PROGRAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS PADA TOPIK LAJU REAKSI UNTUK SISWA SMA I Wayan Redhana dan Liliasari*) Abstract: The study aimed at investigating the effect of critical thinking skill teaching program to improve students’ thinking skills in topic of reaction rate. Quasi-experimental design applied on the study by using control group pretest-posttest design. The study involved 109 students in control group and 106 students in experimental group from senior high school with high, medium, and low category, respectively. On the experimental group were applied critical thinking skill teaching program and regular teaching program applied on control group. Percentage of student n-gain in each group was calculated and analyzed by using inferential statistics at significance level 5%. The findings of the study showed that critical thinking skill teaching program could improve students’ critical thinking skills. The program was very effective for students with medium and low academic skill. However, the program was less effective for students with high academic skill. Improving students’ critical thinking skills did not occur in all indicators and concepts of reaction rate. Meanwhile, teachers and students responded the program positively. Keywords: critical thinking skill teaching program, reaction rate
Akhir-akhir ini, keterampilan berpikir kritis mempunyai peranan yang sangat strategis dalam bidang pendidikan. Menurut Elam (McTighe & Schollenberger, 1991), keterampilan berpikir kritis telah menjadi tujuan pendidikan tertinggi. Sementara itu, Candy (Phillips & Bond, 2004) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu tujuan yang paling penting dalam semua sektor pendidikan. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran sudah seharusnya bergeser dari pembelajaran konvensional yang menekankan pada keterampilan berpikir tingkat rendah ke arah pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran keterampilan berpikir tingkat tinggi, terutama keterampilan berpikir kritis (Tsapartis & Zoller, 2003; Lubezky, dkk, 2004). Berkaitan dengan perubahan paradigma pembelajaran di atas, Rutherford & Ahlgren (1990) menyatakan bahwa pendidikan IPA, termasuk di dalamnya pendidikan kimia, seharusnya membantu siswa mengembangkan pemahaman dan kebiasaan berpikir untuk menghadapi kehidupan ke depan. Sehubungan dengan itu, Rutherford & Ahlgren menyatakan: “Students should be given problems–at levels appropriate to their maturity–that require them to decide what evidence is relevant and to offer their own interpretations of what the evidence means. This puts a premium, just as science does, on
careful observation and thoughtful analysis. Students need guidance, encouragement, and practice in collecting, sorting, and analyzing evidence, and in building arguments based on it. However, if such activities are not to be destructively boring, they must lead to some intellectually satisfying payoff that students care about”.
Keterampilan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir bagi seseorang dalam membuat keputusan yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab yang mempengaruhi hidup seseorang. Keterampilan berpikir kritis juga merupakan inkuiri kritis sehingga seorang yang berpikir kritis akan menyelidiki masalah, mengajukan pertanyaan, mengajukan jawaban baru yang menantang status quo, menemukan informasi baru, dan menentang dogma dan dokrin (Schafersman, 1991). Sementara itu, Lipman (2003) mengungkapkan bahwa keterampilan berpikir kritis sangat penting dimiliki agar kita dapat mengindarkan diri dari penipuan, indokrinasi, dan pencucian otak (mindwashing). Pembelajaran yang tidak menekankan pada upaya pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (keterampilan berpikir kritis) cenderung mengkondisikan siswa ke dalam belajar hafalan (rote learning). Siswa sangat mudah melupakan materi yang telah dipelajari sebelumnya. Bassham, dkk. (2007) melaporkan bahwa
*) I Wayan Redhana adalah dosen Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA Universitas Pendidikan Ganesha Liliasari adalah dosen Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia 103
104 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
dalam pembelajaran kebanyakan sekolah cenderung menekankan keterampilan berpikir tingkat rendah. Siswa diharapkan menyerap informasi secara pasif dan kemudian mengingatnya pada saat mengikuti tes. Dengan pembelajaran seperti ini siswa tidak memperoleh pengalaman mengembangkan keterampilan berpikir kritis, di mana keterampilan ini sangat diperlukan untuk menghadapi kehidupan dan untuk berhasil dalam kehidupan. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa sebagian besar guru-guru kimia di Kabupaten Buleleng Bali mengklaim bahwa pembelajaran yang dilakukan selama ini sudah mengembangkan keterampilan beprikir kritis siswa. Namun kenyataannya, ketika guru-guru diminta menjelaskan pembelajaran yang dilaku-kan, tampak bahwa guru-guru belum memahami hakikat dari pembelajaran keterampilan berpikir kritis. Kebanyakan guru-guru melaksanakan pembelajaran dengan memberikan informasi yang berkaitan dengan materi kimia sambil menggunakan metode tanya jawab, kemudian diikuti dengan latihan soal-soal yang sering diambilkan dari buku kimia atau LKS yang menjadi pegangan guru (Redhana, 2007). Soalsoal ini kebanyakan berupa soal-soal hitungan di mana soal-soal hitungan ini merupakan wellstructured problems. Menurut Tsapartis dan Zoller (2003), pemecahan masalah yang bersifat algoritmik memerlukan penerapan keterampilan berpikir tingkat rendah. Hasil observasi terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru yang berpengalaman (Redhana, dkk., 2008) menunjukkan bahwa guru (1) menyajikan beberapa soal yang keliru; (2) menyajikan informasi yang kurang terstruktur; (3) sering mengajukan pertanyaan beruntun; (4) memberikan informasi yang tidak lengkap; (5) memberikan informasi yang salah; (6) membuat analogi yang tidak jelas; (7) kurang mengantisipasi respon siswa; (8) keliru menuliskan hasil reaksi; dan (10) tidak meminta alasan siswa. Masih menurut Redhana, dkk., guru juga mengalami miskonsepsi. Untuk topik hidrokarbon, misalnya, guru beranggapan bahwa dalam molekul etena, atom C yang satu bermuatan positif dan atom C yang lain bermuatan negatif. Demikian juga guru beranggapan bahwa kejenuhan atom C dalam molekul etena tidak sama. Pada reaksi adisi molekul etena oleh molekul HCl, guru berpendapat bahwa atom H dari molekul HCl yang bermuatan positif akan masuk
ke atom C yang bermuatan negatif, sedangkan atom Cl yang bermuatan negatif akan masuk ke atom C yang bermuatan positif. Hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan miskonsepsi siswa SMA dilaporkan oleh Redhana & Kirna (2004). Rerata miskonsepsi siswa SMA di kota Singaraja pada konsep struktur atom dan ikatan kimia sangat tinggi, yaitu masing-masing sebesar 57,0% dan 63,4%. Beberapa miskonsepsi siswa dapat diungkapkan sebagai berikut (1) atom dipandang sebagai bola padat yang jika dipanaskan akan mengembang; (2) dalam senyawa NaCl terdapat ikatan antara satu ion Na+ dan satu ion Cl-; (3) kepolaran molekul hanya ditentukan oleh beda keelektronegatifan, sehingga molekul CCl4 merupakan senyawa polar; (4) ikatan dalam molekul HCl adalah ikatan ion; (5) ikatan logam adalah ikatan kovalen antara atom logam yang satu dengan atom logam yang lain; dan (6) pada orbital p, elektron bergerak seperti angka delapan pada permukaan orbital. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ternyata beberapa miskonsepsi siswa ini berasal dari guru (lihat Simamora & Redhana, 2006). Artinya, guru kimia sebagai sumber miskonsepsi. Keterampilan berpikir kritis sudah semestinya menjadi bagian dari kurikulum di sekolah. Pembelajaran perlu dikondisikan agar siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis (teaching for thinking). Dengan kata lain, siswa harus diberi pengalaman-pengalaman bermakna selama pembelajaran agar dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya. Dengan demikian, guru-guru sebagai pendidik berkewajiban untuk mengkondisikan pembelajaran agar siswa mampu mengembangkan kecerdasan dan kemampuan berpikir kritisnya. Untuk itu, guru-guru seharusnya mengajar siswa “how to think”, bukan mengajar siswa “what to think” (Notar, dkk., 2005; Bassham, dkk., 2007). Untuk memenuhi harapan di atas, perlu dikembangkan suatu program pembelajaran yang memungkinkan siswa memperoleh kesempatan berlatih menggunakan keterampilan berpikir kritis. Keterampilan berpikir adalah kemampuan yang tidak dibawa sejak lahir (Schafersman, 1991). Siswa tidak akan memiliki keterampilan berpikir kritis tanpa ditantang menggunakannya dalam pembelajaran (Meyers, 1986). Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan yang dapat diajarkan sehingga keterampilan ini dapat dipelajari (Halpern, 1999; Garratt, dkk., 2000;
105 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
Robbins, 2005). Pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih menggunakan sejumlah keterampilan berpikir kritis adalah pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning). Namun, pembelajaran berbasis masalah yang murni sulit diterapkan pada level sekolah menengah ke bawah. Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, pembelajaran berbasis masalah yang murni merupakan pembelajaran inkuiri terbuka. Pada pembelajaran ini siswa hanya disajikan konteks dan siswa sendiri harus merumuskan proses pemecahan masalah dan menemukan solusinya (Trowbridge & Bybee seperti dikutif dalam NSTA, 1998). Dengan kegiatan seperti ini, siswa SMA akan mengalami kesulitan karena kebiasaan siswa belajar selama ini. Umumnya, siswa hadir di kelas mendengar dan mencatat penjelasan guru dan melakukan kegiatan sesuai dengan perintah guru. Kedua, kebanyakan guru beranggapan bahwa mereka merasa belum mengajar jika mereka belum menjelaskan materi. Akibatnya, guru lebih cenderung mengejar target kurikulum dengan menyelesaikan seluruh materi daripada memberikan cara berpikir kepada siswa untuk belajar. Untuk itu, pembelajaran berbasis masalah yang murni perlu dimodifikasi. Modifikasi dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur bimbingan, yaitu berupa pertanyaan konseptual dan pertanyaan Socratik. Sementara itu, penggunaan masalah open-ended yang merupakan ciri dari pembelajaran berbasis masalah