PREDATORY PRICING: PERSAINGAN HARGA MINIMARKET DAN GADDE-GADDE DALAM METAFORA CERPEN Andi Sri Wahyuni Universitas Diponegoro, Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Kota Semarang 50275 Surel:
[email protected] http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6019
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 6 Nomor 2 Halaman 175-340 Malang, Agustus 2015 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879
Tanggal Masuk: 5 April 2015 Tanggal Revisi: 30 Juni 2015 Tanggal Diterima: 14 Juli 2015
Abstrak: Predatory Pricing: Persaingan Harga Minimarket dan Gadde-Gadde dalam Metafora Cerpen. Artikel ini bertujuan mengungkap pola penetapan harga produk agresif (predatory pricing) yang digunakan minimarket. Metafora cerita pendek (cerpen) milik Eka Kurniawan, ”Kisah Seorang Kawan” sebagai metode. Sosok “ayah” dalam cerpen ini mengalami kejadian yang mirip, namun berbeda, dengan kondisi yang terjadi pada pelaku usaha gadde-gadde. Kejadian yang bermula dari kedatangan “saudagar kaya” yang mewakili kedatangan minimarket di berbagai titik perumahan yang ada di Makassar. Lewat cerpen tersebut, tampak bagaimana strategi predatory pricing mampu menarik pelanggan berpindah dari gadde-gadde ke minimarket, dan pada akhirnya mematikan usaha-usaha kecil yang menjadi denyut nadi sektor ekonomi. Abstract: Predatory Pricing: The Competition between Minimarket Price And Gadde-Gadde in Short-Story Metaphor. This arcticle is aimed to explore the determination of agressive cost of product (predatory pricing) used by minimarket. Short story metaphor by Eka Kurniawan, “Kisah Seorang Kawan” as metho dology. The “father” figure in this story has similiar condition with enterpreneur of gadde-gadde. The story begins with the attendant of “the rich merchant” who represent the arrival of minimarket in housing area at Makassar. Through the short story, strategy of predatory pricing could attract customer to move from gaddegadde to minimarket. Finally, these changes could diminish small businesses which are become the primary economic sector. Kata kunci: Minimarket, Gadde-gadde, Penetapan harga
“Predatory pricing is never rational behaviour...” McGee (1958) Langkah pembangunan Kota Makassar dalam perjalanannya senantiasa ber iringan dengan perjalanan cita-cita “Menjadi Kota Dunia”. Implikasinya, investor dalam dan luar negeri dengan modal besar semakin bertambah. Hal ini menjadi masalah ketika pelaku-pelaku baru yang bermunculan tersebut secara pelan-pelan membunuh pelaku-pelaku lama. Salah satunya adalah usaha gadde-gadde−usaha warung kecil
yang menjual barang keperluan harian secara eceran. Hasil survei AcSI (Active Society Institute)1 pada tahun 2011 menunjukkan 70% pengusaha gadde-gadde mengalami penurunan omzet semenjak kehadiran minimarket di sekitar pemukiman warga. Hal ini merupakan kabar yang buruk karena gaddegadde merupakan usaha yang menjadi salah 1 AcSI merupakan organisasi non profit yang se-
237
cara khusus meneliti dampak kehadiran pasar modern terhadap pasar lokal dan gaddegadde di Makassar
238
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 237-244
satu penopang kebutuhan ekonomi rumah tangga bagi kaum ekonomi kelas menengah ke bawah. Sebenarnya sekitar tahun 1980-an, kabar buruk serupa pernah dirasakan oleh usaha rumah tangga yang ada di negara adikuasa, Amerika Serikat. Fenomena tersebut kemudian dikenal dengan istilah “Wal-Mart effect”. Bukan hanya usaha rumah tangga, usaha grosir pun terkena dampak dari kehadiran Wal-Mart. Basker (2005) menemukan bahwa pendirian satu gerai Wal-Mart dalam setiap kabupaten (distrik) di Amerika Serikat akan berimbas pada penutupan dua puluh toko grosir yang ada. Neumark et al (2008) menyatakan bahwa setiap pembukaan satu gerai Wal-Mart berimbas pada matinya tenaga kerja sektor non-formal (rumahan) sebanyak 167 