PROBLEMATIK PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH
Oleh Muhlis Fajar W., S.Pd., M.Pd. Abstrak Otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan mempunyai implikasi yang tanggung jawab yang besar terhadap sekolah terutama guru. Hal ini menuntut guru dalam hal ini guru bahasa Indonesia untuk lebih memiliki komptensi berbahasa Indonesia yang tinggi. Namun kenyataannya, pembelajaran bahasa masih menghadapi berbagai problema. Berdasarkan analisis secara teoritis maupun praktis problematik pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dapat diidentifikasikan sebagai berikut (1) pembelajaran bahasa Indonesia tidak komunikatif; (2) pembelajaran bahasa disajikan secara diskrit; (3) rendahnya persepsi siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia; (4) pemanfaatan sumber belajar (buku teks); (5) alat evaluasi yang tidak relevan. 1. Pendahuluan Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, telah diberlakukan otonomi daerah bidang pendidikan dan kebudayaan. Visi pokok dari otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan bermuara pada upaya pemberdayaan (empowering) terhadap masyarakat setempat untuk menentukan sendiri jenis dan muatan kurikulum, proses pembelajaran dan sistem penilaian hasil belajar, guru dan kepala sekolah, fasilitas dan sarana belajar. Otonomi penyelenggaraan pendidikan tersebut pada gilirannya berimplikasi pada perubahan sistem menajemen pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan. Bersamaan dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan tersebut, maka manajemen yang dikembangkan lebih mengarah pada manajemen berbasis sekolah (school based management) atau manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality improvement management) yakni manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan secara partisipatif yang melibatkan warga sekolah. Dengan adanya reformasi dalam sistem pendidikan tersebut, maka semua elemen dituntut untuk meningkatkan kualitas diri. Tidak menutup kemungkinan dalam proses ke arah kemajuan tersebut menemukan pula berbagai problematik, salah satunya adalah problematik dalam bidang pembelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah masih menghadapi berbagai problematik baik secara internal (diri
1
guru) maupun eksternal atau faktor pendukung lain dalam pembelajaran. Untuk menjawab permasalahan tersebut, makalah ini secara singkat akan menguraikan problematika dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Ada dua fokus kajian dalam makalah ini yaitu hakikat pembelajaran bahasa (khususnya bahasa Indonesia) dan Problematika pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah.
2. Hakikat Pembelajaran Bahasa Dalam pembelajaran bahasa, ada empat aspek keterampilan yang harus dikuasai, ada keterampilan menyimak/ mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara. Semua aspek keterampilan tersebut mempunyai ranah sendiri-sendiri. Namun, keeempat keterampilan tersebut selalu berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam pembelajaran bahasa tidak terlepas dari sebuah pendekatan, metode, dan teknik. Kita sering dikacaukan dengan ketiga istilah tersebut (pendekatan, metode, dan teknik). Ketiga istilah ini pada dasarnya mempunyai pengertian yang berbeda yang berada dalam kerangka yang hierarkis. Pendekatan sebagai suatu kerangka umum yang akan dijabarkan ke dalam metode, kemuadian secara operasional akan diwujudkan ke dalam teknik pembelajaran. Ketiga kerangka konsep tersebut menurut Antony (1963:65) dalam Brown (2001:34) dapat dinyatakan pendekatan diartikan sebagai tingkat asumsi atau pendirian mengenai bahasa dan pengajaran