tetap dipertahankan sebagai stimulus pembelajaran. Pertanyaan konseptual digunakan dengan maksud untuk membantu siswa memulai proses pemecahan masalah dan sekaligus membimbing siswa menguasai konsep-konsep esensial yang dipelajari pada topik laju reaksi. Sementara itu, pertanyaan Socratik digunakan dengan maksud untuk menggali dan mengembangkan ide-ide siswa dan sekaligus mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Hasil modifikasi terhadap pembelajaran berbasis masalah yang murni adalah pembelajaran berbasis masalah terbimbing (guided problem-based learning). Pembelajaran ini juga disebut sebagai pembelajaran keterampilan berpikir kritis karena pembelajaran ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Program pembelajaran ini terdiri dari tiga unsur utama, yaitu masalah terbuka (open-ended problem), pertanyaan kon-
septual (conceptual questioning), dan pertanyaan Socratik (Socratic questioning). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa melalui penerapan program pembelajaran keterampilan berpikir kritis. Pendapat guru dan siswa terhadap program pembelajaran keterampilan berpikir kritis juga menjadi tujuan dari penelitian.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektivan dari program pembelajaran keterampilan berpikir kritis dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Untuk mencapai harapan di atas, penelitian eksperimen kuasi dilakukan dengan menggunakan rancangan control group pretest-posttest. Sebanyak 106 siswa terlibat dalam kelompok eksperimen dan 109 siswa pada kelompok kontrol, yang masingmasing berasal dari tiga SMA di Kabupaten Buleleng, yaitu SMA dengan kategori baik (siswa dengan kemampuan akademik baik), SMA dengan kategori sedang (siswa dengan kemampuan akademik sedang), dan SMA dengan kategori kurang (siswa dengan kemampuan akademik kurang). Pengelompokan sekolah ini didasarkan atas skor tes masuk menggunakan tes potensi akademik (TPA) yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng. Pada kelompok eksperimen diterapkan program pembelajaran keterampilan berpikir kritis, sedangkan pada kelompok kontrol diterapkan program pembelajaran reguler. Pembelajaran pada kedua kelompok berlangsung pada topik laju reaksi. Sebelum dan setelah pembelajaran kedua kelompok diberikan tes keterampilan berpikir kritis berbasis konten kimia. Tes keterampilan berpikir kritis ini berupa tes obyektif yang terdiri dari 32 item dan tes ini dikembangkan oleh penulis. Validitas dan reliabilitas tes keterampilan berpikir kritis pada topik laju reaksi masing-masing adalah 0,71 dan 0,83. Proses belajar mengajar yang berlangsung selama mengimplementasikan program pembelajaran keterampilan beprikir kritis diobservasi dan hasilnya dicatat dalam lembar observasi. Sementara itu, pendapat guru dan siswa terhadap program pembelajaran keterampilan berpikir kritis masing-masing dikumpulkan melalui wawancara dan angket.
106 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
Data yang diperoleh pada penelitian ini berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif berupa skor tes keterampilan berpikir kritis sebelum dan setelah pembelajaran pada masing-masing kelompok. % n-gain (gain ternormalisasi, selanjutnya disingkat %g) masingmasing individu pada setiap kelompok dihitung dengan rumus: %g = (Spost – Spre)/(Smax – Spre) x 100 Rumus di atas dimodifikasi dari rumus yang diturunkan oleh Savinainen & Scott (2002). Jika %g berdistribusi normal dan varians kedua kelompok homogen, maka uji beda %g dilakukan dengan menggunakan t-tes. Sebaliknya, jika %g tidak berdistribusi normal dan/atau varians kedua kelompok tidak homogen, maka uji beda dilakukan dengan uji Mann-Whitney. Semua uji ini menggunakan SPSS versi 14,0 pada taraf signifikansi 5%. Sementara itu, data kualitatif yang berupa pendapat guru dan siswa terhadap program pembelajaran keterampilan berpikir kritis dianalisis secara deskriptif interpretatif.
utama keterampilan berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis sangat penting dilatihkan karena keterampilan berpikir ini tidak dibawa sejak lahir. Di samping itu, tujuan melatihkan keterampilan berpikir kritis adalah untuk menyiapkan siswa menjadi seorang pemikir kritis (critical thinker), mampu memecahkan masalah (problem solver), dan menjadi pemikir independen (independent thinker) sehingga mereka dapat menghadapi kehidupan, menghindarkan dirinya dari indokrinasi, penipuan, pencucian otak, mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi, dan membuat keputusan dengan tepat dan bertanggung jawab. Tabel 2. Hasil uji normalitas, homogenitas, dan uji beda %g antara kelompok kontrol dan eksperimen Kelompok kontrol Rerata %g 30,50
Distribusi Tidak normal
Kelompok eksperimen Rerata %g 41,64
Dist ribu si
Varian
Nor mal
Homo gen
p (Sig.)
0,000 (Signif ikan)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa secara keseluruhan Hasil perhitungan statistik deskriptif yang berkaitan dengan jumlah sampel, rerata, standar devisasi, skor minimum dan maksimum dari %g pada masing-masing kelompok ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Statistik %g kelompok kontrol dan eksperimen
Kelompok Kontrol Eksperimen
N
Mean
Std. Dev.
