FERMENTASI BIJI KOPI MENGGUNAKAN BAKTERI SELULOLITIK, XILANOLITIK DAN PROTEOLITIK ASAL LUWAK
SKRIPSI
SITI ZAHIROH F34080074
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
BEANS COFFEE FERMENTATION USING CELLULOLYTIC, XYLANOLYTIC AND PROTEOLYTIC BACTERIA FROM CIVET Siti Zahiroh, Erliza Noor and Anja Meryandini Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology and Engineering Bogor Agricultural University, Dramaga Campus, P.O. Box 220 Bogor 16002 West Java, Indonesia e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Civet coffee is fermented coffee which is produced naturally in the digestive tract of mongoose. The production of civet coffee is relied on the availability of the civet, therefore the production is costly. This research aim was to produce synthetic civet coffee by enzymatic fermentation.The enzymes were produced by cellulolytic, xylanolytic, and proteolytic bacteria that were isolated from civet feces. The combination treatment was examined the highest enzymatic production from different bacteriawiththe variation oftemperature during four days. During the fermentation, the produced enzymes were used for hidrolize the substrate. Enzymatic process was determined by changing the total and reducing of sugar, weight losses, protein content and the enzyme activity produced in the substrate. The fermentation was done by cellulolytic bacteria and combination of threebacteria. Alltreatment were resulledan approximate similarcaffein reduction (48%), however the nutrition content indicated by organic acid were shown that thecoffee fermentation has a low oxalic acid and higher butyric, lactic and ascorbic acid. Keywords :cellulolytic bacteria, proteolticybacteria,xylanolytic bacteria, civet feces, coffee pulp, fermentation
Siti Zahiroh. F34080074. Fermentasi Biji Kopi Menggunakan Bakteri Selulolitik, Xilanolitik dan Proteolitik Asal Luwak.Dibawah bimbingan Erliza Noor dan Anja Meryandini. 2013.
RINGKASAN Kopi merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang potensial di Indonesia. Jenis kopi yang tumbuh di Indonesia ada dua, yaitu kopi Robusta dan Arabika. Selain kedua jenis kopi tersebut, di Indonesia juga terdapat jenis kopi olahan lain yang mempunyai karakteristik berbeda yaitu kopi luwak. Kopi luwak diproduksi dari biji kopi yang difermentasi secara alami di dalam saluran pencernaan luwak dan dikeluarkan kembali sebagai biji kopi yang diselimuti kulit tanduk yang masih utuh tidak tercerna di dalam feses hewan luwak. Harga jual kopi luwak cukup tinggi sehingga sangat menguntungkan bagi para pegolah kopi tersebut. Penyebab mahalnya kopi luwak adalah rasa khas yang disebabkan oleh pengaruh enzim-enzim dari perut luwak tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi alternatif berupa metode fermentasi kopi luwak secara enzimatis menggunakan bakteri yang berasal dari feses luwak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kombinasi perlakuan terbaik dari isolat bakteri dalam kemampuannya menghidrolisis substrat berupa kulit kopi pada proses fermentasi dengan waktu dan suhu optimal, dan mengetahui perubahan asam organik serta kadar kafein. Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini yaitu selulolitik, proteolitik dan xilanolitik yang telah diisolasi dari feses luwak. Penelitian ini dilakukan menjadi dua tahap, yaitu seleksi terhadap bakteri proteolitik dengan beberapa parameter yang diamati yaitu zona bening, kurva tumbuh, aktivitas enzim, total plate count (TPC), kadar protein dan aktivitas spesifik yang diperoleh dari hasil pembagian kadar protein dengan aktivitas enzimnya. Fermentasi padat secara enzimatis menggunakan bakteri terbaik (FLs1, FLp1 dan FLx3) dan dilakukan kombinasi bakteri.Pada perlakuan bakteri tunggal yaitu dengan selulolitik (FLs1), kombinasi dua bakteri yaitu selulolitik (FLs1) dan proteolitik (FLp1), dan kombinasi tiga bakteri yaitu selulolitik (FLs1), xilanolitik (FLx3) dan proteolitik (FLp1). Fermentasi dilakukan selama 4 hari pada suhu 30oC dan 37oC. Setiap 24 jam dilakukan pengujian pada cairan hasil fermentasi yaitu aktivitas enzim, gula pereduksi, gula total, kadar protein, dan aktivitas spesifik enzim serta susut bobot pada kulit kopi. Biji kopinya diamati perubahan asam-asam organik dan kadar kafein menggunakan High Performance Liquid Chromatography HPLC. Bakteri proteolitik pada isolat FLp1 dan FLp2 dapat tumbuh dengan baik dan memiliki kemampuan untuk mendegradasi media pertumbuhannya. Isolat FLp1 merupakan isolat yang terbaik pada seleksi bakteri proteolitik dengan nilai aktivitas enzim tertinggi yaitu sebesar 1.4 unit/ml, sehingga dapat digunakan sebagai starter untuk mendegradasi substrat kulit kopi pada proses fermentasi. Fermentasi dengan perlakuan bakteri tunggal yaitu dengan selulolitik menunjukkan aktivitas enzim lebih tinggi pada suhu 30oC sebesar 78 mU/ml selama dua hari fermentasi dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 37oC. Gula pereduksi yang diperoleh sebesar 27.831 mg/ml dan gula total sebesar 1512.717 mg/ml, serta penurunan bobot sebesar 28.386%. Fermentasi dengan perlakuan kombinasi dua bakteri yaitu dengan selulolitik dan proteolitik menunjukkan aktivitas enzim selulolitik lebih tinggi pada suhu 30oC sebesar 87 mU/ml selama dua hari fermentasi dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 37oC, dan aktivitas enzim proteolitik
tertinggi sebesar 1.822 unit/ml selama 24 jam.Gula pereduksi yang diperoleh sebesar 27.803 mg/ml dan gula total sebesar 1459.865 mg/ml, serta penurunan bobot sebesar 31.388%. Fermentasi dengan perlakuan kombinasi tiga bakteri yaitu dengan selulolitik, xilanolitik dan proteolitik menunjukkan aktivitas enzim selulolitik dan xilanolitik lebih tinggi pada suhu 30oC sebesar 113 mU/ml selama tiga hari fermentasi dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 37oC, dan aktivitas enzim proteolitik tertinggi sebesar 1.509 unit/ml selama 24 jam. Gula pereduksi yang diperoleh sebesar 55.986 mg/ml dan gula total sebesar 1623.753 mg/ml, serta penurunan bobot sebesar 43.462%. Hasil analisa pada biji kopi terbaik hasil fermentasi menunjukkan perubahan pada asam organik dan kafein. Hal ini dibuktikan dengan hasil asam oksalat dan kadar kafein yang lebih rendah dibandingkan kopi luwak, serta tingginya asam butirat, asam laktat dan asam askorbat. Berdasarkan kandungan nutrisinya, kopi luwak enzimatis ini lebih baik dari kopi luwak. Perlu dikaji analisa dengan pengujian organoleptik, sehingga dapat mengetahui aroma dan rasa terhadap kopi hasil fermentasi secara enzimatis.
FERMENTASI BIJI KOPI MENGGUNAKAN BAKTERI SELULOLITIK, XILANOLITIK DAN PROTEOLITIK ASAL LUWAK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : SITI ZAHIROH F34080074
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Fermentasi Biji Kopi Menggunakan Bakteri Selulolitik, Xilanolitik dan Proteolitik Asal Luwak Nama : Siti Zahiroh NRP : F34080074
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof. Dr. Ir. Erliza Noor) 19600201198703 2 002
(Prof. Dr. Anja Meryandini, MS)NIP. NIP. 19620327 198703 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Fermentasi Biji Kopi Menggunakan Bakteri Selulolitik, Xilanolitik dan ProteolitikAsal Luwak adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2013 Yang membuat pernyataan
Siti Zahiroh F34080074
© Hak cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 16 September 1990. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sudarto dan Ibu Nartiyah. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 6 PG Duren Sawit, Jakarta Timur kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Rimba Teruna, Bogor pada tahun yang sama. Pendidikan selanjutnya ditempuh pada tahun 2005 di SMA Negeri 9 Bogor dan lulus pada tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2008 melalui Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam berbagai kegiatan di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin). Penulis juga aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Minyak Atsiri, mata kuliah Analisis Bahan dan Produk Agroindustri (ABPA) (2012). Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2011 di pabrik gula, PG. Ngadiredjo, Kediri, Jawa Timur dengan judul “Mempelajari Aspek Proses Produksi Gula dan Pengolahan Limbah di PG. Ngadiredjo PTPN X, Jawa Timur”. Penulis melakukan penelitian untuk memperoleh gelar sarjana dengan judul “Fermentasi Biji Kopi Menggunakan Bakteri Selulolitik, Xilanolitik dan Proteolitik Asal Luwak” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Erliza Noor dan Prof. Dr. Anja Meryandini, MS.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul FermentasiBiji Kopi Menggunakan Bakteri Selulolitik, Xilanolitik dan ProteolitikAsal Luwak. Shalawat serta salam senantiasa teriring kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah mendidik generasi terbaik menuju kehidupan mulia seluruh umat manusia. Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis telah berhasil menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor selaku dosen pembimbing utama yang telah banyak membantu dalam proses berlangsungnya penelitian ini serta membimbing dan mengarahkan penulis dalam berbagai kegiatan akademik termasuk penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Anja Meryandini, M.S selaku dosen pembimbing pendamping yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku dosen penguji atas kritik dan saran yang diberikan kepada penulis. 4. Kedua orang tua tercinta yang dengan tulus dan tidak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang dan memberikan nasihat dan semangat serta mendoakan penulis, serta kakak dan adikku tersayang atas nasihat dan semangat yang diberikan. 5. Ibu Nelly Pohan, yang telah mengasuh penulis dan selalu memberikan doa dan semangat hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Hazi, Kak Sri, Mbak Tiwik, Kak Pandu, Kak Ukit, Kak Eka, Kak Ike, Kak Janet, Kak Yesi, Bu Dewi, Teh Ipit, Anton dan Pak Iswadi atas bantuan, nasihat dan dukungan semangat yang diberikan selama penelitian berlangsung. 7. Seluruh teknisi dan laboran Lab. Bioteknologi Hewan, Lab. Instrumen 2, Lab Bioindustri dan Lab. Mikrobiologi (SEAFAST) atas bantuan dan arahannya. 8. Arum Nur Fitrah dan Amina Kurniasi Alu, terima kasih atas persahabatan yang terjalin selama ini. 9. Teman-teman TIN 45 atas dukungan dan kebersamaannya yang telah diberikan selama ini serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pembaca.
Bogor, April 2013 Siti Zahiroh
i
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i DAFTAR ISI .................................................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ................................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ v I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1 1.2 Tujuan ......................................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kopi ............................................................................................................................. 3 2.2Luwak ........................................................................................................................... 4 2.3 Fermentasi Media Padat ................................................................................................ 5 2.4 Enzim ........................................................................................................................... 6 2.5 Enzim Selulase ............................................................................................................. 7 2.6 Enzim Protease ............................................................................................................. 8 2.7 Enzim Xilanase............................................................................................................. 9 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................................... 11 3.2 Bahan dan Alat ............................................................................................................. 11 3.3 Metode Penelitian ......................................................................................................... 11 3.3.1 Penelitian Pendahuluan ........................................................................................ 11 3.3.2 Penelitian Utama ................................................................................................. 12 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan ................................................................................................. 14 4.1.1 Seleksi Bakteri Proteolitik .................................................................................... 14 4.1.2 Karakteisasi Biji dan Kulit Kopi ........................................................................... 18 4.2 Penelitian Utama .......................................................................................................... 18 4.2.1 Produksi Enzim Pada Kulit Kopi .......................................................................... 19 4.2.2 Kadar Protein dan Aktivitas Enzim Spesifik ......................................................... 22 4.2.3 Gula Total dan Gula Pereduksi ............................................................................. 23 4.2.4 Susut Bobot ......................................................................................................... 25 4.3 Kualitas Biji Kopi Hasil Fermentasi .............................................................................. 26 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 30 5.2 Saran ........................................................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 31 LAMPIRAN ........................................................................................................................... 36
ii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi kimia pada pulp kopi ................................................................................ 4 Tabel 2. Perbedaan fermentasi media cair dan fermentasi media padat ...................................... 6 Tabel 3. Hasil analisa kimia biji dan kulit kopi ......................................................................... 18 Tabel 4. Aktivitas enzim protease selama fermentasi pada suhu 30oC dan 37oC......................... 19 Tabel 5. Aktivitas enzim selulase dan xilanase selama fermentasi ............................................. 21 Tabel 6. Perubahan kadar protein selama fermentasi ................................................................. 22 Tabel 7. Aktivitas enzim spesifik selama fermentasi ................................................................. 23 Tabel 8. Perubahan gula total selama fermentasi....................................................................... 24 Tabel 9. Perubahan gula pereduksi selama fermentasi ............................................................... 25 Tabel 10. Perubahan susut bobot selama fermentasi.................................................................. 26 Tabel 11. Hasil analisa biji kopi menggunakan HPLC .............................................................. 27
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8.
