PROBLEMATIKA BURUH DALAM MENGHADAPI SISTEM KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING Oleh : Wachid Fuady. R.
ABSTRAK Lahirnya UU NO 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, mengatur dan melegalkan tentang system kerja kontrak dan outsourcing. Dalam pasal 59 diatur tentang system kenja kontrak, sedangkan pasal 64-66 mengatur tentang outsourcing. Pasal 64 menyebutkan ahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Batalan kerja kontrak ( pekerjaan waktu tertentu ) hanya diizinkan untuk pekerjaan pendukung, tetapi dalam prakteknya banyak penyimpangan yang bahkan merambah luas kesemua ranah pekerjaan, hal ini dikarenakan tidak adanya sanksi hokum yang tegas dan lemahnya pengawasan dari pemerintah. Kondisi tersebut tentu saja banyak mendatangkan penderitaan dan perlawanan dari kaum uruh. Sikap solutif dalam hubungan Industrial harus memandang perusahaan sebagai mitra dan buruh tidak dianggap sebagi alat produksi semata, sehingga terjadi proses memanusiakan manusia. kata kunci : kerja kontrak, outsourcing, buruh, huungan Industrial
Pendahuluan Semaraknya penggunaan system kerja kontrak dan outsourcing diberbagai Negara tidak bias dilepaskan dari realita persaingan global, yang menganggap peningkatan daya saing dan produktivitas hanya mungkin dicapai apabila ada kebijakan penyesuaian terhadap pasar kerja yang lebih efisien dan murah. Dalam era perdagangan bebas membuat pemilik modal berinvestasi dinegara yang memerikan kemudahan dan keuntungan. Hal ini menekan pemerintah yang di satu sisi sangat butuh kehadiran modal asing, disisi lain membiarkan upah buruh rendah. Para kapitalis ( pemilik modal ) butuh situasi yang ramah terhadap pasar yang memungkinkan mereka berinvestasi. Mereka butuh fleksibilitas pasar kerja, yang berpihak kepada pemilik modal
agar mudah
mendapatkan dan
memberhentikan tenaga kerja dengan harga pasar. Fleksibilitas adalah diyakini
oleh pemerintah untuk menarik investor sekaligus meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, masing-masing 14,15 pekerja dan 7,87 persen (BPS. Agustus 2010) mendorong pemerintah mengutamakan penciptaan lapangan kerja. Lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan member peluang fleksibilitas pasar tenaga kerja dengan menciptakan system baru ke tenaga kerjaan, seperti kontrak (Pasal 59) dan outsourcing (Pasal 64-66). Dengan system ini, perusahaan di Indonesia bias memperoleh harga buruh termurah dan terhindar dari tuntutan pesangon karena tidak memperkerjakan buruh tetap. System kerja kontrak lebih jadi keniscanyaan ekonomi dunia sebagai Negara berkembang, Indonesia menghadapi dilemma karena masih sangat membutuhkan Invertor asing, khususnya industry menufaktur padat karya sebagai pelopor utama dan pelaku paling agresif kerja kontrak, disamping sector komersial, asuransi dan perbankan. Sebenarnya ada batasan dalam system kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu) hanya diizinkan untuk pekerjaan pendukung, tetapi dalam prakteknya banyak penyimpangan akibat tidak adanya sanksi hokum dan lemahnya pengawasan. Konsekwensinya nasib buruh semakin buruk. Pertama buruh harus bertahan dengan system kerja kontrak yang tidak memberikan kepastian karier dan kenaikan pendapatn yang sesuai dengan masa kerja. Kedua, buruh kontrak tidak berkesempatan masuk serikat buruh sehingga tidak mendapat perlindungan kolektif dari serikat buruh, sepert perjanjian kerja bersama (PKB).
