Prelude
5
Induction Days
9
Edinbrrrrr…..
24
Moslems in Edinbra
37
Bandul Kalung Majid
50
Dua Puluh Satu
65
Jiwa Highlanders dan Bravehearts
82
Kemelut Kelam Mister Misterius
98
... Cuplikan buku selanjutnya: DOS
4
117
lakson kendaraan tak hentinya membuat polusi suara. Rangkaian frekuensinya sama sekali tak harmonis. Asap pembuangan bus seketika mengubah pandangan menjadi berkabut hitam pekat. Motor – motor di kanan, di kiri, di depan, di belakang memerangkap kuat, lalu meluap bagai bah. Warna hijau atau merah pada lampu lalu lintas ditafsirkan sama saja, karena kita adalah bangsa yang berani dan pantang mundur. Ya, semua harus diterobos selama masih ada kesempatan. Bahkan walaupun palang kereta api sudah tertutup, selama belum ada kereta yang melintas, berlarilah mereka menembusnya hingga sampai ke seberang rel. Karena apa? Karena kita bangsa patriotik yang tak kenal takut dan sadar betul kalau belum waktunya mati ya takkan mati. Aku memandang keruwetan dan kesemerawutan kota metropolitan ini dari dalam kaca taksi biru. Satu – satunya pilihan jika ingin nyaman dan tak mau stress berkendaraan di kota ini hanya dengan taksi, tentunya harus dengan merogoh kantung lebih dalam. Pemandangan pada jam pulang kantor memang menyesakkan dada dan menambah mumet pikiran yang sudah butek seharian bekerja. Baru saja aku bekerja 6 bulan di kota ini tapi rasanya sudah mencapai titik saturasi. Kata orang, bekerja di kota ini seperti terjebak dalam rutinitas 13 P – Pergi Pagi, Pulang Petang, Penghasilan Pas-Pasan, Pantat Pegal-pegal, Pala Pusing-Pusing). Ada pula teman yang sejak mulai bekerja berubah jadi vampire. Tidak pernah melihat matahari, dari senin sampai sabtu berangkat dan masuk gedung perkantoran sebelum matahari bangun, lalu baru keluar saat matahari sudah letih menyinari kota ini. Ah, rasanya ingin segera beranjak dari hiruk – pikuk kota ini ke suatu tempat yang lebih menyenangkan. Aku terus berpikir dan
menyusun rencana, sampai akhirnya kelelahan sendiri karena konsentrasi yang terserap oleh kemacetan. Lebih baik tidur saja di taksi, menikmati fasilitas yang tersedia dengan hati lebih nyaman. *** Alhamdulillah akhirnya sampai juga di rumah setelah menempuh perjalanan dari kantor selama tiga setengah jam. Jika dalam kondisi normal, jarak kantor – rumah hanya diempuh dalam setengah jam, tetapi lain ceritanya jika dalam kondisi banjir, hujan dan super macet, bisa lima atau tujuh kali lipat waktunya. Itu cerita biasa yang sudah lumrah terdengar di kalangan pekerja kota ini. Si mbak menghampiri diriku yang masih terduduk menghela nafas, “Neng, ini ada surat buat Neng Fira”. “Makasih, mbak,” sahutku sambil merobek amplop untuk membaca lembaran surat di dalamnya. Hmm… dari siapa ya? Di depan amplop tertera lambang Uni Eropa dan saat kubaca isinya ternyata adalah sebuah kabar baik. Aku baca baik – baik dan berulang – ulang agar tidak salah mengartikan surat berbahasa Inggris itu. Segera ku bersujud syukur dan membawa surat tersebut pada orang tua. Alhamdulillah, inilah jawaban dari Allah SWT di saat – saat aku sudah terlalu penat dengan kota ini. Semoga penyegaran pikiran dan tubuh ini bisa membuka jalan – jalan kebaikan yang lain di masa depan. Kupandangi lagi surat berlogo Uni Eropa itu dengan senyum terkembang. “Dear applicant, We are happy to inform you that you have been accepted to the European Master Degree programs in three universities with the European Union scholarship. For enrolment at the universities: we would like to provide you with information concerning steps to take in your admission.” Aku tertidur lelap dengan hati berbunga – bunga, penantian panjang setelah berpuluh aplikasi beasiswa diajukan berakhir dengan indah. 2
