PROFIL PROTEIN JARINGAN OTOT DAGING AYAM POTONG PRA-PENYEMBELIHAN ELECTRICAL STUNNING DAN NON ELECTRICAL STUNNING
MAYA INA SHOLAIKAH
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H
PROFIL PROTEIN JARINGAN OTOT DAGING AYAM POTONG PRA-PENYEMBELIHAN ELECTRICAL STUNNING DAN NON ELECTRICAL STUNNING
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh: MAYA INA SHOLAIKAH 1111096000058
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H
PROFIL PROTEIN JARINGAN OTOT DAGING AYAM POTONG PRA-PENYEMBELIHAN ELECTRICAL STUNNING DAN NON ELECTRICAL STUNNING
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh: MAYA INA SHOLAIKAH 1111096000058
PENGESAHAN UJIAN Skripsi berjudul ” PROFIL PROTEIN JARINGAN OTOT DAGING AYAM POTONG PRA-PENYEMBELIHAN ELECTRICAL STUNNING DAN NON ELECTRICAL STUNNING” yang ditulis oleh Maya Ina Sholaikah, NIM 1111096000058 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 1 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, 1 Juli 2015
Maya Ina Sholaikah NIM. 1111096000058
ABSTRAK
Maya Ina Sholaikah. Profil Protein Jaringan Otot Daging Ayam Potong PraPenyembelihan Electrical Stunning Dan Non Electrical Stunning. Dibimbing oleh SANDRA HERMANTO dan ANNA MUAWANAH. Perlakuan pra-penyembelihan ayam potong dengan electrical stunning dapat mempengaruhi aspek kehalalan daging ayam potong. Electrical stunning dapat menyebabkan ayam potong mati sebelum dilakukan penyembelihan mencapai sekitar 10–35%. Penelitian tentang identifikasi protein biomarker terkait kehalalan ayam potong dengan perlakuan pra penyembelihan electrical stunning dan non electrical stunning telah dilakukan. Masing-masing sampel (6 ekor ayam potong usia 4 minggu bobot 1 kg dan 6 ekor usia 5 minggu bobot 1,7 kg) dilakukan proses pra-penyembelihan dengan 3 perlakuan; yaitu sampel A disembelih dengan cara electrical stunning halal (100 mA 25 Volt selama 10 detik); sampel B dengan electrical stunning haram (100 mA, 220 Volt selama 30 detik); dan sampel C sebagai non electrical stunning halal (kontrol, 0 V, 0 A). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Proses ekstraksi jaringan otot daging ayam potong menggunakan buffer Tris-HCl 0,05 M pH 8,8 dan analisis kandungan protein ditentukan menggunakan metode Lowry. Pemisahan profil protein menggunakan elektroforesis SDS-PAGE (sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis) dan analisis densitogram untuk mengidentifikasi karakteristik BM profil protein yang dihasilkan melalui software Images J 1.46. Penelitian ini menghasilkan pita-pita protein yang tersebar pada kisaran 10-140 kDa dan 9 pita protein dominan dengan intensitas yang relatif berbeda. Hasil analisis densitogram menunjukkan 1 pita protein spesifik (BM 30,19952 kDa) dengan intensitas yang lebih tinggi pada electrical stunning dibandingkan dengan non electrical stunning. Dengan demikian jenis protein ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kandidat protein biomarker dalam mendeteksi kehalalan produk pangan ayam potong yang disembelih dengan perlakuan electrical stunning. Kata Kunci: Protein biomarker, electrical stunning, otot ayam, SDS-PAGE, densitometri.
ABSTRACT Maya Ina Sholaikah. Protein Profile Of Muscle Tissue Broilers Chicken with Pre-Slaughtering Electrical Stunning And Non Electrical Stunning. Supervised by SANDRA HERMANTO and ANNA MUAWANAH. Slaughter process broiler chicken with electrical stunning influence associated of halal. Electrical stunning of broiler chicken die causes prior to the slaughter of approximately 10 – 35%. Research on identification of protein biomarkers associated halal chicken with different pre-slaughter electrical stunning and non electrical stunning has been performed. Each sample (6 chickens aged 4 weeks, weighs 1 kg and 6 chickens age 5 weeks, weighs 1,7 kg) was prepared through the process of pre-slaughter with 3 conditions; that is a sample of A slaughtered by electrical stunning as halal (100 mA 25 Volts for 10 seconds); sample B with electrical stunning of haram (100 mA 220 volts for 30 seconds); and sample C as non electrical stunning as halal (controls, 0 V, 0 A). Each condition was repeated twice. Process extraction of muscle tissue meat chicken using buffer Tris-HCl pH 8,8 M 0,05 and analysis of protein content was determined using the method of Lowry. Separation of protein profile using electrophoresis SDS-PAGE (sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis) and densitogram analysis to identify the characteristics of BM profile protein produced through software Images J 1.46. This research resulted profil protein scattered in the range of 10-140 kDa and 9 dominant with relative intensity is different. Densitogram analysis results showed 1 profil protein specific (BM 30,19952 kDa) with a higher intensity on the electrical stunning compared with non electrical stunning. Thus the type of protein is expected to serve as a candidate protein biomarkers in detecting the halal food products chicken that are slaughtered with electrical stunning treatment.
Keywords: Protein biomarkers, electrical stunning, chicken muscle, SDS-PAGE, densitometry.
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, karena atas izin-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wasallam, beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga hari akhir. Skripsi yang berjudul ” Profil Protein Jaringan Otot Daging Ayam Potong Pra-Penyembelihan Electrical Stunning Dan Non Electrical Stunning” ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menempuh penelitian program S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa pihak-pihak yang terus memberikan bimbingan dan dukungannya, sehingga ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Agus Salim, M.Si, sebagai Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Dede Sukandar, M.Si sebagai Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidyatullah Jakarta. 3. Isalmi Aziz, M.T selaku Sekretaris Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Sandra Hermanto, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing pemikiran, saran dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Anna Muawanah, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan saran selama proses penulisan skripsi ini.
i
6. Seluruh Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu yang telah diberikan. 7. Keluarga terkasih yang sangat dicintai: Bapak (Larto), Ibu (Partini) dan adik (Aisyah Aji Furqonah) yang tidak pernah lelah dalam memberikan perhatian dan dukungannya baik secara moril maupun materil. 8. Guru-guru, keluarga besar serta ulama yang telah membantu memberi dukungan moril dan doa pada peneliti. 9. Seluruh peneliti, staf, dan karyawan Pusat Laboratiorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang banyak membantu dalam penelitian ini. 10. Ka Pipit, Ka Prita, Ka Nita, Ka Wahyu dan Ka Fuad selaku laboran kimia yang telah sabar membantu dan mendukung dalam proses untuk jalannya penelitian. 11. Teman satu tim penelitian Suci dan teman laboratorium yang telah membantu dan saling memberi semangat selama proses penelitian. 12. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Kimia Angkatan 2011 yang sudah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. 13. Teman-teman KKN SIAP untuk semangat, dukungan, canda tawa dan motivasinya. Saya menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan. Jakarta, 1 Juli 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .........................................................................................
i
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 5 1.3 Hipotesa Penelitian ......................................................................................... 5 1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6 1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7 2.1 Sejarah dan Klasifikasi Ayam ......................................................................... 7 2.2 Komposisi Gizi Daging Ayam Potong ........................................................... 9 2.2.1 Protein Jaringan Otot Daging Ayam Potong ......................................... 11 2.2.2 Pengujian Kadar Protein Metode Lowry ............................................... 14 2.3 Penyembelihan Ayam Potong ......................................................................... 14 2.3.1 Penyembelihan dengan Pemingsanan (Stunning) .................................. 16 2.3.2 Penyembelihan Tanpa Pemingsanan (Non Stunning) atau Manual ...... 18 2.4 Biomarker ....................................................................................................... 19 2.5 Proteomik ........................................................................................................ 20
iii
2.6 Elektroforesis .................................................................................................. 21 2.6.1 Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDSPAGE) ............................................................................................................. 24 2.6.2 Analisis Densitometri............................................................................. 26 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 29 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 29 3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................ 29 3.2.1 Alat ......................................................................................................... 29 3.2.2 Bahan ..................................................................................................... 29 3.3 Prosedur Penelitian ......................................................................................... 30 3.3.1 Proses Penyembelihan dan Isolasi Sampel ............................................ 30 3.3.2 Pengukuran Kadar Protein. ................................................................... 31 3.3.2.1 Penentuan Nilai λ (Panjang Gelombang) Maksimum................ 31 3.3.2.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi ....................................................... 32 3.3.2.3 Pengukuran Sampel ................................................................... 32 3.3.3 Elektroforesis Dodecyl Sulphate Poliacrilmide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) .......................................................................................... 33 3.3.3.1 Preparasi Sampel untuk Elekroforesis ....................................... 33 3.3.3.2 Preparasi Gel Elekroforesis ........................................................ 33 3.3.3.3 Loading Sampel ......................................................................... 34 3.3.3.4 Pewarnaan Gel ........................................................................... 34 3.3.3.5 Analisa Berat Molekul dan Tingkat Ekspresi Protein................ 34 3.4 Desain Penelitian ............................................................................................ 36
iv
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 37 4.1 Karakteristik Ayam Potong Sebelum dan Sesudah Penyembelihan ............... 37 4.2 Isolasi Protein dari Jaringan Otot Daging Ayam Potong ............................... 40 4.3 Kadar Protein Ekstrak Jaringan Otot Daging Ayam Potong ......................... 42 4.4 Profil Protein Isolat Jaringan Otot Daging Ayam Potong hasil SDS-PAGE ...... ......................................................................................................................... 46 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 57 5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 57 5.2 Saran ............................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58 LAMPIRAN ......................................................................................................... 67
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Standar bobot badan ayam broiler berdasarkan jenis kelamin pada umur 1 sampai 6 minggu ....................................................................... 8 Tabel 2. Gambaran nilai gizi daging ayam potong (Broiler) ............................... 10 Tabel 3. Protein dari otot rangka ayam ................................................................ 13 Tabel 4. Rekomendasi konsentrasi gel ................................................................. 25 Tabel 5. Kandungan protein jaringan otot daging ayam potong dengan metode Lowry ..................................................................................................... 44 Tabel 6. Jenis pita protein spesifik yang muncul pada jaringan otot daging Ayam potong berdasarkan berat molekulnya......................................... 50 Tabel 7. Data intensitas profil protein berat molekul kisaran 28-36 kDa (Rf diantara 700-800) ............................................................................ 51
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Pembentukan protein dari asam amino............................................ 10 Gambar 2. Gambaran struktur sel otot .............................................................. 11 Gambar 3. Saluran darah, oeshopagus dan trakhea diantara leher dan kepala ayam ................................................................................................ 15 Gambar 4. Diagram skema pemingsanan ayam dengan waterbath electrical stunning ............................................................................................ 18 Gambar 5. Cara kerja elektroforesis .................................................................. 23 Gambar 6. Alat elektroforesis SDS-PAGE ....................................................... 26 Gambar 7. Ayam potong sebelum penyembelihan (a) Usia 4 minggu (1 kg) (b) Usia 5 minggu (1,7 kg) .............................................................. 37 Gambar 8. Warna sampel daging ayam potong setelah proses penyembelihan .... ......................................................................................................... 38 Gambar 9.
Ekstrak kasar protein jaringan otot daging ayam potong bagian paha ................................................................................................ 40
Gambar 10. Reaksi pembentukan kompleks pewarnaan biru pada metode Lowry ............................................................................................. 43 Gambar 11.Gel ke-1 Pemisahan Elektroforesis Jaringan Otot Daging Ayam Potong 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal) dan Marker (M) ......................... 47
vii
Gambar 12.Gel ke-2 Pemisahan Elektroforesis Jaringan Otot Daging Ayam Potong 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal) dan Marker (M) ......................... . 47 Gambar 13.Perbedaan intensitas pada densitogram
masing-masing sanpel
jaringan otot daging ayam potong 1 (Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); 3 (Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg));
A (Perlakuan
Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal ........................................................................ . 52 Gambar 14. Alur elektroporasi ........................................................................... 54
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Gambar bahan dan alat penelitian ................................................... 66 Lampiran 2. Gambar metode penelitian ............................................................... 68 Lampiran 3. Komposisi reagen dan larutan ......................................................... 70 Lampiran 4. Pembuatan deret konsentrasi BSA pada uji kadar protein sampel dengan metode Lowry ........................................................ 72 Lampiran 5. Nilai serapan pada metode Lowry ................................................... 73 Lampiran 6. Kandungan kadar protein pada sampel............................................ 74 Lampiran 7. Hasil persamaan garis kurva standar marker protein ...................... 76 Lampiran 8. Tampilan software ImageJ 1.46 ...................................................... 79 Lampiran 9. Data gel elektroforesis ..................................................................... 80
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kualitas kehidupan masyarakat yang sehat memerlukan adanya kebutuhan
pangan yang sempurna. Salah satu pangan yang sempurna adalah terpenuhinya komposisi gizi berupa protein sebagai zat pembangun dan pengatur dalam tubuh. Sumber protein terbesar dalam tubuh adalah daging (Winarno, 2002). Diantara sumber protein daging yang banyak dikonsumsi adalah daging ayam. Pusat Informasi dan Pasar Unggas Nasional (Pinsar) menyebutkan bahwa produksi ayam potong nasional tahun 2014 mencapai hingga 2,4 miliar ekor. Pemilihan ayam potong sebagai sumber protein dikarenakan harganya yang relatif murah, mudah diperoleh dan mudah dalam pengolahan (Winedar et al., 2006). Pemenuhan daging ayam potong sebagai sumber protein dari hari kehari semakin meningkat. Hal ini membuat Rumah Potong Hewan (RPH), harus memenuhi kebutuhan daging ayam potong tersebut. Namun, sebagian besar RPH di Indonesia belum memiliki sertifikat halal. Faktanya adalah dari 700 RPH di seluruh Indonesia hanya 120 RPH yang disertifikasi halal oleh MUI (LPPOM MUI, 2012). Salah satu perhatian khusus terhadap aspek kehalalan produk pangan hewan ternak adalah terkait dengan pra-penyembelihan, penyembelihan dan pasca-penyembelihan (Farouk, 2013). Salah satu riwayat Hadist nabi menyatakan;
1
“Bahwasanya Allah memerintahkan berbuat baik atas segala sesuatu, jika kalian membunuh, bunuhlah yang baik dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik, hendaklah diantara kamu menajamkan pisaunya dan mempercepat mematikan sembelihannya” (HR. Muslim dari Syaddad bin Aus ra.). Berdasarkan Hadits tersebut, perlu adanya penanganan penyembelihan dengan metode yang islami baik cara maupun penyiapan prasarananya. Saat ini banyak dilakukan penyembelihan secara modern, yaitu banyaknya jumlah hewan yang disembelih dalam satu waktu sehingga memerlukan waktu yang sangat cepat dan dibutuhkan perlakuan khusus untuk penyembelihannya. Salah satu perlakuan khusus tersebut adalah pemberian electrical stunning atau pemingsanan dengan cara melemahkan hewan sebelum proses penyembelihan menggunakan arus listrik. Banyak ulama yang melarang adanya proses tersebut, namun sebagian ulama yang membolehkan harus sesuai dengan syarat bahwa hewan tidak mati sebelum disembelih dan tidak membuat cidera permanen pada hewan (Prastowo, 2014). Menurut Yenrina et al. (2010), penggunaan electrical stunning dapat menyebabkan ayam potong mati sebelum dilakukan proses penyembelihan mencapai sekitar 10–35% kematian. Hal ini dapat terjadi karena dari kekuatan setiap hewan terhadap proses stunning sangat bervariasi, dipengaruhi oleh kondisi tubuh hewan, usia dan lainnya. Misalnya pada ayam potong jenis betina memiliki hambatan listrik lebih tinggi dibanding ayam potong jantan sehingga dibutuhkan arus listrik yang sesuai dengan kondisi ayam potong masing-masing (Rawles et al, 1995).
