PROGRAM COMMUNITY POLICING
Disusun Oleh :
RULLY WIRASTANINGRUM D0205122
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 1
2
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Perubahan sebagai konsekuensi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merambah ke hampir semua kehidupan manusia. Dewasa ini perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia tengah mengalami perubahan drastis yang melahirkan proses globalisasi yaitu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang komunikasi dan informasi serta transportasi. Bangsa Indonesia, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, pasti terseret ke dalam era globalisasi. Karena itulah bangsa Indonesia harus mampu memanfaatkan dampak positif dari globalisasi. Globalisasi ditandai dengan munculnya berbagai karakteristik kehidupan masyarakat dunia, seperti meningkatnya peran perusahaan swasta dalam perdagangan internasional, melemahnya ikatan nasional, meningkatnya peranan informasi, pendayagunaan modal asing, dan regionalisme yang menonjol. Di tengah perubahan masyarakat yang berkembang dengan pesat sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (informasi, komunikasi dan transportasi) dan pengaruh globalisasi, menjadikan masyarakat semakin kritis terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah. Bagi bangsa Indonesia, proses globalisasi telah memacu tuntutan reformasi terhadap segenap tatanan kehidupan bangsa.
3
Berkaitan dengan arus globalisasi yang melanda dunia dan tidak terelakkan juga di Indonesia maka bermunculan protes dan reaksi masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat serta para aktifis mahasiswa, politisi, dan para pakar pada tahun 1998 yang menuntut pemerintahan Orde Baru yang cenderung otoriter untuk melepaskan kekuasaannya. Peralihan dari rezim pemerintahan otoriter menuju pemerintahan reformasi yang mencirikan demokrasi ditandai dengan perombakan di lingkungan birokrasi pada tingkat administrasi publik termasuk berbagai peraturan perundang-undangan. Namun realisasinya di masyarakat masih banyak diwarnai oleh adanya sifat curang dan balas dendam serta terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat pro dan kontra sehingga berpengaruh pada situasi Kamtibmas pada masa awal bergulirnya reformasi. Era reformasi menggugah semangat pembaharuan, semangat perbaikan, penataan dan pembenahan secara sadar untuk menyoroti berbagai ketimpangan, penyimpangan dan berbagai hal yang tidak proposional di semua lembaga pemerintahan, termasuk institusi Kepolisian. Reformasi kepolisian sejalan dengan era reformasi pemerintahan negara dan bangsa lebih ditujukan untuk perbaikan pelayanan kepada masyarakat yang berkualitas terutama terkait dengan tugas polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan maupun penegak hukum. Selama institusi Polri berada di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan menyatu dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, aparat Kepolisian menjadi tidak terlatih dalam menggunakan senjata hukum yang ada padanya karena menganggap kurang
4
dibutuhkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan militer dengan sikap destruktif dan ofensif, yakni selalu menggunakan kekerasan
seperti
melakukan
penganiayaan
terhadap
tersangka
untuk
mendapatkan pengakuan, melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah dan tanpa alasan hukum yang sah. Akibat pola kerja polisi yang bersikap keras dan destruktif sebagai akibat dari militerisasi institusi Polri tersebut maka menjadikan masyarakat selalu takut kepada polisi. Keberadaan Polri sebagai bagian dari TNI/ ABRI tidak terjadi dengan sendirinya namun didasarkan pada realitas
sejarah dan perkembangan
pemerintahan negara dan bangsa Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1961 Polri dinyatakan sebagai bagian dari ABRI dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Panglima tertinggi ABRI sesuai sistem yang dianut UUD 1945. Penyatuan institusi Polri ke dalam tubuh TNI/ ABRI tidak dapat dilepaskan dari terjadinya Peristiwa G 30 S/ PKI pada tahun 1965 yang disusul jatuhnya Soekarno sebagai Presiden dan munculnya Ketua Presidium Kabinet, Jendral Soeharto yang kemudian diangkat sebagai pejabat Presiden pada tahun 1967 dan ditetapkan sebagai Presiden pada tahun 1968 melalui Sidang Umum MPRS. Pada masa pemerintahan Soeharto dikenal dengan rezim “Orde Baru” yang berkuasa selama lebih dari 32 tahun. Pada masa itu integrasi TNI/ ABRI diperketat dengan alasan apabila institusi ABRI pecah maka negara akan ikut pecah. Oleh karena itulah maka jabatan Panglima bagi TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU dan Polri dihapus
5
kemudian diciptakan jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) serta Panglima ABRI secara terpisah.1 Pada tanggal 1 Juli 1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI dikembalikan menjadi Kepala Kepolisian Negara RI dan singkatannya adalah Kapolri. Kedudukan Polri sebagai bagian dari ABRI pada waktu itu masih tidak berubah dengan alasan integritas, sehingga segala hal ikwal yang berlaku di lingkungan TNI/ ABRI juga diberlakukan di lingkungan Polri. Misalnya, masalah pendidikan, sistem anggaran dan keuangan, materiil dan persoalan lainnya serta hampir semua tugas-tugas Polri berdasarkan petunjuk dan perintah Panglima ABRI. Modal seperti itu maka intervensi TNI terhadap pelaksanaan tugas Polri terutama di bidang penyidikan tidak dapat dihindari, sehingga cita-cita menjadikan hukum sebagai panglima cenderung hanya sebatas klise dan lip service belaka. Kedudukan Polri dalam sistem pemerintahan Orde Baru hanya sebagai alat kekuasaan dan merupakan sub-ordinat dari TNI/ ABRI, sehingga meninggalkan ciri dan jati diri polisi sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat dan sebagai aparat penegak hukum. Gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998 telah menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk juga di lingkungan Kepolisian. Tuntutan rakyat agar Polri bersikap mandiri dan profesional dalam menjalankan tugas, serta pelaksanaan fungsi dan peran sebagai aparat penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat terjawab
1
Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian: Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007, hal 2-3
6
saat Presiden RI pada upacara HUT Bhayangkara ke 54 tanggal 1 Juli 2000 meresmikan reorganisasi Polri keluar dari Departemen Pertahanan dan TNI/ABRI, untuk selanjutnya menjadi institusi independen dan mandiri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara. Mengenai tugas Polri berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 yang merupakan revisi atas UU Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI, telah ditegaskan tentang keberadaan Polri yang secara independen berada di bawah Presiden dan tidak lagi berada di bawah Panglima ABRI. Hal tersebut berdampak pada terjadinya perubahan struktur organisasi Polri baik dari tingkat pusat maupun di tingkat kewilayahan (Polda, Polwil, Polres/Polresta). Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma di tubuh Polri, yakni dari sosok polisi yang sebelumnya bersikap militeristis karena menjadi bagian dari ABRI kemudian menjadi polisi sipil setelah pisah dari ABRI, masyarakat menghendaki agar Polri meningkatkan profesionalisme-nya dalam menjalankan tugas dan kewajiban baik sebagai pemelihara Kamtibmas maupun sebagai aparat penegak hukum. Sulit rasanya memisahkan keeratan hubungan antara masyarakat dengan polisi. Tidak ada masyarakat tanpa polisi. Sebaliknya, keberadaan polisi tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Dimana ada masyarakat, di situlah terdapat institusi yang namanya polisi (ubi societas ubi politie). Masyarakat adalah nyata-nyata komunitas yang dilayani oleh institusi Kepolisian. Namun anehnya, seringkali masyarakat merasa tidak memiliki keterkaitan dengan Polisi kecuali dalam beberapa hal, seperti tersangkut masalah
7
kriminal atau berhubungan dengan pelanggaran lalu lintas. Bahkan, sebagian besar masyarakat kita cenderung segan, merasa tidak nyaman, dan takut ketika mengunjungi kantor Polisi. Sebisa mungkin orang akan menghindar agar tidak berurusan dengan Polisi. Di pihak Polisi sendiri, mereka jarang sekali berhubungan langsung dengan masyarakat, kecuali terkait perkara kriminalitas dan pelanggaran lalu lintas. Dari sinilah, kesenjangan jarak antara Polisi dengan masyarakat sebetulnya mulai terpupuk. Fenomena terjadinya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap Polri telah diprediksi, sebagaimana dinyatakan dalam Grand Strategi Polri 2005-2025, khususnya pada BAB II angka 2. Pada bagian tersebut tergambar krisis kepercayaan terhadap Polri, antara lain:2 1. Saat ini banyak masyarakat yang tidak takut melanggar hukum 2. Masyarakat mengembangkan slogan-slogan yang melecehkan Polisi 3. Masyarakat menganggap kewibawaan Polri hanya pada senjata dan wewenang formalnya 4. Masyarakat yang banyak uang menganggap Polisi tidak ada wibawa sama sekali dan dapat dikendalikan 5. Di era kebebasan pers penyelewengan Polri semakin terbuka dan citra Polri semakin terpuruk Munculnya berbagai penilaian negatif terhadap performa Polri tentunya menimbulkan berbagai pertanyaan terkait komitmen Polri untuk senantiasa berupaya menampilkan paradigma baru dalam berperilaku dan bertindak. 2
http://www.batampos.co.id
8
Tindakan menyimpang dari sebagian anggota Polri tersebut seakan hendak mempertanyakan kembali komitmen Polri yang konon sejak terpisah dari TNI hendak berupaya mengubah perilaku dari sosok Polri yang antagonis menjadi Polisi Sipil yang protagonis, yaitu polisi yang sopan, siap melayani dan dicintai masyarakat.3 Untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat dalam menciptakan dan menjaga Kamtibmas dan tentunya Polri dapat bertindak sebagai polisi yang netral, jujur, terbuka bersih dan berwibawa yang dicintai dan dihormati, dipercaya serta dibanggakan oleh masyarakatnya. Community Policing adalah salah satu alternatif untuk menuju Polri sebagai polisi sipil yang demokratis dan mandiri. Yang menentukan keberhasilan tugas polisi bukan hanya pada menekan angka kejahatan tetapi manakala kejahatan atau gangguan Kamtibmas tidak terjadi serta tercipta ketertiban dan keteraturan yang dapat dirasakan oleh masyarakatnya yang dipercaya masyarakatnya.4 Jika selama ini citra yang ada dalam benak masyarakat adalah pelayanan dan profesionalisme kerja polisi kurang baik dan kurang memuaskan, maka perlu dilakukan usaha dan kegiatan untuk mengubahnya. Oleh karena itu, diperlukan implementasi kegiatan public relations untuk memperbaiki citra tersebut. Maka Polri membuat Grand Strategi 2005-2025 yaitu Perpolisian Masyarakat/ Community Policing (Polmas). Community Policing sebagai alternatif gaya Kepolisian merupakan pilihan strategi yang dilakukan oleh Polri baik sebagai
3 4
http://www.batampos.co.id http://www.dharana-lastarya.org
9
konsep maupun dalam aktivitasnya. Community Policing dilakukan karena keterbatasan personil polisi dan institusi Polri menghendaki adanya jalinan kerjasama yang harmonis dengan masyarakat dalam kegiatan pemeliharaan Kamtibmas sehingga citra Polri di masyarakat dapat membaik. Pemahaman konsep Perpolisian Masyarakat (Community Policing) menurut Friedmann telah menghasilkan langkah penting dalam perbaikan strategi Kepolisian
yang
berkaitan
dengan
bimbingan
masyarakat.
Apabila
pelaksanaannya terus dikembangkan dengan baik dan konsisten dapat memperluas pemahaman tentang keterkaitan antara polisi dan masyarakat yang diamankan. Konsep Community Policing banyak dirumuskan oleh beberapa ahli seperti Trojanowicz (1998), Bayley (1988), Meliala (1999) dan Rahardjo (2001) yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerja sama antara polisi dengan masyarakat
setempat
dimana
ia
bertugas
untuk
mengidentifikasi
dan
menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri. Pemolisian ini tidak dilakukan untuk melawan kejahatan, tetapi mencari dan melenyapkan sumber kejahatan melalui upaya-upaya pencegahan kejahatan maupun pendidikan bagi warganya.5 Community
Policing
dikembangkan
dan
disosialisasikan
kepada
masyarakat oleh seluruh anggota Polri berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol: SKEP/737/X/2005, tanggal 13 Oktober 2005, tentang kebijakan dan strategi penerapan Polmas. Konsep Perpolisian Masyarakat (Polmas) yang tertuang dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep / 737 / X / 2005 tanggal 13 Oktober 2005
5
www.dharana-lastarya.org
10
mengadopsi sistem Koban atau Chuzaiso Jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura dan Community Policing dari Amerika Serikat. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, menjelaskan bahwa penerapan Polmas sebagai falsafah dan strategi merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat melalui kemitraan dengan warga masyarakat untuk mewujudkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam era demokrasi dan penegakan hak asasi manusia.6 Jumlah anggota Polisi di Indonesia bila dibandingkan dengan jumlah penduduk akan selalu tidak berimbang atau bahkan semakin ketinggalan, sehingga untuk mencapai ratio ideal (1:400) akan dibutuhkan waktu yang lama. Sementara, ratio polisi dan penduduk yang ideal pun tidak merupakan jaminan dapat terwujudnya Kamtibmas. Membangun kemitraan dengan masyarakat adalah strategi yang tepat untuk mengatasi kesenjangan ini. Menutupi kekurangan personel Polri akan lebih efesien dengan penambahan kekuatan melalui pelibatan masyarakat sebagai mitra yang setara.7 Pemisahan Kepolisian Republik Indonesia dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) memberikan peluang bagi dilakukannya pemikiran ulang yang mendasar terhadap peranan Kepolisian. Community Policing merupakan salah satu cara yang paling inovatif untuk mendukung upaya-upaya reformasi Kepolisian yang diupayakan baik oleh pihak Kepolisian sendiri maupun kelompok-kelompok 6
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7, Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Mayarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Jakarta, 2008, hal. 18 7 ibid. Hal. 13
11
masyarakat. Kekhasan Community Policing yang menekankan pada pentingnya peran dan keterlibatan masyarakat untuk mendukung terciptanya polisi sipil yang profesional dan bertanggung jawab merupakan suatu bentuk dukungan yang strategis terhadap program reformasi Kepolisian di Indonesia. Dalam pelaksanaan Community Policing semua instansi Kepolisian berperan dalam menyukseskan program ini, baik tingkat pusat maupun tingkat kewilayahan (Polda, Polwil, Polres). Polres Boyolali sebagai salah satu instansi Kepolisian juga melaksanakan kegiatan Community Policing untuk memperbaiki citra Polri di wilayah hukum Boyolali. Untuk menilai seberapa jauh program Community Policing dianggap efektif, harus didasarkan pada seberapa jauh program tersebut
dapat
mempengaruhi masyarakat. Usaha persuasif dan edukasi masyarakat bisa diawali dengan berbagai hal. Proses edukasi biasa diawali dengan penyampaian informasi atau sosialisasi mengenai Community Policing pada masyarakat. Proses tersebut dilanjutkan dengan mempengaruhi dan mengarahkan tingkah laku kelompok masyarakat kepada hal-hal tertentu sesuai dengan kebutuhan perubahan yang diinginkan. Penyampaian informasi dapat dilakukan dengan banyak cara, baik melalui komunikasi secara langsung maupun tidak langsung. Persoalan yang muncul adalah selain sebagai usaha mewujudkan profesionalisme Polri, bagaimana dan seperti apa Binamitra Polres Boyolali menjalankan tugas pada masyarakat melalui program Community Policing tersebut. Sebuah program yang disusun sebuah institusi, seharusnya merupakan
12
suatu investasi yang menguntungkan kedua belah pihak, masyarakat maupun institusi. Alasan peneliti mengambil tema penelitian evaluasi pada program ini adalah meskipun program Community Policing merupakan program nasional yang dimiliki Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), namun Binamitra Polres Boyolali belum memiliki data secara pasti, seperti apa efektifitas pelaksanaan program Community Policing yang telah dilaksanakan selama ini. Penelitian ini akan mencoba melihat bagaimana dan seperti apa Binamitra Polres Boyolali berusaha mewujudkan kemitraan antara polisi dengan masyarakat untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat Boyolali terhadap Kepolisian. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mengevaluasi kegiatan Community Policing yang dilakukan Binamitra Polres Boyolali dan mengetahui apa manfaat program tersebut baik bagi masyarakat dan Binamitra Polres Boyolali sebagai pelaksana program serta mengetahui faktor-faktor yang menghambat maupun mendukung program ini.
13
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah efektifitas program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali dalam membentuk citra positif Polri di Kabupaten Boyolali?
2.
Apa sajakah faktor yang menghambat maupun mendukung pelaksanaan program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali dalam membentuk citra positif Polri di Kabupaten Boyolali?
C. TUJUAN PENELITIAN Atas dasar permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka dapat ditetapkan bahwa tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui efektifitas program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali dalam membentuk citra positif Polri di Kabupaten Boyolali.
2.
Mengetahui faktor yang menghambat maupun mendukung pelaksanaan program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali dalam membentuk citra positif Polri di Kabupaten Boyolali.
14
D. MANFAAT PENELITIAN Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Mengetahui dan mendapatkan informasi atau gambaran tentang praktik kegiatan komunikasi dalam pelaksanaan program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali dalam membentuk citra positif Polri di Kabupaten Boyolali. 2. Manfaat Praktis Sebagai
masukan
penyelenggaraan
bagi
kegiatan
Binamitra komunikasi
Polres pada
Boyolali
dalam
program-program
Community Policing berikutnya.
E. LANDASAN TEORI 1.
Public Relations (Humas) Daud Sirait dalam buku Webster’s New international Dictionary of The
English Languange melalui bukunya tentang hubungan masyarakat dan periklanan niaga, seperti dikutip dalam buku Kustadi Suhandang, mengemukakan tentang Public Relations. Menurut Sirait, kamus internasional itu merumuskan Public Relations sebagai: “Aktivitas yang dilakukan oleh industri, perserikatan, perusahaan, perhimpunan, jawatan pemerintah, dan atau organisasi lainnya, untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang sehat dan bermanfaat dengan masyarakat tertentu (misalnya para langganan, para pegawai, atau para
15
pemegang saham) dan masyarakat pada umumnya dengan maksud menyesuaikan dirinya pada keadaan sekeliling dan memperkenalkan dirinya kepada masyarakat”8 Jadi, Public Relations merupakan aktivitas suatu perusahaan atau organisasi kepada publiknya untuk menciptakan dan memelihara hubungan baik. Inti dari kegiatan Public Relations adalah komunikasi, menurut Carl I. Hovland, komunikasi adalah: “Upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap”9 Pendapat Hovland di atas menunjukkan bahwa yang dijadikan objek bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude). Sedangkan menurut Onong Uchjana Effendy, public relations pada dasarnya mempunyai dua pengertian10, yaitu: 1. Public relations sebagai “method of communications”, yaitu merupakan suatu rangkaian atau sistem kegiatan, yaitu kegiatan berkomunikasi secara khas. Kegiatan komunikasi yang khas tersebut mempunyai ciri dan aspek sebagai berikut:
8
Kustadi Suhandang, Public Relations Perusahaan, Kajian, Program, Implementasi, Nuansa, Bandung, 2004, hal. 46. 9 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997, hal. 10. 10 Onong Uchjana Effendy, Human Relations dan Public Relations, Mandar Maju, Bandung, 1993, hal. 94-96
16
a. Komunikasi yang dilaksanakan berlangsung dua arah secara timbal balik. b. Kegiatan yang dilakukan terdiri dari penyebaran informasi, pelaksanaan persuasi, dan pengkajian organisasi itu sendiri. c. Tujuan yang dicapai adalah tujuan organisasi itu sendiri. d. Sasaran yang dituju adalah publik di dalam dan publik di luar organisasi. e. Efek yang diharapkan adalah terjadinya hubungan yang harmonis antara organisasi dengan publik. Dalam pengertian sebagai metode komunikasi, terdapat makna bahwa setiap pemimpin maupun karyawan di suatu organisasi, baik kecil maupun besar, dapat melaksanakan public relations. Jadi, apabila seorang manager atau pemimpin organisasi melaksanakan kegiatan dengan ciri-ciri dan aspek sebagaimana di atas, berarti bahwa dia telah melaksanakan public relations yang sebenarnya demi kepemimpinan (leadership) dia sendiri. 2. Public relations sebagai “state of being”, yaitu perwujudan dari kegiatan berkomunikasi yang melembaga. Biasanya, semakin besar sebuah organisasi, maka semakin rumit manajemennya. Semakin luas pula ruang lingkup kegiatan public relations yang harus dilakukan. Jika demikian, maka kadang tugas tersebut dilembagakan dalam bentuk biro, bagian, atau divisi di dalam organisasi. Kegiatan berkomunikasi kepada publik telah dilembagakan dalam bentuk biro, bagian, seksi, atau divisi itulah yang dinamakan public relations sebagai “state of being”.
17
Pada dasarnya, pengadaan serta besar kecilnya divisi public relations, tergantung pada manajemen perusahaan yang bersangkutan. Public relations yang melembaga dari suatu perusahaan kecil biasanya tidak perlu merupakan suatu bagian atau departemen yang khusus, bahkan kadang-kadang cukup dirangkap oleh pemimpin perusahaannya sendiri. Dapat juga disatukan dengan bagian lain yang sifat kerjanya setaraf dan sehaluan dengan sifat kerja public relations. Dalam hal ini, S. K Bonar melalui bukunya yang berjudul Hubungan Masyarakat / Public Relations Modern, seperti dikutip oleh Kustadi Suhandang, mengemukakan bahwa bentuk hubungan masyarakat dibuat dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Suatu badan perusahaan atau jawatan dapat mengangkat seorang anggota stafnya, yang termasuk dalam golongan pimpinan menjadi Kepala Hubungan Masyarakat. 2. Dapat mengangkat seorang pegawai yang mengetahui urusan-urusan kemasyarakatan, menjadi Kepala Hubungan Masyarakat. 3. Direktur perusahaan atau jawatan dapat merangkap pekerjaan Hubungan Masyarakat. 4. Dapat pula menyerahkan pekerjaan itu kepada orang luar, pakar Hubungan Masyarakat untuk melakukan tugas Hubungan Masyarakat itu.11
11
Kustadi Suhandang, Op.cit., hal 193.
18
Kegiatan public relations yang dilakukan menggunakan suatu metode komunikasi. Metode komunikasi untuk public relations secara spesifik diutarakan oleh Cutlip dan Center seperti dikutip oleh Rhenald Kasali, dimana komunikasi yang efektif harus dilakukan melalui empat tahap, yaitu: 1. Fact Finding, merupakan tahapan pengumpulan fakta, data, dan informasi yang beredar di masyarakat luas. Praktisi public relations perlu memantau dan membaca terus pengertian, opini, sikap, dan perilaku mereka yang berkepentingan dan terpengaruh oleh sikap dan tindakan perusahaan. 2. Planning and Program, merupakan tahap perencanaan dan program. Pada tahap ini seorang praktisi public relations sudah menemukan penyebab timbulnya permasalahan dan sudah siap dengan pemecahan atau pencegahan. 3. Action and Communication, merupakan tahap aksi dan komunikasi pelaksanaan dari perencanaan dan program yang telah disusun sebelumnya. 4. Evaluating, merupakan tahap evaluasi program yang telah dilakukan, apakah sesuai rencana dan mampu mencapai tujuan yang diinginkan perusahaan.12 Walaupun banyak definisi dari beberapa ahli tentang public relations, sebenarnya ada beberapa kesamaan pokok pemikiran, yaitu: 1. Public relations merupakan suatu kegiatan yang bertujuan memperoleh goodwill, kepercayaan, saling pengertian, dan citra yang baik dari publik.
12
Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations, PT. Temprint, Jakarta, 1994, hal. 82.
19
2. Sasaran public relations adalah menciptakan opini publik yang favourable yang menguntungkan semua pihak. 3. Public relations merupakan unsur yang sangat penting dalam manajemen guna mencapai tujuan yang spesifik dari organisasi. 4. Public relations adalah usaha untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara suatu badan atau organisasi dengan masyarakat melalui suatu proses komunikasi timbal balik atau dua arah. Hubungan yang harmonis ini timbul dari adanya mutual understanding, mutual confidence, dan image yang baik. Ini semua merupakan langkah-langkah yang ditempuh public relations untuk mencapai hubungan yang harmonis. Menurut F. Rachmadi, pengertian public relations mengacu pada segenap kegiatan yang dilakukan oleh sutau perusahaan atau lembaga, khususnya oleh seorang petugas public relations dalam rangka mengorganisasikan dan mengkomunikasikan segala sesuatu guna mencapai saling pengertian yang lebih baik antara perusahaan dengan publik yang dituju, yaitu sejumlah orang dengan siapa organisasi yang dimaksud ingin melakukan hubungan.13 Setiap perusahaan dalam melakukan kegiatan operasional sehari-hari selalu berhubungan dengan berbagai pihak. Keberadaan pihak-pihak tersebut sangat penting bagi perusahaan. Adanya publik di sekitar perusahaan akan mempengaruhi kinerja di dalam perusahaan. Perusahaan perlu membina hubungan dengan mereka dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan, pengertian, serta dapat menciptakan dan memelihara suatu hubungan yang harmonis. 13
F. Rachmadi, Public Relations dalam Teori dan Praktek: Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal. 20.
20
Secara harfiah kata”publik” bisa diartikan masyarakat, rakyat, atau umum, namun dalam konteks public relations, kata publik di sini diartikan sebagai himpunan atau kumpulan orang-orang dan lembaga atau organisasi yang berkepentingan serta berada di sekitar lembaga atau organisasi itu berada.14 Publik tersebut mencakup mereka yang berada di dalam dan di luar perusahaan. Untuk publik yang di luar perusahaan disebut eksternal public. Sedangkan publik yang di dalam perusahaan disebut internal public. Keberadaan kedua publik tersebut adalah sama pentingnya. Perusahaan perlu membina hubungan agar secara jangka panjang bisa menjaga eksistensi dan stabilitas perusahaan. Adanya kegiatan public relations dari perusahaan tentunya mempunyai tujuan tertentu. Bagi perusahaan, kegiatan komunikasi dengan publiknya tidak lain adalah untuk membangun suatu hubungan yang harmonis dengan mereka, sehingga publik mempunyai kesan yang baik kepada perusahaan, dan pada akhirnya akan membawa citra yang baik dan positif. Hal tersebut akan membawa suatu kepercayaan kepada perusahaan. PR merupakan aspek komunikasi yang bersifat: informatif dan edukatif. Pada hakekatnya PR adalah kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk menciptakan pemahaman, pengertian, dan dukungan terhadap suatu ikhwal. Sehingga akan didapatkan respons positif dari masyarakat yang akan mampu merubah sikap, opini dan persepsi yang pada akhirnya membentuk citra.
14 Kustadi Suhandang, Op.cit., hal. 32.
21
2.
Peran Public Relations Peran public relations secara konseptual dan metodologis adalah sama
pada setiap perusahaan. Peran utama dari PR dalam mewakili top manajemen suatu perusahaan adalah menyelenggarakan kegiatan two way communications yang merupakan ciri khas dari peran PR, karena salah satu tugas PR adalah “apa dan
bagaimana”
bertindak
sebagai
narasumber
informasi
(source
of
communications) dan saluran informasi (channel of informations). Peran PR dalam menyelenggarakan kegiatan komunikasi dua arah dapat pula diartikan sebagai proses komunikasi itu sendiri. meliputi pencarian informasi (fact finding melalui observasi, riset, kepustakaan, media seeking, dan sebagainya), kemudian mengolah informasi (meliputi kegiatan pengeditan, merangkum, identifikasi, analisis data, dan sebagainya), kemudian mendistribusikan informasi baik verbal tulis maupun verbal lisan dan nonverbal. Semua itu adalah komunikasi, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan proses pentransferan dan penerimaan ide, gagasan, dan segala macam informasi dengan tujuan tertentu. Menurut
Everett M. Rogers, salah seorang Pakar Sosiologi Pedesaan
Amerika, yang telah banyak memberikan perhatian pada studi riset komunikasi khususnya dalam penyebaran inovasi, membuat definisi komunikasi, yaitu:15 “Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”.
15
Prof. Dr. H. Hafield Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 19
22
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers dan D. Lawrence Kincaid, sehingga melahirkan suatu definisi baru yang menyatakan bahwa: “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam”. Menurut kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia (human communications) adalah sebagai berikut: “Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan: (1) membangun hubungan antar sesama manusia, (2) melalui pertukaran informasi, (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu”. Komunikasi merupakan komponen utama PR dalam menjalankan perannya dalam suatu perusahaan. Sebagai salah satu unsur fungsional manajemen dalam membangun citra yang baik bagi perusahaannya, maka komunikasi dilakukan terus-menerus agar terjaga sikap saling pengertian dan menghindarkan dari prasangka-prasangka yang bersifat negatif. Dengan komunikasi, akan didapatkan persamaan persepsi dan pemahaman dengan melakukan tukar-menukar pikiran, pendapat, dan perasaan dari satu pihak kepada pihak lain. Komunikasi juga dapat diartikan dengan mengacu pada definisi yang disampaikan oleh Harold D. Lasswell: “Who says what in which channel to whom with what effect”.
23
Tabel 1.1 The Lasswell Formula
Who S
Says What M
In Which Channel C
To Whom R
With What Effect E
(Ruslan, 1999: 23)
Jika dijabarkan ke dalam peranan kampanye PR, maka akan nampak komponen-komponen komunikan tersebut, yakni:16 a.
