PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 331
Problematika Ritual Ibadah Haji: Telaah Perilaku Sosial Keagamaan Hujjaj di Kota Jambi H. Sissah & Fuad Rahman Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha saifuddin Jambi
Abstrak: Haji merupakan ibadah kunci yang dianggap sebagai penyempurna dari keseluruhan aktivitas ibadah sehingga muncul asumsi bahwa orang yang telah melaksanakan ibadah harus soleh dan menjadi panutan masyarakat sekitarnya. Namun kenyataan saat ini berbicara lain, banyak hujjaj yang melanggar aturan agama terutama mereka yang berada di lingkungan birokrasi, politik, dan sebagainya (amoral). Pertanyaan yang mengemuka mengapa saat ini banyak hujjaj yang melakukan perbuatan menyimpan (amoral) padahal mereka telah berhaji bahkan lebih dari satu kali. Artikel ini berupaya menyelami faktor penyebab munculnya fenomena ini, sehingga diharapkan ke depan hujjaj senantiasa menjadi panutan bagi komunitas sekitarnya mulai dari keluarga, masyarakat bahkan negara. Artikel ini berdasarkan penelitian lapangan (field research) di mana pengumpulan dan pencarian data melalui wawancara, angket dan dokumentasi. Teknik penarikan sampel melalui purpossive sampling (sampling bertujuan) dan yang dijadikan sampel adalah seluruh komponen yang dianggap berkepentingan dalam mengemukakan pandangan mengenai fenomena positif maupun negatif tersebut. Artikel ini menunjukkan kejanggalan dalam memaknai haji secara filosofis dan orientasi dalam melaksanakan haji terkadang tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh ajaran Islam. Atas
Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
332 H. SISSAH & FUAD RAHMAN dasar ini, banyak dijumpai pelanggaran sikap maupun perilaku yang dilakukan hujjaj sebagaimana yang diamati saat ini. Kata Kunci: Haji, Kota Jambi, perilaku.
Pendahuluan Haji adalah menyengaja datang ke Mekah, mengunjungi Ka’bah dan tempat-tempat lainnya untuk melakukan serangkaian ritual dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan pada waktu dan tempat tertentu.1 Rangkaian ibadah haji adalah rangkaian ibadah yang paling lengkap dari semua ibadah ritual Islam. Rukun-rukun Islam mulai dari mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian sholat, lalu zakat dan shaum adalah tangga-tangga yang mengantarkan pada kesempurnaan ekspresi ketaatan yang dikandung oleh ibadah haji.2 Ibadah haji merangkai semua jenis ibadah dalam rangkaian yang sempurna. Dimulai dari deklarasi ihram yang wajib diucapkan secara lisan, seorang haji harus menahan diri dari berbagai larangan tertentu selama masih berihram. Kemudian dilanjutkan dengan thawaf dan sa’i yang melibatkan seluruh tubuh. Dilengkapi dengan wukuf di Padang Arafah dan melempar jumrah, prosesi diakhiri dengan menyembelih hewan kurban yang merupakan ibadah harta. Bahkan ibadah haji adalah ibadah yang paling menyita energi dan menelan biaya. Seluruh kemampuan yang diperlukan dalam ibadah-ibadah sebelumnya tercurah pada ibadah haji, sehingga pantas dikatakan bahwa ibadah haji adalah puncak dari ekspresi ketaatan hamba. Sebagai pilar Islam, ibadah haji tentunya mempunyai dasar argumentasi yang kuat bersumber dari nash baik al-Qur’an maupun hadits. Melalui beberapa literatur sejarah Islam dikemukakan bahwa perintah mengerjakan haji telah ada jauh sebelum kedatangan Islam tepatnya pada masa Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS., sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam surat al-Hajj ayat 26.3 Kegiatan inti ritual ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 333
(melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Dzulhijjah. Kegiatan haji sendiri dilakukan dari tanggal 8 s/d 12 Dzulhijjah, bulan ke-12 dari kalender Islam. Ritual ibadah haji itu sendiri telah dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim AS. sekitar 3600 tahun lalu. Sesudah masa beliau, praktekprakteknya sedikit atau banyak tentunya mengalami perubahan, namun kemudian diluruskan kembali oleh Nabi Muhammad SAW. Bagi umat Islam, mengunjungi ka‘bah disyari‘atkan menurut kesanggupan (istitho’ah) dan tidak ada unsur paksaan (ikrah). Dari sinilah haji merupakan suatu kewajiban bagi orang Islam, yang melaksanakannya dengan tujuan memperoleh haji mabrur yakni yang tidak dinodai dosa. Dalam artian implikasi dari pelaksanaan ibadah haji dapat menghapus dosa-dosa yang pernah dilakukan pada masa lalu. Untuk menyempurnakan aktivitas ritual ibadah haji, bagi para pelaku haji (jama’ah haji) tentunya harus menunaikan segala ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ terkait dengan amalan-amalan haji seperti: syarat, rukun dan wajib haji, manakala ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ tersebut telah terpenuhi maka pelaku haji dianggap telah menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim (rukun Islam) secara sempurna. Terlepas apakah pelaku haji akan mendapat balasan sebagai haji mabrur atau mardud.4 Namun demikian, sejauhmana pemahaman umat Islam terhadap beberapa persoalan yang terkait dengan haji dan problematikanya hal ini agaknya masih mengundang tanda tanya besar. Kenyataan seperti ini semakin kentara manakala mencermati sosok para hujjaj, yang telah menunaikan haji baik dari sisi integritas kepribadian, performance, sikap dan tingkah laku serta intensitas ibadah. Terlihat polarisasi yang signifikan dari pelaku haji setelah pulang kampung, berbagai tingkah mereka tunjukkan. Ada yang “mewajibkan” nama atau panggilannya Haji (“H”), ada yang memposisikan diri berbeda dengan orang lain manakala hadir pada suatu pertemuan atau acara seremonial keagamaan, ada yang selalu menggunakan pakaian Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
334 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
kebesaran haji, dan berbagai tingkah aneh lainnya untuk menunjukkan identitas diri sebagai hujaj. Fakta semacam inilah yang selalu menggejala dan sering muncul di kalangan masyarakat.5 Fenomena semacam ini berlaku di berbagai tempat di seluruh pelosok nusantara di lingkungan komunitas masyarakat muslim termasuk masyarakat muslim Kota Jambi. Peneliti mencermati setidaknya ada beberapa hal yang sering memunculkan problema bagi hujjaj terkait dengan problema sosial keagamaan. Hal inilah yang sering memunculkan polemik mengenai epektifitas ibadah haji dan implikasinya terhadap problema sosial keagamaan masyarakat di Kota Jambi, yakni ; berkaitan dengan filosofi haji, orientasi haji dan implikasi yang ditimbulkan setelah menunaikan ritual ibadah haji. Pertama, dari aspek filosofis bahwa ritual ibadah haji hanya diwajibkan bagi umat Islam yang memiliki kemampuan (istitho’ah) materil maupun spirituil satu kali seumur hidupnya, namun yang terjadi mereka para orang kaya (tajir), pejabat, berbondong-bondong untuk mengulang ritual ibadah haji (I’adah) pada setiap tahunnya meski harus menyingkirkan jatah mereka yang belum pernah mengerjakan ritual ibadah haji. Tidak heran saat ini kita menyaksikan quota haji disediakan oleh pemerintah Arab Saudi bekerjasama dengan pemerintah Indonesia selalu kurang. Ironisnya orang yang mendaftar untuk menunaikan haji harus antrian (waiting list) selama bertahuntahun (3 sampai 4 tahun), sedangkan setoran hajinya harus dibayar lebih awal. Hal ini disebabkan begitu banyak umat Islam yang menunaikan ritual ibadah haji untuk ke sekian kalinya dengan mengabaikan keinginan dan kewajiban saudaranya yang belum pernah menunaikan ritual ibadah haji. Selain itu, haji hanya diwajibkan bagi orang yang mampu (istitho’ah) dalam artian memiliki kelebihan harta dan sumber pembiayaan (ongkosnya) harus bersumber dari harta atau pencarian yang halal. Kenyataannya, masih banyak umat Islam yang mengerjakan ritual ibadah haji dengan berhutang, bagi pegawai negeri dengan memanfaatkan pinjaman bank (dana awal dari bank) untuk selanjutnya diangsur pada setiap bulannya. Begitu pula banyak yang Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 335 2006 No.