2
Menurut Reilly (1994) electrical stunning dengan tegangan listrik sebesar 220 V selama 4 detik dapat menyebabkan kerusakan otak pada ayam broiler yang parah hingga menyebabkan kematian, akibatnya cara ini termasuk cara yang menyiksa hewan dan menjadikan kehalalannya diragukan. Berdasarkan syarat penyembelihan dengan electrical stunning halal, tegangan listrik yang digunakan harus sebesar 10-25 V selama 5-10 detik melalui waterbath (LPPOM MUI, 2012). Perbedaan daging ayam potong yang diperoleh melalui pra-penyembelihan yang sudah ataupun belum memperhatikan aspek kehalalan, dapat dilakukan dengan pemeriksaan terhadap protein biomarker spesifik. Protein biomarker adalah protein yang terekspresi secara spesifik dengan adanya perlakuan tertentu sebagai akibat dari respon fisiologi dan neurologis yang terjadi baik di dalam maupun di luar sel. Protein biomarker ini berkaitan dengan pengembangan metode analisa kehalalan pangan khususnya bersumber dari ayam potong yang dilakukan pra-penyembelihan berbeda (Bendixen , 2005). Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Doherty et al., (2004) yang menyatakan pertumbuhan ayam potong sejak usia 1 hari hingga 27 hari yang disembelih dengan gas stunning CO2, menunjukkan tingkat ekspresi protein yang berbeda setiap sampelnya. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Zaman et al., (2012) melalui perbedaan metode penyembelihan ayam potong dengan memutus leher hingga terpisah dari badannya dan hanya memutus tiga saluran, menunjukkan karakteristik protein yang terekspresi pada daerah bobot molekul 45-66 kDa. Selain itu metode pra-penyembelihan berbeda telah dilakukan oleh Samah et al.,(2011) yang menunjukkan bahwa ayam potong akibat perlakuan
3
stunning dengan arus listrik 0,75 A dan 70 V menghasilkan spot protein yang relatif berbeda jika dibandingkan dengan kontrol yang tidak dilakukan stunning. Melalui beberapa metode penyembelihan ayam potong tersebut, hingga saat ini belum banyak informasi atau penelitian yang mengidentifikasi profil protein biomarker yang diisolasi dari jaringan otot daging ayam potong dengan pra-penyembelihan yang berbeda terutama dengan perlakuan electrical stunning pada rentang berat tubuh atau usia yang berbeda. Jaringan otot merupakan salah satu jenis sel yang paling banyak pada daging dan bersifat kontraktil serta memiliki fungsi khusus dalam metabolisme yang sangat bergantung pada sejumlah besar protein di dalam bagian jenis dan bagian dagingnya (Ohlendieck, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi protein-protein spesifik yang terekspresi pada jaringan otot daging ayam potong yang dilakukan dengan pra-penyembelihan berbeda yakni melalui electrical stunning dan non electrical stunning. Hasil analisis proteomik ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai beberapa jenis protein berbeda yang terekspresikan di dalam jaringan otot daging ayam potong. Selain itu, analisis proteomik juga diarahkan untuk memetakan profil protein spesifik yang nantinya dapat digunakan sebagai kandidat biomarker untuk analisa kehalalan produk pangan.
4
1.2
Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah profil protein jaringan otot daging ayam potong pada prapenyembelihan
electrical
stunning
dan
non
electrical
stunning
berdasarkan tingkat ekspresi dan berat molekul nya? 2. Apakah terdapat protein spesifik yang terekspresi dan dapat dijadikan sebagai kandidat biomarker untuk mendeteksi kehalalan akibat perlakuan pra-penyembelihan electrical stunning dan non electrical stunning?
1.3
Hipotesis Penelitian 1. Terdapat perbedaan profil protein jaringan otot daging ayam potong pada pra-penyembelihan electrical stunning dan non electrical stunning berdasarkan tingkat ekspresi dan berat molekul nya. 2. Perlakuan Over Voltage pada electrical stunning akan menghasilkan protein tertentu yang spesifik dan dapat dijadikan sebagai kandidat biomarker pendeteksi kehalalan daging ayam potong.
5
1.4
Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi perbedaan profil protein jaringan otot daging ayam potong yang terekspresi pada pra-penyembelihan secara electrical stunning dan non electrical stunning. 2. Mengidentifikasi protein spesifik yang diduga sebagai kandidat biomarker dari jaringan otot daging ayam potong pada pra-penyembelihan secara electrical stunning dan non electrical stunning berdasarkan tingkat ekspresi dan berat molekul protein.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai profil protein spesifik sebagai kandidat biomarker yang dapat digunakan dalam pendeteksian kehalalan produk pangan pada daging ayam potong dengan pra-penyembelihan yang berbeda (secara electrical stunning dan non electrical stunning). Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan metode analisa kehalalan pangan terutama untuk produk-produk pangan berbasis hewani.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sejarah dan Klasifikasi Ayam Menurut sejarahnya, ayam jinak yang dipelihara manusia sekarang adalah
berasal dari ayam liar. Keturunan ayam yang telah menjadi jinak kemudian disilang-silangkan atau dikawin-kawinkan oleh manusia. Menurut teori terdahulu, ayam liar ini adalah ayam hutan atau Gallus gallus. Hirarki klasifikasi ayam menurut Sarwono et al.,(2003) adalah sebagai berikut: Kingdom : Subkingdom : Phylum : Subphylum : Divisi : Kelas : Ordo : Family : Genus : Spesies :
Animalia Metazoa Chordata Vertebrata Carinathae Aves Galliformes Phasianidae Gallus Gallus gallus domestica sp
Ayam potong atau ayam broiler atau ayam ras merupakan hasil rekayasa genetika yang dihasilkan dengan cara menyilangkan sesama spesies ayam. Kebanyakan induknya diambil dari Amerika dan prosesnya diawali dengan mengawinkan sekelompok ayam dalam satu keluarga, kemudian dipilihlah turunannya yang tumbuh paling cepat. Diantaranya saling disilangkan kembali dan keturunannya diseleksi lagi, hasil keturunan yang cepat tumbuh kemudian dikawinkan dengan sesamanya. Demikian seterusnya hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh maka disebut ayam broiler (Indro, 2004).
7
Ayam potong adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuan sebagi penghasil daging. Ayam potong berumur dibawah delapan minggu dengan berat hidup 1,5–2,8 kg bahkan pemasaran ayam potong dikelompokkan berdasarkan berat hidup, yaitu 0,8–1 kg; 1–1,2 kg; 1,2–1,4 kg; 1,4–1,6 kg; 1,6−1,8 kg dan lebih dari 1,8 kg dengan masa pemeliharaan selama 25–40 hari (Suharti, 2008). Pertumbuhan yang paling cepat terjadi sejak menetas sampai umur 4-6 minggu, kemudian mengalami penurunan dan terhenti sampai mencapai dewasa (Kartasudjana et al., 2006). Standar bobot badan ayam broiler dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Standar bobot badan ayam broiler berdasarkan jenis kelamin pada umur 1 sampai 6 minggu.
Umur (minggu) 1 2 3 4 5 6
Jantan (g)
Betina (g)
152 376 686 1085 1576 2088
144 344 617 965 1344 1741
Sumber: NRC (1994)
Periode pertumbuhan ayam broiler dibagi menjadi 2 yaitu; periode starter dan periode finisher. Periode starter pada ayam broiler dimulai sejak umur 1 hari sampai umur 21 hari dan periode finisher dimulai sejak umur 21 hari sampai panen (Rasyaf, 1996). Ayam broiler mengalami pertumbuhan yang berlangsung cepat pada periode starter yang kemudian pertumbuhan akan berlangsung melambat dan terjadi karena penimbunan lemak tubuh (Wahju, 1997).
8
2.2
Komposisi Gizi Daging Ayam Potong Ditinjau dari segi mutu, daging ayam memiliki nilai gizi yang lebih tinggi
dibandingkan hewan ternak lainnya. Daging ayam mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, komposisi protein ini sangat baik karena mengandung semua asam amino esensial yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Akan tetapi daging ayam juga mempunyai kadar lemak yang cukup tinggi dibandingkan hewan ternak lainnya (Surisdiarto et al., 1990). Kandungan gizi yang dimiliki jenis daging ayam (100 gram) adalah kadar protein 23,6%, lemak 7%, kolesterol 62 mg dan kalori 135 Kkal (Anggorodi, 1995). Protein adalah komponen bahan kering yang terbesar dalam daging. Nilai nutrisi daging yang lebih tinggi disebabkan karena daging mengandung beberapa asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Kandungan protein di dalam otot yaitu 16% - 22%. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut (Lawrie, 2003). Protein merupakan makro molekul yang berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat kering hampir pada semua organisme (Lehninger, 1998). Molekul protein terutama tersusun oleh atom karbon (51,055,0%), hidrogen (6,5-7,3%), oksigen (21,5-23,5%), nitrogen (15,5-18,0%) dan sebagian besar mengandung sulfur (0,5-2,0%) dan fosfor (0,0-1,5%) (Anggorodi, 1979). Nilai gizi protein ditentukan oleh kandungan dan daya cerna asam-asam amino esensial. Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam-asam amino tersebut secara biologis. Selain itu pengertian protein (Gambar 1) adalah makromolekul yang terdiri atas asam-asam α-amino yang saling berikatan
9
dengan ikatan kovalen diantara gugus α-karboksil asam amino dengan gugus αamino dari asam amino yang lain. Ikatan di antara asam amino disebut ikatan peptida. Beberapa unit asam amino yang berikatan dengan ikatan peptida disebut polipeptida. Molekul protein dapat terdiri atas satu atau sejumlah rantai polipeptida dan setiap rantai dapat terdiri atas ratusan hingga jutaan residu asam amino (Girindra, 1986).
Gambar 1. Pembentukan protein dari asam amino (Puri, 2013).
Disebutkan presentase bagian dada ayam potong berdasarkan berat ayam potong adalah 22,70%, bagian paha sebesar 19,01% (Triyantini et al., 1997). Lebih rincinya gambaran nilai gizi daging ayam potong (broiler) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Gambaran nilai gizi daging ayam potong (Broiler)
Sajian (100 g tanpa kulit) Broiler Utuh Daging Dada Sayap Paha Bawah
Protein
Kalori
Lemak
Kolestrol
Sodium
Zat Besi
23 g 24 g 23 g 21 g
134 116 147 131
4,1 g 1,5 g 5,6 g 3,8 g
76 mg 72 mg 72 mg 79 mg
73 mg 63 mg 76 mg 81mg
1 mg 0,9 mg 1 mg 1,1 mg
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Pemerintahan Lampung (2014).
10
2.2.1
Protein Jaringan Otot Daging Ayam Potong Otot (Gambar 2) mengandung protein sekitar 19% dengan kisaran 16%-
22% (Forrest et al., 1975). Otot terbuat dari kumpulan sel yang disebut serabut otot. Setiap sel penuh dengan filamen yang terbuat dari dua protein yaitu aktin dan myosin. Ini termasuk kelompok protein sepanjang membran, yang mengelilingi setiap serat dalam membantu sel untuk menjaga sel-sel otot bekerja dengan benar. Protein yang terdapat dalam jaringan otot terdiri atas 70% protein struktural berupa protein fibril serta 30% protein larut-air. Protein fibril mengandung sekitar 32-38% miosin, 13-17% aktin, 2-7% tropomiosin dan 6% protein stroma.
Gambar 2. Gambaran struktur sel otot (http://mda.org )
11
Protein larut-air terdiri atas mioglobin dan enzim yang berperan dalam proses metabolisme sel otot. Protein ini mudah dipisahkan dengan cara ekstraksi dengan larutan garam lemah (kekuatan ion < 0,1). Miosin merupakan protein otot dengan jumlah yang paling besar dan merupakan molekul asimetrik dengan bobot molekul sekitar 500 kDa, dengan kandungan -helik sebesar 60-70%. Miosin dapat dipisahkan dengan ultrasentrifugasi menjadi dua sub unit, meromiosin berat (220 kDa) dan meromiosin ringan (20 kDa). Protein fibril lainnya, aktin terdapat dalam dua bentuk, yang pertama berupa monomer disebut aktin-G dengan bobot molekul 47 kDa dan aktin-F (fibrous) dengan bobot molekul yang lebih tinggi. Unit aktin bergabung membentuk heliks ganda dengan panjang yang tidak tentu.
Aktomiosin
merupakan
kompleks
aktin-F
dengan
miosin
dan
bertanggungjawab atas proses kontraksi dan relaksasi otot. Mikrofilamen yang lain yang terdapat pada zona H yaitu tropomiosin dan troponin yang terdiri dari tiga jenis molekul, troponin I, C dan T. Keberadaan tropomiosin dan troponin dalam sel otot berperan dalam proses pengikatan miosin (Nazar, 2007). Peran struktural mikrofilamen dalam sitoskeleton ialah untuk menahan tegangan (gaya tarik). Bergabungnya dengan protein lain, mikrofilamen sering membentuk jalinan tiga dimensi yang berada tepat di dalam membran plasma dan membantu mendukung bentuk sel untuk gerakan molekul miosin yang menempel di mikrofilamen.
12
Sebanyak 53 jenis protein telah ditemukan terdapat dalam otot rangka ayam seperti yang tersaji dalam Tabel 3. Tabel 3. Protein dari otot rangka ayam No
Identifikasi
Nilai BM
% Cakupan
Pasangan Peptida
Massa BM
pI
Spesies
No . Acc
Sumber : Doherty et al., (2004)
13
2.2.2
Pengujian Kadar Protein Metode Lowry Metode yang dilakukan untuk penetapan kadar protein pada penelitian ini
adalah dengan metode Lowry. Metode Lowry merupakan salah satu metode untuk menentukan konsentrasi protein. Metode ini merupakan pengembangan dan penggabungan dari metode Biuret dan metode Folin yang dikembangan pada tahun 1959 dengan menggunakan reagen pendeteksi Folin-Ciocalteu. Dalam bentuk yang paling sederhana reagen Folin-Ciocalteu dapat mendeteksi residu tirosin (dalam protein), karena kandungan fenolik dalam residu tersebut mampu mereduksi fosfotungstat dan fosfomolibdat yang merupakan konstituen utama reagen Folin-Ciocalteu menjadi kompleks tungsten dan molybdenum yang berwarna biru. Hasil reduksi ini menunjukkan puncak absorpsi yang lebar pada daerah merah dari spektrum sinar tampak (600-800 nm). Sensitifitas dari metode Folin-Ciocalteu ini mengalami perbaikan yang cukup signifikan apabila digabung dengan ion-ion Cu (metode Biuret). Kompleks Cu-protein yang dihasilkan oleh reagen biuret akan menyebabkan reduksi pula pada fosfotungstat dan fosfomolibdat dalam reagen Folin-Ciocalteu. Sekitar 75% dari reduksi yang terjadi diakibatkan oleh adanya kompleks Cu-protein tersebut, sementara residu-residu tirosin dan triptofan mereduksi 25% sisanya.
