TELAAH HADIS TENTANG MELIHAT WANITA SEBELUM MENGKHITBAH (STUDI TAKHRIJ HADIS RIWAYAT ABU DAWUD TENTANG DIPERBOLEHKANNYA SEORANG LAKI-LAKI MELIHAT WANITA SEBELUM MENGKHITBAHNYA)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Disusun oleh: MUHAMAD HAFID NIM: 21208007 JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2013
ii
TELAAH HADIS TENTANG MELIHAT WANITA SEBELUM MENGKHITBAH (STUDI TAKHRIJ HADIS RIWAYAT ABU DAWUD TENTANG DIPERBOLEHKANNYA SEORANG LAKI-LAKI MELIHAT WANITA SEBELUM MENGKHITBAHNYA)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Disusun oleh: MUHAMAD HAFID NIM: 21208007 JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2013
i
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA Jl. Nakula Sadewa VA No. 09 telp. ( 0298 ) 3419400,323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga Website : www.stainsalatiga.ac.id e-mail :
[email protected] PERSETUJUAN PEMBIMBING Hal : Pengajuan Skripsi Lamp : 4 eksemplar Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga di Salatiga Assalamu‟alaikum wr.wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan koreksi serta perbaikan seperlunya, maka bersama kami ini kirimkan naskah skripsi mahasiswa: Nama
: Muhamad Hafid
NIM
: 21208007
Jurusan / Program Studi : Syari‟ah / Ahwal Al-Syakhshiyyah Judul
: Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbah (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki
Melihat
Wanita
Sebelum
Mengkhitbahnya) untuk diajukan dalam sidang munaqasyah. Demikian untuk menjadi periksa. Wassalamu‟alaikum wr.wb. Salatiga, 11 September 2013
ii
PENGESAHAN SCAN
iii
DEKLARASI SCAN
iv
MOTTO
فإذا عزمت فتوكل على اهلل Bila kamu telah bersungguh-sungguh maka bertawakallah kepada Allah dan ingatlah …
رضى اهلل يف رضى الوالدين Keridhoan Allah itu bergantung pada keridhoan kedua orang tua
v
PERSEMBAHAN Untuk ayahandaku Nur Khamid dan Ibundaku tercinta Sofiyah, cintamu laksana embun, bening, sejuk, suci, murni, tiada kata harap tetesan kembali. Untuk para guru, masyayikh, dan segenap dosen STAIN Salatiga, secara khusus kepada Prof. Dr. Muh. Zuhri, dari beliau saya mengenal Ulumul Hadis pertama kali. Untuk sepuluh bersaudara: (1).mbak Isti’anah, (2) mbak Misrifah, (3) mbak Mudrikah, (4) mbak Marfu’ah, (5) mbak Siti Romlah, (6) Muhamad Hafid (7) dik Khamidah, (8) dik Muhammad Mahbub, (9) dik Muhammad Sukron Hamid, (10) dik Nur Jannah kalian adalah lautan inspirasiku. Untuk sahabat-sahabat seperjuanganku, serta teman-teman yang turut membantu mengelupas kulit ketidaktahuanku. Semoga tidak lupa ilmu padi. Dan untuk yang selalu ada di hatiku... terima kasih selalu menemani, mendukung dan memotivasiku. Tiada kata yang lebih indah yang bisa aku sampaikan selain TERIMA KASIH dan Do’a terbaik untuk semua...
جزا كم هللا احسن الجزا
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil „aalamiin. Ucapan dan ungkapan syukur tiada terhenti penulis haturkan atas anugerah Allah SWT. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, rindu kami senantiasa mengiring setiap hembusan nafas dan detak kehidupan. Dengan Rahmat Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan atas bantuan banyak pihak yang telah mendukung serta memberikan sumbang sih saran dan kritik. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini sebagai Skripsi pada Program Studi Al-ahwal Al-syakhshiyyah yang berjudul Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbah (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya) dan penulis mengucapkan terima kasih
kepada
semua
pihak
yang
telah
membantu
serta
mendoakan
terselesaikannya skripsi ini, secara khusus kepada segenap civitas akademika STAIN Salatiga: 1.
Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang kami hormati.
2.
Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga atas kelonggaran hati beliau memperlancar proses pengajuan skripsi ini.
3.
Bapak Ilyya Muhsin, SHI., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah STAIN Salatiga atas kepercayaan beliau menyarankan penulis untuk studi takhrij hadis.
4.
Bapak Dr. Adang Kuswaya, M.Ag. terima kasih atas kesabaran membimbing dan memberi dorongan semangat kepada penulis, meskipun penulis berkemampuan pas-pasan dalam studi takhrij hadis.
5.
Bapak. Prof. Dr. Muh. Zuhri atas tuntunan beliau mengajar Ulum Al-Hadis.
6.
Bapak dan Ibu seluruh pegawai, staf perpustakaan, security dan segenap civitas akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
vii
Serta semua pihak yang tak dapat kami tuliskan satu per satu. Semoga Allah senantiasa memudahkan urusannya dan keluarganya dalam kebaikan, karena Allah senantiasa memberikan pertolongan pada orang yang senantiasa menolong sesamanya. Semoga Allah SWT berkenan memberikan kesehatan dan balasan yang terbaik. Aamiin. Tiada gading yang tak retak, begitu pula dalam menyusun skripsi ini penulis yakin belum sempurna, masih terdapat kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan maupun isinya. Oleh sebab itu atas kritik dan saran dari seluruh pembaca, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.
Salatiga, September 2013 Penulis
Muhamad Hafid NIM 21208007
viii
ABSTRAK Hafid, Muhamad. 2013. Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbah (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya). Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Al-Ahwal AlSykahshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. Adang Kuswaya, M.Ag Kata Kunci: hadis, sanad, matan, melihat, khitbah Penelitian ini merupakan penelitian pustaka untuk menganalisis sanad dan matan hadis tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita dalam proses khitbah. Hadis yang menjadi objek penelitian ini adalah hadis riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana keabsahan hadis tersebut ditinjau dari sanad maupun matan-nya dan bagaimana implikasi hukum hadis tersebut. Peneliti melakukan tiga tahap yaitu penelitian sanad dan penelitian matan hadis lalu meneliti implikasi hadis berdasarkan kitab-kitab Fiqh yang berhubungan. Pada penelitian sanad tahap-tahapnya sebagai berikut: Menelusuri letak hadis pada kitab-kitab mukharrij hadis, menyusun bagan sanad hadis, memeriksa persambungan sanad dan reputasi periwayat hadis, mengambil natijah atau kesimpulan sementara tentang nilai sanad hadis. Sedangkan pada penelitian matan hadis penulis melakukan tahap-tahap berikut: Membandingkan hadis dengan ayat Al-Quran yang sesuai, membandingkan dengan hadis lain yang lebih shahih, membandingkan hadis dengan fakta sejarah, membandingkan hadis dengan rasio, mengambil kesimpulan sementara tentang nilai matan hadis. Selanjutnya adalah penjabaran implikasi hukum hadis Dari penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa hadis riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita yang hendak dilamarnya adalah termasuk hadis ahad dan memiliki sanad dengan kualitas hasan. Analisis matan hadis tidak menunjukan redaksi lafadz yang jauh berbeda secara makna, artinya hadis ini diriwayatkan dengan makna bukan dengan lafadz. Hadis tersebut terhindar dari syadz dan „illal, dan dari segi kehujjah-annya dapat diterima (maqbul). Kesimpulan tentang implikasi hukum hadis ini menunjukkan laki-laki boleh melihat perempuan ketika kita sudah melamarnya dan sebelum melakukan akad. Diperbolehkannya laki-laki melihat wanita untuk tujuan pernikahan ini tidak merta mengubah hukum haram melihat lawan jenis yang bukan mahram, namun bertujuan untuk menghindari kekecewaan dan untuk lebih menjaga kelanggengan hubungan perkawinan yang sakinah, mawaddah, warrahmah.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. ii PENGESAHAN .............................................................................................. iii DEKLARASI .................................................................................................. iv MOTTO .......................................................................................................... v PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi KATA PENGANTAR .................................................................................... vii ABSTRAK ...................................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... x BAB I
: PENDAHULUAN ....................................................................... 1 A. Latar Belakang ......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7 D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 7 E. Metode Penelitian .................................................................... 9 F. Penegasan Istilah ...................................................................... 13 G. Telaah Pustaka ......................................................................... 15 H. Sistematika Penulisan .............................................................. 16
BAB II
: TINJAUAN UMUM .................................................................... 17 A. Khitbah ..................................................................................... 17 1. Hikmah Disyariatkannya Khitbah...................................... 18
x
2. Melihat Wanita yang Dikhitbah ......................................... 19 3. Status Hukum Khitbah ...................................................... 21 B. Hadis dan Takhrij Hadis ......................................................... 22 1. Hadis ................................................................................. 22 2. Pembagian Hadis .............................................................. 23 3. Takhrij Hadis .................................................................... 28 BAB III
HASIL PENELITIAN SANAD HADIS........................................ 33 A. Menelusuri Letak Hadis pada Kitab Mukharrij Hadis ........... 33 B. Menyusun Bagan Sanad Hadis ............................................... 41 C. Memeriksa Persambungan Sanad dan Reputasi Periwayat Hadis ....................................................................................... 45 D. Kesimpulan Penelitian Sanad Hadis ....................................... 51
BAB IV
ANALISIS MATAN HADIS ........................................................ 55 A. Pendekatan Nash Al-Quran ..................................................... 55 B. Penelitian Syadz dan „Illat ...................................................... 59 C. Asbaab al-Wurud Hadis .......................................................... 59 D. Analisis Bahasa dan Makna .................................................... 60 E. Kandungan Hukum ................................................................. 62
BAB V
PENUTUP ..................................................................................... 63 A. Kesimpulan ............................................................................. 63 B. Saran ....................................................................................... 65
Daftar Pustaka Lampiran
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan peristiwa yang bersifat sakral antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membina sebuah keluarga. Keluarga yang harmonis, di dalam Islam dikenal dengan istilah keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah. Islam memberikan tuntunan agar setiap muslim tidak sembarang dalam menentukan pasangan hidup. Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah:
ِب ِب ِب ِب ِب ِب َّل َّل ِب َّل ِب َّل سِب َعه ي َع ْن يَع ي ُه َع ْنْي َع َعي َع َع ي ال ُهي َع ْن يُه ي َع ْن ي اَّل ِّي ي َع ل ي ال ُهي َعلَعْن ي َع َع ل َع ي َع اَعي ي ُهْي ْن َع ُهي ي ا َعْنم ْن َع ُهيِلَع ْن َع ٍعيا َعم ا َعه ي َع ا َعح َع م اِبه ي اِب ِبل ِبه ي َع اْن َع ي ِب َع ِب اي ِّي ال ِب ي َع ِبَع ْن ي َع َعل َعيا*ي َع َع َع َع َع َع ْن bahwa “Perempuan itu dinikahi karena empat
hal, karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, atau karena agamanya. Pilihlah berdasarkan agamanya agar selamat dirimu.” (HR. Bukhari : 4700 dan Muslim : 2661) Kemudian bagaimana seorang laki-laki dapat mengetahui keempat hal di atas jika belum saling mengenal? Sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah SAW melalui hadisnya, untuk mengetahui mengetahui seorang perempuan yang akan dinikahi adalah seorang yang baik menurut tuntunan Islam, diperlukan sebuah upaya agar saling mengenal. Dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi: …
1
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. (Depertemen Agama, Q.S. Al-Hujurat [49]: 13) Upaya untuk saling mengetahui antara calon mempelai dikenal dengan istilah ta‟aruf. Yaitu saling berkenalan antara seorang laki-laki dan perempuan beserta keluarganya masing-masing untuk tujuan yang baik yakni untuk tujuan pernikahan. Setelah upaya ta‟aruf dilakukan dan ditemukan kecocokan satu sama lain maka proses selanjutnya khitbah atau peminangan. Peminangan merupakan langkah pendahuluan untuk menuju ke arah perjodohan antara seorang pria dan wanita. Islam mensyariatkan khitbah atau peminangan agar masing-masing calon suami dan calon istri dapat saling mengenal dan memahami pribadi masing-masing (Rofiq, 1998: 62). Pada pasal 1 Bab I Kompilasi Hukum Isalam huruf (a) juga telah memberi pengertian bahwa “peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita” dengan cara yang baik (ma‟ruf). (Kompilasi Hukum Islam dan Sabiq, tt: 51) Dalam proses perkenalan antara seorang laki-laki dan perempuan diperlukan adanya komunikasi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Salah satu bentuk komunikasi langsungnya adalah saling bertemu face to face yang memungkinkan seorang laki-laki melihat langsung perempuan bukan mahram yang hendak dinikahinya. Berkaitan dengan melihat calon mempelai yang akan dinikahi, penulis menemukan sebuah hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud yang dishahihkan oleh Hakim dalam Kitab Bulugh Al Maram min Adillah al Ahkam karya Ibnu Hajar al-Asqolani yang berbunyi:
2
(إذا: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو و سلم:و عن جابر رضي اهلل عنو قال ينظر منها إىل ما يدعوه إىل نكاحها َ فإن استطاع أن، خطب أحدكم املرأة .فليفعل) رواه أمحد و أبو داود ورجالو ثقة وصححو احلاكم Artinya: Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian yang menarik darinya untuk menikahinya, hendaknya ia lakukan.” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadis shahih menurut Hakim) (al-Asqolani, 1378 Hijriyah: hlm.209)
Dengan adanya peminangan tidak lantas menimbulkan berubahnya status hukum bagi hubungan laki-laki maupun perempuan, baik hubungan secara fisik maupun hubungan non fisik, karena pinangan bukanlah sebuah ikatan hak dan kewajiban. Sebagaimaan Kompilasi Hukum Islam menegaskan pada pasal 13 ayat (1) bahwa “Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.” Dilanjutkan ayat (2) yang berbunyi “Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.” Maka, dapat dipahami bahwa meskipun sebuah peminangan telah disetujui dan saling menerima, para calon mempelai tetap tidak diperbolehkan melakukan sesuatu yang dilarang secara syar‟i, seperti ber-ikhtilath atau bersepi-sepi berdua hingga dilangsungkannya aqad perkawinan yang sah. Dalam pergaulan masyarakat ada sebuah kebiasaan yang dimaklumkan namun tidak jelas apa yang menjadi landasan, bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang telah menyetujui sebuah peminangan, seolah-olah telah
3
menjadi jaminan pasti akan melakukan pernikahan dan menjadi suami istri (Rofiq, 1998:64). Bahkan oleh orang tua masing-masing calon mempelai diijinkan melakukan segala aktifitas bersama-sama. Saling berpandangan dengan disertai syahwat, saling bersentuhan baik sengaja ataupun tidak, dan aktifitas lain yang belum layak bagi dua orang yang belum sah sebagai suami istri pun kadang tidak dapat terhindarkan. Perkembangan sosial kemasyarakatan yang diiringi perkembangan cara bergaul manusia yang cenderung lebih terbuka kepada hal-hal yang bersifat global, maka perhatian masyarakat kepada kaidah-kaidah agama sebagaimana Al-Quran dan hadis menjadi semakin surut. Karena itulah penulis sebagai akademisi syari‟ah merasa tergerak untuk meneliti lebih lanjut sebenarnya bagaimana Islam mengatur tata cara pergaulan khususnya pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Mengingat diri penulis adalah mahasiswa program studi Ahwal al Syakhshiyyah, maka penulis tertarik untuk meneliti hadis yang berkenaan dengan nadhar sebelum khitbah atau peminangan. Objek yang mejadi kajian penelitian ini berupa teks hadis maka penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian pustaka yakni kajian sanad dan matan hadis. Pada penelitian ini penulis membatasi pada bab nadhar yang berarti melihat, yakni tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita yang akan menjadi calon istri pada saat khitbah. Pertanyaan yang ingin dijawab dengan penelitian hadis ini adalah bagaimana keabsahan atau validitas sanad dan matan hadis tentang
4
diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya. Apakah sanad hadis tersebut bersambung kepada nabi SAW atau apakah ada rantai sanad yang terputus. Kemudian tentang matan hadis tersebut apakah tidak bertentangan dengan nash Al-Quran, terdapat syadz atau pertentangan dengan hadis lain yang sahih atau tidak, dan apakah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud tersebut tidak mengandung „íllal atau terdapat cacat hadis. Al-Quran adalah sumber hukum utama agama Islam, sedangkan hadis adalah sumber kedua, maka semestinya hadis bersifat melengkapi kepada ayat-ayat Al-Q‟uran. Di satu sisi Al Quran surat An-Nuur ayat 30-31 yang berbunyi:
. . . Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: „Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat‟. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: „Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya . . . (Departemen Agama RI, QS. An-Nuur: ayat 30-31)
Ayat di atas jelas memerintahkan kepada laki-laki dan wanita muslim untuk menahan pandangannya serta kemaluannya, menyiratkan makna bahwa memandang lawan jenis selain mahram adalah dilarang. Di sisi lain terdapat bunyi hadis yang menganjurkan laki-laki melihat perempuan dalam pinangan 5
atau khitbah. Dengan pemahaman sederhana tanpa melalui telaah kritis, hadis yang berbunyi:
ينظر منها إىل ما يدعوه إىل نكاحها َ فإن استطاع أن، إذا خطب أحدكم املرأة فليفعل (al-Asqolani, 1378 Hijriyah: hlm.209) Bunyi hadis tersebut tampak sangat bertentangan dengan Al-Quran surat An-Nuur ayat 30 maupun ayat 31 dari segi perintah dan larangan. Perbedaan
ini
akan
sangat
berpotensi
menimbulkan
permasalahan
ketidakpastian hukum dalam masyarakat, selain itu adanya perbedaan penafsiran akan mengakibatkan ummat Islam tidak yakin dalam mengamalkan Al-Quran dan hadis. Untuk itulah penelitian studi hadis ini menjadi penting untuk mengetahui tingkat keabsahan sanad maupun matan-nya. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian pustaka dengan judul: Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya)
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana keabsahan sanad hadis riwayat Abu Dawud tentang diperbolehkannya
seorang
laki-laki
mengkhitbahnya?