Halaman Bagian-bagian buah kopi ....................................................................................... 4 Biji kopi hasil fermentasi luwak dalam penangkaran .............................................. 5 Skema hidrolisis enzimatik selulosa oleh kompleks selulase .................................. 8 Pembentukan zona bening di sekitar koloni bakteri (a) FLp1 dan (b) FLp2 pada media NA dengan susu skim diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam ................ 14 Kurva tumbuh bakteri proteolitik pada media nutrient broth skim diinkubasi dengan suhu 300 C selama 54 jam .......................................................................... 15 Kurva aktivitas enzim bakteri proteolitik pada media nutrient broth skimdiinkubasidengan suhu 300 C selama 54 jam ................................................... 16 Kurva kadar protein dan aktivitas enzim spesifikbakteri proteolitik pada media nutrient broth skimdiinkubasidengan suhu 300 C selama 54 jam............................. 17 Penurunan kadar kafein biji kopi setelah fermentasi dan kopi luwak....................... 28
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1Komposisi Media dan Pereaksi. .............................................................................. 37 Lampiran 2.Prosedur Analisis Proksimat Biji dan Kulit Kopi.................................................... 39 Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi..................................................................... 41 Lampiran 4. Prosedur Uji Aktivitas EnzimProtease .................................................................. 45 Lampiran 5. Prosedur Uji Aktivitas EnzimSelulase dan Xilanase ................................................46 Lampiran 6. Pengukuran Kadar Protein dengan Metode Bradford ............................................. 47
v
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Kopi merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan di Indonesia yang penting untuk ekspor, karenatelah memberikan sumbangan devisa bagi negara. Kopi bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun berasal dari Afrika. Produksi kopi tersebar hampir diseluruh daerah di Indonesia dan sebagian besar komoditas kopi dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Penduduk Indonesia banyak menikmati kopi sebagai minuman penyegar dengan cita rasa sangat khas. Pengembangan produk kopi dengan berbagai pengolahan memberikan keuntungan yang besar bagi Indonesia. Jenis kopi yang tumbuh di Indonesia ada dua, yaitu kopi Robusta dan Arabika. Kopi Robusta berasal dari tanaman Coffea canephora, sedangkan kopi Arabika berasal dari tanaman Coffea arabica. Selain kedua jenis kopi tersebut, di Indonesia juga terdapat jenis kopi olahan lain yang mempunyai karakteristik berbeda yaitu kopi luwak. Kopi luwak tidak berasal dari spesies kopi khusus, namun berasal dari kotoran hewan luwak. Kopi yang dimakan luwak hanya mengalami pencernaan sebagian dengan biji diselimuti kulit tanduk yang masih utuh, namun terjadi perubahan citarasa yang memiliki nilai jual tinggi. Faktor kebersihan dan kesehatan belum terlalu meyakinkan bagi konsumen karena kopi luwak dikeluarkan bersamaan dengan feses luwak. Kopi luwak berasal dari buah kopi yang dimakan oleh luwak (Paradoxurus hermaphroditus), sejenis mamalia kecil yang menyerupai musang dan merupakan hewan liar. Luwak melakukan seleksi terhadap kopi yang akan dimakan yaitu hanya buah kopi yang telah benar-benar matang. Harga jual kopi luwak cukup tinggi sehingga sangat menguntungkan bagi para pengolah kopi tersebut. Penyebab mahalnya kopi luwak adalah karena jumlahnya yang sangat terbatas. Dalam keadaan sehat, luwak mampu memakan sekitar 1 - 1,5 kg biji kopi gelondongan dan menghasilkan 2 ons biji kopi kering. Proses fermentasi menjadikan kopi luwak rendah kafein, dengan aroma yang khas, lebih harum dan dengan rasa yang lebih nikmat (Buldani 2011). Produksi kopi luwak dalam skala besar memerlukan penanganan yang baik agar diperoleh biji kopi dengan kualitas yang baik. Salah satu tahapan penting dalam penanganan pasca panen kopi adalah proses fermentasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi alternatif berupa metode fermentasi kopi luwak untuk proses produksi dalam jumlah yang besar. Pada fermentasi padat, media merupakan faktor penting yang mendukung pertumbuhandan pembentukanenzimolehkultur. Enzim merupakan molekul biopolimer yang tersusun atas serangkaian asam amino dalam komposisi dan susunan rantai yang teratur dan tetap, dan enzim dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Dewi (2012),yaitu isolasi dan seleksi bakteri xilanolitik dan selulolitik dari feses luwak yang mampu mendegradasi kulit kopi. Untuk bakteri xilanolitik menggunakan FLx3 dan FLs1 untuk bakteri selulolitik, sedangkan pada bakteri proteolitik terdapat dua isolat yaitu FLp1 dan FLp2 yang belum dilakukan seleksi. Setelah fermentasi, maka kulit kopi yang ditambahkan bakteri xilanolitik dan selulolitik mengalami penurunan bobot dan adanya perubahan struktur pada serat. Pada penelitian ini, akan dilakukan pembuatan kopi luwak sintetis secara enzimatis menggunakan 3 jenis bakteri terbaik dengan berbagai kombinasi menggunakan kopi Arabika yang telah diseleksi yaitu buah kopi yang telah matang dan berwarna merah.
1
1.2 TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh isolat terbaik dari bakteri proteolitik dengan indikator peningkatan aktivitas enzim tertinggi. 2. Mendapatkan perlakuan terbaik dari isolat bakteri (FLs1, FLp1 dan FLx3) melalui proses fermentasi pada kombinasi bakteri dengan suhu 300 C dan 370 C selama empat hari. 3. Mendapatkan kopi hasil fermentasi yang setara kopi luwak.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KOPI Kopi termasuk dalam kelompok tanaman semak dengan genus Coffea dan termasuk dalamfamili Rubiaceae. Beberapa jenis kopi yang banyak dijumpai yaitu Coffea Arabica (kopi Arabika), Coffea Robusta (kopi Robusta)dan Coffea Liberica (kopi Liberika). Tanaman kopi berasal dari Abessinia yang merupakan daerah tumbuh pada dataran tinggi. Di Indonesia, Robusta dan Arabika merupakan jenis kopi yang paling banyak ditanam. Tanaman kopi Robusta tumbuh baik di dataran rendah pada ketinggian sekitar 1000 m diatas permukaan laut dengan suhu sekitar 200C. Tanaman kopi Arabika tumbuh pada daerah-daerah dengan ketinggian sekitar 1700 m diatas permukaan laut dengan suhu sekitar 10-160C. Tanaman kopi Liberika dapat tumbuh di dataran rendah. Untuk tumbuh subur, kopi memerlukan curah hujan sekitar 2000-3000 mm setiap tahunnya serta memerlukan waktu musim kering sekurang-kurangnya 1-2 bulan pada waktu berbunga dan pada waktu musim pemetikan buah. Setelah berumur 4-5 tahun akan mulai berbuah tergantung pada pemeliharaan dan iklim setempat dengan hasil yang optimal mulai umur 8 tahun serta dapat berbuah selama 15-18 tahun, jika pemeliharaan tanaman kopi dilakukan dengan baik maka akan menghasilkan buah hingga umur sekitar 30 tahun (Ridwansyah 2003). Menurut Siswoputranto (1993), secara umum buah kopi Arabika akan matang setelah 8 bulan dari saat pembuahan, sedangkan pada kopi Robusta akan matang setelah 10 bulan. Buah kopi yang telah matang di pohon akan berwarna merah pada kulit buahnya dan matang tidak dalam waktu yang serentak semua, walaupun berasal dari satu kumpulan buah maupun dari asal cabang yang sama. Oleh karena itu, proses pemetikan buah kopi harus dilakukan secara manual dan selektif terhadap buah yang telah matang saja untuk dapat menghasilkan kopi yang bermutu baik.Klasifikasi tanaman kopi menurut Hasbi (2009) dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut : Kingdom Divisi Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Spermatophyta (tanaman berbiji) : Angiospermae : Dycotiledoneae : Rubiales : Rubiaceae : Coffea : Coffea sp.
Buah kopi terdiri atas empat bagian, yaitu : biji kopi (endosperm), kulit biji (endokarp), lapisan lendir (mucilage atau mesokarp) dan pulp (eksokarp). Pengolahan buah kopi sehingga menjadi kopi beras menghasilkan empat macam hasil samping, yaitu: pulp kopi, lendir (mucilage), air bekas pencucian dan kulit biji kopi. Pulp kopi merupakan limbah pertama yang diperoleh dalam pengolahan buah kopi dan merupakan bagian terbesar dari hasil samping yang dihasilkan.Daging buah kopi merah yang telah masak mengandung lendir dan senyawa gula yang rasanya manis. Lapisan lendir ini pada buah muda sangat sedikit dan bertambah hingga buah masak kemudian berkurang apabila buah telah lewat matang(Yusianto dan Mulato 2003). Bagian-bagian pada buah kopi disajikan pada Gambar 1 dan Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia pulp kopi.
3
Lapisan kulit luar Lapisan daging buah Lapisan kulit tanduk Kulit ari Biji
Gambar 1. Bagian-bagian buah kopi Sumber : Najiyanti dan Danarti (2006) Tabel 1. Komposisi kimia pada pulp kopi Komponen
Segar
Kering Fermentasi alamiah dan kering
Air (%) Bahan kering (%)
76,7 23,3
12,6 87,4
7,9
Lemak (%)
0,48
2,5
2,6
Serat (%)
3,4
21,0
20,8
Protein (N x 6,25) (%)
2,1
11,2
10,7
Abu (%)
1,5
8,3
8,8
Ekstrak bebas N (%)
15,8
44,4
49,2
92,1
Sumber : Elias (1979)
2.2 LUWAK Kopi luwak merupakan biji kopi biasa yang dimakan oleh luwak (sejenis musang). Indonesia merupakan negara pertama yang menghasilkan kopi luwak dan terkait erat dengan sejarah pembudidayaan tanaman kopi di Indonesia pada awal abad ke-18. Luwak adalah salah satu jenis mamalia liar yang dapat ditemui di sekitar pemukiman dan bahkan di perkotaan, dan berkeliaran di atas pepohonan. Luwak bersifat nokturnal atau aktif di malam hari untuk mencari makanan dan merupakan binatang omnivora meskipun paling banyak memakan buah-buahan. Menurut Panggabean (2011a), buah yang biasa dimakan luwak adalah pepaya, nangka, kopi, dan beberapa jenis buah hutan. Klasifikasi luwak menurut Corbet and Hill (1992) adalah sebagai berikut: Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies
: Animalia : Chordata : Mamalia : Carnivora : Viverridae : Paradoxurinae : Paradoxurus : P. hermaphroditus
4
Di tempat-tempat yang biasa dilalui oleh luwak yaitu di atas batu atau tanah yang keras, seringkali ditemukan tumpukan kotorannya dengan aneka biji-bijian yang tidak tercerna di dalam perutnya. Menurut Cranbrook (1987), pencernaan luwak terlihat begitu singkat dan sederhana, sehingga biji-biji tersebut keluar lagi dengan kondisi utuh karena luwak memilih buah yang telah masak untuk menjadi santapannya. Maka terkenal istilah kopi luwak dari Jawa, yang menurut petani diperoleh dari biji kopi hasil pilihan luwak dan telah mengalami ‘proses’ melalui pencernaannya. Buah kopi yang dimakan oleh luwak hanya kopi yang telah benar-benar matang. Buah kopi yang dimakan oleh luwak tidak mengalami pencernaan secara sempurna. Namun, bagian buah yang dicerna hanya pada bagian kulit buah yang berwarna merah saja, kemudian meninggalkan biji yang masih utuh terlapisi oleh kulit kerasnya (kulit tanduk). Kopi luwak sudah mengalami proses fermentasi secara alami di dalam pencernaan hewan luwak. Proses fermentasi alami dalam perut luwak memberikan perubahan komposisi kimia pada biji kopi dan dapat meningkatkan kualitas rasa kopi, karena selain berada pada suhu fermentasi optimal, juga dibantu dengan enzim dan bakteri yang ada pada pencernaan luwak. Mutu kopi hasil hewan luwak lebih baik dari pada kopi fermentasi biasanya karena adanya enzim tripsin dibentuk dalam kelenjar ludah dan pepsin yang dihasilkan organ pangkreas. Biji kopi hasil fermentasi oleh luwak dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Biji kopi hasil fermentasi luwak dalam penangkaran Sumber : Buldani (2011)
2.3 FERMENTASI MEDIA PADAT Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah pada limbah kulit kopi adalah penggunaannya dalam pengolahan secara biologis dengan fermentasi. Menurut Winarno et al. (1980), fermentasi adalah proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan proses oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu yang diinginkan. Fermentasi pada dasarnya merupakan suatu proses enzimatik dimana enzim yang bekerja mungkin sudah dalam keadaan ter-isolasi yaitu dipisahkan dari selnya atau masih terikat di dalam sel tersebut. Reaksi enzim dapat terjadi sepenuhnya di dalam sel karena enzim yang bekerja berada di dalam sel (intraselular) dan dapat pula terjadi di luar sel (ekstraselular). Enzim pemecah makromolekul pada umumnya bersifat ekstraselular, yaitu diproduksi di dalam sel kemudian dikeluarkan ke substrat di sekeliling sel tersebut. Makromolekul yang menjadi substrat utama untuk kebutuhan mikroba fermentasi perlu dipecah menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana, disinilah peran enzim-enzim ekstraselular. Contohnya yaitu makromolekul pati dipecah oleh amilase sehingga berubah menjadi glukosa yang dapat masuk ke dalam sel untuk metabolisme sel (Fardiaz 1989). Menurut medianya proses fermentasi dibedakan menjadi dua, yaitu fermentasi media padat dan fermentasi media cair. Fermentasi media padat merupakan proses fermentasi yang substratnya tidak
5
larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi kandungan airnya mencukupi kebutuhan mikroba tersebut. Fermentasi media padat telah banyak diterapkan pada berbagai proses fermentasi karena proses fermentasi media padat sudah lebih awal dikenal dibandingkan dengan fermentasi media cair. Menurut Senez (1979), beberapa produk yang dihasilkan dari fermentasi medium padat antara lain adalah glukosa, etanol, bioetanol dan asam sitrat serta produk tradisional seperti tempe yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Menurut Satiawiharja (1984) fermentasi media padat biasanya menggunakan substrat tunggal, seperti biji-bijian utuh atau limbah padat yang mengandung karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Oleh sebab itu, penambahan zat lain yang diperlukan biasanya hanya air. Zat hara lainnya yang tidak dikandung oleh substrat dapat ditambahkan bersama air yang digunakan untuk melembabkan substrat, sehingga mempunyai kesederhanaan dalam persiapan medianya. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan persiapan proses fermentasi media padat, diantaranya sifat substrat yaitu terutama derajat kristalisasi dan polimerisasinya, dan sifat mikroorganisme karena masingmasing mikroorganisme mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memecah komponen substrat untuk keperluan metabolisme. Perbedaan lebih spesifik antara fermentasi media padat dan media cair menurut Rimbault (1998) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan fermentasi media cair dan fermentasi media padat Faktor
Fermentasi media cair
Fermentasi media padat
Substrat
Media cair dengan nutrisi larut air
Media padat dengan nutrisi larut dan tidak larut air
Higienitas kondisi
Harus steril dan aseptis
Tidak harus steril
Konsumsi air
Lebih tinggi
Lebih rendah
Panas yang dihasilkan
Lebih merata
Kurang merata
Penggunaan aerasi buatan
Mutlak
Tidak mutlak
Pengendalian pH
Lebih mudah
Lebih sukar
Pengocokan
Diperlukan
Tidak diperlukan
Konsentrasi produk
Lebih rendah
Lebih tinggi
Homogenitas kultur
Lebih baik
Kurang baik
Sumber : Rimbault (1998)
2.4ENZIM Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Enzim bekerja dengan urutan yang teratur, mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menguraikan molekul nutrien, yaitu reaksi yang menyimpan dan mengubah energi kimiawi, serta membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana (Lehninger 1988). Menurut Suhartono (1989), sumber enzim adalah organisme hidup yaitu pada tanaman, hewan dan mikroba, karena fungsi alamiah enzim adalah sebagai katalisator di dalam reaksi kehidupan. Walaupun demikian, enzim dari mikroba mempunyai kecenderungan lebih banyak dipakai saat ini disebabkan beberapa alasan antara lain adalah kemudahan pertumbuhan, produktivitas yang tinggi, sifat yang dapat diubah ke arah yang lebih menguntungkan dan berkembangnya pengetahuan mengenai teknik fermentasi, mutasi dan rekayasa genetik. Enzim adalah protein yang mengkatalisa berbagai reaksi kimia. Senyawa kompleks enzim berasal dari sel hidup dan berfungsi sebagai katalis dalam reaksi-reaksi yang terlibat dalam
6
metabolisme makhluk hidup. Enzim relatif peka terhadap kondisi lingkungan seperti pH, suhu dan adanya beberapa bahan organik dan anorganik (Considine 1983). Berdasarkan tipe reaksi yang dikatalisanya, Winarno (1983) menyatakan bahwa semua enzim dapat dibagi menjadi enam kelompok besar, yaitu kelompok enzim oksidoreduktase, transferase, hidrolase, liase, isomerase dan ligasse. Enzim oksidoreduktase adalah enzim yang dapat mengkatalisa reaksi oksidasi atau reduksi suatu bahan. Enzim transferase adalah enzim yang ikut serta dalam reaksi pemindahan (transfer) suatu radikal atau gugus. Enzim hidrolase mengkatalisa hidrolisa suatu substrat atau pemecahan substrat dengan pertolongan air. Enzim isomerase mengkatalisa reaksi-reaksi isomerisasi. Enzim ligase bekerja mengkatalisa pembentukan ikatan-ikatan tertentu. Menurut Webb (1979), ada dua tipe enzim berdasarkan tempat berlangsungnya reaksi, yaitu enzim ekstraseluler dan enzim intraseluler. Enzim ekstraseluler melangsungkan reaksi di luar sel, sedangkan enzim intraseluler melangsungkan reaksinya di dalam sel. Fungsi utama dari enzim ekstraseluler yaitu mengubah senyawa-senyawa yang berada dalam media di sekitar sel, sehingga dapat dimanfaatkan oleh sel tersebut, contohnya adalah protease dan amilase yang menguraikan protein dan pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana. Enzim intraseluler antara lain berperan melakukan sintesis bahan seluler yang diperlukan oleh sel, contohnya adalah heksokinase mengkatalisis fosforilasi glukosa dan heksosa (senyawa-senyawa gula sederhana) di dalam sel. Aunstrup (1979) menyatakan bahwa enzim merupakan senyawa kimia yang kompleks, tetapi metoda yang digunakan untuk memproduksi enzim ekstraseluler sangat sederhana yaitu mikroorganisme dibiakkan pada media yang cocok dan selanjutnya diperoleh enzim. Metoda umum untuk memproduksi enzim ekstraseluler terdiri atas tiga tahap, yaitu produksi strain, fermentasi dan pemanenan. Faktor yang paling penting dalam memproduksi enzim ekstraseluler adalah kombinasi yang optimum dari pada strain mikroorganisme terpilih, kondisi fermentasi yang cocok dan metoda pemanenan yang tepat.Selain itu, enzim ekstraseluler berada dalam kondisi yang relatif murni dalam biakan cair, sedangkan enzim intraseluler memerlukan cara pemisahan dan pemurnian yang lebih rumit.