2.3
Penyembelihan Ayam Potong Penyembelihan dalam agama Islam disebut dzakah yang secara lutghoh
diartikan membaikkan (membaikkan dalam memakannya), secara syari'ah (istilah) diartikan memotong bagian tertentu. Bagi negara yang mayoritas muslim penyembelihan dengan metode Islam, yaitu dengan sistem dzabh dengan
14
memotong mari' (kerongkongan), hulqum (jalan pernapasan) dan dua urat darah leher (Nuhriawangsa, 1999). Pada tempat penyembelihan ayam, ayam yang disembelih adalah melalui bagian leher dekat kepala dengan memotong vena jugularis dan arteri karotid (Gambar 3) menggunakan metode pemotongan yang religius (Parry, 1989).
Arteri karotid (ka) Arteri karotid (ki) Vena jugularis (ka) Vena jugularis (ki) Oeshopagus Trakhea
Gambar 3. Saluran darah, oeshopagus dan trakhea diantara leher dan kepala ayam (Gregory, 1989)
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan secara Islam yang digolongkan menjadi empat persoalan. Syarat pertama berhubungan dengan hewan sembelihan: hewan masih dalam keadaan hidup dan termasuk yang dihalalkan. Syarat kedua berhubungan dengan alat untuk menyembelih: alat harus benar-benar tajam dan terbuat dari logam, batu dan kayu. Syarat yang ketiga berhubungan dengan orang yang menyembelih meliputi: (1) orang yang telah disepakati boleh melakukan penyembelihan yaitu Islam, lelaki dewasa, berakal dan tidak melalaikan sholat, (2) orang yang dilarang untuk melakukan
15
penyembelihan yaitu orang-orang musyrik penyembah berhala, (3) orang yang masih diperselisihkan dalam menyembelih yaitu ahli kitab, Majusi dan Shabi'in, wanita dan anak-anak, orang gila, orang mabuk, orang yang melalaikan sholat, pencuri dan perampas harta orang lain. Syarat keempat berhubungan dengan saat penyembelihan: menyebut nama Allah, menghadapkan hewan sembelihan ke kiblat dan niat saat menyembelih (Nuhriawangsa, 1999). 2.3.1
Penyembelihan dengan Pemingsanan (Stunning) Rumah pemotongan ayam biasa dilakukan proses pemingsanan sebelum
penyembelihan dengan alat pemingsan elektronik atau electrical stunning (Mountney, 1976). Pemingsanan biasa dilakukan dengan menggunakan aliran listrik pada suatu water bath yang berjalan dengan memasang electrode (Gambar 4). Dengan metode model electric stunning via water bath, ayam kurang berisiko banyak menyebabkan kematian yang berarti. Dengan pengaturan arus listrik yang tepat, untuk stunning ayam potong berkisar: 15-25 volt, 0,1-0,3 ampere, 5-10 detik dan <200 Hz: 100mA diperlukan untuk rata-rata berat ayam tidak lebih dari 1,5 kg/ekor. Untuk ukuran arus listrik <200 Hz: diatas 100mA, maka ayam dapat sadar kembali dalam waktu 45 detik. Kelemahan metode ini seringkali proses pemingsanan sering kurang sempurna dan dilaksanakan berulang. Oleh karenanya spesifikasi pemanfaatan alat harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan berat ayam yang disembelih dan ayam tidak sedang dalam kondisi stres ataupun sakit (Prastowo, 2013).
16
Cara-cara penyembelihan hewan dengan sistem mekanisasi stunning yang digambarkan oleh Komisi Fatwa MUI : 1. Bahwa penggunaan mesin untuk pemingsanan dimaksudkan mempermudah roboh dan jatuhnya hewan yang akan disembelih di tempat pemotongan dan untuk meringankan rasa sakit hewan. 2. Bahwa hewan yang roboh dipingsankan di tempat penyembelihan apabila tidak disembelih akan bangun sendiri lagi segar seperti semula keadaanya. 3. Bahwa penyembelihan dengan sistem ini tidak mengurangi keluarnya darah mengalir, bahkan akan lebih banyak dan lebih lancar sehingga dagingnya lebih bersih (LPPOM MUI, 1976). Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam penyembelihan ayam dengan stunning adalah sebagai berikut: 1. Pemingsanan ayam harus dilakukan segera mungkin untuk menghilangkan rasa sakit, namun demikian dihindarkan ayam mati karena arus listrik. 2. Ayam yang telah pingsan segera disembelih dan ditunggu hingga pengeluaran darah sempurna untuk diproses lebih lanjut. 3. Apabila ayam belum juga pingsan, maka ayam harus dilepas dari penggantung kaki dan dipisah. Selanjutnya diistirahatkan sementara untuk diulang proses pemingsanan dari mulai sejak awal. 4. Petugas yang melayani proses pemingsanan ayam harus paham tugasnya, termasuk cara penyembelihan yang benar dan baik sesuai syarat Islam. 5. Hanya petugas yang berkompetensi penguasaan operasional alat stunning ayam yang berhak menangani peralatan tersebut.
17
6. Ayam harus segera disembelih dalam waktu 10 detik setelah pingsan dengan pisau tajam. 7. Ayam harus dipastikan telah mati karena disembelih dan baru dapat dimasukkan ke dalam air panas (scalding tank) untuk proses pencabutan bulu (Prastowo, 2014).
Gambar 4. Diagram skema pemingsanan ayam dengan waterbath electrical stunning (Kettlewell, 1990)
2.3.2
Penyembelihan Tanpa Pemingsanan (Non Stunning) atau Manual Tata cara menyembelih binatang secara tradisional atau manual atau tanpa
pemingsanan yaitu dengan tanpa pemotongan menggunakan mesin, diantaranya : 1. Menyiapkan terlebih dahulu lubang penampung darah. 2. Peralatan yang akan digunakan untuk menyembelih disiapkan terlebih dahulu. 3. Binatang yang akan disembelih dibaringkan menghadap kiblat, lambung kiri bawah. 4. Leher binatang yang akan disembelih diletakkan di atas lubang penampung darah yang sudah disiapkan.
18
5. Kaki binatang yang akan disembelih dipegang kuat-kuat atau diikat. 6. Mengucap basmalah, kemudian alat penyembelihan digoreskan pada leher binatang yang disembelih sehingga memutuskan jalan makan, minum, nafas, serta urat nadi kanan dan kiri pada leher binatang (Nugroho, 2013).
2.4
Biomarker Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dewasa ini,
memungkinkan saling menunjangnya perkembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan tersebut antara lain adalah perkembangan ilmu biologi molekuler yang memungkinkan diperolehnya suatu marker (penanda) gen (Widodo, 2003). Marker dalam teknik uji hayati, dapat mengetahui metabolit atau perangkat metabolit yang dapat dipakai untuk menguji ketidaknormalan dalam suatu sistem biologis. Marker (penanda) secara kimiawi dapat mengetahui banyak senyawa yang akan ditentukan. Marker ini dapat pula disebut sebagai senyawa penciri yang bersifat aktif. Senyawa penciri dapat bersifat aktif dan tidak aktif, tapi bersifat stabil selama proses. Pencirian ini dapat dimasukkan pada suatu metode identifikasi senyawa murni dan juga metode untuk menentukkan golongan apa yang terdapat dalam campuran kasar (Robinson, 1995). Biomarker adalah protein, lemak atau makromolekul lain yang dapat diukur secara objektif dan berhubungan dengan proses biologis, mekanisme regulasi atau respons terhadap suatu intervensi terapeutik (Mueller, 2008). Biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses fisiologik maupun patologik (Capelastegui et al, 2006). Secara lebih spesifik,
19
sebuah biomarker menunjukkan perubahan dalam ekspresi atau keadaan protein yang berkorelasi dengan perlakuan yang diberikan (Michels et al., 2003).
2.5
Proteomik Semua sifat dan mekanisme biologis yang terkait dengan aktifitas makhluk
hidup dikendalikan oleh serangkaian gen dan tingkat ekspresi protein pada makhluk hidup tersebut. Sifat-sifat biologis telah banyak dipelajari oleh para ahli genetika, fisiologi, biologi sel dan biokimia yang melakukan berbagai eksperimen selama puluhan tahun untuk mencirikan mekanisme biologis di balik variabilitas sifat-sifat makhluk hidup. Semua aspek yang berkaitan dengan variabilitas makhluk hidup dapat ditelusuri melalui pendekatan genomik dan proteomik. Dalam ilmu pertanian serta dalam semua ilmu kehidupan lainnya, pendekatan genomik dan proteomik merupakan langkah penting dalam menunjang peningkatan kualitas produk dan pengembangan metode produksi ternak yang lebih berkelanjutan (Bendixen, 2005). Menurut definisi klasik, proteomik merupakan kumpulan protein dari suatu genom (Wilkins et al., 1996). Proteomik mengacu pada kajian ilmiah mengenai karakteristik seluruh protein komplemen yang diekspresikan dalam sel atau suatu jaringan. Tujuan dari pendekatan proteomik adalah untuk memperoleh informasi tentang ekspresi protein seluler, dengan demikian juga mengungkapkan fungsi gen, untuk menjelaskan bagaimana faktor keturunan dan lingkungan berinteraksi dalam mengontrol fungsi seluler dan membentuk ciri-ciri fisiologis suatu organisme hidup.
20
Proteomik adalah studi skala besar protein, khususnya struktur dan fungsi. Proteome adalah komplemen seluruh protein dan proteomik menegaskan kehadiran protein serta menyediakan ukuran langsung dari jumlah ini. Para ilmuwan sangat tertarik pada proteomik karena memberikan pemahaman yang lebih baik dari suatu organisme dari genomik. Tujuan dari ekspresi proteomik adalah untuk menemukan penanda molekuler, atau sering disebut biomarker. Eksplorasi biomarker saat ini telah mendapatkan banyak perhatian dalam semua ilmu biologi, yang dapat digunakan untuk meningkatkan berbagai aplikasi, termasuk metode yang digunakan dalam produksi dan pengolahan daging (Pan et al., 2005).
2.6
Elektroforesis Elektroforesis adalah teknik pemisahan komponen atau molekul
bermuatan berdasarkan perbedaan tingkat migrasinya dalam sebuah medan listrik (Westermeier, 2004). Ada juga yang menyebutkan bahwa elektroforesis merupakan teknik untuk memisahkan molekul-molekul seperti protein atau fragmen asam nukleat pada basa berdasarkan kecepatan migrasi melewati gel elektroforesis.
Teknik
elektroforesis
digunakan
untuk
memisahkan
dan
mempurifikasi makromolekul. Makromolekul yang dijadikan objek elektroforesis adalah protein dan asam nukleat yang memiliki perbedaan ukuran, kadar ion, dan molekul-molekul penyusunnya. Molekul-molekul tersebut diletakkan di dalam medan listrik sehingga akan bermigrasi karena adanya perbedaan muatan. Molekul protein dan asam nukleat yang bermuatan negative akan bergerak dari kutub negatif menuju kutub positif dari gel elektroforesis (Lawrence, 1989).
21
Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada muatan, bentuk dan ukuran. Dengan demikian elektroforesis dapat di gunakan untuk separasi makromolekul (seperti protein dan asam nukleat). Posisi molekul yang terseparasi pada gel dapat di deteksi dengan pewarnaan atau autoradiografi, atau pun dilakukan kuantifikasi dengan densitometer (Yuwono, 2005). Alasan elektroforesis sering digunakan dalam penelitian, karena memiliki peran sangat penting dalam proses pemisahan molekul-molekul biologi khususnya protein. Karena disamping metode tersebut tidak mempengaruhi struktur biopolimer, tetapi juga sangat sensitif terhadap perbedaan muatan dan berat molekul yang cukup kecil. Protein yang dialirkan dalam medium yang mengandung medan listrik maka senyawa-senyawa yang bermuatan akan bergerak dalam larutan sebagai akibat dari sifat polaritas yang berlawanan, maka mobilitas suatu molekul merupakan fungsi dari bentuk, ukuran molekul dan besar tipe muatan (Bachrudin, 2000). Elektroforesis (Gambar 5) untuk makromolekul memerlukan matriks penyangga untuk mencegah terjadinya difusi karena timbulnya panas dari arus listrik yang digunakan. Gel poliakrilamid dan agarosa merupakan matriks penyangga yang banyak dipakai untuk separasi protein dan asam nukleat. Elektroforesis yang sering digunakan adalah matriks bahan polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) (Hames, 1990; Matsudaira, 1993).
22
Gambar 5. Cara kerja elektroforesis (Schagger, 1987)
Pergerakan protein pada elektroforesis dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1. Ukuran molekul Molekul kecil akan melintasi gel lebih cepat karena ruang gerak yang tersedia untuk melintasi gel lebih banyak. 2. Konsentrasi gel. Konsentrasi gel yang semakin tinggi menyebabkan molekul-molekul protein sukar melewati gel. Konsentrasi gel tinggi mempermudah protein berukuran kecil melewati gel, sedangkan konsentrasi gel rendah mempermudah molekul protein berukuran besar untuk melintasi gel. 3. Bentuk Molekul Molekul yang berbentuk supercoil atau elips akan bergerak lebih cepat melewati gel.
23
4. Pori-pori gel. Pori-pori yang lebih besar akan mempermudah pergerakan protein melewati gel. 5. Voltase. Voltase tinggi akan menyebabkan cepatnya pergerakan molekul. Hal tersebut dikarenakan oleh tingginya muatan positif yang ditimbulkan. 6. Larutan buffer. Buffer dengan kadar ion tinggi akan menaikkan konduktansi listrik sehingga migrasi molekul akan lebih cepat. 2.6.1
Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDSPAGE) SDS-PAGE merupakan suatu teknik elektroforesis yang menggunakan
polyacrylamide sebagai bahan pemisah. SDS-PAGE banyak digunakan dalam praktikum biologi molekuler, genetik, biokimia, dan biomedik. SDS-PAGE biasanya digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan sifat electrophoretic mobility (pemisahan komponen atau molekul bermuatan berdasarkan perbedaan tingkat migrasi dan berat molekulnya (BM) dalam sebuah medan listrik). Protein yang dipisahkan dengan SDS-PAGE dapat dikarakterisasi berdasarkan berat molekulnya dengan satuan Kilo Dalton (KDa). Satu dalton sama dengan satu hidrogen molekul (Bachrudin, 1999). Penggunaan SDS‐PAGE bertujuan untuk memberikan muatan negatif pada protein yang akan dianalisa. Protein yang terdenaturasi sempurna akan mengikat SDS dalam jumlah yang setara dengan berat molekul protein tersebut (Dunn et al,1989). Denaturasi protein dilakukan dengan merebus sampel dalam buffer yang
24
mengandung β‐merkaptoetanol (berfungsi untuk mereduksi ikatan disulfide), gliserol dan SDS (Walker, 1988). Muatan asli protein akan digantikan oleh muatan negatif dari anion yang terikat sehingga kompleks protein‐SDS memiliki rasio muatan per berat molekul yang konstan (Hames, 1989). Prinsip penggunaan metode ini adalah migrasi komponen akrilamida dengan N.N` bisakrilamida. Kisi–kisi tersebut berfungsi sebagai saringan molekul sehingga konsentrasi atau rasio akrilamid dengan bisakrilamid dapat diatur untuk mengoptimalkan kondisi migrasi komponen protein. Metode ini sering digunakan untuk menentukan berat molekul suatu protein disamping untuk memonitor pemurnian protein (Walker, 1988). Tabel 4 di bawah memberikan komposisi yang disarankan dari gradien linier, yang berkaitan dengan berbagai konsentrasi akrilamida pada rentang molekul protein yang tepat. Tabel 4. Rekomendasi konsentrasi gel
Kisaran BM protein (kDa) ~5-50 ~10-80
Rekomendasi gel ( %) 18 14
~20-150
12
~30-200
10
~40-250
8
~60-300
6
~100-400
4
Sumber: Thermo Scientific (2014)
Sampel‐sampel ekstrak protein yang diinjeksikan ke dalam sumur gel (Gambar 6) diberi warna dengan bromphenol biru yang dapat terionisasi. Fungsi pewarna adalah untuk membantu memonitor jalannya elektroforesis. Berat molekul protein dapat diketahui dengan membandingkan Rf protein dengan protein standar yang berat molekulnya telah diketahui (Walker, 1988).