September 2009 uaca lumayan panas siang itu, ditambah lagi aku masih berpuasa Ramadhan, sehingga aku tiba di dalam gedung pertemuan dengan lemas. Disana anak perempuan Cina langsung menegurku, “Hi, may I help you? Here, let me bring the other luggage,” ia meraih dan membawa satu koperku ke dalam ruang penyimpanan bagasi. Baik sekali ia, ringan tangan dan ramah sekali. “Hi, how are you? What‟s your name,” ia kembali tersenyum bertanya kepadaku. “Hi.. I‟m Safira Shafiyyah, from Indonesia.. and you‟re from China, right?” “Right, I‟m from China.. I‟m Xin Sing. But you can call me Emma, that‟s my English name,” ia menjabat tanganku dengan hangat. Tapi aku masih heran kenapa dia punya dua nama; nama Cina dan nama Inggris. Emma mengajakku bergabung dengan teman – teman lain yang sudah berkumpul diluar. Yang terakhir mengenalkan diri adalah seorang pria yang langsung bisa memikat pandanganku. Ia bertubuh tinggi menjulang, berambut coklat, bermata biru bening dengan tampang campuran Eropa – Arab. “Masha Allah, you‟re moslem too!” tebaknya kala melihat jilbab yang kukenakan. “Assalamu‟alaikum, I‟m Muhammad Yasser Nawaf, from Syria…,” sapanya. Aku membalas salamnya dengan hati riang, Alhamdulillah ada teman sesama Islam di program ini. Aku baru tahu kalau orang Syria lebih mirip orang Eropa dibandingkan orang Arab. Memoriku masih agak samar untuk bisa mengingat nama – nama mereka yang asing di telingaku. Saat kami tengah disibukkan dengan manisnya perkenalan perdana kami, perhatian kami semua mendadak terpecah. Sesosok wanita semampai berjalan ke arah kami, diapit dua lelaki tegap nan gagah seperti bodyguard-nya. Sosok wanita itu sungguh mendebarkan hati kami semua dengan tubuhnya yang langsing aduhai, make-up yang seperti mau ke pesta, rambut panjang coklat kehitaman yang tergerai, kostumnya yang trendi dankaca mata hitam besarnya. Benar – benar cantik dan seksi. “Okay.. thank you guys for helping me with these suitcases. Bubye..,” wanita itu kemudian berpisah dengan kedua bodyguard 3
Latin-nya yang sudah membawakan tiga koper beratnya. Apa saja yang ia bawa sampai harus sebanyak itu, baju – baju, sepatu, kosmetik? Wah..! “Hi guys… Apa ini benar gedung untuk pertemuan masa orientasi?” ia memecah kesunyian diantara kami yang masih tertegun dengan kecantikannya. “Hi, I‟m Gabriella Riverra Martinez Loyola… and don‟t forget, Riverra with double „r‟. I‟m from Mexico, nice to meet you all,” sambil membuka kaca mata hitamnya dan mengibaskan rambut panjangnya. Aku melihat Gabriella layaknya melihat pemain telenovela Latin asli di depanku. Bayangan wanita Latin cantik ala Maria Mercedez, Esmeralda, Marimar, dan telenovela lain yang dulu marak diputar di TV local benar – benar diproyeksikan pada sosok Gabriella. Logat Inggris Gabriella sempurna, beraksen khas Amerika Serikat dan ia selalu berbicara dalam tempo super cepat, mungkin karena pengaruh sambal Mexico. *** Sore harinya setelah