PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
(1) Dr. Ahmad Zuber, S.Sos., D.E.A. Lahir di Demak, 15 Desember 1970. Pria yang memiliki NIP 197012151998021001 adalah staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS. Riwayat pendidikan tinggi yang berhasil diselesaikan adalah tahun 1997 lulus sarjana (S1) dari Universitas Sebelas Maret untuk bidang ilmu: Sosiologi, tahun 2004 lulus Magister (S-2) dari University of Rennes 2 Prancis untuk bidang ilmu: Sosiologi, dan berhasil meraih gelar Doktor (S-3) dari Universitas Brawijaya untuk bidang ilmu: Ilmu Pertanian, konsentrasi Sosiologi Pedesaan pada tahun 2011. Judul dan ringkasan Disertasi disajikan dalam 2 (dua) versi bahasa Indonesia dan English sebagai berikut. KEMISKINAN MASYARAKAT PEDESAAN SUKOHARJO (STUDI KASUS DI DESA SANGGANG, KECAMATAN BULU, KABUPATEN SUKOHARJO, PROVINSI JAWA TENGAH). Kemiskinan dipandang sebagai keadaan diri seseorang atau sekelompok orang yang mengalami kekurangan. Orang disebut miskin apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. Secara umum kemiskinan dapat dibedakan kedalam dua bentuk, pertama kemiskinan absolut, dan kedua, kemiskinan relatif. Secara konseptual, kemiskinan itu sendiri dapat dijelaskan melalui konsep-konsep seperti kemiskinan kultural, kemiskinan struktural, kemiskinan kongjungtural, dan kemiskinan natural. Rancangan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan paradigma kualitatif dengan jenis studi kasus. Pendekatan paradigma kualitatif ini dipilih karena kesesuaian topik penelitian tentang kemiskinan di masyarakat pedesaan. Dengan pendekatan paradigma kualitatif ini diharapkan peneliti dapat menggali sedalam-dalamnya informasi mengenai fenomena kemiskinan di masyarakat pedesaan tersebut. Jenis studi kasus ditujukan agar supaya peneliti dapat mempelajari secara intensif, komprehensif dan detail. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja di Desa Sanggang, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, dimana Desa Sanggang, Kecamatan Bulu merupakan daerah sentra kemiskinan di Kabupaten Sukoharjo. Desa Sanggang ini dipilih karena merupakan desa IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang berlokasi di dataran tinggi dan lahan kering.
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis bentuk-bentuk kemiskinan masyarakat miskin pedesaan di Desa Sanggang Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo, perilaku sosial masyarakat miskin dalam kondangan, sambatan bangun rumah, karja bakti bangun jalan, dan mendidik dan menyekolahkan anak, upaya masyarakat miskin pedesaan, upaya pemerintah dan swasta/NGO (Non Governmental Organization) dalam usaha ikut menanggulangi permasalahan kemiskinan pedesaan di Desa Sanggang, Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo, dan model penanggulangan kemiskinan masyarakat pedesaan di Desa Sanggang Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo. Hasil penelitian ini menemukan bahwa bentuk kemiskinan masyarakat pedesaan itu dapat berupa kemiskinan kultural, kemiskinan struktural, dan kemiskinan natural. Kemiskinan kultural masyarakat miskin pedesaan terlihat dari ketidakterlibatan dalam organisasi tingkat desa, kecamatan, kota ataupun pemerintah pusat, kebiasaan mempunyai banyak anak, mengembangkan keluarga luas yang terdiri dari orang tua, anak, dan kakek/ nenek dalam satu rumah, dan jam kerja panjang namun penghasilan relatif kecil. Kemiskinan struktural dapat berupa, jenis pekerjaan keluarga miskin pada umumnya sebagai petani/ buruh tani yang lebih menitikberatkan pada keseimbangan hidup dalam bermasyarakat, sebagai orang desa, kebijakan pendidikan dirasa terlalu mahal, dan kaum perempuan masih terpinggirkan dalam proses pembuatan keputusan keluarga dan masyarakat desa. Kemiskinan natural dapat dilihat dari ketidakmampuan sumber daya alam untuk mendukung kehidupan normal keluarga miskin. Alam tidak mampu untuk ditanami tanaman pangan khususnya padi, karena lahan yang kering dan tanah berada pada dataran tinggi. Di samping itu faktor usia yang tua menjadikan keluarga miskin yang bersangkutan tidak mampu bekerja. Perilaku sosial yang tercermin dalam budaya kondangan, sambatan bangun rumah, dan kerja bakti bangun jalan masih cenderung tinggi dalam kehidupan masyarakat miskin pedesaan di Desa Sanggang.