bahasa, atau dapat dikatakan dengan falsafah bahasa. Pendekatan mengacu pada teori-teori tentang hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa sebagai sumber atau prinsip pengajaran bahasa. Pendekatan bersifat aksiomatis, dalam arti kebenaran teori linguistik dan teori belajar bahasa yang digunakan tidak dipersoalkan lagi. Metode (method) dalam pengajaran bahasa diartikan sebagai perencanaan secara menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran secara teratur. Tidak ada satu bagian pun dari perencanaan pengajaran yang bersifat kontradiktif. Metode bersifat procedural, dalam arti penerapan satu metode hendaknya dikerjakan melalui langkah-langkah yang teratur dan bertahap dimulai dari penyusunan perencanaan pengajaran, penyajian pengajaran, dan penilaian hasil belajar dan proses belajar mengajar. Teknik (technique) dalam pengajaran bahasa mengacu pada pengertian implementasi perencanaan pembelajaran di depan kelas. Teknik pembelajaran berupa
2
berbagai macam cara dan kiat untuk menyajikan pelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Bertolak dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa ketiga istilah tersebut berada dalam suatu rentangan (continum) mulai yang bersifat umum hingga khusus. Maksudnya pendekatan merupakan landasan konseptual sebagai tesis yang dapat digunakan sebagai kerangka pemilihan prosedur dan teknik pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Dengan demikian konsep, prinsip, atau teori sebagai suatu pendekatan harus diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran bahasa (Strevens, 1977:53). Pendekatan terealisasikan dalam setiap tahapan pembelajaran mulai dari tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Pada tahap perencanaan, pendekatan yang digunakan harus tercermin dalam rancangan pembelajaran seperti dalam rumusan tujuan, pengembangan materi, penentuan kegitan belajar mengaja, pemilihan dan pemanfaatn media, serta perencanaan penilaian. Pada tahap pelaksanaan, pendekatan yang digunakan akan tercermin dalam aktivitas proses belajar mengajar baik yang dilakukan guru dan siswa di dalam kelas. Interaksi belajar mengajar yang digunakan akan bermuara pada pendekatan yang digunakan. Hal ini juga terjadi pada penilaian yang dilakukan dalam proses belajar mengajar. Sebagai landasan pendekatan dalam pembelajaran bahasa, ada dua pendekatan yang dikemukakan dalam makalah ini yakni pendekatan komunikatif dan pendekatan integratif (tematis). Kedua pendekatan ini memiliki relevansi yang erat dengan hakikat pembelajaran bahasa yakni bahasa sebagai alat komunikasi dan bahasa sebagai satu kesatuan yang utuh. Kedua pendekatan tersebut secara singkat diuraikan sebagai berikut. a) Pendekatan Komunikatif Sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia untuk mengembangkan kemampuan komunikasi siswa, maka perhatian guru harus lebih dipusatkan pada penggunaan bahasa (use) untuk maksud-maksud komunikatif daripada kaidah gramatikal (usage), yang memungkinkan siswa membuat kalimat secara benar (Widdowson, 1984:24). Pendekatan komunikatif memandang bahwa kemampuan berbahasa mencakup aspek linguistik dan aspek sosial budaya. Hymes (1972:71) mengaitkan pembelajaran
3
bahasa dengan pendekatan komunkatif pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan aspek budaya. Oleh karena itu pengajaran bahasa tidak hanya menekankan pada orientasi kemampuan gramatikal tetapi harus memperhatikan bagaimana kemampuan gramatikal itu dimanfaatkan dalam konteks komunikasi yang sebenarnya (Littlewood, 1985:62). b) Pendekatan Integratif Pendekatan integratif merupakan bagian dari pembelajaran bahasa menyeluruh (whole
language).
