PROPOSAL DISERTASI
ORTODOKSI FIQIH POLIGAMI DI INDONESIA (Studi Kritis Muslimah Salafi dan Muslimah HTI terhadap Regulasi Poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam) Oleh: Siti Rohmah, M.HI
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konstruksi metodologis para muslimah HTI terhadap regulasi poligami dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Untuk mengetahui mengapa muslimah HTI menolak Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengenai poligami. Jenis Penelitian ini adalah penelitian Lapangan dengan pendekatan kualitatif. Kata Kunci: Muslimah HTI, Ortodoksi, Poligami, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, KHI. A. Latar Belakang Penelitian Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak disoroti oleh kalangan masyarakat Indonesia sekaligus dianggap kontroversial. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya argumentasi pro-kontra, baik yang berlatarbelakang normative maupun psikologis. Bahkan poligami juga sering dipersepsikan sebagai wacana bias gender, yang menganggap poligami sebagai bentuk prilaku privatisasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan dan dinilai sangat merugikan pihak perempuan. Bahkan dalam kacamata barat poligami dianggap sebagai bentuk diskriminatif terhadap perempuan1. Di sisi lain poligami juga sering ditafsirkan secara normatif-teologis, yang menganggap praktek poligami merupakan
1
Penolakan tersebut banyak dipengeruhi oleh filsafat eksistensialisme yang dikembangkan oleh Jean Paul Sartre di Barat. Dalam tesisnya Sartre mengatakan bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai sifat alami atau fitrah. Eksistensi manusia tergantung bagaimana ia mengkonstruk fitrahnya sendiri. Oleh karenanya, apa yang dimaksud dengan fitrah atau esensi manusia adalah sociality created, yaitu tergantung lingkungan di mana ia berada dan membentuknya. Tesis ini mencul sebagai penolakan terhadap eksistensi sifat atau fitrah alami antara laki-laki dan perempuan. Baca: Ratna Megawangi dalam kata pengantar Sachiko Murata, The Tao Of Islam. Bandung: Mizan, 2005, hal 2. Lihat juga Mufsir al Jahrani, Poligami dari berbagai presepsi, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), 38-39
1
syariat dan ketentuan Tuhan yang finalistik bagi hambanya2. Karena poligami dinilai dapat mengatasi persoalan-persoalan umat yang mengarah kepada praktek perselingkuhan dan prostitusi.3 Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diataur dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam (KHI4), walaupun pada dasarnya asas5 yang melekat dalam undang-undang perkawinan tersebut merupakaan asas monogami6. Akan tetapi menurut Yahya Harahap asas hukum7 dalam UU tersebut tidaklah berimplikasi pada asas monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka8. Sementara asas yang melekat pada KHI adalah asas poligami tertutup. Sebab secara tersurat dalam ayat 1 pasal 55 KHI dijelaskan bahwa asas perkawinanya adalah poligami, namun pasal-perpasal setelahya mengindikasikan untuk menutup asas poligami tersebut dengan berbagai persyaratan yang begitu ketat. Sehingga tidak memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkanya dengan sewenang-wenang Dari kedua asas tersebut tentunya terdapat konsekuensi hukum yang sama, yaitu poligami diperbolehkan di negara Indonesia. Akan tetapi dengan persyaratan yang begitu ketat dan selektif.
2
lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum perdata islam di indonesia, Sutdi kritis Perkembangan hukum islam dari fikih, UU No 1/1974 dan KHI,( Jakarta: Kencana, 2004,) , 155 3 Argumentasi ini sering dikampanyekan oleh kelompok HTI, yang cenderung memahami ayat ini secara tekstualis. Secara teologis poligami merujuk kepada QS. An-Nisa (4) : 3 , lihat, Taqiyuddin an Nabhani, An Nizam Al Ijtima’iy, terjemah, Sistem Pergaulan dalam Islam, (Jakarta Selatan: HTI Press, 2007), 222 4 Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil konsensus (ijma’) ulama dari berbagai “golongan” melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan Negara. Yang mana kompilasi hukum Islam ini bertujuan untuk memositifkan hukum islam di Indonesia. Dalam kaitan ini kata hukum islam harus diartikan sebagai hukum perdata islam, Budiono, Abdul Rahmat.. Peradilan Agama Dan Hukum Islam Di Indonesia. (Malang: Bayumedia, 2003) , 32 5 Secara etimologi kata asas berasal dari bahasa arab yaitu “asasun” yang berarti pondasi. Dalam kamus besar bahsa indonesia disebutkan bahwa asas merupakan dasar, prinsip, atau suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, lihat; Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 52 6 Asas yang menjelaskan bahwa perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. (pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974), Mohd. Idris Ramulyo, Hukum perkawinan Islam: suatu Analisa dari UU No 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 184 7 The Liang Gie berpendapat bahwa yang dimaksud asas hukum adalah suatu dalil umuml yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaanya, yang diterapkan oleh serangkain perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu. Sedangkan Bellefroid berpendapat asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif. Dan asas hukum merupakan pengendepan hukum positif dalam suatu masyarakat. lihat; Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2005 ), 34 8 Yahya Hararahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir trading, 1975), hal 25-26
