PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH APLIKASI RISET PEMBERIAN TERAPI AIUEO TERHADAP KEMAMPUAN BICARA PADA PASIEN STROKE YANG MENGALAMI AFASIA MOTORIK DI RSUD SALATIGA
DI SUSUN OLEH :
SITI MARYA ULFA NIM.P13120
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
PEMBERIAN TERAPI AIUEO TERHADAP KEMAMPUAN BICARA PADA PASIEN STROKE YANG MENGALAMI AFASIA MOTORIK DI RSUD SALATIGA
Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
SITI MARYA ULFA NIM.P13120
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pemberian terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik pada asuhan keperawatan Tn. S dengan stroke non hemoragik di RSUD Salatiga.” Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M. Kep, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada selaku Ketua STIkes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di STIkes Kusuma Husada Surakarta. 2. Merry Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku ketua program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Alfyana Nadya Rahmawati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku sekretaris program studi DIII keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 4. Fakhrudin Nasrul Sani, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku dosen pembimbing serta pembimbing akademik dan selaku penguji II yang telah membimbing penulis
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
iv
perasaan nyaman dalam membimbing serta memfasilitasi penulis demi kesempurnaan karya tulis ini. 5. bc. Yeti Nurhayati, M. Kes, selaku penguji I yang telah memberikan banyak motivasi dan inspirasi pada penulis serta masukan – masukan positif untuk penulis untuk menyempurnakan karya tulis ilmiah. 6. Semua dosen program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 7. Direktur RSUD Salatiga yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. S di RSUD Salatiga. 8. Ahmad efendi S.Kep.,Ns., selaku pembimbing lahan di RSUD Salatiga yang telah memberikan banyak masukkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan asuhan keperawatan selama di RSUD Salatiga. 9. Kedua orang tuaku (Samudi dan Sofiah) yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan doa serta menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan DIII Keperawatan. 10. Teman Terbaikku Siti Fatimah, Sholikhah Setyaningrum, Winda Fitriani, Nikken Emma Rhomadhani, Retno Wulandari, Dwi Imam Saputra, dan teman-temanku yang satu bimbingan saat pembuatan Karya Tulis Ilmiah yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
v
11. Mahasiswa satu angkatan khususnya kelas 3B Program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak mampu penulis sebutkan satu-persatu, yang memberikan dukungan. Semoga laporan karya tulis ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin
Surakarta, Mei 2016
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv DAFTAR ISI ................................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................... 1 B. Tujuan Penulisan ................................................................... 5 C. Manfaat Penulisan ................................................................. 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori ....................................................................... 7 1. Stroke .............................................................................. 7 2. Afasia Motorik ............................................................... 17 3. Terapi AIUEO ................................................................ 25 B. Kerangka Teori ...................................................................... 27
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subyek Aplikasi Riset ........................................................... 28 B. Tempat dan Waktu ................................................................ 28 C. Media dan Alat yang digunakan ............................................ 28 D. Prosedur tindakan .................................................................. 28 E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset .. 30 BAB IV LAPORAN KASUS A. Identitas klien .......................................................................... 39
vii
B. Pengkajian .............................................................................. 39 C. Perumusan masalah keperawatan .......................................... 46 D. Intervensi keperawatan ...................................................... ...... 47 E. Implementasi ..................................................................... ....... 49 F. Evaluasi ............................................................................. ....... 53 BAB V PEMBAHASAN A. Pengkajian ............................................................................ 57 B. Perumusan masalah keperawatan ............................................ 59 C. Intervensi keperawatan .................................................... ....... 63 D. Implementasi ........................................................................... 66 E. Evaluasi ............................................................................ ....... 71 BAB VI A. Kesimpulan .................................................................. .......... 75 B. Saran ............................................................................ .......... 79
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DARTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 Kerangka Teori ..................................................................... 27 2. Gambar 2.2 Genogram ............................................................................. 36
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Usulan Judul Aplikasi Riset Lampiran 2. Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah Lampiran 3. Daftar Riwayat Hidup Lampiran 4. Jurnal Utama Lampiran 5. Asuhan Keperawatan Lampiran 6. Lembar Observasi Aplikasi Jurnal Lampiran 7. Lembar Kegiatan Mahasiswa Lampiran 8, Lembar Pendelegasian
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul secara mendadak dan terjadi pada siapa saja kapan saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses pikir, sebagai akibat gangguan fungsi otak. (Muttaqin, 2008). Stroke adalah penurunan system saraf utama secara tiba-tiba yang berlangsung selama 24 jam dan di perkirakan berasal dari pembuluh darah . (Kusnandar, 2008). Prevalensi stroke di Amerika Serikat setiap tahun sekitar 700.000 orang, dan stroke mengakibatkan hampir 150.000 kematian. Prevalensi stroke di Amerika Serikat tercatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat stroke. Penderita stroke di Amerika Serikat berusia antara 55-64 tahun sebanyak 11% mengalami infark serebral silent, prevalensinya meningkat sampai 40% pada usia 80 tahun dan 43% pada usia 85 tahun (Medicastore, 2011). Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun ke atas (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar 0,2%. Prevalensi stroke berdasarkan jenis kelamin lebih banyak laki-laki
1
2
(7,1%) dibandingkan dengan perempuan (6,8%). Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi stroke di perkotaan lebih tinggi (8,2%) dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%). Berdasarkan data 10 besar penyakit terbanyak di Indonesia tahun 2013. Prevalensi kasus stroke tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan terendah di Provinsi Papua (2,3%), sedangkan Provinsi Jawa Tengah sebesar 7,7%. Prevalensi stroke antara laki-laki dengan perempuan hampir sama (Kemenkes, 2013). Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012), stroke dibedakan menjadi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Prevalensi stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%). Prevalensi tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus sebesar 1,84%. Prevalensi stroke non hemoragik pada tahun 2012 sebesar 0,07% lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%). Pada tahun 2012, kasus stroke di Kota Surakarta cukup tinggi. Kasus stroke hemoragik sebanyak 1.044 kasus dan 135 kasus untuk stroke non hemoragik. Masalah keperawatan yang muncul akibat stroke sangat bervariasi, tergantung luas daerah otak yang mengalami infark atau kematian jaringan dan lokasi yang terkena (Rasyid & Lyna, 2007). Stroke yang menyerang otak kiri dan mengenai pusat bicara, kemungkinan pasien akan mengalami gangguan bicara atau afasia, karena otak kiri berfungsi untuk menganalisis, (Sofwan,2010).
pikiran
logis,
konsep,
dan
memahami
bahasa
3
Stroke mengakibatkan lesi di daerah broca yang merupakan pengatur dan pengendali kemampuan berbicara, yang terletak dilobus frontalis kiri berdekatan dengan daerah motorik korteks yang mengontrol otot-otot artikulasi sehingga pasien akan mengalami afasia motorik (Sherwood, 2011). Menurut Mulyatsih dan Airizal (2008), secara umum afasia dibagi dalam tiga jenis yaitu afasia motorik, afasia sensorik, dan afasia global. Seseorang dengan afasia motorik tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, namun masih bisa mengutarakan pikirannya dengan jalan menulis (Mardjono & Sidharta, 2004). Pasien stroke dapat mengalami gangguan bicara, sangat perlu dilakukan latihan bicara baik disartia maupun afasia. Speech therapy sangat dibutuhkan mengingat bicara dan komunikasi merupakan faktor yang berpengaruh dalam interaksi sosial. Kesulitan dalam berkomunikasi akan menimbulkan isolasi diri dan perasaan frustasi (Sunardi, 2006). Salah satu bentuk terapi rehabilitasi gangguan afasia adalah dengan memberikan terapi AIUEO. Terapi AIUEO bertujuan untuk memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh orang lain. Orang yang mengalami gangguan bicara atau afasia akan mengalami kegagalan dalam berartikulasi.
Artikulasi
merupakan
proses
penyesuaian
ruangan
supraglottal. Penyesuaian ruangan didaerah laring terjadi dengan menaikkan dan menurunkan laring, yang akan mengatur jumlah transmisi udara melalui rongga mulut dan rongga hidung melalui katup
4
velofaringeal dan merubah posisi mandibula (rahang bawah) dan lidah. Proses diatas yang akan menghasilkan bunyi dasar dalam berbicara (Yanti, 2008). Hasil penelitian Wardhana (2011), menunjukkan ada pengaruh terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pasien stroke yang mengalami afasia motorik. Penderita stroke yang mengalami kesulitan bicara dapat diberikan terapi AIUEO yang bertujuan untuk memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan Gunawan (2008), yang menggunakan metode (phonetic placement method) dan metode imitasi. Pelaksanaan metode penempatan fonetik ini menuntut pasien untuk memperhatikan gerak dan posisi organ bicara, sehingga pasien mampu mengendalikan
pergerakan
organ
bicara
untuk
membentuk
atau
memproduksi bicara yang benar. Berdasarkan latar belakang di
atas
penulis
tertarik untuk
mengaplikasikan pemberian Terapi AIUEO Terhadap Kemampuan Bicara ke yang mengalami afasia motorik Pada Pasien Stroke dalam bentuk karya tulis ilmiah dengan judul Pemberian Terapi AIUEO Terhadap Kemampuan Bicara Pada Pasien Stroke di Rumah Sakit Salatiga. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Mengaplikasikan Pemberian tindakan terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik.
5
2.
Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan stroke. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan stroke. c. Penulis mampu menyusun intervensi pada pasien dengan stroke. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan stroke. e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan stroke. f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian pengaruh terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik.
C. Manfaat Penulisan Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat: 1. Bagi institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan memberi gambaran kepada institusi pendidikan akan pentingnya terapi AIUEO/wicara terhadap stroke. 2. Bagi Pelayanan Kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada bidang pelayanan kesehatan mengenai gambaran pengaruh terapi AIUEO terhadap stroke sehingga pelayanan
6
kesehatan dapat menjadi perantara untuk mengadakan terapi AIUEO pada stroke. 3. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada keluarga terutama yang mengalami stroke agar terhindar dari kemungkinan komplikasi penyakit-penyakit akibat stroke. 4. Bagi Peneliti lain Hasil
penelitian
ini
dapat
dijadikan
sebagai
dasar
dilakukannya penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan terapi AIUEO terhadap stroke. 5. Bagi Peneliti Memperoleh kemampuan melakukan riset kuantitatif serta menambah pengalaman peneliti dalam penelitian di bidang keperawatan mengenai pengaruh terapi AIUEO terhadap stroke yang mengalami afasia motorik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori 1. Stroke a. Pengertian stroke Stroke
adalah
gangguan
saraf
permanen
akibat
terganggunya peredaran darah ke otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih (Lingga, 2013). Stroke merupakan gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak (Nanda, 2013). Stroke
merupakan
sindrom
klinis
yang
timbulnya
mendadak, progresif cepat, serta berupa defisit neurologis lokal dan global yang berlangsung 4 jam atau lebih dan bisa langsung menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah non traumatik (Mansjoer, 2010). b. Jenis – jenis stroke 1) Stroke iskemik atau stroke non hemoragik Stroke iskemik atau stroke non hemoragik adalah tersumbatnya pembuluh darah otak oleh plak (materi yang terdiri atas protein, kalsium, dan lemak) yang menyebabkan aliran oksigen yang
7
8
melalui liang arteri yang terhambat (Lingga, 2013). Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3 sebagai berikut: a) Stroke iskemik trombolitik adalah pengumpulan darah pada pembuluh darah yang mengarah menuju ke otak. b) Stroke iskemik embolitik adalah tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah. c) Hipoperfusion sistemik adalah berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung. 2) Stroke Hemoragik Stroke
hemoragik
adalah
stroke
yang
terjadi
karena
pendarahan otak akibat pecahnya pembuluh darah otak (Lingga, 2013). Stroke hemoragik dibagi menjadi 2, yaitu : a) Stroke hemoragik intraserebral adalah pendarahan yang terjadi di dalam otak, biasanya pada ganglia, batang otak, otak kecil, dan otak besar. b) Stroke hemoragik subaraknoid adalah pendarahan yang terjadi di luar otak, yaitu pembuluh darah yang berada di bawah otak atau di selaput otak. c. Etiologi Faktor penyebab stroke ada 2, yaitu :
9
1) Faktor yang tidak dapat diubah (faktor tidak terkendali) menurut Lingga (2013), yaitu : a) Faktor genetik b) Cacat bawaan: memiliki cacat pada pembuluh darahnya berisiko tinggi terhadap stroke. c) Usia: makin tinggi usia makin tinggi pula risiko terkena stroke. d) Gender: pria lebih berisiko terhadap stroke dibanding wanita. e) Riwayat penyakit dalam keluarga: orang tua atau saudara sekandung yang pernah mengalami stroke pada usia muda maka berisiko tinggi terkena stroke. 2) Faktor yang dapat diubah yaitu: kegemukan (obesitas), hipertensi, hiperlipidemia (kolesterol tinggi), hiperurisemia, penyakit jantung, diabetes melitus, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi alkohol, malas berolahraga, kadar hematokrit tinggi, kadar fibrinogen tinggi, dan konsumsi obatobatan bebas psikotropika. d. Tanda dan gejala stroke Berikut tanda dan gejala stroke menurut Lingga (2013), yaitu: a) Sering pusing disertai mual b) Muka terasa tebal, telapak kaki dan tangan kebas atau mati rasa.
