PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA MENUJU HUKUM YANG RESPONSIF BERLANDASKAN NILAI-NILAI PANCASILA LAW ENFORCEMENT PROBLEMS FOR RESPONSIVE LAW BASED ON THE VALUES OF PANCASILA - THE FIVE PRINCIPLES OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
Yadyn, Abdul Razak, Aswanto Konsentrasi Hukum Pidana, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Yadyn Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 Email :
[email protected] Contact person : +62 085340136174
1
ABSTRAK
Permasalahan penegakan hukum di indonesia menuju hukum yang responsif berlandaskan nilainilai Pancasila. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana keterpurukan penegakan hukum di Indonesia beserta indikator-indikator penyebabnya, serta apakah hukum responsif dan nilai-nilai Pancasila telah dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dalam tugas penegakan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum, yang tipe penelitiannya merupakan penelitian normatif dan Juridis sosiologis. Penelitian dilakukan di Kota Makassar, Kota Manado dan Kota Bitung, data diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner tertutup dengan menggunakan teknik penarikan sampel secara acak bertingkat multistage sampling, agar variabilitas dan probabilitas terwakili untuk dapat mengetahui tingkat keterpurukan hukum di Indonesia beserta indikator-indikator penyebabnya dan bagaimana pelaksanaan hukum responsif dan nilai-nilai Pancasila dalam penegakan dan pembentukan hukum di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterpurukan hukum diakibatkan karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia, indikatornya meliputi integritas penegak hukum yang kurang baik, aturan hukum yang tidak responsif serta tidak diaplikasikannya nilai-nilai Pancasila dalam penegakan dan pembentukan hukum oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Kata Kunci : Hukum Responsif, Nilai-nilai Pancasila
ABSTRACT This study aims to determine the extent of the deterioration of law enforcement in Indonesia along with indicators of the cause, and whether the law is responsive and the values of Pancasila has been implemented by law enforcement officers in their duties. The research conducted is a legal research with the type of normative research and juridical sociological (Socio Legal Research). The study was conducted in the city of Makassar, Manado and Bitung, and the data were obtained from interviews and closed questionnaires by using stratified random sampling (multistage sampling), so that the variability and probability are represented, to be able to determine the level of deterioration of law in Indonesia and its indicators of the cause and how responsive law and the values of Pancasila are implemented in the enforcement and the establishment of law in Indonesia. The results showed that the deterioration of law resulting from the low level of public confidence in law enforcement in Indonesia. The indicators including the poor integrity of law enforcement officials, the rule of law that is not responsive, and the values of Pancasila which were not implemented in the establishment of the rule of law by law enforcement officials in Indonesia. Keywords : Responsive Law, The Values Of Pancasila.
2
PENDAHULUAN Hukum lahir dari suatu dimensi sosial yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk merumuskan hukum yang bersumber dari nilai masyarakat Indonesia adalah bagaimana menciptakan hukum yang responsif yang mampu mengimplementasikan keinginan dari bangsa Indonesia. Bahwa pilar utama lainnya dalam membentuk hukum yang responsif adalah bagaimana membentuk pemahaman yang baik dan menyeluruh kepada aparat penegak hukum dalam memahami dan menjalankan aturan yang berlandaskan pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, bukan hanya sekedar menjadi “boneka Undang-undang”. Hukum responsif selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa bangsa Indonesia yakni Pancasila, yaitu pencerminan nilai kemanusiaan dan nilai keadilan. Permasalahan yang esensial dalam penegakan hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik. Karena sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka, as long as the dirty broom is not cleaned, any talk of justice will be empty.(Ahmad Ali, 2001-74). Laporan penilaian dan akuntabilitas pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap penegakan hukum di Indonesia di bawah 60% (enam puluh) persen (Jaringan Survei Indponesia, 2011). Itu artinya masyarakat kurang percaya terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum di Indonesia. Untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik maka diharapkan aparat penegak hukum tidak sekedar menjadi boneka undang-undang, yang melaksanakan ketentuan undang-undang secara normatif semata, melainkan dibutuhkan Common Sense yang baik oleh aparatur penegak hukum. Common Sense mengedepankan prinsip Sense Of Humanity yang dibutuhkan oleh aparat penegak hukum dalam penanganan suatu perkara agar ke depan tidak terjadi lagi perkara Minah-minah yang lain. Mengedepankan peraturan sebagai sesuatu yang serius adalah suatu seni yang kasuistis dan suatu semangat pembelaan hukum (lawyerly virtue) yang ambigu.