2
Kebolehan poligami dalam UU no 1 tahun 1974 dan KHI tidak pernah terlepas dari intervensi kultural agama Islam di indonesia.9 Hal ini disebabkan posisi umat Islam di Indoneisa merupakan mayoritas, sehingga sebagai konsekuensinya sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusril, bahwa memang di banyak negara pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional selalu terasa.10 Diakui atau tidak, hukum pernikahan yang diatur oleh negara Indonesia pun merupakan hasil dari nasionalisasi hukum materiil yang dikonstruk oleh para elite agama dengan melihat realitas masyarakat Indonesia (hukumul waqi’)11 Konsekuensi dari pribadi seorang muslim selain taat terhadap hukum agama, tentunya harus taat terhadap setiap hukum yang dibentuk oleh negara juga, sebab yang demikian telah menjadi perintah agama12. Di samping itu, kepatuhan terhadap hukum perkawinan yang termanifestasi dalam bentuk UU No 1/1974 dan KHI merupakan sebuah kewajiban. Sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikan salah satu hukum dari kedua hukum tersebut. Hanya saja ketika kita mencoba mencermati mengenai fenomena hukum agama yang dipositifkan13atau formalisasi dalam bentuk Undang-undang negara dalam konteks penerapanya di Indonesia, maka stock of experiance kita sebagai orang muslim akan mengarah terhadap komunitas Islam fundamentalis yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dalam hal ini selalu mengusung gerakan tegaknya Syariah Islamiyah14. Sementara itu pula ketika secara subtantif nilai hukum Islam memang sudah termanefestasikan dalam bentuk Undang-undang No 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam (KHI) mereka cenderung mengabaikan regulasi tersebut 9
Pendapat ini merupakan observasi penulis setelah melakukan pembacaan secara umum terkait dengan permasalahan poligami yang terjadi di negara Indonesia. 10
Konstitusi India tegas menyatakan negara sekuler, tapi ajaran Hindu tetap berpengaruh. Ada studi yang melihat pengaruh Buddhiisme dalam hukum Myanmar dan Thailand. Hukum perkawinan Filipina melarang perceraian, sebagai pengaruh Katolik, lihat; http:Yusril ihza Mahendra_Hukum Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia yusril.ihzamahendra.com (YIM), diakses pada 30 Desember 2010 11 Qodri Azizy, Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam Dan Hukum Umum, ( jakarta: Teraju mizan publika, 2004), 275 12 Lihat, Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001), 558 13 Menurut G. Radbruch, hukum positif adalah hukum yang berlaku disuatu negara atau masyarakat tertentu dalam waktu yang tertentu pula. Dengan demikian, dalam masyarakat indonesia hukum positif adalah hukum yang berlaku di Indonesia pada saat ini. Jadi batasan hukum positif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hukum yang nyata berlaku (ius constititum) di indonesia- bukan hukum masa depan yang kita idam-idamkan (ius constituendum), tidak pula hukum kodrati atau atau almi (natural law) yang bersifat universal, seperti hukum agam Islam. Lihat: Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu hukum: suatu pengenalan pertama ruang lingkup berlakunya ilmu hukum, (Bandung: PT Alumni, 1999), 1 14 Ismail Yusanto, Selamtkan Indonesia Dengan Syariat, dalam Burhanuddin (ed) Syariat Islam pandangan muslim Liberal (Jakarta: Sembrani Aksara Nusantara, 2003), 145.
3
sebagai sebuah aturan hukum perdata Islam di Indonesia. Karena presepsi mereka mengenai produk hukum yang tidak diadopsi dari Al Quran dan Sunnah adalah produk hukum kafir15. Sebagaimana regulasi poligami yang tertuang dalam UU No 1 Tahun 1974 dan KHI yang terkesan mempersulit para suami untuk berpoligami bahkan ada tendensi mengharamkan, sementara praktek prostitusi yang jelas haram malah dibiarkan bahkan dilembagakan dalam bentuk undang-undang. Bagi mereka solusi yang tepat untuk menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai way of life dan sumber primer hukum Islam di Indonesia adalah dengan menegakkan Khilafah Islamiyyah16. Sebab dengan tegaknya Khilafah Islamiyah di Indoneisa syariat seperti poligami akan dibolehkan secara mutlak pagi para suami yang menghendaki poligami. Sebab secara teologis poligami merujuk kepada QS. An-Nisa (4) : 3 , Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka, (kawinilah)seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Konsekuensi dari pemahaman ayat ini menurut aktivis HTI dan para kadernya merupakan sebuah syari’at Tuhan yang harus direalisasikan dalam kehidupan seorang suami yang menghendaki poligami. Sebab mereka menganggap persoalan poligami merupakan solusi dari berbagai masalah keluarga dan hal yang mubah namun sedikit mengarah ke wajib atau dalam istilah mereka sebut dengan mubah mutlak17. Dengan alasan ketika seorang suami merasa tidak puas dengan isteri pertama, daripada selingkuh, maka syariat memberikan alternatif yang halal yaitu syari’at poligami18. Akan tetapi dalam presepsi masyarakat Indonesia dewasa ini poligami masih dianggap sebagai prilaku yang menyimpang dari norma sosial dibandingkan dengan budaya sex diluar nikah yang sering kita temui di jalan-jalan. Sehingga ketika ada seorang perempuan yang dipoligami dengan konfrontatif mereka akan lebih memilih jalan cerai sebagai sebuah solusi dari pada harus dimadu dengan perempuan lain19.