Outsourcing Gagasan awal berkembang outsourcing adalah untuk membagi resiko usaha dalam berbagi masalah, termask ketenagakerjaan. Pada tahap awal outsourcing belum diidentifikasi secara formal sebagai strategi bisnis (mullin dalam sehat damanik, 2006 : 7). Hal ini terjadi karena banyak perusahaan yang semata-mata mempersiapkan diri pada bagian-bagian yang tidak bias dikerjakan secara internal, dikerjakan melalui outsourcing. Sekitar tahun 1990, outsourcing telah mulai berperan sebagai jasa pendukung. Tingginya persaingan telah menuntut menjemen perusahaan melakukan perhtungan pengurangan biaya. Perusahaan mulai melakukan outsourcing terhadap fungsi-fungsi yang penting bagi perusahaan, tetapi tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan. Mengingat
bisnis
outsourcing
berkaitan
erat
dengan
praktek
ketenagakerjaan, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan menjadi factor penting dalam memacu perkembangan outsourcing di Indonesia. Legalisasi penggunaan jasa outsourcing
baru terjadi pada tahun 2003, yaitu
dengan keluarnya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam bidang ketenagakerjaan, outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja (laluHusn, 2008 : 177) ini berarti ada perusahaan yang secara khusus melatih/mempersiapkan, menyediakan, memperkerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain. Perusahaan inilah yang mempunyai huungan kerja secara langsung dengan buruh/pekerja yang dipekerjakan. Dalam bidang manajemen, outsourcing diartikan pendelegasian operasi dan manajemen harian suatu proses bisnis pada pihak luar (Ibid 2008 : 178). Outsourcing awalnya merupakan istilah dalam dunia bisnis untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perusahaan dengan mendatangkan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan besama, membuka peluang bagi berdirinya perusahan baru dibidang penyedia tenaga kerja, serta efisiensi bagi dunia usaha. Pengusaha tidak perlu disebutkan dengan urusan yang tidak terlalu penting yang
banyak memakan waktu dan fikiran, karena hal tersebut bias diserahkan pada perusahaan yang khusus bergerak di bidang itu.
Sumber Hukum Outsourcing Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengatur dan melegalkan outsourcing. Istilah yang dipakai adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa buruh/pekrja. Dalam Pasal 64 disebutkan perusahaan dapat meyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemnorongan pekrjaan atau penyedia jasa/buruh yangdibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan untuk di outsource adalah pekerjaan yang: a.
Dilakukan secara terpisah dari kegiatan uatama;
b.
Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dan pemberi pekerjaan;
c.
Merupakan kegiatan penunjang secara langsung
d.
Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hokum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Jika persyaratan di atas tidak dipenuhi, demi hokum status hubungan kerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi huungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut : a.
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja harus sekurang-kurangnya sama denganperlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan
yang
berlaku. b.
Hubungan kerja dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan perjanjian kerja waktu tertentu sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang No.13 Tahun 2003.
c.
Pasal 59 menyebutkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : 1. Pekerjaan yang sekali atau sementara sifatnya; 2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun; 3. Pekerjaan yang bersifat musiman; 4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajahan. Perusahaan penyedia buruh/pekerja harus memenuhu syarat sebagai
berikut : a.
Adanya hubungan kerja antara pekerjaan/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b.
Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatanganiu oleh kedua belah pihak.
c.
Perlindungan
upah
dan
kesejahteraan,
syarat-syarat
kerja,
serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. d.
Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana maksud dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi
No. KEP-101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Buruh/Pekerja diseutkan bahwa apabila perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat :
a.
Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerjaan buruh dari perusahaan penyedia jasa;
b.
Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana maksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
c.
Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja, dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Perlawanan Sistem Kontrak Indonesia sebagai bagian dari system ekonomi global, tidak mungkin bebas dari system kerja kontrak. Namun demikian penerapan system kerja kontrak tentunya mendapatkan perlawanan dari buruh. Ada beberapa pilihan yang tersedia untuk memperlemah praktik kerja kontrak. Pertama, memperjelas definisi pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan pendukung (non-core business). Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, system kerja kontrak hanya diizinkan untuk pekerjaan pendukung, tetapi dalam prakteknya banyak penyimpangan akibat tidak adanya sanksi hokum dan lemahnya pengawasan. Kedua, pengawasan tenaga kerja sebaiknya dilakukan secara tripartite, mengingat praktik pengawasan selama ini tidak berfungsi maksimal setelah pengawasan jadi kewenanganpemda. Tak memadainya tenaga pengawas, kurangnya pendidikan pengawa, masih kuatnya praktik korupsi, dan meluasnya jumlah perusahaan skala kecil dan menengah membuat pengawasa tidak berjalan efektif bila hanya dilakukan oleh pemerintah.