orang. Lewat angka statistik dengan rasio 1: 167, didapatkan jawaban sederhana perihal bagaimana WalMart telah mematikan pekerja rumahan dan usaha kecil yang ada di sekitarnya. Hal ini tidak lain dikarenakan pola belanja masyarakat yang awalnya memusatkan kegiatan belanja rumah tangga di usaha rumahan berpindah ke pasar-pasar moderen seperti Walmart atau pun minimarket serupa. Apa sebenarnya faktor yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan minimarket ini? Kenyamanan dan kemudahan dalam berbelanja merupakan salah satu penyebab perubahan pola belanja masyarakat dari gadde-gadde ke minimarket (Salim 2013). Selain itu, persediaan beberapa barang yang tidak lengkap pada gadde-gadde menyebabkan masyarakat mencari ke minimarket. Barang-barang di minimarket pun dianggap lebih aman jika diukur dari tanggal kadaluarsa dan jaminan kualitasnya. Pada momentum tertentu, minimarket menyediakan diskon khusus untuk produk tertentu. Tentunya hal ini menjadi alat promosi pula untuk produk lainnya yang tidak di diskon. Sementara alasan lain−yang tidak kalah penting−adalah murahnya produk yang ditawarkan pengusaha minimarket dibandingkan de ngan harga produk yang ada di gadde-gadde. Beberapa penelitian juga menunjukkan dampak kehadiran minimarket di Indonesia, baik dari tinjauan etika, hukum, bahkan sosiologi (lihat misalnya Ristanti 2008, Naully dan Irawati 2011, dan Mandasari 2013). Meskipun demikian belum ada penelitian yang menjadikan faktor pendorong pola perilaku masyarakat yang berpindah dari gadde-gadde ke minimarket
sebagai objek penelitian, khususnya terkait dengan penetapan harga jual produk yang agresif. Dalam bidang akuntansi manajemen terdapat fungsi penting akuntan berupa wewenang dalam menentukan berapa harga yang pantas untuk sebuah produk, dengan mempertimbangkan item-item biaya re levan yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Akan tetapi penentuan harga produk justru seringkali tidak hanya menggunakan pertimbangan biaya produksi semata, seperti yang dipelajari dalam ruangruang kelas. Faktor-faktor lain dapat menjadi penentu bahkan menjadi penentu utama pada saat penentuan harga produk misalnya strategi bisnis. Oleh karena itu, penelitian ini dihadirkan untuk mengkaji bagaimana pola penetapan harga produk predatory pricing, yang mampu memengaruhi perilaku dan mengikis loyalitas pelanggan gadde-gadde. METODE “If a concept, word, term or event is symbolized with another concept, word, term or event; that means metaphor is used”. Demikian tulis Gökgöz dan Dizkirici (2013) saat memaparkan definisi penggunaan metafora dalam penelitian akuntansi pada konferensi internasional dalam bidang kajian ekonomi dan sosial dua tahun lalu. Sebenarnya pada tahun 1980 tepat sepertiga abad sebelum pernyataan tersebut dilontarkan, Lakoff dan Johnson telah menyusun suatu teori yang disebut “Contemporary Metaphor Theory” dalam publikasinya yang berjudul “Metaphors: We with Live by”. Tulisan ini pula yang menjadi cikal-bakal penggunaan metafora dalam berbagai riset di bidang sosial hingga saat ini (Gökgöz dan Dizkirici 2013). Dalam bidang kajian akuntansi, metafora sebagai bagian kerangka analisis masih terus konsisten digunakan, khususnya riset dengan pendekatan kualitatif. Penggunaan metafora dapat terlihat dalam hasil riset beberapa peneliti di bidang kajian sosial diantaranya Thornton (1988), Mantere et al. (2007), McGoun et al. (2007), McGlone (2007), Amernic dan Craig (2009), dan Kimmel (2010). Riset ini menggunakan pendekatan metafora untuk mempermudah memahami alur pikir strategi predatory pricing yang digunakan minimarket. Stöver (2010) meng ungkapkan bahwa penggunaan metafora dapat memberi dampak ‘spesial’ dibanding menuliskan ekspresi langsung dari objek yang diteliti. Metafora dalam penelitian ini
Wahyuni, Predatory Pricing: Persaingan Harga Minimarket dan ...
