Tinjauan Pustaka PRINSIP DASAR PEMERIKSAAN IMUNOFLUORESEN PADA BEBERAPA DERMATOSIS VESIKOBULOSA KRONIK Henry Tanojo, Isramiharti Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK. Universitas Andalas/ RSUP dr. M. Djamil Padang
ABSTRAK Pemeriksaan imunofluoresen digunakan untuk deteksi autoantibodi penyakit autoimun. Deteksi dilakukan dengan memberikan anti-autoantibodi terkonjugasi fluorokrom yang kemudian berikatan dengan autoantibodi tubuh dan diamati melalui mikroskop fluoresensi. Salah satu manfaat di bidang dermatologi adalah untuk diagnosis dermatosis vesikobulosa kronik. Pemeriksaan imunofluoresen dibagi menjadi direct (DIF) dan indirect (IIF). Pemeriksaan direct bertujuan untuk deteksi antibodi yang melekat di jaringan secara in vivo, sedangkan indirect untuk deteksi antibodi dalam serum. Antibodi yang digunakan adalah antibodi anti terhadap IgG, IgM, IgA, C3, atau fibrinogen. Hasil pemeriksaan imunofluoresens pada beberapa dermatosis vesikobulosa kronik bervariasi. Pada pemfigus vulgaris dan foliaseus, hasil imunofluoresen direct adalah terdapatnya IgG dan C3 interseluler, sedangkan pada indirect adalah IgG interseluler. Pada pemfigus IgA, direct dan indirect adalah interseluler IgA. Pada pemfigoid bulosa direct adalah IgG dan C3 linear di basement membrane zone (BMZ) dan indirect adalah IgG di lamina lusida. Pada dermatosis IgA linear, direct adalah IgA linear di BMZ dan indirect adalah IgA di lamina densa dan lamina lusida. Pada pemfigoid gestasionis, direct adalah C3 linear di BMZ dan indirect adalah IgG di lamina lusida. Pada dermatitis herpetiformis, direct ada lah IgA granular di papila dermis da n ind irec t adalah IgA anti-endomysial. Pada epidermolysis bullosa acquisita, direct adalah IgG linear di BMZ dan indirect adalah IgG di lamina densa.(MDVI 2011;38/4:188 - 195) Kata kunci: imunofluoresens, dermatosis vesikobulosa kronik
ABSTRACT
Korespondensi : Jl. Perintis Kemerdekaan - Padang Telp. 075 1-810256 Email:
[email protected]
188
Immunofluorescence is a method to detect autobodies in autoimmune diseases. Detection is done by fluorescence conjugated anti-autoantibody which binds to autoantibody then observed in fluorescence microscope. One of the advantages of immunofluoresence is as a diagnostic tool in chronic vesicobullous dermatosis. Immunofluorescence is divided into direct and indirect methods. Direct immunofluorescence is to detect antibody that binds to tissue in vivo, whereas indirect immunofluorescence is to detect serum antibody. Antibodies used are autoantibodies anti IgG, IgM, IgA, C3, or fibrinogen. Results of immunofluorescence in chronic vesicobullous dermatosis are varying. In pemphigus vulgaris and foliaceous, the direct is IgG and C3 intercelullar and the indirect is IgG intercelullar. In IgA pemphigus, direct and indirect are IgA intercelullar. In pemphigoid bullosa, direct is linear IgG and C3 in basement membrane zone (BMZ) an indirect is IgG in lamina lucida. In linear IgA dermatosis, direct is linear IgA in BMZ and indirect is IgA in lamina densa and lucida. In pemphigoid gestationis, direct is linear C3 in BMZ and indirect is IgG in lamida lucida. In dermatitis herpetiformis, direct is granular IgA in dermal papila and indirect is IgA anti-endomysial. In epidermolysis bullosa acquisita, direct is linear IgG in BMZ and indirect is IgG in lamina densa.(MDVI 2011;38/4:188 - 195) Keywords: immunofluorescence, chronic vesicobullous dermatosis
Henry Tanojo, Isramiharti
Prinsip dasar pemeriksaan imunofluoresen beberapa Dermatosis Vesikobulosa Kronik
