PR A KA RSA
COMPENDIUM JILID 3
PR AKA RSA
COMPENDIUM JILID 3
Kumpulan Artikel Pilihan dari Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia
2014-2015
02
Prakarsa Compendium, Jilid 3
Prakarsa Compendium Jilid 3
Disunting oleh Carol S. Walker, Eleonora Bergita dan Mira Renata Diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia Prakarsa Infrastruktur Indonesia adalah proyek yang didanai oleh Pemerintah Australia dan dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan meningkatkan relevansi, kualitas, dan jumlah investasi infrastruktur. Proyek ini dijalankan oleh SMEC di bawah kontrak dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT), Pemerintah Australia. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) Gedung Perkantoran Ratu Plaza, Lantai 20 Jl. Jenderal Sudirman No. 9 Jakarta 10270 Indonesia SMEC 220–226 Sharp Street (PO Box 356) Cooma NSW 2630 Australia © Persemakmuran Australia Semua kekayaan intelektual asli yang terkandung dalam dokumen ini adalah milik Persemakmuran Australia yang diwakili oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT), Pemerintah Australia. Dokumen ini hanya dapat digunakan, disalin, disebarluaskan, atau diperbanyak oleh kontraktor dan konsultan yang menyusun dokumen, laporan, rancangan, rencana, dan saran untuk IndII atau DFAT. Pendapat para penulis yang dikemukakan dalam terbitan ini tidak selalu mencerminkan pendapat pemerintah Australia. Segala upaya telah ditempuh untuk menjamin bahwa dokumen yang diacu dalam terbitan ini telah disampaikan secara benar. Meskipun demikian, IndII akan menghargai setiap masukan untuk perbaikan yang diperlukan, atau pemberitahuan mengenai dokumen sumber dan/ atau data terkini. Isi dari edisi ini, tidak termasuk pengantar, pada awalnya diterbitkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia oleh IndII dalam jurnal Prakarsa edisi Januari 2014; April 2014; Juli 2014; Oktober 2014; Januari-April 2015; Juli 2013; dan Juli 2015.
Foto Cover: Foto pertama dari atas (jalanan di Jakarta) – Foto oleh Rahmad Gunawan Foto kedua dari atas (proyek konstruksi jalan di Flores) – Atas perkenan Pino Iskandar Foto ketiga dari atas (menenun) – Atas perkenan Eleonora Bergita Foto bawah (konstruksi saluran air limbah) – Foto oleh YCCP
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Prakarsa Compendium, Jilid 3
UCAPAN TERIMA KASIH Terbitan ini merupakan himpunan artikel fitur dan kolom dari Prakarsa, jurnal triwulanan kebijakan infrastruktur yang diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didukung oleh Pemerintah Australia. Wawasan yang diperoleh melalui kerjasama dengan para mitra IndII – Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinasi Bidang Ekonomi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Perhubungan – serta para pejabat pemerintah daerah yang bekerjasama dengan konsultan IndII, telah memungkinkan adanya materi pada halaman-halaman ini. Kami sangat berhutang budi kepada setiap penulis artikel fitur. Tanpa mereka, jurnal ini tidak akan ada, dan dengan sendirinya buku ini pun juga tidak akan ada. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para ahli yang menyumbangkan pemikiran mereka dalam kolom “Pandangan Para Ahli”, yang berisi pendapat profesional mewakili pemerintah pusat dan daerah, BUMN, asosiasi, serta akademisi. IndII juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada David Ray, Direktur IndII; Jeff Bost, Wakil Direktur IndII; Jim Coucouvinis, Direktur Teknis bidang Air Minum dan Sanitasi; John Lee, Direktur Teknis bidang Transportasi; Robert Hardy, Direktur Teknis bidang Transportasi; dan Lynton Ulrich, Kepala Konsultan Keuangan Infrastruktur; atas dukungan, nasihat, dan masukan teknis mereka untuk setiap edisi Prakarsa maupun compendium ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim komunikasi IndII, Pooja Punjabi dan Annetly Ngabito untuk masukan editorialnya. ●
Carol S. Walker, Eleonora Bergita, dan Mira Renata Penyunting January 2016
Prakarsa Compendium | Jilid 3
03
04
Prakarsa Compendium, Jilid 3
DAFTAR ISI Edisi 17: Menggerakkan Orang di Jakarta
Prakata Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
08
Pengantar Direktur IndII
09
Edisi 16: Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan
61
TransJakarta: Janji Kinerja
69
Jadi, Mau Jalan-Jalan?
74
Memahami Struktur Tarif dan Sistem Tiket Transportasi Umum di Jakarta
79
Melibatkan Sektor Swasta dalam Penyediaan Layanan Transportasi Umum
83
Tema dan Prioritas Lintas Sektoral Untuk Rencana Pembangunan 2015–2019
13
Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana Penyandang Disabilitas Mengakses Sistem Transportasi Jakarta
87
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
23
Mengelola Pembiayaan Transportasi Perkotaan: Tantangan bagi Pemimpin Daerah
93
Arah Baru untuk Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia
39
Uraian Kegiatan
98 105
Uraian Kegiatan
46
Kerja Keras untuk Menyediakan Air Minum di Klaten
Rencana Pembangunan dalam Angka
55
Menggerakkan Orang di Jakarta dalam Angka
109
Pandangan Para Ahli
56
Pandangan Para Ahli
110
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Prakarsa Compendium, Jilid 3
DAFTAR ISI Edisi 18: Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Edisi 19: Mentransformasi Jalan di Indonesia
Krisis Infrastruktur Jalan di Indonesia
158
Membiayai Pembangunan Jalan Nasional Indonesia
162
Jalan Bebas Hambatan
166
Jalan Arteri Non Tol
170
Menggunakan Insentif untuk Meningkatkan Jalan Daerah
172
137
Keselamatan Jalan di Indonesia
176
146
Mentransformasi Jalan di Indonesia dalam Angka
179
Uraian Kegiatan Sisi Kemanusiaan Infrastruktur
149
Pandangan Para Ahli
180
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi dalam Angka
153
Pandangan Para Ahli
154
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia: Sebuah Dasar untuk Modalitas Saat Ini
115
Kontribusi untuk Penanggulangan Kemiskinan melalui Penyelenggaraan Layanan Daerah dalam Sektor Air Minum
121
Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum
127
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Prakarsa Compendium | Jilid 3
05
06
Prakarsa Compendium, Jilid 3
DAFTAR ISI Edisi 20: Suara dari Sektor Swasta
Edisi 21: Kampanye Sanitasi Publik
Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
184
Refleksi dan Tinjauan: Kampanye Sanitation Public Diplomacy IndII
236
Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan
192
Apa Yang Membuat Remaja Peduli Terhadap Sanitasi?
243
Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
200
Pemenang Kompetisi Esai Pendek untuk Pelajar
247
Angkutan Umum Perlu Investasi dan Keahlian Pihak Swasta
208
Manfaat Sanitasi bagi Lingkungan dan Kesehatan
250
Peran Sektor Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia
214
Impian Kota 1000 Sungai
253 256
Peran Sektor Swasta dalam Mengembangkan Pelabuhan di Indonesia
220
Indonesia dan “Gengsinya” tentang Sanitasi Kisah Sanitasi di Tepi Sungai Musi
258
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
224
Hidup yang Lebih Sehat Melalui Sambungan ke Sistem Air Limbah
262
Suara dari Sektor Swasta dalam Angka
233
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Prakarsa Compendium, Jilid 3
DAFTAR ISI Edisi 21: Kampanye Sanitasi Publik (bersambung)
Ciptakan Lingkungan Sehat dan Bersih
266
Menciptakan Kebutuhan akan Sanitasi yang Lebih Baik: Mengambil Langkah-Langkah Awal
271
Meningkatkan Kesadaran tentang Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia melalui Media Sosial
279
Kampanye Sanitasi Publik dalam Angka
283
Pandangan Para Ahli
284
Prakarsa Compendium | Jilid 3
07
08
Prakarsa Compendium, Jilid 3
PRAKATA
Dr. Ir. Luky Eko Wuryanto Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Pembelanjaan kami di bidang infrastruktur seketika mendorong perekonomian, baik langsung maupun tidak langsung, dan dapat menambah sampai 0.6 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) setelah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terserap semua. Dalam jangka panjang, pembelanjaan kami akan membantu Indonesia untuk menduduki tempat sebagaimana mestinya sebagai salah satu pemimpin ekonomi di antara negara-negara ASEAN. Namun memenuhi kebutuhan Indonesia akan infrastruktur melibatkan jauh lebih banyak hal daripada sekadar dana dari APBN. Tugas kami jauh lebih kompleks. Kami hari memastikan bahwa dana dialokasikan pada proyek-proyek dengan prioritas tertinggi yang memiliki dampak jangka panjang terbesar. Kami harus melanjutkan upaya kami untuk menanggulangi kendala yang menghambat investasi, seperti perlu adalah lingkungan peraturan yang sehat dan transparan, kesulitan dalam pembebasan tanah, dan penempatan risiko yang risiko. Kami harus senantiasa meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga kami dan mutu tata kelola pemerintahan. Kami harus memastikan ketersediaan kerangka kerja untuk mendorong investasi dari sektor swasta, mengingat bahwa Pemerintah sendiri tidak mampu membiayai semua proyek infrastruktur yang diperlukan. Kami juga harus memerhatikan kesejahteraan masyarakat yang kehidupannya diperkaya secara signifikan dengan adanya akses pada air bersih, sanitasi yang sehat, dan jalan yang aman agar membawa mereka menuju kesejahteraan. Hampir semua negara maju pernah menghadapi tantangan yang sama. Itu sebabnya kami menegaskan penghargaan kami pada kemitraan kami dengan Australia. Sebagai proyek yang didukung oleh Australia, Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) membantu kami dalam menggali dan mengevaluasi strategi dan modalitas yang akan membawa kami menuju pembangunan infrastruktur yang paling efisien. Kami mencita-citakan masa depan yang gemilang bagi Indonesia dengan jalan-jalan nasional dan subnasional, pelabuhan, kereta api, dan sistem penerbangan yang akan menarik investasi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kami menyambut baik partisipasi tetangga kami, Australia, dalam meraih cita-cita tersebut. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Prakarsa Compendium, Jilid 3
PENGANTAR
David Ray Direktur IndII
Jilid ketiga Prakarsa Compendium mencakup edisi Prakarsa selama periode Januari 2014 sampai April 2015. Diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didukung oleh Pemerintah Australia, Prakarsa memberikan wawasan berlatar belakang kebijakan serta menguraikan tentang kendala, praktik terbaik, dan strategi inovatif yang dapat membantu menyumbang pada pembangunan bangsa. Isu-isu yang tercakup dalam jilid ini meliputi pandangan umum tentang permasalahan mendesak yang perlu ditanggulangi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); masalah TransJakarta, khususnya dalam hal tarif dan tiket, pembiayaan, peran sektor swasta, serta disabilitas dan angkutan umum; penyediaan layanan Air Minum dan Sanitasi di daerah yang mencakup kajian tentang modalitas saat ini, bagaimana air minum dan sanitasi dapat menyumbang pada pengentasan kemiskinan, penyusunan indeks untuk meningkatkan tata kelola, dan pembiayaan business-to-business untuk mentransformasi jalan raya nasional di Indonesia yang meliputi serangkaian “Road Advisory Notes” (Catatan Saran untuk Jalan) tentang kebutuhan kritis dalam pembiayaan pembangunan jalan; dan ulasan tentang Kampanye Diplomasi Sanitasi Publik dari IndII. Sebagaimana ditunjukkan oleh isu-isu yang tampil dalam kumpulan jilid ini, pendekatan Australia dalam kerja sama dengan Indonesia tidak sekadar untuk membangun jalan atau menyambung pipa. Lebih-lebih, tujuannya adalah untuk mendorong pemikiran baru tentang cara mencapai pembangunan yang berkelanjutan - apakah dengan memperbaiki tata kelola di sektor air minum pada tatanan lokal, memperagakan bagaimana insentif dapat mendorong peningkatan dalam pemeliharaan jalan, atau memperjuangkan partisipasi swasta dalam membiayai dan membangun infrastruktur. Prakarsa adalah salah satu sarana penting bagi IndII untuk memastikan agar masalah gender dan disabilitas tidak terlupakan oleh para pengambil keputusan di bidang kebijakan infrastruktur. Dalam Compendium jilid tiga ini, kami menyoroti masalah mobilitas perkotaan dengan berbagi kisah tangan pertama dari para perempuan dan orang-orang penyandang disabilitas tentang pengalaman mereka menggunakan angkutan umum, dan mengangkat berbagai sudut pandang dan pendapat masyarakat tentang kualitas angkutan umum, serta layanan air minum dan sanitasi. Kini, para pemangku kepentingan dan pembaca kami sudah kenal dekat dengan ciri khas Prakarsa. Intinya adalah untuk memajukan dan melanjutkan dialog guna membantu pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang pemerintah Indonesia di sektor infrastruktur. Compendium ini dimaksudkan sebagai dokumen acuan yang dapat diakses dan relevan bagi semua pemangku kepentingan yang bekerja erat dalam penanggulangan tantangan infrastruktur di Indonesia. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
09
Perencanaan Pembangunan 2015–2019 Edisi 16, Januari 2014
• Tema dan Prioritas Lintas Sektoral Untuk Rencana Pembangunan 2015–2019 • Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi • Arah Baru untuk Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia • Uraian Kegiatan
POIN-POIN UTAMA Apabila Indonesia bermaksud mencapai tujuannya secara matang dalam sektor infrastruktur pada tahun 2025, maka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Indonesia tahun 2015–2019 (RPJMN) harus melampaui pendekatan “melakukan bisnis seperti biasa” (business as usual). Struktur kelembagaan saat ini menggunakan pendekatan sektoral untuk mengatasi berbagai masalah. Tetapi penanganan empat tema lintas sektoral – manajemen aset, desentralisasi, partisipasi sektor swasta, dan insentif berbasis kinerja – dapat meningkatkan efektivitas RPJMN secara signifikan. Manajemen aset memberikan pedoman perencanaan, akuisisi, pengoperasian dan pemeliharaan, pembaharuan dan penjualan aset, dengan tujuan untuk memaksimalkan penyelenggaraan layanan sekaligus mengelola risiko dan meminimalkan biaya selama umur manfaat aset. Secara umum, keputusan tentang penganggaran, perencanaan, dan investasi pada saat ini tidak mencakup strategi manajemen aset yang tepat, khususnya terkait dengan pemeliharaan dan pembaharuan. Akibatnya, upaya-upaya untuk meningkatkan aset infrastruktur yang produktif terkikis oleh depresiasi dan kegagalan prematur yang begitu cepat dari aset tersebut. Pemerintah dan khususnya para pengguna menanggung biaya yang tinggi. Di semua sektor, manajemen aset yang buruk sebagian besar disebabkan oleh dua hal, yaitu kurangnya struktur insentif yang memberi penghargaan kepada pengelolaan yang baik dan kurangnya akuntabilitas yang memberikan hukuman kepada pengelolaan yang buruk. Desentralisasi pada umumnya dipandang sebagai tantangan yang harus diatasi daripada sebagai sebuah kesempatan – sebuah pandangan yang dapat dipahami mengingat kondisi jaringan jalan yang semakin buruk, tidak adanya peningkatan layanan air minum, dan fokus Pemerintah Daerah yang lebih kepada pengeluaran administrasi. Akan tetapi, model penyediaan aset dari Pemerintah Pusat tidak selalu efektif, khususnya apabila aset tersebut disediakan oleh Pemerintah Pusat tetapi diabaikan atau tidak digunakan oleh Pemerintah Daerah yang tidak memiliki aset tersebut. Hibah infrastruktur yang didanai oleh Australian Aid yang dilaksanakan oleh IndII dapat membantu mengubah persepsi tentang efektivitas instrumen pendanaan terdesentralisasi. Hibah tersebut menyelaraskan insentif di semua tingkat pemerintahan dan telah menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah memiliki keinginan kuat untuk memperoleh kepemilikan atas investasi daripada sekedar menerima aset dari Pemerintah Pusat yang cenderung dipaksakan. Partisipasi sektor swasta Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) telah mendapat dorongan selama beberapa tahun terakhir, tetapi keterlibatan sektor swasta tidak menunjukkan kemajuan yang berarti dengan berbagai alasan. Tulisan ini memberi perhatian pada dua isu penting yang seringkali diabaikan, yaitu dinamika pengalihan risiko dan kebutuhan untuk menekankan prinsip sesuai dengan nilai uang ekonomis dan manfaat (value-for-money). Idealnya, risiko harus dialihkan kepada para pihak yang paling mampu menanganinya. Namun demikian, masalah umum yang dihadapi di Indonesia adalah bahwa instansi yang mengeluarkan kontrak cenderung memberikan terlalu banyak pembatasan, persyaratan dan harapan terhadap pengalihan risiko kepada sektor swasta sehingga menyulitkan pengaturan transaksi yang layak secara finansial. Hal ini berkaitan dengan isu kedua, yaitu bahwa fokus pemerintah terhadap sektor swasta hanya sebagai sumber pendanaan daripada sebagai alat untuk memberikan insentif kepada penyelenggaraan dan kinerja pelayanan yang lebih baik. Insentif berbasis kinerja memiliki potensi yang sangat besar. Sistem perencanaan dan penyelenggaraan yang diterapkan saat ini berbasis masukan dan seringkali diwarnai oleh inefisiensi dan pemborosan. Persyaratan bahwa indikator kinerja atau keluaran harus dicapai terlebih dahulu sebelum pembayaran dilakukan merupakan perangkat yang sangat berguna untuk meminimalkan risiko dan meningkatkan transparansi. Insentif kinerja dapat diarus-utamakan ke dalam sebagian besar proses perencanaan dan penyelenggaraan infrastruktur, termasuk dalam hibah antar-lembaga pemerintah untuk meningkatkan efisiensi investasi publik. Kontrakkontrak berbasis kinerja yang diberikan secara kompetitif dalam berbagai bidang penting seperti pengoperasian dan pemeliharaan menjanjikan sesuatu yang penting untuk meningkatkan penyelenggaraan layanan.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
TEMA DAN PRIORITAS LINTAS SEKTORAL UNTUK RENCANA PEMBANGUNAN 2015–2019 Perencanaan infrastruktur untuk rencana pembangunan lima tahun umumnya dilakukan dengan pendekatan per sektor. Namun ada baiknya juga mempertimbangkan masalah lintas sektoral, seperti meningkatkan manajemen aset, secara efektif melaksanakan desentralisasi, mendorong partisipasi sektor swasta, dan memanfaatkan insentif berbasis hasil. Oleh David Ray
Rencana pembangunan lima tahun Indonesia (RPJMN) untuk periode 2015–2019 saat ini sedang disusun dan akan memuat kerangka kebijakan Pemerintah Pusat untuk pemerintahan nasional mendatang, yang akan diterapkan setelah pemilihan presiden bulan Oktober 2014. RPJMN mendatang ini merupakan segmen lima tahun ketiga dari rencana pembangunan jangka panjang 20 tahun (RPJPN). Pada tahun 2025, RPJPN menguraikan rencana ambisius untuk sebuah sektor infrastruktur yang mapan dan matang, yang mampu mendukung sepenuhnya kebutuhan sosial dan perekonomian nasional. Dengan batas waktu 10 tahun untuk mencapai tujuan tersebut, saat ini berkembang pandangan bahwa pendekatan “melakukan bisnis seperti biasa” (business as usual) tidak lagi menjadi pilihan. Defisit infrastruktur di Indonesia semakin tinggi dan diperlukan perubahan penting dalam kerangka kebijakan, perencanaan dan penyelenggaraan. RPJMN dapat memberikan visi dan alasan untuk perubahan tersebut.
Tulisan ini disusun tidak dengan maksud memberikan penilaian komprehensif terhadap dokumen-dokumen RPJMN sebelumnya maupun mengidentifikasi setiap kesenjangan dan langkah perbaikan terkait yang diperlukan. Namun demikian, tulisan ini akan menyoroti satu bidang dalam RPJMN sehingga topik Infrastruktur dalam dokumen RPJMN dapat diperkuat: dengan menekankan sejumlah tema dan prioritas lintas sektoral utama. Ada berbagai masalah dan isu yang berdampak terhadap semua sektor infrastruktur di Indonesia, mulai dari akses lahan, ketidakpastian peraturan, dominasi BUMN yang terus berlangsung hingga hambatan kapasitas kelembagaan. Hal tersebut, dan juga berbagai isu lintas sektoral lainnya cenderung ditangani di tingkat sektoral oleh bagian terkait di dalam garis kementerian dan/atau divisi khusus di dalam garis kementerian koordinasi, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Bappenas. Ini tidak berarti bahwa tidak ada keinginan untuk membahas isu-isu tersebut secara lebih terpadu dalam lingkungan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
13
14
Tema dan Prioritas Lintas Sektoral untuk Rencana Pembangunan 2015–2019
lintas sektoral. Akan tetapi, struktur kelembagaan saat ini cenderung menerapkan penanganan vertikal daripada horisontal terhadap masalah-masalah infrastruktur. Hal ini juga berlaku dalam proses RPJMN. Bab-bab terkait infrastruktur dalam dokumen RPJMN cenderung memiliki fokus sektoral yang kuat tanpa memberikan pembahasan yang memadai terhadap masalah dan isu dari sudut pandang lintas sektoral. Pada setiap bagian utama dokumen, ditampilkan berbagai pembahasan di tingkat sektoral, yang mencakup sumber daya air minum, transportasi, perumahan dan pemukiman, telekomunikasi dan energi. Berdasarkan pembelajaran penting yang diperoleh dari pengalaman IndII, makalah ini mengusulkan empat tema lintas sektoral utama yang berpotensi membingkai sebagian besar pembahasan tentang topik infrastruktur dalam RPJMN, yaitu: • Manajemen aset • Desentralisasi • Partisipasi sektor swasta • Insentif berbasis kinerja Pembahasan ini mencakup berbagai isu kebijakan dan merupakan tantangan yang akan dihadapi oleh Pemerintah Pusat yang akan datang. Walaupun bukan merupakan daftar lengkap, keempat tema tersebut harus mendapat prioritas karena keempatnya dapat dilaksanakan, dapat dicapai, dan secara signifikan meningkatkan efektivitas RPJMN. Lebih lanjut, sebagaimana akan dapat dilihat dalam pembahasan di bawah ini, tema-tema tersebut agak saling terkait dan saling menguatkan. Misalnya, penerapan sistem penyelenggaraan berbasis kinerja melalui keterlibatan sektor swasta dapat menjadi perangkat kebijakan penting untuk meningkatkan manajemen aset oleh instansi-instansi Pemerintah Daerah.
Manajemen Aset
Manajemen aset adalah suatu proses sistematik yang berfungsi sebagai pedoman perencanaan, pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan, pembaharuan dan penjualan aset. Tujuan utama manajemen aset adalah untuk memaksimalkan potensi penyediaan jasa dan mengelola risiko-risiko dan biaya-biaya terkait selama umur manfaat aset1. Manajemen aset, khususnya dimensi pemeliharaan dan pembaharuannya, dapat dikatakan sebagai materi penting yang hilang dalam berbagai wacana kebijakan dan publik mengenai infrastruktur Indonesia. Kurang ada kesadaran
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Hibah Berbasis Kinerja untuk Pemeliharaan Jalan Daerah? Sejak desentralisasi, kondisi jalan daerah semakin memburuk. Sebagian masalah timbul karena pengaturan tata kelola pemerintahan saat ini yang tidak menuntut pertanggungjawaban instansi-instansi Pemerintah Daerah atas kinerja mereka dalam pemeliharaan jaringan jalan daerah. Seringkali penilaian terhadap hasil cenderung dilakukan berdasarkan visibilitas proyek-proyek lepas, bukan kinerja jaringan jalan secara keseluruhan. Pada era pasca desentralisasi, keputusan perencanaan dan penganggaran cenderung diambil berdasarkan sejumlah kecil kriteria objektif tetapi dengan tekanan dan manipulasi politik yang besar. Akibatnya, kegiatan pemeliharaan rutin dan berkala yang relatif sederhana, tetapi sangat penting menjadi terabaikan. Instansi daerah bukan saja kurang memiliki kerangka pedoman, melainkan juga kemampuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pemeliharaan, merencanakan dan menyusun program pekerjaan yang diperlukan secara objektif. Sebelum desentralisasi, kerangka pedoman untuk penganggaran dan perencanaan, termasuk kajian mitra (peer review) yang penting disediakan melalui proses yang dikenal dengan SK77 dari Pemerintah Pusat. Namun demikian, proses ini tidak lagi dipatuhi. Direktorat Jenderal Bina Marga (Ditjen Bina Marga) tetap mencantumkan peningkatan fasilitasi dan dukungan untuk jalan daerah sebagai salah satu tujuan strategis utamanya, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan tujuan ini. Lebih lanjut, Dirjen Bina Marga menegaskan rencana satuan kerja dan dana pemeliharaan jalan sebagai insentif bagi Pemerintah Daerah untuk mengupayakan praktik-praktik pemeliharaan yang efektif. Program seperti itu dapat dilaksanakan melalui Hibah berbasis kinerja yang mewajibkan penerima hibah untuk memenuhi standar penganggaran dan perencanaan.
dan pemahaman yang memadai tentang manfaat ekonomi dari manajemen aset selama masa umur manfaatnya. Akibatnya, keputusan tentang penganggaran, perencanaan, dan investasi biasanya diambil tanpa memberikan perhatian yang memadai terhadap pemeliharaan yang akan dilakukan atas aset yang diperoleh. Kerangka peraturan dasar untuk manajemen aset telah tersedia2. Selain kepatuhan terhadap kerangka ini, hanya ada sedikit komitmen nyata. Bila ada, hanya sedikit instansi, di setiap tingkat pemerintahan, yang memiliki kebijakan, rencana, dan strategi manajemen aset yang diuraikan dan/atau berfungsi dengan baik. Selain itu, kebanyakan pernyataan kebijakan penting dari Pemerintah Pusat tidak dilengkapi dengan prinsip-prinsip pedoman manajemen aset. Bagi banyak pejabat, baik di tingkat Pusat maupun Daerah, manajemen aset hanya memaparkan
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Struktur kelembagaan saat ini cenderung menerapkan penanganan vertikal daripada horisontal terhadap masalah-masalah infrastruktur. pengembangan daftar aset, dan banyak instansi pemerintah (mungkin sebagian besar) yang menghadapi kesulitan untuk mengidentifikasi daftar aset mereka. Sebagian besar cerita umum tentang masalah infrastruktur di Indonesia terpusat pada kebutuhan akan investasi baru. Tetapi, upaya utama untuk meningkatkan persediaan infrastruktur produktif terkikis oleh depresiasi dan kegagalan prematur yang demikian cepat dari aset yang telah terpasang. Dengan meminjam istilah setempat, infrastruktur Indonesia sebagian besar jalan di tempat (tidak menunjukkan kemajuan): secepat infrastruktur baru terpasang, secepat itu pula kapasitas aset yang ada hilang entah kemana. Sebagaimana dicatat dalam tulisan tentang air minum dan sanitasi berikut ini, selama satu setengah dekade terakhir, walaupun terdapat peningkatan investasi yang substansial – khususnya di tingkat nasional – hanya terdapat sedikit perubahan dalam jumlah kapasitas produksi terpasang di sektor air minum (diukur dengan liter air per detik). Keputusasaan masyarakat akibat standar penyediaan infrastruktur yang buruk seringkali lebih berkaitan dengan cepat rusaknya infrastruktur yang ada, daripada kebutuhan investasi baru. Contoh penting adalah protes yang terjadi setiap tahun terhadap buruknya standar jalan daerah dan nasional untuk mengakomodasi besarnya pergerakan manusia ke/dari berbagai kota selama Hari Raya Idul Fitri, serta kejadian bencana seperti runtuhnya jembatan Kutai Kartanegara pada tahun 2011, hanya 10 tahun setelah pembangunan awalnya. Manajemen aset yang buruk berarti biaya tinggi bagi pemerintah dan para pengguna. Tidak adanya pemeliharaan aset yang efektif (biasanya ditambah dengan pekerjaan konstruksi awal yang buruk dan seringkali standar rancangan yang tidak tepat) mempersingkat usia ekonomis, sehingga mengakibatkan pengeluaran yang tidak efisien dan boros untuk konstruksi baru dan rehabilitasi. Dalam hal jalan di daerah, misalnya, perkerasan biasanya mulai rusak dalam jangka waktu dua hingga tiga tahun, bukan 10 tahun atau lebih sebagaimana asumsi normal apabila jalan tersebut dikelola dengan lebih baik. Selain itu, kurangnya investasi dalam pemeliharaan membuat konstruksi jalan pada akhirnya menjadi tiga hingga lima kali lipat lebih mahal.
Tetapi biaya tersebut tidak seberapa dibandingkan dengan biaya yang ditanggung para pengguna jalan, khususnya apabila jalan dibiarkan terbengkalai selama jangka waktu panjang. Analisis IndII menunjukkan bahwa apabila waktu tanggap untuk memperbaiki jalan diperpanjang hingga 12 bulan, bukannya dua bulan, seluruh biaya tambahan yang ditanggung para pengguna jalan dapat meningkat 10 kali lipat dibandingkan biaya tambahan yang harus ditanggung oleh instansi pengelola jalan. Temuan tersebut berlaku untuk sebagian besar sektor infrastruktur lainnya. Studi yang dilakukan pada tahun 2008 terhadap manajemen aset PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) di 15 lokasi menemukan kurangnya komitmen kelembagaan dan kapasitas organisasi terkait dengan manajemen aset. Studi tersebut menyimpulkan bahwa rata-rata setiap USD 100 yang diinvestasikan dalam peningkatan manajemen aset akan menghasilkan penghematan di masa yang akan datang sebesar kurang lebih USD 900 (bergantung pada tingkat pelaksanaan manajemen aset dan persetujuan oleh manajemen PDAM dan badan lembaga pemerintah lainnya). Berbagai faktor ikut memberikan andil dalam masalah manajemen aset infrastruktur di Indonesia, yang sebagian besar terkait secara spesifik terhadap sektor tersebut, misalnya dalam bidang jalan: beban berlebih dan standar rancangan yang tidak sesuai. Di bawah ini dibahas dua tema umum, yang diambil dari konteks teknik yang berbeda, yang berkaitan dengan insentif dan akuntabilitas. Pertama, struktur insentif saat ini memainkan peran penting dalam menjelaskan mengapa aset infrastruktur cenderung tidak dikelola dengan baik. Konstruksi awal seringkali dilakukan oleh satu pihak, dan pemeliharaan dan pekerjaan pembaharuan lainnya di bagian hilir dilakukan oleh pihak lain. Hal ini memberikan potongan insentif selama masa konstruksi, karena risiko hilir akan ditanggung oleh pihak lain, sehingga menghasilkan apa yang disebut masalah “bahaya moral” (moral hazard). Selain itu, seringkali aset utama seperti jalan raya dipelihara oleh para manajer dan pekerja yang dipekerjakan secara swakelola oleh masyarakat yang secara keseluruhan tidak memiliki insentif produktivitas dan kinerja untuk menjamin praktik-praktik pemeliharaan yang efektif.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
15
16
Tema dan Prioritas Lintas Sektoral untuk Rencana Pembangunan 2015–2019
Suatu strategi untuk mewujudkan umur-manfaat ekonomis yang lebih baik dari investasi infrastruktur adalah dengan mempertimbangkan modalitas penyelenggaraan berbasis kinerja, termasuk menunjuk satu pihak tertentu yang bertanggung jawab terhadap perancangan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan aset, dan memberikan remunerasi berkala kepada pihak tersebut berdasarkan kinerja aset. Untuk aset yang sudah ada, pengaturan kontrak berbasis kinerja dapat dieksplorasi untuk tugas-tugas pengoperasian dan pemeliharaan. Selain itu, insentif kinerja dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penyelenggaraan melalui pengadaan sektor publik yang lebih tradisional, misalnya memberikan remunerasi untuk unit jalan swakelola per unit keluaran, seperti panjang saluran yang dibersihkan atau jumlah lubang yang diperbaiki. Selain itu, insentif untuk peningkatan kebijakan dan praktik manajemen aset dapat diarusutamakan menjadi persyaratan hibah antar-lembaga pemerintah. Secara khusus, DAK (Dana Alokasi Khusus, yang saat ini merupakan sumber utama pendanaan hibah infrastruktur yang dilaksanakan secara lokal dari Pemerintah Pusat) tidak mencakup investasi dalam pemeliharaan rutin dan berkala. Kedua, kurangnya akuntabilitas dan tanggung jawab atas kondisi aset, pemanfaatan dan kinerja merupakan masalah penting lainnya yang memperlemah manajemen aset. Instansi terkait infrastruktur pada umumnya tidak dimintai pertanggungjawaban atas kinerja mereka terkait manajemen aset. Berbagai pilihan berbasis pengaturan dan insentif dapat digunakan untuk meningkatkan akuntabilitas, termasuk penalti bagi para manajer infrastruktur yang lalai mengambil tindakan yang masuk akal untuk memelihara kapasitas produktif aset yang berada di bawah pengawasan langsung mereka. Pengukuran berbasis transparansi yang melibatkan masyarakat dan kelompok pengguna mungkin dapat juga membantu prakarsa untuk mendorong akuntabilitas. Kesimpangsiuran atau ketidakpastian terkait instansi mana yang bertanggungjawab terhadap sebuah aset tertentu turut mengurangi akuntabilitas. Hal ini berlaku baik secara horisontal antar instansi di lingkungan lembaga pemerintah yang sama maupun secara vertikal antar tingkat lembaga pemerintah yang berbeda. Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh sebelumnya, terdapat ketidakpastian mengenai instansi mana yang menguasai kepemilikan dan dengan demikian bertanggung jawab atas sebagian besar infrastruktur koridor TransJakarta, seperti halte, jembatan pejalan kaki dan trotoar. Hal ini dapat mengurangi insentif untuk pemeliharaan aset tersebut. Secara vertikal, masalah umum terjadi apabila suatu aset infrastruktur disediakan oleh Pemerintah Pusat, tetapi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dengan sejumlah kecil keterlibatan atau kepemilikan Pemerintah Daerah yang menerimanya. Selain itu, status pengalihan seringkali cukup jelas bahwa pada dasarnya aset tersebut tidak menjadi milik instansi manapun. Pemerintah Daerah seringkali mengeluhkan tentang adanya aset infrastruktur yang tidak diinginkan atau tidak sesuai, yang diberikan Pemerintah Pusat kepada mereka, dan cenderung tidak memberikan dukungan dari anggaran tahun berjalan untuk pemeliharaan dan perawatannya. Pendekatan umum yang digunakan adalah dengan membiarkan aset tersebut menjadi rusak dan kemudian memperoleh penggantian yang diberikan dari Pemerintah Pusat, mungkin hanya dalam waktu beberapa tahun. Sebagaimana akan dibahas pada bagian di bawah ini, penerusan hibah berbasis kinerja telah terbukti menjadi alat yang efektif untuk membangun kepemilikan dan keterlibatan Pemerintah Daerah dan memberikan alternatif terhadap model penyediaan “dari atas ke bawah” (top-down).
Desentralisasi
Di negara besar dan beragam seperti Indonesia, logika tentang desentralisasi cukup menarik. Instansi-instansi yang beroperasi di daerah harus lebih transparan dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini terutama terjadi dalam penyelenggaraan layanan infrastruktur, yang tanggung jawab penyelenggaraan layanan air minum, sanitasi, jalan umum, dan transportasi serta layanan lainnya telah dialihkan ke daerah sebagai bagian dari upaya desentralisasi secara besar-besaran di Indonesia pada awal tahun 2000-an. Namun demikian, dalam berbagai cerita seputar masalah infrastruktur di Indonesia, desentralisasi pada umumnya dipandang sebagai “tantangan” lain yang harus diatasi. Jarang sekali kita mendengar tentang peluang yang dihadirkan sebagai akibat penerapan desentralisasi dalam meningkatkan penyelenggaraan layanan infrastruktur. Hal ini cukup dapat dipahami, mengingat apa yang telah terjadi sejak desentralisasi diluncurkan. Jaringan jalan di daerah telah mengalami kerusakan yang cukup mengkhawatirkan, jumlah keluarga yang memiliki jaringan air minum menurun tajam, dan investasi dalam bidang sanitasi di daerah tetap rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Selain itu, walaupun sesungguhnya pengeluaran untuk layanan Pemerintah Daerah mengalami peningkatan, tidak cukup bukti adanya peningkatan yang sepadan dalam kualitas layanan yang diberikan. Belanja daerah tampak didominasi oleh pengeluaran administrasi. Berbekal hasil observasi tersebut, mudah untuk menyimpulkan bahwa desentralisasi telah gagal dalam menyediakan infrastruktur dan lebih lanjut, argumentasinya adalah bahwa diperlukan resentralisasi di tingkat yang lebih tinggi (yaitu, penyediaan infrastruktur melalui pendekatan
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Jatuhnya jembatan Kutai Kartanegara di tahun 2011, yang terjadi hanya berjarak sepuluh tahun setelah jembatan itu dibangun, menunjukkan dengan jelas masalah kemunduran terus-menerus aset infrastruktur yang ada.
top-down). Semakin sering kita mendengar adanya keengganan dari Kementerian Pusat untuk meningkatkan pengalihan kepada Pemerintah Daerah. Bahkan dalam bidang-bidang yang biasanya Pemerintah Pusat lebih mendukung desentralisasi, timbul kekuatan yang pro- dan anti-desentralisasi. Kekuatan yang disebut terakhir ini didorong oleh kekecewaan terhadap Pemerintah Daerah yang telah gagal dalam penyelenggaraan infrastruktur meskipun pendanaan telah ditingkatkan.
Atas perkenan Arief Rahman Saan (Ezagren)
Instansi lini utama yang menangani masalah infrastruktur biasanya mendukung sentralisasi yang lebih besar. Jelas terdapat insentif kelembagaan yang kuat untuk mempertahankan kekuasaan atas anggaran nasional yang besar untuk infrastruktur daerah, daripada mengalihkan tanggung jawab pelaksanaan kepada daerah. Biasanya hal ini dibenarkan dengan alasan bahwa Pemerintah Daerah tidak memiliki kapasitas yang diperlukan untuk melakukan penyelenggaraan infrastruktur. Namun
Prakarsa Compendium | Jilid 3
17
18
Tema dan Prioritas Lintas Sektoral untuk Rencana Pembangunan 2015–2019
demikian, model penyediaan oleh Pemerintah Pusat tidak selalu efektif, khususnya apabila aset disediakan oleh Pemerintah Pusat tetapi dengan sedikit atau tanpa kepemilikan atau keterlibatan dari pihak Pemerintah Daerah sebagai penerima, sehingga mengakibatkan depresiasi aset yang cepat atau – yang lebih buruk lagi – aset tersebut tidak digunakan. Dalam hal ini, sektor air minum dan sanitasi merupakan kasus yang menarik. Walaupun sektor air minum dan sanitasi ditetapkan sebagai fungsi daerah, anggaran untuk pelaksanaan Pemerintah Pusat telah mengalami peningkatan tajam selama beberapa tahun terakhir dan hal ini tidak seimbang dengan pertumbuhan pengalihan dari Pemerintah Pusat untuk infrastruktur yang dilaksanakan secara lokal (yaitu, melalui DAK). Dalam sektor sanitasi, IndII memperkirakan bahwa rata-rata Pemerintah Pusat membelanjakan kurang lebih delapan sampai dengan sembilan kali jumlah yang dialihkan kepada Pemerintah Daerah untuk tujuan pelaksanaan di daerah. Kasus ini dan kasus-kasus yang menunjukkan fungsi “daerah” sebagian besar didanai di tingkat pusat, menimbulkan pertanyaan bagi para pembuat kebijakan tentang peran Pemerintah Daerah di masa yang akan datang dalam penyelenggaraan layanan infrastruktur daerah. Pada situasi ini mungkin hibah untuk infrastruktur yang didanai oleh Pemerintah Australia yang dilaksanakan oleh IndII dapat memainkan peran penting: hibah tersebut dapat mengubah persepsi tentang efektivitas instrumen pendanaan terdesentralisasi serta mengubah sikap Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah terkait infrastruktur. Pelajaran penting terkait kebijakan dari program Hibah infrastruktur yang didanai oleh Pemerintah Australia melalui IndII adalah bahwa Hibah tersebut dapat menyelaraskan insentif kelembagaan di seluruh tingkat pemerintahan untuk peningkatan investasi infrastruktur daerah. Hibah berbasis hasil (output-based-aid) telah menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah memiliki keinginan kuat untuk memperoleh kepemilikan atas investasi tersebut daripada menerima aset yang dipaksakan dari Pemerintah Pusat. Selain itu, analisis dampak awal menunjukkan bahwa hibah tersebut telah mendorong investasi modal Pemerintah Daerah dalam PDAM dan bahwa investasi yang dilakukan oleh penerima Hibah secara signifikan lebih efisien daripada investasi yang dilakukan oleh pihak non-penerima hibah. Secara keseluruhan, hibah tersebut juga telah terbukti merupakan instrumen yang bermanfaat untuk meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah terhadap penyelenggaraan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
layanan air minum daerah, dan mendorong kebijakan dan prioritas terkait air minum nasional di tingkat daerah. Namun demikian, temuan tersebut tidak perlu dibatasi pada sektor air minum. Hibah berbasis kinerja dapat juga digunakan untuk mencapai tujuan nasional dalam bidang jalan daerah (lihat kotak di hal. 14). Tema-tema kebijakan lintas sektoral utama seperti peningkatan komitmen Pemerintah Daerah terhadap manajemen aset dapat juga dicapai melalui hibah berbasis kinerja. Begitu banyak tulisan tentang insentif yang kurang terstruktur dalam transfer fiskal antar-lembaga pemerintah di Indonesia. Dominasi pengeluaran administrasi dan pegawai dalam belanja daerah, sebagaimana disebutkan di atas, sebagian besar terjadi akibat pengaturan pendanaan antar-lembaga pemerintah saat ini yang mendukung belanja modal yang berulang (yaitu, gaji untuk investasi dalam infrastruktur). Hibah menunjukkan bahwa insentif kinerja dalam pengalihan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah cukup efektif dalam meningkatkan hasil di tingkat daerah, yaitu menarik investasi dalam infrastruktur produktif. Langkah berikutnya adalah meningkatkan Hibah tersebut dari perangkat penyelenggaraan yang bermanfaat untuk para donor menjadi mekanisme pengalihan multi sektor yang baru yang menjadi arus utama dalam proses penganggaran nasional.
Partisipasi Sektor Swasta
Selain sejumlah kebijakan penting terkait Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) dan upaya-upaya pengembangan kelembagaan yang dilakukan beberapa tahun terakhir, keterlibatan sektor swasta dalam penyelenggaraan layanan infrastruktur di sektor-sektor utama, seperti transportasi, air minum dan sanitasi tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Banyak pendapat terkait faktorfaktor yang menghambat KPS, seperti isu-isu koordinasi kelembagaan dan kepemimpinan, masalah pembebasan lahan, identifikasi dan persiapan proyek yang buruk, dan ketidakpastian peraturan yang terus berlanjut. Untuk memperluas diskusi lebih jauh, fokus kami dalam makalah ini terletak pada dua isu penting lainnya yang seringkali terabaikan dalam upaya berkelanjutan yang dilakukan oleh Indonesia untuk mendorong KPS. Isu pertama berkaitan dengan pengalihan risiko. KPS memberikan manfaat penting untuk memungkinkan pengalihan sejumlah risiko utama kepada pihak swasta. Faktor utama yang membedakan berbagai model KPS adalah tingkat dan sifat risiko yang dialihkan kepada sektor swasta. Salah satu yang cukup ekstrim adalah kontrakkontrak layanan dan pengelolaan yang hanya mengalihkan
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
risiko secara terbatas. Hal ekstrim lainnya adalah konsesi Bangun-Milik-Kelola (Build-Own-Operate) dengan investor yang memperoleh remunerasi secara keseluruhan melalui penagihan tarif atau retribusi. Situasi ini mengalihkan risiko yang substansial, khususnya risiko permintaan/pendapatan, dari pemerintah kepada sektor swasta. Peraturan utama dalam KPS adalah bahwa risiko dialihkan kepada para pihak yang paling mampu menanganinya. Namun demikian, masalah umum yang terjadi di Indonesia (dan tentu saja di banyak negara berkembang lainnya) adalah bahwa instansi yang memberikan kontrak cenderung mengenakan terlalu banyak pembatasan, ketentuan dan harapan terhadap pengalihan risiko kepada sektor swasta sehingga menyulitkan pengaturan transaksi yang cukup layak secara finansial. Faktor penting yang turut memberikan andil dalam masalah kelebihan risiko adalah persepsi umum di Indonesia bahwa KPS hanya merupakan instrumen pembiayaan. Peluang untuk investasi sektor swasta biasanya hanya dilihat sebatas konteks kesenjangan pendanaan, yaitu kesenjangan antara kebutuhan infrastruktur dan kapasitas pembiayaan pemerintah. Dengan demikian, apabila modalitas KPS dipertimbangkan, maka standar pengaturannya dirancang dengan mengasumsikan model konsesi penuh, dengan sebagian besar – jika tidak semua – permintaan dan risiko lainnya dialihkan kepada sektor swasta. Hal ini membawa kita pada isu utama kedua – isu ini menitik-beratkan pada pendanaan kesenjangan yang selalu berarti kurangnya penekanan terhadap dimensi value-formoney (VfM atau nilai ekonomis dan manfaat) dari KPS. Pengalaman internasional telah menunjukkan bahwa KPS yang direncanakan, dirancang dan disusun dengan baik dapat memberikan insentif pada penyelenggaraan dan kinerja yang lebih efisien daripada dengan cara lain yang melalui modalitas pengadaan yang lebih tradisional. Potensi peningkatan VfM melalui KPS mencakup kesempatan yang lebih besar dari penyelenggaraan layanan tepat waktu dan sesuai anggaran dan tentu saja, peningkatan standar layanan. Selain itu, dengan mengalihkan risiko rancangan, konstruksi, operasional dan pemeliharaan (tetapi tidak semua risiko lainnya) kepada sektor swasta, KPS dapat bekerja untuk mengurangi seluruh biaya terkait umur manfaat aset. Dan pada akhirnya, umur manfaat yang ekonomis tersebut menjadi lebih penting daripada biaya tambahan keuangan pihak swasta. Kunci keberhasilan untuk memberikan VfM melalui KPS adalah keselarasan insentif pada berbagai pihak. Sektor swasta menyelenggarakan layanan dengan standar yang
disepakati dan memperoleh remunerasi berdasarkan kinerja, biasanya melalui beberapa jenis satuan biaya secara berkala. Kegagalan untuk memenuhi indikator kinerja utama dapat berakibat pada pengurangan pembayaran. Dengan demikian, tekanan hilir dari para pemilik modal dan pemberi pinjaman juga mendorong kinerja umur manfaat aset yang optimal. Di sektor hulu, persaingan dalam proses pengadaan memberikan insentif tambahan bagi peningkatan VfM. Bagi pemerintah, risiko berkurang karena pekerjaan hanya dibayar apabila spesifikasi telah terpenuhi. Selain itu, tarif pekerjaan telah diketahui, sehingga mempermudah penganggaran dan perencanaan. KPS memungkinkan sektor publik untuk mendistribusikan biaya investasi infrastruktur publik selama umur manfaat aset, bukan mewajibkan pembayaran di muka dalam jumlah besar. Dengan demikian, proyek-proyek dapat dilaksanakan dengan lebih cepat, sehingga memungkinkan para pengguna untuk memperoleh manfaat lebih cepat. Yang terpenting adalah bahwa KPS memungkinkan pemerintah untuk memanfaatkan dinamika dan kapasitas inovatif sektor swasta untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi pemborosan. Namun demikian, akibat tekanan untuk mendanai kesenjangan infrastruktur, pesan utama dari VfM ini sebagian besar telah hilang dalam pembahasan tentang KPS di Indonesia. Pandangan yang tetap berlaku adalah bahwa sektor swasta hanya berperan pada saat pemerintah tidak memiliki dana yang memadai dan kemitraan dengan sektor swasta terutama berkaitan dengan pendanaan dan bukan peningkatan penyelenggaraan. Selanjutnya, pendekatan yang lebih realistis dan kurang ambisius terhadap pengalihan risiko ditambah dengan fokus yang lebih besar terhadap isu-isu VfM akan menawarkan sejumlah kesempatan bagi peningkatan partisipasi sektor swasta dalam infrastruktur di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, pengaturan standar dibuat dengan memberikan fokus pada proyekproyek besar, yang secara politis dianggap kompleks, yang biasanya mencakup pengalihan risiko yang besar kepada sektor swasta. Walaupun hal ini mungkin akan berlanjut3, dalam jangka pendek hingga jangka menengah, pendekatan tersebut dapat juga didiversifikasikan menjadi fokus terhadap beberapa “pekerjaan yang paling sederhana” dengan pengalihan risiko diminimalkan dan terbuka kesempatan penting bagi sektor swasta untuk menunjukkan VfM melalui penyelenggaraan layanan superior. Hal ini mencakup pemberian kontrak-kontrak layanan dan pengelolaan untuk bandar udara/pelabuhan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
19
20
Tema dan Prioritas Lintas Sektoral untuk Rencana Pembangunan 2015–2019
kecil, penyediaan layanan pemeliharaan jalan secara rutin dan berkala melalui pengaturan kontrak berbasis kinerja atau mungkin penyelenggaraan infrastruktur penting yang baru seperti jalan nasional atau bahkan jalan tol melalui skema ketersediaan atau anuitas (di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan PBAS: performance based annuity schemes [skema anuitas berbasis kinerja]).
Insentif Berbasis Kinerja
Hingga saat ini, pelajaran terpenting yang dapat dipetik dari pengalaman IndII adalah potensi yang besar dari hibah berbasis kinerja, seperti Hibah Air Minum, untuk meningkatkan penyelenggaraan layanan infrastruktur di tingkat daerah. Dalam skema semacam ini, persyaratan pembayaran merupakan perangkat yang ampuh untuk menjamin terpenuhinya persyaratan/hasil kinerja yang diperlukan. Risiko-risiko diminimalkan dan pelaksanaan menjadi lebih transparan. Oleh karena itu, diberikan rekomendasi sebagaimana tersebut di atas, untuk mengarusutamakan insentif kinerja ke dalam pengalihan antar-lembaga pemerintah lainnya untuk infrastruktur. Selain transfer fiskal, insentif kinerja dapat memainkan peran yang jauh lebih besar dalam peningkatan penyelenggaraan infrastruktur di Indonesia. Sistem perencanaan dan penyelenggaraan yang berlaku saat ini tetap berbasis masukan dan seringkali diwarnai dengan inefisiensi dan pemborosan. Bagian sebelumnya menekankan peran utama insentif kinerja dalam penyelenggaraan layanan sektor swasta. Dalam hal ini, remunerasi bergantung pada spesifikasi layanan atau standar yang dipenuhi, dan risiko dialihkan kepada para pihak yang paling mampu mengelolanya. Mengingat adanya kebutuhan mendesak untuk mengembangkan infrastruktur baru, muncul peluang penting untuk menggabungkan pembiayaan, rancangan, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan berdasarkan kontrak-kontrak tahun jamak berbasis kinerja. Fokus terhadap peningkatan manajemen aset dan layanan yang diselenggarakan melalui kontrak-kontrak berbasis kinerja (performance-based contracts, PBC) untuk pengoperasian dan pemeliharaan merupakan hal yang sama pentingnya dan mungkin lebih dapat dicapai dalam jangka pendek hingga jangka menengah. PBC adalah sebuah konsep yang relatif baru di Indonesia. Konsep ini dapat memberikan manfaat penting, khususnya bagi instansi-instansi terkait jalan raya. Manfaat tersebut mencakup kemampuan untuk memperoleh pendanaan dalam jangka lebih panjang untuk jaringan jalan tertentu, dengan pemahaman bahwa jaringan ini akan dipelihara dengan tingkat layanan yang telah ditentukan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
sebelumnya. Baru-baru ini, Direktorat Jenderal Bina Marga melakukan uji coba PBC sebagai modalitas pengadaan untuk dua segmen jalan arteri utama di pantai utara Jawa (Pantura). Hingga saat ini, kajian terhadap uji coba tersebut menunjukkan bahwa PBC bukanlah pilihan optimal dalam metode pengadaan, karena pekerjaan tersebut lebih menyerupai upaya rekonstruksi besar (dengan perpanjangan garansi). Dengan demikian, salah satu proyek dianggap berhasil karena profesionalisme berbagai pihak (para kontraktor, pengawas, dan pejabat pengadaan). Dirjen Bina Marga sedang mempertimbangkan untuk memperluas konsep PBC di lokasi-lokasi lainnya. Idealnya, untuk memperoleh manfaat kinerja dalam jangka waktu yang lebih panjang yang dapat dicapai oleh PBC, segmen jalan harus memenuhi persyaratan panjang minimum (sebaiknya merupakan jaringan, bukan koridor panjang); segmen tersebut sebagian besar harus cukup stabil (yaitu, rekonstruksi yang memerlukan tidak lebih dari 40 persen dari nilai kontrak); dan jangka waktu kontrak harus tidak kurang dari lima tahun. Selain jalan, PBC yang diberikan secara kompetitif dapat digunakan dalam berbagai situasi untuk meningkatkan baik efisiensi maupun kualitas penyelenggaraan layanan infrastruktur. Misalnya, PBC tersebut dapat menjadi alat yang bermanfaat untuk melaksanakan subsidi angkutan (misalnya, untuk rute rintisan dan rute Kewajiban Layanan Publik, dengan permintaan pasar yang belum memadai secara ekonomis). Hal ini akan memungkinkan perubahan dari pendekatan berbasis masukan yang saat ini diterapkan, yang cenderung menguntungkan para penyedia layanan milik negara yang saat ini berkuasa dan sebagian besar tidak efisien, menjadi pengaturan berbasis keluaran. Misalnya, layanan rintisan dapat menerima remunerasi berdasarkan ketersediaan tempat duduk dan/atau ruang kargo untuk rute khusus, dan bukan berdasarkan subsidi masukan langsung seperti penyediaan feri. Peluang lain untuk PBC dapat dieksplorasi untuk manajemen aset transportasi, seperti bandar udara, pelabuhan, dan terminal bis; penyediaan layanan transportasi kota; pasokan air minum hulu untuk PDAM; dan bahkan mungkin distribusi hilir atas nama PDAM. Secara singkat, PBC dapat digunakan dalam berbagai situasi. Konsep ini cocok untuk diterapkan pada saat pemerintah hendak menyediakan sebuah layanan (sebagai kebalikan dari aset); apabila terdapat kesempatan untuk meningkatkan penyeleggaraan melalui insentif berbasis kinerja, dan apabila ada kemauan politik (political will) untuk memungkinkan penyelenggaraan layanan infrastruktur garis depan yang lebih besar oleh sektor swasta.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Kesimpulan
Penyusunan RPJMN membuka kesempatan penting untuk menguraikan sejumlah tema dan prioritas Pemerintah Indonesia dalam sektor infrastruktur secara keseluruhan. Dengan memetik pelajaran dari pengalaman IndII, makalah ini mengusulkan empat pesan utama lintas sektoral, yaitu: • Penerapan upaya-upaya insentif dan akuntabilitas yang tepat dan komitmen yang lebih kuat terhadap manajemen aset di semua tingkat pemerintahan akan menghasilkan umur manfaat aset secara ekonomis yang lebih baik dalam investasi infrastruktur. • Penggunaan perangkat dan sistem desentralisasi yang berlaku saat ini secara lebih luas akan memungkinkan Pemerintah Daerah untuk lebih terlibat dan memperoleh insentif dalam penyelenggaraan layanan infrastruktur daerah. • Pendekatan yang lebih realistis terhadap pengalihan risiko, serta fokus terhadap nilai uang secara ekonomis dan dari segi value-for-money akan membuka kesempatan yang lebih besar bagi sektor swasta dalam penyelenggaraan layanan infrastruktur. • Pengarusutamaan insentif berbasis kinerja ke dalam sistem perencanaan dan penyelenggaraan, termasuk transfer fiskal antar-lembaga pemerintah akan semakin meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas investasi publik dalam infrastruktur. ●
Tentang Penulis: Sebagai Direktur Program IndII, David Ray bertanggung jawab atas kepemimpinan teknis dan strategis secara keseluruhan. Ia adalah seorang ekonom dengan lebih dari 10 tahun pengalaman kerja dalam konteks pembangunan, terutama di Indonesia dan Vietnam. Sebelum bergabung dengan IndII pada bulan April 2009, David adalah Wakil Direktur proyek SENADA yang didanai oleh USAID, dengan fokus pada daya saing industri manufaktur Indonesia. Selama periode 2003– 06, ia bekerja untuk The Asia Foundation di Vietnam tempat ia mengelola program tata kelola ekonomi dari USAID, untuk memperbaiki iklim investasi di tingkat lokal. Sebelumnya, ia merupakan seorang penasihat dengan dana USAID di Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, terutama di bidang perdagangan, investasi, dan isu-isu reformasi regulasi. David memiliki keterampilan teknis dan latar belakang dengan cakupan bidang yang luas termasuk pengaturan dan reformasi ekonomi mikro, kebijakan infrastruktur (khususnya transportasi dan air minum/sanitasi), perdagangan internasional dan domestik, desentralisasi dan pemberian pelayanan pemerintah daerah, metode penelitian dan statistik, serta manajemen proyek. David memiliki sejumlah gelar akademis, termasuk PhD yang berfokus pada pembangunan ekonomi dan kelembagaan di Indonesia. Ia merupakan penulis sejumlah artikel jurnal akademik dengan penilaian dari rekan sejawat dan sejumlah bab mengenai pembangunan Indonesia. Ia fasih membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia, dan telah menulis dan menerbitkan banyak buku dalam bahasa Indonesia.
CATATAN 1. Sustaining Local Asets: Local Government Aset Management Policy Statement (Melestarikan Aset Daerah: Pernyataan Kebijakan Manajemen Aset Pemerintah Daerah), Department for Victorian Communities, Desember 2003. 2. Misalnya: Peraturan Pemerintah No. 6/2006 dan No. 38/2008 tentang pengelolaan aset negara dan peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17/2007 tentang pengelolaan aset Pemerintah Daerah. 3. Perhatikan pengumuman baru-baru ini bahwa pemerintah akan menawarkan hingga 30 proyek infrastruktur besar berjumlah USD 33 miliar (Sumber: “Govt set to roll out Rp 380t infrastructure project,” Jakarta Post November 14, 2013 hal. 3.).
Prakarsa Compendium | Jilid 3
21
POIN-POIN UTAMA Untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur di bidang transportasi, rencana Pemerintah Indonesia dalam lima tahun ke depan sebaiknya lebih mendorong investasi swasta dengan lebih efektif; memberikan insentif yang layak; dan menggunakan mekanisme berbasis kinerja untuk mendapatkan value-for-money (VfM, nilai ekonomis dan manfaat). Perlu panduan jelas untuk persaingan, peran masyarakat dan sektor swasta, dan organisasi fungsi sektor publik. Pemerintah harus mempertimbangkan aturan yang dikenakan pada investasi swasta dan kriteria yang diberlakukan untuk investasi publik. Peraturan ini harus mengakui nilai peran investasi asing dalam mendorong layanan yang lebih baik untuk masyarakat, meningkatkan standar industri dalam negeri, dan menawarkan VfM yang lebih baik. Investasi publik juga harus didorong oleh VfM, termasuk keputusan mengenai bagaimana cara terbaik untuk menerapkan investasi non-ekonomis penting untuk alasan keamanan nasional. Daripada mencoba untuk merebut kembali fungsi-fungsi yang telah disentralisasi, pemerintah pusat sebaiknya mencari cara untuk memberikan insentif untuk pengambilan keputusan dan kinerja daerah yang lebih baik. Peraturan harus dirancang untuk memfasilitasi investasi swasta, mendorong persaingan yang sehat dan melindungi keselamatan dan lingkungan. Harga yang dibayarkan oleh pengguna untuk infrastruktur dan layanan transportasi secara umum mencerminkan biaya yang dikeluarkan. Jika subsidi diperlukan, subsidi perlu dibatasi oleh kontrak berbasis kinerja yang dilelang secara kompetitif. Hasil harus dapat diukur dalam hal hasil yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi (misalnya, meningkatnya akses dan berkurangnya waktu tempuh) dan bukan, seperti yang telah dilakukan di masa lalu, berdasarkan masukan (misalnya, berapa meter dermaga yang telah dibangun). Insentif-insentif yang ada saat ini menyimpang, mengabaikan pemeliharaan, dan memotong biaya kualitas, dan memaksakan keterlambatan pada pengguna justru menguntungkan pihak penyedia layanan. Standar kinerja dan pemberian kontrak berbasis kinerja akan menawarkan insentif untuk meningkatkan kualitas infrastruktur. Persaingan yang lebih besar, yang dapat digalakan dengan memberantasan monopoli, menghapus hambatan untuk masuk pasar, akan mendukung efisiensi sehingga tercapainya perkembangan ekonomi. BUMN harus siap untuk bersaing dengan swasta. Untuk mengatasi kemacetan perkotaan, memperkenalkan disinsentif untuk menggunakan kendaraan pribadi selama jam sibuk, meningkatkan efisiensi lalu lintas, menyediakan pilihan transportasi publik yang lebih menarik, dan mendorong kepemimpinan yang kuat di tingkat Pemerintah Daerah (Pemda). Meningkatkan infrastruktur dan layanan transportasi di daerah kurang berkembang biasanya akan berkaitan dengan subsidi, yang seharusnya diberikan apabila hasil yang ditargetkan dapat tercapai dengan biaya minimum melalui beberapa alternatif termasuk melakukan kontrak kerja dengan pihak swasta. Untuk menarik investor terhadap peluang Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), Indonesia harus menawarkan peluang yang dapat bersaing dengan apa yang ditawarkan negara lain. Ini dapat dilakukan melalui model penyelenggaraan yang transparan, dapat diprediksi, dan sesuai dengan praktik terbaik. RPJMN harus mengakui adanya isu-isu keselamatan transportasi yang serius di Indonesia dan berkomitmen untuk meningkatkan jejak Indonesia, khususnya dalam hal keselamatan jalan raya. Lima pilar dari Rencana Umum Keselamatan (RUNK) Indonesia (manajemen keselamatan jalan raya yang lebih terpadu, jalan raya yang lebih aman, kendaraan yang lebih aman, keselamatan pengguna jalan raya yang lebih baik, dan respon pasca kecelakaan yang lebih baik) merupakan awal yang bagus. Apa yang dibutuhkan adalah tingkat pemahaman yang lebih tinggi mengenai urgensi permasalahannya, komitmen yang lebih kuat, dan profil yang lebih tinggi untuk kegiatan keselamatan jalan raya. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk pengembangan dan perencanaan nasional, Bappenas (dengan dukungan dari seorang presiden yang memiliki visi dan keberanian) dapat memimpin kebijakan dan strategi reformasi untuk memenuhi kebutuhan Indonesia akan infrastruktur dan layanan transportasi.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
SEKTOR TRANSPORTASI INDONESIA: TANTANGAN DAN STRATEGI Kesenjangan infrastruktur transportasi Indonesia harus dibenahi apabila negara ini ingin mencapai target perkembangan ekonomi. Rencana Strategis 2015–2019 dapat mendukung hal ini melalui beberapa metode, termasuk membangun kerangka kerja keseluruhan yang kuat, mendorong keterlibatan sektor swasta, dan menggunakan insentif berbasis kinerja. Oleh John Lee dan Suyono Dikun
Ada kesenjangan penyediaan infrastruktur yang signifikan dalam sektor transportasi di Indonesia: permintaan melebihi pasokan dalam margin yang besar, dan ini kemungkinan akan memburuk. Peningkatan kemacetan jalan raya, pelabuhan, dan bandara; inefisiensi layanan; dan pemburukan aset menaikkan biaya transportasi dan menurunkan daya saing (lihat Gambar 1), yang mungkin mengikis satu poin persentase dari tingkat pertumbuhan ekonomi. Indonesia tertinggal jauh dari pesaing regionalnya. Investasi infrastruktur yang didorong sektor swasta dan penyediaan layanan yang kompetitif yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005–2025) belum terwujud – faktanya, di sektor transportasi ini hampir belum mulai sama sekali. Beberapa kerangka hukum untuk perkeretaapian dan pelabuhan telah tersedia, tetapi implementasinya telah berjalan lambat. Insentif yang tidak memadai, alokasi risiko yang tidak terkelola, peraturan yang membatasi, ketidakpercayaan, serta kepentingan-kepentingan terselubung, semuanya
membatasi minat investor dan kemauan pemerintah untuk melakukan reformasi. Pemerintah masih harus belajar bahwa penyediaan infrastruktur oleh sektor swasta, dengan insentif yang tepat, menawarkan value-for-money (VfM, nilai ekonomis dan manfaat) yang signifikan: itulah manfaat utamanya, bukan sekedar menyediakan dana tambahan. Dengan tidak adanya sektor swasta, pemerintah belum mengisi kesenjangan infrastruktur. Tingkat investasi yang telah ada terlalu rendah (dibuktikan dengan kapasitas yang tidak memadai di sebagian besar sub-sektor) atau salah arah (dihabiskan untuk rekonstruksi atau rehabilitasi tambahan, misalnya, dan bukan untuk membangun fasilitas-fasilitas berkinerja tinggi, yang baru, yang akan menawarkan VfM yang lebih baik). Dampak-dampaknya termasuk produktivitas pelabuhan yang rendah (Lihat Gambar 2), penundaan di bandara, kemacetan jalan raya yang parah, siklus rehabilitasi dengan frekuensi tinggi dan mahal, serta harga-harga yang lebih tinggi bagi pengguna akhir baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
23
24
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
Gambar 1: Perbandingan Indeks Kinerja Logistik
4.5
2007
4.0
2010
3.5
2012
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 5.0 0
Singapore
Malaysia
Thailand
Philippines
Vietnam
Indonesia
Laos
Cambodia
Myanmar
Sumber: Bank Dunia, Status Logistik Indonesia, 2013
Gambar 2: Waktu Tunggu Kapal (Hari) di Pelabuhan Tanjung Priok, Januari 2011 sampai November 2012
7.0
Hari 6.7
6.6
6.5
6.3
5.5
5.8
5.2
5.4
5.4
6.0 5.8
6.3
6.1
6.4
6.3 6.1
5.8 5.5
5.4
5.0
5.0 4.5
6.1
6.0
6.0
6.4 6.2
4.7 1.11
2.11
3.11
4.11
5.11
6.11
7.11
8.11
9.11 10.11 11.11 12.11 1.12
2.12
3.12
4.12
5.12
6.12
7.12
8.12
9.12 10.12 11.12
Sumber: Jakarta International Container Terminal, dikutip dalam Bank Dunia, Status Logistik Indonesia, 2013
Khusus untuk jalan raya, total biaya siklus-hidup (termasuk biaya pengguna) tinggi, namun ini belum mendorong pemerintah untuk mengambil pendekatan siklus-hidup untuk mengoptimalkan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur. Pengawasan konstruksi dan perencanaan pemeliharaan juga lemah. Ketergantungan pada Lembaga Usaha Milik Negara (BUMN), yang seringkali diarahkan oleh pemerintah (model penyelesaian “tugas”), menghalangi keputusan-keputusan investasi penting dari sinyal pasar, menekan perkembangan dari alternatif sektor swasta yang kompetitif, dan biasanya menghasilkan fasilitas dan pelayanan berkualitas lebih rendah. Operasi BUMN (misalnya, kereta api, feri, dan pelabuhan) cenderung tidak efisien, tidak cukup memberikan tekanan pasar yang kompetitif.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Urbanisasi yang cepat, motorisasi yang tak terkendalikan, perencanaan tata guna lahan yang lemah, kontrol pembangunan yang tidak efektif, serta tidak memadainya transportasi publik membatasi mobilitas dan menurunkan kualitas hidup di kota-kota yang padat. Keputusan mendesak mengenai pengelolaan permintaan puncak dan meningkatkan transportasi umum ditunda, menjadikan kehidupan kota tidak menyenangkan dan solusi jangka panjang jauh lebih sulit untuk diterapkan. Kesenjangan antardaerah dalam penghasilan dan aksesibilitas tidak adil dan merusak kebersatuan. Harga barang-barang kebutuhan dari pabrik atau yang diimpor di provinsi-provinsi terpencil bisa sampai sepuluh kali lebih mahal daripada di Jawa. Transportasi jalan raya disubsidi
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
secara besar-besaran, lebih mengutamakan daerahdaerah pusat yang berpenghasilan lebih tinggi, sementara transportasi laut, jalur kehidupan bagi Indonesia bagian timur, tidak demikian. Moda-moda lain – khususnya kereta api – juga menderita akibat tidak konsistennya penentuan harga antarmoda. Tanpa manajemen komersial, modamoda tersebut gagal untuk menawarkan alternatif yang menarik dari angkutan darat untuk penumpang dan barang. Pengguna transportasi tidak dapat banyak berperan dalam penentuan respon atas kekurangan dari infrastruktur: sementara transparansi dan konsultasi didorong pada tingkat kebijakan, itu belum efektif dalam mempengaruhi keputusan perencanaan, maupun dalam pemberian sanksi atas buruknya kinerja pelaksanaan. Hal terakhir tetapi tidak kalah penting: tingkat keselamatan di moda-moda transportasi rendah dan di sektor jalan raya tingkat tersebut sangat mengagetkan, dengan 32.000 kematian di jalan raya setiap tahun. Keikutsertaan Indonesia dalam Dekade Aksi Keselamatan Jalan Raya PBB belum menghasilkan perubahan yang signifikan. Apakah semua ini menyajikan sebuah gambar hitam yang tidak masuk akal? Dapat dikatakan memang ada beberapa titik terang, tetapi lebih baik untuk memenuhi kebutuhan dari 5, 10, atau 50 tahun mendatang dengan mengakui dan memperbaiki apa yang salah daripada berharap bahwa melakukan hal yang sama dengan lebih banyak sudah akan mencukupi.
Kerangka Kebijakan Yang Menyeluruh
Rencana pembangunan jangka menengah ketiga di Indonesia (RPJMN III) seharusnya tidak hanya menjadi strategi untuk memperbaiki kekurangan yang telah ada selama lima tahun ke depan, namun juga harus mulai menangani kebutuhan selama 30, 40, atau bahkan 50 tahun yang akan datang. RPJMN I dan RPJMN II gagal melakukan hal ini secara memadai (Lihat Boks 1). Oleh karena itu, RPJMN III mempunyai peran yang lebih besar dan lebih mendesak untuk dijalankan. Agar efektif, strateginya harus dipandu oleh satu set prinsip-prinsip kebijakan yang menyeluruh. Apabila prinsip-prinsip tersebut tidak memandu semua keputusan, inkonsistensi yang merusak di antara lembaga, moda, dan program akan tetap ada. Prinsip-Prinsip Kelembagaan: Salah satu kebutuhan yang penting adalah pedoman yang jelas mengenai persaingan, peran masing-masing dari sektor publik dan swasta, serta pengaturan fungsi dari sektor publik. Sebagian besar dari permasalahan di atas dapat ditelusuri pada penataan kelembagaan dan pengambilan keputusan yang lemah, kurangnya kejelasan mengenai peran sektor swasta, dan
Beban biaya untuk pengguna jalan yang kurang terpelihara sangat tinggi. Jarak tempuh memakan waktu yang lebih lama, kerusakan pada kendaraan lebih besar, dan keamanan dipertaruhkan. Atas perkenan IndII
Boks 1: Kekurangan RPJMN I dan RPJMN II RPJMN I dan RPJMN II diarahkan untuk melihat terjadinya akselerasi pembangunan infrastruktur transportasi melalui partisipasi sektor swasta dan Kerjasama PemerintahSwasta (KPS). Kerangka kebijakan, hukum, pengaturan, dan kelembagaan yang terkait akan dibenahi dan direstrukturisasi. Pemerintah menjalankan beberapa reformasi hukum dan pengaturan serta menentukan pengaturan kelembagaan untuk KPS, namun tidak berhasil untuk mewujudkan transaksi proyek KPS secara signifikan. Sumber: Dukungan IndII untuk RPJMN III, Draf Laporan Sementara, Oktober 2013
Prakarsa Compendium | Jilid 3
25
26
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
Gambar 3: Manfaat dari Model-Model Pelaksanaan Berbasis Kinerja
25
Konstruksi O&M
20
Risiko
Pengadaan Konvensional: Pemerintah memenuhi semua kebutuhan pengeluaran ketika muncul
15 10 5 0
1
2
3
4
5
6
7
25
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Pengeluaran Pemerintah
20
Pengadaan Berbasis Kinerja: Pemerintah membayar hanya untuk layanan yang diberikan
15 10 5
biaya
0
1
2 3 4 waktu
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
ketidakpercayaan atas manfaat dari kompetisi. Untuk RPJMN III, para pengambil keputusan pemerintah perlu menjawab dua pertanyaan kelembagaan yang mendasar: • Apa peranan masing-masing dari sektor publik dan swasta dalam menyediakan dan mengoperasikan infrastruktur dan layanan transportasi? • Bagaimana cara terbaik agar fungsi-fungsi yang tetap berada pada pemerintah dapat diatur? Negara sebanding yang sukses telah menemukan bahwa cara terbaik untuk memberikan kebanyakan infrastruktur dan layanan transportasi adalah melalui sektor swasta yang kompetitif, dan terfokus secara komersial. Dengan persaingan yang efektif, tujuan mencari laba memberikan insentif atas kualitas, efisiensi, dan kinerja yang jauh lebih kuat daripada insentif yang terdapat di sektor publik. Pelajaran: fasilitasi persaingan sektor swasta; hindari atau hilangkan peraturan yang secara tidak perlu menghambat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Pengadaan Konvensional: • Pemerintah membayar untuk masukan, bukan keluaran • Kontrak-kontrak D/C/O/M terpisah – tidak ada optimalisasi siklus-hidup • Tidak ada standar kinerja sepanjang masa proyek • Kontraktor mempunyai insentif untuk menambah beban kerja mereka • Risiko perpanjangan waktu/ pembengkakan biaya ditanggung oleh Pemerintah Pengadaan Berbasis Kinerja: • Pemegang konsesi menyediakan layanan sepanjang siklus hidup proyek • Pemegang konsesi mengelola risiko D/C/O/M melalui subkontrak – perpanjangan/ pembengkakan biaya tidak mempengaruhi Pemerintah • Optimalisasi siklus-hidup • Pemerintah membayar hanya untuk yang diterimanya • Pemegang konsesi mendapat insentif melalui mekanisme pembayaran untuk menjaga standar kinerja tinggi • Belanja Pemerintah yang dapat diprediksi menjangkau masa depan
Boks 2: Kondisi Jalan Raya pada Tingkat Nasional dan Daerah • Jalan menanggung 70 persen dari semua ton-km beban angkutan barang dan 82 persen dari km-angkutan penumpang • Dari jaringan sepanjang 477.000 km pada tahun 2010, 49.000 km merupakan jalan raya provinsi dan 385.000 km jalan kabupaten • Jalan provinsi menanggung 19 persen beban km-kendaraan dan menyediakan sambungan vital antara jaringan-jaringan kabupaten dan nasional • 86 persen dari jalan nasional berada dalam kondisi baik/ cukup baik (stabil) pada tahun 2010, tetapi proporsi untuk jalan raya provinsi hanya 63 persen. Kondisi jalan tersebut tidak membaik – dan memang, di banyak provinsi keadaannya memburuk setelah desentralisasi Sumber: Dokumen Rancangan Program PRIM
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Boks 3: Persaingan dan Tingkat Responsivitas atas Permintaan Kompetisi mendorong kinerja dan inovasi. Para penyedia jasa yang saling bersaing berupaya menarik pelanggan dengan meningkatkan kualitas dan mengikis biaya. Jika mereka tidak melakukan itu, mereka akan bangkrut. Tekanan seperti ini tidak terjadi pada kinerja para operator milik negara atau perusahaan yang memegang monopoli di pasar. Sebagai akibat, konsumen yang dirugikan. Kompetisi dapat mendorong kinerja dan tingkat responsivitas atas permintaan, bahkan ketika layanan-layanan yang diberikan tidak bersifat komersial. Sebuah contoh yang baik adalah penyediaan layanan perintis – para penyedia yang berkompetisi dapat mengajukan tawaran berdasarkan harga pemberian jasa yang memenuhi Indikator Kinerja Utama (KPI, Key Performance Indicators) yang ditentukan oleh pemerintah.
investasi dan kegiatan operasional swasta; pertimbangkan secara sangat hati-hati apakah berpihak pada BUMN menunjang efisiensi, fleksibilitas, dan tingkat responsif terhadap permintaan; serta jangan selalu berasumsi bahwa pemerintah telah mengetahui solusi yang terbaik. Bagaimana dengan fasilitas dan layanan non-komersial? Tidak ada alasan mengapa seharusnya tidak juga disediakan oleh sektor swasta yang kompetitif di bawah model penyediaan berbasis kinerja (lihat Gambar 3). Daripada memberikan layanan seperti itu oleh mereka sendiri, pemerintah harus menetapkan standar kinerja dan memperbolehkan operator swasta mengajukan tawaran untuk menyediakannya. Ini dapat diharapkan akan menjamin bahwa target-target layanan dan kualitas akan terpenuhi dengan biaya terendah, dan memungkinkan untuk menilai apakah manfaat yang dirasakan melebihi subsidi eksplisit yang terlibat. Terakhir, Pemerintah Pusat harus mengadopsi posisi yang lebih jelas dalam perannya di bidang infrastruktur dibandingkan dengan sistem transportasi daerah. UU no. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang diterapkan pada tahun 2001, menyerahkan tanggung jawab atas infrastruktur daerah kepada administrasi pada tingkat yang lebih rendah. Ini merupakan hal yang baik – karena membawa keputusan mengenai persoalan lokal lebih dekat kepada rakyat – tetapi karena beberapa alasan, ini telah memunculkan infrastruktur yang berkualitas rendah (lihat Boks 2).
Pertimbangan-pertimbangan ini menyoroti peran pemerintah yang paling penting: perencanaan strategis, penetapan standar teknis dan kinerja, menjamin persaingan yang efektif, serta melindungi keselamatan masyarakat dan lingkungan. Di mana pemerintah terlibat dalam penyediaan pelayanan, pemisahan dengan jarak agak jauh harus dilakukan antara fungsi-fungsi kebijakan/perencanaan/ regulasi, dan peran layanan-pemasok: dengan demikian pemerintah akan lebih dapat memastikan penyedia layanan bertanggung jawab atas kualitas dan kinerja dan akhirnya melakukan divestasi atas operasi komersialnya kepada sektor swasta, jika diperlukan. Prinsip-Prinsip Investasi: Dalam hal investasi, pertanyaanpertanyaan utama terkait kebijakan adalah: • Aturan apa yang harus diberlakukan pemerintah terhadap investasi sektor swasta? • Kriteria apa yang harus diterapkan untuk investasi oleh pemerintah? Di mana terdapat pasar yang kompetitif, investasi sektor swasta harus didorong. Bahkan mendorong investasi asing akan bermanfaat dalam jangka panjang, karena perubahan-perubahan terbaru dalam hukum mengakui: pengguna akan menikmati layanan yang lebih baik, dan standar industri dalam negeri akan meningkat melalui kompetisi serta ketersambungan dengan usaha patungan. Alasan utama untuk mendorong investasi sektor swasta adalah kualitas dan VfM. Penyedia swasta, bertindak dalam kompetisi, termotivasi untuk memberikan layanan efisien, yang terfokus pada pelanggan (lihat Boks 3). Investasi swasta tidak seharusnya dipandang sebagai cara untuk menjembatani kesenjangan pendanaan. Jika, karena alasan apapun, investasi sektor publik dipandang perlu – katakanlah, untuk jalan raya, perluasan jaringan rel kereta api, infrastruktur dasar pelabuhan – semuanya juga harus didorong oleh VfM. Dana publik akan terbuang sia-sia jika manfaat tidak melebihi biaya, dan biaya siklus-hidupnya – termasuk biaya pengguna – tidak diminimalisir. Bagaimana dengan investasi non-ekonomi yang dianggap sangat penting karena alasan strategis, ekuitas, politik, atau alasan lainnya? Ini tentu saja juga harus tunduk pada penilaian manfaat/biaya sehingga biaya yang diperlukan untuk memenuhi tujuan-tujuan non-ekonomi teridentifikasi dengan jelas. Ada banyak pembicaraan baru-baru ini mengenai peran “penugasan” BUMN (perusahaan kontraktor besar milik
Prakarsa Compendium | Jilid 3
27
28
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
negara, seperti PT Hutama Karya, PT KAI, PT Pelindo I dan II, serta Angkasa Pura I dan II). Proposal untuk membangun sistem jalan tol Trans-Sumatera, misalnya, melibatkan kontraktor BUMN untuk bertanggung jawab atas pengelolaan struktur yang mirip Kerjasama PemerintahSwasta (KPS) dengan masukan sektor swasta, seperti halnya Pelindo II menggunakan operator swasta untuk mengembangkan pelabuhan Kalibaru melalui pengaturan KPS yang kompetitif. Dapat dikatakan, BUMN-BUMN ini bertindak sebagai agen pemerintah dalam mendapatkan investasi swasta dan manajemen siklus-hidup yang efisien. Tapi pasar swasta akan memandang pendekatan ini sebagai penambah risiko terhadap suatu proposisi investasi yang sudah berisiko. Kejelasan yang lebih baik diperlukan pada pengaturan tata kelola pemerintahan dan transparansi, prosedur pengadaan, langkah-langkah anti-korupsi, dan tingkat kompetensi teknis, sebelum pasar dapat merasa yakin dalam mengelola risiko-risiko yang terkait. Selain peran mereka dalam memberikan panduan teknis, lembaga-lembaga pusat harus mencari cara memberikan insentif untuk pengambilan keputusan dan kinerja daerah yang lebih baik, daripada mencoba untuk merebut kembali kewenangan yang telah didesentralisasi. Salah satu cara yang jelas adalah menjadikan transfer dana hibah Pemerintah Pusat tergantung pada hasil kinerja dan pengawasan publik, seperti yang sedang diuji coba dalam proyek Peningkatan dan Pengelolaan Jalan Provinsi (PRIM, Provincial Road Improvement and Maintenance) IndII (lihat Boks 4). Prinsip-Prinsip Pengaturan: RPJPN 2005–2025 dengan bijaksana berpandangan bahwa perluasan investasi yang didorong sektor swasta merupakan kunci untuk mencapai pertumbuhan dan standar hidup yang tinggi. Jadi peraturan harus mendorong, bukan menghambat, ekspansi ini. Pemerintah cenderung mengatur secara berlebih, dan Indonesia bukan pengecualian. Di sektor transportasi, tujuan dari peraturan seharusnya untuk memfasilitasi investasi swasta, mendorong persaingan yang sehat, serta melindungi keselamatan dan lingkungan. Oleh karena itu harus ada tinjauan kritis terhadap kerangka peraturan yang ada untuk: • Menghapus hambatan pengaturan dan praktis untuk masuk pasar yang menekan keterlibatan sektor swasta dan persaingan, termasuk yang ditujukan untuk melindungi BUMN. • Memungkinkan partisipasi sektor swasta dalam kegiatan non-komersial, seperti menyediakan layanan-
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Boks 4: Struktur Insentif PRIM • Fokus terhadap pemeliharaan • Menggunakan kontribusi hibah AIIG sebagai insentif untuk memperkuat tata kelola pemerintah dan pemberian layanan secara bekesinambungan o Hibah berkontribusi hingga 40 persen dari pengeluaran untuk pemeliharaan, jika hasil kerjanya memenuhi indikator-indikator teknis dan PPB yang telah disetujui o Tambahan hibah hingga 10 persen sebagai apresiasi atas peningkatan kelembagaan • Meningkatkan dan memperkuat prosedur pemerintah yang telah ada o Konsultan lokal untuk desain/supervisi, kontraktor lokal untuk penerapan • Dengan dukungan, FLLAJ dapat memberi dukungan untuk menjamin agar lembaga penyelenggara jalan raya bertanggung jawab atas kinerjanya • Insentif anti-korupsi yang kuat • Kontribusi hibah hanya diberikan apabila kinerja memuaskan • Memakai Referensi Harga Satuan (RUC, Reference Unit Costs) untuk mengurangi kolusi harga
layanan penting di mana tarif atau harga tiket tidak menutupi biaya, dengan memfasilitasi pendekatan berbasis kinerja dan pengadaan layanan-layanan tersebut melalui tender yang kompetitif. Di sisi lain, tinjauan tersebut harus menentukan cara: • Mempertegas dan menegakkan kontrol atas (a) operasional sektor swasta yang berdampak negatif pada masyarakat; dan (b) peraturan yang dirancang untuk melindungi lingkungan dan keselamatan publik, termasuk standar teknis. Tinjauan pembatasan partisipasi swasta tidak boleh dibatasi pada peraturan yang mengatur cara masuk pasar dan persaingan. Ini juga harus mencakup aturan mengenai kontrak tahun-jamak (yang menghambat adopsi kontrak layanan siklus-hidup berjangka panjang, bahkan ketika mereka menawarkan manfaat VfM) dan praktik-praktik seperti pembatasan ukuran kontrak sedemikian rupa sehingga peserta yang lebih besar, serta lebih kompetitif menganggapnya tidak menarik dan potensial skala ekonomi pun terlewat.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Gambar 4: Ilustrasi Strategi Sektor Transportasi untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Kinerja Keluaran Sub-Sektor
Strategi Konektivitas
Jalan
Perkeretaapian
Feri
Pelabuhan
Bandara
Antarmoda
Aksesibilitas
Ketersediaan
Kualitas
Mengembangkan jaringan jalan tol bermutu tinggi dengan akses terbatas (lihat Gambar 5)
●
●
Modernisasi jaringan arteri, dengan pengaspalan dan jembatan yang mampu menampung beban lebih berat
●
●
Meningkatkan koneksi jalan ke pelabuhan
●
●
●
Mengembangkan rute angkutan barang melalui/sekitar daerah perkotaan
●
●
●
Memperkenalkan pendekatan berbasis kinerja terhadap penyediaan dan pengelolaan siklus hidup
●
Mendorong pengembangan perkeretaapian khusus oleh swasta
●
Meningkatkan koneksi jalur kereta api ke pelabuhan dan bandara
●
Melakukan restrukturisasi perusahaan kereta api milik negara PT KAI berikut unit-unit usahanya
●
Memperbolehkan sektor swasta untuk menawarkan layanan perkeretaapian khusus (barang dan penumpang) pada rel publik
●
●
●
●
Menghapuskan monopoli dari perusahaan feri milik negara PT ASDP pada rute feri; mendorong partisipasi swasta dalam pelabuhan dan layanan feri
●
●
●
●
Mendorong persaingan sektor swasta dengan perusahaanperusahaan pelabuhan milik negara (Pelindo 1 sampai 4), dan dalam operasional Pelindo; memfasilitasi pelabuhanpelabuhan swasta di bawah kontrol Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
●
●
●
●
Mendorong pengelolaan bandara-bandara tertentu oleh sektor swasta
●
Memfasilitasi keterlibatan operator angkutan multimoda
●
●
●
●
Memfasilitasi perkembangan terminal multimoda/ persimpangan/hub logistik oleh pihak swasta
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
29
30
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
Gambar 5: Prioritas Jalan Raya Nasional dan Kebutuhan untuk Jaringan Jalan Raya Berkualitas Tinggi
Rencana Koridor Bipran Rencana Pembangunan Daerah
Pengelolaan Aset Jalan
Rencana Jalan Tol
Proyek Terencana (Pipeline) KPS 20 Tahun
200km/Tahun IDR 20-24T/Tahun
Rencana Pembaharuan Jalan
Proyek Terencana (Pipeline) Pembaharuan 15-20 Tahun
1-2000km/Tahun IDR 6-12T/Tahun
Program Rehabilitasi
1500km/tahun IDR 3T/tahun
Pemeliharaan Berkala
3000km/tahun IDR 3T/tahun
Pemeliharaan Rutin
36000km/tahun IDR 2T/tahun
Preservasi Berbasis Kinerja
2000km/Tahun IDR 0.6T/Tahun
Rencana Aksesibilitas
Program Preservasi
Balai Desain & Pengelolaan Proyek Sumber: Saran IndII untuk Bina Marga JAKSTRA, Agustus 2013
Prinsip-Prinsip Penetapan Harga: Subsidi bahan bakar minyak (BBM) angkutan jalan harus dibayar pemerintah sebesar USD 20 miliar per tahun dan nilainya terus meningkat, bahkan setelah kenaikan harga baru-baru ini. Mengesampingkan subsidi tersebut, pengguna jalan berkontribusi, melalui pajak dan retribusi, hanya sebagian kecil dari biaya tahunan dari jaringan non-tol. Pengguna moda lainnya tidak begitu beruntung: dengan pengecualian layanan kereta api kelas ekonomi, mereka biasanya membayar seluruh biaya, termasuk biaya infrastruktur. Ini mendistorsi permintaan, menjadikan moda yang bersaing kurang menarik dan menyebabkan kemacetan yang tidak perlu di jalan. Ini juga mengurangi insentif untuk mengoperasikan kendaraan-kendaraan secara lebih efisien. Sebagai aturan umum, demi kepentingan efisiensi, harga yang dibayarkan pengguna untuk infrastruktur dan layanan transportasi harus mencerminkan biaya yang dikeluarkan. Idealnya semua ini ditetapkan oleh persaingan daripada dikendalikan oleh regulasi. Apabila tidak ada persaingan pasar atau permintaan terlalu rendah untuk menjadikan pasokan menguntungkan, subsidi mungkin akan diperlukan,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
tetapi daripada membuat mereka tanpa batas (dengan menanggung biaya penyediaan layanan melalui BUMN), subsidi tersebut harus dibatasi oleh kontrak berbasis kinerja yang secara kompetitif dilelang. Pemerintah kemudian dapat menetapkan harga untuk mencerminkan tujuantujuan sosial dengan pengetahuan bahwa biaya dibatasi oleh persaingan dan standar kinerja yang ditetapkan.
Mendukung Pertumbuhan Ekonomi
Prinsip-prinsip kelembagaan, investasi, pengaturan, dan harga ini harus diterapkan secara konsisten untuk menangani pembangunan sektor dan tantangan operasional selama periode RPJMN III. Melakukan ini akan membantu untuk berpikir dari segi hasil (dampak) daripada masukan (proyek, atau kegiatan). Dapat dikatakan bahwa hasil diinginkan yang paling penting adalah pertumbuhan ekonomi yang cepat (dan merata, tapi ini akan dibahas secara terpisah di bawah ini). Untuk memenuhi tantangan pertumbuhan yang cepat, lembaga-lembaga sektor transportasi harus membuat kerangka, dan mengukur efektivitas dari, rencana
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
strategis mereka (RENSTRA) untuk tahun 2015–2019 dengan menggunakan ukuran kinerja terhadap hasil yang diharapkan. Di masa lalu, mereka telah membuat daftar target mereka dari segi masukan saja (berapa meter dari dermaga yang dibangun, jumlah gerbong yang diadakan, lebar jalan yang diperluas), tetapi itu tidak membantu dalam menilai apakah, sistem transportasi yang efisien, aman, dan responsif terhadap permintaan telah dihasilkan. Ukuran utama terhadap kinerja sektor ini terkait dengan konektivitas (waktu perjalanan dan biaya), aksesibilitas (keterkaitan jaringan, kedekatan dengan tempat asal dan tujuan), ketersediaan (frekuensi layanan, keandalan), keselamatan dan kualitas (kenyamanan, keamanan, kesesuaian untuk tujuan). Sebagian besar merupakan bahan penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang cepat1. Gambar 1 mengilustrasikan ini, menyoroti beberapa komponen kunci yang akan diperlukan jika tujuan pertumbuhan RPJMN III harus dipenuhi. Perlu diingat juga bahwa pilihan-pilihan mengenai kualitas infrastruktur, efisiensi, kemacetan perkotaan, dan kesenjangan daerah – topik-topik yang dibahas secara terpisah di bawah ini – berperan pula dalam mendukung pertumbuhan; semua ini harus dibahas dalam strategi RENSTRA juga.
Meningkatkan Kualitas Infrastruktur
Meningkatkan kualitas infrastruktur terutama merupakan persoalan insentif. Jika pengguna diberdayakan untuk menuntut kualitas yang lebih baik atau bersedia membayar untuk itu, maka kualitas yang lebih baik kemungkinan akan dihasilkan; ini akan sesuai dengan kepentingan penyedia layanan. Tetapi insentif-insentif yang terbaru bersifat menyimpang: lembaga-lembaga pengelola jalan raya mendapatkan anggaran yang lebih besar untuk proyek-proyek rekonstruksi jika mereka mengabaikan pemeliharaan; konsultan dan kontraktor memperoleh lebih banyak keuntungan jika mereka memotong biaya untuk kualitas; operator pelabuhan merasa lebih mudah untuk memaksakan penundaan pada perusahaan pelayaran daripada berinvestasi untuk kapasitas baru; politisi lebih memilih untuk mengumumkan proyek-proyek modal baru yang mudah dilihat daripada mengalokasikan dana yang tak terlihat untuk memelihara fasilitas yang telah ada. Strategi yang harus diambil, oleh karena itu, adalah memberikan insentif bagi penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan layanan dengan kualitas yang lebih baik (dan dalam konteks ini “pemberian insentif” termasuk memaksakan disinsentif terhadap penyedia yang membiarkan kualitas standar merosot). Contoh insentif tersebut meliputi: • Skema berbasis kinerja untuk proyek-proyek modal dan O&M (operations and maintenance) di mana
penghasilan pengembang berasal dari pembayaran reguler pemerintah (kadang-kadang disebut pembayaran “availability/ketersediaan” atau “annuity/anuitas”) yang akan dikenakan potongan bila gagal memenuhi standar kinerja. • Menerapkan standar kualitas dan kinerja terhadap pemegang konsesi jalan tol, dan menegakkannya melalui penalti yang dikaitkan dengan kenaikan tarif tol atau perpanjangan jangka waktu konsesi. • Menentukan standar kinerja untuk infrastruktur/ layanan lain yang diperoleh melalui alih daya (misalnya, kontrak pemeliharaan suatu daerah atau jaringan, atau layanan non-komersial tetapi penting untuk daerahdaerah terpencil, termasuk jasa pengiriman, pelabuhan dan lapangan terbang kecil), dan menerapkan penalti seperti pemotongan pembayaran atas kegagalan dalam memenuhi standar. • Memperkuat pengawasan pekerjaan, mempertegas tanggung jawab konsultan di bawah kontrak dan memberlakukan sanksi untuk kegagalan dalam menerapkan standar atau memenuhi persyaratan kontrak. • Merevisi aturan pengadaan untuk memberikan bobot lebih bagi kualitas keluaran daripada biaya masukan. • Pada tingkat daerah, memperkenalkan hibah bersyarat, berbasis kinerja dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk infrastruktur dan layanan terpilih. • Memberdayakan pengguna, media, dan anggota masyarakat yang tertarik untuk mengawasi dan mempengaruhi keputusan perencanaan dan kinerja pelaksanaan, seperti yang dilakukan di bawah program PRIM IndII (Boks 5).
Meningkatkan Efisiensi Layanan
Efisiensi – bahan utama lainnya dalam mendukung pertumbuhan – juga merupakan persoalan insentif: insentif untuk berkinerja lebih baik karena tekanan persaingan. Memang, alasan utama mengapa sektor swasta dipandang oleh RPJPN sebagai mesin utama pendorong pertumbuhan bukan karena perbedaan intrinsik antara perusahaan publik dan swasta tetapi karena perusahaan swasta (kecuali mempunyai monopoli) berusaha untuk menawarkan layanan yang lebih baik, lebih efisien, lebih responsif terhadap permintaan, dibandingkan dengan kompetitornya. Oleh karena itu, strategi sektor kunci yang berfokus pada peningkatan efisiensi harus:
Prakarsa Compendium | Jilid 3
31
32
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
• Mencoba untuk membongkar monopoli, sektor publik maupun swasta, dan mempersiapkan BUMN untuk bersaing dengan sektor swasta, terutama di perkeretaapian, pelabuhan, feri, dan pengelolaan bandara. • Mendorong persaingan sedapat mungkin dengan menghilangkan pembatasan yang tidak perlu pada saat masuk pasar dan operasi (termasuk, di mana dimungkinkan, pembatasan terhadap partisipasi asing).
Boks 5: Memberdayakan Masyarakat melalui PRIM: Peran dari Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (FLLAJ) • Meningkatkan tata kelola dan transparansi – Menangani persoalan yang menyangkut kepentingan masyarakat – Menekan lembaga penyelenggara jalan raya untuk merencanakan dan melaksanakan program pemeliharaan yang efektif • Dipimpin oleh Gubernur – Keanggotaan meliputi para kepala dinas pekerjaan umum provinsi, kepolisian, dan lembaga transportasi darat, wakil operator transportasi, seorang wakil universitas, beberapa ahli transportasi, seorang wakil organisasi nonpemerintah dengan fokus pada transportasi, dan seorang pengamat transportasi. • PRIM akan memperkuat peran FLLAJ dalam menangani pengaduan masyarakat dan mengawasi rencana dan program DPU • Dukungan PRIM kepada FLLAJ: – Memberi dukungan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu-isu terkait pemeliharaan jalan raya dan peran FLLAJ o Pengiriman pesan SMS, pengembangan situs web, pertemuan-pertemuan masyarakat mengenai rencana dan proyek – Memberi dukungan dalam mengkaji prioritas kerja secara keseluruhan dan isu-isu lokal terkait proyek – Memberi dukungan dalam menangani isu-isu lintas sektoral o Misalnya: Akses bagi penyandang disabilitas – Melatih anggota FLLAJ berdasarkan studi kebutuhan pelatihan yang dilaksanakan di bawah PRIM
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• Menghapus pengaturan atau kendala lain yang menghambat respon yang efisien dari pesaing terhadap peluang komersial, seperti praktik perburuhan yang penuh batasan atau pembatasan yang tidak perlu terhadap inovasi (misalnya, dalam standar teknis). • Merevisi perjanjian lisensi untuk mempromosikan kompetisi untuk memperoleh hak untuk menyediakan layanan (misalnya, pada rute bus) sambil memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk menyesuaikan layanan untuk memenuhi kebutuhan pengguna, dengan syarat standar kinerja minimum terpenuhi. • Bagi kegiatan-kegiatan yang masih dikelola oleh sektor publik atau BUMN, fokus pada kinerja mereka, produktivitas dan profitabilitas, menetapkan target yang secara progresif semakin tinggi, memberikan lebih banyak otonomi bagi manajer dalam mengatur bagaimana mereka harus mencapai target tersebut, dan memberi penalti kepada mereka ketika mereka gagal untuk melakukannya. Dalam beberapa kasus, memperbolehkan ekuitas sektor swasta juga akan membantu menekan manajemen untuk berkinerja lebih baik.
Menangani Kemacetan Perkotaan
Kemacetan lalu lintas perkotaan membebani perekonomian, di kota Jakarta saja biaya mencapai sekitar USD 500 juta pada tahun 20022. Ini juga membatasi mobilitas, menjadikan orang sakit, mengurangi jangka hidup mereka, membatasi akses terhadap layanan-layanan dasar, fasilitas, dan kesempatan, serta memperburuk lingkungan perkotaan yang memang sudah buruk. Solusinya jelas; termasuk strategi-strategi berikut yang saling melengkapi: • Daripada memberikan subsidi, menjadikan penggunaan mobil pribadi dan sepeda motor pada jam sibuk di jalan raya padat sulit dan mahal melalui jalan berbayar, pembatasan ruang jalan, mengurangi ketersediaan dan meningkatkan biaya parkir, dan secara fisik membatasi akses (sebaiknya bersamaan dengan langkah-langkah untuk meningkatkan kenyamanan dan mendorong orang masyarakat untuk berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan transportasi umum). • Meningkatkan efisiensi lalu lintas dengan mengembangkan rute-rute alternatif, mengendalikan kegiatan bahu jalan, mengoptimalkan pengaturan sinyal, meningkatkan kualitas desain dan konstruksi
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
jalan, menghapus penyempitan (misalnya, lajur yang terhenti kontinuitasnya), memperkenalkan sistem informasi rute/kemacetan, mendidik polisi lalu lintas mengenai cara mengatur lalu lintas (dan menggaji mereka dengan lebih baik) dan mengurangi jumlah kilometer kendaraan yang sangat berlebihan akibat perjalanan ekstra yang saat ini diperlukan akibat pengaturan rute tidak langsung yang tidak efisien, larangan berbelok dan berbalik (U-turn). • Menyediakan alternatif angkutan umum yang lebih menarik dengan mengganti sektor informal dengan pelayanan bus formal yang beroperasi di bawah kontrak berbasis kinerja, meningkatkan tempat pemberhentian dan pergantian kendaraan (interchange) untuk meningkatkan kapasitas dan pengalaman penumpang serta, di mana kepadatan permintaan memungkinkan, mengembangkan Bus Rapid Transit (BRT) berkapasitas tinggi, Light Rail Transit (LRT), dan sistem rel berat 3. Sebagian besar dari prakarsa ini memerlukan kepemimpinan yang kuat di tingkat Pemda. Bagaimana lembaga-lembaga nasional dapat memberi dukungan? Dengan: • Menegakkan persyaratan yang berlaku saat ini agar Pemda secara resmi mengadopsi rencana transportasi perkotaan (termasuk rencana untuk pengelolaan permintaan, pengelolaan lalu lintas, pengelolaan angkutan barang jalan raya, dan pengembangan transportasi umum) serta menetapkan semua ini sebagai prasyarat untuk mendapat dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk jalan baru yang berpotensi memberikan dukungan melalui transfer hibah bersyarat. • Memfasilitasi alokasi pendapatan dari retribusi jalan (misalnya, biaya kemacetan) untuk transportasi umum4. • Mengembangkan pendekatan model untuk melayani perizinan, termasuk model berbasis kinerja, bersama dengan standar kinerja minimum yang realistis dan spesifikasi teknis. • Menyediakan layanan berbagi pengetahuan yang akan memungkinkan Pemda untuk bertukar informasi mengenai solusi mobilitas perkotaan yang sesuai.
BRT ke kota-kota yang tidak siap untuk mengoperasikan dan memeliharanya – ketika jawaban lokal untuk kebutuhan lokal harus dikembangkan oleh masyarakat setempat, sebaiknya dengan pengawasan dan partisipasi publik.
Mengurangi Kesenjangan Antar daerah
Alasan utama mengapa infrastruktur dan layanan transportasi buruk di daerah yang kurang berkembang adalah karena permintaan tidak mencukupi untuk menjustifikasi operasi komersial. Pengiriman berukuran lebih kecil, kurang sering, dan kurang dapat diprediksi; kemampuan untuk membayar lebih rendah. Namun ada alasan kuat mengapa pemerintah harus mencoba untuk mengurangi kesenjangan dengan daerah yang lebih maju. Biasanya ini akan melibatkan subsidi: konsesi kepada investor swasta, menerima tingkat keuntungan yang lebih rendah atas investasi publik, memberikan jaminan atas sebagian dari biaya layanan penting. Daripada menjadikannya tanpa batas, pemerintah harus lebih eksplisit mengenai apa yang ingin dicapai dan biaya untuk melakukannya. Oleh karena itu, seperti halnya bagi perekonomian secara keseluruhan, strategi untuk mengurangi kesenjangan antardaerah harus didasarkan pada serangkaian hasil yang ditargetkan: tingkat minimum layanan atau aksesibilitas, misalnya, atau angka target pertumbuhan daerah. Kemudian harus ditentukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai target tersebut dengan biaya minimum, berdasarkan perbandingan cara-cara alternatif untuk melakukannya. Alternatif-alternatif tersebut mungkin mencakup: • Menaikkan ambang batas dukungan Dana Jaminan Infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund) atau dana pendamping proyek (VGF, viability gap funding)5 untuk investasi swasta di daerah-daerah seperti itu. • Menetapkan target manfaat dan biaya dalam tingkat pengembalian ekonomi (Economic Internal Rate of Return) untuk investasi pemerintah yang lebih rendah dari ambang batas pengembalian yang diharapkan di Pulau Jawa atau Sumatera. • Memperkenalkan kontrak berbasis kinerja yang ditenderkan secara kompetitif untuk layanan perintis (pionir) dan layanan non-komersial lainnya di bawah kontrak tahun-jamak. • Menyediakan hibah berbasis kinerja yang ditargetkan dan bersyarat untuk Pemda-Pemda di wilayah tersebut.
Kurang tepat bagi lembaga-lembaga Pemerintah Pusat untuk mendikte solusi – misalnya, dengan menyediakan bus
Prakarsa Compendium | Jilid 3
33
34
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
Perlu diingat bahwa masing-masing alternatif di atas memungkinkan biaya subsidi untuk dimonitor dan dibandingkan dengan manfaat yang dirasakan dari strategi tersebut. Meski demikian, sebelum memulai semua ini, pemerintah harus bertanya: mengapa layanan tersebut belum disediakan oleh sektor swasta? Seringkali peraturan yang tidak perlu atau pembatasan lainnya (misalnya, Pelindo mencegah akses ke pelabuhan) menghambat solusi yang tepat yang sebenarnya tidak justru memerlukan dukungan pemerintah.
Mendanai Investasi yang Dibutuhkan
Analisis terbaru menunjuk kepada kesenjangan pendanaan sebesar USD 200 miliar selama periode 2015–2019 yang perlu diisi oleh bantuan sektor swasta (lihat Gambar 6). Dari mana semua ini akan datang? Mengapa upaya KPS di masa lalu gagal untuk menariknya? Untuk menjawab pertanyaan ini, pemerintah harus memahami apa yang memotivasi investor swasta. Mereka menginginkan imbalan yang wajar untuk melakukan investasi di bawah risiko yang dapat dikelola. Mereka tidak harus datang ke Indonesia untuk mendapatkan ini: ada banyak negara pesaing yang memiliki rezim pemerintahan yang transparan, pengaturan manajemen risiko yang dapat diterima, dan serangkaian proyek layak yang direncanakan untuk partisipasi sektor swasta. Mereka hanya akan berinvestasi dalam proyek di Indonesia jika imbalannya memadai dan dapat diandalkan, dan jika mereka sendiri dapat mengelola risikonya. Indonesia hanya bisa mendapatkan investasi ini – dalam persaingan dengan negara-negara lain – jika negara ini menawarkan (i) kesepakatan besi-tuang yang dijamin melalui persekongkolan dengan orang-orang yang berkuasa melalui proses pengadaan yang non-kompetitif, dan kemungkinan korup; atau (ii) model pelaksanaan yang transparan, dapat diprediksi, dapat diandalkan dan wajar, serta sesuai dengan praktik terbaik internasional. Indonesia masih jauh dari cara kedua ini, meskipun telah berupaya selama lebih dari 20 tahun. Apa langkah-langkah pertama yang paling penting? • Mengurangi jumlah proyek kandidat dalam rencana menjadi sejumlah terbatas dengan skema yang sederhana, dapat di-kelola, dan layak secara ekonomi yang pada dasarnya sudah dihilangkan risikonya (derisked). De-risking berarti menghilangkan semua risiko yang tidak dapat dikelola sendiri oleh mitra sektor
Prakarsa Compendium | Jilid 3
swasta, atau yang tidak bisa mendapatkan jaminan. • Untuk proyek-proyek ini, melakukan sebuah analisis VfM secara berhati-hati untuk menunjukkan apakah ekonomi siklus-hidup penyediaan swasta melebihi biaya tambahan pembiayaan sektor swasta jika dibandingkan dengan sebuah pembanding realistis, yang disesuaikan dengan risiko sektor publik. Ekonomi siklus-hidup ini berasal dari penggabungan (bundling) desain, konstruksi/implementasi, dan tugas-tugas O&M sepanjang siklus-hidup proyek. • Pertimbangkan dengan sangat hati-hati apakah risiko permintaan dan penghasilan (demand and revenue risk) harus dialihkan ke sektor swasta. Seperti halnya semua risiko yang dialihkan, risiko tersebut akan menarik harga kontingensi terburuk. Sampai sebuah model risiko yang lebih baik terbentuk, akan lebih baik bagi pemerintah untuk mempertahankan risiko penghasilan dan membuat agar pembayaran ketersediaan/kinerja dari penghasilan yang dikumpulkan secara independen 6. • Tetapkan standar keluaran yang jelas untuk menilai kinerja dan sebagai dasar dari setiap pengurangan pembayaran atau penalti lain. Jangan terlalu spesifik menentukan masukan, izinkan fleksibilitas penawar dalam memenuhi standar kinerja keluaran. Ini memungkinkan pendekatan inovatif untuk disampaikan. • Mengadopsi, proses pengadaan yang transparan dan interaktif, yang dirancang untuk menguji tingkat risiko yang dapat diterima (risk appetite) dan untuk mengeksplorasi pilihan desain/pelaksanaan yang inovatif. Hal ini dapat mencakup prosedur untuk membuat penawar menetapkan harga risiko secara berangsur, sehingga pemerintah bisa menilai tingkat risiko seperti apa yang siap dipertahankan. • Memelihara ketegangan kompetitif sampai ke tahap penawaran terbaik-dan-final dari sebuah daftar akhir dari dua peserta. Ini sangat penting untuk mengamankan VfM terbaik. Sebagian besar dari saran-saran ini memerlukan perubahan terhadap cara proyek KPS dipersiapkan dan dilelang saat ini7. Pendekatan tersebut memerlukan penasihat hukum, teknis, keuangan, pengadaan, perbankan, dan asuransi yang berpengalaman. Semua ini mahal, tapi biayanya akan
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Gambar 6: Kesenjangan Pendanaan Infrastruktur USD at 11,000 IDR
Dalam IDR Triliun (USD Milyar) Kesenjangan
Pendanaan BUMN
KPS Murni
KPS dengan VGF
Rekening Administratif
IDR-
Kesenjangan yang masih tersisa
IDR(500) IDR(796) USD 72
IDR(1,000) IDR(341) USD 32
IDR(1,500) IDR(495) USD 45
IDR(2,000) IDR(2,086) USD 190
IDR(84) USD 7
Dengan asumsi KPS 25% dari Total Permintaan Infrastruktur sebesar IDR 3,456 Triliun (USD 314 Milyar)
IDR(2,500)
Asumsi:
IDR(370) USD 34
Hanya Pendanaan Neraca Perusahaan 60:40 D/E Leverage
Listrik 100% Transportasi 20% Sumber Daya Air Minum 10% Penyediaan Air & Sanitasi 10% dari KPS Murni
VGF untuk periode 5 tahun di tingkat 40%
Diisi dengan memanfaatkan kapasitas meminjam
Sumber: JICA, Presentasi RPJMN kepada Bappenas, September 2013 Catatan: Ini mencakup semua infrastruktur (kelistrikan, transportasi, sumber daya air minum, penyediaan air & sanitasi)
jauh di bawah manfaat yang dihasilkan dari dokumentasi, pengelolaan risiko yang diterima pasar, transparansi pengadaan yang telah teruji dan, terutama, kepercayaan investor. Ini akan tercermin dalam penawaran harga. Diperlukan sebuah studi kelayakan solid yang membangun kepercayaan serta perbandingan VfM. Dibutuhkan sebuah pengenalan pasar (market-sounding) yang lebih dari sekedar roadshow: tujuannya harus untuk menilai selera dan harapan pasar dalam hal tata kelola pemerintahan, keuntungan finansial, pengalihan resiko dan kepastian pembayaran; kecuali harapan-harapan tersebut terpenuhi, proyek ini tidak akan berhasil. Diperlukan kerangka pengaturan yang dapat diandalkan dan tidak asing, yang memfasilitasi pengadaan dari model pelaksanaan yang
dipilih dan memberikan keyakinan bahwa tidak akan ada perubahan-perubahan yang tak terduga. Dan semua itu membutuhkan peserta pendamping dari kalangan keuangan, konstruksi, konsultasi, dan operasional di Indonesia, yang memahami konsep-konsep terkait serta perubahan pola pikir yang diperlukan di dalam lingkungan yang lebih berbasis kinerja, termasuk kebutuhan untuk menyambut peserta asing dan mempelajari praktik-praktik terbaik dari mereka8.
Menyelamatkan Nyawa
Bagaimana kita bisa menghentikan sistem transportasi yang membunuh dan melukai orang, terutama di jalan? Sekitar 3 persen dari PDB musnah akibat kecelakaan di
Prakarsa Compendium | Jilid 3
35
36
Sektor Transportasi Indonesia: Tantangan dan Strategi
jalan. Biaya sosialnya sangat besar. Namun, kita secara fatal telah terbiasa dengan risiko-risiko tersebut. Untuk sektor jalan, jawaban sudah ada di depan kita. Lima pilar Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK), dipersiapkan untuk memenuhi tujuan Dekade Aksi Keselamatan Jalan PBB, yang masuk akal dan sejalan dengan praktik yang baik: • Manajemen Keselamatan Jalan (Road Safety Management), untuk mendorong koordinasi antar pemangku kepentingan dan membangun kemitraan sektoral • Jalan yang Lebih Aman • Kendaraan yang Lebih Aman • Keselamatan yang Lebih Baik bagi Pengguna Jalan Raya • Tindakan Pasca-Kecelakaan Apa yang belum ada adalah realisasi dari keseriusan dan urgensi dari situasi dan komitmen untuk memperbaikinya: sebuah kemauan untuk menempatkan pertimbangan keselamatan di atas segalanya. Dengan Instruksi Presiden no. 4/2013 tentang Dekade Aksi Keselamatan Jalan, Presiden telah mengirimkan sinyal yang tepat. Fokus saat ini harus pada tindakan terpadu oleh semua lembaga yang terlibat dalam RUNK untuk: • Memperkuat komitmen untuk rencana aksi RUNK. • Secara signifikan meningkatkan status kelembagaan fungsi-fungsi yang terkait dengan keselamatan dan membuat lembaga-lembaga bertanggung jawab atas kinerja keselamatan. • Melibatkan masyarakat dan kelompok masyarakat dalam memberikan penekanan pada kinerja keselamatan dan memberi dukungan dalam proses pendidikannya. • Meningkatkan standar teknis yang berkaitan dengan keselamatan, dan memandatkan program audit keselamatan independen. • Memperkuat kemampuan konsultan dan operator melalui sertifikasi keselamatan. • Mengambil tindakan atas titik-titik rawan kecelakaan (blackspots) dan risiko keamanan lainnya melalui program penanganan yang tepat. • Memperkuat kualitas penegakan keamanan oleh polisi dan hukuman untuk pelanggaran yang terkait dengan keselamatan, juga menargetkan perusahaan transportasi dengan ancaman pencabutan izin.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• Memperkenalkan insentif bagi manajemen keselamatan daerah yang lebih baik melalui hibah bersyarat berbasis hasil bagi Pemda. Untuk sub-sektor selain jalan raya, upaya-upaya yang dilakukan harus berfokus pada standar teknis, penguatan peran regulator keselamatan independen, dan hukuman berat, termasuk pencabutan izin atau pendapatan.
