Young Investigator Award
Prevalensi Polymorphism Reseptor Mu Opioid A118G pada Masyarakat Indonesia
S. Iskandar1,2, R. van Crevel3, T. Hidayat1, I.M.P. Siregar1, T.W.A. Sapiie1, T.H. Ahmad4, A.J. van der Ven3, C.A.J. de Jong5
1
Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia
2
Unit Penelitian Kesehatan, Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia
3
Department of General Internal Medicine and Nijmegen Institute for Inflammation, Infection and Immunity, Radboud University Nijmegen Medical Centre, Nijmegen, the Netherlands
4
Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia
5
Nijmegen Institute for Scientist-Practitioners in Addiction (NISPA), Nijmegen, the Netherlands
Korespondensi melalui : Shelly Iskandar Email :
[email protected] HP : 08562133201
Young Investigator Award 1
Abstrak
Latar belakang Penyalahgunaan narkoba menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pengguna, keluarga, masyarakat, dan negara. Faktor genetik memiliki pengaruh 30-60% untuk terjadinya penyalahgunaan narkoba. Salah satu faktor genetik yang telah diketahui berperan dalam terjadinya adiksi adalah polimorfisme A118G pada gen pengkode reseptor opioid mu (OPRM1). Sampai saat ini belum ada informasi tentang prevalensi polimorfisme ini di masyarakat Indonesia sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi polimorfisme A118G pada masyarakat di Indonesia. Metode Polimorfisme A118G pada OPRM1 dinilai dengan menggunakan Taqman Genotyping assays (Applied Biosystems) dan mesin pembaca 7500 Fast Real-time PCR System. Frekuensi dari setiap genotip dan alel kemudian dipresentasikan secara deskriptif. Hasil Genotip AA terdapat pada 136 orang (27%), genotip AG pada 244 orang (48%) sedangkan yang memiliki genotip GG berjumlah 125 orang (25%). Persentase alel 118A dan alel 118 G adalah 51% dan 49%. Kesimpulan Prevalensi polimorfisme A118G pada gen pengkode reseptor opioid mu yang tinggi pada masyarakat di Indonesia merupakan tantangan dan peluang untuk pencegahan dan penatalaksanaan penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Young Investigator Award 2
Pendahuluan Penggunaan narkoba menimbulkan kerugian yang amat besar baik untuk pengguna sendiri, keluarga, dan masyarakat luas. Angka kematian karena penggunaan zat psikoaktif, khususnya jenis opioid (heroin) mencapai 17,16%. Selain itu, pengguna juga sering menghadapi masalah kesehatan lain seperti kelainan paru–paru (53%), gangguan fungsi liver (55%), hepatitis C (56%), serta infeksi HIV sebesar 33% (1). Menurut hasil penelitian Badan Narkotika Nasional dan Puslitkes Universitas Indonesia tahun 2005, jumlah pengguna narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai 2,9-3,6 juta orang atau setara dengan 1,5% jumlah penduduk di Indonesia. Daerah penyebaran narkoba di Indonesia juga semakin meluas. Hal ini terbukti dari hasil Survei Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba yang menunjukkan tidak ada satu pun propinsi di Indonesia yang bebas dari narkoba (2). Prevalensi tertinggi terutama terdapat di kota-kota besar. Wilayah ibukota provinsi yang memiliki persentase responden penggunaan NAPZA paling tinggi berturut-turut adalah Jakarta (23%), Medan (15%), dan Bandung (14%) (2). Sampai saat ini, masyarakat pada umumnya memandang pecandu narkoba sebagai seseorang yang lemah dan buruk serta tidak mau untuk mengendalikan perilaku dan pemenuhan kepuasan mereka (3, 4). Penelitian beberapa tahun terakhir ternyata semakin menunjukkan bahwa kecanduan adalah penyakit otak kronis yang memiliki latar belakang genetis seperti