Proliferation of Leadership Definition in the Theory Perspective (Proliferasi Definisi Kepemimpinan dalam Perspektif Teori) Asmuni College of Teacher Training and education PGRI Jombang East Java Indonesia Abstract The definition of leadership concept very determined by the researcher perspective and the aspect of interesting phenomenon to researcher, so that nowadays there are still some controversies, whether between the definitions of leadership and also its equation has difference meaning with management. That’s why impossible to create a universal definition of leadership, because impossible to apply it universality also, moreover phenomenon and interest changes every time. Thereby the thesis, that proliferation of leadership definition do not progressively clarify the leadership concept, but exactly blur the meaning of leadership, it is logic and rational enough for the truth to be received. Key words: proliferation, definition, leadership Abstrak Pendefinisian tentang konsep kepemimpinan sangat ditentukan oleh perspektif dan aspek dari fenomena yang menarik bagi peneliti, disamping juga masih terdapat beberapa kontroversi yang sampai sekarang pun masih berlangsung, terutama perbedaan atau persamaan antara kepemimpinan dan manajemen. Oleh karena itu tidak mungkin dimunculkan definisi kepemimpinan yang universal, sebab tidak mungkin dapat diberlakukan secara universal pula, apalagi fenomena dan kepentingan setiap waktu dapat berubah. Dengan demikian tesis, bahwa “proliferasi definisi kepemimpinan tidak semakin memperjelas makna kepemimpinan tetapi justeru semakin mengaburkan makna kepemimpinan”, adalah cukup logis dan rasional untuk dapat diterima kebenarannya. Kata kunci: proliferasi, definisi, kepemimpinan
Pendahuluan Permasalahan seputar kepemimpinan (leadership) selalu memberikan kesan yang menarik untuk dibicarakan. Ia hampir setiap hari hadir di media cetak maupun elektronika sebagai pengisi ruang berita ataupun kajian khusus tentangnya. Terlebih lagi di era reformasi ini, siapapun bebas membicarakan pemimpinnya. Maka topik-topik yang menyangkut kepemimpinan semakin dibutuhkan oleh berbagai kalangan masyarakat. Hal ini berarti kepemimpinan merupakan subyek sekaligus obyek yang diminati tidak hanya oleh para pemimpin dan akademisi, tetapi juga masyarakat awam. Terkadang kepemimpinan dikiaskan dengan pengembalaan. Pemimpin adalah pengembala, dan setiap pengembala akan ditanya tentang perilaku pengembalaannya. Ungkapan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin sekaliber apapun akan selalu mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Pemimpin yang menyadari hal ini akan lebih banyak bekerja daripada berbicara, lebih banyak memberikan teladan yang baik daripada berbicara besar tanpa bukti, serta lebih banyak berorientasi pada bawahan (followers) daripada kepentingan diri sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Khathab adalah sosok pemimpin yang adil, sederhana dan sangat memperhatikan nasib rakyatnya. Alkisah, suatu malam Khalifah Umar bin Khathab berjalan-jalan melihat keadaan rakyatnya. Sampailah perjalanan malamnya itu di sebuah desa, dari kejauhan didengarnya tangis anak kecil yang menyayat hati. Suara itu didekatinya, dan setelah tiba di suatu
Sitasi: Asmuni. (2008). Proliferasi Definisi Kepemimpinan dalam Perspektif Teori. Majalah Ilmiah Media Kampus STKIP PGRI Jombang, edisi Juli – Desember 2008, 64 – 76.