Pendekatan
intergratif
merupakan
cara
berpikir
yang
menghubungkan antaraspek keterampilan berbahasa yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis sebagai satu kesatuan bermakna (meaningful) dalam pembelajaran. Pendekatan integrative juga mengacu pada penyatuan seni berbahasa dalam lintas kurikulum. Secara lebih luas dapat diartikan suatu pemahaman yang dikembangkan dalam konteks sosial dan aktivitas yang berhubungan dengan konsepkonsep penting secara selaras (Routman, 1991:67). Pembelajaran bahasa dengan pendekatan integratif terkait dengan dua prinsip utama pembelajaran bahasa. Rigg (1991:84) mengemukakan dua prinsip tersebut (1) pembelajaran yang berpusat pada makna (meaning centered) maksudnya pengalaman berbahasa pembelajar baik secara lisan maupun tulisan harius bermakna dan bertujuan, fungsional, dan nyata atau realistis. Aktivitas dan pemilihan materi harus mengacu pada tujuan pembelajaran secara nyata dan kontekstual. (2) Pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) maksudnya pembelajaran diorientasikan dengan dan untuk pembelajar. Dalam pembelajaran siswa menjadi fokus utama dan pelaku pembelajaran. Pembelajaran bahasa Indonesia pada dasarnya bertujuan membekali peserta didik kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis. Perubahan atau pergantian kurikulum selalu menimbulkan masalah dan kebingungan bagi semua yang terlibat dalam kegiatan pendidikan, terutama guru. Apa pun kurikulumnya, guru bahasa Indonesia harus tetap berpegang pada tujuan pembelajaran
bahasa
Indonesia.
Guru
perlu
terus
berusaha
meningkatkan
kemampuannya dan terus belajar untuk memberikan yang terbaik bagi peserta didik. Karena kurikulum yang akan berlaku dalam beberapa tahun mendatang adalah KTSP, guru perlu mengenal, mempersiapkan diri, dan menyiasati kurikulum ini.
4
Standar kompetensi lulusan pada mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya SMP/MTs dan SMA/MA sebagai berikut. Bahasa Indonesia SMP/MTs meliputi; 1. Mendengarkan Memahami wacana lisan dalam kegiatan wawancara, pelaporan, penyampaian berita radio/TV, dialog interaktif, pidato, khotbah/ceramah, dan pembacaan berbagai karya sastra berbentuk dongeng, puisi, drama, novel remaja, syair, kutipan, dan sinopsis novel 2. Berbicara Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara, presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya sastra berbentuk cerita pendek, novel remaja, puisi, dan drama 3. Membaca Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami berbagai bentuk wacana tulis, dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerita pendek, drama, novel remaja, antologi puisi, novel dari berbagai angkatan 3.Menulis Melakukan berbagai kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk buku harian, surat pribadi, pesan singkat, laporan, surat dinas, petunjuk, rangkuman, teks berita, slogan, poster, iklan baris, resensi, karangan, karya ilmiah sederhana, pidato, surat pembaca, dan berbagai karya sastra berbentuk pantun, dongeng, puisi, drama, puisi, dan cerpen. Bahasa Indonesia SMA/MA Program IPA dan IPS meliputi; 1. Mendengarkan Memahami wacana lisan dalam kegiatan penyampaian berita, laporan, saran, berberita, pidato, wawancara, diskusi, seminar, dan pembacaan karya sastra berbentuk puisi, cerita rakyat, drama, cerpen, dan novel 2. Berbicara Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan berkenalan, diskusi, bercerita, presentasi hasil penelitian, serta mengomentari pembacaan puisi dan pementasan drama 3. Membaca Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis teks nonsastra berbentuk grafik, tabel, artikel, tajuk rencana, teks pidato, serta teks sastra berbentuk puisi, hikayat, novel, biografi, puisi kontemporer, karya sastra berbagai angkatan dan sastra Melayu klasik 4. Menulis Menggunakan berbagai jenis wacana tulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk teks narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, teks pidato, proposal, surat dinas, surat dagang, rangkuman, ringkasan, notulen, laporan, resensi, karya ilmiah, dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerpen, drama, kritik, dan esei Program Bahasa meliputi; 1. Mendengarkan