10
c) Koordinasi anggota gerak (tangan dan kaki) tidak seperti biasanya, misalnya sulit digerakkan. d) Mengalami kesulitan ketika akan mengenakan sandal jepit. e) Gagal menempatkan benda pada tempat yang pas. f) Sulit ketika mengancingkan baju. g) Mendadak mengalami kebingungan. h) Penglihatan pada satu mata atau keduanya mendadak buram. i) Mengalami kesulitan menelan makanan. j) Ketika minum sering berceceran karena minuman tidak dapat masuk ke dalam mulut dengan semestinya. k) Mengalami gangguan kognitif dan demensia ketika berkomunikasi dengan orang lain. l) Sering kejang, pingsan, dan bahkan koma. e. Patofisiologi stroke Beberapa faktor penyebab stroke antara lain: hipertensi, penyakit kardiovaskulear-embolisme serebral berasal dari jantung, kolestrol
tinggi,
obesitas,
peningkatan
hematokrit
yang
meningkatkan risiko infark serebral, diabetes melitus, kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi), penyalahgunaan obat (khususnya kokain), dan konsumsi alkohol. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau
11
cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, pendarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering kali merupakan faktor penyebab infark pada otak, trombus dapat berasal dari flak arterosklerosis, sehingga terjadi thrombosis serebral, thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami aklusi sehingga menyebabkan iskemik jaringan otak yang dapat menimbulkan odema dan kongesti disekitarnya (Muttaqin, 2008). f. Komplikasi Komplikasi menurut Lingga (2013), sebagai berikut: otot mengerut dan kaku sendi, darah beku, memar, nyeri di bagian pundak, radang paru-paru (pneumonia), dan fatigue (kelelahan kronis). g. Penatalaksanaan Penataksanaan medis pada pasien stroke yaitu meliputi: 1) Diuretik untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral. 2) Antikogulan untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskular. 3) Antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat penting
dalam
pembentukan
(Smeltzer & Bare, 2010). h. Pemeriksaan Medis
thrombus
dan
embolisasi
12
Pemeriksaan medis pada pasien stroke menurut Lingga (2013) yaitu: 1) Anamnesis a) Keluhan b) Riwayat penyakit anggota keluarga c) Kebiasaan hidup (merokok, minuman beralkohol, serta olahraga). d) Tanda-tanda vital e) Memeriksa otot menggunakan reflek hummer 2) Pemeriksaan Laboratorium a) Fungsi lumbal b) Pemeriksaan darah rutin c) Pemeriksaan kimia darah 3) Scanning a) CT-scan (Computerized Tomography Scanning) adalah prosedur pengambilan gambar pada organ tubuh atau bagian tubuh dengan menggunakan sina X. b) MRI (Magnetic Resonance Imaging) diartikan sebagai teknik pencitraan getaran magnetik. c) Cerebral angiography adalah alat yang bekerja dengan sinar x, bertujuan untuk memindai aliran darah pada pembuluh darah yang melalui otak.
13
d) Caroid
ultrasound
digunakan
untuk
mendapatkan
gambaran kerusakan pada pembuluh darah di leher yang menuju otak. e) SPECT (Single Photon emission) adalah alat pemindaian otak yang bekerja dengan isoto sinar gamma, digunakan untuk memindai seberapa parah gangguan yang terjadi 4 jam pasca stroke atau untuk pemeriksaan otak pasien yang baru mengalami TIA. i. Asuhan Keperawatan Stroke 1) Pengkajian a) Anamnesis: nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis, keluhan utama pasien masuk. b) Riwayat penyakit sekarang c) Riwayat penyakit dahulu d) Pengkajian psiko-sos-spritual. e) Pemeriksaan fisik. f) Keadaan umum. 2) Diagnosa Keperawatan Stroke a) Hambatan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
hemiparesis, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, spastisitas dan cedera otak.
14
b) Perubahan
perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
gangguan arteri c) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gejala sisa stroke. d) Intoleransi aktivitas berhubungan kelemahan otot. 3) Intervensi Keperawatan a) Hambatan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
hemiparesis, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, spastisitas dan cedera otak. (1) Tujuan: diharapkan mobilitas fisik dapat optimal. (2) Kriteria hasil: mobilitas fisik meningkat, kekuatan otot meningkat, dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri. (3) Intervensi -
Kaji tanda-tanda vital
-
Kaji kekuatan otot
-
Lakukan latihan ROM
-
Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan ROM mandiri
-
Kolaborasi dengan dokter
(4) Rasional -
Untuk mengetahui keadaan umum pasien
-
Untuk mengetahui derajat kekuatan otot pasien
15
-
Melatih ekstremitas yang lemah
-
Agar pasien sering terlatih untuk menggerakkan ekstremitas yang lemah
-
Untuk mempercepat penyembuhan
b) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan arteri 1) Tujuan: kesadaran penuh, tidak gelisah. 2) Kriteria hasil: tingkat kesadaran membaik, tandatanda vital stabil tidak ada tanda-tanda peningkatan tekan intrakranial. 3) Intervensi -
Pantau status neurologis secara teratur dengan skala
-
Pantau tanda-tanda vital
-
Pertahankan keadaan tirah baring
-
Ajarkan teknik ROM
-
Kolaborasi dengan dokter
4) Rasional -
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran
-
Untuk mengetauhi keadaan umum pasien
-
Untuk membantu alih baring
-
Untuk mempercepat proses penyembuhan
16
c) Defisit perawatan diri 1) Tujuan: kebutuhan perawatan hygiene klien dapat terpenuhi. 2) Kriteria hasil: pasien menunjukkan perawatan diri secara mandiri, pasien mengungkapkan secara verbal kepuasan tentang kebersihan tubuh dan hygiene mulut. 3) Intervensi -
Kaji membran mukosa dan kebersihan tubuh setiap hari
-
Ajarkan kepada klien metode alternatif untuk hygiene
-
Libatkan keluarga dalam penentuan rencana
4) Rasional -
Untuk mengetahui hygiene pasien
-
Untuk memudahkan pasien dan keluarga untuk perawatan hygiene
-
Untuk memudahkan dalam perencanaan ke depan dalam melakukan perawatan kepada klien.
d) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. 1) Tujuan: intoleransi aktivitas dapat teratasi.
17
2) Kriteria hasil: keseimbangan aktivitas dan istirahat, tanda-tanda vital dalam batas normal. 3) Intervensi -
Kaji tanda- tanda vital pasien
-
Mengidentifikasi pasien
-
Membantu aktivitas pasien
-
Libatkan keluarga dalam membantu aktivitas pasien
4) Rasional -
Untuk mengetahui tanda- tanda vital pasien
-
Untuk
mengidentifikasi
tingkat
kemampuan
aktivitas pasien -
Untuk membantu aktivitas pasien
-
Supaya keluarga dapat membantu aktivitas pasien.
2. Afasia Motorik a. Pengertian Afasia motorik adalah kesulitan berkata-kata tetapi dapat mengerti pembicaraan afasia motorik timbul akibat gangguan pada pembuluh darah karotis interna, yaitu cabangnya yang menuju otak bagian tengah (arteri selebri media) tepatnya pada cabang akhir (arteri presentalis), afasia motorik ini disertai kelemahan lengan lebih berat dari pada tungkai. Afasia motorik disebut juga
18
afasia Broca. Paul broca, ilmuwan Perancis, menemukan suatu area pada lobus frontalis kiri yang jika rusak akan mengakibatkan kehilangan daya pengutaraan pendapat dan perasaan dengan katakata. Tidak ada kelumpuhan alat bicara pada gangguan ini. Daerah otak tersebut dikenal sebagai area broca (Sidharta dan Mardjono, 2006). b. Tanda dan gejala afasia Gejala afasia adalah tanda-tanda klinis yang normal dari fungsi reseptif
atau
ekspresif
yang secara
relatif
mempengaruhi
kemampuan komunikasi seseorang. Gejala-gejala yang dapat mengarah pada diagnosa afasia adalah sebagai berikut: a. Ketidakmampuan berbicara spontan b. Ketidakmampuan membentuk kata-kata c.
Ketidakmampuan menyebut nama benda atau obyek
d. Ketidakmampuan mengulang suatu frase e. Parafasia (mengganti huruf atau kata) f. Agramatisme (ketidakmampuan berbicara dengan bahasa yang baik dan baku) g. Produksi kalimat yang lengkap h. Ketidakmampuan untuk memahami bahasa Para penderita afasia dapat mengalami kesulitan dalam banyak
hal. Hal-hal tersebut sebelumnya merupakan sesuatu
yang biasa terjadi di kehidupannya sehari-hari seperti :
19
a. Melakukan percakapan berbicara dalam grup atau lingkungan yang gaduh. b. Pemahaman akan lelucon atau menceritakan lelucon. c. Mengikuti program ditelevisi atau radio. d. Menulis surat atau mengisi formulir. e. Bertelepon. f. Berhitung mengingat angka atau berurusan dengan uang. g. Menyebutkan nama-namanya sendiri atau anggota keluarga. Terapi yang dapat digunakan untuk penderita afasia : a. Terapi
bisa
berisi
latihan
untuk
meningkatkan
dan
mempraktikkan keterampilan komunikasi. Secara bertahap, latihan ini dapat berlanjut menjadi langkah-langkah yang lebih rumit seperti menjelaskan atau bercerita tenteng suatu hal. b. Pasien juga diajarkan untuk membantu berkomunikasi. c. Buku atau papan dengan gambar dan kata-kata bisa digunakan sebagai alat peraga untuk membantu pasien mengingat katakata yang umum digunakan. d. Agar lebih efektif, terapi juga harus diiringi dengan praktik langsung. Pasien bisa mengunjungi berbagai tempat dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari. (Sidharta dan Mardjono, 2006) 3. Etiologi
20
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat colos otak atau proses patologi pada area lobus frontal, temporal atau parenteral yang mengatur kemampuan berbahasa yaitu area broca, area werniclke dan jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak dihemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur (Kirshoer, 2009, Aini, 2006). Kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak tromatik, pendarahan otak dan sebagainya. Sekitar 80% afasia disebabkan oleh infark iskemik, sedangkan hemoragik frekuensinya jarang terjadi dan lokasinya tidak dibatasi oleh kerusakan vaskularisasi (Barthier, 2005). Afasia dapat muncul perlahan seperti pada kasus tumor otak (Krishner, 2009). Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, yaitu suatu oploid untuk penanganan nyeri kronis (Aini, 2006). 4. Klasifikasi dan gejala klinik Menurut Lambantobing (2011), ada banyak klasifikasi afasia yang dibuat oleh para peneliti atau pakar yang masingmasing membuat untuk keperluan disiplin ilmu mereka. Dasar untuk mengklasifikasikan afasia beragam, di antaranya ada yang mendasarkan kepada manifestasi klinis, distribusi anatomi dari lesi
21
yang bertanggung jawab bagi efek dan berdasarkan klasifikasi yang merujuk pada linguistik. Beberapa bentuk afasia menurut Smelzer & Bare (2008); Rasyid (2007), Lumbantobing (2011) adalah : a. Afasia sensorik (wernicke/reseptive) Afasia wernicke dapat terjadi gangguan yang melibatkan pada ginus temporal superise. Pasien afasia wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan bila ia menjawab ia pun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah, ia tidak mampu memahami kata yang diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata yang diucapkannya, apakah benar atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong, berisi
parafasia
dan
neologisme,
misalnya
menjawab
pertanyaan: bagaimana keadaan ibu sekarang? Pasien mungkin menjawab: -Anal saya lalu sama sakit tanding tak betabir. Seorang afasia dewasa akan kesultan untuk menyebutkan kata buku walau di hadapannya di sajikan buku. Klien dengan susah menyebut busa, bulu, ...,bulu. (Klien nampak susah dan putus asa).
Pengulangan
(repitisi)
terganggu
berat
menamai
umumnya parafasik. Membaca dan menulis juga terganggu berat. b. Afasia motorik Lesi yang menyebabkan afasia broca mencakup daerah
22
brodman 44 dan sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area brodman 45 dan 44) dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan alba paraventrikuler tengah). Kelainan
ini
ditandai
dengan
kesulitan
dalam
mengkoordinasikan atau menyusun pikiran, perasaan dan kemauan menjadi simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain. Bicara lisan tidak lancar, terputus- putus dan sering ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila bertutur kalimatnya pendek-pendek dan monoton. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata-kata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegam atau tanpa tata bahasa (tanpa gritmer), contoh : “saya,,,,smbuh,,,rumah,,,,kontrol,.,.,,,ya,,kon,,,trol”,
“Periksa
,,,agi.,,.makan,,,banyak”. Seseorang dengan kelainan ini mengerti dan dapat menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya, hanya untuk mengekspresikannya mengalami kesulitan. Seorang afasia dewasa berumur 59 tahun, kesulitan menjawab, rumah bapak di mana?, maka dengan menunjuk ke arah barat, dan dengan kesal karena tidak ada kemampuan dalam ucapannya. Jenis afasia ini juga dialami dalam menuangkan ke bentuk tulisan, jenis ini disebut dengan agraphia (agraphia).