Kesimpulan
Jika target RPJPM 2025 dimungkinkan untuk mencapai pencapaiannya, RPJMN 2015–2019 sebaiknya memperkenalkan reformasi yang lebih radikal daripada sebelumnya. Sikap business-as-usual tidak akan cukup. Banyak saran dalam artikel ini telah dikenali sebelumnya – saran-saran tersebut bukan hal yang terlalu rumit untuk dimengerti – tetapi mereka akan mengubah sebuah status quo di mana banyak orang mempunyai kepentingan yang kuat. Hanya sedikit yang akan terjadi tanpa adanya kepemimpinan yang kuat dan berkomitmen. Siapa yang akan memberikan ini? Mitra utama IndII, Bappenas (dengan dukungan seorang presiden yang memiliki visi dan keberanian). Bappenas bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan nasional. Bappenas harus teguh dalam hal perlunya reformasi kebijakan dan strategi, dimulai dengan RPJMN 2015–2019. ●
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Tentang Para Penulis: John Lee, Direktur Teknis Transportasi IndII, adalah seorang ahli transportasi yang mempunyai pengalaman lebih dari 40 tahun, termasuk 15 tahun diantaranya bekerja di Indonesia. Ia telah menangani berbagai macam proyek kebijakan dan perencanaan yang menyangkut seluruh moda transportasi, di tingkat nasional dan regional di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Pasifik. Ia menguasai persyaratan yang dibutuhkan oleh lembaga bantuan internasional yang berskala besar. Sebelum bergabung dengan IndII, John bekerja sebagai penasihat untuk Departemen Perhubungan di Abu Dhabi, dimana ia terlibat dalam pengerjaan jalan tol dan divisi transportasi publik dari tahap awal. John mempunyai keahlian dalam pengembangan institusi, studi kelayakan investasi, perencanaan transportasi multimoda, pelaksanaan proyek berbasis kinerja (termasuk PPP) dan pengelolaan aset. Prof. Suyono Dikun Ph.D adalah Penasihat Utama – Lead Advisory Support Unit (LASU). Ia memiliki lebih dari 30 tahun pengalaman profesional. Ia memulai karirnya sebagai dosen di Universitas Indonesia dan sejak tahun 1993 berkecimpung di bidang infrastruktur dan pengembangan kebijakan dan perencanaan regional untuk Bappenas. Ia memainkan peran yang signifikan dalam formulasi Repelita VI di bidang sains dan teknologi, sumber daya manusia, transportasi, telekomunikasi, sumber daya air, dan strategi pengembangan regional. Selama tahun 1998–2000, Dr. Suyono menjabat sebagai Asisten Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (EKUIN), bertanggung jawab untuk industri dan jasa. Dr. Suyono ditunjuk sebagai Wakil untuk Infrastruktur di Bappenas pada tahun 2002, dan pada tahun 2005 ia dipindahkan ke Kementerian Koordinator Perekonomian sebagai Wakil Menteri, juga bertanggung jawab untuk infrastruktur dan pengembangan regional. Keterlibatannya ia di bidang infrastruktur meluas dalam kurun waktu 2002–2006, ketika ia menjalankan tugas sebagai Sekertaris untuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI). Ia memainkan peran yang signifikan dalam pembuatan kebijakan baru, regulasi, dan kerangka kerja institusi untuk penyedian infrastruktur, termasuk Paket Kebijakan Infrastruktur 2006.
CATATAN 1. Bahkan kualitas layanan mendukung pertumbuhan ekonomi. Beberapa perusahaan perkapalan dalam pasar yang sangat kompetitif dan yang tidak sensitif terhadap harga lebih menyukai layanan yang cepat, dapat diandalkan, dan aman, bahkan kalau layanan tersebut mempunyai harga yang lebih tinggi. 2. Sumber: UKP4, mengutip Studi Jabodetabek Urban Transport Policy Integration (JUTPI). 3. Sistem seperti ini jauh lebih efisien daripada alternatif bagi koridor yang padat, tetapi mereka hanya melayani perjalanan sepanjang koridor tersebut. Sistem transportasi umum yang lebih menyebar dan terkoneksi juga dibutuhkan, dengan bermacam-macam layanan, tergantung pada kondisi jalan raya dan pola permintaan. 4. Sesuai peraturan yang berlaku, pungutan seperti itu dianggap pajak, dan tidak dapat ditentukan alokasinya. 5. Dana pendamping proyek (viability gap funding) menyediakan dukungan finansial dalam bentuk hibah, sekali waktu atau ditangguhkan, kepada proyek infrastruktur yang dilakukan melalui KPS, dengan harapan untuk menjadikan proyek tersebut menjadi layak secara komersial. 6. Keuntungan penting dari ini adalah dimungkinkannya pemerintah untuk mempertahankan kendali atas pungutan tol/tarif/ harga, dan menggunakan ini apabila diperlukan sebagai cara mengatasi persoalan penetapan harga antarmoda atau mencapai sasaran sosial-politik. 7. Perlu diingat, bahwa pendekatan ketersediaan/kinerja juga tidak memerlukan viability gap financing. 8. Hal ini juga akan memperkuat kemampuan para mitra Indonesia untuk berpartisipasi di pasar internasional.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
37
POIN-POIN UTAMA Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia saat ini menargetkan akses penuh terhadap pelayanan dasar pada tahun 2019. Pemenuhan target ini tidak akan tercapai, terutama dalam bidang sanitasi, kecuali Pemerintah Daerah melakukan Investasi sebesar USD 1 Miliar untuk menambah rencana pengeluaran yang ditetapkan dari Pemerintah Pusat. Untuk mengelola Investasi tersebut guna memperluas cakupan layanan, diperlukan pendekatan baru untuk mendorong Pemerintah Daerah melalui pemberian insentif, kapasitas kelembagaan di tingkat daerah perlu dikembangkan, dan Pemerintah Daerah harus mengembangkan pendekatan baru untuk manajemen aset untuk menjaga pemanfaatan aset sebagai Investasi. Menciptakan Pendorong Investasi Bagi Pemerintah Daerah: Pendekatan yang efektif termasuk penggunaan hibah berbasis hasil, yang pada fase 1 IndII membuktikan efektivitasnya untuk memperkuat komitmen Pemda dan mendongkrak pendanaan. Selain itu Dana Alokasi Khusus (DAK) telah menunjukkan kemampuan mendongkrak pendanaan dari Pemda dibandingkan Tugas Pembantuan (TP) dari Pemerintah Pusat. Mekanisme penerusan hibah menawarkan potensi yang besar untuk pendanaan yang lebih besar. Undangundang Kemenkeu yang telah diperbaiki memungkinkan dana hibah, pinjaman dan APBN ditransfer kepada Pemerintah Daerah sebagai hibah atau pinjaman. Jika kerangka kerja hukum dan prosedural untuk penerusan dana telah berjalan dengan baik, perubahan yang signifikan (mengurangi TP dan mendorong DAK) akan diperlukan untuk menggunakan mekanisme penerusan hibah. Komitmen Pemda dapat ditingkatkan dengan mengkaitkan penerusan dana pada pencapaian standar layanan minimum dan perencanaan bujet yang cukup untuk operasional dan pemeliharaan aset. Dengan memantau pencapaian tersebut akan memperkuat peran lembaga-lembaga teknis dan memberikan dasar pemikiran bagi pembiayaan hibah. Memperkuat Kapasitas Kelembagaan Pemda: Fragmentasi dalam penyediaan layanan harus ditangani. Untuk menyediakan serangkaian layanan yang rumit diperlukan kerangka kerja kelembagaan yang berfungsi dengan baik di dalam Pemda dan di antara berbagai tingkatan pemerintahan, masyarakat, dan sektor swasta. Kunci agar dapat mendefinisikan peran dan tanggung jawab dengan baik adalah memastikan bahwa lembaga Pemda bertindak sebagai lembaga yang memimpin seluruh sektor sanitasi. Untuk mendorong koordinasi, kelompok kerja antar kelembagaan yang kuat (Pokja AMPL) baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pusat dapat mengajak para pejabat dari seluruh lembaga yang berkepentingan untuk mengkoordinasikan program dan kebijakan. Sebagai bagian dari program Pemerintah Pusat untuk mempercepat pembangunan sanitasi, Pemda diwajibkan untuk mempersiapkan dan melaksanakan Strategi Sanitasi Kota/Kabupaten (SSK) yang terpadu dan bersifat multi-tahun. Perlu diupayakan untuk memastikan bahwa SSK cukup relevan, realistis, dan ditargetkan sehingga bisa menjadi sarana yang efektif bagi Pemda untuk perencanaan dan penganggaran. Kemampuan Pemda untuk memberikan layanan sangat beragam, namun mereka semua akan mendapatkan manfaat dari upaya mereka untuk membangun kapasitas kelembagaan dan meningkatkan keterampilan individu. Meningkatkan Mekanisme Pembiayaan dan Manajemen Aset Pemerintah Daerah: Jika pendanaan dari Pemerintah Pusat untuk aset daerah diganti dengan hibah bagi Pemda, Pemda akan memiliki aset mereka sendiri dan memungkinkannya untuk melakukan perawatan dan penggantian. Hal ini nampaknya bisa meningkatkan keberlanjutan aset. Dalam beberapa kasus, pendanaan Pemerintah Pusat bagi infrastruktur daerah dibenarkan. Jika diperlukan, komitmen Pemda untuk operasional dan pemeliharaan dapat dibangun jika Pemerintah Pusat segera mengalihkan aset ke lembaga daerah yang akan menggunakanya.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
ARAH BARU UNTUK SEKTOR AIR MINUM DAN SANITASI INDONESIA Pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang cukup bagi seluruh warganya. Kesuksesan yang diraih dalam upaya yang ambisius ini memerlukan pendekatan baru untuk memberikan insentif kepada Pemerintah Daerah, mengembangkan kapasitas institusi daerah, dan mendorong rasa memiliki Pemerintah Daerah pada asetnya. Oleh Jim Coucouvinis dan Joel Friedman
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memenuhi Sasaran Pembangunan Milenium (MDG) untuk air minum dan sanitasi. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) yang sekarang berlaku membidik sasaran yang ambisius, yaitu akses penuh terhadap pelayanan dasar pada 2019. Namun, terdapat indikasi bahwa hasil saat ini dan yang diproyeksikan dalam pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi tidak akan mampu mengejar pertumbuhan penduduk dan depresiasi aset. Contohnya, kapasitas aset produktif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pada tahun 2004 kira-kira 130.000 liter per detik dengan aset senilai USD 6,3 miliar. Pada tahun 2009, kapasitas itu hanya naik hingga 145.000 liter per detik, kenaikan 11 persen, dengan aset senilai USD 7 miliar, juga kenaikan 11 persen. Kenaikan ini tidak cukup untuk mengejar pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 18 persen dalam jangka waktu tersebut, apalagi meningkatkan cakupan pada taraf yang dapat meraih sasaran 2019. Hal yang memperburuk masalah tekanan penduduk ini
adalah kenyataan, bahwa sebagian besar pertumbuhan perkotaan terjadi di daerah pinggiran kota dan kota-kota kecil, terutama di luar Jawa dan Sumatra, yang cenderung belum memiliki infrastruktur transportasi dan sarana pengolahan yang mahal. Oleh karenanya biaya untuk memperluas cakupan di daerah ini akan jauh melebihi biaya di kota-kota besar yang biasa. Sudah jelas bahwa Indonesia harus lebih banyak berinvestasi di sektor infrastruktur air minum dan sanitasi di tingkat pusat, provinsi, dan terutama tingkat daerah (kota dan kabupaten). Hal ini terutama berlaku di sektor sanitasi, yang tertinggal dari sektor air minum dalam hal investasi dan cakupan. Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki rekor komitmen paling rendah untuk investasi sanitasi. Meski ada sekitar 350 PDAM di seluruh Indonesia, hanya terdapat 11 skema saluran pembuangan air limbah perkotaan, dan ini dibangun oleh Pemerintah Pusat.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
39
40
Arah Baru untuk Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia
Pemenuhan tujuan air minum dan sanitasi yang lebih baik akan membuat pemandangan seperti sungai di Surabaya ini menjadi bagian dari kisah di masa lalu.
Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan kebijakan untuk mengejar investasi saluran pembuangan air limbah perkotaan secara lebih agresif. Kebijakan ini merupakan bagian dari program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Untuk itu, pemerintah menaikkan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sekitar 100 persen untuk periode pembangunan lima tahun 2010–14. Anggaran ini sebesar kurang lebih Rp 4 trilyun atau sekitar USD 360 juta per tahun. Dengan estimasi keseluruhan kebutuhan investasi sanitasi sebesar USD 1,4 miliar per tahun guna memenuhi sasaran PPSP, Pemda harus mengeluarkan investasi sekitar satu miliar dolar. Dana ini harus disediakan melalui pengerahan dana di tingkat daerah dan penyediaan dana tambahan dari sumber-sumber Pemerintah Pusat yang diteruskan ke Pemda.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Atas perkenan Andre Susanto
Bahkan dengan peningkatan investasi pun, masih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi, dan peluang yang harus diambil, agar investasi ini bermanfaat untuk cakupan yang lebih luas: • Pendekatan-pendekatan baru untuk menyemangati Pemda berinvestasi di infrastruktur harus dirangkul secara lebih luas. • Masalah terkait kelemahan kapasitas kelembagaan di tingkat daerah untuk membangun, menjalankan, dan memelihara infrastruktur air minum dan sanitasi harus ditangani. • Pemda harus memelihara aset air minum dan sanitasi secara lebih baik agar aset-aset tersebut tidak memburuk secepat sekarang, dan untuk itu diperlukan pendekatan baru terhadap pengelolaan aset.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Artikel ini akan menyajikan tiga tema lintas sektor dan rekomendasi untuk sektor air minum dan sanitasi Indonesia. Penulisannya didasarkan pada pemikiran bahwa peningkatan dana akan disediakan bagi sektor tersebut tetapi harus disertai dengan penguatan mekanisme pembangunan, tata kelola pemerintahan, dan kerangka kerja kebijakan, sesuai dengan maksud peningkatan dana tersebut. Rekomendasi yang harus dibuat untuk dimasukkan ke bagian sektor air minum dan sanitasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015–2019 akan membantu memastikan, bahwa manfaat investasi di sektor air minum dan sanitasi ini dimaksimalkan. Artikel ini bersumberkan pengalaman Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) dalam menerapkan program air minum dan sanitasi di Pemda.
Pemerintahan Daerah harus mendapat lebih banyak insentif untuk berinvestasi di infrastruktur
Perluas mekanisme hibah berbasis hasil, seperti yang dirintis dalam program IndII, yang telah terbukti meningkatkan investasi Pemda di infrastruktur dan membangun komitmen: Tiga program IndII – Hibah Peningkatan Infrastruktur, Hibah Air Minum, dan Hibah Infrastruktur Australia Indonesia untuk Sanitasi (sAIIG) – memanfaatkan mekanisme hibah berbasis hasil. Hibahhibah ini disediakan langsung untuk Pemda melalui perjanjian hibah yang mengikat secara hukum antara kepala Pemda dan Menteri Keuangan. Perjanjian Hibah menentukan apa yang harus dilakukan Pemda dengan dana hibah tersebut, bagaimana pekerjaan mereka akan diverifikasi, dan bagaimana dana akan dicairkan. Mekanisme ini cocok untuk modalitas berbasis hasil atau kinerja yang memberikan lapisan akuntabilitas tambahan pada proses. Pemda hanya dibayar setelah mereka meraih standar kinerja tertentu (termasuk reformasi tata kelola), dan mendapatkan hasil yang disepakati. Pada Fase 1, program hibah IndII memanfaatkan sekitar 60 persen dari hibah tersebut sebagai sumbangan dari Pemda. Pemda menunjukkan komitmen mereka untuk menganggarkan pendanaan yang sedang berjalan untuk operasional dan pemeliharaan. Program-program ini oleh karenanya berhasil mengerahkan dana yang sangat dibutuhkan di tingkat daerah. Pemerintah Pusat secara luas mengakui tingkat efisiensi ini. Peningkatan program hibah selama fase IndII saat ini mencakup target tata kelola dan ketertautan kinerja pada program pemerintah lainnya guna meningkatkan dampak dan penetrasi. Mekanisme semacam ini memberikan sarana untuk menyalurkan dana donor langsung kepada Pemda. Langkah logis selanjutnya adalah Pemerintah mengakomodasikan mekanisme hibah ke
arus umum pembiayaan dan menautkannya ke perbaikan kinerja Pemda. Secara berangsur-angsur beralih dari pendanaan Pemerintah Pusat untuk infrastruktur daerah melalui Tugas Pembantuan menuju Dana Alokasi Khusus dan akhirnya menuju penerusan hibah karena hal ini akan menghasilkan pemanfaatan dana Pemda yang terbatas dengan lebih baik: Sebagaimana telah disebutkan, Pemerintah meningkatkan dana dalam Anggaran dan Pengeluaran Belanja Negara (APBN) menjadi USD 360 juta pada tahun 2013. Untuk sarana sanitasi Pemda, dana ini disalurkan melalui Tugas Pembantuan (TP). Pendanaan langsung dengan jumlah terbatas, USD 42 juta, dianggarkan dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Analisis terbaru tentang pengeluaran untuk infrastruktur menunjukkan, bahwa meski terdapat kurangnya transparansi dan akuntabilitas, DAK memanfaatkan lebih banyak dana dari Pemda daripada TP. Sesungguhnya, TP menghasilkan efek substitusi: sudah terbukti bahwa untuk setiap unit pendanaan TP, Pemda mengurangi pendanaannya sendiri melalui Anggaran dan Pengeluaran Belanja Daerah (APBD) hingga setengah unit. Meski tak sempurna, setidaknya DAK memanfaatkan sepuluh persen dari Pemda. Selain itu, hasil awal dari program Hibah Air Minum IndII menunjukkan bahwa program ini bahkan lebih efisien dalam menarik investasi di tingkat daerah. Tidak ada alasan untuk berharap bahwa hasilnya akan berbeda untuk sanitasi. Sudah jelas bahwa mengingat kebutuhan besar mengerahkan dana tambahan untuk infrastruktur, terutama sanitasi di tingkat daerah, mekanisme penerusan hibah seperti Program Hibah IndII menawarkan potensi terbesar untuk peningkatan dana. Pertimbangkan mengarusutamakan mekanisme penerusan hibah di dalam kerangka kerja fiskal keseluruhan untuk desentralisasi: Sebagaimana baru disebutkan, pendanaan langsung ke Pemda melalui program hibah diakui secara luas sebagai program yang lebih efektif untuk mengalihkan dana terikat ke Pemda, tapi pemerintah masih bimbang soal bagaimana meningkatkannya. Tidak diragukan bahwa dana hibah eksternal dapat diteruskan melalui program hibah tersebut. Masalahnya lebih rumit bila menyangkut soal mengalihkan pinjaman luar untuk infrastruktur perkotaan sebagai hibah. Revisi terbaru dari Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) menyederhanakan proses penerusan hibah yang memungkinkan dana hibah, pinjaman, dan dana APBN dialihkan ke Pemda sebagai hibah atau pinjaman. Di dalam pemerintah sendiri ada para pendukung yang melihat hal ini sebagai titik reformasi penting. Hingga kini, meski beberapa pinjaman terkadang disalurkan sebagai hibah ke Pemda, tidak semua pihak di Pemerintah Pusat mendukung penerusan hibah.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
41
42
Arah Baru untuk Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia
Prospek yang lebih sulit adalah, pemerintah mengalihkan sebagian dana Kementerian yang ada, yang dimaksud untuk penyediaan infrastruktur perkotaan, ke dalam dana hibah. Namun, justru inilah proses perubahan yang diinginkan, dan proses tersebut memang harus dimulai. Program hibah IndII memberikan titik awal; masalahnya kini bagaimana menjaga momentum dan arah. Kendati kerangka kerja hukum dan tata cara untuk mengarusutamakan penerusan hibah itu secara teori ada, kerangka kerja itu belum diterapkan di skala yang berarti. Tampaknya, diperlukan perubahan yang signifikan agar terjadi pengarusutamaan. Hal ini akan melibatkan pengurangan tekanan secara bertahap pada penggunaan saluran dana TP dan lebih banyak penggunaan pendekatan DAK untuk air minum dan sanitasi. Pada akhirnya, bisa saja penerusan hibah digunakan tidak hanya sebagai mekanisme untuk menyalurkan dana donor, tapi juga untuk menyalurkan dana Pemerintah Indonesia bagi sarana sanitasi dan air minum di tingkat daerah. Diperlukan waktu untuk Pemerintah Pusat meresmikan dan memperluas pendekatan tersebut. Hal ini mungkin akan menimbulkan tantangan dari beberapa lembaga yang sudah sejak lama membangun infrastruktur daerah melalui anggaran Pemerintah Pusat. Bukti yang dikutip di atas menunjukkan bahwa ke arah inilah pembiayaan infrastruktur semestinya bergerak. Memperluas penggunaan Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan program pemantauan dan pengkajian Pemerintah untuk Pemda guna mendorong investasi Pemda: Meningkatkan ketersediaan pendanaan jelas memberikan insentif bagi investasi Pemda di infrastruktur air minum dan sanitasi. Pemda akan lebih berkomitmen untuk menganggarkan operasional dan pemeliharaan yang sedang berjalan, bila mereka memahami bahwa pendanaan tambahan akan tersedia jika mereka menyediakan anggarannya dan, sebagaimana disebutkan di bawah, jika mereka memiliki asetnya. Insentif jangka panjang selanjutnya dapat diciptakan dengan cara menautkan penerusan hibah dengan prestasi standar pelayanan minimum (SPM). Standar ini untuk Pemda ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2005. Kriteria penilaian dijabarkan di PP 6/2008, yang menjelaskan cara mengkaji kinerja Pemda dalam meraih SPM. Standar dan kriteria ini harus dipandang sebagai alat yang positif untuk mendorong penyampaian pelayanan Pemda, bukan sebagai mekanisme hukuman untuk penurunan kinerja.
Memperkuat Kapasitas Kelembagaan Pemda
Merasionalisasikan peran dan tanggung jawab lembagalembaga daerah yang menyediakan pelayanan sanitasi dan menunjuk satu lembaga sebagai badan tunggal
Prakarsa Compendium | Jilid 3
yang memikul tanggung jawab akhir untuk penyediaan layanan: Penyediaan serangkaian layanan yang rumit dalam beragam keadaan memerlukan kerangka kerja kelembagaan yang berfungsi tepat di dalam setiap Pemda dan antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Pengalaman dari program-program sanitasi IndII di kalangan Pemda, dan program-program sanitasi lainnya, menunjukkan bahwa terdapat fragmentasi kelembagaan dalam jumlah yang signifikan. Pelayanan yang berbeda-beda seringkali diberikan oleh lembaga yang berbeda – pelayanan air limbah terpusat oleh Dinas Kebersihan, pengelolaan lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU), skema sanitasi berbasis masyarakat dilakukan melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat. Di dalam subsektor, tanggung jawab atas fungsi yang berbeda-beda seringkali berada pada lembaga yang berbeda. Untuk sampah padat, contohnya, sebagian besar pengumpulan di tingkat rumah tangga dilakukan melalui ketua RT/RW yang melapor pada lurah. Namun, tanggung jawab pengumpulan sampah padat di pasar milik kota, contohnya, ada pada Dinas Pasar. Tanggung jawab pengelolaan TPA umumnya ada pada dinas Pemda lainnya seperti Dinas Kebersihan atau PU. Kegiatan yang berhubungan seringkali merupakan tanggung jawab lembaga terkait – rencana tata ruang dan pengeluaran izin oleh Dinas Tata Ruang, pemantauan lingkungan hidup oleh Badan Lingkungan Hidup, atau pendidikan masyarakat oleh Dinas Kesehatan. Masih ada lembaga-lembaga lain yang memberi pelayanan pendukung seperti perencanaan dan pemrograman jangka panjang, penganggaran, dan pengembangan organisasi. Terakhir, beberapa skema berbasis masyarakat, menggunakan pendanaan dari Pemerintah Pusat atau dari proyek donor, dilakukan dengan keterlibatan terbatas atau tanpa keterlibatan dari Pemda. Pastinya, kegiatan untuk meningkatkan akses ke pelayanan sanitasi akan mendapat manfaat dari upaya merasionalisasikan kerangka kerja kelembagaan untuk sektor sanitasi di tingkat daerah, peran dan tanggung jawab yang lebih terdefinisikan, dan koordinasi antarlembaga yang kuat. Kuncinya adalah memastikan bahwa satu lembaga daerah menjadi lembaga “utama” untuk seluruh sektor sanitasi. Lembaga ini harus yang berfokus pada pemberian pelayanan yang terlibat dalam sektor sanitasi. Mungkin Dinas Kebersihan, Dinas Pertamanan, atau Dinas PU. Lembaga ini harus memikul tanggung jawab langsung untuk ketiga subsektor (atau setidaknya limbah cair dan limbah padat) dan ini harus dikodifikasikan di dalam tugas-tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang didefinisikan secara hukum. Tupoksi ini harus menentukan bahwa dinas tersebut bertanggung jawab secara kelembagaan atas pemberian seluruh pelayanan sanitasi – di segala bidang dan menggunakan berbagai pendekatan dan program. Dinas ini harus memiliki kuasa meningkatkan anggaran untuk
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
operasi dan pemeliharaan jangka panjang dan mampu memiliki semua aset yang berkaitan dengan sanitasi. Indikator-indikator kinerja harus dikembangkan dan upaya menuju penganggaran yang berorientasi pada kinerja harus didukung. Pesan jelas yang harus disampaikan adalah bahwa sanitasi merupakan tanggung jawab pemerintah dan oleh karenanya penyediaan seluruh pelayanan sanitasi akan dilakukan melalui dinas yang ditunjuk. Diberikannya otonomi lebih besar kepada lembaga itu akan berujung pada akuntabilitas yang meningkat pada masyarakat yang dilayaninya dan, seiring dengan waktu, orientasi yang lebih besar pada kinerja. Menunjuk lembaga sanitasi utama bukan berarti bahwa semua program sanitasi akan, atau harus, disampaikan langsung oleh lembaga tersebut. Tergantung pada kondisi yang ada – topografi, kepadatan penduduk, tingkat pendapatan, tingkat keterampilan, budaya – dan pilihan prioritas, kebijakan, dan pendekatan masing-masing Pemda, berbagai instansi lainnya boleh memberikan pelayanan sanitasi. Pengelolaan sistem air limbah terpusat Banjarmasin dilakukan oleh sebuah badan umum milik negara (BUMN). Program sanitasi masyarakat SANIMAS dilaksanakan oleh organisasi berbasis masyarakat. Di banyak Pemda, pengurasan tangki septik dilakukan oleh sektor swasta. Limbah padat Jakarta disetor ke tempat pembuangan sampah yang ada di wilayah Pemda tetangga dan dibayar melalui perjanjian kontrak. Pengaturan ini memungkinkan pemerintah menanggapi kebutuhan masyarakat, memberikan pelayanan secara efisien dan efektif, dan memanfaatkan sumber daya langka dengan lebih baik. Dan yang penting, sekali lagi, adalah bahwa pada akhirnya tanggung jawab untuk menata pengaturan ini, memantau kinerja, dan menanggapi tuntutan dan masalah masyarakat ada pada Pemda sendiri. Mendorong upaya pengembangan mekanisme koordinasi di dalam Pemda: Kendati satu lembaga harus bertanggung jawab atas penyampaian akhir seluruh pelayanan sanitasi, ada lembaga-lembaga tambahan yang bertanggung jawab atas kegiatan pendukung yang membantu terlaksananya beragam program sanitasi. Sebagaimana dibahas di atas, kegiatan ini termasuk kegiatan teknis – mengelola sampah pasar, memantau sampah berbahaya, melakukan kampanye pendidikan, mengembangkan standar kesehatan dan lingkungan hidup, menegakkan peraturan gedung, dsb. – dan pelayanan lintas sektor (yang melibatkan lebih dari sekadar sektor sanitasi) seperti badan perencanaan, lembaga keuangan, lembaga hukum, badan lingkungan hidup, dsb. Penting bahwasanya kebijakan, pendekatan, dan anggaran terkoordinasi dan tersinkronisasi agar saling melengkapi, dan bukan, sebagaimana seringkali terjadi, saling bertentangan atau tumpang tindih. Lagi-lagi, lembaga sanitasi utama harus memikul tanggung jawab keseluruhan.
Namun, mengingat sifat hubungan birokrasi di tingkat daerah, diperlukan sebuah badan “yang lebih tinggi” yang dapat mendorong koordinasi dan mengambil keputusan sulit. Pemerintah telah mengembangkan pendekatan yang mengumpulkan para pejabat dari lembaga-lembaga terkait ke dalam kelompok-kelompok kerja (pokja) di tingkat daerah serta tingkat provinsi dan pusat dalam rangka mengoordinasikan kebijakan dan program, menyinkronisasikan anggaran, dan memastikan bahwa prioritas seluruh kota disadari. Pokja-pokja ini berfungsi, setidaknya sebagian, mengizinkan Pemda menghindari “mentalitas lubang birokrasi” yang bisa dilihat di tingkat daerah dan pusat. Awalnya dikembangkan untuk air bersih, Pokja AMPL kini ada di banyak Pemda, walaupun belum semua. Penting bahwasanya pokja ini dibentuk di tempat lain, operasinya diperkokoh, dan kuasanya ditingkatkan. Melanjutkan dan memperkuat penggunaan Strategi Sanitasi Kota: Sebagaimana disebutkan di atas, komitmen terbaru pemerintah untuk meningkatkan akses ke pelayanan sanitasi ditunjukkan oleh dukungannya terhadap program PPSP. Sebagai bagian dari program ini, Pemda diharuskan menyiapkan dan menerapkan Strategi Sanitasi Kota/Kabupaten (SSK) tahun jamak dan terpadu. Persiapan SSK dikoordinasikan oleh Pokja AMPL di dalam masing-masing Pemda. Setiap SSK memeriksa situasi sanitasi saat ini dan proyeksi kebutuhan, menyajikan pendekatan strategis pokok untuk diterapkan guna menangani kebutuhan, membahas program khas untuk dimanfaatkan, mengidentifikasikan kebutuhan pendanaan, dan menentukan jangka waktu dan indikator. Sekitar 70 persen dari Pemerintahan Kota/Kabupaten (Pemkot/kab) dan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) memiliki SSK dan selebihnya sedang menyiapkannya melalui PPSP. Kendati kualitas SSK bisa dimaklumi berbeda-beda, SSK adalah alat yang berharga untuk menuntun Pemda dalam menerapkan program sanitasi secara menyeluruh. Sementara Pemda mengembangkan dan merevisi SSK, bantuan harus terus diberikan guna memastikan bahwa SSK itu relevan, realistis, dapat diterapkan, dan mengatasi berbagai kebutuhan kelompok penduduk dan daerah geografis di dalam masingmasing lokalitas. SSK harus menjadi rujukan pokok lembaga daerah, terutama “lembaga sanitasi utama” yang dibahas di atas, karena SSK mengembangkan strategi jangka panjang, menengah, dan pendek, rencana kerja, dan anggaran. Yang penting, kemajuan menuju pencapaian indikator pokok harus dipantau dan strategi disesuaikan jika perlu. Menerapkan upaya yang terpadu, terkoordinasi guna membangun kapasitas instansi pokok yang memberikan pelayanan air minum dan sanitasi dan para stafnya: Kapasitas Pemda memberikan pelayanan sangat berbedabeda. Meski banyak yang memiliki lembaga yang relatif berfungsi lancar dan staf yang terampil, bisa dikatakan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
43
44
Arah Baru untuk Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia
Pemerintah Daerah akan lebih berkomitmen untuk menganggarkan operasional dan pemeliharaan yang sedang berjalan, bila mereka memahami bahwa pendanaan tambahan akan tersedia jika mereka menyediakan anggarannya. semua Pemda akan memperoleh keuntungan dari upaya membangun kapasitas kelembagaan dan keterampilan individu. Di tingkat kelembagaan, upaya harus difokuskan pada memperkuat sistem dan tata cara pokok pengelolaan dan operasional, seperti perencanaan strategis jangka panjang, perencanaan dan penganggaran tahunan, pengelolaan keuangan, sistem dan tata cara operasi teknis (seperti pengolahan endapan kotoran, sistem pengantar air, pengolahan air limbah, dsb.), dan pengelolaan sumber daya manusia. Masing-masing staf juga memerlukan dukungan untuk memperkuat keterampilan teknis dan meningkatkan kinerja mereka. Pemerintah memiliki sejumlah program pengembangan kapasitas untuk Pemda. Program-program ini dilaksanakan oleh sejumlah lembaga yang berbeda-beda seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Penting bahwasanya program ini dikoordinasikan, pendanaan disediakan, dan bantuan pengembangan kapasitas diberikan secara teratur dan berulang-ulang.
Meningkatkan Mekanisme Pendanaan dan Pengelolaan Aset
Secara berangsur-angsur mengurangi praktik umum pendanaan Pemerintah Pusat untuk aset daerah, karena ini seringkali menghalangi Pemda untuk menganggarkan operasional dan pemeliharaan jangka panjang (dan oleh karenanya berujung pada depresiasi aset yang cepat): Karena dana hibah diberikan langsung ke Pemda dan dicatat di dalam APBD, aset yang terbentuk menjadi milik Pemda. Ini jauh lebih bagus daripada bentuk-bentuk pembiayaan infrastruktur daerah lainnya yang ada, yang asetnya dibangun (menggunakan dana APBN) dan dimiliki pemerintah dan Pemda diizinkan menggunakannya. Berdasarkan pendekatan kedua ini (yang lebih disukai
Prakarsa Compendium | Jilid 3
saat ini), Pemda tak memiliki insentif untuk menjaga aset. Memang aset-aset tersebut berkurang dengan cepat dan memerlukan penggantian lebih awal, biasanya dengan metode transfer yang sama dari Pemerintah Pusat. Sejarah panjang pembentukan aset oleh Pemerintah Pusat atas nama Pemda tanpa perlu penggantian inilah yang menyebabkan tarif rendah yang tak bisa dipertahankan. Berdasarkan program penerusan hibah, Pemda memiliki aset dan setidaknya secara hukum bertanggung jawab atas pemeliharaan dan penggantian. Kendati masih terlalu awal untuk dilihat bagaimana pengaruhnya pada kelestarian aset, bukti dari prakarsa investasi langsung yang dilakukan oleh Pemda progresif mengarah pada meningkatnya kelestarian aset. Peraturan mengharuskan pemerintah yang memiliki aset untuk menjaga dan melindungi aset tersebut. Dalam praktiknya, ini artinya hanya pendaftaran dan pelaporan aset yang dapat diterima. Kelalaian pemeliharaan tidak disalahkan. Audit memberikan teguran untuk pendaftaran dan pelaporan yang tak memadai, tapi tidak untuk pemeliharaan dan perlindungan nilai produktif yang tak memadai. Lebih jauh mengenai topik manajemen aset, baca artikel “Tema dan Prioritas Lintas Sektoral” pada halaman 13. Ambil langkah untuk memastikan bahwa bila aset dikembangkan dengan pendanaan Pemerintah Pusat, aset tersebut dialihkan secara resmi ke Pemda: Pada kasus tertentu, pendanaan Pemerintah Pusat untuk infrastruktur daerah memang dibutuhkan dan, bagaimanapun, pendanaan semacam itu mungkin akan berlanjut selama beberapa waktu bahkan jika sudah diputuskan untuk mengarusutamakan penerusan hibah. Sebagaimana disebutkan di atas, penting bahwasanya lembaga daerah memiliki infrastruktur yang diperlukan untuk menyampaikan pelayanan sanitasi. Hal ini membangun komitmen lembaga
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
untuk secara tepat menjalankan dan menjaga pelayanan. Yang penting lembaga daerah hanya dapat menaikkan anggaran untuk operasional dan pemeliharaan jika memiliki aset tersebut. Oleh karena itu, pada kasus infrastruktur didanai oleh pusat, Pemerintah Pusat harus mengambil langkah-langkah guna memastikan aset tersebut cepat dialihkan ke lembaga daerah yang akan menggunakan aset itu. Tata cara pengalihan itu ada, tapi berdasarkan pengalaman, pengalihan itu tidak selalu dijalankan. Membuat inventarisasi dan penilaian yang tepat terhadap aset Pemda guna melengkapi transisi ke akuntansi tertangguh yang diperlukan: Pengalaman menunjukkan bahwa banyak Pemda tidak memiliki sistem pengelolaan aset yang berfungsi dengan benar. Sistem semacam itu penting agar Pemda mengetahui aset apa yang dimiliki, siapa yang bertanggung jawab memeliharanya, dan berapa nilainya. Tanpa sistem tersebut, Pemda seringkali gagal memelihara aset secara layak dan tidak mempertimbangkan depresiasi di dalam anggarannya. Yang penting, Indonesia sedang melangkah menuju penggunaan akuntansi tertangguh dan Pemda akan segera diharuskan menggunakannya. Akuntansi tertangguh mendukung pergeseran lebih besar dalam anggaran sektor umum dari basis masukan ke basis yang berfokus pada keluaran dan hasil. Agar sistem itu berjalan, Pemda harus memiliki pengetahuan yang jitu dan realistis terhadap nilai asetnya. Pengalaman di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pergerakan ke akuntansi tertangguh itu sulit dan perpanjangan masa revaluasi (penilaian ulang) diperlukan.
Kesimpulan
Artikel ini membuat rekomendasi untuk tiga bidang yang membutuhkan peningkatan perhatian kebijakan untuk masa perencanaan mendatang. Rekomendasi ini menyangkut penyediaan lebih banyak insentif bagi Pemerintahan Daerah untuk berinvestasi di infrastruktur, penguatan kerangka kerja kelembagaan Pemda, dan kepemilikan infrastruktur oleh Pemda. Penerapan rekomendasi ini akan berujung pada penyampaian pelayanan air minum dan sanitasi yang lebih baik dan kemajuan menuju pencapaian Sasaran Pembangunan Milenium. Diakui bahwa penerapan rekomendasi ini akan bersifat tambahan dan memerlukan koordinasi ketat antarlembaga yang berkaitan, baik di tingkat pusat dan antara pusat dan daerah. Secara inti, rekomendasi ini berfokus pada kebutuhan untuk lebih memberdayakan Pemda untuk memberikan pelayanan. Proses ini tentunya tidak bebas dari masalah, tapi imbalannya, dalam hal kemajuan yang lebih besar menuju penyediaan akses ke pelayanan dasar air minum dan sanitasi untuk semua warga negara, akan membuat upaya ini sepadan. ●
Tentang Para Penulis: Jim Coucouvinis adalah Direktur Teknis Program Air Minum dan Sanitasi IndII. Sebelum bergabung dengan IndII, ia merupakan konsultan independen yang bekerja untuk Bank Dunia dan AusAID pada program sektor air minum dan air limbah. Sebelum menduduki jabatan tersebut, ia merupakan Wakil Presiden Louis Berger Group untuk layanan air minum dan lingkungan hidup di Asia Tenggara dan Republik Rakyat Cina. Dan sebelumnya, ia menjabat sebagai Manajer Residen di Montgomery Watson, Indonesia. Di Australia ia bekerja untuk Canberra Water and Power Authority (Otoritas Air Minum dan Listrik Canberra) di bagian desain dan konstruksi pekerjaan pembuangan air limbah berskala besar, dan dengan Australia Murray-Darling Basin Authority (Otoritas Lembah Murray-Darling Australia) pada pengelolaan kualitas air dalam sistem dan waduk Murray-Darling. Jim meraih Master dalam bidang Teknik dari University of New South Wales, dan gelar Sarjana di bidang Ilmu dan Teknik Sipil dari University of Queensland. Joel Friedman adalah Penasihat Pengembangan Institusi – Air Minum dan Sanitasi. Ia memiliki pengalaman bekerja lebih dari 20 tahun di bidang pembangunan di Indonesia dengan berbagai institusi pemerintahan. Pekerjaannya di tingkat pusat sebagian besar berhubungan dengan Kementerian Dalam Negeri tetapi juga dengan lembaga pemerintah lain yaitu Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ia juga pernah bekerjasama dengan beberapa pemerintah daerah termasuk tinggal dan bekerja di Palembang. Sektor-sektor utama yang ditanganinya adalah pembangunan perkotaan, lingkungan, desentralisasi, dan penguatan institusi. Joel telah bekerja dengan bermacam lembaga bantuan bilateral dan multilateral. Tugasnya di IndII mencakup persiapan bantuan pengembangan institusi untuk program Air Minum dan Sanitasi. Joel akan ditempatkan di Kementerian Dalam Negeri. Sebelum pindah ke Indonesia, ia bekerja di Filipina dan Banglades serta untuk Departemen Perumahan dan Pengembangan Perkotaan di Amerika Serikat. Joel memiliki gelar sarjana dalam studi pemerintahan dan gelar pascasarjana dalam perencanaan tata kota.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
45
46
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
KEBUTUHAN AKAN AKSES TRANSPORTASI
Mengapa Akses Transportasi Penting?
Dari pengalaman pribadi, kita mengetahui betapa pentingnya transportasi untuk menjalankan suatu pekerjaan, menikmati kedekatan antar keluarga dan teman, berbelanja dan menghadiri acara-acara istimewa seperti perkawinan atau acara keagamaan. Tetapi ketika muncul topik mengenai pengadaan akses transportasi untuk semua lapisan masyarakat, tanggapan yang seringkali dilontarkan adalah “penyandang disabilitas atau orang dengan kemampuan fisik berbeda tidak akan menggunakan jasa transportasi, sehingga tidak perlu mempertimbangkan keperluan mereka”. Akan tetapi, pada kenyataannya para penyandang disabilitas ini sangat jarang dilibatkan dalam konsultasi mengenai harapan dan kesulitan yang mereka hadapi dalam hal transportasi. Bagi orang yang memiliki kekurangan fisik, indera (penglihatan/ pendengaran), gangguan mental dan psikologis, tidak dapat mengakses angkutan umum berarti mereka bergantung terhadap orang lain untuk membawa mereka ketujuan yang mereka inginkan. Hal ini berdampak pada kualitas hidup dan seringkali berarti mereka jarang meninggalkan rumah. Akses yang mereka dapatkan untuk pendidikan, kesehatan dan layanan sosial lainnya terbatas. Mereka mempunyai
Prakarsa Compendium | Jilid 3
kesempatan yang lebih sedikit untuk mencari nafkah, dan berpartisipasi secara penuh dalam keluarga, komunitas, dan kehidupan bermasyarakat.
Ketika transportasi publik tidak didesain dan dioperasikan untuk dapat diakses oleh orangorang dengan kemampuan fisik yang berbeda, mereka menjadi lebih berketergantungan; terbatas dalam hal pendidikan, kesehatan dan layanan sosial lainnya, kesempatan untuk mencari nafkah terbatas, dan tidak dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam keluarga, komunitas dan kehidupan berpolitik. Ketika infrastruktur dan layanan transportasi dirancang dengan memikirkan aksesibilitas, tidak hanya penyandang disabilitas dapat menjadi lebih mandiri, tetapi ada manfaat yang lebih luas. Setiap orang yang memerlukan bantuan (seperti ibu hamil, anak-anak, orang lanjut usia, dan mereka yang mengalami cacat sementara) dapat merasakan manfaatnya.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Mengapa Penyandang Disabilitas Tidak Menggunakan Jasa Transportasi?
Ada beberapa alasan mengapa penyandang disabilitas tidak menggunakan jasa transportasi. Banyak diantara alasanalasan ini dapat diatasi melalui tindakan pemerintah atau organisasi masyarakat sipil.
Hambatan struktural, seperti kurangnya akses infrastruktur, sosial/budaya, dan hambatan psikologis, membatasi penggunaan layanan transportasi oleh penyandang disabilitas. Hambatan Struktural adalah permasalahan utama. Ini termasuk infrastruktur transportasi yang tidak dapat di akses karena permasalahan desain dan pemeliharaan, dan juga pemerintah setempat yang menghiraukan kebutuhan penyandang disabilitas (contohnya, lingkungan seputar jalanan – tidak menunjang bagi orang berkursi roda yang ingin menaiki bus tetapi tidak bisa menyebrang jalan menuju halte bus). Ini juga mencakup cara beroperasi layanan transportasi (seperti bus yang berhenti kurang dekat dengan halte, atau penumpang terlalu ramai) dan minimnya penyediaan informasi (rambu yang tidak memadai, tulisan kecil, dan ada informasi visual tetapi tidak ada informasi audio). Hambatan Sosial dan Budaya juga memainkan peran. Beberapa anggota dari komunitas memiliki pandangan negatif terhadap penyandang disabilitas, mereka berasumsi bahwa orang-orang ini tidak memiliki kemampuan untuk berkembang dan selayaknya mereka tinggal dirumah dan bergantung kepada pengasuhnya. Penyedia transportasi mungkin tidak menyadari adanya aspek-aspek kecacatan. Mungkin juga ada hambatan komunikasi antara penyandang disabilitas dan masyarakat lainnya. Para penyandang disabilitas ini mungkin tidak menyadari hak mereka, atau adanya kesempatan untuk mendapatkan akses transportasi yang lebih luas. Keluarga penyandang disabilitas juga mungkin enggan untuk mengizinkan anggota keluarga dengan keterbatasan ini untuk berpergian di depan publik karena malu atau khawatir akan keselamatan mereka.
Hambatan Psikologis seperti kurang percaya diri dan takut akan keselamatan pribadi dapat juga membuat penyandang disabilitas enggan untuk menggunakan jasa transportasi. Penyandang disabilitas wanita juga biasanya lebih khawatir dengan keselamatan mereka.
Biaya Versus Manfaat
Biaya yang tinggi seringkali dikutip sebagai alasan untuk tidak membuat infrastruktur transportasi dan layanan yang dapat di akses oleh penyandang disabilitas. Akan tetapi, apabila akses dipertimbangkan pada fase perencanaan, desain, dan disertakan kedalam biaya konstruksi awal, ini menjadi lebih murah daripada membangunnya dikemudian hari. Selain dari itu, biaya aktual seringkali lebih rendah dari asumsi biaya. Beberapa upaya penanggulangan untuk meningkatkan aksesibilitas (seperti tactile marking atau marka jalan yang berprofil, huruf yang lebih besar pada tanda jalan, dan integrasi kesadaran akan kecacatan kedalam standard pelatihan) hanya memerlukan biaya rendah. Hampir semua orang dapat merasakan manfaatnya. Contohnya, teknologi smart-card, seperti yang digunakan oleh bus TransJakarta, mengeliminasi kebutuhan untuk antri tiket. Hal ini sangat membantu orang yang memiliki kesulitan untuk berdiri, diantara penumpang lainnya.
Biaya untuk meningkatkan akses untuk penyandang disabilitas seringkali diasumsikan lebih tinggi dari biaya aktual. Di sisi lain, biaya perorangan, keluarga dan masyarakat yang lebih luas menjadi lebih tinggi ketika penyandang disabilitas tidak diberikan akses transportasi. Sebaliknya, kurangnya akses transportasi mengakibatkan biaya tinggi dan bukan hanya berdampak bagi penyandang disabilitas tetapi untuk masyarakat secara luas. Ketika aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan kesempatan lainnya untuk penyandang disabilitas dibatasi, mereka cenderung untuk bergantung kepada orang lain. Ini membatasi waktu pengasuh mereka, yang biasanya wanita, untuk mencari nafkah dan melakukan kegiatan lainnya. Seluruh keluarga menjadi lebih rentan terhadap tingkat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
47
48
Uraian Kegiatan
kemiskinan dan ketidakberuntungan yang lebih tinggi, yang berdampak terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Pengawas Lingkungan
Pemerintah Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas dan telah menyetujui Biwako Millennium Framework for Action: Towards an Inclusive, Barrier-free and Rights-based Society for Persons with Disabilities in Asia and the Pacific. Undang-undang dan peraturan, seperti UU no. 4/1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah no. 43/1998, menegaskan bahwa setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama dan kesempatan dalam semua aspek kehidupan mereka. Undang-undang transportasi yang terkait termasuk UU no. 23/2007 tentang Perkeretaapian, UU no. 17/2008 tentang Pelabuhan dan Operator Pelayaran, UU no. 1/2009 tentang Transportasi Udara dan UU no. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Indonesia telah menandatangani konvensi tentang transportasi dan disabilitas dan telah memiliki sejumlah undang-undang terkait, tetapi belum terlihat hasil dari penegakkan standar aksesibilitas.
Rekomendasi
Konsultasikan dan Komunikasikan: Pada tingkat nasional dan daerah, berkonsultasilah penyandang disabilitas dan kelompok advokasi mereka seperti Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI), mengenai kebutuhan transportasi mereka. Publikasikan layanan transportasi yang dapat diakses dan dorong mereka untuk menggunakannya. Pada tingkat daerah, pastikan penyandang disabilitas terwakilkan dalam komite atau forum, seperti Forum Lalu Lintas Angkutan Jalan, dan terapkan prosedur agar mereka dapat memberikan masukan. Tingkatkan kesadaran respon publik terhadap penyandang disabilitas.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Tingkatkan kesadaran dan kapasitas untuk mengoperasionalkan peraturan: pastikan fitur aksesibilitas untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas secara jelas dibahas dalam dokumen perencanaan utama seperti RENSTRA. Mengembangkan pedoman dan spesifikasi detail untuk meningkatkan aksesibilitas dan mengembangkan program sosialisasi untuk pemerintah daerah dan operator/kontraktor swasta yang terlibat dalam infrastruktur transportasi dan penyediaan layanan. Meningkatkan kesadaran akan kebutuhan penyandang disabilitas dan mengapa spesifikasi ini harus dipenuhi. Mengintegrasi kesadaran disabilitas dan cara-cara khusus yang mendukung penyandang disabilitas untuk mengikuti pelatihan sebagai personil yang mengoperasikan layanan transportasi. Meminta penyedia transportasi swasta, seperti layanan taksi, untuk memasukan topik ini kedalam pelatihan sumber daya manusia mereka.
Tiga hal utama yang ditargetkan adalah: peningkatan konsultasi dan komunikasi; peningkatan kesadaran dan cara legislasi beroperasi; Pengawasan dan memastikan peraturan dan spesifikasi diimplementasikan. Pantau dan tegakkan: Melalui pemantauan pemerintah nasional dan daerah, pastikan pejabat daerah sadar dan melaksanakan dengan baik undang-undang, regulasi dan spesifikasi untuk meningkatkan aksesibilitas; dan tidak melakukan pembayaran kepada kontraktor sampai semua spesifikasi terpenuhi dengan baik. Pastikan juga fitur desain aksesibilitas terpelihara dengan baik oleh pihak yang bertanggung jawab dan lingkungan jalan sekitar memungkinkan akses yang mudah untuk layanan transportasi. Konsultasi langsung dengan penyandang disabilitas dan perwakilan organisasi mereka sebagai bagian dari proses pemantauan, untuk menilai seberapa besar kebutuhan aksesibilitas mereka dapat terpenuhi. —Gaynor Dawson, Spesialis Gender
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Prakarsa Compendium | Jilid 3
49
50
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
MODERNISASI JALAN NASIONAL: FOKUS STRATEGIS UNTUK RENSTRA 2015–2019 Persoalan
Daya saing perdagangan dan prospek pertumbuhan Indonesia tergantung pada tindakan yang kuat untuk menangani konektivitas yang rendah antara pusat ekonomi dan mobilitas jaringan jalan. Perjalanan darat antar kota termasuk lambat, dengan waktu tempuh antara 2–4 jam/100km (hampir dua kali lipat negara tetangga ASEAN) dan tingkat kemacetan perkotaan tinggi. Konektivitas rendah mengakibatkan naiknya biaya transportasi dan logistik, menghambat redistribusi kegiatan ekonomi ke daerah kurang berkembang, serta menghambat pembangunan sosial dan ekonomi. Keselamatan jalan yang buruk juga mengakibatkan biaya sosial yang tinggi. Saat ini, kapasitas dan kepadatan jaringan jalan nasional sudah kurang memadai untuk populasi dan ekonomi Indonesia, sedangkan permintaan akan lalu lintas tumbuh dengan cepat dan lebih pesat dari pertumbuhan ekonomi. Investasi untuk memperluas dan meningkatkan jaringan berjalan lambat selama beberapa dekade dan prioritas pembelanjaan akhir-akhir ini berfokus pada preservasi aset.
Konektivitas rendah menghambat daya saing perdagangan dan redistribusi pembangunan daerah. Prioritas sebelumnya dan kapasitas yang tidak memadai telah menyebabkan kurangnya investasi dalam pembangunan kapasitas jaringan. Meski terjadi kenaikan pembiayaan sebanyak delapan kali sejak tahun 2005, perubahan terhadap kepadatan jalan bebas hambatan tetap rendah, peningkatan kapasitas jaringan jalan arteri mengalami fragmentasi dan berada
Prakarsa Compendium | Jilid 3
60–70 persen di bawah standar modern. Waktu tempuh dan mobilitas tidak dipantau atau dimasukkan sebagai hasil strategis dari rencana pembelanjaan jalan, dan oleh karenanya rencana tersebut hanya terhubung secara tidak langsung dengan sasaran pembangunan nasional. Juga ada tantangan yang signifikan dalam pelaksanaan dan penerapan program jalan.
Kesempatan dan Kemajuan
Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011 merupakan sarana untuk meningkatkan konektivitas di enam koridor utama, dan membentuk kerangka kerja yang penting untuk berinvestasi di infrastruktur jalan di koridor tersebut. Kenaikan substansial dalam anggaran yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga memberikan dana yang cukup untuk investasi pembangunan jalan dan perlengkapan yang lebih dari memadai untuk preservasi aset.
Tujuan pembangunan telah diidentifikasi dan berbagai sumber daya telah tersedia; sekarang fokus strategis harus ditujukan pada investasi. Sebuah studi IndII mengenai pembangunan jaringan jalan, “Modernising the National Road Network”, mengevaluasi semua persoalan ini dan mengembangkan sebuah kerangka kerja perencanaan yang dapat mendukung perubahan besar yang dibutuhkan dari preservasi aset sampai ke pembangunan jalan. Persiapan Renstra 2015–2019 bagi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memberikan peluang untuk mengubah fokus strategis untuk investasi dalam modernisasi jaringan.
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Visi
Sebuah jaringan jalan nasional modern untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, pembangunan daerah, dan perdagangan internasional akan memberikan konektivitas dan kapasitas yang kuat untuk pelayanan transportasi jalan yang efisien, dapat diandalkan dan aman antara pusat ekonomi, kota, dan beberapa wilayah strategis lainnya. Bentuk dan standar jaringan nasional harus memiliki hirarki yang jelas:
Sebuah jaringan yang telah dimodernisasi akan menyediakan perjalanan aman yang efisien dalam sebuah hirarki yang telah disesuaikan dengan tujuan. • Jaringan jalan bebas hambatan sebagai tulang punggung – akses terbatas, kapasitas tinggi, dua jalur pada setiap arah (dual carriageway), pemisahan jalur, dan didesain untuk kecepatan 100km/jam. • Koneksi arteri antara pusat ekonomi dan kota-kota – kapasitas dan standar terkait dengan permintaan dan pembangunan lalu lintas jangka panjang, kesesuaian untuk efisiensi jangka panjang dan pembangunan spasial, didesain untuk kecepatan 80km/jam, bahu jalan yang diaspal dan lahan (right-of-way) yang terkendali. • Jalan-jalan penghubung yang strategis, menyediakan akses ke aringan jalan untuk masyarakat dan produsen – dengan didesain untuk kecepatan 60km/jam dan standar jalan ditingkatkan seiring dengan waktu untuk memenuhi permintaan dan perkembangan daerah.
Strategi
Untuk mencapai visi ini dibutuhkan perubahan yang besar dalam prosedur dan tanggung jawab untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jaringan. Studi IndII merekomendasikan kerangka kerja perencanaan dengan dua elemen utama sebagai berikut:
Perubahan akan menyatukan perencanaan dengan hasil pembangunan di dalam kerangka kerja yang transparan – melalui rencana proyek jangka panjang dan menengah. • Rencana pembangunan koridor – Berdasarkan perkiraan dan evaluasi pembangunan daerah dan tuntutan transportasi, rencana ini akan menunjukkan konfigurasi jalan yang dibutuhkan oleh setiap koridor dalam kurun waktu 25 tahun atau lebih – termasuk jalan bebas hambatan dan jalan arteri – dan juga tahapan dalam berinvestasi,
rencana proyek tahun jamak, hasil waktu tempuh, serta persyaratan pendanaan. • Strategi pembaruan jalan – Sebuah program yang menyelaraskan dan membangun kembali jalan arteri dengan standar kecepatan, keselamatan, dan kekuatan yang modern dengan dipandu strategi yang mencakup prosedur persiapan, penyusunan program, dan penentuan prioritas penerapan di antara koridor dan daerah (konsisten dengan rencana koridor), pendanaan, dan pengelolaan akuisisi dan penguasaan tanah.
Penerapan Strategi – Kebutuhan dan Biaya
Sumber dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan program modernisasi secara penuh tergolong besar tetapi layak mengingat alokasi Ditjen Bina Marga sebesar Rp 30– 43 triliun/tahun. Perkiraan kebutuhan secara garis besar, berdasarkan biaya kerja Ditjen Bina Marga, menunjukkan: • Alokasi pembangunan jalan sebesar Rp 20 triliun/tahun cukup untuk membiayai program pembaruan jalan sepanjang 2.000km per tahun, modernisasi setengah jaringan dalam waktu 10 tahun, serta pembangunan jalan secara umum lainnya.
Strategi ini memungkinkan pembuatan perkiraan jangka menengah yang jelas atas biaya yang dibutuhkan. • Belanja publik sekitar Rp 30 triliun/tahun untuk melengkapi investasi swasta dapat menyelesaikan pekerjaan 3.700km jalan bebas hambatan dalam waktu 15 tahun dan mendorong partisipasi sektor swasta yang lebih besar. • Alokasi sebesar Rp 12–15 triliun/tahun cukup untuk preservasi aset dengan pelaksanaan program yang efektif. Program pembangunan jalan ini akan meningkatkan konektivitas secara substansial di koridor-koridor utama, mengurangi waktu tempuh sampai 40 persen, dan jarak tempuh sebesar 10–25 persen. Ini akan mendorong dan mendukung pembangunan daerah, dan memfasilitasi kenaikan substansial dalam pelayanan transportasi intermoda. Meski demikian, agar berhasil, program seperti ini membutuhkan perubahan yang substansial pada prosedur perencanaan dan pelaksanaan di Ditjen Bina Marga. — William Paterson, Konsultan IndII
Prakarsa Compendium | Jilid 3
51
52
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
PEMBIAYAAN BANK KOMERSIAL MELALUI PERPRES 29: SEBUAH KUNCI UNTUK LAYANAN AIR PERPIPAAN YANG BERKELANJUTAN
Permasalahan Selama 50 Tahun
Meskipun terdapat investasi sekitar dua setengah miliar dolar untuk prasarana air perpipaan, kualitas layanan air minum perkotaan di Indonesia berada di bawah negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Filipina. Sistem politik Indonesia dan sejarah pengendalian terpusat yang kuat mengakibatkan disinsentif (hambatan) yang sangat berarti bagi PDAM untuk berkembang dari ketergantungan menjadi kemandirian.
Selama lima puluh tahun terakhir, Indonesia telah gagal mengupayakan penyelesaian masalah rendahnya layanan air minum. Masalah yang timbul sejak lama ini dapat ditelusuri berasal dari empat penyebab: (1) penundaan kenaikan tarif yang mengharuskan PDAM untuk menggunakan modal mereka dan bergantung pada dana investasi dari sumber Pemerintah Daerah atau Pusat; (2) Pemerintah Daerah (Pemda) melalaikan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat yang membutuhkan air perpipaan; (3) Keengganan yang terus-menerus untuk melibatkan pengguna layanan dalam pembuatan keputusan penetapan tarif; dan (4) Kurangnya
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dana investasi saat PDAM membutuhkan. Program yang disahkan melalui Peraturan Presiden no. 29/2009 (Perpres 29) tampaknya merupakan satu-satunya program sektor air perpipaan yang sedang berjalan yang dapat menjadi contoh program layanan air minum yang berkelanjutan dengan menangani keempat persoalan tersebut secara bersamaan.
Program Perpres 29
Menanggapi kebutuhan prasarana tambahan yang lebih berdasarkan insentif berbasis manfaat, Perpres 29 dan peraturan pelaksanaannya diundangkan untuk menyatukan bank-bank komersial dan pemulih biaya (cost-recovering) PDAM melalui mekanisme penjaminan yang mengurangi risiko bagi bank pemberi pinjaman dan memberikan subsidi suku bunga hingga 5 persen.
Program Perpres 29 merupakan program pemerintah pertama yang berhasil menyediakan sumber pembiayaan investasi terjangkau yang cukup bagi PDAM. Dalam program insentif secara langsung ini, seluruh arus kas PDAM masuk ke dalam sebuah rekening di bank
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
komersial pemberi pinjaman untuk menjamin bahwa bank tersebut menerima pengembalian pinjaman. Apabila terjadi kegagalan pembayaran (default), bank hanya bertanggung jawab atas 30 persen dari saldo yang belum dibayarkan, dan Pemerintah Pusat akan mengembalikan 70 persen dari saldo yang belum dibayarkan kepada bank tersebut. Namun apabila Pemerintah Pusat harus membayar 70 persen dari saldo yang belum dibayarkan kepada bank, Pemerintah Pusat berhak untuk memperoleh pengembalian atas sebagian dari jumlah tersebut dari Pemda pemilik PDAM tersebut. Dengan demikian, Pemda harus berkomitmen untuk mengembalikan 30 persen dari jumlah tersebut atau dengan memotong jumlah tersebut dari transfer fiskal antarpemerintahnya untuk setiap periode PDAM tidak melakukan pembayaran. Pengaturan ini harus tertuang dalam payung perjanjian antara PDAM, Pemda (dengan persetujuan DPRD) dan Pemerintah Pusat, diwakili oleh Kementerian Keuangan (KemenKeu). Untuk pertama kalinya di Indonesia, Perpres 29 memungkinkan PDAM menjadi layak kredit, dengan membuka akses jangka panjang terhadap sumber daya bank komersial di bawah pengawasan yang disiplin dari pemberi pinjaman.
Upaya-Upaya Untuk Meningkatkan Manajemen
Selama jangka waktu 2010–2012, beberapa kegiatan Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) menangani persoalan tata kelola dan manajemen PDAM. Fase pertama Reformasi Keuangan dari 20 kegiatan PDAM menyediakan tenaga ahli kepada PDAM untuk mendukung dalam menyusun pedoman tata kelola yang baik, menyusun rencana pinjaman yang dinilai layak oleh bank (bankable), dan memperoleh persetujuan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pada akhir tahun 2011, ketika kelompok pertama yang terdiri dari tiga PDAM menerima persetujuan, Perpres 29 menjadi program nasional pertama yang berhasil mengatur pembiayaan bank komersial jangka panjang yang berkelanjutan dan terjangkau bagi PDAM. Fase kedua dari kegiatan IndII adalah mendukung bagian dari kelompok PDAM pertama dengan memberikan dukungan bagi tata kelola dan rencana pinjaman yang dinilai layak oleh bank kepada lima PDAM baru dan secara komparatif lebih kuat. Hingga akhir tahun 2013, melalui dukungan dari segala sumber, lima PDAM telah memperoleh persetujuan KemenKeu atas pinjaman yang disubsidi Perpres 29. Lima PDAM lainnya masih menunggu persetujuan dari komite teknis.
Keberhasilan program Perpres 29 akan mengatasi semua faktor yang bertanggung jawab atas layanan air minum berkualitas
rendah dan mengarah pada layanan yang berkelanjutan. Perkembangan ini memberi gambaran proses untuk memenuhi persyaratan untuk mengakses pinjaman Perpres 29, dan membayarkan kembali dalam jangka waktu 10 tahun, sekaligus mengatasi keempat penyebab layanan air minum di bawah standar. Sebagai contoh, bank akan memeriksa arus kas dan apakah tarif yang diterapkan mencapai pemulihan biaya penuh. Sebagai tambahan, Pemda juga memiliki kepentingan keuangan yang kuat untuk melihat bahwa PDAM memiliki kinerja yang cukup baik untuk dapat mengembalikan pinjaman. Dengan tersedianya dana yang pada dasarnya tidak terbatas dari bank komersial ketika PDAM membutuhkannya, PDAM dapat berupaya mencapai kemandirian dan keberlanjutan. Perpres 29 benar-benar merupakan program insentif pemerintah berbasis manfaat.
Temuan-Temuan IndII Hingga Saat Ini
Sementara para konsultan IndII sedang mempersiapkan kerangka kerja tata kelola dan perangkat penunjang untuk lima pinjaman Perpres 29 lainnya, survei baseline pada bulan September 2013 menemukan bahwa sebagian besar hambatan yang terus-menerus terhadap penyediaan layanan air minum jangka panjang yang mudah dan terjangkau adalah kurangnya pemahaman dan kepercayaan Pemda sebagaimana dapat dilihat dari seringnya penundaan dalam menaikkan tarif yang diperlukan. Namun, pada saat yang sama, sebagian besar PDAM melaporkan bahwa para pengguna layanan lebih peduli akan kualitas layanan air minum daripada tingkat tarif yang diterapkan. Di sebagian besar wilayah layanan, hanya sedikit atau tidak ada umpan balik dari pengguna layanan terkait manfaat dan tarif yang dikaitkan dengan program peningkatan, sehingga Pemda membuat keputusan penetapan tarif tanpa dasar yang pasti, dan biasanya mereka menunda keputusan penetapan tarif sampai pada situasi kritis.
Masyarakat pengguna layanan lebih peduli akan kualitas layanan air minum daripada besaran tarif, namun ketika mereka memutuskan kenaikan tarif, Pemerintah Daerah sangat jarang, kalaupun pernah, meminta umpan balik dari konsumen. IndII mengembangkan wawasan secara mendalam mengenai perlunya keterlibatan pengguna layanan pada fase kedua kegiatan Tata Kelola Air Minum NTT/NTB. Kegiatan ini, pada tahun 2010–2011, dirancang untuk
Prakarsa Compendium | Jilid 3
53
54
Uraian Kegiatan
berkontribusi terhadap tata kelola yang lebih baik dari sektor air minum di lima daerah dengan menerapkan prinsip-prinsip kontrak sosial terhadap Pemda, PDAM, dan masyarakat untuk mencapai peningkatan layanan air minum perkotaan yang berkelanjutan. Ketika konsultan bekerja bahu-membahu bersama petugas PDAM selama presentasi rencana usaha publik, terdapat simpati dan dukungan yang sangat besar dari kalangan pengguna layanan, yang membentuk kelompok konsumen untuk mendukung PDAM. Pengalaman tersebut menggambarkan bahwa para pengguna layanan memberikan tanggapan positif terhadap rencana pengembangan yang disusun dengan baik, namun sebagian besar PDAM dan Pemda masih memerlukan pihak ketiga untuk memberikan dukungan dalam mendekati dan berhubungan dengan masyarakat pengguna layanan. Pada November 2013, IndII menyelenggarakan seminar informal yang diikuti PDAM terpilih yang patut dicontoh karena mampu menciptakan perubahan haluan dari kerugian tahunan menjadi keuntungan dan langkah yang diambil oleh para pemangku kepentingan PDAM yang secara antusias mendukung kenaikan tarif tepat waktu. Ciriciri umum mereka adalah: para direktur yang berdedikasi dan jujur, solidaritas internal, insentif pegawai, berorientasi pada konsumen, serta kepercayaan dan kesepahaman dengan para pengguna layanan yang mengarah pada kepercayaan dan kesepahaman dengan Pemda sebagai pemilik PDAM. Bukan merupakan kebetulan, tiga dari PDAM yang patut dicontoh ini telah menerima persetujuan atas pinjaman Perpres 29, dan satu di antaranya sedang menyusun permintaan pinjaman Perpres 29 dengan dukungan dari IndII. Hal ini memperkuat wawasan bahwa keberhasilan partisipasi dalam program Perpres 29 dapat mengarah pada layanan air minum yang patut dicontoh dan berkelanjutan.
patut dicontoh dan layanan umum lainnya seperti jalan raya dan listrik dapat diadaptasi untuk Perpres 29. Kemungkinan lain yang bisa produktif mencakup kunjungan silang dan alokasi dana untuk memberikan pengakuan, pujian, dan penghargaan kepada PDAM dan Pemda yang responsif. Langkah-langkah tersebut dapat mengikat Pemda untuk lebih memperhatikan kinerja PDAM di mata publik.
Gagasan-gagasan baru harus diuji untuk mendukung Pemerintah Daerah dan PDAM berkonsultasi dengan masyarakat pengguna layanan, sehingga memungkinkan Perpres 29 menjadi pembuka jalan untuk mencapai layanan air minum dengan kualitas lebih baik yang berkelanjutan. Setelah diuji, gagasan-gagasan ini harus dimasukkan ke dalam Perpres 29 yang telah diperkuat yang akan berlanjut setelah program nasional ini berakhir pada akhir tahun 2014. Kelanjutan program Perpres 29 bisa bergantung pada keberhasilan pelaksanaan prosedur tata kelola yang baru untuk memberi dukungan dalam mengatasi kurangnya kepercayaan dan kesepahaman yang telah terjadi selama bertahun-tahun dari para pengguna layanan dan Pemda sebagai pemilik PDAM. Untuk pertama kalinya dalam 50 tahun terakhir, dengan mengatasi semua aspek isu-isu tata kelola yang telah terjadi sejak lama, keberhasilan program Perpres 29 dapat memberikan perubahan haluan yang diperlukan untuk mempercepat munculnya Pemda sebagai pemilik PDAM dengan jumlah yang terus bertambah yang akan memelihara PDAM yang berkelanjutan, transparan, dan mandiri. — Jim Woodcock, Konsultan IndII
Temuan-Temuan Baru yang Diperlukan
Persiapan pinjaman bank komersial besar memberikan peluang yang tidak biasa untuk mengatasi isu-isu tata kelola seperti kepercayaan dan kesepahaman dengan konsumen dan Pemda sebagai pemilik PDAM. Gagasan-gagasan baru untuk perubahan perilaku dan konsultasi antara PDAM dan masyarakat perlu diuji. Sumber dari gagasan-gagasan ini dapat mencakup Strategi Nasional Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat yang didanai oleh Australia tahun 2003 dan pembelajaran dari program SANIMAS dan PAMSIMAS1 Pemerintah Indonesia. Praktik terbaik dari PDAM yang
CATATAN 1. SANIMAS merupakan program sanitasi berbasis masyarakat dan program PAMSIMAS menyediakan pasokan air minum dan sanitasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Perencanaan Pembangunan dalam angka USD 3.000
Pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2010. Indonesia bercita-cita mencapai pendapatan per kapita sebesar USD 14.250 pada tahun 2025, pada saat berakhirnya periode dua puluh tahun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
61
Peringkat Indonesia di antara 148 negara dalam hal kualitas infrastruktur, berdasarkan Indeks Daya Saing Global Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tahun 2013–2014. Ini suatu peningkatan dari tahun sebelumnya, yakni peringkat ke-78 dari 144 negara.
6 2015 1.415 km 28.000 m
3
55%
Jumlah koridor ekonomi yang dibangun oleh Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari strategi pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pembangunan dari koridor tersebut (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali–Nusa Tenggara, dan Papua–Kepulauan Maluku) menuntut infrastruktur yang tepat seperti pelabuhan dan bandar udara, serta konektivitas antar pusat perekonomian.
Pada tahun tersebut Kementerian Keuangan berencana untuk meresmikan Pusat Kerjasama Pemerintah Swasta, yang akan ditugaskan untuk mendukung penyusunan dan evaluasi proyek, serta menentukan dukungan yang akan diberikan melalui PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund) atau dana pendamping proyek (viability gap funding).
Panjang jalan nasional yang ditargetkan akan dibangun selama RPJMN tahun 2010–2014. Pembangunan aktual melebihi target ini, dengan total pembangunan mencapai 2.834 km.
Jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari di Jakarta.
Persentase rata-rata tingkat cakupan pelayanan perusahaan daerah air minum (PDAM) di seluruh Indonesia. Sasaran Pembangunan Milenium tahun 2015 menetapkan target cakupan sebesar 68%.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
55
56
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI Pertanyaan: Apakah menurut Anda Indonesia saat ini berada di jalur yang tepat dalam meraih sasarannya untuk tahun 2025? Bagaimana cara RPJMN berikutnya berkontribusi untuk meraih sasaran tersebut?
Suyono Dikun, PhD Guru Besar Transportasi dan Kebijakan dan Perencanaan Infrastruktur, UI Penasihat Utama, LASU, Kementerian Perhubungan “RPJMN 2015–2019 memproyeksikan Indonesia sebagai negara yang lebih maju, mandiri, dan sejahtera di tahun 2025. Beberapa lembaga internasional juga telah memprediksikan kemajuan Indonesia pada saat itu. Meski demikian, perekonomian Indonesia yang lebih baik tampaknya akan sulit dicapai tanpa membangun infrastruktur dengan skala penuh untuk menutup defisit dan kesenjangan yang ada saat ini. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur penting bagi Indonesia untuk mendukung mobilitas dan pertumbuhan ekonomi menjelang 2025. RPJMN 2015–2019 bukan saja harus berkontribusi untuk meraih tujuan tersebut, namun jauh lebih penting dari itu, harus memiliki rencana pembangunan yang non-linier, inovatif, dan kreatif (“out of the box”). Infrastruktur harus dibangun secara lebih radikal, dan perlu diingat bahwa sikap bekerja seperti biasanya (“business as usual”) tidak akan memecahkan permasalahan negara ini. Periode 2015–2019 penting bagi Indonesia; kegagalan dalam pembangunan infrastruktur akan berdampak fatal bagi daya saing global Indonesia, dan merugikan perekonomian bangsa di masa datang.”
Ir. Montty Girianna, MSc, MCP, PhD Direktur Divisi Energi, Sumber Daya Mineral, dan Pertambangan Bappenas “Ya, saya rasa Indonesia sudah berada di jalur yang tepat. Tujuan kita adalah negara yang kuat. Satu indikator yang ingin kita capai adalah pendapatan per kapita sekitar USD 14.000 di tahun 2025. Saat ini pendapatan per kapita kita sekitar USD 3.500. Oleh karena itu, dalam waktu sepuluh tahun kita harus melompat maju. Pekerjaan rumah kita banyak. Pertanyaannya adalah: karena kita memiliki banyak sektor, seperti industri, jasa, pertanian, dan lainnya, kita perlu memfokuskan perhatian pada sektor mana yang ingin kita kembangkan secara maksimal untuk menstimulasi pertumbuhan pendapatan secara efektif. Menurut saya, sektor industri memiliki potensi paling besar, terutama industri pengolahan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Perencanaan Pembangunan 2015–2019
Saat ini, industri memberikan kontribusi sekitar 20–25 persen pada pertumbuhan. Agar sektor ini mampu memberi kontribusi 30–40 persen dari GDP, kita membutuhkan strategi industri yang dapat diandalkan, baik ekspor maupun impor. Kita menginginkan pertumbuhan di atas 6–7 persen, kalau mungkin 8 persen. Pertanyaan lebih lanjut terkait mencapai tingkat pertumbuhan yang diinginkan tersebut: berapa banyak energi yang harus kita siapkan untuk pasokan listrik, termasuk gas? Tentunya sangat besar. Kalau kita ingin pertumbuhan per kapita 7–8 persen, berarti produksi energi kita hatus tumbuh sekitar 8–10 persen per tahun. Ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Sulit sekali mengalokasikan gas untuk keperluan dalam negeri, karena masalahnya adalah kebijakan harga, yang perlu diseimbangkan bukan hanya dari perspektif ekonomi, tetapi juga menyangkut pertimbangan politik. Jadi persoalan harga energi, BBM, gas, dan elpiji – hal tersebut akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru. Yang kita kerjakan saat ini adalah menyiapkan platform untuk pemerintahan baru, tidak hanya membiarkan mereka membereskan persoalan tanpa dasar yang cukup untuk pembuatan keputusan. Situasi lain yang sangat mendesak bagi pemerintahan baru adalah mendapatkan konsensus dari pemangku kepentingan utama dalam pemerintahan. Misalnya, di sektor energi ada beragam, seperti investor sebagai mitra kerja, peran pemerintah sebagai regulator, dan seterusnya. Usaha kita tidak ada gunanya tanpa buy-in (konsensus) dari semua orang. Menurut saya, kita sudah dalam jalur yang positif untuk mencapai tujuan nasional. RPJMN sendiri merupakan sebuah tolak ukur (benchmark), mengenai arah yang kita ambil, sekaligus apa yang sudah kita capai selama lima tahun ini. RPJMN merupakan dokumen perencanaan dan pada saat yang sama juga merupakan dokumen politis, karena berfungsi sebagai referensi yang menyatukan semua pihak untuk bekerja meraih tujuan bersama di masa depan.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
57
Menggerakkan Orang di Jakarta Edisi 17, April 2014
• Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan • TransJakarta: Janji Kinerja • Jadi, Mau Jalan-Jalan? • Memahami Struktur Tarif dan Sistem Tiket Transportasi Umum di Jakarta • Melibatkan Sektor Swasta dalam Penyediaan Layanan Transportasi Umum • Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana Penyandang Disabilitas Mengakses Sistem Transportasi Jakarta • Mengelola Pembiayaan Transportasi Perkotaan: Tantangan bagi Pemimpin Daerah • Uraian Kegiatan
POIN-POIN UTAMA Sistem transportasi umum di Jakarta sangat beragam. Sistem ini meliputi ojek (transportasi sepeda motor), bajaj (becak bermotor, berpenutup, dengan tiga roda), taksi, dan angkot/mikrolet dengan 9–14 tempat duduk); dan juga berbagai jenis bus dan kereta api berat, dan di masa mendatang, layanan Mass Rapid Transit (MRT) dan monorel. Masing-masing moda ini memainkan peran, baik yang lebih penting maupun yang kurang penting, namun moda-moda tersebut pada saat ini sering digunakan secara tidak efisien. Baik ojek maupun bajaj berguna untuk perjalanan jarak dekat dan di jalan sempit. Tapi kedua moda ini cenderung berbahaya dan merusak lingkungan, dan seharusnya peran mereka dikurangi dalam sistem transportasi umum. Taksi merupakan komponen penting dari sistem transportasi umum di Jakarta. Besarnya permintaan untuk layanan taksi pada saat ini hampir pasti disebabkan karena kurangnya alternatif yang layak. Angkot atau mikrolet paling cocok untuk trayek-trayek pendek yang menghubungkan daerah pemukiman dengan pusat komersial di dekatnya dan terminal-terminal bus. Namun, banyak mikrolet beroperasi pada trayek-trayek panjang di jalan utama, dan menduplikasi layanan bus. Bus-bus dalam berbagai ukuran, konfigurasi, dan standar beroperasi dalam jaringan ekstensif di seluruh pelosok Jakarta. Unggulan dari sistem bus Jakarta adalah Bus Rapid Transit (BRT). Jenis layanan bus lain, dengan berbagai ukuran dan tingkat kenyamanan, meliputi sektor pasar dan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Tidak ada bus yang beroperasi di Jakarta saat ini yang memenuhi standar internasional untuk desain bus perkotaan, namun kebutuhan untuk mengganti kendaraan yang semakin tua membuka kesempatan untuk mengatasi persoalan ini. Bus yang lebih besar daripada yang saat ini beroperasi di kebanyakan trayek dapat digunakan untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan, serta mengurangi dampak lingkungan. Sekali lagi, proses penggantian kendaraan membuka kesempatan untuk meningkatkan keadaan ini. Transisi menuju armada kendaraan yang lebih kecil dan efisien harus dikelola secara sensitif untuk meminimalisir dampak sosial yang merugikan, berhubung banyak operator kecil/sopir mengandalkan bus kecil untuk mata pencaharian mereka. Layanan komuter yang dioperasikan oleh penyelenggara kereta api nasional, dilengkapi dengan sistem monorel dan MRT, yang akan mulai beroperasi pada tahun 2016 dan 2017, akan meningkatkan kapasitas dan daya tarik transportasi umum. Namun, moda-moda yang sudah ada akan terus berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar penglaju di seluruh DKI Jakarta.
Menggerakkan Orang di Jakarta
SISTEM TRANSPORTASI UMUM JAKARTA: SEBUAH TINJAUAN Sistem transportasi umum Jakarta terdiri dari beragam moda yang meliputi sepeda motor, mobil angkutan kota, taksi, dan bus berbagai ukuran. Masing-masing moda memiliki peran yang tepat untuk mengangkut orang secara aman, dengan harga terjangkau, dan dengan mudah ke seluruh penjuru kota. Sistem yang ada saat ini tidak efisien, namun langkah-langkah sedang diambil untuk mengubahnya. Oleh Richard Iles dan Rudi Wahyu Setiaji
Sistem transportasi umum Jakarta sangat beragam. Sistem ini meliputi ojek (transportasi sepeda motor), bajaj (becak bermotor, berpenutup, dengan tiga roda), taksi, dan angkot/ mikrolet (mobil dengan 9–14 tempat duduk); dan juga bus dalam berbagai ukuran, konfigurasi, dan standar; serta kereta api. Semua ini akan dilengkapi di masa depan dengan layanan Mass Rapid Transit (MRT) dan monorel. Modamoda ini memiliki karakteristik, kelebihan, dan kekurangan masing-masing. Namun, pelayanan transportasi tidak selalu disediakan oleh moda yang paling tepat. Ojek menjadi semakin umum di Jakarta. Transportasi ini memiliki keunggulan dapat bergerak lebih cepat dan mudah melalui lalu lintas yang padat, serta murah untuk diperoleh dan mudah dioperasikan. Kendaraan ini memberikan manfaat yang berguna dalam mengangkut penumpang untuk perjalanan jarak dekat ke dan dari pemberhentian bus atau stasiun kereta api, serta melalui jalan sempit dan kecil yang tidak dilayani oleh moda transportasi umum lainnya. Di Jakarta, ojek lebih banyak digunakan sebagai pengganti bus dan taksi di jalan utama, terutama karena keunggulan kendaraan ini bisa bergerak cepat menyusuri jalanan kota yang mengalami kemacetan.
Ojek tidak diatur oleh pemerintah, dan tidak tersedia angka resmi mengenai jumlahnya. Meski demikian, terdapat beberapa ribu unit transportasi ini, dan angka ini terus meningkat secara teratur. Ojek sering dikendarai dengan sembarangan dan berbahaya (termasuk di trotoar ketika jalan raya mengalami kemacetan). Dengan basis perhitungan per penumpang, moda ini berkontribusi tinggi terhadap polusi atmosfer dan suara, serta kemacetan lalu lintas. Meski dapat berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan mobilitas perkotaan, perannya yang tepat terbatas, dan beberapa cara harus ditemukan untuk menyingkirkan mereka dari sektor pasar dengan moda lain yang lebih cocok. Bajaj, yang berbasis respon-terhadap-permintaan dan dapat mengangkut sampai dengan tiga penumpang seperti halnya taksi, banyak digunakan di Jakarta, terutama untuk menempuh perjalanan jarak dekat. Seperti taksi, bajaj dapat bergerak mencari penumpang atau menunggu di tempat tertentu. Diperkirakan ada sekitar 13.000 unit bajaj beroperasi di DKI Jakarta (Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta). Kebanyakan bajaj, yang dicat oranye, sudah berusia lebih dari 20 tahun, dan menggunakan mesin bensin dua tak
Prakarsa Compendium | Jilid 3
61
62
Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan
Peran BRT Bus Rapid Transit (BRT) adalah moda transportasi penumpang bervolume tinggi, yang menggunakan bus yang dioperasikan di sepanjang jalur khusus (busway), yang secara fisik terpisah dari lalu lintas jalan raya lainnya. Di tempat busway bersinggungan dengan jalan berlalu lintas lainnya, sinyal lalu lintas umum mulai dipakai untuk memberikan prioritas kepada bus untuk meminimalisir waktu perjalanan bus. Di persimpangan yang sangat ramai, busway mungkin bisa dipisahkan lintasannya dengan menggunakan flyover atau underpass; perangkat tambahan seperti itu tidak diaplikasikan di Jakarta pada saat ini, namun beberapa telah dimasukkan dalam rencana pemutakhiran koridor. Semakin tinggi kecepatan operasional yang dimungkinkan oleh hak eksklusif penggunaan lahan dan langkah prioritas, ditambah dengan penggunaan bus berkapasitas tinggi, memungkinkan volume penumpang yang semakin besar yang dapat diangkut: lebih dari 10.000 penumpang dapat diangkut per jam di setiap arah, jauh lebih banyak daripada yang bisa dilakukan pada layanan bus konvensional yang harus berbagi ruang jalan dengan lalu lintas lainnya, atau dengan mobil pribadi atau sepeda motor. Namun volume sebesar itu dapat dicapai hanya apabila eksklusivitas busway ditegakkan dengan efektif, apabila ada prioritas yang efektif untuk bus di persimpangan, apabila bus berkapasitas tinggi dan spesifikasi tepat dioperasikan, dan apabila operasional layanan berjalan secara efisien. Kapasitas busway memang bukan tidak terbatas, namun: sebagai patokan, sebuah busway dengan jalur tunggal di setiap arah tidak bisa mengakomodasi lebih dari 100 bus (tanpa memperhatikan ukuran) per jam di setiap arah. Oleh sebab itu, untuk kapasitas penumpang maksimal, perlu dioperasikan busbus berukuran maksimal, yang biasanya berarti mengerahkan bus gandeng berukuran besar. Di beberapa kota di negara lain, telah digunakan bus gandeng dobel (bi-articulated bus) yang masing-masing mengangkut lebih dari 250 penumpang. Penggunaan bus yang lebih kecil akan mengurangi total kapasitas yang tersedia, dan ini akan sangat merugikan ketika volume penumpang besar. Juga harus ada peraturan bahwa pada beberapa perhentian yang memungkinkan satu bus untuk mendahului yang lain, sehingga dibutuhkan jalur ganda busway pada bentangan tertentu dari suatu koridor. Layanan BRT, terutama di mana konfigurasi bus yang dipilih memerlukan penyediaan platform yang ditinggikan untuk menaikkan penumpang, membutuhkan banyak infrastruktur di setiap halte. Ini memerlukan interval antar-pemberhentian yang lebih panjang daripada yang praktis untuk layanan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
bus konvensional. Layanan konvensional membutuhkan infrastruktur minim, sehingga pemberhentian bus biasanya diberi jarak yang lebih berdekatan; ini memberi kenyamanan yang lebih bagi penumpang, dan terutama bermanfaat bagi penumpang jarak pendek. Peningkatan jarak dari pemberhentian BRT akan memungkinkan kecepatan pengoperasian yang lebih tinggi, tetapi juga memperpanjang jarak rata-rata berjalan kaki ke pemberhentian bus, dengan efek buruk pada kenyamanan penumpang. Oleh karenanya, sampai pada batas tertentu, layanan BRT dan layanan bus konvensional saling melengkapi dalam hal melayani sektor-sektor pasar yang berbeda, dengan BRT melayani penumpang untuk jarak yang lebih jauh dan bus konvensional melayani mereka yang menempuh jarak yang lebih dekat. Untuk volume penumpang yang sangat tinggi, yang tidak dapat secara memadai ditampung oleh layanan BRT, moda dengan kapasitas yang lebih besar, misalnya kereta api ringan atau berat, harus disediakan. Layanan kereta api komuter yang dioperasikan oleh perusahaan kereta api nasional telah memainkan peran penting, yang akan segera ditingkatkan oleh layanan MRT dan monorel. Pengaturan jarak antara stasiun kereta api biasanya lebih jauh dibandingkan dengan pengaturan jarak layanan BRT, dan oleh karena itu, besar kemungkinan akan tetap ada peran baik bagi BRT maupun layanan bus konvensional, bahkan pada koridor yang akan dilayani kereta api. Oleh karena itu, sementara BRT memiliki peran yang penting untuk dimainkan, peran ini tidak boleh dirancukan dengan peran moda transportasi umum lainnya. Layanan BRT dan kereta api sangat penting untuk melayani pergerakan volume tinggi pada koridor utama, namun layanan-layanan ini harus dilengkapi dengan bus konvensional, mikrolet, taksi, bajaj, dan bahkan ojek untuk memenuhi permintaan volume yang lebih kecil, dan di tempat-tempat di mana terdapat pola perjalanan yang kompleks dan tidak mengikuti koridor-koridor utama. Namun, setiap moda harus dibatasi pada layanan yang sanggup mereka berikan secara paling baik, dan untuk itu, langkahlangkah efektif diperlukan untuk menjamin koordinasi dan integrasi layanan. Persyaratan minimal untuk pertukaran antar moda, dan pertukaran yang mulus harus dapat dipenuhi untuk mengatasi hal-hal yang tidak dapat dihindari.
dengan tingkat emisi yang tinggi. Banyak bajaj yang berada dalam kondisi yang sudah sangat buruk, bahkan berbahaya. Bajaj yang lebih baru dan bercat biru memakai bahan bakar gas. Ada rencana untuk secara bertahap mengganti semua bajaj dengan kendaraan bertenaga listrik yang bersih. Bajaj mempunyai peran berguna dalam mengangkut kelompok kecil orang untuk jarak dekat di sepanjang jalan yang sempit
Menggerakkan Orang di Jakarta
Pengemudi ojek dan angkot menunggu penumpang di jalan raya yang ramai di Jakarta ini.
di daerah pemukiman, tetapi kurang sesuai digunakan di jalan utama, di mana kecepatannya yang rendah dan desain yang terbuka menjadikan kendaraan dan penumpangnya rentan. Apabila tersedia layanan transportasi umum yang lebih formal dan dengan kualitas lebih baik, khususnya layanan bus, besar kemungkinan permintaan akan bajaj menjadi sangat berkurang. Taksi (sedan yang membawa sampai empat penumpang, selain sopir) merupakan komponen yang signifikan dalam sistem transportasi publik di seluruh Jakarta. Semua dilengkapi dengan argo, dan bergerak untuk mencari penumpang atau menunggu di tempat tertentu, seperti stasiun kereta api, terminal bus, pusat perbelanjaan, hotel, dan gedung perkantoran.
Atas perkenan Richard Iles
Terdapat lebih dari 12.000 taksi yang beroperasi di DKI Jakarta, yang dioperasikan oleh hampir 50 perusahaan, dengan berbagai ukuran. Beberapa perusahaan besar, seperti taksi Blue Bird dan Express, masing-masing mengoperasikan beberapa ribu unit kendaraan. Seperti halnya di kota-kota besar, peran utama taksi di Jakarta adalah mengangkut penumpang hingga empat orang dari satu tempat ke tempat lainnya, terutama bila tidak ada koneksi transportasi umum yang mudah atau langsung. Meski demikian, sebagian besar kebutuhan yang ada terhadap taksi dipastikan disebabkan oleh kurangnya alternatif transportasi umum yang memenuhi syarat. Apabila layanan MRT dan monorel diperkenalkan, dan peningkatan diterapkan pada layanan Bus Rapid Transit (BRT) dan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
63
64
Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan
Gambar 1: Infrastruktur Sistem Bus Jakarta – Permasalahan dan Solusi Masalah
Layanan yang menyulitkan
Sebab utama
Penanggulangannya
Sistem pengoperasian yang informal dan struktur tarif rata mendorong terbentuknya trayek-trayek pendek
Jaringan trayek yang menyediakan lebih banyak sambungan langsung, mensyaratkan adanya struktur tarif yang lebih kompleks; diperlukan struktur yang lebih formal
Penyediaan pemberhentian bus dan halte bus khusus yang tidak konsisten
Penyediaan pemberhentian bus dan halte bus dalam jarak yang sesuai sepanjang semua trayek, dan penegakan penggunaannya
Kendaraan dengan desain dan spesifikasi buruk Layanan tidak nyaman
Penyediaan kombinasi jenis kendaraan yang sesuai dalam jumlah yang memadai
Kombinasi armada bus yang tidak sesuai Kapasitas yang tidak memadai berakibat pada kelebihan kapasitas penumpang
Peningkatan penggunaan kendaraan melalui praktik pengoperasian yang lebih baik
Kemacetan lalu lintas: kapasitas jalan tidak memadai untuk volume lalu lintas; pengelolaan lalu lintas yang buruk; penegakan peraturan lalu lintas yang buruk
Prioritas bagi transportasi umum Pembatasan pemakaian sarana transportasi pribadi
Armada transportasi umum dalam kondisi buruk dan tidak aman
Sediakan fasilitas pemeliharaan bus resmi; hapus praktik pengoperasian tidak efisien yang membatasi penghasilan dana untuk pemeliharaan dan penggantian; tingkatkan penegakan peraturan
Biaya transportasi tinggi bagi masyarakat berpenghasilan rendah
Praktik pengoperasian yang tidak efisien mengakibatkan peningkatan biaya
Formalkan industri bus
Kondisi bagi pejalan kaki yang sulit dan tidak aman, sehingga tidak mendorong orang untuk berjalan kaki dan membatasi akses terhadap transportasi umum*
Fasilitas buruk bagi pejalan kaki Buruknya penegakan peraturan; buruknya desain dan pemeliharaan infrastruktur
Tingkatkan standar dan penegakan hukum
Layanan yang tidak dapat diandalkan Kecepatan layanan rendah, waktu perjalanan yang berlebihan Standar keselamatan rendah Tingkat emisi gas buangan yang berlebihan
*Keadaan seperti ini sangat sulit untuk penyandang disabilitas. Lihat artikel di hal. 85 mengenai topik ini lebih lanjut.
layanan bus lainnya, ada kemungkinan permintaan terhadap taksi akan berkurang secara substansial. Khususnya, jika kondisi lalu lintas ditingkatkan untuk memungkinkan kecepatan operasional bus yang lebih tinggi, ini dapat memicu munculnya layanan bus yang handal dan nyaman dengan kualitas premium, yang menarik tarif lebih tinggi dari bus yang ada, tetapi lebih rendah dari taksi. Ini akan secara signifikan memperlemah bisnis taksi, sementara pada saat yang sama menyediakan bisnis menguntungkan bagi operator bus. Angkot atau mikrolet beroperasi di seluruh pelosok Jakarta. Sekitar 16.500 unit beroperasi di kota, pada sekitar 150 trayek. Pada umumnya pemilik adalah perorangan atau usaha kecil, yang banyak di antaranya hanya memiliki satu kendaraan. Angkot dan mikrolet paling cocok digunakan untuk trayek pendek yang menghubungkan daerah
Prakarsa Compendium | Jilid 3
pemukiman dengan pusat komersial di dekatnya dan terminal bus, di sepanjang jalan yang tidak sesuai untuk kendaraan-kendaraan yang lebih besar. Meski demikian, sejumlah besar mikrolet beroperasi pada trayek panjang di jalan utama, sehingga menimbulkan duplikasi layanan yang dioperasikan oleh bus yang lebih besar. Trayek-trayek seperti itu akan lebih efisien jika dioperasikan oleh kendaraan yang lebih besar dalam yang lebih sedikit, sehingga memerlukan ruang jalan raya yang lebih kecil per penumpang, dengan biaya operasional yang lebih rendah, dan menimbulkan lebih sedikit polusi. Bus dalam berbagai ukuran, konfigurasi, dan standar merupakan komponen yang paling jelas terlihat dari sistem transportasi umum, dan beroperasi dengan jaringan trayek yang ekstensif di seluruh penjuru Jakarta. (Lihat Gambar 1: Infrastruktur Sistem Bus Jakarta – Permasalahan dan Solusi)
Menggerakkan Orang di Jakarta
Unggulan dari sistem bus Jakarta adalah sistem BRT yang dioperasikan oleh TransJakarta (lihat Boks, “Peran BRT”). Sistem ini terdiri dari busway eksklusif pada 12 koridor trayek, dengan dua koridor baru akan ditambahkan tidak lama lagi. Koridor yang pertama (koridor 1, dari Kota ke Blok M) mulai beroperasi pada tahun 2004, dan sistem Jakarta sekarang mempunyai jarak tempuh busway tertinggi (170km) di antara busway khusus di dunia. Terdapat 579 bus terartikulasi dan tunggal dalam armada busway pada akhir bulan Desember 2013, dan 300 bus lagi akan dikirimkan pada tahun 2014. Busway tersebut umumnya berada di sepanjang lajur tengah dari jalur lalu lintas ganda. Oleh karena itu, sebagian besar pemberhentian bus berada di tengah jalan, dan diakses melalui jalur bawah tanah, penyeberangan pejalan kaki sejajar yang diatur secara sederhana, atau – dalam kebanyakan kasus − melalui jembatan. Trayek inti BRT beroperasi sepenuhnya sepanjang jalur busway, namun semakin lama semakin banyak “layanan langsung” yang diperkenalkan, yang beroperasi sebagian di jalur busway dan sebagian di jalan biasa atau jalan tol. Beberapa dari layanan ini beroperasi dari dan ke titik-titik di luar DKI Jakarta. Terdapat sekitar 500 trayek bus non-BRT yang beroperasi di Jakarta; lebih dari 70 trayek beroperasi di sepanjang koridor tersibuk, Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin, berdampingan dengan BRT Koridor 1. Masing-masing trayek dioperasikan oleh operator tunggal (yang mungkin merupakan sebuah perusahaan atau koperasi yang terdiri dari banyak pemilik perorangan), biasanya menggunakan satu jenis kendaraan. Menurut sebuah studi JICA, pada tahun 2010 ada sekitar 1.000 bus berukuran besar dan 2.500 bus berukuran sedang yang beroperasi di DKI Jakarta, tidak termasuk yang dioperasikan pada sistem BRT. Angka pastinya sulit diketahui karena beberapa bus berlisensi tidak dioperasikan, sementara beberapa yang lain dioperasikan secara ilegal tanpa izin, meski persoalan-persoalan ini sedang ditangani oleh badan pengatur transportasi daerah (Dinas Perhubungan, atau Dishub). Jenis-jenis layanan bus yang berbeda di Jakarta itu meliputi sektor pasar dan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Jenis layanan yang ada termasuk BRT, Patas (yang dilengkapi layanan dengan perhentian terbatas, baik yang ber-AC maupun yang tidak ber-AC, umumnya melayani trayek yang lebih panjang), dan bus reguler (kendaraan dengan standar dasar yang melayani semua perhentian bus, walaupun dalam praktiknya tidak berhenti di semua perhentian, dan bus cenderung berhenti di mana saja). Bus reguler dapat dibagi menjadi bus besar (biasanya dengan badan sepanjang 12 meter, membawa 50–70 penumpang) dan bus
Apa yang Dilakukan IndII untuk Membantu IndII telah dan sedang mendukung DKI Jakarta untuk meningkatkan standar pelayanan transportasi umum di provinsi ini melalui Program Peningkatan TransJakarta (TransJakarta Improvement Program), yang dimulai pada tahun 2012. Program ini dibagi menjadi dua sub-kegiatan. Yang pertama difokuskan pada peningkatan pengelolaan, operasional, dan kinerja keuangan dari sistem BRT TransJakarta, dengan satu tim ahli bekerja sama dengan manajemen TransJakarta di kantor pusat mereka di Cawang. Tim ini memberi saran dan dukungan praktis dalam operasional sehari-hari serta memberi dukungan dengan perencanaan strategis jangka panjang. Sub-kegiatan kedua lebih luas. Intinya, sub-kegiatan ini terutama bertujuan untuk meningkatkan pelayanan transportasi umum non-BRT, khususnya layanan bus konvensional dan mikrolet yang ada di seluruh Jakarta. Satu tim tersendiri, yang terdiri dari spesialis dalam perencanaan transportasi umum, regulasi, operasional dan perekayasaan, ditempatkan di kantor pusat badan pengatur transportasi Jakarta (Dishub) dan memberi dukungan dan saran kepada petugas-petugas kunci mengenai berbagai persoalan jangka panjang, termasuk formalisasi sektor transportasi umum, perencanaan jaringan trayek, desain dan pemeliharaan bus, tarif dan urusan tiket, serta regulasi. Dalam waktu dekat tim ini juga memberi dukungan dengan tugas-tugas yang mendesak, seperti perencanaan dalam mengerahkan armada sebanyak 346 unit bus yang dibeli oleh Gubernur DKI Jakarta, dan perencanaan trayek baru yang diusulkan. Tantangan utamanya adalah untuk mengatasi gangguan terhadap lalu lintas pada saat berlangsungnya pembangunan MRT, dan kemudian perlunya melakukan koordinasi moda-moda transportasi umum jalan dan kereta api ketika MRT sudah mulai dioperasikan.
ukuran sedang (dengan panjang 8–9 meter, mengangkut 30–50 penumpang). Beberapa bus ukuran sedang yang baru sudah dilengkapi AC, namun sebagian besar tidak. Masing-masing layanan bus dan jenis kendaraan yang berbeda diperlukan untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan. Saat ini, penugasan peran tidak selalu tepat: Misalnya, mayoritas layanan yang disediakan oleh bus ukuran sedang akan lebih efisien bila disediakan oleh bus ukuran besar. Meski demikian, semua jenis layanan bus yang saat ini beroperasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sektor-sektor pasar yang berbeda, dan peran masing-masing yang tepat harus diakui.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
65
66
Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan
Transportasi Pribadi – Lingkaran Setan yang Harus Dipatahkan Masalah kemacetan di Jakarta sudah sangat terkenal. Kemacetan terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa, kapasitas sistem jalan yang telah ada tidak memadai untuk volume lalu lintas yang menggunakannya. Dan volume ini meningkat dari hari ke hari: dilaporkan bahwa jumlah sepeda motor saja bertambah sekitar 1.000 unit setiap hari. Mobil pribadi dan sepeda motor, dalam hal ruang jalan yang dibutuhkan per orang, mempunyai tuntutan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan transportasi umum, khususnya bus berkapasitas tinggi. Sayangnya, pengalaman di seluruh dunia menunjukkan bahwa meningkatkan ruang jalan dengan membangun jalan baru atau melebarkan jalan yang telah ada hanya menimbulkan lalu lintas baru yang akan mengisi ruang tambahan tersebut, dan hasilnya jalan justru menjadi lebih macet daripada sebelumnya. Oleh karena itu, langkah ini bukan solusi jangka panjang yang layak; bagaimanapun, penyediaan ruang jalan baru sangat mahal dan juga sangat merusak lingkungan hidup. Jakarta dihadapkan pada sebuah lingkaran setan. Layanan transportasi umum yang tidak menarik menyurutkan minat pengguna: mereka yang mampu akan beralih ke kendaraan pribadi, terutama sepeda motor dan mobil. Kendaraan pribadi tambahan ini menambah kemacetan, memperpanjang waktu perjalanan bagi semua orang. Transportasi umum menjadi semakin tidak menarik – apabila seorang komuter harus menghabiskan waktu berjam-jam per minggu dalam kemacetan lalu lintas, akan jauh lebih menyenangkan baginya untuk berada dalam kenyamanan dan privasi sebuah mobil pribadi daripada berdiri di bus komuter yang penuh sesak. Selain itu, beralihnya penumpang transportasi umum ke transportasi pribadi juga berarti penurunan pendapatan bagi operator transportasi, dan lebih sedikit uang untuk dibelanjakan pada pemeliharaan atau peremajaan armada − sehingga kondisi kendaraan memburuk dan terjadi penurunan kapasitas sistem secara keseluruhan. Jika harga tiket dinaikkan untuk mengkompensasi penurunan penumpang, bahkan lebih banyak orang akan mencari transportasi alternatif. Singkatnya, kualitas dan daya tarik transportasi umum akan menurun, dan biayanya akan meningkat. Diperkenalkannya sistem BRT telah banyak membantu dalam menangani masalah ini, dan baru-baru ini Gubernur telah memprakarsai pembelian sejumlah besar armada bus baru untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas sistem transportasi umum. Dalam jangka panjang akan ada MRT dan monorel. Namun, meningkatkan transportasi umum saja tidak akan cukup. Sebuah bus, senyaman apapun, tidak akan pernah lebih menarik daripada mobil, apabila bus tersebut terjebak diam di tengah kemacetan. Bahkan BRT masih mengalami penundaan serius di persimpangan lalu lintas. MRT dan monorel tidak akan terjebak kemacetan lalu lintas, tetapi tersedia hanya untuk jumlah penglaju yang relatif kecil, dan mereka yang bertempat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
tinggal jauh dari stasiun, yang tidak dengan mudah terjangkau hanya dengan berjalan kaki, tetap harus menggunakan jalan yang berlalu lintas padat untuk mengakses sistem tersebut. Pemerintah telah lama mengakui bahwa langkah-langkah positif diperlukan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi umum, dan telah mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut. Aturan 3-in-1 di Jakarta merupakan langkah berani untuk mendorong tingkat okupansi kendaraan yang tinggi, dan oleh karenanya, menjadikan pemakaian ruang jalan lebih efektif, meski dampaknya telah dilemahkan oleh praktik umum membayar joki untuk ikut naik mobil, hanya agar jumlah penumpang terpenuhi. Terdapat usul dan rencana untuk membatasi lebih jauh kendaraan pribadi, termasuk jalan berbayar yang diatur secara elektronik dan pembatasan penggunaan sepeda motor di bagian-bagian kota tertentu – yang kesemuanya harus disambut baik. Langkah-langkah lain harus mencakup pembatasan atau pelarangan parkir yang tegas di jalan tertentu, dan penegakan atas semua hukum dan peraturan lalu lintas secara tegas. Beberapa jalan mungkin harus diberi pelarangan untuk transportasi pribadi, dan hanya dapat diakses oleh transportasi umum atau ditempuh dengan berjalan kaki. Prioritas yang lebih banyak juga harus diberikan kepada transportasi umum, melalui metode seperti pemisahan jalur bus di jalan di mana bus lain, akan tertunda oleh kemacetan lalu lintas (ini dilakukan sebagai tambahan atas jalur busway BRT, dan pada beberapa koridor akan bergerak paralel dengan busway); dengan mengizinkan bus untuk berbelok kanan, di mana hal ini dilarang untuk kendaraan lain; dan mengizinkan bus untuk beroperasi melawan arus lalu lintas di jalan satu-arah pada jalur bus yang dipisahkan. Pemberhentian bus khusus, dengan naungan atap bila perlu, harus disediakan pada lokasilokasi yang nyaman, dengan pengaturan jarak yang sesuai, di sepanjang jalan yang dilayani oleh bus, tidak hanya pada koridorkoridor utama. Selain itu, akses atas layanan transportasi umum harus difasilitasi dengan menegakkan peraturan mengenai penggunaan trotoar, sehingga semua pejalan kaki, termasuk pengguna transportasi umum, dapat memakai semua trotoar yang tersedia di kota dengan aman dan tanpa hambatan. Paket tindakan seperti itu dapat membalikkan lingkaran setan yang terjadi. Layanan bus akan menjadi lebih cepat, lebih menyenangkan, dan lebih nyaman; menjadikan waktu perjalanan lebih singkat dan meningkatkan pendapatan per kilometer, sehingga memungkinkan harga tiket untuk tetap rendah sementara meningkatkan tingkat keuntungan dengan subsidi minimal atau tanpa subsidi sama sekali. Orang akan bepergian lebih cepat, lebih aman di seluruh penjuru kota yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih menyenangkan. Pesan utamanya sudah jelas: peningkatan transportasi umum harus berjalan seiring dengan langkah positif untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi. Jika tidak, bepergian di Jakarta akan terasa tidak tertahankan.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Bus yang digunakan untuk layanan reguler memberikan kenyamanan dan fasilitas yang mendasar. Bus Patas biasanya memberikan standar kenyamanan yang lebih tinggi; beberapa di antaranya ber-AC, dan dalam kasus bus ber-AC tarif yang dibebankan juga lebih tinggi. Beberapa bus, yang diperoleh dalam keadaan bekas dari Jepang, dikonfigurasi sebagai bus kota dengan lantai yang relatif rendah untuk menyediakan akses mudah dan mengakomodasi penumpang berdiri dalam jumlah banyak. Tetapi, sebagian besar dari bus yang digunakan di Jakarta, selain bus TransJakarta, lebih cocok untuk perjalanan jarak jauh antarkota, daripada untuk operasional dalam kota. Standar internasional yang berlaku saat ini untuk desain bus perkotaan didasarkan pada konfigurasi lantai yang rendah dengan pintu penumpang yang lebar (biasanya dua atau tiga pintu pada kendaraan dengan ukuran paling besar) yang menyediakan akses yang cepat, nyaman, dan aman saat naik dan turun bagi semua penumpang. Kemudahan akses ini relevan untuk semua penumpang, tetapi terutama bagi mereka yang menyandang gangguan mobilitas atau yang membawa barang atau anak kecil. Tidak ada bus yang beroperasi di Jakarta saat ini yang memenuhi standar ini, namun kebutuhan untuk mengganti kendaraan yang sudah tua memberikan kesempatan untuk mengatasi persoalan ini. Yang juga menjadi perhatian adalah campuran ukuran bus, dengan dominasi bus ukuran sedang. Sebagai aturan umum, untuk layanan bus perkotaan dengan volume penumpang yang tinggi, kendaraan yang paling efisien adalah yang berukuran terbesar yang dapat dengan aman dan mudah digunakan dalam batasan sistem jalan yang ada. Pada beberapa trayek di Jakarta, termasuk banyak yang digunakan oleh angkutan kota atau bus berukuran sedang, bus terartikulasi yang menampung hingga 200 penumpang, termasuk penumpang berdiri, dapat digunakan dengan aman, bahkan di jalan biasa; di sebagian besar trayek, bus standar dengan dek-tunggal sepanjang 12 meter praktis untuk dipakai. Bus yang lebih besar menggunakan ruang jalan secara lebih ekonomis dan memerlukan jumlah sopir yang lebih sedikit. Selain itu, modal dan biaya operasional per penumpang/km selama masa pakai kendaraan, serta emisi gas buangnya, lebih rendah daripada bus-bus yang lebih kecil. Sekali lagi, proses penggantian kendaraan akan memungkinkan bus-bus yang lebih kecil untuk secara bertahap digantikan dengan bus-bus yang lebih besar, sehingga memungkinkan berkurangnya jumlah keseluruhan bus. Akan terus ada kebutuhan terbatas untuk bus-bus berukuran lebih kecil, misalnya pada trayek di mana
permintaan rendah atau kondisi jalan tidak cocok untuk bus yang lebih besar. Banyak orang menggantungkan mata pencaharian mereka pada bus kecil, dan transisi menuju armada kendaraan yang lebih kecil dan lebih efisien penting untuk dikelola secara sensitif dan bertahap, untuk meminimalisir dampak sosial yang merugikan. Peran yang dimainkan layanan komuter yang dioperasikan oleh penyelenggara kereta api nasional juga cukup besar. Layanan kereta api ini akan dilengkapi dengan sistem monorel dan MRT, yang masing-masing akan mulai beroperasi pada tahun 2016 dan 2017. Layananlayanan baru ini akan meningkatkan kapasitas dan daya tarik transportasi umum pada masing-masing koridor, namun moda-moda yang sudah ada akan terus berlangsung untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar penglaju di seluruh DKI Jakarta. ●
Tentang Para Penulis: Richard Iles adalah spesialis dalam perencanaan, organisasi, dan pengelolaan sistem transportasi umum, dengan pengalaman hampir 50 tahun di industri transportasi jalan, baik sebagai manajer maupun konsultan. Berasal dari Inggris, ia telah bekerja di lebih dari 30 negara, terutama di negaranegara berkembang. Ia pernah terlibat dalam beberapa proyek konsultasi transportasi di Indonesia, dimulai dengan studi logistik nasional pada tahun 1975, dan saat ini bekerja pada sebuah proyek IndII untuk mendukung DKI dalam meningkatkan pelayanan transportasi umum berbasis jalan di Jakarta. Bukunya “Transportasi Umum di Negara Berkembang” diterbitkan pada tahun 2005. Menyebut dirinya sendiri sebagai “penggemar pendidikan transportasi umum”, Rudi Wahyu Setiaji adalah konsultan IndII. Ia memulai karirnya sebagai asisten peneliti di Laboratorium Rekayasa Jalan dan Lalu Lintas di Institut Teknologi Bandung, di mana ia mengambil spesialisasi dalam bidang manajemen lalu lintas, operasional dan manajemen kereta api, dan perencanaan transportasi umum. Ia juga mengajar perencanaan transportasi di Departemen Perencanaan Perkotaan dan Wilayah, Universitas Diponegoro, sebelum bergabung dengan program IndII.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
67
POIN-POIN UTAMA TransJakarta hanya melayani proporsi kecil dari jutaan perjalanan yang dilakukan orang-orang di Jakarta. Jumlah penumpang terus bertambah dari 2004 hingga 2011, tapi itu hanya karena dibukanya koridor-koridor baru. Belum ada pergeseran yang signifikan dari pengguna mobil dan motor menjadi penumpang TransJakarta. Malah, jumlah penumpang menurun dari tahun 2011 hingga 2013. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh masalah kenyamanan dan keterandalan. Tanggung jawab untuk mengelola dan menjalankan sistem jatuh pada badan pengawas transportasi daerah (Dinas Perhubungan, atau Dishub). Sistem ini disubsidi terlalu besar, menciptakan posisi keuangan yang tak berkelanjutan untuk masa depan. Tidak ada perbaikan cepat untuk meningkatkan kinerja operasi TransJakarta. Upaya untuk membeli lebih banyak bus hanya akan membantu jika dilakukan dalam konteks perencanaan yang baik dengan investasi memadai pada infrastruktur dan sistem tiket modern bagi penumpang. Proposal untuk perbaikan kinerja meliputi strategi kelembagaan, perencanaan dan investasi, penumpang, dan pembangunan kapasitas. Solusinya sederhana dari segi perencanaan, tapi sulit untuk diterapkan. Target sekitar 650.000 penumpang per hari dan pengurangan besar subsidi mungkin dilakukan sebelum tahun 2018 jika pendekatan pemasaran, investasi, dan kinerja yang mendukung naskah Rencana Usaha TransJakarta diadopsi. Keputusan untuk membentuk perusahaan negara baru untuk mengawasi pelayanan dan pengembangan masa depan TransJakarta merupakan awal yang menjanjikan untuk tahun 2014. Badan TransJakarta baru harus: berinvestasi pada depot bus milik pemerintah dan sarana pengisian bahan bakar layak yang berlokasi strategis; mengembangkan alternatif untuk menggunakan dana modal yang langka untuk membeli bus-bus milik pemerintah; berinvestasi pada infrastruktur koridor; melakukan perencanaan yang tepat; mengembangkan kemampuan dan keterampilan teknis di dalam organisasi baru TransJakarta; dan mengatur lalu lintas mobil dan motor dengan memungut denda untuk menggunakan koridor busway dan meningkatkan biaya parkir di pusat-pusat niaga kota.
