PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS: Studi Kasus di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur
LORENSIA KALI
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK
Lorensia Kali. Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh Andry Indrawan dan I Nengah Surati Jaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan produksi CO2, serta untuk mengidentifikasi potensi dan distribusi spasial pengembangan hutan kota. Prediksi luas hutan kota dilakukan hingga tahun 2020 dengan basis data tahun 2003. Metode untuk memprediksi luas hutan kota meggunakan analisis spasial. Anaysis Hierarchy Process (AHP) pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui skala alternatif yang harus dilakukan. Wawancara dilakukan terhadap stakeholder yang berkompoten yaitu: Pemerintah, masyarakat, LSM, dan Perguruan Tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas hutan kota tahun 2003 seluas 9.258,43 ha masih mencukupi kebutuhan luas hutan kota hingga 2020, yakni seluas 207.701,666 ha. Meskipun demikian secara spasial sebaran dari hutan kota tersebut umumnya terdapat di kawasan pinggiran kota, sehingga masih perlu pembenahan karena yang semestinya sangat dibutuhkan pengembangan hutan kota adalah di pusat-pusat kota. Berdasarkan Analisis Hierarchy Process (AHP), prioritas alternatif program yang harus dikembangkan adalah hutan kota pemukiman sebagai prioritas terpenting (utama), kemudian prioritas kedua hutan kota social community, prioritas ketiga hutan kota konservasi, dan prioritas keempat hutan kota rekreasi, selanjutnya sebagai prioritas terakhir hutan kota industri.
iii
Abstract Lorensia Kali. Prediction of need urban forest use SIG and remote sensing. Case Study in Kabupaten Belu province of NTT. The aim of this research was to predict and identify need of urban forest based on production of Carbon Dioxide (CO2), also to identify spatial distribution and potent of developed urban forest. Prediction of urban forest carried out until 2020 with data base in 2003. This research used spatial analysis. The use of Analysis Hierarchy Process (AHP) to know alternatif scale what to do. Filled of cuisener on stackeholder such as; government, community, LSM, and the university. The result of this research to show that urban forest area in 2003 was 9.258,43 ha still enaugh need of urban forest until 2020 e.g. 207.701,666. However spatially despeard of urban forest were located in suburb. Based on Analysis Hierarchy Process, so the main alternatif was urban forest of housing, social community as second alternatif or priority. The third alternatif was urban forest conservation, and urban forest of recreation as four alternatif. The last alternatif was urban foret of industry.
iv
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
v
PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS: Studi Kasus di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur
LORENSIA KALI
TESIS sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 v
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyampaikan bahwa Tesis Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sisitem Informasi Geografis : Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2006 Lorensia Kali NIM P052040121
ii
PRAKATA Puji syukur penulis menyampaikan kehadirat tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis penelitian ini yang berjudul Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dibuat dalam rangka memenuhi
salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
master sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (PSL) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Untuk itu penulis perlu menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian usulan penelitian ini, diantaranya yaitu: 1. Buat pendampingku dan buah kasihku yang selalu setia dan tabah mengikuti seluruh rankaian kegiatan perkulihanku.dengan penuh kasih sayang. 2. Bapak, mama , kakak serta adik- adikku yang tercinta, atas segala dorongan, dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan tak ternilaikan 3. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. I. Nengah Surati Jaya, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing yang tidak hanya memberikan bmbingan tetapi juga pendidikan yang sangat berarti. 4. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana IPB. 5. Bapak Bupati Belu Drs. Yoakim lopez yang memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di IPB. 6. Instansi-instansi Pemerintah Kabupaten Belu di antaranya yaitu Bappeda, Bappedala, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kimpraswil, Dinas Perhubungan, Dinas Perindag, Kesbanglimas, Badan Pertanahan, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberi bantuan berupa data-data yang diperlukan dalam pennyusunan usulan penelitian ini. 7. Bapak camat kota atambua,bapak camat kakuluk mesak dan Ibu Camat Tasbar serta para lurah dan seluruh masyarakat yang telah memberikan data-data yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini. 8. Bapak Uus Saeful M dan Adik Edwin atas segala bantuannya. 9. Rekan- rekan mahasiswa Program studi PSL khususnya adik-adiku yang kubanggakan yang telah memberikan dukungan dan perhatian yang sangat berarti.
vii
10. Kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis berharap, semoga usulan penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2006 Lorensia Kali
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Belu pada tanggal 21 Pebruari 1967 sebagai anak ke tiga dari sembilan bersaudara dari Bapak I. J. Kali Mau dan Ibu Rosa Delima Motu. Pada tahun 1986 penulis lulus SMAK St. Yoseph Dili dan melanjutkan ke Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan MIPA Program Studi Biologi. Penulis menyelesaikan studi SI tahun 1992 kemudian penulis mengabdi di Pemda Belu sejak tahun 1992 hingga saat ini. Tahun 2004 penulis melanjutkan studi S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
ix
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………………
xii
DAFTAR GAMBAR ………………….………………………………………..
xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………
xv
I.
II.
III.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1.2. Kerangka Pemikiran …………………………………………… 1.3. Perumusan Masalah …………………………………………... 1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 1.5. Manfaat Penelitian …………………………………………….. 1.6. Hipotesis ………………………………………………………... TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kota ................................................................... 2.2. Pengaruh Perkembangan Kota Terhadap Lingkungan ........ 2.3. Pencemaran Lingkungan Hidup Perkotaan 2.4. Produksi Karbondioksida dari Kendaraan Bermotor, Kegiatan Produksi dan Penduduk ........................................ 2.5. Perlunya Pengembangan hutan Kota .................................. 2.6. Pengertian Hutan Kota ......................................................... 2.7. Tipe-tipe Hutan Kota ............................................................ 2.8. Peranan Hutan Kota ............................................................ 2.9. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota ............................................ 2.10 Pengelolaan Hutan Kota ...................................................... 2.11 Pemilihan Jenis Hutan ......................................................... METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................ 3.2. Bahan dan Alat ..................................................................... 3.3. Metode Penelitian ................................................................ 3.3.1. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ..................... 3.3.1.1. Data Primer ........................................... 3.3.1.2. Data Sekunder ...................................... 3.3.2. Pengolahan Data .................................................... 3.3.2.1. Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1998 ................... 3.3.2.2. Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 ............................... 3.3.2.3. Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah Karbondioksida ... 3.3.2.4. Analisis Spasial Hutan Kota ..................
1 3 4 5 5 5 6 6 7 8 10 12 14 16 18 19 21 25 25 26 26 26 27 28 28 28 28 30
x
Halaman 3.3.2.4.1.
Pembangunan Basis Data ……………………. 3.3.2.4.2. Pengolahan Digital Data Landsat ......................... Analisis Hierarchy Process (AHP) ...
30 33
KEADAAN UMUM KABUPATEN BELU 4.1. Letak dan Luas ………………………………………………….. 4.2. Hidrologi …………………………………………………………. 4.3. Iklim ………………………………………………………………. 4.4. Vegetasi ………………………………………………………….. 4.5. Kondisi Sosial Ekonomi Budaya ………………………………. 4.3.1. Penduduk ……………………………………………… 4.3.2. Budaya Masyarakat …………………………………... 4.6. Kondisi Hutan Kota ……………………………………………...
39 40 41 41 42 42 43 43
3.3.2.5. IV.
V.
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota Berdasarkan Inmendgri No. 14 Tahun 1988 dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 ............ 5.2. Estimasi CO2 Penduduk di Kabupaten Belu .......................... 5.2.1. Karbondioksida yang dihasilkan Pendudun Tahun 2003 ……………………………………………………. 5.2.2. Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Tahun 2006, 2010. 2015, dan 2020 ........ 5.2.3. Estimasi CO2 Kendaraan Bermotor ………………… 5.2.4. Estimasi karbondioksida yang dihasilkan dari industri ...................................................................... 5.3. Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah CO2 ........................................... 5.3.1. Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2003 5.3.2. Estimasi Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020 5.4. Analisa Pengembangan Hutan Kota 5.4.1. Analisis Analiytical Hierarchy Proses 5.4.1.1. Aktor ................................................. 5.4.1.2. Aspek ............................................... 5.4.1.3. Alternatif ........................................... 5.4.1.4. Sintesis Strategi menurut Aktor ....... 5.4.2. Bentuk dan Tipe Hutan Kota ....................................
30
49 49 49 50 52 56 60 60 62 66 70 70 71 72 73 77
SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ................................................................................ 6.2. Saran .....................................................................................
82 82
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
83
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................
85
xi
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk …………..….
9
2.
Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor .…
9
3.
Jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri ………………….
9
4.
Kriteria dan Bentuk Hutan Kota …………………………………….
18
5.
Tipe Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson ................................
22
6.
Skala Banding Secara berpasangan dalam AHP ........................
35
7.
Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Belu Perkecamatan tahun 2001 dan tahun 2002 .........................................................
42
Prediksi Jumlah Penduduk di Kabupaten Belu Perkecamatan Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020 .............................................
50
Jumlah kendaraan bermotor di Kabupaten Belu, Tahun 20012005 .............................................................................................
53
10.
Luas Ruang Terbuka Hijau dan Hutan kota di Kabupaten Belu ..
66
11.
Bobot untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu Berdasarkan Aktor ......................................................................
71
Skala Prioritas Aspek ………………………………………………..
71
8. 9.
12.
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Bagan Alir Kerangka Penelitian …………………………………….
4
2.
Bagan Organisasi Pengelolaan Hutan Kota (Sumber: Dahlan 2004) …………………………………………………………………..
21
3.
Lokasi Penelitian ..........................................................................
25
4.
Diagram Alir Analisis Spasial Prediksi Neraca Ketersediaan RTH dan kebutuhan Hutan Kota ..................................................
32
Hirarki Proses Pengembangan Hutan Kota di Kabupaten Belu Provinsi NTT ................................................................................
34
6.
Taman Makam Pahlawan Seroja Haliwen
44
7.
Jalur Hijau Tugu Gerbades
45
8.
Jalur menuju Rumah Jabatan Bupati
45
9.
Jalur Hijau menuju Bandara
46
10.
Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ………………………………..
48
11.
Peta Penyebaran Penduduk Kabupaten Belu Tahun 2003 ……..
49
12.
Peta Penyebaran Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003 ………………………………………
49
Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ………………………………...
51
Grafik jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020……..
52
Peta Penyebaran Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu Tahun 2003 …………………………………………………………………...
54
Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan Bermotor di Kabupaten Belu Tahun 2003 …………………………
54
Grafik Perkiraan jumlah kendaraan bermotor Per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ....
55
Grafik Perkiraan Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ..............................................
56
19.
Peta Penyebaran Industri Kabupaten Belu Tahun 2003 ..............
57
20.
Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Industri di Kabupaten Belu Tahun 2003 .......................................................
58
Grafik Perkiraan peningkatan jumlah industri per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ........
59
Grafik Perkiraan jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ....
59
Peta Penyebaran Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2003 ..................................................................................
61
5.
13 14. 15. 16. 17. 18.
21. 22. 23.
xiii
24.
Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Belu Tahun 2003 ...........
61
25.
Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2006 ..................................................................................
63
Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2010 ..................................................................................
63
Peta perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2015 ..................................................................................
64
Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di kabupaten Belu Tahun 2020 .............................................................................................
64
Grafik perkiraan kebutuhan hutan kota perkecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020..........
65
30.
Peta Jaringan Jalan Kabupaten Belu ...........................................
69
31.
Peta Aliran Sungai Kabupaten Belu ……………………………….
70
32.
Bobot alternative untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu ...........................................................................
72
26. 27. 28. 29.
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Kuisioner AHP
85
2.
Jenis- jenis Tanaman yang ada di RTH Kabupaten Belu
89
3.
Jumlah Kendaraan Sepeda Motor Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005
90
Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Bensin Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
91
Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Solar Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
92
Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Minyak Tanah Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
93
Jumlah dan Karbondioksida yang dihasilkan oleh Penduduk Per Kecamatan Tahun 2003
94
Perkiraan Jumlah Total Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
95
Perkiraan Jumlah Penduduk kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020
96
Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Per Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020
97
Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan Bermotor Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
98
Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Industri Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
99
Jumlah Prediksi Total Karbondioksida di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020.
100
Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
101
Jumlah Rasio Hutan Kota di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
102
16.
Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di Taman Kota
103
17.
Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan Pekarangan
104
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12.
13. 14. 15.
di RTH
18.
Jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Jalur Hijau
105
19.
Jenis- jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Taman Hutan
106
Ruang Terbuka Hijau yang Dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan
107
Tutupan lahan per land use di Kabupaten Belu
108
20. 21.
xv
Halaman 22. 23. 24.
Jumlah Kendaraan Sepeda Motor Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005
109
Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Bensin Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
110
Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Solar Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
111
xvi
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kota merupakan pusat berbagai aktifitas manusia baik penduduk
setempat ataupun pendatang. Sebuah kota mempunyai fungsi majemuk diantaranya sebagai pusat pemukiman, populasi, perdagangan, pemerintahan, industri, maupun pusat budaya. Pesatnya pembangunan ditandai dengan meningkatnya jumlah sarana transportasi baik untuk ruas jalan maupun peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Perkembangan kota yang demikian melalui pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik disatu sisi merupakan simbol kemajuan peradaban manusia terutama penduduk kota yang cenderung mengikuti perkembangan zaman. Namun disisi lain menimbulkan berbagai dampak negatif yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Kondisi ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya persoalan lingkungan di perkotaan seperti peningkatan suhu dan tingkat polusi udara berupa produksi karbondioksida (CO2) dan menurunnya produksi oksigen (O2) di udara. Dampak lain dari perkembangan kegiatan pembangunan kota adalah semakin berkurangnya lahan terbuka hijau yang keberadaannya menyusut dari waktu ke waktu. Penurunan lahan terbuka hijau akan berdampak pada fungsi tumbuhan sebagai penghasil oksigen semakin berkurang sejalan dengan menurunnya proses fotosintesis dari vegetasi. Sebaliknya kandungan gas CO2 semakin tinggi karena asap kendaran bermotor dan aktifitas lainnya dari penduduk kota semakin meningkat. Sehubungan dengan kondisi diatas maka diperlukan suatu strategi yang mampu mengakomodir beragam persoalan sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu namun tetap menpertimbangkan relevansinya terhadap proses kegiatan kota. Oleh karena itu strategi yang dapat dikembangkan adalah melalui penerapan konsep hutan kota dalam perencanaan tata ruang kota. Konsep pengembangan hutan kota berangkat dari sebuah keprihatinan terhadap dampak buruk yang ditimbulkan oleh sejumlah kegiatan pembangunan di kota berupa pembangunan gedung, pusat-pusat industri serta peningkatan sarana dan prasarana transportasi. Sementara pada saat yang bersamaan ruang untuk vegetasi kian terdesak. Dengan kata lain kehadiran hutan kota dimaksudkan
2 untuk mengimbangi pesatnya pembangunan fisik kota, dimana dengan adanya komponen hutan kota berupa jalur hijau, taman kota, tanaman perkarangan, dan keberadaan ruang terbuka hijau lainnya diharapkan dapat meningkatkan produksi oksigen di udara, menjaring partikel debu dan partikel pencemar lainnya sehingga akan meningkatkan kualitas lingkungan di perkotaan. Hutan kota juga memiliki peranan penting dalam mengurangi CO2 dari atmosfer yang terlihat dari banyaknya karbon yang berada pada biomassa hutan. Hal tersebut disebabkan karena melalui serangkaian fotosiontetis selain memproduksi oksigen tumbuhan juga dapat menghasilkan cadangan karbon yang cukup potensial yang tersimpan pada bagian tumbuhan seperti akar, daun dan bagian tumbuhan lainnya. Menurut Grey dan Deneke (1978); Ronette (1983) dalam Dahlan (2004) menjelaskan bahwa hutan kota dapat berperan secara alamiah dalam pengelolaan lingkungan perkotaan yakni berfungsi menyangkut hal-hal berikut: 1)
Sebagai penahan panas
disiang hari akibat pertambahan ruas jalan,
gedung-gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, televisi, radio, menara, dan sarana fisik lainnya. 2)
Sementara dimalam hari dapat menciptakan kondisi lebih hangat, hal ini berkaitan dengan kemampuan tajuk pepohonan dalam menahan radiasi balik (radiasi) dari bumi.
Peranan lain dari hutan kota terkait dengan jumlah radiasi surya yang dipantulkan ke hutan sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca, posisi lintang (Dahlan 2004). Kabupaten Belu merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografi Kabupaten Belu terletak pada 124o-126o BTS, dan 0,9o – 10o LS dengan luas wilayah 244.557 km2 yang terdiri dari 12 kecamatan. 12 kelurahan, 154 Desa. Kondisi wilayah merupakan daerah datar berbukit hingga pegunungan dengan sungai yang mengalir ke utara dan selatan mengikuti arah kemiringan lerengnya. Dalam rangka pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu dijumpai sejumlah persoalan yang menempatkannya sebagai salah satu kota yang pantas untuk dikembangkan konsep hutan kota. Persoalan yang dimaksudkan disini adalah dari aspek populasi penduduk. Bahkan permasalahan penduduk ini telah menjadi problema klasik di Kabupaten Belu, keadaan ini dipicu oleh berbagai faktor diantaranya: migrasi, kelahiran serta efek
3 pengungsian. Faktor pengungsian menjadi pemicu tersendiri sebagai implikasi dari proses pembangunan jajak pendapat pada tahun 1999 dengan hasil akhir terbentuknya suatu negara baru yaitu Republik Democratic of Timor Leste yang dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 2002 (Pemerintah Kabupaten Belu 2003). Kota-kota yang berada di Kabupaten Belu mengalami perubahan secara fisik berupa penyusutan lahan terbuka hijau yang dikonversi menjadi kawasan bangunan (Pemerintah Kabupaten Belu 2004). Fenomena ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Sejumlah parameter untuk menilai menurunnya kualitas udara antara lain dicirikan oleh menurunnya produksi oksigen, meningkatnya suhu udara, menurunnya
kelembaban
udara,
meningkatnya
kadar
CO2,
terjadinya
pencemaran udara, dan merebaknya wabah penyakit.
1.2.
Kerangka Pemikiran Ketersediaan sarana dan prasarana di kawasan perkotaan diperlukan
sebagai tuntutan dalam mendukung aktivitas kehidupan kota sebagai bagian dari kegiatan pembangunan yang terus dilancarkan. Kegiatan pembangunan selain menimbulkan dampak strategis dari aspek ekonomi juga berimplikasi negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah penyusutan lahan bervegetasi karena terjadi alih fungsi menjadi kawasan pemukiman, industri dan kepentingan ekonomi lainnya. Kenyataan ini akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga diperlukan suatu pengelolaan kawasan bervegetasi di perkotaan guna menjamin kelestarian lingkungan. Penerapan konsep hutan kota dapat diterapkan untuk menjawab tantangan tersebut, namun mesti disesuaikan dengan karakteristik kota bersangkutan. Bagan kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
4
Kota sebagai pusat aktifitas perekonomian
Fasilitas dan sarana prasarana kota
Meningkatnya jumlah penduduk
Pembangunan yang terus meningkat
Berkurangnya lahan bervegetasi
Penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan
Terjadinya alih fungsi lahan
Dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat kota
Diperlukan suatu pengelolaan lingkungan hidup perkotaan
Penerapan konsep hutan kota
Perencanaan pengembangan hutan kota
Gambar 1.
1.3.
Bagan Alir Kerangka Pemikiran
Perumusan Masalah Beberapa permasalahan yang memerlukan kajian penelitian dalam
rangka pengembangan hutan kota yaitu: 1)
Apakah perencanaan hutan kota yang telah dan sedang berjalan dapat mengoptimalisasi fungsi hutan kota
2)
Apakah hutan kota yang ada di Kabupaten Belu telah dapat mencukupi kebutuhan kota baik untuk masa sekarang maupun untuk beberapa tahun yang akan datang sehingga diperlukan suatu pengembangan hutan kota.
5 1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
1)
Untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan produksi CO2;
2)
Mengidentifikasi potensi dan distribusi spasial pengembangan hutan kota.
1.5.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
1)
Dapat memberikan suatu landasan untuk pembangunan hutan kota bagi para perencana dan pengambil keputusan pembangunan kota;
2)
Sebagai penelitian tahap awal bagi pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu dan dapat dijadikan sebagai landasan bagi para pemerhati di bidang pengembanagan hutan kota khususnya para peneliti yang tertarik untuk memperoleh informasi lebih lanjut (kajian lanjutan).
1.6.
Hipotesis Hipotesa penelitian sebagai berikut:
2. Perkembangan fisik Kota-kota di Kabupaten Belu akan menyebabkan peningkatan produksi CO2 3. Perencanaan pengembangan hutan kota yang dapat menwujudkan kualitas lingkungan yang optimal untuk menunjang kehidupan perkotaan
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kota Kota merupakan satu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat
aktivitas ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan terletak pada posisi geografis tetentu dan merupakan otak dari daerah sekelilingnya (Richarson 1997 dalam Affandi 1994). Kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar dari kepadatan penduduk nasional, dengan struktur mata pencaharian non agraris dan tata guna yang beraneka serta kerapatan pembangunan yang tinggi. Kota juga merupakan suatu kebulatan tatanan dari lingkungan sistem fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang saling berintegrasi secara sederhana. Soeriaatmaja (1977) mengemukakan bahwa kota merupakan suatu system yang sifatnya sementara dan sewaktu-waktu sulit untuk dikontrol. Kota dipandang sebagai suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktifitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta mempunyai otoritas tertentu dalam suatu Negara, terletak pada posisi geografis tetap dan merupakan pusat dari daerah sekitarnya. Kota dapat dipelajari melalui berbagai fungsinya yang terorganisir dalam skala waktu dan ruang tertentu dalam alam. Kota yang baik merupakan kesatuan organis yang diterapkan sesuai dengan keadaan kondisi teknologi dan cita-cita serta didasarkan pada masa lalu dan berorientasi ke masa depan. Kota pada akhirnya akan mati atau mundur apabila tidak merupakan suatu organisasi yang dapat berfungsi dan berkembang serta dapat menyediakan kebutuhan sumberdaya alam seperti air minum, listrik, sarana transportasi,
sistem
pembuangan
sampah
serta
regenerasi
kota
bagi
kesejahteraan penduduk kota.
2.2.
