i
BIOLOGI REPRODUKSI IKAN ENDEMIK PIRIK (Lagusia micracanthus BLEEKER, 1860) DI SULAWESI SELATAN
THE BIOLOGICAL REPRODUCTION OF THE ENDEMIC PIRIK FISH (Lagusia micracanthus BLEEKER, 1860) IN SOUTH SULAWESI PROVINCE
MUHAMMAD NUR
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
ii
BIOLOGI REPRODUKSI IKAN ENDEMIK PIRIK (Lagusia micracanthus BLEEKER, 1860) DI SULAWESI SELATAN
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Ilmu Perikanan
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD NUR
kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
iii
iv
PERYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan dibawah ini Nama : Muhammad Nur Nomor Mahasiswa : P3300213418 Program Studi : Ilmu Perikanan Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Makassar, Juli 2015 Yang menyatakan ttd Muhammad Nur
v
PRAKATA Alhamdulillahirabbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan petunjuk, kesabaran dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Gagasan yang melatari penelitian ini berawal dari keprihatinan penulis terhadap spesies-spesies ikan endemik di Sulawesi yang kurang diperhatikan oleh para peneliti, namun telah mengalami degradasi populasi
dan
tekanan
pada
habitatnya.
Penulis
bermaksud
menyumbangkan beberapa informasi biologi terhadap salah satu spesies ikan endemik Sulawesi, sehingga dapat menjadi acuan bagi pihak terkait dalam rangka pengelolaan secara berkelanjutan terhadap spesies ini. Penulis menyadari bahwa selesainya Tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu tidak berlebihan jika dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : Prof. Dr. Ir. Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Joeharnani Trenati, DEA selaku komisi penasehat yang telah banyak meluangkan waktu, membimbing dan memberikan arahan kepada penulis, beserta Prof. Dr. Ir. Farida Gassing Sitepu MS, Prof. Dr. Ir. AmboTuwo, DEA dan Prof. Dr. Ir. Achmar Mallawa, DEA selaku dosen penguji beserta Prof. Dr. Ir. Muhammad Iqbal Burhanuddin dan Ibu Dr. Renny Hadiaty atas segala bantuan dan motivasi yang telah diberikan, sehingga penulis tertarik meneliti spesies ikan endemik seperti spesies yang saat ini menjadi topik penelitian penulis.
vi
Teristimewa kepada Ibunda tercinta Suarni dan Ayahanda Zainal Arifin Abbas (Alm.) atas segala bimbingan dan nasehat yang telah diberikan. semoga Ayahanda dan Ibunda senantiasa bangga dan semoga Allah SWT membalas kelak dengan surga terbaikNya, Amin. Kepada Keluarga, Saudaraku : Winardi, S.Pd M.Si, Nur Intan Z. S.Pd, Sri Purnama Wati S.Pd, Mutmainnah, Ana Fitriana, M. Amin dan Nurul Rahma serta tekhusus kepada Damayanti Alwi S.Pi atas segala doa dan dukungan yang begitu besar yang diberikan selama ini kepada penulis. Ucapan terima kasih juga kepada KPS, Dosen dan Staf PPS Ilmu Perikanan, Dr. Irmawati S.Pi, M.Si selaku kepala Lab. biologi perikanan, Ibu Suriati dan Kak Herfiani selaku kepala dan analis lab. histologi Balai Karantina Makassar, Dr.Ir.Muh.Arifin Dahlan MS, Ir.Moh.Tauhid M.Si, Amrullah S.Pi, Kel. Bapak Ancu (Maros), Kel. Bpk Melli (Bone), Tibu Alam S.Pi, Syamsul Alam S.Pi, terkhusus Tim Peneliti (Rezki T.A. S.Pi, Nurul Fatanah A. S.Pi, Muh.Nur Adnan, Dian Pratiwi), Syainullah Wahana S.Pi, Arnold Kabangga S.Pi, Jamaluddin Fitrah Alam, S.Pi, Harizah Hamzah S.Pi, beserta seluruh pihak dan semua teman teman Mahasiswa PPS Ilmu Perikanan Ank. 2013 yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan banyak terima kasih. Akhirnya kepada Allah Jualah penulis serahkan segala budibaik, semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada kita semua, Amin. Makassar, Juli 2015
Muhammad Nur
vii
ABSTRAK MUHAMMAD NUR. Biologi Reproduksi Ikan Endemik Pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sulawesi Selatan (dibimbing oleh Sharifuddin Bin Andy Omar dan Joeharnani Tresnati). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek reproduksi ikan endemik pirik meliputi tipe pertumbuhan dan faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), ukuran pertama kali matang gonad, fekunditas, diameter telur dan potensi reproduksi. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2014 hingga Februari 2015 di Sungai Pattunuang, Desa Samangki, Kabupaten Maros dan Sungai Sanrego, Desa Langi, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Jumlah ikan pirik yang diperoleh di Sungai Pattunuang sebanyak 599 ekor (307 jantan dan 292 betina), di Sungai Sanrego diperoleh 162 ekor (72 ekor jantan dan 90 betina). Hasil penelitian menunjukkan ikan pirik di Sungai Pattunuang memiliki tipe pertumbuhan isometrik dan di sungai Sanrego memiliki tipe pertumbuhan allometrik negatif (minor). Faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan. Nisbah kelamin berbeda nyata (bukan 1 : 1). Analisis terhadap TKG dan IKG menunjukkan ikan pirik memijah pada bulan September - November atau akhir musim kemarau dan awal musim penghujan. Ikan jantan matang gonad pertama kali pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan ikan betina. Fekunditas ikan pirik di Sungai Pattunuang berkisar 55 – 3.415 butir telur dengan rata-rata 481 butir telur dan di Sungai Sanrego berkisar 680 – 4.447 butir telur dengan rata-rata 2.247 butir telur. Potensi reproduksi ikan pirik tertinggi di Sungai Pattunuang yaitu 28.905 pada kisaran panjang total 60 – 70 mm sedangkan di Sungai Sanrego sebesar 41.368 pada kisaran panjang 80 – 90 mm. Diameter telur di Sungai Pattunuang berkisar 0,1523 - 0,8618 mm dan di Sungai Sanrego berkisar 0,2080 - 0,8618 mm. Berdasarkan sebaran diameter telur, ikan pirik tergolong dalam kelompok pemijahan bertahap (partial spawner). Kata kunci : Biologi reproduksi, ikan endemik pirik, Sungai Sanrego, Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan.
viii
ABSTRACT MUHAMMAD NUR. The Biological Reproduction of the Endemic Pirik Fish (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) in South Sulawesi Province (Supervised by Sharifuddin Bin Andy Omar and Joeharnani Tresnati). This research aimed to study the aspects of the biological reproduction of the endemic pirik fish, which comprised the types and condition factors, sex ratio, gonad maturity stages, Gonado-Somatic Index (GSI), length at first maturity, fecundity, egg diameter dan productivity capacity. The sample colletion was conducted from September 2014 through February 2015 in Pattunuang river, Samangki Village, Maros Regency and in Sanrego river, Langi Village, South Sulawesi. There total samples of the endemic pirik fish collected from Pattunuang river were 599 (307 male and 292 female fish) and from Sanrego river, collected 162 (72 male dan 90 female fish). The research results revealed that the endemic pirik fish in Pattunuang river had an isometric growth type, and those in Sanrego river had the negative allometric (minor) growth type. The condition factors of the female fish were larger compared to the male fish. The sex ratio were significantly different (not 1: 1). The analysis of the TKG and IKG that the pirik fish Spawned in September through November or at the end dry season and the beginning of the wet season. The first gonad of the male fish became mature when their body measurements were still smaller than the female fish. The Fecundity of pirik fish pirik in Pattunuang river varied from 55-3.415 eggs with the average of 481 eggs and those in Sanrego river varied from 680 to 4.447 eggs with the average of 2.247 eggs. The highest reproductive capacity of the pirik fish in Pattunuang river was 28.905 eggs at the approximate length of 60 - 70 mm, while those in Sanrego river was 41.368 eggs at the approximate length of 80 – 90 mm. The egg diameter of the endemic pirik fish in Pattunuang river was about 0,1523 - 0,8618 mm and in Sanrego river 0,2080 - 0,8618 mm in Sanrego river. Based on the egg diameter distribution, pirik fish could be categorized as the group of the partial spawner. Keywords : Reproductive biology, endemic-pirik fish, Pattunuang river Sanrego river, South Sulawesi.
ix
DAFTAR ISI
Nomor
Halaman
PRAKATA ........................................................................................
v
ABSTRAK ........................................................................................
vii
ABSTRACT ......................................................................................
viii
DAFTAR ISI .....................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ..............................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................
xvii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................. B. Rumusan Masalah ............................................................ C. Tujuan Penelitian .............................................................. D. Manfaat Penelitian ............................................................
1 4 5 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistematika dan Morfologi ................................................. B. Habitat dan Distribusi ........................................................ C. Aspek Biologi .................................................................... D. Aspek Reproduksi ............................................................. E. Karasteristik Habitat .......................................................... F. Kualitas Perairan ............................................................... G. Kerangka Pikir ..................................................................
6 8 8 11 24 27 32
BAB III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. B. Alat dan Bahan ................................................................. C. Metode Pengumpulan Data .............................................. D. Analisis Data .....................................................................
34 34 36 40
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tipe Pertumbuhan dan Faktor Kondisi................................ B. Nisbah Kelamin ................................................................. C. Tingkat Kematangan Gonad ............................................. D. Indeks Kematangan Gonad .............................................. E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad .................................. F. Fekunditas ......................................................................... G. Diameter Telur ..................................................................
46 63 68 86 93 96 105
x
H. Potensi Reproduksi ........................................................... I. Parameter Kualitas Air ....................................................... BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ......................................................................... B. Saran ................................................................................ DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
109 110 120 121
xi
DAFTAR TABEL Nomor
1.
Halaman
Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan nilem jantan dan betina secara morfologi (Andy Omar, 2010) ................................
38
2.
Parameter kualitas yang air diamati.............................................
39
3.
Hasil analisis hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone...........................................................
47
4.
Tipe pertumbuhan beberapa spesies ikan air tawar endemik......
56
5.
Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.....................
58
Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone...........................
59
Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros........
61
Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone.............................................................................................
62
Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.........................................................................
63
Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego.......
63
6.
7.
8.
9.
10.
xii
Nomor
Halaman
Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.........................................................................
64
Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone..........................................................................
64
13.
Nisbah Kelamin beberapa spesies ikan air tawar endemik..........
67
14.
Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan...................................................................
72
Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina...................................................................
75
Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros....................................
85
Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone...........................................
85
Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros...................................................
86
Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone..........................................................................
86
20.
Musim pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik......
92
21
Ukuran pertama kali matang gonad (mm) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan di Sungai Pattunuang dan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........
93
Ukuran pertama kali matang gonad beberapa ikan air tawar endemik.......................................................................................
95
11.
12.
15. 16. 17. 18.
19.
22
xiii
Nomor
23
24.
25.
26.
Halaman
Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros……………..
96
Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone..............................
97
Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.........................
98
Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone................................
99
27.
Fekunditas beberapa spesies ikan air tawar endemik................. 101
28.
Diameter telur dan pola pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik.............................................................................. 109
29.
Potensi reproduksi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker,1860) menurut panjang total (mm) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone.......................................................................... 110
30
Suhu beberapa spesies ikan air tawar family Terapontidae........ 114
31
Oksigen terlarut beberapa spesies ikan air tawar family Terapontidae................................................................................ 117
32
pH beberapa spesies ikan air tawar family Terapontidae........... 118
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) tertangkap di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.........................................
7
2.
Kerangka pikir penelitian...............................................................
33
3.
Peta lokasi pengambilan ikan contoh di Sungai pattunuang, Kabupaten Maros dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone.......
38
Hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.....................................................
53
1.
4.
5.
Hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh di Sungai Sanrego, Kabupaten .........................................................................................54 Bone
6.
Posisi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860)…………………………………………………………………...
69
Struktur morfologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad.......................................................................
73
Struktur histologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad.......................................................................
74
Struktur morfologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker 1860) betina yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad.......................................................................
76
Struktur histologi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker 1860) betina yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad.......................................................................
77
Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di SungaiPattunuang,Kabupaten Maros.........................................
78
7.
8.
9.
10.
11.
xv
Nomor 12.
13.
14.
15.
16.
Halaman
Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros........................................................................
79
Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker ,1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone............................................................
80
Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone..........................................................
81
Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros........................................
89
Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone...............................................
89
17.
Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh (a), fekunditas dengan bobot tubuh (b) dan fekunditas dengan berat gonad (c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) pada perairan Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.......................... 101
18.
Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh (a), fekunditas dengan bobot tubuh (b) dan fekunditas dengan berat gonad(c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) pada perairan Sungai Sanrego, Kabupaten Bone................................. 104
19.
Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros...........................................................................................
106
20.
Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone... 107
21.
Sebaran rataan nilai suhu selama penelitian...............................
112
xvi
Nomor
Halaman
22
Sebaran rataan nilai oksigen terlarut selama penelitian..............
115
23
Sebaran rataan nilai pH selama penelitian.................................
117
24
Sebaran rataan nilai TDS selama penelitian...............................
119
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Prosedur pengamatan histologi gonad ikan pirik.......................... 133
2.
Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros..................................... 136
3.
Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........................................... 137
4.
Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros......................................................................... 138
5.
Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros......................................................................... 139
6.
Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros..................................................... 140
7.
Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........................................................................... 141
8.
Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........................................................................... 142
9.
Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........................................................... 143
10. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros......................................... 144 11. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) Jantan dan betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone..............................................
145
xviii
Nomor
Halaman
12. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone..........................................................
146
13. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone..........................................................
147
14. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone………………………............................................................
148
15. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros..................................................... 149 16. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone........................................................... 150 17. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang , Kabupaten Maros................................... 151 18. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone................................ 152 19. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros........................ 153 20. Uji Chi-square ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone.............................................. 154 21. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros………….. 155
xix
Nomor
Halaman
22. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros…………. 157 23. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone....................... 159 24. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone....................... 161
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia keanekaragaman
merupakan hayati
negara
tertinggi
kedua
yang di
dikenal
dunia
setelah
memiliki Brazil.
Keanekaragaman hayati tersebut meliputi keragaman ekosistem (habitat), jenis (spesies), dan genetik (varietas). Di bidang perikanan, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang hidup di perairan laut maupun pada perairan tawar. Di perairan Indonesia ditemukan 8.500 jenis ikan, 1.300 jenis ikan di antaranya hidup pada ekosistem air tawar (Budiman et al., 2002). Namun pada kenyataannya, keanekaragaman dan kelestarian spesies ikan air tawar di Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai ancaman akibat aktifitas manusia (Nasution, 2008). Aktifitas manusia tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi sumber daya ikan air tawar, salah satu contohnya adalah hilangnya populasi ikan jambal (Pangasius pangasius) di Waduk Jatiluhur (KKP, 2012). Menurut Nasution (2008), jenis ikan Indonesia yang terancam punah adalah sebanyak 87 jenis, dan 66 spesies atau 75% di antaranya adalah ikan air tawar. Selanjutnya Kottelat et al. (1993) menyatakan bahwa sebagian
2
besar (68%) dari ikan air tawar yang terancam punah tersebut adalah ikan endemik. Sulawesi termasuk dalam Kawasan Wallacea yang memiliki tingkat keanekaragaman ikan dan endemisitas yang cukup tinggi (Whitten et al., 1987). Endemisme merupakan gejala yang dialami oleh organisme untuk menjadi unik pada lokasi geografis tertentu (Andy Omar, 2012). Kekayaan spesies dan endemisitas merupakan dua komponen yang sangat penting dalam biodiversitas (Mamangkey, 2010). Sulawesi diperkirakan memiliki 56 spesies ikan air tawar endemik, 44 spesies ikan Atherinomorpha dan sisanya merupakan spesies dari Perciformes, Gobiodae, dan Terapontidae (Parenti, 2011). Beberapa peneliti telah menekankan bahwa spesies ikan endemik Sulawesi menjadi semakin terancam oleh berbagai faktor antropogenik sehingga tidak diragukan lagi akan mengalami kepunahan pada waktu tertentu. Oleh karena itu, pelestarian ikan air tawar endemik Sulawesi ini merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Namun hingga saat ini belum ada studi ekologi kuantitatif yang rinci tentang komunitas ikan endemik, baik pada perairan sungai maupun danau di Sulawesi (Tweedley et al., 2013). Ikan pirik (Lagusia micracanthus) merupakan salah satu ikan air tawar endemik dan asli (native) Sulawesi. Ikan endemik ini hidup di sungai-sungai di Sulawesi Selatan. Meski demikian, habitat ikan ini sangatlah terbatas, hanya terdapat pada sungai–sungai tertentu. Informasi
3
mengenai seberapa banyak populasi ikan ini di alam belum diketahui, demikian pula data mengenai tingkat eksploitasi ikan ini juga belum diperoleh. Namun, ikan ini telah menjadi ikan komsumsi yang dieksploitasi sejak lama oleh masyarakat lokal. Informasi
masyarakat
setempat
mengindikasikan
adanya
penurunan populasi ikan endemik L. micracanthus, bahkan populasi ikan endemik ini diketahui telah mengalami kepunahan pada beberapa habitat. Aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (penggunaan racun dan tuba) yang intensif dilakukan oleh masyarakat lokal terhadap spesies ekonomis tertentu, ternyata telah berdampak pula pada penurunan dan degradasi populasi ikan endemik ini di habitatnya, sehingga menjadi ancaman terbesar terhadap keberlanjutan spesies ini di masa mendatang. Hal ini juga memberikan kekhawatiran yang besar akan kepunahan spesies ikan endemik ini sebelum dilakukan penelitian. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka upaya penelitian mengenai aspek biologi reproduksi ikan endemik L. micracanthus merupakan hal yang penting dan mendesak untuk dilakukan.
Selain itu informasi
mengenai kondisi perairan yang menjadi habitat ikan pirik juga merupakan hal yang penting untuk diketahui khususnya sebagai upaya pemantauan jika sewaktu-waktu terjadi perubahan kondisi perairan yang berdampak pada populasi ikan pirik di habitat tersebut. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam upaya perlindungan dan
4
konservasi
habitat,
spesies,
maupun
genetik
ikan
endemik
L.
micracanthus. B. Rumusan Masalah Ikan endemik L. micracanthus ini merupakan bagian dari kekayaan hayati sehingga keberadaan ikan ini patut untuk dilindungi. Namun jika dibandingkan dengan jenis ikan endemik Sulawesi lainnya yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan beseng (Telmatherina ladigesi), ikan ini belum mendapat perhatian dari para peneliti maupun pemerintah setempat. Hal tersebut dibuktikan dengan belum adanya upaya pelestarian terhadap spesies ikan ini, baik dalam bentuk pengenalan spesies ke masyarakat, penelitian biologi, maupun pada studi ekologi kuantitatif habitat alami spesies ini. Pengetahuan dan penelitian terhadap spesies ikan endemik ini masih sangat terbatas. Hingga saat ini penelitian yang pernah dilakukan masih sebatas pada sistematika oleh Vari pada tahun 1978, yang dideskripsikan kembali oleh Vari dan Hadiaty pada tahun 2012. Adanya tekanan antropogenik telah memberikan kekhawatiran akan degradasi populasi dan kepunahan ikan endemik ini pada kurun waktu tertentu. Olehnya itu, penelitian mengenai aspek biologi dan reproduksi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan, agar ikan endemik L. micracanthus tetap lestari dan berkelanjutan.
5
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek biologi reproduksi meliputi : hubungan panjang bobot, faktor kondisi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, fekunditas, diameter telur, dan potensi reproduksi serta kualitas perairan pada habitat ikan endemik L. micracanthus. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai tipe pertumbuhan, faktor kondisi, keseimbangan populasi, tingkat kematangan gonad, musim pemijahan, produktivitas, pola pemijahan, potensi reproduksi dan kualitas perairan pada habitat ikan endemik L. micracanthus. Informasi yang diperoleh tersebut, diharapkan menjadi landasan dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan endemik pirik secara berkelanjutan di Sulawesi Selatan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistematika dan Morfologi 1. Sistematika Menurut klasifikasi Nelson (1994), sistematika ikan endemik pirik adalah Kingdom
Animalia, Phylum Chordata, Subphylum Vertebrata,
Kelas Actinoptergyii, Ordo Perciformes, Famili Terapontidae, Genus Lagusia (Vari, 1978), Spesies Lagusia micracanthus (Bleeker,1860). Ikan endemik ini memiliki sinonim Datnia micracanthus (Bleeker,1860) dan Therapon
micracanthus
(Bleeker,1860)
serta
nama
lokal
Piri-piri
(Bantimurung dan Simbang, Kabupaten Maros), Ire’/ira’ (Sanrego, Kabupaten Bone dan Camba, Kab. Maros) dan Iren (sekitar Danau Tempe). 2. Morfologi Ikan
L.
micracanthus
merupakan
ikan
yang
pertama
kali
dideskripsikan oleh Bleeker pada tahun 1860 dari tiga spesimen yang ditemukan pada sungai di sekitar Lagusi dan Amparang, Sulawesi Selatan. Pada saat itu ikan ini dikenal dengan nama Datnia micracanthus (Bleeker, 1860). Namun, pada tahap selanjutnya terjadi perbedaan pendapat oleh beberapa peneliti terhadap penamaan spesies ikan D. micracanthus sehingga kemudian direvisi namanya menjadi Therapon
7
micracanthus oleh Bleeker sendiri (1873), namanya kemudian berubah menjadi
Papuservus micracanthus saat Munro (1958) menelitinya.
Namun, pada akhirnya, tahun 1978 oleh Vari melalui analisis filogenetik Terapontidae, menemukan bahwa nominal spesies ini tidak erat atau tidak terkait dari tipologi dan nama generik spesies yang tersedia pada waktu itu sehingga mengharuskan adanya penciptaan genus baru yaitu Lagusia. Hal ini menyebabkan terjadi perubahan nama spesies tersebut menjadi Lagusia micracanthus (Vari dan Hadiaty, 2012). Deskripsi ikan ini adalah badan pipih lateral, mempunyai ukuran badan kecil (Gambar 1).
Bagian punggung pada tubuh cembung dari
tulang belakang ke sirip punggung, kemudian sedikit cembung dari titik itu ke awal pangkal ekor (Vari dan Hadiaty, 2012). Morfometrik dan meristik ikan ini adalah D.XII – XIII, 8-11 A.III, 8-9, terdapat 38-42 sisik sepanjang gurat sisi (Vari, 1978).
Gambar 1. Ikan pirik Lagusia micracanthus (Bleeker, 1860) tertangkap di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.
8
Pola warna ikan ini adalah coklat dan hitam. Secara keseluruhan warna keperakan pada tubuh dan bagian punggung yang lebih gelap. Warna
keperakan
pada
bagian
kepala
posterior,
ventral,
dan
anteroventral. Pada bagian ventral moncong terdapat garis hitam di sepanjang moncong. Tubuh memiliki garis lateral. Warna kuning bagian tengah dorsal dan lobus ventral pada sirip ekor (Vari dan Hadiaty, 2012). B. Habitat dan Distribusi Lagusia micracanthus ditemukan hidup di sungai kecil dengan substrat kerikil hingga batu besar. Spesies ini biasanya diamati berenang dengan cepat di antara kelompok-kelompok batu tersebut (Vari dan Hadiaty, 2012). Distribusi ikan L. micracanthus meliputi sungai-sungai di Provinsi Sulawesi Selatan, seperti S. Lagusi, S. Amparang, S. Bantimurung, S. Cendrana, S. Leang-leang, S. Maros, S. Menralang, S. Samanggi dan S. Saripa (Vari dan Hadiaty, 2012). C. Aspek Biologi 1. Hubungan Panjang–Bobot dan Faktor Kondisi Pertumbuhan panjang ikan dikuti oleh pertumbuhan berat, atau sebaliknya. Kejadian seperti itu disebut model hubungan panjang dan bobot
untuk
populasi
ikan.
Hubungan
panjang-bobot
merupakan
perangkat yang penting dalam pengelolaan perikanan (Lawson et al.,
9
2013). Hubungan panjang-bobot telah diterapkan sebagai dasar untuk penilaian stok dan populasi ikan. Hubungan panjang-bobot juga membantu untuk mengetahui kondisi, sejarah reproduksi, sejarah kehidupan, dan kesehatan spesies ikan (Nikolsky, 1963). Hubungan panjang-bobot juga dapat digunakan sebagai indikasi kegemukan ikan, perkembangan gonad, estimasi stok biomassa, dan perbandingan ontogeni populasi ikan dari berbagai daerah (Lawson et al., 2013). Hubungan panjang-bobot ikan bervariasi tergantung pada kondisi kehidupan di lingkungan perairan. Panjang dan bobot dari spesies ikan tertentu berkaitan erat satu sama lain (Patel et al., 2014). Dalam studi bidang perikanan, panjang ikan dapat diukur dengan lebih cepat dan mudah daripada bobot ikan. Pengetahuan tentang hubungan panjang– bobot membuatnya lebih mudah untuk menentukan bobot jika panjang telah diketahui (Kara dan Bayhan, 2008). Salah satu nilai yang dapat dilihat dari adanya hubungan panjangbobot ikan adalah bentuk atau tipe pertumbuhannya. Apabila harga b = 3 maka dinamakan isometrik yang menunjukkan pertambahan ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya. Apabila b < 3 dinamakan allometrik negatif (minor) dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dibanding pertambahan bobotnya, jika b > 3 dinamakan allometrik positif (mayor) dibanding
yang
menunjukkan
dengan
bahwa
pertambahan
pertambahan panjangnya
bobotnya (Effendie,
cepat 2002).
Pertumbuhan secara fisik diekspresikan dengan adanya perubahan
10
jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh pada periode tertentu, yang kemudian diukur dalam satuan panjang ataupun bobot (Rahardjo et al., 2011). Penelitian mengenai hubungan panjang-bobot pada ikan air tawar telah banyak dilakukan. Beberapa jenis ikan di antaranya dilaporkan memiliki pertumbuhan yang isometrik, allometrik positif (mayor), dan allometrik negatif (minor). Faktor kondisi atau ponderal index menunjukkan keadaan ikan, baik dilihat dari segi kapasitas fisik, maupun dari segi survival dan reproduksi. Dalam penggunaan secara komersial, pengetahuan kondisi hewan dapat membantu untuk menentukan kualitas dan kuantitas daging yang tersedia agar dapat dimakan (Andy Omar, 2013). Faktor kondisi relatif merupakan simpangan pengukuran dari sekelompok ikan tertentu dari bobot rata-rata terhadap panjang pada sekelompok umurnya, kelompok panjang, atau bagian dari populasi (Weatherley, 1972 dalam Andy Omar, 2013). Selama dalam pertumbuhan, tiap pertambahan berat material ikan bertambah panjang dimana perbandingan liniernya akan tetap. Dalam hal ini dianggap bahwa berat yang ideal sama dengan pangkat tiga dari panjangnya dan berlaku untuk ikan kecil atau besar. Bila terdapat perubahan berat tanpa diikuti oleh perubahan panjang atau sebaliknya, akan menyebabkan perubahan nilai perbandingan tadi (Effendie, 2002).