Who says (siapa mengatakan)
komunikator
Sebagai komunikator, mau tidak mau PR harus mampu menjelaskan atau menyampaikan sesuatu kegiatan atau aktivitas dan program kerja kepada publiknya, sekaligus ia bertindak sebagai mediator untuk mewakili perusahaan terhadap publik dan sebaliknya. Kaitannya sebagai seorang profesional, PR harus berkemampuan sebagai: 1) Creator, yaitu orang yang memiliki kreativitas dan pencipta ide atau gagasan dalam berkomunikasi. 2) Conseptor, yaitu orang yang memiliki skill atau konseptor dalam penyusunan program kerja PR, khususnya dalam berkampanye. 3) Problem solver, yaitu orang yang mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya, dinamis, solutif, dan proaktif dalam menjalankan peranan PR, khususnya dalam mengantisipasi gangguan dalam melaksanakan perannya. 16
Rosady Ruslan, Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi (Konsepsi & Aplikasi), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 22-28
24
b.
Says what (mengatakan apa)
pesan yang disampaikan kepada penerima
yang berupa ide, gagasan, informasi, aktivitas, atau kegiatan tertentu yang dipublikasikan atau dipromosikan untuk diketahui, dipahami dan dimengerti yang sekaligus diterima oleh publiknya. c.
In which channel (melalui saluran apa)
media, sarana atau alat dalam
menyampaikan pesan atau sebagai mediator antara komunikator dengan komunikannya. Media atau alat khusus keperluan PR campaign dapat digolongkan atau dikelompokkan sebagai berikut: 1) Media umum, yaitu sarana-sarana seperti surat-menyurat, telepon, dan sebagainya. 2) Media massa, yaitu berupa cetak seperti surat kabar, majalah, atau elektronik seperti radio dan televisi. Media ini mempunyai efek serempak dan cepat (smultaneity effect) dan mampu mencapai audience dalam jumlah besar dan tersebar luas di berbagai tempat secara bersamaan. 3) Media khusus, seperti iklan, logo, nama perusahaan, ataupun produk yang merupakan sarana atau media untuk tujuan promosi dan komersial yang efektif. 4) Media internal, yaitu media yang digunakan untuk kepentingan kalangan terbatas dan non komersial serta lazim digunakan dalam aktivitas PR. Jenisnya antara lain:
25
a) House Journal, seperti majalah bulanan (in house magazine), profil perusahaan (company profile), laporan tahunan perusahaan (annual report), prospektus, buletin dan tabloid. b) Printed materials, seperti barang cetakan untuk publikasi dan promosi, berupa booklets, pamphlets, leaflets, kop surat, kartu nama, memo dan kalender. c) Spoken and visual words, seperti audio visual, video record, slide film, broadcasting media, perlengkapan radio dan televisi. d) Media pertemuan, seperti seminar, rapat, pertemuan, diskusi, pameran, special events, sponsorship, dan gathering meet. d.
With what effect (dengan efek apa)
efek dan dampak
Efek atau dampak merupakan respons atau reaksi setelah proses komunikasi tersebut berlangsung yang bisa menimbulkan umpan balik atau feedback berbentuk positif maupun negatif. Model komunikasi yang diaplikasikan dalam PR adalah sebagai berikut:17 a.
Sumber: perusahaan/ lembaga/ organisasi
b.
Komunikator: bidang/ divisi public relations
c.
Pesan: kegiatan-kegiatan
d.
Komunikan: publik-publik PR
e.
Efek: citra publik terhadap perusahaan/ lembaga/ organisasi
17
Soleh Soemirat, Elvinaro Ardianto, Dasar-dasar Public Relations, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 118
26
Dalam berbagai aktivitasnya yang selalu berhubungan dengan komunikasi, seorang praktisi PR dapat menempuh berbagai cara dalam menyampaikan pesanpesannya terhadap komunikan (publik-publik PR). Hal ini sangat tergantung pada macam-macam tingkat pengetahuan, pendidikan, maupun latar belakang sosial budaya dari pihak komunikan. Sehingga, PR harus melihat metode apa yang sebaiknya dipakai supaya pesan-pesan yang disampaikan mengenai sasaran dengan tepat. Komunikator, dalam hal ini adalah PR, akan selalu selektif terhadap ragam komunikan yang dihadapinya antara lain dengan menggunakan:18 a.
Komunikasi Satu Tahap (One Step Flow Communications) Di mana komunikator dapat mengirim pesan (sesuai dengan tujuan perusahaannya) langsung kepada komunikan, sehingga akan timbul kemungkinan terjadi proses komunikasi satu arah (tidak ada respon dari komunikan) atau proses komunikasi dua arah (terdapat umpan balik dari komunikan). Dalam hal ini, PR harus dapat membedakan pesan-pesan yang disampaikan dengan cara berkomunikasi satu tahap, karena pada umumnya PR langsung bertatap muka dengan publiknya sehingga PR harus benar-benar dapat menguasai medan.
18
A. W. Widjaja, Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 89-91
27
Tabel 1.2 One Step Flow Communications PR
publik
b.
publik
publik
Komunikasi Dua Arah (Two Step Flow Communications) PR dalam menyampaikan pesannya tidak langsung kepada publik, tetapi melalui orang-orang tertentu saja, misalnya melalui para pemuka masyarakat, karena pemuka masyarakat ini lebih mengetahui sifat-sifat dari masyarakat. Tabel 1.3 Two Step Flow Communications PR
Pemuka Masyarakat
Pemuka Masyarakat
Pemuka Masyarakat
( Widjaja, 1986: 90) Publik
c.
Publik
one step
two step
Publik
Komunikasi Banyak Tahap (Multi Step Flow Communications) Ada jenis pesan yang bisa disampaikan melalui bermacam-macam cara, misalnya PR dalam memperkenalkan program yang baru diluncurkan, kegiatan produksi, maupun distribusi yang dilaksanakan oleh perusahaan
28
yang bersangkutan, dan sebagainya. Cara-cara penyampaian pesan bisa dilakukan melalui tatap muka, melalui orang kedua, ataupun pemasangan iklan serta pers release melalui media massa (media elektronik dan media cetak).
Tabel 1.4 Multi Step Flow Communications
PR
Publik
Pemuka Masyarakat
Publik
Media massa
Publik
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses, yaitu serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan PR dalam manajemen, yang salah satunya adalah mendapatkan simpati dari publiknya sehingga menimbulkan citra yang positif terhadap suatu perusahaan yang bersangkutan. Menurut Dozier & Broom, peranan PR dalam suatu organisasi dibagi ke dalam empat kategori, yaitu:19
19
Rosady Ruslan, Op.cit., hal. 24
29
a.
Penasehat Ahli (Expert Prescriber) Seorang praktisi PR yang berpengalaman dan memiliki kemampuan yang tinggi dapat membantu mananjemen organisasi mencarikan solusi dalam penyelesaian masalah hubungan dengan publiknya (public relationship). Hubungan praktisi PR dengan manajemen organisasi seperti hubungan dokter dengan pasiennya. Artinya, pihak manajemen bertindak pasif untuk menerima atau mempercayai apa yang telah disarankan atau usulan dari pakar PR tersebut dalam memecahkan dan mengatasi persoalan public relationship yang tengah dihadapi oleh organisasi yang bersangkutan.
b.
Fasilitator Komunikasi (Communication Facilitator) Dalam hal ini, praktisi PR bertindak sebagai komunikator atau mediator untuk membantu pihak manajemen organisasi dalam hal untuk mendengar apa yang diinginkan dan diharapkan oleh publiknya. Di pihak lain, dia juga dituntut mampu menjelaskan kembali keinginan, kebijakan, dan harapan organisasi kepada publiknya. Sehingga, dengan komunikasi timbal balik tersebut
dapat
tercipta
saling
mengerti,
mempercayai,
menghargai,
mendukung dan toleransi yang baik dari kedua belah pihak. c.
Fasilitator Proses Pemecahan Masalah (Problem Solving Process Facilitator) Peranan praktisi PR dalam proses pemecahan persoalan public relationship ini merupakan bagian dari tim manajemen. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pimpinan organisasi, baik sebagai penasehat (advisor) hingga mengambil tindakan eksekusi (keputusan) dalam mengatasi persoalan atau krisis yang tengah dihadapi organisasi yang bersangkutan secara rasional dan
30
profesional. Biasanya, dalam menghadapi krisis yang terjadi, maka dibentuk suatu tim posko yang dikoordinir praktisi PR dengan melibatkan berbagai departemen dan keahlian dalam satu tim khusus untuk membantu organisasi, perusahaan dan produk yang tengah menghadapi atau mengatasi persoalan krisis tersebut. d.
Teknisi Komunikasi (Communication Technician) Peranan ini menjadikan PR sebagai journalist in resident yang hanya menyediakan layanan teknisi komunikasi atau dikenal dengan method of communication in organization. Sistem komunikasi dalam organisasi tergantung dari masing-masing bagian atau tingkatan, yaitu secara teknis komunikasi, baik arus media komunikasi yang dipergunakan dari tingkatan pimpinan dengan bawahan yang berbeda dari bawahan ke tingkat atasan. Selain itu, terdapat beberapa kegiatan dan sasaran PR sebagai pendukung
fungsi manajemen perusahaan, yaitu:20 a.
Membangun identitas dan citra perusahaan (building corporate identity and image) 1) Menciptakan identitas dan citra perusahaan yang positif 2) Mendukung kegiatan komunikasi timbal balik dua arah dengan berbagai pihak
b.
Menghadapi krisis (facing crysis) 1) Menangani keluhan (complaint) dan menghadapi krisis yang terjadi dengan membentuk manajemen krisis
20
Ibid, hal 25
31
2) Memperbaiki lost of image dan damage (PR recovery image) c.
Mempromosikan aspek kemasyarakatan (promotion public causes) 1) Mempromosikan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik 2) Mendukung kegiatan kampanye sosial anti merokok, menghadapi obatobat terlarang, dan sebagainya Public Relations merupakan
fungsi manajemen
yang membantu
menciptakan dan saling memelihara alur komunikasi, pengertian, dukungan, serta kerjasama suatu organisasi/perusahaan dengan publiknya dan ikut terlibat dalam menangani masalah-masalah atau isu-isu manajemen. PR membantu manajemen dalam penyampaian informasi dan tanggap terhadap opini publik. PR secara efektif membantu manjemen memantau berbagai perubahan.21 PR sebagai alat manajemen modern, maka secara struktural merupakan bagian dari suatu perusahaan, artinya PR bukanlah merupakan suatu fungsi yang terpisah dari fungsi perusahaan tersebut. Jadi, fungsi PR adalah bersifat melekat pada manajemen perusahaan, yaitu “bagaimana” PR dapat menyelenggarakan komunikasi dua arah timbal balik antara perusahaan yang diwakilinya dengan publiknya. Artinya, peranan turut menentukan sukses atau tidaknya visi, misi dan tujuan bersama dari suatu perusahaan.
21
Soleh Soemirat, Elvinaro Ardianto, Op.cit, hal 13
32
3.
Komunikasi Persuasif Komunikasi merupakan proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung maupun tak langsung, serta mengandung suatu tujuan, untuk memberitahu atau mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion) atau perilaku (behaviour).22 Sedangkan asal kata persuasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Persuasion” yang berinduk kepada kata kerja “to persuade” artinya membujuk, merayu dan menghimbau. Kegiatan untuk membujuk, merayu dan menghimbau atau sejenisnya adalah merangsang seseorang untuk melakukan sesuatu dengan spontan, dengan senang hati dengan sukarela tanpa merasa dipaksa.23 Menurut Ernest G dan Nancy C. Borman, memberikan pengertian persuasif sebagai berikut:24 1. Persuasif merupakan komunikasi untuk mempengaruhi pilihan seseorang. 2. Persuasif adalah komunikasi yang dimaksudkan untuk mendapat respons dari penerima, untuk mengubah sikap atau keyakinan pendengar, dimana sumber pesan, serta orang yang memberikan tanggapan ataupun pidato yang bersifat persuasif, mempunyai tujuan khusus dan menampilkan pesan yang bersifat membujuk untuk mencapai tujuan tersebut. 3. Persuasif tidak sama dengan paksaan, dimana paksaan akan melenyapkan pilihan sedangkan bujukan akan mempengaruhi pilihan.
22
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, CV. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal 5 Ibid, hal 21 24 Ernest & Nancy Borman, Retorika : Suatu Pendekatan Terpadu, Erlangga, Jakarta, 1991, hal 210 23
33
Kata persuasif bilamana ditelusuri lebih lanjut, berasal dari bahasa Latin “Persuadere” yang berarti menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu dengan senang hati. Persuasif merupakan salah satu metode komunikasi sosial dan dalam penerapannya menggunakan teknik/ cara tertentu. Bahwa pada dasarnya persuasif, menunjukkan pada metode komunikasi yang menggerakkan serta melakukan sesuatu dengan rasa senang, rasa sukarela tanpa mempunyai perasaan disuruh/dipaksa oleh orang lain. Caranya adalah dengan ajakan, himbauan, rayuan dan meminta. Beberapa metode persuasi adalah:25 1. Asosiasi (association) artinya teknik ini menyangkutkan kepada sesuatu peristiwa atau seseorang yang tenar, sedang populer yang ramai dibicarakan secara positif. 2. Menumbuhkan kekhawatiran yang merangsang dengan kehendak sendiri melakukan sesuatu pemecahan (fear arousing). Artinya teknik ini bukanlah menimbulkan rasa takut, tegang atau sejenisnya, tetapi pada dasarnya teknik ini bersifat sugesti yang menimbulkan kepada si penerima sugesti, tanpa dipaksa melakukan sesuatu. 3. Mengubah pendapat dengan harapan, bahwa dengan perubahan itu akan mendapat manfaat (pay off idea). Artinya bahwa manusia pada dasarnya karena pendapat ataupun pengalamannya tidak jarang melakukan sesuai berdasarkan frame of reference dan frame experience, tanpa memikirkan
25
R.A Santoso Sastropoetro, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988, hal 246
34
akibat atau mencari usaha lain yang lebih baik. Sehingga, orang lain dapat memberikan saran atau usul yang kalau diterimanya akan memberikan suatu manfaat padanya. 4. Menimbuhkan keinginan, kehendak untuk memilih atau melakukan sesuatu yang diistilahkan sebagai icing device and red herring atau disebut sebagai iming-iming. 5. Menumbuhkan partisipasi serta peran serta. Pada dasarnya beberapa teknik diatas dijelaskan mengenai cara ataupun metode membujuk/mempersuasi orang lain, namun didalam komunikasi persuasi diharapkan adanya suatu kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk mengubah, serta
mempunyai
efek
terhadap
individu.
Menurut
Carl
I.
Hovland,
mengemukakan sifat dari komunikasi persuasif sebagai berikut:26 Efek utama dari komunikasi persuasif adalah menstimulasikan individu untuk berpikir sekaligus mengenai dua hal, yaitu pendapat asalnya dan pendapat baru yang direkomendasikan melalui komunikasi yang berkenan. Demi berhasilnya komunikasi persuasif perlu dilaksanakan secara sistematis, dengan menggunakan formula yang biasa disebut AIDDA yang dijadikan landasan pelaksanaan. Formula AIDDA merupakan kesatuan singkatan dari tahap-tahap komunikasi persuasifnya sebagai berikut:27
26 27
Robert S. Fieldman, Social Psychology, Prentice Hall, New Jersey, 1998, hal 393 Onong Uchjana Effendy, Op.cit, hal 25
35
A – Attention
– Perhatian
I – Interest
– Minat
D – Desire
– Hasrat
D – Decision
– Keputusan
A – Action
– Kegiatan
Formula tersebut seringpula disebut A-A Procedure sebagai singkatan dari Attention – Action Procedure, yang berarti agar komunikan dalam melakukan kegiatan dimulai dengan menumbuhkan perhatian. Berdasarkan formula AIDDA, komunikasi persuasif dimulai dengan upaya perhatian. Upaya ini tidak hanya dilakukan dalam gaya bicara dengan kata-kata yang baik tetapi juga dalam hal penampilan (appearance) ketika menghadapi khalayak. Apabila perhatian sudah berhasil dibangkitkan, dilanjutkan dengan upaya menumbuhkan minat. Upaya ini bisa berhasil dengan mengutarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan komunikan. Karena itu, komunikator harus mengenal siap komunikan yang dihadapinya “know your audience”. Tahap berikutnya adalah memunculkan hasrat pada komunikan untuk melakukan ajakan, bujukan, atau rayuan komunikator, sehingga pada tahap berikutnya komunikan mengambil keputusan untuk melakukan suatu kegiatan sebagaimana yang diharapkan dari komunikator.
36
4.
Community Relations Salah satu publik yang dihadapi public relations adalah komunitas.
Komunitas merupakan kelompok sosial yang padu, dimana individu-individu dipusatkan oleh nilai-nilai, kebiasaan dan kepentingan bersama dimana mereka mempunyai status dan peran tertentu serta mempunyai perasaan solidaritas dengan kelompok, rasa ikut memiliki dan ikut menjadi anggota. Sebagai satu kelompok, mereka didukung dan mendukung kepentingan ekonomi yang sama atau komplementer.28 Menurut Rhenald Kasali, komunitas adalah masyarakat yang bermukim atau mencari nafkah di sekitar pabrik, kantor, gudang, tempat pelatihan, tempat peristirahatan atau sekitar asset perusahaan lain.29 Yang terpenting disini adalah bahwa komunitas merupakan kelompok kesatuan yang tinggal di lokasi, baik pabrik maupun assetnya. Kegiatan untuk membina hubungan dengan komunitas dalam PR dikenal dengan istilah community relations. Community relations pada dasarnya merupakan kegiatan komunikasi perusahaan dalam menjalankan hubungan dengan komunitas lokal. Hubungan dengan komunitas merupakan usaha titip diri kepada lingkungan, kepada khalayak penduduk sekitar, agar tidak mengganggu dan dapat mempertahankan citra perusahaan di mata publik.30 Menurut Wilbur J. Bill Peak dalam karyanya, “Community Relations” yang dimuat dalam Lesly Public Relations Handbook, mendefinisikan hubungan 28
Onong Uchjana Effendy, Human Relations & Public Relations, Op.cit, hal. 149 Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations, Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 127 30 Frazier Moore, Hubungan Masyarakat: Prinsip, Kasus dan Masalah, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988, hal. 153 29
37
dengan komunitas adalah “Hubungan dengan komunitas, sebagai fungsi hubungan masyarakat merupakan partisipasi suatu lembaga yang berencana, aktif, dan sinambung dengan dan didalam suatu komunitas untuk memelihara dan membina lingkungannya demi keuntungan kedua belah pihak, lembaga dan komunitas.”31 Dari definisi Peak itu menunjukkan bahwa hubungan dengan komunitas berorientasi pada kegiatan yang dilakukan oleh lembaga, dalam hal ini Kahumas sebagai pelaksanaannya yang bersifat partisipatif. Dengan partisipasi itu, maka keuntungan tidak hanya pada organisasi atau lembaga saja, tetapi juga pada lingkungan di sekitarnya. Dalam pelaksanaan PR, komunitas dipandang sebagai suatu kesatuan dengan perusahaan yang memberikan manfaat timbal balik. Suatu lembaga tidak akan dapat berfungsi efektif dan berhasil tanpa dukungan dari komunitas. Dukungan komunitas mencakup kebutuhan bagi kegiatan konstruktif dalam kepentingan umum yang meliputi hubungan masyarakat yang berhasil. Komunitas mempunyai peranan penting bagi perusahaan karena mereka dapat memberikan kontribusi positif, misalnya jasa penyewaan rumah bagi karyawan, penyediaan bahan baku, penyediaan tenaga kerja, dan warung-warung makan dengan harga terjangkau. Selain itu masyarakat juga merupakan pengguna produk dan jasa perusahaan yaitu sebagai konsumen. Di lain pihak perusahaan diharapkan dapat memenuhi harapan-harapan komunitasnya, yaitu menciptakan lapangan kerja, fasilitas pendidikan yang memadai, adanya perhatian kepada
31
Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, hal. 23
38
masyarakat kesejahteraan komersial, pertumbuhan penduduk, perumahan dan kebutuhan yang memadai, kesempatan berkreasi dan sebagainya. Kehadiran suatu perusahaan, terutama yang sudah dianggap besar dengan sumber daya manusia yang memadai dituntut oleh komunitas untuk dapat memenuhi harapan-harapan tersebut. Kegiatan tersebut merupakan misi ekonomi sekaligus misi sosial terhadap komunitas. Perusahaan diharapkan dan diwajibkan untuk membantu, baik dalam hal fisik maupun materi demi kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Komunitas yang terdapat di sekitar lembaga terdiri atas kelompokkelompok, dan kelompok-kelompok yang berjenis-jenis ini masing-masing terdiri atas individu-individu yang bermacam-macam pula dalam kepentingannya karena masing-masing berbeda jenis kelamin, usia status sosial ekonomi, agama, pendidikan, kebudayaan dan lain-lain. Sedangkan media komunikasi yang digunakan dalam community relations adalah:32 a. Iklan surat kabar b. Media audio visual (radio dan TV) c. Publikasi perusahaan d. Wisata pabrik e. Pertemuan dengan para pemuka pendapat f. Kunjungan para pengusaha ke lembaga-lembaga komunikasi g. Pameran
32
Op. Cit, hal. 67
39
Menurut penelitian, teknik berkomunikasi akan lebih efektif apabila secara langsung berhadapan (face to face). Pesan yang disampaikan akan lebih mengena bila dikemukakan secara eksplisit, dan dengan mengulang-ulang (repetif) argumentasi yang mendukung sikap yang dituju. Bila perusahaan sudah mendapatkan simpati dari publiknya, hubungan yang terjalin akan lebih harmonis dengan komunitasnya sehingga dapat mengubah persepsi dan pengetahuan masyarakat setempat. Kesan yang dulunya negatif akan menjadi positif. Sehingga lambat laun akan timbul kepercayaan mereka akan perusahaan dan mempunyai citra positif terhadap perusahaan.
5.
Citra Citra perusahaan adalah citra suatu organisasi secara keseluruhan, bukan
hanya citra atas produk dan pelayanan saja.33 Citra perusahaan terbentuk oleh banyak hal. Hal-hal positif yang mampu meningkatkan citra suatu perusahaan antara lain: perusahaan yang gemilang program kerja yang berkesinambungan, keberhasilan event yang pernah diselenggarakan, memiliki hubungan baik dengan publiknya. Sedangkan Bill Canton mengemukakan bahwa citra adalah kesan perasaan, gambaran dari publik terhadap perusahaan; kesan yang sengaja diciptakan
dari
suatu
objek, orang atau
organisasi.34
Rhenald
Kasali
mengungkapkan citra adalah kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu
33 34
M. Linggar Anggoro, Teori dan Profesi Kehumasan, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal. 62 Soleh Soemirat, Elvinaro Ardianto, Op.cit., hal. 112
40
kenyataan. Pemahaman yang berasal dari suatu informasi yang tidak lengkap akan menghasilkan citra yang tidak sempurna.35 Citra dengan sengaja perlu diciptakan agar bernilai positif karena merupakan salah satu aset terpenting dari suatu perusahaan (favourable opinion). Tugas
perusahaan
dalam
rangka
membentuk
citranya
adalah
dengan
mengidentifikasikan citra seperti apa yang ingin dibentuk di mata publiknya. Proses pembentukan citra berawal dari persepsi. Akar dari opini sebenarmya tak lain adalah persepsi. Opini muncul ketika orang tersebut mempunyai persepsi.36 Opini publik adalah suatu ungkapan keyakinan yang menjadi pegangan di antara para anggota sebuah kelompok atau publik, mengenai suatu masalah kontroversial yang menyangkut kepentingan umum.37 Untuk mengetahui seperti apa opini yang terbentuk di masyarakat memang perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut dan berawal dengan mempertanyakan opini publik yang berkembang, salah satu caranya dengan mengadakan polling opini publik, dengan polling tersebut dapat menghapus pendapat ekstrim tentang kebijakan dari instansi, sesuai yang diungkapkan Iginio Gagliardone (London School of Economics) dan Nicole A. Stremlau (Stanhope Centre for Communications Policy Research, UK) “The public opinion polls were also used in an effort to “eliminate extreme opinions, map out common ground and areas of compromise and test comprehensive agreements as packages” (Irwin, 2001, p. 67).” 38 35
Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 28 36 Ibid, hal. 23 37 Frazier Moore, Humas Membangun Citra Dengan Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal. 54 38
Public Opinion Research in a Conflict Zone:Grassroots Diplomacy in Darfur, International
41
Opini dapat dinyatakan secara aktif maupun secara pasif. Opini dapat juga dinyatakan secara verbal, terbuka dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara jelas, ataupun melalui pilihan kata yang halus dan tidak secara langsung dapat diartikan. Opini dapat pula dinyatakan melalui perilaku, bahasa tubuh, raut muka, simbol-simbol tertulis, pakaian yang dikenakan dan oleh tanda-tanda lain yang tak terbilang jumlahnya melalui referensi, nilai-nilai, pandangan, sikap dan kesetiaan.39 Citra menentukan sosok institusional dan citra perusahaan dalam pikiran publik dengan mengetahui secara pasti sikap masyarakat terhadap sebuah perusahaan. Berusaha untuk mengetahui bagaimana sebuah perusahaan dikenal dengan baik reputasinya dan apa yang publik pikirkan tentang produk pelayanan, harga, reklame, personalia dan praktiknya. Tugas perusahaan dalam rangka membentuk citranya adalah mengidentifikasikan citra seperti apa yang ingin dibentuk di mata masyarakat. Citra sendiri terdiri atas berbagai macam atau jenisnya. Dalam bukunya “Public Relations Edisi Keempat”, Frank Jefkins mengemukakan pendapatnya mengenai jenis citra. Menurutnya citra dibagi atas lima jenis, yakni: 1) Citra Bayangan Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi (biasanya adalah pemimpin) mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya. Citra bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam
Journal of Communication 2, 2008 39 Rhenald Kasali,Op.cit, hal 19
42
mengenai pandangan luar organisasinya. Citra seringkali tidak tepat, sebagai akibat tidak memadainya informasi, pengetahuan, maupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam organisasi itu mengenai pandangan atau pendapat pihak-pihak luar. Citra ini cenderung positif, bahkan terlalu positif. Memandang diri sendiri serba hebat. 2) Citra yang berlaku (current image) Citra ini merupakan pandangan yang melekat pada pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Citra yang berlaku ini jarang sesuai dengan kenyataan karena semata-mata terbentuk dari pengalaman atau pengetahuan orang-orang luar yang bersangkutan biasanya tidak memadai. Citra ini sepenuhnya ditentukan oleh banyak sedikitnya informasi yang dimiliki oleh mereka yang mempercayainya. Citra ini cenderung positif. 3) Citra yang diharapkan (wish image) Citra ini diinginkan oleh pihak manajemen. Citra yang diharapkan biasanya lebih baik atau lebih menyenangkan daripada citra yang ada, walaupun dalam keadaan tertentu, citra yang terlalu baik terkadang juga merepotkan. Citra yang diharapkan biasanya dirumuskan dan diperjuangkan untuk menyambut sesuatu yang relatif baru, yakni ketika khalayak belum memiliki informasi yang memadai mengenai hal tersebut 4) Citra perusahaan (coorporate image) Citra perusahaan (ada pula yang menyebutnya lembaga) adalah citra suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk dan pelayanannya. Citra perusahaan ini terbentuk oleh banyak hal, antara lain:
43
riwayat perusahaan yang gemilang, keberhasilan-keberhasilan yang diraih, hubungan masyarakat yang baik, reputasi sebagai pencipta lapangan kerja dalam jumlah yang besar, kesediaan turut memikul tanggung jawab sosial dan sebagainya. 5) Citra majemuk (multiple image) Setiap perusahaan atau lembaga pasti memiliki banyak unit dan anggota. Masing-masing unit dan individu memiliki perangai dan perilaku tersendiri, sehingga secara sengaja atau tidak, sadar atau tidak mereka pasti memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan citra perusahaan atau lembaga secara keseluruhan. Untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan, variasi itu harus ditekan seminimal mungkin, dan citra perusahaan atau lembaga itu secara keseluruhan harus ditegakkan. Caranya antara lain mewajibkan semua karyawan mengenakan pakaian seragam, simbol-simbol tertentu yang sama, menyamakan jenis dan warna alat transportasi, dan sebagainya. Citra perusahaan merupakan kesatuan dari aspek-aspek: a. Kesan, yaitu pembentukan tanggapan dalam diri seseorang terhadap suatu objek termasuk di dalamnya pemahaman tentang aktivitas-aktivitas yang dilakukan objek. b. Perasaan, yaitu perasaan suka atau tidak suka terhadap suatu objek. c. Pengetahuan, yaitu menggambarkan perubahan yang terjadi dalam diri seseorang dari tidak tahu menjadi tahu yang diperoleh melalui suatu
44
pengalaman. Pengalaman ini menjadi suatu kebenaran yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. d. Kepercayaan, yaitu gagasan deskriptif yang dianut oleh seseorang tentang sesuatu, di mana kepercayaan ini akan membentuk citra dalam hal ini perusahaan. Solomon mengemukakan bahwa efek kognitif dari suatu komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang.40 Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai dengan pengertian sistem komunikasi dijelaskan oleh John S. Nimpoeno sebagai berikut: Tabel 1.5 Model pembentukan citra pengalaman mengenai stimulus
Kognisi
Stimulus
Persepsi
Sikap
Rangsang
Respon Perilaku
Motivasi
Sumber: Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto, 2003, hal. 115
40 Soleh Soemirat dan Ardianto Elvinaro, Op.cit., hal.114.
45
Keterangan: Input
: stimulus rangsang
Kognisi
: suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus
Persepsi
: hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan yang dikaitkan dengan proses pemaknaan.
Motivasi
: keadaan yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan tertentu agar mencapai suatu tujuan.