Pengaruh Perkembangan Kota terhadap Lingkungan Perkembangan kota tidak merata dengan laju pertambahan penduduk
antara satu kota dengan kota yang lainnya. Perkembangan kota terutama dipengaruhi oleh sektor jasa perdagangan, pemerintahan dan lain sebagainya yang menimbulkan krisis permukiman, air minum, kesehatan, limbah karena berhubungan dengan pemusatan banyaknya manusia dalam kurun waktu yang relatif pendek dalam ruang yang terbatas (Anonymous 1987). Selanjutnya dikatakan bahwa pesatnya perkembangan permukiman wilayah kota beserta
7 perkembangan kebudayaannya menambah beban daya dukung lingkungan yang relatif tetap yang sementara memang masih dapat diatasi dengan teknologi, namun akibat sampingan akan berlipat ganda. Menurut Richardson (1977) dalam Affandi (1994), perkembangan kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, industri, pelayanan dan sebagainya menyebabkan homogennya perekonomian ruang. Perekonomian di daerah terdapat kawasan yang penduduknya lebih padat, bagian dalam kegiatan industri lebih besar dan pandangannya lebih kosmopolitan daripada daerah-daerah sekitarnya. Gejala yang terjadi di suatu daerah terjadi pemusatan penduduk dan industri, barang-barang dan jasa, komunikasi dan lalu lintas, juga kegiatankegiatan bisnis komersil. Terjadinya pemusatan kegiatan atau aglomerasi ini selain memberikan keuntungan ekonomi juga memberikan dampak negatif yaitu semakin semakin meningkatnya jasa-jasa transportasi di daerah-daerah pusat kegiatan maka pencemaran pun meningkat. Perkembangan kota yang semakin pesat ditandai dengan semakin meningkatnya aktifitas manusia seperti pengolahan lahan, permukiman, perindustrian dan sebagainya, menyebabkan kualitas lingkungan hidup di perkotaan cenderung menurun. Menurunnya kualitas lingkungan merupakan perubahan lingkungan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan penduduk perkotaan (Tarsoen, 1991 dalam Affandi 1994).
2.3.
Pencemaran Lingkungan Hidup Perkotaan Fasilitas di kawasan perkotaan seperti aliran listrik, air minum,
perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain serba terbatas dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pertambahan penduduk yang cepat. Pesatnya kemajuan teknologi dan pembangunan kota secara terus menerus, menyebabkan kualitas lingkungan hidup kota cepat menurun. Salim (1986) menjelaskan bahwa pengaruh pembangunan kota terhadap lingkungan adalah lebih besar dari pada pengaruh pembangunan desa. Pengaruh itu meliputi: (1) Perubahan keadaan fisik lingkungan alam menjadi lingkungan buatan manusia, (2) Perubahan lingkungan sosial masyarakat yang hidup dalam kota. Pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkat radiasi bahan-bahan fisika dan kimia
8 dan jumlah organisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi manusia secara langsung ataupun tidak langsung melalui air, hasil pertanian, peternakan, bendabenda dan perilaku dalam apresiasi dan rekreasi di alam bebas (Soerjanegara dan Indrawan1998). Sedangkan menurut Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan adalah massuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Menurut Grey dan Deneke (1978), bahan pencemar lingkungan dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu bahan pencemar fisika (physical pollutans), bahan pencemar kimiawi (chemical pollutans) dan bahan pencemar fisiologi (physiology pollutans). Ada 9 jenis zat pencemar udara yang paling utama, yaitu: sulfur oksida (SO2), ozon (O3), senyawa flour ethylene, oksigen nitrogen, ammonia, chlorine, hidrogen clorida, partikel-partikel dan herbisida. Bentuk pencemaran yang terjadi di perkotaan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: pencemaran dalam bentuk padat, bentuk cair, bentuk gas, dan kebisingan. Bentuk-bentuk pencemaran tersebut lebih sering disebut sebagai pencemaran tanah, air, udara dan kebisingan. Pencemaran udara terjadi akibat meningkatnya jumlah pemakaian kendaraan bermotor serta asap yang dihasilkan pabrik-pabrik yang berada di perkotaan.
2.4.
Produksi Karbondiksida Industri, dan Penduduk.
dari
Kendaraan
Bermotor,
Kegiatan
Pertumbuhan populasi manusia yang terus meningkat berimplikasi pada peningkatan aktivitas yaitu; industri, kendaraan bermotor serta dari sisi manusia itu sendiri. Sejauh ini di Kabupaten Belu belum terdapat penelitian menyangkut kontribusi dari masing-masing kegiatan dalam menghasilkan karbondioksida. Hasil penelitian Marianah (2006) di Kota Depok tentang jumlah emisi karbondioksida per hari dari penduduk, kendaraan bermotor, dan industri disajikan pada Tabel 1.
9 Tabel 1. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Cibinong Bojonggede Gunung Sindur Parung Gunung Putri Total
147260.29 190338.04 290471.02 360235.79 127046.47 96996.21 151880.66 169689.95 62986.56 68883.96 118809.93 1784598.8
180974.74 203369.83 344220.41 470041.98 168456.00 122361.60 161201.54 178161.83 67012.05 73241.25 131321.71 2100362.9
238228.86 222143.91 431666.50 670197.85 245387.06 166788.33 174525.19 190119.24 72782.38 79482.70 150077.28 2641399.2
335903.78 248067.16 572846.17 1044205.59 392697.50 245649.73 192738.86 206200.78 80698.95 88037.70 177332.34 3584378.5
473625.86 277015.54 760199.67 1626930.48 628441.15 361798.64 212853.34 223642.61 89476.62 97513.50 209537.12 4961034.5
Tabel 2. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Cibinong Bojonggede Gunung Sindur Parung Gunung Putri Total
122199.76
134523.70
157200.28
187277.18
217049.02
145653.24 102919.56 1631858.1 579837.04 193289.02 92572.04 17970.34
192407.28 129899.42 2620205.7 906009.82 204073.14 101560.50 19643.26
257723.72 166051.22 3968908.1 1385816.8 266220.90 113173.12 21876.80
339826.38 214394.82 5678115.8 1985700.9 343956.10 128113.52 24766.42
420992.50 261880.92 7376758.9 2585284.0 421539.46 142615.58 27328.34
20831.46 53361.28 16265.24 2976757.1
18398.84 53392.56 22633.30 4402747.5
15390.96 53481.48 31168.02 6437011.3
11984.48 9588.78 53581.28 53679.72 42159.96 52388.70 9009876.8 11569105.9
Keterangan : *) Berdasarkan estimasi laju kendaraan bermotor dari tahun 1999 s/d tahun 2002
Tabel 3.
Jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri
No. Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Cibinong Bojonggede Gunung Sindur Parung Gunung Putri Total
Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr) 8577.81 14276.47 22087.08 42414.90 55237.66 6671.63 39534.84 9094.68 13881.24 19600.46 24780.34 28552.94 33780.24 40101.36 46328.36 49560.68 58204.07 71458.20 90999.24 112257.18 5718.54 9883.71 16890.12 29304.84 40982.78 18108.71 31847.51 55867.32 97168.68 140766.94 79106.47 106524.43 154609.56 226726.92 306479.92 5718.54 6589.14 7795.44 9254.16 10691.16 13343.26 16472.85 24685.56 38559.00 53455.80 3812.36 5490.95 7795.44 12338.88 16036.74 120089.34 146059.27 183192.84 232896.36 286879.46 335487.68 463436.18 587256.48 833645.58 1088716.46
Keterangan : *) Berdasarkan estimasi laju pertumbuhan industri dari tahun 1999 s/d tahun 2002
10 2.5.
Perlunya Pengembangan Hutan Kota Kegiatan di perkotaan yang memberikan limbah dalam bentuk padat, cair,
gas maupun debu yang mencemarkan udara menyebabkan kualitas lingkungan hidup di kota semakim lama semakin menurun. Pembangunan jalan dan permukiman yang memberikan dampak penuruman kemampuan tanah untuk menyerap
dan
menampung
air,
transportasi
yang
memberikan
gas
karbodioksida, sulfurdioksida serta kebisingan udara. Untuk memperbaiki dan mutu lingkungan hidup di kota dapat dilakukan dengan efisiensi dan efektif melalui pengembangan hutan kota. Faktor-faktor dasar lingkungan alami dalam wilayah perkotaan yang harus diperhatikan (Purnomohadi, 1987) antara lain: 1)
Kualitas udara yagn sangat dipengaruhi oleh pola lalu lintas kota, adanya ruang terbuka yang relatif luas sehingga memungkinkan adanya sirkulasi udara bagi setiap kelompok bangunan. Aliran udara berupa hembusan angin akan melindungi kualitas air.
2)
Perlunya pengelolaan air, terutama air permukaan pada daerah-daerah penampungan air, sungai, kanal, waduk dan rawa dalam satu sistem, termasuk penyediaan air bersih, penampungan air buangan yang kemudian dapat diproses melalui instalasi pemurnian air buangan.
3)
Pengelolaan
limbah
padat
di
tempat
yang
khusus
dan
harus
dipertimbangkan pula yang dapat menjadi sumber bahan mentah dari buangan-buangan tadi. 4)
Diharapkan terciptanya derajat kebisingan yang serendah mungkin dengan mengenali faktor yang mempengaruhinya, seperti lalu lintas, penghijauan, kepadatan penduduk serta penumpukan fasilitas kota.
5)
Adanya kehidupan alami dalam habitat ciptaan maupun alami bagi berbagai jenis satwa yang tidak berbahaya.
6)
Adanya berbagai fasilitas umum seperti peninggalan sejarah kejayaan kota, energi listrik, sarana kesehatan, pendidikan, transportasi, perdagangan, peristirahatan, rekreasi dan sebagainya. Interaksi antara klorofil dan bantuan sinar matahari, tumbuhan mampu
mengubah zat karbondioksida dari udara dan air dari tanah menjadi karbohidrat dan oksigen. Proses ini dikenal dengan nama fotosintesis (Anonymous 1987: Bernatzky 1978: Soekotjo 1976). Proses tersebut sering dinyatakan sebagai berikut:
11 sinar matahari 6CO2 + 12 H2O
C6H12O6 + 6H2O + 6O2 klorofil
Satu hal yang paling esensial dari proses fotosintesis selain pembentukan karbohidrat adalah pembentukan oksigen yang diperlukan dalam proses pernapasan (respirasi) semua makhlik hidup. Agar proses respirasi dan fotosintesis bejalan lancar, maka adanya keseimbangan antara produsen oksigen dan konsumen oksigen mutlak diperlukan. Kota-kota besar dan daerah yang padat penduduknya keseimbangan tersebut harus konstan, karena perubahan dalam waktu yang singkat atau perubahan sedikit saja akan dapat dirasakan akibatnya. Keberadaan pereduksi yang bersifat permanen sangat dibutuhkan pada kondisi demikian. Pereduksi yang dipandang permanen adalah vegetasi pohon, mengingat pohon memiliki daur yang cukup panjang dan dapat memproduksi oksigen yang cukup banyak (Anonymous 1987). Faktor lain yang dapat menunjang perlunya pengembangan hutan kota adalah adanya kecenderungan penduduk kota yang mendambakan suasana alami. Hal ini bias ditunjukkan dengan semakin banyaknya penduduk kota yang pergi ke luar kota untuk mencari kenyamanan dan keindahan alam terbuka baik di waktu libur maupun di waktu senggang (Anonymous 1987). Pengembangan hutan kota memerlukan penyediaan lahan sebagai faktor yang paling penting karena hutan kota diperuntukkan untuk masyarakat luas, maka tentu saja penyediaan lahan tersebut menjadi kewajiban penduduk kota dan pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, maka lahan hutan kota dapat dikategorikan dalam 2 kelompok berdasarkan status pemiliknya (Fakuara 1987), yaitu: 1)
Lahan hutan kota harus disediakan pada lokasi-lokasi atau tempat-tempat umum, seperti tempat komunitas (pertokoan, pasar dan lain-lain), jalan raya serta tempat-tempat umum lainnya. Untuk keperluan ini, lahan harus disediakan oleh pemerintah yang dapat berasal dari tanah negara maupun tanah milik.
2)
Lahan hutan kota yang harus disediakan pada tempat-tempat perorangan, termasuk dalam kelompok ini seperti pemukiman, industri dan tempattempat lainnya yang dibebani hak milik. Untuk keperluan ini, lahan harus disediakan oleh masyarakat baik secara individu maupun badan hukum seperti pengembang (developer), pengusaha dan lain-lain.
12 Perencanaan tata ruang bertujuan untuk memanfaatkan ruang/lahan secara optimal dan tidak merusak lingkungan. Agar kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang dengan sumber-sumber yang terdapat di dalamnya dapat memberikan hasil yang optimal, maka perlu diatur ketetapan lokasi agar kegiatan tersebut senantiasa saling menguntungakan dan sedikit mungkin menimbulkan dampak yang negatif melalui perencanaan tata ruang. Penataan ruang diharapkan dapat terwujud kehidupan dan penghidupan yang aman, tertib, lancar, sehat dan efisien dalam lingkungan yang serasi dan daya dukung yang selaras, seimbang dan serasi. Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan hutan kota harus berpedoman pada perencanaan tata ruang kota (Fakuara, 1987). Rencana penetapan lokasi hutan kota harus didasarkan pada Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Lokasi hutan kota tersebut harus dibangun pada tempat yang tepat dengan luas yang cukup, sehingga daya dukung wilayah dapat memenuhi kebutuhan terhadap hutan kota tersebut. Beberapa komponen pendukung yang diperlukan untuk pembangunan dan pengembangan hutan kota antara lain (Dahlan 2004): 1)
Tersedianya kebun pembibitan yang dapat menyediakan bibit secara massal;
2)
Ilmu dan teknologi yang memadai;
3)
Pelayanan jasa konsultasi untuk umum;
4)
Dukungan dari penentu kebijakan;
5)
Peraturan–perundangan;
6)
Dukungan masyarakat;
7)
Tenaga Ahli.
2.6.
Pengertian Hutan Kota Definisi hutan kota menurut Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan
bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1987) adalah lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan-kegunaan proteksi, rekreasi dan kegunaan khusus. Menurut Suwardi (1987) hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya ada di dalam kota, di sekitar pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat permukiman yang berkembang karena proses urbanisasi. Hutan kota merupakan cabang khusus dari hutan yang pengelolaannya melalui pendekatan multi disiplin
13 dan dikembangkan secara intensif di dalam daerah perkotaan untuk keuntungan dan kepentingan warga kota. Hutan kota merupakan suatu pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya bagi kepentingan penduduk perkotaan. Oleh karena itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan (menurut Undang-Undang Pokok Kehutanan, UUPK No. 5 Tahun 1967 yaitu lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempunyai luas areal minimal 0,25 ha berada di kota dapat tersusun dari komponen hutan dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota sepert taman, jalur hijau serta kebun dan pekarangan (Fakuara 1987). Haeruman (1987) mengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota dengan hutan tersebut berlangsung terus menerus. Sebagai contoh, Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda di Bandung, Taman Hutan Raya Muh. Hatta di Padang dan di Bengkulu sedang dalam taraf pembangunan. Ekosistem hutan kota tumbuh secara ekologis sesuai dengan lingkungan perkotaan, artinya terdiri dari tegakan yang berlapis-lapis di mana masing-masing fungsinya meniru hutan alami. Pemeliharaan relatif sedikit dibandingkan misalnya dengan lapangan oleh raga, taman-taman umum dalam skala luas yang sama. Secara rinci, komposisi tegakan dalan hutan kota dijabarkan secara teknis sesuai dengan fungsinya, antara lain: biologis, estetis, rekreatif, ekologis, fisis, sosial, sebagai cadangan untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dalam pembangunan kota jangka panjang (Purnomohadi 1987). Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah bahwa tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan kota dikelola sesuai dengan sifat hutan yaitu tidak berdiri sendiri sehingga satu kelompok tegakan dengan yang lainnya terjadi dalam satu komunitas yang sesuai atau paling tidak mirip dengan ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai ”urbanity” maka ada keterbatasan dalam pembentukan hutan kota tersebut seirama pula dengan perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kehidupan penduduk kota. Kalau hanya berupa kumpulan pohon yang sejejer tidaklah dapat dikatakan hutan kota. Tanaman yang ada harus asosiasi, dimana akan terdapat saling berinteraksi dalam mencapai suatu
14 kesimbangan. Oleh karena itu, perlu ditentukan beberapa jenis minumum vegetasi yang tumbuh baru disebut hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat dikatakan hutan kota, karena jika tidak ada manusia tanaman pot itu akan mati. Hutan kota harus berinteraksi langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air, dan air tanah (Haeruman 1987).
2.7.
Tipe-tipe Hutan Kota Fakuara
(1986)
menyatakan
bahwa
tipe-tipe
hutan
kota
yang
dikembangkan terdiri dari: 1)
Hutan Kota Permukinan, bentuknya antara lain: a) Taman bermain untuk anak-anak, tanaman yang ditaman di dalamnya ialah dari kombinasi yang ketinggiannya berbeda, disusun sedemikian rupa untuk memenuhi fungsi keindahan, meredam suara, produksi oksigen dan meningkatkan kenyamanan; b) Tanaman Tepi Jalan, dibuat untuk tujuan meredam suara, menguapkan air genangan, meningkatkan kenyamanan serta menahan silau sinar kendaraan di malam hari. Jenis pohon yang di pakai untuk tujuan ini adalah jenis pohon yang tidak terlalu tinggi, tajuknya rimbun serta tingkat transpirasinya relatif tinggi; c) Tanaman Pekarangan, tanaman yang dipakai untuk pekarangan adalah paling sedikit untuk tujuan menghasilkan oksigen yang diperlukan untuk pernapasan manusia. Tujuan penanamannya sangat tergantung kepada pemilik pekarangan; d) Tanaman Pelengkap Gedung Bertingkat. Karena terbatasnya lahan yang tersedia di perkantoran, maka pemukiman pada gedung bertingkat sudah mulai dulaksanakan oleh Perumnas. Suasana pemukiman seperti ini sangat monoton dan kaku. Oleh karena itu, pada setiap lantai dan pada lokasi tertentu dari lantai tersebut harus tersedia tanaman yang membawa ke arah alami serta nyaman. Jenis tanaman yang dipakai untuk kepentingan ini ialah jenis tanaman yang berdaun rindang tetapi ringan serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga diharapkan produksi oksigennya tinggi;
2)
Hutan Kota Kawasan Industri, bentuk-bentuknya antara lain: a) Tanaman Kawasan Industri, dibuat dengan tujaun untuk istirahat para pekerja sebagai tempat yang terlindungi secara alamidari kebisingan,
15 debu dan gas buangan industri. Untuk dapat meredam debu udara, maka dipilih tanaman yang dapat menggugurkan daun, mempunyai tajuk yang rimbun dan rapat serta berdaya tahan tinggi. Untuk menyerap gas, maka dipilih tanaman yang mempunyai stomata yang banyak, serta mempunyai ketahanan yang baik terhadap gas tertentu, mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat, dan tahan terhadap serangan angin. Jika digunakan untuk meredam kebisingan maka dipilih tanaman yang rimbun daunnya, sedangkan untuk penghasil oksigen ialah yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat; b) Tanaman penyangga. Pada umumnya kawasan indusri merupakan kawasan yang tidak terlepas dari kawasan berpenduduk, baik dalam bentuk pemukiman, pertokoan, pertanian dan sebagainya. Tanaman penyangga ini dibuat berdasarkan perhitungan gerakan angin yang bisa bergerak di sekitar kawasan. Oleh karena itu penanaman pohon ini harus memperhatikan tinggi gerakan angin serta jarak dari daerah yang perlu dilindungi; 3)
Hutan Kota Rekreasi/Wisata. Hutan kota rekreasi mempunyai peranan sebagai tempat bermain anak-anak, tempat istirahat orang dewasa, perlindungan dari gas dan debu, serta sebagai produsen oksigen. Lokasi dari hutan kota rekreasi ini diusahakan dapat memenuhi fungsi sebagai rekreasi ‘jam’ artinya dapat didatangi dan dinikmati tidak lebih dari satu jam dari ujung daerah pemukiman dengan kendaraan bermotor;
4)
Hutan Kota Konservasi. Hutan konservasi mengandung arti untuk mencegah kerusakan, perlindungan dan pengawetan terhadap objek tertentu dalam alam. Hutan kota konservasi tentunya juga bermaksud untuk mencegah kerusakan, melindungi dan melestarikan sumberdaya alam tertentu di perkotaan. Suatu kota seringkali mempunyai kekhasan pada satwa tertentu yang perlu dipertahankan kelestariannya. Oleh karena itu perlu
adanya
tindakan
konservasi
dengan pembuatan hutan kota
konservasi. Jenis tanaman yang ditanam tentunya disesuaikan dengan kebutuhan satwa, misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari makan, ataupun untuk bertelur. Ciri khas lain suatu kota juga dapat juga berupa tebing-tebing yang curam ataupun tepi-tepi sungai yang perlu dijaga supaya tidak terjadi longsor yang bisa membahayakan pemukiman. Termasuk dalam hutan konservasi ini ialah jalur-jalur hijau sepanjang jalan
16 tol ataupun jalan raya biasa, di terminal, dan di pusat perbelanjaan serta tepi rel kereta api; 5)
Hutan Kota Pusat Komunitas Sosial/Kegiatan. Kota juga mempunyai pusatpusat komunitas sosial/kegiatan seperti pusat pertokoan, gedung-gedung pertemuan, perkantoran dan lain-lain. Hutan kota yang berada di wilayah ini bertujuan untuk memberikan sentuhan estetika, sebagai pelindung, produsen oksigen dan lain-lain. Di dalam pusat komunitas, hutan kota juga dapat dijadikan sebagai alat sosialisasi penduduk kota.
2.8.
