Program Laki-Laki Peduli sebagai Upaya Pelibatan Laki-Laki dalam Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo1 Abstrak Pelibatan laki-laki yang khususnya dilakukan di komunitas dituangkan dalam sebuah program supaya dapat diketahui apakah target program tercapai dan apakah program tersebut berdampak signifikan terhadap perubahan perilaku laki-laki. Kabupaten Gunungkidul dipilih sebagai daerah untuk Pilot Project Program Laki-Laki Peduli karena Kabupaten Gunungkidul memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Di Kabupaten Gunungkidul, Kecamatan Gedangsari adalah kecamatan dengan AKB paling tinggi. Khususnya di Desa Ngalang yang terletak di Kecamatan Gedangsari, ditemukan permasalahan pernikahan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga yang masih cukup tabu untuk diperbincangkan dalam masyarakat. Pasca pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli, ada perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh para peserta Program Laki-Laki Peduli. Pasca program tersebut, laki-laki lebih peduli pada istri dan anaknya. Laki-laki akhirnya dapat mengajak perempuan berdiskusi untuk mengambil suatu keputusan dan ikut serta dalam pengasuhan anak, sehingga muncul kedekatan antara ayah-anak dan ayah-istri. Hal tersebut tentunya berdampak positif terhadap peningkatan kesehatan ibu dan anak. Ibu dan 1
Konselor Rifka Annisa Women Crisis Center, Yogyakarta
Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 165
anak dapat hidup dengan nyaman dalam lingkungan rumah tangga tanpa adanya kekhawatiran kekerasan yang dilakukan oleh suami, dibandingkan dengan ibu dan anak yang hidup dalam lingkungan rumah tangga yang penuh dengan kekerasan karena laki-laki/ suami tidak paham tentang peran dan tanggung jawabnya. Kata Kunci: Program Laki-Laki Peduli, Kesehatan Ibu dan Anak Latar belakang Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Hakimi, et.al, salah satu alasan tingginya kematian ibu adalah kepercayaan tradisional mengenai status perempuan (Mohammad Hakimi, et.al., Cetakan Ke-II 2011). Salah satu kepercayaan tradisional berkenaan dengan status perempuan adalah bahwa begitu menikah, perempuan diharapkan untuk mengikuti aturan sosial yang ada, yaitu mengurus suami dan anak (Djohan E., 1994). Di sisi lain, norma sosial juga memberikan hak-hak istimewa kepada para laki-laki dan menempatkan mereka di atas perempuan. Hal ini membuat laki-laki merasa berhak mengatur dan meminta apa saja dari perempuan, khususnya dalam konteks rumah tangga. Dalam rumah tangga, perempuan menjadi satu-satunya figur yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik sehingga banyak dari mereka mengalami keletihan fisik dan psikis. Keletihan fisik dan psikis perempuan berpengaruh terhadap kualitas kesehatan reproduksi mereka. Situasi tersebut diperparah dengan tuntutan suami terhadap istri untuk senantiasa siap berhubungan seksual. Meskipun tidak berkeinginan untuk berhubungan seksual, Mohammad Hakimi dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan/istri enggan menolak keinginan seksual suaminya karena mereka percaya bahwa sesuai dengan firman Tuhan, melayani 166 | Prosiding PKWG Seminar Series
kehendak seksual suami adalah kewajiban perempuan (Muhammad Hakimi, et.al., 2011) Sementara itu, Nur Hasyim dkk. menemukan bahwa norma sosial yang menempatkan laki-laki diatas perempuan tidak selalu menguntungkan laki-laki sendiri karena laki-laki dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga yang harus bertanggung jawab seutuhnya terhadap kehidupan anggota keluarga yang lain. (Nur Hasyim, et. al., 2011). Kondisi tersebut membuat laki-laki seolah-olah berjuang sendirian dalam menopang kehidupan rumah tangga dan menganggap istri hanyalah sebagai pelengkap dan bukan partner yang dapat diajak bekerja sama dalam suatu relasi yang setara dan seimbang (Nur Hasyim, et. al., 2011). Tidak dianggapnya perempuan sebagai partner yang setara dalam hubungan rumah tangga, membuat perempuan berada pada posisi subordinat terhadap laki-laki. Laki-laki yang merasa stress dan cemas karena terancam “kelelakiannya” terkadang bertindak di luar akal sehat, seperti melakukan kekerasan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Perempuan sebagai pihak yang subordinat, rentan menjadi objek pelampiasan perasaan stress dan cemas dari laki-laki, sehingga terjadilah kekerasan terhadap perempuan. Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) tertinggi. Pada tahun 2012, tercatat ada 11 (sebelas) AKI dan 95 (sembilan puluh lima) AKB. Dari seluruh perempuan di Kabupaten Gunungkidul yang hamil pada tahun 2012, 11% (sebelas persen) diantaranya, 828 (delapan ratus dua puluh delapan) perempuan, berusia di bawah 20 (dua puluh) tahun. Tingginya AKI dan AKB di Kabupaten Gunungkidul disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kehamilan yang terlalu muda (di bawah 16 (enam belas) tahun), terlalu tua (di atas 35 (tiga puluh lima) tahun), terlalu sering atau terlalu banyak.
Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 167
Berdasarkan pengalaman lapangan yang telah disebutkan di atas, Rifka Annisa Women’s Crisis Centre (Rifka Annisa WCC), Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berbasis gender, berpendapat bahwa penguatan/ pendampingan pada sisi perempuan saja tidak mampu untuk menghentikan siklus kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Itulah mengapa penting untuk melibatkan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender secara umum, dan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak secara khusus. Meskipun demikian, Rifka Annisa WCC sadar bahwa tidak mudah untuk melibatkan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak karena upaya tersebut akan mendekonstruksi hak-hak istimewa laki-laki yang telah terbentuk di dalam masyarakat dan dilanggengkan melalui pola asuh sejak kecil hingga dewasa. Untuk menjangkau kelompok laki-laki tersebut, Rifka Annisa WCC memperkenalkan Program Laki-Laki Peduli pada masyarakat luas, dan secara khusus telah diimplementasikan di beberapa desa di Kabupaten Gunungkidul. Sebagai program baru di masyarakat yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, tentunya menarik untuk mengetahui bagaimana Program Laki-Laki Peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu komunitas yang dipilih untuk melaksanakan program ini. Pembahasan Pembahasan tentang Program Laki-Laki Peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki yang dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu komunitas yang dipilih untuk melaksanakan Program Laki168 | Prosiding PKWG Seminar Series
Laki Peduli dibagi dalam 3 (tiga) sub-pembahasan, yaitu tentang pentingnya mewadahi keterlibatan laki-laki dalam sebuah program, proses pemilihan komunitas sebagai pilot project Program Laki-Laki Peduli, dan pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli di Komunitas. Pentingnya Mewadahi Keterlibatan Laki-Laki dalam Sebuah Program Berangkat dari pengalaman Rifka Annisa WCC dalam mendampingi perempuan dan anak selama hampir 22 (dua puluh dua) tahun ini, penyadaran terhadap keadilan gender untuk menghentikan siklus kekerasan perempuan dan anak ternyata tidak hanya cukup dilakukan terhadap kelompok perempuan sebagai pihak korban saja, namun juga tenyata penting untuk menjangkau kelompok laki-laki. Laki-laki penting untuk dilibatkan dalam perjuangan penghentian kekerasan terhadap perempuan karena Rifka Annisa WCC menemukan bahwa kekerasan terhadap istri (KTI) adalah jenis kekerasan yang pengaduannya paling tinggi. Akan tetapi, solusi yang dipilih oleh 80% (delapan puluh persen) perempuan korban adalah kembali pada pasangan. Padahal, pilihan untuk kembali pada pasangan (suami), meskipun mereka menyadari bahwa kekersan tetap akan terjadi lagi pada mereka di kemudian hari. Pilihan untuk kembali pada pasangan, tidak membebaskan perempuan tersebut dari siklus kekerasan yang ia alami, malah semakin membuat perempuan tersebut tenggelam dalam relasi yang tidak sehat. Untuk memutus siklus kekerasan tersebut, laki-laki dan perempuan harus secara bersama-sama terlibat dalam gerakan perjuangan kesetaraan gender. Khususnya untuk melibatkan laki-laki dalam gerakan kesetaraan gender, Rifka Annisa WCC sejak tahun 2005 telah menginisiasi antara lain: program konseling re-edukasi untuk laki-laki pelaku kekerasan, penelitian tentang maskulinitas, peluncuran Mens’s Program pada tahun 2007, dan memperkenalkan program Men Care (Laki-Laki Peduli) pada tahun 2013. Selain itu, Rifka Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 169
Annisa WCC juga berjejaring dengan jaringan nasional Aliansi Laki-Laki Baru untuk mempromosikan nilai-nilai maskulinitas yang positif, supaya tercipta kondisi yang setara antara lakilaki dan perempuan dimana tidak ada kekerasan di dalamnya. Salah satu strategi jaringan nasional Aliansi Laki-Laki Baru adalah melakukan kampanye tentang pelibatan laki-laki dan maskulinitas positif melalui web dan media sosial, pengorganisasian komunitas/kelompok laki-laki untuk keadilan dan kesetaraan gender serta penghapusan kekerasan. Pengorganisasian komunitas/kelompok laki-laki tersebut perlu untuk diwadahi dalam suatu program supaya pembahasan isu-isu gender yang melibatkan laki-laki dapat disampaikan secara sistematis, komprehensif, dan evaluatif. Berdasarkan pengalaman, pelibatan laki-laki yang telah dilakukan oleh Rifka Annisa WCC dipromosikan baik melalui media cetak maupun elektronik. Rifka Annisa WCC mengalami kesulitan untuk menggali dan menemukan fakta di lapangan tentang efektivitas promosi pelibatan laki-laki terhadap perubahan perilaku laki-laki. Kesulitan tersebut muncul karena promosi pelibatan laki-laki dilakukan secara umum pada masyarakat luas, sehingga sangat sulit untuk memfollowup ada atau tidak adanya perubahan perilaku laki-laki pasca dilakukan promosi tersebut. Berbeda halnya dengan pelibatan laki-laki melalui program. Pelibatan laki-laki yang dikemas dalam suatu program memilki subjek yang terbatas dan spsesifik, timeline yang telah ditentukan, dan materi yang berkesinambungan satu sama lain, sehingga hasilnya dapat terukur dan dapat dievaluasi apakah dengan pokok bahasan tertentu, tujuan telah dapat dicapai. Itulah mengapa pelibatan laki-laki yang khususnya dilakukan di komunitas harus dituangkan dalam sebuah program, sehingga dapat diketahui apakah target program tercapai dan apakah program tersebut berdampak signifikan terhadap perubahan perilaku laki-laki.
