Widya Cipta,Vol. VII, No.2 September 2015
ANALISIS SISTEM KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING TERHADAP ASPEK KESEJAHTERAAN TENAGA KERJA INDONESIA Lili Marlinah Program Studi Manajemen Informatika AMIK BSI Bekasi
[email protected] ABSTRACT The System of contract labour and Ooutsourcing are expected to support the policy of improving the investment climate in order to improve the competitiveness of companies that were hit by the crisis by reducing labor costs to make it more effective and efficient, enhance the company performance to competitive and increasing the profit. On implementation of Policy the system of contract labour and Outsourcing have been labour problem which were not settle yet as well. Keywords: Employee Contract, Outsourcing, Welfare I. PENDAHULUAN Saat ini banyak perusahaan lebih memilih untuk berkonsentrasi pada aktivitas proses produksi baik untuk menciptakan produk atau jasa yang sesui dengan core business (bisnis inti) perusahaan, maka konsentrasi terhadap bisnis inti dari perusahaan diharapkan akan menghasilkan output berupa produk atau jasa yang bisa memiliki mutu dan kualitas tinggi dan mampu bersaing di pasar baik pasar domistik maupun Internasional. Dalam meningkatkan konsentrasi pada aktivitas produksi, perusahaanpun dituntut untuk mampu menurunkan atau meminimalisasi biaya operasional sehingga ada profit margin yang bisa diperoleh perusahaan. Banyak biaya operasional yang harus diturunkan, salahsatunya adalah biaya tenaga kerja (man power cost) dimana biaya tersebut bisa diminimalisasi dengan menggunakan tenaga kerja kontrak dan tenaga kerja oursourcing. Sumber daya manusia (SDM) dalam perusahaan terbagi atas dua sumber yaitu Insourcing artinya pemenuhan SDM melalui proses recruitment kemudian diikat dengan kontrak kerja perusahaan yang bersangkutan dan sumber kedua adalah outsoucing artinya pemenuhan SDM melalui pihak ketiga atau penyedia jasa tenaga kerja. Sementara optimalisasi hasil pencapaian perusahaan akan sangat didukung oleh peningkatan peran sumberdaya manusia yang terlibat langsung dalam pengelolaan proses produksi baik produk maupun jasa. Perkembangan bisnis yang semakin meningkatpun tentunya menuntut
sumber daya manusia yang siap pakai (ready to use), produktif dan kreatif. Saat ini sistem kerja kontrak dan outsoucing masih mendapat perhatian dan sorotan khusus dari berbagai kalangan, baik dari pengusaha, pekerja ataupun pemerintah. Pembahasan dan perdebatan panjang tentang tenga kerja kontrak dan outsourcing sudah lama terjadi dan hingga kini belum mendapatkan penyelesaian yang terbaik karena masih saja terjadi keragaman pemikiran, aksi demontrasi penuntutan agar sistem kerja kontrak dan outsourcing dihapus atau adanya tuntutan tidak diberlakukannya sistem kontrak kerja PKWT (Perjanjian Kontrak Kerja Waktu Tertentu). Sejalan dengan perkembangan perekonomian dan iklim usaha di Indonesia, maka konsep sistem kerja kontrak dan Outsourcing yang telah dijalankan oleh banyak perusahaan di Indonesia tentunya harus mendapatkan kajian yang lebih dalam mengenai hak-hak dan tanggung jawab baik bagi pekerja sistem kontrak dan bagi pekerja Outsourcing yang pada akhirnya akan berdampak ke aspek kesejahteraan pekerja tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian kajian sistem kerja kontrak dan outsourcing ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi kita semua khususnya tenaga kerja Indonesia (TKI). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Sistem Kerja Kontrak Istilah sistem kerja kontrak yang pada undang-undang tenaga kerja lebih dikenal dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau disingkat PKWT, adalah perjanjian kerja antara 169
Widya Cipta,Vol. VII, No.2 September 2015
pekerja atau buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. PKWT inilah yang lebih dikenal dengan sistem kerja kontrak dan pihak pekerjanya disebut karyawan kontrak (Contract Employee) Pengertian kerja kontrak dapat dilihat pada UU No. 13/2003 pasal 58 dan 59 yang menyebutkan PKWT hanya dapat dilaksanakan dengan ketentuan yang berlaku untuk karyawan kontrak adalah: 1. Pasal 58 mengatakan: (1) perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja; (2) dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. 2. Pasal 59 mengatakan: (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: (a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; (b) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; (c) pekerjaan yang bersifat musiman; atau (d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; (2) perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap; (3) perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui; (4) perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun; (5) pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan; (6) pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun; (7) perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan 170