5
Memahami wacana lisan dalam kegiatan pidato, ceramah/khotbah, wawancara, diskusi, dialog, penyampaian berita, presentasi laporan 2. Berbicara Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, informasi, dan pengalaman dalam kegiatan presentasi hasil penelitian, laporan pembacaan buku, dan presentasi program, bercerita, wawancara, diskusi, seminar, debat, dan pidato tanpa teks 3. Membaca Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis berbentuk esei, artikel, dan biografi 4. Menulis Mengungkapkan pikiran dan informasi dalam wacana tulis berbentuk teks deskripsi, narasi, eksposisi, persuasi dan argumentasi, ringkasan/rangkuman, laporan, karya ilmiah, makalah, serta surat lamaran 5. Kebahasaan Memahami dan menggunakan berbagai komponen kebahasaan, baik fonologi, morfologi, maupun sintaksis dalam wacana lisan dan tulis Kegiatan belajar mengajar akan dapat dilaksanakan secara optimal dan efektif ditentukan oleh beberapa komponen meliputi komponen tujuan, siswa dan guru, bahan atau materi pelajaran, metode, media pembelajaran dan evaluasi. Kegiatan belajar mengajar yang akan dilakukan guru dalam wujud konkrit di dalam kelas terlebih dahulu dirancang melalui perencanaan pembelajaran. Guru menetukan teknik dan metode, serta langkah-langkah pembelajaran melalui pemerian rencana aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan oleh guru dan murid di dalam kelas. Dalam konteks ini guru mempunyai peranan penting dalam pembelajaran. Menurut Pappas (1990:60) peranan guru dalam pembelajaran dirumuskan sebagai berikut (1) guru mengajar secara kolaboratif; (2) guru harus membina sikap berani dan mengambil resiko pada diri siswa dalam memecahkan masalah; (3) guru harus mendemontrasikan atau menggunakan bahasa secara autentik untuk tujuan yang bermakna; (4) guru harus menciptakan aktivitas yang mendorong murid menggunakan kemahiran berbahasa secara terintegratif; (5) guru harus memahami siswa sehubungan dengan kemahiran berbahsa siswa; (6) guru harus melatih kemandirian siswa. Seperti yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang bahwa tes merupakan komponen penting dalam pembelajaran. Untuk itu, tes yang digunakan harus memiliki standar kualitas yang sudah teruji. Tes, baik tes standar maupun tes buatan guru harus dilakukan pengkajian secara berkelanjutan.
6
Menurut Brown (2004:3) tes secara sederhana dirumuskan sebagai metode pengukuran kemampuan seseorang berkaitan dengan pengetahun ataupun kinerja dalam ranah tertentu. Gronlund (1985:5) membedakan antara tes dengan pengukuran dan evaluasi. Tes merupakan sebuah instrument atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu sampel tingkah laku. Pengukuran merupakan proses untuk memperoleh dsekripsi anga (skor) yang menunjukkan tingkat capaian seseorang dalam suatu bidang tertentu. Penilaian merupakan proses sistematis dalam pengumpulan, analisis, dan penafsiran informasi untuk menentukan seberapa jauh seorang peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikan. Walaupun guru tidak harus dituntut untuk mengembangkan tes standar, tetapi guru diharapkan dapat memiliki kemampuan menyusun tes standar. Sehubungan dengan hal tersebut, Brown (2004:69) berpendapat bahwa guru paling tidak dapat mengembangkan tes standar dalam skala kecil. Ia menyarankan beberapa alternative cara yang dapat dilakukan