Sikap
: kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. PR digambarkan sebagai input-output (input adalah stimulus yang
diberikan, sedangkan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu), di mana proses intern dalam model ini adalah pembentukan citra. Model pembentukan citra tersebut menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Persepsi, kognisi, motivasi, dan sikap merupakan komponen-komponen respresentation (citra) dari stimulus. Stimulus yang diberikan dapat diterima maupun ditolak. PR adalah salah satu metode komunikasi untuk menciptakan citra positif dari mitra perusahaan atau organisasi atas dasar menghormati kepentingan bersama. Citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas. Citra adalah tujuan utama sekaligus merupakan reputasi dan prestasi yang hendak dicapai bagi dunia PR.41 Setiap perusahaan atau organisasi mempunyai citra sebanyak jumlah orang yang 41
Rosady Ruslan, Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi: Konsep dan Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal 70
46
memandangnya. Ada banyak citra tentang suatu perusahaan atau organisasi, misalnya tepat dalam pengiriman produknya kepada konsumen, bervariasi dalam produknya, inovatif, sangat memperhatikan kesejahteraan karyawannya, dan lainlain. Pada akhirnya, dapat diperoleh gambaran bahwa usaha peningkatan citra dalam suatu perusahaan adalah keharusan yang harus dilakukan. Citra yang baik, nantinya akan mempengaruhi segala hal, baik di dalam maupun di luar perusahaan itu sendiri.
6.
Evaluasi Program Program adalah sederetan kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.42 Evaluasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas pencapain tujuan, hasil atau dampak suatu kegiatan atau program dan juga mengenai proses pelaksanaan suatu kebijakan yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu.43 Designing programs or communication campaigns to affect behaviors requiresfirst being able to understand why poople behave the way they do. Interventionsare more effective when they are based on research that tells us what factors influencea person’s decision to perform a specific behavior, or the ways in which an existing behavior can be channeled toward more desirable outcomes. For tunately, decades of research have taught us much about human behavior. Behavioral change theorists now agree on eight factors known to influence behavior: 1. Intention 2. Environmental constraints 3. Skills 4. Attitudes 42
Arikunto Suharsimi, Penilaian Program Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 11 H. B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002, hal. 113 43
47
5. 6. 7. 8.
Norms Self-standards Emotion Self efficacy44 Evaluasi memberikan kontribusi yang besar bagi sebuah program. Wujud
hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk mengambil keputusan (decision maker). Evaluasi dapat dipakai untuk mengetahui seberapa luas program itu berhasil, sehingga dapat dibuat keputusan-keputusan seperti: 1. Menghentikan program karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan. 2. Merevisi program karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan. 3. Melanjutkan program karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat. 4. Menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat-tempat lain atau mengulangi program di lain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik, bermanfaat dan perlu dilaksanakan lagi di lain waktu serta di tempat lain.45 Evaluasi program dapat dibedakan ke dalam berbagai jenis tergantung dari tujuan evaluasi, jika berdasarkan tahap-tahap penyelenggaraan suatu program, evaluasi dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
44 45
Anne Pollock, Using Behavioral Change Theory to Communicate Effectiverly, 2009 Arikunto Suharsimi, Op.cit, hal. 8
48
a. Pre-programme Evaluation (evaluasi yang diselenggarakan sebelum program mulai dilaksanakan) b. On-going Programme Evaluation (evaluasi yang diselenggarakan pada saat program berlangsung) c. Ex-post Programme Evaluation (evaluasi yang dilakukan setelah program berakhir) Penelitian tentang efektifitas program Community Policing ini tergolong dalam On-going Programme Evaluation, sebab program Community Policing sampai sekarang masih berlangsung. Dalam penelitian evaluasi ini, peneliti menggunakan cara pendekatan model CIPP (Context, Input, Process, Product). Pendekatan CIPP ini pada dasarnya merupakan pendekatan yang digunakan dalam pengembangan program yang secara keseluruhann memperhitungkan keterkaitan antar faktornya (CIPP). Pendekatan model CIPP dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebeam dan kawan-kawannya yang tergabung dalam kelompok ilmuwan Phi Delta Kapha (1967) di Ohio State University Amerika Serikat, dengan empat sasaran penilaian, yaitu: 1. Penilaian tentang Context (konteks) Menurut Gilbert Sax, penilaian konteks merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum terpenuhi, populasi dan sample dari individu yang dilayani dan tujuan program. Atau bisa dikatakan penilaian konteks adalah penilaian
49
terhadap kebutuhan, tujuan pemenuhan kebutuhan dan karakteristik individu yang menanganinya. Penilaian konteks dilakukan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: a. Kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi oleh kegiatan program? b. Tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan? c. Tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan? d. Tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat? e. Tujuan manakah yang paling mudah dicapai? 2. Penilaian tentang Input (masukan) Meliputi pertimbangan tentang sumber daya dan strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan umum dan tujuan khusus suatu program. Informasi-informasi yang terkumpul selama tahap penilaian, seharusnya digunakan oleh pengambil keputusan untuk menentukan sumber dan strategi di dalam keterbatasan dan hambatan yang ada. Penilaian masukan digunakan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: a. Apakah strategi yang digunakan oleh program sudah sesuai dengan pencapaian tujuan?
50
b. Apakah strategi yang diambil merupakan strategi resmi? c. Strategi manakah yang sudah ada sebelumnya dan sudah cocokkah untuk pencapaian tujuan program kampanye sebelumnya? d. Prosedur dan jadwal khusus mana yang digunakan untuk melaksanakan strategi tersebut? e. Apa ciri khusus dari kegiatan yang dilaksanakan di dalam program dan apa akibat yang ditimbulkannya? 3. Penilaian tentang Process (proses) Meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktek. Dalam penilaian proses diperlukan catatan tentang kejadian-kejadian yang muncul selama program berlangsung. Catatan tersebut digunakan untuk menentukan kelemahan dan kerkuatan pendukung dan penghambat program jika dikaitkan dengan keluaran
yang
ditemukan.
Tujuannya
adalah
membantu
penanggungjawaban pemantauan agar lebih mudah mengetahui kelemahan-kelemahan program dari berbagai aspek untuk kemudian dapat dengan mudah melakukan remidi. Penilaian proses digunakan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: a. Apakah kegiatan program sudah sesuai dengan jadwal yang ditentukan? b. Perlukah staf pelaksana diberi orientasi mengenai mekanisme kegiatan program?
51
c. Apakah fasilitas dan bahan penunjang lain telah digunakan secara tepat? d. Hambatan apakah yang dijumpai selama pelaksanaan program berlangsung dan perlu diatasi? 4. Penilaian tentang Product (hasil) Penilaian yang dilakukan oleh penilai di dalam mengukur keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian ini berfungsi membantu penanggung jawab program dalam mengambil keputusan, meneruskan, memodifikasi atau menghentikan program. Penilaian hasil memerlukan perbandingan antara hasil program dengan tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian hasil digunakan untuk menjawab pertanyaan: a. Tujuan mana yang sudah dicapai ? b. Pernyataan seperti apa yang dapat dibuat yang menunjukkan hubungan antara spesifikasi prosedur dengan hasil nyata dari kegiatan program? c. Kebutuhan individu manakah yang telah terpenuhi sebagai akibat dari kegiatan program? d. Hasil jangka panjang apakah yang nampak sebagai akibat dari kegiatan program? 46
46
Ibid, hal. 39
52
Menurut Arikunto, ada tiga dimensi dalam penelitian evaluasi dengan model CIPP, yaitu: a. Tipe evaluasi Konteks, input, proses, dan hasil. b. Manfaat Evaluasi Digunakan untuk pengambilan keputusan (decision making) dan bukti pertanggungjawaban (accountability) c. Tahap evaluasi ·
Menggambarkan (delineating) Berkaitan dengan pertanyaan “pertanyaan seperti apa yang akan diajukan?”
·
Memperoleh (obtaining) Berkaitan dengan pertanyaan “bagaimanakah cara memperoleh informasi yang diperlukan?”
·
Menyediakan (providing) Berkaitan dengan pertanyaan “bagaimanakah informasi yang diperoleh akan dilaporkan?’
Alasan pemilihan model evaluasi CIPP, karena secara keseluruhan model CIPP memperhatikan keterkaitan secara menyeluruh dari konteksnya yang meliputi informasi dari beberapa faktor mengenai kondisi dan karakteristik konteks sebelum dilaksanakan. Masukan yang diberikan sebagai persiapan pelaksanaan program supaya berjalan lancar. Proses bagaiamana program dilaksanakan dari awalnya dengan pendekatan apakah sesuai konteks dan
53
merupakan proses yang tepat untuk mencapai tujuan program. Dan akhirnya bagaimana kualitas hasil yang telah dicapai selama pelaksanaan program yang dievaluasi tersebut. Dari kumpulan informasi tersebut, peneliti bisa menganalisis dengan melihat kesesuaian antar faktornya, sehingga bisa diketahui kelemahan dan kekuatan program yang sedang diteliti. Selanjutnya hasil tersebut dijadikan dasar untuk menyusun secara operasional untuk memperbaiki program. Stufflebeam mencoba menghubungkan evaluasi dengan pengambilan keputusan dalam penelitian evaluasi model CIPP. Pengambilan keputusan adalah konseptualisasi dari proses keputusan seperti kesadaran, pemilihan dan tindakan. Stufflebeam mencoba menghubungkan evaluasi dengan pengambilan keputusan dalam penelitian evaluasi CIPP. Pengambilan keputusan adalah konseptualisasi dari proses keputusan seperti kesadaran, pemilihan dan tindakan. Dalam proses tersebut peran evaluator adalah: a. Memantau
program
mengidentifikasikan
kebutuhan
dan
kesempatan. b. Mengidentifikasikan alternatif dari konsepsi persoalan yang dipecahkan dalam memenuhi kebutuhan akan menggunakan kesempatan. c. Mengukur alternatif perumusan masalah dari berbagai posisi nilai d. Mengukur atau mempertimbangkan situasi yang membutuhkan perubahan dan apakah tersedia informasi yang cukup sehingga dimungkinkan terjadinya perubahan kegiatan.
54
F. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini, digambarkan berikut: Tabel 1.6 Alur Efektifitas Pelaksanaan Program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali INPUT
PROSES
PRODUK
KONTEK DAMPAK
KE DALAM
POSITIF
KE LUAR
NEGATIF
POSITIF
NEGATIF
EFEKTIF
Dari gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Konteks ·
Latar belakang program Community Policing
·
Tujuan program Community Policing
·
Sasaran program Community Policing
·
Perencanaan program Community Policing
·
Kesesuaian program Community Policing dengan Tugas Pokok Binamitra Polres Boyolali
55
b. Input ·
Pelaksana/SDM program Community Policing
·
Pembagian tugas dan persiapan
·
Sarana dan prasarana program Community Policing
·
Strategi program Community Policing
c. Proses ·
Bentuk-bentuk kegiatan program Community Policing
·
Fokus kegiatan program Community Policing
·
Kelancaran program Community Policing
·
Continuity dan consistency program Community Policing
·
Pendukung kelancaran program Community Policing
·
Hambatan program Community Policing
d. Produk ·
Pencapaian tujuan program Community Policing
·
Parameter keberhasilan program Community Policing
e. Dampak ke dalam Dampak yang ditimbulkan dari program Community Policing untuk Binamitra Polres Boyolali. Dampak ke dalam dinilai dari sisi positif internal program Community Policing terhadap Binamitra Polres Boyolali secara khusus dan citra Polri secara umum. f. Dampak ke luar Dampak yang ditimbulkan dari program Community Policing untuk masyarakat.
56
G. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian evaluatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas pencapaian tujuan, hasil, atau dampak suatu kegiatan dan juga mengenai proses pelaksanaan suatu kebijakan yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, sehingga akan diketahui efektivitasnya.47 Penelitian tentang program Community Policing termasuk dalam formative evaluation research, yaitu evaluasi yang dilakukan masih dalam masa pelaksanaan program, sebagai bagian kegiatan untuk menemukan kekuatan dan kelemahan pelaksanaan sehingga bertujuan untuk memperbaiki serta mengembangkan pelaksanaannya lebih lanjut.48 Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sebagai penelitian deskriptif, penelitian ini melukiskan, memaparkan, menuliskan dan melaporkan suatu keadaan, suatu objek penelitian atau suatu peristiwa. Dengan menggunakan penelitian ini, maka peneliti dapat secara rinci mengumpulkan informasi aktual, dan menggambarkan secara objektif situasi yang ada.
47
48
H.B. Sutopo, Op.cit, hal. 113 ibid, hal. 114
57
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Polres Boyolali, terutama pada bagian Humas/ Binamitra. Alasannya adalah karena sebagai lembaga tertinggi Kepolisian tingkat Kabupaten, Polres mempunyai tugas mengatur kinerja semua polisi di Kabupaten Boyolali, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai kegiatan public relations khususnya dalam lingkup lembaga pemerintah yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat terutama melalui kegiatan pencitraan yang dijalankan, yaitu melalui program Community Policing 3. Populasi/ Sampel Populasi merupakan keseluruhan dari objek penelitian yaitu seluruh staf yang bekerja di Polres Boyolali. Dari keseluruhan populasi tersebut kemudian ditarik bagian yang merupakan pengkhususan objek yang diteliti yang disebut sebagai sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive
sampling,
yaitu
tehnik
pengambilan
sampel
dengan
kecenderungan peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan permasalahan secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber yang mantap.49
49
ibid, hal. 55
58
4. Sumber Data a.
Data primer Data Primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti, sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia sebagai narasumber. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu kecenderungan peneliti memilih informasinya berdasarkan anggapan bahwa informan tersebut dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang kuat. Data yang diperoleh langsung dari hasil observasi dan wawancara. Informan dalam penelitian program Community Policing:
b.
·
Kepala Sub Bagian Bimmas, Binamitra Polres Boyolali
·
Bagian Administrasi Bimmas, Binamitra Polres Boyolali
·
Sasaran program Community Policing
Data sekunder Data sekunder ini digunakan untuk mendukung dan melengkapi data primer dan diperoleh dari literatur, arsip, jurnal yang relevan, dan data-data yang mendukung data primer.
5. Teknik Pengumpulan Data a.
Wawancara Pada penelitian ini, data dikumpulkan dengan melakukan wawancara, jenis wawancara yang digunakan adalah in depth interview, dimana wawancara
dilakukan
dengan
mengadakan
pertemuan
dan
59
perbincangan secara mendalam dengan pihak yang terkait dengan penelitian ini. Hal ini dimaksudkan untuk mengumpulkan dan memperoleh data yang jelas, terperinci serta mendetail mengenai kegiatan Community Policing pada Binamitra Polres Boyolali. Pertanyaan yang diajukan bersifat “open ended”, tidak formal berstruktur dan mengarah pada kedalaman informasi. Dalam penelitian program Community Policing, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan yang peneliti anggap mampu memberikan informasi yang mantap. Berikut nama-nama informan dalam penelitian program Community Policing: ·
Ipda. Joko Lukito, Kepala Sub Bagian Bimmas, Binamitra Polres Boyolali. Wawancara tatap muka dilakukan sekali di Polres Boyolali pada 19 Januari 2010.
·
Aiptu. Dalyamto, Ba Min Bimmas, Binamitra Polres Boyolali. Wawancara tatap muka dilakukan sekali di Polres Boyolali pada 19 Januari 2010.
·
Sejumlah sasaran program Community Policing, yaitu Oktaviani Puspitasari, Setro Margono, Suyamto, Agus Setiawan dan Erna Dwi Agustin. Wawancara tatap muka, masing-masing satu kali.
Peneliti memiliki batasan pertanyaan untuk setiap masing-masing narasumber. Interview Guide digunakan untuk memberikan batasan kepada peneliti agar pertanyaan yang diajukan tidak melebar juga supaya pertanyaan yang diajukan menjadi lebih terarah. Narasumber
60
terbagi menjadi dua kategori, yaitu pelaksana program dan sasaran program. Semua informan mendapatkan pertanyaan yang sama namun sesuai dengan kemampuan atau jabatan mereka dan pengetahuan mereka serta kebutuhan data berupa kontek, input, proses, produk dan dampak program Community Policing. Interview Guide yang digunakan juga menyesuaikan dengan informan penelitian namun tetap berpegang pada kebutuhan data. Kegiatan wawancara dengan informan pelaksana program serta peserta program Community Policing dilakukan formal namun menggunakan bahasa tidak kaku, menggunakan pemilihan kata yang lebih sederhana dan mudah dipahami namun jawaban-jawaban yang didapat tetap mampu memenuhi kebutuhan data serta kegiatan wawancara dilakukan dengan santai dan informan merasa nyaman untuk memberikan jawaban-jawaban yang menjadi kebutuhan data bagi peneliti. b.
Observasi Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat dan benda serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.50
50
ibid, hal. 64
61
Dalam penelitian program Community Policing, observasi yang dilakukan oleh peneliti yaitu observasi berperan pasif dimana peneliti hanya mendatangi lokasi, tetapi sama sekali tidak berperan sebagai apapun selain sebagai pengamat pasif, namun hadir dalam konteksnya. c.
Dokumentasi Pengumpulan
data
dan
teori
dalam
penelitian
ini,
peneliti
memanfaatkan berbagai macam data dan teori yang didapat melalui buku-buku, majalah dan sumber informasi non manusia lainnya yang menunjang penelitian, seperti dokumen, arsip, laporan, peraturan, dan literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan penelitian. Teknik dokumentasi digunakan dengan maksud melengkapi data yang tidak diperoleh dari kegiatan wawancara. 6. Validitas Data Validitas (validity) data dalam penelitian komunikasi kualitatif lebih menunjuk pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti.51 Data yang berhasil dikumpulkan dan dicatat harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Penulis harus bisa menentukan cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya. Validitas merupakan jaminan kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian.52
51
52
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2007, hal. 97 H.B. Sutopo, Op.cit, hal. 77
62
Validitas data dalam penelitian ini menggunakan tehnik trianggulasi. Trianggulasi
merupakan
tehnik
yang didasari
pada pola pikir
fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Artinya untuk menarik kesimpulan yang mantap diperlukan tidak hanya satu cara pandang. Menurut Patton (1984) tehnik trianggulasi dibedakan menjadi empat macam yaitu:53 a. Trianggulasi Data (Sumber) Teknik trianggulasi data menurut istilah Patton juga disebut sebagai trianggulasi sumber. Tehnik yang mengarah pada penggunaan beragam sumber data yang tersedia. Data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya apabila digali dari berbagai sumber data yang berbeda. b. Trianggulasi Metode Mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan tehnik atau metode pengumpulan data yang berbeda. Ditekankan pada penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda untuk menguji kemantapan informasinya pada sumber data yang sama. c. Trianggulasi Peneliti Hasil penelitian, baik data ataupun simpulan bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti. Dari pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa peneliti diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil penelitian. d. Trianggulasi Teori Trianggulasi ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Dari beberapa perspektif teori tersebut akan diperoleh pandangan yang lebih lengkap, tidak hanya sepihak sehingga bisa dianalisa dan ditarik kesimpulan yang lebih utuh dan menyeluruh. Setiap pandangan teori selalu memiliki kekhususan cara pandangan, maka dengan menggunakan beberapa perspektif teori akan menghasilkan simpulan yang multidimensi. Dari keempat data yang dikemukakan Patton (1984), hanya trianggulasi data(sumber) yang digunakan dalam penelitian ini. Hal ini untuk mengetahui validitas data yang diperoleh. Penggunaan beberapa sumber 53
Ibid, hal 78-82
63
data yang berbeda sangat penting untuk penelitian ini guna mendapatkan hasil penelitian atau kesimpulan yang valid. 7. Teknik Analisis Data Dalam penelitian kualitatif, proses analisa data dilakukan pada awal mulanya bersamaan dengan proses pengumpulan data. Analisa data dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu: a. Reduksi data Reduksi
data
merupakan
proses
seleksi,
pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data (kasar) yang ada dalam fieldnote. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan riset yang dimulai dari bahan reduction yang sudah dimulai sejak peneliti mengambil keputusan. Data reduction adalah bagian dari analisis, suatu bentuk analisis
yang
mempertegas,
memperpendek,
membuat
fokus,
membuang hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan. b. Sajian data Merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset untuk dilakukan.dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengejakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Display meliputi berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja keterkaitan kegiatan, dan
64
tabel. Kesemuanya dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti. c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi Dalam awal pengumpulan data, peneliti sudah harus mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, dan proposisi-proposisi. Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai proses pengumpulan data berakhir.54 Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah CIPP yaitu analisis dengan empat sasaran penilaian, yaitu penilaian konteks, masukan, proses, dan produk. Metode ini didefinisikan sebagai proses untuk menggambarkan, mendapatkan dan menyediakan informasi-informasi yang berguna sebagai alat pengambilan keputusan. Melalui CIPP, maka proses evaluasi ini akan dapat dijelaskan satu persatu mulai dari konteks, input, proses, dan produk.
54
Ibid, hal 91-93
65
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A. GAMBARAN UMUM POLRI 1.
Sejarah Polri Di dunia dikenal 2 macam riwayat kelahiran polisi di masyarakat. Polisi
Negara, yaitu polisi yang dibentuk oleh sebuah pemerintahan, dan polisi masyarakat yang dibentuk atas prakarsa dan menghamba pada aspirasi masyarakat. Kebanyakan riwayat kelahiran Polisi Negara terjadi di daratan benua Eropa yang memiliki latar belakang pemerintahan Absolut/Monarki, sehingga ada beberapa pihak yang menyebutnya sebagai Kepolisian Eropa Kontinental. Penyebutan ini tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya Eropa Kontinental lebih termaksud pada sebuah sistem kepolisian, bukan sejarah kepolisian; meskipun sebuah sistem kepolisian memang terbentuk dari sejarah kepolisian tersebut. Sedangkan riwayat kelahiran Polisi Masyarakat banyak terjadi di wilayah Inggris dan bekas jajahannya, kecuali di Negara-negara commonwealth di benua Asia yang menyesuaikan dengan tujuan awal pembentukan badan kepolisian dinegara tersebut, yaitu penjajahan. Di Inggris sendiri, polisi berawal dengan penunjukan Kin Police atau polisi warga. Posisi ini secara bertahap mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan masyarakat sampai ke tingkat kota yang organisasi kepolisiannya dipimpin oleh seorang shireeves, dan kemudian lebih akrab dengan sebutan sheriff. Sedangkan di Amerika, sheriff atau marshall
66
dibentuk oleh koloni-koloni, sehingga mereka pun harus bekerja atas kehendak koloni tersebut. Di Indonesia, sepintas yang masih bisa terlihat dalam kehidupan saat ini adalah semacam polisi masyarakat. Di Jawa misalnya, dikenal posisi Jagabaya dalam pemerintahan desa tradisional, dan demikian pada suku-suku lainnya. Namun jika kita kembali ke jaman penjajahan Belanda maupun Jepang, sistem yang berlaku adalah Polisi Negara, yang bertujuan mengamankan kepentingan penjajahan di Indonesia dari serangan “ekstrimis inlander”, atau pejuang kemerdekaan. a.
Jaman Kerajaan Majapahit Sejarah kepolisian di Indonesia akarnya pun ditarik hingga ke jaman
Majapahit, untuk mencari roh Bhayangkara Negara melalui sosok Mahapatih Gajah Mada. Asal muasal Bhayangkara yang mengabdi untuk menjaga keselamatan seluruh warga negeri. Setelah itu, Bhayangkara Negara mengambil peran pengabdian berbagai masyarakat kerajaan di seluruh Nusantara. Kerajaan di Nusantara mempunyai satuan-satuan khusus yang berperan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat istilah "Bhayangkara" yang digunakan untuk menyebut polisi, berasal dari jaman Majapahit. Pada masa itu, Mahapatih Gajah Mada membentuk satuan Bhayangkara yang bertugas sebagai penjaga keselamatan pribadi raja. Anggota satuan ini berjumlah 15 orang, terdiri dari orang-orang pilihan. Menurut inskripsi sejarah, pada tahun I3l9 terjadi pemberontakan Ra Kuti di Majapahit. Pemberontakan itu disusul kerusuhan yang merebak ke seluruh
67
wilayah kerajaan. Tetapi pasukan Bhayangkara berhasil menyelamatkan Raja Jayanegara yang terancam, dan mengungsikan Raja ke Desa Bedander. Agar persembunyian raja tidak tercium, satuan Bhayangkara diperintahkan untuk tidak meninggalkan lokasi itu. Namun, ada anggota pasukan yang diam-diam pergi meninggalkan Desa Bedander. Mahapatih Gajah Mada yang marah atas pelanggaran disiplin itu memerintahkan pencarian hingga ketemu, dan anggota itu dihukum mati. Kepada anak buahnya, Gajah Mada menekankan empat prinsip kebhayangkaraan, yang di kemudian hari diadopsi menjadi prinsip-prinsip kepolisian Polri. Keempat prinsip yang dinamakan Catur Prasetya itu adalah: Satya Haprabu (setia kepada pimpinan negara); Hanyaken Musuh (mengenyahkan m negara); Cineung Pratidina (bertekad mempertahankan negara) dan Tan Sa Trisna (ikhlas dalam bertugas). Empat prinsip Gajah Mada itu kemudian menjadi pedoman kerja setiap anggota Polri, melalui ikrar Catur Prasetya yang pertama kali diucapkan dalam Wisuda Sarjana PTIK Angkatan VI pada tanggal 4 April 1961 di istana Negara. Kini, dan untuk masa-masa mendatang, setiap Polisi Indonesia harus menghayati keempat prinsip tersebut agar menjadi insan Bhayangkara sejati. Agar sifat-sifat keperwiraan Gajah Mada dapat memberi inspirasi kepada roh seluruh jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia sepanjang masa, maka di depan Markas Besar Polri yang berlokasi di Jalan Trunojoyo, Jakarta dibangun patungnya. Sebuah patung yang bukan sekadar bernilai seni, tetapi lebih dari itu adalah penanda roh kepolisian Indonesia.
68
Selain Majapahit, berbagai kerajaan lain di Nusantara juga mempunyai institusi dan satuan yang berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat seperti satuan Bhayangkara. Tetapi, fungsi-fungsi dan filosofi kepolisian ideal yang dibangun Gajah Mada lah yang terekam dalam inskripsi sejarah, sehingga dianut oleh Polri. b. Jaman Penjajahan Belanda Ketika Nusantara dijajah Belanda, polisi mengalami metamorfosa. Satuan penjaga keamanan dan ketertiban kerajaan di Nusantara yang masih terpisah-pisah berubah menjadi satuan dengan ruang lingkup geografis yang luas. Pemerintahan Hindia Belanda membangun kekuasaan dengan sentralisasi di Batavia (Jakarta), sehingga ruang lingkup tugas polisi menjadi jauh lebih luas. Namun, fungsi polisi relatif tetap, yaitu memberikan perlindungan kepada warga, harta benda dan kekayaan lainnya dari ancaman pencurian, penjarahan, dan perampokan. Cakupan tugas yang lebih luas ini dapat ditafsirkan sebagai pelayanan kepada kekuasaan kolonial, tetapi dapat pula dianggap memperkuat keamanan dan ketertiban, sebagai modal sosial bangsa-bangsa Nusantara menyumbang
pembentukan
bangsa
Indonesia
di
kemudian
hari.
Dalam menjalankan fungsinya, polisi kolonial berwenang menyidik kasus-kasus kriminal. Tetapi, seringkali batas-batas antara apa yang disebut sebagai “tindakan kriminalitas” dengan “ tindakan politik yang dianggap membahayakan keamanan Negara” sangat tipis. Akibatnya, penjajah kerap menyalahgunakan polisi sebagai alat kekuasaan (politik) untuk menghadapi para aktivis pergerakan kebangsaan Indonesia.
69
Belanda mengendalikan kepolisian dengan mengijinkan penggunaan senjata api hanya oleh orang Belanda. Anggota pribumi tidak diperbolehkan membawa dan menggunakan senjata api. Tetapi, situasi ini berubah pada masa perang dunia II, saat jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Penguasaan penduduk Jepang mulai memperbolehkan polisi pribumi untuk menggunakan senjata api. Pada masa itu, belum ada pemilahan yang tegas antara militer yang bersenjata api, dengan polisi yang juga bersenjata api. Jadi, selain menjaga dan memelihara ketertiban, polisi juga ikut bertempur (Combatant). Ketika Jepang kalah dalam PD II, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan nasionalnya dengan nama Republik Indonesia. Tetapi, Belanda ingin kembali berkuasa di bekas Hindia Belanda, melalui tindakan yang disebutnya aksi polisionil. Suatu sebutan bagi tindakan yang dianggap “polisionil”, yaitu pemulihan “ketertiban” masyarakat eks jajahannya. Namun, sebagai kekuatan bersenjata, polisi bergabung dengan seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Perlawanan terhadap aksi polisionil Belanda itu disebut sebagai perang kemerdekaan. Pengalaman polisi bersenjata masa penduduk Jepang sangat bermanfaat dalam perang kemerdekaan menentang kembalinya Belanda ke Bumi Nusantara. c.
Jaman Penjajahan Jepang Ketika pecah perang Dunia II, tentara Jepang dengan sangat cepat
menyerbu dan menundukkan kekuasaan Belanda di wilayah Nusantara, yang oleh Belanda disebut Hindia Belanda. Kedatangan "pasukan kuning" dari utara itu meruntuhkan mitos kekuasaan kulit putih.