PENDAHULUAN Pemeriksaan imunofluoresen merupakan suatu pemeriksaan imunohistokimia. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan lokasi antigen spesifik di jaringan atau sel dengan menggunakan reaksi antigen-antibodi. Pada pemeriksaan ini digunakan antibodi yang ditandai dengan bahan fluoresen untuk memvisualisasikan lokasi reaksi antigen-antibodi tersebut.1-4 Teknik imunofluoresen pertamakali ditemukan oleh Coons dkk. (1942) untuk mendeteksi keberadaan antigen dalam potongan jaringan beku. Burnham (1963) melaporkan deposit IgG dan C3 granular di dermoepidermal junction pada pasien lupus eritematosus. Beutner dan Jordon (1964) menggunakan pemeriksaan imunofluoresens indirect untuk menunjukkan antibodi pemfigus pada serum pasien.2,3,5 Dua tahun kemudian (1967), tim yang sama mendemonstrasikan hasil pemeriksaan pada pemfigoid bulosa.6 Di bidang dermatologi, pemeriksaan imunofluoresen merupakan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis beberapa dermatosis vesikobulosa kronik, penyakit jaringan konektif (contoh: lupus eritematosus sistemik), dan vaskulitis, serta untuk menilai keaktifan penyakit vesikobulosa kronik (contoh: pemfigus).2 Selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosis pasti dermatosis vesikobulosa kronik ditegakkan
Sampel imunofluoresen
melalui pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan histopatologi, imunofluoresen direct, dan imunofluoresens indirect adalah pemeriksaan penunjang rutin; sedangkan pemeriksaan lain, misalnya enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), mikroskop elektron, atau analisis mutasi genetik adalah pemeriksaan penunjang tambahan yang dapat dilakukan. 8
Prinsip dasar pemeriksaan imunofluoresen Penyakit autoimun adalah penyakit dimana sel, komponen sel, atau jaringan tubuh yang biasanya normal, dianggap asing oleh tubuh sebagai suatu antigen sehingga memicu terbentuknya autoantibodi terhadap antigen tersebut. 9 Dermatosis vesikobulosa kronik merupakan kelompok penyakit autoimun dengan antigen berupa komponen epidermis atau membran basalis.7 Autoantibodi yang terbentuk pada dermatosis vesikobulosa kronik dapat melekat di kulit atau berada dalam sirkulasi.9 Pemeriksaan imunofluoresen digunakan untuk deteksi autoantibodi yang terbentuk. Pendeteksian tersebut dilakukan dengan memberikan suatu anti-autoantibodi (antibodi sekunder) terkonjugasi fluorokrom yang akan berikatan ke autoantibodi tubuh (antibodi primer), kemudian diamati melalui mikroskop fluoresen. Antibodi sekunder yang diberikan dapat berupa antibodi anti terhadap
Gelembung Perilesi
Kulit normal
Sampel histopatologi Gambar 1. Gambar skema potongan jaringan pada gelembung kecil untuk pemeriksaan imunofluoresen.5
Sampel histopatologi
Kulit normal
Perilesi
Gelembung
Sampel imunofluoresensi Gambar 2. Gambar skema potongan jaringan pada gelembung besar untuk pemeriksaan imunofluoresen.5
189
MDVI
imunoglobulin, komplemen, atau fibrinogen.1-3,5,10 Pemeriksaan imunofluoresen direct Pemeriksaan direct imunofluorescence (DIF) bertujuan untuk mendeteksi autoantibodi yang melekat pada jaringan secara in vivo dengan bantuan suatu anti autoantibodi yang ditambahkan bahan fluoresen. 1,3,5,8 Sampel untuk pemeriksaan ini berupa potongan jaringan perilesi dan kulit normal tepi gelembung yang masih baru.2,5 Gelembung dipilih yang baru timbul (kurang dari 24 jam) untuk mencegah perubahan, misalnya regenerasi, degenerasi, bahkan infeksi sekunder yang menyulitkan pembacaan. 5,8 Sedangkan sampel yang diambil pada tengah gelembung dapat memberikan hasil negatif palsu karena telah terjadi degradasi imunoglobulin.5,10 Lesi dieksisi dengan menggunakan skalpel secara elips, teknik biopsi punch harus dihindari karena akan menyebabkan gelembung pecah. Namun, teknik biopsi punch masih dapat digunakan untuk sampel kulit/ mukosa normal.5,8,11 Potongan jaringan harus segera dicuci dengan cairan phosphate-buffered saline (PBS) untuk membersihkan darah dan protein jaringan, kemudian segera dibekukan pada suhu -70°C hingga sampel digunakan. 