15
wawancara, ustadz Abdul Malik 5 April 2011 wawancara, ustadzah Kholisah di masjid At taubah Lowokwaru, 10 April, dan Ustadz Abdul Malik 5 April 2011 17 Wawancara, ustadzah Maya dan suaminya ustadz Azizi di kediamanya, jalan candi no 271 karangbesuki, sukun, Malang, 29 April 2011 18 Wawancara, ustadzah najmah, di masjid Rois Dahlan, kertopamuji Malang, 13 April 2011 19 Wawancara, ustadzah Kholisah di masjid At taubah Lowokwaru, 10 April, dan Ustadz Abdul Malik 5 April 2011 16
4
Perintah Poligami bagi para anggota HTI tidak serumit persyaratan yang disebutkan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 dan KHI. Karena tanpa persyaratan yang telah ditentukan dalam regulasi negarapun, posisi Al Quran sebagai sumber tertinggi dalam Islam sudah memberikan lampu hijau secara legal kultural20. Hal ini dapat dibuktikan dengan tradisi perkawinan yang berkembang dikalangan HTI, sebelum akad nikah dilangsungkan calon mempelai harus mengucapkan ikrar talik talak secara kultural dengan redaksi “ sebagai keluarga seorang muslim yang sejati, harus mempunyai komitmen untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan As sunnah dengan konsekuensi menegakan khilafah islamiyah di bumi Allah tercinta ini” dalam realitasnya ikrar talik talak ini sering kali berimplikasi ketika seorang pihak laki-laki menghendaki poligami maka pihak perempuan harus ikhlas. Karena poligami merupakan syariat yang dibolehkan oleh Allah untuk mengurangi praktek perselingkuhan dan prostitusi21. Adapun beberapa aspek interest dalam penelitian ini adalah, pertama, adanya perbedaan konstruksi antara anggota HTI yang laki-laki dan perempuan. Karena dalam masalah poligami posisi perempuan memang sebagai objek korban perasaan dan psikis dari laki-laki22. Sehingga keabsahan legalitas poligami menurut muslimah HTI hanyalah lipstikisasi formal sebagai anggota kader HTI saja23. Sementera secara fitrah-psikologis pada dasarnya kebanyakan perempuan lebih senang dimonogami dari pada dipoligami termasuk para muslimah HTI24. Sebab dalam teori gender mengatakan “seringkali apa yang menjadi keputusan perempuan untuk mau dipoligami adalah karena ketidakberdayaan kaum perempuan untuk mengkonfrontasikan apa yang menjadi keberatan mereka selama ini, atau biasa kita sebut dengan istilah Volauntary discrimination (diskriminasi sukarela). Sebagaimana contohnya, Teh Ninih isteri Aa’ Gym (Abdullah Gymnastiar) yang pada awalnya dia merasa dengan sukarela mengizinkan suaminya poligami walaupun pada kenyataanya sangat berat. Hingga pada akhirnya rumah tangga yang mereka bina selama puluhan tahun berakhir dengan percerain pada tahun 2011 ini25.
20
Ibid, Wawancara, ustadzah Kholisah Wawancara, ustadz Abdul Malik 5 April 2011 22 Faqihuddin Abdul Qadir, memilih monogami: pembacaan atas Al quran dan hadits nabi, (Yogyakarta: pustaka Pesantren 2005), xxix 23 Hasil observasi peneliti dalam forum kultural di fotocopy Zhafira kepunyaan sekertaris DPD II HTI Kota Malang di jalan kertopamuji Malang, 1 Mei 2011 24 Survey, terhadap Mahasiswi PKPBA angkatan 2010-2011, tentang “ sebagai seorang perempuan lebih senang dipoligami atau dimonogami? November-Februari, 2010-2011 25 Lihat Investigasi selebritis, di TRANS TV setiap hari jam 16.00 21
5
Aspek interest yang kedua adalah, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa KHI dan UU No 1 tahun 1974 merupakan konsensus ulama Indonesia dalam persoalan hukum keluarga Islam, yang mana keduanya sudah dilegal-formalkan dalam bentuk hukum positif, walaupun positivisasi KHI hanya berupa Instruksi presiden (INPRES) No 1 tahun 199126. Dan sebagaimana yang kita ketahui dalam banyak literatur bahwa sumber materil keduanya diambil dari Al Quran, Sunnah dan fikih klasik27. Akan tetapi disisi yang lainya HTI sebagai pengusung gerakan berdirinya syariat Islam beserta isntrumenya yaitu khilafah islamiyah mencoba melegal formalkan hukum Islam dalam bentuk Undang-undang negara. Maka dalam konteks ini seharusnya kader HTI memberikan apresiasi terhadap eksistensi UU No 1 tahun 1974 dan KHI. karena secara subtantif semangat yang coba diusung oleh kader HTI untuk menegakkan syariat Islam beserta legalisasi formalnya sudah terakomodir di dalam undang-undang dan KHI tersebut. Akan tetapi pada kenyataan praksisnya, mereka kader HTI laki-laki maupun perempuan menolak eksistensi UU No 1 tahun 1974 dan KHI sebagai regulasi hukum perdata Islam di Indonesia 28. Karena dalam persoalan poligami UU No 1 tahun 1974 dan KHI berusaha mempersulit praktek privatisasi laki-laki terhadap perempuan dengan batasan empat. Dan mereka muslimah HTI secara organisatoris memberikan klaim bahwa produk hukum Indonesia adalah produk orangorang Parlemen di Senayan, bukan produk yang diadopsi dari Tuhan. Sehingga konsekuensinya, produk hukum yang ada di Indonesia adalah produk hukum kafir menyesatkan29. Adapun asumsi dasar dalam penelitian ini adalah; Poligami secara tersirat merupakan syariat yang menghantui keharmonisan kaum perempuan dalam kehidupan rumah tangganya, walaupun secara verbal ada sebagian kelompok perempuan yang merasa senang diopoligami dengan dalih janji-janji normative-teologis.
