PRODUKSI KOPI SECARA ENZIMATIS MENGGUNAKAN BAKTERI PROTEOLITIK DAN KOMBINASI BAKTERI SELULOLITIK DAN XILANOLITIK DARI LUWAK
SKRIPSI
HAZIRUR ROHMAN F34080024
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PRODUCTION OF ENZYMATIC COFFEE USING PROTEOLYTIC BACTERIA AND COMBINATION OF CELLULOLYTIC AND XYLANOLYTIC BACTERIA FROM CIVET Hazirur Rohman, Erliza Noor and Anja Meryandini Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 122, Bogor, West Java, Indonesia. e-mail :
[email protected]
ABSTRACT Civet coffee is a commercial coffee produced from in vivo by civet. The production of civet coffee is rely on the availability and sustainability of civet life cycles. The purpose of this research was to produces civet like coffee by solid substrate fermentation. Coffee pulp (60 mesh) used as a media growth of bacteria and produced enzyme which used by coffee beans. The substrate of fermentation added inoculum at 10% (wet basis) and fermented for 4 days at 30oC and 37oC. Inoculum using a single bacteria (proteolytic), a mix between cellulolytic and xylanolytic bacteria, and a mix between proteolytic, cellulolytic, and xylanolytic bacteria. Data measured were reducing sugar, total sugar, protein content and enzyme activity daily. Coffee beans from the best fermentation for each treatment analyzed by HPLC. Fermentation using proteolytic bacteria shown best performance at 37oC for one day incubation, fermentation using a mix cellulolytic and xylanolytic bacteria at 30oC after three days incubation and the combination of three bacteria similar to using combination of two bacteria. Quality of fermented coffee based on organic acids and caffeine content equivalent to the original civet coffee. For all treatments was lower caffeine contents than civet coffee. Organic acids in fermented coffee shown higher lactate, butyrate, and ascorbate acids and lower oxalate acids. Fermented coffee has a better nutrition contents than original civet coffee. Keywords : enzymatic coffee, civet coffee, proteolytic bacteria, cellulolytic bacteria, xylanolytic bacteria, civet feces, coffee pulp, solid fermentation.
Hazirur Rohman. F34080024. Produksi Kopi Secara Enzimatis Menggunakan Bakteri Proteolitik dan Kombinasi Bakteri Selulolitik dan Xilanolitik Dari Luwak. Di bawah bimbingan Erliza Noor dan Anja Meryandini. 2013.
RINGKASAN Kopi yang berkembang di Indonesia ada dua macam, yaitu varietas robusta dan arabika. Kopi robusta berasal dari tanaman Coffea canephora, sedangkan kopi arabika berasal dari tanaman Coffea arabica. Selain kedua jenis kopi tersebut, di Indonesia juga terdapat jenis pengolahan kopi lain yaitu kopi luwak. Kopi Luwak adalah produk kopi komersial yang diproduksi dari biji kopi yang difermentasi secara in vivo di dalam saluran pencernaan luwak dan dikeluarkan kembali sebagai biji tidak tercerna di dalam feses. Produksi kopi luwak bergantung pada ketersediaan dan keberlangsungan hidup luwak. Masalah dalam penggunaaan luwak adalah populasi luwak di alam bebas sudah sangat menurun sedangkan kopi luwak memiliki harga yang cukup tinggi di pasaran internasional. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk mensintesis kopi luwak dalam jumlah yang besar tanpa menggunakan luwak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah fermentasi secara in vitro menggunakan bakteri yang berasal dari feses luwak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan kondisi optimum (kombinasi bakteri, suhu dan waktu inkubasi) dalam menghidrolisis kulit kopi dan mendapatkan kualitas biji kopi yang setara dengan kopi luwak berdasarkan asam-asam organik dan kadar kafein. Penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu memilih bakteri proteolitik terbaik yang akan digunakan. Pemilihan berdasarkan aktivitas enzim bakteri. Produksi kopi luwak secara enzimatis dilakukan secara fermentasi media padat menggunakan bakteri dari feses luwak. Kombinasi bakteri yang digunakan pada setiap fermentasi adalah bakteri tunggal proteolitik (FLp1), kombinasi antara bakteri selulolitik (FLs1) dan xilanolitik (FLx3) dan kombinasi antara bakteri proteolitik (FLp1), selulolitik (FLs1), dan xilanolitik (FLx3). Fermentasi dilakukan dengan perlakuan suhu yang berbeda yaitu 30oC dan 37oC selama 4 hari. Setiap 24 jam dilakukan pengukuran perubahan bobot, kadar gula pereduksi, kadar gula total, kadar protein terlarut, dan aktivitas enzim. Biji kopi dari perlakuan terbaik dilakukan pengukuran kadar asam organik dan kadar kafein menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Bakteri proteolitik FLp1 memiliki aktivitas enzim lebih tinggi dibandingkan FLp2 yaitu sebesar 1.4 unit/ml. yang diproduksi pada jam ke-24, maka isolat FLp1 digunakan dalam produksi kopi luwak secara enzimatis bersama isolat FLx3 dan FLs1. Fermentasi kopi dengan menggunakan bakteri tunggal proteolitik yang diinkubasi pada suhu 37oC menghasilkan aktivitas enzim tertinggi pada hari pertama yaitu sebesar 1.12 unit/ml dan mempunyai kemampuan menghidrolisis substrat lebih baik dibandingkan suhu 30oC, hal ini dapat dilihat dari kandungan protein terlarutnya yang lebih tinggi sebesar 0.07 mg/ml dan penyusutan bobot sebanyak 28.3%. Fermentasi kopi menggunakan kombinasi antara bakteri selulolitik dan xilanolitik yang diinkubasi pada suhu 30oC menghasilkan aktivitas enzim tertinggi yaitu sebesar 2.26 nkat/ml yang dihasilkan selama tiga hari inkubasi dan mempunyai kemampuan menghidrolisis substrat yang lebih baik dibandingkan pada suhu inkubasi 37oC, hal ini dapat dilihat dari gula pereduksi dan total gula
yang tinggi, masing-masing sebesar 25.8 mg/ml dan 1492 mg/ml dan penyusutan bobot sebanyak 46.8%. Fermentasi kopi menggunakan kombinasi antara bakteri proteolitik, selulolitik, dan xilanolitik yang diinkubasi pada suhu 30oC juga menghasilkan aktivitas enzim selulase dan xilanase tertinggi yaitu sebesar 1.84 nkat/ml yang dihasilkan selama tiga hari inkubasi dan aktivitas enzim protease sebesar 1.45 unit/ml yang diproduksi pada hari pertama serta mempunyai kemampuan menghidrolisis substrat yang lebih baik dibandingkan pada suhu inkubasi 37oC, hal ini dapat dilihat dari gula pereduksi dan total gula yang tinggi, masing-masing sebesar 40.8 mg/ml dan 1544 mg/ml dan penyusutan bobot sebanyak 50.3%. Diantara ketiga kombinasi bakteri, fermentasi menggunakan kombinasi antara FLp1, FLx3, dan FLs1 mempunyai kemampuan menghidrolisis substrat lebih baik dibandingkan dengan bakteri tunggal dan kombinasi antara bakteri FLx3 dan FLs1. Kondisi terbaik dalam fermentasi kopi yaitu pada suhu 30oC yang diinkubasi selama tiga hari. Biji kopi enzimatis pada kondisi terbaik diuji kandungan kafein dan asam organiknya menggunakan HPLC. Kandungan kafein pada biji kopi enzimatis dari semua perlakuan lebih rendah dibandingkan kopi luwak asli. Hal ini menandakan biji kopi enzimatis lebih baik daripada kopi luwak dikarenakan semakin tingginya kandungan kafein dapat membahayakan kesehatan. Asam-asam organik yang terkandung dalam biji kopi hasil fermentasi menunjukkan asam laktat, butirat, dan askorbat yang tinggi serta asam oksalat yang rendah. Kopi hasil fermentasi memiliki kandungan nutrisi yang setara dengan kopi luwak.
PRODUKSI KOPI SECARA ENZIMATIS MENGGUNAKAN BAKTERI PROTEOLITIK DAN KOMBINASI BAKTERI SELULOLITIK DAN XILANOLITIK DARI LUWAK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: HAZIRUR ROHMAN F34080024
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama NRP
: Produksi Kopi Secara Enzimatis Menggunakan Bakteri Proteolitik dan Kombinasi Bakteri Selulolitik dan Xilanolitik Dari Luwak : Hazirur Rohman : F34080024
Menyetujui,
Pembimbing Akademik I
Pembimbing Akademik II,
(Prof. Dr. Ir. Erliza Noor) NIP. 19600201 198703 2 002
(Prof. Dr. Anja Meryandini, M.S.) NIP. 19620327 198703 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir Nastiti Siswi Indrasti) NIP 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Produksi Kopi Secara Enzimatis Menggunakan Bakteri Proteolitik dan Kombinasi Bakteri Selulolitik dan Xilanolitik Dari Luwak adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Yang membuat pernyataan
Hazirur Rohman F34080024
© Hak Cipta milik Hazirur Rohman, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1990 di Pekon Sukapadang Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus, Lampung. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Ai’roni dan Siti Haidaroh. Pendidikan dasar penulis dimulai pada tahun 1996 di SDN 1 Sukapadang, kemudian tahun 1999 melanjutkan pendidikan dasarnya di SDN 1 Sukarame. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2005, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Bandar Lampung sampai tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada Bulan Juni 2011, penulis melakukan praktik lapangan di Pabrik Gula Krebet Baru II Malang dengan judul “ Mempelajari Proses Produksi dan Pemanfaatan Biomassa di PT.PG Rajawali I Pabrik Gula Krebet Baru II Malang “.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmatNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penelitian dengan judul Produksi Kopi Secara Enzimatis Menggunakan Bakteri Proteolitik dan Kombinasi Bakteri Selulolitik dan Xilanolitik Dari Luwak dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Medis, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (PPSHB IPB), Laboratorium Bioindustri Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Mikrobiologi SEAFAST Centre IPB dari bulan April-September 2012. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini penulis telah mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1.Allah SWT. Atas kesehatan dan kemudahan yang diberikan dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi. 2.Prof. Dr. Ir. Erliza Noor dan Prof. Dr. Anja Meryandini, M.S selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan serta bimbingan selama penelitian dan penulisan skripsi. 3.Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku penguji yang banyak memberi masukan untuk penyempurnaan skripsi 3.Kedua orang tua dan saudara-saudara penulis atas segala doa dan motivasi yang telah diberikan selama proses penelitian dan penulisan skripsi. 4.Ibu Dewi dan Teh pipit selaku laboran laboratorium bioteknologi hewan yang telah banyak membantu selama proses penelitian 5.Laboran laboratoriun TIN yang telah membantu penulis selama penelitian. 6.Teman-teman seperjuangan selama penelitian di laboratorium bioteknologi hewan (Siti, Anton, Kak Pandu, Teh Ukit, Mbak Ike, Mbak Eka, Kak Janet, Kak Salem, Mbak Tia) atas semangat, kebersamaan dan bantuannya. 7.Anastasia, Trio, Angga, Rida, Icha, Alya, Fika, Ika Marla, Derbie, Wa hesty, Yuyun, Melisa yang selalu memberikan semangat serta dukungan moril kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 8.Teman-teman seperjuangan Teknologi Industri Pertanian angkatan 45 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini. 9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari tulisan ini masih memerlukan saran dan kritik yang membangun dalam penyempurnannya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi banyak pihak serta turut mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang Teknologi Industri Pertanian.
Bogor,
Hazirur Rohman
i
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. iv DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................................. v I. PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1 1.2 Tujuan.............................................................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 3 2.1 Kopi ................................................................................................................................. 3 2.2 Kopi Luwak ..................................................................................................................... 5 2.3 Enzim .............................................................................................................................. 7 2.3.1 Enzim Protease ....................................................................................................... 8 2.3.2 Enzim Selulase ....................................................................................................... 9 2.3.3 Enzim Xilanase....................................................................................................... 11 24 Fermentasi Padat ............................................................................................................... 11 III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................................... 13 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................................... 13 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................................................. 13 3.3 Tahapan Penelitian ........................................................................................................... 13 3.3.1 Tahap Pendahuluan .................................................................................................. 13 3.3.2 Tahap Utama ............................................................................................................ 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................ 17 4.1 Tahap pendahuluan........................................................................................................... 17 4.1.1 Pemilihan Bakteri Proteolitik Terbaik ....................................................................... 17 4.1.2 Analisis Bahan Baku ................................................................................................ 19 4.2 Tahap Utama .................................................................................................................... 20 4.2.1 Aktivitas Enzim Pada Substrat Kulit Kopi ................................................................. 20 4.2.2 Kadar Protein dan Aktivitas Enzim Spesifik .............................................................. 23 4.2.3 Total Gula dan Gula Pereduksi ................................................................................. 24 4.2.4 Susut Bobot .............................................................................................................. 26 4.3 Perlakuan Terbaik Fermentasi........................................................................................... 27 4.4 Pengujian Kualitas Biji Kopi Menggunakan HPLC ........................................................... 28 V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................. 33 5.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 33 5.2 Saran................................................................................................................................ 33 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 34 LAMPIRAN .............................................................................................................................. 37
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7.
Halaman Komposisi kimia pulp kopi ......................................................................................... 4 Komponen organik pada pulp kopi ............................................................................. 4 Komposisi kimia kopi arabika dan robusta .................................................................. 4 Komposisi kimia substrat buah kopi ........................................................................... 20 Aktivitas enzim spesifik pada suhu 30oC dan 37oC selama empat hari inkubasi ............ 24 Hasil pengujian pada fermentasi dengan perlakuan terbaik dalam substrat kulit kopi .... 28 Hasil uji biji kopi yang difermentasi pada kondisi terbaik menggunakan HPLC ............ 29
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Penampang membujur buah kopi.......................................................................... 3 Gambar 2. Mekanisme hidrolisis selulosa secara enzimatis .................................................... 10 Gambar 3. Mekanisme kerja ketiga enzim selulase ................................................................ 10 Gambar 4. Kurva pertumbuhan dan aktivitas enzim bakteri proteolitik pada media skim 1% yang diinkubasi pada suhu 30oC ..................................................................... 17 Gambar 5. Kadar protein dan aktivitas spesifik bakteri proteolitik dalam media susu skim 1% pada suhu 30oC ............................................................................................. 19 Gambar 6. Aktivitas enzim protease dalam substrat kulit kopi pada suhu 30 dan 37oC ............ 21 Gambar 7. Aktivitas enzim selulase dan xilanase dalam media kulit kopi pada suhu 30 dan 37oC ............................................................................................................. 22 Gambar 8. Kadar protein terlarut selama empat hari inkubasi dalam substrat kulit kopi pada suhu 30oC dan 37oC……………………………………………………………… 23 Gambar 9. Total gula dan gula pereduksi pada fermentasi menggunakan bakteri tunggal dalam media kulit kopi pada suhu 30oC dan 37oC ................................................. 25 Gambar 10. Total gula dan gula pereduksi pada fermentasi menggunakan kombinasi dua spesies bakteri dalam media kulit kopi pada suhu 30oC dan 37oC .......................... 25 Gambar 11. Total gula dan gula pereduksi pada fermentasi menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri dalam media kulit kopi pada suhu 30oC dan 37oC .......................... 26 Gambar 12. Susut bobot kulit kopi pada suhu 30oC dan 37oC selama empat hari fermentasi ..... 27 Gambar 13. Penurunan kadar kafein pada kopi hasil fermentasi dan kopi luwak....................... 29 Gambar 14. Metabolisme glukosa, protein dan lemak dalam pembentukan asam laktat dan butirat ........................................................................................................... 31 Gambar 15. Pembentukan asam askorbat dari glukosa melalui jalur glukuronat ....................... 31
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9.