2.5ENZIM SELULASE Menurut Mandels et al. (1976), selulase merupakan enzim yang sangat penting peranannya dalam proses biokonversi limbah-limbah organik berselulosa menjadi glukosa, makanan ternak dan etanol. Prinsip utama produksi selulase yaitu dihasilkan oleh mikroorganisme yang diinkubasi dalam substrat yang diperkaya dengan nutrien pendukung seperti nitrogen dan fosfat. Mikroorganisme berperan sebagai pemecah glukosa yang terdapat dalam substrat. Aktivitas mikroorganisme sangat dipengaruhi kondisi lingkungan pada saat inkubasi seperti kandungan nutrien, oksigen bagi organisme aerob dan derajat keasaman (pH). Selulosa (C 6 H10 O 5 )n adalah polisakarida karbohidrat yang terdiri atas monomer beta-glukosa. Selulosa merupakan komponen struktural utama dari tumbuhan dan tidak dapat dicerna oleh manusia. Hidrolisis selulosa oleh aktifitas tanaman sendiri sangat terbatas. Tetapi sejumlah kapang dan bakteri yang hidup dari substrat hasil-hasil pertanian dapat menghasilkan sejenis enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Enzim selulase merupakan kumpulan dari beberapa enzim yang bekerja bersama untuk hidrolisis selulosa. Mikroorganisme tertentu menghasilkan partikel yang dinamakan selulosom. Partikel inilah yang akan terdisintegrasi menjadi enzim-enzim, yang secara sinergis mendegradasi selulosa (Belitz et al. 2008).
7
Selulase merupakan enzim kompleks yaitu bekerja secara sinergis satu sama lain. Menurut Miyamoto (1997), selulase terdiri dari tiga komponen enzim yang penting yaitu endoglukanase, selobiohidrolase dan β-glukosidase, yaitu : 1. Endoglukanase Enzim ini berfungsi memotong secara acak ikatan selulosa menjadi selooligosakarida. Enzim ini aktif menyerang pada bagian selulosa yang tersubstitusi seperti CMC. 2. Selobiohidrolase/Eksoglukanase Enzim ini menyerang ujung rantai selulosa non-pereduksi dan membebaskan selobiosa dari rantai selulosa. 3. β-glukosidase Enzim ini menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Skema hidrolisis oleh selulase disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema hidrolisis enzimatik selulosa oleh kompleks selulase (Enari 1983) Gambar 3 menunjukkan hidrolisis selulosa oleh kompleks selulase yang tahapannya adalah : 1. Endoglukanase menyerang daerah amorf pada selulosa dan membuka rantai selulosa sehingga memberi jalan untuk selobiohidrolase. 2. Selobiohidrolase melepaskan selobiosa dari ujung rantai selulosa. 3. Endoglukanase menyerang lapisan kedua selulosa yang diikuti oleh kerja selobiohidrolase. 4. β-glukosidase menghidrolisis selooligosakarida dan selobiosa menghasilkan glukosa.
2.6 ENZIM PROTEASE Menurut Nomenclatur Committee of The International Union of Biochemistry and Molecular Biology, protease diklasifikasikan ke dalam kelashidrolase yang berfungsi untuk mengkatalisis reaksi hidrolisis dengan subkelompok 4 (khusus enzim yang bekerja pada ikatan peptida). Protease juga digolongkan menjadi proteinase dan peptidase, peptidaseditujukan bagi protease pemecah peptida
8
sedangkan proteinase berfungsi untukmengkatalis hidrolisis molekul protein menjadi fragmenfragmen besar (Muchtadiet al. 1992 dan Suhartono 1989). Protease dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, yaitu protease tanaman, hewan, dan mikroba. Menurut Suhartono (1992), protease juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu endoprotease dan eksoprotease berdasarkan letak pemecahan ikatan peptidanya. Eksoprotease menguraikan protein dari ujung rantai sehingga dihasilkan satu asam amino dan sisa peptida, kemudian pada tingkat berikutnya akan dihasilkan beberapa asam amino. Kelompok endoprotease hanya mengurai peptida pada bagian dalam rantai protein, sehingga dihasilkan peptida dan polipeptida serta menghasilkan asam amino dalam jumlah yang terbatas. Spesifitas beberapa endoprotease lebih komplek, misalnya tripsin yang menghidrolisis ikatan peptida pada asam amino metionin, kemotripsin memecah ikatan peptida pada sisi lisin dan arginin. Jika dilihat dari lingkungan kerja enzim protease maka protease dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu protease asam (seperti renin dan pepsin), protease netral (seperti papain, bromelin dan tripsin pankreas), serta protease alkali (protease bakteri). Enzim protease berdasarkan letak pengeluarannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu protease ekstraselular dan protease intraselular. Protease ekstraselular diperlukan makhluk hidup untuk menghidrolisis nutrisi protein menjadi peptida kecil dan asam amino, sehingga dapat diserap dan dimanfaatkan oleh sel. Protease intraselular bertanggung jawab terhadap degradasi proteolitik secara cepat dan tidak dapat kembali bagi protein sel yang fungsinya tidak diperlukan lagi, atau protein abnormal yang tidak bermanfaat bahkan mengganggu metabolisme sel tersebut. Produksi enzim protease dari mikroba dilakukan melalui proses fermentasi. Proses fermentasi yang digunakan dapat menggunakan kultur terendam maupun kultur permukaan. Media cair dapat menggunakan kultur terendam maupun kultur permukaan, sedangkan media padat hanya dapat menggunakan kultur permukaan. Kelebihan kultur permukaan adalah rendahnya masalah kontaminasi dan cara pengoperasiannya lebih sederhana. Media yang digunakan dalam fermentasi harus memiliki kriteria tertentu, antara lain dapat memproduksi produk atau biomassa dengan hasil maksimum untuk setiap g substrat yang digunakan. Selain itu, media juga harus memungkinkan pembentukan produk fermentasi dengan laju maksimum dan menekan pembentukan produk fermentasi yang tidak diinginkan.
2.7ENZIM XILANASE Hemiselulase adalah kelompok enzim yang mempunyai kemampuan menghidrolisis hemiselulosa. Hidrolisis sempurna dari berbagai hemiselulosa dapat dipantau dari jumlah D xilosa, Larabinosa dan asam D-glikuronat yang dihasilkan. Karena kemampuannya dalam menghidrolisis xilan, maka hemiselulase juga biasa disebut xilanase. Xilanase mendegradasi xilan yang merupakan komponen utama hemiselulosa.Struktur kimia xilan, bila dibandingkan dengan pati dan selulosa, lebih heterogen. Hal ini menyebabkan xilanase lebih banyak mengandung berbagai komponen enzim. Menurut Reilly (1981) di dalam Irawadi (1991) xilanase dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu βxilosidase, eksoxilanase dan endoxilanase. β-xilosidase memiliki kemampuan untuk menghidrolisis xilooligosakarida rantai pendek menjadi xilosa. Xilosa, selain merupakan produk hidrolisis, juga merupakan inhibitor bagi β-xilosidase. Aktivitas β-xilosidase akan menurun dengan meningkatnya rantai xilooligosakarida. Eksoxilanase memutus rantai polimer pada ujung-ujung reduksi. Enzim eksoxilanase yang dihasilkan oleh Bacillus pumilus dan Malbranca pulchella dapat menghidrolisis xilan, menghasilkan xilosa sebagai produk utama dan sejumlah kecil oligosakarida rantai pendek. Adapun enzim-enzim yang termasuk dalam kelompok endoxilanase adalah enzim yang memutus ikatan-ikatan β-1-4 pada bagian dalam dari rantai
9
xilan secara teratur. Keheterogenan substrat menyebabkan terdapat berbagai macam enzim yang dikelompokkan pada endoselulase. Kelompok enzim yang dapat memutus titik-titik cabang dapat digunakan untuk menghasilkan xilosa. Secara umum xilanase menyerang rantai xilosidik bagian dalam pada rangka dasar dan β-xilosidase melepaskan residu xilosil dengan serangan arah ke ujung dari xilooligosakarida (Cho et al. 1996). Hemiselulosa merupakan komplek polimer karbohidrat yang menyusun sekitar 25 – 30% berat kering total kayu. Hemiselulosa termasuk suatu polisakarida dengan berat molekul yang lebih rendah dari selulosa. Hemiselulosa terdiri atas monomer-monomer gula, antara lain: D-xilosa, D-manosa, Dgalaktosa, D-glukosa, L-arabinosa, asam 4-O-metil glukuronat, aam D-galakturonat dan asam Dglukuronat. Monomer-monomer gula tersebut dihubungkan melalui ikatan β-1,4-glikosidik dan ikatan β-1,3-glikosidik. Perbedaan utama hemiselulosa dengan selulosa adalah hemiseluloa memiliki percabangan dengan rantai lateral pendek yang terdiri atas gula yang berbeda. Berbeda dengan selulosa, hemiselulosa merupakan polimer yang mudah dihidrolisis, tidak membentuk agregat meskipun hemiselulosa diko-kristalisasi dengan rantai selulosa (Perez et al. 2002). Menurut Subramaniyan dan Prema (2002), xilosa yang dibebaskan oleh endoxilanase selama hidrolisis xilan tetapi tidak memiliki aktivitas untuk xilobiosa yang dengan mudah dihidrolisis oleh β-xilosidase. Endoxilanase terutama dihasilkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri dan fungi. Menurut Beg et al.(2001), saat ini enzim xilanolitik mendapat perhatian terutama karena memiliki potensi yang besar untuk diaplikasikan pada berbagai industri. Beberapa aplikasi xilanase diantaranaya adalah: 1. Xilanase digunakan untuk konversi xilan menjadi xilosa pada air limbah di industri makanan dan hasil pertanian, serta memberikan prospek baru dalam penanganan limbah hemiselulosik. 2. Xilanase bersama dengan selulase dan pektinase dimanfaatkan untuk menjernihkan sari buah, ekstraksi kopi, minyak nabati dan pati, likuifikasi buah dan sayuran. 3. Dalam memberikan aroma pada jus anggur yang belum difermentasi (must), minuman anggur (wine) dan jus buah dapat menggunakan α-L-Arabinosidase dan β-D-glukopiranosidase. 4. Xilanase bersama dengan enzim lain, seperti mananase, ligninase, xilosidase, glukanase, glukosidase dan lain-lain, dapat digunakan untuk menghasilkan bahan bakar nabati (biofuel) seperti etanol, serta xilitol dari bahan berlignoselulosa.
10
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2012 di Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) dan Laboratorium Bioindustri Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan adalah buah kopi Arabika dan sumber isolat (selulolitik, xilanolitik dan proteolitik) yang berasal dari feses luwak yang diperoleh dari perkebunan kopi di Desa Pangalengan, Bandung. Mikroorganisme yang digunakan adalah proteolitik (FLp1), xilanolitik (FLx3) dan selulolitik (FLs1). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, ketiga bakteri tersebut telah diidentifikasi yaitu : FLs1 (Proteus penneri), FLp1 (Bacillus aerophillus) dan FL3 (Stenotrophomonas sp MH 34).Media yang digunakan meliputi media xilan (birchwood) untuk bakteri xilanolitik, media Carboxy Methyl Cellulose (CMC) untuk bakteri selulolitik dan media NA dengan susu skim untuk bakteri proteolitik. Komposisi media disajikan pada Lampiran 1. Bahan-bahan kimia yang digunakan meliputi aquades, H2 SO 4 untuk pengukuran analisa total gula, NaCl fisiologis, Asam Dinitro Salisilat (DNS) dan bufer fosfat untuk pengukuran aktivitas enzim, fenol 5%, BSA (Bovine Serum Albumin) untuk pengukuran kadar protein, buffer tris HCl (0.2 M) pH 8, buffer kasein, tirosin standar, asam trikloroasetat, Na 2 CO 3, pewarna folin,dan alkohol 70% . Peralatan yang digunakan meliputi saringan 40 mesh, pisau, blender, spektrofotometer, sentrifuse, Laminar Air Flow, shaker inkubator, vortex, timbangan analitik, pipet mikro, erlenmeyer, pH meter, botol durham, cawan petri, jarum inokulasi, bunsen, oven, tabung reaksi, tabung eppendorf, tabung sentrifuse, autoklaf, penangas air, alat-alat gelas dan berbagai peralatan laboratorium mikrobiologi lainnya.
3.3 METODE PENELITIAN 3.3.1. Penelitian Pendahuluan 3.3.1.1 Seleksi Bakteri Proteolitik a. Peremajaan Isolat Proteolitik Kedua isolat proteolitik masing-masing FLp1 dan FLp2 diremajakan pada media padat susu skim 1%, komposisi media disajikan pada Lampiran 2. Isolat diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. b. Uji Kemampuan Proteolitik Dua isolat (FLp1 dan FLp2) ditumbuhkan pada media padat susu skim dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah itu dilakukan pengamatan terhadap adanya zona bening yang terbentuk, yang mengindikasikan aktivitas protease.