5 Transportasi jaringan dapat menggunakan nitrogen cair, karbondioksida beku, atau dengan cairan fiksasi Michel’s dalam suhu ruangan. Cairan fiksasi ini mencegah degenerasi jaringan dan imunoreaktan dengan menghambat kerja enzim proteolitik jaringan.5 Tahapan selanjutnya adalah jaringan dipotong dan diletakkan di atas gelas objek kemudian dilakukan labelling. Labelling adalah suatu proses dimana jaringan yang akan diperiksa ditambahkan anti-autoantibodi terkonjugasi fluorokrom (antibodi sekunder).1,5 Antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi anti terhadap IgG, IgM, IgA, komplemen 3 (C3), atau fibrinogen.5,10 Tahapan labelling dilakukan di dalam moist chamber pada suhu 37°C selama 30 menit. Sampel yang terlabel ini kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresen.1,5,10 Melalui mikroskop fluoresen secara in vivo diamati lokasi dan jenis deposit antibodi, tipe dan subtipe imunoglobulin, serta ada/tidaknya komplemen. Lokasi deposit yang diamati umumnya pada epidermis, membran basalis, dan dermis. Jenis deposit yang diamati berupa deposit interselular pada epidermis atau pada basement membrane zone (BMZ). Deposit pada BMZ dapat linear, granular, atau kombinasi keduanya.12 Pemeriksaan imunofluoresen indirect Pemeriksaan indirect imunofluorescence (IIF) bertujuan untuk mendeteksi antibodi dalam serum (circulating antibody) dengan cara tidak langsung yaitu dengan melekatkan autoantibodi pada substrat terlebih dahulu, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresen.1,3,5,8
190
Vol. 38 No. 4 Tahun 2011; 188 - 195
Sampel pada pemeriksaan IIF adalah serum darah pasien. Sampel didapat dengan mengambil darah vena sebanyak 10 ml tanpa anti-koagulan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam untuk mendapatkan serum darah. Serum tersebut disentrifugasi, diaspirasi dengan pipet ke dalam tabung steril, dan disimpan pada suhu -25°C hingga digunakan. Serum harus dibekukan untuk mencegah hemolisis masif yang dapat menghancurkan autoantibodi. 5,12 Serum pasien yang akan digunakan kemudian diencerkan 1:10 dan 1:80.5 Sebelum dilakukan tahapan labelling, substrat yang akan digunakan hendaknya disiapkan terlebih dahulu. Substrat umumnya berupa esofagus kera, esofagus marmot, kulit manusia normal, atau kulit katak.10,13,14 Esofagus kera adalah substrat yang umum digunakan. Esofagus marmot dapat digunakan pada pemfigus foliaseus. Kulit manusia diambil dari perut, lengan bagian fleksor, tungkai, atau paha.5 Kulit katak dapat digunakan sebagai substrat untuk membedakan pemfigoid bulosa dan epidermolisis bulosa akuisita.14 Disarankan penggunaan berbagai jenis substrat secara bersamaan untuk pemeriksaan IIF sehingga hasil lebih optimal.5 Harman dkk. (2000) melaporkan bahwa penggunaan dua jenis substrat akan meningkatkan sensitivitas diagnosis.15 Substrat yang digunakan dipotong, diletakkan di atas gelas objek, kemudian diinkubasikan dengan serum pasien yang telah diencerkan (antibodi primer) di dalam moist chamber pada suhu 37°C selama 30 menit.15 Jaringan tersebut kemudian dilabel dengan menambahkan anti-autoantibodi terkonjugasi fluorokrom (antibodi sekunder).1,5,8 Sampel kemudian ditetesi buffered glycerol dan diperiksa menggunakan mikroskop fluoresen. Melalui pemeriksaan ini, diamati tipe dan subtipe, pola, serta lokasi imunoglobulin.12 Pada pemeriksaan IIF, dibuat serial serum yang diencerkan/titrasi, kemudian diinkubasi ke dalam substrat. Pengenceran serum ditingkatkan untuk menentukan titer tertinggi yang menghasilkan fluoresensi yang jelas.12,13 Titer autoantibodi pada pemfigus berkaitan dengan aktivitas penyakit sehingga dapat memprediksi kekambuhan.10 Terdapat suatu variasi pemeriksaan IIF untuk mendeteksi keberadaan komplemen C3 atau teknik complement binding indirect immunofluorescence (C3 method). Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan antibodi anti C3 pada sampel. Kadang pemeriksaan IIF sulit mendeteksi antibodi serum; namun, karena kompleks yang terbentuk menghasilkan banyak C3, pemeriksaan C3 method ini membantu deteksi antibodi serum melalui keberadaan C3.3,5 Teknik salt-split skin Teknik salt-split skin merupakan variasi teknik pemeriksaan imunofluoresensi untuk mendeteksi jenis dan lokasi autoantibodi secara pasti. Teknik pemeriksaan ini dapat digunakan untuk pemeriksaan DIF maupun IIF.12
Henry Tanojo, Isramiharti
Prinsip dasar pemeriksaan imunofluoresen beberapa Dermatosis Vesikobulosa Kronik
Sampel yang digunakan adalah kulit manusia yang dipisahkan di lapisan lamina lusida pada dermoepidermal junction. Pemisahan dilakukan dengan merendam kulit dalam NaCl 1 mol/L pada suhu 4°C selama 72 jam atau dengan suction pump secara in vivo. Keuntungan cara suction pump adalah persiapan sampel lebih cepat.8,17-19 Sampel kulit pasien digunakan untuk pemeriksaan DIF, sedangkan untuk pemeriksaan IIF digunakan kulit orang sehat sebagai substrat.19 Teknik ini bermanfaat terutama pada penyakit pemfigoid, karena substrat kulit manusia sehat yang dipisahkan lebih unggul dibandingkan yang tidak dipisahkan atau esofagus binatang.8 Mikroskop fluoresen Mikroskop fluoresen adalah mikroskop yang digunakan untuk melihat zat organik ataupun inorganik melalui fenomena fluoresensi dan fosforesensi.8,20 Berbeda dari mikroskop cahaya biasa, sumber cahaya pada mikroskop fluoresen adalah lampu merkuri atau xenon yang difilter melalui excitation filter dan diarahkan ke spesimen, kemudian zat fluorokrom pada spesimen akan menyerap dan memancarkan kembali cahaya dan energi foton.21 Emission filter akan memfilter energi foton yang dipancarkan sehingga pancaran cahaya zat fluorokrom dapat diamati.20-22 Jenis mikroskop fluoresen yang umum digunakan adalah jenis epifluoresen yang berarti pencahayaan dilakukan dari atas (“epi”) spesimen.8,21,22 Keunggulan mikroskop epifluoresen adalah jumlah cahaya yang hilang lebih sedikit dibandingkan dengan mikroskop yang disinari dari bawah.8 Pemeriksaan imunofluoresen pada dermatosis dengan bula intraepidermal Pemfigus Pemfigus (bahasa Yunani ‘pemphix’ berarti gelembung) ialah kumpulan dermatosis vesikobulosa kronik yang mengenai kulit dan mukosa, secara histologis ditandai dengan pembentukan bula intraepidermal yang terbentuk karena proses akantolisis.7,9,23,24 Pembagian pemfigus adalah pemfigus vulgaris (PV) dan pemfigus foliaseus (PF) atau
A
superficial pemphigus.7,24 Gejala klinis PV dan PF mirip. Gejala klinis PF lebih ringan, dinding bula sangat mudah pecah sehingga yang sering ditemukan adalah erosi, krusta, dan skuama.7,23,24 Perbedaan mendasar gambaran histopatologi kedua jenis pemfigus adalah lokasi akantolisis. Pada PV akantolisis terjadi di suprabasal dengan gambaran “row of tombstones”, sedangkan pada PF lebih superfisial, yaitu di subkorneum.7,24 Antigen pada pemfigus adalah desmoglein yaitu suatu komponen glikoprotein transmembran pada desmosom yang merupakan suatu struktur adhesi antar sel epidermis. Antigen pada PV adalah desmoglein 1 (160 kd) dan desmoglein 3 (130 kd), sedangkan antigen PF adalah desmoglein 1.24 Pemeriksaan DIF dan IIF pada PV dan PF memberikan hasil yang mirip.13,24 Pada pemeriksaan DIF keduanya ditemukan deposit interseluler antibodi di antara seluruh sel epidermis.3,24 Deposit paling sering ditemukan adalah antibodi IgG dan C3, sedangkan IgM atau IgA jarang.3,5 Pada pemeriksaan DIF pada PF, deposit antibodi terletak lebih superfisial pada epidermis bagian atas.24 Untuk diagnosis dini pemfigus, pemeriksaan DIF lebih sensitif dibandingkan IIF.7,25 Selain untuk diagnosis dini, DIF juga dapat menilai remisi setelah terapi. Hasil DIF negatif menunjukkan remisi imunologis sehingga terapi dapat dihentikan dan risiko kambuh rendah.25,26 Pemeriksaan IIF PV dan PF dilakukan pada substrat berupa esofagus kera.23 Substrat berupa esofagus marmut dapat digunakan untuk pemeriksaan IIF pada PF. Pada PV dan PF didapatkan antibodi IgG dalam serum. Sensitivitas IIF untuk deteksi antibodi dapat ditingkatkan dengan penambahan kalsium. 