Min
Max
109
30,50
13,87
0,00
66,67
106
41,64
11,11
15,7 9
76,19
Hasil pengujian efektivitas program pembelajaran keterampilan berpikir kritis dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 di atas tampak bahwa program pembelajaran keterampilan berpikir kritis sangat efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa secara keseluruhan. Hal ini beralasan karena pembelajaran berpikir kritis yang merupakan pembelajaran keterampilan berpikir tingkat tinggi memberikan peluang kepada siswa melatihkan sejumlah keterampilan berpikir, ter-
Pembelajaran keterampilan berpikir kritis yang dikembangkan dalam penelitian ini mengandung tiga unsur utama, yaitu masalah openended, pertanyaan konseptual, dan pertanyaan Socratik. Masalah open-ended yang digunakan dalam pembelajaran keterampilan berpikir kritis diadopsi dari pembelajaran berbasis masalah. Sementara itu, penambahan pertanyaan konseptual dimaksudkan untuk membimbing siswa agar dapat memecahkan masalah. Jika siswa berhadapan dengan masalah yang sifatnya terbuka, siswa umumnya panik dan tidak tahu dari mana memulai proses pemecahan masalah; konsepkonsep apa yang diperlu diketahui untuk memecahkan masalah, dan sebagainya. Pertanyaan konseptual menyediakan bantuan untuk ini. Pertanyaan konseptual menanyakan konsep-konsep esensial yang dipelajari pada topik tertentu, dalam hal ini topik laju reaksi. Pertanyaan ini diturunkan dari konsep-konsep esensial yang dihasilkan dari analisis konsep pada topik laju reaksi. Semua pertanyaan konseptual yang diajukan mengacu kepada masalah open-ended sebagai titik sentral pembelajaran. Artinya, masalah open-ended bertindak sebagai wahana untuk mempelajari konsep-konsep esensial pada topik laju reaksi dan juga sekaligus sebagai wahana untuk mengembangkan keterampilan ber-
107 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
pikir kritis siswa. Efektifitas penggunaan pertanyaan konseptual dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep kimia di SMA telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Redhana, dkk. (1999), misalnya, menggunakan modul bertanya untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa. Modul bertanya ini sesungguhnya berisi pertanyaan-pertanyaan konseptual yang berkaitan dengan konsep-konsep kimia. Melalui pertanyaan ini guru dapat menggali ide-ide siswa. Sementara itu, penggunaan pertanyaan Socratik sebagai unsur tambahan yang lain dalam program pembelajaran keterampilan berpikir kritis dimaksudkan untuk mengembangkan dan mengarahkan ide-ide siswa agar siswa mempunyai pemahaman yang benar tentang konsepkonsep yang dipelajari. Pertanyaan Socratik ini juga dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Hal ini beralasan karena pertanyaan Socratik meliputi: (a) pertanyaan yang meminta klarifikasi, (b) pertanyaan yang menyelidiki asumsi, (c) pertanyaan yang menyelidiki alasan atau bukti, (d) pertanyaan yang meminta pendapat, (e) pertanyaan yang menyelidiki implikasi atau akibat, dan (f) pertanyaan tentang pertanyaan (Paul & Binker, 1990). Masih menurut Paul & Binker (1990), pertanyaan Socratik dapat: (1) meningkatkan isu-isu dasar; (2) menyelidiki secara mendalam; (3) membantu siswa menemukan struktur pikirannya; (4) membantu siswa mengembangkan sensitivitas terhadap klarifikasi, akurasi, dan relevansi; (5) membantu siswa agar sampai pada pertimbangan melalui penalaran sendiri; (6) dan membantu siswa menganalisis klaim, bukti, kesimpulan, isu, asumsi, implikasi, akibat, konsep, dan pendapat. Tujuan pertanyaan Socratik adalah untuk membantu siswa menemukan pengetahuan sendiri dan mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya (Paraskevas & Wickens, 2003). Metode pertanyaan Socratik dalam pendidikan orang dewasa melibatkan penggunaan pertanyaan-pertanyaan sistematik, berpikir induktif, dan formulasi definisi yang umum. Siswa dipresentasikan dengan suatu skenario dan guru mengajukan sederetan pertanyaan-pertanyaan secara sistematis. Pertanyaan-pertanyaan dirancang untuk membimbing proses berpikir siswa. Siswa dimotivasi menggunakan pengalaman dan pengetahuannya dalam memecahkan masalah-masalah atau isu-isu sederhana atau kompleks. Selanjutnya, teknik induktif digunakan untuk meng-
konseptualisasikan implikasi yang lebih luas. Sekali ide dan konsep umum dipahami oleh siswa, guru selanjutnya menggunakan pertanyaan-pertanyaan untuk membantu siswa mengembangkan rasional (Macmillan & Garrison, dalam Paraskevas & Wickens, 2003). Dengan cara ini, siswa mempunyai kesempatan menunjukkan pemahaman yang komprehensif dari suatu topik yang sedang dieksplorasi. Perkins (Paraskevas & Wickens, 2003) menyatakan bahwa dalam suatu diskusi Socratik siswa menunjukkan sejumlah cara berpikir, seperti menjelaskan, menggeneralisasi, menerapkan konsep, membuat analogi, mengembangkan pengetahuan secara kooperatif, dan menyajikan cara-cara baru. Penggunaan pertanyaan Socratik dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa telah diselidiki oleh beberapa peneliti, seperti Paul & Binker (1990), Paraskevas & Wickens (2003), Chalupa & Sormunen (1995), dan Beyer (Walker, 2003). Hasil penelitian Beyer menunjukkan bahwa pertanyaan Socratik merupakan strategi scaffolding untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Scaffolding dalam bentuk pertanyaan Socratik dan pertanyaan open-ended terbukti efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa karena kesiapan epistemologi siswa terhadap pertanyaan dan pencarian pengetahuan. Teknik pertanyaan Socratik dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman dan memacu berpikir kritis siswa (Sharma & Hannafin, 2004). Hal senada juga diungkapkan oleh Yang, dkk. (2005). Sementara itu, efektivitas penggunaan pertanyaan Socratik untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa SMA pada mata pelajaran kimia dilaporkan oleh Redhana (2008). Peningkatkan keterampilan berpikir kritis pada masing-masing indikator keterampilan berikir kritis Pengujian peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa pada masing-masing indikator keteramplan berpikir kritis ditampilkan pada Tabel 3. Indikator keterampilan berpikir kritis 1 sampai dengan 5 berturut-turut adalah menerapkan prinsip utama, mengidentifikasi kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin, mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan, menarik kesimpulan, dan menentukan ungkapan yang ekuivalen.