Sementara eksistensi UU No 1/1974 dan KHI
sebagai fiqih Indonesia sangat mengakomodir kebutuhan perempuan dalam masalah poligami. Disamping itu juga eksistensi regulasi tersebut dianggap sebagai rambu-rambu agar pihak lakilaki tidak berbuat seenaknya saja terhadap perempuan30. Dan pastinya dengan adanya regulasi
26
Abdul Gani Abdullah , Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press1994), 64 27 Wawancara, ustadzah Kholisah di masjid At taubah Lowokwaru, 10 April 2011 28 Hampir semua informan memberikan catatan penolakan terhadap UU No 1/1974 dan KHIkarena dinilai banyak kelemahan dan tidak cocok diterapkan di Indonesia, walaupun ada sebagian kader yang menolak dengan catatan. 29 Wawancara, Ustadz Abdul Malik 5 April 2011 30 Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press,l 2003), 267
6
tersebut akan memberikan efek kepastian hukum terhadap kelangsungan rumah tangganya. Apakah persoalan ini berlaku buat muslimah HTI? Berangkat dari latarbelakang inilah penulis mencoba mengangkat judul “Regulasi Poligami dalam Undang-Undang RI No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam: Studi Konstruksi Sosial Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Di Kota Malang ” sebagai peneltian tesis di Program Magister Al Ahwal As Sakhsyiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang B.
Fokus Penelitian Dari konteks penelitian di atas, dapat diajukan beberapa fokus penelitian, yaitu: 1. Bagaimana Konstruksi metodologis muslimah HTI terhadap regulasi poligami dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam? 2. Mengapa muslimah HTI menolak poligami dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini ingin mengkaji tentang konstruksi sosial muslimah HTI Kota Malang
Tentang Poligami Dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”. Dengan demikian, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana konstruksi metodologis para muslimah HTI terhadap regulasi poligami dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam 2. Untuk mengetahui mengapa muslimah HTI menolak Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengenai poligami D.
Manfaat Penelitian Secara teoritik penelitian ini bermanfat untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang
selama ini menjadi problem kesenjanagan keadilan gender di kalangan kelompok Islam Fundamentalis, yaitu Poligami secara psikologis merupakan syariat yang menghantui keharmonisan keluarga kader perempuan HTI. Dan eksistensi UU No 1/1974 dan KHI (sebagai fiqih Indonesia) yang lebih mengakomodir kebutuhan muslimah HTI dalam masalah poligami, akan tetapi mereka menolak apa yang menjadi produk hukum pemerintahan kafir, yaitu pemerintahan Indonesia yang lebih mengkiblat kepada budaya barat daripada Al Quran dan Sunnah 7
Secara praktis penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai syarat untuk meraih gelar Magister Hukum Islam (M.HI) di Program Pasca sarjana Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang. Serta bermanfaat sebagai refrensi tambahan untuk peneliti yang akan melakukan penelitian dengan tema penelitian yang sama. E. 1.
Definisi Oprasional Terminologi poligami yang kami maksud dalam penelitian ini adalah sorang suami yang memiliki lebih dari satu orang isteri, bisa dua, tiga bahkan empat sebagaimana batasan yang ditentukan dalam Al Quran, hadist, Undang-Undang No 1 tahun 1974 dan KHI. Yang pada dasarnya secara teoritis istilah tersebut lebih pas disebut dengan istilah “poligini” lawan kata dari poliandri, bukan poligami yang bermakna general; yaitu seseorang laki-laki maupun perempuan yang memiliki banyak pasangan. Alasan teoritis peneliti menggunakan istilah poligami bukan “poligini” adalah karena istilah poligami yang bermakna “poligini” lebih populer di kalangan masyarakat Indonesia dibandingkan istilah “poligini” itu sendiri. Bahkan tidak sedikit dari kalangan akademisi dan praktisi hukum yang masih menggunakan istilah poligami untuk menyebut kata “poligini”.
2.
Muslimah HTI yang kami maksud dalam penelitian ini adalah kader permpuan HTI secara umum, baik struktural maupun non struktural yang pernah dikukuhkan secara organisatoris di forum halaqoh rekruitmen anggota HTI kota Malang. Hal ini untuk memudahkan peneliti menemukan tipologi pendapat mereka mengenai poligami dalam UU No tahun 1974 dan KHI peneliti tidak membatasi pada muslimah yang sudah menikah saja akan tetapi juga muslimah HTI yang belum menikah.
3.
Adapun Undang-Undang No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang kami maksud dalam penelitian ini adalah representasi peraturan atau Undang-undang yang berlaku di Indonesia yang sumber materilnya diadopsi dari Hukum Islam. Dan peneliti batasi hanya pada pasal perpasal yang membahas tentang poligami
F.
Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang jelas, sitematis dan menyeluruh dalam penelitian
tesis ini, maka dapat dilihat dari sistematika penulisan yang terdiri dari VII bab yang terdiri dari bebrapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini sebagaimana berikut:
8
Bab I : Pendahuluan, merupakan bab yang pertama dalam penulisan karya ilmiah ini, agar tujuan dari penelitian benar-benar tercapai, oleh karena itu, di bab pendahuluan ini kami sajikan konteks penelitian,
fokus penelitian, yang kemudian dari fokus penelitian tesebut
dijawab oleh tujuan penelitian, lalu dilanjutkan dengan mendiskripsikan manfaat penelitian ini dan yang terakhir definisi oprasional berguna untuk mengetahui maksud peneliti dari setiap kata dalam judul yang telah di pilih,. tentunya hal ini berguna untuk memudahkan para pembaca dalam memahami tesis ini Bab II : Selanjutnya Bab II membahas tentang tinjauan pustaka. Dalam mengawali bab ini dipaparkan sejumlah penelitian terdahulu, yang dijadikan sebagai the art of theory, yakni sebagai titik pijak dalam penelitian tesisi ini. Di samping itu juga berguna untuk melihat bahwa penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah peneliti terdahulu berbeda dengan penelitian ini. Bahasan berikutnya adalah perdebatan teori yang membahas tentang ” regulasi poligami dalam UU No 1 Tahun 1974 dan KHI sekaligus awal mulah kemunculan HTI di Indonesia. serta konstruksi sosial sebagai teori dalam penelitian ini. Dari Kajian pustaka diharapkan sedikit memberikan gambaran atau merumuskan suatu permasalahan yang ditemukan dalam subyek penelitian. Kajian pustaka ini akan disesuaikan dengan permasalahan atau lapangan yang diteliti. Sehingga kajian pustaka tersebut, dapat dijadikan sebagai alat analisis untuk menjelaskan dan memberikan interpretasi bagian data yang telah dikumpulkan. Dalam kajian pustaka ini. Bab III : Metode penelitian adalah suatu langkah umum penelitian yang harus diperhatikan oleh peneliti, dalam metode penelitian ini kami awali dengan menetukan lokus penelitian yang terletak di Kota Malang, karena malang dinilai sebagai lahan subur para muslimah HTI untuk menyebarkan ideologi anti pemerintah kafir di kampus-kampus. Adapun komposisi yang kami tentukan dalam metode penelitian ini sebagai berikut: jenis penelitian yang disesuaikan dengan tujuan penelitian ini, paradigma penelitian ini sebagai alat untuk memandu pendekatan dan menganalisi data teoritik, sedangkan pendekatan penelitian merupakan alat untuk memandu metode pengumpulan data dan menganalisis material data. Hal ini bertujuan agar bisa dijadikan pedoman dalam melakukan kegiatan penelitian, karena peran metode penelitian sangat penting guna menghasikan hasil yang akurat serta pemaparan data yang rinci dan jelas serta mengantarkan peneliti pada bab berikutnya. 9
Bab IV : Adapun hal-hal yang terkait dengan bab ini meliputi: Profil dan seting kondisi sosial organisasi HTI kota malag terdiri dari: sejarah masuknya HTI di Kota Malang, metode dakwah HTI kota Malang, Keanggotaan DPD II HTI Kota Malang dan embrio dibentuknya Muslimah HTI, Model kaderisasi dan aktivitas halaqoh yang dilakukan oleh para kader HTI Kota Malang kondisi, Struktur Kepengurusan DPD II HTI Kota Malang Bab V :merupakan paparan temuan penelitian. Mengawali bab ini, dijelaskan latar belakan kehidupan para mulimah HTI kota Malang, yang mencakup latarbelakang keluarga, status perkawinan, pendidikan, aktivitasnya diorganisasi srta pengalaman keagamaan yang menjadikan mereka tertarik untuk bergabung dengan HTI Dan yang terpenting adalah pengalaman seperti apa yang menjadikan mereka menolak regulasi poligami dalam UU No 1 tahun 1974 dan KHI
Padahal kebanyakan para muslimah pada
umumnya menerima regulasi tersebut sebagai sebuah kepastian hukum. sehingga ditemukan katagorisasi alasan yang menjadikan mereka menolak regulasi poligami trersebut Bab VI : Pada bab ini berisi tentang interpretasi dan analisa data mengenai konstruksi sosial muslimah HTI terhadap regulasi poligami dalam UU No 1 tahun 1974 dan KH, yang terdiri dari eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi, yang selanjutnya dikritisi dari dari sisi tekstual-teologis, sosio-kultural dan politis sebagaimana temuan yang telah disajikan dalam bab V. Sehingga akan terlihat because motif penolakan muslimah HTI dari setiap pasal-perpasal yang tertuang dalam UU No tahun 1974 dan KHI. Bab VII :Merupakan bab terakhir dalam penelitian ini, yang berisi tentang simpulan hasil penelitian ini secara keseluruhan, yang isinya adalah menjawab dari fokus peneltian yang telah ditentukan dalam bab I. Selanjutnya implikasi teoritik juga dibahas uintuk melihat posisi teori berdasarkan temuan penelitian, serta keterbatasan penelitian dari aspek akademis maupun non akademis. Demikianlah hasil dari sistematika ini, mudahmudahan dapat memberikan pemahaman yang luas mengenai judul yang kami anggkat A.
Menentukan Lokus Penelitian Lokasi penelitian ini terletak di kota Malang. Karena Malang dianggap sebagai kota
pendidikan dengan banyaknya perguruan tinggi maupun swasta, yang sering menjadi lahan subur bagi para aktivis gerakan Islam fundamentalis seperti HTI untuk menularkan ide-idenya, melalui acara seminar ataupun sarasehan kultural, yang berhubungan dengan isu-isu penolakan terhadap 10
UU kafir produk barat, yang posisinya harus segera di ganti dengan Undang-undang buatan Allah dengan sistem khilafah. Adapun yang menjadi target informan kami adalah para muslimah HTI
yang berdomisili di kota Malang. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa jenis
penelitian ini adalah penelitian empiris, maka barang tentu membutuhkan penjelasan tentang populasi dan sample yang diteliti. Adapun populasinya meliputi Para muslimah HTI yang berdomisili di kota Malang. Yang sering mengkaji kajian-kajian keislaman diberbagai halaqohhalaqoh yang diadakan oleh para muslimah HTI. Subyek penelitian ditentukan dengan menggunakan purposive sampling (sampel bertujuan). Dasar penggunaan cara ini adalah jumlah subjek atau orang-orang yang akan diteliti telah ditentukan terlebih dahulu, karena peneliti menentukan sendiri sampelnya berdasarkan tujuan tertentu yang ingin dicapai. Dalam penelitian ini peneliti memilih delapan muslimah HTI di kota Malang yang cukup representatif untuk mewakili kader perempuan HTI yang lainya. Sedangkan untuk pengambilan informan berikutnya, peneliti juga menggunakan teknik sampling bola salju yakni peneliti memilih informan secara berantai. Dalam penelitian ini peneliti meminta informasi kepada ketua DPD II HTI kota Malang yakni bapak Malik yang kemudian dari informan utama ini memberikan tembusan keapada ketua DPD II muslimah HTI Kota Malang yaitu Kholisoh Zikri. Yang Selanjutnya Kholisoh merekomendasikan para aktivis dan kadernya yang secara kualitas organisatoris tidak dipertanyakan lagi untuk menjadi subyek penelitian