170 | Prosiding PKWG Seminar Series
Proses Pemilihan Komunitas sebagai Pilot Project Program Laki-Laki Peduli Tujuan umum dari program laki-laki peduli adalah untuk melibatkan laki-laki sebagai partner dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, program Keluarga Berencana (KB), dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan khusus dari program ini adalah untuk merekonstruksi nilainilai kelelakian dan perilaku negatif yang berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan, melibatkan remaja laki-laki dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, melibatkan laki-laki dalam pengasuhan sebagai cara efektif dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, serta melibatkan laki-laki dalam program KB. Kelompok sasaran Program Laki-Laki Peduli adalah remaja laki-laki yang belum menikah atau menjelang menikah [usia 15 (lima belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun] dan laki-laki yang sudah menikah dan memiliki anak [maksimal usia 35 (tiga puluh lima) tahun]. Dalam tulisan ini, fokus pengorganisasian komunitas/ kelompok laki-laki adalah pada kelompok laki-laki yang sudah menikah dan sudah memiliki anak (Kelas Ayah). Kriteria wilayah untuk menentukan pengorganisasian Program Laki-Laki Peduli di komunitas adalah, antara lain, berdasarkan AKI dan AKB, angka kekerasan dalam rumah tangga, angka perceraian, dan angka pernikahan usia anak. Untuk mendapatkan data tersebut, Rifka Annisa WCC melakukan advokasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul. Advokasi Program Laki-Laki Peduli pada pemerintah daerah tempat dimana pengorganisasian akan dilakukan sangat penting supaya program ini dapat sinergis dalam pelaksanaannya dengan kebijakan dan regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah daerah setempat. Selain itu, adanya koordinasi dengan pemerintah daerah, membuat pelaksanaan Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 171
Program Laki-Laki Peduli di masyarakat mendapatkan legitimasi yang sah dan dukungan dari pemerintah daerah sebagai pihak yang memiliki kewenangan di daerah. Kabupaten Gunungkidul dipilih sebagai daerah untuk Pilot Project Program Laki-Laki Peduli karena Kabupaten Gunungkidul memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Pasal 1 ayat (14) Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan menyebut tentang Konseling Perubahan Perilaku sebagai konseling psikologis yang diberikan kepada laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk membantu menghentikan kekerasan dan menjadi orang yang dapat menghargai pasangan, sehingga dapat menjadi hubungan yang lebih baik dengan pasangan dan anak. Pelaksanaan konseling tersebut dalam dilakukan oleh P2TP2A Berjejaring. P2TP2A Berjejaring adalah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Berjejaring yang menjadi Pusat Pelayanan Terpadu di Kabupaten Gunungkidul yang menyelenggarakan pelayanan terpadu perempuan dan anak korban kekerasan serta berjejaring yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Gunungkidul. Rifka Annisa WCC sebagai bagian dari P2TP2A Berjejaring setelah melakukan advokasi dengan Bupati Kabupaten Gunungkidul dan mendapatkan data gambaran secara umum tentang wilayah Kabupaten Gunungkidul, menyelenggarakan konsultasi meeting (audiensi) dengan para stakeholder di Kabupaten Gunungkidul. Audiensi tersebut bertujuan untuk memperkenalkan Program Laki-Laki Peduli pada para stakeholder di Kabupaten Gunungkidul, untuk mendengar masukan dari para stakeholder tentang program tersebut dan untuk mendapatkan rekomendasi desa manakah yang sebaiknya dijadikan pilot project Program Laki-Laki Peduli. Sekaligus 172 | Prosiding PKWG Seminar Series