16 Titer antibodi yang terdeteksi berhubungan dengan perjalanan penyakit. Hasil IIF negatif dijumpai pada penyakit yang terlokalisasi dan tahap awal (dini) atau pada pasien yang telah mengalami remisi.24 Pemfigus IgA Pemfigus IgA dibagi menjadi 2 sub-tipe, yaitu: tipe subcorneal pustular dermatosis (SPD) dan tipe intraepidermal neutrophilic IgA dermatosis (IEN).24 Gejala klinis pemfigus
B
Gambar 3. Imunofluoresen direct pada pemfigus vulgaris (A) dan pada pemfigus foliaseus (B). Deposit interselular IgG di antara seluruh sel epidermis (A), pada PF pada lapisan superfisial epidermis.13,24
191
MDVI
IgA adalah keluhan gatal dan lesi berupa vesikel atau pustul di atas kulit normal atau eritematosa yang tersusun secara anular.8,23 Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula subkorneal, terkadang subepidermal, dan infiltrat neutrofil.8 Antigen pada penyakit ini adalah desmocollin 1, desmocollin adalah komponen adhesi desmosom.24 Pada pemeriksaan DIF terdapat deposit IgA interseluler di antara sel epidermis. Pada pemeriksaan IIF dengan substrat esofagus kera didapatkan antibodi IgA dalam serum.13,23
Vol. 38 No. 4 Tahun 2011; 188 - 195
penyakit lebih dini, yaitu pada fase nonbulosa. Balchandran dkk. (2003) melaporkan sebuah kasus pemfigoid bulosa fase nonbulosa dengan gambaran histopatologi dermatitis nonspesifik, namun pemeriksaan imunofluoresen hasilnya pemfigoid bulosa.27
A
Gambar 4. Imunofluoresen direct pada pemphigus IgA. Deposit interseluler IgA di antara sel epidermis.13
Pemeriksaan imunofluoresen pada dermatosis dengan bula subepidermal Pada dermatosis ini terjadi pemisahan basement membrane zone (BMZ) akibat respons autoimun terhadap komponen anchoring filaments23 sehingga terbentuk bula di subepidermis. Antigen pada kelompok penyakit ini adalah komponen BMZ berupa intermediate filament cytoskeleton, hemidesmosom, dan membran plasma sel keratinosit basal.7,9 Pemfigoid bulosa Pemfigoid bulosa (PB) adalah dermatosis vesikobulosa kronik dengan bula subepidermal berdinding tegang di atas kulit normal atau eritematosa dan lesi urtika. 8,17 Pada pemeriksaan histopatologi terdapat bula subepidermal dengan epidermis di atasnya yang utuh dan terdapat infiltrat eosinofil dalam bula dan epidermis.17 Antigen pada PB adalah komponen hemidesmosom,17 terdapat dua yaitu: BPAg1 (230 kD) dan BPAg2 (180 kD) atau dikenal dengan kolagen tipe 12.17,18 Pada pemeriksaan DIF didapatkan deposit linear IgG dan C3 pada BMZ, terkadang juga antibodi IgA atau IgM. Pada pemeriksaan IIF didapatkan antibodi IgG anti-BMZ dalam serum. Pada pemeriksaan salt-split skin, didapatkan deposit linear IgG pada lamina lusida. Substrat yang digunakan untuk pemeriksaan IIF adalah esofagus kera atau kulit katak.14 Pemeriksaan imunofluoresen dapat mendeteksi
192
B Gambar 5. Pemfigoid bulosa. (A) Imunofluoresen direct didapatkan deposit linear IgG pada basement membrane zone. (B) Imunofluoresen indirect dengan salt-split skin deposit linear IgG pada lamina lusida.13