6
melihat
wanita
sebelum
2. Bagaimana keabsahan matan hadis riwayat Abu Dawud tentang diperbolehkannya
seorang
laki-laki
melihat
wanita
sebelum
mengkhitbahnya? 3. Bagaimana implikasi hukum hadis tentang diperbolehkannya seorang lakilaki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya terhadap pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang belum shah sebagai suami istri?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian pustaka ini adalah: 1. Mengetahui keabsahan sanad hadis hadis riwayat Abu Dawud tentang diperbolehkannya
seorang
laki-laki
melihat
wanita
sebelum
mengkhitbahnya. 2. Mengetahui keabsahan matan hadis riwayat Abu Dawud tentang diperbolehkannya
seorang
laki-laki
melihat
wanita
sebelum
mengkhitbahnya. 3. Bagaimana implikasi hukum hadis riwayat Abu Dawud tentang diperbolehkannya
seorang
laki-laki
melihat
wanita
sebelum
mengkhitbahnya terhadap pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang belum syah sebagai suami istri?
7
D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis: a. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dan bahan kajian pustaka khususnya para pengkaji hadis. b. Sebagai sumbangan pemikiran untuk pembaca yang akan mengadakan penelititan lebih lanjut di bidang telaah hadis. c. Untuk mewujudkan hubungan pergaulan yang baik dalam masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu pengetahuan bagi semua pihak, khususnya bagi: a. Peneliti Sebagai syarat untuk meperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu syari‟ah program studi Ahwal Al-Syakhshiyyah dan sebagai wawasan ilmu pengetahuan yang berguna ketika peneliti sudah berperan aktif dalam masyarakat. b. Lembaga pemerintahan yang bergerak dalam bidang pembinaan keluarga dan pernikahan Sebagai tambahan referensi untuk memberikan informasi dan memberikan tambahan pengetahuan terhadap masyarakat khususnya bagi calon mempelai akan pentingnya menjaga kesucian hubungan sesuai dengan ketentuan Al-Qur‟an dan Hadis sehingga akan terbina
8
sebuah keluarga yang harmonis yang terjaga kesuciannya dimulai dari menjaga pandangan mata dari hal-hal yang tidak baik. c. Masyarakat Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat sebagai ilmu pengetahuan dalam membina masyarakat yang Islami khususnya dalam pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan. Dengan membaca hasil penelitian hadis ini, seorang muslim laki-laki diharapkan mampu menjaga pandangan dengan sebaik-baiknya untuk menghindari
kemungkinan
timbulnya
syahwat
yang
tidak
diperbolehkan. Begitu juga seorang muslimah diharapkan mampu menjaga dirinya untuk tidak menampakkan perhiasan yang telah diberikan oleh Allah kecuali hanya kepada orang-orang yang dibenarkan dan dihalalkan secara syar‟i.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan). Oleh karena itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab maupun Indonesia yang mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian ini. Dalam Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir STAIN Salatiga diterangkan bahwa penelitian ini termasuk penelitian
9
takhrij hadis yakni penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sumber suatu hadis dan menjelaskan tingkat keshahihannya (STAIN Salatiga, 2009: 57). 2. Pendekatan Penelitian Sedangkan
pendekatan
dalam
penelitian
ini
menggunakan
pendekatan metode deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara mendalam segala aspek yang melekat pada sebuah hadis dan mempertegas makna hadis. Dalam hal ini peneliti menguraikan dan mendiskripkan hadis riwayat Abu Dawud tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita yang dikhitbahnya melalui dua tahapan yaitu validitas sanad dan matan hadis kemudian dilanjutkan dengan kandungan dan makna hadis serta mejelaskan implikasi hukum dari hadis yang dikaji. 3. Jenis dan Sumber Data Berdasarkan pada sumber perolehan data, maka data dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer ini disebut juga data asli atau data baru. (Hasan, 2002: 33) Adapun data primer yang menjadi rujukan utama hadis yang diteliti adalah kitab-kitab hadis. Di antara kitab-kitab itu adalah Syarh Sunan Abu Daud karya Syamsuddin Abu al-Qoyyim al Jauziyah, Musnad Ahmad Imam bin Hanbal karya
10
Ahmad bin Hanbal, Tadzhib al-Tadzhib karya al-Hafidz Abi al-Fadl Ahmad bin 'Ali bin Hajar Syahabuddin al-Asqalani al-Syafi'i. b. Data Sekunder Dengan data sekunder yaitu data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek (Hasan, 2002: 33). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, bukubuku, maupun hasil karya yang berwujud laporan maupun artikel yang mendukung dalam penelitian ini. 4. Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan terbatas pada dokumen tertulis seperti buku, jurnal ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya. Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu; melalui sistem digital dan melalui sistem manual. Yang dimaksud dengan sistem digital yaitu penelusuran hadis melalui sebuah aplikasi program komputer yang berisi data-data koleksi kitab hadis yang telah terdokumentasi dalam koleksi hadis virtual. Sedangkan sistem manual yang dimaksud adalah cara takhrij al-hadis melalui Sembilan Kitab-kitab Hadis atau terkenal dengan sebutan al Kutub al Tis‟ah. Pada penelitian ini peneliti memprioritaskan metode takhrij dengan sumber pustaka fisik berupa kitab-kitab atau buku-buku cetak, sedangkan sumber-sumber virtual hanya digunakan untuk bahan pembantu.
11
Ada beberapa cara atau metode untuk men-takhrij hadis dengan system manual, yakni: 1) Melalui pengenalan nama sahabat perawi hadis 2) Melalui pengenalan lafaz awal hadis 3) Melalui topik yang terkandung dalam matan hadis 4) Melalui pengamatan tertentu yang terdapat dalam suatu hadis 5) Melalui pengenalan kata-kata yang merupakan bagian dari matan hadis (Sulaiman, 2008:158) Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengenalan kata-kata yang merupakan bagian dari matan hadis karena cara ini menurut penulis paling praktis dalam melakukan takhrij hadis ini. Adapun tahapan langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: -
Penelusuran hadis pada kitab-kitab hadis yang dirujuk oleh al Mu‟jam Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawy.
-
Menyusun skema sanad periwayat hadis.
-
Memeriksa persambungan sanad dan reputasi para periwayat yakni meneliti ke-adilan dan ke-dhabitan perawi berdasarkan penilaian aljarh wa al-ta‟dil kemudian mengambil natijah atau kesimpulan sementara tentang nilai sanad hadis apakah shahih, hasan atau dha‟if (Zuhri, 2003:150-151).
5. Metode Analisis Data Metode Analisis Data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian (Sugiono, 2009:30). Dari penelitian hadis yang secara
12
dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data hadis akan meliputi dua komponen tersebut. Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan dengan kitab Tadzhibu-al-Tadzhib, serta mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut (tahammul wal ada‟). Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis. Dalam
penelitian
matan,
analisis
data
dilakukan
dengan
menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat kesesuaian isi berita hadis dengan penegasan eksplisit Al-Qur'an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadishadis lain yang bermutu shahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai bagian integral ajaran Islam. Sedangkan dalam menganalisa implikasi hukum menggunakan pendekatan keilmuan fiqh atau hukum Islam yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di dasarkan nash Al-Quran dan al-Sunnah (Nata, 1999:250).
F. Penegasan Istilah Hadis menurut bahasa artinya yang baru, berita, pesan keagamaan, pembicaraan. Dalam istilah al-hadits berarti pembicaraan yang diriwayatkan dari nabi SAW, segala sesuatu yang berupa berita yang dikatakan berasal dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, tindakan atau taqrir atau pembiaran Nabi SAW (Zuhri, 2003: hlm. 1)
13
Sanad menurut bahasa artinya bagian tanah yang tinggi, atau puncak bukit, sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran. Sedangkan arti sanad yang berkembang dalam ilmu hadis yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis. Kemudian istilah sanad yang mashur dalam ilmu hadis yaitu orang-orang yang dilalui berita hadis dari sumber pertama sampai dengan penerima hadis terakhir (Zuhri, 2003: hlm. 10). Matan menurut bahasa artinya sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, matan yaitu: materi atau redaksi hadis yang diriwayatkan dari satu orang ke orang lain. Kata Imam Al-Suyuti yang dikutip oleh Prof. Dr. Muh. Zuhri hadis “yaitu lafaz-lafaz hadis yang membentuk pengertian atau makna (Zuhri, 2003: hlm. 10). Takhrij arti menurut bahasa yaitu mengeluarkan, melatih, meneliti, menghadapkan (Zuhri, 2003: hlm.149-150). Pengertian takhrij
menurut
istilah ada beberapa pengertian, penulis mengambil satu pengertian yang peling mendekati dengan tujuan penelitian ini adalah “Menunjukkan letak asal hadis pada sumber aslinya dan dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing. Pada kegiatan inilah dilakukan penelusuran hadis dalam berbagai kitab sumber asli dari hadis yang bersangkutan dikemukakan lengkap dengan matan beserta sanad-nya. (Sulaiman, 2008: hlm.155-156). Khitbah berasal dari kata khotoba yang berarti berkhutbah, berpidato, pembukaan, melamar atau meminang. Al-khitbu dengan dikasrah kho‟nya berarti pembukaan atau pendahuluan, al-khitbatu berarti pinangan atau lamaran (Munawwir, 1984:376). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam
14
Buku I tentang Hukum Perkawinan bab I Ketentuan Umum pasal 1 huruf (a) menyebutkan “Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.”
G. Telaah Pustaka Untuk menghindari pengulangan penelitian yang sama, peneliti melakukan telaah pustaka terhadap karya-karya sebelumnya. Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan, peneliti belum menemukan karya yang sama dalam bentuk skripsi maupun tesis yang membahas kajian yang sama dengan yang peneliti lakukan yaitu kajian sanad dan matan hadis tentang diperbolehkannya seorang laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya. Peneliti hanya menemukan satu tulisan yang dipublikasikan melalui weblog musolliazmi.blogspot.com yaitu tulisan yang berjudul “Hadis Tentang Diperbolehkannya Melihat Wanita yang Akan Dilamar”. Karya ini berbentuk makalah dan tidak diketahui secara jelas siapa penulisnya, hanya dapat diketahui nama yang mengunggah tulisan tersebut yakni Musolli Azmi. Perbedaan dengan penelitian skripsi penulis adalah pada kajian sanad dan matannya. Makalah tersebut tidak memaparkan kajian sanad dan matan hadis secara mendalam serta tidak menjelaskan reputasi sanad hadis satu per satu. Dengan demikian penelitian skripsi penulis ini terhindar dari plagiarisme, bahkan penelitian ini sangat mendukung dan perlu untuk dilakukan sebagai kajian lanjutan yang lebih komprehensif.
15
H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penjelasan dalam penelitian hadis ini perlu adanya sistematika pembahasan yang jelas. Sistematika pembahasan peneliti uraikan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian yang terdiri dari: jenis dan pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan dan analisis data, dan sistematika pembahasan. Bab II Tinjauan umum dari judul yang peneliti lakukan. Kajian pustaka yang digunakan yaitu tentang pengertian khitbah, melihat wanita dan status hukum akibat adanya khitbah atau peminangan. Kemudian pembahasan tentang telaah kritik hadis, pengertian dan sejarah kritik hadis, kritik sanad dan matan, takhrij serta i‟tibar. Bab III Analisis sanad Hadis. Pembahasan dalam penelitian bab ini yaitu mencari validitas hadis dengan melakukan analisis sanad hadis meliputi tahun wafat, relasi guru dan murid serta penilaian jarh dan ta‟dil oleh para ulama kritikus hadis. Bab IV Analisis matan hadis meliputi pendekatan al-Qur‟an, Hadis, asbab wurud dan bahasa sekaligus kandungan makna dan implikasi hukumnya terhadap hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Bab V Penutup berisi kesimpulan dan saran.