sebagai upaya penjajakan kondisi masayarakat di daerah dan kemungkinan respon masyarakat apabila program ini dilaksanakan di komunitas mereka. Stakeholder yang hadir dalam audiensi Program Laki-Laki Peduli tersebut adalah perwakilan dari kecamatan-kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, antara lain Kecamatan Saptosari, Kecamatan Panggang, Kecamatan Semin, Kecamatan Gedangsari, Kecamatan Ngawen, dan Kecamatan Semanu. Dari instansi pemerintah daerah, hadir perwakilan dari Kementerian Agama Gunungkidul, Dinas Kesehatan Gunung Kidul, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunung Kidul. Beberapa perwakilan dari Kantor Urusan Agama (KUA) di berbagai kecamatan di Kabupaten Gunungkidul juga hadir, antara lain KUA Semin, KUA Purwosari, KUA Ngawen, KUA Saptosari, dan KUA Semanu. Selain itu, hadir juga perwakilan dari Kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan KB. Audiensi tersebut diawali dengan penjelasan dari Direktur Rifka Annisa tentang latar belakang program pelibatan lakilaki, penyediaan layanan konseling perubahan perilaku bagi laki-laki, tujuan konseling perubahan perilaku bagi laki-laki, kelompok sasaran program, intervensi yang dilakukan dengan program tersebut, kriteria wilayah untuk menentukan pelaksanaan pilot project, dan strategi implementasi. Para peserta audiensi menyambut baik program yang diperkenalkan oleh Rifka Annisa WCC dan memberikan banyak masukan tentang informasi-informasi yang ada di daerah mereka masing-masing. Profil Singkat Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul Untuk pilot project Program Laki-Laki Peduli di Kabupaten Gunungkidul, Rifka Annisa WCC memilih 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dan dari masing-masing kecamatan tersebut dipilih 2 (dua) desa. Dari audiensi yang dilakukan Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 173
oleh Rifka Annisa WCC, Kecamatan Gedangsari adalah kecamatan yang telah menyampaikan kesiapannya untuk menjadikan desa di wilayah kecamatan tersebut sebagai pilot project Program Laki-Laki Peduli. Dari seluruh kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, Kecamatan Gedangsari adalah kecamatan dengan AKB paling tinggi. Selain AKB yang tinggi, di Kecamatan Gedangsari juga ditemukan permasalahan pernikahan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam sebulan (sekitar bulan Maret 2013), ada 11 (sebelas) pasangan di Kecamatan Gedangsari yang dinikahkan. Dari kesebelas pasangan tersebut, 5 (lima) orang masih di bawah usia 16 (enam belas) tahun dan 6 (enam) orang masih di bawah usia 18 (delapan belas tahun), sehingga membutuhkan dispensasi nikah. Pernikahan usia anak ini dilatarbelakangi oleh kehamilan yang tidak diinginkan dimana mempelai perempuan sedang hamil kurang lebih 3 (tiga) bulan saat dilangsungkan pernikahan. Latar belakang permasalahan kehamilan yang tidak diinginkan yang kemudian berujung pada pernikahan anak adalah hubungan pacaran yang tidak sehat diantara para remaja dan tidak pahamnya remaja tentang kesehatan reproduksi. Selain itu, permasalahan kehamilan yang tidak diinginkan juga disebabkan oleh persepsi para remaja tentang laki-laki ideal. Remaja laki-laki pada khususnya berpikir bahwa apabila belum pernah berhubungan seksual, maka belum merasa menjadi seorang laki-laki. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Kecamatan Gedangsari beragam latar belakangnya. Ada beberapa faktor yang ditemukan menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, antara lain tidak lancarnya komunikasi antar pasangan, pembagian peran ketika suami dan istri samasama bekerja, perselingkuhan, dan pernikahan usia anak karena suami dan istri belum saling memahami tanggung jawab dan perannya masing-masing dalam rumah tangga.
