PROGRAM PENGUATAN PRAKARSA FILANTROPI Riset dan Sosialisasi Kedermawanan Sosial di Lingkungan Gereja Katolik
Laporan Penelitian
Pola Interaksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial Keuskupan Agung Jakarta & Keuskupan Agung Semarang 2006
Tim Peneliti Kordinator
Y. Wasi Gede Puraka
Peneliti Soni P. Wibisono Yoseph Hilarius
Kerjasama Yayasan KEHATI dengan Institut Riset Sosial dan Ekonomi (INRISE) Jakarta
Daftar Isi Hal Bab I Pendahuluan I.1 Fokus dan Metode Penelitian I.1.1 Fokus Penelitian I.1.2 Metode Penelitian Bab II Perkembangan Aktivitas Filantropi Gereja Katolik II.1 Sekilas Sejarah Filantropi di Tubuh Gereja Katolik II.2 Kritik dan Pandangan Terhadap Kegiatan Filantropi Gereja Katolik tentang Keadilan dan Kasih II.3 Kedermawanan Sosial Gereja Katolik di Indonesia Bab III Organisasi dan Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Katolik di KAJ dan KAS III.1 Jenis-jenis Organisasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik : Kelompok Parokial dan Kategorial III.2 Potensi, Bentuk, dan Metode Aksi Kedermawanan Sosial III.2.1 Potensi Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial III.2.2 Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial III.2.3 Metode Penyebarluasan informasi dan Mobilisasi Sumber Daya Aksi Kedermawanan Sosial III.2.4 Proses Pemetaan Kebutuhan Pelayanan Kelompok Masyarakat III.3 Kesimpulan Umum dan Diskusi
1 3 3 4 6 6 8 11 17 19 29 29 32 37 39 41
Bab IV Penutup dan Rekomendasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik IV.1 Hasil Tinjauan Awal Aksi Kedermawanan Sosial Katolik IV. 2 Refleksi Kedermawanan Sosial Katolik IV.3 Rekomendasi Aksi
44 45 49 50
Daftar Pustaka
52
Bab I Pendahuluan Solidaritas merupakan salah satu nilai pokok yang menjadi landasan peran sosial Gereja Katolik universal. Kontras sosial-ekonomi antara golongan atas/menengah cukup tajam. Sebagian masyarakat menikmati hasil kemajuan ekonomi, sedangkan bagian yang lebih besar lagi menjadi marginal. Untuk itu nilai solidaritas diperlukan sebagai dasar bagi gerak hirarki gereja baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Nilai itu pula yang menjadi semangat kerja kelompok-kelompok umat yang tergabung dalam hubungannya dengan umat beragama lainnya. Terpanggil untuk turut mewujudkan dunia yang seadiladilnya dan diinspirasikan oleh teladan hidup Yesus, maka melalui para Paus, Gereja Katolik universal merumuskan orientasi sosialnya yang dituangkan dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). ASG semula pernah tidak begitu menjadi bahan istimewa dalam refleksi iman Gereja dan seringkali menimbulkan ketegangan serta perbedaan faham dalam Gereja namun akhirakhir ini hampir tidak ada lagi Ajaran Gereja yang tidak berkaitan dengan masalah sosial. Oleh sebab itu ASG menjadi salah satu bidang Ajaran Gereja yang sangat penting. Ajaran itu juga menjadi tantangan Gereja untuk memenuhi panggilan Yesus Kristus: "Untuk menjadi saksinya" (Matius 25) Untuk memenuhi panggilan itu maka gembala (imam) berserta umat Katolik diajak untuk aktif dalam mengembangkan berbagai macam aktivitas sosial di masyarakat. Salah satunya wujud aktivitas iman di masyarakat yaitu aksi kedermawanan sosial. Misalnya saja pada Masa Puasa, umat melakukan pengumpulan dana dan mengadakan berbagai kegiatan yang diperuntukkan bagi sesamanya yang miskin dan tersingkir. Kegiatan itu dikenal dengan Aksi Puasa Pembangunan. Sebagai sebuah program pertobatan nasional maka kegiatan itu ditangani oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi / Aksi Puasa Pembangunan KWI sebagai kordinator pengelola dana APP. Selain melalui struktur dan program dalam hirarki vertikal, Gereja Katolik juga mendorong aksi kedermawanan sosial yang dilakukan oleh umat secara horisontal, atau yang disebut dengan kelompok kategorial. Penyadaran tentang peran penting kedermawanan umat meneruskan upaya penyempurnaan aksi sosial Katolik yang sejak Sinode KWI tahun 1991 berusaha dicari kontekstualisasinya. Dasar-dasar keprihatinan yang telah dibangun kembali dikerucutkan pada tahun 2000 dengan menekankan pembangunan kelompok basis sebagai kendaraan untuk menarik relevansi kehidupan komunitas Gereja Perdana. Salah satu rumusan penting aksi sosial Katolik adalah Nota Pastoral KWI 2004 dengan tema Keadaban Publik : Menuju
1
Habitus Baru Bangsa Keadilan Sosial bagi Semua—Pendekatan Sosio-Budaya. Melalui Nota Pastoral ini, Gereja Katolik Indonesia meminta dan mendorong umatnya untuk mewujudkan habitus baru dan membuang habitus lama dalam kaitannya dengan tantangan baru peralihan milenium di Indonesia. Yang dimaksud dengan habitus adalah gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok. Kadang-kadang kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi watak. Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 di Wisma Kinasih, Caringin-Bogor tanggal 16-20 November 2005 menyebutkan bahwa habitus lama tersebut misalnya tidak terbiasa dan tidak membiasakan diri untuk membaca realitas sosial secara kritis dan memecahkan persoalan karena cari aman, mental instan, cari enak dan selamat; merasa tidak berdaya karena merasa minoritas; pemisahan antara sakral-profan, sekulerrohani; lebih banyak mengkritik daripada berbuat; sombong; lebih banyak memperjuangkan agama dan lebih banyak omong daripada hidup beriman. Oleh karena itu habitus lama tersebut harus ditinggalkan. Gereja perlu mencari dan mengembangkan habitus baru. Habitus baru misalnya: melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan positif masyarakat (organisasi dll); perubahan pola pikir (dikotomis, dll); setia pada proses, tekun, militan, selalu membuka diri terhadap semua kelompok; memberi keteladanan, pewartaan nilai, roh memperjuangkan kesalehan sosial. Oleh karena itu dalam mengembangkan partisipasi hidup rohani dalam kehidupan sosial maka berbagai kelompok umat Katolik diminta aktif dalam mengembangkan interaksi dengan umat beragama lainnya dalam berbagai bentuk kegiatan, termasuk kegiatan berderma. Pengembangan interaksi dan dialog antar umat bergama dapat melalui sarana organisasi kategorial yang meliputi berbagai profesi pekerjaan hingga hobi, maupun parokial yang berada di bawah payung gereja setempat. Aktivitas kelompok-kelompok basis dalam kaitannya dengan aksi kedermawanan sosial tidak terpaku hanya pada batasan kategorial maupun teritorial saja namun keduanya bisa saling tumpang tindih. Artinya, inisiatif para pelakunya merupakan faktor penting yang mendukung keberhasilan/ketidakberhasilan aksi kedermawanan sosial. Proses interaksi dinamis aktivitas kedermawanan sosial antara kelompok kategorial dengan parokial serta kelompok masyarakat lainnya itulah yang menjadi tema dasar penelitian. Dengan melihat pada proses interaksi antara dua jenis kategori kelompok basis tersebut maka dapat diperoleh gambaran tentang pola kerja dan potensi apa yang terkandung serta nilai-nilai kedermawanan sosial apa saja yang dapat dikembangkan. Dengan demikian 2
tujuan dari penelitian tentang pola interaksi dan jenis aksi kedermawanan sosial ini yaitu hendak mendeskripsikan hasil (a) identifikasi pola kerja kelompok kedermawanan sosial Gereja Katolik dalam memperluas diri ketika melakukan aksi filantropinya, dan (b) identifikasi bentuk-bentuk interaksi antara pelaku kedermawanan sosial dengan penerima aksi untuk menjejaki keberlanjutan kerja antar keduanya. Pentingnya pencapaian tujuan penelitian ini terletak pada signifikansinya dalam mendorong promosi dan pembelajaran kritis kegiatan kedermawanan sosial di tubuh Gereja Katolik Indonesia maupun masyarakat umum. I.1 Fokus dan Metode Penelitian I.1.1 Fokus Penelitian Tema penelitian di atas diturunkan menjadi beberapa dimensi konsentrasi penelitian kedermawanan sosial Katolik yaitu (a) perkembangan aktivitas kedermawanan sosial Gereja Katolik, (b) organisasi aksi, metode, dan bentuk kedermawanan sosial, (c) pola hubungan antara kelompok kedermawanan kategorial dan teritorial dengan hirarki, dan (d) pandangan para pelaku (individual maupun kelompok) kedermawanan sosial terhadap isu-isu yang menjadi wilayah perhatian kerja mereka. Melalui kilasan perkembangan historis aksi kedermawanan sosial Gereja Katolik, para pelaku dapat diperoleh gambaran bahwa aksi kedermawanan sosial Gereja Katolik tidak terlepas dari dan merupakan bentuk tanggapan atas situasi jaman tertentu. Sementara dari uraian tentang organisasi, metode, dan bentuk-bentuk diharapkan dapat menunjukkan letak titik singgung dan titik pisah antara aksi kedermawanan sosial kelompok parokial dan kategorial. Dimensi ketiga disajikan untuk mendapatkan gambaran tentang peran hirarki dalam menjembatani aktivitas kedermawanan sosial paroki dan kategorial. Peran yang dimaksud bukan hanya menyangkut hal-hal yang sifatnya organisasional dan terkait dengan hirarki Gereja Katolik setempat melainkan didalamnya juga terkandung teologi, prinsipprinsip, dan nilai-nilai yang menjadi dasar aktivitas.
Dan, dimensi keempat menyoroti
bagaimana potensi dan interaksi disemangati oleh nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Gereja Katolik dalam situasi kekinian, terutama yang berkaitan dengan wilayah perhatian kerja dari masing-masing pelaku. Peran pelaku individual juga tidak bisa dikatakan kecil dalam aktivitas kedermawanan sosial karena celah-celah yang tidak tercakup oleh pelayanan lembaga parokial maupun kategorial kemudian diisi oleh para pelaku ini.
3
Melalui dimensi-dimensi di atas maka penelitian ini pada saat yang sama juga menyiratkan kandungan praktisnya, yaitu penyediaan informasi dan analisis yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi para pelaku kegiatan kedermawanan sosial baik pelaku dalam maupun di luar institusi Gereja Katolik. I.1.2 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua daerah keuskupan yaitu Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dan Keuskupan Agung Semarang (KAS). Kedua wilayah ini dipilih dengan pertimbangan bahwa ciri sosiologis umat Katolik pada dua wilayah ini dinilai dapat memberikan gambaran perbedaan, disamping kesamaan, karakteristik aksi kedermawanan sosial yang akan diteliti. Dari KAJ dipilih 4 paroki yang dapat dianggap mewakili beberapa wilayah di Jakarta yaitu paroki Trinitas Cengkareng, paroki Philipus Rasul Teluk Gong, paroki Bunda Hati Kudus Kemakmuran, dan paroki St Anna Duren Sawit. Paroki dipilih karena umumnya aktivitas kedermawanan sosial Katolik antara kelompok parokial dan kategorial akan bersinggungan atau bertemu di unit gereja terkecil. Dari situ diharapkan informasi tentang pola hubungan antara kelompok parokial dan kategorial dapat dicari. Untuk wilayah KAS, paroki Maria Assumpta dan paroki Wedi di Kabupaten Klaten merupakan unit gereja terkecil yang dipilih atas dasar di dua paroki inilah konsentrasi aksi kedermawanan sosial Katolik khususnya pasca gempa Mei 2006 dilakukan. Studi ini bersifat etnografis dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui indepth interview dan focus group discussion (FGD). Berasal dari antropologi, etnografi adalah metode riset yang menggunakan observasi langsung terhadap kegiatan manusia dalam konteks sosial dan budaya sehari-hari. Etnografi berusaha mengetahui kekuatan-kekuatan apa saja yang membuat manusia melakukan sesuatu. Informasi utama digali dengan teknik indepth interview dan untuk melengkapi informasi yang terkumpul maka dilakukan focus group discussion. Informan yang akan dijaring melalui indepth interview terdiri dari : 1. Ketua-ketua Komisi KWI / Keuskupan yang berwenang membawahi bidang-bidang kerja yang terkait dengan aksi-aksi filantropi. 2. Ketua lembaga kedermawanan sosial katolik kategorial dan teritorial. 3. Pelaku-pelaku aksi kedermawanan sosial katolik. 4. Pemimpin kelompok-kelompok masyarakat (Katolik dan Non-katolik) yang dibantu aksi kedermawanan sosial katolik.
4
Metode penjaringan informan dilakukan melalui snow ball sampling. Pemilihan metode ini dilakukan karena tidak semua lembaga kedermawanan sosial Katolik yang telah diidentifikasi dapat dijajaki geliat aktivitasnya. Ada lembaga, khususnya kategorial, yang telah berpindah sekretariat, ada yang para pengurusnya sudah lama tidak hadir di sekretariat sehingga hanya bisa menemui penjaga sekretariat yang tidak menguasai informasi yang diperlukan, dan ada pula lembaga yang sudah tidak dapat dilacak keberadaannya. Pertimbangan-pertimbangan itu yang turut mempengaruhi keputusan penggunaan snow ball sampling. Melalui teknik snow ball jaringan informasi yang membentuk keseluruhan kerangka gejala dapat diketahui. Selain itu, informasi yang menyangkut persepsi subyektif pelaku juga dapat diperoleh karena seorang informan besar kemungkinan dapat menaruh kepercayaan besar terhadap peneliti berdasarkan referensi informan sebelumnya. Diakui bahwa penelitian ini baru menyentuh tataran permukaan (tap the surface). Keterbatasan itu muncul dari situasi penelitian dimana bahan-bahan tentang aktivitas kedermawanan sosial Katolik belum banyak terdokumentasi dengan sistematis sehingga menyulitkan dalam menentukan lembaga dan jenis aktivitas seperti apa yang mau dituju. Implikasinya yaitu penelitian ini belum dapat dikatakan komprehensif karena, misalnya, halhal seperti kekuatan potensi jaringan finansial aksi kedermawanan Katolik belum dapat dicakup. Meski terbatas, penelitian ini sekurang-kurangnya mencoba mencapai apa yang mau dibidik dalam tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi pola kerja dan bentuk interaksi kedermawanan sosial Katolik. Jadi, fakta bahwa penelitian ini belum komprehensif tidak serta merta mengabaikan kontribusi perannya dalam mengisi khazanah pengetahuan tentang filantropi Gereja Katolik di Indonesia yang masih terserak. Keterbatasan lainnya terkait dengan posisi peneliti dalam rangkaian proses penelitian yang dilakukan. Sebagai peneliti total maka ada jarak antara pelaku penelitian dengan gejala yang diteliti. Kesenjangan ini pada gilirannya akan berpengaruh pada validitas data yang diperoleh. Untuk dapat memperkecil kesenjangan informasi maka instrumen focus group discussion adalah sarana yang digunakan untuk memeriksa ecological validity dan member validation.1 Ecological validity adalah tingkat kesesuaian antara penggambaran dunia sosial oleh peneliti dengan masyarakat yang ditelitinya; penelitian valid jika suatu fenomena muncul tanpa kehadiran peneliti. Sementara member validation dipahami sebagai proses validasi penelitian oleh masyarakat yang diteliti dan mengerti isi deskripsi penelitian
serta
mengenalinya sebagai gambaran dunia sosial mereka. 1
Indriati Yulistiani, Ragam Penelitian Kualitatif : Penelitian Lapangan, dalam Modul Metode Penelitian Sosial FISIP UI, 2001, hal. 139
5
Bab II Perkembangan Aktivitas Filantropi Gereja Katolik II.1 Sekilas Sejarah Filantropi di Tubuh Gereja Katolik Kegiatan filantropis bukanlah merupakan hal yang baru dalam tubuh gereja Katolik. Meski secara teoritis, konsep tersebut kembali memperoleh tempatnya di dalam berbagai kegiatan pemberian bantuan belakangan ini namun secara praktis kegiatan filantropi telah dimulai sejak abad-abad awal berdirinya gereja Katolik. Konsepsi filantropis Gereja Katolik merupakan proyeksi vertikalitas iman kepada dimensi horisontal hubungan antar manusia yang terkait dengan kondisi nyatanya di dunia seperti kesejahteraan dan keadilan. Gereja Katolik memandang bahwa filantropi bukan hanya terkait dengan dimensi horisontal hubungan antar manusia melainkan juga hubungan yang dilandasi oleh iman—hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta. Bagian ini akan melihat kembali wujud dari kegiatan filantropis Katolik di abad-abad awal pembentukannya. Kegiatan yang secara historis dibangun dan melekat erat dengan ajaran-ajaran iman Katolik tidak hanya telah meletakkan nilai-nilai dasar, bentuk-bentuk organisasi, metode-metode, dan tujuan yang mau dicapai, melainkan juga aspek kritis kegiatan itu sendiri. Untuk itu bagian ini akan memuat sebagian besar isi kandungan ensiklik2 yang pertama dari Paus Benediktus XVI tentang Deus Caritas Est, khususnya Bagian Ke-2. Bagian ini bisa dikatakan memberikan orientasi dasar bagi pemahaman dan etos aktivitas pelayanan karitatif gereja Katolik universal.3 Melalui dokumen ini karya karitatif Gereja Katolik yang telah dilakukan berabad-abad memperoleh pendasaran teoritisnya. Kiranya akan sangat membantu untuk mencermati sekilas lintasan historis pelayanan kasih di dalam tubuh Gereja Katolik. Sampai pada pertengahan abad ke-4 terlihat perkembangan bibit-bibit kegiatan karitatif di Mesir yang diwakili konsepsi tentang "diaconia" yaitu institusi dalam setiap biara yang bertanggungjawab akan karya-karya bantuan bagi pelayanan kasih. Sampai pada abad ke-6 institusi ini berkembang dalam suatu 2 Ensiklik (dari bahasa Yunani: egkuklios, “lingkaran”) artinya sebenarnya ialah sebuah surat edaran Uskup. Tetapi dewasa ini ensiklik artinya adalah surat Paus sebagai Uskup Roma dan pemimpin Gereja Katholik dunia. Ensiklik berisi ajaran Sri Paus mengenai iman dan kesusilaan. Biasanya ensiklik ditulis dalam Bahasa Latin, bahasa resmi Vatikan namun sekarang banyak pula keluar terjemahan dalam lain-lain bahasa. Surat edaran ini dikirim oleh Paus kepada para Uskup. Oleh para Uskup dikirim kepada bawahannya. Ensiklik bukanlah dokumen tertinggi dalam Gereja Katolik. Dokumen yang tertinggi dan mengandung ajaran iman terdapat dalam Konstitusi Dogmatis. Rumusan Konstitusi Dogmatis ditaati oleh umat beriman, sedangkan rumusan ensiklik dihormati. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ensiklik. Diakses tgl 13 September 2006. 12.44 bbwi 3 Ensiklik Paus Benediktus XVI 25 Desember 2005, Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, April 2006, hal.25-28, 30
6
badan, yang secara yuridis berdiri sendiri, di mana otoritas sipil kemudian yang dipercaya untuk menjalankan pembagiannya untuk umum. Di Mesir tidak hanya tiap biara, akan tetapi setiap keuskupan pada kenyataannya memiliki diaconia-nya masing-masing. Institusi ini kemudian berkembang baik di gereja Timur maupun di Barat. Paus Gregoris Agung (604 M) memberitakan tentang adanya diaconia di Napoli, sementara di Roma diaconiae dicatat tumbuh pula di abad-7 dan 8. Akan tetapi pelayanan karitatif pada mereka yang miskin dan menderita pada dasarnya telah menjadi bagian utama Gereja Roma sejak awal mulanya, berdasar pada prinsip hidup Kristiani yang dicontohkan oleh murid-murid Yesus Kristus dalam injil Kisah Para Rasul. Dapat ditemukan ungkapan yang jelas akan hal ini dalam kasus Laurensius (258 M). Penuturan dramatis akan kemartiran Laurensius telah dikenal lewat Santo Ambrosius (397 M) yang
memberikan
gambaran
otentik
tentang
Laurensius.
