Primer Amor “One could fall in love many times during the course of lifetime, but the first rush of love always holds a special place in our hearts”
Satu di Antara Dua Windy Andriani .K
Setiap hari akan tetap sama. Seperti doppio yang kupesan, perasaanku tidak akan berubah seperti doppio ini...pekat. Saking pekatnya akan terasa aneh jika diminum bagi mereka yang bukan peminum kopi. Sama sepertimu. Bagiku, kamu bukan peminum kopi. ................. Aku memasuki sebuah coffee shop yang terletak di ujung jalan tidak jauh dari rumahku. Saat aku membuka pintu kaca yang hanya dengan sekali dorong saja, bau kopi yang sangat ku kenal menyeruak menggelitik penciumanku. Baunya yang sangat familiar di hidungku. Yang selalu membuatku merindukan tempat ini, dan satu lagi..lelaki itu. Lelaki yang karena kehadirannya menjadi alasanku merindukan suasana dan atmosfer yang selalu sama seperti hari-hari sebelumnya. “Aku mau...”
“Secangkir doppio dengan tambahan creamer? Aku masih hafal pesananmu yang satu itu,” sambar seorang barista muda yang sudah tersenyum sejak sebelum aku memasuki coffee shop itu. “Ah..selalu saja begitu. Lain kali aku tidak akan membiarkanmu menyela kata-kataku. Jadi...tolong antarkan pesananku ya, di sana..di tempat biasa.” Aku menunjuk sebuah tempat yang kupilih sendiri. Setelah membayar kubalikkan badan kemudian berjalan menghampiri spot kesukaanku. Aku mulai tahu kenapa coffee shop ini tidak pernah sepi pengunjung. Selain ramah, kamu juga terlalu sempurna untuk ukuran barista muda. Aku menarik satu kursi, gesekan kaki kursi dan lantai parkit yang saling beradu menghasilkan suara derit yang sedikit nyaring. Inilah pojok favoritku. Tempat terbuka dengan view yang lumayan jika mengingat bahwa ini adalah pusat kota. Ditambah lagi pencahayaan yang redup dan angin yang tak pernah bosan mengacak-acak ujung hijab yang kukenakan. Sebuah teras di lantai dua, dengan pemandangan kota yang padat dan indah dihiasi ribuan lampu yang bersinar terang ketika malam menjelang. Kuedarkan pandangan ke arah lampu jalanan yang sedikit temaram di kejauhan. Hujan yang turun tadi sore ternyata masih menyisakan sisa genangan air, seperti sengaja meninggalkan jejak basahnya di sepanjang trotoar. Cahaya itu membias, seperti bercermin
lewat genangan air di bawahnya lalu menampakkan diri di genangan yang sama. Malam ini terlalu pekat, bintang pun enggan menampakkan diri. Dan di sini lah aku sekarang, menghabiskan setengah malam dengan angan dan imajinasi sendiri. Berusaha membangun dunia baru sebagai tempat untuk menyalurkan sebuah perasaan yang tidak pernah tersampaikan. Jika kamu peka, kamu akan sadar tanda itu ada, sinyal itu nyata. Tapi sayangnya kamu tidak pernah sadar bahwa aku ada. “Ini, pesananmu..” ucapmu yang tiba-tiba muncul dari balik punggungku. Aku hanya terkejut melihatmu muncul tanpa terdengar suara derap langkahmu ketika menghampiriku. Tanpa banyak bicara kamu meletakkan secangkir doppio itu tepat di hadapanku. Kali ini kamu tidak langsung pergi, kamu memilih menarik satu kursi dan mendekatkan kursi itu tepat di seberangku, lalu duduk tanpa bertanya atau meminta izin sebelumnya padaku. Aku mulai menundukkan kepala, berusaha menemukan satu topik pembicaraan untuk kulontarkan jika kamu tidak juga membuka pembicaraan. Meski aku tidak memandangmu langsung, aku tahu kamu juga sedang memperhatikanku. “Jangan lihat aku seperti itu, kamu cukup tahu aku bukan orang yang suka diperhatikan selama itu.” Aku berusaha membuka percakapan terlebih dahulu. Aku balik menunduk lalu membuang pandangan ke sebuah cangkir yang dari dalamnya terlihat asap
mengepul lalu lenyap tertiup angin. Saat aku mendongakkan kepala, mata kami beradu dalam sepersekian detik. Langsung saja kubuang pandanganku lagi. Ini terlalu menggelikan. Entah apa yang terjadi, rasanya aneh sekali beradu mata seperti itu. Darah terasa berdesir lebih cepat dari sebelumnya. Tidak ada angin yang berhembus sedetik yang lalu, tapi aku merasakan dingin yang tidak biasa yang kemudian menjalar ke seluruh tubuhku. Tanganku mulai merasakan efeknya. Untung saja malam ini tubuhku lengkap dibalut sweter rajut yang ketebalannya cukup membuat badanku aman dari serangan dingin angin malam. Terdengar helaan napas yang sangat berat sebelum akhirnya kamu menatap mantap ke arahku. Seperti ada yang mau kamu sampaikan, tapi malah tidak jadi kamu utarakan. Aku merasa baru sebentar mengenalmu. Meskipun sesungguhnya kita sudah kenal lama, tapi untuk sedekat ini memang aku akui…masih terlalu dini. Dan yang lebih memilukan adalah aku datang sedikit terlambat dari seharusnya. Ibarat naik kereta. Kereta sudah jalan..walau susah payah aku mengejarnya tetap saja aku tak bisa. Ya...harusnya aku berpikir realistis. To be continue…