23
Mengulang (repitisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti berbicara spontan. Pemahaman auditif dari pemahaman membaca tampak tidak terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tata bahasa yang kompleks sering terganggu (misalnya memahami kalimat, “seandainya anda berupaya untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud in”). c. Afasia global Merupakan bentuk afasia yang paling berat. Afasia global disebabkan oleh luas yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan pulihnya ialah buruk. Kesadaran ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stesreocip (itu-itu saja, berulang), misalnya : “iya,iya,iya”,. Komprehensif menghilang atau sangat terbatas, misalnya haya mengenal namanya saja atau atu atau dua patah kata. Repitisi juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga terganggu berat. Afasia global hampir selalu disertai hemiparase atau hemiplagia yang menyebabkan invalidasi kronis yang parah. 5. Pemeriksaan afasia
24
Menurut lezak (1983 dalam browndyke, 2002), untuk melihat fungsi berbahasa dan wicara pada pasien afasia dapat dilakukan pemeriksaan aspek verbal, seperti bicara spontan, pengulangan kata, pemahaman bicara, penanaman, membaca dan menulis. 6. Pengkajian atau tes afasia Berbagai macam tes afasia dapat dipergunakan macam tes ini tergantung pada kebutuhan. Observasi klinis tanpa penggunaan alat pengkajian ditemukan tidak adekuat untuk mengidentifikasi afasia selama fase akut. Penggunaan instrumen skrining dilakukan untuk mengidentifikasi afasia secara signifikan (Edward es al, 2006). Salah satu bentuk terapi rehabilitasi gangguan afasia adalah dengan memberikan terapi wicara (Sunardi, 2006). Terapi wicara merupakan tindakan yang diberikan kepada individu yang mengalami gangguan komunikasi, gangguan berbahasa bicara, gangguan menelan. terapi wicara ini berfokus pada pasien dengan masalah-masalah neurologis, di antaranya pasien pasca stroke (Hearing Speech & Deafness Center, 2006, dalam sunardi, 2006) Latihan pembentukan huruf vokal terjadi dari getaran selaput suara dengan nafas keluar mulut tanpa mendapat halangan. Dalam sistem fonem bahasa Indonesia, vokal terdiri dari A, I, U, E dan O. Dalam pembentukan vokal yang penting diperhatikan
25
adalah letak dan bentuk lidah, bibir, rahang, dan langit-langit lembut (velum) (Gunawan, 2008). Hal ini juga diperkuat Wiwit (2010), pasien stroke yang mengalami gangguan bicara dan komunikasi, salah satunya dapat ditangani dengan cara terapi AIUEO untuk menggerakkan lidah, bibir, otot wajah, dan mengucapkan kata-kata. 3. Terapi AIUEO a. Definisi Terapi wicara, ada juga yang menyebut terapi AIUEO, merupakan
terapi
untuk
membantu
seseorang
menguasai
komunikasi bicara dengan lebih baik. Terapi ini memfokuskan pada perbaikan cara bicara penderita stroke yang pada umumnya mengalami kehilangan kemampuan bicara akibat adanya saraf yang mengalami gangguan. Terapi wicara membantu penderita untuk mengunyah, berbicara, maupun mengerti kembali kata-kata. (Ida farida dan Nila amalia, 2009). Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu proses rehabilitasi
pada penderita
gangguan komunikasi
sehingga
penderita gangguan komunikasi mampu berinteraksi dengan lingkungan
secara
wajar
psikososial (Rodiyah, 2012). b. Teknik terapi aiueo
dan
tidak
mengalami
gangguan
26
Teknik AIUEO yaitu dengan cara menggerakkan otot bicara yang akan digunakan untuk mengucapkan lambang-lambang bunyi bahasa yang sesuai dengan pola-pola standar, sehingga dapat dipahami oleh pasien. Hal ini disebut dengan artikulasi organ bicara. Pengartikulasian bunyi bahasa atau suara akan dibentuk oleh koordinasi tiga unsur, yaitu unsur motoris (pernafasan), unsur yang bervibrasi (tenggorokan dengan pita suara), dan unsur yang beresonansi (rongga penuturan: rongga hidung, mulut dan dada) (Gunawan, 2008).
27
B. Kerangka Teori Penyebab stroke : a. Faktor genetik b. Hiperlipekemia c. Hiperulisemia
Stroke merupakan cedera otak yang berkaitan dengan aliran darah otak. Macam-macam stroke: a. Stroke hemoragik b. Stroke non hemoragik
Gangguan afasia motorik
Kelemahan bicara
Pemberian teknik terapi AIUEO
28
Meningkatkan kemampuan bicara
Gambar 2.1 Kerangka Teori
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset (Berdasarkan Jurnal) Subjek dari aplikasi jurnal ini adalah pasien stroke yang menjalani terapi wicara atau terapi AIUEO
B. Tempat dan Waktu Aplikasi penelitian riset ini dilakukan: Tempat
: RSUD Kota Salatiga
Waktu
: 2 x sehari selama 7 Hari
C. Media dan Alat Yang Digunakan Dalam aplikasi riset ini menggunakan alat dan media lembar observasi.
D. Prosedur Tindakan Prosedur tindakan terapi AIUEO yaitu: 1. Menjelaskan prosedur tentang pemberian terapi AIUEO. 2. Posisikan pasien terlentang atau duduk dengan nyaman. 3. Memulai mengucapkan lambang-lambang bunyi bahasa sesuai dengan polapola standar, dengan artikulasi organ bicara. Pengartikulasian bunyi bahasa atau dibentuk oleh koordinasi tiga unsur, yaitu unsur motoris (pernafasan),
28
29
unsur yang bervibrasi (tenggorokan dengan pita suara), dan unsur yang beresonansi (rongga penuturan: rongga hidung, mulut dan dada). 4. Pasien dituntut memperhatikan gerak dan posisi organ bicara, sehingga pasien mampu mengendalikan pergerakan organ bicara untuk membentuk atau memproduksi bicara yang benar. Dalam sistem fonem bahasa Indonesia, vokal terdiri dari A, I, U, E dan O, dengan menggerakkan lidah, bibir, otot wajah, dan mengucapkan kata-kata. 5.
Melihat pasien apakah sudah paham atau belum.
6.
Kemudian ulangi gerakan vokal
30
E. Alat Ukur Skala komunikasi fungsional derby No
Ekspresi (E)
0
Tidak mampu Kurang mengekspresik
Pemahaman (P)
atau
menunjukkan
an dan tidak (Tidak
1
Interaksi (I)
tidak Sedikit atau tidak ada
pemahaman. interaksi.
(Tidak
menunjukkan merespon salam, bisa
berusaha
ekspresi muka apapun tidak tertawa atau bertanya
mnarik
ada respon atau memberikan dalam
perhatian
respon yang tidak sesuai)
Tidak mampu Menunjukkan mengekspresik
situasi
yang
tidak pantas).
tanda-tanda Menyadari
adanya
pemahaman bahwa orang kehadiran orang lain,
an kebutuhan, lain sedang berusaha untuk melalui kontak mata tetapi
mengomunikasikan sesuatu, dan
menunjukkan
teapi tidak da
usaha
pasien pat
untuk
tubuh,
sampai tidak mampu
memahami
bahkan berinteraksi
pilihan sebelumnya ya tidak. spesifik,
berkomunikasi 2
putar
secara (misalnya
melalui salam).
Menggunakan
Memahami beberapa pilihan Merespon salam dan
komunikasi
sederhana degan dukungan signal
non-verbal,
non-verbal
(misalnya
menunjukkan
bayam,
cangkir,
menunjuk
kopi), tatapi tidak dapat dan cemberut). Dapat
dengan
atau untuk
menunjuk
simbol-simbol. dan suara
yang
(misalnya disampaikan melalui sebuah ekspresi
wajah
teh, (misalnya tersenyum
jari, memahami kata-kata atau berinteraksi
ekspresi wajah)
sosial
satu
orang
dengan tetapi
hanya untuk waktu sebentar.
31
mengekspresik an
kebutuhan
dasar (misalnya untuk pergi ke toilet). Respon ya tidak tidak dapat diharapkan. 3
Respon tidak
ya Memahami
ekspresi Dapat
dapat sederhana ya
tidak dan dengan
diharapkan.
dapat memahami beberapa secara
Dapat
kata-kata
atau
berinteraksi satu
konsisten
simbol- dengan menggunakan
mengungkapka simbol yang sederhana.
kata-kata
n
komunikasi
konsep
sebuah
orang
dan
aau non-
verbal.
tindakan
atau
benda (misalnya”buk u”,
“makan”,
“kursi”). 4
Mengekspresik Memahami an
ide-ide sederhana yang disampaikan dengan
sederhana secara atau
ide-ide Dapat
melalui
kata-kata
berinteraksi dua
yang secara konsisten dan
veral diucapkan satu persatu atau berpartisipasi dengan secara non verbal.
berbicara singkat (misalnya dapat meminta
orang
sebagaimana mestinya.
32
supaya
buku
diletakkan
di
atas kursi). 5
Mengekspresik Memahami an
ide-ide hanya
bisa
ide-ide
yang Dapat
berinteraksi
diekspresikan dengan
yang
lebih secara lengkap melalui kata- orang
rumit
tetapi kata.
beberapa tetapi
membutuhkan
harus
dukungan
untuk
didukung oleh
berpartisipasi
secara
kominukasi
efektif.
non-verbal (misalnya dapat meminta supaya diberikan minum teh) 6
Mngekspresika Memahami n ide-ide yang percakapan
yang
beberapa Berinteraksi
secara
rumit mandiri
dengan
memerlukan
(rangkaian kalimat) tetapi berapapun banyaknya
kata-kata
sering
(misalnya
pembicaraan.
“ayah
saya
kehilanganarah jumlah orang, tetapi hanya sebentar
dan
dapat
kecewa”).
mengalami beberapa
Dapat
kesulitan
kehilangan
giliran berbicara).
kelancaran bicara gelisah,
saat lelah
dll. 7
bertahan
Dapat
Benar-benar
memahmi Dapat
(misalnya
33
mengekspresik an
komunikasi kompleks, tetapi mempertahankan
ide-ide kadang-kadang
mengalami interaksi
dengan
dalam banyak kesulitan.
berapapun banyaknya
berkomunikasi
jumlah orang dengan
yang
mengalami
kompleks,
sedikit kesulitan.
hanya
tetapi kelancaran berbicaranya berkurang.
8
Tidak
ada Tidak ada masalah yang Tidak
masalah yang terdeteksi.
ada
masalah
dalam interaksi sosial.
terdeteksi. Memasukkan angka
Memasukkan
dari daftar
di
angka atas
daftar di atas menggambarkan
dari Memasukkan
yang dari daftar di atas tingkat yang menggambarkan
yang
pemahaman paling akurat tingkat
menggambark
pasien
an
tingkat sekarang.
dalam
pasien
dalam kondisi sekarang.
Hasil
E=
P=
interaksi
kondisi paling akurat , pasien
sekarang.
ekspresipaling akurat
dalam
angka
I=
kondisi
34
Petunjuk Penggunaan: 1.
Kominikasi ini diuji oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2.
Tujuan utama penelitian adalah untuk mengidentifikasi tingkat kemampuan fungsional komunikasi pasien melalui tiga skala, yaitu kemampuan mengungkapkan, pemahaman dan interaksi.
3.
Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada Menanyakan kepada semua atau keluarga, dan perawat dapat memberikan informasi, tetapi observasi langsung yang penting.
35
Hasil Observasi Hari/tgl
Sebelum sakit
Senin, 04 Setelah
Sesudah sakit skala Setelah
dilakukan
E=
skala
komunikasi ada 3:
– Januari komunikasi ada 3: -2016
dilakukan
diskala
Ekspresi
5 E=
diskala
Ekspresi
5
(mengekspresikan ide-ide yang (mengekspresikan ide-ide yang lebih rumit tetapi harus didukung lebih oleh
komunikasi
non
rumit
tetapi
harus
verbal, didukung oleh komunikasi non
misal “meminta supaya diberikan verbal, misal “meminta supaya minum nanti”. P=
diberikan minum nanti”. skala
Pemahaman
5 P=
skala
Pemahaman
5
(memahami ide-ide yang hanya (memahami ide-ide yang hanya bisa diekspresikan secara lengkap bisa
diekspresikan
secara
lengkap melalui kata-kata).
melalui kata-kata).