Sebagai
orang
yang
bertanggungjawab untuk memperhatikan orang-orang miskin di Roma, Laurensius, setelah Paus dan diakon lainnya ditahan, disuruh untuk dalam waktu tertentu mengumpulkan seluruh harta milik gereja dan menyerahkannya pada otoritas pemerintahan sipil kekaisaran. Akan tetapi dia membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin apapun yang ada dan membawa orang-orang miskin itu kepada penguasa sebagai kekayaan Gereja. Meskipun data historis semacam itu masih membuka ruang debat yang luas namun simbolisme terhadap Laurensius telah menjadi bagian dari jejak historis gereja Katolik sebagai salah satu tokoh pelayanan kasih Gereja. Catatan kaisar Yulianus Apostatus (363 M) juga dapat pula dipakai untuk menunjukkan bagaimana secara mendasar gereja-awal telah membangun fondasi-fondasi penataan praktek karitatif. Meski demikian upaya membangun karya karitatif itu lebih berdasar pada motivasi politis Yulianus sebagai kaisar. Sebagai seorang anak berusia 6 tahun, dia telah menyaksikan pembunuhan ayah, saudara dan anggota keluarga lainnya oleh penjaga istana; entah benar atau tidak, dia melemparkan tuduhan akan tindakan brutal ini pada Raja Konstantinus, orang besar yang telah menjadi Kristen. Iman Kristiani dianggap oleh Yulianus Apostatus sebagai terkutuk. Ketika menjadi kaisar, Yulianus memutuskan untuk memulihkan paganisme, agama Romawi kuno. Memperbaharuinya dengan harapan menjadi sumber kekuatan penyokong pemerintahannya. Dalam maksud ini dia sepenuhnya terinspirasikan oleh Kristianisme. Dia membentuk hirarki metropolitan dari imam-imam yang didorong untuk menumbuhkan kasih akan Allah dan sesama. Dalam salah satu suratnya, dia menuliskan bahwa satu-satunya unsur dari agama Kristiani yang mengesan baginya adalah karya karitatif gereja. Maka dia kemudian memikirkan bahwa hal itu adalah penting pula bagi 7
agama baru yang dibangunnya kembali, sehingga di samping sistem karitatif gerejani, karya yang serupa olehnya dibentuk pula. Dalam pandangannya, usaha-usaha semacam inilah yang menjadikan alasan mengapa agama Kristen menjadi dikenal luas. Mereka perlu ditiru untuk dikalahkan. Dengan demikian, jelas kaisar mengakui bahwa karitas atau pelayanan kasih adalah ciri yang sangat menentukan dalam kehidupan komunitas Kristiani. Sejauh ini bisa ditarik adanya dua fakta penting muncul dari refleksi historis pandangan gereja Katolik atas , yaitu : a) Hakekat terdalam gereja Katolik terwujud alam tiga bidang tugas: pewartaan sabda Allah (kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leitourgia), dan pewujudan pelayanan kasih (diakonia). Masing-masing tugas ini mengandaikan satu sama lain dan tidak saling terpisahkan. Maka bagi gereja Katolik, aktivitas filantropis atau karitas sebagai bagian dari tugas diakonia bukanlah bentuk pelayanan sosial yang dapat dengan begitu saja dilalaikan demi yang lain, namun merupakan bagian dari hakekat dirinya. b) Gereja adalah keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak seorang pun dapat dibiarkan tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Kini pada saat yang sama caritasagape berkembang melampaui batas gereja. Perumpamaan mengenai orang Samaria yang murah hati tetap merupakan patokan yang mendorong diwujudkannya kasih universal pada mereka yang membutuhkan, mereka yang ditemukan secara kebetulan4, siapapun dia. Namun tanpa bermaksud mengabaikan perintah cinta universal ini, gereja Katolik juga mengingatkan tugasnya secara khusus: jangan sampai di dalam keluarga Gereja ada orang yang mengalami penderitaan apapun juga. Ajaran dari surat Galatia secara jelas menegaskannya, "Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman"5 II.2 Kritik dan Pandangan Terhadap Kegiatan Filantropi Gereja Katolik tentang Keadilan dan Kasih Sejak abad 19, gugatan ditujukan pada kegiatan karitatif gereja Katolik, sebagai konsekuensi dari berkembangnya klaim khas dari Marxisme: orang miskin tidak membutuhkan kasih, melainkan keadilan. Karya karitatif - derma - tampak menjadi cara bagi orang-orang kaya untuk pada menghindar dari kewajiban mereka untuk berkarya bagi keadilan, dan menjadi sarana untuk menenangkan suara hati orang miskin, sambil tetap 4 5
Bdk Lukas 10:31 Bdk Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia 6:10
8
mempertahankan status mereka dan mengambil hak-hak orang-orang miskin. Lebih daripada terlibat melalui karya-karya kasih individual yang mempertahankan status quo manusia perlu lebih membangun tata sosial yang adil, di mana semua menerima bagian dari harta dunia dan tidak lagi bergantung pada belas kasih. Memang dapat ditemukan beberapa hal yang benar dari argumen ini, akan tetapi juga tidak luput dari kekeliruan. Benar bahwa upaya untuk menegakkan keadilan harus menjadi norma dasar negara dan bahwa tujuan dari tata sosial yang adil adalah untuk menjamin setiap pribadi, sesuai prinsip subsidiaritas, agar mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. Hal ini senantiasa ditekankan oleh ajaran gereja mengenai pemerintahan dan Ajaran Sosial Gereja (ASG). Secara historis, persoalan tata keadilan masyarakat mendapatkan dimensi baru di tengah industrialisasi masyarakat di abad 19. Tumbuhnya industri modern menyebabkan struktur sosial lama runtuh, sementara tumbuhnya kelas pekerja yang bergaji mendorong suatu perubahan radikal dalam struktur masyarakat. Kaitan antara kapital dan pekerja kini menjadi issu penting - persoalan yang semula tidak dikenal. Kapital dan sarana-sarana produksi kini menjadi sumber baru kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang hingga akhirnya mengarah pada penindasan hak kelas pekerja. Inilah sesuatu yang hendak dilawan oleh para aktivis Marxist. Harus diakui bahwa pimpinan Gereja Katolik universal lambat menyadari bahwa persoalan keadilan dinilai membutuhkan suatu pendekatan baru. Akan tetapi ada beberapa pionir yang muncul, seperti misal Uskup Ketteler dari Mainz, Jerman (1877 M), yang turut mendorong muncul dan tumbuhnya berbagai kelompok, asosiasi, liga, dan federasi umat Katolik. Secara khusus, juga bermunculan tarekat-tarekat religius baru yang didirikan di abad 19 untuk melawan kemiskinan, penyakit dan kebutuhan akan pendidikan yang lebih baik. Hirarki Gereja Katolik Universal sendiri baru pada tahun 1891 menjawab situasi dan kondisi jaman antara lain melalui dokumen-dokumen Kepausan. Melalui magisterium kepausan ensiklik Rerum Novarum (Hal-hal Baru) disebarluaskan oleh Paus Leo XIII yang garis besar isinya memuat tentang keadaan kaum buruh.6 Pada tahun 1931 keprihatinan itu diteruskan dengan ensiklik Pius XI, Quadragesimo Anno (Ulang Tahun Ke-40 Rerum Novarum). Di tahun 1961, Beato Yohanes XXIII mengeluarkan ensiklik Mater et Magistra (Ibu dan Guru), sementara Paulus VI pada tahun 1967 mengeluarkan ensiklik Populorum Progressio(Perkembangan Bangsa-bangsa) dan dalam surat apostolis Octogesima Adveniens (Ulang Tahun Ke-80 Rerum Novarum tahun 1971) menanggapi problem sosial yang pada saat 6
F.X Yono Hascaryo Putro. Silih Pantang dan Puasa : Salah satu bentuk religious giving dalam Gereja Katolik, dalam Galang : Jurnal Filantropi dan masyarakat Madani, Vol.1, No.3, PIRAC, Depok, April 2006, hal. 51
9
itu telah menjadi persoalan akut di Dunia Ketiga, terutama di Amerika Latin.7 Paus Yohanes Paulus II juga meninggalkan trilogi ensiklik yang menekankan nuansa sosialitas Katolik lewat Laborem Exercens (Dengan Bekerja) tahun 1981. Dokumen tentang kerja manusia ini melihat keadaan jaman, diantaranya kecederungan manusia sebagai alat produksi dan ancaman perang nuklir. Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial) tahun 1987 tentang meningkatnya jumlah penderita kemiskinan dan akhirnya Centesimus Annus (Ulang tahun Ke-100 Rerum Novarum) tahun 1991. Dokumen yang lahir pada ulang tahun ke-100 Rerum Novarum ini menanggapi keruntuhan komunis internasional dan masyarakat barat yang konsumtif. Menghadapi situasi dan persoalan-persoalan baru, Ajaran Sosial Gereja secara terusmenerus berkembang, dan kini menemukan suatu sajian komprehensifnya dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja yang diterbitkan di tahun 2004 oleh Dewan Kepausan Iustitia et Pax. Dalam situasi kompleks dewasa ini, paling tidak karena berkembangnya globalisasi ekonomi, Ajaran Sosial Gereja menjadi suatu kumpulan penuntun langkah yang secara mendasar memberikan pendekatan yang valid yang melampaui batas Gereja: dalam menghadapi perkembangan yang terus berjalan maka orientasi yang disajikannya perlu digumuli dalam konteks dialog dengan semua orang yang sungguh peduli akan umat manusia dan dunia tempat manusia hidup.8 Untuk dapat merumuskan secara lebih tepat kaitan antara kebutuhan komitmen akan keadilan dan pelayanan kasih, dua situasi mendasar yang dijadikan pertimbangan Gereja Katolik dalam mewujudkan karya karitatif 9 : a) Tata keadilan dalam masyarakat dan negara merupakan tugas tanggungjawab utama politik. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Augustinus, sebuah negara yang tidak dipimpin sesuai dengan keadilan hanya akan menjadi kumpulan para pencuri, "Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia?" . Yang menjadi sesuatu yang fundamental bagi umat Kristiani adalah pembedaan antara apa yang milik kaisar dan
7
Ada banyak dokumen Kepausan yang memberikan perhatian pada dimensi sosialitas kehidupan iman katolik. Namun hanya ada beberapa yang secara tegas menyebutkan tentang peran iman Katolik terhadap dimensi sosioekonomi kehidupan manusia. KAJ sekurang-kurangnya menyebut Gaudium Et Spes (1965) tentang gereja di dunia modern ini. Dokumen ini lahir karena keadaan jaman yang ditandai dengan adanya kelaparan, kemiskinan, dan buta huruf yang masih banyak dialami sebagian besar warga dunia, tentang perang nuklir, ketidakadilan ekonomi, ketergantungan antar-warga dunia, dan tumbuhnya ateisme. Lalu Populorum Progressio (1967), Sollicitudo Rei Socialis, dan Centesimus Annus sebagai dokumen-dokumen dasar keterlibatan umat dalam kehidupan sosio-ekonomi Gereja di masyarakat. Untuk dokumen-dokumen lain dapat dilihat pada : http://www.papalencyclicals.net/ . Tony D. Widiastono (ed), Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman : Refleksi Keuskupan Agung Jakarta, Tim Penyusun Buku Yubileum Mgr. Leo Soekoto S.J, KAJ, 1995, hal.251 8 Tekanan dari penulis 9 Deus Caritas Est, hal. 28-31
10
apa yang milik Tuhan.10 Dengan kata lain, ada pembedaan antara Gereja dan negara atau sebagaimana dinyatakan dalam Konsili Vatikan II, adanya otonomi ruang dunia. Negara tidak dapat mengatur agama, namun harus menjamin adanya kebebasan beragama dan harmoni antar para pemeluk agama-agama yang berbeda. Dari sisinya, Gereja Katolik, sebagai wujud sosial iman Kristiani, memiliki indepedensi sepenuhnya dan hal itu distrukturkan berdasarkan dasar imannya sebagai komunitas yang harus diakui oleh negara. Keduanya berada dalam dua wilayah yang berbeda, namun tetap saling berkaitan satu sama lain. b) Kasih—Caritas—selalu perlu, bahkan dalam masyarakat yang paling adil. Tidak ada tatanan negara yang adil, yang dapat membuat pelayanan kasih berlebihan. Barangsiapa mau menghapus kasih mulai menghapus manusia sebagai manusia. Selalu akan ada penderitaan yang membutuhkan penghiburan dan bantuan. Selalu juga akan ada keadaan kekurangan jasmaniah yang membutuhkan bantuan dalam arti kasih akan sesama yang dihayati. Negara pengurus segalanya, yang mau mengatur segalanya, akhirnya menjadi instansi birokratis yang tak dapat memberikan apa yang hakiki yang diperlukan manusia yang menderita—setiap manusia : perhatian pribadi penuh kasih sayang. Gereja Katolik tak membutuhkan negara yang mengatur dan menguasai segalanya, melainkan negara yang menurut prinsip subsidiaritas dengan murah hati mendukung dan mengakui prakarsa yang muncul dari berbagai kekuatan masyarakat sambil menghubungkan spontanitas dengan kedekatan pada manusia yang membutuhkan bantuan. II. 3 Kedermawanan Sosial Gereja Katolik di Indonesia Gambaran tentang bagaimana dinamika karya karitatif awal gereja Katolik di Indonesia tidak begitu jelas. Namun jika karya karitatif merupakan bagian dari hakikat Gereja Katolik maka bisa disimpulkan bahwa dinamika karya karitatif awal gereja Katolik di Indonesia dimulai sejak misionaris-misionaris Katolik dari Eropa menjejakkan kakinya di Nusantara. Aksi-aksi filantropi gereja Katolik di Indonesia misalnya ditandai dengan berdirinya sekolah bagi perempuan yang idenya diinisiasi oleh Mgr Vrancken selaku Vikaris Apostolik II Batavia dan dikelola oleh suster-suster Ursulin di Batavia sekitar tahun 1856. Contoh lain adalah keikutsertaan para suster Fransiskanes dari Heythyusen dalam mendirikan
10
Bdk Injil Matius 22:21
11
rumah yatim piatu, rumah sakit, dan sekolah di tahun 1870-1879.11 Suster-suster Santo carolus Boromeus (CB) dari Maastricht membuka rumah sakit yang terletak di antara Batavia dan Meester Cornelis dan kini dikenal sebagai RS St. Carolus. Tokoh karya karitatif yang dikenal luas dalam bidang pendidikan dan mengandung unsur penghargaan terhadap pluralisme adalah pastor van Lith, S.J. Sekolah yang didirikannya tidak hanya menerima murid-murid yang sudah beragama Katolik. Pastor van Lith menyadari bahwa pendidikan dan pengajaran bukan hanya dibutuhkan oleh anak yang beragama Katolik, melainkan juga yang non-Katolik.12 Ia juga mendirikan sekolah guru baik untuk yang beragama Katolik maupun non-Katolik. Sebelum terbentuk struktur hirarki Gereja Katolik yang mandiri di Indonesia, aksi-aksi filantropi waktu itu banyak dilakukan oleh para misionaris dari luar Nusantara. Dari kilasan sejarah kedermawanan sosial Katolik di Indonesia terlihat bahwa fokus utama aksiaksi filantropi di masa itu adalah pada bidang pendidikan dan kesehatan. Aksi-aksi filantropi belum berkembang luas di tubuh Gereja Katolik di HindiaBelanda pada masa penjajahan Belanda. Meski Paus Leo XIII telah mengeluarkan Rerum Novarum 1891 yang berisikan anjuran pentingnya batas-batas kekayaan pribadi agar si kayak membantu si miskin dan pemerintah mengusahakan kesejahteraan umum agar didirikan perserikatan buruh dan gaji yang adil, mengakui sahnya hak milik pribadi dimana hak milik pribadi itu bermakna sosial, dan menganjurkan hubungan yang setara antara modal dan kerja. Lalu dilanjutkan oleh
Paus Pius XI yang mendorong perwujudan dan tumbuhnya Aksi
Katolik dalam bentuk organisasi-organisasi umat sebagai upaya implementasi ensiklik Quadragesimo Anno (1931).13 Salah satu hambatan yang waktu itu dirasakan oleh para misionaris dan pelaku-pelaku aksi karitatif adalah persoalan yang menyangkut masalah rivalitas politik penyebaran Protestanisme dan Katolisisme yang beririsan dengan kepentingan ekonomi-politik ketika VOC berkuasa maupun setelahnya. Keadaan penyebaran agama Katolik dan aksi-aksi karitatif itu amat dipengaruhi oleh perang yang berkecamuk antara Belanda dan Portugis serta keterlibatan dua negara tersebut dalam perang-perang lokal, khususnya di wilayah Nusantara bagian Timur. Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen menulis,”orang-orang Portugis (baca : misionaris Katolik) kuat sekali di kepulauan Solor (dan Flores). Dengan senjata-senjata rohani, mereka mampu menarik penduduk daripada kita dengan para prajurit..”14 Masalah itu pula yang menjadi salah satu faktor keterlambatan 11
Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal.27 Anhar Gonggong, Mgr Albertus Soegijapranata S.J : Antara Gereja dan Negara, PT Grasindo, Jakarta, 1993, hal.10-11 13 Berkhof, H & Enklaar, I.H, Sedjarah Geredja, BPK Jakarta, 1962, hal. 288 14 Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal. 15 12
12