11
D. Aspek Reproduksi Aspek reproduksi diketahui memiliki peranan yang sangat besar dalam peningkatan populasi ikan. Reproduksi merupakan kemampuan suatu individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Beberapa aspek reproduksi ikan yaitu nisbah kelamin, faktor kondisi, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, dan diameter telur, memberikan informasi mengenai frekuensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Nikolsky, 1963). Studi perkembangan dan tingkat kematangan gonad diperlukan untuk memprediksi potensi reproduksi, waktu dan frekuensi pemijahan, ukuran telur, dan ukuran ikan pertama matang gonad. Selain itu, juga dapat digunakan dalam memprediksi struktur dan dinamika populasi suatu spesies ikan (Ekokotu dan Olele, 2014). Sementara pemahaman terhadap perilaku reproduksi ikan tidak hanya penting untuk menjelaskan dasar biologi ikan tetapi juga dapat membantu dalam pengelolaan dan pelestarian spesies ikan tersebut (Jan et al., 2014). Keberhasilan reproduksi ikan juga merupakan faktor penting yang dapat menentukan kelangsungan populasi ikan di alam (Mamangkey, 2010). Keragaman spesies ikan air tawar dan distribusinya pada berbagai habitat dan daerah menampilkan beragam strategi dan cara reproduksi yang berbeda (Winemiller et al., 2008). Bahkan, beberapa jenis ikan melakukan perjalanan yang jauh untuk memijah (Rahardjo et al., 2011).
12
Reproduksi pada setiap jenis hewan air berbeda-beda tergantung kondisi lingkungan, ada yang berlangsung setiap musim dan ada juga yang tergantung pada kondisi tertentu setiap tahunnya. Dalam keadaan normal, ikan melangsungkan pemijahan minimum satu kali dalam satu daur hidupnya. Hampir semua jenis ikan pemijahannya berdasarkan reproduksi seksual yaitu terjadinya penyatuan sel reproduksi organ berupa telur dari ikan betina dan spermatozoa dari ikan jantan (Effendie, 2002). Organ reproduksi pada ikan jantan disebut testis dan pada ikan betina disebut ovarium. Testis berbentuk memanjang dan menggantung pada bagian atas rongga tubuh dengan perantaraan mesorkium. Pada ikan yang memiliki gelembung gas, testis terletak pada bagian bawah gelembung gas tersebut. Ukuran dan warna testis bervariasi tergantung pada tingkat perkembangannya. Sementara itu, ovarium berbentuk memanjang, Pada ikan yang memiliki gelembung gas, terletak di bawah atau di samping gelembung gas. Ovarium bergantung pada bagian atas rongga tubuh dengan perantaraan mesovaria. Ukuran dan perkembangan ovarium pada rongga tubuh dapat bervariasi sesuai dengan tingkat kematangannya. Warna ovarium pun berbeda-beda, sebagian besar berwarna keputih-putihan pada waktu masih muda, dan menjadi kekuningkuningan pada waktu matang dan siap dipijahkan (Rahardjo et al., 2011). Daur reproduksi ikan secara umum terbagi atas tiga periode yaitu periode awal pemijahan, periode memijah, serta periode setelah memijah. Periode awal pemijahan merupakan periode terpanjang dalam daur
13
reproduksi karena berhubungan dengan penyiapan gonad (tingkat kematangan gonad). Periode pemijahan adalah periode paling pendek berhubungan dengan pengeluaran gamet dalam gonad. Periode setelah pemijahan
berhubungan
dengan
pembuahan/fertilisasi
sel
telur,
penetasan telur, dan perkembangan telur. Selanjutnya dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, gonad semakin bertambah besar dan gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai (Effendie, 2002). Sebagian besar ikan melakukan pemijahan selama beberapa kali dalam masa hidupnya. Ikan-ikan di daerah bermusim empat (temperate, daerah ugahari) umumnya memijah pada musim semi atau musim panas, sementara ikan tropis memijah sepanjang tahun, namun sebagian ikan melakukan pemijahan pada awal musim hujan terutama ikan penghuni sungai. Secara garis besar
ikan dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok berdasarkan cara pengeluaran telurnya (pemijahan) yaitu pemijahan secara serempak dan pemijahan bertahap (Rahardjo et al., 2011). Sementara itu Syandri (1996) membagi bentuk reproduksi ikan menjadi tiga kelompok yaitu: (1) Big bang spawner, ikan yang memijah sekali seumur hidupnya; (2) Total spawner, ikan yang memijahkan telurnya sekaligus pada satu kali pemijahan; dan (3) Partial spawner, ikan yang mengeluarkan telur matang secara bertahap pada satu kali periode pemijahan.
14
Faktor yang mempengaruhi proses reproduksi ikan terdiri atas faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi curah hujan, suhu, sinar matahari, tumbuhan, dan adanya ikan jantan. Pada umumnya ikan-ikan di perairan alami akan memijah pada awal musim hujan atau pada akhir musim hujan, karena pada saat itu akan terjadi suatu perubahan lingkungan yang dapat merangsang ikan-ikan untuk berpijah. Faktor internal meliputi kondisi dan adanya hormon reproduksi yang cukup untuk memacu kematangan gonad diikuti ovulasi dan pemijahan (Burhanuddin, 2010).
1. Nisbah Kelamin Nisbah kelamin diduga memunyai keterkaitan dengan habitat suatu spesies ikan. Nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina di alam diperkirakan mendekati 1,00 : 1,00, yang berarti bahwa jumlah ikan jantan yang tertangkap relatif hampir sama banyaknya dengan jumlah ikan betina yang tertangkap. Namun demikian, kadang ditemukan penyimpangan dari kondisi ideal tersebut karena adanya perbedaan pola tingkah laku bergerombol antara ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas, dan perbedaan pertumbuhan (Ball dan Rao, 1984). Perbedaan nisbah kelamin dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah jantan dan betina secara teratur, pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1, lalu diikuti dengan dominasi ikan
15
betina (Nikolsky 1963). Untuk
mempertahankan kelangsungan hidup
suatu populasi, perbandingan ikan jantan dan ikan betina diharapkan dalam keadaan seimbang atau setidaknya ikan betina lebih banyak (Sulistiono et al., 2007). Perbandingan jenis kelamin dapat digunakan untuk menduga keberhasilan pemijahan, yaitu dengan melihat keseimbangan jumlah ikan jantan dan ikan betina di suatu perairan, juga berpengaruh terhadap produksi, rekruitmen, dan konservasi sumberdaya ikan tersebut (Effendie, 2002). Nisbah kelamin juga dapat dijadikan indikator bahwa populasi ikan di suatu lokasi berada dalam kondisi ideal. Keseimbangan komposisi antara ikan jantan dan ikan betina diharapkan dapat menjaga populasi ikan dari kepunahan. Kondisi yang ideal umumnya didukung oleh kondisi lingkungan dan habitat yang baik bagi kelangsungan hidup ikan tersebut. Nisbah kelamin diduga memiliki keterkaitan dengan habitat ikan. Pada habitat yang ideal untuk melakukan pemijahan, umumnya komposisi ikan jantan dan ikan betina seimbang (Nasution, 2008).
1. Tingkat Kematangan Gonad dan Ukuran Matang gonad Tingkat
kematangan
gonad
(TKG)
merupakan
tahap
perkembangan gonad sejak, sebelum, hingga setelah ikan memijah. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari vitelogenesis yaitu proses pengendapan kuning telur pada sel telur. Tingkat kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan
16
ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dan yang tidak melakukan reproduksi (Effendie, 2002). Dalam proses reproduksi, terdapat dua tahapan perkembangan gonad yaitu tahap perkembangan gonad ikan menjadi dewasa kelamin (sexually mature) dan tahapan pematangan gamet (gamet maturation) (Mamangkey, 2010). Perkembangan gonad akan semakin matang sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad (Effendie, 2002).
Pembuahan dapat
terjadi apabila gonadnya sudah benar-benar matang. Ikan yang telah dewasa ditandai dengan kematangan gonad dan didukung dengan ukuran panjang serta bobotnya. Pada saat ikan mulai berkembang, gonad betina (ovari) mulai terlihat dan akan memenuhi rongga tubuh saat memasuki tahap matang dan gonad jantan (testis) akan berwarna pucat pada saat matang (Royce, 1972 dalam Mulyoko, 2010). .
Penentuan TKG dapat dilakukan secara morfologi dan histologi.
Penentuan secara morfologi dilihat dari bentuk, panjang dan warna, serta perkembangan isi gonad Untuk menganalisis daur TKG satu spesies, ikan harus memiliki suatu sistem yang dapat menerangkan tahap-tahap kematangan ikan tersebut agar dapat menilai dengan cepat pada ikan dalam jumlah yang besar. Hal yang penting dalam penggunaan klasifikasi tersebut adalah memahami dan mengetahui perbedaan tanda-tanda antara satu kelas dan kelas lainnya, serta keadaan transisi dari dua kelas yang berdekatan.
17
Persentase komposisi TKG dapat dipakai untuk menduga terjadinya pemijahan (Effendie, 2002). Penentuan TKG secara histologi dapat dilihat dari anatomi perkembangan
gonadnya.
Dengan
memperhatikan
perkembangan
histologi gonadnya, akan diketahui anatomi perkembangan gonad lebih jelas dan mendetail (Effendie, 2002). Secara histologi, perkembangan gonad pada ikan jantan (spermatogenesis) ditandai dengan perbanyakan spermatogonia
melalui
pembelahan
mitosis.
Pada
perkembangan
selanjutnya inti sel bertambah besar membentuk spermatosit primer. Ukuran testis akan bertambah besar, spermatosit berkembang menjadi spermatosit
sekunder
kemudian
Spermatid
membelah
secara
berkembang meiosis
menjadi
menjadi
spermatid.
spermatozoa.
Spermatozoa dewasa memiliki kepala dan ekor yang panjang atau flagella (Gromann, 1982 dalam Ma’suf, 2008). Pada perkembangan awal ovarium, oogonia masih sangat kecil, berbentuk bulat dengan inti sel yang besar dibandingkan dengan sitoplasmanya. Oogonia terlihat berkelompok, tapi kadang ada juga yang berbentuk tunggal, oogonia akan terus memperbanyak diri dengan cara mitosis menjadi oosit primer.
Selanjutnya, inti sel terletak di tengah
dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang sangat tipis (Ernawati, 1999 dalam Ma’suf, 2008). Ikan pada saat pertama kali mencapai kematangan gonad dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain spesies, umur, dan ukuran.
18
Secara umum, ikan yang memiliki ukuran maksimum kecil dan jangka waktu yang pendek akan mencapai kedewasaan pada umur yang lebih muda daripada ikan yang mempunyai ukuran maksimum lebih besar (Rahardjo et al., 2011). Dalam perkembangannya menuju kematangan, testis kian besar dan bertambah berat. Bobot testis yang sudah matang atau siap memijah dapat mencapai 12% atau lebih dari bobot tubuhnya sementara bobot ovarium
dapat
mencapai
puluhan
persen
dari
bobot
tubuhnya.
Kebanyakan testis berwarna putih susu dan mempunyai lapisan susu yang halus, sementara itu ovarium yang matang gonad berwarna kekuningan dan menampakkan butiran telur (Rahardjo et al., 2011). Lagler et al., (1977) menyatakan bahwa ada dua faktor yang memengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad, yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor dalam antara lain perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologi dari ikan tersebut, seperti kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Faktor luar yang memengaruhinya yaitu makanan, suhu, arus, adanya individu yang berlainan jenis kelamin, dan tempat berpijah yang sama. Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali gonadnya matang memiliki ukuran yang tidak sama, demikian juga dengan ikan yang spesiesnya sama.
19
2. Indeks Kematangan Gonad Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan perbandingan antara bobot gonad dan bobot tubuh yang nilainya dinyatakan dalam persen. Bobot gonad akan semakin meningkat dengan meningkatnya ukuran gonad dan diameter telur. Bobot gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung hingga selesai. Indeks kematangan gonad diukur secara kuantitatif sehingga berbeda dengan kematangan gonad yang hanya diukur secara kualitatif (Effendie, 1979). Secara umum IKG ikan jantan lebih kecil daripada ikan betina (Rahardjo et al., 2011). Ini bisa disebabkan oleh fisiologis dan efek hormon pada perkembangan gonad ikan betina yang lebih besar daripada ikan jantan (Bandepei et al., 2011). Nilai IKG memberikan indikasi persentase berat ikan yang digunakan untuk produksi telur ketika telur akan ditumpahkan, dan mencapai nilai maksimum selama musim pemijahan (Ekokotu dan Olele, 2014).
3. Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah (Effendie, 1979). Fekunditas merupakan salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam biologi perikanan. Fekunditas secara tidak langsung dapat digunakan untuk menaksir jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan jumlah ikan dalam kelas umur yang
20
bersangkutan. Selain itu, fekunditas merupakan suatu obyek yang dapat menyesuaikan dengan bermacam-macam kondisi, terutama dengan respon terhadap makanan. Pada spesies tertentu dan pada umur yang berbeda-beda,
fekunditas
dapat
bervariasi
tergantung
persediaan
makanan tahunan. Ikan-ikan yang hidup pada perairan yang kurang subur produksi telurnya rendah (Effendie, 2002). Jumlah telur dalam ovarium ikan didefinisikan sebagai fekunditas individu, fekunditas mutlak, atau fekunditas total. Fekunditas merupakan ukuran yang paling umum dipakai untuk mengukur potensi reproduksi ikan karena relatif lebih mudah dihitung, yaitu jumlah telur di dalam ovari ikan betina. Berdasarkan fekunditas, secara tidak langsung dapat diduga jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan ditentukan pola jumlah ikan dalam kelas umur yang bersangkutan. Fekunditas
individu
sulit
diterapkan
untuk
ikan-ikan
yang
mengadakan pemijahan beberapa kali dalam satu tahun, karena mengandung telur dari berbagai tingkat dan benar-benar akan dikeluarkan pada tahun yang akan datang. Fekunditas inidividu baik diterapkan pada ikan-ikan yang mengadakan pemijahan tahunan atau satu tahun sekali (Nikolsky, 1963). Fekunditas total adalah jumlah telur yang dihasilkan ikan selama hidup, sedangkan fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan berat. Fekunditas individu adalah jumlah telur dari generasi tahun tertentu yang dikeluarkan pada tahun yang sama (Nikolsky, 1963).
21
Fekunditas pada spesies ikan yang sama juga dapat dipengaruhi oleh ukuran tubuh, umur, dan diameter telur. Semakin kecil ukuran diameter telur, kemungkinan jumlah fekunditasnya lebih besar. Jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan selama pemijahan bergantung pada fekunditas dan frekuensi pemijahannya. Fekunditas ikan cenderung meningkat dengan bertambahnya berat badan, yang dipengaruhi oleh jumlah makanan dan faktor-faktor lingkungan lainnya, seperti suhu. Ikan cenderung menghasilkan telur dalam jumlah banyak sebagai kompensasi dari mortalitas larva yang tinggi (Balon, 1975 dalam Ali, 2012). Fekunditas
ikan
di
alam
akan
bergantung
pada
kondisi
lingkungannya. Apabila ikan hidup di kondisi yang banyak ancaman predator maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak. Fekunditas
akan
semakin
tinggi
sebagai
bentuk
upaya
untuk
mempertahankan regenerasi keturunannya. Ikan yang hidup di habitat yang
sedikit predator maka telur yang dikeluarkan akan sedikit atau
fekunditasnya rendah (Mulyoko, 2010). Bagenal (1978) dalam Ernawati et al. (2009) menambahkan adanya hubungan antara fekunditas dengan makanan dan kepadatan populasi, yaitu umumnya pada lingkungan yang subur maka fekunditasnya akan semakin tinggi, sebaliknya pada lingkungan yang
kurang subur maka fekunditasnya akan
rendah.
Semantara itu kepadatan populasi yang berkurang maka fekunditas juga akan semakin tinggi, begitupun sebaliknya. Beberapa faktor yang memengaruhi jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina antara lain
22
fertilitas, frekuensi pemijahan, perlindungan induk (parental care), ukuran telur, kondisi lingkungan, dan kepadatan populasi. Ikan air tawar tropis memiliki nilai fekunditas dan ukuran telur yang cenderung bervariasi. Beberapa spesies ikan menghasilkan hanya beberapa telur atau melahirkan satu atau beberapa keturunan saja. Ikan Tomeurus gracilis hanya membuahi telur sekali per kejadian pemijahan dan ikan pari air tawar hanya melahirkan beberapa keturunan dalam sebuah proses reproduksi. Sebaliknya, beberapa ikan tropis perairan tawar justru memiliki fekunditas lebih dari 100.000 butir. Keberhasilan dalam proses reproduksi ini, tergantung pada ukuran ikan, kesuburan, ukuran telur, dan interval pemijahan (Winemiller et al., 2008). Fekunditas diketahui berkorelasi linear dengan peningkatan total panjang, berat badan, panjang, dan berat ovari (Jan et al., 2014).
4. Diameter Telur Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang dari suatu telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera. Semakin meningkat kematangan gonad, garis tengah telur yang ada dalam ovarium semakin besar. Telur yang berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran lebih besar dibandingkan telur yang berukuran kecil (Effendie, 1979). Pola pemijahan dapat diduga dengan mengamati pola distribusi diameter telur. Pola pemijahan setiap spesies ikan berbeda-beda, ada yang berlangsung singkat (total spawning) dan ada yang berlangsung
23
sampai beberapa hari (partial spawning). Sebaran diameter telur pada tiap TKG akan mencerminkan pola pemijahan ikan tersebut. Spesies juga mempengaruhi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama, menunjukkan waktu pemijahan yang pendek. Sebaliknya, waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai dengan ukuran telur yang bervariasi di dalam ovarium (Effendie, 1979). Ukuran telur ikan biasanya dipakai untuk menentukan kualitas yang berhubungan
dengan
kandungan
kuning
telur.
Untuk
membuat
perbandingan diameter telur dan fekunditas, harus berasal dari ovari yang sama tingkat kematangannya. Sering diduga fekunditas dengan ukuran telur berkorelasi negatif. Walaupun tidak terdapat pada semua ikan, namun didapatkan bahwa ukuran telur dan ukuran panjang ikan berkorelasi positif, dan ikan yang berukuran besar akan berpijah lebih dahulu (Effendie, 1979).
E. Karakteristik Habitat Setiap habitat merupakan kesesuaian hidup untuk setiap spesies. Perairan sungai adalah suatu perairan yang dicirikan oleh arus yang relatif kencang. Perairan sungai biasanya memiliki percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan menggenang. Perairan sungai juga merupakan salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme di dalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Namun beberapa
24
pemanfaatan dari sungai dapat menimbulkan ketidakseimbangan dari ekosistem di dalamnya. Jika pengelolaan sungai diabaikan, maka kualitas perairan dari sungai akan menurun dan berdampak pada kehidupan organisme di dalamnya serta berdampak bagi kegiatan manusia yang memanfaatkan sungai untuk kegiatan sehari-hari (Bahri, 2012). Sungai memiliki karakteristik yang bagus dalam hidrologi, karena ketertarikan saat banjir, erosi, dan supply air. Sungai yang alami pada dasarnya merupakan refleksi dari proses vulkanik yang bersangkutan dengan transpor air dan material. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi, merupakan fenomena umum yang terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi ketiga variabel tersebut (Reid 1961 dalam Bahri, 2012). Sungai Sanrego termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae. DAS Walanae diketahui terdiri atas tujuh sub DAS, yaitu; Batu Puteh, Malanroe, Mario, Minraleng, Sanrego, Walanae Hilir, dan Walanae Tengah. Sebagian besar sub DAS tersebut memiliki bentuk memanjang, hanya sub DAS Malanroe dan Walanae Hilir yang memiliki bentuk radial. DAS Walanae termasuk dalam kategori DAS prioritas pertama dengan luas wilayah 478.932,72 Ha. Secara geografis DAS ini terletak di posisi 3º 59' 03"-5º 8' 45" LS dan 119° 47' 09"–120° 47' 03" BT dan secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Maros, Bone, Soppeng, dan Wajo (Asmoro, 2009).
25
Karasteristik DAS Walanae di antaranya adalah pola aliran didominasi pola dendritik medium (sedang) dengan kerapatan aliran terendah 72 m Ha-1 (Walanae Hilir) dan tertinggi 318,74 m Ha-1 (Walanae Tengah). Debit sungai rata-rata di hulu 243,50 m3 detik-1 dan hilir 91,87 m3 detik-1. Jenis tanah didominasi jenis litosol, kompleks mediteran, regosol, alluvial, dan grumusol. Selanjutnya, jenis batuannya terdiri atas andesit, aluvium, marmer, batu gamping, tufit tefra berbutir, dan hanya sedikit yang berjenis batu lumpur.
Iklim di wilayah DAS Walanae
tergolong tipe B/C atau agak basah. Oleh karena wilayahnya yang luas maka curah hujan di DAS Walanae bervariasi menurut titik pengukuran di kabupaten. Curah hujan tahunan tertinggi berada di Kab. Wajo (270,4 mm), kemudian di Kab. Maros (270 mm), Kab. Bone (162,2 mm), dan terendah di Kab. Soppeng (122,05 mm), dengan rata-rata hari hujan 14,9. Kondisi penutupan lahan yang semakin terbuka dan tingginya sedimentasi telah mengakibatkan meluapnya sungai pada DAS Walanae serta mengakibatkan pendangkalan di Danau Tempe (Asmoro, 2009). Sub DAS Sanrego sendiri memiliki luas DAS 38.789 Ha, dengan luas lahan bervegetasi permanen sebanyak 21.401 Ha, dan nilai indeks penutupan lahan 55,17 yang dikategorikan memiliki indeks penutupan lahan sedang (Asmoro, 2009). Pada Kawasan DAS Sanrego juga terdapat bendungan yang peruntukannya masih terbatas pada irigasi pertanian. Berdasarkan rencana tata ruang Kab. Bone, Bendungan Sanrego
26
termasuk ke dalam kawasan strategis provinsi dari sudut fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Sungai Pattunuang secara geografis termasuk ke dalam kawasan Kab. Maros. Volume air pada S. Pattunuang mencapai 17.473,70 liter tahun-1. Ditinjau dari segi pemanfaatan, S. Pattunuang termasuk ke dalam kategori pemanfaatan untuk irigasi pertanian (BLHKP Kab. Maros, 2013). Sementara itu, ditinjau dari segi kualitas air di sungai tersebut S. Pattunuang termasuk kedalam kategori baik bagi organisme akuatik perairan untuk dapat hidup dan berkembang secara. Suhu di perairan S. Pattunuang berkisar 25 – 27,8°C, pH berkisar 7 – 8,71, DO berkisar 6,9 – 10,1 mg L-1, nitrat 0,04 – 0,67 mg L-1, dan 0,4 – 1,14 mg L-1 (Kariyanti, 2014). F. Kualitas Perairan Kualitas suatu perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap
survival
dan
pertumbuhan
(Minggawati dan Lukas, 2012).
makhluk
hidup
di
perairan.
Faktor fisika dan kimia air merupakan
parameter untuk menentukan kualitas suatu sungai. Secara alami keberadaan dan distribusi ikan sungai dipengaruhi oleh aktifitas manusia di sungai, terutama yang menyebabkan perubahan faktor fisika dan kimia air, polusi, dan pemasukan spesies baru ke dalam badan air sungai. Menurut Rahayu et al. (2009), penurunan kualitas air sungai yang terjadi saat ini, tidak hanya terjadi di daerah hilir, tetapi juga telah terjadi di daerah hulu. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan
27
pemukiman merupakan faktor utama penyebab terjadinya penurunan kualitas air sungai tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui proses sedimentasi, penumpukan hara, dan pencemaran bahan-bahan kimia pestisida. Penumpukan unsur hara di perairan sungai dapat memicu pertumbuhan alga dan jenis tumbuhan air lainnya secara tak terkendali, sehingga menyebabkan kematian pada beberapa jenis biota perairan yang merupakan sumber makanan utama bagi ikan. Begitu pula akumulasi racun yang berasal dari pestisida merupakan ancaman yang besar terhadap kelangsungan biota-biota yang hidup di perairan tersebut. Suatu ekosistem dikatakan baik jika faktor biotik dan abiotiknya saling mendukung. Faktor utama yang memengaruhi perkembangbiakan ikan adalah oksigen terlarut, makanan, suhu, kedalaman, kecepatan arus, dan makhluk hidup lain yang tinggal bersamanya. 1. Suhu Pada ekosistem lotik, fenomena suhu biasanya berbeda dengan ekosistem lentik. Prinsipnya adalah: (1) suhu cenderung sama di setiap kedalaman, bahkan di sungai yang dangkal, perbedaan suhu antara permukaan dan dasar diabaikan ;
(2) kecenderungan mengikuti suhu
udara lebih dekat daripada di danau; dan (3) stratifikasi suhu hampir tidak ada. Beberapa prinsip dari keadaan utama terjadinya perbedaan suhu yaitu: (1) kedalaman air; (2) kecepatan arus; (3) material dasar; (4) suhu masukan air dari anak sungai; (5) masuknya cahaya matahari; (6) tingkat penutupan sungai; dan (7) waktu harian. Sebagian besar faktor yang
28
menentukan suhu adalah radiasi panas langsung dari matahari. Di sisi lain, suhu dari sungai merupakan sebuah ukuran dari aksi dan interaksi beberapa faktor. Sungai yang berada di pegunungan memiliki suhu yang lebih sejuk dari substratnya, akibat dari bayangan vegetasi yang menutupinya. Sebaliknya, sungai yang berada di dataran rendah lebih lebar dan dalam, sehingga air lebih terpapar oleh sinar matahari, dan menyimpan energi panas lebih besar (Reid, 1961 dalam Bahri 2012). Perubahan suhu akan memengaruhi pola kehidupan dan aktivitas biologi di dalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran toleransinya. Yuningsih et al. (2014) menyatakan suhu yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton, sehingga akan mengganggu proses fotosintesa dan menghambat pembuatan ikatan-ikatan organik yang kompleks dari bahan organik yang sederhana serta akan mengganggu kestabilan perairan itu sendiri. Peningkatan
suhu
juga
menyebabkan
peningkatan
kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan komsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C menyebabkan terjadinya peningkatan komsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat (Effendi, 2003). Suhu
mempunyai
peranan
penting
dalam
menentukan
pertumbuhan ikan. Kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal adalah 28 – 32°C (Tatangindatu et al., 2013). Boyd (1988)
29
menyatakan suhu optimal bagi ikan dan organisme makanannya adalah berkisar antara 25 – 30°C. 2. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolism, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Selain itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2005). Oksigen terlarut juga merupakan faktor terpenting dalam menentukan kehidupan ikan, pernapasan akan terganggu bila oksigen kurang dalam perairan (Minggawati dan Lukas, 2012). Kandungan oksigen terlarut minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Salmin, 2005). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet, 1970 dalam Salmin, 2005). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai oksigen terlarut diatas 6 mg L-1 dan 4 mg L-1.
30
3. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH (power of hydrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion H di dalam air. Keasaman adalah kapasitas air untuk menetralkan ion-ion hidroksil (OH)-. Nilai pH disebut asam bila kurang dari 7, pH = 7 disebut netral, dan pH di atas 7 disebut basa. Biota perairan tawar umumnya memiliki pH yang Ideal adalah antara 6,8 - 8,5 (Tatangindatu et al., 2013). Kandungan pH yang sangat rendah menyebabkan kelarutan logam-logam dalam air makin besar dan bersifat toksik bagi organisme air. Sebaliknya, pH yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi amoniak dalam air yang juga bersifat toksik bagi organisme air (Tatangindatu et al., 2013). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH antara 7 – 8.5. Nilai pH sangat memengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH yang rendah (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai pH berkisar dari 6 – 9. 4. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS) Padatan terlarut total adalah bahan-bahan terlarut diameter 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm - 10-3 mm) yang berupa senyawasenyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,4 µm (Effendi 2003).