gubug, betapa terkejutnya Umar, dari sela-sela dinding dilihatnya seorang perempuan duduk di depan tungku. Ketika Umar masuk gubug itu, ditanya seorang ibu tersebut mengapa anak-anaknya menangis, dan apa yang ditanaknya itu. Ibu itu memberitahukan bahwa yang ditanak itu adalah kerikil, anaknya menangis itu karena kelaparan, sedang ia tidak mempunyai gandum untuk ditanak. Dengan pura-pura menanak itu harapannya supaya tangis anaknya berkurang, dan kalau sudah payah menangis mereka akan tidur. Ibu tersebut juga menyatakan kritikannya terhadap kepemimpinan Khalifah Umar yang tidak mengetahui rakyatnya hidup sengsara seperti dia. Ibu itu benar-benar tidak mengetahui bahwa yang sedang dihadapinya itu adalah Umar sendiri, pemimpin negara dan bangsanya. Setelah mengetahui keadaan ibu tersebut, Umar permisi pulang dan langsung malam itu juga dia menuju gudang persediaan bahan makanan, diambilnya satu karung gandum dan dipanggulnya untuk diberikan kepada ibu tersebut. Saat itu Umar akan dibantu oleh sahabat yang mengawal perjalanannya untuk membawakan gandum tersebut, tetapi ditolaknya dengan ucapan: “Apakah kau sanggup memikul dosaku kelak di hadapan Tuhan?” (Thoha, 1990: 2-3). Dan masih banyak lagi sosok pemimpin dan kepemimpinannya yang menarik untuk dipelajari, dan patut diteladani oleh siapapun yang merasa dirinya sebagai pemimpin. Memang membicarakan kepemimpinan selalu menarik, dan dapat dimulai dari sudut pandang mana saja. Para peneliti biasanya mendefinisikan kepemimpinan (leadership) sesuai dengan perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik perhatian mereka (Yukl, 1994: 2), sehingga jumlah definisi kepemimpinan hampir sama banyak dengan jumlah orang yang mencoba mendefinisikannya (Robbins, 1996: 38), bahkan tidak terhitung banyaknya, sebagian lebih kabur daripada yang lain, karenanya definisi-definisi kepemimpinan tersebut masih harus diuji ketepatanya (Shelton, ed., 1997: 255). Akibatnya konsep kepemimpinan mempunyai arti yang berbeda pada orang- orang yang berbeda. Maka sebagai konsekuensinya, istilah kepemimpinan mempunyai konotasikonotasi yang tidak saling berhubungan yang justru menciptakan ambivalensi pengertian. Di samping itu adanya kebingungan yang disebabkan oleh penggunaan istilah-istilah lain yang tidak tepat, seperti kekuasaan, kewenangan, manajemen, administrasi, kontrol, dan supervisi, untuk menggambarkan fenomena yang sama. Karenanya wajar kalau Bennis (1959) setengah abad silam telah berkesimpulan bahwa: ”... kita mendapatkan suatu proliferasi dari istilah-istilah yang tak habis-habisnya harus dihadapi, dan konsep tersebut tetap tidak akan bisa didefinisikan dengan memuaskan” (Yukl, 1994: 2). Tesis Bertolak dari uraian tersebut, maka tulisan ini mengajukan tesis yang berbunyi, bahwa ”proliferasi definisi kepemimpinan tidak semakin memperjelas makna kepemimpinan tetapi justru semakin mengaburkan makna kepemimpinan”. Tesis inilah yang hendak dianalisis untuk menemukan kebenaran teoretik, sehingga betapapun banyak ragam definisi kepemimpinan yang ada diharapkan para pelaku, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas kepemimpinan masih tetap berpegang pada prinsip dasar (filosofis) kepemimpinannya, yakni dalam rangka mencapai tujuan bersama. Sebab, pemaknaan terhadap sesuatu hal, yang dalam hal ini adalah kepemimpinan, sangat berpengaruh terhadap praktek kepemimpinannya. Analisis Beberapa Cara Pendefinisian Kepemimpinan
2
Sitasi: Asmuni. (2008). Proliferasi Definisi Kepemimpinan dalam Perspektif Teori. Majalah Ilmiah Media Kampus STKIP PGRI Jombang, edisi Juli – Desember 2008, 64 – 76.