pengakuan karena adanya larangan atau hambatan-hambatan yang dikenakan terhadap keberadaan agama Katolik di seluruh wilayah jajahan VOC, termasuk sebagian Indocina dari pemerintah Belanda.15 Masuknya balatentara kerajaan Jepang ke Nusantara juga turut menjadi faktor penghambat pertumbuhan karya dan kehidupan Gereja Katolik di Nusantara.16 Sejumlah tokoh Katolik dan imam ditahan dengan tuduhan penyebaran propaganda anti-Jepang. Misalnya pada 15 Agustus 1943 pastor Djajaseputra, van Kalken, Noyons, Paulus Djojosoemarto dikenakan tuntutan hukuman mati oleh pengadilan militer Jepang di Yogyakarta. Adanya hubungan antara Jepang dengan Vatikan turut menyelamatkan sebagian tokoh-tokoh itu dari hukuman mati. Gereja Katolik Jepang pun turun tangan membantu Gereja Katolik Indonesia dengan mengirim Mgr Yamaguchi dan Mgr A. Ogihara SJ. Bahkan keduanya menentang kebijakan politik Jepang sendiri. Masa-masa Perang Kemerdekaan juga merupakan masa sulit untuk mengembangkan karya karitatif karena kekurangan sumber daya diserap untuk kepentingan perang. Situasi dan kondisi itu juga memunculkan korban-korban dari pihak umat Katolik Indonesia dan para misionaris. Misalnya 8 orang imam Serikat Yesus ditembak mati di Magelang oleh tentaratentara muda Republik Indonesia, dan Pastor Sandjaja dibunuh oleh gerombolan Hisbullah di Muntilan. Situasi semacam itu dijawab oleh tindakan tegas Mgr Wilkens, gereja-gereja dan RS Carolus tidak disita dan tetap dilayani secara bergiliran oleh imam-iman yang tidak masuk kamp interniran. Peran Mgr. Wilkens amat besar tidak saja bagi perkembangan Gereja Katolik Indonesia melainkan juga bagi munculnya inisiatif-inisiatif karya karitatif. Misalnya pada tahun 1943 ia turut memprakarsai pembentukan tarekat relijius bersuasana lokal-Jawa untuk suster-suster bernama Abdi Dalem Sang Kristus (ADSK) yang berkarya di sekolahsekolah dan perawatan orang sakit di desa-desa. Situasi dan kondisi jaman yang demikian merupakan suatu ujian terhadap denyut gerak kedermawanan sosial Gereja Katolik. Meksi tertatih-tatih namun denyut itu terus ada dirasakan pada periode perjalanan Gereja Katolik Indonesia berikutnya. Pada tanggal 26-30 April 1954 para Waligereja se Jawa mengadakan pertemuan di Lawang.17 Di sana diungkapkan keinginan untuk mengadakan konferensi bagi
semua
Waligereja. Sidang itu dapat dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober sampai 2 November 1955 15
http://en.wikipedia.org/wiki/Catholicism_in_Indonesia. diakses tgl. 13 November 2006. 18.18 Bbwi Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal. 38-39 17 Bagian perjalanan hirarki Gereja Katolik Indonesia serta bagian yang menangani aksi karya karitatif ini diambil, kecuali bila disebut lain, dari http://www.kawali.org/profilkwi.html. Diakses tgl 1 November 2006. 10.32AM 16
13
di Bruderan, Surabaya dan dihadiri oleh 22 orang Waligereja (dari 25 orang Waligereja yang ada). Inilah sidang konferensi para uskup dari seluruh Indonesia yang pertama sesudah perang. Salah satu keputusan yang penting ialah bahwa untuk selanjutnya konferensi para Waligereja Indonesia ini dinamakan Majelis Agung Waligereja Indonesia, disingkat MAWI, suatu terjemahan dari Raad van Kerkvoogden. Tanggal inilah dipandang sebagai tanggal berdirinya MAWI dengan ketua pelaksana tugas hariannya adalah Mgr. A. Soegijapranata, S.J. (Uskup Semarang). Untuk memperbaiki pelaksanaan tugasnya, dibentuklah berbagai "Panitia" / PWI (Panitia Waligereja Indonesia) yang berada di bawah payung dan menjadi anggota DEWAP (Dewan Waligereja Indonesia Pusat). DEWAP mengadakan sidang sekali dalam setahun untuk menetapkan langkah-langkah pelayanan iman dan kasih bagi umat serta masyarakat umum. Bidang-bidang pelayanan dibawah PWI itu adalah PWI Sosial, PWI Aksi Katolik dan Kerasulan Awam, PWI Seminari dan Universitas, PWI Pendidikan dan Pengajaran Agama , PWI Katekese Umat dan Penyebaran Iman, PWI Pers dan Propaganda. Dalam sidang di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah (09-16 Mei 1960) para Uskup Indonesia menulis surat kepada Bapa Suci Yohanes XXIII, memohon secara resmi agar beliau meresmikan berdirinya hirarki Gereja di Indonesia. Maka dengan Dekrit "Quod Christus Adorandus" tertanggal 03 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII meresmikan berdirinya Hirarki Gereja di Indonesia. MAWI mengadakan sidang-sidang paripurna pada tahun 1960, 1965, 1968 dan 1970. Pada Sidang tahun 1968 terjadi perubahan-perubahan dalam pembentukan PWI: PWI Universitas dihapuskan dan tugas diambil alih oleh Bagian Pendidikan-KWI. Pada Sidang MAWI tahun 1968 dibentuk Struktur Sekretariat Jenderal yang tercakup antara lain: Bagian Umum, Bagian Pendidikan, dan Bagian Pastoral KWI. Dalam tahun ini pula dibentuk suatu lembaga baru yaitu: Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS). Maka bentuk lembaga baru yang ada didalam MAWI saat itu adalah LPPS-KWI dan LBI-KWI. Pada tahun 1970 tepatnya pada tanggal 3 Desember, dalam sidangnya MAWI membuat suatu keputusan Pedoman Kerja Umat katolik Indonesia. Hal ini dilakukan karena para Uskup Indonesia melihat bahwa dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun, sering timbul persoalan-persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Melalui pedoman tersebut para Uskup ingin memberi petunjuk-petunjuk kepada umat sehingga diharapkan dapat membantu pemecahan masalah yang ada. Salah satu bentuk kontribusi pemecahan masalah pembangunan adalah program Aksi Puasa Pembangunan (APP). Program ini secara melembaga telah dimulai sejak tahun 1970. Meski demikian, dasar-dasar kelembagaan telah dibangun sebelumnya ketika tahun 1955 Mgr 14
Soegijapranata SJ (Uskup Agung Semarang) ditunjuk oleh MAWI menjadi ketua Panitia Sosial Waligereja Indonesia. Program ini muncul sebagai bagian dari upaya pertobatan Gereja. Melalui pembacaan atas “tanda-tanda jaman”, Gereja setiap tahunnya merumuskan arah tobat yang menghasilkan tema-tema gerakan pertobatan. Sehingga, Gereja Katolik di Indonesia betatapun kecil jumlahnya mampu menyumbang gerakan untuk membangun “habitus baru” bagi terwujudnya tujuan bangsa yakni kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga Indonesia.18 Program APP terdiri dari berbagai kegiatan, salah satunya adalah pengumpulan dana yang dipergunakan untuk menunjang rencana-rencana kegiatan sesuai tema gerakan pertobatan yang dipilih tiap tahunnya. Pengumpulan dana itu dipergunakan antara lain untuk melakukan karya-karya karitatif oleh masing-masing keuskupan. Selanjutnya sebagaimana diketahui bahwa sebutan Konferensi Waligereja Indonesia adalah sesuai dengan nama dalam bahasa latin maupun bahasa-bahasa lain di seluruh dunia. Perubahan nama juga bertepatan dengan saat proses penyusunan sebuah statuta KWI yang baru dan diselaraskan dengan Kitab Hukum Kanonik yang baru serta Undang-undang RI No. 8 tahun 1985 mengenai Organisasi Kemasyarakatan. Statuta baru ini disahkan oleh Vatikan pada tanggal 24 April 1992. Sejak tahun 1987, MAWI berganti nama menjadi KWI (Konferensi Waligereja Indonesia / Bishop’s Conference of Indonesia). Dengan konsepsi ‘konferensi’ dari para waligereja maka jelas nampak bahwa KWI bukan merupakan organisasi hirarki komando yang sentralistis seperti dibayangkan melainkan lebih berbentuk federasi yang desentralis. Ada beberapa contoh yang dilakukan Gereja Katolik untuk memasyarakatkan keprihatinan dan keterlibatan sosial.19 Misalnya, tahun 1966 MAWI menghimbau agar para katekis atau guru agama dibekali secukupnya untuk mengintegrasikan ajaran sosial-ekonomi Gereja dalam pengajarannya. Sidang MAWI 1979 mencanangkan perlunya “teologi kerasulan sosial” untuk mengembangkan motivasi peran-serta sosial yangtepat pada umat. MAWI menugaskan Komisi Pengembangan Sosial-Ekonomi (PSE) untuk menyediakan contohcontoh kotbah dan ulasan-ulasan serta mengusulkan penyelenggaraan seminar-lokakarya tentang ajaran sosial Gereja itu. Pembentukan lembaga-lembaga filantropi di luar hirarki Gereja Katolik untuk menyebarluaskan misi solidaritas sosial kristiani turut dirintis. Misalnya saja keberadaan lembaga Institut Sosial Jakarta (ISJ) yang dipimpin oleh Pastor I. Sandyawan Sumardi SJ dibentuk tahun 1974. Lembaga ini pada awalnya bergerak di bidang penelitian sosial. 18 19
F.X Yono Hascaryo Putro, loc.cit, hal. 52-53 Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal. 252
15
Kesadaran akan adanya masalah-masalah baru di masyarakat akhirnya mendorong lembaga ini bertransformasi tidak lagi menjadi lembaga karitatif yang melakukan konsultasi ketenagakerjaan murni tetapi juga terlibat dalam pengorganisasian komunitas basis. Kendati kini telah menjadi sebuah LSM yang tidak berbendera Katolik, ISJ tetap berikhtiar untuk mewujudkan gerakan solidaritas kristiani dalam kegiatan-kegiatannya. Model transformasi bentuk kegiatan dan lembaga semacam itu juga nampak pada beberapa organisasi seperti Lembaga Daya Dharma (LDD) milik Keuskupan Agung Jakarta dan Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS) milik Keuskupan Agung Semarang. Kisah jatuh-bangunnya lembaga sosial milik Gereja juga mewarnai dinamika kedermawanan sosial Katolik di tanah air. Untuk tingkat nasional, salah satu lembaga di tubuh KWI yang menangani penggalangan dan penggunaan dana karitatif adalah Yayasan LPPS-KWI (Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial-KWI). Lembaga ini dinilai telah berjasa menjadi penghubung antara lembaga penyandang dana, seperti Caritas International, dengan mereka yang memerlukannya. Namun lembaga yang berkiprah dalam aksi filantropi sejak tahun 1968 akhirnya dibubarkan melalui Sidang KWI 23-26 April 2002. Dalam sidang yang bertema “Mengembangkan Kredibilitas Gereja/KWI melalui Pelayanan Administrasi Kelembagaan dan Keuangan yang Transparan dan Akuntabel” dilakukan evaluasi atas kinerja LPPS oleh para pengurus lembaga dan pejabat gereja. Setelah mempertimbangkan dalam-dalam dampak negatif kemelut yang sudah bertahun-tahun sekitar transparansi dan akuntabilitas LPPS-KWI bagi kredibilitas Gereja Katolik Indonesia umumnya dan KWI khususnya di hadapan para penyandang dana baik dalam maupun luar negeri, khususnya bagi masyarakat yang dilayani, maka KWI dalam sidang tersebut menerima usulan Badan Pengurus Yayasan Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS) agar lembaga tersebut dibubarkan.20
=================================
20
Pengumuman Komisi Komunikasi Sosial KWI, 28 Juni 2002 pk 16:21 bbwi. Sumber http:www.mirifica.net diakses tgl 22 November 2006 pk.11.15. Lihat pula Suara Pembaharuan, 4 juli 2002 dan Kompas, 6 Juli 2002.
16
Bab III Memberi dari Kekurangan, Memberi dari Kelebihan : Organisasi dan Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Katolik di KAJ dan KAS Gereja Katolik Indonesia mendorong umat untuk terlibat aktif dalam hidup sosial bersama dengan umat agama lain. Dorongan ini merupakan wujud dari tiga bidang hakikat Gereja Katolik universal yaitu pewartaan sabda Allah (kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leitourgia), dan perwujudan pelayanan kasih (diakonia). Ketiga bidang hakikat itulah yang mewarnai berbagai dokumen Gereja Katolik Indonesia setidaknya selama 5 tahun. Sebagai bentuk perwujudan dari semangat semacam kedermawanan sosial selama berabad-abad, Gereja Katolik Indonesia mengintegrasikan aksi kedermawanan sosialnya ke dalam tubuh struktur organisasinya. Struktur organisasi itu dibentuk hingga ke tingkat komunitas umat yang paling bawah. Bidang dalam hirarki yang melakukan tugas pelayanan kasih atau kedermawanan sosial itu disebut dengan Seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi (seksi PSE). Gereja Katolik Indonesia juga mengakui dan mendorong munculnya kelompokkelompok kedermawanan sosial Katolik atas inisiatif umat sendiri yang otonom dari hirarki. Bab ini mendeskripsikan karakteristik pelaku kedermawanan sosial dan potensi apa saja yang dimiliki serta bagaimana potensi-potensi itu didayagunakan oleh kelompok basis (kelompok parokial dan kategorial). Disamping itu penghayatan para pelaku kedermawanan sosial terhadap makna subyektif tindakan yang dilakukan juga tidak dapat diabaikan. Makna subyektif di sini mengacu pada bagaimana peran teologi Kristiani, dimana Injil jadi acuannya, diterjemahkan menjadi praxis religiositas oleh para pelaku kedermawanan sosial. Religiositas mempunyai dua aspek16 yaitu dalam arti luas, religiositas terkait dengan peran dimensi sosiologis dalam mempengaruhi tindakan hidup keagamaan, pembaktian-diri (dedikasi) bagi agama, dan kepercayaan terhadap doktrin-doktrin agama suatu kelompok. Dalam arti sempit, religiositas lebih menekankan pada seberapa relijiuskah seseorang yang beragama alih-alih bagaimana seseorang itu beragama. Beragama disini artinya tindakan yang diarahkan terutama pada pemenuhan kewajiban partikular agama seperti ritual, penggunaan simbolsimbol, dan ortodoksi ajaran agama. Jadi religiositas adalah perasaan dan kesadaran akan hadirnya ikatan hubungan dengan Allah.17 Kehadiran Allah dalam pandangan Kristen nampak pada wajah orang-orang yang miskin, papa, dan tersingkir. Beberapa kelompok kategorial yang diteliti yaitu organisasi Wanita Katolik, Asosiasi Pengusaha Katolik, dan Persatuan Guru Katolik, serta Tim Kesehatan di lima paroki yaitu 16 17
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Religiosity, diakses tgl : 20 September 2006 Agus M.Hardjana. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal.47
17
Paroki Trinitas Cengkareng (wilayah Jakarta Barat), Paroki Philipus Rasul Telukgong (wilayah Jakarta Utara), Paroki Bunda Hati Kudus Kemakmuran-Cideng (wilayah Jakarta Pusat), Paroki St. Anna Duren Sawit (wilayah Jakarta Timur), dan Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu (wilayah Jakarta Selatan). Selain itu sebagai bahan perbandingan, bagian dari hirarki gereja yang turut menangani kegiatan aksi kedermawanan sosial, yaitu seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi (Seksi PSE) di tiap paroki juga akan diuraikan. Untuk wilayah Keuskupan Agung Semarang, kelompok yang dipilih adalah Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang, POSKA (Pos Kasih) Paroki Maria Assumpta Klaten, Karina (Karitas Indonesia) Kidul Loji Yogyakarta yang merupakan sentral aktivitas kordinasi bantuan gempa bagi wilayah Yogya dan Klaten, Karina Pos Klaten serta Pos Wedi. Disamping itu untuk menambah kekayaan informasi, beberapa rohaniwan Katolik yang menjadi pejabat gereja juga diwawancara untuk memperoleh dimensi teologis dari aktivitasaktivitas kedermawanan sosial yang dilakukan oleh umat melalui lembaga-kelompok itu. Tingkat kelompok–kelompok kategorial yang dipilih dari lingkungan KAJ dan KAS adalah tingkat ranting. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa aktivitas kedermawanan sosial yang paling menyentuh komunitas baik Katolik maupun non-Katolik berada di tingkat ini. Titik singgung aktivitas kedermawanan sosial bersama dengan organisasi-organisasi diluar tubuh Gereja Katolik juga bisa dikatakan banyak terjadi pada tingkat ini. Adanya dorongan dan ajakan dari Gereja Katolik Indonesia kepada umat selama 5 tahun terakhir untuk turut memberdayakan komunitas basis juga menjadi dasar bagi dipilihnya kelompok kategorial tingkat ranting. Baik kelompok parokial maupun kategorial oleh Gereja Katolik disebut sebagai komunitas basis.18 Komunitas basis dapat dipahami sebagai "satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok, maupun masalah sosial, dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci".19 Komunitas basis ini diinspirasikan oleh teladan hidup umat Kristen perdana seperti dilukiskan dalam Kitab Suci seperti misalnya Kisah Rasul. Dengan demikian, komunitas basis bukan sekadar istilah atau nama, melainkan Gereja yang hidup bergerak dinamis dalam pergumulan iman. Komunitas basis akan memberi wajah baru hidup menggereja umat yang mampu berbelarasa dengan saudara yang miskin dan
18 19
Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005. Bdk Injil Kisah Para Rasul 2:1-47
18
tertindas. Dengan komunitas basis yang berada di tataran akar rumput, Gereja Katolik tidak akan mengalami 'irelevansi eksternal' atau 'insignifikansi sosial'.20 III.1 Jenis-jenis Organisasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik : Kelompok Parokial dan Kategorial Organisasi aksi kedermawanan sosial yang inheren dalam tubuh hirarki tertinggi Gereja Katolik Indonesia adalah Komisi Pengembangan Sosial-Ekonomi. Berdasarkan hasil Sidang Sinodal KWI yang berakhir 16 November 2006, komisi PSE saat ini diketuai oleh Mgr Petrus Turang dari Keuskupan Agung Kupang. Tugas komisi ini antara lain menampung dan mengalokasikan dana hasil program Aksi Puasa Pembangunan yang tiap tahunnya dilakukan oleh Gereja Katolik Indonesia. Oleh karenanya dalam program APP alokasi dana yang terkumpul tidak seluruhnya disentralisasi ke KWI pusat. Ada komposisi alokasi
21
yaitu
70% dikelola sebagai dana penyertaan kegiatan sosial tingkat keuskupan setempat. Lalu 20% diserahkan ke Solidaritas APP Nasional, dan 10% digunakan untuk dana solidaritas antarkeuskupan. Pengelolaan di tingkat pusat dilakukan oleh Komisi Pengembangan SosialEkonomi/APP KWI (Komisi PSE/APP KWI). Alokasi dana APP yang terkumpul di masingmasing keuskupan dimanfaatkan melalui program Aksi Nyata Paskah (ANP). Melalui program ini aktivitas sosial dan kemasyarakatan diwujudkan dalam kerjasama antara umat Katolik dengan pihak-pihak lain yang berkehendak baik. Kegiatan itu dapat dilakukan oleh paroki-paroki dengan melakukan kegiatan karitatif melalui seksi-seksinya ataupun
oleh
keuskupan
melalui
komisi-komisinya.