70
Karena masa perang, maka pemerintah pendudukah Jepang di Hindia Belanda menerapkan pemerintahan militer dan hukum militer. Ciri-cirinya adalah militeristik, keras, lugas, dan bahkan kejam. Di bawah konteks ini, pribumi yang menjadi anggota polisi dibekali dengan senjata api. Secara otomatis, peran polisi warisan Belanda pun menurun drastis dan mengalami degradasi tajam. Patut dicatat, bahwa pada masa itu peran polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban juga dilakukan oleh tentara. Begitupun sebaliknya, polisi menjadi bagian dari kekuatan tempur. Karena itu, "polisi" yang berperan aktif adalah Polisi Militer, yang mengambil alih tugas-tugas polisi sipil (sekalipun belum disebut sebagai "polisi sipil"). Polisi tidak mempunyai kewenangan apa-apa, sehingga fungsi polisi hanya sebagai pelengkap, diwarnai dengan norma kekerasan melalui pendekatan kekuasaan. Karena suasana peperangan pula, pemerintahan Jepang membentuk dan memperkuat Polisi Rahasia yang disebut Ken Pel Tai, dengan sasaran utama operasi pada perkara yang berlatar belakang politik (hususnya masalah infiltrasi, sabotase provokasi politik. Kemudian, pada bulan April 1944, Jepang membentuk pasukan paramiliter yang dikenal dengan nama Tokubetsu Keisatsi-tai, dengan anggota terdiri dari para politik muda dan pemuda polisi didikan Jepang Tokubetsu Keisatsu-tai ini lebih terlatih dari pasukan polisi istimewa dengan tugas-tugas serupa, yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda. Selain diasramakan, polisi istimewa Jepang ini memperoleh pendidikan dan latihan kemiliteran dari tentara Jepang.
71
Tokubetsu Keisatsu-tai memiliki tugas dan tanggung jawab dalam bidang Kamtibmas, dan sekaligus bertugas di front pertempuran. Tokubetsu
Keisatsu-tai
dikembangkan
dengan
persebaran
dan
pembentukan satuan-satuan kewilayahan. setiap kesatuan Tokubetsu Keisatsu-tai wilayah berada di bawah perintah Kepala Polisi Karesidenan (dulu, wilayah administrasi di bawah provinsi yang mengkoordinasikan beberapa kabupaten). Setiap wilayah memiliki variasi jumlah personel, yang berkisar antara 60 hingga orang, tergantung pada kondisi dan situasi wilayah. Komandan kompi Tokubetsu Keisatsu-tai tersebut umumnya berpangkat Itto Keibu (Letnan Satu/lnspektur satu). d. Jaman Kemerdekaan Republik Indonesia Gema proklamasi kemerdekaan RI, mengakibatkan pemuda-pemuda yang tergabung dalam kesatuan Keisatsu-tai (Polisi) dan Tekubetsu Keisatsu-tai (Polisi Istimewa) bentukan Jepang menyatakan dengan tegas berdiri di belakang pemerintah RI. Mereka melucuti persenjataan Jepang bersama TKR dan barisan pemuda yang bertempur melawan Jepang dan menyerang NICA. Dua hari setelah kemerdekaan RI dikumandangkan, sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan RI menetapkan Jawatan Kepolisian Negara RI berada di bawah Kementrian Dalam Negeri. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1946 merupakan hari yang bersejarah bagi Polri, karena pada waktu itu dikeluarkan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 yang memutuskan bahwa Jawatan Kepolisian Negara RI merupakan jawatan tersendiri yang berada langsung dibawah Perdana Menteri.
72
Sehingga, sejak saat itu, tanggal 1 Juli 1946 diperingati sebagai Hari Kepolisian atau Hari Bhayangkara. Antara tahun 1947 sampai dengan 1964, sejalan dengan perubahan institusi serta bentuk susunan pemerintahan, kedudukan Polri beberapa kali dialihkan dari lembaga pemerintahan yang satu ke lembaga pemerintahan yang lain. Selama itu, Polri pernah berada dibawah Presiden, Perdana Menteri, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, Komisi Kepolisian dan Menteri Pertahanan/ Koordinator Kemanan dan Ketertiban sampai diintegrasikannya Polri dalam tubuh ABRI, secara utuh pada tahun 1964, berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 1961. Sehingga bisa dikatakan, Kepolisian merupakan fungsi Pemerintahan Negara yang unik yang seringkali dialihkan dan dalam sejarahnya yang panjang itu, Polri berada dibawah Menteri Pertahanan atau Menhankam/ Panglima ABRI dan dibawah Presiden ataupun Perdana Menteri. Integrasi Polri ke dalam tubuh ABRI sebenarnya mulai ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1947, yakni dengan dimiliterisasikannya Kepolisian berdasarkan Penetapan Dewan Pertahanan No.112/1947. Sejalan perkembangan situasi keamanan dan perubahan susunan pemerintahan, integrasi tersebut hanya berjalan beberapa tahun. Pada tahun 1960 MPRS mengeluarkan Ketetapan No. II/PRS/1960 yang antara lain berisi: Angkatan Perang dan Polisi Negara sebagai pertahanan/ keamanan. Kepolisian Negara adalah alat revolusi untuk pengamanan dalam negeri. Dari segi ketatanegaraan dan tata usaha negara, status kepolisian dan status hukum kepegawaian diletakkan diantara sipil dan militer. Kedudukan Polri
73
sebagai unsur ABRI kemudian dipertegas dalam UU No. 3/1961. Tap MPRS tersebut kemudian dirubah atau disempurnakan dalam sidang MPR berikutnya, sementara UU No.3/1961 diganti dengan UU No. 28 th 1997 tentang Polri sebagai realisasi dari UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan Negara (Hankamneg). Sedangkan status keprajuritan personil Polri diperkuat dengan UU No. 2 Tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Dengan demikian secara yuridis status Polri sebagai ABRI dilegalisasi oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Dan keABRI-an Polri bukan saja telah melembaga secara struktural tetapi juga membudaya dalam hampir setiap aspek organisasi, manajemen dan perilaku setiap personil Polri. Namun, perjalanan sejarah telah menentukan lain, dengan kedudukannya sebagai
unsur
ABRI
kadang-kadang
menimbulkan
hambatan
dalam
penyelenggaraan fungsi kepolisian oleh Polri. Walau beberapa kebijakan diambil, seperti pembenahan sistem pendidikan dan upaya mengedepankan Polri dalam tugas-tugas Bimmas, ternyata masih dirasakan adanya kelemahan dalam kinerjanya, terutama dalam kapasitasnya sebagai agen penegak hukum. 2.
Polri di Era Reformasi Pada perkembangan Polri selanjutnya, adalah di Era Reformasi, yakni
dengan berpisahnya Polri dari ABRI pada tanggal 1 April 1999. Adapun alasan dipisahkannya Polri dari ABRI adalah:55
55 Anton Tabah dan Prof. Ir. Eko Budiharjo, M.Sc, Reformasi Kepolisian (Pakar Menjawab : POLRI harus otonom dan terpisah dari ABRI), CV. Sahabat, Klaten, 1998, hal 25
74
a. Polri adalah institusi publik yang berwatak sipil serta dituntut untuk menjalankan peranannya tersebut. b. Polri menghadapi masyarakat sebagai sasaran kontrol yang harus dilindungi. c. Kultur polisi berbeda dengan kultur militer. d. Doktrin Polri adalah melindungi, sedang doktrin militer adalah menghancurkan (musuh). Keduanya tidak dapat dipersatukan. e. Polri berurusan dengan hukum dan menjadi bagian dari hukum. Oleh sebab itu, demi efisien dan kerapian struktur harus dipertegas bahwa tempat Polri adalah bagian dari penegakan hukum. f. Kapolri harus memegang puncak komando kepolisian, karena hanya seorang yang berasal dari kalangan polisi profesional akan mampu memahami dan menjalankan fungsi kepolisian dengan baik. Bilamana sebelum reformasi Kapolri berada dibawah Menhankam, namun berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dari pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002, dikatakan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Pada ayat 2, usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR disertai dengan alasannya. Ini berarti, Kapolri berada dibawah Presiden, serta diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Era reformasi saat ini juga menjadikan perlindungan HAM, demokratisasi serta masalah lingkungan hidup menjadi isu sentral. Untuk itu di era reformasi, dengan pemisahan Polri secara total dari ABRI diharapkan agar Polri menjadi
75
lebih mandiri. Dengan kemandirian Polri tersebut, diharapkan agar Polri dapat mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang profesional serta dekat dengan masyarakat dalam menuju perubahan tata kehidupan nasional ke arah masyarakat yang demokratis, aman, tertib, adil, dan sejahtera. 3.
Visi dan Misi Polri Menurut
Kamus
Bahasa
Indonesia
yang
ditulis
oleh
WJS.
Poerwadarminta, visi adalah daya lihat; penglihatan; atau kemampuan untuk melihat serta mengetahui inti/ pokok dari suatu hal atau persoalan. Visi Polri adalah cita-cita yang harus diwujudkan dalam setiap derap langkah kehidupan anggota Polri untuk mengayunkan langkah sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat maupun sebagai penegak hukum. Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Prof. Dr. Js. Badudu, misi adalah sesuatu yang dianggap sebagai tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Untuk visi dan misi Polri, yang digunakan sebagai dasar adalah Surat Keputusan KAPOLRI No. Pol : Kep/01/0/2001, Tanggal 2 Januari 2002. Isi dari visi serta misi Polri dibuat sama untuk seluruh jajaran Kepolisian di Indonesia, hal ini dibuat agar ada kesamaan visi dan misi serta kerjasama dengan jajaran tingkat kepolisian yang lain. Karena dibuat oleh Kapolri, maka untuk setiap pergantian Kapolri, visi dan misi dapat diubah dan disesuaikan dengan perkembangan jaman. a. Visi Polri adalah: Polri mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama dengan masyarakat, serta aparat penegak
76
hukum yang profesional dan proporsional yang selalu menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia, pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera. b. Misi Polri adalah: 1) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat yang meliputi aspek security, surety, safety dan peace sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis. 2) Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (Law Abiding Citizenship). 3) Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju adanya kepastian hukum dan rasa keadilan. 4) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5) Mengelola Sumber Daya Manusia Polri secara profesional dalam mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat.
77
6) Meningkatkan upaya konsolidasi ke dalam (internal Polri) sebagai upaya menyamakan visi dan misi Polri kedepan. 7) Memelihara solidaritas institusi Polri dari berbagai pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi. 8) Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9) Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat yang berbhineka tunggal ika Selain visi dan misi, terdapat pula tujuan Polri, yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri, yang mendorong gairah kerja masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya. 4.
Pedoman Hidup Tri Brata dan Pedoman Kerja Catur Prasetya Tri Brata dan Catur Prasetya dipakai sebagai pedoman hidup dan pedoman
kerja Polri, Tri Brata menjadi pedoman hidup Polri yang diprakarsai oleh Guru Besar dan Dekan PTIK Prof. Djoko Soetono, SH. Dalam menyongsong pra rancangan Undang-Undang Kepolisian sebelum Indonesia Merdeka. Kata-kata Tri Brata pada awalnya dikemukakan oleh Maha Guru Sastra sekaligus Dekan Fakultas Sastra UI yang merangkap sebagai Mendikbud saat itu, yaitu Prof. Dr. Priyono. Kemudian secara resmi diucapkan oleh seorang mahasiswa PTIK pada prosesi wisuda kesarjanaan PTIK Angkatan II tanggal 3 Mei 1954, yang diresmikan sebagai Kode Etik pelaksanaan tugas Polri (yang dahulu disebut Pedoman Hidup) pada tanggal 1 Juli 1955. Selain pedoman hidup
78
Tri Brata, Polri juga memiliki pedoman kerja yang disebut Catur Prasetya yang dipakai sejak tahun 1961.56 a. TRI BRATA adalah: 1) Rastra Sewakottama, artinya abdi utama daripada nusa dan bangsa 2) Nagara Janottama, artinya warga negara teladan daripada negara 3) Yana Anucacana Dharma, artinya wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat b. CATUR PRASETYA adalah: 1) Satya Haprabu, artinya setia kepada negara dan pemimpin 2) Hanyaken Musuh, artinya mengenyahkan musuh-musuh negara dan masyarakat 3) Gineung Pratidina, artinya mengagungkan negara 4) Tan Satrisna, artinya tidak terikat trisna kepada sesuatu 5.
Lambang Polri Gambar 2.1 Lambang Polri
56 http://www.polri.go.id, Kepolisian Negara Republik Indonesia-Tri Brata dan Catur Prasetya
79
Lambang Polri bernama Rastra Sewakottama yang berarti Polri adalah abdi utama rakyat. Sebutan itu adalah Brata pertama Tri Brata yang diikrarkan sebagai pedoman hidup Polri sejak 1 Juli 1954. Polri yang tumbuh dan berkembang oleh dari rakyat dan untuk rakyat, memang harus berinisiatif dan bertindak sebagai abdi sekaligus sebagai pelindung dan pengayom rakyat. Prinsip itu diwujudkan dalam bentuk logo, dengan rincian makna sebagai berikut:57 a. Perisai bermakna pelindung rakyat dan negara. b. Tiang dan nyala obor bermakna penegasan tugas Polri, disamping memberi sesuluh atau penerangan juga bermakna penyadaran hati nurani masyarakat agar selalu sadar akan perlunya kondisi Kamtibmas yang mantap. c. Pancaran obor yang berjumlah 17 dengan 8 sudut pancar berlapis 4 tiang dan 5 penyangga bermakna 17 Agustus 1945, hari Proklamasi Kemerdekaan. d. Tangkai padi dan kapas menggambarkan cita-cita bangsa menuju kehidupan adil dan makmur, sedang daun kapas dengan 9 putik dan 45 butir padi merupakan suatu pernyataan tanggal pelantikan Kapolri pertama 29 September 1945 yang dijabat oleh Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. e. Tiga bintang di atas logo bernama Tri Brata adalah pedoman hidup Polri. f. Sedang warna hitam dan kuning adalah warna legendaris Polri. 57 http://www.polri.go.id, Kepolisian Negara Republik Indonesia-Lambang Polri
80
g. Warna kuning keemasan melambangkan kebesaran jiwa dan keagungan hati nurani segenap prajurit Polri. h. Warna hitam adalah lambang keabadian dan sikap tenang mantap yang bermakna harapan agar Polri selalu tidak goyah dalam situasi dan kondisi apapun. 6.
Doktrin Polri Sebelum berintegrasi dalam ABRI, doktrin Polri adalah “Tata Tentrem
Kerta Raharja.” Dengan integrasi ABRI, semua doktrin Angkatan Perang dan Polri diintegrasikan dan diberlakukan doktrin ABRI “Catur Dharma Eka Karma” yang di dalam perkembangannya ternyata tidak sesuai lagi dengan pelaksanaan tugas pokok Polri. Dengan pemisahan Polri dari ABRI, maka Polri kembali kepada doktrin “Tata Tentrem Kerta Raharja”.58 a. “Tata Tentrem Kerta Raharja” Berisi ajaran bahwa untuk mencapai tujuan nasional yang berupa masyarakat Indonesia yang adil makmur, adapun artinya adalah: 1) Tata, artinya ketertiban yang berdasarkan hukum 2) Tentrem, artinya terwujudnya keamanan dalam negeri ataupun terwujudnya security, surety, safety dan peace (rasa tenang, aman, tentram dan damai) 3) Kerta, artinya diwujudkan melalui pembinaan 4) Raharja, artinya dipersyaratkan adanya suasana gairah untuk membangun 58 http://www.polri.go.id, Kepolisian Negara Republik Indonesia-Doktrin Polri
81
Dengan demikian, Tata Tentrem Kerta Raharja dapat diartikan sebagai terwujudnya keamanan dalam negeri, serta ketertiban yang berdasarkan hukum melalui pembinaan, supaya tercipta rasa aman, tenteram dan damai. Dengan situasi tersebut, diharapkan masyarakat mempunyai gairah untuk membangun. Yang menjadi harapan dari pelaksanaan doktrin “Tata Tentrem Kerta Raharja” ini terdapat perilaku yang menjunjung tinggi supremasi hukum, hak asasi manusia, budaya hukum menjadi acuan dalam mewujudkan keamanan dalam negeri. Doktrin Polri merupakan pandangan yang diyakini kebenarannya dan mempengaruhi perilaku anggota Polri atau kelompok pada organisasi dalam menjalankan misi serta untuk mencapai tujuan organisasi Polri. b. Mengacu pada visi Polri maka doktrin Polri juga memuat dua aspek penting, yaitu: 1) Aspek inward looking, bagian doktrin Polri yang memuat tentang doktrin pembinaan Polri, bersifat pandangan tentang penyusunan kemampuan dan pembangunan kekuatan yang sesuai dengan tuntutan tugas. 2) Aspek out ward looking, bagian doktrin Polri yang memuat tentang doktrin operasional Polri, mengidentifikasikan bentuk-bentuk tugas, pengembangan sistem, metode, taktik dan teknik pelaksanaan tugas pokok, serta pandangan Polri tentang lingkungan (masyarakat) menurut pandangan operasional Polri.
82
B. GAMBARAN UMUM POLRES BOYOLALI 1. Sejarah Polres Boyolali Dimulai pada tahun 1942 hingga tahun 1945, sebelum bernama Polres diberi nama Komres (Komando Resort). Seiring dengan perkembangan jaman maka semenjak tahun 1980-an diganti menjadi Polres (Kepolisian Resort). Polres Boyolali ini didirikan dengan tujuan mengatasi masalah Kamtibmas, masalah tersebut meliputi lalu-lintas, tertib dalam melaksanakan kegiatan masyarakat dan sebagainya. 2. Lokasi a. Letak wilayah Terletak diantara 110’.22 – 110’.50 bujur timur dan 7’.36 – 7’.11 lintang selatan dengan ketinggian antara 1500 s/d 2200 meter dari permukaan laut. b. Luas wilayah Luas wilayah seluruhnya 1.015.100.965 Ha dibagi menjadi 19 kecamatan terdiri dari 267 desa dan tercakup dalam 5 kawedanan. c. Batas wilayah Polres Boyolali: 1) Sebelah Utara
: Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Sragen
2) Sebelah Selatan
: Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo
3) Sebelah Barat
: Kabupaten Magelang dan Kabupaten Salatiga
4) Sebelah Timur
: Kabupaten Karanganyar dan Kodya Surakarta
83
d. Jumlah penduduk: Jumlah penduduk yang ada di daerah Boyolali ini 944.181 jiwa yang terdiri dari laki-laki 461.806 jiwa (48,9%) dan perempuan 482.375 jiwa (51,1%) dengan kepadatan penduduk rata-rata 930 jiwa/ Km2. Tabel 2.1 Daftar Polsek di Kabupaten Boyolali NO 1
DAFTAR POLSEK DI KABUPATEN BOYOLALI Polsek Selo
LETAK KECAMATAN Kec. Selo
2
Polsek Ampel
Kec. Ampel
3
Polsek Cepogo
Kec. Cepogo
4
Polsek Musuk
Kec. Musuk
5
Polsek Boyolali
Kec. Boyolali
6
Polsek Mojosongo
Kec. Mojosongo
7
Polsek Teras
Kec. Teras
8
Polsek Sawit
Kec. Sawit
9
Polsek Banyudono
Kec. Banyudono
10
Polsek Sambi
Kec. Sambi
11
Polsek Ngemplak
Kec. Ngemplak
12
Polsek Nogosari
Kec. Nogosari
13
Polsek Simo
Kec. Simo
14
Polsek Karanggede
Kec. Karanggede
15
Polsek Klego
Kec. Klego
16
Polsek Andong
Kec. Andong
17
Polsek Kemusu
Kec. Kemusu
18
Polsek Wonosegoro
Kec. Wonosegoro
19
Polsek Juwangi
Kec. Juwangi
84
3. Struktur Organisasi Polres Boyolali Tabel 2.2 Struktur Organisasi Polres Boyolali DASAR SKEP KAPOLRI NO POL. : KEP/54/X/2002 TANGGAL 17 OKTOBER 2002
4. KAPOLRES WAKA POLRES
BAG OPS
BAG BINAMITRA
BAG MIN
URTELEMATIKA
UNIT P3 D
UR DOKKES
SAT RESKRIM
SAT SAMAPTA
SPK
SAT INTELKAM
TAUD
BENSAT
SAT LANTAS
19 POLSEK
Tugas dan tanggung jawab berdasarkan pada struktur organisasi Polres Boyolali: a.
Kapolres Kapolres mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Pembantu dan pelaksana utama Kapolda atau Kapolwil pada tingkat kewilayahan, dalam pelaksanaan pembinaan kemampuan Polri dan segenap komponen lain dari kekuatan pertahanan dan keamanan negara dibidang penertiban dan penyelamatan masyarakat serta penyelenggaraan operasional kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas Polres.
85
b.
Wakapolres Wakapolres mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Sebagai pembantu dan penasehat utama Polres terutama dalam penyelenggaraan pembinaan kemampuan termasuk koordinasi dan sebagai pengawas serta mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugas Kapolres secara terbatas dan mewakili Kapolres apabila Kapolres berhalangan.
c.
Kabagmin (Kepala Bagian Administrasi) Kabagmin mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Sebagai unsur pembantu pimpinan dan staf pada Polres yang bertugas menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi pembinaan personil dan pembinaan logistik serta latihan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Polres.
d.
Kabag Binamitra Kabag Binamitra mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Sebagai
unsur
pelaksana
tingkat
Mapolres
yang
bertugas
menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi Binamitra yang berifat terpusat pada tingkat Resor atau antar sektor, termasuk memberikan dukungan operasional terhadap pelaksanaan fungsi tersebut pada tingkat polsek.
86
e.
Kabagops (kepala Bagian Operasional) Kabagops mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Sebagai unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf pada Polres yang bertugas menyelenggarakan dan melaksanakan segala kegiatan dalam rangka pengendalian terhadap pelaksanaan operasional Polres termasuk penyelenggaraan pekerjaan staf dalam bidang manajemen operasional Polres yang bersifat terpadu serta pelayanan masyarakat dan pengendalian atas pelaksanaan tindakan pertama di tempat kejadian.
f.
Kaurtelematika Kaurtelematika mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Memimpin
staf
telekomunikasi
dan
informatika
dalam
rangka
meningkatkan kemampuan para anggota untuk menggunakan alat-alat komunikasi secara profesional, efektif, efisien, modern serta proaktif. Sehingga, apabila terjadi gangguan dalam bentuk Crime Intelligence serta adanya hakekat ancaman akan lebih berhasil bila dilengkapi dengan alat komunikasi prima dan modern. g.
Kataud (Kepala Tata Usaha dan Urusan Dalam) Kataut mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Memimpin bidang tata usaha, serta urusan dalam yang berkaitan dengan data-data serta laporan kegiatan yang dikerjakan oleh tiap unit baik harian, minggguan ataupun bulanan pembukuan diserahkan kepada bidang usaha ini, dan sebagainya yang kemudian untuk diarsipkan.
87
h.
Kasat Intelkam (Kepala Intelegen dan Keamanan Kepolisian) Kasat Intelkam mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Sebagai
unsur pelaksana pada tingkat
Mapolres
yang
bertugas
menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi Intelijen dan keamanan Kepolisian dalam seluruh wilayah Polres termasuk memberikan dukungan operasional terhadap pelaksanaan fungsi tersebut pada tingkat polsek. i.
Kasat Reskrim (Kepala Satuan Reserse dan Kriminal) Kasat Reskrim mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Unsur pelaksana pada tingkat Mapolres yang bertugas menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi reserse kepolisian yang bersifat terpusat pada tingkat resor atau antar sektor termasuk memberikan dukungan operasional atas pelaksanaan fungsi tersebut pada tingkat Polsek. Reserse juga menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi yang meliputi kegiatan represif kepolisian melalui upaya penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, baik kejahatan umum maupun kejahatan ekonomi, termasuk tindak pidana penyelundupan, kejahatan uang palsu dan kejahatan narkoba. Serta melaksanakan fungsi kriminalistik lapangan dalam rangka pembuktian secara ilmiah kasus-kasus kejahatan yang ditanganinya.
j.
Kepala Unit P 3 D Kepala unit P 3 D mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Sebagai unsur pelaksana staf pada Mapolres yang bertugas membantu pimpinan Polres dalam rangka penegakan hukum, disiplin, tata tertib dan pengamanan dalam lingkungan Polres. Selain itu, mempunyai wewenang
88
untuk menindak dan memeriksa anggota Polri maupun sipil yang melanggar tindak pidana dan pelanggaran disiplin khususnya dalam lingkungan Mapolres. k.
Kasat Samapta Kasat Samapta mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Memimpin Samapta Bhayangkara, juga termasuk salah satu dari fungsi operasional Polri yang mengemban tugas utama bersifat preventif, atau pencegahan. Melalui patroli, pengaturan, penjagaan dan pengawalan serta pelayanan masyarakat. Tugas tersebut merupakan tugas esensial bagi satuan Samapta ini. Sasaran utamanya adalah menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalisir bertemunya niat dan kesempatan terjadinya pelanggaran atau kejahatan. Tugas utama Samapta adalah patroli, karena dengan patroli yang benar, bukan saja dicegah bertemunya niat dan kesempatan berbuat jahat dari penjahat,
tetapi
sekaligus
menarik
simpati
masyarakat,
untuk
membangkitkan partisipasi masyarakat terhadap polisi. Selain itu, daerah “lampu merah” ataupun tempat hiburan serta tempat rawan kejahatan lainnya merupakan sasaran utama petugas patroli ini. Pada jam-jam sibuk dan usai sekolah, petugas Samapta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan keamanan dan ketertiban baik di sekolah, kantor-kantor umum lainnya.
89
l.
Kasat Lantas Kasat Lantas mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: Sebagai pimpinan dalam satuan lalu-lintas baik dalam hal penegakan hukum lalu lintas (Police Traffic Law Enforcement) baik dalam upaya preventif maupun represif, pendidikan masyarakat tentang lalu lintas (Police
Traffic
Education),
rekayasa
lalu
lintas
(Police
Traffic
Engineering) serta registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor. C. GAMBARAN UMUM BINAMITRA POLRES BOYOLALI 1. Struktur Organisasi Binamitra Polres Boyolali Struktur organisasi Binamitra Polres Boyolali dijelaskan pula mengenai tugas setiap unit, dimulai dari Kepala Bagian Binamitra hingga pada unit-unit terkecil. Dimana dalam struktur ini juga dibagi berdasarkan kepangkatan personel Polri. Struktur ini penting, agar ada pembagian pelimpahan wewenang serta tugas yang jelas, baik yang dimulai dari pimpinan hingga bawahan. Yang menjadi bentuk struktur organisasi Binamitra Polres Boyolali adalah sebagai berikut:
90
Tabel 2.3 Struktur Organisasi Bagian Binamitra KABAG BINAMITRA KOMPOL SUWARNO, SH
KASUBBAG BIMMAS IPDA JOKO LUKITO
BAN UM AIPTU JOKO W
BAN UM BRIPTU SETYAWAN E S
KASUBBAG KERMA IPTU SUTANTO
BA MIN AIPTU DALYAMTO
BA MIN BRIPDA ADI NEGARA
BAN UM AIPTU BUDI WASITO
BA MIN AIPTU L. MURTIJO
BAN UM BRIPTU RAHMAD B.L, S.Pd, MH
BAMBANG SURYANTO PENGATUR 1
BA MIN BRIPDA SATRIO A
ENI RAHAYU PENGATUR 1
Keterangan: KABAG BINAMITRA
: Kepala Bagian Binamitra
KASUBBAG BIMMAS
: Kepala Sub Bagian Bimbingan Masyarakat
KASUBBAG KERMA
: Kepala Sub Bagian Kerjasama Masyarakat
BAN UM
: Bantuan Umum
BAN MIN
: Bantuan Admistrasi
KOMPOL
: Komisaris Polisi
AKP
: Ajun Komisaris Polisi
Ipda
: Inspektur Dua
Aiptu
: Ajun Inspektur Satu
Briptu
: Brigadir Satu
Bripda
: Brigadir Dua
91
2. Tugas dan Wewenang Binamitra Polres Boyolali Binamitra Polres Boyolali adalah unsur pelaksana tingkat Mapolres yang bertugas menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi Binamitra yang berifat terpusat pada tingkat Resor atau antar sektor, termasuk memberikan dukungan operasional terhadap pelaksanaan fungsi tersebut pada tingkat polsek. Dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut, dengan memperhatikan arahan Kapolres dan petunjuk pembina fungsi pembina, fungsi Binamitra Polres Boyolali adalah: a. Memberi bimbingan teknik atas pelaksanaan fungsi Binamitra pada tingkat polsek b. Menyelenggarakan dan melaksanakan Binkamswakarsa untuk memelihara dan menciptakan suasana aman tertib dalam lingkungan masyarakat melalui usaha pam yang tumbuh dan berkembang atas kehendak dan kemampuan
masyarakat
itu
sendiri
termasuk
mencegah
dan
menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat c. Menyelenggarakan dan melaksanakan pembinaan potensi masyarakat untuk memelihara serta meningkatkan situasi dan kondisi masyarakat yang menguntungkan bagi pelaksanaan tugas kepolisian serta cegah timbulnya faktor kriminogen d. Menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan badan-badan di dalam dan di luar Polri pada tingkat Mapolres
92
e. Menyelenggarakan dan melaksanakan koordinasi serta kerjasama dengan badan/ organisasi pemerintah, swasta, LSM dan lain-lain pada tingkat pusat maupun daerah dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat. Binamitra Polres dipimpin oleh Kepala Bagian Binamitra Polres disingkat Kabag Binamitra yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas kewajibannya kepada Kapolres, dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari dikoordinasi oleh Wakapolres. a. KABAG BINAMITRA Tugas dan wewenangnya adalah: 1) Mengatur
penyelenggaraan
dan
mengawasi
atau
mengarahkan
pelaksanaan penyuluhan masyarakat dan pembinaan pam swakarsa oleh satuan fungsi yang berkompeten 2) Membina hubungan kerjasama dengan organisasi/ lembaga/ tokoh sosial/ kemasyarakat dan instansi pemerintah, khususnya instansi polsus/ PPNS dan pemerintahan daerah. Bertanggung jawab kepada Kapolres dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolres b. KASUBBAG BIMMAS Tugas dan wewenangnya adalah: 1) Merencanakan penyusuanan rencana kerja dibidang kegiatan bimbingan masyarakat serta pembinaan dalam rangka program perpolisian masyarakat
93
2) Menyusun kegiatan dan strategi dalam
rangka pemberdayaan
masyarakat dan pemberdayaan Pam swakarsa melalui ksk/ fsk 3) Mengadakan kegiatan bimbingan penyuluhan keamanan dan hukum terhadap masyarakat c. KASUBBAG KERMA Tugas dan wewenangnya adalah: Merencanakan penyususnan rencana kerja dibidang kegiatan kerjasama dengan organisasi/ lembaga/ tokoh sosial/ kemasyarakatan dan instansi pemerintah dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat pada hukum dan perundang-undangan. Beberapa Program Unggulan yang dimiliki oleh Binamitra adalah: Pemberdayaan community policing 1) Kegiatan Bintibmas (pembinaan dan penyuluhan hukum, kecelakaan lalu lintas, narkoba dan lain-lain) 2) Kegiatan Binredawan (pembinaan dan penyuluhan terhadap remaja, karang taruna, pelajar, mahasiswa tentang kenakalan remaja, narkoba dan KDRT) 3) Kegiatan Binkamsa (pembinaan, penyuluhan, sambang dan pelatihan terhadap pos kamling) 4) Kegiatan Bin Kor Polsus
94
Peluang/ Potensi Dukungan terhadap Binamitra Polres Boyolali, yang meliputi: a. Pemerintah Daerah Boyolali b. Tokoh agama c. Tokoh masyarakat d. Pengusaha atau pelaku bisnis e. Instansi terkait f. Sekolah, kampus dan potensi masyarakat lainnya
BAB III PENYAJIAN DATA
A. Informan Dalam penelitian yang menjadi informan, yaitu pelaksana program Community Policing (Polmas), yaitu Binamitra Polres Boyolali, dan sasaran program Community Policing, yaitu masyarakat peserta program Community Policing. Berikut informan yang menjadi narasumber dalam penelitian ini: 1. Pelaksana Program Community Policing Community Policing adalah program Kepolisian dalam membangun kemitraan dengan masyarakat. Binamitra selaku Humas Polres Boyolali mempunyai peranan yang besar dalam kegiatan ini. Staf pelaksana program Community Policing di Binamitra Polres Boyolali, yaitu: · Kasubbag Bimmas, Binamitra Polres Boyolali
95
IPDA Joko Lukito, 51 tahun, jabatan beliau di Polres Boyolali adalah sebagai Kepala Sub Bagian Bimmas yang bertugas membantu Kabag Binamitra dalam penyusunan rencana kerja di bidang kegiatan bimbingan masyarakat serta pembinaan dalam rangka program Perpolisian Masyarakat/ Polmas/ Community Policing. · Ba Min Bimmas, Binamitra Polres Boyolali AIPTU Dalyamto, 46 tahun, jabatan beliau di Polres Boyolali adalah sebagai Ba Min Bimmas yang bertugas menyusun laporan hasil kegiatan harian, mingguan dan bulanan Binamitra Polres Boyolali. 2. Sasaran Program Community Policing Sasaran Program Community Policing adalah seluruh Warga Negara Indonesia. Tanggung jawab pelaksanaan program ini diserahkan kepada masing-masing institusi Kepolisian yang ada di seluruh Indonesia. Untuk Polres Boyolali bertanggung jawab atas pelaksanaan program Community Policing pada masyarakat yang ada di wilayah kerja Polres Boyolali. Wilayah kerja Polres Boyolali yaitu Kabupaten Boyolali dengan membawahi 19 Polsek. Dalam penelitian ini, peneliti memilih narasumber secara purposive dan mendapatkan pembinaan langsung secara tatap muka (face to face). Berikut daftar nama narasumber dari peserta program Community Policing: a. Oktaviani Puspitasari, 26 tahun, pendidikan sarjana pendidikan, berprofesi sebagai guru Play Group, berdomisili di Ampel, Boyolali.
