POTENSI SORGUM NUMBU, CTY-33, DAN BMR SEBAGAI PAKAN PADA BEBERAPA LEVEL PUPUK KANDANG DI TANAH SEDIMENTASI ULTISOL
WIDHI KURNIAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Sorgum Numbu, CTY-33, dan bmr Sebagai Pakan pada Beberapa Level Pupuk Kandang di Tanah Sedimentasi Ultisol adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Widhi Kurniawan D251120051
iv
RINGKASAN WIDHI KURNIAWAN. Potensi Sorgum Numbu, CTY-33, dan bmr Sebagai Pakan pada Beberapa Level Pupuk Kandang di Tanah Sedimentasi Ultisol. Dibimbing oleh LUKI ABDULLAH, PANCA DEWI MANU HARA KARTI dan SUPRIYANTO. Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serealia penting yang mempunyai potensi biomasa besar untuk mendukung produksi hijauan pakan dan dapat beradaptasi dengan mudah di berbagai tipe tanah yang berbeda di Indonesia. Biomasa sorgum utuh (hijauan dan biji) dapat dimanfaatkan untuk industri pakan ruminansia yang berbasis silase. Saat ini pemanfaatan sorgum sebagai pakan masih menggunakan varietas sorgum konvensional yang tidak didesain sebagai pakan ternak sehingga berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatannya sebagai sumber pangan dan energi. Pemanfaatan sorgum konvensional sebagai sumber hijauan terkendala dengan tingginya kandungan lignin. Teknik mutasi pada sorgum menghasilkan galur yang menjanjikan sebagai sumber hijauan dengan kandungan lignin lebih rendah dan memiliki kualitas tinggi. Awalnya brown midrib (bmr) diciptakan untuk tujuan agar beberapa spesies rerumputan yang memiliki kandungan lignin rendah. Sorgum bmr diciptakan dengan radiasi sinar gamma pada 250 Gy untuk menghasilkan galur mutan yang memiliki kandungan lignin rendah, sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai sumber hijauan untuk pakan ternak. Tiga varietas/ galur mutan (CTY-33, PATIR3.2 (bmr), PATIR3.5 (bmr)) dan varietas Numbu, yang telah dilepas secara nasional, ditanam dengan perlakuan empat dosis pupuk kandang (0 ton ha -1, 10 ton ha -1, 20 ton ha-1, dan 40 ton ha-1). Penelitian dilakukan di tanah sedimentasi ultisol yang berlokasi di Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tanah tersebut tergolong lahan marjinal yang didominasi oleh daerah rawa. Sebelum budidaya tanaman terlebih dahulu dilakukan pengeringan lahan. Aplikasi 2 ton ha-1 kapur dilakukan untuk meningkatkan pH tanah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi daya adaptasi sorgum di lahan marjinal, dan untuk menganalisa produktivitas dan kualitas sorgum sebagai bahan pakan ternak berbasis silase. Kualitas silase diklasifikasikan berdasarkan nilai Fleigh. Hasil penelitian ini menunjukkan sorgum varietas Numbu, CTY-33, dan galur mutan PATIR3.2, PATIR3.5 mampu tumbuh dengan baik pada tanah marjinal sedimentasi ultisol, yang diindikasikan oleh tingginya produksi biomasa (berkisar antara 7.5 sampai 8.2 ton BK ha-1). Penambahan pupuk kandang pada berbagai dosis tidak berpengaruh terhadap produktivitas hijauan maupun silase. Sorgum galur bmr memiliki rata – rata kandungan lignin (4.97%) lebih rendah dibandingkan dengan varietas Numbu (7.01%) dan CTY-33 (7.26%). Kualitas silase yang diperoleh dari sorgum varietas Numbu dan CTY-33 diklasifikasikan berkualitas sangat baik, sedangkan galur mutan PATIR3.2 dan PATIR3.5 diklasifikasikan berkualitas baik.
Kata kunci: Brown midrib (bmr), pupuk kandang, silase, sorgum, ultisol.
SUMMARY WIDHI KURNIAWAN. Potential Values of Numbu, CTY-33 and BMR Sorghum as Feed Grown in Ultisol Sedimentation Soil with Different Levels of Organic Fertilizer. Supervised by LUKI ABDULLAH, PANCA DEWI MANU HARA KARTI and SUPRIYANTO. Sorghum is one of important cerealia to produce potential biomass for supporting forage production and to adapt easily in different soil types of Indonesia. The whole sorghum biomass (forage and grains) can be utilized for ruminant silage feed-based industry. Nowaday utilization of forage-based sorghum used sorghum conventional varieties which are not designed as livestock feed and have potential conflict with food and energy sources. The use of conventional sorghum varieties are still limited due to high lignin content. Mutation breeding techniques produced promising sorghum mutant line for forage with low lignin content and high nutrition forage quality. Initially brown midrib (bmr) lines was produced in some grasses species containing low lignin. Bmr sorghum was obtained by gamma ray irradiation at 250 Gy for producing sorghum mutant lines containing low lignin, which is possible to be used for forage sources in animal livestock feed. Three mutant lines (CTY-33, PATIR3.2 (bmr), PATIR3.5(bmr)) and one sorghum variety (Numbu), nationally released, were planted in four levels of organic fertilizer ( 0 ton ha -1, 10 ton ha -1, 20 ton ha-1, and 40 ton ha-1). Research was conducted in ultisol sedimentation soil located at Konda Subdistric, Konawe Selatan Distric the South East Sulawesi Province. This soil belongs to marginal soil dominated by swampy areas. The experimental site was drain prior to be planted. To improve the soil pH, 2 ton ha -1 limestone were added. The objectives of this research were to evaluate sorghum adaptability at marginal soil, and to asses the productivity and its quality for silage sorghum based for livestock feed.Silage quality was classified based on Fleigh value. The result showed that Numbu, CTY-33 varieties and PATIR3.2, PATIR3.5 mutant lines grew well on marginal ultisol sedimentation soil, indicated by high biomass production ranging from 7.5 to 8.2 ton DM ha-1. Organic fertilizer levels didn’t affect the biomass production and silage quality. The bmr lignin content 4.97% was lower compared to Numbu (7.01%) and CTY-33 (7.26%). Silage quality made of Numbu and CTY-33 varieties is classefied as very good silage quality, while PATIR3.2 and PATIR3.5 mutant lines is classified as good silage quality. Keywords: Brown midrib (bmr), organic fertilizer, silage, sorghum, ultisol soil.
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
POTENSI SORGUM NUMBU, CTY-33, DAN BMR SEBAGAI PAKAN PADA BEBERAPA LEVEL PUPUK KANDANG DI TANAH SEDIMENTASI ULTISOL
WIDHI KURNIAWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Yuli Retnani, MSc
Judul Tesis
: Potensi Sorgum Numbu, CTY-33, dan bmr Sebagai Pakan pada Beberapa Level Pupuk Kandang di Tanah Sedimentasi Ultisol
Nama
: Widhi Kurniawan
NIM
: D251120051 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Luki Abdullah, MScAgr Ketua
Prof Dr Ir Panca DMH Karti, MS Anggota
Dr Ir Supriyanto Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS.MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Potensi Sorgum Numbu, CTY33, dan bmr Sebagai Pakan pada Beberapa Level Pupuk Kandang di Tanah Sedimentasi Ultisol” bisa diselesaikan. Pemanfaatan galur mutan diharapkan mampu meningkatkan daya adaptasi sorgum di lahan marjinal sehingga tanaman tetap produktif dan memiliki kualitas hijauan yang baik. Tesis ini memberikan kajian daya adaptasi beberapa galur mutan tanaman sorgum yang dibudidayakan sebagai hijauan pakan dan silase dengan mengaplikasikan pupuk kandang di lahan marjinal, tanah sedimentasi ultisol. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan pada “The 2nd Asian-Australasian Dairy Goat Conference” yang diselenggarakan di Bogor tanggal 25 - 27 April 2014 oleh AADGN, FAO, dan IPB dengan makalah ilmiah berjudul “Herbage Production of Brown Midrib (bmr) and Conventional Sorghum Fertilized with Different Level of Organic Fertilizer as Forage Source for Goat”, serta dipresentasikan pada “Second Research Coordination Meeting (RCM) on Integrated Utilization of Cereal Mutant Varieties in Crop/ Livestock Production Systems for Climate Smart Agriculture and Workshop on Application of Nuclear Technique for Increased the Agriculture Production” dengan judul “The Potential Value of Numbu, CTY-33 & bmr Sorghum as Feed Grown in Lateric Sedimentation Soil With Different Levels of Organic Fertilizer” yang diselenggarakan SEAMEO-BIOTROP, FAO/ IAEA, 19 Agustus 2014 di Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Luki Abdullah MScAgr, Prof Dr Panca DMH Karti MS, Dr Ir Supriyanto selaku dosen pembimbing. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara atas kesempatan tugas belajar yang diberikan. Penghargaan penulis sampaikan kepada SEAMEO-BIOTROP-FAO/IAEA atas penyediaan benih materi penelitian serta Beasiswa Unggulan Mandiri Sekretariat Kemendikbud RI yang membantu membiayai studi. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Lab. Pakan Universitas Haluoleo, dan Stasiun Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Pangkalan Udara Wolter Monginsidi, atas fasilitas dan informasinya. Kepada teman – teman seperjuangan Pasca INP 2012 atas segala kebersamaan dan bantuan yang telah diberikan selama studi ini diucapkan terima kasih. Ungkapan terima kasih tak terhingga disampaikan kepada motivator sepanjang hayat, ibunda Rasmi tercinta, bapak Sawali, istri tercinta Dewi Fausia, kedua putri tercinta Humaira Hilmi Kurniawan dan Halima Cendekia Kurniawan, ibu Niar, ayah Rahman atas kesabaran, do’a, dukungan dan kasih sayang yang tak terkiranya. Semoga tesis ini bermanfaat sebagai referensi pengembangan budidaya tanaman sorgum sebagai pendukung ketersediaan sumber hijauan untuk pakan ternak di Indonesia. Bogor, Agustus 2014 Widhi Kurniawan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Kerangka Pemikiran
2
Tujuan
3
Hipotesis
3
2 METODE
3
Budidaya Sorgum
3
Evaluasi Produktivitas – Kualitas Sorgum
8
Pembuatan Silase dan Evaluasi Kualitas Silase
9
Prosedur Analisis Data
10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Adaptasi Awal
10
Produktivitas Tanaman Sorgum
14
Kualitas Silase
24
Pembahasan Umum
29
4 SIMPULAN DAN SARAN
35
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP PENULIS
50
xiv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Hasil analisis tanah lokasi penelitian Kesesuaian lahan lokasi penelitian Persentase daya tumbuh tanaman sorgum Persentase intensitas serangan hama terhadap tanaman sorgum umur empat HST Pertambahan tinggi tanaman sorgum umur 15 – 30 HST Pertambahan diameter batang tanaman sorgum umur 15 – 30 HST Tinggi tanaman sorgum saat panen Diameter batang sorgum saat panen Berat individu tanaman sorgum Persentase berat daun dan batang sorgum Umur panen saat fase berbunga mencapai 80% Kandungan BK dan produksi BK Kadar gula batang Kandungan protein kasar hijauan Kandungan bahan kering dan pH silase Nilai Fleigh silase Kandungan protein kasar silase
4 4 11 12 12 13 14 15 17 18 18 20 21 22 24 25 28
DAFTAR GAMBAR 1 2
Lahan awal dan lahan siap tanam Pola pengaruh dosis pupuk kandang terhadap pertambahan tinggi tanaman umur 15 – 30 HST 3 Pola pengaruh dosis pupuk kandang terhadap diameter batang saat panen 4 Perbandingan diameter batang galur bmr dan sweet sorghum 5 Pola pengaruh dosis pupuk kandang terhadap umur panen tanaman 6 Fraksi serat hijauan tanaman sorgum 7 Kandungan WSC hijauan dan silase 8 Fraksi serat silase tanaman sorgum 9 Korelasi tinggi tanaman dengann produksi BK 10 Korelasi diameter batang dengan produksi BK 11 Korelasi antara dosis pupuk kandang dengan nilai Fleigh silase 12 Perbandingan warna silase sorgum bmr dan sweet sorghum
7 13 15 16 19 23 27 29 31 32 33 34
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Sidik ragam daya tumbuh Sidik ragam modus serangan hama
40 40
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Uji DMRT varietas terhadap modus serangan hama Sidik ragam pertambahan tinggi tanaman umur 15-30 HST Uji DMRT varietas terhadap pertambahan tinggi tanaman umur 15-30 HST Uji DMRT dosis pupuk terhadap pertambahan tinggi tanaman umur 15-30 HST Uji kontras polinomial dosis pupuk kandang terhadap pertambahan tinggi tanaman umur 15-30 HST Sidik ragam pertambahan diameter batang tanaman umur 15–30 HST Uji DMRT interaksi antara varietas/ galur dengan dosis pupuk kandang terhadap pertambahan diameter batang tanaman umur 1530 HST Sidik ragam tinggi tanaman saat panen Uji DMRT interaksi antara varietas/ galur dengan dosis pupuk kandang terhadap tinggi tanaman saat panen Sidik ragam diameter batang tanaman saat panen Uji DMRT varietas terhadap diameter batang tanaman saat panen Uji DMRT dosis pupuk kandang terhadap diameter batang tanaman saat panen Uji kontras polinomial dosis pupuk kandang terhadap diameter batang tanaman saat panen Sidik ragam berat individu tanaman Sidik ragam persentase daun Sidik ragam persentase batang Sidik ragam umur panen tanaman saat mencapai fase pembungaan 80% Uji DMRT varietas terhadap umur panen tanaman saat mencapai fase pembungaan 80% Uji DMRT dosis pupuk kandang terhadap umur panen tanaman saat mencapai fase pembungaan 80% Uji kontras polinomial dosis pupuk kandang terhadap umur panen tanaman saat mencapai fase pembungaan 80% Sidik ragam kandungan BK hijauan Sidik ragam produksi BK hijauan per hektar Sidik ragam kandungan gula batang Uji DMRT varietas terhadap kandungan gula batang Sidik ragam kandungan PK hijauan Sidik ragam kandungan BK silase Uji DMRT varietas terhadap kandungan BK silase Sidik ragam nilai pH silase Uji DMRT varietas terhadap nilai pH silase Sidik ragam nilai Fleigh silase Uji DMRT varietas terhadap nilai Fleigh silase Sidik ragam kandungan PK silase Uji DMRT varietas terhadap kandungan PK silase
40 40 41 41 41 42 42 42 43 43 43 44 44 44 45 45 45 45 46 46 46 47 47 47 47 48 48 48 48 49 49 49 49
xvi
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah penduduk yang terus meningkat menimbulkan masalah di beberapa bidang, antara lain meningkatnya kebutuhan pangan dan berkurangnya lahan pertanian potensial. Munculnya dua masalah tersebut juga akan berdampak pada sektor yang lain. Selain pemenuhan kebutuhan hidup, kompetisi dengan sektor lain juga akan terjadi. Bahan – bahan pakan ternak yang potensial akan berkurang seiring dengan pemanfaatan bahan tersebut sebagai bagian dari diversifikasi pangan untuk menunjang ketahanan pangan manusia. Peternakan juga dituntut mampu menghasilkan produk pangan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia. Selain itu, lahan potensial banyak dikonversi untuk pemukiman maupun industri. Hal ini menjadi tantangan untuk mampu menggali dan memanfaatkan sumber pakan lain yang potensial namun tidak berkompetisi dengan manusia. Penelitian yang diarahkan untuk menemukan pakan alternatif yang dapat dikembangkan dengan konsep kesesuaian dengan keadaan lingkungan setempat, diharapkan mampu mendukung konsep pemenuhan kebutuhan pangan sekaligus pakan yang tepat. Klasifikasi utama tanaman sorgum secara umum dapat dibagi menjadi empat jenis. Jenis pertama adalah sorgum manis/ sweet sorghum, yang digunakan sebagai hay, silase, maupun sirup. Jenis lainnya, yaitu nonsakarik, biasa digunakan untuk produksi biji. Selanjutnya adalah jenis broomcorn yang dikembangkan untuk malainya sebagai bahan pembuat sapu, sedangkan sorgum jenis grass sorghum secara khusus dimanfaatkan sebagai hijauan dan pastura. Jenis sorgum manis sangat palatabel sebagai hijauan pakan karena batangnya yang renyah dan manis (Ahlgren 1956). Tanaman sorgum mempunyai potensi biomasa yang besar untuk menjadi penyumbang pakan ternak. Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daerah adaptasi yang luas. Tanaman sorgum toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marginal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama atau penyakit (Sirappa 2003). Tanaman sorgum terdiri atas hijauan pakan dan bijian yang mempunyai potensi untuk dijadikan pakan ternak ruminansia berbasis silase. Selama ini pengembangan sorgum untuk pakan ternak masih berlangsung pada taraf penggunaan varietas konvensional yang tidak didesain untuk pakan. Penggunaan sorgum konvensional sebagai sumber hijauan pakan terkendala pada tingginya kandungan lignin. Adanya teknologi mutasi maupun persilangan diperoleh beberapa galur sorgum yang didesain untuk pakan, yaitu sorgum dengan kandungan lignin lebih rendah dan kandungan nutrisi lebih tinggi. Sampai saat ini pemuliaan tanaman pakan di Indonesia masih rendah, sehingga diperlukan terobosan baru untuk menyedikan tanaman pakan bermutu. Brown midrib (bmr) awalnya adalah sebuah hasil mutasi genetik dari beberapa spesies rerumputan, yang mempunyai total kandungan lignin lebih rendah pada bagian tanaman tersebut. Lignin kebanyakan tidak tercerna, namun mempunyai peranan penting dalam menjaga struktur sel tanaman. Dalam beberapa tahun terakhir, jenis bmr diaplikasikan pada
2
hijauan sorgum, sudan grass, dan jagung (Miller dan Stroup 2003). Sorgum bmr merupakan salah satu hasil pemuliaan sorgum yang difokuskan pemanfaatannya untuk pakan ternak. Banyak penelitian melaporkan bahwa sorgum bmr memiliki kandungan lignin lebih rendah, kandungan nutrisi yang lebih tinggi, dan produksi biomasa 12% lebih rendah dibandingkan dengan sorgum konvensional (Oliver et al. 2004; Mustafa et al. 2004). Pengujian produktivitas sorgum Numbu, CYT-33, dan bmr sebagai pakan ternak di lahan kritis utamanya di tanah sedimentasi ultisol belum pernah dilakukan.