kami.. Dalam penelitian ini pada awlnya peneliti melakukan wawancara dengan tiga belas orang muslimah baik kader maupun aktivis. Dengan populasi tujuh muslimah ditentukan oleh Ketua DPD II muslimah, sementara yang enam peneliti mencari sendiri dengan menanyakan kepada adik-adik mahasiswa di setiap fakultas. Akan tetapi dari keenam informan yang peneliti wawancarai tersebut semuanya menolak memberikan informasi karena dinilai ketua DPD II muslimah belum layak diwawancarai dengan mahasiswa S-2 seperti peneliti. Sedangkan 7 muslimah yang direkomendasikan oleh DPD II muslimah berhalangan karena beberapa alasan, salah satunya, ada yang tidak dibolehkan oleh suaminya karena doktrin teologis mengahruskan demikian, dan ada juga mereka yang menggunakan pendekatan konflik terhadap peneliti. Yaitu peneliti dianggap sebagai muslim pro barat yang membawa teori gender untuk menghabisi argumentasi poligami mereka. Ada juga yang beralasan karena peraturan baru di HTI tidak membolehkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyerang ideologi mereka 11
(sentimen-ideologis) kalaupun mereka menjawab mereka harus mendapatkan izin dari dewan pusat HTI di Jakarta. dan itu prosedurnya sangat sulit. Hingga pada akhirnya informan yang bertahan kami wawancarai adalah 6 muslimah HTI. G.
Metode Penelitian 1. Menentukan Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian empiris (penelitian lapangan) yang menurut
Kartono diartikan sebagai penelitian yang cermat dilakukan dengan jalan terjun langsung ke lapangan. Jenis penelitian ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto diartikan sebagai penelitian yang berupa studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan proses bekerjanya hukum dalam masyarakat.17 Terkait dengan penelitian empiris, maka peneliti berangkat ke lapangan untuk mengadakan pengamatan tentang sesuatu fenomena dalam suatu keadaan alamiah.31 Dalam hal ini peneliti mencoba memahami konstruksi sosial muslimah Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) Kota Malang Tentang Poligami Dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Jika ditinjau dari jenisnya, penelitian ini juga bisa digolongkan ke dalam penelitian deskriptif-kualitatif. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif ini mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang beraku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.32 Adapun tujuan dari penelitian deskriptif adalah mengambarkan sebuah obyek secara sistematis. Dalam hal ini peneliti mendeskripsikan tentang respon kader Perempuan Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) Kota Malang Tentang Poligami Dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam 2. Menentukan Pendekatan Penelitian Adapun pendekatan yang kami gunakan adalah pendekatan kualitatif dengan kajian fenomenologi.33 Penentuan pendakatan kualitatif ini dilakukan dengan dasar bahwa data yang
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 42. Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), 26. 32 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), 54-55. 33 Kajian fenomenologis menempatkan individu sebagai pemberi makna yang diwujudkan dalam tindakan, di mana pemaknaan tersebut bersumber pada pengalaman keseharian yang bersifat intensional. Lihat Maliki, dalam disertasi 31
12
dibutuhkan lebih terfokus pada analisis pemahaman dan pemaknaan terhadap pandangan subyek penelitian dalam hal ini adalah pandangan kader muslimah HTI tentang poligami dalam UU No 1 tahun 1974 dan KHI. Pendekatan kualitatif digunakan apabila data-data yang dibutuhkan berupa informasi yang tidak perlu di kuantifikasi / tidak perlu mengadakan perhitungan. Bognan dan Tailor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Menurut mereka pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh).34 seperti deskripsi tentang Bagaimana Konstruksi Sosial muslimah HTI terhadap regulasi poligami dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam? Mengapa muslimah HTI menolak poligami dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam? Secara umum penelitian kulitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, dll secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.35 3. Menentukan Paradigma dan teori Penelitian Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi (perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Istilah paradigma pertama kali dipopulerkan oleh Thomas S. Khun dalam The Structure of scientific Revolutions yang mendefinisikan paradigma sebagai pandangan hidup (world view atau weltanschuung) yang dimiliki oleh ilmuwan dalam suatu disiplin ilmu.36 Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah naturalistic paradigm atau paradigma alamiah. Paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis; yaitu peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Yang ditekankan di sini ialah aspek subjektifitas dari perilaku seseorang, peneliti Umi Sumbulah, Islam radikal dan pluralisme agama, Studi konstruksi sosial aktivis HT dan MM di malang tentang agama kristen dan yahudi, ( IAIN Surabya, 2006), hal 114 34 Op.Cit., Lexi J. Moleong., 4. 35 Ibid., 6. 36 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), 91.
13
fenomologis tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti. Dan berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subjek, sehingga pada akhirnya akan dapat mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh para muslimah HTI tentang poligami dalam UU No 1/1974 dan KHI di sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomelog percaya bahwa pengertian pengalaman kitalah yang akan membentuk pada suatu kenyataan.37 Istilah naturalistic Paradigma yang disebutkan dalam bukunya Moleong pada dasarnya memiliki kesamaan cara kerja teoritis dengan paradigma definisi sosial, yang digawangi oleh pemikiranya Marx Weber. Dalam hal ini mengartikan sosiolgi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Kedua itulah yang menurutnya menjadi pokok persoalan sosiologi. Inti tesisnya adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu.38 sementara George Ritzer, memfungsikan paradigma definisi sosial sebagai cara pandang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan subject matter yang semestinya dipelajari39. Secara definitif, Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan klausal. Dalam definisi terkandung dua konsep dasarnya. Pertama, konsep tindakan sosial. Kedua, konsep tentang penafsiran dan pemahaman.40 Melalui paradigma ini peneliti berusaha mengetahui konstruksi sosial muslimah Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) Kota Malang Tentang Poligami Dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Sesuai dengan paradigma yang diajukan, teori relevan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konstruksi sosial Berger dan Luckman. Ia adalah deriviasi dari pendekatan teori fenomenologi. B.