2007
2008
2009
Kecamat an Lk
Pr
Lk
Pr
Lk
Pr
Lk
Pr
1.
Telanaipura
70
94
72
115
87
1 00
90
1 40
2.
Kota Baru
97
99
85
113
88
114
82
111
3.
Jelutung
51
66
63
89
44
64
36
54
4.
Pasar Jam bi
3
3
4
6
2
4
2
6
5.
Jam bi Tim ur
39
42
41
48
35
48
28
41
6.
Jam bi Selatan
82
112
88
1 03
68
88
61
1 03
7.
Pelay angan
4
5
2
4
3
13
4
4
8.
Danau Teluk
1
5
10
22
2
8
7
10
Tabel 1. Jamaah Haji Kota Jambi dalam Beberapa Tahun Terakhir8 menunaikan ibadah haji dari hasil uang korupsi, curian, manipulasi, dan pekerjaan kecurangan lain yang dilarang oleh agama dari sisi perolehannya, Kedua, dari aspek orientasi haji, dimana saat ini banyak orang yang menunaikan haji dengan orientasi ingin menghapus dosa yang telah dilakukan sesuai dengan janji Rasul SAW 6 dan ingin meningkatkan status sosial di kalangan masyarakat atau ingin mendapatkan promosi jabatan. Terlebih lagi dengan lahirnya undangundang otonomi daerah, yang memberikan kesempatan seluasluasnya bagi warga daerah untuk bertarung pada pemilihan Kepala Daerah (pilkada). Ritual ibadah haji dan umrah dijadikan sebagai salah satu ajang untuk meningkatkan prestise dan tempat bermunajah guna memenuhi ambisi duniawi.7 Ketiga, dari aspek implikasi haji, dimana banyak yang telah menunaikan ritual ibadah haji namun perilaku yang ditunjukkan ketika berada di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan tempat kerja sangat variatif, ada perilakunya konstan tidak berubah sebagaimana sebelum menunaikan haji, ada yang justeru semakin buruk dan adapula kepribadiannya menjadi lebih baik setelah Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
336 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
menunaikan haji dibandingkan sebelumnya dan tidak lagi mengulang perbuatan maksiat. Padahal idealnya setelah menunaikan ritual ibadah haji terjadi perubahan signifikan dari sisi moral sosial dan moral keagamaan bagi pelaku (hujjaj). Bertolak dari fenomena-fenomena semacam inilah yang acapkali kita amati di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat muslim di Indonesia terutama di Kota Jambi, dan persoalan ini pulalah yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih intensif dan komprehensif. Artikel ini berupaya seoptimal mungkin mengidentifikasi secara obyektif dan intensif munculnya fenomena demikian, sehingga diharapkan dapat memberikan solusi alternatif mengingat haji merupakan ibadah yang mengandung banyak makna dan sebagai ibadah kunci yang akan menyempurnakan eksistensi seorang muslim dalam pandangan Sang Khalik. Selain itu, melalui artikel ini diharapkan akan ditemukan solusi epektif guna mengatasi problem sosial keagaman yang dihadapi para hujjaj di tanah Kota Jambi ini. Ke depan akan lahir para hujjaj yang shaleh dari aspek teologis dan shaleh shalih dari aspek sosial keagamaan, sehingga semakin banyak hujjaj maka semakin berkurang problem sosial masyarakat.