diambil dari potongan cerpen “Kisah dari Seorang Kawan” yang ditulis oleh Eka Kurniawan (cetak ulang pada 2014 setelah terbit pertama kali pada tahun 2000). Cerpen ini diterbitkan bersama beberapa cerpen lain Eka dalam buku “Corat-coret di Toilet”. Eka Kurniawan adalah sastrawan Indonesia kelahiran 1975, yang berasal dari Kota Pandanaran. Eka menamatkan pendidikan sarjananya di Universitas Gadjah Mada, jurusan filsafat. Hingga saat ini, Eka telah melahirkan beberapa novel dan cerpen dalam bentuk buku. Dua dari tiga novelnya masih dicetak ulang hingga hari ini (sejak 10 tahun berlalu) dan telah diterjemahkan ke berbagai lintas bahasa (Bahasa Inggris, Korea, Jepang, Malaysia, dan Italia). Eka bersama istri dan dua anaknya, kini tinggal di Jakarta dan menjadi salah satu anggota Dewan Kesenian Jakarta. Selengkapnya tentang peraih nominasi Khatulistiwa Literary Award 2014 ini, dapat dilihat pada laman pribadinya ekakurniawan.com dan atau ekakurniawan.net. Penggunaan cerpen sebagai sebuah metafora, bukan tanpa alasan. Sebuah karya sastra seperti cerpen, dapat memainkan peran dalam memetakan pola pikir tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, melalui narasi penulisnya. Pun karya sastra, tidak semata hiburan belaka yang berada dalam tahapan imajinasi. Karya sastra (dalam hal ini fiksi) dapat berangkat dari cerita nonfiksi berupa ilmu sains, sejarah, kebudayaan, bahkan luruh dalam ideologi penulis karya itu sendiri (Bandel 2013). Cerpen ini dipilih karena menurut peneliti cerpen ini dapat memberikan gambaran dengan tepat kasus kehadiran minimarket di antara usaha gadde-gadde yang telah bertahan selama ini. Kisah dalam cerpen tersebut memiliki alur cerita yang mirip dengan fenomena kehadiran minimarket yang kini jumlahnya tidak terbendung hingga ke pelosok negeri. Selain itu cerpen ini juga berangkat dari konteks sosial-budaya yang dekat dengan kasus yang diteliti serta memiliki latar tempat Indonesia yang juga ditulis oleh sastrawan Indonesia. Dalam proses analisis, beberapa frase, kata, klausa, ataupun kalimat, sengaja ditulis tebal pada badan cerpen untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang akan dianalisis. Selain analisis kritis atas teks, proses analisis metaforis pada artikel ini juga menggunakan teori fitur. Teori ini merupakan salah satu teori psikolinguistik untuk memberikan pemahaman bahasa manusia. Terkait teori
239
fitur, Dardjowidjojo (2005) menyatakan bahwa kata dan kalimat memiliki seperangkat fitur atau ciri yang menjadi bagian integral dari kata itu sendiri. Sebagian dari satu fitur dalam narasi dimiliki pula oleh fitur lain dalam narasi yang berbeda. Misalnya sebagian fitur atau ciri yang dimiliki oleh kucing, yakni bernyawa, berkaki empat, berekor satu, dan memiliki warna tubuh, dimiliki pula oleh kambing kerbau, sapi dan babi. Oleh karena itu, binatang-binatang tersebut memiliki derajat kemiripan yang tinggi. Demikian halnya dengan cerpen yang dipilih oleh peneliti memiliki kemiripan dengan kasus yang sedang dianalisis. Penebalan beberapa tulisan dalam cerpen menunjukkan kemiripan pola penetapan harga minimarket dengan strategi predatory pricing. Pada akhirnya, kasus yang terjadi di dunia nyata (yang sedang diteliti) seolah-olah hadir dalam cerpen itu sendiri. Pada kondisi semacam ini lah barangkali benar apa dinyatakan oleh Derrida−tokoh postmodernisme yang menolak gagasan dikotomi antara “pusat” dan “pinggir”−bahwa metafora dan konsep adalah satu kesatuan yang saling menyempurnakan (Sahal 1994). Lebih lanjut, metafora (dalam hal ini cerpen) bukan sang pinggir, yang terkucil, atau lebih rendah daripada sebuah konsep (dalam hal ini predatory pricing) yang dimetaforakan. Namun justru metafora itu adalah konsep juga. Sebagaimana kata Derrida, metafor adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek yang juga berdiri sendiri (Sahal 1994), saling menyempurna dengan konsep yang sedang dimetaforakan. Sebelum membahas fenomena predatory pricing, terlebih dahulu peneliti memaparkan cerpen yang dijadikan metafora tersebut. Langkah ini dilakukan untuk memberikan kejelasan akan kemiripan fenomena kasus yang muncul dalam cerpen dengan fenomena predatory pricing. Langkah selanjutnya adalah memaparkan fenomena dari kasus predatory pricing sekaligus melakukan analisis menggunakan metafora cerpen “Kisah dari Seorang Kawan”. HASIL DAN PEMBAHASAN Potongan “kisah dari seorang kawan.” Musik dangdut yang samar-samar melayang dari arah sebuah ruang yang ditinggali para mahasiswa pecinta alam, keluar dari sebuah pesawat radio. Dari arah berlawanan, nya ring terdengar beberapa anak menyanyikan lagu-lagu reggae diiringi kocokan gitar yang