25
Gambar 6. Alat elektroforesis SDS-PAGE (http://lh3.ggpht.com)
2.6.2
Analisis Densitometri Densitas merupakan kemampuan sebuah material untuk menyerap atau
memantulkan sinar. Densitas dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu densitas transmisi yang merupakan kemampuan lapisan material untuk menyerap sinar yang datang dan yang kedua adalah densitas refleksi yaitu kemampuan lapian material untuk memantulkan sinar yang datang. Pengukuran densitas dapat menggunakan sebuah alat ukur yang disebut densitometer. Densitometer merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur besarnya densitas atau dengan kata lain merupakan alat yang digunakan untuk mengukur derajat kehitaman atau kepekatan (densitas optis) suatu model atau bahan semi-transparan (Siregar M.L, 2009).
26
Analisis densitometri merupakan salah satu cara untuk mengkonfirmasi hasil elektroforesis. Hasil analisis densitometri terhadap pita-pita gel hasil elektroforesis dapat digunakan untuk konfirmasi keberadaan pita dan untuk kuantifikasi proporsi penyusun protein yang dielektroforesis (Aulanni’am, 2004). Suatu pita menandakan adanya akumulasi protein pada gel hasil elektroforesis yang diidentifikasi oleh suatu puncak (peak). Masing-masing puncak memiliki karakteristik ketinggian (height) sebagai intensitas densitograf dan luas daerah di bawah kurva (area) sebagai gambaran kuantitas protein pada pita tersebut. Ketebalan pita pada gel hasil SDS-PAGE dikuantifikasi dalam bentuk luas daerah dibawah kurva pada kurva densitograf (Mustofa et al.,2006). Kuantifikasi intensitas pita dapat dilakukan dengan sistem digitalisasi automotik menggunakan software ImageJ 1.46. Software ini merupakan domain publik Java untuk pengolahan gambar dan program analisis yang terinspirasi dari NIH Image untuk Macintosh. Software ini didapat baik sebagai applet online atau sebagai aplikasi gratis yang dapat diunduh, pada setiap komputer dengan mesin virtual Java 1,5 atau yang lebih baru. Software ini dapat menampilkan, mengedit, menganalisa, memproses, menyimpan dan mencetak gambar 8-bit, 16-bit dan 32bit. Software ini dapat membaca banyak format gambar termasuk TIFF, GIF, JPEG, BMP, DICOM, FITS dan data 'mentah'. Hal ini banyak sekali keuntungan, sehingga operasi tidak memakan waktu seperti membaca file gambar yang bisa dilakukan secara paralel dengan operations1 lainnya. Melalui software ini dapat menghitung luas dan nilai pixel statistik pilihan yang ditetapkan pengguna dan dapat mengukur jarak dan sudut. Selain itu, dapat membuat histogram dan plot profil garis. Pengukuran pita dalam penelitian ini, dilakukan pemindaian sebagai
27
JPEG dalam format 8 bit grayscale pada 600 dpi dan intensitas pixel. Derajat kehitaman pada gel SDS-PAGE digunakan software ini untuk menganalisa pita dan diukur dalam bentuk pixel. Pixel adalah unsur gambar atau representasi sebuah titik terkecil dalam suatu gambar grafis yang dihitung per inci (Rezvani et al., 2009).
28
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium
Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dilaksanakan pada bulan November 2014-April 2015.
3.2
Alat dan Bahan
3.2.1
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, pisau,
timbangan analitik, mikropipet 10-1000 μL dan tip, vortex, stopwatch, shaker, homogenizer (Tokebi), tabung Eppendorf, tabung microtube, vial 10 mL, kuvet, High centrifuge Sorvall SC35, Microsentrifuge Sorvall, Spektrophotometer UV/Vis (Lambda 25 Perkin Elmer Precisely), Mini Protean II Cell Electrophoresis (Bio-Rad), lemari pendingin, penangas air, seperangkat alat electrical stunner, analisa BM dilakukan dengan menggunakan software Images J 1.46. 3.2.2
Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama
yaitu 12 ekor ayam potong jenis ras strain Hubbard jantan yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 6 ekor ayam potong dengan berat tubuh 1 kg (usia 4 minggu) dan 6 ekor ayam potong dengan berat tubuh 1,7 kg (usia 5 minggu). Sampel diperoleh dari peternakan ayam potong lokal di kawasan Bekasi-Jawa Barat. Bahan-bahan
29
lainnya terdiri dari Aquabidest, BSA (Bovine Serum Albumin), reagen Lowry 1 dan reagen Lowry 2, SDS (resodium dodecyl sulfat) 10%, Tris-HCl 0,05 M pH 8,8, triton X-100 0,1%, PMSF (Phenil Methane Sulfonyl Fluoride),Buffer sample,β-mercaptoetanol, Gel Acrylamide solution (30%T; 2,67oC) Bio-Rad, Resolving Buffer dan Stacking Buffer Bio-Rad, Ammonium peroksida disulfate (APS) 10%, N,N,N’N’-Tetramethylethylenediamine (TEMED), Running buffer 1 kali Sigma, Staining solution coomasie blue R-250 Bio-Rad, Destaining solution, standar protein catalog #161-0318 (Bio-Rad) (Lampiran 3).
3.3
Prosedur Penelitian
3.3.1
Proses Penyembelihan dan Isolasi Sampel (Zaman et al., 2012) Sampel (daging ayam potong) masing-masing usia dibagi menjadi 3
kelompok perlakuan: (i) Sampel ayam pertama adalah ayam potong yang disembelih dengan cara konvensional (non electrical stunning/
0A, 0Volt)
menggunakan pisau tajam dan diperlakukan sesuai dengan syariat islam (membaca basmalah dan hewan dibiarkan mati tanpa diikat) yang dijadikan sebagai kontrol; (ii) Sampel kedua, dilakukan penyembelihan dengan kaki ayam diikat menggunakan tali serta disembelih dengan cara electrical stunning dan sesuai dengan syariat islam (halal electrical stunning dengan pemberian arus listrik sebesar 100 mA, 25 Volt selama 10 detik); (iii) Sampel ketiga, dilakukan penyembelihan dengan kaki ayam diikat menggunakan tali serta disembelih dengan cara haram electrical stunning yang tidak sesuai dengan syariat islam (dengan pemberian arus listrik sebesar 100 mA, 220 Volt selama 30 detik). Jumlah arus dan voltase yang digunakan dipantau melalui amperometer. Masing-
30
masing perlakuan diulang sebanyak dua kali ulangan untuk masing-masing sampel. Fasilitas electrical stunner dirancang melalui power supply dengan arus dan tegangan yang bisa diatur secara manual. Elektroda positif dari electrical stunner dan terminal negatif amperometer direndam dalam wadah 35x25x10 cm3 yang berisi air (Lampiran 2a). Sampel yang sudah disembelih dibiarkan hingga benar-benar mati dan dicabuti bulunya serta dibersihkan dari jeroan dan darah yang masih menempel dengan air hangat (45oC). Selanjutnya daging ayam tersebut diambil bagian pahanya kemudian dipotong dengan pisau hingga ukuran lebih kecil. Masing-masing jaringan otot daging ayam potong pada bagian paha dicacah sebanyak 20 g sampel dan dihomogenisasi di dalam es menggunakan 50 ml Tris-HCl 0,05 M pH 8,8 dengan penambahan 50 μL 0,1% triton X-100 dan 250 μL PMSF selama 5 menit. Larutan kemudian dimasukkan kedalam microtube dan disentrifugasi pada 6000 rpm selama 20 menit pada suhu 4°C dan supernatan dikumpulkan (Lampiran 2d). Selanjutnya disimpan dalam vial 10 mL pada -80oC hingga digunakan untuk pengujian kadar protein dan SDS-PAGE. 3.3.2
Pengukuran Kadar Protein (Lowry, 1959)
3.3.2.1 Penentuan Nilai λ (Panjang Gelombang) Maksimum Larutan blanko dimasukkan kedalam kuvet pertama dan kuvet kedua diisi dengan larutan standar konsentrasi 80 ppm. Absorbans larutan dibaca pada kisaran panjang gelombang 600-800 nm dengan interval 5 mm menggunakan spektrofotometer uv-vis. Setiap interval panjang gelombang diukur dengan larutan standar dan blanko. Kemudian dibuat kurva hubungan panjang gelombang dengan
31
absorbans standar tersebut. Panjang gelombang yang tepat, selanjutnya ditentukan dan digunakan untuk pengukuran protein lainnya. 3.3.2.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan stok BSA dengan konsentrasi 1000 ppm dibuat dengan menimbang serbuk BSA sebanyak 3 mg kemudian dilarutkan dengan aquabides sebanyak 3 ml. Kemudian dilakukan pengenceran dengan seri konsentrasi 0, 40, 80, 120, 160, dan 200 ppm (Lampiran 4). Larutan standar dimasukkan kedalam masing-masing tabung reaksi sebanyak 1 ml, lalu ditambahkan dengan 5 ml reagen Lowry I, selanjutnya campuran divortex 5 detik dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Kemudian campuran tersebut ditambahkan 0,5 ml reagen Lowry II, divortex 5 detik dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Absorbansi larutan standar dibaca pada panjang gelombang maksimum dan dibuat kurva kalibrasi. 3.3.2.3 Pengukuran Sampel Pengukuran kadar protein pada masing-masing sampel dilakukan dengan cara menambahkan 5 μl larutan sampel (supernatan) dan 995 μl Tris-HCl 0,05 M pH 8,8 dengan 5 ml reagen Lowry I, selanjutnya campuran divortex 5 detik dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Kemudian campuran tersebut ditambahkan 0,5 ml reagen Lowry II, divortex 5 detik dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Absorbansi larutan sampel protein dibaca pada panjang gelombang 600-800 nm. Kadar protein ditentukan melalui persamaan regresi linier dari kurva standar protein dengan bovine serum albumin (BSA) sebagai standarnya (Lampiran 5).
32
3.3.3
Elektroforesis Dodecyl Sulphate Poliacrilmide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) (Laemli, 1970) Elektroforesis sodium dodecyl sulphate poliacrilamide gel electrophoresis
(SDS-PAGE) dilakukan dengan menggunakan metode standar menggunakan alat Mini-Protean II Slab Cell Electrophoresis (Bio Rad). 3.3.3.1 Preparasi Sampel untuk Elekroforesis Sampel protein (ekstrak jaringan otot daging ayam potong) didenaturasi dengan buffer sample (Buffer Laemli) dengan perbandingan protein dan buffer 1:4. Sebanyak 20 μl sampel protein dicampurkan dengan 80 μl buffer sample lalu dididihkan selama 5 menit, setelah dingin disentrifugasi pada 12000 rpm selama 10 menit dan siap untuk dielektroforesis. 3.3.3.2 Preparasi Gel Elekroforesis Gel poliakrilamid dibuat dari larutan stok akrilamid dan bisakrilamid (30%T, 2,67C), stacking buffer (Tris-HCl 0,5M pH 6,8), resolving buffer (TrisHCl 1,5M pH 8,8), 10% SDS, APS10% dan TEMED. Formulasi gel untuk resolving gel adalah 14% (DDI H2O 2,7 ml, Acrilamid 4,7 ml, Resolving Gel Buffer 2,5 ml, SDS 10% 0,1 ml, APS 10% 0,2 ml dan TEMED 10 μl). Sedangkan untuk stacking gel adalah 6% (DDI H2O 2,7 ml, Acrilamid 1 ml, Resolving Gel Buffer 1,25 ml, SDS 10% 50 μl , APS 10% 100 μl dan TEMED 10 μL). Gel poliakrilamid dicetak diantara dua buah lempengan kaca dengan ketebalan 0,75 mm. Terlebih dulu campuran resolving gel dimasukkan dalam gelas plate melalui dindingnya agar tidak terbentuk gelembung, hingga kira-kira satu cm dari batas atas. Setelah gel mengering, larutan stacking gel yang telah dibuat dimasukkan ke dalam cetakan di atas resolving gel dan permukaan gel
33
dipasang sisir berlubang untuk membuat cetakan sumuran hingga mengeras. Setelah gel mengeras, cetakan gel dipindahkan ke perangkat elektroforesis dan siap untuk ditempatkan protein sampel. 3.3.3.3 Loading Sampel Elektroforesis dimulai dengan memasang gelas plate dan dirangkai dengan frame dari Bio-Rad. Masing-masing sampel protein dengan kadar protein yang sama (Lampiran 5) dan 5 μl marker yang telah dipreparasi dimasukkan ke dalam sumuran. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 150 volt. Proses ini dihentikan setelah warna biru turun (Buffer Laemmli turun) hingga 0,5 cm dari batas bawah plate. 3.3.3.4 Pewarnaan Gel Pewarnaan gel hasil elektroforesis, dilakukan perendaman gel dalam larutan staining Coomasie briliant blue 0.1% (w/v) dengan shaker selama 30 menit. Hasil staining dicuci dalam larutan destaining menggunakan campuran metanol:asam asetat (40%:7,5%). Protein yang telah didestaining discan untuk analisa lebih lanjut. 3.3.3.5 Analisa Berat Molekul dan Tingkat Ekspresi Protein Setelah didapatkan gambar elektroforegram profil protein dalam bentuk soft copy, selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan software ImageJ 1.46 (http://imagej.nih.gov/ij), dimana ketebalan (intensitas) pita masing-masing protein dianalisis berdasarkan jarak migrasi atau nilai Rf (retention factor). Hasil analisis Rf dibandingkan untuk setiap pita protein marker yang sudah diketahui berat molekulnya melalui persamaan regresi linier Y = a + bX (Lampiran 7). Nilai Rf dijadikan sebagai sumbu x dan log berat molekul sebagai sumbu y, untuk
34
mendapat nilai berat molekul maka dibuat antilog berat molekul tersebut. Selanjutnya profil protein masing-masing sampel dianalisis intensitasnya dengan membandingkan puncak-puncak yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan dengan software ImageJ 1.46.