31
Nilai padatan terlarut total
perairan sangat dipengaruhi oleh
pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (Santoso, 2008). Menurut Reid (1961 dalam
Bahri, 2012), reaksi dan
proses dari ion-ion dan materi organisme di sungai berasal dari proses kimia dan biologi dan kondisi sungai tersebut. Sumber utama untuk TDS dalam perairan adalah limpahan dari pertanian, limbah rumah tangga, dan industri. Unsur kimia yang paling umum adalah kalsium, fosfat, nitrat, natrium, kalium, dan klorida. Bahan kimia dapat berupa kation, anion, molekul, atau aglomerasi dari ribuan molekul. Kandungan TDS yang berbahaya adalah pestisida yang timbul dari aliran permukaan. Beberapa padatan total terlarut alami berasal dari pelapukan dan pelarutan batu dan tanah. Padatan tersuspensi dalam air dapat memengaruhi kehidupan di perairan di antaranya menyumbat insang (saluran pernapasan) ikan dan menghambat pertumbuhan telur atau larva. Senyawa-senyawa yang telah tersuspensi dalam waktu lama di dalam perairan dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan telur ikan dan organisme perairan lainnya. Padatan tersuspensi yang terkandung dalam perairan dapat muncul sebagai akibat peristiwa erosi, limbah-limbah industri, perkembangan alga, atau pembongkaran atau penyumbatan limbah perairan (Santoso, 2008).
32
G. Kerangka Pikir Ikan pirik (L. micracanthus) merupakan spesies ikan air tawar endemik dan asli (native) Sulawesi. Ikan ini tergolong ke dalam famili Terapontidae dan hidup terbatas pada sungai-sungai tertentu, umumnya dijumpai pada sungai yang jernih, berbatu, dan berarus deras. Jika dibandingkan dengan spesies ikan endemik Sulawesi lainnya, spesies ikan ini belum mendapat banyak perhatian dari peneliti dan pemerintah, salah satu penyebabnya adalah masih terbatasnya informasi dasar mengenai spesies ikan ini. Informasi spesies ini masih terbatas pada sistematika oleh Vari (1978) yang dideskripsikan kembali oleh Vari dan Hadiaty (2012). Namun demikian, aktifitas penangkapan yang tidak ramah lingkungan (pengunaan racun dan tuba) yang sangat intensif dilakukan oleh masyarakat lokal terhadap spesies ekonomis tertentu, ternyata telah berdampak juga pada degradasi populasi ikan endemik ini di habitatnya, sehingga memberikan kekhawatiran akan kepunahan spesies ikan endemik ini secara permanen dimasa mendatang. Penelitian mengenai aspek biologi dan reproduksi merupakan hal yang penting dan mendesak untuk dilakukan. Beberapa informasi yang akan diperoleh, antara lain keseimbangan populasi, potensi reproduksi, waktu dan frekuensi pemijahan, tipe pemijahan, ukuran telur, dan ukuran ikan pertama matang gonad. Informasi-informasi yang diperoleh tersebut merupakan dasar dalam mewujudkan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan khususnya dalam menjamin ikan endemik L. micracanthus
33
agar tetap lestari di masa mendatang. Alur pemikiran sumberdaya ikan pirik dapat dilihat pada Gambar 2. Ikan Pirik Lagusia micracanthus Aktifitas penangkapan ikan oleh masyarakat lokal
Ikan konsumsi
Kondisi habitat
Degradasi dan kepunahan
Analisis kualitas air
Aspek biologi dan reproduksi
Hubungan panjang bobot
Nisbah kelamin
Pola pertumbuhan
Keseimbangan populasi
TKG dan IKG
Ukuran pertama matang gonad
Musim pemijahan
Ukuran yang boleh ditangkap
Fekunditas
Produktivitas dan jumlah benih
Pengembangan dan pelestarian sumberdaya ikan endemik pirik (L. micracanthus)
Gambar 2. Kerangka pikir penelitian
Diameter telur
Pola pemijahan
34
BAB III
METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Sungai Pattunuang, Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, dan di Sungai Sanrego, Desa Langi, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone (Gambar 3). Pengambilan sampel dilakukan selama enam bulan, sejak bulan September 2014 hingga Februari 2015. Pengambilan sampel dilakukan setiap 2 pekan, sehingga total pengambilan sampel selama penelitian adalah 24 kali atau 12 kali pada masing-masing lokasi. Analisis terhadap sampel ikan dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Analisis histologi gonad dilakukan di Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Makassar. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: electrical fishing sebagai alat tangkap ikan, coolbox sebagai wadah penyimpanan ikan, freezer sebagai tempat penyimpanan ikan sebelum dibedah, alat bedah (dissecting set) digunakan untuk membedah ikan,
caliper digital
berketelitian 0,01 mm untuk mengukur panjang tubuh ikan, timbangan digital berketelitian 0.001 g untuk menimbang sampel dan gonad ikan,
38
Gambar 3. Peta lokasi pengambilan ikan contoh di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros (A), dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone (B)
36
botol bekas rol film sebagai tempat untuk menyimpan gonad ikan, pipet tetes untuk mengambil larutan gilson, cawan petri untuk meletakkan telur ikan yang akan dihitung, hand tally counter, jarum pentul dan lup (kaca pembesar) sebagai alat
bantu perhitungan fekunditas,
mikroskop
binokuler dan mikrometer okuler untuk mengamati dan mengukur diameter telur ikan, deskglass sebagai tempat meletakkan telur ikan yang akan dilihat di bawah mikroskop, termometer digital untuk mengukur suhu, botol BOD untuk mengambil sampel air yang akan digunakan mengukur oksigen terlarut, pH-indicator tester untuk mengukur pH, TDS-meter untuk mengukur padatan terlarut total, kamera untuk dokumentasi, serta komputer berbasis Windows yang dilengkapi software MS.Office serta software SPSS untuk mengolah dan menganalisis data hasil penelitian. Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain :
ikan L.
micrachathus sebagai ikan contoh, plastik sampel, kertas label untuk penandaan, larutan gilson untuk memisahkan telur ikan dari selaputselaput yang terdapat pada gonad ikan, aluminium foil untuk meletakkan gonad ikan, tissue untuk membersihkan peralatan, dan es curah untuk menjaga kesegaran mutu ikan contoh. C. Metode Pengumpulan Data 1. Prosedur di lapangan Pengambilan
ikan
contoh
dilakukan
dengan
menggunakan
electrical fishing. Sampel yang telah diperoleh tersebut dimasukkan ke dalam coolbox dan diberi es curah agar kesegaran ikan tetap terjaga. Ikan
37
contoh dimasukkan ke dalam plastik sampel dan dimasukkan ke dalam freezer. Tahap selanjutnya, ikan contoh dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. 2. Prosedur di laboratorium Panjang total ikan diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip
ekor
paling
belakang
dengan
menggunakan
calliper
digital
berketelitian 0,01 mm. Ikan contoh ditimbang dengan menggunakan timbangan digital yang berketelitian 0,001 g untuk mengetahui bobot tubuh. Ikan contoh dibedah dengan menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus menuju bagian atas perut sampai ke bagian belakang operculum kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut. Otot dibuka sehingga organ-organ dalam terlihat. Selanjutnya dilakukan indentifikasi jenis kelamin dan TKG. Jenis kelamin
dan TKG
ikan
ditentukan
secara morfologi
(makrokopis) dan histologi (mikroskopis). Pengamatan secara morfologi mengacu pada ciri histologi gonad hasil modifikasi ikan nilem, Osteochilus vittatus (Andy Omar, 2010) seperti terlihat pada Tabel 1, sedangkan pengamatan histologi dilakukan dengan mengamati preparat
histologi
gonad. Prosedur pengamatan histologi dapat dilihat pada Lampiran 1. Gonad kemudian dipisahkan dari organ-organ dalam lainnya kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot gonad. Gonad betina yang telah matang (TKG III, IV dan V) dimasukkan ke dalam botol rol
dan diberikan larutan gilson hingga menutupi keseluruhan gonad.
Setelah beberapa saat, gonad kemudian dikeluarkan dan diletakkan di
38
atas cawan petri untuk dihitung fekunditasnya dengan bantuan hand tally counter, pentul dan lup. Tahap selanjutnya yaitu pengamatan diameter telur dengan mengambil sebanyak 300 butir telur dan diletakkan diatas deskglass, setelah itu diamati menggunakan mikroskop, dilengkapi dengan mikrometer okuler yang telah ditera sebelumnya. Tabel 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan nilem jantan dan betina secara morfologi (Andy Omar, 2010) TKG
Jantan
Testis transparan, memanjang seperti benang, I ditemukan menempel pada Immature bagian bawah gelembung renang Warna testis tampak putih seperti susu, bentuknya lebih jelas dari tingkat I. II Terlihat menutupi sebagian Maturing kecil rongga perut
III Mature
IV Fully Mature
V Resting
Permukaan gonad tampak bergerigi, warna semakin puti. Ukuran testis terlihat menutupi sepertiga dari rongga perut
Testis semakin jelas, permukaan testis semakin bergerigi. Testis terlihat menutupi sebagian besar dari rongga perut dan pejal Sebagian testis mengerut, berwarna putih seperti susu. Ukuran testis semakin kecil
Betina Bentuk gonad memanjang seperti benang, menempel pada bagian bawah gelembung renang. Butiran telur pada gonad belum tampak Gonad berwarna merah tua, permukaannya halus. Ukuran gonad semakin meningkat dan lebih besar dari tingkat I dan terlihat menutupi setengah daari rongga perut. Butiran telur belum tampak Sebagian besar gonad berwarna merah tua sisanya tampak merah muda. Gonad menutupi setengah dari rongga perut. Seluruh gonad berwarna merah tua. Usus terdesak. Butiran telur semakin jelas Gonad menutupi hampir keseluruhan rongga perut. Seluruh gonad berwarna merah tua. Usus terdesak. Butiran telur semakin jelas Gonad mengerut, terdapat sisa telur dari TKG IV yang bercampur dengan butiran telur halus berwarna merah tua. Ditemukan juga butiran telur sisa pada saluran kelamin
39
3. Pengukuran parameter kualitas air Pengukuran parameter kualitas air merupakan hal yang penting dilakukan khususnya dalam memantau kondisi habitat yang sesuai untuk kehidupan ikan pirik. Secara umum, kondisi habitat pada kedua lokasi penelitian tidaklah jauh berbeda. kondisi habitat ikan pirik di Sungai Pattunuang dan Sungai Sanrego dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Sebagai data penunjang maka dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap satu bulan sekali. Sampel kualitas air diamati secara langsung di lokasi dan sebagian dianalisis di Laboratorium Kualitas Air, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Parameter kualitas air yang diamati tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter kualitas air yang diamati selama penelitian No
Parameter yang diamati
1 2 3 4
Suhu (oc) Oksigen terlarut (ppm) pH TDS (ppm)
Metode/ alat yang digunakan Termometer Winkler/titrasi pH meter TDS meter
Tempat pengamatan In situ Laboratorium In situ In situ
40
D. Analisis Data 1. Aspek Biologi Hubungan Panjang-Bobot Hubungan panjang dan bobot dianalisis menggunakan rumus (Le Cren, 1951) : W aLb
Keterangan: W = Bobot tubuh ikan (g); L = Panjang total ikan (mm); a = Intercept (perpotongan kurva hubungan panjang-bobot dengan sumbu-y); b = Slope (kemiringan) Persamaan tersebut ditransformasikan dalam bentuk logaritma sebagai bentuk persamaan linier (Spiegel, 1978 dalam Andy Omar, 2013): log W = log a + b log L Nilai b yang didapat dari persamaan tersebut akan menunjukkan pola pertumbuhan isometrik atau allometrik. Pola pertumbuhan isometrik kalau b = 3, yang berarti pertumbuhan ikan seimbang antara pertumbuhan panjang dengan pertumbuhan bobotnya. Tetapi jika nilai b < 3 berarti pertambahan panjangnya lebih cepat daripada pertambahan bobotnya (allometrik negatif/ allometrik minor) dan jika b > 3 maka pertambahan bobotnya lebih cepat dari pertambahan panjangnya (allometrik positif/ allometrik mayor). Untuk mengetahui nilai b = 3 atau b ≠ 3 maka dilakukan Uji-t dengan hipotesis: Ho : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik,
41
Untuk pengambilan keputusan nilai thitung dibandingkan dengan ttabel pada selang kepercayaan 95%. Kaidah pengambilan keputusan yaitu : thitung > t tabel : tolak hipotesis nol (Ho) thitung < t tabel : gagal tolak hipotesis nol
t hitung Keterangan:
b1 = b
b1 b 0 Sb 1
(dari hubungan panjang-bobot); b0
= 3; Sb1
=
simpangan koefisien Untuk menguji apakah ada perbedaan atau tidak terhadap hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan dan betina diperairan yang sama maupun antar perairan satu dengan yang lain maka dilakukan uji Kovarians (Andy Omar, 2013). Faktor Kondisi Faktor kondisi dihitung berdasarkan pola pertumbuhan panjang total dan bobot total tubuh ikan. Bila diperoleh pola pertumbuhan yang isometrik maka faktor kondisi ikan dihitung dengan rumus (Effendie, 1979): 10 5 W K L3
Keterangan: K = Faktor kondisi; W = Bobot ikan (g); L = Panjang total ikan (mm) Apabila pola pertumbuhannya allometrik maka faktor kondisi dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979):
42
K
W aLb
Keterangan: K = Faktor kondisi; W = Berat ikan (g); L = Panjang total ikan (mm); a dan b = Konstanta yang diperoleh dari regresi 2. Aspek Reproduksi Nisbah Kelamin Nisbah kelamin (sex ratio) yang didasarkan pada jumlah sampel ikan jantan dan betina, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Andy Omar, 2010) :
S
m f
Keterangan: S = Nisbah kelamin ∑ m = Jumlah ikan jantan (ekor); ∑ f = Jumlah ikan betina (ekor). Keseragaman sebaran rasio kelamin dianalisis dengan uji “ChiSquare” (Zar, 2010). k
Oi Ei
i1
Ei
X 2
Keterangan: Oi = Frekuensi ikan jantan dan betina ke-i yang diamati; Ei = Frekuensi harapan yaitu frekuensi ikan jantan + frekuensi
ikan betina
dibagi dua; X2 = Nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya mendekati sebaran Chi-square.
43
Tingkat Kematangan Gonad Analisis tingkat kematangan gonad dilakukan dengan melakukan pengelompokkan data berdasarkan proporsi ikan yang belum dan telah matang gonad serta berdasarkan TKG selama pengamatan. Ukuran pertama kali matang gonad Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad diduga dengan metode Spearman-Karber (Udupa, 1986) dengan rumus:
m xk
X X p i 2
Dengan selang kepercayaan 95%, maka: p qi Antilog m = m 1,96 X 2 i ni 1
Keterangan: m = Log panjang ikan pada saat pertama kali matang gonad ; Xk = Log nilai tengah kelas panjang yang terakhir pada saat pertama kali matang gonad X = Log pertambahan panjang pada nilai tengah; Pi = Proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i; ni = Jumlah ikan yang matang pada kelas panjang ke-I; qi = 1 – pi; M = Antilog m dari panjang ikan pertama kali matang gonad. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Indeks kematangan gonad atau gonado somatic index dihitung dengan rumus (Johnson, 1971) :
GSI
G 100% W
44
Keterangan : GSI = Indeks kematangan gonad; G = Bobot gonad (g) W = Bobot tubuh total (gram) Fekunditas Fekunditas
total
dihitung
dengan
menggunakan
metode
perhitungan langsung (Andy Omar, 2013). Selanjutnya hubungan fekunditas dan panjang total tubuh ikan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 2002). F = aLb Keterangan: F= Jumlah telur (butir); L= Panjang total ikan (mm); a dan b = Konstanta Hubungan antara fekunditas dan bobot tubuh ikan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 2002). F= a + bW Hubungan antara fekunditas dan bobot gonad ikan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 2002). F= a + bG Keterangan: F= Jumlah telur (butir); W = Bobot ikan (g); G = Bobot gonad ikan (g); a dan b = Kostanta Diameter telur Diameter telur diukur dengan rumus Andy Omar (2010).
D = Dh x Dv Keterangan: D = diameter telur yang sebenarnya (mm); Dh = diameter telur secara horizontal (mm); Dv = diameter telur secara vertikal (mm).
45
Potensi reproduksi Potensi reproduksi atau reproductive potential (RP) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Tuwo, 1993) : RP = ∑ individu per kelompok umur x fekunditas rata-rata 3. Parameter kualitas air Parameter kualitas air yang diperoleh selama penelitian dianalisis secara deskriptif.
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tipe Pertumbuhan dan Faktor Kondisi Untuk menentukan tipe pertumbuhan ikan pirik di S. Pattunuang dan S. Sanrego maka dilakukan analis hubungan panjang dan bobot ikan. Hubungan panjang-bobot merupakan perangkat yang penting dalam pengelolaan perikanan (Lawson et al., 2013). Hasil analisis hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian di S. Pattunuang dan S. Sanrego dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, jumlah ikan pirik yang diperoleh di S. Pattunuang selama penelitian sebanyak 599 ekor yang terdiri atas 307 ekor ikan jantan dan 292 ekor ikan betina. Sementara itu di S. Sanrego diperoleh 162 ekor ikan pirik yang terdiri atas 72 ekor ikan jantan dan 90 ekor ikan betina. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan ikan pirik di S. Pattunuang lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan pirik di S. Sanrego. Adanya perbedaan jumlah populasi ikan yang tertangkap tersebut, diduga selain disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan yang berbeda, juga disebabkan oleh tingkat eksploitasi yang berbeda antara di S. Pattunuang dan di S. Sanrego. Ikan pirik di S. Pattunuang relatif tidak mengalami gangguan eksploitasi. Sementara itu, ikan pirik di S. Sanrego merupakan spesies ikan yang sangat digemari oleh masyarakat setempat,
47
Tabel 3. Hasil analisis hubungan panjang - bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Lokasi pengambilan sampel Parameter Jantan
Sungai Pattunuang Betina Gabungan
Jumlah ikan contoh (ekor) Kisaran panjang total (mm) Rata-rata ± SD Kisaran bobot tubuh (g) Rata-rata ± SD Log a a Koefisien regresi (b) Koefisien korelasi ( r ) Persamaan regresi Uji t
307 35,81 – 90,54 65,12 ± 8,39 0,882 – 14,945 5,18 ± 2,19 -4,6595 0,00002 2,9489 0,9430 2,9489 W=0,00002L t hit < t tabel
292 49,76 – 105,58 67,55 ± 7,95 1,524 – 20,158 5,82 ± 2,43 -4,8567 0,00001 3,0600 0,9284 3,0600 W=0,00001L t hit < t tabel
599 35,81 – 105,58 66,31 ± 8,26 0,882 – 20,158 5,49 ± 2,33 -4,7570 0,00002 3,0041 0,9376 3,0089 W=0,00002L t hit < t tabel
Tipe petumbuhan
Isometrik
Isometrik
Isometrik
Jantan
Sungai Sanrego Betina Gabungan
72 37,27 – 107,28 71,60 ± 14,65 1,196 – 23,214 7,31 ± 4,37 -4,5136 0,00003 2,8719 0,9844 2,8719 W=0,00003L t hit > t tabel Allometrik negatif (minor)
90 42,58 – 103,82 75,26 ± 13,75 1,798 – 20,048 8,72 ± 4,51 -4,4604 0,00003 2,8574 0,9849 2,8575 W=0,00003L t hit > t tabel Allometrik negatif (minor)
162 37,27 – 107,28 73,63 ± 14,23 1,196 – 23,214 8,09 ± 4,49 -4,5227 0,00003 2,8846 0,9836 2,8846 W=0,00003L t hit > t tabel Allometrik negatif (minor)
48
sehingga aktifitas penangkapan di daerah ini sangat tinggi dan intensif. Olehnya jika dibandingkan, ikan pirik di S. Sanrego memiliki tekanan lingkungan yang lebih tinggi sehingga diduga akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan ikan pirik yang hidup di daerah tersebut. Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa ikan pirik jantan di S. Pattunuang memiliki kisaran panjang tubuh 35,81 – 90,54 mm dengan rata-rata panjang tubuh 65,12 mm dan kisaran bobot tubuh 0,882 – 14,945 g dengan rata-rata bobot tubuh 5,18 g. Sebaliknya, ikan betina memiliki kisaran panjang tubuh 49,76 – 105,58 mm dengan rata-rata panjang tubuh 67,55 mm dan kisaran bobot tubuh 1,524 – 20,158 g dengan rata-rata bobot tubuh 5,82 g. Sementara itu, ikan pirik jantan yang diperoleh di S. Sanrego memiliki kisaran panjang tubuh 37,27 – 107,28 mm dengan rata-rata panjang tubuh 71,60 mm dan kisaran bobot tubuh 1,196 – 23,214 g dengan rata-rata bobot tubuh 7,31 g, sedangkan pada ikan betina memiliki kisaran panjang tubuh 42,58 – 103,82 mm dengan rata-rata panjang tubuh 75,26 mm dan kisaran bobot tubuh 1,798 – 20,048 g dengan rata-rata bobot tubuh 8,72 g. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa, ikan pirik jantan di S. Pattunuang maupun di S. Sanrego memiliki ukuran panjang dan bobot tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan betina. Sementara itu, berdasarkan rata-rata panjang total dan bobot tubuh ikan pirik yang tertangkap, ikan pirik di S. Pattunuang memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ikan pirik di S. Sanrego.
49
Pada Tabel 3, di S. Pattunuang, diperoleh nilai koefisien regresi (b) pada ikan ikan pirik jantan sebesar 2,9489 dan betina sebesar 3,0600. Sementara itu di S. Sanrego, diperoleh nilai koefisien regresi pada ikan ikan pirik jantan sebesar 2,8719 dan betina
sebesar 2,8574. Secara
keseluruhan (jantan dan betina), ikan pirik di S. Pattunuang memiliki nilai koefisien regresi sebesar 3,0041 dan ikan pirik di S. Sanrego memiliki nilai koefisien regresi sebesar 2,8846. Hasil uji t terhadap ikan pirik jantan, betina, dan keseluruhan ikan di S. Pattunuang diperoleh nilai t hitung < t tabel (Lampiran 4, 5, dan 6), sehingga ikan pirik di S. Pattunuang memilki pola pertumbuhan yang isometrik (b = 3) atau pertambahan bobot tubuh ikan seimbang dengan pertambahan panjang tubuh. Sementara itu hasil uji t terhadap ikan pirik jantan, betina dan keseluruhan ikan di S. Sanrego diperoleh nilai t hitung > t tabel (Lampiran 7, 8 dan 9), sehingga ikan pirik di S. Sanrego memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (minor) (b < 3) atau pertambahan panjang tubuh lebih cepat daripada pertambahan bobotnya. Hasil analisis kovarians, untuk menguji apakah ada perbedaan atau tidak terhadap hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan dan betina diperairan S.Pattunuang, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05), hal yang sama juga terjadi terhadap perbedaan hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan dan betina diperairan S.Sanrego (Lampiran 10 dan 11). Selanjutnya hasil analisis kovarians, untuk menguji apakah ada perbedaan atau tidak terhadap hubungan panjang dan bobot antara ikan jantan di S.Pattunuang dan ikan jantan di S.Sanrego, juga
50
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) (Lampiran 12). Hal yang berbeda terjadi antara hubungan panjang dan bobot antara ikan betina di Perairan S.Pattunuang dan betina diperairan S.Sanrego dimana diperoleh perbedaan nyata (P<0,05) (Lampiran 13). Selanjutnya hasil uji analisis kovarians secara keseluruhan antara hubungan panjang dan bobot antara ikan pirik di S.Pattunuang dan di S.Sanrego menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) (Lampiran 14). Adanya perbedaan pola pertumbuhan antara ikan pirik yang hidup di S. Pattunuang dan di S. Sanrego tersebut diduga disebabkan oleh faktor-faktor di sekitar organisme tersebut seperti kondisi lingkungan perairan meliputi ketersediaan makanan, kompetisi dengan spesies lain dan tingkat eksploitasi. Secara umum pola pertumbuhan ikan pirik yang isometrik atau seimbang di S. Pattunuang dan pola pertumbuhan yang allometrik negatif (minor) di S. Sanrego, menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan ikan pirik di S. Pattunuang lebih stabil dan relatif lebih baik dibandingkan dengan perairan di S. Sanrego. Ditinjau dari ketersediaan makanan pada setiap lokasi penelitian, menunjukkan bahwa di S. Pattunuang ketersediaan makanan lebih baik dibandingkan dengan S. Sanrego, hasil penelitian ahsani (2015) menunjukkan makanan ikan pirik di S.Pattunuang terdiri dari 26 jenis makanan, terbagi ke dalam 11 kelas. Jenis makanan tersebut diantaranya yaitu kelas algae (Adenophorea, Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Conjugatophyceae, Cryptophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, Litostomatea, dan Oligohymenophorea), kelas bakteri (Phycomycetes),
51
dan kelas zooplankton (Malacostraca). Sementara itu, Muchtar (2015) menunjukkan makanan ikan pirik di S.Sanrego lebih sedikit yaitu terdiri dari 15 jenis makanan, termasuk kedalam 7 kelas. Jenis makanan tersebut diantaranya yaitu kelas algae (Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Cryptophyceae, Cyanophyceae, Adenophorea)
dan kelas zooplankton
(Malacostraca, Oligohymenophorea ). Ditinjau dari tingkat kompetisi dengan spesies yang lain, kompetisi dengan spesies lain di S. Pattunuang relatif sedikit dibandingkan dengan S.Sanrego.
Hasil pengamatan
terhadap
hasil tangkapan
ikan
di
S.Pattunuang menunjukkan bahwa ikan pirik di S.Pattunuang merupakan spesies yang paling mendominasi (banyak tertangkap) sementara spesies lainnya, yang diduga merupakan kompetitor utama bagi ikan pirik relatif lebih sedikit tertangkap seperti ikan nilem (Osteochilus vittatus), mas (Cyprinus carpio), gabus (Channa striata) dan lele (Clarias sp.). Selain itu juga tertangkap spesies lain namun diduga bukan merupakan kompetitor utama ikan pirik diantaranya ikan beseng-beseng (Marosatherina ladigesi) dan ikan medaka (Oryzias sp.). Hal yang berbeda dengan S.Pattunuang, ikan di S.Sanrego memiliki keanekaragaman jenis yang lebih banyak dibandingkan S.Pattunuang dan ikan yang dominan tertangkap juga bukan ikan pirik namun yang tertangkap lebih banyak justru didominasi oleh ikan nilem (O. vittatus) dan tawes (Barbonymus goniono). Spesies lainnya yang juga tertangkap, yang diduga juga merupakan kompetitor utama bagi ikan pirik diantaranya ikan mas (C. carpio), nila (Oreochromis niloticus), gabus (C. striata), dan sidat (Anguilla sp.). Sementara itu
52
spesies lainnya yang juga hidup perairan S.Sanrego namun diduga bukan merupakan kompetitor utama ikan pirik diantaranya ikan rainbow sulawesi (Telmatherina sp.), medaka (Oryzias sp.), Betutu (Glossogobius sp.) dan ikan julung-julung (Hemiramphus sp.). Selanjutnya berkaitan tingkat ekspoitasi, ikan pirik di S.Sanrego merupakan spesies yang sangat diminati bahkan merupakan spesies yang menjadi target tangkapan utama bagi masyarakat setempat sehingga aktifitas penangkapan ikan ini sangat intensif dan diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan populasi pada habitat ini. Sementara itu, ikan pirik di S.Pattunuang merupakan spesies yang tidak terlalu diminati sehingga aktifitas penangkapan ikan ini sangat jarang dilakukan. Adanya perbedaan pola pertumbuhan pada kedua lokasi penelitian, menunjukkan pola pertumbuhan ikan pirik di perairan S.pattunuang dan S.Sanrego tersebut, diduga berkaitan dengan upaya adaptasi ikan pirik terhadap kondisi lingkungan perairan yang pada habitat ikan pirik tersebut. Secara
umum,
Effendie
(1979)
menyatakan
bahwa
faktor
yang
mempengaruhi pertumbuhan suatu spesies ikan meliputi faktor dalam (keturunan,
jenis
kelamin,
penyakit,
hormon,
dan
kemampuan
memanfaatkan makanan) dan faktor luar (ketersediaan makanan, kompetisi dalam memanfaatkan ruang, dan suhu perairan). Selanjutnya grafik hubungan panjang-bobot tubuh ikan pirik jantan dan betina di S. Pattunuang dan S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
53
Gambar
4.