Halaman Prosedur analisis proksimat .............................................................................. 38 Komposisi media yang digunakan..................................................................... 40 Prosedur analisis parameter .............................................................................. 41 Prosedur pengujian aktivitas enzim ................................................................... 43 Pengujian kadar protein dengan metode Bradford (1976) dan aktivitas spesifik . 45 Hasil pengujian aktivitas enzim, kadar protein dan aktivitas spesifik.................. 46 Hasil pengujian kadar gula pereduksi, total gula dan susut bobot ....................... 47 Hasil pengujian kadar kafein dan asam organik pada kopi hasil fermentasi ........ 48 Hasil pengujian kadar kafein pada kopi luwak dan kopi arabika .......................... 49
v
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan Indonesia. Produk tanaman kopi yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah bijinya. Biji kopi diolah menjadi minuman yang mengandung kafein, yang dalam dosis rendah mampu mengurangi rasa lelah dan membuat pikiran menjadi segar. Sifat kopi yang berperan sebagai perangsang (stimulant) membuat kopi digemari oleh banyak orang. Kopi bersifat mengganggu kesehatan jika dikonsumsi dalam jumlah yang terlalu besar. Koswara (2006) menjelaskan bahwa pada jumlah yang terlalu tinggi, kafein berdampak negatif karena mempengaruhi sistem saraf pusat, sistem pernafasan, otot, pembuluh darah, jantung, dan ginjal pada manusia dan hewan. Sebagai penghasil minuman penyegar, jenis kopi yang lazim diperdagangkan ada dua jenis, yaitu kopi robusta dan arabika. Kopi robusta berasal dari tanaman Coffea canephora, sedangkan kopi arabika berasal dari tanaman Coffea arabica. Selain kedua jenis kopi tersebut, di Indonesia juga terdapat jenis kopi lain yaitu kopi luwak. Kopi luwak tidak berasal dari spesies kopi khusus, namun berasal dari kotoran hewan luwak. Kopi luwak merupakan kopi yang diproduksi dari biji kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak. Indonesia merupakan negara pertama penghasil kopi luwak yang sudah di kenal di dunia. Luwak merupakan hewan menyusui (mamalia) yang hidup nocturnal atau aktif di malam hari dengan habitat pepohonan. Luwak termasuk genus paradoxurus dan family Viverrideae yang memakan hewan peliharaan seperti ayam, bebek, kelinci, dan marmot. Selain itu, luwak juga memakan buah-buahan yang memiliki rasa manis (Panggabean, 2011b). Kopi luwak memiliki harga yang cukup tinggi di pasar internasional. Kopi luwak Indonesia kebanyakan di ekspor karena pasar global masih terbuka luas. Pemasaran global kopi luwak mendatangkan devisa yang besar bagi negara jika mampu melaksanakan dalam jumlah yang besar. Pengusahaan kopi luwak dalam jumlah besar juga mampu meningkatkan taraf hidup produsen, karena tingginya harga jual. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk mensintesis kopi luwak dalam jumlah yang besar. Dengan semakin besarnya permintaan akan kopi luwak, produsen tidak dapat mengharapkan produksi dari hewan liar, sehingga kini mulai berkembang usaha budidaya luwak untuk memproduksi kopi luwak. Teknik ini dapat meningkatkan kapasitas produksi dibandingkan hanya mengharapkan dari feses luwak liar. Namun budidaya luwak memiliki beberapa kelemahan, antara lain biaya produksi menjadi mahal, mengingat di luar musim panen kopi, luwak tetap memerlukan biaya pakan dan dapat mengancam kelestarian luwak buah di alam. Usaha eksploitasi di alam tidak bisa terusmenerus dilakukan, karena selain jumlah produksinya tidak bisa diramalkan, populasi luwak juga sudah mulai langka . Selain itu luwak hanya mampu memakan 0.88 – 1.15 kg kopi gelondong perhari, dan menghasilkan 2 ons biji kopi kering (Javakopiluwak, 2009). Kendala lain dalam produksi kopi luwak adalah asal kopi yang merupakan kotoran luwak. Meskipun kopi luwak dikatakan memiliki cita rasa yang sangat tinggi, beberapa orang meragukan status kehalalannya. Beberapa orang juga merasa jijik dengan asal kopi luwak. Dengan demikian, diperlukan suatu alternatif produksi kopi luwak yang mampu menjawab permasalahan produksi secara tradisional. Produksi kopi luwak harus bisa dilakukan dalam jumlah besar dengan metode yang lebih praktis dan status kebersihannya yang lebih terjaga. Salah satu upaya tersebut adalah dengan proses fermentasi secara in vitro menggunakan bakteri yang diisolasi dari feses luwak yang telah hidup pada
1
saluran pencernaan luwak. Bakteri yang digunakan yaitu bakteri terpilih yang meliputi bakteri selulolitik untuk menghidrolisis selulosa, bakteri xilanolitik untuk menghidrolisis hemiselulosa dan bakteri proteolitik untuk menghidrolisis protein. Dengan menggunakan bakteri yang telah diisolasi dan didukung dengan bahan baku yang terseleksi diharapkan akan diperoleh kopi dengan cita rasa yang mendekati cita rasa kopi luwak asli.
1.2 TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mendapatkan kondisi optimum fermentasi padat kopi (kombinasi bakteri, suhu dan waktu) menggunakan bakteri hasil isolasi. 2. Mendapatkan kualitas biji kopi yang setara dengan kopi luwak berdasarkan kadar kafein dan asamasam organiknya.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KOPI Tanaman kopi termasuk dalam famili Rubiaceae dan terdiri atas banyak jenis antara lain kopi arabika, kopi robusta dan kopi liberika. Negara asal tanaman kopi adalah Abessinia yang tumbuh di dataran tinggi. Tanaman kopi jenis arabika di Indonesia didatangkan oleh Belanda dari Malabar (India) sekitar tahun 1696-1699 dan ditanam di sekitar Jakarta. Jenis kopi arabika tersebar ke seluruh pulau Jawa sampai tahun 1880 dan dinamakan kopi jawa (Ridwansyah, 2003). Buah kopi muda memiliki warna hijau sedangkan buah kopi yang sudah masak memiliki warna merah dan sebagian warna kuning. Biji kopi pada umumnya terdapat satu pasang pada satu buah, namun terkadang ada yang masih mempunyai satu biji setiap buahnya. Biji kopi berbentuk cembung pada punggungnya dan bidang datar pada perutnya (Ridwansyah, 2003). Jenis kopi yang banyak dibudidayakan yakni kopi arabika dan robusta. Sementara itu, ada juga jenis kopi liberika yang merupakan perkembangan dari jenis robusta. Awalnya, jenis kopi yang dibudidayakan di Indonesia adalah arabika. Kopi jenis arabika sangat baik ditanam di daerah ketinggian 1000-2100 meter di atas permukaan laut. Semakin tinggi lokasi perkebunan kopi, cita rasa yang dihasilkan oleh biji kopi akan semakin baik. Karena itu perkebunan kopi arabika hanya terdapat di daerah tertentu diantaranya Sumatera Utara (Tapanuli Utara, Karo, Mandailing), Aceh, Lampung dan beberapa provinsi di Sulawesi, Jawa dan Bali (Panggabean, 2011a). Kopi robusta digolongkan lebih rendah mutu cita rasanya dibandingkan kopi arabika. Hampir seluruh produksi kopi robusta di seluruh dunia dihasilkan secara kering. Kopi robusta memiliki kelebihan yaitu lebih kental dan warnanya yang lebih kuat (Siswoputranto, 1992). Kopi arabika adalah kopi yang paling baik mutu dan cita rasanya. Ciri-ciri kopi arabika adalah biji picak dan daun hijau tua berombak-ombak. Jenis-jenis kopi yang termasuk golongan arabika adalah abesinia, pesumah, marago dan cogenesis. Kopi liberika berasal dari Angola dan masuk ke Indonesia sejak tahun 1965. Meskipun sudah cukup lama penyebarannya tetapi hingga saat ini jumlahnya masih terbatas karena kualitas buah yang kurang bagus dan rendemennya rendah (Najiyati dan Danarti, 1997). Menurut Ridwansyah (2003), buah kopi terdiri atas tiga bagian yaitu lapisan kulit luar (exocarp) yang berwana hijau ketika masih muda dan berubah menjadi kuning terus menjadi merah, lapisan daging (mesocarp) yang berwarna putih serta memiliki rasa yang agak manis, dan lapisan kulit tanduk (endocarp) merupakan kulit ari yang membungkus biji kopi. Buah kopi terdiri atas beberapa bagian (Gambar 1). Keterangan : 1. Lapisan kulit luar (exocarp) 2. Lapisan daging (mesocarp) 3. Lapisan kulit tanduk (endocarp) 4. Kulit ari 5. Biji kopi Gambar 1. Penampang membujur buah kopi (Braham dan Bressani, 1979)
3
Pada kopi arabika, persentase bagian buah kopi adalah pulp (26,5%), mucilage (13.7%), kulit tanduk (10%), dan biji kopi (50%) (Braham dan Bressani, 1979). Kulit luar buah (pulp) merupakan lapisan yang tipis dengan ketebalan sekitar 5 mm. Kulit luar ini berwarna hijau pada kopi yang masih muda, kemudian berangsur-angsur berubah menjadi hijau kuning, kuning, dan akhirnya menjadi merah sampai merah hitam jika buah telah masak sekali. Dalam keadaan yang telah masak, daging buah berlendir dan rasanya agak manis (Ciptadi dan Nasution, 1985). Komposisi kimia pulp kopi dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan Tabel 2 menunjukkan kandungan komponen organik pulp kopi. Tabel 1. Komposisi kimia pulp kopi Komponen
Segar Kering (%) (%) Kadar air 76.70 12.6 Ethet Extract 0.48 2.5 Serat kasar 3.40 21.5 Protein kasar (N x 6.25) 2.10 11.5 Abu 1.50 8.3 Nitrogen –free extract 15.80 49.2 Sumber : Braham dan Bressani (1979) Tabel 2. Komponen organik pada pulp kopi Komponen
Persentase berat kering (%) Tanin 1.80-8.56 Senyawa pectin 6.5 Gula reduksi 12.4 Gula non reduksi 2.0 Kafein 1.3 Asam khlorogenat 2.6 Asam kafeat 1.6 Sumber : Braham dan Bressani (1979) Komposisi kimia biji kopi berbeda-beda, tergantung tipe kopi, tanah tempat tumbuh, dan pengolahan biji kopi. Kandungan kimia kopi arabika dan robusta terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia kopi arabika dan robusta Komponen Kafein Trigonellin Asam-asam karboksilat Asam amino bebas Total asam amino Asam klorogenat Total lemak Mineral Karbohidrat Sumber : Ellias (1979)
Arabika (%) 1.2 1 1-3.1
Robusta (%) 2.4-3.5 0.7 0.7-3.5
0.5 10.3 7.1 13-17 4.2 58.9
0.8 10.3 10.3 7-15 4.4 60.8
Komposisi yang terpenting pada biji kopi adalah kafein yang berfungsi sebagai perangsang dan kaffeol sebagai unsur flavor dan aroma. Pada penyangraian bagian kafein berubah menjadi kaffeol dengan jalan sublimasi. Sublimasi merupakan perubahan wujud dari zat padat menjadi gas atau
4
sebaliknya. Kafein merupakan salah satu zat yang dapat menyublim. Kafein memiliki titik leleh pada suhu 238oC dan mengalami sublimasi pada suhu 178oC. Kafein mempunyai rasa pahit, warna putih dan merupakan alkaloid yang penting dalam bidang obat-obatan sebagai bahan perangsang. Gula pada biji kopi terdiri dari galaktosa, manosa, dan pentosa yang kadarnya 5% pada kopi beras dan 3% pada kopi sangrai. Kopi juga mengandung berbagai macam vitamin yang jumlahnya berbeda pada bermacam-macam jenis kopi (Almada, 2009). Pengolahan kopi dikenal ada dua cara yaitu pengolahan cara basah dan cara kering. Perbedaan pokok dari kedua cara pengolahan ini terlihat pada cara pengolahan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari. Pada pengolahan cara kering, pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah buah kering, sedangkan pada pengolahan cara basah pengupasan daging buah dilakukan sewaktu buah masih basah. Tahap proses pengolahan kopi bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulitnya dan pengeringan dengan kadar air 10-13%. Biji kopi kering dengan kadar air lebih dari 13% akan mudah diserang kapang sehingga dapat menurunkan mutu biji kopi dimana nantinya produk kopi bubuk mempunyai rasa asam dan aroma apek (Setyohadi, 2007). Menurut Irwanto et al (2001), pengolahan basah dilakukan dengan cara fermentasi maupun tanpa fermentasi. Kopi yang dihasilkan biasanya sudah tidak mengandung lendir. Pengolahan kopi dengan cara ini biasanya dilakukan oleh perkebunan besar. Kopi yang dihasilkan dari pengolahan basah biasanya disebut kopi WIB (West Indische Bereiding). Pengolahan kering biasanya dilakukan oleh petani kopi. Pengolahan kering dilakukan dengan cara menjemur biji kopi, dilanjutkan dengan pengupasan kulit dan penyortiran (Ridwansyah, 2003)
2.2 KOPI LUWAK Indonesia adalah negara pertama yang dikenal sebagai negara asal kopi luwak. Kopi luwak merupakan kopi yang bahan bakunya berasal dari kotoran (feses luwak). Menurut para penikmat kopi, kopi luwak memiliki rasa lebih enak dari kopi biasa. Hal ini disebabkab beberapa keistimewaan yang dimiliki kopi luwak. Keistimewaan kopi luwak berdasarkan Anonim (2010): a. Kopi luwak berasal dari biji kopi terbaik. Naluri luwak akan memilih biji kopi paling matang yang biasanya berwarna merah. Bisa dipastikan, 90 % biji kopi yang dihasilkan oleh hewan luwak adalah yang benar-benar matang, bukan yang mentah. Ini memberi keuntungan, karena pada kopi biasa kemungkinan ada pencampuran antara biji kopi yang mentah dan matang, yang tentunya bisa mengurangi kualitas kopi. b. Kopi luwak sudah mengalami proses fermentasi secara alami di dalam pencernaan luwak. Proses fermentasi alami dalam perut luwak memberikan perubahan komposisi kimia pada biji kopi dan dapat meningkatkan kualitas rasa kopi, karena selain berada pada suhu fermentasi optimal, juga dibantu dengan enzim dan bakteri yang ada pada pencernaan luwak. c. Kopi luwak mengandung kafein yang sangat rendah hanya sekitar 0,5 sampai dengan 1.5 %. d. Kopi luwak mengandung protein yang lebih rendah dan lemak lebih tinggi. Pada saat biji berada dalam sistem pencernaan luwak, terjadi proses fermentasi secara alami selama kurang lebih 10 jam. Kandungan protein kopi luwak lebih rendah ketimbang kopi biasa karena perombakan protein melalui fermentasi lebih optimal. Protein ini berperan sebagai pembentuk rasa pahit pada kopi saat disangrai sehingga kopi luwak tidak sepahit kopi biasa
5
karena kandungan proteinnya rendah. Komponen yang menguap pun berbeda antara kopi luwak dan kopi biasa. Terbukti aroma dan citarasa kopi luwak sangat khas. Proses terbentuknya feses luwak berupa gumpalan biji kopi dimulai saat kulit luar kopi yang sudah matang berwarna merah dimakan oleh luwak. Di dalam perutnya, buah kopi diuraikan oleh enzim proteolitik. Penelitian yang dilakukan oleh Massimo Marcone di Universitas Guelph, Ontario, Kanada menunjukkan bahwa sekresi endogen pencernaan hewan sejenis musang itu meresap ke dalam biji. Sekresi enzim proteolitik memecah kandungan protein yang terdapat pada biji kopi, sehingga peptida dan asam amino bebas menjadi meningkat. Perubahan jumlah protein dan asam amino bebas tersebut menghasilkan rasa yang unik. Sementara itu, proses pengolahan kopi berupa penyangraian menghasilkan reaksi mailard browning dari kandungan protein, asam amino, trigonelin, serotonin dengan karbohidrat, asam-asam hidroksilat, fenol dan lain sebagainya yang ada dalam biji kopi (Panggabean, 2011b). Selain perubahan protein, pada kopi yang difermentasi juga terjadi perubahan lignoselulosa. Lignoselulosa diubah oleh bakteri menjadi monosakarida seperti selulosa dan xilosa. Gula-gula sederhana ini yang akan berubah menjadi asam-asam organik yang memperngaruhi aroma dan citarasa kopi. Glukoa berkorelasi negatif terhadap tingakatan aroma, tetapi berkorelasi positif dengan kemanisan (sweetness). Selain itu juga terjadi perubahan kadar lemak, fermentasi pada pencernaan luwak akan meningkatkan kadar lemak kopi. Kandungan lemak yang tinggi akan membuat rasa kopi menjadi semakin enak. Lemak dan turunannya pada biji kopi diantaranya trigeliserida, asam lemak bebas, ester diterpen, diterpen bebas, triterpen, sterol, tokoferol, fosfatida dan turunannya. Lemak berperan penting dalam pembentukan body kopi (Panggabean, 2011b). Proses fermentasi alami dalam perut luwak memberikan perubahan komposisi kimia pada biji kopi dan dapat meningkatkan kualitas rasa kopi, karena selain berada pada suhu fermentasi optimal, juga dibantu dengan enzim dan bakteri yang ada pada pencernaan luwak. Karena itulah, aroma kopi luwak beda dengan kopi biasa. Kopi luwak mempunyai aroma yang khas. Selain itu rendahnya kadar kafein kopi luwak, dapat menciptakan kenikmatan dan aroma yang sangat harum atau dengan kata lain kopi tersebut menjadi murni. Aroma dari kopi yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh proses penyangraian biji kopi. Proses ini merupakan tahapan pembentukan aroma dan citarasa khas kopi dari dalam biji kopi dengan perlakuan panas. Biji kopi secara alami mengandung cukup banyak senyawa organik calon pembentuk citarasa dan aroma khas kopi. Pada penyangraian menurut Ukers dan Prescott dalam Ciptadi dan Nasution (1985) terjadi seperti swelling, penguapan air, tebentuknya senyawa volatil, karamelisasi karbohidrat, pengurangan serat kasar, denaturasi protein, terbentuknya gas 𝐶𝐶𝐶𝐶2 sebagai hasil oksidasi dan terbentuknya aroma yang khas pada kopi. Swelling selama penyangraian disebabkan karena terbentuknya gas-gas yang sebagian besar terdiri dari 𝐶𝐶𝐶𝐶2 kemudian gas-gas ini mengisi ruang dalam sel atau pori-pori kopi. Senyawa yang membentuk aroma di dalam kopi menurut Mabrouk dan Deatherage dalam Ciptadi dan Nasution (1985) adalah golongan fenol dan asam tidak mudah menguap yaitu asam kofeat, asam klorogenat, asam ginat dan riboflavin, golongan senyawa karbonil yaitu asetaldehid, propanon, alkohol, vanilin aldehid, golongan senyawa karbonil asam yaitu oksasuksinat, aseto asetat, hidroksi pirufat, keton kaproat, oksalasetat, mekoksalat, merkaptopiruvat, golongan asam amino yaitu leusin, iso leusin, variline, hidroksiproline, alanin, threonin, glisin dan asam aspartat, golongan asam mudah menguap yaitu asam asetat, propionat, butirat dan volerat. Berdasarkan sumbernya, kopi luwak dapat dibedakan menjadi dua yaitu kopi luwak yang berasal dari luwak liar (wild) dan kopi luwak yang berasal dari luwak penangkaran (Farming). Kopi
6
luwak liar merupakan biji kopi hasil feses luwak yang ditemukan di hutan atau sekitar perkebunan kopi secara bebas. Kopi luwak yang berasal luwak liar relatif lebih baik karena proses pemilihan buah kopi yang dikonsumsi luwak tidak dipaksakan sehingga proses tersebut berlangsung secara alami. Namun, kopi luwak liar yang tidak ditemukan dalam waktu yang lama menyebabkan kualitas kopi luwak cenderung menurun karena feses tersebut berisiko terkontaminasi dari berbagai bakteri dan virus yang dapat merusak biji kopi luwak. Solusi untuk mengatasi kelemahan kopi luwak liar adalah dengan menangkarkan luwak, sehingga diperoleh kopi luwak hasil penangkaran (Panggabean,2011b). Pengolahan kopi luwak hampir sama dengan teknik pengolahan kopi metode kering. Perbedaannya hanya saat proses pencucian biji kopi yang masih berkulit tanduk. Waktu pengumpulan atau panen kopi luwak tergantung pada penangkarnya, ada yang dilakukan satu kali sehari dan 2-3 hari sekali. Pengambilan feses dilakukan dengan menggunakan “garuk” lalu dikumpulkan di dalam suatu tempat atau tampah lalu dikeringkan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air hingga menjadi 16%. Setelah kering, feses luwak dibersihkan dari kotoran yang menempel. Pembersihan dilakukan berulang kali hingga yang tersisa hanya biji kopi berkulit tanduk. Biji kopi yang berkulit tanduk kembali dikeringkan sekitar 3-7 hari. Pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air. Setelah kering, kulit tanduk dikupas kemudian biji kopi beras dikeringkan untuk mengurangi kadar air hingga 13%. Setelah kering, kopi luwak di sortir untuk memisahkan biji kopi yang baik dan biji kopi yang kurang sempurna. Biji kopi luwak dapat dikemas untuk membantu memperpanjang daya tahan simpan kopi (Panggabean, 2011b).