96
b. Setro Margono, 45 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan sebagai Kepala Desa Keposong, berdomisili di Musuk, Boyolali. c. Suyamto, usia 38 tahun, pendidikan sarjana pendidikan, pekerjaan sebagai guru SLTP, berdomisili di Ampel, Boyolali. d. Agus Setiawan, 35 tahun, pendidikan SMA, bekerja sebagai Satuan Pengamanan (Satpam) BNI Sunggingan, berdomisili di Teras, Boyolali e. Erna Dwi Agustin, 17 tahun, pendidikan terakhir SLTP, sekarang masih terdaftar sebagai siswi SMA Negeri 3 Boyolali, berdomisili di Mojosongo, Boyolali. Tabel 3.1 Informan Peserta Program Community Policing No.
Nama
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
1.
Oktaviani Puspitasari
26 tahun
Sarjana pendidikan
Guru Play Group
2.
Setro Margono
45 tahun
SMA
Kepala Desa
3.
Suyamto
38 tahun
Sarjana pendidikan
Guru SLTP
4.
Agus Setiawan
35 tahun
SMA
Satpam
5.
Erna Dwi Agustin
17 tahun
SLTP
Pelajar
B. Perencanaan Program Community Policing 1. Latar Belakang Community Policing Sebelum konsep Community Policing diluncurkan terutama di negara-negara maju, penyelenggaraan tugas-tugas Kepolisian baik dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum,
97
dilakukan secara konvensional. Polisi cenderung melihat dirinya sematamata sebagai pemegang otoritas dan institusi kepolisian dipandang sematamata sebagai alat negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian. Walaupun prinsip-prinsip “melayani dan melindungi” (to serve and to protect) ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik, serba sama/seragam mewarnai penyajian layanan kepolisian. Gaya perpolisian tersebut mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dari pemerintah pusat dan mengabaikan ‘persetujuan’ masyarakat lokal yang dilayani. Selain itu polisi cenderung menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal dan eksklusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu berakibat pada memudarnya legitimasi kepolisian di mata publik pada satu sisi, serta semakin berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanaan tugas kepolisian maupun buruknya citra polisi pada sisi lain. Kondisi di atas, juga terjadi di Indonesia, lebih-lebih ketika Polri dijadikan sebagai bagian integral ABRI dan polisi merupakan prajurit ABRI yang dalam pelaksanaan tugasnya diwarnai sikap dan tindakan yang kaku bahkan militeristik yang tidak proporsional. Perpolisian semacam itu juga ditandai antara lain oleh pelaksanaan tugas kepolisian, utamanya penegakan hukum, yang bersifat otoriter, kaku, keras dan kurang peka terhadap kebutuhan rasa aman masyarakat. Di sisi lain pelaksanaan tugas kepolisian sehari-hari, lebih mengedepankan penegakan hukum utamanya
98
untuk menanggulangi tindak kriminal. Berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang berkaitan dengan Sistem Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Swakarsa, Polri dibebani tugas melakukan pembinaan Kamtibmas yang diperankan oleh Babinkamtibmas sebagai ujung tombak terdepan. Pendekatan demikian memposisikan masyarakat seakan-akan hanya sebagai objek dan posisi polisi sebagai subjek yang ‘serba lebih’ sehingga dianggap figur yang mampu menangani dan menyelesaikan segenap permasalahan kamtibmas yang dihadapi masyarakat.59 Pola penyelenggaraan pomolisian yang bertumpu kepada konsep peningkatan jumlah polisi dan/atau peningkatan intensitas kegiatan polisi tidak mampu mengatasi atau menekan angka gangguan Kamtibmas yang berkembang pesat di dalam masyarakat. Sejalan dengan pergeseran peradaban umat manusia, secara universal terutama di negara-negara maju, masyarakat cenderung semakin ‘jenuh’ dengan cara-cara lembaga pemerintah yang birokratis, resmi, formal/kaku, general/seragam dan lain-lain dalam menyajikan layanan publik. Terdapat kecenderungan bahwa masyarakat lebih menginginkan pendekatan-pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan masalah dari pada sekedar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Dalam bidang penegakan hukum terutama yang menyangkut pertikaian antar warga, penyelesaian dengan mekanisme informal dipandang efektif 59 Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005, hal 4
99
dari pada proses sistem peradilan pidana formal yang acapkali kurang memberikan peranan yang berarti bagi korban dalam pengambilan keputusan penyelesaian masalah yang dideritanya. Kondisi sebagaimana diutarakan di atas mendorong diluncurkannya program-program baru dalam penyelenggaraaan tugas Kepolisian terutama yang disebut Community Policing. Lambat laun, Community Policing tidak lagi hanya merupakan suatu program dan/atau strategi melainkan suatu falsafah yang menggeser paradigma konvensional menjadi suatu model perpolisian baru dalam masyarakat madani. Model ini pada hakekatnya menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai objek tetapi mitra Kepolisian dan pemecahan masalah (pelanggaran hukum) lebih merupakan kepentingan dari pada sekedar proses penanganan yang formal/prosedural. Dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Community Policing pada hakekatnya bukan merupakan hal yang asing. Kebijakan Siskamswakarsa diangkat dari nilainilai sosial dari sosio-kultural masyarakat Indonesia, yang lebih menjujung nilai-nilai sosial dari pada individu. Pelaksanaan pengamanan lingkungan secara swakarsa pernah/masih efektif berjalan. Pada bagian-bagian wilayah/etnik tertentu nilai-nilai kultural masih efektif (bisa diefektifkan) dalam penyelesaian masalah sosial pada tingkat lokal. Nilai saling memaafkan dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia yang religius. Pada zaman dahulu dikenal adanya “Hakim Perdamaian” desa. Kondisi itu semua merupakan modal awal yang dapat berperan sebagai faktor
100
pendukung yang efektif dalam pengembangan Community Policing “ala” Indonesia, jika dikelola secara tepat sesuai ke-kini-an dan sejalan dengan upaya membangun masyarakat madani khususnya kepolisian “sipil” yang menekankan pada pendekatan kemanusiaan khususnya perlindungan hakhak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas kepolisian.
2. Pengertian Program Community Policing Konsep Community Policing (Polmas) mencakup 2 (dua) unsur: perpolisian dan masyarakat.60 a. Secara harfiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata “Policing” berarti segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian. Dalam konteks ini perpolisian tidak hanya menyangkut operasionalisasi
(taktik/teknik)
fungsi
Kepolisian
tetapi
juga
pengelolaan fungsi Kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafati yang melatarbelakanginya. b. Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata “Community” (komunitas) dalam konteks Polmas berarti: 1) Warga masyarakat atau komunitas yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya (geographic-community). Batas
wilayah
komunitas
ini
60 Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005, hal 5
harus
dilakukan
dengan
101
memperhatikan keunikan karakteristik geografi dan sosial dari suatu lingkungan dan terutama keefektifan pemberian layanan kepada warga masyarakat. Wilayah tersebut dapat berbentuk RT, RW, desa, kelurahan ataupun berupa pasar/pusat belanja/mall, kawasan industri, pusat/kompleks olahraga, stasiun bus/kereta api dan lain-lain. 2) Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan Polmas diterapkan juga bisa meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah yang lebih luas seperti kecamatan bahkan kabupaten/kota,
sepanjang
mereka
memiliki
kesamaan
kepentingan. Sebagai contoh kelompok berdasar agama, kelompok berdasar profesi, hobby dan sebagainya. Kelompok ini dikenal dengan nama komunitas berdasar kepentingan (community of interest). Sebagai suatu strategi, Polmas berarti: model perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta ketenteraman kehidupan masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan
rasa ketakutan akan kejahatan serta
meningkatkan kualitas hidup warga setempat. a. Dalam pengertian ini, masyarakat diberdayakan sehingga tidak lagi semata-mata sebagai objek dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian
102
melainkan sebagai subjek yang menentukan dalam mengelola sendiri upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan bersama mereka yang difasilitasi oleh petugas kepolisian yang berperan sebagai petugas Polmas dalam suatu kemitraan. b. Dalam pengertian pengelolaan terkandung makna bahwa masyarakat berusaha menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar pemecahan masalah-masalah gangguan keamanan dan ketertiban termasuk pertikaian antar warga serta penyakit masyarakat dan masalah sosial lain yang bersumber dari dalam kehidupan mereka sendiri bagi terwujudnya suasana kehidupan bersama yang damai dan tenteram. c. Operasionalisasi konsep Polmas pada tataran lokal memungkinkan masyarakat setempat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan sendiri pengelolaan keamanan dan ketertiban yang didasarkan atas norma-norma sosial dan/atau kesepakatan-kesepakatan lokal dengan mengindahkan peraturan-peraturan hukum yang bersifat nasional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM (Hak Asasi Manusia) dan kebebasan individu yang bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat yang demokratis. Polmas pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Siskamswakarsa yang dalam pengembangannya disesuaikan dengan ke-kini-an penyelenggaraan fungsi Kepolisian masyarakat madani,
103
sehingga tidak semata-mata merupakan pengadopsian dari konsep “Community Policing”. Mengacu pada uraian di atas, Polmas hakekatnya mengandung 2 (dua) unsur utama, yaitu:61 a. Membangun kemitraan antara polisi dan masyarakat. b. Menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat lokal. Sebagai suatu falsafah, Polmas mengandung makna “suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dan menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang
kelancaran
penyelenggaraan
fungsi
Kepolisian
dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat”. Pembentukan Polmas mempersyaratkan: a. Adanya seorang petugas Polmas yang ditugaskan secara tetap untuk model kewilayahan dan sejumlah petugas yang ditugaskan secara tetap untuk model kawasan. b. Model kawasan mempersyaratkan adanya “pos” (balai) sebagai pusat layanan kepolisian sedangkan model wilayah dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia pada kantor desa/kelurahan atau tempat tinggal petugas Polmas.
61 ibid, hal. 7
104
c. Adanya suatu forum kemitraan yang keanggotaannya mencerminkan keterwakilan semua unsur dalam masyarakat termasuk petugas Polmas dan pemerintah setempat. Perwujudan Polmas sebagai suatu falsafah merasuk dalam sikap dan perilaku
setiap
anggota
Polri
yang
mencerminkan
pendekatan
kemanusiaan baik dalam pelaksanaan tugas layanan Kepolisian maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
3. Tujuan Penerapan Polmas (Community Policing) Tujuan penerapan Polmas adalah terwujudnya kerjasama polisi dan masyarakat lokal (komunitas) untuk menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketenteraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat. Menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban yang bersumber dari komunitas itu sendiri serta dalam batas-batas tertentu mengambil tindakan pertama jika terjadi kejahatan atau bahkan menyelesaikan pertikaian antar warga sehingga tidak memerlukan penanganan melalui proses formal dalam sistem peradilan pidana.
105
Menciptakan ketenteraman umum mengandung makna bahwa yang dituju oleh Polmas bukan hanya sekedar ketiadaan faktual terhadap keamanan dan ketertiban tetapi juga perasaan takut warga dalam kehidupan bersama dalam komunitas mereka. Kerjasama polisi dan masyarakat mengandung makna bukan sekedar bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan/ pengendalian dan analisis/ evaluasi atas pelaksanaannya. Karena itu, sebagai suatu tujuan, kerjasama tersebut merupakan proses yang terus menerus tanpa akhir. 4. Sasaran Penerapan Program Community Policing Yang menjadi sasaran dalam program Community Policing adalah segenap warga negara Indonesia. Untuk memungkinkan terbangunnya kerjasama yang menjadi tujuan penerapan Polmas maka sasaran yang harus dicapai adalah membangun Polri yang dapat dipercaya oleh warga setempat dan membangun komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri dalam meniadakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban serta menciptakan ketenteraman warga setempat. Polri yang dapat dipercaya tercermin dari sikap dan perilaku segenap personel Polri, baik dalam kehidupan pribadi sebagai bagian dari komunitas maupun dalam pelaksanaan tugas mereka, yang menyadari
106
bahwa warga komunitas adalah stakeholder kepada siapa mereka dituntut untuk menyajikan layanan kepolisian sebagaimana mestinya. Komunitas yang siap bekerjasama adalah kesatuan kehidupan bersama warga yang walaupun dengan latar belakang kepentingan yang berbeda memahami dan menyadari bahwa kepentingan penciptaan situasi keamanan dan ketertiban umum merupakan tanggung jawab bersama antar warga dan antara warga dengan polisi.
Tabel 3.2 Sasaran Program Community Policing
Membangun Polri yang dapat dipercaya masyarakat setempat
Sikap dan perilaku polisi (pribadi/pelaksanaan tugas) yang menyadari bahwa warga setempat adalah stakeholder yang dilayani
Tiada gangguan Kamtibmas & menciptakan ketentraman masyarakat
Sasaran Membangun masyarakat yang siap kerjasama dengan Polri
Warga masyarakat dengan latar belakang kepentingan berbeda yang paham dan sadar bahwa kepentingan kamtibmas merupakan
107
5. Strategi Penerapan Community Policing Polmas bukan hanya semacam program dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian tetapi merupakan suatu metafora yang menuntut perubahan. Oleh karena itu, kebijakan dasar yang harus diletakkan adalah bahwa penerapan Polmas hanya direalisasikan pada level lokal terutama lingkungan komunitas yang mencerminkan kehidupan bersama yang komunitarian. Sebagai pelaksana Polmas tingkat Polres, Binamitra Polres Boyolali dalam penerapan Polmas mempunyai beberapa langkah/tahapan, yaitu: a. Tahap persiapan: Dalam tahap persiapan ini yang ditekankan Binamitra adalah sosialisasi Polmas kepada semua jajaran dan masyarakat. Adapun strategi yang digunakan yaitu: 1) Strategi internal (Polri) a) Mengembangkan sistem pembinaan sumber daya manusia khususnya bagi petugas Polmas yang meliputi: · Rekruitmen · Pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih (master trainers) maupun petugas Polmas · Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya.
108
· Penilaian kinerja dengan membuat standar penilaian baik untuk perorangan maupun kesatuan. · Penghargaan dan penghukuman b) Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas
secara
bertahap
sesuai
dengan
kualifikasi
yang
dibutuhkan. c) Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas. d) Menyediakan
dukungan
anggaran
yang
memadai
dalam
pelaksanaan tugas Polmas. e) Meningkatkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas sehingga: · Setiap aktivitas penyajian layanan kepolisian mencerminkan suatu pendekatan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat
dalam
rangka
menumbuhkan
kepercayaan
masyarakat terhadap Polri. · Setiap anggota Polri dalam tampilan di tempat umum menunjukkan sikap dan perilaku yang baik serta dalam kehidupan di lingkungan pemukiman/ kerja senantiasa berupaya membangun hubungan yang harmonis dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
109
f) Mengembangkan program-program yang sejalan dengan program Polmas pada satuan-satuan fungsi operasional kepolisian tingkat Polres ke atas. 2) Strategi Eksternal (Masyarakat) a) Mengadakan kerjasama dengan pemerintah daerah, DPRD dan instansi terkait lainnya. b) Membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial termasuk pengusaha, media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program-program Polmas. c) Meningkatkan program-program sosialisasi yang dilakukan petugas Polmas dan setiap petugas pada satuan-satuan fungsi guna meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan stabilitas Kamtibmas. d) Membentuk
Forum
Kemitraan
Polisi-Masyarakat
(FKPM)
sebagai wadah kerjasama antara polisi dengan masyarakat yang mengoperasionalisasikan Polmas dalam lingkungannya. e) Menyelenggarakan program-program Polmas pada komunitaskomunitas sehingga secara bertahap dapat diimplementasikan pada setiap lingkungan kehidupan masyarakat lokal. f) Membangun jaringan koordinasi dan kerjasama antara Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat dengan kesatuan Polri setempat termasuk memantau, mengawasi/mengendalikan, memberikan
110
bimbingan teknis dan arahan serta melakukan penilaian atas keefektifan program Polmas. b. Tahap Operasional Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) bersama segenap warganya melakukan kegiatan yang meliputi: 1) Audit internal terhadap masalah-masalah
yang dihadapi di
lingkungannya melalui survey berkala 2) Penyusunan dan pelaksanaan program kerja Forum 3) Pembahasan dan pemecahan masalah-masalah kamtibmas/ sosial yang terjadi 4) Penyelesaian konflik/ pertikaian antar warga yang difasilitasi oleh petugas Polmas 5) Penetapan dan penegakan peraturan lokal yang mengacu pada nilainilai tradisi/ adat setempat Program pengembangan Community Policing 2006-2009, yaitu: a. Tahun 2006: Tahap Sosialisasi 1) Mensosialisasikan falsafah strategi, prinsip-prinsip dan programprogram Polmas dalam lingkungan Polri dan masyarakat. 2) Mendidik dan melatih master trainers sebagai agen perubahan yang nantinya bertugas untuk mendidik para petugas Polmas dan polisi pada satuan kewilayahan dan satuan fungsi lainnya.
111
3) Menyiapkan petugas Polmas yang akan mengawasi pelaksanaan program
Polmas
baik
dengan
meningkatkan
kemampuan
Babinkamtibmas yang sudah ada maupun mendidik petugas baru. 4) Mendorong percepatan penciptaan kondisi internal yang kondusif dalam rangka menumbuh-kembangkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. 5) Menyesuaikan
operasionalisasi
program-program
Bimmas/
Binkamtibmas/ Siskamwakarsa dengan konsep Polmas secara bertahap. 6) Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/ kawasan yang ditetapkan oleh masing-masing Polres secara prioritas. 7) Membangun dan membina kemitraan dengan pihak terkait baik dengan masyarakat, pejabat pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, pelaku bisnis, media massa dan lembagalembaga sosial lainnya. b. Tahun 2007: Tahap pengembangan 1) Memelihara dan meningkatkan segala sesuatu yang telah disiapkan dan dicapai pada tahun 2006. 2) Meningkatkan jumlah petugas Polmas. 3) Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/kawasan sebagai kelanjutan dari program yang dilaksanakan. 4) Mengevaluasi
pelaksanaan
dilaksanakan pada tahun 2006.
program-program
yang
telah
112
c. Tahun 2008: Tahap Peningkatan 1) Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/ kawasan sebagai kelanjutan dari program yang dilaksanakan sehingga warga masyarakat dapat berpartisipasi dan mendukung program Polmas. 2) Mengevaluasi
pelaksanaan
program-program
yang
telah
dilaksanakan pada tahun 2007. d. Tahun 2009: Tahap Pemantapan 1) Polres dan jajarannya telah mengimplementasikan Polmas seoptimal mungkin. 2) Pengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan pada tahun 2008.
6. Sumber Daya a. Sumber Daya Manusia Pada dasarnya Community Policing (Polmas) dilaksanakan oleh seluruh anggota Polri mulai dari semua petugas di lapangan sampai pucuk Pimpinan Polri. Bentuk kegiatan yang dilakukan anggota Polri berbeda sifatnya sesuai kedudukan dan batas kewenangan masing-masing. Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang pedoman dasar strategi dan implementasi pemolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas Polri, petugas Polmas mempunyai tugas:
113
1) Menyelenggarakan fungsi deteksi permasalahan masyarakat 2) Melaksanakan
fungsi-fungsi
bimbingan
dan
penyuluhan
masyarakat 3) Melaksanakan tugas-tugas kepolisian umum 4) Melaksanakan fungsi Reserse Kriminal secara terbatas Wewenang petugas Polmas: 1) Mengambil tindakan Kepolisian secara proporsional dalam perbuatan melawan hukum 2) Menyelesaikan perkara ringan/pertikaian melalui FKPM 3) Melaksanakan
penertiban
dalam
memelihara
keamanan
lingkungan
Tabel 3.3 DATA PERSONIL BINAMITRA POLRES BOYOLALI No
Nama
Pangkat
Jabatan
1
Suwarno, SH
Kompol
Kabag Binamitra
2
Joko Lukito
Ipda
Kasubbag Bimmas
3
Sutanto
Iptu
Kasubbag Kerma
4
Sukiman, SE
Aipda
Ban Um Bimmas
5
Dalyamto
Aiptu
Ba Min Bimmas
6
Budi Wasito
Aiptu
Ban Um Kerma
114
7
Rahmad, SPd. MH
Briptu
Ban Um Kerma
8
Setyawan Eka S
Briptu
Anggota
9
Adi Negara
Bripda
Anggota
10
Anik M
Bripda
Anggota
11
Warno, SH
Briptu
Anggota
12
Satrio Anggun S
Bripda
Anggota
13
Suryanto
PNS
Pengatur
14
Eni Rahayu
PNS
Pengatur
Sumber: Binamitra Polres Boyolali Th 2010
b. Sumber Biaya Operasional Perhitungan rencana anggaran Polri mengalokasikan biaya operasional yang selayaknya untuk menjamin aktivitas dan dinamika penerapan strategi Polmas di seluruh Indonesia termasuk biaya manajemen pada setiap tingkatan organisasi dalam rangka secara terus menerus memantau, mengawasi/mengendalikan, mengarahkan dan menilai keberhasilan
pelaksanaan
keberlangsungan
Polmas,
penerapan
Polmas.
masing-masing
Untuk
kesatuan
menjamin
kewilayahan
(Polres) perlu melakukan kerjasama dengan Pemda setempat sehingga operasionalisasi Polmas dapat merupakan program Pemda yang didukung dengan APBD. c. Sumber Perlengkapan
115
Tidak ada perlengkapan khusus dalam program Community Policing. Perlengkapan yang digunakan hanya berupa laptop, layar/screen, sound system dan buku pedoman. 7. Saluran Komunikasi Saluran komunikasi yang dipakai Binamitra Polres Boyolali dalam menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat adalah secara lisan, melalui penyuluhan-penyuluhan maupun pembinaan secara langsung. Wahana yang digunakan untuk mempermudah pelaksanaan Polmas di masyarakat maka dibentuklah FKPM, melalui FKPM komunikasi antara polisi dengan masyarakat lebih terorganisir. Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) adalah wahana komunikasi antara Polri dan warga yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan bersama dalam rangka pembahasan masalah Kamtibmas dan masalah-masalah sosial yang perlu dipecahkan bersama oleh masyarakat dan petugas Polri dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.62 Tugas dari FKPM yaitu: a.
Merencanakan rapat secara periodik
b.
Menentukan skala prioritas memecahkan masalah sosial atau kejahatan
c.
Memonitor sikon dan mengidentifikasi masalah
62 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, hal. 10
116
d.
Mempelajari bentuk-bentuk gangguan keamanan dan ketertiban
e.
Mengkaji dan menganalisa setiap masalah
f.
Menetapkan program kerja memcahkan masalah
g.
Menampung atau menyalurkan laporan masyarakat yang berkaitan dengan masalah sosial, kejahatan dan pelanggaran
Wewenang FKPM: a.
Membuat kesepakatan yang merupakan peraturan lokal dalam lingkungan dan melaksanakannya
b.
Secara kelompok/ perorangan mengambil tindakan kepolisian dalam hal tertangkap tangan
c.
Memberi saran pendapat kepada Kapolsek tentang pengelolaan/ peningkatan kualitas keamanan
d.
Selesaikan perkara ringan/ pertikaian antar warga bersama petugas Polmas
Larangan FKPM: a.
Membentuk suatu satuan tugas
b.
Menggunakan atribut dan emblem (lambang/simbol) Polri
c.
Tanpa bersama petugas Polmas, menangani sendiri penyelesaian kasus-kasus kejahatan dan pelanggaran
d.
Melakukan tindakan Kepolisian (upaya paksa terhadap kasus kejahatan)
117
e.
Mengatasnamakan atau mengkait-kaitkan hubungan Polmas/FKPM dalam melakukan kegiatan politik praktis
8. Monitoring Program Community Policing Pelaksanaan pemantauan (monitoring) dilakukan melalui langkah-langkah: a. Koordinasi antara Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) dengan Polsek b. Membuat laporan secara berkala oleh petugas Polmas c. Evaluasi oleh Polres bersama FKPM d. Penilaian keberhasilan/keefektifan yang dilakukan dengan cara mengumpulkan pendapat masyarakat C. Pelaksanaan Program Community Policing Dalam melaksanakan peranannya, personil Binamitra Polres Boyolali mempunyai tugas dan wewenang sebagai pelaksana yang mengacu pada Surat Keputusan Kapolri No. Pol Kep/54/X/2002. Surat Keputusan Kapolri tersebut, menjelaskan mengenai perumusan tugas pokok Binamitra, yang menjadi dasar acuan personil Binamitra Polres Boyolali untuk dilaksanakannya. Dalam surat Keputusan Kapolri No. Pol Kep/54/X/2002, menyatakan bahwa:63 Bagian Binamitra (Pembinaan Kemitraan), adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf Polres yang berada di bawah Kapolres, yang bertugas menyelenggarakan dan mengawasi/mengarahkan pelaksanaan penyuluhan masyarakat dan pembinaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa oleh satuan-satuan fungsi yang berkompeten, membina hubungan kerjasama dengan organisasi/lembaga/tokoh sosial/kemasyarakatan dan instansi pemerintah, khususnya instansi 63 Surat Keputusan Kapolri Nomor 54,Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres), Jakarta, 2002, hal. 6
118
Polsus/PPNS dan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah, dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat pada hukum dan peraturan perundang-undangan, pengembangan pengamanan swakarsa dan pembinaan hubungan Polri-masyarakat yang kondusif bagi pelaksanaan tugas Polri. Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008 yang menjadi pedoman dasar pelaksanaan kegiatan Polmas Binamitra
Polres
Boyolali
disampaikan
mengenai
prinsip-prinsip
penyelenggaraan Polmas, yaitu:64 1. Komunikasi intensif: praktek pemolisian yang menekankan kesepakatan dengan warga, bukan pemaksaan berarti bahwa Polri menjalin komunikasi intensif dengan masyarakat melalui tatap muka, telekomunikasi, surat, pertemuan-pertemuan, forum-forum komunikasi, diskusi dan sebagainya di kalangan masyarakat dalam rangka membahas masalah keamanan. 2. Kesetaraan:
asas
kesejajaran
kedudukan
antara
warga
masyarakat/komunitas dan petugas kepolisian yang saling menghormati martabat, hak dan kewajiban, dan menghargai perbedaan pendapat, asas kesetaraan juga mensyaratkan upaya memberi layanan kepada semua kelompok masyarakat, dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan, anak, lansia, serta kelompok-kelompok rentan lainnya. 3. Kemitraan: Polri membangun interaksi dengan masyarakat berdasarkan kesetaraan/kesejajaran, sikap salaing mempercayai dan menghormati
64 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, hal 14
119
dalam upaya pencegahan kejahatan, pemecahan masalah keamanan dalam komunitas/masyarakat, serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. 4. Transparansi:
asas
keterbukaan
polisi
terhadap
warga
masyarakat/komunitas serta pihak-pihak lain yang terkait dengan upaya menjamin rasa aman, tertib dan tenteram, agar dapat bersaama-sama memahami permasalahan, tidaj saling curiga dan dapat menumbuhkan kepercayaan satu sama lain. 5. Akuntabilitas: penerapan asas pertanggungjawaban Polri yang jelas, sehingga setiap tindakannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai prosedur dan hukum yang berlaku dengan tolok ukur yang jelas, seimbang dan objektif. 6. Partisipasi: kesadaran polisi dan masyarakat untuk secara aktif ikut dalam berbagai kegiatan komunitas/masyarakat untuk mendorong keterlibatan warga dalam upaya memelihara rasa aman dan tertib, memberi informasi, saran dan masukan serta aktif dalam proses pengambilan keputusan guna memecahkan
permasalahan
kamtibmas,
sambil
menghindari
kecenderungan main hakim sendiri. 7. Personalisasi: pendekatan Polri yang lebih mengutamakan hubungan pribadi langsung daripada hubungan formal/birokrasi yang umumnya lebih kaku, demi menciptakan tata hubungan yang erat dengan warga masyarakat/komunitas.