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu; (8) hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Dari peraturan tersebut diatas disimpulkan bahwa karyawan dengan system kerja kontrak dipekerjakan oleh perusahaan untuk jangka waktu tertentu (tidak tetap) dan waktunya terbatas maksimal hanya 3 tahun. Karyawan kontrak hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu Selanjutnya apabila salah satu pihak baik pihak pekerja ataupun pihak pemberi kerja akan mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar gaji karyawan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Dan jika setelah kontrak kemudian perusahaan menetapkan karyawan tersebut menjadi karyawan tetap, maka masa kontrak tidak dihitung sebagai masa kerja. Dikutip dari Harvey (2009:345), sistem kerja kontrak yakni sistem kerja kontrak dengan menggunakan teori Pasar kerja flexible (labor market flexibility disingkat LMF) dimana yang diprioritaskan adalah pelaku dunia usaha (pengusaha, pemilik modal, dan investor) menjadi lebih penting dan menjadi prioritas untuk dilakukan oleh negara daripada menyelamatkan hak-hak dan jaminan kesejahteraan pekerja. LMF diadopsi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan adanya tuntutan dari IMF melalui program penyesuain struktural yang disepakati oleh pemerintah Indonesia, sejak tahun 1997 sampai tahun 2003. LMF memiliki beberapa dimensi fleksibilitas, yakni: 1. Flexibilitas eksternal, yaitu terkait dengan penyesuaian penerimaan buruh dari pasar kerja eksternal. Hal ini dicapai dengan mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing melalui pengaturan pengupahan dan pemberhentian yang longgar; menyebabkan pembedaan hak-hak yang diterima antara buruh tetap dengan buruh kontrak dan outsourcing. 2. Fleksibilitas internal, yaitu fleksibilitas dalam waktu kerja yang menyebabkan pelanggaran jam kerja, hingga ada yang bekerja sampai 12 jam.
Widya Cipta,Vol. VII, No.2 September 2015
3. Fleksibilitas fungsional, yaitu fleksibilitas dalam mempekerjakan buruh diberbagai bidang pekerjaan yang berbeda dalam perusahaan 4. Fleksibilitas upah yang membuat buruh kontrak dan outsourcing menerima upah jauh dibawah Upah Minimum Kota/Kabupaten Penerapan sistem LMF ini menjadi salah satu cara dalam pengurangan jumlah pekerja tetap di dalam suatu perusahaan, dengan dijalankannya sistem kerja kontrak maka bisa meminimalisasi biaya produksi agar bisa mendapat keuntungan yang besar dikarenakan pihak pengusaha bisa melepas tanggung jawabnya dengan tidak membayar jaminan sosial tenaga kerja, bonus, pensiun atau biaya pesangon kepada buruh, ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 2.2. Pengertian Outsorcing Pada dasarnya pengertian outsourcing adalah sebuah upaya mengalihkan pekerjaan kepada pihak ketiga. Outsourcing terjadi ketika perusahaan mendelegasikan penyelesaian tugas atau pekerjaan tertentu kepada perusahaan lain secara langsung oleh perusahaan pemberi kerja. Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti alih daya, yakni pemindahan sebuah pekerjaan dari satu perusahaan ketempat lain. Outsourcing di Indonesia dikenal dengan dua ruang lingkup pekerjaan yakni penyerahan sebagian pekerjaan/pemborongan pekerjaan (outsourcing pekerjaan) dan penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing tenaga kerja atau agen penyalur tenaga kerja/pekerja outsourcing). Menurut ahli bahasa, Salim (2006:1579) istilah outsourcing atau outsource, outsourced, outsources (bisnis), diterjemahkan sebagai membeli tenaga kerja atau suku cadang dari sumber perusahaan lain. Sedangkan, menurut Muzni Tambusai dalam Faiz (2007:39) outsourcing sebagai pemborong satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan ynag tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan. Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa didalam outsourcing terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain, dapat diartikan juga adanya pihak ketiga diantara pemberi kerja dan pekerja yaitu penyedia tenaga kerja. Melalui Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI No. SE/08/MEN/1990 dalam (Saptorini,2005:10) maka berkaitan dengan adanya perbedaan tentang perlindungan dan