selesai pertemuan, kami semua dibawa ke penginapan dengan bus - yang lagi – lagi supirnya ibu – ibu gagah. Penginapan kami nanti adalah Château du Breuil. Château berarti kastil. Dalam perjalanan aku terus membayangkan betapa indahnya nanti selama empat malam bisa menginap di istana ala Prancis, pasti indah seperti di film – film fairy tales. Jarak antara universitas dan Château du Breuil lumayan jauh karena terletak di pinggiran kota. Terasa lama sekali berada dalam bus, aku ingin cepat sampai! “Château du Breuil!!” bu supir bus berseru member tanda bahwa kita sudah sampai. Dari balik pagar yang tinggi, kami semua hanya memandangi kastil yang berdiri kokoh jauh disana. Bentuk kastilnya sederhana dengan dua menara disisinya, tapi mencerminkan arsitektur khas Prancis dengan kesan yang agak seram, sehingga bulu kudukku mulai naik. Seperti di game atau acara reality show uji nyali, belasan anak muda dari berbagai negara yang baru saling kenal hari ini dan membawa koper – koper ukuran jumbo, hanya berdiri terdiam di depan kastil. Kami mematung cukup lama di gerbang. Mereka seperti merasakan sensasi horror yang sama denganku. Kami saling 4
memandang dan meyakinkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk. Untuk mencapai kastil, kami harus melewati taman luas dengan jalan setapak yang berbatu – batu, membuat kami kewalahan menggeret koper – koper itu. Semoga saja koperku tidak rusak rodanya setelah terbanting – banting begini. Dari dekat, kastil ini justru tampak lebih megah dan antik. Saat kami hendak melangkahkan kaki masuk ke dalam kastil, pria Prancis botak yang sepertinya penjaga disitu tiba – tiba meneriaki kami, “Non! Ce n'est pas ici!!” ia menghampiri dan tangannya sibuk mengusir – usir kami dari depan kastil, “Tempat kalian menginap bukan di kastil ini, tapi disana!” ia menunjuk ke bangunan yang agak jauh terletak di sisi samping kastil. Sekejap bayangan indah akan kastil mewah di benak kami langsung lenyap. Bangunan itu memang tidak terlalu kecil tapi hanya berbentuk kotak tak berseni dan tampak sangat lusuh, sama sekali jauh dari kemegahan kastil utama. Saat masuk ke dalam bangunan itu, yang lebih mirip seperti hostel tua – bertambahlah kekagetan kami. Kami perempuan bertiga memilih untuk sekamar. Ketika melihat kondisi kamar kita, Gabriella langsung memekik, “OH NO!! Kamar apa ini??! Seumur hidupku baru pertama kali aku tinggal di kamar jelek macam ini. Ini sudah keterlaluan, kenapa sih pihak universitas memilihkan kita akomodasi disini? Apa gak ada tempat yang lebih bagus dan nyaman? Sudah tidak tahan, besok aku harus protes!” ia lalu keluar kamar dengan tampang kesal. Inilah kamar kita selama empat malam ke depan. Kamar dengan lantai berubin warisan nenek buyut yang dingin, dua tempat tidur besi tingkat yang sudah reyot dilapisi sprei lecek, dan selimut tebal yang bau apek. Rasanya agak familiar dengan model kamar seperti ini ya, seperti kamar saat pesantren kilat atau saat studi tur SMA ke desa – desa. “OH MY GOD!!!” pekikan Gabriella terdengar lagi, aku dan Emma langsung keluar kamar menghampirinya, “Ada apa lagi, Gabriella?” Dengan raut muka yang masih kaget, meluncurlah kata – kata dari bibir merahnya, “You know? Aku baru tahu kalau kamar mandi satu – satunya, berada di bawah tanah bangunan ini! Selain itu, 5