108 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
Tabel 3. Rekapitulasi hasil pengujian pada masing-masing indikator keterampilan berpikir kritis Indikator
Kelompok kontrol Rerata %g Distribusi
1
0,62
Tidak normal
2
0,39
Tidak normal
3
0,75
Tidak normal
4
0,67
Tidak normal
5
0,58
Tidak normal
Kelompok eksperimen Rerata %g Distribusi Tidak 0,85 normal Tidak 0,86 normal Tidak 1,07 normal Tidak 0,90 normal Tidak 0,77 normal
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa terjadi pada tiga dari lima indikator keterampilan berpikir kritis. Artinya, peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa secara keseluruhan dominan dikontribusi oleh indikator menerapkan prinsip utama, mengidentifikasi kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin, dan mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan. Tidak terjadinya peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa pada indikator 4 dan 5 disebabkan oleh butir-butir soal yang terdapat pada indikator 4 dan 5 kebanyakan mempunyai daya beda cukup rendah dibandingkan dengan butir-
Varians
p (Sig.)
Tidak homogen
0,000 (signifikan)
Homogen
0,000 (signifikan)
Tidak homogen Tidak homogen Tidak homogen
0,006 (signifikan) 0,029 (tidak signifikan) 0,180 (tidak signifikan)
butir soal lainnya. Akibatnya, butir-butir soal ini tidak mampu membedakan keterampilan beprikir kritis siswa antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Peningkatkan keterampilan berpikir kritis pada masing-masing konsep Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa pada masing-masing konsep ditampilkan pada Tabel 4. Konsep 1 sampai dengan 9 berturut-turut adalah laju reaksi, luas permukaan, konsentrasi, suhu, katalis, persamaan laju reaksi, orde reaksi, tumbukan, dan tumbukan efektif.
Tabel 4. Rekapitulasi hasil pengujian %g pada masing-masing konsep Konsep 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok kontrol Rerata %g Distribusi 0,62 Tidak normal 0,75 Tidak normal 0,77 Tidak normal 0,54 Tidak normal 0,59 Tidak normal 0,66 Tidak normal 0,64 Tidak normal 0,60 Tidak normal 0,57 Tidak normal
Kelompok eksperimen Rerata %g Distribusi 0,95 Tidak normal 1,05 Tidak normal 0,99 Tidak normal 0,81 Tidak normal 0,96 Tidak normal 0,80 Tidak normal 0,73 Tidak normal 0,88 Tidak normal 1,03 Tidak normal
Dari Tabel 4 di atas tampak bahwa peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa hanya terjadi hampir sebagian konsep. Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa secara keseluruhan dominan dikontribusi oleh konsep laju reaksi, suhu, katalis, dan tumbukan efektif. Tidak terjadinya peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep 2, 3, 6, 7, dan 8 terjadi karena butir-butir soal pada konsep ini kebanyakan tergolong butir soal yang agak sukar. Akibatnya, butir-butir soal ini tidak
Varians
p (Sig.)
Homogen Tidak homogen Tidak homogen Tidak homogen Homogen Tidak homogen Tidak homogen Tidak homogen Homogen
0,000 (signifikan) 0,232 (tidak signifikan) 0,061 (tidak signifikan) 0,001 (signifikan) 0,000 (signifikan) 0,296 (tidak signifikan) 0,151 (tidak signifikan) 0,154 (tidak signifikan) 0,017 (signifikan)
mampu membedakan keterampilan beprikir kritis siswa antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Peningkatan keterampilan berpikir pada tiga kategori sekolah Hasil pengujian peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yang didasarkan atas kriteria kategori sekolah ditunjukkan pada Tabel 5.