3
Teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial melainkan menjadi jembatan penghubung antara pemikiran normatif legalistik formiil dengan pemikiran responsif, integritas memiliki ciri dan landasan moral yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang tidak baik. “Bukankah satu tingkah laku yang jujur akan lebih mulia dibanding seribu kata-kata”. Tujuan penelitian ini mencari sumber utama keterpurukan penegakan hukum di Indonesia, selanjutnya mengkaji permasalahan keterpurukan penegakan hukum di Indonesia dan kemudian merumuskan formulasi yang tepat dalam membangun sistem hukum responsif berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. METODE PENELITIAN Jenis Dan Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum, yang tipe penelitiannya merupakan penelitian normatif (Legal Research) dan Juridis sosiologis (Socio Legal Research). Karena tipe penelitian ini mengkombinasikan antara bentuk kajian normatif dan empiris, maka analisis normatif / yuridis terutama ditujukan untuk mengkaji konsep negara hukum di Indonesia beserta permasalahan penegakan hukum yang timbul di dalamnya, sedangkan analisis sosiologis / empiris digunakan untuk melihat sejauhmana realitas hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tentang permasalahan penegakan yang ada di Indonesia beserta tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum saat ini. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di 3 (tiga) kota yakni Makassar, Manado, dan Bitung. Alasan utama penulis mengambil lokasi penelitian di 3 kota tersebut, karena penulis berpandangan bahwa ketiga kota tersebut telah dapat merepresentasikan tingkat heterogenitas masyarakat di Indonesia, serta dapat memberikan gambaran tentang permasalahan penegakan hukum di Indonesia, dan seperti apa keinginan masyarakat Indonesia terhadap penegakan hukum yang lebih baik, menuju hukum yang responsif berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
4
Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian terdiri atas (1) Aparat penegak hukum (2) swasta (3) Pelajar (4) Pedagang (5) Buruh (6) Pegawai Negeri (7) tahanan maupun narapidana serta (8) Masyarakat yang terdiri dari seluruh lapisan dan tingkatan. Sampel penelitian diambil dari seluruh lapisan masyarakat yang terdiri atas tahanan / narapidana, pelajar, swasta, buruh, pegawai negeri, dan pedagang. Peneliti juga melakukan wawancara dengan aparat penegak hukum yakni Advocad, Jaksa dan Hakim. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data dan informasi dikumpulkan melalui penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian lapangan atau Field Research, adalah cara memperoleh data yang bersifat primer, yakni data dikumpulkan melalui interview atau wawancara langsung kepada sumber yang bersangkutan, dalam bentuk tanya jawab dengan pihak-pihak yang terkait, serta dengan memberikan kuisioner untuk responden jawab sebagai parameter hasil penelitian. Teknik penelitian menggunakan metode purposive sampling dengan wawancara langsung atau face to face interview dengan menggunakan teknik penarikan sampel menggunakan kombinasi penarikan acak bertingkat (multistage sampling). Teknik ini digunakan agar variabilitas dan probabilitas terwakili agar dapat diketahui tingkat keterpurukan hukum di Indonesia berserta indikator-indikator penyebabnya dan bagaimana pelaksanaan hukum responsif berlandaskan nilai-nilai Pancasila dalam penegakan dan pembentukan hukum. Sedangkan untuk penelitian kepustakaan (Library Research), adalah cara memperoleh data yang merupakan data sekunder dalam penelitian tesis ini, yang lebih berfokus pada studi dan analisis atau telaah buku maupun dokumen. Analisis Data Analisis terhadap data primer dilakukan dengan menggunakan model analisis tema dari judul penelitian (theme analysis). Analisis tema ini gagasannya bertumpu pada asumsi bahwa keseluruhan dari hasil penelitian dan analisis data merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar jumlah bagian, sehingga mampu dijadikan parameter data primer. Sedangkan analisis data sekunder diperoleh dari inventarisasi hukum positif yang ada di Indonesia beserta bahan kepustakaan yang dianalisis secara yuridis kritis.