I= Interaksi skala 5 (dapat I= Interaksi skala 5 (dapat berinteraksi orang
tetapi
dukungan
beberapa berinteraksi
dengan
membutuhkan orang
untuk
Ekspresi
tetapi
beberapa
membutuhkan
berpartisipasi dukungan untuk berpartisipasi secara efektif).
secara efektif). Selasa, 05 E=
dengan
diskala
5 E=
diskala
Ekspresi
5
Januari – (mengekspresikan ide-ide yang (mengekspresikan ide-ide yang 2016
lebih rumit tetapi harus didukung lebih oleh
komunikasi
non
rumit
tetapi
harus
verbal, didukung oleh komunikasi non
misal “meminta supaya diberikan verbal, misal “meminta supaya minum nanti”. P=
Pemahaman
diberikan minum nanti”. skala
5 P=
Pemahaman
skala
5
(memahami ide-ide yang hanya (memahami ide-ide yang hanya bisa diekspresikan secara lengkap bisa melalui kata-kata).
diekspresikan
secara
lengkap melalui kata-kata).
I= Interaksi skala 5 (dapat I= Interaksi skala 5 (dapat
36
berinteraksi orang
dengan
tetapi
dukungan
beberapa berinteraksi
membutuhkan orang
untuk
dengan
tetapi
beberapa
membutuhkan
berpartisipasi dukungan untuk berpartisipasi
secara efektif).
secara efektif).
Rabu, 06Januari2016
E=
skala
Ekspersi
(Mngekspresikan
6 E=
skala
Ekspersi
6
yang (Mngekspresikan ide-ide yang
ide-ide
memerlukan kata-kata (misalnya memerlukan kata-kata (misalnya “ayah
saya
kecewa”).
Dapat “ayah saya kecewa”). Dapat
kehilangan kelancaran bicara saat kehilangan gelisah, lelah dll) P=
kelancaran
saat gelisah, lelah dll)
Pemahaman
skala
6 P=
skala
Pemahaman
(Memahami beberapa percakapan (Memahami yang rumit tetapi
6
beberapa
(rangkaian kalimat) percakapan
sering
bicara
yang
rumit
kehilanganarah (rangkaian kalimat) tetapi sering
pembicaraan.
kehilanganarah pembicaraan.
I= Interaksi skala 6 “Berinteraksi I=
Interaksi
secara mandiri dengan berapapun “Berinteraksi
skala
secara
6
mandiri
banyaknya jumlah orang, tetapi dengan berapapun banyaknya hanya bertahan sebentar dan dapat jumlah mengalami
beberapa
orang,
tetapi
hanya
kesulitan bertahan sebentar dan dapat
(misalnya giliran berbicara)”.
mengalami beberapa kesulitan (misalnya giliran berbicara)”.
Kamis, 07 Januari2016
E=
Ekspersi
(Mngekspresikan
skala ide-ide
6 E=
Ekspersi
skala
6
yang (Mngekspresikan ide-ide yang
memerlukan kata-kata (misalnya memerlukan kata-kata (misalnya “ayah
saya
kecewa”).
Dapat “ayah saya kecewa”). Dapat
37
kehilangan kelancaran bicara saat kehilangan gelisah, lelah dll) P=
kelancaran
saat gelisah, lelah dll)
Pemahaman
skala
6 P=
skala
Pemahaman
(Memahami beberapa percakapan (Memahami yang rumit tetapi
6
beberapa
(rangkaian kalimat) percakapan
sering
bicara
yang
rumit
kehilanganarah (rangkaian kalimat) tetapi sering kehilanganarah pembicaraan.
pembicaraan.
I= Interaksi skala 6 “Berinteraksi I=
Interaksi
secara mandiri dengan berapapun “Berinteraksi
skala
secara
6
mandiri
banyaknya jumlah orang, tetapi dengan berapapun banyaknya hanya bertahan sebentar dan dapat jumlah mengalami
orang,
tetapi
hanya
kesulitan bertahan sebentar dan dapat
beberapa
(misalnya giliran berbicara)”.
mengalami beberapa kesulitan (misalnya giliran berbicara)”.
Jum’at,
E= Ekspersi skala 7 (Dapat E= Ekspersi skala 7 (Dapat
08-
mengekspresikan ide-ide dalam mengekspresikan ide-ide dalam
Januari-
banyak
2016
kompleks,
berkomunikasi tetapi
yang banyak
berkomunikasi
kelancaran kompleks,
berbicaranya berkurang).
tetapi
yang
kelancaran
berbicaranya berkurang).
P= Pemahaman skala 7 (Benar- P= Pemahaman skala 7 (Benarbenar
memahmi
komunikasi benar
memahmi
komunikasi
kompleks, tetapi kadang-kadang kompleks, tetapi kadang-kadang mengalami kesulitan).
mengalami kesulitan).
I= Interaksi skala 7 (Dapat I= Interaksi skala 7 (Dapat mempertahankan interaksi dengan mempertahankan berapapun
banyaknya
interaksi
jumlah dengan berapapun banyaknya
orang dengan mengalami hanya jumlah orang dengan mengalami sedikit kesulitan).
hanya sedikit kesulitan).
38
Sabtu, 09- E= Ekspersi skala 7 (Dapat E= Ekspersi skala 7 (Dapat Januari-
mengekspresikan ide-ide dalam mengekspresikan ide-ide dalam
2016
banyak
berkomunikasi
kompleks,
tetapi
yang banyak
berkomunikasi
kelancaran kompleks,
berbicaranya berkurang).
tetapi
yang
kelancaran
berbicaranya berkurang).
P= Pemahaman skala 7 (Benar- P= Pemahaman skala 7 (Benarbenar
memahmi
komunikasi benar
memahmi
komunikasi
kompleks, tetapi kadang-kadang kompleks, tetapi kadang-kadang mengalami kesulitan).
mengalami kesulitan).
I= Interaksi skala 7 (Dapat I= Interaksi skala 7 (Dapat mempertahankan interaksi dengan mempertahankan berapapun
banyaknya
interaksi
jumlah dengan berapapun banyaknya
orang dengan mengalami hanya jumlah orang dengan mengalami sedikit kesulitan).
hanya sedikit kesulitan).
Hasil yang didapatkan klien sudah mengalami peningkatan kemampuan berbicara walaupun masih sedikit pelo dan lidah elevasi ke kiri,
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien Asuhan keperawatan pada Tn. S usia 70 tahun, beragama Islam, pekerjaan sebagai wiraswasta, alamat Gendongan yang saat ini dirawat di bangsal Flamboyan lantai 2 RSUD kota Salatiga. Tn. S dirawat sejak 02 Januari 2016 dan di diagnosa dokter menderita SNH atau stroke non hemoragik. Penanggung jawab Tn. S adalah Tn. D, berumur 44 tahun, pekerjaan wiraswasta pendidikan terakhir SMA, beragama Islam, dengan alamat yang sama dengan pasien.
B. Pengkajian riwayat kesehatan 1. Riwayat kesehatan pasien Pengkajian dilakukan pada hari Senin tanggal 04 Januari 2016 jam 11.20 WIB. Metode Pengkajian menggunakan alloanamnesa dan autoanamnesa.
Pengkajian
tentang
riwayat
kesehatan
pasien
didapatkan data, keluhan utama yang dirasakan pasien adalah pasien mengatakan sulit berbicara (pelo) dan sering merasa sakit kepala (pusing). Riwayat penyakit sekarang pasien mengatakan pada jum’at pagi tanggal 01 Januari 2016 jam 10.00 WIB, sedang menyapu halaman rumah, setelah menyapu klien memperbaiki sapunya tiba-tiba
39
40
tangan dan kaki pasien kesemutan, tidak bisa digerakkan dan seperti mati rasa, kemudian pasien mulai bicaranya tidak jelas. Pasien dibawa keluarga ke RSUD kota Salatiga, sesampainya di rumah sakit pasien dianjurkan rawat inap di RSUD Salatiga, tetapi, saat itu kamar untuk rawat inap penuh, kemudian pasien dibawa ke rumah sakit Puriasih dan dirawat di sana selama dua hari pada tanggal 1-2 Januari 2016 dengan diagnosa SNH. Pasien dirujuk ke RSUD kota Salatiga, pada tanggal 02 Januari 2016, selama di instalasi gawat darurat pasien diberikan terapi infus asering dan CT Scan kepala, kemudian pasien dianjurkan dirawat inap dan pasien setuju untuk dirawat inap diruang Flamboyan lantai 2. Hasil pemeriksaan di IGD pada tanggal 02 Januari 2016 TD : 120/80 mmHg, Nadi : 90x/menit, Suhu : 36,6 0C, RR : 21x/menit, GCS : eye : 3, verbal : 3, motorik : 5 , keadaan umum composmentis. Pasien mengalami aphasia dexstra (pelo), kekuatan otot atas 1:4 dan kekuatan otot bawah 1:4 saat di IGD. Therapi obat: clorpidogel 1x75 mg, 1x1 sehari. Hasil pengkajian riwayat dahulu pasien mengatakan pernah rawat inap di rumah sakit Puriasih, tidak ada riwayat operasi, imunisasi pernah tapi pasien tidak mengetahui imunisasi apa, tidak mempunyai kebiasaan merokok tetapi suka makan makanan yang berminyak, berkolesterol dan mie instan setiap hari. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi (keturunan). Pasien tidak ada alergi obat, tidak ada riwayat DM, asma.
41
2. Pengkajian kesehatan keluarga Pasien mengatakan di keluarganya atau genogram tidak ada yang menderita penyakit menurun atau keturunan dengan penyakit menurun.