Menggerakkan Orang di Jakarta
TRANSJAKARTA: JANJI KINERJA TransJakarta belum memenuhi potensinya untuk memberikan pelayanan yang aman, nyaman, dan dapat diandalkan, yang terintegrasi baik dengan moda transportasi lain dan yang berkontribusi terhadap pengurangan kemacetan di Jakarta. Namun, fokus pada perencanaan yang tepat, pembangunan kapasitas, investasi, keterlibatan sektor swasta, dan strategi terkait dapat mendorong TransJakarta untuk memenuhi janjinya. Oleh Tom Elliott
Di dalam sistem transportasi umum Jakarta, sistem busway TransJakarta atau bus rapid transit (BRT) sepanjang 170km menawarkan solusi parsial terhadap permasalahan kemacetan Jakarta. Pada tahun 2013, lebih dari 360.000 orang bepergian menggunakan busway setiap harinya, menurut penghitungan manual yang dilakukan di 270 halte TransJakarta (lihat Gambar 1). Angka ini mewakili proporsi sangat kecil dari jutaan perjalanan yang dilakukan orang di Jakarta setiap hari ke segala penjuru kota. Bagi yang tidak bepergian naik mobil atau sepeda motor, tersedia ojek, bajaj, angkot, dan lebih dari 500 trayek bus lainnya – serta kereta api, dan pada 2018, MRT dan monorel (lihat “Sistem Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Tinjauan” di halaman 61). Meski demikian, TransJakarta masih menuai lebih banyak perhatian media daripada sebagian besar moda transportasi lain di Jakarta, dan seringkali dengan alasan yang negatif. Busway kini berusia sepuluh tahun. Jumlah penumpang terus bertambah dari 2004 hingga 2011, tapi hanya karena dibukanya koridor. Belum ada pertumbuhan yang signifikan
pada jumlah penumpang yang melalui Koridor 1–9. Selain itu, belum ada pergeseran nyata dari pengguna mobil atau motor ke TransJakarta. Malah, jumlah penumpang menurun dari 2011 hingga 2013 meski ada tiga koridor baru yang dibuka. Hal ini mengindikasikan adanya persoalan dengan sistem busway itu sendiri, pengelolaannya, dan kinerjanya dalam hal memenuhi perannya dalam transportasi umum untuk salah satu kota termacet di dunia. Tanggung jawab untuk mengelola dan menjalankan sistem jatuh pada badan pengawas transportasi daerah (Dinas Perhubungan, atau Dishub). Biaya operasional meningkat secara signifikan karena perluasan koridor, naiknya biaya pemeliharaan tahunan, dan biaya tenaga kerja. Pada tahun 2014, setelah proyeksi penjualan tiket, lebih dari 75 persen biaya operasional TransJakarta akan disubsidi. Jika jumlah penumpang masih statis di angka 360.000 pada tahun 2014, setiap perjalanan penumpang akan disubsidi di tingkat hampir dua kali lipat harga perjalanan standar (Rp 3.500). Ini akan menciptakan posisi keuangan yang tidak berkelanjutan untuk masa mendatang.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
69
70
TransJakarta: Janji Kinerja
Gambar 1: Penumpang Busway TransJakarta 2004–2013 (Termasuk penumpang dengan tiket gratis tetapi tidak termasuk bulan Desember 2013)
140,000,000 120,000,000
Tiket Penumpang Terjual
100,000,000 80,000,000 60,000,000 40,000,000 20,000,000 0
2004 15,926
2005 20,799
2006 38,811
2007 61,439
Mengapa TransJakarta tidak menarik minat lebih banyak penumpang? Alasan utama adalah karena Standar Pelayanan Minimal1 (SPM) untuk busway tidak terpenuhi. Selama jam-jam padat, bus dan halte kelebihan kapasitas dan hal itu membuat pengalaman buruk bagi para penumpang. TransJakarta secara konsisten tidak dapat diandalkan untuk membawa penumpang sampai ke tempat kerja secara tepat waktu. TransJakarta jarang, kalaupun pernah, memenuhi sasaran untuk tiba di halte secara tepat waktu dan teratur. Janji kedatangan bus setiap dua menit antara pukul 6 hingga 10 pagi pada hari Senin hingga Jumat di Koridor 1, misalnya, tidak menjadi kenyataan. Pada akhirnya, sepeda motor merupakan pilihan yang lebih baik.
Yang Dapat Dilakukan
Tidak ada perbaikan cepat untuk meningkatkan kinerja operasional TransJakarta. Upaya saat ini untuk membeli lebih banyak bus akan meningkatkan kapasitas bus, tapi tanpa intervensi lain, peningkatan keseluruhan mungkin akan minimal. Bus ukuran kecil dan besar digunakan di busway tanpa perencanaan yang tepat. Investasi yang memadai pada infrastruktur dan sistem tiket
Prakarsa Compendium | Jilid 3
2008 74,619
2009 82,377
2010 86,937
2011 114,78
2012 111,250
2013 101,950
penumpang (lihat “Memahami Struktur Tarif dan Sistem Tiket Transportasi Umum di Jakarta” di halaman 79) diperlukan jika penambahan bus diharapkan memberi pengaruh yang diinginkan. Strategi yang disarankan untuk peningkatan kinerja memiliki rancangan sederhana, namun sulit untuk diterapkan. Strategi-strategi tersebut memerlukan kepemimpinan kuat dari pemangku kepentingan utama Jakarta. Empat strategi telah diusulkan untuk mengembangkan kinerja berkelanjutan bagi TransJakarta: Strategi Kelembagaan: Mendirikan perusahaan yang dimiliki dan dijalankan pemerintah berdasarkan konsep pengelolaan sistem busway, hubungan antarlembaga, dan kebijakan peraturan yang kuat. Strategi Perencanaan dan Investasi: Mengembangkan dan melaksanakan rencana usaha lima tahun yang didukung oleh investasi modal yang kuat dari pemerintah pada koridor, depot, dan teknologi transit, dengan sasaran kinerja dan sistem pengukuran untuk akuntabilitas umum.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Jumlah penumpang yang menggunakan TransJakarta tidak bertambah sesuai dengan penambahan koridor, malah menurun dalam beberapa tahun terakhir ini.
Atas perkenan IndII
Prakarsa Compendium | Jilid 3
71
72
TransJakarta: Janji Kinerja
Mengapa TransJakarta tidak menarik minat lebih banyak penumpang? Alasan pokoknya adalah karena Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk busway tidak terpenuhi. Strategi Penumpang: Penegakan SPM yang menangani enam bidang kebutuhan utama penumpang: Keterandalan/ Keteraturan; Keamanan; Keselamatan; Keterjangkauan; Kenyamanan dan Kemudahan Penggunaan; dan Kesetaraan. Strategi Pembangunan Kapasitas: Mengembangkan sistem pengelolaan dan operasional. Memutakhirkan kapasitas tim di dalam TransJakarta untuk merencanakan dan mengelola layanan bagi penumpang, dan menjamin agar mereka dapat mengendalikan kinerja operasional harian busway. Target kinerja konservatif berupa sekitar 650.000 penumpang per hari dan pengurangan subsidi hingga Rp 20 miliar per tahun (dari tingkat proyeksi jumlah saat ini yang sekitar Rp 83 miliar pada tahun 2014) merupakan sasaran yang mungkin tercapai pada tahun 2018 jika pendekatan pemasaran, investasi, dan kinerja yang mendukung naskah Rencana Usaha TransJakarta diadopsi. Mengkaji pendekatan untuk kontrak-kontrak operator bus juga dapat menguntungkan penumpang.
Awal Baru yang Menjanjikan
Keputusan membentuk perusahaan pemerintah baru untuk mengawasi pelayanan dan pengembangan masa depan TransJakarta merupakan awal yang menjanjikan untuk 2014. Badan baru ini diharapkan akan mengambil alih organisasi pada pertengahan 2014. Namun, Badan ini akan menghadapi tantangan-tantangan sulit terkait harapan jangka pendek masyarakat dan pengembangan jangka panjang yang berkelanjutan. Di bawah ini adalah beberapa prioritas yang harus dipertimbangkan oleh Badan baru bersama-sama dengan Dishub: Melakukan investasi pada depot bus milik pemerintah dan fasilitas pengisian bahan bakar layak yang berlokasi strategis. Ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan busway, dan penting bagi kinerja operasional. Diperkirakan, lebih dari 200 jam pelayanan hilang setiap harinya saat operator TransJakarta berusaha mengisi bahan bakar bus CNG. Operator harus menyewa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
kembali fasilitas depot sebagai bagian dari revisi model kontrak untuk pelayanan. Mengembangkan alternatif untuk menggunakan dana modal yang langka untuk membeli bus milik pemerintah. Layanan bus dapat dikontrakkan ke industri bus besar di sektor swasta di Indonesia – tapi menyertakan komponen modal untuk memungkinkan pembelian bus sektor swasta (dengan spesifikasi yang memastikan model bus cocok untuk panjang trayek, jumlah penumpang yang diperkirakan, dan sebagainya) merupakan pilihan yang lebih baik. Efeknya, akan ada lebih banyak modal untuk dibelanjakan untuk halte, perbaikan jalur busway, dan sistem informasi penumpang. Selain itu, operator akan memiliki lebih banyak kepentingan untuk menjamin agar bus mereka lebih terawat dan lebih dapat diandalkan. Melakukan investasi pada infrastruktur koridor. Ini penting untuk pencapaian kinerja jangka panjang dan peningkatan kapasitas layanan. Langkah-langkah yang harus diambil termasuk menambah jumlah bus gandeng yang ditentukan secara tepat, yang mampu membawa banyak penumpang dengan cepat; meningkatkan kualitas aspal busway; melebarkan jalur busway agar bus dapat lewat; menyediakan prioritas bus di persimpangan; dan perbaikan halte. Melakukan perencanaan yang tepat. Perencanaan yang dilakukan secara berhati-hati terhadap sasaran investasi dan peningkatan pelayanan sangat penting demi peningkatan yang berkesinambungan. Perencanaan harus dilakukan bersama Dishub guna menjamin terjadinya integrasi dengan layanan bus dan moda transportasi umum lainnya. Mengembangkan kemampuan dan keterampilan teknis dalam organisasi baru TransJakarta. Ini akan menjamin hubungan antarlembaga yang lebih baik, perencanaan yang lebih baik, dan pada akhirnya kendali yang lebih baik terhadap layanan busway yang teratur dan dapat diandalkan.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Atur lalu lintas mobil dan sepeda motor dengan memungut denda untuk penggunaan jalan sepanjang koridor busway dan meningkatkan biaya parkir di pusat-pusat niaga kota. Ini akan meneruskan kemajuan yang telah dicapai melalui peraturan/peningkatan denda untuk “mensterilkan” jalur busway. Merencanakan waktu dijalankannya langkahlangkah ini dengan meningkatkan kapasitas busway, dan bekerja bersama lembaga pemerintah lain dan industri bus sektor swasta juga sangat penting bagi peningkatan jangka panjang.
Tentang Penulis: Tom Elliott adalah pimpinan program IndII untuk Peningkatan TransJakarta. Artikel ini ditulis berdasarkan pekerjaan yang dilakukan oleh tim konsultan lapangan IndII untuk mengembangkan strategi peraturan dan kinerja, serta rencana implementasi lima tahun yang dikembangkan bersama TransJakarta antara bulan November 2012 hingga Maret 2014.
Keberhasilan itu Mungkin Dicapai
Kinerja TransJakarta bukanlah tentang di mana TransJakarta diposisikan dibandingkan dengan sistem-sistem BRT lain di dunia. Melainkan tentang menetapkan sasaran penumpang, sasaran keuangan, dan standar pelayanan – dan mengembangkan sistem kelola dan operasional untuk mencapai sasaran kinerja yang diatur pemerintah. TransJakarta dapat memberikan kinerja yang diinginkan para pemangku kepentingan dan warga Jakarta, dan memenuhi perannya sebagai bagian dari sistem transportasi kota yang lebih luas. Diperlukan waktu dan kesabaran, serta kepemimpinan yang kuat dari perusahaan baru, perencana dan pengatur transportasi, dan partisipasi yang terusmenerus dari komunitas TransJakarta. ●
CATATAN 1. Standar Pelayanan Minimal (SPM) sudah ada sejak beberapa waktu lalu. Namun, baru-baru ini SPM ditulis ulang dengan konteks peraturan provinsi baru yang didasarkan pada UU nasional. Standar yang baru kini digunakan untuk mendukung kualitas pelayanan yang diperoleh penumpang. Standar ini merupakan dokumen resmi dengan definisi, langkah, dan sasaran yang sangat ditentukan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
73
74
Jadi, Mau Jalan-Jalan?
JADI, MAU JALAN-JALAN? Banyak rintangan yang harus dihadapi oleh pejalan kaki di Jakarta. Namun, penelitian mengenai “walkability” (ukuran keramahan suatu daerah untuk berjalan kaki) dapat mendukung pembuat kebijakan dalam menangani persoalan ini. Oleh Peter Midgley
Berjalan kaki di sebagian besar kota-kota terutama di Asia Tenggara bukan hal yang mudah, Tetapi, di Jakarta ini hampir mustahil dilakukan. Dengan nilai lahan jalan yang sangat tinggi, sebagian besar dialokasikan untuk lalu lintas, sehingga lahan untuk trotoar hanya sedikit dan berjauhan serta terlalu sempit (lebar kurang dari dua meter) atau bahkan sama sekali tidak tersedia. Jumlah trotoar yang tidak memadai di Jakarta dibuktikan oleh fakta bahwa Jakarta memiliki jalan sepanjang 7.200 kilometer, sedangkan panjang trotoar hanya 900 kilometer. Trotoar yang cukup lebar untuk berjalan kaki masih jarang, dan hanya ditemui di sepanjang jalan raya utama dan di kawasan bisnis yang baru dibangun. Sayangnya, itu merupakan daerah yang jarang dilewati pejalan kaki. Di tempat lain, yang memang dilewati pejalan kaki, trotoar yang tersedia hanya sedikit seringkali terhalang oleh motor-motor yang diparkir dan pedagang kaki lima (PKL), sehingga orang terpaksa berjalan di jalan (yang mengurangi kapasitas lajur jalan). Di sebagian besar lokasi di Jakarta, sepertinya terdapat aturan tak tertulis bahwa trotoar jelas bukan untuk digunakan oleh pejalan kaki tetapi merupakan tempat yang dimaksudkan untuk memarkir sepeda motor dan mobil, atau mendirikan warung kaki lima. Semua orang melakukannya dan banyak orang mendapatkan penghasilan dari penarikan biaya atas hak parkir kendaraan atau mendirikan warung. Lebih parah lagi, ketika lalu lintas macet total (dan ini sering terjadi) di sepanjang jalan yang memiliki trotoar
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sebuah Prakarsa untuk Walkability Indonesia Program Alumni of the Australia Awards – warga Indonesia penerima beasiswa yang sangat kompetitif dari Australia untuk melanjutkan pendidikan terkait pembangunan Indonesia di universitas-universitas Australia – telah membangun sebuah pusat informasi dan dukungan bagi semua orang di Indonesia untuk terlibat dalam isu-isu terkait walkability. Situs mereka, www.jalan-kaki.org, merupakan sumber artikel dan berbagi informasi penelitian dan mempromosikan manfaat berjalan kaki yang menggunakan bahasa Indonesia. Selain penelitian dan artikel, situs tersebut memberikan dorongan kepada para pejalan kaki, menjelaskan manfaat kesehatan dan memberikan kiat mengenai cara menghindari kebosanan selama berjalan kaki. Situs ini dibuat oleh Tim Infrastruktur dari Alumni Reference Group (ARG) Australia Awards. Ini merupakan salah satu dari beberapa kegiatan yang mereka lakukan, kegiatan lainnya antara lain kajian, yang dirancang untuk melengkapi penelitian serupa oleh Bank Pembangunan Asia di kota-kota lain, terkait walkability dan sarana pejalan kaki di Padang, Yogyakarta, dan Mataram. Kajian tersebut mengungkapkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan situasi di ketiga lokasi tersebut. Sebagaimana disinggung di situs Web ARG, Alumni Reference Group (ARG) – Indonesia Australia Awards diresmikan pada bulan Juni 2010 dan mewakili lebih dari 10.000 alumni Penghargaan Pemerintah Australia di Indonesia. ARG memberikan masukan kepada Pemerintah Indonesia dan Australia untuk mendukung dalam perumusan kebijakan masa mendatang.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Kendaraan, pedagang kaki lima, dan pejalan kaki saling berebut menggunakan jalan yang sempit merupakan pemandangan khas jalanan di Jakarta.
yang memadai, pejalan kaki harus berbagi trotoar dengan motor (dan bahkan mobil) yang naik dan melaju di sepanjang trotoar untuk menghindari macet. Banyak jalur pejalan kaki yang rusak akibat kurangnya pemeliharaan atau hilangnya papan beton penutup selokan, menjadikannya berbahaya untuk berjalan kaki, terutama saat gelap. Terdapat juga tiang-tiang tidak berguna dan trotoar yang rusak sehingga pengendara motor pun bahkan enggan menggunakannya untuk parkir atau untuk menghindari kemacetan – tetapi tetap saja tidak bisa digunakan untuk berjalan kaki. Jelas berjalan kaki sangat penting dan semua orang – bahkan pengguna mobil dan motor – pasti juga berjalan kaki di tempat-tempat tertentu dalam perjalanan mereka di Jakarta maupun di seputar Jakarta. Berjalan kaki juga memberikan akses ke dan dari layanan transportasi
Atas perkenan Rahmad Gunawan
umum. Juga sangat penting bagi perempuan yang sangat mengandalkan transportasi umum. Selain itu juga menjadi sarana mobilitas satu-satunya bagi warga kurang mampu yang seringkali tidak punya alternatif lain. Oleh karena itu, jalur pejalan kaki adalah sarana transportasi yang sangat penting dan harus dipenuhi. Lihat Boks 1 mengenai sebuah prakarsa yang mendorong terwujudnya “walkability” (kenyamanan berjalan kaki) dan menganjurkan kegiatan berjalan kaki di Indonesia, www.jalan-kaki.org. Dan sepertinya Gubernur Jakarta, Joko “Jokowi” Widodo, sependapat. Menurut pemberitaan The Jakarta Post 1, ia menggambarkan kondisi trotoar sebagai “tidak manusiawi” dan gagal menyediakan keselamatan yang memadai bagi pejalan kaki, serta menambahkan bahwa “perbaikan dan konstruksi akan segera dimulai.” Pemerintah selama masa jabatannya telah menetapkan target untuk membuat trotoar dengan paving sepanjang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
75
76
Jadi, Mau Jalan-Jalan?
Gambar 1: Parameter Survei Lapangan Walkability Clean Air Asia No
Parameter
Keterangan
1
Konflik Sarana Jalur Pejalan Kaki
Tingkat konflik antar pejalan kaki dan moda lain di jalan seperti sepeda, sepeda motor, dan mobil
2
Ketersediaan Jalur Pejalan Kaki
Kebutuhan, ketersediaan, dan kondisi jalur pejalan kaki. Parameter ini merupakan perubahan dari parameter “Pemeliharaan dan Kebersihan” dalam Global Walkability Index (Indeks Walkability Global)
3
Ketersediaan Jalur Penyeberangan
Ketersediaan dan panjang jalur penyeberangan untuk menjelaskan apakah pejalan kaki cenderung untuk jaywalk (menyeberang di sembarang tempat) ketika tidak ada jalur penyeberangan atau jarak antara jalur penyeberangan yang ada terlalu jauh
4
Nilai Keselamatan Jalur Penyeberangan
Paparan moda lain saat menyeberang jalan waktu yang diperlukan untuk menunggu dan menyeberang jalan, dan waktu yang diberikan bagi pejalan kaki untuk menyeberang dengan lampu penyeberangan
5
Perilaku Pengendara Kendaraan Bermotor
Perilaku para pengendara kendaraan bermotor terhadap pejalan kaki sebagai indikator jenis lingkungan pejalan kaki
6
Fasilitas
Ketersediaan fasilitas pejalan kaki, seperti bangku, lampu jalan, toilet umum, dan pepohonan, yang secara signifikan meningkatkan daya tarik dan kenyamanan lingkungan pejalan kaki, dan juga, lingkungan sekitarnya
7
Infrastruktur untuk Penyandang Difabel/Disabilitas
Ketersediaan, penempatan, dan pemeliharaan infrastruktur bagi penyandang difabel/disabilitas
8
Penghalang
Adanya penghalang permanen dan temporer pada jalur pejalan kaki. Ini sangat berpengaruh pada lebar efektif jalur pejalan kaki dan dapat mengakibatkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki
9
Keamanan dari Tindak Kriminal
Perasaan secara umum terhadap keamanan dari tindak kriminal pada bagian-bagian tertentu dari jalan
semua jalan raya di seluruh Jakarta hingga akhir 2014 dalam upaya memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Ini merupakan target yang ambisius, terutama karena trotoar yang diajukan sepertinya akan selebar delapan meter, dengan pohon-pohon di tepi jalan, termasuk pembangunan toko-toko kecil dan penyediaan bangku-bangku. Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta memiliki rencana untuk melaksanakan peningkatan tersebut (lihat Boks 2). Namun, merupakan tugas yang berat untuk membangun trotoar baru, meningkatkan yang sudah ada, dan menjamin bahwa trotoar tidak dilanggar oleh pengendara sepeda motor dan PKL. Survei komprehensif mengenai kondisi trotoar saat ini dengan mempertimbangkan walkability merupakan alat yang berharga dalam memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Walkability adalah pengukuran seberapa bersahabatnya
Prakarsa Compendium | Jilid 3
sebuah kawasan untuk dipakai berjalan kaki. Ini dapat diperoleh dengan melakukan “audit walkability” yang mengumpulkan data kuantitatif maupun kualitatif pada lingkungan pejalan kaki. Metode audit semacam itu telah dikembangkan oleh Clean Air Asia 2 (CAA). CAA menggunakan survei walkability lapangan untuk menilai infrastruktur pejalan kaki yang memiliki volume pejalan kaki tinggi berdasarkan survei persiapan dan konsultasi dengan pemangku kepentingan lokal. Penilaian jalur lengkap (meliputi angka pejalan kaki, panjang jalur survei, kondisi infrastruktur, lebar jalan raya, karakteristik lalu lintas kendaraan bermotor, dsb.) dilakukan untuk memberikan tinjauan komprehensif atas kondisi jalur pejalan kaki, dan survei lapangan ini menggunakan sistem peringkat walkability yang seragam berdasarkan sembilan parameter kualitatif (lihat Gambar 1). Petugas survei lapangan diminta untuk menilai rentang jalan yang terpilih dengan nilai 1 sampai 5 untuk
Menggerakkan Orang di Jakarta
Strategi Jakarta untuk Jalur Pejalan Kaki Sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta, Upaya Pemda DKI Jakarta dalam Meningkatkan Fasilitas Pejalan Kaki di Jakarta (dapat diunduh dari www.jalan-kaki.org) memberikan wawasan terhadap peningkatan jalur pejalan kaki yang telah direncanakan dan diselesaikan. Dokumen itu mencantumkan strategi pembangunan menyeluruh atas lima komponen: 1. Membangun dan menambah jalur pejalan kaki baru setiap tahunnya. 2. Melebarkan jalur pejalan kaki yang ada, idealnya berukuran 4–8 m. 3. Melibatkan peran serta masyarakat, terutama pemilik lahan yang berbatasan langsung dengan jalur pejalan kaki. 4. Meningkatkan kualitas jalur pejalan kaki dengan menambahkan fasilitas pendukung seperti rambu-rambu, bangku, dan tiang bollard (tiang pendek untuk menjaga pejalan kaki di trotoar dari bahaya yang bisa diakibatkan oleh kendaraan bermotor). 5. Meningkatkan lanskap sepanjang jalur pejalan kaki dengan penanaman pohon peneduh dan tanaman semak untuk meningkatkan estetika. Menurut dokumen ini, upaya yang dilakukan saat ini dan nantinya mencakup: 1. Membangun jalur pejalan kaki yang memadai baik dari sisi fungsi, estetika, dan ekologis. 2. Melanjutkan kegiatan pembangunan jalur pejalan kaki di kawasan strategis, lengkap dengan akses bagi penyandang disabilitas. 3. Pemasangan rambu untuk penyandang disabilitas sepanjang jalan Thamrin-Sudirman dan daerah sekitarnya dimulai dari sisi barat dan dilanjutkan sisi timur. 4. Melaksanakan pemeliharaan jalur pejalan kaki yang sudah ada.
setiap parameter (1 yang terendah, 5 yang tertinggi) di setiap jenis kawasan. Nilai rata-rata setiap parameter diterjemahkan menjadi sistem peringkat dari 0 (nilai terendah) hingga 100 (nilai tertinggi).
Pendekatan CAA juga menggunakan Survei Wawancara Pejalan Kaki dan Survei Pemangku Kepentingan. Survei pertama menilai perjalanan (moda, waktu perjalanan, tujuan perjalanan, dsb.), preferensi (kebutuhan dan keinginan serta keprihatinan), dan karakteristik sosial pejalan kaki yang menggunakan trotoar dan sarana pejalan kaki di dalam kawasan audit walkability. Survei Pemangku Kepentingan menilai rintangan-rintangan utama dalam peningkatan sarana pejalan kaki. CAA mengembangkan aplikasi walkability 3 untuk memungkinkan siapa saja untuk menjalankan audit walkability dan menyampaikan hasilnya kepada pihak berwenang. Aplikasi ini dapat digunakan di sistem operasi Android dan iPhone serta hasilnya dipetakan menggunakan GPS. Hasil dari audit walkability ini memberikan informasi yang tak ternilai bagi pembuat keputusan mengenai apa, di mana, dan bagaimana meningkatkan kondisi pejalan kaki dan memberi dukungan dalam menetapkan prioritas investasi perbaikan dan konstruksi. Saatnya berjalan kaki dan melakukan audit walkability! ●
Tentang Penulis: Peter Midgley adalah Advisor untuk Mobilitas Perkotaan IndII dan Ketua Tim untuk Proyek Mobilitas Perkotaan Surabaya yang didanai IndII. Ia juga penerima penghargaan untuk kategori Mobilitas Perkotaan (Urban Mobility Theme Champion) dari global Transport Knowledge Partnership (gTKP). Peter telah berpengalaman dalam transportasi perkotaan selama lebih dari 40 tahun. Ia sebelumnya seorang staf Bank Dunia selama 25 tahun. Ia menyusun makalah strategi transportasi perkotaan regional untuk Bank Dunia yang pertama (“Transportasi Perkotaan di Asia: Agenda Operasional untuk tahun 1990-an” [“Urban Transport in Asia: An Operational Agenda for the 1990s”]) dan merupakan anggota tim inti yang merancang serta menjalankan strategi manajemen pengetahuan Bank Dunia. Sepanjang karirnya, ia mendukung kebutuhan mobilitas perkotaan yang berkelanjutan.
CATATAN 1. “Pedestrians to enjoy city sidewalks next year”, The Jakarta Post, 13 Oktober, 2013. 2. http://cleanairinitiative.org/portal/sites/default/files/documents/18_Walkability_Survey_Tool_2011.pdf 3. http://walkabilityasia.org/2012/10/03/walkability-mobile-app/#
Prakarsa Compendium | Jilid 3
77
POIN-POIN UTAMA Tarif transportasi umum dapat menjadi isu emosional. Para penumpang sering berpikir bahwa mereka membayar lebih dari yang seharusnya, terutama jika kualitas layanan dianggap buruk. Para operator transportasi sering mengeluh bahwa penghasilan mereka tidak cukup untuk menutup biaya dan memberi hasil yang memadai. Apabila tarif tidak dinaikkan sebanding dengan tingkat kenaikan biaya operasional, maka pemeliharaan menyangkut hal-hal penting yang ditangguhkan. Subsidi sering dipandang sebagai solusi, tetapi subsidi dapat menghilangkan insentif di pihak pengusaha untuk menekan biaya, dan oleh sebab itu justru mendorong terjadinya ketidakefisienan. Di Jakarta, layanan bus cepat (Bus Rapid Transit [BRT]) TransJakarta disubsidi, tetapi layanan angkutan umum berbasis jalan tidak. Mereka masih mampu menutup biaya operasional, tetapi harga yang harus dibayar adalah kualitas layanan yang buruk. Keefisienan operasional pun dikorbankan. Faktor lain adalah cara pemungutan tarif. Pada sebagian besar rute bus di Jakarta, diberlakukan satu tarif tanpa memperhitungkan jarak perjalanan, meski jumlah yang dipungut beragam sesuai dengan jenis layanan, dan terkadang berbeda dari rute ke rute. Sistem satu tarif atau “flat fare” tersebut memiliki kelebihan dari segi kesederhanaan, mengurangi waktu penumpang menaiki angkutan, serta mencegah penumpang melakukan perjalanan lebih jauh dari jarak yang mereka bayar. Namun sistem ini memiliki kelemahan juga. Penumpang yang melakukan perjalanan jarak pendek dikenakan biaya per kilometer lebih tinggi, sedangkan mereka yang menempuh perjalanan dengan jarak lebih jauh sering kali harus berganti bus karena bagi operator bus tidak ekenomis untuk melayani rute jarak panjang. Jika tarif yang dipungut lebih mendekati perhitungan jarak yang ditempuh, akan dapat disediakan jaringan rute yang lebih nyaman, dan para pengusaha dapat mengoptimalkan pendapatan dari tarif mereka. Namun demikian, semakin rumit struktur tarifnya, pada gilirannya akan diperlukan sistem pengendalian pendapatan atau sistem pengaturan tiket yang lebih rumit. Sistem pengaturan tiket elektronik yang canggih tidak hanya memungkinkan penerapan struktur tarif yang rumit, melainkan dapat membuat penggunaan layanan angkutan umum jauh lebih mudah. Sistem “e-ticketing” atau pengaturan tiket secara elektronik juga dapat menyediakan data berharga tentang pergerakan penumpangan yang dapat bermanfaat untuk tujuan perencanaan.
Menggerakkan Orang di Jakarta
79
MEMAHAMI STRUKTUR TARIF DAN SISTEM TIKET TRANSPORTASI UMUM DI JAKARTA Sebagian besar moda transportasi umum di Jakarta memiliki sistem “tarif flat” yang tidak efisien. Sistem tiket elektronik yang canggih membuka kemungkinan untuk memperkenalkan struktur tarif yang lebih baik dan membuat transportasi umum lebih mudah bagi penumpang. Oleh Richard Iles dan Rudi Wahyu Setiaji
Tarif transportasi umum dapat menjadi isu emosional. Para penumpang sering berpikir bahwa mereka membayar lebih dari yang seharusnya, terutama jika kualitas layanan dianggap buruk – sebagaimana sering terjadi. Warga berpenghasilan rendah mungkin benar-benar merasa terbebani karena biaya untuk perjalanan penting menguras sebagian besar penghasilan mereka – keluarga besar yang memiliki beberapa anak usia sekolah, khususnya, sangat dirugikan. Di sisi lain, para operator transportasi sering mengeluh bahwa penghasilan mereka tidak cukup untuk menutup biaya dan memberi hasil yang memadai. Mereka menyatakan bahwa tingkat kenaikan tarif tidak sebanding dengan tingkat kenaikan biaya operasional, dan menyampaikan bahwa mereka tidak bisa memperoleh pendapatan yang cukup untuk bertahan tanpa memangkas hal-hal penting, seperti pemeliharaan. Sebagian besar dari mereka bahkan tidak bisa mempertimbangkan untuk mengganti kendaraan mereka yang sudah tua dan usang dengan yang baru, sehingga kendaraankendaraan yang sudah tua dan tampak berbahaya yang mengeluarkan kepulan asap hitam, menjadi pemandangan umum di Jakarta. Subsidi sering dipandang sebagai solusi, tapi sebenarnya memiliki kekurangan juga. Selain biaya yang dibebankan
kepada wajib pajak, dan pengalihan dana dari hal-hal lain yang layak, subsidi dapat mengurangi dorongan apa pun yang dimiliki operator untuk menekan biaya operasional mereka: tanpa peraturan yang efektif maka subsidi dapat mendorong ketidakefisienan dan ada kecenderungan bahwa pengeluaran subsidi meningkat sementara kualitas layanan menurun. Ini bukanlah praktik berkelanjutan. Di Jakarta, layanan bus cepat (Bus Rapid Transit [BRT]) TransJakarta disubsidi, tapi layanan transportasi umum berbasis jalan lainnya tidak. Kenyataan bahwa transportasi umum lain masih terus beroperasi menunjukkan bahwa mereka pasti mampu menutup biaya operasional: tapi harga yang harus dibayar adalah kualitas layanan yang buruk. Namun, faktor lain di dalam perhitungan ini adalah efisiensi operasional. Produktivitas rendah: di banyak rute terdapat terlalu banyak bus atau angkot, sehingga menimbulkan antrean panjang kendaraan di terminal yang menunggu muatan penuh sebelum berangkat. Penjadwalan layanan sesuai permintaan, sehingga hanya perlu mengoperasikan bus dalam jumlah secukupnya, akan mengurangi kebutuhan armada lebih lanjut, dengan pengurangan yang sepadan dalam hal biaya. Selain itu, kebanyakan bus yang beroperasi di Jakarta tidak sesuai untuk layanan yang diberikan. Sebagian besar terlalu kecil: hanya beberapa bus lebih besar yang menyediakan kapasitas yang sama, dengan modal dan biaya operasional per penumpang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
80
Memahami Struktur Tarif dan Sistem Tiket Transportasi Umum di Jakarta
yang lebih sedikit; bus-bus ini juga hanya menggunakan ruang jalan yang lebih sempit per penumpangnya. Faktor lain adalah cara pemungutan tarif. Di sebagian besar rute bus di Jakarta, ongkosnya tidak berbeda-beda, terlepas dari jarak perjalanan, meski jumlah yang dipungut beragam sesuai dengan jenis layanan, dan terkadang berbeda dari rute ke rute. Contoh tarif yang dipungut di Jakarta adalah: • Angkot atau Mikrolet Rp 2.500 • BRT TransJakarta Rp 3.500 • Bus biasa (ukuran sedang atau besar) Rp 3.000 • Bus dengan pengatur suhu udara/AC (ukuran sedang atau besar) Rp 5.000 Ini dikenal sebagai sistem “tarif flat”. Sistem ini memiliki kelebihan tertentu. Penumpang tidak bisa menumpang secara gratis (“over-ride”), atau melakukan perjalanan lebih jauh dari jarak yang mereka bayar. Tugas kernet dapat disederhanakan dan waktu menaikkan penumpang berkurang jika penumpang membayar saat masuk. Sistem ini dapat meniadakan kebutuhan sistem pertiketan dan biaya petugas. Tetapi sistem ini juga memiliki kelemahan. Jika semua atau sebagian besar penumpang melakukan perjalanan dengan jarak yang kurang-lebih sama, tarif tersebut dapat ditetapkan sesuai dengan rata-rata biaya perjalanan, dan akan mirip dengan tarif yang dikenakan berdasarkan sistem tarif bertingkat berbasis jarak. Situasi ini mungkin muncul bila semua penumpang melakukan perjalanan dengan jarak penuh dari ujung ke ujung rute, atau bila semua menempuh jarak pendek yang kira-kira sama, dengan tingkat pergantian penumpang yang tinggi di sepanjang rute. Namun, bila jarak perjalanan masing-masing orang berbeda jauh, sebagaimana umumnya terjadi, penumpang yang bepergian dengan jarak pendek akan membayar lebih mahal per kilometernya daripada mereka yang bepergian dengan jarak lebih jauh, dan kesenjangan itu menjadi jauh lebih besar ketika panjang rute bertambah. Oleh karena itu, khususnya untuk rute panjang, tarif flat dapat dianggap tidak adil. Selain itu, rute-rute yang rata-rata jarak perjalanan penumpangnya panjang dapat menjadi tidak ekonomis untuk dilayani dengan sistem tarif flat, kecuali tarif ditetapkan pada tingkat tertinggi untuk rute tersebut. Tapi hal ini mungkin akan menghalangi penumpang jarak pendek yang harus membayar tarif tinggi untuk perjalanan singkat – dan mereka akan memilih layanan alternatif yang lebih murah, seperti yang disediakan oleh ojek. Sistem tarif flat sering menyebabkan para operator terdorong untuk memilih rute pendek, dengan tujuan memaksimalkan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sistem Setoran Saat ini, layanan bus non-BRT dan angkot dioperasikan berdasarkan prinsip “setoran”, yaitu sopir diharuskan membayar sejumlah uang tetap kepada operator bus setiap harinya; setelah pengeluaran-pengeluaran tertentu terpenuhi (umumnya termasuk biaya bahan bakar, dan gaji kernet, jika ada), kelebihan yang ada diambil oleh sopir sebagai penghasilannya. Ini adalah sistem pengoperasian yang ditemukan di sebagian besar negara berkembang yang memiliki kapasitas pengaturan dan pengelolaan terbatas. Sistem setoran menyederhanakan pengendalian pendapatan bagi pemilik atau operator bus, karena penghasilan terjamin sesuai jumlah yang telah ditetapkan, tanpa harus mengawasi layanan yang diberikan. Khususnya, sistem ini menghilangkan masalah pencurian uang tarif, yang selalu dihadapi oleh operator yang lebih resmi, dan yang memerlukan langkah-langkah kuat untuk mengendalikannya. Keharusan sopir membayar biaya bahan bakar dari pendapatan tarif menghilangkan masalah umum operator lainnya – yaitu pencurian bahan bakar. Namun, setoran memiliki kelemahan-kelemahan yang serius. Tanpa menggunakan tiket, sistem tarif flat menjadi hampir wajib; tidak ada informasi tentang permintaan penumpang dan pola perjalanan yang dapat diambil dari sistem tiket; dan sopir, yang memiliki dorongan untuk memaksimalkan pendapatannya, mungkin tergoda untuk mengemudi dengan cara yang berbahaya (ugal-ugalan) dan terlibat dalam praktik yang tidak diinginkan, seperti merintangi kendaraan pesaing atau mengusir penumpang sebelum mencapai akhir rute agar bisa berbalik dan mengambil penumpang yang menunggu di arah sebaliknya. Kecuali layanan dikendalikan secara ketat, akan ada kecenderungan terjadi pasokan yang berlebihan pada jamjam tertentu, dan tingkat layanan yang terlalu rendah ketika permintaan juga rendah. Dengan menggunakan sistem setoran, tidak mungkin terlaksana prosedur penjadwalan yang rumit, dengan frekuensi pengoperasian direncanakan bervariasi dalam satu hari, pada hari-hari yang berbeda dalam sepekan, dan di ruas-ruas yang berbeda dalam suatu rute guna mengoptimalkan pemanfaatan kendaraan (dan meminimalkan biaya), karena para sopir tidak akan mau menerima pengaturan yang dapat mengakibatkan beberapa bus memperoleh pendapatan lebih banyak dari yang lain. Sistem setoran tidak memiliki tempat di dalam sistem transportasi umum resmi dan terorganisasi.
potensi pendapatan. Penumpang jarak pendek umumnya senang-senang saja dengan tarif rendah, tapi penumpang jarak jauh terpaksa harus berganti kendaraan sebanyak dua rute atau lebih, sehingga pada dasarnya mereka membayar tarif berbasis jarak, tapi juga mengalami ketidaknyamanan karena harus berganti kendaraan. Bagaimanapun sistem itu diterapkan, kecuali ada subsidi besar, sistem tarif flat pasti menjadi kendala
Menggerakkan Orang di Jakarta
TransJakarta memperkenalkan e-ticket untuk penumpang pada bulan Januari 2013. Penumpang harus menempelkan e-ticket-nya di pintu putar ini untuk masuk halte.
terhadap pilihan jaringan rute, dan sering mengakibatkan layanan yang tidak nyaman. Jika tarif yang dipungut lebih mendekati perhitungan jarak yang ditempuh, akan dapat disediakan jaringan rute yang lebih nyaman, dan para operator dapat mengoptimalkan pendapatan tarif mereka. Namun, semakin rumit struktur tarif pada gilirannya akan memerlukan sistem pengaturan pendapatan atau sistem tiket yang lebih rumit. Tetapi hal ini juga akan memberikan peluang peningkatan. Sistem tiket elektronik (e-ticket) yang canggih tidak hanya memungkinkan pengenalan struktur tarif yang rumit tetapi juga membuat penggunaan layanan transportasi umum menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, penumpang dapat menggunakan tiket yang sama untuk perjalanan menggunakan bus, kereta, atau taksi mana pun di dalam wilayah yang besar, hanya dengan menggesek tiket saat masuk dan meninggalkan stasiun, dan saat naik atau turun bus. Tidak perlu mengeluarkan uang tunai, dan peluang penipuan juga sangat berkurang. Sistem e-ticket juga dapat memberikan data yang berharga tentang pergerakan penumpang, yang dapat digunakan oleh operator dan pembuat kebijakan untuk merencanakan dan secara terus-menerus melakukan pemantauan dan menyempurnakan layanan, demi kepentingan semua pihak. Sistem semacam ini menjadi semakin umum di seluruh dunia: contoh-contoh terdekat dapat ditemukan di Hong Kong dan Singapura. Kesimpulannya, dengan kendaraan yang tepat, dioperasikan secara efisien, dan dengan struktur tarif yang pantas serta sistem tiket yang efektif, mayoritas layanan transportasi umum
Atas perkenan Richard Iles
di Jakarta seharusnya dapat beroperasi tanpa subsidi, dengan tingkat tarif yang tidak jauh berbeda dari tarif yang ditetapkan saat ini. Namun, penting diperhatikan bahwa tarif harus dikaji ulang secara teratur dan disesuaikan untuk menutup setiap kenaikan biaya operasional. Penting untuk menetapkan kenaikan tarif secara “sedikit dan sering” daripada jarang-jarang sebagaimana terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Semakin lama kenaikan tarif ditunda, semakin besar kenaikannya ketika sudah tidak bisa ditunda lagi – dan itu yang selalu menciptakan kegelisahan. Manfaat lain dari sistem tiket elektronik adalah bahwa tarif tidak perlu terikat pada denominasi uang koin atau kertas: nilai berapa pun dapat diterapkan jika tidak perlu lagi menangani uang tunai atau memberikan kembalian. Jadi kenaikan atau variasinya bisa kecil dan sering, dengan dampak minimal. Ada potensi besar untuk peningkatan dengan merombak sistem kendali pendapatan, yang saat ini sebagian besar dilakukan berdasarkan prinsip kasar “setoran” (lihat boks teks). Sistem e-ticket dasar sudah terpasang pada sistem TransJakarta dan kereta penumpang (commuter rail). Pada akhirnya, mengganti sistem ini dan sistem setoran dengan sistem tiket canggih untuk semua jaringan moda, dengan skala tarif dan struktur yang lebih fleksibel, akan memainkan peran penting dalam proses membawa sistem transportasi umum Jakarta ke abad 21. ●
Tentang Para Penulis: Informasi biografi tentang para penulis dapat dilihat di halaman 67.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
81
POIN-POIN UTAMA Banyak organisasi pemerintah dan swasta dan individu yang terlibat dalam penyediaan layanan transportasi umum di Jakarta. Terminal bus disediakan dan didanai oleh Pemda DKI. Bengkel dan garasi dimiliki oleh operator bus yang lebih besar. Dua perusahaan bus di Jakarta dimiliki pemerintah. Pemda DKI menjalankan PPD, yang mengoperasikan bus besar di trayek umum. DAMRI, dimiliki oleh Pemerintah Pusat, mengoperasikan Bus Rapid Transit (BRT) berdasarkan kontrak dengan TransJakarta, yang akan menjadi perusahaan bus kota pada tahun 2014. Pangsa pasar PPD menurun sejak operator swasta memasuki pasar, dan armada busnya sudah tua. Ada beberapa operator bus swasta, beberapa di antaranya berbentuk koperasi. Beberapa operator swasta itu menjalankan BRT di bawah kontrak dengan TransJakarta, biasanya sebagai anggota konsorsium. Di dalam sektor swasta, sebagian besar industri transportasi umum bersifat informal dan tidak selalu memberikan layanan yang aman dan efisien. Peran-peran ini harus didefinisikan ulang dan dilakukan penugasan ulang peran, jika diperlukan, sehingga baik sektor formal maupun informal bertanggung jawab atas layanan yang paling sesuai bagi masing-masing pihak. Pemerintah harus mengubah lingkungan informal dengan regulasi yang buruk saat ini menjadi lingkungan yang mendorong pengembangan sektor transportasi swasta yang efisien yang dapat memberikan layanan yang aman, menarik, dengan tarif terjangkau.
Menggerakkan Orang di Jakarta
MELIBATKAN SEKTOR SWASTA DALAM PENYEDIAAN LAYANAN TRANSPORTASI UMUM Layanan transportasi di Jakarta disediakan oleh gabungan antara operator pemerintah dan swasta, baik yang formal maupun informal, yang tidak terorganisir dengan baik. Untuk menjamin bahwa masyarakat memiliki akses terhadap layanan yang aman, menarik, dengan tarif terjangkau, Pemerintah harus mengubah lingkungan yang saat ini diregulasi dengan buruk. Oleh Richard Iles dan Rudi Wahyu Setiaji
Banyak organisasi pemerintah dan swasta, dan individu yang terlibat dalam penyediaan layanan transportasi umum di Jakarta, terkadang secara tumpang tindih. Contohnya, layanan bus di Jakarta dioperasikan baik oleh perusahaan pemerintah maupun swasta, dan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI telah terlibat dalam pengadaan kendaraan yang akan dioperasikan oleh perusahaan swasta. Beberapa fungsi diakui secara internasional paling efektif bila dijalankan oleh pemerintah, sementara yang lain lebih efektif dijalankan oleh sektor swasta. Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengidentifikasi peran yang paling tepat bagi kedua sektor tersebut. Sejak pertama kali layanan transportasi umum diadakan, di banyak negara, pendulum dominasi mengayun di antara kedua sektor tersebut. Ini masih terjadi, namun sebuah konsensus telah kurang-lebih dicapai terkait peran paling tepat untuk masing-masing sektor. Umumnya diakui bahwa fungsi seperti perencanaan dan regulasi layanan transportasi umum perkotaan dan
penyediaan infrastruktur paling baik dilakukan oleh badan pemerintah. Fungsi lainnya, seperti kepemilikan kendaraan dan penyediaan layanan itu sendiri, lebih tepat diserahkan kepada sektor swasta. Namun pembedaan ini tidak selalu jelas. Contohnya, beberapa fungsi pemerintah, seperti inspeksi kendaraan atau perencanaan jaringan trayek, dapat dialihdayakan ke sektor swasta, sementara beberapa infrastruktur (seperti garasi bus) dapat dikuasai oleh pemerintah maupun swasta. Namun secara umum, pemerintah harus bertanggung jawab untuk melakukan regulasi terhadap layanan transportasi yang disediakan oleh operator swasta. Apabila kapabilitas sektor swasta terbatas, pemerintah seringkali tergoda untuk melakukan intervensi dan menyediakan layanan secara langsung, namun ini jarang berhasil. Perusahaan transportasi milik negara di seluruh dunia, terutama perusahaan bus, jarang mampu menutupi biaya, dan cenderung menyediakan layanan yang rendah dibandingkan perusahaan sejenis dari sektor swasta.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
83
84
Melibatkan Sektor Swasta dalam Penyediaan Layanan Transportasi Umum
Saat kapabilitas sektor swasta terbatas, pemerintah seringkali tergoda untuk melakukan intervensi dan menyediakan layanan secara langsung, namun ini jarang berhasil. Idealnya, pemerintah, melalui regulasi yang tepat yang ditegakkan secara efektif, akan memberikan lingkungan yang memungkinkan usaha swasta dapat beroperasi secara efisien dan menguntungkan. Pemerintah dapat menyediakan beberapa atau semua infrastruktur, namun sektor swasta biasanya akan bertanggung jawab atas pengadaan dan pendanaan seluruh kendaraan dan peralatan.
Ratax, Pahala Kencana, Primajasa Perdanarayautama, Ekasari Lorena, dan Bianglala. Mayasari Bhakti merupakan operator terbesar untuk bus besar; Metro Mini dan Kopaja adalah koperasi yang mengoperasikan sejumlah besar bus ukuran menengah. Beberapa dari operator ini juga terlibat dalam pengoperasian layanan BRT di bawah kontrak dengan TransJakarta, biasanya sebagai anggota konsorsium.
Terminal bus umumnya didanai oleh sektor publik, seperti halnya di Jakarta. Garasi dan bengkel seringkali didanai oleh operator yang menggunakannya; tetapi karena infrastruktur tersebut merupakan investasi jangka panjang, terkadang disediakan oleh pemerintah, yang mendanai konstruksi menyediakannya untuk operator berdasarkan ketentuan komersial.
Di dalam sektor swasta, sejumlah besar industri transportasi umum dapat diklasifikasikan sebagai informal: individu dan usaha kecil yang memiliki satu atau dua kendaraan, yang disewakan ke pengemudi dan dioperasikan dengan cara yang relatif tidak terorganisir dengan baik. Kelemahan dalam penjadwalan dan sistem setoran (dalam sistem ini pengemudi membayar jumlah tertentu kepada operator bus setiap hari dan mengantongi kelebihannya setelah menutupi biaya operasional tertentu; lihat boks di halaman 80 untuk perinciannya) menjadikan perencanaan dan pengendalian layanan yang sesuai tidak mungkin dilakukan, dan bertentangan dengan penyediaan layanan yang aman dan efisien yang selaras dengan kebutuhan penumpang. Meski demikian, sektor informal ini memiliki peran untuk dimainkan, terutama dalam penyediaan layanan yang memenuhi kebutuhan mendadak (demand-responsive) seperti yang diberikan oleh taksi, bajaj, dan ojek.
Terminal bus di Jakarta disediakan dan didanai oleh Pemda DKI. Hanya terdapat beberapa garasi bus atau bengkel, dan semuanya dimiliki oleh operator bus yang lebih besar, baik di sektor swasta maupun pemerintah. Saat ini ada dua perusahaan bus milik pemerintah, yaitu PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta), yang dimiliki oleh Pemda DKI, dan DAMRI (Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia), yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. PPD menjalankan bus besar di trayek umum; DAMRI menjalankan layanan Lintas Bus Cepat (BRT, Bus Rapid Transit) di bawah kontrak dengan TransJakarta, yang akan menjadi perusahaan bus kota pada tahun 2014 berdasarkan peraturan yang dikembangkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai Pemerintah Australia. Selama bertahun-tahun, PPD memonopoli layanan bus di Jakarta. PPD pernah beroperasi di ratusan trayek dengan armada sejumlah lebih dari 2.000 bus. Sejak operator swasta memasuki pasar, PPD lebih berkonsentrasi pada layanan dasar untuk kelompok berpendapatan lebih rendah; pangsa pasarnya terus menurun. Saat ini, PPD memiliki 370 bus berusia tua, yang diantaranya terdapat sekitar 250 diantaranya dioperasikan setiap hari di 32 trayek. Usia ratarata armada adalah 15 tahun, dan bus yang tertua sudah berusia lebih dari 20 tahun. Ada beberapa operator bus swasta, yang utama adalah Mayasari Bhakti, Metro Mini, Kopaja, Kopami, Steady Safe,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Peran-peran ini harus didefinisikan ulang dan dilakukan penugasan ulang peran, jika diperlukan, sehingga baik sektor formal maupun informal bertanggung jawab atas layanan yang paling sesuai bagi masing-masing pihak. Pengurangan peran sektor informal dan formalisasi layanan bus akan diperlukan. Seluruh layanan terjadwal (terutama yang dioperasikan oleh bus, tetapi juga termasuk angkot atau mikrolet) harus dioperasikan oleh organisasi formal yang terstruktur dan dikelola dengan sesuai (seperti perusahaan atau koperasi). Layanan demand-responsive individu seperti taksi, bajaj, dan ojek dapat disediakan oleh operator informal, meskipun tidak ada alasan bagi perusahaan formal untuk tidak menyediakan layanan tersebut bila mereka menginginkannya. Selain bus yang dioperasikan untuk BRT, mayoritas bus dan angkot sudah sangat tua dan dalam kondisi buruk, dan sudah melampaui batas waktu untuk diganti. Salah satu alasan kurangnya investasi untuk bus dari operator
Menggerakkan Orang di Jakarta
Kopaja merupakan salah satu operator bus swasta di Jakarta.
swasta di Jakarta adalah lingkungan operasionalnya tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkan cukup penghasilan untuk mendanai pemeliharaan dan penggantian bus dengan tepat. Sebagai solusi jangka pendek, Pemda DKI memilih untuk menangani masalah kekurangan bus dengan membeli bus baru sendiri: ini akan dioperasikan oleh TransJakarta, sebuah operator sektor publik. Namun, dalam jangka panjang, solusinya adalah agar pemerintah menangani penyebab masalah itu, yaitu mengubah lingkungan informal dengan regulasi yang buruk saat ini menjadi lingkungan yang mendorong pengembangan sektor transportasi swasta yang layak dan dijalankan secara efisien yang menyediakan layanan yang aman, menarik, dengan tarif terjangkau.
Atas perkenan Richard Iles
Ini jauh lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan dengan membeli bus, tetapi akan menghasilkan manfaat yang dapat bertahan lebih lama. Tantangan yang dihadapi pemerintah adalah untuk mengelola transisi ini – namun ini tantangan yang sangat layak untuk diambil. ●
Tentang Para Penulis: Informasi biografi tentang para penulis dapat dilihat di halaman 67.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
85
POIN-POIN UTAMA Bagi penyandang disabilitas, bepergian di Jakarta untuk keperluan sehari-hari, seperti bekerja dan rekreasi, bisa menjadi sulit. Ferry Jansen Situngkir, seorang tunanetra, melakukan perjalanan setiap hari dari rumahnya di Bekasi ke kantornya di Pasar Baru. Selama 14 tahun ia bepergian naik bus, kadang berdiri di sepanjang perjalanannya jika tidak ada penumpang lain yang bisa melihat memberitahunya ada kursi kosong yang tersedia, kemudian berjalan kaki selama 30 sampai 40 menit, menabrak rintangan dan menghadapi risiko tersambar oleh kendaraan bermotor. Keputusan beralih ke kereta api komuter telah membawa kemajuan besar, karena ia diperbolehkan masuk stasiun melalui pintu masuk khusus dan kemudian dibantu oleh petugas kereta api. Meski demikian, ia masih menghadapi kesulitan, seperti keluar dari kereta api yang ramai, menaiki tangga berundakan tinggi, dan berjalan melalui ruang luas yang hampir tidak menawarkan petunjuk tentang lokasi keberadaannya. Ia merekomendasikan lebih banyak pengumuman audio mengenai stasiun pemberhentian, pengaturan tempat duduk prioritas yang lebih efektif bagi penyandang disabilitas, dan lajur serta tiang khusus yang dapat membantu penyandang tunanetra untuk mengidentifikasi posisi tempat mereka berada. Ignatius Tuntas Wijaya (Wiwid), juga seorang tunanetra dan pengguna bus TransJakarta secara rutin. TransJakarta secara aktif melakukan peningkatan sehingga busnya menjadi lebih ramah bagi penyandang disabilitas dan ini membantu Wiwid merasa nyaman menggunakan bus TransJakarta karena ia biasanya dapat menemukan arah di dalam halte bus dan petugasl sering membantu dalam mengawalnya ke tempat duduk atau keluar menuju moda transportasi berikutnya setelah ia turun dari bus. Namun sering tidak adanya pengumuman audio menimbulkan lebih banyak stres dalam perjalanannya. Cucu Saidah, yang menggunakan kursi roda, adalah anggota Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT), yang melakukan advokasi untuk transportasi yang lebih mudah diakses dan menjalankan edukasi publik mengenai isu terkait disabilitas. Cucu melihat ada banyak bus baru yang telah mengakomodasi kursi roda dan merasa bahwa sikap para personil bus TransJakarta sering positif. Tetapi, ia juga mempunyai pengalaman negatif, seperti kursi roda yang tersangkut. Bagi penyandang disabilitas, transportasi umum tidak hanya bisa menjadi sulit, tapi juga lebih mahal, karena mereka harus lebih mengandalkan taksi dan moda transportasi serupa. Ferry memperkirakan bahwa ia menghabiskan sekitar sepertiga dari penghasilannya untuk biaya transportasi. Ia berharap bahwa Indonesia akan mencapai tahap di mana desain yang ramah disabilitas, subsidi, dan masyarakat yang berpendidikan memunculkan fasilitas transportasi umum yang terjangkau, mudah diakses, nyaman, dan aman bagi semua.
Menggerakkan Orang di Jakarta
BERJUANG UNTUK MOBILITAS: BAGAIMANA PENYANDANG DISABILITAS MENGAKSES SISTEM TRANSPORTASI JAKARTA Orang-orang yang berdesak-desakan, tangga dengan undakan tinggi, audio yang rusak, dan jarak lebar untuk dilangkahi adalah gangguan kecil bagi mereka yang bukan penyandang disabilitas. Namun bagi para penyandang disabilitas, hal-hal tersebut merupakan tantangan yang sangat besar dalam penggunaan transportasi umum. Oleh Eleonora Bergita
Jika Anda pernah merasa frustrasi ketika mencoba menggunakan fasilitas transportasi umum di Jakarta, bayangkan bagaimana bila Anda mempunyai kesulitan melihat, mendengar, atau bergerak. Bagi penyandang disabilitas, bepergian di Jakarta untuk keperluan sehari-hari seperti bekerja dan rekreasi tentu bisa menjadi kesulitan tersendiri. Dibutuhkan keberanian untuk menghadapi tantangan dalam menggunakan bus, kereta api, dan sarana transportasi umum lainnya. Prakarsa berbincang dengan beberapa penyandang disabilitas yang menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut secara rutin, untuk mendapatkan wawasan mengenai pengalaman mereka dan mencari informasi perubahan pada sistem seperti apa yang akan menjadikan perjalanan mereka lebih mudah.
Dari Bus ke Kereta Api Ferry Jansen Situngkir, 41 tahun, bekerja di Biro Pelayanan Penyandang Cacat (BPPC), yang didirikan oleh Keuskupan Agung Jakarta. Ia melakukan perjalanan setiap hari dari rumahnya di Bekasi ke kantornya di Pasar Baru. Selama bertahun-tahun ia bepergian menggunakan bus kota, meskipun banyak kesulitan dan ketidaknyamanan yang dialaminya sebagai seorang tunanetra, karena setidaknya ia sudah akrab dengan rutinitas tersebut. Setelah 14 tahun mengalami banyak permasalahan, dan dorongan dari orang lain yang juga tunanetra, ia memutuskan untuk beralih ke kereta api komuter (KRL, Kereta Rel Listrik). Kini ia senang dengan keputusan yang telah diambilnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
87
88
Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana Penyandang Disabilitas Mengakses Sistem Transportasi Jakarta
Ferry naik bus kota dari Bekasi sampai ke pemberhentian sekitar 100m dari kantornya. Waktu perjalanan yang tidak pasti kadang membuatnya terlambat sampai di tempat kerja hingga empat jam. Kadang ia harus berdiri di sepanjang perjalanannya, jika tidak ada penumpang yang dapat melihat memberitahukan kepadanya bahwa ada kursi kosong yang tersedia. Setelah turun dari bus, perjalanan kaki ke kantornya – yang hanya akan membutuhkan sekitar 10 menit bagi orang yang bisa melihat – baginya memakan waktu 30 sampai 40 menit dengan susah payah. Kadang ia menabrak bus atau benda lain yang menghalangi ketika mencoba untuk mencapai trotoar; ini selalu merupakan sebuah tantangan baginya karena busnya tidak berhenti di tempat yang sama setiap hari. Ia menelusuri pinggiran trotoar di sisi kanan jalan raya dengan tongkat bantu putihnya; di sebelah kiri ada berbagai macam kendaraan bermotor (mikrolet, bajaj, dan ojek) yang tengah berhenti untuk menunggu penumpang. Sebagai pejalan kaki di jalan raya, ia selalu berisiko disambar kendaraan. Kenangannya yang paling tidak menyenangkan adalah ketika jalan tergenang banjir dan ia harus berjalan melewatinya. Secara keseluruhan, peralihan ke kereta api komuter merupakan suatu kemajuan besar. Ferry mempunyai ojek langganan yang diperbolehkan masuk ke tempat parkir tanpa dikenai biaya melalui pintu masuk bagi penyandang disabilitas, yang menjadikan jarak baginya untuk berjalan kaki ke kereta menjadi lebih pendek dan lebih aman. Ia menaiki tangga, dan kemudian diantar ke peron kereta api oleh petugas KRT yang ramah. Petugas tersebut biasanya bertanya kepada Ferry mengenai rencana perjalanannya, kemudian menyampaikan informasi ini kepada petugas di gerbong kereta api, yang selanjutnya memastikan ia duduk di tempat yang dikhususkan bagi perempuan hamil, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas.
Berjalan kaki di Jakarta dapat memakan waktu jauh lebih lama bagi seorang tunanetra, yang tidak dapat melihat halangan dan bahaya yang harus dihindari. Atas perkenan Eleonora Bergita
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Menurut Ferry penumpang kereta api sepertinya lebih ramah daripada mereka yang naik bus. Ia sering menerima tawaran bantuan pada saat menggunakan tangga di Stasiun Juanda, di mana ia turun untuk pergi bekerja. Meski demikian, beberapa tantangan lain dihadapinya saat menggunakan kereta api. Di beberapa stasiun, seperti stasiun Klender, terdapat lantai peron sangat tinggi,
Menggerakkan Orang di Jakarta
sehingga orang tidak bisa keluar dari pintu meskipun dalam keadaan terbuka. Jika ia berada di salah satu gerbong belakang, tidak mungkin baginya untuk keluar, sehingga ia dan penumpang lainnya harus berjalan ke gerbong depan. Selama jam sibuk, kereta api sangat ramai, sehingga sulit untuk berjalan melalui gerbong. Untuk keluar dari kereta api juga sulit di stasiun Kranji di Bekasi dalam perjalanan pulang. Jarak berjalan kaki yang jauh harus dicapai melalui beberapa tangga untuk mencapai pintu keluar stasiun. Di depan stasiun terdapat ruang terbuka yang luas dengan banyak rintangan dan kendaraan yang bergerak. Pengaturan seperti ini rumit bagi penyandang tunanetra. Seperti dijelaskan Ferry, “Kami jago kalau melewati lorong, karena kami bisa meraba sisi kanan dan kiri dengan tongkat, tetapi menjadi sangat bermasalah ketika berada di tempat yang terbuka, karena kami jadi kehilangan arah.”
Saran untuk Peningkatan Ferry, yang istrinya juga tunanetra dan mempunyai rasa frustrasi yang sama terhadap transportasi umum, mengetahui apa yang akan membuat perjalanannya lebih aman dan lebih mudah. Salah satu pilihan adalah lajur khusus yang ditandai dengan tiang atau benda serupa untuk membantu penyandang tunanetra masuk dan keluar dari stasiun kereta api dengan aman dan secara mandiri. Tanpa alat-alat bantu tersebut, ia kadang mengalami disorientasi dan kepalanya terbentur. Terkadang ia meminta sesama penumpang untuk memberitahu di mana letak beberapa benda penanda; tetapi karena penumpang seringkali bergegas ke tujuan mereka, hal ini tidak selalu dimungkinkan. Menurut Ferry pengumuman audio mengenai pemberhentian selanjutnya sangat penting, dengannya ia tidak harus menghitung jumlah stasiun pemberhentian untuk memastikan agar stasiun yang hendak ditujunya tidak terlewatkan. Meskipun ia cukup puas dengan layanan dari petugas kereta api, ia menyatakan bahwa masih ada ruang untuk peningkatan di berbagai bidang seperti komunikasi antara petugas di kereta api dan di stasiun untuk menyampaikan informasi kepada petugas bahwa ada penyandang tunanetra atau penyandang disabilitas
lain di gerbong kereta api tertentu. Ini akan memfasilitasi mereka untuk turun dari gerbong kereta sedang sangat ramai. Menurut Ferry, sebagai penyandang tunanetra yang bertubuh sehat tidak mudah baginya untuk turun dari kereta; apalagi untuk penyandang disabilitas lain yang misalnya menggunakan kruk (alat bantu berjalan) – terutama jika penumpang mendorong dan menekan dari belakang tanpa menyadari ada seorang penyandang disabilitas yang berada di depan mereka. Ferry berharap bahwa di masa depan perusahaan kereta api akan mempertimbangkan pemisahan gerbong khusus untuk para penyandang disabilitas, seperti gerbong yang dikhususkan untuk perempuan. Ferry senang ketika ia bisa berbagi pengetahuan mengenai bagaimana cara menggunakan transportasi umum dengan orang lain yang juga tunanetra. Nasihat dari sesama penyandang tunanetra lebih berguna daripada saran dari orang yang bisa melihat, “Sesama penyandang tunanetra dapat memberikan informasi yang diperlukan penyandang tunanetra lainnya, seperti mencatat adanya delapan pot bunga antara tempat kereta api berhenti dan pintu keluar; orang yang bisa melihat tidak akan mengetahui hal itu.” Saat ini, Ferry tengah membantu saudara iparnya untuk belajar bagaimana berangkat bekerja dengan kereta api.
Menggunakan TransJakarta Ignatius Tuntas Wijaya, 30 tahun, yang dikenal sebagai Wiwid, adalah pengguna transportasi umum lain yang juga tunanetra. Sejak ia mulai bekerja sebagai karyawan di beberapa kantor di daerah Pecenongan dan Kuningan, Wiwid telah menggunakan sistem Bus Rapid Transit Jakarta, TransJakarta yang secara aktif melakukan peningkatan layanan sehingga busnya menjadi lebih ramah terhadap penyandang disabilitas. Wiwid aktif di BPPC dan kini tengah bekerja dengan media online. Ia merasa nyaman menggunakan bus TransJakarta karena, ketika ia perlu untuk berpindah koridor bus, selalu ada fasilitas yang menghubungkan pemberhentian bus tersebut, sehingga ia dapat menemukan arahnya. Ia juga menghargai bantuan dari personil bus, meskipun tidak selalu ada cukup banyak petugas yang bertugas di loket untuk mengawalnya. Tapi mereka sering membantunya untuk mendapatkan ojek atau moda transportasi lainnya untuk melanjutkan perjalanan setelah ia turun dari bus.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
89
90
Berjuang untuk Mobilitas: Bagaimana Penyandang Disabilitas Mengakses Sistem Transportasi Jakarta
Di dalam bus, seorang petugas sering membantunya mendapatkan kursi. Ini berguna karena, meskipun ia bisa berdiri dengan mudah, ia selalu membawa sejumlah barang, termasuk tongkat berjalannya. Orang yang tidak dapat melihat juga lebih mudah kehilangan keseimbangan badan ketika berdiri di bus yang bergoyang, karena mereka tidak bisa mengandalkan isyarat visual untuk tetap stabil. Wiwid senang dengan sebagian besar fasilitas-fasilitas TransJakarta, dengan beberapa pengecualian seperti kurangnya informasi audio mengenai pemberhentian bus. Alat audio sering rusak atau tidak dipakai, digantikan oleh musik, yang sangat membuat frustrasi dan dapat menimbulkan masalah. Suatu hari Wiwid naik bus yang salah, mengira ia menuju ke Kampung Rambutan; padahal busnya sedang dalam perjalanan ke Cibinong. Akibatnya ia baru sampai ke rumah ketika sudah hampir tengah malam.
Berwisata Tanpa Hambatan Cucu Saidah adalah Koordinator Teknis dari AIPJ (Kemitraan Australia Indonesia untuk Keadilan) dan anggota Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT). JBFT, yang didirikan pada bulan Maret 2012, melakukan advokasi untuk transportasi yang lebih mudah diakses dan menjalankan edukasi publik mengenai isu disabilitas. Kelompok ini menyelenggarakan acara jalan-jalan bulanan yang menarik puluhan peserta – termasuk, pada bulan Juli 2013, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, yang menemani kelompok ini dalam perjalanan menggunakan TransJakarta. Kegiatan lainnya antara lain, JBFT memberikan pelatihan kepada personil transportasi umum (untuk informasi lebih lanjut tentang JBFT, lihat halaman Facebook mereka). Cucu, yang menggunakan kursi roda, melihat bahwa banyak bus baru telah mengakomodasi kursi roda. Ia juga merasa bahwa sikap banyak personil bus TransJakarta positif ketika melayani penyandang disabilitas. “Misalnya, ada seorang petugas di loket tiket yang mau membantu dan akan bertanya kepada kami bagaimana mereka dapat membantu,” kata Cucu. Namun, ia juga memiliki pengalaman negatif, seperti
Prakarsa Compendium | Jilid 3
contoh menakutkan ketika kursi roda dari seorang peserta JBFT tersangkut ketika mencoba untuk keluar dari halte bus. Bukan hanya penyandang tunanetra, atau mereka yang mempunyai gangguan mobilitas, yang menghadapi masalah. Kadang personil di loket penjualan tiket tidak terlihat dengan jelas sehingga mempersulit penumpang tunarungu untuk memperoleh informasi dengan membaca gerak bibir. Dalam kasus lain, fasilitas yang sebenarnya bermanfaat dibangun namun berada dalam keadaan rusak, tidak dipakai, atau dirancang secara kurang memadai, misalnya lift di beberapa pemberhentian bus yang sulit untuk dijangkau. Beberapa pemberhentian bus mempunyai pintu masuk yang sesuai untuk kursi roda, namun pintu tersebut ditutupi oleh mesin penjual minuman. Demikian juga, ketika pintu masuk untuk pengguna kursi roda tidak digunakan, beberapa penumpang harus diangkat dan dibawa melintasi gerbang masuk, dan ini merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Dalam kasus lain lagi, tangga memiliki undakan yang tinggi dan sulit. Jalur khusus berbidang miring (ramp) kursi roda yang sesuai akan memberi solusi, namun beberapa dari ramp yang ada terlalu curam dan/atau licin.
Biaya Bepergian Tinggi Bagi penyandang disabilitas, transportasi umum tidak hanya dapat menyulitkan, tetapi juga mahal. Banyak waktu terbuang dan perjalanan menjadi lebih lambat. Ketika sebuah pemberhentian terlewatkan, dan penumpang harus berbalik arah, biaya yang lebih tinggi harus dikeluarkan. Kebutuhan untuk menggunakan ojek atau kendaraan pribadi lain karena tidak praktisnya berjalan kaki menambah biaya. Cucu menegaskan bahwa para penyandang disabilitas membayar lebih banyak ketika melakukan perjalanan dibandingkan orang lain, karena kalaupun mereka menggunakan bus atau kereta api yang sama seperti
Menggerakkan Orang di Jakarta
orang lain, mereka bergantung lebih banyak pada penggunaan kendaraan transportasi pengumpan, seperti taksi, untuk menyelesaikan perjalanan mereka. Menurut Cucu, “Kami ingin menjadi produktif dan berkontribusi kepada masyarakat. Para penyandang disabilitas juga membayar pajak, dan kami juga berhak atas pelayanan publik yang baik.” Ferry memperkirakan bahwa ia menghabiskan sekitar sepertiga dari penghasilannya untuk biaya transportasi. Ini terjadi karena, meskipun ia menggunakan KRL setiap hari untuk perjalanan pergi-pulang, ia harus menggunakan ojek pada kedua ujung perjalanan tersebut. Ferry berharap bahwa suatu hari Indonesia akan meniru keadaan di negara lain yang pernah didengarnya, di mana desain yang ramah disabilitas, subsidi, dan masyarakat yang berpendidikan memunculkan fasilitas transportasi umum yang terjangkau, mudah diakses, nyaman, dan aman. Ini mendukung mobilitas dan kemandirian bagi penyandang disabilitas, untuk membantu mereka berpartisipasi secara penuh dan memberikan sumbangsih bagi masyarakat. ●
Tentang Penulis: Eleonora Bergita (Gite) adalah Senior Program Officer dan Event Manager IndII. Ia adalah seorang penulis dan pengatur acara (event organiser) yang berpengalaman dengan lebih dari 10 tahun pengalaman di bidang jurnalisme dan manajemen kegiatan. Pengalamannya meliputi pekerjaan dengan organisasi non-pemerintah Jerman, beberapa majalah nasional, dan sebuah perusahaan PR. Gite adalah lulusan Sastra Jerman Universitas Indonesia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
91
POIN-POIN UTAMA Perundang-undangan, pengawasan publik, dokumen perencanaan, pendidikan lebih tinggi di sektor transportasi, dan masukan dari asosiasi transportasi telah membantu memperjelas bagaimana Pemerintahan Daerah (Pemda) seharusnya mengelola dan mendanai program daerah. Kajian survei belanja publik menunjukkan bahwa infrastruktur memperoleh 5–7 persen dari dana yang teralokasi dari anggaran daerah. Sekitar 3–5 persen digunakan untuk mendanai sektor jalan. Daerah memiliki dorongan kuat untuk mendorong kepemilikan kendaraan. Tidak mudah untuk merespon tantangan ini. Belanja pembangunan untuk sektor transportasi sangat kecil. Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral)/ Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP) telah memperkirakan bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk transportasi perkotaan di Indonesia setidaknya empat kali lebih besar dari yang telah direncanakan oleh Kementerian Perhubungan. Beberapa daerah mencoba untuk berbagi beban biaya infrastruktur dan layanan transportasi umum dengan sektor swasta, contohnya Terminal Giwangan di Yogyakarta dan dua koridor monorel yang sedang dibangun di Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta dan warga Jakarta telah menunggu 24 tahun untuk dimulainya pembangunan Mass Rapid Transit (MRT). Diperkirakan MRT Jakarta akan menjadi sistem perkeretaapian perkotaan termahal di dunia. Terbukanya ruang fiskal yang diperoleh karena pengurangan subsidi BBM pada bulan Juli 2013 seharusnya menjadi momentum untuk mendorong desentralisasi fiskal di sektor transportasi. Pemerintah Pusat harus berfokus pada penyusunan pedoman kebijakan dan panduan penerapan untuk transportasi perkotaan. Desentralisasi pendanaan untuk transportasi perkotaan akan memperkuat kapasitas Pemda untuk membiayai sendiri program-programnya. Pengurangan belanja pegawai melalui alih daya dan membuka celah fiskal baru harus menjadi tugas Pemda. Apabila fleksibilitas anggaran ini diperoleh, maka angka 5–15 persen anggaran sektor transportasi di APBD akan memberikan ruang gerak bagi Dinas Perhubungan dan Pekerjaan Umum untuk mendanai infrastruktur seperti fasilitas pejalan kaki, terminal, dan halte bus, bersamaan dengan keselamatan jalan dan langkah pengendalian kemacetan. Restrukturisasi pendapatan daerah untuk meningkatkan kontribusi property-related taxes (pajak terkait properti) dan mengurangi ketergantungan pada vehicle-related taxes (pajak terkait kendaraan) harus menjadi prioritas jangka panjang. Bisa diadakan juga pembiayaan hibah bersaing (competitive grants) untuk transportasi yang berkelanjutan yang memberi penghargaan kota-kota yang berkomitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah perlu mengembangkan skema penjaminan risiko bagi prakarsa sektor swasta di sektor transportasi. Bank Pembangunan Daerah harus didorong untuk memanfaatkan simpanan yang tidak hanya untuk menyalurkan pinjaman konsumsi (misalnya untuk sepeda motor dan mobil), tetapi juga untuk jenis pinjaman yang mendorong pembangunan infrastruktur lokal.
Menggerakkan Orang di Jakarta
MENGELOLA PEMBIAYAAN TRANSPORTASI PERKOTAAN: TANTANGAN BAGI PEMIMPIN DAERAH Para pemimpin daerah berada di bawah tekanan untuk membiayai berbagai program infrastruktur dan untuk meningkatkan pelayanan kota. Kendala di sektor transportasi perkotaan dan ketersediaan pendanaan Pemerintah Pusat berarti Pemerintah Daerah perlu mencari cara-cara inovatif untuk mendanai program transportasinya. Oleh Danang Parikesit
Transportasi merupakan sektor pembangunan yang sering mendapat sorotan dari media dan analis dari para pakar. Dari kota besar hingga kota kecil, isu transportasi terusmenerus muncul dan masyarakat memberikan tekanan besar bagi pemimpin daerah (Pemda) untuk merespon. Sejalan dengan meningkatnya ketersediaan informasi, dan SDM pemerintah yang lebih terlatih (dengan dibukanya program S2 transportasi di berbagai universitas dalam 10–15 tahun terakhir); walikota, bupati, dan gubernur seharusnya memiliki wawasan yang cukup untuk mulai menyusun kebijakan dan program di bidang infrastruktur. Organisasi profesi seperti Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI, Indonesia Transportation Society), dan komunitas pengguna transportasi dapat memberi dukungan
kepada pemerintah dalam mengidentifikasi isu kebijakan dan menyusun rencana aksi yang diperlukan. Sebagian besar kota besar dan kota kecil telah memiliki Tataran Transportasi Wilayah (Tatrawil) dan Tataran Transportasi Lokal (Tatralok) sebagai dokumen pedoman transportasi umum di tingkat provinsi/daerah. Melalui regulasi daerah, sebagian Pemda menjadikan dokumen tersebut sebagai dasar hukum dalam merencanakan program atau kegiatan; sementara sebagian lagi menjadikannya sebagai acuan. Ini merupakan kemajuan yang signifikan pasca reformasi 1998. Dengan berbagai revisi UU desentralisasi dan terbitnya PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, sekarang menjadi jelas bagaimana Pemda harus mengelola dan mendanai program daerah.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
93
94
Mengelola Pembiayaan Transportasi Perkotaan: Tantangan bagi Pemimpin Daerah
Melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Pemerintah Pusat telah memberi dukungan kepada kajian Tatrawil dan Tatralok, serta telah mengalokasikan hibah untuk bus umum bagi kota-kota tertentu. Program Kemenhub mendorong strategi-strategi transportasi perkotaan seperti Trans Jogja, Trans Musi, Trans Kawanua dan “Trans” lainnya. Kesuksesan TransJakarta telah menginspirasi kebangkitan transportasi umum di area perkotaan. Beberapa dari program ini mengalami hambatan birokrasi dan sebagian lain tidak terencana dengan baik, sehingga masyarakat tidak menggunakannya secara penuh. Meski demikian, program ini jelas menunjukkan dukungan masyarakat terhadap alokasi anggaran oleh DPR/DPRD bagi program transportasi perkotaan. Konsep kewajiban pemerintah dalam penyelenggaraan transportasi umum telah mengakibatkan Pemda yang memiliki program “Trans” mengalokasikan 2–3 persen dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) mereka untuk subsidi operasional transportasi perkotaan.
(BSTP) pernah memperkirakan bahwa kebutuhan anggaran transportasi perkotaan di Indonesia setidaknya empat kali lebih besar dari rencana yang disusun Kemenhub saat ini. Sebagian besar Dinas Perhubungan menyusun anggaran di bawah kebutuhan sebenarnya karena menyadari bahwa keterbatasan dana akan menjadikannya tidak mungkin bagi DPRD untuk mengalokasikan anggaran yang cukup bagi sektor ini.
Kajian survei belanja publik oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa sektor infrastruktur memperoleh alokasi dana sebesar 5–7 persen dari APBD. Sekitar3–5 persen digunakan untuk mendanai sektor jalan raya. Transportasi umum memperoleh bagian yang lebih kecil. Jelas, daerah memiliki insentif kuat untuk mendorong kepemilikan kendaraan, daripada menekan pertumbuhan tersebut demi transportasi umum.
Pemerintah Yogyakarta telah memutuskan untuk membangun Terminal Tipe A dengan pendekatan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), yang memungkinkan sektor swasta untuk mengelola terminal dan bangunan komersial yang ada di dalam area terminal dalam bentuk konsesi Build, Operate, and Transfer (BOT). Gedung terminal dibangun dengan biaya yang lebih murah dibandingkan perkiraan pemerintah (OE, owner estimate) dan dengan produktivitas yang lebih tinggi. Pemegang konsesi tersebut sukses membangun infrastruktur, namun sayangnya mengalami kerugian finansial. Pihak Pemda dan sektor swasta gagal mengelola risiko pengurangan pendapatan karena kebijakan pemerintah lainnya yang berada di luar kendali mereka.
Tidak mudah untuk bisa merespon tantangan ini. Belanja pembangunan untuk sektor transportasi sangat kecil dan seringkali menerima tekanan kebutuhan sektor prioritas lain yang juga memerlukan pendanaan. Sementara itu, sumber utama dari pendanaan pembangunan masih dibebankan pada Dana Alokasi Umum (DAU), yang berfokus pada belanja rutin pegawai dan pelayanan pemerintahan, serta Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kebutuhan spesifik. Saat ini, DAK infrastruktur hanya digunakan untuk sektor jalan Sepertinya DAK untuk transportasi perkotaan, yang digagas Kemenhub di tahun 2008–2009, akan mengalami kemajuan dalam waktu dekat. Mengenai kebutuhan belanja pembangunan, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL)/Bina Sistem Transportasi Perkotaan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Beberapa daerah seperti Yogyakarta, dan tentu saja Jakarta, melakukan inovasi untuk berusaha melibatkan pihak swasta untuk turut menanggung biaya infrastruktur dan layanan transportasi umum. Pemerintah Yogyakarta telah mengundang sektor swasta untuk mendanai pembangunan Terminal Giwangan di bagian selatan Yogyakarta, sementara Pemerintah DKI Jakarta mengizinkan inisiatif sektor swasta untuk membangun dua koridor monorel di tengah pusat bisnis Jakarta.
Membangun Terminal dan Monorel
PT Jakarta Monorail (JM) belum lama ini mulai kembali berinvestasi setelah bertahun-tahun terhenti. Dengan bekerjasama dengan investor baru, yaitu ORTUS, JM dapat merancang ulang pengelolaan pendapatan perusahaan karena dengan izin baru, perusahaan tidak lagi harus menjamin angka minimum pendapatan penumpang, seperti keharusan di perjanjian awal. Perusahaan mengakui bahwa pendapatan tarif tidak akan menutup biaya investasi, pemeliharaan, serta modal yang dikeluarkan. JM akan
Menggerakkan Orang di Jakarta
Pengeluaran yang sangat besar diperlukan untuk sepenuhnya merasionalisasi sistem transportasi umum di Jakarta. Pemandangan di dekat terminal bus ini menunjukkan beberapa moda transportasi yang diandalkan oleh warga saat ini, termasuk sepeda motor, bemo, bajaj, Kopaja, dan ojek.
Atas perkenan Annetly Ngabito
Prakarsa Compendium | Jilid 3
95
96
Mengelola Pembiayaan Transportasi Perkotaan: Tantangan bagi Pemimpin Daerah
memanfaatkan area stasiun sebagai properti komersial, yang diharapkan memberi pendapatan lebih besar dibandingkan pendapatan dari penumpang. Semangat kewirausahaan investor ini patut diapresiasi, karena sektor swasta tidak memperoleh jaminan apapun dari pemerintah. Pemerintah DKI Jakarta dan masyarakat Jakarta telah menunggu 24 tahun untuk dimulainya pembangunan Mass Rapid Transit (MRT). Diperkirakan MRT Jakarta akan menjadi sistem perkeretaapian perkotaan termahal di dunia. Meskipun Pemerintah Indonesia, dalam kasus ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), secara hukum yang memiliki kewajiban pembayaran pinjaman lunak ke Pemerintah Jepang, Pemprov DKI Jakarta berkewajiban membayarkan 51 persen pinjaman ke pemerintah pusat. Meski pemerintah DKI Jakarta terlihat tidak memiliki risiko, namun sebenarnya mereka harus menanggung subsidi apabila tarif dikendalikan oleh pemerintah dan DPRD.
Pendesentralisasian Pendanaan
Pengawasan belanja sektor publik merupakan intervensi kebijakan yang penting. Saya termasuk yang percaya bahwa penguatan Pemda dalam perencanaan dan implementasi pembangunan, termasuk di sektor transportasi, harus disertai dengan alokasi pendanaan yang memadai dan sesuai. Terbukanya ruang fiskal yang diperoleh karena pengurangan subsidi BBM pada bulan Juli 2013 seharusnya menjadi momentum untuk mendorong desentralisasi fiskal di sektor transportasi. Pemerintah Pusat, sesuai dengan tanggung jawab yang dimilikinya, harus lebih berfokus pada penyusunan pedoman kebijakan dan penerapan untuk transportasi perkotaan. Program hibah bus daerah harus tuntas disertai dengan peningkatan kapasitas daerah untuk menambah armada transportasi melalui investasi sektor swasta. Desentralisasi dana untuk transportasi perkotaan akan menjadi instrumen untuk memperkuat kapasitas Pemda untuk membiayai sendiri program-programnya, tidak lagi tergantung pada alokasi dana pada Kemenhub, yang memiliki banyak prioritas lain. Pengurangan belanja pegawai melalui alih daya dan pembukaan celah fiskal baru harus menjadi tugas Pemda,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
disertai dengan aturan fiskal oleh Kemenkeu. Upaya untuk membatasi belanja pegawai dan perjalanan dinas hingga maksimal 50 persen dari APBD (saat ini sekitar 60–70 persen dari APBD) harus didukung. Apabila fleksibilitas anggaran ini diperoleh, maka angka 5–15 persen anggaran APBD untuk sektor transportasi akan memberikan ruang gerak untuk transportasi yang lebih inovatif bagi dinas perhubungan dan dinas pekerjaan umum untuk mendanai infrastruktur seperti fasilitas pejalan kaki, terminal, dan lebih banyak halte bus yang modern dan terpelihara. Jumlah yang telah ditingkatkan juga dapat diinvestasikan dalam manajemen keselamatan jalan raya yang lebih baik, termasuk untuk Area Traffic Control Schemes (ATCS), dan kamera pemantau untuk pengelolaan kemacetan yang lebih responsif. Restrukturisasi pendapatan daerah untuk menaikkan kontribusi property-related taxes (pajak terkait properti) dan mengurangi ketergantungan pada "vehicle-related taxes" (pajak terkait kendaraan) harus menjadi prioritas jangka panjang. Secara umum, di Indonesia rasio kedua jenis pajak tersebut adalah 30:70 persen – angka yang cukup berbeda dengan negara-negara maju lain yang mendukung Pemda untuk mengembangkan area baru, melakukan revitalisasi bagian kota yang lebih tua, serta integrasi pembangunan permukiman, perkantoran, dan transportasi. Semakin banyak pendapatan daerah berasal dari pajak properti maupun value capture tax (pajak nilai terkait fasilitas infrastruktur suatu wilayah), seperti di Jepang, Pemda akan semakin bersemangat membangun area yang menguntungkan secara komersial dan secara lingkungan merupakan kota yang liveable (layak untuk ditinggali). Salah satu pemikiran saat ini adalah pemberian pembiayaan hibah bersaing (competitive grants) untuk transportasi yang berkelanjutan. Dengan diperkenalkannya program “mendukung Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMA)” yang didanai Jerman dan Inggris Raya bagi beberapa kota di Indonesia, seharusnya konsep ini bisa menjadi contoh alokasi hibah daerah di masa depan. Program-program ini dapat digabung dengan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) lainnya, didorong oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Menggerakkan Orang di Jakarta
Rakyat. Sudah saatnya kita mendorong kota-kota untuk menunjukkan semangat terhadap isu keberlanjutan untuk melakukan inovasi, dan memberi penghargaan berupa hibah dari Pemerintah Pusat. Belajar dari manajemen risiko dari proyek KPS yang didokumentasikan oleh Dana Penjaminan Infrastruktur Indonesia (IIGF, Indonesian Infrastructure Guarantee Fund), pemerintah perlu mengembangkan skema penjaminan risiko bagi prakarsa sektor swasta di sektor transportasi. Di masa depan, sektor ini dapat menarik sektor swasta untuk ikut mendanai proyek yang dapat mendorong peningkatan mobilitas. Perjanjian konsesi yang lebih adil, sistem tarif yang mencerminkan daya beli konsumen, insentif pengelolaan properti untuk memitigasi risiko pendapatan, dan proses perolehan lahan yang masuk akal merupakan faktor-faktor yang mendorong lebih banyak kesempatan bagi KPS.
Tentang Penulis: Prof. Dr. Danang Parikesit adalah guru besar transportasi, Universitas Gadjah Mada, dan merupakan Kepala Masyarakat Transportasi Indonesia. Sejak 2010 ia bekerja sebagai penasihat kebijakan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ia juga menjabat Kepala The International Forum for Rural Transport and Development, sebuah organisasi non-pemerintah pembangunan internasional yang berbasis di Inggris Raya. Ia juga Anggota Dewan (Board of Directors) The Eastern Asia Society for Transport Studies, yang merupakan masyarakat akademis yang berbasis di Jepang dengan sasaran mendorong teori ilmiah dan pendekatan baru untuk sistem transportasi Asia. Ia sedang menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Prakarsa Infrastruktur Indonesia.
Mendorong Pembiayaan yang Kreatif
Sektor keuangan dan perbankan telah berekspansi dengan sangat baik di Indonesia. Beberapa bank pembangunan daerah juga dapat memberikan kredit investasi. Mereka harus didorong untuk memanfaatkan simpanan tidak hanya untuk pinjaman konsumsi (misalnya untuk sepeda motor dan mobil), tetapi juga untuk jenis pinjaman yang mendorong pembangunan infrastruktur lokal. Obligasi daerah merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan yang berpotensi, meski masih diperlukan kehati-hatian (prudence) untuk menghindari malpraktik seperti yang dialami beberapa negara Amerika Latin. Skema pembiayaan yang telah ada dengan menggunakan fasilitas Pusat Investasi Pemerintah (PIP) juga perlu disosialisasikan karena memiliki tingkat bunga menarik dan mendukung daerah memiliki laporan keuangan yang dapat diandalkan. Diperlukan optimisme dalam mengembangkan kapabilitas pembiayaan untuk program transportasi di masa depan. Tanpa keyakinan tersebut, akan sulit mencapai sistem transportasi yang akan mendorong kesejahteraan rakyat. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
97
98
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
PEMBIAYAAN SANITASI
Persoalan
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memenuhi Sasaran Pembangunan Milenium di bidang sanitasi. Namun, ini ternyata merupakan sasaran yang sulit dicapai meskipun Pemerintah Indonesia sudah menetapkan anggaran untuk sanitasi yang semakin tinggi. Sejumlah faktor menghalangi tercapainya sasaran ini. Alasan yang paling jelas terungkap adalah kurangnya keterlibatan yang signifikan dari Pemerintah Daerah untuk berinvestasi di bidang infrastruktur sanitasi. Kurangnya keterlibatan ini merupakan kegagalan besar karena sanitasi sudah merupakan tanggung jawab wajib Pemerintah Daerah sejak dikeluarkannya UU otonomi daerah tahun 1999 dan 2004, lebih dari satu dekade yang lalu. Di mana letak kesalahannya?
Pencapaian Sasaran Pembangunan Milenium dan sasaran lainnya terhambat karena tidak adanya keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda). Mekanisme pendanaan non-inklusif merupakan satu faktor ketidakpedulian Pemda terhadap investasi. Bukti mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah bukan memilih untuk tidak melibatkan diri, tetapi karena mekanisme pembiayaan yang non-inklusif di sektor tersebut. Hasil observasi yang sama dapat diamati dalam fungsi-fungsi lain yang didesentralisasi, pekerjaan umum, kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah Daerah mengatakan bahwa mereka ditugaskan tanpa diberi sarana untuk melaksanakannya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Betulkah ini? Jika kita bandingkan anggaran kementerian untuk sanitasi, maka jumlah anggaran tersebut delapan hingga sepuluh kali lebih besar daripada dana yang disediakan secara langsung kepada Pemerintah Daerah melalui DAK. Mengingat penyediaan sanitasi merupakan fungsi wajib Pemerintah Daerah, kelihatannya dana tidak mengikuti fungsi sehingga Pemerintah Daerah barangkali mempunyai dasar untuk mengajukan gugatan. Bagaimana Pemerintah sampai pada sistem pendanaan seperti ini?
Kurangnya komitmen Pemerintah terhadap pendanaan saluran pembuangan air limbah yang telah berlangsung lama mengakibatkan terjadinya ketertinggalan parah.
Apa yang Terjadi Selama Ini?
Secara historis, Pemerintah selama ini mengandalkan rumah tangga untuk menyediakan fasilitas sanitasi sendiri. Ini merupakan pendekatan yang dapat diterima ketika kepadatan penduduk perkotaan masih rendah. Sayangnya, investasi untuk infrastruktur saluran pembuangan air limbah kota semakin ditunda karena cara penyediaan fasilitas oleh perorangan lebih disukai selama 25 tahun terakhir. Akibatnya, hanya 11 di antara 500 Pemerintah Daerah yang menyediakan saluran pembuangan air limbah perkotaan. Tingkat cakupan layanan ini kurang dari satu persen dari jumlah penduduk perkotaan dan menempatkan Indonesia pada peringkat kedua terakhir pada skala indeks layanan negara-negara Asia Tenggara. Belum lama ini, Pemerintah
Menggerakkan Orang di Jakarta
mengumumkan kebijakan yang lebih agresif menerapkan investasi saluran pembuangan air limbah kota, terutama melalui pembiayaan dari luar. Ini merupakan bagian dari program untuk mempercepat pembangunan sanitasi, atau Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Tujuannya adalah pembangunan fasilitas saluran pembuangan air limbah kota baru di lima Pemerintah Daerah. Program-progam sedang dipersiapkan untuk pinjaman eksternal dari JICA untuk membangun saluran pembuangan air limbah di Jakarta dan untuk ADB di empat kota lain di Indonesia. Namun, kapasitas pendanaan Pemerintah Daerah untuk berkontribusi pada investasi tersebut merupakan kendala utama dalam menentukan ukuran skema yang diusulkan. Secara sederhana, Pemerintah Daerah tidak memiliki anggaran untuk mendukung investasi tersebut. Rencana PPSP yang digelar diperkirakan memerlukan total investasi sebesar USD 7 miliar selama periode lima tahun 2010–2014. Ini adalah investasi sekitar USD 1,4 miliar setiap tahun. Apakah pemerintah sanggup mendanainya?
Pendanaan untuk saluran pembuangan air limbah mensyaratkan adanya komitmen dari Pemda, namun hingga kini tidak kunjung ada dalam lingkup yang signifikan.
Adakah Cara untuk Maju?
Pemerintah, dengan mengumumkan sebuah rencana yang lebih agresif untuk mencapai sasaran sanitasi, menaikkan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sekitar 100% untuk masa pembangunan lima tahun periode 2010–2014. Besarnya anggaran ini sekitar A$ 380 juta per tahun. Sebagai perbandingan, Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk sanitasi kepada semua Pemerintah Daerah berjumlah A$ 45 juta setahun. Dua hal seketika menjadi jelas: pertama, total pendanaan yang diidentifikasi jauh di bawah yang diperlukan; dan kedua, diharapkan bahwa pendanaan langsung kepada Pemerintah Daerah untuk fungsi layanan kota seharusnya lebih tinggi daripada pendanaan pusat.
Alokasi anggaran pusat maupun daerah untuk fungsi-fungsi lokal tidak sesuai. Perolehan manfaat yang lebih besar dapat dicapai melalui hibah langsung, dibandingkan dengan pendanaan pusat yang justru memberikan dampak sebaliknya.
Kenyataannya, UU otonomi daerah dan perimbangan keuangan mensyaratkan adanya devolusi pendanaan yang progresif dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Ini tidak terjadi. Akuntabilitas dan transparansi yang rendah dalam penggunaan DAK dikemukakan sebagai salah satu alasan kelambanan transisi ini. Khususnya, kementeriankementerian sektoral paling vokal dalam mengkritik kinerja DAK yang rendah. Akibatnya, Pemerintah Pusat lamban dalam menyalurkan dana langsung kepada Pemerintah Daerah, dan lebih memilih untuk menggunakan jalur Tugas Pembantuan (TP) di mana kementerian “mendukung” Pemerintah Daerah untuk mendanai fungsi wajib mereka. Meski demikian, berlawanan dengan pandangan ini, analisis yang baru dilakukan atas pembelanjaan untuk infrastruktur menunjukkan bahwa, meski kurang terdapat transparansi dan akuntabilitas, DAK berpengaruh dalam menghasilkan lebih banyak dana dari Pemerintah Daerah dibandingkan dengan TP. Bahkan, ternyata TP menghasilkan efek substitusi. Ini berarti bahwa untuk setiap unit pendanaan TP, Pemerintah Daerah mengurangi pendanaannya sendiri sebesar separuh unit. Meski tidak sempurna, setidaknya DAK dapat menghasilkan sepuluh persen dari Pemerintah Daerah.
Pendanaan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) lebih baik daripada pendanaan dari pusat, tetapi tidak sebaik program Hibah untuk mendapatkan dana tambahan dari Pemerintah Daerah. Peningkatan mekanisme DAK merupakan salah satu solusi. Yang lain adalah menerapkan program Hibah secara lebih luas. Jelas, meningkatkan kinerja pendanaan DAK akan menghasilkan kenaikan bersih pendanaan Pemerintah Daerah. Bank Dunia mendukung prakarsa seperti ini melalui Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (Local Government and Decentralization Project). Pilihan yang lebih baik lagi mungkin adalah mencari mekanisme hibah lain yang dimungkinkan oleh peraturan baru, yang meningkatkan akuntabilitas dan pengaruh. Ini merupakan Hibah yang telah diterapkan dalam format uji-coba selama Fase 1 IndII dan yang ditingkatkan skalanya dalam tahap kedua IndII.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
99
100
Uraian Kegiatan
Apa yang Berbeda dengan Hibah?
Hibah adalah penyediaan dana kepada Pemerintah Daerah yang diberikan melalui perjanjian hibah yang mengikat secara hukum antara kepala Pemerintah Daerah dan Menteri Keuangan. Perjanjian Hibah ini merinci apa yang wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan dana hibah tersebut, bagaimana metode verifikasi pekerjaan, dan cara pembayaran dana tersebut. Mekanisme ini berguna untuk modalitas berbasis hasil yang menambahkan lapisan akuntabilitas pada proses tersebut. Sebagai perbandingan, sekali alokasi DAK ditetapkan oleh DPR, dana tersebut menjadi hak anggaran Pemerintah Daerah dengan sedikit kemungkinan untuk dilakukan intervensi dan pengkajian oleh Pemerintah Pusat. Pada Fase 1 IndII, Program Hibah Air Minum dan Sanitasi diperkirakan telah menghasilkan sekitar 60% hibah tersebut sebagai kontribusi dari Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat secara luas mengakui tingkat efisiensinya. Peningkatan skala Hibah dalam Fase 2 IndII mencakup sasaran tata kelola pemerintahan dan keterkaitan kinerja pada program Pemerintah Indonesia lainnya untuk meningkatkan dampak dan penetrasi Hibah tersebut. Langkah logis selanjutnya adalah bagi Pemerintah untuk mengakomodasikan mekanisme Hibah ke dalam arus utama pembiayaan dan menautkannya pada peningkatan kinerja Pemerintah Daerah.
Hibah merupakan mekanisme pendanaan yang mengikat secara hukum, akuntabel, dan transparan. Mengarusutamakan Hibah adalah langkah lanjutan yang logis.
Pengarusutamaan – Langkah-Langkah Selanjutnya
Pada awal lembar informasi ini, kita mengkaji kendala dalam mencapai sasaran sanitasi dengan mengidentifikasi kelemahan pada mekanisme pendanaan. Penerapan infrastruktur Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat berperan sebagai pembiayaan pengganti, yang mengurangi tingkat komitmen Pemerintah Daerah. Pembiayaan hibah kepada Pemerintah Daerah melalui program Hibah, menghasilkan timbulnya dana, yang meningkatkan tingkat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
komitmen mereka. Mencapai tujuan Sasaran Pembangunan Milenium dan PPSP menuntut adanya komitmen yang lebih besar dari Pemerintah Daerah. Dalam Pemerintah mungkin ada perbedaan pendapat mengenai kesiapan penggunaan dana APBN untuk Hibah dengan berbagai alasan teknis. Namun, apa yang tersurat dan tersirat dalam perundangundangan otonomi daerah adalah untuk melakukan devolusi terhadap pendanaan TP yang berkesinambungan kepada Pemerintah Daerah. Langkah pertama untuk mencapai tujuan ini barangkali adalah mengalokasikan sebagian dari dana pinjaman untuk saluran pembuangan air limbah dari pinjaman yang diberikan JICA dan ADB yang akan datang melalui jalur Hibah. Ini sudah dilakukan untuk pinjaman infrastruktur lain, termasuk pinjaman untuk pembangunan MRT di DKI dan pinjaman Irigasi dari Bank Dunia. Langkah semacam itu akan menghasilkan pendanaan Pemerintah Daerah yang lebih besar, yang dapat mengatasi tidak adanya komitmen dan keterlibatan Pemerintah Daerah saat ini.
Langkah pertama yang barangkali dapat dilakukan adalah memberlakukan dana pinjaman pada Hibah. Ini telah dilakukan untuk pinjaman infrastruktur lain.
Manfaat Jangka Panjang Selanjutnya
Keterlibatan Pemerintah Daerah yang lebih besar akan menghasilkan lebih banyak layanan sanitasi yang berkelanjutan. Di bawah pendanaan Hibah, Pemerintah Daerah akan memperoleh hak milik atas aset dan memegang tanggung jawab tunggal untuk memelihara dan merawat aset-aset tersebut sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku. Infrastruktur yang dibangun berdasarkan pendanaan TP dialihkan pada Pemerintah Daerah untuk mereka gunakan. Mengingat hak kepemilikannya tetap berada pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah tidak berada di bawah tekanan untuk memeliharanya. Bahkan sebaliknya, terdapat insentif buruk untuk menghemat uang dan membiarkan nilai infrastruktur tersebut turun, mengingat adanya bukti historis bahwa ada kemungkinan Pemerintah Pusat akan menggantikannya. Beban pemeliharaan, pembaruan, dan penggantian menjadi
Menggerakkan Orang di Jakarta
semakin penting seiring dengan berakumulasinya aset infrastruktur. Apabila aset infrastruktur akan bertambah dan bertumbuh untuk memenuhi sasaran layanan sanitasi yang diproyeksikan, para penerima manfaat dan operator aset harus memikul tanggung jawab hak kepemilikannya. Mekanisme Hibah akan sekaligus mengikat Pemerintah Daerah pada kewajiban hukum untuk memelihara aset dan tingkat layanan, lama setelah dana hibah dicairkan. Insentif jangka panjang selanjutnya dapat dihasilkan dengan menautkan Hibah pada pencapaian standar layanan minimum sebagaimana ditetapkan dalam PP no. 65/2005 tentang fungsi wajib Pemerintah Daerah, dan penilaiannya dilakukan melalui PP no. 6/2008 yang menguraikan cara melakukan mengevaluasi kinerja Pemerintah Daerah dalam mencapai standar layanan minimum.
Seiring dengan berakumulasinya aset, beban pemeliharaan, pembaruan, dan penggantian aset melampaui biaya untuk aset baru. Penting adanya kejelasan kepemilikan dan tanggung jawab atas aset yang diinvestasikan seiring berjalannya waktu untuk mempertahankan manfaatnya secara jangka panjang. — Jim Coucouvinis, Direktur Teknis Program Air Minum dan Sanitasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
101
102
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
MENINGKATKAN LAYANAN TRANSPORTASI DENGAN MEMPERHATIKAN PERBEDAAN GENDER: MENGAPA, APA, DAN BAGAIMANA Mengapa Perlu Mempertimbangkan Perbedaan Gender dan Transportasi?
Transportasi berkontribusi terhadap kualitas hidup seorang individu dengan memungkinkan adanya akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Ini akan berakibat pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Setiap orang menginginkan sistem transportasi berkualitas tinggi yang memaksimalkan efektifitas, efisiensi, dan keberlanjutan. Namun, untuk membangun sistem ini, perencana dan operator harus responsif terhadap kebutuhan konsumen mereka. Sementara transportasi dilihat sebagai hal yang netral gender – sebagai sesuatu yang memberikan keuntungan yang sama bagi setiap orang – kajian yang dilakukan baik di negara berkembang maupun negara maju menunjukkan bahwa, jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan mempunyai kebutuhan transportasi yang jauh lebih kompleks yang harus diatasi. Diperlukan respon yang inovatif dan dipertimbangkan dengan baik dan yang mengembangkan sistem transportasi menarik yang dapat dinikmati oleh baik perempuan maupun laki-laki.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Infrastruktur dan layanan transportasi yang efisien, efektif, dan berkelanjutan adalah infrastruktur dan layanan yang memberikan respon terhadap kebutuhan yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki.
Apa Perbedaan Gender Dalam Penggunaan Layanan Transportasi?
Perempuan lebih banyak membuat perjalanan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dan mempunyai pola perjalanan yang jelas berbeda jika dibandingkan dengan laki-laki karena perbedaan tanggung jawab mereka. Jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memainkan berbagai peran sebagai penghasil pendapatan, pengelola serta pengasuh dalam rumah tangga, dan juga peran dalam masyarakat. Mereka juga mungkin membawa banyak barang atau bepergian dengan anak kecil atau saudara yang berusia lanjut. Perempuan mempunyai kemungkinan lebih banyak melakukan perjalanan yang pendek dan lebih sering, serta cenderung bepergian ke berbagai tempat sepanjang hari. Beberapa perempuan bekerja sampai larut malam atau
Menggerakkan Orang di Jakarta
pada dini hari, misalnya dengan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga dan perawat. Mereka mempunyai lebih banyak kemungkinan, dibandingkan dengan laki-laki, untuk melakukan “perjalanan berantai” yang kompleks, misalnya, mereka pergi dari tempat kerja ke tempat perbelanjaan, kemudian ke rumah orang tua mereka, sebelum akhirnya pulang ke rumah mereka sendiri. Pola perjalanan seperti ini berarti bahwa perempuan memerlukan fleksibilitas dalam waktu dan trayek layanan transportasi yang tersedia. Pengaruh lain terhadap pola perjalanan adalah kepemilikan dan penggunaan kendaraan. Laki-laki lebih mungkin memiliki sepeda motor atau mobil yang mereka gunakan untuk bepergian, dibandingkan perempuan yang sangat bergantung pada layanan transportasi umum untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka.
Perempuan mempunyai kebutuhan akan transportasi yang jauh lebih kompleks daripada laki-laki karena perjalanan yang berhubungan dengan rumah tangga, sosial, dan yang terkait dengan pekerjaannya; dan mereka lebih bergantung kepada transportasi umum untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jika dibandingkan dengan perempuan, kebutuhan lakilaki akan transportasi lebih sederhana, dan lebih kecil kemungkinannya melibatkan “perjalanan berantai”. Kebutuhan laki-laki lebih banyak terkait pekerjaan, dan lebih sering menggunakan kendaraan milik sendiri.
Apa yang Diinginkan Kaum Perempuan Dalam Bidang Transportasi?
Hanya terdapat sedikit penelitian mengenai gender dan transportasi untuk lingkungan perkotaan dan perdesaan di Indonesia. Ini merupakan jurang lebar yang perlu dijembatani. Meski demikian, penelitian yang dilakukan di negara lain dan informasi yang diberikan oleh sumber lain di Indonesia, seperti misalnya media, memberikan arahan kepada berbagai bidang yang menjadi perhatian perempuan:
Terdapat kekurangan data mengenai kebutuhan dan pertimbangan khusus perempuan Indonesia akan transportasi. Keamanan dan keselamatan; kecukupan ruang; pertimbangan atas keterbatasan karena ukuran tubuh perempuan yang lebih kecil; trayek, waktu, dan frekuensi pelayanan; kenyamanan – terutama bagi perempuan hamil dan perempuan yang
membawa anak kecil; keterjangkauan; dan peluang untuk bekerja merupakan pertimbangan penting bagi perempuan. • Perempuan mengapresiasi upaya untuk menjamin keselamatan dan keamanan serta melindungi mereka dari pelecehan, seperti misalnya penyediaan penerangan, adanya hubungan dengan transportasi pengumpan (feeder) sehingga mereka tidak perlu berjalan kaki jauh, dan fasilitas seperti halte yang terbuka, tidak tertutup. Salah satu fitur yang disukai perempuan dari halte Proyek Peningkatan Bus (BIP, Bus Improvement Project) IndII adalah desainnya yang terbuka, sehingga orang lain dapat melihat apa yang terjadi di halte. Perempuan kurang ingin menggunakan layanan transportasi yang mereka rasa akan dapat membuat dirinya terekspos pada situasi yang membahayakan, dan mungkin akan menghindari bepergian atau mencari alternatif yang kurang efisien atau lebih mahal. Aspek keselamatan yang menjadi pertimbangan antara lain meliputi langkah-langkah seperti adanya pegangan tangan (handrails), lantai dengan permukaan yang tidak licin, dan penanda yang dapat dirasakan (tactile markings) untuk menjamin bahwa perempuan hamil, mereka yang berusia lanjut, perempuan yang membawa beban berat, atau perempuan yang membawa anak kecil, tidak terjatuh. • Jarak antara perempuan dan laki-laki merupakan persoalan penting bagi perempuan. Bus, kereta api, dan bahkan tangga penghubung (gangplank) yang penuh-sesak, berarti laki-laki akan dapat merapat dan menyentuh/meraba-raba perempuan. • Fasilitas transportasi perlu mempertimbangkan ukuran tubuh perempuan yang lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan lebih sulit menaiki tangga yang tinggi dan jarak antara platform dengan bus, ketimbang laki-laki. Tempat duduk dan pegangan di atas penumpang ketinggiannya perlu disesuaikan dengan ukuran tubuh perempuan. • Trayek, waktu, dan frekuensi layanan perlu disesuaikan dengan pola bepergian perempuan yang berbeda, seperti misalnya menyediakan layanan rutin ke pertokoan, klinik kesehatan, sekolah, dan tempat kerja. Privatisasi transportasi umum dapat berakibat pada kurangnya minat untuk melayani trayek kurang menguntungkan yang menarik bagi perempuan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
103
104
Uraian Kegiatan
• Perempuan hamil dan perempuan yang membawa bayi dan anak kecil memerlukan fasilitas yang mudah untuk diakses dan menyediakan tempat duduk yang mencukupi dan nyaman. • Keterjangkauan perlu dipertimbangkan. Perempuan umumnya mempunyai lebih sedikit uang untuk digunakan dibanding laki-laki karena, rata-rata, mereka berada pada posisi pendapatan yang lebih rendah, atau hanya memiliki akses terhadap uang untuk kebutuhan rumah tangga saja. • Sistem transportasi menawarkan banyak peluang pekerjaan, namun sektor ini didominasi oleh laki-laki. Perempuan mungkin ragu-ragu melamar pekerjaan di bidang yang kurang lazim; namun dengan dukungan, mendapatkan pekerjaan di bidang transportasi akan memperluas pilihan kerja mereka.
Bagaimana Kementerian Perhubungan Mengarahkan Pencapaian Sasaran Itu?
Studi pelingkupan IndII mengenai Pengarusutamaan Gender mengidentifikasi sejumlah peluang berharga untuk meningkatkan cara isu gender ditangani oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Tiga langkah strategis yang dapat ditempuh adalah:
Perhatian yang efektif terhadap isu gender di Kemenhub memerlukan dukungan nyata yang jelas dari staf senior; pengumpulan dan analisis data untuk mengidentifikasi isu gender dalam transportasi; dan integrasi gender dalam dokumen kebijakan dan perencanaan dengan pembangunan kapasitas bagi staf terkait untuk mengimplementasikannya. • Dukungan nyata, yang ditingkatkan secara substansial, dari staf senior di Kemenhub untuk upaya dalam perencanaan dan implementasi serta kegiatan Pokja Pengarusutamaan Gender, sebagai contoh, dengan mengeluarkan instruksi dan surat resmi yang mengharuskan staf untuk mendukung prakarsa gender, serta menghadiri pertemuan dan lokakarya terkait gender.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• Mengumpulkan, terutama oleh Badan Litbang, data terpilah (disaggregated information) mengenai gender; analisis isu gender; serta penerapan temuan mereka dalam kebijakan transportasi, perencanaan, dan program. Ini termasuk menjamin konsumen dan organisasi perempuan memperoleh kesempatan untuk memberikan informasi, diadakan konsultasi terhadap kebutuhan mereka, dan berpartisipasi sebagai anggota dari forum transportasi atau kelompok konsumen manapun yang dibentuk. • Dokumen kebijakan dan perencanaan, seperti Renstra, yang mengintegrasikan isu gender untuk secara berarti membahas perbedaan kebutuhan dari kelompok laki-laki dan perempuan, disertai dengan dukungan pembangunan kapasitas kepada Pokja Pengarusutamaan Gender (PUG) dan staff lain yang terkait untuk memungkinkan mereka mengimplementasikannya. — Gaynor Dawson, Spesialis Gender
Menggerakkan Orang di Jakarta
105
KERJA KERAS UNTUK MENYEDIAKAN AIR MINUM DI KLATEN “Saya ingin kesejahteraan karyawan meningkat sampai 20 kali. Itu yang memacu saya untuk mencapai target dan tentu harus kerja keras.” Itulah pernyataan Ambar Muryati (48 tahun), Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dia telah bekerja di PDAM Klaten selama 29 tahun dengan memulai karirnya sebagai staf pembukuan secara manual. Dia juga aktif menjadi pengurus enam organisasi sosial maupun olahraga di Klaten dan di tingkat provinsi. Dia adalah mantan anggota Dewan Direksi Persatuan perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI). Tidak terlalu banyak perempuan yang memiliki posisi strategis di sektor infrastruktur, sektor yang selama ini didominasi laki-laki. Ambar adalah salah satunya. Prakarsa mewawancarai Ambar untuk menemukan inspirasi bagaimana kepemimpinan perempuan juga bisa membawa kemajuan yang berarti dan bahwa hubungan dengan masyarakat juga merupakan aspek yang penting bagi kemajuan PDAM.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
106
Kerja Keras untuk Menyediakan Air Minum di Klaten
Tidak banyak perempuan menjadi pemimpin di sektor infrastruktur seperti PDAM. Tentu ini menjadi prestasi menggembirakan. Tapi bagaimana Anda bisa menjadi seperti ini sekarang, bagaimana masa kecil Anda?
Pada masa kecil, saya hidup dalam lingkungan sosial di mana anak-anak perempuan tidak didorong memiliki cita-cita tinggi dan akses pendidikan yang tidak sebaik anak laki-laki. Namun demikian saya justru hidup dalam keluarga yang sangat disiplin. Orangtua saya menghendaki agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan tinggi, yang lebih baik dari mereka. Dari kecil saya punya cita-cita sangat tinggi dan berpikir bagaimana bisa meraih citacita itu. Orangtua saya miskin, tapi setiap anak didorong untuk bersekolah dan meraih prestasi. Kami juga terlibat dalam pekerjaan orangtua kami; bahkan sejak kelas 2 SD, saya sudah ikut bekerja mencari uang untuk biaya hidup keluarga dan sekolah. Saya bekerja menjadi buruh tani dan jualan makanan untuk mendapatkan uang biaya sekolah dan menabung.
Bagaimana pandangan Anda tentang kepemimpinan di PDAM di Klaten, apa yang dibutuhkan dan apa yang perlu dilakukan?
Secara umum kepemimpinan di PDAM sama dengan di institusi lainnya. Terlepas dari kelemahan dan kekuatan kepemimpinan seseorang, PDAM Klaten memang membutuhkan kepemimpinan yang bisa membawa perusahaan berkembang maju dan mampu mensejahterakan karyawannya. Menjadi pemimpin itu memang harus bisa memberikan inspirasi dan motivasi bagi anak buah untuk mengikuti arahannya. Selama bekerja di PDAM saya telah mengalami tiga kali pergantian direktur dan saya diajarkan banyak hal mengenai loyalitas dan dedikasi yang tinggi dalam membesarkan perusahaan. Saya juga terinspirasi untuk melakukan banyak hal ketika menghadapi situasi sulit. Pada intinya, saya belajar bagaimana pemimpin harus bekerja keras dan disiplin supaya dapat diikuti anak buahnya.
Apa visi anda dalam memimpin PDAM Klaten?
Sejalan dengan visi Kabupaten Klaten: untuk memberikan layanan air minum kelas satu dan menjadi perusahaan yang sehat secara keuangan dan mendiri – menjadi perusahaan yang sehat dengan mimpi-mimpi yang besar. PDAM bisa menjadi perusahaan yang memenuhi tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG). Saya ingin perusahaan ini besar dan mampu memberikan kepuasan kepada pelanggan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Prinsip-prinsip apa yang Anda yakini selama ini dalam bekerja dan memimpin perusahaan ini?