Kerangka Pemikiran Peningkatan Produksi Protein Hewani Untuk Meningkatkan Kecerdasan Bangsa dan Mengangkat Ekonomi Masyarakat
Telur
Daging
Susu
Genetik
Pakan
Lingkungan
Peningkatan Kualitas, Produktivitas dan Kontinuitas Hijauan Pakan Ternak Dengan Sorgum Numbu, CTY-33 bmr
Budidaya
Teknik Budi daya
Uji Dosis Pupuk Kandang
Pemeliharaan
Benih/ Galur Unggul
Produktif
Produksi Tinggi &
Berkelanjutan
Berat Segar & Bahan Kering
Pengawetan
Adaptif
Pakan Berkualitas & Tahan Lama
Jenis yang Dapat Tumbuh di Lahan Kritis
Teknologi Pengawetan Pakan yang Menghasilkan Pakan Berkualitas
Uji Daya Adaptasi,
Produktivitas
dan Kualitas Hijauan
Pembuatan Silase dan Uji Kualitas Silase
Diperoleh Teknik Budidaya dan Jenis Sorgum yang Produktif di Lahan Kritis Sebagai Pakan Ternak Berkualitas dan Berkelanjutan Berbasis Silase untuk Mendukung Peningkatan Produksi Protein Hewani
3
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Mengkaji daya adaptasi sorgum Numbu, CTY-33, dan brown midrib (bmr) untuk hijauan pakan di tanah sedimentasi ultisol, b. Mengkaji pengaruh pupuk kandang terhadap produktivitas dan kualitas sorgum Numbu, CTY-33, dan brown midrib (bmr) sebagai hijauan pakan dan silase. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: a. Sorgum Numbu, CTY-33, dan brown midrib (bmr) dapat beradaptasi di lahan kritis tanah sedimentasi ultisol, b. Pemambahan pupuk kandang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas sorgum Numbu, CTY-33, dan brown midrib (bmr) sebagai hijauan pakan ternak dan silase.
2 METODE Budidaya Sorgum Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2013 sampai Juni 2014. Budidaya sorgum dilakukan di Desa Lalowiu, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara dengan letak geografi pada 4o 07’366” LS dan 122o 48’104” BT dengan ketinggian tempat + 51.6 m dpl. Secara geografis, lokasi penelitian berada pada wilayah beriklim tropis dengan curah hujan tahunan 1 816.13 ml th-1, rata- rata kelembaban udara 84 % (minimum 35% dan maksimum 98%) dan suhu harian berkisar antara 20 oC sampai 38 oC. Analisis bahan kering dilakukan di Laboratorium Pakan Universitas Halu Oleo, Kendari, analisis kandungan PK hijauan dilakukan di Laboratorium Pengujian Bioteknologi, LIPI, Bogor. Analisis fraksi serat dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, BPPT Bogor dan analisis kandungan Water Soluble Carbohydrat (WSC) dilakukan di Laboratorium Ternak Perah, Departemen INTP, Fakultas Peternakan IPB. Hasil Analisa Tanah Sebelum digunakan sebagai lokasi penelitian, lahan tersebut berupa rawa yang dinormalisasi saluran airnya hingga dapat dikeringkan dan dapat ditanami. Berdasarkan Peta Geologi dan Potensi Bahan Galian Kecamatan Konda, lokasi penelitian berada pada wilayah berbahan galian lempung, dengan batuan aluvium.
3.4
4.5
Kjeidahl C N -----------%---------1.34 0.13
Bahan organik
Walkley & Balck
8.6
98
K2O ppm
Mg
K
Na
∑
KTK
300 - 400 900 – 1 200 8 – 8.5 2.5 – 4 75 – 85
4–8
< 75
Kelembaban (%)
0.38
130 - 500 1 200 - 1 400 8.5 – 9.5 1.5 – 2.5 > 85
30 - 35 15 – 18 1 200-2 000
Kelas kesesuaian lahan S3
400 – 900
S2 27 - 30 18 – 25 200 – 1 200
< 200
2.94
0.19
< 150 > 1.400 > 9.5 < 1.5 -
> 35 < 15 > 2 000
N
0.12
3.63
44
KB* %
84
2
1 816
51.6
29
Lokasi
8.31
-------------------------cmolc/kg--------------------
Ca
Tabel 2 Kesesuaian lahan lokasi penelitian**
15
P2O5 ppm
25 – 27
6
P2O5 K2O -mg/100g-
S1
Lamanya masa kering (bln)
Ketinggian tempat dpl (m) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (°C)
10
C/N
HCl 25%
Terhadap contoh kering 105 oC Bray1 Morgan Nilai tukar kation (NH4-acetat 1N, pH7)
Tabel 1 Hasil analisis tanah lokasi penelitian*
H+ 2.04
S2
S3
N
S1
S2
Kelas
0.51
--cmolc/kg--
Al3+
KCl 1N
Keterangan: *) Hasil analisis contoh tanah oleh Laboratorium Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Balai Penelitian Tanah, Bogor, 2013.
KCl
H2O
Ekstrak 1:5 pH
4 4
F1 5 – 15 5 – 15
F0
<5 <5
15 – 40 15 – 25
F2
16 - 30 16 – 50 berat
< 35 < 5.3 > 8.5
35 – 55 25 – 40
agak kasar
terhambat
> 40 > 25
> F2
> 30 > 50 sangat berat
<5.0 >8.8
> 55 < 25
kasar
sangat terhambat, cepat
N
tidak ada tidak ada
>F2
sangat rendah
datar
4.8
8.31 44
10 20
sedang
sangat terhambat
Lokasi
Keterangan: **) Sumber http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id, S1: sesuai, S2: kurang sesuai, S3: tidak sesuai, N: sangat tidak sesuai
rendah-sedang
8 – 16
≤16 35 – 50 5.3 – 5.5 8.2 – 8.5 < 0.4
15 – 35 40 – 60
-
agak cepat, sedang
Kelas kesesuaian lahan S2 S3
sangat rendah
<8
Lereng (%)
5.5 – 8.2
> 16 > 50
halus, agak halus, sedang < 15 > 60
> 0.4
Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
S1
baik, agak terhambat
C-organik (%) Bahaya erosi (eh)
pH H2O
Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%)
Tekstur
Media perakaran (rc)
Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
S1 S1
N
S1
S1
S1
N
N S2
S1 S3
S1
N
Kelas
Lanjutan
5
5
6
Lokasi penelitian dikelilingi oleh formasi pegunungan Meluhu dengan batuan induk filit, batu sabak, batu pasir malihan, dan kuarsit. Hasil analisis sampel tanah menggambarkan bahwa tanah tergolong tanah ultisol yang miskin unsur hara dengan pH yang rendah dan bertekstur silt loam dengan perbandingan persentase pasir : debu : liat adalah 20% : 54% : 26%. (Tabel 1). Kombinasi data hasil analisis tanah dan informasi iklim lingkungan sekitar lahan penelitian apabila dilakukan perbandingan dengan Lembar Kriteria Kelayakan Lahan untuk Budidaya Sorgum Kementrian Pertanian RI yang bertujuan untuk mengetahui kelas kesesuaian lahan, menghasilkan rekomendasi kesesuaian lahan (Tabel 2). Tanah di lokasi penelitian terdapat empat komponen dengan kelas lahan yang masuk kategori N, yang berarti sangat tidak sesuai dengan kriteria kelayakan tumbuh sorgum. Keempat komponen tersebut dapat diklasifikasikan pada komponen yang dapat diperbaiki/ diantisipasi. Curah hujan yang terlalu tinggi di lokasi penelitian (mencapai 1 816 mm th-1) dapat diantisipasi dengan penanaman yang dilakukan pada akhir musim penghujan, sehingga curah hujan tidak terlalu tinggi dan masih cukup untuk pertumbuhan awal tanaman. Drainase yang buruk (sangat terhambat) dan resiko genangan yang dapat menimbulkan banjir di lokasi penelitian telah diatasi dengan normalisasi dan pembuatan saluran air, sehingga genangan/rawa dapat dikeringkan. Sementara itu rendahnya kapasitas tukar kation (KTK) yang hanya bernilai 8.31 dan pH sangat asam (4.8) diatasi dengan penambahan pupuk kandang dan pemberian kapur pada tanah. Hal tersebut menjadi dasar penelitian yang menggunakan dosis pupuk kandang 0, 10, 20, dan 40 ton ha-1 sebagai perlakuannya. Benih Sorgum Penelitian ini menggunakan benih sorgum varietas Numbu, varietas CTY-33 M15, galur PATIR 3.2 M7 (bmr), dan galur PATIR 3.5 M7 (bmr) yang diperoleh dari SEAMEO-BIOTROP. Varietas Numbu (National Standart Conventional Breeding) dan CTY-33 adalah tipe sweet sorghum sedangkan galur PATIR 3.2 dan PATIR 3.5 adalah brown midrib hasil mutasi genetik melalui radiasi sinar gamma. Pupuk Kandang dan Kapur Pupuk kandang yang digunakan diperoleh dari beberapa peternak sapi yang berada di sekitar lokasi penelitian. Selain itu, dilakukan penambahan kapur untuk mengurangi keasaman tanah dengan dosis 2 ton ha-1. Pupuk Kimia Pupuk kimia yang digunakan adalah NPK komersial menggunakan dosis 270 kg ha-1 yang dicampur dari pupuk urea, Super Pospat 36, dan KCl dengan perbandingan 4:3:2 (g/g/g).
7
Pengolahan Lahan dan Budidaya Sorgum Lahan yang digunakan untuk penelitian diolah dengan traktor dan digemburkan sedalam lapisan olah (±20 cm) sehingga dapat dibentuk dalam plot – plot penelitian yang berukuran 5 m × 5 m. Selanjutnya dilakukan pembuatan guludan sesuai dengan jarak tanam selebar 40 cm sepanjang 5 m mengikuti panjang plot, sehingga diperoleh delapan guludan setiap satu plot penelitian. Jarak antar plot perlakuan penelitian adalah 1 m. Pengolahan lahan dilakukan seminggu sebelum penanaman dengan mengaplikasikan pupuk kandang sesuai dengan dosis perlakuan dan penambahan kapur untuk mengurangi keasaman tanah. Seminggu setelah pengolahan, dilakukan penanaman benih sorgum dengan cara tugal pada lubang dengan jarak tanam antar lubang 20 cm. Setiap lubang ditanam tiga benih sorgum dengan kedalaman 5 cm sehingga terdapat 200 lubang untuk tiap plot penelitian. Pemeliharaan dilakukan untuk memastikan bahwa tanaman percobaan tumbuh dengan baik selama penelitian dilakukan. Selama budidaya sorgum, penyiangan dilakukan pada minggu kedua untuk membantu mengurangi gangguan gulma yang dapat menjadi kompetitor tanaman sorgum. Selain itu akan dilakukan pula pendangiran untuk meningkatkan kegemburan dan aerasi tanah. Pemberantasan hama dilakukan apabila selama budi daya ditemukan hama penggangu.
Gambar 1 Lahan awal (kiri) dan lahan siap tanam (kanan) Penyulaman dilakukan pada hari ke 15 dengan memindahkan sorgum yang tumbuh ganda atau tiga dalam satu lubang ke lubang lain yang tidak tumbuh. Pemberian pupuk dasar berupa NPK dilakukan saat tanaman berumur 15 dan 30 hari dengan dosis 270 kg ha-1 dan perbandingan N:P:K setara 4:3:2 (g/g/g). Pemanenan dilakukan saat sorgum berbunga 80%, di mana fase tersebut tanaman berada pada kondisi milk to the soft-dough stage yang sesuai untuk hijauan bahan silase (Doggett 1970).
8
Evaluasi Produktivitas – Kualitas Sorgum Materi Materi yang digunakan sebagai bahan evaluasi produktivitas – kualitas sorgum adalah: sampel hijauan, sampel silase, mistar ukur, jangka sorong/ calipper, refraktometer, timbangan lapangan dan neraca analitik, oven, dan bahan kimia Metode Pengamatan mulai dilakukan pada empat hari setelah tanam (HST), yaitu ketika tanaman sorgum mulai berkecambah. Jumlah kecambah tiap plot dihitung dan dibandingkan dengan jumlah lubang tiap plot (200 lubang) untuk diperoleh persentase daya kecambah tanaman sorgum. Pada lima HST karena terjadi serangan hama jangkrik dan belalang, maka dilakukan penghitungan jumlah individu yang terserang dan dibandingkan dengan jumlah individu yang tumbuh tiap plot untuk mengetahui persentase serangan hama. Pada 15 HST, 30 HST, dan saat panen dilakukan pengukuran tinggi dan diameter batang tanaman. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung terpanjang tanaman dengan menggunakan mistar. Diameter batang tanaman diukur dengan jangka sorong pada ruas tanaman yang ditandai. Pengukuran tinggi dan diameter batang ini dilakukan pada 10 individu dalam satu plot saat panen (mencapai fase 80% berbunga). Individu yang diukur tersebut digunakan sebagai objek pengukuran berat individu tanaman, rasio batang daun, dan kadar gula tanaman sorgum. Berat individu diperoleh dengan menimbang keseluruhan tanaman sorgum yang dipotong, sedangkan rasio batang daun diperoleh dengan memisahkan bagian batang, daun dan malai tanaman sorgum. Kadar gula (%brix) batang sorgum diukur pada tiga bagian batang yang dirata ratakan, yaitu ruas atas, tengah dan bawah dengan memeras airnya dan diukur menggunakan refraktometer. Pemanenan dilakukan saat populasi berbunga mencapai 80% yang diketahui dengan menghitung tanaman yang telah berbunga dibandingkan dengan jumlah tanaman dalam plot tersebut. Umur panen dicatat setiap dilakukan pemanen plot. Selanjutnya diambil sampel secara acak dari biomasa lengkap sorgum hasil panen untuk analisis laboratorium, dan sebanyak 20 sampai 25 kg untuk bahan silase. Sampel yang diambil dilakukan uji kualitas hijauan sorgum yang meliputi: 1. Nilai brix batang tanaman sorgum. Diuji menggunakan refraktometer merek The Atago 2311 MASTER ± (alpha) sebanyak 10 batang tiap plot dengan mengambil nira batang sorgum pada ujung, tengah, dan pangkal batang. 2. Kandungan bahan kering. Diuji melalui pengeringan dengan oven pada suhu 60 oC, dan dilanjutkan dengan oven bersuhu 105 oC. 3. Kandungan protein kasar hijauan utuh (PK). Diuji dengan metode Kjedahl (1883) menggunakan destruktor: Tecator Auto Digestor, dan destilator: Kjeltec 8400 Analyzer Unit merk FOSS buatan Swedia. 4. Kandungan karbohidrat larut air (WSC). Komposit tiap kombinasi perlakuan sampel diuji dengan metode preparasi fenol (Jiang dan Huang 2001) dan diukur dengan colorimetri (Dubois et al. 1956) menggunakan Spektrofotometer (Model LW-200 Series λ 200 – 1000 nm).
9
5. Fraksi serat. Komposit tiap kombinasi perlakuan sampel diuji dengan metode Van Soest (1991) menggunakan Fibertec 2010 series merk FOSS, buatan Swedia. Pembuatan Silase dan Evaluasi Kualitas Silase Materi Sorgum utuh (batang, daun, biji muda) yang dicacah kemudian dibuat silase tanpa menggunakan starter maupun substrat. Alat yang digunakan meliputi: parang (untuk mencacah), karung plastik, plastik tebal, trash bag, tali rafia, timbangan lapangan dan neraca analitik, pH meter, aquades, blender, oven, dan bahan kimia. Metode Silase dibuat dengan memotong (±5cm) tanaman sorgum utuh yang telah dipanen sesuai syarat kondisi berbunga. Selanjutnya dilakukan proses pelayuan selama kurang lebih 24 jam untuk menurunkan kadar air sehingga dapat dilakukan proses ensilasi. Proses ensilasi dilakukan dengan memasukkan cacahan sorgum ke dalam karung plastik, kemudian dilakukan pemadatan untuk meminimalisasi udara di dalamnya. Cacahan sorgum yang telah dipadatkan dimasukkan dalam dua lapis plastik tebal dan trash bag dengan tujuan untuk menjadikan lingkungan anaerob dan terbebas dari sinar matahari. Lapisan plastik pembungkus kemudian diikat erat dengan tali rafia dan disimpan dalam gudang hingga masa panen silase 21 hari, ketika secara umum pH silase terendah telah terrcapai/ fase V (Schroeder 2004). Saat pemanenan silase dilakukan pengukuran pH silase dengan cara menghancurkan 10 gr silase dengan 100 ml aquades dengan menggunakan blender kemudian disaring dan diukur pH nya dengan pH meter secara duplo. Selain itu diambil sampel silase untuk analisa laboratorium yang meliputi: 1. Kandungan bahan kering. Diuji melalui pengeringan dengan oven pada suhu 60 oC, dan dilanjutkan dengan oven bersuhu 105 oC. 2. Kandungan protein kasar silase (PK). Diuji dengan metode Kjedahl (1883) menggunakan destruktor: Tecator Auto Digestor, dan destilator: Kjeltec 8400 Analyzer Unit merk FOSS buatan Swedia. 3. Kandungan karbohidrat larut air (WSC). Komposit tiap kombinasi perlakuan sampel diuji dengan metode preparasi fenol (Jiang dan Huang 2001) dan diukur dengan colorimetri (Dubois et al. 1956) menggunakan Spektrofotometer (Model LW-200 Series, λ 200 – 1000 nm). 4. Fraksi serat. Komposit tiap kombinasi perlakuan sampel diuji dengan metode Van Soest (1991) menggunakan Fibertec 2010 series merk FOSS, buatan Swedia.