174 | Prosiding PKWG Seminar Series
Desa Ngalang adalah suatu desa di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul yang terdiri dari 14 (empat belas) dusun dan mayoritas penduduknya adalah petani dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Sebagaimana di Kecamatan Gedangsari pada umumnya, Desa Ngalang juga menghadapi kasus pernikahan usia anak yang disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak pahamnya remaja terhadap kesehatan reproduksi. Kasus pernikahan usia anak di Desa Ngalang, diikuti dengan kasus perceraian pada pasangan yang menikah pada usia anak karena masing-masing pihak belum paham tentang tugas dan fungsinya sebagai suami-istri. Dalam kasus kehamilan tidak diinginkan, khususnya kehamilan pada usia anak diikuti dengan kasus pendarahan karena belum adanya pemahaman tentang kesehatan reproduksi baik itu perempuan yang hamil, pasangannya, maupun orangtuanya. Bahkan pernah ditemukan kejadian dimana orangtua baru mengetahui anak perempuannya hamil ketika usia kehamilan anak tersebut telah mencapai 6 (enam) bulan. Sekitar usia 7 (tujuh) bulan kehamilan, anak perempuan tersebut mengalami pendarahan karena kehamilannya tidak pernah diperiksakan, sehingga tidak diketahui apakah kehamilan tersebut beresiko. Berkat dukungan dari orangtuanya, pendarahan yang dialami oleh anak perempuan tersebut berhasil ditangai dan akhirnya ia berhasil menjalani kehamilan hingga 9 (sembilan) bulan dan melahirkan dengan selamat. Meskipun masih usia anak, anak perempuan tersebut akhirnya menikah dengan pacarnya karena kehamilan yang tidak diinginkan itu. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian berakhir dengan perceraian di Desa Ngalang pada dasarnya disebabkan oleh permasalahan kecil, seperti ketika suami pulang ke rumah setelah bekerja istri tidak melayani, faktor kebutuhan ekonomi, dan faktor pengasuhan anak. Beberapa anak di Desa Ngalang juga megeluhkan orangtua mereka yang jarang ada di rumah, sering pulang malam, sering memarahi Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 175
mereka tanpa sebab, dan juga sering bertengkar di depan mereka karena permasalahan rumah tangga yang sepele. Meskipun permasalahan pernikahan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga adalah permasalahan yang dianggap umum dalam masyarakat Desa Ngalang, hal-hal tentang kesehatan reproduksi, bahaya pernikahan usia anak, kekerasan dalam rumah tangga, maskulinitas, pembagian peran dalam rumah tangga, dan keadilan gender adalah isu-isu yang tidak pernah diperbincangkan di desa tersebut. Itulah mengapa Desa Ngalang akhirnya dipilih sebagai salah satu Pilot Project Program Laki-Laki Peduli. Pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli di Komunitas Pelibatan Laki-Laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak sangat erat kaitannya dengan tanggung jawab dan peran laki-laki dalam rumah tangga, khususnya dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, penggunaan alat kontrasepsi untuk mempromosikan kesehatan reproduksi, dan partisipasi secara lebih setara dalam pengasuhan. Kekerasan selama kehamilan dapat berdampak serius pada kesehatan perempuan dan anaknya (Heise, et. al., 1999). Dampak kekerasan terhadap perempuan hamil antara lain termasuk kunjungan antenatal yang tertunda, pertambahan berat badan selama kehamilan yang tidak mencukupi, penyakit menular seksual, infeksi vagina dan leher rahim, keguguran dan aborsi, kelahiran premature, gawat janin, dan pendarahan dalam kehamilan (Mohammad Hakimi, 2011). Meskipun perempuan yang sedang hamil kondisi kesehatannya sangat rentan, bukan berarti laki-laki berperan aktif dalam menjaga kesehatan ibu dan anak khususnya selama proses kehamilan. Data lapangan yang dicatat oleh kader PKK menunjukkan bahwa tidak ada laki-laki yang terlibat dalam Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul berpendapat bahwa enggannya suami mengantar pasangannya ke layanan 176 | Prosiding PKWG Seminar Series