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Ada banyak hal yang saya yakini dan bersifat prinsipil dalam bekerja. Pertama, terbuka dan berpikir positif. Dua periode menjadi Direktur PDAM, saya berusaha menerapkan prinsip kepemimpinan yang inklusif, membangun hubungan yang dekat dengan semua pegawai dan bawahan. Terbuka terhadap kritik dan masukan sekaligus memberikan pengawasan langsung kepada bawahan tentang halhal yang sangat prioritas. Sehingga karyawan akan mempercayai para pemimpin mereka dan pada gilirannya akan sangat membantu perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang terbuka dan positif. Kedua, dorong disiplin dan kerja keras. Bagi saya memimpin perusahaan yang pernah mengalami masa suram membutuhkan kerja keras, disiplin. Juga perlu adanya komitmen untuk dapat diberi kepercayaan oleh pemerintah maupun oleh karyawannya. Dibutuhkan dedikasi dan loyalitas yang tinggi yang memungkinkan perusahaan berkembang dan mengalami kemajuan dengan cepat. Ketiga, lurus dan bertanggung jawab. Prinsip dalam hidup saya adalah bekerja dengan baik seperti yang diminta. Saya berusaha bekerja selaras dengan aturan dan tata tertib. Semua pekerjaan harus bisa dipertanggungjawabkan di manapun dan kapanpun. Sehingga salah satu prinsip corporate governance yaitu transparansi dapat tercapai.
Apa pendapat anda tentang perempuan bekerja di sektor infrastruktur?
Bagi saya perempuan dan laki-laki sama saja. Memang perempuan di manapun memiliki beban yang lebih karena perannya dalam mendidik anak-anak dan menjaga keluarga. Tapi bagi saya itu dua hal yang bisa dijalankan sekaligus. Beruntung saya punya suami yang mau berbagi dalam hal pengurusan rumah tangga. Dulu, waktu pekerjaan saya sangat banyak sampai harus lembur hingga malam di kantor, suami saya yang menjaga anak-anak. Keberadaan perempuan di sektor infrastruktur saya kira juga mulai banyak. Asalkan mau bekerja keras, jangan manja dan mau disiplin, kita bisa menjadi apa yang kita inginkan.
Bagaimana hubungan Anda dengan staf PDAM?
Saya menganggap staf atau karyawan sebagai teman dan itu bagi saya membuat hubungan kerja menjadi lebih nyaman dan tidak berjarak tetapi tetap profesional. Dengan menganggap mereka seperti teman saya bisa menggerakan mereka lebih fleksibel. Memberi motivasi untuk bekerja keras dan mencapai target lebih enak kalau disampaikan dalam suasana pertemanan.
Menggerakkan Orang di Jakarta
Atas perkenan Eleonora Bergita
Apa yang Anda lakukan untuk membangun jaringan dan berhubungan dengan dengan pihak luar?
Kunci utama dalam membangun jaringan adalah komunikasi dan lobby. Saya melihat bahwa PDAM harus mampu menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan berbagai pihak yang strategis termasuk dengan pemerintah, DPRD, Pemerintah Pusat dengan PDAM daerah lain, masyarakat bahkan dengan pihak donor.
Apa pandangan Anda tentang posisi masyarakat dalam program PDAM?
Hubungan kami dengan masyarakat merupakan bagian penting dalam strategi kami. Kemajuan perusahaan akan turut ditentukan oleh seberapa besar perhatian perusahaan dalam membangun hubungan baik dengan masyarakat dan calon pelanggan. Oleh karena itu kami
bekerja keras mengupayakan agar masyarakat berminat untuk menyambung saluran air minum.
Dengan bekerja keras, bagaimana capaiannya? Berapa sambungan rumah tangga sekarang?
Sekitar tujuh tahun yang lalu, jumlah sambungan air minum hanya 25.000 sambungan, kini telah mencapai 35.000 sambungan rumah tangga. Saya kira di tengah minat masyarakat yang masih rendah dan bahan baku air yang masih terbatas, capaian ini juga termasuk cukup signifikan.
Bagaimana Anda dan PDAM membangun hubungan dengan masyarakat?
Kami PDAM Klaten selalu menjaga reputasi kami di mata masyarakat dengan menunjukkan bukti produk dan layanan yang baik. Sehingga masyarakat memiliki ketertarikan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
107
108
Kerja Keras untuk Menyediakan Air Minum di Klaten
untuk menyambung. Banyak orang enggan menyambung hanya dengan mendengarkan penyuluhan atau sosialisasi, tapi mereka dengan cepat mengambil keputusan ketika melihat kualitas air minum dan layanan yang disediakan PDAM bagus.
Apa inovasi anda untuk mendorong managemen yang lebih baik?
Kami telah mengembangkan empat pendekatan untuk mendukung pencapaian ini:
Kami sedang melakukan inovasi-inovasi yang berorientasi pada peningkatan sistem produksi dan pelayanan PDAM. Pada dasarnya saya ingin sekali melakukan perubahan yang positif baik dari aspek manajemen dengan mengadopsi berbagai sistem yang dianggap efektif seperti pembayaran rekening dengan bekerjasama dengan kantor pos dan bank.
Pertama, menetapkan tarif wajar yang dapat dijangkau oleh masyarakat. PDAM tidak perlu mengambil keuntungan banyak dengan menaikkan tarif karena yang paling penting adalah jumlah pelanggan banyak dan berkelanjutan. Harga yang ditentukan terjangkau bagi masyarakat.
Manajemen sistem informasi juga sedang dikembangkan menggunakan basis IT yang memungkinkan informasi dapat diakses dan dipantau secara online baik dari aspek teknis maupun administratif. Namun demikian, upaya ini belum bisa direalisasikan karena SDM kami masih belum siap.
Kedua, pendekatan kepada tokoh masyarakat. Pendekatan ini akan menjembatani efektifitas program PDAM kepada masyarakat serta memudahkan PDAM menyelesaikan masalah jika terdapat pengaduan masyarakat. Kami mencoba mengidentifikasi seorang tokoh masyarakat di tiap desa yang bisa menjadi penghubung komunikasi antara PDAM dengan masyarakat.
Bagaimana Anda melihat tata kelola keuangan PDAM Klaten?
Ketiga, menawarkan layanan segera. Pelanggan yang memiliki keluhan harus segera direspon dan ditanggapi, kalaupun tidak bisa penanganan langsung yang penting mereka mendapatkan informasi tentang penanganannya. PDAM Klaten menerapkan prinsip bahwa pelanggan adalah raja, dan mereka harus mendapatkan pelayanan 24 jam. Keempat, memberikan bukti pada masyarakat mengenai produk PDAM yang berkualitas tinggi. Air minum PDAM seharusnya memiliki tekanan yang tinggi dengan kuantitas dan kualitasnya bagus. Layanan PDAM juga harus prima dan terjaga keberlanjutannya. Maka masyarakat akan mempercayai dan tertarik untuk menyambung air minum.
Bagaimana Anda mengelola SDM?
Meskipun dengan berbagai keterbatasan manajemen, kami berupaya membangun kapasitas SDM kami. Berbagai pelatihan yang diselenggarakan PDAM maupun tawaran dari pihak luar telah diikuti pegawai senior dan junior, namun sebagai perusahaan yang sedang bekerja keras menata diri, perubahan tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Saya akui juga bahwa masih banyak masalah pengelolaan SDM yang belum maksimal seperti delegasi kerja yang kurang merata. Namun demikian di masa depan kami akan menerapkan sistem punishment and rewards secara efektif. Penilaian sangat memuaskan dalam manajemen pengelolaan kepegawaian oleh tim AUDIT dari Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan kami jadikan sebagai pemicu untuk meningkatkan kinerja kami.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Pengelolaan keuangan di sini mendapatkan pengawasan yang ketat dan detail. Saya selalu mengecek dengan detail. Saya selalu berorientasi pada prinsip cost and benefit. Biaya yang dikeluarkan harus dalam pengelolaan yang efisien dan memberikan keuntungan yang maksimal namun tidak memberatkan pelanggan. Hasilnya kita bisa lihat dari penilaian audit bahwa pengelolaan keuangan kami juga menunjukkan efesiensi, wajar, dapat diterima dan bagus. Penagihan dan pembayaran juga dianggap baik.
Apa pesan anda terhadap para perempuan dan anak muda lainnya supaya bisa menjadi pemimpin yang baik?
Teruslah berkerja keras dan disiplin. Menjadi pribadi yang jujur dan ulet. Saya kira anak-anak muda sekarang jauh lebih punya kesempatan untuk maju karena banyak pilihan. Cita-cita yang baik pasti akan menemukan jalannya. — Wawancara ini dilakukan oleh Eko Setyo Utomo, Staf Gender IndII
Menggerakkan Orang di Jakarta
Menggerakkan Orang di Jakarta dalam angka Rp 1,4 triliun
9,9 juta 10 km Rp 400 miliar Rp 12,8 triliun/tahun Rp 1 juta
65%
Total biaya proyek jalur layang busway yang diusulkan, atau Koridor 12 TransJakarta, yang menghubungkan Ciledug dengan Blok M, berdasarkan perkiraan tahun 2013.
Jumlah mobil, sepeda motor, truk, dan kendaraan lainnya yang menjelajahi jalan raya di ibu kota pada setiap hari kerja, menurut Dinas Perhubungan Jakarta.
Rata-rata kecepatan kendaraan per jam di Jakarta di tahun 2013, turun dari 16,8 km di tahun 2012, menurut Dinas Perhubungan Jakarta.
Besaran dana yang dialokasikan oleh Pemerintah pada tahun 2014 untuk pengembangan moda transportasi massal bus rapid transit (BRT) di enam kota besar (Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, dan Makassar).
Biaya kemacetan lalu-lintas di Jakarta, menurut Kementerian Perhubungan.
Denda yang dikenakan pada pengendara mobil yang mengambil lajur bus TransJakarta.
Berdasarkan penelitian yang diadakan ADB 2011, persentase trotoar di Jakarta yang dilewati pejalan kaki yang sangat sedikit dimanfaatkan (dengan kata lain, pejalan kaki memilih menyeberang jalan sembarangan daripada menggunakan jembatan penyeberangan) disebabkan buruknya pemeliharaan, kurangnya kebersihan, tangga yang sulit dicapai, dan kurang terjaminnya keselamatan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
109
110
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI Pertanyaan: Bagaimana upaya lembaga Anda memberi kontribusi bagi tercapainya tujuan mobilitas perkotaan secara keseluruhan?
M. Akbar, MSc Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta “Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memiliki kebijakan untuk menunjang mobilitas perkotaan yang merupakan keberpihakan/prioritas terhadap sistem transportasi umum massal yang memadai dalam melayani kebutuhan perjalanan masyarakat, baik di Jakarta sendiri maupun antara Jakarta dengan daerah di sekitarnya (Jabodetabek). Arah kebijakan pembangunan transportasi DKI Jakarta hingga tahun 2020 tertuang dalam Pola Transportasi Makro (PTM), yang diimplementasikan melalui tiga strategi, yaitu: pengembangan transportasi umum massal, pembatasan lalu lintas, dan peningkatan kapasitas jaringan. Pengembangan transportasi umum massal meliputi pembangunan busway (BRT, Bus Rapid Transit), Light Rail Transit (LRT)/monorail, dan Mass Rapid Transit (MRT). Pengembangan keempat jenis transportasi ini, di bawah Dinas Perhubungan, diharapkan selesai pada tahun 2020. BRT (busway) telah beroperasi sejak tahun 2004, dan hingga saat ini telah beroperasi 12 koridor dari 15 koridor yang akan dibangun, dengan jumlah armada sebanyak 794 unit, dan akan ada penambahan sekitar 500 unit di tahun 2014. Untuk menunjang layanan busway, telah dilakukan penambahan bus berukuran sedang (Kopaja/ MetroMini) yang akan terintegrasi dengan busway yang dikenal dengan nama Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB). Untuk memberi pelayanan transportasi umum yang terpadu bagi daerah penyangga yang menuju Jakarta, telah dioperasikan Transportasi Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) pada tahun 2012, yang hingga saat ini telah beroperasi di 13 trayek dengan 143 unit APTB. Selain itu Jakarta juga akan mempunyai MRT, yang pembangunannya untuk tahap 1 Lebak Bulus–Bundaran HI telah dimulai tahun 2013, dan diharapkan selesai pada tahun 2016. Pembangunan monorail yang sempat terhenti telah dilanjutkan kembali oleh pihak swasta, yaitu PT Jakarta Monorail, dan direncanakan selesai pada tahun 2017. Beberapa kebijakan Pemprov DKI yang telah dilakukan dalam pembatasan lalu lintas antara lain 3-in-1 pada kawasan tertentu, penertiban parkir liar (on street), pembangunan fasilitas park-n-ride di Terminal Ragunan, dan Electronic Road Pricing (ERP) yang sedang dalam tahap pembangunan. Pemprov DKI juga tengah melakukan peningkatan jaringan jalan dengan pembangunan Area Traffic Control System (ATCS), pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang terintegrasi dengan stasiun kereta api (JPO Tanjung Barat dan JPO Lenteng Agung), dan juga telah direncanakan pembangunan fasilitas terintegrasi antara halte busway dengan stasiun kereta api (di daerah Jalan Juanda dan Manggarai), koridor busway yang terintegrasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Menggerakkan Orang di Jakarta
dengan terminal bus, pembangunan jalan, pembangunan jaringan jalan, pembangunan flyover/underpass, dan pengembangan kawasan pejalan kaki. Salah satu kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang merupakan kebijakan non-kendaraan bermotor (non-motorized) adalah dibangunnya jalur sepeda sepanjang 16,4km dengan jalur Cipinang–Pondok Kopi sepanjang 6,7km dan di Jalan Raya Bekasi Rorotan–Marunda sepanjang 9,7km. Kami harapkan kebijakan-kebijakan tersebut dapat mengatasi masalah lalu lintas di DKI Jakarta, sehingga dapat meningkatkan mobilitas perkotaan. Dukungan serta kepedulian masyarakat ikut menentukan keberhasilan berbagai kebijakan tersebut.”
Azas Tigor Nainggolan, S.H., M.Si Ketua Dewan Masyarakat Transportasi Jakarta (DTKJ) 2006–2014 “Ada beberapa hal yang telah kami lakukan. Pertama, kami melakukan berbagai kajian mengenai persoalanpersoalan transportasi di Jakarta. Persoalan utama adalah kemacetan, yang disebabkan oleh buruknya kondisi transportasi umum, yang menyebabkan masyarakat memilih menggunakan alat transportasi pribadi. Kini Pemerintah Provinsi telah melakukan beberapa langkah terobosan, seperti membangun sistem BRT, Namun langkah ini baru merupakan salah satu pendekatan untuk memecahkan persoalan buruknya layanan transportasi umum di Jakarta. Masih banyak persoalan lain seperti transportasi reguler, serta integrasi dengan moda lain yang masih menjadi persoalan. Sistem transportasi yang baik perlu dibangun supaya orang mau beralih dari moda lain ke transportasi umum massal. Dalam konteks ini, menjadi tugas DTKJ untuk melakukan kajian-kajian tersebut dan memberi masukan pada Gubernur tentang kebijakan transportasi. Di samping itu, kami juga berupaya membangun kesadaran baru di masyarakat untuk mengubah perilaku, dari dengan mudah menggunakan kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum massal, dengan melakukan sosialisasi permasalahan transportasi di Jakarta, baik dengan membuka pos pengaduan melalui telepon, faks, surel, maupun media sosial, maupun mengadakan dialog publik dengan masyarakat mengenai isu-isu yang kami anggap penting. Kami juga mengadakan penyuluhan media (media briefing) terutama pada saat ada kajian yang kami terbitkan, atau bila terdapat masalah transportasi yang sedang ditangani, dan kami baru menyampaikan rekomendasi kepada Gubernur. Kami juga ingin agar media massa memiliki perspektif dan wawasan dalam persoalan transportasi. Selain beberapa hal di atas, kami juga melakukan advokasi kebijakan. Ada tiga Perda yang berhasil kami dorong untuk disahkan setelah tiga tahun, yaitu Perda BUMD TransJakarta, Perda Transportasi, dan Perda BRT. Kami memberi dukungan dengan melakukan lobi kepada DPRD. Meski tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) DTKJ ada di Dinas Perhubungan, namun lingkup kerja kami kembangkan sendiri. Misalnya, ketika ada pengaduan soal trotoar, yang menjadi wilayah dinas Pekerjaan Umum, kami juga melakukan pendekatan dan mengembangkan isu tersebut ke aksesibilitas kelompok penyandang disabilitas. Atau, ketika kami akan membuat busway koridor 13 yang menggunakan jalur jalan layang (elevated), prosesnya tidak ada hambatan, karena kami juga melakukan lobi ke Bappeda dan ke UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Jadi, kami tidak hanya berhubungan dengan Dinas Perhubungan saja, karena persoalan transportasi bukan cuma persoalan transportasi umum, juga bukan sekedar persoalan teknis semata, namun lebih banyak merupakan persoalan nonteknis; seperti perilaku masyarakat, persoalan politis, dan lainnya. Kalau bicara transportasi, ya, bicara politik.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
111
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi Edisi 18, Juli 2014
• Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia: Sebuah Dasar untuk Modalitas Saat Ini • Kontribusi untuk Penanggulangan Kemiskinan melalui Penyelenggaraan Layanan Daerah dalam Sektor Air Minum • Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum • Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
POIN-POIN UTAMA Lembaga dan perorangan yang menangani infrastruktur air minum dan sanitasi harus mengikuti perkembangan peraturan Pemerintah Indonesia untuk menjamin bahwa mereka memahami: siapa yang bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan tersebut? Apakah pihak-pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya memahami peran mereka? Dalam lingkungan yang konteks keuangan dan peraturannya masih berubah-ubah, mengikuti perkembangan siapa yang bertanggung jawab menyediakan pelayanan umum di sektor air minum dan sanitasi serta berbagai pengaturan untuk bisa menyediakan pelayanan tersebut adalah suatu tantangan. UU no. 7/2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap warga negara atas penyediaan air minum yang memadai. Pemerintahan Daerah (Pemda) bertanggung jawab memenuhi kebutuhan warga mereka, begitu pula dengan pemerintah desa di tingkat yang lebih rendah. Fungsi pemerintah provinsi adalah menyediakan bantuan teknis pada kota/kabupaten. Penelitian menunjukkan bahwa warga negara tidak selalu sadar siapa yang bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan air minum. Pelayanan umum adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah kepada orang-orang yang tinggal di dalam wilayah hukumnya, baik secara langsung (melalui sektor publik) atau melalui pembiayaan penyediaan pelayanan. Di Indonesia, pelayanan umum diatur oleh UU no. 25/2009. Pelayanan umum diidentifikasi ada dua kategori: yang dioperasikan oleh organisasi swasta dan yang dijalankan oleh lembaga pemerintah. Kategori kedua dibagi lagi menjadi pelayanan yang disediakan oleh pemerintah sebagai agen tunggal dan pelayanan yang tersedia dari pemerintah serta penyedia lain. Di tingkat daerah, badan-badan pemerintah menyediakan pelayanan umum melalui beberapa modalitas, termasuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), perusahaan milik Pemda, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Organisasi Berbasis Masyarakat (OBM), dan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS). BLUD sangat umum di sektor kesehatan tetapi jarang digunakan di sektor air minum. Penyedia pelayanan air minum di daerah perkotaan biasanya adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang sekitar setengahnya tidak memiliki peringkat keuangan yang sehat. Di luar wilayah pelayanan PDAM, pasokan air minum dapat dioperasikan oleh OBM; diperkirakan ada sejumlah 6.000 OBM mengelola penyediaan pelayanan air minum di Indonesia. Apapun modalitas yang dipilih, tata kelola pemerintahan yang baik adalah kunci yang memungkinkan Pemda memenuhi tanggung jawabnya dalam menyediakan pelayanan air minum yang memadai. IndII selalu berfokus pada mendorong tata kelola pemerintahan yang baik melalui setiap kegiatannya dalam sektor air minum dan sanitasi.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
115
PENYELENGGARAAN LAYANAN DAERAH DI SEKTOR AIR MINUM DAN SANITASI INDONESIA: SEBUAH DASAR UNTUK MODALITAS SAAT INI Pemerintahan Daerah bertanggung jawab menjamin bahwa warga mereka mendapatkan akses terhadap air minum yang memadai. Tanggung jawab ini dapat dipenuhi melalui berbagai cara, melibatkan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS), organisasi berbasis masyarakat, dan pendayagunaan lain. Oleh Poppy Lestari
Lembaga dan perorangan yang menangani infrastruktur air minum dan sanitasi harus mengikuti perkembangan peraturan Pemerintah Indonesia untuk menjamin bahwa mereka tahu: siapa yang bertanggung jawab atas penyediaan layanan? Apakah pihak-pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya memahami peran mereka? Dalam sebuah lingkungan dengan konteks keuangan dan peraturan yang masih berubah-ubah, apa yang selama ini mampu dicapai oleh pihak-pihak tersebut dan bagaimana mereka melakukannya? UU no. 7/2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pasokan air minum yang cukup guna memenuhi kebutuhan dasar harian minimum demi mewujudkan hidup yang sehat, bersih, dan produktif. Pemerintah Daerah (Pemda) bertanggung jawab memenuhi
kebutuhan dasar minimum terhadap air minum bagi masyarakatnya, dan begitu pula dengan pemerintah desa di tingkat yang lebih rendah. Fungsi pemerintah provinsi adalah menyediakan dukungan teknis kepada kota/kabupaten. Sejauh mana Pemda berkomitmen terhadap tanggung jawab mereka, dan bagaimana mereka menjalankan tanggung jawab untuk menyediakan akses terhadap air minum, menarik untuk dianalisis. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mewajibkan adanya laporan dari setiap Pemda terkait pencapaian Standar Layanan Minimum mereka, namun ada baiknya juga meminta masukan langsung dari masyarakat, terutama mereka yang tinggal di desa terpencil. Apakah mereka sadar akan hak mereka atas tingkat pelayanan yang dapat diharapkan? Ketika masyarakat menerima pelayanan buruk dan tidak
Prakarsa Compendium | Jilid 3
116
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia: Sebuah Dasar untuk Modalitas Saat Ini
Fitur Utama Pembentukan BLUD 1. Penganggaran. BLUD mempersiapkan rencana usaha dan anggaran, sementara SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) biasa mempersiapkan rencana kerja dan anggaran. 2. Pengelolaan Keuangan. BLUD dapat menggunakan pendapatan dari biaya pelayanan untuk membiayai operasional mereka. 3. Pengelolaan dan Akuntansi. Pengelolaan didasarkan pada efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme dan mengikuti apa yang dilakukan sebuah usaha, menerapkan Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. 4. Akuntabilitas. Manajemen BLUD melapor kepada kepala daerah (walikota/bupati) dan laporan keuangan BLUD akan diintegrasikan dengan laporan keuangan dari SKPD lain (yang memerlukan penyesuaian sistem akuntansi yang agak sulit). 5. Kemitraan. BLUD dapat bermitra dengan pihak ketiga yang sesuai dengan fungsi dan usahanya. Meski demikian, karena BLUD bukan aset yang terpisah dari Pemda, kemitraan tersebut tetap harus berada di dalam ruang lingkup wewenang walikota/bupati. 6. Pengadaan barang dan jasa. Perpres no. 8/2006, yang mencakup pembentukan unit pengadaan, bukan hal yang wajib bagi SKPD dengan status BLUD penuh.
“Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum,” halaman 137, dari edisi Prakarsa ini.) WSSI adalah indeks yang mudah dipahami yang menilai pelayanan penyediaan air minum dan sanitasi oleh Pemda dengan menggabungkan data keras yang diperoleh dari dokumen resmi, wawancara, dan uji fisik air, dengan data lunak berdasarkan persepsi konsumen. Rumah tangga diajukan dua pertanyaan mengenai kesadaran warga: (1) Sejauh yang Anda tahu, siapa yang bertanggung jawab untuk menjamin akses terhadap air minum bagi warga kabupaten? dan (2) Sejauh yang Anda tahu, siapa yang bertanggung jawab menjamin air tanah dan sungai Anda terlindung dari polusi air limbah? Jawaban yang dikumpulkan selama uji coba WSSI mengejutkan: hanya 39 persen responden sadar bahwa Pemda mereka bertanggung jawab menjamin akses terhadap air minum. Hanya 17 persen sadar bahwa Pemda bertanggung jawab melindungi sumber daya air minum dari air limbah.
Apakah Pelayanan Umum?
Barangkali seharusnya tidak mengejutkan bahwa banyak warga negara Indonesia yang tidak begitu paham mengenai perincian seperti siapa yang menyediakan layanan air minum, karena pembahasan topik itu bisa menjadi rumit. Pertama, secara umum dapat diterima bahwa air minum
Gambar 1: Tata Cara untuk Penyediaan Pelayanan Umum
menyuarakan tuntutan mereka untuk peningkatan, mungkin ini disebabkan karena mereka tidak tahu bagaimana melakukan advokasi untuk diri mereka sendiri, atau kepada siapa mereka harus mengadukan kepentingan mereka. Hal ini terutama dialami perempuan, yang sangat bergantung pada air minum untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat anggota keluarga tetapi memiliki sedikit kesempatan untuk mengekspresikan kebutuhan mereka dalam berbagai forum publik. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai tanggung jawab penyediaan layanan air minum daerah disorot dengan Indeks Pelayanan Air Minum dan Sanitasi (WSSI, Water and Sanitation Services Index), diprakarsai pada tahun 2012 dan diujicobakan di 12 Pemda pada tahun 2013, oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh Pemerintah Australia. (Sebuah artikel yang memaparkan alasan di balik WSSI dan memperinci cara kerja Indeks dapat dibaca di
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Pemerintah Daerah
SKPD
BUMD
UPTD
BLUD Keterangan: SKPD = Satuan Kerja Perangkat Daerah BUMD = Badan Usaha Milik Daerah KPS = Kerjasama Pemerintah dan Swasta OBM = Organisasi Berbasis Masyarakat UPTD = Unit Pelaksana Teknis Daerah BLUD = Badan Layanan Umum Daerah
PPP
CBO
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
dan sanitasi merupakan “layanan umum,” tapi sebetulnya apa artinya? Menurut Wikipedia, layanan umum adalah “layanan yang disediakan oleh pemerintah kepada orang-orang yang tinggal di dalam wilayah hukumnya, baik secara langsung (melalui sektor publik) atau melalui pembiayaan bagi penyediaan layanan. Istilah ini dikaitkan dengan konsensus sosial bahwa layanan tertentu harus tersedia bagi semua terlepas dari pendapatan.” Bahkan ketika layanan umum tidak disediakan atau dibiayai oleh Negara, ini tetap mutlak menjadi tanggung jawab instansi pemerintah seperti Pemerintah Pusat/Daerah atau BUMN/BUMD untuk menyediakannya demi kebutuhan masyarakat dan menerapkan peraturan perundang-undangan terkait. Di Indonesia, layanan umum diatur oleh UU no. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Berdasarkan undang-undang tersebut, pelayanan umum meliputi “pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya” 1. Dua kategori layanan umum diidentifikasi, berdasarkan jenis organisasi penyelenggaranya: Pertama, layanan umum yang dijalankan oleh organisasi swasta seperti rumah sakit swasta, universitas swasta, dan perusahaan transportasi swasta. Kedua, layanan umum yang dijalankan oleh lembaga pemerintah. Ini dibagi lagi menjadi dua subkategori: (a) Pasokan barang atau jasa disediakan oleh pemerintah sebagai agen tunggal. Pengguna/klien harus menggunakannya; tidak ada alternatif lain. Contohnya termasuk layanan imigrasi, pengoperasian penjara, dan penerbitan izin. (b) Pasokan barang atau jasa disediakan oleh pemerintah tetapi pengguna/klien tidak diwajibkan menggunakannya karena terdapat penyedia pelayanan lain. Layanan kesehatan merupakan contoh dengan baik penyedia publik maupun swasta yang tersedia. Penyediaan pelayanan umum dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah.
Pelayanan Umum di Tingkat Daerah
Badan pemerintah menyediakan pelayanan umum melalui beberapa modalitas, tergantung pada besaran atau sifat layanan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) seringkali menjadi bentuk yang lebih disukai sebagai penyedia layanan, namun ada persyaratan yang harus dipenuhi (sebagai pengenalan tentang bagaimana BLUD dapat berfungsi di sektor sanitasi, lihat “Visi untuk
Warga biasa seperti Ibu Darmanto dari Surakarta membutuhkan akses terhadap air minum, tapi seringkali mereka tidak mengetahui siapa yang bertanggung jawab untuk penyediaan layanan tersebut. Atas perkenan Eleonora Bergita
Layanan Air Limbah yang Fleksibel dan Bertanggung Jawab” di halaman 14 dari edisi Prakarsa bulan Juli 2011). Sebagaimana diperinci dalam PP no. 23/2005, BLU/BLUD adalah Unit Pelaksana Teknis di Pemerintah Pusat atau Daerah yang dibentuk untuk menyediakan barang/jasa untuk masyarakat tanpa mencari keuntungan serta melandasi kegiatannya pada prinsip efisiensi dan produktivitas (PP no. 23/2005). Pada intinya, BLU/BLUD adalah korporasi nirlaba. Lihat boks artikel ini untuk persoalan utama seputar pembentukan BLUD. Layanan yang disediakan oleh BLUD kepada masyarakat pada umumnya berhubungan dengan kesehatan, pendidikan, pariwisata daerah, penyediaan air minum, pengelolaan lingkungan hidup, dan pengelolaan dana khusus. Pelayanan kesehatan sebagian besar terstruktur sebagai BLUD. Ini sesuai dengan mandat Bab 6 Pasal 1 dari Permendagri no. 61/2007 yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan merupakan prioritas dalam pelayanan umum. Dari sekitar 96.000 puskesmas di Indonesia, saat ini hanya 326 beroperasi sebagai BLUD, tetapi masih banyak lagi yang diperkirakan akan menyusul dan sekitar 101 lagi sedang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
117
118
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi Indonesia: Sebuah Dasar untuk Modalitas Saat Ini
Gambar 2: Perbandingan antara UPT/UPTD dan BLU/BLUD UPT/D Diatur oleh Permenpan no. 18/2008*
BLU/D Diatur oleh Permendagri no. 61/2007**
Pengelolaan keuangan: a. Pendapatan masuk ke Kas Daerah, bercampur dengan pendapatan dari UPTD lainnya b. Anggaran untuk Operasi dan Pemeliharaan berada di bawah anggaran pembelanjaan untuk Dinas dan bergantung penuh pada APBD Laporan keuangan: Neraca Keuangan dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
Pengelolaan keuangan: a. Pendapatan dikelola secara internal dan dapat digunakan untuk membiayai Operasional dan Pemeliharaan b. Beroperasi dengan pendapatan sendiri dan subsidi Pemda c. Laporan Keuangan: Neraca Keuangan, Laporan Pendapatan, dan Arus Kas
Sumber daya manusia: PNS
Sumber daya manusia: PNS dan tenaga profesional di luar sistem PNS
Teknis 1. Kinerjanya terbukti dikelola dengan layak 2. Kinerja keuangan dapat didukung dengan APBD Administratif 1. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan dan keuangan dan manfaat bagi masyarakat 2. Organisasi dan uraian pekerjaan dikembangkan 3. Rencana strategi bisnis ditetapkan 4. Laporan keuangan dihasilkan 5. Standar Pelayanan Minimum ditetapkan 6. Laporan audit terbaru tersedia atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen
BLU Penuh
Persyaratan Substantif 1. Menyediakan jasa atau barang 2. Mengelola wilayah/kawasan tertentu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum 3. Mengelola dana khusus untuk meningkatkan ekonomi dan/pelayanan masyarakat
BLU Tahapan
Persyaratan a. Melakukan kegiatan operasional teknis dan/atau mendukung kegiatan teknis Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK) atau Unit Pelaksana Teknis Kementerian b. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh masyarakat c. Memberikan kontribusi dan manfaat kepada masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan d. Mempunyai ruang lingkup tugas yang bersifat strategis dan berskala regional dan/atau nasional e. Menunjang keberhasilan pencapaian misi dan visi Kementerian/LPNK/Dinas***/non-Dinas f. Tersedianya sumber daya yang meliputi pegawai, pembiayaan, sarana, dan prasarana g. Tersedianya jabatan fungsional teknis sesuai dengan tugas dan fungsi UPT yang bersangkutan h. Memiliki Prosedur Operasional Tetap dalam melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang tertentu i. Memperhatikan keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
Status
*Permenpan = Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara **Permendagri = Peraturan Menteri Dalam Negeri ***Dinas adalah unit kerja Pemda
dalam proses menjadi BLUD. Selain itu, sejak Mei 2013, 200 dari 627 rumah sakit (umum) daerah di Indonesia, atau sekitar sepertiganya, dibentuk sebagai BLUD. Rumah sakit perlu dibentuk sebagai BLUD agar mampu menyediakan layanan untuk pasien Jaminan Kesehatan Nasional. BLUD pada dasarnya adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang telah mengadopsi praktik keuangan BLUD (lihat Gambar 2). Terdapat banyak UPTD yang belum atau belum tentu menerapkan praktik pembiayaan BLUD. Mereka
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dinamakan “UPTD biasa” untuk membedakan dari BLUD. Perbedaan utama antara UPTD biasa dan BLUD berkaitan dengan cara mengelola dan melaporkan pendapatan serta cara mengelola sumber daya manusia. Masalah yang paling sering muncul di UPT biasa adalah ketika alokasi anggaran untuk operasi tidak cukup. Meski demikian, keuntungan dari model UPT biasa adalah bahwa setiap UPT memiliki Prosedur Operasional Tetap (Protap) yang terdefinisikan jelas untuk tugas khususnya.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
UPTD biasa dapat berubah menjadi BLUD, dan sebaliknya, tergantung pada kinerjanya atau perubahan pada sifat pelayanan yang disediakannya. Meski terdapat banyak UPTD dan BLUD di sektor lain, hanya sedikit yang ada di sektor air minum, apalagi sanitasi. Penyedia pelayanan air minum di daerah perkotaan biasanya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sementara mereka yang bukan PDAM mengambil bentuk yang berbeda-beda seperti UPTD, BLUD, KPS, atau perusahaan daerah. Di luar wilayah pelayanan PDAM, pasokan air minum dapat dioperasikan oleh Organisasi Berbasis Masyarakat (OBM). (Tinjauan mengenai bagaimana OBM dapat mengelola pelayanan air minum dapat dibaca di “Memanfaatkan Kekuatan Organisasi Berbasis Masyarakat” di edisi Prakarsa bulan Oktober 2010, halaman 8.) Terdapat sekitar 350 PDAM di seluruh Indonesia, hanya kira-kira setengah di antaranya yang berperingkat keuangan “sehat.” Data dari Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) menunjukkan bahwa 11 dari mereka adalah UPTD, 9 adalah BLU, 24 adalah KPS, dan satu adalah perusahaan daerah. Jumlah OBM yang mengelola pasokan air minum tidak diketahui karena tidak tersedia data nyata, tetapi dapat diperkirakan berjumlah 6.000. Pemrograman IndII pada umumnya, dan terutama di sektor air minum dan sanitasi, berfokus pada peningkatan tata kelola pemerintahan sebagai aspek mendasar untuk mendukung Pemda dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Contohnya, program Hibah Air Minum IndII mengharuskan Pemda menunjukkan komitmen mereka dengan berinvestasi pada PDAM mereka sendiri sebelum menerima dana hibah, sementara Hibah Infrastruktur Australia-Indonesia untuk Sanitasi (Australia Indonesia Infrastructure Grants for Sanitation, sAIIG) mengharuskan pembentukan instansi (UPT, BLU, atau BUMD) untuk menjalankan operasi dan menjamin keberlanjutan. Tidak kurang pentingnya, kegiatan IndII dengan OBM juga berfokus
pada tata kelola pemerintahan, dengan mendukung OBM beralih dari organisasi informal menjadi usaha yang dikelola secara profesional yang memiliki kapasitas untuk mengakses kredit usaha dan mengawasi perluasan infrastruktur dan pelayanan. Pada awalnya, banyak OBM yang dikelola dengan buruk karena tidak adanya perhatian dari Pemda. Pekerjaan IndII dengan OBM membuktikan pentingnya memfokuskan Pemda pada OBM – dan menegaskan bagi OBM mengenai tanggung jawab yang dimiliki Pemda atas penyediaan pelayanan. Pekerjaan itu menunjukkan bahwa, siapa pun yang akan menjadi “ibu” pelayanan, sang “ayah” selalu adalah Pemda. ●
Tentang Penulis: Poppy Lestari adalah Senior Program Officer untuk Air Minum dan Sanitasi di IndII. Sebelum bergabung dengan IndII pada tahun 2010, ia bekerja selama lima tahun sebagai Ahli Pembiayaan Kota Senior dengan Proyek Pelayanan Lingkungan (ESP, Environmental Service Project) yang didanai USAID. Di ESP, ia mengkoordinasi tim yang terdiri dari lima Ahli Keuangan dan bekerja untuk mengidentifikasi peluang dalam memanfaatkan pendanaan investasi untuk perangkat keras untuk pelayanan air minum dan sanitasi, serta pembayaran untuk pelayanan lingkungan bagian hulu daerah aliran sungai (DAS). Poppy berpengalaman lebih dari 20 tahun sebagai karyawan dan konsultan yang bekerja bersama perusahaan dan donor seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, dan USAID. Sebagian besar karirnya didedikasikan untuk program pembangunan perkotaan, terutama di sektor air minum dan sanitasi, termasuk persiapan analisis investasi dengan beberapa pembiayaan alternatif, serta analisis dan peningkatan keuangan kota. Poppy menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1987.
CATATAN 1. Sebagaimana dicatat oleh satu pengamat: “Asalkan mereka ditentukan dengan sedikit lebih hati-hati, beberapa hal berikut ini biasanya dipandang sebagai pelayanan umum (pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan rakyat, jaminan sosial, dan transportasi publik). Namun, yang lainnya (sekali lagi, ditentukan secara lebih hati-hati: telekomunikasi dan media, listrik dan bahan bakar, pelayanan perbankan, serta pariwisata) sekadar pelayanan atau komoditas yang disediakan oleh pasar dengan harga yang mencakup biaya produksi dan memberikan margin laba, tanpa adanya perilaku istimewa bagi warga negara. Lingkungan hidup dan sumber daya alam adalah bidang-bidang yang menjadi perhatian kebijakan pemerintah, namun tidak tampak melibatkan penyediaan pelayanan kepada pengguna. Arti ‘pekerjaan dan usaha’ dalam konteks ini – dan oleh karenanya alasan untuk dimasukkan – tidak jelas.” (Buehler, Michael, “Indonesia’s Law on Public Services: changing state-society relations or continuing politics as usual?” Bulletin of Indonesian Economic Studies, 47: 1, 65–86.)
Prakarsa Compendium | Jilid 3
119
POIN-POIN UTAMA Kemiskinan sering dipandang dari perspektif tingkat penghasilan, tetapi dapat didefinisikan secara lebih luas yaitu hasil yang tidak mencukupi dalam hal pendidikan, kesehatan, gizi, dan keamanan, serta ketidakmampuan untuk mengakses pelayanan umum lainnya. Lembaga internasional dan Pemerintah Indonesia mengakui bahwa ketersediaan air minum sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan, oleh karenanya, mengurangi kemiskinan. Ini tercermin dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDG, Millennium Development Goals) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014. Namun, Indonesia masih jauh dari target, dan hampir 107 juta orang masih belum memiliki air minum. Salah satu kendala adalah besarnya jumlah investasi yang diperlukan untuk membangun infrastruktur yang diperlukan. Dana yang dibutuhkan secara substansial melebihi apa yang tersedia melalui APBN. Program Hibah Air Minum menangani kekurangan ini dengan menggunakan hibah berbasis hasil untuk meningkatkan infrastruktur sekaligus memperkuat tata kelola pemerintahan untuk menjamin peningkatan secara terusmenerus dalam pelayanan. Sementara semua orang, terlepas dari tingkat penghasilan mereka, mengalami kekurangan akses terhadap air minum, masyarakat miskin adalah yang paling rentan. Sebuah survei baseline untuk Hibah Air Minum menemukan bahwa keluarga berpenghasilan rendah tanpa akses air minum memiliki pengeluaran tinggi untuk air minum, masalah kualitas dan akses terhadap air minum, dan penurunan kesehatan (terutama pada anak-anak). Evaluasi Hibah Air Minum di dua daerah, satu di Jawa dan satu di Nusa Tenggara Timur, menemukan bahwa manfaat Hibah mencakup peningkatan penghasilan rumah tangga (karena perempuan memiliki lebih banyak waktu dan kesempatan untuk melakukan mengolah lahan dan memulai bisnis rumahan); lebih sedikit iritasi kulit; lebih banyak waktu untuk bekerja dan beristirahat; dan menurunkan risiko keguguran. Awalnya, Hibah Air Minum itu tidak dimaksudkan sebagai program yang secara khusus memihak pada masyarakat miskin (pro-poor). Namun, hasil studi ini menggambarkan potensi Hibah untuk berdampak positif pada masyarakat berpenghasilan rendah. Menyediakan akses terhadap air minum dapat mendorong masyarakat berpenghasilan rendah untuk hidup lebih produktif, bersih, dan sehat.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
121
KONTRIBUSI UNTUK PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENYELENGGARAAN LAYANAN DAERAH DALAM SEKTOR AIR MINUM Sebuah mekanisme yang mendorong tata kelola pemerintahan yang baik pada tingkat daerah dan meningkatkan penyelenggaraan layanan oleh Perusahaan Air Minum Daerah telah terbukti efektif dalam meningkatkan kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh Sulistiani dan Devi Miarni Umar
Kemiskinan seringkali hanya dilihat dari sudut pandang keuangan, dalam arti tidak punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendekatan ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS menggunakan sebuah “garis kemiskinan”; yang menggambarkan bahwa penduduk yang berada di bawah garis tersebut, dianggap miskin. Pendekatan ini dinilai memudahkan untuk membandingkan angka kemiskinan antar wilayah. Meski demikian, jika mengacu pada pengertian kemiskinan secara luas yaitu ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi berbagai aspek kebutuhannya, seperti ekonomi, sosial, politik, emosional, dan spiritual. Sebagai contoh, kemiskinan juga dapat didefinisikan dalam arti hasil (outcome) yang tidak memadai dalam urusan pendidikan, kesehatan, gizi, dan keamanan, dan juga keterbatasan akses terhadap layanan umum lainnya.
Bappenas dalam Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan tahun 2004 juga melihat kemiskinan sebagai masalah multidimensi. Kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menjadi miskin. Berdasarkan definisi ini, Bappenas menetapkan 11 indikator pengukuran yang berkaitan dengan upaya menanggulangi kemiskinan, satu di antaranya adalah tingkat akses terhadap air bersih. Dipahami bahwa alasan utama orang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih adalah kemampuan daerah yang terbatas untuk menyediakan sambungan air minum dan menurunnya kualitas sumber air. Sejalan dengan pendekatan Bappenas dan untuk meningkatkan pengukuran tingkat kemiskinan penduduk, pada tahun 2008 BPS menetapikan delapan indikator
Prakarsa Compendium | Jilid 3
122
Kontribusi untuk Penanggulangan Kemiskinan melalui Penyelenggaraan Layanan Daerah dalam Sektor Air Minum
Pencapaian Program Hibah Air Minum IndII Fase 1: • Selama tahun 2010–2011, sebanyak 331.100 penduduk telah mendapat akses air leding PDAM di 34 kabupaten/ kota yang tersebar di 12 provinsi. IndII Fase 2: • Totalnya, 568,228 penduduk telah mendapat akses layanan air pipa PDAM di 104 kab/kota di 26 provinsi sepanjang tahun 2012 hingga April 2014. • 159,285 dari 568,228 penduduk telah mendapat akses layanan air pipa PDAM dengan menggunakan dana hibah USAID (Pemerintah Amerika Serikat). Target: • Sebanyak 330.000 sambungan rumah tangga akan dibuat sehingga dapat menjangkau 1.419.000 penduduk sebelum akhir 2015.
tambahan untuk menentukan apakah sebuah rumah tangga tergolong miskin. Salah satu indikatornya mempertimbangkan sumber air minum dan ketersediaan sumber air.
Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi
Lembaga Internasional dan Pemerintah Indonesia mengakui bahwa ketersediaan air minum sangat penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial. Sebagaimana disampaikan oleh Howard dan Obika 1, air minum, kesehatan, dan kemiskinan, saling terkait erat. Ini tercermin dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDG, Millennium Development Goals) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014. Target dalam RPJMN adalah lebih dari 67 persen penduduk Indonesia memiliki akses air minum pada tahun 2015. Meski demikian, kenyataannya belum seperti yang diharapkan. Menurut angka 2012 dari Bappenas, pada tahun 2011 hanya 52,1 persen rumah tangga di daerah perkotaan dan 57,8 persen di daerah pedesaan (sekitar 55 persen dari total penduduk) memiliki akses terhadap air minum, yang berarti bahwa hampir 107 juta orang masih hidup tanpa air bersih. Salah satu kendala adalah jumlah besar investasi yang diperlukan untuk membangun infrastruktur yang diperlukan untuk layanan air minum. Studi tahun 2010 oleh WHO dan UNICEF menunjukkan bahwa untuk memenuhi target MDG untuk akses air minum, Indonesia membutuhkan dana
Prakarsa Compendium | Jilid 3
USD 4,5 miliar per tahun, atau investasi yang diasumsikan USD 20 per kapita. Ini berarti Rp 65,27 triliun untuk 2010– 2015, sedangkan total dana yang tersedia dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk tahun 2010–2014 adalah Rp 13,71 triliun, atau hanya sekitar 20–25 persen dari dana yang dibutuhkan.
Inovasi Hibah
Program Hibah Air Minum adalah salah satu dari beberapa bentuk pembiayaaan dari Pemerintah Australia untuk mendukung Pemerintah Indonesia mencapai MDG untuk akses terhadap air minum. Hibah Air Minum merupakan sebuah program inovatif yang diluncurkan pada tahun 2010, dan telah dilaksanakan kan oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Bappenas dalam kemitraan dengan Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII). Program Hibah Air Minum menggunakan metode hibah berbasis hasil untuk meningkatkan infrastruktur sekaligus memperkuat tata kelola pemerintahan untuk menjamin keberlanjutan peningkatan dalam pelayanan. Hibah diberikan kepada Pemerintah Daerah setelah mereka berinvestasi di Perusahaan Daerah Air Minum mereka. PDAM menggunakan investasi tersebut bersama dengan dana mereka sendiri untuk memperluas jaringan air minum mereka dan membuat sambungan baru untuk rumah tangga berpendapatan rendah. Besarnya hibah ditentukan berdasarkan jumlah sambungan baru yang telah diverifikasi. Kegagalan menyediakan air minum akan berdampak pada masyarakat di semua kelompok. Akan tetapi, masyarakat miskin merupakan yang paling rentan terkena dampaknya. Konsekuensi bagi penduduk miskin yang tidak memiliki akses terhadap air minum, khususnya penduduk miskin di perkotaan, di antaranya, adalah: (1) meningkatnya biaya, karena mereka harus mencari alternatif lain yang lebih mahal seperti air minum dalam botol; (2) berkurangnya konsumsi air minum karena semakin besarnya biaya, waktu, dan upaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan air minum; (3) bertambahnya biaya kesehatan dan berkurangnya penghasilan karena hilangnya produktivitas yang disebabkan oleh penyakit yang ditularkan akibat pencemaran air2. Konsekuensi-konsekuensi tersebut tercermin dalam deskripsi di bawah ini (dari sebuah survei baseline IndII3) mengenai kondisi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sebelum mendapat sambungan air PDAM melalui Hibah Air Minum. Tingginya pengeluaran rumah tangga untuk air minum. Berdasarkan data survei baseline, diketahui bahwa rumah tangga MBR mengeluarkan uang untuk air minum ratarata Rp 93.800 per bulan untuk 4.154 liter air bersih atau Rp 21.800 per kapita untuk 966 liter air. Sekitar 54 persen dari rumah tangga MBR mempunyai penghasilan bulanan
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Indonesia berjuang untuk memberikan layanan air bersih begi sekitar dua per tiga penduduknya pada tahun 2015.
maksimal sebesar Rp 1,5 juta. Pengeluaran rumah tangga untuk keperluan air minum rata-rata mencapai sekitar 10 persen dari seluruh penghasilan. Jumlah ini dianggap terlalu besar: berdasarkan Permendagri 23/20064, idealnya pengeluaran rumah tangga tidak melampaui empat persen dari rata-rata penghasilan untuk keperluan air minum. Gambar 1 secara rinci menggambarkan rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk air minum dan jumlah air minum yang dibeli berdasarkan golongan pendapatan rumah tangga. Sebagai perbandingan, di negara maju, pengeluaran air minum berkisar pada 0,5–2 persen dari pendapatan rata-rata (1,3 persen di Jerman dan Belanda; 1,2 persen di Perancis). Air minum dianggap mahal jika pengeluaran melampaui tiga persen dari pendapatan rata-rata penduduk 5.
Atas perkenan DFAT
Hasil survei baseline juga menunjukkan bahwa dari pengeluaran terbesarrumah tangga untuk membeli air adalah untuk mencukupi kebutuhan air minum. Tiga puluh tujuh persen rumah tangga MBR membeli air untuk minum. Dan hampir setengah (48 persen) rumah tangga MBR mengaku air minum dibeli dari kios air minum isi ulang. Sisanya, 23 persen membeli air minum dalam botol, 18 persen membeli air tetangga yang memiliki sambungan PDAM, enam persen membeli air minum dari pedagang keliling, tiga persen dari pompa/hidran umum, dan dua persen dari sumber mata air. Masalah kualitas dan keterjangkauan. Selain masalah tingginya pengeluaran rumah tangga untuk membeli
Prakarsa Compendium | Jilid 3
123
124
Kontribusi untuk Penanggulangan Kemiskinan melalui Penyelenggaraan Layanan Daerah dalam Sektor Air Minum
Gambar 1: Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Air Minum dan Jumlah Air Minum yang Dibeli Berdasarkan Kategori Pendapatan Rumah Tangga Kategori Pendapatan (Rp 000/bulan)
Rata-rata pengeluaran untuk air minum (Rp)
Jumlah air minum yang dibeli (liter)
<500
61,500
3,700
500 – 1,500
83,200
4,077
>1,500 – 2,500
104,400
4,205
>2,500 – 3,500
149,300
4,710
>3,500 – 4,500
133,200
5,166
>4,500
180,700
5,078
Total
93,800
4,154
air, rumah tangga juga menghadapi masalah kualitas air minum. Berdasarkan pengamatan secara fisik, sumber air minum utama yang digunakan rumah tangga kelihatannya menghasilkan air keruh. Sepuluh persen rumah tangga mengaku mereka menggunakan air keruh untuk keperluan minum, 14 persen untuk memasak, dan 24 persen untuk mandi/mencuci. Rata-rata jarak antara rumah MBR dengan sumber air adalah sekitar 139 meter, dengan waktu tempuh pulangpergi sekitar 13 menit. Sepuluh persen dari rumah tangga MBR yang memperoleh air dari sumber di luar rumah mereka melaporkan bahwa mereka harus menempuh jarak antara 500 meter hingga tiga kilometer untuk mendapatkan air minum, dengan waktu tempuh sekitar 30–60 menit. Salah satu contohnya adalah Desa Marongge, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Salah satu rumah tangga di sana, dengan pendapatan yang berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta sebulan, melaporkan bahwa mereka harus menempuh jarak tiga kilometer dengan waktu tempuh pulang-pergi sekitar dua jam untuk mendapatkan air minum/matang yang dijual oleh kios air isi ulang. Keluarga ini harus mengeluarkan Rp 22.000 per bulan untuk 390 liter air. Untuk keperluan mandi dan mencuci, mereka lebih memilih mencari sumber air yang gratis dengan jarak dan waktu tempuh yang kurang-lebih sama. Balita rentan menderita diare dan gatal-gatal. Keterbatasan akses terhadap air minum dan penggunaan air yang berkualitas buruk berakibat pada penurunan tingkat kesehatan dan penyebaran penyakit seperti diare. Insiden penyakit diare dan gatal-gatal juga ditemui di sejumlah anak balita di rumah tangga MBR. Dalam dua bulan sebelum survei, 12,6 persen dan 14,6 persen balita pernah menderita diare dan gatal-gatal. Prakarsa Compendium | Jilid 3
Dampak Hibah Air Minum
Tim Gender IndII melaksanakan evaluasi di dua lokasi tempat Program Hibah Air Minum dilaksanakan, yaitu Malang, Jawa Timur dan Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Evaluasi tersebut dilakukan antara 3–4 bulan setelah rumah tangga MBR mendapatkan sambungan air l PDAM. Hasilnya menunjukkan bahwa ada dampak positif terhadap rumah tangga MBR, baik bagi laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Di bawah ini merupakan sejumlah manfaat yang dilaporkan oleh masyarakat: Meningkatnya pendapatan rumah tangga. Salah satu manfaat paling besar yang dirasakan perempuan adalah, sekarang mereka mempunyai waktu dan energi untuk melakukan lebih banyak pekerjaan produktif dan dapat menambah penghasilan rumah tangga. Di Manggarai, mereka dapat mengolah pekarangan menjadi lahan pertanian produktif karena air tersedia setiap saat, bahkan di musim kemarau. Selain dapat mencukupi kebutuhan pangan anggota rumah tangga, hasil kebun mereka secara tidak langsung dapat membantu ekonomi rumah tangga, karena mereka tidak perlu lagi membeli sayuran yang hanya tersedia di pasar pada hari-hari tertentu. Selain itu, beberapa ibu rumah tangga dapat membuka usaha rumah tangga seperti menjual jajanan es dengan menggunakan air PDAM. Secara tidak langsung, peningkatan produktivitas ibu rumah tangga mampu menambah pendapatan rumah tangga mereka. Tidak ada lagi iritasi kulit. Dari segi kesehatan, baik di Malang maupun Manggarai, ketersediaan air minum di rumah telah membuat sejumlah kepala rumah tangga bersedia membangun toilet atau kamar mandi pribadi. Selain itu, sejumlah warga di Wae Ri’i dan Satarmese, Manggarai, juga mengaku ketersediaan air minum di rumah memungkinkan mereka untuk mandi dua kali sehari, dibandingkan sebelumnya yang hanya sekali sehari. Air PDAM dianggap memberi manfaat karena anggota keluarga, terutama anak-anak, tidak lagi menderita iritasi kulit. Lebih banyak waktu untuk bekerja dan beristirahat. Anggota rumah tangga, khususnya laki-laki dewasa, mengaku merasa “lega” karena tidak lagi harus mengantri dan berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih. Waktu, siang atau malam hari, yang sebelumnya digunakan untuk mengambil air sekarang dapat mereka gunakan untuk bekerja di sawah dan beristirahat. Namun, sebagai orang yang memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan tersedianya air minum untuk kebutuhan keluarga, perempuan adalah pihak yang sangat diuntungkan baik secara fisik maupun psikologis. Anak-anak yang sudah besar juga diuntungkan dengan tidak perlu membawa air dalam jerikan yang berat.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Menurunkan risiko keguguran. Bagi perempuan, khususnya perempuan hamil, ketersediaan air minum di rumah juga dirasakan dapat meringankan beban pekerjaan domestik yang umumnya dilakukan oleh perempuan. Ini dapat meminimalisir risiko keguguran atau melahirkan prematur 6. Seperti yang digambarkan dalam survei baseline yang dilakukan IndII, masyarakat berpenghasilan rendah memiliki permasalahan yang secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh keterbatasan akses air minum. Masalah yang ditemui sangat beragam, namun masyarakat yang berpenghasilan rendah dan mereka yang berada di lokasi terpencil akan merasakan dampak yang lebih besar dibanding mereka yang berpendapatan lebih tinggi dan tinggal di lokasi yang lebih ramai. Pada awalnya, Program Hibah Air Minum tidak secara khusus dimaksudkan sebagai program yang bersifat memihak pada masyarakat miskin (pro-poor). Namun, hasil studi menunjukkan adanya potensi dampak positif bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Menyediakan akses terhadap air minum dapat mendorong MBR untuk menjalani hidup yang lebih produktif, bersih, dan sehat. Meski demikian, perlu diingat bahwa evaluasi ini merupakan studi berskala kecil yang dilakukan pada lokasi terpilih. Langkah berikutnya adalah studi evaluasi dampak yang lebih luas untuk membuktikan dampak sesungguhnya dari Program Hibah Air Minum. ●
CATATAN 1. Howard, Guy, dan Amaka Obika. “Water and Poverty: The Themes.” A Collection of Thematic Papers. Asian Development Bank. 2004. 2. Mungkasa, Oswar. “Pembangunan Air Minum dan Kemiskinan.” Mengutip Johnstone dan Wood, 2000. Majalah Percik. AMPL Working Group. Oktober 2006. Jakarta. 3. IndII melakukan survei baseline terhadap kondisi sosioekonomi rumah tangga di 42 kabupaten/kota yang tersebar di lebih dari 24 provinsi. Survei bertujuan untuk mengetahui kondisi rumah tangga sebelum mereka menerima manfaat dari Program Hibah Air Minum. Total sampel adalah 12.427 rumah tangga. 4. Permendagri no. 23/2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada PDAM. Peraturan ini dibuat sebagai pedoman PDAM-PDAM dalam mengembangkan sistem penysediaan air minum. 5. Mungkasa, mengutip Water Academy, 2004. 6. Dawson, Gaynor. “Evaluation of Selected Water Hibah Activities from a Gender Perspective.” Prakarsa Infrastruktur Indonesia. 2013. Jakarta.
Tentang Penulis: Sulistiani adalah Staf Pemantauan & Evaluasi Nasional/ Kebijakan Lintas Sektoral di IndII. Ia seorang peneliti yang berpengalaman, dengan latar belakang ekstensif sebagai konsultan di bidang pembangunan. Ia telah sukses membuat konsep, merancang, dan menerapkan hasil-hasil studi selama kariernya, yang telah terbukti menjadi kunci dalam kegiatan program untuk donor seperti AusAID, The Asia Foundation, dan Bank Dunia. Ia telah sangat berpengalaman dalam merancang dan menjalankan pelatihan yang sukses untuk petugas survei (enumerator) di berbagai kabupaten dan kota di Indonesia. Ia juga secara teratur memfasilitasi diskusi kelompok terfokus dan melakukan wawancara untuk mengumpulkan data. Sulistiani memiliki keahlian dalam menggunakan data ini untuk menyusun laporan yang terbukti sangat berguna untuk keberhasilan program, seperti Program Air Minum dan Sanitasi (WSP, Water and Sanitation Program) dan Program Bantuan Belajar untuk Sekolah Islam (LAPIS, Learning Assistance Program for Islam Schools). Sulistiani menyelesaikan pendidikannya di bidang Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004. Devi Miarni Umar adalah Peneliti/Ahli Evaluasi Dampak yang bergabung bersama IndII. Ia seorang profesional di bidang Pemantauan & Evaluasi (M&E) dan Ahli Statistik dengan pengalaman kerja hampir 15 tahun di bidang pembangunan internasional. Ia telah bekerja di berbagai proyek pembangunan dengan lembaga donor termasuk PBB, Asian Development Bank, US-DOL, USAID, dan Australian Aid, serta organisasi non-pemerintah (NGO) internasional seperti Hellen Keller International, Save the Children Inc., dan Plan International Indonesia. Devi berfokus pada programprogram di bidang pendidikan, kesehatan dan nutrisi, air minum dan sanitasi, pekerja anak dan proteksi terhadap anak, pemberdayaan ekonomi untuk pemuda, beasiswa, serta pengelolaan risiko bencana. Ia memiliki pengalaman yang mantap dalam M&E, desain dan manajemen program, laporan kinerja, perencanaan strategis, penelitian, serta analisis data dari program pembangunan multi-sektoral. Devi juga memainkan peran aktif dalam Komunitas Evaluasi Pembangunan Indonesia (InDEC, Indonesian Development Evaluation Community). Devi memiliki gelar sarjana di bidang kesehatan publik (Epidemiologi), dan gelar Master di bidang Manajemen, keduanya dari Universitas Indonesia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
125
POIN-POIN UTAMA Pendanaan dari pemerintah saja tidak dapat memenuhi kebutuhan akan layanan air minum yang belum terpenuhi. Sejumlah pendanaan dari swasta dapat diakses sebagai kelanjutan PP no. 29/2009, tapi meski demikian, PDAM mengalami kesulitan mendapat akses untuk pembiayaan yang mereka perlukan. Pemerintah Daerah (Pemda) dan PDAM seringkali mengalami masalah dalam merumuskan proyek yang “layak perbankan (bankable)”, dan pemberi pinjaman enggan mengucurkan dana bagi infrastruktur. Khususnya sulit bagi proyek kecil untuk melibatkan bank atau investor institusional, karena rasio antara biaya dan pendapatan yang diperoleh tidak menarik bagi pemberi pinjaman. Meski demikian, sementara contoh KPS mengalami kemandekan, partisipasi swasta dalam sektor ini bertumbuh subur dengan menggunakan model yang dikenal dengan istilah B2B (business-to-business). Proyek-proyek ini berada di luar ketentuan pengadaan sesuai standar internasional KPS, dan tidak perlu melalui tender umum (public tender) atau skema kontes. Saat ini terdapat sekitar 60 proyek penyediaan air minum yang sedang berjalan, di dalamnya sektor swasta memainkan peran dalam pembiayaan dan manajemen, dan lebih banyak lagi sedang berada pada tahap pembahasan. Kontrak B2B dapat mencakup sejumlah kegiatan, seperti menyediakan layanan, memperluas sistem penyediaan air minum, mengurangi jumlah kebocoran produksi air minum (NRW, non-revenue water), meningkatkan efisiensi energi, dan meningkatkan manajemen PDAM. B2B mengalami pertumbuhan pesat yang disebabkan oleh lingkungan usaha yang lebih baik, masa persiapan yang lebih singkat daripada KPS standar, diperlukannya investasi modal yang lebih rendah, dan kebutuhan PDAM akan investasi. Kontrak B2B menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut dapat meliputi terbatasnya kemampuan institusional PDAM, kurangnya minat, kepercayaan, atau pengetahuan di antara Pemda, dan hambatan di sektor keuangan. Namun, rintangan tersebut bukan tidak dapat diatasi dengan berbagai strategi seperti mengidentifikasi dan menggabungkan proyek-proyek yang layak; mencocokkan investor berpotensi dengan pemilik proyek; dan menggandeng tenaga ahli untuk mempersiapkan analisis pasar, teknis, dan keuangan yang diperlukan untuk merumuskan proyek yang layak perbankan. Cara lain untuk memfasilitasi persiapan proyek yang layak perbankan dan mengurangi biaya adalah dengan menciptakan “fasilitas pengembangan proyek” (project development facilities). Pembangunan kapasitas bagi semua pemangku kepentingan yang terkait (DPRD, BPKP, Pemda, PDAM, dan sektor perbankan baru) termasuk sektor swasta (investor, konsultan, dan kontraktor) akan mendukung mereka dalam menyusun proyek, yang memungkinkan dan menarik bagi dunia perbankan.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
PEMBIAYAAN BUSINESS-TOBUSINESS: MODEL PEMBIAYAAN PROYEK KPS BERSKALA KECIL DI SEKTOR AIR MINUM Sementara contoh nyata Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) yang cukup berhasil mengalami penundaan, partisipasi swasta dalam sektor air minum tumbuh subur dengan menggunakan model yang dikenal dengan istilah B2B (business-to-business). Oleh Eko Bagus Delianto
Untuk memenuhi kebutuhan Indonesia akan layanan air minum yang belum terpenuhi, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) memerlukan pendanaan yang melampaui jumlah yang dapat disediakan oleh pemerintah. Namun, untuk mendapatkan akses pembiayaan dari bank dan pemberi pinjaman swasta tidaklah mudah. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) nampaknya menawarkan cara memperoleh pendanaan yang menjanjjkan, tetapi beberapa contoh proyek KPS telah mengalami jalan buntu. Meski demikian, partisipasi swasta dalam sektor penyediaan air minum tumbuh subur dengan menerapkan model “B2B”. Artikel ini akan memberikan tinjauan mengenai model pembiayaan B2B dan menjelaskan beberapa alasan keberhasilannya, serta berbagai tantangan yang perlu diatasi. Selama lima tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana dari APBN untuk mengembangkan sistem pengolahan air minum untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG, Millennium Development Goals). Upaya ini berfokus pada pengembangan di sisi hulu (asupan air, instalasi pengolahan, waduk, dan jaringan
pipa primer). Pemerintah Daerah (Pemda) dianggap bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur hilir (pipa distribusi, retikulasi, dan sambungan rumah tangga) untuk dioperasikan oleh PDAM, tetapi mereka tidak dapat mengikuti kecepatan pengembangan di sisi hulu. Terdapat “kesenjangan pemanfaatan” (utilization gap) – perbedaan antara kapasitas produksi instalasi pengolahan air minum dan volume air minum yang digunakan oleh konsumen – sebesar kurang lebih 10.000 liter per detik, yang setara dengan sambungan ke 800.000 rumah tangga atau sekitar 4 juta penduduk. Selanjutnya, banyak PDAM yang secara finansial tidak sehat. Laporan tahun 2012 oleh Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) memberi penilaian “tidak sehat” atau “sakit” kepada hampir separuh dari semua PDAM di Indonesia. Banyak di antara perusahaan air minum ini mengalami kebocoran produksi air minum (NRW, non-revenue water) dalam tingkat yang tinggi, teknologi dan pemeliharaan yang tidak memadai, dan kemampuan institusional yang terbatas.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
127
128
Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum
Kendala Mendapatkan Akses Pendanaan
Pendanaan dari Pemerintah tidak dapat memberi solusi sepenuhnya terhadap permasalahan ini. Bagi Pemerintah Pusat, pendanaan untuk air minum dan sanitasi bukan merupakan prioritas utama, dan harus bersaing dengan kebutuhan mendesak di sektor lain seperti kesehatan dan pendidikan. Jumlah yang pasti pendanaan di tingkat daerah sulit ditentukan secara akurat karena tersebar di antara sejumlah kantor dinas, tetapi alokasi secara keseluruhan diyakini serendah 1 hingga 2 persen dari seluruh APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Beberapa sumber pendanaan swasta dapat diakses sebagai kelanjutan dari PP no. 29/2009, yang mempertemukan bank komersial dengan PDAM yang ingin mendapatkan pengembalian biaya mereka melalui mekanisme jaminan yang mengurangi risiko bagi bank pemberi pinjaman dan menyediakan subsidi bunga hingga 5 persen (lihat Uraian Kegiatan IndII pada halaman 52). Meski demikian, PDAM masih mengalami kesulitan dalam mengakses keuangan yang mereka butuhkan. Pemda dan PDAM biasanya masih mengalami kesulitan dalam merumuskan proyek yang layak perbankan (bankable), sebagian disebabkan karena kurangnya pengalaman dan sebagian karena tidak adanya preseden yang dapat dijadikan dasar membuat proyeksi biaya dan pendapatan. Pemberi pinjaman pada umumnya enggan menangani pembiayaan infrastruktur akibat sedikitnya bukti historis yang tersedia mengenai risiko kredit terkait proyek infrastruktur di daerah. Bila proyek infrastruktur berskala kecil (dengan pengeluaran modal atau capex di bawah USD 10 juta), amat sulit menggandeng bank dan investor institusional. Biaya evaluasi, pelaksanaan, dan pemantauan proyek infrastruktur selalu tinggi. Untuk proyek kecil, rasio antara biaya dan laba yang dapat diperoleh tidak menarik bagi pemberi pinjaman. KPS tampak dapat menawarkan alternatif yang menjanjikan untuk mengakses dana. Dan memang benar, dalam daftar KPS terkini dari Pemerintah, tercatat lebih dari 50 proyek air minum pada tahun 2012. Namun, 33 di antaranya dibatalkan karena kurangnya kemajuan. Dari 24 proyek air minum lainnya di dalam daftar tersebut hanya empat (Mata Air Umbulan di Jawa Timur, Bandar Lampung, Maros di Sulawesi Selatan, dan Pondok Gede di Bekasi) yang telah mencapai tahap pra-kualifikasi. Namun, hingga saat ini belum ada yang ditawarkan dalam tender. Terdapat berbagai alasan yang melatarbelakangi kurangnya kemajuan ini. Negosiasi antara Pemerintah Pusat dan Pemda
Prakarsa Compendium | Jilid 3
mengenai tingkat subsidi ternyata berlangsung sangat alot, dan donor terombang-ambing antara pembangunan kapasitas yang disasar di PDAM dan menjamin kelayakan proyek-proyek tersebut dalam hal keuangan.
Model B2B
Namun, tidak semuanya kabar buruk. Sementara proyek KPS berskala besar mengalami kemandekan, partisipasi swasta dalam sektor air minum tumbuh subur dengan menggunakan model yang dikenal dengan istilah B2B. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah melakukan upaya untuk memudahkan sektor swasta masuk ke proyek air minum dengan menerbitkan Permen no. 12/2010, yang menciptakan ruang bagi kontrak yang ditandatangani antara PDAM dengan pihak swasta secara langsung. Proyek-proyek ini berada di luar ketentuan pengadaan sesuai standar internasional KPS, dan tidak perlu melalui tender umum (public tender) atau skema serupa kontes kecantikan. Kontrak semacam ini memanfaatkan daerah “abu-abu” dalam Perpres no. 67/2005 tentang KPS dalam pembangunan infrastruktur, dan setidaknya untuk saat ini, Pemerintah Pusat mendukungnya. Melalui B2B, pengusaha swasta dapat meraih peluang untuk menjamin bahwa aset-aset direhabilitasi dan dikelola dengan baik, setelah adanya investasi awal dari Pemerintah Pusat. Kontrak-kontrak B2B berlaku pada proyek-proyek yang mencakup rehabilitasi dan perluasan aset pada bidang pelayanan tertentu PDAM, yang sudah ada (misalnya, antara PT Moya Indonesia dan PDAM Kabupaten Bekasi; PT Bangun Tirta Lebak dan PDAM di Maja, Lebak; serta PT Sarana Catur Tirta Kelola dan PDAM Kabupaten Serang). Dalam beberapa kasus, kontrak-kontrak tersebut mencakup dibangunnya instalasi pengolahan air minum baru (misalnya, kontrak antara PT Dewata Bangun Tirta dan PDAM Legundi, Gresik; dan antara PT Drupadi Agung Lestari dan PDAM Banjarbaru).
Beragam Layanan
Kontrak B2B dapat meliputi sejumlah kegiatan, seperti: menyediakan layanan (pencatatan meter, pembuatan tagihan, dan/atau pemeliharaan pompa dan peralatan lain); memperluas sistem penyediaan air minum (perluasan distribusi dan pipa retikulasi); mengurangi kebocoran produksi air minum (NRW, Non-Revenue Water) kontrak berbasis kinerja yang merinci pengurangan kebocoran produksi air minum yang harus dicapai 1); meningkatkan efisiensi energi (kontrak berbasis kinerja yang merinci penurunan dalam pemakaian energi); dan meningkatkan manajemen PDAM (kemitraan antara PDAM dan mitra swasta yang dirancang untuk meningkatkan kinerja PDAM dalam kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan).
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Proyek di Bandar Lampung, salah satu yang tercatat dalam daftar KPS Pemerintah terkini, adalah satu dari beberapa proyek yang sudah mencapai tahap pra-kualifikasi.
Penyebab Terjadinya Pertumbuhan Pesat
Keterlambatan dalam contoh KPS tidak tampak menghambat perkembangan kontrak-kontrak B2B di Indonesia. Namun, tender umum yang berhasil barangkali dapat mendorong Pemda untuk lebih memperhatikan sistem penawaran bersaing dan mengarah ke peralihan dari model B2B.
Atas perkenan 22Kartika dari flickr
Beberapa penyebab terjadinya pertumbuhan pesat yang telah diidentifikasi dalam B2B di bidang penyediaan air minum adalah: • Peningkatan lingkungan usaha. Secara keseluruhan lingkungan usaha mengalami peningkatan,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
129
130
Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum
Gambar 1: Kisah Sukses KPS di Sektor Air Minum Indonesia
No
Daerah/Wilayah
Modalitas KPS
Kapasitas (liter per detik)
Mitra/Operator Swasta
Periode Waktu
Jenis B2B
1
Jakarta (bagian Barat)
Konsesi Penuh
6,200
PT PALYJA & Astratel
1998–2023
100% Swasta
2
Jakarta (bagian Timur)
Konsesi Penuh
6,500
PT AETRA AIR JAKARTA
1998–2023
100% Swasta
3
Kota Medan
BOT untuk WTP
500
PT Tirta Lyonnaise Medan (TLM)
1999–2024
JV Lyonnaise 85% : PDAM 15%
4
Kab. Deli Serdang – Patumbak
BOT untuk WTP
1,000
PT Drupadi Agung Lestari
2012–2032
100% Swasta
5
Kab. Deli Serdang – Mariendal
BOT untuk WTP
1,000
PT Drupadi Agung Lestari
2012–2032
100% Swasta
6
Lubuk Pakam – Sumut
ROT untuk WTP
100
PT Tirta Sumut
Data tidak tersedia
JV WFI 55% : PDAM 45%
7
Batam
Pemegang Konsesi Sepenuhnya
3,000
PT Adhya Tirta Batam (ATB)
1995–2020
100% Swasta
8
Kota Jambi
BOT untuk WTP
200
PT Noviantama Corporation (Novco)
1998–2013
100% Swasta
9
Pekanbaru
Operasi Gabungan
600
PT KTDP & PT WFI (Belanda)
Gagal tahun 2008
Kerja Sama Gabungan
10
Palembang
Konsesi Penuh
200
PT Adhya Tirta Batam (ATS)
2000–2025
100% Swasta
11
Bintaro Jaya
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
100
PT Pembangunan Jaya
Data tidak tersedia
100% Swasta
12
BSD City
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
150
PT Bumi Serpong Damai
Data tidak tersedia
100% Swasta
13
Kabupaten Serang (Timur)
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
600
PT Sarana Tirta Cahaya Kencana (STCK)
2009–2028
100% Swasta
14
Kabupaten Serang
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
100
PT Sarana Tirta Cahaya Kencana (STCK)
2008–2027
100% Swasta
15
Kabupaten Serang (Utara)
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
150
PT Sauh Bahtera Samudera (SBS)
1996–2016
100% Swasta
16
Kota Serang
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
600
PT Tirta Serang Madani (TSM)
2010–2024
JV EPMB 90% : PDAM 10%
17
Kota Cilegon
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
600
PT Krakatau Tirta Industri (KTI)
Data tidak tersedia
100% Swasta
18
Kota Maja – Kab. Lebak
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
100
PT Bangun Tirta Lebak (PT CRM sebagai sponsor)
2012–2031
JV CRM 90% : PDAM 10%
19
Kota Tangerang
Konsesi Penuh
50
PT Bintang Hetien Jaya
2009–2028
100% Swasta
20
Kota Tangerang
BOO untuk WTP
100
PT Multi Agung Transco
Data tidak tersedia
100% Swasta
21
Kota Tangerang
BOO untuk WTP
30
PT Cilamaya Subur
Data tidak tersedia
100% Swasta
22
Kota Tangerang
ROT untuk WTP
420
MOYA Asia Ltd. – PT Moya Indonesia
2012–2031
100% Swasta
23
Kota Tangerang
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
1,500
MOYA Asia Ltd. – PT Moya Indonesia
2012–2031
100% Swasta
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
No
Daerah/Wilayah
Modalitas KPS
Kapasitas (liter per detik)
Mitra/Operator Swasta
Periode Waktu
Jenis B2B
24
Kota Tangerang
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
500
MOYA Asia Ltd. – PT Moya Indonesia
2012–2031
100% Swasta
24
Kabupaten Tangerang
O&M untuk WTP
3,000
PT Tirta Cisadane
1998–2013
100% Swasta
26
Kabupaten Tangerang
RUOT untuk WTP
1,500
PT Tirta Kencana Cahaya Mandiri (TKCM)
Data tidak tersedia
100% Swasta
27
Kabupaten Tangerang
Pemegang Konsesi Sepenuhnya (KPS yang dianjurkan)
900
PT AETRA Air Tangerang
2008–2033
100% Swasta
28
Lippo Karawaci
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
250
PT Lippo Karawaci
Data tidak tersedia
100% Swasta
29
Kabupaten Bekasi
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
50
PT Kemang Pratama
Data tidak tersedia
100% Swasta
30
Kabupaten Bekasi
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
200
MOYA Asia Ltd. – PT Moya Indonesia
2012–2031
100% Swasta
31
Kota Legenda – Bekasi
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
25
PT Cikarang Permai
Data tidak tersedia
100% Swasta
32
Kab. Bekasi (Tambun Selatan)
Konsesi Penuh
20
PT Putra Alvita Pratama
Data tidak tersedia
100% Swasta
33
Kawasan Industri MM2100 Cibitung
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
100
MM2100 Industrial Town
Data tidak tersedia
100% Swasta
34
Bukit Indah Cikarang Industrial Estate
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
150
PT Bukit Indah
Data tidak tersedia
100% Swasta
35
Kabupaten Bekasi (Cikarang Barat)
Konsesi Penuh
30
PT Watertech Estate Cikarang
Data tidak tersedia
100% Swasta
36
Kabupaten Bekasi (Cikarang Utara)
Konsesi Penuh
20
PT Sri Pertiwi Sejati
Data tidak tersedia
100% Swasta
37
Kawasan Industri Hyundai Cikarang
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
50
PT Hyundai Inti Development
Data tidak tersedia
100% Swasta
38
Kawasan Industri Jababeka Cikarang
Konsesi Penuh
300
PT Jababeka Infrastruktur
Data tidak tersedia
100% Swasta
39
Kawasan Industri Lippo Cikarang
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
250
PT Lippo Cikarang, Tbk
2001
100% Swasta
40
Kabupaten Bekasi (Kota Deltamas)
Konsesi Penuh
25
PT Pembangunan Deltamas
Data tidak tersedia
100% Swasta
41
Kabupaten Karawang (Cikampek)
Konsesi Penuh
200
PT WATS
Data tidak tersedia
100% Swasta
42
Kabupaten Subang
O&M untuk WTP
40
PT Mitra Lingkungan Dutaconsult (MLD)
2002–2012
100% Swasta
43
Kota Semarang
RUOT untuk WTP
600
PT Tirta Gajah Mungkur
2005–2020
100% Swasta
44
Kabupaten Semarang (Bawen)
BOT untuk WTP dan jaringan pipa
250
PT Sarana Tirta Ungaran
2005–2024
100% Swasta
Prakarsa Compendium | Jilid 3
131
132
Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum
Gambar 1: Kisah Sukses KPS di Sektor Air Minum Indonesia
Modalitas KPS
Kapasitas (liter per detik)
Daerah/Wilayah
45
Kabupaten Sidoarjo (Kec. Taman)
RUOT untuk WTP dan jaringan pipa
600
PT Hanarida Tirta Birawa (Gadang Bhd)
2004–2024
100% Swasta
46
Kabupaten Sidoarjo (Kec. Taman)
BOT untuk WTP
250
PT Taman Tirta Sidoarjo (Gadang Bhd)
1999–2029
100% Swasta
47
Kabupaten Gresik – Kec. Legundi
BOT untuk WTP dan jaringan pipa
200
PT Dewata Bangun Tirta
2012–2036
100% Swasta
48
Kabupaten Gresik – Kec. Krikilan
ROT untuk WTP dan jaringan pipa
100
PT Drupadi Agung Lestari
2012–2036
100% Swasta
49
Kab. Gresik dan Kota Surabaya (sebagian)
Pemegang Konsesi Sepenuhnya
400
PT Citraland
Data tidak tersedia
100% Swasta
50
Kota Surabaya (sebagian)
Pemegang Konsesi Sepenuhnya
300
PT Pakuwon
Data tidak tersedia
100% Swasta
51
Kab. Gresik dan Kab. Lamongan (sebagian)
BOO untuk WTP dan jaringan pipa
600
PT Semen Gresik
Data tidak tersedia
100% Swasta
52
Kabupaten Badung – Bali
BOT untuk WTP
300
PT Tirta Arha Buana Mulia
1993–2013
Patungan Swasta 65% : PDAM 35%
53
Kabupaten Gianyar – Bali
RUOT untuk WTP
200
PT Bali Bangun Tirta (Berjaya Sdn Bhd)
2007–2027
100% Swasta
54
Banjarmasin
Bangun, Sewakan, dan Serahkan
500
PT Adhi Karya
Data tidak tersedia
Data tidak tersedia
55
Banjar Baru
BOT untuk WTP dan jaringan pipa
500
PT Drupadi Agung Lestari
2013–2034
100% Swasta
56
Samarinda
BOT untuk WTP
400
PT WATS
Data tidak tersedia
100% Swasta
57
Makassar (Panaikang)
ROT untuk WTP
1,000
PT Traya Tirta Makassar
2007–2021
100% Swasta
58
Makassar (Maccini Sombala)
ROT untuk WTP
400
PT Multi Enka Makassar
2011–2030
100% Swasta
59
Makassar (Somba Opu)
ROT/BOT untuk WTP dan pipa
3,000
PT Bahana Cipta
2011–2030
100% Swasta
60
Manado
ROT/O&M untuk WTP dan pipa
250
PT Water Laboratory Nusantara (WLN)
2008–2023
Patungan WMD 51% : PDAM 49%
61
Ambon
ROT/O&M untuk WTP dan pipa
100
PT Water Laboratory Nusantara (WLN)
2009–2024
Patungan WMD 51% : PDAM 49%
KETERANGAN BOT = Build Operate Transfer (Bangun Operasikan Serahkan) WTP = Water Treatment Plant (Instalasi Pengolahan Air Minum) ROT = Rehabilitate Operate Transfer (Rehabilitasi Operasikan Serahkan) BOO = Build Operate Own (Bangun Operasikan Miliki)
Mitra/Operator Swasta
Periode Waktu
No
O&M = Operations and Maintenance (Pengoperasian dan Pemeliharaan) RUOT = Rehabilitation Upgrading Operate Transfer (Rehabilitasi Peningkatan Operasikan Serahkan)
Sumber: Situs web BPPSPAM, Survei CRM (2012), dan riset di internet. Status proyek per Juni 2013.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jenis B2B
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
waktu lama, baik bagi peserta tender maupun pemerintah, sehingga dalam praktik jarang dilakukan. Tender biasanya terhambat oleh kecenderungan sektor swasta untuk membatasi akses terhadap informasi, yang menimbulkan pertanyaan bagaimana dapat mempertahankan tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.
pertumbuhan ekonomi kuat, dan Indonesia telah dinaikkan ke status “peringkat investasi” (investment grade) oleh berbagai lembaga pemeringkat. • Waktu persiapan lebih singkat dibandingkan KPS standar. Proses KPS yang panjang dan tender kompetitif tidak diperlukan untuk kontrak B2B. Tender kompetitif memerlukan biaya tinggi dan Gambar 2: Peluang Saat Ini bagi B2B di Sektor Air Minum Indonesia (2014)
PDAM
SPAM (lokasi)
Sektor Swasta/ Sponsor Proyek
Kapasitas dalam liter per detik (lpd)
Lingkup B2B
Kabupaten Bekasi
SPAM Pondok Gede
PT Perum Jasa Tirta 2
100
Hulu
Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor Tengah
PT Acuatico Air Indonesia
600
Hulu
Kabupaten Bogor
Wilayah Kota Bogor
Kontes kecantikan yang akan diselenggarakan oleh PDAM
300
Hulu
Kabupaten Bogor
SPAM Sentul City –Jonggol Asri
Akan dipromosikan oleh PDAM
200
Hulu
Kota Depok
SPAM Citayam (daerah lapangan hijau)
Akan dipromosikan oleh PDAM
300
Hulu & hilir
Kabupaten Karawang
SPAM Teluk Jambe
Beauty contest to be organised by PDAM
300 lpd
Hulu
Kabupaten Kendal
Kota Kendal dan sekitarnya
PT GTI Indonesia
300 lpd
Hulu
Kota Makassar
SPAM Tamalanrea
PT Moya Indonesia
600 lpd
Hulu
Kota Pontianak
SPAM Pontianak Utara
Akan dipromosikan oleh PDAM
300 lpd
Hulu
Kota Semarang
SPAM Pramuka
Akan dipromosikan oleh PDAM
200 lpd
Hulu
Kabupaten Serang
SPAM Cipasauran
Akan dipromosikan oleh PDAM
400 lpd
Hulu & hilir
PT CRM
Riset olehHulu penulis (2014) 200Sumber: lpd & hilir
Keterangan: = Liter per SPAM detik Cibaja KabupatenLPD Serang SPAM = Sistem Penyediaan Air Minum Kabupaten Sidoarjo
SPAM Taman
Akan dipromosikan oleh PDAM
200 lpd
Hulu
Kabupaten Subang
SPAM Pamanukan
Akan dipromosikan oleh PDAM
100 lpd
Hulu & hilir
Kota Tebing Tinggi
SPAM Tebing dan Serdang Bedagai
Akan dipromosikan oleh PDAM
200 lpd
Hulu
KETERANGAN LPD = Liter per detik SPAM = Sistem Penyediaan Air Minum
Sumber: Riset oleh penulis (2014)
Prakarsa Compendium | Jilid 3
133
134
Pembiayaan Business-to-Business: Model Pembiayaan Proyek KPS Berskala Kecil di Sektor Air Minum
• Investasi modal rendah. Investasi modal untuk B2B relatif kecil jika dibandingkan dengan proyek KPS standar. • Kebutuhan akan investasi PDAM yang lebih besar. Sekitar dua-pertiga dari semua PDAM tidak berinvestasi cukup besar untuk mengejar laju pertumbuhan penduduk dan penyusutan aset, sehingga meningkatkan daya tarik kontrak B2B.
Peluang yang Menjanjikan
Saat ini terdapat sekitar 60 proyek penyediaan air minum yang sedang berjalan, di mana sektor swasta memainkan peran dalam pembiayaan dan manajemen (lihat Gambar 1), dan banyak lagi sedang dalam tahap pembahasan (lihat Gambar 2). Agar peluang ini membuahkan hasil, investor swasta harus berkolaborasi baik dengan para Bupati maupun direktur PDAM.
Tantangan dan Rintangan
Sebagaimana terjadi dalam setiap modalitas pembiayaan, kontrak B2B menghadapi berbagai tantangan, yang dapat mencakup: • Kemampuan institusional PDAM yang terbatas. PDAM memiliki kemampuan teknis dan manajerial yang terbatas. • Pejabat PDAM dan Pemda tidak berkomunikasi secara efektif. • Kurangnya kepercayaan. Pemda tidak mempercayai PDAM untuk membelanjakan dana secara efisien dan tidak tahu cara mempertanggungjawabkannya. • Kurangnya minat. Pemda tidak terlalu peduli pada sektor air minum. • Tidak responsif terhadap permintaan konsumen. Baik PDAM maupun Pemda tidak responsif terhadap pelanggan. Sementara konsumen meminta layanan air minum yang lebih baik, permintaan mereka tidak sampai pada Pemda karena tidak tersedianya cukup saluran untuk menyampaikan tuntutan mereka sehingga diketahui, dan kurangnya informasi untuk mengukur kinerja PDAM mereka. • Biaya transaksi tinggi. Biaya di muka yang tinggi untuk proyek infrastruktur berskala kecil mengurungkan minat investor. • Hambatan di sektor keuangan. Meskipun aset yang dipegang bank dan investor institusional tumbuh
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dengan pesat, bank domestik dan pasar modal umumnya tidak siap untuk menyalurkan simpanan domestik ke dalam pembiayaan proyek infrastruktur air minum B2B berskala kecil. • Kurangnya riwayat kredit. Pemberi pinjaman enggan membiayai infrastruktur karena risiko kreditnya tidak diketahui. Pemberi pinjaman umumnya hati-hati dan berfokus pada risiko yang terkait dengan pembangunan dan pengoperasian proyek infrastruktur air minum KPS yang besar. Mereka lebih cenderung mensyaratkan jaminan yang dapat diambil ketika terjadi gagal bayar (default). • Kurangnya kemampuan pengembangan proyek. Pemda dan PDAM biasanya mengalami kesulitan dalam menyusun proyek yang menarik bagi dunia perbankan, sebagian disebabkan karena kurangnya pengalaman dan sebagian lagi karena tidak adanya preseden yang dapat dijadikan dasar dalam memproyeksikan biaya dan pendapatan. • Tantangan dalam pengembalian biaya. Secara politis dan sosial, mungkin sulit untuk menetapkan tarif pada tingkat pengembalian biaya (cost-recovery level). Pendapatan yang dihasilkan oleh proyek infrastruktur air minum KSP berskala kecil mungkin relatif kecil pula. • Kurangnya pengetahuan mengenai KPS. Pemda mungkin tidak memahami apa-apa yang bisa menarik minat sektor swasta untuk menjalin kemitraan. Mereka masih perlu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan yang tidak ketahui dan tidak diperkirakan selama berlangsungnya kemitraan.
Strategi Menuju Sukses
Rintangan-rintangan ini bukan tidak dapat diatasi. Inisiatifinisiatif lain yang membangun kapasitas dan ketanggapan di sektor air minum akan membuka jalan bagi pengaturan B2B yang lebih efektif. Sebagai salah satu contoh, lihat “Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum” di halaman 137 edisi ini, mengenai penyusunan indeks yang dapat membantu masyarakat melakukan advokasi berbekal pengetahuan untuk meningkatkan layanan air minum daerah. Biaya transaksi yang tinggi dapat diatasi dengan mengidentifikasikan dan menggabungkan proyek-proyek yang layak; mencocokkan investor berpotensi dengan pemilik proyek; dan menggandeng tenaga ahli untuk
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
mempersiapkan analisis pasar, teknik, dan keuangan yang diperlukan guna merumuskan proyek yang layak perbankan. Penggabungan proyek juga dapat menjadikannya lebih ekonomis bagi investor untuk mengevaluasi, melaksanakan, dan memantau proyek. Cara lain untuk memfasilitasi persiapan proyek yang layak perbankan dan mengurangi biaya adalah menciptakan “fasilitas pengembangan proyek” (project development facilities). Fasilitas semacam itu dapat diciptakan dalam berbagai bentuk dan memainkan peran yang berbeda-beda tergantung pada kebutuhan. Demi keberlanjutan di sektor politik dan sosial, subsidi mungkin diperlukan untuk membiayai selisih antara suku bunga pemberian pinjaman (lending interest rate) dan suku buku pinjaman (borrowing interest rate) yang memungkinkan. Upaya selanjutnya akan diperlukan untuk menentukan efektivitas strategi-strategi tersebut. Secara keseluruhan, jelas bahwa masih terdapat kebutuhan untuk meningkatkan kerangka kerja hukum, membentuk pola pembiayaan baru yang inovatif, dan menciptakan fasilitas pengembangan proyek berikut clearinghouse. Pembangunan kapasitas bagi semua pemangku kepentingan yang terkait (DPRD, BPKP, Pemda, PDAM, dan sektor perbankan baru) termasuk sektor swasta (investor, konsultan, dan kontraktor) akan
mendukung mereka dalam menyusun proyek, yang memungkinkan, yang layak perbankan. Para pemangku kepentingan tersebut tampak sangat berminat untuk dilatih dan termotivasi untuk lebih memahami permasalahan seputar pembangunan infrastruktur dasar. Mereka siap menerima kenyataan bahwa proyek-proyek B2B mendapat tempat dalam pembangunan sektor air minum Indonesia. ●
Tentang Penulis: Eko Bagus Delianto memiliki rekam jejak pencapaian dalam industri teknik dan konsultansi serta promosi B2B untuk sistem penyediaan air minum berskala kecil di Indonesia. Di bawah kepemimpinannya, lebih dari 20 proyek air minum dan air limbah telah dibangun, dirancang, dan dilaksanakan. Eko memperoleh gelar sarjana di bidang Teknik Sipil dari Universitas Sebelas Maret pada tahun 1986. Ia meraih gelar MBA dari University of Manchester di Inggris pada tahun 2010. Selain itu, Eko dan perusahaannya, PT Ciriajasa Rancangbangun Mandiri (CRM) saat ini sedang sibuk dengan persiapan proyek penyediaan air minum KPS di Pekanbaru dan Pamarayan. CRM bekerja sebagai konsultan KPS untuk dua investor Korea yang berbeda.
CATATAN 1. Proyek IUWASH dari USAID mempromosikan gagasan ini melalui Nota Kesepahaman (MoU) dengan MIYA (penyedia global solusi untuk efisiensi air minum perkotaan secara komprehensif, termasuk pengurangan NRW) dan lima PDAM (di Bogor, Semarang, Solo, Surabaya, dan Malang). Program Pengurangan NRW yang dihasilkan akan dibiayai sepenuhnya oleh MIYA dengan menggunakan skema B2B. Baru-baru ini perusahaan Denmark EnviDan, bekerjasama dengan PT Ciriajasa Rancangbangun Mandiri (perusahaan konsultansi dan teknik Indonesia yang menyediakan keahlian dengan spesialisasi di bidang manajemen dan produksi air minum berkualitas tinggi melalui KPS), memperkenalkan program Pengurangan NRW kepada 15 PDAM melalui pola B2B yang berkembang dari lokakarya mengenai NRW yang diselenggarakan oleh BPPSPAM.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
135
POIN-POIN UTAMA Keunggulan dalam penyediaan layanan publik didukung oleh praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang baik. Kinerja penyediaan layanan sektor air minum bukanlah semata-mata produk perusahaan-perusahaan air minum daerah (seperti PDAM), melainkan juga memerlukan keterlibatan aktif dari Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat sipil. Tata kelola air minum ditandai oleh transparansi, akuntabilitas, partisipasi, kesetaraan, daya tanggap, dan koherensi. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) telah menerapkan strategi-strategi yang meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik, seperti program-program bantuan berbasis keluaran yang mendukung peningkatan hubungan antara Pemda, PDAM, dan warga. Untuk melengkapi upaya tersebut, disusun perangkat lain yang saat ini tengah diterapkan, yaitu: Indeks Layanan Air Minum dan Sanitasi (Water and Sanitation Services Index, WSSI). Indeks ini merupakan gabungan dari delapan sub-indeks yang terkait dengan tata kelola pemerintahan dan kinerja sebagai tolok ukur sederhana, berdampak besar terkait bagaimana Pemda menjalankan sektor air minum dan sanitasi. WSSI dirancang untuk mendukung peningkatan terus-menerus terhadap transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, daya tanggap, dan partisipasi. Program ini secara langsung menyertakan pandangan-pandangan dan kepuasan dari anggota masyarakat yang paling utama, yaitu para pengguna akhir dari layanan penyediaan air minum dan sanitasi. Pendekatan WSSI berbeda dari sistem penetapan tolok ukur penyediaan air minum dan sanitasi yang ada, yang cenderung menekankan indikator-indikator kuantitatif (teknis, keuangan, dan operasional). WSSI disusun menjadi dua komponen, yaitu: lima sub-indeks tata kelola pemerintahan dan tiga sub-indeks “berbasis warga”. Komponen ini menggabungkan hard data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, wawancara dan uji fisik air dengan soft data berdasarkan persepsi pelanggan. Pada putaran pertama secara lengkap, yang saat ini sedang dilaksanakan WSSI akan mencakup antara 100 hingga 150 Pemda, termasuk survei terhadap 300 rumah tangga per kabupaten, yang mencakup sampai dengan 45.000 rumah tangga. WSSI diujicobakan di Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, mencapai 3.600 rumah tangga dan menguji 960 air leding. Temuan menunjukkan adanya tekanan air yang tidak memadai, kualitas air yang buruk, dan ketidakpuasan/ketidaktahuan warga. Secara anekdot, jelas bahwa penerapan indeks itu sendiri akan mendorong warga dan para pejabat publik untuk berpikir lebih jauh tentang kualitas layanan air minum dan sanitasi. Serangkaian indeks dari pelaksanaan pertama WSSI secara utuh akan tersedia pada 2015. Data itu sendiri akan secara langsung dapat dimanfaatkan para perencana, pembuat kebijakan, dan warga dalam upaya mereka mewujudkan tata kelola pemerintahan dan layanan yang lebih baik. Idealnya, hasil upaya tersebut akan mendorong rasa kepemilikan daerah, sehingga penerapan berulang WSSI yang baru dapat dilaksanakan di tahun-tahun mendatang, yang memungkinkan Pemda untuk terus menerus meningkatkan layanan mereka.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
SEBUAH PERANGKAT MENJANJIKAN UNTUK MENINGKATKAN TATA KELOLA AIR MINUM Tata kelola yang baik di sektor air minum sangat penting untuk meningkatkan penyediaan layanan. Sebuah perangkat baru yang dirintis oleh IndII mendukung upaya untuk meningkatkan tata kelola ini.
Catatan Editor: Artikel di bawah ini menggambarkan “Indeks Layanan Air Minum dan Sanitasi”, sebuah perangkat yang dirancang untuk mendukung peningkatan tata kelola sektor air minum berkelanjutan dengan mengembangkan transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, daya tanggap, dan partisipasi. Sebagian besar isi artikel ini diambil dari “Local Government Water Supply And Sanitation Indeks: Operations Manual,” sebuah laporan yang disusun pada bulan April 2013 oleh DAI, yang diikutsertakan di bawah Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh Pemerintah Australia. Artikel ini juga mengacu pada dokumentasi IndII berikutnya tentang pelaksanaan WSSI. Indonesia memberikan prioritas tinggi pada penyediaan layanan air minum dan sanitasi dasar bagi warganya. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional menetapkan tercapainya akses penuh terhadap layanan dasar pada tahun 2019. Sebuah tantangan yang berat, karena lebih dari 100 juta penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap air bersih dan lebih dari 70 persen dari 220 juta penduduk
negeri ini bergantung pada air yang diperoleh dari sumber yang kemungkinan telah tercemar 1. Undang-Undang No. 32 dan 33/2004 tentang desentralisasi secara jelas menempatkan tanggung jawab atas pelayanan air minum dan sanitasi pada Pemerintah Daerah (Pemda), tetapi tanggung jawab ini tidak mudah mereka penuhi. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) telah berjuang untuk memenuhi permintaan dan menjaga solvabilitas fiskal sebelum desentralisasi. Situasi ini, dalam banyak hal, semakin memburuk akibat pengalihan moneter dan peraturan perundangan kepada Pemda. Sebelum krisis ekonomi dan reformasi yang mengiringinya misalnya, penerusan pinjaman (sub-loan) yang diperoleh dari donor internasional dan disalurkan melalui Kementerian Keuangan merupakan andalan dalam pembiayaan infrastruktur penyediaan air minum. Apa yang semula merupakan aliran uang yang stabil (dengan rata-rata sekitar 30 perjanjian penerusan pinjaman yang dilunasi setiap tahun), perlahanlahan melambat selama dekade terakhir.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
137
138
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Gambar 1: Tata kelola Pemerintahan yang Baik dalam Penyediaan Pelayanan
Pemerintahan Daerah Pengawasan dan Peraturan
Partisipasi dan Akuntabilitas
Pemberian Layanan
Warga dan Masyarakat Sipil
Transparansi dan Keadilan
Penyelenggaran Layanan
Selain itu, dengan kemampuan ketatapemerintahan di tingkat kabupaten yang relatif rendah, banyak Pemerintah Daerah telah berjuang untuk mengatur transfer antar lembaga pemerintah yang berkembang dengan pesat secara efisien. Akibatnya, investasi infrastruktur di semua bidang – khususnya dalam penyediaan air minum dan sanitasi – mengalami kemerosotan. Meskipun menghadapi beragam tantangan, berbagai hal yang dijanjikan desentralisasi secara bertahap mulai terwujud di kota-kota di seluruh Indonesia. Didukung oleh pertumbuhan pendapatan, mandat peraturan yang lebih jelas, dan upaya peningkatan kapasitas Pemerintah Pusat, Pemda mulai berhasil mewujudkan sejumlah manfaat nyata dalam peningkatan pelayanan publik. Yang tidak kalah pentingnya, kisah sukses di sektor air minum dan sanitasi di seluruh Indonesia mengedepankan PemdaPemda yang telah melaksanakan reformasi dan melaukan investasi secara proaktif pada penyedia layanannya. Kotakota seperti Bogor, Malang, dan Palembang merupakan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
bukti bahwa ketika Pemda secara aktif memperhatikan kualitas layanan publik seperti penyediaan air minum, kemajuan nyata dapat terwujud. Tentu saja, walaupun para manajer PDAM yang baik dapat melakukan perubahan internal yang signifikan untuk mencapai peningkatan kinerja jangka pendek, perubahan berkesinambungan hanya mungkin terjadi apabila ada dukungan dan komitmen penuh dari badan pengawas, Pemda, dan DPRD. Hasil nyata yang dicapai Pemda-Pemda yang lebih progresif di Bogor, Malang, dan Palembang dalam banyak hal tidaklah mengejutkan. Dengan kata lain, bukan rahasia bahwa keunggulan dalam penyediaan layanan publik didukung oleh praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 1, kinerja penyediaan layanan bukanlah semata-mata produk para penyelenggara (seperti PDAM), melainkan juga memerlukan keterlibatan aktif dari entitas Pemda dan masyarakat sipil. Pemda melaksanakan fungsi-fungsi pengawasan dan pengaturan yang penting, dengan menyediakan lingkungan gerak yang efektif, dimana para penyelenggara dapat menyediakan layanan-layanan publik utama secara efisien, transparan, dan merata. Namun demikian, sebagai wakil masyarakat terpilih, Pemda juga harus memfasilitasi partisipasi masyarakat dan warga sipil dengan menjamin bahwa kebutuhan ekonomi dan sosial warga terpenuhi secara memadai. Sementara begitu banyak perhatian telah dicurahkan untuk mewujudkan “tata kelola pemerintahan yang baik” secara lebih luas – belum lagi pengembangan cara pengukurannya – gagasan khusus “tata kelola air minum” tidak memperoleh fokus yang memadai. Secara umum, tata kelola air minum dapat didefinisikan sebagai rangkaian sistem politik, sosial, ekonomi, dan administrasi yang berlaku untuk mengembangkan dan mengelola sumber daya air minum dan penyediaan layanan air minum di berbagai tingkat masyarakat yang berbeda 2. Serupa seperti gagasan yang lebih luas tentang tata kelola pemerintahan yang baik, tata kelola air yang baik ditandai oleh transparansi, akuntabilitas, partisipasi, kesetaraan, daya tanggap, dan koherensi. Laporan pertama tentang Pengembangan Air Minum Dunia oleh Program Penilaian Air Minum Dunia (World Water Assessment Program) mendefinisikan ciri-ciri tersebut sebagai berikut 3:
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Amankah untuk diminum? Indeks Layanan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi tampak baik pada hard data tentang kualitas air minum maupun pada persepsi pelanggan.
• Transparansi: Informasi harus mengalir secara bebas dalam masyarakat. Segala proses dan keputusan harus bersifat transparan dan terbuka untuk pengawasan publik. • Akuntabilitas: Pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil harus bertanggung jawab kepada masyarakat atau kepentingan yang mereka wakili. • Partisipasi: Semua penduduk, baik laki-laki maupun perempuan, harus memiliki suara – secara langsung atau melalui organisasi perantara yang mewakili
Atas perkenan Christopher Cotrell
kepentingan mereka – dalam seluruh proses pengambilan kebijakan dan keputusan. Partisipasi yang lebih luas bergantung pada seberapa jauh Pemerintah Pusat dan Daerah menerapkan suatu pendekatan inklusif. • Kesetaraan: Semua kelompok masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, harus memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. • Koherensi: Dengan munculnya permasalahan sumber daya air minum yang semakin rumit, maka kebijakan dan tindakan yang sesuai harus dilaksanakan, sehingga menjadi koheren, konsisten, dan mudah dipahami.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
139
140
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Gambar 2: Komponen-Komponen Indeks Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Sub-Indeks 1. Perencanaan dan Penganggaran
Dimensi a) Proses-proses Perencanaan
1.1
Ketersediaan tujuan Pemda terkait penyediaan air minum dan sanitasi publik dalam rencana kerja tahun berjalan yang diketahui oleh publik.
1.2
Rencana Perusahaan PDAM disusun menurut utilitas secara transparan dan konsultatif, dengan dukungan resmi yang diperoleh dari Badan Pengawas dan Pelaksana Kabupaten.
1.3
Pemda memanfaatkan kelompok kerja sanitasi untuk memfasilitasi perencanaan dan penganggaran sanitasi yang terintegrasi.
1.4
Ketersediaan alokasi anggaran tahunan Pemda untuk layanan penyediaan air minum dan sanitasi selama tahun fiskal berjalan yang diketahui oleh publik.
1.5
Pemda berinvestasi secara langsung dalam perusahaan daerah air minumnya.
1.6
Total nilai aset PDAM sebagai suatu fungsi dari masyarakat yang dilayani.
1.7
Pemda mengalokasikan pendanaan untuk pembangunan dan pengoperasian prasarana air limbah.
2.1
Dewan Pengawas PDAM memiliki peran dan serangkaian tanggung jawab yang telah ditentukan secara jelas dan mengadakan pertemuan secara teratur untuk memenuhi tugas-tugas tersebut.
2.2
Laporan Kemajuan Manajemen Tahunan diberikan kepada Pelaksana Kabupaten/Kota oleh Direktur dan Dewan Pengawas PDAM.
2.3
Pemda menunjuk Direksi PDAM sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan untuk keperluan “uji kepatutan dan kelayakan.”
2.4
Pemda telah memberlakukan perjanjian manajemen berbasis kinerja dengan Direksi PDAM.
2.5
Pemda menyetujui penyesuaian kenaikan bertahap tarif reguler untuk PDAM.
2.6
Pemda mengatur pembuangan limbah sistem septik rumah tangga.
3.1
Pemda telah melaksanakan kampanye sosialisasi ke publik tentang pentingnya peningkatan sanitasi dan kebersihan.
3.2
Persentase rumah tangga yang telah melihat atau mendengar kampanye kesadaran tentang isu-isu air minum, sanitasi, dan kebersihan.
3.3
Persentase rumah tangga yang mengetahui bahwa Pemda bertanggung jawab atas penyediaan air minum di lingkungan sekitar mereka.
3.4
Persentase rumah tangga yang mengetahui bahwa Pemda bertanggung jawab untuk melindungi sungai dan air bawah tanah dari polusi saluran pembuangan.
b) Pelibatan Pelanggan
3.5
PDAM secara teratur melakukan survei kepuasan pelanggan independen.
3.6
PDAM secara teratur melibatkan para pelanggannya melalui pertemuan terencana, forum pelanggan, open house, atau sarana serupa lainnya.
a) Ketepatan Waktu dan Akurasi Informasi
4.1
PDAM memberikan informasi penting dan terkini tentang layanannya kepada pelanggan melalui situs web atau sarana lainnya.
4.2
Persentase pelanggan yang menyatakan bahwa tagihan mereka mencerminkan pemakaian air aktual.
b) Mekanisme Pengaduan
4.3
Sambungan telepon langsung (hotline) pelanggan khusus tersedia dan tanggap.
4.4
PDAM memiliki suatu sistem untuk mencatat dan melacak keluhan pelanggan.
b) Alokasi Anggaran
2. Peraturan dan Pengawasan
3. Sosialisasi dan Pelibatan Masyarakat
4. Layanan Pelanggan
Indikator
a) Kesadaran Masyarakat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Sub-Indeks
Dimensi c) Layanan yang Berpihak kepada Masyarakat Miskin
5. Administrasi Internal PDAM
6. Kinerja PDAM
a) Kualitas Layanan
b) Teknis dan Keuangan 7. Akses dan Penggunaan Layanan
8. Kepuasan Masyarakat
Indikator 4.5
Ketersediaan program amortisasi untuk biaya koneksi.
4.6
Pemanfaatan fasilitas air minum alternatif untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah.
5.1
PDAM memanfaatkan teknologi terkini untuk mengelola/melacak keuangan, aset, dan basis pelanggannya.
5.2
PDAM telah menetapkan kebijakan pengadaan yang jelas.
5.3
PDAM telah menetapkan Prosedur Operasional Standar yang mengatur fungsi-fungsi utama teknis, keuangan, dan sumber daya manusia.
5.4
PDAM memberlakukan kode etik resmi yang diakui oleh semua staf.
5.5
PDAM memiliki rencana pelatihan/pengembangan profesional untuk para stafnya.
6.1
Persentase pelanggan yang melaporkan sejumlah kecil masalah atau tidak adanya masalah terkait kualitas air leding.
6.2
Persentase pelanggan yang melaporkan bahwa tekanan air leding cukup memadai.
6.3
Persentase pelanggan yang melaporkan bahwa air leding tersedia secara terus-menerus.
6.4
Persentase pelanggan yang melaporkan bahwa penyediaan air leding dilakukan secara terjadwal.
6.5
Kekeruhan air yang mengalir dari keran air leding rumah tangga.
6.6
Tingkat residu klorin dari air yang mengalir dari keran air leding rumah tangga.
6.7
Tekanan air yang mengalir dari keran air leding rumah tangga.
6.8
Nilai kinerja teknis dan keuangan PDAM tahunan dari Badan Pengawas Keuangan tingkat Provinsi.
7.1
Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap peningkatan sumber daya air minum.
7.2
Persentase rumah tangga berpenghasilan rendah yang membayar kurang dari 5% dari penghasilan bulanan mereka untuk akses terhadap air bersih.
7.3
Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap peningkatan fasilitas sanitasi.
7.4
Persentase rumah tangga yang memiliki sistem septik yang dapat disedot pada saat dikuras.
8.1
Persentase rumah tangga yang puas dengan akses terhadap air bersih.
8.2
Persentase rumah tangga yang puas dengan kualitas air minum dari sumber daya air daerahnya.
• Daya tanggap: Lembaga-lembaga dan proses harus melayani semua pemangku kepentingan dan menanggapi dengan baik perubahan permintaan dan preferensi atau kondisi baru lainnya.