Suatu hal yang wajar apabila mempelajari sesuatu hal segera ingin mengetahui tentang apa sesungguhnya sesuatu itu. Biasanya definisi konsep yang menjadi pangkal tolaknya. Sayangnya, setiap ahli menyuguhkan definisi yang berbeda, meskipun dalam persoalan yang sama, karena sudut pandang dan kepentingan yang berbeda. Demikian juga dalam pendefinisian kepemimpinan (leadership). Padahal, menurut Yukl (1994: 2), kata leadership merupakan suatu kata yang diambil dari kamus umum yang dimasukkan ke dalam kamus teknis sebuah disiplin ilmiah tanpa didefinisikan dengan tepat. Oleh karena itu definisi kepemimpinan dari tahun ke tahun semakin berkembang biak, yang menurut kesimpulan Stogdill (1974), terdapat hamper sama banyaknya definisi kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Menurutnya, kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang, pola-pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada posisi administratif, serta persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh (Yukl, 1994: 2). Sebenarnya setiap pakar menyadari betapa banyak definisi kepemimpinan yang telah dilontarkan dalam khazanah ilmu kepemimpinan, terkadang disertai pula lontaran kritik terhadap definisi yang telah ada, namun juga menawarkan definisi baru menurut versinya, seperti yang dilakukan oleh J. Oliver Crom dalam Shelton, ed. (1997: 255-256). Tetapi tidaklah mungkin, dan pada saat ini tampaknya tidak diinginkan pengembangan disiplin ilmu tertentu untuk mencoba memecahkan perbedaan-perbedaan definisi yang tepat tentang kepemimpinan. Sebagaimana halnya dengan konstruksi-konstruksi dalam ilmu-ilmu sosial, definisi tentang kepemimpinan bersifat sewenang-wenang dan sangat subyektif. Beberapa definisi dapat lebih berguna daripada definisi lainnya, namun tidak ada, bahkan tidak akan ada, definisi yang paling tepat pada fenomena yang kompleks dan mempunyai banyak segi. Alasan rasionalnya adalah bahwa dalam penelitian, definisi operasional dari kepemimpinan akan banyak tergantung pada sasaran dari peneliti. Tujuannya mungkin untuk mengidentifikasi para pemimpin, menentukan bagaimana mereka diseleksi, menemukan apa yang mereka lakukan, menemukan mengapa mereka efektif, atau untuk menemukan apakah mereka diperlukan. Oleh karena itu sulit untuk menetapkan hanya satu definisi tentang kepemimpinan yang cukup umum untuk dapat mengakomodasikan berbagai arti yang banyak ini, dan yang cukup spesifik untuk melayani pengoperasian variabel tersebut. Jika dimungkinkan penelitian tentang kepemimpinan harus dirancang untuk memberikan informasi yang relevan bagi seluruh jajaran definisi, sehingga pada suatu saat dapat dibandingkan kegunaan dari berbagai konsep dan kemudian mencapai suatu konsensus mengenai hal tersebut (Yukl, 1994: 4). Menurut penulis, permasalahan proliferasi definisi kepemimpinan yang tidak mungkin dibendung ini akan lebih jernih dan mudah dipahami apabila dilihat dari perspektif Filsafat Ilmu yang mengajarkan ‘kompromi’ dari kutub ekstrim antara paham determinisme dan paham pilihan bebas sebagai landasannya. Sebab ilmu sebagai pengetahun yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual tidaklah bersifat praktis. Suriasumantri (1984: 73-77), menjelaskan apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat, sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas, ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang, sekadar tangkapan probabilistik? Ketiga masalah 3
Sitasi: Asmuni. (2008). Proliferasi Definisi Kepemimpinan dalam Perspektif Teori. Majalah Ilmiah Media Kampus STKIP PGRI Jombang, edisi Juli – Desember 2008, 64 – 76.