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
Upaya masyarakat miskin sendiri untuk keluar dari permasalahan kemiskinan adalah sudah cukup besar. Mereka telah melakukan berbagai usaha untuk keluar dari permasalahan kemiskinan antara lain meliputi: mengolah lahan tegal untuk ditanami singkong ataupun kacang tanah, mencari kayu di hutan, sebagai buruh penebang kayu, membuat arang, membuat tape singkong dan migrasi ke kota-kota besar untuk berjualan, serta ada yang beternak sapi/ kambing. Upaya pemerintah dan swasta dalam menanggulangi permasalahan kemiskinan masyarakat pedesaan di Desa Sanggang masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Masyarakat miskin pedesaan Desa Sanggang masih merasakan sedikit sekali peningkatan kesejahteraan hidupnya melalui upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan swasta ini. Namun demikian berbagai program kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta telah mampu membuat kebahagiaan tersendiri di hati para keluarga miskin pedesaan. Dengan menggunakan model pendekatan sistemik Gallopin, ditemukan bahwa sebagian besar aspek-aspek yang terdapat pada kemiskinan kultural, struktural, dan natural cenderung sangat tidak mendukung untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan yang mereka alami. Begitu juga dengan menggunakan model pendekatan partisipasi masyarakat Oakley dan Marsden, dan model pendekatan Paul Shaffer, aspek-aspek yang terdapat di dalamnya cenderung tidak mampu untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan masyarakat pedesaan yang mereka alami. RURAL POVERTY OF SUKOHARJO (A CASE STUDY IN SANGGANG, BULU, SUKOHARJO DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE). Poverty is a state of one who lacks a usual or socially acceptable amount of money or material possessions. Those who are on poverty can not afford their basic needs. There are generally two types of poverty, absolute poverty and relative poverty.
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
Districk, the social behaviour of those in poverty, and role of those in poverty, the governmental and non-governmental organisations in alleviating the poverty in Sanggang, Bulu, Sukoharjo Districk, and the model of poverty alleviating programs in Sanggang, Bulu, Sukoharjo Districk. The research was done in Sanggang village, Bulu, Sukoharjo District due to the fact that Sanggang village is considered to be one of the leftbehind villages in Sukoharjo and to be one of the poorest villages in Sukoharjo. The result of the analysis shows that cultural, structural and natural poverties are found in the village. The cultural poverty can be seen from the minimum participation of people in poverty in the social organisations, either in the community, in sub-district or in district level. They have relatively large number children. They tend to develop a broad family where the husband, wife, children and parents live in one family. They have the long working hour but their income is relatively low. The Structural poverty can be seen from the type of work structure of the poor family which is farmers who are more focused on the life balance in a society, the policy of education is felt too expensive, and women are still marginalized in decision-making process both at the family, and village society. Natural poverty is indicated by the inability of natural resources to support the basic needs of a poor family. The land is infertile so that it is hardly used for growing food crops, especially rice and maize, because the soil is dry and the land is plateau. In addition, the old age factor makes the families in poverty are unable to work.
Poverty can also be divided into four kinds, they are cultural poverty, structural poverty, conjungtural poverty, and natural poverty.
The social behaviors are reflected in various activities such as donating ceremonies, the cooperative social service for building houses and village paths which are frequently done in the rural communities in the Sanggang village.
This is a qualitative research which aims at describing and analysing the types of poverty found in Sanggang village, Bulu, Sukoharjo
Families of Sanggang village living in poverty encounter cultural, structural and natural obstacles in alleviating their poverty. Most of the
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
aspects contained in the cultural poverty, structural, and naturally tend to be very unsupportive to solve the problems of poverty that they suffer. The poor people have played some roles in the efforts of alleviating the poverty they suffer. They have made various efforts to alleviate their poverty, including cultivating the barren land for planting cassava or peanuts, looking for wood in the forest for substituting oil for fire, making charcoal and making cassava tape for sale, and migrating to some bigger cities for vending, and breeding cattle such as goats. The government and private sectors have also done some efforts by making some programs. Their efforts, however, are not effective enough to tackle the problems of the rural poverty in Sanggang village. The programs, nevertheless, have been able to create happiness of the rural families, especially those suffering poverty.