Apa yang dapat dilakukan oleh para pembuat kebijakan untuk meningkatkan tata kelola air minum yang baik dan membantu menjamin bahwa Indonesia akan mampu mencapai tujuannya secara berkelanjutan terkait
Prakarsa Compendium | Jilid 3
141
142
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Gambar 3: Uji Coba WSSI: Pemeringkatan Kabupaten
Nilai Tertinggi Medan Parepare Salatiga Kendal Semarang Pekalongan Takalar Makassar Binjai Jeneponto Deli Serdang Tanjung Balai 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Perencanaan dan Penganggaran
Administrasi Internal PDAM
Peraturan dan Pengawasan
Kinerja PDAM
Jangkauan Publik dan Keterlilbatan
Akses Layanan dan Penggunaan
Layanan Pelanggan
Kepuasan Warga
penyediaan layanan? Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh Pemerintah Australia telah menerapkan strategi-strategi yang dapat meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik, seperti program-program bantuan berbasis keluaran, yang tidak hanya memberi penghargaan terhadap keluaran kasat mata, seperti meningkatnya jumlah sambungan air minum untuk masyarakat miskin di daerah perkotaan, melainkan juga meningkatnya hubungan antara Pemda, PDAM, dan masyarakat. Untuk melengkapi upaya tersebut, digunakan suatu perangkat lain rintisan IndII yang saat ini tengah diterapkan sepenuhnya, yaitu: Indeks Layanan Air Minum dan Sanitasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
30.00
35.00
40.00
(Water and Sanitation Services Index, WSSI). Indeks ini merupakan gabungan dari delapan sub-indeks yang terkait dengan tata kelola pemerintahan dan kinerja sebagai tolok ukur sederhana, berdampak besar terkait bagaimana Pemda menjalankan sektor air minum dan sanitasi. Model ini meniru indeks-indeks tata kelola pemerintahan yang telah berhasil diterapkan di beberapa wilayah lain di Asia Tenggara dan dunia. WSSI dirancang untuk mendukung peningkatan terusmenerus terhadap transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, daya tanggap, dan partisipasi. Program ini secara langsung menyertakan pandangan-pandangan dan tingkat kepuasan para anggota masyarakat yang paling utama,
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
yaitu para pengguna akhir dari layanan penyediaan air minum dan sanitasi. Hal yang penting adalah pendekatan WSSI berbeda dengan sistem penetapan tolok ukur penyediaan air minum dan sanitasi yang ada, yang cenderung menekankan indikatorindikator kuantitatif (teknis, keuangan, dan operasional) yang diperoleh dari audit eksternal PDAM sendiri. WSSI dirancang untuk melengkapi dan menambah nilai terhadap pendekatan pemantauan yang berlaku saat ini. Empat aspek desain inti dari WSSI (persaingan antar Pemda, pemberdayaan warga, identifikasi praktik-praktik terbaik, dan pemantauan) menyentuh dan menggarap tujuan keseluruhan untuk mendorong Pemda agar lebih bertanggung jawab terhadap warga mereka dan melakukan reformasi dan peningkatan berkelanjutan dalam penyediaan layanan air minum dan sanitasi: Persaingan antar Pemda: WSSI dapat digunakan sebagai perangkat bagi Pemda untuk membandingkan dan memantau kinerja mereka sendiri dalam hal-hal yang terkait dengan Pemda di daerah sekitar wilayah mereka. Peringkat kabupaten dirancang untuk menumbuhkan persaingan positif di antara kabupaten-kabupaten guna meningkatkan kinerja mereka, saling mengukur satu sama lain bukan terhadap praktik terbaik eksternal yang tidak dapat dicapai, melainkan terhadap kabupaten berkinerja terbaik dan terburuk di dalam negeri. Dengan demikian, tercipta praktik-praktik dan kebijakan terbaik yang spesifik dari sisi daerah dan budaya yang dapat dipelajari dan diadaptasi oleh kabupaten-kabupaten di Indonesia. Pemberdayaan Warga: Masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan hasil WSSI untuk membandingkan kinerja kabupaten mereka terhadap kabupaten-kabupaten lain dan menggunakan suara dan perangkat advokasi (seperti kelompok masyarakat sipil setempat) untuk menekan Pemda guna meningkatkan kualitas layanan mereka menjadi lebih setara. Masyarakat Indonesia seringkali tidak menyadari kualitas penyediaan air minum yang seharusnya mereka peroleh. Melalui keterlibatan media dan kelompok masyarakat sipil secara teratur, WSSI diperkirakan akan menjadi perangkat yang berharga bagi warga untuk
memperoleh informasi yang lebih baik tentang kualitas layanan yang menjadi tanggung jawab Pemda mereka serta bagaimana perbandingannya dengan kabupaten tetangga. Lebih lanjut, rumah tangga-rumah tangga yang termasuk dalam sampel juga akan menerima umpan balik langsung terkait kualitas layanan melalui pengujian kualitas air dari keran air rumah tangga mereka masing-masing. Identifikasi Praktik-Praktik Terbaik: WSSI dapat mengidentifikasi dan memberikan contoh-contoh praktik terbaik Pemda yang menonjol di Indonesia. Praktikpraktik tersebut dapat diadaptasi dan diteruskan kepada Pemerintah Kabupaten yang memiliki kesamaan untuk meningkatkan kinerja mereka sendiri. Pemantauan Intervensi dan Kemajuan: Sebagai sebuah proses berulang, WSSI memungkinkan kita untuk menetapkan tolok ukur kondisi awal pada tahun pertama dan mengukur peningkatan dari tahun ke tahun. Indeks ini juga membantu warga, media, masyarakat sipil, dan Pemda sendiri untuk secara langsung mengidentifikasi peningkatan yang telah dicapai dari waktu ke waktu. Selanjutnya, mengingat rencana untuk mempublikasikan hasilnya di media massa, Indeks tersebut berpotensi membawa tingkatan transparansi yang baru menuju penelusuran kemajuan, termasuk sejauh mana realisasi aktual dari tingkat cakupan yang ditargetkan. WSSI ini disusun menjadi dua komponen, yaitu: lima subindeks tata kelola pemerintahan dan tiga sub-indeks “berbasis warga”. Komponen ini menggabungkan hard data yang diperoleh dari dokumen resmi, wawancara dan uji fisik air dengan soft data berdasarkan persepsi pelanggan. Lihat Gambar 2 untuk perincian masingmasing komponen indeks. Melalui pengumpulan dan analisis data, perangkat statistik canggih diterapkan untuk menjamin bahwa data yang diperoleh cukup baik dan setiap kesalahan dikoreksi atau ditiadakan. Pada putaran pertama secara lengkap, yang saat ini sedang dilaksanakan, WSSI akan mencakup antara 100 hingga 150 Pemda, termasuk survei terhadap 300 rumah tangga per kabupaten, mencakup sampai dengan 45.000 rumah tangga.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
143
144
Sebuah Perangkat Menjanjikan untuk Meningkatkan Tata Kelola Air Minum
Uji Coba dan Hasil
Proyek ambisius seperti ini memerlukan pengujian sebelum pelaksanaan. WSSI dirancang sebagai serangkaian konsep dengan empat langkah: berawal dari pengembangan konsep awal, pengujian lapangan awal, dan pengujian lapangan di beberapa kota-kota, hingga peluncurannya yang saat ini sedang berlangsung. Untuk pengujian lapangan di beberapa-kota, tim Uji Coba WSSI berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan pemerintah untuk memilih tiga kelompok Pemda guna melaksanakan kegiatan uji coba. Kelompok pemda tersebut – yang terletak di Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan – terdiri atas ibukota di masing-masing provinsi beserta tiga kabupaten sekitarnya. Untuk melaksanakan survei rumah tangga dan mengumpulkan dokumentasi yang diperlukan, Tim Uji Coba bermitra dengan universitas setempat di masing-masing tiga kelompok tersebut: Universitas Sumatra Utara (Jurusan Teknik Lingkungan) di Medan, Universitas Diponegoro (Fakultas Kesehatan Masyarakat) di Semarang, dan Universitas Hasanuddin (Fakultas Kesehatan Masyarakat) di Makassar. Sekitar 300 rumah tangga di masing-masing 12 kabupaten dipilih secara acak dan disurvei oleh para mitra universitas untuk menilai persepsi dan kombinasi wawancara dari para narasumber tanpa nama dan narasumber utama dimanfaatkan untuk memperoleh hard data. Selain itu, pengujian kuantitas dan kualitas air di lapangan dilaksanakan terhadap 80 rumah tangga di masing-masing kabupaten. Setelah pembersihan data dan analisis awal, data baku tersebut kemudian dikonversikan menjadi beberapa indikator dan sub-indeks dan akhirnya, sebuah indeks lengkap dengan skor tertinggi yang mungkin dicapai sebesar 40 poin. Setelah survei terhadap 3.600 rumah tangga, pengujian air terhadap 960 air leding, dan pengumpulan dokumen perencanaan dan penganggaran air minum dan sanitasi dalam jumlah besar, ditemukan sejumlah hal penting yang perlu digarisbawahi, termasuk: • 86 persen air leding rumah tangga yang diuji memiliki tekanan air yang tidak memadai menurut standar Pemerintah Indonesia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• 51 persen sampel air rumah tangga mengandung kadar klorin di bawah tingkat aman yang direkomendasikan oleh World Health Organization. • Hanya 17 persen rumah tangga yang menyadari bahwa Pemda bertanggung jawab untuk melindungi sumber daya air dari air limbah, sementara hanya 39 persen yang menyadari bahwa Pemda bertanggung jawab untuk menjamin akses terhadap air bersih. • Hanya 23 persen rumah tangga yang memiliki tangki septik yang dapat dikuras setiap saat. • Sepertiga pelanggan air minum tidak puas dengan tingkat layanan yang mereka terima dari perusahaan air minum daerahnya. • Hanya tiga dari 12 perusahaan air minum yang melengkapi dan menyerahkan laporan kinerja tahunan ke pelaksana kabupaten dengan tanda tangan dari direksi dan dewan pengawas. • Tidak satu pun Pemda yang disurvei yang telah memberlakukan undang-undang yang mengatur pembuangan tinja. Gambar 3 merangkum seluruh hasil indeks menurut kabupaten, dengan sub-indeks tata kelola pemerintahan yang ditampilkan dengan warna biru dan sub-indeks kinerja yang ditampilkan dengan warna hijau. Kabupaten Medan menerima peringkat tertinggi, sementara Kabupaten Parepare menempati urutan kedua. Kabupaten Tanjung Balai, Deli Serdang, dan Jeneponto memperoleh nilai terendah. Walaupun tampak menarik dan memiliki potensi manfaat, hasil-hasil ini hanyalah pendahuluan dari apa yang diharapkan dapat dicapai dari pelaksanaan WSSI secara menyeluruh. Mengingat WSSI hanya dilaksanakan sebagai proyek percontohan, masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa program ini telah memberikan kontribusi secara langsung terhadap meningkatnya pengaturan tata kelola pemerintahan di kota-kota yang termasuk dalam Indeks. Namun demikian, secara anekdot, jelas bahwa penerapan Indeks itu sendiri akan mendorong warga dan para pejabat publik untuk berpikir lebih jauh tentang kualitas layanan air minum dan sanitasi. Di sebuah kota yang disurvei, misalnya, warga menunjukkan minat yang tinggi untuk berbicara
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
dengan para petugas survei, mengingat bahwa mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik seperti ini kepada layanan air minum setempat. Di lokasi lain, PDAM yang tidak termasuk dalam survei tersebut meminta agar tim WSSI juga melakukan survei dalam yurisdiksi mereka untuk keperluan advokasi. Seperangkat indeks dari tahap pertama peluncuran WSSI seharusnya sudah tersedia paling lambat pertengahan 2015. Pada awalnya indeks tersebut akan meliputi 50 kota. Datanya sendiri akan sangat bermanfaat bagi para walikota agar mereka dapat melihat untuk pertama kalinya analisis tentang kualitas penyediaan layanan air minum dan sanitasi secara independen dan objektif. Lebih penting lagi, mereka dapat melihat analisis tersebut dari sudut pandang konstituen mereka yang mungkin akan cukup mengejutkan. Sebaliknya, para pelanggan juga dapat membandingkan mutu layanan yang mereka peroleh dengan kota-kota sekitarnya yang setara, serta membandingkan tarif air minum dan biaya sanitasi. Secara lebih luas, informasi tersebut dapat seketika membuktikan manfaatnya kepada para perencana, pembuat kebijakan dan masyarakat yang berupaya untuk mencapai tata kelola pemerintahan dan penyediaan layanan yang lebih baik.
akan mendorong rasa kepemilikan daerah sehingga pengulangan baru dari WSSI akan dilakukan di tahun-tahun mendatang dan memberi kemampuan pada Pemda untuk terus menerus meningkatkan layanan mereka. Keterlibatan universitas setempat dapat membantu untuk menjamin hasil tersebut karena sejarah proses WSSI akan terpelihara secara kelembagaan. Peneliti dari universitas pun akan memperoleh manfaat dari hasil sekunder penelitian WSSI, yakni berupa seperangkat data yang dapat digunakan untuk melakukan riset ketat tentang relasi antara tata kelola pemerintah yang baik dan layanan air minum dan sanitasi, sehingga di masa mendatang dapat dikembangkan kebijakan yang lebih berdasarkan pada bukti nyata. ●
Penyusunan WSSI dan penyebarannya bukanlah kegiatan yang hanya berlangsung satu kali saja. Empat puluh tiga kota berikutnya akan disertakan dalam peluncuran WSSI tahap kedua yang kemudian akan diikuti dengan mengikutsertakan Pemerintah Kabupaten yang progresif. Selama tahap pematangan ini, pemerintah akan menyusun tata laksana secara kelembagaan untuk melakukan pemutakhiran indeks tersebut secara berkala. Tata laksana tersebut bertujuan untuk menjaga objektivitas dan independensi analisis terhadap layanan. Idealnya, imbal hasil dari upaya tersebut
CATATAN 1. http://www.fmch-indonesia.org/our-work/west-timor/water-and-sanitation/ 2. Program Penilaian Air Dunia PBB (UN World Water Assessment Programme). Laporan Pengembangan Air Dunia. 2003. Halaman 30. 3. Ibid, halaman 373.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
145
146
Uraian Kegiatan
URAIAN KEGIATAN:
PERAN PENDANAAN SWASTA DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
Kesenjangan Infrastruktur
Indonesia menghadapi kesenjangan infrastruktur di awal periode RPJMN 2015–2019. Bagi sebagian besar sektor, permintaan melebihi kapasitas dalam margin yang besar. Ini akan berdampak pada daya saing ekonomi bangsa kecuali jika pembelanjaan dapat ditingkatkan secara signifikan. Investasi infrastruktur dan penyediaan pelayanan yang kompetitif oleh sektor swasta sebagaimana dibayangkan dalam RPJPN 2005–2025 belum dapat dicapai. Sebagian besar kerangka hukum telah ada, namun penerapannya berjalan lebih lambat dari yang diharapkan. Berdasarkan penilaian kebutuhan dasar, Indonesia memerlukan investasi modal lebih dari Rp 6.780 triliun pada 2015– 2019 untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur dan memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan1 di masa depan. Pemerintah sudah mengalami defisit bersih (net deficit), dan lebih dari 70 persen dari anggarannya dialokasikan untuk pengeluaran rutin, termasuk subsidi.
Permintaan Indonesia akan infrastruktur jauh melebihi kemampuan Pemerintah untuk mendanainya. Selain itu, sebagaimana disinggung di atas, Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi lebih lanjut rasio keseluruhan utang/PDB. Oleh karenanya, ruang fiskal untuk mengakomodasi peningkatan pembelanjaan pembangunan yang besar sangat terbatas. Sebagai satu bagian dari keluaran secara total, investasi infrastruktur Indonesia hanya mencapai 3 persen, turun dari 7 persen sebelum Krisis Keuangan Asia. Agar pulih, harus ada sumbangan besar dari sektor swasta2.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Manfaat Pendanaan Swasta
Meski demikian pendanaan sektor swasta dapat mengisi lebih dari sekadar kesenjangan infrastruktur. Sebagian besar layanan infrastruktur paling baik dilaksanakan oleh sektor swasta yang kompetitif dan berfokus pada bidang komersial. Penyediaan infrastruktur oleh sektor swasta biasanya memberikan efisiensi yang signifikan dan keuntungan bernilai ekonomis dan manfaat (VfM, value-for-money) serta fokus pada pengguna/pelanggan.
Pendanaan sektor swasta dapat mengisi kesenjangan, dan dengan insentif yang tepat akan memberikan efisiensi, kualitas, dan kinerja yang lebih baik daripada pendanaan sektor publik. Dengan persaingan yang efektif, motif laba akan menjadi insentif yang memperkuat kualitas, efisiensi, dan kinerja melebihi insentif lain yang ada di sektor swasta. Pelajaran untuk RPJMN 2015–2019 adalah memfasilitasi persaingan sektor swasta dan menghindari atau menghilangkan peraturan yang menghambat investasi dan operasional swasta.
Peluang untuk Pendanaan Swasta
Di masa lalu, Pemerintah mendanai infrastruktur dari sumber daya yang hingga kini tetap dipertahankan seperti BUMN/BUMD, APBN/APBD, dan melalui utang. Penyediaan dari sektor swasta menawarkan dua peluang tambahan. Yang pertama adalah proyek-proyek komersial yang didanai pemasukanan dari pengguna, yang terkadang memerlukan dukungan pemerintah dalam bentuk jaminan
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
atau dana pendamping proyek (VGF, viability gap funding) agar menjadi pemikat bagi penanam modal dan pemberi pinjaman. Yang kedua adalah Skema Anuitas Berbasis Kinerja (PBAS, Performance-Based Annuity Schemes) yang melibatkan pembayaran pemerintah untuk tingkat layanan yang disepakati atau kinerja aset 3. Umumnya, pemberi pinjaman lebih suka pilihan kedua, karena risiko pelaksanaan lebih mudah diprediksi dan dikelola.
Melibatkan sektor swasta dalam pendanaan infrastruktur membuka peluang seperti proyek pendanaan dari pendapatan pengguna dan Skema Anuitas Berbasis Kinerja. Keduanya melaksanakan optimalisasi biaya siklus hidup – keuntungan lain dari penyediaan oleh swasta – dengan menginsentifkan pengendalian biaya dalam memenuhi indikator pokok kinerja baik di tahap penawaran maupun melalui serangkaian tugas perancangan, konstruksi, serta operasional dan pemeliharaan (O&M, operation and maintenance) selama proyek berlangsung. Selain berhasil melakukan deregulasi sektor telekomunikasi, pengalaman Indonesia dalam menarik minat pendanaan swasta untuk infrastruktur publik terbatas, dan biasanya melibatkan BUMN/BUMD sebagai pelaku utama atau mitra. Kesepakatan yang berhasil termasuk PLTU Jawa Tengah milik PLN (berdasarkan kesepakatan pembelian [offtake] yang dijamin) dan perluasan Pelabuhan Tanjung Priok (Kali Baru) baru-baru ini yang dilakukan oleh Pelindo II. Yang kurang berhasil adalah beberapa proyek jalan tol, biasanya karena persoalan pembebasan lahan, transfer risiko, dan isu penjaminan kuasa/pembayaran. Sebuah proyek perhubungan kereta api bandara di Jakarta sedang dipersiapkan, begitu juga proyek penyediaan air minum Umbulan dan Bandar Lampung. Proyek-proyek semacam PBAS belum pernah dicoba. Meski telah ada kemajuan pada peningkatan kerangka hukum untuk pembebasan lahan serta persiapan dan pengadaan KPS (Kerjasama Pemerintah Swasta/Public Private Partnership), masih terdapat beberapa keterbatasan yang menunda perkembangan proyek. Ini termasuk kurangnya pengenalan terhadap model PBAS; sistem pengadaan yang ketat di sektor publik, serta peraturan penganggaran dan pelaporanan keuangan; dan kesulitan dengan kontrak layanan jangka panjang terkait dengan rentang masa jabatan presiden. Sebuah UU Infrastruktur baru sedang disusun untuk menangani persoalan ini.
Mengatasi Keterbatasan
Keterbatasan dalam kapasitas kelembagaan dan pelaksanaan juga perlu ditangani dalam rangka mengatasi banyaknya ketertinggalan di bidang infrastruktur. Lembaga pemerintah yang ada tidak terstruktur untuk atau berpengalaman dalam mengelola program infrastruktur yang dibiayai swasta. Skala pembangunan yang dibayangkan untuk periode 2015–2019 berada di luar kapasitas yang dapat ditangani keuangan domestik dan industri yang melaksanakan. Industri konstruksi harus meningkatkan produksinya berkali-kali lipat dari tingkatan saat ini. Contohnya, hingga saat ini baru 700km jalan tol yang sudah diselesaikan, padahal kebutuhan saat initelah mencapai hingga 1000km untuk dibangun setiap tahun. Kualitas juga perlu ditingkatkan secara substansial. Spesifikasi rancangan yang buruk atau tidak tepat dan pengawasan di bawah standar yang menghasilkan kinerja aset yang buruk dan kerusakan aset secara cepat, sudah merupakan hal yang biasa.
Lembaga pemerintah belum mengembangkan kapasitas memadai untuk mengelola program infrastruktur yang didanai swasta. Kemitraan strategis yang menggabungkan pengetahuan lokal dengan praktik terbaik internasional menawarkan solusi yang menjanjikan. Bisnis yang dilakukan seperti biasanya (business as usual) tidak akan menghasilkan kapasitas infrastruktur yang sangat dibutuhkan Indonesia. Untuk mengatasi tugas besar ke depan, pemasok-pemasok terbaik dunia termasuk penanam modal, penyandang dana, dan kontraktor dapat memainkan peran utama dalam menambah kapasitas dan keahlian mereka. Seperti halnya kekuatan ekonomi baru lainnya, kemitraan strategis yang menggabungkan pengetahuan lokal dengan praktik terbaik internasional sangat menjanjikan bagi Indonesia. Keterlibatan pihak asing akan membawa masuk teknologi dan keterampilan baru yang menguntungkan para pemain dalam negeri serta meningkatkan efisiensi dan kualitas pelaksanaan.
Jalan ke Depan
Untuk menarik minat investasi swasta, sangat penting untuk memahami apa yang memotivasi penanam modal swasta. Mereka akan berinvestasi pada proyek di Indonesia jika ada imbalan yang cukup dan dapat diandalkan, dan jika risikonya dapat dikelola. Indonesia dapat bersaing untuk mendapat dana asing jika menawarkan model pelaksanaan yang transparan, dapat diprediksi, dapat diandalkan dan masuk akal, serta sejalan dengan praktik terbaik internasional.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
147
148
Uraian Kegiatan
Sektor swasta akan berinvestasi jika Indonesia mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengelola risiko dan menawarkan imbalan yang cukup. Membangun minat dan kepercayaan pasar akan memerlukan: • Konsultasi dengan pemain pasar untuk mengenali kebutuhan, harapan, dan kekhawatiran. • Menawarkan skema yang layak dan dapat dikelola dalam jumlah terbatas, yang sebagian besar risikonya telah dihilangkan (de-risked) 4. • Menjamin bahwa analisis VfM dijalankan untuk menunjukkan apakah siklus ekonomi dari penyediaan dari sektor swasta melebihi biaya tambahan pendanaan sektor swasta jika dibandingkan dengan pembanding5 sektor publik yang realistis dan risiko yang disesuaikan.
risiko pendapatan dan membuat pembayaran berdasarkan ketersediaan/kinerja dari pendapatan yang ditarik secara independen (misalnya dari ongkos pengguna, pajak, dan lain-lain). • Menetapkan standar hasil yang jelas, sebagai landasan untuk menilai kinerja dan menentukan pengurangan yang perlu dilakukan. • Mengadopsi suatu proses pengadaan yang transparan dan interaktif yang dirancang untuk menguji selera risiko penawar serta mempelajari beberapa pilihan rancangan/pelaksanaan yang inovatif. • Menjaga ketegangan persaingan melalui proses penawaran, untuk memperoleh VfM yang terbaik. — John Lee, Direktur Teknis IndII Bidang Transportasi
• Mempertimbangkan dengan teliti,apakah risiko permintaan dan pendapatan harus dialihkan ke sektor swasta (seperti semua risiko yang dialihkan, kemungkinan terburuk adalah mereka mengenakan biaya kontijensi/bersyarat). Hingga model risiko yang lebih baik dibuat, langkah penting sementara adalah mempertimbangkan pilihan untuk mempertahankan
CATATAN 1. Rp 5.619 triliun untuk jalan, perkeretaapian, transportasi perkotaan, transportasi laut, feri dan perairan darat, transportasi udara, listrik, sumber daya air, pasokan air minum dan sanitasi, serta Rp 1.161 triliun tambahan untuk energi dan gas, perumahan rakyat, dan komunikasi (sumber: Bappenas, JICA). Meski demikian, kendala kapasitas kelembagaan, pendanaan, dan pelaksanaan cenderung membuahkan hasil yang lebih rendah. 2. Sumbangan ini (dan pengembalian investasi yang diharapkan) akan, tentunya, harus dibayarkan kembali dari tarif pengguna atau penggantian biaya oleh pemerintah. 3. PBAS terkadang juga disebut sebagai skema berbasis ketersediaan. Berdasarkan model PBAS, sebuah perusahaan swasta dilibatkan untuk merancang, mendanai, membangun, dan menjalankan proyek infrastruktur, seperti jalan, selama periode sekitar 20 tahun. Setelah jalan tersebut dibuka untuk dilalui, perusahaan tersebut akan menerima pembayaran secara teratur sebagai imbalan atas penyediaan jalan sesuai dengan standar kinerja yang disepakati. Pengguna masih dapat dikenai biaya di bawah model penyelenggaraan PBAS, namun risiko permintaan/pendapatan biasanya tidak dialihkan ke sektor swasta. 4. Dalam konteks ini, menghilangkan risiko berarti menyingkirkan semua risiko yang oleh mitra sektor swasta tidak dapat dikelola sendiri, atau diasuransikan. 5. Siklus ekonomi ini berasal dari penggabungan perancangan, konstruksi/implementasi, dan tugas-tugas O&M selama masa proyek.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
SISI KEMANUSIAAN INFRASTRUKTUR: SUATU LINGKUNGAN YANG LEBIH BERSIH UNTUK KINI DAN HARI ESOK Bagaimana dampak program pembangunan sanitasi daerah terhadap anggota masyarakat? Beberapa penerima manfaat menceritakan sepenggal kisah hidup mereka kepada Prakarsa setelah mengalami perubahan hidup yang lebih baik. Oleh Eleonora Bergita
Program sanitasi berupaya mempromosikan hidup lebih bersih dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penduduk. Pada periode tahun 2010–2011, sebanyak 800 keluarga berpenghasilan rendah di Surakarta telah merasakan Program Hibah Saluran Air Limbah pada Tahap 1 Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai oleh Pemerintah Australia. Pada saat itu Pemerintah Kota Surakarta merupakan satu dari lima daerah yang menerima dana hibah untuk sekitar 5.000 sambungan air limbah rumah tangga baru ke infrastruktur air limbah yang ada. Pada Tahap 2, sekitar 9.000 keluarga lagi akan dijangkau pada tahun 2015, sebanyak 2.500 keluarga di antaranya tinggal di kawasan perkotaan Surakarta.
Program Hibah Saluran Air Limbah disalurkan melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat. Rumah tangga dapat terhubung dengan saluran air limbah dalam program ini dengan biaya yang lebih rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali, jadi warga yang berminat hanya perlu membayar kurang dari Rp 50.000 sebagai biaya berlangganan selama beberapa bulan awal. Baru-baru ini, beberapa warga Surakarta mengisahkan perubahan hidup yang mereka alami sebagai hasil dari program IndII.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
149
150
Sisi Kemanusiaan Infrastruktur
Kenyamanan Baru
Ibu Darmanto (51 tahun) tinggal di daerah Serengan, Surakarta. Baginya, waktu adalah hal yang sangat berharga. Ibu Darmanto adalah istri seorang petugas keamanan, yang memiliki kesibukan luar biasa setiap harinya. Untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangganya, ia berjualan sayur mentah dan matang di sekitar kampungnya. Setiap pagi, ia berjalan berkeliling Serengan dengan membawa beragam sayur mentah, yang dijualnya kepada para ibu rumah tangga yang akan memasak untuk keluarganya. Selepas berkeliling, sayur mentah dagangannya biasanya masih banyak tersisa. Ibu Darmanto bersama seorang tetangganya dengan kreatif dan tekun segera mengolah sisa sayur menjadi beragam masakan yang kemudian dibungkus dalam kemasan plastik kecil. Ia kemudian berkeliling kampung hingga pukul delapan setiap malamnya, menjajakan masakan tersebut dengan harga rata-rata sekitar Rp 1.000 per bungkus. Hari yang begitu panjang dan padat dijalaninya hampir setiap hari. Tidak heran jika setelah bekerja sehari penuh, seringkali ia merasa terlalu lelah untuk pergi ke luar rumah di malam hari. Dulu sepulang bekerja, Ibu Darmanto masih harus melakukan kegiatan pribadi, seperti mandi dan buang air, di MCK umum yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya. Dengan hanya dua kamar mandi yang tersedia di MCK umum bagi seluruh masyarakat kampung, ia kadang perlu mengantre selama kurang lebih setengah jam – bahkan ketika hari telah larut dan di kala hujan. Namun sejak tahun 2011, Ibu Darmanto dan keluarganya sudah dapat mandi dan menggunakan kakus di rumahnya sendiri. Dengan senyum yang menghiasi wajahnya saat mempersiapkan sayuran matang untuk dijual, Ibu Darmanto berkata, “Saya senang sekali sekarang jadi jauh lebih enak, setelah lelah bekerja seharian, saya tidak perlu keluar rumah untuk menggunakan fasilitas MCK.”
Tak Perlu Berlarian
Agus Sumarno (45 tahun) bersama istrinya, Surtini (41 tahun), tertarik untuk ikut Program Hibah Saluran Air Limbah IndII begitu mendengar informasi tersebut dari Ketua RT pada tahun 2010. Pasangan tersebut, yang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
memiliki tiga anak, bekerja secara lepas, menenun sarung yang dibuat khusus untuk ekspor. Saat mendengar tentang Program Hibah ini, Agus langsung berhitung: Tak ada biaya pemasangan sambungan, dan dengan biaya berlangganan Rp 7.500/bulan, ia tidak perlu lagi mengeluarkan biaya minimal Rp 5.000/hari bagi seluruh anggota keluarga untuk ke MCK umum – sekitar Rp 150.000/bulan. Ia juga tak perlu mengeluarkan biaya membuat tangki septik (septic tank) yang cukup mahal dan memanggil layanan sedot WC paling tidak setahun sekali. Biaya Rp 7.500/bulan jelas sangat menguntungkan. Sejak memasang sambungan air limbah di rumah, Agus telah membangun kamar mandi lengkap sendiri, sehingga keluarganya tidak perlu ke MCK umum untuk mandi atau buang air. “Keuntungan ikut program ini, selain lebih murah, adalah saya, istri, dan anak-anak juga tidak perlu berlarian dan antre di MCK umum untuk dapat buang air,” kata Agus di sela kegiatan memintal benang. “Waktu yang dulu banyak terbuang untuk berjalan dan mengantre di MCK, bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan sarung tenun, dan mengerjakan lebih banyak pesanan.” Ia juga merasa lingkungan tempat tinggalnya di kelurahan Semanggi, Surakarta, sudah lebih bersih, setelah air kotor bekas cucian piring atau baju tidak dibuang ke selokan air lagi. Sebelumnya, saluran tersebut kerap tersumbat dan meluap saat musim hujan, sehingga air kotor pun menggenangi jalan. “Dulu, selama musim hujan, anak-anak kami tidak ada yang mau keluar rumah kecuali ke sekolah, karena lingkungan kotor, dan mereka takut terjangkit penyakit. Tapi sekarang, setelah ada sistem sambungan pembuangan air limbah, anak-anak kami tidak takut lagi keluar rumah bahkan ketika hujan. Tidak ada lagi yang menghalangi kegiatan mereka sehari-hari, dan mereka tetap sehat,” tambah Agus seraya tersenyum lebar.
Selokan Tersumbat dan Demam Berdarah
Sebagai anggota PKK, Lusiati (46 tahun), ibu rumah tangga warga Kelurahan Bonorejo, Surakarta, aktif mengikuti berbagai kegiatan program. Namun suaminya,
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Agus dan Surtini bekerja keras menenun.
Atas perkenan Eleonora Bergita
Triyono, yang bekerja sebagai tukang listrik, adalah yang lebih dulu mendengar mengenai adanya Program Hibah Saluran Air Limbah dari pertemuan bapak-bapak di lingkungan setempat.
4 SD pernah menderita sakit demam berdarah. Genangan air yang jamak terdapat di lingkungan mereka merupakan tempat berkembang biak yang subur bagi vektor demam berdarah, nyamuk Aedes aegypti.
Keduanya lantas berdiskusi dan mempertimbangkan dengan seksama program tersebut. Mereka masih ingat, sekitar enam tahun lalu, putri mereka yang saat itu duduk di kelas
Dulu mereka memiliki septic tank yang terhubung langsung ke WC, sedangkan air limbah dari dapur langsung masuk ke selokan. Dengan biaya Rp 90.000, keluarga mereka
Prakarsa Compendium | Jilid 3
151
152
Sisi Kemanusiaan Infrastruktur
melakukan penyedotan septic tank sekitar setiap dua tahun sekali. Tidak heran saat musim hujan, bau tidak sedap tercium, lingkungan sekitar tampak kotor, tidak terawat, dan air dari selokan pun meluap ke jalan. Dengan pertimbangan tersebut, ditambah dengan sakit yang pernah diderita putri mereka, Lusiati yakin bahwa Program Hibah adalah ide yang baik. Suaminya pun sependapat. Pasangan suami-istri ini sepakat untuk ikut Program Hibah Saluran Air Limbah. Mereka mulai dapat merasakan manfaatnya, meski baru beberapa bulan menjadi pelanggan. Selokan di sekitar rumah menjadi lebih bersih dan tak pernah meluap. Belum lagi, jika ada masalah, mereka dapat menghubungi PDAM yang kemudian akan datang memperbaiki saluran.
kotor. Sebagai tokoh masyarakat setempat, saya betul-betul puas dengan layanan yang diberikan oleh Pemerintah Kota,” tegas Suwarto. Bagi Ibu Darmanto, Agus Sumarno dan Surtini, Lusiati dan Triyono, serta Suwarto, sambungan pembuangan air limbah benar-benar membuat perubahan, dan membantu mereka menjalani hidup yang lebih sehat dan produktif. Kini mereka juga bisa berbangga, dapat memberikan warisan lingkungan yang bersih dan sehat bagi anak-cucu mereka. ●
Demi Generasi Mendatang
Dulu air sumur di wilayah kelurahan Semanggi enak diminum, tapi sejak beberapa tahun terakhir warnanya menjadi kuning. Bagi Suwarto (53 tahun), seorang ketua RT dan bapak tiga anak, upaya untuk melindungi kualitas air minum di lingkungan setempat melalui partisipasi dalam Program Hibah merupakan hal yang perlu didukung. Terlebih ia sadar akan pentingnya mewariskan lingkungan yang bersih bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, ia melakukan berbagai pendekatan untuk meyakinkan para warga untuk ikut serta. Hasilnya, semua keluarga di RT-nya telah tersambung ke saluran air limbah. Pada tahun 2012, mereka juga telah terhubung dengan saluran air minum PDAM. Bagi Suwarto, manfaat yang dirasakan tidak semata terbatas pada manfaat lingkungan, namun juga manfaat ekonomi, karena biaya untuk saluran pembuangan air limbah lebih murah dibandingkan biaya menggunakan MCK. Secara keseluruhan, ia melihat perbedaan yang signifikan di lingkungannya. Ia sungguh-sungguh berterima kasih pada Pemkot Surakarta atas layanan air minum dan saluran air limbah tersebut. “Dulu selokan sering meluap, sehingga banjir di sanasini. Warga banyak seringkali menderita diare, termasuk anak saya yang waktu kecil pernah mengalami diare saat musim hujan, karena memang lingkungan kami dulu
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Tentang Penulis: Eleonora Bergita (Gite) merupakan Senior Program Officer dan Event Manager IndII. Ia adalah seorang penulis dan pengatur acara (event organiser) dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di bidang jurnalisme dan pengelolaan acara. Ia pernah bekerja, antara lain, untuk sebuah organisasi non-pemerintah Jerman, beberapa majalah terkemuka di Indonesia, dan perusahaan humas. Gite adalah lulusan Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Jerman.
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
dalam angka 50% 30%-40%
Perkiraan banyaknya APBN yang dibelanjakeluarkan untuk ditransfer ke Pemda.
Tingkat rata-rata kebocoran air minum PDAM, menurut laporan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) tahun 2012.
USD 6,3miliar
Jumlah PDB yang hilang karena sanitasi dan higiene yang buruk di Indonesia, menurut sebuah kajian Bank Dunia.
11%
Banyaknya rumah tangga yang memiliki kadar kekeruhan air yang tidak aman, menurut data yang dikumpulkan selama proyek percontohan WSSI (lihat artikel di halaman 137).
93%
Banyaknya jumlah PDAM dengan tingkat pertumbuhan sambungan air pipa leding baru yang tertinggal dari tingkat pertumbuhan penduduk pada tahun 2009, menurut sebuah laporan Bank Dunia.
5%
Banyaknya APBD yang seharusnya dikeluarkan untuk administrasi, menurut praktik terbaik internasional. Kabupaten-kabupaten di Indonesia diyakini menghabiskan hingga seperempat anggarannya untuk administrasi.
7%
Persentase rumah tangga yang pernah mengeluhkan soal kualitas pelayanan Pemda, dalam sebuah survei pada tahun 2007.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
153
154
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI Pertanyaan: Peningkatan terbesar apa yang Anda lihat dalam cara layanan air minum dan sanitasi disediakan di masyarakat lingkungan Anda beberapa tahun terakhir ini? Perubahan apa lagi yang ingin Anda lihat?
Drs. Agus Djoko Witiarso, ST, MSi Kepala Bappeda Kota Surakarta “Selama beberapa tahun terakhir ini, sejak SANIMAS (Sanitasi berbasis Masyarakat) diperkenalkan di Kota Surakarta pada tahun 2005, pembangunan fasilitas sanitasi berbasis masyarakat dan infrastruktur di Kota Surakarta telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini merupakan upaya untuk menjawab keterbatasan kapasitas IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) setempat yang dikelola oleh PDAM. Masalah sanitasi terkait dengan keterbatasan ketersediaan lahan perkotaan dapat diatasi melalui model sanitasi berbasis masyarakat. Diharapkan masyarakat bisa mengembangkan model sanitasi berbasis masyarakat sendiri dengan swadaya murni tanpa banyak campur tangan pemerintah, termasuk dari sisi pendanaannya. Di masa mendatang diharapkan pencemaran air permukaan semakin berkurang, mengingat sebagian besar masyakat di kota Surakarta masih mengandalkan penggunaan sumur pribadi untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya.”
Sayyid Muhammad Ketua OBM Sumber Maron, Kabupaten Malang “Di sektor air bersih, akses air minum telah mengalami peningkatan. Dulu di daerah kami belum ada layanan air minum. Kini di tahun 2014, sudah terdapat 1528 Sambungan Rumah (SR). Kebutuhan air bersih untuk sekitar 7640 jiwa di empat desa sedang diupayakan agar terpenuhi – di desa Karangsuko layanannya telah mencapai 87persen, Sukosari telah mencapai 46 persen, di Gondanglegi Kulon 24 persen, dan desa Panggungrejo 0,5 persen. Di ketiga desa yang disebut belakangan, akses layanan masih rendah karena keterbatasan jaringan pipa. Selain itu keberadaan layanan penyediaan air minum berbasis masyarakat ini juga telah mengakhiri pertikaian yang dulu sering terjadi karena memperebutkan air minum. Seiring dengan peralihan ke air minum berbasis masyarakat, persediaan air untuk pertanian tercukupi. Di bidang sanitasi, jumlah masyarakat yang melakukan kebiasaan buang air sembarangan telah menurun, kepemilikan jamban meningkat, dan kebiasaan cuci tangan juga makin meningkat, Meskipun demikian saya masih menyimpan harapan agar akses air minum di desa Sukosari, desa Gondanglegi Kulon dan desa Panggungrejo, akan dapat mencapai minimal 70 hingga 80 persen. Saya juga berharap di bidang sanitasi kami dapat menjadikan sampah sebagai alat transaksi pembayaran rekening air minum, sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif pembuangan sampah.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penyelenggaraan Layanan Daerah di Sektor Air Minum dan Sanitasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
155
Mentransformasi Jalan di Indonesia Edisi 19, Oktober 2014
• Krisis Infrastruktur Jalan di Indonesia • Membiayai Pembangunan Jalan Nasional Indonesia • Jalan Bebas Hambatan • Jalan Arteri Non Tol • Menggunakan Insentif untuk Meningkatkan Jalan Daerah • Keselamatan Jalan di Indonesia
158
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 01:
KRISIS INFRASTRUKTUR JALAN DI INDONESIA
Infrastruktur jalan di Indonesia perlu segera dimodernisasi. Jalan-jalan tersebut memungkinkan pergerakan 70 persen barang dan 80 persen penumpang dari luar perkotaan, tetapi walaupun lebih dari Rp 30 triliun telah dibelanjakan setiap tahun, dua per tiga dari 38.570 km sistem jalan nasional sudah hampir atau telah mencapai kapasitasnya.
80 persen kapasitas tambahan pada tahun 2030.
Untuk mengurangi waktu perjalanan dan menghindari kemacetan kronis, kapasitas jalan perlu ditingkatkan hingga 80 persen selama 15 tahun.
Infrastruktur jalan di Indonesia perlu dimodernisasi untuk mendukung perekonomian G20 yang bercita-cita mencapai PDB per kapita sebesar USD 14.500 pada tahun 2025.
• Hampir 7.300 km jalan bebas hambatan, merupakan jaringan tulang punggung yang menghubungkan pusat-pusat daerah, simpul-simpul angkutan dan mengakomodir 40 persen lalu lintas.
Kualitas infrastruktur dan kinerja logistik – merupakan kunci atas perekonomian yang memiliki daya saing – memiliki tingkatan yang lebih rendah dibandingkan dengan sebagian besar negara-negara ASEAN. Konektivitas yang rendah; waktu perjalanan rata-rata yang dua kali lebih panjang dibandingkan dengan negara lain yang perekonomiannya bersaing. Hal ini membatasi potensi ekonomi dan menghambat pertumbuhan daerah. Tanpa peningkatan, jaringan jalan di Indonesia tidak akan mampu mendukung perekonomian G20 yang bercita-cita mencapai PDB per kapita sebesar USD 14.500 pada tahun 2025.
• 15.000–17.000 km pekerjaan untuk memperbaharui jalan-jalan arteri lainnya agar memenuhi standar keselamatan, berdaya tahan tinggi dan berkapasitas lebih besar.
Kapasitas yang Diperlukan
Lalu lintas akan mengalami pertumbuhan empat kali lipat dalam 15–20 tahun ke depan. Kemacetan total (gridlock) akan terjadi secara luas kecuali tersedia setidaknya
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Tugas Pelaksanaan
Di dalam 20 tahun terakhir, hanya sedikit jalan tol baru yang telah dibangun; kapasitas jalan nasional hanya tumbuh sebesar 1–2 persen per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan di tahun 2030, maka produksi jalan bebas hambatan harus meningkat hingga 500 km per tahun dan kapasitas jalan nasional harus meningkat hingga di atas 5 persen per tahun.
Di saat ini diperlukan peningkatan output dan kualitas yang cepat dan signifikan untuk menyediakan sebuah jaringan yang modern.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Logistics Performance v Road Infrastructure & GDP/capita (2014/15)
4,5
Singapore Japan
Kinerja Logistik – Infrastruktur
4 Korea
China 3,5
Philippines
3
Malaysia
Thailand
Vietnam
Indonesia India
2,5 Laos
2
1,5
3
3,5
4
4,5
5
5,5
6
6,5
Kualitas Infrastruktur Jalan (Global Competitiveness Index)
Untuk melakukan ini maka kendala-kendala utama yang harus diatasi adalah: perencanaan, lahan, pengelolaan anggaran, kapasitas pelaksanaan, pengawasan yang melembaga, keterjangkauan, dan partisipasi dari sektor swasta. Sangatlah penting untuk memulai pembebasan lahan lebih awal karena ini merupakan tugas yang berat.
Perencanaan dan Kebijakan
Konektivitas yang cepat, andal membutuhkan jaringan jalan bebas hambatan yang benar-benar terintegrasi. Pandangan sebelumnya terhadap jalan tol sebagai sebuah alternatif setempat terhadap jalan yang ada dengan kualitas
yang lebih tinggi harus digantikan dengan konsep jaringan yang berdekatan, berkinerja tinggi, berumur panjang yang menjadi tulang punggung logistik perdagangan.
Sebuah jaringan jalan bebas hambatan akan membentuk tulang punggung logistik angkutan yang efisien. Bina Marga harus memperbaharui kemampuan perencanaannya supaya dapat menghasilkan rencana induk jangka panjang yang cocok dengan tujuan baru ini.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
159
160
Usulan Kebijakan Jalan
Isu Lahan
Kebutuhan lahan sangatlah signifikan – 50.000 hektar untuk jalan bebas hambatan dan 20.000 ha untuk meluruskan dan memperluas jaringan arteri – dan merupakan risiko terbesar untuk pelaksanaan yang tepat waktu. Lahan seharusnya dibebaskan terlebih dahulu sebelum konstruksi dimulai.
Start lebih awal dibutuhkan untuk mengamankan koridor-koridor yang diperlukan. Proses perencanaan dan konsultasi lahan harus diusahakan agar memenuhi kebutuhan untuk 50 tahun kedepan. Untuk mengamankan lahan saja memakan waktu 3–5 tahun, setengah dari waktu yang dibutuhkan untuk menyediakan jalan-jalan baru.
Pengelolaan dan Efisiensi Anggaran
Kegagalan jembatan/ jalan yang prematur menggelembungkan anggaran yang dibutuhkan untuk memelihara aset hingga 30 persen. Kebijakan untuk memaksimalkan kesempatan bagi kontraktor-kontraktor skala kecil telah menghasilkan pekerjaan dengan kualitas yang buruk. Perlu segera dilakukan reformasi untuk meningkatkan manajemen aset, memperpanjang usia aset, memperbaiki kualitas dan pemilihan proyek, dan memperkerjakan perusahaan-perusahaan dengan kualifikasi yang lebih baik melalui paket-paket kontrak yang lebih besar.
Perlu segera dilakukan reformasi untuk mencapai efisiensi anggaran dan kinerja yang lebih kuat. Pembagian risiko yang lebih baik dengan sektor swasta dapat dicapai melalui kontrak berbasis kinerja tahun jamak, mengurangi biaya siklus hidup dan kebutuhan anggaran.
Kapasitas Pelaksanaan
Kemampuan konsultan dan kontraktor Indonesia mengalami tantangan yang besar ketika berhadapan dengan program sebesar ini. Program jalan bebas hambatan akan membutuhkan 5–10 paket dengan nilai sebesar 300–500
Prakarsa Compendium | Jilid 3
juta dolar per tahun, dan program pembaharuan sebanyak kurang lebih 20 paket dengan nilai 30–50 juta dolar per tahun. Dengan hanya beberapa perusahaan dalam negeri yang mampu untuk mengerjakan paket sebesar itu dan industri yang sangat didominasi oleh kontraktor milik negara, maka pasar untuk pemain internasional harus dibuka.
Bantuan asing akan memperkuat, bukan melemahkan, pemain-pemain domestik, namun ini membutuhkan standar-standar pengadaan praktek terbaik. Dimulainya pasar terbuka ASEAN di tahun 2015 akan menyediakan kesempatan tersebut. Semua pengadaan besar seharusnya dilakukan dengan tender internasional terbuka, di mana kredibilitas dan transparansi menjadi sangat penting. Kemitraan akan membantu untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing perusahaanperusahaan domestik.
Tantangan Kelembagaan
Lembaga-lembaga pemerintah pun juga harus berubah. Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) belum mampu menyediakan dalam 10 tahun terakhir, dan model penugasan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang direncanakan untuk Sumatera akan mengirimkan sinyal yang buruk kepada pasar. Sebuah badan independen baru dengan kewenangan besar, bisa jadi dibutuhkan, bertanggungjawab untuk melaksanakan program jalan bebas hambatan.
Solusi kelembagaan yang radikal bisa jadi dibutuhkan. Bina Marga sebagai birokrasi pemerintahan tradisional memiliki sebuah struktur dan insentif yang tidak memberikan penghargaan kepada kinerja yang baik atau menarik staf dengan kualifikasi yang baik. Pada waktunya Bina Marga harus berubah menjadi badan semi otonom berfungsi sebagai sebuah manajer aset dengan model bisnis yang komersial dan transparan, mengikuti praktek di luar negeri.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Pendanaan
Pada tahun 2030, total investasi jalan bebas hambatan yang dibutuhkan akan mencapai Rp 640 triliun pada harga saat ini, selain daripada lebih dari Rp 300 triliun untuk pembaharuan jalan arteri (untuk detil lebih lanjut, lihat Catatan Aktivitas Jalan 02). Sekitar Rp 500 triliun dapat berasal dari sektor swasta, bila terdapat model pendanaan yang efektif. Model-model yang ada saat ini (tol, Viability Gap Funding, penugasan BUMN) harus diperluas untuk menghindari kebuntuan yang terjadi dalam 15 tahun terakhir dan memastikan pelibatan sektor swasta yang aktif.
Terdapat opsi-opsi pelaksanaan yang lebih baik daripada model jalan tol.
jasa dan administrasi. Kebutuhan Rp 50 triliun per tahun tersebut tidaklah sebesar itu dibandingkan periode 2010–2014 dan seperempat lebih kecil daripada subsidi tahunan bahan bakar. Indonesia tidak boleh tidak memiliki jaringan jalan yang efisien. Mungkin harus memindahkan sebagian besar beban untuk membayar jalan dari pembayar pajak ke pengguna jalan.
Prioritas Bagi Pemerintah yang Baru
Apa yang pertama-tama harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang baru? Tindakan yang paling penting adalah:
Pemerintah yang baru harus segera mulai mempersiapkan proses proyek tersebut.
Model-model seperti Skema Anuitas Berbasis Kinerja (PBAS) di mana sektor swasta akan merancang, membangun, mengoperasikan dan memelihara dengan imbalan pembayaran tetap dari pemerintah setelah pembukaan proyek, merupakan sesuatu yang menarik bagi sektor swasta dan telah berhasil dilakukan di tempat lain; hai ini akan memerlukan perubahan regulasi sebelum dapat diterapkan di sini. Hal ini juga akan menangguhkan biayabiaya ke masa depan dan bisa jadi meng-offset sebagian melalui tol di saat yang tepat.
• Mengakui skala dan urgensi dari masalah tersebut, dan menyelesaikan rencana jalan bebas hambatan dan arteri dan pentahapannya.
Keterjangkauan
• Memperbarui peraturan penting yang diperlukan untuk memfasilitasi pelaksanaan.
Bila cakupan penuh investasi swasta berhasil dicapai, maka sisa kebutuhan belanja publik untuk tiga RENSTRA ke depan adalah sekitar Rp 60 triliun per tahun, dibagi sama besar antara pembangunan jalan dan manajemen aset.
Programnya menjadi lebih terjangkau ketika pembiayaan sektor swasta digunakan dengan lebih efektif.
• Menyusun rencana pembiayaan, dengan anggaran nasional dan pendanaan swasta dan ruang fiskal yang diperlukan. • Membangun kapasitas kelembagaan dan kewenangan untuk melaksanakan proyek jaringan jalan bebas hambatan.
• Mengumumkan upaya-upaya lain untuk membangun kepercayaan pasar, termasuk persiapan proyek dan komitmen untuk proyek-proyek percontohan untuk menampilkan pendekatan-pendekatan baru yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. ●
Kebutuhan anggaran publik tahunan untuk pembangunan jalan termasuk Rp 5 triliun untuk persiapan koridor jalan bebas hambatan dan 20 triliun untuk perluasan kapasitas dan jalan baru; untuk manajemen aset mereka memasukkan Rp 18 triliun untuk pemeliharaan dan Rp 7 triliun untuk
Prakarsa Compendium | Jilid 3
161
162
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 02:
MEMBIAYAI PEMBANGUNAN JALAN NASIONAL INDONESIA
Diperlukan dana sebesar Rp 1.400 triliun selama 15 tahun ke depan untuk mewujudkan jaringan jalan nasional yang dapat memenuhi kebutuhan perekonomian Indonesia guna mencapai pertumbuhan dan daya saing. Dengan tingkat pendanaan yang ada saat ini akan sulit untuk menyediakan kapasitas yang diperlukan, apalagi memenuhi proyeksi peningkatan lalu lintas sebesar empat kali lipat.
Tingkat pendanaan dan metode penyerahan proyek yang ada saat ini tidak akan mampu memenuhi permintaan yang diperkirakan akan meningkat empat kali lipat. Model jalan tol tradisional belum memberikan layanan yang baik: selama beberapa tahun terakhir beberapa proyek baru telah diselesaikan dan berbagai masalah terkait organisasi, hukum, pembiayaan, dan lahan telah menghambat kemajuan (lihat Usulan Kebijakan Jalan 03). Diperlukan sebuah pendekatan baru terhadap pembiayaan dan penyediaan jaringan.
Penurunan Investasi
Investasi infrastruktur pemerintah mengalami penurunan PDB dari 7 persen menjadi 3 – 4 persen sejak krisis keuangan di Asia. Sebagai perbandingan, investasi infrastruktur di Cina mencapai 10 persen. Meskipun Indonesia menginvestasikan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
sepertiga dari PDBnya dalam aset tetap, hanya 3,2 persen (sebuah angka yang menurun) dari jumlah tersebut yang diinvestasikan dalam infrastruktur, seperti jalan, kereta api, dan tenaga listrik.
Kebutuhan Pendanaan
Untuk memenuhi permintaan, Indonesia perlu membangun jalan bebas hambatan hampir sepanjang 7.300 km dan proyek-proyek pembaruan (peningkatan mutu) jalan arteri sepanjang 15.000–17.000 km (termasuk ruas-ruas pada alinyemen baru) pada tahun 2030 (lihat Usulan Kebijakan Jalan 01, 02, dan 03). Dana yang diperlukan diperkirakan mencapai Rp 1.400 triliun (harga 2014). Dengan kapasitas pendanaan Pemerintah yang terbatas akibat pengeluaran subsidi bahan bakar minyak yang cukup besar dan kapitalisasi defisit anggaran sebesar 3 persen sebagai persentase dari PBD, pembiayaan swasta perlu dimanfaatkan.
Tingkat investasi infrastruktur mengalami penurunan; diperlukan kenaikan dramatis, dengan Rp 500 triliun investasi jalan dari sektor swasta. Sebagian besar proyek untuk meningkatkan mutu jalan arteri yang ada akan didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagian besar, tidak berarti
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Belanja Infrastruktur Indonesia sebagai Persentase dari PDB
10 8
Rata-rata (1995-97) Rata-rata (2008-11)
6 4 2 0
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Total Pemerintah
BUMN
semuanya, proyek jalan bebas hambatan pertama-tama akan dibiayai oleh sektor swasta dengan pengembalian dari tol dan pembayaran pemerintah. Untuk keseluruhan periode, kedua program tersebut akan memerlukan biaya sebesar Rp 900 triliun dari pendanaan ABPN dan Rp 500 triliun dari pembiayaan swasta.
Keunggulan Pembiayaan Swasta
Pembiayaan sektor swasta bukan hanya sekedar sumber dana. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa apabila ditenderkan secara kompetitif dengan insentif kinerja dan alokasi risiko yang tepat, proyek-proyek yang dibiayai oleh sektor swasta dapat diselesaikan dengan lebih cepat, lebih ekonomis, dan dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan apabila proyek-proyek tersebut dilaksanakan melalui pengadaan sektor publik konvensional.
Proyek-proyek jalan yang dibiayai sektor swasta menawarkan nilai manfaat (valuefor-money) yang lebih baik daripada pengadaan konvensional.
Swasta
Total
Sumber: Bank Dunia, 2014
Perekonomian siklus hidup dari pemaketan (bundling) desain, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan biasanya melebihi biaya tambahan pembiayaan swasta.
Kondisi Pembiayaan Swasta
Secara global, hanya 0,8 persen dari USD 50 triliun dana kelembagaan terkelola yang diinvestasikan dalam infrastruktur. Indonesia harus menjadikan sumbersumber tersebut sebagai target dan hal ini dimungkinkan karena: Indonesia memiliki sejumlah besar proyek yang belum terselesaikan, pertumbuhan PDB Indonesia mencapai sekitar 6 persen per tahun, dan Indonesia sangat menarik bagi investasi asing langsung.
Berbagai hambatan harus diatasi untuk menarik pembiayaan sektor swasta. Indonesia perlu mengelola risiko nilai tukar (biaya dalam dolar AS tetapi pendapatan dalam Rupiah) dan memperluas sumber pembiayaan infrastrukturnya dengan mengembangkan pasar obligasi dalam negeri,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
163
164
Usulan Kebijakan Jalan
Anggaran Rencana Strategis, triliun Rp (2014)
Kebutuhan Pendanaan menurut Program dan Periode Renstra
600 500 400 300 200 100 0
2010-14
2015-19
2020-24
2025-29
Periode Renstra
Jalan Bebas Hambatan (Swasta) Jalan Bebas Hambatan (Pemerintah Indonesia) Pembangunan Jalan Arteri
Pemeliharaan Aset Fasilitasi Proyek
memanfaatkan pertumbuhan tabungan dalam negeri, mendaftarkan diri dalam bursa saham regional, dan membentuk pasar sekunder untuk pembiayaan kembali proyek. Akan tetapi, dalam jangka pendek, Indonesia juga perlu membangun kembali kepercayaan pasar terutama dengan mengembangkan tahapan proyek yang telah dipersiapkan dengan baik dan mengatasi persepsi tentang ketidakpastian lingkungan hukum dan peraturan.
Membangun Kembali Kepercayaan Pasar
Kepercayaan sektor swasta dapat ditingkatkan melalui persiapan proyek dan penataan proyek untuk mengelola risiko secara lebih adil. Penting pula untuk meningkatkan arus transaksi. Kapasitas kelembagaan perlu ditingkatkan untuk mempersiapkan proyek secara efisien dan mengelola proses pengadaan secara transparan. Untuk itu mungkin diperlukan Otoritas Jalan Bebas Hambatan (Expressway Authority) khusus yang dapat menunjukkan adanya perbedaan dari bisnis seperti biasa (business as usual).
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sumber: Bank Dunia, 2014
Diperlukan rencana proyek yang pasti, tata kelola dan pengaturan pengadaan yang sesuai dengan praktik terbaik, serta peraturan yang transparan. Pembebasan lahan harus dilakukan sebelum tender – sebuah tugas persiapan yang mendesak untuk program jalan bebas hambatan dan program pembaruan. Posisi para kontraktor BUMN dan swasta harus seimbang. Perubahan peraturan harus dilakukan untuk mendorong pengadaan yang transparan, terbuka dan pengaturan tata kelola serta model pelaksanaan proyek dengan nilai manfaat terbaik.
Alokasi Risiko Yang Lebih Baik
Penyesuaian peraturan harus dilakukan untuk memfasilitasi berbagai metode pelaksanaan proyek yang dapat diterima oleh pasar yang baru, termasuk model-model pelaksanaan siklus hidup, berbasis kinerja seperti Skema Anuitas Berbasis Kinerja (PBAS) sebagai alternatif untuk jalan tol
Mentransformasi Jalan di Indonesia
komersial dan pengadaan konvensional. Para penyandang dana internasional tidak lagi bersedia menanggung risiko pendapatan tol. Tol dapat dibebankan secara terpisah dan digunakan untuk melakukan pembayaran berdasarkan pengaturan seperti PBAS. Hal ini dilakukan di banyak negara lain. Dengan cara demikian, proyek-proyek menjadi lebih menarik untuk sektor swasta dan lebih murah untuk pemerintah. PBAS dapat mengelola risiko nilai tukar secara lebih efektif pula. Selain itu, Pemerintah dapat setiap waktu menjual konsesi PBAS setelah pendapatan tol yang dapat diandalkan telah tercapai, memutar kembali hasil penjualannya untuk proyek-proyek jalan baru.
Model-model pelaksanaan berbasis kinerja seperti PBAS menawarkan alokasi risiko yang lebih menarik bagi sektor swasta. Model-model pelaksanaan yang baru seperti PBAS menuntut perubahan terhadap peraturan pengadaan, aturan akuntansi dan anggaran pemerintah. Tata kelola dan manajemen transaksi yang sesuai dengan praktik terbaik sangat penting, sebagaimana dalam keterlibatan pasar tertutup (closed market). Pendekatan tersebut harus memanfaatkan perjanjian-perjanjian yang sifatnya pasti dan dapat diterima oleh bank serta menghindari model pelaksanaan yang berbeda-beda (hybrid) yang dapat meningkatkan persepsi risiko.
Perbedaan dari business-as-usual dapat ditunjukkan melalui proyek-proyek demonstrasi. Proyek demonstrasi akan menunjukkan pendekatan baru yang diterapkan oleh Pemerintah. Para kandidat PBAS telah diidentifikasi serta dapat dipersiapkan dan dicantumkan dalam Renstra 2015–2019. Hal tersebut menggambarkan efektivitas pendekatan dan memungkinkan perbandingan nilai manfaat (value-for-money) dengan alternatif metode pelaksanaan.
• Mempersiapkan keberlangsungan proyek dalam jangka panjang dengan batas waktu pelaksanaan yang realistis. • Mengadopsi syarat dan kontrak komersial yang sesuai dengan praktik terbaik dan dapat diterima oleh bank, termasuk upaya-upaya untuk melindungi para investor dari risiko nilai tukar mata uang dan memperkenalkan praktik arbitrase independen untuk menangani perselisihan. • Mengubah peraturan yang ada guna memfasilitasi PBAS dan metode pelaksanaan jangka panjang dan berbasis kinerja lainnya. • Menggunakan proyek-proyek demonstrasi sebagai upaya membangun kepercayaan sektor swasta, dimulai dengan PBAS untuk menunjukkan adanya perbedaan dari bisnis seperti biasa (business-as-usual). • Memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah untuk mempersiapkan dan melaksanakan program tersebut. Dan, dalam jangka panjang: • Meningkatkan kapasitas pembiayaan Rupiah dalam jangka panjang, pembiayaan obligasi, dan keselarasan dengan pasar modal ASEAN serta mendukung keikutsertaan para investor lembaga, seperti dana pensiun dan dana kesejahteraan (sovereign wealth funds). • Merencanakan penggunaan tabungan dari subsidi bahan bakar minyak untuk meningkatkan alokasi APBN untuk infrastruktur jalan. ●
Prioritas Pemerintahan Baru
Apa yang pertama-tama harus dilakukan oleh Pemerintahan Indonesia yang baru? Langkah paling penting adalah:
Prakarsa Compendium | Jilid 3
165
166
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 03:
JALAN BEBAS HAMBATAN
Dengan dua per tiga jaringan jalan nasional sudah mengalami kemacetan dan lalu lintas diperkirakan akan bertumbuh tiga hingga lima kali lipat dalam 20 tahun mendatang, Indonesia membutuhkan tulang punggung baru berupa jaringan jalan bebas hambatan (lihat Usulan Kebijakan Jalan 01). Pandangan tentang jalan tol sebagai alternatif daerah untuk jalan arteri perlu diganti dengan konsep jaringan jalan berkinerja tinggi yang sambung-menyambung: tulang punggung esensial bagi logistik angkutan darat.
Indonesia membutuhkan jaringan jalan bebas hambatan bertaraf internasional untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Faktor pendorong utama adalah: Pengurangan waktu perjalanan sebesar 50 persen pada koridor utama melalui perencanaan trayek yang lebih langsung dan tingkat kemacetan yang lebih rendah, penurunan biaya logistik, produktivitas regional, dan redistribusi pendapatan. Jalan bebas hambatan tersebut akan berfungsi seperti jalan bebas hambatan antar negara bagian (interstate highway) di AS, Sistem Jalan Strategis Nasional (National Trunk Highway System) di Tiongkok, dan sistem jalan bebas hambatan (sistem lebuhraya) di Malaysia, serta akan menjadi bagian dari jaringan transportasi trans-ASEAN.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jaringan Jalan Bebas Hambatan
Jalan bebas hambatan akan menghubungkan pusat-pusat strategis – ekonomi, kependudukan, antarmoda (misalnya pelabuhan), dan administratif – dan pada akhirnya akan meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan. Jalan tersebut akan menyediakan layanan tingkat tinggi, dengan sebagian besar dibangun multi-lajur dan dua arah. Untuk mengurangi beban investasi awal, pembangunannya dapat dilaksanakan secara bertahap, namun perlu dilakukan pembebasan lahan dan persimpangan harus dirancang dengan mempertimbangkan untuk memaksimalkan kapasitas. Beberapa di antaranya akan mengenakan biaya tol sebagai jalan tol komersial; yang lainnya mungkin akan mengenakan biaya tol terpisah sebagai proyek Skema Pembayaran Tahunan Berbasis Kinerja (PBAS, PerformanceBased Annuity Scheme) (lihat Usulan Kebijakan Jalan 02).
Jaringan jalan bebas hambatan sepanjang 7.000 km akan menjadi tulang punggung baru yang menghubungkan pusat-pusat di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan. Dengan biaya sekitar Rp 640 triliun (harga 2014), program tersebut akan melaksanakan hampir 7.300 km selama tiga periode RENSTRA hingga 2029: rancangan baru sepanjang 5.500 km, dan hampir 1.700 km konsesi jalan tol yang sudah direncanakan.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Jadwal Pelaksanaan Jalan Bebas Hambatan 2015–2030
8000 2 th
7000
3-5 th
3 th
7,279
Tahap Pelaksanaan selesai, km
6000 5,477
5000 4000 3000 2,475
2000 1,273
1000 0 2010 Rencana
2015 Disiapkan
Penyediaan lahan
2020
2025
2030
Konstruksi
Prioritas Pertama: Mengamankan Koridor
Dengan masa persiapan lima sampai tujuh tahun, pekerjaan persiapan proyek dan pembebasan tanah sudah harus dimulai dari sekarang. Koridor-koridor harus diamankan untuk memenuhi kebutuhan selama 50 tahun ke depan.
Dengan masa persiapan lima sampai tujuh tahun, pekerjaan untuk mengamankan koridor-koridor jalan bebas hambatan harus dimulai dari sekarang. Tahun 2015–2019, sekitar 2.500 km koridor perlu disiapkan (optimasi rute, desain awal, dan analisis dampak) serta dilakukan pembebasan tanah sekitar 15.000 ha.
Kapasitas Pelaksanaan
Selama 20 tahun terakhir jumlah jalan tol baru yang dibangun jumlahnya sedikit. Konsesi sepanjang 875 km, beberapa dari tahun 2006, belum mulai dibangun. Kontrakkontrak yang sedang ditenderkan hanya sepanjang 160 km. Isu kelembagaan, hukum, keuangan, dan tanah menghambat pelaksanaan, termasuk keterbatasan kapasitas di Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dan di antara para pemegang konsesi. Sektor ini didominasi oleh PT Jasa Marga, sebuah pemegang konsesi milik negara yang dikhususkan di bidang ini. Sedikit di antara mitranya adalah kontraktor jalan yang terspesialisasi. Hanya ada satu kontraktor asing. Kemahiran konsultan pun terbatas. Sedikit konsorsium memiliki kemahiran untuk mengoptimasi rancangan, konstruksi,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
167
168
Usulan Kebijakan Jalan
Pengalaman Kerjasama Pemerintah Swasta (PPP, Public Private Partnership) Internasional – Kemungkinan Peningkatan Keefisienan (%)
Keefisienan Menengah
Ekonomi Skala
Keefisienan Maksimal
Persaingan
Inovasi
Penentuan Biaya SepanjangSeluruh-Siklus-Kehidupan
Manajemen Risiko – Rancangan dan Konstruksi
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Kemungkinan Peningkatan Keefisienan (%)
dan biaya operasional selama masa konsesi. Tidak adanya transparansi dalam pengadaan berdampak pada rendahnya kepercayaan pasar, dan membuat pemain enggan.
Realisasi program ini akan memerlukan bantuan dari perusahaan internasional berpengalaman untuk bermitra dengan perusahaan lokal. Penyandang dana, kontraktor, dan konsultan internasional akan menjadi peserta kunci jika standar mutu dan manfaat yang diperlukan teraih (lihat Usulan Kebijakan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jalan 02). Keterlibatan sektor swasta penting sekali untuk melaksanakan ekspansi raksasa dan mendapatkan hasil yang diperlukan: selain 7.300 km jalan bebas hambatan baru, juga diperlukan peningkatan pada 15.000–17.000 km jalan nasional lainnya. Kecepatan pelaksanaan perlu ditingkatkan menjadi 600 km/tahun, lima kali lebih tinggi dari yang sekarang.
Otoritas Pemberi Kontrak
Untuk membangun kembali kepercayaan pasar, perlu dibentuk Otoritas Jalan Bebas Hambatan (OJBH) yang
Mentransformasi Jalan di Indonesia
otonom, akuntabel dan menjalankan praktik terbaik pengadaan internasional. Dibandingkan dengan BPJT, maka OJBH memiliki tata kelola yang lebih kuat (arahan Dewan Pimpinan, perjanjian kinerja dengan menteri), fleksibilitas pengelolaan yang lebih kuat (pengadaan dan aturan ketenagakerjaan), dan bahkan mungkin memiliki kewenangan untuk mengelola pemungutan uang tol, sehingga penghasilan surplus dari uang tol dapat digunakan untuk proyek jalan bebas hambatan lainnya, sehingga mengurangi kebutuhan untuk mengandalkan dukungan APBN.
Adanya sebuah lembaga yang khusus menangani Jalan Bebas Hambatan akan membangun kembali kepercayaan pasar. Sewajarnya, OJBH dapat didirikan dalam tiga tahun. Sementara itu, perlu dilakukan perubahan organisasional dan penguatan hukum pada BPJT, langkah yang masuk dalam lingkup wewenang menteri.
Mendukung Pelaksanaan Jalan Bebas Hambatan
Perubahan di dalam BPJT tidak akan segera menciptakan keahlian, kemampuan, dan pengalaman yang diperlukan. Pada awalnya akan diperlukan dukungan dari perusahaan konsultan spesialis internasional yang dituntut untuk bertanggung jawab atas pengalihan keterampilan di Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) dan BPJT/OJBH.
Model Pembiayaan dan Pelaksanaan yang Lebih Baik
Pada umumnya, jalan bebas hambatan diadakan dengan pola Bangun, Guna, Serah (BOT, Build, Operate, Transfer) dan pengadaan konvensional. Baru-baru ini telah diperkenalkan mekanisme dana pendamping proyek (viability gap fund) untuk mengurangi biaya dan risiko di muka sehingga menjadikan proyek lebih terjangkau.
Pola pelaksanaan alternatif perlu didorong, termasuk proyek percontohan PBAS. Negara-negara lain menggunakan pendekatan alternatif, yakni Skema Pembayaran Tahunan Berbasis Kinerja (PBAS) – untuk pelaksanaan proyek-proyek besar pembangunan jalan yang memprioritaskan inovasi dan keekonomian siklus kehidupan (lihat Usulan Kebijakan Jalan 02). Meski sudah diterima dengan baik oleh pasar, PBAS belum digunakan di Indonesia. Terdapat alasan kuat untuk menerapkan proyek percontohan PBAS. Pekerjaan telah dimulai untuk mengidentifikasi proyek yang berpotensi dari sejumlah proyek jalan bebas hambatan yang ada. ●
Dukungan tenaga ahli akan diperlukan untuk melakukan perencanaan koridor dan pengadaan proyek. Mereka harus mendukung dua tugas: tahap persiapan (mulai dari desain awal hingga pengamanan koridor) dan tahap pengadaan (persiapan kelayakan usaha, pemilihan pola pelaksanaan, pengadaan, dan pengawasan). Pembentukan direktorat baru di dalam DJBM, yakni Direktorat Jalan Bebas Hambatan, yang dapat ditugaskan untuk memikul tanggung jawab atas tahap pertama tersebut, dan BPJT (pada akhirnya OJBH) untuk tahap kedua.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
169
170
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 04:
JALAN ARTERI NON TOL Selain jalan bebas hambatan (lihat Usulan Kebijakan Jalan 03), jaringan jalan arteri lainnya, saat ini 38.570 km, perlu pembaruan – peningkatan kapasitas yang lebih tinggi, keselamatan, standar penjajaran (alignment) dan jembatan/ permukaan – dan pemeliharaan yang lebih baik jika sasaran pertumbuhan, konektivitas, dan keselamatan di Indonesia akan tercapai. Jalan arteri ini masih akan mengangkut lebih dari 60 persen dari seluruh lalu lintas antar perkotaan.
Jalan bebas hambatan baru saja tidak cukup. Modernisasi jaringan jalan arteri yang masih ada juga sama kritisnya. Pembaruannya sangat diperlukan: • Untuk mengatasi perjalanan berkecepatan rendah dan berisiko keselamatan tinggi, khususnya di jalan yang sering dilalui kendaraan berat. • Untuk mencegah kemacetan kronis dengan peningkatan kapasitas untuk mengantisipasi peningkatan lalu lintas empat kali lipat dalam 15 tahun mendatang. • Untuk memberi nilai ekonomis dan manfaat (value-formoney) yang lebih baik dengan mengurangi kebutuhan seringnya rehabilitasi dan pelebaran.
Tugas Pembaruan dan Pengelolaan Jalan Arteri
Perangkat perencanaan yang diperkenalkan dengan dukungan IndII memperlihatkan bahwa jaringan jalan arteri membutuhkan sekitar 6.000 km proyek pembaruan besar pada penjajaran baru dan yang telah ada, meskipun telah ada program jalan bebas hambatan yang direncanakan. Ini akan mengantar jaringan pada standar modern dalam hal kecepatan desain, penjajaran, kapasitas (baik yang berlajur dua maupun empat) dan keselamatan. Sekitar 2.600 km pertautan baru/hilang, jalan strategis dan jalan pirau (bypass) juga akan diperlukan. Selain itu, diperlukan 3.670 km pekerjaan rekonstruksi untuk memperkuat permukaan jalan untuk mengantisipasi angkutan truk bermuatan berat, mencegah deteriorasi cepat, dan mengurangi biaya siklus hidup.
Ini memerlukan program pembaruan jalan berskala besar (6.000 km proyek
Prakarsa Compendium | Jilid 3
utama menjelang 2029) dan pemeliharaan yang lebih baik. Bersamaan dengan pemeliharaan yang ditingkatkan, biaya program jalan arteri tersebut hampir Rp 700 triliun (harga 2014), di luar Rp 640 triliun yang diperlukan untuk program jalan bebas hambatan.
Kualitas dan Kapasitas Pelaksanaan
Agar investasi ini menjadi efektif, standar desain dan konstruksi perlu ditingkatkan. Saat ini, pembelanjaan negara menghasilkan nilai ekonomis dan manfaat yang rendah karena sejumlah kontrak kecil dan terpecahpecah (sebagian besar untuk segmen kurang dari 5 km, yang menghindari persyaratan untuk manajemen kualitas desain dan konstruksi), desain, mutu pekerjaan, dan pengawasan yang buruk, struktur permukaan jalan yang lemah, dan kerusakan akibat air yang dapat dihindari.
Diperlukan sejumlah besar perubahan untuk meningkatkan mutu desain dan pelaksanaan pada tingkat yang diperlukan, dengan fokus pada industri konsultasi dan konstruksi. Tidak ada insentif dan pengendalian bermutu dalam pengadaan dan manajemen proyek. Sebagai akibat, industri konsultasi dan pengontrakan setempat tidak memiliki keahlian, kualitas, dan kapasitas yang diperlukan. Diperlukan pemusatan perhatian pada: • Penguatan prosedur dan penalti dalam manajemen kontrak, dengan jumlah kontak yang lebih besar untuk memungkinkan kontraktor dengan mutu lebih tinggi dapat berpartisipasi, dan untuk proyek-proyek yang lebih rumit, kemungkinan penggunaan pendekatan Skema Pembayaran Tahunan Berbasis Kinerja (lihat Usulan Kebijakan Jalan 01, 02, dan 03). • Memperluas pemanfaatan audit teknis independen, yang dipelopori dalam proyek Pembangunan Jalan Nasional Indonesia Timur (EINRIP, Eastern Indonesia National Roads Improvement Project), untuk memverifikasi kinerja keluaran, termasuk keselamatan. • Penguatan mutu staf manajemen konsultan dan kontrak secara menyeluruh di dalam industri melalui
Mentransformasi Jalan di Indonesia
pelatihan, pendampingan, dan sertifikasi profesional. • Peningkatan standar jembatan dan permukaan jalan untuk mengakomodasi massa dan beban gandar dari truk secara realistis (sudah dalam proses), dan penguatan penegakan hukum dalam hal pembatasan kelebihan beban truk. • Peningkatan mitigasi dan drainase banjir (dengan mempertimbangkan perubahan iklim), keduanya sebagai unsur desain kunci dan sebagai prioritas dalam pemeliharaan. • Reorganisasi dan penguatan Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) untuk memberikan fokus teknis yang lebih baik untuk tugas-tugas perencanaan, pelaksanaan proyek, dan manajemen aset, termasuk pembentukan satuan khusus untuk mempersiapkan proyek-proyek jalan bebas hambatan utama dan pembaruan.
Tugas Mendesak Berupa Pembebasan Tanah
Seperti jalan bebas hambatan, kecepatan pembaruan jalan arteri secara kritis bergantung pada pembebasan tanah. Mulai 2016, paling sedikit dibutuhkan 4.652 ha selama kurun waktu 10–12 tahun dengan biaya Rp 6,9 triliun (harga 2014). Prosesnya diatur dalam UU no. 12 tahun 2012.
Pembebasan tanah yang diperlukan adalah seluas 4.652 ha; jika ini tidak tercapai program akah tertunda. Tim khusus dari DJBM akan diperlukan, yang bekerja sama erat dengan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sasaran Renstra DJBM untuk 2015–2019 tidak akan tercapai jika tugas mendesak ini tidak segera dimulai, mulai dari penetapan koridor dan desain awal.
Pengelolaan Aset
Jalan arteri yang lebih baik tidak akan bertahan lama, kecuali dilakukan pemeliharaan dengan baik. Tidak banyak pemeliharaan pencegahan yang dilakukan; pendekatan saat ini adalah melakukan rehabilitasi untuk mencapai sasaran kondisi mantap dan untuk membenarkan alokasi anggaran. Ini menciptakan siklus deteriorasi dan perbaikan yang mahal, yang berakibat pada biaya siklus hidup yang tidak perlu dan berlebihan.
Tugas manajemen siklus hidup aset seharusnya didelegasikan kepada Balai, yang telah diperkenalkan pada perangkat perencanaan yang akan memaksimalkan nilai ekonomis dan manfaat (value-for-money). Pengelolaan aset paling baik dilakukan di tingkat daerah yang dapat menyediakan informasi mengenai kondisi jalan. Untuk memaksimalkan perolehan nilai ekonomis dan manfaat, ini sebaiknya berbasis jaringan, menggunakan perangkat yang dapat mengoptimalkan siklus hidup
penggunaan dana untuk memprioritaskan penanganannya, dengan mempertimbangkan penjadwalan pelaksanaan pekerjaan modal untuk program jalan bebas hambatan dan pembaruan jalan. Dengan dukungan IndII, perangkat tersebut diperkenalkan secara progresif di dua Balai DJBM di Jawa; perangkat tersebut seharusnya dapat diharapkan untuk diluncurkan secara progresif di seluruh Indonesia. Pada saat yang sama, Balai perlu didelegasikan wewenang dan akuntabilitas untuk mengelola jaringan daerah mereka, serta memperoleh pelatihan dan pendampingan dalam menggunakan teknik baru tersebut.
Prioritas Bagi Pemerintah Baru
Apa yang pertama-tama perlu dilakukan oleh Pemerintah baru Indonesia? Tindakan yang paling penting adalah:
Yang sangat mendesak bagi Pemerintah baru adalah memulai dengan mempersiapkan proses (pipeline) proyek pembaruan jalan, pembebasan tanah, menguatkan kapasitas sektor swasta untuk pelaksanaan dengan peningkatan mutu, dan menyediakan kapasitas kelembagaan untuk mengelola aset di tingkat Balai. • Reorganisasi dan penguatan DJBM agar memberi fokus yang lebih baik pada tugas perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan aset. • Membentuk beberapa tim khusus di dalam DJBM untuk memulai tugas mendesak berupa seleksi rute, desain awal, dan pembebasan tanah untuk berbagai proyek pembaruan sebagaimana diidentifikasi oleh perangkat perencanaan jaringan baru DJBM. • Menjamin standar desain bermutu tinggi bagi program pembaruan, termasuk permukaan jalan dan jembatan yang tahan lama, serta menyertakan fitur keselamatan yang kuat. • Menguatkan prosedur manajemen kontrak dan verifikasi independen serta memberi pelatihan, pendampingan, dan pengakuan profesional terkait kepada staf manajemen bidang desain dan konstruksi. • Dengan pelatihan dan pendampingan terkait, memperluas penggunaan sistem manajemen aset baru kepada semua Balai, dan menggunakannya sebagai basis untuk penjadwalan pekerjaan pemeliharaan. • Menguatkan peran dan akuntabilitas formal Balai dalam hal pengelolaan aset. • Memberikan perhatian lebih pada perbaikan faktorfaktor desain dan pemeliharaan yang menyebabkan deteriorasi, terutama drainase, perlindungan banjir/ sungai, perbaikan jembatan, perlindungan bahu jalan, dan keselamatan. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
171
172
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 05:
MENGGUNAKAN INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN JALAN DAERAH
Masalah
Jalan daerah menghubungkan desa dengan pasar, menyambungkan penduduk dan berbagai layanan pokok, serta sangat penting bagi perdagangan, investasi, pertumbuhan, keamanan, dan kesejahteraan.
Jalan penting, namun kondisinya tidak baik. Dari seluruh jaringan jalan nasional sepanjang 502.724 km, sebagian besar di antaranya adalah jaringan jalan daerah: sepanjang 46.164 km jalan provinsi dan 376.102 km jalan kabupaten dan perkotaan. Sementara 93 persen dari jalan nasional berada dalam kondisi mantap pada tahun 2013, untuk jalan provinsi, proporsi tersebut hanya mencapai 68 persen, dan jalan kabupaten bahkan lebih buruk, yaitu kurang dari 50 persen. Konektivitas pada jaringan jalan nasional seringkali berada dalam kondisi buruk.
Penyebab
Anggaran (yang seringkali tidak memadai) dialokasikan untuk proyek-proyek kasat mata, namun mengabaikan pemeliharaan, sehingga mempercepat kerusakan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Fokus perlu dialihkan dari pekerjaan modal ke pemeliharaan yang lebih baik. Penekanan jangka pendek terhadap rehabilitasi atau rekonstruksi merugikan pandangan jangka panjang terkait jaringan jalan. Fungsi pengawasan lemah dan kualitas konstruksi rendah. Sementara itu, kemampuan instansi Pemerintah Daerah (Pemda) terbatas. Hanya sedikit insentif yang diberikan untuk bekerja dengan lebih baik. Lembaga tidak diminta mempertanggungjawabkan fungsi atau kondisi jaringan jalan di daerah mereka. Demikian juga pengawasan publik tidak memberikan tekanan kepada lembaga untuk menetapkan prioritas yang tepat dan memberikan hasil yang lebih baik.
Lembaga jalan daerah tidak diminta mempertanggungjawabkan fungsi atau kondisi jaringan jalan di daerahnya. Tidak ada pemeriksaan untuk menentukan apakah mereka memberikan nilai ekonomis dan manfaat (value-for-money),
Mentransformasi Jalan di Indonesia
dan tidak ada sanksi jika tidak. Kondisi jalan tidak dipantau secara meyakinkan. Biaya yang dikeluarkan pengguna lebih tinggi dari yang seharusnya, sehingga melemahkan upayaupaya pembangunan sosial dan ekonomi.
Mengatasi Masalah
Sebelum pemberlakuan UU no. 38/2004, Direktorat Jenderal Bina Marga (Ditjen Bina Marga), bertanggung jawab atas semua jalan yang sekarang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sementara Kementerian Dalam Negeri mengelola jalan di tingkat kabupaten dan di tingkat yang lebih rendah. Pendekatan tersentralisasi terhadap pengelolaan jalan daerah ini memberikan keuntungan yang jelas, namun bertentangan dengan tujuan UU no. 22/1999 tentang otonomi daerah dan perubahan-perubahan berikutnya.
Jaringan jalan nasional dikelola dengan lebih baik; pendekatan serupa dapat diterapkan pada jalan daerah dengan menggunakan hibah bersyarat. Ditjen Bina Marga menggunakan perangkat perencanaan jaringan dan manajemen aset untuk memprioritaskan pengeluaran untuk jaringan jalan nasional. Dengan sumber daya tambahan, hal yang sama dapat dilakukan terhadap jaringan jalan daerah, dengan membantu mendukung proyek-proyek yang lebih baik, standar yang lebih tinggi, dan nilai ekonomis dan manfaat yang lebih baik, bahkan dalam konteks otonomi daerah. Kunci yang paling mungkin terletak pada penggunaan hibah bersyarat.
PRIM
Pendekatan hibah bersyarat serupa dengan Program Peningkatan dan Pemeliharaan Jalan Provinsi (PRIM) IndII yang tengah diujicobakan di Nusa Tenggara Barat.
PRIM menunjukkan bagaimana hibah bersyarat dapat meningkatkan pemeliharaan jalan.
PRIM menggunakan hibah bersyarat untuk memberikan penggantian atas bagian biaya pemeliharaan jalan apabila pekerjaan tersebut sesuai dengan prosedur yang disepakati dan memenuhi standar yang disepakati dalam hal penetapan prioritas, penganggaran, desain, pengadaan, pengawasan, dan pelaksanaan. Kinerja hasil diverifikasi secara independen oleh Ditjen Bina Marga; apabila standar tidak terpenuhi, hibah tersebut dikurangi. Bappenas dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bermaksud menerapkan model hibah bersyarat secara lebih luas.
DAK
Hibah khusus, Dana Alokasi Khusus (DAK), telah menjadi sumber pembiayaan Pemda untuk pengeluaran proyek infrastruktur yang sesuai prioritas nasional. Persentase DAK mencapai 7 persen dari transfer antar pemerintah (Persentase Dana Alokasi Umum, atau DAU, jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 63 persen, tetapi dana tersebut sebagian besar dibayarkan untuk gaji). Untuk jalan, DAK digunakan untuk rehabilitasi dan pemutakhiran (terbatas pada pekerjaan modal); Rp 30 triliun telah dialokasikan selama tahun 2010–2014. Ditjen Bina Marga telah mengeluarkan pedoman, tetapi verifikasi hasil lemah.
DAK juga memiliki potensi untuk memberikan insentif pembangunan jaringan yang lebih baik melalui proyek-proyek modal, untuk melengkapi pendekatan PRIM. Bank Dunia telah mendukung dalam memperkuat hubungan antara penyaluran dan hasil, dengan verifikasi sampel oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Negara (BKPM), tetapi verifikasi teknis seperti pada model PRIM masih tidak ada.
Insentif Untuk Pembangunan Jaringan
Menjadikan transfer proyek modal menjadi bersyarat berdasarkan hasil terverifikasi menawarkan suatu cara untuk memperkuat perencanaan teknis, penyelenggaraan,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
173
174
Usulan Kebijakan Jalan
dan nilai manfaat dari proyek-proyek jalan milik Pemda yang selaras dengan prioritas konektivitas nasional (misalnya, tautan yang menghubungkan dengan jaringan jalan nasional). Ini melibatkan Ditjen Bina Marga dalam proses verifikasi teknis – dengan implikasi reorganisasi dan penguatan kelembagaan – dengan syarat penyaluran sebagai berikut:
Persyaratan dapat dicantumkan pada penyaluran DAK, dengan verifikasi hasil oleh Ditjen Bina Marga. • Pemda yang meminta dukungan harus memelihara dan membagikan basis data kepada Ditjen Bina Marga tentang kondisi lalu lintas dan jalan, yang dimutakhirkan melalui survei independen. • Proyek-proyek jalan Pemda yang diusulkan untuk memperoleh pembiayaan harus disaring oleh perangkat perencanaan jaringan Ditjen Bina Marga mengenai prioritas nasional, fungsionalitas, kesesuaian standar, dan manfaat. • Rencana, desain, dokumen kontrak, prosedur pengadaan, dan pengawasan harus sesuai dengan pedoman dan standar Ditjen Bina Marga. • Hasil teknis dan penerapan pedoman dan standar harus diverifikasi secara independen oleh Ditjen Bina Marga sebelum penyaluran disetujui.
Pendekatan PRIM menggunakan hibah bersyarat dapat diarusutamakan untuk memberikan insentif terhadap pemeliharaan jalan daerah yang lebih baik dengan verifikasi kinerja oleh Ditjen Bina Marga.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Penggantian biaya akan diberikan berdasarkan seperangkat acuan untuk harga satuan yang disusun oleh Ditjen Bina Marga dan mencakup biaya survei, desain, pengawasan, dan pelaksanaan.
Insentif Untuk Pemeliharaan
Pengaturan-pengaturan serupa yang dicontoh dari PRIM mungkin dapat mendukung dalam memperkuat pemeliharaan (non-modal) jalan daerah. Pengaturan tersebut juga akan melibatkan hibah pemerintah pusat yang mensyaratkan kinerja terverifikasi dalam melaksanakan pekerjaan fisik dan pemenuhan standar Ditjen Bina Marga untuk penilaian kebutuhan, perencanaan (dengan menggunakan perangkat manajemen aset yang telah ditentukan), penganggaran, pengadaan, pengawasan, dan pelaksanaan, sebagaimana untuk PRIM. Hibah bersyarat tersebut dapat berupa subset dari DAK (tetapi untuk pekerjaan non-modal), atau dapat menggunakan sistem dana pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud dalam UU no. 22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Dalam kedua hal tersebut, pembangunan harus berdasarkan pada pengalaman PRIM.
Rencana Aksi
Penyelenggaraan dan pemeliharaan jalan daerah dapat dilakukan lebih baik dengan menggunakan insentif hibah bersyarat dari pemerintah pusat. Langkah penting untuk mewujudkan hal ini adalah sebagai berikut:
Ditjen Bina Marga akan memerlukan sebuah unit khusus untuk menangani tugas-tugas terkait jalan daerah. • Ditjen Bina Marga harus mengkaji hubungan jalan daerah dengan mempertimbangkan perkiraan ekonomi dan lalu lintas, dan mengalihkan ke dalam jaringan jalan nasional, yang menurut fungsinya lebih tepat dikelompokkan ke dalam jalan nasional.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
• Ditjen Bina Marga akan bekerja sama dengan Kemenkeu untuk menunjukkan dan mengarusutamakan penggunaan hibah bersyarat berbasis kinerja. • Kemenkeu harus (i) mengubah peraturan yang mengatur DAK berdasarkan UU no. 33/2004 untuk memungkinkan penyaluran berbasis hasil bersyarat dan memberikan pos-pos pemeliharaan non-modal tambahan; atau (ii) menyalurkan hibah untuk pemeliharaan kepada Pemda melalui dana pelestarian jalan yang ditetapkan berdasarkan UU no. 22/2009. • Ditjen Bina Marga akan mengembangkan standar teknis, prosedur, spesifikasi hasil, dan biaya unit acuan yang mengatur baik pekerjaan modal maupun non-modal, termasuk pengaturan verifikasi kinerja independen. • Ditjen Bina Marga akan menetapkan unit Eselon II yang bertanggung jawab atas jalan daerah dengan kapasitas untuk melaksanakan (dengan dukungan para konsultan) verifikasi kinerja dan memberikan dukungan teknis baik kepada komponen hibah modal maupun pemeliharaan. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
175
176
Usulan Kebijakan Jalan
USULAN KEBIJAKAN JALAN 06:
KESELAMATAN JALAN DI INDONESIA
Di negara-negara dengan tingkat pendapatan menengah, motorisasi yang cepat biasanya menyebabkan peningkatan kematian di jalan pada taraf yang mengkhawatirkan. Di Indonesia, setiap tahunnya tercatat ada lebih dari 30.000 kematian di jalan, penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit jantung dan tuberkulosis (TBC). Ancaman kesehatan seperti SARS dan Ebola menerima perhatian luas, tapi tidak demikian dengan tingkat kematian harian di jalan. Sebagian besar masyarakat tampak tidak peduli dengan masalah tersebut.
Lebih dari 30.000 orang Indonesia tewas di jalan setiap tahun. Keselamatan jalan yang buruk juga merupakan persoalan ekonomi yang serius. Laki-laki muda usia kerja mewakili persentase korban yang tidak proporsional. Keluarga terjerumus ke dalam kemiskinan karena biaya perawatan medis yang berkepanjangan, hilangnya pencari nafkah, atau biaya merawat penyandang disabilitas. Penelitian menunjukkan biaya ekonomi kecelakaan di jalan di Indonesia sebesar 3 persen dari PDB.
Fatalitas di jalan merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di Indonesia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Informasi yang dapat diandalkan kini tersedia melalui sistem baru (IRSMS) di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Sistem tersebut memiliki data kecelakaan berdasarkan tingkat keparahan, jenis, dan lokasi, memungkinkan adanya perencanaan dan pemantauan intervensi keselamatan jalan bersasaran. Informasi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar kematian terjadi pada pengguna jalan yang rentan: pejalan kaki, pengendara sepeda, dan sepeda motor. Kelompok usia 15–25 tahun, yang dapat dikatakan kurang berpengalaman dan kurang sadar akan bahaya, mencakup seperempat dari semua kematian tersebut. Data juga menunjukkan bahwa banyak pengendara sepeda motor tidak memiliki SIM, dan pengendara dengan usia di bawah umur adalah hal yang biasa.
Dampak ekonomi dari pembantaian di jalan setara dengan 3 persen PDB, usia 15 hingga 25 tahun mencakup 25 persen dari semua kematian di jalan. Di masa lalu, sepertinya ada semacam penerimaan atas kematian di jalan yang tidak dapat dihindari, namun tidak perlu demikian. Di negara-negara yang telah menerapkan pendekatan sistematis, jumlah dan tingkat keparahan kecelakaan berkurang hingga sepuluh kali lipat dalam jangka waktu 30 tahun. Hal yang sama dapat dilakukan di Indonesia.
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Pendekatan sistematis jangka panjang terhadap keselamatan jalan dapat mengurangi kematian jalan hingga 90 persen.
Prestasi
Sejak tahun 2011, Pemerintah ikut serta dalam Dekade untuk Aksi Keselamatan Jalan PBB 2011–2020. Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) Jalan 2011–2035 diselesaikan pada bulan Mei 2011, dengan pemahaman bahwa keselamatan jalan merupakan tanggung jawab bersama yang hanya dapat diatasi melalui kerja sama berbagai lembaga. RUNK sejalan dengan Lima Azas PBB untuk Keselamatan Jalan: pengelolaan keselamatan jalan (untuk mendorong koordinasi pemangku kepentingan dan kemitraan), jalan yang lebih aman, kendaraan yang lebih aman, pengguna jalan yang lebih aman, dan tanggapan pasca kecelakaan.
Indonesia telah mengembangkan Rencana Induk Keselamatan Jalan yang komprehensif dengan sasaran pengurangan kematian dan cedera yang ambisius. Sasaran rencana ini adalah pengurangan tingkat kecelakaan sebanyak 80 persen hingga tahun 2035: Tingkat kematian akibat kecelakaan
2010 (garis dasar)
2020 (pengurangan 50%)
2035 (pengurangan 80%)
Per 10.000 Kendaraan
3,93
1,96
0,79
Per 100.000 penduduk
12,86
6,57
2,63
Beberapa program keselamatan jalan sedang dilangsungkan di jaringan jalan nasional, namun analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa hampir tiga perempat kematian di jalan terjadi di jalan subnasional, yang memiliki kapasitas dan tingkat kesadaran yang rendah. Hal ini perlu diperhatikan jika ingin memenuhi sasaran di atas.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Komitmen RUNK Jalan 2011–2035 menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan mulai menyadari keseriusan masalah ini dan adanya kebutuhan mendesak akan suatu tindakan. Tetapi program keselamatan jalan memerlukan waktu untuk membuahkan hasil. Indonesia harus mengikuti pengalaman negara-negara lain yang telah menunjukkan bahwa upaya keselamatan jalan berkelanjutan pada akhirnya mencapai hasil. Rencana Umum itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali tindakan-tindakan yang telah direncanakan diterapkan dengan efektif, dengan semua kementerian pokok dan pemangku kepentingan berkomitmen pada sasaran yang terukur.
Program-program keselamatan jalan bersasaran untuk kementerian-kementerian pokok perlu didanai. Memantau efektivitas juga sangat penting, dengan strategi yang disesuaikan dengan tepat. Meningkatkan kualitas data kecelakaan akan memungkinkan pembidikan tindakan yang lebih efektif dan penilaian kinerja yang lebih baik. Dengan sebagian besar kematian di jalan terjadi di jalan provinsi dan daerah, sangat penting bahwa solusi daerah dikembangkan, dengan keterlibatan masyarakat secara langsung. Organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat dapat berperan dalam mempengaruhi bagaimana anggaran pemerintah daerah dialokasikan untuk menjamin prakarsa keselamatan yang efektif dan berkelanjutan.
Prioritas Bagi Pemerintah Baru
Menyelamatkan nyawa di jalanan Indonesia mensyaratkan pendanaan yang cukup, koordinasi yang kuat, kapasitas teknis yang baik, dan kesadaran masyarakat yang lebih besar. Termasuk dalam tindakan-tindakan prioritas adalah:
Dibutuhkan pengawasan manajemen yang kuat oleh Bappenas dan peningkatan pendanaan yang signifikan untuk menjaga agar rencana umum keselamatan jalan tetap pada jalurnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
177
178
Usulan Kebijakan Jalan
• Memperkuat peran Bappenas dalam mengkoordinasi keselamatan jalan di tingkat nasional, antar lembaga pokok dan tingkat pemerintahan. • Membentuk fungsi khusus untuk pengelolaan keselamatan jalan di Bappenas, didukung oleh Sekretariat dan Kelompok Kerja untuk setiap Azas RUNK. • Menjamin bahwa data kecelakaan, prakarsa keselamatan jalan, dan alokasi anggaran dibuka penuh untuk umum. • Menggunakan Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) sebagai cara melibatkan organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan memprioritaskan prakarsa.
Organisasi Non-Pemerintah dan kelompok masyarakat memiliki peran kunci dalam menjamin bahwa persoalan keselamatan jalan diatasi dan prakarsa diterapkan di tingkat daerah. • Menaikkan tingkat pendanaan dari semua tingkat pemerintahan hingga ke tingkat yang setara dengan 0,11 persen PDB (berdasarkan perbandingan negara), untuk mencakup (i) penaikan alokasi APBN untuk membangun kapasitas dan investasi keselamatan jalan; (ii) pendanaan hibah baru berbasis kinerja dan bersyarat untuk memberikan insentif untuk hasil keselamatan jalan oleh pemerintahan subnasional; (iii) kenaikan pembelanjaan PT Jasa Raharja untuk prakarsa keselamatan jalan; (iv) dana baru untuk
Prakarsa Compendium | Jilid 3
keselamatan jalan yang dibiayai dari ongkos pengguna dan peningkatan denda; dan (v) peningkatan dukungan dari lembaga pendanaan internasional dan sponsor korporat.
Dukungan internasional akan memberi dukungan dalam membangun kapasitas yang dibutuhkan. • Mencari kelanjutan dukungan donasi untuk (i) pembangunan kapasitas di dalam Ditjen Bina Marga, Ditjen Perhubungan Darat, dan Polri, dan (ii) program hibah yang menyerupai hibah bersyarat melalui Kementerian Perhubungan untuk meningkatkan rambu-rambu, marka-garis, fasilitas jalan, dan tanggapan kecelakaan oleh pemerintahan nasional, provinsi, dan daerah. • Membangun kapasitas di antara profesional keselamatan jalan melalui pelatihan, pendampingan, sertifikasi profesi, dan dukungan untuk perhimpunan profesi. ●
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Mentransformasi Jalan di Indonesia dalam angka 2017
Tahun di mana Waskita Bumi Legundi (sebuah perusahaan patungan antara perusahaan konstruksi milik Negara Waskita Karya dan Energi Bumi Mining) diharapkan untuk menyelesaikan jalan tol Legundi-Bunder sepanjang 30 km, menghubungkan Kecamatan Krian dengan Teluk Lamong di Tanjung Perak, Surabaya.
<50%
Jumlah lahan yang telah dibebaskan oleh Pemerintah Indonesia untuk membangun segmen kedua jalan tol Manado-Bitung di Sulawesi Utara, yang dianggap sangat penting untuk menghubungkan Manado dengan kawasan ekonomi khusus Bitung.
40,5km
Panjang konsesi jalan tol PT Astra International, merupakan konsesi jalan terpanjang di dalam program TransJawa.
35%
Penambahan ruas jalan di Indonesia pada 10 tahun terakhir. Sebagian besar dari penambahan ini disebabkan oleh reklasifikasi jalan daerah.
300%
Penambahan jumlah kendaraan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
72
Peringkat Indonesia, dari 144 negara, di dalam Laporan Daya Saing Global dari Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tahun 2014–2015 dalam hal kualitas jalan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
179
180
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI Pertanyaan: Menurut anda, apa kendala terbesar yang harus ditangani agar jaringan jalan nasional di negara ini dapat lebih berkembang? Langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kendala ini?
Ir. Harris H. Batubara, M.Eng.Sc Direktur Bina Program Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat “Hambatan penyediaan jaringan jalan nasional antara lain, lebih dari 80 persen lalu lintas angkutan barang dan lebih dari 82 persen lintas angkutan penumpang menggunakan moda jalan, overloading, tata guna lahan yang tidak terkendali, rendahnya pemenuhan readiness criteria terutama pengadaan lahan dalam pembangunan jalan bebas hambatan, pemaketan proyek yang relatif kecil telah menyebabkan jumlah paket/kontrak/Pejabat Pembuat Komitmen kurang mendorong peningkatan mutu, Performance-Based Contracting belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, dan terbatasnya dana APBN bidang jalan. Alternatif solusi terhadap permasalahan diatas antara lain, membagi beban moda jalan dengan moda angkutan lain terutama kereta api dan transportasi laut, modernisasi jaringan jalan nasional eksisting dan pembangunan expressway, penerapan teknologi dan desain yang tepat, memberikan dukungan terhadap transportasi publik melalui penyediaan jaringan jalan nasional bagi BRT (Bus Rapid Transit) di kawasan perkotaan, pemenuhan readiness criteria (feasibility study, detailed engineering design environmental impact assessment, land acquisition, dsb.) penerapan Performance-Based Maintenance Contract dan Performance-Based Annuity Scheme, peningkatan efektifitas dan efisiensi penggunaan APBN dan diimbangi dengan model pembiayaan yang inovatif dan kreatif (pinjaman/hibah, sukuk, dsb).”
Bambang Prihartono, MSCE Direktur Transportasi Bappenas “Total panjang jaringan jalan nasional saat ini hanya sekitar 8 persen dari total panjang jaringan jalan di Indonesia sepanjang 479.079 km. Kondisi ini dirasakan kurang mampu mendorong terwujudnya konektivitas dan sistem logistik nasional, terutama dengan semakin tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di seluruh koridor ekonomi nasional. Jaringan jalan nasional perlu lebih dikembangkan, terutama untuk mendukung aksesibilitas dan konektivitas pada pusat-pusat pertumbuhan di daerah.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Mentransformasi Jalan di Indonesia
Pada koridor-koridor utama seperti di Pantura Jawa dan Lintas Timur Sumatera, permasalahan overloading hingga saat ini belum mampu terpecahkan. Koordinasi di tingkat pusat dan daerah belum dapat berjalan dengan baik. Banyaknya stakeholder yang terkait serta masih lemahnya law enforcement menyulitkan penanganan overloading. Sementara itu fungsi jembatan timbang belum optimal dalam mengurangi overloading. Kontrak pekerjaan jalan melalui Performance-Based Contract (PBC) dapat menjadi salah satu alternatif dalam penanganan jalan dalam jangka menengah. Pada daerah-daerah pedalaman dan perbatasan, permasalahan lahan hutan lindung sering kali mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan pembangunan jalan. Diperlukan koordinasi di tingkat menteri serta penyempurnaan regulasi terkait dengan aspek pemanfaatan hutan lindung untuk kepentingan publik. Pada sisi lain, kondisi geografis Indonesia dengan banyaknya daerah-daerah rawan bencana dengan kondisi struktur tanah yang labil, diperlukan adanya dana cadangan bencana untuk penanganan mendesak dalam rangka menjaga pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjaga tingkat pelayanan jalan, kualitas jalan harus dapat dipertahankan sesuai dengan umur teknis rencananya. Penyediaan dana preservasi diperlukan dalam rangka mempertahankan kualitas jalan yang ada. Disamping itu keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan perbaikan jalan secara swakelola dapat menjadi alternatif dalam rangka untuk mengatasi potensi jalan rusak, melalui menghidupkan kembali keberadaan ‘mandor jalan’ yang memiliki tugas mengantisipasi setiap kerusakan ringan agar segera diperbaiki sebelum berkembang menjadi rusak berat. Di dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2015–2019, Pemerintah telah menargetkan pembangunan jalan tol sepanjang 1.195 km, melakukan pemeliharaan dan meningkatkan kapasitas jalan yang ada sepanjang 43.770 km, serta membangun jalan baru sepanjang 5.200 km, untuk memenuhi kebutuhan aksesibilitas daerah tertinggal, mobilitas perjalanan di perkotaan dan konektivitas antar wilayah, antar pulau dan antar kota serta antar pusat kegiatan nasional, regional dan lokal. Untuk mewujudkan target tersebut tantangan terbesarnya adalah dalam hal penyediaan tanah, disamping penguatan kapasitas SDM Bina Marga serta penguatan kapasitas industri jasa konstruksi di Indonesia. Pemerintah perlu menyediakan alokasi dana khusus untuk pengadaan lahan baik untuk jalan nasional maupun jalan tol. Disamping itu, bentuk-bentuk kontrak pekerjaan dengan pola insentif kinerja melalui Performance-Based Annuity Scheme perlu terus didorong implementasinya yang diiringi dengan penyempurnaan regulasi dalam penyelenggaraan jalan. Selain itu peran jalan daerah dalam mewujudkan konektivitas wilayah sangat lah penting. Panjang jaringan jalan daerah (provinsi dankabupaten/kota) yang mencapai 92 persen dari total jaringan jalan yang ada, memerlukan peningkatan baik dari aspek jumlah maupun kualitasnya. Dalam kaitan ini, sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jalan nasional dan daerah, termasuk rencana investasinya, melalui RPI2JM (Rencana terpadu Pengembangan Investasi Infrastruktur Jangka Menengah) dapat menjadi salah satu alternatif dalam rangka mensinergikan pembangunan infrastruktur antara tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Di samping itu, skema-skema pendanaan hibah untuk penanganan jalan daerah dapat menjadi salah satu alternatif yang juga dapat dikembangkan menjadi bentuk pendanaan yang bersumber dari rupiah murni.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
181
Suara dari Sektor Swasta Edisi 20, Januari-April 2015
• Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya • Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan • Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia • Angkutan Umum Perlu Investasi dan Keahlian Pihak Swasta • Peran Sektor Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia • Peran Sektor Swasta dalam Mengembangkan Pelabuhan di Indonesia • Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
184
Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
KEADAAN DARURAT DI BIDANG INFRASTRUKTUR, DAN CARA MENGHADAPINYA Bernardus Djonoputro adalah pendiri dan Ketua HD Asia Advisory, yang memberi layanan penasihat strategis kepada investor dan korporasi untuk membantu mereka mengembangkan strategi investasi yang komprehensif dengan memperhitungkan nuansa legislatif, regulasi, dan politik dari lingkungan investasi. Ia telah bekerja sebagai penasihat bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam proyek perencanaan dan infrastruktur. Pada tahun 2010 sampai 2013, ia menjabat sebagai Managing Director dari investor infrastruktur dan operator PT Nusantara Infrastructure Tbk, yang mengelola konsesi pada jalan tol, pelabuhan, serta sektor air dan listrik. Ia saat ini adalah juga Sekretaris Jenderal dari Asosiasi Perencana Urban dan Regional Indonesia. Sebagai alumnus Indonesia-Australia Intergovernmental Youth Exchange Program, ia memiliki gelar dalam Perencanaan Urban dan Regional dari Institut Teknologi Bandung.
PRAKARSA: Anda memiliki dua peran yang menarik – Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) dan Ketua HD Asia Advisory. BERNARDUS DJONOPUTRO: HD Asia Advisory, itu bisnis saya. Dalam waktu luang saya, saya adalah Presiden Institut Perencanaan Indonesia, yang merupakan organisasi yang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
setara dengan Planning Institute of Australia (PIA) di Australia. Itu adalah posisi pro bono. Kami adalah satusatunya organisasi profesional perencana perkotaan di negara ini, dengan sekitar lebih dari 3.000 anggota, yang merupakan perencana bersertifikasi. Kami melakukan sertifikasi dan akreditasi independen bagi perencana untuk pekerjaan pemerintah. Mengenai peran saya dengan HD Asia Advisory, saya lebih terlibat dengan para praktisi
Suara dari Sektor Swasta
investasi/infrastruktur.
Apakah Anda pernah melihat adanya persinggungan antara pekerjaan Anda dengan IAP dan jenis pemberian nasihat yang Anda lakukan, atau apakah kedua hal tersebut topik yang sama sekali berbeda? Begini, sebenarnya keduanya saling terkait bila Anda melihat persoalan utama dalam perencanaan dewasa ini, sebagian besar berkisar seputar fakta bahwa kota dan daerah di Indonesia tidak mampu menyediakan infrastruktur, sehingga penyediaan infrastruktur merupakan persoalan yang penting.
Apakah menurut pendapat Anda investor takut untuk datang ke Indonesia karena mereka khawatir mengenai mutu infrastruktur? Tidak, mereka melihatnya lebih sebagai kesempatan. Saya rasa faktor rasa takut bagi investor asing dewasa ini adalah terkait apakah mereka merasa nyaman atau tidak dengan rezim regulasi dan kerangka kebijakan. Juga saya rasa investor melihat nasib dari proyek infrastruktur yang ada saat ini seperti konsensi dan Bangun, Guna, Serah (BOT, Build-Operate-Transfer). Sehingga ini adalah mengenai persoalan rezim regulasi yang akan menjamin apakah investasi mereka itu bermanfaat untuk dilakukan.
Apakah Anda memiliki pandangan tentang perubahan tertentu yang Anda ingin lihat dalam lingkungan regulasi? Seandainya Anda adalah Presiden yang baru, apa yang akan Anda lakukan? Saya rasa yang pertama dan terutama diperlukan oleh pemerintah yang baru adalah untuk menanamkan pemikiran bahwa saat ini kita berada dalam keadaan darurat di bidang infrastruktur, dalam hal struktur pemerintahan, dan bagaimana pemerintah bekerja. Saya lihat ada tiga hal darurat yang perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah yang baru: Pertama adalah energi – Kita memiliki tantangan yang besar dalam hal memastikan bahwa kita memiliki cukup energi untuk negara kita. Keadaan darurat yang kedua dalam penyediaan infrastruktur adalah bahwa kita harus meningkatkan kinerja kita dalam membangun infrastruktur yang tepat yang akan mengoptimalkan potensi bahwa Indonesia harus bertumbuh pada tingkat yang kita semua berpendapat dapat kita capai, misalnya: 5, 6, atau 7 persen. Ini mencakup tidak hanya infrastruktur dasar tetapi juga penyediaan perumahan. Kami saat ini memiliki banyak
Atas perkenan Bernardus Djonoputro
pekerjaan tertunda di daerah perkotaan dalam bentuk perumahan, terutama rumah yang terjangkau untuk rakyat berpenghasilan menengah dan rendah. Ketiga, yang tidak begitu mendesak seperti hal yang disebut sebelumnya tetapi juga sangat penting bagi pemerintah adalah efisiensi di bidang regulasi. Dengan perkembangan terakhir, semua infrastruktur kami dan semua program energi kami terjadi di tingkat daerah. Sehingga lingkungan utama tempat para investor bekerja dewasa ini tidak terlalu Jakarta-sentris, melainkan daerah yang berperan. Sehingga setiap investasi, atau lokasi perumahan Anda, atau lokasi pembangkit tenaga listrik Anda, atau lokasi jalan tol Anda – semuanya ini terjadi pada tingkat Pemerintah Daerah, sehingga dinamika antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting. Dalam hal sektor, yang perlu dilihat dahulu oleh pemerintah, adalah energi dan infrastruktur. Dalam “moda darurat”, pemerintah perlu masuk dan melakukannya dari hari pertama untuk mengidentifikasi hal yang mudah untuk dilakukan – infrastruktur dasar yang perlu dilakukan oleh negara. Pemerintah perlu untuk melihat kembali strategi besarnya. Saya rasa strategi infrastruktur perlu untuk menjadi bagian dari strategi negara yang lebih luas, lebih ketat, dan lebih jelas. Pemerintah yang baru harus
Prakarsa Compendium | Jilid 3
185
186
Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
menghindari mengirim pesan yang salah dalam bentuk kebijakan-kebijakan semu seperti Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) atau semacamnya, tetapi sebaliknya pemerintah sebaiknya menghasilkan target jangka panjang yang sangat terstruktur yang diturunkan menjadi proyek jangka menengah dan pendek, misalnya: kita dulu memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN, yang merupakan garis besar kebijakan nasional) yang merupakan rencana utama untuk 25 tahun atau 50 tahun, dan kemudian kami menerjemahkannya menjadi rencana jangka menengah dan jangka pendek yang mengalir dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah – yang berarti kami memiliki sasaran yang sangat terstruktur. Saya rasa kami harus menghindari mencari keuntungan politik jangka pendek. Pemerintah cenderung rentan terhadap hal itu. Pemerintahan Yudhoyono rentan terhadap prakarsa politik jangka pendek yang datang dari berbagai fraksi pemerintahannya. Ini adalah penilaian saya yang cukup keras terhadap strategi MP3EI, yang tidak membawa negara ini menjadi dekat pada apa yang diharapkan. Saya rasa sangat salah untuk muncul dengan dokumen, dalam tanda kutip, “kasus bisnis” dan menempatkannya seolaholah ini adalah strategi negara – yang sebenarnya bukan. Disinilah pemerintah SBY gagal untuk mempercepat investasi dalam infrastruktur. Masalah kedua adalah bahwa sektor swasta bukan ramuan ajaib untuk menyelesaikan permasalahan infrastruktur. Hal ini tidak boleh terjadi lagi pada pemerintahan yang baru. Infrastruktur dasar adalah murni tanggung jawab pemerintah. Sektor swasta akan ikut serta jika ada insentif atau jika ada tempat di mana sektor swasta dapat berpartisipasi dan mendapatkan pengembalian dari investasi mereka, dalam proyek manapun. Saya sangat berharap pemerintahan yang akan datang akan melihat partisipasi sektor swasta dalam pengembangan infrastruktur sebagai suatu tambahan atau peningkatan pekerjaan pemerintah. Dan masalah ketiga adalah Kemitraan Swasta Pemerintah (KPS) bukan merupakan sesuatu yang mudah – lebih mudah berkata daripada melakukannya. Pengalaman di seluruh dunia membuktikan bahwa KPS bukanlah skema termudah
Prakarsa Compendium | Jilid 3
untuk diimplementasikan. Pemerintah perlu memahami bahwa KPS merupakan sesuatu yang perlu didefinisikan dengan jelas, disiapkan secara jelas, dan terstruktur dengan jelas. Sehingga hal ini menjadi latihan dalam berbagi risiko dan bukan cara ajaib untuk mendapatkan sumber daya swasta. Kami tidak melihat bahwa rezim yang berbagi risiko ini telah dianut oleh pemerintah. Ini akan menjadi salah satu dari tantangan utama bagi pemerintah yang baru. Dari yang kita lihat telah sampai saat ini dari tim transisi dan pekerjaan persiapan dari kabinet yang baru, saya tidak melihat bahwa mereka sepenuhnya menyadari akan kompleksitasnya. Kami masih melihat tanda di luar sana yang melihat KPS dan partisipasi swasta seolah-olah hal tersebut adalah ramuan ajaib. Kabinet yang baru perlu duduk bersama dan menentukan bagaimana mereka akan menetapkan mana yang paling mudah untuk pertama ditangani. Hal yang mudah dicapai itu sangat gampang – hal itu sederhana, dan ada di luar sana.
Apa saja hal-hal yang mudah dicapai tersebut? Anda melihat 24 Jalan Tol Trans-Jawa dan jalan raya perkotaan dalam kota Jakarta yang belum dibangun. Sebagian besar dari kontrak-kontrak tersebut Anda ketahui, telah diberikan kepada pemain 10 sampai 15 tahun yang lalu dan banyak di antaranya belum bergerak sama sekali. Mereka menyalahkan hal-hal teknis seperti pembebasan tanah dan hal-hal semacam itu. Dengan segala rasa hormat, saya rasa pemerintah perlu untuk sangat ketat dalam hal itu dan untuk mengevaluasi kembali konsensi yang ada dan jika sektor swasta tidak dapat membangun, maka cabut izinnya atau konsesi BOT-nya dan berikan kepada pemilik konsesi baru. Sebagai alternatif, pemerintah perlu untuk memandang Jalan Tol Trans-Jawa dan jalan tol intraperkotaan Jakarta sebagai satu pekerjaan infrastruktur Indonesia gabungan, di mana Anda menempatkannya semuanya bersama-sama dan memandang investasi yang besar sebagai suatu keseluruhan, dan tidak sebagai konsesi tak terstruktur yang dilaksanakan sepotong-sepotong. Jadi pemerintah sekarang memiliki kesempatan untuk melihat kembali keseluruhan konsesi dan mempertimbangkan kembali bagaimana konsesi tersebut dapat bekerja.
Bagaimana hal itu bisa berjalan jika merupakan satu proyek yang besar?
Suara dari Sektor Swasta
Hal yang pertama adalah, upayakan agar setiap orang yang memiliki konsesi duduk bersama dan angkat tangan mereka jika mereka tidak dapat membangun konsesi mereka. Kemudian mereka harus mengundurkan diri dan tidak berpartisipasi dalam konsesi mereka lagi. Pemerintah memiliki kapasitas untuk melakukan hal itu. Sekarang, lebih mudah mengatakannya daripada menjalankannya, tetapi jika pemerintah berwenang, maka mereka bisa menangani pembebasan tanah. Saya rasa pemilik konsesi akan bertahan jika mereka bona fide, jika mereka benar bermaksud untuk melakukan investasi dalam konsesikonsesi tersebut. Rantai yang hilang di sini, setiap orang mengatakan, adalah pembebasan tanah bukan? Jika pemerintah dapat mengalokasikan investasi, dan energi, dan menggunakan wewenangnya untuk memastikan bahwa tanah dapat dibebaskan, maka saya rasa tidak ada alasan mengapa Trans-Jawa tidak bisa dibangun dalam waktu lima tahun ke depan. Itulah hal yang dapat dicapai yang pertama.