5
ANALISIS Permasalahan penegakan hukum di Indonesia, terletak pada 3 faktor, Integritas aparat penegak hukum, produk hukum, dan tidak dilaksanakannya nilai-nilai Pancasila oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Lebih lanjut Lawrence Friedman mengemukakan 3 aspek yang menjadi dasar keterpurukan hukum suatu negara adalah struktur, substansi dan kultur. Ketiga pisau analisis Friedman tersebut, apabila dikombinasikan dengan keterpurukan penegakan hukum yang ada di Indonesia, maka sangatlah tepat bilamana teori Lawrence Friedmann, menjadi kajian teori analisis penulis, mengingat berbicara mengenai sistem hukum, maka kita tidak akan terlepas dari 3 (tiga) komponen sistem hukum tersebut yakni : Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya; Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur Hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaankebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. (Lawrence M. Friedman, 1975 : 11-16).
Analisis terhadap keseluruhan hasil penelitian berupa struktur hukum, terhadap aparat penegak hukum menempatkan 70% tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak hukum di Indonesia., disebabkan oleh berbagai faktor antara lain integritas aparat penegak hukum tersebut, rendahnya tingkat pelaksanaan kinerja oleh aparat penegak hukum, serta tidak diaplikasikannya nilai-nilai Pancasila dalam pelaksanaan tugas seharihari oleh aparat penegak hukum. Analisis yang kedua adalah keterpurukan hukum dalam hal Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sudah ketinggalan zaman dan merupakan produk peninggalan penjajah Belanda, sehingga dirasakan kurang aspiratif dalam menyerap keinginan masyarakat Indonesia, dan tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Analisis selanjutnya adalah keterpurukan hukum dari aspek Kultur Hukum. Kebiasaan-kebiasaan atau praktek suapmenyuap merupakan kebiasan dalam penegakan hukum di Indonesia, 87% responden dari 3 lokasi penelitian menyatakan bahwa aparat penegak hukum di Indonesia belum bersih dari praktek suap-menyuap.
6
Data Wawancara Berdasarkan hasil wawancara dengan Jaksa Madya Ridwan Umar Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat (10 April 2012), selama bertugas 16 tahun di Kejaksaan, responden mengemukakan bahwa kendala-kendala dalam penegakan hukum lebih banyak disebabkan oleh faktor non teknis, antara lain minimnya koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, bolak-baliknya berkas perkara serta kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat. Wawancara dengan Jaksa Muda Supardi, Kasubag Kepegawaian Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat, (10 April 2012). Responden mengatakan bahwa hambatan-hambatan yang dialami sebagai penegak hukum dalam menjalankan tugasnya khususnya dalam penanganan perkara adalah lebih banyak kepada faktor non teknis antara lain kendala dalam jarak tempuh ketika akan melakukan panggilan saksi ke persidangan, biaya perkara yang sangat minim, serta alokasi anggaran yang diberikan dalam penanganan perkara yang belum mengcover seluruh perkara yang ditangani oleh seorang Jaksa. Responden selanjutnya mengemukakan bahwa terhadap perkara-perkara ringan yang masih diteruskan ke persidangan, responden lebih condong memandang bahwa sepanjang perkara tersebut bersinggungan dengan kepentingan masyarakat maka selayaknya diteruskan ke persidangan, namun apabila para pihak telah terjadi perdamaian maka sebaiknya tidak diteruskan sampai ke Pengadilan. Karena untuk saat ini, belum semua penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum menyentuh rasa keadilan masyarakat. Sehingga ke depan regulasi atau aturan yang ada, mampu menyentuh rasa keadilan yang ada di masyarakat, hal ini sangat berpengaruh kepada aparat penegak hukum yang akan menjalankan perintah undang-undang tersebut. Wawancara selanjutnya bersama Jaksa Muda Nur Alim, Kepala Sekasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat (10 April 2012), beliau mengutarakan bahwa aktualisasi nilainilai keadilan dan kemanusian dituangkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam setiap tuntutan kepada diri terdakwa, parameternya ditentukan atas dasar alasan-alasan meringankan dan alasan-alasan yang memberatkan yang dituangkan dalam tuntutan dengan mekanisme berjenjang. Responden mengemukakan bahwa mekanisme rencana tuntutan berjenjang masih diperlukan sebagai pengendalian penanganan perkara, namun dengan mengedepankan asas proporsionalitas atau keseimbangan. Wawancara dengan advocad Muhammad Nursal di Makassar (12 April 2012), persoalan penegakan hukum di Indonesia adalah mengenai struktur hukum yang ada di Indonesia khususnya mengenai kualitas keilmuan aparat penegak hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Disinggung mengenai produk hukum, maka responden berpandangan bahwa produk hukum baik dalam aturan perdata maupun peraturan pidana yang ada saat ini adalah merupakan peninggalan colonial belanda, sehingga dirasakan tidak menyentuh aspirasi atau jiwa bangsa Indonesia. Esensi nilai keadilan dan kemanusiaan tersebut terletak dalam jiwa bangsa yang terkandung dalam Pancasila, namun masih sedikit aparat penegak hukum yang menyadari akan intisari dari nilai-nilai Pancasila tersebut. Mengenai perkara pidana yang tergolong dalam kwalifikasi ringan, maka responden berpendapat perkara pidana adalah merupakan ultimum remidium, sepanjang masih ada upaya lain yang bisa dilakukan antara lain perdamaian, musyawarah untuk mufakat maka persoalan pidananya dikesampingkan.