Dermatosis IgA linear Dermatosis IgA linear secara klinis dibagi menjadi linear IgA disease of adults pada dewasa dan chronic bullous disease of childhood (CBDC) pada anak-anak. Kelainan kulit berupa vesikel atau bula berdinding tegang di atas kulit normal atau eritematosa tersusun anular atau “cluster of jewels”. 13,21 Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula subepidermal seperti berisi neutrofil atau eosinofil, di papila dermis terdapat mikroabses berisi neutrofil.5,7,28 Antigen pada dermatosis IgA linear adalah BPAg 1, LABD (linear IgA bullous dermatosis), LAD 1 (linear IgA dermatosis), dan kolagen tipe 7. Pada pemeriksaan DIF didapatkan deposit IgA linear pada BMZ, kadang IgG, IgM,
Henry Tanojo, Isramiharti
Prinsip dasar pemeriksaan imunofluoresen beberapa Dermatosis Vesikobulosa Kronik
dan C3. Pemeriksaan IIF, pada dewasa didapatkan antibodi IgA pada 30-50% kasus, sedangkan pada anak didapatkan hingga 70% kasus. Hasil pemeriksaan salt-split skin tidak khas karena antibodi terdapat pada kedua sisi.28
Gambar 7. Imunofluoresen direct pada pemfigoid gestationis. Deposit C3 linear pada basement membrane zone.13
Gambar 6. Imunofluoresen direct pada dermatosis IgA linear. Deposit linear IgA pada basement membrane zone.13
sensitif terhadap gluten. Titer antibodi ini berhubungan dengan aktivitas penyakit dan digunakan untuk memonitor terapi bebas gluten pada DH.13
Pemfigoid gestasionis (herpes gestasionis) Pemfigoid gestasionis atau herpes gestationis terjadi terutama pada kehamilan trimester ke-2 dan ke-3 serta masa postpartum.7,23 Lesi kulit berupa papul dan plak urtikaria atau lesi target yang tersusun anular.29 Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula subepidermal, edema dermis, serta infiltrat berisi eosinofil, limfosit, histiosit, dan beberapa neutrofil.29 Antigen pada pemfigoid gestationis adalah BPAg 2 dan BPAg 1. Pada pemeriksaan DIF didapatkan deposit C3 linear pada BMZ, pada 30-40% kasus juga didapatkan deposit IgG.3 Pada kulit bayi dan amnion didapatkan deposit IgG dan C3 pada BMZ. Pada pemeriksaan IIF didapatkan antibodi IgG anti-BMZ dalam serum. Pada pemeriksaan saltsplit skin didapatkan deposit linear IgG pada lamina lusida.29
Dermatitis herpetiformis Gejala klinis dermatitis herpetiformis (DH) adalah rasa sangat gatal dengan lesi berupa papul, papulo-vesikel, atau vesikel berkelompok tersusun herpetiformis di atas plak eritematosa. Dermatitis herpetiformis sering dikaitkan dengan enteropati sensitif terhadap gluten. 7,30 Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula subepidermal yang mengandung neutrofil. Kumpulan neutrofil didapatkan pada papila dermis membentuk mikroabses neutrofil. Pada dermis dan cairan bula didapatkan eosinofil dan fibrin.7 Antigen pada DH adalah epidermal transglutaminase. Pada pemeriksaan DIF didapatkan deposit IgA granular pada papila dermis, kadang C3. Pada pemeriksaan IIF didapatkan IgA anti-endomysial dalam serum pasien dengan enteropati
Gambar 8. Imunofluoresen direct pada dermatitis herpetiformis. Deposit IgA granular pada papila dermis.13
Epidermolisis bulosa akuisita Gejala klinis khas epidermolisis bulosa akuisita (EBA) adalah bula yang sembuh dengan skar dan pembentukan milia, dapat pula terjadi scarring alopecia dan distrofi kuku.31 Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula subepidermal dengan jumlah sel sedikit, infiltrat dermis tanpa eosinofil, dan tidak ditemukan akantolisis.13,31 Antigen pada EBA adalah kolagen tipe 7. Pada pemeriksaan DIF didapatkan deposit IgG linear pada BMZ. Selain IgG, kadang didapatkan IgA, IgM, dan C3. Pada pemeriksaan salt-split skin didapatkan deposit IgG linear pada lamina densa.23,31
193
MDVI
Vol. 38 No. 4 Tahun 2011; 188 - 195
Dermatosis vesikobulosa kronik dengan bula intraepidermal Imunofluoresen Direct
Pemfigus vulgaris
Bula berdinding kendur, mudah pecah.
Akantolisis suprabasal, gambaran "row of tombstones"
Desmoglein 1 Desmoglein 3
Interselular IgG & C3
Imunofluoresen Indirect Interselular IgG
Pemfigus foliaseus
Bula sangat rapuh, sering ditemukan lesi erosi, krusta, dan skuama.