109 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
Tabel 5. Peningkatan keterampilan berpikir kritis pada tiga kategori sekolah Kategori SMA
Kelompok kontrol Rerata %g Distribusi
Kelompok eksperimen Rerata %g Distribusi
Varians
Baik
40,79
Normal
40,88
Normal
Tidak homogen
Sedang
24,30
Normal
42,74
Normal
Tidak homogen
Kurang
27,71
Normal
40,21
Normal
Tidak homogen
Dari Tabel 5 tampak bahwa program pembelajaran keterampilan berpikir kritis sangat efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa yang kemampuan akademiknya sedang sampai kurang. Sebaliknya, untuk siswa yang kemampuan akademiknya baik program pembelajaran ini kurang efektif. Dengan kata lain, peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa secara keseluruhan dominan dikontribusi oleh siswa yang kemampuan akademiknya sedang sampai kurang. Hal ini disebabkan oleh siswa yang kemampuan akademiknya baik dapat belajar mandiri walaupun dengan sedikit atau tanpa bimbingan. Mereka berusaha memperoleh pengetahuan tidak saja di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Mereka aktif bertanya selama pembelajaran, bahkan sampai di luar jam pelajaran. Mereka juga aktif mencari sumber-sumber informasi yang berkaitan dengan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Akibatnya, program pembelajaran keterampilan berpikir kritis yang diterapkan kepada mereka tidak ada bedanya dengan pembelajaran reguler yang mereka ikuti. Di lain pihak, untuk siswa yang kemampuan akademiknya sedang sampai kurang, mereka lebih banyak mengandalkan pemrolehan pengetahuan dan keterampilan dari proses pembelajaran di kelas. Artinya, pemrolehan pengetahuan dan keterampilan siswa sangat tergantung kepada strategi pembelajaran yang diterapkan kepada mereka. Dengan demikian, siswa yang memperoleh kesempatan berlatih menggunakan keterampilan berpikir kritis melalui bimbingan guru selama pembelajaran akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak memperoleh kesempatan berlatih menggunakan keteramplan berpikir kritis selama pembelajaran. Program pembelajaran keterampilan berpikir kritis adalah program pembelajaran yang mengkondisikan pembelajaran sehingga siswa memperoleh kesempatan berlatih menggunakan sejumlah
p (Sig.) 0,862 (tidak signifikan) 0,000 (signifikan) 0,000 (signifikan)
keterampilan berpikir tingkat tinggi, khususnya keterampilan berpikir kritis, melalui proses pemecahan masalah open-ended. Dengan bimbingan guru menggunakan pertanyaan Socratik selama proses pemecahan masalah jelas akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, di mana kondisi ini tidak terjadi pada kelompok kontrol. Hasil observasi terhadap implementasi program pembelajaran keterampilan beprikir kritis Secara umum, guru dapat mengimplementasikan program pembelajaran keterampilan berpikir kritis dengan baik. Suasana pembelajaran belangsung sangat kondusif. Guru dapat membimbing siswa memahami masalah melalui pertanyaan konseptual dan pertanyaan Socratik yang diajukan. Persiapan mengajar guru sangat baik. Guru dapat membimbing siswa mengkritisi suatu pendapat, kemudian menyempurnakannya. Di lain pihak, siswa sangat antusias mengikuti pembelajaran. Masalah open-ended dapat memusatkan perhatian siswa dan memotivasi mereka untuk memecahkannya. Di samping itu, masalah open-ended dapat meningkatkan keingintahuan siswa dan memacu mereka untuk mempelajari materi kimia. Kerjasama kelompok berlangsung dengan cukup baik. Kegiatan peer tutoring dalam diskusi kelompok juga berlangsung dengan cukup baik. Siswa merasa bebas mengungkapkan pendapatnya dalam diskusi kelompok. Siswa bertanya kepada guru dan bahkan kepada peneliti bila mereka mengalami kesulitan. Pertanyaan yang diajukan guru (pertanyaan konseptual dan pertanyaan Socratik) dapat menggali ide-ide siswa dan mengembangkannya sehingga siswa dapat memahami materi subyek dengan lebih baik. Demikian juga pada kegiatan praktikum siswa sangat antusias melakukannya dan siswa bertanya jika mereka menemui kesulitan.