120
8. Desentralisasi: penerapan polmas mensyaratkan adanya desentralisasi kewenangan kepada anggota polisi di tingkat lokal untuk menegakkan hukum dan memecahkan masalah. 9. Otonomisasi: pemberian kewenangan atau keleluasaan kepada kesatuan kewilayahan untuk mengelola Polmas di wilayahnya. 10. Proaktif: segala bentuk kegiatan pemberian layanan polisi kepada masyrakat atas inisiatif polisi dengan atau tanpa ada laporan/permintaan bantuan dari masyarakat berkaitan dengan penyelenggaraan keamanan, ketertiban dan penegakan hukum. 11. Orientasi pada pemecahan masalah: polisi bersama-sama dengan warga masyarakat/komunitas melakukan identifikasi dan menganalisa masalah, menetapkan prioritas dan respons terhadap sumber/akar masalah. 12. Orientasi pada pelayanan: bahwa pelaksanaan tugas Polmas lebih mengutamakan
pelayanan
polisi
kepada
masyarakat
berdasarkan
pemahaman bahwa pelayanan adalah hak masyarakat yang harus dilaksanakan oleh anggota polisi sebagai kewajibannya. Personil dari Binamitra polres Boyolali, memberikan Binluh (pembinaan dan penyuluhan) kepada masyarakat disesuaikan dengan sasaran yang dituju, baik itu untuk remaja, wanita, anak-anak, pelajar, satpam dan masyarakat umum. Karena banyaknya sasaran dalam program Community Policing, maka Binamitra Polres Boyolali mengelompokkan kegiatan sesuai dengan sasarannya. Pengelompokan tersebut adalah: 1. Kegiatan Pembinaan Ketertiban Masyarakat (Bintibmas)
121
Untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri terus membangun kemitraan dengan berbagai elemen masyarakat dalam upaya mewujudkan keamanan dan ketertiban, salah satunya dalam bentuk bimbingan
dan
penyuluhan.
Dalam
Binamitra
Polres
Boyolali
melaksanakan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat Boyolali untuk menyampaikan pesan, informasi, dan permasalahan sosial kamtibmas. Dalam melakukan kegiatan bimbingan penyuluhan kepada masyarakat, petugas menempatkan dirinya sejajar dengan masyarakat. a. Sosialisasi Polmas dan FKPM dengan tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh daerah b. Penyuluhan pokdar (kelompok sadar) kamtibmas c. Penyuluhan Kamtibcar Lantas d. Penyuluhan hukum Polmas e. Pembinaan dan penyuluhan langsung terhadap tukang parkir dan ojek f. Kegiatan kemitraan dengan instansi terkait 2. Kegiatan Pembinaan Redawan (Remaja, Pemuda dan Wanita) Pembinaan redawan diberikan mengingat para remaja dan pemuda rawan dalam melakukan aksi-aksi kejahatan. Secara psikologi pada usia tersebut, remaja dan pemuda bergejolak darah anak muda, dan bilamana terpengaruh dengan lingkungan yang buruk akan mempengaruhi mereka. Misalnya, maraknya bahaya narkotika, serta kenakalan remaja. Namun, pembinaan yang dilakukan bukan hanya bagi para remaja dan pemuda saja, tetapi juga meliputi pembinaan terhadap wanita. Pembinaan diberikan
122
kepada para wanita yang telah terjaring pada operasi khusus jajaran Polres Boyolali, mengenai masalah pelacuran yang merupakan tindak pidana ringan. Pembinaan yang dilakukan Binamitra Polres Boyolali bukan hanya bagi remaja dan pemuda saja, tetapi juga meliputi pembinaan terhadap anak-anak yang dimulai sejak Taman Kanak-kanak yang diberi nama Polisi Sahabat Anak (PSA). Disini anak-anak TK diberi pembinaan serta pelatihan untuk mengenal rambu-rambu lau-lintas, menanamkan semenjak dini pengenalan terhadap polisi sehingga sosok polisi bukan menjadi sosok yang menakutkan bagi anak-anak. Sebab kadangkala, orang tua menakutnakuti anak-anak bahwa sosok polisi itu menakutkan. Oleh sebab itu, Binamitra Polres Boyolali bekerjasama dengan Play Group ataupun Taman Kanak-kanak yang ada di wilayah Kabupaten Boyolali. Oleh sebab itu Polres Boyolali bertanggung jawab memberikan pembinaan melalui penyuluhan-penyuluhan, yaitu: a. Penyuluhan hukum b. Penyuluhan kenakalan remaja c. Penyuluhan narkoba dan dampak penyalahgunaannya d. Penyuluhan KDRT e. Pembinaan dan latihan Pramuka Saka Bhayangkara f. Pelatihan PKS dan OSIS g. Pembinaan PSA (Polisi Sahabat Anak) 3. Kegiatan Pembinaan Keamanan Swakarsa (Binkamsa)
123
Binamitra Polres Boyolali senantiasa mengajak masyarakat Boyolali, agar dapat mengamankan wilayahnya masing-masing, supaya tercipta suasana aman dan tertib, baik di lingkungan dimana ia tinggal maupun di lingkungan tempat ia bekerja. Dengan membentuk keamanan swakarsa, masyarakat diajak untuk secara aktif dapat mengamankan lingkungannya, sehingga tugas Polri dalam memberikan perlindungan serta pengamanan akan dibantu oleh partisipasi aktif dari masyarakat, sebab adanya pengamanan masyarakat itu sendiri. Prinsip pengamanan swakarsa dan swadaya yaitu penampilan dari kegiatan nyata masyarakat didalam membina keamanan di lingkungannya masing-masing atas dasar kebutuhan sendiri sesuai dengan intensitas berbagai macam/jenis ancaman dan gangguan kamtibmas yang terjadi dan dirasakan. Untuk melaksanakan prinsip ini, menjadi tugas dari Binamitra untuk memberikan pembinaan terhadap masyarakat Boyolali, agar dapat membantu dan mendukung tugas-tugas kepolisian. Bentuk pembinaan keamanan swakarsa yang dilakukan oleh Binamitra Polres Boyolali terhadap masyarakat, meliputi: a. Sambang dan kontrol pos kamling b. Pembinaan anggota satuan pengamanan (satpam) c. Pembinaan dan penyuluhan anggota pos kamling d. Kegiatan kemitraan dengan Senkom (Sentral Komunikasi) Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling) adalah tempat atau bangunan sebagai salah satu sarana dalam penyelenggaraan siskamling, yang
124
berfungsi sebagai pusat kegiatan dalam pelaksanaan siskamling, dan pembentukannya berdasarkan kesepakatan dalam musyawarah warga.65 Pembinaan terhadap para calon satpam di wilayah Boyolali oleh Binamitra Polres Boyolali, dilakukan dengan cara memberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat) satpam. Meskipun bentuk pembinaan kepada satpam tidak hanya memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon satpam, tetapi untuk lebih memperlengkapi pengamanan, bagi satpam diadakan pertemuan-pertemuan dalam bentuk penyuluhan. Dalam pendidikan dasar satpam ini, meliputi beberapa bahan pokok atau materi tentang kesatpaman. Pelajaran mengenai kesatpaman adalah: 1) Pengantar/ orientasi pendidikan satpam 2) Pembinaan kepribadian 3) Pengetahuan dan ketrampilan 4) Perundang-undangan 5) Kesamaptaan 4. Kegiatan Pembinaan dan Koordinasi Polisi Khusus (POLSUS) Binamitra Polres Boyolali mengadakan kerjasama dan koordinasi serta mengawasi dan memberikan pembinaan terhadap POLSUS. Yang dimaksud dengan POLSUS adalah aparat kepolisian yang berdasarkan Undang-undang serta atas kuasa Undang-undang mempunyai kewenangan kepolisian terbatas dalam bidang tertentu. Yang menjadi bagian POLSUS adalah polisi khusus yang menjaga di kereta api dan kehutanan. 65 Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Sistem Keamanan Lingkungan
125
Binamitra Polres Boyolali menjadi wakil institusi Polres, yang mengadakan pendekatan dengan masyarakat sekitar, agar masyarakat mau berpartisipasi dan bekerjasama dengan Polri, karena Polri membutuhkan masyarakat dan masyarakat tetap membutuhkan kehadiran Polri di tengahtengah masyarakat. Caranya adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dan efektif dengan masyarakat, baik dengan penyuluhan ataupun dengan pembinaan kepada masyarakat wilayah Kabupaten Boyolali. Dengan adanya hubungan yang baik antara polisi dengan masyarakat maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri akan meningkat.
126
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, peneliti akan menyajikan analisa dan pembahasan hasil penelitian dari rencana awal penyusunan program sampai pada hasil yang diperoleh dari pelaksanaan program. Untuk mengetahui efektifitas program, deskripsi data yang diperoleh dari lapangan akan dievaluasi dengan menggunakan pendekatan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) dan Dampak Seperti yang diungkapkan dalam Bab I, CIPP merupakan pendekatan evaluasi yang bisa digunakan dalam pengembangan sebuah program yang secara keseluruhan memperhitungkan keterkaitan antar faktornya. Sehingga akan bisa ditemukan solusi untuk pemecahan masalah yang ditemukan pada saat pelaksanaan program. Dan pada akhirnya bisa disusun serangkaian saran dan rujukan untuk proses perbaikan dan pengembangan program selanjutnya.
127
Evaluasi dengan menggunakan model pendekatan CIPP memperhatikan keterkaitan program secara menyeluruh, mulai dari konteksnya yang meliputi informasi dari beberapa faktor mengenai kondisi dan karakteristik konteks sebelum suatu program dilaksanakan. Masukan yang diberikan sebagai penilaian atas persiapan program supaya bisa berjalan lancar. Proses bagaimana program dilakukan, apakah sesuai dengan konteksnya dan merupakan proses yang tepat untuk mencapai tujuan program. Dari informasi yang meliputi 4 faktor tersebut, peneliti akan mencoba menganalisa data yang diperoleh dari lapangan dengan melihat kesesuaian antar faktornya, sebagai berikut: A. Analisa dan Pembahasan Data Konteks Penilaian konteks merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program. Kebutuhan yang belum terlayani, populasi dan sampel dari individu yang dilayani dan tujuan program. Penilaian konteks terbagi dalam lima komponen yaitu, latar belakang pelaksanaan program, tujuan program, sasaran program, perencanaan program dan kesesuaian antara program dengan tugas pokok Binamitra Polres Boyolali sebagai pelaksana program Community Policing. 1.
Latar Belakang Penilaian terhadap latar belakang prograsm Community Policing diperoleh melalui wawancara dengan pelaksana program dengan mengajukan pertanyaan :
128
Apa latar belakang dilaksanakannya Program Community Policing ? Jawaban Aiptu. Dalyamto: ”Dalam rangka menciptakan situasi kondisi keamanan masyarakat dimana jumlah polisi dengan jumlah masyarakat ibaratnya 1:1000, yang sudah tidak relevan lagi sehingga perlu adanya keterlibatan dari masyarakat. Keamanan dan ketertiban bukan semata-mata hanya tugas polisi tetapi jadi tanggung jawab bersama. Untuk menyikapi kebutuhan jumlah warga masyarakat dengan polisi yang tidak relevan tersebut maka polisi melakukan terobosan-terobosan dalam rangka menciptakan situasi kondisi kamtibmas dengan cara menggandeng masyarakat, menjalin suatu kemitraan untuk mewujudkan keamanan ketertiban yang menjadi dambaan masyarakat itu sendiri.” 66
Sedangkan data dari buku pedoman Community Policing, latar belakang (dasar pertimbangan penerapan) program Community Policing, yaitu: a. Pola penyelenggaraan pemolisian yang bertumpu kepada konsep peningkatan jumlah Polisi dan/atau peningkatan intensitas kegiatan Polisi (misalnya patroli dan penindakan pelanggaran) tidak mampu mengatasi atau menekan angka gangguan Kamtibmas yang berkembang pesat di dalam masyarakat. b. Pemolisian lebih efektif dengan mengalihkan pendekatan konvensional ke pendekatan modern yaitu penerapan Polmas menekankan upaya pemecahan masalah yang terkait dengan kejahatan dan ketidaktertiban secara proaktif bersama-sama dengan masyarakat. c. Praktek keterlibatan masyarakat tradisional dalam pemolisian sudah di kenal di Indonesia diantaranya dalam bentuk: ronda kampung, jogo boyo, jogo tirto, pecalang dan sebagainya. d. Pola-pola penyelesaian masalah masyarakat melalui adat kebiasaan sudah umum diterapkan di dalam masyarakat tradisional, yang kesemuanya merupakan pola-pola pemecahan maslaah dan pencegahan serta pembinaan ketentraman dan
66 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
129
kerukunan masyarakat yang mendasarkan pada asas kemitraan, kebrsamaan dan keharmonisan di dalam masyarakat. e. Paradigma Reformasi dalam negara demokrasi yang plural menuntut agar Polri mampu melaksanakan tugas dengan berpegang pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, berperan sebagai pelindung dan pelayan masyarakat, bukan mengambil peran sebagai penguasa. Reformasi juga menghendaki keterbukaan Polri serta kepekaan Polri terhadap aspirasi rakyat serta memperhatikan kepentingan, kebutuhan dan harapan warga. f. Penerapan Polmas sebagai falsafah dan strategi merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan kualitas pelayanan Polri kepada Masyarakat melalui kemitraan dengan warga masyarakat untuk mewujudkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam era demokrasi dan penegakam Hak Asasi Manusia.67
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, latar belakang program Community Policing ini dilatari oleh kenyataan bahwa sumber daya manusia kepolisian yang terbatas tidak mungkin mengamankan masyarakat secara solitair atau seorang diri. Polisi membutuhkan peran serta masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Syarat utama program ini adalah terjalinnya kedekatan hubungan antara polisi dan masyarakat. Tepatnya, kemitraan yang harmonis dan upaya–upaya untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban warga masyarakat (kamtibmas).
67 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, hal. 12
130
Latar belakang pelaksanaan adalah hal yang paling utama dalam menjalankan suatu program. Latar belakang merupakan suatu permasalahan yang harus segera dipecahkan atau diselesaikan melalui perencanaan dan pelaksanaan program. Jadi, latar belakang digunakan untuk menentukan langkah selanjutnya dalam perencanaan suatu program. Dari data wawancara dan dokumen, membuktikan bahwa latar belakang dari program Community Policing kuat. Dengan latar belakang yang kuat, maka perencanaan akan menjadi lebih terarah. 2.
Tujuan Program Penilaian terhadap tujuan program Community Policing diperoleh melalui hasil wawancara dengan pelaksana program dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
Apakah tujuan diadakannya program Community Policing? Jawaban dari Aiptu. Dalyamto, yaitu: “Adapun tujuan dari penerapan Polmas: 1.
Mewujudkan adanya kerjasama antara polisi dengan masyarakat yang sifatnya simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara pihak polri dengan masyarakat. Dengan adanya program Polmas kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat dapat diciptakan antara masyarakat dan Polri. Masing-masing pihak merasa diuntungkan, masyarakat dapat menjalankan aktifitas tanpa ada gangguan kamtibmas. Polisi diuntungkan dengan adanya keamanan, yang secara tidak langsung mengurangi beban tugas polisi dalam melaksanakan
131
2.
3.
tugas dan kewenangannya, baik tugas-tugas perventif dan reprentif. Memecahkan suatu permasalahan-permaslahan yang terjadi di lingkungan, baik itu di lingkungan masyarakat, di lingkungan kawasan perusahaan maupun komunitas suatu perkumpulan, contohnya paguyupan ojek, pedagang kaki lima maupun kaitannya dengan jasa angkutan. Permasalahan yang dimaksud adalah permasalahan tindak pidana ringan, yang bisa diselasaikan sesuai porsi kewenangan FKPM yang ditoleransi dalam Perkap. Nomor 7 tahun 2008. Salah satu kewenangannya adalah menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang terjadi di kawasan maupun wilayah yang sifatnya ringan. Mewujudkan adanya kemitraan antara Polri dan masyarakat, yang mana dulu Polri sebagai subjek dan masyarakat sebagai objek, sekarang kita sama-sama, polisi sebagai subjek, masyarakat juga sebagai subjek, sebagai partnership sebagai mitra kerja dalam rangka mengeliminer permasalahanpermasalahan yang terjadi di masyarakat”.68
Sedangkan jawaban dari Ipda. Joko Lukito, yaitu: “Sesuai dengan Perkap No. 7 tujuannya itu untuk mewujudkan kemitraan polisi dengan masyarakat dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat, kaitannya dengan permasalahan yang ringan”.69 Penilaian terhadap tujuan Program Community Policing juga diperoleh melalui website, yaitu: 1. Terwujudnya model pemolisian yang protagonis dengan kedekatan polisi dan masyarakat sebagai pilar utamanya. 2. Terbinanya kerja sama dan tanggung jawab bersama antara Polri dan masyarakat dalam mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan kamtibmas. 3. Berkembangnya potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk
68 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010 69 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
132
pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. 4. Meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kamtibmas melalui cara-cara yang positif, proaktif, konstruktif, dan kreatif serta menguntungkan semua pihak yang berkecimpung dalam pembinaan kamtibmas.70 Telah disebutkan dengan jelas dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa program ini memang bertujuan untuk mewujudkan kemitraan polisi dan masyarakat yang didasari kesadaran bersama dalam rangka menanggulangi permasalahan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat guna menciptakan rasa aman, tertib dan tentram serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Upaya menanggulangi permasalahan yang dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat mencakup rangkaian upaya pencegahan dengan melakukan identifikasi akar permasalahan, menganalisis, menetapkan prioritas tindakan, melakukan evaluasi dan evaluasi ulang atas efektifitas tindakan.71 Kemitraan polisi dan masyarakat, meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan, pengawasan, pengendalian, analisis dan evaluasi atas pelaksanaannya. Kemitraan tersebut merupakan proses yang berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang aman, tertib dan tenteram, warga masyarakat diberdayakan untuk ikut aktif 70 http://www.dharana-lastarya.org 71 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, hal. 17
133
menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar bagi masalah-masalah yang menggangu keamanan, ketertiban dan masalah sosial lainnya. Masalah yang dapat diatasi oleh masyarakat terbatas pada masalah yang ringan, tidak termasuk perkara pelanggaran hukum yang serius. Yang dimaksud tindak pidana ringan yaitu ancaman hukum tindak pidana tersebut masa kurungannya tidak lebih dari 3 bulan dan denda tidak lebih dari Rp 7.500,00 namun dalam Perda tidak lebih dari Rp 50.000,00. 3.
Sasaran program Sasaran Program Community Policing adalah semua lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Keamanan dan ketertiban dalam masyarakat merupakan kebutuhan bagi setiap individu, kelompok bahkan negara untuk menjaga kelangsungan hidup dan terselenggaranya pemerintahan. Menyadari akan pentingnya rasa aman dan adanya berbagai keterbatasan sumberdaya kepolisian maka peran serta masyarakat membantu tugas-tugas keamanan tidak dapat dielakkan. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ipda. Joko Lukito: “Keamanan dan ketertiban adalah tanggung jawab seluruh warga masyarakat bukan hanya tugas polisi. Jadi masyarakat harus membantu tugas polisi agar kamtibmas bisa terwujud”.72 Kegiatan program Community Policing yang dilaksanakan oleh Binamitra Polres Boyolali difokuskan kepada sasaran-sasaran potensial,
72 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
134
yang memang penting untuk mendapatkan sosialisasi Community Policing. Contoh sasaran kelompok potensial itu adalah Satpam, anggota poskamling, remaja SMA, kelompok sadar kamtibmas, dan komunitaskomunitas tertentu seperti tukang ojek dan parkir. Binamitra Polres Boyolali juga memperhatikan sasaran dari anakanak. Binamitra melakukan kerjasama dengan Taman Kanak-kanak dan Play Group yang ada di Boyolali untuk dilakukan sosialisasi kepada anak-anak. Pada usia dini, anak-anak tersebut dikenalkan mengenai sosok polisi. Hal ini ditujukan untuk menumbuh-kembangkan pengetahuan anak-anak mengenai kamtibmas. Meskipun sosialisasi yang diberikan masih dalam tahap pengenalan polisi, diharapkan anak-anak dapat ikut serta dalam penciptaan kamtibmas di Boyolali. 4.
Perencanaan Program Penilaian terhadap perencanaan program Community Policing diperoleh melalui hasil wawancara dengan pelaksana program dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Seperti apakah awal perencanaan program Community Policing?
Jawaban Aiptu. Dalyamto: ”Sebelum Binamitra terjun langsung ke masyarakat, terlebih dahulu dilakukan sosialisasi pada seluruh personil agar tahu apa saja tugas mereka. Setelah itu dilaksanakan sosialisasi-sosialisasi pada masyarakat dan melakukan pendekatan-pendekatan pada toga (tokoh
135
agama), tomas (tokoh masyarakat), maupun perangkat desa. Kita juga harus menentukan wilayah mana saja yang akan dijadikan sasaran, kita lakukan koordinasi dengan Polsek setempat sehingga akan memudahkan kita dalam melakukan kegiatan-kegiatan di masyarakat.73 Awal perencanaan program Community Policing merupakan tahap persiapan yang harus dilakukan Binamitra Polres Boyolali. Dalam tahap persiapan ada dua strategi yang dilaksanakan, yaitu strategi internal (Polri) dan strategi eksternal (masyarakat). Strategi eksternal yang harus dilakukan kepolisian, salah satunya adalah membentuk Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) sebagai wadah komunikasi dalam program ini. Langkah-langkah pembentukan FKPM adalah sebagai berikut: a. Bersama-sama Camat dan aparat pemerintah desa atau komunitas kawasan melaksanakan sosialisasi Polmas kepada masyarakat b. Bersama-sama tokok/aparat desa merencanakan pertemuan dalam pembentukan FKPM c. Kapolsek dan petugas Polmas memfalisitasi pembentukan FKPM dalam pertemuan umum sampai terbentuk FKPM
5.
Kesesuaian Program dengan Tugas Pokok Binamitra Polres Boyolali
73 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
136
Program
Community
Policing
merupakan
program
yang
mendukung kelancaran dan keberhasilan tugas dan tanggung jawab utama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), khususnya Binamitra Polres Boyolali. Sesuai dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol Kep/54/X/2002, perumusan tugas pokok Binamitra, yang menjadi dasar acuan personil Binamitra Polres Boyolali untuk dilaksanakan tugasnya, yaitu:74 Bagian Binamitra (Pembinaan Kemitraan), adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf Polres yang berada di bawah Kapolres, yang bertugas menyelenggarakan dan mengawasi/mengarahkan pelaksanaan penyuluhan masyarakat dan pembinaan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa oleh satuan-satuan fungsi yang berkompeten, membina hubungan kerjasama dengan organisasi/lembaga/tokoh sosial/kemasyarakatan dan instansi pemerintah, khususnya instansi Polsus/PPNS dan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah, dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat pada hukum dan peraturan perundangundangan, pengembangan pengamanan swakarsa dan pembinaan hubungan Polri-masyarakat yang kondusif bagi pelaksanaan tugas Polri.
Tujuan dari program Community Policing sesuai dengan tugas dan tanggung jawab dari Binamitra Polres Boyolali. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Ipda. Joko Lukito: ”Yang menjadi tugas pokok dalam program Polmas itu adalah pembinaan terhadap masyarakat, itu memang sudah menjadi kewajiban Binamitra Polres Boyolali”.75
74 Surat Keputusan Kapolri Nomor 54,Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres), Jakarta, 2002, hal. 6 75 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
137
Sejak tahun 1970an di Indonesia tugas-tugas kepolisian ditetapkan: represif, preventif, dan pre-emtif. Tugas-tugas dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
fungsi
Pembinaan
Masyarakat
(Binmas)
atau
Bimbingan Masyarakat (Bimmas). Unit Bimmas berada pada berbagai tingkat organisasi Polri. Proses lahirnya Polmas (Community Policing) di lingkungan Polri adalah menyempurnakan konsep, kebijakan, dan praktek Pembinaan Masyarakat dan praktek masyarakat sebagai mitra sejajar Polri dalam memecahkan masalah merupakan hal yang baru bagi Polri. B. Analisa dan Pembahasan Data Input Penilaian terhadap input atau masukan yang meliputi, pertimbangan tentang sumber daya dan strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan suatu program. Penilaian ini dilakukan terhadap hal-hal yang terlibat dalam pelaksanaan program. Data tersebut didapat dari wawancara, observasi dan dokumentasi yang berhubungan dengan masalah penelitian. 1.
Pelaksana Program (Software) Program Community Policing adalah tugas dan kewajiban seluruh anggota Kepolisian tanpa terkecuali. Untuk wilayah Kabupaten Boyolali yang menjadi pusat pengaturan program ini adalah Polres Boyolali. Setiap bagian di Polres Boyolali mempunyai tugas masing-masing dalam program ini, begitu pula dengan Bagian Binamitra Polres Boyolali yang bertugas dalam pembinaan dan penyuluhan masyarakat. Binamitra Polres Boyolali terdiri dari 14 staf yang menangani semua hal yang terkait
138
perencanaan, persiapan sampai dengan pelaksanaan program Community Policing di wilayah Boyolali. Agar program dapat berhasil dan efektif maka harus dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam bidang manajemen sumber daya manusia, kebijakan yang digariskan meliputi: a.
Penambahan kekuatan personel Polri harus secara bertahap memperhitungkan pemenuhan kebutuhan tenaga petugas Polmas sehinggga setiap desa/kelurahan diharapkan dapat terisi dengan sekurang-kurangnya seorang petugas Polmas.
b.
Kurikulum
setiap
program
pendidikan
pertama
dan
pengembangan umum harus mencakup mata pelajaran/mata kuliah
Polmas
yang
silabus
dan
satuan
acara
pelajaran/perkuliahanya disesuaikan dengan jenjang dan jenis pendidikannya. c.
Pada setiap Polda atau sekurang-kurangnya gabungan dari beberapa polda tetangga harus diselenggarakan sekurangkurangnya satu kali program pelatihan khusus tentang Polmas setiap tahun dalam rangka penyegaran pengetahuan dan/ atau regenerasi petugas Polmas.
d.
Pemilihan personel Polri untuk ditugaskan sebagai petugas Polmas harus memperhitungkan latar belakang pengalaman tugas pada satuan-satuan fungsi operasional dan aspek
139
moral/kepribadian yang mendukung pelaksanaan misalnya sebagai petugas Polmas. e.
Sistem pembinaan personel harus menjamin terbukanya peluang
peningkatan
karier
yang
proaktif
bagi
petugas/pembina Polmas yang dinilai berhasil membina dan mengembangkan Polmas. 2.
Pembagian Tugas dan Persiapan Pembagian tugas dan tanggung jawab dalam sebuah kelompok kerja penting dilaksanakan untuk kelancaran dan kesuksesan pelaksanaan sebuah program. Setiap personil Binamitra Polres Boyolali mempunyai tugas masing-masing. Sehingga program akan berjalan lancar sesuai dengan perencanaan yang sudah dibuat. Tabel 4.1 Pertelaan Tugas Bagian Binamitra Polres Boyolali
No 1
Nama
Jabatan
Suwarno, SH
Kabag Binamitra
Tugas Mengatur penyelenggaraan dan mengawasi/ mengarahkan pelaksanaan penyuluhan masyarakat dan pembinaan PAM swakarsa, membina hubungan kerjasama dengan organisasi/ lembaga/ tokoh sosial/ kemasyarakatan dan instansi pemerintah.
140
2
Joko Lukito
Kasubbag
Merencanakan penyusunan rencana
Bimmas
kerja dibidang kegiatan bimbingan masyarakat serta pembinaan dalam rangka program Perpolisian Masyarakat
3
Sutanto
Kasubbag
Merencanakan penyusunan rencana
Kerma
kerja dibidang kegiatan kerjasama dengan organisasi/ lembaga/ tokoh masyarakat dan instansi pemerintah.