Genogram
Gambar 2.2 Genogram
Keterangan : : Laki - laki
: Sudah Meninggal
: Perempuan
: Garis keturunan
: Pasien
: Tinggal Serumah
Riwayat kesehatan lingkungan pasien mengatakan pasien hidup atau bertempat tinggal di kampung yang cenderung sehat karena
42
di sana ada pembuangan sampah dan ada tempat penampungan sampah yang telah disediakan untuk pembuangan sampah, di sana juga ada sanitasi yang terdapat air yang cukup. Pemeriksaan pola pengkajian primer didapatkan data airway pasien tidak terpasang endotrakeal tube, tidak ada sumbatan nafas berupa sekret/lendir, breathing pasien terpasang kanul O2 3liter/menit, pernapasan 21x/menit, pengembangan dada kanan dan kiri sama, sirkulasi tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 90x/menit, capilary refill < 3 detik, pupil isokor, terpasang infus asering 20 tpm/jam. Disability keadaan umum sedang GCS : E4 M6 V5 serta exposure tidak terdapat luka / lesi di seluruh tubuh. 3. Pola kesehatan fungsional Pola pengkajian kesehatan fungsional menurut gordon, pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien mengatakan kesehatan itu sangat penting, namun pasien sulit untuk mengatur pola makan dan istirahat, saat pasien dan anggota keluarga ada yang sakit pasien akan membeli obat di warung dekat rumah, jika sakit berlanjut maka akan segera dibawa berobat di pelayanan kesehatan. Pola nutrisi dan metabolisme pasien mengatakan sebelum sakit pasien makan 2x sehari dalam 1 porsi makan dengan menu nasi, mie, gorengan, tidak ada gangguan mual dan muntah, makanan yang paling disukai pasien makanan yang bersantan dan berminyak. Selama sakit pasien mengatakan makan 3x sehari dengan 1 porsi habis jenisnya nasi
43
bubur, sayur, lauk. Sebelum sakit pasien minum air putih, air teh, 5-6 x sehari 6 gelas belimbing, berat badan 60 kg, keadaan fisik sehat. Selama sakit pasien minum air putih, teh, air susu, 6-7 x sehari dengan 1 gelas belimbing. Mukosa bibir tidak kering, keadaan umum sedang. Pengkajian pola eliminasi sebelum sakit pasien mengatakan BAK 4-5 x sehari 750 cc warna kuning pucat, bau khas amoniak. Selama sakit pasien BAK 750 cc warna kuning pucat bau khas amoniak tetesan lancar tidak ada gangguan berkemih. Sebelum sakit BAB 1 x sehari 250 cc konsistensi lunak berbentuk tidak ada keluhan. Selama sakit BAB pasien 1x sehari, kosistensi lunak berbentuk tidak ada keluhan. Pasien tidak terpasang kateter, keadaan bersih. Pengkajian aktivitas dan latihan didapatkan selama sakit kemampuan pasien dalam perawatan diri makan/toileting, berpakaian, mobilitas di tempat tidur mandiri, kemampuan berpindah mandiri, ambulasi/ROM pasien mandiri. Pola pengkajian istirahat dan tempat tidur pasien mengatakan sebelum sakit pasien tidur 7 jam tanpa obat tidur siang jarang dan tidak mengalami gangguan tidur. Selama sakit pasien mengatakan setiap saat mudah tertidur, pasien kadang terbangun kurang nyaman. Pola pengkajian kognitif perseptual pasien sebelum sakit dapat berbicara dengan
lancar. Alat indra (penglihatan, pendengaran,
perabaan, pengecap) normal. Selama sakit keluarga pasien mengatakan pasien mengalami gangguan dalam berbicara, pasien sulit berbicara
44
(pelo). Alat indra yang lain (penglihatan, perabaan, pendengaran, pengecap) normal, tidak ada gangguan, hanya bicaranya cedal dan lidah elevasi ke kiri. Pola persepsi konsep diri, gambaran diri pasien sebelum sakit mengatakan menghargai tubuhnya dengan menjaga kesehatan dirinya agar tetap dapat melakukan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, pasien jarang mengeluh kepada keluarga. Selama sakit pasien mengatakan menghargai tubuhnya dengan menjaga kesehatan, namun sakit yang dideritanya saat ini membuat pasien tidak bisa menjaga dan melakukan pekerjaannya saat di rumah. Pola hubungan peran sebelum sakit pasien mengatakan hubungan dengan keluarga dan dengan masyarakat baik dan harmonis. Selama sakit keluarga pasien mengatakan hubungan dengan keluarga dan masyarakat serta tim medis baik dan harmonis. Pola seksualitas reproduksi pasien mengatakan seorang suami atau bapak yang mempunyai 4 orang anak, hubungan dengan istri baik. Pola mekanisme koping Tn. S mengatakan setiap ada masalah pasien selalu meminta bantuan keluarga untuk menyelesaikannya dan diselesaikan dengan cara musyawarah bersama keluarga. Tn. S seorang yang beragama Islam dan selalu berusaha menjalankan kewajibannya. 4. Pemeriksaan fisik Tn. S tampak lemah dengan kesadaran composmentis, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 21 x/menit, dan suhu
45
36,3 0C. Bentuk kepala Tn. S mesocepal, kulit bersih, rambut bersih ada ubannya dengan muka simetris tapi keadaan bibir pelo lidah elevasi ke kiri. Mata simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada gangguan penglihatan. Keadaan hidung normal, tidak ada sekret. Mulut normal bibir simetris tetapi saat berbicara bibir pelo lidah elevasi ke kiri, mukosa bibir tidak kering, gigi omong menggunakan gigi pasangan. Keadaan telinga normal kanan dan kiri, tidak ada serumen, dan berfungsi dengan baik. Keadaan leher tidak ada kaku kuduk dan tidak ada pembesaran kelenjar tyroid. Hasil pemeriksaan dada, inspeksi bentuk dada normochas (datar) normal, tidak ada jejas dan tidak ada gangguan otot bantu nafas, palpasi vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi pekak di seluruh lapang paru, auskultasi tidak ada suara tambahan, tidak terdapat suara whezing (vesikuler). Pemeriksaan jantung, inspeksi bentuk simetris, tidak terlihat ictus cordis, palpasi ictus cordis teraba di ICS 4 mid clavicula sinistra, perkusi tidak ada pelebaran jantung, auskultasi lup dup (vaskuler). Hasil pemeriksaan abdomen, inspeksi perut buncit, tidak ada jejas atau bekas luka, auskultasi bising usus 15x/menit (supel), perkusi pekak dikuadran I,II,III dan IV tympani, palpasi tidak ada nyeri tekan. Genitalia bersih tidak terpasang kateter, normal. Rektum bersih dan normal, serta ekstremitas atas kanan dan kiri normal, dan ekstremitas bawah kanan dan kiri sama normal tapi pada pemeriksaan
46
ekstremitas rabu tanggal 06 Januari ekstremitas atas kanan normal dan kiri lemah, dan ekstremitas bawah kanan dan kiri normal. 5. Pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan CT-Scan pada tanggal 02 Januari 2016 didapatkan hasil X foto CT-Scan kepala, kesan gambaran lacunar infark di corona radiata sinistra dan crus posterior infark di hemisfer sinistra, tak tampak gambaran intracelebral hemorrhge, gambaran covum pellucidum dan covum velum interpositural. Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 03 Januari 2016 didapatkan glukosa darah sewaktu 79 mg/dl, kolesterol total 251 mg/dl, trigliserida 169 mg/dl, HDL 54 mg/dl, LDL 193 mg/dl. 6. Therapi Therapi yang diperoleh Tn. S adalah asering 20 tpm, citicolin 250 mg/12 jam, piracetam 2x3 gr/12 jam, ranitidin 25 mg/12 jam, manitol 4x100 cc, clorpidogel (CPG) 75 mg/24 jam.
C. Rumusan Masalah keperawatan Hasil pengkajian secara wawancara dan observasi kepada pasien, penulis menemukan masalah antara lain : 1. Masalah utama pada Tn. S adalah gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan infark pembuluh darah diotak. Data subyektif Tn. S mengatakan kadang-kadang masih merasa sakit kepala (pusing), dan data obyektif pasien tampak sulit berbicara (pelo), hasil CT Scan kesan
47
gambaran lacunar infark dicorona radiata sinistra dan cras posterial infark dihemisfer cerebelli sinistra, tak tampak gambaran intracerebral hemocchge,
gambaran
covum
pellucidum
dan
covum
vellum
interpositural. 2. Masalah keperawatan kedua adalah gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara. Data subyektif Tn. S mengatakan sulit berbicara (pelo), dan data obyektifnya adalah Tn. S saat menjawab pertanyaan kurang jelas dan bicaranya cedal (pelo).
D. Intervensi keperawatan Tujuan yang dibuat penulis berdasarkan masalah keperawatan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam diharapkan masalah dapat teratasi dengan kriteria hasil menggunakan metode SMART (spesific, measurable, achieveble, rasional, and Timing) dan intervensi keperawatan dengan metode ONEC (observation, Nursing needed, education, and colaboration), intervensi keperawatan untuk Tn. S adalah : 1. Gangguan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan infark pembuluh diotak. Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Tn. S masalah vital sign stabil, gangguan perfusi jaringan dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien tidak mengeluh pusing, tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 60-80 x/menit.
48
Intervensi yang diberikan pada Tn. S adalah kaji tanda-tanda vital untuk memonitor tekanan darah, suhu, nadi, berikan pendidikan kesehatan seputar penyakit stroke untuk pengetahuan klien dan keluarga seputar penyakit yang diderita, berikan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung agar dapat istirahat untuk mengurangi TIK, kolaborasikan dengan dokter untuk terapi obat untuk memperbaiki perfusi selebral, kolaborasi pemberian oksigen sesuai untuk menurunkan hipoksia yang dapat vasodilatasi selebral. 2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara. Tujuan dalam waktu 3x24 jam diharapkan pasien dapat berkomunikasi dengan jelas dan berfungsi secara optimal dengan kriteria hasil: pasien mampu untuk memperoleh, mengatur dan menggunakan informasi, mampu mengontrol respon ketakutan dan kecemasan
terhadap
ketidakmampuan
berbicara,
Mampu
mengkomunikasikan kebutuhan dengan lingkungan sosial. Terapi AIUEO atau terapi wicara ini dilakukan 2 x sehari. Intervensi yang diberikan adalah berbicara metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat untuk memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan pasien, bicara dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak” untuk mengurangi kecemasan dan kebingungan saat komunikasi,
anjurkan
kepada
keluarga
pasien
untuk
tetap
berkomunikasi dengan pasien untuk mengurangi rasa isolasi sosial dan
49
meningkatkan komunikasi yang efektif, hargai pasien dalam berkomunikasi untuk memberi semangat pada pasien agar lebih sering berkomunikasi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk terapi wicara untuk melatih pasien berbicara secara mandiri dengan baik dan benar, berikan terapi AIUEO hari pertama memberikan tujuan terapi AIUEO dan pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan huruf vokal AIUEO, hari kedua pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan AIUEO, hari ketiga pemberian terapi AIUEO dengan kata-kata aku, ibu, udang, elang, orang dilakukan berulang, hari keempat pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan kata apa, aku, ikan, itik, ular, uang, elang, entok, orang, onde-onde dilakukan berulang dengan benar, hari kelima pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan kata AA,A, Abang, UU,U Ular, II,I Ikan, EE,E Elang, O,OO Orang, hari keenam pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan kata AA,A, I, I, I, UU, U, EE, E, OO,O dan aku, abang, ikan ,indah, ular, udang, elang, entok, orang, obat dilakukan berulang-ulang dengan benar untuk melatih klien berbicara dengan jelas dan benar.
E. Implementasi keperawatan Tindakan keperawatan yang diberikan pada tanggal 04 Januari 2016 pada pukul 11.35 WIB, pada diagnosa pertama mengobservasi tandatanda vital atau vital sign pasien didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan kadang-kadang merasa pusing dan respon obyektif adalah Tn.
50
S Td :110/80 mmHg, nadi : 90 x/menit, respirasi : 21 x/menit, suhu : 36,3 0
C, pasien dapat melakukan aktivitas. Pada pukul 11.40 WIB,
pada
diagnosa pertama dilakukan tindakan pemberian pendidikan kesehatan seputar penyakit stroke didapatkan respon subyektif Tn. S pasien mengatakan sering makan makanan yang berminyak, kolesterol dan mie instan setiap hari dan respon obyektifnya klien memahami dan mengerti tentang pendidikan kesehatan yang diberikan, pasien tahu bahwa makanan yang berminyak, berkolesterol itu tidak dianjurkan untuk pasien stroke. Pada pukul 12.00 WIB, pada diagnosa dilakukan tindakan kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi didapatkan respon subyektif Tn. S bersedia diberikan oksigen dan respon obyektif Tn. S tampak terpasang oksigen dengan indikasi 3L/menit. Pada pukul 12.15 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan pemberian terapi AIUEO (hari pertama memberikan tujuan terapi AIUEO dengan mengucapkan huruf vokal AIUEO didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan memahami dan mau untuk dilakukan terapi AIUEO dan respon obyektif Tn. S terlihat kooperatif mengikuti terapi yang diajarkan. Pada pukul 12.45 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan berbicara dengan pasien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “iya” atau “tidak” didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan sulit berbicara (pelo) dan respon obyektif Tn. S merespon pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak”. Pada pukul 13.20 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan pemberian terapi AIUEO didapatkan respon subyektif adalah Tn. S
51
mengatakan bersedia dilakukan terapi AIUEO dan respon obyektif adalah Tn. S tampak bersemangat dalam terapi. Tindakan keperawatan yang diberikan pada tanggal 5 Januari 2016 pukul 14.20 WIB, pada diagnosa pertama dilakukan tindakan mengkaji tanda-tanda vital yang didapatkan respon subyektif adalah Tn. S mengatakan sudah tidak pusing dan data obyektif Tn. S dapat bangun sendiri, tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 90 x/menit, respirasi: 21 x/menit, suhu: 36,1 0C. Pukul 14.50 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan pemberian terapi AIUEO (hari kedua pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan vokal AIUEO) didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan bersedia dilakukan terapi dan data obyektif adalah Tn. S terlihat kooperatif dan melakukan terapi dengan baik. Pukul 15.30 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan berbicaralah dengan pasien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang menggunakan jawaban “iya” atau “tidak” didapatkan data subyektif Tn. S mengatakan masih pelo dan berbicaranya masih kurang jelas dan respon obyektif adalah Tn. S terlihat menjawab pertanyaan dengan baik. Pukul 16.00 WIB, pada diagnosa pertama dilakukan tindakan kolaborasikan pemberian oksigen sesuai indikasi didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan sudah tidak sesak nafas dan respon obyektif adalah Tn. S tampak sudah tidak terpasang oksigen. Pada pukul 18.30 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan pemberian terapi AIUEO didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan
52
sudah bisa berbicara lancar tapi masih kurang jelas (pelo) dan respon obyektif adalah Tn. S merespon terapi dilakukan dengan baik. Tindakan keperawatan yang diberikan tanggal 6 Januari 2016 pukul 14.30 pada diagnosa pertama dan ketiga dilakukan tindakan memonitor tanda-tanda vital sign atau ttv didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan pusing pada saat bangun tidur saja dan respon obyektif adalah Tn. S dapat melakukan aktivitas secara mandiri tekanan darah: 110/80 mmHg, nadi: 80 x/menit, respirasi: 22 x/menit, suhu: 36,8 0C. Pukul 15.00 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan pemberian terapi AIUEO (hari ketiga dengan mengucapkan huruf vokal AIUEO dan dengan kata aku, ibu, uang, elang, orang dilakukan berulang-ulang) didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan sudah ada perubahan saat berbicara tapi masih sedikit pelo dan respon obyektif adalah Tn. S dapat merespon terapi dengan baik dan kooperatif. Pukul 15.45 WIB, pada diagnosa
ketiga
dilakukan
tindakan
pemberian
analgetik
untuk
mengurangi nyeri didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan tangan kirinya nyeri karena setelah terpasang infus dan respon obyektif adalah Tn. S tampak menahan sakit. Pukul 16.30 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan pemberian terapi AIUEO didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan mengetahui terapi dilakukan 2x sehari dan respon obyektif adalah Tn. S tampak jelas dalam berbicara walaupun kadangkadang masih sulit berbicara (pelo).