ini, yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik, merupakan permasalahan filsafati yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik. Konsekuensi dari pilihan ini adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistik. Kemudian ada ahli filsafat yang sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang bersifat umum itu adalah tidak perlu. Bahkan filusuf eksistensialis berpendapat, bahwa merupakan kekejaman untuk meletakkan hakikat manusia yang bersifat khas dan individual di bawah tirani pengetahuan yang bersifat umum. Pengetahuan haruslah bersifat individual yang berorientasi kepada pengalaman pribadi. Yang kita butuhkan adalah pengetahuan yang berada di tengah-tengah, antara kemutlakan yang dipunyai agama, dan keunikan individual yang bersifat seni. Jadi di antara kutub determinisme dan pilihan bebas, ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik. Asumsi yang mendasari Definisi Kepemimpinan Beberapa definisi kepemimpinan yang dapat dianggap cukup dapat mewakili selama seperempat abad silam dikemukan oleh Yukl (1994:2) sebagai berikut: 1. Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitasaktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal)” (Hemhill & Coons, 1957: 7) 2. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannenbaum, Weschler & Massarik, 1961: 24) 3. Kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi (Stogdill, 1974: 411) 4. Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi (Katz & Kahn, 1978: 528) 5. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan (Rauch & Behling, 1984: 46) 6. Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Jacobs & Jacques, 1990: 281) 7. Para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde sosial yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya (Hosking, 1998: 153). Beberapa definisi tersebut apabila dianalisis akan mencerminkan sebuah asumsi yang menjadi pangkal tolaknya, yaitu bahwa kepemimpinan menyangkut sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh yang disengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah organisasi. Hal ini sejalan dengan penjelasan Irianto (2002:2) yang menyatakan bahwa dalam kepemimpinan arah pembicaraan juga menuju pada persoalan bagaimana organisasi berupaya untuk mempengaruhi (to influence) perilaku individu 4
Sitasi: Asmuni. (2008). Proliferasi Definisi Kepemimpinan dalam Perspektif Teori. Majalah Ilmiah Media Kampus STKIP PGRI Jombang, edisi Juli – Desember 2008, 64 – 76.
dalam organisasi. Konsep kepemimpinan menyajikan sebuah cara bagaimana mempengaruhi perilaku orang lain. Pengaruh (influence) merupakan kemampuan untuk mempengaruhi (affect) persepsi, sikap atau perilaku pihak lainnya. Kepemilikan pengaruh dapat ditemui pada tingkat individual, kelompok ataupun organisasi secara keseluruhan. Dalam bentuknya yang lain, sebuah organisasi dapat dibayangkan sebagai sebuah sistem pengaruh (system of influence). Beberapa kegiatan yang dilakukan manajer diarahkan pada upaya mempengaruhi pihak lain. Bertolak dari asumsi tersebut, maka menurut Irianto (2002: 3), kepemimpinan dapat didefinisikan, baik sebagai sebuah proses (a process) maupun sebagai sebuah kepemilikan (a property). Sebagai sebuah proses, kepemimpinan adalah penggunaan pengaruh nonpaksaan (noncoercive influence) untuk membentuk tujuan sebuah kelompok atau organisasi, memotivasi perilaku ke arah pencapaian tujuan tersebut, dan membantu dalam memberi batasan tentang kultur kelompok atau organisasi. Sebagai sebuah kepemilikan, kepemimpinan merupakan seperangkat karakteristik yang diatribusikan kepada siapa saja yang dipersepsikan sebagai pemimpin (leader). Dengan demikian pemimpin adalah orang yang dapat mempengaruhi perilaku pihak lainnya tanpa harus tergantung pada adanya ancaman