Pengertian dan Dasar Hukum Haji Pengertian haji Secara etimologi (lughah) kata haji terambil dari Bahasa Arab yaitu Haji yang merupakan bentuk masdar dan berasal dari kata kerja (fi‘il) yakni, maknanya adalah al-Qashdu yang berarti bermaksud, berniat dan menyengaja.9 Dari sini dapat dipahami makna haji menurut bahasa berniat mengujungi Mekkah dengan melaksanakan serentetan ibadah tertentu menurut ajaran Islam. Dasar Hukum Haji Para fuqaha‘ sepakat bahwa melaksanakan haji itu hukumnya wajib ‘ain (kewajiban atas setiap pribadi muslim), yang mampu Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 337
melaksanakannya. Legitimasi mengerjakan haji tersebut dapat dijumpai melalui al-Qur‘an maupun hadist serta ijma’ ulama. Dalam al-Qur’an sebagaimana tertuang dalam Surat Ali Imran ayat 96-97 dan Surat al-Baqarah ayat 196-197 artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Q.S. Ali Imran: 96-97). 10 “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah Karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau Karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu Telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu Telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orangorang yang bukan penduduk kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaanNya. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwadan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. 11
Sedangkan dari hadits sebagaimana termuat dalam riwayat Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
338 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
Abdurrahman: “Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Alh- Khattab ra. dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda: Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan.(Riwayat Turmuzi dan Muslim). 12 “Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah Saw telah menyampaikan kepada kami dalam sabdanya: wahai manusia, telah diwajibkan atas kalian”, kemudian seorang laki-laki bertanya: “Apakah kewajiban itu tiap tahun wahai Rasulullah “ beliau diam, tidak menjawab. Kemudian ia mengulangi lagi pertanyaan sampai tiga kali, lalu Rasulullah menjawab: “ kalu saya menyatakan iya, sudah tentu menjadikan kewajiban sedangkan kamu tidak hanya mengerjakannya, biarkanlah apa yang saya tinggalkan nantinya jangan tanya, karena boleh jadi jawabannya akan memberatkanmu?”. ( HR.Muslim). 137
Ayat dan hadits di atas, selanjutnya ditambah dengan ayat dan hadits yang lain, merupakan dasar argumentatif mengenai legalitas ibadah haji sebagai bagian dari lima pilar Islam. Menunaikan haji merupakan bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslimin sedunia yang mampu (materil, spirituil, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan menunaikan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi (Mekah dan Madinah) pada waktu tertentu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Syawal, Zulkaidah dan Dzulhijjah). Menurut mayoritas ulama, haji itu difardhukan pada tahun kesembilan hijriah, tepatnya setelah diturunkannya ayat 97 dalam Surat Ali Imran. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Ibnu Qayyim (W.751 H/ 130 M.) yang menyatakan bahwa sahnya ibadah haji difardhukan pada tahun kesembilan atau tahun kesepuluh hijriyah, yakni tahun Nabi Muhammad SAW menunaikan haji yang dikenal dengan haji wada‘.14 Selanjutnya landasan bersumber dari Ijma, dimana para ulama sepakat atas fardhunya haji, tanpa ada seorangpun diantara mereka yang berpendapat lain. Atas dasar itu dianggap kafir orang yang mengingkari kewajiban haji, karena dianggap mengingkari sesuatu Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 339
secara qath‘iy. Kewajiban haji dibebankan pada setiap orang mukallaf yang telah mencukupi syarat-syarat dan diwajibkan hanya sekali seumur hidup. Selanjutnya untuk pelaksanaan kedua dan seterusnya hukumnya adalah sunat. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pelaksanaan ibadah haji ke baitullah merupakan duatu kewajiban bagi setiap muslim, yang mampu melakukan perjalan baik moril maupun materil ke Baitullah
Syarat, Rukun, dan Wajib Haji Untuk menyempurnakan aktivitas ritual ibadah haji, bagi para pelaku haji (jama’ah haji) tentunya harus menunaikan segala ketentuanketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ terkait dengan amalan-amalan haji seperti: syarat, rukun, dan wajib haji, manakala ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ tersebut telah terpenuhi maka pelaku haji dianggap telah menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim (rukun Islam) secara sempurna. Terlepas apakah pelaku haji akan mendapat balasan sebagai haji mabrur atau mardud.15 Syarat Haji Fuqaha spekat bahwa melaksanakan ibadah haji diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus di penuhi demi kesempurnaan haji. Dan syarat tersebut bersifat intergal. Syarat haji, sesuatu yang harus dipenuhi sebelum menunaikan haji terdiri dari:16 a. Islam, orang Islam yang telah menunaikan apa-apa yang telah ditetapkan dalam rukun Islam dan tidak diwajibkan bagi orang yang non muslim. b. Berakal, akal adalah sesuatu yang dapat membedakan baik dan buruk suatu perbuatan. Orang yang berakal berarti telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan terkait dengan pelaksanaan haji orang harus mampu membedakan mana yang menjadi syarat haji dan rukun haji. Oleh karena itu orang gila tidak diwajibkan menunaikan haji atau umrah karena tidak Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
340 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
dapat membedakan mana yang diperintah dan mana yang dilarang. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh hadis: “Dari Kholid dari Abi Dhuha dari Ali ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: Diangkatnya pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R Abu Daud).17
c.
Baligh berasal dari kata balagho yang berarti sampai, artinya diwajibakan bagi orang yang telah sampai umurnya untuk menunaikan perintah Allah. Sebab menurut syara‘ haji hanya berlaku hanya bagi orang yang baligh.15 Dan kalupun haji itu dilaksankan tetap sah, tetapi dikategorikan haji sunat, sesuai dengan hadist Rasulullah saw: “Dari Ibnu Abbas r.a berkata Rasulullah saw bersabda: siapa saja (dari anak-anak) yang melakukan haji sesudah ia baligh hendaknya ia melakukan kembali”. d. Merdeka, tidak terjajah atau bebas, dalam artian bebas untuk berbuat dan bebas bertindak, Pada mulanya, kata “ tidak merdeka “ identik dengan hamba sahaya, sedangkan untuk masa sekarang kata merdeka bisa diidentikkan dengan orang yang tidak dalam tahanan atau penjara, dan orang yany tidak dalam perjanjian yang apabila ia menunaikan ritual ibadah haji maka ia melanggar isi perjanjian tersebut. 5). Istatha`ah, berarti mampu menunaikan ritual ibadah haji dan umrah ditinjau dari segi: jasmani, sehat dan kuat, fisik dan mentalnya untuk menunaikan ritual ibadah haji dan umrah. Ekonomi, memiliki biaya yang cukup baik untuk biaya berangkat maupun keluarga yang ditinggalkan dan Keamanan, aman dalam perjalanan dan pelaksanaan ritual ibadah haji, dan aman pula keluarga yang ditinggalkan. Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi maka setiap pribadi muslim dibebani kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji. Rukun Haji Rukun adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah, jika tidak dikerjakan hajinya tidak syah. Adapun Rukun Haji adalah serangkaian Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 341
kegiatan yang harus dilakukan dalam ritual ibadah haji, jika tidak dikerjakan hajinya tidak syah terdiri dari:18 a. Niat dan ihram, pernyataan mulai mengerjakan ritual ibadah haji atau umroh dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umroh di miqat. b. Wukuf di Arafah, berdiam diri dan berdoa di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah. c. Tawaf Ifadhah, mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah melontar jumroh Aqabah pada tgl 10 Zulhijjah. d. Sa‘i, berjalan atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah Tawaf Ifadah. e. Tahallul, bercukur atau menggunting rambut setelah menunaikan Sa’i. f. Tertib, mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal. Wajib Haji Wajib Haji, rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ritual ibadah haji sebagai pelengkap ritual Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus membayar dam ( denda ) terdiri dari: 19 a. Mulai berniat dan menggunakan pakaian ihram pada miqat yang telah ditentukan atau sebelum mendekati miqat. b. Melempari pilar-pilar batu. c. Berkorban bagi mereka yang melakukan Haji Tamattu atau Qiran. Jika mereka tidak mampu berkorban maka mereka dapat menebusnya dengan berpuasa. d. Menghindari segala macam perbuatan dan tindakan dosa yang dapat membatalkan ritual ibadah haji. e. Mazhab Maliki menganggap melakukan tawaf ketika baru tiba merupakan wajib Haji, dan pihak yang lain pun tidak ada yang menolak pentingnya tawaf ketika baru datang ini. f. Shalat Tawaf merupakan wajib Haji menurut mazhab Hanafi namun mazhab yang lain menganggapnya sebagai sunnah Haji.
Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
342 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
g.
h.
i.
j.
Sa‘i diantara dua lembah menurut mazhab Hanafi adalah merupakan wajib Haji yang dapat diganti dengan berkorban jika seseorang melewatkannya; namun mazhab yang lain menganggapnya sebagai rukun Haji. Mencukur atau menggunting rambut wajib adalah merupakan wajib Haji menurut ketiga mazhab namun menurut mazhab Syafi’i mencukur atau menggunting rambut merupakan rukun haji. Tawaf perpisahan adalah merupakan wajib Haji menurut imam Abu Hanifah, Syafi‘i dan Ahmad; namun menurut Imam Malik tawaf perpisahan adalah sunnah Haji. Bermalam di Mudzalifah setelah kembali dari Arafah sebelum menuju Mina.
Macam dan Hikmah Haji Macam Haji Pelaksanaan ibadah haji pada waktu tertentu dan dengan kondisi yang berbeda dari yang pernah dihadapi jama‘ah tentunya akan menimbulkan kesulitan dan halangan. Oleh karena itu, untuk jama‘ah diberikan kesempatan untuk memilih cara mana yang dianggap lebih mudah sesuai dengan kondisi jama‘ah. Untuk kesempurnaan dan mencapai tujuan haji maka ada tiga cara pelaksanaan haji yang ditawarkan berdasarkan sunnah Rasul, yakni pelaksanaan haji tamattu‘, ifrad dan qiran.20 a. Haji tamattu‘ yaitu mendahulukan umrahnya dari pada haji dalam waktu haji, caranya ihram yang pertama untuk umrah dari miqat negerinya. Setelah menyelesaikan pekerjaan umrah kemudian mengerjakan ihram haji dari mekkah untuk haji. Tamattu‘ adalah salah satu cara dalam pelaksanaan haji dengan mendahulukan ibadah umrah pada bulan haji, sejak tangal 1 syawal samapi dengan 13 Dzulhijjah, dilanjutkan dengan mengerjakan haji. Apabila melalui cara ini maka diwajibkan membayar dam pada hari qurban atau setelahnya, yakni pada hari tasyri‘ dari tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, bagi yang tidak mampu untuk berqurban Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 343
b.
c.
hendaklah berpuasa selama 3 hari di musim haji dan tujuh hari lagi setelah pulang ke tanah air. Keistimewaan tamattu ini, adalah santai dan ringan, sehingga orang yang melaksanakan dengan cara tamattu, tidak tergesa-gesa dan tumpang tindih, pelakunya pun cepat bebas dari berbagai kekangan dan larangan haji. Apabila waktu haji (Berangkat ke Arafah) tiba, ia kembali mengenakan untuk hajinya. Haji ifrad yaitu Ihram untuk haji dari miqatnya. Terus diselesaikannya pekerjaan haji. Kemudian ia ihram untuk melaksankan umrah serta terus mengerjakan urusannya. Berarti dia mengerjakannya umrah serta terus mengerjakan urusannya.berarti dia mengerjakannya sattu-satu dan yang lebih didahulukannya dalah haji, kemudian batu umrah. Inilah yang dinamakan haji ifrad. Ifrad juga merupakan salah satu cara melaksanakan haji dengan cara mendahulukan ibdah, memulai ihram dari miqat dengan niat haji, kemudian tetap dilanjutkan mengerjakan umrah, jika ia kehendak keistimewaan haji ifrad, dimana jama‘ah tidak diwajibkan membayar dam, tetapi baginya tetap terbuka untuk melakukan qurban secara suka rela atau hanya dusnnahkan. Keistimewaan lain, ihram mereka tidak terputus, sejak ihram haji hingga selesai mengerjakan umrah. Artinya, seolah-olah melaksankan haji dengan cara ifrad benarbenar kehadirannya di Mekkah hanya untuk melaksanakan ubudiah. Haji Qiran yaitu adalah haji dan umrah yang dikerjakan secara bersamaan (serentak). Caranya seseorang melakukan ihram untuk keduanya pada waktu ihram haji, dan mengerjakan sekalian urusan haji. Urusan umrah dengan sendirinya termasuk dalm pekerjaan ibadah haji. Qiran adalah cara pelaksanan haji dan umrah secara bersamaan atau sekaligus, orang yang mengerjakan haji dan umrah dengan qiran tetap dalam ihram, hingga selesai segala amalan haji dan umrahnya, selanjutnya dimasuki haji ke dalamnya sebelum thawaf.
Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
344 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
Hikmah Haji Banyak hikmah yang terkandung dalam ibadah Haji, baik yang dinyatakan dalam Al Qur’an maupun yang harus dicari sendiri oleh pelakunya. Ibadah haji telah mewujudkan pertemuan dialogis antara kesadaran aqidah dan kecerdasan rasio. Pengalaman spiritual masingmasing orang akan berbeda tergantung kepada banyak factor. Dalam berbagai amaliah haji seringkali sulit bagi akal manusia untuk memahami atau mengungkapkan apa hikmah yang tersirat di dalamnya yang sepintas terlihat irasional dan tak masuk akal. Setidaknya ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari pelaksanaan ibadah haji, antara lain: 21 a. Kepatuhan dan penyerahan kepada Allah semata. Hikmah utama dari ibadah haji adalah sebagai bentuk Kepatuhan dan penyerahan diri kepada Allah. Ketika Allah memanggil umat Islam, maka mereka bersegera memenuhi panggilan tersebut walaupun harus menempuh perjalanan yang sangat jauh dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, meluangkan waktu yang sangat berharga dan meninggalkan keluarga dan harta benda. Dengan demikian seorang haji akan selalu siap bila Allah memerintahkannya menjalankan tugas luhur dari Allah karena untuk memenuhi tugas yang sulitpun bersedia datang memenuhi panggilannya. b. Meningkatkan kedisiplinan. Selama di tanah suci, jamaah haji dibiasakan untuk disiplin melaksanakan semua ritual haji dan sholat secara berjamaah di awal waktu dengan bersemangat. Kebiasaan disiplin tersebut diharapkan dapat melekat dalam kehidupan selanjutnya. c. Motivasi peningkatan diri. Ibadah haji akan menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki diri. Seseorang yang bergelimang dosa, sering putus asa dengan dosa-dosanya sehingga sering merasa sudah terlanjur dengan dosanya. Dengan jaminan Allah bahwa Haji akan menghapus dosa, seolah-olah kita disegarkan kembali, sehingga akan termotivasi untuk menjaga diri agar tidak membuat dosa lagi. Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 345
Adapun hikmah haji yang berkaitan dengan aspek keagamaan antara lain: a. Menghapus dosa-dosa kecil menyucikan jiwa orang yang melakukannya, sebagaimana diterangkan nabi SAW dalam hadisnya: Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Siapa yang melakukan haji, tidak melakukan nafas dan tidak berbuat fasik, ia kembali sebagaimana pada ketika ia dilahirkan oleh ibunya”. (HR Bukhari dan Muslim)
b.