53
F. Evaluasi keperawatan Hasil evaluasi pada hari senin 04 Januari 2016 pada jam 09.00 WIB pada diagnosa gangguan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan infark pembuluh darah diotak didapatkan data subyektif pasien mengatakan kadang-kadang mengalami pusing. Data obyektifnya pasien tampak gelisah dan sedikit tidak tenang, TD : 110/80 mmHg, nadi : 90 x/menit, respirasi : 21 x/menit, suhu : 36,3 0C, ekstremitas atas bawah normal 5. Analisa masalah pasien masih merasa pusing masalah belum teratasi. Planing lanjutkan intervensi. monitor ttv, berikan penkes seputar stroke, berikan lingkungan yang nyaman, dan batasi pengunjung, kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi. Pukul 13.30 WIB, diagnosa gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara didapatkan data subyektif pasien mengatakan sulit berbicara (pelo), data obyektifnya pasien tampak masih sulit berbicara, sulit mengungkapkan keluhan, pasien tampak merespon dan menjawab “ya” atau “tidak” saat ditanya perawat, analisa masalah belum teratasi bicaranya masih kurang jelas, planing lanjutkan intervensi berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat, bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”, ajarkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan pasien, hargai pasien dalam berkomunikasi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan wicara, berikan terapi AIUEO.
54
Edukasikan kepada keluarga pasien dan pasien untuk melatih terapi AIUEO di rumah sebanyak 2x sehari. Hasil evaluasi hari selasa, 5 Januari 2016 pada pukul 14.30 WIB, diagnosa gangguan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan infark pembuluh darah diotak didapatkan data subyektif pasien mengatakan sudah tidak pusing, pasien mengatakan sudah tidak sesak nafas, pasien dan keluarganya sudah memahami dan mengerti tentang pendidikan kesehatan yang diberikan. Data obyektifnya pasien sudah tidak terpasang oksigen, pasien sudah tahu dan dapat menjelaskan tentang hal yang tidak dianjurkan pada pasien stroke tekanan darah 110/80 mmHg. Analisa masalah sudah teratasi pusing sudah tidak terasa. Planing pertahankan intervensi kaji tanda-tanda vital, berikan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat. Pukul 18.30 WIB, diagnosa gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara didapatkan data subyektif pasien mengatakan sudah bisa berbicara lancar tapi masih kurang jelas (pelo). Data obyektifnya pasien tampak merespon terapi yang dilakukan dengan baik, ekstremitas atas dan bawah normal. Analisa masalah bicara pasien masih sedikit pelo masalah belum teratasi. Planing lanjutkan intervensi berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat, bicaralah dengan pasien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”, ajarkan kepada keluarga untuk tetap
55
berkomunikasi dengan pasien, hargai pasien dalam berkomunikasi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan wicara, berikan terapi AIUEO. Hasil evaluasi hari rabu 6 Januari 2016 jam 14.45 WIB pada diagnosa gangguan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan infark pembuluh darah diotak didapatkan data subyektif pasien mengatakan pusing pada saat bangun tidur saja. Data obyektifnya pasien dapat melakukan aktivitas, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 22 x/menit, suhu 36,8 0C. Analisa masalah pusing masih hilang timbul masalah belum teratasi. Planing lanjutkan intervensi kaji tandatanda vital, berikan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat. Pukul 16.00 WIB pada diagnosa gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara didapatkan data subyektif pasien mengatakan sudah ada perubahan saat berbicara walaupun masih sedikit pelo. Data obyektifnya pasien dapat merespon terapi dengan baik dan kooperatif. Analisa masalah bicara pasien masih sedikit kurang jelas dan pelo masalah belum teratasi. Planing lanjutkan intervensi berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat, bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”, ajarkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan pasien, hargai pasien dalam berkomunikasi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan wicara, berikan terapi AIUEO. Edukasikan ke keluarga dan
56
pasien untuk melatih terapi AIUEO di rumah 2x sehari dengan cara pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan huruf vokal AIUEO, hari kedua pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan AIUEO, hari ketiga pemberian terapi AIUEO dengan kata-kata aku, ibu, udang, elang, orang dilakukan berulang, hari keempat pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan kata apa, aku, ikan, itik, ular, uang, elang, entok, orang, onde-onde dilakukan berulang dengan benar, hari kelima pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan kata AA,A, Abang, UU,U Ular, II,I Ikan, EE,E Elang, O,OO Orang, hari keenam pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan kata AA,A, I, I, I, UU, U, EE, E, OO,O dan aku, abang, ikan ,indah, ular, udang, elang, entok, orang, obat dilakukan berulang-ulang dengan benar untuk melatih klien berbicara dengan jelas dan benar.
BAB V PEMBAHASAN
Bab V ini penulis akan membahas tentang aplikasi jurnal pemberian terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pada asuhan keperawatan Tn. S dengan stroke non hemoragik diruang flamboyan lantai 2 RSUD kota Salatiga yang dilakukan pada tanggal 4 Januari sampai 10 Januari 2016. Penulis juga akan membahas tentang adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara teori dengan asuhan keperawatan pada Tn. S dengan stroke non hemoragik. A. Pengkajian Langkah pertama dari proses keperawatan yaitu pengkajian keperawatan. Pengkajian keperawatan adalah proses mengumpulkan data relevan yang kontinue tentang respon manusia, status kesehatan, kekuatan, dan masalah klien. Tujuan dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi
tentang
keadaan
kesehatan
klien,
menentukan
masalah
keperawatan dan kesehatan klien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-langkah berikutnya (Dermawan, 2012). Stroke adalah gangguan saraf permanen akibat terganggunya peredaran darah ke otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih (Lingga, 2013).
Stroke
merupakan
gangguan
peredaran
darah
otak
yang
menyebabkan defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak (Nanda, 2013).
57
58
Pengkajian stroke terhadap Tn. S dengan stroke non hemoragik di ruang flamboyan lantai 2 RSUD kota Salatiga menggunakan metode autoanamnesa dan alloanamnesa, dimulai dari biodata pasien, riwayat kesehatan, pengkajian pola kesehatan gordon, pengkajian fisik, dan di dukung dengan hasil laboratorium dan hasil pemeriksaan penunjang. Metode dalam mengumpulkan data adalah observasi yaitu, dengan mengamati perilaku dan keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah-masalah yang dialami. Data dasar tersebut digunakan untuk menentukan diagnosis keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah pasien (Dermawan, 2012). Hasil pengkajian pada tanggal 4 Januari 2016 keluhan utama yang dirasakan pasien adalah pasien mengatakan sulit berbicara (pelo) dan sering merasa sakit kepala (pusing). Sulit berbicara dan sakit kepala merupakan salah satu menifestasi klinik stroke hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa sering pusing, mengalami gangguan kognitif dan deminsia ketika berkomunikasi dengan orang lain (Lingga, 2013). Pengkajian fokus yang penulis uraikan adalah tentang pengkajian pada afasia motoriknya atau pelonya dengan menggunakan pemeriksaan GCS eye, motorik, dan verbal untuk pemeriksaan fisik pada pasien dengan stroke non hemoragik. Pemeriksaan GCS dengan eye pasien dapat membuka dan menutup mata dengan normal, motorik pasien dapat merespon dengan baik dan verbalnya pasien mengalami gangguan dalam berbicara, karena pelo, saat bicara kurang jelas dan mulut elevasi ke kiri.
59
Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan sebagai disatria, kesulitan bicara yang ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti disebabkan
oleh
paralysis
otot
yang
bertanggung
jawab
untuk
menghasilkan bicara (Rosjidi, 2014). Berbicara sulit (pelo) merupakan salah satu manifestasi klinik hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa mengalami gangguan kognitif dan demensia ketika berkomunikasi dengan orang lain (Lingga, 2013). Hasil pengkajian fisik tanda-tanda vital pasien di dapatkan hasil : tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 90 x/menit, respirasi 21 x/menit, suhu 36,3 0C. Hasil pemeriksaan CT-Scan didapatkan adanya gambaran infark pembuluh darah diotak cerebri, kesan : gambaran lacunar infark dicorona radiata sinistra dan crus posterior infark di hemisfer sinistra, tak tampak gambaran intracelebral hemorrhge, gambaran covum pellucidum dan covum velum interpositural. Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil glukosa darah sewaktu 79 mg/dl, kolesterol total 251 mg/dl, trigliserida 169 mg/dl, HDL 54 mg/dl, LDL 193 mg/dl.
B. Perumusan Masalah Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau potensial pasien terhadap masalah kesehatan. Respon aktual dan potensial pasien didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literature yang berkaitan, catatan medis pasien. Hasil pengkajian dan pengelompokkan data penulis menemukan beberapa masalah kesehatan
60
dan memfokuskan pada fungsi kesehatan fungsional yang membutuhkan dukungan dan bantuan pemulihan sesuai dengan kebutuhan hirarki maslow (Potter dan Perry, 2005). Diagnosa keperawatan mencerminkan masalah kesehatan yang dapat diatasi oleh perawat yang memberikan arahan untuk intervensi keperawatan (Dermawan, 2012). Secara teori diagnosa yang mungkin muncul pada diagnosa stroke, pertama nyeri yang berhubungan dengan agen cedera biologis. Kedua, gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan perubahan sistem saraf pusat. Ketiga, kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, cedera otak, dan kehilangan keseimbangan (Nugroho, 2011). Hasil perumusan masalah sesuai dengan pengkajian keperawatan pada Tn. S ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan hirarki kebutuhan dasar menurut Maslow yaitu prioritas diagnosa pertama gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan infark pembuluh darah di otak. Infark pembuluh darah diotak karena adanya hasil pemeriksaan CT-Scan didapatkan adanya gambaran infark pembuluh darah diotak cerebri, kesan : gambaran lacunar infark dicorona radiata sinistra dan crus posterior infark di hemisfer sinistra, tak tampak gambaran intracelebral hemorrhge, gambaran covum pellucidum dan covum velum interpositural. Perumusan masalah keperawatan gangguan gangguan perfusi jaringan serebral meliputi data subyektif dan data obyektif. Data subyektif
61
Tn. S mengatakan kadang pusing. Data obyektifnya pasien tampak sulit berbicara (pelo), TD : 110/80 mmHg, nadi : 90 x/menit, respirasi : 21 x/menit, suhu : 36,3 0C, gambaran infark serebri, kesan : gambaran lacunar infark dicorona radiata sinistra dan crus posterior infark di hemisfer sinistra, tak tampak gambaran intracelebral hemorrhge, gambaran covum pellucidum dan covum velum interpositural pada Tn. S, sesuai dengan batasan karakteristik pada wilkinson (2009) yaitu terjadi perubahan fungsi motorik. Batasan karakteristik pada diagnosa gangguan perfusi selebral yaitu dengan dilihat data obyektifnya dengan perubahan status mental, perubahan pupil, kesulitan menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, paralisis dan ketidaknormalan dalam berbicara (Ahem,2011). Gangguan perfusi jaringan serebral adalah penurunan sirkulasi darah ke otak yang mengganggu kesehatan (Wilkinson,2009). Keluhan utama pada penderita stroke mengalami pusing karena terjadinya asterioskerosis selebral
dan perlambatan sirkulasi serebral. Rasa
kesemutan yang dialami penderita stroke diakibatkan aliran darah terhambat (Brunner & Suddrath, 2002). Berdasarkan data tersebut penulis memprioritaskan diagnosa gangguan perfusi jaringan serebral karena berdasarkan keaktualan masalah yang mengancam nyawa sesuai dengan Hierarki Maslow (1974), yang memprioritaskan kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan paling utama. Diagnosa keperawatan kedua yang diangkat penulis adalah gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer
62
wicara. Kerusakan komunikasi verbal merupakan penurunan, kelambatan, atau ketidakmampuan untuk menerima, memproses, mengirim, dan atau menggunakan sistem tombol. Batasan karakteristiknya : tidak ada kontak mata, tidak dapat bicara, kesulitan memahami pola, komunikasi yang biasa, kesulitan menyusun kata, kesulitan menyusun kalimat, kesulitan dalam kehadiran tertentu, kesulitan dalam menggunakan ekspresi tubuh, kesulitan menggunakan ekspresi wajah, disorientasi terhadap orang, tidak bicara, dispnea, gagap, pelo, sulit bicara, menolak bicara (Wilkinson, 2009). Data
yang
mendukung
diagnosa
keperawatan
gangguan
komunikasi verbal, didapatkan data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah pasien dan keluarga Tn. S mengatakan pasien sulit berbicara (pelo) dan bicara tidak jelas cedal, mulut elevasi ke kiri. Data obyektif adalah Tn. S saat menjawab pertanyaan kurang jelas dan bicaranya cedal (pelo).Yang dialami oleh pasien, sudah sesuai dengan batasan karakteristik dalam NANDA tahun 2012-2014, hal ini dikarenakan untuk memenuhi komunikasi verbal dengan orang lain masih kesulitan. Berdasarkan data tersebut penulis memprioritaskan diagnosa gangguan komunikasi verbal berdasarkan hirarki kebutuhan menurut maslow yaitu dalam kebutuhan kedua mencakup kebutuhan keamanan dan keselamatan (fisik dan psikologis) yang merupakan kebutuhan paling dasar kedua yang diprioritaskan (Potter dan Perry, 2005). Penulis
63
mengangkat diagnosa tersebut karena menyangkut program rehabilitasi medik yang akan penulis terapkan yaitu terapi AIUEO. C. Intervensi Keperawatan Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan. (Dermawan, 2012). Intervensi atau rencana yang akan dilakukan oleh penulis disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat dilaksanakan dengan SMART, spesifik, measurable, acceptance, rasional dan timing (Dermawan, 2012). Penambahan dari intervensi yang meliputi tujuan, kriteria hasil dan tindakan yaitu pada diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan yang dilakukan penulis yaitu dengan metode ONEC (observation, nursing needed, education, and colaboration), intervensi keperawatan untuk Tn. S adalah : 3. Gangguan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan infark pembuluh diotak. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan Tn. S masalah vital sign stabil, gangguan perfusi jaringan dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien tidak mengeluh pusing, tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 60-80 x/menit. Intervensi yang penulis rumuskan menggunakan ONEC (Observation, Nursing
64
Intervention,
Education,
Collaboration)
observation:
lakukan
pengkajian tanda-tanda vital untuk memonitor tekanan darah, suhu, nadi. Nursing intervention: Berikan pendidikan kesehatan seputar penyakit stroke untuk pengetahuan klien dan keluarga seputar penyakit yang diderita. Education: Berikan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung agar dapat istirahat untuk mengurangi TIK. Collaboration: Kolaborasikan dengan dokter untuk terapi obat untuk memperbaiki perfusi selebral (Nursalam, 2008). Kolaborasi pemberian oksigen sesuai untuk menurunkan hipoksia yang dapat vasodilatasi selebral. 4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat berkomunikasi dengan jelas dan berfungsi secara optimal
dengan kriteria hasil:
memperoleh,
mengatur
mengontrol
respon
dan
pasien mampu untuk
menggunakan
ketakutan
dan
informasi,
kecemasan
mampu terhadap
ketidakmampuan berbicara, Mampu mengkomunikasikan kebutuhan dengan lingkungan sosial. Intervensi yang diberikan adalah observation: berbicara metode alternatif komunikasi, misal dengan
bahasa isyarat untuk
memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan pasien, Education: bicara dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan
65
yang jawabannya “ya” atau “tidak” untuk mengurangi kecemasan dan kebingungan saat komunikasi, Nursing intervention : anjurkan kepada keluarga pasien untuk tetap berkomunikasi dengan pasien untuk mengurangi rasa isolasi sosial dan meningkatkan komunikasi yang efektif, hargai pasien dalam berkomunikasi untuk memberi semangat pada pasien agar lebih sering berkomunikasi, Collaboration: kolaborasi dengan fisioterapi untuk terapi wicara untuk melatih pasien berbicara secara mandiri dengan baik dan benar, berikan terapi AIUEO hari pertama memberikan tujuan terapi AIUEO dan pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan huruf vokal AIUEO, hari kedua pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan AIUEO, hari ketiga pemberian terapi AIUEO dengan kata-kata aku, ibu, udang, elang, orang dilakukan berulang, hari keempat pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan kata apa, aku, ikan, itik, ular, uang, elang, entok, orang, onde-onde dilakukan berulang dengan benar, hari kelima pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan kata AA,A, Abang, UU,U Ular, II,I Ikan, EE,E Elang, O,OO Orang, hari keenam pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan kata AA,A, I, I, I, UU, U, EE, E, OO,O dan aku, abang, ikan ,indah, ular, udang, elang, entok, orang, obat dilakukan berulang-ulang dengan benar untuk melatih klien berbicara dengan jelas dan benar (Wardhana, 2011).