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
(2)
Dr. Bagus Haryono, M.Si. Lahir di Sukoharjo, 10 Desember 1961. Pria yang memiliki NIP 196112101989031002 adalah staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS. Riwayat pendidikan tinggi yang berhasil diselesaikan adalah tahun 1986 lulus sarjana (S1) dari Universitas Gadjah Mada untuk bidang ilmu: Sosiologi, tahun 1996 lulus Magister (S2) dari Universitas Indonesia untuk bidang ilmu: Sosiologi, dan berhasil meraih gelar Doktor (S-3) dari Universitas Negeri Yogyakarta untuk bidang ilmu: Penelitian dan Evaluasi Pendidikan pada tahun 2011. Judul dan ringkasan Disertasi disajikan dalam 2 (dua) versi bahasa Indonesia dan English sebagai berikut.
ESTIMASI PARAMETER INTEGRASI SOSIAL SUKU TIONGHOA-JAWA DI YOGYAKARTA DAN SURAKARTA: PENGEMBANGAN HYBRID MODEL. Pendidikan nilai demokrasi, status ekonomi sosial, simpati, dan aksi telah me-nyebabkan integrasi sosial antar suku Tionghoa-Jawa di Yogyakarta (YK) lebih sempurna dibandingkan dengan Surakarta (SKA), sekalipun keduanya sama sebagai wilayah bekas Mataram Islam. Penelitian ini bertujuan menggunakan hybrid model untuk menganalisis Integrasi Sosial antar kedua suku di kedua daerah tersebut, yang dilakukan dalam dua tahap. Penelitian ini merupakan penelitian survey, didesain menggunakan pendekatan kuantitatif, kuesioner sebagai instrumen utama pengumpulan data. Populasinya seluruh warga suku Tionghoa-Jawa di Kota YK dan SKA. Sampel dipilih secara proportional random sampling. Responden diambil 333 orang yang dapat mewakili kedua suku dan kedua daerah tersebut. Data dianalisis dengan LISREL 8.80. Structural equation modeling (SEM) untuk menampilkan hybrid model; path analysis menampilkan structural model; first order confirmatory factor analysis menampilkan overall measurement model; dan second order confirmatory factor analysis untuk menampilkan semua dimensinya. Structural, measurement dan hybrid model dikatakan fit, jika memenuhi kriteria fit model, yang didasarkan pada kriteria root mean square error of approximation ≤ 0,08, comparative fit index (CFI) ≥ 0,90 dan p (probabilitas) ≥ 0,05. Uji kebermaknaan koefisien bobot faktor (λ) memakai kriteria congeneric measurement model untuk menentukan dimensionalitas, validitas dan reliabilitas. Uji validitas
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
indikator digunakan kriteria t ≥1,96; convergent validity ≥ 0,50 dan discriminant validity ≥ 0,70. Uji reliabilitas digunakan construct reliability ≥ 0,70 dan variance extracted ≥ 0,50. Dalam penelitian ini ditemukan hybrid, structural dan measurement model di YK, SKA dan YK-SKA memenuhi fit model. Dari keseluruhan (9) pengaruh antar variabel dalam hybrid model, jumlah pengaruh dengan t signifikan di YK, SKA dan YK-SKA, ditemukan sebesar 7, 8 dan 6. Structural model di YK dibandinkan SKA, dan YK-SKA, terbukti lebih baik (koefisien determinasi/R2 terbesar) dalam menjelaskan Simpati, Aksi dan Integrasi Sosial. Kemampuan structural model di YK, SKA, dan YK-SKA dalam menjelaskan Simpati sebesar 79%; 56% dan 64%, menjelaskan Aksi sebesar 94%; 59% dan 79%, dan menjelaskan Integrasi Sosial sebesar 90%; 75% dan 83%. Pengaruh total Simpati di YK-SKA paling kuat (0,68) menentukan Integrasi Sosial, diikuti oleh SES (0,60), Pendidikan Nilai Demokrasi/PND (0,33) dan Aksi (0,31). Pengaruh total Simpati (0,78), PND (0,75) dan Aksi (0,46) terhadap Integrasi Sosial terkuat di YK. Namun pengaruh total SES terhadap Integrasi Sosial terkuat di SKA (0,73). Overall measurement model untuk keseluruhan variabel di YK-SKA ditemukan fit, valid dan reliabel sebagai indikator multidimensi. Namun model pengukuran di YK dan SKA merupakan multi-factors within construct error covariance measurement model, karena modifikasi model baru fit ketika dilakukan covariance error antar indikator dalam konstruk yang sama. Modifikasi model di YK dilakukan ketika mengukur konstruk Integrasi Sosial, dan di SKA ketika mengukur konstruk PND dan Aksi. THE ESTIMATION ON THE PARAMETERS OF SOCIAL INTEGRATION OF CHINESE-JAVANESE ETHNIC GROUPS IN YOGYAKARTA AND SURAKARTA: THE DEVELOPMENT OF A HYBRID MODEL. Democratic value education, socio-economic status, sympathy, and action have resulted in better social integration of Chinese-Javanese groups in Yogya-karta (YK) than that in Surakarta (SKA), although both were formerly Islamic Mataram areas. This study aims to employ a hybrid model integrating structural and measurement models to analyze social integration of the two ethnic groups in the two areas, conducted in two stages. This study was a survey employing the quantitative approach, with a questionnaire as the primary data collecting instrument. The population
