Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
PRODUKTIVITAS BENIH DAN SUMBANGAN HARA TANAH DARI LEGUMINOSA HERBA SIRATRO (Macroptilium atropurpureum) PADA TARAF INTENSITAS CAHAYA BERBEDA (Seed Productivity and Siratro’s Nutrient Contribution at the Different Levels of Light Intensity) SAJIMIN, A. FANINDI dan B.R. PRAWIRADIPUTRA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT A research was conducted to evaluate the seed productivity of forages (Macroptilium atropurpureum cv Siratro) at Kaum Pandak Research Station, Bogor using Completely Randomized Block Design with three replications. The plants were planted with light intensity of 100, 80, 60, and 40%, respectively. Parameters observed were soil covering capacity of plants, seed production, seed quality and soil nutrient contributet by the plants. The research results showed that seed production was significantly affected by light intensity (P < 0.05). The highest production was reached at light intensity of 80%, followed at 100%, 60% and the lower was 40%. The sprouting capacity was highest at 80% and the lower was at 40% of light intensity. The availability of soil nutrients for N, P, K dan Ca rised as much as 11.67% at all level of light intensity. Key Words: Siratro, Light Intensity, Seeds, Soil Nutrient ABSTRAK Suatu penelitian produktivitas benih tanaman pakan ternak penutup tanah telah dilakukan pada intensitas cahaya yang berbeda untuk mendapatkan teknologi penyediaan benih. Penelitiaan ini dilakukan di kebun Penelitian Kaum Pandak Balai Penelitiaan Ternak. Rancangan percobaan Acak kelompok dengan tiga ulangan. Jenis tanaman yang digunakan adalah Macroptilium atropurpureum cv Siratro. Ditanam pada intensitas cahaya 100%, 80%, 60% dan 40%. Tanaman ditanam pada plot dengan ukuran 25 m2 yang dinaungi paranet. Parameter yang diukur kemampuan menutup tanah, produksi biji, kualitas biji (viabilitas dan vigor benih) serta sumbangan hara tanah dari awal percobaan dan setelah dua tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi benih nyata (P < 0,05) dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Pada cahaya 80% rata-rata produksi benih tertinggi kemudian diikuti pada cahaya 100%, 60% dan terendah 40%. Sedangkan kebernasan biji tidak dipengaruhi oleh cahaya dengan rata-rata 84,97 – 88,48%, tapi daya kecambah tertinggi pada intensitas cahaya 80% dan terendah pada 40%. Ketersediaan hara tanah pada awal percobaan dan setelah ditanam Siratro selama dua tahun telah mengalami kenaikan hara N, P, K dan Ca pada intensitas cahaya 100, 80 dan 60% sebesar 11,67% dari kondisi awal penelitian. Kata Kunci: Siratro, Intesitas Cahaya, Benih, Hara tanah
PENDAHULUAN Peningkatan produksi ternak terutama ruminansia harus seiring dengan peningkatan produksi tanaman pakan. Produksi tanaman pakan dapat terpenuhi bila penyediaan benih unggul tersedia. Menurut SADJAD (1974) benih merupakan biji tanaman yang digunakan untuk tujuan penanaman agar dapat menghasilkan
446
produksi yang seoptimal mungkin dengan bermutu tinggi. Pertumbuhan dan produksi tanaman untuk menghasilkan benih yang berkualitas, murah harganya dan mudah diperoleh sudah dirasakan kendalanya. Di Indonesia sampai saat ini belum ada penyedia (penangkar) benih khususnya yang berkaitan dengan tanaman pakan terutama dari jenis leguminosa herba.