Peranan Hutan Kota Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah dan sejuk, namun
aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumberdaya alam, yang selanjutnya akan membaktikan jasa-jasa berupa kenyamanan, kesegaran, terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan serta sehat dan cerdasnya warga kota tersebut (Dahlan 2005). Hutan kota selain dapat memberi keteduhan dan keindahan, juga dapat memberi manfaat dalam mengurangi dampak negatif pencemaran udara, dan mengatasi masalah erosi tanah (Robinette 1972 dalam Supriadi, M. Ichsan, Sri L. D., Handari W. 1991). Menurut Dahlan (2005), hutan kota mempunyai peranan sebagai berikut: (1) Indentitas kota, (2) Pelestarian plasma nutfah, (3) Penahan dan penyaring partikel padat dari udara, (4) Penyerap dan penjerap partikel timbal, (5) Penyerap dan penjerap debu semen, (6) Peredam kebisingan, (7) Mengurangi bahaya hujan asam, (8) Penyerap karbonmonoksida (9) Penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen, (10) Penahan angin, (11) Penyerap dan penepis bau, (12) Mengatasi penggenangan, (13) Mengatasi intrusi air laut, (14) Produkti terbatas, (15) Ameliorasi iklim, (16) Pengelolaan sampah, (17) Pelestarian air tanah, (18) Penapis cahaya silau, (19) Meningkatkan keindahan, (20) Sebagai habitat burung, (21) Mengurangi stress, (22) Mengamankan pantai terhadap abrasi, (23) Meningkatkan industri pariwisata, dan (24) Sebagai hobi dan pengisi waktu luang. Menurut Grey dan Denake (1978), bahwa dengan menerapkan konsep hutan kota akan memberikan 4 jenis manfaat, yaitu: 1)
Perbaikan Iklim. Kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim seperti, radiasi matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban. Dengan adanya hutan kota maka akan memberikan kondisi yang lebih baik
17 bagi kehidupan manusia seperti, penyesuaian suhu lingkungan dan penurunan kecepatan angin; 2)
Pemanfaatan Bidang Keteknikan. Pemanfaatan bidang keteknikan ini berupa, perlindungan terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS), pengendalian terhadap erosi, pengendalian air buangan, meredam kebisingan, menyaring polusi udara, pengendalian sinar langsung dan pantulan serta pengendalian lalu lintas;
3)
Pemanfaatan di Bidang Arsitektur. Pengaturan struktur pohon-pohon hutan kota di sekitar gedung atau bangunan akan memberikan hasil yang lebih baik, terutama apabila dipandang dari sudut seni dan keindahan;
4)
Pemanfaatan di Bidang Estetika. Keberadaan tanaman hutan kota dalam berbagai bentuk, struktur dan warna akan mempercantik dan memperindah wajah kota. Kota identik dengan kepadatan penduduk, sehingga seringkali kondisi
lingkungan hidupnya kurang terpelihara dengan baik yang berakibat terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di kawasan pemukiman kota perlu diterapkan prinsip-prinsip hutan kota dalam bentuk (Fakuara 1987): 1)
Membuat taman bermain untuk anak-anak. Jenis tanaman yang dapat ditanam di taman ini bervariasi dengan ketinggian yang berbeda, disusun sedemikian rupa untuk memenuhi keindahan, meredam suara, produksi oksigen dan meningkatkan kenyamanan;
2)
Membuat tanaman tepi jalan atau jalur hijau. Tanaman ini bertujuan untuk meredam suara, menyerap genangan air, meningkatkan kenyamanan serta menahan sinar silau pada malam hari;
3)
Tanaman pekarangan. Tanaman ini bertujuan untuk produksi oksigen, keindahan serta beberapa tujuan lain berdasarkan keinginan pemiliknya;
4)
Tanaman pelengkap gedung bertingkat. Tanaman ini bertujuan untuk produksi oksigen dan untuk memberikan kondisi yang alami dan nyaman. Hutan kota juga dapat dimodifikasi untuk memberikan pelayanan rekreasi
bagi penduduk kota. lokasi hutan kota rekreasi diusahakan merupakan “rekreasi jam”, yang artinya dapat didatangi dan dinikmati tidak lebih dari satu jam perjalanan dari ujung daerah pemukiman dengan kendaraan bermotor. Pohon-pohon yang dapat ditanam untuk kawasan rekreasi yaitu pohon yang terdiri dari jenis-jenis berdaun lebar yang rindang untuk memberikan
18 keteduhan yang besar. Sedangkan menurut Grey dan Denake (1978), pohonpohon yang dapat ditanam untuk hutan kota dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: (a) pohon-pohon kecil dengan tinggi kurang dari 9.14 m, (b) pohon-pohon sedang dengan tinggi 9,14-18,28 m dan (c) pohon-pohon tinggi dengan tinggi lebih dari 18,28 m.
2.9.
Kriteria dan Bentuk Hutan Kota Kriteria hutan kota terdiri dari sasasran dan fungsi penting, vegetasi,
intensitas manajemen serta status. Berdasarkan kriteria tersebut, maka bentuk hutan kota dapat dikelompokkan menjadi 4 bentuk, yaitu Taman Kota, Kebun/Pekarangan, Jalur Hijau dan Hutan (Fakultas Kehutanan IPB 1987). Secara terinci kriteria untuk masing-masing bentuk tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan menurut Dahlan (2005) bentuk hutan kota dikelompokkan menjadi; a) Jalur Hijau, b) Taman Kota, c) Kebun dan Halaman, d) Kebun Raya, Hutan Raya dan Kebun Binatang, e). Hutan Lindung. Taman kota dibangun tidak sekedar untuk tujuan keindahan saja melainkan dapat pula berfungsi sebagai produsen oksigen. Luas taman dapat bervariasi dari beberapa m2 sampai puluhan hektar. Kebun/pekarangan juga harus ditanami jenis tanaman yang mampu mendukung paling tidak kebutuhan oksigen penduduk kota, tetapi disamping itu juga dapat untuk tujuan yang bernilai ekonomis. Jalur hijau yang dibangun untuk menyusun hutan kota dapat berupa jalur beberapa meter sampai puluhan kilometer. Jenis tanaman yang akan ditanam tergantung pada tujuan dan fungsi tertentu, misalnya peredam kebisingan, pengendali pencemaran udara, penangkal angin dan produksi oksigen.
Tabel 4.
Kriteria dan Bentuk Hutan Kota Bentuk No. Kriteria Kebun/ Taman Kota Pekarangan 1. Sasaran Kawasan Pemukiman, industri, daerah subur pemukinan dan pusat kegiatan
Jalur Hijau
Hutan
Jalan dan kawasan konservasi
Areal konservasi
19 Lanjutan Tabel 4 No. Kriteria
Taman Kota
Bentuk Kebun/ Pekarangan Produksi O2 dan atas tujuan ekonomi, ameliorasi iklim, estetika
2. Fungsi yang penting
Ameliorasi iklim, estetika, produksi O2, rekreasi dan peredam polusi
3. Vegetasi
Tanaman hias
Buah-buahan, tanaman hias, pohon lainnya.
4
Tinggi
Sedang
5
Intensitas manajemen Status Pemilikan Pengelola
Umum dan Perorangan perorangan Perorangan 6 Dinas Pertamanan/ Perorangan Sumber: Fakultas Kehutanan IPB, 1987.
2.10.
Jalur Hijau
Hutan
Ameliorasi iklim, produksi O2, peredam kebisingan, peredam bau
Hidroorologis, ameliorasi iklim, produksi O2, fungsi konservasi lain. Tumbuhan Pohon dari semua dengan strata(perdu, tajuk lebar semak, dan pohon) perakaran intensif. Sedang Rendah Umum
Umum
Dinas Pertamanan
Dinas Kehutanan/ Perorangan
Pengelolaan Hutan Kota Program hutan kota adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan
mengelola vegetasi kayu (pohon) bagi kepentingan kesejahteraan fisiologik, sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup ke dalam rumusan tersebut di atas ialah program komprehensif untuk mendidik penduduk kota tentang peranan vegetasi berkayu (pohon) di dalam lingkungan perkotaan. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, program tersebut merupakan sistem pengelolaan dan kegunaan yang mencakup daerah-daerah perkotaan, sylvikultur dan umumnya dan produksi kayu serat. Hutan kota memerlukan suatu pengelolaan yang tertib agar keberadaan dan fungsinya terpelihara sepanjang masa. Pengelolaan hutan kota melibatkan 3 unsur, yaitu individu, masyarakat dan pemerintah kota. Pemerintah yang dalam hal ini dapat berupaya Dinas Pertamanan Kota atau Dinas Kehutanan, harus membuat perencanaan hutan kota untuk lahan yang tersedia di lahan milik pemerintah maupun lahan milik masyarakat dan juga milik individu. Setiap unit lahan yang berada pada suatu kota harus dibuatkan perencanaannya oleh
20 pemerintah, kemudian jika lahan itu milik pemerintah pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah, tetapi jika lahan itu milik masyarakat dilaksanakan oleh masyarakat, dan jika lahan itu milik individu masyarakat maka pelaksanaannya dilakukan oleh individu masyarakat dengan bimbingan teknis dari pemerintah supaya benar pelaksanaannya (Fakuara 1986). Menurut Grey dan Denake (1978) ada tiga macam kegiatan di dalam pengelolaan hutan kota, yaitu: 1)
Penanaman. Penanaman harus mempunyai prioritas tertinggi, terutama kegiatan penebangan pohon-pohon yang sudah tua/mati. Kegiatan penanaman ini harus memperhatikan komposisi jenis, lokasi dan desain;
2)
Pemeliharaan. Pemeliharaan hutan kota dapat didefinisikan sebagai penerapan kebutuhan-kebutuhan praktis bagi kesehatan yang layak, kekuatan, dan sesuai dengan lingkungan perkotaan. Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian pertumbuhan, perusakan, serta serangga dan penyakit;
3)
Pembersihan. Kegiatan pembersihan meliputi penyingkiran pohon-pohon yang mati, pohon-pohon yang membahayakan baik secara fisik berupa posisi yang tidak menguntungkan, maupun karena merupakan sumber penyakit, serta pohon-pohon yang terlalu berdesakan. Studi kajian perencanaan aspek yang dapat diteliti meliputi: lokasi, fungsi
dan pemanfaatan, aspek teknik silvikultur, arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, teknik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi: (1) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim, dan lain-lain); (2) Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3) Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTK, RTH), serta (5) Bahan-bahan penunjang lainnya (Dahlan 2005). Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota yang terdiri dari tiga bagian, yakni (Dahlan 2005): 1)
Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.
2)
Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masing-masing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata letaknya.
3)
Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya.
21 Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian di suatu daerah mungkin berbeda dengan daerah lainnya. Salah satu bentuk pengorganisasian pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 2. Walikota dan Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan perencanaan
dan
pengembangan
pengendalian
dipegang
hutan oleh
kota
di
Bappeda
wilayahnya. Tingkat
II.
Bidang Untuk
pelaksaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya (Gambar 2). Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanaannya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan.
Penanggung Jawab Kepala Wilayah (Walikota/Bupati) Pelaksana Dinas Kehutanan Dinas Tata Kota Dinas Pertanian Dinas Kebersihan dan Pertamanan Dinas Perkebunan Perusahaan Negara Swasta Kampus/Sekolah Perorangan, dan lain-lain
Gambar 2.
2.11.
Perencana Bappeda Tk II
Bagan Organisasi Pengelolaan Hutan Kota (Sumber: Dahlan 2004)
Pemilihan Jenis Pohon Tinjauan dari segi ekologi, jenis tanaman yang baik ditanam untuk
reboisasi maupun penghijauan suatu kota adalah jenis-jenis tanaman asli daerah setempat. Sedangkan jenis-jenis exot baik dari luar daerah harus menyesuaikan
22 diri dengan iklim dan lingkungan hidup yang baru. Kalau jenis-jenis asli tidak memungkinkan untuk ditanam misalnya tidak tersedianya biji yang cukup untuk jenis-jenis asli, atau tidak sesuai dengan pola perencanaan industri daerah yang bersangkutan dan sebagainya, maka dipilih jenis yang cocok baik dalam arti ekonomi maupun arti ekologi. Aspek ekologis menyangkut kecocokan dengan daerah yang bersangkutan harus diperhatikan persyaratan tumbuh daerah dalam hubungannya dengan faktor iklim, tanah, tinggi tempat dari permukaan laut, toleransi jenis tersebut akan cahaya matahari, keadaan lapangan dan vegetasi yang ada (Ishemat dan Andry 1998 dalam Septriana 2005). Keadaan ekologis yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis pohon (Ishemat dan Andry 1998 dalam Septriana 2005) adalah sebagai berikut: 1) Iklim. Tiap jenis pohon mempunyai persyaratan tumbuh yang berhubungan erat dengan iklim. Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan pohon adalah hujan. Untuk daerah-daerah dengan musim kering yang sedang sampai kuat, pemilihan jenis dibatasi oleh ketahanan pohon akan kekurangan air; 2) Klasifikasi yang sesuai dan dipergunakan secara luas di Indonesia adalah tipe hujan menurut Schmidt dan Ferguson, yaitu:
Q=
Jumlah rata − rata bulan kering (< 60mm) x 100% Jumlah rata − rata bulan basah (> 100mm)
Perhitungan Q maka setiap tipe iklim mempunyai sifat hujan yang dapat dilihat pada Tabel 5, berikut:
Tabel 5. Tipe Iklim A B C D E F
Tipe Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson Nilai Q Keadaan Iklim 0 – 0,413 Tanpa musim kering hutan hujan tropika yang selalu hijau 0,413 – 0,333 Tanpa musim kering hutan hujan tropika yang selalu hijau 0,333 – 0,600 Musim kering nyata, merupakan peralihan hutan hujan tropika ke hutan musim. 0,600 – 1,000 Musim kering agak keras. Merupakan hutan musim yang pohon-pohonnya menggugurkan daun. 1,000 – 1,670 Musim kering keras. Hutan savana 1,670 – 3,000 Musim kering keras. Hutan savana
23 Lanjutan Tabel 5 Tipe Iklim Nilai Q G 3,000 – 7,000 H 7,000
1)
Keadaan Iklim Daerah kering. Padang pasir Daerah kering. Padang pasir
Tanah. Kesuburan dari tanah sangat penting untuk diperhatikan karena setiap jenis tanaman membutuhkan kesuburan yang berbeda-beda untuk dapat mencapai hasil yang maksimal. Pohon menurut habitat tertentu untuk tumbuh dengan baik, misalnya Tectona grandis baik tumbuhnya di tanah-tanah kapur yang bersifat alkalis (jenis tanah grumusol) dengan bonita yang cukup tinggi dan baik untuk tanaman ini. Pinus merkusii dapat tumbuh di segala jenis tanah kecuali pada tanah-tanah yang tidak meneruskan air;
2)
Tinggi Tempat. Setiap jenis tanaman mempunyai kisaran tumbuh terhadap tinggi tempat dari permukaan laut. Penanaman sebaiknya dilakukan pada tempat-tempat dimana tinggi tempatnya termasuk dalam kisaran tumbuh tanaman tersebut dimana jenis tanaman dapat tumbuh maksimum;
3)
Kebutuhan akan Cahaya Matahari. Penanaman suatu jenis pohon harus memperhatikan kebutuhan jenis tersebut akan cahaya matahari. Jenis pohon ada yang bersifat toleran, setengah toleran dan intoleran. Jenis pohon yang bersifat toleran maksudnya ialah jenis pohon tersebut
untuk hidupnya membutuhkan naungan dari jenis pohon lain. Jenis pohon yang bersifat setengah toleran maksudnya adalah jenis tersebut pada waktu mudanya membutuhkan baungan dan setelah dewasa membutuhkan pembebasan tajuk dari pohon lain. Jenis pohon yang bersifat intoleran maksudnya adalah jenis-jenis tersebut untuk hidupnya membutuhkan cahaya matahari penuh. 1)
Keadaan Lapangan. Keadaan lapangan penting diperhatikan dalam pemilihan jenis pohon dalam reboisasi ialah dalam hal apakah jenis yang akan dipilih pada lapangan tersebut jenis-jenis untuk tujuan hutan produksi, hutan lindung, memperbaiki kesuburan tanah atau gabungan dari masingmasing tujuan;
2)
Drainase. Drainase tanah perlu diperhatikan untuk mengetahui dapat atau tidaknya jenis-jenis yang akan dipilih tumbuh dengan hasil yang memuaskan pada tanah-tanah yang berdrainase jelek atau tidak. Apakah jenis-jenis yang akan dipilih dapat tumbuh di tanah-tanah yang becek, sewaktu-waktu tergenang atau tidak dapat tumbuh sama sekali. Hal yang
24 perlu diperhatikan keadaan daerah yang akan direboisasi apakah ekosistem hutam rawa, hutan gambut dan sebagainya dalam hubungannya dengan jenis-jenis yang akan dipilih.
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara
Timur selama 10 bulan yaitu dari bulan Agustus 2005 hingga Mei 2006. Lokasi penelitian tertera pada Gambar 3.
Gambar 3.
3.2.
Citra Landsat TM Kabupaten Belu Tahun 2002 dan 2003
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi; data citra
landsat ETM Kabupaten Belu tahun 2002, peta administrasi, peta topografi, peta tata guna lahan, layer penduduk, layer kendaraan bermotor, layer batas administrasi kecamatan, layer jalan, layer tutupan lahan, Software Arc View dan ER mapper, rencana umum, tata ruang Kabupaten Belu dan rencana ruang terbuka hijau Kabupaten Belu, sedang alat-alat yang digunakan yaitu : Altimeter, kamera dan alat tulis.
26 3.3.
Metoda Penelitian
3.3.1. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Primer 3.3.1.1.Data Primer Data primer yang dikumpulkan diantaranya yaitu mengenai persepsi dan pengertian dari para Stakeholders terhadap keberadaan dan pemeliharaan hutan kota, kecocokan jenis pohon dan keadaan hutan kota secara nyata dilapangan (Lampiran 2). Teknik dan prosedur pengumpulan data sosial dilakukan menggunakan wawancara
A.
Wawancara Wawancara dimaksudkan guna mengetahui bagaimana persepsi dan
perhatian serta komitmen stakeholders dalam hal ini masyarakat, instansi pemerintah, dan pihak-pihak yang terkait terhadap pengembangan hutan kota. Untuk wawancara pemilihan responden dilakukan dengan cara Purpossive Random Sampling. Jumlah responden yang ditetapkan meliputi; BAPPEDA(3 responden), Bapedalda (3 responden), Dinas Kehutanan (3 responden), LSM ( 3 responden ), perguruan tinggi (3 responden ), masyarakat ( 3 responden ) Wawacara dilakukan berdasarkan panduan daftar pertanyaan yang ditujukan untuk pengisian kuesioner AHP. Wawancara terhadap stakeholders diantaranya mengenai beberapa hal sebagai berikut: 1) Perhatian dan pendapat Stakeholders mengenai hutan kota. 2) Keinginan Stakeholders untuk memelihara hutan kota. 3) Kegiatan yang dilakukan Stakeholders dalam pengembangan hutan kota 4) Pendapat Stakeholders mengenai program pemerintah dalam usaha. pengembangan hutan kota.
B.
Kecocokan Jenis Pohon Kecocokan jenis-jenis tanaman yang telah ditanam di Kabupaten
Beludapat dilihat berdasarkan kepada : 1) Syarat literatur jenis-jenis tanaman yang ada di lapangan dicocokan dengan syarat literatur yang diperoleh dengan melakukan studi pustaka; 2) Syarat lapangan (kondisi lapangan) diantaranya yaitu: a)
Ketinggian dari permukaan laut yang diukur dengan menggunakan alat altimeter.
b)
Jenis tanah.
27 c)
Type hujan, yang disesuaikan berdasarkan klasifikasi type hujan menurut Schmidt dan Ferguson yaitu :
Q=
jumlah rata-rata bulan kering (<60 mm) jumlah rata-rata bulan basah(>100 mm)
Hasil perhitungan nilai Q di atas menggambarkan tipe iklim.
C.
Observasi Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran nyata kondisi biofisik,
terutama yang dapat dilihat secara visual mengenai jumlah, luas dan letak taman-taman kota, jalur hijau, dan kepadatan kendaraan bermotor di Kabupaten Belu.
3.3.1.1.Data Sekunder Pengambilan data sekunder dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif tentang kondisi biofisik dan kondisi klimatologis yang akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan pola pengembangan hutan kota. Sumber data sekunder diperoleh dari hasil wawancara. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait antara lain, BAPPEDA, Bappedalda, Dinas kehutanan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Perhubungan, Dinas PERINDAG, Dinas Kependudukan, PMD,
Badan Pusat
Statistik, Badan Pertanahan Kabupaten Belu, Kimpraswil, Bakosurtanal, DEPHUT RI. 1) Kondisi Biofisik: a)
Jumlah luas dan lokasi taman-taman kota
b)
Jumlah luas dan lokasi jalur hijau
c)
Luas Tata guna lahan
d)
Jenis tanaman yang ada di hutan kota di Kabupaten Belu
e)
Jumlah laju pertumbuhan penduduk
f)
Jumlah dan laju perkembangan Kendaraan bermotor
g)
Jumlah dan laju pertumbuhan Industri.
2) Kondisi Klimatologis a) Suhu udara b) Kelembaban relatif
28 c) Curah Hujan d) Kecepatan angin.
3.3.2 Pengolahan Data 3.3.2.1.Kebutuhan Luas Hutan Kota berdasarkan Instruksi Menteri dalam Negeri No 14 Tahun 1998 Analisa kebutuhan luas hutan kota berdasarkan Inmendagri No. 14 Tahun 1998 tentang penataan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan yaitu dilihat luas hutan kota yang harus tersedia di lingkungan perkotaan dan biasanya ditetapkan dalam persentase dari total luas areal kota yang bersangkutan (40 %).
3.3.2.2 Kebutuhan Luas Hutan Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002 Menurut peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2002 ditentukan bahwa hutan kota paling sedikit 10 % dari luas seluruh kawasan kota. Penetapan porsi bagi pengembangan hutan kota tersebut diperlukan sebagai upaya penyeimbang kemajuan pembangunan.
3.3.2.3.Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah Karbondioksida. Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbondioksida (Gerakis, 1974 dalam Wisesa, 1988 ). Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbodioksida yang dikeluarkan merupakan total karbodioksida yang dihasilkan dari aktifitas manusia, kendaraan bermotor, dan industri. Rumus : L = ∑ atvt + ∑ btwt + ∑ctzt K Keterangan :
L = Luas hutan kota (ha) at = karbondioksida yang dihasilkan setiap manusia (kg/jam) bt = karbondioksida yang dihasilkan perkendaraan bermotor (kg/jam) ct = karbondioksida yang dihasilkan perindustrian (kg/jam) vt = jumlah penduduk (jiwa) wt = jumlah kendaraan bermotor (unit) zt = jumlah industri (unit) K = konstanta yang menunjukkan bahwa kemampuan hutan kota dalam menyerap CO2 adalah 75 kg /ha/jam.
29 Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbondioksida dilandasi beberapa pertimbangan sebagai berikut : 1)
Karbondioksida yang dihasilkan dari aktifitas setiap manusia adalah relatif sama yaitu 0,96 kg/hari (Grey and Deneke, 1978).
2)
Waktu aktif kendaraan bermotor adalah : kendaraan penumpang 3 jam/hari,kendaraan beban dan bus 2 jam/hari, sepeda motor 1 jam/hari (Wisesa,1998) sedangkan waktu aktif untuk industri adalah 8 jam/hari (Diana, 2005). karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan penumpang 40,54 kg/hari,kendaraan beban 50,16 kg/hari, kendaraan bus 100,32 kg/hari, sepeda motor 0,68 kg/hari (Arismunandar, 1980 dalam Wisesa, 1988).
3)
Karbondioksida yang dihasilkan dari kegiatan industri dihitung berdasarkan jumlah bahan bakar yang dibutuhkan dalam proses produksi.