66
D. Implementasi keperawatan Implementasi adalah serangkaian kagiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Dermawan, 2012). Proses
implementasi
penulis
mengkaji
kembali
klien,
memodifikasi rencana asuhan, dan menuliskan kembali hasil yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan. Komponen implementasi dari proses keperawatan mempunyai lima tahap: mengkaji ulang, menelan dan memodifikasi rencana asuhan yang sudah ada, mengidentifikasi area bantuan,
mengimplementasikan
intervensi
keperawatan,
dan
mengkomunikasikan intervensi (Potter dan Perry, 2005). Dalam pembahasan ini penulis berusaha menerangkan hasil aplikasi riset keperawatan manfaat pemberian terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara Tn. S dengan stroke non hemoragik. Penulis melakukan implementasi berdasarkan dari intervensi yang telah disusun dengan memperhatikan aspek tujuan dan kriteria hasil dalam rentang normal yang diharapkan. Tindakan keperawatan yang penulis lakukan selama 3 hari kelolaan pada asuhan keperawatan Tn. S dengan stroke non hemoragik yaitu: 1. Gangguan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan infark pembuluh diotak.
67
Tanggal 04 Januari
2016 penulis melakukan tindakan
mengobservasi tanda-tanda vital atau vital sign pasien didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan kadang-kadang merasa pusing dan respon obyektif adalah Tn. S Td :110/80 mmHg, nadi : 90 x/menit, respirasi : 21 x/menit, suhu : 36,3 0C, pasien dapat melakukan aktivitas. Pada pukul 11.40 WIB, pada diagnosa pertama dilakukan tindakan pemberian pendidikan kesehatan seputar penyakit stroke didapatkan respon subyektif Tn. S pasien mengatakan sering makan makanan yang berminyak, kolesterol dan mie instan setiap hari dan respon obyektifnya klien memahami dan mengerti tentang pendidikan kesehatan yang diberikan, pasien tahu bahwa makanan yang berminyak, berkolesterol itu tidak dianjurkan untuk pasien stroke. Pada pukul 12.00 WIB, pada diagnosa dilakukan tindakan kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi didapatkan respon subyektif Tn. S bersedia diberikan oksigen dan respon obyektif Tn. S tampak terpasang oksigen dengan indikasi 3L/menit. Tanggal 5 Januari 2016 pukul 14.20 WIB, pada diagnosa pertama dilakukan tindakan mengkaji tanda-tanda vital yang didapatkan respon subyektif adalah Tn. S mengatakan sudah tidak pusing dan data obyektif Tn. S dapat bangun sendiri, tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 90 x/menit, respirasi: 21 x/menit, suhu: 36,1 0C. Tanggal 6 Januari 2016 penulis melakukan tindakan memonitor tanda-tanda vital sign atau ttv didapatkan respon subyektif Tn. S
68
mengatakan pusing pada saat bangun tidur saja dan respon obyektif adalah Tn. S dapat melakukan aktivitas secara mandiri tekanan darah: 110/80 mmHg, nadi: 80 x/menit, respirasi: 22 x/menit, suhu: 36,8 0C. Pemberian oksigen sesuai indikasi 3L/menit berfungsi untuk menurunkan hipoksia yang dapat vasodilatasi serebral, diharapkan perfusi jaringan serebral bisa teratasi, oksigen yang terpasang berguna untuk terapi pada pasien stroke karena mengalami gangguan perfusi serebral, adapun obat yang diberikan berupa citicolin, piracetam, manitol yang disuntikan melalui selang infus. Citicolin: berfungsi untuk percepatan rehabilitasi ekstremitas atas dan bawah yang mengalami hemipinia, piracetam: berfungsi untuk infark serebral, gejala, involusi, yang berhubungan dengan usia lanjut, manitol: berfungsi untuk memperlancar diuresis dan ekresi material toksik dalam urin dan untuk mengurangi TIK yang tinggi. 2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara. Tanggal 04 Januari 2016 penulis melakukan tindakan pemberian terapi AIUEO (hari pertama memberikan tujuan terapi AIUEO dengan mengucapkan huruf vokal AIUEO didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan memahami dan mau untuk dilakukan terapi AIUEO dan respon obyektif Tn. S terlihat kooperatif mengikuti terapi yang diajarkan. Pada pukul 12.45 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan berbicara dengan pasien secara pelan dan gunakan
69
pertanyaan yang jawabannya “iya” atau “tidak” didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan sulit berbicara (pelo) dan respon obyektif Tn. S merespon pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak”. Pada pukul 13.20 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan pemberian terapi AIUEO didapatkan respon subyektif adalah Tn. S mengatakan bersedia dilakukan terapi AIUEO dan respon obyektif adalah Tn. S tampak bersemangat dalam terapi. Tanggal 5 Januari 2016 penulis melakukan tindakan pemberian terapi AIUEO (hari kedua pemberian terapi AIUEO dengan mengucapkan vokal AIUEO) didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan bersedia dilakukan terapi dan data obyektif adalah Tn. S terlihat kooperatif dan melakukan terapi dengan baik. Pukul 15.30 WIB, pada diagnosa kedua dilakukan tindakan berbicaralah dengan pasien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang menggunakan jawaban “iya” atau “tidak” didapatkan data subyektif Tn. S mengatakan masih pelo dan berbicaranya masih kurang jelas dan respon obyektif adalah Tn. S terlihat menjawab pertanyaan dengan baik. Penulis
melakukan tindakan pemberian terapi
AIUEO
didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan sudah bisa berbicara lancar tapi masih kurang jelas (pelo) dan respon obyektif adalah Tn. S merespon terapi dilakukan dengan baik. Tanggal 06 Januari 2016 penulis melakukan tindakan pemberian terapi AIUEO (hari ketiga dengan mengucapkan huruf vokal AIUEO
70
dan dengan kata aku, ibu, uang, elang, orang dilakukan berulangulang) didapatkan respon subyektif Tn. S mengatakan sudah ada perubahan saat berbicara tapi masih sedikit pelo dan respon obyektif adalah Tn. S dapat merespon terapi dengan baik dan kooperatif. Terapi wicara, ada juga yang menyebut terapi AIUEO, merupakan terapi untuk membantu seseorang menguasai komunikasi bicara dengan lebih baik. Terapi ini memfokuskan pada perbaikan cara bicara penderita stroke yang pada umumnya mengalami kehilangan kemampuan bicara akibat adanya saraf yang mengalami gangguan. Terapi wicara membantu penderita untuk mengunyah, berbicara, maupun mengerti kembali kata-kata. (Ida Farida dan Nila Amalia, 2009). Latihan pembentukan huruf vokal terjadi dari getaran selaput suara dengan nafas keluar mulut tanpa mendapat halangan. Dalam sistem fonem bahasa Indonesia, vokal terdiri dari A, I, U, E dan O. Dalam pembentukan vokal yang penting diperhatikan adalah letak dan bentuk lidah, bibir, rahang, dan langit-langit lembut (velum) (Gunawan, 2008). Hal ini juga diperkuat Wiwit (2010), pasien stroke yang mengalami gangguan bicara dan komunikasi, salah satunya dapat ditangani dengan cara terapi AIUEO untuk menggerakkan lidah, bibir, otot wajah, dan mengucapkan kata-kata. Teknik AIUEO yaitu dengan cara menggerakkan otot bicara yang akan digunakan untuk mengucapkan lambang-lambang bunyi bahasa
71
yang sesuai dengan pola-pola standar, sehingga dapat dipahami oleh pasien.
Hal
ini
disebut
dengan
artikulasi
organ
bicara.
Pengartikulasian bunyi bahasa atau suara akan dibentuk oleh koordinasi tiga unsur, yaitu unsur motoris (pernafasan), unsur yang bervibrasi (tenggorokan dengan pita suara), dan unsur yang beresonansi (rongga penuturan: rongga hidung, mulut dan dada) (Gunawan, 2008).