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
comprised all members of Chinese-Javanese ethnic groups in YK and SKA. The sample was selected using the proportional random sampling technique. There were 333 respondents representing the ethnic groups in the two areas. The data were analyzed using LISREL 8.80. The Structural Equation Modeling (SEM) was used to present the hybrid model; the path analysis to present the structural model; the first order confirmatory factor analysis to present the overall measurement model; and, the second order confirmatory factor analysis to present all dimensions. The measurement, structural, and hybrid model was said to be fit, if it satisfied the model fit criteria, based on the criteria of root mean square error of approximation ≤ 0.08, comparative fit index (CFI) ≥ 0.90, and p (probability) ≥ 0.05. The test of the significance of the factor weight coefficient (λ) used the criteria of congeneric measurement model to determine dimensionality, validity, and reliability. The test of indicator validity employed the criterion t ≥ 1.96; convergent validity ≥ 0.50, and discriminant validity ≥ 0.70. The reliability test employed construct reliability ≥ 0.70 and variance extracted ≥ 0.50. This study reveals that the hybrid, structural and measurement model in YK, SKA, and YK-SKA satisfies the fit model. Of all (9) effects among variables in the hybrid model, the numbers of effects with significant t in YK, SKA, and YK-SKA, are 7, 8, and 6. The structural model in YK (in comparison with SKA and YK-SKA) is better (with the highest coefficient of determination/R2) in explaining Sympathy, Action, and Social Integration. The structural model in YK, SKA, and YK-SKA can explain Sympathy as much as 79%, 56%, and 64%, Action as much as 94%, 59%, and 79%, and Social Integration as much as 90%, 75%, and 83%. The total effect of Sympathy in YK-SKA is the strongest (0.68) in determining Social integration, followed by SES (0.60), Democratic Value Education/DVE (0.33), and Action (0.31). The total effects of Sympathy (0.78), DVE (0.75), and Action (0.46) on Social Integration are the strongest in YK. However, the total effect of SES on Social Integration is the strongest in SKA (0.73). The overall measurement model for all variables in YK-SKA is found to be fit, valid, and reliable as indicators of multi dimension. However, the measurement model in YK and SKA is multi-factors within construct error covariance measurement model, because a model modification is fit only when the covariance error is made among indicators within the same construct. The measurement model modification in YK is made when
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
measuring the construct of Social Integration, and that in SKA is made when measuring the constructs of DVE and Action. (3) Dr. H. Sutopo JK, M.S. Lahir di Klaten, 5 Mei 1957. Pria yang memiliki NIP 195705051983031004 adalah staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS. Riwayat pendidikan yang berhasil diselesaikannya adalah tahun 1982 lulus sarjana (S-1) dari Universitas Gadjah Mada untuk bidang ilmu: Publisistik, tahun 1990 lulus Magister (S-2) dari Universitas Gadjah Mada untuk bidang ilmu: Kependudukan, dan berhasil meraih gelar Doktor (S-3) dari Universitas Sebelas Maret untuk bidang ilmu: Pragmatik pada tahun 2011. Judul dan ringkasan Disertasi disajikan dalam 2 (dua) versi bahasa Indonesia dan English sebagai berikut. KAJIAN PRAGMATIK TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM PROSES PEMBAHASAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR. Yang menjadi masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah wujud tindak tutur direkti-TTD-dalam proses pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah–RPJPD-dari tingkat desa sampai tingkat propinsi? Tujuan penelitian ini adalah ingin menunjukkan TTD yang terjadi dalam proses pembahasan Perda RPJPD sejak dari tingkat desa sampai propinsi dan mengidentifikasi faktor-faktor apa yang melatarbelakangi tuturan direktif dalam proses pembahasan RPJPD di Kabupaten Karanganyar. Kebaharuan dalam penelitian ini adalah proses pembahasan Perda RPJPD dilihat dari sudut pragmatik, yaitu ingin mengkaji tindakan apa yang mereka tuturkan dalam poses pembahasan RPJPD dari berbagai tingkatan sejak dari tingkat desa sampai tingkat Propinsi Jawa Tengah. Manfaat penelitian ini dapat memberikan masukan kepada para pakar, penelitian pengguna bahasa Indonesia dan masyarakat luas tentang kesalinghubungan antara pengguna bahasa Indonesia dengan proses perencanaan pembangunan daerah. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karanganyar dengan alasan pada tahun 2008 sedang menyusun RPJPD. Penelitian ini bersifat kualitatif, sehingga penelitian ini lebih menekankan pada masalah proses dan makna. Strategi yang digunakan yaitu studi kasus tunggal, karena
