Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
PRAKTEK TEORI AGENSI PADA ENTITAS PUBLIK DAN NON PUBLIK Dista Amalia Arifah Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung Semarang Abstraksi Game theory is the beginning of agency theory, game theory tries to find form and predict conflict resolution between individuals who are rational, and it helps us understand how managers, investors and other parties affected can be rationally agreed with the economic consequences of financial reporting. Agency theory is a branch of game theory that studies the design of contracts to motivate a rational agent to act on behalf of principal when the agent's interests would otherwise conflict with those of the principal. In Indonesia, entities are divided into two sectors: public sector entities and private sector entities, although they differ in the ownership of the company but they both have similar traits. Both entities are equally divided into two parties that have the greatest interest, called the agent and principals. Both parties are often involved in conflicts of interest (conflict of interest), giving rise to agency cost. Agency conflict that occurs often brought losses to many parties, not only the parties in conflict alone but, more broadly. Be a mechanism to resolve complex mechanism both internally and externally. Internal mechanism with the revamping of the entity itself with providing the motivation of managers and shareholders to behave in a manner that advance corporate objectives. While the external mechanism is by application of the rules of the Regulator, such as the obligation to implement the Corporate Governance in an entity. Keyword : teori agensi, agen, principal, entitas public, entitas swasta PENDAHULUAN Angka-angka yang tercermin dalam laporan keuangan memainkan peranan yang penting. Dari angka tersebut bisa diperoleh beragam informasi mengenai aktivitas perusahaan selama satu periode yang telah lalu. Informasi mengenai kinerja perusahaan dan terutama sekali informasi bagaimana perusahaan dikelola oleh pihak manajemen bisa diperoleh dari laporan keuangan yang disajikan pada akhir periode. Dalam penyusunan laporan keuangan tersebut diperlukan proses yang tidak mudah, banyak aspek yang perlu diperhatikan antara lain; kepada siapa laporan keuangan ditujukan apakah pihak external, internal ataukah pihak penyedia dana (debitur), bagaimana dampak penyajian laporan keuangan tersebut pada perusahaan selanjutnya dan sebagainya. Seperti diketahui bersama dalam sebuah entitas terdapat beberapa pihak yang berkepentingan, pemilik perusahaan
81
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
berkepentingan terhadap modal yang ditanamkan, pihak manajemen berkepentingan terhadap reward (bonus) yang akan diperolehnya, pemerintah berkepentingan terhadap pajak yang akan dikenakan pada perusahaan belum lagi para pekerja perusahaan yang berkepentingan akan kesejahteran mereka di entitas tersebut. Antara para pihak yang berkepentingan tersebut tidak jarang terjadi benturan kepentingan (conflict of interest), masing-masing pihak ingin memaksimalkan kepentingannya. Benturan kepentingan yang sangat kentara terjadi antara pemilik perusahaan (prinsipal) dan pihak manajemen (agen). Prinsipal menginginkan perusahaan dikelola dengan sebaik-baiknya oleh agen sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga bisa menghasilkan laba, sedangkan agen menginginkan para stakeholder merasa puas dengan kinerjanya selama mengelola perusahaan yang ditunjukkan dengan meningkatnya laba dari periode ke periode, untuk memperoleh reward atas prestasinya. Meskipun untuk mencapai hal tersebut pihak manajemen (agen) terkadang menghalalkan segala cara. Konflik antara agen dan prinsipal inilah apa yang disebut