kesejahteraan antara pekerja di perusahaan pemberi kerja dan pekerja di perusahaan pemborong kerja. Ketidaksetaraan ini diselesaikan dengan cara melimpahkan tanggung jawab perlindungan dan kesejahteraan buruh di pihak pemborong kerja kepada pihak pemberi kerja. Merujuk pada Undang-undang Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003 pasal 64 menyebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada per-usahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Sementara itu pada Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (alih daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Dan menurut seorang ahli Greaver (2000:298), outsourcing atau alih daya dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama. III. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan rasionalistik. Metode kualitatifrasionalistik ini didasarkan atas pendekatan holistik berupa suatu konsep umum (grand concepts) yang diteliti pada objek tertentu (spesific object), yang kemudian mendudukkan kembali hasil penelitian yang didapat pada konsep umumnya. Paradigma penelitian kualitatif diantaranya diilhami falsafah rasionalisme yang menghendaki adanya pembahasan holistik, sistemik, dan mengungkapkan makna dibalik fakta empiris sensual. Secara epistemologis, metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalistik menuntut agar objek yang diteliti tidak dilepaskan dari konteksnya atau setidaknya objek diteliti dengan fokus tertentu, tetapi tidak mengeliminasi konteksnya (Endraswara, 2006). Pengumpulan data menggunakan pendekatan studi literatur. Literatur yang diperiksa meliputi buku teks, artikel media massa, dan penelusuran literatur on-line. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pekerja kontrak adalah pekerja yang perjanjian kerjanya diatur dalam perjanjian kontrak antara pekerja dan pengusaha/perusahaan dengan masa kerja misalnya 3bulan, 6 bulan atau 1 tahun, maka setelah 3 bulan, 6 bulan atau 1 tahun masa
171
Widya Cipta,Vol. VII, No.2 September 2015
kontrak tersebut selesai, para pekerja tidak dapat bekerja lagi di perusahaan tersebut, kecuali dia menandatangani perjanjian kontrak untuk masa kerja yang baru. Dengan keterbatasan masa kerja sebagaimana disebutkan diatas maka pekerja kontrak ini adalah pekerja yang tidak dapat mempertahankan hak-haknya, pekerja dengan status kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu tidak mendapatkan lagi hak atas uang pesangon, uang penghargaan serta uang ganti rugi jika di PHK oleh perusahaan/di putus kontraknya. Bahkan banyak perusahaan yang tidak memberikan hak-hak pekerja kontrak dengan tidak memberikan jaminan sosial tenaga kerja seperti Asuransi kesehatan, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Kematian (JK). Sementara itu pekerja dengan status Outsourcing selain tidak mendapatkan jaminan sosial, gaji pekerja outsourcing terkadang tidak dibayar penuh 100%, akan tetapi hanya 80% dengan dalih 20% adalah biaya training atau akomodasi bagi pekerja Outsorcing selama mereka dalam binaan perusahaan penyedia jasa kerja atau pihak yayasan penyalur tenaga kerja buruh. Maka bisa diartikan bahwa pekerja outsorcing yang kita temui dibanyak pabrik/industri hidupnya jauh dari kesejahteraan ekonomi. Sistem kerja kontrak dan outsorcing lahir di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya tuntutan kepentingan kapitalis agar bisa mendapatkan biaya tenaga kerja murah dan dapat meminimalisasi biaya operasional. Sistem ini telah berjalan bertahun-tahun di Indonesia yang mengakibatkan posisi pekerja sangat lemah di hadapan pengusaha. Pekerja yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik serta pekerja yang tidak memilik ketrampilan (Un Skill) akan menjadi sasaran atau target bagi perusahaan penyalur tenaga kerja untuk mempekerjakan mereka dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing Bahasan mengenai sistem kerja kontrak dan outsourcing, bukan hal yang baru dalam dunia industri. Meskipun banyak gelombang aksi protes dan demontrasi dari pekerja kontrak, outsourcing dan serikat buruh, namun sistem kerja kontrak dan outsourcing ini terus berjalan dengan berbagai macam alasan dan sejumlah tindakan pelangggaran yang dilakukan baik oleh perusahaan pengguna tenaga kerja maupun perusahaan penyalur tenaga kerja.kerja. Sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah dua hal yang berbeda, baik dari definisi 172
atau substansinya, undang-undang atau peraturan hukum, serta kondisi persyaratannya. Dasar hukum sistem kerja kontrak adalah Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 56, 57 dan 60 : Pasal 56 1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. 2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: jangka waktu; atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pasal 57 1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. 2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. 3. Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Pasal 60 1. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan 2. Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Sementara Dasar hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 (UUK) Tentang Ketenagakerjaan : Pasal 64 Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis Pasal 65 1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. 2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
