Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
POTRET PENGGUNAAN BAHASA BALI BAGI KOMUNITAS BALI DI KOTA MEDAN I Wayan Dirgeyasa Universitas Negeri Medan
[email protected] ABSTRAK Dalam konteks kekinian, eksistensi bahasa-bahasa daerah termasuk bahasa Bali telah terjadi penomena penurunan intensitas dan frekuensi penggunaannya di tengah masyarakat yang modern dan multilingual khususnya di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makasar, Medan, dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkap penggunaan Bahasa Bali oleh penutur Bahasa Bali di Medan dengan pilihan bahasa 1) Bahasa Bali (BB) dan Bahasa Indonesia (BI), 2) dominasi Bahasa Bali (dBB) dan dominasi Bahasa Indonesia (dBI), dan 3) mengetahui kemampuan dan keterampilan generasi ke dua komunitas masyarkat Bali di Medan berbahasa Bali. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Responden penelitian ini adalah komunitas Bali yang tinggal di Medan dan sekitarnya yang diambil secara porpusive cluster random sampling. Responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam (in depth interview) and angket. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Konteks penggunaan pilihan bahasa yang diteliti adalah tempat, lawan mitra tutur, isi pembicaraan, situasi komunikasi. Indikator dominasi pilihan bahasa adalah rentangan antara 51-99%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pilihan penggunaaan bahasa bagi komunitas Bali di Medan. Pertama, pada umumnya komunitas masyarakat Bali di Medan tidak menggunakan pilihan bahasa baik Bahasa Bali (BB) maupun Bahasa Indonesia (BI) secara penuh pada suatu persitiwa interaksi dan komunikasi. Kedua, komunitas masyarakat Bali di Medan menggunakan campur kode (code mixing) dan alih kode (code-switching) dengan pilihan bahasa dominanasi Bahasa Indonesia (dBI) pada semua kontek komunikasi. Dan ketiga, secara khusus, generasi kedua komunitas masayarakat Bali di Medan sangat tidak menguasai berbahasa Bali baik lisan maupun tulisan. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa secara umum pengunaan pililhan Bahasa Bali (BB) oleh komunitas masyarakat Bali di Medan secara penuh dan utuh dalam semua konteks komunikasi tidak terjadi baik. Hal ini menunjukkan bahwa suatu saat ke depan Bahasa Bali akan mengalami kepunahaan sedikit demi sedikit terutama oleh generasi kedua dan seterusnya bagi komunitas Bali yang lahir di Medan. Kata kunci: bahasa Bali, bahasa Indonesia, dominasi bahasa Bali, dominasi bahasa Indonesia
PENDAHULUAN Dalam beberapa tahun terakhir ini, realitas di lapangan menunjukkan bahwa bahasa-bahasa daerah, termasuk bahasa Bali telah mulai mengalami penurunan frekuensi dan intensitas penggunaannya oleh penuturnya. Antara (2016) mengatakan bahwa dari pengamatan sederhana saja, anak-anak sudah jarang berbahasa Bali, terlebih lagi di daerah perkotaan. Hal ini terjadi karena penutur Bahasa Bali merasa gengsi jika mereka menggunakan bahasa Bali. Ini memperlihatkan rasa fanatisme terhadap bahasanya kurang” ujarnya, Lebih lanjut dia juga mengatakan bahwa dari kajian hasil penelitian Fakultas Sastra Universitas Udayana, frekuensi pemakaian bahasa Bali memang rendah, khususnya di daerah perkotaan. Bahkan ini sudah mulai menyebar ke daerah pedesaan di Bali. Kenyataan ini kelihatanya juga di alami oleh komunitas Bali yang ada di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Makasar, Yogyakarta, Bandar Lampung dan Medan. Padahal menurut pandangan umum, masyarakat Bali atau komunits Bali memiliki prinsip yang kuat dalam mempertahankan dan mengembangkan budaya, tradisi dan juga bahasa di manapun mereka berada. Penggunaan Bahasa Bali di tengah masyarakat seperti itu merupakan