dengan teori agensi. Tulisan ini bermaksud mengungkap lebih lanjut mengenai teori agensi, apakah yang melatarbelakangi munculnya teori agensi, bagaimana prakteknya pada entitas publik dan non publik serta dampak teori agensi pada sebuah entitas secara keseluruhan. PEMBAHASAN 1. Latar belakang munculnya Teori Agensi Scott (2009) menyatakan bahwa untuk memahami sepenuhnya kepentingan pihak manajemen dalam pelaporan keuangan, perlu kiranya mempertimbangkan beberapa model dari teori permainan (Game Theory). Teori Permainan adalah suatu pendekatan matematis untuk merumuskan situasi persaingan dan konflik antara berbagai persaingan ( Neumann dan Morgenstern, 2007) . Teori ini dikembangkan untuk menganalisa proses pengambilan keputusan dari situasi persaingan yang berbeda dan melibatkan dua atau lebih kepentingan. Teori permainan mencoba untuk mencari bentuk dan meramalkan pemecahan konflik antara individu yang rasional, menelaah lebih dalam interaksi antara dua atau lebih agen (pemain) dalam sebuah permainan, dimana masing-masing agen akan berupaya memaksimalkan keuntungannya. Dalam hal ini, antar agen yang satu dengan agen yang lainnya mempunyai ketergantungan satu sama lain dalam penerapan strategi, yang akhirnya akan berpengaruh pada hasil yang didapatkan Teori permainan membantu kita memahami bagaimana para manajer, investor dan pihak-pihak lain yang terkena dampaknya dapat secara rasional bersepakat dengan konsekuensi ekonomi dari pelaporan keuangan. Konsekuensinya baik teori kepentingan maupun teori agensi relevan dengan akuntansi. Kebijakan akuntansi dapat mempunyai konsekuensi ekonomi ketika kontrak-kontrak penting dipengaruhi oleh kebijakan tersebut. Teori permainan membantu memahami mengapa kontrak seringkali bergantung pada laporan keuangan. Terdapat dua macam kontrak yang mempunyai implikasi pada teori akuntansi
82
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
keuangan, antara lain yaitu : kontrak pegawai (employment contracts) antara perusahaan dan manajemen puncak dan kontrak peminjaman (lending contracts) yaitu kontrak antara pihak manajemen dan debitur. Dalam kontrak ini satu pihak disebut prinsipal dan pihak lainnya disebut agen. Sebagai contohnya, dalam kontrak pegawai, pemilik perusahaan merupakan pihak prinsipal dan manajemen puncak adalah pihak agennya yang di pekerjakan untuk menjalankan perusahaan atas nama (untuk kepentingan) pemilik. Jenis teori permainan ini yang disebut dengan teori agen. Seperti yang disebutkan dalam Scott (2009) : ”Agency theory is a branch of game theory that studies the design of contracts to motivate a rational agent to act on behalf of principal when the agent's interests would otherwise conflict with those of the principal”. Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997 dalam Sabeni 2005). Menurut Eisenhard (1989) dalam Sabeni (2005), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu: (a) asumsi tentang sifat manusia, (b) asumsi tentang keorganisasian, dan (c) asumsi tentang informasi. Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas ( bounded rationality ), dan tidak menyukai risiko ( risk aversion ). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen. Asymmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilan yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang telah dipercayakan kepada agen. Akibat adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut antara lain
83
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
adalah : a.
Moral Hazard , yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja. b. Adverse selection , yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. Adanya agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan ( yang terdiri dari (Jensen dan Meckling, 1976):
agency cost )
a.
