Problematika APBD Asrian HC** Selasa, 8 Maret 2005
Sejak reformasi, APBD menjadi fenomena menarik. Masyarakat tertarik mencermati APBD karena menyangkut kehidupan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Begitu pun bagi DPRD, APBD menjadi menarik karena merupakan media aktualisasi perjuangan partai dan anggota Dewan, termasuk kepentingan lembaga Dewan dan anggotanya itu sendiri. Fenomena itu muncul dalam bentuk tuntutan elemen masyarakat dan mahasiswa terhadap APBD. Bahkan adakalanya tuntutan itu dalam bentuk demonstrasi karena dianggap sudah tidak dapat lagi didialogkan. Bukan hanya itu, sering suatu partai atau anggota Dewan menolak pengambilan keputusan APBD. Dan tak kalah pentingnya dimeja-hijaukannya anggota/pimpinan Dewan karena dianggap melanggar ketentuan dalam penyusunan maupun pelaksanaan anggaran (APBD). Dari sisi pemerintahan pun, APBD menjadi menarik karena sejak reformasi banyak perubahan mendasar terkait penyusunan dan pertanggungjawaban APBD. Perubahan tersebut mulai dari proses perencanaannya--yang memuat unsur penjaringan aspirasi masyarakat, formatnya--yang memuat unsur anggaran terpadu dan jangka menengah, dan substansinya--yang memuat unsur kinerja. Persoalannya, problematika di seputar APBD tidak makin berkurang. Pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan perubahan mendasar dalam penyusunan APBD sehingga membuat ketidak-puasan baik di kalangan masyarakat maupun Dewan. Dewan pun belum sepenuhnya menjadikan APBD sebagai wujud memperjuangkan
Asrian Hendicaya
2
aspirasi rakyat sebagai pertanggungjawaban amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Bahkan sepertinya, proses hukum terhadap anggota/pimpinan Dewan sebelumnya tidak terlalu merisaukan. Peraturan yang baru bahkan seperti memberi alibi (perlindungan) baik kepada Dewan maupun pemerintah. Pemerintah tanpa merasa terbebani keberatan masyarakat dengan menganggap nanti akan dibahas Dewan, yang akan menyetujui dan mengesahkannya sehingga pemerintah seolah hanya menyusun. Begitu pun Dewan, sepertinya tidak merasa terbebani oleh kritik-keberatan masyarakat, dengan menganggap apa yang mereka putuskan toh nantinya akan dievaluasi pemerintah yang lebih tinggi (gubernur untuk APBD kabupaten/kota dan Menteri Dalam Negeri untuk APBD provinsi). Problematika Mengingat kompleksnya problematika APBD, akan coba diuraikan problematika di seputar APBD. Menurut ketentuan, tahun anggaran adalah Januari sampai Desember. Sampai kini (sudah Februari) belum satu pun APBD di Lampung baik provinsi maupun kabupaten/kota yang telah di-perda-kan. Mungkin kita bisa memaklumi karena ada kendala teknis dengan keterlambatan penyusunan kelembagaan Dewan sehingga belum dapat menjalankan tugas dengan penuh. Tentu saja untuk tahun anggaran yang akan datang tidak terulang. Untuk hal ini sudah ada surat kesepakatan bersama Bappenas dan Depdagri tentang jadwal penyusunan rencana pembangunan (APBD) tahun 2006, di mana musrenbang (musyawarah rencana pembangunan) di tingkat kabupaten/kota sudah harus selesai Maret 2005 dan ditingkat provinsi pada awal April karena ditingkat nasional akan dilakukan April. Akibat APBD belum disahkan, pengeluaran belum dapat dilakukan. Hanya untuk keperluan tertentu yang dapat dibenarkan untuk mendahului APBD, seperti gaji atau honor pegawai. Mengapa gaji pegawai dibenarkan untuk dicairkan mendahului anggaran? Sebab, posnya sudah pasti dan terkait operasional kantor-pegawai. Tapi pada kenyataannya, banyak pengeluaran yang tidak mendesak dan dibenarkan peraturan sudah dilakukan pencairan mendahului anggaran. Sebab, mungkin saja pos tersebut tidak disetujui penganggarannya ataupun jumlah anggarannya. Jika hal ini sampai terjadi, bagaimana pertanggungjawabannya. Misalnya, uang sewa rumah untuk anggota DPRD Kota Bandar Lampung Rp25 juta.