240
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 237-244
kasar dan tak berselera. Gerombolan empat mahasiswa pecinta alam duduk semakin mendekat, bersiap mendengar kisah salah satu dari mereka. Mahasiswa gondrong bersiap: “Itu cerita beberapa tahun lalu.,” ka tanya memulai. “Ayah punya sepetak kios di pasar dan ia berdagang kecil-kecilan.” Ketiga kawannya khusyuk mendengarkan. Melipat kaki dan mendekap lutut mereka guna mengusir dingin yang mulai menyerang. Bunyi berkerokot datang dari perut Si Muka Melankolis, tanda ia kelaparan. “Waktu itu harga beras masih lima ratus rupiah,” Si Gondrong berkata. “Lima ratus rupiah?” “Ya.” “Itu murah.” “Dulu... semua murah. Kau tahu sendiri!” Beberapa waktu keempatnya terdiam, mencoba melawan rasa lapar yang mulai menyerang, diperparah oleh udara yang mending in. Nyamuk beterbangan, hinggap dari satu kulit tangan ke kulit tangan yang lain, mengisap sejentik darah mereka, dan meninggalkan bentol-bentol. Tamparantamparan kecil datang menyambar ketika nyamuk sudah terbang; terlambat. “Hidup kami ditopang oleh usaha ayah itu. Ia jual beras, jagung, kacang-kacangan, dan yang semacamnya. Aku ingat, kiosnya tepat di ujung pasar, di sebuah blok yang memang khusus untuk para penjual beras dan sayur-mayur. Ada belasan pedagang beras kecil seperti ayah, berbisnis dengan penuh kesederhanaan khas kota kecil kami. Hingga suatu ketika ....” “Pasarnya dibakar?” “Bukan.” “Pencurian?” “Bukan.” “Lalu?” Si Gondrong menggaruki ujung hi dungnya yang tak gatal, penuh ekspresi, dan melanjutkan : “Kemudian datang seorang saudagar kaya entah dari mana. Ia membeli delapan kios sekaligus, tepat di tengah-tengah gerombolan pedagang-pedagang beras kecil itu. Ia masih menggaruki ujung hidungnya, mencari kesibukan agar terlupa pada kondisi kelaparan yang mengibakan. Tapi cerita harus segera dilanjutkan: “Ia ... saudagar kaya itu ... juga berjualan beras. Melimpah-limpah. Kiosnya yang
delapan buah itu penuh dengan beras. Bahkan setahuku, di rumahnya ia bangun pula semacam gudang, tempat persediaan beras bisa ditimbun. Pedagang kecil seperti ayahku, sebe lumnya tidak risau benar dengan kedatang annya, karena pada umumnya, mereka punya pelanggan sendiri. Terutama ibu-ibu rumah tangga yang telah mereka kenal. Ketentraman pasar kami yang mungil masih terasa sampai suatu ketika, si saudagar kaya mulai menjual beras seharga empat ratus rupiah.” “Setan kapitalisnya mulai muncul,” Si Kaki Pincang berkomentar. “Begitulah,” kata si Gondrong. “Apa yang terjadi kemudian?” tanya si Wajah Melankolis. “Kau tahu,” kata si Gondrong. “Kalau beras di jual empat ratus rupiah per kilogram, itu kau dapat untung yang sedikit benar. Tak adalah artinya untuk bisa menghidupi keluarga. Tapi tidak menjadi soal buat si saudagar besar itu. Ia punya banyak uang, dan sekarang, karena menjual lebih murah, ia bisa menjual lebih banyak. Ibu-ibu rumah tangga, penginapan-pe nginapan, warung-warung makan, yang semula menjadi pelanggan di kios-kios kecil seperti milik ayahku, mulai berpaling dan berbelanja di tempat saudagar kaya. Akhirnya, ayahku dan pedagang kecil lain bersepakat untuk menurunkan harga sampai empat ratus rupiah juga. Tak apalah dapat sedikit untung, daripada tak terjual sama sekali, begitu mereka pikir.” “Aku sudah yakin dari dulu, kapitalisme tak memiliki kemanusiaan sama sekali,” kata Si Baret Guevara. “Kalau ada orang berkata kapitalisme telah menjadi humanis, ia tak kenal kapitalisme dengan sungguh-sungguh.” “Teruskanlah ceritanya,” kata si Wajah Melankolis kepada Si Gondrong. Si Gondrong menuruti: “Begitulah. Beras dijual empat ratus rupiah per kilogram, ketika harga seharusnya lima ratus rupiah. Para pelanggan kembali lagi, dan karena dianggap murah, banyak yang memborong, hingga persediaan beras para pedagang kecil itu habis sebelum pemasok datang. Mereka tak berjualan hingga pemasok muncul di kota kecil kami beberapa hari kemudian. Tapi ternyata ayahku dan para pedagang kecil lainnya tidaklah bisa mendapat-
Wahyuni, Predatory Pricing: Persaingan Harga Minimarket dan ...