35
3.4 Desain Penelitian
Sampling Peternakan
6 Ekor Ayam Potong 1 kg (usia 4 minggu)
Electrical Stunning Halal (100mA 25 Volt selama 10 detik)
6 Ekor Ayam Potong 1,7 kg (usia 5 minggu)
Electrical Stunning Haram (100mA, 220 Volt selama 30 detik)
Non Electrical Stunning halal (kontrol, 0 V, 0 A)
Penyembelihan Manual
Isolasi Protein
Uji Kadar Protein (Metode Lowry) Pemisahan Protein (SDS-PAGE) Analisis Densitometri (BM protein elektroforesis)
Kandidat Protein Biomarker
36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Karakteristik Ayam Potong Sebelum dan Sesudah Penyembelihan Sampel ayam potong jenis strain Hubbard yang dijadikan bahan penelitian
diambil dari satu sumber peternakan dikawasan Bekasi-Jawa Barat. Ayam jenis strain Hubbard memiliki ciri-ciri yaitu bulu berwarna putih, bentuk badan padat, warna badan yang putih kemerahan, jengger dan pial berwarna merah. Berikut adalah gambar ayam potong jenis Hubbard yang digunakan dalam penelitian, yaitu usia ayam potong 4 minggu dan 5 minggu (Gambar 7).
(a) (b) Gambar 7. Ayam potong sebelum penyembelihan (a) Usia 4 minggu (1 kg) (b) Usia 5 minggu (1,7 kg) Seluruh sampel yang diujikan dalam penelitian ini, memilki karakteristik dan ciri-ciri yang sama. Pengambilan ayam potong usia 4 minggu dilakukan, karena sebagian besar dari peternakan mulai melakukan penen dan penyebaran ke pengumpul ayam pada usia tersebut. Selanjutnya proses pengiriman ayam dari pengumpul hingga kepada konsumen biasanya ayam potong telah mencapai usia 5 minggu (Winedar et al., 2006). Selanjutnya ayam potong dengan usia 4 minggu mulai dilakukan penyembelihan karena berat tubuhnya telah mencapai 1 kg, dalam kondisi ini sampel diambil pada masa periode starter (usia 1 hari sampai 21 hari) dan pada 37
periode finisher (usia 22 hari sampai 42 hari) untuk sampel ayam potong lain dengan usia 5 minggu berat 1,7 kg (Rasyaf, 1996). Pemilihan sampel dengan usia ayam potong yang berbeda bertujuan pula untuk melihat keterkaitan antara pengaruh adanya perlakuan pra-penyembelihan dengan electrical stunning dan usia ayam potong. Menurut Doherty et al., (2004) melalui elekroforesis 2D menyatakan bahwa profil protein pada ayam potong akan semakin beragam dan lebih spesifik seiring bertambahnya usia ayam. Hal tersebut yang dikhawatirkan menjadi pengaruh pada hasil perlakuan electrical stunning dalam penelitian ini. Proses penyembelihan dilakukan secara manual oleh orang yang sudah berkompeten dibidangnya dan sesuai dengan peraturan dan syarat penyembelihan (Hukum syar’i). Setelah proses penyembelihan pada masing-masing perlakuan (electrical stunning dan kontrol) ayam potong tersebut, terlihat perbedaan pada warna dagingnya (Gambar 8). (i)
(ii)
(iii)
Gambar 8. Warna sampel daging ayam potong setelah proses penyembelihan
(i) non electrical stunning (ii) halal electrical stunning (iii) haram electrical stunning
Sampel daging ayam potong dengan perlakuan (i) cara konvensional (non electrical stunning 0 mA, 0 Volt) dan (ii) halal electrical stunning dengan pemberian arus listrik sebesar 100 mA, 25 Volt selama 10 detik, daging ayam potong terlihat segar berwarna putih kemerahan, sedangkan (iii) haram electrical
38
stunning dengan pemberian arus listrik sebesar 100 mA, 220 Volt selama 30 detik daging ayam potong berwarna merah gelap (Gambar 8). Menurut Asmara et al., (2006) daging ayam yang disembelih dengan cara yang benar dapat mengeluarkan darah dengan sempurna seperti pada sampel (i) dan (ii). Sesuai dengan pernyataan Cross (1988) bahwa warna merah pada daging ayam, disebabkan provitamin A yang terdapat pada lemak daging dan pigmen oksimioglobin. Hal ini didukung pula oleh penelitian Lawrie (2003) bahwa pigmen oksimioglobin adalah pigmen penting pada daging segar ayam potong. Berbeda dengan warna gelap pada daging ayam, yaitu diakibatkan pengeluaran darah berupa pigmen haemoglobin yang tidak sempurna (Lawrie, 2003). Daging ayam sampel (iii) pada penelitian ini berasal dari ayam sehat tetapi mengalami kerusakan fisik akibat electrical stunning yang over voltage dan sengaja dibiarkan mati tanpa proses penyembelihan. Perlakuan tersebut menyebabkan tidak terjadinya proses pengeluaran darah hingga ayam mengalami kematian. Pigmen haemoglobin yang masih terdapat di dalam daging ayam inilah yang menyebabkan perubahan warna daging menjadi gelap.
4.2
Isolasi Protein dari Jaringan Otot Daging Ayam Potong Isolasi protein yang diperoleh dari jaringan otot daging ayam potong
dilakukan pada bagian paha daging ayam. Menurut Soeparno (2005), otot paha adalah daging bagian tubuh ayam yang secara kuantitatif paling berat selain dada. Daging paha dapat digunakan sebagai pedoman penilaian kualitas daging atau produk ayam, dengan tingkat ketepatan sekitar 65% (Soeparno,1998). Daging ayam bagian paha termasuk kedalam jenis otot merah. Otot merah mengandung
39
mioglobin yang berfungsi sebagai pengikat besi dan pembawa komponen oksigen. Mioglobin sama seperti hemoglobin pada manusia, yaitu sebagai pigmen warna merah pembawa oksigen pada darah menuju otot (Nesheim et al., 1979). Aktivitas dari otot paha lebih banyak mempunyai cekaman untuk berdiri dan menyangga tubuh, sehingga warnanya pun menjadi lebih gelap. Begitu pula dengan hasil ekstraksi berupa supernatan yang bewarna kemerahan (Gambar 9).
Gambar 9. Ekstrak kasar protein jaringan otot daging ayam potong bagian paha
Proses Isolasi yang dilakukan terhadap jaringan otot daging ayam potong menggunakan buffer Tris-HCl 0,05 M pH 8,8 dan disentrifugasi pada 6000 rpm selama 20 menit dalam es. Menurut Janson et al., (1998) masalah utama dalam ekstraksi protein adalah dapat mengeluarkan protein dari dalam sel tanpa terdegradasi atau terdenaturasi dan kontaminasi sehingga hal tersebut dapat diatasi dengan pemilihan medium ekstraksi yang tepat, waktu persiapan cepat dan pada kondisi temperatur yang rendah. Tahap pertama dalam isolasi protein adalah proses perusakan atau penghancuran membran dan dinding sel. Pemecahan sel (lisis) merupakan tahapan dari awal isolasi protein yang bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Holme et al., 1998). Menurut Wahniyathi et al. (2005), penghancuran jaringan otot daging ayam bertujuan untuk memecah membran sel serabut otot sehingga protein
40
jaringan otot dapat terekstraksi dengan larutan buffer. Pemilihan larutan buffer Tris-HCl 0,05 M dengan pH 8,8 dikarenakan buffer Tris–HCl (Thromethamine HCl) berfungsi untuk mereduksi ikatan disulfida dari protein. Selain itu pengunaan buffer untuk mengekstraks protein target, idealnya berada pada pH 7,0 sampai dengan pH 8,8. Pemilihan pH tersebut bertujuan untuk membantu kestabilan protein target sehingga dapat menghalangi aktivitas protein yang tidak dikehendaki (Bonner, 2007). Selain itu penambahan PMSF dilakukan untuk menjamin agar sel protein yang diperoleh tidak dihidrolisis oleh enzim proteolitik, karena PMSF berfungsi sebagai inhibitor protease (Amiruddin et al., 2010). Tahap penghancuran sel atau jaringan otot daging ayam potong dalam penelitian ini menggunakan homogenizer. Penggunaan homogenizer termasuk cara fisik untuk membuat sel terekstrak, namun gesekan dengan alat penghalus tersebut dapat mengakibatkan terhambatnya ekstraksi protein dan menyebabkan koagulasi protein (Giacomazzi et al., 2005). Untuk itu proses lisis sel sebaiknya dilakukan dalam kondisi suhu yang rendah. Cara lain dalam tahap penghancuran sel adalah menggunakan bahan kimiawi berupa detergen triton X-100 sebagai senyawa yang dapat merusak struktur tiga dimensi protein. Menurut Rehm (2006), larutan deterjen triton X-100 dapat mendenaturasi protein serta dapat mencegah terjadinya interaksi antara protein dengan protein (pada struktur kuartener). Detergen tersebut selain berperan dalam melisiskan membran sel juga dapat berperan dalam menghilangkan aktivitas enzim nuklease yang merupakan enzim pendegradasi DNA (Switzer, 1999).
41
Protein yang telah terekstraksi dari dalam sel selanjutnya dipisahkan dari komponen penyusun sel lainnya seperti polisakarida dan lipid melalui sentrifugasi (Karp, 2008). Bettelheim dan Landesberg (2007), menyebutkan bahwa sentrifugasi akan menghasilkan 2 fase yang terpisah yakni fase organik pada lapisan bawah dan fase aquoeus (air) pada lapisan atas. Protein akan berada pada fase aqueous dan berada pada interfase setelah sentrifugasi, sedangkan lipid berada pada fase organik. Supernatan hasil ekstraksi ditampung dalam botol vial dan disimpan hingga pemakaian lebih lanjut.
4.3
Kadar Protein Ekstrak Jaringan Otot Daging Ayam Potong Supernatan hasil isolasi protein dari jaringan otot daging ayam potong
diukur konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visible melalui metode Lowry et al., (1959). Pengukuran kadar protein dengan metode Lowry, akan menghasilkan bentuk senyawa kompleks yang bewarna biru (Coligan et al., 2007). Metode Lowry Folin-Ciocalteu dapat menentukan protein rantai pendek (oligopeptida) dan asam amino. Prinsip kerja metode Lowry adalah reduksi Cu2+ dari CuSO4 (Reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan dan sistein yang terdapat dalam protein. Selanjutnya ion Cu+ bersama dengan fosfomolibdat dan fosfotungstat yang terkandung dalam reagen Folin-Ciocalteu, akan bereaksi pada senyawa fenol lainnya yang ada pada sampel dan membentuk kompleks pewarnaan biru. Reaksi yang terjadi dituliskan melalui tahapan sebagai berikut:
42
Rantai polipeptida
Ikatan polipeptida Ikatan kompleks bewarna ungu
Pereaksi Folin-Ciocalteu
Kompleks molybdenum-blue
Senyawa Fenol Kuinon
Gambar 10. Reaksi pembentukan kompleks pewarnaan biru pada metode Lowry
Warna yang diperoleh diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum 776,36 nm. Pembanding yang digunakan adalah BSA (bovine serume albumin) dengan seri konsentrasi 0, 40, 80, 120, 160 dan 200 ppm yang diukur pula nilai serapan absorbansinya. Tujuan dari pembuatan larutan standar dengan berbagai seri konsentrasi adalah untuk menentukan kadar protein dalam sampel dengan menggunakan persamaan regresi linier garis lurus yang diperoleh dari grafik larutan standar (Lampiran 5).
43
Kadar protein setiap sampel yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut: Tabel 5. Kandungan protein jaringan otot daging ayam potong dengan metode Lowry
Sampel
Absorbansi (Y)
Kandungan Protein (μg/mL) dalam 100 g daging
Rata-rata Kandungan Protein (μg/mL) dalam 100 g daging (Mean ± SD)
A1 A2 B1 B2 C1 C2 A3 A4 B3 B4 C3 C4
0,027 0,038 0,028 0,029 0,03 0,044 0,104 0,078 0,085 0,087 0,066 0,082
28000 39000 29000 30000 31000 45000 105000 79000 86000 88000 67000 83000
33500 ± 7778,17 29500 ± 707,10 38000 ± 9899,49 92000 ± 18384,77 87000 ± 1414,21 75000 ± 11313,71
Keterangan: Pengujian dilakukan secara duplo. FP = 200 kali 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 kg)); 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal).
Merujuk pada hasil kadar protein daging ayam potong sebelumnya yang dilakukan oleh Moutney (1976), menyatakan bahwa kadar protein pada bagian paha daging ayam potong dalam 100 gram daging berkisar antara 21-24 gram protein. Mengenai hal tersebut, terdapat perbedaan pada hasil penelitian yang kadar proteinnya lebih rendah dibanding literatur tersebut. Hal ini didasari pada pengukuran kadar protein dengan metode Lowry adalah protein terlarutnya, sehingga kadar protein yang dihasilkan lebih rendah dari berat dagingnya. Hasil pada Tabel 5 menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia ayam potong maka kadar proteinnya akan semakin meningkat seiring bertambahnya umur ternak, akibatnya akan meningkatkan jumlah jaringan ikat pada hewan ternak tersebut (Lawrie, 2003). Hal ini disebabkan pula dari adanya pengaruh
44
pemberian pakan pada fase tumbuh ayam. Pakan dengan kandungan protein rendah akan menyebabkan kandungan protein daging yang rendah pula (Kartikasari et al., 2001). Ayam potong usia 4 minggu (fase starter) membutuhkan tingkat protein pakan sebesar 23%, karena menurut Scott et al., (1982) ayam potong usia muda yang sedang tumbuh mempergunakan protein yang tersedia untuk pertumbuhan jaringan sehingga terukur lebih rendah. Berbeda dengan Rasyaf (2004), ayam potong usia 5 minggu (fase finisher) dibutuhkan ransum pada tingkat protein 17,5–21% dan lebih banyak mengonsumsi jumlah bahan pakan tersebut. Kandungan protein dalam pakan serta banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi jumlah protein dalam tubuh (Ramia, 2000). Sampel dengan penyembelihan electrical stunning halal maupun haram, rata-rata kadar proteinnya memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan perlakuan non electrical stunning. Hal ini disebabkan dari adanya prosedur prapenyembelihan dengan perlakuan electrical stuning yang diduga mampu meningkatkan ekpresi protein tertentu di dalam sel akibat stress atau perlakuan arus listrik yang diberikan, sehingga proses tersebut dapat menyebabkan adanya aktifitas tertentu di dalam sel. Hasil ini didukung pula pada penelitian Zaman et al. (2012) yang menyatakan bahwa kadar protein daging ayam potong yang disembelih secara tidak halal melalui penyembelihan dengan memutus leher ayam potong hingga terpisah dari badannya serta tubuhnya diikat hingga ayam tersebut mati akan lebih tinggi dibanding sampel daging ayam potong yang disembelih secara konvensional dan halal.
45
4.4
Profil Protein Isolat Jaringan Otot Daging Ayam Potong hasil SDSPAGE Pemisahan dan karakterisasi protein jaringan otot daging ayam potong
dilakukan dengan teknik SDS-PAGE menggunakan separating gel 14% dan stacking gel 6% melalui pewarnaan gel menggunakan coomassie brilliant blue. Prinsip analisis SDS-PAGE yaitu pemisahan protein berdasarkan ukuran molekul akibat adanya arus listrik yang diberikan. Penggunaan separating gel 14% ini, diharapkan protein akan terpisah pada kisaran berat molekul 10–200 kDa. Merujuk pada penelitian Doherty et al. (2004), pita protein pada ekstrak jaringan otot daging ayam potong segar menggunakan separating gel 12,5% dapat menghasilkan profil protein dengan berat molekul pada kisaran 6-200 kDa. Proses elektroforesis pada penelitian ini menggunakan tegangan listrik 150 V dengan arus sebesar 40 mA, pengaturan ini dapat dimodifikasi oleh penggunanya sesuai dengan keperluan dan pengalaman percobaan. Oleh karena itu, pengaturan pada penelitian ini dipilih karena telah memberikan hasil yang paling baik diantara beberapa percobaan yang telah dilakukan. Hasil elektroforesis (SDS-PAGE) jaringan otot daging ayam potong dengan perlakuan electrical stunning dan non electrical stunning, dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.