Ketiga, serikat buruh harus lebih fokus dan detail mendefinisikan alternatif sistem pasar kerja yang lebih bagus bagi buruh. Hanya berteriak “tolak sistem kerja kontrak!” tak menyelesaikan apa pun bila tak memperkenalkan alternatif yang masuk akal. Keempat, serikat buruh perlu melakukan refleksi serius atas meluasnya fragmentasi gerakan buruh saat ini. Dari pengalaman internasional, gerakan serikat buruh akan memiliki daya tawar politik kuat bila mereka bersatu. Teriakan serikat buruh akan meredup bila diteriakkan secara sporadis, apalagi dengan jumlah massa kecil. Serikat buruh juga terancam kehilangan relevansinya jika tak bias melakukan perubahan nasib buruh. Kelima, perusahaan system kerja kontrak yang bias beroperasi adalah perusahaan pemborongan pekerjaan. Perusahaan menyerahkan sebagian pekerjaan pendukung kepada pihak lain karena alasan menghindari pesangon dan jaminan social. Perlawanan lain : dengan menetapkan gaji buruh kerja kontrak lebih tinggi ketimbang pekerja. Izin yang dikeluarkan dinas tenaga kerja untuk bisnis kerja kontrak harus bias diakses publik karena banyak izin yang dikeluarkan menyimpang dari isi UU No 13/2003. Dengan keterbukaan ini, serikat buruh bias melakukan perlawanan lewat hak uji materi di Pengadilan Tata Usaha Negara bila da penyimpanangan. Selain kelima hal tersebut diatas, Rakernas Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera (KSBI) 2008 juga merumuskan bentuk perlawanan terhadap sistem kerja kontrak, diantaranya praktek kerja kontrak harus diikuti penguatan jaminan social dengan memperkenalkan tunjangan pengangguran, jaminan kesehatan seumur hidup dan jaminan hidup layak. Sistem kerja kontrak tak boleh diberlakukan untuk manusia, karena buruh bukan barang dagangan, seperti sejak awal disinandungkan ILO dalam deklarasi pendirinya : “Labour is not commodity”. (Kompas 30/4/2010).
Dialektika Dua Pihak Pertentangan buruh di Indonesia tidak bias diterapkan pertentangan model kapitalisme murni. Oleh karena itu perselisihan perburuhan dapat mengarah pada perang antar kepentingan yang rumit. Sikap solutif mitra dan buruh tidak dianggap sebagai alat produksi semata, sehingga terjadi proses memanusiakan manusia. Setiap pihak harus menyadari bahwa masing – masing punya kekurangan dan kelebihan sehingga hubungan keduanya lebih untuk saling melengkapi idealnya hubungan industrial adalah dialektika antara pekerja dan pencari kerja. Hubungan industrial harus mencerminkan sintesis dari dua tesis kepentingan pekerja dan pengusaha. Joseph Stiglitz di pertemuan Industrial Relation Researchs Asociation di Boston, Amerika Serikat (2000), menyampaikan kritik atas cara pandang para ekonom liberal yang melihat buruh sebagai alat produksi semata. Stiglitz menyarankan cara pandang baru yang lebih memuliakan buruh, baik karena adanya pemahaman baru yang melihat buruh sebagai pemangku kepentingan maupun
jasa buruh
menciptakan masyarakat
madani
dan
standardisasi pekerja. (Kompas 1 Mei 2010). Besarnya tekanan terhadap buruh dalam relasi dengan Negara dan pasar juga membuat buruh harus punya kesadaran baru : bahwa dia tidak menjual tenaganya sebagai faktor produksi, melainkan sebagai manusia pemangku kepentingan yang menjadi subjek pembangunan. Dialektika pekerja-pengusaha tak mungkin terwujud tanpa masing – masing pihak mengganti pandangan lama dengan pandangan baru yang rasional, berbasis hokum, dan berdasarkan kemanusiaan.