Hubungan panjang-bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros. a (jantan), b (betina) dan c (gabungan)
54
Gambar
5.
Hubungan panjang-bobot tubuh ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone. a (jantan), b (betina) dan c (gabungan)
55
Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5 ikan pirik
di Sungai
Pattunuang jantan memiliki nilai korelasi 0,9489 dan betina 0,9284 dan di S. Sanrego memiliki nilai korelasi 0,9844 dan betina 0,9849. Secara keseluruhan (jantan dan betina), ikan pirik di S. Pattunuang memiliki nilai korelasi 0,9376. Sementara itu, ikan pirik di S. Sanrego memiliki nilai 0,9836. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hubungan panjang total dan bobot tubuh ikan pirik sangat kuat/ erat (skala korelasi 0 – 1). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Andy Omar (2011) yang menyatakan bahwa nilai korelasi berkisar antara 0,70 – 0,89 mempunyai arti korelasi kuat dan nilai korelasi berkisar antara 0,90 – 1,00 mempunyai arti korelasi sangat kuat. Keeratan
hubungan
ini
membuktikan
bahwa
panjang
total
ikan
mempengaruhi bobot tubuh ikan pirik. Umumnya pertambahan panjang akan selalu diikuti oleh pertambahan bobot tubuh ikan. Penelitian mengenai hubungan panjang bobot pada ikan air tawar telah banyak dilakukan. Beberapa jenis ikan di antaranya dilaporkan memiliki pertumbuhan yang isometrik, allometrik positif (mayor) dan allometrik negatif (minor) . Bishop et al. (2001), melaporkan bahwa spesies ikan dari famili Terapontidae yang tertangkap di Sungai Alligator, Australia, memilki pola pertumbuhan yang isometrik, di antaranya Amniataba percoides (b = 3,06), Hefaistos fuliginosus (b=3,01) dan Leiopontherapon unicolor (b=2,95). Sementara itu, spesies ikan lainnya yaitu Syncomintes butleri memiliki nilai koefisies regresi b=3,16 dengan tipe pertumbuhan allometrik positif. Selanjutnya tipe pertumbuhan pada beberapa jenis ikan air tawar endemik lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.
56
Tabel 4. Tipe pertumbuhan beberapa spesies ikan air tawar endemik Spesies Aphanius danfordii Chondrostoma knerii Chondrostoma prespense Rutilus prepens Chromidotilapia guentheri, Cirrhinus mrigala Cobitis narentana Garra gotyla stenorhynchus Heteropneustes fossilis Paratherina sp. Poecilia mexicana Rasbora tawarensis
Tipe pertumbuhan Allometrik positif (mayor) Allometrik positif (mayor) Allometrik positif (mayor) Allometrik positif (mayor) Allometrik positif (mayor) Allometrik negatif (minor) Allometrik negatif (minor) Isometrik Allometrik positif (mayor) Allometrik positif (mayor) Allometrik positif (mayor) Allometrik
Lokasi Hirfanli, Turki Hutovo Blato, Bosnia dan Herzegovina Danau Prespa, Yunani Danau Prespa, Yunani Danau Ogudu Lagos, Nigeria Mahi Bajaj Sagar, India Hutovo Blato, Bosnia dan Herzegovina) Sungai Chaliyar Sungai Gomti, India Danau Towuti, Sulawesi Selatan Hildago, Mexico
Rutilus basak
Allometrik positif (mayor)
Danau Laut Tawar, Aceh Hutovo Blato, Bosnia dan Herzegovina
Schizothorax niger
Isometrik
Danau Dal, Kashmir
Schizothorax o’connori Squalius prespensis
Allometrik negatif (minor) Isometrik
Squalius svallize
Allometrik positif (mayor)
Sungai Yarlung Tsangpo, Tibet Danau Prespa, Greece Hutovo Blato, Bosnia dan Herzegovina
Pustaka Kirankaya et al., 2014 Dulcic et al., 2009 Bobori et al., 2010 Bobori et al., 2010 Lawson et al., 2013 Ujjania et al., 2012 Dulcic et al., 2009 Baby et al., 2011 Kumar et al., 2014 Samuel, 2008 Miranda et al., 2009 Brojo et al., 2001 Dulcic et al., 2009 Shafi dan Yousuf, 2012 Ma et al., 2010 Bobori et al., 2010 Dulcic et al., 2009
Faktor Kondisi Faktor kondisi menggambarkan keadaan nutrisi atau kondisi baik suatu individu ikan. Nilai faktor kondisi ikan pirik di S. Pattunuang dan di S. Sanrego berdasarkan kelompok ukuran panjang total dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Sementara itu nilai faktor kondisi ikan pirik berdasarkan
57
tingkat kematangan gonad dapat dilihat pada Tabel 5 (S. Pattunuang) dan Tabel 6 (S. Sanrego). Berdasarkan Tabel 5 dan 6, nilai faktor kondisi ikan pirik jantan di S. Pattunuang berkisar antara 1,2710 - 4,0294 dengan nilai faktor kondisi rata-rata 1,7880 dan ikan pirik betina berkisar antara 1,1264 - 3,5095 dengan nilai faktor kondisi rata-rata 1,8087. Sementara itu, nilai faktor kondisi ikan pirik jantan di S. Sanrego berkisar 0,8038 - 1,2926 dengan nilai faktor kondisi rata-rata 1,0274 dan ikan pirik betina berkisar antara 0,9263- 1,4533 dengan nilai faktor kondisi rata-rata 1,1598. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor kondisi ikan pirik di S. Pattunuang lebih besar dibandingkan faktor kondisi ikan pirik di S. Sanrego. Sementara itu berdasarkan rata-rata faktor kondisi ikan pirik pada kedua lokasi menunjukkan bahwa ikan pirik betina memiliki nilai faktor kondisi yang lebih besar dibandingkan ikan jantan. Nilai faktor kondisi tertinggi ikan pirik jantan pada S. Pattunuang yaitu 2,2072 ± 1,0622 yaitu pada kelompok ikan yang berukuran 40 - 50 mm dan pada ikan pirik betina yaitu 1,9567 ± 0,0591 pada kelompok ikan yang berukuran 90 - 100 mm. Sementara itu nilai faktor kondisi tertinggi ikan pirik jantan di S. Sanrego yaitu 1,0464 ± 0,0959 yang diperoleh pada kelompok ikan yang berukuran 60 - 70 mm dan pada ikan pirik betina yaitu 1,6567 ± 0,1211 pada kelompok ikan yang berukuran 80 - 90 mm.
58
Tabel 5. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros Kelas panjang (mm) 30 - 40 40 - 50 50 - 60 60 - 70 70 - 80 80 - 90 90 - 100 100 - 110
Jantan Kisaran 1,8984 - 1,9207 1,4954 - 4,0294 1,4529 - 3,1975 1,2710 - 2,5357 1,4786 -2,3381 1,4992 - 2,3381 1,5655 Jumlah
Rerata 1,9096 ± 0,0157 2,2072 ± 1,0622 1,8077 ± 0,2927 1,7564 ± 0,2189 1,7949 ± 0,2214 1,8100 ± 0,2239 1,5655 -
n (ekor) 2 5 75 144 66 14 1 307
Betina Kisaran
Rerata
1,2369 - 1,7089 1,3968 - 2,9348 1,1264 - 3,5095 1,4406 - 2,2482 1,4653 - 2,1440 1,8788 - 2,0202 1,728
1,4729 ± 0,3338 1,8203 ± 0,2996 1,7813 ± 0,2908 1,8499 ± 0,2247 1,7829 ± 0,2132 1,9567 ± 0,0591 1,728
n (ekor) 2 60 141 73 15 4 1 292
59
Tabel 6. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan kelompok ukuran yang diperoleh selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Kelas panjang (mm) 30 - 40 40 - 50 50 - 60 60 - 70 70 - 80 80 - 90 90 - 100 100 - 110
Jantan Kisaran 1,2239 1,0595 0,8038 - 1,2424 0,8382 - 1,2524 0,8435 - 1,2926 0,8205 - 1,2489 0,9604 -1,1021 1,1405 Jumlah
Rerata 1,2239 1,0595 1,0188 ± 0,1043 1,0464 ± 0,0959 0,9662 ± 0,1324 1,0436 ± 0,1218 1,0257 ± 0,0564 1,1405
n (ekor) 1 1 18 16 12 16 7 1 72
Betina Kisaran 0,9263 - 1,3691 1,1540 - 1,3924 0,9521 - 1,3241 1,0170 - 1,2639 1,0131 - 1,5335 1,0088 - 1,4533 0,9712 - 1,1579
Rerata 1,1108 ± 0,2026 1,2435 ± 0,0967 1,1387 ± 0,0919 1,1493 ± 0,0795 1,6567 ± 0,1211 1,1904 ± 0,1440 1,0801 ± 0,0971
n (ekor) 4 8 22 20 23 10 3 90
60
Berdasarkan hal tersebut diatas menunjukkan bahwa kisaran nilai faktor kondisi ikan jantan yang lebih rendah daripada ikan betina diduga dipengaruhi oleh ukuran ikan pirik jantan yang lebih kecil serta dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad, dimana pada ikan jantan didominasi oleh ikan-ikan yang belum matang (TKG I dan II). Lagler et al. (1977) menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi
faktor
kondisi.
Lebih
lanjut
Effendie
(2002)
menambahkan faktor kondisi ikan cenderung dipengaruhi oleh makanan, waktu ukuran panjang dan bobot tubuh. Sementara itu, adanya perbedaan faktor kondisi ikan pirik dimana ikan pirik di Sungai Pattunuang memiliki nilai faktor kondisi yang lebih besar dibandingkan ikan pirik di Sungai Sanrego diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan dan ketersediaan makanan yang berbeda pada kedua lokasi tersebut. Berdasarkan tingkat kematangan gonad, Nilai faktor kondisi pada setiap TKG bervariasi namun cenderung meningkat seiring meningkatnya TKG (Tabel 7 dan 8). Effendie (1997) menyatakan bahwa peningkatan nilai
faktor
kondisi
ikan
dapat
terjadi
saat
gonad
mengalami
perkembangan dan akan mencapai puncaknya saat akan melakukan pemijahan. Selanjutnya hasil uji t terhadap ikan pirik jantan dan betina di S. Pattunuang dan di S. Sanrego menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Lampiran 15 dan 16).
61
Tabel 7. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
TKG I II III IV V
Jantan Kisaran 1,2710 - 4,0294 1,4769 - 2,5357 1,4241 - 3,1975 1,4644 - 2,3343 1,5039 - 1,8741 Jumlah
Rerata 1,7490 ± 0,2771 1,8388 ± 0,2272 1,8681 ± 0,3274 1,7196 ± 0,2491 0,7284 ± 0,1342
n (ekor) 174 76 38 13 6 307
Betina Kisaran Rerata 1,2369 - 2,1605 1,7285 ± 0,1852 1,5320 - 3,5095 1,9203 ± 0,3180 1,3118 - 2,2900 1,7540 ± 0,2166 1,1264 - 2,9348 1,8709 ± 0,3498 1,4706 - 2,2960 1,7751 ± 0,2349 Jumlah
n (ekor) 114 86 38 36 18 292
62
Tabel 8. Nilai faktor kondisi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad yang diperoleh selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
TKG I II III IV V
Jantan Kisaran 0,9085 - 1,2524 0,8038 - 1,1909 0,8205 - 1,0618 0,8650 - 1,2926 0,9275 - 1,2225 Jumlah
Rerata 1,0483 ± 0,1163 1,0225 ± 0,0994 0,9027 ± 0,0749 1,0467 ± 0,1325 1,0579 ± 0,0819
n (ekor) 32 5 10 14 11 72
Betina Kisaran Rerata 0,9263 - 1,3718 1,1902 ± 0,1109 0,9521 - 1,3924 1,1467 ± 0,1172 1,0131 - 1,4533 1,1147 ± 0,1060 1,0170 - 1,5335 1,1665 ± 0,1200 1,0865 - 1,3143 1,1806 ± 0,0883 Jumlah
n (ekor) 26 18 19 18 9 90
63
B. Nisbah Kelamin Distribusi jumlah dan nisbah kelamin ikan pirik yang diperoleh selama penelitian berdasarkan waktu pengambilan sampel dan tingkat kematangan gonad di S. Pattunuang dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10, sedangkan di S. Sanrego dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12. Tabel 9. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros Waktu pengambilan sampel September 2014 Oktober 2014 November 2014 Desember 2014 Januari 2015 Februari 2015 Jumlah
Jumlah ikan (ekor) Jantan Betina 36 64 43 40 49 44 72 46
Nisbah kelamin Jantan Betina 1,00 1,78 1,08 1,00 1,11 1,00 1,57 1,00
60
47
1,28
1,00
47 307
51 292
1,00 1,05
1,09 1,00
Tabel 10. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Waktu pengambilan sampel September 2014 Oktober 2014 November 2014 Desember 2014 Januari 2015 Februari 2015 Jumlah
Jumlah ikan (ekor) Jantan Betina 5 11 9 11 15 18 12 6 21 10 72
8 36 90
Nisbah kelamin Jantan Betina 1,00 2,20 1,00 1,22 1,00 1,20 2,00 1,00 2,63 1,00 1,00
1,00 3,60 1,25
64
Tabel 11. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros Tingkat kematangan gonad I II III IV V Jumlah
Jumlah ikan (ekor) Jantan Betina 174 114 76 86 38 38 13 36 6 18 307 292
Nisbah kelamin Jantan Betina 1,53 1,00 1,00 1,13 1,00 1,00 1,00 2,77 1,00 3,00 1,05 1,00
Tabel 12. Distribusi jumlah (ekor) dan nisbah kelamin ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diperoleh selama penelitian pada setiap tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Tingkat kematangan gonad I II III IV V Jumlah
Jumlah ikan (ekor) Jantan Betina 32 26 5 18 10 19 14 18 11 9 72 90
Nisbah kelamin Jantan Betina 1,23 1,00 1,00 3,60 1,00 1,90 1,00 1,29 1,22 1,00 1,00 1,25
Berdasarkan Tabel 9 dan 10, secara keseluruhan di S. Pattunuang diperoleh ikan pirik dengan nisbah jantan dan betina 1,05 : 1,00 dan di S. Sanrego diperoleh nisbah jantan dan betina 1,00 : 1,25. Hal tersebut menunjukkan bahwa nisbah yang diperoleh pada kedua lokasi mendekati seimbang atau mengikuti pola 1 : 1. Namun demikian, secara statistik hasil uji chi-square (Lampiran 17 hingga 20) , menunjukkan nisbah kelamin ikan pirik yang diperoleh selama penelitian berdasarkan waktu pengambilan
65
sampel di S. Pattunuang bukan 1 : 1 (α = 0,05 ; X2 hitung = 14,8974; X2 tabel = 11,070; db = 5 ). Demikian juga di S. Sanrego bukan 1 : 1 (α = 0,05 ; X2 hitung = 13,9322; X2 tabel = 11,070; db = 5 ). Selanjutnya nisbah kelamin ikan pirik berdasarkan tingkat kematangan gonad di S. Pattunuang juga bukan 1 : 1 (α = 0,05 ; X2 hitung = 29,5561 ; X2 tabel = 9,488; db = 4). Hasil yang sama diperoleh di S. Sanrego (α = 0,05 ; X2 hitung = 9,5799 ; X2 tabel = 9,488; db = 4). Nisbah kelamin ikan pirik yang diperoleh, baik di S. Pattunuang maupun di S. Sanrego, cenderung bervariasi pada setiap bulannya. Hal tersebut diduga berkaitan dengan strategi reproduksi dari ikan tersebut. Ikan pirik betina ditemukan lebih banyak dibandingkan ikan jantan di S. Pattunuang pada bulan September yang merupakan waktu ikan pirik melakukan proses pemijahan. Namun pada bulan-bulan berikutnya, yaitu periode Oktober hingga Januari, ikan jantan mulai mendominasi, hingga nisbah kembali mendekati seimbang pada bulan Februari. Hal yang sama juga terjadi di S. Sanrego, yaitu ikan pirik betina ditemukan lebih banyak dibandingkan ikan jantan pada bulan September hingga bulan November yang merupakan waktu ikan pirik melakukan proses pemijahan di lokasi tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Nikolsky (1969) yang menyatakan bahwa perbedaan nisbah kelamin dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang melakukan pemijahan terjadi perubahan nisbah jantan dan betina secara teratur, pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1, lalu diikuti dengan
66
dominasi ikan betina. Namun pada kenyataannya di alam perbandingan rasio kelamin tidaklah mutlak, Effendie (2002) menyatakan rasio kelamin dapat dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Lebih lanjut Ball dan Rao
(1984) menambahkan penyimpangan nilai nisbah
kelamin terhadap nisbah ideal dapat terjadi akibat pengaruh perbedaan tingkah laku ikan yang suka bergerombol, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan. Nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina di alam diperkirakan mendekati 1 : 1, yang menunjukkan jumlah ikan betina dan jantan yang tertangkap relatif hampir sama banyaknya (Ball dan Rao, 1984). Nisbah kelamin pada ikan penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan tersebut di alam. Dalam suatu populasi apabila nisbah kelaminnya tidak seimbang, maka perkembangan populasi akan terhambat (Nasution, 2008).
Nikolsky (1963) menyatakan perbedaan
jumlah salah satu jenis kelamin dalam populasi
disebabkan adanya
perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan umur, ukuran pertama kali matang gonad, dan adanya penambahan jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada. Beberapa ikan air tawar dilaporkan memiliki nisbah kelamin yang seimbang, namun pada beberapa spesies juga ditemukan nisbah kelamin yang tidak seimbang. Bishop et al. (2001) melaporkan nisbah kelamin yang seimbang (1 : 1) ditemukan pada ikan air tawar dari famili Terapontidae di Sungai Alligator, Australia, yaitu A. percoides, H.
67
fuliginosus, L. unicolor, S. butleri dan Pingalla midgleyi. Sementara itu pada Mesopristes cancellatus, ditemukan ikan betina lebih banyak dibandingkan jantan dengan nisbah 1 : 3,42 (Openiano et al., 2011). Nisbah kelamin pada beberapa spesies ikan air tawar endemik dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Nisbah Kelamin beberapa spesies ikan air tawar endemik Spesies
Nisbah (Jantan dan Betina)
Lokasi
Pustaka
Aspius vorax
1:1
Sungai Euphrates, , Syria
Saleh et al., 2012
Cobitis faridpaki
Bukan 1 : 1
Sabet et al., 2012
Girardiictys multiradiatus Glossogobius matanensis Glossolepis incisus
1 : 1.5
Sungai Siahrud, Iran Meksiko
Sulistiono et al., 2007 Siby et al., 2009
Melanotaenia arfakensis
1:1
Marosatherina ladigesi
1 : 3.9
Marosatherina ladigesi
1 : 2.76
Paratherina striata
1 : 3.15
Puntius denisonii
1:1
Rasbora tawarensis
1:5
Schizothorax o’connori Telmatherina antoniae
Bukan 1 : 1
Telmatherina ladigesi
0,2 – 0,8 : 1,0
Danau Towuti, Sulawesi Selatan Danau Sentani, Jayapura Sungai Nimba dan Sungai Aimasi, Manokwari Sungai Bantimurung, Sulawesi Selatan Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan Danau Towuti, Sulawesi Selatan Sungai Chandragiri, dan Sungai Chaliyar, India Perairan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah Sungai Yarlung Tsangpo, Tibet Danau Matano, Sulawesi Selatan Sungai Batimurung dan Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan
1:1 1:3
1:1
Adolfo et al., 2013
Manangkalagi et al., 2009 Kariyanti, 2014
Kariyanti, 2014
Andy Omar et al., 2011 Solomon et al., 2011
Brojo et a., 2011
Ma et al., 2010 Nilawati dan Tantu, 2007 Nasution et al., 2006
68
C. Tingkat Kematangan Gonad Tingkat
kematangan
gonad
adalah
tahap-tahap
tertentu
perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie, 2002). Pecatatan perubahan atau tahap-tahap kemantangan gonad diperlukan untuk melihat perbandingan antara ikan yang melakukan pemijahan dan tidak. Berdasarkan tingkat kematangan gonad juga dapat diketahui kapan ikan itu akan memijah, baru memijah, atau sudah memijah (Sulistiono et al., 2007). Pengamatan secara morfologis untuk menentukan seksualitas pada ikan pirik, menunjukkan tidak terdapat ciri atau perbedaan bentuk dan struktur tubuh luar antara jantan dan betina. Meskipun demikian, secara umum ikan jantan ditemukan relatif lebih kecil dan pendek dibandingkan dengan ikan betina, namun kadangkala ciri tersebut tidak memberikan hasil yang positif atau meragukan, sehingga untuk menentukan kedua jenis kelamin tersebut hanya dapat dilakukan dengan membedah dan melihat langsung ciri seksual primernya. Ciri seksual primer ini berkaitan langsung dengan proses reproduksi yaitu testis pada ikan jantan dan ovarium pada ikan betina. Pengamatan secara morfologis terhadap gonad pada ikan pirik (L. micracanthus) menunjukkan bahwa terdapat sepasang organ reproduksi yang berkembang, baik pada ikan jantan maupun pada ikan betina. Posisi dan letak gonad pada ikan endemik pirik (L. micracanthus) jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 6. Rahardjo et al. (2011) menyatakan Posisi atau letak organ reproduksi tersebut dapat berbeda antara satu
69
spesies dengan spesies yang lain, pada ikan yang memiliki gelembung gas, testis dan ovarium terletak pada bagian bawah atau di samping gelembung gas tersebut.
(a)
(b)
Gambar 6. Posisi gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan (atas) dan betina (bawah)
Perkembangan ovari dan testis ikan secara garis besar terdiri atas dua tahap perkembangan utama, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan
70
tahap
pematangan
produk
seksual
(gamet).
Tahap
pertumbuhan
berlangsung sejak ikan menetas sampai ikan tersebut mencapai dewasa kelamin (sexually mature), sedangkan tahap pematangan berlangsung setelah ikan dewasa dan akan terus berkesinambungan selama fungsi reproduksi ikan berjalan normal (Lagler et al., 1977). Effendie (1979) menyatakan bahwa untuk menentukan tingkat kematangan gonad pada ikan betina maka yang diamati adalah bentuk, ukuran, warna, kehalusan, dan pengisian ovarium dalam rongga tubuh serta ukuran, kejelasan bentuk, warna telur dalam ovarium. Sebaliknya, untuk ikan jantan yang diamati adalah bentuk, ukuran, warna, dan pengisian testes dalam rongga tubuh. Tingkat
kematangan
gonad
ikan
pirik
ditentukan
melalui
pengamatan secara makroskopik (morfologi) dan mikroskopik (histologi). Secara morfologi penggolongan tingkat kematangan gonad ikan pirik terbagi dalam lima tahap yaitu TKG I immature (belum berkembang), TKG II maturing (awal perkembangan), TKG III mature (matang gonad), TKG IV fully mature (perkembangan akhir), dan TKG V resting (memijah). Secara mikroskopik, gonad jantan ikan pirik ditandai dengan proses pembentukan spermatozoa dari sel kelamin jantan primordial atau primordial germ cell (spermatogonia) melalui tahapan yang disebut spermatogenesis.
Pada tahap pertama, gonad didominasi oleh
spermatogonia dan jaringan ikat. Pada tahap kedua, spermatogonia ini kemudian mengalami berulangkali pembelahan mitosis (penggandaan spermatogonia) yang akan membentuk spermatosit primer. Tahap
71
selanjutnya (tahap ketiga) terjadi pembelahan meiosis (reduksi) pada spermatosit primer membentuk spermatosit sekunder. Pada tahap keempat, spermatosit sekunder mengalami pembelahan meiosis yang kedua menjadi spermatid dan tahap terakhir spermatid kemudian mengalami diferensiasi sehingga menjadi spermatozoa atau gamet. Spermatozoa atau gamet yang dihasilkan akan disekresikan dari saluran sperma dan dikeluarkan pada waktu memijah. Secara mikroskopik, gonad betina ikan pirik ditandai dengan proses perkembagan telur yang terjadi dalam ovarium dan disebut oogenesis. Pada prinsipnya proses tersebut tidak jauh berbeda dengan proses spermatogenesis. Pada tahap pertama oogonia tersebar dalam ovari. Pada tahap kedua oogonia mengalami pembelahan secara mitosis menjadi oosit. Pada tahap selanjutnya oosit mengalami pembelahan meiosis pertama membentuk ootid dan tahap terakhir terjadi pembelahan meiosis yang kedua menjadi ovum. Selama proses oogenesis berlangsung sel epitel di sekelilingnya menyediakan sejumlah makanan cadangan dalam bentuk kuning telur (protein) dan lemak yang berbentuk tetes minyak. Selanjutnya telur yang telah terbentuk akan segera dikeluarkan ke rongga ovarian atau rongga peristonel yang dikenal sebagai proses ovulasi (Rahadjo et al., 2011). Klasifikasi masing-masing tingkat kematangan gonad ikan pirik jantan dan betina secara makroskopis dan mikroskopis dapat dilihat pada Tabel 14 dan 15 serta Gambar 7, 8, 9, dan 10.
72
Tabel 14. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan TKG I Immature Belum berkembang
II Maturing Awal perkembangan
III Mature Sedang berkembang
IV Fully Mature Matang
V Resting Pasca Pemijahan
Makroskopis
Mikroskopis
Testis kecil, memanjang, warna jernih, putih dan sedikit kemerahan pada bagian ujung.
Testis didominasi oleh jaringan ikat, terdapat lobus berbentuk lonjong yang berisi spermatogonia
Warna testis tampak putih seperti susu, bentuknya lebih jelas dari TKG I. Terlihat menutupi sebagian kecil rongga perut
Gonad lebih berkembang, kantung tubulus seminiferi sudah mulai diisi oleh spermatosit primer. Spermatosit terbentuk dari pembelahan meiosis
Permukaan gonad tampak semakin putih, terdapat garis membujur berwarna hitam di bagian tengah testis. Ukuran testis terlihat menutupi sepertiga dari rongga perut
Spermatosit primer membelah secara meiosis menjadi spermatosit sekunder yang meliputi proses duplikasi DNA dan rekombinasi dari informasi genetik
Testis semakin jelas,besar dan pejal. Testis terlihat menutupi sebagian besar dari rongga perut. Berwarna putih
Spermatosit sudah menyebar, kemudian berkembang menjadi spermatid dan spermatozoa yang siap dikeluarkan
Sebagian testis mengerut / kempis dan kurang pejal. Berwarna putih seperti susu
Gonad hampir sama dengan TKG IV, gonad didominasi oleh spermatid dan spermatozoa, jaringan kelihatan lebih longgar dari sebelumnya
73
L = 59,64 mm W = 3,133 g G = 0,018 g IKG = 0,5745 %
L = 62,71 mm W = 3,969 g G = 0,052 g IKG = 1,4570 %
L = 67,55 mm W = 5,168 g G = 0,080 g IKG = 1,5480 %
L = 68,35 mm W = 4,802 g G = 0,267 g IKG = 5,7476 %
L = 70,81 mm W = 5,793 g G = 0,176 g IKG = 3,0381 %
Gambar 7.