4)
Menurut Smith et al (1981) dalam Wisesa (1988) seorang manusia mengoksidasi 300 kalori perhari dari makanannya dan menggunakan sekitar 600 liter CO2. Jadi setiap harinya seorang manusia menghasilkan 480 liter CO2 atau 0,968 kg CO2 (0,40333 kg CO2/jam). Menurut Bernatzky (1978), tumbuhan mampu mengubah karbondioksida
dari udara dan mengubah air dari tanah menjadi karbohidrat dan oksigen dengan perantaraan klorofil dan bantuan sinar matahari yang disebut dengan fotosintesis. Proses fotosintesis tersebut akan menyerap karbondioksida yang dihasilkan manusia, kendaraan bermotor, industri dan aktifitas manusia lainnya. Proses tersebut dinyatakan sebagai berikut: 6 mol CO2 + 12 mol H2O + 675 kal 4 gr
216 gr
1 mol C6H12O6 + 6 mol O2 + 6 mol H2O 180 gr
192 gr
108 gr
Melalui persamaan proses fotosintesis tersebut, maka akan didapatkan rasio antara jumlah karbondioksida yang digunakan dengan jumlah oksigen yang dihasilkan pada proses fotosintesis tersebut. Menurut Bernatzky (1978), pohon dengan tinggi 25 m dan diameter tajuk 15 m, akan mempunyai luas tutupan tajuk 160 m2 dan luas permukaan luas daun sebesar 1600 m2, akan melakukan fotosintesis (per jam) sebagai berikut: CO2 (intake)
2352 gr (total CO2 dari udara 4800 m2)
H2O (intake)
960 gr
C6H12O6 (produksi)
1600 gr
O2 (out put)
1712 gr.
30 Sedangkan untuk 1 Ha lahan hijau dengan total luas permukaan daun 5 Ha akan membutuhkan 900 kg CO2 untuk melakukan fotosintesis selama 12 jam, dan pada waktu yang sama akan menghasilkan 600 kg O2. Menurut Grey dan Deneke (1976) setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang dihembuskan oleh napas sekitar 200 orang dalam waktu yang sama sebagai hasil pernapasannya.
3.3.2.4 Analisis Spasial Hutan Kota 3.3.2.4.1. Pembangunan Basis Data Untuk pembangunan basis data digunakan peta digital dengan 8 jenis layer, yaitu layer penduduk, layer kendaraan bermotor, layer industri, layer batas administrasi kelurahan, layer penutupan vegetasi, layer jalan dan layer sungai.
3.3.2.4.2. Pengolahan Digital Data Landsat 1.
Pra Pengolahan Citra
a).
Koreksi Geometrik Koreksi geometric dilakukan dengan mengunakan sejumlah titik kontrol
lapangan (Ground Control Point). GCP adalah suatu titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya (Jaya, 1997). Titik-titik control atau CGP yang digunakan adalah objek-objek yang mudah dikenali dan tidak mudah berubah dalam jangka pendek. Koreksi geometric juga dapat dilakukan dengan rektifikasi citra ke peta atau citra ke citra. b). Perbaikan/penajaman Citra (Image Enhancement) Penajaman citra bertujuan untuk memperbaiki mutu kualitas dari citra sehingga dapat meningkatkan pula informasi yang diperoleh dan memudahkan dalam kegiatan interpretasi citra. Menurut Jaya (1997) penajaman citra dapat dilakukan secara bertahap. Tahap (1) perbaikan spasial (Spatial Enhancement), pada tahap ini bertujuan memperbaiki citra (memberikan efek kontras, penajaman tepi dan penghalusan citra), (2) perbaikan radiometric (Radiometric Enhancement) adalah teknik memperbaiki citra mengunakan nilai individu pixel yang bersangkutan saja dan diharapkan dapat memperbaiki tampilan visual. Operasi ini juga disebut spesifik pixel atau operasi titik yang meliputi LUT (Look Up Table), histogram citra, reduksi hase, nois dan infersi citra, (3) perbaikan spekteral, adalah teknik perbaikan citra mengunakan masing-masing pixel dari
31 sejumlah band (basis multiband), meliputi analisis komponen utama (principle Component analysis), PCA kebalikan, Tasseled cap, decorrelation strech, RGB to HIS to RGB, dan indeks vegetasi.
2.
Klasifikasi Klasifikasi diartikan sebagai proses pengelompokan pixel-pixel ke dalam
kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan
(brightness
value/BV
atau
digital
number/DN)
pixel
yang
bersangkutan. Berdasarkan tekniknya, klasifikasi manual dilakukan dengan mengelompokan pixel ke dalam satu kelas yang telah ditetapkan interpretel berdasarkan nilai kecerahan maupun warna dari pixel. Klasifikasi kuantitatif pengelompokan pixelnya dilakukan oleh komputer secara otomatis berdasarkan nilai kecerahan contoh yang diambil sebagai training area (Jaya,1997) Kelas-kelas penutupan lahan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi beberapa kelas yaitu hutan lebat, semak belukar, sawah, dan kebun campuran. Pemilihan kelas-kelas ini didasarkan pada kelas yang mempunyai vegetasi sebagai suplai oksigen.
3. Analisis Spasial Evaluasi Ketersedian RTH dan Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Produksi CO2. Untuk permodelan spasial pegembangan hutan kota diperlukan data tabular berupa jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor, jumlah hewan ternak, dan jumlah industri dengan unit per kecamatan (data diambil dari hasil perhitungan luas hutan kota berdasarkan jumlah CO2). Selain itu diperlukan data spasial berupa peta administrasi kelurahan, peta tata guna lahan, peta sungai, peta jalan dan citra landsat TM. Dari data tabular dan data spasial dibuat layer penduduk, layer kendaraan bermotor, dan layer industri, yang kemudian dianalisis spasial untuk menghitung menghitung jumlah karbondioksida masing-masingnya, sehingga didapat jumlah karbondiosida total. Sedangkan ketersediaan oksigen dilihat dari data citra landsat TM yang diklasifikasikan menjadi hutan (pohon), semak belukar, sawah, dan kebun campuran yang menyatakan ruang terbuka hijau (RTH) yang ada di Kabupaten Belu. Dari jumlah CO2 total dan ketersediaan oksigen total dapat diketahui kebutuhan luas hutan kota dan ketersedian RTH
32 yang ada. Analisis spasial ini dilakukan untuk tahun 2003 dan juga untuk perkiraan kebutuhan luas hutan kota tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020.
Mulai Pengumpulan data
-
Data Tabular Jumlah penduduk - Jumlah kendaraan -
-
bermotor -
Layer Penduduk Kendaraan Bermotor Industri
Data Spasial Peta batas administrasi kelurahan Peta tata guna lahan Peta sungai Peta jalan Citra landsat TM
Klasifikasi Citra Landsat TM - Hutan Lebat - Semak Belukar - Sawah - Kebun Campuran
Analisis Spasial Kebutuhan Hutan Kota
Analisis Spasial Ketersediaan RTH
Kebutuhan Hutan Kota - Layer Penduduk - Kendaraan Bermotor - Industr (Overlay Analisis)
-
Ketersediaan RTH Hutan Lebat Semak Belukar Sawah Kebun Campuran
Prediksi Neraca Kebutuhan Hutan Kota dan
Selesai
Gambar 4.
Diagram Alir Analisis Spasial Prediksi Ketersediaan RTH dan Kebutuhan Hutan Kota
Neraca
33 3.3.2.5. Analysis Hierarchy Process (AHP). Analisis pendapat Stakeholders menggunakan AHP. Dalam AHP pengukuran dapat dilakukan dengan membangun suatu skala pengukuran dalam bentuk indeks , skoring atau nilai numerik tertentu . Prinsip- prinsip yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP yaitu : dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas, dan konsistensi logika. Tahapan yang mesti dilalui pada pendekatan AHP meliputi: 1)
Identifikasi Sistem, yaitu: untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan.
2)
Penyusunan struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan krireria paling bawah.
3)
Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya.
4)
Menghitung matriks pendapat individu.
5)
Menghitung pendapat gabungan.
6)
Pengolahan horizontal.
7)
pengolahan vertikal.
8)
Revisi pendapat. Struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub
tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Adapun bagan alir dari hirarki analisis dengan menggunakan AHP dalam studi seperti disajikan pada gambar 5.
34
36
GOAL
AKTOR
ASPEK
ALTERNATIF
EKL HKP PMRTH EKN
HKI
PT Pengembangan Hutan Kota
MASY
HKK
LSM SOSBUD
HKR
LEG HKPKSK KBJKN
Gambar 5. Hierarki Proses Pengembangan Hutan Kota di Kabupaten Belu Propinsi NTT
35 A.
Membuat matriks perbandingan berpasangan Perbandingan berpasangan untuk menggambarkan pengaruh relatif atau
pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang lain, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses AHP yang disarankan oleh Saaty (Saaty, 1993), sebagaimana disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Skala Banding Secara Berpasangan dalam AHP Tingkat Keterangan Penjelasan kepentingan 1 • Kedua elemen sama • Dua elemen mempunyai pentingnya pengaruh yang sama terhadap tujuan 3 • Elemen yang satu • Pengalaman dan penilaian sedikit lebih penting sedikit mendukung satu daripada elemen yang elemen dibandingkan elemen lain. lainnya. • Pengalaman dan penilaian 5 • Elemen yang satu lebih sangat kuat mendukung satu penting daripada elemen elemen dibanding elemen yang lain. lainnya. • Pengalaman dan penilaian 7 • Elemen yang satu jelas sangat kuat mendukung satu lebih elemen dibanding elemen lainnya. • Satu elemen dengan kuat 9 • penting daripada didukung dan dominan terlihat elemen yang lain. dalam praktek. • Elemen yang satu • Bukti yang mendukung elemen mutlak lebih penting yang satu terhadap elemen daripada elemen yang lain memiliki tinkat penegasan lain. tertinggi yang mungkin 2,4,6,8 menguatkan. • Nilai ini diberikan bila ada dua Kebalikan • Nilai-nilai antara dua kompromi diantara dua pilihan. nilai pertimbangan yang berdekatan . • Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingka dengan i.
36 Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 sampai 9. skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala yang terbaik dalam mengkuantifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya yang ditunjukkan dengan nilai RMSD (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation).
B.
Melakukan perbandingan berpasangan Perbandingan berpasangan dilakukan untuk memperoleh judment
seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. Bila vektor pembobotan elemen-elemen operasi A1, A2, A3, dinyatakan sebagai vektor W, dengan W= (W1, W2, W3) maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A1 dibandingkan dengan A2 dapat dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen. A1 terhadap A2, yakni W1/W2 =A12. Nilai wi/wj dengan i, j = 1,2,3 .... n didapat dari partisipan, yaitu para stakeholders yang berkompeten dalam permasalahan hutan kota. Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom W (W1,W2,W3...Wn) maka diperoleh hubungan; AW = nW .......................................................................... (1) Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut; [A – n I] W = 0 ............................................................... (2) Dimana I = matriks identitas
C.
Menghitung akar ciri, vektor ciri dan menguji konsistensinya Penghitungan terhadap akar ciri, vektor dan menguji konsistensinya jika
tidak konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Menghitung akar ciri. Untuk mendapatkan akar ciri (n) maka harus ada kondisi; [A – n I ] = 0 Contohnya; dengan menggunakan matriks A, maka:
1
a12
a21 1 a31 a32
a13
1
a23 − n 0 1 0
0
0
1 0 =0 0 1
37
1
a12
a21 1 a31 a32
a13
n 0
a23 − 0 1 0
0
n 0
0 =0 n
Hasil perhitungan akan didapatkan akar ciri; n1, n2, n3. Menghitung vektor ciri, nilai vektor ciri merupakan bobot setiap elemen. Langkah
ini
untuk mensintesis judgement dalam penentuan prioritas. Untuk
menghitung vektor ciri (W), maka akar ciri (n) maksimum hasil penghitungan diatas disubstitusikan dengan persamaan; [A – n I] = 0; dengan menggunakan normalisasi W1 + W2 + W3 = 1, sehingga bila didapatkan maksimum = 2,maka perkaliannya menjadi seperti berikut : [A
-n
1
I]
a12
a13
a21 1 a31 a32
W
1
0
a23 − 2 0
1
1
0
= 0
0 w1 0 w2 = 0 1 w3
0
Sehingga;
1- 2
a12 a13
w1
0
a21 a31
1 - 2 a23 − w2 = 0 a32 1 - 2 w3 0
Di mana pada akhir perhitungan akan diperoleh vektor ciri W1, W2, W3. Vektor tersebut memberikan informasi, pilihan skenario yang paling normal.
D.
Pehitungan Indeks Konsistensi (CI) Indeks konsistensi untuk menyatakan penyimpangan konsistensi dan
menyatakan ukuran tentang kosisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan, dihitung dengan menggunakan rumus;
CI =
λ max − n n −1
Keterangan : λmax = akar ciri maksimum; n = ukuran matriks Nilai
pengukuran
konsistensi
diperlukan
untuk
mengetahui
kekonsistensian jawaban dari key person yang akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.
38 E.
Penghitungan Consistensy Ratio (CR) Ratio konsistensi dapat dihitung dengan persamaan :
CR =
CI RI
Di mana nilai RI diperoleh dari table 7 berikut; Ukuran Matriks
Indeks Random
1 dan 2
0,00
3
0,58
4
0,90
5
1,12
6
1,24
7
1,32
8
1,41
Sumber: Saaty (1993)
F.
Sensitivitas Hasil Analisis AHP Sebagaimana sebuah analisis multikriteria, AHP menurut Triantaphyllou
and Sanchez (1997) harus dilengkapi dengan sensitivitas. Analisis sensitivitas ini digunakan untuk dapat melihat range (batasan) perubahan pendapat key person dalam pengambilan keputusan AHP, di mana dengan analisis sensitivitas dapat dilihat komponen/elemen mana dari struktur hierarki yang paling sensitif terhadap perubahan bobotnya sehingga menghasilkan perubahan alternatif.
IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN BELU 4.1.
Letak dan Luas Belu merupakan salah satu kabupaten yang ada di propinsi Nusa
Tenggara Timur yang wilayahnya terletak disebelah timur Propinsi tersebut. Posisinya sangat straregis karena berada pada persimpangan negara baru Timor Leste dengan bagian lain propinsi NTT serta pada titik silang antara Kabupaten Flores timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Adapun batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Ombai Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Timor Sebelah Timur berbatasan dengan Negara Timor Leste Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten TTU dan TTS. Secara geografis Kabupaten Belu terletak pada koordinat 124o35o12o Bujur Timur dan 8o57o49oLintang Selatan. Luas wilayah administratif Kabupaten Belu adalah 2.445.57 km (244.557 ha) atau 5,16 % luas wilayah propinsi NTT terdiri dari 12 kecamatan, 12 kelurahan dan 154 Desa. Kabupaten Belu dengan posisi yang sangat strategis karena berada pada persimpangan Negara baru Timor Leste ini setelah pengumuman jajak pendapat pada tanggal 4 september 1999, dengan hasil akhir berpisahnya propinsi termudah Timor Timur, membawa dampak yang luar biasa bagi Kabupaten Belu sebagai daerah yang berbatasan langsung. Dengan dideklarasikannya negara baru, Republic Democratic of Timor Leste pada tanggal 20 Mei 2002, membawa suasana baru dimana Kabupaten
bukan berbatasan langsung dengan suatu
Propinsi tetapi suatu Negara. Keadaan ini membawa implikasi tertentu dengan perubahan yang progresif dan dinamis. Jumlah pengungsi hingga akhir tahun 2001 berjumlah 209.980 jiwa dan berada pada titik-titik lokasi penampungan yang tersebar di 12 kecamatan. Kondisi wilayah Kabupaten Belu adalah sebagai berikut: 1)
Kondisi Fisik Wilaya, khususnya topografi. Secara topografi Kabupaten Belu merupakan daerah datar, berbukit hingga pegunungan. Berdasarkan topografinya berbagai klasifikasi ketinggian yang diperoleh dari luasan dalam prosentase terhadap luas wilayah Kabupaten Belu sebagai berikut:
Ketinggian 0 – 230 mm seluas 98.349 Ha ( 40,12 % )
Ketinggian 250 – 500 mm seluas 95.958 Ha ( 39, 12 % )
40
Ketinggian 500 – 750 mm seluas 30.710 Ha ( 12, 56 % )
Ketinggian 750 – 1000 mm seluas 17. 240 Ha ( 7, 03 % )
Ketinggian 1000 – 1.250 mm seluas 2300 Ha ( 0,94 % )
( Pemerintah Kabupaten Belu 2003 ) 2)
Geologi. Kondisi geologi di wilayah Kabupaten Belu berdasarkan proses erosional terdiri dari berbagai kelompok batuan yaitu : kelompok metamorfik, sedimen dan batuan beku. Wilayah Kabupaten Belu didominasi oleh material sedimen. Struktur geologi yang umumnya dijumpai adalah sesar(foult), kekar( joints ) dan lipatan (fold) di Kecamatan Malaka Tengah Tasifeto Timur, serta Lamaknen. Dari aspek vegetasi umumnya dihuni oleh padang rumput terbuka dengan kisaran curah hujan rata-rata 1300mm-1400mm/tahun;
3)
Jenis Tanah. Jenis tanah di wilayah Kabupaten Belu pada umumnya terdiri dari tanah Alluvial, tanah Campuran Alluvial Litosol, tanah Litosol dan campuran tanah Mediteran, Renzinz, dan Litosol. Jenis tanah Aluvial dijumpai di dataran Besikamam sepanjang pantai selatan dan sedikit di utara dan pada umumnya jenis tanah ini sangat subur karena banyak mengandung unsur hara. Tanah campuran Aluvial dan Litosol dijumpai di dataran Oeroki dan Halilulik. Jenis tanah ini unsur haranya rendah mengakibatkan kurang subur. Tanah litosol tersebar merata di Kabupaten Belu, dengan sifatnya yang asam maka berdampak pada kandungan unsur haranya yang rendah-sedang. Campuran tanah Mediteran, Renzina dan Litosol tersebar diwilayah Kecamatan Malaka Tengah bersifat porous sehingga banyak dijumpai air tanah.
4.2. 1)
Hidrologi Air Tanah. Air tanah yang ada di Kabupaten Belu terdiri dari air tanah bebas dan dan air tanah tertekan. Air tanah tertekan berada jauh di dalam tanah dengan lapisan yang kedap air dan pada setiap Kecamatan di Kabupaten Belu banyak kemungkinan di jumpai air tanah tertekan. Sedangkan air tanah bebas umumnya dijumpai di dataran rendah dekat pantai pada endapan alluvial dan dekat dengan permukaan air tanah;
2)
Air Permukaan. Air permukaan yaitu air yang melalui permukaan tanah seperti sungai dan mata air. Aliran sungai yang besar umumnya mengalir sepanjang tahun, sedangkan mata air berupa sumur yang kering pada
41 musim kemarau. Kedua air permukaan ini dipengaruhi oleh fluktuasi curah hujan. Sungai-sungai besar yang berada di kawasan Kabupaten Belu meliputi; sungai Benenain, Sungai Talau, Sungai Baukama, serta sungai-sungai kecil. Sungai-sungai tersebut mengalir ke arah selatan dan utara Kabupaten Belu. Sungai yang kering di musim kemarau terjadi akibat fluktuasi curah hujan dan dikontrol oleh geologi dan morfologi wilayah.
4.3.
Iklim Iklim di Kabupaten Belu pada umumnya kering (semi arid) dengan musim
hujan yang sangat pendek terjadi selama bulan Nopember-Maret dan musim kemarau antara bulan April – Oktober setiap tahun. Curah hujan di Kabupaten Belu rata-rata 644.58 mm/tahun yang berlangsung singkat yaitu selama bulan Nopember-Maret dengan jumlah hari hujan berkisar antara 100-150 hari setahun dengan rata-rata suhu udara harian antara 24 – 34 C.
4.4.
Vegetasi Tipe vegetasi di Kabupaten Belu sangat beragam, mencakup hampir
semua tipe Vegetasi yang terdapat
di Pulau Timor. Tipe-tipe vegetasi yang
penting adalah hutan pegunungan tropik (tropical montain forest), hutan musim tropik (tropical monsoon forest), belukar, hutan terpencar, sarana dan vegetasi budidaya. Berdasarkan vegetasi yang ada terdiri dari beberapa komunitas dangan jenis vegetasi yaitu : 1)
Komunitas hutan pegunungan tropis di wilayah Kabupaten Belu terdapat di satuan kawasan pegunungan Lakaan yang membentang dari Utara hingga Selatan wilayah daratan tipe-tipe vegetasi hutan yang merupakan catchment area.
2)
Komunitas Tumbuhan Hutan Pantai, Komunitas Hutan pantai yang ada di sekitar pesisir pantai utara dan pantaiselatan terdiri atas tumbuhan Bakau.
3)
Komunitas Tumbuhan Pemukiman, Tumbuhan yang ditemui di daerah pusat kota, terdiri dari bermacam-macam jenis tanaman budidaya yaitu: a) Tanaman pelindung seperti:Tanaman Hias misalnya; Bougenville, Evrygreen,dan sebagainya. b) Tanaman buah-buahan seperti mangga, jeruk,jambu-jambuan, asam kelapa dan sebagainya.
42 4.5.
Kondisi Sosial Ekonomi Budaya
4.5.1. Penduduk Penduduk menjadi dasar untuk melakukan kegiatan perencanaan pembangunan, karena dengan memperhatikan kondisi penduduk akan dapat dilakukan perkiraan kebutuhan penduduk terhadap ketersediaan
fasilitas
penunjangnya. Kondisi penduduk Kabupaten Belu pada tahun 1990 sebanyak 216.060 jiwa dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 291.549 jiwa. Hal ini berarti bahwa selama 9 tahun terakhir ini penduduk Kabupaten Belu telah bertambah rata-rata 3.803 jiwa atau 1,76 % tiap tahunnya. Sedangkan kepadatan penduduk per km2 terus meningkat yakni 88,3 km2 pada tahun 1990 menjadi 118,61 km2 pada tahun 2002. Dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan Kota Atambua yakni sebesar 662.64 jiwa km2, sedangkan kepadatan terendah di Kecamatan Kakuluk Mesak yakni sebesar 43,60 jiwa/km2. Pada periode tahun 2001- 2002, rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Belu. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Belu perkecamatan Tahun 2001 dan 2002 disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Belu Perkecamatan tahun 2001 dan tahun 2002 Penduduk (Orang) Laju Pertumbuhan Kecamatan ( % Tahun ) 2001 2002 Lamaknen 26853 18753 -0,042 TASTIM 27407 24018 -0,018 RAIHAT 10489 8673 0,188 TASBAR 30674 21528 -0,052 Kakaluk Mesak 10879 8733 0,128 Kota Atambua 49536 46233 0,097 Malaka Timur 43306 29784 -0,038 Kobalima 22295 15580 0,036 Malaka Tengah 37926 30732 -0,030 Sasitamean 30240 20127 -0,101 Malaka Barat 78104 54533 -0,072 Rinhat 18264 12855 0,068 TOTAL 385973 291549 0,163
Sumber BPS KABUPATEN Belu, SP 2000 DAN 2001
Jumlah penduduk menurut SP 2002 yaitu 291.549 jiwa dengan laju pertumbuhan 0,163 %. Dilihat dari persebaran penduduk di Kabupaten Belu menunjukkan adanya pertumbuhan penduduk pada 6 (enam) Kecamatan,
43 sedangkan untuk 7 (tujuh) Kecamatan terjadi penurunan jumlah penduduk (pertumbuhan penduduk di bawah 0 % ).