16
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Khitbah Al-Khitbah berasal dari kata khotoba yang memiliki beberapa arti, diantaranya berkhutbah, berpidato, pembukaan, melamar atau meminang. Alkhitbu dengan dikasrah kho‟-nya berarti pembukaan atau pendahuluan, orang laki-laki yang melamar wanita dan al-khitbatu berarti pinangan atau lamaran (Munawwir, 1984:376). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum Perkawinan bab I Ketentuan Umum pasal 1 huruf (a) menyebutkan “Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.” Maka khitbah dapat pula berarti permintaan seorang laki-laki pada seorang wanita untuk dinikahi atau untuk melakukan perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu “akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Anjuran melakukan perkawinan diantaranya untuk menjaga agar manusia di atas dunia ini hidup aman tenteram penuh kebahagiaan dengan keturunan yang teratur, jadi bukan keturunan yang tidak tentu mana bapak, mana ibu, mana anak atau adik, cucu ipar dan lain sebagainya. Kehidupan keluarga yang baik, tenteram, penuh cinta dan kasih sayang atas dasar taat dan tunduk pada perintah Allah perlu adanya sebuah perencanaan yang matang. Salah satu hal yang termasuk dalam perencanaan 17
itu adalah dengan adanya khitbah atau peminangan. Khitbah bukanlah suatu hal yang menjadi syarat syah terjadinya sebuah pernikahan, namun khitbah sangat diperlukan sebagai langkah pendahuluan sebelum terjadinya akad nikah yang syah. 1. Hikmah Disyariatkannya Khitbah Pernikahan tak ubahnya adalah merupakan sebuah akad transaksi yang mempunyai pengaruh yang sakral karena menyangkut kehidupan manusia dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan merupakan sarana yang agung dan terpercaya dalam menjaga kelanjutan keturunan, memberikan ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Sesuatu yang memiliki makna yang sangat agung tidak akan maksimal jika tidak dipersiapkan dengan baik. Bagaimanapun juga perencanaan yang matang sangat diperlukan untuk menyongsong akad yang agung tersebut. Khitbah sebagai sebuah pendahuluan menuju akad nikah merupakan sebuah janji untuk menikah. Masing-masing pihak hendaknya menggantungkan janji atas dasar pilihannya sendiri sehingga kesakralan untuk mengikat janji sekali untuk selamanya pun dapat tercapai. Seorang laki-laki maupun perempuan pasti berharap mendapatkan pasangan yang diidam-idamkan, memiliki watak dan perilaku terpuji, menentramkan, memberi ketenangan, dan kebagiaan batin. Melalui jalan khitbah seorang laki-laki akan dikenalkan dengan karakter, perilaku, dan akhlaq calon teman hidupnya, bila keduanya telah saling mengetahui pribadi dengan
18
sebaik-baiknya, maka akan terbentuk kemantapan hati untuk bersamasama membina keluarga bahagia (Azzam, 2009: 9). 2. Melihat Wanita yang Dikhitbah Hukum dasar melihat wanita bukan mahram bagi lelaki dan sebaliknya adalah haram. Laki-laki dan perempuan diwajibkan menahan pandangan dari yang haram bagi laki-laki maupun wanita, sebagaimana firman Allah Ta‟ala dalam Q.S. An-Nuur 30-31 berikut: …
Artinya: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat… (Departemen Agama, 2002 : Q.S An-Nuur : Ayat 30-31) Pada kitab-kitab Fiqh yang menjadi rujukan ummat Islam dalam menjalankan tata kehidupan sehari-hari, sudah sering dijumpai keteranganketerangan maupun penjelasan bahwa seorang laki-laki dan perempuan non mahram tidak diperbolehkan untuk saling berpandangan. Salah satu dalilnya adalah ayat tersebut di atas. Dalam Tafsir Ibnu Katsir (3/345) mengatakan bahwa kebanyakan ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar tentang diharamkannya laki-laki memandang wanita atau sebaliknya wanita memandang laki-laki baik itu disertai syahwat ataupun tidak.
19
Berkenaan dengan prosesi khitbah, ditemukan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu „anhu sebagai berikut:
(إذا: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو و سلم:و عن جابر رضي اهلل عنو قال ينظر منها إىل ما يدعوه إىل نكاحها َ فإن استطاع أن، خطب أحدكم املرأة .فليفعل) رواه أمحد و أبو داود ورجالو ثقة وصححو احلاكم Artinya: Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadis shahih menurut Hakim) (al-Asqolani, 1378 Hijriyah:209) Mayoritas fuqaha‟ berpendapat bahwa orang yang meminang boleh memandang pinangannya. Ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi‟iah dan Ahmad memberikan batasan pada telapak tangan dan wajah saja (Azzam, 2009: 11). Karena wajah cukup untuk bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan dan kehalusan kulit badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk mengetahuinya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya dan badannya, serta keindahan rambutnya. Sebagaimana Nabi SAW pernah mengutus seseorang untuk mendatangi perempuan dengan sabdanya:
مشي عوارضها: ويف رواية:انظري إىل عرقوهبا ومشي إىل معاطها 20
“Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya” dan dalam riwayat lain: “dan ciumlah gigi depannya” (HR. Ahmad, Hakim, Tabrani dan Baihaqi) (Sabiq, 1981: 37). Dan yang lebih baik orang yang meminang melihat pada yang dipinang sebelum dia meminang, sehingga jika dia tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari perempuan itu tanpa menyakitinya. Dan tidak disyaratkan adanya keridhaan atau sepengetahuan si wanita itu, bahkan si lelaki itu boleh melihat tanpa diketahui wanita pinangannya atau ketika dia lalai (diintip) dan itu lebih utama. (Sholih, 1374 Hj:196)
3. Status Hukum Khitbah Berbicara tentang hukum pelaksanaan khitbah maupun status hukum setelah adanya khitbah tidak ditemukan dalil yang mewajibkan ataupun melarang. Khitbah dapat dikatakan hanya sebagai bentuk ungkapan keinginan melakukan akad pernikahan, maka apakah sesorang akan mengungkapkan keinginan atau tidak, ia tidak dikenai beban hukum, begitu pula status hukum setelah adanya diterimanya khitbah
atau
pinangan. Selain itu perlu diingat bahwa peminangan (khitbah) belumlah merupakan jaminan sepenuhnya bahwa akan terjadi akad pernikahan yang sah, untuk itu kedua belah pihak tetap harus menjaga diri dan kehormatan masing-masing serta tetap saling menjaga komitmen tujuan bersama untuk menggapai ridho Illahi (Rofiq, 1998: 64).
21
Kompilasi Hukum Islam bab III pasal 13 ayat (1) menyebutkan “Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.” Dari bunyi pasal di atas dapat dipahami bahwa dengan adanya peminangan meskipun telah disetujui bersama antara pihak peminang (khoothoban) dan pihak yang dipinang (makhthuuban), hal itu belumlah mengubah status hukum apapun. Terutama bagi kedua calon mempelai, status mereka tidak lah berubah tetap sebagai seorang yang harus saling menghormati dan menjaga kehormatan masing-masing baik pribadi maupun keluarga besar.
B. Hadis dan Takhrij Hadis 1. Hadis Hadis secara bahasa memiliki beberapa arti atau makna. Diantaranya adalah al-jadiid berarti yang baru, al-qariib berarti yang dekat dan al-khabar berarti kabar atau berita (Khumaidi, 2008:1). Sedangkan dalam ilmu hadis, al-hadits berarti pembicaraan yang diriwayatkan atau disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa berita baik dari ucapan, tindakan, penetapan (taqrir), keadaan, kabiasaan dan lain sebagainya (Zuhri, 2003:1). Istilah lain dari hadis adalah sunnah atau al-sunnah. Pada umumnya ummat Islam tidak begitu memandang penting perbedaan antara al-hadits dengan al-sunnah memang tidak perlu diperdebatkan secara mendetail. Namun perlu untuk diketahui adalah duduk persoalan mengapa
22
ia disebut al-hadits dan mengapa disebut al-sunnah karena dalam islam juga ada kata sunnah yang digunakan untuk menjelaskan tingkatan hukum sesuatu perkara ibadah. Sunnah dapat pula bermakna teladan kehidupan yang disandarkan pada Nabi SAW (Zuhri, 2003:6). 2. Pembagian Hadis a. Pembagian Hadis Berdasarkan Jumlah Periwayat Rasulullah
ketika
menyampaikan
sesuatu
ada
kalanya
berhadapan dengan orang banyak, ada kalanya dengan beberap orang dan ada kalanya pula hanya kepada seorang tertentu. Begitu pula dengan sahabat saat menyampaikan kepada muridnya suatu ketika bersamaan banyak murid, suatu ketika beberapa saja dan tidak mustahil suatu ketika hanya kepada seorang murid saja (Zuhri, 2003: 83). Jika saat Rasulullah menyampaikan suatu hadis didengarkan banyak orang maka mustahil seorang dapat berbohong tentang apa yang disampaikan Rasulullah, lain halnya jika hanya satu atau dua orang yang mendengarkan maka kemungkinan berbohong akan lebih besar. Kalaupun tidak berbohong mungkin seseorang akan lupa dan tidak akan ada yang mengingatkannya. Untuk itulah para ulama hadis membagi hadis nabi berdasarkan jumlah periwayatnya. 1) Hadis Mutawatir Definisi hadis mutawatir adalah “suatu hadis hasil tanggapan panca indera yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
23
rawy, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta” (Rahman, 1974: 59).
Hadis mutawatir
menempati urutan tertinggi dalam tingkat kebenaran informasinya, ia dapat disejajarkan dengan Al-Quran
dalam hal sama
diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang (Zuhri, 2003: 84). Hadis mutawatir oleh para ulama di bagi menjadi dua: a) Mutawatir lafdzi: yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang sususan redaksi dan maknanya sama antara satu dengan yang lain. b) Mutawatir maknawi: yaitu hadis mutawatir yang berbeda lafadz antara satu rawi dengan rawi lainnya, namun pada prinsipnya memiliki makna atau maksud yang sama (Rahman, 1974: 63). 2) Hadis Ahad Hadis Ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur. Untuk dapat dijadikan hujjah atau dasar beramal, hadis ahad sangat tergantung pada aspek kebersambungan sanad dan kualitas para rawi-nya. Apabila sanad bersambung dan memiliki kualitas rawi yang shahih maka hadis hadis ahad dapat dijadikan sebagai dasar beramal. Adapun keterangan yang datang belakangan hadis ahad dengan tingkatan hasan pun dapat diterima sebagai hujjah (Zuhri, 2003: 86).
24
b. Pembagian Hadis Berdasarkan Penerimaan Sebagai Hujjah 1) Hadis Shahih Menurut muhadditsiin pengertian hadis shahih yaitu:
ِ ِ ت مت السنَ ِد َغْي ُر ُم َعلَّ ٍل َوالَ َش ٍاذ َّ َّص ُل ُ َما نَ َقلَوُ َع ْد ٌل تَ ُام الضَّْب “Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawy tang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber‟illal dan tidak janggal.” (Rahman, 1974: 94) Bila ditelaah lebih lanjut, dari definisi hadis shahih di atas maka dapat diketahui syarat atau kriteria hadis shahih adalah sebagai berikut: (a) Bersambung sanad-nya (muttashil al-sanad) dari mukharrij hadis sampai Nabi saw. (b) Diriwayatkan oleh para periwayat yang „adl. (c) „Adl dalam pengertian ilmu hadis tidak sekedar ditinjau dari aspek akhlak atau kepribadian yang baik, seperti: jujur, adil, ahli ibadah, wara„ (berhati-hati) dan tidak fasiq, dia juga setia menjalankan agamanya sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki. (d) Periwayat tersebut dlabit yakni memiliki ingatan yang baik. Dlabith yang sempurna berarti dia hafal hadisnya dengan baik dalam arti bisa menyampaikan hadis yang diterimanya kapanpun dia menghendakinya, atau minimal sampai dia
25
menyampaikan hadis itu kepada periwayat yang lain, jadi periwayat bukanlah pelupa. (e) Tidak punya cacat („illal) yang menggugurkan, baik yang mungkin terjadi pada sanad maupun matan hadis. (f) Tidak
syadz
yakni
informasi
yang
dibawanya
tidak
bertentangan dengan informasi dari hadis yang lebih shahih yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih berkualitas (Zuhri, 2003: hlm. 89) 2) Hadis Hasan Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang „adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat (Subhi Shalih, 1988: 156). Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak
pada dhabit
yang
sempurna
untuk
hadis
shahih
dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syaratsyarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya, kurang ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. Berdasarkan
pada
pengertian-pengertian
yang
telah
dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada
26
hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut: a) Sanad hadis harus bersambung. b) Perawinya adil c) Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih d) Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz e) Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (Nawir Yuslem, 2001: 230) 3) Hadis Dla‟if Dha‟if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha‟if ada dua macam, yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha‟if maknawiyah. Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.” Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama. An-Nawawi mendefinisikannya dengan: “hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan” As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah: “Hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari
27
syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul” 3. Takhrij Hadis 1. Pengertian Takhrij Hadis Takhrij berasal dari kata kharraja, yukharriju yang berarti: mengeluarkan
(istinbath),
melatih
atau
mebiasakan
(tadrib),
memperhadapkan (tawjih). Menurut Dr. Mahmud Thahhan yang dikutip Noor Sulaiman, 2008: 155 dikemukakan bahwa kata takhrij menurut bahasa ialah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan dalam satu persoalan”. Menurut istilah sedikitnya ada lima pengertian takhrij: a. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam rangkaian sanad yang telah menyampaikan hadis itu. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para periwayat yang menghimpun hadis ke dalam kitab yang mereka susun. Misalnya Imam Abu Dawud dengan Sunan-nya. b. Mengeluarkan hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis atau berbagai kitab lainnya. Kegiatan ini dilakukan oleh para ulama hadits misalnya Imam Baihaqi yang telah banyak mengambil hadis dari Kitab Sunan yang disusun Abu
Hasan Al-Basri, kemudian Al-Baihaqi kemudian menuliskan
riwayatnya sendiri.
28
c. Menunjukkan
asal-usul
hadis
dan
mengemukakan
sumber
pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh mukharrij-nya. Pengertian ini yang seharusnya diikuti dalam pengutipan hadis pada karya-karya ilmiah. d. Mengemukakan hadis berdasarkan sumber pengambilannya yang di dalamnya disertakan metode periwayatan dan sanad-nya masingmasing dengan menjelaskan keadaan perawi dan kualitas sanad-nya. Dalam pengambilannya dijelaskan kualitas masing-masing hadis. e. Menunjukkan letak asal hadis pada sumber aslinya dan dikemukakan secara lengkap dengan sanad-nya masing-masing. Pada pengertian inilah penelusuran hadis dalam berbagai kitab sumber asli dari hadis yang bersangkutan dikemukakan lengkap dengan matan beserta sanad-nya. 2. Tujuan pelaksanaan takhrij hadis Di antara tujuan takhrii adalah untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang diteliti, mengetahui seluruh riwayat hadis yang diteliti, mengetahui ada tidaknya syahid atau muttabi‟ pada sanad yang diteliti, mengetahui persambungan sanad hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan periwayatan hadis (tahammul wal ada‟), memastikan identitas dan reputasi para perawi, dan mengetahui pandangan ulama‟ tentang ke-shahih-an hadis (Sulaiman, 2008: 157-158).