2.3 ENZIM Enzim merupakan suatu kelompok protein yang berperan penting dalam proses aktivitas biologis. Secara umum enzim terdapat pada hewan, tumbuhan, dan mikroba. Enzim berperan sebagai katalisator pada sel dan sifatnya sangat khas. Sifat khas enzim disebabkan enzim hanya bekerja pada substrat tertentu dan dengan jenis reaksi tertentu. Suatu molekul enzim dapat kehilangan aktivitasnya akibat panas, asam atau basa kuat, pelarut organik, atau faktor lain yang dapat menyebabkan denaturasi dan perubahan konformasi protein (Piliang, 2006). Enzim adalah protein yang mengkatalisis berbagai reaksi kimia. Senyawa kompleks enzim berasal dari sel hidup dan berfungsi sebagai katalis dalam reaksi-reaksi yang terlibat dalam metabolisme makhluk hidup. Enzim relatif peka terhadap kondisi lingkungan seperti pH, suhu, dan adanya beberapa bahan organik dan anorganik (Zinn dan Ware, 2002). Menurut Piliang (2006), enzim bersifat khas dan menguntungkan sebagai katalisator karena reaksinya sangat terarah pada posisi molekul tertentu (stereospesifik), sangat sedikit bahkan sering tanpa reaksi samping, laju reaksi relatif cepat dan dapat diperkirakan, persyaratan reaksinya ringan dari segi pH, suhu, dan hasil reaksinya dapat dikonsumsi oleh ternak maupun manusia. Enzim memiliki aktivitas katalitik yang jauh lebih besar dibandingkan aktivitas katalitik dari katalisator sintetik. Spesifitas enzim sangat tinggi terhadap substratnya, Enzim mempercepat reaksi kimiawi spesifik tanpa pembentukan produk samping, dan molekul ini berfungsi di dalam larutan encer pada keadaan pH normal. Satu unit enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang diperlukan untuk menghasilkan 1 mikromol produk per menit pada kondisi tertentu atau kondisi percobaan yang dilakukan. Aktivitas spesifik didefinisikan sebagai jumlah unit enzim per miligram protein. Aktivitas spesifik adalah suatu ukuran kemurnian enzim. Nilai kemurnian enzim akan meningkat selama pemurnian menjadi maksimum dan konstan setelah enzim berada pada keadaan murni. Enzim juga mempunyai kelemahan sebagai katalisator karena enzim peka terhadap pH dan suhu yang ekstrim, biaya isolasinya mahal, hanya dapat dipakai satu kali karena biasanya terdenaturasi oleh kondisi reaksi
7
dan tercampur bersama produk reaksi, dan masa aktif enzim terbatas bila tidak diperlakukan secara khusus, misalnya imobilisasi (Lehninger, 1982). Ada dua tipe enzim berdasarkan tempat berlangsungnya reaksi yaitu enzim ekstraseluler dan enzim intraseluler. Enzim ekstraseluler melangsungkan reaksi di luar sel, sedangkan enzim intraseluler melangsungkan reaksinya di dalam sel. Fungsi utama enzim ekstraseluler adalah mengubah senyawa-senyawa yang berada dalam media di sekitar sel tersebut, sehingga dapat dimanfaatkan oleh sel. Contoh enzim ekstraseluler adalah protease dan amilase yang menguraikan protein menjadi unit-unit yang sederhana. Enzim intraseluler antara lain berperan melakukan sintesis bahan seluler yang diperlukan sel, misalnya heksokinase mengkatalisis fosforilase glukosa dan heksosa (senyawa-senyawa gula sederhana) di dalam sel (Samadi, 2004). Enzim ekstraseluler yang berasal dari mikroba umumnya lebih menguntungkan karena enzim tersebut dikeluarkan oleh sel mikroba ke dalam substrat pertumbuhannya, sehingga memudahkan dalam pemanenannya. Enzim ekstraseluler relatif lebih stabil dibandingkan dengan intraseluler, karena pada saat melakukan aktivitasnya, enzim tidak dilindungi oleh sel. Enzim ini sering diproduksi dalam skala industri karena produksinya tidak memerlukan teknik penghancuran sel yang mahal. Selain itu, enzim ekstraseluler berada pada kondisi yang relatif murni dalam biakan cair, sedangkan enzim intraseluler memerlukan cara pemisahan dan pemurnian yang lebih rumit (Smith, 1993). Berdasarkan tipe reaksi yang dikatalisisnya, semua enzim dapat dibagi menjadi enam kelompok besar, yaitu enzim oksidoreduktase, transferase, hidrolase, liase, isomerase, dan ligase. Enzim oksidoreduktase adalah enzim yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi atau reduksi suatu bahan. Enzim transferase adalah enzim yang ikut serta dalam reaksi pemindahan (transfer) suatu radikal atau gugus. Enzim hidrolase mengkatalisis hidrolisa suatu substrat atau pemecahan substrat dengan pertolongan air. Enzim isomerase mengkatalisis reaksi-reaksi isomerisasi. Enzim ligase bekerja mengkatalisis pembentukan ikatan-ikatan tertentu (Winarno, 2003). Meskipun enzim merupakan senyawa kompleks tetapi metode yang digunakan untuk memproduksi enzim ekstraseluler sangat sederhana, yaitu mikroorganisme dibiakkan pada media yang cocok dan selanjutnya dilakukan proses pemanenan sehingga enzim didapatkan. Metode umum untuk memproduksi enzim ekstraseluler pada dasarnya terdiri dari tiga tahap yaitu produksi inokulum, fermentasi dan pemanenan. Faktor yang paling penting dalam memproduksi enzim ekstraseluler adalah kombinasi yang optimum dari inokulum terpilih, kondisi fermentasi yang cocok dan metode pemanenan yang tepat (Donald et al., 2002).
2.3.1 Enzim Protease Protease merupakan enzim yang mampu mengkatalisis rekasi hidrolisis ikatan peptida pada protein. Protease dapat dihasilkan dari tiga sumber utama yaitu tanaman, hewan, dan mikroba. Enzim papain, bromelin, dan fisin merupakan protease yang dihasilkan dari tanaman. Enzim tripsin, kemotripsin, pepsin, dan renin merupakan protease yang berasal dari hewan. Pemanfaatan tanaman sebagai sumber protease memiliki kendala dalam ekstraksi enzim secara efisien, karena membutuhkan peralatan berat untuk menghancurkan jaringan tanaman yang besar dan keras. Selain itu, pertumbuhan tanaman yang relatif lama untuk produksi enzim sekala besar. Produksi protease dari hewan pun sangat terbatas, karena membutuhkan jumlah hewan yang cukup banyak sehingga membutuhkan biaya besar. Selain itu proses pemanenan dan ekstraski enzim dari jaringan hewan tidak mudah dan relatif mahal (Suhartono, 2002). Mikroba merupakan salah satu alternatif sumber protease, hal ini disebabkan pertumbuhan mikroba yang relatif cepat jika dibandingkan tanaman dan hewan. Selain itu penanganan proses
8
produksinya lebih mudah sehingga kualitas enzim yang diperoleh dapat lebih seragam. Keunggulan lain protease mikroba dibandingkan dengan protease yang berasal dari tanaman dan hewan adalah kemampuan produksi protease oleh mikroba dalam jumlah yang relatif besar, selain itu produktivitasnya yang mudah ditingkatkan sehingga menghasilkan enzim mikrobial dengan harga yang lebih murah (Girinda, 1993). Protease dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya yaitu protease dari tanaman, hewan, dan mikroba. Berdasarkan letak pemecahan ikatan peptidanya protease dapat dibedakan menjadi dua yaitu endoprotease dan eksoprotease. Eksoprotease menguraikan protein dari ujung rantai sehingga dihasilkan satu asam amino dan sisa peptida, kemudian pada tingkat berikutnya akan dihasilkan beberapa asam amino. Endoprotease hanya mengurai peptide pada bagian dalam rantai protein, sehingga dihasilkan peptide dan polipeptida (Suhartono, 2002). Menurut Rao et al. (1998), protease dapat pula dikelompokkan berdasarkan pH kerjanya yang terbagi tiga bagian, yaitu protease asam, netral, dan alkalis. Pengelompokan ini ditemukan sejalan dengan ditemukannya tingkat homologi deret gen penyandi dan deret asam amino yang menyusun enzim. Protease dimanfaatkan untuk pengolahan seperti dalam industri susu, pembuatan roti, pengolahan kedelai, penghilangan rasa pahit dari hasil hidrolisis protein dan untuk pembuatan pemanis buatan rendah kalori. Selain itu, protease juga digunakan pada industri deterjen dan pada bidang kesehatan serta industri kulit (Rao et al., 1998).
2.3.2 Enzim Selulase Selulosa merupakan komponen utama pembentuk dinding sel tanaman yang menyusun sekitar setengah dari tanaman keras dan sepertiga dari tanaman setahun. Produksi selulosa umumnya banyak digunakan dalam industri tekstil dan kertas. Setiap molekul selulosa mengandung 1000-1 juta unit Dglukosa yang dihubungkan bersama ikatan β-1,4 glikosida. Selulosa dari berbagai sumber memiliki struktur molekul yang sama. Namun selulosa dari berbagai sumber memiliki perbedaan dari struktur kristalnya dan ikatan dengan biomolekul lainnya (Enari, 1983). Selulosa terdiri dari daerah kristalin dan daerah amorf (non kristalin) yang membentuk suatu struktur dengan kekuatan tegangan tinggi yang pada umumnya tahan terhadap hidrolisis enzimatik terutama pada daerah kristalin. Selulosa dapat dihidrolisis oleh enzim selulase yang terdiri dari suatu kompleks campuran dari enzim dengan spesifitas berbeda dalam menghidrolisis ikatan glikosidiknya (Howard et al. 2003) Menurut Sunarti dan Richana (2007), enzim yang mampu mengkatalisis reaksi hidrolisis selulosa disebut selulase. Kemampuan selulase ini membuka jalan untuk pemanfaatan limbah-limbah pertanian yang mengandung selulosa terutama dalam upaya untuk meningkatkan nilai tambah dari limbah tersebut. Selulosa dapat dikonversi menjadi produk bernilai ekonomi yang lebih tinggi seperti selo-oligosakarida, glukosa, etanol, dan pakan dengan jalan menhidrolisis selulosa dengan bantuan selulase sebagai katalisator. Enzim selulase dihasilkan oleh beberapa jenis kapang dan bakteri sebagai respon terhadap adanya selulosa pada lingkungan tempat hidupnya. Kemampuan memproduksi enzim selulase menjadikan mikroba tersebut mampu menghidrolisa selulosa menjadi glukosa atau gula-gula lain yang larut dan dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhannya. Pada beberapa mikroba, produksi enzim selulase terjadi berkaitan langsung dengan fungsi regulasi pertumbuhan sel, germinasi spora dan kemampuan penetrasi miselium mikroba tersebut ke dalam sel inangnya. Selulosa yang diproduksi oleh mikroba adalah enzim ekstraseluler dan proses hidrolisis selulosa juga dilakukan di luar sel mikroba itu. Selulosa dari mikroba yang bersifat selulolitik adalah enzim yang terinduksi dan
9
hanya diproduksi bila mikroba ditumbuhkan pada selulosa atau glukan lain dengan ikatan β-1,4 seperti selobiosa, laktosa atau sophorosa (Gong dan Tsao, 1979). Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase terdiri atas dua tahap, dimana tahap awal merupakan tahap aktivasi dan kemudian dilanjutkan dengan tahap reaksi hidrolisa. Aktivasi selulosa disebabkan oleh enzim non hidrolitik C1(selobiohidrolase), hidrolisa selulosa yang telah diaktifkan dilakukan oleh enzim endoglukanase yang dikenal sebagai C x -selulase (Zhang dan Lynd, 2004). Mekanisme kerja enzim selulase disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. β-glukosidase
Cx
C1 Selulosa alami
Selulosa reaktif
Selobiosa
Glukosa
Gambar 2. Mekanisme hidrolisis selulosa secara enzimatis
Gambar 3. Mekanisme kerja ketiga enzim selulase (Anonim, 2005) Selulase merupakan golongan enzim yang mampu memutus ikatan β-1,4 pada substrat selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa lainnya. Selulosa terdiri dari tiga jenis yaitu selobiohidrolase (eksoglukanase) yang secara spesifik memutus unit-unit selobiosa dari ujung non pereduksi dari rantai selulosa dan berperan menghidrolisis daerah kristalin selulosa, endoglukanase yang memutus ikatan internal selulosa pada daerah amorf, endoglukanase dan eksoglukanase bekerja sama membebaskan selobiosa dari serat selulosa dan β-glukosidase (selobiase) yang memutus secara spesifik unit glukosa dari ujung non pereduksi dari selo oligosakarida. Ketiga enzim ini bekerja sama menghidrolisis selulosa yang tidak larut menjadi glukosa sehingga aktivitas gabungan ketiga enzim dapat diukur dengan memantau jumlah glukosa yang dihasilkan (Bansal, 2009) Menurut Enari (1983), semua enzim selulolitik dapat memutus ikatan β-1,4 glukosida, perbedaan dari masing-masing enzim terletak pada kespesifikan struktur di sekeliling substrat. Perbedaan kespesifikan dari enzim endoglukanase dan selobiohidrolase bersifat tidak mutlak karena keduanya dapat menghidrolisis ikatan β-1,4 glukosida dari selulosa amorf. Penentuan aktivitas enzim
10
selulase akan sulit jika filtrat yang diukur aktivitas enzimnya merupakan campuran dari berbagai enzim selulolitik.