7
PEMBAHASAN Problematika penegakan hukum diartikan sebagai permasalahan yang timbul dari penegakan supremasi hukum di Indonesia yang memerlukan jawaban atas permasalahan tersebut. Permasalahan penegakan hukum di Indonesia bukan hanya merupakan fenomena yang ada di permukaan saja, melainkan telah merasuki sum-sum sistem hukum itu sendiri. Penegakan hukum di Indonesia seringkali tidak seiring sejalan dengan apa yang diinginkan. Hukum di Indonesia tidak menjadi panglima melainkan menjadi alat politik maupun alat kekuasaan. Karena sebagai panglima, hukum harus mampu menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu kasus atau perkara tanpa terpengaruh oleh tendensi atau kepentingan apapun yang melekat di dalamnya. Problematika penegakan hukum di Indonesia sangat sulit untuk dirunut, bagaikan mencari sampul pangkal atau ujung dari suatu lingkaran, sehingga membuat kejahatan semakin berdaulat di dalam dunia hukum maupun dunia Peradilan di Indonesia. Permasalahan penegakan hukum di Indonesia sering kali diawali dalam dunia peradilan, mafia peradilan sering kali menjadi faktor utama dalam permasalahan penegakan hukum tersebut, karena mafia peradilan bersifat sistemik dan merasuki sum-sum penegakan hukum. Ketua Mahkama Konstitusi, Mahfud MD dalam Politik Hukum di Indonesia, mengatakan bahwa : …Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukm yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.(Mahfud MD, 2001 :1).
Keterpurukan penegak hukum yang ada saat ini diawali oleh terpuruknya dekadensi moral aparat penegak hukum, konsep atau metode berpikir “Money Oriented” sedianya dapat diubah menjadi mindset “Service Oriented without Money”. Sehingga dibutuhkan reformasi hukum tidak hanya dalam hal pembaruan Undang-Undang atau substansi hukumnya (legal substance reform), tetapi juga pembaruan struktur hukum (legal structure reform) dan pembaruan budaya hukum (legal ethic and legal science / education reform), bahkan dalam situasi saat ini, pembaruan aspek immateriil dalam hukum yaitu pembaruan budaya hukum, etika / moral hukum, aparatur penagak hukum, serta ilmu / pendidikan hukum dapat dilakukan pembaruan untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). (Barda nawawi arief, 2010-6). 8
Hakikat Pembaruan / pembangunan hukum bukan terletak pada aspek formal dan lahiriah (seperti terbentuknya Undang-Undang baru, struktur kelembagaan baru, bertambahnya bangunan / sarana peradilan, mekanisme / prosedur baru) melainkan justru terletak pada aspek immateriil, yaitu bagaimana membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan dalam hukum sehingga melahirkan penegak keadilan yang berintegritas baik dan memiliki sifat kemanusiaan dan rasa keadilan dalam dirinya, yang akan mendorong terciptanya penegakan hukum yang lebih baik menuju ke arah hukum responsif yang bersendikan nilai-nilai Pancasila. Pembaharuan sistem hukum atau yang menurut penulis merupakan sistem hukum berbasis Indonesia Juriprudence tersebut, diharapkan mampu menyerap aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hukum tersebut harus sejalan dengan perkembangan yang hidup dalam masyarakat, tidak semata-mata mengedepankan penjatuhan hukuman sebagai solusi atas permasalahan hukum yang ada, melainkan berupaya menyelesaikan masalah melalui jalan musyawarah, bukankah penyelesaian masalah melalui peradilan untuk kasus-kasus kecil akan lebih membuat cost recovery negara membengkak dan menambah pekerjaan baru bagi aparat penegak hukum itu sendiri. Strategi pembangunan hukum responsif dimulai dengan membangun supremasi hukum sebagai pintu utama sebuah bangsa dalam melahirkan suatu konsesi, bahwa hukum menjadi garda depan dalam menciptakan keamanan dan stabilitas suatu bangsa. Namun hukum yang ada saat ini hanya dipahami sebagai suatu aturan yang bersifat kaku, dan menekankan pada aspek the legal system, tanpa melihat kaitan antara hukum dengan persoalan-persoalan yang hidup dalam suatu masyarakat. Teori pemikiran hukum responsif dihadirkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick yang secara garis besar mengupas tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (hukum responsif). Dari ketiga klasifikasi tipe hukum tersebut di atas, maka tipe hukum responsif adalah tipe hukum yang paling tepat dalam membangun sistem hukum di Indonesia yang tipikal masyarakatnya cenderung mengedepankan permusyawaratan sebagai jalan dalam menyelesaikan suatu permasalahan. (Philip Nonet dan Philip Selznick, 1978 :54). 9