guru dalam mengembangkan tes (1) melakukan revisi tes yang sudah ada; (2) mengadaptasi dan mengembangkan tes yang sudah ada; (3) membuat tes dalam skala yang lebih kecil sesuai dengan bidang dan keahlian kita. Apabila guru tidak dapat melakukan ketiga hal di atas, sekurang-kurangnya memahami proses pengembangan tes standar yang ada di tempat mengajar. Keberadaan tes standar sering memunculkan berbagai pertanyaan. Brown (2004:70-80) mengajukan sejumlah pertanyaan dengan keberadaan tes standar. Bagaimana tes standar dikembangkan? Dimana melakukan uji soal tes standar? Bagaimana tes dievaluasi? Siapa yang akan siswa kelompok uji coba? Bagaimana mewujudkan validitas tes yang handal? Bagaimana tingkat kesulitan yang merata? Bagaimana norma-norma digunakan? Bagaimana masalah keamanan dan kerahasiaan? Apakah pengembangan tes terdapat bias budaya dan ras? Semua pertanyaan ini yang mungkin harus kita pahami sehubungan dengan tes standar tersebut. Langkah-langkah dalam menyusun dan mengembangkan tes standar dapat diperhatikan perian berikut ini. (1) Menentukan maksud dan tujuan tes Tes standar memiliki kelebihan dalam pengadministrasian dan penyekoran dan tetap mempertahankan kevalidan tes. Tes standar biasanya memerlukan biaya yang tinggi, namun di sisi lain tes standar dapat digunakan beberapa kali. Mengingat hal
7
tersebut maka dalam menyusun tes standar harus jelas maksud dan tujuannya. Dengan penetapan maksud dan tujuan tersebut dapat digunakan acuan bagi pengembang tes. (2) Mendesain spesifikasi tes Spesifikasi tes ini merupakan fondasi atau acuan dalam mengembangkan tes standar. Untuk itu spesifikasi tes harus disusun dengan tepat, ditata secara hirarkis sesuai dengan tujuan institusi maupun bidang ilmu. Contoh spesifikasi tes ini dapat diwujudkan dalam bentuk standar kompetensi lulusan dan kisi-kisi. Kedua instrument ini harus disusun secara matang. Secara hirarkis standar kompetensi lulusan dan kisi-kisi mengacu pada tujuan pembelajaran dan kurikulum yang berlaku. (3) Mendesain, memilih, dan mengatur item tes Setelah spesifikasi tes telah ditetapkan maka tugas pengembang tes adalah merancang, memilih dan mengatur item soal dengan mengacu pada spesifikasi tes tersebut. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan seperti jumlah item soal, keseimbangan masing-masing aspek, bobot pilihan jawaban yang merata, dan sebagainya. (4) Evaluasi secara tepat setiap item soal Ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait dengan evaluasi secara kuantitatif yang disarankan yaitu analisis fasilitas item, dikriminasi item, dan analisis distraktor. Untuk melakukan analisis ini diperlukan waktu yang cukup panjang. Selain itu, evaluasi dapat dilakukan dengan format respon produksi. Penerapan respon produksi ini mengutamakan prinsip kepraktisan, kehandalan, dan fasilitas. Isu kepraktisan berhubungan dengan kejelasan arah, waktu ujian, kemudahan administrasi, dan kebutuhan waktu scoring. Keandalan terkait dengan peran penilai item soal. Fasilitas juga merupakan kunci untuk validitas dan keberhasilan jenis item; arah yang jelas, bahasa yang kompleks, topic yang mengaburkan, data yang aneh, dan bias budaya dapat menyebabkan tingkat kesulitan yang tinggi. (5) Menentkan prosedur penyekoran dan format laporan Susunan sistemik item tes yang telah disusun divalidasi sesuai dengan tingkat kesulitan akan menghasilkan hasil tes yang kredibel. Untuk itu, diperlukan adanya prosedur penyekoran yang baku dan format laporan.
8
(6) Lakukan studi validasi terus menerus Validasi tes standar hendaknya dilakukan secara terus-menerus. Hal ini harus disadari bahwa tidak ada tes standar yang digunakan beberapa kali tanpa divalidasi. Setiap tes yang akan digunakan harus menyertakan hasil uji validasi.
4. Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia Berdasarkan analisis secara teoritis maupun praktis problematic pembelajaran bahasa Indonesia dapat dikaji dari beberapa sudut pandang. Namun pada makalah ini sajian problematic pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah akan disajikan secara terpadu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara komprehensif problematika pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah tersebut. Secara rinci problematik pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah disebabkan oleh beberapa factor berikut ini, antara lain adalah sebagai berikut. A. Pembelajaran Bahasa Tidak Komunikatif Sesuai dengan hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa, penekanan utama adalah menciptakan pembelajaran yang komunikatif. Dalam konteks ini pembelajaran harus dilakukan dalam konteks komunikatif. Maksudnya aktivitas siswa difokuskan pada bagaimana siswa menggunakan bahasa dalam berkomunikasi. Banyak factor yang menyebabkan pembelajaran bahasa tidak berlangsung komunikatif. (1) rendahnya kompetensi komunikatif guru bahasa Indonesia; (2) model kelas yang besar menyebabkan aktivitas siswa tidak merata; (3) interaksi kelas kurang berjalan secara optimal. Selain factor di atas kecenderungan pembelajaran bahasa di sekolah masih didominasi dengan pemberian pengetahuan dari pada kemahiran berbahasa. Hal di atas sejalan dengan hasil survey Suparno (1997:35) yang menyatakan bahwa (a) guru masih cenderung memberikan penjelasan tentang bahasa, bukan pelatihan keterampilan berbahasa secara integrative dan komunikatif; (b) sebagian besar guru belum memiliki penguasaan yang memadai tentang taksonomi kemahiran berbahasa Indonesia (c) kelas yang besar berakibat guru mengikuti dinamika kelas bukan guru menciptakan dinamika kelas; (d) guru kurang menggunakan sumber lain selain buku teks; (e) masih banyak guru yang kebakuan bahasanya kurang ideal.
9
B. Pembelajaran Bahasa yang Disajikan Secara Diskrit Pembelajaran bahasa Indonesia masih cenderung dilakukan dengan model diskrit. Keterampilan berbahasa yang idealnya disajikan secara terintegrasi belum dapat diimplementasikan secara optimal di kelas. Aspek-aspek kemahiran berbahasa masih disajikan secara terpisah. Misalnya, guru mengajarkan keterampilan menyimak, seakanakan guru hanya terfokus pada keterampilan menyimak tersebut. Sebenarnya apabila guru memahami hakikat pembelajaran integrative (tematis) maka pembelajaran bahasa dapat berlangsung secara alamiah sesuai dengan hakikat fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Pola implementasi integrative ini akan mendorong kemahiran berbahasa siswa secara baik. Untuk
memperlancar
kegiatan
pengajaran
bahasa
secara
integrative
diperlukanlah metode atau suatu rumusan sistem cara pengajaran karena metode pengajaran yang bervariasi karena langkah ini merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengajaran. Peran suatu metode sangatlah besar dalam suatu pengajaran dan bersangkutan juga dengan siswa yang menjadi objek pengajaran. Dalam menerapkan metode pengajaran bahasa ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan terlebih dahulu oleh para pengajar yang antara lain adalah sebagai berikut: (1) pengajaran harus disesuaikan dengan kultur sosial dari objek siswa, (2) Menggunakan metode yang dianggap mudah oleh para siswa (3) Melalui pendekatan yang sifatnya komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar. C. Rendahnya Persepsi Siswa terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia Dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus memperhatikan karekteristik siswa. Hal ini digunakan untuk melihat kecenderungan dan keinginan siswa dalam pembelajaran bahasa tersevut. Menurut Van Els (1984:27) mengklasifikasikan karakteristik siswa atas empat bagian yakni (1) umur siswa, (2) bakat, (3) pengetahuan siswa, (4) sikap yang meliputi minat, motivasi, dan kepribadian. Komponen di atas sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran bahasa harus memperhatikan tingkat perkembangan usia siswa. Hal ini berkaitan dengan pemilihan materi atau contoh-contoh yang diberikan guru. Materi bahasa Indonesia yang secara berjenjang diberikan di tingkat satuan pendidikan menghendaki kemampuan guru menganalisis kebutuhan materi dengan baik. Guru juga harus
10