10
Prosedur Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok pola faktorial dengan menggunakan empat varietas/ galur sorgum dan empat perlakuan dosis pupuk kandang (kotoran sapi) dengan tiga ulangan, sehingga total satuan penelitian adalah 4 × 4 × 3, atau 48 satuan penelitian. Varietas/ galur yang digunakan adalah: Verietas Numbu, varietas CTY-33, galur PATIR3.2, dan galur PATIR3.5 Perlakuan pupuk kandang yang digunakan adalah : 0 : tanpa pemberian pupuk kandang (kontrol) 10 : pemberian pupuk kandang 10 ton ha-1 20 : pemberian pupuk kandang 20 ton ha-1 40 : pemberian pupuk kandang 40 ton ha-1, dengan menggunakan model matematika seperti berikut: Yijk = µ + αi + ßj + δij + γk + (βγ)jk + εijk Keterangan: Yijk : nilai hasil pengamatan satuan percobaan pada ulangan ke i, level pupuk organik ke j dan varietas sorgum ke k µ : rataan umum αi : pengaruh ulangan/ blok ke i (1, 2, 3) ßj : pengaruh dosis pupuk organik ke j (1, 2, 3, 4) δij : pengaruh galat yang muncul pada perlakuan ke j, ulangan ke i γk : pengaruh varietas ke k (1, 2, 3, 4) (βγ)jk : nilai interaksi antara faktor dosis pupuk organik ke j dan varietas sorgum ke k εijk : galat percobaan Selanjutnya jika terdapat perbedaan yang nyata untuk faktor varietas/ galur akan dilakukan uji Duncan Mean Range Test (DMRT), dan uji kontras polinomial untuk dosis pupuk kandang, sedangkan parameter fraksi serat hijauan, fraksi serat silase, kandungan WSC hijauan, dan kandungan WSC silase dilakukan interpretasi data secara deskriptif.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Adaptasi Awal Daya Tumbuh Sorgum Perkecambahan merupakan proses yang kompleks di mana benih harus cepat pulih secara fisik dari pengeringan, melanjutkan intensitas metabolism berkelanjutan, menyelesaikan peristiwa seluler penting lainnya untuk memungkinkan embrio muncul, dan mempersiapkan diri untuk pertumbuhan bibit selanjutnya (Nonogaki et al. 2010). Kemampuan tumbuh benih sorgum di lahan
11
penanaman penting untuk diketahui sebagai langkah awal mengevaluasi kemampuan benih tanaman beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Tabel 3 Persentase daya tumbuh tanaman sorgum (%) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
0 94.67±2.36 92.33±2.52 94.00±2.65 90.33±7.97 92.83±8.50
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 10 20 40 95.67±2.25 93.67±2.36 94.83±3.06 91.17±6.11 90.83±3.82 93.17±1.53 91.17±5.01 93.00±3.04 90.83±4.16 91.17±5.35 91.67±1.26 93.00±2.29 92.29±9.30 92.29±5.28 92.96±5.81
Rataan 94.71±2.28 91.88±3.46 92.25±3.54 91.54±4.36
Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan daya tumbuh sebagai akibat pengaruh dosis pupuk kandang terhadap daya tumbuh sorgum Numbu, CTY-33, PATIR3.2 dan PATIR3.5 di berbagai dosis pupuk kandang (p>0.05), demikian juga tidak terdapat interaksi antara dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum terhadap daya tumbuh (p>0.05). Daya tumbuh sorgum dalam penelitian ini rata – rata ini mencapai 92% (Tabel 3). Tingginya daya tumbuh benih – benih sorgum tersebut mengindikasikan bahwa vigor benih yang digunakan untuk percobaan termasuk bagus, sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan perkecambahan yang baru. Suhu lingkungan lokasi penelitian berkisar antara 20 oC hingga 38 oC. Sorgum mempunyai daya tumbuh benih tinggi pada kisaran suhu 32-40oC untuk ukuran biji sedang, dan suhu 32-42oC untuk ukuran biji besar (Mortlock dan Vanderlip 1989). Faktor – faktor yang mempengaruhi proses perkecambahan benih sorgum adalah kandungan air, oksigen, temperatur dan faktor internal benih. Benih harus memenuhi persyaratan genetik, fisik, dan fisiologis. Dengan demikian benih sorgum yang ditanam memenuhi persyaratan genetik, fisik, dan fisiologis yang baik. Oksigen terlarut dalam air yang ditambahkan atau yang berada antara kernel dapat menyebabkan pertumbuhan vegetatif yang signifikan selama tahap awal perkecambahan sorgum (Pflugfelder dan Rooney 1986). Serangan Hama Selama pemeliharaan tanaman, terjadi beberapa kali gangguan hama. Jumlah serangan hama yang dapat diidentifikasi dan dihitung terjadi pada hari ke empat setelah tanam. Hama yang menyerang pada waktu tersebut mayoritas adalah serangga seperti belalang dan jangkrik. Tabel 4 menunjukkan tidak terdapat interaksi (p>0.05) antara dosis pupuk kandang dengan varietas/ galur sorgum yang mempengaruhi serangan hama tanaman sorgum pada umur empat hari setelah tanam (HST). Sementara itu dosis pupuk kandang juga tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap serangan hama pada umur empat HST.
12
Tabel 4 Persentase intensitas serangan hama terhadap tanaman sorgum umur empat HST (%) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
0 32.00±07.21 34.00±12.17 13.00±01.73 15.00±03.46 23.50±11.77
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 10 20 40 21.67±09.50 34.00±03.61 31.67±08.33 29.67±04.62 29.33±07.09 38.33±07.57 13.67±02.08 15.33±06.51 17.67±12.50 12.33±04.93 07.00±04.57 16.67±08.50 19.33±08.85 21.42±12.25 26.08±12.55
Rataan 29.83±8.12b 32.83±8.07b 14.92±6.40a 12.75±6.18a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Jumlah intensitas serangan hama nyata dipengaruhi (p<0.05) oleh varietas/ galur sorgum (Tabel 4). Tabel 4 menunjukkan bahwa sorgum varietas Numbu dan CTY-33 lebih mudah diserang hama dibandingkan galur PATIR3.2 dan PATIR3.5. intensitas serangan pada Numbu dan CTY-33 mencapai 29.83 dan 32.83%, sedangkan pada PATIR3.2 dan PATIR3.5 mencapai 14.92 dan 12.75%. Dengan demikian PATIR3.2 dan PATIR3.5 kurang disukai oleh hama tanaman sorgum seperti belalang, jangkrik, dan ulat di lokasi penelitian, tanah sedimentasi ultisol. Secara alami tanaman memiliki mekanisme pertahanan terhadap serangan serangga. Tumbuhan muda yang masih rentan terhadap seragan dan bahaya dari lingkungan memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Fraksinasi beberapa ekstrak daun sorgum berumur 15 hari menunjukkan terdapat beberapa fraksi asam fenolik, diduga merupakan senyawa yang mampu menghambat serangan belalang (Locusta) (Woodhead dan Driver 1979). Dengan demikian diduga senyawa fenolik pada galur bmr lebih efektif menekan jumlah serangan serangga pada awal usia penanaman, walaupun masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Pertambahan Tinggi dan Diameter Batang Tanaman Umur 15 - 30 HST Pertambahan tinggi dan diameter tanaman diukur untuk mengetahui laju pertumbuhan awal tanaman sorgum pada satuan waktu tertentu. Secara karakteristik, terdapat perbedaan antara ukuran tinggi dan diameter batang varietas sweet sorghum dengan galur bmr. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ukuran tinggi batang sweet sorghum pada umur 30 HST lebih tinggi, namun diameter batang bmr lebih besar dibandingkan dengan sweet sorghum. Tabel 5 Pertambahan tinggi tanaman sorgum umur 15 - 30 HST (cm) Dosis pupuk kandang (ton ha-1) Varietas/ Rataan galur 0 10 20 40 Numbu 52.01±09.56 53.88±11.63 53.50±08.63 57.99±10.08 54.35±10.16b CTY33 51.84±12.13 60.74±08.49 59.45±10.50 65.28±10.27 59.33±11.39a PATIR3.2 42.31±07.81 42.38±06.88 41.00±07.86 49.00±05.52 43.67±07.66c PATIR3.5 39.97±06.25 42.06±09.09 38.70±09.92 43.24±06.54 40.99±08.20d Rataan* 46.53±10.61c 49.77±12.07b 48.16±12.61bc 53.88±11.83a Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05), *pengaruh nyata (p<0.05) dengan pola linier
13
Tabel 5 menunjukkan bahwa interaksi dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum tidak mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman antara umur 1530 HST (p>0.05). Hal ini berarti faktor genetis sorgum lebih berperan dalam menentukan pertumbuhan tinggi tanaman. Sementara itu dosis pupuk kandang ternyata memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap pertambahan tinggi tanaman pada umur tersebut dengan pola linier. Pertambahan tinggi tanaman dipengaruhi secara nyata (p<0.05) oleh varietas/ galur sorgum. Varietas CTY-33 memiliki pertambahan tinggi tanaman tertinggi (59.33 cm), diikuti oleh Numbu (54.35 cm), PATIR3.2 (43.67 cm) dan PATIR3.5 (40.99 cm). Penambahan dosis pupuk kandang direspon dengan baik oleh pertambahan tinggi tanaman dari umur 15-30 HST (Gambar 2). Ketersediaan nutrisi dalam tanah berpengaruh pada ukuran tanaman, luas daun total, dan warna daun (Havlin et al. 2005). Aplikasi pertama pupuk NPK yang dilakukan pada 15 HST dapat berkontribusi memberikan pengaruh pada pertambahan tinggi tanaman tersebut. Tabel 6 Pertambahan diameter batang tanaman sorgum umur 15 - 30 HST (cm) Varietas/ galur Numbu CTY33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 0 10 20 0.92±0.17f 0.93±0.21ef 1.05±0.20cde 0.91±0.22f 1.17±0.19bc 1.07±0.22cd 1.01±0.21def 1.11±0.19cd 1.02±0.22def 0.98±0.19def 1.00±0.25def 1.01±0.28def 0.95±0.20 1.05±0.23 1.04±0.23
40 1.02±0.21def 1.26±0.28ab 1.30±0.24a 1.16±0.25bc 1.18±0.26
Rataan 0.98±0.21 1.10±0.26 1.11±0.24 1.04±0.25
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Pertambahan tinggi tanaman (cm)
Pertambahan diameter batang sorgum pada umur 15-30 HST dipengaruhi oleh interaksi antara dosis pupuk kandang dan varietas galur sorgum secara nyata (p<0.05) (Tabel 6). Kombinasi yang menghasilkan pertambahan diameter batang tanaman terbaik terdapat pada galur PATIR3.2 (1.30 cm) dan CTY-33 (1.26 cm) dengan pemberian pupuk kandang 40 ton ha-1. 55 54 53 y = 0.1659x + 46.682 R² = 0.8068
52
51 50 49 48 47 46 0
10
20
30
40
50
Dosis pupuk kandang (ton ha ) -1
Gambar 2 Pola pengaruh dosis pupuk kandang terhadap pertambahan tinggi tanaman umur 15 – 30 HST
14
Secara umum, varietas CTY-33 memiliki respon yang paling bagus dengan kombinasi pemberian pupuk kandang terhadap pertambahan tinggi tanaman dan pertambahan diameter batang. CTY-33 merupakan varietas nasional Indonesia (advanced mutant line M15) yang telah stabil produktivitasnya, sehingga varietas ini memiliki respon lebih adaptif terhadap lingkungan. Galur bmr tercatat memiliki respon terbaik pada kombinasi dengan dosis pupuk kandang 40 ton ha-1. Pada galur PATIR3.5 terdapat pola linier dimana penambahan dosis pupuk kandang meningkatkan pertambahan diameter batang hingga umur 30 HST. Hal tersebut mengindikasikan galur PATIR3.5 memiliki respon yang terus meningkat, dan perlu diketahui hingga level maksimalnya. Pertambahan diameter batang yang tinggi pada galur bmr lebih disebabkan oleh faktor genetis. Secara umum dalam penelitian ini terlihat bahwa karakter ukuran diameter batang galur bmr lebih besar dibandingkan kedua varietas sweet sorghum, namun kedua varietas sweet sorghum memiliki sifat tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan galur bmr. Varietas tersebut diciptakan untuk produksi biji, bioetanol, dan pakan.
Produktivitas Tanaman Sorgum Agronomi Tinggi Tanaman dan Diameter Batang. Tinggi tanaman dan umur berbunga dapat digunakan sebagai karakter seleksi genotipe sorgum manis dengan potensi produksi biomasa segar yang tinggi (Efendi et al. 2013). Tinggi tanaman merupakan salah satu indikasi untuk mengetahui kuantitas biomasa tanaman. Dalam penelitian Silungwe (2011) diperoleh indikasi hubungan positif yang sangat kuat antara tinggi tanaman dan hasil biomasa tanaman sorgum. Tabel 7 Tinggi tanaman sorgum saat panen (cm) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
0 267.95±28.03bc 265.23±24.97c 220.72±16.66efg 223.65±13.70ef 245.34±31.08
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 10 20 262.33±38.30c 279.46±19.28ab 284.78±13.60a 277.89±17.39ab 228.01±10.35de 215.14±35.03fg 226.21±14.95def 209.29±24.84e 250.44±32.99 245.43±41.60
40 264.98±18.15c 281.40±19.71a 236.63±10.81d 225.26±23.36def 252.43±28.93
Rataan 268.60±27.47 277.26±20.55 225.16±22.09 221.01±20.90
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Hasil penelitian mengindikasikan terjadi interaksi antara level pupuk kandang dan varietas/ galur terhadap tinggi tanaman (p<0.05) namun tidak demikian pada diameter batang (p>0.05). Varietas CTY-33 memiliki kekonsistenan tinggi batang tertinggi pada setiap level pupuk kandang (Tabel 7), sedangkan varietas Numbu pada dosis 10 dan 40 ton h-1 memiliki tinggi yang terendah dibandingkan dengan dosis lain dalam varietas tersebut. Apabila dibandingkan dengan dua galur bmr terdapat kekonsistenan varietas sweet sorghum dengan hasil tinggi batang yang lebih tinggi. Galur PATIR3.2 memiliki tinggi terbaik pada dosis pupuk kandang 40 ton h-1 dan PATIR3.5 pada dosis 40 ton h-1 serta kontrol. Tinggi batang tanaman sorgum dalam penelitian ini
15
lebih dipengaruhi oleh sifat genetis, galur bmr memiliki tinggi batang yang lebih pendek dibandingkan dengan varietas sweet sorghum. Karakter umum galur bmr adalah penurunan produksi BK, daya ratun setelah panen, berat biomasa, tillering, dan masa pembungaan yang lebih lama (Pedersen 2005). Tabel 8 Diameter batang sorgum saat panen (cm) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan*
0 1.40±0.24 1.44±0.23 1.74±0.24 1.79±0.22 1.59±0.29c
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 10 20 40 1.43±0.28 1.52±0.22 1.55±0.28 1.64±0.25 1.49±0.27 1.73±0.31 1.83±0.23 1.79±0.30 1.99±0.29 1.83±0.32 1.75±0.31 1.99±0.28 1.69±0.31b 1.64±0.30bc 1.81±0.34a
Rataan 1.48±0.26c 1.58±0.29b 1.84±0.28a 1.84±0.30a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05), *pengaruh nyata (p<0.05) dengan pola linier
Data penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata (p>0.05) antara dosis pupuk kandang dengan varietas/ galur sorgum terhadap diameter batang. Diameter batang sorgum dipengaruhi oleh dosis pupuk kandang (p<0.05) dengan pola linier dan kubik, selain itu varietas/ galur berpengaruh secara nyata (p<0.05). Secara genetis galur bmr memiliki diameter batang lebih tinggi (Tabel 8) dibandingkan dengan kedua varietas sweet sorghum. Diameter batang tanaman (cm)
1.85 1.8 y = 0.0049x + 1.596 R² = 0.8014
1.75 1.7 1.65 1.6 1.55 0
10
20
30
40
50
Dosis pupuk kandang (ton ha-1)
Gambar 3 Pola pengaruh dosis pupuk kandang terhadap diameter batang saat panen. Varietas CTY-33 dan Numbu merupakan varietas nasional Indonesia yang telah dilepas untuk pemasaran. Hal ini membuktikan varietas tersebut telah stabil dan teruji di bermacam lokasi dan jenis lahan. Pada berbagai level pupuk kandang, kedua varietas sweet sorghum tersebut mempunyai pertambahan tinggi tanaman yang baik.
16
Sementara itu, rendahnya pertambahan tinggi tanaman pada galur bmr diduga karena akselerasi pertumbuhan galur ini lebih lambat dibandingkan varietas sweet sorghum. Pada akhir penelitian diketahui pada tingkat panen (berbunga 80%), dengan produksi dan kualitas yang sama, dicapai pada umur yang berbeda, yaitu bmr cenderung lebih lambat. Galur bmr secara genetis memiliki biomasa yang lebih rendah dibandingkan dengan varietas sweet sorghum. Secara rata – rata produksi selama tiga tahun, sorgum hibrida bmr memiliki hasil 12% lebih rendah dibandingkan dengan sorgum non-bmr (Sattler et al. 2010). Hal ini diduga yang menyebabkan tinggi batang sorgum bmr secara umum lebih rendah dibandingkan dengan sweet sorghum.