Beberapa
bidang
yang
bisa
memanfaatkan dana penyertaan APP yaitu : 1. Aktifitas
pemenuhan
kebutuhan
hidup
seperti
pengembangan
kerjasama kelompok produktif seperti koperasi dan Credit Union. 2. Usaha pengembangan sumber daya manusia seperti kursus-kursus penyadaran dan keterampilan bagi masyarakat, perempuan, dan kaum muda. 3. Usaha pengembangan pelayanan dan sadar hidup sosial seperti pengkajian Ajaran Sosial Gereja, penyadaran membangun solidaritas dan penegakan keadilan sosial, advokasi bagi masyarakat diperlakukan 20 Hasil-hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000 No.10. Pengalokasian ini merupakan cerminan dari struktur organisasi KWI. Lihat Bab II hal.15 di atas 21 F.X Yono Hascaryo Putro, loc.cit., hal.54-55
19
tidak adil, survei penelitian sosial, pendidikan, dan penyebaran informasi melalui media, serta pengembangan komunitas basis. Panduan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan detail bidang-bidang pelayanan kedermawanan sosial. Gereja meminta agar umat di paroki bisa menterjemahkan bidangbidang tersebut sesuai dengan konteks kebutuhan pelayanan masyarakat setempat. Misalnya melakukan pemeriksaan dan pengobatan kesehatan gratis, operasi-operasi ringan, pembagian sembako, dan sebagainya. Pelaksanaan kegiatan di paroki semacam itu juga bisa dikatakan sering bekerja sama dengan organisasi-organisasi profesi (kategorial) Katolik. Di tingkat gereja lokal (parokial), hirarki mempunyai organ terendahnya yaitu dewan paroki yang diketuai oleh seorang awam dengan pastor paroki. Di dalam tubuh dewan paroki ini terdapat bagian yang menangani hakikat gereja yang ketiga tentang pelayanan kasih (diakonia) yaitu seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi. Sebelum dilakukan restrukturisasi organisasi gereja, bagian ini bernama Seksi Sosial Paroki (SSP). Seiring dengan perkembangan-perkembangan baru dinamika umat dan jaman serta untuk menghilangkan kesan “pemberi” maka hirarki mengambil kebijakan untuk mengubah nama bidang kerja tersebut. Gereja Katolik Indonesia tidak lagi hanya menjadi “pemberi” melainkan juga ingin aktif dalam mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi umat maupun lingkungan sekitarnya.22 Sehingga kecenderungan ke depan, seksi ini diharapkan menjadi semacam community organizer bagi segala aktivitas kedermawanan sosial Katolik di tengah masyarakat Indonesia. Seksi PSE merupakan implementator kebijakan aksi kedermawanan sosial keuskupan di tingkat paling bawah. Dalam berbagai program kedermawanan sosial yang dicanangkan oleh hirarki gereja setempat, organ ini bertanggung jawab secara langsung kepada dewan paroki dan secara tidak langsung kepada uskup. Untuk dapat menjangkau para anggota masyarakat baik Katolik maupun non-Katolik, paroki dibantu oleh para ketua wilayah dan lingkungan. Kepengurusan seksi PSE ini dipilih dan diangkat dari para aktivis yang bergerak di tingkat wilayah atau lingkungan. Jadi struktur organisasi hirarki Gereja Katolik di bawah paroki adalah wilayah atau dalam birokrasi pemerintahan semacam Rukun Warga (RW) yang terdiri dari beberapa lingkungan komunitas setingkat RT. Wilayah atau lingkungan inilah yang menjadi ujung tombak hirarki dalam melakukan kegiatan kedermawanan sosial. Seberapa besar peran seksi PSE dalam mengedepankan aksi kedermawanan sosial antara lain 22 Sub-bab “Prinsip-prinsip Perekonomian yang Adil” dan “Prioritas dan Beberapa Langkah Strategis” dalam Nota Pastoral KWI 2006, HABITUS BARU DEMI KESEJAHTERAAN BERSAMA, 18 Nopember 2006 01:47. Sumber : http://mirifica.net/wmview.php
20
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sosial masyarakat sekitar gereja. Melalui observasi ditemui bahwa beberapa seksi PSE paroki yang aktif seperti Philipus Rasul Teluk Gong, Trinitas Cengkareng, dan paroki-paroki di seperti Maria Assumpta dan Santa Maria Bunda Kristus, Wedi Klaten dilingkungi oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kurang mampu.23 Kelompok kategorial merupakan perkumpulan umat Katolik yang bergerak dibidang kedermawanan sosial untuk masyarakat yang lebih luas berdasarkan kekhususan yang dimiliki oleh anggota-anggotanya. Kekhususan tersebut dapat didasarkan pada profesi, bidang keahlian, gender, atau bidang pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan kepada orang jompo, cacat, atau orang-orang terlantar. Jadi disamping membentuk kegiatan kelompok parokial, hirarki Gereja Katolik Indonesia juga mendorong tumbuhnya organisasiorganisasi atau kelompok-kelompok kategorial sehingga diharapkan cakupan pelayanan yang dibidik dapat diakses oleh masyarakat yang lebih luas dari lingkup Gereja Katolik. Secara organisasional, kelompok kategorial yang paling bawah (ranting) biasanya sampai setingkat dengan dan melekat pada paroki serta tidak mencapai tingkat wilayah atau lingkungan umat paling bawah. Untuk menunjukkan variasi bidang dan spektrum pelayanan kedermawanan sosial yang terdapat di lingkungan Gereja Katolik maka tabel kelompok kategorial yang dihimpun KAJ di bawah kiranya dapat memberikan ilustrasi.
23
Ada berbagai macam istilah yang digunakan gereja partikular (keuskupan) untuk menunjuk keberpihakannya pada kelompok yang dapat tidak diuntungkan oleh sistem di masyarakat. Misalnya KAS yang menggunakan “KLMT” (kaum Kecil, Lemah-Miskin, dan Terlantar). Penggunaan istilah itu dapat dikatakan sebagai hasil refleksi dari gereja partikular dalam memandang cakupan dimensi persoalan yang terlibat dalam menghasilkan situasi dan kondisi kehidupan yang dinilai tidak manusiawi.
21
Daftar Kelompok Kategorial Keuskupan Agung Jakarta Berdasarkan Gugus Kelompok ∗ I. GUGUS KESEHATAN
No
Nama
Alamat
1 2 3 4
Badan Koordinasi Karya Kesehatan (BK4AJ) Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) KAJ Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) PUSAT Yayasan Pendidikan Keperawatan Carolus (YPKC)
Jl. Salemba 41, Jakarta 10440 Jl. Salemba 41, Jakarta 10440 Jl. Kramat VII/7, Jakarta 10430 Jl. Salemba 41, Jakarta 10440
II. GUGUS HUKUM
No 1
Nama Yayasan Buruh Membangun up. Bp. Tarmono
Alamat Jl. Surabaya No. 60, Jakarta Pusat
III. GUGUS PENDIDIKAN DAN PEMUDA
No
Nama
Alamat
1 2 3
Abdi Siswa, Yayasan Arena Refleksi Eksekutif (AREK) up. Ibu Pesta ASCORO
4 5 6
Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) Atma Jaya, Yayasan Bhumiksara, Yayasan up. Bp. Nicolas Simanjuntak Biro Remedial Teaching (BRT) CHOICE d/a pasutri Andi/An Kelompok Dosen Keluarga Karyawan Muda Katolik (KKMK) up. Suryanto Margasiswa, Yayasan Melania, Yayasan Pax Romana Persatuan Siswa Siswi Negeri Katolik (PERSINK) PSKI Budhaya Pusat Penelitian Atma Jaya (PPA) KAJ RICCI Perkumpulan Strada NATAN (PUSAT PELAYANAN PSIKOLOGI) Tri Asih, Yayasan Kontak KMKI up. Bp. Osa Hatoyo
Jl. Patra Jaya 1, Duri Kepa, Jakarta Barat Jl. Ragunan 9/P, Ps. Minggu, Jakarta 12520 Jl. Swadaya I/14, Kav BNI 46, Pangkalan Jati, Jakarta Selatan Jl. Jend. Sudirman 51, Jakarta 12930 Jl. Jend. Sudirman 51, Jakarta 12930 Jl. Jend. Sudirman 51, Jakarta 12930
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Jl. Batu Tulis VII/7, Jakarta 10120 Jl. Tanjung No. 31 Tomang, Jakarta 11430 Jl. Katedral 7, Jakarta 10710 Jl. Duri Pulo I/41, Jakarta 10140 Jl. Sam Ratulangi No. 1, Jakarta 10350 Jl. Percetakan Negara 31, Jakarta Pusat Jl. Dr. Semeru I/23, Grogol, Jakarta Barat Jl. Tebet Barat Dalam No. 35, Jakarta 12610 Perumnas Raya Buaran, Duren Sawit Jakarta 13470 Jl. Jend. Sudirman 51, Jakarta 12930 Jl. Kemenangan III/47, Jakarta 11120 Jl. Gunung Sahari 88, Jakarta 10610 Jl. Batu Tulis VII/7, Jakarta 10120 Jl. Karmel Raya No. 2, Kebun Jeruk Jakarta Barat Jl. Puri Bintaro Blok PB VI/4, Bintaro Jaya 9, Jakarta Selatan
∗ Klasifikasi kelompok-kelompok tersebut ke dalam gugus diletakkan dalam kepentingan konsultasi kelompok kategorial dan bukan dalam hal aktivitas kedermawanan sosial. Sumber : http://www.kaj.or.id/ diakses 7 Agustus 2006 pk 23.56 bbwi
22
IV. GUGUS SOSIAL
No
Nama
Alamat
1 2
Bina Swadaya Institut Sosial Jakarta
Jl. Gunung Sahari III/7, Jakarta Pusat Jl. Arus Dalam No. 1, RT/W 001/02, Cawang, Jakarta 13630 Jl. Katedral 5, Jakarta 10710 Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Jakarta 12072 Sindang Laya, Cianjur, Jawa Barat PO. BOX 333 Cip. Ciputat Tangerang 15401
3 4 5 6
Lembaga Daya Dharma KAJ Panti Asuhan Desa Putra Panti Asuhan St. Yoseph Panti Wreda Bina Bhakti
7 8 9
Jl. Rempoa Raya 8, RT/W 002/03, Ciputat 16412 Jl. Pintu Air No. 46, Jakarta Pusat Jl. Katedral 7, Jakarta 10710
10
Panti Wreda Melania Pengabdian Usahawan Katolik (PUKAT) Perhimpunan Penggerak Swadaya Masyarakat (PPSM) Pondok Damai
11
Pondok Si Boncel
12 13 14 15 16 17 18
Proyek Maria Fatima Proyek Sosial Kardinal (PSK) P3S Yayasan Abdisa Seksi Sosial Vicentius (SSV) Vincentius Putra Vincentius Putri Yayasan AMALIA
19 20 21
Yayasan Buruh Membangun Yayasan Satya Murakabri PW Usila St. Anna
Lent. Agung, Ps Minggu PO BOX 7712 JKS LA Jakarta 12610 Jl. Kemenangan III/47, Jakarta Barat Jl. Katedral 5, Jakarta 10710 Jl. Pintu Air No. 46, Jakarta Pusat 10710 d/a Paroki Tj. Priok Jl. Melati No. 1, Jakarta 14230 Jl. Kramat Raya 134, Jakarta 10430 Jl. Otista 76, Jakarta 13330 Jl. Kebon Bawang Raya 1, Tanjung Priok Jakarta 14320 Jl. Surabaya No. 60, Jakarta Pusat Jl. Sumur Batu 6, RT/W 016/070, Jakarta 10640 Teluk Gong Raya, Gg. Mazda, Jl. M No. 40 RT/W 007/09
22
Graha Werda AUSSI Kusuma Lestari
23
Yayasan Patarsih
Jatiwarna RT/W 013/03, Kp. Sawah, Bekasi 17415
Jl. Bandung No. 25, Bukit Cinere Indah, Cinere 16514 Jl. Jatinegara Barat 122, Jakarta 13320
V. GUGUS WARTAWAN / MASS MEDIA
No
Nama
1 2 3 4
Cipta Loka Caraka (CLC) Hidup, Majalah Kompas/Gramedia Lumen 2000
5 6 7 8 9 10 11
Lumen Gentium Majalah Kontak OBOR, Penerbit Sanggar Prativi Seniman Warta Kategorial (WARKAT) UCAN up. Bp. Karl Beru
Alamat Jl. Prof Moh. Yamin 37, Jakarta 10310 Jl. Katedral 5, Jakarta 10710 Jl. Palmerah Selatan 26 - 28, Jakarta 10270 Duta Merlin B 43, Jl. Gajah Mada No. 3-5, Jakarta 10130 Jl. Ciputat Raya 75, Jakarta Selatan Jl. Katedral 7, Jakarta 10710 Jl. Gunung Sahari 91, Jakarta 10610 Jl. Ps. Baru Selatan 23, Jakarta 10710 Jl. Katedral 7, Jakarta 10710 Jl. Katedral 7, Jakarta 10710 Perum Buaran Regency Blok G No. 10
23
VI. GUGUS POLITIK
No
Nama
1
Arena Studi Bersama Generasi Muda (ARMADA) up. Bp. Marsanusi Bimas Katolik Dep. Agama RI Bimas Katolik Kanwil Dep. Agama Centre for Strategic and International Studies (CSIS) d/a Bp. Pranarko PMKRI DPD Jakarta WKRI DPD Jakarta Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Komda Jakarta Up. Toni Sarjono Pemuda Katolik Up. Yuni Hartanto
2 3 4 5 6 7 8
Alamat Jl. Kayu Putih Selatan IIIC/33, Jakarta 13260 Jl. Lap. Banteng Barat 3-4, Jakarta 10710 Jl. DI. Panjaitan No.10 Jakarta 13340 Duren Sawit Blok L III/7, Jakarta Timur Jl. Sam Ratulangi 1, Jakarta 10350 Jl. Cempaka Putih Tengah 14/19A, Jakarta 10510 Jl. Masjid Al Hidayah No. 8, RT/W 005/07, Pejaten, Jakarta 12540 Jl. Pratama IX Blok J/11, Komp. Kemang Pratama Bekasi
VII. GUGUS KELOMPOK GEREJAWI No 1
Nama Presidium BPK-PKK KAJ
2 3 4
EMAUS Gerakan Imam Maria Institut Sekulir ALMA (ALAMA)
5
KARPENA
6 7 8 9 10 11
Kel. Maria Kelompok Maria Fatima Kelompok St. Bernadette Komunitas Putri Sion (SFG) Lansia Mariage Encounter Distrik Jakarta (ME) d/a Pasutri Irwan - Betty Paroki Mahasiswa unit Barat (P. Harijanto, SJ) Paroki Mahasiswa unit Selatan d/a (P. Wegig Wahono) Paroki Mahasiswa unit Timur (P. Pranataseputra, Pr) Paroki Mahasiswa unit Tengah (P. Adrianus Budhi, Msc) PWK St. Monica Seminari Menengah (Sem Men) Senatus Legio Maria
12 13 14 15 16 17 18 19 20
PD. ANTIOKIA up. Pasutri Yeyen - Basuki Persekutuan Doa Usahawan Katolik Indonesia (PERDUKI) up. Bp. Willy
Alamat Komp. Duta Merlin Blok B12-14, Jl. Gajah Mada 3, Jakarta 10130 Jl. Manggarai Selatan I/31, Jakarta 12860 Jl. Prof. Dr. Supomo No. 11A Jakarta 12610 Sinar Pamulang Permai Blok A 12 No. 3, Ciputat 15416 Jl. Prisma III BIV/26, Taman Kedoya Permai, Jakarta 11530 Jl. Bangka Raya 43, Jakarta Selatan Jl. Kemenangan III/47, Jakarta Barat Jl. Ir H. Juanda 164, Bekasi Jl. Bangau IV/15, Jakarta 10610 Jl. Katedral No. 7, Jakarta Jl. Raya Jatinegara Timur 13, Jakarta 13310 Jl. Gelong Baru Utara II/36, Jakarta Barat Jl. Margonda Raya, Tromol Pos 901 Depok 16409 Jl. Cipinang Baru Timur No. 4 Jakarta 13240 Jl. KH. Hasyim Ashari 23, Jakarta 10130 Jl. Lapangan Ros Raya 16, Jakarta Selatan Jl. Pejaten Barat 10A, Ps. Minggu, Jakarta 12550 Jl. Duta Raya No. 5, Tomang Barat Baru, Jakarta Barat Jl. Duta Raya No. 5 Tomang Barat Baru Jakarta Barat Komp. Duta Merlin Blok B12-14, Jl. Gajah Mada 3-5 Jakarta 10130
24
VIII. GUGUS PELAYANAN SOSIAL KARITATIF
No
Nama
Alamat
1 2 3
Kerabat Kerja Ibu Teresa up. Pasutri Tress Soewadji Panti Nugeraha Persekutuan Doa YA
4 5 6 7 8
RS. Atma Jaya RS. Carolus RS. Melania Serviam in Caritate d/a RS. Carolus Sinar Pelangi
9
Yayasan Sosial Lumba-lumba Cilincing Yayasan Sosial Atma Brata
Jl. Alam Elok VIII BA 20, Pondok Indah, Jakarta 12310 Jl. Senayan 26, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Jl. Johar Baru Gg. TT No. 13, Rt/w 007/04, Jakarta 10560 Jl. Pluit Raya No.2 6606128 - 30 Jl. Salemba Raya 41, Jakarta 10440 Jl. Pademangan II Gg. 9 No. 32-34, Jakarta 14410 Jl. Salemba Raya 41, Jakarta 10440 Jl. Kemangsari I RT 001/07 Jati Kramat Bekasi 17421 Jl. Raya Tugu No. 12, Jakarta Utara
10 11
d/a
Paroki
12
Crisis Center for Unwed Mother d/a Susteran Gembala Baik Yayasan Bhakti Luhur
13
St. Lukas/ Pelayanan Kesehatan
Jl. Dr. Sintanala 85. Tangerang PO BOX 166 Tangerang 15001 Jl. Jatinegara Barat 122, Jakarta 13320
15121
Jl. Prapanca Raya No. 30-31, Kebayoran Baru, Jakarta 12160 St. Lukas/ Pelayanan Kesehatan
Prinsip dasar yang digunakan oleh Gereja bagi tumbuhnya kelompok kategorial adalah prinsip subsidiaritas. Prinsip ini secara umum menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan oleh unit yang lebih kecil tidak boleh diambil-alih oleh unit yang lebih besar. Dengan memperhatikan prinsip ini pula Gereja Katolik sebagai institusi sosial tidak boleh mencaplok atau menghambat usaha-usaha umatnya melakukan pelayanan bagi kaum miskin dan lemah menuju kesejahteraan bersama melalui kelompok yang dibentuknya. Prinsip ini juga mendorong unit yang kecil untuk mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan yang mandiri, khususnya secara ekonomi.