The monitoring expenditures by the principle . Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, termasuk juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget restriction, dan compensation policies b. The bonding expenditures by the agent. The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mangambil banyak tindakan. c. The residual loss yang merupakan penurunan tingkat kesejahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship. Depken, Nguyen dan Sarkar (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa teknik untuk mengurangi konflik agensi, dengan cara demikian biaya agensi dapat dikurangi. Teknik tersebut dibedakan menjadi mekanisme internal dan eksternal. Mekanisme internal diantaranya adalah kontrak kompensasi (compensation contracts), pengikatan (bonding), dan aktivitas pengawasan (monitoring activities) dalam perusahaan. Sedangkan mekanisme External dilakukan melalui aktivitas pengawasan oleh pasar modal, pembuat undang-undang, penanaman modal profesional dan para investor. Dalam Agency costs ini didalamnya mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham; biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal; serta biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk ' bonding expenditures' yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham (shareholder). Untuk meminimalkan agency cost yang ada, maka shareholder melakukan pengawasan terhadap pihak manager dengan meminta pengungkapan yang lebih luas, pengungkapan akan lebih meningkat lagi sebanding dengan banyaknya jumlah shareholder external (Woodcock dan Whiting, 2009). Perubahan kebijakan mengenai pengungkapan yang dilakukan perusahaan bertepatan dengan
84
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
perubahan ekonomi perusahaan dan corporate governance (Healy dan Palepu, 2001 dalam Li et al., 2007) dan struktur corporate governance yang dirancang dengan baik akan memaksimalkan kebijakan dalam hal pengungkapan (Li et al., 2007). 2. Praktek Teori Agensi di Indonesia Di Indonesia entitas dibagi menjadi dua sektor; entitas sektor publik dan entitas non publik atau yang lebih dikenal dengan sektor swasta, meskipun berbeda dalam kepemilikan perusahaan tetapi keduanya mempunyai persamaan sifat. Kedua entitas tersebut sama-sama terbagi dalam dua pihak yang mempunyai kepentingan terbesar, disebut dengan agen dan prinsipal. Kedua pihak tersebut seringkali terlibat dalam benturan kepentingan (conflict interest), sehingga menimbulkan agency cost. a. Praktek teori Agensi pada Entitas sektor Publik Halim dan Abdullah (2010) menyatakan berdasarkan UU 22/1999 legislatif memiliki kewenangan untuk memilih, mengangkat, dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini bermakna adanya posisi yang tidak setara antara eksekutif dan legislatif, di mana legislatif memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya, legislatif mendelegasikan suatu kewenangan kepada kepala daerah yang dipilihnya dengan konsekuensi diberhentikan apabila kepala daerah tidak dapat melaksanakan kewenangan tersebut seperti yang diinginkan oleh legislatif. Dengan demikian, kemitraan yang dimaksud dalam UU tersebut bukanlah kemitraan yang sepenuhnya sejajar. Dalam literatur ilmiah, baik dalam disiplin ekonomi (termasuk akuntansi), politik, maupun keuangan, hubungan seperti ini disebut hubungan keagenan. Dalam hubungan keagenan, terdapat dua pihak yang melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni yang memberikan kewenangan atau kekuasaan (disebut prinsipal) dan yang menerima kewenangan (disebut agen). Dalam suatu organisasi hubungan ini berbentuk vertikal, yakni antara pihak atasan (sebagai prinsipal) dan pihak bawahan (sebagai agen). Teori tentang hubungan kedua pihak tersebut populer dikenal sebagai teori keagenan. Hubungan eksekutif-legislatif seperti disebutkan di atas menjadi lebih menarik dengan diamandemennya UU 22/1999 menjadi UU Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada UU terbaru tersebut terjadi perubahan posisi “luasnya kekuasaan” atau kesejajaran antara legislatif sebagai prinsipal terhadap eksekutif sebagai agen. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen seperti pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan di sini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak. Halim dan Abdullah (2010), mengutip Johnson (1994) menyebutkan bahwa hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan
85
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan projects yang membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat mengusulkan programprogram baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh. Dalam konteks penyusunan anggaran, beberapa peneliti dalam Halim dan Abdullah (2010) menyatakan bahwa usulan yang diajukan oleh eksekutif memiliki muatan mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith & Bertozzi, 1998). Eksekutif mengajukan anggaran yang dapat memperbesar agency-nya, baik dari segi finansial maupun nonfinansial. Sedangkan Keefer & Khemani (2003), Mauro (1998), dan Von Hagen (2002) secara implisit menyatakan bahwa anggaran juga dipergunakan oleh legislatif (politisi) untuk memenuhi selfinterestnya. Pada akhirnya keunggulan informasi yang dimiliki oleh eksekutif yang pergunakan untuk menyusun rancangan anggaran akan berhadapan dengan keunggulan kekuasaan (discretionary power) yang dimiliki oleh legislatif. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di Indonesia Masih dalam Halim dan Abdullah (2010) disebutkan juga bahwa pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik. Dalam peraturan tersebut dinyatakan semua kewajiban dan hak pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan. Beberapa aturan yang secara eksplisit merupakan manifestasi dari teori keagenan adalah: 1. UU 22/1999 dan UU 32/2004 yang di antaranya mengatur bagaimana hubungan antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif yang dipilih dan diberhentikan oleh legislatif (UU 22/1999) atau diusulkan untuk diberhentikan (UU32/2004) merupakan bentuk pengimplementasian prinsipprinsip hubungan keagenan di pemerintahan. Eksekutif akan membuat pertanggungjawaban kepada legislatif pada setiap tahun atas anggaran yang dilaksanakannya dan setiap lima tahun ketika masa jabatan kepala daerah berakhir. 2. PP 109/2000 menjelaskan tentang penghasilan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 3. PP 110/2000, PP 24/2004, dan PP 37/2005 mengatur mengenai kedudukan keuangan anggota legislatif. 4. UU 17/2003, UU 1/2004, dan UU 15/2004 merupakan aturan yang secara tegas mengatur bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan pemeriksaan keuangan publik (negara dan daerah) dilaksanakan oleh pemerintah. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia dokumen anggaran daerah disebut anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan anggaran pasca UU 22/1999 (dan UU 32/2004) melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran.