0
1
2cm
Gambar 4 Perbandingan diameter batang galur bmr (kiri) dan sweet sorghum (kanan). Perbedaan secara agronomi, pada varietas sorgum dapat dibagi dalam tiga kategori besar. Varietas penghasil biji tumbuh dengan tinggi kira – kira satu hingga 1.8 meter dan menghasilkan malai yang besar, sedangkan sweet sorghum biasanya lebih tinggi, yaitu sekitar dua meter lebih dengan batang yang lebih tebal dibanding penghasil biji. Varietas terakhir adalah peruntukan sebagai hijauan pakan, yang mirip dengan varietas sweet sorgum, namun mempunyai kadar air dan gula yang lebih rendah (Whitfield et al. 2012). Telah banyak laporan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara tinggi tanaman dan hasil bijian sorgum. Pengembangan sorgum jenis “stay-green” dan penghubungan dengan penurunan produksi biji, telah membuka kemungkinan untuk mempelajari hubungan positif tersebut. Secara umum tanaman yang tinggi menghasilkan bijian lebih banyak, bahkan hingga 20% (George-Jaeggli et al. 2011). Berat Individu. Berat individu tanaman mencerminkan produktivitas tanaman sorgum pada satuan luas tanam. Dengan asumsi demikian semakin tinggi berat biomasa individu sorgum, maka berat segar yang diperoleh per satuan luas tanam akan semakin tinggi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa tidak terdapat interaksi (p>0.05) antara dosis pupuk kandang yang diberikan dengan varietas/ galur sorgum yang mempengaruhi berat individu, dan tidak ada pengaruh dosis pupuk kandang yang signifikan (p>0.05) terhadap berat individu tanaman (Tabel 9). Penggunaan pupuk kandang belum dapat meningkatkan
17
produktivitas tanaman sorgum dalam jangka pendek, karena pelepasan unsur hara yang terdapat dalam pupuk kandang bersifat lambat. Kecepatan dekomposisi bahan organik tanah sangat beragam tergantung dari komposisi kimianya. Bahan akan terdekomposisi dengan cepat apabila terdiri atas karbohidrat sederhana dan akan lambat apabila terdiri atas lemak dan lignin (McMahon et al. 2007). Selain itu, kemampuan sorgum tumbuh baik di lahan marjinal sangat berperan, karena dengan keadaan awal tanah (kontrol), sorgum mampu berproduksi dengan baik. Pengaruh bahan organik yang terdapat pada pupuk kandang diduga akan tampak apabila dilakukan penelitian terhadap tumbuhan ratun tanaman sorgum. Sementara itu perbedaan varietas/ galur sorgum tidak berpengaruh secara nyaa terhadap berat individu sorgum (p>0.05). Potensi tanaman sorgum varietas Numbu dan CTY-33 yang ditanam pada tanah latosol berlokasi di Bogor, dengan umur panen 70 hari setelah tanam (HST) adalah 0.58 dan 0.75 kg/ individu (Supriyanto 2011). Berat biomasa individu varietas sweet sorghum mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan potensi awal, terutama varietas CTY-33 (Tabel 9), sedangkan berat individu bmr yang diperoleh tidak menunjukkan perbedaan dengan varietas sweet sorghum. Tabel 9 Berat individu tanaman sorgum (kg) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 0 10 20 40 0.51±0.06 0.44±0.13 0.55±0.06 0.50±0.03 0.49±0.11 0.57±0.13 0.49±0.10 0.59±0.11 0.48±0.05 0.53±0.06 0.47±0.09 0.64±0.09 0.49±0.04 0.54±0.09 0.43±0.17 0.58±0.12 0.50±0.06 0.52±0.11 0.49±0.11 0.58±0.10
Rataan 0.50±0.08 0.54±0.11 0.53±0.09 0.51±0.11
Secara rata – rata produksi selama tiga tahun, sorgum hibrida bmr memiliki hasil 12% lebih rendah dibandingkan dengan sorgum non-bmr (Sattler et al. 2010). Dengan demikian apabila mengacu pada berat individu sebagai penduga ukuran produktivitas, galur bmr lebih toleran terhadap kondisi tanah marjinal, walaupun memiliki berat yang relatif sama dengan varietas Numbu dan CTY-33 (sweet sorghum) yang diekspresikan dengan pencapaian berat individu yang lebih besar dibandingkan dengan potensi seharusnya. Rasio daun/ batang. Rasio daun dan batang pada tanaman sorgum dapat mencerminkan edibilitas tanaman. Selain itu, persentase daun diindikasikan berpengaruh terhadap kandungan PK tanaman. Komponen utama penyusun zat hijau daun (klorofil) adalah Nitrogen, dimana N tersebut merupakan sumber utama PK tanaman. Daun merupakan kontributor utama kadar protein pada tanaman sorgum (Hanna et al. 1981; Snyman dan Joubert 1996). Penurunan rasio daun/ batang dan peningkatan persentase batang kemungkinan akan menurunkan kualitas hijauan karena kandungan PK daun lebih besar dan daun merupakan bagian yang lebih mudah dicerna dibandingkan dengan batang (Silungwe 2011). Tabel 10 menunjukkan bahwa interaksi antara dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum tidak berpengaruh terhadap persentase berat daun dan batang (p>0.05). Level pupuk kandang yang diberikan dan jenis varietas maupun galur sorgum tidak mempengaruhi secara nyata (p>0.05) rasio daun dan batang
18
sorgum yang dihasilkan (Tabel 10). Persentase daun berkisar antara 10% sampai 30% dari berat kering keseluruhan tanaman tergantung pada varietas dan meningkat seiring dengan kematangan tanaman (Yosef et al. 2009). Tidak berbedanya persentase daun dan batang, maka dapat diketahui bahwa sorgum bmr mempunyai potensi hijauan yang sama apabila dibandingkan dengan sweet sorghum sebagai bahan pakan hijauan ternak. Tabel 10 Persentase berat daun dan batang sorgum (%) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 0 10 20 40 Pd (%) 28.83±2.28 28.00±0.36 27.79±0.90 30.43±2.61 Pb (%) 61.94±3.17 65.29±1.29 64.58±0.24 61.80±4.40 Pd (%) 29.00±3.73 29.05±1.95 29.27±1.99 30.33±0.88 Pb (%) 62.45±3.44 64.40±1.73 62.50±4.32 63.83±0.56 Pd (%) 27.78±2.09 31.35±2.92 30.72±2.58 31.81±1.05 Pb (%) 65.37±1.47 62.47±3.06 61.76±3.01 62.23±1.46 Pd (%) 28.04±1.49 31.28±3.40 30.53±1.74 30.69±2.09 Pb (%) 65.32±2.37 61.93±2.95 62.39±1.65 62.43±1.83 28.41±2.23 29.92±2.58 29.58±2.03 30.82±1.66 Pd (%) Pb (%) 63.77±2.85 63.52±2.49 62.81±2.60 62.57±2.28 Keterangan: Pd : persentase daun, Pb : persentase batang
Rataan 28.76±1.88 63.40±2.88 29.41±2.10 63.30±2.63 30.41±2.54 62.96±2.51 30.14±2.35 63.02±2.38
Umur Panen. Tinggi tanaman dan umur berbunga dapat digunakan sebagai karakter seleksi genotipe sorgum manis dengan potensi produksi biomasa segar yang tinggi (Efendi et al. 2013). Asumsi kualitas nutrisi dan produksi bahan kering yang optimal adalah saat tanaman berada pada fase berbunga 80%, di mana fase tersebut tanaman berada pada kondisi milk to the soft-dough stage yang sesuai untuk hijauan bahan silase (Doggett 1970). Waktu terbaik untuk pemanenan sorgum sebagai hijauan ketika tanaman cukup dewasa. Hal ini untuk mendapatkan biomasa tertinggi, dan kandungan gulanya maksimal (Ahlgren 1956). Tabel 11 Umur panen saat fase berbunga mencapai 80% (HST) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan*
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 0 10 20 70.67±2.08 69.00±4.36 70.00±1.00 72.00±5.20 68.67±3.79 69.00±1.00 82.67±2.89 79.33±3.51 80.67±4.62 83.67±0.58 81.33±3.51 82.67±5.86 77.25±6.77b 74.58±6.87ab 75.59±7.18ab
40 69.00±1.00 66.67±0.58 77.33±1.15 80.00±5.20 73.25±6.25a
Rataan 69.67±2.27a 69.08±3.42a 80.00±3.46b 81.92±3.94b
Keterangan: HST : Hari setelah tanam, angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05),*pengaruh nyata (p<0.05) dengan pola linier
Interaksi antara dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum tidak mempengaruhi umur panen tanaman sorgum (p>0.05). Level pupuk kandang berpengaruh (p<0.05) terhadap umur panen dengan pola linier, selain itu umur panen dipengaruhi oleh perbedaan varietas/ galur sorgum secara nyata. Sorgum bmr memiliki umur panen yang secara nyata(p<0.05) lebih panjang dibandingkan dengan sweet sorghum (Tabel 11). Semakin tinggi dosis pupuk kandang yang diberikan, maka waktu panen (mencapai fase pembungaan 80%) semakin cepat. Waktu pembungaan diatur oleh
19
sebuah sistem yang kompleks (autonomous pathway), panjang hari, temperatur, hormon, naungan, dan beberapa faktor lainnya (Imaizumi dan Kay 2006; Andres dan Coupland 2012; Higgins et al. 2010; Tsuji et al. 2011). Waktu pembungaan yang optimal adalah bagian terpenting dari kesuksesan reproduksi tanaman. Pembungaan yang lebih cepat berguna untuk produksi biji di daerah yang memiliki daya dukung untuk pertumbuhan terbatas (Murphy et al. 2014). 84
Umur panen sorgum (HST)
82
y = -0.0752x + 76.576 R² = 0.6852
80 78 76 74
72 70 68 66 0
10
20
30
40
Dosis pupuk kandang (ton ha-1)
Gambar 5 Pola pengaruh dosis pupuk kandang terhadap umur panen Tanaman, : Numbu, : CTY-33, : PATIR3.2, :PATIR3.5 Sweet sorghum dikenal dengan jenis sorgum yang mempunyai umur kematangan benih yang lebih lambat dibandingkan dengan tipe lainnya. Namun apabila dibandingkan dengan pembungaan bmr, ternyata galur bmr lebih lambat sekitar 10 hari dibandingkan dengan sweet sorghum. Sifat umum galur bmr adalah masa pembungaan yang lebih lama (Pedersen 2005). Waktu vegetatif yang lama (pembungaan terlambat) pada tanaman pakan dapat meningkatkan produksi biomasa daun dan batang (Rooney et al. 2007). Hal ini menjadikan keuntungan budidaya bmr sebagai hijauan pakan karena memiliki waktu yang relatif panjang, sehingga mampu meningkatkan produksi biomasanya, yang semula lebih rendah dibandingkan dengan varietas sweet sorghum tanpa kehilangan kualitas hijauannya. Kualitas Kimia Kandungan dan Produksi Bahan Kering. Produksi bahan kering menjadi acuan kita untuk melihat kemampuan tanaman menghasilkan biomasa sebagai bahan pakan. Banyak faktor yang mempengaruhi produksi bahan kering tanaman, namun secara sekilas faktor genetis dan lingkungan merupakan faktor utama yang mempengaruhinya. Tabel 12 menunjukkan bahwa interaksi antara dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum tidak berpengaruh terhadap terhadap produksi dan
20
persentase bahan kering (BK) (p>0.05). Kandungan dan produksi BK per hektar tanaman sorgum (Tabel 12) antara dua varietas sweet sorghum dan dua galur sorgum bmr tidak berbeda secara nyata (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa sorgum bmr memiliki jumlah produksi BK sama dengan varietas sweet sorghum dilahan penelitian. Dengan demikian daya produksi galur bmr lebih tinggi apabila ditanam di lahan marjinal dibandingkan dengan sweet sorghum karena berdasar penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa potensi bmr berada di bawah produksi sweet sorghum. Karakter umum galur bmr adalah penurunan produksi BK, daya ratun setelah panen, berat biomasa, tillering, dan masa pembungaan yang lebih lama (Pedersen 2005). Tabel 12 Kandungan BK (%) dan produksi BK (ton ha-1) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5
BK Prod. BK BK Prod. BK BK Prod. BK BK Prod. BK
Rataan BK Rataan Prod. BK
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 0 10 20 40 21.41±1.92 19.96±4.04 22.01±2.26 20.57±0.69 7.41±0.82 6.60±0.91 9.15±0.75 6.63±0.58 21.33±1.72 20.93±2.81 21.08±3.79 19.79±2.24 7.02±0.86 9.07±0.59 8.34±2.57 8.41±0.97 20.26±1.36 17.71±0.93 20.35±0.36 18.64±1.03 7.64±1.11 7.69±1.07 7.74±1.69 9.67±1.80 21.02±2.50 19.34±1.97 19.32±1.60 19.60±2.61 7.57±0.24 8.31±0.48 7.19±1.75 8.42±0.69 21.01±1.70 19.48±2.60 20.69±2.26 19.65±1.72 7.41±0.74 7.91±1.17 8.10±1.72 8.28±1.48
Rataan 20.99±2.31 7.45±1.27 20.78±2.42 8.21±1.47 19.24±1.44 8.19±1.53 19.82±2.02 7.87±0.99
Lebih rendahnya produksi biomasa pada sorgum bmr hasil mutasi oleh Degenhart et al. (1995) dihipotesakan akibat terjadinya pemblokan beberapa gen yang terkait dengan produktivitas tanaman. Pemberian pupuk kandang pada berbagai dosis ternyata tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kandungan BK tanaman sorgum. Hal ini mengindikasikan kemampuan sorgum untuk tetap produktif di lahan marjinal, di mana nutrisi dasar tanah dan pupuk dasar yang diberikan telah mencukupi kebutuhan nutrisinya. Kemampuan berproduksi yang tetap tinggi pada sorgum bmr walau ditanam pada tanah marjinal ini disebabkan oleh pengaruh mutasi beberapa gen akibat radiasi sinar gamma. Adanya galur mutan harapan yang memiliki produktivitas biomasa tinggi, hal ini diduga bahwa perlakuan radiasi sinar gamma dapat memperbaiki pada sifat batang tanaman sorgum (Sihono 2013). Hal senada dilaporkan oleh Sobrizal (2008) bahwa pemuliaan mutasi induksi menggunakan sinar radiasi gamma terhadap padi, telah diperoleh tanaman pendek, genjah, dan produktivitas biji tinggi. Kadar Gula Batang. Kadar gula dalam batang sorgum biasa dinyatakan dalam nilai persentase brix. Brix menjadi sebuah parameter yang penting untuk menyeleksi genotip sorgum yang banyak mengakumulasi sukrosa (Kawahigashi et al. 2013). Tingkat kemanisan sorgum menjadi salah satu tujuan penting pengembangan sorgum sebagai bahan pakan selain keempukan dan proporsi daun (Bian 2006). Hasil penelitian (Tabel 13) menunjukkan bahwa interaksi antara dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum tidak berpengaruh terhadap kadar gula batang tanaman sorgum (p>0.05). Pemberian pupuk kandang dalam berbagai
21
dosis tidak memberikan pengaruh yang signifikan (p>0.05) pada nilai brix batang sorgum. Sementara itu, varietas memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata (p<0.05) pada nilai brix. Galur PATIR3.5 mempunyai nilai brix tertinggi (13.05) dibandingkan dengan ketiga varietas maupun galur lainnya. Brix pada jus batang sorgum mempunyai nilai yang proporsional terhadap kandungan gula total konsentrasi sukrosa, yaitu mencapai kira – kira 75% dari kandungan gula total pada varietas dengan nilai brix lebih dari 15 (Kawahigashi et al. 2013). Nilai brix yang lebih tinggi pada fase matang fisiologis mengindikasikan tingginya akumulasi kandungan gula total pada batang tanaman sorgum. Nilai brix meningkat pada fase pembungaan hingga fase matang fisiologis yang diduga terjadi karena penurunan kandungan air di batang (Gadakh et al. 2013). Sangat penting untuk diketahui bahwa kandungan gula pada tanaman sorgum dan milet terkonsentrasi pada batang. Dengan ekstrapolasi, perbedaan kandungan gula pada tanaman disebabkan oleh: (a) perbedaan kandungan gula pada batang, dan (b) perbedaan proporsi batang:daun. Dapat dikatakan bahwa genotip dengan kandungan gula tanaman yang tinggi memiliki proporsi kandungan gula batang yang tinggi pula (Blummel et al. 2003). Tabel 13 Kadar gula batang (obrix) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 0 10 20 40 11.78±1.98 12.31±2.59 12.48±1.80 13.03±1.88 12.53±2.26 11.89±2.00 12.23±1.77 12.10±1.61 13.00±2.12 11.71±1.93 13.00±2.18 12.25±1.65 13.14±2.06 12.71±1.53 13.08±2.09 13.25±2.87 12.61±2.17 12.16±2.08 12.70±1.99 12.66±2.11
Rataan 12.40±2.12b 12.19±1.93b 12.49±2.05b 13.05±2.20a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Kandungan sukrosa yang terlihat dari nilai brix galur bmr dapat diketahui potensi pemanfaatannya sebagai bahan pakan awetan hijauan yang berkualitas, karena sukrosa merupakan substrat yang baik dalam proses fermentasi (silase). Penyusun utama WSC di dalam rerumputan adalah glukosa, fruktosa, sukrosa, dan fruktosan (Whittenbury 1967). Zhao et al. (2013) mengemukakan adanya peningkatan kecernaan semu dari pakan tinggi NDF (neutral detergent fiber) yang dinteraksikan dengan sukrosa pada percobaan menggunakan RUSITEC. Protein Kasar (PK) Hijauan. Kandungan PK sorgum berbagai varietas di penelitian lapangan lain oleh Bean et al. (2013) selama beberapa tahun tercatat antara 5.4% sampai 7.8% dengan kekonsistenan bmr memiliki kandungan PK terendah. Dalam penelitian ini kandungan PK berkisar antara 5.79% sampai 8.77%. Tabel 14 menunjukkan bahwa interaksi antara dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum tidak berpengaruh terhadap kadar PK tanaman. Pemberian pupuk kandang berbagai dosis maupun varietas/ galur sorgum tidak memberikan perbedaan yang signifikan (p>0.05) terhadap kandungan PK. Dugaan bahwa terdapat pengaruh kesuburan tanah terhadap kualitas hijauan (kandungan PK) dapat dijelaskan dengan mekanisme pemanfaatan nitrogen tanah. Dalam pembentukan protein, N adalah bagian tak terpisahkan dari klorofil yang mampu mengubah energi cahaya menjadi energi kimia yang dibutuhkan untuk