Data dan Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat
diperoleh. Untuk penelitian ini sumber data yang peneliti gunakan antara lain: a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.41 Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau 37
Op.Cit., Lexy. J. Moleong,, , 17-19. Ibid, 44 39 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, pen. Alimandan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 4 40 Ibid 41 Marzuki, Metodologi Riset, (BPFE-UII, 1995), 55 38
14
diwawancarai merupakan sumber data utama/primer. Data primer untuk penelitian ini yang pertama adalah berupa data emiks dari hasil wawancara dengan kader perempuan HTI Kota Malang. dan mengamati setting kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para kader perempuan HTI kota Malang yang berkaitan dengan penelitian ini. Sperti halaqohhalaqoh, seminar, daurah dan apa saja yang sering dilakukan oleh para kader perempuan HTI dan para aktivisnya. b. Data Sekunder, adalah data yang pengumpulannya bukan diusahakan sendiri oleh peneliti.42 Yaitu berupa data kepustakaan yang berkaitan dengan poligami dalam islam, poligami dalam UU No 1/1974 dan KHI dll C.
Metode Pengumpulan Data Pemilihan informan dalam penelitian ini kami mulai dengan menggunakan teknik sampel
bertujuan (purposive sampling) dengan tekhnik ini, dipilih informan yang dinilai mampu memberikan pandangan dan pemahamanya mengenai permasalahan penelitian, karena mereka merupakan kader organisasi tersebut, seperti ustadz Malik, Ustazah Najmah, Ustazah Kholisoh, Usatazah Maya, ukhti Fathimah/Deno’ Dosen UM, Ukhti Ifa mahasisiwi brawijaya, dan Roudhoh mahasiswi UIN Malang. Pemilihan informan penelitian selanjutnya dilakukian dengan teknik sampel bola salju (snowball sampling), yang didasarkan pada data dan informasi yang berkembang dari informan yang diambil berdasarkan teknik purposive sampling diatas. Teknik bola salju ini digunakan dengan cara menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber. tidak menjadi persoalan dari mana atau dari siapa peneliti memulai menggali data, yang didalam konteks ini peneliti memulainya dari beberapa informan yang dipandang benar-benar memahami permasalahan penelitian ini, satu demi satu semakin lama semakin banyak informan yang dilibatkan. Oleh karena itu, untuk memperoleh data yang valid, maka dalam pengumpulannya, peneliti akan menggunakan tiga metode berikut: 1. Observasi merupakan pengamatan43 yang dilakukan peneliti dengan apa yang terjadi di lapangan. Hal ini terkait dengan proses pencatatan data dari kegiatan yang dilakukan pada waktu penelitian diadakan. Observasi dianggap penting karena
42 43
Ibid., 56. Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 70.
15
untuk mendeskripsikan
setting kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para kader perempuan HTI kota Malang yang berkaitan dengan penelitian ini. Sperti halaqoh, seminar, daurah dan apa saja yang sering dilakukan oleh para kader perempuan HTI dan aktivisnya. Adapun observasi yang kami terapkan dalam penelitian ini adalah Observasi partisipatif, yakni dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena poligami di kalangan kader muslimah HTI dengan melibatkan diri dalam beberapa kegiatan kelompok ini, seperti, halaqoh, seminar, diskusi kultural. Metode ini peneliti gunakan dengan memperhatikan opini-opini verbal yang sering muncul dalam perbincangan kelompok ini tentang gagasan poligami. 2. Wawancara merupakan suatu proses untuk mendapatkan informasi secara langsung dari informan. Metode ini digunakan untuk mengetahui keadaan seseorang atau daerah sekitar dan merupakan tulang punggung suatu penelitian karena tanpa wawancara peneliti akan kehilangan informasi valid dari orang yang menjadi sumber utama dari penelitian.44 Wawancara mendalam terhadap para kader muslimah HTI kami lakukan di tempat-tempat umum seperti masjid, sekolahan bahkan ada juga yang di rumah. Hal ini kami lakukan dengan tujuan menghindari fitnah. bahkan tak jarang mereka yang sudah menikah minta untuk ditemani suaminya atau adik perempuanya. Wawancara dengan subjek penelitian tersebut jauh sebelumnya sudah dipersiapkan secara matang oleh peneliti, baik subtansi pertanyaan yang diajukan maupun pertanyaan terkait dengan latarbelakang situasional dan atau kondisional para subjek penelitian tersebut. No 1
Informen/ subyek penelitian Utadzah Kholisoh Dzikri
Status sosial0 Ketua DPD II muslimah HTI kota malang, Alumni Mahasiswi Tekhnik UM, Sudah menikah
2
Ustadzah Najmah Millah
Lajnah tsaqafiyah Muslimah HTI kota Malang,
Alumni
Mahasiswi
Pertanian
Brawijaya, Sudah menikah 3
Ustazah Imroatus solihah
Muslimah HTI wilayah Sawojajar Malang, belum menikah
4
44
Ustadzah Maya issama feminia
Aktivis Muslimah HTI malang dan Guru SD,
Irawati Singarimbun, “Teknik Wawancara”, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES, 1989), 193
16
Alumni Bahasa Arab UM, Sudah menikah 5
Ustazah
Deno’
Setiawati/ Dosen UM, ketua koordinatur Muslimah HTI