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
penelitian ini akan terarah pada kajian TTD dan sub-TTD dalam proses pembahasan Perda RPJPD. Hasil-hasil penelitian wujud TTD yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur dalam proses pembahasan RPJPD dapat disimpulkan sejak dari desa sampai propinsi sebagian besar: tipe dasar meminta (56,6%) meliputi sub-TTD: meminta, memohon, dan mengharapkan kecuali di kalangan organisasi non pemerintah yang sebagian besar menggunakan tipe dasar mengkritik (46%). Hal ini disebabkan pertama, para penutur di desa dan kecamatan pada umumnya (02 petutur) ststus sosialnya lebih rendah dari pada mitra tuturnya, sehingga logis kalau dalam menyampaikan tuturan tentang arah pembangunan desa menggunakan tipe dasar meminta. Kedua, Para pejabat daerah yang berfungsi sebagai nara sumber masih berpegang teguh pada dua prinsip rukun dan prinsip hormat, sehingga selalu menjaga keharmonisan, agar tidak dianggap sombong dan menjaga kerukunan dan kelancaran dalam pelaksanaan MUSRENBANGDA tersebut. Kemudian alasan kenapa di kalangan organisasi non Pemerintah lebih banyak yang menggunakan tipe dasar mengkritik. Sebab ststus atau fungsi peserta dari organisasi non pemerintah ini sangat netral dan tidak dalam posisi pengambil polici, sehingga tanpa beban selalu melontarkan kritikan yang tajam. Realisasi perwujudan tindak tutur direktif di dalam proses pembahasan RPJPD pada dasarnya tidak pernah tunggal. Para mitra tutur dan penutur dari tingkat desa sampai propinsi yang menggunakan tuturan direktif sebagian besar menggunakan jenis tuturan langsung dan langsung literal tetapi santun bahwa di masyarakat desa dalam Musrenbangda terjadi perubahan pola bertutur dari yang biasanya berputar-putar secara tidak langsung berubah menuju kearah yang lebih spesifik dan terbuka. Secara umum realisasi TTD bagi para penutur dan mitra tutur dalam proses pembahasan Perda RPJPD berpijak pada prinsip-prinsip dasar berkomunikasi yaitu prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Bila dilihat dari hasil proses pembahasan Perda RPJPD yang menggunakan TTD di tingkat desa yang dapat diakomodasi ke tingkat kecamatan hanya 25%, sedangkan di tingkat kecamatan saran yang dapat diakomodasi hanya 40%. Selanjutnya di tingkat kabupaten di kalangan SKPD usulan yang dapat diakomodasi sebesar 33,4% dan dikalangan LSM saran yang dapat
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
diakomodasi sebesar 42,8%. Selanjutnya di kalangan DPRD masukan yang dapat diakomodasi sebesar 50%, sedangkan di tingkat propinsi yang diakomodasi sebesar 91,6%. Dari data-data di atas menunjukkan bahwa usulan atau saran pembangunan daerah yang diusulkan dalam RPJPD oleh seseorang atau institusi yang semakin tinggi powernya atau kedudukannya akan semakin besar pula diakomodasi atau diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses pembahasan Perda RPJPD yang dimulai dari tingkat desa sampai propinsi lewat Musrenbangda memberi kesan cenderung formalitas. Implikasi kebijakan dalam penelitian ini adalah dalam proses penyusunan RPJPD perlu dicari model MUSRENBANG altermatif lain secara normatif tidak harus dilakukan pembahasan dari tingkat desa sampai propinsi, tetapi lebih diutamakan kepada kelompok-kelompok yang memahami, menghayati dan yang lebih professional, sehingga akan lebih efektif dan efisien. [Kata Kunci: Tindak tutur direktif, Sub-TTD meminta, memohon, dan mengharapkan; Perubahan perilaku bertutur di masyarakat desa, RPJPD forum MUSRENBANGDA]. A PRAGMATIC STUDY OF DIRECTIVE SPEECH ACTS IN THE DISCUSSION PROCESS OF REGIONAL REGULATIONS ABOUT LONG-TERM DEVELOPMENT PLANS FOR THE KARANGANYAR REGENCY. The main topic of this research is to describe the form of directive speech acts in the discussion process of long-term regional development plans from a village level to a provincial level. The aim of the research is to give shape to the directive speech acts which occur in the discussion process of regional regulations about long-term regional development plants from a village level to a provincial level, and to identify the factors which form the background to the directive speech in the discussion process of long-term regional development plans in the Karanganyar Regency. The new aspect of this research is that the discussion process of regional regulations about long-term regional development plants is viewed from a pragmatic perspective. The discussion process of regional development concerns three aspects, namely (1) each idea that needs to be put forward, (2) the fact that each of the aforementioned ideas has a meaning, and (3) the fact that the meaning needs to be easily understood by the community and implemented by those responsible for implementing