atau bentuk kekuatan lainnya. Pemimpin adalah orang yang yang memang diakui sebagai pemimpin oleh pihak lainnya. Beberapa Kontroversi dalam Pendefinisian Kepemimpinan Sejumlah definisi yang tak terhingga banyaknya itu berbeda dalam berbagai aspek, meskipun relatif sama dalam hal asumsi yang menjadi pangkal tolaknya, termasuk di dalamnya siapa yang menggunakan pengaruh, sasaran yang ingin dicapai dari pengaruh tersebut, cara bagaimana pengaruh tersebut digunakan, serta hasil dari usaha menggunakan pengaruh tersebut. Perbedaan-perbedaan semacam ini bukan hanya merupakan sebuah persoalan akademis, tetapi memang mencerminkan adanya ketidak- sesuaiannya mengenai identifikasi dari para pemimpin serta proses kepemimpinannya. Sedangkan perbedaanperbedaan antar peneliti tentang konsep kepemimpinan terletak pada perbedaan-perbedaan dalam pemilihan fenomena yang diteliti, yang kemudian menimbulkan perbedaanperbedaan pula dalam menginterpretasikan hasil-hasil penelitiannya. Di samping itu kondisinya diperparah oleh adanya kebingungan yang disebabkan oleh penggunaan dari istilah-istilah lain yang tidak tepat, seperti misalnya, kekuasaan, kewenangan, manajemen, administrasi, kontrol serta supervisi untuk menggambarkan fenomena yang sama (Yukl, 1994: 2), sehingga muncul beberapa kontroversi yang terus berlangsung. Kontroversi utama menyangkut persoalan apakah kepemimpinan harus dilihat sebagai milik dari individu-individu tertentu atau milik dari sebuah sistem sosial. Kontroversi yang lain adalah masalah usaha mempengaruhi mana yang merupakan bagian dari kepemimpinan. Dan kontroversi yang masih terus berlangsung adalah mengenai perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen juga menyangkut maksud dari proses-proses mempengaruhi (to influence) tersebut. Salah satu pandangan menyatakan bahwa semua kelompok mempunyai spesialisasi peran yang di dalamnya termasuk peran khusus kepemimpinan. Orang yang mempunyai paling banyak pengaruh di dalam kelompok tersebut dan yang diharapkan akan menjalankan peran kepemimpinan ditetapkan sebagai pemimpinnya. Sedangkan anggota lainnya disebut sebagai para pengikut, meskipun beberapa di antara mereka bisa menjadi pemimpin subkelompok atau membantu pucuk pimpinan dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya. Tetapi pandangan alternatif menyatakan bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses pengaruh sosial yang terjadi secara alamiah. Mereka percaya bahwa lebih berguna untuk mempelajari kepemimpinan sebagai sebuah proses daripada mempelajari 5
Sitasi: Asmuni. (2008). Proliferasi Definisi Kepemimpinan dalam Perspektif Teori. Majalah Ilmiah Media Kampus STKIP PGRI Jombang, edisi Juli – Desember 2008, 64 – 76.
pemimpin sebagai seorang individu. Karenanya, menurut pandangan mereka, setiap anggota kelompok sosial dapat memperlihatkan kepemimpinannya setiap saat meskipun posisinya sebagai bawahan (followers), sehingga tidak ada perbedaan yang jelas antara para pemimpin dan para bawahannya. Di lain pihak, beberapa orang teoretikus bersikeras bahwa kepemimpinan hanya mencakup proses-proses mempengaruhi yang berhubungan dengan sasaran-sasaran dari suatu tugas atau yang berhubungan dengan mempertahankan (maintenance) kelompok. Menurut pandangan ini, yang tidak termasuk dalam kepemimpinan adalah usaha-usaha mempengaruhi yang tidak berhubungan dengan kelompok (extraneous) atau malahan bertentangan dengan kelompok, seperti usaha-usaha pemimpin untuk memperkaya diri dengan mengorbankan para pengikutnya. Sebaliknya pandangan yang bertentangan, memasukkannya sebagai bagian dari kepemimpinan, semua usaha untuk mempengaruhi sikap dan perilaku dari para pengikut, tanpa memperdulikan sasaran yang diinginkan atau keuntungan aktual, karena tindakan kepemimpinan mempunyai banyak