110 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
Beberapa kendala yang dijumpai selama mengimplementasikan program pembelajaran keterampilan berikir kritis adalah sebagai berikut. Di sekolah dengan katagori kurang, beberapa pertanyaan konseptual tidak dapat dijawab oleh siswa dan guru juga tidak berusaha menggali pengetahuan yang mendasari sebelum menjawab pertanyaan konseptual tersebut. Guru terlalu terburu-buru menyampaikan jawabannya. Akibatnya, guru menyelesaikan materi sedikit lebih cepat dari waktu yang direncanakan. Tanggapan guru dan siswa terhadap program pembelajaran keterampilan berpikir kritis Program pembelajaran keterampilan berpikir kritis dapat membantu guru dalam mengelola pembelajaran. Guru-guru merasa bahwa program pembelajaran ini memungkinkan mereka “memancing” ide-ide siswa dan kemudian memimbingnya agar siswa memahami konsep dengan benar. Guru juga merasa bahwa pembelajaran yang diterapkan lebih testruktur dan terarah. Terstruktur karena pembelajaran yang disajikan lebih sistematis. Terarah karena pembelajaran mengacu kepada upaya pencapaian tujuan, yaitu peningkatan keterampilan berpikir kritis dan kompetensi siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum. Menurut guru, manfaat yang diperoleh dari program pembelajaran ini antara lain adalah guru dapat (1) mengetahui gambaran kemampuan berpikir siswa dalam memecahkan suatu masalah; (2) mengemas pembelajaran yang memudahkan siswa belajar; dan (3) menginspirasi mereka merancang program pembelajaran yang dapat mendorong siswa berpikir lebih kritis, cermat dan terampil. Masih menurut guru, kelebihan dari program pembelajaran ini adalah (1) terjadinya peningkatan aktivitas belajar siswa; (2) bertambahnya wawasan siswa dalam memecahkan suatu masalah; (3) tumbuhnya semangat siswa untuk belajar; (4) pengelolaan kelas menjadi lebih mudah; (5) peningkatan pemahaman konsep dan kompetensi siswa; dan (6) siswa belajar lebih terarah. Walaupun demikian, program ini masih memiliki kelemahan menurut guru, yaitu (1) percobaan yang dirancang dalam LKS secara teknis sulit dilaksanakan sehingga perlu dicarikan alternatif yang lebih mudah; (2) program ini memerlukan cukup banyak waktu; dan (3) kesulitan melakukan penilaian kinerja siswa dalam melakukan percobaan. Saran-saran yang diberikan oleh guru adalah perlu adanya (1) desain LKS eksperimen yang menarik, seder-
hana, dan mudah dilaksanakan; (2) rubrik penilaian kinerja siswa dalam melakukan percobaan, dan (3) kerjasama antara sekolah dan LPTK dalam pengembangan model-model belajar yang inovatif. Sementara itu, beberapa dari respon siswa terhadap program pembelajaran keterampilan berpikir kritis yang dikumpulkan dari angket tertutup adalah (1) masalah dalam LKS menantang mereka untuk memecahkannya; (2) mereka termotivasi membaca lebih banyak sumber-sumber belajar yang berkaitan dengan kimia; (3) pertanyaan-pertanyaan dalam LKS mengarahkan mereka mempelajari materi yang relevan dengan masalah; (4) pertanyaan-pertanyaan dalam LKS memotivasi mereka mempelajari materi kimia dengan lebih baik; (5) pertanyaan yang diajukan guru membimbing mereka memecahkan masalah dalam LKS; (6) pertanyaan yang diajukan guru dapat me-rangsang mereka menghasilkan ide-ide atau pendapat dengan baik; (7) pertanyaan yang diajukan guru dapat membimbing mereka memahami materi kimia dengan baik; (8) pembelajaran yang dialami mendorong mereka bekerja sama dengan siswa lain dalam kelompok; (9) pembelajaran yang dialami mengkondisikan mereka menyampaikan pendapat dalam diskusi kelas dan diskusi kelompok; (10) pembelajaran yang dialami meningkatkan kemampuan mereka dalam berkomunikasi; (11) pembelajaran yang dialami mendorong mereka berpartisipasi secara aktif selama pembelajaran; (12) mereka menyadari bahwa materi kimia sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari; (13) mereka tertarik dengan mata pelajaran kimia; (14) mereka merasa rugi bila tidak dapat mengikuti mata pelajaran kimia; dan (15) suasana kelas dalam pembelajaran kimia sangat menyenangkan. Pendapat siswa yang dikumpulkan dari angket terbuka adalah sebagai berikut. Siswa merasa bahwa (1) mereka dapat berkomunikasi dengan lebih baik; (2) mereka dapat bertukar pikiran dengan baik; (3) bahan yang dipelajari menjadi lebih terarah karena adanya LKS; (4) mereka lebih mudah memahami materi kimia karena banyak pertanyaan dan soal yang diberikan dalam LKS; (5) praktikum sangat menyenangkan karena sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah sudah lengkap; (6) mereka menjadi lebih terampil dan mandiri dalam mencari materi yang akan dipelajari; (7) suasana belajar lebih santai dan menyenangkan; (8) mereka dapat mengetahui tentang cara-cara me-
111 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