2.3.3 Enzim Xilanase Enzim xilanase pertama kali diteliti pada tahun 1987 oleh bangsa Finnish untuk digunakan sebagai bahan bleaching pada kayu sebagai bahan baku kertas. Xilanase sesuai dengan namanya maka enzim ini bekerja sebagai katalis pada hidrolisis xilan. Xilan sendiri merupakan komponen utama dari hemiselulosa pada dinding sel tanaman yang terikat pada selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Enzim xilanase pada awalnya digunakan untuk menghilangkan lignin pada pulp dengan cara mendegradasikan gugusan xilan pada dinding sel selulosa terluar yang berikatan dengan lignin (Hakim dan Widodo, 2005). Xilan merupakan struktur dasar yang relatif kompleks dengan ikatan β-1,4-glikosidik pada kerangka xilosa. Struktur asli xilan dapat disubstitusi dengan asetil, L-arabinofuranosil, glukuronosil pada rantai sampingnya. Xilanase merupakan kelompok enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis hemiselulosa dalam hal ini ialah xilan atau polimer dari xilosa dan xilooligosakarida. Xilanase dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat yang dihidrolisis, yaitu p-xilosidase, eksoxilanase, dan endoxilanase. P-xilosidase, yaitu xilanase yang mampu menghidrolisis xilooligosakarida rantai pendek menjadi xilosa. Aktivitas enzim akan menurun dengan meningkatnya rantai xilooligosakarida. Xilosa selain merupakan hasil hidrolisis juga merupakan inhibitor bagi enzim p-xilosidase. Sebagian besar enzim p-xilosidase yang berhasil dimumikan masih menunjukkan adanya aktivitas transferase yang menyebabkan enzim ini kurang dapat digunakan industri penghasil xilosa (Richana et al, 2006). Eksoxilanase mampu memutus rantai polimer xilosa (xilan) pada ujung reduksi, sehingga menghasilkan xilosa sebagai produk utama dan sejumlah oligosakarida rantai pendek. Enzim ini dapat mengandung sedikit aktivitas transferase sehingga potensial dalam industri penghasil xilosa. Endoxilanase mampu memutus ikatan p 1-4 pada bagian dalam rantai xilan secara teratur. Ikatan yang diputus ditentukan berdasarkan panjang rantai substrat, derajat percabangan, ada atau tidaknya gugus substitusi, dan pola pemutusan dari enzim hidrolase tersebut (Richana et al, 2006). Menurut Subramaniyan dan Prema (2002), pada umumnya xilanase memotong ikatan xilosidik pada keramgka xilan dan β-xilosidase melepaskan residu xilosil melalui pemotongan bagian ujung dari xilo-oligosakarida. Pada saat degradasi xilan, sejumlah produk intermediet (xilotetrosa, xilotriosa dan xilobiosa) terbentuk, bahkan pada inkubasi 24 jam terbentuk xilobiosa yang berlimpah.
2.4 FERMENTASI MEDIA PADAT Cara fermentasi dibagi menjadi tiga, yaitu fermentasi permukaan, sistem fermentasi cair , dan sistem fermentasi padat. Fermentasi media padat adalah suatu degradasi komponen media padat oleh mikroba yang ditandai dengan tidak adanya air bebas tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme dalam sistem fermentasi tersebut. Dalam hal ini, media berfungsi sebagai sumber karbon, nitrogen, dan energi (Satiawiharja, 2004). Fermentasi media padat secara alami umumnya berlangsung pada medium dengan kadar air 60 sampai 80%, karena pada keadaan ini medium mengandung air yang cukup untuk pertumbuhan mikroba (Aidoo e al.,2002). Mikroorganisme yang tumbuh melalui sistem fermentasi padat berada pada kondisi pertumbuhan yang sama dengan habitat alaminya, mikroorganisme tersebut dapat menghasilkan enzim dan metabolisme yang lebih efisien dibandingkan dengan sistem fermentasi cair. Sistem
11
fermentasi padat memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan dengan sistem fermentasi cair, diantaranya tingkat produktivitasnya tinggi, tekniknya sederhana, biaya investasi rendah, kebutuhan energi rendah, jumlah air yang dibuang sedikit, recovery produknya lebih baik, dan busa yang terbentuk sedikit. Sistem fermentasi padat ini dilaporkan lebih cocok digunakan di negara-negara berkembang. Manfaat lain dari sistem fermentasi padat adalah murah dan substratnya mudah didapat, seperti produk pertanian dan industri makanan. Beberapa bahan seperti ampas tapioka, ampas tebu, dedak padi, dedak gandum, dan sebagainya dapat digunakan sebagai media padat, meskipun kadangkadang masih memerlukan pengayaan dengan sumber nitrogen dan unsur-unsur mineral (Prescott dan Dunn, 1992). Fermentasi media padat biasanya menggunakan substrat tunggal, seperti biji-bijian utuh atau limbah padat yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan mineral. Oleh sebab itu penambahan zat lain yang diperlukan biasanya hanya air. Zat hara lainnya yang tidak dikandung oleh substrat dapat ditambahkan bersama air yang digunakan untuk melembabkan substrat, sehingga mempunyai kesederhaan dalam persiapan medianya (Satiawihardja, 2004). Ukuran partikel dan sifat-sifat permukaan dari substrat memegang peranan penting dalam menentukan banyaknya pertumbuhan mikroba pada substrat, karena itu beberapa substrat memerlukan perlakuan pendahuluan (Satiawiharja, 2004). Penaloza et al (1985) didalam penelitiannya tentang produksi enzim pektinase dari pulp kopi, terlebih dahulu mengeringkan pulp kopi dengan menggunakan freeze dryer dan kemudian menggilingnya dengan hammer mill. Pulp kopi kering giling tersebut kemudian disaring pada ukuran 60 mesh.
12
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Desember 2012. Tempat pelaksanaan kegiatan ini yaitu Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB (PPSHB IPB) dan Laboratorium Bioindustri Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Baku Bahan yang digunakan sebagai media padat pada penelitian ini adalah buah kopi yang tua dan berwarna merah dari kopi varietas arabika yang berasal dari Pengalengan, Bandung, Jawa Barat. 2. Mikroorganisme Mikroorganisme yang digunakan adalah mikroba proteolitik (FLp1), xilanolitik (FLx3), dan selulolitik (FLs1) terpilih dari penelitian sebelumnya yang dilakukan Dewi (2012). Sumber isolat dari perkebunan kopi Cukul RT 03/07 Desa Pengalengan, Bandung. Berdasarkan hasil penelitian tim sebelumnya, ketiga spesies bakteri ini telah diidentifikasi sebagai berikut : - FLp1 = Bacillus aerophillus - FLs1 = Proteus penneri - FLx3 = Stenotrophomonas sp MH 34 3. Bahan Kimia Bahan yang digunakan terdiri dari media untuk petumbuhan dan bahan kimia untuk analisis. Media untuk pertumbuhan terdiri dari media Carboxy Methyl Cellulose (CMC) untuk bakteri selulolitik, media xilan untuk bakteri xilanolitik, dan media susu skim untuk bakteri proteolitik. Bahan-bahan kimia untuk analisis terdiri dari larutan bradford, DNS, fenol 5%, asam sulfat, dan bahan kimia lainnya. 4. Peralatan Alat-alat utama yang digunakan adalah timbangan analitik, autoklaf, shaker, oven, gelas ukur, bunsen, cawan petri, tabung reaksi, labu erlenmeyer, sentrifuse, spektrofotometer dan alat-alat gelas lainnya.
3.3 TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas dua tahap penelitian yaitu tahap pendahuluan dan tahap utama.
3.3.1. Tahap Pendahuluan Penelitian pendahuluan terdiri atas pemilihan bakteri proteolitik terbaik (FLp1 dan FLp2) dan analisis proksimat kopi.
13
3.3.1.1 Pemilihan bakteri proteolitik Pemilihan bakteri terbaik berdasarkan aktivitas enzim tertinggi yang dihasilkan bakteri. a. Peremajaan Bakteri Proteolitik Bakteri proteolitik diremajakan pada media Skim Milk Agar (SMA). Komposisi media dalam 100 ml terdiri dari susu skim 1 g, Nutrien Broth (NB) 1,3 g dan Agar-agar 2 g. Susu skim dilarutkan di dalam akuades 30 ml kemudian disterilisasi pada suhu 110oC selama 5 menit. NB dan agar-agar dilarutkan dalam 70 ml akuades dan disterilisasi pada suhu 121oC selama 20 menit. Kedua larutan tersebut kemudian di campur secara steril dan di stirrer agar homogen. Media kemudian di tuang kedalam cawan petri sebanyak 20 ml. Media dalam cawan petri yang masih panas diletakkan hingga membeku. Peremajaan dilakukan dengan menggoreskan 1 ose kultur dalam agar miring ke dalam media dalam cawan petri yang telah disiapkan. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 24-48 jam. b. Pertumbuhan bakteri proteolitik dan aktivitas enzim protease Biakan media padat diambil sebanyak 2 cock borer dan dimasukkan ke dalam 100 ml media cair yang mengandung susu skim 1%. Selanjutnya biakan diinkubasi dengan shaker incubator pada 100 rpm dan 30o C. Biakan diukur dengan metode turbidimetri dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm setiap 6 jam selama 48-54 jam. Selain itu untuk mengukur aktivitas enzim, biakan disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang mengandung enzim ekstrak kasar diukur aktivitasnya menggunakan substrat kasein 1% dengan metode Kunitz yang dimodifikasi (Walter, 1984). Aktivitas enzim diukur setiap enam jam sekali selama 48-54 jam. Prosedur pengujian aktivitas enzim protease dijelaskan pada Lampiran 4. Unit aktivitas enzim (U/mg) didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat menghasilkan 1 µmol produk tirosin setiap menit pada kondisi pengukuran. d. Pengujian Aktivitas Spesifik Aktivitas spesifik merupakan nilai aktivitas unit enzim dibagi dengan kadar proteinnya. Kadar protein ditentukan dengan metode Bradford (1976). 3.3.1.2 Analisis Komposisi Kimia Kopi Analisis komposisi kimia kopi terdiri atas pengujian kadar air, kadar abu, kadar karbohidrat, kadar protein, dan kadar lemak. Prosedur pengujian analisa komposisi kimia kopi terdapat pada Lampiran 1.
3.3.2. Tahap Utama 3.3.2.1 Persiapan Substrat dan Inokulum a. Persiapan Substrat Buah kopi diseleksi terlebih dahulu dengan memilih buah kopi yang benar-benar matang dan berwarna merah. Kemudian buah kopi dipisahkan antara kulit (kulit luar dan daging buah) dan biji kopi, lalu dikeringkan dengan menggunakan panas matahari selama 1-2 hari sampai kadar airnya kurang dari 13% agar tidak ditumbuhi mikroorganisme
14
sebelum digunakan pada waktunya. Kulit kopi kemudian digiling sampai berukuran kurang lebih 40 mesh. b. Persiapan inokulum Isolat bakteri yang digunakan untuk inokulum yaitu FLp1 untuk proteolitik, FLs1 untuk selulolitik dan FLx3 untuk xilanolitik. Isolat bakteri yang terdapat pada agar miring ditumbuhkan dengan goresan penuh pada cawan petri dengan media yang sesuai, isolat proteolitik pada media susu skim 1%, isolat selulolitik pada media CMC 1% dan isolat xilanolitik pada media xilan 0.5% yang kemudian diinkubasi selama 24 jam pada inkubator. Inokulum dibuat dengan membiakkannya pada media cair, inokulum FLp1 dibiakkan pada media susu skim 1%. Komposisi media terdapat pada Lampiran 2, Sebanyak 2-3 cork borer kultur diinokulasikan kedalam media cair yang mengandung susu skim kemudian di shaker pada kecepatan 100 rpm selama 18 jam pada suhu 30 dan 37oC Inokulum FLs1 dibiakkan pada media CMC 1% dengan komposisi media terdapat pada Lampiran 2. Sebanyak 2-3 cork borer kultur diinokulasikan ke dalam media cair. Kultur diinokulasikan secara aseptis dan di shaker pada kecepatan 100 rpm selama 18 jam pada suhu kamar dan 37oC. Inokulum FLx3 dibiakkan pada media xilan 0.5% dengan komposisi media terdapat pada Lampiran 2. Sebanyak 2-3 cork borer kultur diinokulasikan ke dalam media cair. Kultur diinokulasikan secara aseptis dan di shaker pada kecepatan 100 rpm selama 22 jam pada suhu kamar dan 37oC. 3.3.2.2 Fermentasi Sebanyak 30 gram buah kopi dengan perbandingan 1:2 (kulit dan biji kopi) dilembabkan dengan menggunakan akuades sebanyak 8 ml agar kadar air kulit kopi sesuai dengan kadar air awal sebelum pengeringan sehingga kadar airnya mencapai 60%. Substrat lembab disterilisasi pada suhu 121oC selama 20 menit. Substrat steril yang telah dingin diaduk agar partikelnya merata dan kemudian diinokulasi secara aseptik dengan inokulum sebanyak 10% (wet basis) atau sebanyak 3 ml. Inokulum terdiri atas tiga kombinasi bakteri yaitu : 1.Bakteri tunggal menggunakan inokulum proteolitik (FLp1) sebanyak 3 ml. 2.Kombinasi dua spesies bakteri antara inokulum selulolitik (FLs1) dan xilanolitik (FLx3) yang masing-masing sebanyak 1.5 ml. 3.Kombinasi tiga spesies bakteri terdiri dari inokulum proteolitik (FLp1), selulolitik (FLs1), dan xilanolitik (FLx3) yang masing-masing sebanyak 1 ml. Setelah itu diinkubasi pada suhu 30 dan 37oC selama 4 hari. Setiap 24 jam dilakukan pengujian hasil fermentasi. Setelah diinkubasi sampai waktu yang sesuai dengan perlakuan waktu yang diterapkan, kulit dan biji kopi disuspensikan dengan 100 ml akuades kemudian diaduk sampai merata. Setelah diaduk, kulit dan biji kopi kemudian disaring menggunakan kertas saring sehingga terpisah antara cairan dengan kulit dan biji kopi. Setelah itu dilakukan pemisahan biji kopi pada kertas saring. Biji kopi disimpan pada lemari pendingin untuk kemudian dilakukan pengujian kadar kafein dan asam-asam organik menggunakan HPLC. Kulit kopi dan kertas saring dimasukkan ke dalam oven untuk mengukur
15
penyusutan bobot kulit kopi. Cairan hasil saringan disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit untuk mendapatkan cairan enzim yang terdapat pada filtrat. Cairan yang didapat dilakukan pengujian terhadap aktivitas enzim, gula total, gula pereduksi dan protein terlarutnya.
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 TAHAP PENDAHULUAN 4.1.1 Pemilihan Bakteri Protelitik Terbaik
0,8
1,6
0,7
1,4
0,6
1,2
0,5
1,0
0,4
0,8
0,3
0,6
0,2
0,4
0,1
0,2
0
0,0
Aktivitas enzim (unit/ml)
OD
Isolat bakteri proteolitik yang digunakan terdiri atas dua isolat yaitu FLp1 dan FLp2. Kedua isolat ini ditumbuhkan dalam media yang mengandung susu skim 1%. Penyediaan sumber karbon dan kondisi fisik diperlukan untuk menghasilkan pertumbuhan yang optimum agar kedua isolat mampu memanfaatkan media skim sebagai media pertumbuhannya. Penentuan pertumbuhan bakteri berdasarkan pengukuran biomassa secara tidak langsung berdasarkan kerapatan optik (optical density). Pengukuran biomassa bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dari isolat yang ada. Banyaknya biomassa di dalam larutan sebanding dengan besarnya absorbansi yang diperoleh dari hasil pengukuran spektrofotometer. Semakin besar absorbansi larutan yang diperoleh maka jumlah biomassa di dalam larutan semakin banyak. Kurva pertumbuhan dan aktivitas enzim proteolitik dijelaskan pada Gambar 4.
Kurva tumbuh FLp1 Kurva tumbuh FLp2 Aktivitas enzim FLp1 Aktivitas enzim FLp2
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 Waktu (jam) Gambar 4. Kurva pertumbuhan dan aktivitas enzim bakteri proteolitik pada media skim 1% yang diinkubasi pada suhu 30oC Pada awal pengukuran terbentuk daerah kurva yang konstan antara absorbansi dengan pertambahan waktu inkubasi. Daerah ini dikenal sebagai fase adaptasi bakteri terhadap media. Setelah fase adaptasi, bertambahnya waktu inkubasi menyebabkan peningkatan absorbansi yang cukup besar menyerupai kurva logaritmik. Pada fase ini jumlah biomassa di dalam larutan media meningkat pesat hingga mencapai maksimum. Hal ini disebabkan nutrisi bakteri yang ada pada media susu skim masih cukup melimpah. Fase ini dikenal dengan fase eksponensial. Fase eksponensial merupakan fase dimana bakteri mengalami pertumbuhan yang optimal atau suatu periode pertimbuhan bakteri yang cepat. Berdasarkan kurva tumbuh diatas, isolat FLp1 mulai memasuki fase eksponensial pada jam ke-12. Isolat FLp2 mulai memasuki fase eksponensial pada jam ke-6. Perbedaan pertumbuhan bakteri ini menunjukkan adanya keanekaragaman fisiologis dan respons yang berbeda terhadap kondisi fisik di dalam lingkungannya (Pelczar dan Chan, 2007).