29
Dalam melakukan takhrij tentunya ada tujuaan yang ingin dicapai. Tujuan takhrij yang dingin dicapai seorang peneliti adalah: a. Mengetahui eksitensi suatu hadis apakah benar suatu hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadis atau tidak. b. Mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang didapatkan. c. Mengetahui ada beberapa tempat hadis tersebut, dengan sanad yang bebeda di dalam sebuah buku hadis atau dalam beberap buku induk hadis. d. Mengetahui kualitas hadis diterima atau ditolak. 3. Faedah dan Manfaat Takhrij Hadis Mengetahui referensi beberapa buku hadis dengan cara takhrij seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadis yang diteliti dan di dalam kitab hadis apa saja hadis tersebut didapatkan. a. Menghimpun sejumlah sanad hadis, mengetahui keadaan sanad yang tersambung (muttashil), terputus (munqathi‟), dan mengetahui kadar kemampuan rawi dalam mengingat hadis serta kejujuran dan periwayatannya. b. Mengetahui status hadis. Terkadang ditemukan sanad suatu hadis dha‟if tetapi melalui sanad lain hukumnya sahih dengan cara:
30
1) Meningkatkan suatu hadis yang dhai‟f menjadi hasan li ghairihi karena adanya dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. 2) Mengetahui bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas hadis dan bagaimana kritikan yang disampaikan. 3) Seorang yang melakukan takhrij suatu hadis dapat menghimpun beberapa sanad dan matan hadis. 4. Metode Takhrij Hadis Ada beberapa metode takhrij yang sesuai dengan tehnik buku hadis yang ingin diteliti. Paling tidak ada lima metode takhrij dalam arti penulusuran hadis dari sumber buku hadis yaitu: a. Takhrij dengan Kata (bi al-lafdzi) Takhrij dengan kata (bi al lafzhi), langkah yang pertama yaitu penulusuran hadis melalui kata atau lafal matan hadis baik dari permulaan, pertengahan dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan metode takhrij ini adalah salah satunya yang paling mudah adalah kamus Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Alfadzh Al-Hadis An-Nabawi yang disusun al-Mazzy. Takhrij dengan kata adalah takhrij dengan benda (kalimah isim) bukan kata sambung (kalimah huruf, caranya yaitu dalam bahasa arab yang mempunyai akar kata tiga huruf . Kata itu diambil dari salah satu bagian dari teks hadis yang mana saja selain kata sambung atau kalimat huruf, kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa arab yang hanya tiga huruf yang disebut fi „il tsulasi,
31
b. Takhrij dengan Tema (bi al-maudhu) Langkah dalam metode ini yaitu melalui penulusuran hadis dari buku-buku hadis misalnya hadis maudhu‟ akan lebih mudah di-takhrij melalui buku-buku himpunan hadis maudhu‟ seperti al-Maudhuat karangan Ibnu al-Jauzi. c. Takhrij dengan Permulaan Matan (bi awwal al-matan), Yaitu menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf وmaka dicari pada bab وdan jika diawali dengan huruf بmaka dicari pada huruf بdan seterusnya. Takhrij seperti ini di antaranya dengan menggunakan Kitab al-Jami‟ Ash-Shaghir atau al-jami‟ al-Kabir karangan al-Suyuthi dan Mu‟jam Jami‟al-Ushul fiAhadits al-Rasul, karya Ibnu Al-Atsir. d. Takhrij Melalui Sanad Pertama (bi al- rawi al-a‟ala) Perawi Tingkatan Tinggi Metode takhrij dengan sanad pertama dapat dilakukan dengan menulusuri hadis melalui sanad yang pertama atau paling atas yakni para sahabat (musttashilisnad) atau tabi‟in (dalam hadis mursal) caranya yaitu peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanadnya di kalangan sahabat atau tabi‟in, kemudian dicari dalam buku hadis Musnad atau al-Athraf. Di antara kitab yang digunakan dalam metode ini adalah al-Asyraf bi Ma‟rifat al-Athraf seperi Musnad Ahmad bin Hanbal, Tuhfat al-Syraf bi Ma‟rifat al-Athraf karya alMazzy.
32
e. Takhrij dengan Sifat (bi al-sifah) Memperhatikan hal ihwal hadis dan sifat-sifatnya yang terdapat pada matan dan sanad-nya. Dengan mengetahui hal ihwal hadis itu akan dapat ditentukan status hadisnya, apakah hadis ini tergolong hadis mursal, hadis masyhur, hadis mutawatir, hadis maudhu, hadis qudsi dan lain-lain.
33
BAB III HASIL PENELITIAN SANAD HADIS
A. Menelusuri Letak Hadis pada Kitab-kitab Mukharrij Hadis Penelusuran sanad hadis bertujuan menemukan teks-teks hadis yang memiliki makna senada dari kitab-kitab hadis. Hadis nabi yang telah terkodifikasi oleh mukharrij hadis berjumlah ratusan bahkan ribuan. Jika ditelusuri satu persatu dari satu kitab ke kitab lain, maka akan sangat kesulitan. Untuk itu agar lebih mudah memahaminya, penulis membagi beberapa tahap dalam analisis kuantitas sanad hadis ini. Tahap-tahap itu selanjutnya penulis uraikan sebagai berikut: Hadis yang penulis teliti adalah hadis yang berisi tentang anjuran atau diperbolehkannya melihat wanita yang dipinang atau di-khitbah. Penulis menentukan kata خطةdan َظشdalam meneliti hadis ini. Penulis memilih kata خطةkarena hadis yang penulis teliti berkenaan dengan khitbah sebagai tema pokok dalam penelitian ini. Kata kedua sebagai alternativ adalah kata َظشyang berarti melihat, kata ini penulis ambil juga dimaksudkan untuk membatasi atau memfokuskan pencarian hadis-hadis tentang khitbah namun hanya terbatas pada sub pokok nadhor atau melihatnya seorang laki-laki pada seorang perempuan yang dikhitbahnya. Langkah penulis berikutnya adalah mencari bagian penggalan atau potongan bunyi matan hadis pada kitab Mu‟jam Mufahras li Alfadz al-
34
hadis an-Nabawiy karya A.J. Wensinck. Pada penelusuran ini penulis menemukan penggalan bunyi hadis:
إرا خطة أحذكى انًشأج فئٌ اعرطاع أٌ ٍَظس Pada kitab Mu‟jam Mufahras li alfadz al- hadis an-Nabawiy terdapat beberapa petunjuk sebagai berikut: 18 د) وكبح 5 ت) وكبح 260-224-3 )حم 424-5-299-286-2 (A.J. Wensinck, 1943: Jilid II, hlm: 44) Dari petunjuk kitab Mu‟jam tersebut dapat diketahui bahwa: a. Huruf دadalah kode untuk Abu Dawud, menunjukkan bahwa hadis yang memuat penggalan matan hadis إرا خطة أحذكى انًشأج فئٌ اعرطاع
أٌ ٍَظسterdapat pada kitab Sunan Abu Dawud. Kata َكاحmenunjukkan nama bab yakni nikah, nomor bab 18. b. Pada petunjuk kedua huruf خ
menunjukkan bahwa hadis tersebut
dimuat dalam kitab Sunan At-Turmudzi, kata 5 َكاحmenunjukkan bahwa pada kitab Sunan At-Turmudzi hadis yang dimaksud dimuat pada bab nikah dengan nomor bab 5. c. Petunjuk ketiga yaitu huruf حىmenunjukkan pada kitab musnad Ahmad bin Hanbal. Hadis tersebut dimuat pada bab ke-3 halaman 224 dan 260, pada bab 3 termuat pada halaman 262 dan 299, sedangkan pada bab 5 terdapat pada halaman 424. Setelah diperoleh petunjuk yang telah dari kitab kamus hadis Mu‟jam Mufahras li alfadz al hadis an Nabawiy, langkah selanjutnya
35
adalah menelusuri langsung pada sumber primer yaitu kitab-kitab hadis yang telah dirujuk. a. Kitab hadis Sunan Abu Daawud karya Al-Imam Al-Haafidz Abii Daawuud Al-Ats‟ats Al-Sabhastani (wafat: 275 H), pada juz II bab ke 18 halaman 2082, penulis menemukan hadis yang redaksinya sebagai berikut:
َد ْب ُدد ْبا َد ِدح ِدد ْب ُد ِد َد ا ٍدد َدح َّد َدث َدنا َدُدح َّ ُدد ْب ُد ِد ْب َدح َد َد ْب دَد ُد دَد ْب ِد َد ْب ِدد الَّ حْب َد ِد َد عْب نِدي ْب َد َد عْب ِدد ْب ِد َدُدعا ٍدا َد ْب َد ا ِد ِدل ْب ِد َد ْب ِدد َّ ِد اا َد لَّى الَّهم َد لَد ْب ِد َد َد لَّ َدم ِد َدا َد َد َد َد َدح ُدد ُد ُدم ْبا َد لْب َد َد َد ِد ِد ْب َد َد َد ال َد ًة َد ُد ْبن ُد َد َد َد َّ ُد اَد َدها ُد هُد ِداَدى ِدن َد ا ِدح َدها َد ْبل َد ْب َدع ْبا َداا َدا َد َد َد ْب ُد َد ِد
َدح َّد َدث َدنا ُد َد َّد ٌدد َدح َّد َدث َدنا حُد َد ْب ٍد َد ْب َد ِدا ِدد ْب ِد َداا َدا َداا َدا َدل ُد ُدا َّ ِد َد ْب َد ْبن ُد َدل ِداَدى َد ا َد ْبد
* َدح َّ ى َدل َد ْب ُد ِد ْبن َدها َد ا دَد َد انِدي ِداَدى ِدن َد ا ِدح َدها َد َد َد ُّ ِد َدها َد َد َد َّ ْب ُد َدها Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Hushoin dari Waqid bin Abdurrohman yakni ibnu Sa‟id bin Mu‟adz dari Jabir bin Abdillah berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, maka jika ia mampu melihat pada sesuatu yang mendorongnya untuk menikahi perempuan itu maka hendaklah ia lakukan.” Berkata (Jabir), ”Saya pernah melamar seorang wanita. Saya pernah mengintipnya sehingga saya melihat dari dia sesuatu yang mendorong saya untuk menikahinya, lalu saya menikahinya.”* (terj. Muhammad, 1995 Jilid III : hlm. 409-410) b. Kitab Al-Jaami‟ al-Shahih Sunan al-Turmudzi
jilid III, bab ke 5
nomor 1075, ditemukan hadis senada dengan redaksi sebagai berikut:
َدح َّد َدث َدنا ْب ُد َد ِدي َد اِددَد َد َداا َدا َدح َّد َدثنِدي َد ا ِد ُدم ْب ُد ُد لَد ْب َد ا َد ُد َد َد ْب ِدد َّ ِد ْبا ُد َد نِديِّ َد ِد ْبا ُد ِد َدل ِد ْب ِد ُدعْب َد َد َد َّن ُد َد َد َد ْب َدل َد ًة َد َدا َدا َد َد لَّ َدم ْبن ُد لْب ِداَد ْب َدها َد ِد َّن ُد َدحْب َدلى َد ْب ُد ْب دَد َدم َد ْب َدن ُد َد ا* َد ِدي ْبا َد ا َد َد ا ِد ٍدل َد َد ِدي حُد َد ْب ٍدد َد َد َدن ٍد َد َد ِدي َدُدل َدْبل َد َداا َدا َد ِد َد ى َد َدا َد َد ْب َد َد ْب َد ْبن ُد َدل
ي َد َداااُد ُد َد ْب ِدا ْباع ْبِدل ِدم ِداَدى َد َدا ْبا َدح ِدد ِد
36
َدح َّد َدث َدنا َدحْب َد ُدد ْب ُد َد ِدن ٍدي َد ْباحْب َد ُدا َد ْب َد ْب ِدل ْب ِد ا َّن ِديُّ َد لَّى َّ َد لَد ْب ِد
َد ْب َدُدح َّ ِدد ْب ِد َد ْب َدل َد َد َدح ِدد ٌد ي َدح َد ٌد َد َدا ْبد َدا َد َد َد عْب
ِداَد ْب َدها َد ا اَد ْبم َد َدل ِد ْبن َدها َدُدحلَّ ًةا َد ُد َد َدا ْب ُدا َدحْب َد دَد َد ِد ْب َدح َد َد َد عْب َدنى َدا ْب اِد ِد َدحْب َدلى َد ْب ُد ْب دَد َدم * َد ْب َدن ُد َد ا َداا َدا َدحْب َدلى َد ْب َد ُدد َدم ْبا َد َد َّد ُد َد ْب َدن ُد َد ا Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani‟, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Zaidah berkata: telah menceritakan kepadaku „Ashim bin Sulaiman dia adalah Al-Ahwal, dari Bakr bin Abdillah Al-Muzani, dari Mughiroh bin Syu‟bah (berkata, pen.) sesungguhnya ia (seorang laki-laki) telah meminang seorang wanita maka bersabda Rasulullah SAW, “Melihatlah kepadanya maka sesungguhnya itu lebih mengkin melanggengkan antara kalian.* Dan pada suatu riwayat dari Muhammad bin Maslamah, Jabir, Abu Humaid, Anas dan Abu Hurairah, berkata Abu Isa: Hadis ini hasan, dan sebagian ulama telah membahas hadis ini dan mereka mengatakan tidak ada halangan untuk melihat padanya (wanita) sesuatu yang tidak boleh dilihat oleh mahram. Dan kata Ahmad dan Ishaq, makna lebih mungkin melanggengkan antara kamu, dikatakan (maksudnya) adalah lebih mungkin melanggengkan cinta kasih antara kalian.* c. Kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal ditemukan hadis dengan redaksi sebagaimana berikut ini: 1) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid III halaman 334:
َدُدح َّ ٍدد َدح َّد َدث َدنا َد ْب ُدد ْبا َد ِدح ِدد ْب ُد ِد َد ا ٍدد َدح َّد َدث َدنا َدُدح َّ ُدد ْب ُد ِد ْب َدحا َد َد ْب ِد َد ْب َد ِدا ِدد ْب ِد َد ْب ِدد الَّ حْب َد ِد ْب ِد َد عْب ِدد ْب ِد َدُدعا ٍدا َد ْب َد ا ِد ٍدل َداا َدا اا َد لَّى الَّهم َد لَد ْب ِد َد َد لَّ َدم ِد َدا َد َد َد َد َدح ُدد ُد ُدم ْبا َد لْب َد َد َد ِد ِد ْب َد َد َد
َدح َّد َدث َدنا ُد ُدن ُد ْب ُد
دَد ُد دَد ْب ِد ْباحُد َد ْب َداا َدا َدل ُد ُدا َّ ِد َد ُد ال َد ًة ِد ْب َد نِدي ْب َد ْبن َدل ِد ْبن َدها ِداَدى َد ا َد ْبد ُد ُده ِداَدى ِدن َد ا ِدح َدها َد ْبل َد ْب َدع ْبا َداا َدا َد َد َد ْب ُد َد ِد َد لِد َد َد َد ُد ْبن ُد َد ْب َد ِد ُد اَد َدها َد حْب َد ْبا َد َدل ِد َدح َّ ى َدل َد ْب ُد ِد ْبن َدها َد عْب َد َد ا دَد َد انِدي ِداَدى * ِدن َد ا ِدح َدها َد َد َد َّ ْب ُد َدها Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad, menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Hushoin dari Waqid bin Abdurrohman bin Sa‟d bin Muadz dari Jabir berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, maka jika ia mampu melihat darinya pada sesuatu yang mendorongnya untuk menikahi perempuan itu maka hendaklah ia lakukan.” Berkata Jabir ”Saya pernah melamar seorang wanita dari Bani Salamah, dan saya bersembunyi di bawah semak-semak pelepah kurma hingga saya
37
dapat melihat darinya sesuatu yang membuatku tertarik untuk menikahinya kemudian saya menikahinya.* 2) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid III halaman 360
ْباحُد َد ْب ِد َد ْب اَدى َد ا ِد ِدل ْب ِد َد ْب ِدد َّ ِد َد ُد ُدا ِد َدا َد َد َد
َد ِدي َد ِد ْب ِد ِد ْب َدحا َد َدح َّد َدثنِدي دَد ُد ُدد ْب ُد َد ِدا ِدد ْب ِد َد ْب ِدل ْب ِد َد عْب ِدد ْب ِد َدُدعا ٍدا َد ْب ُد َدل ُد َدا َّ ِد َد لَّى الَّهم َد لَد ْب ِد َد َد لَّ َدم
* َد َد ا َد ْبد ُد هُد ِداَد ْب َدها َد ْبل َد ْب َدع ْبا
ُد َدح َّد َدث َدنا
َدح َّد َدث َدنا َد عْب ُد
َد ْب ِدل ْب ِد ْبُدث َد ا َد َد ْب َد ال ِّ َداا َدا َد ِدعْب ْبا ْبن َد ِد َد َدح ُدد ُد ُدم ْبا َد لْب َد َد َد َدد َدِدل َد ْب َد َدلى ِد ْبن َدها َد عْب
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ya‟qub, telah menceritakan kepada kami Ayah saya dari Ibnu Ishaq telah menceritakan kepada saya Dawud bin Hushain Maula Amru bin Usman dari waqid bin Amru bin Sa‟d bin Mu‟adz dari Jabir bin Abdillah Al-Anshori berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah satu dari kalian meminang wanita maka (bila) dapat melihat darinya (wanita) bagian yang menarik kepadanya maka hendaklah ia lakukan.* 3) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 299
َدح َّد َدث َدنا َد ِد ُدد ْب ُد َد ْب َد ا َد َد ْب َد ِدي َدحا ِد ٍدم َد ْب َد ِدي َدُدل َدْبل َد َد َد َد َد َد َد َد ُد ال ال َد َدا َدا ْبن لْب ِداَد ْب َدها َد عْب نِدي َّ ِدي ْب ُد ِد ْبا ْبن َد ِد َد عْب نِدي ِد َد ْبا ْبن َد ِد
َدح َّد َدث َدنا َدُدع ٌداا َدل ُد ٌدا ْب َدل َد ًة * َد ْب ًةاا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Mu‟adz telah menceritakan kepada kami Yazid bin Kaisan dari Abi Hazim dari Abi Hurairah: Seorang laki-laki telah melamar perempuan yaitu dari kaum ‟Anshor maka berkata: “Lihatlah kepadanya yaitu sesungguhnya di mata kaum „Anshor itu ada sesuatu.”* 4) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 282
َدح َّد َدث َدنا ُد ْب َد ا ُد َدح َّد َدث َدنا َد ِد ُدد ْب ُد َد ْب َد ا َد َد ْب َد ِدي َدحا ِد ٍدم َد ْب َد ِدي َدُدل َدْبل َد َدل ُد ٌدا َد َد َد ْب َدل َد ًة َد َدا َدا َد عْب نِدي ا َّن ِديَّ َد لَّى الَّهم َد لَد ْب ِد َد َد لَّ َدم ْبن ُد لْب ِداَد ْب َدها َد ِد َّ ِدي َد َد * ال َد ْب ًةاا ْب ُد ِد ْبا ْبن َد ِد Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami Yazid bin Kaisan dari Abi Hazim dari Abi Hurairah: Seorang laki-laki melamar seorang wanita, maka bersabda Rasulullah SAW, “Lihatlah kepadanya karena sesungguhnya di mata kaum Anshor itu ada sesuatu.”* 38
5) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 424
َد ا ٍدِدا َدح َّد َدث َدنا ُد َد ْبلٌد َدح َّد َدث َدنا َد ْب ُدد َّ ِد ْب ُد ِد َد ى َدح َّد َدثنِدي ُد َد ى ْب ُد َد ْب ِدد دَد َد ْب َد ِدي حُد َد ْب ٍدد َد ْب َد ِدي حُد َد ْبدَد َد َداا َدا َد َدا ْبد َدل َدى َدل ُد َدا َّ ِد َد لَّى َد َد لَّ َدم َداا َدا َداا َدا َدل ُد ُدا َّ ِد َد لَّى الَّهم َد لَد ْب ِد َد َد لَّ َدم ِد َدا َد َد َد َد َدح ُدد ُد ُدم اا َد لَد ْب ِد َد ْب َد ْبن ُد َدل ِداَد ْب َدها ِد َدا َد ا َد ِد َّن َد ا َد ْبن ُد لُد ِداَد ْب َدها اِد ِد ْب َد ِد ِد َد ِد ْب ُد َدن َد
َدح َّد َدث َدنا َد ُد َّ ِد ْب ِد َد ِد الَّهم َد لَد ْب ِد ْب َدل َد ًة َد َد
* َد ا َدن ْب َد َد عْب لَد ُدم Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil telah menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Isa telah menceritakan kepadaku Musa bin Abdillah bin Yazid dari Abi Humaid atau Abi Humaidah berkata: Dan sungguh Rasulullah SAW melihat maka bersabda Rasulullah SAW, “Apabila salah satu diantara kalian melamar seorang perempuan maka tidak berdosa melihat padanya apabila ia melihat pada ia (perempuan) untuk meminangnya dan apabila perempuan itu tidak mengetahui.”* Peneliti hanya menyajikan hadis-hadis yang dirujuk kitab Mu‟jam bukan bermaksud mengabaikan kemungkinan diriwayatkannya hadis pada jalur periwayat lain. Namun, dalam hal ini penulis maksudkan untuk memfokuskan studi sanad dan matan hadis ini pada jalur tententu.. Tabel 1: Nama Periwayat, Sanad dan Matan Hadis Sanad Matan
Nama-nama rawi dalam sanad
َّ ال َسعُى ُل صهًَّ انهَّهى َػهَ ُْ ِه َو َعهَّ َى َ َِّللا َ َقَا َل ق َْستَطَب َع أن َ َ َ ْ َ ُ ْ إِ َذا َخطَ َب أ َح ُدك ُم ال َم ْرأة فئِ ِن ا ْ َ ْ َ ْ ََ ْى ُ َر إِلَ َ ب َ ْد ُ يُ إِلَ وِ َكب ِح َب ف ُ ُْ اسََحً فَ ُك ُ قَا َل فَ َخطَث ًَّد أَذَخَ ثَّأ ُ نَهَا َحر ِ ْد َج ُ َََسأ ْد ِي ُْهَا َيا َدػَاٍَِ إِنًَ َِ َكا ِحهَا * َوذَ َضوُّ ِجهَا فَرَ َض َّوجْ رُهَا
ُي َغ َّذ ٌد ْ َػ ْث ُذ ان َىا ِح ِذ تٍُْ ِصََا ٍد ق َ ُي َح ًَّ ُذ تٍُْ إِع َْح ٍٍ ُْ ص َ دَا ُو َد ْت ٍِ ُح ٍَْ َواقِ ِذ ْت ٍِ َػ ْث ِذ انشَّحْ ًَ ٍِ ََ ْؼٍُِ ا ت َع ْؼ ِذ ت ٍِْ ُي َؼا ٍر َِّ َجاتِ ِش ْت ٍِ َػ ْث ِذ َّللا ًَتَاب َيا َجا َء فٍِ انَُّظَ ِش إِن * ْان ًَ ْخطُىتَ ِح
39
Taham mul wal ada‟
Nama Periwayat
َح َّذثََُا أتى داود ََح َّذثَُا Jilid II bab 18 َح َّذثََُا ٍَْ ػhalaman 2082 ٍَْ ػ
Kode
د
ٍَْ ػ ٌانرشيز
خ
Jilid III bab 5 nomor 1075
ُغ أَحْ ًَ ُذ تٍُْ َيُِ ٍ اتٍُْ أَتٍِ صَ ااِ َذجَ (قَا َل) َ ْ ص ُى تٍُْ ُعهَ ُْ ًَاٌَ هُ َى اْلحْ َى ُل ػَا ِ ْ َّ ضَ ْ ْ تَ ْك ِش ت ٍِ َػث ِذ َّللاِ ان ًُ َِ ٍِّ ُش ِج ْت ٍِ ُش ْؼثَحَ ْان ًُ ِغ َ
صهًَّ انهَّهى أَوَّنًُ َخطَ َب ا ْ َرأَةًة فَقَا َل انَُّثِ ٍُّ َ َػهَ ُْ ِه َو َعهَّ َى ا ْو ُ ْر إِلَ ْ َب فَئِوَّنًُ أَ ْح َرى أَنْ ُؤْ َد َم بَ ْىَ ُك َمب َوفٍِ ْانثَاب ػ ٍَْ ُي َح ًَّ ِذ ْت ٍِ ظ َوأَتٍِ َي ْغهَ ًَحَ َو َجاتِ ٍش َوأَتٍِ ُح ًَ ُْ ٍذ َوأَََ ٍ هُ َش َْ َشجَ قَا َل أَتًى ِػُ َغً هَ َزا َح ِذ ٌ َث َح َغ ٌٍ َة تَؼْضُ أَ ْه ِم ْان ِؼ ْه ِى إِنًَ هَ َزا َوقَ ْذ َره َ ْ ُ َ َ ط أَ ٌْ ََ ُْظُ َش إِنَ ُْهَا َيا نَ ْى أ ت َل ىا ن ا ق و َ َ ْان َح ِذَ ِ ث َ َ ق ََ َش ِي ُْهَا ُي َح َّش ًيا َوهُ َى قَىْ ُل أحْ ًَ َذ َوإِ ْع َح َ َو َي ْؼًَُ قَىْ نِ ِه أَحْ َشي أَ ٌْ َ ُْؤ َد َو تَ َُُْ ُك ًَا قَا َل أَحْ َشي أَ ٌْ ذَذُو َو ْان ًَ َى َّدجُ تَ َُُْ ُك ًَا *
َح َّذثََُا َح َّذثََُا َح َّذثََُا ػٍَ ػ ٍَْ
َُىَُظُ تٍُْ ُي َح ًَّ ٍذ َػ ْث ُذ ْان َىا ِح ِذ تٍُْ ِصََا ٍد ق ُي َح ًَّ ُذ تٍُْ إِ ْع َحا َ ص ُْ ٍِ دَا ُو َد ْت ٍِ ْان ُح َ َواقِ ِذ ْت ٍِ َػ ْث ِذ انشَّحْ ًَ ٍِ ْت ٍِ َع ْؼ ِذ ْت ٍِ ُي َؼا ٍر َجاتِ ٍش
ال َسعُى ُل َّ صهًَّ انهَّهى َػهَ ُْ ِه َو َعهَّ َى َّللاِ َ قَا َل قَ َ ستَطَب َع أنَْ َ َ َ ْ َ ُ ا ن ئ ف ة أ ر م ل ا م ك د ح أ ب إِ َذا َخطَ َ َ ُ ُ َ ْ ِ ِ ْ بح َب َ ْى ُ َر ِ ْى َب إِلَ َ ب َ ْد ُ يُ إِلَ وِ َك ِ فَ ْ َ ْ َ ْ قَا َل فَخَ طَث ُ اسََحً ِي ٍْ تٍَُِ َعهِ ًَحَ ْد َج ِ ْ ب َحرًَّ َسأََْدُ فَ ُك ُْ ُ د أَ ْخرَثِ ُئ نَهَا ذَحْ دَ ان َك َش ِ احهَا ِي ُْهَا تَؼ َ ْض َيا َدػَاٍَِ إِنًَ َِ َك ِ فَرَ َض َّوجْ رُهَا *
َح َّذثََُا َح َّذثََُا َػ ٍِ َح َّذثٍَُِ ػ ٍَْ
ََ ْؼقُىبُ أَتٍِ ق ات ٍِْ إِ ْع َحا َ ص ُْ ٍِ دَا ُو ُد تٍُْ ْان ُح َ َواقِ ِذ ْت ٍِ َػ ًْ ِشو ْت ٍِ َع ْؼ ِذ ْت ٍِ ُي َؼا ٍر َ َّ ْ ْ ٌ اس ِّ َجاتِ ِش ت ٍِْ َػ ْث ِذ َّللاِ اْلَ َ ص ِ
ْد َسعُى َل َّ قَا َل َع ًِؼ ُ صهًَّ انهَّهى َػهَ ُْ ِه َّللاِ َ َ َ َ َ َ ْ َو َعهَّ َى ََقُى ُل إِذا َخط َب أ َح ُد ُك ُم ال َم ْرأةَ فقَ ِد َر ض َ ب َ ْد ُ يُ إِلَ ْ َب أَنْ َ َرى ِ ْى َب بَ ْ َ فَ ْ َ ْ َ ْ *
ُي َؼا ٌر ََ ِضَ ُذ تٍُْ َك ُْغَاٌَ اص ٍو أَتٍِ َح ِ أَتٍِ هُ َش َْ َشجَ
َداا َدا َد َد ا َدا إِلَخ ْمي َخه
َداا َدا َد َدا ْبد َدل َدى َدل ُد َدا َّ ِد َد َد لَّ َدم َداا َدا َداا َدا َدل ُد ُدا َّ ِد َد َد لَّ َدم إِ َخذ َخ َخ َخ َخ َخ ُج ُج ُج ْما َخ َخ َخ ْمي ِ َخ ْم َخي ْمن ُج َخ إِلَخ ْمي َخه إِ َخذ َخ إِلَخ ْمي َخه لِ ِ ْم َخ ِ ِ َخ إِ ْم َخ َخن ْم َخ
َح َّذثََُا َح َّذثََُا َح َّذثٍَُِ ػ ٍَْ َػ ٍِ
حى
أحًذ 334-3
حى
360-3
حى
299 - 2
َح َّذثََُا َح َّذثََُا ػ ٍَْ ػ ٍَْ
حى
282 -2
َدح َّد َدث َدنا َدح َّد َدث َدنا َد ْب َد ْب
ُد ْب َد ا ُد ْب ُد ُد َد ْب َدن َد َد ِد ُدد ْب ُد َد يْب َد َد َد ِدي َدحا ِد ٍدم َد ِدي َدُدل َدْبل َد
حى
424 - 5
َدح َّد َدث َدنا َدح َّد َدث َدنا َدح َّد َدث َدنا َدح َّد َدثنِدي َد ْب
َدح َّد َدث َدنا َد ُد ُد َد ْب ٌدل َد ْب ُدد َّ ِد ْب ُد ِد َد ى ُد َد ى ْب ِد َد ْب ِدد َّ ِد َد ِدي ُدح َد ْب ٍدد َد ْب َد ِدي ُدح َد ْب َدد َد
ػ ٍَْ
ػ ٍَْ
ال َخطَ َب َر ُ ٌل ا ْ َرأَةًة َ ْ ىِ ِ هَ ْااَ ْو َ ب ِر فَقَ َ ا ْو ُ ْر إِلَ ْ َب َ ْ ىِ أَنَّن فِ أَ ْ ُ ِه ْااَ ْو َ ب ِر ش ْئًةب * َ
َد ا ٍدِدا
40
َخ َخ َخ ا َّن ِديُّ َخ ِ َّن
َخ ُج ٌل ْما َخ َخ ًة َخي ْمعنِي ِا َخ ْماَخ ْمن َخ ِ َد لَّى الَّهم َد لَد ْب ِد َد َد لَّ َدم ْمن ُج ْم ِي َخ ْم ُجي ِ ْماَخ ْمن َخ ِ َخ ش ْمي ًةئ * َد لَّى الَّهم َد لَد ْب ِد َد لَّى الَّهم َد لَد ْب ِد َخ ًة َخ َخ ُج َخن َخا َخ إِ َّنن َخا َخي ْمن ُج ُج َخ ْمع َخ ُج *
Sebelum membuat skema atau bagan sanad hadis, sebagai langkah bantuan penulis mengutip kembali semua nama perawi hadis pada beberapa sanad kemudian dipaparkan dalam satu tabel. Langkah ini sangat berguna untuk menghindari kekeliruan penulisan nama perawi dan menyusun rangkaian alur rijal-nya. Tabel nama-nama perawi hadis dan tahammul wal ada‟-nya dapat dilihat sebagaimana tabel berikut ini: ‟Tabel 2. Daftar Nama Perawi Hadis Beserta Tahammul wal Ada َع ْن
َجابِ ِر بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِو
َع ْن
َجابِ ٍر
َع ْن
َجابِ ِر بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِو
َع ْن
أَِِب ُىَريْ َرَة
َع ْن