Kemudian apalagi hal yang mudah dicapai? Yang kedua adalah lima kontrak air minum utama yang pertama yang saat ini telah berada pada tahap prakualifikasi (PQ, prequalification) dan penawaran (tender). Anda harus melihat pada skema KPS untuk semua proyek air minum. Kami berbicara mengenai Jatiluhur, Lampung, Semarang Barat, Unggulan, dan Palu. Jadi yang termudah adalah Trans-Jawa, kelompok kedua adalah kontrak air minum dan beberapa rencana perluasan pelabuhan dan bandara udara. Bandara udara dan pelabuhan yang berukuran sedang dan kecil. Karena selama 30 tahun terakhir kita lupa membangun pelabuhan. Sekarang kedua bidang itu, air minum dan pelabuhan, semua perlu dilaksanakan dengan KPS karena saya dapat meyakinkan Anda bahwa semua proyek air minum dan proyek pelabuhan itu menguntungkan. Semuanya itu memiliki potensi menjadi KPS karena manfaat keuangannya ada. Dan manfaat ekonomi (bagi pemerintah) sangat menarik, sangat besar. Ketiga adalah proyek infrastruktur dalam anggaran pemerintah. Jalan 2000 kilometer yang pemerintah akan bangun dapat dilakukan melalui anggaran pemerintah. Saya rasa pemerintah memiliki cukup dana untuk melakukannya. Jadi pemerintah perlu untuk bekerja dan mengoptimalkan peran Badan Umum Milik Negara (BUMN)
sebagai suatu lokomotif untuk membangun 2000 kilometer jalan tol nasional yang didanai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Jadi banyak sekali hal yang mudah dicapai. Bagaimana Pemerintah harus memulainya? Untuk yang hal yang pertama, Trans-Jawa dan jalan antar kota, semua yang Anda perlukan adalah wewenang dan untuk mengoptimalkan pembebasan tanah. Untuk yang ketiga, anggaran pemerintah, mengoptimalkan APBN melalui proses pembuatan anggaran. Jadi tantangan terbesar adalah nomor dua, yang adalah pengembangan air minum dan pelabuhan melalui KPS. Sekarang, dengan KPS, apa yang dapat dilakukan pemerintah adalah sangat sederhana. Tantangan terbesar untuk pemerintah untuk melakukan tinjauan dalam hal keadaan darurat dalam bidang infrastruktur adalah KPS, karena KPS bukan ramuan ajaib, ini rumit. Tetapi dapat dikerjakan. Australia, Korea, Inggris, dan beberapa ekonomi lain yang telah maju dan matang telah melakukan KPS dan telah melalui beberapa siklus. Studi menunjukkan bahwa ini bukan merupakan skema yang sederhana. Hal ini memerlukan pekerjaan pemerintah yang sangat tangguh dan prakarsa serta energi dan kekuatan. Tetapi ini juga memerlukan investasi swasta yang sangat terfokus. Di sini terdapat investor, pemain, operator, sponsor proyek yang sungguh-sungguh fokus yang telah bermain di bidang ini di seluruh dunia. Mereka akan menjadi pendorong utama dari KPS di belahan dunia manapun. Jadi bagaimana untuk memulai KPS? Saya pikir Presiden perlu melihat pada beberapa opsi yang ada, dan salah satu cara yang termudah adalah untuk membangun pusat KPS dengan posisi tertinggi di bawah Presiden. Jadi jika pemerintah saat ini dapat mengumumkan semacam moda keadaan darurat untuk lima tahun ke depan untuk membangun infrastruktur yang diperlukan, maka KPS dapat dicapai dengan melakukan upaya yang sangat terfokus.
Bagaimana pusat KPS dapat bekerja? Kami telah melihat bagaimana para menteri berinteraksi. Jadi, cara terbaik adalah untuk menempatkan pusat KPS langsung di bawah Presiden. Hal ini telah berhasil di
Prakarsa Compendium | Jilid 3
187
188
Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
berbagai negara. Apa yang harus dilakukan pusat KPS sangat sederhana – memulai pengadaan, investasi, dan konsesi, dalam arti, mempersiapkan proyek, menjalankan tender, dan penyelenggaraan proyek sampai penutupan keuangan. Jadi ini terutama adalah persiapan pekerjaan, lakukan tender, dan selesaikan pekerjaan ini. Jadi lembagalembaga ini tidak akan menjadi penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK), tetapi akan bertindak terutama sebagai pendukung sehingga tender KPS dan pekerjaan KPS dapat dimulai. Dan ini yang menurut pendapat saya diperlukan. Pusat ini atau lembaga-lembaga ini perlu berada pada posisi setinggi mungkin, yang melapor kepada Presiden atau Wakil Presiden secara langsung dan memiliki peran lintaskementerian dalam melaksanakan tender tersebut. Dan membubarkan unit KPS semu di berbagai departemen yang kita miliki saat ini, dan upayakan agar mereka sebagai gantinya mendukung pusat KPS, dengan analisis dan pekerjaan lintas-kementerian. Kami sebaiknya tidak memiliki KPS di berbagai kementerian seperti yang kita lakukan saat ini di Bappenas, di Kementerian Keuangan, di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pusat ini perlu untuk memotong kompas berbagai lembaga. Apabila Anda melihat KPS di Indonesia dewasa ini, kita sudah memiliki semua lembaga yang diperlukan, kita memiliki dana bergulir untuk tanah, sehingga pemerintah memiliki dana untuk membebaskan tanah dan kemudian pemegang konsesi dapat membayarnya kemudian. Kami memiliki dana jaminan, Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF). Perannya adalah menjamin risiko politik serta sebagai risiko lalu lintas, dan kemudian Anda memiliki dana partisipasi ekuitas pemerintah – PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). [SMI adalah pemegang saham IIF, dan IIF merupakan perusahaan swasta yang diluncurkan oleh Menteri Keuangan pada tahun 2010 untuk mempercepat investasi infrastruktur Indonesia]. Jadi, semuanya telah ada tetapi yang terjadi saat ini adalah kita belum bergerak melampaui pengadaan, kita belum bergerak melampaui tahap persiapan. Pada tahun pertemuan tingkat tinggi infrastruktur tahun 2005 Bappenas membuat daftar begitu banyak proyek KPS, sekitar 179 kemudian turun menjadi 59 dan sekarang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
turun lagi menjadi sekitar 20. Dari seluruh milyaran dolar yang terwakilkan dalam daftar tersebut, tidak ada yang lebih jauh dari PQ, tidak ada yang sudah dilakukan tender. Hanya ada satu proyek yang bernilai USD 2 milyar yang telah diselesaikan dan menutup buku dua tahun yang lalu dan bahkan saat ini, itu pun belum mulai karena adanya masalah dengan pembebasan tanah; ini adalah proyek pembangkit tenaga listrik Batam di Jawa Tengah. Jadi kemajuan untuk KPS adalah nol. Jika Jokowi ingin mencapai angka yang besar maka saya rasa ia perlu melihat apa yang terjadi dewasa ini. Apa yang terjadi adalah bahwa dana penjaminan itu turun drastis hingga mencapai titik nol, jadi kita membayar mahal untuk orang yang tidak memberikan apa-apa. Partisipasi ekuitas dapat diukur, tetapi sangat kecil; sebagian besar dana dari SMI dan IIGF telah dikeluarkan untuk memberikan pinjaman. Memberikan pinjaman bukanlah tujuan dari adanya SMI dan IIGF. Mereka harus melakukan partisipasi ekuitas untuk memulai suatu proyek, dan bukan memberikan pinjaman; biarkan bank yang memberikan pinjaman. Bank seharusnya berfokus memberikan pembiayaan proyek fase berikutnya di negara ini, bukan SMI dan IIGF. Menurut pendapat saya adalah sangat menyesatkan bagi dana partisipasi ekuitas pemerintah untuk melakukan pemberian pinjaman karena dengan demikian Anda harus menanyakan kepada diri Anda sendiri apakah itu bank atau institusi ekuitas. Dan kemudian seperti saya katakan sebelumnya, begitu Anda ingin memulai program Anda di daerah, Anda melihat terdapat peraturan yang tumpangtindih antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dan sangat jelas bahwa tidak ada kepemimpinan. Tidak ada satu orang pun yang mengambil tanggung jawab sebagai pimpinan dan bertanggung jawab membuat putusan mengenai KPS. Saya rasa ini adalah kuncinya. Jadi kembali pada pertanyaan Anda sebelumnya apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah ini. Hal itu adalah kepemimpinan. Lakukan itu. Jadi jika pemerintah baru kita ingin mencapai target infrastrukturnya, jika mereka ingin membangun semua ini, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah menyatakan bahwa ada keadaan
Suara dari Sektor Swasta
darurat di bidang infrastruktur dalam kabinet. Kemudian jadikan BUMN menjadi lokomotif dalam membangun infrastruktur yang diperlukan saat ini dengan menggunakan APBN, dan sektor swasta dapat berjalan bersama dengan KPS. Jadi bagi saya, ini sangat sederhana. Koordinasikan dengan semua lembaga yang telah ada dengan satu unit presidensial yang sangat terfokus, dengan mandat hanya untuk lima tahun, untuk segera memulai studi kelayakan. Jadi yang harus mereka lakukan hanya persiapan dan proses penawaran. Itu saja. Mari saya berikan contoh – proyek air minum Lampung. Lampung telah melalui begitu banyak tahapan PQ dan terdapat daftar pendek empat konsorsium. Jika Anda melihat apa yang dimiliki Lampung, studi kelayakan, pekerjaan dasar yang telah dilakukan oleh PJPK, yang adalah PDAM daerah (perusahaan air minum) – ini tidak cukup untuk konsorsium manapun untuk dapat memberikan suatu proposal yang baik. Jadi apa yang terjadi adalah bahwa keempat konsorsium ini akan melakukan studi kelayakan mereka sendiri. Studi kelayakan masing-masing menelan biaya USD 1 sampai 1,5 juta. Jadi yang Anda lihat adalah pengeluaran sebesar USD 6 juta, sedangkan jika studi kelayakan yang baik dilakukan oleh pemerintah, maka itu hanya akan memakan biaya satu setengah juta dolar. Kemudian yang Anda harus lakukan adalah mengundang penawar dan mulai melakukan penawaran. Hal ini menjadikan prosesnya lebih cepat dan kemudian pemenang lelang membayar kembali biaya studi kelayakan – sesederhana itu. Jadi jika Anda melihat 20 proyek prioritas untuk lima tahun ke depan, atau gunakan angka apapun yang Anda inginkan, 20 kali 2 juta, itu hanya USD 40 juta bagi lembaga untuk memulai proses, dan dana tersebut dapat dikembalikan oleh peserta lelang. Ini telah dilaksanakan di tempat lain di dunia. Menurut pendapat saya, akan sangat mudah bagi pemerintah untuk menghasilkan dokumen lelang yang berkualitas dan studi kelayakan. Spesialis, penasihat teknis, dan penasihat transaksi dari seluruh dunia tersedia untuk melakukan pekerjaan ini.
ad hoc, dengan anggaran yang cukup untuk memulai proses tender. Hal itu berlangsung hingga proses lelang dan berhenti di situ. Hal tersebut tidak dilakukan oleh PJPK. Prosesnya harus memberi kesan positif bagi investor, yang berarti hal tersebut perlu memiliki nilai komersil yang baik, harus merupakan entitas komersial atau didorong oleh komersialisme dan bukan oleh mesin birokrasi. Ini harus dapat mengirimkan pesan yang tepat pada lingkungan, kepada investor potensial, dan bank serta pemberi pinjaman. Dan semua unit yang tidak diperlukan dibubarkan. Ini adalah jalan pintas bagi pemerintah. Hal lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah membuat perusahaan infrastruktur terpadu, sehingga kita membangun satu BUMN yang baik untuk menjadi suatu perusahaan terpadu yang dapat melakukan investasi di berbagai konsesi. Misalnya, Jasa Marga. Ini bisa dilakukan – buat Jasa Marga menjadi korporasi infrastruktur Indonesia yang dapat menjadi sponsor proyek. Dewasa ini Jasa Marga hanya melakukan pengoperasian dan pemeliharaan (O&M, operations and maintenance) untuk jalan tol. Yang saya lakukan di Nusantara adalah melakukan restrukturisasi Nusantara dari operator tol yang kecil menjadi suatu perusahaan terpadu, sebuah investor infrastruktur. Ketika kami lakukan hal itu pada tahun 2009, harga saham satu itu hanya sekitar 65 atau 85 rupiah. Setelah tiga tahun pada tahun 2012, saya pikir itu menjadi sekitar 325. Jadi Nusantara dari operator tol yang kecil menjadi suatu perusahaan infrastruktur terpadu dengan delapan anak perusahaan. Itu lebih stabil dan itu adalah yang diperlukan Indonesia, suatu perusahaan infrastruktur terpadu dengan dua tingkatan, sebagai sponsor proyek dan sebagai O&M. Saya pikir kita memiliki sekelompok pembangun yang baik di negara ini, dari kontraktor dan pembangun daerah, yang dimiliki negara, dan internasional. Yang belum kita miliki dalam jumlah yang memadai adalah sponsor proyek. Perusahaan O&M pada akhirnya akan ada, jadi bagian yang paling sulit adalah bagaimana mengundang orang untuk menjadi sponsor bagi proyek infrastruktur.
Jadi, itu pemikiran saya. Lembaga ini perlu untuk menjadi non-sektoral, jadi bukan kementerian, ini bukan hal yang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
189
190
Keadaan Darurat di Bidang Infrastruktur, dan Cara Menghadapinya
Apakah kerangka kerja regulasi tersedia untuk melakukan restrukturisasi BUMN yang demikian? Saya rasa Wijaya Karya telah melakukan konsesi. Mereka memiliki saham pada konsesi jalan tol Bali dan beberapa konsesi lainnya. Mereka diminta oleh kementerian BUMN untuk melakukan investasi. Jasa Marga sudah memiliki bisnis yang menghasilkan pendapatan dalam bidang bukan jalan tol, tetapi mereka hanya memperoleh pendapatan yang kecil dari tanah dan gedung (real estate) dan tempat istirahat (rest areas) – tetapi ini cuma uang kecil, recehan. Mereka perlu berpikir lebih besar, mereka perlu diberi mandat oleh para pemegang saham, yaitu pemerintah, untuk melakukan sponsor bagi proyek infrastruktur yang besar. Apabila Anda melakukan strukturisasi perusahaan menjadi sponsor proyek dua tingkat dan O&M, maka Anda selalu dapat membagi risiko secara internal dan mendapatkan mandat laju pengembalian modal (IRR, internal rate of return) yang diperlukan dari pemegang saham Anda. Saya lakukan hal itu, sangat mungkin dilakukan. Jadi Anda membagi risikonya antara O&M dan sponsor proyek dan pendapatan Anda diperoleh dari perusahaan O&M. Dan pada akhirnya Anda dapat mengapungkannya ke pasar jika Anda mau. Jadi saya tidak melihat adanya hambatan bagi BUMN yang besar untuk menuju ke arah itu. Yang mereka perlukan adalah kemauan, untuk manajemen melakukan hal tersebut.
Menurut pendapat Anda, seberapa besar peran yang harus dilakukan oleh investor asing? Sangat besar – pada KPS – investor asing akan memainkan peran yang sangat besar dalam (a) pasar modal, dan (b) sebagai investor yang tepat atau sponsor proyek dalam proyek KPS. Selera dari penguasa dan pebisnis lokal sangat kecil, dan sejarah menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir hanya sedikit perusahaan lokal akan bersedia memainkan peran yang besar dalam infrastruktur yang besar. Jadi ini benar-benar sangat tergantung pada apa yang diinginkan investor asing dan pasar modal, tetapi jika Anda menggabungkan ketiga bidang yang besar – TransJawa, KPS, dan proyek APBN, mungkin semua investor asing dapat mengisi tidak lebih dari 30 sampai 35 persen dari
Prakarsa Compendium | Jilid 3
keseluruhan anggaran yang diperlukan. Kemudian Anda memiliki sebagian kecil lainnya dari investor lokal. Ketika saya mengatakan investor lokal atau investor asing atau investor internasional, hal itu berarti para pemain dan juga investor institusional. Terdapat dua tingkatan investasi, pasar modal dan sponsor proyek langsung – jadi jika itu merupakan 35 persen dan kemudian pemerintah dewasa ini juga dapat melakukan sebesar 30 sampai 35 persen maka pada akhirnya terdapat kesenjangan 30 persen lagi dalam pembiayaan. Dan akhirnya Anda akan melihat selisih (gap) 30 persen dalam pendanaannya. Dan di sinilah pemerintah perlu untuk melihat dengan sangat hati-hati, dengan cerdik, secara pandai tentang peran BUMN. Karena saya rasa orang Indonesia yang memiliki keinginan untuk terjun dalam bidang infrastruktur sangat kecil jumlahnya.
Mereka hanya tidak memiliki kapasitas, atau…? Terdapat 250 juta konsumen di luar sana yang memerlukan produk konsumen. Jadi untuk masuk ke dalam proyek infrastruktur 20 atau 30 tahun – bagi bisnis lokal Indonesia, adalah terlalu besar untuk dilaksanakan saat ini. Produk konsumen, real estate, bisnis manufaktur, kesemuanya ini masih dapat diraih. Dalam 10 terakhir kita belum melihat lebih dari lima perusahaan lokal yang secara serius bekerja di bidang infrastruktur, dan jika Anda melihat yang disebut dengan konglomerat – ini tidak lebih dari lima, mungkin hanya tiga. Jadi sangat penting bagi Indonesia untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi atau investor institusi atau sponsor proyek mendapatkan rezim kontrak yang tepat dengan pemerintah. Saya pikir pemerintah saat ini berada dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Mereka 10 tahun yang lalu memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan sesuatu yang signifikan untuk meningkatkan keadaan. Itulah sebabnya saya memberikan ulasan yang campur-aduk terhadap MP3EI. Kita mendengar banyak mengenai upacara peletakan batu pertama. Ini adalah permainan politisi, politisi senang dengan upacara peletakan batu pertama dengan helm keselamatan dan sepatu keselamatan yang
Suara dari Sektor Swasta
dipakai – tetapi apa artinya itu semua, tidak ada artinya, mereka semua mengadakan komitmen untuk melakukan sesuatu tetapi tidak ada proyek yang nyata, dan tidak ada satupun yang berupa KPS. Semuanya adalah proyek APBN dan tidak ada satupun di antaranya yang telah mengundang investor asing yang sebenarnya untuk infrastruktur. Ada beberapa investor untuk manufaktur, untuk barang konsumen, pemerintah meningkatkan kesempatan dalam bisnis konsumen, mobil, dan yang semacam itu, tetapi untuk infrastruktur, saya rasa, nol.
Apakah Anda pikir ini akan berubah banyak di bawah pemerintahan yang baru? Ada indikasi akan terdapat serangkaian prioritas yang berbeda.
Korea, Filipina. Sebagian besar negara dengan lingkungan KPS yang matang telah menghadapi sesuatu seperti yang dihadapi Indonesia saat ini. Tetapi yang menarik adalah apa yang telah dilakukan di Kanada dan Australia terutama, di mana Anda memiliki forum beragam pemangku kepentingan (multi stakeholders) yang dapat menjadi mitra pemerintah atau PJPK berdasarkan kredibilitasnya dan kemampuannya untuk menggerakkan investasi dan modal. Suatu forum pemangku kepentingan atau pusat diperlukan di Indonesia untuk mewakili baik para pemain, pemangku kepentingan, maupun pemerintah, untuk benar-benar menjadi katalis sehingga Indonesia dapat berfokus pada proyek yang tepat dan terbaik untuk maju ke depan. ●
Ini harus berubah banyak. Tetapi saya pikir hal ini tidak akan seprogresif dan seagresif yang kita inginkan. Dengan Jokowi dan Jusuf Kalla, prioritasnya adalah pada kestabilan bahan pokok, makanan untuk rakyat, dan kesehatan. Hal itu mengalihkan perhatian mereka dari pekerjaan mereka di bidang infrastruktur. Jadi akan kerap terjadi perseteruan atas isu-isu yang paling bernuansa populis di pemerintah mengenai stabilitas, bahan pokok, pertanian, dan maritim. Apa yang harus dilakukan adalah pemerintah perlu untuk menempatkan orang yang tepat yang dapat menggerakkan agenda pendukung. Jika pemerintah tidak dapat membangun infrastruktur yang diperlukan, maka agenda dari para penganut paham populis tidak akan berhasil, karena Indonesia akan kekurangan konektivitas dan infrastruktur rantai suplai logistik. Tetapi saya pikir akan sangat sulit bagi Jokowi dan Jusuf Kalla untuk memiliki agenda infrastruktur yang tajam.
Saya lihat kita sudah menghabiskan waktu yang sudah dialokasikan untuk ini – apakah ada hal lain yang belum sempat Anda sampaikan yang Anda ingin tambahkan?
Poin terakhir saya adalah bahwa saya pikir sebagian besar pemangku kepentingan dalam sektor infrastruktur sekarang menyadari bahwa terdapat suatu kebutuhan mendesak untuk menangani penyumbatan. Negara-negara lain telah melalui situasi yang serupa. Australia telah melalui hal ini,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
191
192
Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan
MENDANAI INFRASTRUKTUR: PANDANGAN SEKTOR PERBANKAN Sarah Darmawan adalah Senior Vice President – Head of Project Finance di Bank Sumitomo Mitsui Indonesia, dan sebelumnya adalah Direktur KPMG Indonesia. Dia berpengalaman lebih dari 15 tahun sebagai praktisi dan konsultan dengan minat khusus pada sektor infrastruktur dan pemerintah. Kompetensi dan keterlibatannya meliputi perumusan kebijakan, perencanaan investasi, pengembangan kasus bisnis dan sebagai penasihat transaksi. Dia memainkan peran penting dalam penyusunan strategi, penataan organisasi, sistem dan desain proses yang mencakup juga analisis ekonomi yang komprehensif untuk klien sektor publik dan swasta besar di Indonesia. Dia juga terlibat dalam restrukturisasi perusahaan, refinancing perusahaan dan proyek-proyek penggalangan dana bagi perusahaan international dan nasional termasuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah. Di sektor publik, sebagai konsultan untuk pemerintah, ia telah terlibat dalam banyak studi kelayakan, indikator kinerja utama (KPI) dan manajemen proyek. Di sisi sektor swasta, dia membantu perusahaan untuk mengembangkan rencana strategi perusahaan, rencana bisnis,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Suara dari Sektor Swasta
anggaran dan pengelolaan dana, dan penguatan kelembagaan melalui pengelolaan keuangan dan kontrak. Beberapa pengalaman kunci terbarunya meliputi: Lampung PPP, SHIA Rail Link, Mass Rapid Transit Jakarta meliputi PT MRTJ dan Studi Feeder Bus Jakarta, Reformasi Keuangan 20 PDAM di bawah PP no 29/2009, Studi Proyek Esperanza (JICA), Jatiluhur Jakarta Pipeline (Tahap I: Pra Studi Kelayakan), Asahan Hydro Power, Sumsel 9 & 10 IPP.
PRAKARSA: Apa latar belakang Anda berkecimpung dalam dunia infrastruktur Indonesia?
SARAH DARMAWAN: Tahun 2009 sewaktu saya masih bekerja di KPMG Advisory, kami dikontrak IndII sebagai konsultan keuangan untuk pengerjaan program Pemerintah Indonesia dalam rangka memajukan PDAM melalui program insentif Perpres 29 tahap I-III. Pengalaman bekerja dengan banyak PDAM kabupaten dan kota memberikan kesan mendalam dan sangat saya nikmati. Kesempatan dan pengalaman ini menjadi berharga karena sebagai orang yang lahir, besar dan tinggal di Jakarta, saya dapat melihat serta berinteraksi secara langsung dengan kehidupan kebanyakan masyarakat di pelosok Indonesia. Kehidupan, gaya hidup dan dinamika masyarakat, politik, termasuk bagaimana interaksi Pemda dengan DPRD di setiap daerah saling berbeda dan unik. Saya mengetahui hal ini karena saya bisa membandingkan satu daerah dengan daerah lain yang telah saya kunjungi. Selain itu, lingkup pekerjaan tadi memberikan kesempatan bagi saya untuk mengenal lebih dalam, mempelajari dan memahami bahwa infrastruktur adalah kebutuhan dasar dan penting karena merupakan salah satu faktor yang berperan penting bagi kesejahteraan masyarakat. Harapan pribadi saya sederhana saja, yaitu, semoga dengan kemampuan dan peran kecil ini saya dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan memberikan manfaat untuk orang lain seperti memberikan masukan untuk pemerintah/masyarakat daerah, agar masyarakat dapat menikmati air bersih melalui PDAM yang kami bantu pembuatan perencanaan bisnis atau business plan-nya.
Selain itu saya juga melihat bahwa peluang bisnis pada pasar sektor infrastuktur, sangat besar. Karena masih belum menjadi fokus perusahaan-perusahaan konsultan global saat itu, maka saya mengajukan proposal kepada manajemen untuk mempertimbangkan sektor infrastuktur sebagai salah satu pengembangan bisnis di Asia dan Indonesia khususnya. Keberanian saya mengajukan proposal ke manajemen didasari fakta bahwa sebagai perusahaan global KPMG mempunyai divisi khusus infrastuktur dengan keahlian di berbagai sektor infratruktur tersebar di seluruh dunia. Keuntungan adanya jaringan global selain credentials perusahaan yang kuat, saya dapat berkonsultasi dengan rekan kerja di seluruh dunia untuk berdiskusi, mencari solusi terbaik yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Saya dipercaya untuk mendirikan dan menjabat sebagai Direktur PT KPMG Infrastructure Advisory pada tahun 2012. Saya menyukai infrastruktur karena infrastruktur memungkinkan saya untuk bisa memberi kontribusi kepada masyarakat. Dengan membuat feasibility study atau studi kelayakan, berdialog dengan para pemangku kepentingan, dapat terjun ke lapangan, dan menjadi bagian dari proses perencanaan hingga implementasi, hasil pembangunan infrastruktur sampai ke masyarakat dan dapat langsung dirasakan manfaatnya. Itu yang membuat saya tertarik dengan infrastruktur. Pekerjaan saya sebagai Head of Project Finance Department di SMBC Indonesia semuanya berhubungan dengan sektor infrastuktur.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
193
194
Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan
Apa yang membuat Anda pindah dari dunia konsultan ke perbankan?
Alasan pertama adalah saya masih menemukan bahwa tidak mudah mendapatkan pembiayaan perbankan (mencapai "financial close") walau saya telah menyelesaikan banyak pekerjaan sebagai penasihat di bidang infrastruktur. Saat itu masih tersisa banyak pertanyaan dalam diri saya, khususnya: mengapa implementasi business plan dan feasibility study tidak mudah walau sudah direncanakan dengan baik dan disetujui oleh pemilik proyek? Semua bisnis, kegiatan dan pekerjaan selalu mengandung risiko. Para pelaku bisnis sudah menyadari akan adanya risiko, tetapi saya menemukan adanya perbedaan sudut pandang dari para pelaku bisnis dan konsultan terhadap risiko, yang berbeda dengan sudut pandang pihak bank. Sebagai konsultan, klien mengharapkan konsultan untuk mengindentifikasi, memberikan masukan tentang cara mengelola dan cara memitigasi risiko. Kalau kita bicara infrastuktur dari kaca mata pemilik proyek, maka penekanannya terletak pada bagaimana cara mendapatkan keuntungan dengan mengelola risiko yang ada. Biasanya self assessment dilakukan oleh pemilik dengan meminta bantuan konsultan luar guna mendapatkan penilaian yang objektif. Proposal lalu dikirim ke bank untuk diproses agar mendapatkan pembiayaannya. Proses dilanjutkan bank dengan menganalisis rencana pengelolaan risiko dalam proposal pemilik proyek lalu berlanjut pada proses analisis bank yang menekankan tentang cara menghitung, meminimalkan risiko dengan menghilangkan atau menghindari atau mentransfer risiko ke pihak lain. Proses internal bank ini yang belum saya dapatkan dan ingin saya pelajari dengan pengharapan, saya dapat memahami keseluruhan proses pengadaan infrastruktur. Kedua, saya pindah karena saya senang dan selalu ingin belajar. Semakin banyak membaca semakin sadar saya, bahwa ilmu dan pengetahuan itu tidak terbatas. Saya juga sangat menikmati pekerjaan saya selama 8 tahun sebagai dosen Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya, karena dengan mengajar kita juga belajar. Aktivitas menjadi dosen sejak 2011 saya hentikan dulu karena saya mengalami kesulitan membagi waktu. Ayah saya juga mengajarkan dan memotivasi saya agar tidak pernah takut dan mencoba hal-hal baru. Setiap orang pasti pernah melakukan sesuatu untuk pertama kalinya, kalau ada rasa takut maka sadari saja setiap risiko dan hal yang terburuk bisa terjadi selama melakukan kegiatan baru tersebut. Bila saya merasa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
bisa mengatasi hal terburuk dan tahu cara mitigasi risiko kegiatan baru tersebut then just do it. Jujur, saya menyukai problem solving, juga strategic thinking yang menantang dan inovatif. Saya selalu mengalami rasa excitement setiap kali saya mendapatkan jawaban yang saya cari dan melaksanakan tantangan yang diberikan. Dengan bekerja di bank, saya belajar dan mendapat pengalaman mengenai proses internal bank.
Bisa Anda ceritakan sedikit mengenai proyek apa yang sedang dilakukan SMBC terkait dengan infrastruktur Indonesia?
Di Indonesia, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) merupakan salah satu project finance bank yang sangat aktif pada pembiayaan IPP (Independent Power Producer), oil & gas dan metal & mining. SMBC mempunyai pengalaman di berbagai jenis pembangkit tenaga listrik yang bersumber dari batubara, hydro (air), geothermal (panas bumi), gas, dan wind (angin). SMBC juga merupakan pemegang 14.9% saham IIF (PT Indonesia Infrastructure Finance) bersama-sama dengan Kemenkeu melalui PT Sarana Multi Infrastuktur (PT SMI), ADB, IFC, DEG. SMBC telah mempunyai eksposur yang signifikan untuk proyek-proyek infrastruktur besar di Indonesia, seperti untuk sektor perlistrikan antara lain Tanjung Jati B, Tanjung Jati A, Paiton, Cirebon IPP, Central Java IPP, Wampu Hydro power, Asahan hydro power, Sarulla Geothermal, Rantau Dadap Geothermal. Untuk sektor oil & gas antara lain Donggi Senoro LNG Project, West Java FSRU, PT Pertamina, PT PGN. Untuk mining antara lain PT Newmont. SMBC merupakan pemimpin pasar project finance bank yang menempati posisi 3 besar dunia berdasarkan Infrastructure Journal and Project Finance Magazine dan telah mengantongi penghargaan IJGlobal Asia Pacific Bank of the Year di tahun 2014 untuk kategori lead arranging and advisory mandate.
Mengapa proyek infrastruktur susah terlaksana, apakah karena besarnya jumlah dana yang dibutuhkan?
Untuk menggambarkan tingkat kesulitan, risiko dan kebutuhan dana untuk pembiayaan, saya berikan gambaran dengan ilustrasi berikut: Saat ini bank infrastuktur international besar yang aktif mampu memberikan lending ticket di kisaran USD 30–250 Juta/Bank/proyek (Rp 360 M–3 triliun), sedang kapasitas bank lokal berada di kisaran Rp 500 juta–1.5 Triliun/Bank/proyek.
Suara dari Sektor Swasta
Contohnya, satu proyek infrastruktur sektor transpor. Kereta Api Cepat Bandara Soekarna-Hatta – Halim memerlukan dana investasi sebesar Rp 28 triliun. Bila pembiayaan dihitung dalam rupiah maka untuk membiayai investasi Kereta Api Cepat Bandara Soekarna-Hatta dengan skema PPP diperlukan partisipasi lebih dari 25 Bank lokal. Sebagai tambahan informasi, walau proyek ini belum masuk pada tahap tender apalagi pembangunan, telah terjadi kenaikan rencana biaya investasi dari Rp 20 triliun pada saat pertama kali diumumkan tahun 2012 menjadi Rp 28 triliun pada tahun 2014, hanya disebabkan ketidak stabilan nilai kurs (risiko kurs). Keperluan sektor listrik yang telah dituangkan dalam program percepatan pembangkit tenaga listrik sebesar 35.000MW. Bila 1 MW membutuhkan biaya investasi rata-rata USD 1 juta/MW maka kebutuhan dana adalah USD 52.5 Miliar (Rp 630 triliun). Sejak tahun 2012 membesarnya defisit neraca perdagangan menyebabkan tekanan terhadap defisit APBN, sehingga Pemerintah perlu mencari alternatif pembiayaan yang tidak mengandalkan APBN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan kebutuhan pembiayaan infrastruktur melalui APBN dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015–2019 mencapai Rp2.216 triliun, atau 40% dari total kebutuhan. Pemerintah setidaknya harus mampu mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur sebesar Rp 443,2 triliun per tahun agar target pembangunan infrastruktur dari Kabinet Kerja dapat diwujudkan di akhir 2019 mendatang. Pemerintah juga mengarapkan 60% sisa kebutuhan berasal dari partisipasi sektor swasta, yaitu sebesar Rp 655 triliun per tahun.
Apakah proyek Kerjasama Pemerintah Swasta atau PPP (Public Private Partnerships) di Indonesia dianggap berisiko tinggi semua?
PPP merupakan kerjasama antara sektor pemerintah dan swasta, yang mana pihak-pihak tersebut mengembangkan produk bersama dan/atau pelayanan yang di dalamnya ada risiko, biaya dan keuntungan yang dapat dibagi. Salah satu kunci sukses dari suatu proyek PPP adalah alokasi risiko dan mitigasi yang tepat. Alokasi risiko adalah pembagian risiko proyek kerjasama dengan prinsip dasar bahwa risiko dibagi dan dibebankan kepada pihak yang paling mampu mengendalikan risiko tersebut. Alokasi risiko merupakan bagian dari langkahlangkah manajemen risiko, yaitu pada tahap analisis risiko. Alokasi risiko meliputi pembagian risiko proyek antara pihak
Atas perkenan Sarah Darmawan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
195
196
Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan
Pemerintah dan Badan Usaha Swasta berdasarkan prinsip alokasi risiko. Pihak pemerintah dan swasta sebaiknya memperhitungkan faktor risiko dalam melaksanakan suatu proyek PPP agar kerjasama dapat berjalan dengan sukses dan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Mungkin saya bisa memberi sedikit gambaran tentang kelemahan pembiayaan projek infrastuktur dari sudut pandang bank, bagaimana bank melihat risiko proyek infrastuktur. Karakteristik infrastuktur yang dominan antara lain, umur proyek kebanyakan berada di kisaran 10–30 tahun, memerlukan modal yang besar, dan biasanya penghasilan dan sumber pembayaran berasal dari tagihan kepada pemakai. Saya mengambil satu risiko yang cukup dominan di projek PPP Indonesia yaitu bagaimana pelaku pasar melihat risiko politik (political risk) seperti perubahan regulasi/UU dan arah kebijakan. Contohnya, sebuah proyek infrastuktur memiliki tenor pinjaman 15 tahun, artinya: (1) selama masa pinjaman akan ada pergantian kepemimpinan (government elections) sebanyak 3 kali; (2) kemungkinan terjadinya perubahan kebijakan menjadi tinggi; (3) ada kemungkinan implikasinya adalah perjanjian/kontrak PPP yang telah dibuat tidak sesuai lagi dengan regulasi baru; (4) sehingga perubahan kebijakan dan peraturan akan berdampak terhadap hak & kewajiban para pihak yang terikat kontrak; (5) akibatnya bank bisa mengalami kredit macet/tidak lancar karena pemberhentian operasi atau keterlambatan penerimaan pembayaran pinjaman akibat hal-hal tadi. Dst… Proyek PPP yang mempunyai government guarantee (yang menjamin risiko politik, risiko gagal bayar, dll) tentu dinilai berisiko lebih rendah dibandingkan dengan projek PPP yang non government guarantee. Sektor perbankan menganggap proyek dengan jaminan pemerintah dapat dimasukkan sebagai proyek dengan kategori low risk bila Pemerintah Indonesia dapat memberikan insentif melalui regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di mana projek-projek PPP dengan guarantee dikategorikan sebagai projek yang tidak memerlukan pencadangan modal bank, yang artinya pembiayaan projek PPP sangat menguntungkan bagi bank.
Bagaimana dengan pemberian guarantee?
Peraturan yang melandasi pemberian government guarantee dan support adalah Peraturan Presiden No.67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Perubahan peraturan dengan Peraturan Presiden No.56/2011.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Guarantee biasanya diberikan oleh Pemerintah Pusat pada projek prioritas, di mana Pemerintah Indonesia melakukan seleksi dan penentuan proyek-proyek apa saja yang menjadi prioritas nasional. Pemerintah bersama pemilik proyek/Government Contracting Agency (GCA) dibantu oleh konsultan independen menghitung dan menganalisis bentuk dan besaran jaminan. Selain itu Pemerintah juga memberikan jalan kepada GCA yang ingin mendapatkan guarantee dengan mengajukan aplikasi dan dapat memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah dibuat Pemerintah Indonesia. Sesuai dengan praktik kehati-hatian dalam memberikan kredit, bank tidak bisa menunggu tanpa kepastian dan menanggung risiko keterlambatan pembayaran pinjaman bila proyek yang mengantongi government guarantee telah dinyatakan default oleh Pemerintah Indonesia akan mengajukan klaim. Government guarantee MOF (Kementerian Keuangan) biasanya tidak mencantumkan detail tentang proses klaim. Ada dua jalur yang dapat ditempuh bank komersial untuk mendapatkan uang klaim guarantee yaitu melalui Export Credit Agency (ECA) atau Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF). Saat ini hampir semua ECA mensyaratkan government guarantee bila perusahaan proyek bermaksud mendapatkan pinjaman dari ECA. Manfaat ikut sertanya ECA dalam memberikan pinjaman infrastuktur antara lain adalah: (1) tenor yang panjang (bisa sampai 25 tahun); (2) biaya bunga yang murah karena berada di bawah bunga komersial; (3) memberikan direct lending hingga 60% dari nilai proyek; (4) memberikan counter guarantee sehingga bila terjadi default, ECA dapat mencairkan dana talangan klaim bagi bank komersial, selain itu ECA adalah pihak yang mengurus klaim guarantee pada Pemerintah Indonesia. Institusi guarantee milik pemerintah Indonesia adalah IIGF. Semua pelaku infrastuktur memberikan apresiasi tinggi terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia dengan pembentukan IIGF. IIGF juga secara aktif mensosialisasikan produk-produk dan bisnis. Saya menemukan respon yang baik dari pelaku pasar dan sektor swasta, hanya saat ini masih ada pertanyaan dari pihak bank soal kemampuan IIGF dari besaran aset IIGF sendiri untuk membayar klaim serta tentang kepastian bahwa jaminan tersebut benar-benar dapat dieksekusi. Hingga saat ini belum ada kejadian/preseden tentang bagaimana IIGF bersama MOF melaksanakan proses
Suara dari Sektor Swasta
pembuatan dan penetapan keputusan dari segi waktu, baik untuk dapat dinyatakan bahwa projek PPP default, dan preseden pelaksanaan klaim guarantee IIGF setelah proyek dinyatakan default. Manajement risiko bank sudah tentu akan melakukan due diligence bahwa guarantee IIGF benar-benar dapat dieksekusi dan dicairkan sesuai jadwal (hari) dalam kontrak guarantee. Sebagai masukan, MOF dapat mengesahkan peraturan cara penetapan default dan prosedur klaim lintas institusi yang mengatur peran, lama proses (hari) untuk setiap pihak yang berwenang sehingga menjamin kepastian hukum dan jadwalnya. Indonesia telah mempunyai preseden baik di kalangan international saat MOF melaksanakan kewajiban pembayaran hutang dan kontrak kepada pihak swasta. MOF menangani krisis moneter 1998 dengan tetap membayar semua kewajiban sesuai dengan kontrak seperti proyek pembangkit tenaga listrik Paiton di mana SMBC merupakan salah satu bank yang memberi pinjaman ke Paiton. Menurut saya dengan keterbatasan kapasitas, ada baiknya alokasi government guarantee diberikan untuk proyekproyek prioritas mega size (proyek miliaran dolar), karena besar kemungkinan pihak swasta dan bank tidak sanggup menanggung kerugian finansial bila terjadi default sehingga meminimalkan dampak sistemik.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menjamin, agar risiko yang dibebankan pada sektor swasta dalam proyek infrastruktur dapat terkelola?
Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif pada dunia usaha untuk memberikan layanan infrastruktur tersebut. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenaga kerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Pembagian risiko proyek PPP dibebankan kepada pihak yang paling mampu; saat ini IIGF sudah mempunyai prosedur dan matriks pembagian risiko. Pemerintah telah membuat berbagai regulasi yang diikuti peraturan pelaksana tetapi karena PPP adalah barang baru, dan Indonesia sendiri belum berhasil membuat satu era baru PPP yang sukses, maka pada praktiknya para pelaku masih sering menghadapi kendala. Untuk ini pemerintah terus melakukan penyempurnaan pada perangkat institusional, regulasi PPP, regulasi sektoral dan regulasi lintas sektoral serta peraturan pelaksanaannya.
Perlu ditingkatkan pemahaman bahwa tidak semua proyek infrastuktur cocok menggunakan skema PPP serta perlu dipahami bahwa government guarantee tidak sama dengan dukungan pemerintah, khususnya pada GCA/Pemda. Saya menemukan banyak proyek yang secara konsep cukup menarik tetapi karena Pemda terlalu memaksakan diri dan terburu-buru dalam meluncurkan proyek PPP-nya, akibatnya malah berbalik. Hal ini disebabkan karena sektor swasta yang capable dan mempunyai kapasitas jadi kehilangan minat, bahkan mundur, bila proyek yang ditawarkan tidak mempunyai alokasi risiko yang baik dan tidak bankable. Sektor swasta selain menggunakan modal sendiri, tetap memerlukan pembiayaan eksternal untuk dapat mendanai proyek. Untuk itu, selain dinilai economically and financially viable, proyek yang ditawarkan juga harus dapat diterima dan menarik bagi sektor keuangan.
Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kerangka hukum agar sektor infrastruktur menjadi lebih menarik bagi investasi luar negeri dan dalam negeri?
Sektor infrastuktur menuntut saya membaca banyak regulasi lintas sektor, juga mengikuti banyak diskusi mengenai hal ini. Latar belakang pendidikan saya manajemen, dan saya bukan ahli dalam bidang hukum, saya hanya dapat memberikan pandangan berdasarkan apa yang saya temui di lapangan. Pemerintah sudah membuat mekanisme pengambilan keputusan dalam setiap tahapan dalam Peraturan Menteri Bappenas No. 3 Tahun 2012 mengenai Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk infrastruktur. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, kenapa sampai saat ini walau sudah ada banyak perubahan dan penerbitan peraturan dan perundangundangan baru, hal ini tetap tidak jalan. Permasalahannya tidak hanya teknis, kapasitas dan koordinasi, tapi lebih besar pada krisis kepemimpinan. Perlu dibuat terobosan hukum yang lex specialist untuk menjembatani terjadinya tumpang tindih antara peraturan lintas sektoral dan pemegang mandat. Perlu harmonisasi peraturan terkait untuk meminimalkan benturan peraturan perundang-undangan. Negara dengan kepastian hukum yang baik akan lebih menarik bagi investor karena lebih memberikan rasa aman bagi investor untuk berinvestasi. Pemerintah telah menyadari hal ini dengan sudah adanya beberapa UU yang diterbitkan seperti UU Geothermal, UU no. 2/2012 tentang pembebasan lahan dsb.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
197
198
Mendanai Infrastruktur: Pandangan Sektor Perbankan
Perlu dipikirkan cara mempersingkat lead time penerbitan regulasi dari mulai rancangan hingga penerbitan, baik yang berupa perubahan regulasi maupun regulasi baru. Karena pada praktiknya lead time masih sangat panjang, bisa tahunan, sehingga sebelum diterbitkannya timbul ambiguity dalam interpretasi dan implementasi. Bila perlu, dibuat SOP lintas institusi/departemen yang disahkan oleh lembaga tinggi yang berwenang.
Apakah kesenjangan jangka waktu antara utang dan aset dapat menimbulkan kesulitan bagi sektor keuangan untuk berpartisipasi dalam pembiayaan proyek jangka panjang? Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi keadaan tersebut?
Ketidakcocokan antara asset dan liabilities merupakan masalah klasik pembiayaan infrastuktur. Di India saat ini proyek PPP dapat dibiayai sebagian besar oleh perbankan lokal. MOF dan OJK telah sangat aktif menghimbau peranan bank lokal, bank international dan pasar modal untuk berpartisipasi dalam pembiayaan proyek infratruktur. Pembiayaan infrastruktur idealnya dibiayai dengan pinjaman bertenor panjang (>10 tahun) dengan bunga pinjaman satu digit. Pemerintah Indonesia telah membuat banyak terobosan kebijakan fiskal dalam upaya memberdayakan sektor swasta untuk percepatan pembangunan infrastruktur. Untuk membuat sektor keuangan Indonesia dan international lebih berperan aktif, Pemerintah Indonesia juga perlu menyentuh kebijakan moneter guna mendorong realisasi pembiayaan proyek infrastruktur PPP. Sebagian besar pemasukan sektor perbankan Indonesia berasal dari dana masyarakat yang ditempatkan dalam tabungan dan deposito berjangka antara 3 bulan–1 tahun. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya Pemerintah dapat memberikan insentif melalui regulasi OJK, di mana government guarantee untuk proyek-proyek PPP dikategorikan sebagai proyek yang tidak memerlukan pencadangan modal bank sehingga pembiayaan proyek PPP aman, sangat menguntungkan bagi bank dan berisiko rendah. Selain itu perlu diikuti dengan kelonggaran dari regulasi perbankan, antara lain aturan yang mengatur concentration risk, LLL (Legal Lending Limit) untuk debitor pelaku infrasruktur, dsb. Dari sisi pemasukan bank lokal, hal ini bisa dilakukan dengan penambahan equity dengan suntikan modal bank dari pemangku kepentingan, menerbitkan right issues dan Medium Term Note (MTN), menerbitkan obligasi dengan underlying credit assets yang ada.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Peran BI sebagai regulator dan eksekutor dalam rangka mendukung terciptanya pasar keuangan yang luas dan sehat dengan tersedianya likuiditas di pasar keuangan domestik menjadi penting dalam realisasi pembiayaan infrastruktur. Dukungan ini dilakukan antara lain melalui aktivitas lindung nilai bank dengan Bank Indonesia untuk memitigasi risiko pergerakan nilai tukar rupiah. Bank sangat memerlukan pihak-pihak hedge counter yang dapat memberikan tingkat bunga tetap dan currency swap jangka panjang dengan biaya yang kompetitif. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/ PBI/2013 tanggal 24 Desember 2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai kepada bank dapat mengakomodasikan keperluan swap (tukar), karena didasarkan pada transaksi mendasar yang dimiliki oleh bank atau nasabah. Transaksi mendasar yang dimiliki nasabah meliputi transaksi swap jual antara bank dengan nasabah yang terkait dengan lindung nilai atas: Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang, Investasi Langsung, Devisa Hasil Ekspor, investasi pada infrastruktur pembangunan sarana umum dan produksi, investasi pada surat berharga yang diterbitkan Pemerintah Republik Indonesia, dan/atau investasi pada kegiatan ekonomi lainnya, hanya saja lama tenor swap yang ditawarkan BI maximal 3 tahun, untuk itu diperlukan dukungan BI untuk dapat mempertimbangkan perpanjangan tenor. Meninjau kembali ke ilustrasi tentang Proyek Kereta Api Cepat Bandara, di mana risiko kurs tinggi, hal ini dapat dimitigasi dengan peran BI sebagai swap agent. Dari sisi pasar modal Indonesia, dana pensiun dan asuransi merupakan investor yang ideal karena mereka perlu menempatkan dana pada instrumen jangka panjang dengan minimum rating IdA+ sesuai dengan kewajiban jangka panjang mereka. Pemerintah dapat memberikan credit enhancement, insentif pajak seperti pembebasan atau keringanan pajak penghasilan dan memikirkan ring fencing dari kepastian pembayarannya.
Apakah pasar modal dapat lebih berperan dalam pembiayaan infrastruktur?
Kebutuhan dana pembangunan infrastruktur begitu besar, untuk itu kita perlu mencari langkah-langkah meningkatkan investasi swasta, serta menggali potensi pendanaan alternatif lainnya yang dapat didorong oleh pemerintah di luar skema pendanaan APBN dan APBD konvensional. Sebagai contoh dari pendanaan pemerintah di luar skema APBN konvensional adalah penerbitan surat berharga berbasis aset (asset backed securities) yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah, sehingga dapat memanfaatkan pasar surat hutang (debt capital market). Skema kontraktor
Suara dari Sektor Swasta
seperti modified turnkey atau performance based annuity scheme (PBAS), di mana untuk PBAS pembayaran akan dilakukan pemerintah secara bertahap dalam jangka menengah maupun panjang, dengan berbasis kinerja sehingga terjamin aspek perawatan dan pemeliharaannya dari kontraktor. Selain itu, UU Transportasi juga membuka peluang adanya Road Fund yang dapat dimanfaatkan untuk skema pendanaan infrastruktur jalan, bahkan yang bersifat non-tol. Saat ini saya sedang mengerjakan kajian memberdayakan dana melalui pasar modal seperti dana pensiun dan asuransi untuk ditempatkan pada instrumen pasar modal melalui peran serta perbankan dalam pembiayaan infrastruktur daerah, karena tidak semua pembangunan proyek infrastuktur dapat menggunakan skema kerjasama PPP ataupun layak mendapat pinjaman bank. PPP dan pembiayaan melalui pinjaman bank, obligasi berbasis proyek, cocok untuk proyek infrastruktur yang menghasilkan keuntungan yang cukup dan memenuhi syarat perbankan. Sedangkan proyek infrastuktur yang tidak menghasilkan keuntungan seperti perbaikan jalan kabupaten, perbaikan pasar, dan lain-lain juga diperlukan untuk menunjang ekonomi daerah. Untuk itu perlu dicarikan alternatif pembiayaan lain.
mungkin mengacu pada karakteristik, kerangka hukum yang ada. Dengan skema sistem structure finance pembiayaan infrastuktur melalui penerbitan efek diharapkan dapat menjembatani masalah tersebut. Kajian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi, referensi dan masukan yang bermanfaat bagi pembuat kebijakan dan pelaku pasar dalam menjawab tantangan untuk mencari sumber pendanaan alternatif yang dapat langsung diimplementasikan karena menggunakan peraturan dan perangkat yang sudah ada. ●
Saat ini belum ada alternatif pembiayaan untuk proyek infrastruktur penunjang ekonomi daerah di mana proyek dapat memberikan manfaat ekonomis tetapi tidak selalu dapat menghasilkan keuntungan sehingga di mata sektor swasta dan kreditor tidak dapat bertahan secara finansial dan tidak bankable. Kajian dilakukan untuk mengatasi kesenjangan pembiayaan infrastuktur daerah yang dapat mengurangi ketergantungan pembiayaan infrastruktur daerah terhadap APBN. Hal ini dilakukan dengan mencari alternatif sumber pendanaan pemerintah yang terjangkau dengan tujuan mempercepat pembangunan infrastruktur daerah sekaligus membantu Pemda dalam memperbaiki efisiensi pembelanjaan modal, di mana pelaksanaannya dilakukan dengan memaksimalkan peran institusi pemerintah yang mempunyai mandat sebagai pelaksana penyaluran pinjaman daerah yang ditunjuk Kementerian Keuangan untuk pembiayaan proyek infrastruktur daerah. Skema dirancang dengan mengembangkan sistem pembiayaan infrastruktur melalui penerbitan efek dengan melakukan proses sekuritisasi yang diserahkan kepada suatu wahana yang disebut Special Purpose Vehicle (SPV). Agar dapat segera diimplementasikan dan dapat diterapkan pada kondisi pasar saat ini, maka penelitian sedapat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
199
200
Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
UKURAN MEMANG PENTING, DAN DEMIKIAN JUGA PENGAWASAN: MENYAJIKAN KUALITAS DALAM KONSTRUKSI JALAN DI INDONESIA Alpino ("Pino") Iskandar adalah CEO dari PT Conbloc Infratecno, perusahaan yang ikut didirikannya pada tahun 1974. Perusahaan ini dimulai sebagai sebuah pabrik paving blok beton, dan telah tumbuh menjadi kelompok usaha dalam bidang usaha konstruksi jalan, kontrak pertambangan, dan manufaktur bahan bangunan. Perusahaan ini merupakan kontraktor besar di bidang infrastruktur jalan yang dikenal dengan pendekatan yang terus berinovasi, pemanfaatan teknologi, peralatan dan bahan-bahan baru; dan perintis di bidang teknologi pengaspalan daur ulang yang ramah lingkungan. Pino lulus dari University of New South Wales dengan gelar di bidang Teknik Industri pada tahun 1973.
PRAKARSA: Mudah-mudahan dalam wawancara hari ini kita dapat bicara tentang masalah apa saja yang menurut Anda paling kritis yang Anda hadapi, dan merangkum apa yang Anda rasakan tentang keadaan sektor jalan. Sangat penting untuk berbicara tentang peran Anda dibandingkan dengan Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMN), tentang bagaimana Pemerintah
Prakarsa Compendium | Jilid 3
melakukan pengadaan kontrak, dan terutama kesulitan-kesulitan yang muncul akibat skala kontrak yang sangat kecil. Sebagai suara dari sektor swasta, bagaimana Anda menyampaikan pesan mengenai hal-hal tersebut? Apakah para pembuat keputusan di Pemerintahan secara penuh memahami mengapa ada keprihatinan?
Suara dari Sektor Swasta
ALPINO ISKANDAR: Sebagai kontraktor swasta di negara ini, kami sudah berkecimpung di bidang ini selama sekitar tiga puluh tahun. Dan industri ini, dalam pandangan kami, merupakan salah satu industri terburuk bagi siapa pun yang terlibat. Jika Anda melihat industri-industri lain, seperti ritel, telekomunikasi, hotel dan pariwisata − semuanya mencatat pertumbuhan yang sangat berkelanjutan, walaupun ada beberapa pengecualian. Tapi selama ini industri infrastruktur boleh dikatakan telah "diabaikan", menurut pendapat kami, sebagai akibat dari kebijakan pengadaan yang kurang tepat yang dilakukan oleh Pemerintah. Dalam masa Pemerintahan Suharto, mereka memiliki Keppres 80 [Keputusan Presiden yang mengeluarkan peraturan pengadaan Pemerintah]. Peraturan tersebut menyatakan bahwa kontrak di bawah nilai tertentu harus diberikan kepada kontraktor kecil, perusahaan-perusahaan kecil. Hal ini menciptakan puluhan ribu kontraktor, dan kebiasaan itu sampai sekarang masih ada. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di negaranegara maju seperti Australia dan Malaysia. Di Australia, mereka memiliki Pioneer Road Services, EMOLEUM [Esso]; yang hanya melayani aspal dan emulsi. Di sana ada perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan diri hanya dalam stabilisasi. Tentu saja ada kontraktor umum, seperti Leighton, tetapi di sana terdapat banyak spesialis. Di negeri ini, hampir tidak ada spesialis; semua perusahaan adalah kontraktor umum. Dan akibatnya sangat sulit bagi para kontraktor kecil untuk mengembangkan skala, kemampuan personil, peralatan dan teknologi, serta mengembangkan Riset & Pengembangan.
Mengapa Pemerintah tidak mengidentifikasi hal itu sebagai suatu masalah?
Ketika pekerjaan didistribusikan, pada skala yang lebih kecil, maka semuanya dikelola sesuai dengan ukuran.
Sehingga lebih mudah bagi mereka, tidak harus menghadapi halangan proses pengadaan?
Itu membuat mereka senang. Tapi tentu saja jalan yang dibuat tidak akan bertahan lama.
Apakah itu membuat mereka senang juga?
Ya. Jadi, masalah utamanya adalah: siapa yang akan dibesarkan oleh Pemerintah sebagai kontraktor? Karena jika Anda melihat industri lain, seperti minyak bumi dan gas, Pemerintah telah menumbuhkan sejumlah pemain domestik menjadi pemain kelas internasional. Perusahaanperusahaan seperti Medco, seperti IKPP, seperti Tripatra
Atas perkenan Carol Walker
– mereka mampu untuk memenuhi tuntutan industri. Mereka melayani Chevron, mereka melayani Total – mereka berkembang jadi perusahaan-perusahaan yang benar-benar profesional. Nah, di masa lalu kami memiliki kesempatan itu. Ada Hyundai yang membangun jalan tol Jagorawi, yang merupakan jalan tol pertama dan terbaik yang pernah dibangun di negeri ini. Dan ada juga Takenaka yang bekerja sama dengan Hutama Karya dalam membangun jalan Tangerang-Tomang. Tapi setelah itu, tidak ada lagi transfer teknologi. Jika kita melihat bagaimana industri-industri lain berkembang dalam hal kompetensi, prosesnya terjadi melalui pemain asing. Jika
Prakarsa Compendium | Jilid 3
201
202
Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
kita melihat industri hotel di Bali, industri ini didominasi asing; jika kita melihat industri ritel, kita memiliki pemain seperti SOGO, Debenhams…mereka semua pemain asing. Demikian juga halnya dengan bank. Jadi kita memiliki patokan internasional, untuk meningkatkan industri sampai pada tingkat standar internasional. Dalam industri jalan di sini, kami kehilangan kesempatan. Kami mengirimkan kontraktor ke Malaysia pada 1980an untuk membangun jalan raya, dan pada waktu itu, mereka belajar dari kami setelah kami membangun Jalan Raya Cawang-Priok, dengan konstruksi layang. Tapi setelah itu, kami mengalami stagnasi dan mereka tinggal landas.
Tapi, apakah ada batasan regulasi tentang keterlibatan kontraktor dan pemodal asing?
Sebetulnya tidak. Tetapi kami berbicara dengan mereka, orang-orang seperti Thiess. Dan saya bertanya mengapa mereka tidak masuk ke infrastruktur di sini? Karena pertama-tama, bidang itu didominasi oleh BUMN, dan mereka berkata, "Kami tidak mengenal permainan itu, kami tidak tahu lansekap-nya, dan lapangan bermainnya kelihatan eksklusif." Semacam lingkaran tertutup, seperti Freeport dan Newmont dan Tangguh, yang tertutup untuk kontraktor asing.
Sebuah permasalahan yang jelas adalah bahwa kontraktor BUMN mendapatkan banyak proyek besar. Mereka mungkin tidak diwajibkan tunduk pada kompetisi atau tekanan kompetitif yang sama dengan yang dihadapi oleh para pemain sektor swasta. Di sektor swasta, peluang yang ada dicincang menjadi sangat kecil, dan sangat sulit bagi perusahaan seperti Conbloc untuk mengkonsolidasikan diri dan menjadi persaing yang efektif bagi BUMN. Dan kemudian ada pertanyaan mengenai skala besar pekerjaan yang harus dilakukan. Anda akan dihadapkan pada pertanyaan ini dalam hal jalan tol Trans-Sumatera: 6,000km jalan tol baru diperlukan. Ditambah pekerjaan upgrade sebanyak 12,000km pada bagian lain dari jaringan. Sebuah tugas yang sungguh sangat besar. Bagaimana kita membangun kapasitas untuk mengemban tugas itu? Haruskah kita melibatkan kontraktor asing dan pemodal asing untuk membantu mengembangkan program? Apa artinya hal ini bagi pasar sektor swasta dan BUMN?
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Seperti yang telah Anda perhatikan, ada kantongkantong peluang ekonomi yang telah mendorong sektor swasta dan BUMN untuk bersaing secara efektif dan menjadi perusahaan-perusahaan dengan kualitas yang sangat tinggi, efisien dan efektif dalam bidang telekomunikasi, sektor penerbangan, ritel, dan perbankan. Tapi, karena beberapa alasan, hal seperti ini belum terjadi dalam bidang pekerjaan umum. Mari kita bandingkan saja beberapa industri − mungkin sektor yang mendekati, seperti pertambangan. Cara mereka beroperasi di Adaro, di KPC [PT Kaltim Prima Coal], di Freeport, di Newmont, membuat Anda merasa aman, karena ketika Anda pertama kali mendatangi lokasi mereka, Anda duduk untuk mendapatkan induksi, selama setengah jam. Semuanya mengenai keselamatan, dan mekanisme keamanan seperti di Australia. Semuanya – bahkan sarapan pagi, kamp, kendaraan, keselamatan, prosedur, persyaratan kerja, KPI [indikator kinerja utama] – semuanya dilakukan secara sama, benar-benar ala Australia. Jadi di sini ada praktik standar dunia, yang dilakukan di Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Australia, dan karyawan-karyawannya orang Indonesia. Ketika saya bekerja di Newmont, Nusa Tenggara, sarapan pagi selesai pada pukul 05:45. Pukul 6 pagi, semua orang sudah berada di lokasi kerja. Mungkin Pemerintah tidak bermaksud untuk membawa standar internasional ke industri tersebut, tapi itulah yang terjadi. Anda tahu bahwa pertambangan dan infrastruktur sangatlah mirip; kita berbicara tentang peralatan yang terbaik, praktik kelas dunia, orang-orang yang terbaik, Litbang. Dalam infrastruktur, para operator, ahli mesin, metode kerja, dan segalanya − tidak dilakukan.
Jadi, bagaimana Anda bergerak ke arah situasi tersebut – memenuhi standar kelas dunia?
Kontraktor BUMN sangat makmur − saya tidak tahu apakah semua orang setuju – tetapi mereka memang mendapat pekerjaan yang berlimpah. Mereka sangat sibuk.
Jadi mereka tidak memerlukan pekerjaan jalan, karena mereka memiliki banyak kontrak lain?
Ya, saya sudah bertanya, "Berapa banyak pekerjaan jalan yang Anda kerjakan dalam seluruh portofolio Anda?" Dan mereka menjawab, "Kami tidak memperoleh keuntungan [dari proyek jalan] dan proyek-proyek tersebut kecil dan kurang penting, kami tidak benar-benar mempedulikan
Suara dari Sektor Swasta
proyek-proyek tersebut. Kami harus memberi keuntungan bagi para pemegang saham kami; misi kami bukanlah membangun jalan. Jika Pemerintah memutuskan untuk memotong kue tersebut menjadi potongan-potongan kecil untuk diberikan kepada para pemain kecil, itu masalah mereka, itu bukan urusan kami."
Negara-negara lain menanggapi pertanyaan ini dengan bergerak menuju PPP [Public Private Partnerships]. Jika ada tender proyek PPP internasional dengan KPI yang mencakup semua pertimbangan keamanan, semua standar kualitas yang tinggi terkait kinerja, pelaporan sistem manajemen, pencegahan kecelakaan dan semua hal-hal sejenis itu – maka para pemodal asinglah yang memastikan bahwa kontraktor memberikan kualitas tersebut, kalau tidak mereka tidak akan mendapatkan uang mereka kembali. Apakah itu cara yang harus ditempuh?
Ya. Saya mengetahui satu pekerjaan tertentu, yang didanai oleh JICA di Timor Leste. Jalan sepanjang 50km, dan perkiraan biayanya oleh pemilik proyek tersebut adalah tujuh puluh lima juta dolar. Nah, di negara kita, tidak ada paket pekerjaan jalan yang mempunyai anggaran mendekati nilai tujuh puluh lima juta dolar. Paket yang terbaik dan terbesar dengan standar di negara ini adalah sekitar lima puluh juta dollar. Di Timor Leste, 75 juta dolar untuk lima puluh kilometer jalan. Pemain-pemain internasional ada di sana. Mengapa kita tidak membuat paket-paket yang lebih besar?
Setuju. Ada dua cara untuk mengelola kontrakkontrak berukuran lebih besar. Salah satunya adalah melepaskan diri dari tradisi, mendirikan sebuah organisasi di dalam atau di luar Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang dapat menyelenggarakan tender internasional bagi pemasok di luar PU. Cara lain, dan ini adalah yang telah dan sedang dipikirkan Pemerintah baru-baru ini, adalah dengan menggunakan BUMN untuk mengelola proses itu − katakanlah, Hutama Karya. Apa pendapat Anda tentang pendekatan itu? Apakah dapat berjalan baik?
Ada perbedaan besar antara apa yang kami lakukan dan apa yang dilakukan BUMN. Para BUMN merupakan kontraktor umum. Beberapa dari mereka memang mengkhususkan diri dalam hal-hal tertentu, dan mereka sangat baik dalam hal kualitas. Tapi selain itu, BUMN-BUMN ini, mereka cenderung hanya melakukan outsourcing, dan beberapa perusahaanperusahaan outsourcing yang ditunjuk merupakan
perusahaan kecil, beberapa dari mereka berukuran sedang. Tapi – kami mencoba beberapa kali menjadi subkontraktor dengan BUMN, dan itu tidak mudah, baik dalam hal pembayaran, proses birokrasi dan sebagainya. Namun di sisi lain, jika Pemerintah berusaha untuk menciptakan infrastruktur…dan mereka dapat membuat paket-paket untuk pelabuhan, bandara, jalan tol TransSumatera − siapa yang tahu pihak mana yang mengajukan tawaran? Pemain internasional dapat mengajukan tawaran, dan kemudian orang dapat membentuk konsorsium bersama: BUMN dengan asing, atau orang asing dengan pihak-pihak seperti kami.
Dalam perdebatan tentang hal ini, Anda hanya akan mendengar Pemerintah bicara, Anda tidak mendengar apa-apa dari sektor swasta. Ada kekhawatiran bahwa sektor swasta sangat sinis terhadap Pemerintahan di sini, tentang masalah korupsi, proses pengadaan dan transparansinya. Bagaimana mungkin Pemerintah, jika akan menyelenggarakan tender-tender internasional untuk paket-paket pengerjaan seperti ini, bisa meyakinkan pasar internasional bahwa sudah terjadi perubahan-perubahan? Bahwa tersedia peluang jangka panjang, bahwa Anda dapat mempercayai Pemerintah, Anda tahu bahwa Anda akan dibayar? Hal-hal apa yang perlu diatasi untuk menciptakan situasi itu?
Tidak sulit. Sekali lagi, mari kita lihat industri-industri lain, misalnya industri perbankan. Industri perbankan kita saat ini adalah salah satu dari yang paling sehat di wilayah ini. Dan Bank Indonesia sebagai bank sentral, dan sebelumnya sebagai regulator perbankan, sangatlah baik. Tapi sekarang kita memiliki OJK [Otoritas Jasa Keuangan] sebagai lembaga pengawas jasa keuangan yang independen, yang sangat keras, ketat, dapat diandalkan, dan kredibel. Organisasi ini sangat profesional − mereka dibayar dengan gaji yang bahkan lebih tinggi daripada pegawaipegawai BI. Dan ini adalah pertanda yang baik. Jadi, halhal ini dapat dilakukan. Pemerintah dapat menciptakan lembaga yang memiliki mandat untuk mengundang tender internasional. Ukurannya tidak bisa hanya sekadar sepuluh juta dolar; ukurannya bisa seratus juta, atau dua ratus juta dolar. Anda memanggil semua orang itu kemari, dan Anda terlibat dengan para Baker McKenzies dunia, Anda melibatkan Standard Chartered untuk mendukung keuangannya – Anda menciptakan sebuah lapangan bermain yang sepenuhnya baru.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
203
204
Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
Tapi apakah itu mengharuskan lembaga khusus tersebut melepaskan diri dari situasi yang ada?
Menurut pendapat saya, ya. Dengan Pemerintah sebelumnya, bahkan tidak ada niat untuk melakukannya. Anda membutuhkan seseorang dari Pemerintahan Jokowi untuk mengkoordinasikan, untuk memecah dinding.
Hal ini jelas berlaku untuk program-program yang lebih besar, program jalan bebas hambatan dalam jalan tol nasional, hal semacam itu. Sementara itu, ribuan kilometer jalan arteri dan jalan subnasional perlu ditingkatkan. Bagaimana hal ini dapat secara lebih efektif dilaksanakan? Bagaimana kita bisa menghentikan kebiasaan memecah-mecah kontraktor menjadi begitu kecil untuk proyek-proyek seperti itu?
Ada berbagai macam konsep. Salah satunya adalah kontrak pemeliharaan seluas daerah [area-wide maintenance contract]. Ambil saja sebagai contoh salah satu kawasan industri tempat saya pernah bekerja. Saya sangat terkejut, karena mereka meminta saya untuk melakukan pembuatan ulang jalan. Dan kemudian saya membongkar [jalan] untuk mengetahui apa yang dibangun di bawahnya, karena saya ingin mendaur ulang bahannya. Jalan itu dibangun dengan sangat buruk. Padahal ini adalah kawasan industri milik Jepang dan ketika Anda berkeliling di lokasi tersebut, Anda merasa tidak berada di Jakarta, Anda berada di Yokohama. Kecuali jalannya. Jadi, apa yang ingin saya lakukan adalah, mengusulkan kontrak pemeliharaan seluas daerah, tiga sampai lima tahun, dengan tarif satuan, karena, pada saat ini, kita berbicara tentang PBC [Performance-Based Contracting/ Kontrak Berbasis Kinerja]. PBC adalah transfer risiko, Anda mentransfer risiko dari Pemerintah kepada sektor swasta. Dan sektor swasta, orang-orang seperti kami, belum siap. Dibutuhkan waktu untuk menjadi siap. Dan jika kita lakukan PBC, kita harus melakukan penilaian lengkap atas jalannya: memeriksa begitu banyak lubang uji. Karena ketika kita mengambil apa pun di sini, kami menemukan bahan-bahan yang sangat buruk. Jadi sebagai kompromi yang baik, kita bisa melakukan kontrak harga satuan untuk beberapa tahun − mendesain ulang drainase, merehabilitasi titiktitik lemah, membuang semua materi buruk di keseluruhan area, katakanlah untuk satu wilayah estat keseluruhan di Kelapa Gading atau Bumi Serpong Damai. Kemudian Anda dapat menempatkan sumber daya Anda di sana – menempatkan instalasi di sana, peralatan Anda di sana dan orang-orang di sana, dan kontraktor akan mampu melayani dan memelihara keseluruhan wilayah. Ini lebih
Prakarsa Compendium | Jilid 3
baik daripada ada satu kontraktor untuk Rp 5 miliar di sini, Rp10 miliar di sana, dan kemudian enam bulan kemudian, semuanya akan rusak. Maka, ini adalah bidang di mana saya pikir kontrak pemeliharaan seluas daerah merupakan konsep yang baik. Hal ini dapat dengan mudah diterapkan dan tidak harus selama sepuluh tahun, bisa tiga sampai lima tahun, tergantung pada kinerja kontraktor. Dan kontraktor tersebut akan memiliki kesinambungan kerja, yang merupakan sesuatu yang baik. Dan pengguna jalan akan mendapatkan manfaat.
Memang benar bahwa Bina Marga telah mengambil beberapa langkah menuju kontrak berbasis kinerja, tetapi mereka mungkin tidak mengelolanya dengan baik. Apakah kiatnya terletak pada pada membujuk mereka untuk melanjutkan eksperimen ini, atau menciptakan beberapa proyek demonstrasi tentang bagaimana seharusnya hal ini dilakukan, dan setelah berhasil, membujuk mereka untuk mengadopsinya secara lebih luas?
Tapi dari pertukaran pengalaman dan ide yang berlangsung sangat transparan dalam pertemuan IRF di Bali pada bulan November 2014, para pemain PBC – Adhi Karya, Waskita Karya, dan bahkan Hutama Karya − semua pihak tidak siap dalam hal ukuran paket, dalam hal rekayasa teknik [engineering], karena engineering membawa risiko dan Anda harus melakukan banyak investigasi. Juga, keterampilan rekayasa teknik kontraktor mungkin belum ada. Jika Anda tidak mengetahui [kapasitas] rekayasa teknik Anda, Anda tidak akan mengetahui keunggulan-keunggulan Anda, Anda tidak tahu iklim dan kondisi, dan jika Anda belum pernah melakukan hal ini, maka risiko tentang halhal yang bisa terjadi pada tahun ke-5 atau tahun ke-6 bisa sangat besar, apalagi pada tahun ke-10.
Dan pemodal Anda juga tidak akan tertarik akan hal itu.
Ya, dan kemudian secara finansial hal itu bisa menghancurkan Anda pada tahun ke-7, karena Anda tahu jalan bisa ambruk. Jadi "PBC 101" di sini tidaklah begitu mengesankan. Sekarang ketika kita menuju ke "PBC 201", hal ini sangat menakutkan. Karena jumlah investigasi yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti kami, akan memakan waktu, setidaknya dua sampai tiga bulan. Dan untuk memastikan bahwa kami bisa mengetahui apa yang akan kami kerjakan, banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan.
Suara dari Sektor Swasta
Sebuah proyek konstruksi jalan PT Conbloc Infratecno di Flores
Atas perkenan Pino Iskandar
Prakarsa Compendium | Jilid 3
205
206
Ukuran Memang Penting, dan Demikian Juga Pengawasan: Menyajikan Kualitas dalam Konstruksi Jalan di Indonesia
Katakanlah, kita tahu apa yang ada di dalamnya, apa yang ada di bawah jalan. Dan kita harus memprediksi volume lalu lintas, lalu lintasnya sendiri dan kinerjanya, dan kemudian kita harus memprediksi cuaca, tanah longsor, dan sebagainya. Jadi, semua risiko di PBC ini ditransfer. Semua transfer risiko ini membuatnya menjadi sangat berisiko. Jika Anda melihat model Malaysia, skemanya lebih mirip pemeliharaan seluas wilayah; kontraktor dipilih karena mereka dapat diandalkan, karena mereka telah membuktikan, karena mereka benar-benar memberi hasil baik, dan semuanya terlaksanakan. Tahukah Anda, model [awal] PBC di Indonesia sejauh ini belum berhasil, dan sekarang mereka sedang membicarakan tentang PBC yang sesungguhnya dengan banyak rehabilitasi; ini sangat berisiko dan menurut pendapat saya, mungkin gagal.
Hal ini muncul karena Pemerintah tidak berbicara kepada pasar tentang apa yang realistis dan apa yang tidak, apa yang diharapkan dan apa yang tidak, dan risiko apa yang dapat Anda kelola. Mereka tampaknya mengolah skema ini secara terpisah dari pemahaman pasar. Mengapa demikian?
Karena Pemerintah belum menjalankan dialog yang memadai dengan para pemain. Mungkin ada beberapa diskusi, tetapi mereka tidak melibatkan sektor swasta. Masalahnya, ada seratus dua puluh ribu perusahaan di Indonesia. Hanya satu persen berskala besar, 12 persen sedang, dan sisanya adalah perusahaan skala kecil, jadi inilah yang menjadi fokus perhatian Pemerintah – mendukung perusahaan-perusahaan kecil tersebut.
Tapi masalahnya bukan hanya soal volume, melainkan juga soal sikap – sikap peduli terhadap kualitas dan tekad keras untuk mempunyai kinerja baik. Mengapa para manajer proyek tidak peduli akan hal ini? Dapatkah pengelolaan kontrak diperkuat?
Saya telah melihat setiap contoh ekstrim. Di sektor swasta, kami mendapatkan pekerjaan karena reputasi kami. Dan sangat sering harga kami lebih tinggi daripada para pesaing karena kami memberikan kualitas yang lebih baik. Dan pada saat yang sama, kami dengan sadar mencoba untuk menjadi lebih baik dari pesaing-pesaing lainnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kedua, di sektor swasta, kami sekarang ini tengah bekerja dalam sebuah perusahaan − saya tidak bisa menyebutkan nama. Pekerjaan ini dirancang dan diawasi oleh konsultan asal Inggris yang sangat ketat dan menjalankan kegiatan sesuai aturan, dan semuanya akan dirujuk ke spesifikasi. Mereka bertindak seolah-olah kita sedang bekerja di Inggris. Saya belum pernah punya pengalaman seperti itu. Hal ini sangat sulit tetapi kami bertahan. Kualitas yang kami hasilkan sulit dipercaya. Karena segala sesuatunya harus diuji, diuji dan diuji, sesuai dengan spesifikasi. Di Bina Marga, yang paling ketat adalah pekerjaan yang didanai Australia. Kami memutuskan sejak awal untuk bekerja sama dengan itu karena kami ingin memberikan yang sebaik itu, jadi kami memilih pola pikir itu. Apakah ada pengawasan atau tidak, kami tidak memiliki standar ganda dalam perusahaan saya. Hal ini sulit ketika Anda tahu tidak ada pengawas di sana, atau para pengawas tidak tahu. Namun, secara keseluruhan, kami berusaha untuk mempertahankan standar tunggal.
Ini adalah hal-hal yang diharapkan untuk menjadi perhatian bagi Bina Marga atau Kementerian PU. Mereka harus berurusan dengan ketertinggalan infrastruktur yang sangat besar namun dibutuhkan. Dan peran Kementerian Keuangan adalah menuntut nilai uang [value-for-money] yang lebih baik dalam penyelenggaraan program. Apakah ada prospek untuk pengetatan?
Saya percaya pada ungkapan klise “ukuran memang penting" [size matters], karena jika Anda memiliki skala yang memadai, Anda dapat merekrut orang-orang yang terbaik, Anda dapat membeli peralatan yang terbaik, Anda dapat membelanjakan uang untuk penelitian dan pengembangan [R&D], Anda dapat mendatangkan para ahli terbaik dari seluruh dunia dan Anda dapat memiliki skala ekonomi, sehingga dapat menekan biaya dan Anda dapat memberikan kualitas. Ukuran dan keberlanjutan kerja sangatlah penting, sehingga Anda berinvestasi [untuk pertumbuhan]. BUMN tidak berinvestasi banyak di industri jalan karena mereka tidak banyak mempunyai spesialisasi. Dalam pembangunan jalan, mereka melakukan outsourcing. Dan orang-orang yang mereka tunjuk untuk kegiatan outsourcing tidak memiliki pola pikir yang kuat tentang kualitas, mereka membiarkan banyak hal terlewatkan. Jadi, untuk bisa lolos standar kualitas dalam suatu
Suara dari Sektor Swasta
pekerjaan tidak terlalu sulit, kecuali jika Anda mengerjakan suatu pekerjaan yang didanai oleh Australia!
Apa yang akan terjadi terhadap Indonesia saat pasar Asia menjadi terbuka dan akan ada lebih banyak kesempatan bagi orang luar untuk datang?
Baru-baru ini saya menjadi anggota suatu panel untuk infrastruktur dan berbicara dengan beberapa teman dari Thailand, Australia, Malaysia. Perhatian utama mereka adalah: bagaimana mereka bisa bersaing dengan BUMN? Mereka mengatakan tidak tahu lapangan permainannya, jadi mereka membutuhkan mitra lokal yang baik, yang dapat membimbing mereka dan membawa mereka ke lapangan permainan. Mereka mengatakan, kami berniat untuk membawa bankir kami, kekuatan keuangan kami, dan kami juga berniat untuk menyediakan ekuitas, asalkan kami bisa yakin bahwa aturan yang ada memang transparan, peraturan perundang-undangannya transparan, dan kontrak kerja ditandatangani. Dan mereka menginginkan keterlibatan konsultan internasional, karena jika hanya melibatkan Pemerintah dan dikendalikan dengan cara lama yang sama, mereka mengatakan mereka tidak akan datang ke Indonesia. Tes litmus yang ada dalam benak saya adalah untuk menanyakan apakah Macquarie Bank siap datang ke Indonesia atau tidak. Macquarie Bank ada di mana-mana kecuali di negara ini. Jika mereka datang ke Indonesia, yang lain akan mengikuti.
Tepat, dan jika Anda melihat di seluruh dunia, ada bermacam-macam kesempatan untuk perusahaanperusahaan seperti itu. Indonesia adalah wilayah perbatasan terakhir. Ada kebutuhan yang sangat besar namun kerangkanya belum disediakan.
Saya rasa Anda telah menyentuh poin yang sangat penting, bahwa dialog masih belum terjadi; mungkin ini adalah topik yang dapat kita pakai dalam kesimpulan. Pejabat Pemerintah perlu berbicara dengan orang-orang seperti Anda, dengan orangorang seperti pemodal, orang-orang seperti kontraktor lain, dan perlu memahami apa yang menjadi kendala dan apa yang harus mereka lakukan untuk membuka pintu. Jadi, apa yang Anda sarankan – forum, konferensi dan tim-tim kerja kecil – semuanya dapat menyampaikan permasalahan, dan membuat orang sadar akan kedua sisi persoalan.
Saya sangat tertarik untuk menyemangati terjadinya dialog, untuk memiliki jaringan infrastruktur ASEAN atau Asia-Pasifik, untuk bertukar pikiran tentang bagaimana Pemerintah di masing-masing negara mengelola masalah infrastruktur mereka. Di tingkat nasional saya ingin mengusulkan jaringan infrastruktur nasional. Kita dapat memiliki sekelompok orang dari Pemerintah, bankir, pengacara, dan BUMN serta kontraktor. Kita dapat menyelenggarakan dialog karena ada sepuluh ribu kontraktor yang membutuhkan pekerjaan. Tapi mereka dapat dilatih, mereka dapat diorganisasikan oleh kontraktor-kontraktor besar, meskipun tidaklah begitu mudah untuk terus-menerus memberi mereka pekerjaan sebagai sub-kontraktor. Jika Pemerintah berkemauan keras, kita dapat membuat kontraktor-kontraktor besar menjadi apa yang kita sebut dalam Bahasa Indonesia sebagai bapak angkat− ayah asuh – untuk perusahaanperusahaan kecil. Mereka akan mengelola kualitas, logistik, keuangan, dll. Tapi perusahaan-perusahaan besar ini harus kuat. ●
Maka Indonesia harus membuka pintu, karena ada banyak uang di luar, ada banyak kekuatan di luar, tetapi sejauh ini kita hanya asyik dengan diri kita sendiri di sini.
Mengapa demikian? Maksud saya, mengapa ada ketidakpercayaan terhadap pihak asing? Apakah mereka berpikir bahwa kompetisi asing akan berakibat buruk pada BUMN, atau mungkin disinyalir akan mengambil potongan kue yang terlalu besar dari Indonesia?
Saya pikir itu sifat manusia. Tapi seseorang harus memecahkan dinding, mengakui adanya krisis dalam infrastruktur kita, menunjukkan kebenaran, dan memulai dialog.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
207
208
Angkutan Umum Perlu Investasi dan Keahlian Pihak Swasta
ANGKUTAN UMUM PERLU INVESTASI DAN KEAHLIAN PIHAK SWASTA Eka Sari Lorena Soerbakti adalah seorang pengusaha wanita Indonesia. Dia adalah pemimpin PT Eka Sari Lorena, perusahaan transportasi darat terbesar di Indonesia yang didirikan ayahnya, G.T. Soerbakti. Selain menjadi Chief Executive Officer dari Lorena Group, dia juga menjabat sebagai Direktur PT Ryanta Mitra Karina dan PT Prima Sari Boga. Pada tahun 2010, Eka Sari Lorena menjadi Ketua Umum Organda, organisasi pengusaha angkutan darat nasional di Indonesia. Dia mendapat penghargaan sebagai Pengusaha Muda Terbaik pada tahun 2007, dan menjadi finalis dalam Fun Fearless Female Indonesian Competition yang diselenggarakan oleh majalah Cosmopolitan pada tahun 2002. Dia terpilih sebagai salah satu dari "20 Wanita Paling Berpengaruh di Indonesia" pada tahun 2013 oleh majalah Fortune, dan juga sebagai salah satu dari "10 Wanita yang Paling Memberi Inspirasi di Indonesia" pada tahun 2014 oleh Forbes Indonesia. Dia meraih gelar Bachelor of Bisnis Adminsitration dari Wright State University di Ohio, dan Master of Business Adminsitration dari San Francisco University.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Suara dari Sektor Swasta
Atas perkenan Eka Sari Lorena Soerbakti
PRAKARSA: Tolong ceritakan tentang peran Anda dalam sektor transportasi di Indonesia.
EKA SARI LORENA SOERBAKTI: Saya lahir di lingkungan transportasi dan saya tumbuh besar dalam industri ini. Keluarga saya memiliki perusahaan-perusahaan transportasi untuk penumpang dan juga barang di seluruh Indonesia. Perusahaan pertama kami, yang menangani bus antarkota/ antarpropinsi, didirikan pada tahun 1970. Tempat bermain saya pada akhir minggu adalah bengkel dan departemen operasi. Dua bidang itulah yang paling saya kagumi. Selain menjalankan bisnis dan berpartisipasi dalam industri ini, saya juga memainkan peran penting
dalam organisasi-organisasi seperti Organda dan Kadin [Kamar Dagang Indonesia]. Beginilah pendekatan saya terhadap transportasi di Indonesia – saya belajar cara menjalankannya, saya belajar tentang strategi teknis dan pendekatan non-teknisnya; dan juga tentang kebijakan dan peraturan perundang-undanganannya, termasuk peraturan daerah yang diterapkan pemerintah setempat. Karena berlakunya sistem desentralisasi, banyak hal telah berubah dan saya tidak yakin apakah di Indonesia ada banyak orang yang memiliki pengetahuan yang cukup layak tentang transportasi. Mengetahui, memahami dan mampu berkiprah dengan baik dalam sistem transportasi adalah sesuatu yang besar.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
209
210
Angkutan Umum Perlu Investasi dan Keahlian Pihak Swasta
Sebagai Ketua Organda Indonesia, saya ingin mensosialisasikan soal transportasi ini kepada masyarakat dan mendidik para siswa. Saya ingin orang memahami jenis layanan yang wajib diberikan pemerintah agar mereka memiliki aksesnya, sehingga mereka memiliki mobilitas. Jika Indonesia ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen, fakta nomor satu yang perlu dipertimbangkan adalah perlunya kita memiliki platform yang jelas mengenai mobilisasi orang dan barang. Saya pikir kita tidak bisa memiliki ekonomi yang sangat kuat jika kita tidak dapat bepergian secara efisien. Tidak semua anak bisa berjalan kaki ke sekolah, ada yang jaraknya terlalu jauh. Orang harus bisa pergi ke kantor. Bagaimana jika Anda ingin memproduksi barang tetapi Anda tidak dapat membawa bahan bakunya ke pabrik? Dan ketika barang sudah diproduksi, Anda juga harus dapat mendistribusikannya.
Saya harap kali ini akan ada menteri-menteri yang memahami industri transportasi dengan sangat baik. Bukan orang-orang yang sekedar diberi posisi karena alasan politik, tapi seperti di negara-negara lain di mana semua departemen strategis dipimpin oleh seseorang yang memiliki pemahaman yang sangat baik mengenai urusannya.
Apa yang diharapkan oleh sektor transportasi dari pemerintahan yang baru?
Kadang-kadang saya cenderung blak-blakan. Tapi ketika kita menyampaikan bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki, kita juga harus menawarkan solusi. Jika kita hanya mengeluh dan tidak mengusulkan suatu solusi, itu hanya bertindak seperti anak kecil. Anak saya yang berumur dua tahun bisa melakukannya. Tapi kita adalah manusia dewasa yang bertanggung jawab, jadi kita perlu menemukan dan menawarkan solusi. Dan kita belajar bahwa ketika bekerja dalam sebuah organisasi, kita tidak bisa mengusulkan solusi hanya dari sudut pandang kita sendiri saja.
Kita perlu memiliki penegakan hukum yang kuat. Mengingat besarnya negara kita dan jumlah penduduknya, jika kita hanya memiliki pertumbuhan ekonomi 4 atau 5 persen, itu berarti tingkat pengangguran akan tinggi. Tentang perubahan dalam kepemimpinan nasional − kami memiliki banyak harapan. Orang mengatakan korupsi telah berkurang. Saya tidak setuju. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Jadi saya benar-benar berharap bahwa pemimpin baru, yang didukung oleh rakyat, akan membuat perubahan. Nomor satu adalah transparansi. Kita tidak perlu menjadi seorang jenius untuk melihat pentingnya nilai transparansi. Banyak orang akan bersimpati dan bersedia mendukung programprogram demi peningkatan transparansi. Presiden baru ini sangat berbeda dari yang sebelumnya. Saya belum pernah melihat seseorang yang naik ke tingkat setinggi itu dalam periode waktu yang begitu singkat. Ini kasus yang sangat langka. Dia menghadapi tantangan yang besar, karena orang-orang di DPR bukan berasal dari partai yang sama. Tapi saya melihat ini sebagai tanda positif karena jika mereka dari partai yang sama, transparansi bisa dikompromikan. Namun, karena mereka berasal dari partai yang berbeda, mereka akan saling mengawasi. Jadi mudahmudahan, implementasinya akan tepat.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jika Anda melihat situasi sekarang, transportasi bukanlah fokus pemerintah. Hanya baru-baru ini saja Indonesia mulai memperhatikan angkutan umum, transportasi masal, dan konektivitas. Lalu lintas selalu macet dan orang-orang jadi stres. Kita memerlukan orang-orang yang tepat dalam pemerintahan dan kita memerlukan kolaborasi yang lebih baik.
Bagaimana kita sebaiknya mengatasi masalah transportasi di Indonesia?
Kita perlu memperkirakan investasi yang dibutuhkan dan apa saja manfaatnya. Saya tidak percaya bahwa hal-hal teknis itu sulit. Yang lebih menantang justru masalah non-teknis. Indonesia merupakan bagian dari komunitas global. Organda memiliki mitra di Belanda, Swiss dan Amerika Serikat. Sangatlah mudah untuk mendapatkan data; bertukar informasi pun bukan hal sulit. Sekali lagi, bagian yang sulit adalah aspek non-teknis. Sebagai contoh, jika Anda ingin membangun terminal. Bahkan setelah penelitian dilakukan dan sebuah lokasi yang cocok telah diidentifikasi, dapat terjadi perubahan mendadak dalam rencana. Mengapa? Karena tanahnya milik keluarga Walikota. Itu bukan masalah teknis, kan?
Suara dari Sektor Swasta
Maka saya pikir, kepemimpinan baru kita membutuhkan banyak energi, karena ada banyak pekerjaan rumah yang harus mereka lakukan. Masalah-masalah telah menjadi ekstrim. Transportasi dan logistik adalah hal-hal yang sangat serius. Indonesia belum memiliki konsep berkelanjutan apa pun untuk mendukung industri transportasi sehingga industri tersebut dapat membawa lebih banyak manfaat bagi negara. Dan yang paling penting, pemerintah harus berani menegakkan hukum. Pekerjaan rumah mereka adalah mencari tahu bagaimana melakukan hal itu. Jika tidak, Indonesia masih bisa bergerak maju, tapi dengan sangat lambat.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Daerah untuk menarik investasi swasta di sektor transportasi?
Pendekatan terbaik adalah berkolaborasi dengan pihakpihak yang ada. Di Indonesia, setiap kabupaten memiliki gaya yang berbeda. Jika kita tidak memiliki pengetahuan lokal, tidak dapat menilai tradisi dan preferensi lokal, suatu inisiatif tidak akan memberi hasil. Anda dapat saja mempunyai uang dan tenaga ahli dari luar negeri, tapi proyek tidak akan berjalan secara efisien. Oleh karena itu, kita perlu menciptakan sebuah platform yang dapat menyatukan pengusaha-pengusaha lokal dan para investor. Kita harus bisa memanfaatkan perusahaanperusahaan mapan yang ada, yang memiliki darah, denyut nadi dan sistem saraf yang kuat, tapi mungkin karena kurangnya arahan, kurangnya pengembangan, dan kurangnya modal, mereka tidak bisa tumbuh. Mengapa kita tidak merangkul mereka? Saya sendiri, selama masih bisa merangkul operator lokal, saya akan melakukannya.
Bisakah Anda menjelaskan lebih lanjut apa saya hambatan dan tantangan yang dihadapi?
Transportasi perkotaan cukup sulit. Untuk sistem itu sendiri, atau pengadaan bahannya, memang mungkin dikelola. Tapi pengoperasiannya – itulah yang sulit, karena operator angkutan umum menghadapi begitu banyak kompetisi dari kendaraan, sepeda motor dan mobil pribadi. Hal ini terjadi, karena sepeda motor dan mobil memang murah harganya dan mudah didapatkan. Ini adalah negara yang aneh; kebijakan-kebijakannya mendorong penggunaan kendaraan pribadi, dan bukan angkutan umum.
Adalah penting untuk berkomitmen pada isu-isu inti, halhal yang akan memiliki dampak terbesar. Memang benar bahwa segala sesuatu perlu perbaikan. Tapi mari kita lihat masalah yang paling krusial terlebih dahulu. Kita harus cukup cerdas untuk menentukan prioritas.
Apa cara terbaik untuk membiayai transportasi umum?
Kita perlu pembiayaan, tetapi bukan dari bank. Bank terlalu kaku dan memberlakukan suku bunga pinjaman yang terlalu tinggi. Menurut pendapat saya, kita memerlukan platform yang mempermudah kerjasama antara perusahaan domestik dan internasional. Menemukan keahlian untuk menerapkan pembiayaan tidaklah mudah – mungkin hanya ada dalam teori. Tetapi itu merupakan upaya yang komprehensif untuk mengurus semuanya, dimulai dengan izin jasa transportasi, izin AMDAL [dampak lingkungan], diskusi tentang terminal – banyak persyaratan administrasi. Dan banyak persyaratan yang tidak tertulis hitam di atas putih. Jadi idealnya Anda membutuhkan pengetahuan lokal yang kuat didukung jaringan sumber daya global yang luas. Investor bisa saja mempunyai niat baik, tapi hasilnya tidak akan baik jika mereka tidak memiliki pengetahuan lokal dan jaringan lokal untuk menyertai pembiayaan mereka. Luasnya negeri ini sangatlah luar biasa. Begitu banyak orang membutuhkan layanan angkutan umum, yang belum diberikan dengan layak. Pemerintah harus mempertimbangkan subsidi silang. Mereka dapat memberitahu perusahaan: Anda berinvestasi di sini, dan kemudian kami akan mengatur dengan cara ini. Anda boleh berinvestasi di sini, tapi Anda harus memberikan dukungan di wilayah ini. Dan tidaklah mudah untuk pergi ke lapangan dan berbicara dengan Pemerintah Daerah tentang masalah ini. Dan itu hanyalah puncak dari gunung es.
Apakah Anda pikir Pemerintah Daerah (Pemda) merupakan bagian dari masalah, atau solusi?
Jujur, jika kita berbicara tentang masa kini, saya pikir mereka lebih merupakan bagian dari masalah. Hal ini disebabkan, begitu banyak Pemda memiliki orang-orang yang diberi tanggung jawab namun tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, kami sedang mengusulkan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
211
212
Angkutan Umum Perlu Investasi dan Keahlian Pihak Swasta
kepada Kementerian Perhubungan agar mereka mengeluarkan standar kompetensi sebagai syarat seseorang menjadi Kadishub [Kepala Dinas Perhubungan]. Seorang Kadishub harus memiliki keterampilan tertentu, mereka tidak bisa dipilih hanya karena mereka memiliki hubungan dengan orang yang tepat – saya tahu satu daerah di mana seseorang yang sebelumnya bekerja di dinas pemakaman, diangkat hanya karena dia adalah teman gubernur!
Apa yang bisa kita lakukan untuk memastikan peran Pemda menjadi lebih positif?
Apakah Anda ingat, dulu ada 17 langkah yang ditetapkan untuk menangani kemacetan lalu lintas, seperti yang diprakarsai oleh wakil presiden? Sekarang bagaimana kelanjutannya? Apakah Anda tahu siapa orang-orang yang bertanggung jawab? Semua berasal dari Pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan sepihak tidak cukup. Kita perlu masukan konstruktif dari semua pihak – termasuk para operator dan akademisi, bukan hanya pemerintah saja. Organda dapat menyatukan beberapa pihak – baru-baru ini Organda mengadakan pertemuan yang mencakup Korwil (Koordinator Wilayah) dari seluruh Indonesia. Dan Organda memiliki satu tim think-tank yang terdiri dari para profesor. Para operator perlu mengikutsertakan mereka ke dalam proses. Pertimbangkan ini: para peneliti butuh dana. Para operator menghasilkan uang. Maka para operator dapat mendukung para peneliti − jika mereka membutuhkan dana, kami siap. Ini akan saling menguntungkan, kan? Dari sisi mereka, mereka akan memberikan kontribusi untuk beberapa proyek yang berguna. Beberapa penelitian mereka akan digunakan. Kadang-kadang orang mengatakan ini adalah cara berpikir “out of the box” yang terlalu berlebihan. Tapi saya percaya ini adalah cara yang seharusnya dipakai. Kemudian saya akan mengusulkan agar privatisasi terminal dilakukan − dimulai dengan hanya dua terminal. Saya akan melakukan perombakan pada terminal-terminal tersebut sehingga para perempuan tidak takut datang ke sana. Bagi wanita hamil dan perempuan lanjut usia (lansia) juga harus dibuat mudah. Para lansia juga membutuhkan transportasi, dan tidak semua memiliki uang [untuk memiliki kendaraan pribadi]. Tapi sulit bagi mereka untuk naik dan turun tangga di terminal.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Harus ada yang memikirkan tentang hal ini. Anda tahu, kebanyakan kepala instansi pemerintahan adalah laki-laki, bukan?
Sangatlah sulit bagi para ibu, yang harus mengurus anak-anak kecil, mungkin mengganti popok, ketika berada di terminal.
Mereka [para kepala instansi yang bertanggung jawab atas perencanaan fasilitas] tidak berpikir tentang hal ini. Namun, kita bisa secara cerdas menanggapi hal ini. Kita bisa mengacu pada UU No. 22/2009 [tentang kebijakan transportasi nasional mengenai subsidi], yang akan segera diberlakukan. Perusahaan swasta dapat membangun terminal. Kejelasan lebih lanjut akan ada mengenai apa yang bisa kita lakukan. Sekarang kita akan mulai mempersiapkan SPM, Standar Pelayanan Minimum. Kekuatan perusahaan-perusahaan swasta adalah bahwa kami lebih tahan banting. Kami sudah terbiasa dengan kurangnya dukungan. Adalah hal yang umum bagi kami untuk mempunyai anggaran terbatas. Kami telah terbiasa bekerja di bawah tekanan. Jadi apa yang harus kami takutkan? Kami hanya harus melakukannya saja.
Pemerintah dan sektor swasta terlibat dalam berbagai aspek ketentuan transportasi perkotaan. Apa peran terbaik mereka masing-masing?
Pertama, saya pikir kita perlu mengajukan banyak pertanyaan sulit tentang bagaimana pihak-pihak ini bekerja. Apakah APTB [Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway] Jakarta lebih sukses beroperasi daripada Metromini? Tidak juga. Busway bahkan mulai rusak dalam waktu kurang dari tujuh tahun. Tidak ada yang boleh terlalu sombong tentang apa yang dapat mereka lakukan. Pada saat yang sama, pemerintah memiliki banyak kewenangan, jadi mereka perlu dilibatkan. Kita harus menciptakan lebih banyak rasa saling percaya. Sekarang ini, pemerintah ingin menjadi operator bus. Namun belum ada angkutan umum yang berhasil dijalankan oleh pemerintah. Berapa keuntungan yang telah didapatkan? Triliunan telah diinvestasikan, tapi keuntungannya hanya dua persen. Ini adalah uang rakyat yang digunakan oleh Pemerintah.
Suara dari Sektor Swasta
Para regulator harus membuat sebuah kerangka kebijakan yang baik. Mereka harus membantu [perusahaan untuk berkembang], daripada menjadi operator, atau bersaing dengan mereka. Kecuali investasinya begitu besar sehingga menyulitkan sektor swasta. Sebagai contoh, di Singapura MRT dijalankan oleh pemerintah. Investasinya besar. Tapi jangan salah paham – angkutan pengumpan, bus-busnya, semua dikelola oleh swasta. Pemerintah mengundang para operator. Apa yang mereka katakan pada mereka? Mereka mengatakan, "Kami akan memberikan ini, kami akan menjamin Anda akan mendapatkan keuntungan. Kami menjamin usaha ini akan berkelanjutan. Tapi Anda harus memenuhi standar pelayanan minimum. Jika Anda tidak memenuhi standarnya, izin Anda akan dicabut."
lain. Dengan cara ini saya bisa melihat, saya menganalisa, saya mendengarkan, dan kemudian saya mendapatkan informasi tentang berbagai hal yang dibutuhkan. Terakhir yang tidak kalah penting, wanita memiliki kemampuan analisis yang kuat. Juga, harus ada gairah, karena meskipun Anda memiliki semua karakter tersebut, Anda harus memiliki gairah. Saya tidak percaya bahwa perempuan tidak bisa sukses. Saya menunggu saatnya perempuan-perempuan menjadi lebih sukses lagi. ●
Itulah pendekatan dasar. Dan berbicaralah kepada perusahaan-perusahaan − mereka akan memberitahu Anda apa yang mereka pikirkan. Daripada saling mematikan, lebih baik membentuk sebuah konsorsium.
Bolehkah kami mengajukan pertanyaan yang agak pribadi? Sangatlah tidak umum untuk menemukan seorang perempuan yang bertanggung jawab untuk urusan infrastruktur. Apakah ada tips dari Anda bagi perempuan lainnya dalam dunia infrastruktur?
Saya percaya perempuan cukup kuat untuk bisa berhasil dalam bisnis ini, yang kadang dianggap orang sebagai suatu bisnis yang menantang. Perempuan adalah pendengar yang baik. Kami sesungguhnya dapat belajar banyak dengan mendengarkan orang. Tidak perlu belajar di Harvard. Anda mendengarkan orang dengan baik dan mengalisis mereka, dan dengan begitu Anda belajar. Kedua, perempuan cenderung lebih sabar, dan karenanya dapat menyesuaikan diri secara lebih baik di bawah tekanan. Ini industri yang sangat besar tekanannya. Ketiga, perempuan biasanya lebih mampu menangani beberapa hal sekaligus (multitasking). Kita membutuhkan orang yang bisa menangani berbagai tugas. Kita sudah punya modal dasar untuk menjadi sukses di bidang infrastruktur. Saya belajar tentang infrastruktur karena saya sudah pergi ke mana-mana; langsung ke daerah-daerah, lewat darat, naik pesawat, kadang-kadang feri, dan lain-
Prakarsa Compendium | Jilid 3
213
214
Peran Sektor Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia
PERAN SEKTOR SWASTA DALAM PENYEDIAAN AIR MINUM DI INDONESIA Tom Shreve adalah pimpinan Acuatico Pte. Ltd., pengelola sistem air minum perkotaan sektor swasta terbesar di Indonesia. Tom memiliki pengalaman luas di bidang merger dan akuisisi, pasar modal, keuangan proyek dan manajemen perusahaan jasa keuangan. Ia yang mengatur akuisisi Klub Sepak Bola Inter Milan atas nama sekelompok pengusaha Indonesia pada 2013. Warga negara Amerika Serikat lulusan Northwestern University School of Law tahun 1983 ini, yang merupakan anggota berlisensi California State Bar, telah berdomisili di Indonesia sejak 1991.
PRAKARSA: Tolong jelaskan tentang Acuatico.
TOM SHREVE: Acuatico adalah perusahaan yang secara khusus bergerak di bidang infrastruktur air minum. Kami mengerjakan tiga proyek di Indonesia dan satu di Vietnam. Di semua proyek Indonesia kami mengoperasikan sistemnya, melakukan penagihan pada para pelanggan, dan menjalin hubungan pelanggan langsung dengan para konsumen. Tentu saja terdapat banyak pola untuk membangun infrastruktur air minum yang melibatkan sektor swasta, dan banyak di antaranya bisa didapat di Indonesia. Namun kami memiliki keunggulan kompetitif dalam kemampuan menangani penagihan dan layanan pelanggan, suatu hal
Prakarsa Compendium | Jilid 3
yang sudah kami lakukan bertahun-tahun. Kami adalah pemilik perusahaan yang mengelola sistem air minum di Jakarta Timur dan melayani lebih dari 400.000 pelanggan. Sistem kami sangat besar. Kami mampu memproduksi dan mendistribusikan air bersih lebih dari 9.000 liter per detik. Sejak Acuatico membeli perusahaan dari RWE Thames pada tahun 2007, kami menangani seluruh kegiatan operasional yang merupakan keseluruhan value chain (rantai nilai) dari usaha air minum untuk Jakarta Timur.
Bagaimana pengalaman Anda di Indonesia bila dibandingkan dengan di Vietnam?
Suara dari Sektor Swasta
Vietnam sangat bergantung pada proyek berbasis dana bantuan, bahkan proyek-proyek yang melibatkan partisipasi sektor swasta sering kali menerima pinjaman konsesi (concessionary loans) untuk proyek-proyek mereka. Namun mereka tampak cukup terfokus dan mampu melangkah ke depan secara efisien dan strategis, dan konsekuensinya, secara keseluruhan mereka memiliki sistem air minum yang jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. Di Indonesia, pada dasarnya sistem air minum diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Hal ini memiliki keuntungan tetapi juga kerugian.
Dapatkah Anda jelaskan lebih jauh tentang praktek usaha infrastruktur air minum di Indonesia?
Pada dasarnya, karena kami bekerja dengan Pemerintah Daerah, terdapat kemungkinan adanya ratusan sponsor pemerintah untuk suatu proyek. Dari beberapa segi, ini menguntungkan, contohnya apabila Anda bergerak di bidang tenaga listrik swasta, pada dasarnya Anda hanya memiliki satu pelanggan, yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang akan membeli tenaga listrik dari Anda. Akibatnya akan timbul banyak isu di tenaga listrik swasta karena pengembang ingin mendapatkan jaminan pembayaran dari pemerintah karena satu-satunya pelanggan di bidang usaha tenaga listrik swasta adalah PLN. Sedangkan kami dapat berhubungan dengan sejumlah instansi dan lembaga yang berbeda-beda untuk mendapatkan peluang yang tepat, yaitu yang terbaik dan paling menarik bagi pendanaan investasi kami. Kendala yang dihadapi dengan Pemerintah Daerah pada umumnya adalah kurangnya kemampuan mereka. Mereka tidak memiliki skala besar untuk memikul tanggung jawab atas kebijakan secara keseluruhan atau seluruh infrastruktur negeri ini; mereka hanya memperhatikan wilayah yang sangat kecil. Mereka mungkin tidak memiliki pengalaman dalam membangun infrastruktur sendiri atau terlibat dalam kerjasama pemerintah dan swasta. Sebagai konsekuensinya, sering kali kami juga perlu terlibat dan bahkan membantu merancang proyek, mendanai studi kelayakan, dan mencari tahu persyaratan yang tepat untuk merancang dan menyusun konsesi.
Menurut Anda, apa yang dapat dilakukan di tingkat Pemerintah Pusat untuk mengatasi permasalahan tersebut, yang disebabkan oleh kurangnya kapasitas di tingkat daerah?
Tentunya diperlukan fungsi dukungan dari Pemerintah Pusat. Saat ini ada yang dinamakan BPPSPAM [Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum] yang merupakan bagian dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Mandat utama lembaga ini adalah untuk mengkoordinasikan dan mengevaluasi berbagai
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia, untuk membantu mereka menetapkan kemampuan dan ketidakmampuan mereka, apa yang mereka harus dan tidak boleh lakukan, dan juga untuk menyusun rencana induk serta usaha mereka sendiri dan partisipasi sektor swasta mana pun. Selain itu tentu saja ada proyek IndII yang juga melakukan peningkatan kapasitas dengan PDAM. Menurut pendapat kami hal ini penting; bidang ini membutuhkan sumber daya sebanyak mungkin karena pada umumnya PDAM menyambut baik bantuan dalam peningkatan kapasitas, dan mereka memahami kebutuhan tersebut agar mereka dapat melayani pelanggan secara lebih baik. Ada juga pemikiran bahwa mungkin Pemerintah Provinsi dapat lebih dimanfaatkan lagi untuk membantu mengkoordinasikan dan membantu PDAM. Di Indonesia terdapat sedemikian banyaknya kabupaten dan kota, dengan rentang lebar dalam hal kemampuan dan kekuatan finansial, sehingga di tingkat nasional sungguh sulit membantu setiap PDAM satu-persatu. Menurut hemat kami, ada peran potensial yang belum pernah disentuh yakni keterlibatan Pemerintah Provinsi. Selain itu memang terdapat sejumlah kasus yang memerlukan keterlibatan Pemerintah Provinsi, karena ada kalanya lingkup suatu proyek air minum melintasi batas kabupaten. Di Jakarta, konsesi yang ada berbasis provinsi dan tidak berbasis pada lima kota di DKI Jakarta. Sedangkan di Bali terdapat kesulitan besar dalam menentukan kelayakan proyek-proyek yang dibatasi pada satu kabupaten. Pada prinsipnya sudah diputuskan bahwa Pemerintah Provinsi perlu dilibatkan untuk mengatasi masalah air minum di Bali karena masing-masing kabupaten tidak memiliki kombinasi yang tepat antara air baku dan permintaan untuk dapat menciptakan sistem air minum mereka sendiri tanpa dihubungkan dengan kabupaten lainnya.
Dapatkah Anda menguraikan sedikit tentang peran keuangan swasta di bidang pembangunan sistem air minum? Bagaimana menurut pandangan Anda saat ini? Dan seharusnya menuju ke arah mana?
Jelas sekali bahwa pembiayaan sektor swasta sangat penting bagi pembangunan sistem air minum di Indonesia, karena dibutuhkan investasi dalam jumlah yang sangat besar. Ada ratusan sponsor proyek dan pemilik PDAM yang potensial, sedangkan di tingkat Pemerintah Kabupaten terdapat yurisdiksi yang berbeda-beda dan sebagian besar tidak memiliki anggaran atau kapasitas untuk melaksanakan proyek secara efektif yang sungguh-sungguh dapat membantu masyarakat.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
215
216
Peran Sektor Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia
Pada saat ini Indonesia tertinggal jauh di bidang pembangunan infrastruktur air minum. Sebuah kajian Bank Dunia yang memberi peringkat atas akses pada sumber air minum yang terlindungi, yang dibuat berdasarkan jumlah penduduk di ASEAN. Dalam kajian ini Indonesia menduduki peringkat kedua paling bawah, bahkan di bawah Laos dan Myanmar dalam hitungan persentase jumlah penduduk yang memiliki akses pada sumber air minum yang terlindungi. Jadi jawaban saya yang pertama atas pertanyaan Anda adalah, bahwa dari segi besarnya kebutuhan dan administrasi dari pembangunan yang diperlukan, jelas sekali keterlibatan sektor swasta dibutuhkan, agar sasaran dapat tercapai. Secara fungsional, agar dapat menyelesaikan dan membiayai proyek di Indonesia, tentu seperti pengembang infrastruktur mana pun, saya ingin melihat pasar utang secara lebih dalam, sumber yang lebih banyak, dan kesediaan yang lebih untuk membiayai infrastruktur dengan jangka waktu yang benar-benar amat panjang. Saat ini sangat sulit mendapatkan kredit dari bank lokal yang jangka waktunya cukup lama sehingga proyek air minum dapat membayar kembali pinjamannya pada bank. Kita membutuhkan pendanaan untuk jangka waktu lebih lama, kita harus mencari jalan keluar agar sumber modal jangka panjang seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi dapat lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur, karena keuntungannya cukup baik, dan kemampuan pembayaran kembali dapat diandalkan. Tetapi periodenya harus lebih lama dari yang lazimnya dapat diberikan bank. Saya dapat memahami keengganan bankbank untuk memberi pinjaman jangka panjang mengingat sebagian besar pendanaan mereka bersifat jangka pendek, sehingga bisa terjadi ketidaksesuaian jika mereka memberi pinjaman jangka panjang. Tetapi ada beberapa sumber pendanaan, seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi yang memiliki dana jangka panjang, dan saat ini belum ada penyaluran efektif dana jangka panjang ke dalam proyek semacam ini. Jadi kami berharap bahwa pasar dapat menjadi lebih dalam dan akan menjadi lebih lazim untuk memperoleh pembiayaan dengan harga dan jangka waktu yang lebih sesuai, guna sungguh-sungguh membangun proyek air minum di Indonesia.
Apakah ada jalan untuk mendorong bank-bank mempertimbangkan kemungkinan memberi pinjaman jangka panjang, atau memperoleh pasar utang yang lebih dalam?
Peran kami adalah untuk mencari tahu jenis pembiayaan apa saja yang tersedia dan berupaya semaksimal mungkin agar berhasil. Sebagai contoh kami telah bekerjasama
Prakarsa Compendium | Jilid 3
dengan SMI (PT Saran Multi Infrastruktur, pemegang saham PT Indonesia Infrastructure Finance – IIF; PT IIF adalah perusahaan swasta yang diresmikan oleh Menteri Keuangan tahun 2010 untuk mempercepat investasi di bidang infrastruktur Indonesia), dan ini merupakan sumber pendanaan yang sangat baik untuk infrastruktur.
Dapatkah Anda menguraikan sedikit, kalau-kalau dibutuhkan "Viability Gap Funding" untuk sektor air minum?
Ya. Saya rasa, sektor air minum sedikit banyak menderita mentalitas subsidi seperti yang kita lihat pada harga BBM. Dalam arti kata, secara politis sangat aman dan mudah untuk sekadar menetapkan harga di bawah biaya produksi. Namun ini belum tentu cara terbaik untuk membelanjakan sumber daya pemerintah dalam membantu masyarakat. Saya rasa kita perlu ingat ketika memerhatikan tarif air minum, bahwa masyarakat yang tidak mendapatkan layanan air minum sama sekali justru membayar harga lebih tinggi untuk air dibandingkan dengan orang lain yang tersambung pada sistem air minum apa pun di seluruh negeri ini. Jadi penduduk paling kaya, rumah-rumah terbesar, pabrikpabrik terbesar membayar harga tinggi untuk mendapatkan air leding dari sistem mereka, tetapi penduduk paling miskin bahkan membayar harga lebih tinggi lagi karena mencari solusi sendiri yaitu membeli air dalam kemasan, mengisi air di ember, dan merebus air yang mereka peroleh dari sumber yang tidak bersih. Semua metode ini menyangkut biaya. Kami sangat peduli pada masalah kesehatan yang timbul karena terpaksa mengandalkan air minum yang tidak disediakan melalui sistem air minum perkotaan. Secara kuantitatif dapat ditunjukkan bahwa penduduk termiskin justru harus mengeluarkan uang jauh lebih banyak untuk mendapatkan air minum apabila mereka tidak tersambung pada sistem air minum. Menurut hemat kami, solusi terbaik untuk membantu anggota masyarakat miskin adalah menetapkan tarif yang cukup untuk menutup biaya produksi air minum, dengan sejumlah tambahan yang dapat menghimpun basis modal untuk perluasan sistem. Bahkan dengan cara demikian, kita masih dapat menagih jumlah yang sangat kecil kepada masyarakat miskin karena kami menerapkan sistem subsidi silang di seluruh negeri, yang menetapkan bahwa masyarakat paling mampu membayar tarif lebih tinggi, dan mereka yang paling tidak mampu membayar tarif terendah. Pada umumnya, tarif terendah dalam sistem air minum kota hanya Rp 1000 per meter kubik air minum. Kita bisa mempertahankan menagih hanya Rp 1000 per meter kubik
Suara dari Sektor Swasta
Atas perkenan Carol Walker
pada masyarakat miskin dan tetap masih memperoleh struktur tarif yang secara menyeluruh cukup tinggi untuk menutup biaya, dan menghimpun dana modal untuk memperluas sistem dan melakukan investasi. Saya rasa ke situlah arah perjalanan kita. Apabila suatu Pemerintah Kota atau PDAM memberitahukan kami bahwa mereka ingin mengajukan permohonan untuk memperoleh pendanaan sejenis dana pendampingan dari pemerintah (Viability Gap Funding – VGF), kami sering melihat bahwa belum tentu wilayah ini yang memerlukan subsidi untuk membiayai sistem air minum mereka. Di Indonesia terdapat daerah-daerah yang tidak ada industri sama sekali dan praktis semua penduduknya miskin; mereka juga patut mendapatkan sistem air minum
− daerah-daerah seperti inilah pendanaan dari pemerintah.
yang
membutuhkan
Menurut perkiraan saya, di beberapa pulau di bagian timur, misalnya, terdapat daerah-daerah yang tidak memiliki cukup uang dalam sistem untuk mendanai pembangunan sistem air minum secara internal. Namun di seluruh Jawa dan Bali, dan kemungkinan di sebagian besar Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi terdapat cukup banyak uang di dalam ekonomi sehingga pembangunan sistem air minum dapat dibiayai secara internal tanpa bantuan dari luar, dan dampak akhir pada masyarakat miskin di dalam ekonomi tetap akan positif meskipun mereka mendanai proyekproyek tersebut dengan struktur tarif yang lebih tinggi.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
217
218
Peran Sektor Swasta dalam Penyediaan Air Minum di Indonesia
Menurut Anda, apa yang diinginkan investor swasta? Dengan kata lain, apa yang membuat investasi menarik bagi Anda?