17
Setelah biomassa maksimum tercapai, bertambahnya waktu inkubasi menyebabkan absorbansi menurun yang mungkin disebabkan banyaknya kematian bakteri di dalam media cair. Hal ini disebabkan nutrisi yang terdapat di dalam media skim yang sudah mulai berkurang. Fase ini disebut dengan fase kematian. Isolat FLp1 dan FLp2 yang ditumbuhkan pada media susu skim memiliki waktu optimum yang berbeda dalam memproduksi enzim protease. Perbedaan waktu optimum aktivitas enzim menunjukkan adanya keberagaman fisiologi diantara masing-masing isolat dalam memanfaatkan susu skim sebagai sumber karbon (Pelczar dan Chan, 2007). Isolat FLp1 mencapai aktivitas enzim tertinggi pada jam ke-24 sebesar 1.4 unit/ml sedangkan isolat FLp2 memproduksi enzim protease tertinggi pada jam ke-18 sebesar 0.5 unit/ml. Pada saat aktivitas enzim optimum, maka bakteri mengeluarkan enzim secara maksimal. Bila dihubungkan dengan fase pertumbuhan mikroba, maka aktivitas enzim tertinggi tersebut terdapat pada fase eksponensial menjelang fase stasioner. Pembentukan enzim protease mulai meningkat selama masa fase eksponensial kemudian meningkat dengan cepat menjelang fase stasioner. Dalam keadaan normal sintesis enzim ekstraseluler maksimum terjadi sebelum fase stasioner atau akhir fase eksponensial menjelang fase stasioner. Umumnya setelah fase stasioner, aktivitas enzim akan menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya hasil-hasil metabolisme yang dapat menghambat aktivitas enzim (Sumarlin, 2008). Isolat FLp1 memiliki aktivitas enzim lebih tinggi dibandingkan isolat FLp2 yaitu sebesar 1.4 unit/ml pada waktu inkubasi jam ke-24 sedangkan isolat FLp2 hanya mencapai 0.5 unit/ml yang diproduksi pada waktu inkubasi jam ke-18. Produksi enzim FLp1 dan FLp2 lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilakukan Sumarlin (2008), isolat proteolitik Bacillus circulans pada media air rendaman kedelai memiliki aktivitas enzim proteolitik tertinggi pada jam ke-56 sebesar 0.1814 unit/ml. Menurut Sumarlin (2008) rendahnya aktivitas enzim dapat disebabkan kadar garam, pH, dan substrat. Penurunan aktivitas juga berkaitan dengan kegiatan saling menghidrolisis diantara protease pada saat substrat mulai berkurang karena protease juga merupakan suatu protein Berdasarkan Gambar 4. Aktivitas enzim mengalami fluktuasi atau terdapat dua puncak. Hal ini disebabkan bakteri mendegradasi protein dalam waktu yang tidak sama, selain itu selama inkubasi kompleks enzim bekerja pada waktu yang berbeda atau muncul banyak enzim yang dihasilkan, selain itu dapat disebabkan oleh adanya isoenzim yang merupakan protein berbeda yang dapat mengkatalisis reaksi yang sama yang menghambat kerja aktivitas enzim (Madigan dan Martinko, 2006). Setelah fase eksponensial, aktvitas enzim menurun. Hal ini disebabkan bakteri mengalami fase kematian dimana pada fase tersebut terjadi kompetisi sumber substrat sehingga banyak sel bakteri yang tidak mendapatkan sumber karbon dan mengalami kematian. Dengan berkurangnya jumlah sel bakteri maka enzim yang dihasilkan ikut menurun. Aktivitas enzim spesifik yang dihasilkan akan meningkat sesuai dengan peningkatan aktivitas enzimnya. Aktivitas spesifik adalah satu unit enzim per milligram protein. Aktivitas spesifik diperoleh berdasarkan kadar protein yang terkandung dari media hasil kultivasi. Kadar protein terlarut dan aktivitas spesifik enzim dijelaskan pada Gambar 5.
18
Protein terlarut (mg/ml)
Aktivitas spesifik (unit/mg)
12
0,14 0,12
10
0,10
8
0,08
6
0,06
4
0,04 0,02
2
0,00
0 6
Kadar protein FLp1 Kadar protein FLp2 Aktivitas spesifik FLp1 Aktivitas spesifik FLp2
12 18 24 30 36 42 48 54 Waktu (jam)
Gambar 5. Kadar protein dan aktivitas spesifik bakteri proteolitik dalam media susu skim 1% pada suhu 30oC Nilai aktivitas spesifik bergantung pada kadar protein terlarutnya, kadat protein terlarut yang terukur pada penelitian tidak hanya protein yang berasal dari degradasi enzim namun juga berasal dari media yang digunakan. Nilai aktivitas spesifik FLp1 lebih tinggi dibandingkan FLp2. Hal ini serupa dengan nilai aktivitas enzimnya. Nilai aktivitas spesifik tertinggi pada FLp1 yaitu sebesar 10.8 unit/mg yang diproduksi pada waktu inkubasi jam ke-24, sedangkan pada FLp2 sebesar 5.4 unit/mg yang diproduksi pada waktu inkubasi ke-18. Hasil kurva diatas membuktikan bahwa pada isolat proteolitik FLp1 terdapat enzim protease dengan komposisi paling banyak dibandingkan isolat FLp2. Isolat yang memiliki nilai aktivitas enzim terbesar dari kedua isolat ini akan digunakan sebagai starter proteolitik dalam hidrolisis kulit kopi melalui fermentasi padat. Aktivitas enzim meningkat seiring dengan pertumbuhannya, namun pada bakteri FLp1 dan FLp2 mengalami fluktuasi. Pertumbuhan mikroba mengalami dua puncak yaitu pada pada jam ke-24 dan 42 pada isolat FLp1, jam ke-18 dan 36 pada isolat FLp1. Fluktuasi juga terjadi pada aktivitas enzim dan aktivitas spesifiknya. Hal ini dapat disebabkan bakteri mendegradasi substrat dalam waktu yang tidak sama. Selain itu, selama inkubasi, kompleks enzim bekerja pada waktu yang berbeda atau muncul jenis enzim protease lain yang dihasilkan (Madigan dan Martinko, 2006). Berdasarkan aktivitas enzim dan aktivitas spesifiknya, isolat FLp1 memiliki aktivitas enzim dan aktivitas spesifik yang lebih tinggi dibandingkan FLp2, oleh karena itu isolat FLp1 yang akan digunakan sebagai inokulum dalam fermentasi padat untuk produksi kopi luwak secara enzimatis. 4.1.2 Analisis Bahan Baku Buah kopi yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kopi dari jenis arabika yang diperoleh dari Pengalengan, Jawa Barat. Berdasarkan Tabel 4, kandungan air pada bahan masih sangat tinggi baik pada kulit maupun biji kopi sehingga buah kopi dikeringkan agar tidak ditumbuhi mikroorganisme saat digunakan sebagai substrat. Kandungan protein pada kopi segar sebesar 1.78, dalam keadaan kering mencapai 13.46%. Protein merupakan sumber nitrogen bagi pertumbuhan bakteri dan sintesis enzim. Hasil analisis kimiawi buah kopi disajikan pada Tabel 4.
19
No 1 2 3 4 5 6
Tabel 4. Komposisi kimia substrat buah kopi (wet basis) Komponen Kulit Kopi Biji Kopi Kadar Air (%) 81.37 68.46 Kadar Abu (%) 1.14 0.77 Kadar Lemak (%) 0.28 2.17 Kadar Protein (%) 1.78 3.26 Kadar Serat Kasar (%) 2.38 7.15 Kadar Karbohidrat (%) 13.05 18.19
Kandungan serat kasar pada kulit kopi segar sebesar 2.38%, setelah pengeringan menjadi 34.11%. Pada kulit kopi arabika terdiri dari kandungan selulosa (25.60%), hemiselulosa (2.10%), dan lignin (21.80%) (Braham, dan Bressani, 1979). Selulosa akan digunakan sebagai sumber karbon bagi isolat FLs1 dimana isolat selulolitik yang mampu menghasilkan enzim selulase akan menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Isolat FLx3 akan mendegradasi kandungan hemiselulosa pada kulit kopi dan mengubahnya menjadi gula xilosa.
4.2 TAHAP UTAMA Isolat yang digunakan dalam fermentasi padat untuk memproduksi kopi luwak secara mikrobiologis ini merupakan isolat terpilih yang memiliki nilai aktivitas tertinggi yaitu FLp1 untuk bakteri proteolitik, FLx5 untuk bakteri isolat xilanolitik dan FLs1 untuk isolat selulolitik. Namun isolat FLx5 tidak digunakan dalam menghidrolisis kulit kopi karena koloni bakterinya menghasilkan lendir yang menyebabkan sulitnya dalam proses penyiapan inokulum. Dengan demikian bakteri xilanolitik yang digunakan dalam fermentasi padat adalah FLx3 (Dewi, 2012). Untuk mengetahui kombinasi bakteri terbaik dalam menghidrolisis kulit kopi dan kualitas hasil kopi yang dihasilkan dilakukan pengamatan terhadap hasil fermentasi dari bakteri proteolitik (FLp1), kombinasi antara bakteri selulolitik (FLs1) dan xilanolitik (FLx3), dan kombinasi antara bakteri proteolitik (FLp1), selulolitik (FLs1), dan xilanolitik (FLx3). Untuk mengetahui waktu dan suhu fermentasi optimum dilakukan pengamatan hari ke-1, 2, 3, dan 4 pada suhu 30 dan 37oC. Pengamatan yang dilakukan terhadap hasil hidrolisis kulit kopi adalah aktivitas enzim, kadar protein terlarut, kadar gula pereduksi, kadar gula total, dan susut bobot. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap biji kopi hasil fermentasi menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). 4.2.1 AKTIVITAS ENZIM PADA SUBSTRAT KULIT KOPI 4.2.1.1 Aktivitas enzim protease Aktivitas enzim protease menyatakan seberapa besar kemampuan enzim protease dalam menguraikan atau mengkonversikan protein menjadi peptida dan asam amino. Pengujian ini dilakukan pada variasi waktu dan suhu inkubasi (30 dan 37oC). Dari pengujian ini dapat diketahui pengaruh lama dan suhu inkubasi terhadap aktivitas enzim protease. Isolat yang menghasilkan enzim protease yaitu isolat FLp1 yang digunakan sebagai isolat pada fermentasi kopi secara enzimatis menggunakan bakteri tunggal dan kombinasi tiga jenis bakteri. Grafik hubungan antara waktu dan suhu inkubasi terhadap aktivitas enzim protease ditunjukkan pada Gambar 6.
20
Aktivitas enzim (unit/ml)
2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
FLp1, 30 FLp1, 37 FLp1+FLs1+FLx3, 30 FLp1+FLs1+FLx3, 37
1
2 3 Waktu (hari)
4
Gambar 6. Aktivitas enzim protease dalam substrat kulit kopi pada suhu 30 dan 37oC Berdasarkan Gambar 6, aktivitas enzim protease tertinggi dihasilkan pada hari pertama inkubasi kemudian terus menurun dan pada hari keempat inkubasi tidak ada lagi aktivitas protease. Hal ini disebabkan selang waktu sampling yang terlalu lama sehingga dihari pertama pengujian, nilai aktivitas enzim langsung tinggi dan kemudian menurun di pengujian selanjutnya. Waktu optimum produksi enzim bergantung pada pertumbuhannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu optimum produksi enzim dalam substrat adalah pada hari pertama inkubasi, hal ini sesuai dengan kurva pertumbuhannya, bakteri FLp1 mengalami masa eksponensial pada jam ke-12 sampai jam ke-24. Ketika fase eksponensial, pertumbuhan bakteri meningkat sehingga produksi enzim juga meningkat. Berdasarkan suhu inkubasi, suhu terbaik bakteri dalam memproduksi enzim protease yaitu pada suhu 37oC. Hasil suhu optimum ini sesuai dengan hasil penelitian tentang produksi enzim protease dari bakteri Bacillus subtilis yang dilakukan oleh Elsafey dan Abdul (2004) yaitu pada suhu 37-40oC. Penentuan suhu optimum bakteri dalam memproduksi enzim bergantung pada jenis bakteri yang digunakan, media pertumbuhan dan enzim yang akan diproduksi. Menurut Weri et al (2003), suhu optimum untuk memproduksi enzim protease dari bakteri adalah pada suhu 30-45oC. Pada suhu optimum, fase lag akan menjadi lebih pendek karena bakteri akan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang sesuai sehingga fase eksponensial akan menjadi lebih lama, pada fase eksponensial pertumbuhan mikroba akan berlipat ganda sehingga enzim yang diproduksi juga meningkat (Elsafey dan Abdul, 2004). Bakteri yang ditumbuhkan pada tempat dengan lingkungan yang tidak sesuai akan menyebabkan pertumbuhan tidak optimal yang akan menghambat produksi enzim. Selain itu akan terjadi kerusakan atau tidak aktifnya protein dalam suatu enzim sehingga menyebabkan fungsi dan aktivitas dari enzim tersebut berkurang (Budiman dan Setyawan, 2008). 4.2.1.1 Aktivitas enzim selulase dan xilanase Aktivitas enzim selulase dan xilanase menyatakan seberapa besar kemampuan enzim menguraikan selulosa dan hemiselulosa yang terdapat pada substrat kulit kopi menjadi produknya yaitu glukosa dan xilosa. Aktivitas enzim diukur pada cairan hasil fermentasi yang menggunakan kombinasi isolat FLs1 dan FLx3. Grafik hubungan antara waktu dan suhu inkubasi terhadap aktivitas enzim selulase dan xilanase ditunjukkan pada Gambar 7.
21
Aktivitas enzim (nkat/ml)
2,5 2,0 FLp1, 30
1,5
FLp1, 37 FLs1+FLx3, 30
1,0
FLs1+FLx3, 37 0,5 0,0 1
2
3
4
Waktu (hari) Gambar 7. Aktivitas enzim selulase dan xilanase dalam media kulit kopi pada suhu 30 dan 37oC Berdasarkan Gambar 7, waktu optimum dalam memproduksi enzim selulase dan xilanase yaitu pada hari ketiga inkubasi. Hal ini sesuai dengan kurva pertumbuhan bakteri FLx3 dan FLs1 yang dilakukan oleh Dewi (2012), bakteri FLx3 dan FLs1 memasuki fase eksponensial pada jam ke- 36 sampai jam ke-84. Pada masa eksponensial, laju pertumbuhan bakteri meningkat sehingga enzim yang dikeluarkan juga semakin banyak. Pada hari keempat bakteri memasuki fase kematian, dimana sintesis enzim tidak lagi berlangsung karena kekurangan nutrisi. Mikroorganisme mempunyai masa pertumbuhan yang bervariasi dimana dalam aktivitas metabolisme tersebut mikroorganisme memiliki beberapa fase dalam pertumbuhannya. Fase –fase pertumbuhan tersebut sangat berpengaruh terhadap enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme untuk membantu pencernaan makanannya (Sumarlin, 2008). Berdasarkan suhu inkubasi, waktu terbaik bakteri dalam menghasilkan enzim selulase dan xilanase yaitu pada suhu 30oC. Pada suhu tersebut, enzim yang dihasilkan lebih tinggi. Suhu optimal reaksi sangat diperlukan dalam penerapan enzim. Penentuan suhu optimum bakteri dalam memproduksi enzim bergantung pada jenis bakteri yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, bakteri FLs1 dan FLx3 termasuk dalam bakteri mesofilik yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh baik pada suhu 30oC. Pada suhu optimum pertumbuhan bakteri akan semakin tinggi karena pada suhu optimum bakteri lebih mudah menyesuaikan diri (fase adaptasi pendek) sehingga enzim yang dihasilkan juga semakin banyak. Pada suhu 37oC, aktivitas enzim lebih rendah dikarenakan pada suhu tersebut diatas suhu optimumnya. Pada suhu diatas suhu optimum, pertumbuhan bakteri akan terhambat sehingga enzim yang dikeluarkan juga lebih sedikit. Selain itu enzim merupakan protein, dimana pada umumnya semakin tinggi suhu (dalam batas tertentu) semakin aktif enzim tersebut. Sebaliknya bila suhu terlalu tinggi, laju kerusakan enzim akan melampaui reaksi katalitik dan dapat mempercepat pemecahan atau perusakan enzim yang menyebabkan aktivitas enzim akan menjadi lebih rendah (Madigan dan Martinko, 2006). Bakteri yang ditumbuhkan pada tempat dengan lingkungan yang tidak sesuai akan menyebabkan pertumbuhan tidak optimal yang akan menghambat produksi enzim. Selain itu akan terjadi kerusakan atau tidak aktifnya protein dalam suatu enzim sehingga menyebabkan fungsi dan aktivitas dari enzim tersebut berkurang (Budiman dan Setyawan, 2008).
22
4.2.2 KADAR PROTEIN TERLARUT DAN AKTIVITAS ENZIM SPESIFIK Protein terlarut dalam filtrat diukur untuk mengetahui jumlah protein enzim (mg) di dalam setiap milliliter filtrat yang disintesis oleh bakteri dan untuk menghitung aktivitas enzim dalam unit aktivitas spesifiknya. Namun demikian hasil pengukuran tersebut tidak dapat dijadikan patokan mutlak untuk menghitung jumlah protein yang disintesis oleh mikroorganisme, karena di dalam media fermentasi telah terdapat protein terlarut yang berasal dari substrat kulit kopi dan hasil ekskresi metabolism protein mikroorganisme. Berdasarkan Gambar 8, kadar protein terlarut pada fermentasi menggunakan bakteri tunggal (FLp1) pada suhu 37oC lebih tinggi dibandingkan suhu 30oC. Hal ini disebabkan aktivitas enzim pada suhu tersebut juga lebih tinggi. Fermentasi menggunakan isolat FLp1 baik tunggal maupun pada kombinasi tiga spesies bakteri mempunyai kandungan protein terlarut tinggi hal ini disebabkan enzim protease bersifat memecah protein menjadi peptida pendek dan asam-asam amino yang mudah larut, semakin besar konsentrasi protease maka akan semakin banyak ikatan peptida dari protein yang terputus menjadi peptida-peptida sederhana sehingga kelarutan protein semakin meningkat. Selain itu meningkatnya protein terlarut disebabkan waktu inkubasi, semakin lama waktu inkubasi, kontak enzim dengan substrat semakin lama, sehingga tingkat hidrolisis semakin tinggi dan dihasilkan protein yang pendek sehingga kelarutannya meningkat (Nielsen, 1997). Kadar protein terlarut selama fermentasi dijelaskan pada Gambar 8.