أَِِب ُىَريْ َرَة
َع ْن
َع ْن
َواقِ ِد بْ ِن َعْب ِد الر ْمحَ ِن َّ
َع ْن
الر ْمحَ ِن َواقِ ِد بْ ِن َعْب ِد َّ
َع ْن
َواقِ ِد بْ ِن َع ْم ِر
َع ْن
أَِِب َحا ِزٍم
َع ْن
أَِِب َحا ِزٍم
َح َّدثَِ
َعن
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
صِْ ْي َد ُاوَد بْ ِن ْ احلُ َ اق ُُمَ َّم ُد بْ ُن إِ ْس َح َ عب ُد الْو ِ اح ِد بْ ُن ِزيَ ٍاد َْ َ
َح َّدثَِ َع ِن
َحدَّثَنَا
صِْ ْي َد ُاوُد بْ ُن ْ احلُ َ اق ابْ ِن إِ ْس َح َ أَِِب
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
يد بْ ُن َكْي َسا َن يَِز ُ ُس ْفيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَةَ
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
يد بْ ُن َكْي َسا َن يَِز ُ ُم َعاذٌ
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
َحدَّثَنَا
س بْ ُن ُُمَ َّم ٍد يُونُ ُ
َحدَّثَنَا
صٍْ ْي َع ْن َد ُاوَد بْ ِن ُح َ َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن إِ ْس َح َق حدَّثَنَا عب ُد الْو ِ اح ِد بْ ُن َ َْ َ ِزيَ ٍاد َّد َحدَّثَنَا ُم َسد ٌ أبو داود
أمحد
أمحد
وب يَ ْع ُق ُ أمحد
أمحد
َحدَّثَنَا
أَِِب ُمحَْي ٍد أ َْو أَِِب ُمحَْي َدةَ موسى ب ِن عب ِد اللَّوِ ُ َ ْ َْ َّ ِ ِ يسى َعْب ُد اللو بْ ُن ع َ
ُزَىْي ٌر أَبُو َك ِام ٍل أمحد
41
َع ِن
الْ ُمغِ َريةِ بْ ِن ُش ْعبَةَ
َع ْن
ِ بَ ْك ِر بْ ِن َعْبد اللَّ ِو الْ ُمَزِِنِّ
َح َّدثَِ َحدَّثَنَا
ع ِ اص ُم بْ ُن ُسلَْي َما َن َ ِ ابْ ُن أَِِب َزائ َدةَ َمحَ ُد بْ ُن َمنِي ٍع أْ
َحدَّثَنَا
الرتمذي
Jalur yang diteliti
B. Menyusun Bagan Sanad Hadis
SKEMA SANAD HADIS َجابِ ِر بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِو
َع ْن الر ْمحَ ِن َواقِ ِد بْ ِن َعْب ِد َّ َع ْن صِْ ْي َد ُاوَد بْ ِن ْ احلُ َ َع ْن اق ُُمَ َّم ُد بْ ُن إِ ْس َح َ َع ْن عب ُد الْو ِ اح ِد بْ ُن ِزيَ ٍاد َْ َ َحدَّثَنَا َّد ُم َسد ٌ َحدَّثَنَا
أبو داود
رسول اهلل أَِِب ُمحَْي ٍد
َع ْن َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا س بْ ُن ُُمَ َّم ٍد يُونُ ُ َحدَّثَنَا
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
أَِِب وب يَ ْع ُق ُ
أَِِب ُىَريْ َرةَ
َع ْن وسى بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِو ُم َ
أَِِب َحا ِزٍم
ِ َّ ِ ِ يسى َع ْن َعْبد اللو بْ ِن ع َ
َع ْن يد بْ ُن َكْي َسا َن يَِز ُ
َحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَةَ َحدَّثَنَا أمحد
42
َح َّدثَِ
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
ُم َعاذٌ
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
ُزَىْي ٌر أَبُو َك ِام ٍل
َع ْن
الْ ُمغِ َريةِ بْ ِن ُش ْعبَةَ بَ ْك ِر بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِو
َع ْن ع ِ اص ُم بْ ُن ُسلَْي َما َن َ َح َّدثَِ
ابْ ُن أَِِب َزائِ َد َة َحدَّثَنَا َمحَ ُد بْ ُن َمنِي ٍع أْ َحدَّثَنَا الرتمذي
Bagan ini dibuat berdasarkan tabel nama dan tahammul wal ada‟ (tabel 2) yang telah dipaparkan sebelumnya dengan cara mereduksi data. Reduksi data ini dilakukan dengan menuliskan sekali saja nama periwayat yang sama sehingga dapat dilihat dengan lebih cermat persebaran hadis pada jalur tertentu. Dengan memperhatikan skema di atas dapat diketahui bahwa, dari 3 (tiga) mukharrij yaitu Abu Dawud, Ahmad dan Turmudzi, bersumber dari 4 (empat) rawi yang menerima hadis itu dari Rasulullah SAW, mereka adalah Jabir bin Abdillah, Abu Hurairah, Mughiroh bin Syu‟bah dan Abi Humaid. Mengenai skema di atas apabila diurai satu persatu mukharrij dapat dijelaskan sebagai berikut: Jalur mukharrij at-Turmudzi
رسول اهلل َالْ ُمغِ َريةِ بْ ِن ُش ْعبَة
َع ْن ِ ِّبَ ْك ِر بْ ِن َعْبد اللَّ ِو الْ ُمَزِِن ِ ع اص ُم بْ ُن ُسلَْي َما َن َ ابْ ُن أَِِب َزائِ َد َة َمحَ ُد بْ ُن َمنِي ٍع ْأ الرتمذي
43
َع ْن
ََِح َّدث
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
At-Turmudzi meriwayatkan dari Ahmad bin Mani‟, Ibnu Abi Zaidah, „Asim bin Sulaiman, Bakr bin Abdillah bersumber dari alMughiroh. Jalur ini merupakan jalur tunggal (ahad) karena tidak ditemukan satu tingkatan rawi-pun yang menyampaikan kepada lebih dari satu murid. Jalur mukharrij Ahmad Dari skema sanad Imam Ahmad meriwayatkan dari 5 (lima) rawi di atasnya yang bersumber dari 3 (tiga) thabaqat sahabat. Jika diurai dapat dilihat sebagai berikut: َجابِ ِر بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِو
رسول اهلل أَِِب ُمحَْي ٍد
َع ْن وسى بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِو َ ُم
َأَِِب ُىَريْ َرة
ََِح َّدث ِ ِ َّ ِ يسى َ َعبْد اللو بْ ِن ع َع ْن ُزَىْي ٌر
أَبُو َك ِام ٍل
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
أَِِب َحا ِزٍم
ٌُم َعاذ
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
َع ْن
َع ْن يد بْ ُن َكْي َسا َن ُ يَِز
َحدَّثَنَا )أَِِب(إبراىيم بن سعد
َحدَّثَنَا
َحدَّثَنَا
َحدَّثَنَا َُس ْفيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَة أمحد
َحدَّثَنَا وب بن إبراىيم ُ يَ ْع ُق
َع ْن الر ْمحَ ِن َّ َواقِ ِد بْ ِن َعْب ِد َع ْن ِْص ْي ْ َد ُاوَد بْ ِن َ ُاحل َحدَّثَنَا َع ْن اق َ ُُمَ َّم ُد بْ ُن إِ ْس َح َحدَّثَنَا ِ عب ُد الْو اح ِد بْ ُن ِزيَ ٍاد َ َْ َحدَّثَنَا س بْ ُن ُُمَ َّم ٍد ُ ُيُون َحدَّثَنَا
Jalur mukharrij Ahmad dengan sanad Abu Kamil satu jalur ke atas melalui Zuhair, dan sampai kepada Rasulullah SAW melalui Abi Humaid. Kemudian jalur sanad Mu‟adz dan Sufyan bin Uyainah memiliki kesamaan jalur bertemu pada guru yang sama yaitu Yazid bin Kaisan lalu
44
ke atas satu jalur sanad Abi Hazim, Abi Hurairah dan sampai kepada Nabi SAW. Sedangkan jalur sanad Ya‟qub bin Ibrahim dan Yunus bin Muhammad (jalur Abu Dawud) berbeda dua tingkat ke atas namun bertemu pada Muhammad bin Ishaq dan selanjutnya satu jalur ke atas sampai pada Rasulullah SAW melalui Jabir bin Abdillah. Jalur mukharrij Abu Dawud رسول اهلل Jalur yang diteliti
أَِِب وب ُ يَ ْع ُق امحد
َجابِ ِر بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِو
َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا َحدَّثَنَا
َحدَّثَنَا س بْ ُن ُُمَ َّم ٍد ُ ُيُون َحدَّثَنَا
َع ْن الر ْمحَ ِن َّ َواقِ ِد بْ ِن َعْب ِد َع ْن ِْص ْي ْ َد ُاوَد بْ ِن َ ُاحل َحدَّثَنَا َع ْن اق َ ُُمَ َّم ُد بْ ُن إِ ْس َح َحدَّثَنَا ِ عب ُد الْو اح ِد بْ ُن ِزيَ ٍاد َ َْ َحدَّثَنَا َّد ٌ ُم َسد أبو داود
َحدَّثَنَا
Dengan mengamati skema terpisah di atas tampak bahwa jalur periwayatan mukharrij Abu Dawud memiliki beberapa kesamaan dengan jalur periwayatan mukharrij Ahmad. Jalur Abu Dawud dengan sanad Musaddad memiliki kesamaan dengan jalur Ahmad dengan sanad Yunus bin Muhammad yaitu bertemu pada Abdul Wahid bin Ziyad, kemudian Jalur Ahmad dengan sanad Ya‟qub bertemu dengan jalur Abu Dawud 45
pada tingkatan ketiga yaitu bertemu pada Muhammad bin Ishaq. Jadi dari ketiga sanad Ya‟qub dan Yunus bin Muhammad (jalur mukharrij Ahmad) dan sanad Musaddad (jalur mukharrij Abu Dawud), semuanya bersumber dari Jabir bin Abdillah yang menerima dari Rasulullah SAW.
C. Memeriksa Persambungan Sanad dan Reputasi Periwayat Hadis Pada tahap ini pekerjaan utama adalah memeriksa persambungan sanad dan kualitas masing-masing rawi pada rangkaian sanad yang diteliti yaitu dari mukharrij Abu Dawud dengan sanad Musaddad yang bersumber dari Jabir bin Abdillah. Memeriksa persambungan sanad yang penulis lakukan menggunakan petunjuk nama asli, tahun lahir (jika ada), tahun wafat masingmasing rawi, nama-nama guru dan murid, juga menggunakan petunjuk tempat di mana saja seorang rawi pernah tinggal. Dari petunjuk-petunjuk tersebut maka akan dapat diketahui ada kemungkinan atau tidak bertemu dengan rawi yang menjadi guru dan muridnya. Sedangkan kualitas rawi diketahui dengan dari penilaian para ulama hadis berdasarkan penilaian jarh wa ta‟dil. 1. Jabir bin Abdillah (w. 78 H) Nama Asli
: Jabir bin Abdillah bin „Amru bin Haram
Tempat tinggal : Madinah Guru
: Diterangkan dalam kitab Tahdziib-al-Tahdziib bahwa Jabir bin Abdillah adalah salah satu sahabat yang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, ini menunjukkan bahwa hadis dari Jabir bin Abdillah marfu‟ berasal
46
dari Nabi SAW sehingga dapat dijadikan hujjah dari segi ketersambungan sanad. Murid
: Adapun nama-nama murid yang menimba hadis darinya, Tahdziib al-Tahdziib tidak menyebutkan adanya nama Waqid bin Abdurrohman. Namun, pada akhir nama-nama murid yang menimba hadis darinya ada keterangan وحهق كثُشyang maknanya ada banyak orang lagi yang menimba hadis darinya.
Jarh wa ta’dil
: Diterangkan bahwa Jabir bin Abdillah ditetapkan sebagai sahabat yang „adl dan tsiqah. (Al-Asqolany, 1984 jilid 2 halaman 37-38)
2. Waqid bin Abdurrohman (tt.) Nama Asli
: Waqid bin Abdurrahman bin Sa‟d bin Mu‟adz al„Anshory
Tempat tinggal
: Madinah
Guru
: Dalam kitab Tahdziib al-Tahdziib (1984 : hlm. 94) diterangkan bahwa Waqid bin Abdurrahman meriwayatkan hadis
إرا خطة احذكى ايشأجdari Jabir.
Al-Bazaari menerangkan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ini, ia mengatakan bahwa Abu Dawud tidak meng-isnad-kan Waqid bin Abdurrahman dari Jabir kecuali hadis ini saja,
47
dan Al-Hakim juga meriwayatkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ini. Murid
: Murid
yang
menimba
hadis
Waqid
bin
Abdurrahman hanya disebutkan nama Dawud bin Al-Hushain. Hal ini dapat dijadikan bukti bahwa ada ketersambungan sanad antara Waqid bin Abdurrahman dengan Dawud bin Hushain. Jarh wa ta’dil
: Ibnu Hibban mengatakan ia termasuk orang yang berpredikat tsiqah. (Al-Asqolany, 1984 jilid 11 halaman 94)
3. Dawud bin al-Hushain (w. 135 H) Nama Asli
: Dawud bin al-Hushain al-Amwiy
Tempat tinggal
: Madinah
Guru
: Tidak ditemukan nama Waqid bin Abdurrahman dalam
daftar
guru-gurunya.
Namun,
ada
penjelasan وحًاػحyang berarti ia meriwayatkan dari banyak orang. Karena pada riwayat Waqid bin Abdurrahman telah disebutkan bahwa Dawud bin al-Hushain sebagai seorang yang menerima hadis darinya maka sudah dapat diterima sebagai persambungan sanad. Murid
: Dalam daftar muridnya disebutkan ada nama Ibnu Ishaq artinya anaknya Ishaq. Hal ini dapat
48
dijadikah bukti juga bahwa Muhammad bin Ishaq adalah salah seorang yang menimba hadis darinya. Jarh wa ta’dil
: Ibnu
Ma‟in
mengatakan
tsiqah,
An-Nasai
mengatakan, “tidak ada keburukan dengannya”, Ibnu Adiy mengatakan, “sebaik-baik hadis, bila diriwayatkan darinya maka tsiqah”, dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa ia termasuk golongan orang-orang tsiqah.(Al-Asqolany, 1984 jilid 3: halaman 157) 4. Muhammad bin Ishaq (w. 150 H) Nama Asli
: Muhammad bin Ishaq bin Yasar
Tempat tinggal
: Madinah
Guru
: Disebutkan
bahwa
Muhammad
bin
Ishaq
meriwayatkan dari dari Dawud bin Al-Hushain. Murid
: Abdul Wahid bin Ziyad disebut sebagai salah satu rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq.