4
Sukiman, SE
Ban Um
Membuat usulan/ merencanakan
Bimmas
pengusulan anggota Babinkamtibmas, merencanakan kegiatan sambang dan penyuluhan paguyuban tukang ojek, merencanakan/ menyusun penyuluhan terhadap Polhut, menyusun kegiatan sambang dan patroli pada obvit/provit yang menggunakan jasa anggota satpam dan menyusun kegiatan pembekalan Polmas dan HAM
5
Dalyamto
Ba Min
Membuat laporan hasil kegiatan harian,
Bimmas
mingguan dan bulanan untuk mengukur kinerja Binamitra Polres Boyolali
6
Budi Wasito
Ban Um
Mengagendakan serta menyusun
141
Kerma
program pembinaan dan latihan terhadap Pramuka Saka Bhayangkara, mendata jumlah personil anggota PKS serta merencanakan kegiatan latihan di sekolah-sekolah
7
Rahmad, SPd. MH
Ban Min Kerma
Membuat rencana dan menyusun kegiatan PSA dalam rangka pengenalan figur Polri secara dini
8
Setyawan Eka S
Anggota
Menyusun kegiatan sambang terhadap tukang parkir, memprogramkan kegiatan sambang dan pembinaan anggota poskamling
9
Adi Negara
Anggota
Melaksanakan kegiatan pembinaan kepada PSA dalam rangka pengenalan figur Polri secara dini, melaksanakan kegiatan pembinaan dan latihan Pramuka Saka Bhayangkara
10
Anik M
Anggota
Membuat jadwal kegiatan pelaksanaan pembinaan dan penyuluhan di Polsekpolsek secara kontinue, menyusun kegiatan penyuluhan hukum terhadap lapisan masyarakat berkaitan dengan kesadaran hukum dalam rangka
142
menciptakan situasi kondusif. 11
Warno, SH
Anggota
Membuat jadwal kegiatan pelaksanaan pembinaan dan penyuluhan di Polsekpolsek secara kontinue, menyusun kegiatan penyuluhan hukum terhadap lapisan masyarakat berkaitan dengan kesadaran hukum dalam rangka menciptakan situasi kondusif.
12
Satrio Anggun S
Anggota
Pelaksana kegiatan sambang terhadap tukang parkir, pelaksana kegiatan sambang dan pembinaan anggota poskamling
13
Suryanto
Pengatur
Mengagendakan surat-surat masuk/ keluar
14
Eni Rahayu
Pengatur
Mengagendakan surat-surat masuk/ keluar
Sumber: Binamitra Polres Boyolali Th 2010
3.
Sarana dan Prasarana (Hardware) ·
Sarana/fasilitas Program Community Policing tidak akan berjalan lancar tanpa dukungan sarana/fasilitas yang memadai di setiap kegiatannya. Beberapa sarana yang dibutuhkan antara lain: - Laptop dan software
143
- Layar atau screen - Seperangkat sound system - Kamera untuk dokumentasi - Buku pedoman Keterangan mengenai sarana/ fasilitas diperoleh melalui wawancara dengan Ipda. Joko Lukito: “Untuk sarana dan fasilitas, tidak ada masalah karena saranasarana yang diperlukan sama dengan sarana yang dipakai sebelum program ini ada. Jadi kita tidak perlu menyiapkan alatalat yang baru.”76
Keterangan juga diperoleh dari Aiptu. Dalyamto: ”Kalau di Boyolali sendiri, pelaksanaan program dilakukan dengan tatap muka langsung. Jadi tidak banyak sarana yang dibutuhkan, yang penting kita menyiapkan materi secara lengkap dan koordinasi dengan masyarakat.”77
Dari hasil jawaban di atas menunjukkan bahwa sarana yang tersedia untuk pelaksanaan program ini untuk sangat memadai dan juga sudah dimanfaatkan dengan baik oleh pelaksana program. Sarana yang telah disediakan tersebut sangat cukup untuk melakukan program Community Policing di Kabupaten Boyolali.
76 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010 77 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
144
Fasilitas yang digunakan telah sesuai dengan yang diperlukan/memadai. Namun, lebih baik jika diperlengkap lagi sehingga menunjang pelaksanaan program. Keterangan tersebut diperoleh melalui wawancara dengan Aiptu. Dalyamto: “Sudah cukup memadai. Mungkin yang perlu ditambah itu sarana sosialisasinya, seperti brosur, pamflet biar kita lebih mudah menyampaikan ke masyarakat.”78 ·
Dana Selain perencanaan yang matang, alokasi dana operasional memegang peran penting dalam sebuah program. Perencanaan anggaran merupakan hal vital yang harus dilakukan agar program berjalan sesuai rencana. Dalam bidang manajemen anggaran/keuangan, kebijakan yang digariskan Polri meliputi: a. Perhitungan
rencana
anggaran
Polri
harus
mengalokasikan biaya operasional yang selayaknya untuk menjamin aktivitas dan dinamika pelaksanaan tugas Polmas termasuk biaya manajemen pada setiap tingkatan organisasi dalam rangka secara terus menerus memantau,
mengawasi/mengendalikan,
mengarahkan
dan menilai keberhasilan pelaksanaan penerapan Polmas.
78 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
145
b. Untuk
mengembangkan
program-program
Polmas,
masing-masing kesatuan kewilayahan dapat mengadakan kerjasama
dengan
lembaga-lembaga
donor
baik
internasional maupun nasional dan lokal. c. Untuk menjamin keberlangsungan Polmas masingmasing
kesatuan
kewilayahan
perlu
melakukan
kerjasama dengan pemerintah daerah setempat sehingga operasionalisasi Polmas dapat merupakan program pemerintah daerah yang didukung dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan program Community Policing, dana yang digunakan adalah anggaran khusus yang telah ditetapkan oleh Polri. Binamitra Polres Boyolali mendapat alokasi dana dari pusat dalam program ini, sehingga tinggal melaksanakan kegiatan sesuai anggaran yang sudah diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ipda. Joko Lukito: “Dana sudah diatur dari pusat, Binamitra tinggal mengalokasikannya saja. Dana yang dari pusat kita alokasikan untuk tiap program-program Polmas yang dilaksanakan Binamitra. Banyaknya kegiatan tergantung dana yang ada, kalau dana sedikit kegiatannya juga sedikit, begitu juga sebaliknya.”79 Dana merupakan salah satu kendala dalam program Community Policing Binamitra Polres Boyolali. Hal ini dikarenakan, Pemda
79 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
146
Boyolali belum memasukkan anggaran program ini dalam APBD, sedangkan dana yang dialokasikan dari pusat belum mencukupi. Seperti keterangan Aiptu. Dalyamto: ”Belum memadai. Dana yang pas-pasan itu kita alokasikan ke tiap kegiatan, kadang kita harus mengubah rencana kerja karena dananya kurang. Ini yang menyebabkan kegiatan kita tidak optimal.”80
4.
Strategi Untuk mencapai tujuan diperlukan strategi yang tepat. Strategi merupakan pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan perencanaan program dalam kurun waktu tertentu. Dilaksanakan dengan mengkoordinasikan tim kerja, memilih tema faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip untuk melaksanakan gagasan strategis secara rasional dan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito dinyatakan bahwa: “Strategi kita dalam menciptakan kemitraan dengan masyarakat yaitu dengan melakukan komunikasi persuasif. Kita gencar melakukan pembinaan dan penyuluhan terhadap semua lapisan masyarakat. Sosialisasi-sosialisasi program telah kita rencanakan sejak awal sehingga kegiatan yang dilaksanakan terarah dan diharapkan bisa efektif. Pendekatan-pendekatan personal juga kita lakukan, diusahakan tiap kecamatan terdapat FKPM sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat.”81
80 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010 81 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
147
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Aiptu. Dalyamto: ”Strategi kita yaitu binluh (pembinaan dan penyuluhan) masyarakat lewat FKPM tentunya. Dan pembinaan-pembinaan sesuai dengan kegiatan yang sudah direncanakan Binamitra, kegiatan tersebut dilaksanakan guna melakukan pendekatan terhadap masyarakat untuk menjalin kemitraan.”82
Kegiatan untuk membina hubungan dengan komunitas dalam PR dikenal dengan istilah Community Relations. Community Relations pada dasarnya
merupakan
kegiatan
komunikasi
perusahaan
dalam
menjalankan hubungan dengan komunitas lokal. Hubungan dengan komunitas merupakan usaha titip diri kepada lingkungan, kepada khalayak penduduk sekitar, agar tidak mengganggu dan dapat mempertahankan citra perusahaan di mata publik. Sebagai suatu strategi, Community Policing merupakan
model
perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar antara polisi dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.
82 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
148
Untuk teknik pendekatan Binamitra Polres Boyolali, dalam melakukan pendekatan terhadap masyarakat, bentuk komunikasi yang disampaikan bersifat: a. Informatif, artinya menjelaskan sesuatu secara tepat, cepat dan benar. b. Persuasif, artinya dilakukan dengan cara-cara yang baik, memikat hati, bujukan, ajakan, pujian dan sebagainya. c. Motivatif,
artinya
memberi
harapan-harapan
kepada
masyarakat dan mendorong untuk bisa berbuat sesuatu yang positif. d. Edukatif,
artinya
bersifat
mendidik,
meningkatkan
wawasan, untuk mengembangkan sikap positif serta meningkatkan kemampuan. e. Komunikatif, artinya sesuai dengan semboyan
yang
dikembangkan di lingkungan Polri, yaitu menggunakan pola 3 S (Senyum, Sapa dan Salam), yaitu komunikasi yang ramah, sopan, sesuai dengan norma yang berlaku di wilayah tugasnya masing-masing dengan lebih terbuka dan akrab.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi dalam program Community Policing yang telah digunakan oleh Binamitra Polres Boyolali sesuai dengan yang diungkapkan oleh R.A Santoso Sastropoetro dalam bukunya Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, metode persuasi yaitu; (a)
149
asosiasi; (b) menumbuhkan kekhawatiran yang merangsang dengan kehendak sendiri melakukan sesuatu pemecahan; (c) mengubah pendapat dengan harapan; (d) menumbuhkan keinginan, kehendak untuk memilih atau melakukan sesuatu; (e) menumbuhkan partisipasi serta peran serta. Program Community Policing lebih menekankan cara dalam mewujudkan kemitraan dengan komunitas melalui komunikasi persuasif yang dilakukan lewat kegiatan pembinaan dan penyuluhan. C. Analisa dan Pembahasan Data Proses Berisi catatan tentang kegiatan-kegiatan yang muncul selama program berlangsung. Data tersebut digunakan untuk proses penilaian, penyesuaian strategi dan bentuk kegiatan dengan tujuan program, kelemahan, kekuatan, faktor pendukung, dan hambatan selama proses program berlangsung. Sumber data ini didapat dari pelaksana program, wawancara dengan peserta dan observasi pesneliti. Penilaian proses meliputi: 1.
Bentuk Kegiatan Kegiatan inti dari Program Community Policing yang dilaksanakan Binamitra Polres Boyolali adalah program pembinaan dan penyuluhan melalui komunikasi persuasif. Artinya, yang dilakukan personil Binamitra Polres Boyolali dalam membujuk/membina masyarakat tanpa merasa dipaksa, sehingga melaksanakannya secara sukarela dilakukan dengan teknik-teknik membujuk atau persuasi, karena pada dasarnya persuasi, menunjukkan pada bentuk komunikasi yang menggerakkan serta melakukan sesuatu dengan rasa senang, rasa sukarela tanpa
150
mempunyai perasaan disuruh/dipaksa oleh orang lain. Caranya adalah dengan ajakan himbauan, rayuan dan meminta. Dalam Community Policing, komunikasi yang dilakukan personil Binamitra Polres Boyolali bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi serta peran serta masyarakat, agar masyarakat mempunyai kesadaran dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Bilamana masyarakat menyadari
bahwa
masyarakat
membutuhkan
rasa
aman,
maka
masyarakat diberikan motivasi dari Binamitra Polres Boyolali untuk menggerakkan masyarakat dalam menumbuhkan keamanan secara swakarsa. Untuk menumbuhkan rasa kesadaran masyarakat dilakukan dengan membujuk atau membina masyarakat agar mau terlibat dalam menciptakan keamanan. Bentuk
yang dilakukan
mempersuasikan
program
Binamitra Polres
Community
Policing
Boyolali
dalam
adalah
melalui
komunikasi langsung. Komunikasi langsung adalah bentuk dari komunikasi dengan cara bertatap muka (face to face) antara komunikator dengan komunikan, dalam proses ini yang disebut komunikator adalah Binamitra Polres Boyolali sedangkan komunikannya adalah publik terutama masyarakat di wilayah Kabupaten Boyolali. Bentuk kegiatan komunikasi langsung yang diselenggarakan oleh Binamitra Polres Boyolali, sebagai berikut: 5.
Kegiatan Pembinaan Ketertiban Masyarakat (Bintibmas)
151
· Sosialisasi Polmas dan FKPM dengan tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh daerah · Penyuluhan pokdar (kelompok sadar) kamtibmas · Penyuluhan Kamtibcar Lantas · Penyuluhan hukum Polmas · Pembinaan dan penyuluhan langsung terhadap tukang parkir dan ojek 6.
Kegiatan Pembinaan Redawan (Remaja, Pemuda dan Wanita) · Penyuluhan hukum · Penyuluhan kenakalan remaja · Penyuluhan narkoba dan dampak penyalahgunaannya · Penyuluhan KDRT · Pembinaan dan latihan Pramuka Saka Bhayangkara · Pelatihan PKS dan OSIS · Pembinaan PSA (Polisi Sahabat Anak)
7.
Kegiatan Pembinaan Keamanan Swakarsa (Binkamsa) · Sambang dan kontrol pos kamling · Pembinaan anggota satuan pengamanan (satpam) · Pembinaan dan penyuluhan anggota pos kamling · Kegiatan kemitraan dengan Senkom (Sentral Komunikasi)
8.
Kegiatan Pembinaaan dan Koordinasi Polisi Khusus (POLSUS)
152
Dari analisis kegiatan Polmas Binamitra Polres Boyolali, dinyatakan bahwa tugas-tugas dari Kepolisian untuk mengamankan lingkungannya diserahkan kepada masyarakat, salah satunya dilakukan oleh satpam. Dengan demikian, pembinaan kepada satpam lebih diintensifkan. Agar satpam (satuan pengamanan), yang mengamankan wilayah di lingkungan kerjanya, memiliki bekal serta kemampuan yang cukup yang diperoleh pada saat pembinaan yang diberikan oleh personil Binamitra Polres Boyolali. Dalam pembinaan juga disampaikan informasi-informasi
terbaru
mengenai
gangguan-gangguan
yang
sekiranya mengganggu keamanan, serta memberikan solusi atas gangguan tersebut, sehingga satpam yang merupakan bagian dari jaringan informasi dari Kepolisian akan membantu efektifitas kerja Binamitra Polres Boyolali. Adanya kesediaan dari instansi untuk mengundang Binamitra Polres Boyolali serta memberikan bantuan dana yang diperlukan bagi terselenggaranya pendidikan satpam, merupakan salah satu bentuk begian dari wujud partisipasi masyarakat dalam menciptakan Kamtibmas. Artinya, Binamitra Polres Boyolali dibutuhkan untuk memberikan pembinaan keamanan kepada satpam. Sedangkan bentuk pembinaan yang lainnya, yang tidak kalah penting adalah pembinaan anggota poskamling. Poskamling merupakan wujud pengamanan swakarsa yang dilakukan masyarakat untuk menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan masing-masing. Pembinaan anggota siskamling
diharapakan
dapat
meningkatkan
Kamtibmas
serta
153
meminimalisir gangguan-gangguan yang muncul dalam masyarakat. Apabila para anggota siskamling memiliki kemampuan mengenai kamtibmas maka tugas personil Binamitra Polres Boyolali akan lebih ringan dan masyarakatpun lingkungannya akan lebih aman dan tertib. Pembinaan kepada satpam dan anggota poskamling merupakan program Polmas dalam kegiatan Bintibmas (pembinaan ketertiban masyarakat). Dalam kegiatan pembinaan ini masyarakat dijadikan mitra polri untuk menciptakan atau memelihara keamanan dan ketertiban. Dalam kegiatan Polmas Binamitra Polres Boyolali lainnya, Binredawan (pembinaan remaja, pemuda dan wanita) yang menjadi prioritas dalam pembinaan terhadap siswa-siswa SMA dan SLTP. Kepada para siswa diberikan pembinaan karena pada usia remaja mereka mengalami suatu bentuk transisi secara psikologi. Untuk mencegah terjadinya
kenakalan
remaja
maka
Binamitra
Polres
Boyolali
memberikan pembinaan dan dan penyuluhan mengenai hukum, kenakalan remaja, dan dampak penyalahgunaan narkoba. Melalui pembinan ini diharapakan tingkat kenakalan remaja di wilayah Kabupaten Boyolali dapat menurun. Selain
melakukan
pencegahan
terhadap
kenakalan
remaja,
Binamitra Polres Boyolali juga mengajak para siswa untuk melalukan hal positif. Binamitra Polres Boyolali memberikan suatu bentuk pembinaan melalui PKS (Patroli Keamanan Sekolah). PKS membantu dalam hal kelancaran lalu-lintas di saat para siswa pergi ke sekolah maupun disaat
154
pulang sekolah. Karena pada jam-jam tersebut, sangat diperlukan pengaturan lalu-lintas. Polisi merasa terbantu dengan adanya kelancaran lalu-lintas yang dilakukan oleh PKS di sekitar sekolah masing-masing. Sehingga polisi akan lebih efektif dalam mengatur lalu-lintas yang lainnya. Bilamana hanya terfokus kepada pengaturan lalu-lintas di sekitar sekolah-sekolah yang ada di wilayah Boyolali yang sangat banyak, maka dengan keterbatasan personil Polri tidak memungkinkan untuk mengatur lalu-lintas di wilayah Kabupaten Boyolali yang begitu luas khususnya pada pagi hari. Maka dari pihak SLTP di wilayah Boyolali , diberikan kepercayaan dengan menerima pembinaan, pelatihanserta penyuluhan untuk dapat mengatur lalu-lintas, mengatasi kecelakaan lalu-lintas serta kemacetan di jalan raya. Personil Binamitra Polres Boyolali datang serta mengadakan pembinaan kepada siswa-siswa SLTP yang ada si wilayah Boyolali, bilamana diminta pihak sekolah untuk memberikan pembinaan kepada
mereka
ataupun
sebaliknya,
Binamitra
Polres
Boyolali
mengundang para siswa ke Polres untuk dilakukan pembinaan. Pembinaan yang lain adalah pembinaan kepada anak-anak TK (Taman Kanak-kanak) atau Play Group melalui Polisi Sahabat Anak (PSA). Anak-anak TK mulai diperkenalkan dengan sosok polisi serta tugas-tugasnya. Cara penyampaiaan pesan oleh PSA yang sekiranya dapat dimengerti oleh anak-anak TK, oleh sebab itu membutuhkan adanya bentuk kreatifitas dari personil Binamitra Polres Boyolali sepaya pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh anak-anak TK tersebut.
155
Pembinaan kepada anak-anak TK juga menjadi salah satu prioritas dari program Polmas Binamitra Polres Boyolali dengan bentuk pembinaan dan penyuluha. Permintaan untuk mengadakan pembinaan dilakukan oleh pihak TK (Taman Kanak-kanak), yang mengudang personil dari Binamitra Polres Boyolali untuk memberikan pembinaan dan penyuluhan, kadang anak-anak TK juga melakukan kunjungan ke Polres Boyolali untuk pengenalan secara langsung figur polisi, akibatnya ada suatu bentuk kerjasama dalam memberi pendidikan kepada anak, yaitu antara pihak pengelola TK dengan pihak Binamitra Polres Boyolali. 2.
Fokus Kegiatan Informasi mengenai fokus kegiatan diperoleh melalui wawancara dengan mengajukan pertanyaan: Apa yang menjadi fokus utama dalam pelaksanaan program Community Policing? Jawaban Ipda. Joko Lukito: ”Menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan membentuk hubungan kesejajaran antara polisi dan masyarakat. Hal ini dalam kaitannya mengeliminer masalah-masalah ringan yang ada di masyarakat dengan mencari solusi bersama. Kalau memperbaiki citra Polri itu hanya efek samping dari program ini, bukan fokus/tujuan utama program ini. Tapi tidak dipungkiri, program ini memang mengarah pada perbaikan citra Polri.”83
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
83 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
156
”Menjalin kemitraan dengan masyarakat kaitannya dalam menciptakan kondisi situasi kamtibmas dan problem solving agar permasalahan-permasalahan di masyarakat tidak muncul ke permukaan.”84
Berdasarkan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fokus utama dari program ini adalah menciptakan kemitraan antara polisi dengan masyarakat dan pemecahan masalah (problem solving). Community Policing bukanlah hubungan masyarakat (humas) atau sebuah program yang dirancang khusus untuk memperbaiki citra polisi. Hubungan yang baik dengan masyarakat dan perbaikan citra polisi hanyalah efek samping dan bukan tujuan utama. Memang pada dasarnya komponen-komponen Community Policing adalah sebagai berikut: a.
Kemitraan – Community Policing mendorong sebuah kemitraan baru antara masyarakat dengan polisi yang slaing menghargai, sopan santun, memberi dukungan dan saling menguntungkan.
b.
Pemecahan masalah – Community Policing mendefinisikan kembali misi polisi agar terarah pada pembangunan masyarakat dan pemecahan masalah.
84 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
157
3.
Kelancaran Pelaksanaan Program Kesuksesan sebuah program tidak terlepas dari kinerja tim pelaksana yang solid. Data tentang kelancaran pelaksanaan program diperoleh melalui wawancara dengan mengajukan pertanyaan: Bagaimana dengan tingkat kelancaran pelaksanaan kegiatan Community Policing? Jawaban Ipda. Joko Lukito: ”Sudah cukup lancar, sesuai dengan perencanaan yang dibuat anggota kita.”85
Jawaban Aiptu. Dalyamto: ”Lancar-lancar saja karena masyarakat mendukung program ini.”86
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kegiatan ini memang sudah berjalan secara lancar tetapi kurang optimal karena belum seluruh wilayah di Kabupaten Boyolali mendapat sosialisasi. Pembentukan FKPM pun hanya di daerah-daerah tertentu saja. 4.
Continuity dan Consistency Community Policing merupakan Grand Strategi Polri 2005 – 2025 dalam rangka melaksanakan tugas pokok Polri sebagai pemelihara
85 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010 86 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
158
kamtibmas, penegak hukum, pelindung, pengayom serta pelayan masyarakat. Sehingga program ini wajib dilaksanakan oleh seluruh personil Polri sesuai dengan bagian masing-masing. Pelaksanaan program ini di Binamitra Polres Boyolali pun telah dilaksanakan semenjak Peraturan Kapolri dikeluarkan, yaitu Oktober 2005. Dari tahun 2005, penerapan Community Policing telah dilaksanakan sesuai rencana, mulai dari tahap persiapan sampai tahap operasional. Hal ini dapat dilihat dari laporan tahunan yang dibuat oleh Binamitra Polres Boyolali. Tabel 4.2 Data Kegiatan Binamitra Polres Boyolali Bulan Oktober - Desember Tahun 2009 No 1
Sasaran Pembinaan Satpam
2
Anggota poskamling
3
Pelajar SMA
4
Pelajar SMP
Bentuk Tujuan dari Pesan yang Frekuensi Pembinaan Disampaikan Binluh Agar para personil satpam 15 kali memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugasnya di wilayah kerjanya masing-masing. Serta memberi informasi yang baru yaitu cara mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban. Binluh Agar para anggota poskamling 12 kali memiliki kemampuan untuk menjaga lingkungan masingmasing demi menciptakan kondisi kamtibmas. Binluh Agar para siswa mengerti akan 12 kali bahaya narkoba serta akibatnya. Memberi bimbingan sebagai upaya pencegahan kenakalan remaja. Binluh Agar para anggota PKS (Patroli 9 kali
159
5
Anak-anak TK/Play Group
Binluh
6
Saka Bhayangkara
Binluh
7
Tokoh masyarakat
Binluh
8
Kelompok sadar kamtibmas
Binluh
9
Tukang parkir
Binluh
10
Tukang ojek
Binluh
11
Pengurus FKPM
Binluh
Keamanan Sekolah) memiliki kemampuan untuk melaksanakan pengaturan lalu-lintas di wilayah sekolahnya masing-masing. Sebagai upaya pencegaham kenakalan remaja dan juga para remaja tidak terlibat pada bahaya nakorba. Agar siswa dapat mengenal keberadaan Polri secara lebih dekat serta mengerti rambu-rambu lalu-lintas yang ada di jalan raya. Mewujudkan remaja yang terampil melalui kegiatan yang lebih positif yaitu melalui kegiatan pramuka. Agar masyarakat mengetahui halhal yang berkaitan dengan kamtibmas sehingga keamanan swakarsa dapat berjalan dengan baik. Agar kelompok ini memiliki kemampuan untuk membantu polisi dalam menciptakan kamtibmas. Agar tukang parkir dapat menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan berkerjanya. Agar tukang ojek dapat menjaga wilayah kerja masing-masing dari gangguan keamanan dan ketertiban sehingga lingkungan kerja mereka akan lebih kondusif. Agar para pengurus FKPM dapat memaksimalkan peranannya di wilayah masing-masing sehingga permasalahn-permasalahan yang ditimbul di masyarakat tidak muncul kepermukaan dan dapat
9 kali
12 kali
9 kali
6 kali
6 kali
6 kali
15 kali
160
12
Polisi Kehutanan
Binluh
segera diatasi. Melakukan koordinasi dengan Polhut agar dapat bekerjasama dalam menjaga keamanan hutan.
6 kali
SUMBER: Kegiatan Polmas Binamitra Polres Boyolali
Program ini dapat terus berjalan karena untuk anggaran telah ditentukan dari Polri. Untuk Binamitra Polres Boyolali, konsistensi perencanaan tergantung dari dana yang diberikan pusat, seperti yang diungkapkan oleh Aiptu. Dalyamto: ”Konsistensi perencanaan semua tergantung anggaran yang ada.”87
Sedangkan
data
mengenai
frekuensi
pelaksanaan
program
Community Policing diperoleh melalui wawancara dengan pertanyaan: Bagaimana frekuensi pelaksanaan program Community Policing? Jawaban Ipda. Joko Lukito: ”Tahun kemarin (2009) semua rencana kegiatan bisa tercapai. Ini bisa dilihat di laporan pencapaian tahun 2009.”88
Jawaban Aiptu. Dalyamto: ”Sudah terjadwal dengan baik.”89 87 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010 88 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010 89 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
161
Dilihat dari segi kontinyuitas dan konsistensinya, pelaksanaan program Community Policing sudah cukup efektif, karena dilaksanakan atau dijadwalkan secara berkesinambungan, meskipun pelaksanaan kadang tidak sesuai dengan perencanaan karena kendala dana. Tetapi untuk tahun 2009, semua perencanaan yang dibuat dapat direalisasikan semua.
5.
Pendukung Kelancaran Program Kelancaran dan kesuksesan suatu program tidak terlepas dari dukungan faktor eksternal. Pihak-pihak yang mendukung program ini adalah: ·
Pemda Boyolali
·
Asosiasi pengusaha/pedagang
·
Lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah: Perguruan Tinggi, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain
·
Masyarakat umum
Seperti yang diungkapkan oleh Ipda. Joko Lukito: ”Banyak sekali pihak yang mendukung program ini, contohnya saja toga, tomas, perguruan tinggi di Boyolali, sekolah-sekolah dan Pemda.”90
90 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
162
Demikian pula yang diutarakan Aiptu. Dalyamto:
”Semua pihak mendukung terutama Pemda, kalau sudah ada dukungan dari Pemda maka program ini akan lebih baik."91
Bentuk dukungan dari Pemda mengenai anggaran untuk program Community Policing sedang di usahakan. Binamitra Polres Boyolali sedang melakukan pendekatan dengan Bupati agar anggaran untuk program ini dimasukkan dalam APBD. Selain adanya dukungan dari pihak-pihak terkait, program Community Policing dapat berjalan lancar karena adanya dukungan dari masyarakat. Masyarakat butuh program Community Policing karena mereka dapat merasakan manfaat dari program ini dengan harapan permasalahan yang ada di masyarakat akan dapat terselesaikan dengan baik melalui kemitraan Polisi dan masyarakat dan masyarakat sangat mengharapkan upaya pemeliharaan kamtibmas dari pihak kepolisian. 6.
Hambatan Program Community Policing Dalam setiap pelaksanaan suatu program tentu ada kendala ataupun hambatan dan yang menjadi kendala dalam program Community Policing didapat dari hasil wawancara dengan pelaksana program, secara keseluruhan untuk pelaksana program memang ada kendala yang dihadapi, seperti yang diungkapkan oleh Ipda. Joko Lukito:
91 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
163
“Sejauh ini tidak ada kendala yang berarti, hanya saja kita masih kekurangan dana. Saat ini masih diupayakan melobi Pemda agar mau memasukkan anggaran program ini dalam APBD.”92
Kendala yang dihadapi dalam program ini hanyalah masalah dana. Dana yang berasal dari pusat masih kurang memadai untuk semua kegiatan yang dilaksanakan Binamitra Polres Boyolali. Hal ini menyebabkan adanya kegiatan yang harus dikurangi dan menyebabkan kegiatan
kurang
optimal.
Binamitra
Polres
Boyolali
sedang
mengupayakan pendekatan kepada Pemda agar bersedia memasukkan anggaran program Community Policing dalam APBD. Karena memang sudah seharusnya, Polres bekerjasama dengan Pemda mengenai anggaran program ini. Dari pihak masyarakat tidak ada kendala dalam pelaksanaan program Community Policing, karena masyarakat mendukung adanya program ini. Namun tidak semua masyarakat mengetahui program ini. Hal ini bisa dilihat dari daerah-daerah mana saja yang terdapat FKPM, tidak semua daerah terdapat FKPM. D. Analisa dan Pembahasan Data Produk Penilaian produk dilakukan untuk melihat hasil dari pelaksanaan Program Community Policing. Penilaian ini meliputi: 1.