Protein terlarut (mg/ml)
0,11 0,10 FLp1, 30
0,09
FLp1, 37 0,08
FLs1+FLx3, 30 FLs1+FLx3, 37
0,07
FLp1+FLs1+FLx3, 30
0,06
FLp1+FLs1+FLx3, 37
0,05 1
2
3
4
Waktu (hari) Gambar 8. Kadar protein terlarut selama empat hari inkubasi dalam substrat kulit kopi pada suhu 30oC dan 37oC Pada fermentasi menggunakan kombinasi dua dan tiga spesies bakteri, kadar protein terlarut tertinggi pada suhu 30oC. Hal ini sesuai dengan aktivitas enzimnya, dimana aktivitas enzim pada suhu tersebut juga lebih tinggi. Suhu yang terlalu tinggi dari suhu optimumnya dapat menurunkan kandungan protein karena suhu tinggi tersebut dapat menyebabkan denaturasi protein (Lestari et al., 2001). Kadar protein terlarut ini akan menentukan besarnya aktivitas spesifik enzim Aktivitas spesifik enzim diperlukan untuk mengetahui besarnya aktivitas enzim didalam protein. Besarnya aktivitas spesifik enzim selama empat hari inkubasi pada suhu 30 dan 37oC dijelaskan pada Tabel 5.
23
Tabel 5. Aktivitas enzim spesifik pada suhu 30oC dan 37oC selama empat hari inkubasi Selulase+Xilanase Waktu Protease (unit/mg) (nkat/mg) Kombinasi (hari) o o o 30 C 37 C 30 C 37oC
FLp1
FLs1+FLx3
FLp1+FLs1+FLx3
1
13.7
15.3
2
6.9
7.4
3
1.4
0.0
4
0.0
0.0
1
11.2
9.3
2
19.3
15.3
3
31.9
24.5
4
13.5
7.8
1
18.5
25.7
5.4
5.7
2
7.2
8.2
10.4
9.2
3
0.8
0.4
18.4
13.0
4
0.0
0.0
8.2
4.2
Aktivitas spesifik enzim protease tertinggi baik pada fermentasi menggunakan isolat FLp1 maupun pada kombinasi tiga spesies bakteri dihasilkan pada hari pertama inkubasi pada suhu 37oC kemudian terus menurun sampai hari ketiga dan pada hari keempat tidak ada lagi aktivitas enzim. Tingginya aktivitas spesifik pada suhu 37oC sejalan dengan aktivitas enzim. Hal ini dikarenakan pada suhu 37oC merupakan suhu optimum bakteri FLp1 sedangan suhu 30oC dibawah suhu optimum yang menyebabkan fungsi dan aktivitas enzim berkurang. Aktivitas spesifik selulase dan xilanase pada suhu 30 oC lebih tinggi dibandingkan pada suhu inkubasi 37oC, hal ini serupa dengan aktivitas enzimnya. Suhu optimum bakteri FLs1 dan FLx3 berdasarkan aktivitas enzimnya yaitu pada suhu 30oC, pada suhu 37oC merupakan suhu diatas suhu optimum yang menyebabkan pada suhu tersebut enzim dapat mengalami denaturasi yang menyebabkan fungsi dan aktivitas enzim berkurang. 4.2.3 TOTAL GULA DAN GULA PEREDUKSI Total gula atau yang disebut juga dengan total karbohidrat merupakan jumlah dari keseluruhan gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya. Analisis untuk menentukan total gula ini dilakukan dengan metode Fenol, bahan harus berupa cairan jernih direaksikan dengan fenol dalam asam sulfat pekat sehingga menghasilkan warna oranyekekuningan yang stabil (Makfoeld, 2002). Kemampuan mereduksi gula dapat diketahui dengan adanya gugus aldehid yang bebas. Pada Gambar 9 disajikan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan selama hidrolisis. Glukosa atau xilosa sisa yang terdapat pada filtrat enzim diukur sebagai total gula tereduksi dimana gula yang terukur adalah seluruh gula pereduksi yang terdapat pada filtrat baik yang sudah terdapat dalam media maupun hasil metabolisme mikroba selama fermentasi (Makfoeld, 2002). Perhitungan total gula dan gula pereduksi dilakukan pada hasil fermentasi dengan beberapa perlakuan yaitu lama inkubasi selama empat hari, suhu inkubasi yaitu suhu 30oC dan 37 oC, dan kombinasi bakteri menggunakan bakteri tunggal proteolitik (FLp1), kombinasi dua antara bakteri selulolitik dan xilanolitik (FLs1 dan FLx3), dan kombinasi bakteri proteolitik, selulolitik, dan
24
1450
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
1400 1350
Total gula (mg/ml)
Gula Pereduksi (mg/ml)
xilanolitik (FLp1, FLs1, dan FLx3). Hasil pengujian total gula dan gula pereduksi pada bakteri tunggal FLp1 dijelaskan pada Gambar 9.
1300 1250 1200 1150
Gula pereduksi, 30 Gula pereduksi, 37 Total gula, 30 Total gula, 37
1100 1050 1000 1
2
3
4
Waktu (hari) Gambar 9. Total gula dan gula pereduksi fermentasi menggunakan bakteri tunggal dalam media kulit kopi pada suhu 30oC dan 37oC
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
1600 1500 1400 1300 1200 1100
Total gula (mg/ml)
Gula Pereduksi (mg/ml)
Pada fermentasi menggunakan bakteri tunggal proteolitik (FLp1), total gula dan gula pereduksi yang dihasilkan selama empat hari inkubasi relatif konstan. Bakteri proteolitik tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menghidrolisis kulit kopi untuk menghasilkan gula pereduksi karena enzim protease tidak mempunyai kemampuan untuk menguraikan selulosa maupun hemiselulosa menjadi gula-gula sederhana, enzim protease yang dihasilkan lebih spesifik mengubah protein-protein menjadi asam amino penyusunnya sehingga nilai total gula dan gula pereduksi yang dihasilkan relatif konstan. Hal berbeda ditunjukkan pada total gula dan gula pereduksi yang dihasilkan pada fermentasi menggunakan kombinasi dua dan tiga spesies bakteri. Total gula dan gula pereduksi pada kombinasi dua dan tiga spesies bakteri dijelaskan pada Gambar 10 dan 11.
Gula pereduksi, 30 Gula pereduksi, 37 Total gula, 30 Total gula, 37
1000 1
2 3 Waktu (hari)
4
Gambar10. Total gula dan gula pereduksi fermentasi menggunakan kombinasi dua spesies bakteri dalam media kulit kopi pada suhu 30oC dan 37oC
25
1500 1400 1300 1200
Total gula (mg/ml)
Gula Pereduksi (mg/ml)
1600
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Gula pereduksi, 30 Gula pereduksi, 37 Total gula, 30 Total gula, 37
1100 1000 1
2
3
4
Waktu (hari) Gambar 11. Total gula dan gula pereduksi fermentasi menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri dalam media kulit kopi pada suhu 30oC dan 37oC Pada fermentasi menggunakan inokulum kombinasi dua dan tiga spesies bakteri, total gula terus meningkat sampai hari ketiga dan kemudian menurun pada hari keempat. Hal ini sesuai dengan grafik aktivitas enzimnya. Besar kecilnya gula pereduksi yang dihasilkan berkaitan dengan aktivitas enzim yang diproduksi. Tingginya kandungan gula pereduksi yang dihasilkan pada suhu 30oC dikarenakan aktivitas enzim selulase dan xilanase pada suhu ini lebih tinggi sehingga lebih banyak selulosa dan hemiselulosa yang dirombak menjadi gula pereduksi. Aktivitas enzim selulase dan xilanase pada kombinasi tiga spesies bakteri lebih besar dibandingkan kombinasi dua spesies bakteri, hal ini sesuai dengan gula pereduksi yang dihasilkan. Semakin besar aktivitas enzim selulase dan xilanase maka semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan. Selain suhu inkubasi, lama inkubasi juga mempengaruhi banyaknya gula pereduksi yang dihasilkan. Kandungan gula pereduksi tertinggi dicapai pada hari ketiga fermentasi. Saat awal-awal inkubasi, jumlah gula pereduksi masih rendah, selaras dengan aktivitas enzimnya. Pada awal fermentasi, glukosa maupun gula sederhana pada media dimanfaatkan untuk pertumbuhan bakteri maupun sintesis enzim. Pada hari kedua dan ketiga, enzim yang menghidrolisis substrat (selulosa dan hemiselulosa) semakin meningkat, sehingga glukosa dan xilosa yang terbentuk semakin besar. Besarnya glukosa yang terbentuk merupakan indikator tingginya aktivitas enzim. Selanjutnya pada hari keempat terjadi penurunan kadar gula pereduksi yang menunjukkan bahwa penggunaan glukosa sebagai sumber karbon lebih besar dibandingkan dengan pembentuan gula pereduksi oleh bakteri (Lestari et al., 2001). 4.2.4 SUSUT BOBOT Susut bobot merupakan kehilangan massa dari kulit kopi hasil fermentasi dibandingkan dengan bobot awal sebelum fermentasi. Kehilangan bobot dapat mengindikasikan adanya denaturasi, dehidrasi, perombakan protein dan serat-serat kasar seperti selulosa dan hemiselulosa oleh enzim-enzim yang disekresikan oleh bakteri selama fermentasi. Berdasarkan Gambar 12, penyusutan bobot menggunakan bakteri tunggal FLp1 pada suhu inkubasi 37oC lebih besar dibandingkan pada suhu inkubasi 30oC hal ini disebabkan aktivitas enzim protease pada suhu 37oC lebih tinggi, aktivitas enzim protease yang tinggi menyebabkan perombakan molekul kompleks protein menjadi asam amino lebih besar. Perombakan protein yang tinggi menyebabkan penyusutan bobot yang tinggi pula. Namun bila dibandingkan
26
dengan penyusutan bobot pada kombinasi dua dan tiga spesies bakteri, penyusutan bobot pada fermentasi menggunakan bakteri tunggal proteolitik masih rendah hanya mencapai 33% pada akhir fermentasi. Rendahnya penyusutan bobot menggunakan bakteri tunggal FLp1 dikarenakan bakteri FLp1 hanya merombak protein tanpa merombak selulosa dan hemiselulosa yang terdapat pada kulit kopi selain itu kandungan protein pada kulit kopi juga lebih kecil dibandingkan serat kasarnya. Penyusutan bobot yang terjadi selama empat hari fermentasi dijelaskan pada Gambar 12.
Susut bobot (%)
60 50 FLp1, 30
40
FLp1, 37 30
FLs1+FLx3, 30
20
FLs1+FLx3, 37 FLp1+FLs1+FLx3, 30
10
FLp1+FLs1+FLx3, 37 0 1
2
3
4
Waktu (hari) Gambar 12. Susut bobot kulit kopi pada suhu 30 dan 37oC selama empat hari fermentasi Pada fermentasi menggunakan inokulum kombinasi dua dan tiga spesies bakteri. Penyusutan bobot pada hasil fermentasi menggunakan suhu inkubasi 30oC lebih besar dibandingkan pada suhu inkubasi 37oC. Tingginya penyusutan bobot pada suhu 30oC dikarenakan aktivitas enzim pada suhu 30oC yang lebih tinggi. Aktivitas enzim yang tinggi menyebabkan banyaknya perombakan selulosa dan hemiselulosa sehingga penyusutan bobotnya juga tinggi. Penyusutan bobot menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri lebih besar dibandingkan kombinasi dua dan hanya menggunakan satu spesies bakteri. Hal ini dikarenakan pada kombinasi tiga spesies bakteri terdapat tiga macam enzim yaitu protease, selulase, dan xilanase yang merombak protein, selulosa dan hemiselulosa menjadi senyawa yang sederhana. Tingginya penyusutan bobot dikarenakan adanya perombakan selulosa, hemiselulosa, dan protein oleh enzim yang dihasilkan bakteri menjadi bahan mudah larut sehingga menyebabkan bobot kulit kopi menjadi berkurang (Sanchez, 2009). 4.3 PERLAKUAN TERBAIK FERMENTASI Berdasarkan pengaruh suhu dan waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim, gula pereduksi, total gula, susut bobot, protein terlarut, dan aktivitas spesifik enzim seperti yang telah dijelaskan diatas, o perlakuan terbaik yang diterapkan menggunakan bakteri tunggal proteolitik adalah pada suhu 37 C selama satu hari inkubasi karena pada waktu tersebut aktivitas enzim protease yang dihasilkan lebih tinggi. Perlakuan terbaik menggunakan kombinasi dua spesies bakteri dan kombinasi tiga spesies bakteri yaitu pada suhu 30oC selama tiga hari inkubasi. Hasil pengujian pada kondisi terbaik dijelaskan pada Tabel 6.
27
Tabel 6. Hasil pengujian setelah fermntasi pada perlakuan terbaik dalam substrat kulit kopi Parameter Aktivitas enzim protease (unit/ml) Aktivitas enzim selulase dan xilanase (nkat/ml) Kadar protein terlarut (mg/ml) Aktivitas enzim spesifik protease (unit/mg) Aktivitas enzim spesifik selulase dan xilanase (nkat/mg) Gula pereduksi (mg/ml) Total Gula (mg/ml) Susut Bobot (%)
Flp1 1.12 0.07 15.30 18.39 1391 28.3
FLs1 dan FLx3 2.26 0.07 31.89 25.78 1492 46.8
FLp1, FLs1, dan FLx3 1.45 1.84 0.10 18.51 18.44 40.85 1544 50.3
Berdasarkan Tabel 6, fermentasi menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri memiliki kemampuan mendegradasi kulit kopi yang lebih baik dibandingkan dengan fermentasi menggunakan satu spesies bakteri dan kombinasi dua spesies bakteri. Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya mendegradasi selulosa, hemiselulosa, dan protein menjadi glukosa, xilosa, dan asam amino yang lebih tinggi. Gula pereduksi yang dihasilkan pada fermentasi menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri mencapai 40.9 mg/ml. Banyaknya gula pereduksi yang dihasilkan pada fermentasi menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri dikarenakan aktivitas selulase dan xilanase yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi dua spesies bakteri. Besar kecilnya gula pereduksi yang dihasilkan menandakan banyak atau sedikitnya aktivitas enzim yang bekerja dalam mendegradasi substrat menjadi gula-gula sederhana. Semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan maka semakin besar aktivitas enzim dalam mendegradasi substrat. Gula-gula sederhana ini umumnya dihasilkan oleh enzim selulase dan xilanase yang mendegradasi selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa dan xilosa. Bekerjanya enzim pada substrat juga dapat dilihat penyusutan bobot pada substrat, kehilangan bobot dapat menandakan bahwa enzim yang dikeluarkan bakteri tersebut mampu menguraikan protein, selulosa dan hemiselulosa yang terdapat pada substrat menjadi senyawa-senyawa sederhana. Berdasarkan tabel diatas, penyusutan bobot substrat pada kombinasi tiga spesies bakteri lebih besar dibandingkan kombinasi dua spesies bakteri dan bakteri tunggal. Berdasarkan aktivitas enzim dan kemampuaanya dalam mendegradasi substrat kulit kopi yang disajikan tabel diatas, perlakuan terbaik fermentasi kulit kopi yaitu menggunakan kombinasi ketiga bakteri yaitu FLp1, FLs1, dan FLx3 yang diinkubasi pada suhu 30oC selama tiga hari.
4.4 PENGUJIAN KUALITAS BIJI KOPI MENGGUNAKAN HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC) Pengujian kualitas biji kopi secara enzimatis dilakukan pada biji kopi hasil fermentasi dengan kondisi fermentasi terbaik. Kualitas biji kopi yang dihasilkan dilihat berdasarkan kafein dan asamasam organiknya. Kandungan penting dalam kopi adalah kafein. Kafein ialah alkaloid yang tergolong dalam keluarga methylxanthine bersama-sama senyawa teofilin dan teobromin berlaku sebagai perangsang sistem saraf pusat. Kafein tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma kopi, dan hanya memberikan rasa pahit sekitar 10-30% dari seduhan (Eggers et al., 2001). Kandungan kafein kopi arabika sebelum fermentasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 1.89% (1885.78 mg/100g). Hasil kadar kafein ini lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2009) yang menyatakan kadar kafein pada biji kopi arabika sebesar 1.99% namun serupa dengan
28
penelitian yang dilakukan Israyanti (2012) yang menyatakan kadar kafein biji kopi arabika sebesar 1.85%. Kopi arabika memiliki perbedaan dengan kopi arabika lainnya karena kadar kafein kopi juga tergantung pada tanah tempat tumbuhnya. Hasil pengujian kualitas biji kopi dijelaskan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji biji kopi yang difermentasi pada kondisi terbaik menggunakan HPLC Sampel 1. 2. 3. 4. 5.