penyakit kronis lainnya (3, 5). Dalam sebuah penelitian penting pada lebih dari 3.000 pasang kembar, Tsuang dkk melaporkan bahwa faktor lingkungan dan faktor genetik sama-sama berpengaruh dalam terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba (6, 7). Sebuah penelitian kekerabatan menunjukkan bahwa odds ratio untuk memiliki gangguan penyalahgunaan zat yang sama jika kerabat tingkat pertama mengalami ketergantungan adalah lebih dari 7 untuk kokain dan lebih dari 10 untuk opioid. Hal ini semakin menunjukkan adanya keterlibatan faktor genetik dalam timbulnya adiksi narkoba (8). Kontribusi genetik terhadap adiksi diestimasikan berkisar antara 30-60% (6, 9, 10) dan sistem opioid memegang peranan terbesar di dalamnya. Salah satu reseptor utama dalam sistem opioid adalah reseptor opiod mu (11). Beberapa studi menunjukkan
Young Investigator Award 3
bahwa resptor opioid mu berperan dalam kecanduan tidak hanya untuk golongan opioid tetapi juga untuk narkoba yang bukan golongan opioid. Regulasi positif atau negatif dari ekspresi dan/atau fungsi dari reseptor opioid mu mungkin terlibat dalam mekanisme ketergantungan obat pada adiksi opiat dan non-opiat (12). Variasi fungsional dari reseptor opioid mu terjadi pada polimorfisme A118G. Polimorfisme A118G menyebabkan perubahan asam amino asparagin (Asn) menjadi asam aspartat (Asp) pada residu 40 di asam amino terminus selular. Perubahan ini menyebabkan berkurangnya potensial N-glikosilasi dari protein. Variasi reseptor dengan aspartat pada urutan asam amino ke 40 berikatan dengan beta endorphin secara lebih kuat dan selanjutnya menyebabkan aktivasi saluran K+ dengan lebih kuat dari pada reseptor prototipenya (13). Selain itu alel A118G mengekspresikan hanya setengah dari jumlah normal mRNA dari gen pengkode reseptor opioid mu dan sekitar sepersepuluh protein reseptor. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki alel A118G, akan memiliki respon terhadap ligan yang lebih tinggi namun ekspresi jumlah reseptor akan lebih rendah (14). Hingga saat ini belum ada data penelitian tentang prevalensi polimorfisme A118G pada masyarakat di Indonesia. Informasi tentang prevalensi polimorfisme ini diperlukan dalam perencanaan pencegahan dan penanganan adiksi di Indonesia.
Metode Subjek penelitian berjumlah 505 orang sukarelawan sehat yang berasal dari basis data DNA kontrol sehat dari penelitian sebelumnya (15). Subjek penelitian dalam keadaan sehat dan dipilih secara acak dari komunitas di Jakarta dan diwawancara mengenai status demografik dan status kesehatannya. Semua subjek penelitian memberikan kesediannya untuk berpartisipasi dalam penelitian genetik dan protokol telah disetujui oleh komisi etik Institut Eijkman dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pemeriksaan genotip dilakukan dengan metode polymerase chain reaction (PCR). DNA sebanyak 10 ng diamplifikasi menggunakan primer oligonukleotida yang dirancang untuk mengamplifikasi daerah pengkode dari ekson 1 gen pengkode reseptor
Young Investigator Award 4
opioid mu. Amplifikasi bertahap dilakukan menggunakan Taqman Genotyping assays (Applied Biosystems) dengan volume reaksi standar 10 μl. Reaksi ini memiliki profil pemanasan 95oC selama 12 menit kemudian dilanjutkan dengan 40 siklus dari pemanasan 92oC selama 15 detik dan 60oC selama 60 detik. Pembacaan hasil PCR dilakukan dengan menggunakan 7500 Fast Real-time PCR System. Frekuensi dari setiap genotip dan alel kemudian diperiksa untuk mengetahui apakah berada dalam keseimbangan Hardy–Weinberg dan kemudain dipresentasikan secara deskriptif.