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Padahal jenis leguminosa herba termasuk tanaman serbaguna yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan memfiksasi N2 yang akan diubah menjadi N tersedia yang akan digunakan oleh tanaman itu sendiri bahkan dapat memberikan sumbangan hara pada tanah. Menurut CAHYONO et al. (2002) bahwa penggunaan tanaman penutup tanah seperti Mucuna chochuchinensis dan Calopogonium caeruleum dapat meningkatkan unsur hara tanah C (1 – 29%), N (10 – 49%, K (28 – 34%), Ca (4 – 174%) dan ketersediaan kandungan Mg 81%. Namun kelompok tanaman penutup tanah tersebut kurang disukai ternak. Sedangkan tanaman pakan ternak leguminosa jenis Siratro adalah salah satu yang disukai ternak. Tanaman Siratro adalah leguminosa penting sebagai sumber protein dan mineral untuk ternak ruminansia serta dapat tumbuh baik pada daerah basah dan kondisi kering. Tanaman ini memiliki perakaran yang dalam dan biasanya tahan dengan penggembalaan berat. CONGDON dan ADDISON (2003) melaporkan bahwa Siratro memiliki produksi yang baik pada naungan 84%. SKERMAN et al. (1988) mengatakan bahwa siratro memiliki kemampuan yang baik dalam naungan, namun dianjurkan ditanam pada intensitas cahaya yang penuh. Sementara itu ERIKSEN dan WHITNEY (1982) menemukan bahwa tanaman ini tumbuh baik pada naungan yang sedang namun berproduksi buruk pada naungan yang berat, tumbuh baik di perkebunan kelapa dan dapat menekan gulma Cassia tora. Sedangkan WONG (1991) mengindikasikan bahwa siratro tergolong pada tanaman yang memiliki produksi rendah jika tumbuh pada naungan dan menduduki peringkat ke-20 untuk produksi hijauan dari 84 spesies leguminosa yang diteliti. SKERMAN et al. (1988) menduga bahwa rendahnya produksi ini diakibatkan bagian bawah tanaman menjadi berkayu karena merespon terhadap naungan. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian produksi benih pada intensitas cahaya berbeda dan sumbangan hara tanah melalui penanaman leguminosa jenis sirartro selama dua tahun.
MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di kebun percobaan Balitnak Kaum Pandak dengan tinggi tempat 250 m dpl dengan kondisi lahan datar dengan curah hujan terendah 134 mm/bulan dan tertinggi 611 mm/bulan dan pH tanah 5,28. Penelitian menggunakan tanaman pakan ternak Macroptilium atropurpureum cv. Siratro yang diperoleh dari koleksi Agrostologi Ciawi. Pupuk dasar yang digunakan pada awal percobaan dosis per ha yaitu urea 100 kg,TSP 150 kg dan kapur 500 kg/ha. Bibit dari biji ditanam pada polybag selama 2 bulan kemudian dipindah ke plot dengan jarak tanam 1,0 × 1,0 m. Rancangan percobaan acak kelompok dengan perlakuan tingkatan intensitas cahaya (perlakuan): (a). 40%; (b). 60%; (c). 80%; (d). 100% dan diulang 3 kali. Parameter yang diamati produksi benih (jumlah polong bernas maupun hampa per plot, Jumlah biji per polong, bobot biji, dan bobot per 100 benih (g). Kualitas benih meliputi daya berkecambah DB = (Kecambah normal I + Kecambah normal II) × 100% Jumlah benih Kecepatan tumbuh (pengujian dilakukan dengan mengamati hasil kecambah normal yang muncul setiap hari (interval 24 jam) hingga pengamatan kecambah hitungan terakhir). dan Indeks Vigor (Penilaian ini dilakukan dengan menghitung presentase kecambah normal yang muncul pada pengamatan hitungan pertama) dengan mengikuti mengikuti ISTA (2005) Penetapan kandungan hara tanah pada awal percobaan dan akhir percobaan setelah dua tahun diambil sampel untuk analisa N, P, K Ca dan S masing-masing berturut-turut menggunakan metode Kjeldahl, metode destruksi (spectrofotometer), dan metode destruksi (AAS) di Laboratorium Balai Tanah. Data produksi benih yang diperoleh dihitung dan di analisa keragaman serta uji lanjut untuk uji beda nyata.