Biji kopi setelah fermentasi menggunakan FLp1 Biji kopi setelah fermentasi menggunakan FLs1+FLx3 Biji kopi setelah fermentasi menggunakan FLp1+FLs1+FLx3 Biji kopi beras arabika (sebelum fermentasi) Biji kopi Luwak
Asam Askorbat (mg/100g)
Asam Butirat (%)
Asam Laktat (%)
Asam Oksalat (ppm)
Kafein (mg/100g)
51.31
2.19
0.14
881.28
579.10
45.12
0.31
1.26
1229.40
882.02
43.29
0.28
1.33
776.65
901.62
22.46
0.0072
0.0074
3000
1885.78
20.28
0.0082
0.0026
1700
1342.60
Kopi luwak ternyata hanya memikili kadar kafein yang cukup rendah. Rendahnya kadar kafein kopi luwak ini disebabkan oleh proses fermentasi dalam sistem pencernaan luwak yang mampu mengurangi kadar kafein kopi sehingga dapat menciptakan kenikmatan pada kopi (Panggabean, 2011b). Kadar kafein kopi luwak arabika yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1.34% (1342.60 mg/100g). Hasil kadar kafein kopi luwak ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Israyanti (2012) yang menyatakan kadar kafein kopi luwak arabika sebesar 1.74%. Kadar kafein biji kopi setelah fermentasi yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan kopi luwak asli. Penurunan kadar kafein kopi luwak hanya mencapai 29%. Biji kopi hasil fermentasi menggunakan bakteri tunggal FLp1 memiliki kandungan kafein yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lain termasuk kopi luwak asli. Pada biji kopi menggunakan bakteri proteolitik terjadi penurunan kafein sebanyak 69% dari biji kopi arabika tanpa fermentasi. Sedangkan pada biji kopi menggunakan kombinasi selulolitik dan xilanolitik sebesar 53% dan menggunakan kombinasi proteolitik, selulolitik dan xilanolitik sebesar 52%. Grafik penurunan kadar kafein dijelaskan pada Gambar 13. 80 70
69,3
60
53,2
52,2
50 40
28,8
30 20 10 0 Biji+FLp1
Biji+FLs1+FLx3
Biji+FLp1+FLs1+FLx3
Kopi luwak
Gambar 13. Penurunan kadar kafein pada kopi hasil fermentasi dan kopi luwak
29
Berdasarkan hasil tersebut, bakteri FLp1 memiliki peran yang lebih besar dalam mengurangi kadar kafein. Kandungan kafein pada biji kopi setelah fermentasi menggunakan FLp1 lebih rendah dimungkinkan adanya kerja enzim protease pada biji yang mampu menguraikan protein. Sekresi enzim protease memecah kandungan protein yang terdapat pada biji kopi. Perubahan jumlah protein dan asam amino bebas tersebut menghasilkan rasa yang unik (Panggabean, 2011b). Kafein adalah senyawa kimia hasil metilasi xantin, pengurangan kafein juga dapat disebabkan adanya kemampuan bakteri menguraikan senyawa kafein (trimetilxantin) menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana misalnya dimetilxantin melalui proses demetilasi (Mazzafera, 2002). Kopi luwak terkenal dengan aromanya yang sangat khas karena berasal dari proses fermentasi di dalam pencernaan luwak. Proses fermentasi alami dalam perut luwak memberikan perubahan komposisi kimia pada biji kopi dan dapat meningkatkan kualitas rasa kopi, karena selain berada pada suhu fermentasi optimal juga dibantu dengan enzim dari bakteri yang ada pada pencernaan luwak, karena itulah aroma kopi luwak berbeda dengan kopi biasa (Panggabean, 2011b). Secara umum dengan semakin lamanya fermentasi keasaman kopi akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya asam-asam alifatik selama proses fermentasi. Apabila lama fermentasi diperpanjang akan terus terjadi perubahan komposisi kimia biji kopi, dimana asam-asam alifatik akan berubah menjadi ester-ester asam karboksilat yang dapat mengakibatkan cacat fermentasi dengan cita rasa busuk (Sulistyowati dan Sumartona, 2002). Asam-asam organik yang diuji pada penelitian ini antara lain asam butirat, asam laktat, asam oksalat, dan asam askorbat. Asam-asam ini mempengaruhi aroma dari kopi. Asam laktat dihasilkan selama fermentasi sebagai hasil dari proses pemecahan gula yang terdapat pada biji. Asam laktat yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan kombinasi tiga bakteri spesies bakteri lebih besar dibandingkan kombinasi dua spesies bakteri dan hanya menggunakan satu jenis bakteri. Asam laktat pada biji kopi hasil fermentasi menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri sebesar 1.33% sedangkan pada kombinasi dua spesies bakteri sebesar 1.26% dan pada bakteri tunggal sebesar 0.14%. Tingginya asam laktat pada kombinasi tiga spesies bakteri dikarenakan kandungan gulanya yang lebih tinggi. Glukosa yang dihasilkan dari fermentasi kemudian mengalami metabolisme lebih lanjut menjadi asam-asam organik. Asam laktat pada biji kopi enzimatis lebih tinggi dibandingkan kopi luwak, hal ini dimungkinkan pemecahan gula yang lebih banyak yang terjadi pada fermentasi. Pembentukan gula merupakan peran dari bakteri selulolitik dan xilanolitik. Pembentukan asam laktat tergantung dari gula yang tersedia yang ada dalam bahan. Semakin banyak gula yang tersedia maka akan meningkatkan pembentukan asam laktat (Reddy et al., 2008). Asam lain yang dihasilkan dari proses fermentasi antara lain asam butirat. Asam butirat yang dihasilkan hanya menggunakan enzim protease lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi dua dan tiga spesies bakteri, kopi arabika, dan kopi luwak. Asam butirat pada biji kopi enzimatis menggunakan bakteri tunggal sebesar 2.19%, sedangkan pada kombinasi dua spesies bakteri sebesar 0.31% dan pada kombinasi tiga spesies bakteri sebesar 0.28%. Kandungan asam butirat ini jauh lebih besar dibandingkan kopi luwak yang hanya sebesar 0.0082%. Asam butirat dapat terbentuk dari konversi asam laktat dari bakteri pengurai yang masih beraktivitas (Filya, 2005). Tingginya asam butirat pada biji kopi menggunakan bakteri tunggal protease dimungkinkan dari perombakan protein. Metabolisme glukosa dalam pembentukan asam laktat dan butirat dijelaskan pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14. Perombakan protein menjadi asam amino dapat dimetabolisme menjadi asam butirat.
30
Glukosa Asam Piruvat lemak
Asam Lemak
Asam Laktat
Protein
Gliserol Asetil KoA
Asam Amino
Asam Asetoasetat Asam Butirat Asam beta hidroksi butirat Gambar 14. Metabolisme glukosa, protein dan lemak dalam pembentukan asam laktat dan butirat (Sumber : Pelczar dan Chan, 2007) Asam askorbat atau vitamin C yang terkandung pada biji kopi hasil fermentasi enzimatis lebih tinggi dibandingkan kopi arabika dan kopi luwak. Biji kopi hasil fermentasi menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri mengandung kadar asam askorbat yang lebih rendah yaitu 43.29 mg/100g sedangkan pada biji kopi hasil fermentasi menggunakan kombinasi dua spesies bakteri sebesar 45.12 mg/100g dan hanya menggunakan bakteri FLp1 sebesar 51.31 mg/100g. Rendahnya kandungan asam askorbat pada biji kopi yang difermentasi menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri dikarenakan lamanya inkubasi yaitu tiga hari. Lamanya fermentasi berpengaruh terhadap perubahan kadar asam akorbat, semakin lama waktu fermentasi maka kadar asam askorbat semakin menurun, karena mengalami proses oksidasi yang terjadi saat fermentasi alkohol dan pembentukan asam-asam organik selama proses fermentasi (Andarwulan, 2002). Kenaikan asam askorbat disebabkan adanya metabolisme glukosa pada biji kopi. Biosintesis asam akorbat dari glukosa melalui jalur lingkar metabolisme glukuronat. Jalur pembentukan asam askorbat dari glukosa dijelaskan pada Gambar 15. Glukosa Glukuronat Gulonat Gulonolakton 2 keto gulonolakton Asam Askorbat (Vitamin C) Gambar 13. Pembentukan asam askorbat dari glukosa melalui jalur lingkar glukuronat (Sumber : Wirahadikusumah, 2003)
31
Asam oksalat yang terkandung pada biji kopi secara enzimatis lebih rendah dibandingkan pada kopi arabika dan kopi luwak. Asam oksalat dihasilkan sebagai hasil samping dari fermentasi glukosa untuk menghasilkan asam sitrat. Rendahnya asam oksalat pada biji kopi enzimatis disebabkan banyaknya oksalat yang mampu dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai sumber karbon. Asam oksalat yang terkandung pada biji kopi enzimatis menggunakan kombinasi dua spesies bakteri lebih tinggi dibandingkan kopi enzimatis lainnya yaitu sebesar 1229.40 ppm sedangkan pada bakteri tunggal sebesar 881.28 ppm dan pada kombinasi tiga spesies bakteri sebesar 776.65 ppm. Kandungan asam oksalat pada kombinasi dua spesies bakteri lebih tinggi dimungkinkan oksalat yang dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai sumber karbon lebih rendah dibandingkan pemanfaatan karbohidrat atau gula untuk dirubah menjadi asam laktat (Papagianni, 2007). Kandungan asam oksalat pada kombinasi dua lebih mendekati dengan kopi luwak yang mempunyai kandungan asam oksalat sebesar 1700 ppm. Asam oksalat dapat berfungsi sebagai pengawet alami dan juga mendukung sel dalam memproduksi energi bagi tubuh. Namun jika dalam keadaan berlebih dapat membahayakan tubuh, asam oksalat bersama-sama dengan kalsium akan membentuk senyawa yang tak larut dan tak dapat diserap oleh tubuh. Pada dosis 4-5 gram asam oksalat atau kalsium oksalat dapat menyebabkan kematian (Munir, 2005).
32
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN Perlakuan kombinasi bakteri, waktu dan suhu inkubasi pada fermentasi untuk produksi kopi luwak secara enzimatis berpengaruh terhadap kualitas kopi. Perlakuan terbaik pada fermentasi menggunakan bakteri proteolitik adalah pada suhu 37oC dengan waktu inkubasi satu hari, kombinasi antara selulolitik dan xilanolitik pada suhu 30oC selama tiga hari inkubasi, pada kombinasi tiga spesies bakteri antara proteolitik, selulolitik dan xilanolitik sama dengan kombinasi dua spesies bakteri. Kandungan kafein pada biji kopi hasil fermentasi dari semua perlakuan terbaik lebih rendah dbandingkan kopi luwak asli. Asam-asam organik pada biji kopi hasil fermentasi menunjukkan tingginya kadar asam laktat, askorbat dan butirat serta rendahnya asam oksalat.
5.2 SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, perlakuan terbaik dalam memproduksi kopi secara enzimatis menggunakan bakteri dari luwak yaitu menggunakan kombinasi tiga spesies bakteri (proteolitik, selulolitik dan xilanolitik) selama tiga hari inkubasi pada suhu 30oC. Namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang jumlah inokulum yang dimasukkan ke dalam substrat kopi untuk mendapatkan kadar kafein dan asam-asam organik yang lebih baik.
33
DAFTAR PUSTAKA
Aidoo KE, Hendry R, Wood BJB. 1982. Solid Substrat Fermentation. Di dalam Advances in Applied Microbiology. Academic Press Inc. 28 : 201-233 Almada D. 2009. Pengaruh Peubah Proses Dekafeinasi Kopi dalam Reaktor Kolom Tunggal Terhadap Mutu Kopi. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Andarwulan N. 1992. Kimia Vitamin. Jakarta: Rajawali Press Anonim . 2005. Selulosa. http://www.fibersource.com/f-tutor/sellulosa.htm [2 Oktober 2012] Anonim. 2010. Kopi Luwak Murni. http://kopiluwakmurni.com/2010/09/kopi-luwak-hati-hatidengan-kopi-luwakmengenal-kopi-luwak-lebih-dekat-bag2/. Akses tanggal 2 Februari 2013. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Agriculture Chemist, Washington, D.C Bansal P. 2009. Modelling Cellulose Kinetics On Lignocellulosic Substrates. J Bio Technol Adv 10:1016 Beckers JF. 2004. Determination Of Caffeine In Coffee Sense Or Nonsense. Journal of Chemical Education vol. 81 no.1. Bradford MM. 1976. A Rapid And Sensitive Method For The Quantitation Of Microgram Quantities Of Protein Utilizing The Principal Of Protein-dye Binding. Anal Biochem 72:248-254 Braham JE, Bressani R. 1979. Coffee Pulp, Composition, Technology and Utilization. International Development Research Centre, Ottawa. Budiman A, Setyawan H. 2008. Pengaruh Konsentrasi Substrat, Alat Inkubasi Dan Ph Dalam Proses Isolasi Enzim Xilanase Dengan Menggunakan Media Jerami Padi. Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang. Ciptadi W, Nasution MZ. 1985. Pengolahan Kopi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. CITES. 2009. Appendices I, II, and III. http://www.cites.org/eng/app/appendices.shtml. (17 Juni 2012) Dewi SL. 2012. Isolasi Bakeri Selulolitik Dan Xilanolitik Dari Feses Luwak. [skripsi]. Bogor : Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor. Donald P, Edwards RA, Greenhalgh JF dan Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. Prentice Hall, London. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric Method for Determination of Sugar and Related Substances. Anal Chem 28: 350-356 Eggers R. 2001. Coffee Recent Development. Iowa State University Press, Iowa 33-46. Elias LG. 1979. Chemical Composition of Coffee-Berry By-Products. di dalam. Braham J E dan Bressani R. (eds.) Coffee Pulp: Composition, Technology, and Utilization. Institute of Nutrition of Central America and Panama. Hlm. 17-24. Elsafey EM, Abdul R. 2004. Production, Purification and Charactrization of Protease Enzyme From Bacillus subtilis. International Conferences For Development In The Arab World, Assiut Univ., March 23-25, 2004.p14. Enari TM. 1983. Microbial Cellulases. Di dalam Fogarty, W.M. (ed). Microbial Enzymes and Biotechnology. New York:Appl.Sci. Publisher Filya IG, Ashbell Y, Weinberg ZG. 2005. The Effect of Bacterial Inoculants on the Fermentation and Aerobic Stability of Whole Crop Wheat Silage. Animal and Feed Sci. and Technol. 88: 39-46 Girinda A. 1993. Biokimia 1. Gramedia Utama, Jakarta. Gong CS , Tsao GT. 1979. Cellulase and Biosynthesis Regulation. New York: Academic Press.