86
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum (AKU) dan prioritas anggaran, yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan AKU dan prioritas anggaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract) , yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. Proses penyusunan anggaran (APBD) diawali dari rencana pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah daerah. Pemilihan pelayanan (dalam bentuk kegiatan) direncanakan secara bersama-sama dengan inisiatif terbesar ada di pihak eksekutif. Eksekutif kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap kegiatan, program dan prioritas anggaran. Rangkuman usulan kegiatan dan anggarannya ini kemudian disampaikan kepada legislatif untuk dibahas terlebih dahulu sebelum disahkan menjadi peraturan daerah (Perda). Realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam pengusulan belanja ini di antaranya adalah: Mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas. Mengusulkan kegiatan yang memiliki lucrative opportunities (peluang untuk
mendapatkan keuntungan pribadi) yang besar. Mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan. Mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan
anggaran setiap kegiatan. Memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.
b. Praktek teori Agensi pada Entitas non publik (sektor Swasta) Sabeni (2010) menyatakan bahwa konsep pemisahan antara kepemilikan (ownership) para pemegang saham dan pengelolaan (management) para agen atau manajer dalam perusahaan telah menjadi kajian sejak tahun 1930-an. Manajemen perusahaan publik yang besar biasanya bukan pemilik. Bahkan sebagian besar manajemen puncak ( top management ) hanya memiliki saham nominal dalam perusahaan yang mereka kelola. Dinyatakan juga dalam Sabeni (2005) bahwa perilaku dari manajer/agen untuk bertindak hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain/pemilik, dapat terjadi karena manajer mempunyai informasi yang lengkap mengenai perusahaan, sedangkan informasi tersebut tidak dimiliki oleh pemilik perusahaan (dalam hal ini timbul Asymmetric Information atau AI ). Adanya AI dan self serving behavior pada manajer/agen, memungkinkan mereka untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang kurang bermanfaat bagi perusahaan. Adanya kondisi ini menimbulkan tata kelola perusahaan yang kurang sehat karena tidak adanya keterbukaan dari manajemen untuk mengungkapkan hasil kinerjanya kepada prinsipal sebagai pemilik perusahaan. Agency Theory menganalisis dan mencari solusi atas dua permasalahan yang muncul dalam hubungan antara para principal
87
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
(pemilik/pemegang saham) dan agent mereka (manajemen). 3. Dampak Teori Agensi pada kinerja entitas secara keseluruhan Dalam kerangka umum model hubungan agensi memperlihatkan bahwa manajer melakukan maksimasi expected utility agar dapat mempengaruhi desain kontrak kerja mereka. Pemilik dan manajer secara bersama dibatasi biaya atas masalah agensi, sehingga memerlukan insentif untuk mendesain kontrak yang mengurangi secara efisien masalah agensi. Dua tokoh utama (principal dan agent) dalam interaksi bisnis tersebut sebenarnya mengarah pada kepentingan yang sama, yaitu wealth (kekayaan). Bentuk ekstrim (extreme ways) dari agency theory sendiri sebenarnya adalah ketika hubungan agensi dijadikan mekanis-matematis untuk kepentingan legitimasi kepentingan “mutualis insklusif“. Terdapat tiga masalah utama dalam hubungan agensi, yaitu : Kontrol pemegang saham kepada manajer Biaya yang menyertai hubungan agensi Menghindari dan meminimalisasi biaya agensi Hubungan agensi ini memotivasi setiap individu