Pancasila sebagai dasar filsafat atau ideologi bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan satu sistem pemikiran (system of Thought), karena merupakan pandangan dan nilai-nilai dasar negara yang dijabarkan dalam suatu pandangan ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila senantiasa terbuka karena sifat masyarakatnya yang dinamis, namun ideologi Pancasila sifatnya mutlak, yang tidak dapat dirubah mengingat hakikatnya sebagai landasan hidup bangsa. Pancasila senantiasa mengikuti perkembangan dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, setiap kandungan silanya merupakan perwujudan dari manifestasi yang diinginkan oleh rakyat, karena Pancasila digali dari akar bangsa Indonesia, sehingga Pancasila senantiasa mengikuti perkemangan dan akselerasi masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita Pancasila yakni hidup berbangsa dalam mencapai harkat dan martabat kemanusiaan. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem ilmu pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan (belief-system) karena dijadikan landasan cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhaniaan yang dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofiche Gronslag). Dalam kedudukan ini Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesi. Konsekuensinya seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarannya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Pancasila dalam kerangka sumber nilai perubahan hukum, diletakkan pada persoalan fundamental, bahwa dalam negara terdapat pokok kaidah yang merupakan sumber
hukum
positif
yang
dalam
ilmu
hukum
tata
negara
disebut
“Staasfundamentalnorm”, di dalam negara Republik Indonesia “Staasfundamentalnorm” intinya adalah Pancasila. Maka Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum tertama dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya perubahan hukum. (Kaelan 2010 : 113).
10
KESIMPULAN DAN SARAN Keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas aparat penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak diaplikasikannya nilainilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan, nilai musyawarah untuk mufakat dan nilai keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Hasil penelitian, menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keadaan atau situasional suatu daerah, apabila disuatu daerah penegakan hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat juga baik di daerah tersebut, namun apabila penegakan hukumnya kurang baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut menjadi kurang baik. Dalam rangka pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk konsepsi sistem hukum Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia Juripridence maka nilai-nilai Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan standar hukum yang bersifat united legal frame work dan united legal opinion (Kesatuan pandangan) di antara aparat penegak hukum sehingga perlu dibentuk Undang-Undang sinergitas terpadu dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas baik, aturan hukum yang responsif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan selanjutnya diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak hukum.
11
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Ali, Keterpurukan hukum di Indonesia, Penyebab dan solusinya, Ghalia Indonesia, 2001. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan, Kencana Pranada Media Grup, Jakarta, 2010. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma Offset, Yogyakarta, 2010. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, diterbitkan LP3ES, Jakarta, 2001 -------- Sari kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum PPs, FH UII, Jogjakarta : PPs UII, 2008. Nonet philippe dan Philip Selznick, Law & Society in Transition: Toward Responsive Law, 1978. Alih bahasa oleh Rafael Edy Bosco, .Hukum Responsif, Pilihan di masa transisi. Notonagoro, Pancasila secara ilmiah popular, Pantjuran tujuh, Jakarta, 1975. Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009.
12