11
c. Pembuatan Kurva Tumbuh, Pengukuran Aktivitas Enzim dan Aktivitas Spesifik Inokulum dibuat dengan tiga corkborrer kultur bakteri hasil peremajaan yang telah diinkubasi selama 24 jamdiinokulasikan ke dalam 100 ml media cair susu skim 1% kemudian diinkubasi dalam shaker pada kecepatan 100 rpm dengan suhu 300 Cselama 24 jam.Volume inokulum yang dimasukkan ke dalam media kultur sebesar 1 ml (106 sel/ml) dan diinkubasi dalam shaker pada suhu 300 C dengan kecepatan 100 rpm. Setiap 6 jam sekali dilakukan pengukuran Optical Density (OD) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nmdan pengukuran aktivitas enzim dengan menggunakan metode Kunits (Walter 1984) (Lampiran 4).Kadar protein ditentukan dengan metode Bradford (1976). Pengukuran absorbans dilakukan pada panjang gelombang 595 nm (Lampiran 6). Aktivitas spesifik dapat dihitung berdasarkan nilai aktivitas enzim yang diperoleh dibagi dengan kadar proteinnya. d. Total Plate Count (TPC) Pada isolat FLp1 dan FLp2 diambil sebanyak 0.1 ml dari masing-masing kultur cairnya,selanjutnya dilakukan pengenceran berseri 10-1 sampai 10-8 dengan NaCl fisiologis.Dari setiap pengencerandiambil 0.1 ml kemudian disebar ke dalam cawan petri berisi media pada sususkim, diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Koloni yang tumbuhkemudian dihitung. 3.3.1.2 Karakterisasi Bahan Baku Analisis proksimat dilakukan pada buah kopi yaitu bagian kulit kopi dan biji kopi yang meliputi kadar air, abu, lemak, protein dan serat kasar. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 2.
3.3.2. Penelitian Utama 3.3.2.1 Persiapan Substrat Buah kopi yang sudah masak (berwarna merah) dipisahkan antara kulit dengan biji kopinya. Kulit kopi dikeringkan di bawah sinar matahari selama + 24 jam hingga kadar air + 14%. Kemudian kulit kopi dihaluskan menggunakanblender dan diayak dengan saringan 40 mesh. 3.3.2.2 Persiapan Inokulum Isolat yang akan digunakan sebagai inokulum pada media fermentasi diremajakan terlebih dahulu.Isolat terpilih diremajakan dengan menggores pada media padat di cawan petri yaitu media xilan untuk bakteri xilanolitik (FLx3), media CMC untuk bakteri selulolitik (FLs1) dan media NA dengan susu skim untuk bakteri proteolitik (FLp1) kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Sebanyak dua corkborrer kulturbakteri hasil peremajaan diinokulasikan ke dalam media cair, kemudian diinkubasi dalam shaker pada kecepatan 100 rpm dengan suhu 300 C dan 370 C selama 18 jam untuk bakteri selulolitik (FLs1) dan bakteri proteolitik (FLp1), sedangkan untuk bakteri xilanolitik (FLx3) selama 22 jam.
12
3.3.2.3Fermentasi Biji kopi dan kulit kopi ditimbang sebanyak 30 g, kemudian ditambah dengan akuades steril sebanyak 10 ml. Semua bahan tersebut berada dalam botol, kemudian disterilisasi dengan autoklaf selama 20 menit dengan suhu 1210 C. Setelah itu, bahan kopi tersebut dibiarkan hingga dingin. Setiap botol ditambah dengan starter sebanyak 10%. Starter dicampur secara merata, kemudian botol ditutup kembali dan disimpan dalam inkubator pada suhu 300 C dan 370 C selama 4 hari. Terdapat tiga perlakuan berbeda dalam penambahan inokulum, yaitu :
Perlakuan Tunggal
FLs1
Jumlah inokulum FLp1
FLx3
3 ml
-
-
Kombinasi 2
1.5 ml
1.5 ml
-
Kombinasi 3
1 ml
1 ml
1 ml
3.3.2.4 Pengujian Cairan Hasil Fermentasi Pengujian pada cairan hasil fermentasi bertujuan untuk mengetahui mekanisme kerja enzim dalam menghidrolisis kulit kopi yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi karbohidrat yaitu gula total dan gula pereduksi, kadar protein, pengukuran aktivitas enzim dan susut bobot. Setiap 24 jam diambil sampel dari botol fermentasi untuk setiap suhu. Kemudian dilakukan pengenceran dengan ditambahkan 100 ml akuades steril ke dalam masing-masing botol tersebut dan diaduk agar merata. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan kertas saring untuk memisahkan cairannya dengan (kulit kopi dan biji kopi).Kulit kopi yang telah terpisah dari cairan fermentasi dikeringkan dalam oven dengan kertas saringnya selama 24 jam untuk mengamati perubahan bobot kulit kopi (susut bobot). Biji kopinya disimpan dalam freezer untuk diamati perubahan asam-asam organik menggunakan HPLC. Cairan hasil saringan tersebut di sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu 40 C untuk memperoleh enzim ekstrak kasar. Kemudian dilakukan analisa terhadap supernatantersebut yaitu pengukuran aktivitas enzim, kadar protein, gula total dan gula pereduksi.
13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyeleksi bakteri proteolitik terbaik sebagai starter proteolitik dalam fermentasi. Tahapan penelitian pendahuluan terdiri atas beberapa parameter yang diamati yaitu zona bening, kurva tumbuh, aktivitas enzim,total plate count (TPC), kadar protein dan aktivitas spesifik yang diperoleh dari hasil pembagian kadar protein dengan aktivitas enzimnya. Parameter yang dijadikan dasar untuk penetapan bakteri terpilih adalah nilai aktivitas enzim tertinggi.
4.1.1 Seleksi Bakteri Proteolitik Isolat bakteri protease diperoleh dari isolasi biji kopi hasil fermentasi yang ada pada feses luwak dan diperoleh dua isolat dengan kode FLp1 dan FLp2. Isolat bakteri yang ditumbuhkan pada mediaNA dengan susu skim membutuhkan waktu tumbuh sekitar 24 jam. Menurut Fardiaz (1992), kemampuan tumbuh mikroorganisme bergantung pada kondisi pH, suhu, waktu inkubasi, dan konsentrasi substrat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengamatan visual berdasarkan difusi zona bening (halo) yang terbentuk di sekitar koloni yang mengandung susu skim 1% (Gambar 4). Penambahan susu skim 1% ke dalam media NA berfungsi untuk menginduksi sel bakteri dalam mensintesis protease. Menurut Suhartono (1989), beberapa senyawa karbon sumber energi menimbulkan pengaruh induktif bagi sintesis enzim-enzim tertentu, dan biasanya substrat bagi enzim berfungsi sebagai senyawa induksi.
a
b
Gambar 4. Pembentukan zona bening di sekitar koloni bakteri (a) FLp1 dan (b) FLp2 pada media NA dengan susu skim diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam Pembentukan zona bening di sekitar koloni menunjukkan adanya degradasi senyawa protein oleh enzim-enzim ekstraseluler (proteolitik) yang dihasilkan bakteri. Menurut Suhartono (1991), untuk beberapa produk ekstraseluler, dapat dihubungkan tingkat produktivitas galur dengan ukuran radius daerah difusi produk yang dikeluarkan dari koloni mikroba yang ditumbuhkan pada media padat. Media yang digunakan mengandung senyawa “inducer” bagi produk yang diinginkan dan bebas dari senyawa-senyawa yang mungkin mengganggu sintesis enzim yang bersangkutan. Tujuan penumbuhan pada media dengan penambahan susu skim ini adalah untuk menguji kemampuan isolat FLp1 dan FLp2 dalam menghasilkan enzim protease. Zona bening yang terbentuk
14
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0
6
12
18
24 30 36 Waktu (Jam)
42
48
Log [jumlah sel]
OD
setelah masa inkubasi bakteri selama 24 jam menunjukkan bahwa protein pada susu telah dipecah oleh protease yang dihasilkan dari bakteri hasil isolasi menjadi asam amino. Diameter zona bening terbesar dari kedua bakteri proteolitik tersebut dihasilkan oleh isolat FLp1 sedangkan pada isolat FLp2 zona bening yang dihasilkan sangat kecil. Kedua isolat memiliki ciri dan warna yang berbeda, isolat FLp1 berwarna putih susu dan berbentuk bundar sedangkan isolat FLp2 berwarna kuning mentega dengan tepian yang bercabang. Perbedaan tersebut dapat disebabkan perbedaan fisiologi dari kedua isolat tersebut. Pertumbuhan isolat FLp1 dan FLp2 pada media cair skim diamati melalui pengukuran kekeruhan (Optical Density) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Menurut Fardiaz (1987), pertumbuhan mikroba terdiri atas empat fase yakni fase awal (fase lag), fase eksponensial, fase stasioner dan fase penurunan (kematian). Fase awal merupakan tahapan awal dalam pertumbuhan mikroorganisme, pada fase ini belum terjadinya perbanyakan sel namun hanya terjadi peningkatan massa sel. Tahap ini seringkali disebut fase adaptasi mikroorganisme terhadap media yang digunakan. Pada fase eksponensial pertumbuhan terjadi secara optimal, yaitu terjadi perbanyakan sel karena mikroorganisme mulai banyak mengkonsumsi media yang digunakan. Jumlah mikroorganisme yang hidup dan mati akan seimbang pada fase stasioner. Hal ini dikarenakan pada fase ini sumber nutrien di dalam media mulai berkurang sehingga pertumbuhan akan berkurang. Fase kematian merupakan fase terakhir dalam pertumbuhan mikroorganisme. Pada fase ini terjadi penurunan jumlah mikroorganisme dimana sebagian mikroorganisme mati karena sumber nutrien di dalam media sudah habis dikonsumsi pada fase sebelumnya.
54
Kurva tumbuh FLp1
Kurva tumbuh FLp2
Log sel FLp1
Log sel FLp2
Gambar 5. Kurva tumbuh bakteri proteolitik pada media nutrient brothskim diinkubasi dengan suhu 300 C selama 54 jam Pertumbuhan bakteri proteolitik pada media cair dapat dilihat dari perubahan warna media yang menjadi keruh.Gambar 5 menunjukkan bahwa fase awal dimulai sejak jam ke-0 kemudian pada jam ke-12terjadi fase eksponensial dimana laju pertumbuhan mengalami peningkatan dengan OD sebesar 0.423 pada isolat FLp1 dan pada isolat FLp2 dengan OD sebesar 0.382. Pada fase eksponensial ini akan digunakan sebagai waktu panen sel(starter) untuk proses fermentasi karena diharapkan fase adaptasi hanya terjadi sebentar atau tidak ada sama sekali. Pada fase eksponensial terjadi pertambahan sel maksimal, dimana nutrien masih dapat mendukung pertumbuhan bakteri
15
sampai fase stasioner. Pada akhir fase ini kandungan nutrien berkurang yang menandakan proses metabolisme menurun.Fase stasioner terjadi setelah fase eksponensial tersebut dan selanjutnya diikuti oleh fase kematian yang terjadi pada jam ke-48. Pengukuran pertumbuhan populasi dapat diamati dari meningkatnya jumlah sel hidup atau massa sel (berat kering sel). Jumlah sel hidup dapat ditetapkan dengan metode Total Plate Count (TPC) yaitu dengan cara menyebar pada media padat sehingga satu sel hidup akan tumbuh membentuk satu koloni, jumlah koloni dianggap setara dengan jumlah sel. Pertumbuhan sel pada isolat FLp1 dan isolat FLp2 yang diamati melalui jumlah sel total selama masa kultivasi mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Pada akhir waktu inkubasi, jumlah sel semakin sedikit yang dapat diakibatkan oleh terbatasnya nutrisi dalam media tumbuhnya. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa µ tertinggi pada isolat FLp2 diperoleh pada jam ke-36 dan isolat FLp1 pada jam ke-42. Pemilihan isolat yang menghasilkan enzim protease terbaik tidak hanya dilakukan berdasarkan zona bening yang dihasilkan, tetapi juga ditentukan berdasarkan aktivitas enzim yang dihasilkan setelah bakteri ditumbuhkan pada media cair yang mengandung susu skim 1%. Aktivitas enzim yang dihasilkan pada kedua isolat disajikan pada Gambar 5.
Aktivitas enzim (unit/ml)
1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
6
12
18
24 30 Waktu (Jam)
FLp1
36
42
48
54
FLp2
Gambar 6. Kurva aktivitas enzim bakteri proteolitik pada media nutrient broth skim diinkubasi dengan suhu 300 C selama 54 jam Aktivitas enzim yang diperoleh pada kedua isolat tersebut memiliki perbedaan. Isolat yang ditumbuhkan pada media cair susu skim memiliki waktu produksi tertinggi yang berbeda. Perbedaan waktu optimum pada aktivitas enzim (Gambar 6) tersebut menunjukkan bahwa terdapat keberagaman fisiologi diantara keduanya dalam memanfaatkan sumber protein. Aktivitas enzim pada isolat FLp1 tertinggi dicapai pada jam ke-24 dengan aktivitas sebesar 1.4 unit/ml, sedangkan aktivitas enzim pada isolat FLp2 tertinggi dicapai pada waktu inkubasi jam ke-18 dengan aktivitas sebesar 0.5 unit/ml. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri FLp1 dapat bekerja secara optimal hingga waktu inkubasi jam ke-24 dan jam ke-18 untuk FLp2 karena sampai saat itu aktivitas enzim tersebut berada pada puncaknya. Jika dihubungkan dengan fase pertumbuhan (gambar 5), maka aktivitas tertinggi tersebut terdapat pada fase eksponensial. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ward (1983), bahwa pembentukan enzim protease mulai mengalami peningkatan selama memasuki fase eksponensial,
16
12.00
0.15
10.00
0.12
8.00
0.09
6.00
0.06
4.00
0.03
2.00
0.00
0.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Aktivitas Spesifik (unit/mg)
Kadar Protein (mg/ml)
kemudian meningkat dengan cepat ketika memasuki fase stasioner. Dalam keadaan normal sintesis enzim ekstraseluler maksimum terjadi sebelum fase stasioner atau pada akhir fase eksponensial menjelang fase stasioner (Schaefer 1969). Menurut Suhartono (1988), pada umumnya setelah fase stasioner akan terjadi penurunan aktivitas enzim. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya hasil-hasil metabolisme yang dapat menghambat aktivitas enzim. Di samping itu, penurunan aktivitas enzim berkaitan dengan kegiatan saling menghidrolisis di antara protease pada saat substrat sudah mulai berkurang karena protease juga merupakan suatu protein.Namun, kedua isolat tersebut memiliki puncak aktivitas enzim lebih dari satu. Adanya aktivitas enzim yang mengalami lebih dari satu puncak tersebut dapat disebabkan oleh adanya isoenzim yang merupakan protein berbeda yang dapat mengkatalisis reaksi yang sama yang menghambat kerja aktivitas enzim (Madigan dan Martinko 2006). Isolat FLp1 akan digunakan sebagai starter untuk mendegradasi substrat kulit kopi pada proses fermentasi padat karena memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan isolat FLp2.
54
Waktu (Jam) Kadar Protein FLp1 Aktivitas spesifik FLp1
Kadar Protein FLp2 Aktivitas spesifik FLp2
Gambar 7. Kurva kadar protein dan aktivitas enzim spesifik bakteri proteolitik pada media nutrient broth skim diinkubasi dengan suhu 300 C selama 54 jam Kadar protein diperoleh dengan menggunakan metoda Bradford (1976) yaitu ditentukan dengan menggunakan Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai standar, dan pengukurannya dilakukan dengan mengambil cairan supernatan atau enzim ekstrak kasar. Kadar protein terlarut hasil isolat FLp1 berkisar antara 0.121-0.139 mg/ml, sedangkan pada isolat FLp2 berkisar antara 0.083-0.098 mg/ml (Gambar 7). Kadar protein yang diperoleh pada isolat FLp1 lebih besar jika dibandingkan dengan isolat FLp2. Berdasarkan data hasil perhitungan aktivitas enzim dan kadar protein terlarut pada kedua isolat tersebut, maka dapat ditentukan aktivitas spesifik enzim protease. Aktivitas spesifik merupakan perbandingan antara nilai aktivitas enzim yang diperoleh dengan nilai kadar protein dalam satuan unit/mg. Nilai aktivitas spesifik hasil isolat FLp1 tertinggi dicapai pada waktu inkubasi jam ke-24 dengan aktivitas sebesar 10.817 unit/mg, sedangkan pada isolat FLp2 dicapai pada waktu inkubasi jam ke-18 dengan aktivitas sebesar 5.436 unit/mg. Peningkatan nilai aktivitas spesifik yang diperoleh sesuai dengan peningkatan aktivitas enzim protease.