alasan yang sulit ditentukan mana tindakan yang bersifat tanpa pamrih, dan mana tindakan yang lebih mementingkan kepentingan pribadi. Oleh karena itulah perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen terus berlangsung. Seseorang dapat menjadi pemimpin tanpa harus menjadi manajer, misalnya pemimpin informal. Sebaliknya seseorang dapat pula menjadi manajer tanpa memimpin, misalnya seorang manajer yang tidak memiliki staf (bawahan). Kebanyakan peneliti menyatakan bahwa kedua hal ini secara kualitatif berbeda, bahkan masing- masing berdiri sendiri (mutually exclusive). Inti argumentasinya adalah bahwa para manajer berorientasi pada stabilitas, sedangkan para pemimpin lebih berorientasi pada inovasi. Para manajer membuat agar orang melakukan hal-hal yang bersifat efisien, sedangkan para pemimpin membuat agar orang setuju tentang bagaimana sesuatu itu harus dilakukan. Pendapat yang sangat berbeda adalah konsep dari James A.F. Stoner dan Charles Wankel (1986) yang memasukkan pemimpinan (leading) dalam fungsi-fungsi manajemen, yaitu sebuah fungsi manajemen yang dilaksanakan setelah planning dan organizing (Stoner & Wankel, 1986: 20). Beberapa Pendekatan untuk Studi Kepemimpinan Kepemimpinan telah dikaji dengan berbagai cara, tergantung preferensi metodologi dari peneliti dan konsep kepemimpinan. Kebanyakan peneliti hanya menguraikan prespektifnya dalam sebuah aspek yang sempit dan terbatas pada bidang- bidang penelitian tertentu. Padahal, sebenarnya ada beberapa pendekatan (approach) yang dapat digunakan dalam studi kepemimpinan, yaitu antara lain: 1. Pendekatan berdasarkan ciri/sifat Pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut pribadi dari para pemimpin. Dasar dari pendekatan ini adalah asumsi bahwa beberapa orang merupakan pemimpin alamiah yang dianugerahi dengan beberapa ciri yang tidak dipunyai oleh orang lain. Tetapi hasil-hasil penelitian membuktikan bahwa sifat-sifat unggul yang dimiliki pemimpin, misalnya kharisma, ternyata kecil pengaruhnya terhadap kesuksesan dalam memimpin. Malahan Mc.Manis dalam Shelton [ed], (1997: 98) menyebutnya sekadar mitos. 2. Pendekatan berdasarkan perilaku Ketika para peneliti menjadi kecewa dengan pendekatan ciri, maka studi kepemimpinan memberi perhatian pada apa yang sebetulnya dilakukan oleh para pemimpin, yang berintikan pada perilaku yang efektif dan tidak efektif.
6
Sitasi: Asmuni. (2008). Proliferasi Definisi Kepemimpinan dalam Perspektif Teori. Majalah Ilmiah Media Kampus STKIP PGRI Jombang, edisi Juli – Desember 2008, 64 – 76.
3. Pendekatan kekuasaan–pengaruh Pendekatan kekuasan–pengaruh (power–influence approach) ini mencoba memperoleh pengertian tentang kepemimpinan dengan mempelajari proses mempengaruhi antara para pemimpin dan para pengikutnya. Pendekatan juga masih sama dengan pendekatanpendekatan sebelumnya, yakni masih terpusat pada para pemimpin, karena asumsi yang mendasarinya adalah bahwa hubungan sebab-akibat (causality) mempunyai arah tunggal, yaitu pemimpin bertindak dan para pengikut bereaksi. 4. Pendekatan situasional Pendekatan situasional menekankan pada pentingnya faktor-faktor kontekstual, seperti sifat pekerjaan, sifat lingkungan dan karakteristik para pengikut. Dengan demikian pendekatan ini tak ubahnya dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya yang lebih tua, karena pada dasarnya pendekatan ini mengakomodasi pendekatan ciri dan pendekatan perilaku yang pemilihannya memperhatikan aspek situasi atau faktor lingkungan yang mempengaruhinya. 