kesehatan untuk memeriksakan kesehatan kehamilan atau kesehatan anak karena mereka tidak mempunyai pemahaman terhadap kesehatan atau suami tidak memiliki waktu karena harus berangkat bekerja pagi-pagi sekali. Padahal sangat penting bagi suami untuk mengetahui bagaimana perkembangan kesehatan kehamilan istrinya, supaya beban istri dapat dibagi dengan suami. Selain itu, perhatian suami terhadap istri pada saat hamil dapat mengurangi rasa sakit yang diderita oleh istri. Untuk melibatkan laki-laki dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak di Desa Ngalang, Rifka Annisa WCC menggunakan metode diskusi komunitas untuk Kelas Ayah. Untuk mengenal komunitas di Desa Ngalang secara lebih dekat, Rifka Annisa WCC juga melakukan live in di dalam komunitas tersebut. Pendekatan yang digunakan oleh Rifka Annisa WCC untuk melaksanakan Program Laki-Laku Peduli dalam diskusi Kelas Ayah adalah pendekatan reflektif, yaitu pendekatan yang memberi ruang kepada peserta untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman kehidupan mereka tanpa merasa dihakimi. Pendekatan reflektif dilakukan dengan cara membagikan pengalaman masing-masing peserta kepada peserta yang lain baik dalam kelompok kecil, maupun kelompok besar; menggunakan beberapa metode kreatif, seperti bermain peran; dan fasilitator banyak melakukan probing (memancing dengan pernyataan yang lebih detail) untuk menggali pengalaman dan pemahaman peserta. Secara teknis, Program Laki-Laki Peduli yang dilaksanakan dalam diskusi komunitas Kelas Ayah dilakukan dalam kelompok dengan jumlah maksimal 20 (dua puluh) laki-laki dewasa yang sudah menikah dengan usia maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun. Ada 14 (empat belas) sesi diskusi. Pelaksanaan diskusi tiap sesinya dibedakan antara ruangan bagi Kelas Ayah dan Kelas Ibu, namun pada sesi-sesi tertentu dimungkinkan untung menggabung peserta laki-laki dengan Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 177
peserta perempuan di dalam satu kelas. Setting ruangan adalah ruangan dimana obrolan di dalam ruangan tersebut tidak mudah didengar oleh orang, dapat menggunakan kursi maupun lesehan, yang penting peserta merasa nyaman dan diskusi berlangsung kondusif. Fasilitator dalam setiap sesi ada 2 (dua) orang. Tiap sesi diskusi dilakukan (1) satu bulan sekali selama 120 (seratus dua puluh) menit; maka Program Laki-Laki Peduli dalam Komunitas Kelas Ayah belangsung lebih dari 1 (satu) tahun. Di luar 14 (empat belas) sesi diskusi, pada pertengahan tahun diadakan aktivitas outdoor untuk keluarga yang di dalamnya ada kegiatan couple meeting untuk melihat sejauh mana hubungan/relasi diantara suami dan istri setelah beberapa kali (6-7 kali sesi) dilakukan sesi diskusi. Keempat belas sesi diskusi tersebut terdiri dari Pengantar (Perkenalan Program); Menjadi Laki-Laki; Laki-Laki dan Budaya Patriarki; Gender dan Mainan; Komunikasi Sehat; Berbagi Peran; Relasi Sehat Tanpa Kekerasan; Menjadi Ayah dan Pengasuhan; Pengasuhan Anak; Kesehatan Reproduksi; Merencanakan Keluarga & Negosiasi Kondom; Kesehatan Ibu dan Anak; Mengelola Keuangan; dan Penutup. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa evaluasi adalah salah satu hal yang penting dalam Program Laki-Laki Peduli. Pentingnya evaluasi atas pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli disebabkan oleh keterkaitan program ini dengan perubahan perilaku, sehingga sangat penting untuk dilakukan monitoring dan evaluasi di sepanjang program. Tujuan dari dilakukannya monitoring dan evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan program dan strategi, menganalisis berjalannya program dan strategi (mengikuti siklus implementasi, refleksi, analisis, dan proyeksi ke depan), mengubah strategi jika diperlukan, serta mendokumentasikan praktik-praktik terbaik dan pembelajaran. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan metode observasi di setiap sesi, pre-test dan post-test, 178 | Prosiding PKWG Seminar Series
permainan “where do you stand”, jurnal fasilitator, dan melalui metode ORID (Objective-Reflective-Interpretative-Decision). Pre-test diberikan pada sesi pertama, yaitu Pengantar (Perkenalan Program) dan post-test diberikan pada sesi terakhir, yaitu Penutup. Pre-test dan post-test diberikan dalam bentuk kuesioner untuk para peserta dengan pertanyaan seputar informasi demografis; sikap setara gender; perilaku (resiko) seksual, penggunaan kondom, dan tes HIV; sikap terhadap kontrasepsi; kepuasan seksual dan kepuasan hubungan; penggunaan layanan SRH; dan tentang alkohol dan narkoba. Tiap-tiap sesi memiliki tujuan, capaian, dan pokok bahasan masing-masing dengan metode, alat bantu, langkah-langkah, tips untuk fasilitator, lembar kerja, dan handout yang telah ditentukan dalam Modul Diskusi Komunitas untuk Kelas Ayah yang disusun oleh Saeroni dan Muhammad Thonthowi, diterbitkan oleh Rifka Annisa WCC pada Oktober 2014. Tulisan ini tidak akan membahas secara detail bagaimana masingmasing sesi dilakukan, namun fokus membahas tentang sesi Kesehatan Ibu dan Anak. Sesi Kesehatan Ibu dan Anak dilakukan