22
fotosintesis. Bentuk dasar klorofil adalah cincin porphyrin yang disusun oleh empat cincin pyrrole, masing – masing terdiri atas satu atom N dan empat atom C di mana sebuah atom Mg terikat ditengah – tengah cincin porphyrin tersebut. Kecukupan suplai N diasosiakan dengan aktivitas fotosintesis yang tinggi, pertumbuhan vegetatif yang bagus, dan warna daun hijau tua. Ketercukupan suplai N mempengaruhi penggunaan karbohidrat. Ketika suplai kurang, karbohidrat akan dideposit pada sel vegetatif yang dapat menyebabkan penebalan. Namun ketika suplai N cukup dan kondisi mendukung untuk pertumbuhan, maka protein akan terbentuk dari proses produksi karbohidrat. Sedikitnya karbohidrat yang disimpan pada bagian vegetatif, maka semakin banyak protoplasma yang terbentuk, menghasilkan tanaman yang lebih sukulen (Havlin et al. 2005). Tabel 14 Kandungan protein kasar (%BK) hijauan Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 0 10 20 40 8.77±2.93 5.79±0.47 8.14±1.05 7.43±1.67 7.04±2.43 8.09±1.63 6.97±1.17 7.38±0.86 7.47±1.87 8.09±0.56 7.29±2.04 8.32±0.36 7.36±1.17 8.22±0.95 6.67±1.34 6.45±2.15 7.66±1.85 7.55±1.18 7.27±1.37 7.39±1.41
Rataan 7.53±1.91 7.37±1.05 7.79±1.29 7.18±1.45
Fraksi Serat Hijauan. Lignin adalah faktor paling kritis dalam menentukan kualitas pakan utamanya hijauan, tetapi sering tidak ditentukan dengan jelasbatasannya. Lignin adalah senyawa polifenolik yang sama sekali tidak tercerna maupun terfermentasi. Lignin berlaku seperti semen diantara lapisan dinding sel luar dan dalam. Semakin tua tanaman, lignifikasi dinding akan semakin meningkat. Peningkatan lignifikasi dinding sel menurunkan ketersediaan karbohidrat serat yang berhubungan dengan fraksi dinding sel/ neutral detergent fiber (NDF). Efek ini dapat diukur secara langsung dengan prosedur fermentabilitas NDF (Saun dan Heinrich 2008). Secara rata – rata, galur bmr memiliki kandungan liginin lebih rendah (Gambar 6) dibandingkan dengan varietas sweet sorghum. Pada awalnya brown midrib adalah sebuah hasil mutasi genetik dari beberapa spesies rerumputan, yang mempunyai total kandungan lignin lebih rendah pada bagian tanaman tersebut. lignin kebanyakan tidak tercerna, namun mempunyai peranan penting dalam menjaga struktur sel tanaman (Miller dan Stroup 2003). Namun kandungan lignin rata – rata pada tanaman sorgum di penelitian ini (6.05%) masih dalam taraf rendah sebagai pakan ruminansia dan lebih rendah dibandingkan Amaducci et al. (2000). Kandungan lignin hijauan bisa berkisar antara 2- 24% berat BK, namun akibat dari kandungan tersebut mampu menurunkan kecernaan hijauan yang sangat tinggi (NRC 2007). Kecernaan potensial NDF bisa menurun dari 90 menjadi 20% akibat peningkatan kandungan lignin pada dinding sel dari 5 hingga 15% (Schwartz dan Renecker 1998). Pembentukan dan akumulasi lignin biasanya terjadi pada fase pendewasaan tanaman, seperti layaknya membangun dinding sel kedua, banyak terdapat selulosa, pada jaringan batang dan daun dewasa (Carmi et al. 2006). Apabila membandingkan dua agroteknik (input normal dan rendah) pada jenis sweet sorghum dan fiber sorghum hanya terdapat sedikit perbedaan pada karbohidrat
23
nonstruktural (selulosa, hemiselulosa) dan komponen serat sorgum manis (Amaducci et al. 2004). Dengan demikian faktor genetik lebih banyak mempengaruhi kandungan lignin dan selulosa daripada faktor input agroteknik. 80.00
Kaandungan fraksi serat (%BK)
70.00
69.70 66.39
69.57
67.35 67.64 67.04 68.07
64.55
64.54 63.78
62.37
64.58 60.24
61.16 60.73 60.48
60.00 50.00 43.91
45.95
44.67 45.63 42.06 41.20
41.26 40.69
40.00
59.58
34.61 35.69
37.08
36.51 33.26 32.94
NDF
40.80
33.95
32.10
33.53
39.13 35.82
31.66
33.88
29.28
30.00
26.27
27.54
34.74
36.83 35.61 33.48 30.30 30.87
39.95
31.86
27.84
ADF
SELULOSA LIGNIN
20.00 10.00
6.98
8.48
9.45 6.20 6.38
6.77
6.42 6.38
5.46
4.06
5.41 4.97
5.43 5.68 4.22 4.49
6.05
0.00 NB0 NB1 NB2 NB4
CT0 CT1 CT2 CT4
P20 P21 P22 P24
P50 P51 P52 P54
XTO
Kombinasi dosis pupuk dengan varietas/ galur
Gambar 6 Fraksi serat hijauan tanaman sorgum (%BK), NB: Numbu, CT: CTY-33, P2: PATIR3.1, P5: PATIR3.5, XTO ; rataan total, 0: kontrol, 1: pupuk kandang 10 ton ha-1, 2: pupuk kandang 20 ton ha-1, 4: pupuk kandang 40 ton ha-1, NDF: Neutral Detergent Fiber, ADF: Acid Detergent Fiber. Pada dasarnya beberapa isi sel seperti karbohidrat terlarut, pati (dalam beberapa hijauan), protein, asam organik, lipid, dan mineral – mineral terlarut tersebut dapat tercerna secara utuh, sedangkan penyusun dinding sel (seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin) mempunyai kecernaan yang beragam tergantung pada konfigurasi polimerik, tingkat kristalitas, dan tingkat lignifikasinya. Lignin sendiri secara umum tidak tercerna pada kondisi anaerob dan hal tersebut yang mempengaruhi kecernaan penyusun dinding sel yang berasosiasi dengannya. Kecernaan selulosa dan hemiselulosa beragam ketika tidak berasosiasi dengan lignin, dan tidak tercerna ketika terikat kuat dengan lignin (Jones dan Theodorou 2000). Dalam penelitian ini, kandungan selulosa varietas Numbu (32.94 sampai 35.69%) berada diatas rata – rata kandungan selulosa tanaman sorgum yang ditanam (31.86%). Kandungan selulosa sorgum bervariasi antara 39 sampai 47%. Ketika menunda waktu pemanenan, kandungan selulosa untuk sorgum cenderung menurun. Kandungan hemiselulosa sorgum berkisar antara 26-29% dan cenderung menurun apabila teririgasi dan mengalami penundaan pemanenan (Amaducci et al. 2000).
24
Kualitas Silase Bahan Kering dan pH Silase Silase adalah salah satu teknik pengawetan pakan atau hijauan pada kadar air tertentu melalui proses fermentasi mikrobial oleh bakteri asam laktat yang disebut ensilasi dan berlangsung di dalam tempat yang disebut silo (McDonald et al. 2002). Spesies tanaman hijauan yang cocok sebagai bahan baku silase hendaknya memiliki produksi BK yang tinggi di lapangan dan kecernaan yang lebih tinggi pula, kemudian memiliki kapasitas buffer yang rendah, dan kandungan WSC yang lebih tinggi (Demirel 2011). Sorgum sebagai sumber karbohidrat sangat cocok sebagai bahan pakan berbasis fermentasi. Tanaman sorgum utuh dan beberapa hasil sampingan terhadap bioprosesnya dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak (Whitfield et al. 2012). Tabel 15 Kandungan bahan kering (%) dan pH silase Dosis pupuk kandang (ton ha-1) Rataan 0 10 20 40 BK 20.64±0.72 20.72±0.51 20.51±2.89 20.55±1.24 20.60±1.40 a pH 3.55±0.20 3.70±0.17 3.72±0.08 3.80±0.05 3.69±0.15a BK CTY33 21.17±0.79 19.41±1.33 19.65±1.27 19.64±1.44 19.97±1.28ab pH 3.83±0.13 3.68±0.18 3.73±0.10 3.50±0.17 3.69±0.18a BK PATIR3.2 19.03±3.65 17.03±0.53 19.41±0.72 18.69±1.40 18.54±1.96 b pH 4.12±0.67 4.28±0.08 3.93±0.28 4.07±0.33 4.10±0.37b PATIR3.5 BK 18.96±1.87 18.56±0.85 19.43±3.03 18.60±2.57 18.89±1.94 b pH 4.30±0.28 4.08±0.13 4.12±0.33 3.77±0.49 4.07±0.35b BK Rataan 19.95±2.07 18.93±1.58 19.75±1.95 19.37±1.70 pH 3.95±0.44 3.94±0.29 3.88±0.26 3.78±0.34 Keterangan: BK: bahan kering, angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) Varietas/ galur Numbu
Dari hasil penelitian (Tabel 15) menunjukkan bahwa interaksi antara dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum tidak berpengaruh (p>0.05) terhadap kandungan BK silase. Dosis pupuk kandang yang diberikan sebagai perlakuan juga tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kandungan BK silase, namun terjadi pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap kandungan BK silase oleh varietas/galur sorgum. Varietas sweet sorghum memiliki kandungan BK lebih tinggi dibandingkan dengan galur bmr. Kandungan BK tertinggi diperoleh pada varietas Numbu (20.60%), sedangkan yang terendah adalah dua galur bmr (PATIR3.5 dan 3.2 berturut – turut: 18.89 dan 18.54%). Kandungan BK silase ini mendekati apa yang ditemukan oleh Podkowka dan Podkowka (2011) yang menyatakan bahwa dalam silase sorgum biasanya terdapat hanya sekitar 20.88% BK. Perbandingan kandungan BK hijauan dengan BK silase diperoleh penurunan kandungan terhadap BK silase, yaitu Numbu sejumlah 1.86%, CTY33 3.9%, PATIR3.2 3.64%, dan PATIR3.5 4.69%. BK yang hilang pada percobaan ini masih dalam batas normal walaupun hal tersebut tidak dihitung berdasar daya recovery BK silase, seperti yang disebutkan oleh Despal et al. (2011) bahwa kehilangan BK dalam proses ensilasi yang normal adalah berkisar 2.3%-6.1%.
25
Silase sorgum utuh dapat diperoleh dengan melakukan pemanenan lebih awal, dimana biji sorgum belum masak. Tingkat kematangan mempengaruhi hasil yang diproduksi akibat proses silase. Peningkatan asam hasil fermentasi dihasilkan oleh kadar air yang lebih tinggi dan umumnya terdapat pada sorgum yang lebih muda. Pada beberapa kasus, tingkat produksi asam laktat kerap dihubungkan dengan peningkatan hasil. Namun, hal ini berpengaruh dengan penurunan jumlah bahan kering yang dihasilkan (Wall dan Ross 1970). Sorgum yang cukup matang ketika disilase akan menjadikannya sebagai produk yang berkualitas lebih tinggi dengan karakteristik lebih terjaga dengan baik. Silase yang dibuat dari tanaman sorgum yang belum cukup matang biasanya akan menjadi terlalu asam selama proses fermentasi (Ahlgren 1956). pH merupakan salah satu kriteria utama untuk mengevaluasi fermentasi silase. Secara umum pH yang lebih rendah mencerminkan pengawetan yang lebih bagus dan silase yang lebih stabil (Seglar 2003) dan tingginya kandungan asam laktat (Amer et al. 2012). Tidak terdapat interaksi yang nyata (p>0.05) antara dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum terhadap nilai pH silase. Nilai pH silase lebih dipengaruhi (p<0.05) oleh faktor varietas/ galur sorgum, sedangkan dosis pupuk kandang tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap nilai pH silase. Nilai pH varietas sweet sorghum (3.69) lebih bagus dibandingkan dengan nilai pH galur bmr (4.10 dan 4.07). Hal tersebut seperti yang diperoleh Di Marco et al. (2009) yang membandingkan pH silase dari tiga jenis sorgum, yaitu sorgum penghasil biji, sweet sorghum, dan bmr. Nilai pH terendah adalah sweet sorghum (3.86), diikuti oleh sorgum penghasil biji (3.95), dan terakhir sorgum bmr (4.08). Nilai Fleigh Silase Nilai Fleigh menurut Otzurk et al. (2006) merupakan salah satu metode pengukuran kualitas silase berdasarkan kandungan bahan kering (BK) dan pH silase. Nilai Fleigh (NF) dihitung menggunakan rumus: NF = 220 + [(2 × BK(%)) – 15] – (40 × pH) Tabel 16 Nilai Fleigh silase Varietas/ Galur Numbu CTY33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
0 104.27±09.26 094.00±03.74 078.40±33.31 070.91±12.93 086.89±20.88
Dosis Pupuk Kandang (ton/Ha) 10 20 40 98.44±06.31 97.35±02.86 094.09±03.86 96.49±08.38 94.98±06.08 101.61±09.44 67.73±02.04 86.48±11.18 079.72±16.03 78.78±04.44 79.19±14.40 091.53±23.82 86.66±14.19 89.37±11.18 092.40±15.90
Rataan 98.54±06.51a 97.44±07.49a 78.08±17.92b 80.10±15.30b
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Nilai Fleigh akan tinggi apabila semakin tinggi kandungan BK dan semakin rendah pH silase. Tingginya kandungan BK mencerminkan proses silase tersebut mampu menjaga/ mengawetkan bahan, sedangkan rendahnya nilai pH memberi gambaran bahwa proses ensilasi berjalan dengan baik. Kehilangan materi yang minimal, rendahnya pH, stuktur dan aroma silase menunjukkan
26
proses ensilase berjalan dengan memadai dan mengindikasikan tingginya daya recovery silase (Yosef et al. 2009). Kualitas silase berdasarkan perhitungan nilai Fleigh (Tabel 16) hanya dipengaruhi oleh varietas/ galur (p<0.05), sedangkan dosis pupuk kandang dan interaksinya dengan varietas/ galur sorgum tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05). Varietas sweet sorghum memiliki nilai Fleigh lebih tinggi dibandingkan kedua galur bmr. Silase dikategorikan sebagai silase berkualitas sangat baik apabila menghasilkan nilai 85-100, berkualitas baik 60-80, berkualitas cukup 50-60, berkualitas sedang 25-40, dan berkualitas rendah apabila < 20 (Ozturk et al. 2006). Mengacu pada kriteria penilaian tersebut, maka kualitas silase yang dihasilkan oleh varietas sweet sorghum berada pada kondisi sangat baik (Numbu 98.54 dan CTY33 97.44), sedangkan galur bmr berada pada kualitas baik (PATIR3.2 78.08 dan PATIR3.5 80.10). Water Soluble Carbohydrat (WSC) Pengukuran kandungan WSC dalam tanaman perlu dilakukan sebagai bahan pertimbangan pemanfaatan tanaman tersebut melalui teknologi pengawetan (silase). Dalam teknologi ensilasi, pemanfaatan mikroba, terutama bakteri asam laktat (BAL) sebagai fermentor, memerlukan sumber energi sehingga mampu menghasilkan produk fermentasi sebagai pengawet hijauan. WSC pada hijauan merupakan energi yang tersedia bagi mikroba untuk memproduksi asam laktat selama proses ensilasi. Kekurangan WSC akan menghambat fermentasi, namun ketika WSC berlebih akan menjadi substrat bagi organisme yang merugikan selama penyimpanan dan penggunaan silase sebagai pakan (Cherney 2000). Asam laktat adalah pengawet utama dalam proses silase yang diproduksi oleh katabolisme WSC dan asam organik oleh bakteri. Untuk alasan tersebut, tanaman hijauan yang cocok untuk dijadikan silase hendaknya memiliki kandungan WSC antara 6 hingga 8% berdasar BK (Whittenbury et al. 1967). Dari data (Gambar 7 ) dapat diketahui rata – rata kandungan WSC tiap varietas/ galur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Numbu 10.92, CTY-33 17.62, PATIR3.2 17.85 dan PATIR3.5 22.91%. Merujuk pada rataan kandungan WSC sorgum tersebut, maka sorgum dapat dimanfaatan sebagai bahan silase. Analisis kandungan WSC setelah terjadi proses ensilasi dilakukan untuk mengetahui kehilangan WSC selama proses tersebut. Dari rataan kandungan WSC silase tiap varietas/ galur diperoleh kandungan WSC silase dan kehilangannya berturut turut dalam % (Gambar 2) adalah: Numbu 3.19-(71.82), CTY-33 3.00-(81.50), PATIR3.2 3.61-(75.12) dan PATIR3.5 4.18-(81.25). Kandungan WSC menurun secara cepat selama dua hari perlakuan fermentasi silase (Yang et al. 2006). WSC dibutuhkan oleh bakteri asam laktat hingga menyebabkan penurunan pH sampai 3.5 (Muck 2011). WSC yang terkandung dalam tanaman tidak semuanya akan terfermentasi pada proses ensilasi. Pada proses ensilasi beberapa bahan substansial diduga hilang saat oksidasi mikroba aerob dan respirasi tanaman. Kehilangan – kehilangan tersebut berkontribusi pada kehilangan “fermentasi” sekitar 30%. Namun hal tersebut mustahil terjadi pada silase yang baik, kehilangan akibat proses anaerob tidak akan lebih dari 6-8% (Whittenbury et al. 1967). Respirasi aerobik baik hijauan maupun bakteri aerob yang menempel pada hijauan
27
berlangsung pada fase ini. Proses respirasi yang terjadi pada fase ini menghasilkan air dan panas. Keadaan ini tidak dikehendaki karena bakteri aerob menggunakan karbohidrat terlarut sehingga akan terjadi persaingan dengan BAL, karena BAL akan bertanggung jawab untuk proses fermentasi anaerob selanjutnya (Schroeder 2004). 40 35.13
35
Kaandungan WSC (%BK)
30 25.91
25
22.25
20
17.29
15
12.56
21.38 21.48 18.24
SILASE
12.68
11.48 11.14
11.34
10.26
9.62
7.29 3.65
4.53
5.03
4.44
3.54 1.39
1.06
0
HIJAUAN
17.19
10 8.51 5
20.35
1.15
1.55
2.60 3.02 2.69
1.79
2.61
NB-0 NB-1 NB-2 NB-4 CT-0 CT-1 CT-2 CT-4 P2-0 P2-1 P2-2 P2-4 P5-0 P5-1 P5-2 P5-4
Kombinasi dosis pupuk dengan varietas/ galur