Widya Cipta,Vol. VII, No.2 September 2015
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. 3. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum. 4. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 5. Perubahan dan/atau penambahan syaratsyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. 6. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. 7. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. 8. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. 9. Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). Pasal 66 1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. 2. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasalpasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 4. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Dari Pasal pasal diatas dapat kita ketahui bahwa adanya outsourcing karena adanya perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja, dan pekerjaan yang diserahkan kepada Perusahaan jasa pekerja. Sebagai contoh sebuah Bank membutuhkan tenaga cleaning service, maka rumah sakit tersebut dapat mengadakan perjanjian outsourcing dengan Perusahaan jasa pekerja agar dapat menyediakan tenaga kerja untuk bekerja di Bank sebagai cleaning service. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada Perusahaan pemberi jasa pekerja harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi sebagaimana sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (3) Permenaker Nomor 19 Tahun 2012 hanya meliputi lima bentuk pekerjaan, yaitu: (1) usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);(2) usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh
173
Widya Cipta,Vol. VII, No.2 September 2015
(catering); (3) usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan); (4) usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan (5) usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh. Berdasarkan 5 (lima) pokok pekerjaan diatas yang bisa dipekerjakan melalui outsourcing, maka sudah ada keterbatasan ruang lingkup pekerjaan sehingga tidak semua bentuk pekerjaan boleh diberlakukan outsourcing. Dengan demikian pengusaha di Indonesia hendaknya mematuhi peraturan bahwasanya ruang lingkup kerja untuk pekerja kontrak dan outsoutsing yang sudah diatur oleh pemerintah bisa dijalankan dengan sebaikbaiknya. Sementara pekerja kontrak dan outsourcing pun hendaknya bisa lebih selektif dalam memilih pekerjaan atau memilih perusahaan pemberi jasa pekerjaan. Sistem kerja kontrak dan outsourcing kini menjadi sistem kerja yang banyak digunakan di Indonesia. Sistem kerja ini bukan hanya dijalankan di industri atau pabrik-pabrik, melainkan juga di sektor-sektor lain, seperti perbankan, restoran, hotel, instansi, pertokoan/mall, dilembaga pendidikan seperti sekolah, kampus, tempat rekreasi dan tempat lainya yang memang memiliki peluang bagi perusahaan penyedia jasa pekerja untuk dijadikan ladang bisnis. Perusahaan sebagai pengguna tenaga kerja kontrak dan outsourcing memiliki tujuan meningkatkan fokus perusahaan pada kegiatan-kegiatan pokok produksi, Memanfaatkan kemampuan perusahaan outsourcing atau penyedia tenaga kerja yang dianggap memilki keunggulan dibidang masing-masing dan mengurangai biaya operasional. Analisis mengenai sistem kerja kontrak dan outsourcing pada tulisan ini lebih mengarah pada aspek kesejahteraan, seorang pekerja kontrak atau pekerja outsourcing tentunya memiliki penghasilan yang minim, sulit untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya dan sulit mendapatkan penghidupan yang layak. Hal ini disebabkan hak pekerja sudah dibatasi oleh masa kerja yang paling lama dikontrak selama tiga. Berikut ini adalah dampak sistem kerja kontrak dan outsourcing terhadap aspek kesejahteraan: 1. Kesejahteraan dan perlindungan kerja Umumnya pekerja dengan sistem kerja kontrak dan outsorcing mendapatkan upah dan kompensasi (kesejahteraan) diterima lebih rendah dari pekerja tetap, tidak menerima tunjangan ataupun jaminan sosial tenaga kerja yang didalamnya termasuk jaminan kesehatan, tunjangan hari tua, dan tunjangan lainnya. 174