Struktur morfologi gonad ikan pirik jantan (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad
74
L = 59,64 mm W = 3,133 g G = 0,018 g IKG = 0,5745 %
L = 62,71 mm W = 3,969 g G = 0,052 g IKG = 1,4570 %
L = 67,55 mm W = 5,168 g G = 0,080 g IKG = 1,5480 %
L = 68,35 mm W = 4,802 g G = 0,267 g IKG = 5,7476 %
L = 70,81 mm W = 5,793 g G = 0,176 g IKG = 3,0381 %
Gambar 8. Struktur histologi gonad ikan pirik jantan (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad. Keterangan: Sg (Spermatogonium), Sp (Spermatosit primer), Ss (Spermatosit sekunder), St (Spermatid), Sz (Spermatozoa). (Pewarnaan HE, Pembesaran 100 x).
75
Tabel 15. Tingkat perkembangan gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina TKG
Makroskopis
Mikroskopis
I Immature
Gonad kecil, memanjang, butiran telur pada gonad belum tampak, warna ovarium merah tua
Ovari belum matang, didominasi oleh oosit stadia I (oogonium), sedikit oosit dan inti sel belum terlihat jelas
Ukuran gonad semakin meningkat, butiran telur belum tampak, permukaannya halus. Gonad berwarna merah tua,
Oogonium melakukan pembelahan sel secara mitosis dan membentuk oosit yang lebih banyak
Gonad menutupi setengah dari rongga perut. Usus terdesak. Butiran telur mulai terlihat berupa butiran halus. Kantung telur tebal. Warna kekuningan
Sel telur berkembang menjadi ootid, diameter telur berukuran lebih besar, butir kuning telur sudah mulai terlihat dan butir-butir minyak semakin jelas dengan warna putih yang mengelilingi inti sel
Gonad menutupi hampir keseluruhan rongga perut. Usus terdesak. Butiran telur semakin jelas. Selaput telur mulai menipis. warna kekuningan
Ootid berkembang menjadi ovum, butiran minyak (berwarna putih) semakin banyak yang menyebar dari sekitar inti sel sampai ke tepi
Gonad mengerut, Butiran telur sangat jelas. Selaput telur sangat tipis.Sebagian gonad telah kempes karena sebagian telur telah mengalami oviposisi (mijah) warna kuning
Ovarium didominasi oleh ovum, terlihat beberapa lapisan selaput folikel pecah menandakan sel telur siap untuk diovulasikan
Belum berkembang II Maturing Awal perkembangan
III Mature Sedang berkembang
IV Fully Mature Matang
V Resting Pasca Pemijahan
76
L = 62,85 mm W = 4,259 g G = 0,028 g IKG = 0,6574 %
L = 63,85 mm W = 4,759 g G = 0,086 g IKG = 1,8071 %
L = 69,66 mm W = 5,670 g G = 0,166 g IKG = 2,9276 %
L = 70,96 mm W = 6,972 g G = 0,424 g IKG = 6,0814 %
L = 71,97 mm W = 5,706 g G = 0,157 g IKG = 2,7515 %
Gambar 9.
Struktur morfologi gonad ikan pirik betina (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad
77
L = 62,85 mm W = 4,259 g G = 0,028 g IKG = 0,6574 %
L = 63,85 mm W = 4,759 g G = 0,086 g IKG = 1,8071 %
L = 69,66 mm W = 5,670 g G = 0,166 g IKG = 2,9276 %
L = 70,96 mm W = 6,972 g G = 0,424 g IKG = 6,0814 %
L = 71,97 mm W = 5,706 g G = 0,157 g IKG = 2,7515 %
Gambar 10. Struktur histologi gonad ikan pirik betina (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad. Keterangan: Og = oogonium; Os = oosit; Ot = ootid; Ov = ovum; n = nukleolus; O = butiran minyak; Y = yolk (kuning telur). (Pewarnaan HE, Pembesaran 100 x). Selama penelitian (September – Februari 2015) di S. Pattunuang dan di S. Sanrego diperoleh ikan pirik jantan dan betina dengan tingkat kematangan I hingga V. Frekuensi ikan berdasarkan ikan yang telah dan
78
belum matang gonad serta frekuensi berdasarkan TKG pada setiap waktu pengambilan sampel di S. Pattunuang dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12 sementara itu untuk sampel di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.
Gambar 11. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros. Keterangan : a (jantan) dan b (betina).
79
Gambar 12. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros. Keterangan : a (jantan) dan b (betina).
80
Gambar 13. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone. Keterangan : a (jantan) dan b (betina).
81
Gambar 14. Frekuensi (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati berdasarkan tingkat kematangan gonad pada setiap waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
Berdasarkan Gambar 11 dan 12, frekuensi kematangan gonad bedasarkan ikan yang telah dan belum matang gonad serta berdasarkan TKG, ikan pirik antara jantan dan betina menunjukkan pola kematangan gonad yang sama. Frekuensi TKG ikan pirik jantan dan betina tertinggi di
82
S. Pattunuang terjadi pada bulan September. Ikan yang diperoleh pada bulan tersebut didominasi oleh ikan-ikan yang telah matang gonad (TKG III, IV, dan V), Hal tersebut
berlangsung hingga bulan Oktober dan
November meskipun pada kedua bulan tersebut terjadi penurunan persentase TKG. Pada bulan Desember, Januari, dan Februari, ikan yang tertangkap adalah ikan-ikan yang belum matang gonad (TKG I dan II). Tingginya persentase ikan pirik yang sedang matang gonad pada bulan September (akhir Musim Kemarau) hingga November (awal Musim Penghujan) di S. Pattunuang menunjukkan bahwa pada waktu tersebut merupakan waktu yang digunakan bagi ikan pirik untuk melakukan pemijahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lagler et al. (1977); Burhanuddin (2010); dan Rahardjo et al. (2011), menyatakan bahwa umumnya ikan-ikan di perairan alami akan memijah pada awal Musim Penghujan karena pada saat itu terjadi perubahan lingkungan. Adanya perubahan musim dan pengaruh lingkungan tersebut diduga telah memicu hormon-hormon reproduksi pada ikan pirik untuk melakukan pemijahan. Keadaan tersebut merupakan hal yang umum terjadi pada ikan-ikan yang hidup di perairan tawar (sungai, danau, dan waduk), terutama pada ikanikan yang hidup di daerah perairan tropis. Hal yang sama juga terjadi di S. Sanrego (Gambar 13 dan 14), yaitu waktu pemijahan diperkirakan berlangsung pada akhir Musim Kemarau dan awal Musim Penghujan. Namun yang membedakan adalah waktu pemijahan di S. Sanrego berlangsung lebih lama yaitu sejak bulan September hingga Desember. Ikan yang tertangkap pada periode Januari
83
dan Februari didominasi oleh ikan yang belum matang gonad. Perbedaan waktu dan lama pemijahan antara di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dipengaruhi oleh perbedaan iklim dan letak geografis kedua lokasi tersebut. Sungai Pattunuang terletak di Kabupaten Maros atau di bagian Barat Sulawesi Selatan dimana awal Musim Kemarau berlangsung hingga bulan September dan memasuki Musim Penghujan pada bulan Oktober, November dan mencapai puncak pada bulan Desember hingga Februari. Sebaliknya, di S. Sanrego yang berada di Kab. Bone atau di bagian Timur Sulawesi Selatan, Musim Kemarau berlangsung lebih lama yakni September hingga November, awal Musim Penghujan terjadi pada bulan Desember hingga Maret dan puncak Musim Penghujan terjadi pada bulan April hingga Juni. Adanya perubahan kondisi perairan pada waktu peralihan musim dari musim kemarau menjadi musim penghujan, diduga telah merangsang ikan pirik untuk melakukan pemijahan. Perubahan lama waktu matahari bersinar (photoperiode) dapat menstimulasi spesies ikan untuk berpijah (Andy Omar, 2010). Lagler et al. (1977) menyatakan faktor yang mempengaruhi suatu proses pemijahan ikan terdiri atas faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi curah hujan, suhu, sinar matahari, tumbuhan, dan adanya ikan jantan; sedangkan faktor internal meliputi kondisi dan adanya hormon reproduksi yang cukup. Lebih lanjut Pitcher (1995) dalam Burhanuddin (2010) menambahkan faktor internal yang mempengaruhi fungsi reproduksi pada suatu spesies ikan yaitu tersedianya hormon steroid dan gonadotropin baik dalam bentuk
84
Gonadotropin I (GtH 1) dan Gonadotropin II (GtH II) dalam jumlah yang cukup dalam tubuh, yang dapat memacu kematangan gonad diikuti ovulasi dan pemijahan. Sebaliknya bilamana salah satu
atau kedua
gonad tersebut tidak mencukupi dalam tubuh maka perkembangan oosit dalam ovarium terganggu dan bahkan akan terhenti dan mengalami atresia. Beberapa spesies ikan air tawar dari famili Terapontidae seperti H. fuliginosus dan L. unicolor yang hidup di Sungai Alligator, Australia, dilaporkan juga matang gonad pada akhir Musim Kemarau dan pada awal Musim Penghujan saja (Bishop et al., 2001). Selanjutnya sebagai perbandingan musim pemijahan pada beberapa ikan endemik diantaranya ikan rainbow sulawesi (Telmatherina celebensis), musim pemijahannya terjadi pada bulan November dan Februari (Nasution, 2005). Sementara itu ikan butini (Glossogobius matanensis) memijah pada bulan Maret April dan bulan Oktober – November dengan puncak pemijahan pada bulan April dan November (Sulistiono et al., 2007). Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Tabel 16 dan Tabel 17. Berdasarkan rataan nilai panjang total tubuh ikan pirik Tabel 16 dan Tabel 17 menunjukkan bahwa semakin panjang tubuh ikan maka akan dikuti oleh peningkatan tingkat kematangan gonad. Hal tersebut terjadi pada ikan jantan dan ikan betina, baik di S. Pattunuang maupun di S. Sanrego.
85
Tabel 16. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros Tingkat Kematangan Gonad I II III IV V Jumlah
Jantan Kisaran 35,81 - 87,48 50,21 - 90,54 56,25 - 85,44 58,38 - 80,43 62,43 - 71,51
Rerata 62,1625 ± 7,4262 70,2736 ± 8,7445 66,9695 ± 6,9180 67,9000 ± 7,0325 68,0333 ± 3,5896
n (ekor) 174 76 38 13 6 307
Betina Kisaran 49,76 - 83,54 53,77 - 92,14 53,42 - 83,44 55,40 - 105,58 58,88 - 83,97
Rerata 63,6648 ± 6,1918 70,8345 ± 8,0111 68,2539 ± 6,9409 70,4144 ± 9,4892 69,2456 ± 6,2092
n (ekor) 114 86 38 36 18 292
Tabel 17. Distribusi tingkat kematangan gonad berdasarkan panjang total di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Tingkat Kematangan Gonad I II III IV V Jumlah
Jantan Kisaran 37.27 - 82,94 51,28 - 85,88 58,07 - 92,29 68,63 - 95,31 80,90 - 107,28
Rerata 60,4981 ± 8,7936 67,1100 ± 13,6620 74.5530 ± 10,2181 81,1693 ± 7,8833 91,0991 ± 8,1895
n (ekor) 32 5 10 14 11 72
Betina Kisaran 42,58 - 85,12 54,67 - 101,02 60,49 - 103,82 66,18 - 95,95 72,18 - 103,75
Rerata 65.0200 ± 12.0165 72.4433 ± 13.0996 80.8216 ± 12.8653 80.4544 ± 7.3713 88.3144 ± 10.7505
n (ekor) 26 18 19 18 9 90
86
D. Indeks Kematangan Gonad Indeks kematangan gonad untuk setiap TKG pada ikan pirik jantan dan betina yang tertangkap di S. Pattunuang dan di S. Sanrego selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19.
Tabel 18. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros Jantan
Betina
Kisaran
Rerata
n (ekor)
Kisaran
Rerata
n (ekor)
I
0,0178 - 5,1414
0,4624 ± 0,5149
174
0,0192 - 1,8495
0,4376 ± 1,8495
114
II
0,0138 - 5,1394
0,7496 ± 0,7503
76
0,0338 - 4,2599
0,8119 ± 0,6513
86
38
0,5040 - 5,6827
2,7761 ± 1,3036
38
13
1,6121 - 14,9637
7,2718 ± 3,2100
36
6
3,8766 - 15,2887
8,5129 ± 3,2966
18
TKG
III
0,4242 - 5,5482
2,0153 ± 1,2721
IV
1,5131 - 6,4414
3,7923 ± 1,2962
V
1,4912 - 5,5602
3,1450 ± 1,5478
Jumlah
307
292
Tabel 19. Distribusi indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad yang tertangkap di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Jantan
Betina
Kisaran
Rerata
n (ekor)
I
0,0317 - 1,8725
0,3680 ± 0,3896
32
0,0185 - 0,9317
0,2270 ± 0,2169
26
II
0,1892 - 1,0027
0,6272 ± 0,3540
5
0,0821 - 2,4503
0,6169 ± 0,0659
18
III
1,0595 - 8,4882
4,6300 ± 2,4191
10
1,4475 - 11,5861
5,5745 ± 2,3974
19
IV
3,3573 - 8,2700
5,9529 ± 1,5605
14
5,1945 - 15,8341
9,7768 ± 3,0547
18
V
2,5913 - 6,6105
4,9369 ± 1,2638
11
10,1419 - 15,7139
12,7136 ± 1,7404
TKG
Jumlah
72
Kisaran
Rerata
n (ekor)
9
90
Berdasarkan Tabel 18 dan 19 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata IKG berdasarkan TKG ikan pirik di S. Pattunuang dan di S. Sanrego
87
meningkat seiring dengan peningkatan TKG. Pada ikan jantan, nilai ratarata IKG meningkat hingga pada TKG IV namun mengalami penurunan pada TKG V. Hal tersebut dapat disebabkan karena penurunan bobot gonad pada TKG V akibat aktifitas pemijahan. Menurut Effendie (1997) bahwa gonad ikan semakin bertambah berat diimbangi dengan bertambah besar ukurannya, karena sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Hasil pengamatan terhadap 599 ekor ikan pirik di Sungai Pattunuang diperoleh nilai rata rata IKG 0,9191 % pada ikan jantan dan 2,195 % pada ikan betina. Sementara itu hasil pengamatan terhadap 162 ekor ikan pirik di Sungai Sanrego diperoleh nilai rata rata IKG 2,7619 % pada ikan jantan dan 4,5925 % pada ikan betina. Berdasarkan hal tersebut, menunjukkan bahwa IKG pada ikan betina lebih besar dibandingkan IKG pada ikan jantan. Effendie (1979) yang menyatakan bahwa pertambahan bobot gonad ikan betina lebih besar dan dapat mencapai 10 – 25% dari bobot tubuh, sementara pada ikan jantan berkisar 5 – 10%. lebih lanjut Effendie (2002) menjelaskan umumnya pertambahan berat gonad ikan betina ini disebabkan oleh pertambahan berat ovarium yang selalu lebih besar daripada pertambahan berat testis. Nasution et al. (2006) menjelaskan bahwa ovarium lebih berat dibandingkan dengan testis karena adanya vitelogenesis yaitu terjadi pembentukan kuning telur (vitelin) dalam perkembangan gonad betina. Sementara itu adanya peningkatan berat testes pada setiap tingkat
88
kematangan gonad berhubungan dengan proses spermatogenesis dan peningkatan volume semen dalam tubulus seminiferi, dan proses tersebut sangat bergantung pada ketersediaan makanan sebagai sumber energi untuk perkembangan somatik dan reproduksinya (Siby et al., 2009). Penelitian terhadap beberapa spesies-spesies ikan endemik juga menemukan
bahwa
IKG
ikan
betina
memiliki
nilai
lebih
besar
dibandingkan dengan ikan jantan. Beberapa contoh antara lain pada ikan beseng-beseng (Telmatherina ladigesi Ahl) di sungai-sungai Sulawesi Selatan (Nasution et al., 2006), ikan pelangi merah (Glossolepis incisus, Weber 1907) di Danau Sentani (Siby, 2009), dan ikan pelangi sulawesi (Marosatherina ladigesi) di S. Pattunuang dan di S. Bantimurung, Kabupaten Maros (Kariyanti, 2014). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap IKG pada ikan pirik selama penelitian, baik jantan maupun betina, di Sungai Pattunuang dan Sungai Sanrego diperoleh nilai IKG < 20% sehingga mereka digolongkan sebagai ikan yang dapat memijah beberapa kali selama setahun. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bagenal (1987) yang menyatakan bahwa ikan yang memiliki IKG lebih kecil dari 20% adalah kelompok ikan yang dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahunnya. Nilai IKG untuk setiap waktu pengambilan sampel di S. Pattunuang dapat dilihat pada Gambar 15 dan S. Sanrego pada Gambar 16.
89
Gambar 15. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros.
Gambar 16. Indeks kematangan gonad (%) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone. a (jantan) dan b (betina)
90
Pengetahuan mengenai IKG dapat digunakan untuk menentukan musim pemijahan. Nilai IKG yang tinggi merupakan indikator dari periode reproduksi (Brewer et al., 2008). Nilai IKG ikan pada saat akan memijah semakin tinggi dan setelah memijah akan menurun dengan cepat sampai selesai memijah (Effendie, 1997). Nilai IKG memberikan indikasi persentase berat ikan yang digunakan untuk produksi telur ketika telur akan ditumpahkan, dan mencapai nilai maksimum selama musim pemijahan (Ekokotu dan Olele, 2014). Berdasarkan Gambar 15, rata-rata nilai IKG tertinggi di S. Pattunuang terdapat pada bulan September (ikan jantan 2,5697% dan ikan betina 5,2243%). Nilai IKG tersebut, kemudian mengalami penurunan pada bulan Oktober hingga bulan Februari. Berdasarkan hal tersebut maka ikan pirik di S. Pattunuang diperkirakan memijah pada periode bulan September hingga November dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan September. Sementara itu di S. Sanrego, nilai IKG meningkat pada bulan September hingga November
kemudian mengalami penurunan
pada bulan Desember hingga bulan Februari. Nilai IKG tertinggi terdapat pada bulan November (ikan jantan 6,0518% dan ikan betina 10,1317%). Hal tersebut menunjukkan, ikan pirik di S. Sanrego diperkirakan memijah pada bulan September hingga Desember dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan November. Secara umum, disimpulkan bahwa ikan di S. Pattunuang dan di S. Sanrego memijah pada akhir Musim Kemarau dan awal Musim Penghujan.
91
Pemijahan ikan pirik pada akhir Musim Kemarau dan awal Musim Penghujan bukan tanpa sebab tetapi diduga disebabkan oleh kondisi perairan yang sesuai pada waktu itu untuk berpijah. Perubahan lingkungan dari Musim Kemarau ke Musim Penghujan diduga telah merangsang hormon-hormon reproduksi ikan pirik untuk melakukan pemijahan pada waktu tersebut. Kondisi perairan di S. Pattunuang dan di S. Sanrego pada
waktu tersebut berada dalam kondisi ideal dengan
parameter suhu di S.Pattunuang berkisar antara 28-30°C, Oksigen terlarut berkisar 6,40 – 7,65 ppm, pH 7 dan TDS berkisar antara 158 – 175 ppm. Sementara itu pada S.Sanrego suhu berkisar antara 27,10 - 27,65 °C, Oksigen terlarut berkisar 7,40 – 8,95 ppm, pH 7 dan TDS berkisar antara 224 – 227 ppm, dengan kondisi aliran air (arus) yang rendah dan stabil. Proses pemijahan ikan endemik pirik pada akhir Musim Kemarau dan awal Musim Penghujan juga diduga berkaitan strategi reproduksi ikan pirik agar larva/ juvenil ikan pirik mendapatkan makanan yang cukup pada saat air meninggi ketika Musim Penghujan, dimana ketersediaan makanan pada saai itu cukup dan melimpah pada saat itu serta strategi indukan ikan pirik agar kelangsungan hidup ikan tinggi serta strategi agar larva ikan yang dilahirkan dapat berkembang menjadi juvenil hingga ikan dewasa sehingga mempunyai daya renang pada saat air meninggi atau memasuki musim penghujan (banjir). Ketersediaan makanan merupakan suatu faktor utama dari reproduksi yang berlangsung secara musiman pada beberapa ikan air
92
tawar tropis, khususnya yang berukuran kecil (Roberts, 1989 dalam Siby, 2009). Burhanuddin (2010) menyatakan faktor yang memengaruhi proses reproduksi ikan terdiri atas faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi curah hujan, suhu, sinar matahari, tumbuhan, dan adanya ikan jantan. Sementara faktor internal meliputi kondisi dan adanya hormon reproduksi yang cukup untuk memacu kematangan gonad diikuti ovulasi dan pemijahan.
Selanjutnya musim pemijahan setiap ikan
berbeda beda tergantung spesies dan lokasi. Musim pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Musim pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik Spesies
Musim pemijahan
Aspius vorax
Maret
Cobitis faridpaki Glossogobius matanensis Glossolepis incisus
Mei - Juli Maret-April dan Oktober-Desember Desember (hujan)
Melanotaenia arfakensis
Juni - September
Leptobatia elongata
Mei - Juli
Paratherina sp. Paratherina striata
Selain (Februari – Juni) Juli dan Agustus
Puntius denisonii
Oktober - Maret
Schizothorax o’connori
Februari – April
Telmatherina celebensis
Juni dan Oktober
Lokasi
Pustaka
Sungai Euphrates, , Syria Sungai Siahrud, Iran Danau Towuti, Sulawesi Selatan Danau Sentani, Jayapura Sungai Nimba dan Sungai Aimasi, Manokwari Sungai Yalong dan Yangtze, China Danau Towuti, Sulawesi Selatan Danau Towuti, Sulawesi Selatan Sungai Chandragiri, Valapattannam dan Chaliyar, India Sungai Yarlung Tsangpo, Tibet Danau Matano, Sulawesi Selatan
Saleh et al., 2012 Sabet et al., 2012 Sulistiono et al., 2007 Siby et al., 2009 Manangkalagi et al., 2009 Yin et al., 2012 Samuel, 2008 Tresnati, 2011 Solomon et al., 2011 Ma et al., 2010 Jayadi et.al., 2010
93
E. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu variabel dari biologi reproduksi ikan yang sangat diperlukan, khususnya dalam kegiatan
pengelolaan
secara
berkelanjutan
suatu
spesies
ikan.
Pengamatan ukuran ikan pertama kali matang gonad secara berkala dapat dijadikan indikator adanya tekanan terhadap populasi (Siby, 2009). Namun demikian, data ukuran pertama kali ikan pirik belum tersedia sehingga belum dapat dijadikan pembanding terjadinya tekanan ekploitasi terhadap populasi ikan pirik di alam. Jumlah ikan pirik (L. micracanthus) yang telah matang gonad (TKG III, IV dan V) yang diperoleh selama penelitian di S. Pattunuang berjumlah 149 ekor yang terdiri atas 57 ekor ikan jantan dan 92 ekor ikan betina. Sementara itu di S. Sanrego diperoleh sebanyak 81 ekor terdiri atas 35 ekor jantan dan 46 ekor betina. Rata-rata ukuran pertama kali matang gonad ikan pirik jantan dan betina di S. Pattunuang dan S. Sanrego berdasarkan hasil analisa metode Spearman-Karber dapat dilihat pada Tabel 21, dan Lampiran 21 hingga 24.
Tabel 21. Ukuran pertama kali matang gonad (mm) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros, dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Lokasi pengambilan sampel Sungai Pattunuang Sungai Sanrego
Jantan Ukuran (mm) Kisaran (mm) 75,40 74,00 – 76,81 72,01 68,82 – 75,36
Betina Ukuran (mm) Kisaran (mm) 82,04 80,05– 84,09 72,68 69,80 – 75,67
94
Berdasarkan Tabel 21, menunjukkan bahwa ikan pirik jantan matang gonad pertama kali pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan pirik betina. Hal yang sama juga terjadi pada ikan dari famili Terapontidae lainnya seperti spesies ikan H. fuliginosus, jantan matang gonad pertama kali pada ukuran 200 mm dan betina pada ukuran 250 mm dan ikan L. unicolor jantan matang gonad pada ukuran 74 mm dan betina pada ukuran 78 mm (Bishop et al., 2001). Hasil penelitian ini menunjukkan ikan pirik baik jantan dan betina di S. Pattunuang dan di S. Sanrego memiliki ukuran pertama kali matang gonad yang berbeda. Ikan pirik di S. Sanrego matang gonad pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan ikan pirik di S. Pattunuang. Perbedaaan tersebut diduga disebabkan kondisi lingkungan yang berbeda antara S. Pattunuang dan S. Sanrego. Selain itu, tingkat pemanfaatan/penangkapan ikan pirik yang lebih besar di S. Sanrego diduga menyebabkan ikan pirik melakukan pemijahan lebih awal pada ukuran yang lebih kecil untuk mempertahankan jumlah populasinya di habitat tersebut. Nikolsky (1963) menyatakan adanya perbedaan ukuran pertama kali matang gonad pada spesies ikan yang sama dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, kelimpahan dan ketersediaan makanan pada suatu habitat atau perairan yang berbeda. Rahardjo et al. (2011) menambahkan bahwa ikan pada saat pertama kali mencapai kematangan gonad dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain spesies, umur, dan ukuran. Secara umum ikan yang memiliki ukuran maksimum kecil dan masa hidup (life span) yang pendek
95
akan mencapai kedewasaan pada umur yang lebih muda daripada ikan yang mempunyai ukuran maksimum lebih besar. Ukuran ikan pertama kali matang gonad pada beberapa spesies ikan air tawar endemik dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Ukuran pertama kali matang gonad (mm) beberapa ikan air tawar endemik Spesies Aspius vorax
Ukuran pertama kali matang gonad (mm) Jantan Betina 36 45
Cairnsichthys rhombosomoides
34
27.5
Chela fasciata
36.25
45.75
Cobitis faridpaki
30
40
Glossolepis incisus
99.5
99.2
Marosatherina ladigesi Marosatherina ladigesi Melanotaenia splendida splendida
48.10
54.25
47.42
44
30.5
32.5
Melanotaenia eachamensis
27
26
Paratherina striata
134.65
108.49
Puntius denisonii
95.66
85.33
Schizothorax o’connori
304
389
Lokasi
Pustaka
Sungai Euphrates, Syria Danau dan sungai Northern Queensland, Australia Sungai Bharathapuzha, India Sungai Siahrud, Iran
Saleh et al., 2012 Pusey et al., 2001
Danau Sentani, Jayapura Sungai Bantimurung, Sulawesi Selatan Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan Danau dan sungai Northern Queensland, Australia Danau dan sungai Northern Queensland, Australia Danau Towuti, Sulawesi Selatan Sungai Chandragiri, Valapattannam, dan Chaliyar, India Sungai Yarlung Tsangpo, Tibet
Divipala et al., 2013 Sabet et al., 2012 Siby et al., 2009 Kariyanti, 2014 Kariyanti, 2014 Pusey et al., 2001 Pusey et al., 2001 Andy Omar et al., 2011 Solomon et al., 2011 Ma et al., 2010
96
F. Fekunditas Fekunditas adalah semua telur yang akan dikeluarkan pada waktu pemijahan. Dalam biologi perikanan, fekunditas pada ikan diartikan sebagai jumlah telur ikan betina sebelum dikeluarkan (oviposisi) pada waktu memijah dengan asumsi bahwa hanya sebagian telur yang tidak diovulasikan (Effendie, 2002). Untuk menganalisis fekunditas, ikan yang diamati adalah ikan pirik betina yang telah matang gonad pada TKG III, IV, dan V. Selanjutnya kisaran dan rerata berdasarkan waktu pengambilan sampel yang tertangkap di Sungai Pattunuang dan Sungai Sanrego dapat dilihat pada Tabel 23 dan 24.