hanya ada tiga toilet yang sama untuk pria dan wanita!” ia langsung menarik tangan kami untuk ikut melihat lokasi. Kami berlari menyusuri sampai ke belakang bangunan dan memasuki pintu kayu kecil. Lalu, kami harus menuruni anak – anak tangga memutar dan agak gelap. Setelah itu, barulah sampai ke kamar mandi dengan cahaya yang lumayan terang. “Listen.. Nanti malam, jika salah seorang dari kita butuh ke kamar mandi sebelum tidur, kita harus berbarengan ya kesini. Okay?” saran Gabriella yang masih ketakutan. Sebenarnya aku juga agak takut ke kamar mandi sendirian jika lokasinya seperti itu. Kami menghibur diri dengan berjalan ke danau dan bermain – main dengan sapi gemuk berkaki pendek, di halaman kastil. Kami juga menendangi dedaunan kuning yang gugur di pekarangan. Waktu makan malam tiba. Sudah pukul delapan malam tapi matahari masih bersinar. Makanan sudah terhidang di atas meja – meja kayu panjang ruang tengah yang beratap tinggi. Teman – teman langsung menyantap hidangan khas barat sambil memandang heran padaku, “Kenapa kamu tidak makan?” “I‟m still fasting…,” jawabku yang direspon oleh Emma dengan polos, “What is fasting?” . Panjang lebar aku menjelaskan apa itu puasa dalam agama Islam. Akhirnya matahari turun juga, ditandai dengan semburat jingga di langit, jarum jam kini sudah menunjukkan masuk waktu Magrib. Alhamdulillah…. * * * Week-end pertama di Edinburgh. Lagi – lagi aku mengalami masalah dalam komunikasi dengan supir bus yang berbicara dengan aksen Scotland yang sangat kentara. Ia bertanya padaku saat aku naik ke bus. Aku balik bertanya, “I‟m sorry?” Supir itu mengulangi pertanyaannya lagi. Aku masih belum bisa menangkap apa yang ia tanyakan, “Pardon, I can‟t understand.” Aku melanjutkan perjalananku menyusuri Edinburgh. Aku berhenti sebentar di Grass Market, yang kalau di bahasa Indonesia mungkin bisa diartikan Pasar Rumput sebab dulunya area ini memang pusat untuk belanja makanan kuda, alias rumput. Di sekitar 6
Grass Market banyak toko – toko dengan gang – gang kecil. Mirip seperti Diagon Alley di Harry Potter. Tokoh Harry Potter memang lahir di kota Edinburgh ini. The Elephant House adalah café dimana J.K. Rowling mengawali lembar – lembar awal kisah penyihir legendaris ini. Konon ceritanya J.K. Rowling sangat miskin sehingga untuk menghemat biaya listrik dan penghangat kamarnya, ia selalu singgah di café itu untuk menghangatkan diri. Tidak heran jika cerita Harry Potter begitu dasyat dan mistis, karena Edinburgh lebih bernuansa mistis dibandingkan cerita penyihir itu. Masih di kompleks dekat Grass Market, aku menemukan beberapa toko yang menjual baju – baju hantu, menawarkan tur dungeon (bawah tanah) Edinburgh untuk berburu hantu, tur “City of Death” Edinburgh, bahkan ada juga toko sihir. Toko sihir disini bukan yang main – main, tetapi yang sebenarnya, di etalasenya terpajang tengkorak, dupa, potongan kuku, dan macam – macam benda aneh yang sangat cocok untuk dimasukkan ke dalam ramuan poison dalam kelas sihir Prof. Snape. Edinburgh menyimpan banyak cerita misteri. Salah satunya adalah Mary King’s Close Street, jalan yang tidak pernah hujan di Edinburgh. Close adalah gang – gang kecil pemukiman warga zaman Edinburgh dahulu. Mary King’s Close terkubur dibawah Royal Mile semenjak abad ke-17, yang sarat mitos dan legenda mistis. Pada saat itu