untuk memperoleh sasaran yang harmonis, dan menjaga kepentingan masing-masing antara agen dan principal. Hubungan keagenan ini merupakan hubungan timbal balik dalam mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing pihak yang secara eksplisit dan sadar memasukkan beberapa penekanan seperti: Kebutuhan principal akan memberikan kepercayaan kepada manajer dengan imbalan atau kompensasi keuangan Budaya organisasi yang berlaku dalam perusahaan Faktor luar seperti karakteristik industri, pesaing, praktek kompensasi, pasar tenaga kerja, manajerial dan isu-isu legal Strategi yang dijalankan perusahaan dalam memenangkan kompetisi global Ditegaskan oleh Watts (1992) dalam Elqorni (2010) bahwa hubungan agensi kaitannya dengan laporan keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan politik. Hubungan agensi dengan demikian tidak dibangun dari akar self-interest, tetapi dengan cinta. Cinta akan tetap memberi kemanfaatan materi, saling berbagi dan kebermaknaan hidup. Mudahnya, bila konsep kekayaan hanya dipandang sebagai bentuk ekonomi semata, maka yang terjadi adalah konflik kepentingan di atas hubungan kooperatif. Tetapi bila konsep kekayaan dipandang sebagai bentuk trilogi, maka ada proses trust yang masuk dalam mekanisme hubungan, trust yang didasari oleh cinta dan saling berbagi. Gagasan ini memang mirip seperti model principal-agent yang lebih teoritis dan perlu diuji secara empiris, daripada mendekat pada model positivist yang lebih empiris tetapi akan mereduksi konsep teoritis yang sebenarnya penting seperti juga ditegaskan oleh Eisenhardt (1989) dalam Elqorni (2010). Dalam rangka memotivasi para manajer dan pemegang saham agar berperilaku
88
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
dalam sikap yang memajukan tujuan perusahaan, Burdett dalam Elqorni (2010) dapat memberikan rekomendasi kepada dewan direksi, yaitu : Penilaian terhadap kinerja manajer dibuat dengan kontrak yang jelas sehingga memotivasi agen bekerja dengan kepentingan terbaik principal Principal memberikan pilihan rencana insentif jangka pendek dan jangka panjang dan agen diberikan keleluasan dengan batasan yang menguntungkan kepentingan para pemegang saham. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya: 1. Penyusunan Standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa baik untuk jabatan fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap strategis dan kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi (enforcement) tanpa ada pengecualian yang tidak masuk akal 2. Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu dengan adil dan terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama dan adil untuk “terpilih”. Terpilih artinya walaupun pejabat lain diatasnya tidak “berkenan” dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak ada alasan logis untuk menolaknya ataupun memilih yang orang lain. Disinilah peran profesionalisme dikedepankan 3. Akuntabilitas dan Transparansi setiap “proses bisnis” dalam organisasi agar memungkinkan monitoring dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum dapat diketahui dan diberikan sangsi tanpa kompromi. Oknum-oknum tersebut harus diumumkan pada publik dan tindakan apa yang telah diambil untuk menciptakan kontrol agar tidak terjadi “permainan” sehingga oknum-oknum tersebut bisa lolos dari sangsi yang berat. Oknum yang terbukti bersalah tidak berhak lagi mendapatkan “penghargaan” sehingga dapat menimbulkan efek “kapok” bagi yang lain agar tidak berani mencoba-coba. Hal yang sama juga diperlakukan pada pegawai/pejabat yang berprestasi, selain diberi reward, juga diumumkan untuk memberi efek “IDOL” sehingga ditiru oleh pegawai/pejabat lainnya. Akhirnya, akuntansi menjadi alat yang powerfull untuk memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pemilik modal di satu sisi, juga dapat memberikan manfaat injeksi modal dan investasi yang makin besar dan linier kepada agen dari pemilik modal, yaitu manajemen perusahaan, dalam mengelola perusahaan. Selain akuntansi, para pelakunya yaitu para akuntan juga memegang peranan penting, dalam menyelesaikan agency conflict dengan melakukan pembenahan melalui tata kelola perusahaan (Corporate Governance). KESIMPULAN