Tabel 23. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros Waktu pengambilan sampel September
53,42 - 105,58
2,999 - 20,158
Kisaran fekunditas (butir) 55 – 3.415
Oktober
55,21 - 91,93
2,937 - 15,697
78 – 2.933
953 ± 618
November
64,58 - 71,21 0
5,127 - 7,540 0
353 – 450
402 ± 69
Desember
Kisaran panjang total tubuh (mm)
Kisaran bobot tubuh (g)
Rerata fekunditas (butir) 679 ± 590
0
0
Januari
0
0
0
0
Februari
0
0
0
0
97
Tabel 24. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Waktu pengambilan sampel September
60,49 - 103,82
3,876 - 20,048
Kisaran fekunditas (butir) 889 – 3.511
Oktober
71,41 - 84,65
6,091 - 10,829
900 – 3.927
2.215 ± 874
November
61,43 - 96,97
4,253 - 18,467
680 – 4.447
2.744 ± 997
Desember
65,27 - 81,48
4,678 - 9,414
1535 – 2.522
1.916 ± 423
17,733 - 20,035 0
905 – 4.399
2.328 ± 1835
Januari Februari
Kisaran panjang total tubuh (mm)
95,86 - 103,75 0
Kisaran bobot tubuh (g)
Rerata fekunditas (butir) 1.802 ± 855
0
0
Secara keseluruhan, fekunditas ikan pirik di S. Pattunuang berkisar 55 – 3.415 butir dengan rata-rata 481 butir dan di S. Sanrego berkisar 680 – 4.447 butir dengan rata-rata 2.247 butir. Hasil penghitungan fekunditas tersebut menunjukkan bahwa fekunditas ikan pirik di S. Sanrego lebih besar dibandingkan dengan fekunditas ikan pirik di S. Pattunuang. Perbedaan fekunditas dipengaruhi oleh komposisi ukuran ikan yang tertangkap pada S. Sanrego yang lebih besar dan diduga dipengaruhi oleh tingkat penangkapan ikan pirik yang intensif di daerah tersebut. Mulyoko (2010) menyatakan bahwa fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi lingkungannya. Apabila ikan hidup pada kondisi yang banyak ancaman maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak. Fekunditas
akan
semakin
tinggi
sebagai
bentuk
upaya
untuk
mempertahankan regenerasi keturunannya. Berdasarkan Tabel 23, rata-rata fekunditas tertinggi di S. Pattunuang tercapai pada bulan Oktober dengan 953 butir telur dan terendah pada bulan November dengan 402 butir telur. Pengamatan
98
terhadap fekunditas di S. Pattunuang hanya dilakukan pada bulan September hingga November yang merupakan periode pemijahan ikan pirik. Sementara itu pada bulan Desember hingga Februari tidak dilakukan pengamatan fekunditas dikarenakan tidak ditemukan ikan yang matang gonad pada waktu tersebut. Selanjutnya pada Tabel 24, rata-rata fekunditas tertinggi di S. Sanrego terjadi pada bulan November dengan 2.744 butir telur dan terendah pada bulan September dengan 1.802 butir telur. Berbeda dengan di S. Pattunuang, pengamatan terhadap fekunditas di S. Sanrego hampir dilakukan pada semua waktu pengambilan sampel, kecuali pada bulan Februari karena tidak ditemukan ikan yang matang gonad. Hasil penghitungan fekunditas ikan pirik berdasarkan TKG di S. Pattunuang dan S. Sanrego selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 25 dan 26.
Tabel 25. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros Tingkat Kematangan Gonad
Kisaran panjang total tubuh (mm)
Kisaran panjang total tubuh (mm)
Kisaran fekunditas (butir) 55 – 1.291 131 – 3.415
381 ± 249 1.066 ± 725
353 – 2.230
1.008 ± 489
III IV
53,42 - 83,44 55,40 - 105,58
3,876 - 20,048 4,919 - 17,436
V
58,88 - 83,97
7,473 - 19,661
Rerata fekunditas (butir)
99
Tabel 26. Kisaran dan rerata fekunditas (butir telur) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
III IV
Kisaran panjang total tubuh (mm) 60,49 - 103,82 66,18 - 95,95
Kisaran panjang total tubuh (mm) 3,876 - 20,048 4,919 - 17,436
Kisaran fekunditas (butir) 680 – 2.655 1219 – 4.447
Rerata fekunditas (butir) 1.503± 588 2.978± 928
V
72,18 - 103,75
7,473 - 19,661
1977 – 3.620
2.571 ± 496
Tingkat Kematangan Gonad
Berdasarkan Tabel 25 dan 26, nilai fekunditas di S. Pattunuang dan di S. Sanrego cenderung bervariasi pada setiap TKG. Fekunditas ikan pirik tertinggi di S. Pattunuang berada pada TKG IV dengan 1.060 butir dan di S. Sanrego pada TKG IV dengan 2.978 butir telur. Rata-rata fekunditas ikan pirik pada TKG III meningkat pada TKG IV kemudian menurun pada TKG V. Ikan air tawar tropis memiliki nilai fekunditas dan ukuran telur yang cenderung bervariasi (Winemiller et al., 2008). Fekunditas yang berbedabeda
antarspesies
merefleksikan
strategi
reproduksinya.
Bahkan
intraspesies, fekunditas bervariasi sebagai hasil dari perbedaan adaptasi terhadap lingkungannya. Ikan yang berukuran besar memiliki fekunditas yang besar. Pada ukuran yang sama, ikan betina dalam kondisi yang baik menghasilkan fekunditas yang lebih tinggi. Fekunditas ikan yang baru pertama kali memijah terlihat kecenderungan kualitas dan kuantitas telurnya masih rendah yang berpengaruh terhadap rekrutmennya bila dibandingkan dengan induk ikan yang telah berkali-kali memijah dengan fekunditas yang meningkat serta ukuran telur dan larva yang lebih besar.
100
Kondisi ini akan menurun sejalan dengan mulai menurunnya kondisi ikan yang memengaruhi kualitas dan kuantitas telur yang dihasilkan (ikan yang tua) (Bagenal, 1957 dalam Siby, 2009). Berdasarkan fekunditas yang diperoleh pada penelitian ini, ikan pirik (L.micracanthus) tergolong memiliki fekunditas yang lebih sedikit dibandingkan dengan beberapa spesies ikan dari famili yang sama (Terapontidae) yang hidup di perairan tawar seperti pada spesies ikan yang ditemukan di S. Aliggator, Australia diantaranya A. percoides yang memiliki fekunditas 800 – 400.000 butir telur dengan rata-rata 125.000 butir telur, H. fuliginosus memiliki fekunditas 200 – 800.000 butir telur, L. unicolor memiliki fekunditas 15.600 – 80.000 butir telur dan S. butleri memiliki fekunditas sebanyak 17.000 – 40.000 butir telur (Bishop et al., 2001). Spesies ikan lainya dari famili Terapontidae yang hidup di Sungai Mandulog, Australia yaitu Mesoprates cancellatus, bahkan memiliki fekunditas mencapai 16.800 hingga 2.078.000 butir telur atau dengan rata-rata fekunditas 1.186.420 butir telur (Openiano et al., 2011). Sementara itu spesies ikan dari family Terapontidae lainnya, namun hidup di perairan estuaria juga memiliki
fekunditas yang lebih besar
dibandingkan dengan fekunditas ikan pirik. Beberapa spesies tersebut diantaranya Terapon Jarbua di wilayah estuaria S. Tamshui Taiwan memiliki fekunditas 37.083 – 480.400 butir telur atau dengan rata-rata fekunditas 145.816 butir telur (Miu et al., 1990), Amniataba caudavittata memiliki fekunditas 50.000 – 750.000 butir telur atau dengan rata-rata
101
fekunditas 310 butir telur (Potter et al., 1994) dan Terapon puta di perairan Pondichery, India memiliki fekunditas berkisar 20.002 – 123.423 butir telur (Nandikeswari dan Anandan, 2013). Fekunditas terhadap ikan air tawar endemik dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Fekunditas beberapa spesies ikan air tawar endemik Spesies
Fekunditas
Lokasi
Pustaka Saleh et al., 2012 Pusey et al., 2001
23 - 967
Sungai Euphrates, Syria Danau dan sungai northern Queensland, Australia Sungai Bharathapuzha , India Sungai Siahrud, Iran Danau Towuti, Sulawesi Selatan Danau Sentani, Jayapura Sungai Bantimurung, Sulawesi Selatan Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan Sungai Nimba, Manokwari
Melanotaenia arfakensis
64 – 1.351
Sungai Aimasi, Manokwari
Melanotaenia splendida splendida Melanotaenia eachamensis
370 -1.655
Mystacoleucus padangensis Paratherina sp.
880 - 4.723
Paratherina striata
1.244 - 3.358
Puntius denisonii
376 - 1.098
Rasbora aprotaenia
647 - 3.512
Rasbora tawarensis Schizothorax o’connori
1.686 - 4.662 8.228 - 39.343
Telmatherina celebensis
297 - 1.265
Telmatherina ladigesi
88 - 910
Danau dan sungai northern Queensland, Australia Danau dan sungai northern Queensland, Australia Muara sungai sekitar Danau Singkarak Danau Towuti, Sulawesi Selatan Danau Towuti, Sulawesi Selatan Sungai Chandragiri, Valapattannam, dan Chaliyar, India Sungai, Taman Nasional Gunung Halimun Danau Laut Tawar, Aceh Sungai Yarlung Tsangpo, Tibet Danau Matano, Sulawesi Selatan Sungai di Maros, Sulawesi Selatan
Aspius vorax Cairnsichthys rhombosomoides Chela fasciata
512 - 239.765 131 - 737
Cobitis faridpaki Glossogobius matanensis
558 - 2.849 20.667 - 178.133
Glossolepis incisus Marosatherina ladigesi
910 - 3.122 21 - 170
Marosatherina ladigesi
20 - 335
Melanotaenia arfakensis
2.669 - 4.437
206 - 2.126
282 - 712
Divipala et al., 2013 Sabet et al., 2012 Sulistiono et al., 2007 Siby et al., 2009 Kariyanti, 2014 Kariyanti, 2014 Manangkalagi et al., 2009 Manangkalagi et al., 2009 Pusey et al., 2001 Pusey et al., 2001 Patriono et al., 2010 Samuel, 2008 Salam, 2012 Solomon et al., 2011 Dewantoro dan Rachmatika, 2004 Brojo et al., 2001 Ma et al., 2010 Jayadi et.al., 2010 Nasution et al., 2006
102
Berdasarkan analisis koefisien regresi hubungan antara fekunditas dan panjang total tubuh, hubungan antara fekunditas dan bobot tubuh, dan hubungan antara fekunditas dan bobot gonad, terhadap ikan pirik pada perairan S. Pattunuang dan S. Sanrego (Gambar 17 dan 18), maka diperoleh hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh dan hubungan fekunditas dengan bobot tubuh yang tidak erat atau lemah (r<0,5). Hal tersebut menunjukkan bahwa panjang total dan berat tubuh tidak dapat dijadikan penduga nilai ferkunditas ikan endemik pirik. Hubungan erat (r>0,5) terjadi pada hubungan antara fekunditas dan berat gonad. Hal tersebut memberikan arti bahwa semakin berat ovari pada tubuh ikan maka fekunditas akan bertambah pula. Korelasi yang lemah antara fekunditas dan panjang total dan antara fekunditas dan bobot tubuh juga terjadi pada ikan endemik depik (Rasbora tawarensis) di Danau Laut Tawar, Aceh Tengah (Brojo, 2001), ikan rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti (Nasution, 2005), dan ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) di Danau Sentani (Siby, 2009). Nikolsky (1963) menyatakan
bahwa
hubungan
fekunditas
individu
paling
erat
hubungannya dengan berat gonad dibandingkan dengan panjang total dan bobot tubuh.
103
Gambar 17. Hubungan antara fekunditas dan panjang total tubuh (a), antara fekunditas dan bobot tubuh (b), serta antara fekunditas dan berat gonad (c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
104
Gambar 18. Hubungan antara fekunditas dan panjang total tubuh (a), antara fekunditas dan bobot tubuh (b), serta antara fekunditas dan berat gonad (c) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
105
G. Diameter Telur Diameter telur adalah garis tengah dari suatu telur ikan yang diamati dengan miskropkop dan diukur dengan menggunakan mikrometer berskala yang telah ditera sebelumnya. Secara keseluruhan
diameter
telur ikan pirik di S. Pattunuang berkisar antara 0,1523 - 0,8618 mm dan di S. Sanrego berkisar antara 0,2080 - 0,8618 mm. Hasil analisis data sebaran diameter telur ikan pirik pada TKG III, TKG IV dan TKG V di S. Pattunuang dapat dilihat pada Gambar 19 dan di S. Sanrego pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 19, sebaran diameter telur ikan pirik di S. Pattunuang pada TKG III berkisar antara 0,1523 – 0,7366 mm dengan frekuensi tertinggi berada pada kisaran diameter 0.3000 - 0,3500 mm yaitu 1.630 butir telur (26,02 %) dan kisaran diameter 0.4000 - 0,4500 mm yaitu 1591 butir telur (25,40 %), pada TKG IV berkisar antara 0,2916 – 0,8614 mm dengan frekuensi tertinggi berada pada kisaran diameter 0.5500 - 0,6000 mm yaitu 1.689 butir telur (34,89 %) dan pada TKG V berkisar antara 0,4307 – 0,8618 mm dengan frekuensi tertinggi berada pada kisaran diameter 0.7000 -
0,7500 mm yaitu 1.843 butir telur
(30,45 %). Selanjutnya sebaran diameter telur ikan pirik di S. Sanrego (Gambar 20) pada pengamatan TKG III diperoleh diameter telur berkisar antara 0,2080 – 0,7088 mm dengan frekuensi tertinggi pada kisaran diameter 0.2500 - 0,3000 mm yaitu 2.059 butir telur (49,04%), pada TKG IV berkisar antara 0,2080 – 0,7366 mm dengan frekuensi tertinggi pada
106
Gambar 19. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad selama penelitian di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros. a (TKG III), b (TKG IV) dan c (TKG V).
107
Gambar 20. Distribusi diameter telur ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) yang diamati pada setiap tingkat kematangan gonad selama penelitian di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone. a (TKG III), b (TKG IV) dan c (TKG V).
108
kisaran diameter 0.5000 - 0,5500 mm yaitu 4.979 butir telur (51,60 %) dan pada TKG V berkisar antara 0.5141 – 0,7922 mm dengan frekuensi tertinggi pada kisaran diameter 0.6000 - 0,6500 mm yaitu 671 butir telur (25,14 %). Berdasarkan
hal
tesebut,
menunjukkan
adanya
perbedaan
kelompok ukuran diameter telur ikan pirik pada setiap TKG, Hal tersebut terjadi baik pada ikan pirik di S. Pattunuang maupun ikan pirik di S. Sanrego. Perbedaan kelompok ukuran diameter telur tersebut disebabkan pada TKG III baru mulai memasuki tahap kematangan gonad sehingga pertumbuhan telur belum merata. Sedangkan pada TKG IV dan V ikan mulai memasuki masa pemijahan, sehingga diameter telur sudah lebih besar dibandingkan dengan diameter pada TKG sebelumnya. Berdasarkan sebaran diameter telur ikan pirik (L. micaracanthus) di S. Pattunuang dan di S. Sanrego (Gambar 19 dan 20) pada setiap TKG menunjukkan bahwa terbentuk satu beberapa modus atau puncak pemijahan, sehingga ikan pirik diduga termasuk dalam pola pemijahan secara parsial (partial spawner) mengeluarkan telur matang secara bertahap pada satu kali periode pemijahan. Hal yang sama juga terjadi pada ikan rainbow sulawesi (Marosatherina ladigesi) di S. Pattunuang dan S. Bantimurung, Sulawesi Selatan (Kariyanti, 2014). Diameter telur dan pola pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik dapat dilihat pada Tabel 28.
109
Tabel 28. Diameter telur dan pola pemijahan beberapa spesies ikan air tawar endemik Diameter telur (mm)
Spesies
Pola pemijahan
Cairnsichthys rhombosomoides
1.124 ± 0.008 SE
-
Cobitis faridpaki
0.02 – 1.4
-
Glossogobius matanensis Glossolepis incisus Melanotaenia arfakensis Melanotaenia arfakensis Melanotaenia splendida splendida Melanotaenia eachamensis
0.04 – 0.65
Partial
0.62-7.62 um
Partial
0.50-1.20
Partial
0.50-1.30
Partial
1.09 ± 0.019 SE
-
1.238 ± 0.022 SE
-
Paratherina sp.
0,76 – 2,75
Partial
Rasbora tawarensis Schizothorax o’connori Telmatherina ladigesi
-
Total
>2
-
0,33 – 1.53
Partial
Lokasi Danau dan sungai northern Queensland, Australia Sungai Siahrud, Iran Danau Towuti, Sulawesi Selatan Danau Sentani, Jayapura Sungai Nimba, Manokwari Sungai Aimasi, Manokwari Danau dan sungai northern Queensland, Australia Danau dan sungai northern Queensland, Australia Danau Towuti Sulawesi Selatan Danau Laut tawar Aceh Sungai Yarlung Tsangpo, Tibet Sungai di Maros, Sulawesi Selatan
Pustaka Pusey et al., 2001 Sabet et al., 2012 Sulistiono et al., 2007 Siby et al., 2009 Manangkalagi et al., 2009 Manangkalagi et al., 2009 Pusey et al., 2001 Pusey et al., 2001 Samuel, 2008 Brojo et al., 2001 Ma et al., 2010 Nasution et al., 2008
H. Potensi Reproduksi Potensi reproduksi merupakan salah satu parameter biologi reproduksi yang penting untuk diketahui khususnya untuk melakukan mengetahui kapasitas reproduksi yang dimiliki oleh suatu spesies ikan. Pengukuran potensi reproduksi masih sangat jarang dilakukan pada penelitian biologi perikanan. Potensi reproduksi ikan pirik di Sungai Pattunuang dan Sungai Sanrego dapat dilihat pada Tabel 29.
110
Tabel 29. Potensi reproduksi (butir) ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) menurut panjang total (mm) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros, dan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
Sungai Maros
Sungai Sanrego
40 - 50
Jumlah individu matang gonad 0
0
0
Jumlah individu matang gonad 0
0
0
50 - 60
9
726
6.534
0
0
0
60 - 70
47
615
28.905
6
1.558
9.348
70 - 80
31
728
22.568
13
2.114
27.487
Kelompok panjang (mm)
Fekunditas rata-rata (butir)
Potensi reproduksi (butir)
Fekunditas rata-rata (butir)
Potensi reproduksi (butir)
80 - 90
5
1.484
7.420
17
2.433
41.368
90 - 100
0
0
0
8
2.557
20.456
100 - 110
0
0
0
2
3.527
7.054
Berdasarkan Tabel 29, potensi reproduksi tertinggi ikan pirik (L. micracathus) di S. Pattunuang yaitu 28.905 butir pada kisaran panjang total 60 – 70 mm sedangkan di S. Sanrego sebesar 41.368 butir pada kisaran panjang 80 – 90 mm . Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan pirik yang paling berperan dalam reproduksi populasi di S. Pattunuang adalah ikan-ikan yang memiliki kisaran panjang total 60 – 70 mm sedangkan di S. Sanrego yaitu ikan-ikan yang memiliki kisaran panjang total 80 – 90 mm.
I. Parameter Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap distribusi dan kelangsungan hidup makhluk hidup yang terdapat di dalam suatu perairan. Perairan yang memiliki kualitas air yang baik akan memiliki tingkat keanekaraman dan kelimpahan biota
111
perairan yang sangat tinggi. Sebaliknya, perairan yang memiliki kualitas air yang buruk, keanekaragaman dan kelimpahan biota perairan yang dimiliki juga relatif lebih rendah. Penurunan kualitas air diketahui telah banyak terjadi, baik pada perairan sungai maupun danau, di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu, pemantauan habitat suatu biota perairan melalui pengukuran parameter kualitas air merupakan hal yang sangat penting dilakukan, khususnya dalam rangka menjamin kesesuaian hidup antara organisme tersebut dan habitatnya. Pada penelitian ini juga dilakukan beberapa pengukuran parameter kualitas air yang meliputi, suhu, pH, oksigen terlarut dan Total Dissolved Solid. Kondisi habitat dan kondisi musim yang berbeda antara S. Pattunuang dan S. Sanrego menyebabkan perbedaan nilai parameter yang diamati. Musim Kemarau di S. Pattunuang terjadi pada bulan Juni hingga September kemudian memasuki Musim Penghujan dari Oktober hingga Februari. Di S. Sanrego, Musim Kemarau berlangsung lebih lama hingga bulan Desember. Aliran air S. Pattunuang dan S. Sanrego relatif jernih dengan substrat berpasir, kerikil, hingga berbatu. Kondisi habitat ikan pirik di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat kembali pada Lampiran 2 dan 3. Selanjutnya hasil pengamatan parameter kualitas air yang dilakukan selama penelitian masing-masing lokasi tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
112
1. Suhu Suhu memunyai peranan penting dalam menentukan pertumbuhan suatu organisme. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai suhu pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Sebaran rataan nilai suhu (°C) selama penelitian Berdasarkan Gambar 21, nilai suhu tertinggi di perairan S. Pattunuang terjadi pada bulan September yaitu mencapai 30,40°C, namun pada bulan selanjutnya suhu mengalami penurunan hingga mencapai suhu terendah 25,70°C pada bulan Desember. Suhu meningkat kembali pada bulan Januari dan Februari 2015. Tingginya nilai suhu pada bulan September dikarenakan waktu tersebut merupakan puncak Musim Kemarau, sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan sangat tinggi. Pada bulan selanjutnya suhu mengalami penurunan dikarenakan pada bulan tersebut sudah memasuki Musim
113
Penghujan sehingga intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat rendah. Suhu di perairan S. Sanrego relatif stabil dikarenakan cuaca pada daerah tersebut relatif stabil dan tidak mengalami perubahan yang ekstrim setiap bulannya. Meski demikian, suhu terendah juga diperoleh pada bulan Desember. Menurut Barus (2001), pola suhu ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Selain faktor penutupan canopy, cuaca saat pengambilan sampel juga memengaruhi tinggi rendahnya suhu. Suhu dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan organisme akuatik, terutama suhu di dalam air yang telah melampaui ambang batas. Jenis, jumlah, dan keberadaan organisme akuatik seringkali berubah dengan adanya perubahan suhu air, terutama oleh adanya kenaikan suhu dalam air (Rakhmanda, 2011). Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan suhu di perairan S. Pattunuang berkisar antara 25,70°C – 30,40°C, sementara di perairan S. Sanrego berkisar antara 26,35°C – 27,65°C. Hal tersebut menunjukkan suhu di kedua lokasi masih berada dalam kondisi yang sesuai dan dapat ditolerir oleh kehidupan organisme akuatik. Boyd (1988) menyatakan suhu optimal bagi ikan dan organisme akuatik lainnya adalah berkisar antara 25 – 30°C.
114
Sementara itu kisaran yang baik untuk menunjang pertumbuhan optimal adalah 28 – 32°C (Tatangindatu et al., 2013). Suhu yang diperoleh di perairan S. Pattunuang selama penelitian tidaklah jauh berbeda dengan suhu yang diperoleh pada penelitian sebelumnya di lokasi tersebut. Kariyanti (2014) menyatakan suhu yang diperoleh pada perairan S. Pattunuang sebesar 25 – 27,8°C dan suhu tersebut masih sesuai dengan suhu yang dapat ditolerir biota akuatik. Parameter suhu pada beberapa spesies ikan dari Famili Terapontidae dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Suhu beberapa spesies ikan air tawar Family Terapontidae (Bishop, 2001) Spesies Amniataba percoides Hefaistos fuliginosus Leiopotherapon unicolor Syncomistes butleri Pingallamidgleyi
Kisaran suhu (°C) 23 – 40 23 – 34 23 – 40 23 – 34 23 – 35
Rata-rata (°C) 30.2 28.2 30.2 28.9 27.6
2. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air.rataan nilai suhu pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar 22, Nilai oksigen terlarut tertinggi di S. Pattunuang terjadi pada bulan September dan di S. Sanrego pada bulan November. Hal tersebut terjadi pada saat Musim Kemarau. Nilai oksigen terlarut kemudian mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada Musim Penghujan di bulan Desember untuk S. Pattunuang dan bulan Februari untuk S. Sanrego.
115
Gambar 22. Sebaran rataan nilai oksigen terlarut (ppm) selama penelitian Tingginya
oksigen
terlarut
pada
Musim
Kemarau
diduga
disebabkan oleh aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan yang berklorofil dan rendahnya
oksigen
terlarut
pada
Musim
Penghujan
dikarenakan
banyaknya bahan-bahan organik yang mencemari badan air sehingga mikroba banyak menggunakan oksigen untuk oksidasi bahan organik. Salmin (2005) menyatakan bahwa sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Sementara itu, hilangnya oksigen di perairan, selain akibat respirasi hewan dan tumbuhan, disebabkan juga oleh mikroba yang menggunakan oksigen untuk oksidasi bahan organik (Boyd, 1988). Apabila bahan-bahan organik yang mencemari badan air cukup banyak maka jumlah oksigen yang dikonsumsi untuk menguraikan bahan-bahan tersebut semakin banyak
116
pula sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air turun
sampai
sedemikian rendah. Adanya perbedaaan nilai oksigen terlarut pada kedua lokasi dikarenakan iklim kedua lokasi yang berbeda. Musim Kemarau di S. Pattunuang, Kab. Maros, terjadi pada bulan September – Oktober 2014, dan Musim Penghujan terjadi pada bulan November 2014 hingga Februari 2015. Sementara itu di S. Sanrego, Kab. Bone, Musim Kemarau terjadi pada bulan September hingga awal Desember 2014 dan awal Musim Penghujan terjadi pada bulan Desember hingga Februari 2015. Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, kisaran oksigen terlarut di perairan S. Pattunuang berkisar 4,85 - 7,65 ppm sementara di perairan S. Sanrego berkisar 4,05 ppm - 7,45 ppm. Hal tersebut menunjukkan kandungan Do di kedua lokasi masih berada dalam kondisi yang sesuai dan dapat ditolerir oleh kehidupan organisme akuatik. Baku mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 82 tahun 2001, menyatakan bahwa perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai oksigen terlarut di atas 6 mg L1
dan
4 mg L-1. Swingle (1968) dalam Salmin, (2005) menyatakan
kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan
117
organisme. Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet, 1970 dalam Salmin, 2005). Sebagai perbandingan, parameter oksigen terlarut untuk kelayakan hidup pada beberapa spesies ikan dari famili Terapontidae dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Oksigen terlarut beberapa spesies ikan air tawar famili Terapontidae (Bishop, 2001) Spesies Amniataba percoides Hefaistos fuliginosus Leiopotherapon unicolor Syncomistes butleri Pingallamidgleyi
Oksigen terlarut (mg L-1) 3,9 – 9,7 3,8 – 7,4 0,9 – 9,1 5,0 – 7,4 3,8 – 8,3
Rata-rata(mg L-1) 6,2 6,4 6,3 6,2 5,9
3. Derajat keasaman (pH) Nilai pH
suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam
dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Rataan nilai pH pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Sebaran rataan nilai derajat keasaman (pH) selama penelitian
118
Berdasarkan hasil pengamatan pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang dan di S. Sanrego, nilai pH selama penelitian berkisar 7 – 8. Effendi (2003) menyatakan sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH antara 7 – 8,5. Sementara itu biota perairan tawar umumnya memiliki pH ideal adalah antara 6,8 - 8,5 (Tatangindatu et al., 2013). Baku mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 82 tahun 2001, menyatakan bahwa perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai pH berkisar dari 6 – 9. Hal tersebut menunjukkan kondisi perairan S. Pattunuang dan S. Sanrego
masih tergolong layak untuk organisme
akuatik untuk hidup dan pertumbuhan secara optimal. Nilai pH untuk kelayakan hidup pada beberapa spesies ikan dari famili Terapontidae dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Derajat keasaman (pH) beberapa spesies ikan air tawar famili Terapontidae (Bishop, 2001) Spesies Amniataba percoides Hefaistos fuliginosus Leiopotherapon unicolor Syncomistes butleri Pingallamidgleyi
Nilai pH 5,0 – 8,6 4,0 – 6,7 4,0 – 8,6 4,5 – 6,7 4,5 – 6,7
Rata – Rata 6,25 5,6 6,1 5,9 5,9
4. Total Dissolved Solid (TDS) Total Dissolved Solid (TDS) atau padatan terlarut total adalah bahan-bahan terlarut (diameter 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,4 µm. Nilai padatan
119
terlarut total
perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan,
limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri) (Effendi 2003). Rataan nilai TDS pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang dan di S. Sanrego dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Sebaran rataan nilai Total Dissolved Solid selama penelitian Berdasarkan hasil pengamatan TDS pada setiap pengambilan sampel di S. Pattunuang berkisar 141 - 176 ppm dan di S. Sanrego berkisar 112 – 228 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi dari kedua lokasi masih berada dalam kondisi yang sangat sesuai untuk kehidupan organisme akuatik. Baku mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 82 tahun 2001, menyatakan bahwa perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan harus memiliki nilai padatan terlarut total maksimal sebesar 1000 mg L-1.