kan beras sebagaimana biasa. Beras yang dimiliki pemasok diborong saudagar kaya yang berani bayar lebih mahal. Para pedagang kecil mulai ribut, dan kebangkrutan mulai membayang di depan mata. Mewakili kawankawannya, ayahku menemui si saudagar kaya untuk merelakan sebagian berasnya dibeli para pedagang kecil. Si saudagar kaya setuju, asal harganya memuaskan. Berapa? tanya ayahku. Enam ratus rupiah, jawab si saudagar. Kau gila! kata ayah. Terserah, kalau kau mau jualan, beli berasku seharga enam ratus rupiah, si saudagar bersikeras. Ayah hanya berdiri menahan marah yang membakar kepalanya. Katanya, baiklah. Ia kemudian pulang, mengambil golok, dan datang kembali, membunuh si saudagar kaya. Itulah kenapa ia kemudian ditangkap dan dipenjara.” Kesunyian yang mengerikan tiba-tiba melanda, diisi oleh helaan napas berat keempat kawanan itu. Hukum rimba bagi usaha “ayah” dan gadde-gadde. Pengakuan Si Gondrong kepada temannya bahwa hidup mereka sekeluarga ditopang oleh usaha ayahnya, persis seperti apa yang pernah dinyatakan oleh Berner et al. (2012). Berner et al. (2012) mengungkapkan bahwa usaha rumahan serupa gadde-gadde lebih merupakan upaya bertahan (economic survival) daripada bertumbuh (economic growth). Ibu Rahayu yang tinggal di Kecamatan Mannuruki (Makassar), misalnya. Berdasar dari penelitian Salim (2013), istri dari Daeng Ngalla ini menjadikan usaha gadde-gadde sebagai penopang dari kebutuhan keuangan rumah tangganya karena pendapatan suami Ibu Rahayu yang berasal dari usaha bengkel belum mencukupi. Sayangnya, setelah kedatangan Alfa Midi, pendapatan Ibu Rahayu semakin berkurang. Sebelum kehadiran Alfa Midi, pendapatan Ibu Rahayu bisa mencapai 200-ribu per hari. Lantas setelah kedatangan Alfa Midi, pendapatan Ibu Rahayu menurun drastis hingga kurang dari 60-ribu per hari. Alfa Midi menyebabkan pendapatan keluarga ini turun lebih dari 50% dari total pendapatan sebelumnya. Masih berpijak dari data yang ditulis Salim (2013), di awal April 2013, angka total Alfamart di Makassar mencapai 260 gerai. Jika diasumsikan satu minimarket mampu menurunkan pendapatan usaha gaddegadde sebanyak 50% dari pendapatan ratarata 500-ribu rupiah per hari, sementara di sekitar minimarket bertebaran minimal
241
5 usaha gadde-gadde, maka pendapatan yang berhasil ditenggelamkan oleh satu minimarket bagi usaha gadde-gadde adalah sebesar 1.250-ribu rupiah. Total angka yang didapatkan dari jumlah yang jika dikalikan dengan jumlah minimarket yang ada, dapat memunculkan kekhawatiran bagi pendapatan ekonomi makro di Makassar, khususnya pendapatan masyarakat menengah ke bawah. “[a]da belasan pedagang beras kecil seperti ayah, berbisnis dengan penuh ke sederhanaan khas kota kecil kami.” Cuplikan metafora cerpen tersebut menunjukkan bahwa usaha gadde-gadde di Makassar juga mencirikan nilai-nilai khas yang dibawa oleh penjual dan pembeli saat berinteraksi dan bertransaksi. Dalam logika ekonomi usaha kecil, gadde-gadde memiliki nilai sa ling berbagi, saling percaya, dan saling menghidupi. Kesemua itu menjadi etika tertinggi dalam transaksi, bukan sekedar soal ekonomi untung-rugi. Demikian lah temuan berharga yang didapatkan Prabowo et al. (2013) dari riset etnografi yang dilakukan selama tidak kurang dari lima tahun di pasar Terong Makassar. Selaras dengan hasil temuan itu, hasil penelitian Idris (2014) dengan informan pedagang suku Makassar yang berada di Kabupaten Gowa, Kabupaten yang bersebelahan langsung dengan Kota Makassar, menyatakan bahwa nilai persaudaraan dan rasa syukur merupakan nilai utama yang terkandung dalam diri para pedagang. Masih selaras dengan nilai-nilai yang ditemukan tersebut, di Kabupaten Sidenreng Rappang (tidak kurang 120 km dari Kota Makassar), para pedagang Bugis pun mengaktualkan nilai-nilai