89
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
Dalam penyusunan dan penyiapan laporan keuangan suatu entitas, banyak sekali pertimbangan yang diperlukan, baik pengguna maupun dampak dari laporan keuangan itu sendiri. Pihak-pihak yang terlibat seringkali terjadi konflik satu sama lain, yang tujuannya tidak lain adalah untuk memaksimalkan kepentingan mereka sendiri. Benturan kepentingan yang sangat kentara terjadi antara pemilik perusahaan (prinsipal) dan pihak manajemen (agen). Meskipun untuk mencapai hal tersebut pihak manajemen (agen) terkadang menghalalkan segala cara. Konflik antara agen dan prinsipal inilah apa yang disebut dengan teori agensi. Di Indonesia entitas dibagi menjadi dua sektor; entitas sektor publik dan entitas sektor swasta, meskipun berbeda dalam kepemilikan perusahaan tetapi keduanya mempunyai persamaan sifat. Kedua entitas tersebut sama-sama terbagi dalam dua pihak yang mempunyai kepentingan terbesar, disebut dengan agen dan prinsipal. Kedua pihak tersebut seringkali terlibat dalam benturan kepentingan (conflict interest). Konflik yang ada seringkali membawa kerugian bagi banyak pihak, tidak hanya pihak yang berkonflik saja tetapi lebih luas lagi. Diperlukan suatu mekanisme yang komplek untuk menyelesaikannya baik mekanisme internal maupun eksternal. DAFTAR PUSTAKA Depken, Craig A, Giao X. Nguyen, dan Salil K. Sarkar (2010 ). ”Agency Costs, Executive Compensation, Bonding and Monitoring: A Stochastic Frontier Approach”, diakses tanggal 29 Juli 2010 pada www.google.com Elqorni, Ahmad (2010). ” Mengenal Teori Keagenan”, diakses tanggal 29 Juli 2010 pada www.google.com Halim, Abdul dan Syukriy Abdullah (2010).”Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintahan Daerah: (Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi), Jurnal Akuntansi Pemerintahan yang diakses tanggal 29 Juli 2010 pada http://www.bppk.depkeu.go.id/ Jensen, Michael C dan William H. Meckling. (1976). “Theory of the Firm : Manajerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics 3 (1976) 305-360. North-Holland Publish Company Li, Jing,
Richard Pike, dan Roszaini Haniffa (2007). “ Intellectual Capital Disclosure in Knowledge Rich Firms: The Impact of Market and Corporate Governance Factors”, Working paper series, Diakses tanggal 27 Juni 2010 dari www.britannica.com
Neumann, John von & Oskar Morgenstern (2007). ”
90
Theory of Games and
Prestasi Vol. 9 No. 1 - Juni 2012
ISSN 1411 - 1497
Economic Behavior (Commemorative Edition)”, Princenton University press Sabeni, Arifin. (2005). “Peran Akuntan dalam Menegakkan Prinsip Corporate Governance pada Perusahaan di Indonesia (Tinjauan Perspektif Keagenan)” Disampaikan Pada Sidang Senat Guru Besar Universitas Diponegoro Dalam Rangka Pengusulan Jabatan Guru Besar Scott William R. 2009, Financial Accounting Theory, Toronto, Canada : Prentice Hall, Fifth Edition Woodcock, James dan Whiting, Rosalind H. (2009). “ Intellectual Capital Disclosures by Australian Companies”. Paper accepted for presentation at the AFAANZ Conference, Adelaide, Australia, July 2009. Diakses tanggal 12 Juni 2010 dari www.otago.ac.nz
91