memahami bakat bahasa dan pengetahuan siswa. Karakteristik yang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa adalah sikap meliputi minat, motivasi, dan kepribadian. Berdasarkan pengalaman di sekolah, persepsi siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia berada pada taraf yang rendah. Kondisi ini berdampak pada rendahnya motivasi siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia. Hal ini berimplikasi pada rendahnya hasil belajar siswa. D. Pemanfaatan Pokok Sumber Belajar (Buku Teks) dalam Pembelajaran Karena KTSP dikembangkan dan disusun oleh satuan pendidikan atau sekolah sesuai dengan kondisinya masing-masing, setiap sekolah mempunyai kurikulum yang berbeda. Dengan demikian, bahan ajar yang digunakan juga mempunyai perbedaan. Tidak ada ketentuan tentang buku pelajaran yang dipakai dalam KTSP. Buku yang sudah ada dapat dipakai. Karena pembelajaran didasarkan pada kurikulum yang dikembangkan sekolah, bahan ajar harus disesuaikan dengan kurikulum tersebut. Oleh karena itu, guru dapat mengurangi dan menambah isi buku pelajaran yang digunakan. Dengan demikian, guru harus mandiri dan kreatif. Guru harus menyeleksi bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan kurikulum sekolahnya.Guru dapat memanfaatkan bahan ajar dari berbagai sumber (surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dsb.). Bahan ajar dikaitkan dengan isu-isu lokal, regional, nasional, dan global agar peserta didik nantinya mempunyai wawasan yang luas dalam memahami dan menanggapi berbagai macam situasi kehidupan. Untuk pelajaran membaca, misalnya, bahan bacaan dapat diambil dari surat kabar. Di samping surat kabar yang berskala nasional yang banyak menyajikan isu-isu nasional, ada surat kabar lokal yang banyak menyajikan isu-isu daerah. Kedua jenis sumber ini dapat dimanfaatkan. Bahan bacaan yang mengandung muatan nasional dan global dapat diambil dari surat kabar berskala nasional, sedangkan bahan bacaan yang mengandung muatan lokal dapat diambil dari surat kabar daerah. Berdasarkan bahan bacaan ini, guru dapat mengembangkan pembelajaran bahasa Indonesia yang kontekstual. Peserta didik diperkenalkan dengan isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat di sekitarnya dan masyarakat yang tatarannya lebih luas. Bahan ajar yang beragam jenis dan sumbernya ini tentu juga dapat digunakan untuk pelajaran-pelajaran yang lain (menulis, mendengarkan, dan berbicara). Mengingat pentingnya televisi dan komputer (internet) dalam kehidupan sekarang ini, guru perlu
11
memanfaatkan bahan ajar dari kedua sumber ini. Televisi dan komputer juga dapat dapat dipakai sebagai media pembelajaran yang menarik. Namun kenyataannya, buku ajar yang digunakan oleh guru merupakan buku ajar yang disusun oleh tim penulis buku yang disetujui oleh Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang digunakan. Bahan dalam buku ajar tidak kontekstual. Untuk itu, idealnya setiap guru atau wilayah harus dapat menyusun buku ajar yang digunakan selingkung dengan mengacu standar isi yang ditetapkan. E. Alat Evaluasi yang tidak Relevan Dalam penyusunan soal tes tertulis, penulis soal harus memperhatikan kaidahkaidah penulisan soal dilihat dari segi materi, konstruksi, maupun bahasa. Selain itu soal yang dibuat hendaknya menuntut penalaran yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara :· mengidentifikasi materi yang dapat mengukur perilaku pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, atau evaluasi. Perilaku ingatan juga diperlukan namun kedudukannya adalah sebagai langkah awal sebelum siswa dapat mengukur perilaku yang disebutkan di atas, membiasakan menulis soal yang mengukur kemampuan berfikir kritis dan mengukur keterampilan pemecahan masalah; dan menyajikan dasar pertanyaan (stimulus) pada setiap pertanyaan, misalnya dalam bentuk ilustrasi/bahan bacaan seperti kasus. Bila dianalisis soal-soal yang digunakan dalam pembelajaran bahasa ada kecerderungan belum mengukur kemahiran berbahasa khususnya menyimak, berbicara, dan menulis. Kedua kemahiran ini hanya diukur melalui paradigma teoritis. Tes tidak dilakukan untuk mengukur performace kemahiran berbahasa. Keterampilan berbahasa yang tercermin secara penuh hanya kemahiran membaca. Kecenderungan ini sangat berpengaruh terhadap guru dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembelajaran di kelas. Pada kenyataannya, guru hanya mengajarkan siswa untuk menjawab soal teoritis dan mengabaikan kemahiran berbahasa siswa.