46
kDa
M
A1
B1
C1
A2
B2
C2
211,475 118,579 78,995
(a) (b) (c) (d) (e)
53,054
36,881 28,643
(f) (g)
17,809 8,4
(h) (i)
Gambar 11. Gel ke-1 Pemisahan Elektroforesis Jaringan Otot Daging Ayam Potong 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal) dan Marker (M).
kDa 211,475 118,579 78,995 53,054
36,881 28,643
17,809 8,4
M
A3
B3
C3
A4
B4
C4
(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g)
(h) (i)
Gambar 12. Gel ke-2 Pemisahan Elektroforesis Jaringan Otot Daging Ayam Potong 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal) dan Marker (M).
47
Penentuan berat molekul tiap-tiap pita protein dilakukan dengan menggunakan persamaan garis lurus yang diperoleh dari kurva standar protein pembanding (marker) dari Bio-Rad. Kurva standar dibuat berdasarkan hubungan antara mobilitas relatif (Rf) dengan logaritma berat molekul (Log BM) (Lampiran 7). Pita protein masing-masing sampel yang diperoleh dari hasil SDS-PAGE dihitung nilai Rf nya. Perhitungan Rf protein dilakukan dengan mengukur jarak pergerakan sampel kemudian dibandingkan dengan jarak tracking dye. Pengukuran nilai RF dilakukan dengan menggunakan software ImageJ 1.46 sebagai nilai x yang kemudian dimasukkan pada persamaan regresi linear. Berdasarkan hasil perhitungan Rf dan log BM pada marker protein diperoleh persamaan regresi linear pada gel ke-1 dan gel ke-2 berturut turut yaitu Y = -0,001x + 2,222 dengan r= 0,943 dan Y = -0,001x + 2,212 dengan r=0,939. Gel hasil SDS-PAGE memperlihatkan adanya 25 pita (band) protein. Diantara 25 pita protein yang terbentuk, terdapat 9 pita protein yang terlihat dengan intensitas ketebalan yang lebih tebal dibandingkan dengan pita protein sejenis yang terlihat lebih tipis (Gambar 11 dan Gambar 12). Tebal tipisnya pita protein yang terlihat merupakan gambaran banyaknya jumlah protein yang terkandung pada berat molekul tertentu. Semakin tinggi konsentrasi sampel semakin tebal pita yang terbentuk (Pasila, 2008). Oleh sebab itu, pada penelitian ini setiap sampel yang dimasukkan kedalam sumur gel elektroforesis dibuat sama dalam jumlah volume dan konsentrasi dari jumlah kadar protein yang dimiliki sampel. Selain itu dilakukan analisis lebih lanjut seperti melalui blotting dengan software ImageJ 1.46 untuk mengetahui intensitas tebal tipisnya pita protein yang terbentuk. Berdasarkan hasil gambar elektroforegram SDS-PAGE, terlihat bahwa
48
profil protein jaringan otot daging ayam potong secara keseluruhan menghasilkan pita-pita protein yang beragam dan terletak pada kisaran bobot molekul 10-140 kDa sesuai dengan perhitungan data gel (Lampiran 9). Masing-masing lajur gel pada perlakuan electrical stunning dan non electrical stunning menunjukkan adanya sekitar 25 pita protein yang muncul berdasarkan puncak intensitasnya. Namun bila dikelompokkan pada pita protein yang terlihat lebih tebal (Gambar 11 dan Gambar 12), masing-masing isolat protein baik pada perlakuan electrical stunning maupun non electrical stunning menunjukkan adanya 9 pita protein yang muncul dengan intensitas BM sekitar 80 kDa (a), 53-60 kDa (b), 53 kDa (c), 50 kDa (d), 48 kDa (e), 30 kDa (f), 29 kDa (g) dan satu pita di daerah 17 kDa (h) serta 8 kDa (i). Hasil kedua gel dari isolat protein jaringan otot daging ayam potong yang disembelih dengan perlakuan non electrical stunning, diperoleh pitapita yang terlihat sama dengan penyembelihan electrical stunning tetapi dengan intensitas yang berbeda. Beberapa protein spesifik yang muncul pada kisaran berat molekul tersebut diduga merupakan protein spesifik yang diekspresikan dalam jaringan otot daging ayam potong. Protein spesifik tersebut, selanjutnya dilakukan penentuan jenis protein yang dihasilkan dengan membandingkan literatur yang dimiliki oleh Doherty et al., (2004). Berdasarkan data protein Tabel 3 (Tinjauan Pustaka) dengan protein berat molekul yang didapatkan, hasil datanya dapat dilihat pada tabel dibawah.
49
Tabel 6. Jenis pita protein spesifik yang muncul pada jaringan otot daging ayam potong berdasarkan berat molekulnya.
Kisaran BM pada gel (a) 80 kDa (b) 53-60 kDa
(c) 53 kDa (d) 50 kDa (e) 48 kDa
(f) 30 kDa (g) 29 kDa (h) 17 kDa (i) 8 kDa
Prediksi nama protein(a) Ovotransterrin Piruvat Kinase Aldehid Dehidrogenase Protein vitamin D PIT 54 Tubulin β-7 α-enolase Sitrat sintase β-enolase Tropomiosin α-chain VDAC2(b) Triosepospat isomerase Nukleosida dipospat kinase Asam lemak-ikatan protein
BM(a) 79,5 kDa 58 kDa 56 kDa 55 kDa 53 kDa 50 kDa 47,5 kDa 47,5 kDa 47 kDa 32,8 kDa 30,2 kDa 26,7 kDa 17,5 kDa 7,97 kDa
Keterangan: (a) Doherty et al., (2004)
(b) Samah et al., (2011)
Hasil ekspresi gel pada penelitian ini sesuai pula dengan pola ekspresi dan intensitas protein yang ditemukan oleh Zaman et al. (2012) yaitu memiliki kemiripan jika membandingkan dengan resolusi pita diantara kedua gel tersebut, namun dengan level ekspresi yang relatif berbeda. Berat molekul 36-53 kDa terdapat adanya empat pita protein. Protein tersebut kemungkinan besar dinyatakan sebagai albumin, piruvat kinase, beta-enolase dan kreatine kinase. Protein ini juga telah dilaporkan sebagai bagian yang dominan dalam level ekspresi jaringan otot rangka ayam (Zaman et al., 2012). Selanjutnya untuk mengidentifikasi pita-pita protein yang dihasilkan secara kuantitatif maka dilakukan analisis dengan densitometri menggunakan software ImageJ 1.46. Berdasarkan data intensitas pita protein dengan densitometri, pada berat molekul dengan kisaran 10-211,47 kDa disajikan dalam bentuk Lampiran 9.
50
Merujuk pada penelitian Samah et al. (2011) terdapat dua pita protein pada kisaran 28-36 kDa (Rf diantara 700-800) yang terekspresi relatif sama dengan pita protein sampel lainnya, namun dengan intensitas berbeda. Data intensitas pita protein pada kisaran berat molekul dan nilai RF tersebut disajikan pada tabel di bawah. Tabel 7. Data intensitas profil protein berat molekul kisaran 28-36 kDa (Rf diantara 700-800). Sampel Rf Intensitas BM Sampel Rf Intensitas BM A1 A2 B1 B2 C1 C2
713 742 713 742 713 742 713 742 713 742 713 742
134,40 219,76 123,00 126,00 200,67 210,00 141,67 151,01 171,33 144,35 180,33 144,67
32,28494 30,19952 32,28492 30,19952 32,28494 30,19952 32,28494 30,19952 32,28494 30,19952 32,28494 30,19952
A3 A4 B3 B4 C3 C4
806 814 806 814 806 814 806 814 806 814 806 814
155,14 153,48 145,31 145,33 136,77 136,01 145 144,7 153,371 144,667 158,17 154,37
26,91535 25,00345 26,91535 25,00345 26,91535 25,00345 26,91535 25,00345 26,91535 25,00345 26,91535 25,00345
Keterangan: 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal).
Hasil data tabel di atas menunjukkan intensitas pola profil protein pada perlakuan electrical stunning halal dan electrical stunning non halal dengan kontrol cenderung berbeda. Sampel ayam potong usia 4 minggu yaitu A1, A2, B1, B2 memiliki intensitas pita protein yang semakin tinggi seiring menurunnya berat molekul dari 32,2849 kDa menjadi 30,19952 kDa, sedangkan pada sampel C1 dan C2 intensitasnya semakin menurun. Hasil ini tidak jauh berbeda pada usia ayam potong 5 minggu yang juga pada sampel C3 dan C4 intensitas profil proteinnya semakin menurun. Namun, berbeda pada sampel yang diberi perlakuan electrical stunning A3, A4, B3, B4 dimana intensitasnya cenderung memiliki nilai yang 51
sama dan tidak jauh berbeda seperti pada intensitas kontrol. Hal tersebut diakibatkan pada perlakuan electrical stunning yang diberi arus listrik. Perlakuan inilah yang diduga mampu memicu lepasnya protein ke dalam sistem metabolisme sebagai akibat dari respon stress yang diberikan dari luar.
Gambar 13. Perbedaan intensitas pada densitogram masing-masing sanpel jaringan otot daging ayam potong 1 (Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); 3 (Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal
52
Berdasarkan gambar densitogram pada masing-masing sampel usia ayam potong 4 minggu dan 5 minggu tersebut, terlihat bahwa masing-masing intensitas pita protein relatif berbeda satu sama lainnya. Perbedaan intensitas tersebut diduga akibat dari adanya level ekspresi protein yang berbeda pula pada masingmasing perlakuan pra-penyembelihan. Perbedaan tersebut terlihat pada perlakuan electrical stunning halal dan haram yang menghasilkan intensitas pita protein lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan non electrical stunning halal sebagai kontrol. Hasil yang sama juga didapat dari gel ke-2 elektroforesis SDS-PAGE sebagai variabel pembeda usia ayam potong. Perbedaan intensitas tersebut tetap terjadi pada sampel ayam potong beda usia, dengan begitu kemungkinan hasil data penelitian mengenai adanya perbedaan profil protein akibat electrical stunning ini bukan dipengaruhi oleh perbedaan usia ayam potong. Mekanisme penting kerusakan jaringan otot akibat sengatan arus listrik disebabkan oleh adanya elektroporasi. Elektroporasi adalah pembentukan kanalkanal hidrofilik pada membran sel akibat paparan arus listrik sehingga mengakibatkan hilangnya permeabilitas membran sel terhadap ion-ion dan molekul-molekul yang larut dalam air. Lubang-lubang pada membran sel tersebut mengakibatkan materi intraseluler ke luar sel dan mengganggu fungsi sel. Karakteristik lapisan lipid membran sel yang mudah dipengaruhi oleh energi listrik adalah karena lipid memiliki kutub bermuatan listrik dan mempunyai permeabilitas terhadap ion-ion serta molekul hidrofilik. Permeabilitas ion-ion lebih mudah terjadi pada tempat kerusakan membran sel. Kerusakan tersebut ditandai dengan longgarnya ikatan antar molekul lipid, sehingga mempermudah penetrasi ion-ion dan molekul
53
hidrofobik. Selanjutnya terjadi proses pembentukan formasi lipid kembali ke keadaan normal melalui proses rotasi dan gerakan flip-flop molekul lipid (Gambar 14)
(Song, 1991). Sebelum terpapar arus listrik
Saat terpapar arus listrik
Setelah terpapar arus listrik
Membran sel
Gambar 14. Alur elektroporasi (Eka, 2013)
Arus listrik yang melewati membran sel-sel akan tertahan oleh adanya lapisan lipid yang berada di membran sel. Energi listrik tersebut akan diubah menjadi panas yang membakar sel-sel, sehingga mengakibatkan kerusakan ikatan kimia molekul protein (denaturasi) dan koagulasi protein baik protein yang membentuk membran sel maupun protein intraseluler lainnya. Sel tersebut juga kehilangan kemampuan permeabilitasnya, sehingga materi-materi intraseluler keluar melewati membran sel, akhirnya sel otot akan mengalami kematian (nekrosis). Materi intraseluler tersebut adalah enzim-enzim sel, elektrolitelektrolit (kalium, klorida) (Price et al., 1995). Listrik akan menyebabkan stimulus yang terus menerus pada voltage-gate channels membran sel sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel. Otot merupakan salah satu jaringan tubuh yang mempunyai kelistrikan yang diperankan oleh ion-ion intrasel dan ekstrasel. Rangsangan listrik mengakibatkan perubahan potensial membran istirahat yang ditandai dengan ion natrium masuk ke intrasel otot (depolarisasi). Proses depolarisasi akan diikuti oleh proses repolarisasi yang ditandai
54
dengan keluarnya ion kalium ke ekstrasel otot. Akibatnya terjadi hiperkontraksi otot yang ditandai oleh adanya serabut otot yang tampak bergelombang, serabut otot terputus dan keluarnya eritrosit dari pembuluh darah (hiperemi). Arus listrik mengakibatkan kontraksi otot yang sangat kuat sehingga menimbulkan perdarahan serabut otot (Puschel et al., 1979).
Selanjutnya paparan listrik menyebabkan materi-materi intraseluler ke luar sel seperti mioglobin, enzim dan jenis protein lainnya. Membran sel yang mengalami cedera menyebabkan membran sel tidak mampu memompa ion natrium yang cukup, sehingga kenaikan konsentrasi natrium dalam sel menarik air masuk ke dalam sel. Sel membengkak dan sitoplasma menjadi pucat yang menyebabkan sel tidak dapat lagi melangsungkan metabolisme. Kematian sel atau jaringan pada organisme hidup disebut nekrosis (Janssen,1984). Kerusakan sel menyebabkan molekul-molekul intrasel termasuk enzim dan protein dapat keluar sel. Peningkatan kadar suatu enzim atau kadar protein yang sangat berlebihan dalam serum atau plasma inilah yang menjadi petanda adanya kerusakan sel yang mengandung enzim akibat pemberian arus listrik (Viterbo, 1965). Hasil penelitian Samah et al., (2011) menjelaskan hubungan antara proses electrical stunning dengan ekpresi protein tertentu pada jaringan otot daging ayam potong. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ayam potong yang diberi perlakuan electrical stunning 0,75 A dan 70 Volt menghasilkan satu spot protein yang terekspresi dalam jumlah relatif besar dan hasil tersebut tidak ditemukan pada ayam potong yang tidak diberi perlakuan electrical stunning (kontrol). Hasil pemeriksaan spot protein tersebut, teridentifikasi sebagai Voltage Dependent Anion Chanel 2 (VDAC2) dengan berat molekul 30,293 kDa. Berdasarkan penelitian tersebut, protein VDAC2 disarankan sebagai kandidat biomarker untuk 55
mengidentifikasi perbedaan daging ayam potong yang diberi perlakuan electrical stunning. Berat molekul 30,293 kDa yang dijadikan kandidat biomarker tersebut mendekati dengan hasil penelitian yang dilakukan yaitu menunjukkan berat molekul 30,19952 kDa pada sampel ayam potong usia 4 minggu. Perbedaan usia atau bobot ayam potong tersebut berpengaruh pada profil protein masing-masing sampel ayam potong. Perbedaan tersebut sangat terlihat pada pita protein paling tebal yaitu antara bobot molekul 40-60 kDa. Terlihat pada Gambar 12, yaitu usia ayam potong yang lebih dewasa (usia 5 minggu) memiliki pemisahan pita protein yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pita profil protein pada usia ayam 4 minggu. Hal ini dibandingkan dengan penelitian dari Doherty et al., (2004), yang menyatakan usia ayam yang semakin dewasa memiliki pita profil protein yang lebih spesifik dan lebih banyak.