Mendorong seseorang untuk menegaskan kembali pengakuannya atas keesan Allah SWT. serta penolakan terhadap segala macam bentuk kemusyrikan, baik berupa patung-patung, binatang, bulan, matahari serta segala sesuaatu selain Allah SWT.Hal ini merupakan haji merupakan kilas balik atau menetapkan kembali peristiwa penemuan kesaan tuhan oleh nabi Ibrahim as. c. Mendorong seseorang memperkuat keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan di dunia ini, dan puncak dari keadilan itu akan diperoleh pada hari kebangkitan nanti. d. Mengantar seseorang menjadi hamba yang selalu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, baik berupa harta dan kesehatan, dan menanamkan semangat ibdah dalam jiwanya,. Al-Kasani dam kitabnya al-Badai‘ mengatakan bahwa ibadah haji merupakan aplikasi dari sifat kehambaan dan kesyukuran atas nikmat Allah SWT yang disembah. Semua kesombongan, keangkuhan, kekayaan, kekuatan, kekuasaan dan sebagainya hilang seperti halnya seorang hamba sahaya dihadapan tuannya.22 Sedangkan dari aspek sosial kemasyarakatan, hikmah ibadah haji antara lain: a. Ketika memulai ibadah haji dengan ihram, di miqat, pakaian biasa ditanggalkan dan mengenakan pakaian seragam ihram di miqat, pakaian yang berfungsi sebagai lambang pembedaan antara status sosial, dimiqat, tempat ibadah haji dimulai, pembedaan tersebut harus dihilangkan sehingga semua menjadi satu dalam kesatuan dan persamaan. Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
346 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
b.
c. d.
e.
Ibadah haji dapat membawa orang-orang yang berbeda suku. Bangsa, dan warana kulit menjadi saling mengenal antara suatu sama lain. Ketika itu terjadilah pertukaran pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan negara masing-masing baik yang berhubungan dengan pendidikan, ekonomi, maupun kebudayaan. Memprerat tali ukhwah islamiyah antara umat islam dari berbagai penjuru dunia. Mendorong seseorang untuk lebih giat dan bersemangat berusaha untuk mencari bekal yang dapat mengantarnya ke mekah untuk naik haji. Semangat bekerja tersebut dapat pula memperbaiki keadaan ekonominya yang pada gilirannya bermanfaat untuk orang fakir dan miskin. Ibadah haji merupakan ibadah badaniyah yang memerlukan ketangguhan fisik dan ketahanan mental. Hal ini menunjukan bahwa ibadah haji dapt memperkuat kesabaran dan ketahanan fisik seseorang.
Orientasi dan Pengamalan Sosial Keagamaan Hujjaj Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa Jambi terkenal dengan masyarakat agamis dan mayoritas penduduknya beragama Islam yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat, yang diyakini bersumber dari nash (al-Qur’an mamupun Sunnah). Sesuai dengan slogan yang sering diagung-agungkan yakni ‘ adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah ‘. Pada hakikatnya, ini tidak hanya merupakan slogan belaka namun dapat dibuktikan kebenarannya, di mana secara riil masih banyak masyarakat yang melaksanakan ajaran Islam baik dalam bidang akidah, ibadah dan muamalah. Namun demikian perlu diketahui bagaimana orientasi umat muslim Kota Jambi dalam mengerjakan haji, apakah cenderung pada persoalan duniawi atau sebaliknya cenderung pada persoalan ukhrowi. Selanjutnya, yang patut dinilai adalah sejauhmana pengamalan atau aplikasi dari pengetahuan hukum tersebut dalam kehidupan Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 347
sehari-hari, apakah hanya sekedar pengetahuan yang bersifat teoritis, atau hanya diamalkan sebagian atau telah diamalkan secara holistik di berbagai sendi kehidupan. Hal ini mengingat banyak penyimpangan-penyimpangan perilaku yang dialami hujjaj meskipun tidak dapat digeneralisir begitusaja karena lebih bersifat kausistis. Untuk mengetahui sejauhmana pengamalan terhadap Hukum Islam para haji (hujjaj) di Kota Jambi, Di sisi lain, bertolak dari penilaian tersebut diketahui pengamalan hukum Islam di Kota Jambi tidak serta merta menyentuh segala aspek sosial kemasyarakatan pada berbagai strata, terutama bagi generasi muda telah tidak mengindahkan budaya-budaya yang sebelumnya sangat dipelihara dan dijunjung tinggi oleh generasi tua, seperti: cara berpakaian, cara bergaul dan sebagainya. Ditambah lagi dengan masuknya budaya asing (luar) dan semakin maraknya pendirian tempat-tempat hiburan dalam bentuk: Cafe, Bar, Karaoke, dan sebagainya, bahkan tidak kalah hebatnya pendirian lokalisasibaik secara tersembunyi maupun secara terang-terangan. Hal ini tentunya akan menimbulkan akses negatif yang akan meluas di kalangan generasi muda, yang dimaklumi pola pikirnya masih labil dan cenderung mudah meniru dan mempraktekkan apa saja yang mereka lihat terlepas apakah itu baik atau buruk buat diri mereka. Realitasrealitas semacam ini agak sulit bahkan mustahil untuk dihindari seiring dengan perkembangan masa dan keadaan. Sebenarnya jika dicermati secara seksama maka akan dapat dideteksi dan diketahui faktor apa saja yang menjadi pemicu pergeseran nilai tersebut, namun demikian semuanya bagaikan ‘ lingkaran setan ‘, semua pihak terlibat dan dapat dipersalahkan namun sebatas mana keterlibatan dan kesalahan tersebut yang sulit diukur mana yang lebih dominan atau sebaliknya. Nilai-nilai Islam tersebut yang pada akhirnya semakin lama semakin mengakar hingga menjadi adat-istiadat yang baku. Selanjutnya, adat istiadat disepakati menjadi slogan dan acuan yang harus ditaati oleh masyarakat. Kenyataan ini dapat terjadi, setidaknya disebabkan dua faktor, yakni ; pertama, keinginan Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
348 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
masyarakat sendiri karena beranggapan bahwa adat yang berlaku memiliki dasar hukum yang jelas dan kokoh, yakni syari’at Islam. Kedua, adat merupakan aturan yang kokoh dan tidak mudah untuk merubahnya, apalagi ia telah terinternalisasi dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. Kondisi seperti ini telah berlangsung lama, sejak Islam masuk ke daerah Jambi sekitar abad ke 13 M.