Jarh wa ta’dil
: Ahmad bin Hanbal mengatakan “yudallis”, berarti ia pernah menyembunyikan sesuatu, Yahya bin
Ma‟in
mengatakan
tsiqah,
An-Nasa‟i
mengatakan “laisa bil qowiy” atau tidak kuat. AlAjliy mengatakan tsiqah. (Al-Asqolany, 1984 jilid 9 halaman 38)
49
5. Abdul Wahid bin Ziyad (w. 176 H ) Nama Asli
: Abdul Wahid bin Ziyad
Tempat tinggal
: Bashrah
Guru
: Muhammad bin Ishaq disebut sebagai Abi Ishaq dalam Tahdziib, Jilid 6 halaman 285
Murid
: Tidak menyebut secara langsung nama Musaddad sebagai murid yang mengambil hadis darinya. Hanya diterangkan dengan kata
ٌ واخشو. Ini
mengindikasikan ada nama lagi yang tidak tersebutkan pada riwayatnya dalam Tahdziib alTahdziib. Namun
dalam riwayat
Musaddad
mencatat bahwa abdul Wahid bin Ziyad adalah salah satu gurunya dalam belajar hadis. Jarh wa ta’dil
: Yahya bin Ma‟in mengatakan tsiqah, Abu Zar‟ah Al-Razi
mengatakan
tsiqah,
An-Nasa‟i
mengatakan Laisa bihi ba‟s (tidak ada keburukan padanya), Abu Dawud mengatakan tsiqah, AlAjly mengatakAn tsiqah, Abu Khatim Al-Ra zi mengatakan tsiqah. (Al-Asqolany, 1984 jilid 6 halaman 38) 6. Musaddad (w. 228 H) Nama Asli
: Musaddad Bin Musarhad Bin Musarbal
Tempat tinggal
: Bahgdad
50
Guru
: Disebutkan ada nama Abdul Wahid bin Ziyad yang menjadi guru hadis Musaddad.
Murid
: Disebutkan pula bahwa Musaddad membawa kode huruf ( دdal), menunjukkan Abu Dawud ini menjadi petunjuk bahwa Abu Dawud.
Jarh wa ta’dil
: Ahmad bin Hanbal mengatakan shaduuq. Yahya bin Ma‟in mengatakan tsiqatu tsiqah, An-Nasaai mengataka tsiqah, Abu hatim mengatakan tsiqah, Al-Ajly
mengatakan
tsiqah,
Ibnu
Hibban
mengatakan dzakarahu fi tsiqaat. (Al-Asqolany, 1984 jilid 6 halaman 38) 7. Abu Dawud (202-275 H) Nama Asli
: Sulaiman bin al-Asy‟as bin Ishaq bin Basyir bin Amr bin „Amran al-Azdi al-Sijistani, menurut Prof. Muh. Zuhri (2003 : 174) bukan al-Azdi namun al-Azdawi
Perjalanan Belajar
: Hijaz, Syam (Syuriah), Mesir, Khurasan, Ray (Teheran), Hrat, Kuffah, Tarsus, Basrah dan Baghdad.
Guru-guru
: Musaddad, Musaddad disebut sebagai salah seorang dalam daftar guru Abu Dawud (Asy‟ari, 2008 : hlm. 12), dan banyak lagi nama-nama
51
gurunya yang tidak penulis sebutkan dalam analisis ini. Penilaian tentang Abu Dawud: Abu Dawud lahir tahun 202 H. Ayahnya adalah Abu Bakar „Abdullah bin Abu Dawud Sulaiman termasuk salah satu huffaz Bagdad. Menginjak usianya yang ke 21 tahun, Abu Dawud melakukan perjalanan untuk mencari ilmu ke berbagai negara Islam. Diantaranya ke negeri;Hijaz, Syam (Syuriah), Mesir, Khurasan, Ray (Teheran) , Hrat, Kuffah, Tarsus, Basrah dan Baghdad. Al-Hakim mengatakan bahwa Abu Dawud yang lahir di Sijistan tersebut, setelah beranjak remaja ia pergi ke Basrah untuk belajar hadis, ia banyak belajar dari Sulaiman bin Harb, Abu an-Nu‟man, Abu al-Walid. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Syam, Mesir dan juga ke Iraq, selanjutnya bersama Abu Bakar (putranya), ia melanjutkan lawatan ilmiahnya ke beberapa guru hingga di wilayah Nisabur dan kembali lagi ke Sijiistan. Adz-Dzahabi berkata, ”Abu Dawud adalah seorang imam dalam hadis, ulama besar dalam bidang fikih dan kitab karyanya merupakan bukti akan hal itu. Dia termasuk murid Ahmad bin Hanbal yang terkemuka. Sewaktu mulazamah bersama dengan Ahmad bin Hambal, dia banyak
bertanya
kepada
Imam
Ahmad
tentang
permasalahan-
permasalahan ushul dan furu‟ secara detil.” (Farid, 2006: hlm. 532) Abu Dawud adalah yang mempelopori menyusun kitab hadis yang hanya berisi
hadis- hadis hukum. Dalam kitab tersebut, Abu Dawud
52
mengumpulkan 4.800 hadis yang beliau sarikan dari 500.000 hadis yang dihafalnya. Kitab ini disusun berdasarkan sistematika fiqh, yakni memuat hadis- hadis yang berkaitan dengan hukum. (Zuhri, 2003: hlm. 175) Abu Dawud wafat pada usia 73 tahun di Basrah. Tentang tahun wafatnya, Lutfi as-Shabbagh menjelaskan bahwa Abu Dawud wafat pada tahun 275 H (Lutfi, 2003: hlm. 368).
D. Kesimpulan Penelitian Sanad Hadis Dari peneletian yang telah dilakukan maka penulis menyimpulkan hadis ini tidak hanya diriwayatkan satu jalur sanad saja, namun ada bebarapa jalur rijal. Dari penelitian dengan dengan bantuan kitab kamus hadis Mu’jam Mufahras li Alfadz Al- hadis Al-Nabawiy karya A.J. Wensinck, peneliti menemukan tiga mukharrij yakni Abu Dawud, Ahmad dan Turmudzi, kendati ada beberapa jalur lain peneliti hanya membatasi penelitian ini pada jalur mukharrij Abu Dawud. Analisis persambungan sanad menunjukkan hadis ini marfu’ berasal dari Nabi SAW, semua perawi memiliki persambungan sanad walaupun tidak semua menyebutkan ikatan guru-murid pada daftar namanya. Ada rijal yang hanya memiliki persambungan kepada murid saja atau hanya kepada guru saja, namun tidak ada rijal yang terputus sama sekali. Dari studi kualitas sanad, disimpulkan bahwa sanad hadis ini hanya sampai pada derajat hasan. Semua rijal berderajat tsiqah, maka tidak diragukan segi ‘adl dan dlabit-nya, namun ada rawi yang bernama Ibnu Ishaq yang diketahui seorang mudallis. Para ulama berhati-hati terhadap riwayat-
53
riwayatnya apabila ia meriwayatkan dengan lafaz 'an. Sebagian ulama melemahkan atau mencela 'an'anah Ibnu Ishaq (Rahman, 1974: 187). Hadis Jabir ini termasuk diantara 'an'anah Muhammad Ibnu Ishaq. Maka, jika melihat isnad hadis ini saja, kesimpulan sementara dari penulis menunjukkan hadis ini adalah lemah sebelum ditemukan bukti-bukti lain untuk menguatkan
hadis ini. Kepada hadis mudallas ini jumhur ulama
muhadditsin, fuqaha’ dan ushuliyyin dapat menerima bila diterangkan dengan lafadz yang menunjukkan ittishal, seperti sami’tu, haddatsanaa atau akhbaranaa (Rahman, 1974: 187). Setelah dilakukan penelusuran. Ditemukan beberapa bukti yang bisa mengangkat keraguan riwayat Ibnu Ishaq pada hadis ini di antaranya adalah: Pertama: ditemukan
pada
jalur
lain
bahwa
Ibnu
Ishaq
meriwayatkannya dengan lafaz haddatsana. Dengan demikian ia telah berterus terang bahwa hadis ini benar-benar didengarnya dari gurunya Dawud bin Hushain. Dan dengan ini beliau sendiri membuktikan bahwa tidak ada kedhaif-an yang beliau sembunyikan dari riwayat ini. Jalur ini terdapat di Musnad Ahmad, bagian Musnad Jabir bin Abdillah. Kedua: terdapat
hadis lain yang diriwayatkan dari jalur lain yang
maknanya senada dengan
hadis Jabir r.a., yaitu hadis Abu Hurairah
bahwaseorang laki-laki hendak menikahi seorang wanita Anshar. Diapun datang mengabarkan hal tersebut kepada Nabi SAW. Maka Nabi SAW bersabda: "Sudahkah kamu melihatnya?" "Belum wahai Rasulullah",
54
jawabnya. “Pergi dan lihatlah dia, karena pada mata wanita Anshar terdapat sesuatu!” Kedua, hadis Abu Humaid yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak mengapa kalian melihat wanita yang hendak kalian lamar jika memang tujuannya untuk itu, meskipun si wanita tidak mengatahuinya”. Dari uraian di atas maka dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa hadis riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah tentang sunnahnya seorang laki-laki melihat perempuan yang hendak dikhitbah dari segi sanad bernilai hasan dan dapat diterima sebagai hujjah.
55
Bab IV ANALISIS MATAN HADIS
Analisis matan hadis yang penulis lakukan meliputi pendekatan nash AlQur‟an, hadis, asbab wurud dan bahasa sekaligus kandungan makna hadis tentang anjuran melihat wanita yang di-khitbah dan implikasi hukumnya terhadap pergaulan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Tolak ukur analisis matan ini adalah tidak bertentangan dengan nash Al-Quran, hadis yang berderajat sahih, rasio atau akal pikiran manusia, sejarah, dan redaksinya mencerminkan kalam kenabian (Sumbullah, 2008: hlm. 144). A. Pendekatan Nash Al-Quran Dalil nash Al-quran yang dijadikan perbandingan adalah QS. AnNuur[24] : ayat 30 yang berbunyi: ...
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya …. Kemudian disusul QS.An-Nuur [24] : ayat 31: ...
Artinya; Dan katakanlah pada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya … (Departemen Agama, 2002: hlm. 290). Kata َغضىاberasal dari kata غضyang bermakna menundukkan atau merendahkan. Jika dipasangkan dengan kata تصش/ penglihatan, menjadi satu
56
frase غض انثصشmaka maknanya menjadi mencegah melihat sesuatu yang tidak halal baginya (Munawwir, 1984: hlm. 1082) Dua nash Al-Quran di atas menunjukkan perintah yang sama baik bagi laki-laki maupun perempuan dalam mengendalikan pandangan mata, karena laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan yang sama dalam ketertarikannya. Laki-laki tertarik pada apa-apa yang ada pada perempuan, perempuanpun tertarik pada apa-apa yang ada pada laki-laki, demikianlah fitrahnya. Meskipun sama perintahnya yaitu untuk menjaga pandangannya, namun berbeda bagi perempuan sebagaimana pada kelanjutan ayat 31 berikut:
Artinya: (bagi perempuan), “dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat, dan hendaklah mereke menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan”. (Departemen Agama, 2002: hlm. 290) Ayat Al-Quran Surat An-Nuur [24] ayat 30-31 tersebut termasuk ayat muhkam, sehingga sudah cukup jelas maknanya tanpa perlu penafsiran lebih
57
lanjut. Ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang selain dari daftar (mahram) yang disebutkan pada ayat 31 tersebut tidak diperbolehkan melihat kepada perhiasan (aurat) perempuan, maka cukup jelas ayat ini melarang seorang laki-laki ghairu mahram melihat kepada perempuan. Hadis sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur‟an, menurut jumhur (ahlusunah wal jama‟ah), tidak ada perbedaan dalam menentukan suatu
keputusan
hukum,
seperti
menghalalkan
atau
mengharamkan
sesuatu kekuatannya sama dengan Al-Qur‟an. Hadis Riwayat Abu Dawud:
اا َد ْب َد ْبن ُد َدل ِداَدى َد ا َد ْبد ُد هُد ِداَدى ِدن َد ا ِدح َدها َد ْبل َد ْب َدع ْبا ِد َدا َد َد َد َد َدح ُدد ُد ُدم ْبا َد لْب َد َد َد ِد ِد ْب َد َد َد berisi anjuran untuk melihat kepada perempuan, apabila seorang laki-laki meng-khitbah perempuan. Seorang laki-laki meng-khitbah perempuan sudah pasti dia bukan dari golongan mahram. Bila ia mahram justru tidak boleh untuk di-khitbah apa lagi untuk dinikahi. Namun ada sesuatu yang menurut penulis sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Sebenarnya di mana letak pertentangan hadis ini dengan nash Al-Quran? Menurut penulis, pertentangannya itu terletak pada larangan dan perintah. Nash Al-Quran melarang seorang laki-laki melihat perempuan yang bukan mahram-nya, sementara redaksi hadis yang riwayat Abu Dawud yang menjadi objek penelitian ini memerintahkan untuk melihatnya. Meskipun ada catatan “apabila salah seorang diantara kamu (muslimin) meng-khitbah”, namun status hukum perempuan itu masih tetap sebagai non-mahram. Hukum yang melarang pada seorang laki-laki melihat perempuan itu pun tidak berubah dengan adanya khitbah.