120
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasi penelitian biologi reproduksi ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di S. Pattunuang dan di S. Sanrego, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tipe pertumbuhan ikan pirik di S. Pattunuang bersifat isometrik, sementara ikan pirik di S. Sanrego memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif (minor). Faktor kondisi ikan pirik di S. Pattunuang lebih besar dibandingkan faktor kondisi ikan pirik di S. Sanrego. 2. Nisbah kelamin ikan pirik di S. Pattunuang dan S. Sanrego tidak seimbang (bukan 1 : 1). 3. Pemijahan ikan pirik di S. Pattunuang berlangsung September hingga
November
dengan
puncak
pemijahan
pada
bulan
September, sementara itu pemijahan ikan pirik S. Sanrego berlangsung
September
hingga
Desember
dengan
puncak
pemijahan pada bulan November. 4. Ukuran pertama kali matang gonad pada ikan pirik jantan di S. Pattunuang pada ukuran 75,40 mm dan betina pada ukuran 82,04 mm, sementara di S. Sanrego jantan pada ukuran 72,01 mm dan betina pada ukuran 72,68 mm. Ikan pirik di S. Sanrego matang gonad lebih awal dibandingkan ikan pirik di S. Pattunuang.
121
5. Fekunditas ikan pirik di S. Pattunuang 55 – 3415 butir telur dengan rata-rata 481 butir telur dan di S. Sanrego berkisar 680 – 4447 butir telur dengan rata-rata 2247 butir telur. 6. Ikan pirik tergolong dalam kelompok pemijahan secara parsial atau mengeluarkan telur matang secara bertahap pada satu kali periode pemijahan (Partial spawner). 7. Kondisi perairan di S. Pattunuang dan di S. Sanrego
masih
tergolong baik bagi ikan pirik untuk hidup dan berkembang secara optimal. B. Saran Untuk kepentingan pengelolaan berkelanjutan, disarankan agar penangkapan ikan endemik pirik (L. micracanthus) baik di S. Pattunuang maupun di S. Sanrego tidak dilakukan pada saat musim pemijahan.
122
DAFTAR PUSTAKA Adolfo, C.G., Asela R.V., and Horacio, V.L. 2013. Reproductive aspects of yellow fish Girardinichthys multiradiatus (Meek, 1904) (Pisces: Goodeidae) in The Huapango Reservoir, State of Mexico, Mexico. American Journal of Life Sciences. 1(50): 189-194. Ahsani, R.T. 2015. Kebiasaan Makan Ikan Endemik Pirik (Lagusia micracanthus, Bleeker 1860) di Sungai Pattunuang, Sulawesi Selatan. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Hasanuddin. Ali, S.A. 2012. Biologi Ikan Terbang. Pustaka Al-Zikra. Yogyakarta. 190 hal. Andy Omar, S. Bin. 2010. Aspek reproduksi ikan nilem, Osteochilus vittatus (Valenciennes, 1842) di Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Jurnal Iktiologi Indonesia. 10(2): 111-122. Andy Omar, S. Bin. 2012. Dunia Ikan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 478 hal. Andy Omar, S. Bin. 2013. Buku Ajar Biologi Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. 168 hal. Andy Omar, S. Bin., Salam, R., dan Kune, S. 2011. Nisbah kelamin dan ukuran pertama kali matang gonad ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011. MS-12. Asmoro, Y. 2009. Daerah Aliran Sungai (DAS) Walanae, Sulawesi Selatan. Online. https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files /2009/12/das-walanae.pdf. Di akses 13 November 2014. Baby, F., J. Tharian, K.M. Abraham, M.R. Ramprasanth, A. Ali & R. Raghavan.2011. Length-weigth relationship and condition factor of an endemic stone sucker, Garra gotyla stenorhynchus (Jerdon, 1849) from two opposite flowing rivers in southern Western Ghats. Journal of Threatened Taxa 3(6) : 1851–1855. Bagenal, T.B. 1957. Annual variations in fish fecundity. J. mar. biol. Ass. 36: 377 -382.
123
Bahri. 2012. Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor. Fakultas. Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 69 hal. Ball, D.V. and Rao, K.V. 1984. Marine Fisheries. Tata McGraw Hill Publishing Company United. New Delhi. Bogor. 112 p. Bandepei A., Mashhor M.A.M., Abdolmaleki S.H., Najafpour S.H., Bani A., R. Pourgholam, Fazli, H., Nasrolahzadeh H. and Janbaz, A.A. 2011. The environmental effect on spawning time, length at maturity and fecundity of kutum (Rutilus frisii kutum Kamensky, 1901) in Southern Part of Caspian Sea, Iran. Iranica Journal of Energy & Environment. 2 (4): 374-381, 2011. Barus, I.T.A. 2001. Pengantar Limnologi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Jakarta.164 hal. Bishop, K.A., Allen, S.A., Pollard, D.A., and Cook, M.G. 2001. Ecological studies on the freshwater fishes of the Alligator rivers region, Northern Territory : Autecology. Supervising Scientist Report 145, Supervising Scientist, Darwin. 582 p. BLHKP
Kabupaten Maros. 2013. Kabupaten Maros. 133 hal.
Profil
Keanekaragaman
Hayati
Bobori, D.C., Dimtrius, K.M., Bekri, M., Salvarina, L., and Munoz, A. I. P. 2010. Length-weight relationships of freshwater fish spesies caught in three Greek lakes. Journal of biological ResearchThessaloniki. 14 : 219-224. Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Department of Fisheries and Allied Aquacultures, Agricultural Experiment Station Auburn University. Elsevier Scientific Publishing Company : Amsterdam – Oxford. Brewer, S.K., Rabeni, C.F., and Papoulias, D.M. 2008. Comparing histology and gonadosomatic index for determining spawning condition of small-bodied riverine fishes. Ecol. Freshwater Fish, 17: 54-58.
124
Brojo, M., Sukimin, S. dan Mutiarsih I. 2001. Reproduksi ikan depik (Rasbora tawarensis di perairan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah. Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(2): 19-23. Budiman, A., Arief, A.J. dan Tjakrawidjaya, A.H. 2002. Peran museum zoologi dalam penelitian dan konservasi keanekaragaman hayati (ikan). Jurnal Iktiologi Indonesia 2(2): 51-55. Burhanuddin, A. I. 2010. Ikhtiologi, Ikan dan Aspek Kehidupan. PT.Yayasan Citra Emulsi. Makassar. 332 hal. Dewantoro, G.W, dan Rachmatika, I. 2004. Aspek reproduksi ikan paray (Rasbora aprotaenia) di beberapa Sungai Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal iktiologi Indonesia. 4 (2) : 23-26. Divipala, I., Mercy, T.V.A., and Nair, J.R. 2013. Reproductive biology of Chela fasciata silas – an endemic ornamental barb of the of Western Ghats of India. Indian J. Fish., 60(4): 41-45. Dulcic, B.J., Tutman, P., Prusina, I., Tomsic, S., Dragicevic, B., Haskovic, E., and Glamuzina, B. 2009. Length–weight relationships for six endemic freshwater fishes from Hutovo Blato wetland (Bosnia and Herzegovina). J. Appl. Ichthyol. 25 (2009): 499–500. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta . Effendie M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dwi Sri. Bogor. 163 hal. Ekokotu, P.A., and Olele, N.F. 2014. Cycle of gonad maturation, condition index and spawning of Clarotes laticeps (Claroteidae) in the Lower River Niger. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies 1(6): 144-150. Ernawati, Y., Aida, S.N. dan Juwaini, H. A. 2009. Biologi reproduksi ikan sepatung, Pristolepis grooti Blkr. 1825 (Nandidae) di Sungai Musi. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1): 13-24.
125
Jan, M., Jan, U. dan Shah G.M. 2014. Studies on fecundity and gonadosomatic index of Schizothorax plagiostomus (Cypriniformes: Cyprinidae). Journal of Threatened Taxa. 6(1): 5375–5379. Jayadi, Hamal, R., dan Arifuddin. 2010. Reproduksi ikan endemik rainbow sulawesi Telmatherina celebensis di Danau Matano Sulawesi Selatan. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). 20(1): 44– 48. Johnson, J.E. 1971. Maturity and fecundity of threadfin shad, Dorosoma petenense (Gunther) in Central Arizona reservoirs. Trans. Am. Fish. Soc. 100(1): 74-85. Kara, A. and Bayhan, B. 2008. Length-weight and length-length relationships of The Bogue Boops Boops (Linneaus, 1758) in Izmir Bay (Aegean Sea of Turkey). Belg. J. Zool. 138(2): 154-157. Kariyanti. 2014. Biologi reproduksi ikan endemik beseng- beseng (Marosatherina ladigesi Ahl, 1936) di Sungai Bantimurung dan Sungai Pattunuang Asue, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Tesis tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 134 hal. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Ikan Air Tawar Langka di Indonesia. 86 hal. Kirankaya, S.G., Ekmekci, F.G, Ozdilek, S.Y, and Yogurtcouglu. 2014. Condition, length-weight and length-length relationships for five fish species from Hirfanli Reservoir, Turkey. Journal of Fisheries Science. s 8(3): 208-213. Kottelat, M., Whitten A.J, Kartikasari S.N, and Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus EditionsProyek EMDI. Jakarta. 377 p. Kumar R., Shiv S. Y., Tripathi M.. 2014. Studies on length–weight relationship of seven commercially important freshwater fish species of Gomti River Lucknow (U.P.) India International Journal of Fisheries and Aquatic Studies. 1(3):1-3. Lagler, K.F., Bardach, J.E., Miller, R.R., and Passino, D.R.M. 1977. Ichthyology. Second edition. John Wiley & Sons, New York. 506 p.
126
Lawson, E.O., Akintola, S.L., and Awe, F.A.. 2013. Length-weight relationships and morphometry for eleven (11) fish species from Ogudu Creek, Lagos, Nigeria. Advances in Biological Research. 7(4): 122-128. Le Cren, C.D. 1951. The length-weigth relationship and seasonal cycle in gonad weight and condition in the perch (Perca fluviatilis). Journal of Animal Ecology 20(2): 201-19. Ma, B.S., Xie, C.X., Huo, B., Yang, X.F., Huang, H.P. 2010. Age and growth of a long-lived fish Schizothorax o’connori in the Yarlung Tsangpo River, Tibet. Zoological Studies. 49(6): 749-759. Ma’suf, A. 2008. Biologi Reproduksi Ikan Juaro (Pangasius polyuronodon) di Daerah Aliran Sungai Musi. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor. Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 88 hal. Mamangkey, J.J. 2010. Biopopulasi ikan endemik Butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi tidak diterbitkan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 153. Manangkalangi, E., Rahardjo, M.F., Sjafei, D.S dan Sulistiono. 2009. Musim pemijahan ikan pelangi arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di Sungai Nimba dan Sungai Aimasi, Manokwari. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1): 1-12. Minggawati, I. dan Lukas. 2012. Studi kualitas air untuk budidaya ikan karamba di Sungai Kahayan. Media Sains, 4(1) : 235-242. Miranda, R., Galicia, D., Monks, S. and Pulido, F.G.. 2009. Weight–length relationships of some native freshwater fishes of Hidalgo State. Mexico. J. Appl. Ichthyol. 25(2009) : 620–621. Miu, T.C., Lee, S.C., and Tzeng, W.N. 1990. Reproductive biology of Terapon jarbua from the Estuary of Tamshui River. J.Fish. Soc. Taiwan, 17(1) : 9-20. Muchtar, D.I. 2015. Kebiasaan Makan Ikan Endemik Pirik (Lagusia micracanthus, Bleeker 1860) di Sungai Sanrego, Sulawesi Selatan. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Hasanuddin.
127
Mulyoko. 2010. Kajian Aspek Reproduksi Sebagai Upaya Menekan Laju Penurunan Populasi Ikan Tilan (Mastacembelus erythrotaenia, bleeker 1850) di Sungai Musi. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 hal. Nandikeswari, R., Anandan, A. 2013. Analysis on gonadosomatic index and fecundity of Terapon puta from Nallavadu Coast Pondicherry. International Journal of Scientific and Research Publications. Volume 3, Issue 2, Februari 2013. Nasution, S., Djamhuriyah, S.S, Lukman, Triyanto dan Fauzi, H. 2006. Aspek reproduksi ikan beseng-beseng (Telmatherina ladigesi) dari beberapa Sungai di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV. Jatilihur. 83-93. Nasution, S.H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan endemik rainbow selebensi (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2) : 29-37. Nasution, S.H. 2008. Ekobiologi dan Dinamika Stok Sebagai Dasar Pengelolaan Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 173 p. Nelson, J.S., 1994. Fishes of the world. Third edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. 600 p. Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. New York. Nilawati, J. dan Tantu, F.Y. 2007. Tingkah laku reproduksi dan struktur ukuran Thelmatherina anthoniae di Danau Matano Sulawesi. Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 28 Juli 2007. Openiano, Jr.P.L., Henry, E.D., Alex, B.A., and Alita, E.O. 2011. Biology, ecology, and fishery of the cross-barred grunt, Mesopristes cancellatus in Mandulog River, Iligan City. Journal of Environment and Aquatic Resources. 2 : 47-61. Parenti, L.R. 2011. Endemism and conservation of native freshwater fish fauna of Sulawesi Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Ikan VI : 1-10.
128
Patel, V., Shukla, S.N., and Patel, S. 2014. Studies on length-weight relationship and ponderal index of Cyprinus Carpio in Govindgarh Lake, Rewa (M.P.) Journal of Chemical, Biological and Physical Sciences. 4(2): 1183-1187. Patriono P., Junaidi E., dan Sastra, F. 2010. Fekunditas ikan Bilih (Mystacoeleucus padangensis Blkr.) di Muara Sungai Sekitar Danau Singkarak. Jurnal Penelitian Sains. 13(3) : 55-58. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2001. PPRI nomor 82 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Potter, I. C., Neira F. J., Wise, B.S., and Wallace, J.H. 1994. Reproduktive biology and larval development of the terapotid Aminataba caudavittata, including comparisons with the reproduktive strategies of other estuarine teleosts in temprate Western Australia. Journal of Fish Biology. 45 : 57-74. Pusey, B.J., Arthington, A.H., Bird J.R., Close, P.G. 2001. Reproduction in three spesies of rainbowfish (Melanotaeniidae) from rainforest streams in northern Queensland, Autralia. Ecology of Freshwater Fish. 10 : 75-87. Rahardjo, M.F., Sjafei, D.S., Affandi R., Sulistiono, Hutabarat, J. 2011. Iktiology. Penerbit Lubuk Agung. Bandung. 395 hal. Rahayu S, Widodo, R.H, Van, N.M., Suryadi, I., dan Verbist, B. 2009. Monitoring air di Daerah Aliran Sungai. World Agroforestry Centre - Southeast Asia Regional Office. Bogor. 104 p. Rakhmanda, A. 2011. Estimasi populasi gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta. Jurnal Ekologi Perairan. 1: 1-7. Sabet, H.M., Kamali, A., Soltani, M., Bani, A. and Rostami, H. 2012. Age, sex ratio, spawning season, gonadosomatic index, and fecundity of Cobitis faridpaki (Actinopterygii, Cobitidae) from the Siahrud River in The Southeastern Caspian Sea Basin. Caspian J. Env. Sci. 10 (1) : 15-23. Salam, R. 2012. Bioekologi ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata Aurich, 1935) di Danau Towuti Kabupaten Luwu Timur. Pascasarjana. Universitas Hasanuddin.
129
Saleh, F.A., Hammoud, V., Hussein, A., Abdulrazak, H., Alhazzaa, R. 2012. On the growth and reproductive biology of asp, Aspius vorax, population from the Middle Reaches of Euphrates River. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Science. 12 : 149-156. Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseana. 3 : 21 – 26. Samuel. 2008. Kualitas perairan dan aspek biologi ikan pangkilang (Paratherina Sp.) di Danau Towuti Propinsi Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 26 Juli 2008. BI-11. Santoso, A.D. 2008. Studi penentuan produktivitas danau buatan dengan MEI (Morphoedaphic Index) analysis. J.Hidrosfir Indonesia. Vol.3, No.2, Hal 81-86. Shafi, S. and Yousuf, A. R. 2012. Length-weight relationship and condition factor of Schizothorax niger (Heckel, 1838) misra from Dal Lake, Kashmir. International Journal of Scientific and Research Publications. 2(3) : 1-3. Siby, L.S. 2009. Biologi Reproduksi Ikan Pelangi Merah (Glossolepis incisus weber, 1907) di Danau Sentani. Disertasi tidak diterbitkan. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Siby, L.S., Rahardjo, M.F., Sjafei, D.S. 2009. Biologi reproduksi ikan pelangi merah (Glossolepis incisus, Weber 1907) di Danau Sentani. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1) : 49-61. Solomon, S., Ramprasanth, M.R., Baby, F., Pereira, B., Tharian, J., Ali, A.. and Raghavan, R. 2011. Reproductive biology of Puntius denisonii, an endemic and threatened aquarium fish of the Western Ghats and its implications for conservation. Journal of Threatened Taxa. 3(9) : 2071–2077. Sulistiono, Firmansyah, A., Sofiah S., Brojo M., Affandi R. dan Mamangke, J. 2007. Aspek biologi ikan butini (Glossogobius matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu perairan dan perikanan Indonesia. 14(1) : 13-22.
130
Syandri, H. 1996. Aspek Reproduksi Ikan Bilih, Mystacoleucus padangensis Bleeker dan Kemungkinan Pembenihannya di Danau Singkarak. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tatangindatu, F., Kalesaran O., dan Rompas, R. 2013. Studi parameter fisika kimia air pada areal budidaya ikan di Danau Tondano, Desa Paleloan, Kabupaten Minahasa. Budidaya Perairan . 1: 8-19.
Gonad maturity of bonti-bonti fish Paratherina striata in Towuti Lake, Southeast Sulawesi. Online. https:
Tresnati, J. 2011.
repository.unhas.ac.id /IJJSS.pdf. Di akses 25 Januari 2015. Tuwo, A. 1993. Biologie et ecologie de trois especes d’holothurie: Holoturia forskhali, Aslia lefevrei, et Pawsonia saxicola en Bretagne Occidentale, These de Doctorat Nouvelle Regime, UBO – Brest France. Tweedley, J.R., Bird, D.J., Potter, I.C., Gill H.S., Miller, P.J., O’Donovan, G. and Tjakrawidjaja, A.H. 2013. Species compositions and ecology of the riverine ichthyofaunas in two Sulawesian Islands in the biodiversity hotspot of Wallacea. Journal of Fish Biology. 82 : 1916–1950. Udupa, K.S. 1986. Statistical Method of Estimating the Size at First Maturity in Fishes. Fishbyte 4(2) : 8-10. Ujjania, N.C., Kohli, M.P.S. and Sharma, L.L. 2012. Length-weight relationship and condition factors of indian major carps (C. catla, L. rohita and C. mrigala) in Mahi Bajaj Sagar, India. Research Journal of Biology 2(1) : 30-36. Vari, R.P and Hadiaty, R.K. 2012.The endemic Sulawesi fish genus Lagusia (Teleostei: Terapontidae). The Raffles Bulletin of Zoology, 60(1) : 157-162. Vari, R.P. 1978: The Terapon Perches (Percoidei, Teraponidae). A cladistic analysis and taxonomic revision. Bulletin of the American Museum of Natural History, 159(5) : 175-340. Whitten, A.J., Bishop, K.D., Nash, S.V. and Clayton, L. 1987. One or more extinctions from Sulawesi Indonesia. Journal Conservation Biology 1(1) : 42-48.
131
Winemiller, K.O., Angelo, A.A., and Caramaschi, É.P. 2008. Fish Ecology in Tropical Stream. Elsevier Inc. 107-140. Yin J.X., Paul, R., Jian, L. and Yao, G.Z.. 2012. The ovarian cycle of the fish Leptobotia elongata Bleeker, endemic to China. Pakistan J. Zool., 44(4) : 997-1005. Yuningsih, H.D., Soedarsono, P., Anggoro, S. 2014. Hubungan bahan organik dengan produktivitas perairan pada kawasan tutupan eceng gondok, perairan terbuka dan keramba jaring apung di Rawa Pening Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Diponegoro Journal of Maquares. 3(1) : 37-43. Zar, J.H. 2010. Biostatistical Analysis. Fifth edition. Pearson Prentice Hall. New Jersey. 944 p.
132
LAMPIRAN
133
Lampiran 1. Prosedur pengamatan histologi gonad ikan pirik
a. Fiksasi Sampel jaringan difiksasi dengan Buffered Neutral Formalin (BNF), volume BNF minimal 10 kali volume jaringan. Pada umumnya waktu yang diperlukan untuk fiksasi sempurna adalah 48 jam. b. Pemotongan Spesimen Spesimen yang dipilih untuk pemeriksaan, dipotong setebal 0,5-1 cm. Potongan spesimen dimasukkan dalam keranjang pemprosesan dengan disertai dengan label nomor spesimen yang ditulis dengan pensil. c. Prossesing dan Embedding Embedding cassete yang telah diisi spesimen jaringan dimasukkan kedalam tissue processor dengan pengaturan waktu sebagai diuraikan pada tabel 1. Tabel Lampiran 1. Prosedur tissue processor dan pengaturan waktu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Proses Fiksasi Fiksasi Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi Clearing Clearing Clearing Impregnasi Impregnasi
Reagensia Buffer formalin 10% Buffer formalin 10% Alkohol 70% Alkohol 90% Alkohol 100% Alkohol 100% Alkohol 100% Toluen Toluen Toluen Paraffin Paraffin Total waktu
Waktu 2 jam 2 jam 1 jam 1 jam 1 jam 2 jam 2 jam 1 jam 1.5 jam 1,5 jam 2 jam 3 jam 20 jam
Embedding cassette dikeluarkan dari tissue processor dan masukkan ke dalam wadah yang telah tersedia pada alat embedding center. Keluarkan contoh specimen dari keranjang tissue untuk di blok oleh paraffin satu-persatu (agar tidak tertukar no. contoh spesimen). Tempatkan cetakkan dan keranjang pada sisi kanan dan kiri dispenser
134
paraffin. Contoh spesimen diletakkan diatas cetakkan lalu diisi dengan paraffin dengan menekan tombol hitam yang telah tersedia pada alat embedding center. Cetakkan diberi nomor sesuai nomor contoh spesimen yang letakkan diatas keranjang yang berisi contoh spesimen. Pindahkan cetakan pada bagian dingin. Setelah beku (mengeras paraffinnnya) pisahkan
cetakan
dengan
keranjang.
setelah
terpisah
pindahkan
keranjang siap untuk dilakukan pemotongan dengan mikrotome knife. d. Pemotongan Ambil blok jaringan kemudian difiksir pada microtome. Blok jaringan dipotong dengan microtome kasar sehingga didapatkan permukaan yang rata. Gunakan pisau mikrotom yang masih tajam, ketebalan potongan 5-6 mikron. Pilih potongan jaringan terbaik dari pita yang terbentuk. Potongan yang terpilih direntangkan pada floating out yang bersuhu sekitar 400C yang terlebih. Suhu yang ideal akan mengakibatkan potongan jaringan merentang sempurna, tidak berkerut. Taburkan gelatin powder sebanyak 5 gram untuk 100 cc aquadest dan biarkan larut sempurna. Potongan yang bagus, tidak tergores, tidak mengkerut dipilih dan diambil dengan gelas slide yang sudah bernom0r sesuai dengan nomor epi/patologi. e. Pewarnaan Sebelum pewarnaan dilakukan, semua bahan pewarna harus diperiksa kejernihannya dan disesuaikan dengan jadwal penggantian yang tersedia (3 kali penggunaan setiap pemakaian). Setelah selesai pewarnaan dilakukan coverslipping, siapkan coverslips secukupnya sesuai dengan jumlah preparat yang baru saja diwarnai lalu teteskan 1-2 tetes “entellan” pada tiap coverslip. balik dan tutupkan pada slide preparat yang baru saja diwarnai, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara, biarkan preparat yang sudah tertutup dengan coverslip lalu dibiarkan sampai mengering sempurna. Bersihkan
135
slide glass dengan xylol lalu berilah nomor sesuai dengan nomor yang ada dietiket slide glass tersebut dan siap untuk diperiksa di bawah mikroskop cahaya.
Tabel Lampiran 2. Tahap Pewarnaan Mayers Hematoxylin Eosin No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Reagensia Xylol I Xylol II Alkohol 100% I Alkohol 100% II Alkohol 95% I Alkohol 95% II Mayer’s Haematoxylin Rendam dalam Tap Water Masukkan dalam Eosin Alkohol 95 % III Alkohol 95 % IV Alkohol 100% III Alkohol 100% IV Akohol 100%V Xylol III Xylol IV Xylol V
Waktu 2 menit 2 menit 1 menit 1 menit 1 menit 1 menit 15 menit 20 menit 15 detik -2 menit 2 menit 2 menit 2 menit 2 menit 2 menit 2 menit 2 menit 2 menit
f. Pemeriksaan Mikroskopik Pemeriksaan mikroskopik dilakukan di bawah mikroskop untuk melihat perubahan morfologis dari contoh spesimen yang diperiksa. Hasil pemeriksaan mikroskopik dicatat lalu dimasukkan dalam program komputer yang telah tersedia untuk diberikan jawaban diagnosa definitif.