4.5.2. Budaya Masyarakat Kabupaten Belu dalam susunan masyarakatnya terbagi atas 4 sub etnis besar yaitu: Tetun, Kemak ,Bunaq dan Dawan Manlea. Keempat sub etnis mendiami lokasi-lokasi dengan karakreristik tertentu dengan kekhasan penduduk mayoritas
penganut agama kristen katolik. Masing-masing etnik tersebut
mempunyai bahasa masing-masing sebagai berikut : Bahasa tetun, Bahasa Kemak, Bahasa Bunaq, dan Bahasa Dawan Manlea, dan mempunyai buidaya yang berbeda satu sama lain. Masyarakat Belu dapat dengan mudah hidup rukun karena aspek-aspek kesamaan–kesamaan spesifik. Mata pencaharian utama adalah bertani dan beternak yang masih dikerjakan secara intensif tradisional (data pokok). Kondisi sosial masyarakat masih cukup bersahabat sebab dari arti kata Belu berarti Sahabat. Nama ini juga tercermin dari teguhnya kebersamaan dalan beraktivitas meskipun dengan heterogennya masyarakat di Kabupaten Belu. Semangat kebersamaan terekspresi dari pola gotong royong dari masyarakat Belu yang masih dibudayakan pada semua sektor. Kekuatan hukum adat masih sangat dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga rencana apapun
yang
direncanakan
lewat
sesepuh
adat
kemungkinan untuk berhasil (monografi Kabupaten
tersebut
lebih
besar
Daerah TK II Belu
sekretariat wilayah/ Daerah tingkat II Belu 1985).
4.6.
Kondisi Hutan Kota Makam Pahlawan ini merupakan makam para pahlawan yang berada di
Kabupaten Belu yang memberikan nilai sejarah/Historis. Khususnya bagi para pahlawan yang telah berjuang bagi Propinsi yang ke 27 bagi negara Indonesia yaitu Timor-Timur yang sekarang ini merupakan Negara baru, yaitu Democratic of Timor Leste. Makam pahlawan ini terletak di Kelurahan Manumutin dan berada pada jalur menuju Bandara Haliwen yang merupakan perhatian bagi seluruh kelayak. Tanaman yang terdapat di makam pahlawan adalah tanaman semak dan rumput .
44
Gambar 6.
Taman Makam Pahlawan Seroja Haliwen
4.6.1. Jalur Hijau Jalan Tugu Gerbades Jalur hijau menuju Gerbades adalah jalan Tugu Gerbades menuju kantor Bupati yang merupakan jalur protokol. Tanaman yang ada pada jalur hijau ini adalah Evry Green, Bougenvile Bonsai , dan jenis bunga yang melata. Jalur ini panjannya 1500 m dan merupakan pusat aktivitas perkantoran dan perumahan Kodim. Sebelah kiri jalan Anggsono, Mangga, Bogenvile dan Pisang. Sebelah kanan jalan kelapa, Pisang, Angsono, Bogenvile, Nangka, Jeruk. Jalu hijau jalan tugu Gerbades disajikan pada Gambar 7. Jalur Hijau menuju Rumah Jabatan Bupati dan Wakil Bupati. jalan Gajah Mada merupakan pusat perhatian bagi seluruh masyarakat Belu maupun bagi semua pendatang dari
berbagai penjuru di wilayah indonesia maupun dari
manca negara. Jalur ini panjangnya mencapai 500 meter. Tanaman yang ada di tengah yaitu; Bogenvile, Anggsono, Gelondongan. Bagian kiri jalan terdapat jenis tanaman jeruk, mangga, kelapa, pisang anggsono. Bagian kanan jalan terdapat jenis tanaman mangga, bluntas, angsono, jeruk. Jalur hijau menuju rumah jabatan Bupati dan Wakil Bupati disajikan pada Gambar 8.
45
Gambar 7.
Jalur Hijau Tugu Gerbades
Gambar 8.
Jalur menuju Rumah Jabatan Bupati
46 Jalur Hijau menuju Bandara merupakan pusat perhatian bagi seluruh masyarakat Belu maupun bagi semua para tamu yang akan menggunakan jasa penerbangan dari berbagai penjuru di wilayah indonesia maupun dari manca negara. Jalur ini panjangnya 1000 meter. Tanaman yang ada di tengah yaitu; Bogenvile, anggsono, Gelondongan. Bagian kiri jalan terdapat jenis tanaman jeruk, mangga, kelapa, pisang anggsono. Bagian kanan jalan terdapat jenis tanaman mangga, bluntas, angsono, jeruk. Jalur hijau menuju bandara disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9.
Jalur Hijau menuju Bandara
Hutan Industri terletak di wilayah kelurahan Fatukbot dan wilayah desa Naekasa. Luasnya 100 ha, dengan jenis tanaman yaitu jati dan mahoni. Hutan sudah ada sejak zaman belanda kemudian di lanjutkan oleh pemerintahan Swapraja dan dikembangkan oleh pemerintah daerah tingkat II Belu. Hutan ini letaknya di pintu gerbang masuk ibu kota Kabupaten Belu yang mempunyai nilai estetika sendiri Kantor Bupati terletak di puncak kota Atambua yang memberikan kesan cukup nyaman, dihiasi taman yang luasnya 500 meter. Jenis tanaman yang
47 dibudidayakan seperti semak
evrygreen, pohon bonsai, dan jenis rerumputan dan
yang membuat nuansa kantor menjadi lebih menyenangkan untuk
beraktifitas. Profil Kantor Bupati Kabupaten Belu disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10.
Taman Kantor Daerah TK II Belu
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Luas Hutan Kota Berdasarkan Inmendagri No. 14 Tahun 1988 dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 Penentuan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu mengacu kepada
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa 40 % dari Wilayah Kota harus merupakan kawasan hijau. Dengan demikian luas kawasan hijau yang diperlukan di Kabupaten Belu semestinya adalah 97,822 ha, dari total luas wilayah Kabupaten Belu seluas 244.557 ha. Jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa luasan hutan kota minimal 10 % dari luas seluruh kawasan kota, berarti Kabupaten Belu harus menyediakan lahan untuk hutan kota minimal 24,455 ha. Segala aktifitas kehidupan terutama di daerah perkotaan tidak lepas dari produksi CO2, dan penghasil yang paling banyak adalah kendaraan bermotor, Industri dan manusia. Manusia mengeluarkan CO2 lewat proses pernapasan atau respirasi. Sedangkan Industri mengeluarkan CO2 lewat sisa pembakaran dan untuk kendaraan bermotor mengeluarkan lewat gas yang dikeluarkannya.
5.2.
Estimasi CO2 Penduduk di Kabupaten Belu
5.2.1. Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Tahun 2003 Jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh manusia Menurut Grey and Deneke (1976) setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang dihembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama sebagai hasil pernapasannya. Dengan kata lain setiap manusia akan menghembuskan CO2 sebanyak 0,96 kg/hari ke udara bebas. Penyebaran penduduk pada setiap kecamatan, maka kawasan yang memiliki jumlah penduduk tertinggi berada di wilayah Kabupaten Belu tepatnya Kecamatan Kota Atambua sebanyak 67.416 jiwa. Dari populasi sejumlah tersebut, karbondioksida yang dihasilkan sebesar 64.719,360 kg/hari pada tahun 2003. Peta penyebaran penduduk dan karbondioksida yang dihasikan Kabupaten Belu tahun 2003 disajikan pada Gambar 11 dan 12.
49
Gambar 11. Peta Penyebaran Penduduk Kabupaten Belu Tahun 2003
Gambar 12. Peta Penyebaran Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003.
50 Gambar 11 dan 12 dapat dilihat bahwa penyebaran kecamatan yang memiliki jumlah penduduk tinggi dapat menghasilkan karbondioksida yang cukup tinggi. Konsentrasi karbondioksida tertinggi berdasarkan analisis di setiap kecamatan yaitu kecamatan kota Atambua (64.71936 kg/hari). Sedangkan konsentrasi terendah terdapat di kecamatan Rinhat (12.589,44 kg/hari). Jumlah penduduk kabupaten Belu Per Kecamatan tahun 2003 disajikan pada Lampiran 2.
5.2.2. Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk kabupaten Belu tahun 2003 tercatat sebanya 336.480 jiwa. Kepadatan penduduknya mencapai 1,498 % jiwa per ha. Sedangkan berdasarkan hasil analisis data diketahui laju perkembangan penduduk rata-rata kabupaten Belu tahun 2001–2005, yaitu sebesar 0.163 % per tahun. Berdasarkan data penduduk
tersebut,
dapat
diperkirakan jumlah
penduduk dan karbondioksida yang dihasilkan penduduk per kecamatan, tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020, dengan menggunakan metode persamaan bunga berganda dan perhitungan karbondioksida. Tahun 2006 diperkirakan jumlah penduduk kabupaten Belu mencapai 336.480 jiwa dengan karbodioksida yang dihasilkan sebesar 323.020.80 kg/hari. Perkiraan jumlah penduduk kabupaten Belu tahun 2006,2010,2015, 2020 disajikan pada Tabel 9 dan perkiraan karbondioksida yang dihasilkan penduduk kabupaten Belu tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020 secara rinci disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. bel 9..
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Prediksi Jumlah Penduduk di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2006, 2010,2015, dan 2020 Prediksi Penduduk (jiwa) Kecamatan 2006 2010 2015 2020 Lamaknen 20399.4 17174.92 13851.33 11170.91 TASTIM 24675.45 22905.18 20869.85 19015.38 RAIHAT 17934.43 35726.51 84551.09 200100.3 TASBAR 22195.19 17928.37 13729.13 10513.45 Kakaluk Mesak 16804.99 27214.19 49715.53 90821.51 Kota Atambua 73615.7 106523.3 169058.5 268305.5 Malaka Timur 33295.81 28502.99 23470.19 19326.04 Kobalima 23360.98 26916.81 32132.1 38357.88 Malaka Tengah 31919.17 28259.05 24268.33 20841.18
51 Lanjutan Tabel 8 No
Kecamatan
2006 16818.14 51221.87 22384.28 354625.4
10 Sasitamean 11 Malaka Barat 12 Rinhat Tatal
Prediksi Penduduk (jiwa) 2010 2015 10977.44 6440.291 38048.65 26238.81 29111.68 40431.76 389289.1 504756.9
2020 3778.416 18094.59 56153.65 756478.8
Berdasarkan data penduduk tersebut dapat diperkirakan
jumlah
penduduk dan Estimasi CO2 penduduk perkecamatan di kabupaten Belu tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020. Prediksi jumlah penduduk pada tahun 2020 jumlah penduduk diperkirakan mencapai 756.479 jiwa, dengan perkiraan CO2 sebanyak 726.219,664 kg /hari (72,62 %) (Lampiran 13). Grafik perkiraan jumlah penduduk dan grafik perkiraan
jumlah penduduk dan grafik perkiraan CO2 penduduk
perkecamatan tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.
Perkiraan Peningkatan Jumlah Penduduk di Kabupaten Belu
Lamaknen
300,000 Jumlah Penduduk (jiwa)
TASTIM
250,000
Raihat Kakuluk Mesak TASBAR
200,000
Kota Atambua 150,000
Malaka Timur Kobalima
100,000
Malaka Tengah Sasitamean
50,000
Malaka Barat Rinhat
0 2003
2006
2010
2015
2020
Tahun
Gambar 13.
Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020.
52
Pekiraan Peningkatan Karbondioksida yang dihasilkan di Kabupaten Belu 800,000 Jumlah CO2 yang dihasilkan (kg/hr)
Lamaknen 700,000
TASTIM Raihat
600,000
TASBAR Kakuluk Mesak
500,000
Kota Atambua 400,000
Malaka Timur Kobalima
300,000
Malaka Tengah Sasitamean
200,000
Malaka Barat 100,000
Rinhat TOTAL
0 2003
2006
2010
2015
2020
Tahun
Gambar 14.
Grafik jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020.
Pada Gambar 14, dapat dilihat bahwa bahwa produksi CO2 di kabupaten
Belu
dari
tahun
2003
hingga
tahun
2020
menunjukkan
kecenderungan semakin meningkat. Peningkatan tersebut sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk seperti terlihat pada Gambar 13
terutama di
kecamatan kota Atambua, Malaka Barat dan Malaka Tengah.
5.3.2. Estimasi CO2 Kendaraan Bermotor. a) Produksi CO2 kendaraan bermotor tahun 2003. Selain manusia, kendaraan bermotor juga mengeluarkan CO2 berupa gas yang dikeluarkan lewat sisa-sisa pembakaran dalam aktifitasnya. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan sangat tergantung kepada waktu penggunaan mesin, jenis mesin, dan jenis bahan bakar yang digunakan. Kendaraan bermotor memproduksi CO2 dalam jumlah yang cukup besar. Oleh sebab itu pengeluaran CO2 oleh kendaraan bermotor penting diperhatikan. Untuk menghitung jumlah
53 CO2 yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor, harus diketahui terlebih dahulu jumlah dan jenis kendaraan bermotor seperti terlihat pada Tabel 9.
Tabel 9.
Jumlah kendaraan bermotor 2005 Kendaraan Kendaraan Tahun Penumpang Bus 2001 496 173 2002 611 176 2003 637 183 2004 702 190 2005 715 196 Rata-rata laju Perkembangan (%) 0,819 0,458
di Kabupaten Belu, Tahun 2001Kendaraan Sepeda Beban Motor Jumlah 592 2757 4018 690 4029 5506 743 4835 6398 886 7864 9642 934 7990 9835
0,512
4,670
6,459
Sumber : Dinas Perhubungan Kabupaten Belu, 2004.
Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata- rata presentase laju perkembangan kendaraan bermotor sebesar 6,459 %. Jenis kendaraan bermotor yang mempunyai rata-rata laju perkembangan tertinggi yaitu sepeda motor yakni sebesar 4,670 %. Peta penyebaran kendaraan bermotor di kabupaten Belu tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 15.
54
Gambar 15.
Peta Penyebaran Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu Tahun 2003
Gambar 16.
Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan Bermotor di Kabupaten Belu Tahun 2003
55 Pada Gambar 15
menunjukkan bahwa jumlah kendaraan tertinggi
terdapat di kecamatan Kota Atambua, dengan jenis kendaraan bermotor perkecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003 dapat dilihat pada lampiran 4. Perkiraan CO2 yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor di kabupaten Belu tahun 2003 yaitu 84.739,22. Kg/hari dengan produksi CO2 tertinggi yaitu 42.977,36 di Kecamatan Kota Atambua (Lampiran 14) dan Peta penyebaran karbondioksida tahun 2003 pada Gambar 16.
b).
Perkiraan/Esetimasi Jumlah CO2 Kendaraan bermotor Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020. Berdasarkan rata-rata presentase laju kendaraan bermotor dapat
diperkirakan jumlah kendaraan bermotor tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020. Jumlah kendaraan bermotor menunjukkan kecenderungan semakin meningkat terutama jenis kendaraan sepeda motor. Data pada pada tahun 2003 jumlah sepeda motor yaitu 4835 buah, sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 911.091 buah. Perkiraan jumlah masing- masing jenis kendaraan bermotor perkecamatan di kabupaten Belu tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 dapat dilihat pada Lampiran 14. Grafik perkiraan jumlah kendaraan bermotor di kabupaten Belu tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 dapat dilihat pada Gambar 17 dan peningkatan jumlah karbondioksida dapat dilihat pada Gambar 18.
Jumlah Kendaraan Bermotor (unit)
Perkiraan Peningkatan Jum lah Kendaraan Berm otor di Kabupaten Belu Lamaknen
450,000
TASTIM
400,000 350,000
Raihat
300,000
TASBAR
250,000
Kakaluk Mesak
200,000
Kota Atambua
150,000
Malaka Timur
100,000
Kobalima
50,000
Malaka Tengah
0 2003
2006
2010 Tahun
Gambar 17.
2015
2020
Sasitamean Malaka Barat Rinhat
Grafik Perkiraan jumlah kendaraan bermotor Per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
56
Perkiraan Peningkatan Karbondioksida yang dihasilkan di Kabupaten Belu Jumlah CO2 yang dihasilkan (kg/hr) 1,500,000
Lamaknen TASTIM
1,200,000
Raihat TASBAR
900,000
Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur
600,000
Kobalima Malaka Tengah
300,000
Sasitamean Malaka Barat
0 2003
2006
2010
2015
2020
Tahun
Gambar 18.
Rinhat TOTAL
Grafik Perkiraan Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
Pada Gambar 17 dapat diketahui bahwa jumlah kendaraan bermotor selalu meningkat dari tahun 2003 hingga tahun 2020 yang dipacu oleh pertumbuhan sepeda motor yang cukup pesat. Sedangkan grafik perkiraan jumlah CO2 yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dapat dilihat pada Gambar 18. melalui Gambar 18 dapat diketahui bahwa jumlah CO2 kendaraan bermotor selalu mengalami peningkatan per kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 dapat dilihat pada Lampiran 14.
5.3.3. Estimasi karbondioksida yang dihasilkan dari industri a).
Karbondioksida yang dihasilkan Industri Tahun 2003 Salah satu penyumbang karbondioksida dalam jumlah besar di Kota
Atambua berasal dari kegiatan Industri, hasil dari pembakaran bahan bakar penggerak mesin yang digunakan dalam proses Industri tersebut. Selain sebagai pusat Pemerintahan dan jasa, kota di Kabupaten Belu juga dikembangkan sebagai salah satu kawasan Industri untuk menopang pembangunan ekonomi Daerah dan Nasional. Data jumlah Indutri yang digunakan dalam peneltian ini adalah Industri yang termasuk dalam kategori Industri besar dan sedang, tidak termasuk Industri kecil dan rumah tangga. Berdasarkan data yang diperoleh dari PERINDAG
57 diketahui bahwa laju perkembangan Industri rata-rata dari tahun 2001- 2003 di Kabupaten Belu mengalami peningkatan. Jika dilihat berdasarkan penyebaran per kecamatan, maka di Kabupaten Belu yang mempunyai jumlah Industri paling tinggi adalah Kecamatan Kota Atambua sebanyak 29 Industri. Jumlah Industri di Kabupaten Belu tahun 2003 disajikan pada lampiran 6, sedangkan peta penyebaran industri tahun 2003 disajikan pada Gambar 14 . Berdasarkan data yang diperoleh dari PERNDAG/Kabupaten Belu bahan bakar dominan yang digunakan oleh Industri besar-sedang di kabupaten Belu yaitu: minyak solar, minyak bensin, minyak tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa di kabupaten Belu, yang menghasilkan karbondioksida paling tinggi dari kegiatan Industri pada tahun 2003 dijumpai pada kecamatan Kota Atambua sebanyak 7.924.830,2 kg per hari. Karbondioksida yang berasal dari Industri Kabupaten Belu tahun 2003 disajikan pada Lampiran 6. Sedangkan peta penyebaran karbondioksida disajikan pada Gambar 19. .
Gambar 19. Peta Penyebaran Industri Kabupaten Belu Tahun 2003
58
Gambar 20.
b).
Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Industri di Kabupaten Belu Tahun 2003
Perkiraan Jumlah Industri Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020. Diperkirakan pada tahun 2006 jumlah Industri paling tinggi yaitu di
Kecamatan Kota Atambua (140 Industri), dengan karbondioksida yang dihasilkannya
sebanyak
39.325.601,24
kg
per
hari.
Berdasarkan
hasil
perhitungan, diperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecamatan yang mempunyai jumlah industri yang paling tinggi
di Kabupaten Belu yaitu Kecamatan Kota
Atambua (658 Industri) dengan karbondoksida yang dihasilkan sebanyak 184.880.775,3 kg per hari. Perkiraan jumlah dan karbondioksida yang dihasilkan Kabupaten Belu per Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020 disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan hasil perkiraan dapat dilihat bahwa di Kabupaten Belu jumlah karbondiksida yang dihasilkan dari kegiatan Industri sampai dengan tahun 2020 terus mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2006 diperkirakan jumlah industri di kabupaten Belu mencapai 140 Industri dengan karbondiokida yang dihasilkan sebanyak 39.325.601,24 kg/hari. Sampai dengan tahun 2020 diperkirakan jumlah Industri bertambah menjadi 658 Industri, dengan karbondioksida yang dihasilkan sebanyak 184.880.775,3 kg/hari. Jumlah dan
59 karbondioksida yang dihasilkan Industri di Kabupaten Belu tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 disajikan pada Gambar 21 dan 22 (Grafik). Perkiraan Peningkatan Jum lah Industri di Kabupaten Belu 240 Lamaknen 210
TASTIM Raihat
Jumlah Industri (unit)
180
TASBAR 150
Kakuluk Mesak Kota Atambua
120
Malaka Timur Kobalima
90
Malaka Tengah 60
Sasitamean Malaka Barat
30
Rinhat 0 2003
2006
2010
2015
2020
Tahun
Gambar 21.
Grafik Perkiraan peningkatan jumlah industri per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
Perkiraan Peningkatan Karbondioksida yang dihasilkan di Kabupaten Belu
Jumlah CO2 yang dihasilkan (kg/hr)
90,000,000
Lamaknen TASTIM
80,000,000
Raihat 70,000,000
TASBAR
60,000,000
Kakuluk Mesak Kota Atambua
50,000,000
Malaka Timur
40,000,000
Kobalima Malaka Tengah
30,000,000
Sasitamean Malaka Barat
20,000,000
Rinhat
10,000,000 0 2003
2006
2010
2015
2020
Tahun
Gambar 22
Grafik Perkiraan jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
60 5.3.
Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah CO2
5.3.1. Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2003. Berdasarkan data jumlah CO2 berasal dari penduduk, kendaraan bermotor, industri di kabupaten Belu dapat dihitung berapa luas hutan kota yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hutan kota di Kabupaten Belu tahun 2003. Dari hasil perhitungan luas hutan kota berdasarkan jumlah CO2 diketahui bahwa luas hutan kota yang dibutuhkan di Kabupaten Belu tahun 2003 yaitu 9.258,434 ha. Secara spesifik Kecamatan yang membutuhkan hutan kota terluas yaitu Kecamatan Kota Atambua yakni 5.959,244 ha, karena Kecamatan Kota Atambua merupakan pusat seluruh aktifitas untuk Kabupaten Belu. Kebutuhan luas hutan kota per kecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003 disajikan pada Lampiran 8. Masing-masing daerah mempunyai kebutuhan hutan kota berbeda-beda sesuai dengan jumlah CO2 total di daerah tersebut. Namun realita yang berlangsung terkadang luas hutan kota yang terdapat di suatu kawasan tidak sesuai dengan luas daerah yang ada karena mempunyai jumlah CO2 yang cukup tinggi di daerah tersebut. Rasio antara luas hutan kota dengan luas daerah keseluruhan dengan unit perkecamatan di kabupaten Belu tahun 2003 menurut rasio luas hutan kota yang dibutuhkan dengan luas daerah yang ada dapat dilihat pada Lampiran 18.
61
Gambar 23.
Peta Penyebaran Kebutuhan Hutan Belu Tahun 2003
Kota di Kabupaten
Gambar 24.
Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Belu Tahun 2003
62 Gambar 23 dapat diketahui bahwa Kecamatan Kota Atambua mempunyai ratio kebutuhan hutan kota yang cukup tinggi. Hal ini karena kecamatan tersebut merupakan daerah pusat kota yang jumlah CO2 lebih banyak dari daerah lainnya. Keadaan ini berarti luas hutan kota yang dibutuhkan melebihi luas kecamatan yang ada. Dari data citra Kabupaten Belu Tahun 2003 dapat dilakukan klasifkasi terhadap hutan kota, berdasarkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada melalui perhitungan Ratio antara luas RTH dengan luas daerah dengan unit per kecamatan di Kabupaten Belu (Gambar 24) Dari Gambar 24 dapat dilihat bahwa daerah yang mempunyai ratio ketersediaan hutan kota tertinggi yaitu Kecamatan Malaka Timur dengan spesifik semak belukar dan perkebunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar hutan kota yang ada di kabupaten Belu berada di kawasan pinggir kota. Sedangkan hutan kota yang sebenarnya dibutuhkan terutama di daerah pusat kota. Oleh sebab itu perlu pengembangan hutan kota di daerahdaerah pusat kota.
5.3.2. Estimasi Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2006 , 2010, 2015, dan 2020. Berdasarkan data dari luas hutan kota di perkirakan kebutuhan
luas
hutan kota untuk tahun 2006 yaitu 44.199,092 ha (4,419 %), tahun 2010 yaitu 90.531,505 ha (9,053 %), tahun 2015 yaitu 148.999,123 ha (14,899% ) dan tahun 2020 yaitu 207.701,666 ha (20,770 %). Secara rinci perkiraan luas hutan kota per kecamatan di kabupaten Belu tahun 2006 , 2010, 2015, dan 2020 dapat dilihat pada Lampiran 17. Sedangkan peta perkiraan kebutuhan luas hutan kota menurut ratio kebutuhan luas hutan kota dengan luas daerah dapat dilihat pada Gambar 25, 26, 27, dan 28 .
63
Gambar 25.
Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2006
Gambar 26.
Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2010
64
Gambar 27.
Peta perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Tahun 2015
Gambar 28.
Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di kabupaten Belu Tahun 2020
65 Pada Gambar 25, 26, 27, dan, 28 menunjukkan bahwa dari tahun 2003 hingga 2020 kebutuhan luas hutan kota semakin meningkat terutama di daerah atau Kecamatan Kota Atambua karena memilki luas wilayah yang sangat sedikit dan merupakan pusat segala aktifitas perekonomian akibat terjadi pengalihan fungsi lahan. Luas hutan kota yang dibutuhkan harus mempertimbangkan luas daerah. Rasio antara luas kebutuhan hutan kota dengan luas daerah dengan unit per kecamatan di Kabupaten Belu dapat dilihat pada Lampiran 9. Perkiraan kebutuhan luas hutan kota ini menggunakan asumsi bahwa pertambahan jumlah penduduk, kendaraan bermotor, dan industri yang tidak mengurangi luas hutan kota yang ada, tetapi di tanah-tanah kosong bekas perladangan atau sawah dan juga di daerah rawa atau semak yang Belum di manfaatkan. Grafik perkiraan kebutuhan hutan kota masing- masing kecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003, 2006 ,2010, 2015, dan 2020 dapat dilihat pada Gambar 29.
100,000.000 90,000.000 80,000.000 70,000.000 60,000.000
2003 2006
50,000.000
2010
40,000.000
2015 2020
30,000.000 20,000.000 10,000.000
a Te ng ah Sa sit am ea M n al ak a Ba ra t R in ha t
im
ur
ak a
M al
Ti m
ba l Ko
bu a
ak a
At am
M al
Ko ta
k
M
es ak
AR Ka
ka lu
TA SB
IM
AI HA T R
TA ST
La
m ak ne
n
0.000
Kecamatan
Gambar 29. Grafik perkiraan kebutuhan hutan kota perkecamatan di Kabupaten Belu tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020.
66 5.4.
Analisa Pengembangan Hutan Kota Menurut data dari Dinas Kehutanan (2003) diketahui bahwa luas RTH
Kabupaten Belu yaitu 69.401,57 ha (6,94 %) yang terdiri dari hutan lindung 51.841,97 ha (74,70 %), hutan suaka margasatwa 4.699,32 ha (6,77 %), hutan konservasi 1.140,00 ha (4,60 %), hutan produksi 3.189,28 ha (1,64 %), cagar alam 8.531,00 ha(11,29 %). Secara rinci luas RTH dan hutan kota yang ada di Kabupaten Belu dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10.
Luas Ruang Terbuka Hijau dan Hutan kota di Kabupaten Belu Ruang Terbuka Hijau Luas Hutan Kota Hutan lindung 51.841,97 Hutan Suaka 4.699,32 Margasatwa Hutan Konservasi 1.140,00 Hutan Produksi 3.189,28 Cagar Alam 8.531,00 Total 69.401,57
Berdasarkan Tabel di atas Luas hutan kota yang ada ini melebihi perkiraan kebutuhan luas hutan kota untuk tahun 2003 yakni 9.258,434 ha (9,258 % ), sedangkan tahun 2020 yakni 207.701,666 ha (20,77 %), sehingga pengembangan hutan kota harus dilakukan mengingat jumlah populasi penduduk yang terus bertambah serta perkembangan dan pembangunan kota yang selalu meningkat yang akan mengakibatkan perubahan penggunaan lahan bervegetasi untuk pembangunan fisik kota. Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Belu Tahun 2004 mengenai penggunaan lahan di Kabupaten Belu, diketahui bahwa luas kawasan terbangun di kabupaten Belu yaitu 4.785 ha (4,95 %) dari luas kabupaten Belu. Wilayah kabupaten Belu yang terbangun
yaitu
208.551,764 ha ( 20,85 % ) dari luas kabupaten Belu. Wilayah kabupaten Belu yang belum terbangun
sebagian besar merupakan
hutan yaitu 63.394 ha
(6,33%) dan selebihnya merupakan sawah, kebun campuran, semak belukar, padang rumput dan ladang. Kawasan hutan tersebut sebagian kecil terdapat di pusat ibu kota kabupaten, selebihnya banyak terdapat di kawasan atau daerah pinggir kota. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan luas hutan kota tahun 2003 kebutuhan luas hutan kota untuk menyerap karbondioksida yang dihasilkan dari
67 aktifitas penduduk, kendaraan bermotor dan industri di kabupaten Belu maka luas huta kota yang ada diperkirakan masih mencukupi namun masih sangat perlu menambah luasan hutan kota. Supaya karbondioksida yang dihasilkan dari penduduk, kendaraan bermotor
dan industri dapat diserap secara optimal di suatu daerah maka
diperlukan hutan kota yang cukup di daerah tersebut. Tetapi upaya pengendalian ruang terbuka hijau untuk mengatasi pencemaran udara tersebut tidak mutlak harus dilakukan
dengan perluasan wilayah kota atau penambahan ruang
terbuka hijau. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 2003 jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh penduduk lebih tinggi bila dibandingkan dengan kendaraan bermotor dan industri.Dimana karbondioksida yang dihasilkan penduduk sebesar 323.020,80 kg per hari dan karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor yakni 84.739,22 kg per hari ,sedangkan karbondioksida yang dihasilkan oleh industri yakni 7.924.830,480 kg per hari.Tingginya jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh penduduk karena pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan tingginya jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor disebabkan oleh tingkat emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor terutama kendaraan beban dan kendaraan bus sedangkan karbondioksida yang dikeluarkan oleh industri jumlahnya masih sangat kecil karena jumlah industri yang ada relatif sedikit. Alternatif untuk menanggulangi permasalahan hutan kota adalah dengan menekan laju pertumbuhan penduduk , penghematan dalam penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan menekan laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang ada di Kabupaten Belu. Alternatif ini mungkin akan sangat sulit untuk dilakukan karena belum adanya aturan dalam hal pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor. Selain itu apabila perkembangan kendaraan bermotor dihambat, maka akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, karena aktifitas sosial ekonomi masyarakat akan terganggu. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalisasikan tinggi hutan kota yang ada terutama di daerah yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk dan juga kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi, serta di daerah yang ditujukan untuk kawasan industri. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menambah luasan ataupun ataupun dengan
68 menanam jenis- jenis tanaman yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap karbondoksida dan menghasilkan oksigen. Widyastan (1991) dalam
Dahlan (1992) menyatakan bahwa tanaman
yang baik sebagai penyerap CO2 Damar (Agathis alba), Daun kupu-kupu (Bauchinia purpurea), Lamtoro gung (Leucaena leucephala), Akasia (Acacia auriculiformis), dan Beringin (Ficus benjamina). Sedangkan menurut Sugiharti (1998) dalam Dahlan
(2004) mengatakan bahwa Kaliandra (Calliandra sp.),
Flamboyan (Delonix Regia), dan Kembang Merak (Caesalpinia pulcherrima) merupakan tanaman yang efektif dalam menyerap gas CO2 dan sekaligus tanaman tersebut relatif kurang terganggu oleh pencemaran udara. Selain itu bentuk dan tipe hutan kota perlu diperhatikan dalam pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu. Kepedulian dan perhatian Pemerintah dan masyarakat juga sangat penting untuk pengembangan hutan kota, karena dari hasil wawancara dengan Stakeholders diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten Belu sangat kurang sekali perhatian dan kepedulian terhadap hutan kota. Tinjauan berdasarkan kebutuhan hutan kota menurut Inmendagri no. 14 tahun 1988 dan peraturan pemerintah tahun 2002 masih mencukupi tetapi hal ini bukan berarti
saat ini Kabupaten Belu tidak perlu lagi melakukan
pengembangan hutan kota.Jika dilihat dari RTH yang tersedia, luas hutan kota yang ada sebagian besar terkonsentrasi
di pinggir kota. Hal ini yang perlu
diperhatikan adalah Kabupaten Belu terletak di batas Negara Timor Leste dan berada di pinggir pantai terdiri dari dataran, dan pegunungan.Dengan topografi yang seperti ini maka Kabupaten Belu dikatakan rawan longsor dan banjir. Oleh sebab itu perlu adanya vegetasi atau hutan atau hutan kota di daerah- daerah yang tingkat ketegangan tinggi dan juga daerah pinggir pantai sangat diperlukan. Keberadaan hutan kota di pinggir kota,jaraknya jauh dari pusat kota sehingga dampak langsung yang diharapkan dari keberadaan hutan ini terutama sebagian produsen oksigen dan pengatur iklim mikro serta fngsi lainnya menjadi kurang optimal. Kawasan kota yang menghasilkan jumlah CO2 yang tinggi di seluruh wilayah kota terutama di pusat kota Kabupaten Belu atau tempat – tempat para exodus
dari Timor Leste dampaknya menyebabkan kepadatan
penduduk cukup tinggi semakin berkurang
yaitu 662.64 jiwa/km2 (2002) dan lahan bervegetasi
akibat pembangunan gedung , dan lain sebagainya .
Sedangkan hutan kota baik dan bentuk taman kota , jalur hijau, kebun ataupun pekarangan
sangat
diperlukan terutama
untuk
mensuplai
oksigen
dan
69 mengurangi pencemaran udara di pusat kota
yang sangat rentan
terhadap
terjadinya polusi udara yang sangat padat pnduduknya dan padat lalu lintas. Untuk penambahan kawasan hutan hutan kota bisa memanfaatkan lahanlahan kosong atau daerah yang masih bisa untuk ditanami tanaman antara lain dengan melakukan penanaman jalur hijau di seluruh ruas jalan yang ada di wilayah
kota,
penghijauan
pekarangan
perumahan
masing-masing
dan
penghijauan bantaran sungai. Sementara untuk kecamatan kota Atambua yang merupakan Pusat Ibu kota perlu membangun hutan kota Tipe pekarangan di pekarangan masing-masing dan pengembangan bentuk jalur hijau di jalan menuju kearah bandara,kearah Wekatimun, kearah Terminal lolowa yang merupakan jalur jalan yang bisa dikembangkan dan sesuai dengan
Renstra
akan dibangun Taman Kota di kawasan Lapangan umum luasnya 10.000 m2 untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan sebagai tempat rekreasi bagi penduduk kecamatan Kota Atambua dan bagi kecamatan lainnya masih memenuhi kebutuhan sampai tahun 2020 .Namun perlu pegembangan khususnya bentuk Pekarangan dan jalur hijau khususnya di jalur-jalur menuju Ibu kota Kecamatan dan jalur-jalur pusat ekonomi.
Gambar 30.
Peta Jaringan Jalan Kabupaten Belu
70
Gambar 31.
Peta Aliran Sungai Kabupaten Belu
5.4.1. Analisis Analiytical Hierarchy Proses Hirarki AHP disusun atas masukkan stakeholder yang terkait dengan implementasi
Renstra
pengembangan
hutan
kota
di
Kabupaten
Belu.
Implementasi Renstra pengembangan hutan kota dikelompokkan menjadi 3 level, yaitu; level 1 sebagai aktor, level 2 sebagai aspek, dan level 3 sebagai alternatif strategi.
5.4.1.1. Aktor Untuk mencapai tujuan pengembangan hutan kota maka terdapat 9 aktor yang harus diperhatikan yaitu: 1). BAPPEDA, 2) Dinas Kebersihan dan Pertamanan, 3) Dinas Kehutanan, 4)Perguruan Tinggi, 5) LSM, 6) Masyarakat. Hasil pendapatan gabungan responden yang diolah dengan CDM menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing aktor terhadap tujuan yang ingin dicapai. Hasil analisis menunjukkan bahwa BAPPEDA
merupakan aktor
priotitas utama yang dipilih dengan memberikan bobot tertinggi yakni sebesar 0,38 (38 %) menurut persepsi pakar. Selanjutnya diikuti oleh aktor-aktor lain yang menempati proritas kedua dan seterusnya masing-masing adalah Dinas
71 Kebersihan dan Pertanaman dengan bobot sebesar 0,26 (26%), Dinas Kehutanan dengan bobot sebesar 0,22 (22%), Perguruan Tinggi dengan bobot sebesar 0,06 (6%), dan masyarakat dengan bobot sebesar 0,05 (5%).
Tabel 11. No 1 2 3 4 5 6
Bobot untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu Berdasarkan Aktor Aktor Bobot BAPPEDA 0.38 Dinas Kebersihan dan Pertamanan Belu 0.26 Dinas Kehutanan 0.22 Perguruan Tinggi 0.06 Masyarakat 0.05 LSM 0.04
5.3.1.2. Aspek Pencapaian tujuan pengembangan hutan kota dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek antara lain: aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kebijakan. Hasil pendapat gabungan responden yang diolah dengan CDM dan Microsoft Exel menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing aspek terhadap tujuan yang ingin dicapai seperti pada Tabel 12.
Tabel 12. No. 1 2 3 4
Skala Prioritas Aspek Aspek Bobot EKOLOGI 0,389 EKONOMI 0,145 SOSBUD 0,342 KBJKN 0,123
Persentase 38,9 14,5 34,2 12,3
Prioritas 1 3 2 4
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari keempat aspek menurut persepsi pakar ditemukan bahwa
aspek ekologi merupakan prioritas tertinggi dengan
robot sebesar 0,389, diikuti oleh Aspek sosial budaya dengan bobot sebesar 0,342, kemudian aspek ekonomi dengan bobot sebesar 0,145 dan terakhir aspek kebijakan dengan bobot sebesar 0,123. Dengan demikian aspek ekologi menjadi dasar utama dalam pengembangan hutan kota, disamping aspek ekonomi, sosial budaya, dan kebijakan.
72 5.3.1.3. Alternatif Aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya dan aspek kebijakan dapat menjalankan perannya dengan baik dalam pencapaian pengembangan hutan kota bila didukung oleh strategi atau alternatif yang tepat dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan kebutuhan analisis dikembangkan 5 strategi atau alternatif pengelolaan
hutan
kota
guna
mendukung
pembangunan
berwawasan
lingkungan. Kelima strategi tersebut meliputi: 1) hutan kota Industri, 2) hutan kota pemukiman, 3) hutan kota konservasi, 4) hutan kota Rekreasi, dan 5) hutan kota pusat komunitas sosial. Hasil pendapat gabungan yang diolah dengan CDM menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh para pakar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai seperti pada gambar berikut.
Gambar 32.
Bobot alternative untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu
Dalam rangka mewujudkan pengembangan responden pakar memilih
hutan kota pemukiman
hutan kota , maka
sebagai prioritas pertama
straregi, dengan memberikan bobot sebesar 0,476 (47%), diikuti kemudian masing- masing oleh hutan kota pusat komunitas sosial dengan bobot sebesar 0,257 (25%), hutan kota konservasi dengan bobot sebesar 0,147 (14%), untuk selanjunya responden pakar memberikan bobot hutan kota Rekreasi dengan bobot sebesar 0,074 (7%), serta prioritas terakhir hutan industri dengan bobot sebesar 0,047 (4%).
73 5.3.1.4. Sintesis Strategi menurut Aktor Berdasarkan
hasil
analisis strategi menurut aktor diketahui bahwa
prioritas strategi yang akan dikembangkan dalam kerangka pengembangan hutan
kota
dalam
mendukung
pembangunan
berwawasan
lingkungan
berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1) Prioritas Pertama: Hutan Kota Pemukiman Hutan kota
dapat memberikan keteduhan dan keindahan, juga dapat
memberi manfaat dalam mengurangi dampak negatif pencemaran udara, dan mengatasi masalah erosi tanah. Hutan kota pemukiman, hutan yang berada di sekitar pemukiman, bentuknya antara lain: taman bermain anakanak , taman tepi jalan, tanaman pekarangan, tanaman pelengkap gedung bertingkat. Taman bermain anak-anak berfungsi sebagai keindahan, meredam suara, produksi oksigen dan meningkatkan kenyamanan, tanaman tepi jalan didisain untuktujuan tujuan meredam suara, menyimpan air, meningkatkan kenyamanan serta menahan silau sinar kendaraan di malam hari. Tanaman pekarangan berfungsi sebagai penghasil oksigen dan tujuan lain sangat tergantung kepada pemilik pekarangan. Tanaman pelengkap gedung dirancang dengan pertimbangan karena terbatasnya lahan yang tersedia di perkantoran maka pada setiap lantai dan pada lokasi tertentu dari lantai tersebut
tersedia tanaman yang membawa nuansa alami serta
nyaman ruangan gedung. Penerapan konsep hutan kota tersebut dapat memberikan 4 jenis manfaat yaitu : 1) perbaikan iklim, 2) pemanfaatan bidang keteknikan, 3) pemanfaatan di bidang arsitektur,4) pemanfaatan dibidang estetika. Oleh karena itu harus dilakukan perencanaan yang bertahap yaitu: 1) jangka pendek yang memuat gambaran tentang hutan kota pemukiman yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya, 2) rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masing-masing komponen fisik hutan kota pemukiman yang hendak dibangun serta tata letaknya, 3) rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biaya. Bupati Belu mencanangkan hutan keluarga sebagai salah satu kebijakan yang dikeluarkan pada saat pembukaan Bulan Bakti LKMD di Desa Lasiolat Kecamatan Tastim. Ketetapan yang berlaku saat ini di Kabupaten Belu adalah bahwa setiap wilayah mengharuskan seluruh masyarakat agar
74 menanam pohon sebanyak 4 pohon di sekitar pekarangan masing-masing sebagai sumber oksigen, penyerap debu, dan peredam kebisingan. 2). Prioritas ke 2 : Hutan Kota Pusat Komunitas Sosial Hijaunya kota menjadikan suasana indah, sejuk, dan nyaman. Kota mempunyai pusat-pusat komunitas sosial/kegiatan seperti: pusat pertokoan, gedung–gedung pertemuan, perkantoran dan lain-lain. Hutan kota yang berada di wilayah ini bertujuan untuk memberikan sentuhan estetika, sebagai pelindung, produsen oksigen dan sebagainya. Didalam pusat komunitas, hutan juga dapat dijadikan sebagai alat sosialisasi penduduk kota. Menurut Dahlan (2005) peranan dari hutan kota yaitu : 1) sebagai identitas kota, 2) pelestarian plasmanutfah, 3) penahan dan penyaring partikel padat dari udara, 4) peyerap dan penjerap partikel timbal, 5) peredam kebisingan, 6) mengurangi stres, 7) meningkatkan keindahan. Hijaunya kota memang indah, namun dalam pelaksanaannya masih banyak mengalami kendala, karena terkadang bangunan yang ada tidak disesuaikan dengan tata ruang sehingga akan membuat tata kota akan semakin kurang indah
atau
kurang
bagus.