tantangan dan sekaligus peluang untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa itu sendiri. Berkaitan dengan penggunaan Bahasa Bali, Marjohan dkk (1992) dalam penelitiannya menemukan bahwa (80,87%) anggota sampel mengunakan bahasa Bali dalam situasi tak resmi ketika berbicara dengan keluarga, tetangga, kerabat sekitar rumah dengan topik kegiatan sehari-hari, (19,23%) menggunakan bahasa Bali dalam situasi resmi dengan topik kedinasan dan pendidikan.Sehubungan dengan menurunya penggunaan Bahasa Bali, Dirgeyasa, (2010) dalam penelitian mengatakan bahwa Bahasa Bali telah mengalami pergeseran, perubahan mungkin juga degradasi dalam penggunaan variasi Bahasa Bali seperti penggunaan ragam tinggi atau ragam rendah di daerah transmigrasi Lampung. Code-mixing atau codeswitching sangat intens terjadi ketika mereka berkomunikasi dan transaksi sehari-hari. Sejumlah hasil penelitian tersebut merupakan fenomena pemakaian Bahasa Bali yang terkait dengan konteks sosial budaya Bali. Dalam konteks komunitas Bali di Medan dan sekitarnya, intesitas dan frekwuensi serta kuantitas penggunaan Bahasa Bali oleh warga komunitas Bali di Medan dan sekitarnya secara tentatif menurun dan berkurang. Untuk mendapatkan informasi dan realitas yang terpercaya dan valid, 432
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
tulisan ini membahas potret penggunaan pilihan Bahasa Bali di Kota Medan dan Sekitarnya oleh komunitas Suka Duka Dirgayusa Medan dan kemampuan generasi II dalam menguasai Bahasa Bali. KAJIAN TEORI Komunitas Bali di Medan Secara historis, keberadaan komunitas Bali di kota Medan dan sekitarnya sudah terjadi sejak tahun 1974. Sebagian besar dari mereka berasal dari Bali atau daerah lain di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Lampung dan sebagainya. Mereka pada umumnya mampu dan terampil menggunakan Bahasa Bali baik secara lisan maupun tulisan. Saat ini, jumlah komunits Bali di Medan dan sekitarnya mencapai 80-90 kepala kepala keluarga atau setara dengan 250-350 orang. Jumlah tersebut setiap tahunnya berubah karena selalu ada maysarakat yang datang dan pergi setiap tahun. Dari jumlahnya tersebut sudah ada yang menjadi generasi kedua yang lahir di Medan dengan rentangan umur 1-25 tahun. Dalam kehidupan sehari-hari, komunitas masyarkat Bali di Medan dan sekitarnya, secara umum masih kuat dan teguh memegang tradisi dan budaya Bali baik secara individu maupun kolektif. Budaya mereka masih relatif kuat dan dapat berkembang misalnya kehidupan beragama, kesenian, tatanan sosial dalam bermasyarakat serta aturan (awig-awig) yang diterapkan untuk menjanga keberadaan dan keberlangsungan komunitas Bali di Medan. Untuk itu, komunitas Bali di Medan dan sekitarnya mendirikan paguyuban dan komunitas yang bernama Suka Duka Dirgayusa Medan (SDDYM) sejak tahun 1974. Dalam kaitan penggunaan Bahasa Bali, komunitas Bali dalam berkomunikasi dan berinteraksi sesame warga Bali relatif tidak sekuat aspek kesenian, tradisi, aturan-aturan (awig-awig) yang menjadi indentitas ke-Baliannya. Padahal Bahasa Bali juga menjadi identitas masyarakat Bali di manapun mereka berada. Bahasa Bali Bahasa Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta yang artinya “kekuatan”, jadi kata “Bali” berarti “pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Maka dari itu, secara normatif, Bahasa Bali merupakan bahasa ibu yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh semua masyarakat Bali dalam setiap aktivitas baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk pula dalam kegiatan agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat Bali. Bahasa Bali merupakan bukti historis bagi masyarakat Bali. Sehubungan dengan itu, bahasa Bali sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Bali dan sekaligus pula berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya Bali yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, sosial, politik dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat Bali. Bahasa Bali merupakan sebuah sistem kebahasaan dan budaya yang berfungsi sebagai akar pelestari kebudayaan Bali itu sendiri. Bahasa Bali dalam pemakaiannya memiliki sistem tingkatan-tingkatan yang dalam bahasa itu disebut dengan Sor-Singgih Basa Bali (Sumitra, 2013) dalam http://balinesesudanglepet.blogspot.co.id/2013/08/bab-ipendahuluan-1.html/12/3/2016. Dalam penggunaan Sor-Singgh Basa Bali dalam kehidupan bermasyarakat orang Bali, menurut kamus bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali (1990) menguraikan bahwa kata Sor berarti bawah, singgih berarti halus atau hormat. Jadi Sor-Singgih Basa Bali berarti aturan tentang tingkat-tingkatan atau tinggi rendah yang menyangkut rasa/perasaan yang merujuk pada rasa solidaritas dengan saling hormat menghormati dalam menggunakan bahasa Bali terhadap lawan bicara. Di samping itu, orang Bali dalam menggunakan Bahasa Bali juga memperhatikan konsep (desa) tempat, (kala) waktu, dan (patra) situasi dan kondisi. Campur Kode dan Alih Kode Ada tiga jenis bahasa yang dikenal dalam sosiolinguistik. Pertama adalah alih kode (code switching). Kode pada dasarnya adalah istilah netral yang dapat mengacu pada bahasa dialek, sosiolek, atau ragam bahasa. Jika Si A mempunyai B1 (Bahasa Bali), dan B2 (Bahasa Indonesia) serta juga menguasai Bahasa Inggris, dia dapat beralih kode dengan tiga bahasa itu. Pilihan bahasa yang kedua adalah campur kode (code mixing). Campur kode ini serupa dengan interferensi dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Dalam campur kode, penutur menyelipkan unsur – unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dan, ketiga adalah variasi dalam bahasa yang sama (variation with in the same language). Dalam hal ini seseorang penutur harus memilih ragam mana yang harus dipakai dalam situasi tertentu. Berkaitan dengan hal itu, teori-teori yang digunakan sebagai acuan pada penelitian ini adalah adalah Fishman (1976) yang menyatakan bahwa hal yang mendasar dalam kedwibahasaan adalah kedwibahasaan masyarakat karena merupakan fenomena pemakaian dua bahasa atau lebih. Fasold (1984) menyatakan 433
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
bahwa walaupun sulit membedakan antara code mixing dan code switching, namun kedua bentuk ini masih bisa dibedakan dan dikenal, misalnya melalui fenomena peminjaman kosakatanya. Penggunaan kata atau frasa bahasa lain ke dalam suatu bahasa adalah peristiwa mencampur (mixing), penggunaan klausa dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain adalah peristiwa pertukaran (switching). Richards dkk. (1985) mengatakan bahwa kode merupakan istilah netral sebagai pengganti bahasa, ragam tutur, atau dialek. Kemudian, Wardhaugh (1998) dan Kachru (1978) menyatakanbahwa campur kode sebagai salah satu aspek ketergantungan bahasa tidak dapat dihindarkan dalam tindak tutur dwibahasawan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakasanakan di Medan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi penelitian adalah komunitas Bali di Medan dan sekitarnya yang terhimpun dalam paguyuban Suka Duka Dirgayusa Medan (SDDY-Medan). Sampel penelitian diambil secara kluster bertujuan acak (purposive cluster random sampling technique). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 35 orang untuk generasi pertama dan 15 orang untuk generasi kedua. Jadi total sampel dalam penelitiaan ini mencapai 50 orang. Data dikumpulkan dengan and angket dan wawancara mendalam (in depth interview) untuk masalah pertama dan kedua. Sedangkan tes penguasaan kosa kata dalam bentuk menterjemahkan digunakan untuk menjawab masalah ketiga. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Konteks pilihan bahasa yang diteliti adalah tempat, lawan mitra tutur, isi pembicaraan, situasi komunikasi dan saluran atau bentuk komunikasi. Sedangkan indikator kategori dominasi pilihan bahasa adalah rentangan antara (51-99%) dari bahasa yang digunakan dan indikator kemampuan berbahasa (penguasan kosa kata) adalah rentangan nilai (0 – 100). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penelitian dan pembahasan disajikan sesuai dengan masalah dalam penelitian yang meliputi 1) pilihan penggunaan Bahasa Bali (BB) dan Bahasa Indonesia (BI), 2) pilihan dominanasi Bahasa Bali (dBB) dan dominanasi Bahasa Indonesia (dBI), dan 3) kemampuan dan keterampilan generasi ke dua komunitas masyarkat Bali di Medan berbahasa Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi tempat di mana komunikasi itu berlangsung seperti rumah, pura, kantor atau tempat umumn, lawan bicara atau mitra tutur, isi pembicaraan, situasi pembicaraan komunitas Bali bertemu mereka tidak menggunakan Bahasa Bali ataupun Bahasa Indonesia secara utuh dan penuh. Bila ditinjau dari penggunaan pilihan dominanasi Bahasa Bali (dBB) atau dominanasi Bahasa Indonesia (dBI), komunitas Bali di Medan menggunakan dominasi pilihan bahasa cukup beragam tergantung dengan tempat, lawan bicara atau mitra tutur, isi pembicaraan, situasi pembicaraan, tingkat keseriusan pembicaraan, dan saluran atau bentuk komunikasi. Pertama, berdasarkan tempat pembicaraan, komunitas Bali di Medan dan sekitarnya sebagian besar menggunakan pilihan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) di tiga tempat peristiwa komunikasi yaitu rumah, tempat ibadah (Pura), dan tempat umum. Hasil penelitian juga menunjukkan tempat ibadah (Pura) yang seyogyanya menjadi tempat bagi mereka untuk menggunakan dominasi Bahasa Bali dalam berkomunikasi, kenyataanya mayoritas dari mereka menggunakan dominasi Bahasa Indonesia (dBI). Kedua, bila ditinjau dari usia lawan mitra tutur, bila lawan mitra tutur lebih tua maupun lebih muda, sebagian besar responden menggunakan dominasi Bahasa Indonesia masing-masing (97,14%) dan (77,14%). Namun bila lawan mitra tuturnya dalam usia yang sama atau relatif sama, dominasi Bahasa Bali (dBB) cukup banyak walaupun sebagian besar (57,14%) responden masing menggunakan bahasa dengan dominasi Bahasa Indonesia. Bila lawan mitra bicara berasal dari wangsa dan status sosial yang ‘tinggi’ maupun lebih ‘rendah’, sebagian responden menggunakan pilihan bahasa dengan dominasi Bahasa Indonesia. Sedangkan bila lawan mitra tutur berasal dari wangsa yang sama dan status sosial yang sama, besarnya responden yang menggunakan dBB dan dBI relatif sama. Hasil di atas, juga tidak jauh berbeda dengan penggunaan pilihan bahasa apakah dBB atau dBI bila ditinjau dari isi pembicaraan. Secara umum komunitas Bali di Medan dan sekitarnya menggunakan dominasi Bahasa Indonesia dalam segala isi pembicaraan seperti profesi pekerjaan, sosial-ekonomi, dan percakapan sehari-hari. Namun topik agama dan ritual keagamaan, dominasi Bahasa Bali (dBB) dan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) hampir sama dengan persentase masing-masing sebesar (48,57%) dan (51,42%). Keempat, pilihan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) menjadi sangat dominan bagi komunitas Bali di Medan dan sekitarnya dari berbagai situasi pembicaraan baik situasi formal, kurang formal, maupun tidak formal, bahkan untuk situasi formal seperti rapat persentasenya hampir mencapai 100%.