24
Jadi, makna terdalam prinsip subsidiaritas adalah bahwa setiap
orang dan setiap kelompok dihargai oleh atasannya maupun kelompok yang lebih besar. Prinsip ini dalam pandangan Gereja Katolik universal berkaitan dengan prinsip keadilan dimana tujuan dari tata sosial yang adil adalah untuk menjamin setiap pribadi agar mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. Dalam kaitannya dengan prinsip keadilan maka Gereja Katolik universal juga mendukung sistem politik (negara) dan sistem ekonomi (bisnis) yang mengakui prinsip subsidiaritas dimana mereka tidak boleh dan tidak dapat mengatur/menguasai segalanya, tetapi mengakui prakarsa yang muncul dari berbagai kekuatan masyarakat. Secara filosofis, prinsip itu merupakan bentuk pengakuan Gereja Katolik terhadap adanya otonomi ruang dunia dimana perbedaan yang terdapat di dunia 24
Nota Pastoral KWI 2006, HABITUS BARU DEMI KESEJAHTERAAN BERSAMA, 18 Nopember 2006 01:47. Sumber : http://mirifica.net/wmview.php
25
dilihat dalam kerangka kesalingterkaitan, bukan pemisahan. Secara politico-historis, prinsip itu merupakan hasil perjalanan sejarah menyangkut pembedaan antara urusan Gereja dan Negara. Lalu secara teologis, prinsip itu berakar pada Injil tentang pembedaan antara apa yang menjadi milik Allah dan milik kaisar. Sebagai bentuk pelayanan keimanan maka Gereja Katolik Indonesia tingkat keuskupan mempunyai badan pendamping untuk kelompok-kelompok ini yang dijabat oleh Vicarius Episcopalis/Pembantu Uskup untuk Pelayanan Kategorial (PEMUKAT). Pada waktu tertentu keuskupan yang menjadi daerah penelitian mengadakan semacam kegiatan sidang untuk mempertemukan berbagai kelompok kategorial yang ada, misalnya Pertemuan Mitra Kategorial—KAJ (PEMIKAT KAJ). Tujuannya antara lain menjadi forum konsultasi antar kelompok kategorial serta membangun jaringan kerjasama. Dengan demikian kegiatan semacam itu secara tidak langsung menunjukkan ciri integratif organisasi Gereja Katolik yang memandang dirinya sebagai satu tubuh (corpus) meski antar bagian memiliki perbedaan fungsi dan ciri khasnya. Pendampingan kelompok kategorial dipandang penting antara lain karena Gereja Katolik Indonesia merasa perlu menyertakan dasar-dasar pertimbangan etis dan menjaga nilai-nilai universal iman Katolik bagi umatnya ketika menekuni profesinya maupun ketika mengedepankan aksi kedermawanan sosial.25 Pada tingkat hirarki organisasi gereja terendah peran itu dilakukan oleh pastor pendamping. Oleh karena itu dalam beberapa kasus di beberapa paroki KAS di Klaten, pihak hirarki Gereja setempat dengan tegas menolak kegiatan kedermawanan sosial oleh sebuah kelompok kategorial yang tidak sesuai dengan dan membawa nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang telah ditegaskan oleh Gereja Katolik. Misalnya penolakan terhadap bantuan dari beberapa kelompok kategorial dari keuskupan lain dalam soal pemberian bantuan bencana alam di Klaten. Kelompok kategorial yang bersangkutan dipandang oleh paroki hendak mengedepankan atributnya sendiri.26 Penolakan serupa juga terjadi pada permohonan dari salah satu kelompok kategorial-pemuda dari Surabaya yang ingin membuka posko tersendiri dalam membantu korban gempa dan merasa tidak perlu bergabung dengan paroki setempat.27 Pada program-program kedermawanan sosial tingkat keuskupan atau nasional seperti Aksi Puasa Pembangunan dan Aksi Peduli Sosial/Hari Pangan Sedunia, kelompok-kelompok kategorial tersebut diminta aktif mengimplementasikan tema program yang telah digariskan. 25
Wawancara pastor paroki Trinitas Cengkareng, G Basir Karimanto OMI, St Anna Duren Sawit, Suryantmo SJ (19 dan 28 Sept 2006), dan Maria Assumpta Klaten, R. Hardiyanto, Pr (8 Oktober 2006) 26 Wawancara pastor paroki Maria Assumpta Klaten dan kelompok POSKA Maria Assumpta (8 Oktober 2005) 27 Wawancara aktivis POSKA Maria Assumpta Klaten (9 Oktober 2005)
26
Lembaga-lembaga itu mempunyai ruang kebebasan yang besar dalam menentukan jenis kegiatan kedermawanan sosial. Pada konteks itu, peran kelompok kategorial adalah sebagai kelompok pendukung (supporting group) program. Peran kordinatifnya dipegang oleh paroki melalui dewan paroki. Sementara diluar momen-momen khusus seperti di atas, kelompokkelompok kategorial bergerak secara mandiri di luar struktur gereja. Garis pertanggungjawaban baik kelompok parokial maupun kategorial dibedakan dari jenis kegiatan yang mereka lakukan. Jika kegiatan kedermawanan sosial dilakukan atas dasar keputusan hirarki seperti APP dan APS maka pertanggungjawaban wajib dilakukan kepada tim kordinasi yang dibentuk pihak keuskupan. Di sini biasanya terjadi kerjasama antara kelompok parokial dan kategorial yang didampingi oleh pastor paroki. Jika kegiatan kedermawanan sosial dilakukan atas dasar inisiatif dari kelompok itu sendiri maka pertanggungjawaban dilakukan terhadap anggota kelompok kategorial tingkat ranting, organisasi kelompok kategorial daerah setingkat propinsi, dan kelompok masyarakat yang dibantu. Para pelaku kedermawanan sosial dari kelompok kategorial seperti Wanita Katolik, Persatuan Guru Katolik, dan Tim Kesehatan di masing-masing paroki mengakui bahwa tidak semua kegiatan kedermawanan sosial yang dilakukan bersama dengan kelompok parokial seperti Seksi PSE berjalan mulus. Mereka merasakan adanya keterbatasan wewenang kelompok kategorial dibanding kelompok parokial. Dalam beberapa kasus paroki di lingkungan KAJ yang diteliti, kelompok parokial merasa lebih berwenang dalam mengedepankan aksi kedermawanan sosial karena kelompok parokial menganggap sebagai organ yang paling resmi dari hirarki Gereja Katolik untuk menjalankan kegiatan kedermawanan sosial.28 Beberapa kelompok kategorial merasakan sulitnya melakukan kompromi dan kordinasi dengan kelompok parokial mulai dari perencanaan kegiatan hingga pendanaan, khususnya ketika harus bekerja sama dalam program kedermawanan sosial tingkat keuskupan. Selain menyangkut masalah wewenang, ketegangan relasi antara kelompok parokial dan kategorial biasanya juga menyangkut masalah pendekatan yang dipilih dalam melakukan pelayanan. Apakah masalah diselesaikan dengan jalan pemberdayaan atau hanya pemberian bantuan cuma-cuma. Jalan keluar yang biasanya ditempuh antara lain menyertakan pastor paroki sebagai moderator/penengah dalam rapat-rapat kordinasi kedua kelompok, lobby
28
Wawancara WK Trinitas (12 Agustus 2006), WK Philipus Rasul (14 Agustus 2006), Persatuan Guru Katolik Philipus Rasul (11 Agustus 2006), dan PSE Philipus Rasul (19 Agustus 2006).
27
informal, dan peran informal leader tokoh-tokoh awam Gereja Katolik di paroki.29 Pastor paroki atau tokoh umat yang disegani bertugas memberi pertimbangan bahwa ketegangan yang terjadi bukanlah suatu kendala melainkan situasi yang harus dilampaui oleh kedua kelompok. Melalui ketegangan itulah kemungkinan-kemungkinan pembaruan baik dalam hal metode maupun bentuk kedermawanan sosial bisa didapatkan. Di sisi lain, ketegangan yang mewarnai kerjasama itu juga merefleksikan belum maksimalnya kemampuan kelompok basis dalam mengelola sumber daya bersama.30 Salah satu alternatif mengatasi kendala organisasional dalam mengelola sumber daya bersama sambil mengurangi resiko tumpang tindih berbagai kegiatan kedermawanan sosial kelompok basis adalah melalui pembentukan semacam badan yang punya wewenang dan kemampuan kordinasi kegiatan kedermawanan sosial di tingkat paroki. Situasi hubungan lembaga yang demikian tidak nampak pada kelompok kategorial dan parokial di lingkungan KAS karena peran pastor paroki yang menekankan pentingnya harmoni kerjasama, terutama dalam konteks membangun komunitas basis pasca-bencana. Disamping itu banyaknya para aktivis LSM, baik beragama Katolik maupun non-katolik, yang mempunyai pengalaman panjang di komunitas turut membantu dan memberi warna bagi dinamika situasi tanggap darurat serta rekonstruksi pasca-bencana di lingkungan KAS. Sehingga meskipun umat atau masyarakat umum belum mempunyai keahlian atau kemampuan manajerial bantuan modern namun mempunyai kemampuan organisasional dalam menjalankan kegiatan pemberian bantuan dan keterampilan dasar mengatasi perbedaan.31 Perbedaan karakteristik potensi kelompok parokial dan kategorial di atas membawa kekuatan dan kelemahan tersendiri. Terbantu oleh susunan organisasi hirarki Gereja Katolik, keberadaan kelompok parokial seperti Seksi PSE dalam mengadakan data primer umat Katolik yang membutuhkan bantuan karitatif sangat membantu ketepatan penentuan sasaran kegiatan. Data-data umat yang layak menerima pelayanan karitatif pun dapat diakses oleh kelompok kategorial. Meski Seksi PSE juga mengadakan kegiatan kedermawanan sosial bagi kelompok masyarakat non-Katolik tetapi keberadaan organ ini, dan lembaga parokial lainnya yang terintegrasi dengan struktur organisasi gereja, mengutamakan pemberian pelayanan untuk kalangan umat Katolik. Boleh dikatakan bahwa mayoritas penerima pelayanan adalah 29
Fungsi ini sejalan dengan perubahan posisi imam dari sebelumnya sebagai gembala umat menjadi ‘teman pendamping perjalanan umat’ dalam membantu karya pastoral Gereja Katolik. Orientasi itu nampak dalam struktur organisasi di tingkat paroki, umat awam-lah yang menjadi ketua dewan paroki dan bukan imam. Catatan FGD Jakarta, 10 September 2006 30 Wawancara Vikjen DIY, J. Pujosumarto Pr. 7 Oktober 2006 31 Wawancara informal Titus Odong (11 Oktober 2006)
28
umat Katolik sebagai anggota gereja setempat. Kelemahan pada organisasi kelompok parokial yaitu adanya kesan pasif dan kurang inisiatif untuk memperluas aktivitas kedermawanannya kepada organisasi massa lain diluar gereja.32 Ada kesan yang kuat bahwa para pengurus lebih cenderung untuk menunggu (pasif) permohonan umat atau masyarakat yang membutuhkan bantuan. Para pengurus Seksi PSE Paroki umumnya mengharapkan keaktifan itu justru pada ketua-ketua atau seksi sosial lingkungan.33 III.2 Potensi, Bentuk, dan Metode Aksi Kedermawanan Sosial III.2.1 Potensi Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial Potensi sumber daya aksi kedermawanan sosial Katolik yang dilakukan baik oleh kelompok parokial maupun kategorial di lingkungan KAJ dan KAS mempunyai perbedaan karakteristik sumber daya. Misalnya dari aspek keuangan, seksi PSE di KAJ dan KAS mendapatkan dan mempunyai alokasi sumber daya yang lebih ajeg dibanding kelompok kategorial. Kedudukannya sebagai bagian dari hirarki Gereja Katolik memungkinkan kelompok parokial ini secara rutin mendapatkan alokasi keuangan institusinya sendiri. Pertanggungjawaban perolehan dana dan pemanfaatan sumber daya kegiatan dilakukan seksi ini kepada dewan paroki dan utamanya diumumkan dalam laporan tahunan. Selain itu media pertanggungjawaban lain yang digunakan adalah warta informasi milik paroki baik dalam bentuk edaran mingguan maupun pemampangan pada papan pengumuman gereja untuk kegiatan yang sedang berjalan. Dari aspek organisasi, paroki mempunyai sumber daya lain yaitu adanya seksi sosial wilayah atau lingkungan--organ terendah seksi PSE--yang dapat dimobilisasi dalam proses pengumpulan dana maupun penyebarluasan pelayanan aksi kedermawanan. Di sisi lain, kelompok kategorial relatif lebih mandiri dalam mendapatkan dana bagi kegiatan kedermawanan sosialnya. Sumber daya finansial pada kelompok kategorial di tingkat ranting umumnya tidak sebesar yang dimiliki oleh kelompok parokial. Namun kekuatan dari kelompok ini adalah daya jangkau kegiatan aksi kedermawanan sosial yang lebih sering menjangkau masyarakat non-Katolik dan bersifat lintas-daerah. Kapasitas yang dimiliki oleh individu anggota kelompok kategorial dalam menjangkau sumber-sumber daya non-finansial namun bernilai secara ekonomis ke organisasi-organisasi masyarakat (jaringan sosial) juga mempunyai peran penting dalam menunjang kegiatan kedermawanan sosial mereka. Sehingga peran pelayanan 32 Wawancara WK Trinitas (12 Agustus 2006), Persatuan Guru Katolik Philipus Rasul (11 Agustus 2006), dan Pastor Paroki Trinitas (5 Agustus 2006). 33 Wawancara WK Trinitas (12 Agustus 2006) dan PSE St Anna (28 September 2006)
29
kepada kelompok masyarakat non-Katolik yang belum dapat terjangkau oleh kelompok parokial diisi oleh kelompok kategorial.34 Oleh karenanya potensi sumber daya yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok seperti Wanita Katolik, Persatuan Guru Katolik, dan Tim Kesehatan adalah perluasan kuantitas dan peningkatan kapasitas tenaga pelayanan. Kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan yang diperuntukkan bagi para anggota merupakan refleksi dari upaya pengembangan tersebut. Untuk sumber daya finansial kelompok-kelompok ini memperolehnya dari para donatur individual, iuran anggota, dan berjualan kudapan usai misa mingguan, berjualan pelengkapan ibadah, dan sejenisnya. Bentuk fund raising yang lain misalnya membuka kedai di sekitar gereja, pasar barang-barang murah untuk kebutuhan menjelang momen-momen khusus seperti HUT kelompok kategorial, Natal, Paskah, dan momen-momen lain yang sejenis. Potensi lain yang digarap kelompok kategorial adalah mengembangkan kerjasama dengan kelompok kategorial sejenis di paroki lain atau kelompok kategorial setingkat dekenat35, atau kelompok organisasi masyarakat sipil diluar Gereja Katolik. Dalam kata lain, pendanaan kelompok kategorial yang tidak kuat mampu ditutupi dengan mendayagunakan social capital seperti tenaga terampil (skill), jaringan kerja individu-individu, dan kerja sama dengan berbagai pihak non-hirarki gereja akan memaksimalkan keterbatasannya. Sebagai ilustrasi digunakan contoh Persatuan Guru Katolik Philipus Rasul Teluk Gong (PGKPR) dimana mereka memaksimalkan pelayanan kedermawana sosial melalui anggotanya sebagai tenaga pendidik untuk pelatihan maupun pendidikan gratis. Pelatihan dan pendidikan gratis adalah wilayah perhatian utama program mereka. Selain sudah memiliki cukup pengalaman sebagai guru, kapasitas tenaga-tenaga PGKPR sudah menguasai materi dan metode fasilitasi pengajaran serta terus berlatih memahami anak-anak, baik beragama Katolik maupun non-Katolik. Kredibilitas dan kapasitas beberapa tenaga-tenaga pendidik itu pun juga sudah dikenal luas oleh masyarakat sekitar. Untuk mencapai tujuan pendidikan, PGKPR juga menyelinginya dengan memberdayakan psikolog anak yang ada di paroki dan Mudika (muda-mudi Katolik) untuk berbagi cerita dan pengalaman dengan peserta didik. Perlengkapan untuk pengajaran biasanya dipinjam dari sekolah-sekolah Katolik terdekat dengan lokasi kegiatan seperti papan tulis, spidol, dan sebagainya. Perlengkapan 34
Catatan FGD Jakarta, 10 September 2006 Dekenat adalah satuan khusus organisasi hirarki Gereja Katolik yang merupakan gabungan paroki-paroki yang berdekatan. Fungsinya adalah untuk memupuk reksa pastoral dalam melakukan kegiatan bersama diantara paroki-paroki yang berdekatan. KAJ menggunakan istilah ini sementara KAS menggunakan istilah Kevikepan. Lihat Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik No.374, No. 553-555. 35
30
pengajaran itu disediakan dan dipinjamkan oleh sekolah Stella Maris Telukgong. Saat ini PGKPR sudah memiliki beberapa perlengkapan untuk pengajaran yang merupakan inventaris kelompok kategorial ini. Perlengkapan-perlengkapan itu merupakan sumbangan paroki dan orang-orang yang peduli dengan karya yang dilakukan oleh persatuan guru tersebut. Dukungan tidak hanya datang dari umat Katolik Paroki Philipus Rasul saja namun juga dari aparat pemerintahan setempat, tokoh masyarakat setempat, hingga ketua lingkungan terdekat. Pembiayaan operasional kegiatan kelompok kategorial ini diperoleh dari beberapa donatur tetap yang menaruh perhatian serta mendukung sepenuhnya kegiatan ini.
Pembiayaan
ditujukan bukan untuk honor melainkan untuk mendukung perlengkapan dan kegiatan pengajaran. Pengecualian terhadap pengelolaan potensi sumber daya yang masih tradisional selalu ada, salah satunya adalah Yayasan Sosial Soegiyapranata Semarang. Lembaga kategorial milik Keuskupan Agung Semarang ini menerapkan mekanisme pencarian dan pengelolaan sumber daya yang modern. Lembaga ini didirikan dari hasil sisa dana pembuatan tutup makam Uskup Soegiyapranata yang meninggal tahun 1963 di Taman Pahlawan. Kelebihan sisa dana pembuatan cungkup (atap)
makam itulah yang kemudian digunakan untuk
mendirikan YSS untuk mengenang jasa Soegiyapranata. Kini lembaga tersebut telah mempunyai donor sebagai mitra kerjanya misalnya Catholic Relief Service (CRS) dan WFP. Untuk menunjang kebutuhan operasional yayasan maka didirikanlah unit ekonomi berorientasi profit berupa balai pengobatan. Saat ini YSS mempunyai 3 balai pengobatan yaitu BP SOEGIJAPRANATA di Ngesrep, di
Palgunadi, Randusari, dan BP
SOEGIJAPRANATA di Randusari. Untuk menjaga kesinambungan pendanaan dan tetap menjaga misi sosialnya, saat ini 1 balai pengobatan masih mensubsidi 2 balai lainnya. Pada awalnya pengelolaan potensi sumber daya itu dilakukan oleh rohaniwan Keuskupan Agung Semarang, namun karena dari kurangnya tenaga rohaniwan untuk melakukan pelayanan pastoral paroki maka uskup KAS menyerahkan pengelolaannya kepada awam. Pertanggungjawaban kegiatan dan transparansi keuangan di lakukan dalam setiap laporan kepada uskup dan donor. Untuk itu dalam setiap program kerja sudah diterapkan sistem manajemen modern. Dari situ para donor dan dewan karya pastoral keuskupan serta umat percaya bahwa dana dikelola dengan sistem administrasi yang tertata rapi.