Kami merasa bahwa solusi terbaik dalam partisipasi di dalam sektor air minum yang memiliki kemampuan terbatas sekarang ini, adalah memiliki hubungan pelanggan langsung dengan konsumen akhir. Ini merupakan kriteria penting bagi kami. Kami merasa, meskipun PDAM tertentu mungkin secara finansial tidak menunjukkan kinerja sangat baik, namun apabila mereka memiliki pelanggan-pelanggan yang mampu dan menerapkan struktur tarif yang wajar, rasanya kami dapat menerima struktur semacam pembelian air curah (bulk water) sehingga kami tidak harus melakukan penagihan langsung pada konsumen akhir. Namun secara umum kami merasa bahwa akan sangat bermanfaat apabila selain terlibat dalam konstruksi instalasi jaringan pengolahan air minum, kami juga dapat dilibatkan dalam rehabilitasi dan perluasan jaringan perpipaan, dan selain itu, juga dalam penagihan layanan pelanggan. Jika kami dapat dilibatkan dalam semua kegiatan tersebut, kami percaya bahwa kami dapat bekerjasama dengan PDAM yang secara keuangan paling tidak mampu. Kami tidak melihat pentingnya PDAM harus untung secara operasional atau memiliki laporan keuangan yang telah diaudit terlebih dahulu agar kami bisa menjalin kerjasama dengan mereka, berbagi keahlian kami serta terlibat dalam semua tingkatan usaha mereka. Asalkan, kami dapat menjalin hubungan langsung dengan konsumen akhir.
Apakah ada keengganan terhadap hal tersebut di tingkat Pemerintah Daerah atau PDAM?
Pemerintah − baik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat maupun Bappenas – telah mencoba mendorong PDAM agar tidak mengupayakan struktur investasi kerjasama pemerintah dan swasta (PPP) sendiri, kecuali mereka sudah mencapai tingkat tertentu dalam hal kesehatan keuangan dan efektivitas usaha. Menurut saya, hal ini belum tentu merupakan fokus yang benar karena jika kita mempelajari beberapa bidang yang saat ini masih menunjukkan masalah terkait dengan kemampuan keuangan PDAM, mungkin saja sektor swasta dapat mengatasi permasalahan tersebut, alih-alih berusaha dulu untuk mengatasinya sebelum melibatkan sektor swasta.
Jadi itu merupakan pengalaman Anda di tempat lain? Apakah Anda pernah berkesempatan untuk mengujinya?
Sejujurnya, belum. Tentu saja, dalam ketiga proyek kami masing-masing, di mana kami melakukan penagihan kepada konsumen akhir, kami dapat membuktikan bahwa kami beroperasi secara efisien, dan bahwa secara keseluruhan hasilnya baik bagi pemerintah. Namun mendatangi PDAM
Prakarsa Compendium | Jilid 3
yang oleh Pemerintah Pusat dikategorikan sebagai tidak sehat, dan kemudian bekerjasama dengan mereka untuk membuat sebuah proyek, belum pernah kami lakukan, dan kami sangat berminat untuk mencobanya. Baru-baru ini ada proyek yang diusulkan kepada investor sektor swasta yang melibatkan PDAM yang dianggap tidak sehat − cakupan pelayanan mereka hanya 5 persen dari seluruh kabupaten. Belum lama ini mereka hanya menginvestasikan jumlah dana yang sangat, sangat kecil dalam sistem air minum. Kemudian diputuskan untuk mengundang investor sektor swasta untuk mengembangkan sebuah daerah di kabupaten yang belum memiliki cakupan air minum, selain itu PDAM pun tidak punya rencana apapun di tempat tersebut. Konsekuensi dari proyek tersebut – jika diteruskan − adalah bahwa suatu bagian kabupaten yang paling belum berkembang dan paling memerlukan, untuk mendapatkan sistem air minum yang baik, sedangkan bagian lain kabupaten masih menggunakan sistem air minum yang kurang memadai. Para investor tidak tertarik karena belum ada kegiatan ekonomi yang cukup di bagian kabupaten tersebut, dan jumlah penduduk pun tidak cukup padat sehingga pembangunan sebuah sistem air minum di lokasi tersebut tidak ekonomis. Ini adalah satu contoh di mana kita secara nyata harus mendatangi wilayah layanan PDAM dan bekerjasama langsung dengan PDAM untuk meningkatkan layanan di daerah cakupan yang ada, sebagai langkah untuk mengembangkan sistem air minum di kabupaten tersebut.
Pasti ada kasus-kasus di mana kepadatan penduduk di beberapa wilayah Indonesia tidak akan pernah menarik bagi sektor swasta?
Saya rasa itu berlaku di seluruh dunia, dan kalau bicara tentang sistem air minum perkotaan, maka sebutan "kota" ada alasannya – yaitu karena pada umumnya air minum yang disediakan oleh pemerintah tidak dialirkan ke daerah pertanian yang tidak padat penduduk; ini memang bukan solusi yang normal. Kita harus memastikan bahwa semua orang mendapatkan akses pada air minum, tetapi kita belum tentu ingin membangun instalasi pengolahan air minum besar dengan pipa panjang-panjang di suatu daerah yang penduduknya jarang. Namun prioritas harus difokuskan pada daerah dengan jumlah penduduk lebih padat karena mereka bergantung sepenuhnya pada pemerintah untuk menyediakan akses pada air bersih. Saya rasa salah satu alasan mengapa peringkat Indonesia secara menyeluruh dalam penyediaan akses pada air bersih turun, adalah akibat dari urbanisasi − karena masyarakat yang tidak dilayani oleh pemerintah berpindah dari daerah perdesaan di mana mereka dapat mengatur sendiri masalah air bersihnya, ke daerah perkotaan di mana mereka harus bergantung pada pemerintah. Jadi, mereka beralih dari kategori yang memiliki
Suara dari Sektor Swasta
akses pada air bersih ke kategori yang tidak memiliki akses pada air bersih akibat urbanisasi. Bagi pemerintah menjadi sangat penting untuk memberikan fokus pertama pada daerah perkotaan untuk menyediakan akses pada air minum terlindungi. Hal ini akan menjadi masalah lingkungan yang nyata jika masyarakat di daerah perkotaan membuat sarana mereka sendiri untuk memperoleh air bersih, karena lazimnya mereka akan membuat sumur dalam. Jumlah sumur dalam di daerah perkotaan menjadi sangat banyak sebagaimana yang kita saksikan di Jakarta, bahwa akuifer (lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air) akan terkuras – sumur akan semakin diperdalam sehingga mengakibatkan penurunan tanah karena tanah tidak lagi bertopang pada lapisan akuifer yang sehat. Air laut akan meresap ke dalam akuifer dan sumur-sumur akan mengalami salinasi (proses dimana garam-garam terlarut dan terakumulasi dalam tanah). Masalah kesehatan akan timbul dari penggunaan air sumur di daerah perkotaan yang tidak akan terjadi pada sumur air di pedesaan. Jadi, tidak hanya ada penduduk di daerah perkotaan yang memiliki ketergantungan, kita juga memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan untuk menyediakan sistem air minum di daerah perkotaan.
Selain faktor yang membuat investasi menarik bagi Acuatico − yakni kesempatan untuk menjalin hubungan langsung dengan konsumen akhir, yang penting sekali – apa lagi yang dianggap kesempatan yang menarik?
Yang kami cari dalam konsesi air minum pemerintah adalah, pertama, struktur tarif yang wajar, dan kedua, permintaan yang memadai. Dari segi permintaan yang memadai, saya ingin menyinggung tentang pengertian bahwa yang kami cari adalah daerah dengan penduduk yang relatif terkonsentrasi, seperti daerah perkotaan atau daerah industri. Dan kami perlu memastikan bahwa ada sumber air baku yang cukup. Kami harus memiliki pola usaha secara menyeluruh yang masuk akal, dan biaya pemasokan air baku perlu menjadi pertimbangan ketika memutuskan berapa tingkat tarif yang wajar. Di sebagian besar wilayah di Indonesia kami dapat membangun infrastruktur air minum yang memadai dengan menggunakan air permukaan, yakni sungai atau terkadang waduk. Di Indonesia ada beberapa wilayah yang terlalu kering, atau permintaannya terlalu tinggi dibandingkan dengan jumlah sungai yang ada, sehingga di daerahdaerah seperti itu kami perlu mengkaji kemungkinan untuk melakukan desalinasi. Tidak ada salahnya dengan desalinasi sebagai faktor evaluasi dasar untuk mengkaji apakah proyeknya masih menarik atau tidak. Yang penting adalah kesesuaian antara tarif dan biaya, dan dengan desalinasi biayanya akan menjadi jauh lebih tinggi.
Itu benar-benar pendekatan yang mahal, bukan?
Pada umumnya kami berharap bahwa sungai atau waduk dapat memasok air baku yang dibutuhkan. Namun kadang kala kami juga dapat mempertimbangkan laut atau akuifer yang tersalinasi sebagai pemasok air baku. Kita bisa mulai dengan air laut, tetapi kita perlu menerapkan struktur tarif yang lebih tinggi, jauh lebih tinggi dari biaya pengaturan lain, dalam arti misalnya mengangkut air dengan truk. Dengan demikian kita perlu mendapatkan konsumen yang sangat khusus, atau kemungkinan memperoleh subsidi. Sesungguhnya saya memiliki pendapat berbeda tentang subsidi. Misalnya kita ingin membangun sistem pengolahan air, seperti di Sumbawa atau Sulawesi Tenggara, di mana umum berpendapat bahwa kesejahteraan setempat belum cukup tinggi untuk mendanai sistem air minum, selain itu juga tidak ada sumber air baku sehingga air harus diperoleh dari laut untuk diproses menjadi air bersih. Dalam keadaan seperti itu, saya rasa mungkin perlu dibicarakan untuk menempatkan bebannya pada pemerintah dalam bentuk subsidi, atau bahkan agar pemerintahlah yang membangun proyek itu tanpa keikutsertaan sektor swasta. Namun dalam keadaan pasokan air baku tidak mencukupi, pada umumnya kami mempertimbangkan desalinasi sebagai solusi bagi industri dan pariwisata. Apabila konsumen adalah industri atau pariwisata, biasanya mereka mampu membayar harga lebih tinggi, dan hal ini dapat dibenarkan mengingat pentingnya memperoleh air bersih.
Mengingat peran yang dimainkan Acuatico, apakah menurut Anda pantas untuk menyarankan kebijakan atau prioritas kepada Pemerintah Indonesia?
Saya pernah mendengar seseorang (orang Indonesia yang menjadi pimpinan sebuah perusahaan Indonesia) mengatakan, bahwa perannya adalah untuk beroperasi dalam konteks kebijakan pemerintah, dan meraih keberhasilan usahanya. Kami sependapat. Kami tidak menghabiskan waktu untuk mempelajari kebijakan mana yang kami inginkan agar diubah; kami tidak yakin apakah kami tahu bagaimana cara merumuskan atau menerapkan kebijakan yang lebih baik. Yang kami lakukan adalah meluangkan banyak waktu untuk menganalisis kebijakan yang ada, agar kami dapat menciptakan peluang usaha yang sebaik mungkin dan membuahkan hasil sebaik mungkin bagi konsumen dalam konteks lingkungan regulasi. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
219
220
Peran Sektor Swasta dalam Mengembangkan Pelabuhan di Indonesia
PERAN SEKTOR SWASTA DALAM MENGEMBANGKAN PELABUHAN DI INDONESIA Carmelita Hartoto adalah Direktur Utama PT Andhika Lines, sebuah perusahaan pelayaran yang didirikan di Indonesia pada tahun 1973. Ia juga menjabat sebagai Ketua INSA (Persatuan Pengusaha Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional Indonesia). Saat ini, keanggotaan INSA terdiri atas sekitar 1.300 pemilik kapal. Selain kegiatannya di INSA, sejak tahun 2013 Carmelita menjabat sebagai Wakil Ketua bidang Logistik dan Bendahara KADIN, Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Ia mengantongi gelar MBA dari Webster University di Inggris.
PRAKARSA: Bagaimana Anda melihat peran Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan infrastruktur pelabuhan? Apa yang harus dilakukan oleh pemerintahan yang baru ini? CARMELITA HARTOTO: Pemerintah harus mulai dengan pertanyaan: apa definisi kelautan yang sesungguhnya? Bagaimana ruang lingkupnya? Apakah kelautan mencakup perikanan? Bagaimana dengan sektor pariwisata? Kami ingin pemerintah menjadikan pembangunan infrastruktur pelabuhan sebagai prioritas. Dana yang tersedia terbatas, oleh sebab itu penting bagi pemerintah untuk menentukan prioritas terlebih dahulu. Pemerintah juga perlu membuat
Prakarsa Compendium | Jilid 3
perencanaan yang diperlukan untuk memastikan bahwa pembangunan pelabuhan harus mempertimbangkan beragamnya kebutuhan setiap wilayah yang berbeda. Misalnya, kapasitas apa yang diperlukan di suatu wilayah tertentu saat ini dan di masa yang akan datang? Berapa besar volume barang? Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut menentukan berapa dalam pelabuhan yang diperlukan. Selanjutnya, pemerintah perlu menjamin tersedianya infrastruktur pendukung. Sebuah pelabuhan memerlukan utilitas – air bersih, listrik, dan untuk mengaksesnya diperlukan jalan masuk dan keluar ke dan dari pelabuhan.
Suara dari Sektor Swasta
Saya berharap bahwa pak Jokowi tidak hanya berbicara dengan para menteri, kalangan akademisi, dan pekerja pelabuhan, tetapi juga melakukan diskusi-diskusi penting dengan para pengusaha. Para pengusahalah yang sungguhsungguh memahami operasional pelabuhan sehari-hari – bukan sekedar teori.
Menurut pendapat Anda, langkah terpenting apa yang harus diambil untuk mengatasi defisit infrastruktur Indonesia? Pengembangan pelabuhan seharusnya, jika memungkinkan, menggunakan dana dari APBN [Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara]. Tetapi kerjasama sektor swasta juga menjadi bagian dari jawaban tersebut. Untuk Kerjasama Pemerintah-Swasta [Public Private Partnership], kita tidak selalu harus mencari investor asing. Sektor swasta dalam negeri juga siap dan bersedia ambil bagian. Saya teringat akan seorang teman yang baru-baru ini beralih dari industri pelayaran ke industri perumahan karena ia melihat peluang yang lebih besar dalam industri tersebut. Intinya adalah bahwa para investor swasta Indonesia siap untuk beralih – mereka akan mengambil keuntungan kapan saja mereka melihat terbukanya peluang usaha yang menjanjikan. Dana APBN dapat difokuskan pada pembangunan daerahdaerah terpencil di mana terdapat desa-desa dan penduduk miskin, serta pelabuhan yang tidak layak secara komersial.
Apakah sumber investasi menyebabkan adanya perbedaan dalam hal efisiensi operasi? Investor tidak selalu berarti sama dengan operator pelabuhan. Pihak-pihak yang berbeda dapat melakukan pembangunan dan pengoperasian. Hal terpenting adalah bahwa setelah pelabuhan tersebut beroperasi, pengoperasiannya harus efisien. Sektor swasta harus diberi peluang untuk berinvestasi dalam membangun pelabuhan.
Tampaknya terdapat isu-isu yang beredar di seputar otoritas Pemerintah Pusat dan Daerah. Ya, benar. Harus ada pemisahan antara fungsi pengatur dan penyelenggara pelabuhan. Menurut saya Kementerian Perhubungan belum sepenuhnya siap mengatasi masalah ini. Jika mereka siap, mereka dapat mengatakan: “Pelabuhan yang ini dapat diambil alih oleh sektor swasta, sementara yang ini belum.”
Atas perkenan Carmelita Hartoto
Prakarsa Compendium | Jilid 3
221
222
Peran Sektor Swasta dalam Mengembangkan Pelabuhan di Indonesia
Secara teori Undang-Undang Pelayaran [UndangUndang No. 17/2008 tentang Pelayaran, yang memberikan mandat agar Pemerintah Indonesia mengembangkan “sistem pelabuhan yang efisien, kompetitif, dan responsif”] seharusnya mampu memecahkan persoalan-persoalan tersebut. Apakah undang-undang tersebut berfungsi? Undang-undang ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Perusahaan pelayaran sudah mengikutinya, tetapi di sisi Pemerintah undang-undang itu belum dilaksanakan. Ini yang seharusnya dipraktekkan. Kami kecewa dengan berbagai hal yang saat ini terjadi. Misalnya, Pemerintah Daerah tidak mempunyai otoritas untuk menutup atau mengendalikan jalur pelayaran, tetapi Kementerian Perhubungan masih harus berhadapan dengan banyak masalah yang terjadi di wilayah tersebut. Biasanya mereka segera menangani situasi dan mencoba memecahkan masalah tersebut.
Apakah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendapat fasilitas dalam infrastruktur yang tidak dapat diberikan kepada sektor swasta? Jika ya, untuk menciptakan keadilan, apa yang dapat dilakukan untuk menciptakan persaingan yang seimbang? BUMN seharusnya bersaing dengan sektor swasta. Di masa lalu, mereka cenderung membatasi lini usaha mereka – misalnya semen. BUMN tersebut hanya akan mengangkut semen dan kargo lainnya akan diangkut oleh para pengusaha swasta. Yang terjadi sekarang adalah sebaliknya – BUMN memasuki semua jenis usaha, dan sulit untuk bersaing dengan mereka. Mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan investasi mereka. Jika mereka merugi, mereka akan mendapat suntikan modal. Di sisi lain, kami [sektor swasta] akan mati jika kami gagal.
Jadi, apa yang dapat dilakukan? Saya selalu menyerukan kepada Pemerintah untuk berkaca kepada Cina sebagai tolok ukur. Dulu pemerintah Cina memberikan perlakuan istimewa kepada badan usaha milik negara, tetapi kemudian mereka menyadari bahwa perlakuan ini akan menyebabkan inefisiensi, jadi sekarang mereka memberdayakan sektor swasta. Indonesia seharusnya mengambil pelajaran dari situ.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh Bank Dunia dan lembaga-lembaga lain yang menyimpulkan, bahwa biaya transportasi dan logistik di Indonesia sangat tinggi. Biaya pengiriman barang ke Sumatera lebih mahal dibandingkan dengan pengiriman barang ke Eropa. Mengapa? Apakah penyebabnya adalah masalah efisiensi di pelabuhan atau hal lain? Masalah efisiensi pelabuhan memiliki banyak dimensi. Pemrosesan dokumen memakan waktu yang lama dan biayanya terus-menerus meningkat. Hal ini menyulitkan pengelolaan persediaan. Kita ambil contoh bawang. Kita membeli bawang dengan harga Rp 50.000 per unit dan kita bermaksud menjualnya kembali di pasar seharga Rp 60.000. Tetapi selama transit, bawang tersebut disimpan terlalu lama sehingga membusuk. Nilai riil saat ini menjadi Rp 40.000. Jelas, seorang pengusaha tidak dapat menjalankan bisnisnya dalam kondisi seperti ini. Produktivitas yang rendah menyebabkan kapal-kapal harus tertambat di pelabuhan lebih lama. Kami menandatangani Perjanjian Tingkat Layanan (Service Level Agreements) yang seharusnya menjamin layanan yang diberikan, tetapi dalam kenyataannya tingkat layanan tetap rendah sementara biayanya tinggi. Kualitas peralatan juga menjadi masalah. Kadang-kadang pelabuhan daerah menggunakan peralatan bekas. Jadi, banyak alasan mengapa pengapalan kargo memerlukan waktu yang jauh lebih lama daripada yang seharusnya.
Bagaimana dengan para pekerja bongkar muat (TKBM)? TKBM juga merupakan masalah besar bagi kami. Mereka dikelola oleh sejenis koperasi dan jumlah pekerjanya sangat banyak. Kecurangan dapat terjadi – pekerja A mungkin sudah meninggal, tetapi orang tetap mengambil upahnya. Harus ada pembatasan usia kerja juga. Masalah-masalah inilah yang menyebabkan rendahnya produktivitas, khususnya di pelabuhan-pelabuhan kecil. Kita harus memanfaatkan tenaga kerja secara lebih baik dan pemerintah perlu memastikan hal ini. Ini masalah yang sulit karena pemecahannya melibatkan beberapa kementerian.
Suara dari Sektor Swasta
Sektor swasta dapat juga membantu dengan memberikan pelatihan yang diperlukan kepada para pekerja.
Apa lagi yang dapat dilakuan untuk meminimalkan waktu perputaran? Pelindo III saat ini sedang membangun Teluk Lamongan. Pelabuhan ini seluruhnya akan dilengkapi dengan peralatan terkomputerisasi. Di seluruh dunia, mungkin hanya beberapa pelabuhan baru yang menggunakan sistem ini.
Menurut pendapat Anda, apakah pembangunan pelabuhan Cilamaya masih tetap diperlukan? Ya, tetapi saya tidak tahu apakah pemerintah yang baru akan membangunnya atau tidak.
Kompetisi menyebabkan peningkatan produktivitas dan berarti juga peningkatan pendapatan. Saya memperoleh laporan bahwa terdapat usulan kenaikan tarif sebesar 200 persen untuk kapal tunda; sebelumnya terdapat kenaikan sebesar 800 persen. Ini berasal dari anak perusahaan Pelindo. Saya katakan, Anda tidak dapat melakukannya dengan cara seperti ini. Semua persoalan ini membuat saya sungguh-sungguh sedih.
Apakah ada hal-hal yang ingin Anda tambahkan? Menurut saya, yang paling penting adalah, Pemerintah harus mengatasi masalah-masalah yang menyangkut kebijakan. ●
Bagaimana dengan Pelabuhan Tanjung Priok? Dengan pembangunan Kalibaru akankah kapasitasnya memadai? Kekhawatiran saya adalah bahwa pelabuhan tersebut tidak dapat dibangun hanya di satu tempat, sementara pertumbuhan terus terjadi. Kita harus berpikir jauh ke depan. Menurut pendapat saya, sebetulnya kita agak terlambat dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini memalukan, karena JICA telah melakukan penelitian empat tahun lalu tentang pelabuhan Cilamaya dan semua orang memperkirakan pelabuhan itu akan dibangun. Dengan adanya pemerintahan yang baru saya berharap rencana tersebut akan ditindaklanjuti. Sambil membangun, kita harus memperbaiki setiap kelemahan, tetapi tidak berarti kita harus membuang semua pekerjaan dan perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya. Kita tidak akan pernah maju jika kita menerapkan cara berpikir semacam itu. Menurut saya, hal ini sama dengan Pemerintah Australia. Pergantian pemerintahan tidak berarti bahwa setiap rencana di masa lalu akan berubah, bukan?
Kami telah melakukan studi kelayakan tentang pembangunan pelabuhan baru di Makassar, tetapi tampaknya Pelindo IV mempunyai rencana sendiri. Masalahnya dengan Pelindo IV adalah, kita tidak punya pilihan. Kemungkinan lain, para investor proyek dari mana pun dapat ikut serta dalam pembangunan pelabuhan kelas dunia.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
223
224
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
SUARA BAGI SEKTOR SWASTA DI BIDANG PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Berdomisili di Singapura, Mark Rathbone adalah Pemimpin Asia Pacific Capital Projects & Infrastructure dari PricewaterhouseCoopers (PwC). Mark telah memberi advis mengenai serangkaian transaksi di bidang pasar Infrastruktur, Pembiayaan Proyek, dan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), termasuk transaksi di sektor-sektor seperti energi (penyimpanan gas/minyak), pembangkit listrik dan bahan bakar terbarukan, pertahanan, kesehatan, akomodasi, transportasi, dan olahraga, termasuk transaksi pasar sekunder dan penggalangan dana pinjaman. Mark juga memberi advis mengenai transaksi infrastruktur besar yang lingkupnya melintasi batasan yang kompleks antara sektor publik dan swasta. Ia juga telah menjadi bagian penting dalam pengembangan struktur proyek, mekanisme tarif, alokasi risiko, dan solusi pendanaan terkait dengan transaksi infrastruktur besar, sementara juga memimpin penyusunan dan negosiasi kontrak-kontrak jenis KPS, usaha patungan (joint venture), dan konsesi. Ia telah memimpin proyek-proyek dalam rentang luas, termasuk Jembatan Hong Kong-Zhuhai-Macau, pembiayaan utang dan ekuitas bagi sejumlah terminal penyimpanan minyak, KPS Pusat Olahraga di Singapura, Rencana Induk Privatisasi Brunei, Ascot Racecourse Redevelopment, KPS ITE College West, Changi NEWater DBFO,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Suara dari Sektor Swasta
Tuas Desalination, EPPO IPP Program, sejumlah kajian IPP komersial, divestasi jalan tol, dan akuisisi kepemilikan saham minoritas di salah satu pelabuhan di Tiongkok. Sebelum bergabung dengan kantor di Singapura, ia bekerja pada PwC Project Finance Group di Inggris, di mana ia memberi advis mengenai sejumlah transaksi infrastruktur sosial di sektor pertahanan dan kesehatan.
PRAKARSA: Belum lama ini Indonesia mengalami perubahan dalam kepemimpinan nasional – apa yang menurut Anda merupakan prioritas infrastruktur utama bagi pemerintah sekarang?
MARK RATHBONE: Pemerintah Indonesia yang baru, memiliki kesempatan untuk memanfaatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pengaruh Indonesia di seluruh kawasan Asia Tenggara saat ini. Indonesia semakin menjadi prioritas bagi investor infrastruktur yang mengenali baik potensi pertumbuhan ke depan, maupun defisit infrastruktur dewasa ini – memiliki peringkat kredit investasi; populasi muda yang bertumbuh; sumber daya alam substansial dan basis biaya (cost base) rendah dengan kebutuhan yang besar akan investasi infrastruktur di bidang prasarana transportasi, utilitas, dan sosial. Namun, hilangnya peluang untuk memanfaatkan potensi dividen pertumbuhan sangat mudah. Saya dapat menyebutkan beberapa faktor fundamental yang perlu ditangani agar dapat menumbuhkan ketersediaan infrastruktur Indonesia secara berkelanjutan: Penyiapan proyek – menjamin agar prioritas disiapkan secara efektif untuk pengadaannya – menarik minat peserta dan menyediakan struktur komersial yang pembiayaan oleh sektor keuangan swasta.
proyek-proyek memungkinkan lelang (tender) memungkinkan
Pendanaan Pendampingan Pemerintah (VGF, Viability Gap Financing) – penyempurnaan legislasi tentang VGF dan menerapkannya secara efektif di bidang-bidang yang tepat.
Konsistensi di seluruh jajaran pemerintahan – menegakkan pendekatan yang konsisten di seluruh jajaran pemerintah pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah (Pemda), melalui kepemimpinan yang tegas dan perencanaan yang kokoh. Pembebasan lahan – penanganan yang lebih efektif dalam hal pembebasan lahan yang terus menerus menimbulkan masalah. Kapasitas – pembangunan kapasitas, baik di sektor pemerintah maupun swasta. Lembaga yang terafiliasi dengan Pemerintah – menguatkan lembaga-lembaga yang mendorong pembangunan infrastruktur – misalnya, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI, pemilik saham PT Indonesia Infrastructure Finance) dan Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF). Fokus pada sektor – penting untuk memusatkan perhatian pada transportasi (jalan raya, kereta api perkotaan [MRT dan sebagainya], dan pelabuhan); penjernihan dan distribusi air minum; pembangkitan dan distribusi tenaga listrik; serta layanan kesehatan (pedesaan). Namun, mungkin akan masuk akal untuk mengerjakan beberapa proyek yang tidak terlalu rumit untuk membangkitkan kepercayaan terhadap proses, sebelum menangani skema kompleks berskala besar.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
225
226
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
Dalam jangka menengah, membangun kapasitas transaksional di pemerintah, meningkatkan struktur komersial, dan mengupayakan penggunaan preseden yang sudah diakui secara global. Membangun dukungan dari pemangku kepentingan di seluruh pemerintahan dan mendorong partisipasi sektor swasta melalui alokasi risiko yang efektif. Dan dalam jangka panjang, apa yang diperlukan adalah mengenalkan langkah-langkah untuk mendorong berkembangnya pasar modal; mengembangkan lembaga yang lebih kuat yang mendorong pengadaan infrastruktur; melanjutkan fokus pada pembangunan kapasitas dan program retensi talenta; membuka bagian dari ekonomi bagi keahlian dan investasi internasional; mengurangi beban administratif dalam pengelolaan perusahaan; mengatasi persoalan transparansi dan kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest) di berbagai lapisan pemerintah (di pusat maupun daerah). Anda dapat melihat ilustrasi pendekatan ini dalam diagram PwC [lihat Gambar 1].
Dari sudut pandang infrastruktur yang didanai swasta, apakah ada kesenjangan atau ketidakkonsistenan dalam lingkungan peraturan perundang-undangan yang menurut Anda patut mendapatkan perhatian khusus?
Atas perkenan Mark Rathbone
Ini merupakan daftar ambisius mengenai hal-hal yang perlu ditangani. Bagaimana Anda melihat pembagiannya dari segi apa yang perlu dilakukan secara jangka pendek dan secara jangka panjang?
Dalam jangka pendek, yang diperlukan adalah legislasi dasar tentang VGF dan pembebasan lahan; penstrukturan proyek yang lebih baik; penghapusan hambatan dalam pemberian persetujuan dengan menyederhanakan proses; pemprioritasan proyek untuk mengatasi rintangan terhadap pertumbuhan ekonomi; melakukan kerjasama secara efektif dengan pemerintah di tingkat daerah dan dengan lembagalembaga multilateral.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sudah banyak pembahasan yang dilakukan mengenai legislasi baru untuk melancarkan pembebasan lahan dan dukungan VGF yang efektif. Berbagai upaya telah diluncurkan untuk membentuk lembaga-lembaga yang seharusnya mendukung pengadaan dan pembangunan infrastruktur (misalnya IIGF). Meski demikian, berapa proyek KPS yang sudah memanfaatkan peraturan ini? VGF terbatas dalam jangkauannya sehingga hanya dapat digunakan untuk proyek-proyek tertentu. Dan jumlah subsidi pemerintah juga dibatasi untuk setiap proyek dalam besaran persentase dari biaya proyek. Peraturan mengenai pembebasan lahan yang sering dijanjikan juga tidak memiliki gigi dan tampaknya belum pernah digunakan. Banyak yang perlu dilakukan untuk menyiapkan proyekproyek secara efektif, dengan menggunakan keahlian dan preseden yang tepat untuk memastikan agar proyek-proyek tersebut terstruktur dengan baik. Mega proyek tampak menjadi area fokus: Bendungan Raksasa Jakarta, Jalur Kereta Api Bandara Internasional
Suara dari Sektor Swasta
Soekarno-Hatta, Jalan Raya Trans Sumatra. Ini merupakan proyek-proyek multi-miliar dolar yang memiliki kompleksitas tinggi. Mengapa tidak mulai dengan beberapa proyek sederhana yang dapat membangun percaya diri dan cepat membuahkan hasil cepat (quickwins)? Perhatikan saja sektor-sektor yang memiliki kebutuhan publik luar biasa serta memberikan manfaat sosial dan ekonomis yang besar: penyediaan air minum; perlindungan terhadap banjir di Jakarta (membersihkan kanal drainase di tingkat yang mendasar). Subsidi perlu diarahkan menuju upaya ini untuk memungkinkan terjadinya penyelesaian keuangan.
transaksi ke pasar dan menyelesaikannya, perlu ditempatkan pada posisi di mana mereka dapat mendobrak maju dengan praktik-praktik pengadaan yang baik. Seperangkat proses yang jelas perlu dikomunikasikan ke pasar berikut seperangkat kriteria dan tahapan yang jelas, wajib dipatuhi. Perlu diidentifikasi orang-orang kunci yang akan bertanggung jawab untuk menggerakkan proyek, sektor, dan lokasi tertentu dengan Indikator Kinerja Kunci (KPI, Key Performance Indicators) yang kuat dan kokoh. Kegagalan dalam menyelesaikan proyek akan berujung pada penggantian orang-orang tersebut.
Kepentingan pribadi atau kelompok, korupsi, dan masalah Pemda-versus-Pemerintah Pusat perlu ditangani. Penyelarasan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu didorong sambil menerapkan proses pengadaan yang jelas dan transparan untuk menangani isuisu seputar transparansi.
Di bawah ini analisis yang bermanfaat yang menggambarkan kontras antara pasar infrastruktur yang matang dan yang tidak matang (lihat Gambar 2). Berikut kriteria yang perlu diikuti.
Perorangan yang paham mengenai pengadaan infrastruktur serta memiliki rekam jejak keberhasilan dalam membawa
Jadi, apabila kerangka hukum ditingkatkan, apa langkah berikutnya untuk menjadikan lingkungan lebih kondusif untuk investasi dari dalam dan luar negeri?
Gambar 1: Pendekatan dalam Menangani Kesenjangan Infrastruktur
Program yang berkelanjutan
Keberhasilan dalam pengadaan
Biarkan proses berkembang
Dorong pengembangan pasar modal
Tangani persoalan proyek secara dini
Pelihara program peluang
Gali solusi pembiayaan alternatif
Dukungan pemangku kepentingan yang berkesinambungan
Kolaborasi antara sektor publik dan swasta
Dukungan pemangku kepentingan yang kuat dan konsisten
Keseimbangan antara risiko dan tingkat pengembalian
Pertahankan sumber pembiayaan swasta yang telah ada
Bangun kemampuan transaksional
Definisi proyek, kelayakan, dan pilihan pembiayaan
Kapasitas – pemerintah dan swasta
Proses persetujuan dan penutupan
Letakkan pondasi Manfaatkan daya ungkit multilateral
Konsultasi dengan pemangku kepentingan
Kepastian kelembagaan
Pengembangan dan pemrioritasan program
Perubahan peraturan terfokus – misalnya pembebasan lahan
Preseden global dengan aplikasi lokal
Sumber: PricewaterhouseCoopers
Prakarsa Compendium | Jilid 3
227
228
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
Indonesia membutuhkan peraturan mendasar yang memiliki gigi. Sebagai titik awal, peraturan tentang VGF dan pembebasan lahan yang efektif. Proses proyek perlu diformalkan dan disosialisasikan – contohnya adalah sebagai berikut [lihat Gambar 3].
terjadi hambatan pada tahapan dalam proses tertentu atau pada bagian pemerintah, tanggulangi alasannya secara tepat waktu atau singkirkan individu-individu yang menyebabkan hambatan tersebut jika ternyata tidak ada alasan yang valid untuk menghambat proyek tersebut.
Orang-orang, yang bertanggung jawab atas proyek dan program, harus bertanggung gugat atas kegagalan. Jika
Pembatasan terhadap investasi asing langsung dan penempatan kerja orang asing merupakan hambatan
Gambar 2: Bergeser dari Pasar Infrastruktur yang Belum Berkembang Menuju yang Sudah Berkembang Penggunaan keuangan swasta yang belum berkembang atau tidak berhasil
Bagian 1: Meletakkan pondasi Persyaratan pembiayaan swasta
Bagian 2: Membangun Struktur Mengembangkan pasar untuk pembiayaan swasta
Bagian 3: Merencanakan masa depan Jalan maju bagi keuangan swasta
Ciri-ciri Pasar • Tidak adanya dukungan politik dan publik • Kebijakan pengadaan yang belum berkembang • Pendekatan pasar secara ad hoc • Usulan infrastruktur tidak layak secara komersial; sehingga tidak mampu menarik solusi keuangan swasta • Mengandalkan penarikan minat investasi dan investor asing • Tidak adanya kemampuan bertransaksi dan pemahaman (know-how) • Gagal untuk mengenali manfaat yang lebih luas dan pengalihan risiko yang dapat dicapai dengan melibatkan keuangan swasta • Proposal keuangan swasta yang tidak bersaing
Penggunaan keuangan swasta yang sudah berkembang atau sudah berhasil Ciri-ciri Pasar
• Ciptakan lingkungan politik, hukum, dan keuangan yang kondusif bagi keuangan swasta (Jalan Texas P3, Jalan Tol Lekki, Jalan Bebas Hambatan 407) • Libatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemakai publik, dalam tahap pengembangan dan perencanaan • Kembangkan prakiraan keuangan objektif dan jadwal pengembalian utang yang praktis (Terowongan Antar Kota, Jalan Tol Meksiko) • Lakukan analisis untung-rugi antara pendekatan komersial, kontraktual, dan pembiayaan (Jalan Layang Chicago, Program KPS Chile) • Tentukan arti dan dampak kegagalan serta tetapkan cara memitigasi dan mengelola risiko seperti itu (Bandar Udara Internasional Delhi)
Sumber: PricewaterhouseCoopers
Prakarsa Compendium | Jilid 3
• Tarik minat pembiayaan swasta pada program yang memprioritaskan peluang investasi (KPS India, Program Jalan SCUT Portugal) • Kenali apa yang dapat diraih secara komersial (Terowongan Pelabuhan Miami) • Tingkatkan kolaborasi antara pihak pemerintah dan swasta (Florida I-595, Terminal Laut Seagirt, Dana Masa Depan Australia, Canada Line) • Tingkatkan dan pertahankan kemampuan bertransaksi (KPS Kanada, Kemitraan BC) • Manfaatkan daya ungkit keterampilan keuangan dan transaksional lembaga multilateral (Pelabuhan Doraleh)
• Pertahankan keterlibatan sumber keuangan swasta yang ada (Unit Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Keuangan Inggris, Pembiayaan) • Stimulasi pasar modal jangka panjang • Tanggapi perubahan dalam penawaran keuangan infrastruktur karena selera, fokus sektoral dan geografis investor berubah • Gali pengembangan sumber-sumber baru keuangan swasta (VGF, Koneksi BRIS) • Usulkan cara-cara baru untuk meningkatkan keuangan swasta di sektor infrastruktur (Fasilitas Krisis IFC)
• Kerangka kerja politik dan hukum yang kuat dan transparan • Program peluang yang sudah ditetapkan • Kolaborasi dekat antara sektor pemerintah dan swasta • Dukungan kuat dari semua pemangku kepentingan • Inovasi dalam pendekatan pengadaan yang berkesinambungan • Kapasitas keuangan daerah dan regional yang sudah berkembang • Kemampuan untuk menarik sumber pasar keuangan baru • Kapasitas transaksional yang ditingkatkan dan kemampuan untuk mempertahankannya
Suara dari Sektor Swasta
Gambar 3: Proses Proyek Formal Proses Gerbang Gerbang 0: Justifikasi Strategis (Portofolio Nasional/Rencana Program) Gerbang 1: Justifikasi Bisnis (Persetujuan untuk mendirikan proyek dan menyelesaikan kelayakan) Gerbang 2: Strategi Penyediaan (Persetujuan untuk menerbitkan tender) Gerbang 3: Seleksi dan Pemenangan Tender (Persetujuan untuk menerbitkan kontrak) Gerbang 4: Manajemen yang Berkesinambungan (Akseptasi dimulainya layanan) Gerbang 5: Penutupan Kontrak (Pengkajian hasil secara berkala dan final)
Kasus Bisnis dalam Proses Berpintu Rencana Strategis
Kasus Garis Besar Strategi
Kasus Garis Besar Kasus Bisnis (BC,Business Case)
Kasus Bisnis Lengkap
Kesiapan untuk Pengkinian Layanan BC
Pengkinian dan realisasi manfaat secara berkala
Sumber: PricewaterhouseCoopers
yang harus segera ditanggulangi. Perekonomian yang lebih terbuka akan meningkatkan persepsi, membangun kapasitas, dan kemungkinan besar akan memungkinkan proses-proses yang lebih efisien, karena preseden dari negara lain dapat digunakan di Indonesia. Dalam hal pengadaan infrastruktur, tidak perlu menciptakan ulang hal baru yang sudah ada (reinvent the wheel). Banyak negara lain sudah sangat berhasil dalam melaksanakan program pengadaan infrastruktur, dengan menggunakan alat bantu dan struktur komersial yang berbeda.
Apakah menurut Anda Pemda merupakan bagian dari permasalahan atau solusi?
Dua-duanya. Perlu ada keselarasan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Pemda diperlukan untuk mendorong program daerah, tetapi mereka dapat menjadi hambatan apabila Pemda atau para pemimpin daerah tidak yakin bahwa proyek tertentu merupakan prioritas bagi wilayah mereka. Perlu ada fokus strategi yang jelas dan pendekatan yang melibatkan seluruh jajaran pemerintah untuk mengembangkan program infrastruktur Indonesia. PwC belum lama ini menerbitkan dokumen sangat penting dengan Forum Perekonomian Dunia
(World Economic Forum) yang membahas pengembangan infrastruktur strategis. Telah diakui dengan luas bahwa skala defisit infrastruktur global menuntut adanya pendekatan yang sangat strategis untuk menyalurkan pembangunan dan pengadaan.
Anda menyebutkan bahwa Pemda dapat menjadi hambatan. Benar, sering dikatakan bahwa desentralisasi merupakan kendala dalam meningkatkan penyediaan infrastruktur. Apa yang dapat dilakukan untuk menjamin peran yang lebih positif bagi Pemda?
Pemda harus menjadi bagian dari kerangka kelembagaan untuk menggerakkan infrastruktur. Sebagai contoh, perangkat Pemda harus dapat berinteraksi dengan Pemerintah Pusat, SMI, dan lain sebagainya. Pemda harus memiliki pengaruh atas prioritas di dalam wilayah mereka. Mereka harus memiliki suara dalam penyusunan program infrastruktur Pemerintah Pusat.
Beralih dari Pemda ke lembaga penting lainnya: Apakah BUMN mendapatkan kemudahan yang tidak diberikan kepada sektor swasta di bidang infrastruktur? Jika demikian, apa yang dapat dilakukan untuk menyamakan daya saing sektor swasta?
Prakarsa Compendium | Jilid 3
229
230
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
Saya yakin demikian adanya, di dalam perekonomian manapun. Lebih-lebih di ranah atau sektor di mana BUMN memiliki monopoli atau bertindak dengan secara monopolistik. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi kegiatan sektor swasta dalam sektor tertentu. Jadi, apabila pemerintah ingin meningkatkan kinerjanya, mendorong investasi, dan menumbuhkan jumlah infrastruktur, masalah ini perlu ditangani. Mendorong sektor swasta untuk berpartisipasi melalui KPS adalah salah satu cara menanganinya. Bagi BUMN tertentu, opsi lain adalah untuk membentuk korporasi yang mengarah pada privatisasi.
Banyak yang mengatakan bahwa permasalahan di bidang infrastruktur didominasi oleh perspektif pemerintah. Apakah sektor swasta memiliki suara dalam peningkatan kebijakan, perencanaan, dan penyediaan layanan infrastruktur?
Kami memperkirakan akan menjadi demikian ketika melihat infrastruktur pemerintah yang inheren, misalnya jaringan jalan, kereta api dan kereta api ringan, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik dan utilitas lainnya, penjernihan dan distribusi air minum, rumah sakit umum, serta pendidikan. Pemerintah yang mendorong pengadaan aset-aset tersebut, dengan demikian juga merupakan Pemerintah yang bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan agar dapat melakukan pengadaan aset-aset tersebut. Kita tidak akan melihat isu-isu ini di Indonesia terkait sektor swasta yang membangun lahan yasan (real estate) seperti mal, kantor, dan gedung apartemen, atau entitas korporat yang mengembangkan hak tambangnya. Sebagai ilustrasi, 33,1 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2012 dibelanjakan untuk investasi dalam aset modal (capital asset); hanya 3,2 persen PDB dibelanjakan untuk infrastruktur1 – sisanya dibelanjakan untuk aset modal sektor swasta – pabrik, tambang, lahan yasan! Sektor swasta telah memberikan umpan balik dan penjelasan dalam jumlah yang substansial kepada pemerintah agar Pemerintah dapat melakukan reformasi dan pendekatan pada pembangunan infrastruktur. Sektor swasta sungguh ingin berinvestasi dalam infrastruktur pemerintah yang inheren di Indonesia, tetapi alokasi risiko harus adil, pengembalian hasil harus adil dan setara, dan proses harus adil.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kata terakhir untuk disampaikan: Pemerintah Indonesia tidak memiliki modal yang diperlukan untuk membelanjakan infrastruktur yang dibutuhkan untuk melanjutkan pertumbuhannya. Jumlah substansial dalam pembiayaan infrastruktur perlu didatangkan dari sektor swasta. Sebagai kesimpulan, sektor swasta sungguh memiliki suara dan harus memiliki suara dalam penyediaan infrastruktur di Indonesia. KPS mensyaratkan bahwa pemerintah dan sektor swasta bekerjasama dengan tujuan bersama untuk menyediakan infrastruktur dan layanan kepada masyarakat pembayar pajak.
Apa yang dapat Anda uraikan mengenai kegiatan PwC saat ini terkait dengan infrastruktur di Indonesia?
PwC memiliki tim penasihat kuat di bidang Capital Projects & Infrastructure (CP&I) di Indonesia. Tim kami berpengalaman di sektor transportasi (jalan, kereta api, pelabuhan, dan bandara), utilitas, termasuk pembangkit listrik, air minum, dan tentunya di bidang infrastruktur sosial, misalnya pengadaan rumah sakit. Tim kami bekerja erat dengan klien-klien di sektor swasta yang ingin berinvestasi ke dalam berbagai jenis aset perekonomian, baik dalam infrastruktur pemerintah yang inheren seperti proyek transportasi, maupun peluang yang lebih berfokus pada sektor swasta seperti lahan yasan, pertambangan, manufaktur, atau minyak dan gas. PwC melakukan investasi besar dalam kemampuan kami sendiri di Indonesia dengan membangun kapasitas dan pengalaman tim kami. Tim kami dipimpin oleh Pak Rizal Satar dan Julian Smith. Pak Rizal sudah merupakan seperti lembaga tersendiri dalam sejarah infrastruktur Indonesia selama bertahun-tahun, sedangkan Julian adalah seorang Pemimpin Transportasi dan Logistik Global (Global Transport and Logistics Leader) yang baru-baru ini pindah ke Jakarta untuk meningkatkan kredensial kami di pasar setempat. Tim setempat ini didukung oleh tim Global CP&I dari PwC yang terdiri atas sekitar 800 orang profesional yang berdedikasi dalam pemberian advis kepada klien kami mengenai proyek infrastruktur berskala besar di seluruh dunia.
Jadi, Anda berada dalam posisi baik untuk berkomentar mengenai dinamika peran pemerintah dan swasta di bidang investasi. Di Indonesia, KPS telah menjadi pokok bahasan selama bertahuntahun, tetapi dalam pelaksanaannya masih belum
Suara dari Sektor Swasta
menunjukkan banyak keberhasilan. Apa yang perlu dilakukan untuk mendorong pemanfaatan modalitas penyediaan ini secara berkelanjutan?
Saya menyinggung beberapa area kunci yang perlu ditangani untuk memungkinkan program-program KPS dikembangkan secara efektif. Banyak negara, baik yang maju maupun yang sedang berkembang, menggunakan KPS yang jelas merupakan alat bantu penting dalam pembangunan infrastruktur, khususnya jika ada keterbatasan tersedianya dana pemerintah untuk dibelanjakan. KPS mutlak diperlukan bagi Indonesia untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan rencana infrastruktur.
KPS hanya akan menarik minat para investor selama risiko masih dianggap wajar. Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk menjamin agar risiko yang dibebankan pada sektor swasta dalam proyek infrastruktur besar dapat terkelola?
Ikuti prinsip dasar yang berlaku: alokasikan risiko pada pihak yang berada pada posisi paling baik untuk mengelola risiko tersebut. Setelah itu, berikan pengakuan bahwa para investor infrastruktur perlu mendapatkan pengembalian hasil yang sesuai dengan risiko yang ditanggung! Terdapat preseden dalam jumlah yang sangat substansial yang dapat digunakan untuk merumuskan prinsip-prinsip dasar yang perlu diberlakukan pada semua proyek di Indonesia. Hal ini bukan sesuatu yang sangat rumit, dan justru merupakan bagian yang termudah untuk diperoleh di tingkat yang mendasar. Untuk risiko yang lebih rumit, misalnya risiko penghasilan, perlu pemikiran dan analisis yang lebih dalam. Namun, sekali lagi, banyak material yang tersedia sehingga kita tidak perlu menciptakan ulang sesuatu yang sudah ada! Analisis risiko, kuantifikasi, alokasi, disusul dengan mitigasi merupakan bagian-bagian kunci dalam proyek apa pun – baik selama proses pengadaan proyek, serta juga setelah penyelesaian keuangan saat konstruksi, komisioning, dan pengoperasian. PwC telah mengembangkan proses-proses yang kokoh untuk mendukung penyusunan struktur atau alokasi risiko efektif dalam proyek infrastruktur yang dapat digunakan untuk menyusun struktur proyek yang secara komersial dapat diterima oleh bank.
Hingga sekarang kerja sama pemerintah dan swasta memusatkan perhatian pada penyediaan infrastruktur ekonomi. Apakah KPS perlu dipertimbangkan untuk penyediaan infrastruktur sosial?
Saya tidak melihat ada cara lain agar Indonesia dapat menyediakan layanan kesehatan, perumahan, pendidikan yang diperlukan masyarakat, dan ini akan menjadi tuntutan masyarakat seiring meningkatnya kesejahteraan mereka. Sudah “normal” bahwa pasar-pasar yang baru berkembang pada tahap awal siklus pembangunan, menangani kebutuhan infrastruktur ekonomi, ini merupakan infrastruktur yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, infrastruktur sosial dibutuhkan baik pada tahap ini maupun seiring dengan peningkatan status dari pasar yang baru berkembang menjadi yang lebih berkembang. Titik awal yang baik mungkin dengan memperhatikan contoh bagaimana program yang terfokus dalam sektor ini dapat diterapkan bukan yang merupakan proyek yang maha besar (grand mega schemes) melainkan yang sungguh menunjukkan adanya manfaat sosial. KPS infrastruktur sosial sudah ada sejak bertahun-tahun. Inggris yang mempeloporinya melalui program Prakarsa Pembiayaan Swasta (Private Finance Initiative) di bidang layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan. KPS dalam infrastruktur sosial kini sudah sering digunakan di Amerika Utara dan Selatan, Afrika bagian Selatan, Timur Tengah, India, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Australia, dan Selandia Baru. Sudah ada banyak sekali preseden, contoh proyek, dan struktur alternatif yang dapat digunakan untuk mengembangkan program-program tersebut. Meski demikian, bagian fundamental dari KPS infrastruktur sosial adalah peran pemerintah sebagai investor atau pihak yang membayar. Hal ini akan mensyaratkan perubahan fundamental yang dilakukan dalam proposal VGF yang ada saat ini.
Apakah Anda mendukung penggunaan VGF? Mengapa perlu waktu sedemikian lama untuk mengembangkannya?
VGF merupakan keharusan bagi sebagian program infrastruktur. Proyek transportasi berskala besar hampir selalu mensyaratkan adanya dukungan pemerintah, baik berupa subsidi tarif atau kontribusi terhadap biaya modal di muka; infrastruktur sosial juga memerlukannya. Mengapa perlu waktu sedemikian lama – saya tidak tahu. VGF secara keseluruhan bukan konsep baru. Di seluruh dunia, pemerintah berkontribusi pada biaya infrastruktur dalam berbagai cara yang berbeda, jadi banyak contoh yang menunjukkan bahwa hal ini dapat dilakukan dan bagaimana
Prakarsa Compendium | Jilid 3
231
232
Suara Bagi Sektor Swasta di Bidang Pembangunan Infrastruktur
menciptakan legislasi untuk mempengaruhinya! Tidak adanya kemauan, tidak adanya kepemimpinan, adanya kepentingan pribadi atau kelompok, tidak adanya kemauan untuk mengubah, semua ini bisa menjadi alasan mengapa perlu waktu sedemikian lamanya.
Indonesia termasuk negara berpenghasilan menengah dan memiliki sumber daya dalam negeri yang cukup banyak. Bagaimana cara untuk menggerakkan dan menyalurkan sumber daya tersebut ke dalam proyek infrastruktur?
Perencanaan yang lebih baik; proses yang lebih efektif; peningkatan komunikasi; fokus pada prioritas kunci, bukan pada proyek-proyek maha besar atau proyek untuk memenangkan suara pemilih; kemudahan dalam pendirian usaha; dorong penanaman modal asing (FDI, Foreign Direct Investment); hentikan kebocoran modal pada proyekproyek besar.
Apakah pasar uang setempat dapat berperan sebagai penengah antara simpanan surplus dan investasi?
Ya, mudah-mudahan bisa. Pada tingkat mendasar, dengan cara mengalokasikan dana pensiun untuk investasi di bidang infrastruktur pusat; mengalokasikan penerimaan pajak untuk proyek infrastruktur; mengakses keluarga-keluarga yang memiliki nilai kekayaan bersih (net worth) tinggi dan perusahaan swasta yang tampak memiliki modal substansial yang tidak investasikan dalam infrastruktur publik. Bank-bank lokal perlu mencari jalan untuk memperkuat dan memperdalam pasar modal sehingga proyek-proyek infrastruktur dapat lebih efektif mengakses sumber pembiayaan ini.
Apakah kesenjangan jangka waktu antara utang dan aset dapat menimbulkan kesulitan bagi sektor keuangan untuk berpartisipasi dalam pembiayaan proyek jangka panjang? Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi keadaan tersebut? Mungkin dengan pemanfaatan dana pensiun, obligasi, dan sebagainya secara lebih baik?
Tentu saja. Infrastruktur bersifat jangka panjang dan sebagian besar proyek tidak memiliki basis pendapatan yang mampu untuk mendukung pengembalian pinjaman
CATATAN 1. Sumber: Economic Intelligence Unit dan PwC.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
jangka pendek yang ditawarkan oleh pasar uang setempat. Oleh karena itu, pembiayaan dengan tenor/jangka waktu panjang sangat penting. Solusi dengan obligasi merupakan pilihan, demikian juga dana pensiun. Meski demikian, solusi dengan obligasi mensyaratkan adanya struktur dan kepastian, sehingga sulit diperoleh dibandingkan solusi pinjaman bank – dan dengan demikian, obligasi proyek kemungkinan sulit untuk direalisasikan di Indonesia kecuali dijamin oleh pemerintah. Dana pensiun lokal – benar, itu dapat dimanfaatkan untuk diinvestasikan dalam infrastruktur sebagai kelas aset (asset class). Dana pensiun internasional (Ontario Teachers, Aussie Super Funds, dan sebagainya) yang berinvestasi besarbesaran dalam infrastruktur tidak melakukan investasi langsung dalam proyek-proyek di Indonesia atau pasar lainnya yang baru berkembang karena risikonya terlalu besar (dalam hal ini saya merujuk pada lembaga-lembaga yang bersedia menanggung pemajanan langsung pada risiko proyek sebagai pemegang saham dalam aset infrastruktur tertentu). Agar dapat menarik modal, beberapa hal fundamental dasar perlu diatasi seputar kerangka kerja hukum, transparansi, kemudahan berinvestasi, keamanan investasi, dan sebagainya. Untuk meningkatkan kemampuan proyek dalam menarik minat pada transaksi dengan pembiayaan jangka waktu lebih lama, struktur proyek yang lebih baik, arus pendapatan lebih aman, dukungan kuat dari Pemerintah untuk proyek/program, gunakan preseden kontrak/ alokasi risiko untuk mengurangi persepsi adanya risiko yang lebih tinggi, dukungan Pemerintah terhadap proyek (jaminan dan sebagainya).
Peran apa yang dapat dimainkan keuangan internasional untuk memajukan infrastruktur Indonesia?
Mereka membawa pengalaman dalam penstrukturan dan pemberian pinjaman untuk infrastruktur, kedalaman likuiditas, dan kemampuan untuk memberi pinjaman dengan jangka waktu lebih lama. Mereka memiliki kemampuan untuk menilai dan menggerakkan program, dan mereka juga memiliki orang-orang yang sebelumnya sudah pernah melakukannya. ●
Suara dari Sektor Swasta
Sektor Swasta dalam angka 7,2% Rp 200 triliun
53 1,73 Rp 1.090,4 triliun
Bagian dari pembiayaan infrastruktur Indonesia yang disediakan oleh sektor swasta menurut data Bappenas. BUMN membiayai 38 persen, sedangkan 32,1 persen dari APBN, dan 22,7 persen dibiayai bersama.
Perkiraan biaya pembangunan kereta api cepat yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya, sebuah investasi yang diharapkan dapat diperoleh melalui penyelenggaraan Kerjasama Pemerintah Swasta.
Peringkat Indonesia tahun 2014 di antara 166 negara yang disurvei dalam Indeks Kinerja Logistik Bank Dunia (World Bank’s Logistics Performance Index), yang mengukur persepsi sektor swasta, akademisi, dan pihak lain mengenai logistik di Indonesia.
Bank Mandiri memperkirakan adanya “penggandaan hasil” (output multiplier) untuk pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan, yang berarti bahwa investasi sebesar Rp 1 miliar dalam sektor-sektor tersebut akan mengakibatkan peningkatan jumlah hasil (output) perekonomian Indonesia sebanyak Rp 1,73 miliar.
Adalah jumlah investasi tahunan yang dibutuhkan Indonesia selama kurun waktu 2015–2019, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Jumlah ini merupakan sekitar 12 persen dari PDB.
2,3%
Total pembelanjaan untuk infrastruktur dalam APBN 2014. Sebelum Krisis Moneter 1998, investasi di bidang infrastruktur berada pada kisaran 8 persen.
Rp 4.272 triliun
Perkiraan jumlah “kesenjangan pembiayaan” (financing gap) bidang infrastruktur untuk periode 2015–2019, yang diukur sebagai selisih antara alokasi anggaran Pusat dan Daerah untuk pembangunan infrastruktur dan jumlah investasi yang diperlukan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
233
Kampanye Sanitasi Publik Edisi 21, Juli 2015
• Refleksi dan Tinjauan: Kampanye Sanitation Public Diplomacy IndII • Apa Yang Membuat Remaja Peduli Terhadap Sanitasi? • Pemenang Kompetisi Esai Pendek untuk Pelajar • Manfaat Sanitasi bagi Lingkungan dan Kesehatan • Impian Kota 1000 Sungai • Indonesia dan “Gengsinya” tentang Sanitasi • Kisah Sanitasi di Tepi Sungai Musi • Hidup yang Lebih Sehat Melalui Sambungan ke Sistem Air Limbah • Ciptakan Lingkungan Sehat dan Bersih • Menciptakan Kebutuhan akan Sanitasi yang Lebih Baik: Mengambil Langkah-Langkah Awal • Meningkatkan Kesadaran tentang Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia melalui Media Sosial
236
Refleksi dan Tinjauan: Kampanye Sanitation Public Diplomacy IndII
REFLEKSI DAN TINJAUAN: KAMPANYE "SANITATION PUBLIC DIPLOMACY " INDII Para perencana dan pelaksana utama upaya sanitation public diplomacy berbicara dengan Prakarsa mengenai tantangantantangan dalam melaksanakan sebuah program komunikasi yang terkait dengan infrastruktur sanitasi.
Catatan Editor: Pada 2014–2015, Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) menyelenggarakan kampanye Sanitation Public Diplomacy (SPD) yang meriah dan inovatif untuk mempromosikan kemitraan Australia dengan Indonesia, sekaligus memperkuat dampak program IndII, terutama Australia Indonesia Infrastructure Grants for Sanitation (sAIIG, atau Hibah Infrastruktur Australia Indonesia untuk Sanitasi) and Sanitation Hibah (Hibah Sanitasi). SPD adalah upaya membangun hubungan antara Pemerintah Australia dan Indonesia dengan cara memahami kebutuhan masyarakat Indonesia di bidang sanitasi. Upaya ini dilakukan Pemerintah Australia untuk membantu Pemerintah Indonesia mencapai tujuan Universal Access dengan cara memberikan 100 persen akses sanitasi bagi masyarakat di tahun 2019. Program sAIIG membantu Pemerintah Daerah (Pemda) menyiapkan proyek-proyek infrastruktur yang sesuai, yang kemudian dibiayai terlebih dahulu oleh Pemda. Ketika pekerjaan selesai, Pemda tersebut akan memperoleh penggantian dari Kementerian Keuangan melalui mekanisme penerusan hibah untuk sebagian dari biaya yang mereka keluarkan, setelah semua output yang telah terlebih dahulu disetujui dapat dipenuhi dan diverifikasi. Hibah Sanitasi juga merupakan program bantuan berbasis hasil untuk Pemerintah Daerah, dengan pembayaran berdasarkan sambungan-sambungan baru saluran air limbah yang telah diverifikasi. Kegiatan SPD berpusat pada Hari Kesadaran Sanitasi, yang diadakan di sembilan Pemda (Cimahi, Makassar, Gresik, Tebing Tinggi, Yogyakarta, Surakarta, Palembang, Prakarsa Compendium | Jilid 3
Banjarmasin dan Balikpapan), bersama dengan penayangan video, lokakarya untuk wartawan, acara bincang-bincang TV dan radio, kuis dan kompetisi esai bagi siswa dan wartawan, serta bahan promosi seperti t-shirt dan mug. (Lihat artikel terkait dan esai foto dalam edisi Prakarsa ini untuk informasi lebih lanjut.) Kegiatan Hari Kesadaran Sanitasi diadakan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan menampilkan pemutaran video pendidikan, permainan dan kuis, lomba menyanyi untuk melihat siapa yang terbaik bisa menyanyikan jingle yang khusus ditulis untuk sanitasi, dan presentasi oleh pejabat IndII dan Pemda yang berinteraksi langsung dengan para siswa. Program ini dirancang dan diawasi oleh staf teknis dan komunikasi di IndII, yang melibatkan spesialis komunikasi sanitasi di Yayasan Cipta Cara Padu (YCCP) untuk melaksanakan komponen-komponen SPD. Prakarsa meminta anggota-anggota kunci dari tim yang telah menyukseskan kegiatan SPD untuk berbagi pengamatan dan wawasan mereka dalam rangka membantu rekan-rekan praktisi merancang dan melaksanakan program-program public diplomacy dan penjangkauan (outreach) yang berkaitan dengan peningkatan sanitasi. Kami berbicara dengan Jim Coucouvinis (Direktur Teknis untuk Program Air Minum dan Sanitasi), Eleonora Bergita (Staf Senior Program Komunikasi IndII), dan Nur Fadrina Mourbas (Staf Program Air MInum dan Sanitasi) dari IndII; serta Frieda Subrata, pemimpin tim YCCP untuk kegiatan SPD.
Kampanye Sanitasi Publik
Prakarsa: Melalui IndII, Pemerintah Australia telah menyediakan sejumlah besar sumber daya untuk membantu Indonesia mengembangkan infrastruktur sanitasi yang lebih baik. Menyediakan infrastruktur merupakan hal yang jauh berbeda dari program sanitasi dengan "perubahan perilaku" yang menyampaikan pesan-pesan kesehatan seperti mempromosikan cuci tangan dan menghentikan kebiasaan buang air besar di sembarang tempat. Jelas bahwa perubahan perilaku semacam itu dicapai melalui penyampaian pada masyarakat, tapi mengapa program infrastruktur memerlukan komponen komunikasi? Jim Coucouvinis: Pertama, yang dikerjakan IndII di sektor infrastruktur sanitasi merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan public diplomacy dan mempromosikan Kemitraan Australia Indonesia, karena kami memiliki manfaat skala besar untuk dipublikasikan. Manfaat sAIIG diperkirakan menjangkau sekitar 90.000 rumah tangga, atau sekitar 400.000 penerima manfaat. Hibah Sanitasi menjangkau tambahan sebesar 40.000 penduduk Indonesia.
Bagaimana Anda merumuskan desain kegiatan SPD? Jim: Kami harus menghindari berpikir dalam kerangka program penjangkauan sanitasi yang tradisional. Dalam tahap perencanaan awal, kami mengasumsikan bahwa kami akan fokus pada pesan-pesan kesehatan. Kami bahkan sempat mempertimbangkan untuk mempunyai mobil kesehatan keliling sebagai bagian dari kegiatan. Gite: Tapi ketika kami meminta masukan dan mulai mendiskusikan hal-hal dengan rekan-rekan kami dan DFAT [Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, yang menyalurkan dana Pemerintah Australia untuk IndII dan melakukan supervisi], kami menyadari dua hal: pertama, program kami terlalu kecil untuk memberikan jenis dampak besar menyeluruh, yang seharusnya dipunyai oleh program perubahan perilaku yang dikhususkan untuk kesehatan. Kami tidak memiliki sarana untuk membuat dan mengukur jenis dampak seperti itu. Kedua, kami akan menduplikasi upaya-upaya yang sudah ada. Pemerintah Indonesia, UNICEF dan lain-lainnya sudah memiliki program-program berskala besar yang sedang berjalan.
Kedua, kegiatan-kegiatan IndII memang berhubungan dengan perubahan perilaku – kami berharap untuk membuat perubahan pada tingkat kelembagaan, dengan mendorong Pemda menerapkan dan memelihara infrastruktur sanitasi mereka sendiri. Program-program komunikasi memiliki peran alami dalam memajukan perubahan perilaku.
Jadi kami menyadari bahwa kami sebaiknya tidak hanya meniru pesan-pesan program sanitasi lainnya. SPD membutuhkan pesan-pesannya sendiri, serangkaian pesanpesan yang disusun tersendiri.
Eleonora Bergita (Gite): SPD dirancang untuk memenuhi tiga tujuan terkait Rencana Komunikasi dan Public Diplomacy IndII. Pertama, seperti yang telah disebutkan Jim, public diplomacy. Kedua, untuk mempermudah pekerjaan IndII dengan memastikan bahwa para mitra memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang dilakukan IndII, dan apa penyebabnya. Itu sebabnya, meskipun banyak kegiatan diarahkan pada anak-anak sekolah, kami melibatkan walikota dan pejabat-pejabat Pemda dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Ketiga, untuk meningkatkan dampak jangka panjang kegiatan IndII. Fasilitas-fasilitas sanitasi yang dibangun oleh Pemda dengan bantuan Australia akan dipelihara dan dihargai sampai jauh ke masa depan jika orang-orang di semua tingkatan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang mengapa infrastruktur itu penting.
Gite: Nah, mengingat konten spesifik bervariasi dalam komunitas-komunitas yang berbeda, pesan-pesan kami tergantung pada situasi lokal sehubungan dengan sanitasi, dan program IndII mana yang sudah berjalan. Namun dalam setiap komunitas, kami berusaha menjawab empat pertanyaan:
Jim: Inilah sebabnya sektor sanitasi di Indonesia sedikit berbeda dari sektor air minum. Orang biasanya bersedia membayar untuk air bersih karena mereka memahami nilainya dalam hal kenyamanan, kesehatan, dan penghematan biaya. Tapi mereka lebih skeptis tentang pembuangan air limbah, maka sebuah kampanye yang menjelaskan manfaatnya sangat berguna dan dapat membuat perbedaan besar.
Jadi pesan-pesan apa yang Anda sampaikan?
• Mengapa memiliki sistem pembuangan limbah bermanfaat bagi masyarakat? • Mengapa komunitas Anda dipilih untuk berpartisipasi dalam program ini? • Apa peran positif yang dimainkan oleh Pemerintah Daerah Anda? • Mengapa Pemerintah Australia, bersama-sama dengan Indonesia, mendukung pengembangan infrastruktur saluran air limbah yang baik?
Hal itu lebih rumit dibandingkan dengan pesan "mencuci tangan memberikan manfaat yang baik." Apakah Anda pernah melakukan, atau mengalami, program lain yang mencoba untuk melakukan hal seperti ini?
Prakarsa Compendium | Jilid 3
237
238
Refleksi dan Tinjauan: Kampanye Sanitation Public Diplomacy IndII
Frieda Subrata: Di masa lalu YCCP pernah melakukan program untuk sanitasi yang agak mirip. Namun, program tersebut lebih diarahkan pada tanggung jawab individu, misalnya membangun toilet dengan septic tank. Program SPD menyampaikan pesan tentang pilihan lain, yaitu infrastruktur saluran air limbah. Ini menggarisbawahi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan fasilitas sanitasi yang baik bagi warga, dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai infrastruktur saluran air limbah, dan mengapa hal itu penting.
Sebagaimana jelas pada jawaban Frieda, SPD adalah sebuah program yang keberhasilannya terutama bergantung pada komitmen dan keterlibatan Pemda. Apakah ada kesulitankesulitan dalam melibatkan Pemda? Jim: Tidak juga, tapi kami memang mempelajari beberapa hal seiring berjalannya waktu. Pada awal kegiatan, kami berkonsentrasi pada para distaf Pemda biasa. Tapi mereka tidak melihat faedahnya menjangkau anak-anak sekolah. Walikotalah yang melihat bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan dari kegiatan SPD yang melibatkan anak-anak sekolah dan warga masyarakat. Juga, ketika Anda berurusan di tingkat Walikota, lebih besar kemungkinannya Anda segera mendapat jawaban yang pasti tentang tingkat ketertarikan yang ada. Jelas jawaban “ya” yang antusias lebih baik daripada “tidak”, tapi bahkan jawaban “tidak” yang tegas memiliki nilai, karena memberitahu bahwa Anda akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika Anda mengalihkan upaya Anda ke tempat lain.
Apakah Anda mendapatkan jawaban “tidak” yang pasti? Jim: Sama sekali tidak. Dan – ini adalah pelajaran yang sesungguhnya berlaku untuk keseluruhan upaya sAIIG ‒ saya akan merekomendasikan untuk desain program mendatang agar “memprovokasi jawaban yang pasti” harus menjadi bagian dari proses menyeleksi Pemda. Nur Fadrina Mourbas (Ifad): Anda harus mendapatkan komitmen nyata bagi setiap upaya yang berkaitan dengan peningkatan infrastruktur sanitasi. Orang akan lebih bersedia menyetujui selama pertemuan sosialisasi, tapi kemudian ketika Anda bergerak untuk implementasi yang sebenarnya, muncul lebih banyak tentangan. Tiba-tiba Anda mendengar tentang kekhawatiran akan biaya, pipapipa yang terhalang, dan lain-lain. Pemda sensitif terhadap pandangan masyarakat tentang infrastruktur sanitasi. Jika masyarakat enggan, Pemda akan menentang juga. Sanitasi bukanlah sesuatu yang populer dan bukan sesuatu yang otomatis dipikirkan Pemda. Hanya sekitar dua persen dari pengeluaran mereka dalam satu tahun anggaran Prakarsa Compendium | Jilid 3
dialokasikan ke sanitasi ‒ mereka cenderung melihatnya sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Jadi bagaimana Anda menciptakan antusiasme di antara Pemerintah Daerah? Frieda: Dengan berfokus pada staf tingkat tertinggi ‒ Kepala Bappeda, Bupati, Walikota. IndII memiliki banyak kontak di setiap Pemda karena kegiatan yang mereka lakukan, tapi banyak dari kontak-kontak tersebut berada pada tingkat implementasi, sehingga kami tidak selalu bergantung pada mereka. Kami mengirim surat kepada pejabat-pejabat tinggi terlebih dahulu. Juga, sebelum SPD dimulai, IndII mengadakan upacara penandatanganan untuk sAIIG yang dihadiri oleh para pemimpin Pemda. Kami menggunakan acara itu sebagai kesempatan untuk menjalin kontak. Kami menemukan bahwa ketika kami memulai kontak di tingkat bawah, orang-orang yang kami ajak bicara tidak selalu menginformasikan kepada orang-orang di tingkat yang lebih tinggi. Jadi, menghubungi para pejabat tinggi secara langsung paling efektif. Bahwa kegiatan SPD difokuskan pada anak-anak sekolah juga menarik bagi para pejabat. Kadang-kadang Pemda berhati-hati pada acara yang berfokus pada orang dewasa, karena hal itu mungkin menimbulkan kritik dan keluhan. Tetapi ketika Anda memiliki acara yang diarahkan pada anak-anak, tidak menimbulkan sikap defensif di antara para pejabat setempat. Ifad: Kami mencoba melakukan beberapa kegiatan sosialisasi terlebih dahulu sebelum penyelenggaraan Hari Kesadaran Sanitasi, dan pada umumnya itu berhasil. Pengalaman kami di Surakarta memberikan pelajaran yang bermafaat. Kami awalnya mendapatkan antusiasme dari kepala Bappeda [Badan Perencanaan Pembangunan Daerah], tapi tidak dari Dinas Pekerjaan Umum [PU, departemen dalam Pemda]. Kemudian, ada perubahan staf. Kami berurusan dengan orang-orang baru. Situasi berbalik dan kami mendapat lebih banyak dukungan dari Dinas PU daripada dari Bappeda. Kami melihat bahwa, ketika ada dukungan dari atas, program akan berjalan. Gite: Palembang adalah contoh yang baik tentang bagaimana individu pemimpin dapat menjadi sangat penting untuk tercapainya kesuksesan. Kepala Bappeda di sana membuat Hari Kesadaran Sanitasi sebagai kesempatan untuk memperluas kegiatan bagi dari anak-anak sekolah segala usia, karena secara pribadi yang bersangkutan merasa kegiatan tersebut penting. Dalam setiap komunitas ada orang-orang yang berbeda, sehingga sangatlah penting untuk mempelajari motivasi dan kepribadian dari para pemimpin penting di masing-masing kota.
Kampanye Sanitasi Publik
Kegiatan SPD diberi anggaran sebesar A$ 280.000 ‒ sebuah angka yang rendah dibandingkan dengan kegiatan IndII pada umumnya ‒ untuk kegiatan beberapa hari di sembilan lokasi, ditambah acara talk show televisi nasional, materi promosi, video, dan dua kontes esai selama sekitar Sembilan bulan. Kesemuanya itu kelihatan sepadan dengan biayanya. Bagaimana bisa tercapai? Jim: Anda benar, kegiatan itu sepadan dengan biayanya ‒ IndII melakukan kampanye penyampaian masyarakat yang efektif beberapa tahun yang lalu untuk program Hibah Air Minum kami, dan SPD kali ini bahkan lebih baik. Saya pikir kami telah berhasil mendapat dampak lebih besar dengan biaya yang lebih rendah. Frieda: Ketika kami melaksanakan Hari Kesadaran Sanitasi kami yang pertama, di Cimahi, awalnya kami berpikir bahwa kami sendiri perlu menutupi semua biayanya. Tapi dari pengalaman tersebut, kami menyadari bahwa Pemda memandang kegiatan kami sebagai sesuatu yang penting. Mereka tidak memiliki banyak kegiatan serupa yang berlangsung di tingkat kabupaten, sehingga mereka menganggap apa yang kami lakukan itu cukup menarik. Maka di lokasi kedua kami, di Makassar, saya meminta tim kami untuk melakukan jajak pendapat tentang ideide berbagi biaya. Ternyata Pemda memang memiliki anggaran untuk hal-hal seperti ini, dan karena program tersebut melibatkan anak-anak, hal itu menarik dan mereka bersedia meningkatkan kegiatan-kegiatan program dengan menggunakan dana tambahan. Sebenarnya, walaupun kontribusi keuangan mereka berguna, itu bukanlah yang sesungguhnya kami cari ketika menelurkan gagasan pembagian biaya. Apa yang ingin kami lakukan adalah membangun rasa memiliki; dan ketika Pemda memberi kontribusi dana, hal tersebut membangun rasa memiliki mereka.
IndII berkomitmen untuk memastikan bahwa program-programnya menjangkau perempuan dan laki-laki/anak perempuan dan laki-laki secara adil. Bagaimana kegiatan SPD menanggapi isu gender? Gite: Selama tahap desain, kami memahami bahwa banyak program sanitasi tampaknya paling menarik bagi khalayak perempuan. Hal ini dapat dipahami karena perempuan dan anak-anak perempuanlah yang biasanya berurusan dengan menstruasi dan perawatan anak-anak yang mungkin menjadi sakit karena sanitasi yang buruk. Dalam kegiatan SPD, IndII ingin menjangkau semua khalayak, baik perempuan maupun laki-laki. Versi-versi awal
Kegiatan Sanitation Public Diplomacy telah direncanakan secara seksama. Di sebelah kiri, tampak para pelajar kelompok terfokus sedang mendengarkan beberapa pilihan jingle dengan penuh perhatian. Di foto kanan, mereka menuliskan pesan-pesan yang mereka dengar. (Terlihat dalam kartu pernyataan mereka, bahwa jingle yang kedua menyampaikan pesan “Australia dan Indonesia membangun sanitasi.”) Atas perkenan Eleonora Bergita
desainnya ditargetkan pada masyarakat tetapi tidak secara khusus sekolah-sekolah. Satu alasan penting mengapa kami memutuskan untuk fokus pada sekolah adalah karena kami akan memiliki captive audience, atau peserta yang pasti, yang terdiri dari anak laki-laki maupun perempuan, sehingga pesan akan tersampaikan kepada kedua gender.
Apakah Anda menemukan adanya persoalan terkait gender, ketika kegiatan tersebut berjalan? Gite: Lokakarya dengan wartawan memberi kami beberapa wawasan gender dan sanitasi. Wartawan diundang untuk berpartisipasi tanpa memperhatikan jenis kelamin, tetapi ternyata, mayoritas peserta adalah laki-laki. Prakarsa Compendium | Jilid 3
239
240
Refleksi dan Tinjauan: Kampanye Sanitation Public Diplomacy IndII
Ifad: Kami menemukan, ada kencenderungan perbedaan berbasis gender dalam cara-cara yang dipakai wartawan untuk mendekati topik. Laki-laki mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan mekanisme program IndII: berapa banyak dana yang dihabiskan, bagaimana cara kerja programnya? Perempuan cenderung mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan dampak program terhadap kehidupan masyarakat. Misalnya, bertanya tentang bagaimana pembangunan infrastruktur bisa menimbulkan kesemrawutan dan mengganggu kegiatan sehari-hari masyarakat. Juga, Direktorat Jenderal Cipta Karya memiliki program Duta Sanitasi untuk mempromosikan kebersihan, dan tentu saja Duta tersebut diundang untuk berpartisipasi dalam program SPD. Kami melihat bahwa hampir semua Duta adalah perempuan.
Apakah anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama terlibat dalam kegiatan? Ifad: Dalam kebanyakan kasus, ya, tapi kadang-kadang anak-anak perempuan yang kelihatan paling menunjukkan perhatian. Sebagai bagian dari program ini, pejabat-pejabat Pemda memberi beberapa pertanyaan kepada siswa tentang isu-isu sanitasi. Anak-anak perempuan cenderung paling bersemangat menanggapi dan mereka memberi jawaban-jawaban yang baik.
Seperti kita ketahui, ini adalah kegiatan yang relatif kecil dalam hal anggaran. Tidak ada alokasi untuk upaya Pemantauan & Evaluasi (M & E/Monitoring & Evaluation) dalam skala penuh. Bagaimana Anda mencoba mengukur hasil Program? Frieda: Jelas sulit untuk memastikan dampak jangka panjang, karena pelaksanaan Hari Kesadaran Sanitasi dan semua liputan media terkait serta berbagai perlombaan merupakan kejadian satu kali saja. Tapi kami mencoba mengumpulkan dan menilai beberapa metrik. Sebagai contoh, kami melakukan survei pra dan pasca pada para siswa, dan selalu ada peningkatan pengetahuan tentang sanitasi dan kebutuhan untuk infrastruktur, melihat bahwa anak-anak tersebut menjawab 90 sampai 95 persen pertanyaan dengan benar setelah berpartisipasi dalam acara. Juga, kami bisa mengukur hasil lokakarya jurnalis dengan menentukan apakah ada liputan pers sesudahnya. Ada 8 sampai 20 artikel berita yang diterbitkan di setiap kota. Kami berpikir bahwa menghasilkan artikel dengan cara ini jauh lebih efektif daripada membayar untuk memuat informasi di media. Sebagai contoh lain, kami mencatat pesan teks dari pendengar selama acara talk show radio di setiap komunitas. Kami tidak berharap pendengar bereaksi selama talk show, tetapi ternyata stasiun radio menerima sekitar lima sampai delapan tanggapan selama setiap acara. Prakarsa Compendium | Jilid 3
Bagaimana dengan kualitas penulisan oleh wartawan? Apakah tulisan mereka memberikan kontribusi bukti anekdotal untuk upaya M&E Anda? Frieda: Kami melihat variasi besar dalam keterampilan di kalangan wartawan, bukan hanya dalam hal kemampuan menulis dan pelaporan mereka, tetapi juga dalam keterampilan investigasi mereka. Di beberapa kota, banyak orang mengajukan pertanyaan yang tajam selama lokakarya wartawan, tapi di kota-kota lain hal ini tidak terjadi. Meskipun demikian, secara keseluruhan, kami senang melihat tingkat pemahaman yang ada. Kami mencatat bahwa wartawan mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai upaya-upaya yang dilakukan Pemda untuk meningkatkan sanitasi. Hal tersebut menggembirakan dan kami pikir SPD dapat berbangga karena berhasil memunculkan pertanyaanpertanyaan seperti itu. Gite: Kita juga bisa melihat dampak dari kegiatan SPD dalam hal efeknya pada partisipasi Pemda dalam sAIIG. Beberapa kasus, seperti terjadi di Makassar, dukungan Pemda untuk sAIIG hanya suam-suam kuku dan kami sebelumnya telah melihat penurunan tingkat komitmen. Tapi setelah kegiatan SPD dilakukan, ada peningkatan kesediaan Pemda untuk mengambil bagian dalam sAIIG.
Jika Anda diminta merencanakan dan melaksanakan kegiatan SPD hari ini, apa yang akan Anda lakukan secara berbeda berdasarkan pengalaman Anda? Saran apa yang akan Anda berikan kepada organisasi lain yang ingin melakukan sesuatu yang serupa? Jim: Saya akan membantu sedikit dan bicara tentang beberapa tantangan yang kami hadapi untuk program sAIIG kami, karena pelajaran-pelajaran yang didapatkan berguna untuk merancang suatu program SPD juga. Kami tahu sebelum kami memulai sAIIG bahwa memilih Pemda untuk berpartisipasi akan sulit, tetapi meskipun demikian kami meremehkan kesulitan tersebut dan juga waktu yang dibutuhkan. Kami memberikan bobot terlalu banyak pada masukan konsultan dan pejabat yang merekomendasikan Pemda-Pemda tertentu, tanpa melangkah mundur dan melihat gambaran besarnya. Misalnya, jika kami diberitahu oleh rekan-rekan atau orang di lapangan “Anda harus memilih Pemda ini, mereka akan benar-benar mendapatkan keuntungan dari sAIIG,” kami menerima saran itu. Tapi yang perlu kami lakukan adalah perbandingan obyektif antara lokasi yang satu dengan yang lain. Untuk memaksimalkan dampak sAIIG, pilihan terbaik adalah daerah yang paling padat penduduknya di mana septic tank menyebabkan lebih banyak masalah dibandingkan dengan di daerah pedesaan yang sedikit jumlah penduduknya, sehingga kita harus lebih menekankan pada kriteria seleksi. Kami juga seharusnya
Kampanye Sanitasi Publik
lebih sadar berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan sosialisasi di masyarakat: biaya infrastruktur sanitasi dua kali lebih besar daripada air minum dan membutuhkan waktu dua kali lebih lama untuk diterapkan. Jadi, jauh lebih sulit bagi para pejabat Pemda dan anggota masyarakat untuk memahami nilainya. Pelajaran ini dapat berlaku untuk program SPD juga: jangan hanya mengumpulkan rekomendasi pada lokasi tertentu untuk implementasi, tetapi berikan bobot yang cukup untuk kriteria objektif yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi di mana Anda dapat memperoleh dampak tertinggi. Dan pahamilah bahwa sosialisasi untuk infrastruktur sanitasi sangat memakan waktu. Frieda: Saya setuju bahwa menyampaikan pesan-pesan mengenai infrastruktur memang tidak mudah. Jika kita merancang sebuah program baru dan harus memiliki satu desain saja, YCCP akan merekomendasikan melakukan hal-hal dengan cara yang sama dengan yang kami lakukan dalam kegiatan SPD. Tetapi pada tahap desain, kami akan merekomendasikan program agar terus berlangsung. Sangatlah bagus kalau kita mengembalikan kegiatankegiatan yang telah kita lakukan kepada Pemda dan membangun pada dasar yang sudah kita letakkan. Para pejabat Pemda terus bertanya kepada kami: apa yang terjadi selanjutnya? Apa yang akan kita lakukan setelah ini? Mereka menyukai ide mempromosikan infrastruktur sanitasi, tetapi mereka membutuhkan ide-ide, dan mereka berharap kepada kami untuk mendapatkan bantuan. Kami ingin membantu mereka dengan apa yang akan dilakukan berikutnya. Gite: Saya setuju dengan hasil pengamatan Frieda bahwa desain masa depan bisa menggunakan komponenkomponen yang sama. Melibatkan siswa sebagai peserta utama dalam kegiatan-kegiatan Hari Kesadaran Sanitasi adalah keputusan yang baik. Siswa-siswi SMP siap menyerap pengetahuan yang kompleks dan mereka memiliki banyak rasa ingin tahu tentang lingkungan mereka. Pertanyaanpertanyaan bagus yang diajukan dalam lokakarya jurnalis menunjukkan bahwa kegiatan ini berharga. Demikian halnya dengan tingginya tingkat partisipasi dalam lomba esai menunjukkan bahwa kegiatan ini juga harus dipertahankan. Salah satu perubahan untuk program di masa depan adalah perlunya melakukan survei awal yang sederhana sebelum program dimulai, dan mengatur kegiatan-kegiatan berdasarkan kebutuhan dari sasaran yang dituju. Ifad: Upaya sAIIG dan Hibah Sanitasi kami bisa lebih efektif jika kita lebih meningkatkan upaya berbagi pengetahuan antara IndII dan Pemda, dengan dua arah. Idealnya, IndII harus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang dipikirkan
Pemda, dan Pemda harus mempelajari lebih jauh tentang tujuan di balik upaya IndII. Hal ini harus menjadi tujuan eksplisit dari setiap program SPD di masa mendatang. Jim: Mungkin kita harus melakukan suatu kegiatan SPD terlebih dulu, sebelum memulai sesuatu seperti sAIIG! Tampaknya kegiatan SPD dapat menimbulkan antusiasme untuk infrastruktur sanitasi. Ini adalah hipotesis yang baik untuk diuji. Ifad: Dan kita harus memastikan bahwa komitmen Pemda yang ditunjukkan selama kegiatan SPD didokumentasikan di media – sehingga kita dapat menggunakan dokumentasi tersebut sebagai alat untuk menilai hasil-hasil sAIIG dan Hibah Sanitasi.
Sebuah pertanyaan terakhir: apakah ada kejutan besar atau keberhasilan yang tak terduga? Frieda: Semua walikota dan bupati berpartisipasi dalam acara kami, kecuali seorang yang sedang umrah [perjalanan ke Mekkah], sehingga ia benar-benar tidak bisa hadir. Kami tahu kami telah menciptakan program yang baik dan akan mendapatkan partisipasi yang baik, tapi kami tidak berharap untuk mencapai rekor kehadiran para pejabat dengan tingkat yang sempurna. Ifad: Ada dua hal yang mengejutkan. Pertama, betapa banyak yang dicapai program tersebut dengan anggaran yang cukup kecil. Kedua, komitmen dari Pemda memainkan peran besar dalam merintis jalan keberhasilan program. Kami memang mengharapkan partisipasi mereka penting, tapi ternyata bahkan menjadi lebih penting daripada yang diantisipasi. Gite: Bagi saya, kejutan terbesar adalah melihat betapa banyaknya orang yang peduli akan sanitasi. Saya pikir sebelum kami mulai, kami akan berhadapan dengan banyak ketidakpedulian. Tapi selama acara-acara tersebut, dan ketika para wartawan mengajukan pertanyaan dalam lokakarya, kami melihat bahwa orang-orang memang peduli tentang sanitasi. Kebutuhan untuk itu ada. Jim: Keberhasilan program ini tidak mengejutkan saya karena saya tahu program itu dirancang dengan baik dan bahwa kita memiliki orang-orang yang kompeten untuk melaksanakannya. Tapi saya memang mendapat satu kejutan ‒ di Palembang, sebagai bagian dari upacara untuk menyambut para pejabat yang hadir, saya ditawari untuk mengunyah daun sirih. Saya belum pernah melakukan hal ini sebelumnya dan saya tidak tahu bahwa saya harus meludahkannya kembali. Saya menelan daun itu! Lain kali, saya akan tahu apa yang harus dilakukan. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
241
POIN-POIN UTAMA Pada tahun 2014–2015, Prakarsa Infrastruktur Indonesia yang didanai oleh Pemerintah Australia menyelenggarakan kampanye Sanitation Public Diplomacy yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas program-program untuk mendukung pembangunan infrastruktur sanitasi yang lebih baik. Salah satu komponen utama adalah penyelenggaraan “Hari Kesadaran Sanitasi” (Sanitation Awareness Day) yang menargetkan remaja dalam usia Sekolah Menengah Pertama (usia 13 sampai 15 tahun). Kegiatan hari itu meliputi acara tanya-jawab dengan walikota, pemutaran video, penyelenggaraan permainan interaktif dan kuis, serta lomba estafet dan lomba memperagakan sebuah jingle yang digubah secara khusus tentang sanitasi. Artikel ini membahas penelitian kualitatif mengenai keberterimaan remaja terhadap pesan-pesan yang disampaikan pada Hari Kesadaran Sanitasi. Penelitian tersebut didasarkan pada wawancara mendalam dengan enam remaja (tiga perempuan dan tiga laki dengan rentang usia 13–15 tahun) dari Cimahi dan Yogyakarta yang menjadi peserta aktif dalam kegiatan Hari Kesadaran Sanitasi tersebut. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pada umumnya siswa menanggapi secara positif pesan-pesan mengenai sanitasi dan lingkungan hidup, dan bahwa jingle tersebut efektif dalam menyampaikan pesan tentang kerja sama Australia-Indonesia. Hasil penelitian ini konsisten dengan Theory of Planned Behaviour (TPB) oleh Icek Ajzen yang menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku; norma-norma subjektif (keyakinan tentang sikap orang lain), dan keyakinan adanya faktor pengontrol perilaku (perceived behavior control, keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk berperilaku tertentu). Pengalaman remaja tersebut berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap keberterimaan dan pemahaman mereka. Faktor-faktor yang menjadikan mereka lebih reseptif terhadap pesan-pesan tersebut meliputi antara lain: sikap orang tua dan teman megenai persoalan sanitasi; pemajanan sebelumnya pada pesan-pesan sanitasi ketika masih di sekolah dasar; partisipasi dalam kegiatan sanitasi di sekolah, seperti pemilahan sampah atau kegiatan prakarya mengolah bahan bekas; dan menyaksikan orang tua mereka membuat kompos. Para siswa menjadi kurang reseptif ketika pandangan orang di sekitar mereka menghambat, khususnya pandangan bahwa sanitasi merupakan topik yang perlu dihindari, sampah tidak perlu dikelola, dan sanitasi merupakan prioritas rendah.
Kampanye Sanitasi Publik
APA YANG MEMBUAT REMAJA PEDULI TERHADAP SANITASI? Respon remaja beraneka ragam dalam hal menerima atau bertindak sesuai dengan pesan-pesan terkait dengan sanitasi dan dampaknya pada lingkungan hidup. Apa penjelasan perbedaan tersebut? Oleh Eleonora Bergita
Untuk mendukung upaya Pemerintah Indonesia mencapai Universal Access (target untuk mencapai 100 persen akses terhadap air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses terhadap sanitasi bagi masyarakat Indonesia) di tahun 2019, saat ini tengah dilaksanakan program Hibah Infrastruktur Sanitasi Australia-Indonesia (sAIIG, AustraliaIndonesia Infrastructure Grants for Sanitation)1 yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia (melalui Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Perumahan Rakyat, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Dalam Negeri) dan Pemerintah Australia (melalui proyek Prakarsa Infrastruktur Indonesia, atau IndII). Untuk meningkatkan efektivitas, sebagai bagian dari program tersebut, sebuah kampanye Sanitation Public Diplomacy dilaksanakan di sembilan kota dan kabupaten yang ikut serta dalam program sAIIG. Salah satu acara dalam kampanye tersebut adalah Hari Kesadaran Sanitasi dengan target remaja usia Sekolah Menengah Pertama (usia 13–15 tahun). Menyampaikan pesan kepada remaja bukanlah perkara yang mudah. Pesan sanitasi dasar merupakan pesan yang sederhana karena menyangkut kehidupan seharihari manusia, namun cukup kompleks jika dilihat dari sudut pandang bahwa pesan sanitasi jarang diangkat dalam pembicaraan dan cenderung diabaikan dalam
kehidupan keseharian dan pesan-pesan mengenai infrastruktur, termasuk implementasi hibah kolaboratif, lebih rumit. Kampanye publik yang dilaksanakan oleh IndII melalui organisasi nirlaba lokal Yayasan Cipta Cara Padu (YCCP) merupakan salah bentuk kampanye yang harus menghadapi kesulitan tersebut dalam menyampaikan pesan kepada remaja. Dalam acara Hari Kesadaran Sanitasi, Kepala Daerah setempat hadir bersama para staf terkait program sAIIG ke sekolah yang menjadi tempat penyelenggaraan acara. Acara dihadiri oleh kurang lebih 350 orang pelajar SMP di masing-masing kabupaten, masyarakat penerima manfaat program sAIIG, dan wartawan. Acara tersebut berisi penyampaian pesan sanitasi secara umum bagi remaja, dan juga informasi mengenai pembangunan infrastruktur sanitasi dalam kerangka program hibah kerjasama Pemerintah Australia dan Indonesia bagi Pemerintah Daerah. (Informasi lebih lanjut mengenai kampanye Sanitation Public Diplomacy dapat dilihat dalam berbagai artikel dalam edisi Prakarsa ini.) Pesan sanitasi yang dikemas dengan judul, “Sepakat untuk Lingkungan Lebih Sehat” ini merupakan pesan dengan ajakan untuk lebih mempedulikan lingkungan dengan lebih mengenal mengenai pengelolaan limbah, baik sampah
Prakarsa Compendium | Jilid 3
243
244
Apa Yang Membuat Remaja Peduli Terhadap Sanitasi?
maupun air limbah. Sebelum acara inti, Kepala Daerah dan Perwakilan dari IndII menyampaikan sambutan acara, seringkali murid SMP yang hadir diundang ke atas panggung untuk melakukan tanya jawab dengan Kepala Daerah, sehingga acara sambutan menjadi menarik bagi remaja. Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan presentasi sanitasi melalui video yang diputar selama kurang lebih 18 menit, dan dilanjutkan dengan permainan interaktif yang digabungkan dengan sesi tanya-jawab sanitasi. Remaja yang senang kegiatan aktif baik secara mental dan fisik juga diajak untuk mengikuti lomba, seperti lomba membawa air dalam gelas dengan menggunakan kain yang dibentangkan yang membawa pesan pentingnya koordinasi dan persatuan untuk bisa mencapai tujuan. Koordinator acara menjelaskan bahwa lomba ini merupakan analogi pentingnya dukungan seluruh pihak terkait untuk mendorong kesuksesan program sanitasi. Sebagai target utama kampanye sanitasi, remaja sudah memiliki keterampilan kognitif tahap formal operasional, yang memungkinkan mereka untuk membuat hipotesis dan analisis sendiri mengenai kondisi dan situasi di lingkungan sekitarnya. Dari segi intelektual, remaja tidak mengalami kesulitan dalam menerima pesan sanitasi yang cukup kompleks. Apalagi bagi sebagian remaja mereka sudah pernah mendapatkan informasi tentang sanitasi dalam pelajaran saat duduk di Sekolah Dasar (SD), membaca majalah, atau melihat acara di televisi. Semua informasi tersebut sangat bermanfaat untuk memahami dan menerima pesan sanitasi yang disampaikan di Hari Kesadaran Sanitasi. Artikel ini akan membahas sebuah penelitian kualitatif tentang penerimaan pesan sanitasi di Hari Kesadaran Sanitasi telah dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam kepada enam orang remaja (tiga perempuan dan tiga laki-laki) di Cimahi dan Yogyakarta. Keenam remaja tersebut berasal dari empat sekolah yang berbeda-beda dengan rentang usia antara 13 hingga 15 tahun. Mereka hadir dalam acara yang dilaksanakan di Cimahi tanggal 1 Oktober 2014 dan di Yogyakarta tanggal 27 Januari 2015 yang lalu. Selain sebagai peserta yang hadir dan menyimak pesan, masing-masing remaja juga memiliki peran lain yang beraneka ragam, seperti mencari peserta yang bersedia hadir dalam acara, sebagai pemain musik, dirigen, hingga remaja yang aktif menjawab pertanyaan dalam kuis sanitasi. Sebagian besar dari mereka nampak senang menjadi bagian dari acara tersebut. Siswa yang diwawancarai membuat beragam interpretasi remaja muncul saat menerima pesan sanitasi2. Pemaknaan pesan memang tidak pernah bersifat tunggal
Prakarsa Compendium | Jilid 3
karena masing-masing penerima pesan memiliki latar belakang yang berbeda. Para penerima pesan ini juga merupakan produsen karena dalam memberi makna pesan, mereka membuat interpretasi masing-masing terhadap pesan tersebut. Bagi para remaja SMP ini jingle sanitasi merupakan bentuk pesan yang sangat jelas menyampaikan pesan tentang kerjasama Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia dalam membangun infrastruktur sanitasi. Pada umumnya mereka mendukung kerjasama ini, banyak di antara mereka juga ingin sekali melihat pembangunan infrastruktur sanitasi tersebut dan manfaatnya bagi masyarakat. Selain itu, menurut mereka pesan juga berisi ajakan menjaga kelestarian lingkungan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan narasumber pelajar, ditemukan bahwa remaja memiliki sikap yang positif menyikapi pesan untuk mencintai lingkungan dengan menyadari pentingnya sanitasi. Beberapa narasumber paham bahwa di lingkungan masyarakat masih minim adanya kesadaran untuk memelihara lingkungan. Semakin banyak pengalaman para remaja dalam kegiatan sanitasi sehari-hari baik secara langsung maupun tidak langsung ikut membentuk sikap terhadap pesan sanitasi, seperti keikutsertaan dalam pelajaran prakarya mengolah barang bekas, memilah sampah, ataupun melihat orangtua membuat kompos, semakin kuat pula pengertian dan persetujuan mereka. Remaja juga memberikan respon positif ketika melihat upaya menjaga kebersihan bertujuan untuk menjaga kesehatan, sehingga membuatnya lebih bersemangat untuk menjaga kebersihan. Pengalaman remaja dalam mengikuti kegiatan sanitasi saat masih duduk di SD juga sangat bermanfaat dan merupakan pengulangan pesan yang membuat pesan sanitasi yang diterima di acara Hari Kesadaran Sanitasi menjadi lebih kuat tertanam di benaknya. Sedangkan faktor lain yang berpengaruh adalah adanya faktor pendorong, seperti dorongan dari orangtua, fasilitas sanitasi baik di rumah maupun di sekolah, seperti bank sampah atau kegiatan pilah sampah di sekolah. Hal lain yang berpengaruh bagi remaja adalah adanya orang terdekat, seperti orangtua, teman atau nilai-nilai dalam kegiatan yang diikuti yang mendorongnya untuk menjaga lingkungan. Kehadiran sosok atau nilai semacam ini membuat motivasinya cukup tinggi. Sebaliknya adanya faktor penghambat, seperti pandangan bahwa diskusi mengenai sampah dan air limbah yang
Kampanye Sanitasi Publik
Walikota Tebing Tinggi, Ir. H. Umar Zunaidi Hasibuan, MM, berbincang dengan seorang siswa saat kegiatan pada Hari Kesadaran Sanitasi.
diidentikkan dengan hal yang harus dihindari atau tidak perlu dikelola, dan merasa bahwa banyak hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan daripada sampah atau air limbah. Hasil ini konsisten dengan Theory of Planned Behaviour (TPB) oleh Icek Ajzen. TPB menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi tiga faktor, yakni: sikap terhadap perilaku, norma-norma subyektif (keyakinan mengenai sikap orang lain), dan keyakinan adanya faktor yang mengontrol perilaku (perceived behavioural control, atau keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk berperilaku tertentu). Kombinasi tiga faktor ini mempengaruhi niat manusia dalam hal perilaku terkait dengan sanitasi. Oleh karena itu, semakin positif respon remaja terhadap pesan sanitasi, dan semakin besar dorongan oleh pihak keluarga,
Atas perkenan YCCP
teman-teman, dan panutan mereka, semakin besar pula kemungkinan bahwa remaja ini akan membentuk niat untuk bertindak sesuai dengan pesan sanitasi. Meski demikian, jika terdapat faktor yang menghambat seperti, adanya hal-hal yang lebih mendesak daripada sanitasi, remaja akan mengabaikan pesan sanitasi yang disampaikan kepada mereka, meskipun mereka tahu bahwa pesan tersebut penting. Lima di antara enam remaja yang diwawancarai menerima pesan sanitasi dan bersedia bertindak sesuai dengan pesan tersebut. Yang keenam setuju dengan pesan tersebut, tetapi enggan untuk bertindak sesuai dengan pesan tersebut3. Dibandingkan dengan lima lainnya, ia mengaku hanya bertindak sedikit terkait dengan sanitasi, dan berpendapat bahwa ada masalah lain yang ia yakini lebih penting, khususnya menjadi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
245
246
Apa Yang Membuat Remaja Peduli Terhadap Sanitasi?
penulis yang baik karena jika ia menulis dengan baik ia akan mendapat bayaran yang baik. (Layak dicatat: Ia mengatakan bahwa ia terlalu malas untuk melakukan kegiatan terkait dengan peningkatan sanitasi, kecuali ada yang membayarnya atas upayanya.) Secara keseluruhan, berdasarkan hasil penelitian seperti disebutkan di atas, remaja sebenarnya memiliki minat yang sangat besar pada pesan sanitasi, karena mereka bisa melihat dan merasakan bahwa pesan tersebut bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan di masa depan. Peran orang terdekat seperti keluarga sangat penting bagi remaja untuk menumbuhkan sikap positif, menjadi motivasi maupun faktor pendorong bagi remaja agar memiliki intensi untuk memperhatikan isu lingkungan. Bagi remaja yang sudah pernah mendapatkan pesan sanitasi sebelum acara Hari Kesadaran Sanitasi, pesan sanitasi yang diberikan merupakan dorongan baginya untuk lebih memperhatikan sanitasi. Bagi remaja yang belum pernah mengetahui informasi mengenai sanitasi, mereka memiliki rasa ingin tahu untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sanitasi, termasuk ingin melihat bagaimana pembangunan infrastruktur sanitasi dilakukan di kotanya dan bagaimana manfaat bisa dirasakan oleh masyarakat luas. ●
Tentang Penulis: Eleonora Bergita (Gite) adalah seorang penulis dan event organiser berpengalaman lebih dari 10 tahun di bidang jurnalistik dan manajemen acara. Sebagai Senior Program Officer di IndII, ia bertanggung jawab baik untuk merancang dan mengelola berbagai acara, serta kegiatan komunikasi sehari-hari seperti menyiapkan materi komunikasi baik untuk situs web maupun jurnal Prakarsa. Ia memiliki berbagai pengalaman di bidang pembangunan manusia di beberapa organisasi non-pemerintah nasional dan internasional, serta pengalaman menangani promosi di beberapa media nasional. Ia mengembangkan strategi hubungan masyarakat di perusahaan humas dan event organiser terkemuka. Gite adalah lulusan Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Indonesia, dan Program Pascasarjana Manajemen Komunikasi, Universitas Indonesia.
CATATAN 1. Kabupaten yang berpartisipasi adalah Cimahi, Makassar, Gresik, Tebing Tinggi, Yogyakarta, Surakarta, Palembang, Banjarmasin, dan Balikpapan. Semua kabupaten yang turut serta dalam program sAIIG, dan beberapa lokasi lainnya juga mengambil bagian dalam kegiatan infrastruktur sanitasi lainnya yang diselenggarakan oleh IndII. 2. Pesan yang disampaikan didasarkan pada jawaban atas empat pertanyaan: Mengapa baik bagi masyarakat untuk memiliki sistem pembuangan air limbah? Mengapa komunitas Anda yang dipilih untuk berpartisipasi dalam program ini? Apa peran positif Pemerintah Daerah Anda? Mengapa Pemerintah Australia bersama Pemerintah Indonesia memberi dukungan dalam pembangunan infrastruktur saluran pembuangan air limbah yang baik? 3. Dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Stuart Hall, seorang pakar ilmu budaya, lima di antara yang diwawancarai mengambil posisi “dominan/hegemonik” (dominant/hegemonic) yang berarti bahwa mereka menerima makna pesan tersebut sebagaimana yang dimaksudkan. Yang keenam berada dalam posisi “menawar” (negotiated) yang berarti bahwa ia memahami pesan tersebut, tetapi sehubungan dengan pengalaman pribadinya sendiri, ia merespon secara ambivalen.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
HADIAH BAGI BUMIKU Esai ini memenangkan juara pertama kategori Esai Pendek dalam Lomba Penulisan Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Oleh Miranda Amelia Putri, SMP Negeri 1, Yogyakarta
Apakah kamu mencintai bumi? Apakah kamu masih peduli sama bumi? Kalau kamu cinta bumi, pasti kamu juga harus peduli sama bumi kita, bumi tempat kita hidup, tinggal, mencari ilmu, bermain, dan sebagai tempat kita berkumpul bersama dengan keluarga kita. Bisa dibilang itu adalah hadiah bumi kepada kita. Jadi kita telah berhutang kepada bumi. Sebagai balasannya, kita juga harus membahagiakan bumi. Upaya menjaga lingkungan tetap bersih dan sehat dapat dilakukan dengan cara memilah sampah, membuang sampah pada tempatnya, 3R, mengelola air limbah, gotong-royong membersihkan sungai atau selokan, membuat saluran drainase, dan tidak membuang limbah ke sungai atau laut. Sanitasi adalah upaya hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan dengan kotoran, dan bahan buangan berbahaya lainnya, untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Limbah tersebut terbentuk karena adanya buangan dari pabrik-pabrik, perindustrian, dan yang paling banyak adalah dari rumah tangga. Bagaimana sih caranya memilah sampah yang baik? Caranya kita pisahkan berdasarkan jenisnya, yaitu sampah kertas, sampah plastik, sampah daun, sampah kaca, sampah organik, dan sampah anorganik. Sampah organik adalah sampah yang bisa teruraikan oleh bakteri. Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang tidak bisa teruraikan oleh bakteri. Sampah organik dan sampah anorganik harus didaur ulang. Sampah organik dapat didaur ulang menjadi pupuk kompos. Sampah anorganik dapat didaur ulang menjadi kerajinan tangan yang dapat dijual kembali.
Atas perkenan Miranda Amelia Putri
Nah, itu semua adalah hadiah dari kita untuk bumi kita tercinta ini. Hal itu harus kita lakukan sejak dini, agar bumi kita tetap bersih, sehat, dan nyaman, juga agar kita terjauh dari kuman-kuman penyebab penyakit. ●
Prakarsa Compendium | Jilid 3
247
248
Pemenang Kompetisi Esai Pendek untuk Pelajar
LINGKUNGAN BERSIH DAN SEHAT Esai ini memenangkan juara kedua dalam Lomba Esai Tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Oleh John Jovi Sidabutar, SMP Negeri 1, Tebing Tinggi
Menciptakan lingkungan bersih dan sehat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Berbagai cara tersebut adalah seperti penyediaan sarana-sarana sanitasi. Salah satu sarana itu adalah tangki septik komunal. Tangki septik komunal adalah tangki septik yang limbahnya berasal dari banyak tempat dan sistemnya secara terpusat. Limbah-limbah dari rumah tangga berupa cair dan padat akan ditujukan ke tangki septik ini. Untuk menujunya, ada beberapa pipa yang menghubungkannya. Pipa ini tertanam di dalam tanah atau jalan. Kita dapat mengetahui keberadaan pipa tersebut dengan adanya benda yang bernama manhole pada permukaan tanah atau jalan. Manhole adalah sebuah lubang yang dapat dibuka atau ditutup untuk memeriksa kondisi pipa yang ada di dalamnya. Tangki septik komunal memiliki keunggulan yang lebih daripada tangki septik individual. Tangki septik komunal dapat menampung dan mengolah limbah dalam jumlah yang besar.
Atas perkenan John Jovi Sidabutar
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Dengan dibangunnya septik komunal, menimbulkan banyak sekali manfaat, diantaranya adalah mencegah penyakit pencernaan (contohnya diare, disentri, typhus), lingkungan menjadi bersih, nyaman dan sehat, masyarakat menjadi sehat, mengurangi pencemaran pada tanah, terciptanya pupuk yang bernilai ekonomis dari limbah-limbah tersebut, dan terciptanya energi alternatif. Energi alternatif ini berupa biogas yang dapat menjadi energi baru bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ●
Kampanye Sanitasi Publik
INI LINGKUNGANKU Esai ini memenangkan juara ketiga, kategori esai pendek dalam Lomba Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Oleh Aulia Nur Septiani, SMP Negeri 8, Yogyakarta
Sanitasi adalah perilaku hidup bersih, dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya, untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Perilaku hidup bersih dapat dimulai dari suatu hal kecil, salah satunya mengolah air limbah. Limbah ialah buangan dari masyarakat, rumah tangga, industri yang bersifat kotoran umum. Di salah satu desa di Kabupaten Sleman, yaitu Desa Jongkang telah menerapkan sistem terpusatnya air limbah. Lingkungan tempat tinggalku yaitu Desa Jongkang telah memiliki tempat pengolahan air limbah terpusat yang memadai bagi warganya. Di lingkunganku sudah dibangun sarana dan prasarana yang baik untuk memusatkan air limbah di suatu tempat. Tujuan dari pembangunan ini adalah agar limbah rumah tangga antara satu dengan yang lainnya tidak saling mencemari. Walaupun masih ada beberapa kepala keluarga yang belum menyetujui jika rumahnya akan dibangun saluran air limbah. Di setiap rumah telah memusatkan air limbahnya ke tempat yang telah ditentukan untuk diolah dengan biaya yang cukup murah, yaitu hanya lima ribu rupiah setiap bulannya. Kegiatan pemusatan air limbah telah di sambut baik oleh pemerintah, beliau menyarankan agar sistem ini dilakukan di semua daerah agar limbah kota Yogyakarta bisa diolah dengan baik dan berguna bagi masyarakat. Dengan demikian, dalam pengolahan air limbah alangkah baiknya masyarakat menggunakan sistem terpusat karena selain menghemat biaya sistem ini tidak akan mencemari lingkungan. Maka suatu hal kecil apabila dilakukan akan menjadi hal yang besar dan dapat bermanfaat bagi kita semua. ●
Atas perkenan Aulia Nur Septiani
Prakarsa Compendium | Jilid 3
249
250
Manfaat Sanitasi bagi Lingkungan dan Kesehatan
MANFAAT SANITASI BAGI LINGKUNGAN DAN KESEHATAN Esai ini memenangkan juara pertama kategori Esai Panjang dalam Lomba Penulisan Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Oleh Muhammad Tegar Arung Buwono, Kelas 7G, SMP Muhammadiyah 2, Yogyakarta
Sanitasi atau sanitation adalah perilaku hidup sehat yang mencegah manusia berhubungan atau kontak langsung dengan kotoran baik berupa buangan dari manusia maupun dari hewan seperti tinja, air seni, limbah cucian yang mengandung berbagai macam bakteri. Sanitasi dilakukan dengan berbagai cara seperti membuat tempat cuci tangan, kamar mandi, WC sampai dengan pembuatan saluran pembuangan, resapan, dan septitank/tampungan kotoran atau limbah. Tujuan paling utama dengan sanitasi yang baik adalah agar kotoran atau limbah berbahaya bagi kesehatan manusia tidak kembali mencemari tanah, air, dan udara, sehingga tidak menimbulkan penyakit. Sanitasi sangat penting bagi lingkungan kita karena akan berakibat langsung kepada kesehatan manusia. Dengan sanitasi yang baik, maka lingkungan kita, terutama air yang kita gunakan sehari-hari untuk minum, memasak, mandi, mencuci pakaian, terutama yang berasal dari air tanah akan terjaga kebersihannya. Sedangkan sanitasi yang buruk akan menyebabkan lingkungan kita, terutama air yang kita gunakan sehari-hari akan kotor dan tercemar berbagai macam bakteri yang bisa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
menyebabkan penyakit bagi manusia. Apalagi kita tahu sebagian penyakit bisa disebabkan atau ditularkan oleh lingkungan yang kotor terutama air. Tingkat kesehatan masyarakat zaman sekarang sudah lebih baik dibanding dengan beberapa puluh tahun yang lalu. Hal itu antara lain disebabkan karena kesadaran akan pentingnya sanitasi yang baik telah meningkat di masyarakat. Meskipun di daerah pedalaman dan di kota-kota besar masih cukup rendah kesadaran masyarakat tentang sanitasi yang baik. Menurut cerita orangtuaku, pada zaman dahulu orang masih seenaknya membuang kotoran atau limbah manusia secara sembarangan, tidak jauh berbeda dengan binatang. Menurut ayahku yang kebetulan suka melakukan perjalanan ke pelosok daerah, beberapa puluh tahun yang lalu, masih banyak ditemui orang buang air besar di pekarangan, di kebun atau di lahan-lahan kosong di dekat tempat tinggalnya. Bahkan lebih serem lagi, menurut ayahku, di daerah yang sulit air, terutama di musim kemarau, banyak orang buang air besar di kebun dan tidak dibersihkan dengan air melainkan hanya dengan daun-daun saja atau bahkan dengan batu. Bisa dibayangkan sangat jorok sekali.