Hasil dan diskusi Usia rata-rata subjek adalah 33 tahun dengan rentang antara 15 sampai dengan 70 tahun. Distribusi dari genotip 118AA, 118AG, dan 118GG berada dalam kesetimbangan Hardy–Weinberg. Genotip AA terdapat pada 136 orang (27%), genotip AG pada 244 orang (48%) sedangkan yang memiliki genotip GG berjumlah 125 orang (25%). Persentase alel 118A dan 118 G adalah 51% dan 49%. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa frekuensi alel 118G lebih tinggi dari pada negara-negara lain sehingga risiko untuk terjadinya adiksi pada masyarakat Indonesia lebih besar. Dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, jumlah persentase 118G pada penelitian ini hanya sedikit lebih tinggi (16). Sedangkan di populasi lain seperti Eropa, Afrika, dan Amerika, frekuensi 118G jauh lebih rendah (lampiran 1) (13, 17). Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme A118G ini dengan adiksi baik pada adiksi heroin, alkohol, nikotin, dan metamfetamin. Hasil penelitian tersebut masih menunjukkan hasil yang berbeda-beda (18, 19). Sebagian mendukung peranan alel 118G dalam terjadinya adiksi (18), sebagian menyatakan tidak ada hubungan (17), dan sebagian lagi menyatakan alel 118G sebagai faktor protektif (16). Hal ini mungkin disebabkan oleh adiksi sangat kompleks sehingga banyak faktor lain yang berperan selain polimorfisme A118G pada gen pengkode reseptor opioid mu (20, 21). Walaupun demikian, berbagai penelitian telah menunjukkan adanya pengaruh polimorfisme A118G pada mekanisme kerja saraf di otak. Subjek dengan alel A118G
Young Investigator Award 5
akan memiliki respon yang lebih besar dari reseptor prototipenya tetapi jumlah ekspresi reseptornya lebih sedikit (14). Reseptor opioid mu yang terdistribusi secara luas dalam sistem saraf pusat, terutama di striatum, talamus, nukleus traktur solitarius, lokus serulus, area ventral tegmental, substantia nigra, pars compakta dan saraf tulang belakang (22, 23) memodulasi pelepasan norepinefrin presinaptik dan dopamin yang memegang peranan penting pada jalur kenikmatan di otak dan dalam perilaku yang menimbulkan gairah (23). Ikatan antara reseptor opioid mu yang memiliki polimorfisme A118G dengan ligannya pada interneuron GABA di area ventral tegmental lebih kuat dibandingkan dengan prototipenya. Hal ini akan menyebabkan hambatan GABA terhadap saraf dopamin yang lebih kuat sehingga jumlah dopamin yang dilepaskan di nukleus akumbens akan semakin meningkat (19). Perubahan dalam nucleus akumbens yang termasuk dalam rangkaian jalur kenikmatan di otak dianggap berperan untuk terjadinya adiksi. Hubungannya dengan perubahan fungsi korteks frontal membuat penurunan respon inhibisi dan peningkatan arti penting zat psikoaktif bagi individu tersebut. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara bagian impulsif dari otak dan bagian yang lebih reflektif sehingga tercermin dalam ketidakseimbangan perilaku antara pendekatan dan penghindaran zat psikoaktif (24). Namun dari sudut pandang yang berbeda, polimorfisme A118G pada reseptor opioid mu menyebabkan perbedaan pada respon pada aksis hipotalamus hipofisis. Berbagai penelitian menunjukan bahwa pasien dengan polimorfisme A118G memiliki respon yang lebih baik terhadap terapi narkoba dengan naltrekson (20, 21).
Kesimpulan Tingginya prevalensi polimorfisme A118G pada gen pengkode reseptor opioid mu di masyarakat Indonesia meningkatkan kerentanan untuk terjadinya penyalahgunaan narkoba namun sekaligus menjadi peluang untuk keberhasilan terapi penyalahgunaan narkoba merupakan tantangan dan peluang untuk pencegahan dan penatalaksanaan penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Young Investigator Award 6