31
III.2.2 Bentuk Aksi Kedermawanan Sosial Kelompok Parokial dan Kategorial Bentuk aksi kedermawanan sosial kelompok parokial dan kategorial terdiri dari berbagai jenis kegiatan mulai dari kegiatan yang bersifat karitatif hingga pemberdayaan. Berbagai jenis kegiatan yang dilakukan baik oleh kelompok parokial maupun kategorial pada akhirnya mengarah pada satu titik orientasi : gereja sebagai suatu kesatuan umat beriman. Jadi tidaklah mengherankan jika sebagian besar kegiatan yang dilakukan oleh kelompok parokial maupun kategorial dilakukan di sekitar gedung gereja sebagai wujud simbolik kesatuan itu. Termasuk posko bantuan korban bencana alam seperti yang terdapat di kapel stasi Bayat, paroki Santa Maria Bunda Kristus Wedi, kabupaten Klaten. Bentuk-bentuk kegiatan rutin aksi kedermawanan sosial di beberapa paroki KAJ dan KAS berfokus pada bidang kesehatan36 seperti operasi katarak gratis, pemeriksaan kesehatan kandungan (pap smear) ibu-ibu secara berkala, dan akupuntur/akupresure. Bisa dikatakan hampir setiap gereja Katolik di lingkungan KAJ dan sebagian di lingkungan KAS (terutama kota-kota besar) memiliki semacam pusat kegiatan umat. Kalaupun tidak berada di dalam area gedung gereja, pusat kegiatan itu biasanya berada tidak jauh dari gereja. Pelayanan kesehatan umumnya hanya dilakukan selama beberapa hari dalam seminggu yang diumumkan dalam lembaran berita paroki. Jadwal ini dibuat berdasarkan kompromi para pelaku kedermawanan sosial di bidang kesehatan dalam meluangkan waktunya. Ignatius Surya Taruna, Sekretaris Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KAJ, menyatakan 44 dari 57 paroki mempunyai klinik yang menekankan pelayanan kepada kaum miskin tanpa mempedulikan agama. Paroki-paroki itu mengelola klinik dengan bantuan umat yang merupakan dokter atau perawat, dan sejumlah apotek dan toko obat yang di antaranya milik umat Katolik. Markus Leonard Supama, Sekretaris Panitia Peringatan 200 Tahun Gereja Katolik di Jakarta, menegaskan bahwa pemberian pelayanan kesehatan kepada kaum miskin di daerah ibukota merupakan prioritas dari berbagai kegiatan untuk memperingati 200 tahun KAJ. Bagi paroki-paroki yang tidak mempunyai klinik, panitia berjanji akan menyediakan klinik mobil tidak hanya umat paroki tapi juga seluruh masyarakat. Semua kegiatan diadakan tidak hanya di lingkup keuskupan agung tapi juga di lingkup paroki, kelompok kategorial, lembaga-lembaga karya (kesehatan, pendidikan, dsb), dan tarekat/kongregasi. Panitia menekankan bahwa gema peringatan dan kegiatan itu harus benar-benar dirasakan oleh umat di lapisan paling basis (keluarga dan lingkungan), tidak hanya antara pemuka umat, dan 36
Kesehatan dan pendidikan merupakan dua bidang pelayanan ‘tradisional’ aksi kedermawanan sosial Katolik. Lihat bab II di atas.
32
khususnya kaum miskin dan tertindas. Peringatan itu juga bertujuan untuk mendorong umat Katolik agar semakin terlibat dalam semua kegiatan Gereja sehingga kehadiran Gereja di wilayah-wilayah yang termasuk dalam lingkup KAJ menjadi semakin berarti.37 Pelayanan kesehatan bantuan tambahan gizi anak balita pada jangka waktu tertentu tiap bulannya juga rutin dilakukan di posyandu-posyandu sekitar lokasi gereja setempat. Pelaksana penyelenggaraan kegiatan semacam itu biasanya dilakukan oleh kelompok kategorial seperti Wanita Katolik dan Tim Kesehatan bekerja sama dengan pihak kelurahan atau Dinas Kesehatan pemerintah daerah setempat. Disamping pelayanan kesehatan, kegiatan pemberdayaan berupa peningkatan keterampilan umat Katolik seperti kursus-kursus, misalnya pijat refleksi, otomotif, dan menjahit, serta Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga dilakukan di pusat kegiatan itu. Setiap tahunnya Gereja Katolik KAJ dan KAS mempunyai apa yang disebut kalender liturgis yang menandai momen-momen khusus keagamaan, dan kalender karya pastoral sebagai penanda program kerja keuskupan yang mesti dicapai. Pada kegiatan-kegiatan ritual keagamaan (liturgis), kelompok kategorial dilibatkan menjadi bagian kepanitiaan gerejawi. Dalam kerangka kepentingan gereja, mereka umumnya menjalankan perannya sebagai tenaga pendukung (supporting group). Sebagai wujud hakikat bidang tugas gereja dalam sakramen (leitourgia ) dan pelayanan kasih (diakonia), selalu ada pos-pos kesehatan paroki yang didirikan pada hari-hari besar Gereja Katolik misalnya seperti Paskah, Natal, dan Perayaan 200thn KAJ. Dalam kerangka kepentingan masyarakat luas sebagai hakikat tugas pewartaan sabda Allah (kerygma-martyria) dan diakonia, mereka diminta menyelenggarakan kegiatankegiatan amal dan sosial yang diperuntukkan bagi warga masyarakat yang kurang mampu.38 Jika kelompok kategorial pada suatu paroki tidak mempunyai sumber daya yang cukup maka penyelenggaraan kegiatan dapat digabung bersama kelompok kategorial sejenis di tingkat dekenat atau kevikepan. Tanggung jawab kepemimpinan kegiatan kolektif itu ditunjuk secara bergiliran dari kelompok kategorial sejenis tingkat ranting (di paroki). Pelayanan kepada masyarakat luas yang kurang mampu tidak hanya dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan barang dan jasa, tetapi juga kebutuhan rohani. Tercakupnya dimensi kerohanian dalam kegiatan aksi kedermawanan sosial Katolik sebenarnya mau menyatakan bahwa “manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar
37
200 Thn KAJ Prioritaskan Pelayanan Kesehatan, Kamis, 30 Juni 2005. Posted: 1:58:44PM PST. Sumber : http://www.christianpost.co.id/dbase.php?cat=church&id=376. Diakses tgl 10 Agustus 2006. 14.20 bbwi 38 Wawancara WK BHK Kemakmuran (7 Agustus 2006).
33
dari mulut Allah…”39 Oleh karena itu kegiatan seperti kunjungan ke panti jompo, menghibur orang sakit atau keluarga yang mendapat musibah, dan mengunjungi anak-anak cacat, bahkan mengadakan perkawinan massal bagi orang-orang yang belum jelas status perkawinan (kumpul kebo) juga dipandang sebagai salah satu bentuk kedermawanan sosial Katolik.40 Seringkali kegiatan ini cenderung dilakukan oleh organisasi Wanita Katolik di wilayah paroki-paroki yang diteliti. Bentuk kegiatan kedermawanan sosial Katolik yang telah berkembang pesat di keuskupan akan mengerucut pada pembentukan yayasan seperti YSS. YSS saat ini telah memiliki tiga panti Werda yang terdiri dari; Panti Werda Rindang Asih I di Ungaran, Panti Werda Rindang Asih II di Kebon Sawit dan Panti Werda Rindang Asih III di Boja. Selain itu didirikan pula Panti Asuhan Cacat Ganda, yaitu panti asuhan bagi penderita cacat fisik dan mental atau kejiwaan.dan tidak mungkin lagi mempunyai harapan untuk hidup sehat. Untuk pemberdayaan anak, YSS juga mempunyai Rumah Perlindungan Sosial Anak. Saat ini dibina sekitar 150 orang anak jalanan yang akan dientaskan melalui kerjasama dengan Dinas Sosial Pemerintah Kota Semarang. Di rumah itu para anak jalanan disekolahkan41 dan dibina melalui pelatihan ketrampilan-ketrampilan karena pada akhirnya mereka harus dapat hidup mandiri. Beberapa orang mantan anak jalanan yang telah berhasil dibina kini turut menjadi pengelola yayasan tersebut. Pemberdayaan yang dilakukan YSS hanya sebatas pada pengentasan yang artinya jika kelompok-kelompok masyarakat, baik Katolik maupun non-Katolik,
sudah bisa mandiri
dengan bekal ketrampilan dan pendidikan yang diberikan dan kondisi kehidupan lama mereka telah berubah menjadi baik maka itu sudah dianggap sebagai suatu keberhasilan. Misalnya pendampingan dan kredit mikro kepada unit-unit usaha di desa Sekecar Sukorejo dilakukan oleh YSS dengan melakukan forum konsultatif melalui kunjungan. Diskusi-diskusi untuk mencari kendala dan jalan keluar dilakukan melalui metode ini. Jika kendala telah diketahui maka pengembalian dana pinjaman YSS tidak akan dipaksakan harus dibayar tepat pada tanggal jatuh tempo kredit. Dengan kemudahan-kemudahan kredit mikro yang demikian, unitunit usaha kecil yang dikelola beberapa kelompok masyarakat di desa tersebut kini telah berkembang.
39
Bdk Injil Matius 4 : 4, dan Lukas 4 : 4. Wawancara WK BHK Kemakmuran (7 Agustus 2006), WK Trinitas Cengkareng (12 Agustus 2006), dan Philipus Rasul Teluk Gong (14 Agustus 2006). 41 Bahkan ada beberapa mantan anak jalanan yang telah berhasil meraih gelar S1 dan S2 dengan bantuan studi dari YSS dan jaringan kerjanya. 40
34
Bentuk kegiatan kedermawanan sosial oleh Seksi PSE paroki dalam beberapa kegiatan tidak jauh berbeda seperti dilakukan oleh kelompok kategorial. Salah stau perbedaan yang nampak jelas yaitu bahwa seksi paroki ini mempunyai sub-seksi khusus yang menangani program rutin seperti kredit mikro bernama Credit Union atau Perkumpulan Keluarga Katolik Santo Yusuf.
Kredit mikro diberikan kepada umat Katolik baik yang hendak
mengembangkan kegiatan ekonomi rumah tangganya dalam bentuk usaha kecil-menengah atau untuk bidang pendidikan. Kredit ini mengenakan bunga kepada nasabah sekitar 2% per bulannya. Disamping itu kredit ini juga memperbolehkan nasabah meminjam dengan besaran pinjaman 2 kali jumlah nominal tabungan.42 Untuk dapat mengakses kredit ini umat harus menjadi anggota dengan menanamkan simpanan pokok dan sukarela. Seiring dengan diterbitkannya Nota Pastoral KWI November 2006 lalu, hirarki Gereja memberi prioritas perhatian kepada pengembangan gerakan bidang sosio-ekonomi masyarakat dengan memajukan sarana yang sudah ada seperti Credit Union dan bentuk-bentuk koperasi inisiatif umat. Program tersebut diharapkan dapat membawa umat kepada ikatan solidaritas sosial untuk bersama-sama mengembangkan kesejahteraan bagi masyarakat kecil yang tidak dapat mengakses kredit perbankan. Namun perwujudan tujuan itu tidak mengandaikan bahwa keberadaan sarana berupa koperasi semacam itu selalu bersifat positif. Dalam Lokakarya Koperasi Kredit dan Pemberdayaan Komunitas Basis di Wisma Samadi Klender Desember 2006 lalu keberadaan Credit Union dikritisi oleh para pelaku yang terdiri dari utusan berbagai koperasi kredit, Seksi PSE paroki, dan Dewan Paroki se-KAJ. Ketua Komisi PSE KAJ, pastor Ignatius Swasono SJ mengkonstatasikan bahwa saat ini Koperasi Kredit (Credit Union) sedang memasuki masa ketegangan antara dua pemikiran, yaitu member based association dan capital based association atau sosialisme atau kapitalisme.43 Koperasi kredit yang menjadi milik dan tanggung jawab bersama para anggota untuk memupuk semangat solidaritas dan sikap saling tolong menolong dapat terjebak kepada kapitalisme ketimbang sosialisme. Budaya masyarakat yang konsumtif dan instan menjadi faktor berpengaruh. Sehingga alih-alih mengembangkan kerja sama untuk mencapai kesejahteraan, Credit Union lebih mengutamakan pengembangan keuntungan dan kapital melalui kompetisi.
42
Dari wawancara informal dengan salah seorang ibu rumah tangga Katolik yang menjadi anggota CU, besar bunga kredit yang demikian dinilai masih memberatkan. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya strategis untuk mengatasi masalah antara terbukanya aksesibilitas kredit mikro dan rendahnya tingkat bunga kredit kepada nasabah dengan kepentingan pengembangan lembaga kredit mikro ini. Wawancara Aquillina Temuwardhani, paroki St Anna (12 Agustus 2006) 43 Majalah Hidup, No.53, Tahun ke-61, Desember, Gramedia, Jakarta, 2006, hal. 39
35
Program lain Seksi PSE paroki adalah Perkumpulan Keluarga Katolik Santo Yusuf merupakan program kedermawanan yang bertujuan untuk melayani dan meringankan – secara jasmani dan rohani - beban keluarga Katolik yang anggota keluarganya meninggal dunia. Program ini muncul dari adanya pengalaman bahwa keluarga biasanya tidak siap dan bingung baik di dalam pelayanan rohani—dalam bentuk misa jenazah, maupun jasmani—dalam bentuk pelayanan penguburan (peti, ambulan, dan tanah). Melalui program ini keluarga yang anggotanya meninggal dunia mendapat tanah pekuburan kelas III dan mendapat santunan sekitar Rp 300.000. Jika anggota atau keluarga meninggal dunia tidak bersedia dengan penguburan Kelas III, maka pembiayaan penguburan yang melebihi Rp 600.000 ditanggung oleh ahli waris keluarga yang meninggal. Bentuk kegiatan karitatif Seksi PSE yang setahun sekali diprakarsai oleh keuskupan adalah Aksi Peduli Sesama (APS). Program APS (Aksi Peduli Sesama) ini adalah sebuah program nasional rutin tiap tahunnya yang ditujukan bagi masyarakat miskin di sekitar wilayah suatu paroki. Program APS ini diperuntukkan khususnya bagi kelompok masyarakat non-Katolik dan biasanya dilaksanakan menjelang hari raya Idul Fitri. Bentuknya seringkali berupa bazar penjualan sembako murah dan pemberian paket sembako gratis. Dana sisa penjualan sembako murah digunakan menutupi pembelian bahan-bahan natura (beras, susu, gula, mie instant, dan sebagainya) untuk pembagian sembako gratis. APS bukan merupakan program yang dikerjakan hanya oleh Seksi PSE paroki saja. Di lingkungan KAS, program yang bekerja sama dengan WFP ini juga dikerjakan oleh YSS dengan pengelolaan kegiatan yang berbeda. YSS tidak menjualnya dengan harga murah ataupun memberikannya secara gratis melainkan bahan-bahan natura itu disubstitusi oleh penerima dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi komunitasnya misalnya dengan bekerja memperbaiki atau membersihkan infrastruktur komunitas tempat tinggal penerima bantuan. Beberapa program yang dikelola oleh seksi PSE di paroki Santa Anna juga pernah menggunakan metode yang sama seperti dilakukan YSS. Model substitusi bantuan semacam itu ditujukan agar kelompok-kelompok masyarakat yang dibantu tidak memandang bantuan sebagai bentuk belas kasihan lembaga. Disamping itu dengan model yang demikian kelompok masyarakat yang dibantu merasa bahwa harkat dan martabat sosialnya sebagai anggota komunitas diakui. Gagasan ini terkait erat dengan ide bahwa salah satu hakikat manusia dan pengakuan sosial terhadap kemanusiaannya diperoleh lewat bekerja. Sumber inspirasi bentuk kegiatan itu dapat dicari asalnya pada Ajaran Sosial Gereja yaitu ensiklik Paus Yohanes Paulus II tahun 1981 berjudul Laborem Exercens. Beliau memandang bahwa kerja manusia bukan saja berkaitan dengan ekonomi, melainkan juga, dan 36
terutama, dengan seluruh tata-nilai manusiawi. Gereja Katolik Indonesia berpendapat bahwa mengindahkan nilai-nilai itu ternyata akan menguntungkan, juga bagi sistem ekonomi dan proses produksi itu sendiri.44 III.2.3 Metode Penyebarluasan informasi dan Mobilisasi Sumber Daya Aksi Kedermawanan Sosial. Sebelum dilakukan berbagai kegiatan baik program kedermawanan sosial yang muncul dari keuskupan maupun atas inisiatif sendiri, kelompok-kelompok parokial dan kategorial mempersiapkannya dengan menyebarluaskan informasi kegiatan tersebut kepada umat Katolik maupun non-Katolik. Untuk kegiatan yang diperuntukkan bagi umat Katolik, sosialisasi dilakukan melalui pengumuman paroki usai dilakukan misa, papan pengumuman paroki, lembaran warta paroki45, atau pembukaan gerai-gerai informasi di sekitar gedung gereja. Untuk kegiatan bagi non-Katolik, kelompok-kelompok ini menggunakan jalur birokrasi pemerintah terendah seperti kelurahan/kepala desa, RW/Kepala Dusun, atau RT/RK. Penyebarluasan informasi kepada kelompok-kelompok masyarakat yang akan dibantu dinilai penting agar sejak awal tidak menimbulkan pengharapan atau kecurigaan yang berlebihan terhadap kegiatan tersebut. Semua lembaga-lembaga parokial dan kategorial yang ditemui menyatakan bahwa kejelasan tentang maksud dan tujuan program penting untuk disampaikan kepada kelompok masyarakat yang akan dibantu. Selain itu kejelasan identitas keagamaan lembaga dan orang-orang yang terlibat di dalamnya juga dinilai penting untuk menghindari adanya harapan atau kecurigaan/ketakutan yang berlebihan akan Kristenisasi dari kelompok masyarakat yang akan dibantu. Penyebarluasan informasi akan adanya kegiatan bukan hanya ditujukan bagi kelompok yang akan dibantu melainkan juga ditujukan untuk memobilisasi sumber daya dari umat. Sumber daya yang dimobilisasi antara lain meliputi pengumpulan dana ataupun barangbarang lewat kotak-kotak sumbangan yang disediakan untuk kegiatan bersangkutan di sekretariat paroki, penjualan barang-barang untuk kebutuhan liturgi dan sehari-hari umat, serta acara penggalangan dana. Sumber daya yang dimobilisasi tidak selalu dalam bentuk
44
Tony D. Widiastono (ed), op.cit., hal.251 Media umat Katolik paroki ini berbentuk pamflet dan memuat berbagai jenis informasi bagi umat. Informasiinformasi yang diberikan biasanya berisi (1) pesan-pesan pemimpin gereja (pastor atau uskup), (2) jadwal kegiatan keagamaan, (3) pembagian kerja tiap lingkungan dalam pelayanan ibadat, (4) kegiatan-kegiatan karitatif kelompok-kelompok kategorial tingkat paroki, (5) lowongan-lowongan pekerjaan, (6) jadwal kursuskursus, (7) jadwal balai pengobatan paroki, dan (8) laporan hasil dana kolekte minggu sebelumnya. 45
37
uang namun sekurang-kurangnya sumber daya itu dapat ditransformasi sehingga mengandung nilai ekonomis. Mobilisasi sumber daya dari umat juga meliputi tenaga terampil yang sesuai dengan jenis kegiatan dan sifat kegiatan. Mobilisasi tenaga terampil ini diperlukan khususnya untuk jenis-jenis kegiatan yang berbentuk paket dan bersifat joint program seperti misalnya paket program kesehatan ibu dan anak. Program bersama ini dapat melibatkan keikutsertaan ibu-ibu dari Wanita Katolik untuk membagikan barang kebutuhan ibu dan anak, pengurus seksi PSE paroki yang bertugas mengurus birokrasi perijinan kegiatan, dokter, dan perawat, serta asosiasi pengusaha untuk penyediaan barang kebutuhan ibu dan anak.46 Pemilihan kordinator kegiatan diputuskan dari pertemuan antara kelompok-kelompok tersebut bersama dengan pastor paroki. Pertemuan semacam itu juga menetapkan kelompok masyarakat mana yang akan dibantu dan jenis bantuan yang sesuai. Salah satu bentuk penggalangan sumber daya lainnya adalah dengan memanfaatkan jaringan sosial yang dimiliki oleh umat yang berprofesi cukup terpandang di masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat luas, umat Katolik yang beruntung menduduki posisi sosial tertentu seperti dunia bisnis, akademik, dan bidang profesi lainnya juga dapat dimaksimalkan untuk membantu membuka akses atau mencarikan sumber dana kegiatan kepada jaringan yang dimilikinya. Baik jaringan kepada sesama umat Katolik di kelas sosial yang sama maupun jaringannya dengan organisasi-organisasi bisnis. Dengan demikian modal sosial berupa jaringan keanggotaan pada suatu organisasi tertentu seorang umat dapat ditransformasikan bagi kepentingan orang banyak. Bagi pelaku, dengan membantu kegiatan kedermawanan sosial melalui jaringan ia dapat makin mengembangkan kapasitasnya untuk mencapai pemenuhan kepentingan profesional atau usaha dari hubungan sosial yang dibangunnya bersama dengan umat se-profesi. Bagi lembaga parokial atau kategorial yang dibantu keberlanjutan kegiatan kedermawanan sosialnya dapat terus berlangsung sambil terus berupaya memperluas cakupan pelayanannya. Motif yang mendasari keterlibatan pelaku individual untuk membantu penggalangan dana bermacam-macam. Motif-motif itu dapat berupa motif iman seperti misalnya kasih, silih atas dosa47, motif egoisme psikologis seperti motivasi kebanggaan jika pelaku dapat membantu dan menghantarkan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Atau motif
46 Wawancara Tim Kesehatan Trinitas (12 Agustus 2006), Philipus Rasul (14 Agustus 2006), WK Maria Assumpta Klaten (8 Oktober 2006) 47 Wawancara Lucya Hari Patworo (9 Oktober 2006)
38
sosial-kemanusiaan tentang kewajiban sesama umat manusia untuk saling membantu jika dibutuhkan.48 Bentuk penggalangan sumber daya berjaringan seperti di atas bukan metode yang dapat diklaim khas kedermawanan sosial Katolik. Namun kekhasannya terletak pada apa yang mendasari tindakan altruistik para pelaku ketika membantu kegiatan kedermawanan sosial Katolik. Artinya, ciri khusus yang menandai kerelaan pelaku individual untuk membantu kegiatan kelompok parokial atau kategorial terletak pada bagaimana para pelaku berusaha secara sadar mengintegrasikan tindakan dengan nilai-nilai agamanya. Di sini aspek religiositas pelaku turut memainkan peran penting karena religiositas merupakan inti dari agama. Sehingga penghayatan iman dalam kehidupan sosial seseorang yang beragama lebih nampak dibanding kesalehan melakuan ritus atau kewajiban pelaksanaan ajaran agama. Oleh karena itu agar religiositas dapat mewujud maka kontekstualisasi nilai-nilai Kristiani tentang derma perlu diterjemahkan ke dalam sistem sosial-budaya masyarakat setempat. Para pelaku kedermawanan-individual yang ditemui memandang bahwa faktor sosial-budaya masyarakat, motif kemanusiaan, dan motif belas kasih lebih mendasari tindakan pelayanan dibanding motif-motif pemenuhan kewajiban keagamaan. Meskipun begitu mereka menyadari bahwa apa yang dilakukan merupakan suatu bentuk pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab sosial sebagai umat Katolik. Jadi, iman Katolik berfungsi sebagai landasan nilai tindakan sementara budaya berfungsi sebagai wujud kontekstualisasi iman. Ibarat teks dan konteks dimana keduanya bersifat komplementer; bukan merupakan hal yang bertentangan. 49 III.2.4 Proses Pemetaan Kebutuhan Pelayanan Kelompok Masyarakat Ketika melakukan aksi kedermawanan sosial, salah satu aspek penting yang menunjang keberhasilan adalah tepatnya sasaran kelompok masyarakat yang akan dibantu. Ketepatan sasaran aksi tergantung dari tingkat akurasi data penerima bantuan. Untuk menjamin keterjangkauan pelayanan maka data merupakan instrumen yang penting dalam aksi kedermawanan sosial kelompok parokial dan kategorial. Pentingnya data eksplisit, misalnya, ditekankan dalam Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang 2006-2010.50 Dalam nota pastoral itu, data merupakan instrumen yang penting dalam menerapkan perubahan cara berpastoral yang baru dari tradisi kepada opsi. Sehingga, dampak kegiatan kedermawanan 48
Wawancara Titus Odong (11 Oktober 2006) Wawancara Vikjen DIY, J. Pujosumarto Pr. (7 Oktober 2006) 50 Nota Pastoral tentang Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2006-2010, Dewan karya Pastoral KAS, Muntilan, 2006, hal. 43-44. 49
39
sosial dapat diukur apakah sesuai dengan visi dan misi membangun komunitas basis dan dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Salah satu fungsi kerja Seksi PSE paroki adalah mengadakan pendataan baik terhadap kelompok masyarakat yang akan dibantu melalui program-program kedermawanan. Data-data tersebut meliputi data umat Katolik yang tergolong, meminjam istilah dari Keuskupan Agung Semarang, sebagai kelompok kecil-lemah-miskin-tersingkir (KLMT). Data yang ada diperoleh dari perpanjangan tangan Seksi PSE paroki yaitu seksi sosial wilayah dan seksi sosial
lingkungan.