Close ditutup karena semua keluarga disana terjangkit penyakit mematikan yang aneh sehingga aksesnya harus ditutup agar tidak menular. Selama ratusan tahun, keberadaan dan cerita dari Close ini tidak diketahui dan baru dibuka untuk publik tahun 2003. Sekarang Mary King’s Close menjadi komersil dengan menawarkan tur mistis berkeliling Close, tempat orang – orang abad 17 yang mati digerogoti penyakit aneh yang angker. Tak cukup sampai disitu, setiap tahun pun diselenggarakan festival Mary King's Ghost Fest di Edinburgh, untuk menyingkap cerita – cerita gelap dan aktivitas paranormal di kota ini. Wanita – wanita berbaju tradisional Inggris membagikan brosur di depan atraksi Mary King’s Close. Aku langsung menolak, untuk apa bayar mahal tapi malah ditakut – takuti. “AAAaaaaaaaa…..!!!” terdengar lengkingan histeris dari dalam 7
atraksi Mary King’s Close. Aku langsung bergidik dan berlalu mencari objek turis lain di Edinburgh. Objek lain yang tidak horor di Edinburgh adalah gedung parlemen Edinburgh yang berarsitektur sangat unik – dirancang oleh arsitek Spanyol. Ditawarkan juga atraksi tiga dimensi monster Loch Ness di kota ini. Selain itu, rumah si monster Frankeinsten juga bisa ditemukan disini. Rupanya, J.K. Rowling kaya inspirasi khayal untuk cerita bermacam – macam monster, hantu dan sihir di bukunya karena kota kelahiran Harry Potter, Edinbrugh – ternyata memang ajaib seperti ini!
8
Lingkungan housing dan kampus benar – benar seperti mati. Jalanan, taman, dan bangunan tertutup salju putih yang tebal. Hampir semua penghuni maupun staf sudah pulang menikmati liburan natal yang sudah tinggal tiga hari lagi. Sepi. Sunyi. Danau di kampus pun sekarang sudah membeku membentuk lapisan es tebal. Bebek – bebek sudah tidak bisa berenang lagi di danau. Mereka sekarang berjalan di atas danau es, sambil sesekali terpeleset di lapisan es yang licin. Rasa sendu dan sendiri pun semakin menjadi – jadi saat berada di dalam kamar. Sangat jarang terdengar langkah kaki, ataupun suara tetangga – tetangga yang berbincang. Sore itu, ketika hari mulai gelap – padahal baru pukul setengah empat sore, setelah berbelanja oleh – oleh, aku kembali ke St. Bernard. Besok pagi – pagi sekali, aku akan meninggalkan Edinbra, mampir beberapa hari di London, sebelum pulang ke tanah air. Ada hal yang aneh, saat aku melintasi lobby St. Bernard. Tetanggaku, si pria Arab itu, sedang berbicara sangat serius dengan dua orang lelaki tinggi bertampang Scotland, dengan coat panjang hitam elegan dan topi ala detektif, serta tas kerja beberntuk kotak hitam yang klasik. Penampilan kedua pria itu sangat mencolok, mengingatkanku Sherlock Holmes. Aku hanya berlalu menuju ke kamarku untuk segera memasukkan semua suvenir yang kubeli ke dalam koper. Tiba – tiba pintu kamar ku diketuk. Tok..Tok..Tok! Tumben sekali ada yang mengetuk pintuku, apalagi malam – malam begini. Dengan enggan, aku pun melangkah ke arah pintu, meraih gagang pintu dan membukanya. Di depanku aku mendapati dua sosok berjubah hitam yang aku lewati di lobby St. Bernard barusan. Aku memandangi mereka dari bawah, ke atas, lalu salah satu dari mereka membuka dan menunjukkan dompet identitasnya sambil berkata, “We‟re Police!”. Aku menelan ludah, kerongkonganku jadi tercekat, mendadak syok, dan jantungku jadi berdebar – debar. Apa salahku? 9