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
the development policy, who in this case are members of the executive board. The benefit of this research is that it provides input for experts, researchers of the use of the Indonesian language, and the general public, regarding the connection between the use of the Indonesian language and the process of planning regional development. The location of the research was the Karanganyar Regency, for the reason that in 2008, the Karanganyar Regency was in the process of compiling its long-term regional development plans. The research is of a qualitative nature and as such, it places more emphasis on the issues of process and meaning. The strategy used is a single case study, since the research is directed towards a single characteristic of directive speech acts in the discussion process of regional regulations about long-term regional development plans on a regency level. From the results of the research into the forms of directive speech acts used by the speaker and intercolutor, in the discussion process of longterm regional development plans, it can be concluded that from a village level to a provincial level, most of the basic types of commands include the sub-directive speech acts: ordering, encompassing, requiring, forcing, and urging, with the expection of non-government organizations, in which the basic type criticizing is mostly used. This is due to the fact that: firstly, the speakers in the village and sub-district are generally of a lower social status than their interlocutors, so when presenting their ideas about the direction of village development, it is logical that they use the basic type asking (for something); secondly, the regional officials who functioned as informats for the research still adhere closely to two basic principles, namely the principle of harmony and the principle of respect. As such, they always retain a sense of respect so that they are not considered proud or arrogant, and at the same time, they also retain a sense of harmony and fluency in implementing the approved development plans. The reason for the wide use of the basic type criticizing in non-government organizations is due to the fact that the status or function of the participants in the nongovernment organizations play a neutral role and are not in a position of policy making, so that they are able to put forward sharp criticisms without any sense of burden.
PROFIL DOKTOR BARU UNIVERSITAS SEBELAS MARET Periode lulus Maret 2011 sampai dengan Pebruari 2012
The realization or the form of directive speech acts in the discussion process of regional regulations about long-term regional development plants is essentially never singular in form. There is a kind of gradation, from the most directive of all the directive speech acts to the least directive type of directive speech acts, and from the strongest directive speech acts to the rather impolite directive speech acts. Most of the speakers and interlocutors who use directive speech, from a village level to regency level, tend to use direct and literal direct speech, showing that in the community, when implementing the approved development plans, there is a change in speech patterns, from the usual indirect speech, tending to go around in circles, to a more specific and open kind of speech. In general, the realization of directive speech acts for the speakers and listeners in the discussion process of regional regulations about long-term regional development plans rests on basic principles of communication, namely the principle of cooperation and the principle of politeness. Thus, it can be stated that the discussion process of regional regulations about long-term regional development plans from a village level to a provincial level is not entirely effective. The implication of policy in this research is that the use of directive speech in the discussion process of regional regulations about long-term regional development plans can be used as a point of reference for those who are responsible for planning regional development, both in central government and in regional government. [Key words: Directive speech acts, basic types asking for something and criticizing, and changes in speech patterns in the village community leading towards a more specific and open direction].