Gambar 7 Kandungan WSC hijauan dan silase (%BK), NB: Numbu, CT: CTY-33, P2: PATIR3.2, P5: PATIR3.5, 0: kontrol, 1: pupuk kandang 10 ton ha-1, 2: pupuk kandang 20 ton ha-1, 4: pupuk kandang 40 ton ha-1 Protein Kasar Silase Kandungan PK silase dapat dijadikan rujukan evaluasi kualitas silase suatu bahan. Tidak terjadi interaksi antara dosis pupuk kandang dan varietas/ galur sorgum terhadap kandungan PK silase. Sementara itu dosis pupuk kandang tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kandungan PK. Varietas/ galur memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap kandungan PK silase sorgum. Nilai kandungan PK silase sorgum dalam penelitian ini berkisar antara 6.69% sampai dengan 9.39% (Tabel 17). Galur PATIR 3.2 mempunyai kandungan PK tertinggi (8.45). Kandungan PK silase sorgum apabila dibandingkan dengan kandungan PK hijauan mengalami peningkatan secara rata – rata sebesar 0.26%. Peningkatan kandungan PK pada silase dibanding dengan PK hijauan diduga karena peningkatan proporsi, bukan jumlah kandungan PKnya. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya kandungan BK dan WSC silase dibandingkan dengan hijauan (Tabel 12, 15 dan Gambar 7). Derajat keasaman atau pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri merugikan dan juga menghentikan aktivitas enzim tanaman yang menyebabkan perombakan protein. Saat kondisi asam, asam laktat dan asam asetat lebih mampu membatasi pertumbuhan mikroorganisme pembentuk jamur (Muck 2011). Varietas dengan kandungan WSC yang lebih
28
besar akan menghasilkan pH silase rendah, total asam tinggi, dan sebuah kecenderungan menghasilkan asam laktat dibandingkan dengan varietas yang lebih rendah kandungan WSCnya. Sehingga tingginya kandungan WSC dapat menghasilkan silase yang berkarakteristik memiliki kualitas pakan tinggi. Hal tersebut memperkuat bahwa semakin tingginya konsentrasi WSC pada rerumputan akan menghasilkan nilai amonia yang lebih rendah sebagai hasil ensilasi dan mengindikasikan berjalan dengan kerusakan protein dalam bahan silase (Downing et al. 2008). WSC dalam sorgum dapat meningkatkan kualitas dan karakteristik silase. Namun, pada jenis sorgum yang miliki kandungan WSC tinggi, dapat menurunkan kualitas PK silase akibat meningkatnya proteolisis selama ensilasi. Walaupun meningkatkan karakteristik ensilasi, jenis sorgum dengan WSC tinggi tidak mempengaruhi pada kandungan kimia ataupun fermentasi in vitro hijauannya (Amer et al. 2012). Tabel 17 Kandungan protein kasar silase (%BK) Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Rataan
Dosis pupuk kandang (ton ha-1) 0 10 20 40 7.29±1.06 6.59±1.06 7.66±0.94 7.00±1.42 7.59±1.27 7.63±1.28 6.72±0.49 7.42±1.38 7.79±1.02 8.48±0.49 8.12±0.77 9.39±0.64 7.99±1.34 9.05±0.33 7.34±0.97 7.57±0.08 7.67±1.22 7.94±1.12 7.46±1.24 7.85±1.39
Rataan 7.14±1.05b 7.34±0.82b 8.45±1.00a 7.99±1.55ab
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Peristiwa penting yang terjadi pada fase aerob adalah proteolisis atau pemecahan protein hijauan yang mencapai sekitar 50% protein hijauan menjadi asam-asam amino, amoniak, dan amina. Aktivitas enzim yang bekerja pada proses proteolisis ini akan menurun dan berhenti seiring dengan suasana yang mulai asam. Fase ini sedapat mungkin harus dilalui secepatnya (Schroeder 2004). Fraksi Serat Silase Fraksi serat dalam silase perlu diketahui guna memperoleh informasi kualitas kimia silase selain kandungan PK. Selain itu, dapat pula diketahui perombakan serat yang terjadi selama proses ensilasi. Selama proses ensilasi akan terjadi perombakan substrat/ materi silase oleh mikroba, dalam hal ini bakteri. Bakteri banyak menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang akan dimetabolisme sehingga menghasilkan asam organik. Sumber karbohidrat tersebut dapat berupa gula, pati, maupun serat. Dengan demikian, fraksi serat hijauan yang mengalami ensilasi seharusnya berbeda komposisinya apabila dibandingkan dengan fraksi serat hijauan. Hasil penelitian (Gambar 8) menunjukkan bahwa rataan kandungan NDF, ADF, selulosa dan lignin silase dalam penelitian ini mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan kandungan hijauannya. Rataan kandungan NDF silase penelitian ini adalah 70.56%, dengan rataan tiap varietas/ galur yaitu: Numbu 71.90%, CTY-33 72.07%, PATIR3.2 69.25%, dan PATIR3.5 68.94%. Peningkatan tersebut diduga
29
karena penurunan proporsi materi lain selama proses ensilasi bahan, dimana WSC paling banyak mengalami perombakan dan diikuti oleh bahan kering (BK). 80 72.28
73.58 70.11
71.90
71.00
72.97
74.40 69.92
Kandungan fraksi serat (%BK)
70
70.38 70.36
67.60 68.66
70.09
70.56
69.86 69.78 66.02
60 50.54 51.27 48.15
50 40.03
40
41.99
50.30
49.44
51.92 50.98 46.21
39.53 40.44
39.54
45.03 45.95
41.41 41.65 37.36
36.95
43.24
38.35
44.61
36.88 37.14
45.61 45.29
46.89 43.25
38.10 38.88
38.51 36.29
38.59
NDF ADF SELULOSE
32.89
LIGNIN
30 20 10
8.52 8.34 7.45 7.07
7.99 8.13 7.30 7.26
6.57 6.16
4.79 4.90
5.91
4.34 4.66 4.22
6.47
0 NB-0NB-1NB-2NB-4
CT-0CT-1CT-2CT-4
P2-0P2-1P2-2P2-4
P5-0P5-1P5-2 P54
XTO
Kombinasi dosis pupuk dengan varietas/ galur
Gambar 8 Fraksi serat silase tanaman sorgum (%BK), NB: Numbu, CT: CTY-33, P2: PATIR3.1, P5: PATIR3.5, XTO ; rataan total, 0: kontrol, 1: pupuk kandang 10 ton ha-1, 2: pupuk kandang 20 ton ha-1, 4: pupuk kandang 40 ton ha-1, NDF: Neutral Detergent Fiber, ADF: Acid Detergent Fiber
Pembahasan Umum Adaptasi Lingkungan Sorgum mempunyai kemampuan adaptasi yang baik terhadap lahan kritis (lahan kering, lahan berarir, lahan masam, lahan basa, lahan tidak subur). Kemampuan adaptasi tersebut dibuktikan dengan hasil tetap tinggi (berkisar antara 7.5 sampai 8.2 ton BK ha-1) walaupun ditanam di lahan kritis, tanah sedimentasi ultisol. Lahan kritis merupakan lahan dengan beberapa faktor pembatas yang bisa mengganggu pemanfaatan lahan tersebut sebagai tempat budidaya tanaman. Lokasi penelitian ini mempunyai beberapa faktor pembatas, antara lain tingginya curah hujan (1 816 mm th-1), dan buruknya drainase air akibat lokasi yang didominasi oleh rawa sehingga berpotensi menimbulkan genangan. Hasil analisis sampel tanah menunjukkan rendahnya kandungan nitrogen (0.13%), pH tanah (4.5), KTK (8.31 cmolc/kg), dan tingginya kandungan alumunium/ Al3+ (2.04 cmolc/kg). Tingginya daya adaptasi sorgum perlu ditunjang dengan strategi budidaya yang tepat sehingga mampu mengoptimalkan potensi tanaman sorgum sebagai
30
sumber pakan ternak. Upaya untuk mengurangi faktor pembatas yang terdapat di lokasi antara lain: 1. Penanaman dilakukan diakhir musim penghujan untuk mengantisipasi kelebihan air akibat hujan yang dapat menimbulkan potensi tanaman terendam. Sorgum untuk sumber hijauan membutuhkan kecukupan air hingga umur 14 HST, selanjutnya tanaman ini relatif tahan terhadap kekeringan. 2. Pembuatan guludan yang lebih tinggi agar tanaman terhindar dari potensi terendam di daerah yang memiliki curah hujan tinggi. 3. Penggunaan kapur dan pupuk kandang/ kompos ditujukan untuk meningkatkan pH tanah agar pelepasan unsur hara dari keadaan terikat menjadi tersedia sehingga KTK dapat meningkat, dan juga mampu mengurangi toksisitas akibat tingginya kandungan alumunium. Potensi bahaya lain yang terjadi di lahan kritis adalah serangan hama. Hama mulai menyerang pada umur 4 HST hingga menjelang pemanenan. Belalang dan ulat merupakan ancaman hama paling utama yang terjadi selama budidaya tanaman sorgum. Dengan kemampuan adaptasi yang tinggi disertai oleh strategi dan manajemen budidaya yang tepat memungkinkan pengembangan sorgum sebagai sumber pakan ternak di wilayah marginal, tanah sedimentasi ultisol Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Produktivitas Tanaman Produktivitas sorgum secara umum dalam penelitian ini cenderung tidak dipengaruhi oleh perlakuan dosis pupuk kandang, namun lebih disebabkan faktor genetis sorgum. Penggunaan dosis pupuk kandang hingga level 40 ton ha-1 hanya mampu mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman umur 15 hingga 30 HST, diameter batang saat panen, dan umur panen sorgum. Pertambahan diameter batang saat umur 15 hingga 30 HST dan tinggi batang tanaman saat panen dipengaruhi oleh interaksi antara faktor varietas/ galur dengan dosis pupuk kandang. Hal tersebut membuktikan kemampuan sorgum untuk tumbuh dan tetap mampu berproduksi dengan baik dilahan kurang subur. Secara genetis, varietas Numbu dan CTY-33 (sweet sorghum) memiliki tinggi tanaman yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kedua galur bmr. Sedangkan galur bmr memiliki diameter batang yang lebih besar dibandingkan dengan varietas sweet sorghum. Silungwe (2011) memperoleh indikasi hubungan positif yang sangat kuat antara tinggi tanaman dan hasil biomasa tanaman sorgum. Selain itu Pedersen et al. (2005) memberikan informasi lain bahwa bmr cenderung memiliki penurunan BK, daya ratun, tinggi batang, tillering, dan lambat berbunga. Korelasi antara tinggi tanaman sweet sorghum dengan produksi bahan kering kedua varietas sangat erat (r = 0.99). Sementara tingkat korelasi tinggi tanaman dengan produksi BK pada galur bmr PATIR3.2 dan 3.5 berturut – turut r = 0.81 dan 0.84. Diameter batang kedua galur bmr (PATIR3.2 dan 3.5) memiliki keeratan korelasi dengan produksi BK hijauan mencapai 0.95 dan 0.83. Namun untuk diameter batang kedua varietas sweet sorghum memiliki korelasi yang rendah (Numbu = 0.22 dan CTY-33 = 0.40) dengan produksi BK hijauannya (Gambar 10).
31
Numbu
8 y = 0.1569x - 34.701 R² = 0.9803
6
CTY-33
10
Prod. BK (ton ha-1)
Prod. BK (ton ha-1)
10
4 2 0
8 y = 0.0866x - 11.313 R² = 0.6617
6 4 2 0
260
265
270 275 280 Tinggi tanaman (cm)
285
210
PATIR3.2
240
PATIR3.5 10
Prod. BK (ton ha-1)
10
Prod. BK (ton ha-1)
220 230 Tinggi tanaman (cm)
8 y = 0.0991x - 19.286 R² = 0.9721
6 4 2 0 260
270 280 Tinggi tanaman (cm)
290
y = 0.0623x - 5.9054 R² = 0.7014
8 6 4 2 0 205
210
215 220 225 Tinggi tanaman (cm)
230
Gambar 9 Korelasi tinggi tanaman (cm) dengan produksi BK (ton ha-1) Secara umum, varietas sweet sorghum memiliki keeratan korelasi antara tinggi tanaman dengan produksi biomasa, sedangkan keeratan korelasi produksi biomasa galur bmr lebih mengarah pada diameter batang. Keeratan tersebut diindikasikan sebagai penyebab tidak berbedanya produksi BK dan berat individu tanaman sorgum keempat varietas/galur. Hal tersebut memungkinkan untuk mengestimasi produksi biomasa sorgum dengan menggunakan tinggi tanaman dan diameter batang. Kualitas Hijauan Kandungan PK hijauan sorgum dalam penelitian ini tidak beda nyata dipengaruhi oleh faktor dosis pupuk kandang, varietas/ galur sorgum, dan tidak terjadi interaksi antara keduanya. Selain tidak adanya perbedaan yang nyata, kandungan PK hijauan sorgum dalam penelitian ini masih belum sesuai dengan harapan. Diharapkan kandungan PK hijauan mampu menjadikan sorgum yang ditanam di lahan marjinal tersebut sebagai sumber pakan tunggal yang berkualitas. Rataan kandungan PK dalam penelitian ini adalah 7.47%. Nilai tersebut sesuai dengan hasil Marsalis et al. (2010) yang memperoleh kandungan PK pada sorgum bmr 7.20%. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kesuburan tanah yang rendah diduga berperan pada rendahnya kandungan PK
32
Numbu
CTY-33 10
Prod. BK (ton ha-1)
Prod. BK (ton ha-1)
10 8 6
y = 3.6765x + 2.0247 R² = 0.0482
4 2 0
1.4 1.45 1.5 1.55 Diameter batang (cm)
1.6
4 2 1.35
PATIR3.2
8 y = 8.68x - 7.7644 R² = 0.8972
6 4 2 0
1.4 1.45 1.5 1.55 Diameter batang (cm)
1.6
PATIR3.5
10
Prod. BK (ton ha-1)
Prod. BK (ton ha-1)
y = 4.6667x + 1.3267 R² = 0.1506
6
0 1.35
10
8
8 y = 4.6476x - 0.6791 R² = 0.684
6 4 2 0
1.7
1.8 1.9 2 Diameter batang (cm)
2.1
1.7
1.8 1.9 2 Diameter batang (cm)
Gambar 10 Korelasi diameter batang (cm) dengan produksi BK (ton ha-1) Dengan umur panen yang lebih lama, tanaman sorgum galur bmr menghasilkan produktivitas dan kualitas yang sama dengan varietas sweet sorghum. Sorgum bmr diduga akan memiliki kualitas hijauan lebih tinggi apabila dilakukan pemanenan lebih awal, walau masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk kemudian dikonfirmasikan dengan kualitas silase yang dihasilkan. Johnson et al. (2003) mengemukakan bahwa umur pemanenan hijauan akan berpengaruh terhadap kualitas silase. Kandungan lignin tanaman sorgum penelitian ini tergolong hijauan dengan kandungan liginin yang rendah. Rendahnya kandungan lignin tersebut salah satunya mengindikasikan bahwa umur pemanenan yang dilakukan telah tepat. Carmi et al. (2006) mengemukakan bahwa pembentukan dan akumulasi lignin biasanya terjadi pada fase pendewasaan tanaman, seperti layaknya membangun dinding sel kedua, banyak terdapat selulosa, pada jaringan batang dan daun dewasa. Tanaman sorgum yang memiliki kandungan lignin lebih rendah dan kandungan karbohidrat non-struktural yang lebih tinggi dapat meningkatkan kecernaan selama perombakan anaerob (Mahmood et al. 2013). Lignin adalah senyawa fenolik yang terdeposisi pada dinding sel pada jenis tertentu yang telah berhenti tumbuh (melebar maupun memanjang). Lignin pada spesies yang berbeda, dan bagian/ jaringan yang berbeda pada tanaman yang sama, mempunyai proporsi ketiga unit pembentuk (p-coumaryl, guiacyl, and sinapyl propane) yang berbeda. Ketika lignin telah terdeposisi maka lignin tidak
2.1
33
dapat dipisahkan/ dipindahkan dari sel karena tumbuhan tidak mempunyai ligninase. Beberapa bakteri dan fungi mempunyai enzim tersebut yang bisa mencerna lignin (Srivasta 2001). Kualitas Silase Kualitas silase utamanya dinilai dengan nilai Fleigh. Berdasarkan nilai Fleigh yang diperoleh, kualitas silase yang pada penelitian ini mengindikasikan bahwa keempat sorgum yang digunakan sebagai bahan silase menghasilkan silase yang berkualitas baik dan sangat baik. Perbedaan kualitas tersebut sangat erat kaitannya dengan kandungan BK dan pH silase merupakan komponen utama penentu nilai Fleigh silase. Apabila dilihat bahan hijauan yang digunakan untuk silase dalam penelitian ini, kandungan BK keempat jenis sorgum tidak berbeda nyata (Tabel 12). 120 R2= 0.87
100
R2= 0.80
R2= 0.95
Nilai Fleigh
80
R2= 011
60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
Dosis pupuk kandang (ton ha ) -1
Gambar 11 Korelasi antara dosis pupuk kandang dengan nilai Fleigh silase : Numbu, : CTY-33, : PATIR3.2, : PATIR3.5 Kandungan BK berbeda diperoleh ketika sorgum dibuat menjadi silase (Tabel 15). Dari data tersebut diketahui terdapat penurunan BK yang lebih banyak pada kedua sorgum galur bmr. Penurunan kandungan BK selama proses ensilasi bisa mengindikasikan kehilangan materi selama proses tersebut. Kandungan WSC (Gambar 7) hijauan sorgum galur bmr lebih tinggi dibandingkan kedua varietas sweet sorghum). Tingginya kandungan WSC seharusnya mampu memicu timbulnya pH yang rendah. Pada jagung apabila dilakukan pemanenan muda, maka kandungan bahan kering yang diperoleh lebih rendah, namun kandungan WSC akan tinggi. Hal tersebut mampu memicu rendahnya pH silase karena WSC menyediakan nutrisi bagi bakteri untuk tumbuh dan menghasilkan asam organik, hingga mampu menurunkan pH (Johnson et al. 2003). Ketika jumlah WSC pada awal proses ensilasi dinaikkan, maka konsentrasi produk – produk fermentasi yang dapat meningkatkan kualitas fermentasi, seperti asam asetat, asam laktat, etanol, dan gliserol, sedangkan konsentrasi asam butirat menurun (Yang et al. 2006). pH yang rendah menjamin proses ensilasi berjalan
34
dengan bagus. Perbedaan komposisi WSC sorgum diduga menjadi penyebab berbedanya kualitas silase yang dihasilkan. Glukosa, fruktosa, sukrosa dan fruktosan adalah penyusun utama WSC di dalam rerumputan, fruktosan menjadi komposisi utama polisakarida rerumputan. Oligosakarida selain sukrosa ditengarai ada namun jumlahnya tidak signifikan. Sukrosa dan fruktosa secara cepat dihidrolisa pada proses ensilasi menjadi monomer glukosa dan fruktosa. Sebagai bahan terkait mikrobiologi, dapat dipertimbangkan bahwa fruktosa dan glukosa adalah sumber karbohidrat utama bakteri (Whittenbury 1967). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH silase berbahan sorgum bmr lebih tinggi dibandingkan dengan pH silase berbahan varietas sweet sorghum (Tabel 15). Hasil tersebut berkorelasi negatif dengan kandungan WSC yang diperoleh dalam penelitian ini. Penjelaasan akan fenomena tersebut diduga dikarenakan perbedaan polisakarida penyusun WSC yang terkandung dalam jenis sorgum dalam penelitian ini, sehingga menimbulkan perbedaan karakter dan hasil fermentasi.