Pencapaian Tujuan
92 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
164
Pengukuran terhadap pencapaian tujuan merupakan perbandingan dari hasil yang direncanakan dan yang telah dicapai. Pengukuran terhadap pencapaian tujuan program digunakan sebagai kajian atas tujuan khusus program dan membandingkan antara hasil nyata dengan hasil yang direncanakan. Sumber data utama dalam penulisan ini adalah hasil wawacara dengan pelaksana program atas pertanyaan: Bagaimana tingkat keberhasilan dari program Community Policing? Jawaban Ipda. Joko Lukito: ”Sejauh ini tanggapan dari masyarakat sangat mengharapkan sekali program Polmas ini tetap dilanjutkan. Karena manfaat daripada program ini sangat positif sekali. Katakan saja, yang kemarin lomba FKPM yang dimana tingkat Polda juara 2, tingkat Polwil juara 1 untuk FKPM di desa Sembungan, Nogosari. Atensi dari masyarakat sangat tinggi sekali, bagus dan maju sekali, sehingga permasalahan-permasalahan bisa diantisipasi di tingkat bawah. Ini menunjukkan bahwa program Polmas berhasil.”93
Jawaban Aiptu. Dalyamto: ”Hasil dari program ini ya sangat positif sekali. Permasalahanpermasalahan di masyarakat bisa dieliminer, dan masyarakat secara swakarsa dapat melakukan pengamanan di lingkungan masingmasing.”94
93 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010 94 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010
165
Data mengenai pencapaian juga diperoleh dari wawancara dengan mengajukan pertanyaan tentang pendapat peserta program Community Policing: Bagaimana pendapat Anda tentang program Community Policing? Jawaban Oktaviani Puspitasari: “Program ini bagus ya, karena dengan begini masyarakat akan lebih mengenal polisi secara dekat. Pendapat-pendapat miring mengenai polisi juga bisa diluruskan. Masyarakat kan sudah ada perasaan antipasi dulu dengan polisi, kalau ada pendekatan seperti ini kan mereka bisa mengubah penilaiannya.”95
Jawaban Setro Margono: ”Ya kalau menurut saya Polmas sangat bermanfaat. Desa kami ini lebih aman dan warga bisa diajak menjaga keamanan bersama.”96
Jawaban Suyamto: ”Untuk di daerah sini mungkin saged dikembangkan lagi ya.”97
Jawaban Agus Setiawan: ”Cukup efektif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menciptakan ketrtiban dan keamanan di lingkungan masingmasing. Kalau untuk satpam seperti saya ini, program ini bisa menambah pengetahuan saya dalam mengamankan lingkungan, kan ada pembinaan dan penyuluhan dari Polres.”98 95 Hasil wawancara dengan Oktaviani Puspitasari, Rabu, 20 Januari 2010 96 Hasil wawancara dengan Setro Margono, Kamis, 21 Januari 2010 97 Hasil wawancara dengan Suyamto, Kamis, 21 Januari 2010 98 Hasil wawancara dengan Agus Setiawan, Rabu, 20 Januari 2010
166
Dari hasil wawancara di atas, semua peserta program memiliki pandangan positif tentang program Community Policing. Memang bila ditinjau dari hasil kuantitatif, yaitu peningkatan jumlah FKPM yang terbentuk di masyarakat, bisa disebut program ini berhasil. Namun ke depannya, jika ada program baru lagi yang akan dilaksanakan seyogyanya juga mempertimbangkan dari sisi sasaran program, semua masyarakat berhak mendapat pelayanan yang sama. Sehingga program dapat berhasil baik secara kuantitas maupun kualitas, yaitu terbinanya hubungan kemitraan antara masyarakat dengan Polri. Pada
dasarnya
pelaksanaan
Community
Policing
untuk
menumbuhkan hubungan kemitraan dengan masyarakat, sehingga dapat membangun dan membina rasa saling percaya. Sejalan dengan dibentuk dan dipeliharanya hubungan kemitraan polisi dan masyarakat, kedua belah pihak akan memiliki kemampuan yang semakin baik saat bekerjasama dalam mengidentifikasi dan menangani masalah-masalah yang mempengaruhi mutu kehidupan di lingkungan mereka. Pihak kepolisian akan membangun rasa tanggung jawab atau komitmen untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di lingkungan tersebut. Dalam rangka memfasilitasi pengenanlan Community Policing dan menciptakan sebuah kemitraan dengan masyarakat yang memperkuat komunikasi antara Polri dan masyarakat, maka didirikan FKPM. Forum kemitraan
ini
tidak
dengan
sendirinya
merupakan
perpolisian
167
masyarakat, namun untuk memfasilitasi komunikasi dan implementasi praktis Community Policing secara terstruktur. Forum-forum merupakan sarana utama dalam mewujudkan tujuan program Community Policing. Tabel 4.3 Data FKPM di Boyolali MODEL POLMAS
POLSEK / NO
JML DESA KECAMATAN
WIL
KWSN
1.
Boyolali
9
4
1
2.
Sawit
12
6
1
3.
Sambi
16
2
-
4.
Selo
10
3
-
5.
Simo
13
7
-
6.
Ngemplak
12
4
-
7.
Juwangi
10
8
-
8.
Teras
13
4
-
9.
Banyudono
15
10
1
10.
Karanggede
16
4
-
11.
Nogosari
13
7
-
12.
Ampel
20
6
-
13.
Kemusu
13
7
-
14.
Mojosongo
13
8
-
15.
Wonosegoro
18
7
-
16.
Musuk
20
9
1
168
17.
Cepogo
15
4
-
18.
Andong
16
7
-
19.
Klego
13
5
-
267
110
4
JUMLAH
Dari data tersebut, program Community Policing telah mampu meningkatkan kemitraan dan kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Melalui FKPM. Komunikasi antara polisi dan masyarakat lebih baik dan intensif. 2.
Parameter Keberhasilan Program Pada dasarnya yang menjadi ukuran keberhasilan Polri tidak hanya ditentukan oleh kemampuannya menekan angka kriminalitas dan menaikkan angka penyelesaian kasus kejahatan, tetapi juga oleh kemampuan Polri dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan Kamtibmas. Bentuk partisipasi ini lebih difokuskan pada kesadaran masyarakat dalam mengamankan dan menertibkan baiknya pribadi masing-masing maupun lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud meliputi lingkungan dimana ia tinggal maupun lingkungan kerjanya. Dari pernyataan tersebut, ternyata partisipasi masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu pihak kepolisian dalam melaksanakan tugasnya.
169
Berdasarkan Pasal 14 ayat 1c dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, tertulis bahwa:99 Dalam melaksanakan tugas pokoknya, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina masyarakat, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Dari dasar Undang-Undang yang baru ini, tugas pokok Polri adalah membina masyarakat serta meningkatkan partisipasi masyarakat agar timbul suatu kesadaran hukum di dalam masyarakat sehingga masyarakat taat terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku. Untuk mendapat data tentang parameter keberhasilan program Community Policing diperoleh melalui wawancara dengan mengajukan pertanyaan: Apa yang menjadi parameter keberhasilan program Community Policing? Jawaban Ipda. Joko Lukito: ”Kepercayaan masyarakat meningkat, masyarakat ikut berpartisipasi dalam menjaga kamtibmas, tingkat pelanggaran hukum menurun, ada hubungan harmonis antara masyarakat dan polisi, kegiatan FKPM meningkat. Mungkin yang paling penting masyarakat lebih terbuka pada polisi dan percaya terhadap kinerja polisi.”100
Jawaban Aiptu. Dalyamto:
99 Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 100 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
170
”Salah satu indikator/tolak ukur keberhasilan program ini, adanya suatu pertemuaan secara rutin baik itu sebulan sekali maupun setengah bulan sekali yg mana FKPM yang ada di wilayah, kawasan maupun komunitas ada pertemuan secara rutin. Agendanya adalah membahas/mengklarifikasi permasalahanpermasalahan yang ada di masyarakat. Yang kedua adalah kaitannya masalah kunjungan, sejauh mana rencana kegiatannya, kegiatan-kegaiatan yang sudah dilakukan itu apa saja merupakan suatu penilaian dari keberhasilan program Sehingga FPKM bisa dikatakan berhasil apabila organaisasi/lembaga tersebut mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya. Indikator keberhasilan lainnya, gannguan kamtibmas tingkat polsek/polres bisa dieliminer, permasalahan-permasalahan yang ringan bisa diselesaikan ditingkat kawasan, wilayah maupun komunitas, sehingga tidak menjadi beban institusi polisi.”101
Kriteria yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan Polmas:102 a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Intensitas komunikasi antara petugas dengan masyarakat meningkat. Keakraban hubungan petugas dengan masyarakat meningkat. Kepercayaan masyarakat terhadap Polri meningkat. Intensitas kegiatan forum komunikasi petugas dan masyarakat meningkat. Kepekaan/ kepedulian masyarakat terhdap masalah Kamtibmas meningkat. Daya kritis masyarakat terhadap akuntabilitas penyelesaian masalah Kamtibmas meningkat. Ketaatan warga masyarakat terhadap aturan yang berlaku meningkat. Partisispasi masyarakat dalam hal deteksi dini, peringatan dini, lapotan kejadian meningkat. Kemampuan masyarakat mengeleminir akar masalah meningkat.
101 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa, 19 Januari 2010 102 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008, hal 56-57
171
j. k.
Keberadaan dan berfungsinya mekanisme masalah oleh polisi dan masyarakat. Gangguan Kamtibmas menurun.
penyelesaian
Berdasar data hasil wawancara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa parameter keberhasilan program Community Policing hanya melihat dari sisi kualitas semata, yaitu terbentuknya kemitraan antara polisi dan masyarakat sehingga masalah di masyarakat dapat teratasi.
E. Analisa dan Pembahasan Data Dampak Efektifitas pelaksanaan program Community Policing dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan. Dampak dari pelaksanaan program Community Policing dibagi menjadi 2, yaitu: 1.
Dampak Internal (ke dalam) Penilaian dampak internal pelaksanaan program Community Policing diperoleh melalui wawancara dengan pelaksana program, yaitu: Adakah dampak positif yang dirasakan setelah adanya program Community Policing terhadap Binamitra Polres Boyolali selaku pelaksana program ini sendiri? Jawaban Ipda. Joko Lukito:
172
”Dampak positif dari program ini, personil kita lebih mudah dalam melakukan pengamanan ketertiban dan keamanan masyarakat karena masyarakat mau diajak bekerjasama.”103
Jawaban Aiptu. Dalyamto: ”Dampak positif, kerjasama antara polisi dengan masyarakat berjalan baik. Masyarakat mampu melaksanakan pengamanan swakarsa jadi tugas polisi lebih ringan.”104
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa program Community Policing menjadi jembatan untuk menjalin hubungan kemitraan antara Binamitra Polres Boyolali dengan masyarakat. Sebagai Public Relations dari Polres Boyolali, sudah menjadi tugas Binamitra untuk menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sirait, dalam Kamus Internasional yang merumuskan Public Relations sebagai: “Aktivitas yang dilakukan oleh industri, perserikatan, perusahaan, perhimpunan, jawatan pemerintah, dan atau organisasi lainnya, untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang sehat dan bermanfaat dengan masyarakat tertentu (misalnya para langganan, para pegawai, atau para pemegang saham) dan masyarakat pada umumnya dengan maksud menyesuaikan dirinya pada keadaan sekeliling dan memperkenalkan dirinya kepada masyarakat”105 Adanya kegiatan public relations dari perusahaan tentunya mempunyai tujuan tertentu. Bagi perusahaan, kegiatan komunikasi 103 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010 104 Hasil wawancara dengan Aiptu. Dalyamto, Selasa 19 Januari 2010 105 Kustadi Suhandang, Public Relations Perusahaan, Kajian, Program, Implementasi, Nuansa, Bandung, 2004, hal. 46.
173
dengan publiknya tidak lain adalah untuk membangun suatu hubungan yang harmonis dengan mereka, sehingga publik mempunyai kesan yang baik kepada perusahaan, dan pada akhirnya akan membawa citra yang baik dan positif. Hal tersebut akan membawa suatu kepercayaan kepada perusahaan. Dalam program Community Policing yang dilaksanakan oleh Binamitra Polres Boyolali, secara tidak langsung tujuan yang ingin dicapai adalah pembentukan citra positif Polri. Citra adalah tujuan utama sekaligus merupakan reputasi dan prestasi yang hendak dicapai bagi dunia PR.106 Sebuah instansi yang paham akan pentingnya citra, perlu memberi perhatian yang cukup untuk membangun citra yang menguntungkan bagi instansi tersebut, tidak hanya melepaskan diri terhadap terbentuknya suatu kesan publik yang bersifat negatif terhadap instansi yang bersangkutan. Demikian pula dengan Binamitra Polres Boyolali, melalui program Community Policing akan menimbulkan dampak yang berimbas terhadap citra Polri di wilayah Kabupaten Boyolali. Seperti yang diungkapkan oleh Ipda. Joko Lukito: “Sejauh ini keberhasilan Polmas dalam meningkatkan citra polri di wilayah Boyolali, masyarakat lebih percaya kepada kepolisian, lebih ada keterbukaan antara masyarakat dengan Polri.”107
106 Rosady Ruslan, Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi: Konsep dan Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal 70 107 Hasil wawancara dengan Ipda. Joko Lukito, Selasa, 19 Januari 2010
174
Agar kegiatan PR Binamitra Polres Boyolali melalui program Community Policing efektif diperlukan teknik komunikasi yang tepat. Teknik komunikasi seorang Public Relations Officer di instansi pemerintah, termasuk Binamitra Polres Boyolali tidak berbeda dengan teknik komunikasi yang digunakan public relations di bidang lainnya, yaitu teknik komunikasi persuasif (komunisuasif). Komunikasi persuasif dapat dilakukan oleh Binamitra Polres Boyolali dengan mengaplikasikan formula AIDDA, yaitu:108 A - Attention
: menarik perhatian
I
: membangkitkan minat
- Interest
D - Desire
: menumbuhkan hasrat
D - Decision
: membuat keputusan
A - Action
: melakukan penggiatan
Dengan formula AIDDA, akan terjadi proses transfer public relations yang bisa mengubah opini negatif menjadi positif, dan dari prasangka menjadi menerima. Apalagi program Community Policing, jika tidak melakukan teknik komunikasi persuasif yang benar justru dapat berpengaruh buruk terhadap citra dari instansi kepolisian sendiri. Komunikasi merupakan komponen utama PR dalam menjalankan perannya di suatu instansi. Sebagai salah satu unsur fungsional manajemen dalam membangun citra yang baik bagi Polri, maka
108 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, CV. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal 25
175
komunikasi dilakukan terus menerus agar terjaga sikap saling pengertian dari masyarakat sebagai sasaran program Community Policing dan menghindarkan dari prasangka-prasangka yang bersifat negatif. Sesuai dengan definisi Public Relations yang dikemukakan oleh Fraser P. Seitel: ”Public Relations merupakan fungsi manajemen yang membantu menciptakan dan saling memelihara alur komunikasi, pengertian, dukungan, serta kerjasama suatu organisasi/perusahaan dengan publiknya dan ikut terlibat dalam menangani masalah-masalah atau isu-isu manajemen. PR membantu manajemen dalam penyampaian informasi dan tanggap terhadap opini publik. PR secara efektif membantu manjemen memantau berbagai perubahan.”109
Proses pembentukan citra berawal dari persepsi. Akar dari opini sebenarnya tak lain adalah persepsi. Opini muncul ketika orang tersebut mempunyai persepsi.110 Untuk mengetahui seperti apa opini yang terbentuk di masyarakat tentang Polri terkait program Community Policing memang perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut dan berawal dengan mempertanyakan opini publik yang berkembang, salah satu caranya dengan mengadakan polling opini publik atas program Community Policing, dengan polling tersebut dapat menghapus pendapat ekstrim tentang instansi kepolisian, sesuai yang diungkapkan Iginio Gagliardone (London School of Economics) dan Nicole A. Stremlau (Stanhope Centre for Communications Policy Research, UK) 109 Soleh Soemirat, Elvinaro Ardianto, Dasar-dasar Public Relations, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal 13 110 Rhenald Kasali, Manajemen Public Relations Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 28
176
“The public opinion polls were also used in an effort to “eliminate extreme opinions, map out common ground and areas of compromise and test comprehensive agreements as packages.”111
Dari perumusan di atas ini, disimpulkan bahwa komunikasi mengenai soal-soal tertentu, apabila dibawa dalam bentuk tertentu kepada orang-orang tertentu akan memberikan efek tertentu pula. Justru dalam perumusan ini sifat khas komunikasi yaitu mempelajari efek dinyatakan dengan jelasnya. Tujuan adanya Polmas dalam Binamitra adalah agar Polri lebih menekankan pada adanya suatu hubungan antara masyarakat dan Polri. Dan, Polri menjembatani hubungan antara keduanya. Karena kedua hubungan ini diibaratkan sebagai ikan dan air yang saling memberi kehidupan,
mereka
berinteraksi
satu
dengan
yang
lain
serta
membutuhkan. Oleh karena itu, hubungan masyarakat dan Polri praktis seyogyanya dibina dengan tujuan agar tercapainya kesuksesan dalam hal kinerja Polri ditengah masyarakat, dan juga pihak Polri sudah memiliki sistem kerja yang khusus berkaitan langsung dengan Binamitra hingga ditingkat Polsek bahkan penugasannya sampai ke pelosok desa atau sering disebut sebagai Babinkamtibmas (Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Hal ini sebagai upaya nyata dalam bidang pembinaan oleh Polri agar memberikan bimbingan terhadap masyarakat
111 Public Opinion Research in a Conflict Zone:Grassroots Diplomacy in Darfur, International Journal of Communication 2, 2008, p.5
177
sampai ke tingkat bawah. Sehingga, Polri akan lebih cepat dan tepat dalam menerima masukan-masukan dari masyarakat baik secara langsung ataupun tidak langsung, sehingga terjalin suatu kerjasama dengan masyarakat dalam upaya menciptakan kamtibmas. Meskipun tanpa disadari, bahwa Polri sebenarnya banyak menghadapi faktor lain yang juga mempengaruhi untuk menjamin keberhasilan Polri dalam bertugas serta mengabdi pada kepentingan negara dan masyarakat, salah satu hubungan yang perlu dijaga adalah hubungan antara Polri dengan masyarakat yang seyogyanya hubungan diantara keduanya dapat berjalan dengan baik dan erat. Kedua hubungan ini begitu penting mengingat bahwa hubungan tersebut akan menentukan citra polisi dimata masyarakat. Menurut Alan Coffrey, Edward Elfonso dan Walter Hartinger dalam bukunya Police And Community In Transition (1980), dikatakan bahwa semakin erat hubungan persahabatan antara Polri dengan Masyarakat, maka semakin positif citra polisi. Sebaliknya, kian merenggang hubungan keduanya akan semakin negatiflah citra polisi di mata masyarakat.112 2.
Dampak Eksternal (ke luar) Apabila kita melihat dampak pelaksanaan Program Community Policing bagi masyarakat dari perspektif dampak komunikasi adalah perubahan dalam opini dan pengetahuan, pandangan dan ide, sikap dan
112 Majalah Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Caraka Candi bulan Desember 2002, hal 29
178
tingkah laku serta kepercayaan dan citra. Hal ini bisa dijabarkan sebagai berikut: ·
Dampak Kognitif Merupakan dampak yang timbul pada komunikan sehingga meningkatkan pengetahuan dan intelektualitas. Dalam konteks ini dampak kognitif yang ditimbulkan dari adanya program Community Policing adalah peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai peran, tugas dan wewenang kepolisian dalam menciptakan ketertiban masyarakat. Meskipun dampak kognitif sudah cukup baik di kalangan peserta program Community Policing, namun pemahaman detail tentang peran, tugas dan wewenang Kepolisian belum terwujud, terutama masyarakat umum yang tidak menjadi sasaran program secara langsung.
·
Dampak Afektif Dampak afektif pelaksanaan program Community Policing dapat dilihat dari kesadaran masyarakat mengenai Kamtibmas. Sehingga mereka peduli untuk menjaga keamanan dan ketertiban demi menciptakan kondisi yang aman dan tertib. Dampak afektif program Community Policing juga bisa dibilang cukup baik. Setselah adanya program Community Policing, masyarakat menjadi lebih percaya kepada polisi dan bersedia menjalin kemitraan dalam mewujudkan Kamtibmas.
179
·
Dampak Behavioral Merupakan dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perubahan tingkah laku, tindakan dan kegiatan. Dampak behavioral ini nampak dari perilaku masyarakat yang bersedia melakukan pengamanan swakarsa pada lingkungannya masing-masing. FKPM yang dibentuk mampu melaksanakan tugas dengan baik, mereka memecahkan permasalahan-permasalahan ringan yang timbul di masyarakat sehingga tidak muncul ke permukaan. Tindak pidana ringan yang dimaksud adalah tindak pindana yang ancaman hukum kurungan penjara tidak lebih dari 3 bulan dan denda tidak lebih Rp 7.500,00 dan dalam Perda tidak lebih Rp 50.000,00. Contoh-contoh tindak pidana ringan yaitu percekcokan, penganiayaan ringan, pencurian ringan dan lain-lain. Tindak pidana ringan yang ditangani petugas Polmas dan FKPM Binamitra Polres Boyolali, antara lain: 1. Pengancaman 2. Sengketa pembuatan saluran air 3. Kesepakatan jual beli tanah yang tidak jadi 4. Penganiayaan terhadap anak 5. Perselingkuhan 6. Menjual tanah keluarga secara sepihak 7. Penyerobotan tanah 8. Perselisihan dengan pemerasan
180
9. Kesalahpahaman: pemukulan 10. Pencemaran nama baik 11. Pengerusakan 12. Kecelakaan lalu lintas ringan 13. Penguasaan tanah secara sepihak Berdasarkan data yang diperoleh dari Binamitra Polres Boyolali, pada tahun 2009 terdapat 28 permasalahan yang ditangani. Walaupun permasalahan-permasalahan tersebut ringan namun apabila tidak segera ditangani maka akan menimbulkan gangguan Kamtibmas dan dapat pula memicu timbulnya tindak pidana berat. Setiap ada permasalahan yang terselesaikan maka akan dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB), yaitu surat kesepakatan antara pihakpihak yang berselisih sehingga keputusan yang diambil bersama memiliki kekuatan hukum.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dan analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan dan juga merupakan jawaban dari
181
pertanyaan yang telah diajukan. Adapun kesimpulan yang didapat sebagai berikut: 1. Dengan menggunakan dasar analisis secara keseluruhan yang meliputi CIPP dan Dampak dari program Community Policing, maka dapat diketahui mengenai efektifitas dari program tersebut, ditinjau dari pelaksaan program, maka program Community Policing bisa dikategorikan cukup efektif, karena mampu menciptakan kemitraan antara polisi dengan masyarakat
dan
meningkatkan
kepercayaan
masyarakat
terhadap
Kepolisian. Namun bila pengertian keefektifan pelaksanaan program Community Policing dilihat dari sisi sasaran program maka pelaksanaan program Community Policing belum dapat dikategorikan efektif, karena belum semua masyarakat dilibatkan dalam program ini. 2. Bentuk komunikasi yang digunakan dalam program Community Policing sudah tepat, yaitu komunikasi persuasif dengan komunikasi langsung (tatap muka) melalui pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat. Penyampaian pesan-pesan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dan dengan kemampuan dana serta pemahaman materi yang didasarkan pada pengalaman personil Binamitra Polres Boyolali. 3. Faktor yang mendukung dalam pelaksanaan program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali, antara lain: b. Adanya dukungan dari masyarakat Kabupaten Boyolali karena mereka merasa program Community Policing bermanfaat dalam mewujudkan
182
kamtibmas di lingkungan mereka. Apresiasi yang tinggi dari masyarakat sangat mendukung kelancaran program ini. c. Adanya dukungan dari kerjasama yang baik dari pihak eksternal, pihak-pihak tersebut antara lain: Pemda Boyolali, asosiasi pengusaha, lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah. 3. Faktor yang menjadi hambatan dalam penerapan program Community Policing oleh Binamitra Polres Boyolali, antara lain: a. Belum memadainya dana yang diberikan oleh kantor pusat, sedangkan Pemda belum memasukkan anggaran program Community Policing dalam
APBD.
Binamitra
Polres
Boyolali
sedang
melakukan
pendekatan kepada Pemda agar segera memasukkan anggaran dana program ini ke APBD. b. Pembentukan Forum Kemitraan Polisi – Masyarakat baru di sebagian wilayah Boyolali, belum merata di semua daerah. Sehingga masih terdapat masyarakat yang belum mengetahui tentang program ini.
B. Saran Dari kesimpulan di atas maka peneliti memiliki beberapa saran yang bisa dijadikan pertimbangan untuk melakukan program-program PR masa mendatang dan sebagai saran untuk peneliti lain yang ingin melakukan penelitian serupa, saran tersebut yaitu:
183
1. Kepada Binamitra Polres Boyolali a. Lebih mematangkan perencanaan dari strategi yang diambil, serta melakukan monitoring dan evaluasi terutama dampak terhadap citra instansi Kepolisian di Boyolali serta untuk setiap kegiatan yang sudah dilaksanakan sehingga dapat diketahui kekurangannya dan dijadikan tolok ukur bagi kegiatan selanjutnya. b. Meningkatkan kualitas kerja personil Binamitra Boyolali dalam berkomunikasi dengan masyarakat sehingga setiap program yang dilaksanakan akan lebih efektif. c. Tanggap terhadap kritik dan saran serta opini publik yang terbentuk di masyarakat. Tanggapan positif dengan meningkatkan pelayanan polisi terhadap masyarakat akan menumbuhkan rasa kepuasan masyarakat atas kinerja polisi. 2. Kepada peneliti lain Penelitian ini belum mampu menggali lebih dalam tentang ukuran efektivitas suatu program PR, sehingga disarankan kepada peneliti lain supaya dapat mengkaji ulang penelitian ini dengan teknik penelitian yang berbeda, mengingat penelitian ini masih jauh dari sempurna. Penelitian tersebut bisa berupa: a. Meneliti secara mendalam mengenai ukuran efektivitas program baik dari sisi pelaksana program maupun sasaran program Community Policing.
184
b. Evaluasi dan orientasi proses program kerja Binamitra Polres Boyolali dalam melaksanakan program Community Policing. 3. Kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kerjasamanya dengan pihak kepolisian karena keamanan dan ketertiban masyarakat adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pihak kepolisian saja. Dan tidak selalu berpikiran negatif terhadap kinerja Polri.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, M. Linggar. 2002. Teori dan Profesi Kehumasan. Jakarta: Bumi Aksara. Cangara, Hafield. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Effendy, Onong Uchjana. 1992. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Bandung: CV Remaja Rosdakarya. . 1993. Human Relations & Public Relations. Bandung: Mandar Maju. . 1997. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. . 2000. Dinamika Komunikasi. Bandung: CV Remaja Rosdakarya. Ernest dan Nancy, B. 1991. Retorika: Suatu Pendekatan Terpadu. Jakarta: Erlangga. Fieldman, R.S. 1998. Social Psychology. New Jersey: Prentice Hall.
185
Khasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Grafiti. Moore, Frazier. 1988. Hubungan Masyarakat, Prinsip, Kasus dan Masalah,(edisi) Satu. Bandung: PT. Remadja Karya. . 2005. Humas: Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. Rachmadi, F. 1994. Public Relations dalam Teori dan Praktek: Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Rahardi, Pudi. 2007. Hukum Kepolisian: Profesionalisme dan Reformasi Polri. Surabaya: Laksbang Mediatama. Ruslan, Rosady. 1999. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi: Konsep dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sastropoetro, R.A.S. 1988. Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soemirat, Soleh dan Elvinaro A. 2002. Dasar-dasar Public Relations. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Suhandang, Kustadi. 2004. Public Relations Perusahaan: Kajian Program Implementasi. Bandung: Nuansa. Suharsimi, Arikunto. 1988. Penilaian Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Sutopo, H.B. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Widjaja, A.W. 1986. Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara. Website Heryawan, Herry. Polisi Sipil yang Dipercaya. Diakses Kamis, 13 Agustus 2009 17:27:36 http://harianbatampos.com/web/index.php?option=com_content&t ask=view&id=73265&Itemid=374
186
Wahyudi, Hudit. Setiap Polisi Adalah Pelaksana Polmas. Diakses Senin, 11 Januari 2010 14:30:41 http://www.dharanalastarya.org/index.php?query=setiap+polisi+adalah+pelaksana+pol mas&pilih=search http://www.polri.go.id http://www.isiindonesia.com http://bhayangkaraindonesia.blogspot.com http://inorsiswanto.blogspot.com http://www.komisikepolisianindonesia.com
Majalah Majalah Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Manekha Tunggal Dharma, Mei 1999 Majalah Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Caraka Candi, Desember 2002 Jurnal Internasional Gagliardone, I. dan Nicole A. 2008. Public Opinion Research in a Conflict Zone:Grassroots Diplomacy in Darfur. p. 5. International Journal of Communication 2. Diakses Kamis, 15 Oktober 2009, 11:02:26. http://ijoc.org/ojs/index.php/ijoc/article/view/407 Pollock, Anne. 2009. Journal of Public Relations Research Volume 21, pages 404 – 42. Diakses Minggu, 14 Maret 2010. 09:59:18. http://www.hfrp.org/content/advancedsearch?SearchText=public+commun ications+campaign+and+evaluation&SearchContentClassID=1&x=0&y=0 Unpublished Galingga, Herald. 2009. Skripsi. Efektivitas Program Kampanye Sunset Policy. Jurusan Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
187
Hernitawidyastuti, Pungki. 2009. Skripsi. Efektifitas Program Kampanye “Hemat LIistrik 17-22”. Jurusan Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Peraturan Polri: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/54/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat Kewilayahan. Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.