Pandangan baru akan
menghadirkan sikap saling menghargai (mutual respect), saling pengertian (mutual understanding), saling percaya (mutual trust), dan keduanya sama-sama diuntungkan (mutual benefit).(Kompas 30 April 2010) Tak akan ada lagi letupan-letupan ketidakpuasan dalam bentuk kekerasan yang berlebihan. Semua masalah bias dicarikan penyelesaian secara arif di meja perundingan. Para pihak harus menyakini masih ada irisan yang sama di antara
keduanya sehinga hubungan industrial tak berhenti pada setumpuk klausul undang-undang. Walau dalam pelaksanaan hubungan industrial muncul perselisihan (dispute) dengan segala kelemahannya, perangkat hokum positif akan menuntut kearah penyelesaian. Pekerja dan pengusaha boleh menempuh proses mediasi, bahkan mengajukan perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan kemudian ke Mahkamah Agung (UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Namun, hal itu mensyaratkan perundingan bipartite lebih dahulu sebagaimana Pasal 151 UU No 13/2003 tentang, penyelesaian dua pihak pelaku hubungan industrial lebih diutamakan. Kesadaran lain adalah menuntut pesan Negara melindungi buruh. Hal ini terkait dengan UUD 1945 yang memerintahkan Negara menjamin hak-hak untuk mendapat pekerjaan yang layak bagi warga negaranya.
Penutup Pengembangan bisnis secara outsourcing sudah berlangsung lama, jauh sebelum
diatur
dalam
Undang-Undang
No.13
Tahun
2003
tentang
ketenagakerjaan, misalnya pada penyediaan jasa pengamanan/satpam, jasa kebersihan/perawatan (cleaning service). Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak dijelaskan pekerjaan yang tergolong dalam kegiatan utama suatu perusahaan sehingga dalam kenyataannya sulit dibedakan mana kegiatan utama dan kegiatan penunjang perusahaan.contohnya untuk suatu perusahaan yang memproduksi televise, bias dikatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan pembuatan perangkat televise, mulai dari penciptaan perangkat elektronik, kabel, monitor, dan kotak rangka luar. Namun, dalam kenyataannya, pembuayan boks dan monitor telah pula di- outsourcing ke perusahaan lain. Persoalan lain yang menimpa bisnis secara outsourcing adalah keadilan dalam pengupahan. Dalam praktik, buruhyang sudah bekerja bertahun-tahun diupahsesuai dengan standar upah minimum, meskipu perusahaan pemberi pekerjaan telah memberikan upah yang jauh lebih besar. Namun karena perusahaan penyedia jasa buruh/pekerja juga mengambil keuntungan, upah yang dibayarkan masih tetap rendah. Untuk perlindungan bagi buruh sudah seharusnya pemerintah mengeluarkan peraturan yang menetapkan jumlah persentase potongan maksimal yang boleh dilakukan perusahaan penyedia jasa/pekerja dari upah yang diterima pekerja. Ketentuan
dalam
Undang-Undang
No.13
Tahun
2003
tentang
ketenagakerjaan yang mensyaratkan bahwa perusahaan outsourcing (pendorong pekerjaan atau penyedia jasa buruh/pekerja) harus berbadan hokum ditujukan dalam rangka menjamin perlindungan hokum bagi buruh/pekerja yang dipekerjakan, namun saying undang-undang ini tidak menyebutkan bentuk badan hokum dimaksud karena dalam ilmu hokum dikenal beberapa bentuk badan hokum seperti Perseroan Terbatas (PT) koperasi, yayasan, dan lain-lain sehingga dalam implementasinya ketentuan ini menimbulakan permasalah.
Daftar Pustaka
Damanik Sehat, 2006, Outsourcing dan Perjanjian Kerja menurut UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan DDS Publishing, Jakarta. Husni Lalu, 2008, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Raja Grafindo Jakarta. 2008, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep101/Men/VI/2004, Tentang tata cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Buruh / Pekerja. 2008, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial. 2007, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pustaka Yustisia Yogyakarta. Indra Suhendra, 2010, Memaknai Hubungan Industrial, Kompas 30 April 2010, Jakarta Rekson Silaban 2010, Memanusiakan Buruh, Kompas 30 April 2010, Jakarta Syahganda Nainggolan, 2010, Buruhnya Nasib Buruh, Kompas 1 Mei 2010, Jakarta. 2009, Sakernas 2009, BPS Pusat, Jakarta