12
3. Simpulan Dalam pembelajaran bahasa Indonesia guru harus memperhatikan beberapa komponen-komponen yang diperlukan dalam pembelajaran. Lebih-lebih guru harus dapat memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan problematik pembelajaran, antara lain problematik mengenai pembelajaran bahasa yang tidak komunikatif, pembelajaran bahasa yang disajikan secara diskrit, rendahnya persepsi siswa terhadap pembelajaran bahasa indonesia, pemanfaatan pokok sumber belajar (Buku Teks) dalam pembelajaran, alat evaluasi yang tidak relevan. Dalam suatu pembelajaran guru harus bersikap komunikatif dengan siswanya. Seorang guru jangan beranggapan bahwa dirinyalah yang paling paham akan materi yang disajikan kepada siswa. Guru harus berpandangan seperti itu. Kemudian dalam penyampaian materipun, guru harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa. Hal ini diharapkan supaya terjadi komunikasi dua arah. Alangkah baiknya dalam pembelajaran bahasa Indonesia guru tidak boleh membeda-bedakan antara materi bahasa dengan sastra. Semua materi yang disampaiakn harus sesuai dengan proporsinya. Seorang guru pun harus dapat memotivasi siswa untuk dapat meningkatkan kemauannya dalam mempelajari bahasa Indonesia. Persepsi siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia supaya dapat berubah ke arah yang positif. Dalam penggunaan buku teks sebagai sumber belajar satu-satunya harus dihindari oleh guru. Selain menggunakan buku teks tersebut, hendaknya guru juga menggunakan buku-buku yang lain sebagai pendukungnya. Hal yang paling krusial adalah guru harus dapat menyususn sebuah evaluasi. Alat evaluasi ini dapat dilakukan melalui penyususnan rubrik atau kisi-kisi penilaian yang akan digunakan.
13
Daftar Pustaka Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles An Interactive Approach to Language Pedagopy. San Francisco: Longman. Inc. Brown, H. Douglas. 2004. Language Assessment Principles and Classroom Practice. SanFransisco: San Fransisco University. Grounlund, Norman. E. 1985. Measurement and Evaluation in Teaching. New York: Macmillan Publishing Company. Hymes, D. 1972. “On Communication Competence”. dalam Sociolinguistics. Ed. J.B. Pride dan J. Holmes. Harsmondwart: Penguin. Littlewood, W. 1981. Communicative Language Teaching: an Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Pappas, Christine C., Barbara Z. Kiefer, Linda S. Levstik. 1990. An Integrated Language Perspective in the Elementry School: Theory into Action. Toronto: Longman. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Rigg, Pat. 1991. “Whole Language in Tesol”, dalam Tesol Quartly. Vol.25 No. 3 Autum. Routman, Regie. 1991. Invitations Changing as Teachers and Learners K-12. Toronto: Irwin Publishing. Strevens, D.D. 1977. New Orientation in the Teaching of English. Oxford: Oxford University Press. Suparno. 2000. “Mutu Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah” dalam Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Alwi, Hasan, Dendy Sugono, Abdul Rozak Zaidan ed. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tengtang Pemerintah Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Van Els, Theo. 1984. Applied Linguistics and the Learning and Teaching of Foreign Language. Auchland: Edward Arnold. 14
Widdowson, H.G. 1984. Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford University Press.
15