Akantolisis subkorneal
Desmoglein 1
Interselular IgG & C3
(Esofagus kera) Interselular IgG
IgA pemphigus
Vesikel atau pustul di atas kulit eritema/normal, tersusun anular.
Bula subkorneal kadang subepidermal.Infiltrat neutrofil
Desmocollin 1
Interselular IgG
Penyakit
Gejala Klinis
Pemeriksaan Histopatologi
Antigen
(Esofagus kera) Interselular IgA (Esofagus kera)
Dermatosis vesikobulosa kronik dengan bula subepidermal Penyakit Pemfigoid bulosa
Gejala Klinis Bula berdinding tegang pada kulit eritema/kulit normal, lesi urtika
Linear IgA dermatosis Ada tipe dewasa dan anak-anak. Kelainan dengan bula berdinding tegang, tersusun 'cluster of jewels'. Pemfigoid gestasionis Pada kehamilan (trimester 2 dan 3) dan postpartum. Lesi papul, plak (herpes gestasionis) urtikaria atau lesi target tersusun anular. Dermatitis Gatal. Lesi berkelompok dengan herpetiformis susunan herpetiformis. Epidermolysis bullosa Bula yang sembuh meninggalkan skar dan membentuk milia. acquisita
Pemeriksaan Histopatologi Bula subepidermal, sel infiltrat eosinofil, tanpa akantolisis
Imunofluoresen Direct PBAg 1 (230 kD) Linear IgG dan C3 pada PBAg 2 (180 kD) BMZ Antigen
Imunofluoresen Indirect IgG pada lamina lusida#
(Kadang-kadang IgA&IgM) Linear IgA pada BMZ IgA pada lamina densa dan lamina (Kadang-kadang IgG, IgM, lusida# dan C3) Linear C3 pada BMZ. IgG pada lamina lusida# (IgG: 30-40%; Kulit bayi dan amnion: IgG dan C3) Epidermal Granular IgA pada papila IgA antiendomysial transglutaminase dermis (Kadang-kadang C3) Linear IgG pada BMZ IgG pada lamina Kolagen tipe 7 (Kadang-kadang IgA, IgM, densa# C3)
Bula subepidermal berisi neutrofil/ PBAg LABD eosinofil. Mikroabses neutrofil LAD 1 pada papila dermis. Kolagen tipe 7 Bula subepidermal, edema dermis, PBAg 2 (230 kD) infiltrat berisi eosinofil, limfosit, PBAg 1 (180 kD) histiosit, dan beberapa neutrofil. Bula subepidermal mengandung neutrofil. Mikroabses netrofilik supra papilla dermis. Bula subepidermal, sel sedikit, tanpa akantolisis, infiltrat dermis tanpa eosinofil
#:
Melalui teknik salt-split skin Keterangan: IgG: imunoglobulin G; IgA: imunoglobulin A; IgM: imunoglobulin M; C3: komponen komplemen 3; PBAg1: pemfigoid bulosa antigen 1; PBAg2: pemfigoid bulosa antigen 2; BMZ: basement membrane zone; LABD: linear IgA bullous dermatosis; LAD: linear IgA dermatosis.
KESIMPULAN Pemeriksaan imunofluoresen adalah pemeriksaan penunjang yang membantu dalam berbagai diagnosis di bidang dermatologi, salah satunya adalah dermatosis vesikobulosa kronik. Pemeriksaan imunofluoresen baik direct dan indirect pada beberapa dermatosis vesikobulosa kronik seperti pemfigus vulgaris, pemfigus foliaseus, pemfigoid bulosa, dermatosis IgA linear, pemfigoid gestationis, dermatitis herpetiformis, dan epidermolisis bulosa akuisita mempunyai gambaran yang khas untuk setiap dermatosis tersebut.
6.
7.
8. 9. 10.
DAFTAR PUSTAKA 11. 1. Calonje E. Histopathology of the skin: general principles. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. Singapore: Blackwell Publishing Ltd; 2010. h. 1011-18. 2. Srinivas CR, Alfred S. Immunofluorescence in dermatology. Ind J Dermatol. 1996;41(2):45-8. 3. KH Mohan, P Sathish, R Raghavendra, Sripathi H, Prabhu S. Techniques of immunofluorescence and their significance. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2008;74:415-9. 4. Taylor CR, Shi SR, Barr NJ, Wu N. Techniques of immunohistochemistry: principles, pitfalls and standardization. Dalam: Dabbs DJ, penyunting. Diagnostic immunohistochemistry. Edisi ke-2. China: Elsevier ; 2006.h. 1-41. 5. Bhogal BS, Black MM. Diagnosis, diagnostic and research
194
12.
