yang mencakup overhaul. 24 Perawatan pesawat udara (aircraft maintenance) dapat dilakukan dengan overhaul, periodic inspection dan terhadap komponen pesawat udara, komponen motor, baling-baling, instruments dan accessories. Perawatan kecil (minor repair) mungkin memerlukan beberapa jam perbaikan, sedangkan untuk perawatan pesawat udara kategori major repair dan/atau overhaul memerlukan waktu berbulan-bulan lamanya.25 Bahwa perusahaan pengangkut harus bertanggung jawab atas keterlambatan pengangkutan. Karena melanggar pasal 43 ayat (1) huruf c maka diterapkanlah pasal 1365 KUH Perdata karena memenuhi unsur-unsur 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disingkat KUHPer. seperti yang telah dijelaskan diatas diantaranya adalah perbuatan melanggar hukum.yang dalam hal ini berarti ada ketentuan (pasal 43 diatas) yang mewajibkan pihak maskapai untuk bertanggung jawab atas keterlambatan maupun pembatalan yang seharusnya dapat dinformasikan sebelumnya, sehingga berdasarkan pasal 1365 KUH Per. mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian. Penerapan pasal 1365 KUH Perdata dikarenakan pasal 1365 KUH Perdata. merupakan akibat dari adanya perikatan yang lahir karena undang-undang. Terkait dengan hal ini dapat dikatakan bahwa perikatan tersebut lahir atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan pasal 43 ayat (1) huruf c. seperti yang tertulis di tiket elektronik agen penerbangan Lion Air.
D. KESIMPULAN Pengguna jasa transportasi pesawat udara merupakan pelanggan bagi perusahaan penerbangan, sebab penumpang memegang peran penting kelasungkan hidup angkutan udara niaga/komersil. Namun sering terjadi calon penumpang dikecewakan oleh pihak jasa angkutan udara niaga, khusunya Lion Air terutama menyangkut keterlambatan terbang 24
25
Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,2007). hal.235 Ibid.
183
PETITA, VOL 1 No.2 Desember 2014
(delay) maupun tiba di tempat tujuan yang merugikan calon penumpang. Bagi operator penerbangan seperti Lion Air seharusnya mendapat sanksi, sebab untuk menerapkan sanksi tersebut tertuang dalam UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, jo UUNo.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, PerMenhub. No. 77 Tahun 2011, dan Hukum Udara. Sanksi ini perlu diterapkan mengingat delay itu merugikan calon penumpang, juga preseden buruk dunia penerbangan Indonesia di mata internasional. 2. Perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna transportasi jasa penerbangan mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Disitu disebutkan bentuk-bentuk perlindungan khususnya soal ganti rugi bila delay keberangkatan, Lion Air acuh dengan peraturan tersebut. Selain undang-undang tentang penerbangan, juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, karena calon penumpang adalah konsumen penyelenggara angkuta udara.
DAFTAR PUSTAKA Buku Boris Riswondo, Calon Penumpang Jurusan Batam-Pontianak yang seharusnya berangkat tanggal 18 Februari 2015. Bank Indonesia Cabang Kepulauan Riau. Paparan Kajian Ekonomi Regional TWIII-2014 Nomor 16/18/DKOM/Batam Batam Indonesia Free Trade Zone Authority, Development Progress of Batam, Batam: BPBatam, 2013 EttyR. Agoes, Wilayah dan Yuridiksi Negara di Laut Menurut UNCLOS 1982 Pada Lokakarya di Markas Besar TNI.Al. Batam, 23 Juni 2013. Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,2007) Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
184