5. Pendekatan partisipatif Kepemimpinan partisipartif pada dasarnya memberi perhatian kepada pembagian kekuasaan (power sharing) dan kewenangan kepada para bawahan (folowers), namun kepemimpinan ini rupanya berakar dalam tradisi keperilakuan. Dengan demikian sebenarnya pendekatan partisipatif ini come back pada pendekatan perilaku. Sintesis Berdasarkan analisis tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tesis yang diajukan, yakni ”proliferasi definisi kepemimpinan tidak semakin memperjelas makna kepemimpinan tetapi justru semakin mengaburkan makna kepemimpinan”, adalah cukup logis dan rasional untuk dapat diterima kebenarannya, karena adanya beberapa alasan: (1) Pendefinisian tentang konsep kepemimpinan sangat ditentukan oleh perspektif dan aspek dari fenomena yang menarik bagi peneliti; (2) masih terdapat beberapa kontroversi yang sampai sekarang berlangsung, terutama perbedaan atau persamaan antara kepemimpinan dan manajemen; (3) tidak mungkin dimunculkan definisi kepemimpinan yang universal, karena tidak mungkin dapat diberlakukan secara universal pula, lagi pula fenomena dan kepentingan setiap waktu dapat berubah; (4) preferensi metodologi yang digunakan peneliti terdapat banyak pilihan, tergantung argumentasi dan kepentingannya, meskipun asumsi dasar yang digunakannya sama, namun dalam aplikasi metodologi dapat pula melahirkan asumsi baru yang mungkin menyimpang dari asumsi dasarnya. Malahan ada pula yang berputar berbalik arah (come back) pada teori yang terdahulu dengan sedikit modifikasi. Berdasar keempat alasan ini, maka secara teoritis proliferasi definisi kepemimpinan semakin subur dan melahirkan segudang definisi yang tidak jarang terjadi saling ambivalen antar definisi, sehingga semakin mengkaburkan makna kepemimpinan itu sendiri. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan tersebut dapatlah diberikan rekomendasi, bahwa meskipun dampak proliferasi definisi kepemimpinan semakin mengkaburkan makna kepemimpinan, tetapi mulculnya definisi kepemimpinan yang bersifat universal tetap tidak diperlukan, mengingat fungsi ilmu adalah membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama, tetapi tidaklah seperti bidang seni yang sangat bersifat personal, melainkan akomodatif di antara keduanya. Oleh karena itu agar proliferasi definisi kepemimpinan tidak terlalu berdampak negatif terhadap 7
Sitasi: Asmuni. (2008). Proliferasi Definisi Kepemimpinan dalam Perspektif Teori. Majalah Ilmiah Media Kampus STKIP PGRI Jombang, edisi Juli – Desember 2008, 64 – 76.
pengkaburan makna kepemimpinan, maka disarankan bahwa dalam setiap perumusan definisi tenang kepemimpinan tidak keluar atau tidak menyimpang dari asumsi dasarnya, yakni bagaimana upaya mempengaruhi perilaku individu dalam kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Daftar Kepustakaan Handayaningrat, Soewarno. (1986). Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Gunung Agung/C.V. Haji Masagung (cetakan ketujuh) Irianto, Jusuf. (2002). Kepemimpinan. Surabaya: Prodi Ilmu Pengembangan SDM Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Shelton, Ken [ed.]. (1997). Paradigma Baru Kepemimpinan. Terjemahan Oka tahun 2002. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo (Gramedia Group) Stoner, James A.F dan Charles Wankel. (1986). Manajemen (edisi ketiga). Terjemahan Wilhelmus W. Bakoswatun dan Bosco Carvallo Tahun 1988, Jilid 1. Jakarta: C.V. Intermedia (cetakan kedua). Sugandha, Dann. 1981. Kepemimpinan dalam Organisasi dan Management (edisi I), Bandung: CV. Sinar Baru. Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Asmuni. (1995). Bila Kekuasaan sebagai Alat Kepemimpinan. Majalah Ilmiah Media Kampus STKIP PGRI Jombang, edisi Mei 1995. Thoha, Miftah. 1990. Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku (edisi pertama). Jakarta: Rajawali Pers (cetakan keempat). Walgito, Bimo (2001). Psikologi Sosial, Suatu Pengantar (edisi kedua). Yogyakarta: Andi (cetakan ketiga). Yukl, Gary. 1994. Kepemimpinan dalam Organisasi. Terjemahan Jusuf Udaya Tahun 1998. Jakarta: Prenhallindo.
8