13.
14.
15.
techniques. Dalam: Wojnarowska F, Briggaman RA, penyunting. Management of blistering diseases. London: Chapman & Hall Medical; 1990. h. 15-34. Holubar K. Historical background. Dalam: Wojnarowska F, Briggaman RA, penyunting.Management of blistering diseases. London: Chapman & Hall Medical; 1990. h. 2-8. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kronik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. h. 204-17. Chan LS. Blistering skin diseases. Washington, D.C.: Manson Publishing Ltd; 2009. Yancey KB. The pathophysiology of autoimmune blistering diseases. J Clin Invest. 2005 ;115(4): 825-8. Kempf W, Hantschke M, Kutzner H, Burgdorf WHC. Dermatopathology. Germany: Springer; 2008. Ephros H. Rosetti JO. Oral punch biopsy and scalpel biopsy [Online]. 2009 [Disitasi 10 Juli 2010]. Tersedia di: http// emedicine.medscape.com/article/1079770 Huilgol SC, Bhogal BS, Black MM. Immunofluorescence of the immunobullous disorders part one: methodology. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 1995;61:187-95. Kalaaji AN, Nicolas MEO. Mayo clinic atlas of immunofluorescence in dermatology: patterns and target antigens. Boca Raton (FL): Mayo Clinic Scientific Press; 2006. Pang BK, Lee YS, Ratnam KV. Floor-pattern salt-split skin cannot distinguish bullous pemphigoid from epidermolysis bullosa acquisita. Use of toad skin. Arch Dermatol. 1993 Jun;129(6):744-6. Harman KE, Gratian MJ, Bhogal BS, Challacomber SJ, Black MM. The use of two substrats to improve the sensitivity of indirect immunofluorescence in the diagnosis of pemphigus.
Henry Tanojo, Isramiharti
Prinsip dasar pemeriksaan imunofluoresen beberapa Dermatosis Vesikobulosa Kronik
Br J Dermatol. 2000;142:1135-9. 16. Matis WL, Anhalt GJ, Diaz LA, Rivitti EA, Martins CR, Bergers RS. Calcium enhances the sensitivity of immunofluorescence for pemphigus antibodies. J Invest Dermatol. 1987; 89: 302-4. 17. Stanley JR. Bullous pemphigoid. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. h. 476-80. 18. Satyapal S, Amladi S, Jerajani HR. Evaluation of salt split technique of immunofluorescence in bullous pemphigoid. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2002;68:330-3. 19. Hertl M. Autoimmune diseases of the skin. Edisi ke-2. New York: Springer; 2005. 20. Spring KR, Davidson MW. Introduction to fluorescence microscopy [Online]. [Disitasi 14 juli 2010]. Tersedia di: http/ / w ww. m icr oscopyu . com / ar ticles/ f lu orescence/ fluorescenceintro.html 21. The fluorescence microscope [Online]. 2010 [Disitasi 23 Juli 2010]. Tersedia di: http://nobelprize.org/educational_games/ physics/microscope/fluorescence/index.html 22. Fluorescence microscope [Online]. 2010 .[Disitasi 23 April 2010]. Tersedia di: http://en.wikipedia.org/wiki/ Fluorescence_microscope 23. Mihai S, Sitaru C. Immunopathology and molecular diagnosis of autoimmune bullous disease. J Cell Mol Med. 2007;11(3):462-81. 24. Stanley JR. Pemphigus. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008.h. 460-8. Balighi K, Taheri A, Mansoori P, Chams C. Value of direct immunofluorescence in predicting remission in pemphigus vulgaris. Int J Dermatol. 2006;45:1308-11. Ratnam KV, Pang BK. Pemphigus in remission: value of negative direct immunofluorescence in management. J Am Acad Dermatol. 1994 ;30(4):547-50 Balchandran AGC, Shenol SD. Non-bullous variant of bullous pemphigoid: role of immunofluorescence in diagnosis. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2003;69(4):294-5. Rao CL, Hall III RP. Linear immunoglobulin A dermatosis and chronic bullous disease of childhood. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine; Edisi ke-7. New York: McGraw Hill, 2008. h. 485-90. Shornick JK. Pemphigoid gestationis (herpes gestationis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008.h.490-3 Hall III RP, Katz SI. Dermatitis herpetiformis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. h. 5005. Woodley DT. Chen M. Epidermolysis bullosa acquisita. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. h. 494-500.
195