Daftar Pustaka 1. Hawari D. Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol & Zat adiktif) 2nd edition. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. 2. BNN. Kumpulan hasil-hasil penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia tahun 2003-2005. Badan Narkotika Nasional RI; 2007. 3. Leshner AI. Addiction is a brain disease, and it matters. Science. 1997 Oct 3;278(5335):45-7. 4. Hyman SE. The neurobiology of addiction: implications for voluntary control of behavior. Am J Bioeth. 2007 Jan;7(1):8-11. 5. Kalivas PW, Volkow ND. The neural basis of addiction: a pathology of motivation and choice. Am J Psychiatry. 2005 Aug;162(8):1403-13. 6. Kreek MJ, LaForge KS. Stress responsivity, addiction, and a functional variant of the human mu-opioid receptor gene. Mol Interv. 2007 Apr;7(2):74-8. 7. Tsuang MT, Lyons MJ, Meyer JM, Doyle T, Eisen SA, Goldberg J, et al. Cooccurrence of abuse of different drugs in men: the role of drug-specific and shared vulnerabilities. Arch Gen Psychiatry. 1998 Nov;55(11):967-72. 8. Kreek MJ, Nielsen DA, Butelman ER, LaForge KS. Genetic influences on impulsivity, risk taking, stress responsivity and vulnerability to drug abuse and addiction. Nat Neurosci. 2005 Nov;8(11):1450-7. 9. Kreek MJ, Bart G, Lilly C, LaForge KS, Nielsen DA. Pharmacogenetics and human molecular genetics of opiate and cocaine addictions and their treatments. Pharmacol Rev. 2005 Mar;57(1):1-26. 10. Kreek MJ. Role of a functional human gene polymorphism in stress responsivity and addictions. Clin Pharmacol Ther. 2008 Apr;83(4):615-8. 11. Cox J, De P, Morissette C, Tremblay C, Stephenson R, Allard R, et al. Low perceived benefits and self-efficacy are associated with hepatitis C virus (HCV) infection-related risk among injection drug users. Soc Sci Med. 2008 Jan;66(2):21120. 12. Contet C, Kieffer BL, Befort K. Mu opioid receptor: a gateway to drug addiction. Curr Opin Neurobiol. 2004 Jun;14(3):370-8. 13. Bond C, LaForge KS, Tian M, Melia D, Zhang S, Borg L, et al. Single-nucleotide polymorphism in the human mu opioid receptor gene alters beta-endorphin binding and activity: possible implications for opiate addiction. Proc Natl Acad Sci U S A. 1998 Aug 4;95(16):9608-13. 14. Kreek MJ, Schlussman SD, Reed B, Zhang Y, Nielsen DA, Levran O, et al. Bidirectional translational research: Progress in understanding addictive diseases. Neuropharmacology. 2008 Aug 7.
Young Investigator Award 7
15. Sahiratmadja E, Wieringa FT, Crevel Rv, Visser AWd, Adnan I, Alisjahbana B, et al. Iron deficiency and NRAMP1 polymorphisms (INT4, D543N and 30UTR) do not contribute to severity of anaemia in tuberculosis in the Indonesian population. British Journal of Nutrition 2007;98:684-90. 16. Tan E, Tan C, Karupathivan U, Yap E. Mu opioid receptor gene polymorphisms and heroin dependence in Asian populations. Neuroreport 2003;14:569-72. 17. Bergen AW, Kokoszka J, Peterson R, Long JC, Virkkunen M, Linnoila M, et al. Mu opioid receptor gene variants: lack of association with alcohol dependence. Mol Psychiatry. 1997 Oct-Nov;2(6):490-4. 18. Deb I, Chakraborty J, Gangopadhyay PK, Choudhury SR, Das S. Single-nucleotide polymorphism (A118G) in exon 1 of OPRM1 gene causes alteration in downstream signaling by mu-opioid receptor and may contribute to the genetic risk for addiction. J Neurochem. 2010 Jan;112(2):486-96. 19. Mague SD, Blendy JA. OPRM1 SNP (A118G): involvement in disease development, treatment response, and animal models. Drug Alcohol Depend. 2010 May 1;108(3):172-82. 20. Chong RY, Oswald L, Yang X, Uhart M, Lin PI, Wand GS. The mu-opioid receptor polymorphism A118G predicts cortisol responses to naloxone and stress. Neuropsychopharmacology. 2006 Jan;31(1):204-11. 21. Hernandez-Avila CA, Covault J, Wand G, Zhang H, Gelernter J, Kranzler HR. Population-specific effects of the Asn40Asp polymorphism at the mu-opioid receptor gene (OPRM1) on HPA-axis activation. Pharmacogenet Genomics. 2007 Dec;17(12):1031-8. 22. Meng F, Xie GX, Thompson RC, Mansour A, Goldstein A, Watson SJ, et al. Cloning and pharmacological characterization of a rat kappa opioid receptor. Proc Natl Acad Sci U S A. 1993 Nov 1;90(21):9954-8. 23. Thompson RC, Mansour A, Akil H, Watson SJ. Cloning and pharmacological characterization of a rat mu opioid receptor. Neuron. 1993 Nov;11(5):903-13. 24. Koob G, Kreek MJ. Stress, dysregulation of drug reward pathways, and the transition to drug dependence. Am J Psychiatry. 2007 Aug;164(8):1149-59.
Young Investigator Award 8
Lampiran 1 Prevalensi alel 118G pada gen pengkode reseptor opioid mu di berbagai populasi etnik berdasarkan literatur yang terpublikasi
Diambil dari : Deb I, Chakraborty J, Gangopadhyay PK, Choudhury SR, Das S. Single-nucleotide polymorphism (A118G) in exon 1 of OPRM1 gene causes alteration in downstream signaling by mu-opioid receptor and may contribute to the genetic risk for addiction. J Neurochem. 2010 Jan;112(2):486-96.