2. Kepastian Masa Kerja Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dibatasi oleh masa kerja tertentu, dengan demikian membuat para pekerja sistem kontrak dan outsourcing memiliki ketidakpastian karena bisa diberhentikan sewaktu-waktu dan harus kembali lagi mencari pekerjaan dengan bersaing oleh banyak calon pekerja lainnya yang lebih muda usianya dan lebih memiliki ketrampilan/keahlian. Jelas hal ini sangat akan berpengaruh pada aspek kesejahteraan karena tidak memiliki kepastian penghasilan bila kontrak kerja selesai dan tidak diperpanjang 3. Keterbatasan Usia Pekerja dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing juga memilki keterbatasan pada usia, hal ini terjadi karena lowongan pekerjaan terutama disektor industri lebih memilih pekerja dengan usia muda misalnya maximal 22 tahun untuk operator produksi dan 30 tahun untuk non operator. Maka bagi karyawan yg usianya telah melawati batas persayaratan tertentu tidak akan bisa bersaing dan hal ini akan menyebabkan pekerja tersebut sulit mendapatkan pekerjaan dan akhirnya membuat pekerja tak punya penghasilan. 4. Status Perkawinan Dibanyak perusahaan yang memiliki pekerja dengan sistem kontrak dan outsourcing lebih memilih karyawan usia muda dan masih berstatus belum menikah atau single, hal ini bertujuan untuk mendapatkan produktivitas pekerja dan menurunkan biaya operasional perusahaan karena tidak menanggung kesejahteraan keluarga karyawan. 5. Keterbatasan Jenjang Karir Pekerja dengan sistem kontrak kerja dan outsourcing memiliki masa kerja kontrak yang terbatas dan ketika kontrak mereka selesai lalu berpindah perusahaan maka masa kerja akan dihitung dari awal lagi dan tentunya hal ini menyulitkan pekerja untuk mengembangkan karirnya karena umumnya jenjang karir terbuka hanya untuk karyawan tetap 6. Pekerja dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing dipastikan tidak akan mendapatkan kompensasi pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), berbeda dengan pekerja tetap yang berhak mendapat kompensasi (uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak). 7. Pekerja dengan sistem kerja kontrak ataupun outsorcing sulit untuk mendapatkan
Widya Cipta,Vol. VII, No.2 September 2015
fasilitas kredit dari perbankan atau lembaga keuangan lainya dikarenakan pihak Bank ataupun lembaga keuangan lainya tidak memiliki jaminan atas penghasilan pekerja sehingga dikhawatirkan tidak mampu untuk mengembalikan kredit. V. PENUTUP Analisis sistem kerja kontrak dan outsourcing ini memberikan pemahaman bagi kita semua bahwasanya sitem kerja kontrak dan outsourcing memiliki implikasi terhadap perekonomian, tidak hanya pada dunia bisnis saja akan tetapi juga memiliki dampak bagi pelakunya yakni pengusaha, pekerja dan pemerintah RI khususnya kementerian tenaga kerja yang sampai saat ini dituntut untuk bisa melindungi kesejahteraan pekerja kontrak dan outsourcing. Para pengusaha yang menggunakan tenaga kerja dengan sistem kontrak dan outsourcing seharusnya lebih bisa memahami hak-hak pekerjanya, tidak melanggar peraturan yang telah ditetapkan dlam undang-undang tenaga kerja di Indonesia, sementara bagi para pekerja kontrak dan outsourcing sendiri hendaknya bisa melindungi diri dengan selektif memilih perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang terdaftar resmi di kementrian tenaga kerja, memiliki ijin usaha serta memiliki kinerja yang baik Sementara pemerintah RI diharapkan bisa bertindak tegas terhadap perusahaan yang melanggar peraturan dalam UU tenaga kerja No.13/2003. Pemerintah diharapkan tidak hanya mementingkan perkembangan dunia bisnis atau memprioritaskan investor asing yang masuk ketanah air, akan tetapi juga melindungi hak-hak para pekerja kontrak dan
outsourcing yang tingkat kesejahteraannya sangat minim dan masih memerlukan perhatian dan kebijakan yang mensejahterakan mereka. DAFTAR PUSTAKA Faiz. 2007. Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Pada Perusahaan. Diambil dari: http://www.panmohanad faiz.com (Diakses 5 Oktober 2014) Greaves, Maurice F. 2000. Strategic Outsourcing, a Struktured Approach to Outsourcing Decisions and Initiatives. USA: Amerika Management Association. Harvey, Davis. 2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis.Yogyakarta: Resist Book Indrajit, RE dan Richardus Djokopranoto.2003. Proses Bisnis Outsourcing. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Kementerian Ketenagakerjaan RI. 2008. Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 th. 2003: Edisi Keempat. Jakarta: Sinar Grafika Salim, Peter.2006. The Contemporary EnglishIndonesian Dictionary. Hal 157 Saptorini, I dan Jafar Suryomenggolo. 2005. Kekuatan Sosial Serikat Buruh:Putaran Baru dalam Perjuangan Menolak Outsourcing. Jakarta: Trade Union Right Tambusai, Muzni. 2015. Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) Ditinjau Dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan Tidak Mengaburkan Hubungan Industrial. Diambil dari: http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. (Diakses 29 Mei 2015).
175