34
Hakim L dan Gunawan W. 2005. Aplikasi dan Penentuan Suhu Optimum Enzim Xilanase Pada Proses Deinking Recycle Paper. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas WR.Supratman, Surabaya. Harrison JH, Blauwiekel R, Stokes MS. 2004. Fermentation and Utilization of Grass Silage. Journal of Dairy Science, 77(10), 3209 – 3235 Hartono E. 2009. Penetapan Kadar Kafein Dalam Biji Kopi Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Biomedika Volume 2 No.1 Maret 2009 halaman 72-80. Howard RL, Abotsi E, Jansen VR, Howard S. 2003. Lignesellulosa Biotechnology: Issues of Bioconversion and Enzyme Production, Review. African J of Biotechnol 2(12):602-61 Irwanto AK, K. Abdullah, Y.A Purawanto dan Elhami. 2001. Penggunaan Komputer Untuk Menduga Laju Pengering Kopi dengan Menggunakan Sistem Kolektor Surya. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Israyanti. 2012. Perbandingan Karakteristik Kimia Kopi Luwak dan Kopi Biasa dari Jenis Kopi Arabika dan Robusta. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Javakopiluwak. 2009. Pengolahan. http://www.javakopiluwak.com/pengolahan.html. (24 Mei 2012). Koswara S. 2006. Kopi Rendah Kafein (Kopi Dekafein). Gramedia utama, Jakarta Lehninger. 1982. Biochemistry. Academic Press, New York. Lestari P, Abdul AD, Khaswar S, Nur R, dan Djoko SD. 2001. Analisis Gula Reduksi Hasil Hidrolisis Enzimatik Pati Ubi Kayu Oleh Alfa Amilase Termostabil dari Bacillus stearothermophillus. Jurnal Mikrobiologi Indonesia, Februari 2001, hlm 23-26 Madigan MT dan Martinko JM. 2006. Brock Biology of Microorganism Ed ke-10. New Jersey: Prentice Hall. Makfoeld D. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Kanisius Publisher, Yogyakarta Mazzafera P. 2002. Degradation of Caffeine by Microorganism and Potential Use of Decaffeinated Coffee Husk and Pulp in Animal Feeding. Scientia Agricola, v.59,n.4, p.815-821 Miller GL. 1959. Use of Dinitrosalicylic Acid for Determination of Reducing Sugar. Anal Chem 31: 426-428 Munir E. 2005. Peranan Asam Oksalat dalam Degradasi Lignoselulosa [Skripsi]. Dept. Biologi. FMIPA. USU. Medan. Najiyati S dan Danarti. 1997. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pascapanen. Penebar Swadaya, Jakarta Nielsen PM. 1997. Food Proteins and Their Applications. Marcel Dekker, Inc. New York Panggabean E. 2011a. Buku Pintar Kopi. Agromedia Pustaka, Jakarta. Panggabean E. 2011b. Mengeruk Untung dari Bisnis Kopi Luwak. Agromedia Pustaka, Jakarta. Papagianni M. 2007. Advances in Citric Acid Fermentation by Aspergillus niger: Biochemical Aspects, Membrane Transport and Modeling. Biotechnology Advances 25 (2007) 244–263. Pelczar MJ, Chan ECS. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi I. Jakarta : UI Press. Penaloza WM, Molina MR, Brenes RG, Bressani R. 1985. Solid Substrate Fermentation: an Alternative to Improve the Nutritive Value of Coffee Pulp. Applied and Environmental Microbiology 49 : 388-393. Piliang WG. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume 1. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prescott SG, Dunn CG. 1992. Industrial Microbiology. AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut. Rao MB, Tanksale, Ghatge MS, Despahnde VV. 1998. Molecular and Biotechnological Aspects of Microbial Protease. Microbiology: Molecular Biology. Review 9:597-635
35
Reddy G, Altaf MD, Naveena BJ, Venkateshwar M, and Kumar EV. 2008. Amylolytic Bacterial Lactic Acid Fermentation. A review: Biotechnology advances 26:22-34 Richana N. 2002. Produksi dan Prospek Xilanase dalam Pengembangan Bioindustri Indonesia. Buletin Agrobio 5: 29-36 Richana N, Irawadi TT, Nur A, Sailah I, Syamsu K. 2006. Seleksi dan Formulasi Media Pertumbuhan Bakteri Penghasil Xilanase. J Pascapanen 3(1): 41-49 Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi. Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara. Samadi. 2004. Feed Quality for Food Safety. Inovasi Vol.2/XVI/November 2004 Sanchez C. 2009. Lignocellulosic Residues: Biodegration and Bioconversion by Fungi. Biotechnol. Advan. 27:185-194. Satiawihardja B. 2004. Produksi L-lisin dengan Kultur Fed Batch oleh Mutan Brevibacterium lactofermentum. Jurnal Mikrobiologi Indonesia vol.2 no.2 hal 20-27 Setyohadi. 2007. Diktat Agroindustri Hasil Tanaman Perkebunan. USU Press, Medan. Siswoputranto PS. 1992. Kopi Internasional dan Indonesia. Kanisius, Yogyakarta. Smith JC. 1993. Prinsip Bioteknologi. Alih bahasa: A Dharma. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Subranamiyan S dan Prema P. 2002. Biotechnology of Microbial Xylanase: Enzymology, Molecular Biology, and Application. Crit. Rev. In Biotechnol 22(1): 33-64 Suhartono MT. 1992. Enzim dan Bioteknologi. PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Sulistyowati dan Sumartona. 2002. Metode Uji Citarasa Kopi. Materi Pelatihan Uji Citarasa Kopi 1921 Februari 2002. Jember : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Sumarlin, Laode. 2008. Aktivitas Protease dari Bacillus circulans Pada Media Pertumbuhan dengan pH Tidak Terkontrol. Journal UIN Jakarta Volume 1 Nomor 2. Sunarti TC dan Richana N. 2007. Produksi Selulase dari Trichiderma viride Pada Media Tongkol Jagung dan Fraksi Selulosanya. J Pascapanen 4(2) : 57-64 Weri N, Gerike U, Sharman A, Hough DW. Use of A Packed ColumN Bioreactor for Isolation of Diverse Protease Producing Bacteria from Antarctic Soil. Appl Envinronm Microbiol 69(3) : 1457-1464 Widowati S dan Misgiyarta. 2007. Efektifitas Bakteri Asam Laktat (BAL) dalam Pembuatan Produk Fermentasi Berbasis Protein atau Susu Nabati. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jakarta Winarno FG. 2003. Enzim Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Wirahadikusumah. 2003. Metabolisme Energi, Karbohidrat, dan Lipid. Penerbit ITB, Bandung. Zhang YHP dan Lynd LR. 2004. Toward an Aggregated Understanding of Enzymatic Hydrolysis of Cellulose: Noncomplexed Cellulose Systems. J Biotechnol 88:797-824 Zinn RA and Ware. 2002. Fibrolytic Enzyme Supplementation, a Tool for Enhanching Energy Intake in Growing-Finishing Feedlot Cattle. Prociding of the 18th Annual Symposium. Nottinghem. University Press, UK.
36
LAMPIRAN
37
Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar Air (AOAC, 1984) Pinggan aluminium dipanaskan pada suhu 105oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya (W1). Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam pinggan aluminium dan dipanaskan dalam oven 105oC selama satu jam. Selanjutnya pinggan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Pemanasan dan pendinginan diulangi hingga diperoleh hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung dengan cara : (W1 − W2) x 100% 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴(%) = Berat contoh 2. Kadar Abu (AOAC, 1984) Cawan perabuan dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Contoh dimasukkan ke dalam cawan dan dibakar dalam tanur pada suhu 60oC sampai diperoleh abu. Selanjutnya sampel disimpan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung berdasarkan bobot kering (bk) dengan cara : 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎(%) =
bobot abu x 100% Berat contoh − bobot air
3. Kadar Protein (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 0.1 g yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 2.5 ml asam sulfat pekat. Sampel didihkan selama 1-12 jam atau hingga cairan berwarna jernih. Labu beserta isinya didinginkan dan isinya dipindahkan ke dalam alat distilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%, dan dibilas dengan air suling. Labu erlenmeyer yang berisi HCl 0.02 N diletakkan dibawah kondensor, sebelumnya ditambahkan 2-4 tetes indikator didalamnya. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam labu HCl kemudian dilakukan distilasi hingga sekitar 25 ml distilat tertampung. Ujung kondensor dibilas dengan sedikit air suling dan ditampung dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan NaOH 0.02 N. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama.
Keterangan : A=ml NaOH titer untuk blanko B=ml NaOH titer untuk sampel N=normalitas NaOH Kadar protein (%) = %N x 6.25
%𝑁𝑁 =
A−B x 100% bobot sampel
4. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984) Sebanyak 2 gram sampel dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml asam sulfat dihidrolisis pada autoklaf selama 15 menit pada suhu 105oC kemudian didinginkan dan ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml. Selanjutnya dihidrolisis kembali dalam autoklaf selama 15 menit. Contoh disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Kertas saring dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml asam sulfat 0,325 N, lalu dengan air panas, dan terakhir dengan menggunakan aseton atau alkohol 25 ml. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oben bersuhu 105oC selama 1 jam dan dilanjutkan sampai bobotnya tetap.
38
𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘(%) =
Keterangan : A : Bobot residu serat dan kertas saring B : Bobot kertas saring awal C : Bobot sampel
A−B x 100% C
5. Kadar lemak kasar (AOAC, 1984) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator da ditimbang (A). Sebanyak 5 g sampel dibungkus dalam kertas saring kemudian dimasukkan dalam labu ekstraksi (soxhlet). Kemudian dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan pelarut lemak berupa heksan. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven selama 1 jam. Labu lemak didalam nya ditimbang (B). B−A x 100% 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 (%) = Bobot sampel
39
Lampiran 2. Komposisi media yang digunakan 1. Komposisi media xilan Bahan
Jumlah
Xylan Sukrosa Ekstrak khamir Agar-agar Akuades
0.5 g 10.3 g 1g 2g 100 ml
2. Komposisi media CMC (Carboxy Methyl Cellulose) Bahan
Jumlah
CMC MgSO 4 .7H2 O KNO 3 K 2 HPO 4 FeSO 4. 7H 2 O CaCl 2 Ekstrak khamir Glukosa Agar-agar Akuades
1g 0.02 g 0.075 g 0.05 g 0.02 g 0.004 g 0.2 g 0.1 g 2g 100 ml
3. Komposisi media skim Bahan
Jumlah
Susu skim Nutrien broth Agar-agar Akuades
1g 1.3 g 2g 100 ml
40
Lampiran 3. Prosedur analisis parameter 1. Penentuan kadar total gula (Metode Phenol H2 SO 4 , Dubois 1956)
Absorbansi
a. Pembuatan kurva standar total gula Pembuatan kurva standar total gula diperoleh dari pengukuran absorbansi campuran glukosaxilosa (1:1) pada berbagai konsentrasi (disajikan pada Tabel di bawah). 1 ml larutan standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 0,5 ml larutan febol 5% dan divortex. Setelah itu ditambahkan 2,5 ml H2 SO 4 pekat secara cepat, divortex dan didinginkan. Setelah dingin larutan divortex dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 490 nm Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi
0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06
0,000 0,145 0,303 0,379 0,537 0,629 0,789
Kurva standar total gula
0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
y = 1,274x + 0,015 R² = 0,994
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
Konsentrasi (mg/ml) b. Penentuan total gula sampel Metode pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar total gula, 1 ml larutan gula standar diganti dengan 1 ml sampel. Kadar total gula diperoleh dari persamaan kurva standar dengan y sebagai nilai absorbansi sebagai total gula (mg/ml).
41
2. Penentuan kadar gula pereduksi (Metode Dinitrosalisilic acid, Miller 1959) a. Pembuatan pereaksi Dinitrosalisilic acid (DNS) NaOH 10 g, K-Na Tartarat 182 g, dan Na 2 SO 4 0,5 g dilarutkan dalam 1000 ml akuades steril dan diaduk menggunakan stirrer tanpa pemanasan. Setelah semua bahan terlarut ditambahkan DNS 10 g sedikit demi sedikit dan dilakukan pengadukan sampai terlarut sempurna. b. Pembuatan kurva standar gula pereduksi Pembuatan kurva standar diperoleh dari pengukuran absorbansi glukosa standar pada berbagai konsentrasi (disajikan pada tabel di bawah). 1 ml larutan standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan DNS dan divortex. Setelah itu dipanaskan pada suhu 100oC selama 15 menit dan didinginkan sekitar 5 menit. Setelah dingin larutan diukur absorbansnya pada panjang gelombang 540 nm. Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi
0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30
0,000 0,112 0,177 0,311 0,427 0,555 0,672
Absorbansi
Kurva standar gula pereduksi 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 -0,1 0
y = 2,250x - 0,015 R² = 0,994
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
Konsentrasi (mg/ml)
b. Pengukuran kadar gula pereduksi sampel Metode pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar gula pereduksi tetapi 1 ml larutan standar diganti dnegan 1 ml sampel. Kadar gula diperoleh dengan dari persamaan kurva standar dengan y sebagai nilai absorbansi dan x sebagai kadar gula pereduksi (mg/ml).
42
Lampiran 4. Prosedur pengujian aktivitas enzim 1. Pengukuran aktivitas enzim protease dengan metode kunitz yang dimodifikasi (Walter 1984)
Pereaksi
Sampel (ml)
Blanko (ml)
Standar (ml)
Buffer Tris HCl (0,2 M) pH 8 1,00 1,00 1,00 Buffer Kasein (1% w/v) 1,00 1,00 1,00 Tirosin standar (5 mM) 0,20 Akuades 0,20 Larutan Enzim 0,20 o Diinkubasi pada suhu 37 C selama 10 menit Asam trikloroasetat (0,1 M) 2,00 2,00 2,00 Larutan enzim 0,20 0,20 Akuades 0,20 Diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit Supernatan 1,5 1,5 1,5 Na 2 CO 3 (0,4 M) 5,00 5,00 5,00 Pewarna folin (1:2) 1,00 1,00 1,00 o Diinkubasi pada suhu 37 C selama 20 menit kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 578 nm
Unit aktivitas setiap sampel dihitung dengan persamaan :
𝑈𝑈𝑈𝑈 =
(Asp −Abl ) (Ast −Abl )
x P x 1/T
Keterangan : UA = Jumlah tirosin yang dihasilkan per ml enzim per unit Asp = Nilai absorbansi sampel Abl = Nilai absorbansi blanko Ast = Nilai absorbansi standar P = Faktor pengenceran T = Waktu inkubasi
43
2. Pengukuran aktivitas enzim selulase dan xilanase
Pereaksi
Sampel (ml)
Blanko (ml)
Kontrol (ml)
Substrat (1%) 0.5 0.5 0.5 DNS 1,0 1,0 Enzim ekstrak kasar 0,5 0.5 Akuades steril 0.5 o Inkubasi 40 C, 60 menit iya tidak tidak DNS 1,0 Vortex iya iya iya Diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit, didinginkan kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm Nilai absorban yang diperoleh digunakan untuk menghitung konsentrasi gula pereduksi (X) melalui persamaan kurva standar glukosa dan xilosa. Aktivitas enzim dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (X sampel − X kontrol) x FP x 1000 𝑈𝑈 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 ( ) = 𝑚𝑚𝑚𝑚 BM gula pereduksi x waktu inkubasi
Keterangan : BM : Bobot molekul FP : Faktor pengenceran
44
Lampiran 5. Pengujian kadar protein dengan metode Bradford (1976) dan aktivitas enzim spesifik 1. Pengujian Kadar Protein (Bradford 1976) a. Pembuatan Larutan Bradford Etanol 95% 25 ml, CBB-G 250 0.05 g dan asam phospor 50 ml dilarutkan dengan akuades sampai dengan 500 ml, kemudian dihomogenkan, setelah homogen larutan disaring dengan kertas saring. b. Penentuan Kadar Protein Penentuan kadar protein dilakukan dengan mengambil 0,2 ml sampel ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml larutan bradford dan divortex. Larutan didiamkan selama 15 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Nilai absorbansi yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam persamaan linier dari kurva standar protein.
Absorbansi
c. Penentuan Kurva Standar Protein Larutan stok BSA (Bovine Serum Albumine) diambil sebanyak 0 ml, 0.08 ml, 0.16 ml,0.24 ml, 0.32 ml, dan 0.40 ml masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan akuades hingga volumenya menjadi 0.4 ml. Setiap tabung reaksi ditambah 4 ml pereaksi bradford dan divortex. Selanjutnya larutan didiamkan selama 15 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. 0,4500 0,4000 0,3500 0,3000 0,2500 0,2000 0,1500 0,1000 0,0500 -
y = 3,822x + 0,008 R² = 0,993
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
Konsentrasi BSA (mg/ml) d. Penentuan Aktivitas Enzim Spesifik Aktivitas enzim spesifik ditentukan berdasarkan hasil pembagian antara aktivitas enzim dengan kadar protein
𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 =
Aktivitas enzim Kadar protein
45
Lampiran 6. Hasil pengujian aktivitas enzim, kadar protein dan aktivitas spesifik
Kombinasi Bakteri
FLp1
FLs1+FLx3
FLp1+FLs1 +FLx3
Waktu (Hari)
1 2 3 4
Aktivitas enzim Selulase dan Protease xilanase (unit/ml) (nkat/ml) 30 37 30 37 1.01 0.62 0.13 0.00
1.12 0.67 0.00 0.00
Kadar protein (mg/ml) 30
37
0.071 0.089 0.093 0.096
0.073 0.090 0.094 0.096
Aktivitas spesifik Selulase dan Protease xilanase (unit/mg) (nkat/mg) 30 37 30 37 13.72 6.92 1.38 0.00
15.30 7.41 0.00 0.00
1
0.71
0.57
0.063
0.061
11.15
9.30
2
1.27
0.99
0.066
0.065
19.29
15.31
3
2.26
1.69
0.071
0.069
31.89
24.46
4
0.99
0.57
0.073
0.072
13.49
7.82
1
1.45
1.92
0.42
0.42
0.078
0.075
18.51
25.70
5.41
5.68
2
0.68
0.75
0.99
0.85
0.095
0.092
7.19
8.15
10.40
9.16
3
0.08
0.04
1.84
1.27
0.100
0.098
0.82
0.42
18.44
12.99
4
0.00
0.00
0.85
0.42
0.103
0.101
0.00
0.00
8.21
4.21
46
Lampiran 7. Hasil pengujian kadar gula pereduksi, total gula dan susut bobot
Kombinasi
FLp1
FLs1+FLx3
FLp1+ FLs1 +FLx3
Waktu (Hari)
Gula Pereduksi (mg/ml)
Total Gula (mg/ml)
Susut Bobot (%)
30
37
30o C
37o C
30o C
37o C
1
18.00
18.38
1401
1391
26.2
28.3
2
18.07
18.42
1402
1394
27.9
30.8
3
18.00
18.40
1397
1397
29.4
32.4
4
17.98
18.36
1402
1396
29.9
33.6
1
18.58
17.98
1418
1405
32.9
30.3
2
20.98
20.04
1450
1424
37.2
35.6
3
25.78
24.31
1492
1491
46.8
44.7
4
25.09
23.67
1447
1426
47.9
45.7
1
19.29
18.82
1439
1451
36.2
34.6
2
26.27
24.93
1456
1468
43.7
40.2
3
40.84
38.40
1544
1502
50.3
48.3
4
40.69
38.18
1485
1479
51.0
49.2
47
Lampiran 8. Hasil pengujian kadar kafein dan asam organik pada kopi hasil fermentasi
48
Lampiran 9. Hasil pengujian kadar kafein pada kopi luwak dan kopi arabika
49
50