setelah peserta memiliki kesadaran atas identitasnya sebagai laki-laki, mampu untuk berkomunikasi dengan pasangan secara sehat, ikut bertanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga, berhubungan dengan pasangan tanpa kekerasan, paham tentang kesehatan reproduksi dan hak seksual pasangan, serta sadar untuk terlibat secara aktif dan pengasuhan anak. Kesadaran untuk terlibat secara aktif dalam pengasuhan anak yang telah ditumbuhkan dalam sesi Manjadi Ayah dan Pengasuhan; serta Pengasuhan Anak diimplementasikan dalam sesi Kesehatan Ibu dan Anak. Sesi ini merupakan titik masuk utama untuk melibatkan laki-laki secara langsung dalam pengasuhan anaknya yang dimulai dari pendampingan laki-laki selama masa kehamilan, Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 179
persalinan, dan konsultasi pasca kehamilan hingga anak berusia 4 (empat) tahun. Melalui sesi ini, peserta mendapatkan informasi tentang pentingnya keterlibatan suami dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak; serta tumbuhnya kesadaran di kalangan peserta akan pentingnya hubungan ayah-anak terbentuk sejak sebelum anak lahir. Dalam sesi Kesehatan Ibu dan Anak, ada 4 (empat) aktivitas; pertama, Pembukaan dimana fasilitastor membuka sesi Kesehatan Ibu dan Anak dengan mereview materi sebelumnya dan menanyakan serta membahas Pekerjaan Rumah dari pertemuan sebelumnya. Kedua, aktivitas Menemani Istriku, fasilitator melemparkan pertanyaan kepada peserta tentang pengalaman peserta dalam menemani/menunggui istri yang melahirkan. Fasilitator meminta beberapa peserta yang memiliki pengalaman untuk menjadi relawan menceritakan pengalamannya menemani/ menunggui istrinya yang melahirkan. Jika tidak ada peserta yang pernah punya pengalaman menemani/ menunggui istrinya melahirkan, minta peserta yang pernah punya pengalaman menemani istrinya sampai rumah sakit. Fasilitator bertanya kepada peserta, siapa di antara peserta yang memiliki pengalaman memeriksakan kehamilan istrinya. Fasilitator meminta beberapa peserta yang memiliki pengalaman untuk menceritakan pengalamannya memeriksakan kehamilan istrinya; apa saja yang dilakukan; informasi apa saja yang didapat; apakah dia sampai masuk ke dalam ruangan atau tidak; dan bagaimana peraasaan peserta ketika melakukan itu. Kemudian dilakukan diskusi refkelsi dengan pertanyaan kunci antara lain tentang perasaan peserta saat menemani/menunggu istri yang melahirkan atau ketika menemani/ menunggui istri memeriksaan kehamilannya; yang dilakukan peserta ketika menemani/menunggui istri saat melahirkan atau saat memeriksakan kehamilannya; dukungan yang bisa diberikan peserta kepada istri ketika melahirkan
180 | Prosiding PKWG Seminar Series
atau memeriksakan kehamilannya; dan perasaan peserta saat menyaksikan istri melahirkan. Ketiga, aktivitas Proses Kelahiran, yang dilakukan untuk memberikan gambaran yang nyata tentang proses persalinan. Fasilitator membagi peserta menjadi 3-4 kelompok yang masing-masing peran memainkan proses persalinan; ada yang menjadi ibu, ayah, bidan, dan petugas kesehatan lainnya. Fasilitator meminta peserta untuk memainkan peran apa yang terjadi di ruang persalinan ketika seorang perempuan melahirkan bayi dengan skenario sebagai berikut “Sekarang pukul 22.00, pasangan Anda berada di ruang persalinan dan sedang kesakitan karena hendak melahirkan. Dokter dann bidan sedang mempersiapkan kelahiran bayi Anda. Sebagai seorang Ayah, Anda juga berada di dalam ruang persalinan.” Hitung sampai “tiga” dan minta peserta untuk memainkan perannya masing-masing. Beri waktu 5 (lima) menit untuk masing-masing grup bermain peran. Diskusi reflektif dilakukan setelah aktivitas ini dengan pertanyaan kunci antara lain: bagaimana perasaan peserta saat memainkan peran masing-masing dan apabila peserta diberikan kesempatan untuk mengulang kejadian tersebut, apakah yang akan peserta lakukan/ tidak lakukan. Keempat, aktivitas Selamat Datang Anakku. Fasilitator membagikan kertas metaplan kepada peserta dan meminta peserta untuk menuliskan pengalamannya ketika pertama kali menggendong/ mengadzani/ melihat/ menyentuh anaknya yang baru lahir. Pastikan peserta menuliskan bagaimana perasaan mereka ketika megalami hal tersebut. Fasilitator menyiapkan tali jemuran dan jepitan gantungan di ruangan. Fasilitator meminta peserta yang bersedia untuk membacakan/menceritakan apa yang ditulisnya di metaplan dan setelah itu menggantungkannya di tali jemuran. Peserta yang lain boleh menanggapi atau menyampaikan pertanyaan kepada peserta yang bercerita.
Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 181
Kemudian, fasilitator memandu diskusi reflektf dengan pertanyaan kunci antara lain sebagai berikut: perasaan peserta ketika pertama kali menggendong/ mengadzani/ melihat/ menyentuh anak yang baru lahir; reaksi istri peserta ketika peserta pertama kali menggendong/ mengadzani/ melihat/ menyentuh anak yang baru lahir; dan apa saja yang bisa/ tidak bisa dilakukan oleh peserta untuk anak yang baru lahir dan pasangan. Refleksi Perorangan Setelah mengikuti Program Laki-Laki Peduli, salah satu peserta menyampaikan bahwa ada beberapa perubahan perilaku yang ia rasakan. Perubahan perilaku paling mengesankan yang ia alami adalah hubungan antara dia dan anaknya semakin dekat. Selain itu dalam menghadapi permasalahan dalam rumah tangga yang sebelum mengikuti Program Laki-Laki Peduli diselesaikan dengan menendang pintu, saat ini sudah tidak lagi dilakukan. Sebelum mengikuti Program Laki-Laki Peduli, peserta ini merasa bahwa laki-laki adalah segala-galanya dalam rumah tangga. Pasca mengikuti Program Laki-Laki Peduli, ia menyadari bahwa laki-laki yang sejati adalah laki-laki yang peduli pada istri dan anak. Ia akhirnya menyadari bahwa meskipun ia hidup sederhana di kampung, ia merasa bahagia karena kebahagiaan yang ia rasakan berasal dari keluarganya, dari istri dan anaknya. Kelompok Dalam konteks yang lebih luas, dari wawancara dengan salah satu kepala dukuh di Desa Ngalang, kesehatan reproduksi, bahaya pernikahan usia anak, kekerasan dalam rumah tangga, maskulinitas, pembagian peran dalam rumah tangga, dan keadilan gender bukan lagi menjadi isu yang tabu untuk didiskusikan oleh masyarakat Desa Ngalang. Meskipun 182 | Prosiding PKWG Seminar Series
Program Laki-Laki Peduli telah selesai, sesama peserta masih saling berhubungan untuk berdiskusi jika ada permasalahanpermasalahan di dusun mereka. Permasalahan tersebut kemudian dimusyawarahkan bagaimana solusi yang terbaik, bukan hanya diantara sesama peserta, namun juga melibatkan pasangan dari masing-masing peserta. Misalnya ketika ada permasalahan kekerasan seksual di tempat mereka tinggal, peserta akan bermusyawarah untuk mencari solusi terbaik dan saling berbagi peran siapa yang akan mendekati korban dan keluarganya, siapa yang akan mendekati pelaku dan keluarganya, termasuk di dalamnya memberikan informasi tentang gambaran-gambaran alternatif yang dapat diambil oleh korban maupun pelaku. Ke depan, untuk mempererat alumni Program Laki-Laki Peduli Kelas Ayah dan Kelas Ibu akan diadakan arisan tiap bulan. Selain itu, alumni peserta Program Laki-Laki Peduli di Desa Ngalang juga berencana untuk melakukan sosialisasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rifka Annisa WCC kepada warga Desa Ngalang melalui kegiatan kesenian, jalan sehat, dan kesehatan positif lainnya. Isu-isu tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga juga mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Desa. Ngalang. Rencananya isu tersebut akan dibahas untuk dianggarkan secara khusus dalam Musyawarah Dusun dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Apabila permasalahan tiap-tiap rumah tangga di Desa Ngalang berjalan rukun dan tentram, maka warga Desa Ngalang dapat secara fokus membangun desanya. Kesimpulan Program Laki-Laki Peduli sebagai upaya pelibatan laki-laki dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul melalui perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh para peserta Program Laki-Laki Peduli. Pasca program tersebut, laki-laki lebih peduli pada istri dan anaknya. Laki-laki Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 183
akhirnya dapat mengajak perempuan berdiskusi untuk mengambil suatu keputusan dan ikut serta dalam pengasuhan anak, sehingga muncul kedekatan antara ayah-anak dan ayahistri. Hal tersebut tentunya berdampak positif terhadap peningkatan kesehatan ibu dan anak. Ibu dan anak dapat hidup dengan nyaman dalam lingkungan rumah tangga tanpa adanya kekhawatiran kekerasan yang dilakukan oleh suami, dibandingkan dengan ibu dan anak yang hidup dalam lingkungan rumah tangga yang penuh dengan kekerasan karena laki-laki/ suami tidak paham tentang peran dan tanggung jawabnya. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (Lembaran Daerah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2012 Nomor 16 Seri E) Buku dan Penelitian Djohan E., 1994, Women’s Live in Javanese Family (ideology and reality), Indonesian Institute of Sciences, Center for Population and Manpower Studies: Working Paper No. 9. Heise, et. al., 1999, Ending Violence against Women, Population Reports, Baltimore John’s Hopkins University. Mohammad Hakimi, et.al., Cetakan Ke-II, 2011, Membisu Demi Harmoni Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia, Rifka Annisa, Yogyakarta. Nur Hasyim, et. al., Cetakan Ke-II, 2011, Menjadi Laki-Laki Pandangan Laki-Laki Jawa terhadap Maskulinitas dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Rifka Annisa, Yogyakarta. 184 | Prosiding PKWG Seminar Series
Saeroni dan Muhammad Thonthowi, 2014, Modul Diskusi Komunitas untuk Kelas Ayah, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, 2014.
Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo | 185