58
Secara tekstual hadis tersebut sangat bertentangan dengan nash AlQuran, namun jika ditelaah lebih jauh maka tidak ada pertentangan sama sekali dari segi makna tujuannya. Seorang laki-laki dalam memilih pasangan hidup memerlukan sebuah upaya untuk mengenal siapa dan bagaimana perempuan yang akan dinikahinya. Tanpa mengetahui lebih dahulu seseorang yang akan menjadi teman hidupnya, maka kelanggengan hubungan suami istri dalam sebuah keluarga tidak akan terjamin. Secara nalar rasio jika seorang laki-laki menikahi perempuan sedangkan ia belum mengerti baik buruknya, pasti ada kekhawatiran akan berakibat terjadi sesuatu yang menyakiti salah satu pasangan pada saat sudah menjadi satu dalam rumah tangga. Untuk menghindari hal itu terjadi, Rasulullah memerintahkan seseorang laki-laki yang hendak meminang seorang perempuan untuk melihat kepada perempuan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelanggengan rumah tangga dan untuk menjaga kesucian ikatan pernikahan sehingga dalam rumah tangga benar-benar terjalin ikatan kuat antara suami dan istri. Dengan demikian keluarga sakinah (tenang, tentram), mawaddah (saling mencintai) dan rahmah (kasih sayang) diantara keduanya dapat terwujud. Pertimbangan rasio di atas sejalan dengan sebuah hadis riwayat AtTurmudzi sebagai berikut:
َد لَد ْب ِد َد َد لَّ َدم ْبن ُد لْب
َّ َد لَّى
ُّْب َدل َد ًة َد َدا َدا ا َّن ِدي
َد ِد ْبا ُد ِد َدل ِد ْب ِد ُدعْب َد َد َد َّن ُد َد َد َد *ِداَد ْب َدها َد ِد َّن ُد َدحْب َدلى َد ْب ُد ْب دَد َدم َد ْب َدن ُد َد ا
59
Artinya: Dari Mughirah sesungguhnya ia hendak melamar seorang perempuan, maka Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah ia, maka sesungguhnya dengan melihatnya lebih mungkin melanggengkan antara kalian” (jilid III, bab ke 5 nomor 1075). Dengan dukungan hadis ini, maka sangat jelas bahwa tidak ada pertentang
tujuan
dari
makna
hadis
Riwayat
Abu
Dawud
yang
memperbolehkan seorang laki-laki melihat seorang perempuan untuk tujuan pernikahan meskipun dia termasuk non mahram. B. Penelitian Syadz dan ‘Illal Penelitian kesahihan hadis riwayat Abu Dawud tentang ajuran melihat perempuan yang dipinag telah peneliti lakukan telah disesuaikan dengan prosedur penelitian sanad dan matan hadis yakni sesuai dengan kriteria kesahihan suatu hadis. Ketersambungan periwayat dalam sanad suatu hadis antara guru dan murid telah dianalisis dan ternyata semuanya bersambung, Dari segi kualitas periwayat hadis seluruh periwayatannya dapat diterima. Redaksi matan hadis juga tidak menunjukan redaksi lafadz yang jauh berbeda secara makna, artinya hadis ini diriwayatkan dengan makna. Oleh karena itu hadis tersebut terhindar dari syadz dan „illal. Dari segi kuantitasnya tergolong hadis ahad, dan dari segi ke-hujjah-annya dapat diterima (maqbul).
C. Asbaab al-Wurud Hadis Asbaab al wurud atau sebab-sebab munculnya hadis ini sangatlah jelas. Hadis ini dilatarbelakangi adanya seorang pemuda sahabat Rasulullah bernama Jabir setelah meminang seorang perempuan dari Bani Salamah dari golongan Anshor. Ketika Rasulullah mengetahui bahwa Jabir hendak
60
memperistrinya, maka Rasulullah bertanya pada apakah ia sudah melihat seorang perempuan yang akan ia sunting. Karena pemuda itu menjawab bahwa ia belum melihat perempuan yang akan menjadi istrinya, maka Rasulullah SAW memerintahkan ia untuk melihat. Hadis ini mempunyai pendukung riwayat At-Turmudzi dan An-Nasa‟i bersumber dari Al-Mughirah dengan susunan matan berbentuk percakapan sebagaimana diatas. (AshShan‟ani, 1995: 410)
D. Analisis Bahasa dan Makna Pada hadis di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam mengatakan "idza khathaba" secara bahasa berarti "Jika kalian telah melamar". Bersandar dengan pemahaman bahasa, berarti boleh melihat wanita ketika sudah melamarnya dan sebelum melakukan akad. yang masyhur oleh sebagian ikhwan, nadhar atau melihat wanita yang akan dipinang dilakukan ketika melamar bukan sebelum melamar. Kata خطةadalah fi'il madhi atau kata kerja yang menyatakan bahwa hal tersebut telah dilakukan, maksa secara bahasa maknanya "telah melamar". Namun tidak selamanya kata kerja bermakna lampau ini memiliki arti demikian. Ada beberapa kata kerja lampau (fi'il madhi) yang maknanya adalah "hendak melakukan". Hal ini tergantung konteks kalimat, sebagaimana QS. Al-Maidah ayat 6 berikut:
َّ إِ َرا قُ ًْرُ ْى إِنًَ ان ص َ ِج Artinya: Jika kalian hendak mendirikan shalat. (Departemen Agama, 2002: QS. Al-Maidah ayat: 6)
61
Ayat ini adalah ayat yang mensyariatkan wudhu sebelum shalat. Jika kita kita mengartikan kata "qumtum" pada ayat di atas dengan makna lampau. Maka akan kita katakan "jika kalian telah mendirikan shalat" maka berwudhulah. Dengan demikian wudhu dilakukan setelah shalat, tentu saja tidak benar. Karena petunjuk Nabi SAW adalah berwudhu sebelum shalat. Dengan demikian makna ayat tersebut adalah "Jika kalian hendak mendirikan shalat". Hadis Jabir ini juga demikian maknanya bukanlah "Jika kalian telah meng-khitbah ". Akan tetapi "Jika kalian hendak meng-khitbah". maka dapat kita simpulkan bahwa prosesi nadhar atau melihat wanita yang hendak dinikahi ini dilakukan sebelum meng-khitbah.
E. Kandungan Hukum Dalam riwayat Jabir di atas, dikisahkan bahwa ia bersembunyi dibalik pohon kurma untuk melihat gadis yang akan dilamarnya. Hal ini menunjukkan bolehnya bagi seorang muslim untuk melihat wanita yang hendak dilamarnya meskipun perempuan tersebut tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diperhatikan. Hal ini lebih diperkuat lagi oleh riwayat Abu Humaid yang telah kami sebutkan di atas. Jumhur ulama membolehkan untuk melihat wajah dan kedua tangan. Dari wajah dapat diketahui cantik tidaknya seorang wanita, dan dari tangannya dapat diketahui apakah wanita tersebut subur atau tidak. Kedua bagian ini cukup bagi seorang muslim untuk mengetahui ciri-ciri wanita tersebut. Ada pendapat membolehkan melihat seluruh tubuh wanita yang akan
62
dipinang, namun ini adalah pendapat yang marjuh (dimiringkan) sehingga tidak diikuti. Pada hadis di atas Rasulullah SAW hanya membolehkan melihat sebagian karena ada keterangan ( يُهاsebagian darinya). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sunnahnya melihat wanita sebelum meng-khitbah adalah sebagian bukan seluruhnya dilakukan atas dasar kehati-hatian, karena pada dasarnya seorang laki-laki itu haram melihat perempuan yang bukan mahramnya (Ash-Shan‟ani, 1995: 411).
63
BAB V PENUTUP
Pada bagian penutup ini berisi kesimpulan-kesimpulan dari seluruh hasil penelitian, selain itu mencatumkan saran kepada pembaca maupun lembaga terkait. A. Kesimpulan 1. Analisis persambungan sanad menunjukkan hadis riwayat Abu Dawud tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat perempuan yang hendak dilamar ini marfu’ berasal dari Nabi SAW dan memiliki sanad dengan kualitas hasan. -
Semua perawi memiliki persambungan sanad walaupun tidak semua menyebutkan ikatan guru-murid pada daftar namanya. Ada rijal yang hanya menyebutkan persambungan kepada murid saja atau hanya kepada guru saja, namun tidak ada rijal yang terputus sama sekali. Peneliti menyimpulkan hadis riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah tentang diperbolehknnya seorang laki-laki melihat perempuan yang hendak dilamar adalah termasuk hadis ahad.
-
Dari analisis kualitas sanad, disimpulkan bahwa sanad hadis ini hanya sampai pada derajad hasan. Semua rijal berderajat tsiqah, namun ada rawi yang bernama Ibnu Ishaq yang dikenal sebagai seorang mudallis atau manipulasi isnad hadis. Para ulama berhati-hati terhadap riwayatriwayatnya apabila ia meriwayatkan dengan lafaz 'an. Sanad hadis ini
64
bernilai lemah sebelum ditemukan bukti-bukti lain yang menguatkan hadis ini. -
Setelah dilakukan penelitian lebih mendalam, ditemukan beberapa pendukung, di antaranya: a. Jalur mukharrij Ahmad bersumber dari Jabir bin Abdillah, Muhammad bin Ishaq meriwayatkannya dengan lafaz haddatsana. Dengan ini dapat diketahui bahwa hadis ini benar-benar didengarnya dari gurunya Dawud bin Hushain, maka dengan ini ia memberikan
bukti
bahwa
tidak
ada
kedhaif-an
yang
ia
sembunyikan dari riwayat ini. b. Hadis riwayat Ahmad dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki hendak menikahi seorang wanita Anshar. Dia pun datang mengabarkan hal tersebut kepada Nabi SAW. Maka Nabi SAW bersabda:
"Sudahkah
kamu
melihatnya?"
"Belum
wahai
Rasulullah", jawabnya. “Pergi dan lihatlah dia, karena pada mata wanita Anshar terdapat sesuatu!” c. Hadis riwayat Ahmad dari Abu Humaid bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak mengapa kalian melihat wanita yang hendak kalian lamar jika memang tujuannya untuk itu, meskipun si wanita tidak mengetahuinya”. Dengan
adanya
tiga
pendukung
di
atas
maka
penulis
menyimpulkan bahwa hadis riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah
65
tentang sunnahnya seorang laki-laki melihat perempuan yang hendak dilamar adalah hasan dan dapat diterima sebagai hujjah. 2. Dari segi matan hadis tidak menunjukan redaksi lafadz yang jauh berbeda secara makna, artinya hadis ini diriwayatkan dengan makna. Hadis tersebut terhindar dari syadz dan „illal, dan dari segi ke-hujjah-annya dapat diterima (maqbul). 3. Pada hadis ini Rasulullah SAW mengatakan "idza khathaba" secara bahasa berarti "jika kalian telah melamar". Jika hanya bersandar dengan pemahaman bahasa saja, kesimpulannya adalah laki-laki boleh melihat perempuan ketika kita sudah melamarnya dan sebelum melakukan akad. Akan tetapi jika diartikan "Jika kalian hendak mengkhitbah melamar", sebagaimana dalam QS. Al-Maidah ayat: 6 “idza qumtum ila sholat” yang diartikan “jika hendak melakukan shalat, maka dapat kita simpulkan bahwa proses nadhar atau melihat perempuan yang hendak dinikahi ini sunnah dilakukan sebelum meng-khitbah, dan menurut jumhur ulama‟, melihatnya bukan keseluruhan badan namun hanya sebagian yakni muka dan telapak tangan dan dilakukan atas dasar kehati-hatian.
B. Saran 1. Penelitian hadis sangat luas, dalam, memiliki manfaat yang sangat urgent, selayaknya penelitian pustaka hadis menjadi prioritas bagi lembaga pendidikan tinggi Islam.
66
2. Penulis berharap terus ada penelitian yang sama mengingat sebelum penulis meneliti baru ada 2 (dua) penelitian yang terdahulu di STAIN Salatiga. 3. Pustaka hadis di STAIN Salatiga perlu mendapat perhatian lebih terhadap koleksi kitab-kitab klasik, karena hal itu merupakan aset penting pendidikan tinggi Islam yang sangat berguna dalam kajian historis dan motodologis. 4. Meskipun penulis telah berusaha segenap kemampuan yang pas-pasan, penulis yakin ini belum sempurna sama sekali. Untuk itu bagi mahasiswa yang hendak meneliti lebih lanjut hadis yang telah penulis teliti ini, penulis sangat mendukung. 5. Man Jadda Wajada.
67
DAFTAR PUSTAKA Abu „Abdillah bin Muhammad bin Hanbal Al-Marwazy, Musnad al-Kabir. Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah Abu Dawud, Al-Ats‟ats Al-Sijistany. 1996. Sunan Abi Dawuud. Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah Al-Asqolani, Ibn Hajr. 1378 H. Bulugh al-Maram. Semarang: Karya Toha Putra Al-Asqolany, Ahmad bin Aly bin Hajr. 1984. Tahdziib al-Tahdziib juz: II, III, VI, X, XI. Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah Al-Asqolany, Ahmad bin Aly bin Hajr. tt. Taqriib al-Tahdziib. Beirut: Darr alKutub al-Ilmiyah Alawi al-Maliki. Muhammad. 2007. Qawaidul Asasiyyah fi Ilmi Mustalahil Hadits, terj. Fadlil Said an-Nadwi, Surabaya: Al Hidayah Ash-Shan‟ani, 1995. Subulus Salam III terj: Drs. Abu Bakar Muhammad). Cet. I. Surabaya: Al-Ikhlas Asy‟ari Ulama‟i, A. Hasan. 2008. Membedah Kitab Tafsir-Hadis; Dari Imam ibn Jarir al-Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi. Semarang: Walisongo Press. At-Tirmidzy, Abu „Isa Muhammad bin ‟Isa bin Surah. Sunan al-Tirmidzy. Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah Departemen Agama RI. 1991. Kompilasi Hukum Islam. Versi.Pdf. Departemen Agama RI. 2002. Mushaf Al-Qur‟an dan Terjemah. Depok: AlHuda Farid, Syaikh Ahmad. 2006. Min A‟lam As-Salaf ( 60 Biografi Ulama Salaf), terj. Masturi Irham & Asmu‟i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hasan, Muhammad Iqbal, 2002. Pokok-Pokok materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia Lutfi Ash-Shabbagh, Muhammad bin. 2003. Al Haditsu An Nabawi: Mushtolahuhu, Balaghatuhu, Kutubuhu. Bairut: Al Maktabah Al Islami. i
Nata, Abuddin. 1999. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada Nawir Yuslem, 2001.Ulumul hadis,t.t, Mutiara sumber Widya. Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul – Hadits. Bnadung: PT.Al Ma,arif Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sabiq, Sayyid. 1981. Fiqh al- Sunnah juz-6. Maktabah Al-Adab Soetari Ad, Endang. H. 2005. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: CV. Mimbar Pustaka STAIN Salatiga, 2009. Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir. Salatiga: STAIN Salatiga Press Sugiono. 2009. Metodologi Penilitian Kuantitatif, Kualitatif. Bandung: AlVabeta Sulaiman, Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press Sumbullah, Umi. 2008. Kritik Hadis: Pendekatan Historis dan Metodologis. Malang: UIN-Malang Press Wensinc, Aj., J.F Mensing, 1936. al-Mu‟jam Mufahras Li Alfadzil al-Hadis al- Nabawy, Landen: Jami‟ Ilmi Zenrif, MF. 2008. Realitas Keluarga Muslim antara Mitos dan Doktrin Agama. Malang: UIN-Malag Press Zuhdi, Masjfuk. H. 1993. Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: PT. Bina Ilmu Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana http://musolliazmi.blogspot.com/2012/12/hadis-tentang-diperbolehkannyamelihat.html Diakses: sabtu, 5 Oktober 2013 jam 21.39
ii
BIOGRAFI
Muhamad Hafid, anak ke enam dari sepuluh bersaudara pasangan Nur Khamid dan Sofiyah, lahir di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, pada hari Rabu tanggal 25 Desember 1985. Tempat tinggal saat ini di Dusun Kaliwaru RT. 27, RW. V, Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Pendidikan dasar ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah Tengaran selesai pada tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan
ke Sekolah Lajutan Tingkat
Pertama SLTP Negeri 1 Tengaran tamat tahun 2001. Sempat belajar di SMA 1 Tengaran Kab. Semarang selama kurang lebih 2 bulan kemudian mengundurkan diri dan melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri Tengaran di tahun pelajaran berikutnya hingga tamat pada tahun 2005. Pendidikan tinggi (S1) dimulai pada tahun 2008 dengan memasuki Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada jurusan Syari‟ah Program studi Ahwal al-Syakhshiyyah dan selesai pada bulan Oktober 2013.
Salatiga, Oktober 2013 Penulis
Muhamad Hafid
iii