lakukan percobaan; (9) mereka dapat mengetahui berbagai alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan yang sebelumnya tidak diketahui; (10) mereka lebih memahami materi pelajaran karena apa yang dipelajari menjadi terbukti dalam percobaan; (11) mereka memperoleh banyak praktikum sehingga mereka lebih mengerti dengan materi kimia; dan (12) mereka memperoleh banyak ilmu mulai dari teori-teori sampai dengan percobaan yang telah dilaksanakan. Namun, ada beberapa siswa yang menyatakan bahwa guru tidak menjelaskan materi sesuai dengan urutan yang disajikan dalam buku-buku pelajaran kimia. Mereka menyarankan agar guru menyampaikan materi pelajaran secara secara detail.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan termuan-temuan penelitian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Program pembelajaran keterampilan berpikir kritis sangat efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa; Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa terjadi pada sebagian indikator keterampilan berpikir kritis dan konsep pada topik laju reaksi; Program pembelajaran keterampilan berpikir sangat efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa yang kemampuan akademiknya sedang sampai kurang; Siswa sangat antusias mengikuti program pembelajaran keterampilan berpikir kritis; Program pembelajaran keterampilan berpikir kritis diterima baik oleh guru dan siswa. Saran Dari hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, kepada guru-guru yang mengajar siswa dengan kemampuan akademik sedang sampai kurang dapat menggunakan program pembelajaran keterampilan berpikir kritis ini untuk meningkatkan keterampilan beprikir kritis siswa. Dalam menerapkan program pembelajaran ini perlu diperhatikan daya dukung sekolah seperti buku-buku penunjang dan laboratorium beserta alat-alat dan bahan-bahan kimia. DAFTAR RUJUKAN
Bassham, G., Irwin,W., Nardone, H., & Wallace,
J. M. 2007. Critical Thinking: A Student Introduction. 2nd Edition. Singapore: McGraw-Hill Company, Inc. Chalupa, M. & Sormunen, C. 1995. You make the difference in the classroom: Strategies for developing critical thinking. Business Education Forum, 41-43. Garratt, J., Overton, T., Tomlinson, J., & Clow, D. 2000. Critical thinking exercises for chemists. Active learning in higher education, 1(2), 152-167. Halpern, D. F. 1999. Teaching for critical thinking: Helping college students develop the skills and dispositions of a critical thinker. New directions for teaching and learning, 80, 69-74. Lipman, M. 2003. Thinking in education. (2nd ed). Cambridge: Cambridge University Press. Lubezky, A., Dori, Y. J., & Zoller, U. 2004. HOCS-promoting assessment of students’ performance on environment-related undergraduate chemistry. Chemistry education research and practice, 5(2), 175-184. McTighe, J. & Schollenberger, J. 1991. Why teach thinking? A atatement of rational. Dalam A. L. Costa (Ed.). Developing mind: A resource book for teahing thinking. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development. Meyer, C. 1986. Teaching students think critically. London: Jossey-Bass Publishers. NSTA (1998). Standard for Science Teacher Preparation. Association for the Education of Teachers in Science. Notar, C. R., Wilson, J. D., & Montgomery, M. K. 2005. A distance learning model for teaching higher order thinking. Diambil pada tanggal 8 September 2006, dari http://findarticles.com/p/articles. Paraskevas, A & Wickens, E. 2003. Andragogy and the Socratic method: The adult learner perspective. Journal of hospitality, leisure, sport and tourism education, 2(2), 4-14. Paul, R. & Binker, A. J. A. 1990. Socratic questioning. Rohnert Park, CA: Center for Critical Thinking and Moral Critique. Phillips, V. & Bond, C. 2004. Undergraduates’ experiences of critical thinking. Higher education research & development, 23(3), 277-294. Redhana, I.W. & Kirna, I. M. 2004. Identifikasi
112 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
miskonsepsi siswa SMA negeri di kota Singaraja terhadap konsep-konsep kimia. Laporan penelitian Dikti yang tidak dipublikasikan. Singaraja: IKIPN Singaraja. Redhana, I W. 2007. Chemistry teachers’ views towards teaching and learning and assessment of critical thinking skills. Proceeding of the first international on science education, October 27, 2007. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Redhana, I W. 2008. Pertanyaan Socratik untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Proseding seminar nasional kimia dan pendidikan kimia IV, 9 Agustus 2008. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Redhana, I W., Indrawati, I G. A., Suardana I N., & Soma I W. 1999. Penerapan modul bertanya-diskusi-informasi (MDI) dalam meningkatkan aktivitas dan penguasaan materi kimia siswa Sekolah Menengah Umum. Laporan penelitian PGSM yang tidak dipublikasikan. Singaraja: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Robbins, S. 2005. The Path to critical thinking. Diambil pada tanggal 8 September 2006, dari http://www.hbswk.hbs.edu/archive/ 4828. html. Rutherford, F. J. & Ahlgren, A. 1990. Science for all americans. New York: OUP. Savinainen, A. & Scott, P. 2002. The Force concept inventory: A tool for monitoring student learning. Physics education, 39(1), 45-52. Schafersman, S.D. 1991. Introduction to critical thinking. Diambil tanggal 25 September 2006, dari http://www.freeinquiry.com/ critical-thinking.html. Sharma, P. & Hannafin, M. 2004. Scaffolding critical thinking in an online course: An exploratory study. Journal of computing research, 31(2), 181-208. Tsapartis, G. & Zoller, U. 2003. Evaluation of higher vs. lower-order cognitive skills-type examination in chemistry: Implications for university in-class assessment and examination. U. chem. ed, 7, 50-57. Walker, S. E. 2003. Active learning strategies to promote critical thinking. Journal of athletic training, 38(3), 263–267. Yang, Y. T. C., Newby, T. J., & Bill, R. L. 2005. Using Socratic questioning to promote critical thinking skills through asynchro-
nous discussion forums in distance learning environments. American journal of distance education, 19(3), 163-181.