447
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan tanaman Pertumbuhan tanaman siratro pada intensitas cahaya yang berbeda, menunjukkan ketebalan dan kemampuan menutup tanah berbeda-beda seperti yang terlihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa tinggi tanaman siratro tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05). Luas penutupan tanah oleh siratro pada setiap intensitas cahaya menunjukkan perbedaan (P < 0,05), pada intensitas cahaya penuh penutupannya relatif lebih luas jika dibandingkan dengan penutupan pada intensitas cahaya lainnya. Luas penutupan tanah cenderung berkurang dengan semakin menurunnya intensitas cahaya matahari. Menurunnya penutupan tanaman ini disebabkan dengan berkurangnya intensitas cahaya maka pertumbuhan tanaman berkurang terutama pada bagian tengah plot sehingga penutupan lebih banyak bagian pinggirnya. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan CONGDON dan ADDISON (2003) bahwa pertumbuhan siratro menurun sejalan dengan menurunnya intensitas cahaya, walaupun pada intensitas cahaya 37 – 16% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,01). Kemudian ERIKSEN dan WHITNEY (1982) menyatakan bahwa Siratro tumbuh baik pada naungan yang
moderat dengan berproduksi rendah pada naungan yang berat. Rendahnya produksi dan pertumbuhan maka hasil biji juga rendah dan ini terlihat dalam Tabel 2 dari panen ke satu sampai ke-5 dengan intensitas cahaya berkurang hasil biji juga rendah. Hasil produksi biji Siratro Hasil pengukuran produksi benih setelah tanaman umur satu tahun dan dapat dilakukan panen pada musim kering mulai bulan Mei 2008, selama 5 kali panen dan hasilnya seperti pada Tabel 2. Hasil pengamatan selama lima kali panen pada intensitas tidak berbeda produksi benih. Produksi tertinggi diperoleh pada tanaman yang mendapat cahaya 80% yaitu 8,61 g/plot kemudian diikuti pada intensitas cahaya 100% dan terendah pada intensitas cahaya 40% (4,17 g/plot) sedangkan pada panen ke 5 tanaman telah tidak menghasilkan biji. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berkurangnya intensitas menyebabkan berkurangnya produksi biji. Keadaan demikian juga terlihat dari pertumbuhan tanaman yang tidak optimum pada tengah plot pertumbuhannya lambat dan tingkat penutupannya juga rendah (Tabel 1). Menurut FOTH 1988 dalam SYAHBUDDIN et al (1998) dan MUSYAROFAH et al. (2003) bahwa
Tabel 1. Rataan tinggi dan luas penutupan Siratro (Macroptilium atropurpureum) per plot Intensitas cahaya relatif (%)
Parameter 100
80
60
40
Tinggi tanaman (cm)
15
16
16
15
Luas penutupan (%)
60
42
40
34
Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) Tabel 2. Rataan produksi biji siratro (g/panen/plot) di Kaum Pandak Bogor Intensitas cahaya
Panen 1
Panen 2
Panen 3
Panen 4
Panen 5
Jumlah
100
1,20
1,70
2,46
1,62
0
6,98
80
2,31
1,76
3,95
0,59
0
8,61
60
2,42
2,61
0,51
0,00
0
5,54
40
0,89
1,53
1,75
0,00
0
4,17
Panen ke-5 tanaman sudah tidak menghasilkan biji
448
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
tanaman kekurangan radiasi surya menyebabkan berkurangnya hasil dan komponen hasil terganggu seperti butir biji mengerut dan ringan. Hasil dan kualitas biji siratro Hasil panen biji siratro berdasarkan bobot polong, bobot brangkasan, jumlah polong dan polong bernas pada siratro ditunjukkan dipengaruhi oleh intensitas cahaya (P< 0,05). Produksi tertinggi dicapai pada intensitas cahaya 80% dan terendah dicapai pada intensitas cahaya 40%. Produksi polong berkisar anatara 10 - 20 g. plot-1 dan bobot biji antara 4-9 gr plot-1. Bobot biji pada penelitian ini masih rendah, HOPKINSON (1977) melaporkan bahwa produksi biji siratro bisa mencapai 200 - 300 kg/ha bahkan dengan kombinasi sistem pemanenan bisa mencapai 500 - 800 kg/ha. Produksi yang rendah ini diduga karena tingginya curah hujan pada lokasi penelitian. Penelitian lain menunjukkan bahwa pengaruh utama dalam pembungaan siratro di lapangan adalah stres air/basah, dimana dapat menunda pertumbuhan vegetatif dan menstimulus aktivitas reproduksi, walapun demikian lokasi dan manajemen diperlukan dalam produksi biji siratro. Hasil pengamatan bobot biji per plot yang tidak berbeda (P< 0,05) pada penelitian ini juga berhubungan dengan bobot per 100 biji juga tidak berbeda nyata. Hal ini diduga ukuran biji nampaknya tidak dipengaruhi oleh
naungan karena kondisi naungan tanaman akan tetap mempertahankan fotosintesa. Menurut SOPANDIE et al. (2003) dalam DJUKRI dan PURWOKO (2003) pada kondisi kekurangan cahaya, tanaman berupaya untuk mempertahankan agar fotosintesis tetap berlangsung dalam kondisi intensitas cahaya rendah sehingga tidak berpengaruh pada produksi biji dan ukuranya. Akan tetapi berpengaruh pada kualitas biji terutama daya kecambah seperti dalam (Tabel 4). Daya kecambah biji Siratro Intensitas cahaya berpengaruh terhadap daya kecambah, kecepatan tumbuh dan indeks vigor biji siratro pada pengambilan ke 3 dan ke 4. daya kecambah tertinggi dicapai pada intensitas cahaya 80% dan terendah pada intensitas cahaya 60%. Kecepatan tumbuh maupun indeks vigor biji tertinggi dicapai pada intensitas cahaya 80%. Daya kecambah tertinggi pada pengambilan ke 4, dicapai pada intensitas cahaya 80%, dan terendah pada intensitas cahaya 40%. Begitupun dengan indeks vigor dan kecepatan tumbuh tertinggi dicapai pada intensitas cahaya 80%. Pada Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa kualitas biji siratro yang dihasilkan pada intensitas cahaya menurun kualitas juga cenderung menurun. Hal demikian terjadi adanya pengaruh cahaya sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimum terutama dalam
Tabel 3. Produksi biji Siratro pada intensitas cahaya yang berbeda Parameter Bobot polong (g/plot) Bobot biji (g/plot) Bobot brangkasan (g/plot) Bobot per 100 (g)
Intensitas cahaya relatif 100
80 ab
19,88
27,25
60 a
10,59
40 b
13,62b
6,97
8,60
4,18
5,54
ab
a
b
8,08b
12,91
18,65
6,42
1,26
1,12
0,93
1,20
103,33ab
146,00a
64,00b
66,00b
Jumlah biji
518,67
754,33
341,00
452,33
Biji/polong
4,50
3,07
3,35
5,59
Jumlah polong
% Polong hampa
16,16
7,77
13,35
12,86
% Polong bernas
83,84b
92,23a
76,65c
87,14ab
Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
449
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 4. Daya kecambah, kecepatan tumbuh relatif, dan indeks vigor biji Siratro pada pengambilan ke-3 dan ke-4 Intensitas cahaya relatif Parameter
Rataan
100
80
60
40
54,00b
68,00a
45,00c
50,00bc
ab
a
ab
Pengambilan ke-3 Daya kecambah KCT
10,82
Indeks Vigor
12,35
9,76
8,76
54,25
b
10,42
43,00
46,00
42,00
33,00
41,00
Daya kecambah
57,00a
66,00a
30,67b
12,00c
41,42
KCT
11,22a
12,10a
7,65b
3,23c
8,55
Indeks Vigor
41,00ab
47,00a
29,00b
12,00c
32,25
Pengambilan ke-4
KCT: kecepatan tumbuh; Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
penyerapan unsur hara sehingga berpengaruh pada hasil panen biji. Menurut DE DATTA (1981) dalam SYAHBUDDIN et al. (1999) bahwa serapan hara oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh intensitas radiasi surya, suhu udara dan suhu tanah. Akibat pengaruh serapan hara maka mempengaruhi kualitas benih seperti yang dikemukakan FOTH (1988) dalam SYAHBUDDIN et al. (1999) bahwa radiasi surya merupakan faktor utama yang berperan dalam proses pertumbuhan tanaman sebagai komponen utama maupun sebagai pemasok energi untuk fotosintesis, pelarut dan pembawa unsur hara dari tanah N, P dan K. Kekurang mampuan tanaman memanfaatkan unsur tersebut menyebabkan pertumbuhan dan komponen hasil terganggu.