Asrian Hendicaya
3
Problematika APBD itu sendiri dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya; (1) Peraturan yang berlaku, seperti PP 109 Tahun 2000, PP 24 Tahun 2004, dll., (2) Rencana strategis (renstra) termasuk arah dan kebijakan umum anggaran (AKU), (3) Dampak kegiatan/proyek yang diusulkan, dan, (4) nilai anggaran yang diajukan. Artinya, pos yang diajukan harus benar dan sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan peraturan yang berlaku, dana penunjang operasional Dewan harus didasarkan pada rencana kerja Dewan. Dengan demikian jumlahnya didasarkan kebutuhan sesuai dengan rencana kerja yang sudah ditetapkan sehingga menjadi janggal pengalokasian dana penunjang operasional Dewan jika belum ada rencana kerja. Dan menjadi tidak relevan jika kemudian penggunaannya dibagi habis kepada anggota Dewan. Jika menyimak kegiatan/proyek yang diajukan tampak tidak ada informasi yang menghubungkannya dengan AKU APBD dan renstra. Dalam pembahasan di Dewan pun tampaknya yang lebih dominan adalah rasionalitas atau emosi suatu kegiatan. Karena itu, dalam UU No. 17 Tahun 2003 ditegaskan suatu kegiatan harus ditampilkan keterkaitannya dengan kegiatan tahun sebelumnya dan tahun yang akan datang. Justru di sinilah makna reformasi anggaran yang dibawa UU No. 17 Tahun 2003. Bahkan dalam PP 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah setiap program memuat kegiatan yang bersifat regulasi dan pelayanan-investasi, tidak hanya proyek (investasi-pelayanan). Dalam konteks ini kritik dan keberatan yang ditujukan kepada proyek/kegiatan pembangunan Tugu Siger dan pusat pendidikan unggulan di Lampung Tengah menjadi wajar. Bahkan ada yang cukup ekstrem karena menilai kinerja Dewan tergantung keberanian "menolak" pembangunan Tugu Siger (problematika Tugu Siger sebenarnya dapat diperdebatkan lebih jauh). Untuk menilai kelayakan suatu kegiatan tercermin pada hasil dan dampak yang diharapkan. Informasi ini tertuang dalam RASK. Karena itu, ada kebutuhan terhadap RASK dalam pembahasan APBD. Sayangnya, dalam konteks ini pemerintah tidak terlalu siap sehingga mencermati RASK yang ada, perubahan yang ada masih dalam tataran format. Hasil dan dampak merupakan tolok ukur pentingnya sebuah kegiatan sekaligus menggambarkan intensitas
Asrian Hendicaya
4
kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Misalnya, pada Dinas Pendapatan Daerah provinsi kita masih melihat sebuah proyek memuat beberapa kegiatan yang tidak saling berhubungan digabung dalam satu pos anggaran. Dalam konteks ini, surat edaran Mendagri tentang pedoman umum penyusunan APBD 2005 secara eksplisit menegaskan dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan masing-masing satuan kerja termasuk sekwan yang disusun dalam format RASK atau RKA harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan) dan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Karena itu, aspek ketiga ini terkait dengan aspek keempat. Bahwa, kelayakan sebuah kegiatannya juga dicerminkan besarnya anggaran yang diajukan. UU No. 17 Tahun 2003 dan juga PP105 Tahun 2000 menetapkan anggaran berbasis kinerja. Artinya anggaran harus terukur. Untuk itu, harus ada informasi volume-besaran kegiatan yang dilakukan. Selain spesifikasi kegiatan, dibutuhkan juga