Oleh
karena
itu
pengelolaannya
perlu
memperhatikan organisasi pengelolaannya yang melibatkan sosialisasi individu, masyarakat, serta pemerintah, dengan pusat-pusat komunitas sosialnya agar dapat memahami manfaat adanya hutan kota di sekitar wilayahnya. Selain itu diperlukan suatu kebijakan yang dapat membantu menyukseskan program yang akan dituangkan dalam Renstra, selanjutnya untuk diaplikasikan. 3). Prioritas ke 3: Hutan Kota Konservasi Hutan konservasi bertujuan untuk mencegah kerusakan, perlindungan dan pengawetan terhadap objek tertentu dalam alam. Hutan kota konservasi tujuannya mencegah kerusakan, melindungi dan melestarikan sumberdaya alam di perkotaan. Jika di suatu kota memiliki bentuk topografi pegunungan dengan kelerengan yang curam atau tepi-tepi sungai perlu diupayakan agar tidak terjadi longsor yang bisa membahayakan pemukiman dan melindungi satwa-satwa yang merupakan endemik di Daerah tersebut. Dalam pengelolaannya hutan kota konservasi menjadi tanggung jawab atau wewenang dari Dinas Kehutanan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Belu berpedoman kepada Renstra. Namum implementasinya kurang mencapai apa yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena: 1)
75 musibah yang dialami oleh Kabupaten Belu dengan adanya evakuasi penduduk dari Timor-Timur menyebabkan lahan-lahan konservasi dialih fungsikan untuk kebun, pemukiman dan pemanfaatan untuk kayu bakar, 2) kurang adanya rasa tanggung jawab untuk memelihara dan memliki sehingga terjadi penebangan secara liar, 3) kondisi iklim di Kabupaten Belu dengan kecenderungan musim kemarau relatif lebih panjang, dibandingkan musim hujan. Keadaan tersebut dapat memicu terjadinya fenomena seperti kebakaran di musim kemarau dan longsor dimusim hujan. Untuk mempertahankan dan meningkatkan keadaan tersebut perlu suatu kebijakan yang membantu keberhasilan pelaksanaan Renstra, dan perlunya insentif bagi masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah atau hutan itu agar masyarakat dapat terlibat dalam pengelolaan hutan konservasi, khususnya melibatkan masyarakat adat yang masih memiliki kearifan lokal yang sangat membantu pemerintah. 4). Prioritas ke 4: Hutan Kota Rekreasi Hutan kota rekreasi mempunyai peranan sebagai tempat bermain anak-anak, tempat istirahat orang dewasa, perlindungan dari gas dan debu, serta sebagai produsen oksigen. Lokasi yang diharapkan dari hutan kota rekreasi diusahakan dapat memenuhi fungsi sebagai rekreasi “jam“ artinya didatangi dan dinikmati tidak lebih dari satu jam dari ujung Daerah pemukiman dengan kendaraan bermotor. Hutan kota
rekreasi untuk wilayah kabupaten Belu
dalam Renstra yang ada akan dibangun di kawasan lapangan umum sebagai taman kota yang merupakan pusat ibu kota kabupaten dan pusat seluruh aktifitas untuk kabupaten Belu. Pengelolaannya merupakan tanggung jawab dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan, dan Dinas Kehutanan dengan berpedoman kepada apa yang direncanakan oleh BAPPEDA
sesuai dengan program yang ada. Dalam
pengelolaan Retribusi Daerah diserahkan kepada Dinas Pendapatan dan Dinas Pariwisata. Pengelolaan selanjutnya harus memperhatikan kaidahkaidah yang terdapat dalam ekologi agar taman tersebut tetap terpelihara dan dapat dinikmati sepanjang waktu. 5). Prioritas ke 5 : Hutan Kota Industri Hutan kota kawasan industri adalah hutan yang berada: 1) di taman kawasan industri, dibuat dengan tujuan untuk istirahat para pekerja sebagai tempat yang terlindungi secara alami dari kebisingan, debu dan gas buangan
76 industri,
2)
tanaman penyangga.
Pada umumnya kawasan industri
merupakan kawasan yang tidak terlepas dari kawasan berpenduduk, baik dalam bentuk pemukiman, pertokoan, pertanian dan sebagainya. Tanaman penyangga ini ditata berdasarkan perhitungan gerakan angin yang bisa bergerak di sekitar kawasan. Oleh karena itu penanaman pohon ini harus memperhatikan tinggi gerakan angin serta jarak dari
daerah yang perlu
dilindungi. Dalam pengelolaannya perlu adanya keterlibatan dari Industri atau masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah itu dengan didampingi oleh pemerintah sebagai perencana dan pelaksana program, masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi sebagai pemberi informasi kepada pemerintah demi tercapainya Renstra tersebut dengan tidak lupa SDM pengelola yang menunjang program tersebut. Jenis tanaman yang ada di RTH kabupaten Belu ada 31 jenis, baik yang berupa pohon, perdu maupun tanaman hias. Jenis tanaman yang khas kabupaten Belu yaitu ampupu ( Eucalyptus Urophilla ) yang secara alami banyak tumbuh hampir di seluruh kabupaten Belu. Inventarisasi jenis tanaman yang ada di RTH kabupaten Belu dapat dilihat pada lampiran 13. Menurut
Dahlan
(2005),
guna
mendapatkan
keberhasilan
dalam
mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup di perkotaan, jenis tanaman yang ditanam dalam program pembangunan dan pengembangan hutan kota hendaknya dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul di kota tersebut. Pertumbuhan
tanaman yang baik serta manfaat hutan kota yang
maksimal dapat diperoleh dengan memperhatikan beberapa informasi yang perlu di perhatikan 7 persyaratan (Dahlan ,2005) diantaranya yaitu persyaratan edaphis, persyaratan meteorologis, persyaratan silvikultur, persyaratan umum tanaman, persyaratan untuk pohon peneduh jalan, persyaratan estética dan persyaratan untuk pemanfaatan khusus. Hal ini tergantung kepada fungsi dari tanaman yang ditanam sebagai hutan kota. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) dalam Septriana (2005) bahwa jenis- jenis asli adalah jenis-jenis yang terbaik, jika di tinjau dari ekologi untuk ditanam didaerah yang bersangkutan baik dalam reboisasi maupun penghijauan. Jika didatangkan jenis-jenis ekologi baik dari luar daerah maupun
77 dari luar pulau, maka jenis-jenis tersebut harus menyesuaikan diri dengan iklim dan lingkungan hidup yang baru. Jenis-jenis tersebut tidak memungkinkan untuk ditanam bila tidak tersedianya biji yang cukup untuk jenis-jenis asli, atau jenis asli tidak sesuai dengan pola perencanaan industri daerah yang bersangkutan maka dapat dipilih jenis yang cocok baik dalam arti ekonomi maupun dalam arti ekologi Jenis-jenis tanaman yang dapat dikembangkan untuk pengembangan RTH ataupun hutan kota ada 31 jenis yang tdd 8 jenis untuk perkarangan,3 untuk jalar hijau dan 20 jenis untuk taman hutan. Ada jenis-jenis tanaman yang dipilih untuk pengembangan RTH/hutan di kabupaten Belu dapat dilihat pada Lampiran 13.
5.5.2. Bentuk dan Tipe Hutan Kota Arahan pengembangan type dan bentuk RTH ataupun hutan kota disesuaikan dengan arahan pengembangan kota berdasarkan RTRW Kab, Belu dan juga tipe comunitas social dan peruntukan kawasan seperti kawasan pemukiman, pendudukan, industri, perdagangan dan jasa, serta olahraga dan reakreaksi. Misalnya kawasan pemukiman, tipe hutan kota yang harus dibangun adalah hutan kota yang tipe pemukiman yang lebih menitikberatkan pada keindahan, penyejuk , penyediaan habitat zatwa khususnya burung dan tempat bermain dan bersantai, sedangkan dikawasan industri yang memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe kawasan industri yang mempunyai fungís sebagai penyerap pencemar, tempat istirahat bagi pekerja, tempat parkir kendaraan dan keindahan. Untuk kota yang memiliki kualitas air tanah yang sedikit dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka fungsi hutan yang harus diperhatikan adalah sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air. Maka tipe hutan kota yang cocok adalah hutan lindung
dan hutan konservasi di daerah tangkap
airnya. Kabupaten Belu terbagi atas 12 kecamatan yang arahan pengembangan tipe dan bentuk hutan kotanya disesuaikan dengan arahan pengembangan wilayahnya masing-masing. Adapun alternatif tipe dan bentuk hutan kota dari masing-masing kecamatan di kabupaten Belu adalah sebagai berikut: 1)
Kecamatan Lamaknen. Kecamatan lamaknen merupakan salah satu kecamatan yang memiliki adat istiadat dan budaya yang masih Sangat
78 kuat dan memikiki tempat- tempat bersejarah yang letaknya 45 km dari ibu Kota kabupaten dan mempunyai topografi wilayah
keindahan alamnya
cukup mengagumkan dengan luas wilayah 20.180 km2 yang kepadatan penduduknya 94,16 jiwa / km2 ( tahun 2002 ) dan lahan pengembangan relatif masih ada. Kawasan ini berada di perbatasan dengan Timor Leste. Kecamatan Lamaknen ini sebagian besar merupakan hutan adat/ hutan lindung yang menyebar di berbagai desa, ada yang dekat jalan raya tapi ada juga jauh dari jalan raya, pusat-pusat kegiatan lintas daerah dan negara.Maka tipe hutan kota yang disarankan adalah hutan raya , hutan konservasi, hutan pemukiman dan hutan rekreasi, untuk mengatasi kekurangan air dan membangun tempat rekreasi yang indah bagi yang membutuhkan kenyamanan dan keteduhan; 2)
Kecamatan
Tasifeto
Timur.
Kecamatan
Tasifeto
timur
merupakan
kecamatan yang letaknya dekat pusat ibu kota kabupaten dengan luas wilayah 275.85 km2
merupakan salah satu jalur pintu gerbang menuju
Timor Leste dimana merupakan Pintu ketiga yang berpusat di haekesak. Dan hutan yang ada saat ini hutan industri / hutan jambu mete dan hutan lindung. Oleh karena itu pengembangan selanjutnya untuk daerah jalurjalur menuju daerah Timor Leste perlu dibuat jalur hijau dan
bagi
pemukiman masyarakat perlu di buat hutan pemukiman, sedangkan untuk daerah perlindungan terhadap sumber air dibuat hutan konservasi; 3)
Raihat. Raihat
adalah
daerah yang letaknya dekat langsung dengan
daerah perbatasan timor Leste dan merupakan daerah
persawahan
dimana luas wilayahnya 87,21 dengan kepadatan penduduk 90,39 Dengan luasan hutan yang sangat minim. Sesuai dengan kondisi yang ada maka hutan kota yang harus dikembangkan adalah hutan kota pemukiman, hutan konservasi sebagai penyimpan air agar lingkungan yang sehat tetap dapat dipelihara dan memberikan kenyamanan bagi penghuni wilayah tersebut; 4)
TASBAR. Kecamatan TASBAR merupakan wilayah Pembangunan III dengan pusat pengembangan di Halilulik. Kecamatan ini luasnya 284,43 dengan kepadatan penduduk 81,05 Kondisi wilayah ini letaknya tidak jauh dari ibu kota kabupaten dan merupakan daerah hulu
yang banyak
memberikan kontribusi sumber daya alam yang berarti bagi kabupaten Belu.Hutan kota diwilayah ini hutan kota industri, hutan koservasi dan hutan kota pemukiman dan sedikit hutan kota social comunity. Bentuk
79 hutan kota yang dapat dikembangkan jalur hijau, hutan pemukiman, dan hutan konservasi, kebun raya di wilayah yang masih memungkinkan untuk dikelola sesuai kebutuhan tersebut sekaligus mensuplai oksigen bagi penduduk perkotaan yang datang untuk berekreasi; 5)
Kecamatan
Kota
Atambua.
Kecamatan
kota
Atambua
merupakan
kecamatan dengan luasan terkecil dan sebagai pusat seluruh aktifitas untuk kabupaten Belu . Luas wilayah 56,18 dengan kepadatan penduduk 707,52/km2 Dan perkembangan kota yang semakin meningkat
sejalan
dengan pertumbuhan penduduk dan perekonomian yang ada. Hutan kota yang ada berupa jalur hijau , Hutan pemukiman, hutan social comunity, dan sedikit hutan industri. untuk itu perlu pengembangan
hutan kota
pemukiman, hutan kota social comunity, jalur hijau, dan taman kota; 6)
Kecamatan Kakuluk Mesak. Kecamatan kakuluk mesak merupakan salah satu jalur lintas antar negara yang luasnya 187,54 memiliki kepadatan yang terendah yaitu 43,06 dengan topografi wilayah pegunungan, daratan dan lautan yang merupakan salah satu aset sektor kelautan bagi kabupaten Belu. Hutan kota konservasi mangrove merupakan ciri khas bagi kecamatan kakuluk mesak. Sesuai kondisi yang ada maka perlu pengembangan hutan kota tipe pemukiman dan jalur hijau sebagai estetika dan penyerap debu dan sisa- sisa pembakaran dari kendaraan bermotor baik roda 2 atau roda 4 dan hutan konservasi Bakau;
7)
Kecamatan Malaka Timur. Luas kecamatan Malaka Timur 356,72 km2 dengan kepadatan penduduk.91,23 Kecamatan ini memiliki padang yang cukup luas dan hutan konservasi.ibu kota kecamatan merupakan jalur lintas bagi beberapa kecamatan dan masih banyak memiliki lahan yang bisa dmanfaatkan untuk pengembangan hutan kota. Sesuai kondisi yang ada maka hutan kota yang perlu dikembangkan di jalur lintas antar kecamatan dibuat jalur hijau dan dipekarangan masing-masing perlunya hutan kota pemukiman, sedangkan diwilayah yang lahannya masih luas dikembangkan hutan kota konservasi dan hutan industri dan kebun raya;
8)
Kecamatan
Kobalima.
Kecamatan
ini
merupakan
kecamatan
yang
berbatasan langsung dengan negaraa Timor Leste dengan luas wilayah 217,06 Dan kepadatan penduduk 77,19 Kecamatan ini memilki wilayah pegunungan , daratan dan lautan yang juga merupakan aset sektor perikanan air tawar dan lautan. Daerah ini memilki hutan konservasi dan
80 hutan lindung. Berdasarkan kondisi yang ada maka perlu dikembangkan hutan kota pemukiman, jalur hijau di lintas antar negara Timor Leste dan hutan
konservasi,
hutan
lndung
di
wlayah
yang
masih
dapat
dikembangkan; 9)
Kecamatan Malaka Tengah. Kecamatan Malaka Tengah merupakan pusat kegiatan ekonomi bagi beberapa kecamatan yang berada di sekitar kecamatan tersebut. Luas wilayah kecamatan ini 168,68, dengan kepadaan penduduk 168,96 dan memiliki
hutan konservasi, hutan lindung.
Pengembangan yang perlu dilakukan adalah hutan kota pemukman, jalur hijau di jalur lalu lintas, dan hutan konservasi
hutan lindung di daerah
yang masih memungkinkan untuk penyerapan air sehingga tidak terjadi peluapan air di Malaka Tengah; 10) Kecamatan Sasitamean. Kecamatan ini merupakan kecamatan yang banyak memiliki hutan konservasi, hutan lindung dan memberikan banyak aset hasil hutan bagi kabupaten Belu. Luas wilayah 172,30 dengan kepadatan penduduk 131,89 dan hasil hutan yang baik. Sesuai kondisi yang ada maka perlu dikembangkan hutan pemukiman,hutan industri , hutan konservasi, dan jalur hijau di jalur lalu lintas sebagai penyerap CO2 atau sisa-sisa pembakaran dari kendaraan bermotor agar kondisi lingkungan tetap bersih dan indah; 11) Kecamatan Malaka Barat. Kecamatan Malaka Barat merupakan kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dengan luas wilayah 281,87 dengan kepadatan penduduk 214,56 mendapat peringkat kedua setelah kecamatan kota Atambua. Kecamatan ini banyak memiliki Perkebunan, hutan lndung , hutan Rakyat yang banyak memberikan dampak lingkungan yang baik. Sesuai kondisi yang ada perlu dikembangkan hutan koservasi, hutan industri, jalur hijau, dan hutan pemukiman, agar bisa terjadi peresapan air dan mengindari peluapan air pada musim- musim tertentu; 12) Kecamatan Rinhat. Kecamatan ini letaknya berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan,yang banyak memilki hutan baik milik Pemerinah maupun milik rakyat yang merupakan sumber penghasilan bagi keluarga masing- masing. Luas wilayahnya 143,42 Dengan kepadatan penduduk 90,46 yang mana penduduknya masih agak jarang. Sesuai kondisi yang ada perlu pengembangan hutan kota konservasi, hutan lindung, kebun
81 raya, hutan pemukiman dan jalur hijau di jalur- jalur lalu lintas agar kondisi lingkungan yang ada dapat di pertahankan .
VI.
6.1. 1)
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Hutan kota yang terdapat di Kabupaten Belu saat ini secara kuantitas masih mencukupi kebutuhan yang disyaratkan, namun dari aspek letak atau penyebaran masih diperlukan upaya pembenahan karena sebagian besar hutan kota berada di pinggir kota. Penambahan kawasan hutan kota sangat diperlukan khususnya di ibu kota Kecamatan Kota Atambua, dengan tipe pengembangan hutan kota bentuk jalur hijau menuju bandara, terminal Lolowa dan jalur menuju Wekatimun. Bentuk selanjutnya adalah taman kota untuk dikembangkan di kawasan lapangan umum. Sedangkan untuk kecamatan lainnya dapat dikembangkan hutan kota Pemukiman, industri konservasi dan jalur hijau selebar 2 m di Ibu kota 11 Kecamatan;
2)
Berdasarkan hasil Analisis Hirarchy Process (AHP) diketahui bahwa prioritas alternatif program yang harus dikembangkan yaitu; hutan kota pemukiman sebagai prioritas terpenting.
6.2. 1)
Saran Pengembangan hutan kota perlu dilakukan di daerah–daerah pusat kota baik pusat ibu kota Kabupaten, Kecamatan dan Kelurahan/Desa
yang
merupakan pusat aktifitas dan kawasan padat penduduk, padat kendaraan bermotor dan kawasan industri yang produksi karbondioksidanya tinggi; 2)
Pemerintah Daerah perlu memperhatikan keadaan hutan kota dan juga usaha untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu;
3)
Masih perlu adanya sosialisasi oleh instansi yang berkompoten kepada masyarakat mengenai pentingnya peranan hutan kota;
4)
Perlu adanya pengembangan jenis tanaman Eucaliptus urophilla yang merupakan endemik bagi Kabupaten Belu;
5)
Perlu adanya penelitian selanjutnya
mengenai perhitungan
kebutuhan
hutan kota yang ditinjau dari segi ketersediaan air tanah, penyerap polutan dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1987. Penyusunan Konsepsi Pengembangan Hutan Kota. Kerjasama Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan dengan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Affandi, M. J. 1994. Pengembangan Hutan Kota dalam Kaitannya dengan Pembangunan Wilayah di Kotamadya Bandar Lampung [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu. 2003. Belu Dalam Angka Tahun 2002. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah . Kabupaten Belu dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu. Dahlan, E. N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden city) bernuansa Hutan Kota. IPB Press. Bogor. __________. 2005. Hutan Kota, untuk Pengelolaan dan Peningkatan kualitas Lingkungan Hidup. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Belu. 2003. Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota Atambua. Laporan Hasil Survey. Pemerintah Kabupaten Belu. Fakuara, Y. 1987. Hutan Kota Ditinjau dari Aspek Nasional. Seminar Hutan Kota DK1 Jakarta. Jakarta. Fakuara,Y., N. E. Dahlan, Y. A. Husin, I. Ekarelawan, A. S. H. Danur, Pringgodigdo dan Sigit. 1990. Studi Toleransi Tanaman terhadap Pencemar Udara dan Kemampuannya dalam Menyerap Timbal dari Kendaraan Bermotor. Makalah Seminar Hasil Penelitian di Universitas Trisakti 30 Nopember 1990. Jakarta. 52 p. Fakultas Kehutanan IPB. 1987. Konsepsi Pengembangan Hutan Kota. Bogor. 81 P. Gasman. 1984. Peranan Tumbuh-Tumbuhan dalam Menghasilkan Oksigen. Harian A.B. Jakarta. Grey, G.W., and F. J. Deneke. 1978. Urban Foresty. John Wiley and Sons. New York. Haeruman, H. 1985. Debur Lautan Kita. Kantor Kependudukan dan Lingkungan Hidup Jakarta. Jakarta. Irwan, Z. D. J. 1996. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Cidesindo. Jakarta. Jaya, N. S. 1997. Penginderaan Jauh Satelit untuk Kehutanan. Laboratorium Inventarisasi Hutan Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Bogor. Marianah, A. 2006. Estimasi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra Ikonos dan Spot: Studi Kasus di Kota Depok dan Sekitarnya [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Bogor. Pemerintah Kabupaten Belu. 2003. Data Pokok Pembangunan Daerah Kabupaten Belu. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.Belu. Pemerintah Kabupaten Belu. 2004. Profil Lingkungan Hidup Kabupaten Belu. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah. Belu.
84 Puraomohadi. 1987. Kota dan Masalah Lingkungan Hidup dalam Diskusi Penjabaran Pembangunan Berlanjut untuk Kabupaten Situbondo, Kerjasama Tim Teknis Tata Lingkungan KLH, Fakultas Kehutanan IPB, Pemda Tingkat 1 Jawa Timur, dan Pemda Tingkat II Situbondo. Situbondo. Salim, E. 1985. Lingkungan Hidup dan Lingkungan. Mutia Sumber Widya. Jakarta. Sastrawijaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. RinekaCipta. Jakarta. Septriana, D. 2005. Perencanaan Pengembangan Hutan Kota di Kota Padang, Sumatra Barat [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Smith, W.H. 1981. Air Pollution and Forest. Interaction Between Air Contaminants and Forest Ecosystems. Springer-Verlag. New York. 379 _________. 1985. Forest and Air Quality. J. Forestry. New York. 84-92 p. Soekotjo, W. 1976. Silvika. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi. IPB. Bogor. Soeriaatmaja, R.E. 1977. Ilmu Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Soerjanegara, I., Indrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor Stasiun Meteorologi Sukabitet. 2002. Data-Data Klimatologi Kabupaten Belu. Supriadi, M., L. D. Sri, W. Handari W, dan Ichsan,. 1991. Kemungkinan pendekatan hayati dalam pembangunan hutan kota untuk menanggulangi dampak hujan asam di DKI Jakarta. Lingkungan dan Pembangunan. Jurnal Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia. Jakarta. Suwardi, H. 1987. Berbagai Manfaat Hutan Kota. Harian Umum Sinar Harapan. Jakarta. Lasasmita. 1989. Masalah Pemukiman dan Ekosistemnya dalam Edisi Khusus Publikasi Lembaga Studi Hukum Kanaka. Bandung. Wisesa, S.P.C. 1988. Studi Pengembangan Hutan Kota di Wilayah Kotamadya Bogor [Tesis]. Fakultas Kehutanan 1PB. Bogor.