persaudaraan tersebut dalam interaksi mereka dengan pembeli. Hubungan ini berjalan tidak hanya searah, namun timbal balik. Hubungan antara penjual dan pembeli yang saling memanusiakan (Wahyuni 2015). Lebih lanjut, Idris (2014) melihat nilainilai ini dapat menjadi cikal bakal perumusan konsep untuk praktik akuntansi khas Makassar. Konsep tersebut dinilai lebih humanis dan spiritualis, yang selaras de ngan dimensi-dimensi kemanusiaan. Nilai persaudaraan dalam berinteraksi dan bertransaksi merupakan modal utama bagi para pedagang Makassar. Bertambahnya saudara atau rekan dalam bertransaksi pada dasarnya adalah jalan untuk mendapatkan rezeki itu sendiri. Interaksi semacam ini menjadi begitu kontras dengan perilaku para
242
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 237-244
pemodal besar yang mengagungkan kompetisi, efisiensi, dan kesejahteraan individual. Dalam cerpen, Si Kaki Pincang kemudian disebut sebagai “setan kapitalisme”. Namun demikian, “setan kapitalisme” tersebut bisa saja muncul dalam wajah yang lebih segar. Produk di minimarket seringkali dijual dengan harga yang jauh lebih rendah pada produk-produk tertentu sebagai bagian dari strategi memenangkan pasar. Minimarket dimetaforakan seperti kedatangan saudagar kaya dalam cerpen, rela menurunkan harga produknya hingga 400 rupiah saja. Padahal para pedagang lama menjualnya dengan harga 100 rupiah di atasnya. Jelas saja, para konsumen perlahan-lahan berpindah ke saudagar kaya, meski “pedagang kecil seperti ayahku, sebelumnya tidak risau benar dengan kedatangannya, karena pada umumnya, mereka punya pelanggan sendiri. Terutama ibu-ibu rumah tangga yang telah mereka kenal.”. Loyalitas pelanggan pada akhirnya terkikis akibat dorongan harga yang lebih murah di tempat baru. Perbedaan harga memang bukanlah satusatunya alasan perpindahan pola belanja masyarakat. Namun demikian, alasan tersebut yang paling besar pengaruhnya dalam mengikis loyalitas konsumen. Jobber dan Shipley (2012) menyebutkan bahwa konsep “ability of customers to pay” ini memiliki efek yang signifikan dalam menarik pelanggan. Hal ini kemudian berdampak pada hilangnya pelanggan pelaku usaha kecil yang dalam strategi bisnis disebut sebagai predatory pricing (Guiltinan dan Gundlach 1996). Konsumen yang tadinya setia sebagai pelanggan gadde-gadde pelan-pelan berpindah ke minimarket akibat harga yang dianggap lebih murah. “A predatory practice is an action undertaken with the intent to increase monopoly power by means of inducing the exit of a rival.” Demikian definisi klasik yang dinyatakan oleh Ordover dan Willig (1981) mengenai tindakan predatory dalam bisnis. Setelahnya, pro dan kontra mengenai definisi terus bergulir. Dua orang peneliti yakni Guiltinan dan Gudlach (1996) yang secara konsisten menghasilkan riset tentang strategi persaingan dengan harga, menekankan definisi predatory pricing sebagai sebuah perilaku dalam strategi bisnis yang cukup agresif. Perilaku ini berupa kesediaan untuk mengorbankan beban dengan menekan harga jual produk. Serupa makna dengan dua definisi tersebut, dalam pasal 7 dan 20 UU No. 5 Tahun
1999 pun, mendefinisikan predatory pricing sebagai usaha untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang berujung pada persaingan tidak sehat. Dalam bahasa yang lebih sederhana, predatory pricing adalah tindakan sebuah perusahaan yang mengeluarkan pesaing dengan menetapkan harga di bawah biaya produksi (Lubis et al. 2009). Kedatangan minimarket yang mengepung usaha gadde-gadde yang ada di Makassar, sama seperti tindakan saudagar kaya yang tiba-tiba datang “tepat di tengah-tengah gerombolan pedagang-pedagang beras kecil”, Tujuan saudagar untuk memenangkan pasar, ditempuh dengan menurunkan harga jual beras di bawah harga yang disepakati