136
Lampiran 2. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
137
Lampiran 3. Kondisi habitat Ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
138
Lampiran 4. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
Regression Statistics Multiple R 0,9430 R Square 0,8892 Adjusted R quare 0,8888 Standard Error 0,0593 Observations 307 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept log L
1 305 306
SS 8,6008 1,0721 9,6730
MS 8,6008 0,0035
F 2446,72
Significance F 1E-147
Coefficients -4,6595 2,9489
Standard Error 0,1080 0,0596
t Stat -43,1572 49,4643
P-value 6,5E-132 1E-147
Lower 95% -4,8719 2,8316
Upper 95% -4,4470 3,0662
Lower 95,0% -4,8719 2,8316
Upper 95,0% -4,4470 3,0662
139
Lampiran 5. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,9284 R Square 0,8619 Adjusted R Square 0,8614 Standard Error 0,0611 Observations 292 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept log L
1 290 291
SS 6,7615 1,0834 7,8448
Coefficients -4,8567 3,0600
Standard Error 0,1314 0,0719
MS F 6,7615 1809,9406 0,0037
t Stat -36,9499 42,5434
P-value 1,05E-111 1,07E-126
Significance F 1,07E-126
Lower 95% -5,1154 2,9185
Upper 95% -4,5980 3,2016
Lower 95,0% -5,1154 2,9185
Upper 95,0% -4,5980 3,2016
140
Lampiran 6. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,9378 R Square 0,8795 Adjusted R Square 0,8793 Standard Error 0,0602 Observations 599 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept log L
1 597 598
SS 15,8033 2,1642 17,9676
Coefficients -4,7547 3,0028
Standard Error 0,0827 0,0455
MS F 15,8033 4359,328 0,0036
t Stat -57,4735 66,0252
P-value 1,7E-245 1,5E-276
Significance F 1,5E-276
Lower 95% -4,9172 2,9135
Upper 95% -4,5922 3,0922
Lower 95,0% -4,9172 2,9135
Upper 95,0% -4,5922 3,0922
141
Lampiran 7. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations
0,9844 0,9691 0,9686 0,0470 72
ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
SS 1 70 71
Coefficients -4,5136 2,8719
MS F 4,8509 4,85092 2192,481 0,1549 0,002213 5,0058
Standard Error 0,1133 0,0613
t Stat -39,8223 46,8239
P-value 7,94E-50 1,42E-54
Significance F 1,42E-54
Lower 95% -4,7396 2,74962
Upper 95% -4,2875 2,99427
Lower 95,0% -4,7396 2,74962
Upper 95,0% -4,2875 2,99427
142
Lampiran 8. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations
0,9849 0,9700 0,9696 0,0417 90
ANOVA df Regression Residual Total
1 88 89 Coefficients
Intercept log L
-4,4604 2,8574
SS 4,9355 0,1529 5,0883 Standard Error
MS F 4,9355 2841,2557 0,0017
t Stat
0,1003 44,4764 0,0536 53,3034
P-value 4,244E-62 9,013E-69
Significance F 0,0000
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
-4,6597 2,7509
-4,2611 2,9639
-4,6597 2,7509
Upper 95,0% -4,2611 2,9639
143
Lampiran 9. Uji statistik hubungan panjang - bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observation s
0,9838 0,9679 0,9677 0,0457 162
ANOVA df Regression Residual Total
Intercept log L
SS
MS
1 160 161
10,1046 0,3346 10,4392
10,1046 0,0021
Coefficients -4,5227 2,8846
Standard Error 0,0772 0,0415
t Stat -58,5748 69,5140
F Significance F 4832,194 9 1,9E-121
P-value 5,3E-110 1,9E-121
Lower 95% -4,6752 2,8027
Upper 95% -4,3702 2,9666
Lower 95,0% -4,6752 2,8027
Upper 95,0% -4,3702 2,9666
144
Lampiran 10. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros Descriptive Statistics Dependent Variable: Panjang Sex Mean Std. Deviation Jantan 65.12 8.387 Betina 67.55 7.950 Total 66.31 8.260
N 307 292 599 Estimates
Dependent Variable: Panjang Sex Mean Std. Error
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound a Jantan 66.148 .187 65.781 66.515 a Betina 66.472 .192 66.096 66.848 a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Bobot = 5.49. Pairwise Comparisons Dependent Variable : Panjang a (I) Sex (J) Sex Mean Std. Error Sig. Difference (I-J) Jantan Betina -.324 .269 Betina Jantan .324 .269 Based on estimated marginal means a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.
.229 .229
95% Confidence Interval for a Difference Lower Bound Upper Bound -.852 .204 -.204 .852
Univariate Tests Dependent Variable : Panjang Sum of Squares Contrast 15.405 Error 6323.392
df 1 596
Mean Square 15.405 10.610
F
Sig. 1.452
.229
The F tests the effect of Sex. This test is based on the linearly independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,229 (P>0,05) sehingga hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di S. Pattunuang, Kabupaten Maros tidak terdapat perbedaan yang nyata.
145
Lampiran 11. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) Jantan dan betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Descriptive Statistics Dependent Variable: Panjang Sex Mean Std. Deviation Jantan 71.6039 14.65014 Betina 75.2569 13.75177 Total 73.6333 14.23039
N 72 90 162
Estimates Dependent Variable: Panjang Sex Mean Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound a Jantan 73.987 .511 72.977 74.996 a Betina 73.351 .456 72.449 74.252 a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Bobot = 8.0913. Pairwise Comparisons Dependent Variable: Panjang (I) Sex (J) Sex Mean Difference (I-J)
Std. Error
Jantan Betina .636 .689 Betina Jantan -.636 .689 Based on estimated marginal means a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.
Sig.
a
.358 .358
95% Confidence Interval for a Difference Lower Bound Upper Bound -.725 1.997 -1.997 .725
Univariate Tests Dependent Variable: Panjang Sum of Squares Contrast 15.780 Error 2947.685
df 1 159
Mean Square 15.780 18.539
F .851
Sig. .358
The F tests the effect of Sex. This test is based on the linearly independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,358 (P>0,05) sehingga hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di S. Sanrego, Kabupaten Bone tidak terdapat perbedaan yang nyata.
146
Lampiran 12. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Descriptive Statistics Dependent Variable: Panjang_Tubuh Lokasi Mean Std. Deviation S. Pattunuang Maros 65.1232 8.38726 S. Sanrego Bone 71.6039 14.65014 Total 66.3543 10.18531
N 307 72 379
Estimates Dependent Variable: Panjang_Tubuh Lokasi Mean
Std. Error
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound a S. Pattunuang Maros 66.486 .205 66.083 66.888 a S. Sanrego Bone 65.794 .435 64.939 66.649 a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Bobot_Tubuh = 5.5816. Pairwise Comparisons Dependent Variable: Panjang_Tubuh a (I) Lokasi (J) Lokasi Mean Std. Sig. Difference Error (I-J) S. Pattunuang S. Sanrego .692 .487 S. Sanrego S. Pattunuang -.692 .487 Based on estimated marginal means a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.
.156 .156
Univariate Tests Dependent Variable: Panjang_Tubuh Sum of Squares df Mean Square Contrast 25.521 1 25.521 Error 4755.211 376 12.647
95% Confidence Interval for a Difference Lower Bound Upper Bound -.266 1.649 -1.649 .266
F 2.018
Sig. .156
The F tests the effect of Lokasi. This test is based on the linearly independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,156 (P>0,05) sehingga hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone tidak terdapat perbedaan yang nyata.
147
Lampiran 13. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Descriptive Statistics Dependent Variable: Panjang_tubuh Lokasi Mean Std. Deviation S.Pattunuang Maros 67.5498 7.94988 S.Sanrego Bone 75.2569 13.75177 Total 69.3656 10.15738
N 292 90 382
Estimates Dependent Variable: Panjang_tubuh Lokasi Mean
Std. Error
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound a S.Pattunuang Maros 69.570 .202 69.173 69.966 a S.Sanrego Bone 68.704 .378 67.961 69.447 a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Bobot_tubuh = 6.5062. Pairwise Comparisons Dependent Variable: Panjang_tubuh (I) Lokasi (J) Lokasi
Mean Difference (I-J) *
Std. Error
S.Pattunuang S.Sanrego .866 .440 * S.Sanrego S.Pattunuang -.866 .440 Based on estimated marginal means *. The mean difference is significant at the .05 level. b. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.
Sig.
b
.050 .050
Univariate Tests Dependent Variable: Panjang_tubuh Sum of Squares df Mean Square Contrast 44.287 1 44.287 Error 4328.942 379 11.422
95% Confidence Interval for b Difference Lower Bound Upper Bound .001 1.730 -1.730 -.001
F 3.877
Sig. .050
The F tests the effect of Lokasi. This test is based on the linearly independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,050 (P<0,05) sehingga hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone terdapat perbedaan yang nyata.
148
Lampiran 14. Analisis kovarians hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Descriptive Statistics Dependent Variable: Panjang_tubuh Lokasi Mean Std. Deviation S.Pattunuang Maros 66.3061 8.25985 S.Sanrego Bone 73.6333 14.23039 Total 67.8659 10.27566
N 599 162 761
Estimates Dependent Variable: Panjang_tubuh Lokasi Mean
Std. Error
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound a S.Pattunuang Maros 68.044 .146 67.758 68.330 a S.Sanrego Bone 67.208 .291 66.637 67.778 a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Bobot_tubuh = 6.0457. Pairwise Comparisons Dependent Variable: Panjang_tubuh b (I) Lokasi (J) Lokasi Mean Std. Sig. 95% Confidence Interval for b Difference Error Difference (I-J) Lower Bound Upper Bound * S.Pattunuang S.Sanrego .836 .332 .012 .185 1.488 * S.Sanrego S.Pattunuang -.836 .332 .012 -1.488 -.185 Based on estimated marginal means *. The mean difference is significant at the .05 level. b. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni. Univariate Tests Dependent Variable: Panjang_tubuh Sum of Squares df Mean Square Contrast 78.733 1 78.733 Error 9396.061 758 12.396
F 6.352
Sig. .012
The F tests the effect of Lokasi. This test is based on the linearly independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
Hasil analisis kovarian, diperoleh nilai sig. 0,012 (P<0,05) sehingga hubungan panjang dan bobot ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros dan ikan pirik di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone terdapat perbedaan yang nyata.
149
Lampiran 15. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances Jantan Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
1,7880 0,0748 307 0,0744 0 597 -0,9286 0,1767 1,6474 0,3535 1,9639
Betina 1,8087 0,0739 292
150
Lampiran 16. Uji statistik faktor kondisi keseluruhan ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Jantan 1,0274 0,0122 72 0,01242 0 160 -7,5141 0,0000 1,6544 0,0000 1,9749
Betina 1,1598 0,0126 90
151
Lampiran 17. Uji Chi-square ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
TKG September Oktober November Desember Januari Februari
Jantan 36
X2 =
X2 =
=
X2 X2
43
40
83
42,5392 49
40,4608 44
93
47,6644 72
45,3356 46
118
60,4775 60
57,5225 47
107
54,8397 47
52,1603 51
98
50,2270 307
(36-51,2521)2 51,2521 (49-47,6644)2 47,6644 (60-54,8397)2 54,8397
+ + +
+ + +
4,5386 + 4,7720 0,0393 + 2,1953 0,2073 + 0,2180 14,8974
tabel (0,05:5) =
100 48,7479
51,2521
232,6262 51,2521 1,7837 47,6644 26,6284 54,8397
Jumlah
64
∑
X2 =
Betina
47,7730 292
(64-48,7479)2 48,7479 (44-45,3356)2 45,3356 (47-52,1603)2 52,1603 232,6262 48,7479 1,7837 45,3356 26,6284 52,1603 + 0,0050 + 2,3081
+ + +
599
(43-42,5392)2 (40-40,4608)2 + 42,5392 40,4608 (72-60,4775)2 (46-57,5225)2 + + 60,4775 57,5225 2 (47-50,2270) (51-47,7730)2 + + 50,2270 47,7730 +
0,2123 42,5392 132,7689 60,4775 10,4138 50,2270 + 0,0052 + 0,4856
0,2123 40,4608 132,7689 57,5225 10,4138 47,7730
+ + + + +
0,0374 0,5105
11,070
> X2 tabel, maka jumlah ikan pirik jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai hitung
Pattunuang adalah berbeda nyata (nisbah kelamin bukan 1 : 1)
152
Lampiran 18. Uji Chi-square ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
TKG September Oktober November Desember Januari Februari
Jantan 5
X2 =
9
20
8,8889 15
11,1111 18
33
14,6667 12
18,3333 6
18
8,0000 21
10,0000 8
29
12,8889 10
16,1111 36
46
20,4444 72
(5-7,1111)2 7,1111 (15-14,6667)2 14,6667 (21-12,8889)2 12,8889
+ + +
+ + +
0,6267 + 0,5014 0,0061 + 2,0000 5,3357 + 4,2686 = 13,9322
tabel (0,05:5) =
8,8889 11
X2 =
X2 X2
16
7,1111
4,4568 7,1111 0,1111 14,6667 65,7901 12,8889
Jumlah
11
∑
X2 =
Betina
25,5556 90
(11-8,8889)2 8,8889 (18-18,3333)2 18,3333 (8-16,1111)2 16,1111 4,4568 8,8889 0,1111 18,3333 65,7901 16,1111 + 0,0014 + 1,6000
+ + +
162
(9-8,8889)2 (11-11,1111)2 + 8,8889 11,1111 (12-8,0000)2 (6-10,0000)2 + + 8,0000 10,0000 (10-20,4444)2 (36-25,5556)2 + + 20,4444 25,5556 +
0,0123 8,8889 16,0000 8,0000 109,0864 20,4444 + 0,0011 + 5,1044
+ + + + +
0,0123 11,1111 16,0000 10,0000 109,0864 25,5556 0,0076 4,0835
11,070
> X2 tabel, maka jumlah ikan pirik jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian berdasarkan waktu pengambilan sampel di Sungai hitung
Sanrego adalah berbeda nyata (nisbah kelamin bukan 1 : 1)
153
Lampiran 19. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
TKG
Jantan 174
I
76
X2 X2
49
23,8865 18
12,3005 307
(174-147,6060)2 147,6060 (38-38,9516)2 38,9516 (6-12,3005)2 12,3005
11,6995 292
(114-140,3940)2 140,3940 (38-37,0484)2 + 37,0484 (18-11,6995)2 + 11,6995 +
+ + +
4,7196 + 4,621 0,0244 + 5,8430 29,5561
hitung
76
36
6
tabel (0,05:5) =
162
37,0484
25,1135
696,6427 147,6060 0,9055 38,9516 39,6963 12,3005
288
38
13
∑
=
78,9716
38,9516
V
X2 =
86
38
IV
X2 =
140,3940
83,0284
III
Jumlah
114 147,6060
II
X2 =
Betina
696,6427 140,3940 0,9055 37,0484 39,6963 11,6995 + 0,5950 + 6,1431
+ +
24 599
(76-83,0284)2 (86-78,9716)2 + 83,0284 78,9716 (13-25,1135)2 (36-23,8865)2 + + 25,1135 23,8865 +
49,3981 83,0284 146,7374 25,1135
+ 0,6255 + 3,2272
+ +
+ +
49,3981 78,9716 146,7374 23,8865
0,0232 3,3930
9,4877
> X2 tabel, maka jumlah ikan pirik jantan dan betina yang tertangkap
selama penelitian berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang adalah berbeda nyata (nisbah kelamin bukan 1 : 1)
154
Lampiran 20. Uji Chi-square ikan ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan dan betina berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
TKG
Jantan 32
I
25,7778 5
II
10
X2 = =
X2 X2
29 16,1111
18
32
14,2222 11
17,7778 9
20 11,1111
8,8889
∑
X2 =
23
12,8889
V
72 (32-25,7778)2 25,7778 (10-12,8889)2 12,8889 (11-8,8889)2 8,8889 38,7160 25,7778 8,3457 12,8889 4,4568 8,8889
1,5019 0,5180 9,5799
tabel (0,05:5) =
90 + + +
+ + + + 1,2015 + 0,0035
58
12,7778 19
14
IV
Jumlah
18 10,2222
III
X2 =
Betina 26 32,2222
(26-32,2222)2 32,2222 (19-16,1111)2 16,1111 (9-11,1111)2 11,1111 38,7160 32,2222 8,3457 16,1111 4,4568 11,1111 + 2,6679 + 0,0028
+ +
162 (5-10,2222)2 (18-12,7778)2 + 10,2222 12,7778 (14-14,2222)2 (18-23,7176)2 + + 14,2222 17,7778 +
27,2716 10,2222 0,0494 14,2222
+ 2,1343 + 0,5014
+ +
+ +
27,2716 12,7778 0,0494 17,7778
0,6475 0,4011
9,4877 hitung > X tabel, maka jumlah ikan pirik jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Pattunuang adalah berbeda nyata (nisbah kelamin bukan 1 : 1) 2
155
Lampiran 21. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros Kelas Tengah panjang kelas (mm) (mm) 36 - 40 38
Logaritma tengah kelas (Xi) 1,5798
Jumlah sampel ikan (ni) 2
Jumlah ikan belum matang 2
Jumlah ikan matang (ri) 0
Proporsi ikan matang (pi) 0,0000
pixqi Xi+1-Xi=X
qi=1-pi
0,0537
1,0000
0,0000
ni-1
41 - 45
43
1,6335
2
2
0
0,0000
0,0478
1,0000
0,0000
46 - 50
48
1,6812
4
4
0
0,0000
0,0430
1,0000
0,0000
51 - 55
53
1,7243
24
24
0
0,0000
0,0392
1,0000
0,0000
56 - 60
58
1,7634
64
54
10
0,1563
0,0359
0,8438
0,0016
61 -65
63
1,7993
85
66
19
0,2235
0,0332
0,7765
0,0031
66 - 70
68
1,8325
57
43
14
0,2456
0,0308
0,7544
0,0050
71 - 75
73
1,8633
38
30
8
0,2105
0,0288
0,7895
0,0045
76 - 80
78
1,8921
19
15
4
0.2105
0.0270
0.7895
0.0092
81 - 85
83
1,9191
5
0
5
1.0000
0.0000
0.0000
300
240
60
2.0464
Total
0.0234
156
Lampiran 21. Lanjutan
Log m xk
X X pi 2
Log m = 1,9191 +
0,0270 – (0,0270 x 1,9191) 2
Log m = 1,9191 + 0,0135 - (0,0552) = 1,8773 M= antilog 1,8773 = 75.40 mm Dengan selang kepercayaan 95% maka : p qi Antilog m = m 1,96 X2 Σ i ni 1
Antilog [1,8773 ± 1,96
0,0270 2 x0,0234
Antilog [1,8773 ± 1,96
0,000017
Antilog [1,8773 ± 1,96 x 0,0041] Antilog [1,8773 ± 0,0081]
Jadi batas bawah adalah : Antilog [1,8773 - 0,0081] = antilog 1,8693 = 74,00 mm Jadi batas atas adalah : Antilog [1,8773 + 0,0081] = antilog 1,8854 = 76,81 mm
157
Lampiran 22. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Pattunuang, Kabupaten Maros
Kelas panjang (mm) 46 - 50
Tengah kelas (mm) 48
Logaritma tengah kelas (Xi) 1,6812
Jumlah sampel ikan (ni) 1
Jumlah ikan belum matang 1
Jumlah ikan matang (ri) 0
Proporsi ikan matang (pi) 0,0000
Xi+1Xi=X
qi=1-pi
0,0430
1,0000
0,0000
51 - 55
53
1,7243
12
9
3
0,2500
0,0392
0,7500
0,0039
56 - 60
58
1,7634
49
41
8
0,1633
0,0359
0,8367
0,0022
61 -65
63
1,7993
63
46
17
0,2698
0,0332
0,7302
0,0024
66 - 70
68
1,8325
84
52
32
0,3810
0,0308
0,6190
0,0054
71 - 75
73
1,8633
45
27
18
0,4000
0,0288
0,6000
0,0114
76 - 80
78
1,8921
22
15
7
0,3182
0,0270
0,6818
0,0271
81 - 85
83
1,9191
9
5
4
0,4444
0,0254
0,5556
0,1235
86 - 90
88
1,9445
3
2
1
0,3333
0,0240
0,6667
0,1111
91 - 95
93
1,9685
3
2
1
0,3333
0,0227
0,6667
0,0000
96 - 100
98
1,9912
1
0
1
1,0000
0,0000
0,0000
292
200
92
3,8934
Total
pixqi ni-1
0,2870
158
Lampiran 22. Lanjutan
Log m xk
X X pi 2
Log m = 1,9912 +
0,0227 – (0,0227 x 3,8938) 2
Log m = 1,9912 + 0,0114 - (0,0885) = 1,9141 M= antilog 1,9141 = 82,07 mm
Dengan selang kepercayaan 95% maka : p qi Antilog m = m 1,96 X2 Σ i ni 1
Antilog [1,9141 ± 1,96
0,0272 2 x 0,0574
Antilog [1,9141 ± 1,96
0,000030
Antilog [1,9141 ± 1,96 x 0,0054] Antilog [1,9141 ± 0,0174]
Jadi batas bawah adalah : Antilog [1,9141 - 0,0174] = antilog 1,9034 = 80,05 mm Jadi batas atas adalah : Antilog [1,9141 + 0,0174] = antilog 1,9247 = 84,09 mm
159
Lampiran 23. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) jantan di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone Kelas panjang (mm) 36 - 40
Tengah kelas (mm) 38
Logaritma tengah kelas (Xi) 1,5798
Jumlah sampel ikan (ni) 1
Jumlah ikan belum matang 1
Jumlah ikan matang (ri) 0
Proporsi ikan matang (pi) 0,0000
41 - 45
43
1,6335
1
1
0
46 - 50
48
1,6812
1
1
51 - 55
53
1,7243
7
56 - 60
58
1,7634
61 -65
63
66 - 70
pixqi Xi+1-Xi=X
qi=1-pi
0,0537
1,0000
0,0000
0,0000
0,0478
1,0000
0,0000
0
0,0000
0,0430
1,0000
0,0000
7
0
0,0000
0,0392
1,0000
0,0000
11
10
1
0,0909
0,0359
0,9091
0,0083
1,7993
8
7
1
0,1250
0,0332
0,8750
0,0156
68
1,8325
9
5
4
0,4444
0,0308
0,5556
0,0309
71 - 75
73
1,8633
6
2
4
0,6667
0,0288
0,3333
0,0444
76 - 80
78
1,8921
5
1
4
0,8000
0,0270
0,2000
0,0400
81 - 85
83
1,9191
10
2
8
0.8000
0.0254
0.2000
0.0178
86 - 90
88
1,9445
5
0
5
1.0000
0.0000
0.0000
64
37
27
3.9270
3.9270
0.1570
Total
ni-1
160
Lampiran 23. Lanjutan Log m xk
X X pi 2
Log m = 1,9445 +
0,0254 – (0,0254 x 3,9270) 2
Log m = 1,9445 + 0,0127 - (0,0998) = 1,8574 M= antilog 1,8574 = 72,01 mm
Dengan selang kepercayaan 95% maka : p qi Antilog m = m 1,96 X2 Σ i ni 1
Antilog [1,8574 ± 1,96
0,0006 2 x 0,1570
Antilog [1,8574 ± 1,96
0,000101
Antilog [1,8574 ± 1,96 x 0,0101] Antilog [1,8574 ± 0,0197]
Jadi batas bawah adalah : Antilog [1,8574 - 0,0197] = antilog 1.8377 = 68,82 mm Jadi batas atas adalah : Antilog [1,8574 + 0,0197] = antilog 1.8771 = 75,36 mm
161
Lampiran 24. Distribusi frekuensi panjang total dan tingkat kematangan gonad serta perhitungan pendugaan rata-rata panjang total pertama kali matang gonad ikan pirik (Lagusia micracanthus Bleeker, 1860) betina di Sungai Sanrego, Kabupaten Bone
Kelas panjang (mm) 41 - 45
Tengah kelas (mm) 43
Logaritma tengah kelas (Xi) 1,6335
Jumlah sampel ikan (ni) 1
Jumlah ikan belum matang 1
Jumlah ikan matang (ri) 0
Proporsi ikan matang (pi) 0,0000
Xi+1Xi=X
qi=1-pi
0,0478
1,0000
0,0000
46 - 50
48
1,6812
3
3
0
0,0000
0,0430
1,0000
0,0000
51 - 55
53
1,7243
3
3
0
0,0000
0,0392
1,0000
0,0000
56 - 60
58
1,7634
9
8
1
0,1111
0,0359
0,8889
0,0123
61 -65
63
1,7993
10
7
3
0,3000
0,0332
0,7000
0,0233
66 - 70
68
1,8325
8
2
6
0,7500
0,0308
0,2500
0,0268
71 - 75
73
1,8633
10
7
3
0,3000
0,0288
0,7000
0,0233
76 - 80
78
1,8921
81 - 85
83
1,9191
12 14
4 5
8 9
0,6667 0.6429
0,0270 0.0254
0,3333 0.3571
0,0202 0.0177
86 - 90
88
1,9445
8
0
8
1.0000
0.0000
0.0000
78
40
38
3.7706
Total
pixqi ni-1
0.1237
162
Lampiran 24. Lanjutan Log m xk
X X pi 2
Log m = 1,9445 +
0,0254 – (0,0254 x 3,7706) 2
Log m = 1,9445 + 0,0127 - (0,0958) = 1,8614 M= antilog 1,8614 = 72,68 mm
Dengan selang kepercayaan 95% maka : p qi Antilog m = m 1,96 X2 Σ i n 1 i
Antilog [1,8614 ± 1,96
0,0006 2 x 0,1237
Antilog [1,8614 ± 1,96
0,00008
Antilog [1,8614 ± 1,96 x 0,0089] Antilog [1,8614 ± 0,0175]
Jadi batas bawah adalah : Antilog [1,8614 - 0,0175] = antilog 1,8439 = 69.80 mm Jadi batas atas adalah : Antilog [1,8614 + 0,0175] = antilog 1,8789 = 75, 67mm
163
CURRICULUM VITAE A. Data Pribadi Nama
:
Tempat/tanggal lahir
:
Alamat
:
Telepon E-Mail
: :
Muhammad Nur Palattae (Bone) 24 Desember 1990 Jl. Dg. Hayo, Lr.2 No.15, Pannara, Antang, Makassar 085 242 650 150
[email protected]
B. Pendidikan Formal 1998 - 2003 : SD Negeri 277 Palattae 2003 - 2006 : SMP Negeri 1 Kahu 2006 - 2009 : Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Bone (Konsentrasi : Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan) 2009 - 2013 : Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, IPK 3,61 (Cum laude) C. Pendidikan Non Formal 2009 : Basic Study Skills Universitas Hasanuddin 2009 : Latihan Kepemimpinan I BEM KEMAPI FIKP Unhas 2011 : Pelatihan Pengemasan dan pengolahan hasil perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) provinsi Sulawesi Selatan 2011 : Worshop Politik Pelajar kerjasama Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir LPPMP dan PemProv. Sul-Sel. 2012 : Pelatihan Kewirausahaan Universitas Hasanuddin 2012 : Pelatihan Program Kreativitas Mahasiswa PKM DIKTI 2012 : Diklat Selam Open Water SCUBA – School Scuba International (SSI- Makassar Diver) 2012 : Pelatihan Olahan Hasil Laut dan Temu Pelaku Usaha Perikanan oleh KEMENPERINDAG RI (Makassar) 2012 : Pelatihan MSC (Most Significant Change) Perubahan Penting Masyarakat pada program Restoring Coastal Livelihood, CIDA-Oxfam GB, Makassar 2013 : Pelatihan pengenalan lingkungan hidup MAP (MangroveAction Project Indonesia) PPLH Puntondo Takalar 2013 : Pelatihan Persiapan Dini Memasuki Dunia Kerja – Job Placement Center Universitas Hasanuddin D. Karya ilmiah /artikel jurnal yang telah dipublikasikan Morphometric and meristic comparison of Decapterus macrosoma Bleeker, 1851 from Makassar Strait and Bone Bay, South Sulawesi, Indonesia. International Journal of Plant, Animal and Environmental Sciences. Vol.4.Issue 4 Oct. Des 2014. 220 – 224 (Anggota)