85 Lampiran 1. Kuisioner AHP. PETUNJUK PENGISIAN Untuk formulasi strategi Kebijakan Pengembangan Hutan Kota (Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi NTT) dilakukan dengan menggunakan teknik Analysis Hierarchy Process (AHP). Untuk pengisian kuesioner dilakukan dengan cara membandingkan faktor satu dengan fakor lainnya dengan melihat faktor mana yang lebih berperan di antara faktor-faktor tersebut dalam penentuan tingkat di atasnya. Skala yang digunakan dalam pengisian kuesioner ini ialah skala perbandingan berpasangan Saaty,sebagai berikut, No 1 2 3 4 5 6 Contoh:
Penilaian Verbal Sama pentingnya Sedikit lebih penting Penting Jelas lebih penting Sangat penting Nilai antara atau pertengahan
Intensitas kepentingan 1 3 5 7 9 2,4,6,8
Keterangan
Kebijakan Pengembangan Hutan Kota (Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi NTT). Contoh : Kebijakan Pengembangan Hutan Kota (Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi NTT)
harus
mempertimbangkan
kriteria
ekologi,
sosial,
dan
ekonomi.
Bandingkan intensitas kepentingan kriteria tersebut. Jika intensitas kepentingan kriteria ekonomi sedikit lebih penting dari pada ekologi, maka di beri nilai 3, jika ekonomi jelas lebih penting dari pada social, maka diberi nilai 7 dan jika ekologi penting dari pada sosial, maka diberi nilai 5. No
Kriteria
Intensitas Kepentingan
Kriteria
1
Ekono-
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
mi 2
Ekono-
logi 9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
mi 3
Ekologi
Eko
Sos ial
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Soc ial
86 KUESIONER PENGEMBANGAN HUTAN KOTA DI KAB. BELU PROP. NTT Untuk mempermudah pengisian, berikut dilampirkan maksud istilah-istilah yang ada dalam kuesioner. ABBREVATION DEFINITION PHUTK PENGEMBANGAN HUTAN KOTA EKL EKOLOGI EKN EKONOMI SOSBUD SOSIAL BUDAYA KBJKN KEBIJAKAN PEMRTH PEMERINTAH MASY MASYARAKAT LSM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT PT PERGURUAN TINGGI HKP HUTAN KOTA PEMUKIMAN HKI HUTAN KOTA INDUSTRI HKR/W HUTAN KOTA REKREASI/WISATA HKK HUTAN KOTA KONSERVASI HKPKSK HUTAN KOTA PUSAT SOSIAL COMMUNITY 1.
Bandingkan intensitas kepentingan aktor pada kebijakan Pengembangan Hutan Kota berikut:
1
1=EQUAL PEMRTH
2
PEMRTH
3
PEMRTH
4
PEMRTH
5
MASY
6
MASY
7
MASY
8
LSM
9
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
MASY
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
LSM
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
PT
LEG LSM
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
LEG
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
LEG
LSM
10 LEG
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
PT
PT PT
2. Bandingkan intensitas kepentingan Kriteria pada kebijakan Pengembangan Hutan Kota berikut: a. Compare the relative PREFERENCE with respect to: PEMRTH < GOAL
1
1=EQUAL EKL
2
EKL
3
EKL
4
EKN
5
EKN
6
SOSBUD
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 EKN 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SOSBUD 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
KBJKN SOSBUD KBJKN KBJKN
87 b. Compare the relative PREFERENCE with respect to: MASY < GOAL
1
1=EQUAL EKL
2
EKL
3
EKL
4
EKN
5
EKN
6
SOSBUD
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 EKN 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SOSBUD 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
KBJKN SOSBUD KBJKN KBJKN
c. Compare the relative PREFERENCE with respect to: LSM < GOAL
1
1=EQUAL EKL
2
EKL
3
EKL
4
EKN
5
EKN
6
SOSBUD
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 EKN 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SOSBUD 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
KBJKN SOSBUD KBJKN KBJKN
d. Compare the relative PREFERENCE with respect to: LEG < GOAL
1
1=EQUAL EKL
2
EKL
3
EKL
4
EKN
5
EKN
6
SOSBUD
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 EKN 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SOSBUD 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
KBJKN SOSBUD KBJKN KBJKN
e. Compare the relative PREFERENCE with respect to: PT < GOAL 1
1=EQUAL EKL
2
EKL
3
EKL
4
EKN
5
EKN
6
SOSBUD
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 EKN 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SOSBUD 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
KBJKN SOSBUD KBJKN KBJKN
88 3. Bandingkan intensitas kepentingan alternatif pada kebijakan Pengembangan Hutan Kota berikut: a. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKL < PEMRTH < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
b. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKN < PEMRTH < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
c. Compare the relative PREFERENCE with respect to: SOSBUD < PEMRTH < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKR/W HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
89 d. Compare the relative PREFERENCE with respect to: KBJKN < PEMRTH < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
e. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKL < MASY < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
f. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKN < MASY < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKR/W HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
90 g. Compare the relative PREFERENCE with respect to: SOSBUD < MASY < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 HKK
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKR/W HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
h. Compare the relative PREFERENCE with respect to: KBJKN < MASY < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
HKK
i. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKL < PT < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKR/W HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
91 j. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKN < PT < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 HKK
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKR/W HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
k. Compare the relative PREFERENCE with respect to: SOSBUD < PT < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 HKK
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKR/W HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
l. Compare the relative PREFERENCE with respect to: KBJKN < PT < GOAL m. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKL < LSM < GOAL
1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
HKK
92 n. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKN < LSM < GOAL o. Compare the relative PREFERENCE with respect to: SOSBUD < LSM < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 HKK
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKR/W HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
p. Compare the relative PREFERENCE with respect to: KBJKN < LSM < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
93 q. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKL < LEG < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
HKK
r. Compare the relative PREFERENCE with respect to: EKN < LEG < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
HKK
s. Compare the relative PREFERENCE with respect to: SOSBUD < LEG < GOAL 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK
94 t. Compare the relative PREFERENCE with respect to: SOSBUD < LEG < 1=EQUAL 1
HKP
2
HKP
3
HKP
4
HKP
5
HKI
6
HKI
7
HKI
8
HKR/W
9
HKR/W
10 HKK
3=MODERATE 5=STRONG 7=VERY STRONG 9=EXTREME 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKI
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKR/W
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKK HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HKPKSK
HKK HKR/W
HKK
Lampiran 2. NO
Jenis- jenis Tanaman yang ada di RTH Kabupaten Belu
Nama Umum Nama Ilmiah 1 Aisuli Accasia auraria 2 Akasia Accasia auricori Fornis 3 Asam Tamarindus indika 4 Bambu Duri Bambusa sp 5 Cemara Casuarna yongnomiama 6 Cendana Santalum album 7 Beringin Ficus benjamina 8 Gaharu Eucaliptus urophilla 9 Johar Cassia siamea 10 Jati Tectonia grandis 11 Buni Cassa javanica 12 Johar Timor Cassia timorencis 13 Kapuk Hutan Cassambicas malabarica ALST 14 Kemiri Aleurites muluccans 15 Kenari Canaurium eleosum ENGL 16 Kusambi Schleichera cleosa 17 Ketapang Terninalia catappa 18 Kayu Putih Meleleuca leucandedron 19 Lontar Borracens flebilliffer G 20 Mahoni Swittenir mahagoni 21 Kabesar Accasia leucopholea Wild 22 Kom Ziziphus sp 23 Kayu Putih Malakuka pencandindron 24 Lontar Bonasus aleliliffer G. 25 Rotan Calamus sp 26 Lamtoro gung Leucaena Leucocephala 27 Damar Agathis alba 28 Bogenvile Bougenville spectabilis Wild 29 Palm CrysalidocarpusiIndicus 30 Pisang- pisangan Heliconia indica Lamk. 31 Glodongan Polyalthia longifolia Benth Sumber : Dinas Kehutanan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Belu Tahun 2004.
90 Lampiran 3.
N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah Kendaraan penumpang Kabupaten Belu Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005 Kecamatan
Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
Per
Jumlah Kendaraan Penumpang 2002 2003 2004 2005 2001 10 10 10 12 12 9 9 10 10 12 6 6 6 7 7 64 70 71 77 73 12 14 14 12 12 289 387 410 460 469 10 14 15 17 17 11 11 10 10 10 56 61 61 65 68 1 1 2 2 2 27 27 27 29 32 1 1 1 1 1 496 611 637 702 715
91 Lampiran 4.
N0
Jumlah Kendaraan Bus Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005 Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
2001 7 9 6 8 1 59 59 4 6 1 12 1 173
JUMLAH Kendaraan Bus 2002 2003 2004 7 8 8 9 10 10 6 6 7 8 9 9 1 1 1 59 60 62 59 60 62 5 5 6 6 7 7 1 1 1 14 15 16 1 1 1 176 183 190
2005 8 12 7 9 1 64 64 6 7 1 16 1 196
92 Lampiran 5.
N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah Kendaraan Beban Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005
Kecamatan Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
2001 4 7 2 115 12 255 4 2 135 2 53 1 592
Jumlah Kendaraan Beban 2002 2003 2004 4 5 5 7 3 1 2 3 3 126 129 130 12 13 14 335 374 492 5 5 6 3 3 3 139 140 161 2 2 2 54 65 68 1 1 1 690 743 886
2005 5 1 3 130 14 540 6 3 161 2 68 1 934
93 Lampiran 6.
N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah Kendaraan Sepeda Motor Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005 Kecamatan
Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
2001 54 54 45 445 40 1249 105 34 319 43 320 49 2757
Jumlah sepeda Motor 2002 2003 2004 54 78 165 69 131 221 45 67 131 630 775 1016 45 73 143 2009 2319 3894 106 123 279 36 61 146 519 585 827 44 69 172 420 485 710 52 69 160 4029 4835 7864
2005 167 228 134 1031 145 3942 283 151 847 174 725 163 7990
94 Lampiran 7.
Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Bensin Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Wilayah Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakuluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
2003 0 0 0 1 0 12 0 0 1 0 1 0 15
Tahun 2004 0 1 0 2 0 32 0 0 3 0 3 0 41
2005 0 0 0 0 3 36 0 0 6 0 7 0 52
95 Lampiran 8.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Solar Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
Wilayah Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakuluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
Jumlah Industri ( unit ) 2003 2004 0 1 0 0 1 1 2 2 0 0 3 6 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 7 12
2005 1 1 1 3 1 8 1 1 2 0 2 0 21
96 Lampiran 9.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Minyak Tanah Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005
Wilayah Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakuluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
Tahun 2004
2003 0 0 1 1 0 4 0 0 0 0 1 0 7
2005 1 0 1 2 1 6 1 1 2 1 2 1 19
1 1 1 4 2 7 2 2 3 2 3 1 29
97 Lampiran 10.
N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah dan Karbondioksida yang Penduduk Per Kecamatan Tahun 2003
Kecamatan Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
Penduduk 19181 23528 13457 23964 14975 67416 34043 22455 32324 18684 53339 13114 336480
dihasilkan
oleh
Produksi CO2 18,413.76 22,586.88 12,918.72 23,005.44 14,376.00 64,719.36 32,681.28 21,556.80 31,031.04 17,936.64 51,205.44 12,589.44 323,020.80
98 Lampiran 11.
Perkiraan Jumlah Total Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
N0
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
2003 101 154 82 984 101 3,163 203 79 793 74 592 72 6,398
Jumlah Kendaraan Bermotor (unit) 2006 2010 2015 259 908 4,634 363 1,620 11,071 201 662 3,079 1,500 3,307 9,364 235 898 5,220 6,627 20,942 92,999 477 1,447 6,434 253 1,355 11,755 1,347 3,418 11,874 271 1,439 11,778 1,021 2,266 6,348 236 983 5,890 12,790 39,245 180,446
2020 24,146 76,690 14,580 27,249 31,052 425,683 29,760 103,310 42,837 96,694 18,136 35,383 925,519
99 Lampiran 12.
N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Perkiraan Jumlah Penduduk kabupaten Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020
Kecamatan Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakuluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
2006 20399 24675 17934 22195 16805 73616 33296 23361 31919 16818 51222 22384 354625
Jumlah Penduduk ( jiwa ) 2010 2015 17175 13851 22905 20870 35727 84551 17928 13729 27214 49716 106523 169058 28503 23470 26917 32132 28259 24268 10977 6440 38049 26239 29112 40432 389289 504757
Belu
Per
2020 11171 19015 200100 10513 90822 268305 19326 38358 20841 3778 18095 56154 756479
100 Lampiran 13.
N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Per Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020
Kecamatan Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
Karbondioksida yang Dihasilkan (kg/hari) 2006 2010 2015 2020 19,583.42 16,487.93 13,297.28 10,724.07 23,688.43 21,988.97 20,035.05 18,254.76 17,217.05 34,297.45 81,169.04 192,096.33 21,307.39 17,211.23 13,179.96 10,092.91 16,132.79 26,125.62 47,726.91 87,188.65 70,671.07 102,262.34 162,296.16 257,573.25 31,963.98 27,362.87 22,531.38 18,552.99 22,426.54 25,840.14 30,846.82 36,823.57 27,128.68 23,297.60 30,642.40 16,145.41 10,538.35 6,182.68 49,173.00 36,526.70 25,189.25 21,488.91 27,947.22 38,814.49 340,440.39 373,717.50 484,566.62
20,007.53 3,627.28 17,370.81 53,907.50 726,219.66
Lampiran 14.
N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan Bermotor Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
Kecamatan Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
2003 1,511.80 1,648.16 1,041.20 10,778.86 1,369.60 42,977.36 6,961.74 1,098.96 10,595.38 328.64 6,189.58 237.94 84,739.22
Prediksi CO2 Kendaraan Bermotor 2006 2010 1,766.69 2,084.91 1,320.93 11,594.09 1,461.07 64,584.68 7,943.48 1,393.78 12,827.29 482.30 7,332.67 349.68 113,141.59
2,512.58 3,543.94 1,915.03 14,275.74 2,045.76 126,050.16 9,922.78 2,562.91 16,652.20 1,420.64 10,084.38 857.14 191,843.26
2015
2020
5,516.11 11,069.89 4,044.37 20,494.86 5,183.00 318,341.99 15,829.13 10,528.51 26,123.75 8,950.03 16,054.58 4,194.26 446,330.47
19,377.12 57,298.04 12,584.27 35,125.75 22,986.44 893,969.32 35,968.87 74,360.24 51,870.03 68,216.27 28,498.44 24,249.54 1,324,504.33
Lampiran 15.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Industri Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
Kecamatan Lamaknen TASTIM Raihat TASBAR Kakuluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat Total
2003 0,00 0,00 550.271,04 1.025.607,92 0,00 5.255.622,72 0,00 0,00 475.336,88 0,00 617.991,92 0,00 7.924.830,48
Jumlah CO2 yang dihasilkan industri (kg/hr) 2006 2010 2015 1.100.542,08 2.201.084,16 3.576.761,76 550.271,04 1.650.813,12 3.026.490,72 550.271,04 550.271,04 550.271,04 2.343.739,20 4.830.133,44 7.938.126,24 2.329.312,64 5.751.954,08 10.166.020,32 19.208.028,24 36.358.272,72 57.796.078,32 1.243.197,12 3.036.665,28 5.278.500,48 1.243.197,12 3.036.665,28 5.278.500,48 4.312.162,24 9.513.845,28 16.151.713,52 1.039.389,12 2.425.241,28 4.157.556,48 4.712.564,96 10.171.995,68 16.996.284,08 692.926,08 1.385.852,16 2.252.009,76 39.325.600,88 80.912.793,52 133.168.313,20
2020 4.952.439,36 4.402.168,32 550.271,04 11.046.119,04 14.308.557,68 79.233.883,92 7.520.335,68 7.520.335,68 22.518.052,88 5.889.871,68 23.820.572,48 3.118.167,36 184.880.775,12
Lampiran 16.
N0
Jumlah Prediksi Total Karbondioksida di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020.
Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
total co2 2003 19925.56 24235.04 564230.96 1059392.2 15745.6 5363319.4 39643.02 22655.76 516963.3 18265.28 675386.94 12827.38 8332590.5
2006 1121892.194 576044.3894 568809.0271 2376640.681 2346906.497 19343284 1283104.58 1267017.442 4355631.936 1056016.834 4769070.623 714764.6657 39779182.87
2010 2220084.669 1676346.035 586483.5174 4861620.409 5780125.459 36586585.21 3073950.933 3065068.325 9557626.163 2437200.268 10218606.76 1414656.519 81478354.28
2015 3595575.15 3057595.67 635484.449 7971801.06 10218930.2 58276716.5 5316860.99 5319875.8 16201134.9 4172689.19 17037527.9 2295018.51 134099210
2020 4982540.55 4477721.12 754951.644 11091337.7 14418732.8 80385426.5 7574857.55 7631519.49 22589930.4 5961715.23 23866441.7 3196324.4 186931499
Lampiran 17.
N0
Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
2003 22.140 26.928 626.923 1,177.102 17.495 5,959.244 44.048 25.173 574.404 20.295 750.430 14.253 9,258.434
kebutuhan hutan kota (ha) 2006 2010 2015 1,246.547 2,466.761 3,995.083 640.049 1,862.607 3,397.329 632.010 651.648 706.094 2,640.712 5,401.800 8,857.557 2,607.674 6,422.362 11,354.367 21,492.538 40,651.761 64,751.907 1,425.672 3,415.501 5,907.623 1,407.797 3,405.631 5,910.973 4,839.591 10,619.585 18,001.261 1,173.352 2,708.000 4,636.321 5,298.967 11,354.008 18,930.587 794.183 1,571.841 2,550.021 44,199.092 90,531.505 148,999.123
2020 5,536.156 4,975.246 838.835 12,323.709 16,020.814 89,317.141 8,416.508 8,479.466 25,099.923 6,624.128 26,518.269 3,551.472 207,701.666
105 Lampiran 18.
N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah Rasio Hutan Kota di Kabupaten Belu Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020
Kecamatan Lamaknen TASTIM RAIHAT TASBAR Kakaluk Mesak Kota Atambua Malaka Timur Kobalima Malaka Tengah Sasitamean Malaka Barat Rinhat TOTAL
Per
rasio kebutuhan hutan kota (ha) 2006 2010 2015 2020 2003 0.103 56.304 1.979 1.620 1.386 0.098 23.769 2.910 1.824 1.464 7.189 1.008 1.031 1.084 1.188 4.138 2.243 2.046 1.640 1.391 0.093 149.052 2.463 1.768 1.411 106.074 3.607 1.891 1.593 1.379 0.123 32.366 2.396 1.730 1.425 0.116 55.925 2.419 1.736 1.435 3.405 8.425 2.194 1.695 1.394 0.118 57.816 2.308 1.712 1.429 2.662 7.061 2.143 1.667 1.401 0.001 55.722 1.979 1.622 1.393 124.121 453.298 25.759 19.690 16.696
106 Lampiran 19.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di Taman Kota
Nama Daerah Asoka Daun Besar Asoka Daun Kecil Bogenvile Bayam Merah Kembang Kupu- kupu Kembang Sepatu Melati Kecil Palm Pisang- pisangan Waru
Nama Latin Ixora Japonica Linn Ixora Javanica Linn. Bougenville Spectabilis Wild. Amaranthus sp. Bauhinia Purpurea Linn. Hibiscus rosasinensis Linn. Jasmin pubescens Wild. Ptyhosperma macarthurii Miq. Heliconia indica Lamk Hibiscus tilliseus Linn.
107 Lampiran 20.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di RTH Pekarangan
Nama Daerah Belimbing Jambu Air Jambu Monyet Jeruk Kedondong Kopi Mangga Nangka Bunga Kupu- kupu Dadap Sirsak Srikaya
Nama Latin Averrhoa carambola Eugenia cuminii Linn. Anacardium occidentale. Citrus aurantifolia ( Christm. Dan Panz ). Spondias rarak Coffea arabica Mangifera indica Linn. Artocarpus integra Merr. Bauhinia purpurea Linn. Erythrina varigate Linn. Annona muricata Linn.
108 Lampiran 21.
Jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Jalur Hijau
NO 1 2
Nama Daerah Angsana Asam Jawa
3 4 5 6 7 8
Cemara Angin Flamboyan Glondongan Jati Mahoni Bogenvile
Nama Latin Pterocarpus indicus Wild. Tamarindus indicus Linn. Casuaria equisetifolia J.R. dan Forst. Delonix regia Rafin Polyathia longfolia Benth Tectona grandis Linn. Swietenia mahogani (L.) JACQ. Bougenville spectabilis Wild.
109 Lampiran 22.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis- jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Taman Hutan
Nama Daerah Angsana Asam Beringin Flamboyan Eucallyptus Johar Damar Gelodongan Nangka
Nama Latin Pterocarpus indicus Wild. Tamarindus indica Linn. Ficus benjamina Linn. Delonix regia Rafin Cassia siamea Agathis damara ( Lamb.) L.C.Rich Polyathia longifolia Benth. Artocarpus heterophillus Lmk.
110 Lampiran 23.
NO 1 2 3 4 5
Ruang Terbuka Hijau yang Dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Komponen Ruang Terbuka Hjau Jalur Hijau Tugu Gerbades Jalur Hijau Rumah Jabatan Jalur Hijau Bandara Taman Makam Pahlawan Seroja Taman Kantor Bupati DATI II Belu
Luas ( m2 ) 1500 1700 1000 10.000 500
111
79
Lampiran 24. Tutupan lahan per land use di Kabupaten Belu
Landcover Landuse
Badan Air
Semak Belukar
Ladang
Mangrove
37.74
299.21
1,138.94
Perkebunan
2.94
3,778.27
2,335.24
214.20
161.15
967.68
Kolam Air Lahan Kosong
34.22
Areal Pemukiman
0.39
Semak Belukar
61.08
7,750.50 13,463.97 345.06
Perkebunan -
Awan 43.23
625.43 0.50
Sawah Bayangan Irigasi Awan 602.63 -
Badan Air
2.41 2.72
102.45 -
1,546.46 10.02
3.90
2.51
534.54
1,497.01
0.25
169.34
10.02
10,178.00
7.01
9.05
55.54
1,173.27
3.43
702.22
5,606.75 6.07
2,518.11
-
885.29 -
-
1,471.75
858.05
9.14
444.29
920.11
2.02
48.21 -
-
1,141.09 61.24
921.70 -
0.02
-
835.46 265.84
36.90 Sawah Tadah Hujan
0.38
-
396.46
9.01
50.58 Hutan
428.02
1,580.99
24.61
23.46 0.01
3,290.54
58.59
45,682.68
Sawah Irigasi
Hutan
355.38
1,893.05
75,907.87 22,602.00
Mangrove
3.44 16.05 2.12
-
2,464.75 14.75