17
4.1.2 Karakterisasi Biji dan Kulit Kopi Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang akan digunakan, yaitu kulit kopi dan biji kopi. Kulit kopi merupakan limbah pada pengolahan buah kopi. Limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan yang bernilai lebih tinggi. Bahan baku kopi merupakan bahan dengan karakteristik tertentu seperti kadar air, abu, protein, lemak dan serat kasar.Hasil analisa proksimat biji dan kulit kopi disajikan dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3. Hasil analisa kimia biji dan kulit kopi Komponen
Kulit Kopi (% bk)
Biji Kopi(% bk)
Air
18.83
31.54
Abu
6.12
2.44
Protein Kasar
9.55
10.34
Lemak Kasar
1.50
6.88
Serat kasar Karbohidrat(by difference)
12.78 64
22.67 48,8
Kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan bahan. Kulit kopi mempunyai kadar air sebesar 18.83% sehingga diperlukan proses pengeringan untuk dapat disimpan dalam waktu yang lama, sedangkan pada biji kopi lebih tinggi yaitu sebesar 31.54%. Oleh karena itu, untuk keperluan pengawetan bahan penelitian, maka dilakukan usaha pengeringan bahan baku. Proses pengeringan tersebut dilakukan dengan pengeringan panas matahari. Selama 24 jam kulit kopi dikeringkan dengan panas matahari untuk dapat menurunkan kadar air hingga sekitar 14%. Pengeringan dilakukan dengan membuka dengan lebar bagian kulit kopi tersebut agar semua bagian dapat kering secara merata. Kondisi bahan yang telah kering, dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Kulit kopi yang telah kering dihaluskan dengan blender kemudian diayak dengan ukuran 40 mesh, sehingga diperoleh ukuran kulit kopi dengan partikel yang halus. Hal ini akan memudahkan dalam proses penyimpanan bahan baku sekaligus mencegah tumbuhnya mikroba jenis tertentu sebelum kulit kopi dimanfaatkan untuk proses penelitian selanjutnya. Namun untuk keperluan produksi skala industri, metode pengeringan dengan panas matahari tidak cocok dikarenakan akan kebutuhan luas lahan dan kondisi cuaca yang tidak menentu. Selain itu pengaruh mikroba di sekitar bahan yang dapat merusak kondisi bahan.
4.2 PENELITIAN UTAMA Fermentasi adalah proses yang melibatkan aktivitas mikroba untuk memperoleh energi melalui pemecahan substrat yang berguna untuk metabolisme dan pertumbuhannya. Hasil fermentasi tergantung pada substrat, jenis mikroba, dan kondisi sekelilingnya yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut (Winarno et al. 1980).Untuk menghasilkan tiap-tiap produk fermentasi dibutuhkan kondisi fermentasi yang berbeda-beda dan jenis mikroba yang bervariasi juga karakteristiknya. Oleh karena itu, diperlukan keadaan lingkungan, substrat (media), serta perlakuan (treatment) yang sesuai sehingga produk yang dihasilkan dapat optimal.Dalam reaksi
18
kimia fermentasi, glukosa (C 6 H12 O 6 ) menghasilkan CO 2 , H 2 O serta melepaskan sejumlah energi. Sejumlah energi tersebut dibutuhkan oleh bakteridalam pertumbuhan dan perkembangbiakkannya. Fermentasi fasa padatadalah suatu prosesdimanasuatusubstratlarutdifermentasidengan kelembabanyang cukup, tapi tanpaair bebas(Lonsaneet al.1992). Menurut Pandey et al. (1999), sistem inimemilikibanyak keuntungan dibandingkanfermentasi kultur terendam, termasukvolumetrikproduktivitas yang tinggi, konsentrasi yang relatiflebih tinggidari produk, mengurangilimbah dan persyaratan yang sederhana untuk peralatanfermentasi. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan kultur murni atau starter. Banyaknya mikroba (starter/inokulum) yang ditambahkan berkisar antara 3–10 % dari volume medium fermentasi. Penggunaan inokulum yang bervariasi ini dapat menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk selalu berubah-ubah. Inokulum adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan eksponensial (Rachman 1989). Menurut Girindra (1993), suhu memiliki peranan yang sangat penting dalam reaksi enzimatik. Ketika suhu bertambah sampai suhu optimum, kecepatan reaksi enzim naik karena energi kinetik bertambah. Bertambahnya energi kinetik akan mempercepat gerak vibrasi, translasi, dan rotasi baik enzim maupun substrat. Hal ini akan memperbesar peluang enzim dan substrat bereaksi. Ketika suhu lebih tinggi dari suhu optimum, protein berubah konformasi sehingga gugus reaktif terhambat. Perubahan konformasi ini dapat menyebabkan enzim terdenaturasi.Pada umumnya, enzim-enzim bekerja sangat lambat pada suhu di bawah titik beku dan keaktifannya meningkat sampai 45oC. Hampir semua enzim mempunyai aktivitas optimal pada suhu 30 oC sampai 40 oC dan denaturasi mulai terjadi pada suhu 45 oC (Winarno 1992).
4.2.1Produksi Enzim PadaKulit Kopi Aktivitas enzim protease diperoleh pada dua perlakuan yaitu kombinasi dua isolat dan kombinasi tiga isolat. Kombinasi dua isolat menggunakan isolat FLp1 dan FLs1, dan pada kombinasi tiga isolat menggunakan isolat FLp1, FLx3 dan FLs1. Nilai aktivitas enzim yang dihasilkan oleh protease menunjukkan bahwa isolat FLp1 mampu menghidrolisis substrat kulit kopi. Tabel 4. Aktivitas enzim protease selama fermentasi pada suhu 30oC dan 37oC
Jenis Bakteri
FLs1+FLp1
FLp1+FLs1+FLx3
Hari ke
Aktivitas Protease (unit/ml) 30oC
37oC
1
1.822
1.755
2
0.827
1.023
3
0.158
0.365
4
0
0.286
1
1.509
1.445
2
1.013
0.655
3
0
0
4
0
0
Substrat akan terhidrolisis oleh enzim protease menjadi peptida dan asam amino. Laju pembentukan peptida dan asam amino tersebut dapat dijadikan tolak ukur aktivitas katalisis protease.
19
Aktivitas enzim protease yang dihasilkan selama fermentasi disajikan pada Tabel 4. Aktivitas enzim protease yang diperoleh selama fermentasi berkisar antara 0 – 1.822 unit/ml. Berdasarkan hasil penelitian ini, aktivitas enzim protease yang dihasilkan paling tinggi dari semua perlakuan adalah 1.822 unit/ml yang diperoleh dari perlakuan kombinasi isolat FLp1 dan FLs1 dengan waktu fermentasi selama 24 jam pada suhu 30 oC. Waktu optimal pada penelitian ini sama dengan penelitian Sugiarto (2001) yang memproduksi enzim protease dengan Bacillus subtilis pada media tepung kedelai memperoleh aktivitas protease tertinggi sebesar 0.551 unit/ml pada jam ke-24. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh El-Raheern et al.(1994), produksimaksimumproteasedenganStreptomycescorchorusiiST36diperolehdenganpH Muthulakshmiet al. (2011), produksienzimoleh 6pada suhu 30oC.Pada penelitian Aspergillusflavuspada media biji gandum yang dilakukan pada suhu 20-70°Cdidapatkan bahwa adapeningkatan dalamproduksi proteaseketikasuhuinkubasidinaikkandari 20°Csampai 30°C dan produksienzimsedikitmenurunhingga 40°C.Jadisuhu inkubasioptimumuntuk produksiproteasediperoleh pada suhu 30°C. mengamatibahwa Menurut Secadeset al.(2001), yang suhuoptimumuntukekstraselulerproteaseyang dihasilkan olehFlavobacteriumpsychrophilumberadapada suhu antara25°Cdan 40°C.Selainitu,suhu optimumuntuk produksiproteaseadalahantara30°Cdan 45°C (Wery et al.2003). Suhu mempengaruhi laju reaksi katalisis enzim dengan dua cara. Pertama, kenaikan suhu akan meningkatkan energi molekul substrat dan pada akhirnya meningkatkan laju reaksi enzim. Peningkatan suhu juga berpengaruh terhadap perubahan konformasi substrat sehingga sisi reaktif substrat mengalami hambatan untuk memasuki sisi aktif enzim dan menyebabkan turunnya aktivitas enzim.Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme baik secara tidak langsung dengan mempengaruhi ketersediaan unsur hara atau langsung dengan tindakan pada sel permukaan. Faktor lain yang penting adalah lingkungan suhu inkubasi yang penting bagi produksi protease oleh mikroorganisme. Suhu tinggi akan memiliki beberapa efek buruk pada aktivitas metabolik mikroorganisme penghasil enzim proteolitik (Tunga 1995). Peningkatan aktivitas enzim ekstraseluler selama masa inkubasi disebabkan oleh induksi, sedangkan penurunan aktivitas kemungkinan disebabkan oleh penghambatan umpan balik dan autolisis. Protease merupakan enzim yang bersifat induktif yaitu enzim yang diproduksi oleh sel apabila terdapat substrat disekitarnya. Seperti enzim yang bersifat induktif pada umumnya, biasanya produk akhir aktivitas enzim bersifat menghambat produksi enzim (penghambatan umpan balik) sehingga aktivitas enzim di dalam media akan berkurang. Autolisis terjadi karena terhidrolisanya enzim oleh aktivitas proteinase yang dihasilkan dari proses autolisis sel (Whitaker 1994). Aktivitas enzim selulase diperoleh pada tiga perlakuan yaitu isolat tunggal (FLs1), kombinasi dua isolat (FLs1 dan FLp1) dan kombinasi tiga isolat (FLs1, FLx3 dan FLp1). Nilai aktivitas enzim yang dihasilkan oleh selulase menunjukkan bahwa isolat FLs1 mampu menghidrolisis substrat kulit kopi. Pada Tabel 5 menunjukkan perbedaan aktivitas enzim yang diperoleh pada setiap kombinasi. Aktivitas enzim yang dihasilkan pada kedua suhu tersebut menunjukkan penurunan setelah mengalami aktivitas optimalnya. Aktivitas enzim selulase yang diperoleh selama fermentasi berkisar antara 9 – 113 mU/ml. Berdasarkan hasil penelitian ini, aktivitas enzim selulase yang dihasilkan paling tinggi dari semua perlakuan sebesar 87 mU/ml yang diperoleh dari perlakuan kombinasi isolat FLp1 dan FLs1 dengan waktu fermentasi selama 2 hari pada suhu 30 oC. Suhu optimal pada penelitian ini sama dengan penelitian Chen et al. (2010) yang memproduksi enzim selulase dengan T. viride N879 pada media batang gandum memperoleh aktivitas selulase tertinggi pada suhu 30 oC.
20
Tabel 5. Aktivitas enzim selulase dan xilanase selama fermentasi Selulase dan Xilanase (mU/ml) Jenis Bakteri
FLs1
FLs1+FLp1
FLp1+FLs1+FLx3
Hari ke
30oC
37oC
1
43
35
2
78
43
3
52
61
4
35
9
1
52
26
2
87
52
3
43
69
4
26
17
1
44
52
2
61
61
3
113
96
4
26
9
Pada kombinasi tiga isolat (FLs1, FLx3 dan FLp1), yang merupakan kombinasi antara selulase dengan xilanase menghasilkan aktivitas enzim tertinggi pada hari ke-3 sebesar 113 mU/ml. Pada suhu 37oC, aktivitas enzim yang diperoleh cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan suhu 30oC dan optimal pada hari ke tiga fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi isolat FLx3 dan FLs1 mampu menghidrolisis substrat kulit kopi yang memiliki struktur lebih kompleks. Pada saat puncak aktivitas enzim selulase, bakteri mengeluarkan enzim selulase secara maksimal ke lingkungan luarnya, namun terjadi feed back inhibition sehingga dapat menghambat aktivitas pada enzim selulase. Molekul glukosa sebagai produk akhir dari enzim selulase menempel pada sissi alosterik enzim sehingga sisi aktif enzim selulase tidak dapat lagiditempati oleh substrat selulosa. Selain itu terjadi represi sintesis enzim selulosa oleh karena kehadiran glukosa yang berlimpah. Glukosa merupakan sumber karbon sederhana yang dapat merepresi sintesis enzim selulase (Abalos et al. 1997). Menurut Irawadi (1990), turunnya aktivitas pada suhu di bawah suhu optimum, diduga karena rendahnya afinitas antara enzim dengan substrat atau rendahnya kecepatan awal pemutusan kompleks enzim dengan substrat, sedangkan turunnya aktivitas di atas suhu optimum terutama disebabkan menurunnya stabilitas enzim akibat panas. Pemberian panas dapat menyebabkan putusnya sebagian besar ikatan-ikatan yang kurang kuat pada struktur protein enzim, misalnya ikatan hidrogen yang membentuk struktur tersier protein, yang akhirnya dapat menyebabkan denaturasi pada enzim. Beberapa sumber karbon yang sering digunakan adalah molases, serealia, pati, glukosa, sukrosa, dan laktosa. Produksi enzim xilanase sebagai sumber karbon adalah xilan. Xilan dengan aktivitas xilanase yang dihasilkan oleh mikroorganisme akan terhidrolisis menjadi xilosa (Richana 2012).
21
4.2.2 Kadar Protein dan Aktivitas Enzim Spesifik Kandungan protein terlarut dalam filtrat diukur untuk mengetahui gambaran jumlah relatif protein enzim yang telah disintesis oleh bakteri selama proses fermentasi. Kandungan protein terlarut yang terukur dalam penelitian ini masih merupakan protein kasar yaitu campuran dari protein enzim dan protein yang berasal dari sumber N organik yang masih tersisa dalam medium pada akhir masa inkubasi. Tabel 6. Perubahan kadar protein selama fermentasi Jenis Bakteri
FLs1
FLs1+FLp1
FLp1+FLs1+FLx3
Hari ke
Kadar Protein (mg/ml) 30oC
37oC
1
0.048
0.045
2
0.063
0.049
3
0.071
0.055
4
0.077
0.058
1
0.070
0.065
2
0.072
0.068
3
0.074
0.072
4
0.078
0.074
1
0.098
0.093
2
0.104
0.099
3
0.110
0.106
4
0.116
0.113
Pada Tabel 6 menunjukkan kadar protein yang diperoleh selama fermentasi. Kadar protein memiliki pola yang semakin meningkat seiring lamanya waktu inkubasi dan pada suhu 30oC memiliki nilai kadar protein yang lebih tinggi yaitu pada perlakuan kombinasi tiga dengan isolat FLs1, FLp1 dan FLx3 sebesar 0.116 mg/ml jika dibandingkan dengan suhu 37oC.Kandungan protein sangat sensitif terhadap perubahan suhu terutama pada suhu tinggi. Peningkatan kadar protein tersebut dikarenakan oleh kehilangan bahan kering selama fermentasi (Ramos et al. 1983). Penurunan bahan kering ini disebabkan karena bakteri tersebut memproduksi enzim kemudian menghasilkan gula sederhana yang dapat dipakai untuk pertumbuhannya. Kemudian, gula sederhana diuraikan menjadi energi dan CO 2 yang dihasilkan dilepaskan ke udara. Dalam proses fermentasi dan respirasi, materi-materi organik dihidrolisis menjadi molekul yang lebih kecil, CO 2 , H2 O, dan energi (Purwadaria 1997). Aktivitas enzim spesifik perlu diketahui untuk menyatakan kemampuan sesungguhnya enzim dapat bekerja. Setelah diketahui kandungan protein terlarut dalam enzim maka dapat dihitung aktivitas spesifiknya. Aktivitasenzim spesifik disajikan pada Tabel 7 berikut. Aktivitas enzim spesifik yang diperoleh dari perbandingan antara nilai aktivitas enzim dengan kadar proteinnya. Nilai aktivitas enzim spesifik tertinggi yang diperoleh protease pada suhu 30oC dan 37oC pada semua perlakuan memiliki rentang yang tidak terlalu berbeda jauh yaitu yang diperoleh pada jam ke-24. Hal ini menunjukkan bahwa protease dapat memiliki aktivitas pada kisaran suhu 30oC sampai 37oC.