Gambar 12 Perbandingan warna silase sorgum bmr (kiri) dan sweet sorghum (kanan) Nilai Fleigh silase dan dosis pupuk kandang mempunyai angka korelasi (r) positif yang cukup tinggi pada galur PATIR3.5 (0.98), varietas CTY-33 (0.89). Sementara itu galur PATIR3.2 memiliki r lebih rendah yaitu 0.33, sedangkan varietas Numbu memiliki korelasi negatif (-0.93) (Gambar 11). Dengan demikian terdapat tiga galur yang memiliki sensititivitas dosis pupuk kandang terhadap nilai Fleigh, yaitu PATIR3.5, CTY-33 dan Numbu. Untuk varietas numbu, peningkatan dosis pupuk kandang justru menurunkan nilai Fleigh silase. Tingginya nilai Fleigh pada kombinasi varietas Numbu di lahan kontrol (0 ton ha-1) diduga karena varietas tersebut sangat adaptif dengan lahan marjinal, sehingga penggunaan pupuk kandang cenderung menurunkan kualitas silasenya. Nilai Fleigh sendiri dipengaruhi oleh faktor kandungan BK dan pH silase, diduga penambahan pupuk kandang direspon oleh varietas Numbu mendeposisikan komponen lain dalam materinya, dan hal ini masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut.
35
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sorgum varietas Numbu, CTY-33, dan galur PATIR3.2, PATIR3.5 mampu beradaptasi di lahan miskin hara tanah sedimentasi ultisol dengan daya tumbuh diatas 90% dan mampu menghasilkan hijauan untuk pakan ternak. Penambahan pupuk kandang dengan dosis 10 hingga 40 ton ha-1 menghasilkan produktivitas hijauan dan silase yang sama. Sorgum galur bmr memiliki rata – rata kandungan lignin lebih rendah dibandingkan dengan varietas Numbu dan CTY-33. Berdasarkan nilai Fleigh, silase sorgum yang dihasilkan berkualitas sangat baik (varietas Numbu dan CTY-33) dan baik galur bmr ( PATIR3.2 dan PATIR3.5). Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengamati perilaku dan kualitas tanaman ratun akibat perlakuan penambahan pupuk organik. Selain itu perlu dilakukan penelitian terkait perbedaan karakteristik gula yang terkandung dalam batang sorgum dan dinamika jumlah populasi mikroba fermentasi silase sejak inokulasi hingga fase stabil.
DAFTAR PUSTAKA Ahlgren GH. 1956. Forage corp 2nd edition. New York (US): McGraw-Hill Book Company INC. Amaducci S, Amaducci MT, Benati R, Venturi G. 2000. Crop yield and quality parameters of four annual fibre crops (hemp, kenaf, maize and sorghum) in the north of italy. Industrial Crops and Products 11 (2000) 179–186. Amaducci S, Monti A, Venturi G. 2004. Non-structural carbohydrates and fibre components in sweet and fibre sorghum as affected by low and normal input techniques. Industrial Crops and Products 20 (2004) 111–118. Amer S, Hassanat F, Berthiaume R, Seguin P, Mustafa AF. 2012. Effects of water soluble carbohydrate content on ensiling characteristics, chemical composition and in vitro gas production of forage millet and forage sorghum silages. Animal Feed Science and Technology 177 (2012) 23– 29 29. Andres F, Coupland G. 2012. The genetic basis of flowering responses to seasonal cues. Nat.Rev. Genet. 13:627-39. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2000. Official Methods of Analysis. 17th Edition. Assoc. Off. Anal. Chem., Arlington, Virginia. Bean BW, Baumhardt RL, McCollum III FT, McCuistion KC. 2013. Comparison of sorghum classes for grain and forage yield and forage nutritive value. Field Crops Research 142 (2013) 20–26. Bian Y, Seiji Y, Maiko I, Cai H. 2006. Qtls for sugar content of stalk in sweet sorghum (sorghum bicolor (L). moench). Agricultural Sciences in China 5(10): 736-744.
36
Blummel M, Zerbini E, Reddy BVS, Hash CT, Bidinger F, Ravi D. 2003. Improving the production and utilization of sorghum and pearl millet as livestock feed: methodological problems and possible solutions. Field Crops Research 84 (2003) 123–142. Carmi A, Aharoni Y, Edelstein M, Umiel N, Hagiladi A, Yosef E, Nikbachat M, Zenou A, Miron J. 2006. Effects of irrigation and plant density on yield, composition and in vitro digestibility of a new forage sorghum variety, tal, at two maturity stages. Anim. Feed Sci. Technol. 131, 121–133. Cherney DJR. 2000. Forage Evaluation in Ruminant Nutrition. Givens DI, Owen E, Axford RFE, Omed HM, editor. Oxon (UK): CABI Publishing. Di Marco ON, Ressia MA, Arias S, Aello MS, Arzadun M. 2009. Digestibility of forage silages from grain, sweet and bmr sorghum types: comparison of in vivo, in situ and in vitro data. Animal Feed Science and Technology 153 (2009) 161–168. Demirel R, Akdemir F, Saruhan V, Demirel DS, Akinci C, Aydin F. 2011. The determination of qualities in different whole-plant silages among hybrid maize cultivars. Afr. J. Agri. Res. Vol. 6(24), pp. 5469-5474, 26 October 2011. Degenhart NR, Werner BK, Burton GW. 1995. Forage yield and quality of a brown mid-rib mutant in pearl millet. Crop Sci. 35:986–988. Despal, Permana IG, Safarina SN, Tatra AJ. 2011. Penggunaan berbagai sumber karbohidrat terlarut air untuk meningkatkan kualitas silase daun rami. Media Petern, April 2011, hlm. 69-76. Doggett H. 1970. Sorghum. London (GB): Longmans, Green and Co Ltd. Downing TW, Buyserie A, Gamroth M, French P. 2008. Effect of water soluble carbohydrates on fermentation characteristics of ensiled perennial ryegrass. The Professional Animal Scientist 24 (2008):35–39. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substrances. Analy. Chem. 28:350–356. Efendi R, Aqil M, Pabendon M. 2013. Evaluasi genotipe sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) produksi biomas dan daya ratun tinggi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan vol. 32 no. 2 2013. Gadakh SR, Shinde MS, Gaikwad AR, Patil VR. 2013. Effect of genotypes and phenological stages on green cane yield, brix and juice yield in sweet sorghum. J. Acad. Indus. Res. Vol. 1(10) March 2013. George-Jaeggli B, Jordan DR, van Oosterom EJ, Hammer GL. 2011. Decrease in sorghum grain yield due to the dw3 dwarfing gene is caused by reduction in shoot biomass. Field Crops Research 124 (2011) 231–239. Hanna WW, Monson WG, Gaines TP. 1981. IVDMD, total sugars, and lignin measurements on normal and brown midrib (bmr) sorghums at various stages of development. Agron. J. 73, 1050–1052. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 2005. Soil Fertility and Fertilizers: An Introduction to Nutrient Management. 7th Ed. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall. Higgins JA, Bailey PC, Laurie DA. 2010. Comparative genomics of flowering time pathways using Brachypodium distachyon as a model for the temperate grasses. PLoS ONE 5(4):e10065.
37
Imaizumi T, Kay SA. 2006. Photoperiodic control of flowering: not only by coincidence. Trends Plant Sci 11: 550–558. Jiang Y, Huang B. 2001. Osmotic adjustment and root growth associated with drought preconditioning-enhanced heat tolerance in kentucky bluegrass. Crop Science 41:1168-1173. Johnson LM, Horrison JH, Davidson D, Mahanna WC, Shinners K. 2003. Corn silage management: effect of hybrid, maturity, inoculation and mechanical processing on fermentation characteristics. J. Dairy Sci. 86:287-308. Jones DIH, Theodorou MK. 2000. Forage Evaluation in Ruminant Nutrition. Givens DI, Owen E, Axford RFE, Omed HM, editor. Oxon (UK): CABI Publishing. Kawahigashi H, Kasuga S, Okuizumi H, Hiradate S, Yonemaru J. 2013. Evaluation of brix and sugar content in stem juice from sorghum varieties. Japanese Society of Grassland Science. 59, 11–19. Kjeldahl J. 1883. A new method for the determination of nitrogen in organic matter. Zeitschreft fur Analytische Chemie. 22: 366. Mahmood A, Ullah H, Ijaz M, Javaid MM, Shahzad AN, Honermeier B. 2013. Evaluation of sorghum hybrids for biomass and biogas production. Australian Journal of Crop Sci. 7(10):1456-1462. McDonald P, Edwards R, Greenhalgh J. 2002. Animal Nutrition. 6th. New York (US): Scientific and Tech John Willey & Sons. Inc. McMahon MJ, Kofranek AM, Rubatzky VE. 2007. Hartmann’s Plant Science; Growth, Development, and Utilization of Cultivated Plants. 4th Edition. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall. Marsalis MA, Angadi SV, Contreras-Govea FE. 2010. Dry matter yield and nutritive value of corn, forage sorghum, and BMR forage sorghum at different plant populations and nitrogen rates. Field Crops Research 116 (2010) 52–57. Miller FR, Stroup JA. 2003. Brown midrib forage sorghum, sudangrass, and corn: What is the potential?. 33rd California Alfalfa dan Forage Symposium 1719 December 2003. Mortlock MY, Vanderlip RL. 1989. Germination and establishment of pearl millet and sorghum of different seed qualities under controlled high-temperature environments. Field Crops Research, 22 (1989) 195-209. Muck RE. 2011. The art and science of making silage. Proceedings Western Alfalfaand Forage Conference Las Vegas, 11-13 December 2011. Murphy RL, Morishige DT, Brady JA, Rooney WL, Yang S, Klein E, Mullet JE. 2014. Ghd7 (Ma6) represses sorghum flowering in long days: ghd7 alleles enhance biomass accumulation and grain production. The Plant Genome: 21 Feb. 2014. Mustafa AF, Hassanat F, Seguin P. 2004. Chemical composition and in situ ruminal nutrient degradability of normal and brown midrib forage pearl millet grown in southwestern Quebec, Can. J. Anim. Sci. 84 (2004) 737– 740. Nonogaki H, Bassel GW, Bewley JD. 2010. Germination—still a mystery. Plant Science 179 (2010) 574–581. [NRC] National Research Council. 2007. Nutrient Requirement of Small Ruminant. Washington DC (US). The National Academic Press.
38
Oliver AL, Grant RJ, Pedersen JF, O’Rear J. 2004. Comparison of brown midrib6 and - 18 forage sorghum with conventional sorghum and corn silage in diets of lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 87 (2004) 637–644. Ozturk D, Kizilsimsek M, Kamalak A, Canbolat O, Ozkan CO, 2006. Effects of ensiling alfalfa with whole-crop maize on the chemical composition and nutritive value of silage mixtures. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences 2006;19(4): 526-532. Pedersen JF, Vogel KP, Funnell DL. 2005. Impact of reduced lignin on plant fitness. Crop Sci. 45, 812–819. Pflugfelder RL, Rooney LW. 1986. The role of germination in sorghum reconstitution. Animal Feed Science and Technology, 14 (1986) 243-254. Podkowka Z, Podkowka L. 2012. Chemical composition and quality of sweet sorghum and maize silages. Journal of Central European Agriculture, 2011, 12(2), p.294-303. Rooney WL, Blumenthal J, Bean B, Mullet JE. 2007. Designing sorghum as a dedicated bioenergy feedstock. Biofuel. Bioprod. Bior. 1(2):147-157. Sattler SE, Funnell-Harris DL, Pedersen JF. 2010. Brown midrib mutations and their importance to the utilization of maize, sorghum, and pearl millet lignocellulosic tissues. Plant Science 178 (2010) 229–238. Saun RJV, Heinrich AJ. 2008. Trouble Shooting silage problem. Proceedings of the Mid-Atlantic Conference Pensylvania, 26 May 2008. Schroeder JW. 2004. Silage fermentation and preservation.Quality Forage NDSU Extension Service. [Internet]. [Juni 2004]. North Dacota (US): North Dacota State University. hlm 1-7; [diunduh 2014 Jul 12]. Tersedia pada : http://www.ag.ndsu.edu/pubs/ansci/range/as1254.pdf. Schwartz CC, Renecker LA. 1998. Ecology and Management of the North American Moose. Franzman AW, Schwartz CC, editor. Washington DC (US). Smithsonian Institution Press. Seglar B. 2003. Fermentation analysis and silage quality testing. Proceedings of the Minnesota Dairy Health Conference, College of Veterinary Medicine, University of Minnesota. May 2003 Sihono. 2013. Uji adaptasi galur mutan harapan sorgum manis hasil iradiasi di CTY33 Bogor. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR - BATAN Bandung, 04 Juli 2013. Silungwe D. 2011. Evaluation of forage yield and quality of sorghum, sudangrass and pearl millet cultivars in manawatu. [tesis]. Palmerston North (NZ): Massey University. Sirappa MP. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian 22(4). Snyman LD, Joubert HW. 1996. Effect of maturity stage and method of preservationon the yield and quality of forage sorghum. Anim. Feed Sci. Technol. 57,63–73. Sobrizal. 2008. Mutasi induksi untuk mereduksi tinggi tanaman padi galur KI 237. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop Radiasi-BATAN. Vol. 4 No. 2 (2008) 99-108. Srivasta LM. 2001. Plant Growth and Development: Hormones and Environment. California (US): Academic Press.
39
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi ke 2. Terjemahan: B. Sumantri. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Supriyanto. 2011. Penerapan Biocharcoal dan Boron untuk Meningkatkan Produktivitas Beberapa Galur Sorgum Manis Untuk Mendukung Kebutuhan Pangan, Pakan, dan Energi. Laporan DIPA 2011. Bogor (ID) SEAMEO BIOTROP. Tsuji H, Taoka KI, Shimamoto K. 2011. Regulation of flowering in rice: two florigen genes, a complex gene network, and natural variation. Current Opin. Plant Biol.14:45-52. Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA. 1991. Methods of dietary fibre, neutral detergent fibre, and non-strach polysaccharides in relation to animal nutrition. Journal Dairy Sci. 74: 3583-3597. Wall JS, Ross WR. 1970. Sorgum production and utilization: major feed and food crops in agriculture and food series. Westport Connecticut (US):The Avi Publishing Company, Inc. Whitfield MB, Chinn MS, Veal MW.2012. Review: processing of materials derived from sweet sorghum for biobased products. Industrial Crops and Products 37 (2012): 362– 375. Whittenbury R, McDonald P, Bryan-Jones DG. 1967. A short review of some biochemical and microbiological aspects of ensilage. J. Sci. Fd Agric. 18, 441-444. Woodhead S, Driver CG. 1979. Phenolic acids and resistance to insect attack in sorghum bicolor. Biochemical Systematics and Ecology, Vol. 7, pp. 309 to 310. Yang HY, Wang XF, Liu JB, Gao LJ, Ishii M, Igarashi Y, Cui ZJ. 2006. Effect of water-soluble carbohydrate content on silage fermentation of wheat straw. Journal of Bioscience and Bioengineering. Vol.101, No. 3, 232-237. Yosef E, Carmi A, Nikbachat M, Zenou A, Umiel N, Miron J. 2009. Characteristics of tall versus short-type varieties of forage sorghum grown under two irrigation levels, for summer and subsequent fall harvests, and digestibility by sheep of their silages. Anim. Feed Sci. Technol. 152, 1–11. Zhao X, Liu C, Li C, Yao J. 2013. Effects of neutral detergent soluble fiber and sucrose supplementation on ruminal fermentation, microbial synthesis, and populations of ruminal cellulolytic bacteria using the rumen simulation technique (RUSITEC). Journal of Integrative Agriculture 2013, 12(8): 1471-1480.
40
LAMPIRAN Lampiran 1 Sidik ragam daya tumbuh Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
144.630 411532.922 51.141 4.474 18.969 70.047 465.698 412143.250 610.328
8.508 411532.922 17.047 1.491 9.484 7.783 15.523
.548 2.651 1.098 .096 .611 .501
.903 .000 .365 .962 .549 .862
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas*pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 2 Sidik ragam modus serangan hama Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
4571.292 24480.333 3757.167 300.167 176.292 337.667 1498.375 30550.000 6069.667
268.900 24480.333 1252.389 100.056 88.146 37.519 49.946
5.384 490.138 25.075 2.003 1.765 .751
.000 .000 .000 .135 .189 .660
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas*pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 3 Uji DMRT varietas terhadap modus serangan hama Varietas/ galur
N
PATIR3.5 PATIR3.2 Numbu CTY-33
12 12 12 12
Sig.
Subset a
b
12.7500 14.9167 29.8333 32.8333 .459
.307
Lampiran 4 Sidik ragam pertambahan tinggi tanaman umur 15 - 30 HST Sumber keragaman Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 462 480 479
32472.933 1180132.917 27170.455 3577.049 358.304 1367.125 37387.420 1249993.270 69860.353
1910.173 1180132.917 9056.818 1192.350 179.152 151.903 80.925
23.604 1.458 111.916 14.734 2.214 1.877
.000 .000 .000 .000 .110 .053
41
Lampiran 5 Uji DMRT varietas terhadap pertambahan tinggi tanaman umur 15-30 HST Varietas/ galur PATIR3.5 PATIR3.2 Numbu CTY-33
Subset N 120 120 120 120
d
c
b
a
40.9917 43.6708 54.3475 59.3275
Sig.
1.000
1.000
1.000
1.000
Lampiran 6 Uji DMRT dosis pupuk terhadap pertambahan tinggi umur 15-30 HST Dosis pupuk kandang Kontrol 20 ton ha-1 10 ton ha-1 40 ton ha-1 Sig.