Penilaian dan Harapan Masyarakat terhadap Hujjaj Sikap dan perilaku para hujjaj yang tinggal dan bersosialisasi dengan lingkungan dan komunitas tempat mereka tinggal tentunya menjadi sorotan masyarakat sekitarnya. Konsentrasi lebih masyarakat inilah yang menuntut i mengenai pengamalan hukum Islamnya ansich, lebih jauh mereka dituntut untuk banyak berbuat di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, peran serta dan sepak terjang mereka dalam lingkungan sekitar juga menjadi perhatian serius oleh masyarakat. Ada banyak perilaku yang dimunculkan hujjaj dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari baik positif maupun negatif. Perilaku positif hujjaj merupakan tuntutan yang harus dilakoni, sebaliknya perilaku negatif hujjaj merupakan suatu aib, mengingat haji sebagai kunci ibadah dan pilar Islam. Pandangan masyarakat tentang siapa yang lebih berperan dalam kegiatan sosial keagamaan, dapat dilihat dalam Tabel 2. Melalui tabel tersebut, dapat dipahami bahwa sejauhmana peran Ulam a/
Tokoh
Dai
Masy arakat
Hujjaj
Pengusaha/
lain-lain
Total
Pejabat
Ulam a
10
7
3
2
3
25
Akadem isi
11
5
4
3
2
25
Tokoh Masy ar akat
6
8
5
3
3
25
Pegawai Negeri
6
8
4
4
3
25
Swasta
11
7
5
2
0
25
Tabel 2. Peran dalam Kegiatan Sosial-Keagamaan Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 349
serta hujjaj dalam kegiatan sosial keagamaan, dimana dapat diklasifikasikan kepada empat bentuk penilaian, yakni ; pertama kelompok masyarakat yang menilai bahwa yang paling berperan atau berdaya dalam kegiatan sosial keagamaan adalah “ulama/da’i”, dikuti “tokoh masyarakat” menempati urutan kedua, “hujjaj” menempati urutan ketiga, “pengusaha/pejabat” menempati urutan keempat, dan ‘lain-lain” menempati urutan terakhir. Penilaian semacam ini, agaknya terkesan bias manakala dikaitkan dengan status haji secara parsial mengingat haji bukan profesi dan tidak berdiri sendiri. Orang yang berhaji atau hujjaj terdiri dari ulama, tokoh masyarakat, pengusaha dan sebagainya. Namun, perlu ditampilkan karena secara empirik masyarakat memberikan penilaian terhadap sikap atau perilaku seseorang bukan karena profesinya akan tetapi lebih cenderung kepada nilai-nilai agamis dan spiritualnya seperti haji atau tidak, kaya atau miskin bukan status profesionalnya. Hal inilah yang mendorong peneliti menampilkan alternasi kepada responden untuk memberikan penilaian secara obyektif sekaligus mengamati bagaimana penilaian mereka terhadap peran hujjaj dalam kesehariannya di tengah masyarakat. Selanjutnya, masyarakat mengharapkan sikap-sikap positif dari hujjaj, sehingga gelar yang melekat padanya tidak berdampak negatif terhadap pribadi, keluarga bahkan agama. Untuk mengetahui sikap apa saja yang menjadi harapan masyarakat terhadap hujjaj dapat dilihat pada Tabel 3. Melalui tabel tersebut, dapat dipahami bahwa sejauhmana peran Im am Mesjid Bany ak Beram al Tauladan Lain-lain Total Ulam a
2
5
15
3
25
A kadem isi
3
6
12
4
25
Tokoh Masy arakat
5
8
10
2
25
Pegawai Negeri
8
7
9
1
25
Sw asta
8
5
11
1
25
26
31
56
11
1 25
Total
Tabel 3. Sikap yang Seyogianya Dilakukan Hujjaj Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
350 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
serta hujjaj dalam kegiatan sosial keagamaan, dimana dapat diklasifikasikan kepada empat bentuk penilaian, yakni ; kelompok masyarakat yang menilai bahwa hujjaj seyogyanya menjadi “tauladan” bagi masyarakat sekitarnya bahkan umat menempati urutan pertama, “banyak beramal” menempati urutan kedua, “imam mesjid” menempati urutan ketiga, “lain-lain” menempati urutan keempat atau terakhir. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ada banyak harapan yang digantungkan oleh masyarakat kepada hujjaj, meskipun harapan tersebut tidak sepenuhnya dibenarkan mengingat haji bukan sebagai profesi atau gelar tertentu yang menuntut tagihan tertentu pula. Haji merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap pribadi muslim yang mampu moril maupun materil. Hal ini mengindikasikan secara riil memang terlihat bahwa masyarakat Jambi masih menjunjung tinggi hukum yang diwariskan pendahulunya (ulama) baik dalam format hajimaupun hukum adat. Namun, juga dijumpai banyak pelanggaran yang dilakukan hujjaj dalam realitas sosial, untuk mengetahui bentuk pelanggaran apasaja yang dilakukan hujjaj dapat dilihat melalui Tabel 4. Melalui tabel itu, dapat dipahami bentuk pelanggaran apasaja yang dilakukan hujjaj dalam kegiatan sosial keagamaan, yang diklasifikasikan kepada empat bentuk, yakni ; kelompok masyarakat yang berasumsi bentuk pelanggaran yang sering dilakukan hujjaj
Korupsi Hipokrit Perselingkuhan Perjudian lain-lain Total Ulam a
5
3
4
3
10
25
A kadem isi
6
4
5
3
7
25
Tokoh Masy arakat
7
5
3
5
5
25
Pegawai Negeri
8
5
5
3
4
25
Sw asta
9
6
5
3
2
25
Total
35
23
22
17
28
1 25
Tabel 4. Bentuk Perilaku Menyimpang Hujjaj di Kota Jambi Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 351