22
Aktivitas enzim spesifik tertinggi pada selulase berada pada suhu 30oC yang terjadi pada semua perlakuan. Hal ini sesuai dengan pola yang diperoleh pada nilai aktivitas enzim, sehingga selulase memiliki kecenderungan aktivitas pada suhu 30oC, sedangkan aktivitas enzim spesifik tertinggi pada perlakuan kombinasi antara selulase dan xilanase yaitu isolat FLS1 dan FLx3 dicapai pada suhu 37oC yang menunjukkan bahwa pada xilanase memiliki kecenderungan aktivitas pada suhu tersebut. Tabel 7. Aktivitas enzim spesifik selama fermentasi Selulase (mU/mg) Hari ke
Selulase dan Xilanase (mU/mg)
Protease (unit/mg)
o
30 C
o
37 C
o
30 C
o
37 C
30oC
37oC
1
888.225
779.997
-
-
-
-
2
1.229.261
870.052
-
-
-
-
3
735.944
1.104.337
-
-
-
-
4
455.426
154.620
-
-
-
-
1
744.602
402.537
-
-
26.084
27.17
2
1.216.063
763.961
-
-
11.558
15.025
3
578.555
956.856
-
-
2.123
5.06
4
335.010
229.904
-
-
0.000
3.864
1
-
-
450.034
558.199
15.432
15.516
2
-
-
588.172
618.712
9.769
6.641
3
-
-
1.031.723
905.238
0.000
0.000
4
-
-
223.826
79.645
0.000
0.000
4.2.3 Gula Total dan Gula Pereduksi Gula total merupakan gula terlarut yang dilepaskan dari hidrolisis selulosa dan hemiselulosa dengan menggunakan bakteri selulolitik dan xilanolitik. Gula total hasil hidrolisis dianalisis dengan menggunakan metode Fenol dengan prinsip bahwa gula sederhana, oligosakarida, polisakarida, dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna orange yang stabil. Hemiselulosa merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa. Hemiselulosa terdiri dari xilan, mannan, arabinogalaktan dan arabinan. Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman. Lima gula netral yaitu heksosa (glukosa, manosa, galaktosa) dan pentosa (xilosa dan arabinosa) merupakan konstituen utama hemiselulosa (Saha, 2003). Hasil penelitian menunjukkan nilai gula total yang berbeda-beda untuk setiap perlakuan, namun memiliki pola yang sama yaitu mengalami penurunan setelah waktu optimalnya (Tabel 8). Secara keseluruhan, perlakuan dalam penelitian mengakibatkan penurunan kandungan gula total setelah melalui proses fermentasi yang menunjukkan kemampuan hidrolisis bakteri selulolitik dan xilanolitik. Terlihat pada Tabel 8 tersebut, bahwa selama tiga hari hidrolisis jumlah gula total yang dihasilkan mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh kandungan gula dalam larutan relatif semakin banyak karena proses hidrolisis selulase pada fraksi selulosa. Fraksi selulosa yang sebelumnya sukar larut (Hayashida et al. 2004) dalam berbagai pelarut setelah mengalami hidrolisis
23
selulase menjadi komponen yang lebih sederhana dan mudah larut. Komponen yang lebih sederhana tersebut adalah selo-oligosakarida dan glukosa. Tabel 8. Perubahan gula total selama fermentasi Jenis Bakteri
Kontrol
FLs1
FLs1+FLp1
FLp1+FLs1+FLx3
Hari ke
Gula Total (mg/ml) 30oC
37oC
1
1803.012
1729.679
2
1625.383
1672.642
3
1612.346
1631.901
4
1693.827
1657.975
1
1451.734
1394.816
2
1512.717
1467.183
3
1589.963
1599.720
4
1528.979
1533.858
1
1445.229
1274.475
2
1459.865
1293.989
3
1484.258
1334.645
4
1460.678
1311.065
1
1474.643
1512.124
2
1526.791
1543.902
3
1623.753
1583.828
4
1587.902
1574.865
Terjadinya aktivitas enzim menyebabkan polisakarida yang terdapat pada kulit kopi terurai menjadi gula sederhana yang mengakibatkan gula total mengalami peningkatan pada cairan hidrolisis. Gula total yang terbentuk dari hidrolisis selulosa oleh selulase terjadi pada perlakuan isolat tunggal (FLs1) dan pada perlakuan kombinasi dua isolat (FLs1 dan FLp1), sedangkan pada kombinasi tiga isolat (FLs1, FLx3 dan FLp1) merupakan gula total yang terbentuk dari hidrolisis selulosa dan xilan. Gula total tertinggi dihasilkan dari kombinasi tiga isolat yaitu FLs1, FLp1 dan FLx3 pada suhu 30oC berkisar antara 1474.643 mg/ml –1587.902 mg/ml, namun pada hari ke tiga merupakan hasil optimal yang dicapai dengan nilai gula total sebesar 1623.753mg/ml.Gula total yang terbentuk semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu optimal inkubasi, karena semakin banyak selulosa dan xilan yang diserang dan membebaskan gula penyusunnya. Penurunan pada hari terakhir fermentasi terjadi karena bakteri akan memanfaatkan gula yang terkandung dalam media untuk pertumbuhannya sehingga kadar gula dalam cairan hidrolisis berkurang. Gula pereduksi ialah gula yang dihasilkan dari pemotongan enzim secara acak oleh enzim endoglukanase yang membebaskan ujung pereduksi, baik dalam bentuk rantai panjang (oligosakarida) atau rantai pendek (polisakarida). Kemampuan mereduksi gula dapat diketahui dengan adanya gugus aldehida yang bebas. Pada Tabel 9 disajikan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan selama fermentasi. Terlihat bahwa selama tiga hari hidrolisis jumlah gula pereduksi yang dihasilkan mengalami peningkatan. Dapat diketahui bahwa jenis enzim yang digunakan akan berpengaruh dalam menghasilkan gula pereduksi. Gula pereduksi tertinggi dihasilkan dari kombinasi tiga isolat (FLs1, FLx3 dan FLp1) pada o suhu 30 C yang dihidrolisis oleh selulase dan xilanase yaitu berkisar antara 47.301 mg/ml – 55.986 mg/ml dan pada hari ke tiga merupakan hasil optimal yang dicapai dengan nilai gula pereduksi
24
sebesar 55.986 mg/ml. Menurut Himmel et al. (1999), gula pereduksi dihasilkan dari hidrolisis enzim selulase dan xilanase yang bekerja secara sinergis. Tabel 9. Perubahan gula pereduksi selama fermentasi Jenis Bakteri
Kontrol
FLs1
FLs1+FLp1
FLp1+FLs1+FLx3
Hari ke
Gula Pereduksi (mg/ml) 30oC
37oC
1
51,629
49,932
2
51,686
51,233
3
52,874
52,195
4
53,949
53,157
1
25.168
26.514
2
27.831
28.476
3
31.840
31.644
4
30.158
31.111
1 3
27.467 27.803 29.597
26.514 26.570 27.915
4
29.373
27.943
1
47.301
40.880
2
49.876
43.879
3
55.986
50.781
4
54.713
48.489
2
Menurut Sutrisno (2006), penambahan waktu inkubasi akan meningkatkan aktivitas ekstrak kasar enzim. Sisi aktif enzim dalam mengikat substrat secara optimum membutuhkan waktu yang cukup. Jika waktu yang dikondisikan pada enzim dan substrat kurang dari cukup, maka sisi aktif enzim belum optimal dalam mengikat substrat, sehingga produk yang terbentuk masih sedikit pada saat reaksi dihentikan. Pada saat waktu inkubasi optimum, substrat terikat secara maksimum oleh sisi aktif enzim. Aktivitas enzim mengalami penurunan dengan penambahan waktu inkubasi lebih lanjut. Produk gula pereduksi yang dihasilkan dari reaksi enzimatis sebanding dengan lama waktu inkubasi, tetapi jika sisi aktif enzim telah jenuh oleh substrat, lama waktu inkubasi kurang berpengaruh, sehingga produk yang dihasilkan hanya mengalami peningkatan yang relatif kecil. Aktivitas enzim selulase dan enzim xilanase mendegradasi selulosa dan xilan yang terkandung dalam bahan akan meningkatkan kadar gula pereduksi dan gula total. Akan tetapi, bakteri juga memanfaatkan gula pereduksi yang terbentuk sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan dan pembentukan biomassa. Penurunan gula pereduksi dalam hal ini akan diikuti dengan semakin rendahnya gula total dalam bahan. Dengan demikian, penurunan selulosa dan xilan tidak dapat memastikan gula yang terkandung dalam bahan akan tetap ataupun meningkat.
4.2.4 Susut Bobot
25
Analisa susut bobot dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan jenis bakteri yang berbeda perlakuan kombinasi terhadap substrat yang menyusut pada proses fermentasi. Perubahan susut bobot disajikan dalam Tabel 10 berikut. Tabel 10. Perubahan susut bobot selama fermentasi Susut Bobot (%) Jenis Bakteri
FLs1
FLs1+FLp1
FLp1+FLs1+FLx3
Hari ke
o
30 C
37oC
1
25.400
22.370
2
28.386
23.167
3
33.948
32.145
4
41.222
34.939
1
20.026
18.865
2
31.388
28.851
3
35.924
33.157
4
38.617
36.242
1
31.126
23.097
2
41.759
42.612
3
43.462
47.126
4
49.118
49.027
Semakin lama fermentasi maka penyusutan terhadap bobot semakin tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi menghasilkan penyusutan yang semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyatwan (2007) yang menyatakan bahwa lama inkubasi berkaitan erat dengan waktu yang dapat digunakan oleh mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak. Semakin lama waktu fermentasi maka semakin banyak kandungan zat yang digunakan bakteri untuk hidupnya sehingga jumlah zat makanan yang tersisa semakin sedikit. Penyusutan bobot tertinggi dihasilkan oleh perlakuan kombinasi tiga isolat yaitu FLs1, FLp1 dan FLx3 pada suhu 30oC sebesar 49.118% dengan lama waktu hari ke empat fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi berjalan, dimana nutrien yang terkandung di dalam substrat telah digunakan oleh bakteri. Penyusutan ini disebabkan karena senyawa organik yang terkandung dalam substrat didegradasi menjadi molekul yang lebih sederhana. Selain itu, dengan semakin lama fermentasi terjadi proses transpirasi atau proses respirasi yang terus berlangsung dan perombakan senyawa organik menghasilkan air, karbondioksida dan melepaskan sejumlah energi.
4.3 Kualitas Biji Kopi Hasil Fermentasi Kadar gula awal dalam daging biji kopi akan mempengaruhi konsentrasi gula akhir setelah fermentasi. Fermentasi menghasilkan produk sampingan berupa asam organik. Melalui jalur EmbdenMayer-Parnas menghasilkan produk sampingan seperti asam piruvat, asetaldehid, dan asam organik lainnya seperti asam laktat, asam asetat dan gliserol (Basuki 1995). Dalam proses fermentasi glukosa melalui jalur glikolisis akan terjadi reduksi asam piruvat yang menghasilkan asam laktat, kemudian asam piruvat menghasilkan asetil-KoA yang merupakan salah satu senyawa hasil katabolisme karbohidrat, lemak maupun protein (Fardiaz 1990).Kandungan karbohidrat pada biji kopi
26
yaitusebesar 48,8%. Dari hasil tersebut, kadar karbohidrat yang cukup besar berpengaruh pada terbentuknya asam-asam organik yang berpotensi pada pembentukan aroma kopi yang lebih nikmat. Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa asam laktat pada biji kopi hasil fermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan biji kopi Arabika maupun kopi luwak. Pada kopi luwak, kadar asam laktat lebih rendah jika dibandingkan dengan biji kopi Arabika sedangkan pada biji kopi hasil fermentasi menghasilkan kadar asam laktat yang lebih tinggi. Pada kombinasi bakteri FLs1 dan FLp1 memiliki kadar asam laktat sebesar 6600 ppm yang paling rendah dari ketiga perlakuan fermentasi.Hal ini mungkin dapat diakibatkan oleh adanya protease dengan konsentrasi 5% yang dapat menghambat proses pemecahan gula sehingga asam laktat yang dihasilkan lebih kecil. Hal ini sama dengan hasil penelitian Rohman (2013) yang memperoleh kadar asam laktat paling rendah sebesar 1400 ppm pada perlakuan biji kopi yang difermentasi menggunakan protease dengan konsentrasi 10%. Asam laktat dapat membantu metabolisme sel di dalam tubuh. Kondisi asam laktat yang tinggi dapat mencegah serangan penyakit kanker (Naland 2008). Tabel 11. Hasil analisa biji kopi menggunakan HPLC Asam Askorbat (ppm)
Kafein (ppm)
Asam Butirat (ppm)
Asam Laktat (ppm)
Asam Oksalat (ppm)
FLs1
370.2
9723.4
3300
18400
1667.74
FLs1+FLp1
396.6
9529.5
1500
6600
1272.2
FLs1+FLp1+FLx3 Kopi Arabika (tanpa fermentasi) Kopi Luwak
440.4
10193.8
1000
10600
930.43
224.6
18857.8
72
74
3000
202.8
13426
82
26
1700
Sampel
Glukosa difermentasi oleh berbagai macam bakteri, dan perbedaan dalam tipe-tipe fermentasi biasa terletak pada penggunaan asam piruvat yang terbentuk. Pembentukan asam butirat meliputi tahap pemecahan karbohidrat menjadi glukosa, setelah itu menjadi asam piruvat. Kemudian sebelum terbentuk asam butirat, akan melalui dua senyawa antara yaitu asetil-KoA dan asam asetoasetat (Pelczar dan Chan 2007). Pada kopi luwak menghasilkan asam butirat yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi Arabika, sedangkan kadar asam butirat yang diperoleh pada biji kopi hasil fermentasi memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu sebesar 3300 ppm dengan menggunakan bakteri selulolitik (FLs1). Hal ini menunjukkan kemampuan selulolitik dalam mendegradasi selulosa yang terkandung di dalam kopi, sehingga terjadi pemecahan kandungan gula yang menghasilkan asam-asam diantaranya merupakan asam butirat. Asam butirat dapat digunakan sebagai sumber energi kolonisitas dan mempunyai sifat anti inflamasi yang penting untuk menjaga kesehatan dan penyembuhan sel-sel kolon (Hijova 2007). Komponen yang cukup penting dalam biji kopi adalah kafein dan kafeol. Kandungan kafein dalam biji kopi bervariasi menurut jenisnya. Kafein (1,3,7- trimetilsantin) merupakan zat perangsang syaraf yang sangat penting dalam bidang farmasi dan kedokteran sedangkan kafeol merupakan salah satu zat pembentuk cita rasa dan aroma. Kadar kafein rata-rata dalam biji kopi Arabika adalah 12000 ppm sedangkan kopi Robusta 22000 ppm. Meskipun rasanya pahit tetapi kafein hanya menyumbang cita rasa bitterness kurang dari 10%. Kafein tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap cita rasa. Namun, pada beberapa kultivar kopi, kafein berhubungan dengan komponen lainnya seperti lemak dan asam khlorogenat (Yusianto 1999).