Hasil analisa hara tanah Hasil analisa tanah pada lokasi penelitian sebelum dan setelah ditanami Siratro tertera pada Tabel 5. Hasil analisa tanah menunjukkan bahwa sebelum ada tanaman siratro kondisi tanah asam dengan rata-rata pH 5,4 kemudian setelah penanaman pada tahun kedua telah meningkat menjadi 6. Dengan adanya kenaikan pH menyebabkan hara yang tersedia dapat dimanfaatkan tanaman secara optimal. Karena dengan pH rendah seperti yang dilaporkan dari PUSLITANAK (1994) bahwa tanah yang memiliki nilai pH H2O antara 4,5 – 5,5 tergolong tanah masam, sehingga penyerapan hara terganggu.
Tabel 5. Hasil analisa hara tanah sebelum dan setelah ditanam Siratro pada intensitas cahaya berbeda Bahan organik
pH
Perlakuan intensitas cahaya H2O
KCl
N (%)
Hara tanah ppm/100 gram P
K
Ca
Kondisi tanah awal
5,4
4,3
0,14
0,7
33
850
100
6,0
4,5
0,17
2,8
54
1000
80
6,0
5,0
0,18
2,4
149
1226
60
6,0
4,9
0,17
1,1
124
1247
40
6,1
4,9
0,13
0,7
29
1261
450
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Penggunaan Siratro pada percobaan ini nampaknya telah menaikan nilai pH tanah dari rata-rata 5,4 (awal percobaan) menjadi 6,03 atau naik sebesar 11,67%. Selain menaikan nilai pH juga ketersediaan unsur hara N, P, K dan Ca pada perlakuan intensitas cahaya 100, 80 dan 60% rata-rata N dari 0,14 menjadi 0,18, P dari 0,7 menjadi 2,8., K dari 33 mg/100 g menjadi 149 mg/100 g. Sedangkan pada taraf intensitas cahaya 40% kandungan N, P dan K cenderung tidak ada kenaikan. Hal ini terjadi disebabkan pada intensitas cahaya 40% tanaman menerima cahaya berkurang sehingga proses fotosintesis terhambat dan pertumbuhan tanaman yang tidak optimal. Hal demikian berpengaruh pada serapan hara pada intensitas cahaya 40% rendah. Hasil yang sama juga diperoleh SYAHBUDIN et al. (1999) pada tanaman kedelai yang mendapat intensitas cahaya 100% serapan N, P dan K tertinggi dengan hasil yang tertinnggi dibandingkan dengan pada intensitas cahaya 25% dan 67%. Ketersediaan N pada intensitas cahaya 100, 80 dan 60% rata-rata lebih tinggi 23,8% dibandingkan dengan tanah awal percobaan. Hal demikian karena penggunaan jenis Siratro telah mampu mengikat N2 dari udara sehingga menyebabkan lebih tinggi. Sedangkan pada perlakuan intensitas cahaya 40% terjadi penurunan dari rata-rata nilai N 0,14 menjadi 0,13 pada akhir percobaan. Hasil demikian nampaknya proses fiksasi tanaman Siratro dengan bakteri Rhizobium tergannggu. Menurut CATCHPOOLE (1988) salah satu fungsi utama dari cahaya pada pertumbuhan tanaman adalah untuk menggerakkan proses (mesin) fotosintesis dalam pembentukan karbohidrat. Proses ini sesungguhnya penting, tidak hanya untuk pertumbuhan tanaman itu sendiri, tetapi juga untuk kelangsungan hidup organisme yang tergantung pada bahan organik sebagai sumber bahan makanan atau energi. KESIMPULAN Ketebalan penutupan tanaman Siratro berkisar 15 – 16 cm dengan menutup tanah 60%. Produksi biji Siratro dipengaruhi intensitas cahaya. Pada intensitas cahaya 100 dan 80% hasil biji maupun kualitas lebih tinggi kemudian diikuti 60 dan 40% dari panen pertama sampai panen keempat. Daya