antara lain: “korupsi” menempati urutan pertama, “lain-lain” menempati urutan kedua, “hipokrit” menempati urutan ketiga, “perselingkuhan” menempati urutan keempat dan “perjudian” menempati urutan kelima atau terakhir. Dengan demikian, pada kenyataannya belum semua nilai-nilai yang tercakup dalam ibadah haji terjewantahkan dalam kehidupan sehari-hari atau dapat teraplikasi secara utuh. Artinya, tidak semua adat masyarakat Jambi merupakan manipestasi dari ajaran Islam sebagaimana yang mereka klaim selama ini. Sebagai contoh, membuang uang dan menghamburkan beras kunyit pada saat pengantin pria memasuki rumah pengantin wanita dalam pelaksanaan pesta perkawinan, yang merupakan hal yang mubazir ; begitu pula pembagian harta waris dengan jumlah yang sama antara laki-laki dan wanita. Sedangkan syari’at Islam menetapkan bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak wanita. Pengecualian yang bersifat kasuistis ini sebenarnya hanya sebagai sampel dari sekian banyak hukum adat yang berlaku pada masyarakat Jambi. Di sisi lain, akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran yang cukup signifikan prilaku generasi muda dari nilai-nilai agamis, pola pikir dan pengamalan ajaran Islam lambat laun mulai kurang bahkan cenderung kabur. Ini terbukti dengan bermunculannya aliran-aliran sempalan yang mengatas-namakan Islam di bawah payung Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, baik yang masih berada dalam koridor yang dapat ditolelir maupun sebaliknya. Aliran yang masih berada dalam koridor dalam artian benar dianggap benar dari aspek teologis, seperti Jam’u al-Tabligh, sedangkan sebaliknya sebagai aliran sempalan murni, sebut saja: Dar al-Arqom, Islam Jama’ah dan lainnya. Penelitian ini tidak memfokuskan kajian terhadap aliran tersebut secara spesifik, namun informasi ini hanya dijadikan sampel analisis. Jika diamati perkembangan dan akselerasi dari realitas yang ada, maka akan dijumpai bahwa sebenarnya saat ini telah terjadi pergeseran nilai yang cukup signifikan dalam pengamalan hukum Islam oleh masyarakat muslim daerah Jambi. Di mana pada awalnya kehidupan Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
352 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
masyarakat diwarnai dengan suasana religius terutama di daerah seberang kota Jambi, kondisinya semakin bergeser dan bahkan cenderung terbalik.
Prestasi Haji: Capaian atau Perolehan? Haji merupakan bagian dari ibadah mahdhah yang harus dikerjakan oleh setiap pribadi muslim yang memiliki kemampuan lahir maupun batin. Sedangkan di sisi lain, ajaran Islam diakui mencakup sekaligus mengatur berbagai aspek kehidupan umat manusia baik aspek ; akidah, ibadah, mu’amalah, jinayah siyasah dan lainnya. Dalam aspek akidah dan ibadah ini, segalanya harus dilakukan sebagaimana adanya dan tidak diperbolehkan untuk menambah atau menguranginya, ia akan tetap berlaku sama kapanpun dan dimanapun, yang lebih dikenal dengan Islam Universal. Selain aspek akidah dan ibadah pelaksanaannya dapat saja berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku pada suatu daerah atau tempat, yang lebih dikenal dengan Islam Lokal. Dalam kaitan ini, segala aspek yang diajarkan seyogyanya dipahami dan wajib diamalkan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai manipestasi dari bentuk ketaatan kepada Allah SWT baik itu berkenaan dengan hubungan vertikal maupun hubungan horizontal. Dalam konteks ini, masyarakat Jambi yang mayoritas penduduknya penganut agama Islam selama ini terkenal komit dan intens dalam menjalani aturan-aturan syari’at yang teraplikasi antara lain melalui hukum adat. Mereka sangat menjunjung tinggi aturan yang ditetapkan dan disepakati oleh pemelihara adat karena diyakini bersumber dari ajaran Islam (melalui al-Qur’an maupun Sunnah). Sesuai dengan slogan masyarakatnya ‘adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah‘. Terma syara’ yang dimaksud adalah syari’at Islam. Selanjutnya, bagi hujjaj diharapkan menunjukkan sikap positif terhadap diri, keluarga dan masyarakat sekitar. Untuk mengetahui bagaimana sikap dan perilaku yang seharusnya ditunjukkan hujjaj di Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 353
tengah masyarakat dapat dipahami bahwa pemahaman masyarakat Kota Jambi tentang dampak dari pelaksanaan haji idealnya berdampak pada beberapa aspek kehidupan yang dapat diklasifikasikan kepada empat kategori yaitu ; “rajin sholat” menempati urutan pertama, dan “menjaga akhlak” menempati urutan kedua, dan “tidak cinta dunia” menempati urutan ketiga dan “dapat dipercaya” menempati urutan keempat, dan “lain-lain” menempati urutan kelima. Potret ideal haji inilah yang diharapkan masyarakat agar hujjaj benar-benar menjadi tauladan (uswah) bagi masyarakat sekitarnya. Meskipun tidak luput dari agitasi dan infiltrasi internal maupun eksternal. Dalam konteks ini, bagi masyarakat Jambi dalam mempertahankan adat-istiadat dan kultur agamis nya agaknya tidak mengalami kesulitan yang berarti. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yakni: pertama, keyakinan masyarakat yang masih tinggi/kental terhadap kebenaran agama yang mereka anut ; kedua, kondisi daerah Jambi yang belum begitu kuat dimasuki/dipengaruhi (terkontaminasi) oleh budaya-budaya luar baik melalui akulturasi budaya maupun para missionaris yang mencoba mempengaruhi teologi masyarakat Jambi ; dan ketiga, kondisi masyarakat Jambi yang secara ekonomis belum memprihatinkan sehingga mereka tidak mau menjual aqidah (keyakinan beragama) hanya dengan sepotong roti atau lebih dari itu, sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lain.