di pasar dan selanjutnya saudagar tersebut menguasai beras yang ada di pemasok. Berbagai rujukan terkait manajemen strategis perusahaan (lihat misalnya Hitt et al. 2007) telah menjelaskan bahwa upaya memenangkan pasar dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, bersinergi, yakni perusahaan dan pesaing bersama-sama melakukan suatu bentuk perserikatan atau kerja sama untuk saling melengkapi dan merangkul sebagai upaya untuk memperluas pangsa pasar. Metode ini banyak ditempuh melalui akuisisi dan merger. Penyatuan dua perusahaan dalam rangka saling melengkapi sumber daya dan memperluas pangsa pasar selanjutnya dipahami sebagai usaha berkompetisi yang lebih dinamis (competitive dynamics). Berbeda halnya dengan cara kedua, bersaing. Perusahaan yang berada dalam satu pasar−baik dalam hal kesamaan geografis maupun jenis produk−berusaha memenangkan pasar dengan cara mengalahkan pesaing atau kompetitor lain (competitive rivalry). Masing-masing perusahaan berusaha untuk unggul dengan mengalahkan yang lain. Kesadaran perusahaan untuk menyingkirkan pelaku lain ini yang kemudian membawa pelaku baru mencari cara untuk memenangkan pasar. Logika predatory pricing ini telah diwanti-wantikan oleh McGee (1958), sebagaimana kalimat awal pada pendahuluan artikel ini, bahwa predatory pricing adalah sungguh tidak rasional. Asumsi adalah seekor predator akan menurunkan harga dalam masa tertentu untuk mendorong pesaingnya keluar dari pasar dan mencegah kehadiran pesaing baru. Hal ini membawa satu konsekuensi logis yakni baik predator maupun pesaing sama-sama menderita kerugian. Saudagar menekan harga produk, dan tokoh “ayah”
Wahyuni, Predatory Pricing: Persaingan Harga Minimarket dan ...
kehilangan pelanggan. Hanya saja, predator sengaja menanggung beban menderita kerugian yang sifatnya sementara, sebab “tidak menjadi soal buat si saudagar besar itu. Ia punya banyak uang”. Berdasarkan asumsi bahwa pasar modal tidak sempurna, strategi predator sekilas menjadi masuk akal. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan kecil sulit dalam hal mengakses dana sehingga tidak mampu menutupi kerugian jangka pendek jika melakukan penurunan harga yang agresif (predatory pricing). Pada situasi perang harga, perusahaan-perusahaan kecil kalah telak dengan perusahaan-perusahaan besar yang lebih mudah memiliki akses pendanaan. Kyaw (2008) membuktikan bahwa di Myanmar, akses dana dari luar adalah salah satu kendala bagi usaha kecil dan menengah. Bahkan kendala ini merupakan kendala paling besar setelah kendala berupa kekurangan sumber daya lainnya. Lantas, apa yang kemudian terjadi dengan “ayahku” dan gadde-gadde? Mereka tidak hanya akan kehilangan pelanggan, tapi kehilangan sumber penghidupan akibat penggrogotan kantong keuangan setiap keluarga yang menggantungkan katup pengaman ekonominya pada usaha tersebut. SIMPULAN Strategi predatory pricing yang dilakukan minimarket telah berhasil menarik konsumen yang tadinya berbelanja di gaddegadde, tidak ubahnya keberhasilan strategi yang dilakukan oleh “saudagar kaya” untuk menarik “ibu-ibu” yang menjadi pelanggan setia “ayah”. Hari demi hari pendapatan “ayah” dan pelaku usaha gadde-gadde berkurang. Padahal, “ayah” dan pelaku usaha gadde-gadde, menjadikan usaha ini sebagai penopang kebutuhan hidup bagi keluarganya. Kejadian ini tidak menutup kemungkinan terjadi pada usaha serupa gadde-gadde di Indonesia, akibat kedatang an minimarket yang semakin hari tidak terbendung jumlahnya. DAFTAR RUJUKAN Amernic, J. dan R. Craig. 2009. “Understanding Accounting Through Conceptual Metaphor: Accounting is an Instrument”. Critical Perspective on Accounting, Vol. 20, hlm 875–883. Bandel, K. 2013. Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Pustaha Hariara. Yogjakarta.