27
Proses fermentasi yang terjadi di dalam perut luwak akan mempengaruhi buah kopi yang di uraikan oleh enzim proteolitik. Hal ini menunjukan bahwa sekresi endogen pencernaan hewan luwak tersebut meresap ke dalam biji kopi, kemudian sekresi enzim proteolitik memecah kandungan protein yang terdapat pada biji kopi dan menjadikan buah kopi tersebut sangat rendah kafein (Buldani 2011).Pada hasil analisa kafein yang diperoleh pada hasil fermentasi ini berkisar antara 9529.510193.8 ppm. Kadar kafein pada ketiga perlakuan kombinasi bakteri tersebut memiliki nilai yang tidak terlalu berbeda jauh. Penurunan kadar kafein biji kopi fermentasi tertinggi terhadap biji kopi arabika diperoleh pada kombinasi bakteri FLs1 dan FLp1. Kandungan protein pada biji kopi yaitu sebesar 10.34%. Dari hasil tersebut, kadar protein akan mempengaruhi kinerja proteolitik yang digunakan dalam proses fermentasi.Hal ini menunjukkan jika proses fermentasi secara enzimatis dapat menurunkan kadar kafein pada biji kopi.Rendahnya kafein berindikasi baik karena kafein dapat menyebabkan insomnia, meningkatkan denyut jantung, mudah gugup, sakit kepala, merasa tegang dan cepat marah. Pada wanita hamil juga disarankan tidak mengkonsumsi kopi dan makanan yang mengandung kafein, karena pada janin dapat menyerang plasenta kemudian masuk dalam sirkulasi darah janin dan dapat menyebabkan keguguran (Anonim 2009).
Penurunan Kafein (%)
60 50
49
48
46
40 29
30 20 10 0 Biji kopi+FLs1 +FLp1
Biji kopi+FLs1
Biji kopi+FLs1 +FLp1+FLx3
Kopi Luwak
Gambar 8. Penurunan kadar kafein biji kopi setelah fermentasi dan kopi luwak Secara umum dengan semakin lamanya proses fermentasi, maka keasaman kopi akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya asam-asam alifatik selama proses fermentasi. Apabila lama fermentasi diperpanjang akan terus terjadi perubahan komposisi kimia biji kopi, dimana asam-asam alifatik akan berubah menjadi ester-ester asam karboksilat yang dapat mengakibatkan cacat fermentasi dengan cita rasa busuk (Sulistyowati dan Sumartono 2002). Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), senyawa yang membentuk aroma di dalam kopi adalah golongan fenol dan asam tidak mudah menguap yaitu asam kofeat, asam klorogenat, asam ginat dan riboflavin, golongan senyawa karbonil yaitu asetaldehid, propanon, alkohol, vanilin aldehid, golongan senyawa karbonil asam yaitu oksasuksinat, aseto asetat, hidroksi pirufat, keton kaproat, oksalasetat, mekoksalat, merkaptopiruvat, golongan asam amino yaitu leusin, iso leusin, variline, hidroksiproline, alanin, threonin, glisin dan asam aspartat, golongan asam mudah menguap yaitu asam asetat, propionat, butirat dan volerat. Pada biji kopi hasil fermentasi memiliki kadar asam oksalat yang lebih rendah dibandingkan dengan kopi Arabika dan kopi luwak. Kadar asam oksalat paling rendah dihasilkan oleh biji kopi hasil fermentasi dengan kombinasi bakteri FLs1, FLx3 dan FLp1 sebesar 930.43 ppm. Hal ini menunjukkan
28
jika proses fermentasi secara enzimatis dapat menurunkan kadar asam oksalat pada biji kopi. Asam oksalat bersama-sama dengan kalsium di dalam tubuh manusia membentuk senyawa yang tak larut dan tak dapat diserap oleh tubuh, hal ini tak hanya mencegah penggunaan kalsium yang juga terdapat dalam produk-produk yang mengandung oksalat, tetapi menurunkan CDU dari kalsium yang diberikan oleh bahan pangan lain. Hal tersebut dapat menekan mineralisasi kerangka dan mengurangi pertambahan berat badan (Rahma 2011). Selain asam laktat, asam butirat dan asam oksalat, juga dilakukan analisa pada asam askorbat atau yang biasa dikenal secara umum dengan vitamin C. Kadar vitamin C pada kopi selama proses fermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan kopi Arabika dan kopi luwak. Pada fermentasi dengan bakteri FLs1 memiliki kadar asam askorbat yang paling rendah yaitu sebesar 370.2 ppm jika dibandingkan dengan perlakuan fermentasi yang lain. Vitamin C umumnya hanya terdapat pada sayur dan buah. Vitamin C merupakan vitamin yang paling tidak stabil dari semua vitamin, mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) (Almatsier 2004).
29
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN Bakteri proteolitik (FLp1) merupakan isolat bakteri yang terbaik dengan nilai aktivitas enzim tertinggi yaitu 1.4 unit/ml.Perlakuan terbaik pada fermentasi tunggal menggunakan selulolitik dan kombinasi dua bakteri menggunakan selulolitik dan proteolitik diperoleh pada hari ke-2, dan pada kombinasi tiga bakteri menggunakan selulolitik, xilanolitik dan proteolitik diperoleh pada hari ke-3 dengan suhu 30oC.Hasil analisa pada biji kopi terbaik hasil fermentasi menunjukkanperubahan pada asam organik dan kafein. Hal ini dibuktikan dengan hasil asam oksalat dan kadar kafein yang lebih rendah dibandingkan kopi luwak, serta tingginya asam butirat, asam laktat dan asam askorbat. Berdasarkan kandungan nutrisinya, kopi luwak enzimatis ini lebih baik dari kopi luwak.
5.2 SARAN Perlu dikaji analisa dengan pengujian organoleptik, sehingga dapat mengetahui aroma dan rasa terhadap kopi hasil fermentasi secara enzimatis.
30
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia, Jakarta. Anonim.
2009. Manfaat dan Bahaya Kandungan Kafein dalam Kopi. http://www.azk4.com/2009/02/manfaat-dan-bahaya-kopi.htm. [20 Oktober 2011].
Aunstrup K, Andersen O, Falch A, Nielsen TK. 1979. Production of Microbial Enzymes. Diacu dalam Pepler, H.J. dan D. Perlman (eds.). Microbial Technology Microbial Process. Academic Press, New York. Abalos JMF, Arribas AR, Garda AL, Santamaria RI. 1997. Effect of Carbon Source on the Expression of celAl, a Cellulase-Encoding Gene from Streptomyces halstedii JM8. FEMS Microbiol. 153: 97-103. Allen, Collen M. 1998. Kombucha FAQ—Frequently Asked Questions about Kombucha Tea. http://persweb.direct.ca/chaugen/kombucha_faq_home.html. [18 Januari 2013]. Basuki W. 1995. Teknologi Fermentasi untuk Produksi Etanol. Prosiding Seminar Nasional Mikrobiologi Kelautan dan Bioremediasi. Ujung Pandang, 6-7 Desember 1995. Beg QK, Kapoor M, Mahajan L, Honndal GS. 2001. Microbial Xylanases and Their Industrial Applications. [ulasan]. Appl Microbiol Biotechnol. 56: 326-338. Bradford, MM. 1976. A Rapid and Sensitive Method for the Quantitation of Microg Quantities of Protein Utilizing the Principal of Protein-dye Binding. Anal Biochem.72:248-254. Buldani D. 2011. Mengungkap Rahasia Bisnis Kopi Luwak. [e-book] Cicalengka, Bandung. Chen S, Wang J, Xu F, Qin W, Yu Z, Zhao H, Xing X, Li H. 2011. Strain Improvement for Enhanced Production of Cellulase in Trichoderma viride. Appl Biochemist and Microbiol.47(1):53-58. Cho GS, Suh JH, Choi YI. 1996. Overproduction, Purification, and Characterization of Bacilluss stearothmophillus Endo-Xylanase A (XynA). Microbiol and Biotechnol.6: 79-85. Ciptadi W, Nasution MZ. 1985. Pengolahan Kopi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Considine DM, Considine GD. 1983. Van Nostrands Scientific Encyclopedia, 6th ed. Van Nostrand Reinhold Company, New York. Corbet GB, Hill JE. 1992. The Mammals of the Indomalayan Region: a Systematic Review. Nat. Hist. Mus. Publ. and Oxford Univ. Press, Singapura. Cranbrook. 1987. Riches of the Wild: Land Mammals of South-East Asia. Oxford Univ. Press, Singapura. ISBN 0-19-582697-3. Dewi SL. 2012. Isolasi Bakeri Selulolitik dan Xilanolitik dari Feses Luwak [skripsi]. Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor,Bogor.
31
Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric Method for Determination of Sugar and Related Substances. Anal Chem.28: 350-356. El-Raheem A, El-Shanshory R, El-Sayed MA, El-Shouny WA. 1994. Optimal Production Conditions of an Extracellular Protease from Streptomyces corchorusii ST 36. Acta Microbial. 43: 313320. Elias LG. 1979. Chemical Composition of Coffee-Berry By-Products. Diacu dalam Braham J E dan Bressani R. (eds.) Coffee Pulp: Composition, Technology, and Utilization. Institute of Nutrition of Central America and Panama. Enari TM. 1983. Microbial Cellulases. Microbial Enzymes and Biotechnol. Appl Sci Publisher, New York. Fardiaz S. 1987. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB, Bogor. _______. 1989. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB, Bogor. _______. 1990. Mikrobiologi Pangan . Grameedia Pustaka Utama, Jakarta. _______. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Girindra, A. 1993. Biokimia I. PT Gramedia Pustaka, Jakarta. Hasbi H. 2009. Budidaya Kopi. http://budidayatanamantahunan.blogspot.com [9 September 2012]. Hayashida S, Mo K, Hosoda A. 1998. Production and Characteritics of Avicel-Digesting and NonAvicel Digesting Cellobiohydrolases From Aspergillus ficum. Appl Environ Microbiol.54(6) : 1523-1529. Hijova E, Chmelarova A. 2007. Short Chain Fatty Acids and Colonic Health. BratisI Lek Listy, 108(8):354-358. Slovakia. Himmel ME, Ruth M, Wyman CE. 1999. Cellulase for Comodity Products from Cellulosic Biomass. Current Opinion of Biotechnol. 10: 358-364. Irawadi TT. 1990. Selulase. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Irawadi TT. 1991. Produksi Enzim Ekstraselular (Selulase dan Xilanase dari Neurospora sitopila Pada Substrat Limbah Padat Kelapa Sawit [disertasi]. Prog Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lehninger AL. 1988. Principles of Biochemistry. Thenawidjaja M, penerjemah. Erlangga, Jakarta. Lonsane BK, Saucedo CG, Raimbault M, Roussos S, Viniegra GG, Ghildyal NP, Ramakrishna M, Krishnaiah MM. 1992. Scale-up strategies for solid-statefermentation system. Process Biochem. 27: 259–273. Madigan T, Martinko JM. 2006. Brock Biology of Microorganisms. Prentice Hall Internasional lnc, New Jersey. Mandels M, Reese T, Spano LA. 1976. Enzymatic Convertion of Cellulosic Material. Technology and Application Interscience. Publishing John Willey and Sons. New York. Miller GL. 1959. Usage of Dinitrosalicyclic Acid Reagent for Determination of Reducing Sugar. Anal Chem. 31: 426-428. Miyamoto K. 1997. Renewable Biological System for Alternative Sustainable Senergy Production. FAO Agric Services Bul. 128.
32
Muchtadi D. 1992. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Muthulakshmi C, Gomathi D, Kumar DG, Ravikumar D, Kalaiselvi M, Uma C. 2011. Production, Purification and Characterization of Protease by Aspergillus flavus under Solid State Fermentation. Biochem. 4:137-148 Najiyati S dan Danarti. 2006. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pascapanen. Penebar Swadaya, Jakarta. Naland, H. 2008. Kombucha,Teh dengan Seribu Khasiat. Agromedia Pustaka, Jakarta. Pandey A, Selvakumar P, Soccol CR, Nigam P. 1999. Solid State Fermentation for the Production of Industrial Enzymes. Curr Sci. 77: 149–162. Panggabean E. 2011. Buku Pintar Kopi. Agromedia Pustaka, Jakarta. Pelczar MJ dan Chan ECS. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press, Jakarta. Perez J, Munoz-Dorado J, de la Rubia T, Martinez J. 2002. Biodegradation and Biological Treatment of Cellulose, Hemicellulose and Lignin. Int Microbial. 5(2): 53-63. Purwadaria T.1997. The Correlation between Amylase and Cellulase Activities with Starch an Fibre Contents on The Fermentation of Cassapro (Cassava Protein) with Aspergillus niger. Proc Indonesian BiotechnolConference. Jakarta, 17-19 Juni, 1997. 1: 379-390. Rachman, A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Rahma.
2011. Asam Oksalat, Sifat-sifat Asam Oksalat dan Pengaruh Asam Oksalat. http://www.landasanteori.blogspot.com/2011/09/asam-oksalat-sifat-sifat-asam-oksalat.html. [1 Februari 2013].
Ramos-Valdivia A, de la Torre M, Casas-Campillo C. 1983. Solid State Fermentation of Cassava with Rhizopus Oligosporus. In Production and Feeding of Single Cell Protein. Ed. M.P. Ferranti dan A. Fiechter. Appl Sci Pub, London. Reilly PJ. 1981. Enzymatic Degradation of Starch. Starch Convertion Technology. Marcell Dekker, New York. Richana N. 2012.Produksi dan Prospek Enzim Xilanase dalam Pengembangan Bioindustri di Indonesia.Bul AgroBio.5(1): 29-36. Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi [skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Lampung. Rimbault M. 1998. General and Microbiological Aspects of Solid Subtrate Fermentation. EJB ElectronicJ Biotechnol. 0717-3458. Rohman H. 2013. Produksi Kopi Secara Enzimatis Menggunakan Bakteri Proteolitik dan Kombinasi Bakteri Selulolitik dan Xilanolitik dari Luwak [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Bogor. Saha BC. 2003. Hemicelluocesa Bioconversion. Microbiol Biotechnol. 30: 279-291. Satiawiharja B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Pemanfaatannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta.