434
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Kelima, situasi pembicaraan dikelompokan menjadi kategori melucu atau mengejek dan menggosip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominasi Bahasa Bali (dBB) relatif lebih tinggi atau intens dari pada penggunaan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) masing masing sebesar (61,29%) dan (51,42%) berbanding (45,71%) dan (48,57%). Dan, keenam, saluran atau pola pembicaraan juga mempengaruhi pilihan dominasi penggunaan bahasa komunitas Bali di Medan dan sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua saluran atau bentuk pembicaraan seperti dharma wacana, dharma gita, dan rapat sangat didomunasi oleh dominasi Bahasa Indonesia dengan rata rata mencapai lebih dari (80%). Sedangkan saluran pembicaraan dalam bentuk arisan walaupun masih didominasi Bahasa Indonesia, namum persentse tidak seintens tiga saluran sebelumnya. Dari 15 orang generasi ke dua yang menjadi sampel dalam penelitian ini, secara umum mereka tidak menguasai Bahasa Bali. Kemampuan dan keterampilan Bahasa Bali mereka secara persentase hampir semuanya berada Bada level (0 – 29). Hanya (6,66%) yang memiliki kemampuan menguasai Bahasa Bali dengan persentase sebesar (50-59), dan hampir tidak ada responden yang mampu dan menguasai Bahasa Bali hingga (50 -59). Pembahasan Merujuk hasil penelitian pada bagian sebelumnya, pada umumnya komunitas masyarakat Bali di Medan tidak menggunakan pilihan bahasa baik Bahasa Bali (BB) maupun Bahasa Indonesia (BI) secara penuh pada suatu persitiwa komunikasi namun mereka cenderung menggunakan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) daripada dominasi Bahasa Bali (dBB) dalam semua konteks pembicaraan seperti tempat, lawan bicara atau mitra tutur, isi pembicaraan, situasi pembicaraan, tingkat keseriusan pembicaraan, dan saluran atau bentuk komunikasi. Padahal, komunitas Bali secara umum biasanya dalam pertemuan tingkat adat, meminang, atau upacara adat pertemuan warga, dan atau upacara dan upakara agama lainya, mereka harus menggunakan Bahasa Bali (Dhana 1994; Wiana, 2007). Kemudian, dalam konteks penguasaan kemampuan dan keterampilan berbahasa Bali, generasi II komunitas Bali di Medan dan sekitarnya, secara umum tidak menguasai Bahasa Bali. Hanya (6,66%) yang memiliki kemampuan menguasai Bahasa Bali dengan level sebesar (50-59) sedangkan sisanya dikategorikan tidak mampu atau tidak menguasai. Berbicara tentang tingginya dominasi penggunaan Bahasa Indonesia (dBI) dari pada dominasi Bahasa Bali (dBB) oleh komunitas Bali di Medan sesungguhnya yang terjadi adalah campur kode (code mixing). Kenapa dominasi Bahasa Indonesia menjadi sangat dominan bagi komunitas Bali di Medan sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Mereka cenderung menggunakan bahasa yang dianggap mudah digunakan dalam berkomunikasi (Rokhman,2003; Garminah. 2005). Faktor yang mungkin juga berpengaruh adalah tingkat penguasaan Bahasa Bali bagi penuturnya. Faktor kebahasaan misalnya kurangnya kosa kata dalam bahasa Bali. Jumlah kosa kata dalam bahasa Bali sangat sedikit. Dengan keterbatasan tersebut, maka dalam memperlancar komunikasi unsur bahasa yang tidak ada dalam bahasa Bali digunakan dari unsur bahasa lain. Hal yang sama juga dikatakan oleh (Rusyana, 1989; Buda, 1991) dalam http//:wwwf. woseda.jp/buda/texts/language.htm!/6/20/2009. Penghindaran penggunaan bahasa Bali secara utuh disebabkan oleh kurangnya penguasaan bahasa tersebut. Rendahnya dominasi Bahasa Bali (dBB) bagi komunitas Bali di Medan dan sekitarnya juga mungkin disebakan sikap penutur terhadap bahasanya sendiri. Sikap berujung pada positif dan negatif penutur terhadap bahasanya. Artinya semakin positif dan militant sikap penutur terhadap bahasanya, semakin intens mereka menggunakan bahasa tersebut (Malini, 2012). Antara (2016) menambahkan bahwa ada rasa gengsi jika mereka menggunakan bahasa Bali. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa secara umum pengunaan pilihan Bahasa Bali (BB) oleh komunitas masyarakat Bali di Medan secara penuh dan utuh dalam semua konteks komunikasi tidak terjadi baik. Dominasi penggunaan Bahasa Indonesia (dBI) sangat intens dan meluas dalam segala aspek kehidupan dari pada dominasi Bahasa Bali (dBB). Sedangkan generasi II tidak menguasai Bahasa Bali. Hal ini menunjukkan bahwa suatu saat ke depan Bahasa Bali akan mengalami kepunahaan sedikit demi sedikit terutama oleh generasi kedua dan seterusnya bagi komunitas Bali yang lahir di Medan. Pemertahanan Bahasa Bali bagi komunitas Bali di Medan masih kurang dan cenderung lemah. Di masa depan, bila generasi pertama telah tiada, keberadaan dan eksitensi Bahasa Bali bagi komunitas Bali di 435
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Medan diperkirakan akan punah dan mati. Hal ini terjadi karena generasi kedua tidak memiliki kemampuan dan keterampilan dalam Bahasa Bali. Hal ini berbanding terbalik dengan pemertahanan seni dan budaya yang masih bisa bertahan dan berkembang di Medan dan sekitarnya.Untuk itu, sangat disarankan kepada orang tua untuk menggajarkan dan menggunakan Bahasa Bali kepada generasi penerusnya agar kebertahanan Bahasa Bali bagi komunitas Bali dapat bertahan dan berkembang seperti seni dan budayanya. DAFTAR PUSTAKA Dhana I Nyoman. 1994. Pembinaan Budaya Dalam Keluarga Daerah Bali. Jakarta Dirgeyasa, I Wy. 2010. Potret Penggunaan Bahasa Bali Pada Masyarkat Bali di Daerah Transmigrasi (Studi Kasus Penggunaan Bahasa Bali Di Kecamatan Seputih Raman Lampung Tengah, Lampung) dalam proceeding Internasional Seminar on Language, Literature, and Culture in South East Asia, in affiliation with Phuket Rajabath Univesity Thailand dan Graduate School of Linguistics, State University of North Sumatera. Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. England: Basil Blackwell Garminah. Ni Nyoman. 2005. Campur Kode dalam Pemakian Bahasa Bali pada Etnik Jawa di desa Tegallingah Bulleleng Bali. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Singaraja.no 2 th xxxviii april 2005.p 156. Fishman, J.A. 1976. The Sociolinguistic of Society. New York : Basil Blackwell. Kachru, Braj.B. 1978. Toward Structuring Code Mixing. Paris: Mouto. Malini, Nih Luh Nyoman Seri. 2012. “Kebertahanan Bahasa Bali pada Transmigran Bali di Provinsi Lampung” dalam Jurnal Linguistik Indonesia, Agustus 2012. Tahun ke-30 Nomor.2, 167—181. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia. Rokhman, Fathur. (2003). Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik Marjohan, Asril. 1992. Aspek Sosiokultural Pilihan Bahasa di desa Pegayaman. Laporan Penelitian. Singaraja: FKIP UNUD Singaraja. Buda. J.K. 1991. Language Choice. hhtp//wwwf.waseda.jp/buda/texts/language.html/6/20/2009. Rusyana.Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualism). Jakarta: Depdikbud. Sumitra (2013). Bahasa Bali Bukan Bahasa Feodal. http://balinesesudanglepet.blogspot.co.id/2013/08/bab-ipendahuluan-1.html Tim Penyusun, 1990. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Wiana. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita
RIWAYAT HIDUP : I Wayan Dirgeyasa Nama Lengkap Institusi : Universitas Negeri Medan Riwayat Pendidikan : S3 Universitas Negeri Jakarta S2 Universitas Gadjah Mada S1 Universitas Lampung Minat Penelitian : • English for specific Purposes (ESP) • Pengembangan Bahan Ajar • Language Teaching • Linguistik
436