N 120 120 120 120
Subset c
b
46.5325 48.1617
a
48.1617 49.7650 53.8783
.161
.168
1.000
Lampiran 7 Uji kontras polinomial dosis pupuk kandang terhadap pertambahan tinggi tanaman umur 15-30 HST Kontras polinomial dosis pupuk kandang Linear
Kuadratik
Kubik
Perkiraan kontras Nilai terhipotesa Perbedaan (Perkiraan - terhipotesa) Galat Standar Sig. Selang kepercayaan 95% untuk Batas bawah perbedaan Batas atas Perkiraan kontras Nilai terhipotesa Perbedaan (Perkiraan - terhipotesa) Galat Standar Sig. Selang kepercayaan 95% untuk Batas bawah perbedaan Batas atas Perkiraan kontras Nilai terhipotesa Perbedaan (Perkiraan - terhipotesa) Galat Standar Sig. Selang kepercayaan 95% untuk Batas bawah perbedaan Batas atas
Dependent Variable Pertambahan tinggi 4.569 0 4.569 .821 .000 2.955 6.183 1.242 0 1.242 .821 .131 -.372 2.856 2.718 0 2.718 .821 .001 1.104 4.332
42
Lampiran 8 Sidik ragam pertambahan diameter batang tanaman umur 15-30 HST Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 462 480 479
6.350 535.477 1.320 3.272 .349 1.409 22.579 564.406 28.929
.374 535.477 .440 1.091 .174 .157 .049
7.643 1.096 9.003 22.317 3.566 3.204
.000 .000 .000 .000 .029 .001
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 9 Uji DMRT interaksi antara varietas/ galur dengan dosis pupuk kandang terhadap pertambahan diameter batang tanaman umur 15 sampai 30 HST PERLAKUAN ha-1
CTY*0 ton NUM*0 ton ha-1 NUM*10 ton ha-1 P3.5*0 ton ha-1 P3.5*10 ton ha-1 P3.2*0 ton ha-1 P3.5*20 ton ha-1 NUM*40 ton ha-1 P3.2*20 ton ha-1 NUM*20 ton ha-1 CTY*20 ton ha-1 P3.2*10 ton ha-1 P3.5*40 ton ha-1 CTY*10 ton ha-1 CTY*40 ton ha-1 P3.2*40 ton ha-1 Sig.
N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Subset f
e
.9080 .9187 .9253 .9780 .9973 1.0100 1.0100 1.0193 1.0207
.098
d
.9253 .9780 .9973 1.0100 1.0100 1.0193 1.0207 1.0547
.053
c
.9780 .9973 1.0100 1.0100 1.0193 1.0207 1.0547 1.0673 1.1067
.057
b
1.0547 1.0673 1.1067 1.1600 1.1660
a
1.1600 1.1660 1.2553
.083
.116
1.2553 1.3020 .414
Lampiran 10 Sidik ragam tinggi tanaman saat panen Sumber keragaman Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas*pupuk Error Total Total terkoreksi
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 445 463 462
332695.897 2.848 290392.557 4624.836 15055.051 19641.338 201825.683 2.911 534521.579
19570.347 2.848 96797.519 1541.612 7527.525 2182.371 453.541
43.150 6.278 213.426 3.399 16.597 4.812
.000 .000 .000 .018 .000 .000
43
Lampiran 11 Uji DMRT interaksi antara varietas/ galur dengan dosis pupuk kandang terhadap tinggi tanaman saat panen PERLAKUAN
Subset
N
ha-1
P3.5*10 ton P3.2*20 ton ha-1 P3.2*0 ton ha-1 P3.5*0 ton ha-1 P3.5*40 ton ha-1 P3.5*10 ton ha-1 P3.2*10 ton ha-1 P3.2*40 ton ha-1 NUM*10 ton ha-1 NUM*40 ton ha-1 CTY*0 ton ha-1 NUM*0 ton ha-1 CTY*20 ton ha-1 NUM*20 ton ha-1 CTY*40 ton ha-1 CTY*10 ton ha-1
g
29 29 28 27 29 28 29 29 28 30 30 30 30 28 30 29
2.0929 2.1514 2.2072
f
e
2.1514 2.2072 2.2365 2.2526 2.2621
d
2.2072 2.2365 2.2526 2.2621 2.2801
c
b
2.2526 2.2621 2.2801 2.3663 2.6232 2.6498 2.6523 2.6795
Sig.
.053
.079
.254
a
.063
2.6795 2.7789 2.7946
.367
.052
2.7789 2.7946 2.8140 2.8478 .268
Lampiran 12 Sidik ragam diameter batang tanaman saat panen Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 447 465 464
17.175 1315.534 12.031 3.297 1.091 .821 31.385 1361.985 48.560
1.010 1315.534 4.010 1.099 .545 .091 .070
14.389 1.874 57.115 15.653 7.767 1.300
.000 .000 .000 .000 .000 .235
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas *pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 13 Uji DMRT varietas terhadap diameter batang tanaman saat panen Varietas/ galur Numbu CTY-33 PATIR3.2 PATIR3.5 Sig.
N 116 120 115 114
Subset c
b
a
1.4763 1.5751 1.8386 1.8404 1.000
1.000
.960
44
Lampiran 14 Uji DMRT dosis pupuk kandang terhadap diameter batang tanaman saat panen Dosis pupuk kandang
N
Kontrol 20 ton ha-1 10 ton ha-1 40 ton ha-1
116 116 115 118
Subset c
b
1.5859 1.6360
Sig.
a
1.6360 1.6854 1.8131
.156
.162
1.000
Lampiran 15 Uji kontras polinomial dosis pupuk kandang terhadap diameter batang tanaman saat panen Dependent variable Diameter batang
Kontras polinomial dosis pupuk Linear
Perkiraan kontras Nilai terhipotesa Perbedaan (Perkiraan - terhipotesa) Galat Standar Sig. Selang kepercayaan 95% untuk Batas bawah perbedaan Batas atas
.140 0 .140 .025 .000 .092 .188
Kuadratik
Perkiraan kontras Nilai terhipotesa Perbedaan (Perkiraan - terhipotesa) Galat Standar Sig. Selang kepercayaan 95% untuk Batas bawah perbedaan Batas atas
.043 0 .043 .025 .080 -.005 .091
Kubik
Perkiraan kontras Nilai terhipotesa Perbedaan (Perkiraan - terhipotesa) Galat Standar Sig. Selang kepercayaan 95% untuk Batas bawah perbedaan Batas atas
.082 0 .082 .025 .001 .033 .130
Lampiran 16 Sidik ragam berat individu tanaman Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk
17 1 3 3 2 9
.167 12.928 .012 .058 .024 .073
.010 12.928 .004 .019 .012 .008
1.049 1.379 .428 2.050 1.296 .868
.440 .000 .734 .128 .288 .563
Error
30
.281
.009
Total Total terkoreksi
48 47
13.377 .448
45
Lampiran 17 Sidik ragam persentase daun Sumber keragaman Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
102.551 42290.109 19.928 35.562 18.084 28.978 136.290 42528.950 238.841
6.032 42290.109 6.643 11.854 9.042 3.220 4.543
1.328 9.309 1.462 2.609 1.990 .709
.242 .000 .245 .070 .154 .696
Lampiran 18 Sidik ragam persentase batang Sumber keragaman Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
104.082 191525.944 1.664 11.670 19.110 71.638 196.977 191827.003 301.059
6.122 191525.944 .555 3.890 9.555 7.960 6.566
.932 2.917 .084 .592 1.455 1.212
.548 .000 .968 .625 .249 .324
Lampiran 19 Sidik ragam umur panen tanaman saat mencapai fase pembungaan 80% Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
1795.792 271201.333 1634.167 102.333 43.792 15.500 326.875 273324.000 2122.667
105.635 271201.333 544.722 34.111 21.896 1.722 10.896
9.695 2.489 49.994 3.131 2.010 .158
.000 .000 .000 .040 .152 .997
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 20 Uji DMRT varietas terhadap umur panen tanaman saat mencapai fase pembungaan 80% Subset Varietas/ galur
N
CTY-33 Numbu PATIR3.2 PATIR3.5
12 12 12 12
Sig.
1
2
69.0833 69.6667 80.0000 81.9167 .668
.165
46
Lampiran 21 Uji DMRT dosis pupuk kandang terhadap umur panen tanaman saat mencapai fase pembungaan 80% Varietas/ galur
N
ha-1
40 ton 10 ton ha-1 20 ton ha-1 Kontrol
12 12 12 12
Sig.
Subset a
b
73.2500 74.5833 75.5833
74.5833 75.5833 77.2500
.111
. 070
Lampiran 22 Uji kontras polinomial dosis pupuk kandang terhadap umur panen tanaman saat mencapai fase pembungaan 80% Dependent Variable Umur Panen
Kontras polinomial dosis pupuk kandang Linear
Kuadratik
Kubik
Perkiraan kontras Nilai terhipotesa Perbedaan (Perkiraan - terhipotesa) Galat Standar Sig. Selang kepercayaan 95% untuk Batas bawah perbedaan Batas atas Perkiraan kontras Nilai terhipotesa Perbedaan (Perkiraan - terhipotesa) Galat Standar Sig. Selang kepercayaan 95% untuk Batas bawah perbedaan Batas atas Perkiraan kontras Nilai terhipotesa Perbedaan (Perkiraan - terhipotesa) Galat Standar Sig. Selang kepercayaan 95% untuk Batas bawah perbedaan Batas atas
-2.460 0 -2.460 .953 .015 -4.406 -.514 .167 0 .167 .953 .862 -1.779 2.113 -1.565 0 -1.565 .953 .111 -3.511 .381
Lampiran 23 Sidik ragam kandungan BK hijauan Sumber keragaman Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
64.774 19600.871 24.287 20.442 8.054 11.990 150.636 19816.280 215.409
3.810 19600.871 8.096 6.814 4.027 1.332 5.021
.759 3.904 1.612 1.357 .802 .265
.721 .000 .207 .275 .458 .979
47
Lampiran 24 Sidik ragam produksi BK hijauan per hektar Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
3.659 3.017 4579947.269 5096036.307 571155.489 2.634 4.609 3.100 8.268
2152238.487 3.017 1526649.090 1698678.769 285577.745 2926768.356 1536239.317
1.401 1.964 .994 1.106 .186 1.905
.204 .000 .409 .362 .831 .090
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 25 Sidik ragam kandungan gula batang Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 444 462 461
161.151 72432.301 45.092 22.765 46.791 46.318 1370.567 74033.310 1531.719
9.479 72432.301 15.031 7.588 23.396 5.146 3.087
3.071 2.346 4.869 2.458 7.579 1.667
.000 .000 .002 .062 .001 .094
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas*pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 26 Uji DMRT varietas terhadap kandungan gula batang Varietas/ galur
N
CTY-33 Numbu PATIR3.2 PATIR3.5
119 115 115 113
Sig.
Subset b
a
12.1925 12.4071 12.4857 13.0439 .235
1.000
Lampiran 27 Sidik ragam kandungan PK hijauan Sumber keragaman Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
30.020 2675.755 2.475 1.094 2.313 24.138 66.367 2772.142 96.388
1.766 2675.755 .825 .365 1.157 2.682 2.212
.798 1.210 .373 .165 .523 1.212
.682 .000 .773 .919 .598 .324
48
Lampiran 28 Sidik ragam kandungan BK silase Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
50.843 18250.924 32.809 7.254 .744 10.035 105.042 18406.809 155.885
2.991 18250.924 10.936 2.418 .372 1.115 3.501
.854 5.212 3.123 .691 .106 .318
.626 .000 .040 .565 .900 .962
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 29 Uji DMRT varietas terhadap kandungan BK silase Subset
Varietas/ galur
N
PATIR3.2 PATIR3.5 CTY-33 Numbu
12 12 12 12
b
a
18.5410 18.8852 19.9683
Sig.
19.9683 20.6032
.086
.412
Lampiran 30 Sidik ragam nilai pH silase Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
2.950 725.019 1.867 .209 .180 .694 2.313 730.282 5.264
.174 725.019 .622 .070 .090 .077 .077
2.251 9.403 8.072 .903 1.168 1.000
.025 .000 .000 .451 .325 .461
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 31 Uji DMRT varietas terhadap nilai pH silase Varietas/ galur CTY-33 Numbu PATIR3.5 PATIR3.2 Sig.
Subset N
a
b
12 12 12 12
3.6875 3.6917 4.0667 4.1000 .971
.771
49
Lampiran 32 Sidik ragam nilai Fleigh silase Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
6178.421 376293.229 4315.920 344.255 309.649 1208.598 5329.451 387801.101 11507.872
363.437 376293.229 1438.640 114.752 154.825 134.289 177.648
2.046 2.118 8.098 .646 .872 .756
.042 .000 .000 .592 .429 .656
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
Lampiran 33 Uji DMRT varietas terhadap nilai Fleigh silase Subset
Varietas/ galur
N
PATIR3.2 PATIR3.5 CTY-33 Numbu
12 12 12 12
b
a
78.0817 80.1050 97.4367 98.5392
Sig.
.713
.841
Lampiran 34 Sidik ragam kandungan PK silase Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F
Sig.
17 1 3 3 2 9 30 48 47
26.569a
1.563 2866.130 4.319 .538 .354 1.255 1.439
1.086 1.992 3.002 .374 .246 .872
.408 .000 .046 .773 .783 .560
Model terkoreksi Intersep Varietas/ galur Dosis pupuk Kelompok Varietas* pupuk Error Total Total terkoreksi
2866.130 12.957 1.613 .709 11.291 43.155 2935.854 69.724
Lampiran 35 Uji DMRT varietas terhadap kandungan PK silase Subset
Varietas/ galur
N
b
Numbu CTY-33 PATIR3.5 PATIR3.2
12 12 12 12
7.1358 7.3408 7.9900
Sig.
a
.109
7.9900 8.4425 .363
50
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magetan, Jawa Timur pada 25 Pebruari 1982 sebagai putra bungsu dua bersaudara dari pasangan Sawali dan Rasmi Setyawati. Pendidikan sarjana penulis ditempuh di Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (INMT), Fakultas Peternakan IPB, lulus pada tahun 2005. Pada tanggal 10 Agustus 2018 penulis menikah dengan Dewi Fausia S.Pt yang kemudian dikarunia dua orang putri, Humaira Hilmi Kurniawan dan Halima Cendekia Kurniawan. Penulis bekerja sebagai staf di Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara di Bidang Peternakan, Seksi Budidaya Ternak Ruminansia sejak tahun 2010. Kesempatan untuk melanjutkan ke program master pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan (INP) diperoleh dengan Tugas Belajar dari Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2012 dan memperoleh Beasiswa Unggulan (BU) Mandiri dari Sekretariat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Selama mengikuti program pendidikan Master, penulis aktif dalam beberapa kegiatan ilmiah bertaraf internasional, antara lain sebagai pemakalah dan panitia pada “The 2nd Asian-Australasian Dairy Goat Conference” dengan tema “The Role of Dairy Goat Industry in Food Security, Sustainable Agriculture Production, and Economic Communities” yang diselenggarakan di Bogor tanggal 25 - 27 April 2014 oleh kolaborasi antara AADGN, FAO, dan IPB. Pada kesempatan tersebut penulis mempresentasikan sebagian dari tesis ini dengan makalah ilmiah berjudul “Herbage Production of Brown Midrib (bmr) and Conventional Sorghum Fertilized with Different Level of Organic Fertilizer as Forage Source for Goat”. Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 2014 penulis berkesempatan mempresentasikan hasil riset dalam tesis ini di “Second Research Coordination Meeting (RCM) on Integrated Utilization of Cereal Mutant Varieties in Crop/ Livestock Production Systems for Climate Smart Agriculture and Workshop on Application of Nuclear Technique for Increased the Agriculture Production” dengan judul makalah ilmiah “The Potential Value of Numbu, CTY33 & bmr Sorghum as Feed Grown in Lateric Sedimentation Soil With Different Levels of Organic Fertilizer” yang diselenggarakan oleh kerjasama SEAMEOBIOTROP, FAO, dan IAEA di SEAMEO-BIOTROP, Bogor. Selain kegiatan ilmiah penulis juga aktif pada kegiatan keolahragaan, antara lain memperoleh medali perak di cabang bulutangkis beregu pada Dekan Cup Fakultas Peternakan tahun 2014, dan medali emas di cabang olahraga yang sama pada Pascasarjana Cup IPB tahun 2014.
51
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Luki Abdullah MScAgr, Prof Dr Panca DMH Karti MS, Dr Ir Supriyanto selaku dosen pembimbing, inspirator, dan panutan selama studi, penelitian dan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih selanjutnya penulis sampaikan kepaada Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara atas kesempatan tugas belajar yang diberikan kepada penulis. Penghargaan penulis sampaikan kepada SEAMEO-BIOTROP dan kerjasama FAO/IAEA atas penyediaan benih sorgum sebagai materi penelitian ini serta Beasiswa Unggulan (BU) Mandiri Sekretariat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah membantu membiayai penulis selama menempuh studi di Program Master Pascasarjana INP IPB. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Laboratorium Pakan Universitas Haluoleo, atas penggunaan fasilitas laboratoriumnya, kepada Stasiun Meteorologi Klimatologi dan Geofisika TNI AU, Pangkalan Udara Wolter Monginsidi, yang telah memberikan informasi tentang klimatologi lokasi penelitian. Kepada teman – teman seperjuangan Pasca INP 2012, Reikha (atas koreksi dan masukan), Aco (atas bimbingan pengolahan data), dan yang lainnya atas segala kebersamaan dan bantuan yang telah diberikan selama studi ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Mas Supri, Bu Ade dan keluarga besar Mayor INP atas pelayanan akademik yang luar biasa di Pasca INP. Ungkapan terima kasih tak terhingga disampaikan kepada motivator sepanjang hayat, ibunda Rasmi tercinta, bapak Sawali, istriku Dewi Fausia S.Pt, kedua putri tercintaku Humaira Hilmi Kurniawan dan Halima Cendekia Kurniawan atas kesabaran, do’a, dukungan dan kasih sayang yang tak terkiranya. Kepada ibu Niar, ayah Rahman Eka, Agung, Yayat, serta seluruh keluarga besar di Magetan maupun Kendari atas bantuannya selama ini, diucapkan terima kasih.