Paroki
kemudian
menampung
data-data
tersebut
dan
mengklasifikasikannya berdasarkan kebutuhan pelayanan yang diminta. Setelah data yang diperoleh dan dikumpulkan kemudian dilakukan uji-silang dengan memeriksanya ke ketuaketua lingkungan yang bersangkutan untuk melihat keadaan yang sesungguhnya (assesment). Selain uji-silang kepada ketua lingkungan, seksi PSE biasanya juga melakukan uji-silang dengan ketua RT/RW setempat. Agar kegiatan berjalan lancar maka kelompok masyarakat yang dibantu harus memilih kordinatornya. Kordinator ini orang setempat (bisa non-Katolik) yang bisa diandalkan untuk menggerakkan sumber daya manusia sekitar dan dilibatkan dalam program kerja kegiatan. Diperlukan seseorang yang mampu berperan sebagai “motor” penggerak bagi yang lain. Figur ini juga harus merupakan orang yang bisa mendapat respek dan simpati di mata para umat gereja. 51 Keberadaan figur penggerak juga dapat turut membantu komunikasi lintas-agamar apabila dalam proses pelaksanaan program muncul prasangka Kristenisasi dari komunitas non-Katolik yang belum mengetahui keberadaan program itu. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kelompok kategorial seringkali juga memanfaatkan data yang dikumpulkan oleh seksi PSE paroki. Untuk kegiatan yang sifatnya pemberdayaan biasanya data diperoleh dari hasil pemetaan oleh kelompok itu sendiri. Misalnya, kelompok Asosiasi Pengusaha Katolik melakukan pemetaan dan pendataan dari database pengusaha ataupun calon pengusaha yang sudah pernah dihimpun dari berbagai kegiatan pelatihan yang sudah dilakukan. Sehingga ketika kegiatan selanjutnya akan diselenggarakan bagi peserta baru maka asosiasi tinggal melakukan kontak yang ada didalam daftar tersebut untuk memberikan usulan peserta yang belum pernah memperoleh pelatihan. Disamping mendata dan membina pengusaha kecil disekitar paroki, kelompok ini juga mendata jumlah pengangguran yang ada di wilayah sekitar paroki. Koordinasi dilakukan dengan pihak pemerintah daerah kecamatan. Walaupun data yang diperoleh tidak selalu
51
Wawancara Seksi PSE BHK (7 Agustus 2006)
40
merupakan data terbaru tapi setidaknya kelompok ini bisa mendapat gambaran jumlah pengangguran yang ada di wilayah-wilayah kerja pelayanannya. Sehingga dari data-data ini mereka dapat memetakan jumlah pengangguran berdasarkan daerah serta sebaran perusahaan yang ada di sana. Dari situ kemudian program-program pelatihan bagi pengangguran dijalankan. Pertukaran data juga dilakukan dengan Ikatan Sarjana Katolik sehingga dapat diketahui besaran jumlah umat Katolik lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Kesemua data ini nantinya digunakan untuk membantu menginformasikan dan menyerap tenaga kerja ke dalam perusahaan tempat anggota asosiasi bekerja. Dari kilasan deskripsi di atas bisa disimpulkan bahwa ketepatan sasaran merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan aksi kedermawanan sosial kelompok parokial maupun kategorial. Dari sisi sumber data, kelompok-kelompok tersebut menjalin kerjasama dengan berbagai institusi termasuk pemerintahan. Cara seperti itu juga dinilai menunjukan niat baik untuk bekerjasama dengan pemerintahan di tingkat lokal, menghormat mereka, sehingga kedepannya hubungan yang baik itu bisa menjadi kerjasama antara gereja dan negara untuk memajukan masyarakat.52 Keterlibatan instansi pemerintah dan lembaga non-Katolik juga membuat kelompok-kelompok Katolik tidak berjalan sendiri melainkan didukung oleh mereka yang bisa menambah kualitas dan kuantitas bantuan yang diberikan. Lewat kerjasama dengan kelompok non-Katolik dalam memetakan kelompok bantuan maka isu Kristenisasi dari setiap karya karitatif yang dilakukan oleh umat Katolik dapat dikikis. III.3 Kesimpulan Umum dan Diskusi Bentuk aktivitas kedermawanan sosial yang dilakukan oleh kelompok parokial dan kategorial pada umumnya didominasi oleh bantuan langsung ke komunitas yang membutuhkan tanpa melalui lembaga-lembaga penyalur bantuan yang sudah cukup banyak dimiliki organisasi pemerintah. Bentuk-bentuk aktivitas yang dominan masih bersifat pure charity (bantuan cuma-cuma) yang diberikan kepada kalangan umat Katolik maupun nonKatolik. Belakangan ini bentuk kegiatan tidak hanya dilakukan dalam bentuk pemberian barang-barang nautra tetapi juga meliputi usaha pengembangan sarana dan prasarana komunitas seperti pembangunan atau perbaikan jalan setapak, balai kesehatan di pemukiman kumuh, dan perbaikan/pengembangan sarana kerja kelompok yang bergerak di bidang pelayanan sosial.
52
Wawancara pastor paroki Trinitas Cengkareng, G. Basir Karimanto OMI (19 September 2006)
41
Kegiatan kelompok parokial dan beberapa kategorial seperti Wanita Katolik dan Asosiasi Pengusaha yang bersifat memberdayakan masih dominan ditujukan bagi anggota atau umat Katolik. Namun kelompok kategorial lainnya seperti Persatuan Guru Katolik dan Yayasan Sosial Soegijapranata sudah merintis upaya pemberdayaan yang mencakup kelompok masyarakat non-Katolik. Perluasan pelayanan kepada kelompok masyarakat nonKatolik sebagai wujud solidaritas sudah sejak lama ditekankan oleh KWI melalui Surat Gembala tentang Keterlibatan Sosial tahun 1991. Ajakan itu menjawab ajakan Paus Yohanes Paulus II yang pada waktu itu mencanangkan tahun 1991 sebagai tahun Ajaran Sosial Gereja. Sehingga Gereja bukan suatu makhluk asing, suatu corpus alienum, bukan sebuah ghetto, tetapi satu kesatuan simbiose-mutualitis dengan bangsa Indonesia.53 Sumber daya kegiatan kedermawanan sosial diperoleh dari berbagai sumber dan cara penggalangan. Sebagai organ gereja yang bertanggungjawab melakukan misi pelayanan kasih (diakonia), kelompok parokial mendapatkan dukungan dana utamanya berasal dari anggaran gereja yang diperoleh dari keuskupan maupun dana kolekte umat. Sementara itu kelompok parokial memperolehnya dari berbagai kegiatan fund raising dan edaran proposal yang ditujukan bagi umat Katolik yang menduduki posisi penting pada sektor-sektor bisnis. Untuk mengumpulkan dana semacam ini mereka dibantu oleh jaringan sosial yang dimiliki oleh para anggotanya. Pada titik ini peran pelaku filantropi individual sangat strategis untuk menunjang keberlanjutan kegiatan kelompok kategorial. Sumber daya lain yang juga tidak kalah penting adalah kekhususan keahlian yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok kategorial. Jika satu kegiatan kedermawanan sosial kelompok kategorial ternyata bersinggungan dengan kelompok kategorial lainnya maka sumber daya keahlian itu dapat saling dipertukarkan (interchangable). Untuk kelompok parokial, aksi kedermawanan sosial yang dilakukan lebih berorientasi pada komunitas di sekitar gereja. Sementara untuk kelompok kategorial, bentuk kedermawanan sosial bisa dapat lebih luas lagi cakupannya karena tidak terikat ketat secara organisasi dengan hirarki gereja setempat. Pemilihan komunitas atau kelompok masyarakat yang menjadi sasaran bantuan biasanya didiskusikan dengan kelompok yang akan dibantu dengan didukung rekomendasi dari beberapa tokoh paroki atau tokoh kategorial. Cakupan geografis kegiatan kedermawanan sosial yang dikerjakan, misalnya oleh paroki Trinitas, telah mencakup komunitas di luar paroki mereka. Bantuan dilakukan dengan terjun langsung ke paroki-paroki Kalimantan dan Sumatera untuk membantu umat di 53
Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap. Indonesianisasi : dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 2005, hal.449
42
pedalaman yang membutuhkan. Pemilihan sasaran paroki didasarkan atas kebutuhan dari paroki terkait dan rekomendasi dari pastor paroki. Untuk kegiatan semacam itu biasanya paroki penerima bantuan adalah paroki-paroki binaan kongregasi imam yang sama dengan paroki pemberi bantuan. Sifat kedermawanan sosial lintas-daerah ini merefleksikan suatu gambaran Gereja Katolik yang terhubung satu sama lain untuk berkarya seturut realitas konkret (networked Church) diantara gereja-gereja lokal.54 Kenyataan ini menjadi bermanfaat bagi Gereja dan umat Katolik sendiri jika tumbuh kebutuhan untuk saling belajar belajar serta berbagi satu sama lain tentang keunikan pengalaman masing-masing dalam berelasi dengan realitas sosial yang ada. Gejala itu menunjukkan bahwa logika komplementer mendasari perjalanan menggereja, pada umumnya, di Asia yang lebih merangkul macam-macam realitas daripada logika eksklusi Barat yang cenderung memisah-misahkan macam-macam realitas. Tidak banyak kelompok parokial dan kategorial yang mengembangkan indikatorindikator khusus sebagai bahan evaluasi dan monitoring untuk menjejaki keberhasilan dan perluasan efek kegiatan. Instrumen evaluasi dan monitoring selama ini masih bersifat intuitif dalam arti melihat reaksi psikologis penerima bantuan. Bantuan diberikan berdasarkan pemetaan kebutuhan yang melibatkan banyak pihak dan proses penilaian kebutuhan melalui obeservasi oleh para ketua lingkungan. Akan tetapi pemetaan kebutuhan yang akurat dan sumber data yang bervariasi tidak mengandaikan kegiatan kedermawanan sosial yang dilakukan oleh kelompok parokial dan kategorial tidak tumpang tindih. Di beberapa paroki sudah ada koordinasi yang baik, tapi masih banyak yang belum terkoordinasi sehingga mereka bergerak sendiri-sendiri, tumpang tindih dan bisa menimbulkan kesan hanya mencari eksistensi kelompok masing-masing. Resiko tumpang tindih kegiatan sedikit banyak masih terjadi misalnya antar kelompok parokial. Ini dikarenakan belum ada mekanisme koordinasi program ke dewan paroki (kalaupun ada sangat minim dan bukan merupakan suatu imperatif) sehingga diperlukan semacam badan yang bersifat kordinatif (kegiatan gereja) di tingkat paroki. Melalui badan ini, transparansi daftar program berbagai kelompok yang ada di bawah naungan Gereja Katolik setempat dapat diketahui oleh umat maupun kelompok-kelompok tersebut. Sehingga adanya transparansi daftar program dapat mendorong munculnya komunikasi intensif diantara sesama pelaku kedermawanan sosial. Bahkan dapat memungkinkan terciptanya keberlanjutan kerjasama yang bersifat strategis dan tertata. ================================= 54
In Nugroho Budisantoso, Pengalaman Otentik Menggereja, dalam Majalah Hidup, No.53, Tahun ke-61, Desember, Gramedia, Jakarta, 2006, hal. 24
43
Bab IV Penutup dan Rekomendasi Aksi Kedermawanan Sosial Katolik
Gereja Katolik Indonesia merupakan sejumlah warga masyarakat Indonesia yang terguyubkan oleh iman akan Allah Bapa, yang diwahyukan melalui Yesus Kristus, Sang Putra, dalam kekuatan Roh KudusNya di bawah pimpinan Uskup Agung Roma. Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan Kedua mengenai Gereja mencatat bahwa orang-orang yang terguyubkan dalam iman kepada Yesus Kristus dipersatukan oleh Daya Ilahi. Akan tetapi terwujudkan dalam tata manusiawi dengan segala pranata dan tatanan serta mengikuti hukumhukum perhimpunan manusiawi juga. Oleh sebab itu perenungan tentang Gereja Indonesia dimulai dengan mengamatamati keadaan manusiawinya. Baru kemudian secara metodis dapat mendalami makna teologisnya. Pendalaman makna teologis itu dapat melalui berbagai jalan dan nilai-nilai yang dipandang baik oleh Gereja Katolik Indonesia. Salah satu jalan itu adalah kedermawanan sosial untuk mengangkat harkat dan martabat keutuhan manusia. Pada usia KAJ yang ke-200 dan 66 tahun KAS, aksi kedermawanan sosial Katolik didorong untuk makin memperluas pelayanannya kepada masyakarat luas. Perluasan itu dipengaruhi oleh faktor teologis seperti diantaranya diajarkan oleh kehidupan bersama gereja perdana dalam Kitab Para Rasul. Kedua, faktor historis Gereja Katolik universal dimana perhatian pada realitas sosial mendapatkan semangatnya kembali sejak dikeluarkan ensiklik Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII tahun 1891, diteruskan oleh paus-paus sesudahnya dan termuat dalam Ajaran Sosial Gereja. Ajaran Sosial Gereja menjadi suatu kumpulan penuntun langkah yang secara mendasar memberikan pendekatan yang valid yang melampaui batas Gereja : dalam menghadapi perkembangan yang terus berjalan maka orientasi yang disajikannya perlu digumuli dalam konteks dialog dengan semua orang yang sungguh peduli akan umat manusia dan dunia tempat manusia hidup. Ketiga, faktor historis Indonesia dimana pelarangan terhadap segala aktivitas misi sejak 1621 oleh VOC dicabut oleh Raja Lodewijk Napoleon pada tanggal 7 Agustus 1806 yang mengumumkan undang-undang kebebasan beragama. Sehingga dinamika pertumbuhan kedermawanan sosial Gereja Katolik di Indonesia dapat berkembang lagi.