Kampanye Sanitasi Publik
Atas perkenaan SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta
Ada juga yang memiliki kebiasaan buruk dengan buang air di sungai, selokan atau di sumber-sumber air. Padahal sungai, selokan dan sumber-sumber air itu banyak digunakan untuk keperluan sehari-hari masyarakat, seperti untuk mandi, mencuci bahkan untuk memasak. Kebiasaan seperti ini masih bisa ditemui di kota-kota besar seperti Jakarta. Karena sulitnya mendapatkan air bersih maka banyak sungai dijadikan sarana mandi, cuci, kakus (MCK). Hal itu jelas akan menimbulkan berbagai macam polusi atau pencemaran seperti pencemaran air, pencemaran tanah, dan pencemaran udara atau bau. Berbagai bakteri yang menyebabkan penyakit pun pasti akan gampang datang menyerang. Makannya pada zaman dahulu orang lebih gampang terserang berbagai macam penyakit seperti diare, tifus, dan muntaber, karena kurang baiknya sanitasi. Seiring dengan perkembangan zaman kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan termasuk sanitasi yang baik semakin meningkat. Hal itu juga atas jasa pemerintah
atau organisasi sosial atau LSM yang banyak memberikan penyuluhan pengetahuan pentingnya sanitasi sehat kepada masyarakat khususnya di pedesaan atau pelosok dan juga di kota-kota besar. Pada awalnya sanitasi dibuat dengan sangat sederhana dan belum memenuhi syarat kesehatan seperti misalnya membuat WC tradisional yang hanya berupa lubang seperti sumur yang di atasnya ditata kayu. Karena baunya masih kontak langsung atau dapat dicium manusia, apalagi lalat-lalat masih bisa bebas keluar masuk lubang, maka WC seperti ini masih mencemari udara dan masih mudah menimbulkan polusi dan penyakit. Meski kesadaran masyarakat tentang sanitasi yang baik semakin hari semakin meningkat, tetapi karena memerlukan biaya yang mahal untuk membuat sanitasi yang baik, masyarakat di pedesaan-pedesaan dan juga perkotaan masih kesulitan biaya untuk membuatnya.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
251
252
Manfaat Sanitasi bagi Lingkungan dan Kesehatan
Namun seiring dengan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat dan juga karena adanya bantuan dari pemerintah dengan program bantuan pembuatan sanitasi yang sehat, maka perlahan-lahan masyarakat sudah berhasil membuat sanitasi yang baik. Kesehatan masyarakat pun sekarang sudah menjadi lebih baik, meskipun masih ada yang belum baik, terutama di daerah-daerah pelosok atau pedalaman dan juga di kota-kota besar yang sulit atau mahal untuk mendapatkan air bersih. Masalah sanitasi buruk sebenarnya tidak hanya ada di Indonesia saja. Di luar negeri pun banyak terutama di negara-negara miskin dan negara berkembang. Contoh di negara-negara miskin masih banyak yang mengandalkan kloset sederhana dan sungai atau sumber air untuk sarana MCK sehingga gangguan yang ditimbulkannya juga sama yaitu banyaknya penyakit di masyarakat. Untuk mengatasi masalah sanitasi yang baik, di negara Bangladesh sudah mulai dikembangkan kloset murah oleh salah satu produsen brand ternama. Mereka membuat kloset yang sehat, aman, dan murah, jadi tidak menimbulkan bau busuk di kamar mandi ataupun tempat yang biasa untuk membuang hajat. Sekarang di Indonesia, hampir setiap rumah sudah memiliki kloset dan sanitasi lain yang baik, aman serta bersih, inilah yang dapat mengurangi timbulnya penyakit yang disebabkan oleh sanitasi yang buruk. Pada saat ini sudah banyak kloset dengan berbagai pilihan model, kualitas, dan harga. Contohnya kloset jongkok, kloset duduk, dan kloset yang hanya untuk buang air kecil saja. Masyarakat dapat memilih kloset atau kebutuhan perlengkapan sanitasi sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Pada waktu awal-awal dulu, ketika dipakai kloset banyak membutuhkan atau boros air. Tetapi seiring dengan kemajuan zaman, saat ini sudah banyak diciptakan kloset-kloset yang hemat air sehingga dapat mengurangi kebutuhan air rumah tangga, sehingga juga lebih ramah lingkungan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Sanitasi tidak hanya masalah kloset atau WC saja. Ada juga pembuatan sumur resapan yang digunakan untuk menampung limbah rumah tangga seperti air limbah kamar mandi, air bekas cuci piring di dapur, air bekas dari mesin cuci atau cuci pakaian, dan lain-lain. Sumur resapan berfungsi selain untuk menampung juga untuk menetralisir air limbah agar tidak mencemari tanah dan sumur atau sumber air. Sebagai generasi muda, saya mengajak kepada pembaca, marilah kita bersama-sama ikut menyebarluaskan kepada masyarakat betapa pentingnya sanitasi yang baik agar kita selalu dapat hidup sehat tidak mudah terserang penyakit. Paling tidak, kita dapat memulai dengan ikut menginformasikan pentingnya sanitasi sehat di lingkungan sekolah dan tempat tinggal kita. Kita dapat berbuat nyata dengan selalu berusaha ikut menjaga kebersihan WC dan kamar mandi di sekolah dan di rumah kita. Kita juga bisa berperilaku sehat dengan selalu menyiram closet sampai tidak tertinggal kotoran dan tidak bau, setiap kali kita selesai buang air besar maupun kecil. Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya sanitasi yang baik, maka secara otomatis akan mempercepat tercapainya kondisi masyarakat yang sehat dan sejahtera. ●
Kampanye Sanitasi Publik
IMPIAN KOTA 1000 SUNGAI Esai ini memenangkan juara kedua kategori Esai Panjang dalam Lomba Penulisan Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Oleh Dhiya Salma Azminida, SMP Negeri 1, Banjarmasin
Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia (sumber: http:// id.m.wikipedia.org/wiki/Sanitasi). Bahaya dari lingkungan yang tercemar sangat berpengaruh bagi kesehatan fisik. Contohnya seperti sampah yang sengaja dibuang ke sungai. Pada awalnya aku terpaku melihat, di setiap kesempatan aku pergi ke sekolah, rumah teman, atau pun ke suatu tempat, di sini aku selalu melalui sungai. Ya, kotaku adalah kota dengan julukan City of a Thousand Rivers. Di mana lagi di Indonesia ini yang memiliki julukan seperti itu selain Banjarmasin. Aku juga berpikir betapa beruntungnya makhluk-makhluk Tuhan yang tinggal di dalam sana, karena tidak merasakan permasalahan yang ada di atas tempat mereka tinggal. Seperti kemacetan kendaraan yang berbahan bakar minyak itu, yang orang-orangnya tidak memanfaatkan juga mengembangkan beberapa bahan bakar alternatif yang sekarang sudah ada diciptakan oleh putra-putri berprestasi di Indonesia, karena kemacetan itu adanya polusi udara yang tidak lain tidak bukan menyakiti diri kami sendiri. Aku sadar aku adalah salah satu dari mereka, tapi tidak, aku tidak sama. Aku juga tahu kalau perbuatan kami ini menyusahkan diri kami sendiri. Dan masih banyak pencemaran-pencemaran lain. Aku menginginkan berkunjung di perairan itu, bukan hanya di sungai tapi juga laut. Bagai ingin bertemu dengan ikan badut terkenal bernama Nemo, berpetualang bersama ayahnya,
Atas perkenan Dhiya Salma Azminida
Prakarsa Compendium | Jilid 3
253
254
Impian Kota 1000 Sungai
Marlin, dan Dory dengan berani berhadapan dengan ikan hiu, menanyakan bagaimana rasanya berenang di arus deras pada para penyu laut yang umurnya ratusan tahun yang ada di kartun animasi yang berjudul “Finding Nemo”. Aku merasa sungai di Kalimantan Selatan termasuk sungaisungai indah, banyaknya kapal-kapal yang melintas di atasnya, perahu-perahu kecil yang mengayuhnya adalah ibu-ibu dan bapak-bapak, bahkan anak-anak, nenek-nenek atau kakek-kakek tua renta yang bersemangat menjual sayur-sayuran, kue-kue khas Banjar, buah-buahan yang tertata rapi diatas perahu mereka yang kami sebut jukung, bahagia dan menunggu dengan rasa penasaran di raut wajah para pemancing. Hal itu kulihat dari jembatan di atas sungai-sungai besar di Banjarmasin. Tak hanya hal-hal menakjubkan nan indah yang membuat mata terpukau melihat sungai-sungai Banjar ini. Tapi betapa tak sedapnya dipandang mata, masih banyak tempat pembuangan air di sana yang masih dipakai oleh masyarakat sini. Yang kulihat adalah, mereka mencuci pakaian dan piring, mandi untuk diri sendiri bahkan untuk anak-anak mereka, air kumur-kumur untuk sikat gigi, mencuci tangan dengan air itu tanpa sabun, dan untuk buang air, mengambil air itu memasukannya ke dalam ember lalu merebusnya. Dan tidak jarang setelah mereka melakukan hal bersih-bersih diri. Yang kulihat adalah mereka kotori lagi sumber keseharian mereka, dengan hasil kegiatan rumah tangga, ya…apa lagi kalau bukan sampah rumah tangga. Ringannya tangan-tangan orang-orang ini, sampahsampah yang terbungkus plastik itu dengan mudahnya melayang ke atas sungai. Hanyut bersama aliran sungai dan berenang bersama-sama bagai sekelompok bebek yang berendam di air. Apa mereka tidak berpikir kala mereka melakukan hal itu, mereka menyakiti diri sendiri, anak-anak, keluarga, dan kerabat mereka sendiri? Dan bukan hanya mereka, tapi aku sendiri pasti akan merasakannya. Di saat mereka mandi dan mencuci, yang kurasakan adalah bagaimana bila aku jadi bertemu dengan makhluk-makhluk Tuhan yang ada di dalam sana? Apakah aku akan merasakan rasanya keracunan bahan kimia dari sabun-sabun mereka ini? Aku tahu itu sudah pasti terjadi. Tapi sebelum aku membayangkan reaksiku keracunan itu. Aku terbayang mereka. Ya, mereka makhluk-makhluk Tuhan yang ada di dalam air itu pasti merasakannya setiap hari. Tapi, mereka yang melakukan itu, orang-orang yang mandi dan mencuci tadi juga merasakannya. Karena aku melihat mereka makan dan minum dari air sungai itu, walaupun aku tahu mereka memasaknya terlebih dahulu.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Bagaimana nasib kotaku ini? Bagaimana dengan orangorang yang buang air di sana? Apa itu termasuk kategori orang-orang yang buang air sembarangan? Menurutku, sih, iya. Itu membuatku merasa jijik meminum air dari rumahku sendiri. Aku tahu air di rumahku adalah air bersih dari PAM tapi aku tau asal mula sumber air itu dari sungai-sungai di lingkunganku sendiri. Orang-orang yang buang air di sungai itu, mungkin tidak merasa, ya, kalau mereka memberi minum dan membiarkan anak-anak dan keluarga mereka mandi dari air tempat mereka buang air. Banyak pertanyaan yang ada di otakku, mengapa mereka tidak membuangnya di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang sudah di sediakan pemerintah. Tapi di saat yang bersamaan timbul jawaban dari semua itu? Mereka merasa sangat mudah tinggal ke belakang rumah lalu mengayunkan tangan hingga kantung-kantung plastik yang berisi sampah itu hanyut di atas sungai atau saat melintas lebih nyaman mengayunkan tangan untuk membuang sampah itu dari pada ke TPS mereka akan mencium bau yang tidak sedap dari sampah rumah tangga yang lain. Aku juga tau, larangan membuang sampah pada siang hari yang menyebabkan mereka merasa tertekan jika harus berjalan keluar di malam hari hanya untuk membuang sampah. Ya, bagai kata pepatah yang sering kudengar “tak ada rotan akar pun jadi”. Well, mengenai yang buang air tadi. Aku juga banyak pertanyaan tentang mereka. Aku melihat hal ini bukan hanya ada di Banjarmasin, tapi juga di daerah lain di Kalimantan Selatan, bahkan di luar pulau Kalimantan masih banyak hal ini. Benda itu, jamban kami biasa menyebutnya. Jamban ini sengaja dibangun oleh masyarakat sekitar untuk melakukan aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK). Sangat tidak sedap dipandang mata, karena menurutku sungai-sungai ini terlihat kumuh bila ada benda itu. Tapi terlintas lagi jawaban dari pertanyaanku, mengapa mereka buang air di sungai? Rupanya mereka adalah orang-orang yang kurang mampu dan kurang pengetahuan, juga kurang wawasan. Sebagian besar dari rumah mereka, tidak memiliki WC atau toilet pribadi. Dan kebiasaan mereka ini sudah turun temurun mereka lakoni. Yah…seperti yang di lakukan biasanya oleh orang-orang terdahulu dari mereka. Dengan kebiasaan buruk orang-orang ini, aku merasa sepertinya aku tidak ingin bertemu dengan makhlukmakhluk Tuhan di sungai-sungai itu. Karena bukan hanya dampaknya pada makhluk-makhluk Tuhan di sungai itu. Tapi, juga pada diri mereka, dan aku sendiri tentunya. Menurutku, apa yang akan terjadi pada mereka? Ya, mereka akan menderita penyakit, mulai dari sakit perut karena minum dari air sungai yang tercemar itu, memasak
Kampanye Sanitasi Publik
dengan air sungai itu atau tertelan dengan tidak sengaja. Mungkin mereka akan terkena flu, mereka juga pasti akan merasakan penyakit kulit karena mandi dan mencuci pakaian dari sungai, penyakit kulit mulai dari gatal-gatal sampai yang di katakan oleh orang-orang medis salah-satu penyebab orang-orang kena kanker kulit adalah kebersihan diri yang tidak dijaga. Aku jadi berpikir, anganku tentang ingin bertemu makhlukmakhluk Tuhan yang ada di sungai itu, bahkan ke laut untuk bertemu Nemo, ayahnya, dan Dory yang pemberani, juga penyu laut nanti saja dulu. Sudah saatnya aku “mengadu ujung penjahit”. Sekarang pikiranku tertuju pada, menyelamatkan orang-orang itu, makhluk-makhluk Tuhan yang ada di sungai itu, dan diriku sendiri, juga keluarga serta sahabat-sahabatku dari pencemaran sungai. Aku juga menginginkan indahnya melihat 1000 sungai di kotaku dengan mengatakan kata-kata indah yang mewakili perasaan melihatnya.
untuk terciptanya lingkungan yang bersih, air sungai yang tidak menjadi air limbah, dan setiap hari akan rindu pada aliran sungai yang di atasnya dihiasi pemandangan indah seperti kapal-kapal juga perahu yang beraktivitas, eceng gondok yang bermigrasi sama-sama, dan orang-orang yang bercengkrama di atas perahu mereka. Mari wujudkan sifat kepedulian terhadap lingkungan agar tercipta lingkungan yang sehat dan bersih. ●
Bagaimana itu dapat terjadi? Bagaimana caranya aku melakukan hal itu? Bagaimana kalau dengan mengajak kalian semua untuk mengikuti aturan pemerintah, jangan membuang sampah sembarangan karena hal itu? Mengajak pemerintah untuk bertindak lebih tegas, dan memperbanyak orang-orang yang peduli lingkungan untuk ikut serta dalam hal ini. Aku menginginkan pemerintah melakukan pembinaan dan menambah wawasan pada mereka yang kurang tahu tentang pencemaran lingkungan. Seandainya, air itu bisa bicara mungkin mereka akan berkata “tidaaak… tidaaak, aku tidak mau diriku kotor karena ulah manusia, tak ingin aku merasa jijik dengan diriku sendiri karena kotoran manusia.” Aku juga menginginkan, pemerintah lebih peduli, dan memperhatikan masyarakat yang belum memiliki toilet pribadi di rumahnya. Seandainya, aku bisa mengalirkan air PAM ke rumah-rumah warga, supaya mereka bisa memberi air minum, dan memasak dengan baik untuk mereka, keluarga, terutama anak-anaknya. Karena aku percaya “tak ada harimau yang memakan anaknya”. Tak mungkin mereka menginginkan anak-anaknya sakit. Kini hanya kepedulian kita, jika ingin mendengar kembali julukan City of a Thousand Rivers oleh Banjarmasin Bungas, walaupun sebenarnya kini tidak seribu sungai lagi yang ada di sekitarku. Kini sungai-sungai itu sudah berkurang karena banyaknya pemukiman masyarakat. Tapi kini hanya perlu kata optimis dan usaha untuk mendapat Banjarmasin Bungas yang diakui oleh daerah-daerah lain, kalau Banjarmasin memang Bungas. Seperti impian kota ini,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
255
256
Indonesia dan “Gengsinya” tentang Sanitasi
INDONESIA DAN “GENGSINYA” TENTANG SANITASI Esai ini memenangkan juara ketiga kategori Esai Panjang dalam Lomba Penulisan Esai tentang Sanitasi 2015 yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Oleh Bagas Pramana Putra Fadhila, SMP Negeri 8, Yogyakarta
tidak harus ikut pusing memikirkan hal tersebut. Kita memang tidak bisa menyalahkan masyarakat kita akan kebodohan ini karena memang kesalahan bangsa ini yang membuat generasi sekarang atau mungkin generasi berikutnya “buta” akan hal sanitasi atau kebersihan.
Atas perkenan Bagas Pramana Putra Fadhila
Kalau berbicara tentang masalah sanitasi pasti belum semua masyarakat tahu, alih-alih tahu malah tidak ingin tahu. Banyak orang pintar berkata bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan buruk yang berkaitan dengan kebersihan. Mungkin banyak orang percaya dengan opini itu, namun saya memiliki cara pandang tersendiri. Masyarakat kita mungkin ada yang memang mempunyai kebiasaan buruk, tetapi saya percaya sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak akan berperilaku seperti “binatang”. Masyarakat kita mempunyai kebiasaan buruk dikarenakan sangat sedikit informasi terkait tentang hal sanitasi atau kebersihan. Dapat kita saksikan di televisi, koran, dan media lainnya jarang sekali yang menampilkan materi tentang kebersihan, banyak yang menganggap bahwa masalah sanitasi itu hanyalah masalah pemerintah dan kita Prakarsa Compendium | Jilid 3
Jikalau sedari dulu kita memberikan pengetahuan yang cukup kepada masyarakat, maka tidak akan tercipta hal semacam ini. Kebodohan kita akan sanitasi membuat masyarakat dan pemuda menjadi bertindak apatis dan egois tentang hal kebersihan. Mereka membuang sampah sembarangan seakan mereka tidak bersalah atas hal itu, hal yang membuat lingkungan menjadi kumuh, hal yang menjadikan sebuah tempat tercemar, dan akhirnya siapa yang disalahkan pastinya pemerintah. Halhal tersebut dikarenakan oleh kebodohan kita akan sanitasi, jadi janganlah mengklaim bahwa Indonesia itu bangsa yang cerdas. Kita lihat dulu di lapangan, bahkan sebuah kota yang mendapatkan penghargaan kota terbersih (Adipura) masih banyak sampah berserakan. Itukah yang dimaksudkan orang cerdas? Lalu dengan sekolah terbersih betulkah itu memang sekolah terbersih, tentu tidak, mengapa? Karena sekolah hanya membersihkan sampah jika ada petugas yang menilai. Itu semua hanyalah gengsi belaka yang menghancurkan bangsa. Jikalau ingin diklaim, kita harus menilai kebiasaan suatu masyarakat atau komunitas yang berkaitan. Percuma saja jika ada suatu sekolah diklaim menjadi memiliki sanitasi yang baik, padahal siswanya mempunyai kebiasaan membuang sampah di parit depan sekolah, meninggalkan sampah di laci-laci, membuat kotor lingkungan dan tidak ingin bertanggung jawab atas hal tersebut. Ada suatu sekolah yang mempunyai banyak wastafel di sana-sini, masing-masing wastafel mempunyai sabun, namun aliran pembuangan air sisa cuci tangan dialirkan ke tanah, bahkan ke tanaman. Bukannya menanamkan kebiasaan baik, tetapi malah mengotori dan mencemari lingkungan. Sebelum saya masuk ke bahasan utama, saya ingin berterima kasih kepada Anda/Saudara yang telah berkenan membaca esai yang saya tulis karena tidak sedikit orang dewasa yang meremehkan ide-ide dari remaja seusia saya ini. Mereka
Kampanye Sanitasi Publik
memiliki cara pandang yang menyatakan bahwa remaja belum memiliki pemikiran yang matang yang menyebabkan kami tidak bisa mencetuskan ide-ide atau pendapat kepada lingkungan sekitar. Mereka membatasi hak kami untuk berpendapat dan hak untuk memulai suatu perubahan. Kami remaja Indonesia memang masih banyak yang tidak peduli dan egois akan kebersihan lingkungan, namun hal tersebut bukan salah kita sepenuhnya karena orangtua kita tidak membiasakan atau mencontohkan kita menghargai lingkungan, terkadang malah mereka yang mengajarkan kita untuk membuang sampah sembarangan. Menurut pandangan saya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi animo masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan terutama kebiasaan mencuci tangan dan membuang sampah pada tempatnya. Pertama, seperti yang telah saya paparkan tadi bahwa kurangnya pengetahuan atau wawasan mengenai sanitasi atau kebersihan lingkungan. Kedua, tidak adanya tempat sampah yang menjadikan orang yang aslinya memiliki kebiasaan baik menjadi orang yang memiliki kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan. Ketiga, kemalasan masyarakat, padahal mereka tahu urgensi tersendiri dalam menjaga lingkungan. Keempat, kesalahan yang berasal dari pengelola lingkungan itu sendiri, misalnya tempat sampah yang sudah penuh tidak segera dibuang atau diangkut, sehingga menimbulkan bau busuk yang menjadikan masyarakat enggan membuang sampah. Dalam mencuci tangan sama halnya dengan membuang sampah, yaitu hanyalah masalah kebiasaan dari individu itu sendiri. Maka dapat saya simpulkan bahwa kebiasaan sederhana dan sepele seperti membuang sampah sembarangan, tidak pernah mencuci tangan, kelalaian pengelola lingkungan hidup, kemalasan untuk bergerak, berpikir pendek dapat menimbulkan masalah yang amat besar bagi bangsa ini seperti sekarang, yang dapat membunuh banyak jiwa, yang dapat menyebabkan penyakit di mana-mana, yang menjadikan generasi ini atau mungkin generasi 100 tahun ke depan tidak akan memiliki lingkungan yang bersih, nyaman, dan sehat. Infrastruktur dan sarana-prasarana juga mempunyai peran penting dalam pembangunan lingkungan hidup dengan sanitasi yang baik seperti halnya IPAL, sumur sumber air PDAM, selokan, gorong-gorong limbah, sedimentasi, dan filtrasi limbah. Tanpa adanya teknologi dan kemauan yang memadai, kebijakan pembangunan sanitasi tidak akan bekerja dengan baik. Untung saja ada beberapa negara yang ikut berkontribusi dalam peningkatan sanitasi di Indonesia. Penanam modal dan kontraktor yang konsisten juga dapat mempercepat pembangunan infrastruktur sanitasi. Kita sering melihat banyaknya limbah mentah yang langsung dibuang ke sungai, hal tersebut menyebabkan pencemaran lingkungan serta mengotori sumber air untuk irigasi. Namun beberapa tahun ini, industri mulai memperbaiki sistem pembuangan limbahnya. Hal tersebut cukup melegakan, namun setelah masalah limbah industri selesai muncullah masalah baru, yaitu limbah rumah tangga dan laundry. Hal ini mesti diperhatikan dan diawasi perkembangannya oleh Badan Lingkungan Hidup setempat agar air yang disalurkan
lewat parit tetap bersih dan tidak tercemar. Salah satunya dengan menggunakan filter sederhana. Saya pernah membuat suatu penelitian tentang filter sederhana bernama RWFS yang dapat memfilter limbah PG. Madukismo menjadi air yang layak untuk pertanian dan dapat menurunkan kadar konsentrasi yang ada di limbah tersebut serta harga RWFS tidak mahal hanya berkisar 25.000–50.000 rupiah, hanya saja dibutuhkan maintenance yang baik. Filter ini juga berfungsi untuk air bekas cucian. Kemudian yang mungkin perlu dikembangkan yaitu sebuah sistem yang dapat menampung dan menguraikan “sampah” tubuh dengan cepat dan tidak memerlukan ruang besar, sehingga dapat berperan sebagai pengganti septic tank dan IPAL. Tangki septik dan IPAL cukup sulit direalisasikan karena membutuhkan dana yang cukup tinggi dan waktu pengerjaan yang lama, maka dari itu saya berharap tim dari teknik lingkungan dapat menemukan solusi terbaik untuk teknologi pembuangan limbah rumah tangga. Sungguh memprihatinkan melihat bangsa sebesar Indonesia ini memiliki masyarakat yang “buta” akan lingkungannya sendiri, egois, dan apatis. Apalagi dengan segala predikat yang menempel padanya. Pernahkah Anda membayangkan atau pun membandingkan kebiasaan baik orang Singapura, Australia, dan UE yang daerahnya sempit dengan kebiasaan orang Indonesia yang katanya bangsa yang besar dalam hal membuang sampah atau kebiasaan dalam menjaga kebersihan? Menangis hati ini jikalau memikirkan nasib bangsa ini yang hancur karena ulahnya sendiri. Maka saya bersikeras mengingatkan kepada seluruh masyarakat, arek-arek Indonesia, dan orang dewasa yang sebelumnya tidak pernah mendengarkan. Tolonglah untuk dirimu sendiri, demi generasimu sendiri, jagalah lingkungan kita dan tanamkan kebiasaan baik. Saya percaya bahwa kebiasaan sederhana yang kita lakukan dan kita tularkan akan menggerakkan hati orang lain untuk melakukannya juga. Kebiasaan sederhana yang dapat menyelamatkan banyak jiwa di masa mendatang. Pemerintah juga harus konsisten dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur sanitasi dan dalam melaksanakan program-programnya akan pengelolaan lingkungan hidup, mengelola IPAL dengan baik dan menyelesaikan masalah-masalah tentang IPAL dan sistem pembuangan sampah, serta pabrik-pabrik daur ulang, memperbaiki tata pengelolaan limbah industri, dan memperbaiki tata letak air dan sistem sedimentasi, sehingga bangsa ini dapat menjadi bangsa yang tersatupadu dalam menyelamatkan lingkungan. Kita harus mengambil kesempatan ini sekarang juga, jangan lepaskan kesempatan yang ada, karena keputusan kita sekarang akan berpengaruh terhadap generasi 100 tahun mendatang. Pesan terakhir saya, jika Anda membaca ini hanya sebagai esai atau bacaan ringan biasa, maka Anda sendiri yang tidak akan menemukan makna dan Anda sendiri yang rugi serta anakanak Anda. Saya masih ingin melihat Indonesia ini menjadi negara percontohan dalam bidang sanitasi seperti Australia, Singapura, dan UE, begitu pula dengan Anda kan? Jadi, mari kita BUDAYAKAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN SEBAGAI KEBUTUHAN UTAMA. ● Prakarsa Compendium | Jilid 3
257
258
Kisah Sanitasi di Tepi Sungai Musi
KISAH SANITASI DI TEPI SUNGAI MUSI Artikel ini menang sebagai juara pertama dalam lomba penulisan untuk wartawan yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Artikel tersebut telah diterbitkan oleh Antara pada tanggal 24 Februari 2015. Oleh Dolly Rosana ST
Waktu menunjukkan hampir pukul 6.00 WIB. Matahari mulai menyapa melalui cahayanya yang kemilau di sela-sela rumah yang berdiri tak tertata di bantaran Sungai Musi, Palembang. Sekelompok warga mulai beraktivitas di pagi hari itu, mulai dari anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, hingga orang tua. Mereka mengantre di sebuah fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) umum yang berdiri di atas lahan seluas 7 x 12 meter, persis bersebelahan dengan gedung sekolah dasar (SD) negeri.
(600 jiwa) memanfaatkan MCK tersebut sejak didirikan pemerintah pada tahun 2011. Keberadaan MCK ini demikian dimanfaatkan warga, baik di saat musim hujan maupun musim kemarau. “Kini, semua warga ke sini. Hanya sekitar 20 persen yang masih MCK di rumah sendiri, bisa jadi karena sudah memiliki WC dengan septic tank sendiri atau masih mempertahankan budaya lama (WC cemplung, red.),” kata Mansyur.
Tanpa harus dikomandoi, puluhan warga RT 05, Kelurahan 05, Ulu ini berbaris dengan tertibnya menunggu giliran untuk memanfaatkan MCK yang hanya terdiri atas empat kakus dan tiga kamar mandi.
Ia mengemukakan bahwa pengelolaan MCK ini secara swadaya, yakni dengan memungut biaya sebesar Rp 10 ribu bagi keluarga yang memanfaatkan untuk mencuci pakaian. Sementara itu, bagi mereka yang hanya menggunakan kakus, warga bersepakat tidak dikenai biaya sama sekali.
Lantaran makin banyak orang yang datang membuat barisan warga bertambah panjang sehingga memaksa sebagian pengantre menunggu di tepi jalan yang hanya selebar 1 meter.
Terkait dengan ketersediaan air, dia mengemukakan bahwa hal itu tidak mendapatkan masalah karena mengambil langsung dari sungai Musi dengan membuat jalur pipa sepanjang 100 meter.
Beruntung, pagi ini belum ada kendaraan roda dua yang berlalu lalang di kampung yang warganya sebagian besar berprofesi sebagai buruh, pengolah ikan, hingga awak kapal ini.
Air yang disedot dengan mesin itu akan disimpan di dalam tabung penyimpanan selama kurang-lebih satu minggu agar ketika digunakan sudah bersih.
Ketua RT 05 Muhammad Masyur mengatakan bahwa hampir 80 persen warganya yang terdiri atas 160 kepala keluarga
Prakarsa Compendium | Jilid 3
“Kotoran akan turun dengan sendirinya, airnya pun bersih dan bening. Caranya, bagian tengah dinding tedmon (drum plastik, red.) dilubangi untuk mengalirkan air, bukan bagian bawahnya,” ujar dia.
Kampanye Sanitasi Publik
Kehidupan di sepanjang tepi Sungai Musi Palembang
Menurut dia, tidaklah mudah untuk mengadakan fasilitas MCK ini di kawasan kumuh bantaran Sungai Musi ini. Ketidaktersediaan lahan menjadi kendala utama. “Saya mengajukan ke pemerintah, menunggu hingga empat tahun sebelum akhirnya disetujui. Hal ini pun bisa karena ada sisa tanah halaman SD. Jika mengharapkan tanah warga, mau di mana lagi, antar rumah saja sudah tidak ada jarak,” ujar dia. Namun, berkat desakan warga yang mulai sadar akan kebersihan lingkungan membuat pemerintah merealisasikan MCK ini. “Cukuplah dengan banyaknya sampah, jangan pula dibarengi dengan bau tidak sedap. Terus terang saja, saya malu jika ada tamu yang berkunjung,” ujar Ketua RT ini. Shaibah (65), warga RT 05 mengharapkan pemerintah menambah fasilitas MCK di lingkungan tempat tinggalnya karena yang tersedia saat ini terbilang tidak mencukupi kebutuhan warga.
Atas perkenan Kimberly Jansen
“Setidaknya ada satu lagi fasilitas MCK karena pada saat jam sibuk, ramai sekali, antrenya ramai sekali,” kata Shaibah. Ia mengatakan bahwa warga bantaran sungai pada prinsipnya sangat menginginkan lingkungan yang hidup sehat dan bersih, hanya saja keterbatasan biaya membuat mereka masih menggunakan jamban. “Kami membutuhkan bantuan pemerintah karena biaya untuk membuat septic tank sendiri itu tidak murah,” kata dia.
Sanitasi Rendah
Kesadaran warga tepi sungai terhadap sanitasi lingkungan tempat tinggalnya bisa dikatakan sangat rendah, seperti tidak memiliki fasilitas MCK hingga tidak peduli terhadap penanganan limbah rumah tangga. Bagi warga bantaran, membuang sampah ke sungai adalah sesuatu kelaziman yang sudah berlangsung secara turuntemurun. Mereka beranggapan sampah yang dibuang bukanlah suatu persoalan besar karena pada akhirnya kotoran tersebut akan tersapu ke sungai ketika air pasang.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
259
260
Kisah Sanitasi di Tepi Sungai Musi
Supriyadi (45), warga Jalan Kenduruan, Kelurahan 05, Ulu mengatakan bahwa pada musim kemarau biasanya sampah berserakan di mana-mana disertai dengan bau yang tidak sedap. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama karena pada musim berganti, maka sampah-sampah tersebut akan tersapu air sehingga kondisi lingkungan bantaran sungai kembali terlihat bersih. “Tidak masalah, nanti juga bersih sendiri,” kata Supriyadi yang berprofesi sebagai pengepul ikan ini. Saat air pasang, warga pinggiran sungai menggunakan air sungai untuk beragam keperluan, seperti mandi, mencuci pakaian, mencuci sayuran, mencuci beras, mencuci ikan, hingga menyikat gigi. Ada pula beberapa rumah yang kembali memanfaatkan WC cemplung ketika air pasang itu. “Dahulu sewaktu saya kecil, air Sungai Musi ini dimasak jadi air minum. Akan tetapi, sekarang sudah banyak warga yang membeli air galon karena menyadari kualitasnya sudah menurun,” kata dia.
Butuh Perhatian Pemerintah
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, mengatakan bahwa penanganan sanitasi warga bantaran Sungai Musi harus menjadi perhatian khusus Pemerintah. Menurut dia, langkah strategis harus diambil mengingat kualitas air Sungai Musi semakin menurun setiap tahun karena tingginya pencemaran tanah dan air akibat aktivitas penduduk hingga industri yang tergolong masif. Pada sisi lain, dia mengatakan bahwa penduduk sangat bergantung pada air Sungai Musi karena menjadi satusatunya air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Musi. “Pemerintah Kota Palembang harus memiliki programprogram strategis untuk menekan tingkat pencemaran di Sungai Musi, salah satunya aktif mendekatkan warga dengan program sanitasi,” kata dia. Konsentrasi program sanitasi ini sebaiknya tidak hanya terkonsentrasi di permukiman bantaran sungai, tetapi juga permukiman padat penduduk lainnya yang tingkat pencemaran tanahnya sudah relatif tinggi. “Agar beragam program sanitasi dapat berjalan berkesinambungan, pemerintah harus melibatkan warga, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaanya. Misalnya,
Prakarsa Compendium | Jilid 3
membangun instalasi pengolahan air limbah sebaiknya melibatkan warga, jangan sampai setelah dibangun, ada keluhan warga karena letaknya yang mengganggu,” ujar dia.
Bantuan Australia
Persoalan sanitasi warga tepi sungai dengan pemukiman padat penduduk atau kumuh, sebenarnya relatif tidak berbeda jauh karena limbah rumah tangga yang dihasilkan juga mencemari tanah dan air. Umumnya, pencemaran tanah terjadi akibat setiap rumah membangun septic tank sendiri-sendiri, sementara pada sisi lain keberadaan sumur hanya dalam radius beberapa meter. Kenyataan ini menggugah Pemerintah Australia untuk menyalurkan dana hibah sanitasinya ke warga Kota Palembang dalam program pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL), baik secara kawasan maupun perkotaan. Kepala Bappeda (Badan Pengembangan Daerah) Ir. M. Sapri, DIPL, HE mengatakan di Palembang pada hari Rabu 11/2 bahwa Kota Palembang terpilih karena 96.07 persen warganya telah mengakses air bersih. Selain itu, Pemerintah Kota Palembang juga memiliki komitmen tinggi dalam meningkatkan sanitasi warganya terkait dengan penanganan drainase, limbah, dan sampah, dengan menganggarkan dana APBD sebesar Rp 150.564.006.855 atau mencapai 10,43 persen dari belanja langsung 2015. “Setiap tahun dana yang dialokasikan selalu bertambah. Hal ini yang membuat kami percaya bahwa persoalan sanitasi menjadi perhatian di Palembang. Tidak semua daerah di Indonesia seperti Palembang sehingga dana hibah ini yang diserap beberapa kota saja,” ujar Nur Fadrina Mourbas, Staf Program Air Minum dan Sanitasi usai sosialisasi mengenai program hibah dengan sejumlah wartawan media massa Kota Palembang. Kepala Bappeda Sapri mengatakan bahwa khusus program yang berkenaan dengan bantuan pemerintah Australia, pemerintah kota telah mengalokasikan dana Rp 11 miliar pada tahun 2015 untuk pembangunan IPAL. Wujud nyata lainnya bukti keseriusan Pemerintah Kota Palembang yakni menerbitkan surat Wali Kota tentang minat dan kesanggupan untuk menyiapkan alokasi dana, penandatanganan surat persetujuan perpanjangan
Kampanye Sanitasi Publik
hibah, penyiapan lahan pembangunan IPAL komunal, dan perkotaan. Kemudian, membuat master plan dan Detailed Engineering Design for City Sewerage skala kota dan komunal, membuat unit pelaksana teknis daerah pengelolaan limbah, hingga mempersiapkan sumber daya manusia terkait dengan tim teknis dan kelompok kerja sanitasi. “Tidak semua kota mau berkomitmen seperti kota Palembang, mulai dari pembebasan lahan hingga membuat desain instalasinya. Yang patut diacungi jempol, Pemerintah Kota mau mengeluarkan dana terlebih dahulu untuk beragam kebutuhan sebelum akhirnya diganti oleh Pemerintah Australia,” kata dia. Terkait dengan penggantian dana pembangunan infrastruktur ini, menurut dia, Pemerintah Australia telah menyiapkan dana untuk sambungan instalasi pengolahan air limbah di 2.000 titik rumah warga dengan nilai Rp 4 juta per sambungan atau total Rp 8 miliar. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palembang Syapri Nungcik mengatakan bahwa program yang telah direncanakan sejak 2010 tidak berapa lama lagi akan terealisasi karena lima titik yang dijadikan target pembangunan IPAL kawasan telah ditentukan.
Pemerintah Australia bekerja sama dengan Pemerintah Daerah di Indonesia membangun infrastruktur sanitasi demi penyelamatan lingkungan dengan mengucurkan dana hibah sebesar A$ 195 juta. [Catatan editor: setelah penerbitan artikel ini di media, angka direvisi menjadi A$ 180 million.] Dana tersebut dalam bentuk program hibah air minum sebesar A$ 90 juta, hibah sanitasi senilai A$ 5 juta, hibah pembangunan infrastruktur sanitasi (sAIIG) A$ 40 juta, pembangunan sarana pengolahan limbah skala perkotaan (city sewerage) A$ 45 juta [masih menunggu persetujuan]. Sementara realisasi program yang segera dilaksanakan di Kota Palembang yakni program hibah berapa sambungan sanitasi ke rumah untuk 2.000 sambungan di lima kawasan, program sarana pengolahan limbah skala perkotaan di Kelurahan Sungai Selayur. Sedangkan, program pengolahan air untuk 6.000 sambungan rumah tangga direncanakan pada tahap berikutnya. Program sanitasi ini juga mendukung komitmen Indonesia dalam pembangunan millenium (Millennium Development Goals) yang menyepakati 68,87 persen penduduk Indonesia mengakses air minum yang layak dan 62,42 persen penduduk Indonesia mendapatkan akses sanitasi yang layak pada tahun 2015. ●
Kelima titik itu, yakni di Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Sako, Kecamatan Sematang Borang, Kecamatan Sukarami, dan Kecamatan Gandus. “Targetnya ada di 10 kawasan, tapi untuk tahap awal ini di lima kawasan terlebih dahulu dengan 1.000 sambungan ke rumah warga, diperkirakan dana yang terserap sekitar Rp 4 miliar, sisanya akan dikejar kemudian,” kata Syapri. Selain menyiapkan instalasi pengolahan limbah untuk kawasan, Pemerintah Kota juga akan menyerap dana hibah Australia untuk instalasi pengolahan limbah perkotaan. Pemerintah Kota telah menyiapkan lahan seluas 5,7 hektar di Kelurahan Sungai Selayur, Kecamatan Kalidoni yang sudah dibebaskan dari kepemilikan warga sejak 2012. “Lingkungan hidup sehat tentunya memerlukan sarana sanitasi yang baik, inilah yang menjadi cita-cita Pemerintah Kota Palembang. Selama ini warga membuat septic tank sendiri-sendiri sehingga mengotori air tanah. Jika air limbah warga ini dikelola secara terpusat, potensi kerusakan lingkungan dapat ditekan,” ujar dia.
Tentang Penulis: Dolly Rosana lahir di Palembang, 17 Februari 1982. Saat ini ia bekerja di Kantor Berita Antara yang ditempatkan di Palembang, Sumatera Selatan dengan bidang liputan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, hukum, dan olahraga. Dolly memulai karir sebagai jurnalis pada 2010 di sebuah harian lokal selama satu tahun, sebelum akhirnya bergabung dengan Antara. Meski jadi wartawan, Dolly juga memiliki hobi di bidang olahraga sejak usia belia. Pada tahun 2012, ia pernah meraih medali perak cabang olahraga anggar pada Pekan Olah Raga Nasional XVIII di Riau.Di bidang penulisan, ia sangat menyukai membaca novel, cerpen, biografi, karangan khas, yang intinya ingin memahami apa yang dirasakan orang lain tanpa perlu mengalami agar bisa menjalani hidup lebih baik lagi.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
261
262
Hidup yang Lebih Sehat Melalui Sambungan ke Sistem Air Limbah
HIDUP YANG LEBIH SEHAT MELALUI SAMBUNGAN KE SISTEM AIR LIMBAH Artikel ini menang sebagai juara kedua dalam lomba penulisan untuk wartawan yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Artikel tersebut telah diterbitkan oleh Minggu Pagi pada tanggal 4 dan 11 Januari 2015. Oleh CM Ida Tungga Gautama
BAGIAN 1: HIDUP MEREKA MENJADI LEBIH NYAMAN
Dulu, setiap kali hendak buang air besar (BAB), Bu Inem harus menengok kanan-kiri untuk menghindari penglihatan orang. Perempuan paruh baya yang tinggal di RT 09, RW 03, Kampung Bener, Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta ini memang sudah lama melaksanakan kegiatan rutin di Sungai Winongo, yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Kegiatan serupa, mulai dari mandi, mencuci, dan membuang hajat/kakus (MCK) di sungai juga banyak dilakukan oleh warga lain di kampung tersebut. Sekalipun jarak dari rumah ke Sungai Winongo tidak terlalu jauh, tetapi soal BAB bisa menjadi masalah serius ketika Bu Inem terserang diare. Rasa was-was karena malu terlihat orang makin menjadi bercampur dengan dorongan isi perut yang tidak bisa ditahan. Persoalan bisa bertambah, ketika pijakan batu, di pinggir sungai di tempat yang agak terlindung, yang biasa ia pakai untuk BAB, sedang dipakai orang lain. Sekarang, ibu tiga anak itu tidak perlu khawatir lagi. Ia sudah punya WC sendiri di rumah. Kehadiran Sambungan Rumah (SR) pada Saluran Air Limbah (SAL) yang dibangun
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Pemerintah Kota Yogyakarta menjadi berkah bagi kehidupan Bu Inem dan keluarganya. Proyek pemerintah itu yang membuat Bu Inem kini bisa memiliki WC sendiri. WC sederhana itu dibangun di bagian belakang rumah Bu Inem menyatu dengan bangunan kamar mandi. “Senang rasanya. Lebih enak juga. Sekarang saya ndak bingung lagi kalau mau bebucai. Saya ndak perlu ke kali lagi,” tutur bu Inem ketika ditemui di rumah, Selasa sore (30/12). Sore itu, Bu Inem baru saja selesai mencuci baju. Bajubaju kotor miliknya kini tidak harus digotong-gotong ke sungai untuk dicuci. Ia bisa mencucinya di rumah, di kamar mandi miliknya. Demikian pula perkakas yang digunakan untuk memasak, kini tak perlu lagi ditenteng-tenteng ke sungai, untuk dibersihkan. “Dulu, kalau mau pakai air banyak-banyak di rumah, bawaannya khawatir terus. Khawatir karena air buangan ndak bisa cepat meresap di sumur resapan. Airnya seperti mandek, ndak bisa mengalir dengan lancar. Sekarang, setelah ada saluran ini, kami malah disarankan untuk ndak perlu takut buang air banyak-banyak. Karena airnya bisa sekalian dipakai untuk menggelontor,” tutur Bu Inem.
Kampanye Sanitasi Publik
Pada tahun-tahun yang lalu, kapasitas IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Sewon di Yogyakarta kurang dimanfaatkan, situasi inilah yang kini ditangani dengan pengembangan sambungan yang lebih banyak. Foto memperlihatkan inspeksi IPAL di Gresik.
Tidak hanya Bu Inem saja yang merasa senang. Program pembangunan SR juga disambut dengan gembira oleh sebagian besar warga lainnya. Hal ini disampaikan oleh Ketua RW 03 Kampung Bener, Wanandi. “SR ini sudah memudahkan warga. Hidup mereka menjadi lebih nyaman. Tidak ada lagi keluhan WC mampet atau sumur resapan yang susah meresap. Sekarang air seberapapun banyaknya dapat dibuang ke SR. Salurannya baik karena semua (air limbah) bisa masuk,” papar Wanandi Selasa (30/12).
Bak Kontrol
Wanandi menjelaskan, air limbah yang berasal dari kegiatan memasak dan mencuci kini tak lagi dibuang ke sumur resapan. Begitu pula air limbah dan kotoran dari WC juga tak lagi dibuang ke septic tank. Air limbah dan kotoran tersebut kini langsung masuk ke dalam pipa SR. Sedangkan untuk memantau kondisi pipa, pada setiap rumah dan tikungan yang rawan mampet dipasang bak kontrol.
Atas perkenan YCCP
Dari pipa SR, air limbah masuk ke pipa saluran pembawa yang telah dibangun di kampung tersebut. Dari saluran pembawa, air limbah mengalir menuju saluran utama atau SAL. Air limbah yang terdapat dalam pipa SAL akhirnya dialirkan menuju Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Sewon untuk dilakukan pengolahan akhir. Manajemen air limbah yang semakin tertata ini meyakinkan Wanandi bahwa pelan tapi pasti, kehadiran SR akan mengubah perilaku masyarakat Kampung Bener. Mereka tidak lagi wira-wiri, nyemplung ke sungai, sekadar untuk membuang hajat, mandi, mencuci pakaian dan perkakas dapur. Mereka juga tidak perlu gamang dengan besaran biaya pembangunan WC, yang bisa mencapai sekitar Rp 1 juta per unit. Kehadiran SR juga akan membuat lingkungan Kampung Bener menjadi lebih sehat.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
263
264
Hidup yang Lebih Sehat Melalui Sambungan ke Sistem Air Limbah
Setidaknya, kehadiran SR akan membantu mengurangi risiko pencemaran air pada sumur milik warga Bener, misalnya dari bakteri E. coli dan membuat air Sungai Winongo menjadi lebih bersih. Walaupun masih baru, namun setelah lihat hasil dan cara kerjanya, banyak warga lainnya jadi pengin ikut nyambung SR. Apalagi perawatannya juga cukup mudah. Ngglontor airnya juga telah disarankan jangan tanggungtanggung, yang banyak sekalian. Warga hanya diminta mengganti filter yang rusak. Sedangkan soal retribusi, belum dibicarakan,” papar Wanandi. Pekerjaan pembangunan SR di Kampung Bener juga dilakukan dengan cukup rapi. Aspal di jalan yang menjadi lintasan pokok SAL telah ditutup kembali dengan aspal. Conblock yang sempat dibongkar untuk pemasangan pipa menuju rumah warga, juga telah dipasang kembali. Begitu pula tidak ada satupun bagian lantai rumah yang rusak karena pembangunan SR. Kendala teknis seperti kebocoran sambungan pipa yang menyebabkan rembusan di sumur warga, diatasi dengan memindahkan jalur pipa menjauh dari sumur. Sedangkan bau tidak sedap yang tercium dari lubang saluran pembuangan di kamar mandi, diatasi dengan rekayasa keni yang dibuat menyerupai gulu banyak (leher angsa).
BAGIAN 2: TIDAK GAMPANG MENGUBAH PERILAKU MASYARAKAT
Fasilitas Sambungan Rumah (SR) untuk pembuangan air limbah tidak hanya dinikmati warga kampung Bener, Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Proyek yang dikerjakan sejak 2013 ini menjangkau 13 kecamatan di 36 kelurahan se-Kota Yogyakarta. Di kampung Ibu Inem, pekerjaan pembangunan SR dan saluran pembawa dilakukan pada Tahun Anggaran 2014, tepatnya pada Juni lalu. Pekerjaan tersebut merupakan bagian dari Program Peningkatan dan Pembangunan Sarana dan Prasarana Saluran Air Limbah (SAL) Kota Yogyakarta, yang dilaksanakan oleh Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Yogyakarta. “Warga di kampung Bener memang cukup akomodatif. Tapi, saya tidak berani mengklaim tingkat penerimaan dan kepuasan warga mencapai 100 persen. Begitu pun di lokasi lainnya. Mungkin tingkat penerimaan dan kepuasannya sekitar 80 persen karena kami juga menjumpai beberapa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
kendala teknis,” kata Kepala Bidang Permukiman dan Saluran Air Limbah Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta, Ir. Hendra Tantular. Bahkan sosialisasi yang dilakukan ternyata cukup gampang-gampang angel karena orang Yogya itu banyak unggah-ungguhnya. Tapi seingat saya, tidak ada warga yang bersikap frontal.” Sosialisasi tentang kesehatan dilakukan dengan melibatkan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Sedangkan sosialisasi tentang aspek teknis sanitasi dilakukan oleh Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta. Sosialisasi tersebut tak cukup dilakukan hanya sekali. Apalagi terkait dengan target perubahan perilaku masyarakat sebagai salah satu terciptanya lingkungan yang sehat dan bersih. “Memang, sosialisasi ini tidak mudah dilakukan. Tak jarang kami harus satu-satu menjelaskannya kepada setiap orang karena tingkat pemahamannya memang berbeda-beda. Apa itu limbah rumah tangga, bagaimana pencemaran itu terjadi. Mengapa mereka harus menanggalkan kebiasaan buruk, seperti MCK di sungai, penyebaran penyakit melalui air limbah. Juga mengapa harus dibuat saluran pembuangan air limbah yang sehat,” kata Hendra. Pembangunan SR pada SAL sesungguhnya merupakan bagian dari kesungguhan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menepati kewajiban membangun SR untuk masyarakat. Kewajiban tersebut tertuang dalam Nota Kesepakatan Metropolitan Sanitation and Health Management Project yang ditandatangani 7 Desember 2009. Nota Kesepakatan itu menyebutkan dalam jangka waktu lima tahun. Pemerintah Kota Yogyakarta bersama Sleman berkewajiban membangun SR, dengan komposisi Kota Yogyakarta sebanyak 5.000 SR, Bantul 8.000 SR, dan Sleman 3.000 SR. “Pada 2008 ada idle capacity di IPAL Sewon, dan 25.000 SR baru tensi 10.000 SR. Penyebabnya karena kemampuan Pemerintah Daerah untuk membangun SR rendah dan jangkauan pipa induk serta pipa lateral yang terbatas. Pemerintah Pusat lalu membantu mencarikan loan dari ADB. Pinjaman ini digunakan untuk mengembangkan saluran induk dan lateral, sedangkan pemerintah daerah wajib membangun SR,” jelas Hendra.
Surat Minat
Dalam perkembangannya, Ditjen Cipta Karya Kementerian PU membuat Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Perkotaan Sedangkan pemerintah Australia selaku lembaga donor, melalui IndII, meluncurkan hibah Infrastructure
Kampanye Sanitasi Publik
Enhancement Grants (IEG). Pada Tahap 1, Kota Yogyakarta mendapat hibah langsung sebesar Rp 3.360.000.000 dengan alokasi Rp 2.945.000.000 untuk sektor Air Limbah dan sisanya sebesar Rp 415.000.000 untuk sektor Persampahan. “Kota-kota di Indonesia yang memenuhi kriteria diminta membuat surat minat untuk mengalokasikan dana APBD guna membiayai fasilitas pengelolaan air limbah, persampahan dan drainase. Kota Yogyakarta memenuhi kriteria karena memiliki dokumen strategi sanitasi kota. Pemerintah Kota Yogyakarta juga bersedia melakukan reimburse dan menerapkan pendekatan kesetaraan gender. Matching fund diambilkan dari dana APBD sebesar 30 persen dari besaran hibah,” jelas Hendra. Tak hanya itu, Kota Yogyakarta juga telah memiliki sejumlah produk hukum seperti Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik dan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2012 yang mengatur Retribusi Jasa Umum. Pada hibah IEG Tahap II (sAIIG), Surat Minat Walikota Nomor 903/3589 tanggal 26 September 2011 menyebutkan tentang pengalokasian dana air limbah, persampahan, dan drainase. Sedangkan surat Dirjen Cipta Karya Kementerian PU kepada Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan tertanggal 27 Mei 2013 menyebutkan tentang Hal Permohonan Proses Penerbitan SPPH sAIIG untuk Kota Yogyakarta bahwa jumlah SR Tahun 2013 adalah 192 SR senilai Rp 575.000.000 dan jumlah SR Tahun 2014 adalah 2.897 senilai Rp 8.691.000.000 sehingga nilai total adalah Rp 9.267.000.000. Berdasarkan SPPH Nomor S-284/MK7/2013 tanggal 20 Juni 2013, jumlah dana hibah akhirnya ditetapkan Rp 267.000.000. Tanggal terakhir penarikan hibah adalah 30 Juni 2015 atau tanggal lain yang disetujui. Perjanjian Penerusan Hibah (PPH) antara Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kota Yogyakarta untuk Program Hibah AustraliaIndonesia untuk Pembangunan Sanitasi diatur dalam PPH154/PK/2013 tanggal 20 November 2013. Sedangkan Surat Direktur PPLP Ditjen Cipta Karya No. UM 0101-CI/929 tanggal 29 Agustus 2014 mengatur tentang perpanjangan Waktu Pelaksanaan Program sAIIG menjadi sampai dengan 31 Januari 2016.
dan berfungsi dengan sempurna. Bantuan hibah dari Pemerintah Australia ini menjadi penyemangat kami untuk membangun SR untuk masyarakat,” kata Hendra. Sampai akhir 2014, lanjut Hendra, penambahan jumlah SR telah mencapai 3.172. Hal ini berarti cakupan pelayanan untuk Kota Yogyakarta telah mencapai sebesar 22,42 persen. Pembangunan SR di wilayah Kota Yogyakarta masih akan dilanjutkan pada 2015 di lebih dari delapan lokasi lainnya. Direncanakan sampai berakhirnya program sAIIG 2015 penambahan jumlah SR akan mencapai 4.695 SR sehingga total cakupan pelayanan Kota Yogyakarta akan mencapai 24,31 persen. Pada akhir 2014, Kota Yogyakarta berhasil meraih penghargaan dalam Sub-Bidang Cipta Karya Pekerjaan Umum Kategori Kota Sedang dan Kota Kecil. Tentu saja penghargaan itu mencakup keberhasilan Kota Yogyakarta dalam pembangunan infrastruktur dalam sektor sanitasi, yakni mewujudkan pembangunan SR ke instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sesuai kapasitas IPAL Sewon,” jelas Hendra. ●
Tentang Penulis: CM Ida Tungga Gautama adalah lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ia mengawali karir sebagai wartawan di harian Yogya Post kemudian di Harian Bernas hingga tahun 2004 dan mulai tahun 2009 menjadi Redaktur di koran mingguan Minggu Pagi, dari grup media Kedaulatan Rakyat. Ida Tungga pernah memenangkan beberapa lomba penulisan di bidang pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebencanaan, dan sosial. Ia juga menjadi kontributor penulisan beberapa buku, antara lain: Rektor-Rektor Universitas Gadjah Mada: Biografi Pendidikan, Jurnalis Memandang Perempuan, Kesehatan Perempuan dalam Perspektif Gender dan Kesaksian Jurnalis di Tanah Gempa.
“Besaran dana hibah yang akan diganti adalah Rp 3.000.000 per SR. Dana ini akan diberikan setelah SR baru dibangun
Prakarsa Compendium | Jilid 3
265
266
Ciptakan Lingkungan Sehat dan Bersih
CIPTAKAN LINGKUNGAN SEHAT DAN BERSIH Artikel ini menang sebagai juara ketiga dalam lomba penulisan untuk wartawan yang disponsori oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Artikel tersebut telah diterbitkan oleh Pikiran Rakyat pada tanggal 7 Oktober 2014. Oleh Ririn Nur Febriani
Dengan luas wilayah hanya 40 kilometer persegi yang didiami sekitar 600.000 jiwa, lahan yang dimiliki Kota Cimahi sangat terbatas. Areal untuk buang hajat pun kerap terpinggirkan. Seperti di kawasan permukiman pada Gang Irigasi RT 03 RT 11, Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara. Tiap rumah hanya dibatasi jalan gang selebar 1 meter. Tembok antar rumah seolah menempel. Dalam lahan terbatas, kebutuhan ruang penghuni dibuat seadanya, kadang tak memperhatikan kualitas sanitasi. Tak semua rumah memiliki septic tank untuk menampung air limbah domestik. Untuk menyiasati, warga membuat saluran langsung ke Sungai Cimahi yang berada di dataran rendah kampung tersebut. Sungai Cimahi yang membentang dari utara hingga selatan Kota Cimahi diandalkan masyarakat untuk pengairan. Sayangnya, dari kawasan hulu saja sudah tercemar berat sehingga masyarakat di bagian hilir tak bisa mendapat manfaat. Mereka yang sudah punya septic tank, juga tak pernah melakukan penyedotan limbah dengan alas an perlu
Prakarsa Compendium | Jilid 3
biaya ditambah jalan gang sempit yang tak memadai bagi kendaraan penyedot WC. Lokasi septic tank bahkan berdekatan dengan sumber air. Masyarakat tak menyadari bahaya pencemaran mengintai karena limbah manusia bisa mencemari air bersih. Indikasi pencemaran tinja dapat terlihat dari keberadaan bakteri Escherichia coli pada air minum. Meski belum ada penelitian, sejumlah masyarakat kerap mengeluhkan sakit perut dan diare. Sanitasi yang buruk identik dengan munculnya diare, baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Juga bisa menimbulkan penyakit lain seperti penyakit kulit dan cacingan. Atas kondisi tersebut, RW 11 dipilih menjadi lokasi pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal. Saat program dimulai pada 2013, muncul penolakan dari masyarakat. “Tiba-tiba jalan gang dibongkar, berantakan semua. Warga bertanya-tanya, katanya buat septic tank besar. Ya, kami menolak,” ujar warga RT 03 RW 11, Asep Suhana (54).
Kampanye Sanitasi Publik
Sosialisasi pun digenjot untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan IPAL komunal. Asep yang aktif di lingkungannya dan kerap terlihat kegiatan di kelurahan pun menyadari pentingnya IPAL komunal bagi lingkungannya. “Setelah dapat pencerahan, baru saya paham. Saya juga ajak warga lain,” ujarnya. Pembongkaran jalan gang dilakukan untuk membuat saluran utama menuju lokasi septic tank. Tiap rumah juga diberi akses ke saluran IPAL. Lokasi IPAL komunal berada di lahan carik Kelurahan Cibabat, di belakang SDN Cibabat 4. IPAL berukuran 5 x 8 meter dengan kedalaman 3 meter itu dimanfaatkan masyarakat di RW 11 dan RW 20 yang berdekatan dengan jumlah masyarakat yang ikut serta sekitar 400 sambungan rumah. Septic tank milik warga akan ditutup, tak ada lagi penampungan tinja milik perorangan. Septic tank di rumah Asep yang berukuran 12 x 11 meter letaknya di pojok rumah, sejak dibangun 1994 tak pernah dilakukan penyedotan. Sumber air berada di teras rumah, berdekatan dengan lokasi septic tank rumah warga lainnya. “Saya harus ikut serta dalam penggunaan IPAL komunal karena bisa membuat lingkungan sehat,” ucapnya. Selain di RW 11, pendirian IPAL komunal juga dilakukan di beberapa titik di tiga kelurahan, yaitu Cibabat, Citeureup, dan Pasirkaliki. Masyarakat di 20 RW akan menjadi penerima manfaat. Progres pembangunannya ada yang dalam tahap konstruksi, maupun sedang dalam tahap persiapan detailed engineering design dan sosialisasi ke masyarakat. Pemerintah Kota Cimahi menggenjot pembangunan IPAL komunal di tiga kelurahan dengan target 5.000 sambungan pada akhir 2015. Hal itu berkaitan dengan terpilihnya Kota Cimahi bersama 42 daerah lain sebagai daerah penerima dana hibah dari Australia dalam program peningkatan sanitasi dengan nilai A$ 5 juta atau sekitar Rp 20 miliar. Selama ini, daerah yang mengalokasikan dana untuk pembangunan sarana bidang sanitasi minim, sedangkan kebutuhan sarana tersebut semakin mendesak. Pemerintah Pusat berkomitmen mendorong Pemerintah Daerah dalam pembangunan sarana bidang penyehatan lingkungan permukiman yang lebih tinggi, di antaranya yaitu melalui program hibah Australia-Indonesia Infrastructure Grants for Sanitation (sAIIG).
Masyarakat seringkali menolak gagasan pembangunan infrastruktur sanitasi, karena kawatir mengalami gangguan di jalanan gang yang sempit. Jalan di sebuah gang ini menunjukkan pembangunan sarana air limbah di RT 3 RW 11, Kelurahan Cibabat, di Cimahi. Atas perkenaan YCCP
Prakarsa Compendium | Jilid 3
267
268
Ciptakan Lingkungan Sehat dan Bersih
Kerja sama kemitraan Pemerintah Indonesia dan Australia di bidang sanitasi tersebut dikelola Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII), di bawah supervisi Kementerian Perdagangan dan Luar Negeri Australia (DFAT) bersama Bappenas dan sejumlah kementerian Indonesia. Peningkatan pelayanan pengelolaan air limbah domestik terpusat skala lingkungan masuk dalam program hibah sanitasi bantuan Australia. Pemkot Cimahi menilai pentingnya pembangunan sanitasi, sesuai dengan visi dalam rancangan pembangunan daerah, jangka menengah (RPJMD) 2012–2017. “Kami berupaya meningkatkan kualitas sanitasi di tengah sempitnya lahan agar masyarakat bisa hidup dengan sehat dan nyaman,” ujar Kepala Bidang Air Bersih dan Air Limbah Domestik Dinas Kebersihan dan Pertamanan Cimahi, Djani Ahmad Nurjani. Penyediaan MCK dan IPAL komunal dipandang masih kurang. Berdasarkan data DKP Cimahi, tingkat pelayanan air limbah domestik di Cimahi baru 63,14%. “Untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) 2015, target layanan tersebut minimal 64,7% atau kalau bisa bagus sampai 65%. Rentang angka memang kecil, tapi butuh upaya besar terutama pendanaan dan partisipasi masyarakat. Dengan IPAL komunal ini, diharapkan dapat meningkatkan layanan sanitasi untuk menciptakan lingkungan sehat dan bersih,” katanya. Masalah sosial-budaya menjadi tantangan dalam peningkatan sanitasi. Sebagian masyarakat masih terbiasa buang air besar di sembarang tempat. Saat ini, penduduk Cimahi mencapai 592.572 jiwa dan sekitar 18.514 keluarga. Jumlah jamban dan septic tank individual baru mencapai 73.479 unit untuk 367.395 jiwa, dan septic tank komunal baru 23 unit untuk 1.117 jiwa. Sistem pengelolaan air limbah skala lingkungan ditujukan untuk semua kelompok masyarakat terutama yang tidak memiliki sistem pengelolaan air bersih, atau masyarakat yang tidak memiliki lahan untuk membangun sistem pengelolaan limbah on-site. “Keberadaan septic tank saat ini kerap tidak memperhatikan aspek teknis karena dibangun berdasarkan pengetahuan terbatas. Misalnya, tak memperhitungkan jumlah jiwa
Prakarsa Compendium | Jilid 3
pengguna, tidak kedap air, atau dipakai tak sesuai standar seperti memasukkan cairan kimia. Berbagai hal itu rentan menimbulkan pecemaran terhadap air bersih,” kata Djani. Tak jarang program tersebut mendapat penolakan dari masyarakat. Masyarakat khawatir, septic tank menyebabkan bau, mencemari air bersih, sampai khawatir meledak karena limbah yang ditimbun bisa mengakumulasikan gas. “Sosialisasi yang melibatkan masyarakat dilakukan sejak tahap perencanaan, survei, persiapan, sampai pembangunan konstruksi. Dengan sentuhan teknologi, kekhawatiran akan dampaknya pada lingkungan bisa dikurangi,” ucapnya. Djani memastikan dampak negatif yang ditakutkan masyarakat tak akan terjadi, justru akan menimbulkan dampak positif. “Masyarakat sehat, berawal dari lingkungan yang sehat, bisa bekerja dan menghasilkan pendapatan,” papar Djani. IPAL komunal akan dikelola UPTD Air Limbah. Air limbah secara rutin akan diperiksa sehingga sebelum disalurkan ke saluran drainase besar atau ke sungai dipastikan harus sesuai baku mutu air untuk mencegah pencemaran. “Kami harapkan partisipasi masyarakat untuk sama-sama merawat IPAL komunal agar keberadaannya dapat memberikan manfaat dalam jangka panjang,” ujarnya. Untuk memicu kesadaran masyarakat, pemerintah terus menggenjot program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Nur Fadrina Mourbas, Project Officer Water and Sanitation Hibah sAIIG dari IndII mengatakan, Pemerintah Australia bekerja sama dengan Indonesia dalam upaya meningkatkan pembangunan sanitasi di daerah. “Tujuan utamanya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kualitas infrastruktur Indonesia,” katanya. Hibah infrastruktur sanitasi diberikan untuk 43 kota dengan total nilai 40 juta dolar Australia. Dana hibah diberikan berdasarkan prinsip capaian kinerja atas pekerjaan yang dilaksanakan Pemda pada tahun anggaran 2013–2015 yang kemudian diverifikasi Dirjen Cipta Karya.
Kampanye Sanitasi Publik
Hibah hanya diberikan kepada kabupaten/kota yang berkomitmen untuk meningkatkan infrastruktur sanitasi. Syaratnya, antara lain memiliki dokumen Strategi Sanitasi Kota (SSK) tersedia lahan, serta kelembagaan untuk pengelolaannya. Menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa hidup sehat berawal dari sanitasi yang memang tidak mudah, tapi perlu upaya bersama pemerintah. Namun, jika perilaku hidup bersih dan sehat menjadi budaya, niscaya masyarakat kian sehat demi hidup yang lebih baik. ●
Tentang Penulis: Ririn Nur Febriani lahir di Bandung pada tanggal 26 Februari 1982. Lulusan S1 Biologi F-MIPA UNPAD tapi memilih terjun di bidang kerja jurnalistik bersama HU Pikiran Rakyat Bandung sejak 2005 hingga sekarang sebagai wartawan. Wilayah peliputan yaitu Bandung Raya dan pernah ditempatkan di Kabupaten Garut. Ririn pernah mendapat beasiswa Media Online Training selama 1 bulan di Belanda tahun 2009. Menaruh minat besar pada peliputan bertema lingkungan, baik soal keberhasilan manajemen pengelolaan lingkungan maupun dampak kelalaian terhadap lingkungan seperti bencana alam. Dengan berbagai tulisan yang dibuat berharap dapat mengilhami dan mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
269
POIN-POIN UTAMA Proyek Air bersih, Sanitasi, dan Kebersihan Perkotaan Indonesia (IUWASH, Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene) yang didanai oleh USAID berfokus pada peningkatan akses layanan air bersih dan sanitasi di kalangan masyarakat miskin perkotaan Indonesia. Kegiatan-kegiatan IUWASH dilakukan dalam “Kerangka Kerja Pengelolaan Air Limbah Perkotaan” komprehensif yang digerakkan oleh gagasan ideal untuk mengembangkan peraturan khusus sektor yang memadai dan mengembangkan layanan air limbah rumah tangga “titik akses tunggal” bagi masyarakat. Artikel ini berfokus pada satu kegiatan dalam kerangka kerja: meletakkan dasar untuk meningkatkan sanitasi di tingkat akar rumput. Langkah-langkah penting pertama dalam melakukan upaya penyampaian gagasan sanitasi berbasis masyarakat meliputi mempelajari apa yang menjadi motivasi individu-individu dalam masyarakat; melakukan penelitian yang diperlukan untuk merencanakan pendekatan efektif yang disesuaikan dengan kondisi setempat; dan mengadakan proses sosialisasi yang dirancang untuk membawa kepada masyarakat yang berkomitmen yang bekerja bersama dengan pejabat daerah yang berkomitmen sama untuk meningkatkan sanitasi. Penelitian menunjukkan bahwa motivasi masyarakat untuk berinvestasi pada infrastruktur sanitasi beragam, dan bergantung pada pengalaman dan pengetahuan individu. Secara kolektif, alasan-alasannya berpusat sekitar kesehatan, harga diri, kenyamanan pribadi, dan keinginan untuk meningkatkan kehidupan bagi anakanak mereka serta masyarakat yang lebih luas. Penelitian diperlukan sebelum mengadakan upaya sosialisasi masyarakat. Penelitian ini meliputi analisis pemangku kepentingan dan pengumpulan data dari sumber-sumber formal dan informal mengenai tingkatan-tingkatan sanitasi yang berlaku dan karakteristik para pemangku kepentingan langsung. Penelitian seperti itu memungkinkan dilakukannya diskusi-diskusi yang berarti dengan anggota masyarakat dan penetapan prioritas dan lini dasar, serta memfasilitasi komunikasi mengenai hasil kepada perencana program dan pengambil keputusan. Advokasi adalah langkah berikutnya, dan terdiri atas upaya untuk mempengaruhi para pemimpin masyarakat untuk mendukung percepatan akses masyarakat terhadap sanitasi yang lebih baik. Satu sasaran utama selama fase ini adalah untuk memperoleh kepercayaan, membangun hubungan, dan untuk memperoleh persetujuan eksplisit untuk bergerak maju. Sosialisasi dapat dimulai segera setelah terdapat persetujuan dari pemimpin masyarakat dan dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan masyarakat berskala besar atau melalui kelompok-kelompok yang lebih kecil yang memungkinkan diperolehnya informasi yang lebih rinci dan wawasan yang lebih luas akan perspektif masyarakat. Setiap acara harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Yang terpenting adalah untuk memastikan bahwa masyarakat merasa bahwa mereka melakukan dialog (bukan hanya mendengarkan pidato) dan bahwa mereka diberdayakan untuk mengatakan “ya” atau “tidak”. Terdapat banyak langkah tambahan yang diperlukan dalam sebuah kampanye efektif untuk menciptakan kebutuhan masyarakat akan layanan sanitasi yang lebih baik, seperti perencanaan, pemicuan, pembiayaan, dan pengembangan pengusaha sanitasi. Pembaca yang berminat dapat mempelajari lebih dengan menghubungi IUWASH, http://iuwash.or.id.
Kampanye Sanitasi Publik
MENCIPTAKAN KEBUTUHAN AKAN SANITASI YANG LEBIH BAIK: MENGAMBIL LANGKAHLANGKAH AWAL Menciptakan kebutuhan akan sanitasi yang lebih baik – baik berupa tangki septik rumah tangga, tangki umum, atau sistem pengelolaan air limbah yang melayani seluruh kota – memerlukan upaya yang terencana dengan baik yang dimulai dengan memahami motivasi masyarakat, mempelajari kondisi setempat, dan melakukan sosialisasi. Oleh Lutz Kleeberg dan Ika Francisca
Dipacu oleh Tujuan Pembangunan Milenium dan sasaran ambisius “universal access 100-0-100”1, Pemerintah Indonesia telah meningkatkan secara signifikan alokasi anggarannya bagi sektor air limbah. Hal ini memberikan peluang-peluang segar kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk membuat perubahan-perubahan yang berarti yang akan mendukung mereka dalam memenuhi kewajiban mereka untuk meningkatkan pengelolaan air limbah perkotaan dan memberikan layanan umum yang lebih baik kepada masyarakat. IUWASH (Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene) yang didanai oleh USAID mendukung Pemda untuk memanfaatkan peluang-peluang ini. IUWASH merupakan proyek lima tahunan yang berfokus dalam memperluas akses layanan air bersih dan sanitasi di kalangan masyarakat miskin perkotaan Indonesia. Kegiatan-kegiatan IUWASH mendorong peningkatan kebutuhan akan layanan-layanan ini di komunitas masyarakat miskin perkotaan; pemberian layanan yang lebih baik oleh instansi sektor publik dan
swasta; serta tata kelola dan pembiayaan yang lebih baik untuk memungkinkan lingkungan yang kondusif untuk akses yang adil terhadap air bersih yang aman dan sanitasi yang lebih baik. IUWASH telah menetapkan pendekatan yang komprehensif, praktis, dan teruji di lapangan, “Kerangka Kerja Pengelolaan Air Limbah Perkotaan” (Urban Wastewater Management Framework) untuk mengarahkan upaya-upayanya dalam sektor air limbah dan memberikan panduan kepada Pemda sementara mereka meningkatkan prasarana dan layanan. Gambar 1 memaparkan kerangka kerja ini, yang didorong oleh dua gagasan berikut: (1) mendukung pengelolaan air limbah yang meliputi seluruh kota melalui pengesahan peraturan khusus sektor yang memadai; dan (2) mengembangkan layanan air limbah rumah tangga “titik akses tunggal” bagi masyarakat. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, kerangka kerja mencakup semua dinamika yang berkaitan dengan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
271
Menciptakan Kebutuhan akan Sanitasi yang Lebih Baik: Mengambil Langkah-Langkah Awal
pengelolaan air limbah perkotaan. Artikel ini berfokus pada satu kegiatan khusus yang berada dalam kerangka kerja tersebut, yang meletakkan dasar untuk meningkatkan sanitasi pada tingkat akar rumput. Artikel ini menjelaskan langkah-langkah awal yang sangat penting dalam
melaksanakan upaya penjangkauan sanitasi berbasis masyarakat: mempelajari apa yang memotivasi individuindividu dalam masyarakat, melakukan penelitian yang diperlukan untuk merencanakan pendekatan efektif yang disesuaikan dengan kondisi setempat, dan mengadakan
Gambar 1: Kerangka Pengembangan Sistem Air Limbah Perkotaan
Komunikasi Perubahan Perilaku Advokasi Pemerintah Daerah, Pengembangan Kapasitas, Pemicuan Kebutuhan, Promosi Produk & Layanan, Peningkatan Perilaku Kebersihan yang Lebih Baik
SAN 1: Sistem Pengolahan Air Limbah WC dan Tangki Septik
SAN 2: Sistem Bersama Dikelola oleh Masyarakat
SAN 4: Pengelolaan Lumpur Tinja Terpadu Penampungan, Pengangkutan, Pengolahan, Pembuangan, dan Pemanfaatan Kembali
SAN 3: Sistem Pengelolaan Air Limbah Pengelolaan Air Limbah Skala Kecil dan Kota
Unit Pengelolaan Sanitasi Kota Perencanaan dan Pengembangan Aset, Pengoperasian & Pemeliharaan, Manajemen Pelanggan
Lingkungan yang Kondusif Peraturan Daerah & Penegakan Hukum, Pengaturan Kelembagaan, Pemantauan & Pengawasan Kinerja, Pembiayaan, Tarif Layanan
Lingkungan yang Kondusif Peraturan Daerah & Penegakan Hukum, Pengaturan Kelembagaan, Pemantauan & Pengawasan Kinerja, Pembiayaan, Tarif Layanan
272
PETUNJUK: Lingkungan yang Kondusif (jingga): Komponen-komponen yang mendorong pengembangan akses masyarakat yang adil untuk memperoleh layanan sanitasi yang lebih baik di wilayah perkotaan adalah: tata kelola pemerintahan yang akuntabel, percepatan pembiayaan modal (CAPEX, capital expenditures) dan pembiayaan operasi (OPEX, operating expenses), dukungan terhadap fungsifungsi peraturan dan pengaturan, serta pengaturan kelembagaan yang memadai.
masyarakat adalah sistem pengolahan air limbah di lokasi (on-site household system). Untuk lingkup yang lebih kecil, dapat tersedia sistem bersama (communal system) dan sistem pengolahan air limbah terpusat (centralized off-site system). Layanan pengelolaan lumpur tinja terpadu penting untuk mengurangi semakin luasnya kontaminasi air tanah yang disebabkan oleh sistem sanitasi rumah tangga yang tidak tepat. Layanan terpadu ini terdiri atas standardisasi tangki septik, pengumpulan lumpur tinja, pengangkutan, pengelolaan, dan sampai batas tertentu penggunaan kembali lumpur tinja yang telah diproses.
Komunikasi Perubahan Perilaku (merah): Hal ini dirancang untuk memicu permintaan masyarakat akan sanitasi yang lebih baik. Ini juga mendorong keterlibatan Pemda, para penyedia keuangan mikro (bank dan koperasi), masyarakat, dan rumah tangga individual dalam mengembangkan “rantai pasokan” untuk peningkatan akses terhadap fasilitas sanitasi yang lebih baik. Selanjutnya, hal ini mendorong kebersihan yang baik serta penggunaan dan pemeliharaan fasilitas yang tepat.
Satuan Pengelolaan Sanitasi Kota (biru): Elemen terakhir dari kerangka kerja adalah “satuan pengelolaan sanitasi kota” (operator) khusus. Satuan ini secara khusus dibentuk dalam bentuk badan hukum Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), PD-PAL, atau Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang dimandatkan oleh Pemda untuk menyelenggarakan layanan harian air limbah (lihat kotak hijau San-1 sampai dengan San-4). Operator bertanggung jawab atas penyelenggaraan layanan yang meliputi seluruh kota dan berkolaborasi dengan sektor swasta (misalnya pengelolaan lumpur tinja) dan dengan kelompok-kelompok masyarakat untuk mengembangkan layanan masyarakat yang berkembang.
Infrastruktur dan Layanan Air Limbah (SAN-1 sampai dengan SAN-4, hijau): Opsi layanan yang paling lazim tersedia untuk diberikan kepada
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
Seorang penduduk setempat menyatakan tentang program IUWASH selama kunjungan Duta Besar AS Robert Blake ke Surakarta tahun lalu.
proses sosialisasi yang dirancang untuk menghasilkan masyarakat yang aktif dan berkomitmen dalam bekerja bersama dengan pejabat daerah yang memiliki komitmen yang sama untuk meningkatkan sanitasi. Bahan berikut ini didasarkan bahwa kutipan-kutipan dari tiga bab manual IUWASH yang baru dikeluarkan, Improving Lifestyle and Health: A Guide to Urban Sanitation Promotion (Meningkatkan Gaya Hidup dan Kesehatan: Panduan Peningkatan Sanitasi Perkotaan). Panduan tersebut menawarkan serangkaian instruksi yang berharga bagi siapapun yang terlibat dalam tugas meningkatkan sanitasi perkotaan di Indonesia, baik mereka yang secara langsung
Atas perkenan IUWASH
bekerja bersama masyarakat maupun para manajer program yang mengawasi upaya-upaya ini dalam skala yang lebih luas.
Apa yang Memotivasi Masyarakat untuk Berinvestasi?
Sebelum mulai memajukan investasi pada sistem sanitasi perkotaan yang baru, perlu untuk memahami apa yang memotivasi masyarakat untuk melakukan investasi tersebut. Sangat penting, penelitian menunjukkan bahwa masyarakat seringkali termotivasi oleh berbagai faktor berbeda – dengan beberapa di antaranya lebih penting dari yang lainnya. Secara umum, hal ini sangat bergantung pada
Prakarsa Compendium | Jilid 3
273
274
Menciptakan Kebutuhan akan Sanitasi yang Lebih Baik: Mengambil Langkah-Langkah Awal
tingkat kesadaran individu terkait dan informasi mengenai manfaat yang dirasakan dari sanitasi yang lebih baik. Di samping itu, alasan-alasan yang memotivasi masyarakat untuk berinvestasi pada sanitasi mungkin sangat berbeda apabila mereka berinvestasi pada jamban/WC rumah tangga
pertama mereka atau apabila mereka berinvestasi pada penghubung ke sistem bersama atau sistem pembuangan air limbah. Seringkali, alasan-alasan untuk berinvestasi atau tidak berinvestasi pada sanitasi juga sangat bervariasi antara laki-laki dan perempuan.
Gambar 2: Sepuluh Motivasi untuk Berinvestasi pada Sistem Sanitasi Rumah Tangga
1. Status sosial/harga diri
Banyak orang memahami penularan penyakit dan peran sanitasi yang lebih baik dalam mengurangi risiko terkena penyakit yang berkaitan dengan sanitasi.
2. Tidak perlu menunggu
Masyarakat merasa bangga memiliki WC/jamban. Banyak orang membicarakan tentang bagaimana WC membuat rumah mereka tampak lebih nyaman, layak, dan mungkin lebih “modern”.
3. Menghindari ketidaknyamanan
Banyak orang senang memiliki WC di rumah mereka karena mereka tidak lagi perlu menunggu antrean di kamar mandi bersama atau tempat lain di luar rumah.
4. Mengakomodasi tamu
Sistem sanitasi rumah tangga memungkinkan orang untuk menghindari ketidaknyamanan pergi ke kamar mandi di luar rumah dalam situasi hujan atau pada malam hari (masyarakat, terutama anak-anak, takut akan hantu pada malam hari).
5. Meningkatkan kualitas air tanah dan air permukaan
Banyak orang ingin berinvestasi membangun WC baru untuk menghindari rasa malu ketika mereka menerima tamu.
6. Rasa memiliki kendali
Menjamin penampungan dan pembuangan air limbah yang layak berarti kualitas air tanah, air sungai, dan danau akan meningkat.
7. Kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak mereka
Masyarakat menyukai gagasan bahwa mereka dapat mengendalikan waktu dan tempat mereka pergi ke kamar mandi, serta kebersihan dan aroma kamar mandi.
8. Menginginkan lingkungan yang bersih
Masyarakat menginginkan WC sehingga anak-anak mereka memiliki kehidupan yang lebih baik. Mereka juga menghubungkan bahwa dengan memiliki WC, anak-anak mereka menjadi lebih jarang sakit, dan lebih jarang tidak masuk sekolah.
9. Menjadi warga yang baik
Masyarakat menginginkan komunitas yang bersih, yang berarti lebih sedikit sampah, tinja, dan lain-lain.
10. Menjadi warga yang baik
Masyarakat memahami bahwa apabila mereka tidak memiliki WC yang aman dan layak, mereka memberi kontribusi langsung pada kesehatan publik yang buruk, sementara mereka menjadi tetangga yang baik apabila mereka memberikan kontribusi pada sanitasi yang lebih baik.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
Boks 1: Beberapa Tips untuk Memfasilitasi Proses Sosialisasi Mendukung masyarakat memutuskan untuk berinvestasi pada peningkatan sanitasi mungkin merupakan proses yang sulit. Yang terpenting adalah untuk mengingat bahwa keputusan-keputusan tersebut pada akhirnya perlu dibuat oleh anggota masyarakat secara individual. Pihak luar hanya dapat memfasilitasi, bukan mendikte, prosesnya. Penganjur sanitasi perkotaan dapat menggunakan kiat-kiat berikut ini untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi: Apabila Anda merasa bahwa anggota masyarakat tidak mempercayai Anda karena status atau kedudukan Anda: • Jangan menekankan kedudukan Anda dan jangan memaksakan pendapat Anda kepada lain, melainkan diskusikan (1) manfaat yang akan diperoleh masyarakat; (2) gambaran besar masyarakat sebagai bagian dari kota modern yang bertumbuh dengan gaya hidup yang meningkat; dan (3) nilai-nilai masyarakat dan bagaimana Anda dapat mendukung mereka dalam mencapainya. • Pastikan masyarakat memahami bahwa Anda tidak menjalankan proses top-down. Sebaliknya, buat masyarakat merasa bahwa mereka berada di “kursi pengendara” dan bahwa keputusan mutlak berada di tangan mereka, berdasarkan aspirasi mereka sendiri. Apabila pemimpin atau anggota masyarakat mengingatkan Anda mengenai kualitas infrastruktur publik yang buruk di masa lalu: • Tunjukkan kepada mereka ilustrasi-ilustrasi riil sebelum dan setelah. • Bagikan kesaksian-kesaksian dari penerima manfaat di lokasi lain. • Jelaskan proses-proses yang akan diterapkan untuk menjamin kualitas pembuatan dan fungsionalitas yang baik dari fasilitas terkait. Apabila pemimpin atau anggota masyarakat menanyakan mengenai kemungkinan dukungan finansial: • Perjelas sejak awal jika diperlukan ketersediaan dukungan finansial. Apabila pemimpin atau anggota masyarakat menanyakan mengenai biaya dan proses pembangunan: • Jelaskan bahwa pertama-tama survei rumah tangga perlu dilakukan untuk menetapkan lingkup kerja aktual dan biaya
riil terkait peningkatan. Informasi biaya apa pun sebelum survei sebaiknya diterima sebagai masukan saja dan sifatnya hanya tentatif. Apabila pemimpin atau anggota masyarakat menolak pendekatan dan/atau visi Anda: • Bersabarlah, jangan bersikap membela diri atau menyerang. • Kenali nilai-nilai mereka dan temukan kesamaan. • Dengarkan persoalan-persoalan mereka dan susun visi Anda dengan memasukkan nilai-nilai mereka. • Apabila tidak terdapat kemajuan dalam menemukan kesamaan, akhiri diskusi untuk sementara waktu tetapi temui mereka kembali dalam beberapa minggu. Sementara itu, perkuat kedudukan Anda dengan lebih berfokus pada masyarakat yang ingin dan perlu Anda dukung.
Gambar 2 memaparkan alasan-alasan terpenting mengapa masyarakat ingin berinvestasi pada sistem sanitasi rumah tangga yang baru (tangki septik). Secara kolektif, alasanalasan tersebut berpusat sekitar kesehatan, harga diri, kenyamanan pribadi, dan keinginan untuk meningkatkan kehidupan bagi anak-anak mereka serta masyarakat yang lebih luas. Motivasi-motivasi serupa muncul dalam hal penghubungan ke sistem bersama atau sistem pengelolaan air limbah, meskipun pokok-pokoknya mungkin bervariasi; satu motivasi untuk terhubung ke sistem lingkungan atau perkotaan mungkin untuk menghapuskan kebutuhan akan tangki septik rumah. Bersama dengan motivasi-motivasi pada umumnya, anggota masyarakat juga memiliki pertanyaan-pertanyaan yang lazim diajukan yang harus siap dijawab oleh penganjur sanitasi perkotaan. Umumnya, pertanyaan-pertanyaan ini berpusat sekitar biaya dan opsiopsi pembiayaan, konstruksi, dan persoalan jangka panjang praktis seperti pemeliharaan.
Penelitian terhadap Masyarakat
Setiap komunitas berbeda, oleh karenanya, para penganjur sanitasi perkotaan perlu melakukan penelitian sebelum mencoba untuk melakukan sosialisasi. Termasuk dalam penelitian ini adalah menyelesaikan analisis pemangku kepentingan (yang termasuk melakukan identifikasi pemimpin masyarakat serta lembaga formal dan informal yang dapat bertindak sebagai “pejuang sanitasi”) dan mengumpulkan data seperti tingkatan-tingkatan sanitasi yang berlaku dan karakteristik para pemangku kepentingan langsung (bagaimana sikap mereka, seberapa siap mereka untuk menerima metode-metode sanitasi baru, dan apa profil sosio-ekonomi mereka). Penelitian seperti itu, yang
Prakarsa Compendium | Jilid 3
275
276
Menciptakan Kebutuhan akan Sanitasi yang Lebih Baik: Mengambil Langkah-Langkah Awal
Boks 2: Agenda yang Disarankan untuk Pertemuan Sosialisasi • Pidato pembukaan dan kata pengantar dari pemimpin masyarakat. • Penjelasan oleh penganjur sanitasi perkotaan mengenai tujuan pertemuan masyarakat ini. • Jelaskan kondisi sanitasi dalam masyarakat (praktik-praktik dan fasilitas). • Tanyakan kepada para peserta rapat: — Apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan penjelasan Anda atau apakah ada yang ingin mereka tambahkan. — Apakah mereka memiliki pengalaman sebelumnya dalam meningkatkan kondisi sanitasi. — Apa yang menurut mereka menghambat mereka dalam mendapatkan akses terhadap sanitasi yang lebih baik? — Apakah mereka ingin mencoba kondisi-kondisi yang lebih baik saat ini. • Sajikan informasi dasar mengenai program Anda dan apa yang hendak Anda capai. • Tanyakan kepada mereka apakah mereka bersedia berpartisipasi dan hambatan atau batasan apa saja yang mereka hadapi. • Tutup dengan komitmen mengenai waktu dan tempat pelaksanaan perencanaan masyarakat.
seharusnya mencakup baik sumber formal (seperti data dari Biro Pusat Statistik, BPS) maupun sumber informal (seperti wawancara) penting untuk meningkatkan sanitasi secara efektif; hal ini memungkinkan dilakukannya diskusidiskusi yang berarti dengan anggota masyarakat, penetapan prioritas dan lini dasar, serta mengkomunikasikan hasil kepada perencana program dan pengambil keputusan. Advokasi adalah langkah berikutnya, dan selanjutnya meletakkan dasar untuk upaya sosialisasi. Ini terdiri atas upaya untuk mempengaruhi para pemimpin masyarakat untuk mendukung percepatan akses masyarakat terhadap sanitasi yang lebih baik. Menjelang analisis pemangku kepentingan, promotor sanitasi perkotaan bertemu dengan pemimpin masyarakat, mengumpulkan gagasan, dan mendiskusikan visi bersama. Sasaran utama selama fase ini adalah untuk memperoleh kepercayaan, membangun hubungan dan, yang penting, untuk memperoleh persetujuan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
eksplisit untuk bergerak maju. Advokasi sebaiknya dimulai dengan pertemuan konsultasi awal dengan Bapak/Ibu Lurah dan pemangku kepentingan utama lainnya. Pada tahap ini, yang terpenting adalah secara aktif mendengarkan persoalan dan persepsi masyarakat dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan mengarahkan perhatian pada tujuan-tujuan pembangunan. Advokasi merupakan proses yang berkelanjutan. Satu kali pertemuan mungkin tidak cukup untuk memperoleh dukungan penuh, dan kalaupun cukup, penting untuk memeriksa mereka kembali untuk memastikan bahwa setiap orang tetap memegang komitmen.
Mengadakan Sosialisasi
Tujuan proses sosialisasi adalah tidak hanya untuk mendiskusikan bagaimana masyarakat dapat meningkatkan kondisi sanitasi mereka, melainkan juga untuk mendengarkan permasalahan mereka dan memperoleh umpan balik dan saran dari mereka. Sosialisasi masyarakat merupakan tonggak yang penting karena memungkinkan setiap orang untuk secara terbuka mendiskusikan, memahami, dan menilai kondisi terkait sanitasi, termasuk persepsi, harapan, ekspektasi, dan rasa frustrasi yang ada di antara masyarakat umum; dan karena sosialisasi membantu membangun dukungan untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya. Sosialisasi dapat dimulai segera setelah terdapat pemahaman dan dukungan dari pemimpin masyarakat. (Lihat Boks 1 untuk tips menyelenggarakan acara yang sukses). Sosialisasi dapat dilakukan dalam pertemuan masyarakat berskala besar yang melibatkan anggota masyarakat umum dan pihak-pihak yang mewakili berbagai organisasi dan institusi. Untuk memaksimalkan partisipasi, sosialisasi dapat dibagi ke dalam beberapa pertemuan atau ditambahkan pada pertemuan masyarakat lainnya, seperti arisan. Mengadakan sosialisasi di sejumlah kelompok yang lebih kecil memungkinkan diperolehnya informasi yang lebih rinci dan wawasan yang lebih luas akan perspektif masyarakat. Penting agar para pemimpin masyarakat mengambil bagian dalam acara-acara sosialisasi, karena jaringan pejuang daerah sangat penting dalam meraih keberhasilan. Lokasilokasi yang baik untuk acara-acara sosialisasi meliputi Balai Kelurahan, rumah pemimpin masyarakat, sekolah, masjid, atau bahkan rumah salah seorang anggota masyarakat.
Kampanye Sanitasi Publik
Apa yang terjadi selama acara sosialisasi? Idealnya, acara sosialisasi meliputi presentasi oleh para pemimpin lingkungan, pengenalan akan maksud dari pertemuan, dan ulasan mengenai pelaksanaan sanitasi saat ini, kesempatan yang luas bagi anggota masyarakat untuk mengekspresikan diri mereka, dan kesepakatan atas langkah-langkah berikutnya. Lihat Boks 2 untuk agenda yang mungkin dibuat. Penting untuk diingat bahwa tidak terdapat proses kaku yang harus diikuti. Setiap acara harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Yang terpenting adalah untuk memastikan bahwa masyarakat merasa bahwa mereka melakukan dialog (bukan hanya mendengarkan pidato) dan bahwa mereka diberdayakan untuk mengatakan “ya” atau “tidak”.
Kesimpulan
Artikel ini menawarkan ulasan mengenai langkah-langkah awal dalam kampanye yang efektif untuk menciptakan kebutuhan masyarakat akan layanan sanitasi yang lebih baik, tetapi terdapat lebih banyak langkah dalam prosesnya, termasuk perencanaan, pemicuan, pembiayaan, dan pengembangan pengusaha sanitasi. Pembaca yang berminat dapat mempelajari lebih jauh bisa menghubungi IUWASH, http://iuwash.or.id. ●
Tentang Para Penulis Lutz Kleeberg adalah seorang ahli sanitasi dan pasokan air minum senior dengan pengalaman kerja selama 40 tahun, termasuk 20 tahun pengalaman di Indonesia. Ia memiliki spesialisasi dalam pengembangan kapasitas kelembagaan untuk sektor air minum dan sanitasi dan bidang keahliannya meliputi pengembangan kapasitas di tingkat masyarakat dan kelembagaan; perencanaan perusahaan untuk badan usaha milik negara; pembiayaan dan pengembangan proyek melalui partisipasi pemerintah-swasta; dan pemantauan program. Lutz memiliki Gelar Sarjana dalam bidang Teknik Sanitasi dan Gelar Master dalam bidang Administrasi Bisnis; Ia lancar berbahasa Jerman, Inggris, dan Indonesia. Ika Francisca adalah seorang ahli Komunikasi Perubahan Perilaku yang sukses dengan lebih dari 10 tahun pengalaman yang sangat relevan dalam berbagai bidang menyangkut lingkungan hidup yang secara khusus berkaitan dengan air minum dan sanitasi. Bidang keterampilannya meliputi: mobilisasi masyarakat, advokasi, fasilitasi pelatihan, dan analisis gender. Demikian pula ia memiliki kemampuan dalam: mengkoordinir pemangku kepentingan termasuk lembaga pemerintah (terutama Kementerian Kesehatan pada berbagai tingkat), tetapi juga lembaga sektor swasta dan media; membangun jaringan dan kemitraan; melakukan pendekatan partisipatif terhadap mobilisasi masyarakat; pengarusutamaan gender; pengembangan modul; dan manajemen program (perencanaan, pengawasan, manajemen dan pemantauan anggaran, pelaporan). Pengalamannya dalam bekerja bersama berbagai donor termasuk USAID telah memperkaya pengetahuan dan keterampilannya dalam manajemen proyek serta pelaksanaan program. Ia memiliki gelar Sarjana dalam bidang Kehutanan dari Universitas di Samarinda, Kalimantan Timur.
CATATAN 1. “100-0-100” adalah target dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Indonesia (2015–2019). Angka tersebut mengacu pada 100 persen akses terhadap air minum, nol daerah kumuh, dan 100 persen akses terhadap sanitasi yang lebih baik.
Prakarsa Compendium | Jilid 3
277
POIN-POIN UTAMA Skala buang air besar sembarangan dan parahnya dampak perilaku tersebut terhadap kesehatan masyarakat masih belum dipahami secara luas di semua kalangan di Indonesia. Agar dapat meningkatkan sanitasi secara substansial dan membuat Indonesia terbebas dari buang air besar sembarangan pada tahun 2019, sebagaimana dicita-citakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), perlu ada komitmen dari semua pihak terhadap pengentasan permasalahan ini. Keterlibatan yang lebih besar dimungkinkan melalui upaya advokasi berbasis luas yang efektif dan peka budaya. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah kampanye UNICEF di media sosial bertajuk Tinju Tinja yang menyasar pemuda kawasan perkotaan dan menampilkan musisi rock terkemuka Indonesia Melanie Subono melakukan kickboxing melawan Buang Air Besar Sembarangan. Kampanye video ini telah ditonton lebih dari 30.000 kali dan pesan-pesan telah mencapai hampir 9 juta impresi para pengguna Twitter dan YouTube. Kampanye ini juga telah menarik perhatian media massa. Kemajuan telah dicapai, tetapi upaya yang lebih tanggap dan berkelanjutan masih terus dibutuhkan.
Kampanye Sanitasi Publik
MENINGKATKAN KESADARAN TENTANG BUANG AIR BESAR SEMBARANGAN DI INDONESIA MELALUI MEDIA SOSIAL Ketika penelitian mengungkapkan bahwa sebagian besar orang Indonesia tidak sadar bahwa Buang Air Besar Sembarangan merupakan suatu masalah berskala nasional yang berdampak luas terhadap kesehatan masyarakat, UNICEF menangani masalah ini dengan menjangkau penduduk usia muda melalui penggunaan perangkat bantu media sosial secara kreatif. Oleh Aidan Cronin dan Supriya Mukherji
Buang Air Besar Sembarangan merupakan masalah yang cukup signifikan di Indonesia, meskipun tingkat keseriusannya belum cukup dipahami secara luas. Laporan Pemantauan Bersama WHO/UNICEF (2014) memperkirakan bahwa terdapat sekitar 55 juta penduduk yang melakukan Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia, lebih kurang seperempat dari seluruh jumlah penduduk. Angka ini adalah jumlah kedua tertinggi dalam suatu negara setelah India. Buang Air Besar Sembarangan terutama dilakukan oleh lapisan masyarakat termiskin dan mereka pula yang menanggung beban terberat. Anak-anak miskin, khususnya, yang sudah rentan dan termarginalkan, membayar harga tertinggi dari segi penyintasan (survival) dan perkembangan. Setiap tahun
antara 136.000 sampai 190.000 anak meninggal di Indonesia sebelum mereka dapat merayakan ulang tahun kelima 1. Hal ini berarti bahwa setiap jam antara 15 sampai 22 anak meninggal, dan sebagian besar dikarenakan penyebab yang sebenarnya dapat dihindari, yakni terkait dengan diare dan pneumonia. Angka tersebut dapat diturunkan secara drastis melalui penyediaan sanitasi dan higiene yang layak. Selain itu, di Indonesia terdapat hampir sembilan juta anak yang mengalami hambatan pertumbuhan (stunting), yakni anak-anak lebih kecil dari yang semestinya menurut usia mereka andaikata mereka bertumbuh normal. Stunting berpengaruh seumur hidup dengan dampak negatif yang tidak dapat dipulihkan terhadap perkembangan fisik. Banyak anak penderita stunting juga menunjukkan
Prakarsa Compendium | Jilid 3
279
280
Meningkatkan Kesadaran tentang Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia melalui Media Sosial
Pada gambar yang digunakan dalam kampanye UNICEF di media sosial untuk menghentikan Buang Air Besar Sembarangan ini, musisi rock terkemuka Melanie Subono menunjukkan keterampilan kickboxing barunya untuk melawan dampak negatif dari sanitasi yang buruk.
kemampuan kognitif lemah berikut kinerja lebih rendah dibandingkan teman sebaya mereka di sekolah, yang akan berdampak terhadap peluang ekonomi dan sosial kehidupan mereka. Meskipun stunting pada umumnya terkait dengan malnutrisi kronis, analisis dari data survei nutrisi oleh UNICEF menunjukkan bahwa risiko stunting jauh lebih tinggi ketika sebuah rumah tangga tidak memiliki fasilitas toilet yang layak – upaya mengurangi stunting membutuhkan sanitasi yang baik untuk menurunkan prevalensi penyakit yang menyumbang pada terjadinya stunting. Namun, bobot permasalahan dan dampak buruk dari Buang Air Besar Sembarangan seringkali tidak diketahui atau dipahami oleh masyarakat umum. Sebuah biro media yang ditugaskan oleh UNICEF bertanya secara acak kepada
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Atas perkenan UNICEF
masyarakat di jalan-jalan Jakarta yang sibuk, dan menemukan bahwa tidak seorang pun tahu bahwa Indonesia memiliki beban masalah kedua terberat di dunia terkait Buang Air Besar Sembarangan. Hal ini merupakan kendala serius bagi upaya mencapai sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk menjadikan Indonesia bebas dari Buang Air Besar Sembarangan pada tahun 2019. Sasaran ini tidak dapat dicapai oleh pemerintah, masyarakat sipil ataupun warga apabila dilakukan secara sendiri-sendiri – Hal ini membutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat umum, untuk menyadari pentingnya sasaran tersebut dan memberi dukungan penuh terhadap upaya ini. Jadi bagaimana cara menciptakan kesadaran yang sangat dibutuhkan ini? UNICEF menyelenggarakan kampanye di
Kampanye Sanitasi Publik
media sosial yang bertujuan untuk menggaungkan suara bangsa paling lantang: suara para pemuda. Kampanye ini berjudul Tinju Tinja. Kampanye ini diluncurkan pada Hari Toilet Sedunia (World Toilet Day), 19 November 2014, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris dan menampilkan musisi rock terkemuka Melanie Subono. Hari Toilet Sedunia dipilih karena merupakan momentum tahunan bagi advokasi publik tentang sanitasi dan merupakan hari untuk bertindak. Hari tersebut sudah diperingati oleh organisasi-organisasi internasional maupun organisasi-organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia selama beberapa tahun belakangan dan penetapan secara resmi tanggal 19 November sebagai World Toilet Day dilakukan melalui Rapat Paripurna PBB pada tahun 2013.
Pelibatan Pemuda
Peluncuran Tinju Tinja didahului oleh suatu tahap teaser untuk membangkitkan keingintahuan dengan memperkenalkan “Ninja Tinja”, sebuah sosok yang mengancam kesehatan anak-anak di Indonesia. Pada
masyarakat sekitar dan keluarga mereka serta para pembuat keputusan untuk melakukan hal yang sama. Secara kolektif suara ini dapat merangsang penciptaan norma sosial baru – sebuah negara Indonesia dimana tidak ada seorang pun yang menerima keberadaan Buang Air Besar Sembarangan dan dimana semua orang menggunakan toilet. Kampanye ini secara spesifik menautkan program sanitasi pemerintah dengan program-program seperti STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) untuk menunjukkan bahwa telah ada kemajuan, namun hal ini membutuhkan dukungan semua orang. Sasarannya adalah untuk menciptakan sensasi sehingga seluruh bangsa tergugah, menaruh perhatian, dan bergabung dalam upaya membuat Indonesia bebas tinja. Pada akhirnya, upaya ini juga ditujukan untuk membangun kesadaran bahwa kita semua terkena dampak Buang Air Besar Sembarangan – terlepas apakah kita menggunakan toilet atau tidak. Setelah empat bulan pertama, video kampanye sudah ditonton lebih dari 30.000 kali dan pesannya telah
Sebuah biro media yang ditugaskan oleh UNICEF bertanya secara acak kepada masyarakat di jalan-jalan Jakarta yang sibuk, dan menemukan bahwa tidak seorang pun tahu bahwa Indonesia memiliki beban masalah kedua terberat di dunia tentang buang air besar sembarangan. akhirnya Melanie Subono datang untuk menyelamatkan anak-anak tersebut dan melawan Ninja Tinja, tetapi tidak jelas siapa yang menang – tagline pada akhir video Melanie beradu tinju dengan Ninja Tinja menyatakan bahwa dia tidak dapat melakukannya sendiri – dia membutuhkan bantuan Anda! Sasaran utama kampanye ini adalah kaum muda dan para pembuat keputusan di kawasan perkotaan – keduanya umumnya sangat aktif di media sosial. Ide dari kampanye ini bahwa melalui pemuda kawasan perkotaan, yang sebagian besar sudah menggunakan toilet, kita dapat menciptakan lapisan aktif pelaku advokasi yang dapat menyerukan penghentian Buang Air Besar Sembarangan. Selanjutnya mereka akan menyebarkan pesan dan memengaruhi
mencapai hampir 9 juta impresi dari pengguna Twitter dan YouTube, jadi pesannya sudah tersebar. Kampanye ini juga sudah menjadi topik pembicaraan hangat sehingga menarik perhatian media massa. Media pun membahas Tinju Tinja, sehingga memperluas jangkauan dan minat. Pelajaran yang dapat ditarik selama ini adalah perlu adanya pembaruan materi di media sosial untuk menjadi bahan pembicaraan hangat, dan bahwa para pengguna YouTube dengan pengikut banyak dapat menjadi penyampai pesan yang kuat.
Membangun Keberhasilan Lebih Lanjut
Ke depannya, UNICEF merencanakan untuk melanjutkan keberhasilan dari kampanye awal ini dan selanjutnya mengaitkan kampanye media sosial dengan program sanitasi
Prakarsa Compendium | Jilid 3
281
282
Meningkatkan Kesadaran tentang Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia melalui Media Sosial
nyata yang menunjang perubahan perilaku berkelanjutan di kalangan masyarakat Alor, Nusa Tenggara Barat. Pejabat kecamatan dan kelurahan setempat di Alor telah bertekad untuk mendukung Tinju Tinja guna meningkatkan kesadaran tentang STBM. Materi yang dikembangkan untuk kampanye ini mencakup infografik atau gambar-gambar informatif (tentang bagaimana sanitasi berdampak pada kesehatan, nutrisi, gender, dan pendidikan) yang telah terbukti menjadi materi advokasi bermanfaat di tingkat implementasi. Strategi lain yang diterapkan UNICEF untuk mempromosikan sanitasi adalah melalui platform media sosial yang melibatkan pemuda, dikenal sebagai U-report. Cara ini menjangkau 20.000 pengikut dalam semua isu kunci yang memengaruhi penyintasan anak, termasuk pembangunan, pendidikan, dan perlindungan. Selain itu, akun UNICEF Indonesia di Facebook dan Twitter memiliki pengikut dalam jumlah besar yang secara rutin menyampaikan berita terkini tentang kemajuan dan tantangan di bidang sanitasi. Kemajuan telah dicapai, tetapi semua pihak masih dapat berbuat lebih banyak lagi untuk memastikan agar semua anak di Indonesia terlahir dalam lingkungan yang tidak menunjang terjadinya stunting; dimana mereka tidak perlu berulang kali menderita diare; dan dimana anak perempuan terbebas dari pelecehan dan tidak dipermalukan saat mereka memasuki masa pubertas. Agar hal ini terwujud, masyarakat Indonesia harus menuntut adanya tindakan nyata dalam bidang sanitasi dan mendukung program pemerintah guna mencapai sasaran Indonesia pada tahun 2019, yakni bebas dari Buang Air Besar Sembarangan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kampanye Tinju Tinja, simaklah video, infografik, dan statistik latar belakang, dan untuk mengambil tindakan terkait sanitasi, kunjungi www.tinjutinja.com. ●
Tentang Para Penulis: Aidan Cronin adalah Kepala Program WASH dari UNICEF Indonesia dan sebelumnya dia bekerja di UNICEF India tingkat Nasional dan Negara Bagian. Aidan juga pernah bekerja dengan UNHCR sebagai penasihat bidang Air Minum dan Sanitasi di Bagian Kesehatan Masyarakat di Jenewa, Swiss, dan sebagai Ahli Peneliti Senior pada Robens Centre for Public and Environmental Health, Inggris, dimana penelitiannya berfokus pada dampak kegiatan antropogenik pada kualitas air bersih di lingkungan Uni Eropa dan negara berkembang. Aidan adalah seorang insinyur teknik sipil dengan gelar M.Sc. di bidang Rekayasa Lingkungan dan Ph.D. di bidang sumber daya air. Supriya Mukherji adalah seorang spesialis bidang Komunikasi untuk Pembangunan di UNICEF Indonesia. Sebelumnya, dia bekerja dalam kapasitas serupa di Kantor Negara UNICEF India. Supriya pernah menjadi konsultan independen di bidang komunikasi pembangunan dan menangani sejumlah tugas di berbagai lembaga pembangunan, termasuk UNICEF dan Bank Dunia. Sebelumnya, dia bekerja di bidang periklanan dan penelitian pasar. Supriya berpengalaman luas dalam bidang komunikasi untuk berbagai isu pembangunan, termasuk stunting, higiene dan sanitasi, imunisasi, dan pendidikan. Dia memiliki gelar MBA dan gelar Bachelor dalam bidang Ekonomi.
CATATAN 1. Tingkatan & Tren dalam Kematian Anak – Laporan 2014 Perkiraan yang dikembangkan oleh UN Inter-agency Group for Child Mortality Estimation (Kelompok Antar-lembaga PBB untuk Memperkirakan Angka Kematian Anak).
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
Kampanye Sanitasi Publik dalam angka 72% 200+ 36,6% 58% 72 30m
Persentase peningkatan tahunan yang diperlukan dalam akses terhadap fasilitas sanitasi yang lebih baik untuk mencapai target akses 100% pada 2019.
Jumlah daerah resapan di Indonesia yang rusak akibat pencemaran industri dan kurangnya saluran pembuangan air limbah.
Persentase Posyandu yang tidak memiliki toilet bagi pasiennya.
Persentase populasi di Papua yang tidak memiliki akses terhadap jamban.
Jumlah lokasi di sepanjang Sungai Musi yang dipantau secara teratur untuk mengukur tingkat pencemaran. Tingkat pencemaran meningkat selama lima tahun terakhir, kemungkinan besar akibat kegiatan rumah tangga dan industri, serta pembusukan sampah yang dibuang ke dalam Sungai Musi (lihat artikel pada halaman 258).
3
Jumlah limbah manusia yang dapat diolah setiap hari untuk dijadikan pupuk dan gas di Instalasi Pengelolaan Lumpur Tinja (IPLT) di Banda Aceh yang menggunakan sistem pengolahan limbah tertutup.
Rp 1,2 miliar
Jumlah yang diinvestasikan oleh Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Indonesia dalam instalasi pengolahan air limbah dan instalasi daur ulang air minum. Air minum yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan 500 orang sehari.
200
Jumlah rencana induk yang saat ini sedang disiapkan Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan sistem pengolahan air limbah (SPAL).
Prakarsa Compendium | Jilid 3
283
284
Pandangan Para Ahli
PANDANGAN PARA AHLI Pertanyaan 1: Bagaimana strategi dalam menentukan pemilihan lokasi pembangunan infrastruktur sanitasi untuk memenuhi jumlah penerima manfaat program sAIIG?
Ir. Ahmad Fanani S, SH Kepala Dinas Cipta Karya dan Perumahan, Kota Banjarmasin “Pada tahun 2015, kami kembali melakukan tambahan perencanaan, karena memang potensi sangat memungkinkan. Masyarakat kita perlu melihat contoh seperti apa program ini apabila benar-benar dijalankan. Dengan demikian, hal ini akan meringankan kita dalam tahap sosialisasi nantinya. Pemilihan lokasi dalam satu kawasan lebih baik daripada menyebar. Kami berharap potensi dalam satu kawasan tersebut sudah cukup besar. Jika tidak ada kendala berarti, kami bisa memenuhi kurang lebih 1.880 lebih sambungan rumah tangga untuk kota Banjarmasin. Memang belum bisa mencapai 1.930 sambungan rumah (seperti yang tercantum dalam Perjanjian Penerusan Hibah), namun kami yakin nanti dengan sendirinya akan terjadi pergerakan selama masa pelaksanaan. Semakin banyak yang sudah kita bangun, semakin banyak masyarakat yang akan melihat dan tertarik mengikutinya. Menurut kami, masyarakat yang paling antusias sebenarnya adalah masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran. Kami menangkap momen peluang di masyarakat, yaitu momen masyarakat menginginkan dibangunnya instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Jadi harus kita kejar dan dorong pembangungan IPAL ke sana. Memulai sesuatu yang baru itu cukup panjang perjuangannya. Jadi apabila saat ini potensinya ada di daerah pinggiran, maka kita akan utamakan masyarakat berpenghasilan rendah di daerah tersebut. Dengan demikian, satu kelompok ini bisa dilihat oleh kelompok lainnya di kawasan yang sama. Kalau kita terpencar (tidak dalam satu kawasan), dari segi manfaat, hal ini menjadi kurang optimal.”
Ir. Toto Suroto Kepala Dinas Kimpraswil, Kota Yogyakarta “Dalam pemilihan lokasi di kota Yogyakarta, karena wilayah luas kota yang harus dilayani cukup besar bagi kami, kami memilih lokasi yang diperkirakan memiliki nilai manfaat yang besar dan sesuai dengan upaya efisiensi yang bisa kami lakukan. Yang menjadi pilihan pertama adalah lokasi-lokasi yang sudah memiliki jaringan pipa induk dan lateral, karena semakin jauh dan dalam lateralnya, semakin efisien pula biaya penyambungan ke masing-masing rumah, dan target kami pun akan dapat lebih banyak lagi. Kemudian yang kedua, dalam pelaksanaan ini, dipilih wilayah yang memang membutuhkan sistem sanitasi secara mendesak. Yaitu wilayah kota Yogyakarta dimana penduduknya sangat padat, dan sudah tidak memungkinkan lagi bagi masing masing rumah warga untuk membuat sumur-sumur resapan. Di Yogyakarta, apalagi di jalan-jalan di kampung, di gang-gang, dan sebagainya, jikapun mereka memakai septic tank, rumah mereka tidak terjangkau oleh mobil penyedot tinja. Harapan kami, masyarakat ini akan beralih dari yang semula menggunakan septic tank dan resapan menjadi memanfaatkan IPAL yang terpusat di Sewon Bantul.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
Kampanye Sanitasi Publik
Pertanyaan 2: Bagaimana peran program sAIIG dalam membantu Pemerintah Daerah meningkatkan pelayanan sanitasi kepada masyarakat?
Ir. Ahyani, MA Kepala Bappeda, Kota Surakarta “Program sAIIG di kota Surakarta sebenarnya bisa memperkuat atau menambah kapasitas pelayanan yang sekarang telah dilaksanakan oleh PDAM, karena memang operasional untuk jaringan-jaringan storage yang berbasis institusi dikelola PDAM, sedangkan yang berbasis masyarakat dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat. Jadi masih sangat terbuka peluang untuk perluasan cakupan jaringan melalui PDAM. Memang saat ini PDAM harus memperkuat kapasitasnya, karena cakupannya masih belum terlalu luas. Dari fasilitas IPAL yang sudah ada, fasilitas yang ada di Pucang Sawit walau masih baru masih perlu ditambah, sementara IPAL di Semanggi juga masih bisa ditambah, dan ada satu lagi yang sudah lama terbangun, yaitu IPAL di Mojosongo. Secara garis besar, program sAIIG sangat membantu kota Surakarta dalam memperkuat implementasi kapasitas layanan PDAM.”
Ir. M Sapri HN, Dipl HE Kepala Bappeda, Kota Palembang “Pelayanan air minum pelayanan sanitasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Artinya, terdapat suatu keharusan bagi pemerintah untuk membangun infrastruktur ini, Tren pelayanan sanitasi di kota Palembang terus naik. Asosiasi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi (Akopsi) menjelaskan bahwa ada keharusan pemerintah kota ataupun kabupaten untuk mengalokasikan 2 persen dari belanja langsungnya untuk sanitasi. Di kota Palembang, kita sudah mencapai 5 persen untuk belanja sanitasi ini, dan mungkin akan naik terus sesuai kebutuhan. Lebih dari sekedar tren, peningkatan ini memang suatu kebutuhan sesuai dengan jumlah penduduk serta luas wilayah dan kondisi geografis kota Palembang yang membutuhkan biaya lebih besar daripada kota-kota lain di Indonesia. Kita sudah mengalokasikan sampai hampir 5,5 persen dari belanja langsung APBD dalam tiga tahun terakhir. Jadi apa yang diinginkan Pemerintah Pusat untuk meningkatkan pelayanan hingga 100 persen penduduk terlayani ini saya kira bisa tercapai lebih baik di kota Palembang. Artinya, tentu upaya yang kita lakukan selama ini akan kita teruskan, seperti pembangunan sarana dan prasarana secara bertahap. Saya mengharapkan bahwa bantuan Pemerintah Australia bisa terus dilanjutkan dan berkesinambungan. Dengan adanya 21 ribu sambungan rumah, hal ini dapat menjadi momentum bagi Pemerintah Kota Palembang dalam melayani masyarakat dengan cakupan yang bahkan melebihi kebutuhan sanitasi mendasar masyarakat di kota Palembang.”
Prakarsa Compendium | Jilid 3
285
Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) adalah proyek yang didukung oleh Pemerintah Australia dan dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan meningkatkan relevansi, kualitas, dan jumlah investasi infrastruktur. Proyek ini dijalankan oleh SMEC di bawah kontrak dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT ). IndII bekerja sama dengan para mitra dari pihak Pemerintah Indonesia di Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
ISBN 978-602-99114-3-5 (no.jil.lengkap) ISBN 978-602-99114-6-6 (jil.3)