Fathimah
UM, belum menikah dan akan menikah dengan kader HTI
6
Ustadzah ifah Wahyuni
Dokter Umum, Alumni fakultas Kedokteran UB, belum menikah
7
Ukhti Raudloh
Mahasiswi Al ahwal As sakhsyiyyah UIN Malang, semester VI belum menikah
8
Ukhti Mimin
Mahasiswi Kimia UIN Malang, semester VI belum menikah
9
Ustadzah Dien Nur Istiqamah
Dosen PKPBA UIN Malang, koordinator Muslimah HTI wilayah UIN malang---tidak mau diinterview karena tidak mendapatkan izin dari suaminya
10
Ustadzah Desiy
Dokter umum—tidak mau diinterview karena dia merasa bukan faknya untuk menjawab poligami, belum menikah
11
Ustazah Netiy
Aktivis
Muslimah
HTI,
tidak
mau
diinterview karena hamil dan memang tidak mendapatkan izin dari suaminya (awalnya bersedia untuk diinterview) 12
Ustazah Hestiy
Aktivis
Muslimah
HTI,
tidak
mau
diinterview karena tidak mendapatkan izin dari suaminya (awalnya bersedia untuk diinterview) 13
Usatazah Diana
Muslimah
HTI,
mahasiswa
program
pascasarjana jurusan PBA UIN Malang (pada awalnya bersedia untuk diinterview bahkan informasi
yang
dia
membantu
proses
wawancara
peneliti
17
sampaikan snow dengan
ball
sangat dalam
indorman-
informan yang lainya, akan tetapi karena ustazah
Diana
tidak
mendapatkan
rekomendasi dari DPP Muslimah HTI untuk menjawab
wawancara
peneliti,
hingga
akhirnya wawancara harus dihentikan dengan alasan prosedur administratif struktural )
3. Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. 45 Adapun bentuk aplikatif dokumentasi dalam penelitian ini adalah dengan melihat data tertulis tentang diskursus HTI mengenai poligami. Data tertulis yang dimakasud adalah berupa buku, jurnal, majalah dan buletin baik cetak maupun berupa website. Seperti hizb-ut-tahrir.org; www.1924.org;
www.hilafet.com;
www.al-aqsha.org;
www.hilafah.net;
www.hizbut-
tahrir.or.id 4. Pengolahan Data dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dengan lengkap dari lapangan melalui observasi, dokumentasi dan wawancara, selanjutnya diolah dan disusun melalui beberapa tahap untuk menyimpulkan suatu realita dan fakta yang terjadi di masyarakat. Tahap-Tahap dalam pengolahan data yang kami lakukan adalah:Metode analisis yang dipakai penulis adalah deskriptif kualitatif. deskriptif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu dirumuskan hipotesis, sedangkan kualitatif adalah data yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.46 Tahap-Tahap dalam pengolahan data yang kami lakukan adalah: a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh, terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok data yang lain, guna untuk mengetahui apakah data tersebut sudah cukup baik dan bisa dipahami serta dapat dipersiapkan untuk keperluan proses berikutnya. Dalam hal ini peneliti memeriksa kembali semua data yang di peroleh dari hasil wawancara dengan para kader perempuan HTI Kota Malang.
45 46
Op.Cit. Suharsimi, Arikunto, 206. Op.Cit., Lexy. J. Moleong, hal 204.
18
b. Classifying,
yakni
mereduksi
data
yang
ada
dengan
cara
menyusun
dan
mengklasifikasikan data yang diperoleh kedalam pola tertentu atau permasalahan tertentu untuk mempermudah pembahasannya.47 Maka peneliti meng- klasifikasikan data dari hasil wawancara dengan para kader perempuan HTI Kota Malang dan data yang kami dapat dari ketua DPD II HTI kota Malang c. Analizing, yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil pengamatan (observasi), wawancara, catatan lapangan, dan studi dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri dan orang lain.48 d. Concluding, yakni pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah terlebih dahulu. Kesimpulan yang ditarik berdasarkan berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan merupakan jawaban yang benar-benar dicari.49 D.
Menghindari Bias Penelitian Untuk menghindari bias penelitian, peneliti melakukan pemerikasaan keabsahan data
dengan beberapa langkah berikut: Pertama, menggunakan teknik triangulasi yang sesungguhnya bisa dilakukan pada sumber, metode, investigasi dan teori yang berbeda-beda.50 adapun teknik triangulasi yang peneliti gunakan adalah triangulasi metode dan sumber. Dengan demikian, data yang telah peneliti dapatkan dengan metode dan sumber yang satu dibandingkan dengan data yang peneliti peroleh dengan metode dan dari sumber yang lain. Kedua,
Tekhnik member check,51yang dilakukan dengan cara mengkonfirmasi data
kepada kader muslimah HTI Kota Malang, karena mengingat peneliti bukan bagian dari kelompok organisasi tersebut (outsider). Hal ini juga dilakukan untuk menghindari bias dan subjektivitas peneliti. Teknik ini dilakukan untuk kepentingan agar para kader perempuan yang menjadi subyek penelitian memberikan reaksi alamiah dari segi pandangan dan situasi mereka sendiri terhadap data yang telah diorganisasikan oleh peneliti.
47
Ibid. Op. Cit., Iskandar, 221-222. 49 Op. Cit., Suharsimi Arikunto,, 342. 50 Yvonna S. Lincoln dan Egon G. Guba, Natuiralistic Inquiry (Beverly Hills: SAGE Publications, 1985), 305 51 Ibid., 373-374 48
19
20