Penutup Persepsi masyarakat muslim Kota Jambi terhadap makna ritual ibadah haji sejauh ini cukup baik, hal ini terbukti dari intensitas pemahaman yang masih sejalan dengan apa yang diajarkan Islam. Haji dipahami sebagai ibadah ritual yang merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap personal atau pribadi umat muslim yang mampu, meskipun muncul pemahaman berbeda tentang siapakah yang lebih ideal untuk melaksanakan haji dan motivasi dalam melaksanakan haji. Orientasi umat muslim Kota Jambi dalam mengerjakan ibadah haji kebanyakan masih berorientasi pada spirit Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
354 H. SISSAH & FUAD RAHMAN
moral keagamaan Hal ini relevan dengan syari’at Islam dan pelaksanaan ritual ibadah hajinyapun selama ini masih berdampak positif terhadap hujjaj maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Artinya, peran para hujjaj dalam memberdayakan masyarakat yang ada disekitarnya dominan dan berdaya. Dalam upaya menjaga integritas dan kredibilitas para hujjaj tentunya merupakan sesuatu yang sulit sehingga memungkinkan dijumpai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh hujjaj terutama mereka yang terjun dalam aktivitas politik praktis dan jabatan dalam pemerintahan. Namun demikian para hujjaj seyogyanya mampu memposisikan diri di tengah kehidupan bermasyarakat dan harus memahami eksistensi dan peran di tengah umat baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural, hujjaj harus benar benar memahami makna dan filosofi haji intensif dan komprehensif, sedangkan secara fungsional harus dipahami betul kultur yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat, dimana haji merupakan sesuatu yang dianggap sakral dan hujjaj dituntut mau dan mampu mengejewantahkan nilai-nilai ibadah haji dalam kehidupan sehari-hari dan masyarakat. Catatan: 1 . Secara etimologis haji bermakna “tujuan, maksud dan menyengaja. Dalam artian haji adalah menyengaja mendatangi Ka’bah untuk mengerjakan amalan, tempat dan dalam waktu tertentu. Amalan tertentu adalah setiap amalan yang menjadi rukun, syarat dan wajib haji dimulai dengan niat dan dalam keadaan ihram. Sedangkan tempat tertentu adalah Ka’bah dan Padang Arafah, adapun waktu tertentu adalah Asyhur al-Hajj (bulan-bulan haji), yaitu: Syawal, Zulkaidah, dan 10 hari pertama bulan Zulhijjah. 2 . Nashir ibn Musfir az-Zahrani dalam muqaddimah kitabnya mengemukakan esensi ritual ibadah haji adalah meninggalkan kampung halaman, memisahkan keluarga, menuju kepada yang mulia, mengingat yang sudah tiada (maksudnya anbiaya wa almursalin) dan mengunjungi rumah Allah SWT (Ka’bah). Lihat: Nashir ibn Musfir az-Zahrani, Ibhaj al-Hajj, (Kairo, Mathba’ah alNahdhah, 2008), hlm. 44. 3 . Depag RI, al-Qur’an …, hlm. 300. 4 . Uraian secara detail lihat: Ali Syariati, al-Hajj, (USA: Evicena Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 355 Cultural & Education Foundation (ECEF), 2000), hlm. 32. 5 . Wawancara dengan kalangan ulama, intelektual muslim, akademisi, tokoh masyarakat dan mahasiswa di lingkungan Kota Jambi pada tanggal 10-30 Maret 2010. 6 . Diriwayatkan dari Abi Hurairah Rasul SAW bersabda: Barangsiapa yang menunaikan haji dan ia tidak melakukan perbuatan kotor (dosa) dan tidak melakukan kefasikan maka laksana bayi yang lahir dari perut ibunya tanpa dosa. Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981), Jilid II, hlm. 98. Dalam hadits lain ditegaskan bahwa Islam menganulir dosa sebelum masuk Islam sama halnya dengan haji dapat menganulir dosa sebelumnya. Lihat: Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-Araby, 1997), hlm. 443. 7 . Lihat: Q.S. al-Baqarah: 200-201. 8. Data diperoleh melalui Kasi Penyelenggara Haji dan Umrah Kandepag Kota Jambi Berdasarkan fakta di lapangan para terpidana yang meringkuk di Rutan Jambi banyak yang telah menunaikan ritual ibadah haji terutama kasus korupsi baik dari kalangan pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah maupun pejabat di lingkungan Departemen Agama. 9 . Abu Lois Ma’luf, Al-Munjid Fi al-lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyid, t.th.), Cet. ke-21 hlm. 118. 1 0 . Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, Binbaga Islam, 1997), hlm. 78. 1 1 . Depag RI, al-Qur’an ..., hlm. 15. 12 . Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981), Jilid VI, hlm. 7. 13 . Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al- Ihya‘ at- Turoz alArodi, t.th.), Jilid II, hlm. 975. 14 . Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, (Kairo, Dar al-Taqwa alTurats, 1999), Jilid I, hlm. 283. 1 5 . Uraian secara detail lihat: Ali Syariati, al-Hajj, (USA: Evicena Cultural & Education Foundation (ECEF), 2000), hlm. 32. 16 . Kamal Ibn Humam, Fath al-Qadir, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), Jilid II, hlm. 2 ; Bandingkan dengan Ibnu Qudamah, Syarah al-Kabir li al-Mughni, (Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyyah, t.th.), Jilid III, hlm. 208. 1 7 . Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut:Mausu‘ ah al-Hadist as-Syarif, t.th.), jilid II, hlm. 141. 18 . Mughni al-Muhtaj, Jilid I, hlm. 365 ; Bandingkan dengan alMuhazzab, Jilid I, hlm. 204. 19 . Lihat: Durr al-Mukhtar, Jilid II, hlm. 214-245: Bandingkan dengan Ibnu Juza, Qawanin a-Fiqhiyyah, (Maroko: Mathba’ah alNahdhah, 1968), h. 133 ; Kifayah al-Ikhtiyar, Jilid I, hlm. 430. Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
356 H. SISSAH & FUAD RAHMAN 20 . Mughni al-Muhtaj, Jilid I, hlm. 370 ; Bandingkan dengan alMuhazzab, Jilid I, hlm. 208. 21 . Mughni al-Muhtaj, Jilid I, hlm. 365 ; Bandingkan dengan alMuhazzab, Jilid I, hlm. 204. 22. Durr al-Mukhtar, Jilid II, hlm. 214-245: Bandingkan dengan Ibnu Juza, Qawanin a-Fiqhiyyah, (Maroko: Mathba’ah al-Nahdhah, 1968), h. 140 ; Kifayah al-Ikhtiyar, Jilid I, hlm. 435.
Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012
PROBLEMATIKA RITUAL IBADAH HAJI 357
DAFTAR PUSTAKA Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut:Mausu‘ ah al-Hadist as-Syarif, t.th.). Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikri, 1981) Ali Syariati, al-Hajj, (USA: Evicena Cultural & Education Foundation (ECEF), 2000). Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, Binbaga Islam, 1997). Ibnu Juza, Qawanin a-Fiqhiyyah, (Maroko: Mathba’ah al-Nahdhah, 1968). Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, (Kairo, Dar al-Taqwa alTurats, 1999). Ibnu Qudamah, Syarah al-Kabir li al-Mughni, (Riyadh: Jami’ah alImam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyyah, t.th.). Kamal Ibn Humam, Fath al-Qadir, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.). Lois Ma’luf, Al-Munjid Fi al-lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar alMasyid, t.th.). Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al- Ihya‘ at- Turoz al-Arodi, t.th.). Nashir ibn Musfir az-Zahrani, Ibhaj al-Hajj, (Kairo, Mathba’ah alNahdhah, 2008). Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-Araby, 1997).
Media Akademika, Vol. 27, No. 3, Juli 2012