E. Evaluasi keperawatan Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon perilaku klien yang tampil (Dermawan, 2012). Evaluasi yang akan dilakukan oleh penulis disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat dilaksanakan dengan SOAP, subjective, objective, analisa, planning (Dermawan, 2012). Evaluasi hari pertama senin, 4 Januari 2016 pada jam 09.00 WIB pada diagnosa gangguan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan infark pembuluh darah diotak didapatkan data subyektifnya pasien
mengatakan
kadang-kadang
mengalami
pusing,
data
obyektifnya pasien tampak gelisah dan sdikit tidak tenang, TD : 110/80 mmHg, nadi : 90 x/menit, respirasi : 21 x/menit, suhu : 36,3 c, ektremitas atas bawah normal 5, analisa masalah pasien masih merasa
72
pusing masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi. Monitor ttv, berikan penkes seputar stroke, berikan lingkungan yang nyaman, dan batasi pengunjung, kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi. Evaluasi hari kedua diagnosa pertama selasa, 5 Januari 2016 pada jam 14.30 WIB pada diagnosa gangguan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan infark pembuluh darah diotak didapatkan data subyektif pasien mengatakan sudah tidak pusing, klien mengatakan sudah tidak sesak nafas, klien dan keluarganya sudah memahami dan mengerti tentang penkes yang diberikan, data obyektifnya klien sudah tidak terpasang oksigen, klien sudah tahu dan dapat menjelaskan tentang hal yang tidak dianjurkan pada pasien stroke tekanan darah 110/80 mmHg, analisa masalah sudah teratasi pusing sudah tidak terasa, planing pertahankan intervensi kaji tanda-tanda vital, berikan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat Evaluasi akhir diagnosa keperawatan pertama pada hari rabu 6 Januari 2016 jam 14.45 WIB pada diagnosa gangguan perfusi jaringan selebral
berhubungan
dengan infark
pembuluh darah
diotak
didapatkan data subyektif pasien mengatakan pusing pada saat bangun tidur saja data obyektifnya klien dapat melakukan aktivitas, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 22 x/menit, suhu 36,8 0
C, analisa masalah pusing masih hilang timbul masalah belum
teratasi, planing lanjutkan intervensi kaji tanda-tanda vital, berikan
73
lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat. Evaluasi hari pertama 04 Januari 2016 diagnosa kedua pada diagnosa gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara didapatkan data subyektif pasien mengatakan sulit berbicara (pelo), data obyektifnya pasien tampak masih sulit berbicara, sulit mengungkapkan keluhan, klien tampak merespon dan menjawab “ya” atau “tidak” saat ditanya perawat, analisa masalah belum teratasi bicaranya masih kurang jelas, planing lanjutkan intervensi berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat, bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”, ajarkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien, hargai klien dalam berkomunikasi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan wicara, berikan terapi AIUEO. Evaluasi hari kedua 05 Januari 2016 pada diagnosa gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara didapatkan data subyektif pasien mengatakan sudah bisa berbicara lancar tapi masih kurang jelas (pelo) data obyektifnya klien tampak merespon terapi yang dilakukan dengan baik, ekstremitas atas dan bawah normal, analisa masalah bicara klien masih sedikit pelo masalah teratasi sebagian, planing lanjutkan intervensi berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat, bicaralah dengan
74
klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”, ajarkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien, hargai klien dalam berkomunikasi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan wicara, berikan terapi AIUEO. Evaluasi akhir 06 Januari 2016 diagnosa keperawatan gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara didapatkan data subyektif pasien mengatakan sudah ada perubahan saat berbicara walaupun masih sedikit pelo data obyektifnya klien dapat merespon terapi dengan baik dan kooperatif, analisa masalah bicara pasien masih sedikit kurang jelas dan pelo, planing lanjutkan intervensi berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat, bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”, ajarkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien, hargai klien dalam berkomunikasi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan wicara, berikan terapi AIUEO.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Bab VI ini penulis akan menyimpulkan proses keperawatan dari pengkajian, penentuan diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi pada asuhan keperawatan Tn. S dengan stroke non hemoragik di ruang flamboyan lantai 2 di RSUD Salatiga selama tiga hari kelolaan dengan menerapkan aplikasi riset keperawatan pemberian terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik, maka dapat ditarik kesimpulan : 1. Pengkajian Setelah penulis melakukan pengkajian pada tanggal 4 Januari 2016 keluhan utama yang dirasakan pasien adalah pasien mengatakan sulit berbicara (pelo) dan sering merasa sakit kepala (pusing). Sulit berbicara dan sakit kepala merupakan salah satu menifestasi klinik stroke hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa sering pusing, mengalami gangguan kognitif dan deminsia ketika berkomunikasi dengan orang lain (Lingga, 2013). 2. Rumusan masalah Hasil perumusan masalah sesuai dengan pengkajian keperawatan pada Tn. S ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai
75
76
dengan hirarki kebutuhan dasar menurut maslow yaitu prioritas pertama gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan infark pembuluh darah di otak, diagnosa prioritas kedua gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara. 3. Perencanaan Diagnosa keperawatan Gangguan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan infark pembuluh diotak, intervensi yang diberikan pada Tn. S adalah kaji tanda-tanda vital untuk memonitor tekanan darah, suhu, nadi. Berikan pendidikan kesehatan seputar penyakit stroke untuk pengetahuan klien dan keluarga seputar penyakit yang diderita. Berikan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung
agar
dapat
istirahat
untuk
mengurangi
TIK.
Kolaborasikan dengan dokter untuk terapi obat piracetam untuk memperbaiki perfusi selebral (Nursalam, 2008). Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi untuk menurunkan hipoksia yang dapat vasodilatasi selebral. Diagnosa
keperawatan
Gangguan
komunikasi
verbal
berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara, intervensi yang diberikan adalah berbicara metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat untuk memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan pasien, bicara dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak” untuk mengurangi kecemasan dan kebingungan saat komunikasi, anjurkan
77
kepada keluarga pasien untuk tetap berkomunikasi dengan pasien untuk mengurangi rasa isolasi sosial dan meningkatkan komunikasi yang efektif, hargai pasien dalam berkomunikasi untuk memberi semangat pada pasien agar lebih sering berkomunikasi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk terapi wicara untuk melatih pasien berbicara secara mandiri dengan baik dan benar, berikan terapi AIUEO. 4. Implementasi Dalam asuhan keperawatan Tn. S dengan stroke non hemoragik di ruang flamboyan lantai 2 RSUD Salatiga telah sesuai dengan intervensi yang penulis rumuskan. Penulis menekankan penggunaan terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik, dengan melakukan terapi AIUEO 2 kali dalam sehari dalam 3 hari kelolaan. 5. Evaluasi Hasil evaluasi masalah keperawatan pertama gangguan perkusi jaringan serebral berhubungan dengan infark pembuluh darah diotak belum teratasi. Intervensi dilanjutkan Monitor ttv, berikan pendidikan kesehatan seputar stroke, berikan lingkungan yang nyaman, dan batasi pengunjung, kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi. Masalah keperawatan kedua gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan hemisfer wicara masalah belum teratasi. Intervensi dilanjutkan berikan metode alternatif komunikasi,
78
misal dengan bahasa isyarat, bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”, ajarkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien, hargai klien dalam berkomunikasi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan wicara, berikan terapi AIUEO. 6. Analisa pemberian terapi AIUEO Analisa hasil implementasi aplikasi jurnal penelitian yang telah dilakukan oleh gunawan (2008) dan wiwit (2010), dengan judul Pemberian Terapi AIUEO terhadap “Kemampuan Bicara pada Pasien Stroke yang Mengalami Afasia Motorik di RSUD Salatiga” penulis mendapatkan hasil analisa dari implementasi yang dilakukan selama 3 hari kelolaan yaitu adalah untuk mengidentifikasi tingkat kemampuan fungsional komunikasi pasien melalui tiga skala, yaitu kemampuan mengungkapkan, pemahaman dan interaksi dengan terapi AIUEO secara
rutin
2
kali
sehari
terjadi
peningkatan
kemampuan
mengungkapkan, pemahaman dan interaksi 4 pada evaluasi hari pertama menjadi 5 ekspresi “ mengekspresikan ide-ide yang lebih rumit tetapi harus didukung oleh komunikasi non verbal (misalnya meminta supaya diberikan minum), pemahaman “memahami ide-ide yang hanya bisa diekspresikan secara lengkap melalui kata-kata”, interaksi
“dapat
berinteraksi
dengan
beberapa
orang
tetapi
membutuhkan dukungan untuk berpartisipasi secara efektif” pada akhir evaluasi hari ke tiga menjadi 6 ekspresi “mengekspresikan ide-
79
ide abstrak yang memerlukan kata-kata (misal “ayah saya kecewa”)”, pemahaman “memahami beberapa percakapan yang rumit (rangkaian kalimat), tetapi sering kehilangan arah pembicaraan”, interaksi “berinteraksi secara mandiri dengan berapapun banyaknya jumlah orang, tetapi hanya bertahan sebentar dan dapat mengalami beberapa kesulitan (misalnya giliran berbicara)”. Hasil tersebut sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan dan terbukti sesuai teori yang ada terjadi peningkatan wicara setelah dilakukan terapi AIUEO. B. Saran Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke non hemoragik, penulis memberikan usulan dan masukan yang positif khususnya dibidang kesehatan antara lain : 1. Bagi institusi pendidikan Pendidikan Penelitian ini diharapkan memberi gambaran kepada institusi pendidikan akan pentingnya terapi AIUEO/wicara terhadap stroke di RSUD Salatiga. Dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas dengan mengupayakan aplikasi riset dalam setiap tindakan keperawatan yang dilakukan sehingga mampu menghasilkan perawat yang profesional, terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan. 2. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat
80
Hendaknya
perawat
memiliki
tanggung
jawab
dan
ketrampilan yang lebih dan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan. Perawat melibatkan keluarga pasien dalam pemberian asuhan keperawatan sehingga mampu melakukan tindakan terapi AIUEO. 3. Bagi Pelayanan kesehatan (rumah sakit) Kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada bidang pelayanan kesehatan mengenai gambaran pengaruh terapi AIUEO terhadap stroke sehingga pelayanan kesehatan dapat menjadi perantara untuk mengadakan terapi AIUEO pada stroke, di RSUD Salatiga. 4. Bagi Peneliti atau penulis Memperoleh kemampuan melakukan riset kuantitatif serta menambah pengalaman peneliti dalam penelitian di bidang keperawatan mengenai pengaruh terapi AIUEO terhadap stroke yang mengalami afasia motorik.
81
DAFTAR PUSTAKA
Ahem, wilkinson. 2011. Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 9. Jakarta: EGC.
Anonim .2011. Stroke Penyebab Kematian Ketiga dan Penyebab Cacat Utama, http://medicastore.com/stroke.html. Diakses tanggal 22 November 2015.
Black, J. M & Hawks, J. H. 2009. Medikal surgical nursing. Edisi 8. Philadelpia:WB Saunders Company. Darah Otak STROKE. Jakarta: EGC.
Brunner & suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. VoL 3. Terjemah: Agung Wahyu. Buku kedokteran. Edisi. 8. Jakarta: EGC.
Dinkes Provinsi Jawa Tengah. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Diperoleh 11 Desember 2014. Jawa Tengah: Dinkes Provinsi Jawa Tengah.
Dermawan, D. 2012. Proses keperawatan penerapan Konsep Dan Kerangka Kerja. Edisi pertama. Yogyakarta: Goyen publishing.
Ginsberg, L. 2007. Leature Notes Neurologi Edisi 8. Jakarta: penerbit Erlangga.
Gunawan,
D.
2008.
Buku
Artikulasi.
Univesitas
Pendidikan
Http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/1962
Indonesia. 11211984031
82
Dudi_Gunawan/Buku_Artikulasi.pdf. Diperoleh 10 Desember 2014 dan diakses tanggal 18 November 2015.
Hermand, T heather. 2012. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Judha, dkk. 2012. Teori Pengukuran Nyeri. Yogyakarta: Nudha Medika.
Kemenkes. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013.
Jakarta :
Kemenkes RI
Lingga. 2013. “Eksplorasi metodologi SDLC”. Sistem informasi UNIKOM.
Lumbantobing, S.M, 2003. Stroke Bencana Peredaran Darah di otak. Jakarta: EGC.
Mardjono, M & Sidharta, P. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Medicastore.
2011.
stroke,
pembuluh
no.3
di
indonesia.
Melalui
http://medicastore.com/stroke.html. Diakses tanggal 22 November 2015. Mulyatsih, E & Airizal, A. (2008). Stroke Petunjuk Perawatan Pasien Pasca Stroke di rumah. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan System Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
83
NANDA. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis & NANDA. Edisi jilid I. Jakarta: Media Action Publishing.
Nugroho.T. 2011 Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, &Penyakit Dalam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Salemba Medika
Perry, G.A & Potter, P.A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Pudiastuti, Ratna D. 2011. Penyakit pemicu stroke. Yogyakarta: nuha medika
Rasyid, A.L & Lyna, S. 2007. Unit Stroke Manajemen Stroke Secara Komprehensif. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Ratna dewi pudiastuti, 2011. Penyakit pemicu stroke. Cetakan pertama. Jogjakarta: nuha medika.
R.A, Nabyl.2012. Deteksi Dini Gejala dan Pengotan Stroke Solusi Hidup Sehat dan Bebas Stroke. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Aulia Publishing.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Pedoman Pewawancara Petugas pengumpulan Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 201.
Rosjidi, C. H. 2014. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Peredaran Darah Otak stroke. Jakarta: EGC.
84
Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sofwan, R. 2010. Anda Bertanya Dokter Menjawab: Stroke dan Rehabilitasi Pasca-Stroke. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
Sukandar, E. Y, Andrajati, R, Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. A., & Kusnandar. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan.
Sunardi.
2006.
Speech
Therapy
(Terapi
Wicara)
Post
Laringotomy.
Nurdinurses.files.com/2008/01/makalahspeech-therapy.pdf.
Tamsuri A. 2012. Konsep dan penatalaksanaan nyeri, Jakarta: EGC.
Wardhana, W.A. 2011. Strategi Mengatasi & Bangkit Dari Stroke. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wilkinson, M. Judith. 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : Diagnosa NANDA, Intervensi NIC, Krteria Hasil NOC, Edisi 9. Jakarta : EGC.
Yanti, D. 2008. Penatalaksanaan Terapi Wicara Pada Tuna Rungu. http://akrab.or.id/?p=57. Diperoleh 9 Desember 2014 dan diakses tanggal 18 November 2015.