243
Basker, E. 2005. “Job Creation or Destruction? Labor Market Effects of Wal-Mart Expansion. The Review of Economics and Statistics, Vol. 87, No. 1, hlm 174183. Berner, E., G. Gomez dan P. Knorringa. 2012. “Helping a Large Number of People Become a Little Less Poor: The Logic of Survival Entrepreneurs.” European Journal of Development Research, Vol 24, hlm 382-396. Dardjowodjojo, S. 2005. Psikolinguistik: Pe ngantar Pemahaman Bahasa Manusia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Gökgöz, A. dan A.S. Dizkirici. 2013. “How is Accounting Perceived in Cognitive Le vel? A Study Based on Metaphor”. Paper disajikan pada ‘International Conference on Economic and Social Studies’ (ICESoS’ 13), 10-11 Mei 2013, Sarajevo. Guiltinan, J.P. dan G.T. Gundlach. 1996. “Aggressive and Predatory Pricing: A Framework for Analysis. Journal of Marketing, Vol. 60, No. 30, hlm 87-102. Hitt, M.A., R.D. Ireland dan R.E. Hoskisson. 2007. Strategic Management: Competitiveness and Globalization Edition 7. Thomson Higher Education. USA. Idris, F. 2014. “Implikasi Nilai-nilai Spiritual Pedagang Pasar Tradisional terhadap Konsep dan Praktik Akuntansi (Studi pada Pasar Tradisional di Kabupaten Gowa). Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Hasanuddin, Makassar. Jobber, D. dan D. Shipley. 2012. “Marke ting-Oriented Pricing: Understanding and Applying Factors that Discriminate Between Successful High and Low Price Strategies”. European Journal of Marketing, Vol. 46, No. 11/12, hlm 16471670. Kimmel, M. 2010. “Why We Mix Metaphors (and Mix Them Well): Dicource Cohe rence, Conceptual Metaphor, and Beyond”. Journal of Pragmatics, Vol. 42, hlm 97-115. Kurniawan, E. 2014. Corat-coret di Toilet. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kyaw, A. 2008. “Financing Small and Medium Enterprises in Myanmar”. Institute of Developing Economies. IDE Discussion Paper No. 148. Lubis, A.F., et al. 2009. Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Indonesia.
244
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 237-244
Mandasari, D. P. 2013. Pengaturan tentang Posisi Dominan Minimarket dengan Sistem “Franchise” dan Dampaknya Terhadap Toko-toko Tradisional (Studi Kasus di Minimarket Indomaret Sleman). Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Atmajaya Yogyakarta. Mantere, S., J.A.A. Silince., dan V. Hämäläinen. 2007. “Music as a Metaphor for Organizational Change”. Journal of Organizational Change Management, Vol. 20, No. 3, hlm 447–459. McGee, John,S. 1958. “Predatory Price Cutting: the Standard Oil (NJ) case”. Journal of Law & Economic, Vol. 1, hlm 137-169. McGlone, M.S. 2007. “What is the Explanatory Value of A Conceptual Metaphor?”. Language & Communication, Vol. 27, hlm 109-126. McGoun, E.G., M.S. Bettner, dan M.P. Coyne. 2007. “Pedagogic Metaphors and the Nature of Accounting Signification”. Critical Perspective on Accounting, Vol. 18, hlm 213-230. Naully, W.N. dan Irawati. 2011. Dampak Pendirian Minimarket terhadap Omset Pedagang Tradisional di Desa Karang Asih Kecamatan Cikarang Utara Kabupaten Bekasi (Studi Kebijakan Peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2007 tentang Minimarket). Jurnal Madani, Vol. 2, hlm 52-61. Neumark, D., J. Zhang, dan S. Ciccarella. 2008. “The Effects of Wal-Mart on Local Labor Markets”. Journal Urban Economics, Vol. 63, hlm 405-430.
Ordover, J.A., dan R.D. Willig. 1981. “An Economis Definition of Predatory Pro duct Innovation”.Yale Law Journal, Vol. 91, hlm 8-53. Prabowo, A., dkk. 2013. Pasar Terong Makassar: Dunia dalam Kota. Makassar: Ininnawa. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999: Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ristanti, D. 2008. Dampak Kehadiran Minimarket (Indomaret) terhadap Peritel Tradisional (Survai Persepsi Peritel Tradisional/ Toko di Wilayah Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo. Skripsi. Tanpa Institusi. Sahal, A. 1994. “Kemudian, di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekosntruksi”. Jurnal Kalam, Vol. 1, hlm 12-22. Salim, I. 2013. Tsunami Minimarket Tenggelamkan Pedagang Kecil di Makassar. Social Justice Magz, Vol. 3, hlm 2528. Stöver, H. 2010. “Metaphor and Relevance Theory: A New Hybrid Model”. Disertasi tidak dipublikasikan. Doctor of Philosophy of the University of Bedfordshire. Thornton, D.B. 1988. “Theory and Metaphor in Accounting”, Accounting Horizons, Vol. 2, hlm 1-9. Wahyuni. A.S. 2015. “Menemani Mama ke Pasar”. Koran Fajar, 27 Februari 2015.