adanya standar harga. Hal ini penting agar ada ukuran yang jelas. Misalnya, standar fasilitas kantor untuk kepala dinas. Jangan hanya karena dekat dengan penanggung jawab keuangan mendapat fasilitas yang berlebih. Ataupun standar harga karena banyak kebutuhan yang sama, tapi di antara dinas yang ada harganya berbeda. Misalnya, pengadaan komputer dan alat tulis kantor. Dalam hal yang lain, misalnya dalam kegiatan pengadaan. Pada satu dinas ada honor penanggung jawab kegiatan, tapi pada dinas lainnya tidak ada honornya, terdapat pada Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Pasar Kota Bandar Lampung. Dalam hal bantuan keuangan, surat edaran Mendagri dengan tegas menyatakan bantuan untuk instansi vertikal agar dihindari karena alokasi anggaran dimaksud menjadi beban APBN. Dalam konteks ini, artinya kalaupun ada bantuan kepada instansi vertikal haruslah dalam kaitan dengan kebutuhan daerah sehingga pos bantuan tersebut lebih mengarah pada ikut membiayai operasional kegiatan yang dibutuhkan daerah. Dengan demikian, pos bantuan kepada instansi vertikal perlu memperhatikan surat edaran Mendagri.
Asrian Hendicaya
5
Menyimak problematika di atas tampaknya banyak hal yang harus dibenahi terkait APBD. Secara kelembagaan terkait UU No. 17 Tahun 2003, lembaga apa yang menjadi pengelola keuangan daerah. Secara struktural terkait dengan PP 105 Tahun 2005, siapa bendahara daerah sebagai pemegang mandat dari gubernur yang mendapat pendelegasian kekuasaan-kewewenangan dibidang keuangan. Secara administratif, sudahkah ditetapkan sistem akuntansi keuangan daerah dan sudah dibuatkah standar analisis belanja. Kesemua ini merupakan prasyarat menyusun APBD yang baik. Jika hal di atas belum ada, wajar saja jika APBD menuai banyak kritik. Karena itu, komitmen pemerintah daerah (gubernur) menjalankan otonomi sebagaimana pengantar RAPBD 2005 harus dibuktikan dengan melengkapi prasyarat di atas. Bahkan gubernur harus membuktikan komitmennya dengan mengajukan kegiatan yang akan meningkatkan kemamapuan-keterampilan aparatur dalam menerapkan anggaran berbasis kinerja, terpadu, dan jangka menengah sebagaimana diamanatkan perundangan-undangan yang ada. Namun, jika kita simak RAPBD 2005 belum tampak kegiatan yang mengakomodasi baik prasyarat maupun tenaga pendukungnya. Kita belum dapat berharap banyak dengan provinsi untuk mengevaluasi APBD kabupaten/kota karena pada APBD provinsi sendiri masih menyimpan banyak masalah yang masih harus diperdebatkan lagi. Karena itu, secara moral akan sulit provinsi bertindak tegas mengevaluasi APBD kabupaten/kota. Kalaupun ada, cenderung akan normatif sesuai dengan peraturan yang berlaku, belum akan menyentuh substansi sebagaimana surat edaran Mendagri yang dkutip di atas. Kita berharap Menteri Dalam Negeri dapat menegakkan aturan dengan mengevaluasi APBD dengan sebaik-baiknya, termasuk bagaimana daerah menyiapkan diri melaksanakan otonomi secara penuh, khususnya dibidang keuangan daerah. Ketegasan itu jika perlu dengan mengaitkannya pada pencairan DAU. Dengan demikian, daerah akan lebih konsen dan peduli. Walaupun secara teknis akan banyak kendala sehingga kita tidak boleh terlalu optimistis berharap. Semoga saja ini menjadi awal yang baik pada pemerintahan baru di bawah pimpinan SBY-JK.