33
Schaefer. 1969. Sporulation and The Production of Antibiotics, Exoenzyme, and Exotoxins. Rev. 33: 48-71. Secades P, Alvarez B, Guijarro JA. (2001). Purification andCharacterization of a Psychrophilic, Calcium-Induced, Growth-Phase-DependentMetalloprotease from the Fish Pathogen Flavobacterium psychrophilum. ApplEnviron Microbiol. 67(6):2436-2444. Senez J. 1979. Solid State Fermentation of Starchy Subtrates. Food and Nutrition Bul. 1(2): 199. Setyatwan H. 2007. Peningkatan Kualitas Nutrisi Duckweed Melalui Fermentasi Menggunakan Trichodermaharzianium. JIT. 7(2) :113-116. Siswoputranto PS. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Kanisius, Yogyakarta. Subramaniyan S, Prema P. 2002. Biotechnology of Microbial Xylanases: Enzymology, Molecular Biology and Application. Critical Rev Biotechnol. 22(1): 33-64. Sugiarto JW. 2001. Studi Produksi Enzim Protease Bacillus subtilis DB104 Rekombinan R-1 pada Media Tepung Kedelai [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Suhartono MT. 1988. Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor. ___________. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. ____________. 1991. Protease. IPB Press, Bogor. ___________. 1992. Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. Sulistyowati dan Sumartona. 2002. Metode Uji Citarasa Kopi. Materi Pelatihan Uji Citarasa Kopi 1921 Februari 2002. Jember : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Sutrisno. 2006. Isolasi dan Karakterisasi Enzim Ekstrak Kasar Xilanase Sari Aspergillus niger. Availabe at http://fisika.brawijaya.ac.ai. [16 Oktober 2012]. Tunga RB. 1995. Influence of Temperature on Enzyme Production. Tech. M [thesis] IIT. Kharagpur, India. Walter H-E. 1984. Proteinases (Proteins as Substrates). Method with Haemoglobin, Casein and Azocoll as Substrate. Di dalam Bergmeyer J, GraβI M, editor. Method of enzymatic Analysis. Edisi ke-3. Verlag Chemie, Weinheim. Ward OP. 1983. Properties of Microbial Proteinase. Di dalam W. Fogarty (ed). Microbial Enzymes and Biotechnol. Applied Science Publishing, London. Webb EE . 1979. Enzymes. Academic Press, New York. Wery N, Gerike U, Sharman A, Chaudhuri JB, Hough DW, Danson MJ. (2003). Use of a PackedColumn Bioreactor for Isolation of Diverse Protease Producing Bacteria from Antarctic Soil. Appl Environ Microbiol. 69(3):1457-64. Whitaker Jr. 1994. Principle of Enzymology for the Food Science.Ed ke-2. Oxford University Pr, New York. Winarno FG, Fardiaz S, dan Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno FG. 1983. Enzim Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
34
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yusianto S, Widyotomo S, dan Mulato S. 1999. Studi pembuatan papan partikel darikulit kopi kering. Pelita Perkebunan. 15(3) : 188-202. Yusianto S dan Mulato S. 2003. Pengolahan dan Komposisi Kimia Biji Kopi : Pengaruhnya Terhadap Cita Rasa Seduhan. Materi Pelatihan Uji Citarasa Kopi 5-6 Agustus 2003. Jember : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
35
LAMPIRAN
36
Lampiran 1. Komposisi Media dan Pereaksi 1. Komposisi media CMC (Carboxy Methyl Cellulose) agar Bahan
Jumlah
CMC
1g
MgSO 4 .7H2 O
0.02 g
KNO 3
0.075 g
K 2 HPO 4
0.05 g
FeSO 4. 7H 2 O
0.02 g
CaCl 2
0.004 g
Ekstrak khamir
0.2 g
Glukosa
0.1 g
Agar-agar
2g
Akuades
100 ml
2. Komposisi media xilan agar Bahan
Jumlah
Birchwood xylan
0.5 g
Sukrosa
10.3 g
Ekstrak khamir
1g
Agar-agar
2g
Akuades
100 ml
3. Komposisi media skim agar Bahan
Jumlah
Susu skim
1g
Nutrient Broth
1.3 g
Agar-agar
2g
37
Akuades
100 ml
4. Komposisi pereaksi DNS (Dinitrosalicylic Acid) Bahan
Jumlah
NaOH KNa tartrat Na 2 SO 4 Akuades
10 g 182 g 0.5 g 1000 ml
5. Komposisi pereaksi Bradford Bahan
Jumlah
CBB G-250 Etanol 95% Asam fosfat 85% Akuades
0.05 g 25 ml 50 ml 500 ml
38
Lampiran 2. Prosedur Analisis Proksimat Biji dan Kulit Kopi 1. Kadar Air Cawan aluminium dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 5 menit, dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang bobotnya (a). Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah ditimbang, kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105oC selama delapan jam. Selanjutnya cawan tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya (b). Kadar air dihitung dengan rumus : a-b x 100% Kadar air (%)= a Keterangan :
a = bobot awal sampel (g) b = bobot akhir sampel (g) 2. Kadar Abu Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam cawan porselain dan dibakar sampai tidak berasap, kemudian diabukan dalam tanur dengan suhu 600oC selama 2 jam. Selanjutnya cawan tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Kadar abu dihitung dengan rumus : Kadar abu (%)=
bobot abu x 100% bobot sampel
3. Kadar lemak kasar Sebanyak 2 g sampel disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Kemudian di ekstraksi selama 6 jam dengan pelarut lemak berupa heksan sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 1000C selama 1 jam. bobot lemak terekstrak Kadar lemak (%)= x 100% bobot sampel 4. Kadar protein kasar Sebanyak 0.25 g sampel dimasukkan ke dalam labu kjehdahl 100 ml dan ditambahkan 0.25 g selenium dan 3 ml asam sulfat pekat. Sampel didihkan selama 1jam sampailarutan jernih. Setelah dingin tambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40% kemudian di distilasi. Hasil distilasi ditampung di dalam labu erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3 BO 3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red bewarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan tersebut menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, distilasi dihentikan dan dilakukan titrasi dengan HCl
39
0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung dengan rumus :
%N=
(S-B) x N HCl x 14 x 100% W x 1000
Keterangan : S = volume titran sampel (ml) B = volume titran sampel (ml) N=normalitas NaOH W =bobot sampel kering (mg) Kadar protein (%) = %N x 6.25 5. Kadar serat kasar Sebanyak 1g sampel dilarutkan dengan 100 ml H2 SO 4 1.25%, dan dipanaskan hingga mendidih.Selanjutnya di destruksi selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas saring dan dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30ml air mendidih dan dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan NaOH 1.25 % selama 30 menit. Kemudian di saring dengan cara seperti di atas dan di bilas berturut-turut dengan 25 ml H 2 SO 4 1.25%, 25 ml air mendidih sebanyak tiga kali dan 25 ml alkohol. Residu dan kertas saring dipindahkan ke cawan porselain dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 130oCselama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan porselain ditimbang (a), dan dimasukkan dalam tanur 600oC selama 30 menit, kemudian didinginkan dan ditimbang kembali bobotnya (b). Keterangan : Bobot serat kasar = W-W0 W : Bobot residu sebelum dibakar dalam tanur W0: Bobot residu setelah dibakar dalam tanur
Kadar serat kasar =
bobot serat kasar x 100% bobot sampel
40
Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi 1. Penentuan kadar gula total (Metode Phenol H2 SO 4 , Dubois 1956) a. Pembuatan Kurva Standar Gula Total Pembuatan kurva standar gula total dilakukan dua macam. Pembuatan larutan standar sebagai stok pada perlakuan isolat tunggal hanya menggunakan glukosa, sedangkan pada perlakuan kombinasi selulase dan xilanase maka menggunakan campuran glukosa dan xilosa dengan perbandingan 1:1. Larutan stok diambil sebanyak 0 ml, 0.10 ml, 0.20 ml, 0.30 ml, 0.40 ml, 0.50 ml dan 0.60 ml, yang masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 1 ml, ditambahkan 2,5 ml H2 SO 4 pekat dan divortex kemudian didinginkan. Larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. b. Prosedur Penentuan Gula Total Penentuan gula total dilakukan dengan menambahkan larutan fenol 5% sebanyak 0,5 ml ke dalam tabung reaksi berisi 1 ml supernatan dan divortex. Selanjutnya ditambahkan 2,5 ml H2 SO 4 pekat dan divortex kembali supaya homogen kemudian didinginkan, setelah dingin divortex kembali dan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Gula total (mg/ml) sampel ditentukan dengan persamaan matematik dari kurva regresi linear standar gula total. Konsentrasi glukosa (mg/ml)
Absorbansi
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
0 0,183 0,288 0,489 0,680 0,770 0,913
Konsentrasi glukosa & xilosa (mg/ml)
Absorbansi
0
0
0,1
0,163
0,2
0,309
0,3
0,486
0,4
0,669
41
0,5
0,785
0,6
0,897
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 1.537x + 0.013 R² = 0.992
0
0.1
0.2 0.3 0.4 Konsentrasi (mg/ml)
0.5
0.6
Kurva Standar Gula Total Gukosa dan Xilosa 1 0.9 y = 1.534x + 0.012 R² = 0.994
0.8 0.7 Absorbansi
Absorbansi
Kurva Standar Gula Total Glukosa
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Konsentrasi (mg/ml)
42
2. Penentuan kadar gula pereduksi (Metode Dinitrosalicylic acid, Miller 1959) a. Pembuatan Kurva Standar Gula Pereduksi Pembuatan kurva standar gula pereduksi dilakukan dua macam. Pembuatan larutan standar sebagai stok pada perlakuan isolat tunggal hanya menggunakan glukosa, sedangkan pada perlakuan kombinasi selulase dan xilanase maka menggunakan campuran glukosa dan xilosa dengan perbandingan 1:1. Larutan stok diambil sebanyak 0 ml, 0.10 ml, 0.20 ml, 0.30 ml, 0.40 ml, 0.50 ml dan 0.60 ml, yang masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi 2 ml, ditambahkan 2 ml pereaksi DNS dan divortex. Selanjutnya dipanaskan dengan suhu 100oC selama 15 menit dan didinginkan. Larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. b. Prosedur Penentuan Nilai Gula Pereduksi Penentuan gula pereduksi dilakukan dengan menambahkan pereaksi DNS sebanyak 1 ml ke dalam tabung reaksi berisi 1 ml supernatan dan divortex. Kemudian diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit dan didinginkan. Larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Gula pereduksi (mg/ml) sampel ditentukan dengan persamaan matematik dari kurva regresi linear standar gula pereduksi.
Konsentrasi glukosa (mg/ml)
Absorbansi
0
0
0,05
0,087
0,1
0,228
0,15
0,403
0,2
0,529
0,25 0,3
0,676 0,756
Konsentrasi glukosa & xilosa (mg/ml)
Absorbansi
0
0
0,1
0,183
0,2
0,288
0,3
0,489
0,4
0,680
43
0,5
0,770
0,6
0,913
Absorbansi
Kurva Standar Gula Pereduksi Glukosa 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 2.675x - 0.018 R² = 0.993
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi
Kurva Standar Gula Pereduksi Glukosa dan Xilosa 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 2.651x + 0.011 R² = 0.993
0
0.05
0.1 0.15 0.2 Konsentrasi (mg/ml)
0.25
0.3
44
Lampiran 4. Prosedur Uji Aktivitas Enzim Protease Pengukuran aktivitas enzim protease dengan metode Kunitz yang dimodifikasi (Walter 1984)
Pereaksi
Sampel (ml)
Blanko (ml)
Standar (ml)
Buffer Tris HCl (0,2 M) pH 8 1.00 1.00 1.00 Buffer Kasein (1% w/v) 1.00 1.00 1.00 Tirosin standar (5 mM) 0.20 Akuades 0.20 Larutan enzim 0.20 o Diinkubasi pada suhu 37 C selama 10 menit Asam trikloroasetat (0,1 M) 2.00 2.00 2.00 Larutan enzim 0.20 0.20 Akuades 0.20 Diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit Supernatan 1.5 1.5 1.5 Na 2 CO 3 (0,4 M) 5.00 5.00 5.00 Pewarna folin (1:2) 1.00 1.00 1.00 o Diinkubasi pada suhu 37 C selama 20 menit kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 578 nm
Unit aktivitas dihitung dengan persamaan :
UA =
(Asp - Abl) x P x 1/T (Ast-Abl)
Keterangan : UA = Jumlah tirosin yang dihasilkan per ml enzim per unit Asp = Nilai absorbansi sampel Abl = Nilai absorbansi blanko Ast = Nilai absorbansi standar P = Faktor pengenceran T = Waktu inkubasi
45
Lampiran 5. Prosedur Uji Aktivitas Enzim Selulase dan Xilanase Pengukuran aktivitas enzim selulase dan xilanase Sebanyak 0.05 g kulit kopi ditambahkan 5 ml buffer phospat pH 7 dan 5 ml enzim ekstrak kasar kemudian direaksikan di dalam labu erlenmeyer 100 ml pada suhu ruangan selama 60 menit. Selanjutnya campuran tersebut disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu 4oC. Sebanyak 1 ml supernatan diambil dan ditambahkan 1 ml DNS, lalu diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit. Sampel diukur aktivitas enzimnya dengan menghitung pembentukan gula sederhana dengan metode DNS. Bahan
Jumlah
Kontrol
Substrat Enzim ekstrak kasar DNS
0.5 ml 0.5 ml
Ya Ya (setelah DNS)
Ya Ya (sebelum DNS)
Ya
Ya (setelah inkubasi 40oC, selama 60 menit) -
1 ml
Sampel
Akuades steril 0.5 ml Kemudian di vortex Diinkubasi pada suhu 100 oC selama 15 menit Didinginkan, kemudian diukur pada panjang gelombang 540 nm
Blanko Ya Ya Ya
Aktivitas enzim dihitung berdasarkan formula : A = OD sampel – OD blanko B = OD kontrol – OD blanko Gula pereduksi sampel (mg/ml) = (A + 0.0187) / 2.6754 = CX sampel Gula pereduksi kontrol (mg/ml) = (B + 0.0187) / 2.6754 = CX kontrol
Aktivitas enzim (U/ml) =
(CX sampel - CX kontrol) x FP x 1000 BM gula pereduksi x waktu inkubasi
Keterangan : BM : Bobot molekul FP : Faktor pengenceran Aktivitas enzim (nkat/ml) = 16.67 x Aktivitas enzim (U/ml)
46
Lampiran 6. Pengukuran Kadar Protein dengan Metode Bradford (1976) 1. Pengukuran kadar protein (Bradford 1976) a. Pembuatan kurva standar protein Larutan stok BSA (Bovine Serum Albumine) diambil sebanyak 0 ml, 0.08 ml, 0.16 ml,0.24 ml, 0.32 ml, dan 0.40 ml masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan akuades hingga volumenya menjadi 0.4 ml. Setiap tabung reaksi ditambah 4 ml pereaksi Bradford dan divortex. Selanjutnya larutan didiamkan selama 15 menit dan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. b. Pengujian kadar protein Pengujian kadar protein dilakukan dengan mengambil 0,2 ml sampel ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml larutan Bradford dan divortex. Larutan didiamkan selama 15 menit dan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Kadar protein (mg/ml) sampel ditentukan dengan persamaan matematik dari kurva regresi linear standar BSA.
Konsentrasi BSA (mg/ml)
Absorbansi
0 0,02 0,04
0 0,129 0,213
0,06 0,08 0,1
0,270 0,340 0,416
47
Kurva Standar Protein 0.5
y = 3.955x + 0.03 R² = 0.981
Absorbansi
0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
Konsentrasi (mg/ml)
48