Dari situ
kedermawanan sosial Katolik berkembang dan memperoleh identitas lokalnya melalui salah satu contoh yang dilakukan pastor Van Lith SJ dengan mengadakan pendidikan formal berbahasa Jawa, baik bagi umat Katolik maupun non-Katolik di Muntilan. Keempat, faktor budaya dimana proses inkulturasi antara teologi iman Kristiani dengan budaya setempat turut
44
membantu bagaimana penghargaan terhadap pluralitas tidak bertentangan dengan perwujudan hakikat bidang tugas Gereja. Maka bagi gereja Katolik, aktivitas filantropis atau karitas sebagai bagian dari tugas diakonia (pelayanan kasih) bukanlah bentuk pelayanan sosial yang dapat dengan begitu saja dilalaikan demi yang lain, namun merupakan bagian dari hakekat dirinya. Faktor politis yang turut mempengaruhi kedermawanan sosial Katolik universal maupun Indonesia sepanjang sejarahnya juga menjadi perhatian Gereja sehingga para pelaku dapat melakukan pelayanan sesuai dengan religiositas keimanannya. Dasar bagi Gereja Katolik Indonesia dalam memandang dan mengembangkan kedermawanan sosial terkait dengan kondisi sosial-ekonomi kemasyarakatan adalah prinsip subsidiaritas. Prinsip ini secara umum menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan oleh unit yang lebih kecil tidak boleh diambil-alih oleh unit yang lebih besar sehingga unit yang kecil dapat mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan yang mandiri, khususnya secara ekonomi. Jadi, makna terdalam prinsip subsidiaritas adalah bahwa setiap orang dan setiap kelompok dihargai oleh atasannya maupun kelompok yang lebih besar. Prinsip ini dalam pandangan Gereja Katolik universal berkaitan dengan prinsip keadilan dimana tujuan dari tata sosial yang adil adalah untuk menjamin setiap pribadi agar mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. IV.1 Hasil Tinjauan Awal Aksi Kedermawanan Sosial Katolik Berbagai dokumen yang diterbitkan Gereja Katolik Indonesia menyebutkan pentingnya peran umat dalam mengembangkan pelayanan kedermawanan sosial. Penekanan ini dilatarbelakangi oleh beban reksa pastoral jika hanya mengandalkan para rohaniwan/wati dalam melakukan pelayanan karena perbandingan antara jumlah rohaniwan/wati dengan jumlah umat selalu terdapat diskrepansi. Oleh karena itu Gereja Katolik Indonesia mendorong tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok pelayanan kedermawanan sosial dari umat. Kelompok-kelompok pelayanan Gereja Katolik Indonesia terdiri dari kelompok parokial dan kelompok kategorial yang tercakup dalam istilah kelompok basis. Komunitas basis dapat dipahami sebagai "satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok, maupun masalah sosial, dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci" Kelompok parokial terintegrasi ke dalam struktur organisasi gereja setempat yang disebut dengan Komisi atau Seksi Pengembangan Sosial-Ekonomi. Sebelum dilakukan restrukturisasi organisasi Gereja Katolik Indonesia, bagian ini bernama Seksi Sosial Paroki 45
(SSP). Perubahan itu berkenaan dengan ingin dihilangkan kesan “pemberi”. Gereja Katolik Indonesia tidak lagi hanya menjadi “pemberi” melainkan juga ingin aktif dalam mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi umat maupun lingkungan sekitarnya. Seksi PSE merupakan implementator kebijakan aksi kedermawanan sosial keuskupan di tingkat paling bawah. Untuk dapat menjangkau para anggota masyarakat baik Katolik maupun non-Katolik, paroki dibantu oleh para ketua wilayah dan lingkungan. Kepengurusan seksi PSE ini dipilih dan diangkat dari para pengurus di tingkat wilayah atau lingkungan suatu paroki. Kelompok kategorial merupakan perkumpulan umat Katolik yang bergerak dibidang kedermawanan sosial untuk masyarakat yang lebih luas berdasarkan kekhususan para anggotanya. Kekhususan tersebut dapat didasarkan pada profesi, bidang keahlian, gender, atau bidang pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan kepada orang jompo, cacat, atau orang-orang terlantar. Organisasi ini mempunyai otonomi relatif dari hirarki Gereja Katolik setempat namun demikian tetap memperoleh pendampingan (bukan pengawasan) dari keuskupan. Pendampingan ditujukan agar umat selalu memperhatikan pertimbangan etis dan nilai-nilai universal iman Katolik dalam berkarya di masyarakat, termasuk ketika melakukan kegiatan kedermawanan sosial. Pada kegiatan kedermawanan sosial tingkat keuskupan atau nasional, kelompok parokial dan kategorial diajak untuk aktif mengimplementasikan tema program yang telah digariskan. Keduanya membagi peran baik sebagai kelompok pendukung (supporting group) ataupun sebagai kordinator kegiatan dengan pengawasan oleh dewan paroki. Sementara diluar momen-momen khusus seperti disebutkan, kelompok-kelompok kategorial bergerak secara mandiri di luar struktur gereja. Relasi antar kedua kelompok tidak selalu harmonis namun juga terkadang disertai dengan ketegangan hubungan. Ketegangan itu mungkin terjadi jika aksi kedermawanan sosial menyangkut tentang pilihan metode pelayanan antara pemberian bantuan cuma-cuma atau pemberdayaan, bentuk kegiatan yang tepat bagi masyarakat, dan batas-batas kewenangan masing-masing kelompok. Melalui ketegangan itulah kemungkinan-kemungkinan pembaruan baik dalam hal metode maupun bentuk kedermawanan sosial bisa didapatkan. Di sisi lain, ketegangan yang mewarnai kerjasama itu juga merefleksikan belum maksimalnya kemampuan kelompok basis dalam mengelola sumber daya bersama. Aksi kedermawanan sosial Katolik kelompok parokial maupun kategorial di lingkungan KAJ dan KAS mempunyai perbedaan. Dari segi potensi sumber dayanya, pertama seksi PSE di KAJ dan KAS mendapatkan dan mempunyai alokasi finansial yang lebih ajeg dibanding kelompok kategorial. Namun kekuatan dari kelompok kategorial adalah kapasitas 46
social capital dan keahlian yang dimiliki oleh individu anggota kelompok kategorial dalam menjangkau sumber-sumber daya non-finansial namun bernilai secara ekonomis di berbagai organisasi masyarakat melalui jaringan sosial. Kedua, aspek organisasi, PSE paroki mempunyai seksi sosial wilayah atau lingkungan--organ terendah seksi PSE--yang dapat dimobilisasi dalam proses pengumpulan dana maupun penyebarluasan pelayanan aksi kedermawanan. Sementara kelompok kategorial sampai pada tingkatan paroki, tidak sampai tingkat wilayah atau lingkungan. Dari segi bentuk kegiatan tidak nampak perbedaan yang tegas antara kelompok parokial dan kategorial. Keduanya melakukan berbagai jenis kegiatan mulai dari kegiatan yang bersifat karitatif hingga pemberdayaan. Kegiatan karitatif yang dominan dan rutin biasanya berupa pelayanan kesehatan gratis serta pembagian barang-barang natura untuk kebutuhan hidup. Sementara kegiatan atau program pemberdayaan umumnya lebih sering dan dominan dilakukan oleh kelompok kategorial, khususnya dari kelompok profesi. Namun satu hal yang berbeda yaitu Seksi PSE Paroki mempunyai program kredit mikro dan santunan kematian bagi umat sementara kelompok kategorial tidak mempunyai program semacam itu. Pada hasil sidang Sinodal KWI November 2006 lalu diputuskan bahwa kondisi masalah sosio-ekonomi bangsa mendorong Gereja Katolik Indonesia untuk memberi tanggapan pastoralnya dengan mencanangkan betapa penting Gerakan Sosio-Ekonomi dilakukan oleh segenap umat Katolik. Hasil sidang itu memandang bahwa Credit Union merupakan salah satu sarana yang dinilai dapat memajukan perekonomian rakyat secara luas. Bentuk kegiatan karitatif Seksi PSE yang setahun sekali diprakarsai oleh keuskupan adalah Aksi Peduli Sesama (APS). Pelaksanaan program karitatif ini dilakukan seiring dengan Hari Pangan Sedunia. APS bukan merupakan program yang dikerjakan hanya oleh Seksi PSE paroki saja tetapi juga oleh yayasan-yayasan yang didirikan oleh keuskupan seperti Lembaga Daya Dharma milik KAJ dan Yayasan Sosial Soegijapranata milik KAS. Sebelum melakukan pelayanan kepada masyarakat umum, sosialisasi atas program merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan kedermawanan sosial Katolik. Sosialiasi internal dilakukan untuk memobilisasi sumber daya umat yang mau terlibat dalam program. Sosialisasi eksternal dimaksudkan untuk menghimpun kelompok-kelompok atau komunitaskomunitas yang dituju untuk bersama-sama melaksanakan program. Program dikatakan berhasil jika aksi kedermawanan sosial itu tidak menemui resistensi yang berarti dari komunitas yang dituju, adanya partisipasi kerja bersama dari kedua belah pihak, dan dihargainya posisi iman dan kemanusiaan masing-masing pihak.
47
Umat Katolik di KAJ yang terlibat di dalam aksi kedermawanan sosial bisa dikatakan merupakan bagian dari kelompok masyarakat kelas menengah perkotaan. Ciri sosiologis ini sedikit banyak turut mempengaruhi bentuk dan metode aksi kedermawanan sosial. Kesibukan sehari-hari umat membuat mereka tidak banyak turut terlibat dalam tiap aksi sehingga hanya orang-orang yang itu-itu saja yang aktif. Posisi sosial pengurus lembaga di gereja yang ditemui kebanyakan terdiri dari orang-orang yang secara ekonomi berkecukupan. Ada semacam perasaan bahwa kegiatan karitatif saja sudah cukup karena sudah merasa memberi dari kelebihan yang dimilikinya alih-alih melakukan program pemberdayaan strategis yang berkelanjutan. Situasi di atas cukup berbeda dengan yang nampak di lingkungan KAS, terutama pasca-gempa Jogja-Klaten. Proses tanggap bencana dan rehabilitasi mendorong umat untuk terlibat aktif di lingkungan sekitarnya. Banyak laporan yang menyebutkan tindakan-tindakan altruistik umat yang mengabaikan kepentingannya sendiri demi membantu korban bencana. Umat Katolik yang menjadi korban bencana alam merasakan dan berefleksi bahwa tempat dimana orang hidup berdekatan dengan penderitaan kematian bisa melantunkan banyak teladan tentang solidaritas, cinta, dan harapan. Bencana dinilai telah mendidik mereka untuk lebih menaruh perhatian kepada lingkungan sekitar sambil bahu membahu menata kembali kehidupan sosial dan imannya. Di sini para korban bukan tidak dapat menjadi pelaku kedermawanan sosial melainkan juga dapat memberi dari kekurangan yang dimiliki. Faktor lain penentu keberhasilan kedermawanan sosial Katolik adalah kapasitas pendataan komunitas penerima pelayanan yang tertata. Di kelompok parokial, fungsi pendataan itu dijalankan oleh Seksi PSE dibantu oleh para ketua wilayah dan lingkungan. Data-data kemudian ditampung di paroki dan diklasifikasi berdasarkan kebutuhan pelayanan yang diminta. Data yang diperoleh kemudian diuji-silang dengan memeriksa ke ketua-ketua lingkungan yang bersangkutan untuk melihat keadaan yang sesungguhnya (assesment). Selain uji-silang kepada ketua lingkungan, seksi PSE biasanya juga melakukan uji-silang dengan ketua RT/RW setempat. Kelompok kategorial seringkali juga memanfaatkan data yang dikumpulkan oleh seksi PSE paroki. Namun untuk kegiatan kedermawanan yang khas kelompok seperti pemberdayaan biasanya data diperoleh dari hasil pemetaan oleh kelompok itu sendiri. Disamping itu, kerja sama juga dijalin oleh kedua kelompok ini dengan organisasiorganisasi lain seperti pemerintahan setempat. Cara seperti itu dinilai menunjukan niat baik bekerjasama dan menghormati keberadaan pemerintahan di tingkat lokal, sehingga kedepannya hubungan yang baik itu bisa menjadi kerjasama antara gereja dan negara untuk memajukan masyarakat. 48
IV. 2 Refleksi Kedermawanan Sosial Katolik Uskup KAJ terdahulu, Mgr Leo Soekoto SJ dalam Buku Panduan Pelayanan Sosial Umat Paroki KAJ tertanggal 11 April 1993, menyatakan bahwa hasil pembangunan harus bisa dinikmati secara merata oleh segenap masyarakat, khususnya bagi orang miskin-tersingkir. Yang menjadi pedoman bagi kedermawanan sosial Katolik yaitu penggunaan hak milik bukan hanya kepentingan pribadi pemiliknya melainkan juga kepentingan sosial masyarakat. Beliau memandang bahwa hal itu merupakan hak asasi dan bukan hanya berdasarkan belas kasihan penguasa atau orang-orang kaya. Sehingga kemakmuran harus diimbangi dengan keadilan sosial-ekonomi, politik, hukum, dan budaya untuk mencegah timbulnya konflik sosial. Bahwa apa yang sudah dilakukan oleh para pelaku kedermawanan sosial Katolik untuk melayani sesama kiranya bisa dikatakan sudah memadai. Namun hal itu belumlah bisa dikatakan mencukupi karena tantangan hidup menggereja di tengah arus globalisasi ekonomi saat ini makin nampak jelas dengan ditandai oleh melebarnya jurang kesenjangan ekonomi, kekerasan global, dan intoleransi antar umat beragama. Pengembangan kegiatan kedermawanan sosial Katolik harus bisa dimunculkan dari fakta bahwa para pelaku bergandengan tangan dengan semua unsur masyarakat yang mau meningkatkan martabat sesama manusia. Imperatif yang sama juga diingatkan dalam ensiklik Paus Benediktus XVI Deus Caritas Est55 dimana kasih akan sesama yang dipratekkan (dalam kedermawanan sosial.pen) tak boleh menjadi alat untuk apa yang dewasa ini disebut dengan proselitisme.56 Beliau menyatakan bahwa kasih itu cuma-cuma; ia tak dilakukan untuk mencapai tujuan lain. Barangsiapa bekerja secara karitatif atas nama Gereja, tak akan pernah mencoba memaksakan iman Gereja kepada orang lain. Dengan demikian dapat ditegaskan : Kristus itu relevan bagi masyarakat Indonesia bukan karena banyaknya orang yang belum dibaptis, melainkan karena kondisi kemiskinan, kekerasan, dan intoleransi di atas dialami oleh sebagian besar warga masyarakat. Gereja Katolik akan hancur jika tantangan jaman tidak dijawab secara memuaskan, juga jika tantang itu dijawab setengah-setengah dengan mendahulukan umat Katolik dalam pelayanan sosial.
55
Deus Caritas Est, loc.cit, hal.36 Dalam Merriam-Webster’s Unabridge Dictionary 2000 version 2.5, proselitisme berasal dari ‘proselyte’ yang artinya : to convert from one religion, belief, opinion, or party to another, dan proselitism : the act of becoming or condition of being a proselyte. 56
49
IV.3 Rekomendasi Aksi Setelah melihat paparan dalam tinjauan awal dibagian sebelumnya dan melihat gambaran kekuatan dan kelemahan aksi kedermawanan sosial Gereja Katolik di dua keuskupan maka penelitian ini hendak mengajukan beberapa usulan. Usulan yang dikemukakan di sini yaitu : 1. Perlunya diadakan kegiatan peningkatan kapasitas bagi lembaga kedermawanan sosial tingkat parokial dan kategorial dalam bentuk, misalnya,
pengorganisasian,
pelatihan
fund
raising
dan
pengkombinasian sumber daya, monitoring dan evaluasi kegiatan. Kegiatan tersebut dapat bekerja sama dengan pihak keuskupan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang spesialisasinya sesuai dengan kebutuhan jenis pelatihan tersebut. Keterlibatan pihak keuskupan dirasakan penting sehingga nilai-nilai universal iman Kristiani yang mendasari tetap dapat terefleksikan dalam kegiatan. 2. Sebagai
bentuk
tindak
lanjut
maka
kelompok-kelompok
kedermawanan sosial yang telah dilatih perlu didorong untuk membuat
kegiatan
bersama
baik
sesama
kelompok
parokial/kategorial maupun antara kelompok parokial di satu wilayah dengan kategorial. Sehingga melalui praktek dapat segera diketahui letak kekuatan dan kelemahan pelatihan yang sudah diselenggarakan. 3. Pada tingkat keuskupan, kelompok-kelompok kedermawanan sosial setidaknya perlu didorong untuk membuat semacam jaringan kerja kedermawanan
lintas-agama.
Kegiatan
ini
diusulkan
untuk
mengikis parokialisme yang mengutamakan eksistensi kelompok dibanding kuantitas dan kualitas pelayanan. Disamping itu pembelajaran tentang berbagai metode kedermawanan sosial yang dikerjakan
oleh
masing-masing
kelompok
dapat
saling
dipertukarkan dalam forum dialog konsultatif. 4. Untuk tingkatan paroki, usulan tentang pembentukan semacam badan kordinasi program kedermawanan sosial juga layak dipertimbangkan. Tumpang tindih berbagai kegiatan kedermawanan 50
sosial
yang dilakukan baik oleh kelompok parokial maupun
kategorial dapat dialihkan ke dalam bentuk kegiatan kedermawanan lainnya. Berbagai rekomendasi aksi tersebut diajukan dengan harapan bahwa pembelajaran dan penyebarluasan aksi kedermawanan sosial dapat makin kontekstual dengan tantangan serta kebutuhan yang dihadapi. Dari deskripsi temuan-temuan sementara di atas bisa dikatakan bahwa penataan terus menerus aksi kedermawanan sosial akan menumbuhkembangkan potensi solidaritas sosial umat dalam menjawab tantangan hidup menggereja di abad ke-21. =================================
51
Daftar Bacaan 1. Agus M.Hardjana. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, Kanisius, Yogyakarta, 2005 2. Anhar Gonggong, Mgr Albertus Soegijapranata S.J : Antara Gereja dan Negara, PT Grasindo, Jakarta, 1993 3. Berkhof, H & Enklaar, I.H, Sedjarah Geredja, BPK, Jakarta, 1962 4. Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap. Indonesianisasi : dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2005 5. Ensiklik Paus Benediktus XVI 25 Desember 2005, Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, April 2006 6. Galang : Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani, Vol.1, No.3, PIRAC, Depok, April 2006 7. Hasil-hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000, Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 8. Kompas, 6 Juli 2002. 9. Majalah Hidup, No.53, Tahun ke-61, Desember, Gramedia, Jakarta, 2006 10. Nota Pastoral KWI 18 November, Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama, Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 2006 11. Nota Pastoral tentang Arah dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2006-2010, Baruilah Seluruh Muka Bumi, Dewan Karya Pastoral KAS, Muntilan, 2006. 12. Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005. 13. Suara Pembaharuan, 4 Juli 2002 14. Tim LPMPS, Metode Penelitian Sosial, Departemen Sosiologi FISIP UI, Depok, 2001 15. Tony D. Widiastono (ed), Gereja Katolik Indonesia Mengarungi Zaman : Refleksi Keuskupan Agung Jakarta, Tim Penyusun Buku Yubileum Mgr. Leo Soekoto S.J, KAJ, 1995
52