56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan 1. Perlakuan pra-penyembelihan dengan electrical stunning memberikan pengaruh berbeda terhadap tingkat ekspresi profil protein jika dibandingkan dengan non electrical stunning. 2. Terdapat 9 pita protein yang terekspresi dengan intensitas tertentu dan relatif berbeda serta terdapat 1 pita protein yang terekspresi lebih dominan pada perlakuan electrical stunning dengan berat molekul 30,19952 kDa. 3. Protein dengan berat molekul 30,19952 kDa diduga merupakan kandidat biomarker yang dijadikan untuk mendeteksi kehalalan produk pangan pada daging ayam potong yang disembelih dengan perlakuan electrical stunning dan non electrical stunning.
5.2
Saran 1. Perlu dilakukan pemisahan profil protein lebih lanjut dengan SDSPAGE atau dengan elektroforesis 2D agar kandidat protein biomarker lebih valid dan pita yang terlihat sama dapat terpisahkan dengan baik. 2. Perlu dilakukan Isolasi dan analisis kandidat protein biomarker dengan kromatografi gel filtrasi dan metode LCMS-MS untuk mengetahui jenis protein sebenarnya.
57
DAFTAR PUSTAKA
Amid, A., Norshahida, A., Samah, Faridah, Y. 2012. Identification of troponin I and actin, alpha cardiac muscle 1 as potential biomarkers for hearts of electrically stimulated chickens. Proteome Science. 10: 1. Amiruddin, Tongku, N. S., Amalia, S., Dwinna, A., Armansyah, T. 2010. Karakterisasi Protein Inhibin Dari Sel Granulosa Hasil Kultur Dan Non Kultur Sebagai Dasar Produksi Antibodi Monoklonal Inhibin. Jurnal Kedokteran Hewan. 4(1). Anggorodi, H. R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta. Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Anggorodi, H. R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Annekov, B. N. 1974. Mineral Feeding of Sheep in Mineral Nutrition of Animal Studies in the Agricultural and Food Science. Butterworths. London Toronto. 321-354. Asmara, A. S., Zuki, A. B. Z., Mohd, B., Hair, Awang, A.I. H. 2006. Gross and histological evaluation of fresh chicken carcass: comparison between slaughtered and cervical dislocated methods. Journal of Animal and Veterinary Advances. 5(11): 1039-1042. Aulanni’am. 2004. Prinsip dan Tekhnik Analisis biomollekul. Fakultas pertanian Universitas Brawijaya. Bachrudin, Z., Astuti, Dewi, Y. S. 2000. Isolasi dan Seleksi Mikroba Penghasil Laktat dan Aplikasinya pada Fermentasi Limbah Industri Tahu. Pros. Sem. Nas. Industri Enzim dan Bioteknologi. Mikrobiologi Enzim dan Bioteknologi Bendixen, E. 2005. The use of proteomics in meat science. Meat Science. 71: 138– 149. Bettelheim, F. A., Landesberg, J. 2007. Laboratory Experiments for General, Organic, and Biochemistry. 4th Edition. New Jersey: John Wiley and Sons Inc
58
Bouley, J., Meunier, B., Chambon, C., De Smet, S., Hocquette, J. H., Picard, B. 2005. Proteomic analysis of bovine skeletal muscle hypertrophy. Proteomics. 5(2): 450–490. Bonner, Philip, L. R. 2007. Protein Purification The Basics. Nottingham Trent University. Taylor and Francis Group. 31. BPS. 2000. Statistik Indonesia 2000. BPS. Jakarta. Bradford, M. M. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microorganisms quantities of protein in utilizing the principle of protein‐dye binding. Anal. Biochem. 72: 248‐254. Cahyono, B. 1998. Ayam Kampung Pedaging. Trubus Agriwidya. Ungaran. Cahyono, B. 2002. Ayam Buras Pedaging. Penebar Swadaya. Calnek, B. W. 1997. Disease of Poultry . Edisi ke-10 USA. Jakarta. Capelastegui, A., Espana, P. P., Quintana, J. M. 2004. Improvement of process-ofcare and outcomes after implementing a guideline for management of communityacquired pneumonia: a controlled before-and-after study. ClinInfect Dis. 39: 955–963. Cavalli, S. V., Silva, C. Cimino, F. X., Malcata, N., Priolo. 2006. Hydrolysis of caprine and ovine milk proteins, brought about by aspartic peptidases from Silybum marianum flowers. Argentina. Portugal. 1-7. Coligan, J. E., Dunn, B. M., Speicher, D. W., Wingfield, P. T., Ploegh, H. L. 2007. Current protocols in protein science. John Wiley and Sons, New York. Cross, H. R. 1988. Carcass Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher. New York. Darwana, W. 2003. Ayam lignan: Ayam Kampung Unggul Cina. Cetakan Ke-1. Penebar Swadaya. Jakarta. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Pemerintahan Lampung. Teknik Pengolahan Daging Ayam. www.disnakkeswan.lampungprov.go.id/Pengolahan_Ayam.pdf. Diakses pada 20 Oktober 2014 pukul 16.00 WIB Doherty, M. K., McLean, L., Hayter, J. R., Pratt, J. M., Robertson, D. H., El Shafei, A. 2004. The proteome of chicken skeletal muscle: changes in soluble protein expression during growth in a layer strain. Proteomics. 4(7): 2082– 2093.
59
Dunn, J. A., Patrick, J. S, Thorpe, S. R., Baynes, J. W. 1989. Oxidation of glycated proteins: age-dependent accumulation of N epsilon-(carboxymethyl) lysine in lens proteins. Biochemistry. 28(24): 9464-8. Eka.
2013. Metode Transformasi DNA pada Tanaman. http://www.whatisthebiotechnology.com/blog/wpcontent/uploads/2013/10/ A.png. Diakses pada 1 Juli 2015 pukul 20.20 WIB
Farouk, M. M. 2013. Advances in the industrial production of Halal and Kosher red meat. Meat Science. 95: 805-820. Forrest, J. C., Aberle, E. D., Hedrick, H. B., Judge, M. D., Merkel, R. A. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Company. San Fransisco. Girindra, A. 1986. Biokimia I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Giacomazzi, L, Umari, P., Alfredo, P. 2005. Medium-Range Structural Properties of Vitreous Germania Obtained through First Principles Analysis of Vibrational Spectra. Phys. Rev. 95: 075505. Gorg, A., Boguth, G., Kopf, A., Reil, G., Parlar, H., Weiss, W. 2002. Sample prefractionation with Sephadex isoelectric focusing prior to narrow pH range two-dimensional gels. Proteomics. 2(12): 1652–165. Gregory, N. G., Wilkins, L. J. 1989. Effect of stunning current on carcass quality in chickens. 124: 530–532 Hames, B. D., Rickwood, D. 1990. Gel electrophoresis of proteins: a practical approach. Oxford University. London. Hermansyah. 2012. Penuntun Praktikum Biokimia. Inderalaya: MIPA UNSRI Holmes, A. L., Raper, R. N., Heilig, J. S. 1998. Genetic analysis of Drosophila larval optic nerve development. Genetics. 148(3): 1189-1201. Indro. 2004. Serba-serbi Ayam Broiler. www.Republikon Line. Diakses pada 20 Oktober 2014 pukul 15.00 Janssen. B. H. 1984. A simple method for calculating decomposision and accumulasion of young soil organic matter. Plant soil. 76: 297-304. Janson, J. C., Ryden, L. 1998. Protein Purification; Principlles High Resolution method and Application 2nd edition. A John Willey and Sons Inc. 464-484.
60
Karp, A. 2008. Bioenergy from plants and the sustainable yield challenge.179(1): 15-32. Kartasujana, R., Suprijatna, E. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta. Kartikasari, L. R., Soeparno, Setiyono. 2001. Komposisi kimia dan studi asam lemak daging dada ayam broler yang mendapat suplementasi metionin pada pakan berkadar protein rendah. Buletin Peternakan. 25(1): 33-39. Kettlewelt, P. J., Turner, M. J. B. 1985. A review of broiler catching and transport systems. Journal of Agricultural Engineering Research. 31: 93-114. Laemmli, U. K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature. 227(5259): 680–685. Lametsch, R., Karlsson, A., Rosenvold, K., Andersen, H. J., Roepstorff, P., Bendixen, E. 2003. Postmortem proteome changes of porcine muscle related to tenderness. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 51(24): 6992– 6997. Lawrie. R. A. 2003. Ilmu Daging Edisi kelima penerjemah Prof Dr.Aminuddin Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta Lehninger, A. L. 1998. Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan, M. Thenawidjaja. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Lowry, O. H., Rosebrough, N. J., Farr, A. L., Randall, R. J. 1959. Protein Measurement with the Folin Phenol Reagent J. Biologi of Chemistry. 193: 265–275 LPPOM MUI. Urgensi Meneliti Bahan Pangan Alternatif Yang Halal. 2012. http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/detil_page/8/1498. Diakses pada 1 November 2014 pukul 21.00 WIB LPPOM MUI. Penyembelihan Hewan Secara Mekanis. 1976. http://halalmui.org/images/stories/Fatwa/fatwa%20penyembelihan%20hewa n%20secara%20mekanis.pdf. Diakses pada 1 November 2014 pukul 21.00 WIB Matsudaira, P. 1993. A practical guide to protein and peptide purification for microsequencing. 2nd ed. Academic Press. San Fransisco, CA. Michels, Heidi, B. 2003. Laboratory Issues: Use of Nutritional Biomarkers. New York: North America's Technical Committee on Food Components for Health Promotion.
61
Morzel, C., Chambon, M., Hamelin, V., Santé-Lhoutellier, T., Sayd, G., Monin. 2004. Proteome changes during pork meat ageing following use of two different pre-slaughter handling procedures. Meat Science. 67: 689–696. Mountney, G. J. 1976. Poultry Product Technology. 2nd ed. The Avi Publishing Westport. Connecticut. Mueller, C., Muller, B., Perruchoud, A. P. 2008. Bio2. markers: Past, present, and future. Swiss Med Weekly. 138: 225–9. Mustofa, L., Mahaputra, L., Dachlan, Y. P., Rantam, F. A., Hinting, A. 2006. Analisis densitometrik protein reseptor fertilisasi pada zona pelusida kambing sebagai kandidat bahan imunokontrasespsi. Media Kedokteran Hewan. 22(2). Nazar, D. S. 2007. Keragaman Molekuler Dan Karakterisasi Miosin Otot Skeletal Sapi, Kambing Dan Babi. Tesis. Universitas Airlangga. Surabaya. Nesheim, M. C., Austich, R. E., Card, L.E. 1979. Poultry Production Lea and Febiger. Philadelphia, N. R. C. 1994. Nutrient Requirements Of Poultry. Ninth Revised Edition 1994. National Academy. Washington D.C. Nugroho, A. 2013. Cara Penyembelihan http://www.tintaguru.com/2013/08/cara-penyembelihan Diakses pada 2 November 2014 pukul 19.00
Binatang. binatang.html
Nuhriawangsa, A. M. P. 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Nurmawan, S. T. 2003. Respon Ayam Kampung Terhadap Pemberian Pakan Mengandung 25% Bungkil Inti Sawai (Bis) Dan Enzim. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ohlendieck, Kay. 2011. Skeletal Muscle Proteomics: Current Approaches, Technical Challenges And Emerging Techniques. Skeletal Muscle. 1:6. O’Farrell, P. H. 1975. High resolution two-dimensional electrophoresis of proteins. Journal of Biological Chemistry. 250(10): 4007–4021. Pan, S., Zhang, H., Rush, J., Eng, J., Zhang, N., Patterson, D. 2005. Highthroughput proteome-screening for biomarker detection. Molecular and Cellular Proteomics. 4(2): 182–190.
62
Parry, R. T. 1989. Technological Development in Preslaughter Handling and Processing. Dalam: Processing of Poultry. G. C. Mead, Ed.Elsevier Science Publisher Ltd.. England. 65-102. Pasila, Felix. 2008. Multivariate inputs for electrical load forecasting on hybrid neuro-fuzzy and fuzzy c-means forecaster. 2307-2312 Pedersen, S. K., Harry, J. L., Sebastian, L., Baker, J., Traini, M. D., McCarthy, J. T.,. 2003. Unseen proteome: mining below the tip of the iceberg to find low abundance and membrane proteins. Journal of Proteome Research. 2(3): 303–311. Prastowo, Y. 2014. Pedoman Pelaksanaan Kesejahteraan Hewan Pada Pemotongan Ayam/ Unggas. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&v ed=0CC8QFjAD&url=http%3A%2F%2Fkesmavet.ditjennak.pertanian.go.i d%2Findex.php%2Fregulasi-penerapan-kesejahteraan-hewanpadapemotonganunggas Diakses pada 2 Novemberr 2014 pukul 21.22 WIB Price, S. A., Wilson, L. M. 1995. Fisiologi proses-proses penyakit. Edisi 4. Alih Bahasa : Anugerah P. Jakarta. Puri, M. 2013. Contoh Makromolekul : Polimer, Karbohidrat, Lemak, Protein, Plastik, Minyak. http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/01/contohmakromolekul-polimer-karbohidrat-lemak-protein.html. Diakses pada 2 Novemberr 2014 pukul 20.20 WIB Püschel, A.W., Balling, R., Gruss, P. Rabilloud, T. 1979. Silver staining of 2-D electrophoresis gels. Methods of Molecular Biology. 112: 297–305. Rabilloud, T. 2000. Detecting proteins separated by 2-D gel electrophoresis. Analytical Chemistry. 72(1): 48A–55A. Rabilloud, T., Strub, J. M., Luche, S., Dorsselaer, A., Lunardi, J. 2001. A comparison between Sypro Ruby and ruthenium II tris (bathophenanthroline disulfonate) as fluorescent stains for protein detection in gels. Proteomics. 1(5), 699–704 Ramia, I. K. 2000. Suplementasi Probiotik Dalam Ransum Berprotein Rendah Terhadap Penampilan Itik Bali. Majalah Ilmiah Peternakan. 3(2); 49-54. Rasyaf. M . 2004. Beternak Ayam Kampung. Cetakan Ke-28 Penebar Swadaya. Jakarta. Rasyaf, M. 1996. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.