kecambah pada intensitas cahaya 80% yaitu 67%, tertinggi dan terendah pada intensitas cahaya 40% yaitu 31%. Ketersediaan hara tanah pada kondisi ternaungi juga ada peningkatan 11,67% kandungan N, P, K dan Ca setelah dua tahun pertumbuhan Siratro pada intensitas cahaya 100, 80 dan 60%. DAFTAR PUSTAKA CONGDON, B. and H. ADDISON. 2003. Optimising nutrition for productive and suistainable farm forestry system. Pasture legumes under shade. A report. Rural Industries Research and Development Coorporation, RIRDC, Kingston. CAHYONO, A., K. SATOSHI, T. HIROTO, O. KARYANTO and H. KIKUO. 2002. Legume cover crop as a soil amendment in short root a plantation of tropical forest. http:// www.google.com/calopogonium. (4 Agustus 2008) CATCHPOOLE, D.W. 1988. The contribution of tree legumes to the nitrogen economy and forage production in the humid tropic. A thesis submitted for the degree of Doctor of philophy. University of New England DJUKRI dan B.S. PURWOKO. 2003. Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi tanaman talas (Colocasia esculenta L.) Schott. Ilmu Pertanian 10(2): 17 – 25. ERIKSEN, F. and S. WHITNEY. 1982. Effect of light intensity on growth of some tropical forages spesies. Interaction of light intensity and Nitrogen fertilisation on six forage grasses. Agronomy J. 73: 427 – 433. HOPKINSON, J.M. 1985. Seed production tropical species. In Forages in South East Asian and South Pacific Agriculture. ACIAR Proc. No. 12 pp. 188 – 192. ISTA (International Seed Testing Association). 2005. International Rules for Seed Testing. 2005. MUSYAROFAH, N.; S. SUSANTO; A.A. AZIZ dan S. KARTOSOEWARNO. 2006. Respon Tanaman Pegagan (Centella asiatica L. Urban) terhadap Pemberian Pupuk Alami di Bawah Naungan. Tesis S2. Fakultas Agronomi Institut Pertanian Bogor, Bogor. PUSLITTANAK. 1994. Laporan Teknis No. 7, versi 1 April 1994. LREP-II/C. Puslit Tanah dan Agroklimat.
451
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
SADJAD, S. 1974. Teknologi Benih dan Masalahmasalahnya. Pros. Kursus Singkat Pengujian Benih. Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 112 – 133. SYAHBUDIN, H., Y. APRIYANA, N. HERYANI, .S DARMIYATI dan I. LAS. 1999. Serapan hara nitrogen, fosfor, dan kalium tanaman kedelai di rumah kaca pada Taraf intensitas radiasi surya dan kadar air tanah latosol. J. Tanah dan Iklim.
452
SKERMAN, P.J. 1977. tropical forage legume . food and Agriculture Organization of the United Nation, Rome WONG, C.C. 1991. Shade Tolerance of Tropical Forages: A Review. Proc. of a workshop Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR); Bali, 27 – 29 Juni 1990. Canberra. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). pp. 64 – 69.