63
Rawles, D., Marcy, J. Hulet, M. 1995. Constant current stunning of market weight broilers. Journal of Applied Poultry Research. 4: 109-116. Reilly, J. P., 1994. Scales of reaction to electric shock: thresholds and biophysiscal mechanisms. Ann. NY Acad. Sci. 720: 21 - 37. Rehm, J. 2006. The Costs of Substance Abuse in Canada 2002 Ottawa, ON: Canadian Centre on Substance Abuse. Rezvani, K., Tong Y. Pan, Y., Dani, J. A., Lindstrom, Gras, E. A. G., Melnthosl, J. M., Biasi M.D. 2009. UBXD4 a UBX-containing protein regulates the cell surface trimber and stability of 3=containing nicotinic acetyilcoline receptore. The Journal of Neuroscience. 29(21) 6883-6896. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. ITB. Bandung. Samah, Norshahida, A., Azura, A., Faridah, Y. 2011. Over Expression Of Voltage Dependent Anion Channel 2 (Vdac2) In Muscles Of Electrically Stunned Chickens. Iium Engineering Journal. 12(4). Santoso, Piliang, W. 2004. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk sebagai Feed Additive untuk Memproduksi Meat Designer. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Universitas Bengkulu. Bengkulu. Sarwono, W., Slamet, S. 2003. Pengkajian Status Gizi. Jakarta. Schägger, H., Jagow, G. 1987. Tricine-sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis for the separation of proteins in the range from 1 to 100 kDa. Anal. Biochem.166: 368-379. Scott, M. L, Neishem, M.C., Young, R. J. 1982. Nutrition of Chicken. 3rd edition. New York: M.L Scott and Assosiates. Siregar, M. L. 2009. Peningkatan mutu standar kualitas hasil cetakan menggunakkan kombinasi pengaturan. Tesis. Fakultas Universitas Indonesia Press-Jakarta Soeparno. 2005. Ilmu dan teknologi daging. cetakan keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Song, T. Y.1991. Electroporation of cell membranes. Biophys Journal. 60: 297-306. Siregar, A. P., Sabrani, M., Suroprawiro. 2009. Tehnik Beternak Ayam Pedaging di Indonesia. Margie Group. Jakarta.
64
Suharti, S., A. Banowati, W., Hermana, K. G., Wiryawan. 2008. Komposisi dan Kandungan Kolesterol Karkas Ayam Broiler Diare yang Diberi Tepung Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) dalam Ransum. Med. Pet. 31(2): 138–145. Surisdiarto, Koentjoko. 1990. Ilmu Makanan Ternak Khusus Ternak Unggas. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. Thermo Scientific. 2014. General Recommendations for SDS-PAGE. http://www.thermoscientificbio.com/uploadedFiles/Resources/generalrecommendations-for-sds-page.pdf. Diakses pada 5 Novemberr 2014 pukul 5.20 WIB Triyantini, A., Bakar, I. A. K., Bintang, T., Antawidjaja. 1997. Studi komparatif preferensi, mutu dan gizi beberapa jenis daging unggas. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. 2(3): 157-163. Tyers, M., Mann, M. 2003. From genomics to proteomics. Nature. 422(6928): 193– 197 Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan IV. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Wahniyathi, H., Ali, H. M. 2005. Karakteristik protein daging dengan penambahan NaCl pada berbagai waktu aging post mortem dan hubungannya dengan mutu sensori sosis. Tesis. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Makasar. Walker, J. M., Gingold, E. B. 1988. Molecular Biology and Biotechnology 2nd. The Royal Socienty of Chemistry. London: Burlington House. 303-304. Westermeier. 2004. Electrophoresis in Practice: A Guide to Theory and Practice. New Jersey: John Wiley and Sons inc. Widodo, I., 2003. Penggunaan Marka Molekuler Pada Seleksi Tanaman. Dikutip dari: http://tumoutou.net/imam_widodo.htm. Diakses pada 21 Oktober 2014 pukul 20.00 WIB Wilkins, M. R., Pasquali, C., Appel, R. D., Ou, K., Golaz, O., Sanchez, J. C. 1996. From proteins to proteomes: large scale protein identification by twodimensional electrophoresis and amino acid analysis. Biotechnology. 14(1): 61–65. Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
65
Winedar, H., Listyawati S., Sutarno. 2006. Daya Cerna Protein Pakan, Kandungan Protein Daging, dan Pertambahan Berat Badan Ayam Broiler setelah Pemberian Pakan yang Difermentasi dengan Effective Microorganisms-4 (EM-4). Universitas Sebelas Maret (UNS). Surakarta. 3(1): 14-19. Yenrina, R., Mislaini., R., Mardiah. 2010 Penyuluhan Dan Peragaan: Potensi Teknologi Pengolahan Pangan Terhadap Ketidakhalalan Pangan. Yuwono, Triwibowo. 2005. Biologi Molekuler. Penerbit Erlangga. Jakarta Zaman, R., Hamzah, M., Nassir, Abdurrazq, N. B., Hamzah, M. S., Mohammad, T. R. 2012. Effects Of Different Methods Of Slaughtering On Protein Expression In Chicken Meat. Iium Engineering Journal. 13(1). http://mda.org/disease/emery-dreifuss-muscular-dystrophy/causes-inheritance http://lh3.ggpht.com/_qqJSuiVmpI/Sht24QmqihI/AAAAAAAABwI/BCE11IRaeQ g/PAGE.jpg?imgmax=640 http://imagej.nih.gov/ij
66
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar bahan dan alat penelitian a. Bahan Penelitian
Gambar 1. Ayam Potong Ras Strain Hubbard
Gambar 6. PMSF
Gambar 3 Gambar 2. Aquabidest
Gambar 7. Gel Acrylamide Solution (30%T; 2,67oC)
Gambar 11. TEMED Gambar 12. Running Buffer 1 Kali
.BSA
Gambar 8. Resolving Buffer
Gambar 13. Staining Solution Coomasie Blue
Gambar 4. TrisHCl 0,05 M Ph 8,8
Gambar 9. Stacking Buffer
Gambar 5. Triton X-100 0,1%
Gambar 10. APS 10%
Gambar 14. Standar Protein Catalog #161-0318
67
b. Alat Penelitian
Gambar 1. Alat Gelas
Gambar 5. Vortex
Gambar 9. High centrifuge Sorvall SC35
a. Cetakan Separating dan Stacking Gel
Gambar 2. Pisau
Gambar 3. Timbangan Analitik
Gambar 4. Mikropipet dan Tip
Gambar 7. Himogenizer
Gambar 8. Kuvet
Gambar 6. Shaker
Gambar 10. Spektrophotometer UV/Vis
b.Power sply
Gambar 11. Electrical Stunner
c.Wadah elektroforesis dan Tutupnya
d. Elektroforesis Gel
68
Lampiran 2. Gambar metode penelitian a. Perlakuan Pra-Penyembelihan
Gambar 1. Proses Pemingsanan Ayam Potong
Gambar 2. Ayam Potong Mati Karena Electrical Stunning
b. Perlakuan Penyembelihan
Gambar 1. Penyembelihan Ayam Potong (Non Electrical Stunning Halal)
Gambar 2. Penyembelihan Ayam Potong (Electrical Stunning Halal)
Gambar 3. Penyembelihan Ayam Potong (Electrical Stunning Haram)
c. Perlakuan Paska-Penyembelihan
Gambar 1. Perendaman Ayam Potong dengan Air Hangat
Gambar 2. Hasil Pencabutan Bulu Ayam Potong
Gambar 3. Pengelompokan Daging Paha Ayam Potong
69
d. Proses Isolasi Protein
Gambar 1. Proses Penimbangan 20 g Sampel
Gambar 2. Proses Pencacahan Sampel
Gambar 3. Hasil Homegenasi Sampel
Gambar 5. Supernatan Sampel Gambar 4. Proses Sentrifugasi
70
Lampiran 3. Komposisi reagen dan larutan a. Komposisi reagen Lowry 1 dan reagen Lowry 2 1.Na2CO3 2% dalam NaOH 0,1 N ......................................................... 250 mL 2.CuSO4 0,5% dalam Na-K Tartarat 1% ............................................... 10 mL 3.Folin .................................................................................................... 15 mL b. SDS (resodium dodecyl sulfat) 10% 1.SDS ..................................................................................................... 1 g 2. Aquabidest ......................................................................................... 10 mL c. Buffer sample 1.Aquabides ............................................................................................ 3,55 mL 2.Stacking Buffer ................................................................................... 1,25 mL 3.Gliserol ................................................................................................ 2,5 mL 4.SDS 10% ............................................................................................. 2 mL 5.Bromopenol blue 0,5% ........................................................................ 0,2 ml 6.β-merkaptoetanol ................................................................................ 0,5 mL d. Gel Acrylamide solution (30%T; 2,67oC) 1.Akrilamid ............................................................................................ 29,2 g 2.N’N’-bis-metilen-akrilamid ................................................................ 0,8 g 3.Aquabides ............................................................................................ 100 mL e. Resolving Buffer (Tris-HCl 1,5 M pH 8,8) 1.Tris-HCl .............................................................................................. 18,15 g 2.Aquabides ............................................................................................ 75 mL 3.HCl 6N ................................................................................................ sesuai pH
71
f. Stacking Buffe (Tris-HCl 0,5 M pH 6,8) 1.Tris-HCl .............................................................................................. 6 g 2.Aquabides ............................................................................................ 60 mL 3.HCl 6N ................................................................................................ sesuai pH g. Ammonium peroksida disulfate (APS) 10% 1.APS ..................................................................................................... 100 mg 2.Aquabides ............................................................................................ 1 mL h. Running buffer 10 kali 1.Tris ...................................................................................................... 3,03 g 2.Glisin ................................................................................................... 14,4 g 3.SDS ..................................................................................................... 1 g 4.Aquabides hingga ................................................................................ 100 mL i.
Staining solution coomasie blue R-250 Bio-Rad, 1.Coomasie brilian blue R-250 .............................................................. 1 g 2.Metanol ............................................................................................... 300 mL 3.Asam Asetat ........................................................................................ 100 mL 4.Aquabidest .......................................................................................... 600 mL
j. Larutan Destaining 1.Metanol ............................................................................................... 400 mL 2.Asam Asetat glasial ............................................................................. 75 mL 3.Aquadest hingga .................................................................................. 100 mL
72
Lampiran 4. Pembuatan deret konsentrasi BSA pada uji kadar protein sampel dengan metode Lowry. a. Pembuatan Larutan Induk 200 ppm - 3 mg BSA kemudian dilarutkan dalam 3 ml aquabidest (1000ppm) - M1 x V1 = M2 x V2 1000ppm x V1 = 200ppm x 1000 μl V1 = 200 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest b. Pembuatan Deret Konsentrasi Larutan BSA 0 ppm M1 x V1 = M2 x V2 200ppm x V1 = 0ppm x 1000 μl V1 = 0 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest 20 ppm M1 x V1 = M2 x V2 200ppm x V1 = 40ppm x 1000 μl V1 = 200 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest 80 ppm M1 x V1 = M2 x V2 200ppm x V1 = 80ppm x 1000 μl V1 = 400 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest 120 ppm M1 x V1 = M2 x V2 200ppm x V1 = 120ppm x 1000 μl V1 = 600 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest 160 ppm M1 x V1 = M2 x V2 200ppm x V1 = 160ppm x 1000 μl V1 = 800 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest 200 ppm M1 x V1 = M2 x V2 200ppm x V1 = 200ppm x 1000 μl V1 = 1000 ml c. Gambar Deret Konsentrasi Larutan BSA
Gambar 1. Larutan BSA a).0ppm b).40ppm c).80ppm d).120ppm e).160ppm f).200ppm
73
Lampiran 5. Nilai serapan pada metode Lowry Tabel 1. Nilai Serapan Standar Larutan BSA
Konsentrasi BSA (μg/mL) 0 ppm 40 ppm 80 ppm 120 ppm. 160 ppm 200 ppm
Absorbansi (λ=776,4) -0,002 0,047 0,126 0,172 0,224 0,286
A
0.128 0.120 0.115 0.110 0.105 0.100 0.095 0.090 0.085 0.080 0.075 0.070 0.065 0.060 0.057 500
776.36nm, 0.13A
550
600
650
700
750
800
850
nm Name std BSA.Sample
Description 80 ppm
Gambar 1. Spektrum Panjang Gelombang Maksimum Serapan dengan Metode Lowry
Gambar 2. Kurva dan persamaan kalibrasi konsentrasi terhadap serapan larutan BSA
74
Lampiran 6. Kandungan kadar protein pada sampel. Tabel 1. Kandungan Protein Sampel Daging Ayam Potong setiap Gel SDS-PAGE
Sampel A1 B1 C1 A2 B2 C2 A3 B3 C3 A4 B4 C4
Kandungan Protein (μg/mL) (X) x FP dalam 20 g daging 5600 5800 6200 7800 6000 9000 21000 17200 13400 15800 17600 16600
Kandungan Protein (μg/mL) dalam 1 g daging 280 290 310 390 300 450 1050 860 670 790 880 830
Keterangan: Pengujian dilakukan secara duplo. FP = 200 kali 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal).
Tabel 2. Banyaknya volume yang dimasukkan kedalam comb setiap Gel SDS-PAGE(1)
Sampel
A1 B1 C1 A2 B2 C2
Kandungan Protein (μg/mL) (X)
Kandungan Protein (μg/mL) (X) x FP dalam 20 g daging
Kandungan Protein setiap 10 μL untuk loading (μg)
28 29 31 39 30 45
5600 5800 6200 7800 6000 9000
11,2 11,6 12,4 15,6 12 18
Volume yang dimasukkan untuk loading setiap 11,2 μg (μl) 10 9,66 9,03 7,18 9,33 6,22
Keterangan: 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal). FP 200 kali
75
Tabel 3. Banyaknya volume yang dimasukkan kedalam comb setiap Gel SDS-PAGE (2)
Sampel
A3 B3 C3 A4 B4 C4
Kandungan Protein (μg/mL) (X)
Kandungan Protein (μg/mL) (X) x FP dalam 20 g daging
Kandungan Protein setiap 10 μL untuk loading (μg)
92 86 67 79 88 83
18400 17200 13400 15800 17600 16600
36,8 34,4 26,8 31,6 35,2 33,2
Volume yang dimasukkan untuk loading setiap 26,8 μg (μl) 7,28 7,79 10 8,48 7,61 8,07
Keterangan: 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal). Fp 200 kali
76
Lampiran 7. Hasil persamaan garis kurva standar Marker protein a. Standar marker protein catalog #161-0318 Bio-Rad
211,475 118,579 78,995
53,054
36,881 28,643 17,809 8,4
b. Marker protein pada gel ke-1
Gambar 1. Intensitas pita protein marker protein pada gel SDS-PAGE ke-1
77
Tabel 1. Nilai RF dan BM marker protein Rf Bm Log bm 54 211,475 2,325259034 139 118,579 2,074007784 211 78,995 1,897599603 430 53,045 1,724644454 626 36,881 1,566802688 772 28,643 1,457018503 1031 17,809 1,250639534
Gambar 2. Persamaan Garis Kurva Standar Marker Protein gel SDS_PAGE ke-1
c. Marker protein pada gel ke-2
Gambar 1. Intensitas pita protein marker protein pada gel SDS_PAGE ke-2
78
Tabel 1. Nilai RF dan BM marker protein Rf Bm Log bm 61 211,475 2,325259 152 118,579 2,074008 232 78,995 1,8976 464 53,045 1,724644 692 36,881 1,566803 865 28,643 1,457019 1152 17,809 1,25064
Gambar 2. Persamaan Garis Kurva Standar Marker Protein gel SDS_PAGE ke-2
79
Lampiran 8. Tampilan software ImageJ 1.46
80
Lampiran 9. Data gel elektroforesis Tabel 1. Data Gel ke-1 Sampel ayam potong usia 4 minggu
Ket: 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal)
81
Tabel 2. Data Gel ke-2 Sampel ayam potong usia 5 minggu
Ket: 1, 2 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal)
82